Ceritasilat Novel Online

Kelana Buana 27

Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen Bagian 27


Tiang-hong sendiri, sudah tentu tidak enak ia bertanya lebih lanjut.
Hari kedua Hun Ci-io lantas pamitan kepada Lim Bu-siang, sebetulnya Lim Bu-siang ingin
menahannya beberapa hari lagi, namun Hun Ci-lo amat kangen kepada putranya, ia berkukuh
hendak berangkat. Terpaksa Lim Bu-siang mengantarnya sampai di bawah gunung, kata Hun Cilo:
"Bu-siang, tiada perjamuan yang tak bubar, kau kembalilah. Lekas kau selesaikan tugas-tugas
ciangbunjinmu supaya kau bisa lekas tiba di Siau-kim-jwan."
Berat sekali Lim Bu-siang berpisah, katanya: "Baik, silakan kalian berangkat."
Agaknya Hun Ci-lo teringat apa-apa, tiba-tiba ia berpaling, katanya dengan muka merah malu:
"Kalau kau bertemu Goan-cau tolong kau beritahukan kepadanya, bahwa aku pergi ke Hunlam
bersama Miao toako, mungkin tidak sempat ke Siau-kim-jwan menjenguknya, supaya dia tidak
usah kuatir akan diri kami."
Sebetulnya kata-kata ini semalam sudah dia utarakan kepada Lim Bu-siang, namun sekarang ia
kemukakan sekali lagi, artinya justru lain dan berbeda. Pertama ia bicara langsung di hadapan
Miao Tiang-hong, itu berarti secara terbuka sudah mengakui akan hubungan mereka yang intim
mesra. Kedua, sebelum berpisah dia minta Lim Bu-siang mewakili dirinya menyampaikan isi
hatinya ini kepada Beng Goan-cau.
Diam-diam Lim Bu-siang bersyukur bagi mereka, lubuk hatinya pun amat senang bagi diri
sendiri, katanya: "Hun-cici, legakan hatimu, pesanmu ini pasti kusampaikan kepadanya."
Setelah berpisah, Hun Ci-lo melanjutkan perjalanan dengan Miao Tiang-hong. Tiba-tiba Miao
Tiang-hong menghela napas panjang.
Kata Hun Ci-lo: "Miao-toako, kau tahu aku bukan perempuan yang tidak tahu malu, apa yang
kukatakan tadi, kuharap kau tidak tidak menaruh dalam hati!"
"Aku maklum akan tujuanmu, kau sudi berkorban diri demi orang lain, sungguh aku kagum
kepadamu!" "Memangnya kenapa kau menghela napas?"
Miao Tiang-hong kemekmek, sekian lamanya ia tidak tahu cara bagaimana harus menjelaskan.
Pendek kata perjalanan jauh ini mereka tempuh dengan selamat tanpa kurang suatu apa. Hari
itu mereka tiba di Gun-bing. Gun-bing adalah ibukota propinsi Hunlam, kira-kira enam ratusan li ke
arah barat adalah letak Tiam-jong-san, di sanalah negeri Tay-li yang mereka tuju.
Kata Miao Tiang-hong: "Tiga hari lebih cepat dari perhitunganku semula. Selama sebulan ini,
kita siang malam menempuh perjalanan, apa kau tidak merasa penat?"
"Penat sih tidak, cuma agaknya perlu ganti pakaian baru." Memang pakaian yang dibawanya
sudah kotor dan kucel kena debu dalam perjalanan.
"Gun-bing merupakan kota besar pusat perdagangan, apa sukarnya mencari pakaian baru"
Malam ini menginap semalam, dengan ongkos berlipat pasti semalam kita bisa mencari tukang
jahit yang sudi membuat secara kilat."
Gun-bing merupakan salah sebuah kota yang hawa udaranya paling baik di seluruh negeri,
empat musim tetap seperti musim semi. Pemandangan indah, segalanya pasti memuaskan selera
setiap pengunjung. Walau waktu itu sudah menjelang musim rontok, namun pepohonan di sini
tetap menghijau dan tumbuh subur. Setelah masuk kota tampak suasana ramai, semuanya serba
bersih dan rapi, di mana-mana terdapat taman kembang dan deretan pohon-pohon rindang. Di
kaki gunung Say-san terdapat Tian-ti seluas lima ratusan li. Sepanjang jalan memasuki Gun-bing
ini mereka sudah melewati banyak tempat-tempat tamasya yang termasyhur dan banyak
dikunjungi orang. Kata Hun Ci-lo: "Tempat ini amat baik, menurut pandanganku, keindahan Tian-ti agaknya jauh
lebih alamiah daripada Se-ouw."
"Kalau kau naik ke Saysan dan memandang Tian-ti jauh lebih elok! Em, agaknya kau berkesan
di sini, bagaimana kalau kita menetap satu hari lagi di sini" Perjalanan ke Tayli tidak lebih hanya
enam ratusan li, dalam jangka tiga empat hari pasti sudah kita tiba di sana."
Perjalanan jauh selama sebulan ini, meski badan Hun Ci-lo masih kuat bertahan, betapapun
semangatnya jauh lebih berkurang, katanya tertawa: "Baik, perjalanan sudah dekat, tidak perlu
tergesa-gesa, boleh besok kau ajak aku bertamasya keliling kota." Setelah mendapatkan tukang
jahit pakaian, dengan nama kakak beradik mereka lantas mencari penginapan.
Hari kedua pagi-pagi benar mereka sudah bangun, kata Miao Tiang-hong: "Waktu satu hari
saja, tidak banyak yang bisa kita nikmati. Terpaksa kita atur begini saja, pagi ini kita tamasya di
Toa-koan-wan, sorenya menjelajah Saysan, bagaimana?"
"Aku sendiri belum pernah datang ke Gun-bing, terserah bagaimana kau hendak mengatur
acara." Toa-koan-wan memang sebuah taman kembang atau kebun raya yang amat besar dan luas,
merupakan suatu tempat tamasya yang sering dikunjungi wisatawan. Di pusat taman kembang ini
dibangun sebuah Toa-koan-lau, bangunan kuno berloteng yang megah dan mentereng pula,
tingginya ratusan tombak, bila naik ke atas loteng, dari kejauhan dapat memandang ke Tian-ti dan
keadaan Toa-koan-wan itu sendiri.
Hun Ci-lo dan Miao Tiang-hong tidak ketinggalan ikut menikmati panorama yang permai dari
ketinggian pagoda berloteng tinggi ini, tengah mereka asyik dalam buaian alam nan indah itu,
tiba-tiba di bawah sana terdengar suara gembreng ditabuh bertalu-talu.
Waktu Hun Ci-lo alihkan pandangannya ke arah suara, tampak di sebuah tanah kosong di
samping sana tengah merubung sebuah lingkaran pagar manusia, di tengah lingkaran orang-orang
yang menonton itu terdapat seorang laki-laki pertengahan umur dan seorang gadis jelita usia
enam belasan tahun, orang yang memukul gembreng adalah laki-laki pertengahan umur itu.
Sementara gadis cilik itu dengan tersenyum manis sedang bersoja kepada para penonton
sekelilingnya, agaknya dia minta para penonton supaya mundur dua langkah supaya gelanggang
dibikin besar. Tanah kosong ini kebetulan terletak di pusat taman yang sering dilalui orang banyak, jaraknya
ada lima enam puluhan langkah dari pagoda berloteng ini. Sedang Toa-koan-lau itu sendiri
tingginya ada ratusan kaki, dari atas memandang ke bawah dapat melihat keadaan di bawah
dengan jelas, tapi percakapan di sebelah bawah mereka tidak bisa mendengar dengan jelas.
Suara gadis cilik itu merdu laksana kicauan burung kenari, nyaring menusuk pendengaran.
Sayang suaranya lirih, setelah pasang kuping dengan seksama, baru Hun Ci-lo mendengar apa
yang dia ucapkan. Katanya tertawa: "Kiranya ayah anak yang sedang mengamen, nona cilik itu
berkata ayahnya bisa main sulap, Miao-toako, apa kau ingin turun melihatnya?"
"Main sulap di kangouw adalah bohong dan menipu orang belaka, lebih baik aku menikmati
panorama Tian-ti di tempat ini."
"Nona cilik itu punya suara merdu yang enak didengar, kalau dia bernyanyi tentu amat merdu
dan mengasyikan." Maka dilihatnya laki-laki pertengahan umur itu sedang meletakkan gembrengnya, kini ia ganti
mengambil sebuah alat musik, katanya: "Niuniu, cobalah kau nyanyikan sebuah lagu untuk para
penonton." Kata Hun Ci-lo girang: "Ternyata memang dia pandai menyanyi."
"Kita dengar di sini saja juga sama, kenapa harus berdesakan dengan orang banyak!"
"Baik, sambil menikmati panorama sekaligus mendengar nyanyiannya."
Semula Hun Ci-lo tidak terlalu memperhatikan nyanyian si nona cilik, tak nyana begitu orang
tarik suara, perhatian Hun Ci-lo jadi tertarik kepada suara nyanyiannya.
Suaranya nyaring merdu, setiap bait setiap patah dinyanyikan amat jelas dan lembut, jauh
berlainan dengan lagu kata-katanya tadi. Diam-diam kaget Hun Ci-lo dibuatnya, pikirnya:
"Ternyata nona cilik ini pernah meyakinkan Iwekang."
Perlu diketahui, bila seseorang bisa mengantar suaranya dari jarak puluhan langkah ke tempat
ketinggian ratusan tombak, kalau orang itu tidak membekal hawa murni yang kuat tidak mungkin
terjadi. Kalau laki-laki kasar yang suara keras gembar-gembor di bawah, mereka mendengar
dengan jelas, hal ini tidak perlu dibuat heran, namun nyanyian nona cilik ini dapat mereka dengar
juga dengan amat jelasnya, sudah tentu hal ini menarik perhatian mereka. Miao dan Hun adalah
ahli silat, sekali dengar lantas mereka tahu bahwa nona cilik ini pernah meyakinkan Iwekang, oleh
karena itu baru dia biSa mengerahkan hawa murni mengantar suaranya ke tempat jauh, meski
bukan Iwekang tingkat tinggi, betapapun sudah mempunyai dasar-dasar yang kokoh, mau tidak
mau orang harus mengindahkan kepadanya.
Mau tidak mau Miao Tiang-hong sendiri pun tertarik juga perhatiannya. Tanpa terasa Hun Ci-lo
sampai melamun oleh buaian nyanyian orang yang mengandung perasaan rawan.
Tepuk tangan yang riuh rendah menyentak sadarkan lamunan Hun Ci-lo. .
Kata Miao Tiang-hong: "Menarik juga nyanyian nona cilik ini, naga-naganya ayah beranak ini
punya asal-usul yang bukan semba-rangan."
Hun Ci-lo manggut-manggut, katanya: "Nona cilik itu sedang berusia tujuh belasan, masa akil
balik dan berkembang asmaranya, kenapa dia melagukan syair-syair yang begitu menyedihkan"
Bagaimana pula dia bisa meresapi makna dari syair-syair itu?"
Setelah selesai nyanyiannya, si gadis cilik tersenyum, katanya: "Nyanyianku tidak baik, harap
para hadirin memaafkan."
Seorang laki-laki berpakaian seragam tentara segera berseru dengan suara ganjil: "Nona cilik,
baik sekali nyanyianmu! Coba sekali lagi!"
"Aku sudah menunjukkan kejelekanku. Silakan kalian minta ayahku main sulap saja, tanggung
permainannya jauh lebih menarik dan mengasyikan."
Laki-laki pertengahan itu terbahak-bahak, ujarnya: "Putriku ini hanya mengagulkan aku saja,
terima kasih akan kehadiran saudara-saudara, sekarang biar kumainkan menelan golok
menyemburkan api saja."
Mendengar ada permainan sulap yang bakal mendebarkan hati dan menusuk perasaan, para
penonton serempak bertepuk tangan.
Berkata pula laki-laki pertengahan umur itu: "Permainanku ini boleh dikatakan sulap, tapi juga
boleh dikata bukan."
"Kenapa begitu?" tanya seorang penonton.
"Sulap selalu mengelabui orang, permainan menelan golok dan menyemburkan api yang
kuperton-tonkan nanti sudah tentu juga pura-pura saja, namun tidak semuanya aku mengelabui
tuan-tuan," demikian laki-laki pertengahan umur menjelaskan.
Perwira itu agaknya menjadi uring-uringan karena nona cilik tidak mau menyanyi, katanya
dingin: "Sudah jangan bertingkah lagi, lekaslah mainkan sulapmu!"
Di pinggir gelanggang kebetulan ada orang jualan ronde, api dalam tungkunya sedang
membara besar. Laki-laki pertengahan itu mencabut sebilah golok, sementara si nona menyekal
sebatang tongkat kayu, segera mereka berhantam dengan seru.
Perwira itu lagi-lagi berkaok-kaok: "Bukankah tadi kau hendak main sulapan, siapa sabar
melihat kalian ayah beranak main silat segala?"
Miao Tiang-hong berkata kepada Hun Ci-lo: "Ilmu golok yang dimainkan laki-laki itu adalah
Ngo-hou-toan-bun-to dari keluarga Lau di Poting, beberapa jurus ilmu goloknya itu memang
kepandaian asli yang tulen."
Terdengar "tak" tabasan golok laki-laki pertengahan itu bikin kayu di tangan nona cilik itu
terpapas kutung. Kata laki-laki itu: "Tuan-tuan sudah lihat jelas, golok baja ini adalah senjata
tulen?" Para penonton berseru bersama: "Ya, memang golok tulen!"
Segera laki-laki itu mendekati ke depan tungku milik penjual ronde itu, katanya: "Sahabat,
tolong pinjam tungkumu sebentar." Lalu ia masukkan goloknya ke dalam tungku yang membara
besar apinya, tak lama kemudian ia tarik keluar pula goloknya itu, tampak seluruh batang golok
baja itu sudah terbakar merah menganga
Pelan-pelan laki-laki itu angkat goloknya terus dimasukkan ke dalam mulutnya sampai di
gagangnya, seketika para penonton sama menjerit kaget. Laki-laki itu mendadak pentang mulut
dan menyemburkan selarik sinar merah, segu-lung api menyembur dari mulutnya, golok baja itu
pun mencelat keluar dari mulutnya. Laki-laki itu segera menjura, katanya: "Maaf memper'tunjukkan kebodohan belaka!" Semua penonton bertepuk dan bersorak memuji.
Hun Ci-lo heran: "Golok baja yang terbakar membara dia masukkan ke dalam mulut, kalau
permainan sungguhan, maka lwekangnya pasti amat tinggi."
"Sudah tentu pura-pura saja, golok yang dia masukkan ke dalam mulutnya itu lapis demi lapis
bisa diperpendek, dalam mulutnya sudah mengulum sarung goloknya, sebetulnya goloknya itu dia
masukkan ke dalam sarung goloknya sendiri. Mengenai semburan api, itu tidak perlu dibuat heran,
semacam bubuk obat yang dikulum dalam mulut bisa disemburkan menjadi api, tapi api yang
bersuhu dingin." "Kalau golok itu bisa amblas berlapis-lapis, kenapa kuat memotong kayu?"
"Golok yang dia masukkan ke dalam mulutnya itu sebelumnya sudah dia ganti dengan golok
yang lain, cuma gerak tangannya terlalu cepat, para penonton tiada seorang pun yang tahu,
permainan mengganti goloknya itu betul-betul kepandaian asli."
"O, kiranya begitu, aku pun kena dikelabui."
Sementara itu, perwira itu tiba-tiba melangkah maju ke tengah gelanggang, katanya:
"Kepandaian bagus! Coba kau mainkan sekali lagi telanlah golokku ini, tidak perlu aku
membakarnya, tentu kau lebih gampang menelannya."
Laki-laki pertengahan segera unjuk tawa, ujarnya: "Tayjin, aku toh main sulapan, mana boleh
dianggap sungguhan?"
Perwira itu menjengek dingin: "Bukankah kau katakan setengah pura-pura setengah tulen"
Hehe, aku tahu kau seorang ahli yang menyembunyikan diri, sekarang sengaja aku maju hendak
menjajal kepandaian aslimu!"
Laki-laki itu tertawa kecut, katanya: "Tayjin jangan main-main, aku punya kepandaian sejati
apa?" Perwira itu menarik muka, tiba-tiba ia menghardik: "Siapa main-main dengan kau" Tidak kau
telan golok ini juga boleh, asal putrimu ikut aku pulang."
Nona cilik itu menimbrung tanya: "Tayjin ingin aku ikut untuk apa?"
"Suara nyanyianmu enak didengar, Ong-congping yang berkuasa di kota ini suka ditemani
nona-nona cilik yang pandai nyanyi, ayo kau ikut aku menemui beliau, kalau bisa menghibur
hatinya, kau sendiri nanti yang beruntung!"
Berubah air muka si nona, katanya dingin: "Aku tidak mau!"
"Kalau tidak mau, biar ayahmu menelan golokku ini!" Tangan kanan ia angkat golok sudah
bergaya hendak membacok dari atas, sementara tangan kiri terulur hendak menarik nona cilik itu.
Tegak alis si nona, lekas ia kibaskan tangannya menangkis. Bergegas ayahnya pun menariknya
ke samping, lalu memberi kedipan mata kepada putrinya, katanya: "Budak liar ini tidak tahu adat
kesopanan. Tayjin sukalah kau ber-murah hati!"
"Tidak bisa!" hardik si perwira. "Kau pilih satu saja, dia ikut aku atau kau menelan golokku.
Tiada pilihan ketiga!"
Hun Ci-lo yang berada di atas pagoda diam-diam ikut gugup bagi keselamatan ayah beranak
ini. Sebaliknya Miao Tiang-hong tertawa, ujarnya: "Tidak perlu kau kuatirkan mereka, kalau
sampai turun tangan sungguhan, cukup nona kecil itu saja bisa bikin si perwira itu jungkir balik!"
"Aku tahu mereka membekal kepandaian silat, namun naga-naganya mereka menguatirkan
sesuatu, tidak berani melawan tentara yang sewenang-wenang ini."
Di saat mereka sangsi dan bicara di atas pagoda, tiba-tiba dilihatnya di antara kelompok
penonton menerobos keluar seorang gadis remaja, usianya kira-kira sebaya dengan nona cilik itu,
raut mukanya malah jauh lebih cantik dan rupawan.
Tatkala itu si perwira sudah ulur tangan hendak mencengkram si nona cilik, gadis remaja ini
mendadak menyelonong maju menghadang di depan si nona, bentaknya: "Di siang hari bolong
seperti ini, kau perwira anjing ini berani bertingkah mempermainkan orang."
Perwira itu tertegun sebentar, tidak marah dia malah terbahak-bahak, serunya: "Aih, kau lebih
cantik, baik, kau hendak menolong dia, biar kau saja yang mewakilinya." Belum habis katakatanya.
Tiba-tiba "plak" muka si perwira tahu-tahu sudah digampar oleh si gadis remaja dengan
keras. Sudah tentu kaget dan marah si perwira bukan main, setelah terhuyung mundur setapak
segera mulutnya mencaci maki: "Budak busuk, berani kau memberontak?" Goloknya kontan
membacok si gadis remaja.
Laki-laki pengamen itu segera berteriak: "Tayjin, jangan!" Segera ia memburu maju sambil ulur
tangan hendak menarik si perwira, tak nyana belum suaranya lenyap, belum lagi tangannya
menyentuh badan si perwira, tahu-tahu didengarnya "krak", sekali gentak gadis remaja itu sudah
meremas hancur tulang pergelangan tangan si perwira, golok bajanya pun telah terebut olehnya.
"Katamu aku memberontak, biar sekarang kuhajar kau lebih dulu, kau mau apa!" damprat gadis
itu, golok terayun di tengah udara, ia sudah siap membunuh perwira itu.
Kembali laki-laki pengamen itu berseru: "Nona, jangan!"
Dari kelompok penonton tiba-tiba tampil seorang pemuda bertindak lebih cepat dari laki-laki
pengamen itu, sekali raih ia tarik gadis remaja itu, katanya mengomel: "Kau belum cukup
membuat gara-gara" Kenapa selalu kau suka turut campur urusan orang lain?"
Saking ketakutan perwira itu berkaok-kaok seperti babi disembelih, segera ia lari pontangpanting
dari kerumunan penonton, sambil lari ia memaki: "Budak busuk, tunggu akibatnya nanti!
Kalau tidak kubikin kau tahu kelihayanku, selanjutnya aku bukan she Thio."
Karena ditarik dan dirintangi si pemuda, nona itu memonyongkan mulut, rengeknya: "Turut
campur urusan apa, memangnya kau tega melihat perwira anjing itu menggoda dan
mempermainkan rakyat jelata?"
Pemuda tu segera membujuk dengan suara lirih: "Adikku yang bodoh, kepandaian orang jauh
lebih tinggi dari kau, tahu!"
Nona cilik itu segera maju menyatakan terima kasih. "Karena kami, sampai kalian berdua ikut
terembet, sungguh harus disesalkan."
Laki-laki pengamen itu pun tertawa, ujarnya: "Sudah, jangan banyak bicara lagi, meski tinggi
kepandaian kita masa kuasa melawan penguasa setempat, kejadian sudah berselang, lebih baik
lekas menyingkir saja!"
Dalam sekejap, para penonton dan kedua ayah beranak pengamen itu sudah tinggal pergi,
demikian juga kedua kakak beradik itu tidak kelihatan pula bayangannya.
Begitu melihat gadis remaja itu muncul, Miao Tiang-hong yang berada di atas pagoda menjadi
kaget, hampir ia- menyangka pandangannya kabur. Kiranya gadis remaja itu bukan lain adalah Bu
Cheng, sedang si pemuda adalah engkohnya Bu Toan.
Tidak sempat menjelaskan kepada Hun Ci-lo, lekas ia ajak orang turun ke bawah. Sayang
sudah terlambat, waktu mereka memburu tiba di tempat itu, semua orang sudah bubar.
Terpaksa Miao dan Hun mencari-cari di dalam taman kembang itu, setiap ketemu orang
bertanya, orang lain tidak tahu asal-usul mereka, ada yang anggap mereka sebagai mata-mata
gelap pihak penguasa, maka tiada orang yang mau menerangkan.
Ternyata dalam Toa-koan-wan terdapat banyak sekali gunung-gunungan palsu dan deretan
pohon-pohon kembang yang tersebar di mana-mana, Bu Toan berdua lari di antara rombongan
para penonton, sekejap saja sudah lenyap dan tak kelihatan pula jejaknya, sudah tentu amat sulit
mencari mereka setelah berselang beberapa saat kemudian.
"Siapakah mereka sebenarnya?" tanya Hun Ci-lo.
"Masih teringat pada suciku yang pernah kuceritakan dulu?"
"Maksudmu istri Bu Ting-hong Bu tayhiap dari Bu-seng di Soa-tang" Sucimu yang mirip dengan
aku itu?" tanya Hun Ci-lo.
"Betul, kakak beradik yang kau lihat tadi adalah keturunannya. Yang laki bernama Bu Toan,


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

adiknya bernama Bu Cheng. Setahun yang lalu aku berpisah dengan mereka di Ang-tik-ouw tak
nyana mereka pun berada di sini!"
Setelah gagal menemukan jejak Bu Toan berdua, terpaksa Miao Tiang-hong berdua beranjak ke
luar, betul juga dilihatnya sepasukan tentara di bawah pimpinan seorang perwira lain meluruk
datang hendak menangkap orang, beberapa orang pelancong yang kebetulan tiba di depan pintu
luar, sedang dimintai keterangan oleh tentara-tentara itu.
"Kita masih harus ke Say-san tidak?" tanya Hun Ci-lo.
Miao Tiang-hong berpikir sebentar, lalu katanya: "Laki-laki pengamen tadi adalah kawakan
kangouw, pastilah mereka tidak akan tinggal di dalam kota. Mari kita tetap ke sana!"
Dalam perjalanan, Miao Tiang-hong amat masgul. Hun Ci-lo segera membujuk: "Gugup juga tak
berguna, toh mereka memiliki kepandaian tinggi, masakah begitu gampang teringkus oleh
pasukan tentara tadi."
"Aku sedang mengenang suciku yang sudah wafat, sejak mereka suami istri gugur, sampai
tahun lalu baru aku berhasil menemukan putra putri mereka."
"Aku tahu, waktu kecil lantaran sucimu itu sampai kau berkelahi dengan suhengmu she Ci itu.
Katamu Bu Cheng punya teman karib bernama Lau Khong, seorang tokoh penting dari Thian-tehwe!"
"Ya, aku pun kangen kepada Lau Khong. Dia seorang laki-laki sejati, wataknya rada cocok
dengan aku. Biasanya Bu Toan berdua selalu bersama dia, kenapa kali ini tidak terlihat
bayangannya?" "Kemungkinan dia pun berada di Gun-bing, hari ini tidak ikut tamasya ke Toa-koan-wan."
Sambil bicara tanpa terasa mereka sudah tiba di Saysan, cuaca baru menjelang lohor, udara
cerah, inilah saat paling baik untuk bertamasya di alam pegunungan. Kata Hun Ci-lo: "Tak heran
orang sering bilang panorama di Gun-bing lain daripada yang lain, ternyata memang tidak
bernama kosong!" "Bila tiba di atas, masih ada pemandangan yang lebih elok dan permai." Semakin tinggi
keadaan gunung semakin aneh dan berbahaya. Setiba di Liongbun (pintu naga), keadaan lebih
mengejutkan dan membuat berdebar jantung setiap pelancong.
Liongbun merupakan salah satu tempat tamasya yang termasyhur di Saysan, pintunya berlapislapis
seperti ditumpuk di lampimg gunung yang terjal. Dari bawah melihat ke atas dinding batu
terjal setinggi ribuan tombak, biara di atas puncak seolah-olah tergantung di tengah udara,
sebelah bawahnya adalah Tian-ti yang penuh diliputi kabut mengembang. Setingkat demi
setingkat Miao dan Hun naik pelan-pelan, deru angin yang deras mengeluarkan suara menderu
sampai pakaian mereka melambai-lambai, seolah-olah mereka sedang memasuki dunia dewata.
Jalan berliku yang dibuat membelakangi jurang adalah sedemikian berbahayanya, ada kalanya
harus menye-lusuri lorong-lorong batu panjang yang sempit dan hanya tiba cukup seorang jalan.
Kata Hun Ci-lo: "Keadaan seperti ini mirip benar dengan Cappwe-ban di Thay-san, tapi jauh
lebih berbahaya dari Cap-pwe-ban."
Begitulah mereka terus naik ke atas, sampai tiba pada tingkat tertinggi. Di sini dengan puas
mereka bisa jelajahkan pandangannya ke seluruh pelosok, tampak gunung bersambung gunung
seperti gajah beriring, sungai berliku laksana naga melingkar, mega mengembang seperti
permadani yang menutupi alam pegunungan yang menghijau, saking asyik dan terpesona sampai
sekian lama mereka berdiam diri.
Sesaat lamanya mereka berpandangan, tiba-tiba Miao Tiang-hong berbisik: "Agaknya di sebelah
bawah ada orang sedang bicara."
Lorong-lorong batu di Liongbun ini digali lewat dinding gunung yang berliku-liku, bolak-balik,
dalam beberapa langkah saja, masing-masing tidak bisa melihat kawannya. Tapi suara itu
berkumandang dari dinding gunung, meski suaranya lirih, namun gemanya terbawa angin dan
terdengar jelas sekali. Terdengar seorang dengan logat Pakkhia sedang berkata: "Ci-lotoa, musuhmu pun berada di
Gun-bing, apa kau sudah tahu?"
Seorang lain dengan logat Soa-tang bertanya: "Siapa maksudmu?"
Mendadak Miao Tiang-hong rasa suara orang ini amat dikenalnya, kilas lain berubah roman
muka dan kaget hatinya. Hun Ci-lo segera bertanya di pinggir kupingnya: "Kau kenal kedua orang
ini?" Miao Tiang-hong manggut-manggut, sahutnya lirih: "Satu di antaranya adalah Sebun Soh, yang
lain adalah Cl Coh."
"Ci Coh" Suhengmu yang pernah berkelahi dengan kau dulu?"
Miao Tiang-hong manggut-manggut.
Hun Ci-lo mendengus ujarnya: "Cepat juga mereka mendapat kabar, ternyata sudah tahu bila
kita berada di Gun-bing."
Sementara itu terdengar Sebun Soh berkata pula di bawah: "Dua orang yang pasti berada di
luar dugaanmu." "Lawan lihay macam apakah yang hendak mengeroyok aku" Sebun Tayjin, sukalah kau bicara
terus terang?" "Mereka sih tidak begitu lihay, boleh dikata mereka malah masih angkatan mudamu,
memangnya kau tidak bisa menebaknya?"
Ci Coh menghela napas, ujarnya: "Tidak sedikit orang-orang dalam kalangan kangouw yang
terhitung angkatan mudaku, buat apa aku membuang tenaga untuk menebaknya. Sebun Tayjin
coba kau terangkan saja."
"Mereka adalah angkatan muda perguruanmu sendiri."
Ci Coh tertegun, katanya: "Maksudmu adalah Bu Toan dan Bu Cheng?"
"Tidak salah, memangnya mereka bukan termasuk sutitmu?"
Semula Miao Tiang-hong menyangka dua musuh yang sedang dibicarakan itu adalah dirinya
dan Hun Ci-lo, baru sekarang ia paham, namun semakin terkejut hatinya, pikirnya: "Jejak Bu Toan
berdua sudah ketahuan mereka, gelagatnya tentu tidak menguntungkan. Aku harus mencegah
mereka mencelakai kedua kakak beradik, itu. Cuma kepandaian silat Ci-lo selama beberapa bulan
ini tidak pernah dilatih, mungkin bukan tandingan mereka."
Setelah mendengar nama yang disebut Sebun Soh sebagai musuh besarnya, tak terasa Ci Coh
terbahak-bahak. "Memangnya apa yang perlu kau tertawakan?" tanya Sebun Soh heran.
"Kukira musuh lihay siapa yang harus ditakuti, kiranya adalah kedua bocah ingusan itu!"
"Sudah tentu kedua bocah itu tidak perlu kita pandang sebelah mata, tapi siapa tahu kalau di
belakangnya ada tulang punggungnya yang lihay, betapapun kita harus berjaga-jaga. Apalagi baru
saja langkah kita memasuki Gun-bing, mereka pun sudah mengikuti di belakang kita, kau tidak
merasa kejadian ini teramat kebetulan?"
Ci Coh tersentak sadar, katanya:
"Memangnya, kalau benar mereka sedang menguntit jejak kita, pasti ada orang pandai sebagai
tulang punggung mereka. Siapakah dia, apa kau sudah menyelidikinya?"
"Baru saja aku menemui Ong-congping terus datang ke sini menemui kau, satu jam yang lalu
seorang pembantu Ong-congping ada bentrok dengan mereka berdua. Siapakah tulang punggung
di belakang mereka, kami sedang menyelidikinya!" Lalu ia tuturkan kejadian di dalam Toa-koanwan
itu kepada Ci Coh. Kata Ci Coh setelah mendengar kejadian itu: "Kalau demikian kedua orang itu memang mirip
dengan Bu Toan kakak beradik. Entah siapa pula ayah beranak pengamen itu?"
"Dalam waktu dekat ini aku sendiri pun belum bisa menyimpulkan asal-usul mereka, jelasnya
bahwa kedua ayah beranak itu membe-kal kepandaian silat!"
"Asal mereka bukan Kim Tiok-liu, Le Lam-sing atau Miao Tiang-hong, bukan pula kakek tua
misterius itu, tidak perlu kita takut kepadanya!"
Kata Hun Ci-lo di pinggir telinga Miao Tang-hong dengan geli: "Suhengmu itu setelah pernah
dua kali kau hajar, agaknya sudah takut kepadamu."
Terdengar Sebun Soh berkata lebih lanjut: "Boh Cong-tiu sudah dibawa pulang oleh kakek
misterius itu ke Hwie-hi-to, kau belum mendengar berita ini?"
"Untuk merebut jabatan ciangbun sumoaynya, Boh Cong-tiu memang mengundang aku untuk
membantu, tapi aku tidak pergi, maka di luaran hanya kudengar kabar angin saja, duduk
persoalannya yang benar sih aku belum jelas."
"Bukan kabar angin, bukan saja Boh Cong-tiu digusur pulang oleh susioknya, malah Ciok Tio-ki
yang diam-diam membantu Boh Cong-tiu pun mendapat rugi besar. Untung kalau kau tidak ke
sana. Peristiwa itu nanti kuceritakan kepadamu, sekarang yang penting kau sendiri harus lebih
hati-hati dan waspada."
"Empat musuh yang rada kita takuti, kecuali susiok Boh Cong-tiu itu, yang lain bukan laki-laki
tua. Laki-laki pengamen itu sudah punya putri belasan tahun, terang bukan Kim Tiok-Iiu, Le Lamsing
atau Miao Tiang-hong."
"Entah masih berapa banyak tokoh-tokoh kosen yang tidak kita kenal di kalangan kangouw.
Ketahuilah, ada sebab lain kenapa aku suruh kau hati-hati."
"Harap Tayjin suka menjelaskan!"
"Besok pagi kita mulai berpisah dan bekerja sendiri-sendiri. Aku punya tugas penting harus
pergi ke Siau-kim-jwan, kau sendiri pun harus pulang ke kota raja dengan tugas lainnya."
"Tugas dinas apakah?"
Sebun Soh mengeluarkan secarik sampul surat yang dilem dan tersegel, diserahkan kepada Ci
Coh, katanya: "Inilah surat laporan rahasia Ong-congping, kembalilah ke kota raja langsung
diserahkan kepada Pakkiong Ciong-ling, suratnya enteng, tapi artinya amat berat dan penting,
maka kau harus amat hati-hati."
Ci Coh mengiakan sambil menerima surat itu dengan perasaan kurang tentram, cepat ia
sesapkan sampul surat itu ke dalam kantung bajunya.
Berkata Sebun Soh lebih lanjut: "Dalam surat itu berisi rencana militer Ong-cong-ping kepada
keraja-an, sekali-kali tidak boleh hilang. Kini terjadi peristiwa di Toa-koan-wan itu, maka kau harus
lebih waspada dan hati-hati."
Ternyata kedatangan Sebun Soh ke Gun-bing kali ini adalah mewakili Pakkiong Bong mengirim
perintah, supaya Ong-congping mengerahkan pasukan yang bercokol di Hunlam untuk menyergap
laskar gerilya di Siau-kim-jwan dari belakang. Ong-congping sendiri mendapat kesempatan malah
untuk menarik keuntungan minta dana bantuan dan kiriman ransum berlipat dari pusat, oleh
karena itu ia membuat suatu rencana gerakan
strategis militer untuk dilaporkan kepada kerajaan. Rencananya itu terlalu berlebihan dan
terlalu dibesar-besarkan demi keuntungannya sendiri, hal ini tidak perlu kami tuturkan di sini.
Waktu Miao Tiang-hong asyik mendengarkan percakapan mereka, tiba-tiba didengarnya Sebun
Soh mendesis lirih: "Jangan bersuara, di sekitar sini seperti ada orang lain."
Sudah tentu Miao Tiang-hong kaget, sedang ia bimbang dan ragu-ragu untuk bertindak
menurut gelagat nanti, didengarnya Ci Coh sedang berkata perlahan: "Benar, seseorang sedang
naik kemari. Kita pura-pura sebagai pelancong biasa saja."
"O, kalau tindak tanduknya mencurigakan, kau sikat saja!" Sebun Soh berkata.
Di saat Miao Tiang-hong tempelkan kupingnya di dinding batu mendengarkan percakapan
mereka, tiba-tiba didengarnya Ci Coh berteriak memaki: "Kau ini kenapa sih, berjalan tidak pasang
mata?" Suara seorang lain terdengar berkata: "Maaf, maaf, jalan di sini terlalu sempit, tak sengaja
sampai menabrak kau. Bajumu sampai kotor, nah biar kubersihkan."
Ci Coh segera memakinya: "Siapa minta kau membersihkan, lekas menggelinding pergi!"
"Ya, ya!" sahut orang itu sambil menyingkir pergi dengan langkah tergesa-gesa.
Miao Tiang-hong tercengang, pikirnya: "Suara orang ini amat kukenal!" Tahu-tahu Hun Ci-lo
berbisik di pinggir kupingnya: "Seperti suara Kwi-hwe-thio!"
Benar juga saat itu pula terdengar Ci Coh berteriak kaget, serunya: "Celaka, celaka, lekas, hayo
kejar maling kecil itu!"
Sebun Soh kaget, tanyanya: "Kau kehilangan apa?"
"Aku, surat rahasia itu telah hilang!"
Ternyata setelah ditabrak oleh Kwi-hwe-thio belakangan Ci Coh merasa perutnya seperti
merasa gatal-gatal geli seperti digelitik orang, seketika ia tersentak sadar, dan timbul rasa
curiganya: "Kenapa dia tidak terpelanting jatuh, malah aku merasa keganjilan atas diriku sendiri"
Memangnya dia sengaja menabrak aku?"-Maklumlah Ci Coh membekal kepandaian silat tingkat
tinggi, meski ketabrak orang di saat ia tidak bersiaga, secara reflek pasti timbul daya perlawanan
lwekangnya melawan tenaga tabrakan itu. Barusan Kwi-hwe-thio bertabrakan dengan dirinya di
tempat yang sempit seperti ini, hal itu tidak perlu dibuat heran, namun Kwi-hwe-thio yang
terhuyung selangkah tanpa terjatuh mau tidak mau ia merasa heran. Karena curiga lekas tangan
meraba-raba badan sendiri untuk memeriksa adakah dirinya kehilangan sesuatu, maka ia tahu
bahwa surat rahasia itu ternyata telah terbang tanpa bekas.
Saking kaget Sebun Soh rada tidak percaya, katanya: "Bukankah sampul surat itu sudah kau
simpan dalam kantong bajumu?"
"Benar, tapi aku sendiri tidak tahu cara bagaimana sampai tercuri olehnya."
Baru sekarang Sebun Soh sadar, lalu bentaknya: "Bagus, kau Kwe-hwe-thio! Beruntung kau
dapat lolos di kota raja, berani pula kau meluruk kemari membuat gara-gara kepadaku, sungguh
besar nyalimu! Hayo serahkan kembali barang-barang yang kau curi, boleh kuampuni jiwamu,
kalau tidak, hehe, memangnya kau bisa lolos dari tapak tanganku!"
Waktu di Pakkhia tempo hari Sebun Soh pernah melihat Kwi-hwe-thio, tapi karena sekarang
Kwi-hwe-thio menyamar, maka ia tidak mengenalnya. Tapi teringat olehnya maling sakti yang
punya kepandaian sedemikian lihaynya kecuali Kwi-hwe-thio tiada orang lain. Waktu ia mengejar
lebih dekat dan melihat jelas ilmu ginkang yang dikembangkan orang itu, ia lebih yakin bahwa
orang itu memang Kwi-hwe-thio.
Sengaja Kwi-hwe-thio lari meninggalkan jalan pegunungan, setelah melingkar-lingkar tiga
putaran langsung ia menuju ke belakang gunung, khusus lari ke tempat-tempat hutan belukar dan
banyak tumbuh pohon-pohon berduri, larinya bagai terbang dan selincah kera, meski berada di
pegunungan terjal yang berbahaya. Ginkang Sebun Soh setingkat lebih rendah, mana dia mampu
mengejarnya. Kini Kwi-hwe-thio tidak perlu menyamar lagi, serunya bergelak tertawa seraya berpaling:
"Sebun Tayjin, kalau sudah biasa hidup mewah, hati-hati berjalan' di pegunungan yang jelek ini!"
Sebun Soh membentak gusar: "Kau sangka bisa lolos dari tanganku?" Ia menarik nafas, kakinya
terus jejak tanah sekali mencelat tiba-tiba badannya terbang satu tombak lebih.
Beruntun beberapa kali lompatan, Sebun Soh menarik jarak mereka lebih dekat. Tapi ia
mengejar dengan bernafsu karena mengandal lwekangnya yang tinggi dan mengempos semangat
mengendalikan napas. Kalau dinilai kepandaian ginkang, betapapun ia jauh ketinggalan oleh Kwihwethio. Begitulah bagai burung terbang atau roda berlari kencang, dalam sekejap mata mereka
sudah melewati dua lereng gunung, kira-kira sudah hampir mencapai tempat persembunyian Miao
Tiang-hong berdua, jarak antara Sebun Soh dan
Kwi-hwe-thio kira-kira masih tujuh delapan tombak jauhnya.
"Apa perlu kita turun tangan?" tanya Hun Ci-lo berbisik.
"Tunggu sebentar lagi," sahut Miao Tiang-hong sambil berpikir: "Surat rahasia itu sudah berada
di tangan Kwi-hwe-thio, kalau dia mampu meloloskan diri, tak perlu aku ikut mencari kesulitan."
"Sebun Tayjin," terdengar suara Kwi-hwe-thio tertawa, "sia-sia saja kau sudah hidup senang
beberapa tahun di dalam Gi-lim-kun, memangnya kau belum tahu aturan jalan hitam" Barang itu
sudah berada di tanganku, memangnya begitu gampang harus kukembalikan" He he, lebih baik
pulang saja hidup foya-foya, mengandal kedudukanmu sekarang, kau hendak menjadi opas
menangkap maling, memangnya tidak merendahkan derajatmu?"
Mendadak Sebun Soh mengayunkan tangan, jengeknya dingin: "Kau tidak akan lolos! Nih amgiku
kau sambut dengan hati-hati." Tahu bahwa ginkangnya tidak ungkulan dibanding Kwi-hwethio,
setelah berlari kencang sambil tahan napas lagi, cukup asal jarak kedua pihak diperpendek,
supaya dia leluasa menyambitkan senjata rahasia.
Senjata rahasia yang dia sam-bitkan adalah segenggam mata uang, ditimpukkan dengan
gerakan Lau-hay-say-kim-chi (Lau Hay menyebar mata uang mas), puluhan mata uang itu semua
mengincar hiat-to-hiat-to penting di badan Kwi-hwe-thio, menurut dugaannya, betapapun tinggi
ginkang Kwi-hwe-thio, pasti takkan lolos dan bisa meluputkan diri.
Sejak tadi Miao Tiang-hong sudah siaga, segera ia meremas batu di telapak tangannya menjadi
pecahan kerikil kecil-kecil, tiba-tiba ia mencelat tinggi melewati lankan sembari mengayun tangan,
menimpukkan kerikil-kerikilnya dengan Thian-li-san-hoa (Bidadari menaburkan kembang), maka
terdengar suara tang-tang-ting-ting, semua mata uang yang disambitkan Sebun Soh kena dipukul
jatuh di tengah jalan. Kwi-hwe-thio bergelak tawa, serunya: "Sebun Tayjin, kau tidak kenal aturan kangouw, pantas
kalau kau harus dirugikan." Sembari bicara ia lompat naik ke atas batu cadas yang menonjol, dari
sini ia bertolak pinggang sambil menonton.
Kebetulan Ci Coh mengejar tiba, tiba-tiba melihat Miao Tiang-hong keruan kejutnya bukan
main. Sebun Soh membentak: "Takut apa, pergi kau hadapi perempuan sundal itu, lekas kau
bekuk dia!" Ci Coh berpikir, anjuran temannya memang beralasan, asal dapat membekuk Hun Ci-lo hiduphidup,
memangnya Miao Tiang-hong tidak akan menyerah. Seumpama orang masih berani
melawan, mengandal kekuatan gabungan dirinya dengan Sebun Soh masakah masih takut
kepadanya. Maka segera ia tenangkan hati, lekas ia berputar dari samping Miao Tiang-hong
memapak ke sana. Sekali raih Miao Tiang-hong tidak berhasil mencengkram orang, sementara pukulan miring
Sebun Soh sudah mendampar ke mukanya membawa hawa yang bersuhu panas, terpaksa Miao
Tiang-hong mundur selangkah. Cepat sekali Ci Coh sudah melabrak Hun Ci-lo, mereka pun
bertempur dengan sengit. "Ci Coh," damprat Miao Tiang-hong gusar. "Kau punya rasa malu tidak" Tempo hari kau hendak
mencelakai jiwaku, mengingat sesama seperguruan, kuampuni jiwamu, ternyata kau masih tidak
bertobat dan sadar." Dalam bicara itu, sekaligus ia sudah serang menyerang tujuh jurus dengan
Sebun Soh. "Sute," seru Ci Coh, "kau katakan aku tidak tahu malu, aku justru mau katakan kau sendiri yang
tidak tahu malu! Di tempat mana sulit mencari perempuan ayu dalam dunia ini, kau sendiri
terkenal di kalangan kangouw, kenapa kau main pat-gulipat dengan janda muda yang dibuang
suaminya" Kubantu kau untuk melenyapkan dia, memangnya tindakanku ini bukan demi
kebaikanmu!" Mulut bicara namun kaki tangannya tidak menjadi kendor. Sudah tentu hampir
meledak hati Hun Ci-lo mendengar kata-kata kotornya, hampir saja ia kena pukulan lawan.
Karena rangsakan Sebun Soh yang gencar, dalam waktu dekat Miao Tiang-hong tidak mampu
melepaskan diri dari libatan lawannya, diam-diam ia heran akan kemajuan kepandaian lawan
dibanding setahun yang lalu, waktu itu Sebun Soh berteman Yam-yam Hwesio mengeroyok dirinya
di Thong-ting-san barat, paling-paling baru kuat bertahan sama kuat.
"Hadapi musuh dengan tenang, tak usah kau hiraukan aku," seru Hun Ci-lo.
"Dia ingin bantu kau pun takkan mampu lagi," demikian Ci Coh mengolok, "lebih baik, kau
menyerah saja!" Lwekang Ci Coh memang lebih unggul dari Hun Ci-lo, apalagi Hun Ci-lo belum
lama baru melahirkan, kepandaian silatnya banyak mundur, Ci Coh merangsak gencar, lambat laun
ia sudah berada di atas angin, yakin dalam waktu dekat pasti ia dapat membekuk Hun Ci-lo.
Tak nyana di saat hatinya kesenangan, tiba-tiba permainan pedang Hun Ci-lo berubah, "Sret"
dengan jurus Kim-ciam-toh-coat, ternyata pedangnya menusuk datang dari arah yang tak pernah
diduga olehnya, lekas Ci Coh menurunkan pundak sambil menyikut, berbareng lengan bajunya
menge-bas, maksudnya hendak menggulung batang pedang lawan, lalu menggunakan Khong-jiujip

Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

peh-to untuk merebut pedang orang, namun sedikit memutar tajam pedangnya, "cret" lengan
bajunya tahu-tahu sudah tertusuk berlubang, bagaikan seekor burung besar Hun Ci-lo mencelat
terbang dari samping badannya, merubah posisi di tempat tinggi yang menguntungkan.
"Majulah lebih dekat kemari!" seru Miao Tiang-hong, namun belum hilang suaranya Ci Coh
sudah mendesak maju pula kepada Hun Ci-lo. Ternyata Hun Ci-lo memang sengaja hendak
memancing Ci Coh ke tempat lain supaya Miao Tiang-hong tidak mengua-tirkan keadaan dirinya.
"Perempuan jalang yang keji, tak heran Nyo Bok menceraikan kau!" demikian maki Ci Coh.
"Mulut anjing tidak akan tumbuh gading, lihat pedang!" sentak Hun Ci-lo, dari tempatnya yang
lebih tinggi. Sret, sret, sret, beruntun ia kembangkan serangan pedang berantai yang ganas untuk
membendung rangsakan Ci Coh.
Sayang walau ilmu pedangnya amat lihay dan menakjubkan, tenaganya justru tidak memadai.
Tiga puluh jurus kemudian, Ci Coh berkesempatan mendesak maju beberapa langkah pula, jikalau
orang sampai merebut posisi yang seimbang, keadaan Hun Ci-lo sekarang yang menguntungkan
tidak akan berguna lagi. Kwi-hwe-thio jongkok di atas batu cadas sambil menonton, tiba-tiba ia berkata: "Orang she Ci,
terima kasih ya, kau berikan kado berharga untuk pasukan gerilya, biarlah kutraktir kau makan
enak." Ia raup segenggam pasir terus ditimpukkan ke bawah.
Ci Coh berada di tempat yang lebih rendah, malah sedang menghadap ke arah Kwi-hwe-thio,
maka timpukan pasir Kwi-hwe-thio tidak mempengaruhi Hun Ci-lo, namun Ci Coh takut bila
matanya kemasukan pasir, terpaksa ia memukul dan mengebas dengan Bik-khong-ciang. Makinya:
"Maling kurcaci, bila sampai kubekuk, kubeset kulitmu dan kubetot ototmu."
"Ah, kau ini memang pintar membual, setelah kau menangkap aku, belum terlambat kau
pentang bacot." Dari tempat ketinggian, setiap melihat Hun Ci-lo terdesak, lagi-lagi ia taburkan
segenggam pasir. Karena recokan pasir Kwi-hwe-thio ini mau tidak mau Ci Coh harus pecah perhatian, oleh
karena itu dalam waktu dekat Hun Ci-lo masih kuat bertahan.
Di sebelah bawah Miao Tianghong menempur Sebun Soh dengan sengit, keadaan di atas tidak
dilihatnya, namun kupingnya masih mendengar dengan jelas. Dari deru sambaran pedang, ia
dengar Hun Ci-lo bisa bertahan dengan baik, lambat laun hati sendiri pun lega dan tentram.
Begitu ketenangan hatinya pulih, Thay-ceng-khi-kang lambat laun mulai menunjukkan
keampuhannya, badannya sekarang tidak lagi merasa teramat gerah seperti tadi. Sebaliknya
karena pusaran angin pukulannya yang deras bagai angin musim semi nan sepoi-sepoi itu, lama
kelamaan Sebun Soh merasa terlalu nyaman dan silir, mengantuk dan ingin tidur. Tak lama
kemudian dari pihak menyerang, ia balas terdesak di bawah angin.
Ternyata bukan karena latihan ilmu silat Sebun Soh maju berlipat ganda maka kedudukan
kedua pihak berimbang, adalah karena kerisauan hati Miao Tiang-hong sendiri sehingga ia tidak
bisa meng-konsentrasikan ketenangannya. Latihan Sebun Soh adalah Hwe-Iiong-kang, sekali hati
Miao Tiang-hong gundah, maka reaksj ilmu lawan semakin terasa atas dirinya Sebagai seorang
ahli silat tingkat tinggi, setelah berada di atas angin, seketika ia paham akan sebab musabab ini,
pikirnya: "Kalau tergesa-gesa malah berabe, memang aku harus tabah dan tenang, Sebun Soh
harus kukalahkan dulu baru bisa bantu menghadapi Ci Coh."
Kalau pihak Miao Tiang-hong sudah berada di atas angin, sebaliknya Hun Ci-lo mulai terdesak
dan hampir tak kuat bertahan lagi.
Ci Coh merangsak pula beberapa jurus, dengan kekerasan ia mendesak lawan untuk merebut
posisi yang lebih tinggi, maka dengan cara tempur berputar-putar, ia perlihatkan kelincahan
badannya berlompatan kian kemari mengelilingi Hun Ci-lo sambil memukul dari berbagai arah.
Begitu keadaan berubah, kini Ci Coh sudah berdiri di tempat yang sama tinggi dengan tempat
berpijak Hun Ci-lo, Kwi-hwe-thio pun tidak berani semba-rangan menimpukkan pasir lagi.
Sebetulnya ginkang Hun Ci-lo tidak kalah dibanding Ci Coh, sayang tenaganya sudah habis, tak
mampu ikut berputar dan berkisar selincah Ci Coh, setelah mengikuti gerak-gerik Ci Coh berputar
berapa lingkaran, kepalanya menjadi pening dan mata pun berkunang-kunang.
Meski sedang menghadapi lawan tangguh, namun Miao Tiang-hong sempat pasang kuping
memperhatikan keadaan Hun Ci-lo, mendengar gerak ilmu pedangnya mulai kacau dan serabutan,
kembali hatinya menjadi kuatir dan bingung.
Pada saat itu pula, tiba-tiba terdengar derap langkah mendatangi, Miao Tiang-hong kaget,
pikirnya: "Kalau musuh bertambah pembantu tangguh, celakalah kami bertiga!"
Sebun Soh pun tidak kurang kejutnya, batinnya: "Orang itu bisa berlari bagai terbang di tempat
sempit dan berbahaya seperti ini, ilmu silatnya tentu tidak lemah, entah dia pembantu Miao Tianghong,
ataukah anak buah Ong-congping?"
Sekejap saja, seorang laki-laki berdandan seperti kaum pelajar berusia tiga puluhan tahu-tahu
sudah muncul di hadapan mereka.
Seketika Miao Tiang-hong berseru kegirangan: "Lau-heng, ternyata kau!" Pendatang ini bukan
lain adalah Lau Khong yang tadi diperbincangkan Hun dan Miao.
"Miao-toako, serahkan keparat ini kepadaku!"
Sebun Soh memang sudah terdesak kewalahan menghadapi Miao Tiang-hong, melihat pihak
lawan kedatangan bantuan tangguh, keruan ia mengeluh dalam hati, lari adalah jalan paling tepat
untuk menyelamatkan diri, tanpa bicara segera ia putar badan terus kabur.
"Ingin lari ke mana, masakah demikian gampang?" bentak Miao Tiang-hong. "Wut" pukulannya
dilontarkan, kali ini ia kerahkan
Thay-ceng-khi-kang, tenaga pukulannya bagai gugur gunung melanda ke punggung Sebun Soh.
Sigap sekali Sebun Soh membalikkan tangan menangkis, seketika ia menyemburkan darah segar,
kaki pun terhuyung sempoyongan beberapa langkah, hampir saja ia terjungkal jatuh.
"Lau-heng!" seru Miao Tiang-hong gelak tertawa. "Keparat ini kuserahkan kepadamu!" Ia duga
setelah Sebun Soh terluka dan pecah hawa murninya, betapapun Lau Khong pasti kuasa
mengalahkan orang, maka segera ia memburu ke atas hendak membantu Hun Ci-lo. Kejadian
berlangsung teramat cepat, belum lagi Sebun Soh berdiri tegak, Lau Khong sudah menubruk tiba.
Sebun Soh keraskan kepala, serunya: "Boleh kalian gunakan cara tempur bergilir, paling aku pertaruhkan
jiwaku, mati pun seorang gagah di medan laga!" Mulutnya saja sesumbar padahal hatinya sudah jeri
setengah mati. Lau Khong tertawa dingin, jengeknya: "Kalian suheng-te berbuat jahat dan sewenang-wenang, berapa
banyak kaum cendekia dan pahlawan bangsa kita yang terbunuh oleh kalian. Hm, hm, terhadap antek
kerajaan seperti kau buat apa bicara aturan kangouw segala, kau anjing buduk ini harus dihajar biar tahu
rasa!" Begitu tapak tangan dua pihak saling bentrok, Lau Khong hanya tergeliat, sebalikmya Sebun Soh muntah
darah pula. Sebat sekali Lau Khong sapukan kaki kiri, sementara tangan kanan menggunakan jurus Ngoting-kay-san, tapak tangan menghadap ke atas, kelima jari rada tertekuk, ia menyodok menggunakan
punggung tangannya. Tipu ini adalah ajaran silat perguruannya, berbeda dengan cara serangan tapak
tangan dari aliran silat lainnya. Dengan sodokan ini kekuatannya pun besar luar biasa, seolah-olah seperti
kapak besi membelah gunung atau palu besi memukul batu.
Sebun Soh menghardik keras: "Biar aku adu jiwa sama kau!" Kedua tapak tangannya didorong
ke depan, siapa tahu Lau Khong menggunakan ilmu pukulan yang aneh dan lincah sekali, hanya
sedikit tenaganya tersalurkan dalam tipu Ngo-ting-kay-san itu, tiba-tiba ia sudah tarik balik dan
merubah dengan jurus lain, "Krak" terdengar benda keras patah, ternyata tulang pergelangan
tangan Sebun Soh sudah tersodok hancur, kelima jarinya masing-masing bisa digunakan melukai
orang, sementara pusat tapak tangan kanannya tiba-tiba sakit luar biasa seperti ditusuk jarum,
sungguh sakitnya serasa hampir menamatkan jiwanya. Ternyata Lau Khong gunakan
Ngo-ting-kay-san lebih dulu untuk memunahkan sebagian kekuatan Hwe-liong-kang lawan, lalu
dengan kecepatan luar biasa ia gunakan Hun-kin-joh-kut-jiu memuntir putus tulang pergelangan
tangan kirinya, berbareng tapak tangan dari menepuk ia ganti menotok, telak sekali ia menotok
hiat-to Lau-kong-hiat di tengah tapak tangannya.
Sudah terluka ditambah luka lagi, sudah tentu Sebun Soh tak kuat bertahan lagi, baru saja lari
puluhan langkah, dilihatnya Lau Khong sudah mengejar tiba di belakangnya, terpaksa ia berlaku
nekad dan untung-untungan asal jiwa selamat, sambil kertak gigi dari pinggir lamping gunung
yang di bawahnya adalah lereng terjal ia menerjunkan diri ke dalam Tian-ti. Dari tempat tinggi Lau
Khong melihat ke bawah, dilihatnya "byuuur!" air memercik menimbulkan gelombang tinggi,
sesaat ia menunggu tidak dilihatnya bayangan Sebun Soh mengambang ke atas, entah mati atau
masih hidup. Dalam waktu yang sama, dari lereng gunung di bawah tahu-tahu muncul sepasang muda-mudi,
mereka adalah Bu Toan dan Bu Cheng. Seperti diketahui keadaan jalanan di Liong-bun ini lika liku
dibangun di lereng gunung yang terjal, maka mereka yang di bawah belum melihat Lau Khong dan
Miao Tiang-hong yang berada di atas.
Bu Cheng amat kaget, serunya: "Ada orang bunuh diri!"
Bu Toan juga bersuara heran, katanya: "Orang yang terjun ke air bunuh diri itu seperti Sebun
Soh!" Melihat ada orang lompat ke dalam air Bu Cheng tidak berani melihat, maka ia setengah
percaya, katanya: "Apa kau melihat jelas" Benar adalah Sebun Soh" Sebun Soh si keparat busuk
itu masa mungkin terjun ke air?"
"Pasti tidak salah, aku malah mengharap orang itu bukan Sebun Soh, kalau dia bunuh diri ke
dalam air, kita jadi tidak bisa menuntut balas dengan tangan kita sendiri."
"Kau dengar langkah kaki tidak" Seperti ada orang datang, coba kau jangan bersuara dulu!"
Belum habis ia bicara, tampak dari semak-semak rumput sana muncul seorang laki-laki
pertengahan dan seorang gadis kecil.
Kali ini Bu Toan dan Bu Cheng bersuara heran berbareng, katanya: "Kenapa mereka pun
datang kemari?" Ternyata kedua orang laki-laki dan gadis cilik itu bukan lain adalah ayah beranak pengamen
yang mereka jumpai di Toan-koan-wan itu.
"Bu-kongcu," ujar laki-laki pertengahan umur, "kau tidak salah, yang terjun ke dalam Tian-ti
memang Sebun Soh, menurut perkiraanku dia dipukul jatuh oleh Lau Khong dari atas sana."
Bu Cheng heran, tanyanya: "Dari mana kau tahu siapa kami" Dari mana pula tahu bahwa Lautoako
berada di sini?" "Aku dan putriku kemari atas undangannya, maka kami kemari untuk menemui dia!"
"Hah, jadi teman yang hendak ditemui Lau-toako adalah kalian," teriak Bu Cheng kaget dan
girang. "Benar, nah lihatlah, Lau-toako sedang turun kemari!"
Kata Lau Khong sambil mengerutkan kening: "Kenapa kalian tidak dengar nasehatku,
mencariku juga di sini?"
"Kau kan belum tahu kejadian yang kami alami," rengek Bu Cheng. "Tahu-tahu mengomeli
orang. Tapi tiada tempo aku mengobrol dengan kau, kau jelaskan dulu, apa benar kau sudah
bunuh Sebun Soh?" "Sebun Soh terjun ke Tian-ti, mati atau hidup sukar diramalkan. Tapi, Lo-thia, rekaanmu hanya
benar separuh saja." "Separuh bagaimana?" "Sebun Soh memang kupukul jatuh ke dalam air
namun sebelumnya Miao tayhiap sudah melukainya lebih dulu, maka dengan gampang aku bisa
mengalahkan dia." "Miao tayhiap?" teriak Bu Cheng kegirangan setelah melongo sebentar. "Maksudmu adalah
paman Miao kami?" "Coba kau pasang kuping dengarkan, bukankah di atas terdengar suara pertempuran" Paman
Miao kalian sedang melabrak musuh. Perlu kuberitahiu kabar baik kepadamu, Cheng-moay, Hunlihiap
yang kau puja-puja itu kini sedang bersama paman Miaomu di atas sana."
Saking kesenangan Bu Cheng berjingkrak seperti putus lotre, serunya: "Hayo lekas, kita susul
paman Miao ke atas!"
"Tidak perlu tergesa-gesa, orang itu terang bukan tandingan Miao-susiokmu, kini mungkin dia
sudah membereskan musuh."
"Siapakah musuh itu?" tanya Bu Toan.
"Kalau kukatakan tanggung kalian akan kaget dan girang, tapi sekarang aku perlu jual mahal,
sementara kutunda dulu."
"Tidak kau jelaskan ya sudah, kami bisa melihatnya ke atas," kata Bu Cheng bersungut-sungut.
Baru beberapa langkah ia berlari, belum lagi suaranya hilang, dilihatnya seseorang jatuh
bergelundungan dari lereng bukit sebelah atas.
---ooo0dw0ooo--- Dugaan Lau Khong memang tidak meleset, sudah tentu Ci Coh bukan tandingan Miao Tianghong.
Hanya satu gebrak saja, Miao Tiang-hong sudah bikin Ci Coh muntah darah dan terluka
parah. Namun meski dengan gampang ia menang, kejadiannya toh rada membahayakan juga bagi
dirinya. Waktu melihat Miao Tiang-hong menyusul naik, Ci Coh insyaf jiwa sendiri hari ini tidak akan
selamat, sekonyong-konyong ia menyerang lebih gencar kepada Hun Ci-lo.
Dengan pedangnya Hun Ci-lo papaki serangan orang dengan tusukan, dalam jurus sembunyi
tipu, dalam tipu terkandung perubahan yang rumit lagi, sekaligus ia kembangkan Sip-hun-kiamhoat
warisan keluarganya, itulah sejurus ilmu pedangnya yang paling lihay dan paling murni.
Kedua lengan Ci Coh terpentang lebaT, bagai elang menubruk kelinci, ia menubruk maju, kedua
tangan berbareng mencakar turun dengan keji. Tubrukannya menggunakan seluruh kekuatannya,
ia nekad meski dirinya terluka oleh tusukan pedang Hun Ci-lo, berapa pun ia harus membekuk
lawan untuk dijadikan sandera, kalau tidak berhasil membekuknya, biar ia gugur bersama musuh.
Sekonyong-konyong kupingnya serasa hampir pecah disambar hardikan keras bagai guntur
menggelegar, belum lagi tubrukan Ci Coh berhasil menangkap Hun Ci-lo, tiba-tiba hatinya
melonjak keras dan bergetar sanubarinya, berbareng ia rasakan punggungnya amat panas dan
sakit bukan main. Kiranya Miao Tiang-hong memburu datang tepat pada waktunya sehingga ia berhasil menolong
jiwa Hun Ci-lo. Lantaran keadaan amat gawat terpaksa ia gunakan lwekang Raungan Singa,
berbareng ia lancarkan Bik-khong-ciang, dari jarak beberapa tombak ia memukul ke arah Ci Coh.
Terdengar "Bret" lengan baju Hun Ci-lo tercakar sobek oleh Ci Coh, berbareng dengan itu
"Cras" pedang Hun Ci-lo pun berhasil menusuk luka pundak kiri Ci Coh.
Untung Ci Coh tergetar oleh raungan singa Miao Tiang-hong yang mempengaruhi konsentrasi
pikirannya, maka tenaga serangan tangannya sudah kendur sebagian besar, walau berhasil
menjambret sobek lengan baju, sedikit pun Ci-lo tidak terluka.
Sebaliknya luka Ci Coh jauh lebih berat, luka-luka tusukan pedang di pundak kirinya sih
mending, celaka adalah pukulan keras yang mengenai punggungnya ini, begitu keras bagai
tertindih batu besar sampai mata berkunang-kunang dan darah bergolak di rongga dadanya, isi
perutnya seperti sungsang sumbel pindah dari semula.
"Ganjaran setimpal akan perbuatanmu!" seru Miao Tiang-hong sambil memburu datang. "Kau
sendiri mencari jalan buntu, bukan aku ingin bunuh kau!" Di tengah hardikan suaranya, segera ia
menyerang dengan serangan keji.
Serasa terbang arwah Ci Coh, teriaknya: "Sute, aku tahu salah, sukalah kau pandang hubungan
sesama perguruan, ampunilah jiwaku!"
Lemas hati Miao Tiang-hong, tenaga pukulannya ia gunakan setengah-setengah. Tapi kekuatan
separuh pukulannya sudah cukup membuat Ci Coh tak kuat bertahan. Begitu kedua tapak tangan
masing-masing beradu, Ci Coh menjerit ngeri, sambil menyemburkan darah segar, badannya
terguling-guling jatuh ke lereng bawah.
---ooo0dw0ooo--- Bu Toan, kakak beradik kebetulan sedang memburu naik ke atas, sementara Ci Coh terguling
jatuh ke bawah kebetulan menggelundung di depan mereka, tahu-tahu orang gunakan Le-hi-tating
(ikan gabus melentik), begitu badan jumpalitan ia terus mencelat bangun.
Bu Toan kaget, tiba-tiba ia membentak: "Bagus ya, ternyata kau anjing kurcaci." Kejadian
berlangsung teramat cepat, tanpa berjanji kedua kakak beradik serentak melolos pedang terus
menusuk ke arah Ci Coh. Meski terluka parah, betapapun bekal kepandaian Ci Coh jauh di atas mereka, sambil
menyemburkan darah segar, ia menyeringai sadis: "Kalian bocah-bocah keparat mengantar jiwa,
aku yang jadi susiok kalian terpaksa tidak sungkan-sungkan lagi." Posisinya memang dari atas
menubruk ke bawah, ia sudah lihat kehadiran Lau Khong dan dua orang lainnya, insyaf sukar
melarikan diri seketika timbul maksud jahatnya, hendak menjadikan kedua kakak beradik ini
sebagai sandera. Di tengah caci maki dan hardikan yang riuh, Ci Coh layangkan kakinya menendang, pedang
panjang di tangan Bu Cheng tertendang jatuh, namun betisnya pun tergores luka berdarah oleh
ujung pedang. Cepat sekali "Sret" Bu Toan susuli dengan tusukan pedangnya mengarah
tenggorokan orang, mendadak Ci Coh buka mulut dan tepat sekali menggigit ujung pedangnya.
Dengan sekuat tenaga Bu Toan tusukkan pedangnya, namun semili pun tak mampu dia sorong
masuk ke dalam mulut orang.
Baru saja Lau Khong harrtpir membelok sebuah pengkolan gunung, bukan kepalang kejutnya
melihat adegan seram ini, untuk menolong jaraknya cukup jauh dan pasti terlambat, sesaat ia
tertegun, lekas berteriak: "Buang pedang, lepaskan pedangmu!"
Bagaimanapun Bu Toan kurang pengalaman dalam menghadapi musuh, sedikit pun ia tidak
duga Ci Coh bakal menggunakan cara yang berbahaya ini, begitu ujung pedangnya tergigit orang,
ia kira asal sekuat tenaga ia dorong dan menusuknya, tak pernah terpikir dalam benaknya untuk
lepas pedang melarikan diri.
Sayang seruan petunjuk Lau Khong sudah terlambat. Ci Coh pentang kedua tangannya dengan
kencang ia sikap pinggang Bu Toan. Sementara Bu Cheng sudah jemput pedangnya yang jatuh,
dengan jurus Bing-tho-cin-cu menusuk selangkangan Ci Coh, sebat dan licin benar Ci Coh bergeser
seraya memutar badan, ia dorong Bu Toan ke depan sambil membentak: "Nah, tusuklah!"
"Lau-toako, lekas tolong! Moaymoay! Jangan hiraukan aku, lekas tusuk!" teriak Bu Toan.
Karena dipeluk kencang, Bu Toan tidak mampu meronta, cuma dengan sikutnya ia sodok mundur
ke belakang mengenai ulu hati Ci Coh. Keruan Ci Coh gusar, bentaknya.: "Kau cari mampus?"
Kedua baris giginya masih menggigit kencang ujung pedang Bu Toan, suaranya keluar dari selasela
giginya yang tertutup rapat maka suaranya sumbang seperti orang selesma.
Sebetulnya kedua tangan Ci Coh yang memeluk Bu Toan tidak berani kendor sedikit pun, kalau
Bu Cheng menusuknya, dengan gampang ia bisa melukainya. Tapi eng-kohnya dipeluk lawan dan
digunakan sebagai tameng, walau ilmu pedangnya cukup matang dan sempurna, toh dia kuatir
bila kesalahan tangan melukai engkohnya sendiri, mana dia berani bertindak secara gegabah"
Di saat Bu Cheng kehabisan akal dan kerepotan bingung itu, sekonyong-konyong tampak
sesosok bayangan meluncur datang dari tengah udara langsung menubruk ke atas badan Ci Coh,
seketika Ci Coh mengeluarkan jeritan keras yang menyayatkan hati, pedang Bu Toan tercabut
keluar. Dengan masih memeluk kencang Bu Toan, Ci Coh menjatuhkan diri. Dalam waktu yang
bersamaan bayangan orang di tengah udara itu jumpalitan dengan gaya Burung Dara Membalik
Badan meluncur jatuh juga, kiranya nona cilik pengamen itu.
Ternyata di saat Bu Toan menghadapi bencana, nona cilik pengamen ini segera naik ke lereng
bukit, menarik sebatang akar rotan terus bergelantungan datang seperti terbang di tengah udara,
tepat sekali menubruk di atas punggung Ci Coh. Permainan bergelantungan dengan tambang
biasanya memang merupakan kepandaiannya dalam permainan akrobatik. Ci Coh membelakangi
dirinya, bahwasanya ia tidak melihat semua gerak-geriknya.
Begitu mendekap badan Ci Coh, mulutnya terpentang terus menggigit tengkuk Ci Coh, di mana
merupakan tempat berbahaya di setiap badan manusia, maka luka-luka Ci Coh lebih parah
daripada kena tusukan pedang, sungguh sakitnya bukan main sampai dia melolong seperti babi


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

disembelih. Karena menjerit, sudah tentu pedang yang dia gigit jadi terlepas, sementara Bu Toan masih
berusaha menusukan pedangnya, maka seketika pedang panjangnya itu masuk ke dalam mulut
dan tembus sampai belakang kepalanya. Tapi lwekang Ci Coh memang cukup hebat, menjelang
ajal dia masih kuat mendekap Bu Toan diajak menggelundung ke bawah. Sementara nona
pengamen itu pun tergetar jatuh dari tengah udara, akar rotan itu pun terputus jadi dua.
Tersipu-sipu laki-laki pengamen itu meraih badan putrinya. Sementara Bu Cheng memburu
maju dan menambahkan sekali tusukan pula di ulu hati Ci Coh. Karena tusukan telak ini
melayanglah jiwa Ci Coh dan pelukannya menjadi kendor, dengan tangkas Bu Toan segera
melompat bangun. "Sungguh berbahaya!" katanya sambil meleletkan lidah.
"Koko," ujar Bu Cheng, "keadaan orang lebih berbahaya dari kau." Bu Toan sadar, lekas ia
memburu ke sana menyatakan terima kasih kepada nona kecil itu.
Dilihatnya selebar muka nona itu pucat bagai kertas, ayahnya sedang mengurut menormalkan
jalan darahnya. Bu Toan jadi rikuh dan menyesal, katanya: "Nona, kau menolong jiwaku sampai
kau sendiri terluka parah, aku belum lagi tahu namamu. Bagaimana keadaanmu?"
Laki-laki pengamen itu segera berkata: "Aku she Thia bernama Sin-gan putriku bernama Giokcu.
Bu-kongcu tak usah kuatir, meski putriku terluka oleh getaran Iwekang Ci Coh, untung tidak
sampai terluka berat. Istirahat sebentar akan pulih seperti biasa."
Di saat mereka bicara, Miao Tiang-hong dari puncak dan Lau Khong dari lereng sebelah sana
tiba dalam waktu yang bersamaan.
"Lau-lote," ujar Thia Sin-gan, "Aku datang terlambat, hampir saja bikin susah Bu-kongcu.
Apakah tuan ini Miao Tiang-hong Miao tayhiap, selamat bertemu, selamat bertemu!"
Kata Miao Tiang-hong menghela napas: "Lantaran belas kasihan, aku tidak membunuh Ci Coh,
kalau putrimu tidak menolong sutitku, dosaku akan jadi berlipat ganda."
Tiba-tiba Bu Toan kakak beradik berlutut dan menyembah ke langit, lalu kepala Ci Coh
dipenggal putus, serunya sesambatan sambil berdoa: "Ayah ibu, anak tidak berbakti, baru hari ini
kami berhasil membunuh seorang musuhmu!" Lalu mereka pun berlutut dan menyembah kepada
Thia Giok-cu sebagai tuan penolongnya.
Merah jengah muka Thia Giok-cu, tidak leluasa ia membimbing Bu Toan bangun, terpaksa ia
ikut berlutut balas menyembah.
Miao Tiang-hong dan Lau Khong tertawa sambil berpandangan penuh arti. Miao Tiang-hong
membimbing Bu Toan bangun, Lau Khong membangunkan Bu Cheng. Kata Miao Tiang-hong
tertawa: "Tak nyana kalian angkatan muda mudi jauh lebih pakai adat istiadat dari kami." Di
sebelah sana Thia Sin-gan juga membimbing bangun putrinya, katanya tertawa: "Cu-ji, bukankah
kau punya omongan yang hendak disampaikan kepada Bu-kongcu?"
"Bu-kongcu," kata Thia Giok-cu malu-malu. "Aku sendiri belum sempat mengucapkan terima
kasih akan bantuan kalian di Toa-koan-wan tadi pagi. Kalian demikian sungkan dan pakai sopan
santun segala, mana aku berani terima?"
"Nona Thia," kata Bu Cheng. "Ketahuilah, Ci Coh adalah musuh besar pembunuh orang tua
kami, hari ini atas bantuanmu kami berhasil membunuh musuh, mana bisa kami tidak berterima
kasih akan budi kebaikanmu?"
"Kepandaianku yang rendah ini, memberi bantuan apa" Keparat ini sebelumnya sudah dilukai
lebih dulu oleh Miao tayhiap."
Kata Bu Toan: "Miao tayhiap adalah susiokku sendiri, adalah pantas bila dia membersihkan
nama baik perguruan." Maksudnya kalau orang sendiri sudah tentu tidak perlu main sungkan
segala. Namun kata-kata ini membuat kecewa Thia Giok-cu, pikirnya aku mempertaruhkan jiwa,
kau malah anggap aku orang luar.
Timbrung Miao Tiang-hong: "Benar, ini persoalan dalam perguruan kita. Ci Coh memang pantas
mendapat ganjarannya. Bu-sutit, aku sendiri masih belum tahu, bila dia ternyata musuh besar
pembunuh ayah bunda kalian."
Kata Bu Toan: "Dulu waktu ayah bunda terjebak dan gugur di medan laga, adalah gara-gara
perbuatan keparat ini yang khianat. Hal ini Lau-toako paling jelas, kami mendapat tahu dari
penuturannya juga." "Peristiwa terjadi sepuluh tahun yang lalu," tutur Lau Khong. "Waktu itu Bu tayhiap pimpin
pasukan laskar gerilya bertempur di Bong-im daerah Soatang. Aku tinggal bersama mereka, Ci Coh
pengkhianat itu pun berada dalam pasukan."
"Tahun itu aku baru berusia dua puluh, baru keluar kandang. Karena aku tetangga keluarga Bu,
maka Bu tayhiap pandang aku sebagai keponakan sendiri, beliau bawa aku mengembara dan
mencari pengetahuan, selama itu aku selalu berada di dampingnya."
"Waktu terjadi pertempuran di Bong-im, situasi semakin buruk dan payah bagi kami. Suatu
malam, Ci Coh datang berunding soal strategi perang dengan Bu tayhiap, sebagai Sute dari Buhujin,
sudah tentu Bu tayhiap amat mempercayainya."
"Mereka berunding di kamar tertutup, hanya aku seorang yang meladeni makan minum
mereka. Menurut Ci Coh ia mendapat kabar pasukan besar pemerintah hendak mengadakan
operasi besar-besaran, kalau keadaan tetap bertahan terus seperti sekarang mungkin kurang
menguntungkan. Maka dia mengusulkan supaya pasukan laskar Bu tayhiap dipindah ke tempat
lain yang posisinya lebih menguntungkan, yaitu menuju ke Cu-lay-san bergabung dengan laskar
gerilya di sana. Katanya dia cukup hafal dan tahu benar situasi daerah sekitarnya, malah dia pun
sudah membawa peta serta dibeber di hadapan Bu Tay-hiap dan menjelaskan lika-likunya,
dikatakan begini dan begitu caranya, tanggung akan aman dan selamat tiba pada tujuan. Bu
tayhiap akhirnya kena terbujuk, akhirnya diputuskan untuk bertindak menurut rencana itu. Malam
kedua beliau lantas pimpin laskar gerilyanya menerjang keluar dari kepungan."
"Jadi sepuluh tahun yang lalu dia sudah jadi pengkhianat, sayang baru hari ini aku mendapat
tahu," demikian ujar Miao Tiang-hong.
Tutur Lau Khong lebih lanjut: "Jalan yang akan ditempuh oleh pasukan kami, Bu tayhiap tidak
pernah memberi tahu kepada siapa pun, hanya mereka suami istri dan Ci Coh saja yang tahu, tak
nyana suatu hari waktu pasukan kami melewati suatu tempat yang berbahaya, tiba-tiba kami
disergap dan masuk perangkap sepasukan pilihan pemerintah yang punya persenjataan lengkap,
di antara pasukan pemerintah itu terdapat tiga perwira yang berkepandaian silat tinggi, termasuk
tokoh silat kelas satu, yaitu yang akhirnya berhasil membunuh Bu tayhiap suami istri dengan main
keroyokan, mereka adalah Pakkiong Bong, Sebun Soh dan murid murtad dari Siau-lim-pay Sa Miwan.".
"Waktu pasukan laskar gerilya masuk jebakan, Ci Coh sudah tidak kelihatan lagi bayangannya,
tapi keadaan amat mendesak, Bu tayhiap suami istri tidak sempat mengurusnya. Bu tayhiap
berkata kepadaku, dia sudah berkeputusan untuk gugur bersama musuh demi cita-cita yang
murni, kalau bisa melindungi seorang anak buahnya pun baiklah, dia suruh aku lekas melarikan
diri di saat para musuh sama mencurahkan perhatian kepada mereka suami istri. Semula aku tidak
turuti nasehatnya, tapi beliau titipkan Bu Toan kakak beradik kepadaku, tidak mungkin aku
membangkang perintahnya untuk tidak melindungi putra putri mereka. Terpaksa malam itu juga
aku lari pulang ke Bu-seng, tidak lama kemudian aku mendapat kabar akan gugurnya Bu tayhiap
suami istri di medan laga."
"Waktu itu aku baru berusia sebelas," Bu Toan menambahkan cerita sambil berlinang air mata.
"Adikku baru berusia sembilan tahun, beruntung Lau-toako membawa kami melarikan diri, baru
jiwa kami bisa diselamatkan. Dua hari setelah kami meninggalkan rumah, pasukan pemerintah
lantas membakar habis rumah kami."
Lau Khong menyambung cerita pula: "Setelah peristiwa malam itu, aku sudah mulai curiga
kepada Ci Coh. Rencana rahasia pasukan kami kalau bukan Ci Coh yang membocorkan, mana
mungkin pihak pemerintah bisa tahu" Tapi waktu itu aku belum mendapatkan bukti-bukti,
terpaksa rasa curigaku ini kupendam dalam hati."
"Dalam sepuluh tahun ini, aku pernah tiga kali mengalami sergapan dan bokongan cakar alapalap,
terakhir orang yang hendak membunuh aku berhasil kubekuk, segera kukompes
keterangannya, baru aku tahu bahwa dia mendapat perintah Pakkiong Bong untuk membunuh
aku, dan Pakkiong Bong bertindak sedemikian jauh lantaran mendapat petunjuk rahasia Ci Coh."
"Hal ini kukira bisa dimengerti, cuma kau seorang yang tahu bahwa dia yang khianat menjual
jiwa ayah bunda Bu Toan, sudah tentu kau harus dibunuh untuk tutup mulut," demikian sela Miao
Tiang-hong. "Masih ada lagi bukti-bukti yang lebih nyata. Setelah aku berhasil melarikan diri, aku
menggabungkan diri di dalam Thian-te-hwe. Tahun yang lalu pasukan gerilya di bawah pimpinan
Thian-te-hwe berhasil menawan seorang perwira, perwira sipil ini dulu pernah menjadi sekretaris
Pakkiong Bong dalam penyerangan besar-besaran di Bong-im itu. Setelah kuketahui akan hal ini,
segera aku mengom-pes sendiri keterangan si perwira, betul juga aku berhasil mendapat
keterangan, bahwa laskar gerilya Bu tayhiap masuk perangkap musuh karena Ci Coh sudah
membocorkan rahasia itu kepada Pakkiong Bong melalui sepucuk surat."
"Memang setimpal ganjaran yang dialami Ci Coh sekarang," kata Miao Tiang-hong. "Untung
kalian tiba tepat pada waktunya, tidak sampai lantaran belas kasihanku dia sampai lolos. Jadi
lantaran kalian hendak menguntit jejaknya maka sampai di Gunbing?"
"Hanya kebetulan saja," sahut Lau Khong. "Li-hu-thocu dari Thian-te-hwe kami mendapat kabar
katanya Pakkiong Bong mengutus orang mengantar surat dinas yang amat penting, menurut
dugaan surat dinas itu adalah perintah supaya pihak penguasa di Gunbing sini mengerahkan
tentara, maka dia suruh kami mengejar dan mencegat kedua orang itu, tak nyana kedua orang itu
adalah Sebun Soh dan Ci Coh. Sayang kami tiba terlambat, kabarnya kemarin Sebun Soh sudah
menemui gubernur dan Congping."
Miao Tiang-hong berpikir: "Walau orang she Thia ayah beranak adalah teman Lau Khong, aku
sendiri belum tahu seluk beluk mereka, Kwi-hwe-thio sudah berhasil mencuri surat dinas itu, biar
kutunda dulu, kesempatan lain baru kuberi tahu kepada Lau Khong.
Setelah Lau Khong tuturkan seluk beluk persoalannya, lalu ia bertanya kepada Bu Toan berdua:
"Kusuruh kalian menunggu aku di hotel, kenapa mencariku ke sini" Lagak lagu kalian seolah-olah
sudah amat kenal dengan Thiatoako, apa yang terjadi?"
Thia Sin-gan tertawa, katanya: "Kami pun baru saja kenal."
"Sebetulnya kami tidak tahu bahwa orang yang kau janjikan bertemu di sini adalah mereka
ayah beranak. Tapi kami tidak bisa pulang ke hotel, terpaksa datang kemari mencari kau." Lalu ia
tuturkan peristiwa di dalam Toa-koan-wan.
Baru sekarang Lau Khong paham, katanya tertawa: "Kalau begitu, agaknya kalian memang ada
jodoh!" Sebetulnya ia hanya berkelakar saja, namun bagi orang-orang yang bersangkutan
sebaliknya mengandung penuh arti, tak urung merah jengah selebar muka Thia Giok-cu.
Tengah mereka bicara, Hun Ci-lo dan Kwi-hwe-thio pun sudah turun dari atas. Begitu melihat
ayah beranak she Thia itu, Kwi-hwe-thio amat senang, serunya: "Hari ini sungguh kebetulan,
tanpa janji sekaligus kalian berada di Saysan!"
"Tidak, aku memang berjanji bertemu di sini dengan Lau Khong."
"O, jadi kalian pun memang sudah kenal?" tanya Lau Khong.
"Aku ini kan tukang gerayang yang selalu beroperasi di rumah-rumah orang, dia sebaliknya
pengamen yang selalu mondar-mandir di kangouw, sama-sama pengelana di kangouw, adalah
lucu kalau kami tidak saling kenal. Sejak lima tahun yang lalu, kami sudah ikat persahabatan."
"Jadi kau lebih lama kenal mereka dari aku, waktu aku kenal Thia-toako, dia masih seorang
chengcu?" demikian kata Lau Khong.
"Urusan yang sudah lalu, tidak perlu disinggung lagi," ujar Thia Sin-gan sinis.
"Ya, soal yang lalu tidak perlu diperbincangkan, mari bicarakan persoalan yang kita hadapi.
Bagaimana menurut rencana kalian?"
"Kami hanya memburu ketenangan dan selamat saja, mana berani bicara soal rencana segala?"
ujar Thia Sin-gan. Sudah lama Lau Khong tidak bertemu dengan Thia Sin-gan, maka ia coba memancing isi hati
orang, tanyanya: "Kabarnya kau ada ikatan kental dengan Lo Kim-ou Pangcu Hay-soa-pang,
tahukah kau kejadian belakangan ini?"
"Kabarnya belakangan ini dia membegal ransum pasukan pemerintah, sayang aku terlambat
memperoleh berita ini, tak sempat aku memburu ke sana memberi bantuan."
Dari jawaban ini Lau-Khong yakin bahwa hubungan orang dengan Lo Kim-ou memang cukup
intim, maka ia pun berlega hati, katanya: "Lo Kim-ou harus membegal ransum itu supaya pasukan
Ceng terhalang dalam penyerbuannya ke Siau-kim-jwan. Kalau kalian tiada tujuan yang
tertentu, kenapa tidak ke Siau-kim-jwan saja" Pimpinan laskar rakyat di sana Siau Ci-wan, Leng
Thiat-jiau, Beng Goan-cau dan lain-lain semua kenalan baik Miao tayhiap. Kalau kau bantu
mereka, secara tak langsung berarti membantu pula Lo Kim-ou."
Thia Sin-gan berpikir sebentar, katanya: "Terima kasih akan maksud baikmu, saat ini mungkin
aku belum bisa pergi ke Siau-kim-jwan, biar kita bicarakan lain waktu saja."
Lau Khong kira orang akan menerima permintaannya, sudah tentu ia rada kecewa mendapat
jawaban ini. Tapi ia tidak enak memaksa keinginan orang lain, maka ia pun tidak menyinggung
persoalan ini lagi. Kata Thia Sin-gan: "Lau-heng, Thio-heng, hari ini dapat bersua kalian, beruntung dapat
berkenalan dengan Miao tayhiap dan Hun lihiap pula, benar-benar amat menggirangkan hatiku
selama hidup ini, kami ayah beranak mohon diri lebih dulu, semoga gunung tetap menghijau air
tetap mengalir, kita akan bertemu pula kelak."
Setelah Thia Sin-gan berdua berlalu, Bu Cheng berkata: "Lau-toako, sebelum ini belum pernah
kudengar kau menyinggung tentang mereka ayah beranak."
"Aku sendiri bukan kenalan kental dengan mereka, baru belakangan ini aku tahu bahwa dia ada
ikatan kental dengan Lo Kim-ou, menurut Lo Kim-ou martabat dan karakternya sih tidak jelek, aku
pun tahu dia seorang yang mengutamakan budi dan kesetiaan, namun terasa juga olehku gerak
gerik dan sepak terjang mereka ayah beranak yang serba misterius. Tadi setelah kulihat putrinya
berani mati menolong jiwa Bu Toan, baru aku berani mengundang mereka untuk pergi ke Siaukimjwan." "Lau-toako, "kata Bu Toan, "waktu pertama kali kau mengenalnya, dia seorang chengcu
bukan?" "Benar, dia seorang chengcu, tentunya hartawan besar pula. Cuma keluarga hartawannya ini
justru jauh berlainan dengan para tuan tanah umumnya, pandai main silat itu persoalan kedua, dia
sendiri suka berkenalan dengan orang-orang gagah kalangan kangouw, maka dia dijuluki Siaubengsiang. Karena hobbynya itu, kira-kira sepuluh tahun yang lalu, lantaran kagum akan gelaran
Siau-beng-siangnya itu, aku pernah bertandang ke rumahnya menjadi tamunya."
"Dari seorang chengcu mendadak menjadi seniman yang kelana di kangouw, hal ini amat aneh
dan menarik juga. Tapi bukan maksudku menaruh curiga kepada mereka, apalagi mereka pernah
menolong jiwaku, betapapun aku amat berhutang budi," demikian Bu Toan utarakan unek-unek
hatinya. Lau Khong tahu bahwa Bu Toan tertarik akan asal-usul Thia Sin-gan ayah beranak, Bu Cheng
sebaliknya tertawa, katanya: "Yang menolong jiwamu adalah putrinya, seharusnya kau hanya
boleh hutang budi kepada nona Thia itu sendiri."
Merah muka Bu Toan, "Moay-moay, kenapa selalu kau menggodaku saja?"
"Marilah bicarakan urusan pokok saja," sela Lau Khong. "Kwi-hwe-thio, cara bagaimana kau
bisa berada di sini?"
"Seperti dirimu. Tapi kau mendapat perintah dari Thocu Thian-te-hwe, aku sendiri sih secara
suka rela bekerja demi Kim Tiok-liu dan Lo Kim-ou."
Lau Khong girang, serunya: "Jadi kau pun menyelidiki gerak-gerik Sebun Soh di Gunbing ini?"
"Surat dinas yang dibawa Sebun Soh itu kini sudah berada di tanganku," ujar Kwi-hwe-thio
sambil angsurkan surat itu. .
Lau Khong menerima dan dibacanya tulisan di atas sampulnya, seketika ia kegirangan: "Inilah
laporan strategis menurut rencana Ui-congping, bagaimana persiapannya mengerahkan bala
tentaranya, sudah tertulis rapi di dalam surat ini. Kalau surat dinas ini dikirim ke Siau-kim-jwan,
pasti besar manfaatnya bagi Siau Ci-wan dan Leng Thiat-jiau."
"Lau-heng," sela Miao Tiang-hong. "Kebetulan ada kau di sini, silakan kau saja yang membawa
surat rahasia ini ke Siau-kim-jwan."
"Miao-heng, kau hendak ke mana?"
"Kami akan ke Tayli menyelesaikan sesuatu urusan, terpaksa tugas kirim surat ini kubebankan
kepadamu." Lau Khong menepekur, seperti memikirkan sesuatu.
"Lau-heng menghadapi kesulitan apa?"
"Kesulitan sih tiada. Cuma mereka kakak beradik..."
"Mereka kenapa?"
"Untung kau pun hendak pergi ke Tayli, aku boleh berlega hatilah."
Miao Tiang-hong berpaling tanyanya kepada Bu Toan, Bu Cheng: "Jadi kalian juga hendak pergi
ke Tayli" Untuk apa ke sana?"
"Perlu paman ketahui, salah seorang musuh besar kami kini berada di Tayli, maka kami hendak
meluruk ke sana membalas dendam padanya," Bu Toan menjelaskan.
"Apakah Sa Mi-wan?" tanya Miao Tiang-hong.
"Ya. Kami sudah mencari tahu dengan jelas, Sa Mi-wan si keparat itu sudah mendapat restu
Pakkiong Bong, dia dimutasikan di Tayli, kini kebetulan berada di markas besar panglima perbatasan di
Tayli. Sebetulnya kami mohon bantuan Lau-toako dalam perjalanannya ke Gunbing ini untuk
membantu kami." "Ibu kalian adalah suciku, bantu kalian membalas sakit hati kema-tian ayah bundamu adalah
tanggung jawabku pula, mari kita berangkat bersama. Tapi Lau-toako harus berpisah beberapa
lamanya dengan kalian."
Merah muka Bu Cheng, serunya: "Miao-susiok suka membantu, tentunya jauh lebih
meyakinkan." "Sekarang kalian boleh berlega hati, memangnya kepandaian Miao-susiok kalian jauh lebih
tinggi dari aku," sela Lau Khong tertawa.
Kata Miao Tiang-hong sungguh-sungguh: "Lau-heng, kau mengirim surat itu ke Siau-kim-jwan,
itulah tugas dinas, jauh lebih penting, kuharap sepanjang jalan ini kau lebih hati-hati."
Tiba-tiba Lau Khong seperti teringat apa-apa, katanya: "Sayang Thia Sin-gan entah karena
urusan apa, tidak mau kuajak ke Siau-kim-jwan."
"Dia kelahiran seorang hartawan, kalau mereka beranak harus seperti kita, melakukan
pekerjaan bahaya menanggung resiko, hidup menderita lagi, kukira akan mempersulit mereka
saja." "Tapi sebagai seorang chengcu rela kelana di kangouw hidup seperti gelandangan, hal itu
sudah cukup prihatin. Menurut hematku mereka bukan lantaran takut menghadapi bahaya, kukira
masih ada sebab musabab lainnya yang tidak dimengerti."
"Memang sepak terjang mereka rada aneh, entah kenapa mereka bisa menjadi kelana kangouw
sebagai pengamen lagi" Lau-toako, pernah kau dengar cerita orang lain?"
"Ada orang bilang dia menghabiskan harta bendanya untuk menolong sesamanya, ada pula
yang bilang modalnya bangkrut, terpaksa berkelana di kangouw, ada juga yang bilang dia
mengalami suatu peristiwa yang amat mematahkan hatinya, kecewa dan putus asa, maka sengaja
ia meninggalkan kehidupan senang dan membuang harta bendanya. Aku sendiri karena tidak
punya hubungan yang intim, maka tidak mencari tahu lebih lanjut, Thio-heng, kau lebih dekat
hubungannya dengan dia, apa kau tahu?"
"Rekaan kalian salah semua," ujar Kwi-hwe-thio mulai dengan ceritanya. "Karena suatu
peristiwa penasaran sehingga dia dijebloskan ke dalam penjara, terpaksa dia harus meninggalkan


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rumah melarikan diri. Bahwa dia sekarang mondar-mandir di kangouw, menurut hematku,
mungkin mempunyai sesuatu maksud-maksud tertentu."
Lau Khong kaget, tanyanya: "Ah, kebentur kejadian apa sampai dia amat penasaran, coba kau
tuturkan." "Semula dia seorang hartawan besar Hoay-an-hu di Siong-so meski bukan hartawan paling
kaya di daerahnya, jelek-jelek dia mempunyai kampung halamannya sendiri, suka menolong
kesukaran orang lain dan mendermakan harta miliknya, maka dia digelari Siau-beng-siang, hal ini
Lau-toako sendiri sudah tahu."
"Tapi ada latar belakang lain yang tidak kau ketahui. Mungkin karena sejak kecil dia hidup
mewah dan diasuh dalam keluarga besar, hidup senang, tidak pernah tahu akan kelicikan jiwa
manusia umumnya, kabarnya dia belajar sastra meyakinkan ilmu silat, keduanya sama-sama
pintar, namun otaknya justru rada ceroboh dan tidak bisa membedakan antara orang baik dan
orang jahat, para orang-orang gagah dari kangouw dari segala lapisan, bukan saja ada hubungan
baik, malah dengan para pejabat pemerintah pun sering berhubungan pula."
"Orang dari kelahiran seperti dia, tidak mustahil bila bertindak gegabah, tapi setelah mengalami
pelajaran yang menyakitkan hatinya, akan datang ketika dia sadar akan kesalahannya sendiri,"
demikian Lau Khong memberi komentar.
"Betul kata-katamu," ujar Kwi-hwe-thio. "Kalau Thia Sin-gan tidak kebentur peristiwa itu sampai
dijebloskan ke dalam penjara, mungkin sampai sekarang dia masih seorang chengcu di Hoay-an
sana." "Lau-toako," sela Bu Cheng, "Jangan kau mengomentari saja, dengar cerita Thio-toasiok lebih
lanjut." "Kira-kira sepuluh tahun yang lalu, pernah datang seorang Tihu dari lulusan Cin-su menjadi
pejabat yang berkuasa di Hoay-an."
"Bagaimana dengan Tihu ini?" timbrung Bu Cheng.
"Tihu she Han ini adalah seorang terpelajar yang romantis, pandai karang mengarang,
membuat syair, main catur memetik harpa dan melukis, segala seni rupa pun dimiliki, namanya
cukup tenar di antara sesama pejabat pemerintah. Seperti sudah kujelaskan tadi Thia-toako pun
punya hobby yang sama, suka mengagulkan diri sebagai seorang terpelajar tingkat tinggi, maka ia
pun amat kagum akan semua kepandaian sang Tihu."
Lau Khong manggut-manggut, katanya: "Setiap pejabat yang tamak paling suka cari ikatan
dengan para hartawan setempat, mungkin karena mereka punya hobby yang sama, maka
perkenalan pertama semakin mengeratkan hubungan mereka."
"Benar, sejak Tihu she Han itu datang, kalau bukan dia berkunjung ke rumah keluarga Thia,
tentu Thia Sin-gan yang balas berkunjung ke rumah Tihu, tak lama kemudian kedua keluarga
mereka pun punya hubungan yang lebih intim."
"Tapi tidak seluruhnya benar jikalau setiap pejabat yang tamak suka menjilat kepada para
hartawan. Di samping berusaha mengambil hati para hartawan itu, mereka pun punya maksudmaksud
tertentu. Terutama terhadap para hartawan yang kaya tapi tidak punya kekuasaan.
Memang Thia-toako punya teman-teman golongan persilatan, namun tidak punya tulang
punggung di kalangan pejabat pemerintah, maka Han-tihu lantas anggap dia sebagai daging
gemuk." "Istri Thia-toako adalah perempuan tercantik dalam bilangan Hoay-an ini, mereka masih punya
ikatan famili, suami istri hidup rukun dan bahagia. Karena hubungan sudah meningkat antar
kekeluargaan, maka setiap kali Han-tihu mengadakan perayaan apapun, Thia-toaso pun diminta
datang ke rumah Tihu untuk membantu sekadarnya."
"Suatu hari istri muda Han-tihu mengadakan perjamuan ulang tahun, Thia-toaso pun dijemput
untuk ikut merayakan perjamuan, kabarnya karena terlalu banyak minum arak sampai mabuk,
malam itu tidak pulang ke rumah."
"Karena kuatir, hari kedua pagi-pagi benar, Thia Sin-gan menyusul ke sana hendak menjemput
istrinya, siapa nyana yang dia bawa pulang justru mayat istrinya! Han-tihu bilang semalam istrinya
mendadak terserang penyakit angin duduk dan meninggal tak tertolong lagi."
"Tentulah pejabat anjing she Han itu yang membunuhnya, kenapa Thia Sin-gan tidak menuntut
kepadanya?" teriak Bu Cheng penasaran.
"Malapetaka terlalu mendadak datangnya, sudah tentu Thia-toako tidak mau terima kematian
istrinya begitu saja, mending kalau dia tidak mencari perkara, begitu dia mengajukan tuntutan,
bencana justru menimpa ke atas kepalanya pula. Sebelumnya Han-tihu sudah merencanakan tipu
daya, sekali perintah ia suruh beberapa opas meringkus Thia Sin-gan terus dijebloskan ke dalam
penjara." "Ada peristiwa keluar batas seperti itu, menangkap orang dan menjebloskan ke dalam penjara
toh harus ada dosa dan tuduhan yang setimpal?" kembali Bu Cheng berteriak-teriak.
"Apa sukarnya menjatuhkan dosa dan tuduhan" Thia Sin-gan ada hubungan dengan Lo Kim-ou,
pejabat she Han itu sebelumnya sudah mencari tahu dengan betul, maka dengan mudah saja ia
memfitnahnya sebagai komplotan penyelundup garam gelap, suka hubungan dengan kalangan
berandal punya tujuan memberontak segala. Setelah dijebloskan ke penjara, seluruh harta
bendanya pun disita seluruhnya!"
"Pejabat anjing yang jahat ini memang patut dibunuh, bagaimana akhirnya?" tanya Bu Toan
uring-uringan. "Pejabat anjing itu menjatuhkan hukuman mati, setelah mendapat persetujuan dari pengadilan
tinggi, hukuman mati akan segera dilaksanakan. Sementara menunggu perintah dari atasannya,
kuatir orang melarikan diri, setiap hari dia disiksa dan dikompes pengakuannya, sehingga seluruh
badannya luka-luka, tiada sejengkal kulit badannya yang utuh. Seumpama pengadilan tinggi tidak
memutuskan hukuman mati, mungkin lama kelamaan dia pun bakal mampus disiksa demikian
rupa oleh sang Tihu."
Bu Toan mengepal jari-jarinya, serunya marah-marah: "Semoga Thian memberi keadilan,
supaya pejabat anjing itu terjatuh ke tangan Thia-toasiok, meniru perbuatannya menghajarnya
sampai babak belur. Tapi Thia-toasiok disiksa sedemikian rupa, bagaimana akhirnya dia dapat
lolos dan hidup?" "Justru karena siksaan yang begitu keji malah menimbulkan simpati dan belas kasihan
seseorang," kata Kwi-hwe-thio. "Siapa?" tanya Bu Toan. "Penjaga penjara," sahut Kwi-hwe-thio.
"Penjaga penjara ini pernah mendapat pertolongannya dan merasa hutang budi. Karena tidak
tega, suatu malam nan gelap, secara diam-diam ia menolong dan membebaskan dia. Sudah tentu
sejak malam itu, penjaga penjara ini pun melarikan diri."
"Setelah menyembuhkan luka-lukanya, Thia Sin-gan lantas menyembunyikan nama dan
merahasiakan asal-usulnya di kalangan kangouw, sejak itu dia menjadi seorang pengamen yang
mengembara dari satu tempat ke tempat lain. Ayah anak hidup berdampingan, tak pernah mereka
kembali ke kampung halaman, orang pun tiada yang tahu bahwa dia bekas hartawan dermawan
dari Hoay-an yang pernah dijuluki Siau-beng-siang!"
"Tapi yang paling dia pedihkan bukan lantaran penasarannya difitnah semena-mena dan disiksa
dalam penjara, kematian istrinya yang mengenaskan merupakan pukulan batin yang amat melukai
sanubarinya. Dari penuturan penjaga penjara itu ia mendapat tahu, ternyata Tihu keparat itu
kepincut pada kecantikan istrinya, bersekongkol dengan istri mudanya, malam itu sengaja dia menahan
istri Thia Sin-gan dengan maksud buruk, setelah dicekoki arak dia hendak memperkosanya.
Karena maksudnya tidak tercapai, kuatir perbuatan jahatnya ketahuan orang, terpaksa ia bunuh
istri orang. Tapi terhadap teman-temannya sendiri tidak pernah Thia Sin-gan menceritakan
peristiwa yang mengetuk sanubarinya ini."
"Lalu dari mana kau bisa tahu?" tanya Bu Cheng.
"Setelah melarikan diri, penjaga penjara itu tidak punya kerjaan dan mengalami kesulitan
hidup, akhirnya menjadi kolegaku. Kuturunkan beberapa kepandaian cara mencuri barang-barang
orang lain, dia hendak mengangkat guru kepadaku, aku tidak menyetujui, tapi dia anggap aku
sebagai gurunya. Dari mulut si penjaga penjara inilah aku mengetahui seluk beluk peristiwa yang
dialami Thia Sin-gan, belakangan baru aku berusaha mengikat persahabatan dengan Thia Singan."
"Thia-toasiok punya dendam kesumat sedalam lautan, kukira dia harus menuntut balas sakit
hati ini, entah di mana sekarang pejabat anjing itu?" tanya Bu Toan.
"Tihu she Han itu kabarnya sudah naik pangkat, tapi di mana dia sekarang, aku sih tidak tahu."
"Koko, apa kau ingin bantu mereka menuntut balas?" tanya Bu Cheng.
Kata Bu Toan sungguh-sungguh: "Mereka ayah beranak bantu kita menuntut balas,
sepantasnya kita pun harus bantu mereka."
"Koko, aku tahu isi hatimu. Cuma kapan kita bakal bertemu pula dengan mereka ayah dan
anak, susah diramalkan. Biar kita menuju ke Tayli dulu, soal ini kelak dibicarakan lagi bila kita
sendiri sudah membunuh musuh besar keluarga kita."
"Thio-heng, kau sendiri hendak ke mana pula?" tanya Lau Khong.
"Kalau kau sudi berteman dengan aku, biar aku ikut kau ke Siau-kim-jwan, sekaligus aku
hendak menyambangi Beng Goan-cau."
"Itulah paling baik, aku sendiri sedang bingung sebatang kara di perjalanan, kalau terjadi
sesuatu, bila surat dinas ini tidak sampai tiba di Siau-kim-jwan, tentunya aku teramat sungkan
terhadap kalian." "Kepandaian lain aku tidak mampu, kalau hanya melarikan diri sih tanggung tiada
bandingannya. Maka boleh kau legakan hatimu, kalau di jalan terjadi sesuatu, surat dinas itu biar
kubawa lari." Mereka turun bersama dari Liongbun, tanpa terasa tahu-tahu sudah tiba di lamping gunung, di
sini mereka lewat Sam-king-kek dan Thay-hoa-si dan tiba di Hoa-ting-si. Dari sini jalanan semakin
lurus dan enak dilalui, sambil mengobrol dan menikmati panorama, tanpa terasa mereka sudah
tiba di bawah gunung. "Miao-heng," kata Lau Khong. "Sudah tiba saatnya kita berpisah di sini."
"Hun-Hhiap," ujar Kwi-hwe-thio, "adakah pesan apa-apa yang perlu kusampaikan kepada Bengtoako?"
"Mungkin aku tak bisa pergi ke Siau-kim-jwan menengok dia. Tapi ada kabar baik lainnya perlu
kau sampaikan kepadanya, katakan bahwa Lim-lihiap ciangbunjin dari Hu-siang-pay dalam waktu
dekat ini pun akan ke Siau-kim-jwan untuk bertemu dengan dia."
Kwi-hwe-thio heran dan tidak mengerti juntrungan kata-kata Hun Ci-lo, namun ia tidak suka
mengorek persoalan orang lain, maka cuma manggut-manggut saja sambil mengiakan. Segera
mereka berenam berpisah di saat itu juga.
Dari Gun-bing menuju ke Tayli kira-kira masih ada enam ratusan li perjalanan, mereka harus
melalui dataran tinggi yang sukar ditempuh meski dengan jalan kaki. Miao Tiang-hong, Hun Ci-lo,
Bu Toan dan Bu Cheng, tiga hari sudah mereka menempuh perjalanan, tetap masih di antara
gunung-gunung dan hutan belantara. Untunglah mereka masing-masing memiliki ilmu silat, sedikit
pun tidak merasa lelah atau menemui kesukaram yang berarti.
Pepohonan dan kembang-kembang yang tumbuh di wilayah Hun-lam beraneka ragamnya,
merajai seluruh negeri. Iklim di sini pun teramat baik, waktu itu musim dingin sudah berselang dan
musim semi pun mendatang, di daerah utara hanya kembang Bwe saja yang masih mekar dan
tumbuh dengan suburnya, di Hunlam justru beraneka pepohonan sama berkembang biak dengan
suburnya. Sepanjang jalan mereka disambut bebauan harum semerbak dan kicauan burung
merdu, berempat menempuh perjalanan bersama, sehingga tidak terasa sepi dan letih.
Di mana-mana tumbuh semacam pohon yang bernama Toa-ceng-soh, masyarakat setempat
menamakannya Hong-swi-soh. Pepohonan kekar dan kasar yang tidak terlihat di daerah utara,
pohonnya rimbun dan subur, tegak menjulang ke langit, rindang menutupi tanah sekitarnya
membuat hawa semakin sejuk, empat musim tetap tumbuh seperti biasa, akar pohonnya laksana
cakar naga, kokoh dan kencang menjalar di dalam bumi, seolah melambangkan masa dan jiwa,
siapapun yang melihatnya, pasti akan senang dan memujinya. Terutama Hun Ci-lo paling
menyukai Toa-ceng-soh ini.
Kata Miao Tiang-hong: "Perjalanan jauh amat meletihkan, kita istirahat dulu di bawah Toacengsoh ini." Hun Ci-lo menengadah sambil mengawasi Toa-ceng-soh ini, seperti sedang memikirkan apaapa.
Bu Cheng segera bertanya: "Hun-kokoh, apa pula yang sedang kau pikirkan?"
"Kupikir Toa-ceng-soh tegak berdiri di dataran tinggi pegunungan, tanpa banyak rewel
melindungi setiap insan yang berlalu lalang dari terik matahari. Seolah-olah seorang sosiawan
yang bajik, bijaksana dengan cita-cita yang besar suka menolong sesamanya, sehingga setiap
orang selalu merasa punya sandaran untuk hidup tentram."
Tengah mereka bercakap-cakap itulah, tiba-tiba dari jalan raya arah belakang sana, terdengar
derap lari kuda yang dibedal kencang mendatangi, dua ekor kuda dengan pesat berlari lewat dari
bawah pohon. Penunggangnya ternyata dua orang yang mengenakan seragam opas, salah satu di
antaranya melirikkan matanya ke arah Bu Cheng, tiba-tiba "Ser!" ia ayun pecutnya, hampir saja
mengenai badannya. Sudah tentu Bu Cheng naik pitam, sambil berjingkrak bangun ia meraih
hendak menangkap ujung cambuk orang, serta menariknya jatuh dari tunggangannya. Namun
kuda itu enteng dan pesat sekali sudah berlari lewat. Lekas Hun Ci-lo menariknya duduk pula,
katanya: "Nona Bujangan kau cari perkara dengan budak-budak anjing seperti mereka. Tidak
patut kita membuat perhitungan dengan mereka."
Sebentar saja kedua penunggang kuda itu sudah pergi jauh.
Kata Bu Cireng uring-uringan: "Kuda tunggangan mereka cukup lumayan, kalau bisa direbut,
lumayan juga kalau kita bisa menunggang kuda."
"Dijalan pegunungan sesulit ini, kau hendak rebut tunggangan mereka, kalau tidak celaka pasti
mereka tersiksa juga, sudahlah, kita menempuh jalan kita sendiri."
Setelah istirahat cukup lama, segera mereka berangkat pula, sesaat kemudian, belum jauh
mereka meninggalkan tempat itu, tiba-tiba terdengar suara jeritan minta tolong yang menyayat
hati. Suara teriakan mereka seperti diselingi dengan gemuruhnya sesuatu benda yang jatuh
menggelundung ke bawah lereng.
Hun Ci-lo kaget, serunya: "Kedengarannya suara kedua opas tadi?"
"Benar, kedengarannya mereka terjatuh dari atas kuda dan menggelundung ke bawah lereng."
sahut Miao Tiang-hong. "Mereka pandai menunggang kuda, mana bisa terpeleset jatuh" Kejadian ini rada janggal."
"Peduli janggal atau tidak, kedua budak anjing itu biasanya suka menindas orang lemah,
setimpal kalau mereka rasakan pembalasan," Bu Cheng berkata tertawa.
Bu Toan menambahkan: "Lereng ini cukup tinggi dan terjal. Seumpama tidak mampus pasti
mereka terbanting luka parah di bawah sana."
"Biar aku turun ke bawah melihat keadaan mereka," ujar Miao Tiang-hong.
"Untuk apa paman turun ke sana?" tanya Bu Cheng kurang senang.
"Mereka harus ditolong!" "Apa, ditolong?" tanya Bu Cheng tertegun.
Sembari lari, Miao Tiang-hong menjawab: "Meski mereka rada menyebalkan, dosanya tidak
setimpal dihukum mati. Menolong jiwa seorang, lebih berjasa dari memadamkan tujuh tingkat
budur (candi) yang terbakar." Sebentar saja bayangannya sudah hilang di balik batu-batu cadas di
bawah lereng sana. Pada saat itu pula, lapat-lapat mereka mendengar suara ringkik kuda dari kejauhan. Dari
tempat mereka yang tinggi, memandang ke bawah gunung, tampak dua titik hitam seperti angin
lesus sedang berlari kencang, samar-samar kelihatan dua orang menunggang dua dua ekor kuda.
Tapi dua orang macam apa yang menunggang kuda, jarak terlalu jauh sehingga tidak jelas bagi
mereka. "Wah, agaknya kita kecele. Kedua opas itu naga-naganya bukan terpeleset jatuh, tapi kebentur
begal kuda di depan sana," ujar Bu Cheng.
"Bagaimana duduk perkaranya, sebentar bisa kita tanya kepada Miao-susiok," timbrung Bu
Toan. Kira-kira setengah sulutan dupa, seorang diri Miao Tiang-hong berlari balik. "Bagaimana
keadaan kedua opas itu?" Hun Ci-lo segera bertanya.
"Yang satu patah tulang rusuknya, seorang lagi lumpuh kedua kakinya, aku sudah beri obat
darurat kepada mereka, mati sih tidak, tapi untuk naik ke atas tentu sulit sekali. Untung di dekat
sana ada rumah pemburu, kusuruh mereka minta pertolongan ke sana, setelah rebah sepuluhan
hari tentu akan sembuh."
"Apa mereka ketemu perampok?" tanya Hun Ci-lo pula.
"Dari penuturan mereka, agaknya kuda mereka dibegal orang. Tapi apa benar begal, mereka
sendiri sih tidak tahu."
"Dua orang itu petugas luar, yang membegal kuda mereka belum tentu begal biasa. Tapi
kenapa harus dikatakan 'agaknya'?"
"Bahwasanya kedua opas itu tidak melihat siapa yang menyergap mereka, di saat kuda mereka
lari lewat suatu tempat yang berbahaya, terdengar '"Plok, plok" dua kali, tahu-tahu kuda masingmasing
melonjak tinggi satu tombak, begitulah mereka terjungkal jatuh dari tunggangan masingmasing.
Maka mereka hanya bisa menggunakan isilah 'agaknya'. Tentu setelah mendengar
penuturan mereka ini, kita bisa meraba bahwa mereka dibokong orang yang sebelumnya sudah
sembunyi di sana, dengan batu menimpuk kaki kuda mereka."
"Orang itu memukul kedua opas terjungkal jatuh, masih bisa mengejar kedua ekor kuda
tunggangan itu, terang kepandaian mereka tidak lemah. Entah apa kerja kedua opas tadi?" tanya
Hun Ci-lo. "Ya, memang akan kuberitahu tentang itu-. Kedua opas itu adalah suruhan Sebun Soh pergi ke
Tayli mengirim surat."
"Hah, Sebun Soh tidak mampus?" teriak Bu Cheng.
"Setelah terjun ke dalam Tian-ti, beruntung Sebun Soh tidak sampai ajal, namun luka-lukanya
teramat berat, kini masih merawat luka-lukanya di gedung gubernur-an, dalam waktu dekat terang
tidak akan bisa pulang ke kota raja."
"Surat kiriman Sebun Soh itu ditujukan kepada seorang Hanciangkun yang mengepalai pasukan
di perbatasan. Kedua opas tadi adalah pengawal pribadi Sinbu (gubernur). Sebun Soh pinjam
nama sinbu menyuruh mereka mengirim surat.
"O, panglima perbatasan itu she Han," Bu Toan menegas.
"Ya, kenapa?" tanya Miao Tiang-hong.
"Tidak apa-apa," sahut Bu Toan. "Cuma mendadak teringat olehku bahwa musuh besar Thiatoasiok
juga seorang she Han!"
"Tidak akan begitu kebetulan," ujar Bu Cheng tertawa. "Han-tihu yang mencelakai Thia-toasiok
itu adalah pejabat sipil, kukira bukan orang yang sama."
"Surat itu kau ambil tidak?" tanya Hun Ci-lo.
"Surat itu tersimpan di kantong surat yang tergantung di atas pelana, kudanya lari, sudah tentu
surat itu pun ikut lenyap."
Hun Ci-lo tertawa, katanya: "Kau mengobati kedua opas itu, bagaimana reaksi mereka?"
"Sudah tentu amat kikuk dan risi. Kebetulan aku bisa menasehati mereka malah, agaknya
mereka amat menyesal, bersumpah selama hidup ini tidak akan berani menggoda perempuan lagi,
terutama tidak akan menindas rakyat jelata pula."
"Miao-siok-siok, kau memang baik hati," puji Bu Cheng tertawa.
Begitulah mereka terus melanjutkan perjalanan. Sepanjang jalan ini tak terjadi apa-apa, hari
ketiga lewat lohor, akhirnya mereka tiba di Tayli dengan selamat.
Belum lagi masuk kota, dari kejauhan sudah tampak sebuah gunung tinggi berwarna hitam
semu biru menghadang di depan mata, salju nan memutih masih ke-milauan di puncak tertinggi.
Semula yang kelihatan hanya puncaknya, lambat laun mereka melihat jelas kaki gunungnya.
Sampai di sini mereka melihat dirinya berada di sebelah timur, tampak pula permukaan air danau


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang menyilaukan mata tertimpa sinar matahari.
"Di bawah sana kita akan tiba di He-koan, melewati He-koan, kita akan sampai di Tayli. Gunung
dan danau itu merupakan kebanggaan negeri Tayli, itulah Jong-san dan Ni-hay yang terkenal itu.
Sayang waktu amat mendesak, tiada tempo kita menikmati keindahan alam di Jong-san dan Nihay.
Marilah lekas masuk ke Tayli, kita cari penginapan untuk istirahat."
Tak nyana baru saja mereka mendapat hotel, setengah jam kemudian, terjadilah suatu
peristiwa di luar dugaan.
Waktu itu Miao Tiang-hong sedang ngobrol dengan Bu Toan di dalam kamar, pengurus hotel
tiba-tiba tergopoh-gopoh melangkah masuk serta membungkuk badan, katanya menghormati:
"Miao-toaya, Bu-kongcu, aku yang rendah punya mata memang tidak tahu tamu agung, harap
kalian suka maafkan."
Keruan Miao Tiang-hong me-lengak heran, tanyanya tertawa: "Lopan (majikan), kau sedang
main-main apa dengan kami?"
Ciangkui atau pengurus hotel ini unjuk muka gugup, sahutnya: "Aku yang rendah mana berani
main-main dengan kau orang tua?"
"Kalau tidak main-main tentu kau salah alamat, kami hanya rakyat jelata, siapa bilang tamu
agung segala," ujar Miao Tiang-hong.
Ciangkui unjuk seri tawa getir, katanya: "Kalian adalah teman baik Siau-ong-ya, masa bukan
tamu agung?" Semakin heran Miao Tiang-hong dibuatnya, katanya: "Siapa itu Siau-ong-ya?"
Ciangkui juga heran, katanya: "Di Tayli hanya ada seorang Siau-ong-ya, tentunya adalah Siauongya dari keluarga Toan!"
"Siau-ong-ya dari keluarga Toan?" timbrung Bu Toan. "Kami kan tidak kenal dia."
Ciangkui ragu-ragu dan setengah percaya, katanya: "Kini Siau-ong-ya sudah berada di hotel
kami, katanya hendak menyambut kalian beramai, untuk menginap di gedung istananya. Coba
lihat, inilah kartu namanya."
Waktu Miao Tiang-hong terima kartu nama itu, dilihatnya bertuliskan:
Wansing Toan Kiam-ceng menyampaikan hormat!
Ciangkui itu berkata pula: "Siau-ong-ya pegang tata kesopanan, dia suruh aku menyampaikan
kartu namanya lebih dulu." Semula ia hendak membawa Siau-ong-ya langsung ke kamar Miao
Tiang-hong, namun Siau-ong-ya tidak mau melanggar sopan santun. Sudah tentu dalam
pandangan si Ciangkui hal ini merupakan suatu peristiwa luar biasa.
"Sungguh mengejutkan dan membuat kami tak enak hati. Tapi betapapun kami tidak berani
menerimanya," kata Bu Toan.
Ciangkui kaget, sesaat ia melongo dan katanya tersendat: "Bu-kongcu, kau, maksudmu tidak
ingin, tidak ingin menemui Siau-ong-ya?"
Belum lagi Bu Toan menjawab, lekas Miao Tiang-hong memberi kedipan padanya, katanya lebih
dulu: "Siau-ong-ya sudi memberi muka kepada kami, dia berkunjung kemari menemui kami, mana
berani kami menampik kedatangannya" Ciangkui, bikin susah kau saja, silakan kau bawa dia
masuk." Setelah Ciangkui keluar, dengan berbisik Bu Toan bertanya kepada
Miao Tiang-hong: "Paman Miao, kau kenal siapa itu Siau-ong-ya?"
"Selamanya belum kenal. Tapi mungkin dia anggota keluarga seorang temanku."
"Miao-sioksiok, cara bagaimana kau bisa berkenalan dengan keluarga kerajaan ini?"
"Kedudukan raja keluarga Toan bukan atas angkatan raja Ceng. Jauh sejak dinasti Song,
keluarga Toan sudah mendirikan kerajaan di Tayli, kalau dugaanku tidak meleset, moyang Siauongya ini dulu adalah raja dari negeri Tayli ini."
"Negeri Tayli akhirnya dicaplok oleh bangsa Mongol, tapi setelah sampai dinasti Bing, karena
keluarga Toan mempunyai kekuasaan berakar di negeri Tayli, demi mengikat keluarga Toan, maka
Bing-seng-co bantu mendirikan istana kerajaan pula di sini, sehingga turun temurun keluarga Toan
menjabat kedudukan raja dari warisan leluhurnya, namun kedudukan raja ini seperti boneka
belaka, tidak mempunyai kekuasaan penuh. Setelah bangsa Boanciu masuk ke Tionggoan, jabatan
raja keluarga Toan pun sudah dicopot."
"Jadi mereka sudah bukan raja lagi?"
"Ya, namun karena keluarga Toan sejak dulu kala sudah punya kedudukan berakar di kalangan
rakyat setempat, sampai ratusan tahun lamanya, maka masyarakat setempat sudah kebiasaan
menyebut kepala keluarga Toan ini sebagai raja. Itu melambangkan bahwa sebagian rakyat Tayli
masih punya rasa hormat dan segan terhadap keluarga Toan mereka, jadi bukan Ongya
sungguhan." Sampai di sini Miao Tiang-hong memberi penjelasan kepada Bu Toan. Siau-ong-ya yang
bernama Toan Kiam-ceng itu sudah berjalan masuk di ringi ciangkui itu, di belakangnya ikut
seorang tua sebagai hamba. Begitu mereka melangkah ke dalam kamar, ciangkui segera
mengundurkan diri. Lekas Miao Tiang-hong unjuk hormat, sapanya: "Siau-ong-ya sudi berkunjung, entah ada
petunjuk apa?" "Miao tayhiap," lekas Toan Kiam-ceng buka suara. "Jangan kau panggil aku demikian, kalau
dibicarakan aku masih terhitung angkatan mudamu. Toan Siu-si adalah paman kecilku, aku tahu
kau bersahabat baik dengan paman, maka dengan sembrono aku memberanikan diri datang
mengganggumu." Dugaan Miao Tiang-hong memang tidak meleset, Toan Kiam-ceng ini memang keponakan Toan
Siu-si, cuma ia sendiri tidak begitu jelas mengenai seluk beluk keluarga mereka, meski merasa
heran dan ragu-ragu, ia berkata juga: "Ya, memang dengan pamanmu aku seperti saudara
sekandung saja. Tapi ada satu hal yang tidak kumengerti, harap kau suka memberi penjelasan."
"Silakan Miao tayhiap berkata." "Aku tidak memanggilmu Siau-ong-ya lagi, kau pun jangan
menyebut aku tayhiap segala. Yang ingin kutanya adalah: Baru hari ini kami tiba di Tayli, dari
mana kau lantas tahu jejak kami?"
"Pamanlah yang memberitahu kepadaku."
Kaget dan senang Miao Tiang-hong, tanyanya. "Jadi pamanmu sudah pulang kandang?"
Laki-laki tua yang mengikuti di belakang Toan Kiam-ceng itu tiba-tiba menghela napas,
timbrungnya: "Kalau dia suka kembali, itulah baik sekali."
Berkata Toan Kiam-ceng lebih lanjut: "Beginilah, kemarin pagi-pagi waktu aku bangun, kulihat
sepucuk surat tulisan paman di atas meja, dikatakan bahwa tanggal tujuh belas yang lalu kalian
sudah tiba di Gunbing, menurut perhitungannya, dalam dua hari mendatang ini pasti akan tiba di
Tayli, beliau berpesan bagaimana juga aku harus menerima dan melayani kalian sebagai tuan
rumah selayaknya, maka mohon kalian suka menginap saja di rumah kami. Beliau kuatir aku salah
melihat orang, dalam suratnya itu sudah dijelaskan tentang umur, raut muka dan dandanan serta
ciri-ciri lain. Kecuali kalian berdua, masih ada Hun-lihiap dan nona Bu, benar tidak?"
"Benar, mereka tinggal di kamar sebelah. Silakan duduk biar kupanggil mereka."
Waktu Miao Tiang-hong ceritakan hal ini kepada Hun Ci-lo, Hun Ci-lo jadi bimbang, katanya:
"Waktu aku berpisah dengan Toan Siu-si di Pak-bong-san tempo hari, katanya dia hendak pergi ke
Se-siang-pan-na mencari Tiam-lam-su-hou menuntut balas sakit hati suhengnya. Kalau dia ingin
Petualang Asmara 17 Sepasang Pendekar Kembar Ouw Yang Heng-te Karya Kho Ping Hoo Laron Pengisap Darah 10

Cari Blog Ini