Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen Bagian 28
kembali ke Tayli, tentu sudah seperjalanan dengan kita."
"Tapi apa yang tertulis di atas surat itu sedikit pun tidak salah. Kalau bukan tulisan Toan Siu-si,
dari mana keponakannya bisa tahu tentang kita?"
"Menurut surat itu jadi waktu kita berada di Gun-bing, tentunya Toan Siu-si pun berada di sana,
kenapa dia tidak menemui kita?"
"Sepak terjang Toan Siu-si aneh dan suka menyendiri, mungkin dia punya alasannya sendiri,
sementara tidak mau bertemu dengan kita!"
"Kau kenal gaya tulisan Toan Siu-si?"
"Meski aku amat cocok bergaul sama dia, setiap kali pasti berpisah dengan tergesa-gesa,
selama ini belum pernah aku melihat tulisan tangannya." Lalu Miao Tiang-hong tertawa, katanya
pula: "Seumpama aku kenal tulisannya, masa enak minta Siau-ong-ya itu memperlihatkan surat
pamannya kepada kita. Itu berarti kita tidak mempercayai kata-katanya" Siau-ong-ya ini ternyata
tahu sopan santun." "Kini Siau-ong-ya mengundang kita untuk menetap di rumahnya, kita menerima undangannya
tidak?" "Kukira tidak menjadi soal. Memang dia sudah tahu kedatangan kita, namun sampai di mana ia
mengetahui rahasia kita, kita pun tidak tahu. Kalau kuatir dia membocorkan jejak kita, mau atau
tidak menerima undangannya toh sama saja. Lebih baik mari kita tinggal di rumahnya, di sana kita
bisa menjaga diri dan lebih aman. Di samping itu kita masih asing seluk beluk dan adat istiadat
rakyat setempat, menetap di dalam hotel pun kurang aman, kalau di rumah keluarga Toan, malah
kita bisa mendapat perlindungan. Kulihat Toan Kiam-ceng bocah itu sudah cukup masak pikiran
dan tindak-tanduknya, seorang yang boleh dipercaya penuh."
"Pengalamanmu lebih luas, menilai orang tentunya tidak akan salah, kalau demikian, kita terima
saja undangannya." Maka Hun Ci-lo dan Bu Cheng berdua ikut Miao Tiang-hong ke sebelah menemui Toan Kiamceng,
mendengar mereka suka menjadi tamu undangannya, Toan Kiam-ceng amat senang
katanya: "Dalam suratnya paman ada menyinggung, katanya Miao tayhiap dan Hun lihiap adalah
sahabat baiknya. Meskipun Bu-kongcu darn nona Bu beliau belum pernah melihatnya, namun Bu
Ting-hong tayhiap almarhum sudah lama dikaguminya sayang di waktu hidup Bu tayhiap tiada
kesempatan bertemu muka."
"Apa kau ada bertemu dengan pamanmu waktu dia pulang?" tanya Hun Ci-lo.
"Beliau hanya meninggalkan sepucuk surat. Kapan dia mengantar atau suruh orang meletakkan
dalam kamarku, aku sendiri pun tidak tahu. Tabiat paman memang aneh, sejak sepuluh tahun
yang lalu meninggalkan rumah, sampai sekarang belum pernah pulang. Menurut hematku kalau
kali ini bukan lantaran kalian datang ke daerah kami, dia pun tak akan meninggalkan pesan
melalui suratnya itu. Di mana sekarang paman berada, siautit tidak tahu sama sekali, harap HunIihiap maafkan." "Bagaimana tabiatnya, sudah tentu aku pun tahu. Baiklah, mari kita berangkat," ujar Miao
Tiang-hong. Toan Kiam-ceng memanggil Ciangkui, dia persen sekeping uang perak, katanya: "Kuundang
beberapa teman ini tinggal di rumahku, jangan kau sembarangan cerita kepada orang. Bila ada
orang bertanya baru boleh kaujelaskan, katakan familiku yang datang dari jauh hendak
menjenguk keluarganya. Dan lagi, siapa yang mencari tahu tentang hal ini, kau pun harus lapor
kepadaku." Sambil membungkuk-bungkuk mengucapkan terima kasih ciangkui terima pemberian itu,
katanya: "Siau-ong-ya pesan, siaujin tentu ingat dengan betul."
Tayli merupakan kota pegunungan yang sunyi dan tenang, tatkala itu sudah mendekati magrib,
jarang orang berlalu lalang di jalan raya. Sudah biasa Toan Kiam-ceng membawa pembantu
rumah tangganya bermain-main di luar kota, meski kali ini mereka ada bersua dengan pencari
kayu dan petani yang hendak pulang desa, mereka anggap Miao dan Bu berempat sebagai
pengiring Toan Kiam-ceng, sedikit pun tidak ambil perhatian.
Waktu lewat Sam-ta-si, Toan Kiam-ceng memberi tahu, "Kabarnya Sam-ta-si dibangun oleh Utti
Keng-tek, itu panglima besar pada dinasti Tong sejaman dengan Sie Jin-kui, kuil tiga budur ini
mempunyai keistimewaannya sendiri, setiap kali matahari terbenam di barat, bayangan budur
jatuh tepat pada sebuah air telaga yang letaknya lima belas li di luar kota, dinamakan Sam-ta-toing."
Bu Cheng amat berkesan mendengar cerita ini katanya: "Sayang sekarang sudah malam, kapan
ada kesempatan ajaklah aku melihat pemandangan aneh ini."
"Tidak sedikit tempat-tempat tamasya dengan panoramanya yang indah di Tayli, kalau nona Bu
suka, setiap hari aku bisa ajak kau tamasya di satu tempat. Tapi kalau kau ingin melihat
pemandangan teraneh dan paling menakjubkan di Tayli, kau harus tunggu dan menetap di sini
sampai tanggal enam belas bulan empat nanti."
"Kenapa harus menunggu sampai hari itu?" tanya Bu Cheng heran.
"Di tempat kami ini terdapat Ou-tiap-cwan (kubangan kupu-kupu), di pinggirnya terdapat
sepucuk pohon, entah pohon apa namanya, setiap bulan empat mulai berkembang, bentuk
kelopak kembangnya menyerupai kupu-kupu, setelah bunga berkembang, banyak kupu-kupu
datang beterbangan, terutama pada tanggal enam belas bulan empat itu, beribu-ribu mungkin
sampai laksaan kupu-kupu sama berkumpul hinggap di atas pohon sampai berderet-deret
memanjang menjuntai ke permukaan air. Pemandangan seaneh ini, sukar dilihat pada hari-hari
biasa." "Sekarang baru bulan pertama, mungkin kami tidak akan tinggal lama di sini," ujar Bu Cheng
gegetun. Setelah melewati Sam-ta-si, tak lama kemudian mereka melihat sebuah budur lain yang lebih
rendah, orang tua pengiring Toan Kiam-ceng segera berkata: "Budur ini dinamakan Coa-kut-ta
(budur tulang ular). Istana kami dibangun di belakang Coa-kut-ta itu."
"Kenapa dinamakan Coa-kut-ta?" tanya Bu Cheng.
Toan Kiam-ceng cuma tersenyum tak bersuara, orang tua itu pula yang menjawab: "Tentang
budur ini ada'sebuah kisahnya tersendiri, konon pada jaman dulu kala, di Ni-hay terdapat seekor
ular raksasa yang biasanya suka menimbulkan bencana bagi rakyat jelata, akhirnya datang
seorang pahlawan bernama Toan Ci-seng, dengan bersenjata tujuh golok baja, dia terjun ke
Nihay, sengaja membiarkan dirinya ditelan bulat-bulat oleh ular raksasa itu, dari dalam perut ular
itu ia gunakan goloknya membelah perut dan menusuk ulu hatinya sampai ular itu mati, namun
dia sendiri pun gugur karena tak bisa bernapas dalam perut ular itu. Untuk memperingati dan
mengabadikan jasa-jasa kepahlawanannya, rakyat lalu membakar ular itu dan abunya untuk
membangun Coa-kut-ta ini. Menurut catatan sejarah, Toan Ci-seng itu adalah moyang keluarga
Toan, rakyat Tayli amat berterima kasih dan merasa hutang budi akan pengorbanannya, maka
setelah membangun Coa-kut-ta ini maka mereka bersumpah untuk menjunjung anak cucu
keluarga Toan menjadi raja mereka."
"Tak heran istana raja kalian dibangun di dekat Coa-kut-ta ini, tentunya untuk memperingati
leluhur bukan?" tanya Bu Cheng.
"Sebelum dinasti Song penduduk Tayli seluruhnya termasuk suku Pek, sampai sekarang suku
Pek merupakan mayoritas yang terbanyak jumlahnya, keluargaku pun dari suku Pek ini. Kisah
tentang Toan Ci-seng membunuh ular raksasa itu ada dicatat di dalam Pek-cu-ciok-su, kukira
bukanlah dongeng rakyat melulu," demikian Toan Kiam-ceng ikut bercerita. "Leluhurku dijunjung
rakyat sebagai raja, raja pada masa itu tak lain hanyalah ketua dari suku bangsa belaka.
Mendirikan negeri Tayli dan angkat diri menjadi raja adalah kejadian belakangan. Cikal bakal
pendiri kerajaan negeri Tayli Toan Su-ping entah sudah menjadi keturunan yang keberapa dari
Toan Ci-seng." "Rakyat Tayli memang amat patuh dan setia terhadap keluargamu, sampai sekarang mereka
masih anggap orang-orang dari keluarga Toan sebagai raja dalam sanubari mereka. Jelas bila
seseorang pernah melakukan sesuatu yang baik demi kepentingan rakyat, rakyat tidak akan
melupakan keluhuran budinya, bukan saja dijunjung sebagai pahlawan malah anak keturunannya
pun selalu dipujanya," demikian Bu Cheng berkomentar.
Toan Kiam-ceng tertawa getir, katanya: "Memang demikianlah, aku sendiri malah amat kecewa
dan malu diri terhadap rakyat Tayli. Sekarang Tayli di bawah kekuasaan kerajaan Ceng, kehidupan
rakyat amat menderita, kabarnya belakangan ini hendak menarik milisi untuk berperang. Pajak
berat dari kerajaan Ceng memang tidak mencekik leherku, tapi aku sendiri tiada mampu
meringankan penderitaan rakyat, semakin mereka memuja dan menjunjung kami, semakin besar
rasa sesal dalam benakku."
Mendengar kata-katanya ini, tak terasa timbul simpati Bu Cheng kepadanya, batinnya: "Siauongya ini ternyata jauh berlainan dengan pangeran kerajaan lain."
Malam itu Toan Kiam-ceng mengadakan perjamuan di tengah taman untuk menyambut
kedatangan mereka. Agaknya kedudukan orang tua itu cukup tinggi dalam keluarga Toan, Toan
Kiam-ceng memandang sebagai angkatan tua yang patut dihormati, maka dia diajak duduk
bersama untuk menemani tamu-tamunya makan minum.
Meski keluarga Toan sudah mencopot diri dari kedudukan bangsawan menjadi rakyat jelata,
namun istana kerajaan ini masih tetap terpelihara selama ratusan tahun. Tempat di mana
perjamuan itu berada tepat di tengah taman di pinggir sebuah empang besar, sekelilingnya
dikelilingi lankan dari batu-batu putih, empat jalur jembatan terbuat dari batu-batu Tayli yang
simpang siur, pemandangan di sini sungguh amat mempesona. Di pinggir empang berdiri sebuah
papan batu yang tinggi besar berbentuk seperti singa, di atas batu terukir beberapa bait syair.
Di atas empat jalur jembatan yang bergantung itu bergantung puluhan lampion-lampion yang
memancarkan sinar terang, maka tulisan syair di atas papan batu itu dapat dilihat jelas meski di
malam hari. Tak terasa Miao Tiang-hong lantas bersenandung menurut bait-bait syair itu.
Seru Miao Tiang-hong memuji: "Syair timpalan ini sungguh cocok akan keadaan dan
pemandangan di sini, setimpal pula dengan tingkat kedudukan keluarga Toan kalian, sungguh
buah karya yang tak ternilai harganya, entah siapakah yang menulisnya?"
"Bicara soal syair timpalan ini, ada kisahnya tersendiri," ujar Toan Kiam-ceng.
"Aku paling suka dengar cerita, lekas kau tuturkan kepada kami," desak Bu Cheng.
"Menurut keluargaku turun temurun, kabarnya syair timpalan ini ditulis oleh seorang Hiap-su di
jaman dinasti Bing."
"Kalau demikian, Hiapsu ini serba pintar dalam bidang ilmu sastra dan ilmu silat, entah siapakah
dia?" tanya Miao Tiang-hong.
"Hiapsu itu bernama Thi King-sim," tutur Toan Kiam-ceng. "Kira-kira hidup pada tahun Cin-jong
(tahun 1463) pada jaman dinasti Bing."
Miao Tiang-hong cukup hafal akan sejarah orang-orang persilatan, katanya: "Benar, dalam
sejarah memang ada orang ini, memang dia seorang terkenal pada jamannya di daerah Kanglam."
"Suatu hari, keluarga kami kedatangan dua tamu, salah seorang adalah Thi King-sim ini,
seorang yang lain nama dan pamornya jauh lebih terkenal dari Thi King-sim."
"Siapa pula dia?" tanya Bu Cheng.
"Yaitu Thio Tan-hong Thio tayhiap yang digelari tokoh silat nomor satu sejagat pada jamannya
itu." "Jadi Thio Tan-hong cikal bakal pendiri Thian-san-pay itu?" Miao Tiang-hong menegas.
Thian-san-pay didirikan pada dinasti Bing, sampai sekarang masih berdiri dengan jaya, oleh
karena itu ketenaran nama Thio Tan-hong, Bu Toan kakak beradik pernah mendengarnya juga.
"Benar, memang Tay-cong-cu (maha guru silat) yang kenamaan itulah."
"Sejarah bulim turun temurun," demikian ujar Miao Tiang-hong pula. "Kabarnya ilmu sastra dan
ilmu silat Thio Tan-hong jauh lebih tinggi dari Thi King-sim, apa waktu itu keluargamu tidak mohon
Thio Tan-hong meninggalkan karya tulisnya?"
"Aku pun tidak tahu apa sebabnya keluarga kami hanya memiliki karya Thi King-sim, meski
syair ini buah karya Thi King-sim, namun Thio Tan-hong yang tolong dia menulis dengan jarijarinya
di atas batu ini."6'
Sampai di sini Toan Kiam-ceng seperti memikirkan apa-apa, tiba-tiba ia menghela napas. Dasar
lincah jenaka dan nakal Bu Cheng segera tanya sambil tertawa: "Eh, baik-baik saja, kenapa kau
menghela napas?" "Bicara soal cerita ini mau tidak mau aku terkenang akan pamanku."
"Ceritamu ini terjadi ratusan tahun berselang, apa pula sangkut pautnya dengan pamanmu?"
"Thio Tan-hong dan Thi King-sim adalah maha guru silat yang kenamaan pada jaman itu, sejak
kedatangan mereka, anak cucu keluarga Toan kami amat terpengaruh, yaitu animo mempelajari
ilmu silat cepat sekali berkembang dalam keluarga kami. Belakangan keluarga Toan kami malah
mengikat besan dengan Thio dan Thi berdua tayhiap, jadi antara kita terikat sebagai sanak famili."
"Hubungan sanak famili apa?" tanya Bu Cheng.
"Thio Tan-hong punya murid angkat adalah putra King-kok-kong di Gunbing, namanya Bok
Ling, belakangan Bok Ling memper-sunting seorang putri keluarga Toan kami. Sedang Thi Kingsim
adalah Cihu (suami kakak) Bok Ling. Sungguh tidak nyana pernikahan pada ratusan tahun
yang lalu justru membawa pengaruh yang besar bagi pamanku."71
"Sejak keluarga Toan dan Bok saling berbesanan, animo belajar ilmu silat semakin berkembang
dalam keluarga Toan kami. Pernah Bok Ling memberikan sejilid buku salinan pelajaran ilmu silat
karya suhunya, Thio Tan-hong, kepada keluarga kami, buku pelajaran itu adalah dasar ajaran ilmu
silat yang mengutamakan tenaga dalam, jadi bukan ilmu silat cara bagaimana menyerang lawan
atau cara membela diri segala, melulu mengutamakan kesehatan badan belaka. Tapi intisari
pelajarannya, konon amat bermanfaat dan mendalam."
Miao Tiang-hong manggut-manggut, ujarnya: "Benar, ilmu yang mengajarkan memupuk dasar
kekuatan di dalam, biasanya mengandung teori ilmu silat tingkat tinggi."
Toan Kiam-ceng melanjutkan: "Begitu getolnya anggota keluarga Toan kami sama mempelajari
ilmu silat, akhirnya entah cosu dari generasi yang keberapa menentukan undang-undang,
dikatakan belajar ilmu silat gampang mendatangkan bencana, tidak cocok dipelajari oleh anggota
kerajaan, maka beliau melarang keturunan mendatang mempelajari silat. Tapi paman Siu-siku ini
justru sejak kecil hobbynya memang berkelahi, mempelajari ilmu silat adalah cita-citanya yang
terbesar, entah bagaimana suatu ketika diketemukan olehnya sejilid buku yang tersimpan dalam
perpustakaan kerajaan dulu, sekali baca lantas terpincut. Soal ini orang tua keluargaku ini tahu
paling jelas, biarlah dia yang menuturkan lebih lanjut."
"Pamannya asalnya bernama Toan Jong-ping, belakangan baru dia menggunakan nama Siu-si
itu. Ai, Jong-ping bocah itu sejak kecil memang berwatak keras dan punya kemauan yang teguh
pula besar tekadnya," demikian kata si orang tua.
Sambil tertawa Toan Kiam-ceng menjelaskan mewakili orang tua itu: "Pamanku itu dibesarkan
dengan minum air susu istrinya, sejak kecil paman sudah yatim piatu, maka mereka suami istri
amat sayang dan anggap anaknya sendiri."
Orang tua itCf menutur lebih lanjut: "Secara sembunyi-sembunyi di luar tahu Ongya, Jong-ping
siauya mempelajari ilmu silat, suatu hari entah bagaimana ketahuan oleh Ongya, bukan saja
bukunya itu dirampas, dia dimarahi habis-habisan. Lahirnya siauya menurut dan tunduk akan
peringatannya, sejak itu sering dia keluyuran keluar dari istana, malah ada kalanya malam pun
tidak pulang, dia suruh aku merahasiakannya. Katanya di luar dia berhasil mendapatkan seorang
guru, gurunya tahu asal-usulnya, semula tidak mau menerimanya sebagai murid, namun melihat
dia memang seorang yang berbakat bagus mempelajari ilmu silat, barulah dia berjanji, supaya
sementara waktu dia merahasiakan hal itu dengan keluarganya, sejak itu ia mempelajari ilmu silat
kepadanya." "Tapi lama kelamaan, tentu rahasia ini bukan rahasia lagi. Walau Ongya tidak tahu bahwa di
luar dia sudah angkat seorang guru, tapi sudah tahu dia sering tidak di rumah. Karena peringatan
dan bujukannya tidak berhasil menyadarkannya, beliau amat sedih, pernah suatu hari dia berkata
pilu kepadaku: 'Jong-ping bocah itu masih bersifat liar dan sukar ditundukkan, aku adalah
engkohnya, namun sukar aku mengurusnya terlalu ketat, kalau ada kesempatan sukalah kau
wakilkan aku membujuknya.' Ai, nasehat Ongya pun ia tidak mau dengar, cara bagaimana pula
aku harus membujuknya?"
Kembali Toan Kiam-ceng menjelaskan: "Paman Siu-si adalah putra dari keluarga tertua, ayahku
adalah saudara kedua, setelah kakek dan para paman lainnya beruntun meninggal dunia, kepala
suku lantas minta ayahku sementara mengendalikan dan mengurus istana, sebetulnya keluarga
Toan kami sendiri yang angkat diri menjadi raja di dalam lingkungan rumah sendiri. Harap Miao
tayhiap sekalian tidak menertawakan."
Orang tua bercerita lebih lanjut: "Suatu hari Jong-ping membawa seorang liar pulang, katanya
adalah suhengnya. Suhengnya itu ber-bentuk seperti orang hutan, katanya suhengnya ingin
melihat-lihat istana, maka dia membawanya pulang, minta kepadaku untuk merahasiakan
jejaknya." "Tak nyana di saat siauya dan suhengnya berada di kamar buku, tiba-tiba Ongya datang, aku
ingin memberi kisikan pun sudah terlambat. Sungguh gusar Ongya bukan buatan, seketika itu juga
ia usir suhengnya itu, ternyata watak suhengnya itu pun amat jelek, ternyata dia berani adu mulut
dengan Ongya, katanya: 'Aku adalah suhengnya, kuberi muka kepada adikmu, memangnya kau
kira aku ingin mencari muka dan sudi menjilat kepada kau yang dinamakan Ongya ini"' Sebelum
pergi malah dia main tendang dan hantam sehingga sepasang vas kembang antik dibikin pecah
berantakan. Mana dia tahu bahwa vas kembang itu justru barang kesayangan Ongya!"
"Karena itu, tentu Ongya semakin murka dan mencak-mencak," sela Bu Cheng tertawa.
"Memangnya, sejak peristiwa itu, seumpama api disiram minyak."
"Kenapa dikatakan api disiram minyak" Memangnya ada persoalan lain yang bikin gusar
Ongya?" "Ya. Soal itu belum sempat kuhaturkan, sekarang boleh kutambahkan."
"Tahun itu Jong-ping siauya kebetulan genap delapan belas tahun, beberapa hari sebelum
peristiwa itu terjadi, mendadak ia bilang kepada Ongya, katanya dia hendak mengawini putri
seorang pemburu dari Tiam-jong-san. Sudah tentu Ongya amat marah, bagaimana juga ia tidak
setuju." "Begitu peristiwa itu terjadi, Ongya semakin marah, katanya:
'Waktu ayahmu wafat, kau diserahkan kepadaku untuk mengasuhnya, meski aku tidak berani
anggap saudara tua sebagai pengganti orang tua, paling tidak aku mengharap bisa mendidikmu
dengan baik sebagai manusia berguna, siapa tahu kau justru begini bejat, bikin malu pamor
keluarga raja kita!'"
"Muka siauya amat pucat, mungkin dia pun amat marah, segera ia menyahut dingin: 'Dalam hal
apa aku membuat malu pamor kerajaan kalian"'"
"Kata Ongya: 'Coba kau pikir, kau ini putra dari keluarga tertua, aku hanya sementara wakili
kau memegang tampuk pimpinan di sini, kelak kedudukan ini harus kuserahkan kembali
kepadamu. Kau sebagai calon Ongya, mana boleh mengawini putri seorang pemburu" Mana boleh
bergaul dengan manusia yang berbentuk seperti kera itu"'"
"Siauya menjawab: 'Bahwasanya kita ini sudah menjadi rakyat jelata, kalian masih
mengimpikan hidup muluk-muluk seperti bangsawan dulu. Bicara terus terang, sedikit pun aku
tidak pernah memikirkan kedudukan Ongya segala, kalau kau sudi, kau memang sudah punya
anak, boleh kau wariskan kepada anakmu saja, aku tidak mau!'"
"Sudah tentu Ongya semakin murka, dampratnya: 'Sia-sia aku mengasuh dan mendidikmu
sampai sebesar ini, kau berani mengeluarkan kata-kata seperti itu, memangnya masih ada engkoh
dalam pandanganmu" Kau harus menutup diri dan bertobat, setelah kau sadar, baru boleh kau
keluar. Pertama, soal perkawinanmu harus aku yang menentukan. Kedua, sejak sekarang,
kularang kau mempelajari silat.'"
"Sejak itu Ongya menguncinya di dalam kamar buku, tak lupa disuruhnya beberapa pesuruh
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang berkekuatan besar menjaga di luar pintunya."
Bu Cheng tertawa, ujarnya: "Siauya kalian ini walau belum tamat belajar silat, menghadapi
beberapa laki-laki biasa saja, memangnya bisa mengurung dia?"
Orang tua itu menjelaskan: "Beberapa hari itu akulah yang mengantar makanan untuk siauya,
aku tahu perasaannya. Bagaimana juga dia pasti tidak mau menerima keputusan kedua persoalan
itu, namun dia pun segan bikin marah saudara tuanya, maka dengan suka rela dia mengunci diri
dalam kamar bukunya, dengan harapan amarah Ongya mereda, baru enak dia mengajaknya
bicara. Tak nyana waktu dia terputus hubungan dengan pihak luar, terjadilah peristiwa yang lebih
menyakiti hatinya dibanding Ongya mengusir suhengnya tempo hari." Sampai di sini, seketika
tampak Toan Kiam-ceng mengunjuk rasa pedih dan menyesal.
"Peristiwa apakah itu?" tanya Bu Cheng.
"Karena sedang marah, tanpa banyak pikir Ongya mengutus orang pergi ke rumah pemburu
itu, dikatakan kepada ayah anak pemburu itu, sekali-kali jangan mengimpikan mengawini keluarga
kerajaan. Sungguh kasihan nona itu, dia tidak tahan menghadapi penghinaan ini, malam itu juga
dia menggantung diri. Sejak itu ayahnya pun menghilang dari Tayli!"
"Ha, mati?" teriak Bu Cheng kaget. "Sungguh mengenaskan kematian nona itu."
Orang tua itu menghela napas, ujarnya: "Bukan kami orang bawahan suka mengkritik
junjungan, memang tindakan Ongya waktu itu sedikit keterlaluan. Tiga hari siauya terkurung
dalam kamar buku, selama itu Ongya tidak pernah menjenguk dia. Hari ke empat, karena hati
kurang lega siauya suruh aku menjenguk nona kekasihnya itu secara diam-diam."
"Setelah pulang dari atas gunung, tak mungkin aku tidak menjelaskan duduknya perkara
kepada siauya. Ai, sungguh amat menakutkan mimik mukanya waktu itu setelah mendengar
laporanku, seperti orang pikun, selebar mukanya pucat pias, matanya melotot mengawasi aku
tanpa berkedip, tak pernah biji matanya itu bergerak. Waktu itu aku terhalang jendela ..
mengantar nasi untuk dia, tangannya berpegang jendela waktu kuraba tangannya, terasa dingin
seperti es. Aku kaget dan gugup, lekas aku lari lapor kepada Ongya."
"Sayang waktu aku berlari balik bersama Ongya, tampak jendela sudah hancur, dalam kamar
buku berceceran noda darah. Menurut penjaga di luar, siauya muntah darah terus lari keluar
menjebol jendela. Seperti sudah gila dia menerjang keluar siapa pun tak kuasa merintanginya."
"Sejak melarikan diri itu, siauya tidak pernah mau pulang ke rumah pula."
Setelah memdengar cerita ini, semua ikut merasa sedih dan pilu. Baru sekarang pula Miao
Tiang-hong paham, bahwa sifat-sifat Toan Siu-si yang aneh itu memang dipaksa oleh keadaan.
Kembali orang tua itu menghela napas dan katatnya pula: "Setelah peristiwa itu terjadi, Ongya
sendiri pun teramat menyesal, kukira Ongya pasti akan menghukumku, ternyata Ongya tidak
menyalahkan aku yang telah membocorkan kejadian sebenarnya, malah dia berpesan kepadaku
untuk mencari siauya kembali, tapi cara bagaimana aku harus mencarinya pulang?"
Murung dan masgul mimik muka Toan Kiam-ceng, katanya: "Sebelum ayahku ajal, beliau masih
memangil-manggil nama paman. Katanya selama hidupnya hanya perbuatan salah itulah yang
membuatnya menyesal dan mere-ras seumur hidup."
Miao Tiang-hong membujuk dan menghiburnya: "Peristiwa sudah lama berselang, kau pun
tidak perlu terlalu bersedih hati."
"Ayahku berbuat salah kepada paman, selama hidupnya tak bisa menebus kesalahannya, aku
yang jadi putranya yang wajib membayar dosa kesalahannya itu. Miao tayhiap, ingin aku mohon
sesuatu bantuan kepadamu."
"Siheng tidak usah sungkan-sungkan, silakan berkata."
"Miao tayhiap, Hun lihiap, kalian berdua adalah teman baik pamanku, kuharap kalian suka
bantu aku untuk membujuk paman pulang. Rumah ini sebetulnya adalah miliknya, jikalau dia sudi
kembali, bukan saja aku bisa menghibur mendiang ayahku di alam baka, seumpama terhadap
diriku sendiri aku pun sudah memberikan pertanggung jawabanku."
"Menurut tabiat pamanmu, kukira tidak mungkin dia mau menjadi Ongya dalam rumahnya!"
ujar Miao Tiang-hong. "Aku tahu paman tidak pandang sepeser pun peninggalan leluhur kami ini, tentu tidak sudi pula
menerima jabatan palsu dari warisan nenek moyang kami. Tapi seumpama dia tidak mau tinggal
lama di rumah, aku pun mengharap sukalah sekali tempo beliau pulang supaya aku bisa menemui
beliau." Melihat orang bicara dengan perasaan tulus, terketuk juga sanubari Miao Tiang-hong, katanya:
"Baiklah, bila bertemu dengan pamanmu, akan kubantu kau membujuknya pulang."
"Miao tayhiap, apakah paman ada janji dengan kalian?" Maksudnya, kalau tidak mana mungkin
Toan Siu-si bisa mengetahui jejak mereka.
"Pamanmu memang mengundang kami ke Tiam-jong-san untuk menemui seorang sahabatnya,
tapi bahwa dia pun sudah berada di Tayli, hal ini sungguh di luar dugaan kami."
"Bicara terus terang," Hun Ci-lo menyeletuk. "Teman yang hendak kami temui di Tiam-jong-san
itu tak lain tak bukan adalah suhengnya yang pernah bikin onar di dalam istana dulu. Tapi
pamanmu hanya minta kami menemui suhengnya, sementara dia sendiri punya urusan penting
lainnya harus pergi ke tempat lain. Kira-kira sebulan yang lalu kami baru berpisah di Pak-bong-san
dengan pamanmu." "Kalau demikian, kemungkinan paman sudah berada di tempat tinggal suhengnya itu."
"Kami pun mengharap seperti apa yang kau katakan, semoga kami bisa bertemu dengan
pamanmu di Tiam-jong-san. Tapi kau sendiri tahu bagaimana watak pamanmu, maka biarlah kami
mencari tahu dulu ke Tiam-jong-san, setelah memperoleh berita yang pasti, barulah akan kuberi
tahu kepada kau." Kata Toan Kiam-ceng: "Ayah pernah berbuat salah kepada su-heng paman, sebetulnya
memang tidak leluasa aku menemuinya secara gegabah. Diatur dengan cara demikian pun baik,
harap sekalian sampaikan penyesalan dan minta maaf kami kepadanya."
"Baik, besok juga aku dan Hun lihiap hendak berangkat ke Tiam-jong-san."
"Lalu bagaimana dengan Bu-kongcu dan nona Bu?" tanya Toan Kiam-ceng.
"Mereka kakak beradik adalah sutitku, namun belum pernah bersua dengan pamanmu. Mereka
ikut datang lantaran sudah lama kagum dan ingin membuka mata menikmati pemandangan alam
di Tayli. Tapi dalam perjalanan ke Tiam-jong-san besok, tidak leluasa kami mengajak mereka
sekalian." "Tempat tamasya di Tayli tak terhitung banyaknya, dalam dua hari mendatang aku suka
menemani mereka untuk tamasya sepuas hati. Setelah Miao tayhiap dan Hun lihiap kembali, masih
ada kesempatan kita bertamasya pula ke Tiam-jong-san."
"Mana berani kami bikin susah Siau-ong-ya untuk menemani kami bertamasya, cukup asal kau
suruh seorang pembantumu saja," demikian ujar Bu Cheng rikuh.
"Nona Bu kenapa begini sungkan?" ujar Tong Kiam-ceng tertawa.
"Bukan sungkan," sahut Bu Cheng sungguh-sungguh. "Walau kau sendiri tidak mengakui
sebagai Siau-ong-ya, orang-orang di Tayli tetap pandang kau sebagai Siau-ong-ya. Kau bawa kami
keluar masuk kota, tidak kuatir menjadi perhatian orang?"
" Aku tidak perlu peduli segala tetek bengek itu."
"Kau tidak peduli, sebaliknya aku tidak mau diriku dijadikan perhatian orang lain."
Mendengar Miao Tiang-hong berjanji hendak membujuk Toan Siu-si pulang, orang tua itu amat
girang, katanya: "Miao tayhiap, baik sekali bila kau bisa membujuk siauya pulang. Aku paling
paham semua pelosok Tayli, keponakanmu ingin bermain-main, biar aku saja yang menjadi
penunjuk jalan. Em, ada sebuah hal, masih belum kalian ketahui."
Bu Cheng melengak, tanyanya: "Hal apa?"
"Siau-ong-ya kita ini seperti juga pamannya, sejak kecil sudah suka berlatih silat. Kalian dua
saudara adalah keponakan Miao tayhiap, ilmu silatnya tentu cukup tinggi pula. Dua hari ini Siauongya jadi berkesempatan minta petunjuk dan saling jajal kepandaian masing-masing."
Merah muka Toan Kiam-ceng, karena dikorek isi hatinya, katanya: "Aku hanya berlatih secara
meraba-raba saja, karena pernah terjadi peristiwa yang dialami paman itu, meski ayah mungkin
tahu, beliau tidak terlalu mengekang aku lagi. Seperti orang buta yang berjalan meraba-raba, yang
kupelajari pun hanya permainan cakar kucing belaka, memangnya setimpal dikatakan ilmu silat
sejati" Aku hanya bisa mohon petunjuk dan pengajaran saja, saling jajal sih aku masih belum
setimpal." "Tak beruntung ayah bunda kami meninggal terlalu pagi, ilmu silat yang kami pelajari pun
hanya kulitnya saja. Siau-ong-ya tidak perlu sungkan. Pamanmu adalah tokoh silat kenamaan pada
jaman ini, kalau dia sudah pulang, tak usah kuatir Siau-ong-ya tiada orang yang mendidik dan
memberi bimbingan." "Memangnya, maka Siau-ong-ya ingin mencari pamannya kembali," demikian sela orang tua itu.
"Bukan saja untuk menunaikan cita-cita atau keinginan Ongya sebelum ajal, dia pun berharap bisa
menemukan seorang guru pandai."
Toan Kiam-ceng unjuk rasa kurang senang, katanya: "Ai, pernah kupesan kepadamu, kenapa
kau lupakan lagi" Di hadapan para tamu agung kau masih panggil aku Siau-ong-ya segala"
Memang aku mengharap bisa mendapat petunjuk paman, yang penting aku hanya mematuhi
pesan ayah untuk mencarinya pulang."
Tiba-tiba Miao Tiang-hong teringat sesuatu, katanya: "Kalian membicarakan ilmu silat jadi
mengingatkan aku akan seseorang, ingin aku tanya kepada kalian."
"Siapa orang yang dimaksud?" tanya Toan Kiam-ceng.
"Orang ini termasuk tokoh silat kelas tinggi juga, namanya Sa Mi-wan, murid asal Siau-lim-pay,
kabarnya dia sekarang di gedung panglima penguasa di perbatasan Tayli ini, apa Toan-heng tahu
akan orang ini?" "Aku tahu akan orang itu," sahut Toan Kiam-ceng. "Tapi kedatangan kalian tidak kebetulan
sekarang dia tidak berada di Tayli pula."
"Ke mana dia pergi?" tanya Bu Cheng kaget.
Toan Kiam-ceng rada heran dan curiga, tanyanya: "Nona Bu, kau ingin menemuinya?"
Lekas Miao Tiang-hong menyela: "Kami sama-sama kaum persilatan, baik juga bila saling
bertemu muka di rantau ini. Tapi kalau tidak bisa ketemu pun tak menjadi soal."
"Beberapa hari yamg lalu dia mendapat tugas dari Han-ciangkun untuk menyelesaikan tugas
dinas di luar daerah. Tapi ke mana tujuannya, itu rahasia dinas, dia sendiri tidak menerangkan,
maka tiada orang bertanya kepadanya maka aku pun tidak tahu," demikian tutur Toan Kiam-ceng.
"Jadi dia akan kembali lagi?"
"Kukira pasti kembali. Kalau dia kembali pasti kuberitahu kalian, akan kuusahakan supaya kalian
bisa bertemu." "Toan-siheng tidak perlu men-capaikan diri karena persoalan kecil ini," ujar Miao Tiang-hong.
"Aku mengharap kami bisa bertemu secara tak terduga sebelumnya saja, kalau sengaja kami
harus mencari dia, tentunya bisa menimbulkan perhatian orang. Betapapun dia pegawai
pemerintah, kami ini orang iseng yang berkelana di kangouw, kalau sengaja mencari dia, mungkin
dia bisa sangka kami hendak bermuka-muka dan menjilat kepadanya." Lalu ia berkakakan dengan
sikap acuh tak acuh. Malam itu Bu Toan tidur sekamar dengan Miao Tiang-hong, diam-diam ia memberi tahu: "Besok
setelah aku berangkat dengan Hun lihiap, kalian harus waspada dan hati-hati. Toan Kiamceng
cukup simpatik, agaknya cukup dapat dipercaya,, namun bukan orang sealiran dengan kita,
sebelum dia melimpahkan buah pikirannya, urusan dendam sakit hati ayah bundamu, jangan kau
beri tahu kepadanya. Sudah tentu, kelak bila berhasil menuntut balas, seda-pat mungkin jangan
sampai merembet dirinya."
"Paman tak usah kuatir, keponakan cukup paham," sahut Bu Toan tertawa. "Melihat gelagat
hari ini, Siau-ong-ya itu agaknya menaruh perhatian dan ada maksud kepada adik Cheng."
Berkerut alis Miao Tiang-hong, katanya: "Aku pun kuatir perihal ini bisa mendatangkan
kesulitan kita." "Biar kucari kesempatan memperingati adik Cheng, di samping itu akan kubeber juga akan
hubungan adik Cheng dengan Lau Khong, supaya Siau-ong-ya itu mengurungkan niatnya,"
demikian Bu Toan berjanji.
"Ya, kau peringatkan adikmu memang pantas, tapi jangan tergesa-gesa. Kalau Toan Kiam-ceng
tidak pernah melimpahkan isi hatinya, persoalan Lau Khong lebih baik jangan kau singgung di
hadapannya." "Aku tidak akan gegabah, bilamana kita sendiri yang salah raba, bukankah bisa menimbulkan
kejadian serba runyam?"
Malam itu tiada kejadian apaapa, hari kedua Miao Tiang-hong dan Hun Ci-lo langsung menuju
ke Tiam-jong-san, untuk mencari Pok Thian-tiau suheng Toan Siu-si.
Sembilan belas puncak dan delapan belas selokan di Tiam-jong-san merupakan panorama
terindah di bilangan Tayli ini. Delapan belas aliran itu berliku-liku, seumpama urat-urat nadi dalam
badan manusia, keluar masuk di antara gunung-gunung, akhirnya menembus ke Nihay. Di antara
setiap puncak terdapat sebuah aliran berair jernih, mengelilingi puncak induk, saking jernih airnya
sampai ikan-ikan yang berenang dalam air bisa kelihatan jelas dan dapat dihitung jumlahnya.
Hun Ci-lo heran, katanya: "Ikan-ikan itu rada aneh, lihatlah mereka berenang melawan arus."
"Tahukah kau nama ikan-ikan itu?" tanya Miao Tiang-hong.
"Tidak tahu." "Ikan itu dinamakan Kiong-hu (ikan busur), Kiong-hu hanya ada di Nihay saja, merupakan ikan
yang bersifat aneh dan lucu di antara ikan-ikan sebangsanya. Ikan lain suka berenang mengikuti
arus, hanya ikan busur ini yang berenang melawan arus, selamanya tidak pernah putar balik. Dari
Nihay mereka melawan arus terus berenang mencapai puncak gunung, kalau tidak kuat berenang,
lantas badannya tertekuk seperti busur dipentang melejit naik ke permukaan air dan melesat ke
depan, bagaimanapun tak mau mundur, maka itulah dia dinamakan ikan busur."
Begitulah sambil bercakap-cakap mereka menempuh perjalanan dengan langkah cepat, namun
tidak menyia-nyiakan kesempatan menikmati pemandangan indah di alam pegunungan nan
permai ini, pendek kata sebelum tengah hari mereka sudah hampir tiba di tempat yang dituju, dari
kejauhan segera Miao Tiang-hong berkata pula sambil menuding ke depan: "Lihatlah puncak di
depan yang berbentuk seperti potlot itu, seperti yang dikatakan Toan Siu-si, itulah Giok-pit-hong,
di sanalah suhengnya sedang merawat luka-lukanya."
"Baik, lekas kita susul ke sana," ujar Hun Ci-lo.
Segera mereka percepat langkah, tak lama kemudian mereka sudah tiba di dalam lingkungan
Giok-pit-hong, di saat mereka kembangkan ginkang naik ke atas, angin menghembus lalu, lapatlapat
seperti terdengar benturan senjata tajam.
Hun Ci-lo kaget, katanya: "Agaknya ada orang berkelahi di atas sana!"
Miao Tiang-hong pasang kuping mendengarkan sebentar, katanya: "Benar, seperti ada empat
lima orang sedang bertempur." Bagai terbang mereka berlari, tak lama kemudian, keadaan di
sebelah atas sudah dapat mereka lihat dengan jelas dari sebelah bawah.
Tampak empat laki-laki sedang mengerubut seorang perempuan setengah umur. Keempat lakilaki
itu bukan lain adalah Tiam-lam-su-hou, yaitu Kiau Lui, Kiau Tian, Kiau Hong dan Kiau Hun.
Perempuan pertengahan umur itu kiranya adalah kakak Nyo Bok Nyo-toakoh yang bergelar Loakjiukoan-im itulah. Setelah melihat jelas mereka, sungguh kejut Hun Ci-lo bukan main, teriaknya: "Celaka, Toan
Siu-si sedang mencari Tiam-lam-su-hou untuk menuntut balas sakit hati suhengnya, kenyataan
Tiam-lam-su-hou justru muncul di tempat ini, jelas bahwa mereka sudah tahu Pok Thian-tiau
sedang merawat luka-lukanya di tempat ini, di saat Toan Siu-si tak berada di kandang, mereka
melunak datang lebih dulu. Entah mengapa Nyo-toakoh berada di sini pula." Sudah tentu hal ini
pun berada di luar dugaannya.
Miau Tiang-hong segera menghiburnya: "Tiam-lam-su-hou sedang bertempur dengan Nyotoakoh,
mungkin Pok Thian-tiau belum bentrok dengan mereka. Kalau Nyo-toakoh berada di sini,
tidak mungkin dia membiarkan mereka menyakiti Nyo Hoa."
Sembari bicara mereka tidak mengendorkan langkah, tatkala itu mereka sudah tiba di atas
puncak, dari sini kelihatan lebih jelas. Waktu Hun Ci-lo angkat kepala, tiba-tiba ia menjerit kuatir:
"Celaka, Nyo-toakoh mungkin celaka!"
Tampak Nyo-toakoh bersenjata sebatang kebutan, dalam kepungan Tiam-lam-su-hou,
kebutannya itu tuding timur hantam barat, tunjuk selatan menusuk utara. Namun meski jurus
permainan ilmu kebutannya amat aneh dan lincah, namun banyak membuang tenaga, setelah
terjang ke kiri dan terobos ke kanan, tetap tak berhasil menerjang ke luar.
Tiam-lam-su-hou adalah empat saudara kembar yang dilahirkan satu ibu, raut muka masingmasing
mirip satu sama lain, namun kepandaian silat mereka justru berlainan. Lo-toa Kiau Lui,
mengutamakan latihan lwekang, kepandaiannya adalah Pun-lui-ciang, setiap melancarkan pukulan
harus dibarengi hardikan mengguntur, sehingga tanah pegunungan terasa bergetar, kekuatan dan
perbawanya amat mengejutkan. Lo-ji Kiau Tian, bersenjata sebatang ruyung lemas, dinamakan
Bu-ing-pian (ruyung tanpa bayangan), kalau dikembangkan, tdmpak bayangan ruyung
beterbangan di tengah udara, sungguh cepatnya laksana kilat menyambar. Lo-sam Kiau Hong
menggunakan pedang, ilmunya adalah Tui-hong-kiam-hoat, permainan ilmu pedangnya cukup
lihay, Lo-su Kiau Hun ahli ilmu totok, senjatanya adalah sepasang potlot, julukannya Thi-pit-boankoan
maksudnya sepasang potlot-nya dapat menjatuhkan hukuman mati hidup lawan.
Miao dan Hun percepat langkah dan mengembangkan Cou-siang-hwi (terbang di atas rumput)
ilmu entengi tubuh tingkat tinggi, tapi Giok-pit hong sesuai dengan namanya, bentuknya lurus
menjulang ' naik ke atas. Jarak mereka kira-kira masih sejauh setengah li, dalam waktu dekat,
mana mungkin bisa menyusul tiba memberikan pertolongan. Keadaan Nyo-toakoh memang cukup
gawat di bawah tekanan dan keroyokan keempat lawannya.
Di tengah pertempuran seru itu, ruyung lemas Kiau Tian tiba-tiba menggulung tiba, membawa
angin menderu sehingga menerbitkan gumpalan bayangan cambuk yang berlapis-lapis. Lekas
kebutan Nyo-toakoh ditekan ke bawah, tiba-tiba ia libat ruyung lemas lawan terus disendai
sekuatnya seraya membentak: "Lepas ruyungmu! Berbareng dengan itu, sepasang tapak tangan Kiau Lui sudah dilancarkan secara berantai, ia
pun menghardik: "Perempuan galak, jangan temberang!" Kedua tapak tangannya kontan menepuk
ke batok kepala Nyo-toakoh, Pun-lui-ciang memang tidak bernama kosong, samar-samar seperti
terdengar suara guruh di tengah udara.
Namun sebat sekali tahu-tahu Nyo-toakoh sudah membalikkan tapak tangan kirinya, dan saling
bentur dengan tapak tangan kanan Kiau Lui. Tepukan tapak tangan Nyo-toakoh kelihatannya
enteng seperti melayang tanpa menggunakan tenaga. Sudah tentu diam-diam Kiau Lui
mentertawakan dan pandang ringan lawannya kaum hawa berani beradu pukulan dengan dirinya,
tentulah minta gebuk dan dihajar"
Memangnya Kiau Lui biasanya amat membanggakan diri akan kekuatan pukulannya, anggapnya
sekali Nyo-toakoh adu pukulan, pasti dengan mudah saja nanti bisa diringkus. Tidak pernah
terpikir olehnya bahwa Nyo-toakoh bergelar Loak-jiu-koan-im, memangnya gelaran ini hanya nama
kosong belaka" "Biang!" kedua pukulan tapak tangan saling beradu, seketika Kiau Lui tergentak mundur tiga
langkah, bukan saja dada terasa sesak dan mual, pergelangan tangan pun terasa linu panas dan
kemeng serasa remuk tulangnya. Waktu ia menunduk dilihatnya separuh lengan bajunya sudah
terkoyak oleh Nyo-toakoh, terutama sejalur warna merah seperti dibakar menggores pergelangan
tangannya, keruan bukan kepalang terkejutnya.
Ternyata Nyo-toakoh menggunakan Kim-kong-liok-yang-jiu ilmu warisan keluarganya, ilmu
tunggal ini mengutamakan kekerasan pukulan yang dahsyat, sudah puluhan tahun menjagoi
bulim. Meskipun Nyo-toakoh kaum hawa, namun latihan Kim-kong-liok-yang-jiunya, justru jauh
lebih unggul dari adiknya, Nyo Bok.
Kim-kong-liok-yang-jiu keluarga Nyo ini merupakan petilan yang disempurnakan dengan variasi
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lain dari Tay-lik-kim-kong-jiu ajaran Siau-lim-pay, kekuatan pukulannya memang rada asor, namun bicara
variasi gerakan pukulan serta perubahannya Kim-kong-liok-yang-jiu malah lebih hebatSetiap kali pukulan dilancarkan mengandung enam tenaga bergelombang yang amat aneh
perubahannya, karena keistimewaan yang jauh berlainan dengan ilmu pukulan umumnya, maka
dinamakan Kim-kong-liok-yang-jiu.
Sayang Nyo-toakoh seorang diri harus menghadapi empat lawan, sekali pukul ia berhasil bikin Kiau Lui
tergentak mundur, sementara kebutannya menyampuk miring ruyung Kiau Tian, serempak Kiau Hun dan
Kiau Hong menyergap bersama dari kanan kiri, tidak mungkin dengan kedua tangannya ia bisa melayani
sesempurna mungkin rangsakan lawan. "Sret" pedang Kiau Hong menusuk ke Ih-gi-hiat di bawah ketiaknya, baru saja Nyo-toakoh menyampuk ruyung Kiau Tian, kekuatan gerakannya sudah luluh, meski
sempat ditarik menggulung balik, ujung kebutannya malah terpapas putus sebagian oleh pedang Kiau
Hong. Dalam kesibukannya, lekas Nyo-toakoh gunakan Sip-khong-ki-hoan-hun (men-dekuk dada
jumpalitan di tengah awan) ia jumpalitan ke belakang. Walaupun ia sudah bergerak dengan sepenuh
kemampuannya, tak urung setengah dim di bawah Ih-gi-hiatnya telak tertotok oleh ujung potlot Kiau Hun.
Untung sasarannya rada meleset, hiat-tonya tidak sampai tertutup, betapa pun kelancaran jalan darah
dalam tubuhnya rada terganggu juga.
Setelah dirugikan dengan murka Kiau Lui menggerung keras: "Jangan lepaskan perempuan galak ini!"
Setelah mundur berpencar kembali Tiam-lam-su-hou menubruk maju dan mengepung dengan ketat pula.
Jalan darah Nyo-toakoh sebagian macet, napas sesak maka dada terasa seperti ditindih batu
besar, rasanya sungguh amat menyiksa. Apalagi kebutannya sebagian terpapas rontok,
kekuatannya jauh berkurang. Teriak Nyo-toakoh gusar: "Baik, ayo maju, lonio akan adu jiwa
dengan kalian!" Terlihat oleh Hun Ci-lo, dengan Kim-kong-liok-yang-jiu Nyo-toakoh dapat memukul mundur
Kian Lui, namun terlihat bahwa potlot Kiau Lui mengenai badan Nyo-toakoh, baru saja hati merasa
lega, mendadak didengarnya suara Nyo-toakoh serak dan hambar, agaknya hawa murninya
seperti terputus di tengah jalan, karuan hatinya melonjak kaget pula.
"Celaka!" seru Miao Tiang-hong, sekali empos semangat dan menarik napas, badannya melesat
terbang seenteng kera berlompatan di lereng gunung, sekali lompat beberapa tombak jauhnya,
beruntun beberapa kali jangkauan jarak jauh itu, ia sudah tiba di atas gunung. Namun jarak ke
tempat pertempuran masih puluhan langkah jauhnya.
Waktu itu Nyo-toakoh sedang menghadapi keadaan gawat, cambuk, sebatang pedang dan
sepasang potlot merangsak datang bersama dari dua sisi dan punggungnya, sementara Kiau Lui
memukulkan tapak tangannya mengarah ke batok kepala Nyo-toakoh. Sepasang kepalan Nyotoakoh
mana kuasa menghadapi serangan bersama ini, Miao Tiang-hong sendiri masih puluhan
langkah jauhnya, betapa pun tinggi ginkangnya, dalam waktu sesingkat itu, mana dapat menyusul
tiba untuk menolongnya. Terpaksa Miao Tiang-hong menghentikan langkah dan berdiri tegak, sekonyong-konyong
mulutnya terpentang menggembor keras lalu membentak pula: "Kawanan anjing berani
bertingkah." Setiap kali melontarkan pukulannya, Kiau Lui mengiringnya dengan bentakan keras, namun
gemboran Miao Tiang-hong lebih keras dari bentakannya, sehingga kupingnya serasa bergetar
pecah, laksana disambar petir, keruan kekuatan pukulannya seketika ken-dor. Dengan Hong-tiamthau,
lekas Nyo-toakoh berkelit, menurunkan pundak menggeser langkah, maka pukulan Kiau Lui
mengenai pundaknya, namun badan Nyo-toakoh hanya tergeliat sedikit, sigap sekali ia sudah
balas menyerang, "krak!" dengan sejurus tipu Hun-kin-coh-kut-hoat dari petilan Kim-kong-liokyangjiu, ia berhasil memelintir lengan orang sehingga tulangnya keseleo.
Ternyata gemboran Miao Tiang-hong menggunakan Say-cu-hiong-kang, perbawa gemborannya
dapat menyedot sukma dan menggetarkan sanubari orang, Thiam-lam-su-hou hanya Kiau Lui
seorang yang mempunyai dasar Iwekang paling tinggi, namun toh dia seperti disambar geledek
dan terdiam dibuatnya, sudah tentu tiga saudara lainnya yang berkepandaian lebih rendah lebih
celaka. Cambuk Kiau Tian seketika jadi lemas menjuntai turun ke tanah, mukanya melongo seperti orang linglung,
sementara Kiau Hong berteriak keras, memutar badan terus lari lintang pukang. Kiau Hun lebih
celaka lagi, saking kaget ia menjublek seperti patung. Nyo-toakoh sendiri melatih lwe-kang dari
aliran murni, tenaga dalamnya memang lebih tinggi dari mereka, mendengar gemboran keras itu,
meski kaget, namun hatinya tidak menjadi gugup karenanya, malah dia berkesempatan
mengebaskan kebutannya, sehingga selebar muka Kiau Hun berle-potan darah, sepasang matanya
melotot keluar seperti biji mata ikan emas, dengan sendirinya Nyo-toakoh sudah berhasil
membalas totokan potlot lawan tadi.
Waktu Kiau Lui angkat kepala, dilihatnya Hun Ci-lo sedang lari mendatangi, sementara
dilihatnya pula seorang laki-laki pertengahan yang bermuka kereng bersikap gagah. Walau ia tidak
kenal Miao Tiang-hong, melihat orang datang bersama Hun Ci-lo, ia insyaf bahwa dugaannya
tentu tidak meleset. Betapa tinggi kepandaian Hun Ci-lo, Tiam-lam-su-hou cukup mengetahui,
seorang Nyo-toakoh ditambah Hun Ci-lo terang mereka berempat bukan tandingan, apalagi
ditambah Miao Tiang-hong yang lebih lihay.
Tiam-lam-su-hou sama dibesarkan dalam hutan belantara di Say-siang-pan-na, berjalan atau
berlari dan memanjat pegunungan seperti berlenggang di jalan datar, lekas Kiau Lui berseru:
"Lari!" Empat kakak beradik segera ambil langkah seribu, sekejap mata saja sudah tak kelihatan
pula bayangan mereka. Setelah mengalami pertempuran besar, tenaga Nyo-toakoh sudah terkuras habis, begitu musuh
tangguh pergi, seketika ia tidak kuat bertahan lagi, badannya terhuyung hampir roboh, seperti api
lilin yang dihembus angin lalu. "Huuah!" mulut terpentang, ia menyemburkan sekumur darah
segar. Tak sempat Hun Ci-lo mengejar Tiam-lam-su-hou, lekas ia memburu maju serta memayang
badan Nyo-toakoh, berbareng merogoh keluar sebutir pil terus dijejalkan ke mulut Nyo-toakoh.
Seraut muka Nyo-toakoh pucat lesi, teriaknya melengking: "Tidak, ttidak mau..." Bilang tidak
mau, tapi lantaran mulutnya terpentang, dengan mudah Hun Ci-lo jejalkan ke mulut orang malah,
mau tidak mau ia harus menelannya.
"Itulah Som-ni-tay-bu-hoan buatan ayah angkatku Lau In-long, khasiatnya dapat menambah
tenaga dalam dan memulihkan hawa murni dan semangat. Cici, bagaimana perasaanmu?"
Setelah istirahat sebentar, semangat Nyo-toakoh mulai pulih sebagian, mendadak ia dorong
badan orang, jengeknya dingin: "Tidak perlu kau pura-pura mengambil hatiku dengan obatmu,
siapa sudi menjadi cicimu?"
Tingkah kasar Nyo-toakoh sungguh di luar dugaan Hun Ci-lo, setelah terdorong mundur dua
langkah, ia melongo sebentar, lalu katanya tertawa getir: "Walau aku bukan warga keluarga Nyo
lagi, hubungan sesama famili dulu masih ada, aku memberi obat menyembuhkan luka-lukamu,
memangnya perbuatanku malah salah?"
"Tanpa obatmu, aku tidak akan mati. Hehe, kau kira dengan memberi sedikit pertolongan, aku
tidak akan menuntut kepadamu lagi?"
"Kau hendak menuntut apa atas diriku?"
"Ke mana Nyo Hoa kau sembunyikan" Anak itu adalah keturunan keluarga Nyo kami, tiada hak
kau membawanya pergi, lekas serahkan dia kepadaku!"
Hun Ci-lo kaget, teriaknya: "Apa, kau, kau belum bertemu dengan Hoa-ji?"
"Jangan kau pura-pura pikun di hadapanku, apa bukan kau yang melakukan perbuatan dalam
rumah batu itu?" "Perbuatan dalam rumah batu apa?" tanya Hun Ci-lo meleng-gong.
Miao Tiang-hong maju mendekat, katanya: "Kami baru saja tiba, bahwasanya Ci-lo belum
pernah melihat anaknya."
"Siapa kau?" tanya Nyo-toakoh mendelik.
"Bukankah dulu kita pernah bertemu satu kali?" jengek Miao Tiang-hong. "Kau tidak kenal kalau
aku ini Miao Tiang-hong!"
Nyo-toakoh mendengus, ujarnya: "Kukira sih orang she Beng, ternyata kau ini she Miao.
Gendak Hun Ci-lo terlalu banyak, memang sukar aku mengingatnya satu persatu."
Miao Tiang-hong gusar, "Mulutmu perlu disikat supaya tidak bicara kotor, kalau tidak..."
"Kalau tidak apa" Kau hendak bunuh dan menutup mulutku" Huh, kau melarang aku bicara,
aku justru hendak omong. Hun Ci-lo, selanjutnya kularang kau memanggil 'Hoa-ji' segala,
keponakanku tidak punya ibu romantis seperti kau yang gampang menjual cinta." Serasa tujuh
lubang indra menguapkan uap putih saking marah Miao Tiang-hong dibuatnya, namun apa pula
yang dapat ia lakukan menghadapi mulut orang yang centil.
Mendengar Nyo-toakoh menagih Nyo Hoa kepadanya, Hun Ci-lo mendapat firasat jelek,
pikirannya jadi kacau balau dan bingung, mana sempat dia membalas mulut kotor orang" Di saat
Nyo-toakoh mengomel panjang pendek, lekas ia berlari masuk ke dalam hutan mencari rumah
batu yang dimaksud. Tak tertahan amarah Miao Tiang-hong, bentaknya bengis: "Kau perempuan galak yang centil
ini, lekas menggelinding! Seumpama tidak kubunuh kau mulutmu yang kotor itu perlu kugampar
supaya rontok gigimu."
Walau dia membentak tidak menggunakan Say-cu-hiong, namun suaranya cukup menggetar
dan membuat jeri nyali Nyo-toakoh. Melihat amarah Miao Tiang-hong lagi, ciut juga nyalinya bila
Miao Tiang-hong betul-betul menggampar mulutnya. Tanpa berani membuka mulut lagi, tersipusipu
ia tinggal pergi. Segera Miao Tiang-hong memburu masuk ke dalam hutan juga, baru saja ia hendak bersuara
memanggil Hun Ci-lo, terdengar suara Hun Ci-lo menjerit kuatir dan kaget: "Miao-toako, rumah
batu ini sudah kutemukan lekas kau kemari, lekas!"
Lekas Miao Tiang-hong memburu ke arah datangnya suara, di dalam hutan ia menemukan
rumah batu itu, begitu ia melangkah masuk ejan melihat tegas, seketika gugup dan gelisah juga ia
dibuatnya. Tampak Pok Thiau-tiau rebah di atas ranjang batu, kedua matanya terpejam, sekujur badannya
ber-lepotan darah, entah mati atau masih hidup. Di bawah kakinya di atas tanah rebah sesosok
mayat laki-laki, terang bahwa orang ini sudah lama meninggal.
Kata Hun Ci-lo: "Pok Thian-tiau seperti masih bernapas, Miao-toako, lekas kau periksa
keadaannya, apakah dia masih bisa ditolong?"
Lekas Miao Tiang-hong meraba urat nadinya, seketika mencelos hatinya, ternyata Ki-keng-patmeh
Pok Thian-tiau sudah terluka parah, seumpama tabib Hoa Tho yang kenamaan di jaman Sam
Kok hidup kembali pun takkan bisa mengobati luka-lukanya ini, apalagi ilmu pertabiban yang
dipelajari Miao Tiang-hong hanya kulitnya saja.
"Miao-toako, bagaimana keadaannya?"
"Yang kita harapkan sekarang dia masih mampu berbicara beberapa patah kata." Segera Miao
Tiang-hong merangkap dua jari serta menotok ke ulu hati Pok Thian-tiau, itulah totokan
sementara yang dapat menimbulkan reaksi bergairah dan siuman sementara dari pingsannya, tak
lama kemudian, Pok Thian-tiau mulai siuman dan membuka mata Karena belum pulih
kesadarannya, begitu membuka mata secara reflek tapak tangannya bergerak menepuk, tepat
mengenai badan Hun Ci-lo yang memayang badannya, namun sedikit pun Hun Ci-lo tidak
merasakan sakit apa-apa, hatinya semakin kuatir, katanya: "Aku adalah Hun Ci-lo, dia adalah Miao
Tiang-hong, kami datang menolongmu."
Sesaat lamanya pandangan Pok Thian-tiau menjadi lambat laun seperti mulai sadar, katanya
lemah: "Ling, bagaimana Ling-toako" Di, di mana dia?"
Hun Ci-lo mengangkatnya bangun berduduk, sehingga mata orang dapat melihat sesosok
mayat yang menggeletak di atas tanah katanya: "Apakah dia itu Ling-toako?"
"Apa?" teriak Pok Thian-tiau gemetar. "Ling-toako sudah meninggal, aku, akulah yang
menyeretnya dalam malapetaka ini." Seketika matanya mendelik, kembali ia jatuh pingsan.
Cepat tapak tangan Miao Tiang-hong menempel di punggung orang, dengan kemurnian Thaycengkhi-kang membantu menyalurkan hawa murninya ke seluruh badan orang, panggilnya lirih di
pinggir kuping orang: "Pok-heng, sadarlah! Omongan apa yang perlu kau pesan kepada sutemu,
lekas katakan kepadaku!"
Waktu hendak berpisah di Pak-bong-san tempo hari Toan Siu-si ada menjelaskan, bahwa Pok
Thian-tiau dia titipkan kepada seorang teman she Ling untuk dijaga dan dirawatnya, katanya
puluhan tahun yang lalu orang she Ling ini pun seorang pendekar kelana di bilangan lima propinsi
daerah barat daya, Toan Siu-si pernah memberi tahu, namanya adalah Ling Hong-ciang,
Kepandaian silatnya kalau tidak setanding tentu lebih tinggi dari Toan Siu-si sendiri. Karena ilmu
silat orang amat tinggi maka Toan Siu-si tidak kuatir menitipkan suhengnya kepadanya, meskipun
Tiam-lam-su-hou mengeroyoknya pun bukan tandingannya. Kenapa orang mati tanpa kelihatan
sebab musababnya" Timbul rasa curiga Miao Tiang-hong, maka sambil mengurut dan memijit badan Pok Thian-tiau
bantu melancarkan darah dan memusatkan hawa murninya, ia amat-amati keadaan kematian Ling
Hong-ciang. Setelah diperiksa dengan teliti barulah didapati bahwa Thay-yang-hiat di pelipis Ling
Hong-ciang kelihatan merembeskan hawa hitam dan mencucurkan setitik darah hitam pula, lubang
lukanya sebesar batang jarum. Pikir Miao Tiang-hong: "Ternyata kematian-nya karena sambitan
jarum beracun, namun Tiam-lam-su-hou biasanya tidak pernah pakai senjata rahasia." Lalu ia
tanya kepada Hun Ci-lo: "Kabarnya Loak-jiu-koan-im Nyo-toakoh seorang ahli menyambit hiat-to
orang dengan Bwe-hoa-ciam, apa benar?"
"Ya, Bwe-hoa-ciam yang dia gunakan lembut sebesar bulu kerbau, waktu disambitkan tiada
suara tak berbau, yang diarah khusus hiat-to di badan lawannya. Gelar Loak-jiu-koan-im yang dia
dapatkan, sebagian besar lantaran ilmu senjata rahasianya yang lihay itulah. Tapi apa yang kutahu
bahwa Bwe-hoa-ciamnya tidak beracun."
"Apakah tidak mungkin orang she Ling ini terbunuh oleh Bwe-hoa-ciam yang sudah terendam
racun?" "Tidak mungkin, keluarga Nyo mereka terlalu pandang gengsi dan nama keluarga, sejak
warisan leluhur mereka melarang anak cucunya menggunakan senjata rahasia berbisa. Apalagi dia
menantu keponakan Su-hay-sin-liong Ki Kian-ya. Ki Kian-ya mengutamakan sepak terjang
terangterangan, tidak mungkin dia berani menggunakan jarum beracun."
Miao Tiang-hong menepekur: "Lalu siapakah yang membunuh Ling Hong-ciang dengan jarum
beracun?" Tengah mereka bercakap-cakap, Pok Thian-tiau kebetulan siuman, agaknya ada mendengar
percakapan tadi, maka segera ia buka mulut: "Musuh, musuh adalah Tiam-lam-su-hou dan
seorang Tosu busuk!" Agaknya saluran tenaga Thay-ceng-khi-kang Miao Tiang-hong yang
menyadarkan pikiran dan menambah semangatnya, namun suaranya rada berat dan kedengaran
terbenam dalam tenggorokan-nya.
Terpaksa Miao Tiang-hong tempelkan telinganya ke mulut orang, tanyanya: "Siapakah Tosu
busuk itu?" "Aku hanya tahu dia adalah Tosu busuk dari Khong-tong-pay," sahut Pok Thian-tiau.
Melihat orang segera bakal putus nyawa, lekas Hun Ci-lo bertanya: "Di manakah Hoa-jiku?"
Dengan megap-megap dan suara lirih seperti bunyi nyamuk Pok Thian-tiau menjawab: "Hoaji,
dia, dia..." Tenaganya habis dan tak kuasa meneruskan kata-katanya pula.
Lekas Miao Tiang-hong bantu mengurut dada orang untuk mengurangi penderitaannya sebelum
ajal, katanya: "Tidak perlu kau jelaskan panjang lebar, cukup asal kau jawab dengan ya atau
tidak. Bagaimana Hoa-ji" Digondol pergi Tiam-lam-su-hou?"
Setelah napasnya sedikit tenang, Pok Thian-tiau pentang mulut, pelan dan lirih sekali tercetus
jawaban: "Bukan..."
"Jadi Tosu busuk dari Khong-tong-pay itu?" tanya Hun Ci-lo. Lalu ia tempelkan telinganya untuk
mendengar jawaban, namun suara Pok Thian-tiau lebih lemah pula, namun Hun Ci-lo masih bisa
dengar jawabannya tetap 'bukan'.
Gelisah dan kuatir Hun Ci-lo dibuatnya, terpaksa ia bertanya pula: "Lalu, di mana Hoa-ji, dia,
bagaimanakah keadaannya?" Setelah pertanyaan dia lontarkan baru dia ingat Pok Thian-tiau
sudah dalam keadaan sekarat, mana bisa menjelaskan pengalaman Nyo Hoa.
Tak kira, di saat Hun Ci-lo merasa was-was dan jantung berdebar, "Huuaaah!" Pok Thian-tiau
mendadak muntahkan darah segar, sahutnya: "Masih...," walau lemah suaranya, tapi jauh lebih
keras dan jelas dari tadi.
Kaget dan girang pula Hun Ci-lo, cepat ia payang badan orang duduk lebih enak, katanya:
"Istirahatlah dulu nanti dilanjutkan..." Tiba-tiba terasa tangannya meraba badan orang yang sudah
mulai dingin, saking kaget Hun Ci-lo berjingkrak, waktu ia tegasi, kelopak mata Pok Thian-tiau
sudah terpejam dan bibirnya masih sedikit terbuka. Kejadian berlangsung dalam waktu singkat,
tahu-tahu jiwa orang sudah mangkat.
Ternyata untuk bisa bertahan sementara waktu, untuk menjelaskan keadaan Nyo Hoa, Pok
Thian-tiau mengigit lidahnya sendiri untuk membangkitkan rasa dan sakit dan menggairahkan
semangatnya. Sayang luka-lukanya teramat berat, usahanya tetap sia-sia belaka. Hun Ci-lo amat
sedih, katanya: "Tidak pantas aku mengajukan pertanyaan kepadanya, jiwanya malah melayang lebih cepat!"
"Ki-keng-pat-mehnya sudah luka, seperti lentera yang kehabisan minyak, sekuat tenaga aku
sudah berusaha menolongnya, paling hanya mempertahankan sisa tenaganya saja. Tidak perlu
kau sedih. Tugas kita yang terpenting, ialah lekas mengebumikan jenazahnya."
Hun Ci-lo manggut-manggut tanpa bersuara, waktu ia melongok ke luar, cuaca sudah mulai
petang, magrib mendatang, sebentar lagi tabir malam akan menyelimuti alam semesta.
"Biar malam ini kita buatkan sebuah peti mati, besok baru gali liang lahat dan mengubur
jenazahnya," demikian ujar Miao Tiang-hong.
Dalam rumah batu itu masih ada sisa makanan, kapak, cangkul, sangkur dan lain-lain serba
lengkap. Setelah makan malam sekadarnya, malam itu mereka menebang pohon dalam hutan,
serta dibuatnya peti mati yang sederhana. Hari kedua mereka lantas mengubur jenazah Ling
Hong-ciang dan Pok Thian-tiau dalam satu liang lahat.
Sebelum meninggalkan rumah batu, dengan jarinya Miao Tiang-hong menulis di atas dinding, di
mana jarinya menggores, kapur sama rontok berhamburan. Tertulislah enam belas huruf besar
yang berbunyi: Pok-heng mengalami bencana, untuk tahu duduknya perkara, lekaslah pulang ke rumah, kami
menunggu di gedung rumahmu!
"Tulisan ini kau tinggalkan untuk Toan Siu-si" Masa kau tahu dia bakal kemari atau tidak?"
tanya Hun Ci-lo. "Toan Siu-si cukup cerdik dan cekatan, begitu di sarangnya tidak menemukan Tiam-lam-suhou,
tentu Cepat dia menyusul pulang. Seumpama tidak bisa segera pulang, tulisanku ini, supaya
dia tahu bahwa kita berdua pernah datang kemari."
"Ya, yang dapat menulis di dinding batu dengan jari-jari tangannya dalam jaman ini hanya
beberapa orang belaka, tanpa kau bubuhkan tanda tanganmu, tentu dia sudah tahu akan
maksudmu. Toan Kiam-ceng mengharap dia pulang, tindakanmu ini sekaligus bisa dilaksanakan
bersamaan." Kata Miao Tiang-hong tertawa: "Bicara soal Toan Kiam-ceng, aku malah kuatir Bu Cheng tidak
mampu mengatasi dia. Urusan di sini sudah selesai, marilah lekas pulang saja."
Hun Ci-lo tertawa getir, ujarnya: "Gelombang yang satu belum reda, gelombang yang lain
sudah timbul pula Setelah pulang kita harus siap membantu mereka berdua menuntut balas."
Melihat orang masgul dan murung, Miao Tiang-hong segera menghiburnya: "Sebelum ajal Pok
Thian-tiau masih sempat mengatakan 'masih baik', tentunya Hoa-ji tidak terjatuh ke tangan orang
jahat." Hun Ci-lo menghela napas, katanya manggut-manggut: "Semoga begitulah."
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Toan Siu-si mungkin tahu siapa Tosu busuk dari Khong-tong-pay itu, setelah dia pulang kita
bisa tanya kepadanya Asal bisa mendapat bahan penyelidikan, tidak sukar untuk mengusutnya."
"Miao-toako, tak usah kau kuatirkan diriku, tidak menemukan Hoa-ji memang hatiku amat sedih
dan kuatir, tapi selama hidup ini aku sudah biasa bergelimang dalam kesengsaraan. Setelah
pulang, boleh kau tumpahkan seluruh perhatianmu bantu Bu Toan berdua menuntut balas saja."
"Kita pulang demikian cepat, tentu mereka pun tidak menduga. Beberapa hari ini tentunya
mereka tidak mengalami kejadian apa-apa yang perlu dikuatirkan. Yang ku-kuatirkan malah entah
kapan SaMi-wan baru akan kembali ke Tayli."
Miao Tiang-hong mengira Bu Toan kakak beradik tidak akan membuat kericuhan, justru
rekaannya meleset sama sekali. Kesulitan memang tidak datang dari pihak Toan Kiam-ceng,
adalah mereka berdua kebentur suatu peristiwa yang tak terduga sebelumnya.
Setelah Miao dan Hun berangkat, mereka kakak beradik lantas minta orang tua itu ajak mereka
tamasya. Kota pegunungan seperti Tayli meliputi daerah yang tidak begitu luas, cukup dua hari
saja sudah mereka jelajahi semuanya, sampaipun segala pelosok kota sudah pernah mereka
datangi, terutama mereka amat perhatikan situasi gedung kediaman panglima tertinggi penguasa
perbatasan itu. Hari ketiga, hari di mana Miao dan Hun berdua pulang dari Tiam-jong-san, kedua kakak beradik
ini kembali ajak si orang tua itu melancong ke luar kota, tujuannya adalah Koan-im-am, suatu
tempat tamasya yang termasyhur pula di Tayli. Koan-im-am di mana-mana bisa ditemukan,
namun Koan-im-am di Tayli ini lain dari yang lain, seluruh bangunan biara kecil ini dibangun di
atas sebuah batu besar, maka dinamakan pula Toa-ciok-am.
Si orang tua segera memberi penjelasan: "Koan-im-am ini dinamakan pula Toa-ciok-am, ada
pula ceritanya mengenai kuil ini. Konon pada jaman dahulu kala, ada serombongan perampok
hendak mengganas di Tayli, Koan-im Posat segera menjelma seorang perempuan tua, memanggul
batu besar ini, keruan para perampok itu amat heran dan kaget. Kata Koan-im: 'Usiaku sudah
lanjut hanya bisa memanggul batu sekecil ini pemuda-pemuda di kota sering memanggul batu
yang puluhan kali lebih besar dari ini.' Mendengar kata-katanya ini kawanan perampok itu menjadi
jeri dan tak berani masuk kota, akhirnya melarikan diri. Cerita ini diberi judul yaitu Pak-ciok-coping
(memanggul batu membendung rampok), sudah tentu hanya dongeng orang-orang dulu kala,
tidak bisa dipercaya akan kebenarannya."
"Meski hanya dongeng yang lucu, namun cukup menyenangkan dan berarti," kata Bu Cheng.
Di samping batu besar itu terdapat sebuah aliran sungai yang bening airnya, di atas sungai kecil
melintang sebuah jembatan, langsung menembus ke depan pintu kuil. Bu Toan tertawa: "Ayolah,
maju lebih lanjut, kita lihat-lihat keadaan di dalam!"
"Sebetulnya ruang pemujaan di dalam tiada sesuatu yang bisa dipandang," ujar si orang tua.
"Kamar samadi yang ditempati para nikoh, para pelancong dilarang masuk, kita hanya bisa
menyulut dupa bersembahyang di hadapan pemujaan Koan-im. Cuma di luar kuil terdapat sebuah
taman kecil, di mana ditanam beberapa macam kembang teh yang aneh bentuknya, orang-orang
pelancongan bisa istirahat di sana dan sekedar menikmati teh hasil petikan setempat. Sayang
sekarang belum musimnya memetik teh kembang itu."
"Toa-ciok-am adalah salah satu tempat pariwisata di Tayli, setelah tiba di sini, marilah masuk
melihat-lihat, minum teh pun baik juga."
Waktu itu mereka sedang beranjak di atas jembatan hendak masuk ke kuil, sekonyong-konyong
terdengar suara percakapan dua orang. Seorang berkata: "Sa-hwesio sudah pulang, apa kau
tahu?" Seorang yang lain menyahut: "Apa benar" Kapan dia pulang?"
"Kabarnya kemarin malam. Ha, kesempatan kita lebih banyak pula setelah Sa-hwesio pulang."
"Kesempatan baik apa?"
"Memangnya kau belum tahu" Begitu dia kembali, Han-ciangkun segera akan mengerahkan
pasukan menyerbu ke Say-jwan. Semula Han-ciangkun seorang sipil soal perang tentu bukan
keahliannya, memangnya dia tidak akan mengandal tenaga Sa-hwesio?"
Suara percakapan kedua orang ini amat lirih, namun Bu Toan berdua, orang yang pernah
melatih silat, pendengarannya teramat tajam, setiap patah kata mereka dapat didengarnya
dengan jelas. Tergerak hati Bu Cheng, pikirnya: "Sa-hwesio yang mereka singgung, apakah Sa Miwan?"
Kedua orang itu masih bercakap-cakap lebih lanjut, terdengar seorang yang lain bertepuk
sambil berjingkrak kesenangan, katanya: "Benar, Sa-hwesio adalah orang andalan Han-ciang-kun,
kita bisa minta dia memberi tugas kepada kita."
"Memangnya, tapi aku tidak ingin tugas baik apa-apa, cukup asal bisa diserahi tugas mengurus
ransum saja, sisa hidupku di hari tua tentu takkan melarat lagi."
Waktu mereka bicara sampai di sini, Bu Toan bertiga kebetulan sudah turun dari undakan batu
jembatan dan memasuki kuil. Begitu melihat si orang tua dari keluarga Toan ini, kedua orang itu
segera menghentikan percakapan mereka, tanpa berjanji sama berdiri sambil bersentuh pundak,
sapanya tertawa "Toan-kongkong, angin apa yang menghembusmu kemari, apa Siau-ong-ya baikbaik?"
Si orang tua tertawa, katanya: "O, kiranya Kek-toaya dan Kim-toaya, hari ini kalian pun sedang
mencari angin menghibur diri ya" "Ah, hanya mencari hiburan saja setelah sibuk selama ini. Dua
orang ini..." "Mereka kakak beradik adalah sanak jauh dari keluarga istana, beberapa hari yang lalu baru
datang." "Selamat bertemu, selamat bertemu," segera orang she Kek menyapa lebih dulu. "Kongcu she
apa?" "Aku she Bun," sekenanya Bu Toan menyebut nama palsu, meski orang tua itu melengak
heran, namun dia cukup pengalaman, sudah tentu dia pun diam saja.
"Aku bernama Kek Cin-jay, dia ini temanku bernama Kim Kong-to."
Segera Kim Kong-to menyambung bicara: "Kami sering keluar masuk Onghu (istana), kalian
berdua mungkin baru pertama kali bertandang ke sanak famili ini?"
"Ya, baru sekali ini kemari," sahut Bu Toan.
"Tak heran sebelum ini kami belum pernah melihatmu," demikian kata Kim Kong-to pula "Kalian
baru datang, semestinya kami menyambut sebagai tuan rumah. Tentunya kalian belum sempat
menjelajah seluruh Tayli, kalau sudi, aku bisa temani kalian tamasya ke mana saja."
Baru saja Bu Toan hendak menampik secara halus, tak nyana Bu Cheng sudah menyela lebih
dulu, "Bagus sekali, Kim-siansing tinggal di mana, setelah sampai di kota segera kami mencarimu."
Kim Kong-to mengeluarkan kartu nama, katanya: "Dengan Kek-heng aku tinggal satu rumah, di
belakang gang rumah balai kota sebelah kiri mengarah sinar matahari."
Bu Cheng menyambut kartu nama orang, katanya: "Dua hari lagi pasti aku datang bersama
eng-kohku." Kek Cin-jay segera menimbrung: "Sebetulnya kami hendak bertandang ke Onghu, namun dua
hari belakangan ini ada tugas-tugas dinas, mungkin besok lusa baru bisa ke sana. Harap Toankongkong, Bun-kongcu dan nona Bun suka sampaikan salam kami kepada Ongya."
"Tuan-tuan amat sibuk, silakan saja tidak usah sungkan," ujar si orang tua.
"Sebetulnya sih bukan urusan penting, cuma kebetulan kemarin Sa-ciangkun kembali, kabarnya
lusa dia akan berangkat pula, maka besok kami harus menemuinya lebih dulu," demikian Kim
Kong-to mengada-ada. Sengaja bertanya Bu Toan: "Sa-ciangkun yang mana sih?"
"Tentunya Sa-ciangkun utusan dari kota raja yang bertugas membantu Han-ciangkun, familimu
Toan-ongya kenal baik dengan beliau."
Tidak luput dari dugaan Bu Cheng, Sa-ciangkun yang mereka sebut-sebut ini memang bukan
lain Sa Mi-wan adanya. "Benar," sela si orang tua, "dua hari yang lalu Siau-ong-ya pernah membicarakan dia."
"Oya," timbrung Kek Cin-jay, "kabarnya Siau-ongya kalian suka berlatih silat, tentu amat cocok
dengan Sa-ciangkun."
"Siau-ongya hanya suka berlatih untuk menyehatkan badan saja," ujar si orang tua, "mana
berani bikin capai Sa-ciangkun apalagi Sa-ciangkun sedang sibuk?"
"Kalau begitu biar Sa-ciangkun mengundang guru silat untuk mengajar dia bagaimana?" kata
Kim Kong-to. "Oh, ya, hampir saja aku lupa, besok malam Han-ciangkun mengadakan perjamuan,
Sa-ciangkun sebagai ketua penyelenggara, entah Siau-ongya kalian ada terima undangan tidak?" ,
"Tidak," sahut si orang tua. "Wah, kemungkinan si pembagi kartu undangan teledor, setahuku
Han-ciangkun ingin berdekatan dengan Siau-ongya kalian, kalau Siau-ongya sudi hadir dalam
perjamuan besok malam, tentu Han-ciangkun akan menyambutnya dengan senang hati. Biar nanti
kuberitahu supaya mereka lekas mengirim undangan."
"Terima kasih akan kebaikan Kim-toaya," ujar si orang tua. "Cuma Siau-ongya kami biasanya
tidak suka main peradatan, kukira tidak usahlah." Dengan tidak sabar lalu ia minta diri dan
berpisah dengan mereka. Setelah keluar dari Toa-ciok-am, berkata Bu Cheng tertawa: "Toan-kongkong, siapakah kedua
orang ini, agaknya kau membenci mereka."
"Dua orang ini sepasang penjilat pantat orang, kerjanya selalu keluar masuk rumah orang
mencari gara-gara dan obyek pemerasan, dari kalangan kelas tinggi sampai tukang masak di
dapur dikenalnya dengan baik. Sering pula dia berkunjung ke Onghu kami, setiap kali berhadapan
dengan mereka Siau-ongya tentu pusing kepala"
"Dua mestika seperti itu, tak heran kau amat sebal berhadapan dengan mereka," demikian ujar
Bu Toan tertawa "Jangan singgung pula dua keparat penjilat itu," ujar si orang tua, "apa kalian ingin ke Ouwtiapcwan lagi?" "Waktunya sudah tidak keburu lagi, pulang sajalah," kata Bu Cheng.
Setiba di Onghu, matahari belum terbenam, Toan Kiam-ceng sedang latihan silat di taman
bunga Berbisik Bu Cheng: "Jangan mengusik dia." Lalu ia seret eng-kohnya sembunyi di belakang
gunung-gunungan palsu. Dilihatnya Toan Kiam-ceng sedang memainkan Su-ping-kun. Su-ping-kun merupakan ilmu silat
pukulan paling umum dipelajari orang. Sesuai dengan namanya permainannya mengutamakan
ketenangan dan keseimbangan pada empat penjuru angin.
Walau ilmu pukulan biasa yang paling umum, namun ayunan tangan dan tendangan kaki Toan
Kiam-ceng selalu mengeluarkan deru angin. Maka terdengarlah suara "krak" sekali pukul Toan
Kiam-ceng menghantam putus sebatang pohon sebesar lengan anak kecil.
Tak tertahan Bu Cheng berseru memuji, sementara dalam hati berpikir: "Lwekang ajaran silat
yang ditinggalkan Thio Tan-hong ternyata memang luar biasa, sayang dia tidak mendapat
petunjuk guru kenamaan, lwekang tingkat tinggi yang dia pelajari tidak bisa ia manfaatkan."
Cepat Toan Kiam-ceng melompat mundur dan menghentikan latihannya, katanya tertawa:
"Ternyata kalian sudah pulang, kebetulan aku ingin mohon petunjuk kalian. Entah kenapa setiap
kali aku latihan ilmu pukulan ini, selalu tidak bisa kulancarkan dengan wajar dan sempurna."
"Waktu kau menarik diri menghentikan latihan, apakah kau merasa napas memburu dan
jantung berdetak keras?" tanya Bu Cheng.
"Omonganmu memang benar," seru Toan Kiam-ceng girang. "Setelah latihan ilmu pukulan ini,
memang kekuatanku tambah lipat ganda, cuma tidak bisa bertahan lama."
"Mari kau coba dengan cara begini mengerahkan hawa mumi." Lalu Bu Cheng menjelaskan
pokok dasar ajaran mengatur napas dan mengerahkan hawa murni.
Sementara di samping diam-diam Bu Toan mengeluh dan mengerut kening, pikirnya: "Adik
Cheng memang tidak tahu urusan, semula aku hendak membujuknya supaya menjauhi Toan
Kiam-ceng, dia malah bergaul demikian eratnya."
Toan Kiam-ceng mempraktekkan menurut petunjuk, menarik napas lalu mencelat tinggi
beberapa kaki, sekaligus ia lancarkan pukulan berantai dari jurus-jurus Su-ping-kun, benar juga
terasa lebih enteng gampang dan cekatan tanpa menemukan kesulitan ia berhasil
menyempurnakan latihan jurus ini.
"Bagaimana?" tanya Bu Cheng tertawa.
Girang Toan Kiam-ceng, katanya: "Nona Bu, kau memang guruku yang lihay, jurus ini selama
beberapa bulan kulatih selalu gagal, setelah mendapat petunjukmu tadi, agaknya memperoleh
kemajuan." "Bicara soal lwekang, yang kutahu hanya kulitnya saja. Pokok dasar ajaran Thio Tan-hong
dapat menjadikan Su-ping-kun yang paling umum dari tingkat rendah sebegitu lihay dan
sempurna, dapatlah dinilai dari kebiasaannya itu menjadi sedemikian mendalam dan luas
maknanya, itulah ilmu tingkat tinggi yang jarang bisa ditemukan. Sayang aku sendiri pun hanya
paham kulitnya saja, sampai di mana intisari dan lika-liku kesempurnaannya, aku tak bisa
menjelaskan. Cuma ilmu pukulan tingkat tinggi seperti ini harus dilandasi oleh lwekang tingkat
tinggi pula, barulah bisa mencapai titik puncaknya. Untuk melatih lwekang tingkat tinggi, kau
harus tunggu pamanmu pulang. Dia patut menjadi gurumu."
"Sekarang belum aku mencapai tingkatan yang lebih tinggi, yang kuperlukan hanyalah pokok
dasar permulaannya saja, harap nona Bu suka bermurah hati memberi petunjuk."
"Petunjuk aku tidak berani memberikan. Kalau kau ada selera, bolehlah aku belajar bersama
kau saja." "Bagus sekali kalau begitu, ajaran apa yang ingin kau coba?"
"Marilah kita bermain petak, cuma mata tak usah ditutup. Tangkaplah aku, asal dapat kau
menyentuh ujung jariku, anggaplah kau yang menang."
Setengah ragu setengah percaya Toan Kiam-ceng dibuatnya, pikirnya: "Kalau sampai benarbenar
membekuk dia, ah, rada sungkan juga!"
Seperti dapat meraba isi hati orang, segera Bu Cheng menambahkan sambil tertawa: "Tidak
usah sungkan dan fakut-takut menangkap aku, yang harus kau latih adalah permulaan ajaran
ginkang, meski kau dapat menangkap aku, aku tidak akan salahkan kau."
"Baik, biarlah sekarang aku mulai!" Sembari bicara, Toan Kiam-ceng pentang kedua tangan
terus menubruk maju, terlihat bayangan orang berkelebat, tahu-tahu ia menubruk tempat kosong.
Bu Cheng kembangkan gerakan tubuh Mengitari Pohon Menyelinap Rumpun Kembang, seolaholah
kupu-kupu yang menari-nari di atas kelompok kembang mekar, dari satu hinggap dan lompat
ke kuntum kembang yang lain, jangan kata badan orang, ujung pakaiannya saja ia tidak mampu
menyentuhnya. Toan Kiam-ceng menyedot hawa, sesuai petunjuk yang diberikan Bu Cheng tadi ia
menggerakkan hawa murni ke pusarnya, mengikuti gerak-gerik badan orang ia main tubruk dan
sergap dengan kencang, keadaan rada mending, beberapa kali hampir saja ia berhasil menyentuh
ujung baju orang, namun tetap dapat dihindari olehnya. Melihat kemajuan orang yang pesat tak
terasa Bu Cheng berseru memuji: "Kau memang pintar, jauh lebih maju sudah."
Mendapat pujian orang seketika bergairah semangat Toan Kiam-ceng, langkah kakinya
dipercepat ia mengejar dengan kencang. Sekonyong-konyong dilihatnya bayangan badan Bu
Cheng berpencar menjadi dua, dari dua kembali berubah jadi empat dan begitulah seterusnya
dalam sekejap saja, empat penjuru angin berlapis-lapis bayangan bentuk badan Bu Cheng melulu.
Semakin lama pandangan Toan Kiam-ceng menjadi kabur dan pusing tujuh keliling, namun betapa
pun ia sudah berusaha tetap sia-sia menyentuh ujung baju orang. Tak tertahan Toan Kiam-ceng
berseru: "Nona Bu, sekarang aku tunduk kepadamu!"
Bertaut alis Bu Toan, tak habis mengerti kenapa adiknya tak segan-segan permainkan Toan
Kiam-ceng. Saking lelah dan kehabisan tenaga keringat membasahi seluruh badan Toan Kiam-ceng, napas
pun ngos-ngosan, karena pakaian basah kuyup terpaksa ia minta maaf dan mengundurkan diri
untuk ganti pakaian. Bu Toan kurang senang, setelah Toan Kiam-ceng pergi segera ia tegur adiknya: "Moaymoay,
kau mengagulkan diri di hadapannya, apa sih maksudmu?"
Bu Cheng tertawa ujarnya: "Rahasia alam sekarang belum boleh dibocorkan, sebentar malam
baru kuberi tahu kepadamu. Tuh orang tua itu mendatangi, jangan kita bicarakan hal itu pula."
Orang tua itu mengundang mereka makan malam. Malam itu setelah menemani mereka makan
siang-siang Toan Kiam-ceng masuk kamar dan pergi tidur.
Bu Toan tidur di kamar buku yang terletak di bilangan luar, teringat bahwa jejak musuh besar
sudah diketahui namun Miao Tiang-hong dan Hun Ci-lo belum kunjung pulang, kalau mengulur
waktu mungkin mendatangkan kesulitan, tak terasa hatinya gundah dan was-was tak bisa tidur.
Kira-kira kentongan kedua sudah lewat, tengah Bu Toan merasa tidak tentram, tiba-tiba
didengarnya suara "Tbk" ada orang mengetuk pintu di luar.
"Siapa?" bentak Bu Toan dengan suara berat lirih.
Terdengar orang cekikikan geli di luar pintu, katanya: "Koko, apa kau sudah lupa urusan yang
hendak kuberitahu kepadamu?"
Bu Toan, membuka pintu menyuruh adiknya masuk, kata Bu Cheng tertawa: "Koko, aku
berlatih silat sama Toan Kiam-ceng, tentunya kau kurang senang bukan?"
"Syukur kalau kau tahu, kita kemari untuk menuntut balas bagi ayah bunda, berteduh di rumah
keluarga Toan, untuk menghindari segala kesukaran masih belum tentu bisa, kau malah hendak
menyeretnya ke dalam kesukaran ini."
"Maksudku justru untuk mengurangi kesulitan malam ini, kalau tiada kesulitan, berarti
memperlancar kita untuk menuntut balas bukan!"
Bu Toan melengak, tanyanya: "Apa sih maksudmu?"
"Tentunya Siau-ong-ya sekarang sudah tidur pulas, sebelum terang tanah besok takkan
bangun." Baru sekarang Bu Toan mengerti, katanya: "O, jadi maksudmu secara diam-diam kita bisa pergi
membunuh musuh besar itu?"
"Tidak salah, kalau segala sesuatunya bisa lancar, sebelum kentongan ke lima, kita tentu sudah
kembali." "Kalau menemui kesulitan?" "Aku sudah menuliskan sepucuk surat ini, kukatakan bahwa kita
ada urusan penting harus segera meninggalkan sini, harap Toan Kiam-ceng memaafkan kepergian
kita tanpa pamit. Sudah tentu aku mengharap sebelum Toan Kiam-ceng melihat surat ini, kita
sudah kembali lebih dulu."
"Kalau begitu, jadi kau siap gugur di medan laga!" ;
"Aku tahu, mengandal kepandaian kita berdua, belum tentu dapat membunuh Sa Mi-wan,
sudah tentu lebih baik menunggu paman Miao kembali. Tapi besok lusa Sa Mi-wan harus
meninggalkan Tayli, besok malam dia harus hadir dalam perjamuan perpisahan Han-ciang-kun itu,
kalau ingin turun tangan malam inilah kesempatan paling baik! Koko, apa kau takut mati?"
Mendidih darah Bu Toan, katanya: "Dendam orang tua mana boleh tidak dibalas! Bicara terus
terang, aku memang sudah siap malam ini membunuh Sa Mi-wan, cuma aku tidak ingin kau ikut
menyerempet bahaya ini."
"Kita adalah saudara kandung yang dilahirkan satu ayah satu ibu, membalas dendam orang tua,
putra putrinya punya kewajiban yang sama, mana boleh kau tidak ijinkan aku pergi" Seorang diri,
bukankah kau lebih berbahaya?"
Bu Toan tahu tekad Bu Cheng, katanya: "Baik, marilah kita berangkat bersama. Cuma gedung
Han-ciangkun itu tidak kecil, untuk mencari Sa Mi-wan di tempat seluas itu, mungkin bukan urusan
gampang." "Kau lupa kedua laki-laki penjilat tadi" Untuk menemukan Sa Mi-wan terpaksa harus
memperalat mereka berdua." Setelah matang perundingan kakak beradik, segera mereka ganti
pakaian, secara diam-diam mereka keluar dari bilangan Onghu.
Sejak kembali dari Toa-ciok-am, Kek Cin-jay dan Kim Kong-to sedang ribut merundingkan cara
bagaimana besok menemui Sa Miwan mohon diterima sebagai pembantu, mereka sama
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengajukan buah pikirannya, semakin runding semakin bersemangat, meski hari sudah larut
malam, mereka masih belum tidur.
Mereka sedang ngobrol di atas ranjang, pelita sudah dipadamkan, di saat mereka bicarakan
rencana masing-masing, daun jendela tiba-tiba terpentang lebar, Kek Cin-jay berseru heran: "Eh,
daun jendela terbuka sendiri?"
Kim Kong-to kaget, serunya: "Tidak benar, seperti ada orang..." Belum habis ucapan mereka,
tiba-tiba terasa tengkuk mereka dingin, tahu-tahu sudah diseret turun dari atas ranjang. Dalam
malam gelap tak bisa melihat, namun mereka tahu bahwa senjata tajam sudah mengancam leher
mereka. Saking kaget dan takut serasa arwah copot dari badan kasarnya, nyali Kim Kong-to rada besar
sedikit, katanya gemetar: "Tay-ong ampun, aku, kami orang-orang rudin yang tak punya apaapa."
Bu Toan mengeraskan suaranya menjadi serak dan sumbang, katanya: "Siapa ingin uangmu,
namun kalau kalian tidak menurut petunjukku, awas jiwa kalian!"
Rada lega hati Kim Kong-to, cepat katanya: "Silakan Tay-ong memberi perintah, asal dapat
siaujin lakukan, tentu kubereskan dengan baik."
Bu Cheng menyulut api, katanya dingin: "Jangan angkat kepala, dengarkan petunjuk."
Sebetulnya mereka sudah mengenakan kedok hitam, namun untuk menjaga kemungkinan
dikenali, maka sedikit pun tak berani gegabah.
Kakak beradik membagi diri kedua samping. Kek dan Kim disuruh duduk berhadapan menyanding
meja. Saking takut dan gemetar, mata mereka terpejam dan menunduk tak berani
sembarang bergerak. Bu Toan mengeluarkan kertas dan alat tulis, masing-masing dibagi satu lembar di hadapan
mereka, katanya: "Kalian masing-masing menggambar sebuah peta keadaan gedung Hanciangkun,
tempat kediaman Sa Mi-wan harus kalian beri tanda khusus!"
Terpaksa Kek dan Kim menurut saja, tak lama kemudian masing-masing sudah menggambar
peta yang diperlukan, Bu Toan lantas mencocokkan kedua gambar itu satu sama lain, meski ada
sedikit perbedaan, namun sebagian besar bentuknya sama, tanda khusus yang dicantumkan
dalam peta itu letaknya sama.
Mereka menggambar pada dua sisi meja yang berhadapan, kalau toh gambarnya hampir mirip,
Bu Toan berdua lega hati dan percaya bahwa gambar peta ini tentu tidak palsu.
Setelah menyimpan gambar peta itu, berkata Bu Toan: "Kalian dengar, kalau kalian
membocorkan kejadian malam ini, meja ini menjadi contoh bagi kalian." Di mana tapak tangannya
membacok, ujung meja seketika pecah dan jatuh berhamburan! Semakin gemetar dan takut Kek
dan Kim dibuatnya, muka pucat lesi, sahutnya tergagap: "Kami tidak berani."
"Memangnya kau berani!" je-ngek Bu Toan. Ia ulur tangan menotok jalan darah mereka, dua
belas jam kemudian baru hiat-to yang tertotok ini akan terbuka sendiri.
Malam itu cuaca gelap angin menghembus santer, saat paling baik bagi orang berjalan tengah
malam. Tanpa diketahui setan dan tidak dipergoki malaikat, Bu Toan berdua menyelundup masuk
ke Ciangkun-hu, waktu itu kira-kira tepat kentongan ke tiga. Rumah kediaman Sa Mi-wan terletak
di pojok belakang taman bunga, sesuai petunjuk gambar peta mereka terus menyelundup masuk
ke sana, dengan mudah mereka menemukan tempat tujuan.
Rumah ini terletak di ujung taman paling belakang dan menyendiri, sekelilingnya dipagari
gunung-gunungan palsu dan tanah kosong yang cukup lebar. Mungkin Sa Mi-wan terlalu
mengagulkan kepandaian silat sendiri, di luar rumahnya tak kelihatan ada tentara penjaga
Bu Cheng girang, katanya: "Sungguh kebetulan malah, tak perlu bikin kaget lain orang,
agaknya memang sudah kodrat bangsat itu akan mampus di tangan kita!"
"Keparat itu murid ajaran Siau-lim, ilmu silatnya lihay, jangan kau gegabah," bujuk Bu Toan.
"Aku mengerti. Semoga ayah bunda di alam baka melindungi kita berdua. Tidak perlu kita
pikirkan hal tetek bengek, ayolah masuk!" ajak Bu Cheng tidak sabaran.
Tidak sukar mencari kamar tidur Sa Mi-wan dalam bangunan rumah tunggal ini, tampak sebuah
kamar, jendelanya sedikit terbuka, mengepul keluar asap dupa wangi, maklumlah sebelum preman
Sa Mi-wan pernah jadi hwesio, sudah kebiasaan sebelum tidur dia harus membakar dupa
Pelan-pelan Bu Toan menarik daun jendela serta pasang kuping mendengarkan, dari nyala api
dupa yang membara, lapat-lapat kelihatan di ujung tembok sana terdapat sebatang tongkat
hwesio sebesar lengan tangan, itulah senjata Sa Mi-wan yang diandalkan. " Yakinlah bahwa kamar
ini jelas adalah tempat tinggal Sa Mi-wan.
Agaknya Sa Mi-wan sudah tidur nyenyak, lapat-lapat Bu Toan mendengar suara dengkuran.
Ranjang yang tertutup kelambu tebal kebetulan menghadap jendela. Sungguh di luar dugaan
bahwa aksi mereka malam ini ternyata begini leluasa. Setelah mendengarkan sekian lama, tibatiba
Bu Toan ayun sebelah tangannya, "ser, ser, ser," tiga pisau terbang sekaligus ia timpukkan ke
dalam ranjang. Sementara Bu Cheng sudah siapkan segenggam Bwe-hoa-ciam, begitu Sa Mi-wan
menerobos keluar ia hendak papaki orang dengan taburan Bwe-hoa-ciamnya.
Kejap lain terdengarlah jeritan keras menyayat hati, orang di atas ranjang terguling jatuh ke
atas lantai dan terguling-guling tak bisa bangun. Bu Cheng melengak, "Masakah ilmu silat Sa Miwan
begini tidak becus?" tiba-tiba ia sadar jeritan itu suara perempuan.
"Celaka, salah membunuh orang!" teriak Bu Toan kaget.
Belum lenyap suaranya, tiba-tiba terasa angin keras menyampuk datang dari belakang,
seseorang tahu-tahu menubruk datang. Kontan Bu Cheng ayunkan tangannya menebarkan Bwehoaciam. Orang itu tertawa dingin: "Mutiara sebesar beras juga memancarkan sinarnya!" Sekali kebut
dengan lengan baju, seluruh Bwe-hoa-ciam sambitan Bu Cheng kena digulung lenyap. Berbareng
kedua tangan bergerak, tangan kiri memukul Bu Toan, tangan kanan mencengkram ke arah Bu
Cheng. Dengan gerakan Hong-biau-loh-hoa Bu Cheng menggeser ke samping meluputkan diri. Meski
gerakannya cepat, "Bret" tak urung lengan bajunya teraih sobek. Sementara Bu Toan
menggunakan jurus Hway-tiong-pau-gwat-sik (gaya memeluk harpa), kedua tapak tangan
menyimpang ke pinggir membuat lingkaran bundar, dengan kekuatan lengannya ini ia melawan
serangan musuh, tak urung ia tergentak mundur tiga langkah.
Orang itu bergelak tertawa, ujarnya: "Kukira betapa sih tinggi kepandaian kalian tak nyana dua
bocah yang masih berbau pupuk bawang. Hm, hm, mengandal kepandaian cakar kucing macam
ini berani hendak membunuh aku orang she Sa!"-Ternyata orang inilah baru Sa Mi-wan,
perempuan yang terbunuh oleh sambitan pisau terbang Bu Toan tadi adalah gundiknya.
Bu Toan insyaf jiwa mereka sukar diselamatkan, katanya nekad: "Seorang kuncu membalas
dendam, sepuluh tahun belum terlambat. Biarlah keparat ini hidup beberapa hari lagi. Moaymoay,
lekas kau lari dari jurusan sana"
Bu Toan hendak memancing Sa Mi-wan, supaya adiknya sempat melarikan diri, namun mana
Bu Cheng mau membiarkan engkoh-nya seorang diri melawan musuh besar"
Sa Mi-wan tertawa dingin: "Kalian dua kurcaci ini ingin lari ke mana?" Sebat sekali badannya
melejit, beberapa kali lompatan ia sudah mencapai Bu Toan. Bu Toan sudah melolos pedang,
dengan Hun-liong-sam-sian, pedangnya menusuk balik mengarah dada Sa Mi-wan, meski hanya
satu jurus, namun di dalam serangan ini terkandung tiga gerak perubahan rumit.
Sa Mi-wan tahu akan kelihayan jurus ini, ia tidak berani pandang enteng, segera ia
kembangkan Khong-jiu-jip-peh-to, menghindari tusukan lawan, begitu gerakan perubahan pedang
lawan lenyap, secara kekerasan ia sudah siap merebut senjatanya. Tapi baru saja ia punahkan
setengah jurus, Bu Cheng keburu mengejar tiba.
Sa Mi-wan ada melatih mendengar angin membedakan senjata, begitu terasa angin golok
menyambar dari belakang, tahu-tahu tangannya terbalik mencengkram ke belakang. Gerakannya
ini amat tepat dan persis benar waktunya seolah-olah belakang kepalanya tumbuh mata, seketika
Bu Cheng merasakan pergelangan tangan linu, golok pendek di tangan kirinya hampir saja terebut
musuh. "Sret" lekas Bu Toan menusuk dengan pedang, ia kembangkan gerakan perubahan
terakhir dari Hun-liong-sam-sian tadi secara hebat dan baik sekali. Tak sempat Sa Mi-wan merebut
golok orang, karena ia harus selamatkan diri lebih dulu, tangkas sekali dengan Ih-sing-hoan-wi
seperti gangsingan badannya berputar, berkelit sembari balas menyerang, sekaligus ia desak
mundur Bu Toan kakak beradik. "Cret" lengan baju Bu Cheng kembali tercakar robek, untung Liuyapto tak terebut. "Kalian tidak akan bisa lari, kalau ingin hidup lekas sebutkan nama kalian, terangkan apa
maksudmu hendak membunuh aku?" demikian bentak Sa Mi-wan, namun kaki tangan tidak
berhenti, sebat sekali ia sudah menyusul ke depan orang mencegat jalan mundur Bu Toan dan Bu
Cheng. "Koko, golok pedang bersatu padu, mari adu jiwa padanya!" teriak Bu Cheng.
Sa Mi-wan terbahak-bahak: "Kepandaian sepele ini, berani adu jiwa segala" Hehe, golok
pedang satu padu apa, ayolah keluarkan, ingin aku melihatnya!" Belum habis ia bicara Bu Toan
berdua sudah berpencar ke kanan kiri, dua golok sebatang pedang, tahu-tahu sudah merangsak
tiba bersama. Sa Mi-wan memiringkan badan seraya melangkah setindak, dengan Jiu-hwi-bi-ba, tapak tangan
kiri menyampuk golok, tangan kanan merebut pedang. Inilah Tay-kim-na-jiu yang amat dia
banggakan, dikombinasikan kepandaian mendengar angin membedakan senjata, gerakan
tangannya teramat cepat lagi, sengaja ia biarkan orang melancarkan serangan lebih dulu,
sebaliknya ia bergerak belakangan namun mengatasi serangan musuh.
Tak nyana sinar golok Bu Cheng berputar, mendadak membacok datang dari arah yang tak
terduga olehnya. Boat-to-jiu-hoat yang digunakan Sa Mi-wan hanyalah nama satu jurus ilmu silat
belaka, sudah tentu ia tidak berani mengadu kulit tangannya dengan ketajaman golok musuh.
Letak dari kelihayan gerakan tangannya ini, yaitu ia dapat memperhitungkan posisi yang diarah
oleh bacokan golok lawan, lalu ia bergerak belakangan menyusul lebih dulu, balas menyerang di
tempat yang tak terduga oleh musuh, sehingga lawan harus mengurungkan serangan untuk
menyelamatkan diri lebih dulu, oleh karena itulah dinamakan Boat-to-hoat. Bacokan Bu Cheng
sekarang dilancarkan dari posisi di luar perhitungannya, sudah tentu perbawa dari Boat-to-hoatnya
ini sukar dikembangkan dengan baik.
Sudah tentu Sa Mi-wan amat kaget, lekas ia merubah gerakan, tenaga dikerahkan pada
punggung tapak tangan, sekali ayun dan tekan, dengan kekuatan tangannya ia mendesak Bu
Cheng, kalau bertempur satu lawan satu, Iwekang Bu Cheng jauh bukan tandingannya, pukulan ini
tak usah langsung mengenai dirinya, cukup tersambar anginnya saja Bu Cheng pasti tergetar
mundur. Namun kejadian berlangsung terlalu cepat, ujung pedang Bu Toan sudah teracung
miring, tahu-tahu menusuk datang juga dari arah berlawanan yang tak terduga pula, seketika ia
kerepotan dan mencak-mencak dibuatnya.
Di bawah rangsakan perpaduan golok dan pedang, tidak berani Sa Mi-wan kerahkan tenaganya
melulu untuk menghadapi Bu Cheng, terpaksa ia bertahan rapat sambil balas menyerang saja.
Dasar kepandaiannya memang cukup tinggi, tangan kiri melintang sementara tangan kanan
terayun turun, dalam sekejap mata, dia balas dua jurus serangan. Sekonyong-konyong pula
jarinya terulur menggores naik, secepat kilat, dua jarinya menotok tulang lemas di antara
pinggang dan ketiaknya. Kalau totokan ini berhasil, Bu Toan tentu tertotok lemas, seumpama
pedangnya mengenai lawan, juga tidak membahayakan jiwa musuh. Karena tak kuasa menyerang
secara deras, terpaksa Bu Toan merubah permainannya. Walau Sa Mi-wan kuasa mengalahkan
mereka, namun beberapa kali hatinya mencelos menghadapi jurus-jurus luar biasa yang
membahayakan jiwanya, keringat dingin pun berketes-ketes.
Tapi yang dikejutkan Sa Mi-wan bukan melulu kehebatan perpaduan golok dan pedang Bu Toan
dan Bu Cheng. Setelah berhasil mematahkan beberapa jurus serangan mereka, tiba-tiba ia teringat
sesuatu, segera ia membentak: "Baik, ya, kukira siapa, ternyata kalian keturunan Bu Ting-hong!"
Ternyata Bu Toan melancarkan ilmu pedang warisan keluarga ayahnya Bu Ting-hong,
sementara Bu Cheng mengembangkan ilmu golok ajaran ibunya Tio Bun-ki. Sebetulnya kedua
ajaran silat ini berlainan satu sama lain, namun sejak ayah bunda mereka menikah sudah sering
dan biasa menghadapi musuh bersama, lama kelamaan dua permainan ilmu yang berlainan dapat
dilebur jadi satu dan tercipta-lah perpaduan permainan golok dan pedang. Bu Toan berdua sejak
kecil mempelajarinya dengan tekun, maka permainannya pun amat hafal dan sempurna. Sa Miwan
dulu pernah jadi anak buah Bu Ting-hong maka ia cukup kenal permainan ilmu pedang Bu
Toan. Bu Toan dan Bu Cheng sudah nekad dan siap adu jiwa, maka mereka menyerang dengan
sengit dan gencar. Lama kelamaan Sa Mi-wan pun naik pitam, akhirnya ia berkeputusan untuk
turun tangan membunuh kedua-musuh muda ini. Puluhan jurus kemudian setahap demi setahap ia
sudah berhasil mendesak kedua lawannya. Di saat
Sa Mi-wan hendak lancarkan serangan mematikan, tiba-tiba dilihatnya jago merah menyalanyala
dari arah samping, di sana letak tempat tinggal Han-ciangkun dan keluarganya. Sa Mi-wan
amat kaget, dalam sekejap saja, tampak bayangan orang berlari kian kemari dan suasana menjadi
ribut dan gaduh. "Ada pembunuh, hayo cepat tangkap!"
"Padamkan api lebih penting, lekas ambil air. Han-ciangkun masih di dalam!"
"Pembunuh lari ke sana, lekas, lekas, lekas ringkus pembunuh itu!"
Keadaan semakin riuh dan gegap gempita diselingi nyala api yang berkobar semakin besar
dihembus angin. Sa Mi-wan jadi kebingungan, entah harus memburu ke sana untuk menolong Han-ciang-kun
atasannya, atau membereskan kedua musuh kecilnya ini, karena hati bingung dan pikiran tidak
tetap, hampir saja ia termakan oleh tabasan pedang Bu Toan.
Belum lagi ia berkeputusan, mendadak terdengar seseorang berteriak keras: "Celaka, ciangkun,
Han-ciang-kun terbunuh orang!" Serta mendengar teriakan ini bukan kepalang kaget Sa Mi-wan,
tepat pada saat itulah tampak dua sosok bayangan orang bagai terbang melompati tembok terus
memburu ke arah sini. Kejap lain, dari sorotan nyala api yang berkobar semakin besar, mereka
melihat jelas kedua pendatang itu adalah seorang laki-laki berusia empat puluhan dan seorang
gadis remaja. Mereka bukan lain adalah Thia Sin-gan dan putrinya Thia Giok-cu yang mereka
kenal di Gunbing sebagai ayah beranak pengamen itulah. Tangan Thia Sin-gan terlihat menenteng
batok kepala orang. Bahwa Thia Sin-gan ayah beranak muncul di sini, sungguh di luar dugaan mereka. Terdengar
Thia Sin-gan tertawa lebar, serunya: "Sa Mi-wan, nih kuberikan sebuah kado kepadamu!" Ia ayun
tangan, batok, kepala di tangannya ia lempar ke arah Sa Mi-wan.
Semula Sa Mi-wan masih ragu-ragu, setelah ia menyambut kutungan kepala itu baru ia tahu
atasannya memang sudah terbunuh. Sekilas ia tertegun, tiba-tiba ia menggerung gusar terus
menubruk ke arah Thia Sin-gan. Thia Sin-gan lompat jumpalitan ke belakang, kembali tangannya
terayun sembari berseru: "Awas, senjata rahasia." Lekas Sa Mi-wan pukulkan tangannya, "Dar!"
senjata rahasia itu mendadak pecah di tengah udara, seketika kabut asap bergulung memenuhi
udara menutupi pandangan mata. Senjata rahasia peluru berasap ini memang tidak bisa melukai
orang, tapi karena asap tebal menerpa muka, seketika napas Sa Mi-wan terasa sesak dan batukbatuk
keras. "Bu-kongcu, lekas lari!" teriak Thia Giok-cu. Saat mana pasukan penjaga sudah mengejar tiba,
kalau kabut asap hilang, tentu sukar mereka melarikan diri.
Sa Mi-wan kuatir bila asap itu mengandung racun, sambil pejamkan mata dan menahan napas,
ia pasang kuping, begitu Thia Giok-cu bersuara, Sa Mi-wan segera menubruk ke arah sana.
Kebetulan Bu Toan sedang memburu ke samping Thia Giok-cu, di tengah remang-remang
bergulungnya asap tebal, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan orang menubruk datang laksana
elang menubruk kelinci, secara reflek Bu Toan tusukkan pedangnya, meski tahu diri bukan
tandingan Sa Mi-wan, terpaksa ia harus melawan mati-matian.
Tak nyana belum lagi tusukannya mengenai badan Sa Mi-wan, tiba-tiba terdengar Sa Mi-wan
sudah menjerit keras dan terjungkal jatuh ke tanah, teriaknya: "Kau, kau melukai orang secara
gelap, ini, masa terhitung..." kata-kata 'orang gagah' belum sempat dikatakan, ujung pedang Bu
Toan sudah amblas ke dalam dadanya. Kebetulan Bu Cheng menyusul tiba, lekas ia menambahi
dua kali bacokan memotong lehernya.
Sakit hati sudah terbalas, Bu Toan kakak beradik dan Thia Sin-gan ayah beranak lekas
melarikan diri, kabut asap itu masih belum buyar, namun pasukan tentara itu lari sana lari sini
sambil berteriak-teriak: "Lekas, kemari, pembunuhnya di sini!" Suaranya bersahutan dari beberapa
penjuru dalam waktu bersamaan, jelas bahwa pembunuhnya bukan seorang saja.
Sudah tentu hal ini membuat mereka heran, masing-masing sama membatin: "Mungkin mereka
ayah beranak masih mengundang pembantu lain." Demikian juga Thia Sin-gan mengira ada orang
lain yang membantu kedua kakak beradik ini. Namun mereka perlu cepat menyelamatkan diri,
tiada tempo menanyakan hal ini.
Setelah sampai di luar kota, Bu Toan menyampaikan terima kasih akan budi pertolongan kali
ini, tak tertahan Bu Cheng bertanya: "Thia-pepek, bagaimana kalian pun bisa berada di sini?"
"Terus terang tujuan kami persis tujuan kalian berdua."
Bu Cheng paham, ujarnya: "Ah, jadi Han-ciangkun itulah musuh besarmu?"
Thia Sin-gan mengiakan, katanya: "Aku sudah tahu kalian hendak menuntut balas kepada Sa
Mi-wan, cuma tidak terduga kebetulan malam hari ini juga."
Tergerak hati Bu Cheng, katanya: "Thia-pepek, surat yang diterima Toan Kiam-ceng dari
pamannya itu, tentunya buah karyamu juga bukan?"
"Nona Bu memang pintar, memang akulah yang menulis surat itu meminjam nama pamannya."
"Jadi orang yang merebut kuda kedua opas di tengah jalan itu tentunya Thia-pepek juga?"
tanya Bu Cheng. "Benar, kalau tiada tunggangan itu, mana kami bisa lebih dulu tiba di Tayli."
"Mereka diutus Sebun Soh mengirim surat kepada Han-ciangkun, tentunya surat itu terjatuh ke
tangan Thia-pepek pula?" tanya Bu Toan.
"Ya, surat itu sebetulnya ditujukan kepada Sa Mi-wan, supaya hati-hati akan kedatangan kalian
hendak menuntut balas. Di samping itu ia pun bilang setelah luka-lukanya sembuh dia pun akan
menyusul ke Tayli," demikian Thia Sin-gan menjelaskan.
"Kebetulan kalau dia mau datang kemari, kami tidak susah-susah mencarinya," kata Bu Toan
senang. Kata Thia Sin-gan: "Kalau dia tahu kejadian malam ini, pasti dia takkan berani kemari." Lalu ia
menambahkan, "Toan Siu-si adalah kenalan lamaku sejak beberapa tahun yang lalu, dari
penuturan-nyalah aku tahu bahwa musuh besarku menjabat pangkat di Tayli. Dia jelas mengenai
riwayat hidupku, aku pun tahu riwayat hidupnya. Karena hubungan yang lain dari lain ini, baru aku
berani pinjam namanya menulis surat kepada keponakannya."
"Terima kasih akan bantuan lopek selama ini. Kali ini beruntung mendapat pertolongan lopek
lagi, sungguh..." "Bicara soal budi pertolongan, aku malah harus berterima kasih kepada kalian. Kalau Sa Mi-wan
tidak terlibat dengan kalian, masa gampang aku membunuh musuh besarku. Oh, ya, apa kalian
tidak datang bersama Miao tayhiap?"
Bu Cheng menjawab: "Paman Miao dan Hun-kokoh pergi ke Tiam-jong-san, mungkin dua hari
lagi baru kembali." Tatkala itu fajar sudah menyingsing, Thia Sin-gan berkata: "Mumpung hari belum terang tanah,
lekas kalian pulang ke rumah keluarga Toan."
"Paman Thia tinggal di mana, kenapa tidak tinggal bersama kami di sana?" tanya Bu Cheng.
"Baru saja kami melakukan urusan jiwa, mana boleh merembet Siau-ong-ya dari keluarga
Toan" Aku ini tukang pengamen, kalau ke sana tentu menimbulkan perhatian orang."
"Lalu bagaimana kami mencari kalian?"
"Aku menetap di rumah seorang teman di luar kota, kalau Miao tayhiap atau Toan Siu-si sudah
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pulang, kami akan bisa mencari tahu. Pada waktunya aku bisa mencari kalian di luar tahu orangorang
keluarga Toan." Hari hampir pagi waktu Bu Toan dan adiknya tiba di gedung keluarga Toan, namun orangorang
keluarga Toan belum ada yang bangun. Langsung mereka menuju ke kamar Bu Toan. Tak
nyana begitu pintu kamar terbuka, mereka dapati seseorang berada dalam kamar. Dia bukan lain
Miao Tiang-hong adanya. Kaget dan girang sekali Bu Toan, serunya: "Miao-susiok, bukankah kau bilang besok baru
kembali, kenapa begini cepat sudah pulang?"
"Kalau tidak kebetulan tadi aku pulang, mungkin sekarang kalian masih belum bisa meloloskan
diri," ujar Miao Tiang-hong tertawa. "Besar nian nyali kalian, tanpa menunggu aku kembali, berani
pergi ke sana untuk membunuh Sa Mi-wan."
Baru sekarang Bu Toan berdua paham, kata Bu Cheng: "Miao-susiok, jadi kaulah yang
membantu secara diam-diam, tak heran kami berempat sudah lari keluar, mereka masih berkaokkaok
mengejar pembunuh." "Orang yang membokong Sa Mi-wan tentunya susiok pula," Bu Toan menambahkan.
"Hal itu kulakukan secara menggelap, memang tidak patut dipuji, namun demi kalian bisa
membunuh musuh dengan tangan sendiri, terpaksa aku bertindak di luar garis aturan kangouw
terhadap Sa Mi-wan."
Ternyata waktu Miao dan Hun tiba di rumah, sudah lewat ken-tongan ketiga, menurut maksud
Hun Ci-lo sebenarnya hendak menunggu terang tanah, setelah pintu besar dibuka baru mereka
akan pulang, sebab kalau pulang tengah malam, mungkin menimbulkan rasa curiga keluarga
Toan. Sebaliknya Miao Tiang-hong menguatir-kan keadaan Bu Toan berdua, sebelum melihat
keadaan mereka, hati rasanya kurang tentram. Maka mereka berkeputusan masuk secara diamdiam
dulu. Waktu Miao Tiang-hong melongok ke kamar tidur Bu Toan sementara Hun Ci-lo menilik
ke kamar tidur Bu Cheng. Untung Bu Cheng sudah menyiapkan surat peninggalan untuk Toan
Kiam-ceng, diletakkan di atas meja, setelah Miao Tiang-hong menemukan surat itu, lekas bersama
Hufl Ci-lo mereka menyusul ke ciangkun-hu.
Kedatangan mereka tepat pada waktunya, waktu itu Thia Sin-gan sedang menimpukkan granat
asap, Sa Mi-wan sedang menubruk ke arah Bu Toan, dengan sebutir kerikil Miao Tiang-hong dapat
menjentik kerikil itu mengenai tepat pada Hoan-tiau-hiat di lutut Sa Mi-wan. Maka Bu Toan dan Bu
Cheng tanpa susah payah dapat membunuh Sa Mi-wan.
Berkata Miao Tiang-hong: "Hun-kokoh berada di kamarmu, pergi kau beritahu kepadanya,
suruh dia menunggu aku di lereng bukit di belakang taman sana."
"Kenapa hendak keluar lagi?" tanya Bu Toan.
"Kita harus masuk terang-terangan dari pintu besar, kalau mendadak muncul di dalam rumah,
orang-orang dari keluarga Toan ini tentu akan kaget dan heran serta curiga!"
Tatkala itu cuaca baru saja terang tanah, suasana Onghu masih sepi dan sunyi, belum kelihatan
seorang pun menongolkan kepalanya dari kamar tidurnya. Baru saja Miao Tiang-hong hendak
keluar, tiba-tiba didengarnya derap lari kuda yang kencang dan berhenti di luar pintu istana
keluarga Toan. "Gelagatnya tidak seekor kuda yang datang?" ujar Bu Toan heran.
Miao Tiang-hong pasang kuping, katanya: "Dua orang datang bersama. Ih, mereka sedang
menggedor pintu!" Bu Toan mengerut kening, ujarnya: "Aneh, sepagi ini ada orang datang, mungkin kedua orang
ini..." Didengarnya si orang tua itu sudah memburu keluar membuka pintu. Kejap lain terdengarlah
suara percakapan mereka. "Urusan ini amat penting, lekas suruh Siau-ong-ya keluar!"
"Ya, ya. Para Tayjin silakan duduk menunggu, segera kulapor-kan kedatangan kalian."
Kedengarannya suara si orang tua sudah mulai gemetar.
Tidak meleset dari dugaan, kedua tamu tak diundang ini ternyata datang dari ciangkun-hu di
kota. Bu Toan kaget, kataya lirih: "Suara orang itu amat kukenal, susiok, mari kita mengintip dari
belakang pintu angin di kamar tamu, bagaimana" Kalau terjadi sesuatu, jangan kita bikin keluarga
Toan ketimpa malang."
Miao Tang-hong tahu siapa orang yang datang, sebab bukan hanya sekali dua kali ia pernah
bergebrak dengan orang itu. Hatinya sedang gundah, setelah berpikir sebentar, akhirnya ia
berkepu-tusan, katanya: "Baiklah, tapi kau harus dengar petunjukku, kalau tidak terpaksa jangan
sembarang turun tangan."
Setelah Miao dan Bu Toan menyembunyikan diri di belakang pintu angin, sementara Toan
Kiam-ceng sudah menerima tamu-tamunya. Kedua tamu itu sama mengenakan seragam militer.
Waktu Bu Toan mengintip keluar, sungguh terkejutnya bukan main, hampir saja ia menjerit.
Lekas Miao Tiang-hong mendekap mulutnya, lalu berbisik di pinggir telinganya: "Sabar sedikit,
tunggulah setelah dia di luar lingkungan istana keluarga Toan baru membunuhnya!"
Kiranya salah satu kedua perwira itu bukan lain Sebun Soh yang tempo hari terjun ke dalam air
di Gunbing. Sementara itu Toan Kiam-ceng sudah keluar tergesa-gesa, mata sipit masih ngantuk, hati
mendongkol lagi, segera ia menyapa kurang senang: "Tayjin sepagi ini datang kemari, entah ada
keperluan apa?" Seperti tertawa tidak tertawa, Sebun Soh berkata: "Sepagi ini kami membangunkan Siau-ongya,
sungguh tidak enak hati. Tapi urusan ini amat penting, kami harus mencari tahu dan bikin
beres urusan, terpaksa harus minta pengertian Siau-ong-ya."
Toan Kiam-ceng terheran-heran, tanyanya: "Untuk urusan apa harus diselidiki biar terang
Kucing Suruhan 5 Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan I D Romantika Sebilah Pedang 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama