Ceritasilat Novel Online

Kelana Buana 26

Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen Bagian 26


itulah kuterima mereka jadi murid."
Baru saja Ciok Heng hendak buka mulut, seorang yang berdiri di sampingnya sudah bersuara
lebih dulu dengan keras: "Boh Cong-tiu, perbuatanmu ini terlalu brutal biar aku bicara langsung
saja, kita semua tidak akan mengakui orang-orangmu ini adalah murid Hu-siang-pay." Orang ini
adalah Coh Sian-san salah satu dari Hu-siang-chit-cu yang setingkat dengan Boh Cong-tiu.
"Suhu, siapakah orang ini?" tanya Hwe-hun-thongcu.
"Dia adalah Coh-susiokmu!" Coh Sian-san berwatak bera-ngasan, segera ia berkata: "Boh Congtiu,
jangan kau nilai orang sesuai dengan borokmu sendiri, selamanya aku tidak punya sutit
siluman seperti tampangnya ini!"
Belum habis ia bicara, Hwe-hun-thong-cu sudah menghampiri ke depannya, katanya: "Cohsusiok,
kau tidak pandang aku sebagai sutit, aku tetap mengakui kau sebagai susiok. Susiok harap
terima hormatku! Susiok, tidak usah sungkan, jangan sungkan!"
Bahna gusarnya Cok Sian-san hendak mendorong pergi Hwe-hun-thong-cu, siapa tahu sebat
sekali Hwe-hun-thong-cu sudah menelikung lengannya serta menekannya dengan kekerasan.
Separuh badan Coh Sian-san seketika kesemutan dan linu, tulang lengannya terpuntir dan sakit
bukan main, demi gengsi, ia tahan sakit mengeluh pun tidak.
Ciok Heng kaget dan gusar pula: "Apa yang kau lakukan?" dampratnya sambil mencengkram
hendak menarik Hwe-hun-thong-cu, lekas Boh Cong-tiu membuka kipasnya menghadang di
tengah. Jari-jari Ciok Heng menangkap kipas dan tergentak mundur dua langkah, sedang kipas itu
sedikit pun tidak kurang suatu apa.
"Ciok-suheng, kau salah paham. Muridku ini hanya menghormat kepada angkatan yang lebih
tua. Coba lihat, Cau-suheng sudah menerima hormat muridku, berarti dia sudah mengakuinya
sebagai siautit. Ciok-suheng, silakan kau duduk untuk terima penghormatan."
"Bagus, muridmu hendak menghormat kepadaku, tidak perlu kau yang menjadi guru ikut
mengawasi dari samping bukan?" Saat mana istrinya Siang Jing, dan Tio Hong salah satu dari Husiangchit-cu nomor empat sudah berdiri di kanan kiri Boh Cong-tiu, kalau Boh Cong-tiu
menunjukkan sesuatu gerakan yang mencurigakan, mereka segera akan turun tangan.
Ciok Heng beranjak maju menyongsong kedatangan Hwe-hun-thong-cu, jengeknya dingin:
"Kau mengaku sebagai murid Boh Cong-tiu, itu urusan kalian, aku tidak peduli. Aku hanya anggap
kau sebagai tamu. Tamu datang dari jauh, hendak unjuk hormat memang pantas, terserah kau
hendak menghormat dengan cara apa."
Sebagai tokoh Hu-siang-pay yang berkepandaian paling tinggi, bila Boh Cong-tiu mau maju ke
sana, Siang Jing dan Tio Hong terang tidak kuasa merintangi. Soalnya dia tidak mau
memperpanjang urusan, supaya tujuan merebut kedudukan ciangbun lekas terlaksana di samping
ia yakin Hwe-hun-thong-cu pasti berkelebihan menghadapi Ciok Heng, maka ia pura-pura tidak
tahu kalau dirinya diawasi oleh Siang dan Tio berdua, seperti tertawa tidak tertawa, ia berkata
berdiri di tempatnya: "Hwe-hun muridku, Ciok-susiok adalah orang yang paling terpandang oleh
ciangbun kita, kau harus lebih menghormatinya sedikit, jangan kurang ajar!" Maksudnya supaya
Hwe-hun-thong-cu membatasi diri, cukup asal membuat Ciok Heng merasa malu saja.
Sebaliknya Hwe-hun-thong-cu kira Ciok Heng sama tidak becusnya seperti Coh Sian-san,
setelah puas sedikit menyiksa orang, mendengar kata-kata Boh Cong-tiu, ia tertawa lebar,
sahutnya: "Tecu tahu. Ciok-susiok, silakan duduk, biar tecu menghormat kepadamu." Seperti
caranya tadi, kedua tangannya menekan kedua pundak Ciok Heng, kebetulan Kiau Hay-beng
angkat sebuah kursi, mereka kerja sama amat rapi, maka begitu Hwe-hun-thong-cu kerahkan
tenaga, Ciok Heng kebetulan duduk di atas kursi itu.
Maka terdengarlah suara jeritan kaget, mendadak Hwe-hun-thongcu mencelat jumpalitan jatuh
di atas lantai. Semula ia bermaksud setelah menekan Ciok Heng duduk, lalu pura-pura hendak
memberi hormat, siapa tahu, begitu ia menekan pundak orang, tiba-tiba segulung tenaga dahsyat
balik menerjang dirinya, tanpa kuasa ia tergentak roboh terpelanting. Untung kepandaiannya
memang tinggi, dalam kesibukannya segera ia jumpalitan sehingga tenaga dahsyat itu dipunahkan
sebagian besar, sehingga jatuhnya tidak terlalu keras dan tidak cedera sedikit pun.
"Aku sudah bilang hanya anggap kau sebagai tamu, kau hendak menyembah kepadaku, aku
tidak berani terima. Marilah kita berhadapan sejajar saja." Sembari bicara ia bangkit berdiri lalu
soja kepada Hwe-hun-thong-cu.
Sekali meletik Hwe-hun-thongcu melejit bangun, dadanya terasa terbakar, ingin dia menerjang
maju melabrak Ciok Heng. Cepat Boh Cong-tiu sudah memberi kedipan padanya, katanya: "Cioksusiok
begitu sungkan, terima saja sarannya, kalian boleh berkenalan dengan tingkatan sama.
Setelah urusan besar diselesaikan barulah kita atur lagi derajat dan tingkatan sesama perguruan."
Karena kata-kata Boh Cong-tiu ini, apa boleh buat, terpaksa Hwe-hun-thong-cu balas bersoja terus
mengundurkan diri. Bahwa Hwe-hun-thong-cu ke-cundang oleh Ciok Heng, hal ini benar-benar di luar dugaan Boh
Cong-tiu, pikirnya: "Kapan Ciok Heng berhasil mejakinkan Can-ih-cap-pwe-thiat, aku tidak boleh
pandang ringan dia."
Ternyata dalam setengah tahun ini, lwekang Ciok Heng maju pesat, karena Lim Bu-siang
menurunkan ajaran lwekang tunggal perguruan mereka yang berhasil dia pelajari dari dalam gua
itu. Dasar lwekang Coh Sian-san dan Siang Jing serta yang lain memang lebih rendah maka
kemajuannya pun terbatas.
Meskipun Ciok Heng berhasil membikin lawan kecundang, pundak Ciok Heng pun terasa sakit,
tokoh-tokoh sesat yang dibawa Boh Cong-tiu berjumlah tiga puluhan orang, hanya seorang Hwehunthong-cu saja sedemikian lihay, mau tidak mau mencelos juga hati Ciok Heng,
Boh Cong-tiu tidak ingin urusan ditarik panjang, segera ia menge-dipi Kiau Hay-beng seraya
berkata: "Lebih penting menyelesaikan urusan besar, soal tata kehormatan ini boleh ditunda dulu
sementara." Namun Ciok Heng tidak memberi kelonggaran, katanya: "Boh-tongcu, murid-murid yang kau
terima ini, sebelum mendapat restu dari ciangbunjin, silakan kau suruh mereka meninggalkan
Giok-hong-koan." "Sebagai Jan-bau-tong Tongcu, memangnya akn tidak punya hak menerima murid?"
"Benar, menurut undang-undang perguruan kita, Jan-bau-tong tongcu ada hak menerima
murid, menyusul harus memberi laporan juga kepada ciangbun. Tapi harus mendapat persetujuan
ciangbun baru boleh diangkat secara resmi."
Titik persoalan kembali jatuh pada ciangbunjin, Boh Cong-tiu mendengus keras-keras, serunya:
"Buka mulut ciangbun, tutup mulut ciangbun, di mana ciangbunjin, lekas suruh dia keluar!"
Ciok Heng tahan sabar, sahutnya: "Aku sudah suruh orang mencarinya, sebentar ciangbun
sumoay pasti kembali."
Kebetulan saat mana terlihat dua murid yang diutus Ciok Heng untuk mencari Lim Bu-siang
kembali, ia lapor secara bisik-bisik kepada Ciok Heng, dikatakan bahwa Lim Bu-siang tiada di Siauthiantho-thong tempat di mana biasanya ia berlatih silat. Tidak mungkin mereka menjelajah
seluruh pelosok Thay-san, terpaksa pulang dulu memberi laporan.
Walau kedua orang ini bicara bisik-bisik, namun Boh Cong-tiu dapat mendengar dengan jelas,
segera ia menjengek'dingin: "Bagaimana" Kukatakan dia merat dari pertanggung jawabannya,
tidak salah bukan" Urusan besar perguruan kita harus segera diselesaikan. Ciangbun tiada,
terpaksa akulah yang mewakilinya, ini tidak melanggar undang-undang bukan?"
Kedudukan Boh Cong-tiu dalam Hu-siang-pay memang cuma lebih rendah dari ciangbun,
terpaksa Ciok Heng berkata: "Menurut aturan memang kaulah yang harus memimpin, entah ada
urusan besar apa yang perlu segera diputuskan di hadapan umum?"
Maka berkatalah Boh Cong-tiu: "Sepak terjang Lim Bu-siang tidak beres, harap semua muridmurid
memberi keputusan, untuk mencopot kedudukan ciangbunnya." "Betapa jerih payah
ciangbun sumoay menegakkan perguruan dan mengembangkan ajaran silatnya, sepak terjang
apanya yang tidak benaf?" damprat Siang Jing.
"Orang lain tidak tahu, kalian suami istri paling jelas," demikian jengek Boh Cong-tiu. "Waktu
dia meninggalkan gunung tempo hari, pergi sama siapa" Bukankah dengan Beng Goan-cau" Di
kabupaten Sam-ho dan di Yangciu dua kali aku pernah lihat mereka, kejadian di Sam-ho kalian
bisa saja mengatakan tidak tahu, tapi peristiwa di Yangciu, kalian suami istri toh hadir di sana."
"Dia berhubungan dengan Beng Goan-cau adalah urusan pribadinya, apanya sih yang salah?"
"Kalau dia bukan ciangbun perguruan kita, peduli dia hendak main pat gulipat atau hendak
kawin dengan Beng Goan-cau, itu urusan pribadinya dan aku tidak peduli. Sayang dia sebagai
ciangbun perguruan kita, terpaksa aku tidak bisa berpeluk tangan melihat tingkah lakunya!"
"Apa sangkut pautnya persoalan ini dengan kedudukan ciangbun-nya?" seru Siang Jing.
"Kenapa tiada sangkut paut" Beng Goan-cau adalah salah satu pentolan dari laskar
pemberontak dari Siau-kim-jwan, orang lain tidak tahu, memangnya kalian suami istri tidak tahu?"
Siang Jing tertawa dingin, "Kita kan tidak akan menjadi antek dan budak kerajaan yang setia,
ciangbunjin berhubungan dengan pimpinan laskar gerilya, mengandal apa kita harus
melarangnya" Hm, menurut pendapatku, laskar gerilya Siau-kim-jwan berjuang demi kepentingan
rakyat jelata, Beng Goan-cau sebagai salah seorang pemimpinnya, dialah seorang eng-hiong
seorang gagah patriot bangsa, apa jeleknya ciangbun sumoay bersahabat dengan dia?"
"Orang-orang gagah dari Siau-kim-jwan, umpamanya Siau Ci-wan, Leng Thiat-jiau, Beng Goancau
dan lain-lain secara pribadi aku pun mengagumi mereka. Tapi kagum dan bersahabat adalah
dua persoalan yang bertentangan. Terutama Lim Bu-siang yang menjabat sebagai ciangbunjin,
lebih tidak pantas dia berhubungan begitu intim dan mesra dengan pentolan mereka."
"Apa-apaan maksud ucapanmu ini?"
"Ketahuilah, sejak ribuan tahun lalu, baru sekarang perguruan kita berkesempatan pulang ke
Tiong-goan menegakkan perguruan kembali, kukira kurang bijaksana bila kita menerjunkan diri
dalam pusaran pertentangan bangsa."
"Jadi menurut kata-katamu ini, perguruan kita tidak perlu membicarakan urusan negara?"
"Benar. Coba pikir betapa kuat dan besar Siau-lim-si, di waktu Yong Cing berkuasa, karena
mereka menentang kerajaan, sekali sulut Siau-lim-si dibakar habis menjadi puing, sampai
sekarang belum kembali pada kejayaannya semula. Hu-siang-pay baru saja berdiri di Tionggoan,
mana boleh semba-rangan bertingkah, tanpa hiraukan situasi dan kepentingan diri sendiri.
Menurut pendapatku, bagi orang yang menjadi ciangbun, tugas utamanya adalah
mengembangkan ajaran perguruan, melebarkan sayap perguruan! Urusan lain, tidak usah ikut
campur." "Boh-tongcu, kau ini bangsa Han bukan" Bangsa Boanciu menjajah tanah air orang Han,
menganiaya dan menindas rakyat Han, sebagai orang Han yang berjiwa patriot, mana boleh
berpeluk tangan?" "Kau ini hanya mencari gara-gara belaka, aku sih tidak menentang orang lain melawan
kerajaan, aku cuma maksudkan sebagai ciangbun dari perguruan kita, masih ada tugas lebih
penting yang perlu dia pikul. Kalau seperti Lim Bu-siang bertingkah semaunya sendiri,
perbuatannya itu bakal meruntuhkan perguruan kita."
Orang-orang Boh Cong-tiu segera bersorak bersama: "Betul, betul! Kita tidak bisa membiarkan
Lim Bu-siang berbuat sewenang-wenang, meruntuhkan perguruan kita!"--Sebaliknya murid-murid
yang mendukung Lim Bu-siang dan Ciok Heng balas memaki dan mendebat, suasana dalam Giokhongkoan seketika menjadi kalang kabut dan gaduh.
Ciok Heng segera berseru lantang: "Kita tidak perlu ribut, ada sebuah hal yang belum
kumengerti, ingiu aku mohon penjelasan dari Boh-tongcu."
"Ciok-suheng ada pertanyaan apa, silakan berkata!"
"Boh-tongcu, kau ini seorang cerdik, namun agaknya suka lupa diri!"
Boh Cong-tiu melengak, katanya: "Apa maksudmu?"
"Dulu waktu kau hadapi Cong Sin-liong yang sudah terima menjadi antek Sat Hok-ting, kau
menista perbuatannya dan memimpin kami beramai mencarinya, akhirnya mengusirnya dari
perguruan, memangnya kau Boh-tongcu sudah lupa akan kejadian itu" Masih segar dalam
ingatanku, tutur katamu waktu itu dengan sikapmu hari ini jauh berlawanan, memangnya perlu
kubeber di hadapan orang banyak apa yang pernah kau ucapkan dulu itu?"
Merah muka Boh Cong-tiu, katanya: "Waktu sudah berselang keadaan pun telah berubah, mana
boleh urusan dulu dicampur aduk dengan persoalan hari ini" Waktu itu perguruan kita belum lagi
didirikan, aku sendiri pun baru saja pulang ke Tionggoan, belum tahu seluk beluk situasi di tanah
air, usiaku masih muda dan berdarah panas lagi, tidak heran kalau aku bersikap rada kaku dan
kasar terhadap Cong-susiok."
"Kalau demikian," jengek Ciok Heng, "jadi kau beranggapan bahwa dirimu sekarang sudah
berbeda dengan dirimu dulu?"
"Bukan begitu, cita-citaku tetap takkan berubah sejak dulu. Perguruan harus memperluas
lingkungan ajarannya. Oleh karena itu aku tidak setuju bila pimpinan tertinggi dari perguruan kita
menjadi antek kerajaan, aku pun tidak suka perguruan kita terseret dalam pertikaian,
bertentangan dengan kerajaan yang berkuasa."
"Apa kau bicara setulus hatimu?" jengek Siang Jing. "Siapa bilang bukan?" "Kabarnya kau
sudah menjadi tamu terhormat dari komandan Gi-lim-kun Pakkiong Bong, tidaklah heran kau
mengatakan lain waktu lain situasi segala. Sedikit pun memang tidak salah, bagi kau memang hal
itu sudah lain waktu lain persoalan!" ;
Hati Boh Cong-tiu kaget, katanya pura-pura marah: "Dari mana dengar kabar angin ini?"
Karena terburu nafsu, Siang Jing beberkan rahasia hubungan Boh Cong-tiu ini di hadapan
umum, kini mendapat sanggahan Boh Cong-tiu ia malah gelagapan tak bisa menjawab, soalnya
Lim Bu-siang tidak hadir, tiada bukti dan saksi, terpaksa ia menjawab sekenanya: "Seumpama
kabar angin pun pasti ada asal mulanya. Mengenai kenyataan perbuatanmu itu, kelak pasti bisa
diselidiki secara terang. Tapi Boh-tongcu waktu di Yangciu, kau ada kasak-kusuk dengan wakil
komandan Ciok Tio-ki, hal ini dapat dilihat orang banyak, kukira kau tidak akan mungkir lagi ya?"
"Kenapa aku harus mungkir?" jengek Boh Cong-tiu. "Memang, aku ada sedikit hubungan
dengan Ciok Tio-ki, namun toh sebagai ikatan teman biasa, tidak tunduk atau mengekor
kepadanya, bagi kita orang-orang yang sering luntang-lantung di kangouw, masakah dilarang
untuk ikat persahabatan dengan para kawan dari berbagai kalangan" Kalau dia suka ikat
persahabatan dengan aku, memangnya aku harus menampiknya" Dan lagi, undang-undang
perguruan kita toh tiada larangan mengenai hal ini."
"Tepat," sela Ciok Heng, "perguruan kita pun tiada larangan bahwa ciangbunjin dilarang
berhubungan dengan tokoh-tokoh pendekar dari golongan putih!"
"Tadi sudah kujelaskan, kalau anak murid perguruan sih boleh saja, kalau Ciangbunjinnya sih
tidak pantas," demikian seru Boh Cong-tiu marah-marah. "Hal ini menyangkut mati hidup
perguruan kita, meski tiada undang-undang larangan ini, sekarang sudah tiba saatnya untuk
menegakkan undang-undang larangan ini. Apalagi apa kau tahu, waktu di Sam-ho dan Yangciu,
Lim Bu-siang budak kecil itu bukan saja ada ikatan asmara dengan Beng Goan-cau, dia malah
bantu Beng Goan-cau melabrak para petugas kerajaan yang diperintahkan menangkap Beng
Goan-cau. Kalau kedudukan ciangbun-nya itu tidak dipecat, bila sampai pihak kerajaan meluruk
datang menimpakan dosa-dosa besar ini kepada kita, bagaimana kita harus bertanggung jawab"
Bukankah berarti dia meruntuhkan nama baik perguruan kita?"
Pau Gi orang kelima dari salah seorang Hu-siang-chit-cu acuh tak acuh tampil ke muka, katanya
kalem: "Ciok-suso, apa yang diuraikan Boh-tongcu memang urusan besar yang menyangkut mati
hidup perguruan kita yang akan datang, jangan kita memperpanjang urusan ini dengan persoalan
lain, marilah kita pikirkan dan dirundingkan bersama dengan kepala dingin!"
"Ngo-suko," seru Siang Jing, "kau punya pendapat apa?"
"Tidak berani. Tapi menurut pendapatku, apa yang dikatakan Boh-tongcu memang cukup
beralasan. Perguruan kita baru berdiri, dasarnya belum kokoh, memang tidak pantas tertarik ke
dalam pusaran pertikaian itu, marilah kita utamakan demi perkembangan kejayaan perguruan kita
yang akan datang." Sudah tentu kata-kata ini membikin Ciok Heng, Siang Jing dan Coh Sian-san gusar dan kaget.
Ternyata biasanya Pau Gi seorang pendiam yang tidak suka bertingkah, kalau sekarang dia tidak
tampil dan bicara demi Boh Cong-tiu, siapa pun takkan menduga bahwa dia inilah mata-mata
dalam selimut. Belum lagi mereka sempat mendebat kata-kata Pau Gi, kambrat-kambrat Boh Cong-tiu bersorak
so-rai. Boh Cong-tiu terbahak-bahak, ujarnya: "Masing-masing kukuh akan pendapatnya sendiri,
tiada gunanya kita bikin ribut melulu, marilah diputuskan secara terbuka saja."
Ciok Heng cukup tabah dan dapat melihat situasi, maka segera ia berseru lantang: "Baik, yang
setuju akan pendapat Boh-tongcu silakan berdiri di sebelah kanan, yang menentang berdiri di
sebelah kiri." Siapa nyana, semula ia beranggapan jumlah kemenangan terang berada di pihaknya,
kenyataan justru berada di luar perhitungannya. Karena ada sekelompok orang yang tidak berdiri
ke kanan juga tidak ke kiri, mereka tetap berdiri di tengah alias netral.
Keruan Ciok Heng gusar, serunya: "Kenapa kalian tidak punya pendirian" Tio It-hang, coba kau
yang bicara!" Tio It-hang adalah salah seorang murid yang paling menonjol di antara kelompok
netral ini. Tertunduk kepala Tio It-hang, sahutnya: "Urusan menyangkut kepentingan umum, tecu
berpengetahuan rendah, tidak berani bersikap terhadap salah satu pihak, terpaksa bersikap netral
saja." Murid-murid lain yang berdiri di belakangnya sama menganggukkan kepala, pertanda bahwa
mereka sependapat dengan Tio It-hang.
Ternyata di antara kelompok murid-murid netral ini, termasuk juga murid-muridnya Pau Gi,
sementara yang lain takut bila kelak Boh Cong-tiu berkuasa, mungkin jiwa sendiri bisa celaka,
maka terpaksa mereka harus melihat angin dulu baru bisa menentukan arah.
Dengan adanya kelompok netral ini, maka jumlah orang-orang yang memihak Boh Cong-tiu
ditambah murid-murid palsu dari golongan sesat itu jumlahnya menjadi berlipat ganda, sekarang
satu angka lebih banyak dari pihak Ciok Heng yang menentang pencabutan kedudukan
ciangbunjin lama. Boh Cong-tiu bergelak tertawa, serunya: "Mencopot kedudukan ciangbun sudah menjadi
putusan umum. Ciok-suheng, sekarang apa pula yang bisa kau katakan!"
"Murid-murid yang kau bawa ini belum resmi, jumlah masing-masing toh hanya satu angka
lebih banyak. Ciangbunjin, sendiri belum lagi datang, mana boleh kau berkeputusan sendiri
hendak mencopot kedudukannya?" demikian damprat Ciok Heng.
"Lim Bu-siang tidak berani pulang, pencopotan jabatan ciangbun ini sudah diputuskan oleh
suara mutlak, kau sendiri pun sudah setuju akan cara ini. Hehe, Ciok-suheng, kau terhitung tokoh
yang terpandang dalam perguruan kita, memangnya kau hendak menjilat ludahmu sendiri?"
"Betul, kalau toh sudah diputuskan secara terbuka, hal ini sudah menjadi putusan pula,"
demikian sela Pau Gi. "Ciok-suheng, tak usah kau mempersulit dan memperpanjang persoalan ini.
Kini ciangbun lama sudah dicopot, tibalah saatnya untuk memilih ciangbunjin yang baru."
Dengan kalem Boh Cong-tiu berkata: "Ciok-suheng seorang budiman dan bajik, biarlah aku
calonkan Ciok-suheng sebagai ciangbunjin."
Ciok Heng menyeringai dingin, katanya sinis: "Kalian berkeputusan secara sepihak, jabatan
ciangbun ini jelas aku tidak sudi terima. Keadilan di dalam sanubari manusia, siapa salah siapa
benar, akhirnya pasti dapat dibikin terang, buat apa aku harus berlomba mengejar pangkat dan
kedudukan dengan murid-murid murtad!"
"Ciok-suheng," jengek Boh Cong-tiu, "bicaralah sopan sedikit, siapa yang kau maksudkan
dengan murid murtad?"
Ciok Heng mendengus hina, "Kalau kau tidak sirik dalam hati, kenapa harus takut mendengar
sebutan 'murid murtad' ini."
Pau Gi segera tampil pula ke depan berusaha membujuk: "Kau tidak sudi menjabat ciangbun,


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sesuai dengan jumlah suara yang lebih banyak, adalah pantas kalau Boh-tongcu yang diangkat
menjadi ciangbunjin saja, meski ada yang menentang, siapa pun tiada yang berani keluar untuk
bertanding menurut aturan bulim, maka hal ini sudah menjadi putusan mutlak. Ciok-suheng
marilah kita bersama memberi selamat kepada ciangbunjin."
"Kau angkat dia menjadi Ciangbun, aku tidak sudi mengakuinya."
Melotot mata Boh Cong-tiu, serunya: "Ciok Heng, memangnya kau hendak mengkhianati
perguruan kita?" Ciok Heng berkata tawar: "Terserah apa yang kau katakan, kaukah yang menjadi murid murtad
atau akukah yang mengkhianati perguruan, pendek kata kau suka menjadi ciangbunjin Hu-siangpay,
kuserahkan kedudukan ini kepadamu, tapi kami segera akan berlalu."
"Betul," Coh Sian-san ikut bicara. "Untuk sementara kebesaran nama Hu-siang-pay biar kalian
kangkangi, marilah kita berlalu saja."
Karena itu bukan saja orang-orang yang semula menentang Boh Cong-tiu hendak berlalu,
malah murid-murid netral yang berdiri di tengah itu pun sebagian besar hendak ikut pergi.
"Siapapun dilarang berlalu!" segera Boh Cong-tiu membentak, maklumlah kalau murid-murid
asli Hu-siang-pay timggal pergi, yang ketinggalan hanya sebagian murid-murid asli dan muridmurid
palsunya, apa artinya jabatan ciangbun yang berhasil dia rebut secara licik ini"
Ciok Heng tertawa dingin, katanya: "Kau belum lagi diakui sebagai ciangbunjin Hu-siang-pay
secara umum oleh kaum bulim, aku tidak menentang keinginanmu, kau masih melarang kami
berlalu!" "Apa tujuanmu membawa kawanan murid-murid itu, memangnya bukan hendak mendirikan
perguruan lain untuk menandingi kedudukanku" Apa sih sulitnya mendapat sokongan kaum bulim"
Hari ini aku sudah menjadi ciangbun, sekali-kali tidak akan kubiarkan kau berbuat lancang menjadi
murid murtad perguruan kita!"
Bagi Ciok Heng ia sudah berusaha mengalah, namun urusan masih melibatkan dirinya juga,
namun meski ia ada maksud berlaku ne-kad, betapapun ia harus memikirkan keselamatan muridmurid
yang lain. Bagaimana baiknya" Sungguh membuat ia serba sulit!
Di saat kedua pihak petentang petenteng, seperti busur yang sudah ditarik tinggal melepas
anak panah, pertarungan sengit sudah hampir terjadi. Kalau di sini Boh Cong-tiu sedang
menyudutkan lawan-lawannya, di Siau-thian-to-hong sana, istrinya Lian Jay-hong sebaliknya
sedang tenggelam dalam perang batin.
Memang dia berhasil menotok hiat-to Lim Bu-siang, namun menghadapi sorot mata Lim Busiang
yang berwibawa dan menusuk perasaan itu, dia sendiri menjadi sangsi dan kehabisan akal,
tindakan apa yang harus dia lakukan, ini merupakan persoalan sulit untuk diputuskan.
Semula ia sudah atur rencana itu sedemikian rapinya, setelah.urusan besar Boh Cong-tiu
mendapat hasil yang gemilang, barulah dia hendak ajak Lim Bu-siang kembali ke Giok-hong-koan,
suami-istri mohon maaf bersama kepadanya.
Namun setelah mendengar petuah dan kata-kata Lim Bu-siang yang panjang lebar tadi, bukan
saja ia paham bahwa Lim Bu-siang tidak akan mengampuni perbuatan suaminya, sampai dia
sendiri pun curiga pada diri sendiri bahwa apa yang dia lakukan sekarang adalah perbuatan yang
salah, mana berani dia bawa Lim Bu-siang pulang menemui suaminya.
Suara lonceng dari Giok-hong-koan sudah berhenti, gugup pun tiada gunanya. Maka Lim Busiang
segera menenangkan hati, ia lupakan semua kejadian yang dihadapinya ini, ia himpun
semangat dan mengumpulkan hawa murni berusaha membebaskan totokan hiat-tonya sendiri.
Belum lagi ia berhasil menjebol totokan hiat-tonya, tiba-tiba didengarnya langkah kaki
mendatangi, segera didengarnya Lian Jay-hong membentak: "Siapa?"
Waktu ia angkat kepala, dilihatnya seorang laki-laki tua berjenggot kambing tahu-tahu sudah
berdiri di hadapannya. Ternyata laki-laki ini bukan lain adalah bekas guru Lian Jay-hong, yaitu
Cong Sin-liong adanya. Kejadian yang tak terduga ini bukan saja Lian Jay-hong amat kaget, Lim Bu-siang pun tidak
kurang terkejutnya, hawa murni yang sudah mulai terhimpun hampir saja buyar lagi.
Seperti tertawa tidak tertawa, Cong Sin-liong berkakakan, ujarnya: "Jay-hong, kau tidak nyana
kalau akulah yang datang bukan?"
Lian Jay-hong bekerja menurut rencana suaminya, tempat persembunyiannya ini pun
sebelumnya sudah ditunjuk oleh Boh Cong-tiu. Itulah suatu tempat rahasia yang sulit ditemukan,
maka orang suruhan Ciok Heng tidak menemukan mereka, tak nyana jejak mereka akhirnya
ketahuan oleh Cong Sin-liong juga.
Kikuk dan serba salah pula sikap Lian Jay-hong, "Benar, sungguh di luar dugaanku" terpaksa
Lian Jay-hong menjawab sekenanya, dalam hati ia bertanya-tanya kenapa orang bisa berada di
tempat ini. "Jay-hong, tidak perlu kau merasa kikuk dan sungkan, hubungan guru dan murid masih
berlangsung, dulu meski ada sedikit salah paham, kejadian toh sudah berselang. Aku tidak akan
salahkan kau. Sekarang suamimu pun sudah panggil aku susiok, kau pun masih menjadi muridku,"
demikian Cong Sin-liong menarik simpati.
Rasa kikuk Lian Jay-hong bukan lantaran dirinya malu, adalah dia merasa akan kekerdilan jiwa
suaminya. Tapi ia sendiri belum tahu maksud kedatangan Cong Sin-liong, dalam situasi yang serba
pelik ini, terpaksa ia harus peras otak untuk mencari daya, terpaksa ia berkata: "Cong-losiansing,
sejak lama kau sudah bukan keluarga perguruan kita, maaf aku tidak akan anggap kau sebagai
guruku lagi." Jawaban ini agaknya berada di luar dugaan Cong Sin-liong, sejenak ia melengak, katanya: "Boh
Cong-tiu sudah menjadi ciangbun baru dari perguruan kita, apa sih sulitnya bila aku minta diterima
kembali menjadi murid perguruan kita?"
"Kau ingin jadi guruku, biarlah kelak dibicarakan lagi kalau kau sudah resmi kembali ke
perguruan kita." Membesi muka Cong Sin-liong, katanya tertawa dibuat-buat: "Baiklah, kalau kau ingin bekerja
menuruti aturan bulim, aku ini bukan orang yang gila kedudukan dan hormat, terserah kau suka
panggil aku apa. Marilah kita bicara tentang urusan ini!"
"Urusan apa?" Cong Sin-liong menuding Lim Bu-siang, katanya: "Jay-hong, kali ini kau menunaikan tugas
dengan baik sekali, sekarang boleh kau serahkan persoalan ini kepadaku."
"Apa, maksudmu?" sentak Lian Jay-hong kaget dan gusar.
"Kau anak pintar, memangnya belum mengerti" Serahkan budak ini kepadaku!"
"Kenapa harus kuserahkan kepada kau?"
Belum habis ia bicara, Cong Sin-liong sudah terbahak-bahak.
Kata Lian Jay-hong menahan hati, "Apa yang kau tertawakan" Seumpama dia bukan
ciangbunjin, masih termasuk murid Hu-siang-pay. Murid Hu-siang-pay, mana boleh kuserahkan
kepada orang luar?" Membesi roman muka Cong Sin-liong, jengeknya dingin: "Kau buka mulut perguruan, tutup
mulut perguruan, kalau aku bukan gurumu, tapi aku mendapat perintah rahasia dari Hu-siang-pay
ciangbun untuk membawa dia."
Bukan kepalang kejut Lian Jay-hong, sekilas ia tertegun, katanya: "Kau, kau, kau mendapat
perintah siapa?" "Kecuali suamimu, siapa pula yang setimpal menjadi ciangbunjin Hu-siang-pay" Hehe, kalau
kukatakan mendapat perintahnya, itu sudah cukup sungkan dalam basa-basi. Bicara terus terang,
sebenarnya dia minta bantuanku untuk melakukan hal ini."
Pucat pasi muka Lian Jay-hong, katanya: "Dari mana aku tahu bahwa omonganmu dapat
dipercaya" Pergi kau bawa dia kemari, aku ingin bicara blak-blakan di hadapannya." '
Kembali Cong Sin-liong terbahak-bahak, "Kukira kau sudah menjadi pembantu dalam Boh Congtiu
paling setia, kenapa kau tidak melihat gelagat menilai urusan" Sekarang baru saja dia berhasil
menduduki jabatan ciangbun, mana boleh peristiwa besar ini tersebar di luaran" Ketahuilah, di
hadapan para murid suamimu bilang bahwa Lim Bu-siang tahu akan dosa-dosanya dan melarikan
diri, kalau sekarang dia dibawa pulang, bukankah bakal terjadi huru-hara?"
"Tapi dia tidak pernah berpesan supaya aku menyerahkan Lim Bu-siang kepadamu, katanya
setelah aku berhasil menunaikan tugasku, suruh kami pulang ke Giok-hong-koan, secara langsung
dan di muka umum ia hendak minta maaf kepada Lim Bu-siang!"
Tampak sikap Cong Sin-liong semakin senang, katanya: "O, jadi begitu. Tak heran bila dia
harus mengelabui kau!"
"Apa yang kau maksud dengan 'jadi begitu'?"
"Kau masih belum paham" Suamimu kuatir kau membela budak busuk ini, kalau dia tidak
menipu kau, mana kau mau bekeTJa menurut rencananya" Hehe, sebagai seorang istri kau tidak
mendapat kepercayaan dari suamimu, itulah suatu hal yang paling memalukan, Jay-hong, cukup
sampai di sini saja, jelek-jelek aku pernah menjadi gurumu, ingin aku memberi nase-hat kepada
kau, semoga kelak kalian suami istri bisa sehaluan dan seia sekata."
Lian Jay-hong tenangkan pikiran, katanya: "Kalau Boh Cong-tiu benar-benar seperti apa yang
kau katakan, akulah yang harus merasa malu bagi dia!"
"Kau masih belum percaya akan omonganku" Coba kau pikir, kalau tanpa pemberitahuan
suamimu, mana aku bisa tahu kalian sembunyi di tempat ini" Mana bisa tahu rencana tipu daya
kalian suami istri?"
Lian Jay-hong kertak gigi, katanya tegas: "Baik, coba kau katakan, hendak kau bawa ke mana
Lim-ciangbun?" "Biar kujelaskan kepadamu, aku hendak membawanya ke Pakkhia untuk lapor."
"Lapor" Lapor soal apa?" "Tak usah kau pura-pura pikun. Memangnya kau tidak tahu bahwa
suamimu sudah mengikat perjanjian dengan komandan Gi-lim-kun Pakkiong-tayjin, Pakkiong Bong
berjanji secara diam-diam bantu dan dukung dia menjabat ciangbunjin Hu-siang-pay, demikian
pula suamimu berjanji kerja sama demi kepentingannya. Budak ini sebetulnya bukan buronan
penting, tapi sejak dia main asmara dengan Beng Goan-cau, serta merta dia pun menjadi buronan
penting. Jelasnya aku mewakili suamimu menyerahkan budak ini kepada Pakkiong Bong, paham
belum?" Luluh dan buyar setitik harapan terakhir Lian Jay-hong kepada suaminya, sungguh mimpi pun
ia tidak kira bahwa suaminya ternyata sebejat itu, sampai pun adik misan sendiri pun akan
dijadikan umpan sebagai imbalan kedudukan ciang-bunnya. Maka dengan kertak gigi ia berkata:
"Baik, kuserahkan kepada kau!"
"Nah, kan begitu, memang kau ini muridku yang baik, istri Boh Cong-tiu yang setia! Kecuali kau
tiada orang lain yang tahu bahwa akulah yang membekuk Lim Bu-siang, suamimu pun boleh
berlega hati menduduki jabatan ciangbun-nya." Belum sirna suara tawanya, mendadak berubah
roman mukanya, bentaknya: "Apa yang kau lakukan!"
Ternyata Lian Jay-hong pura-pura menyerahkan Lim Bu-siang kepadanya, bahwasanya dia
hendak membuka hiat-to Lim Bu-siang yang tertotok. Tapi kepandaiannya hasil didikan Cong Sinliong,
gerak-geriknya mana bisa mengelabui mata gurunya" Begitu melihat gerak tangannya,
belum lagi ujung jarinya menyentuh hiat-to di badan Lim Bu-siang, "Wut" Cong Sin-liong sudah
layangkan tangannya mencengkram ke pundaknya.
Lian Jay-hong sudah bersiaga, di saat genting itu, sebat sekali sikutnya menyodok, ia dorong
Lim Bu-siang ke samping, "Sret" pedang pendeknya sudah terlolos keluar, hardiknya seraya
mengayun pedangnya terbalik: "Hayo tangkaplah!"
Jari tengah Cong Sin-liong menjentik, "Creng", ia sentil pedang orang miring ke samping,
seketika terkejut hati Cong Sin-liong, marah pula, bentaknya: "Sudah gila kau" Tidak bantu suami,
malah membela orang luar?"
"Aku bekerja demi keadilan dan kebenaran tanpa pandang bulu. Kalau hendak membawa Limciangbun,
bunuh aku lebih dulu!"
"Memangnya kau kira aku tidak berani membunuhmu?" Di mulut ia berkata demikian,
betapapun Lian Jay-hong istri Boh Cong-tiu, mau tidak mau ia harus berpikir dua belas kali
sebelum bertindak. Lian Jay-hong pertaruhkan jiwa menyerang dengan sengit, jurus permainannya ganas dan keji,
Cong Sin-liong tertawa dingin: "Ilmu pedangmu hasil ajaranku, mana bisa kau melukai aku?"
Segera ia kembangkan Khong-jiu-jip-peh-to, secara kekerasan ia hendak merebut senjata orang.
Dalam sepuluh jurus Lian Jay-hong terdesak mundur berulang-ulang, permainan ilmu pedangnya
kacau balau. Untunglah Cong Sin-liong masih menguatirkan akibatnya jika ia salah tangan melukai
Lian Jay-hong, kalau tidak pedang Lian Jay-hong sejak tadi pasti sudah terebut olehnya.
Di saat-saat genting di mana rangsakan Cong Sin-liong hampir saja berhasil merebut pedang
orang, tiba-tiba Lim Bu-siang berteriak: "Menuju ke Kan-bun, putar ke Sian-wi, tusuk Thiat-cuhiat!"
Ternyata ia kerahkan hawa murni berusaha membebaskan totokan hiat-to sendiri, kebetulan
dalam saat-saat yang genting ini ia berhasil menjebol totokan jalan darahnya itu.
Mendadak Lim Bu-siang buka buka mulut bersuara, keruan Cong Sin-liong dan Lian Jay-hong
sama-sama kaget. Tatkala itu Cong Sin-liong sedang melancarkan sejurus tipu Tay-kim-na-jiu-hoat
yang amat lihay, Lian Jay-hong sedang kerepotan tak tahu bagaimana untuk melawan, tanpa pikir
lagi secara reflek ia bergerak sesuai menurut petunjuk Lim Bu-siang, betul juga posisinya segera
berubah, "Sref' di mana pedangnya menusuk, dengan mudah sekali ia sudah punahkan serangan
lihay Cong Sin-liong. Beruntun serangan ganas Cong Sin-liong selalu dapat dipunahkan oleh Lian Jay-hong atas
petunjuk Lim Bu-siang, keruan Cong Sin-liong gusar dan mencelos hatinya, pikirnya: "Kalau
lwekang budak busuk ini sampai pulih kembai , aku sendiri bakal celaka." Segera ia membentak:
"Jay-hong, kalau kau berkukuh, jangan salahkan aku bertindak tidak kenal kasihan kepadamu." -"
" "Wut, wut, wut" beruntun ia pukulkan jotosannya yang dahsyat, karena dilandasi tenaga
dalamnya yang hebat, sehingga Lian Jay-hong terdesak mundur semakin jauh.
Tapi setiap kali ia melampaui Lian Jay-hong hendak membekuk Lim Bu-siang, dengan nekad
kembali Lian Jay-hong melabrak dirinya. Sedikit banyak Cong Sin-liong rada kepayahan juga
menghadapi ilmu pedangnya, maka ia tidak berani mendesak terlalu dekat.Namun Bik-khong-ciang
yang dia lancarkan cukup membuat Lian Jay-hong merasa sesak napas, namun sekuat tenaga dia
masih kuasa bertahan. Sungguh Lian Jay-hong gegetun dan menyesal setengah mati. "Kalau tahu begini, tidak
seharusnya aku totok hiat-to Bu-siang dengan Jiong-jiu-hoat. Tapi, meski sekarang dia belum
mampu bergebrak, untuk lari rasanya tidak sulit!" Ia tahu dirinya tidak akan kuat bertahan lama,
segera ia berteriak: "Bu-siang, lekas kau lari! Jangan kau hiraukan aku!"
Seolah-olah Lim Bu-siang tidak mendengar seruannya, badannya tetap menggayut di batang
pohon, tidak bergerak, namun tetap bersuara memberi petunjuk kepadanya.
Lian Jay-hong semakin gelisah, serunya: "Bu-siang, kumohon lekas kau pergi, dia tidak akan
berani bunuh aku!" Ternyata saat mana Lim Bu-siang sedang kerahkan hawa murninya sambil melancarkan jalan
darahnya yang tersumbat sekian lamanya, supaya gerak-geriknya nanti bisa pulih seperti sedia
kala. Sebetulnya latihan lwekangnya jauh lebih tinggi dari kemampuan Lian Jay-hong, setelah
berhasil membuka totokan hiat-to sendiri sebetulnya kini sudah pulih enam tujuh bagian, namun
karena dia harus selalu buka mulut memberi petunjuk kepada Lian Jay-hong, perhatiannya
terpencar, maka tenaga dan semangatnya baru pulih dua tiga bagian. Menurut perhitungannya,
cukup asal lwekangnya pulih separuh saja, ia sudah cukup menandingi Cong Sin-liong.
Demi melindungi dirinya Lian Jay-hong berani pertaruhkan jiwa melawan gurunya yang sesat,
kini lwekangnya sudah pulih tiga bagian, sudah tentu ia tidak sudi tinggal pergi tanpa hiraukan
keselamatan Lian Jay-hong. "Semoga Lian-cici masih kuat bertahan setengah sulutan dupa,"
demikian Lim Bu-siang berdoa dalam hati.
Tapi Lian Jay-hong sudah kehabisan tenaga, napas sudah ngos-ngosan, jelas tidak kuat
bertahan lebih lama lagi. Melihat saatnya sudah tiba Cong Sin-liong tertawa dingin: "Jay-hong, kau
kira aku tidak berani bunuh kau, suamimu harus berterima kasih kepadaku malah!" Di tengah
seringai dinginnya, serangannya dipergencar, sekonyong-konyong ia menghardik, tahu-tahu
badannya menubruk datang seperti harimau menerkam mangsanya.
Lekas Lim Bu-siang berteriak: "Menyingkir ke Cui-wi, putar ke Le-bun, tusuk Hoan-tiau-hiat!"
Sebetulnya itulah sejurus tipu pedang yang amat lihay dan hebat, sayang Lian Jay-hong sudah
tidak mampu melancarkan dengan mantap, meski ia sudah bergerak menurut petunjuk, terdengar
"Cret" Cong Sin-liong menukik turun dari tengah udara, lengan bajunya sudah berhasil membelit
ujung pedangnya, meski lengan bajunya tertusuk berlubang, namun ia tidak terluka sedikit pun.
Karena pedangnya tergubat lengan baju lawan, Lian Jay-hong jadi gelagapan, saat mana jari-jari
Cong Sin-liong sudah menotok dari dalam lengan bajunya. Seketika Lian Jay-hong tertotok kaku
berdiri di tempatnya seperti patung tak mampu bergerak.
Bukan kepalang kaget Lim Bu-siang, namun lahirnya bersikap tenang, katanya tertawa malah:
"Cong Sin-liong, kau kena kutipu malah! Kau kira aku betul-betul kena tertotok olehnya" Hehe,
maksudku supaya kau sendiri membeber intrik kalian kepadanya!"
Dasar Cong Sin-liong memang seorang licik dan manusia rendah yang berjiwa kotor, bagi
manusia rendah biasanya selalu berprasangka bahwa orang lain pun seperti diri sendiri. Maka
mendengar kata-kata Lim Bu-siang, seketika Cong Sin-liong tertegun kaget, pikirnya: "Budak ini
tidak mau lari, sikapnya begini tenang, bukan mustahil memang mereka hendak menjebak aku?"
Pelan-pelan Lim Bu-siang melolos pedangnya, sekali gentak, ujung pedangnya bergetar keras
mengeluarkan suara mendengung, bentaknya: "Cong Sin-liong, kalau berani jangan kau lari, akan
kulihat berapa jurus kau dapat melawan aku."-Waktu di pertemuan Thay-san dulu Lim Bu-siang
hanya tiga jurus sudah berhasil mengalahkan Cong Sin-liong. Tapi kuatir Cong Sin-liong tidak
percaya akan ancamannya, maka ia kerahkan tiga bagian tenaganya yang baru pulih, sehingga
ujung pedangnya bergetar mendengung.
Cong Sin-liong sudah putar badan, agaknya sudah siap hendak melarikan diri, baru saja Lim
Bu-siang berlega hati, tak nyana orang hanya beberapa langkah saja lantas membalik badan pula!
Sebetulnya mending kalau Lim Bu-siang tidak keluarkan kata-kata ancamannya tadi, kini
maksud gertakannya justru menunjukkan kelemahan sendiri! Dia mengatakan 'kalau berani jangan
lari'! Secara tidak langsung berarti amat kuatir bila orang tidak lari. Sebagai manusia licik licin dan
banyak tipu dayanya, Cong Sin-liong dapat meraba sedikit kelemahan ini, seketika timbul rasa
curiganya; "Kalau lwekang budak ini memang sudah pulih seluruhnya, buat apa dia main bacot
melulu dengan aku! Memberi kesempatan supaya aku melarikan diri" Hm, bukan mustahil dia
sedang main gertak dan mengatur tipu daya belaka?"
Karena rasa curiganya ini, Cong Sin-liong berkeputusan untuk menyerempet bahaya, setelah
membalikkan badan, sekilas ia menatap tajam serta tertawa dingin, jengek-nya: "Ciangbun ada
perintah, mana orang she Cong tidak menurut, baik, biar aku mohon petunjukmu beberapa jurus."
Diam-diam tersirap darah Lim Bu-siang, bentaknya: "Besar amat nyalimu, memangnya kau
belum tahu kelihayanku?"
"Aku tahu kelihayanmu, jelek-jelek aku ini terhitung susiokmu, mentang-mentang kau hendak
menghina aku!" "Sejak lama kau sudah bukan murid Hu-siang-pay, masih bicara tingkat kedudukan segala?"
"Kau tidak mengakui aku sebagai susiok, itulah lebih baik, gebrakan kali ini boleh tidak usah
kenal kasihan segala!"
Lim Bu-siang keraskan kepala, ujarnya: "Sorga ada jalan kau tidak mau ke sana, justru kau
menerjang masuk ke akhirat yang tiada pintunya. Bagus, silakan kau mulai!"
Cong Sin-liong lintangkan pedangnya di depan dada, dengan nanar ia tatap ujung pedang Lim
Bu-siang, katanya: "Aku lebih tua tidak akan menindas yang kecil, boleh kau turun tangan lebih
dulu!" Ternyata meski ia sudah curiga, betapapun hati masih kebat-kebit dan was-was. Ilmu
pedangnya jauh berada di bawah Lim Bu-siang, kalau dia turun tangan lebih dulu, sekali gebrak


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lim Bu-siang pasti dapat melihat titik kelemahannya, lebih baik bersikap menjaga diri dan
bertahan saja, mengandal pengalaman dan keuletan diri sendiri, bahayanya pasti dapat dikurangi.
"Sekali ia turun tangan, segera aku akan tahu, apa benar lwekangnya sudah pulih seluruhnya,"
demikian pikir Cong Sin-liong.
Lim Bu-siang dapat meraba rasa takut orang, makinya: "Bedebah, bicara yang tua menindas
yang kecil segala. Aku ini kan sebagai ciangbun suatu perguruan, kau ini tahu aturan bulim tidak?"
Masing-masing sedang memancing untuk menjajaki keadaan lawan, betapapun Cong Sin-liong
lebih pengalaman dan jauh lebih mantap. Maka ia bertindak lebih jauh, katanya tawar sambil
melangkah setapak ke depan: "Memang tidak salah omonganmu, masing-masing tidak sudi turun
tangan lebih dulu, perkelahian ini tidak akan berlangsung."
Sekali melangkah dua kali maju, melihat Lim Bu-siang tidak menunjukkan reaksi, semakin lega
hati Cong Sin-liong, seketika ia terbahak-bahak: "Bagus ya, kiranya kau budak ini sedang
mengatur tipu daya hendak mengelabui mataku. Sayang kau berhadapan dengan seorang ahli
seperti aku ini." Sembari bicara Cong Sin-liong sudah maju tiga langkah pula, kini ia sudah
berhadapan dengan Lim Bu-siang.
Lwekang Lim Bu-siang baru pulih tiga bagian, betapapun tabah dan tenang hatinya, tak urung
ia menjadi gelisah dan gugup juga, ujung pedangnya tampak gemetar. Cong Sin-liong dapat
melihat akan kelemahan ini, seketika rasa kuatir-nya buyar sama sekali, katanya, dingin: "Lim Busiang,
sampai detik ini, kau masih mentang-mentang agulkan diri sebagai ciangbun segala" Kau
tidak mau mulai, biar aku turun tangan lebih dulu."
Lenyap suaranya, pedang Cong Sin-liong pun sudah terangkat ke atas, "sret' dengan ganas ia
menusuk. Di saat-saat gawat itulah, sekonyong-konyong terdengar hardikan keras bagaikan guntur,
seolah-olah menggelegar di pinggir telinga Cong Sin-liong. Kaget Cong Sin-liong bukan main,
hatinya pun terguncang hebat. Kejadian berlangsung teramat cepatnya, tampak selarik sinar kilat
menyambar, tahu-tahu Lim Bu-siang sudah bergerak lebih dulu menyerang dirinya, lekas Cong
Sin-liong lintangkan pedangnya menangkis, "Trang", ia pukul jatuh pedang Lim Bu-siang, tapi
badan sendiri pun sudah tergores tujuh jalur luka tertusuk pedang.
Tampak dua sosok bayangan orang laksana dua burung raksasa menubruk tiba, salah satu
memburu ke arah Lim Bu-siang serta memayangnya, seorang yang lain langsung menghadang ke
arah Cong Sin-liong, bentaknya seraya menyeringai dingin: "Perkelahian kita di Yangciu tempo hari
belum selesai, hari ini ketemu pula, marilah kita selesaikan pertandingan dulu!"
Ternyata Miao Tiang-hong dan Hun Ci-lo tiba tepat pada waktunya. Hardikan keras bagai
guntur menggelegar tadi, adalah Say-cu-hiong-kang yang dikembangkan oleh Miao Tiang-hong.
Say-cu-hiong-kang merupakan lwekang tingkat tinggi dari aliran Budha, mempunyai
manfaatnya yang amat menakjubkan, terutama menghadapi manusia yang berhati sesat, hardikan
yang mendadak dan keras itu cukup menggetar sanubari orang. Meski Lim Bu-siang rada gelisah,
namun ia sudah tidak pikirkan mati hidup sendiri, meski sedikit terpengaruh, namun tidak terlalu
hebat akibatnya. Oleh karena itu ia masih sempat mengambil kesempatan melancarkan ilmu
pedangnya yang maha tinggi. Lantaran itulah Cong Sin-liong kena dirugikan. Sementara Lian Jayhong,
karena hiat-tonya tertotok dalam keadaan pingsan, sedikit pun ia tidak terpengaruh apaapa.
Sekaligus kena dilukai tujuh tempat, meski lwekang Lim Bu-siang belum pulih, luka-luka itu
tidak parah, betapapun sudah mempengaruhi gerak-gerik dan ketabahan hatinya. Tingkat
kepandaiannya memang setingkat lebih rendah dibanding Miao Tiang-hong, setelah badan terluka
mana dia kuat melawannya" Hanya beberapa jurus saja, pedangnya sudah kena dipukul jatuh oleh
Miao Tiang-hong yang mengembangkan ilmu Khong-jiu-jip-peh-to. Sekonyong-konyong ia
menghardik sekali lagi, tapak tangannya sudah menghantam dengan dahsyat. Mati-matian Cong
Sin-liong dorongkan kedua tapak tangannya, namun tak kuasa melawan. "Huuah!" sekurnur darah
segar menyembur keluar dari mulutnya, lekas ia lari sipat kuping. Kali ini ia benar-benar melarikan
diri. Hun Ci-lo tahu Miao Tiang-hong cukup berkelebihan menghadapi lawannya, tidak perlu ia ikut
membantu. Setelah ia menolong Lim Bu-siang, ia bawa orang ke sebelah pinggir, katanya
tersenyum: "Aku inilah Hun Ci-lo, dalam pertemuan besar di Thay-san dulu pernah aku
melihatmu." "Aku tahu. Sering Beng-toako menyinggung dirimu. Hun-cici, tahukah kau, betapa kangen
hatiku kepadamu, syukur hari ini terkabul keinginanku, bisa bertemu dengan kau. Em, beruntung
kau datang, bagaimana kau bisa datang begini kebetulan?"
"Bersama Miao-toako, aku memang ingin menyambangi kau. Aku pun ingin bertemu
denganmu." Ternyata Miao Tiang-hong dan Hun Ci-lo memanjat gunung lewat Lam-thian-bun, waktu tiba di
Cap-pwe-ban, didengarnya di bagian Siau-thian-to-hong ada suara pertempuran, untung mereka
sempat menolong jiwa Lim Bu-siang.
Baru saja mereka bicara beberapa patah kata, tiba-tiba terdengar Cong Sin-liong menjerit
sekeras-kerasnya, kiranya Miao Tiang-hong menghantam Cong Sin-liong luka parah dan lari
lintang pukang. "Sayang, akhirnya dia lolos juga!" kata Hun Ci-lo.
"Kali ini ia lolos, lain kali pasti tidak akan lolos lagi," ujar Lim Bu-siang.
"Ya, murid khianat Hu-siang-pay kalian, malah tidak leluasa bila Miao toako sampai
membunuhnya, kaulah yang pantas membereskan dia sebagai ciangbunjin yang mencuci bersih
nama baik perguruan!"
Waktu Mao Tiang-hong berjalan kembali dilihatnya Lian Jay-hong yang roboh di tanah, sekilas
ia melengak, katanya: "Bukankah dia ini istri Boh Cong-tiu?"
"Benar, aku sendiri tertotok hiat-toku oleh Lian Jay-hong," tutur Lim Bu-siang.
"Apakah yang telah terjadi?" tanya Miao Tiang-hong heran.
"Kalau dibicarakan amat panjang, pendek kata dia tidak sehaluan dan sependapat dengan
suaminya. Biarlah aku membebaskan totokan hiat-tonya dulu."
Totokan Cong Sin-liong atas hiat-to Lian Jay-hong pun menggunakan Jiong-jiu-hoat, totokan
tunggal hiat-to dari Hu-siang-pay hanya orang-orang Hu-siang-pay sendiri yang bisa
membebaskannya, untung Lim Bu-siang sudah istirahat sebentar, kini lwekangnya sudah pulih
empat lima bagian, sedikit membuang tenaga barulah ia berhasil membuka totokan Lian Jay-hong.
Di saat ia bekerja membuka totokan hiat-to Lian Jay-hong itulah secara ringkas ia menjelaskan
duduk perkaranya. Mendengar Boh Cong-tiu sudah meluruk tiba di Giok-hong-koan, keruan Miao
Tiang-hong dan Hun Ci-lo sama kaget, di samping itu mereka bersyukur bahwa kedatangan
mereka kebetulan tepat pada waktunya.
Merah jengah selebar muka Lian Jay-hong, katanya: "Bu-siang, sungguh aku amat menyesal
kepadamu, mimpi pun aku tidak menduga bahwa dia sudah sebejat itu."
"Sedikit lalai dan kena dikelabui, siapapun pernah mengalami. Urusan sudah berselang tidak
perlu disinggung lagi. Tugas yang terpenting sekarang, kita harus lekas menyusul ke Giok-hongkoan."
Dengan mengembangkan ginkang mereka berempat berlari-lari menuju ke Giok-hong-koan.
Lim Bu-siang dan Lian Jay-hong sama-sama gugup dan gelisah, namun perasaan mereka jauh
berbeda. Betapapun Boh Cong-tiu adalah suaminya, cara bagaimana dia harus menyelesaikan
persoalan ini" Seolah-olah dia baru saja siuman dari sebuah impian buruk, sayang apa yang
barusan dia lihat, dengar dan alami bukanlah impian belaka.
Dalam Giok-hong-koan, waktu itu kedua pihak sudah saling melotot, menyingsing lengan
melolos senjata siap tempur, sekejap saja pertempuran seru acak-acakan bakal terjadi!
Ciok Heng sudah bertekad untuk nekad melawan, tapi betapa pun ia harus pikirkan
keselamatan para murid-murid lainnya. Sementara Boh Cong-tiu mendesak serta mengancam
dengan garang, katanya tertawa dingin: "Ciok Heng, kalau kau sudah berkukuh sedemikian rupa,
mengkhianati perguruan, terpaksa sebagai ciangbunjin aku bertindak tidak kenal kasihan
kepadamu!" Ciok Heng berkata: "Aku hanya tahu Lim Bu-siang adalah ciangbunjin kita, kecuali dia setuju
kedudukan ciangbun ini diserahkan kepadamu, kalau tidak aku tetap hanya mendengar
perintahnya saja." "Baik, lekas kau cari dan keluarkan Lim Bu-siang!" jengek Boh Cong-tiu menyeringai dingin.
Belum habis kata-katanya, seorang murid yang berdiri di ambang pintu kebetulan berteriak
kegiraugan: "Nah itulah, Lim-ciangbun sudah kembali!"
Keruan bukan kepalang kejut Boh Cong-tiu, waktu ia angkat kepala dilihatnya empat orang
beriring masuk, yang berjalan paling depan memang bukan lain adalah Lim Bu-siang.
Seorang Lim Bu-siang sudah cukup membuat hatinya kaget, apalagi di belakangnya masih
mengikuti pula Miao Tiang-hong, Hun Ci-lo serta istrinya Lian Jay-hong.
Walau tinggi kepandaian silat Miao Tiang-hong dan Hun Ci-lo,
Hun Ci-lo sih tidak perlu ditakuti, yang paling mengejutkan dan membuat jeri hatinya adalah
istrinya Lian Jay-hong ternyata pulang bersama Lim Bu-siang. "Apakah yang telah terjadi?"
demikian ia bertanya-tanya. Waktu ia tegasi, melirik pun Lian Jay-hong tidak ke arahnya, lapatlapat
ia mendapat firasat jelek.
Lim Bu-siang kembali pada saat-saat yang menentukan, Ciok Heng beramai seakan-akan
kejatuhan rejeki yang tak ternilai harganya, teriaknya keras: "Boh Cong-tiu, katamu Lim-ciangbun
tidak berani pulang, sekarang dia sudah kembali, coba kau berani berbuat sewenang-wenang
lagi?" Boh Cong-tiu jelajahkan pandangannya ke seluruh gelanggang, pikirnya: "Tiga puluhan jagojago
silat ini cukup berkelebihan membantu aku bila harus menggunakan kekerasan, apa yang
perlu kutakuti?" Ia tenangkan diri membesarkan nyali lalu katanya: "Lim Bu-siang, sayang kau
datang terlambat, murid-murid perguruan kita sudah memutuskan secara terbuka mencopot
jabatan ciangbunmu!"
"Aku kembali bukan hendak merebut jabatan ciangbun," sahut Lim Bu-siang dingin. "Aku
kembali untuk memberantas anasir-nasir perguruan, siapa jadi ciangbun itu tidak penting, yang
penting bahwa dalam perguruan kita terdapat seorang durjana pengkhianat perguruan, kita harus
membereskannya bersama."
"Sekarang kau sudah bukan ciangbun perguruan kita, mengandal apa kau hendak mengadakan
pembersihan ke dalam?" tanya Boh Cong-tiu.
Ciok Heng segera menimbrung: "Hari ini kau bawa begundal-begundalmu, bukankah kau pun
mengandal diri sebagai murid Hu-siang-pay hendak merebut jabatan ciangbun" Barusan kau
angkat diri sendiri sebagai ciangbun!"
"Benar," Lim Bu-siang menambahkan. "Katamu kau sudah mencopot jabatan ciangbunku, dan
sudah diputuskan secara aklamasi oleh semua murid-murid, baiklah, anggap saja bahwa
kedudukan ciangbun ini belum ada calon yang menempati. Sekarang sebagai murid Hu-siang-pay,
aku mohon semua murid putuskan bersama mengusir murid murtad dari perguruan!"
"Siapa itu murid murtad yang kau maksudkan, memangnya kami harus mendengar tuduhan
sepihak?" jengek Boh Cong-tiu.
"Kau tidak usah kuatir,-kapan aku pernah berkata hendak memutuskan sepihak" Tentu akan
kupaparkan kenyataan di hadapan umum, setelah itu baru minta putusan terakhir dari semua
murid," demikian debat Lim Bu-siang.
Ciok Heng segera berseru lantang: "Boh Cong-tiu, segala persoalan tidak akan terlepas dari
keadilan dan kebenaran, tadi kau semena-mena mencopot jabatan ciangbun, terang kau
mengada-ada seenakmu sendiri, maka kau gunakan alasan dengan urusan besar perguruan segala
minta keadilan sesama murid perguruan. Sekarang Lim Bu-siang mengajukan urusan besar
perguruan yang sama, dia tidak bicara atas nama seorang ciangbunjin, ini sudah memberi
kelonggaran kepadamu, memangnya usulnya itu malah tidak boleh diputuskan oleh kita semua?"
Sementara Ciok Heng berdebat dengan Boh Cong-tiu, murid-murid kedua pihak pun ikut bicara
dan saling debat sendiri. Karena Lim Bu-siang kembali, para murid yang semula takut kepada Boh
Cong-tiu, bukan saja kini mendukung usul Lim Bu-siang untuk mengadakan pembersihan dalam
perguruan, malah mereka pun tidak mengakui kedudukan ciangbun Boh Cong-tiu sekarang. Malah
ada orang yang berseru: "Tidak tahu malu, membawa kawanan anjing rombongan babi segala
memalsu diri sebagai murid-murid Hu-siang-pay, terhitung putusan sesama perguruan apa,
katakan saja diri sendiri mengangkat dirinya menjadi ciangbun. "
Sementara yang lain juga berteriak: "Bukan saja tidak tahu malu, malah kukatakan orang jahat
melapor persoalan lebih dulu!" ?" Disusul seorang lagi ikut menambahkan: "Benar, datangdatang
dia lantas menista perbuatan orang tidak genah, yang lain mendurhakai perguruan segala,
putar bacot hendak membersihkan perguruan pula. Bagus ya, kini Lim-ciangbun sudah pulang,
tibalah saatnya untuk mencuci bersih anasir-anasir durjana, biarlah kenyataan membuktikan
siapakah yang menjadi murid pengkhianat!"
Membesi hijau muka Boh Cong-tiu, bentaknya: "Lim Bu-siang, sebetulnya apa kehendakmu?"
"Para saudara harap tenang sebentar! Kedudukan ciangbun siapa yang bakal pegang
sementara dikesampingkan dulu, lebih penting membersihkan perguruan dari murid-murid
durhaka, kalian yang setuju silakan berdiri di sebelah sini."
Serempak murid-murid Hu-siang-pay sama berdiri ke tempat yang ditunjuk, jumlahnya jauh
lebih banyak dari murid-murid Boh Cong-tiu ditambah kambrat-kambratnya yang palsu, para murid
yang semula netral karena sudah tidak jeri lagi, kini sama mendukung Lim Bu-siang.
Boh Cong-tiu mengeraskan hati dan nekad, pikirnya: "Persoalan hari ini terang sulit dibereskan
tanpa menggunakan kekerasan, biarlah aku pancing dia lebih dulu." Maka sambil menyeringai
dingin ia bertanya: "Baik, coba kau katakan, siapa murid durhaka yang kau maksudkan?"
Dengan kalem Lim Bu-siang berkata: "Orang itu jauh di ujung langit dekat di depan mata!"
Boh Cong-tiu tahu Lim Bu-siang hendak mengatakan dirinya, namun serta mendengar katakatanya
ini, tak urung berubah air mukanya, bentaknya dengan suara gemetar: "Aku maksudmu?"
"Jawaban teka teki ini pasti akan kupaparkan di hadapan umum, kau tidak perlu gelisah. Coba
kutanya kau dulu, waktu di Yangciu, bersama Cong Sin-liong dan Ciok Tio-ki kau mengadakan
pertemuan rahasia di Su-kong-se, betul tidak?"
"Betul, memang secara kebetulan aku ada bertemu dengan mereka di Su-kong-se, tapi bukan
pertemuan rahasia seperti yang kau katakan!"
"Memangnya bukan pertemuan rahasia" He, he, sungguh mengecewakan benar daya
ingatanmu. Waktu itu Ciok Tio-ki sebagai penengah mengakurkan kau dengan Cong Sin-liong, hari
itu kalian berunding secara rahasia mengenai tipu daya licik dalam pelaksanaan perbuatan kaliaij
hari ini. Beruntung secara kebetulan hari itu aku pun bertamasya di Su-kong-se, apa yang kalian
rundingkan dalam pembicaraan rahasia itu, dapat kudengar semuanya. Bukan begitu saja,
akhirnya jejakku ketahuan, kau sendiri malah yang mengejar dan hendak membekuk aku, untung
lariku cepat, tidak berhasil kalian kejar. Peristiwa ini terjadi setengah tahun yang lalu, aku tidak
percaya kau sudah melupakannya sama sekali!"
"Omong kosong, mana ada kejadian itu?" terpaksa Boh Cong-tiu mengeraskan kepala
memungkiri tuduhan Lim Bu-siang. "Hal itu hanya fitnahanmu sendiri! Persoalan tidak bisa
dibicarakan hanya dengar tuduhan sepihak, kau punya bukti dan saksi?"
Beng Goan-cau jauh berada di Siau-kim-jwan, sudah tentu Lim Bu-siang tidak bisa mengajukan
saksi, sungguh hatinya perih darn marah pula, katanya: "Boh Cong-tiu, sungguh tak nyana kau
sudah bejat sedemikian rupa, memungkiri perbuatan jahat sendiri di hadapan umum tanpa tahu
malu! Baiklah, peristiwa setengah tahun yang lalu biar kukesampingkan dulu, biar sekarang
kubicarakan kejadian hari ini! Coba bisa tidak kau pungkiri lagi!"
"Para saudara seperguruan, tentunya kalian ingin tahu kenapa sampai sekarang baru aku
terlambat pulang ke Giok-hong-koan, ketahuilah bahwa aku terjebak oleh tipu daya yang
sebelumnya sudah direncanakan oleh Boh Cong-tiu! Bukan saja dia ingin supaya aku tidak bisa
kembali bertemu dengan kalian, malah dia suruh Cong Sin-liong untuk mencelakai jiwaku, aku
akan digusur ke kota raja sebagai upeti kepada Pakkiong Bong!"
Seketika timbul caci maki dan cercaan kotor kepada Boh Cong-tiu oleh para murid-murid yang
berdarah panas. Boh Cong-tiu lantas berteriak lantang dengan meninggikan suaranya: "Kalian beri
kesempatan tidak untuk aku bicara?"
Lim Bu-siang mengangkat kedua tangan menenangkan suasana, lalu katanya kepada Boh
Cong-tiu: "Baik, ingin kudengar pembelaanmu!"
Boh Cong-tiu menyeringai dingin, "Katamu aku membokong kau, aku sendiri berada di Giokhongkoan, cara bagaimana dapat membagi diri untuk mengerjai kau di Siau-thian-to-hong?"
Dari samping Ciok Heng mendengus keras-keras, selanya: "Kau punya begundal sedemikian
banyaknya, memangnya perlu kau sendiri yang turun tangan untuk melakukan perbuatan hina
dina yang rendah itu?" Mimpi pun ia tidak menduga, orang yang membokong Lim Bu-siang adalah
istri Boh Cong-tiu sendiri yaitu Lian Jay-hong adanya.
"Orang she Ciok," maki Kiau Hay-beng, "kupandang kau sebagai susiok, kuhormati kau tiga
bagian, berani kau memaki kami sebagai begundal segala?" Melihat situasi tidak menguntungkan,
sengaja ia hendak cari gara-gara.
Namun Boh Cong-tiu masih punya setitik harapan untuk mungkir dan berdebat, katanya: "Haybeng,
jangan ribut, nanti sebentar biar gurumu yang membuat perhitungan padanya!"
Merah padam muka Ciok Heng, serunya gusar: "Baik, setelah persoalan dibikin terang, kalau
kau benar-benar tidak berusaha membokong ciangbun sumoay, nanti aku minta maaf kepadamu!"
Menghadapi Lim Bu-siang, Boh Cong-tiu tertawa dingin pula, katanya lebih lanjut: "Kalau ada
orang lain mendapat perintahku untuk membokong kau, kini kau sudah kembali tanpa kurang
suatu apa, tentunya orang yang membokong kau itu sudah kau bekuk, mana orang itu?" Mukanya
berhadapan dengan Lim Bu-siang, namun matanya mengerling kepada istrinya Lian Jay-hong,
pikirnya: "Kau adalah istriku, memangnya kau tega jadi saksi untuk menista kejahatan suaminya?"
Tak nyana belum ia bicara habis, Lian Jay-hong sudah tampil ke muka, serunya berang: "Orang
itu adalah aku!" Lian Jay-hong tampil ke depan sambil menuding suaminya, hal ini benar-benar di luar dugaan
semua hadirin, seketika Giok-hong-koan yang luas dan penuh sesak berjubel manusia seketika
menjadi hening lelap, umpama sebatang jarum jatuh di atas lantai pun bisa terdengar dengan
jelas! Semua orang terbelalak mengawasi Boh Cong-tiu, ingin mereka tahu, apa yang hendak
dikatakan olehnya untuk membersihkan dirinya.
Pucat pias muka Boh Cong-tiu, katanya mengada-ada: "Jay-hong, apakah kau tidak terserang
demam" Mana boleh kau sembarangan membual di sini?"
"Apa yang kukatakan adalah kenyataan!" seru Lian Jay-hong lantang.
"Siapa tidak tahu kau adalah teman baik Bu-siang sejak kecil, katamu kau membokong dia,
seharusnya kau menggusurnya kemari, kenapa kalian berjalan berendeng?"
Pedih, marah pula hati Lian Jay-hong, tak tertahan bercucuran air matanya, katanya
merawankan hati: "Cong-tiu, sampai detik ini, kau masih belum menyesal dan bertobat" Selama
ini kuanggap kau seorang ksatria, seorang enghiong, sudah sekian tahun lamanya aku kau
kelabui, baru sekarang aku melihat kedok aslimu, kau, ternyata kau adalah orang yang
sedemikian... ai, tidak tega aku mengatakan."
"Seorang laki-laki harus berani bertanggung jawab akan perbuatan sendiri, perbuatan sudah
terlanjur kau lakukan, kenapa kau tidak berani mengakui kesalahan" Kaulah yang menyuruhku
membokong Lim Bu-siang, terhadap orang lain kau boleh mungkir, terhadapku kau masih mungkir
lagi?" "Memang aku adalah sahabat karib Bu-siang, justru karena aku adalah teman baiknya, dia
cukup paham akan martabat dan karakterku, tahu bahwa aku teledor dan kena bujukan dan
tertipu oleh kau, maka dia suka memaafkan kesa-lahaanku."
"Cong-tiu, entah kau punya tidak rasa malu, tapi akulah yang malu bagi perbuatan kotormu!
Tapi sekarang masih ada kesempatan terakhir, segera mintalah maaf kepada ciangbun sumoay,
setelah kau menyesal dan bertobat, aku masih tetap sebagai suami istri dengan kau!"


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kata-kata Lian Jay-hong yang panjang lebar penuh perasaan ini, seketika membuat semua
hadirin terketuk haru hatinya. Kata Lim Bu-siang menghela napas: "Boh Cong-tiu, kau punya istri
sebaik ini, kalau masih tidak sadar dan menyesal, sekali kau terjeblos akan menyesal ribuan tahun,
bertobat pun sudah terlambat."
Berubah rona muka Boh Cong-tiu dari merah, pucat dan hijau, dalam sekejap itu batinnya sudah berubah
beberapa kali pikiran, akhirnya ia berkata menghela napas: "Baik biar aku bicara terus terang, kalian
dengarlah!" Lim Bu-siang kira orang hendak mengutarakan penyesalan hatinya, hatinya senang, katanya:
"Ya, bicaralah menurut nuranimu sendiri, kami akan memaafkan kau!"
Sejenak Boh Cong-tiu berdiam diri, lalu katanya: "Beginilah kejadiannya: Kami suami istri memang pernah
berunding cara bagaimana untuk membereskan Lim Bu-siang, Jay-hong tahu watak Lim Bu-siang amat
keras, terang dia tidak akan mau terima salah, dia kuatir bila jabatan ciangbunnya dicopot, mungkin bisa
menimbulkan perang saudara di antara sesama perguruan kita sendiri, oleh karena itu dia lalu mengajukan diri, secara suka rela untuk menghadapi Lim Busiang."
Semua hadirin merasa kata-katanya rada janggal. Seharusnya dia mengakui kesalahannya sendiri, tapi
apa yang dia uraikan sekarang, seolah-olah hendak menimpakan kesalahan ke pundak istrinya, Lian Jayhong. Ciok Heng tertawa dingin, ejeknya: "Boh Cong-tiu, bicaralah sejujurnya!"
"Aku sudah bicara sejujurnya, kalau tidak percaya, boleh kau tanya kepada Jay-hong, apa benar kami
berunding demikian?"
"Betul, memang ada kejadian itu," jawab Lian Jay-hong. "Tapi..."
Lekas Boh Cong-tiu menukas kata-katanya: "Cukup asal kau mengakui akan kejadian itu.
Memang tindakanku rada keluar batas, tapi tujuanku adalah baik. Jay-hong adalah teman baik Busiang,
sedang Bu-siang adalah piaumoayku, sudah tentu aku tidak ingin terjadi bentrokan senjata
antar sesama saudara, tidak ingin pula terjadi adanya banjir darah antara sesama seperguraan."
Ciok Heng gusar, dampratnya: "Kau coba membokong ciangbun, masih kau bilang bermaksud
baik?" "Cara ini jauh lebih baik daripada mengadu jiwa bukan" Bu-siang berusia muda, pengalaman
cetek, kalian sendirilah yang angkat dia menjadi ciangbun dan mengelu-elukannya sampai dia
tidak benar. Dan karena aku adalah piaukonya, jelas aku harus melindungi dan mengasuhnya, tapi
dalam persoalan besar dia menempuh jalan keliru, maka ada tanggung jawabku untuk
mengoreksinya. Bukankah maksudku baik dan demi kepentingan kita semua."
Semula semua orang sama mengharap Boh Cong-tiu menyesal dan bertobat, tak nyana apa
yang dia katakan semakin brutal dan keterlaluan, bukan saja tidak mengakui kesalahan, malah dia
menga-gulkan diri sebagai penolong Husiang-pay.
Sudah tentu kata-katanya ini menimbulkan kemarahan masai, situasi menjadi gaduh dan
tegang pula. Segera Lim Bu-siang menenangkan suasana, katanya: "Kau katakan aku bertindak
keluar batas dan menyeleweng, secara tidak langsung kau cuma ingin menuduh bahwa aku ada
hubungan rapat dengan pahlawan bangsa melawan penjajah."
"Tadi kau belum hadir, tidak mendengar maksud kata-kataku. Biarlah sekarang kuulangi sekali
lagi. Terus terang aku menentang perguruan kita terlibat dalam pertentangan antara bangsa Han
dan Boan. Hubungan persahabatan secara pribadi di antara murid-murid kita dengan orang luar
aku tidak membatasi mereka, tapi kau sebagai ciangbunjin, bergaul rapat dengan orang-orang
sebangsa Beng Goan-cau, malah secara terang-terangan bantu dia melawan jagoan-jagoan
pemerintah berkuasa, jelas tindakanmu itu terlalu tidak menguntungkan."
"Baik, katamu perguruan kita harus berpeluk tangan di luar garis pertikaian itu, memangnya
kenapa kau sendiri sudi menjadi antek kerajaan, bukankah kata-kata dan perbuatanmu saling
bertentangan?" demikian debat Lim Bu-siang.
"Kau ini memfitnah orang semena-mena, kau punya bukti apa" Tadi sudah kukatakan, bahwa
hubunganku dengan Ciok Tio-ki dan lain-lain, tidak lebih hanyalah kenalan biasa saja..."
"Tidak perlu kau jelaskan pula," tukas Lim Bu-siang. "Pertanyaanku tadi belum lagi kaujawab.
Baiklah, persoalan kau suruh Lian-cici membokong aku pun boleh dikesampingkan dulu, kau suruh
Cong Sin-liong meringkus aku sebagai upeti untuk diserahkan kepada Pakkiong Bong, cara
bagaimana kau hendak menjelaskan?"
"Waktu pertemuan besar di Thay-san dulu, dalam tiga jurus kau sudah kalahkan Cong Sinliong,
banyak murid-murid yang hadir sekarang melihat dengan mata kepala sendiri, mana mampu
dia membekuk kau untuk dibawa ke kota raja?"
"Aku kau tipu, lalu dengan Jiong-jiu-hoat kutotok hiat-tonya," demikian timbrung Lian Jay-hong,
"Waktu Cong Sin-liong datang hiat-tonya baru saja terbuka. Belakangan untung Miao tayhiap dan
Hun lihiap ini kebetulan datang dan memergoki perbuatannya, kalau tidak pasti sekarang Lim Busiang
sudah dibawa pergi oleh Cong Sin-liong."
Sampai di sini terpaksa Miao Tiang-hong dan Hun Ci-lo tampil ke depan memberikan kesaksian
sesuai apa yang diuraikan Lian Jay-hong barusan
Terbalik biji mata Boh Cong-tiu, katanya: "Untuk apa mereka berdua datang ke Thay-san?"
"Kami datang untuk menyambangi ciangbunjin kalian, kebetulan dapat memergoki kejadian
itu!" sahut Hun Ci-lo.
"Memangnya kejadian masa bisa begitu kebetulan, kalian tidak sejak dulu tiba atau datang
beberapa hari lagi, di saat Hu-siang-pay kami sedang mengadakan pembersihan perguruan, justru
kalian kebetulan datang hari ini!"
"Memangnya kau menuduh bahwa kami sudah sekongkol dengan ciangbunjin kalian untuk
memberikan kesaksian palsu di sini?" damprat Miao Tiang-hong.
"Apakah kalian mengada-ada, membuat cerita palsu untuk memberikan kesaksian palsu pula,
aku tidak tahu. Tapi ada beberapa hal lain aku tahu dengan jelas," demikian sindir Boh Cong-tiu.
"Kau tahu apa, ada omongan lekas katakan, atau kau ini kentut melulu!"
"Miao-siansing, bicaralah sungkan sedikit kepadaku ya?"
"Itu perlu kutinjau terhadap siapa aku bicara, bila pantas kuhormati tentu aku sungkan
kepadanya. Kalau kau merasa menusuk pendengaran, silakan katakan cara apa yang kau ingini?"
demikian tantang Miao Tiang-hong terang-terangan.
Pau Gi salah satu dari Hu-siang-chit-cu yang berdiri di samping Boh Cong-tiu kembali tampil ke
muka, katanya sama tengah: "Kita jangan memperpanjang urusan ke persoalan lain dulu, marilah
kita selesaikan dulu urusan pokoknya!"
Boh Cong-tiu mendengus, katanya: "Miac-siansing, sudah lama kutahu kau sebagai tokoh kosen
dari kaum lwekeh, kalau persoalan di sini beres, ingin aku mohon petunjuk Thay-ceng-khikangmu."
"Selalu kuiringi segala keinginanmu. Cuma mungkin kau sendiri belum tentu dapat hidup
melampaui hari ini!"
"Hun-li-hiap," ujar Boh Cong-tiu mengalihkan sasaran. "Menurut apa yang kutahu, semula kau
adalah sahabat karib dengan Beng Goan-cau, kabarnya lantaran hubunganmu terlalu baik dengan
dia maka suamimu lantas membuat surat talak menceraikan kau. Apa benar kejadian itu?"
"Benar atau tidak, apa sangkut pautnya dengan kau?" tegak berdiri alis Hun Ci-lo saking
dongkol. Seperti tertawa tidak tertawa, berkata Boh Cong-tiu: "Sudah tentu tiada sangkut pautnya
dengan aku. Tapi mungkin ada sedikit ikatan dengan persoalan yang harus kita bereskan hari ini.
Hehe, Miao-siansing, kutanya pula kepadamu, kau pun bersahabat baik dengan Beng Goan-cau
bukan?" "Benar, Beng Goan-cau adalah sahabat baikku, memangnya kenapa?"
"Tidak apa-apa," ujar Boh Cong-tiu tawar. "Bekas ciangbunjin perguruan kami Lim Bu-siang pun
bersahabat kental dengan Beng Goan-cau." Secara tidak langsung dia mau berkata bahwa mereka
adalah sekomplotan, kalau sekarang Miao dan Hun menjadi saksi, maka kesaksian mereka perlu
diragukan. Lim Bu-siang gusar, serunya: "Kau bicara demikian, memangnya persoalan Cong Sin-liong itu,
hanyalah cerita bohong yang kami karang sendiri?"
Ciok Heng ikut menimbrung: "Tidak menjadi soal kalau kau tidak percaya akan kesaksian Miao
tayhiap dan Hun-lihiap, apakah terhadap istrimu sendiri, kau pun hendak menistanya?" '
Coh Sian-san bergelak tertawa, katanya: "Boh Cong-tiu, perbuatan dan sepak terjangmu ini
tidak beda dengan kelakuan bajingan tengik yang rendah budi, tapi itu pun malah lebih
menunjukkan kedok aslimu, sehingga kami semua lebih nyata akan jiwamu yang kerdil." Kata-kata
ini seketika menimbulkan gelak tawa para hadirin.
Kaku muka Boh Cong-tiu, katanya: "Aku tidak pernah mengatakan bahwa kesaksikan mereka
harus diragukan, tapi persoalan ini tidaklah begitu sederhana untuk dipikirkan, seumpama mereka
tidak bohong, masakah bisa membuktikan kalau Cong Sin-liong benar-benar mendapat
petunjukku!" Ciok Heng dan Coh Sian-san berseru bersama tanpa berjanji: "Urusan sudah dibikin terang
sedemikian jauh kau masih main debat dan mungkir?"
"Kalian belum lagi mendengar penjelasanku, dari mana kau bisa mengatakan aku mungkir dan
berdebat segala?" "Baik, lekas kau terangkan!" seru Lim Bu-siang.
"Adakah kalian pernah berpikir, kalau mereka tidak bisa bohong, memangnya Cong Sin-liong
tidak bisa bohong, dia memfitnah bahwa aku yang memberi petunjuk semua itu adalah bualannya
sendiri." "Jay-hong cici, bagaimana ang-gapanmu tentang kata-kata Cong Sin-liong?" tanya Lim Busiang.
Lian Jay-hong menghela napas, ujarnya: "Semoga apa yang dikatakan Cong Sin-liong memang
bualannya sendiri, tapi dalam keadaan seperti itu, ia anggap kami berdua sudah berada di
genggaman tangannya, kukira tidak perlu dia membual."
Menyusul Boh Cong-tiu ikut menghela napas pula, katanya: "Jay-hong, ternyata kau tidak
percaya kepada suamimu sendiri malah percaya kepada Cong Sin-liong. Tapi untunglah itu hanya
anggapan dan rekaanmu belaka.
Coba kutanya, pernahkah kau melihat atau mendengar aku berpesan apa-apa kepada Cong
Sin-liong?" "Memang tidak!" "Kalau begitu, kecuali kalian bisa meringkus Cong Sin-liong kemari
untuk dikompes keterangannya, kalau tidak fitnah dan tuduhan kalian atas diriku tanpa bukti dan
tidak kenyataan!" Ciok Heng mendelik, serunya: "Kau tahu Cong Sin-liong sudah lari baru kau bicara demikian,
tidak tahu malu!" Boh Cong-tiu menarik muka, katanya memicingkan mata: "Sudah cukup aku mendengar
cercaan semena-mena ini terpaksa aku pun tidak akan sungkan terhadap kalian!"
"Betul," teriak Hwe-hun-thong-cu. "Perang mulut saja apa artinya, sudah tiba saatnya
diputuskan dengan kepandaian!" ,
Melihat gelagatnya, perang tanding secara acak-acakan bakal segera terjadi. Sekonyongkonyong
sebuah suara yang kedengaran asing berteriak dari luar: "Cong Sin-liong datang!"
Keruan bukan kepalang girang Lim Bu-siang, sebaliknya tersirap darah Boh Cong-tiu. Ternyata
suara orang ini sudah amat dikenalnya yaitu tokoh misterius yang berulang kali pernah bantu dan
menolong Lim Bu-siang itu. Dan orang itu justru tokoh yang amat ditakuti oleh Boh Cong-tiu.
Suaranya hilang orangnya pun tiba, waktu semua hadirin angkat kepala berpaling keluar,
tampak seorang laki-laki tua berpakaian putih sedang melangkah tegap ke dalam Giok-hong-koan.
Di bawah ketiaknya mengempit seseorang, orang itu tak lain adalah Cong Sin-liong.
Orang-orang pihak Boh Cong-tiu yang berada di Giok-hong-koan semula belum bisa melihat
keadaan di luar, mendengar seruan 'Cong Sin-liong datang', mengira Cong Sin-liong sendiri yang
meluruk balik hendak bantu Boh Cong-tiu, meski kedatangannya ini tidak menguntungkan,
betapapun menambah seorang kosen yang amat diandalkan kepandaiannya. Setelah orang tua itu
berada di dalam, barulah mereka tahu cara kedatangan Cong Sin-liong ternyata digusur kembali
oleh orang. Bagaimana taraf kepandaian silat Cong Sin-liong, orang-orang Boh Cong-tiu sama tahu,
seketika mereka jadi jeri dan gelisah. Maklum mengandal kepandaian Cong Sin-liong yang tinggi,
orang toh dibekuk dan dijinjing seperti menangkap seekor ayam layaknya, sedikit pun tidak kuasa
meronta, kepandaian mereka sendiri jauh di bawah Cong Sin-liong, betapa hati tidak akan kebatkebit"
Tidak sedikit yang sudah berketetapan dalam hati, begitu melihat gelagat tidak
menguntungkan segera mereka akan berlalu.
Namun demikian dalam rombongan mereka toh masih ada orang-orang yang tidak mengukur
diri sendiri. Orang tua baju putih itu melangkah masuk melewati pagar manusia yang berjubel di
ambang pintu, sekonyong-konyong dari gerombolan orang banyak sekaligus melompat keluar tiga
orang menyergap dari belakang.
Ketiga orang itu adalah Ciu King yang terkenal dengan Thi-soa-ciang, begal tunggal yang
menjagoi daerah barat, orang kedua adalah Hek-ciok-cheng Chengcu Nyo Mo-lim yang kenamaan
dengan ilmu Hun-kin-joh-kut-jiu di kalangan kangouw, orang terakhir adalah Hwe-hun-thong-cu
yang tadi sudah kecundang oleh Ciok Heng, tatkala itu tangannya bersenjata sebilah pedang tajam
yang kemilau. Kiranya melihat kakek tua baju putih ini mengempit orang, kalau disergap secara mendadak
pasti serba repot dan kerepotan, maka tanpa berjanji ketiga orang sama menubruk keluar hendak
mengambil keuntungan. Tapak tangan Ciu King dan Nyo Mo-lim merangsak tiba lebih dulu, "plak, bluk" pukulan Thi-soaciang
Ciu King menghantam punggung kakek tua itu dengan telak, berbareng Hun-kin-joh-kut-jiu
Nyo Mo-lim yang bergerak secepat kilat menelikung lengan kanan kakek tia itu. "Sret" menyusul
pedang Hwe-hun-thong-cu pun sudah menusuk tiba mengarah ulu hati kakek tua baju putih.
Coh Sian-san menggerung gusar, sigap sekali ia menerjang maju hendak bantu kakek tua baju
putih itu. Sambil tersenyum manis, lekas Lim Bu-siang menariknya kembali, katanya: "Tidak usah
kuatir! Tiga rampok besar ini seumpama telor memukul batu!"
Belum lenyap suaranya, betul juga terdengar suara gedebukan yang ramai, tahu-tahu Ciu dan
Nyo dua orang terpental jatuh setombak lebih.
Sementara pedang Hwe-hun-thong-cu yang kemilau itu sudah menusuk tiba di depan ulu hati si
orang tua Thi-soa-ciang dan Hun-kin-joh-kut bisa dilawan dengan getaran tenaga dalam yang kuat
dan hebat, namun betapapun tinggi latihan lwekang seseorang, kulit daging manusia mana bisa
menandingi tusukan senjata tajam" Maka semua hadirin sama menjerit dan mencucurkan keringat
dingin bagi keselamatan jiwa si orang tua.
Tak nyana belakang kepala si orang tua seperti tumbuh mata layaknya, di tengah jerit kaget
para hadirin, tahu-tahu dua jari tangannya bergerak ke belakang, gerak-geriknya cepat dan tepat,
belum lagi para hadirin melihat tegas, pedang panjang di tangan Hwe-hun-thong-cu tahu-tahu
sudah terjepit di antara dua jari tangannya, meski sudah kerahkan seluruh tenaga sampai otot
leher menonjol keluar, pedangnya tak kuasa terdorong maju semili pun.
Pelan-pelan orang tua baju putih memalingkan muka, katanya dingin: "Mentang-mentang kau
ini seorang thongcu yang berkuasa di suatu daerah, ternyata membokong orang dari belakang,
memangnya tidak tahu malu" Tapi masih kupandang kedudukan thongcumu itu, hari ini kuberi
sedikit muka kepadamu, pergilah!" Sembari bicara entah dengan cara bagaimana tahu-tahu ia
sudah merebut pedang panjang orang, seenaknya tangannya menggentak, pedang panjang itu
seketika patah menjadi dua potong.
Tampak Hwe-hun-thong-cu terhuyung tujuh delapan langkah, mukanya pucat seperti kapur,
tanpa bicara lagi segera ia lari sipat kuping. Sementara Ciu dan Nyo dua orang yang terguling
keluar pelataran tadi pun sudah kabur tak kelihatan bayangannya pula.
Tergerak hati Lim Bu-siang melihat cara si orang tua mematahkan pedang dengan tenaga
dalamnya, pikirnya: "Bukankah itu Gun-goan-it-ouw-kang perguruan kami" Ternyata orang tua ini
memang angkatan tua perguruan kita." Ternyata Gun-goan-it-ouw-kang adalah Iwekang murni
tingkat tinggi hasil ciptaan cikal bakal Hu-siang-pay Jan-bau-khek, waktu Lim Bu-siang
menemukan ajaran ilmu silat peninggalan cikal bakalnya di dalam gua itu, di antaranya terdapat
ilmu pukulan, ilmu pedang yang sudah diyakinkan dengan baik, cuma Gun-goan-it-ouw-kang inilah
yang masih jauh dari sempurna.
Tengah ia terheran-heran, didengarnya di antara gerombolan orang-orang Boh Cong-tiu sana
ada dua orang berteriak kaget: "Tang-hay Sanjin!" Kedua orang ini adalah Tocu dari kepulauan di
lautan timur yang diundang oleh Boh Cong-tiu, setelah mengetahui asal-usul laki-laki tua
berpakaian putih ini, dengan langkah tergopoh-gopoh lekas mereka tinggal pergi mengikuti
langkah Hwe-hun-thong-cu.
Sekilas Lim Bu-siang tertegun, pikirnya: "Siapa itu Tang-hay Sanjin, agaknya aku pernah dengar
dari penuturan ayah."
Sesaat lamanya Lim Bu-siang tidak bisa mengingatnya, demikian juga komplotan Boh Cong-tiu
saling pandang dengan heran, tiada seorang pun di antara mereka tahu siapa dan tokoh macam
apa sebenarnya Tang-hay Sanjin itu" Orang tua baju putih itu melempar Cong Sin-liong ke atas
lantai, katanya dingin: "Orang lain memang tidak tahu siapa aku, Boh Cong-tiu, masakah kau pun
tidak kenal padaku?"
Pucat seperti kertas muka Boh Cong-tiu, katanya gemetar: "Siautit tidak tahu akan kedatangan
susiok, tidak menyambut selayaknya, mohon susiok memberi ampun!"
Sudah tentu kata-katanya ini membuat hadirin gempar, baru sekarang mereka tahu bahwa
orang tua baju putih ini ternyata adalah adik seperguruan ayah Boh Cong-tiu. Akan tetapi dua
generasi muda murid-murid Hu-siang-pay sendiri pun tiada yang tahu atau kenal kepada susiok
Boh Cong-tiu ini. Tergerak hati Lim Bu-siang, tersipu-sipu ia maju memberi hormat, katanya: "Ternyata Puisusiok
yang datang, tecu Lim Bu-siang menyampaikan sembah hormat!"
Kakek tua baju putih terbahak-bahak, ujarnya: "Kau adalah ciangbun perguruan kita, menurut
adat akulah yang harus menghadap kepadamu, tak usah sungkanlah!" Lengan bajunya sedikit
mengebas, tanpa kuasa Lim Bu-siang terangkat berdiri, sungguh hatinya kagum akan kelihayan
Iwekang susioknya yang belum pernah dilihatnya ini.
Lebih lanjut berkata kakek baju putih: "Apa ayahmu baik, dari mana kau bisa tahu akan diriku?"
"Ayah pernah bercerita kepadaku, katanya sudah tiga puluh tahun Pui-susiok tiada kabar
beritanya, beliau amat kangen. Tak nyana hari ini, kami para angkatan muda bisa bertemu dengan
kau orang tua. Kukira di antara para angkatan tua dari perguruan kita, kecuali kau orang tua,
mungkin tiada yang berkepandaian setinggi dan sempurna seperti kau!"
Kiranya Hu-siang-pay, terbagi tiga cabang di luar lautan, moyang Boh Cong-tiu yang bernama
Boh Jong-liong adalah murid terbesar Jan-bau-khek, cabang ini merupakan aliran murni yang
langsung. Ayah Lim Bu-siang, Hwie-hi-tocu merupakan cabang kedua, sementara Cong Sin-liong
adalah cabang ketiga. Kakek tua baju putih ini bernama Pui Hi-kok, gelarannya Tang-hay Sanjin,
adalah Sute ayah Boh Cong-tiu. Sejak berumur tiga puluh, ia mengembara dan tidak diketahui ke
mana perginya, termasuk ayah Lim Bu-siang pun tidak tahu bahwa orang sudah pulang ke
Tionggoan. Waktu kecil Lim Bu-siang pernah dengar cerita ayahnya tentang Pui-susioknya ini,
maka waktu mendengar sebutan 'Tang-hay Sanjin' tadi, sesaat belum teringat olehnya akan Puisusioknya
itu. Keributan sudah sirap, mulailah kakek tua baju putih berkata sambil menuding Cong Sin-liong:
"Boh Cong-tiu bukankah kau minta ciangbun sumoaymu meringkus Cong Sin-liong sebagai saksi"
Sekarang bukan saja aku sudah wakili dia mendatangkan saksi, barang buktinya pun sudah
kusiapkan! Nah, sekarang kalian boleh bicara lebih lanjut!" Sembari bicara jari tengahnya
menjentik dari kejauhan, ia buka totokan hiat-to Cong Sin-liong. Tapi jalan darah pelemas
badannya belum terbuka, tetap ia tidak bisa berkutik.
Pucat pias seperti kapur muka Boh Cong-tiu, hendak lari terang tidak berani.
Begitu hiat-tonya terbuka seketika Cong Sin-liong bisa bersuara dan berteriak dengan suara
serak: "8oh Cong-tiu jangan kau timpakan segala dosa-dosamu ke atas pundakku, paling-paling
aku hanya pembantu pelaksana saja. Kau, kaulah... aduh!"


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebelum Cong Sin-liong bicara habis, mendadak ia menjerit ngeri dengan sekuat tenaga ia
meronta berdiri, namun terjungkal roboh pula. Ternyata di saat semua orang perhatian kata-kata
Cong Sin-liong, secara diam-diam mendadak Boh Cong-tiu menyerang secara gelap. Alat rahasia di
batang kipasnya segera melesat bagai anak panah telak sekali menghunjam ke teng-gorokan Cong
Sin-liong. Ingin Lim Bu-siang menolong, namun sudah terlambat, bentaknya gusar: "Boh Cong-tiu, kau
bunuh orang untuk tutup mulutnya?"
"Cong Sin-liong memfitnah orang, memangnya aku harus mandah dituduh olehnya."
"Dia tidak akan bisa menutup mulut orang, kalau saksi sudah tiada, masih ada barang bukti."
jengek kakek baju putih sambil merogoh ke dalam kantong Cong Sin-liong, ia keluarkan secarik
sampul surat diangsurkan kepada Lim Bu-siang, katanya: "Inilah surat rahasia tulisan Boh Cong-tiu
sendiri yang ditujukan kepada Pakkiong Bong, memangnya dia berani mungkir lagi!"
Boh Cong-tiu mundur kembali ke kelompok orang-orangnya, dengan terbelalak ia mengawasi
surat yang berada di tangan Lim Bu-siang, namun ia tidak berani menunjukkan aksi sembarangan.
Maklumlah bukan saja kepandaian orang tua baju putih jauh di atas dirinya, kepandaian Lim Busiang
pun tidak rendah, tidak mungkin ia bisa membokongnya, terpaksa dengan mendelong dia
mengawasi Lim Bu-siang membaca suratnya itu sampai selesai. Dalam pada itu Coh Sian-san
sedang menggotong Cong Sin-liong ke dalam untuk diberi pertolongan.
Surat itu adalah tulisan tangan Boh Cong-tiu sendiri yang ditujukan kepada Pakkiong Bong
sebagai laporan, bagaimana rencananya untuk merebut kedudukan ciangbun Hu-siang-pay
dengan jelas. Di samping itu dia pun mengusulkan dan memberi saran-saran kepada Pakkiong
Bong supaya mengurung Lim Bu-siang, bila perlu kelak untuk dijadikan sandera, tipu daya dan
kekotoran jiwanya sudah terbeber pada tulisan suratnya itu.
Habis membaca Lim Bu-siang tertawa dingin, jengeknya: "Boh Cong-tiu, apa pula yang hendak
kau katakan?" Lalu ia serahkan surat itu kepada Ciok Heng dan lain-lain untuk dibaca bergantian.
Ciok Heng dan lain-lain sudah kenal tulisan tangan Boh Cong-tiu, sudah tentu dia tidak akan
bisa mungkir lagi. "Sudahlah, sekarang tiada urusanku lagi!" ujar orang tua baju putih. "Bu-siang, kau adalah
ciangbun, sekarang tiba saatnya kau membersihkan perguruan."
Berubah rona muka Boh Cong-tiu, pucat menghijau lalu merah padam, mendadak ia
membentak: "Persoalan hari ini harus diselesaikan dengan cara mati atau hidup, hayolah kita maju
semua!" Kakek tua baju putih membentak: "Kalian sebetulnya bukan orang Hu-siang-pay, urusan Husiangpay tiada sangkut paut dengan kalian, sekarang masih ada kesempatan dan lekas kalian
mundur dan keluar dari Giok-hong-koan, aku berani mewakili ciangbunjin untuk memaafkan
kesalahan kalian, kalau tidak, kalian keras kepala ingin membuat onar mengekor Boh Cong-tiu,
kalian sendiri yang akan menerima getahnya."
Tokoh-tokoh kosen dari aliran sesat yang diundang Boh Cong-tiu ada juga yang tahu gelagat,
melihat situasi tidak menguntungkan, diam-diam mereka sudah ngacir pergi. Tapi ada juga tujuh
delapan orang yang kemaruk harta dan kedudukan, takabur akan kepandaian sendiri, pikirnya,
dengan gabungan kekuatan mereka bersama dapat main keroyokan, maka tanpa berjanji
serempak mereka menerjang kepada orang tua baju putih. Mereka sangka asal tokoh
berkepandaian tinggi pihak lawan dikalahkan, situasi bakal berubah seratus delapan puluh derajat.
Kakek baju putih menggumam: "Kukira aku boleh berpeluk tangan di luar garis urusan ini, siapa
tahu aku dilibat juga!" Sembari bicara di bawah kepungan dan keroyokan orang-orang itu, di mana
tapak tangannya melayang, seketika terdengar suara kerontangan, tahu-tahu dua laki-laki besar
sudah kena dicengkram dan dijinjingnya terus dilempar keluar Giok-hong-koan.
"Wut" orang ketiga berkesempatan melancarkan pukulannya menghantam punggungnya, kakek
baju putih sedang melayani serangan dari depan, maka tanpa berpaling, lengan bajunya
dikebutkan ke belakang, tepat sekali perge-langan tangan orang kena dikibas lengan bajunya,
seketika tangannya terasa panas seperti dibakar, keruan kagetnya bukan main, lekas ia jejakkan
kakinya mencelat salto ke belakang. Penyerang ini bukan lain Kiau Hay-beng yang menantang
bertanding dengan Ciok Heng tadi.
Asalnya Kiau Hay-beng adalah pimpinan dari gerombolan bajak laut yang mengganas di lautan
timur selama dua puluhan tahun, selama itu belum pernah menemukan tandingan. Hu-poh-ciang
yang dia yakinkan dilatihnya setiap ada air pasang yang mendampar setinggi gunung, selama tiga
tahun ia memapak gelombang ombak itu dengan pukulan tapak tangannya, baru berhasil dilatih
dengan sempurna. Betapa dahsyat dan hebat kekuatan pukulannya itu, ia percaya di seluruh dunia
tiada tandingannya. Tak nyana hari ini kebentur dengan si orang tua baju putih, cukup sejurus
saja dirinya sudah dibikin terluka. Apalagi jurus perlawanan orang tidak dilancarkan secara
berhadapan langsung, hanya sedikit mengebas saja, dirinya sudah tidak kuat menahannya. Kalau
dinilai secara kenyataan hakikatnya si orang tua baju putih belum turun tangan sungguh-sungguh.
Sudah tentu hal ini membuat Kiau Hay-beng patah semangat, baru sekarang ia insyaf bahwa di
luar langit masih ada langit, orang pandai ada yang lebih pandai, dulu ia mengagulkan pukulan
tangannya tiada bandingan di seluruh kolong langit, tak nyana hanyalah pandangan cupat seperti
kodok dalam sumur belaka. Karena sudah kalah dan kapok, mana dia berani maju lebih lanjut"
Maka dengan langkah lebar cepat-cepat ia lari dari Giok-hong-koan.
Ciok Heng segera menghadang dan membentak: "Bukankah tadi kau menantang aku" Kenapa
hendak lari?" Karena ingin menyelamatkan diri, tanpa banyak bicara Kiau Hay-beng lancarkan tipu Nu-haykimliong (lautan mengamuk membekuk naga) tangan kiri menceng-kram sementara tangan
kanan tegak membelah, merangsak secara kekerasan kepada Ciok Heng! Lekas Ciok Heng
membalas dengan sejurus Hu-hun-ca-can (mega musim semi berkembang), tipu yang
mengutamakan kekerasan dilandasi kelunakan, kedua tapak tangannya berputar dan menarik,
sekaligus ia punahkan damparan pukulan tapak tangan Kiau Hay-beng. Meski ia sudah bergerak
dengan sebat dan tepat, getaran kekuatan pukulan lawan toh membuat dadanya sesak dan darah
bergolak. Sementara ditarik dan dituntun oleh tenaga lunak lawan, kekuatan pukulan
Kiau Hay-beng pun jadi sulit dilancarkan pula, tanpa kuasa ia terhuyung ke belakang. Gebrakan
pertama ini membuat kedua pihak sama kaget dan mencelos hatinya.
Pertempuran berlangsung amat cepatnya, begitu mundur Kiau Hay-beng sudah menubruk maju
pula, menyusul ia gunakan dua jurus Le-liong-tam-cu dan Tiang-king-poh-long. Menggunakan
pukulan tunggal perguruan ajaran Lim Bu-siang, Ciok Heng melayaninya dengan enteng dan
punahkan rangsakan lawan, tiga jurus kemudian, Kiau Hay-beng sudah garang di luar keropos di
dalam, gebrakan selanjutnya dia hanya kuasa membela diri tanpa kuasa balas menyerang.
Sudah tentu Ciok Heng amat heran, katanya dalam hati: "Pukulan tangan keparat ini semula
begitu keras dan ganas, kenapa mundur begini cepat, mungkin dia sedang mengatur tipu daya?"
Pada jurus kelima, dari membela diri Ciok Heng balas merangsak, sekali kesempatan ia berhasil
mendaratkan pukulannya di badan orang, baru sekarang ia tahu bahwa lawan memang sudah
kehabisan tenaga. Baru sekarang Ciok Heng sadar, "Kiranya dia tadi sudah dibikin terluka oleh Pui-susiok" Ai, jadi
di luar tahuku aku sudah memungut keuntungan ini."
Ternyata karena kibasan lengan baju si orang tua baju putih tadi,
Siau-yang-king-meh Kiau Hay-beng sudah dilukai, tapi cuma dia sendiri yang merasakan dan
tahu, orang lain sudah tentu tidak tahu menahu.
Di saat Ciok Heng kerahkan tenaga hendak melancarkan serangan yang mematikan, tiba-tiba si
orang tua baju putih herseru: "Orang ini tadi menyambut sejurus mainanku, ternyata tidak sampai
terpelanting jatuh, boleh juga kepandaiannya. Mengingat jerih payah latihan ilmunya itu, biarkan
saja dia pergi." Sudah tentu Ciok Heng tidak berani membangkang, segera ia mundur memberi jalan, Kiau Haybeng
segera lari terbirit-birit.
Dalam pada itu Boh Cong-tiu pun sudah bergebrak melawan Lim Bu-siang, kala itu mereka
sudah bertempur tiga puluhan jurus.
Lim Bu-siang kembangkan ilmu pedang yang dia pelajari di atas dinding dalam gua itu, gerakgeriknya
wajar dan seenaknya menurut keinginan hatinya, namun tipu-tipu permainannya amat
indah menakjubkan dan amat meyakinkan. Tapi walau dia unggul di atas angin, sedapat mungkin
Boh, Cong-tiu masih kuat menandinginya.
Pada pertemuan besar di Thay-san dulu, waktu pertama kali Lim Bu-siang menempur Boh
Cong-tiu untuk memperebutkan jabatan ciangbun, tidak lebih Lim Bu-siang hanya memerlukan
sepuluhan jurus untuk mengalahkan Boh Cong-tiu. Kini orang sudah bertahan selama tiga puluhan
jurus, dirinya masih belum kuasa mengalahkannya, mau tidak mau dalam hati ia merasa kagum,
katanya dalam hati: "Piauko memang amat pintar, seorang berbakat meyakinkan ilmu silat, sayang
dia tidak menempuh ke jalan benar."
Ternyata Boh Cong-tiu memang mempunyai kemampuan luar biasa yang orang lain tidak
memilikinya, yaitu apa yang pernah dilihatnya tidak akan gampang dilupakan olehnya. Sejak
kekalahannya dulu, dengan cermat ia meraba serta menganalisa ilmu pedang yang digunakan Lim
Bu-siang untuk mengalahkan dirinya, tanpa guru ternyata ia berhasil memahami dan mempelajari
secara kulitnya, meski hanya kulitnya toh dia sudah menemukan beberapa bagian intisari dari ilmu
pelajaran perguruannya yang murni. Tapi justru karena dipahaminya tanpa guru dan petunjuk
yang asli, apa yang dapat dia simpulkan toh hanya petilan-petilan belaka, betapapun tidak
selengkap dan serapi ilmu yang dipelajari Lim Bu-siang seluruhnya.
Sementara itu si orang tua sedang mempermainkan lima jago-jago silat yang sedang
mengeroyoknya, seperti kucing mempermainkan tikus, kelima orang ini adalah tokoh-tokoh kosen
dari aliran sesat yang pilihan, kepandaian silat setiap orang tidak lebih rendah dari Kiau Hay-beng.
Tapi tenaga pukulan yang dilancarkan si orang tua baju putih amat aneh, gerak-gerik mereka tidak
leluasa dan kehilangan kontrol atas diri masing-masing karena seperti dituntun atau tersedot oleh
kekuatan lunak lawan, sehingga mereka ikut berputar-putar tanpa bisa berbuat banyak.
Perhatian para murid Hu-siang-pay semula sama ditujukan pada kelompok pertempuran antara
Boh dan Lim, namun kini Lim Bu-siang jelas di atas angin, maka perhatian mereka ganti tertarik
oleh cara permainan si orang tua yang aneh dan lucu, ingin mereka tahu cara bagaimana orang
mengalahkan kelima orang pengeroyoknya.
Di saat perhatian semua orang sedang tercurahkan ke kelompok si orang tua baju putih,
mendadak Boh Cong-tiu gunakan gerak Ih-sing-hoan-wi (mengubah wujud berpindah tempat),
bagai kilat sebat sekali mendadak ia mencelat mundur ke samping Lian Jay-hong, berbareng ia
ulur jari tangannya mencengkram ke pundak istrinya. Ternyata ia hendak menawan Lian Jay-hong
sebagai sandera, Lim Bu-siang adalah sahabat karibnya, karena menguatirkan keselamatannya,
mungkin orang memberi kesempatan dirinya meloloskan diri.
Karena tidak menduga sama sekali, Lian Jay-hong kena dijambret dan dicekal, di tengah jerit
kaget banyak orang, "sret" tiba-tiba pedang Lim Bu-siang menusuk tiba, ujung pedangnya tahutahu
sudah "mengancam punggung Boh Cong-tiu, bentaknya: "Lekas lepas tangan, kalau tidak
kucabut jiwamu." Boh Cong-tiu tahu Lim Bu-siang hanya menggertak belaka, orang pasti tidak akan berani tidak
menghiraukan keselamatan Lian Jay-hong, turun tangan keji kepada dirinya, segera ia tertawa
dingin, je-ngeknya: "Jay-hong adalah istriku, kami suami istri sehidup semati, memangnya kau
bisa mencampuri" Kau ingin bunuh silakan bunuh kami bersama."
Di saat Lim Bu-siang kewalahan dan kehabisan akal, sementara belum lagi gelak tawa Boh
Cong-tiu berhenti, mendadak mulutnya menghardik keras, tahu-tahu Lian Jay-hong meronta lepas
dari cekalannya, terus menggelundung di atas tanah setombak lebih jauhnya. Ternyata di saat
suaminya bergelak tertawa, mendadak Lian Jay-hong pentang mulut menggigit, Boh Cong-tiu
sudah menelikung kedua tangannya sehingga tidak mampu bergerak, mimpi pun ia tidak menduga
bahwa istrinya bisa menggunakan gigi sebagai senjata.
Saking keras gigitan itu, sampai punggung tangan Boh Cong-tiu berdarah, bahna gusarnya,
segera ia menubruk maju seraya membentak: "Sundal kau ini, biar hari ini aku mati bersama kau!"
Karena timbul nafsu membunuhnya, tanpa hiraukan segalanya, segera ia lancarkan tangan keji.
Tapi 'sayang' ia terlambat setindak, tahu-tahu ujung pedang Lim Bu-siang yang kemilau
menyilaukan mata itu sudah menusuk tiba di depan matanya, "sret, sret, sret" beruntun tiga jurus,
mendesaknya mundur kerepotan. Karena melakukan tindakan tercela, dan muslihatnya gagal, hati
Boh Cong-tiu semakin jeri, semangat tempurnya pun sudah luluh, setelah jurus ketiga, sedikit
pedang Lim Bu-siang terjungkit naik ia ketuk jatuh kipas orang, sementara ujung pedangnya
sudah mengancam tenggorokan Boh Cong-tiu. Lekas Lian Jay-hong berpaling muka, tidak tega
melihat kematian suaminya.
Membunuhnya atau tidak" Mau tidak mau Lim Bu-siang ragu-ragu dan tidak bisa ambil putusan.
Dalam pada itu si orang tua baju putih sedang memperlihatkan kehebatan ilmu silatnya, di
antara kelebatnya sinar senjata dan tapak tangan para pengeroyoknya, tampak sekali raih dan
jambret tahu-tahu ia jinjing salah seorang musuhnya terus dilempar keluar pintu besar. "Biang,
blum!" beruntun beberapa kali menusuk pendengaran, dalam sekejap mata saja kelima tokoh silat
aliran sesat yang lihay-lihay itu sama dilempar keluar tanpa satu pun ketinggalan.
Ujung pedang Lim Bu-siang masih mengancam leher Boh Cong-tiu, pelan-pelan Boh Cong-tiu
menunduk kepala dan pejamkan mata menunggu ajal.
Sekonyong-konyong si orang tua baju putih mengebaskan lengan bajunya menyampuk miring
pedang Lim Bu-siang, serunya: "Ciangbunjin, aku mohon pengampunan kepada kau, sukalah
serahkan Boh Cong-tiu kepadaku saja."
Lim Bu-siang masukkan pedang ke dalam sarungnya, sahutnya: "Terserah bagaimana Pui
susiok hendak menghukumnya!"
Orang tua baju putih menghela napas, ujarnya: "Menurut aturan memang dia setimpal dihukum
mati, namun mengingat keluarga Boh hanya punya seorang keturunan saja, kakeknya adalah
guruku berbudi, ayahnya laksana saudara sekandung dengan aku, kuharap ciangbunjin suka
pandang mukaku, mengampuni jiwanya, biar kubawa dia pulang, akan kudidik dan kuawasi
dengan ketat." Memang Lim Bu-siang sendiri sedang berabe untuk menjatuhkan putusan, sudah tentu ia amat
girang, katanya: "Pui-susiok sudi memikul tanggung jawab ini, itulah paling baik. Semoga di
bawah didikan dan pengajaran susiok yang keras, dia bisa mencuci hati membina diri hidup
kembali menjadi manusia baik yang berguna."
Kembali orang tua baju putih menghela napas, ujarnya: "Cong-tiu, sungguh kau amat
mengecewakan aku. Sejak kecil kepintaranmu sudah menonjol, kukira kelak kau akan angkat diri,
siapa tahu ternyata kau berubah sedemikian bejatnya. Ai, aku sendiri pun bersalah tidak memberi
bimbingan secara ketat kepadamu. Tahukah kau, sejak kau kembali ke Tiong-goan, aku pun
mengikuti di belakangmu. Secara diam-diam sering aku meneliti dan mengawasi sepak terjangmu,
semula kulihat kau berhubungan dan bergaul dengan golongan pendekar, pernah pula bekerja
demi golongan lurus memberantas sampah persilatan, kau usir Cong Sin-liong yang sudi menjadi
antek kerajaan, tindak tandukmu itu amat menyenangkan hatiku. Tak nyana demi gengsi dan
kedudukanmu sendiri, semakin hari kau terjeblos ke jurang nista, belakangan meniru perbuatan
Cong Sin-liong malah. Dalam masa ini berulang kali secara diam-diam aku pernah turun tangan,
memberi peringatan kepadamu namun kau semakin tenggelam dan tidak sadar akan kesalahan
sendiri. Kupandang kebaikan kakek dan ayahmu terhadapku, aku tidak tega melihat kau badan
hancur nama berantakan, selama ini aku mengharap kau bisa insyaf dan bertobat, berlarut-larut
sampai hari ini terpaksa baru aku ambil tindakan. Kau harus ikut aku pulang ke Hwi-hi-to, apa pula
yang ingin kau katakan?"
Betapa malu Boh Cong-tiu rasanya ingin masuk ke dalam lubang untuk menyembunyikan diri,
mana berani dia bercuit lagi.
Berkata si orang tua baju putih lebih lanjut: "Lian Jay-hong, suamimu kubawa pergi, bagaimana
denganmu?" Berlinang air mata Lian Jay-hong, sahutnya: "Aku anggap suamiku dulu sudah mati. Kelak bila
dia mau sadar dan memperbaiki kesalahannya, mungkin aku masih mau mengakuinya."
Sampai di sini, tampak Coh Sian-san berjalan keluar dan memberi tahu: "Sudah kuusahakan
pertolongan pertama, namun jiwa Cong Sin-liong tidak tertolong lagi."
"Kini kita tidak perlu mengom-pes keterangannya, sudah mati ya sudah," ujar Ciok Heng.
"Sudah cukup kenyang pihak Hu-siang-pay kita mendapat mala petaka gara-gara
perbuatannya, kematiannya ini malah menguntungkan dia," demikian omel Coh Sian-san.
Si orang tua baju putih mendengus, ujarnya: "Orang yang berbuat jahat pasti akan menerima
ganjarannya yang setimpal. Cong-tiu, kalau kau tidak tahu mencuci hati membina diri, apa yang
dialami Cong Sin-liong hari ini bakal kau alami pula!" Habis berkata lantas dia berlalu membawa
Boh Cong-tiu. Lim Bu-siang lantas memberi wejangan kepada para murid-murid Hu-siang-pay: "Bagi orang
yang belajar ilmu silat seperti kita ini, yang utama harus dapat membedakan benar dan salah,
bajik dan setia kenal keadilan, bagaimana hasil latihan silatmu itulah soal kedua." Semua murid
sama mengiakan, cuma murid-murid yang semula mengekor Boh Cong-tiu sama menunduk dan
amat nenyesal dan berjanji akan memperbaiki diri.
Berkata Lim Bu-siang lebih lanjut: "Orang baik atau orang jahat, ada kalanya sukar kita
membedakannya begitu saja. Kita perlu meneliti tindak tanduk serta tutur kata dan perbuatannya,
bukan mustahil harus makan waktu yang cukup lama baru bisa kita ketahui. Biar sekarang aku
bicara blak-blakan dengan kalian. Boh Cong-tiu adalah piaukoku, sejak kecil kami dibesarkan
bersama, aku amat kagum dan memujanya, kukira dia seorang gagah, seorang pahlawan bangsa,
kira-kira setahun yang lalu, baru lambat laun aku menyadari bahwa piaukoku itu tidaklah sebaik
seperti yang kubayangkan semula, tapi aku hanya mengira lantaran dia terlalu berambisi saja,
ingin memperbesar dan mengembangkan ajaran perguruan, dan sampai hari ini, baru aku tahu
bahwa dia betul-betul sudah bejat begitu rupa. Dari kenyataan yang kupaparkan ini, dapatlah
disimpulkan betapa sukar untuk menyelami jiwa seseorang! Di antara kalian entah siapa yang
pernah bertindak secara gegabah, mau ditipu oleh Boh Cong-tiu, cukup asal ingat akan
peringatanku tadi, tidak perlu harus menyesal diri dan dalam hati. Dan lagi, terhadap mereka yang
suka memperbaiki kesalahannya, siapapun dilarang menghina atau mencercanya." Kata-kata
panjang lebar ini membuat semua orang tunduk lahir batin, murid-murid yang semula mengekor
kepada Boh Cong-tiu pun berlega hati dan bersyukur.
Kata Ciok Heng: "Tapi terhadap orang yang berbeda mulut dengan perbuatannya, malah purapura
suci dan sebetulnya musuh dalam selimut, mungkin kita masih harus bikin pembersihan
terhadap mereka?" "Maksudmu tindakan terhadap Pau Gi?"
"Benar, Pau Gi si keparat itu mungkin sudah kabur di waktu kegaduhan tadi."
"Baik, kalau dia sudah pergi, sejak sekarang dia tidak termasuk murid Hu-siang-pay kita lagi.
Selanjutnya bila dia tidak berbuat sewenang-wenang, kita pun tidak usah hiraukan dia, bila
melakukan tindakan yang merugikan perguruan kita, biar kelak kita menghadapinya serta
memberantasnya bersama."
Syukur malapetaka sudah lewat bagi Hu-siang-pay, urusan membikin bersih perguruan dari
anasir-anasir jahat sudah mencapai sukses yang gemilang, semua orang sama girang dan
berpesta pora, hal ini tidak perlu kita bentangkan lebih lanjut.
Malam itu Lim Bu-siang tidur sekamar dengan Hun Ci-lo, mereka mengobrol sepanjang malam,
hubungan mereka semakin akrab dan intim.
Setelah hening sesaat lamanya, tiba-tiba Lim Bu-siang bertanya: "Hun-cici, sejak kecil kau
sudah kenal sama Beng Goan-cau, sudah tentu kau lebih jelas mengenai watak dan
martabatnya..." "Bagaimana kalau menurut pendapatmu sendiri?" balas tanya Hun Ci-lo.


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Beng-toako jarang memikirkan diri sendiri, namun dia suka memberi dorongan dan bimbingan
kepada orang lain. Semoga aku bisa mempelajari kebaikannya ini."
"Sayang Goan-cau tidak di sini, mendengar ucapanmu ini, tentu dia akan anggap kau sebagai
teman karibnya yang bisa mendalami perasaannya."
"Hun-cici, sejak dulu kau adalah teman karibnya yang terdekat."
"Ya, tapi lain karib lain intim. Bu-siang, ingin aku bicara dari hati ke hati padamu, Goan-cau
memang seorang teman yang sukar dicari keduanya, hubunganmu dengan dia kukira bisa dijalin
lebih erat dari pergaulan umumnya."
Keadaan kamar gelap, Lim Bu-siang tidak bisa melihat air muka Hun Ci-lo, namun dari nada
perkataan orang, ia bisa merasakan ketulusan kata-katanya yang dilimpahkan dari lubuk hatinya
yang paling dalam, keruan merah jengah mukanya.
Selanjutnya berkata pula Hun Ci-lo tersenyum: "Bu-siang, baik juga bila kau tidak menjadi
ciangbun." Perasaan seorang gadis amat halus dan tajam, apalagi mereka punya pujaan hati yang sama.
Hati mereka seolah-olah sudah terjalin dalam ikatan satu benang. Begitu mendengar kata-kata
Hun Ci-lo, Lim Bu-siang sudah tahu apa yang hendak dikatakan.
Benar juga didengarnya Hun Ci-lo bicara lebih lanjut: "Pihak kera-jaan sedang mengerahkan
bala tentaranya siap untuk menggempur Siau-kim-jwan, kalau kau bisa menyediakan diri pergi ke
Siau-kimjwan berjuang berdampingan dengan Beng Goan-cau, jauh lebih berarti daripada kau
menduduki jabatan ciangbunmu di sini."
Apa yang dikatakan ini memang tugas mulia yang ingin dilakukan Lim Bu-siang, katanya lirih
malu-malu: "Hun-cici, kukira kau pun ingin ke Siau-kim-jwan, kalau begitu kita bisa seperjalanan
ke sana." "Tidak, aku tidak akan pergi ke Siau-kim-jwan," jawaban Hun Ci-lo di luar dugaannya. "Aku
sendiri punya urusan dengan Miao-toako hendak menuju ke Tayli di Hun-lam."
Betapapun Lim Bu-siang masih belum menangkap isi hati Hun Ci-lo, namun setelah ia pikirkan
secermatnya, hatinya pun bisa maklum, batinnya: "Dia datang berkawan Miao tayhiap, sudah
tentu harus pergi bersama dia pula Aku sendiri bertekad pergi ke Siau-kim-jwan, kenapa mengira
orang pun punya maksud yang sama. Bahwasanya meski dia tunangan lama Behg-toako, mereka
sudah berpisah sepuluhan tahun lamanya."
"Ada kau yang mengurusi Goan-cau, tidak perlu aku ke Siau-kim-jwan lagi," demikian kata Hun
Ci-lo tertawa. "Persoalan dengan Miao-toako ini, mau tidak mau aku harus ikut dia untuk
menyelesaikannya." Seperti diketahui Hun Ci-lo ditemani Miao Tiang-hong hendak menjemput putranya, apa yang
dia katakan memang sejujurnya. Dia kira urusan pribadi yang menyangkut Hun Ci-lo dan Miao
Tiga Dara Pendekar Siauw Lim 4 Naga Sakti Sungai Kuning Huang Ho Sin-liong Karya Kho Ping Hoo Pendekar Gunung Lawu 2

Cari Blog Ini