Ceritasilat Novel Online

Kelana Buana 24

Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen Bagian 24


"Bagaimana paras si pemuda itu, coba kau gambarkan rada terperinci."
Setelah mendengar gambaran yang dilukiskan si pelayan, diam-diam Miao Tiang-hong berpikir:
"Kalau begitu, memang benar mirip Cau Ho-lian. Mungkin dia mencari tahu kejadian di Thay-san,
maka menimbulkan perhatian pihak Ngo-liong-pang. Biasanya Yu-pangcu cukup teliti dan hati-hati,
masakah dia berani mencari gara-gara kepada orang-orang ternama yang hadir dalam pertemuan
besar di Thay-san itu. Kenapa pula dia berani menawan Cau Ho-lian" Memangnya anak buahnya
berani bertindak sewenang-wenang tanpa mendapat perintahnya?"
"Siau-ji-ko," kata Miao Tiang-hong lebih lanjut, "siapakah lelaki yang berkelahi dengan si
pemuda itu" Coba kau katakan sekali lagi."
"Dia adalah Thio-hupangcu dari Ngo-liong-pang."
"O, wakil pangcu she Thio" Bukan Lu Tay-coan sendiri?"
"Yu-pangcu pun hadir, tapi waktu mereka berkelahi, dia berpeluk tangan tidak bersuara dan
tidak ikut turun tangan."
"Aneh benar, wakilnya berkelahi dengan orang, kalau dia tidak mencegah tentunya ikut
membantu, kenapa berpeluk tangan saja?"
"Miao Tayhiap, kau harus tahu, kekuasaan tertinggi Ngo-liong-pang sekarang berada di tangan
wakil pangcu she Thio itu. Hal ini sering kudengar dari percakapan orang-orang Ngo-liong-pang
yang suka makan minum di rumah makan kami ini."
"Orang macam apakah laki-laki she Thio itu?"
"Kabarnya dia datang dari luar daerah, orang-orang lama Ngo-liong-pang tiada seorang pun
yang tahu asal-usulnya. Sudah tentu hanya Yu-pangcu sendiri yang tahu, kalau tidak masakah dia
mau angkat orang sebagai wakilnya."
"Berapa lama sudah dia bercokol di Ngo-liong-pang?"
"Musim semi tahun yang lalu dia datang, membawa sepuluhan anak buahnya. Tiga hari
kemudian Yu-pangcu lantas mengangkat dia sebagai Hu-pangcu. Semua anggota baru ini tutup
mulut serapat tutup botol, tidak mau menjelaskan asal-usul mereka. Para pengikut Yu-pangcu
yang terpercaya pun hanya tahu bahwa mereka dari golongan kecil yang tidak temama di
kalangan kangouw, bahwa mereka rela menghambakan diri ke dalam Ngo-liong-pang hanyalah
mencari tempat berteduh belaka. Orang-orang Ngo-liong-pang lama sama curiga bila mereka
adalah kawanan brandal dari golongan hitam, tapi waktu mereka mohon keterangan dari Yupangcu,
Yu-pangcu tidak mau menerangkan. Para saudara Ngo-liong-pang yang sering makan
minum di Gi-ciau-lau bila membicarakan hu-pangcu mereka ini semua sama merasa penassaran.
Tapi Yu-pangcu sudah menyerahkan kekuasaan kepadanya, meski mereka penasaran apa pula
yang dapat mereka lakukan."
"Apakah keparat she Thio itu berkepala botak plontos?"
"Gundul plontos sih tidak, namun rambut kepalanya pendek dan keriting, seperti hwesio yang
baru saja memelihara rambut. Miao-toaya, apa kau kenal orang itu?"
"Bukan kenal, tapi aku sudah mendapat sumber untuk menyelidiki asal-usulnya."
"Apa benar dia hwesio yang mencopot jubah menjadi preman" Tapi tahun lalu dia sudah
datang, dalam jangka satu tahun lamanya, rambutnya itu seharusnya sudah panjang. Hari itu
kulihat jelas padanya, rambutnya seperti baru saja dicukur, tapi tidak kelihatan bekas cukuran."
"Pengamatanmu cukup teliti juga. Sekarang hampir dikata aku sudah dapat meraba asalusulnya.
Tapi, apa gunanya aku tahu asal-usulnya, silakan kau ceritakan pula kejadian perkelahian
hari itu." Ternyata dalam agama Budha di Tibet, hanya aliran Mi-ciong saja yang mengijinkan menerima
murid bangsa Han menjadi Lama, mereka mempunyai semacam obat khusus, setiap murid yang
cukur rambut, setelah kulit kepalanya dipoles dengan obat itu, selamanya rambutnya tidak akan
bisa tumbuh panjang. Pelayan itu sadar, katanya: "Omongan Miao-toaya benar, rahasia pang mereka bila diketahui
orang luar, malah membawa petaka bagi orang itu." Maka dia meneruskan ceritanya.
"Pemuda itu menghadapi rang-sakan orang she Thio itu dengan sengit, sudah tentu para tamu
sama lari menyingkir, demikian pula para pembantu, kami semua menyembunyikan diri. Waktu itu
aku sedang membawa nampan, dalam keributan itu tidak sempat lari ke belakang, terpaksa
sembunyi di belakang meja kasir, dengan memberanikan diri aku mengintip dari bawah. Namun
aku tidak berani melihat secara jelas."
"Orang yang duduk semeja dengan pemuda itu apa melarikan diri?"
"Aku tidak memperhatikan, di anak tangga kelihatannya ada beberapa tamu yang bernyali
besar tidak lari menyingkir, mereka sama melihat keramaian. Entah apakah orang itu ada di antara
mereka." "Akhirnya cara bagaimana pemuda itu sampai tertawan?" tanya Miao Tiang-hong.
"Mereka berkelahi dengan sengit, si pemuda agaknya bukan tandingan orang she Thio, tak
lama kemudian dia sudah terdesak mundur ke dinding. Hari itu kebetulan tuan besar kita pun
berada di sini, semula dia sembunyi di pojokan, saking takut badan gemetar, namun melihat
gambar-gambar antik pusakanya hampir dirusak oleh orang, tak terasa dia menjerit kaget sambil
melompat berdiri. Tepat pada saat itulah terjadi suatu keanehan."
"Jangan terlalu tegang, ceritakan pelan-pelan. Terjadi keanehan apa?"
Pelayan menenggak secangkir arak, lalu menyambung: "Tepat pada saat itu, tiba-tiba
terdengar suara "Prang", sebuah poci arak tiba-tiba melayang naik dari bawah loteng, mengenai
keparat she Thio itu, arak panas di dalamnya seketika muncrat membasahi badan dan muka kedua
pihak. Sekonyong-konyong terdengar seorang membentak: 'Kalian berkelahi boleh saling hantam
dan gasak sesukamu, tapi jangan kalian merusak setiap benda milik rumah makan ini.' Agaknya
pemuda itu melengak, cepat sekali ia melompat menyingkir. Keparat she Thio itu sebetulnya
sedang ayun tangannya memukul, maka pukulannya luput mengenai dinding! Dia sendiri pun
hampir saja tersungkur jatuh!"
Sebagai seorang ahli dalam bidang silat, mendengar sampai di sini, Miao Tiang-hong sudah
paham sebagian besar. "Ternyata bukan lantaran ilmu keparat she Thio yang masih cetek,
sekonyong-konyong dia diserang dengan poci arak, walau tidak terluka, dia toh terkejut juga,
sudah tentu kekuatan Toa-jiu-in yang ampuh itu tidak dapat dia mainkan sepenuhnya. Naganaganya
orang petempar poci arak itu memang sengaja hendak bantu Cau Ho-lian." Maka segera
ia bertanya: "Akhirnya bagaimana" Apa orang yang melempar poci arak muncul?"
"Tidak, pemuda itu melengak sebentar, terus melompat mundur beberapa langkah, teriaknya:
'Toako itu memang tidak salah omong, mau berkelahi mari kulayani kau di luar.' Tapi keparat she
Thio itu malah berjingkrak gusar karena pukulannya mengenai dinding, begitu putar badan,
dengan sengit ia menubruk pula ke arah si pemuda."
"Orang yang lempar poci itu tetap tidak keluar?"
"Ya tidak, malah Yu-pangcu sendiri yang akhirnya maju melerai. Dia memburu maju terus
menarik keparat she Thio itu, sebelah tangan yang lain mendorong si pemuda, katanya: 'Thiohiante,
pandanglah mukaku, selesailah sampai di sini.' -Keparat she Thio itu berkaokkaok: 'Aku
kan demi Ngo-liong-pang kita mengundangnya pulang.'
Yu-pangcu berkata: 'Baiklah, kalau kau undang dia pulang dengan sopan santun, aku tidak
peduli, tapi jangan kau lukai dia.'
Begitulah, pemuda itu lantas digiring oleh mereka. Keparat she Thio itu hendak turun ke bawah
mencari orang pelempar poci tadi, untung dibujuk pula oleh Yu-pangcu. Sebenarnya orang-orang
yang melihat keramaian di bawah loteng, sudah bubar dan tak kelihatan pula bayangannya.
Tatkala itulah terdengar langkah kaki menaiki anak tangga, pelayan berkata: "Nah, itu tamu
datang, biar nanti dilanjutkan lagi." Miao Tiang-hong maklum apa yang ingin diketahui sudah
cukup lumayan, maka dia tidak menahan orang lebih lanjut, katanya: "Pergilah kau layani tamu
lain, aku pun hendak berangkat!"
Tampak dua laki-laki satu gemuk satu kurus naik ke atas loteng, baru saja Miao Tiang-hong
hendak berdiri membayar rekening di kas, kebetulan ia bertemu di atas anak tangga dengan
kedua orang ini, sekilas ia mclenggong.
Ternyata laki-laki yang kurus ini bukan lain adalah tamu yang duduk di meja samping tadi, si
gemuk baru sekarang dilihatnya Begitu melihat Miao Tiang-hong masih ada, kelihatan laki-laki
kurus itu merasa lega lalu ia memberi kedipan mata kepada si gemuk. Semua ini tidak lepas dari
pengamatan Miao Tiang-hong, batinnya: "Tak heran dia tadi pergi tergesa-gesa, ternyata pulang
memanggil orang. Agaknya mereka kemari hendak mencari diriku."
Benar juga dilihatnya si gemuk langsung mendekati Miao Tiang-hong, pertama-tama ia menjura
hormat selayaknya, lalu berkata: "Tuan ini tentunya Miao Tayhiap bukan?"
"Sebutan tayhiap aku tidak berani terima, aku yang rendah memang Miao Tiang-hong, saudara
adalah..." "Kami dari Ngo-liong-pang, sudah lama pangcu kami amat kagum dan ingin berkenalan dengan
Miao Tayhiap, mendapat kabar kau orang tua tiba di Bo-seng, sengaja suruh kami kemari
mengantar kartu nama, diharap kau orang tua sudi mampir sebentar." Sembari bicara ia
angsurkan sebuah kartu nama. Waktu Miao Tiang-hong keluarkan dari sampulnya, dilihatnya dua
nama orang berjajar dalam satu kartu nama. Baru sekarang Miao Tiang-hong tahu Hu-pangcu itu
bernama Thio Hong-tat. Si pelayan berdiri di samping, diam-diam jantungnya berdebar keras, namun segera ia
memberanikan diri maju menyapa: "Waktu masih agak pagi, tuan-tuan silakan duduk minum
arak!"-Ia pikir Miao Tiang-hong seorang cerdik, setelah mendengar kata-katanya, tentu orang tahu
akan maksudnya supaya dirinya berhati-hati dan berpikir lebih dulu sebelum berkepu-tusan.
Si gemuk itu segera mendelik-kan mata, bentaknya: "Siapa suruh kau cerewet! Miao tayhiap,
kau hendak minum arak, dalam Ngo-liong-pang kami juga banyak arak-arak bagus!"
Kata Miao Tiang-hong: "Selamanya kau mengikuti Yu-pangcu atau Thio-hupangcu?"
Agaknya si gemuk tidak mengira akan pertanyaan Miao Tiang-hong, sebentar ia melenggong,
lalu menjawab sambil tertawa: "Kami adalah anak buah Ngo-liong-pang lama yang sudah
beberapa tahun ikut Yu-pangcu."
"Kalau begitu kuharap kalian bicara terus terang, sebetulnya Yu-pangcu atau Thio-hupangcu
yang hendak bertemu dengan aku?"
Laki-laki kurus itu yang menjawab: "Kartu nama ini adalah Yu-pangcu yang suruh mengantar
kemari, kebetulan Thio-hupangcu pun tahu, katanya beliau pun sudah lama mendengar ketenaran
nama Miao Tayhiap, maka Yu-pangcu segera menambah nama beliau di atas kartu namanya."
Si gemuk menyambung: "Kedua pangcu setulus hati mengharap kedatangan Miao Tayhiap,
harap Miao Tayhiap suka memberi muka!"
"Kelihatan kedua pangcu kalian amat simpatik terhadap sesama kaum persilatan, baiklah, aku
orang she Miao tidak sungkan-sungkan lagi menerima undangan ini. Mari sekarang berangkat!"
Kedua laki-laki gemuk dan kurus itu segera jalan di depan menunjuk jalan, setelah keluar dari
kota Bo-seng, mereka menempuh jalan kecil, semakin jauh semakin*sepi, cuaca pun semakin
gelap. Walau Miao Tiang-hong belum pernah bertemu muka dengan Yu Tay-coan, namun dia cukup
berpengalaman, mengenai sepak terjang Yu Tay-coan di masa lalu diketahuinya dengan jelas.
Maka dengan sengaja ia hendak mencoba kedua orang ini, begitulah dia ajak mereka mengobrol
ke utara dan selatan. "Aku sendiri pun sudah lama mengagumi nama besar Yu-pangcu kalian, dulu dengan sepasang
Go-bi-hun-cut seorang diri ia menundukkan Huang-ho-ngo-pa, bila membicarakan peristiwa besar
itu, tiada kaum persilatan di kangouw yang tidak mengacungkan jempol serta memujinya! Sayang
aku hanya mendengar cerita orang lain dan tidak menyaksikan sendiri. Kalian berdua sudah lama
menjadi pembantu Yu-pangcu, tentunya kalian hadir waktu peristiwa itu terjadi" Bolehkah kalian
menceritakan kepadaku supaya tambah pengalaman?"
"Benar, Yu-pangcu menundukkan Huang-ho-ngo-pa, hal ini merupakan kebanggaan bagi para
saudara kita. Tapi sayang sekali, waktu itu pangcu suruh kami jaga rumah, jadi kami sendiri pun
tidak bisa menceritakan jalannya kejadian!"
Miao Tiang-hong amat geli, katanya dalam hati: "Ternyata mereka gampang ditipu, sekali
bicara lantas memperlihatkan belang." Kiranya setelah seorang diri Yu Tay-coan berhasil
menundukkan Huang-ho-ngo-pa barulah dia mendirikan Ngo-liong-pang. Sebelum ini Yu Tay-coan
tidak lebih hanyalah tokoh silat kelas dua yang baru saja angkat nama, dari mana dia memperoleh
sebutan pangcu segala. Tapi Miao Tiang-hong tetap memperlihatkan sikap wajar, katanya pula tertawa: "Kalau begitu
lima tahun yang lalu waktu Yu-pangcu bertanding satu lawan satu dengan Ko-pangcu dari Cengbokpang di Jian-hud-san di selatan Ki-lam, tentunya kalian hadir bukan" Bagaimana kesudahan
pertandingan itu, siapa menang dan siapa kalah, kukira hanya orang-orang yang hadir saja yang
mengetahui. Ataukah pangcu kalian sebelumnya sudah berjanji dengan pihak lawan untuk
merahasiakan peristiwa itu" Kawan-kawan kangouw semua sama mereka-reka, semua orang amat
prihatin akan kejadian itu. Tapi menurut pendapatku, pastilah Yu-pangcu kalian yang menang
bukan" Karena sejak peristiwa itu Ceng-bok-pang terima tunduk dan mengaku asor. Entah benar
tidak dugaanku" Hah, mungkin pertanyaanku ini membuat kalian serba salah. Kalau kalian merasa
tidak leluasa menjelaskan, lebih baik tidak usah dikatakan saja."
Kedua orang ini berpikir, kalau toh peristiwa itu dirahasiakan terhadap orang luar, apa
halangannya kalau mereka membual seenak sendiri, maka laki-laki kurus itu buka mulut lebih
dulu: "Miao Tayhiap adalah tamu agung pangcu kami, terhadap orang lain kami tidak berani
banyak bicara, terhadap Miao Tayhiap kami tidak berani menutupi rahasia ini. Memang tidak salah
dugaanmu, pertandingan itu memang dimenangkan oleh pangcu kami. Tapi beliau toh harus peras
keringat dan kehabisan tenaga, sejak matahari terbit sampai sang surya hampir tenggelam,
barulah beruntung pangcu kita menang satu jurus."
Miao Tiang-hong bergelak tertawa, pujinya: "Ilmu Toa-jiu-in Yu-pangcu begitu lihay, sungguh
mengagumkan!" Kiranya dalam kalangan kangouw, hakikatnya tidak pernah ada sindikat yang
bernama Ceng-bok-pang, pertandingan di Jian-hud-san segala tidak lain hanyalah bualan Miao
Tiang-hong sendiri. Dan lagi bahwasanya Yu Tay-coan tidak mahir pukulan Tay-jiu-in. Sunguh
menggelikan kedua orang ini tidak tahu bila dirinya ditipu orang, malah berani membual seenak
sendiri. Sampai di sini Miao Tiang-hong lebih yakin pula bahwa kedua orang ini terang adalah utusan
Thio Hong-tat yang meminjam nama Yu Tay-coan hendak menipu Miao Tiang-hong ke Ngo-liongpang.
Jelas orang tidak mengandung maksud baik, tapi tujuan Miao Tiang-hong mampir ke Boseng
memang hendak mencari tahu diri Cau Ho-lian di Ngo-liong-pang, kebetulan malah dia bisa
bekerja menurut gelagat. Cuaca sudah gelap, jalan kecil itu berputar lewat bawah gunung, sambil jalan Miao Tiang-hong
pasang kuping, lapat-lapat seperti didengarnya suara keresekan di dalam hutan, kedua orang
menyangka dahan-dahan pohon yang bergerak terhembus angin, mereka tidak ambil perhatian,
lain dengan Miao Tiang-hong yang sudah berpengalaman, ia tahu bahwa ada seseorang sembunyi
di dalam hutan. Tak terasa ia menjadi heran, batinnya: "Memangnya mereka sudah tidak sabar
menunggu, sebelum aku tiba di Ngo-liong-pang, mereka hendak turun tangan di sini."
Tengah ia berpikir-pikir itulah, tiba-tiba sesosok bayangan menerobos dari dalam hutan,
teriaknya: "Miao Tayhiap, sekali-kali jangan kau kena tipu mereka!"
Semula Miao Tiang-hong kira ada orang hendak membokong dirinya, tak tahunya orang malah
memberi peringatan kepada dirinya, hal ini benar-benar di luar dugaannya.
Kejadian berlangsung amat cepat, kedua orang yang mengiringi Miao Tiang-hong itu serempak
turun tangan, si gemuk sambitkan sebatang panah tangan, si kurus menimpukkan pisau terbang.
Dengan kehadiran seorang tokoh lihay seperti Miao Tiang-hong, mana bisa dia biarkan orang
berhasil mencelakai jiwa orang" Terdengar "Trang tring", Miao Tiang-hong hanya menyambitkan
dua mata uangnya membentur dua batang pisau terbang, sehingga kedua pisau terbang ini
berputar arah dan langsung membentur pisau terbang yang lain dan panah tangan itu.
Sebetulnya Miao Tiang-hong bukan seorang ahli senjata rahasia, namun ilmu yang dia gunakan
yaitu benturan bersambung, pertunjukan ilmu senjata rahasia yang lihay ini, inkup membuat
kedua orang itu ketakutan serasa arwah melayang keluar dari badan sendiri.
Betapapun si gemuk lebih berani, teriaknya: "Miao tayhiap, jangan kau percaya obrolannya."
Lalu ia pun mengancam orang yang menerobos keluar dari hutan itu: "Han-losu, kau berkhianat
terhadap Pang kita, memangnya kau sudah bosan hidup" Jangan kau lupa, jiwamu berada di
genggaman Thio-hu-pangcu."
Han-losu itu malah nekad, teriaknya: "Meski jiwaku harus berkorban, aku bertekad hendak
membongkar muslihat kalian, Miao Tayhiap, mereka hendak menipu kau, Thio Hong-tat sudah
membuat perangkap di markas pusat Ngo-liong-pang hendak mencelakai kau!"
Hal itu sudah dalam dugaan Miao Tiang-hong, setelah Han-losu membongkar tipu muslihat
mereka, terpaksa dia bertindak lebih dulu membereskan mereka, seorang satu tangan ia jinjing
mereka, katanya: "Tidak perlu aku sendiri membunuh kalian, kalian harus rasakan siksaanku
dulu." Ia totok hiat-to mereka lalu ia lemparkan mereka ke dalam rawa di dalam hutan, biar
mereka terendam di dalam air berlumpur yang kotor dan bau.
Tanya Miao Tiang-hong sesaat kemudian kepada Han-losu: "Apa Yu-pangcu yang suruh kau
kemari?" "Ya, walau kejadian ini dia mengelabui pangcu kami, namun pangcu toh tahu juga."
"Kalian sudah tahu, kenapa membiarkan dia berbuat sewenang-wenang?"
"Ya, memang pangcu tidak bisa berbuat apa-apa."
"Memangnya semua anak buah Ngo-liong-pang sudah rela setia kepadanya?"
"Orang lama kecuali beberapa orang yang kena dipeletnya, sebagian besar sama penasaran
terhadap tindak tanduknya, namun kami hanya berani marah dalam hati tanpa berani banyak
bicara." "Kenapa?" "Setelah dia menjadi Hu-pangcu, beruntun ia mengundang dan menerima banyak teman-teman
lamanya, kini semua kedudukan penting dalam Pang kami sudah dijabat oleh orang-orang
mereka." "Pangcu kalian toh seorang gagah, seorang ksatria, masakah begitu gampang rela
dipermainkan olehnya?"
"Ya, memang pangcu menyesal akan keputusannya semula."
"Aku sendiri belum paham akan hal itu, semula cara bagaimana pangcu kalian mau
memberikan jabatan penting kepadanya" Apakah dia memang sahabat baik pangcu kalian ataukah
tokoh tersembunyi yang punya asal-usul luar biasa?"
"Bagaimana asal-usulnya aku tidak tahu," demikian jawab Han-losu, "tapi aku tahu semula Yupangcu
sendiri tidak kenal padanya."
"Itulah aneh!" "Secara diam-diam aku pernah tanya kepada pangcu, pangcu hanya menghela napas. Suatu
ketika barulah dia membocorkan rahasia ini kepadaku, katanya ia bertindak demikian karena demi
kehidupan dan keutamaan Ngo-liong-pang kita, terpaksa dia harus menggunakan tenaganya.
Waktu kude-sak sebab musababnya, pangcu tidak mau menjelaskan."
"Peduli siapa dia dan latar belakang yang ada di punggungnya, dia berbuat begitu sewenangwenang,
perbuatannya itu akan meruntuhkan Ngo-liong-pang kalian saja."
"Ucapan Miao Tayhiap memang benar. Pangcu pun paham akan hal ini, ai, tapi kesalahan
memang sejak mula terjadi, pangcu sekarang menyesal pun terlambat."
"Berapa anak buahnya?"
"Waktu datang dia bawa belasan orang, kini kira-kira sudah ada empat lima puluh orang."
"Orang-orang Ngo-liong-pang kalian semua ada berapa orang?"
"Pang kami hanyalah sindikat kecil, kira-kira hanya lima enam ratus anggota."


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Menurut apa yang kau katakan tadi, orang-orang Ngo-liong-pang lama sedikitnya ada sembilan
puluh prosen yang masih setia terhadap Yu-pangcu?"
Han-losu mengiakan "Bagus, katakan saja ada lima ratus orang yang setia kepada Yu-pangcu, bukankah
perbandingannya satu lawan sepuluh, kenapa harus takut terhadap mereka?"
Han-losu rada ragu-ragu, katanya: "Miao Tayhiap, kalau kau suka menerima sebuah
permintaanku, baru aku berani menjelaskan sebab musababnya."
"Baik, apa yang hendak kau minta, katakan saja."
"Ketahuilah jiwa dari lima ratus anggota Ngo-liong-pang kami semua tergenggam di tangan
orang she Thio itu, kecuali kau punya pegangan untuk menolong kami, kalau tidak jangan sekalikali
kau bocorkan rahasia ini."
"Legakan saja hatimu, kalau aku tidak berdaya tentu aku rahasiakan hal ini!"
"Pada tahun baru yang lalu, mereka mengadakan pesta perayaan besar-besaran, seluruh
anggota Pang kami harus hadir dalam perjamuan itu. Semula kami sangka sebagai wakil pangcu
yang baru, tujuan dari perjamuan itu tidak lebih hanyalah hendak menarik simpati hati kami, maka
kami semua dengan senang menghadiri perjamuan besar itu."
"Tak nyana beberapa hari kemudian secara beruntun banyak para saudara kami satu per satu
terserang suatu penyakit aneh, panas dingin kumat bersama, tulang-tulang terasa linu dan sakit
seperti hampir luluh, derita macam itu, sungguh sulit dilukiskan dengan kata-kata. Tapi semua
komplotannya tiada satu pun yang jatuh sakit."
"Bagaimana Yu-pangcu?"
"Lwekang Yu-pangcu cukup tinggi, ia masih kuat bertahan tidak sampai rebah di atas ranjang.
Tapi mukanya pucat badan menjadi kurus, untuk jalan saja tiada bertenaga lagi."
"Berani benar dia, sampai Yu-pangcu pun kena dia racuni."
"Memangnya, setelah banyak saudara-saudara kami jatuh sakit, barulah kami tahu telah tertipu
olehnya. Tapi tiada tenaga untuk melawan, demi keselamatan jiwa semua saudara terpaksa Yupangcu
mohon pengampunan kepadanya."
"Barulah kedok aslinya yang kejam dan sadis itu kelihatan nyata. Secara langsung dia mengakui
memang dialah yang menaruh racun, setiap orang yang minum racunnya, seumur hidup tidak
akan bisa sembuh, kecuali obat penawar tunggal dari perguruannya, tapi obat penawar itu pun
tidak seratus persen menyembuhkan penyakit itu, paling lama hanya bisa bertahan satu tahun.
Setahun kemudian, kalau tidak mendapat obat penawarnyj kalau racun kumat, deritanya jasama
sekali tidak kena ditundukkan. Pangcu tahu setelah dia disiksa secara kejam, orang pasti akan
menggunakan siksaan yang lebih keji lagi. Terpaksa ia tampil dan menghalangi, katanya:
"Serahkan saja pemuda ini kepadaku, biar aku membujuknya." Mungkin Thio Hong-tat
memandang muka pangcu kami, memang dia pun mengharap pangcu berhasil membujuki
pemuda itu untuk takluk dan suka bekerja sama, maka akhirnya dia setuju."
"Apa yang dikatakan pangcu kalian kepada si pemuda?"
"Pangcu membawanya ke dalam kamar rahasia siapapun dilarang masuk, Thio Hong-tat sudah
berjanji di saat pangcu membujuk si pemuda, ia tidak akan ikut campur. Maka dalam kamar itu
hanya pangcu dan pemuda itu berdua. Akhirnya hanya pangcu seorang yang keluar, pemuda itu
terkunci di dalam kamar rahasia itu. Apa yang pernah mereka bicarakan aku tidak tahu, tapi
malam itu Thio Hong-tat mencari pangcu mengajaknya adu mulut, kebetulan kudengar
pertengkaran mereka di kamar sebelah."
"Untuk urusan apa mereka sampai bertengkar?"
"Pertama Thio Hong-tat tanya bagaimana hasil bujukannya, mendengar pemuda itu masih
berkukuh tidak mau tunduk, seketika ia naik pitam, segera ia minta pangcu menyerahkan pemuda
itu kepadanya." "Tentu pangcu kalian tidak mau menyerahkan bukan?"
"Pangcu bertanya kepadanya: 'Tahukah kau siapa ayah pemuda itu"' dia menjawab: 'Aku tahu.
Justru karena aku tahu siapa ayahnya, maka hendak kutundukkan dia untuk bekerja demi
kepentingan Pang kita.'"
"Kata pangcu: 'Aku tahu maksudmu, kau hendak mencari simpati kaum pendekar dan
berhubungan dengan mereka dengan pemuda itu sebagai umpan.' Thio Hong-tat hanya
mendengus, katanya dingin: 'Aku punya caraku sendiri, memangnya dia tidak akan mendengar
kata-kataku"'" "Mendengar ucapannya ini, seketika pangcu naik darah, serunya sambil memukul meja: 'Aku
tahu caramu itu, kularang kau menggunakan arak beracun untuk mencelakai dia!'"
"Agaknya Thio Hong-tat me-lengak, sesaat lamanya baru kudengar dia menjengek dingin: 'Yupangcu,
kenapa kau marah-marah, jangan lupa kau..."
"Pangcu menukas: 'Memang aku pernah minum arak beracunmu, aku tidak lupa. Tapi pemuda
itu lain dari aku, asal dia sendiri tidak takut mati sudah lebih dari cukup, tidak perlu menguatirkan
hal-hal lainnya, bila caramu terakhir itu kau gunakan, dia mati di tanganmu, coba kau pikirkan apa
akibatnya nanti" Kim Tiok-liu, Le Lam-sing para pendekar besar lainnya yang kenamaan itu,
adalah sahabat ayahnya, kalau kejadian ini diusut, bukan saja kau tidak akan bisa lari dari
pertangggung jawaban, Ngo-liong-pang bakal hancur di tanganmu pula, kalau kau hendak
menggunakan kekerasan, biar kau bunuh aku dulu!"'
"Melihat pangcu berkukuh dan berani berontak, terpaksa dia menerima permintaan pangcu,
memberi kesempatan pangcu membujuk pemuda itu, tapi dia membatasi tiga hari saja. Kalau
pemuda itu tetap tidak mau tunduk, maka dia akan menggunakan caranya yang keji. Tak lupa dia
akan tambah dua orang pembantunya untuk ikut menjaga."
"Tak nyana, hanya satu hari berselang, hari kedua pemuda she Cau itu tahu-tahu sudah
terbang lenyap tak keruan paran."
"Bagaimana dengan orang-orang yang menjaganya itu?"
"Empat orang penjaga, dua adalah orang kepercayaan Yu-pangcu, dua yang lain adalah orangorang
Thio Hong-tat, semua tertotok hiat-tonya. Tapi kedua orang Thio Hong-tat itu terluka lebih
parah, sampai sekarang, mereka masih rebah di atas ranjang."
"Memangnya Thio Hong-tat keparat itu tidak akan curiga kepada pangcu kalian?"
"Ya, memang dia pernah curiga. Untungnya pangcu kami bukan seorang ahli dalam bidang ilmu
totok, hal ini dia tahu jelas. Bicara tentang ilmu totok, dia memang jauh lebih hebat dari pangcu
kami." "Jadi totokan hiat-to atas keempat orang itu bukan totokan biasa?"
"Thio Hong-tat mengira dia paham cara pembebasan totokan hiat-to dari berbagai aliran, tak
nyana coba sana coba sini, bukan saja totokan tidak berhasil dia bebaskan, malah kedua orangnya
itu jadi cacat seumur hidup. Akhirnya setelah dua belas jam barulah hiat-to keempat orang itu
bebas sendirinya." "Kenapa orang-orang kepercayaannya menjadi cacat, orang-orang kalian sebaliknya?"
"Mungkin karena terlalu keras dia gunakan tenaga waktu membebaskan totokan jalan darah
anak buahnya" Tapi karena kejadian itu, ia tidak mencurigai pangcu kami lagi. Namun demikian,
karena persoalan ini, ia pun bertengkar pula dengan pangcu."
"Pemuda she Cau itu ditolong orang dalam beberapa hari ini, apakah Thio Hong-tat tidak enak
makan tidak bisa tidur?"
"Lahirnya tidak kelihatan, entah batinnya. Oh, kuingat beberapa patah kata-katanya yang
mencurigakan..." "Apa yang dia katakan?"
"Setelah bertengkar dengan pangcu, sebelum pergi dia pernah berkata: "Bocah itu lolos aku
pun tidak takut, memangnya dia bisa lolos dari genggamanku. Hm, ayahnya toh pasti
membungkuk-bung-kuk kepadaku minta belas kasihan, mana berani mencari perhitungan
kepadaku. Kau orang she Yu bila tidak percaya, tunggu saja buktinya." Agaknya dia amat yakin
akan kata-katanya ini."
Miao Tiang-hong kaget, katanya: "Bukan mustahil dia sudah memberikan racunnya?"
"Makan minum si pemuda adalah orang-orang kami yang menyiapkan, namun cara keparat itu
menggunakan racun memang lihay, bukan mustahil dia sudah menaruh racun dalam makanan di
luar tahu kami." "Apa benar keponakanku itu sudah keracunan, yang terang soal ini harus kuselesaikan. Tapi
aku hanya bisa minta kau menunjukkan jalan, tidak perlu kau bawa aku masuk. Gambarlah sebuah
peta mengenai seluk beluk dalam markas Ngo-liong-pang, aku perlu tahu tempat tinggalnya,
supaya leluasa mencarinya."
Han-losu menggunakan goloknya mencorat-coret di atas tanah sambil menjelaskan, "Dia
menempati rumah besar ini, tapi untuk menemui tamu dia menggunakan Po-gwat-lau yang dia
bangun setelah dia menjabat Hu-pangcu, untuk menemuinya, pasti satu di antara kedua tempat
ini." Miao Tiang-hong mengingat dalam hati, setelah bangunan gedung markas Ngo-liong-pang
kelihatan dari jauh, segera ia berpisah dengan Han-losu, seorang diri ia maju terus menyelundup
masuk untuk menyelidiki. Markas Ngo-liong-pang dibangun di lamping gunung, menghadap ke Huangho, rumahnya
terbagi dalam beberapa petak dalam posisi yang berlainan satu sama lainnya, puluhan rumah
gedung itu terlindung di dalam pagar tembok yang berbentuk bulan sabit.
Miao Tiang-hong merambat turun dari dinding curam di belakang gunung, di sini penjagaan
rada longgar, dengan mengembangkan ginkang, dengan mudah ia melewati pagar tembok, tanpa
diketahui orang, tahu-tahu dia sudah tiba di pusat markas Ngo-liong-pang.
Kebetulan dua orang penjaga malam sedang ronda mendatangi, Miao Tiang-hong sembunyi di
tempat gelap, didengarnya salah seorang sedang menggerutu: "Tengah malam buta rata masih
harus menunggu tamu siapa, celakalah kita yang jaga malam ini. Lo-ho, tahukah kau siapakah
yang sedang dia tunggu?"
"Mana aku bisa tahu?" sahut temannya. "Yang terang dia sekarang sedang menemani padri
asing itu." "Ya, padri asing itu datang sudah beberapa hari, agaknya belum pernah menemui pangcu kita."
Temannya itu mendengus, je-ngeknya: "Kekuasaan sekarang berada di tangannya, apa yang
ingin dia lakukan boleh sesukanya. Lo-ho, padri asing itu apa masih tinggal di Po-gwat-lau?"
"Memang sejak datang dia tinggal di Po-gwat-lau tidak pernah keluar, tingkah lakunya serba
misterius, entah kenapa dia tidak berani bertemu dengan orang lain."
"Jadi tamu yang dia undang malam ini, juga akan dia temui sendiri dengan padri asing itu?"
"Peduli amat dengan persoalan mereka" Aku harap waktu pergantian segera tiba saja."
"Memangnya kau kira aku tidak merasa sebal?"
Miao Tiang-hong membatin: "Sesuai dengan dugaanku, Thio Hong-tat memang murid dari
aliran Mi-ciong yang kembali preman, Lama besar dari aliran Mi-ciong biasanya tidak boleh
sembarang keluar dari daerah Tibet, kenapa padri asing itu datang kemari mencari dia?"
Setelah kedua peronda itu berlalu, Miao Tiang-hong pun sudah tahu letak Po-gwat-lau, maka
sambil main sembunyi dan merunduk-runduk ia berjalan merambat maju sampai tiba di bawah Pogwatlau. Miao Tiang-hong sembunyi di belakang gunung-gunungan, dari sini ia periksa situasi
sekelilingnya, tampak di bawah loteng terjaga delapan orang, setiap dua orang jalan seliweran
bolak-balik, sinar terang menembus dari jendela di atas loteng, samar-samar kelihatan dua
bayangan orang, satu di antaranya kelihatan berkepala gundul.
Miao Tiang-hong menerawang: "Tidak sukar aku menotok roboh ke delapan penjaga ini, cuma
jejakku akhirnya pasti ketahuan."
Po-gwat-lau dibangun persis di tengah-tengah taman kembang yang memang tumbuh secara
alamiah, hanya di berbagai tempat ditambah variasi dan dibangun gunung-gunungan palsu,
sekeliling bangunan berloteng adalah pohon-pohon yang tersebar tak teratur. Mengawasi pohonpohon
itu, tiba-tiba Miao Tiang-hong mendapat akal, segera ia menggelintir beberapa butir tanah
liat, dengan ringan beruntun ia menyelentik butiran tanah liat itu ke tiga pohon yang berlainan
arahnya. Ia duga di atas pohon pasti ada burung yang bertengger untuk bermalam, benar juga
sambitannya mengejutkan beberapa ekor burung dan dua ekor gagak.
Mendengar suara berisik, para penjaga itu segera merubung maju memeriksa. Mendengar
suara burung gagak yang berisik itu, salah seorang penjaga berludah dan mengomel panjang
pendek: "Sebal, sebal, kiranya dua burung gagak, kusangka orang jalan malam menyelundup
kemari!" Di saat mereka merubung ke bawah pohon itulah, Miao Tiang-hong sudah melesat keluar dari
tempat persembunyiannya. Begitu kembangkan ginkang, tanpa diketahui setan, tak dilihat
malaikat, tahu-tahu ia sudah memasuki Po-gwat-lau.
Dia mendekam di wuwungan yang melekuk ke tengah, dengan tangan berpegang pada payon
ia ulurkan kepala melongok ke jendela belakang, dilihatnya seorang Lama yang mengenakan kasa
merah sedang duduk berhadapan dan bicara dengan seorang laki-laki berusia empat puluhan.
Laki-laki pertengahan umur itu tentu bukan lain adalah Hu-pangcu Ngo-liong-pang Thio Hong-tat
adanya. Bahwa Thio Hong-tat berada di Po-gwat-lau sudah dalam dugaan Miao Tiang-hong, namun
kehadiran si Lama itu benar-benar di luar sangkanya. Thio Hong-tat belum pernah dilihatnya,
cuma dia sudah meraba beberapa bagian asal-usulnya, justru Lama yang di luar sangkanya ini
sudah lama dia kenal, malah dia tahu asal-usulnya.
Kiranya Lama ini bukan lain adalah Po-siang Hoatsu yang menjadi ketua dari Hu-hud-si di
Saysan di sebelah barat Pakkhia itu.
"Sebagai ketua Hu-hud-si yang hidup aman dan senang berfoya-foya, untuk apa dia berada di
markas Ngo-liong-pang yang serba kekurangan ini?" diam-diam Miao Tiang-hong heran dan
bertanya-tanya. Kedatangannya amat kebetulan, terdengar Po-siang Hoatsu dan Thio Hong-tat sedang
membicarakan dirinya. "Lote, tamu undanganmu kenapa belum kunjung tiba" Bukan mustahil terjadi sesuatu di luar
dugaan?" demikian kata Po-siang Hoatsu.
"Mimpi pun Miao Tiang-hong tidak akan menduga kita akan menjebak dia, kartu nama yang
kukirim menggunakan nama Yu Tay-coan, meski curiga pastilah dia percaya kepada Yu Tay-coan
juga." "Ya, dicari sampai merusakkan sepatu tidak ketemu, ketemu tanpa mengeluarkan tenaga.
Bicara terus terang, aku sendiri pun hendak membuat perhitungan dengan Miao Tiang-hong. Tak
nyana di tempatmu ini, aku berkesempatan membalas sakit hati."
"Taysu ada permusuhan apa dengan dia?"
Terpaksa Po-siang Hoat-su menceritakan kejadian tempo dulu, di mana menggunakan Chit-sattin
ia tidak berhasil mengurung para rfiusuhnya. Akhirnya ia menambahkan dengan geregeten:
"Setelah kejadian itu Sat-congkoan marah-marah, untunglah Pakkiong Tayjin suka mohonkan
ampun di hadapan raja junjungan, kedudukanku di Hu-hud-si hampir saja dicopotnya."
"Kali ini dia akan terperangkap oleh kita, setelah berhasil membekuknya, sakit hatimu pun akan
terbalas juga." "Berkat bantuanmu. Hehe, Thio-lote, jasamu kali ini tidak kecil artinya!"
"Hanya kebetulan saja kebentur di tanganku, aku tidak kira Miao Tiang-hong bisa berada di
Boseng. suka masuk ke dalam jaring kita pula."
"Benar, memang hasil di luar dugaan. Tapi yang kumaksudkan bukan melulu persoalan ini,
Lote, kau bisa bercokol di dalam Ngo-liong-pang, jasamu ini lebih besar lagi. Dibanding kau
berhasil menangkap Miao Tiang-hong, apa sih artinya?"
"Soal Ngo-liong-pang sekecil ini, mana boleh di kata jasa besar segala. Hoatsu, kau terlalu
memuji" "Jangan kau pandang Ngo-liong-pang terlalu kecil dan rendah, meski tidak bisa dibanding Anginghwe, Lok-hap-pang dan sindikat-sindikat besar itu, tapi di jalanan air, paling-paling hanya lebih
asor dari Hay-soa-pang. Tahukah kau, kusuruh kau menyelundup ke Ngo-liong-pang merebut
kekuasaan, sebetulnya bukan maksud tujuanku sendiri, semua ini berkat tipu daya yang
direncanakan oleh Pakkiong Tayjin."
"Sungguh aku tidak habis mengerti kenapa Pakkiong Tayjin susah-susah menghabiskan banyak
waktu dan tenaga, menyuruhku menunaikan tugas ini."
"Masakah tidak gampang dimengerti" Bila orang kita sendiri yang berkuasa di Ngo-liong-pang,
jauh lebih leluasa untuk bekerja demi kepentingan kerajaan! Hehe, sekarang ada sebuah tugas
besar harus segera kau selesaikan."
"Silakan Hoatsu memberi petunjuk."
"Biar kuberi tahu sebuah kabar, perahu pemerintah yang membawa ransum untuk membantu
perbekalan pasukan di Sucoan ternyata telah dirampok habis-habisan oleh pihak Hay-soa-pang di
Yangciu." Miao Tiang-hong yang mencuri dengar di atap genteng menjadi girang. "Lo Kim-ou dan temanteman
lain ternyata berhasil dengan sukses besar."
Thio Hong-tat kaget, katanya: "Lo Kim-ou dari Hay-soa-pang ternyata bernyali begitu besar!"
"Maka itulah tadi kukatakan Pakkiong Tayjin seolah-olah sudah meramal dengan jitu, menyuruh
kau menyelundup ke Ngo-liong-pang menjadi pangcu yang berkuasa penuh."
"Entah Pakkiong Tayjin suruh aku bertindak bagaimana, harap Hoatsu suka menjelaskan."
"Ngo-liong-pang dan Hay-soa-pang adalah dua sindikat terbesar di perairan. Pakkiong Tayjin
mengharap supaya kau mengikat hubungan dan mencari muka kepada pihak Hay-soa-pang, kelak
kalau ada kesempatan boleh caplok sekalian pihak Hay-soa-pang, kami pasti akan membar'u
secara diam-diam. Tapi, ini tugas kelak, kini kau harus berusaha supaya Lo Kim-ou anggap kau
sebagai sahabatnya, bahwa dua sindikat terbesar di perairan harus kerja sama adalah persoalan
jamak, kukira Lo Kim-ou tidak akan menaruh curiga."
"Menurut apa yang kutahu, Yu Tay-coan dan Lo Kim-ou memang punya persahabatan yang
intim. Yu Tay-coan kini berada di genggamanku, dia harus mendengar segala perintahku pula. Aku
bisa bekerja menurut adat dan kebiasaan semula, biar dia yang tampil ke depan. Sebagai Hupangcu
aku akan mengiringi dia mencari hubungan langsung dengan Lo Kim-ou.
"Begitupun baik juga. Kau harus tahu Hay-soa-pang keluar masuk dalam tujuh propinsi di
sepanjang Tiang-kang tanpa meninggalkan jejak-, pihak pemerintah sulit menangkap mereka,
kalau mengerahkan pasukan air untuk melindungi kapal ransum biayanya teramat besar, tidak
leluasa dan menyolok pandangan pula. Apalagi kalau melalui selat-selat sungai yang sempit,
kapal-kapal besar pasukan air pemerintah terang tidak bisa lewat."
"Ah, pahamlah aku, maksud Pakkiong Tayjin supaya aku ikat persahabatan dengan Hay-soapang,
sekaligus untuk mencari tahu gerak-gerik mereka."
Po-siang Hoatsu terbahak-bahak, "Lote, kau memang pintar. Lo Kim-ou sudah berhasil
merampok ransum pemerintah, lain kali pasti akan bekerja lagi. Kalau kau sebelumnya sudah tahu
gerak-gerik dan tujuan mereka, betapa besar arti bantuanmu kepada pasukan pemerintah. Secara
tidak langsung, kau pun memberi bantuan dan manfaat yang berguna kepadaku!"
"Kalau pasukan berhasil menyergap dan menghancurkan Hay-soa-pang, hakikatnya aku tidak
perlu lagi berusaha malah berkesempatan mencaploknya pula."
"Itulah, waktu itu Ngo-liong-pang akan menjadi sindikat terbesar di perairan. Be"berapa tahun
lagi, bukan mustahil kau bakal menjadi Lioklim Bengcu perairan!"
"Pakkiong Tayjin dan Hoatsu suka membimbingku, entah bagaimana aku harus membalas budi
kebaikan kalian ini! Bukankah sang junjungan hendak angkat Hoatsu sebagai Koksu?"
"Koksu aku tidak berani mengharapkan, semoga junjungan sudi memberi bantuan supaya aku
bisa memimpin Pu-ta-la-kiong saja. Em, hal ini aku sudah mendapat persetujuan Pakkiong Tayjin,
asal tugas di sini selesai, dia akan bantu aku bicara kepada
raja."

Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau Hoatsu sudah-menjadi pimpinan Pu-ta-la-kiong,
jangan lupa kepadaku lho!"
"Memangnya kau masih ingin kembali ke Tibet menjadi
hwesio?" "Hwesio terang aku tidak mau lagi, tapi penasaran hatiku
harus kulampjaskan, untuk ini harap Hoatsu suka membantu."
"Itu gampang, akan datang Suatu hari, kalau aku benarbenar
jadi pimpinan Pu-ta-la-kiong, pertama-tama aku harus
mengadakan perbaikan aliran Mi-ciong, gurumu yang tidak
tahu kebaikan itu tidak akan kuangkat menjadi Ciongcu pula."
Seperti dugaan Miao Tiang-hong, Thio Hong-tat memang
murid dari aliran Mi-ciong di Tibet dari bangsa Han, undangundang
Mi-ciong amat ketat dan murid-muridnya serba disiplin, karena melanggar aturan
perguruan, maka dia diusir dari perguruan. Sebetulnya hukumannya cukup berat, beruntung dia
mendapat bantuan Po-siang Hoatsu yang mohon keringanan kepada gurunya maka dia hanya
diusir saja dari perguruan. Waktu itu Po-siang masih merupakan seorang Lama besar dari Pu-ta-lakiong,
di hadapan ketuanya boleh bicara demi keagungan nama Budha. Kedudukan Pu-ta-la-kiong
merupakan induk pimpinan tertinggi dari seluruh agama Budha di Tibet, Mi-ciong memang tidak
dalam lingkungan kekuasaannya, tapi harus mendengar petunjuk dan perintah juga.
Karena kegirangan membayangkan hasil yang muluk-muluk mereka bergelak tertawa sambil
angkat cawan arak menenggak habis.
Mau tidak mau Miao Tiang-hong harus mempertimbangkan: "Ilmu silat Po-siang Hoat-su kirakira
setanding dengan aku, kalau sekali sergap tidak berhasil, mungkin malah akan mengejutkan
mereka. Kalau punya seorang pembantu, cukup untuk, menghadapi Thio Hong-tat saja, betapa
baiknya." Tengah Miao Tiang-hong kebingungan sementara Po-siang Hoatsu dan Thio Hong-tat sama
kegirangan itulah, seorang anak buah kepercayaan Thio Hong-tat berlari naik ke atas loteng
dengan napas ngos-ngosan, serunya: "Pangcu, celaka!"
"Apa Miao Tiang-hong sudah datang?" tukas Po-siang Hoat-su. "Apa dia membongkar tipu daya
kita dan membuat onar di luar?"
"Sejak tadi aku sudah di sini, memangnya kalian yang buta!" demikian batin Miao Tiang-hong di
atas genteng. "Bukan, bukan Miao Tiang-hong." sahut orang itu. "Asal-usul orang ini lebih besar dari Miao
Tiang-hong." "Siapa dia sebetulnya, ada Hoatsu di sini takut apa ayo jelaskan!"
"Dialah Thocu dari Ang-ing-hwe, Le Lam-sing adanya!"
Ang-ing-hwe adalah sebuah sindikat daratan terbesar di kangouw, ketenaran Le Lam-sing
hanya di bawah Kang Hay-thian dan Kim Tiok-liu. Meski Po-siang berkepandaian tinggi dan punya
ketenangan yang melebihi orang lain, tak urung berubah juga rona wajahnya.
Thio Hong-tat malah gemetar suaranya: "Untuk apa Le Lam-sing datang kemari?"
Anak buahnya itu menjelaskan pula: "Dia tidak datang sendirian, masih ada seorang pemuda
yang ikut dia!" "Siapa pemuda itu?"
"Dia bukan lain Cau Hong-lian yang melarikan diri dari sini itu!"
Di luar dugaan Miao Tiang-hong, setelah mendapat laporan keadaan yang tidak
menguntungkan pihaknya ini, Thio Hong-tat malah tertawa riang. Katanya setelah puas tertawa:
"Kalau Le Lam-sing seorang diri datang kemari, bicara terus terang, aku rada takut
menghadapinya. Kini dia kemari bersama bocah she Cau itu, buat apa aku takut kepadanya?"
Anak buahnya itu tidak tahu ke mana juntrungan kata-katanya, katanya: "Walau kita tidak perlu
takut menghadapinya, tapi kita harus lekas mencari daya upaya untuk menghadapinya. Silakan
pangcu memberi petunjuk."
"Di mana Yu Tay-coan" Kukira kalau Le Lam-sing kemari pasti mencarinya lebih dulu, benar
tidak?" "Betul. Yu Tay-coan sedang menemani mereka bicara di ruang besar, aku mencuri dengar di
luar. Yu Tay-coan keparat tua itu? tumpahkan semua persoalan ke atas pundak pangcu, sebentar
mungkin akan mengajaknya kemari mencari kau. Maka aku cepat-cepat lari kemari memberi
laporan. Apakah kita membiarkan dia kemari atau menolaknya di luar."
"Kau setia kepadaku, baik sekali, baik sekali. Tidak usah dirintangi, biar mereka masuk kemari."
Setelah orang itu mengundurkan diri, Po-siang hoatsu tersenyum, katanya: "Thio-lote, agaknya
kau yakin benar akan dirimu" Memangnya kau sudah menaruh sesuatu di atas badan bocah she
Cau itu?" "Seperti dugaan Hoatsu, memang aku sudah gunakan Hoa-kut-san pemberian Pakkiong Tayjin,
untuk menyiksa pemuda she Cau itu. Yu Tay-coan pun tidak tahu menahu. Kedatangan Le Lamsing
bersama pemuda she Cau itu, terang dia hendak minta obat penawarnya kepadaku. Dia
memerlukan sesuatu dari aku, kenapa aku harus takut kepadanya."
Tiba-tiba terdengar suara Yu Tay-coan berkumandang dari bawah loteng menghentikan
pembicaraan mereka: "Thio-hengte, Le Tayhiap berkunjung ke Pang kita, harap kau keluar untuk
menemuinya!" Po-siang Hoatsu segera menarik Thio Hong-tat, katanya lirih: "Berikan obat penawarnya,
turunlah kau layani mereka, aku tidak akan unjukkan diri."
Ternyata Po-siang Hoatsu kuatir kalau Le Lam-sing tidak gentar menghadapi tekanan, bila Thio
Hong-tat kena diringkus, mungkin Thio Hong-tat takut mati, malah sebaliknya ia kena ditekan
pihak lawan, oleh karena itu ia minta Obat penawarnya untuk dipertahankan. Thio Hong-tat tahu
bahwa Po-siang Hoatsu masih kurang mempercayai dirinya, tapi apa boleh buat, terpaksa dia
serahkan obat pemu-nahnya.
Dengan sikap sewajarnya tanpa takut-takut, Thio Hong-tat menyongsong kedatangan Le Lamsing,
sapanya menjura: "Le Tayhiap berkunjung, maaf orang she Thio terlambat menyambut."
Begitu berhadapan, menyala kedua biji mata Cau Ho-lian, katanya: "Paman Le, keparat inilah
yang mencelakai aku."
Le Lam-sing mendelikkan mata serta bermuka bengis, bentaknya: "Bagus, kau inikah yang
bernama Thio Hong-tat" Kenapa kau menganiaya keponakanku?"
"Le Tayhiap terlalu berat kata, sebetulnya aku bermaksud baik."
"Kau mencelakainya dengan racun, masih berani berkata bermaksud baik?" jengek Le Lam-sing
dingin. "Pang kami mengharapkan bantuan Cau-kongcu, sayang Cau-kongcu tidak sudi tinggal dalam
Pang kami, terpaksa aku menggunakan caraku itu."
"Kau menggunakan cara serendah itu, masih berani berdebat! Memangnya kau sangka aku
tidak bisa berbuat apa-apa atas dirimu?"
"Kalau Cau-kongcu sudi bekerja dalam Pang kami, merupakan keuntungan kedua pihak. Walau
Ngo-liong-pang jauh dibanding Ang-ing-hwe pimpinan Le Tayhiap, tapi di perairan merupakan
sindikat yang disegani juga, toh tidak akan bikin pamor Cau-kongcu direndahkan!"
"Tidak perlu kau membual di hadapanku, soal ini jelas harus kuselesaikan Bagaimana
penyelesaiannya, terserah dari sepatah katamu!"
"Thio-lote," bujuk Yu Tay-coan, "masing-masing orang punya tujuan hidupnya sendiri-sendiri,
Cau-kongcu tidak mau bekerja sama dengan Pang kita, kami tidak bisa memaksanya. Thio-lote,
berikan obat pemunahnya. Aku sudah bicara dengan Le Tayhiap, asal kau memberikan obat
penawarnya, dia akan ampuni jiwamu!"
Thio Hong-tat bergelak tertawa, ujarnya dengan nada sinis: "Le Tayhiap, bila kau bunuh aku,
keponakanmu ini pun tidak akan hidup lama. Biar kuterangkan, obat penawarnya tidak berada di
tanganku, dan lagi seumpama aku menyerahkan obat penawarnya, kau pun tidak tahu cara
memakainya. Di samping itu, bila kau bunuh aku, pastilah Yu-pangcu juga tidak akan sepaham
dengan kau." "Yu-pangcu, apa benar omongannya?" tanya Le Lam-sing.
Yu Tay-coan unjuk muka sedih dan penasaran, tiba-tiba ia kertak gigi, katanya: "Le Tayhiap,
kau tidak usah hiraukan aku, terserah bagaimana kau hendak bertindak!"
Mendengar kata-kata orang mengandung arti, tidak bisa tidak Le Lam-sing harus mencari tahu
latar belakangnya: "Yu Tay-coan, bicaralah terus terang kepadaku, apa kau pun kena ditekan
olehnya" Kenapa kau takut kepadanya?"
Yu Tay-coan ragu-ragu tidak berani menjawab, malah Thio Hong-tat terbahak-bahak, serunya:
"Soal ini tidak perlu dirahasiakan pula kepada Le Tayhiap, biar aku yang menjelaskan!"
Baru sekarang Le Lam-sing sadar, tanyanya: "Yu-pangcu apa kau pun kena dikerjai olehnya?"
"Bukan dia saja, semua anggota Ngo-liong-pang lima ratus lebih anggotanya, semua sudah
kukerjai. Kau hanya bisa bunuh aku seorang, namun lima ratus jiwa harus mengiringi kematianku,
termasuk putra sahabat baikmu ini."
Dengan tatapan tajam Le Lam-sing awasi muka Yu Tay-coan. Seketika berkobar keberanian Yu
Tay-coan, katanya penuh tekad: "Aku sudah pasrah akan nasib, daripada hidup tertekan
diperbudak orang, lebih baik aku adu jiwa dengan kau."
Thio Hong-tat tertawa dingin, jengeknya: "Memangnya kau sudah tidak sayang kepada anak
buahmu?" "Kalau mereka saudara-saudaraku yang sehaluan, adalah pantas kalau mereka punya pikiran
yang sama seperti aku, kita semua tidak bisa dilahirkan pada tahun bulan dan hari yang sama,
biarlah mati pada saat yang berbareng, apa pula yang harus ditakuti" Kalau seorang lemas tulang
yang takut mati, maka dia bukan saudaraku lagi yang baik, buat apa aku hiraukan mati hidupnya
lagi?" "Bagus sekali!" tiba-tiba Le Lam-sing berseru lantang, tiba-tiba sembari bersuit nyaring
panjang, badannya tiba-tiba melambung tinggi, secepat kilat Le Lam-sing sudah menubruk ke
bawah, sekali raih dan tarik dengan mudah ia meringkus Thio Hong-tat. "Plak!" pukulan Toa-jiu-in
Thio Hong-tat telak sekali mengenai dada Le Lam-sing, namun sedikit pun Le Lam-sing tidak
merasakan apa-apa, cepat sekali ia sudah menotok beberapa hiat-to di badan Thio Hong-tat, lalu
dilempar ke arah Cau Ho-lian, katanya: "Terserah bagaimana kau hendak membereskan dia, ingin
aku lihat masakah dia tidak takut mati!"
"Plak, plok" beruntun Cau Ho-lian ayun tangannya menggampar pipi Thio Hong-tat pulang pergi
puluhan kali, desisnya penuh kebencian: "Kau keparat ini akan terima ganjaranmu yang setimpal."
Waktu Yu Tay-coan membawa Le Lam-sing ke Po-gwat-lau, anak buah Thio Hong-tat serempak
merubung maju, melihat Le Lam-sing turun tangan, sambil bergerak mereka menerjang bersama.
Tapi sungguh di luar dugaan mereka, hanya dalam satu gebrak saja pemimpinnya tahu-tahu
sudah tertawan hidup-hidup oleh Le Lam-sing. Di saat mereka melenggong itulah, secepat kilat Le
Lam-sing berlompatan turun naik, berputar ke kiri lalu berlari ke kanan, tangan memukul jari
menotok, seketika orang ramai berjatuhan, dalam sekejap saja, dua puluhan orang sudah kena
ditotok olehnya, yang tidak roboh sama berdiri dalam berbagai gaya yang lucu-lucu tak mampu
bergerak lagi. Anak buah Thio Hong-tat tidak lebih dari lima puluh orang, hampir separuh di antaranya kena
tertotok oleh Le Lam-sing, sisa yang lain menjadi ketakutan dan lari pontang-panting bubar ke
berbagai arah. Yu Tay-coan segera membentak: "Tangkap mereka semua!" Anak buah Ngo-liong-pang yang
lama serempak merubung maju, dalam sekejap saja, semua anak buah Thio Hong-tat sudah
teringkus, tiada seorang pun yang lolos.
Sekali raih Le Lam-sing jambret dada Thio Hong-tat, bentaknya: "Serahkan obat penawarnya."
Sedikit jari-jarinya mengerahkan tenaga, dua tulang di dada Thio Hong-tat teremas patah dua
batang. Muka Thio Hong-tat pucat pias, keringat membasahi jidatnya. Tapi dia tetap membandel,
katanya sambil menahan sakit: "Kau bunuh aku pun tak berguna, obat itu tak berada di
tanganku." Yu Tay-coan bersama Cau Ho-lian turun tangan bersama menggeledah seluruh badannya,
memang obat penawar itu tidak ditemukan. Le Lam-sing membentak pula: "Di mana obat
penawarnya" Tidak kau terangkan, memangnya tulang-tulangmu betapa kerasnya?" Kelima jarinya
diperkeras, tenaga dalam ia salurkan melalui ujung-ujung jarinya, tiga hiat-to di dada Thio Hongtat
seolah-olah ditusuk oleh jarum yang tak terhitung banyaknya, sakitnya bukan main, lekas ia
menjerit: "Hentikan dulu siksaanmu."
"Lekas katakan!" bentak Le Lam-sing sambil mengendorkan cengkeramannya.
"Jauh di ujung langit, dekat di depan mata," demikian kata Thio Hong-tat tersengal-sengal.
"Pakai teka teki segala, bicaralah terus terang!" hardik Le Lam-sing pula.
Yu Tay-coan mendadak sadar, ujarnya: "Benar, di atas Po-gwat-lau masih ada seorang.
Beberapa hari yang lalu datang seorang padri asing. Apakah obat penawar berada di tangannya?"
Pikir Thio Hong-tat Po-sang Hoatsu tentu sudah ngacir, maka ia manggut-manggut, sahut:
"Benar, beradu di tangannya."
Tepat pada saat itulah terdengar "Bluk" yang berkumandang dari atas loteng, seperti ada orang
terbanting jatuh. Yu Tay-coan menjadi heran, katanya: "Berapa orang di atas loteng?"
"Kau kan tahu, hanya Po-siang Hoatsu seorang."
"Tidak mungkin, sedikitnya ada dua orang. Kau sedang main-main apa" Bicaralah terus terang."
Thio Hong-tat sendiri pun keheranan, katanya: "Betul hanya Po-siang Hoatsu seorang saja!
Tanpa seijinku siapa yang bisa naik ke sana."
"Memangnya kenapa ada orang berkelahi di atas loteng?"
"Mana aku tahu?"
"Peduli ada alat-alat rahasia apa, ayo geledah ke atas!" ujar Le Lam-sing sambil menggusur
Thio Hong-tat. Tiba-tiba didengarnya Yu Tay-coan membentak: "Siapa itu?" disusul suara Cau Ho-lian bersorak
kegirangan: "Kaukah ini" Miao-sioksiok!"
Tampak sesosok bayangan orang bagai burung terbang sedang melompat turun dari atas
loteng, siapa lagi kalau bukan Miao Tiang-hong"
Waktu Thio Hong-tat kena teringkus di bawah loteng, sebetulnya Po-siang Hoatsu tidak perlu
takut karena obat penawar berada di tangannya, ingin ia melihat sampai di mana kekerasan hati
dan kesetiaan Thio Hong-tat. Namun setelah mendengar kata-kata pengakuan Thio Hong-tat yang
tidak langsung tadi, seketika berubah air mukanya, jengeknya dingin: "Tidak salah dugaanku,
keparat itu tidak bisa dipercaya. Untung aku bertindak lebih cerdik merampas obat penawar itu."
Sembari bicara sendiri, ia lampirkan kasa merahnya ke atas pundak lalu memindah sebuah
lukisan gambar di dinding dan menekan sebuah tombol, terdengar suara keriat-keriut dari dinding
sebelahnya terbuka sebuah pintu rahasia. Kiranya Po-gwat-lau ini banyak dipasangi alat-alat
rahasia, pintu rahasia ini bisa langsung menembus ke luar.
Po-siang Hoatsu unjuk senyum kemenangan, baru saja ia putar badan sambil menunggu
berhentinya alat rahasia itu, mendadak dirasakannya angin menyambar dari belakang, terdengar
seseorang tertawa dingin: "Sebelum kau tinggalkan obat penawar itu masakah begitu gampang
hendak ngacir?" Maklum Miao Tiang-hong seorang pendekar kenamaan, oleh karena itu ia segan
turun tangan secara membokong.
Hebat memang kepandaian Po-siang Hoatsu, begitu terasa ada kesiur angin yang
mencurigakan, tahu bahwa musuh tangguh sedang menyerang, meski kaget tapi tidak gugup,
kontan tangannya berbalik terus memukul ke belakang. "Biang" dua tangan kedua pihak saling
gempur, Miao Tiang-hong membekal pukulan kombinasi keras dan lemas, ia tarik Po-siang Hoat-su
tergeser ke samping, sebat sekali ia sudah maju selangkah menghadang di depan pintu rahasia
itu. "Miao Tiang-hong!" kata Po-siang Hoatsu dengan suara kereng, "biar aku adu jiwa dengan
kau." Kedua lengan digentakkan ia copot kasa merahnya, sekali sendai, laksana segumpal awan
senjata istimewanya ini menungkrup ke atas kepala Miao Tiang-hong.
Tatkala itu anak buah Ngo-liong-pang sedang beramai-ramai meringkus anak buah Thio Hongtat,
suaranya yang ribut menelan suara perkelahian di atas loteng. Dua tokoh silat tinggi yang adu
kepandaian di atas loteng masing-masing melancarkan serangan kilat berlincahan pergi datang,
dalam sepuluh jurus, paling-paling hanya dua jurus saling bentur, maka tidak sampai
mengeluarkan suara gaduh.
Miao Tiang-hong kerahkan Thay-ceng-khi-kang, dengan sejurus Ngo-ting-kay-san (Ngo-ting
membuka gunung), ia rangsak maju merebut kasa lawan. Po-siang Hoatsu memelintir lalu
menariknya hendak menggulung leher dan kepalanya, maka terdengarlah suara nyaring, celaka
adalah kasa itu yang akhirnya robek menjadi dua potong karena buat rebutan dua tokoh kosen
yang saling rebutan senjata.
Kejadian berlangsung amat cepat, begitu tipu permainannya berhasil, jurus kedua ketiga sudah
memberondong keluar tak putus-putus mendesak musuh dengan sengit, dalam kamar sekecil itu
buat adu kepandaian, terang tiada peluang untuk main putar-putar atau berkelit ke tempat yang
jauh. "Cret" lagi-lagi jubah Po-siang Hoatsu tergores lubang oleh jari-jarinya, jari Miao Tiang-hong
menyentuh sesuatu benda keras, ia tahu itulah botol obat, maka tenaga ia kendorkan ganti
menggunakan tenaga lunak terus mencengkram dengan hebat dan lihay.
Berapi-api kedua biji mata Po-siang Hoatsu, sekonyong-konyong ia lontarkan pukulan tangan,
pukulan ini adalah ilmu Toa-jiu-in kebanggaannya, dia sudah nekad dan berani terima resiko meski
hawa murninya pecah dan bakal sakit keras, namun harus melawan untuk mencari hidup daripada
mampus di tangan musuh. Agaknya Miao Tiang-hong sudah menduga akan hal ini, ringan saja ia menuntunnya ke
samping, Thay-ceng-khi-kang ia kerahkan untuk melindungi badan, lalu dengan Su-liang-poat-jiankin,
cara menggunakan tenaga lawan untuk menggempur lawan, pukulan Po-siang Hoatsu amat
keras, mendadak kena disampuk miring ke samping, kekuatan pukulannya seketika seperti amblas
tanpa bekas di lautan teduh, dengan sendirinya ia kehilangan keseimbangan badan, ;'Bluk" kontan
ia tersungkur jatuh beberapa langkah.
Lwekang kedua pihak terpaut tidak banyak, meski Miao Tiang-hong berhasil punahkan enam
tujuh bagian pukulan lawan, tak urung dadanya pun terasa bergetar, di saat ia hendak menubruk
maju merampas botol obat itu, mendadak dilihatnya Po-siang Hoatsu mengayunkan tangan.
Yang dia timpukkan bukan senjata rahasia, namun botol obat itu, bukan ke arah Miao Tianghong
tapi meluncur ke arah dinding, kalau botol obat itu membentur djnding terang bakal pecah
berantakan. Bukan saja botol pecah, mengandal lwekang Po-siang Hoatsu obat di dalam botol
mungkin akan berhamburan tercampur dengan guguran tembok.
Dalam keadaan serba kritis ini Miao Tiang-hong tidak sempat banyak pikir, lekas ia menubruk
maju meraih botol obat itu. Dalam waktu bersamaan, setelah menimpukkan botol obat itu, dengan
gerakan Ikan Gabus Meletik, Po-siang Hoatsu berkelebat lari memasuki pintu rahasia itu.
Gerak-gerik Miao Tiang-hong sudah amat cepat dan tangkas, namun setelah ia berhasil
menyelamatkan botol obat itu, sementara pintu rahasia itu pun sudah menutup kembali, keadaan
sedemikian rapi halus, dari luar tidak kelihatan bahwa dinding yang tidak terlihat sedikit pun
lubang ternyata di belakangnya ada pintu rahasia.
Miao Tiang-hong tidak paham cara membuka pintu rahasia, untuk membuka pintu rahasia ini,
meski ia bisa mencari akal, namun akan menghabiskan waktu dan menguras tenaga. Dengan
seksama ia periksa botol obat itu, pikirnya: "Botol obat ini persis dengan apa yang kulihat tadi,
pastilah padri asing itu tidak akan memalsukan dengan yang lain untuk menipu aku. Biar aku
keluar dulu menemui mereka."
Munculnya Miao Tiang-hong secara mendadak membuat semua orang kaget dan kegirangan,


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beramai-ramai mereka maju menyapa dan menjura serta mohon maaf pula. Kata Mao Tiang-hong:
"Thio Hong-tat si keparat itu hendak pinjam namamu untuk menipu aku, duduk persoalannya
sudah jelas kuketahui, kau pun tidak perlu sungkan kepadaku."
"Paman Miao," kata Cau Ho-lian, "bagaimana kau bisa berada di sini?"
"Cukup panjang ceritanya, obat penawarnya sudah kubawakan kemari, nih kau telan dulu!"
Yu Tay-coan amat girang, "Kau berhasil merebut obat pemunah itu" Mana padri asing itu?"
"Di atas loteng dipasang alat-alat rahasia, dia lari dari pintu gelap."
"Lari si padri asing, takkan lari Thio Hong-tat bedebah ini. Baik, sekarang kau mengandal apa,
aku akan membuat perhitungan denganmu!"
Ngo-liong-pang sudah amat membenci Thio Hong-tat, kini obat penawar sudah berada di
tangan, tak perlu takut menghadapinya, mana mau bertindak pelan-pelan" Serempak mereka
merubung maju hendak menghajar, menguliti dan memotong tulang-tulang kaki tangannya.
Ternyata sikap Thio Hong-tat tidak mengunjuk ketakutan, tiba-tiba ia bergelak tertawa tiga kali.
Miao Tiang-hong sudah keluarkan sebutir obat penawar itu, baru saja ia hendak serahkan
kepada Cau Ho-lian supaya ditelannya, mendengar tawanya itu, mendadak ia bercekat katanya:
"Tunggu dulu, jangan hajar dia!" Ia kembalikan obat itu ke dalam botol, bentaknya: "Apa yang kau
tertawakan?" "Aku tertawa kau sudah kena tipu, ketahuilah obat itu palsu adanya."
Miao Tiang-hong melengak kaget. "Palsu?" ia menegas. "Dengan mata kepalaku sendiri aku
melihat kau serahkan botol obat ini kepada padri jahat itu, memangnya secepat itu dia bisa
mengganti dengan botol obat yang lain."
"Betul, botol itu memang botol semula, tapi obat di dalamnya memang obat palsu, tidak perlu
dia ganti segala." Yu Tay-coan memaki: "Keparat keji, jadi terhadap orangmu sendiri kau pun menipunya?"
Tidak marah, Thio Hong-tat malah tertawa bangga ujarnya: "Kalau aku tidak punya cara-caraku
sendiri untuk melindung diriku, kalau obat penawar itu terjatuh ke tangan kalian, masakah kalian
bisa membiarkan aku hidup?"
Yu Tay-coan ragu-ragu, katanya: "Jadi demi keselamatan jiwamu sendiri, sengaja kau katakan
obat penawar ini palsu. Baik aku berjanji kepada kau asal orang-orang kita mendapat obat
penawar yang asli, akan kuampuni jiwamu."
"Miao Tayhiap," ujar Thio Hong-tat menyeringai. "Kalau kau tidak percaya omonganku, silakan
kau berikan obat itu kepada keponakanmu ini, terus terang aku amat kasihan akan jiwa Causiauhiap
yang akan mati konyol."
"Bagaimana Miao Tayhiap?" tanya Yu Tay-coan.
"Biar kita mencobanya dulu!"
"Benar," seru Yu Tay-coan menepuk paha, "biar dicoba dulu apakah obat penawar ini tulen
atau palsu." Segera ia suruh anak buahnya menyeret seekor anjing pemburu, obat itu dicampur
dalam makanan, lalu diberikan kepada anjing itu, tak lama kemudian anjing pemburu yang buas
itu terguling-guling dan akhirnya mati, mulut dan hidungnya mengeluarkan darah, seluruh badan
menjadi hitam. Terang obat itu memang obat racun.
Merinding bulu kuduk Miao Tiang-hong, pikirnya: "Untung tadi tidak kuberikan kepada Ho-lian."
Maka ia berkata: "Thio Hong-tat, kau dengar, kau tidak keluarkan obat penawar yang asli,
sangkamu kau tidak akan kami bunuh" Demi jiwamu sendiri, janganlah kau main berbelit-belit lagi, serahkan saja obat penawar itu."
"Aku tahu, " sahut Thio Hong-tat tawar. "Kalau orang-orang kalian mampus sudah tentu kalian tidak akan
mengampuni aku!" "Baik juga kalau kau tahu, keluarkan obat penawar dan ubahlah jalan hidupmu ke arah yang lurus, kami
pasti tidak akan mempersulit dirimu. Kau harus percaya apa yang kukatakan, kami pasti tidak akan menipu kau."
"Miao Tayhiap kau seorang pendekar laki-laki sejati, apa yang kau katakan memangnya aku berani tidak
percaya" Sayang obat penawar itu memang tidak berada di tanganku."
"Memangnya di mana?"
"Kalau kalian minta obat yang tulen, marilah ikut aku ke kota raja."
Yu Tay-coan berjingkrak gusar, "Kau anggap kami bocah cilik gampang kau bujuk?"
"Aku bicara sejujurnya," demikian ujar Thio Hong-tat dengan muka kecut, "Pakkiong Bong hanya memberi
obat racun tidak memberi obat penawarnya. Kecuali aku kembali ke kota raja langsung memintanya,
kalau tidak dari mana aku harus mendapat obat penawar itu?"
"Jadi katamu tahun yang akan datang kau hendak memberi obat penawarnya, itu hanya bualan bacotmu
saja?" "Bukan begitu. Tahun yang akan datang bila tiba waktunya, Pakkiong Tayjin akan mengutus orang mengantar obat itu secara rahasia kepadaku."
Le Lam-sing setengah percaya setengah tidak, segera menggertaknya: "Kalau kau memang
tidak bisa keluarkan obat penawarnya, buat apa menahan kau hidup-hidup?" Tangan terangkat ia
sudah siap menepuk batok kepala orang.
"Nanti dulu," Thio Hong-tat berteriak.
"Kenapa" Obat penawarnya sudah ada?" jengek Le Lam-sing.
"Obat penawar memang harus diambil di kota raja, tapi aku bisa mengajukan satu akal bagi
kalian." "Akal apa?" tanya Miao Tiang-hong.
"Le-pangcu, Miao Tayhiap, kalau kalian tidak percaya kepadaku boleh ikut aku ke kota raja.
Cukup kalian berdua saja, jadi tidak perlu kalian terjaring seluruhnya di sana. Kepandaian kalian
tinggi, setiba di kota raja, apa pula yang berani kulakukan. Sekarang persoalan terletak apakah
kalian berani menempuh bahaya ini."
"Jangan kena ditipu olehnya," seru Yu Tay-coan.
Miao Tiang-hong berkata dalam hati: "Keparat ini amat licik dan licin, terang ia gunakan tipu
untuk meloloskan diri. Tapi sampai mati dia tidak mau serahkan obat, kami menjadi kewalahan
sendiri. Terpaksa memang harus berani menempuh bahaya." Maka ia berkata: "Kalau begitu, biar
hari ini juga kita berangkat bersama ke kota raja"
Acuh tak acuh Thio Hong-tat berkata: "Nah, obati dulu luka-lukaku!"
Yu Tay-coan geleng-geleng kepala, katanya: "Miao Tayhiap, harap kau suka berpikir dengan
cermat, betapapun aku tidak setuju kalian ditipunya demikian saja."
Le Lam-sing tersenyum, katanya: "Benar, memang kita tidak perlu tergesa-gesa."
Melihat senyuman orang rada ganjil, tergerak hati Miao Tiang-hong, pikirnya: "Mungkin dia
sudah punya akal lain yang lebih baik?"
Tengah ia membatin itulah didengarnya bagian luar sana timbul kegaduhan. Waktu Miao Tianghong
angkat kepala, dilihatnya sesosok bayangan orang, bagai burung terbang sedang melompati
pagar tembok. Yu Tay-coan amat kaget, bentaknya: "Siapa kau?"
Orang itu bergelak tertawa, sahutnya: "Yu-pangcu tidak kenal kepadaku lagi" Akulah..."
Yu Tay-coan berseru kegirangan, teriaknya bersama Miao Tiang-hong: "Kwi-hwe-thio!"
Setengah bergurau Yu Tay-coan lantas memakinya: "Kwi-hwe-thio, jangan kau mengincar Ngoliongpang kami yang rudin ini!"
"Jangan kualir, aku si maling kecil ini selamanya jadi tamu yang tak diundang, bukan mengincar
milik teman sendiri. Hari ini aku kemari malah hendak menyumbang akal kepada kau."
"Kwi-hwe-thio," ujar Le Lam-sing, "kenapa sampai sekarang baru kau muncul?"
Mendengar seruan Le Lam-sing ini, barulah Miao Tiang-hong sadar, bahwa Kwi-hwe-thio
ternyata sudah ada janji dengan Le Lam-sing. Kwi-hwe-thio memang cerdik dan aneh tingkah
lakunya, bukan mustahil orang sudah punya akal untuk mengatasi persoalan sulit ini"
Kwi-hwe-thio tertawa, katanya: "Masih ada dua orang lain pasti berada di luar dugaanmu
datang bersama aku, karena merekalah aku datang terlambat."
Suara ribut di luar semakin keras. Yu Tay-coan sekarang pun mendengar, seketika ia sadar dan
bertanya kepada Kwi-hwe-thio: "Dua orang di luar itu adalah temanmu bukan?"
"Benar, silakan kau keluarkan perintah..."
Tak menunggu orang bicara habis Yu Tay-coan sudah tarik suara berseru lantang: "Biarkan
mereka masuk, jangan dirintangi!" Latihan lwekangnya memang tidak begitu tinggi, namun suara
kasarnya ini memang cukup keras, semua anak buahnya yang berderet sampai di pintu luar pun
mendengar seruannya ini dengan jelas.
Tak lama kemudian kedua orang itu pun sudah tiba. Benar-benar di luar dugaan orang banyak,
kiranya mereka adalah dua gadis remaja. Seorang berteriak memanggil "Engkoh" kepada Cau Holian
seorang lagi menatap ke arah Cau Ho-lian.
Ternyata kedua gadis remaja ini bukan lain adalah Cau Ci-hwi dan Siau Gwat-sian. Mereka
datang bersama Kwi-hwe-thio, namun karena mereka tidak memiliki ginkang selihay Kwi-hwe-thio,
maka begitu memasuki daerah terlarang Ngo-liong-pang, jejak mereka lantas ketahuan oleh anak
buah Ngo-liong pang. Kaget dan senang pula Cau Ho-lian, serunya: "Moaymoay, kenapa kau bisa kemari?" Mulutnya
bicara dengan adiknya, namun matanya pun menatap ke arah Siau Gwat-sian.
Melihat adegan lucu ini, tak tertahan Miao Tiang-hong terbahak-bahak, ujarnya: "Para
keponakanku perempuan, nanti kita bicara lebih lanjut, biar Kwi-hwe-thio bicara lebih dulu!"
Sikap Thio Hong-tat masih kaku dan yakin akan kemenangan diri sendiri, dengan dingin ia
awasi semua ini, pikirnya: "Biar kulihat maling kecil ini bisa berbuat apa atas diriku?"
Kwi-hwe-thio maju menghampiri Cau Ho-lian serta meraba urat nadinya sebentar, katanya:
"Dari denyut urat nadinya, Cau-kongcu agaknya terkena racun Hoa-kut-san!"
"Benar," sahut Miao Tiang-hong, "tadi kudengar pembicaraan keparat ini dengan padri asing
itu, racun yang dia gunakan memang Hoa-kut-san. Thio-toako, apakah kau tahu akan sifat kerja
dari racun ini?" "Itulah semacam racun yang lihay, dengan menggunakan cara yang berlainan, dari kadarnya
yang keras bisa kita ubah menjadi racun yang bekerja lambat dalam jangka panjang pula, orang
bisa dibikin mampus di dalam waktu yang ditentukan oleh pemilik racun."
Thio Hong-tat membatin: "Kau tahu akan sifat kerja racun Hoa-kut-san memangnya bisa
berbuat apa" Kalau aku tetap berkukuh tidak punya obat penawarnya, memangnya kau si maling
kecil ini dapat berbuat apa atas diriku?"
Cau Ci-hwi dan Siau Gwat-sian unjuk rasa gusar dan kaget, tanpa berjanji serempak mereka
mencabut pedang, yang satu membentak: "Kau berani mencelakai engkohku, serahkan jiwamu."
Yang lain membentak: "Serahkan obat penawarnya."
Thio Hong-tat berkata tawar: "Tadi sudah kukatakan kepada Le-pangcu dan Miao Tay-hiap,
obat penawarnya tidak di tanganku, kalian paksa aku pun tidak berguna."
"Keparat ini amat licik dan licin," ujar Yu Tay-coan, "dia hendak menipu Le-pang-cu dan Miao
Tayhiap ke kota raja untuk mengambil obat penawarnya.
Mendadak Kwi-hwe-thio berge-lak tawa, serunya: "Apa sih yang harus ditakuti menghadapi
Hoa-kut-san" Kenapa harus minta obat penawar kepadanya?"
Seketika Yu Tay-coan berjingkrak girang mendengar katakatanya, serunya tertawa lebar: "Thiotoako,
kau punya obat penawarnya?"
Kwi-hwe-thio tetap tertawa, sahutnya: "Obat penawar tiada, obat racun malah punya!" Sembari
bicara ia keluarkan sebuah botol, dalam botol terisi tiga butir pil. Bentuk botol itu persis dengan
botol racun yang direbut Miao Tiang-hong tadi, cuma warna obatnya saja yang berlainan. Obat
racun palsu itu berwarna hijau pupus, sebaliknya obatnya ini berwarna merah seperti darah.
Le Lam-sing ulur tangan menerima botol obat itu, tanyanya: "Ini obat racun apa?"
Kwi-hwe-thio tertawa, katanya: "Thio Hong-tat, tentunya kau kenal obat apa itu"
Thio Hong-tat kenal botal obat itu adalah botol obat untuk menyimpan obat racun yang
disimpan di gudang obat dalam istana, ia kenal obat dalam botol itu adalah Hoa-kut-san. Seketika
rona mukanya berubah pucat laksana kertas, jantung pun berdebar keras seolah-olah hendak
mencelat keluar dari mulutnya.
Le Lam-sing baru paham, katanya: "Inikah Hoa-kut-san?"
"Benar, sepuluh hari yang lalu berhasil kucuri dari gudang obat di sana. Aku tahu bahwa kau
perlu menggunakannya, maka sengaja hari ini kuberikan kepada kau."
Le Lam-sing pura-pura ragu-ragu dan setengah percaya, katanya: "Namanya Hoa-kut-san
(puyer peluluh tulang) kenapa berbentuk pil?"
"Dalam hal ini ada yang tidak diketahui oleh Le Tayhiap, inilah obat racun yang khusus dibuat
oleh istana, kadar racunnya amat keras, sebutir racun sekecil itu, kalau dibikin puyer, sekaligus
dapat mencabut nyawa puluhan orang. Pil dibubuk menjadi puyer bukankah bisa juga dinamakan
Hoa-kut-san?" "O, kiranya begitu!" ujar Le Lam-sing manggut-manggut.
Kwi-hwe-thio berkata lebih lanjut: "Sebutir pil dibubuk menjadi puyer, ditaruh di dalam poci
arak, orang yang sudah minum arak beracun itu, dalam jangka tiga bulan, racun akan bekerja dan
melayanglah jiwanya. Tapi kalau sebelumnya sudah dicampur sedikit dengan madu tawon,
menggunakan cara yang sama, kadar racun bisa ditahan sampai satu tahun baru bekerja, dan
orang akan mampus juga."
"Lalu bagaimana pula cara penggunaannya supaya kadar racun cepat bekerja?" tanya Le Lamsing.
"Apa sih sukarnya, ujar Kwi-hwe-thio, "telankan sebutir penuh obat racun itu ke dalam
mulutnya, dalam dua puluh empat jam, badannya akan
berubah menjadi genangan air darah!"
"Ada cara yang lebih cepat lagi tidak?"
"Gunakan tenaga dalam bantu mengurut dan memijit,
supaya darah tercampur lebih cepat dalam darahnya, darah
pun akan lebih cepat berputar dalam tubuhnya, dengan cara
ini kira-kira dalam satu jam seluruh tulang belulangnya akan
terasa lumpuh seperti luluh. Tapi jiwa belum lagi melayang,
kira-kira dua jam pula baru badan hancur menjadi air darah!"
"Bagus! ujar Le Lam-sing. "Berikan obat racun itu
kepadaku." Muka Thio Hong-tat sudah pucat pias, segera ia jatuhkan
diri berlutut, teriaknya: "Le, Le Tayhiap, am... ampun..."
"Hm sebelum melihat peti mati tidak mencucurkan air
mata, tadi kau berkeras kepala, kenapa sekarang minta
ampun, sudah terlambat!" damprat Le Lam-sing, sekali cengkram ia jinjing badan orang
tergantung di tengah udara, tangan yang lain menyanggah dagunya serta dipencet, mulut Thio
Hong-tat seketika terbuka lebar, cepat sekali ia sudah jejalkan sebutir obat racun itu ke dalam
tenggorokan dan tertelan ke dalam perut.
Le Lam-sing menjinjingnya seperti menjinjing anak ayam, ingin Thio Hong-tat meronta-ronta
tapi badan sudah tidak mampu bergerak lagi. Tak lama kemudian Le Lam-sing sudah mulai
mengurut dan memijit membuka semua jalan darahnya supaya lebih lancar.
Seketika Thio Hong-tat rasakan seluruh tulang-tulang badannya seperti ditusuki jarum yang
tidak terhitung banyaknya, dia sendiri tidak pernah mengalami dicekoki Hoa-kut-san, namun
kelihayan Hoa-kut-san itu ia jelas mengetahui. Sesuai dengan namanya "peluluh tulang", setiap
orang yang terkena racun Hoa-kut-san, seluruh tulang-tulang badannya akan luluh menjadi air
darah baru jiwa melayang. Kini rasa sakit sudah tak tertahankan lagi, bagaimana pula rasanya
nanti bila kadar racun sudah kumat dalam badannya, sungguh ia tidak berani menbayangkan.
Le Lam-sing menyeringai dingin: "Bukankah kau laki-laki keras kepala, kenapa takut mati?"
Dengan suara gemetar Thio Hong-tat berteriak: "Le-pangcu, kau, ampunilah jiwaku, biar aku
persembahkan obat pemunahnya."
Hati Le Lam-sing amat girang, namun raut mukanya membesi, "Bukankah tadi kau katakan
tiada obat penawarnya" Kenapa sekarang ada?"
Secara pulang pergi Thio Hong-tat gampar kedua pipi sendiri dengan keras, serunya: "Memang
aku yang rendah patut mampus, harap Le-pangcu suka bermurah hati, selanjutnya aku tidak akan
berani menipu kau orang tua lagi."
"Memang masih ada selanjutnya lagi?" damprat Le Lam-sing ke-reng.
Rasa sakit Thio Hong-tat sudah tak tertahankan, badan sudah mandi keringat, insyaf bila
bertahan sedikit lama lagi jiwanya pasti akan menuju ke akhirat. Lekas ia pun berlutut dan mintaminta
kepada Yu Tay-coan: "Yu-pangcu, bantulah aku bicara memohon ampun kepada Lepangcu."
"Le-pangcu, dia mau menyerahkan obat penawarnya, kalau benar biar kita ampuni jiwanya!"
Baru sekarang Le Lam-sing berkata: "Baik, kupandang muka Yu-pangcu, biar kuampuni jiwamu.
Serahkan obat penawarnya."
"Obat penawar kusimpan di atas Po-gwat-lau."
Orang banyak segera menggusurnya naik ke Po-gwat-lau, kasihan tenaga untuk jalan pun
sudah tidak kuat lagi, terpaksa Miao Tiang-hong harus menyeretnya ke atas. Kata Miao Tianghong
tertawa dingin: "Kau ini memang tulang bangsat, diberi arak suguhan tidak mau terima
disiksa dulu baru minta-minta ampun. Semula aku sudah janji bila kau menyerahkan obat
penawarnya akan melepasmu pergi, kau malah menipu kami, adalah pantas kalau kau rasakan
deritamu ini." Setelah berada di Po-gwat-lau, Thio Hong-tat mengajarkan cara untuk membuka pintu-pintu
rahasia, setelah berada di dalam, berkata Thio Hong-tat: "Batu bata ketujuh dihitung dari daun
pintu ke sebelah kiri lalu ke bawah pula nomor tujuh di dinding sana, harap koreklah keluar dan
berikan kepadaku." Miao Tiang-hong masuk setelah menyulut sebuah obor, sesuai dengan apa yang ditunjukkan itu
Miao Tiang-hong keluarkan batu bata itu, didapatnya batu bata ini tiada bedanya dengan batu
bata lainnya, segera ia angsurkan kepada Thio Hong-tat: "Apakah batu bata yang ini?"
Thio Hong-tat tempelkan kupingnya di atas batu bata itu, katanya: "Tolong kau ketuk dua kali
dengan ringan saja."
Mendengar suara ketukan pada batu bata itu, barulah Thio Hong-tat yakin dan berkata: "Tidak
salah, memang batu ini. Silakan kau buka, jangan terlalu keras!"
Kiranya batu bata ini kosong bagian dalamnya, setelah Miao Tiang-hong memecahnya di dalam
ia temukan sebuah kotak kecil. Cara menyimpannya sedemikian rahasia, sungguh di luar dugaan
semua orang. Dengan tersengal-sengal Thio Hong-tat berkata: "Lekas buka kotak itu, serahkan obat
penawarnya kepadaku."
Waktu Le Lam-sing buka kotak kecil itu, di dalam hanya berisi sepuluh butir pil saja. Le Lamsing
menjepit sebutir dengan kedua jarinya, tapi tidak diberikan kepadanya, katanya: "Nanti dulu!"
Thio Hong-tat kaget, teriaknya gemetar: "Le-pangcu, kau, kau orang tua tidak menepati janji?"
Le Lam-sing mendengus, "Apa yang sudah kukatakan pasti kutepati, kenapa tergesa-gesa"
Setelah kutolong mereka baru tiba giliranmu yang terakhir. Em, Yu-pangcu berapa banyak orangorang
kalian yang keracunan?"
"Kira-kira ada lima ratus orang."
Le Lam-sing mengerut kening, katanya: "Tapi di sini cuma ada sepuluh butir obat."
Cepat Thio Hong-tat menjelaskan: "Obat pemunah yang diperlukan menurut berat ringan dari
orang yang keracunan, racun di badan mereka satu tahun kemudian baru akan kumat, satu butir
dibikin puyer dapat mengobati seratus orang. Racun di badan Cau-siau-hiap rada berat, dia sendiri
memerlukan satu pertiga. Thio-toako ini pun tahu, boleh kau tanya akan kebenaran keteranganku
ini." "Le-pangcu, coba berikan kepadaku biar kuperiksa dulu apa obat pemunah ini tulen atau
palsu?" demikian pinta Kwi-hwe-thio.
Thio Hong-tat merengek minta ampun: "Memangnya aku berani berkelakar pada jiwaku sendiri.
Thio-toako, tidak perlu kau memeriksanya pula, pasti tulen adanya mohon kau berikan satu butir
kepadaku, kadar racun dalam badanku amat berat mungkin sebentar akan kumat dan mampuslah


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku." "Betul" ujar Kwi-hwe-thio manggut-manggut. "Obat ini memang tulen." Ia menjemput satu
butir, sisanya ia serahkan kepada Yu Tay-coan. Setelah Cau Ho-lian menelan obat penawar itu,
barulah dia serahkan sebutir obat itu kepada Thio Hong-tat.
Begitu menerima obat penawar itu tersipu-sipu Thio Hong-tat lantas menelannya, seolah baru
saja lolos dari pintu neraka, segera ia menyeka keringat di atas jidatnya, katanya "Terima kasih
Le-pangcu, terima kasih Thio-toako. Aku, aku sudah boleh pergi?"
Le Lam-sing segera menepuk tiga kali di atas badannya, katanya: "Jiwamu dapat kuampuni,
tapi tidak akan kubiarkan kau bertindak sewenang-wenang dan berbuat jahat. Baiklah, lekas
pergi!" Karena totokan jalan darah dibebaskan, bergegas Thio Hong-tat merangkak bangun, sorot
matanya menampilkan rasa kebencian yang meluap-luap, katanya: "Le-pangcu, budi kebaikanmu
hari ini, selama hidup tidak akan kulupakan." Habis berkata dengan langkah sempoyongan ia
tinggal pergi. Setelah Thio Hong-tat pergi Cau Ci-hwi berkata: "Koko, bagaimana perasaanmu?"
"Rasa sesak dan mual dalam dada selama beberapa hari ini, kini sudah tersapu bersih. Agaknya
memang obat penawar yang tulen. Tapi menguntungkan keparat itu juga."
Le Lam-sing tersenyum, ujarnya: "Meski aku mengampuni jiwanya, tapi ilmu silatnya sudah
kepunahkan, terhitung melampiaskan penasaranmu juga."
Tiba-tiba Miao Tiang-hong menyeletuk: "Lo-thio, cara bagaimana kau bisa bikin Thio Hong-tat
mau percaya bahwa obat yang kau jejalkan ke mulutnya adalah Hoa-kut-san?"
Kwi-hwe-thio tertawa, ujarnya: "Hoa-kut-san yang tulen aku sendiri belum pernah lihat, namun
sifat kerja dari obat racun itu aku pernah saksikan sendiri. Dan secara kebetulan aku memiliki
botol yang mirip dengan botol obatnya itu, mau tidak mau dia harus percaya akan gertakanku."
"Dari mana pula kau memperoleh botol itu?" tanya Yu Tay-coan.
"Itu hanya kebetulan saja, botol ini hasil curianku dari gudang obat-obatan di istana, waktu itu
aku hanya merasa botol itu amat bagus untuk mainan, tak nyana dapat kumanfaatkan."
"Jadi sebelumnya memang kau sudah berjanji dengan Le-pangcu?" tanya Miao Tiang-hong.
"Memang Le-pangcu suruh aku mencuri obat pemunahnya di kamar tidur Thio Hong-tat di kala
mereka bergebrak dengan Le-pangcu. Setelah aku tiba kudengar racun itu adalah Hoa-kut-san,
botol milik keparat itu pun mirip dengan kepunyaanku, maka aku gunakan gertakan dengan
sebutir obat palsu lainnya, kiranya gertakanku membawa hasil. Kalau tidak obat penawarnya itu
dia simpan begitu rahasia, meski aku punya kepandaian setinggi langit juga tidak akan berhasil
mencurinya." Yu Tay-coan bergelak tertawa, ujarnya: "Peristiwa hari ini boleh dikata karena malapetaka aku
malah mendapat rejeki. Cau-siauhiap apa kau masih benci kepadaku?"
"Aku sudah tahu kau bukan sekomplotan dengan Thio Hong-tat, mana bisa aku membenci
kau?" "Kau tidak salahkan aku, sebaliknya aku menyesali diriku sendiri. Gara-gara kesalahan
tindakanku, sehingga aku kena ditekan dan diperas oleh Thio Hong-tat, bukan saja hampir
mencelakai kau, Ngo-liong-pang yang kudirikan pun hampir lebur semuanya."
"Duduk perkara sebenarnya sudah kuketahui dengan jelas," demikian ujar Miao Tiang-hong.
"Yu-pangcu tiada manusia yang tidak berbuat salah, kejadian sudah berselang, tidak perlu kita
singgung lagi." Ternyata baru pada babak terakhir Yu Tay-coan membongkar intrik antara Thio Hong-tat
dengan Pakkiong Bong, tapi karena dia pikir Ngo-liong-pang mereka yang kecil itu mana kuat
berhadapan dengan pasukan Gi-lim-kun yang besar dan kuat. Kalau toh Thio Hong-tat adalah
utusan Pakkiong Bong, terpaksa dia menurut dan mengambil hatinya. Siapa tahu langkah pertama
sudah meleset, maka langkah-langkah selanjutnya terjeblos semakin dalam, hampir saja segalanya
berantakan, bukan saja Thio Hong-tat sudah berhasil memegang kekuasaan tertinggi dalam Ngoliongpang, hampir saja seluruh Ngo-liong-pang yang dia dirikan runtuh pula di tangannya sendiri.
"Sekarang boleh dikata hatiku lega dan pikiran tentram. Cau-siauhiap, sebelum aku mendapat
kabarmu yang sebenarnya, terus terang siang malam duduk atau tidur hatiku selalu tidak tenang."
"Oh, ya," ujar Miao Tiang-hong, "Ho-lian, malam kau ditahan oleh Thio Hong-tat itu, siapa yang
menolongmu keluar?" "Aku sendiri pun tidak mengenalnya," demikian sahut Cau Ho-lian, "orang itu adalah seorang
kakek tua berpakaian serba hitam."
"Hah! Kakek berbaju hitam, apakah dia bermuka gini dan bertubuh gitu?"
Mendengar gambaran yang dilukiskan Miao Tiang-hong, Cau Ho-lian manggut-manggut,
katanya: "Betul. Paman Miao, ternyata kau sudah kenal dengan lo-cianpwe itu. Siapakah dia
sebetulnya?" "Aku sendiri pun tidak kenal, namun pernah juga aku mendapat bantuan lo-cianpwe itu."
demikian ujar Miao Tiang-hong, lalu ia ceritakan kejadian dirinya terperangkap di Cu-lay-san
tempo hari kepada hadirin.
Kata Cau Ci-hwi: "Kepandaian lo-cianpwe itu sedemikian tingginya, malam itu dia menolong
kau, kenapa tidak sekalian ia bunuh Thio Hong-tat si keparat itu?"
"Hal itu sih ada dia jelaskan, katanya tidak perlu beliau sendiri yang turun tangan kepada Thio
Hong-tat. Aku pun berpikir demikian, aku harus menuntut balas sendiri, Kalau harus mengandal
tenaga orang lain, bukankah aku terlalu tidak becus?"
"Koko, watakmu memang tetap kukuh dan keras hati. Tadi, aku hanya tanya secara iseng
belaka, jangan kau salah paham bahwa aku kira kau tidak punya ambisi."
"Tenaga seseorang terbatas, harus minta bantuan orang bukan terhitung tidak punya ambisi.
Tapi sepak terjang lo-cianpwe itu memang aneh, mungkin dia punya alasannya sendiri. Bagaimana
akhirnya?" "Setelah beliau menolong aku keluar, lantas berkata: 'Naga-naganya kau seperti terkena racun.
Mengenai ilmu pengobatan aku tidak tahu menahu. Tapi aku tahu Thocu Ang-ing-hwe Le Lam-sing
sekarang sedang berada di cabangnya di muara Huangho, hubungannya amat luas, dia kenal
orang-orang yang berkepandaian tinggi, kau boleh mencari dia.' Dan karena petunjuk beliaulah
aku berhasil menemukan paman Le."
Le Lam-sing berkata tertawa: "Kalau Kwi-hwe-thio tidak segera datang, aku sendiri pun tinggal
berpeluk tangan saja tanpa bisa berbuat apa-apa. Dia menyusul datang dari Yangciu, sebetulnya
minta aku bantu Lo Kim-ou dari Hay-soa-pang. Tapi aku sudah mendapat kabar bahwa Lo Kim-ou
sudah berhasil merampas ransum pemerintah, tiada halangan aku datang rada terlambat, maka
aku mampir ke sini dulu."
Baru sekarang Miao Tiang-hong ada waktu bertanya kepada Siau dan Cau dua gadis: "Cara
bagaimana pula kalian bisa berada di sini?"
Siau Gwat-sian tertawa, sahutnya: "Paman Miao tidak usah kuatir, kali ini kami bukan minggat
secara diam-diam, ibulah yang suruh kami kemari."
"Biar kuberi tahu satu kabar baik bagi kau," Cau Ci-hwi ikut menimbrung. "Setelah melahirkan,
Hun-cici ibu dan anak sama-sama selamat. Miao-sioksiok, dia amat kangen kepada kau dan Bengtoako
serta lain-lain. Tak nyana di sini kami bisa bertemu dengan kau. Apa Beng-toako baik-baik
saja?" "Beng Goan-cau dan Song Theng-siau beramai sudah berangkat ke Siau-kim-jwan. Aku
perpisah di Yangciu dengan mereka." Sampai di sini tiba-tiba ia teringat suatu hal, katanya
tertawa: "Di Yangciu aku pun ada bertemu dengan seorang sahabat kalian."
Cau Ci-hwi melengak, tanyanya: "Mana aku punya teman yang tinggal di Yangciu?"
"Tan-jikongcu memangnya bukan teman baikmu" Bulan yang lalu Tan Kong-si datang ke
Yangciu mewakili ayahnya menghadiri hari ulang tahun ke enam puluh Ong lo-piau-thau dari Tinwan
Piaukiok, belakangan ayahnya, Kanglam Tayhiap Tan Thian-ih, pun datang pula."
"Kami sudah tahu, bukankah Tan Tayhiap hendak menemui Kim Tiok-liu dan Leng Thiat-jiau di
sana?" ujar Siau Gwat-sian tertawa.
"Dari mana kalian bisa tahu?" tanya Miao Tiang-hong.
"Bicara terus terang, kali ini aku keluar karena mengiringi Hwi-ci untuk mencari Tan-jikongcu
itu, kami pernah datang ke rumahnya."
Merah muka Cau Ci-hwi, omelnya: "Kau membual apa, aku kan mencari ayah. Malah ibumu
sendiri yang suruh kita ke sana, kau cerewet apa lagi." Lalu ia menghadap Miao Tiang-hong serta
menjelaskan lebih lanjut, "Bibi mendapat tahu bahwa Beng-toako di Thay-san pernah bertemu
dengan ayah, waktu itu Tan Tayhiap pun hadir, dengan pergaulan beliau yang luas itu, mungkin
tahu di mana sekarang ayah berada, oleh karena itu bibi suruh aku ke rumahnya mencari tahu
jejak ayah." "Nah, bicaramu ngelantur," demikian olok Siau Gwat-sian. "Kabar itu bukan dari Beng-toako,
tapi karena Tan-jikongcu sendiri akhirnya pun menyusul datang, apa yang dia tuturkan jauh lebih
jelas dan lengkap. Katanya setelah pertemuan besar itu bubar Tan Tayhiap pernah mengundang
paman Cau untuk bertamu ke rumahnya, paman Cau pun sudah menerima undangannya, tapi
harus ditunda lagi beberapa waktu lamanya."
"Belakangan apa beliau pergi ke sana?" tanya Miao Tiang-hong.
"Waktu Tan Kong-si meninggalkan rumah berangkat ke Yangciu, masih belum melihat
kedatangan paman Cau."
"Jadi kalian ikut pulang ke rumahnya waktu itu juga?"
"Tidak! Waktu itu piauci baru saja melahirkan, kami harus menemani dia. Kami dan piauci
sudah pindah ke rumah keluarga Lau di Pak-bong-san, apa paman Miao sudah tahu?" tanya Siau
Gwat-sian. "Beng Goan-cau sudah beritahu kepadaku. Kabarnya tuan rumah she Lau itu adalah teman baik
dari Han-congpiauthau dari Tin-wan Piaukiok?"
"Memang, orang itu bernama Lau In-long, usianya sudah enam puluhan, beliau adalah saudara
angkat ayah Han Wi-bu," demikian timbrung Cau Ci-hwi.
"Katanya beliau pun ada kenal baik dengan Ih-tio (ayah Hun Ci-lo), kami datang ke rumahnya
dengan membawa surat perkenalan Han Wi-bu, setelah tahu piauci adalah putri teman karibnya,
beliau amat senang, sikapnya begitu ramah dan kasih sayang seperti keluarga sendiri," begitulah
Siau Gwat-sian bercerita.
Cau Ci-Hwi lantas melanjutkan ceritanya: "Paman Lau itu tiada anak tiada kadang, hanya
seorang istri tua yang menemani dirinya. Sesuai dengan namanya Lau In-long (petani
mengasingkan diri), kabarnya selama tiga puluh tahun mengasingkan diri di Pak-bong-san ia hidup
bercocok tanam seorang diri. Hanya Han-congpiauthau seorang saja yang masih ada hubungan
erat dengan dirinya, tiada orang kedua yang tahu akan tempat pengasingannya itu. Maka beliau
suruh kami menetap di sana dengan tenang dan tentram, kawanan cakar alap-alap itu pasti tidak
akan bisa menemukan jejak kita"
"Oh, ya, hampir kulupa beri tahu kepadamu, mereka suami istri sama menyenangi piauci, piauci
sudah dianggap menjadi anak angkat mereka. Katanya bila ada orang jahat berani mencari setori
kepada piauci, mereka suami istri akan mempertaruhkan jiwa tua mereka untuk memukul putus
kaki tangan mereka."
Miao Tiang-hong merasa lega. Katanya tertawa: "Hal itu sungguh amat melegakan. Tadi kau
kata pernah pergi ke rumah Tan Tayhiap, apa mereka ayah beranak sudah pulang?"
"Mereka masih di Yangciu, kami hanya ketemu engkoh Tan Kongsi yang bernama Tan Kongciau!"
"Persoalan engkoh Lian kami dapat tahu dari penuturan Tan-toakongcu ini. Setelah mendapat
petunjuknya, baru kami tahu mencari Le-pangcu kemari. Sebelum kami menemukan cabang Anginghwe, di tengah jalan ketemu dengan Thio-toako ini."
"Bagus, biar kubawa kabar baik kalian ini ke Pak-bong-san, sekarang juga aku harus segera
berangkat," demikian kata Miao Tiang-hong.
Yu Tay-coan hendak menahannya untuk makan sekadarnya, namun karena ia baru saja minum
obat penawar racun, gerak-geriknya masih kurang leluasa, katanya: "Banyak terima kasih akan
bantuan dan pertolongan Miao Tayhiap sehingga pang kita lolos dari ceng-kraman tangan iblis,
atas nama seluruh anggota pang kami, kuucapkan banyak terima kasih dan semoga tiada
halangan dalam perjalanan. Maaf aku tidak mengantar lebih jauh."
"Yu-pangcu jangan terlalu sungkan, waktu masih panjang semoga kelak bisa bertemu kembali,"
demikian Miao Tiang-hong minta diri.
Berkata Kwi-hwe-thio: "Di sini tidak perlu tenagaku lagi, sekarang aku harus lekas berangkat ke
Yangciu untuk memberi kabar kepada Lo Kim-ou. Aku minta permisi!"
"Thio-toasiok, terima kasih akan pertolonganmu sekali ini, selamat bertemu di Yangciu." Cau
Ho-lian ikut bicara. "Biar aku saja yang antar kalian," begitulah ujar Le Lam-sing. Begitu bertemu Le Lam-sing dan
Miao Tiang-hong amat cocok satu sama yang lain, seperti sahabat kental yang lama sudah tidak
ketemu, semua orang merasa berat berpisah, tanpa terasa ia sudah mengantar orang sepuluh li
jauhnya. Akhirnya Miao Tiang-hong sadar, katanya: "Tiada perjamuan yang tidak bubar di kolong langit
ini. Le-pangcu silakan kau kembali saja!"
"Miao-heng, setelah bertemu dengan Siau-hujin dan Hun-lihiap tolong sampaikan salamku
kepada mereka, selamat bertemu di kemudian hari!" Le Lam-sing lantas berpisah.
Miao Tiang-hong melanjutkan perjalanan bersama Kwi-hwe-thio, tiga hari kemudian mereka
pun harus berpisah di tengah jalan. Seorang diri Miao Tiang-hong menempuh perjalanan ke Pakbongsan, semakin dekat semakin tidak tenang pikirannya, bayangan Hun Ci-lo selalu terbayang di
depan matanya, namun ada kalanya terkenang pula olehnya akan wajah sang suci yang telah
almarhum itu. Mendadak benak Miao Tiang-hong seperti timbul suatu khayalan aneh, terasa
seakan-akan Hun Ci-lo adalah jelmaan sucinya semasa masih hidupnya dulu, waktu kecil dia selalu
ingin berdekatan berkumpul dengan sang suci. Tapi dekat dan berkumpul bersama itu
mengandung rasa hormat dan segan. Sekarang dia hendak pergi menemui Hun Ci-lo, perasaannya
pun seperti itu. " "Usiaku jauh lebih tua dari Ci-lo, sungguh aneh, di dalam sanubariku, seolah-olah dia sudah
menjadi suciku saja layaknya," berpikir sampai di sini, tanpa terasa Miao Tiang-hong tertawa geli
sendiri sambil mengelus jenggotnya.
Kalau Miao Tiang-hong amat kangen terhadap Hun Ci-lo, sebaliknya Hun Ci-lo pun amat kangen
kepada Miao Tiang-hong. Sejak Hun Ci-lo melahirkan, tiga bulan sudah berlalu, dalam jangka tiga bulan ini ia mendapat
perawatan dan asuhan Lau In-long suami istri, maka derita batin serta luka-luka hatinya selama
ini, lekas sekali sudah hampir disembuhkan. Kecuali kenangan di masa muda di mana ia
berkumpul bersama Beng Goan-cau susah dilupakan, dalam tiga bulan ini, boleh dikata merupakan
kehidupan yamg paling menyenangkan hati selama hayatnya.
"Dua hari ini kembang Bwe sedang mekar semerbak, kau sudah terkurung tiga bulan, tiba
saatnya untuk menghibur diri di luar. Kata bibimu kau paling menyenangi kembang Bwe, apa
benar?" Pagi hari itu Lau Hujin lantas berkata demikian kepadanya.
"Omongan ibu memang betul," ujar Hun Ci-lo. "Sudah tiga bulan aku tidak berlatih silat, entah
apa masih kuasa pegang golok memainkan pedang. Cuma aku tidak bisa meninggalkan orok kecil
ini." "Setelah dia kenyang minum air susu, berikan kepadaku saja, pergilah kau melatih diri barang
beberapa jurus. Tak usah kuatir, meski perutnya lapar, di rumah aku masih menyimpan susu
menjangan." "Baik, biar aku keluar berlatih sebentar, cuma merepotkan ibu saja!"
"Kau tunggu sebentar, biar kuminta bibimu menemani kau."
"Bibi sedang menemani ayah main catur, jangan ganggu mereka. Aku toh bukan anak-anak,
tidak akan kesasarjalan!"
"Kalau begitu jangan kau pergi jauh-jauh. Bermain saja dalam hutan Bwe yang berdekatan.
Kalau terjadi sesuatu apa cukup kau berteriak segera aku akan memburu datang."
"Ibu terlalu kuatir, memangnya ada bahaya apa sih. Kecuali para pemburu, siapa yang akan
berada di dalam hutan semak belukar seperti ini" Dalam musim dingin seperti ini, binatang buas
pun menyembunyikan diri, takut apa. Dalam tiga bulan ini bukankah kita hidup tentram?"
"Memang begitu, tapi kau harus hati-hati juga. Bila kau melihat orang asing di atas gunung,
kau harus segera pulang!"
"Baik, ibu tak usah kuatir, aku akan hati-hati!" Setelah mencium pipi anaknya, segera Hun Ci-lo
keluar pintu. Oroknya sedang tidur nyenyak dalam pelukan ibu angkatnya.
Di luar pintu sinar surya sudah menerangi jagat raya, sudah tiga bulan Ci-lo menyembunyikan
diri di dalam rumah, bermandikan cahaya matahari nan cerlang cemerlang, menyongsong angin
pagi di atas pegunungan yang menyegarkan badan, Hun Ci-lo beranjak memasuki hutan kembang
Bwe. Sinar matahari di permulaan musim dingin, membuat orang merasa hangat dan nyaman
segar, dihembus sepoi-sepoi angin lalu lagi, rasa dingin membuat pikiran jernih dan badan
bergairah. Seketika terbangun semangat Hun Ci-lo.
Sejak melahirkan selama tiga bulan ini, baru pertama kali ini Hun Ci-lo meninggalkan oroknya,
meski berpisah hanya beberapa kejap saja, namun hatinya amat berat dan tidak tega.
"Sungguh kasihan anak ini, begitu lahir sudah tidak punya bapak." demikian pikir Hun Ci-lo.
"Entah bagaimana pula keadaan Hoa-ji sekarang" Sang waktu berlalu dengan amat cepatnya,
tanpa terasa setahun lebih sudah berselang. Kelak kalau beruntung bisa bertemu kembali,
mungkin dia tidak kenal kepada ibunya sendiri." Serta merta timbul penyesalan dalam lubuk
hatinya yang paling dalam terhadap putra besarnya yang satu ini.
Begitulah sepanjang jalan ini pikiran Hun Ci-lo berkecamuk, tanpa sadar ia sudah beranjak
memasuki hutan kembang Bwe. Hutan kembang Bwe di atas pegunungan yang selamanya tidak
terpelihara manusia ini, memang tidak seindah dan sesubur hutan kembang Bwe di Tong-thingsan
kediaman bibinya dulu, namun pohon-pohon kembang Bwe yang tumbuh di lereng bukit sama
tinggi rendah tidak menentu ditaburi kuntum-kuntum kembang Bwe warna merah, sepintas
pandang panorama di sini pun mempunyai keelokannya dari yang lain.
Tak terasa terbayang oleh Hun Ci-lo waktu ia berlatih pedang di Tong-thing-san barat setahun
lebih yang lalu, pikirannya menjadi kacau dan kalut, dengan susah payah baru akhirnya dia kuasa
menenangkan hati, batinnya: "Tujuanku keluar untuk berlatih pedang, kenapa kulupakan" Em
setahun yang lalu, Sip-hun-kiam-hoatku dapat kumainkan sesuka dan menurut jalan pikiranku, kini
mungkin sudah banyak mundur. Kalau Miao-toako berada di sini, mungkin aku bisa ditertawakan?"
Seperti diketahui Sip-hun-kiam-hoat adalah ilmu pedang warisan keluarga Hun Ci-lo yang
mengutamakan kelincahan dan kecepatan yang enteng. Terutama tiga jurus terakhir hasil ciptaan
ayahnya itu, dengan ketiga jurus ini Hun Ci-lo pernah mengalahkan Tiam-jong-siang-sat. Waktu
pertama kali ia bertemu dengan Miao Tiang-hong, ia pun sedang latihan menyempurnakan ketiga
jurus terakhir ini di dalam hutan. Entah karena latihan ketiga jurus ilmu pedang ini dulu ia
mendapat pujian dari Miao Tiang-hong, tanpa ia sadari sekarang ia justru mulai dari tiga jurus
terakhir dulu. Kalau ketiga jurus ilmu pedang ini dapat dilatih mencapai puncak tertinggi, di atas dahan-dahan
pohon yang penuh ditaburi kuntum-kuntum kembang itu, dengan sesuka hatinya ia dapat mengiris
hanya satu kelopak kembang saja tanpa menyentuh atau merusak kelopak kembang yang lain,
dahan tidak bergeming daun tidak rontok, kelopak kembang pada kuntum bunga yang sama pun
tidak akan rusak karenanya. Betapa pun Hun Ci-lo sudah beberapa lamanya tidak latihan, gerakgerik
tubuhnya sudah tidak seringan dan segesit dulu, dalam melancarkan latihan ketiga jurus ini,
sekaligus ia bikin rontok banyak kuntum kembang dan dedaunan pohon, beberapa kali diulang
tetap tidak bisa sempurna.
Di saat ia hampir putus asa tiba-tiba teringat pula kata-kata pujian dan anjuran Miao Tianghong
dalam memberikan dorongan batin dalam latihannya dulu, seketika terbangkit pula semangat


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan gairahnya. Di saat ia sedang pusatkan pikiran dan angkat pedang hendak mulai latihannya
pula, sekonyong-konyong didengarnya seperti suara keresekan di dalam hutan sebelah sana.
Suara itu amat lirih, kalau orang biasa mungkin tidak mendengar, paling-paling orang
menyangka daun pohon jatuh. Tapi sejak kecil Hun Ci-lo melatih diri menggunakan senjata rahasia
semacam Bwe-hoa-ciam, sekali dengar, lantas ia tahu kedatangan seorang tokoh silat kelas tinggi
sedang merunduk mendekati di sebelah belakangnya.
"Memangnya bisa terjadi peristiwa begini secara kebetulan, baru hari ini aku mulai latihan
pedangku, Miao Tiang-hong kebetulan pula menjenguk tiba" Tidak, pasti bukan dia. Ginkang dan
gerak langkahnya tidak seperti itu!" Seketika teringat akan peringatan ibu angkatnya, namun ia
sengaja pura-pura tidak tahu, dengan seksama ia perhatikan arah datangnya suara, diam-diam ia
menyurut mundur beberapa langkah, mendadak ia menusuk ke belakang ke arah orang di
belakang itu. Kejadian berlangsung laksana kilat cepatnya, tahu-tahu pedang panjang Hun Ci-lo kena
tersampuk miring oleh sebatang kipas. Sambil menjerit kaget orang itu lompat ke samping
beberapa tombak jauhnya, teriaknya: "Nona Hun, inilah aku! Kedatanganku sekali-sekali tidak
bermaksud jahat terhadapmu!"
Hun Ci-lo lintangkan pedang di depan dada, waktu ia melihat tegas, tak terasa bercekat
hatinya. Ternyata orang ini bukan lain adalah salah satu dari Tiam-jong-siang-sat, yaitu Toan Siusi
adanya. Toan Siu-si kira orang masih ingat sakit hati lama, maka segera ia utarakan maksud
kedatangannya, katanya lebih lanjut: "Aku orang she Toan dulu tidak tahu diri, berbuat salah
terhadap nona, harap nona suka memberi maaf!"
Hun Ci-lo sarungkan kembali pedangnya, katanya "Aku pun pernah berbuat salah terhadap
Toan-siansing, pertikaian dulu itu anggap saja sudah tiada, kenapa disinggung-singgung lagi.
Harap tanya untuk keperluan apa Toan-siansing datang kemari?"
"Aku kemari memang hendak mencari Hun-lihiap."
"Dari mana kau bisa tahu aku berada di sini?"
"Empat bulan yang lalu, di bawah kaki tembok besar di Pat-tat-nia aku bertemu dengan Beng
Goan-cau, berkat kebaikan dan kebijaksanaan hatinya, dari permusuhan kami mengikat
persahabatan. Dari tutur katanya aku mendapat tahu bahwa nona sudah pindah ke kabupaten
Sam-ho, beberapa hari yang lalu aku sudah ke sana, kudapati rumahmu sudah disegel
pemerintah. Terpaksa aku pulang ke Pakkhia, dari Han-congpiauthau baru aku tahu bahwa nona
ternyata sudah pindah kemari!"
"Kau tidak takut menghadapi kesulitan datang kemari mencari aku, untuk apa?"
"Pertama untuk mohon maaf kepada nona, kedua untuk persoalan putramu. Putramu sekarang
berada di Tiam-jong-san di bawah asuhan suhengku, hal ini kukira Hun lihiap sudah mengetahui."
Hun Ci-lo sudah duga orang tentu hendak membicarakan soal Nyo Hoa, lekas ia bertanya:
"Bagaimana dengan putraku itu?"
"Pertama-tama perlu kuterangkan dulu kepada nona, semula waktu kami merebut putramu,
memang bertujuan jahat. Tapi putramu lincah dan cerdik pintar, membuat orang iba dan sayang,
sebelum kami menabah musuh menjadi sahabat baik dengan Beng Tayhiap, sudah amat sayang
kepada anak itu. Secara gegabah kami berdua memberanikan diri menurunkan ilmu silat yang
kami pelajari kepada putramu itu, dia pun pernah angkat kami sebagai guru. Untuk hal ini kami
belum mendapat persetujuan. Hun-lihiap, harap kau suka memaafkan. Tapi semoga kau pun tidak
perlu kuatir, kami pasti tidak akan menyia-nyiakan putramu."
"Kasih sayang dan maksud tujuan kalian terhadap putraku, sudah lama aku tahu. Lebih baik dia
ikut kalian daripada berada di sampingku, aku pun tidak akan salahkan kalian. Tidak perlu kau
menjelaskan kepadaku, cuma kuharap lekas kau beri tahu kepadaku, apakah dia tersangkut suatu
perkara, maka sejauh ini kau datang mencari aku?"
"Ya, memang terjadi sesuatu di luar dugaan, hal ini perlu kuberi-tahu kepada kau!"
"Apa yang terjadi pada putraku itu?"
"Hun-Iihiap jangan kuatir, putramu tidak apa-apa, cuma..."
Baru saja Hun Ci-lo berlega hati, hatinya menjadi tegang pula, tanyanya pula: "Cuma apa?"
"Putramu sih tidak apa, sebaliknya suhengku itu kena dibokong oleh musuh, jiwanya amat
dikuatir-kan!" Hun Ci-lo amat kaget, tanyanya: "Apakah yang telah terjadi, coba kau jelaskan kepadaku?"
"Thian-lam-su-hou, apa kau masih ingat?"
"Jadi musuh yang kau katakan tadi adalah Thian-lam-su-hou?"
"Betul. Mereka berempat adalah kaki tangan Ciok Tio-ki, malam itu mereka menerima perintah
Ciok Tio-ki untuk menggerebek dan menangkap Beng Tayhiap. Kukira kau masih ingat akan
kejadian malam itu, setelah mereka dikalahkan barulah kami berdua muncul dan bergebrak
dengan Beng Tayhiap."
Hun Ci-lo manggut-manggut, katanya: "Waktu itu aku sudah sembunyi di tempat gelap, sayang
waktu itu aku tidak bunuh mereka."
"Tiga bulan yang lalu, di saat aku tidak berada di rumah, mereka meluruk datang hendak
merebut putramu. Mereka sengaja hendak membokong, Pok-suheng tidak berjaga-jaga, maka ia
terkena panah beracun mereka lebih dulu. Setelah pertempuran sengit terjadi, Pok-suheng
beruntung menggebah mereka lari, namun ia sendiri terluka parah. Dia terkena racun jahat,
menurut tabib yang memberi tahu kepadaku secara diam-diam, mungkin jiwanya tidak akan
bertahan satu tahun."
Hun Ci-lo amat sedih, katanya: "Kami ibu beranaklah yang membuat Pok-suhengmu menderita
sedemikian rupa." "Jangan Hun-lihiap berkata demikian, putramu adalah murid kami, mana bisa Pok-suheng tidak
melindunginya" Yang penting sekarang bagaimana kami harus bertindak lebih lanjut?"
"Bagaimana menurut maksud Toan-siansing?"
"Setelah Pok-suheng terluka, mereka sudah pindah ke suatu tempat di Tayli, tempatmya amat
tersembunyi dan sukar ditemukan, Thian-lam-su-hou sendiri pun waktu itu terluka tidak ringan, di
dalam satu tahun mendatang pasti tidak akan terjadi apa-apa. Tapi setahun kemudian, entah Poksuheng
masih kuat bertahan hidup dalam dunia fana ini, bila Pok-suheng tak beruntung meninggal
dunia, putramu perlu segera dicarikan tempat ber-teduh yang aman sentosa."
Hun Ci-lo lama menepekur, sesaat kemudian baru ia berkata rawan: "Putraku memang
menambah kerepotan bagi kalian."
"Bukan begitu persoalannya. Seumpama Pok-suheng betul-betul wafat, putramu masih tetap
menjadi muridku. Kalau aku tidak bisa menuntut sakit hati, kelak mengharap putramulah yang
menuntut dendam ini."
"O, jadi Toan-siansing ingin segera menuntut sakit hati ini, memang sakit hati ini lebih baik
dituntut secepatnya, sayang sekarang aku tidak mampu membantu kesu-litanmu."
"Kuterima setulus hati maksud baik Hun-lihiap. Sakit hati suheng-ku hanya akulah yang akan
menuntut balas, atau putramu sendiri. Tapi usia putramu masih kecil, maka perlu aku berunding
dengan kau, cara bagaimana mengasuh dan kepada siapa dia harus dipasrahkan
keselamatannya?" Sampai di sini, pahamlah Hun Ci-lo akan maksud kedatangan orang, seketika pikiran menjadi
kalut dan bingung, pikirnya: "Memang lebih baik kalau kau serahkan kembali anak Hoa kepadaku,
ai, tapi orokku yang baru lahir itu..."
Tengah ia berpikir-pikir itulah, didengarnya Toan Siu-si berkata lebih lanjut: "Aku pun pernah
berpikir, biar kutitipkan kepada Beng Tayhiap untuk mengasuh putramu, tapi Beng Tayhiap berada
di Siau-kim-jwan sedang berjuang melawan tentara Ceng, mungkin di sana kurang leluasa. Maka
kupikir supaya kau suka berangkat ke Tayli saja membawa putramu pulang!"
Penelitian Rahasia 4 Tokoh Besar Karya Khu Lung Amarah Pedang Bunga Iblis 4

Cari Blog Ini