Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen Bagian 29
dalam gedung rumahku?"
Perwira yang lain menyeletuk tanya: "Harap tanya Siau-ong-ya, dalam gedungmu ini berapa
hari ini adakah kedatangan tamu dari tempat jauh, mereka adalah sepasang kakak beradik?"
Toan Kiam-ceng kaget katanya:
"Dari mana kalian bisa tahu, mereka adalah famili jauh kami, memangnya dia melanggar
hukum apa?" "Apakah melanggar hukum, sekarang belum berani pastikan, harap tanya apakah mereka she
Bu?" "Memangnya kenapa kalau she Bu?"
Sebun Soh manggut-manggut, agaknya ia amat senang dan puas, katanya tertawa besar:
"Ternyata tidak meleset, mereka memang orang yang sedang kami cari! Aku ingin bertemu
dengan mereka, harap Siau-ong-ya suka panggil mereka keluar!"
Sejak melarikan diri terjun ke Tian-ti tempo hari, Sebun Soh merawat luka-luka dalamnya di
gedung gubernuran, memang tabib di sana pandai, maka luka-lukanya sembuh jauh lebih cepat
dari dugaan semula. Cuma ilmu silatnya belum pulih seluruhnya. Maka dengan menunggang kuda
cepat ia menyusul datang ke Tayli pikirnya hendak istirahat dan menyembuhkan luka-lukanya di
ciangkun-hu beberapa waktu lamanya. Soalnya dia memang ditugaskan merundingkan rencana
gerakan pasukan perbatasan di bawah pimpinan Han-ciangkun, dengan adanya Sa Mi-wan yang
berkepandaian tinggi sebagai pelindungnya, tentunya jauh lebih baik dan selamat daripada
gedung gubernuran di Gun-bing. Sudah tentu ia belum tahu bila Miao Tiang-hong dan lain-lain
sudah tiba di Tayli. Semalam ciangkun-hu geger dan diributkan adanya pembunuh gelap, Sebun Soh tahu ilmu silat
sendiri belum pulih, pikirnya ada Sa Mi-wan yang melindungi ciang-kun, ciangkun-hu dijaga ketat
pula oleh sepasukan peronda, tidak perlu dia susah payah ikut memburu si pembunuh. Tak nyana
perhitungan yang muluk-muluk justru menimbulkan akibat di luar dugaan, bukan saja Hanciangkun
sampai pun sahabat baiknya Sa Mi-wan pun ikut terbunuh.
Panglima tertinggi penguasa perbatasan terbunuh orang, urusan bukan sekedar perkara kecil,
seluruh pasukan tentara yang bercokol di Tayli harus dikerahkan untuk mengadakan razia di
seluruh pelosok kota Tayli. Sebagai seorang ahli yang banyak pengalaman, tentunya Sebun Soh
tahu bila si pembunuh tentu sudah lari jauh entah ke mana, namun tidak bisa tidak ia harus tetap
bekerja memenuhi tugas dinas, terpaksa ia pimpin sendiri gerakan besar-besaran ini, tujuannya
adalah memperlihatkan kegiatan kerjanya kepada kerajaan.
Tak nyana satu dugaan berada di luar dugaan yang lain pula, semula ia hanya bekerja sesuai
tugas dinas saja, tak nyana malah berhasil mendapat bahan penyelidikan, bahan penyelidikan ini
ia dapatkan dari dua orang penjilat macam Kek Cin-jay dan Kim Kong-to itulah.
Seperti diketahui kedua orang ini tertotok jalan darahnya oleh Bu Toan dan Bu Cheng, maka
waktu sepasukan tentara menggrebek ke tempat mereka, setelah pintu digedor setengah harian,
masih belum keluar. Untunglah pimpinan pasukan memang kenal mereka dan setelah mendobrak
pintu mereka segera ditolong keluar dan minta tolong kepada Sebun Soh untuk membebaskan
totokan jalan darah mereka.
Setelah jalan darahnya bebas, semula Kek dan Kim tidak berani banyak bicara, serta
mendengar Han-ciangkun dan Sa Mi-wan sudah dibunuh orang, kalau mereka tidak mau mengaku,
Sebun Soh mengancam akan menuduhnya sebagai komplotan pembunuh itu. Terpaksa mereka
mengaku terus terang. Sebun Soh mengerut kening, tanyanya: "Apa kalian tidak melihat raut muka mereka?"
"Kedua penjahat itu mengenakan kedok. Dan lagi kami amat ketakutan, angkat kepala pun
tidak berani." "Bahwasanya mereka orang tua, setengah baya atau anak muda, laki-laki atau perempuan"
Walau tidak melihat jelas raut muka mereka, sedikitnya mendengar suara dan melihat perawakan
badan mereka?" Setelah hati rada tenang, Kim Kong-to lantas menjelaskan: "Dari nada bicara mereka, logatnya
seperti laki dan perempuan, usianya pun belum banyak."
Tergerak hati Sebun Soh, tanyanya pula: "Mereka mencari tahu keadaan ciangkun-hu, cara
bagaimana bisa mendatangi kalian?"
"Hal itu kami pun tidak tahu," sahut Kek dan Kim bersama.
"Siang tadi, kalian ada bertemu dengan siapa yang sekiranya mencurigakan?"
Di bawah tekanan dan ancaman serta kompesan Sebun Soh, akhirnya Kek dan Kim menuturkan
pertemuan mereka dengan Toan-kongkong dan sepasang kakak beradik she Bun di Toa-ciok-am
siang tadi. Timbul curiga Sebun Soh: "Bukan mustahil kedua kakak beradik itu adalah Bu Toan dan
adiknya?" Namun pimpinan pasukan itu rada kuatir, katanya: "Keluarga Toan amat berkuasa di
Tayli, kukira sukar mencari gara-gara kepada mereka, peristiwa ini terpaksa hanya bisa diurus
sekenanya saja, bila sampai salah tindak, tidak perlu kita mencari permusuhan dengan keluarga
Toan mereka." Sebun Soh sudah yakin delapan puluh prosen, katanya: "Suhengku adalah komandan Gi-limkun,
jangan kata hanya Ongya boneka yang tiada punya kekuasaan resmi, seumpama benar raja
dari kerajaan di sini pun aku tidak perlu takut."
Karena Sebun Soh sebagai tulang punggungnya, pikirnya inilah kesempatan untuk menarik
keuntungan besar, karena kemaruk harta, maka nyalinya menjadi besar. Katanya: "Benar, peduli
dia tulen atau palsu, peristiwa besar seperti ini, seumpama tidak sungguhan bisa juga kita peras
sedikit harta benda keluarga Toan mereka." Oleh karena itulah sepagi itu mereka sudah meluruk
ke rumah keluarga Toan. Dalam pada itu, mendengar Sebun Soh menuntut dirinya kepada Toan Kiam-ceng, Bu Toan
tertawa getir: "Memang mereka sedang mencari kami berdua!" bisiknya di pinggir telinga Miao
Tiang-hong, lalu hendak keluar.
Lekas Miao Tiang-hong menariknya, katanya berbisik: "Jangan tergesa-gesa, lihat dulu
bagaimana Toan Kiam-ceng menghadapi. Kalau keadaan terpaksa baru. kita turun tangan. Pendek
kata kalau keadaan tidak mendesak, kita harus berusaha jangan sampai merembet keluarga Toan
mereka." Terpaksa Bu Toan menahan diri dan bersabar.
Di saat mereka berbisik-bisik itu, Hun Ci-lo bersama Bu Cheng pun sedang mendatang dengan
diam-diam dari ruang belakang, mereka pun sembunyi di belakang pintu angin. Lekas Miao Tianghong
memberi tanda gerakan tangan, supaya mereka tidak berisik dan menimbulkan suara.
Terdengar Toan Kiam-ceng sedang berkata: "Harap tanya untuk keperluan apa tayjin berdua
hendak menemui mereka?" Maklum meski Toan Kiam-ceng cetek pengalaman dan belum banyak
pengetahuan dalam tata pergaulan, dasar otaknya memang cerdik dan bisa melihat gelagat.
Melihat Sebun Soh bersama kepala pasukan Han-ciangkun sepagi ini sudah meluruk datang minta
ketemu orang, ia insyaf urusan tentu bukan sembarang urusan.
"Siau-ong-ya," ujar Sebun Soh tertawa tidak tertawa, "mungkin kau belum tahu siapa
sebenarnya kedua kakak beradik itu bukan?"
Tahu bahwa jejak Bu Toan berdua memang sudah diketahui orang, namun To^n Kiam-ceng
bersikap tenang, ia pura-pura tidak tahu, katanya: "Tayjin, apa sih maksud kata-katamu ini"
Memangnya kau sangka aku menerima orang yang asal-usulnya tidak keruan lalu menipu kau?"
"Tidak berani. Harap tanya mereka adalah sanak famili dari keluarga yang mana dari Siau-ong"Ini, ini... em, yang terang mereka adalah famili keluarga kami, meski hubungan rada jauh,
namun mereka bertandang dari tempat yang sedemikian jauhnya, betapapun aku tidak bisa
berpeluk tangan bila di Tayli mereka disakiti orang!"
"Sudah tentu, sudah tentu. Tapi bukan mustahil famili jauh itu hanya famili akuan belaka,
maklum keluarga kerajaan tentunya punya kerabat yang banyak, siapa tahu kalau mereka
menipumu. Menurut apa yang kutahu, mungkin mereka kakak beradik bukan dan tidak mungkin
sanak kadang dari keluarga Toan kalian."
Berubah roman muka Toan Kiam-ceng, katanya tertawa dingin: "Agaknya kau amat hafal dan
tahu persis mengenai seluk beluk keluarga Toan kami. Harap tanya dari mana kau tahu
sedemikian jelas?" "Bukan kami tidak tahu adat kehormatan, soalnya peristiwa ini menyangkut urusan besar, kami
harus bekerja seteliti mungkin!"
"Baik kujelaskan. Paman ada mengirim surat kepadaku, menyinggung kedua famili yang hendak
datang ke Tayli ini, supaya aku menerima mereka. Begitulah kenyataannya, masih ada pertanyaan
apa pula?" "Aku tahu pamanmu Toan Siu-si seorang tokoh kangouw yang kenamaan juga, bukan
maksudku mau bilang pesannya tidak boleh dipercaya, namun kaum persilatan biasanya
mengutamakan kesetiaan dan budi pekerti, persahabatan pun dipandang berat, mungkin kedua
kakak beradik ini adalah kenalan intim pamanmu saja, maka sengaja pamanmu hendak mengakui
mereka sebagai sanak kadang."
"Memangnya bagaimana asal-usul mereka, katamu kau tahu, silakan jelaskan!"
Sebun Soh berkata dengan dingin: "Ada seorang Bu Ting-hong tinggal di Bu-seng Soa-tang,
sepuluhan tahun yang lalu, dia pernah mengibarkan panji pemberontakan, tentunya Siau-ong-ya
ada pernah tahu nama besarnya?"
"Aku menetap di kota gunung, selamanya tidak peduli urusan luar, nama orang yang kau sebut
tadi selamanya belum pernah aku dengar."
"Ternyata tidak meleset dugaanku," ujar Sebun Soh terbahak-bahak. "Bahwasanya keluarga Bu
di Soatang mana bisa ikat kekeluargaan dengan keluarga Toan yang berkuasa di Tayli?"
"Orang macam apakah sebetulnya Bu Ting-hong yang kau sebut tadi?" tanya Toan Kiam-ceng
ragu-ragu. "Sepuluhan tahun yang lalu Bu Ting-hong pernah memimpin gerombolan pengacau
memberontak kepada kerajaan, terpaksa kerajaan mengerahkan pasukan tentara untuk
menumpasnya, setelah berperang beberapa tahun baru berhasil menumpas pemberontakan
mereka. Bu Ting-hong itu bukan lain adalah orang tua kakak beradik yang sekarang menetap di
gedung istanamu itu."
"Bu Ting-hong memberontak puluhan tahun yang lalu, putra-putrinya waktu itu tentu masih
kecil, bukan?" "Benar!" sahut Sebun Soh. "Seumpama benar mereka adalah putra-putri Bu Ting-hong, kukira
tidak perlu mereka dijatuhi dosa-dosa orang tuanya!"
"Sayang undang-undang negara kerajaan yang menegakkan, undang-undang negara dapat
saja dijatuhkan atas istri dan putra-putrinya. Masih ada sebuah hal belum kuberitahu kepada Siauongya. Semalam Han-ciangkun dan Sa-ciangkun dibunuh orang, kedua kakak adik itu justru
merupakan orang-orang yang dicurigai."
Semula Toan Kiam-ceng berku-kuh hendak membela dan melindungi Bu Toan berdua,
mendadak mendengar kabar ini, tak urung ia amat kaget. Sesat baru ia bersuara: "Apa benar
kejadian itu?" "Kalau tiada peristiwa besar ini, mana berani kami sepagi ini mengganggu Siau-ong-ya"
Sudahlah, persoalan sudah dibikin terang, harap Siau-ong-ya serahkan mereka kepadaku!"
"Sampai sekarang kau sendiri tidak bisa membuktikan apa benar mereka pembunuhnya, mana
boleh kau anggap mereka sebagai buronan?"
"Benar atau tidak setelah mereka keluar akan terbukti. Siau-ong-ya tidak usah kuatir, kau
dikelabui mereka, peristiwa ini sedikit pun tiada sangkut paut dengan kau."
"Aku tidak takut kena perkara, cuma sayang kau datang terlambat, kemarin pagi, mereka sudah
pulang!" Jawaban ini sungguh di luar dugaan Bu Toan berdua yang mencuri dengar di belakang pintu
angin, batin Bu Cheng: "Tak nyana Siau-ong-ya ini ternyata punya keberanian sebesar ini, ternyata
salah penilaianku semula kepadanya."
Sebun Soh pun merasa di luar dugaan, seketika ia menarik muka, katanya keras: "Siau-ong-ya,
urusan ini besar artinya, aku tidak ingin kau kena perkara, maka kau pun harus bantu aku
memberikan pertanggung jawaban kepada atasanku nanti."
"Lalu apa yang hendak kau lakukan?"
"Siau-ong-ya, tentunya kau cukup paham, bukan aku tidak percaya omonganmu, namun
dengan susah payah kami mendapat bahan penyelidikan ini, betapapun kami pantang kembali
dengan tangan kosong!"
Membesi muka Toan Kiam-ceng, serunya: "Maksudmu kau hendak menggeledah rumahku?"
"Benar, aku sedang menunaikan tugas dinas, terpaksa kami pun harus menggeledah gedung
istanamu ini." Kata-kata ini seketika membuat suasana ruang tamu ini seolah-olah membeku. Kedua pihak
sama mematung dan tegang.
Miao Tiang-hong berempat pun tak kalah tegang dan gugupnya. Bu Cheng malah berpikir:
"Entah apakah Toan Kiam-ceng berani menolak penggeledahan ini?"
Maka terdengar Toan Kiam-ceng berkata lantang: "Kau hendak menunaikan tugas dinas,
gampang saja. Kalian tangkap aku saja. Rumahku sekali-kali pantang dijelajah orang luar."
"Toan Kiam-ceng," jengek Sebun Soh dingin, "turun temurun leluhurmu bercokol jadi raja di
sini, gedung istana tentu tidak boleh sembarangan digeledah orang luar. Tapi sayang sekarang
kau bukan lagi seorang pangeran tulen. Kau mengangguk kami harus menggeledah, kau
menggeleng kepala pun kami tetap akan menggeledah! Hayo geledah!"
Kepala wisu ciangkun-hu itu adalah seorang yang suka main tangan dan bertingkah,
mendengar anjuran Sebun Soh segera ia tampil ke depan mendorong Toan Kiam-ceng, jengeknya
dingin: "Siau-ongya, kau suka kena perkara, biarlah setelah kami meringkus buronan itu, boleh
kau ikut kami!" Tak nyana belum habis ia bicara tiba-tiba "Bluk!" wisu itu terpental roboh terjengkang. Ternyata
tak pernah terpikir olehnya bahwa Siau-ong-ya ini pandai main silat, maka dengan mudah malah
dia disengkelit jatuh oleh Toan Kiam-ceng.
Sebun Soh tertegun, kilas lain ia tertawa lebar, ujarnya: "Ternyata Siau-ong-ya pun pandai
main silat, baik, biar aku iringi Siau-ong-ya berlatih beberapa jurus."
Urusan sudah terlanjur sedemikian jauh, tidak bisa tidak harus diselesaikan dengan kekerasan,
di saat Miao Tiang-hong angkat tangan hendak memberi tanda untuk menyerbu keluar bersama,
sekonyong-konyong sebuah suara dingin dan menusuk kuping berkata: "Siapa berani bikin onar di
rumahku?" Tiba-tiba dalam ruang tamu itu entah kapan sudah bertambah seseorang! Gerak tubuh
orang ini teramat cepat, bukan saja Toan Kiam-ceng tidak tahu kapan orang masuk, Sebun Soh
yang berkepandaian tinggi pun tidak mendengar suara kedatangan orang, setelah orang buka
suara baru ia tahu akan kehadirannya.
Waktu Toan Kiam-ceng melihat tegas, seketika kejut girangnya bukan main, teriaknya: "Paman,
kau sudah pulang!" Ternyata orang ini bukan lain adalah Toan Siu-si.
Toan Siu-si tertawa dingin, ejeknya: "Sebun Soh, kau hendak main tangkap terhadap tamuku,
perlu kau tanya dulu kepada kepalanku ini memberi ijin tidak kepadamu!"
Sebun Soh menggerung keras, turun tangan dulu lebih menguntungkan, sekali pukul ia lantas
menyerang Toan-Siu-si. Ilmu yang dia latih adalah Lui-sin-ciang, angin pukulannya laksana
hembusan angin tungku yang membara apinya, suhu panas seketika berkembang memenuhi
udara. Toan Kiam-ceng tak kuasa menahan panas, lekas ia mundur ke belakang pintu angin,
sekonyong-konyong ia berpapasan dengan Bu Toan kakak beradik yang sedang menerjang ke
luar, seketika ia melenggong.
Sebun Soh dan Toan Siu-si masing-masing mempunyai keahlian dan keunggulan yang berbeda,
taraf ilmu silat mereka Sih kira-kira setanding, tapi karena luka-luka Sebun Soh sembuh belum
lama, kepandaiannya belum pulih seluruhnya, sudah tentu setingkat lebih asor.
Maka terdengarlah "krak" lengan kanan Sebun Soh tahu-tahu kena dipelintir keseleo oleh Hunkinjoh-kut-hoat yang dilancarkan Toan Siu-si. Setelah menangkis Lui-sin-ciang musuh, tapak
tangan Toan Siu-si seperti menyentuh papan besi yang sudah dibakar membara, meski
lwekangnya cukup tinggi, tak urung ia merasa panas pedas juga, tak tertahan ia tersunat tiga
langkah. Tapi sepihak lengan putus, pihak lain hanya luka-luka kulit saja kesudahannya jelas
Sebun Soh jauh lebih dirugikan.
Saking kesakitan sekaligus Sebun Soh menjerit seraya menghardik, dengan langkah pontangpanting
segera ia menerjang ke luar hendak lari. "Lari ke mana?" bentak Toan Siu-si, baru saja ia
hendak mengejar, tiba "Biang" pintu angin di pinggir sana tiba-tiba mencelat terbang ditendang Bu
Toan, bersama adiknya ia cegat jalan lari Sebun Soh.
Miao Tiang-hong keluar dari belakang pintu angin, katanya tertawa: "Toan-heng, keparat itu
adalah musuh besar mereka kakak beradik, biarkan mereka membunuh musuh dengan tangan
sendiri." Sebun Soh mengamuk sejadinya seperti binatang terluka dalam kurungan, di mana lengan
kirinya terayun ia sodok Bu Cheng dengan sikutnya, tapak tangannya menabas kepada Bu Toan.
Terasa angin panas menyampuk muka, seketika napas Bu Toan serasa sesak. Untung Iwekang
Sebun Soh tinggal tiga bagian saja, kekuatannya tidak cukup melukai orang. Sebat sekali Bu Toan
berkelit seraya balas menyerang, sigap sekali ia menggeser minggir dan berputar ke belakang
musuh, kedua tapak tangan menepuk punggung orang terus didorong sekuat tenaga, keruan
Sebun Soh tak kuasa berdiri tegak, badannya tersungkur ke depan, dasar licik ia membarengi
badannya miring sambil mencengkram ke arah Bu Cheng. Melihat orang sudah terdesak masih
begitu nekad dan mengganas kejut Bu Toan bukan main, teriaknya memperingatkan: "Moaymoay,
awas!" Belum lenyap suaranya, dilihatnya langkah Sebun Soh tiba-tiba sempoyongan, salah
satu lututnya tertekuk menyentuh lantai, serta merta gerakan badannya berputar menghadap ke
arah Bu Toan. Ternyata kepandaian sejati Bu Cheng memang tidak ungkulan dibanding
engkohnya, namun gerak-gerik badannya lebih gesit dari engkohnya. Bukan saja Sebun Soh tidak
berhasil mencengkram dia, malah kena ditendang dan lemaslah badannya. Sudah tentu Bu Toan
tidak memberi kesempatan orang balas menyerang pula, dengan sejurus Ciong-koh-ki-bin (tambur
gembreng bunyi bersama), kedua kepalannya menggencet bersama Thay-yang-hiat di pelipis
Sebun Soh, itulah tipu ajaran silat dari keluarga Bu yang terlihay dan mematikan, Sebun Soh yang
sudah terluka dan kehabisan tenaga itu mana kuat bertahan" Setelah memperdengarkan jeritan
panjang menyayatkan hati, kedua matanya membalik, badannya roboh bermandikan darah, jelas
jiwanya takkan tertolong lagi.
"Selamat, selamat," seru Miao Tiang-hong girang. "Kalian berhasil membunuh seorang musuh
pula, kini tinggal seorang Pakkiong Bong saja."
Wisu yang terjungkal oleh seng-kelit Toan Kiam-ceng tadi, kini sudah merangkak bangun,
melihat Sebun Soh terkapar tak bergerak, keruan kagetnya serasa arwahnya menghilang. Toan
Siu-si menje-ngek dingin: "Aku paling benci melihat manusia penjilat main tingkah, ikutilah jejak
Sebun tayjinmu!" Sekali tepuk, ia cabut nyawa orang sekalian.
Kejadian berlangsung dalam waktu singkat dan cepat sekali, dalam sekejap itu dua jiwa sudah
melayang. Keruan Toan Kiam-ceng berdiri menjublek di tempatnya.
Toan Siu-si tertawa, ujarnya: "Kabarnya kau mengharap aku pulang, begitu aku kembali lantas
bikin susah kau, apa kau takut?"
"Takut sih tidak. Cuma mereka jelek-jelek alat negara, mereka mampus di sini, bagaimana
baiknya?" "Biar kubereskan!" ujar Toan Siu-si. Ia keluarkan sebuah botol yang berisi bubuk obat warna
kuning, bubuk obat itu ia taburkan di atas mayat kedua orang, dalam waktu singkat kedua mayat
itu tinggal genangan air darah melulu, yang ketinggalan hanya rambut kepala mereka. Keruan
merinding dan bergidik Toan Kiam-ceng melihat adegan seram.
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagian luar sudah kuperiksa semuanya, tiada orang lain. Lekas kau minta bantuan Chit-siok
membereskan kamar ini, suruh mereka tutup mulut dan dilarang membocorkan kejadian ini.?"
Ternyata si orang tua itu adalah angkatan tua dari sepupu jauh Toan Siu-si, karena dia nomor
tujuh, maka Toan Siu-si sudah biasa memanggilnya Chit-siok.
Kata Toan Kiam-ceng: "Orang keluarga kita aku berani mempercayai. Tapi kalau pihak
ciangkun-hu tidak melihat mereka kunjung pulang, mereka bakal kemari mencari tahu dan main
selidik, bagaimana kita harus mengelabui mereka?"
"Kalau benar mereka berani datang, bunuh saja semuanya!" ujar Toan Siu-si.
"Bunuh semuanya?" teriak Toan Kiam-ceng kaget. "Bu... bukankah urusan bakal semakin
besar?" Mendelik mata Toan Siu-si. "Urusan sudah terjadi,- buat apa kau takut tanpa alasan?"
Segera Miao Tiang-hong membujuk Toan Kiam-ceng: "Sebun Soh hanya membawa seorang
pengikut, tentunya tidak mau membagi jasa dengan orang banyak. Maka orang lain pun tentu
tiada yang tahu bila mereka datang kemari. Bila benar mereka datang cari tahu di sini, katakan
saja tidak tahu menahu jejak mereka. Sa Mi-wan dan Han Ciangkun saja bisa terbunuh, bukan
mustahil mereka pun digorok lehernya di tengah jalan."
"Ceng-tit," ujar Toan Siu-si, "Kalau kau memang sudah berke-putusan tidak mau jadi Siauongya
keluarga Toan, apapun yang terjadi tidak perlu kau takuti lagi. Kalau kau tidak bisa
menghadapi, aku akan bantu mencari jalan belakang. Sudahlah, lekas kau bersihkan ruangan ini.
Miao tayhiap, Hun-lihiap, mari kita bicara di kamar buku." Ternyata Toan Siu-si ingin benar
selekasnya tahu sebab musabab kematian suhengnya, hatinya amat risau dan masgul.
"Baik, Toan-tit bersama adikmu kalian tinggal di sini bantu Toan-siheng," kata Miao Tiang-hong.
Toan Siu-si ajak Miao Tiang-hong dan Hun Ci-lo masuk ke dalam kamar buku, katanya: "Di Saysiangpan-na aku tidak menemukan Tiam-lam-su-hou, lantas aku merasa mendapat firasat jelek,
siapa tahu aku terlambat pulang meski sudah tergesa-gesa. Bagaimana kematian suhengku, apa
kau tahu?" Ternyata satu jam setelah Miao dan Hun turun gunung pulang ke Tayli, kebetulan Toan Siu-si
tiba di Tiam-jong-san. Jadi ia melihat tulisan yang ditinggalkan Miao Tiang-hong di atas dinding
itu. "Kami sendiri pun datang terlambat," kata Miao Tiang-hong. Lalu ia tuturkan apa yang dia lihat
di sana. "Memangnya Tiam-lam-su-hou punya kepandaian apa bisa membunuh suhengku dan Ling
Hong-ciang, ternyata masih ada seorang Tosu dari Khong-tong-pay. Tapi kejadian ini rada
janggal." "Siapakah tosu dari Khong-tong-pay itu?" tanya Hun Ci-lo.
"Aku pun tidak tahu. Tapi dalam Khong-tong-pay ada seorang tosu yang jadi sahabat baikku.
Miao tayhiap, pengalamanmu banyak pengetahuanmu luas, tentunya kau pernah dengar nama
Tan Khu-seng?" "Kabarnya dia salah seorang tokoh dari Khong-tong-pay yang paling menonjol, sepak
terjangnya di antara lurus dan sesat?"
"Hanya menurut gelagat dan situasi dunia belaka, apa itu lurus atau sesat, sebetulnya sukar
dibilang pada tindak tanduk seseorang. Dalam pandanganku dia seorang pembawa adat, aku sih
malah rada cocok dan sehaluan sama dia."
Berkata Toan Siu-si lebih lanjut: "Tan Khu-seng adalah murid generasi kedua dari Khong-tongpay,
tapi kalau hanya dinilai ilmu silatnya, kepandaiannya malah lebih tinggi dari ciangbunjin
mereka Ling-si-cu. Kebanyakan orang-orang Khong-tong-pay sama tahu akan hubungan intim
kami berdua, kini orang yang mencelakai suhengku ternyata ada tosu dari Khong-tong-pay, oleh
karena itulah aku merasa aneh. Kejadian ini aku harus menyelidikinya sampai terang."
"Suhengmu ajal lantaran anakku, soal membalas dendam ini..." sela Hun Ci-lo.
Lekas Toan Siu-si menukas: "Kalau Tan Khu-seng tahu peristiwa ini, pasti dia akan bantu aku
mencari pembunuh itu. Tapi watak orang ini amat aneh dan menyendiri, terpaksa hanya akulah
yang bisa menemuinya. Mengenai Tiam-lam-su-hou, aku yakin masih kuat menghadapi mereka,
soal membalas dendam kematian suhengku ini, harap kalian tidak perlu ikut men-capaikan diri."
"Tidak perlu aku banyak omong akan budi kebaikanmu ini, urusan putraku itu, terpaksa aku
pun harus minta pertolonganmu untuk mencarinya."
"Hun lihiap, kata-katamu seakan-akan tidak pandang aku orang she Toan sebagai teman
sendiri. Kalau kami suheng-te tidak merebut putramu dijadikan murid, putramu tidak akan
mengalami kejadian seperti ini. Dia putramu, juga muridku, mana bisa aku tidak mencari balik
muridku" Selama hidupnya suheng tidak pernah berbohong, sebelum ajal dia sempat mengatakan
'masih baik', maka putramu tentu tidak mengalami sesuatu bahaya. Legakan hatimu, begitu aku
menemukan putramu, akan kuusa-hakan memberi kabar kepadamu."
Setelah mengucapkan terima kasih kepada Toan Siu-si, Hun Ci-lo tertawa getir, katanya: "Kalau
demikian, aku jadi menganggur tak ada kerjaan."
Tiba-tiba Toan Siu-si ingat sesuatu, katanya: "Cara bagaimana kalian bisa menetap di rumahku
ini?" Miao Tiang-hong melengak, tanyanya kembali: "Bukankah kau yang menulis surat kepada
keponakanmu untuk menyambut kami?"
"Ah, tidak!" ujar Toan Siu-si keheranan. "Apakah yang terjadi?" Baru saja ia hendak keluar
tanya kepada keponakannya, terlihat si orang tua itu berlari datang dengan napas ngos-ngosan.
"Chit-siok," ujar Toan Siu-si, "Istirahat dulu baru bicara."
Si orang tua justru tak mau istirahat, katanya dengan napas memburu: "Siauya, celakalah!"
"Apanya celaka?" tanya Toan Siu-si.
"Ada dua orang asing mencari, mencari kau!"
"Bagaimana mereka tahu kalau aku sudah pulang?"
"Aku pun tidak tahu, yang laki itu bilang, setelah kau bertemu sama dia akan tahu sendiri."
Dari penuturan si orang tua, agaknya pendatang itu adalah laki dan perempuan, tergerak hati
Miao Tiang-hong, baru saja ia hendak bicara dengan Toan Siu-si orang sudah menjengek dingin,
katanya sambil melangkah keluar: "Betul juga ada orang mencari perkara kemari, baik, biar kulihat
siapa mereka?" Ia kira yang datang adalah anjing alap-alap kerajaan.
Waktu Toan Siu-si tiba di ruang tamu, kedua orang itu pun kebetulan tiba di sana. Bu Toan
kakak beradik sedang menyambut kedatangan mereka.
Sekilas Toan Siu-si melongo, segera ia berseru girang: "Thia-toako, kiranya kau!"
"Toan-heng," ujar Thia Sin-gan, "Kau belum tahu bahwa kami ayah beranak sudah tiba di Tayli
bukan?" Bu Toan menjadi rikuh, selanya: "Toan tayhiap, paman Thia ada pesan kepadaku untuk
menyampaikan sesuatu kepadamu, tapi aku lupa." Sebetulnya bukan dia lupa, soalnya Toan Siu-si
baru pulang lantas membunuh Sebun Soh, lalu ajak Miao dan Hun masuk kamar buku bicara. Jadi
Bu Toan belum ada kesempatan menyampaikan pesan itu.
Toan Siu-si sudah paham, katanya tertawa: "Tidak perlu kau beri tahu kepadaku. Lo-thia, surat
itu kau yang menulis bukan?"
"Kau tidak salahkan aku bukan?"
"Orang yang membunuh Han-ciangkun semalam, tentunya kau?"
Thia Sin-gan manggut-manggut sambil mengiakan.
"Selamat kau berhasil menuntut balas. Perlu juga kuberi tahu kepadamu, barusan Sebun Soh
telah terbunuh juga di sini oleh mereka kakak beradik."
Thia Sin-gan ikut girang, katanya: "Kalau begitu, urusan Bu-kongcu di sini pun sudah selesai.
Tak heran waktu aku melangkah masuk tadi, tercium bau anyirnya darah."
"Setelah melakukan perkara besar ini, tentu kau tidak akan tinggal lama-lama di Tayli?"
"Ya. Sengaja kubawa Cu-ji untuk menemuimu. Sebentar kami akan segera berangkat."
"Thia-pepek," timbrung Bu Cheng, "ke mana tujuan kalian selanjutnya?"
"Waktu di Gunbing, Lau-toako dan Thia-toako ajak aku ke Siaukim-jwan. Waktu itu aku belum
ada tempo, sekaranglah saatnya aku menyusul ke sana."
Thia Giok-cu tertawa, katanya: "Bu-cici, Lau-toako di Siau-kim-jwan, tentunya kau pun ingin
lekas-lekas menyusul ke sana toh. Kita berangkat bersama bagaimana?"
Merah muka Bu Cheng, katanya tertawa: "Ya, biar kami berangkat bersama kalian, di tengah
jalan supaya tidak kesepian."
Toan Kiam-ceng seperti sedang memikirkan apa-apa, tiba-tiba ia menyeletuk: "Siapa itu Lautoako?"
Miao Tiang-hong bantu menjelaskan: "Orang ini bernama Lau Khong, tetangga mereka kakak
beradik yang dibesarkan bersama. Waktu ayah mereka mengerek panji pemberontakan melawan
pasukan kerajaan, Lau Khong adalah salah satu pembantu terpercaya ayah mereka. Usia Lau
Khong lebih tua dari mereka, sebelum ajal, ayahnya pernah menitipkan mereka kakak beradik
kepada Lau Khong, terutama diharuskan dia melindungi Cheng-ji."
Secara tidak langsung kata-kata Miao Tiang-hong sudah menjelaskan kepada Toan Kiam-ceng,
bahwa Bu Cheng sudah terangkap jodohnya dengan Lau Khong.
Hambar dan seperti kehilangan apa-apa Toan Kiam-ceng dibuatnya, katanya dengan tertawa
kecut: "Nona Bu, selamat, selamat. Ternyata kau sudah punya calon suami yang gagah perwira."
Merah muka Bu Cheng, namun sikapnya wajar dan berani menghadapi kenyataan, katanya
tersenyum: "Toan-toako, kau sebagai seorang Siau-ong-ya, berani menghadapi bahaya dan
kesulitan bagi kepentingan kami semua, hatimu bajik dan berdarah patriot pula, sungguh
mengagumkan, kau pun boleh terhitung sebagai kaum pendekar. Semoga kelak kau bisa
mendapatkan seorang istri cantik rupawan yang mencocoki hatimu kapan kalian datang ke Siaukimjwan, kami pasti akan menyambut dengan senang hati."
"Nah semua orang sudah ada tujuan masing-masing, sekarang giliranku tanya kau. Kiam-ceng,
bagaimana pula perhitunganmu?"
Sesaat Toan Kiam-ceng ragu-ragu, katanya kemudian: "Pihak penguasa Tayli memang sampai
sekarang belum mengutus orang menyelidik kemari, namun peristiwa hari ini mungkin tidak akan
bisa tetap dirahasiakan, kukira sementara lebih baik aku meninggalkan rumah saja."
"Baik juga kalau sementara kau menyingkir dari kesulitan, ke mana kau hendak pergi" O,
sebetulnya Siau-kim-jwan sebuah tempat yang baik, cuma..."
"Ilmu silatku belum sempurna, tiada sesuatu yang dapat kukerjakan di Siau-kim-jwan, Paman,
biar aku ikut kau kelana di kangouw, sedikit banyak bisa ikut belajar kepandaian, sudikah kau
membawa aku?" "Aku hendak ke Cu-lay-san, perjalanan jauh dan sukar ditempuh, apa kau kuat menderita?"
tanya Toan Siu-si. "Aku sudah bosan hidup dalam lingkungan tembok tinggi, serba mewah dan disanjung, kalau
paman suka bawa aku untuk menggembleng diri di luar, derita apapun bolehlah kurasakan!"
"Baik, kau punya tekad, biar kubawa kau. Setiba di Cu-lay-san, mungkin aku bisa mencarikan
guru ternama untukmu."
"Sudah saatnya kami berangkat," sela Miao Tiang-hong, lalu bersama Hun Ci-lo mereka minta
diri kepada Toan Siu-si dan keponakannya.
"Aku harus tinggal lagi sehari di rumah, besok baru berangkat ke Cu-lay-san bersama Kiamceng,"
demikian kata Toan Siu-si. "Hun Lihiap tidak usah kuatir, persoalan putramu serahkan saja
kepadaku." Miao Tiang-hong berenam meninggalkan gedung istana keluarga Toan, setelah menempuh
perjalanan mereka bertemu jalan bercabang tiga. Tiba-tiba Miao Tiang-hong berkata: "Tiba
saatnya kita pun berpisah di sini. Toan-tit, bersama adik dan Thia-toako berempat, aku boleh
berlega hati melepas kau. Setelah bertemu Lau Khong sampaikan salamku."
Bu Toan tertegun, tanyanya: "Miao-susiok, kau tidak ikut ke Siau-kim-jwan?" Ia kira Miao
Tiang-hong dan Hun Ci-lo juga setujuan dengan mereka, maka ia merasa di luar dugaan.
Miao Tiang-hong tersenyum, ujarnya: "Seharusnya aku menjadi wali adikmu dalam
pernikahannya nanti, untung seorang sahabatku Beng Goan-cau berada di Siau-kim-jwan, setiba di
sana, boleh kau mohon kepada dia minta kepada pimpinan laskar gerilya Leng Thiat-jiau untuk
memimpin upacara pernikahan Cheng-ji, tentunya jauh lebih berarti dan semarak daripada aku
sendiri yang mewakili ayah bundamu."
"Aku tidak menguatirkan pernikahan moaymoay, cuma Miao-susiok, kau, kenapa kau tidak
pergi?" "Ada sedikit urusan, terpaksa aku harus minta bantuan pamanmu," demikian sela Hun Ci-lo.
Bu Cheng memberi lirikan kepada Bu Toan, timbrungnya: "Kalau demikian, janganlah kami
memaksa paman. Setelah urusan kalian selesai, kita bisa bertemu di S iau-kim-j wan."
Setelah bayangan Miao dan Hun tak kelihatan di kejauhan, Bu Cheng tertawa, katanya: "Koko,
kau ini memang ceroboh!"
"Ceroboh dalam hal apa?" tanya Bu Toan heran.
"Memangnya kau tidak melihat hubungan Miao-susiok dengan Hun-kokoh" Bukan mustahil kita
bisa minum arak kegirangan mereka lebih dulu. Cuma tidak enak aku menggoda mereka tadi."
Bu Toan sadar, "Ya, Hun-Lihiap sudah bercerai dengan Nyo Bok, kalau dia menikah dengan
Miao-susiok siapapun tiada hak mencampurinya. Kalau bisa menjadi kenyataan, sungguh suatu hal
yang menggembirakan."
"Urusan bahagia ini, tidak perlu disangsikan lagi, pasti akan berhasil, kau tidak percaya lihat
saja buktinya kelak!"
Walaupun Hun Ci-lo tidak mendengar apa yang diperbincangkan Bu Toan kakak beradik, namun
ia bisa menebak ke mana arah percakapan itu.
Setelah melihat bayangan mereka hilang di kejauhan sana, baru berkata dengan tertawa getir:
"Tiang-hong, sungguh aku amat menyesal dan tidak enak terhadapmu, tidak pantas aku membuat
kau dirugikan dalam percakapan iseng orang lain."
"Ci-lo, demi menyempurnakan perjodohan orang, tidak segan kau merendahkan diri, akulah
seharusnya yang bersedih bagi kau. Bahwasanya tidak perlu kau bertindak demikan."
Hun Ci-lo tertunduk dengan muka merah, ujarnya: "Aku hanya merasa bersalah terhadap kau,
sehingga kau diejek dan dibuat buah bibir orang banyak."
"Bukan saja kita sudah saudara angkat lain jenis, juga sahabat kental yang sehaluan dan
sepandangan. Persahabatan kita akan tetap abadi selamanya, benar tidak?"
"Menurut pendapatku persahabatan yang murni amat tinggi nilainya, ada kalanya malah
melampaui hubungan keakraban antara suami istri atau sesama kekasih. Mungkin orang lain tidak
akan memahami perasaan yang terjalin di antara hati kita, terpaksa biarkan orang lain bermulut
iseng. Kukira rasa persahabatanku terhadapmu takkan pernah berubah."
"Baik, kalau begitu dengarlah sepatah kata nasehatku."
Hun Ci-lo melenggong, tanyanya: "Kau hendak bujuk aku apa?"
"Pergilah ke Siau-kim-jwan dan temui Beng Goan-cau."
Hun Ci-lo tertunduk tanpa bersuara.
Berkata Miao Tiang-hong pelan-pelan: "Ci-lo, aku tahu isi hatimu. Beng Goan-cau adalah lakilaki
yang pernah kau cintai, selanjutnya kau tidak akan tumbuh perasaan seperti itu terhadap
orang lain, betul tidak ucapanku?"
"Aku bisa mengendalikan perasaan hatiku. Tapi selanjutnya aku hanya bisa pandang dia
sebagai temanku yang paling baik, bagaimana juga takkan kubiarkan dia mengetahui rahasia
hatiku ini." "Kenapa kau harus bersikap demikian" Kau menikah dengan Nyo Bok, bukan kesalahanmu.
Suatu kejadian yang terpaksa dalam jaman geger seperti itu, waktu itu kau sudah mengandung,
mengira dia sudah meninggal lagi. Ragamu menikah dengan Nyo Bok, hatimu masih milik Beng
Goan-cau. Cintamu terhadapnya masih tetap murni. Kini kau pun sudah berpisah dengan Nyo Bok, kenapa harus mere-ras diri karena kesalahan perkawinanmu dulu itu" Goan-cau adalah laki-laki perkasa,
berjiwa lapang dan berpandangan luas, masa dia tidak mengerti akan pahit getirmu ini?"
"Dia dapat memahami dan memaafkan aku, sebaliknya aku tidak memaafkan diriku sendiri.
Apalagi berpisah sepuluhan tahun, tiada sesuatu yang takkan berubah dalam dunia ini, terutama
manusia, sumpah setia sehidup semati masa lalu, sudah lama berselang dan tawar" Kalau dalam hati
aku mencintai dia, maka tidak bisa aku menambah beban derita sanubarinya"
"Aku tahu Lim Bu-sianglah yang menjadi sebabnya. Kau biarkan Goan-cau diraihnya, terus terang aku
kurang setuju." "Bu-siang laksana sekuntum kembang dalam lembah nan sunyi, suci bersih dan tiada cacat, aku
amat menyukainya seperti adikku sendiri. Aku tahu cintanya terhadap Goan-cau adalah murni,
namun dia tidak tahu bila aku pun mencintai Goan-cau. Aku rela hatiku sendiri yang sedih,
betapapun aku tidak akan membiarkan dia patah hati."
Miao Tiang-hong geleng-geleng kepala, ujarnya: "Seumpama kau bertekad merangkap
perjodohan mereka, aku tetap membujukmu untuk ke sana menemui mereka, tidak seharusnya
kau menyingkir dari hadapan Goan-cau!"
"Buat apa harus berbuat demikian?"
"Paling tidak kau masih anggap mereka sebagai sahabat, benar tidak" Sahabat baik kenapa
tidak boleh bertemu" Kalian bertiga kalau bisa kumpul bersama, bukan mustahil akan terbuka
suatu penyelesaian yang sempurna di antara kalian bertiga."
"Tapi aku tidak ingin demikian. Kini aku hanya ingin menyusul ke Thian-san, di mana anak dan
ayah angkatku berada."
"Aku bisa mewakili kau ke sana menemui ayah angkatmu, jangan kau lupa kau sudah berjanji
menyerahkan anakmu yang kecil menjadi muridku, ada aku dan ayah angkatmu yang merawat
dan mengasuhnya, apa pula yang masih kau kuatirkan?"
"Bukan aku kuatirkan keadaan anakku, namun..."
"Tidak usah pakai 'namun' segala, pergilah ke Siau-kim-jwan menemui Goan-cau. Bicara soal
anak, persoalan Hoa-ji harus kau beritahukan juga kepada Goan-cau!"
Di bawah bujukan manis Miao Tiang-hong, tekad Hun Ci-lo lama kelamaan menjadi goyah,
namun ia masih bimbang dan sukar berke-putusan.
Tiba-tiba terdengar derap langkah kuda berlari mendatangi di tanah pegunungan depan sana.
Kebetulan mereka sedang berada di jalan pegunungan yang tidak rata dan sukar dilalui, saat
mana sedang membelok suatu pengkolan gunung, maka mendengar derap kaki kuda, namun
belum terlihat bayangannya. Sudah tentu kedua penunggang kuda itu pun tak melihat mereka.
Karena jalanan memang rusak dan berbatu, kuda tidak bisa berlari kencang, terdengar seorang
tengah bicara: "Memang kita sedang sebal, semula kita kira setiba di Tayli Sa Mi-wan bisa bantu
mengangkat kita sebagai perwira dalam pasukannya, bilamana bisa membuat jasa, hidup senang
dan berkecukupan tak perlu dikatakan lagi. Siapa tahu setiba di Tayli malah kita harus melayat
jenazahnya." Seorang yang lain terdengar menimbrung sambil tertawa: "Bicara terus terang, ikut Sa Mi-wan
menyerbu ke Siau-kim-jwan, aku benar-benar rada takut. Beng Goan-cau berada di sana, bukan
mustahil sunio kita pun berada di sana, bila sampai kebentur mereka, hehe, mungkin aku masih
bisa mencari sedekah ke tempat lain, sebaliknya kau belum tentu bisa selamat."
Dengan suara lirih Miao Tiang-hong tanya kepada Hun Ci-lo: "Salah seorang agaknya adalah
murid Nyo Bok terbesar Bun Seng-liong?"
"Benar, seorang lain adalah murid Nyo Bok kedua Gak Hou."
"Bun Seng-liong bocah keparat itu amat jahat, mata-mata yang ditanam oleh Pakkiong Bong di
dalam Tin-wan Piaukiok adalah dia. Kali ini kebentur di tanganku, jangan kau lepaskan dia!"
"Biar kita dengar dulu percakapan mereka!"
Terdengar Bun Seng-liong sedang berkata: "Hm, kau masih pandang perempuan jalang itu
sebagai sunio (ibu guru), guru kita kan sudah menceraikan dia."
Gak Hou tertawa, ujarnya: "Sebetulnya apa yang kau lakukan selama ini sudah cukup
membuatnya menderita, entah dia sendiri tahu tidak akan hal ini?"
"Sudah tahu aku pun tidak takut. Sekarang aku adalah bintara dalam Gi-lim-kun, memangnya
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
apa yang bisa dia lakukan atas diriku?"
"Jangan kau bicara demikian yakin, kalau berada dalam Gi-lim-kun di Pakkhia, sudah tentu tak
perlu takut kepadanya. Akan tetapi bila di luar dugaan bertemu di tengah jalan, kau maki dia apa
dia bakal mundur dan tinggal pergi begitu saja" Maka kukatakan kali ini kita tidak jadi ikut dalam
pasukan besar, siapa tahu kalau rejeki malah?"
"Kau ini memang tidak tahu diri, dalam Gi-lim-kun paling-paling kau hanya kepala barisan saja,
kapan kau bisa angkat diri" Tentunya lebih baik bertugas di bilangan luar saja. Kalau ingin
mendapat pangkat tinggi dan hidup senang, tentunya kau berani menyerempet bahaya.
Bahwasanya mana mungkin secara kebetulan kita bakal kebentur dengan Hun Ci-lo perempuan
jalang itu" Kau hanya tanpa alasan!"
Belum habis ucapannya, tiba-tiba terdengar hardikan nyaring melengking, tahu-tahu terlihat
Hun Ci-lo muncul dari pengkolan gunung sana, mencegat di depan kuda mereka, jengeknya
dingin: "Bun Seng-liong, coba buka lebar mata anjingmu, siapa aku ini?"
Keruan bukan kepalang terkejut Bun Seng-liong, "wut" kontan ia ayun pecutnya sembari
mengeprak kuda menarik kendali menerjang Hun Ci-lo.
Mana Hun Ci-lo rela melepasnya lari, sekali raih dan tarik membalik, ia tangkap ujung pecut
orang terus menariknya jatuh dari atas kuda, sekali jinjing dan angkat pula ia lempar badan orang
ke atas lereng gunung. Bersamaan dengan itu kedengaran suara gedebukan di belakang sana,
kiranya belum lagi Miao Tiang-hong datang, Gak Hou sudah ketakutan dan terperosok jatuh dari
atas tunggangannya. Jalan pegunungan yang tidak rata dan berlika-liku hanya cukup tiba untuk jalan satu
tunggangan saja, kedua ekor kuda sama-sama dibikin kaget dan membedal saling tumbuk dan
berdesakan, sama-sama main sepak dan berlompatan, keruan mereka sama terpelanting jatuh.
Lekas Miao Tiang-hong memburu maju menarik tali kekang kedua ekor kuda, lalu putar balik
menawan Gak Hou, serta digiringnya masuk ke dalam hutan. Sementara itu Hun Ci-lo sudah
menggusur Bun Seng-liong ke dalam hutan.
"Apa itu yang dinamakan sesat takkan menang dari lurus?" damprat Hun Ci-lo. "Kalian suka rela
menjadi antek bangsat Tartar, masih bermuka tebal dan tidak tahu malu lagi, mengagulkan diri
sebagai seorang kuncu" Hm, Bun Seng-liong, coba katakan, cara bagaimana kau hendak
menghadapi aku?" Saking ketakutan sekujur badan
Bun Seng-liong gemetar keras, sesaat mulut terbuka tak kuasa mengeluarkan suara.
Terpaksa Gak Hou yang mewakili memberi penjelasan: "Sunio, hal itu bukan tanggung
jawabku. Bun, Bun-suhenglah yang menarikku ke dalam Gi-lim-kun, sebenarnya aku hanya ingin
mencari sesuap nasi saja, tak pernah terpikir olehku hidup senang berpangkat tinggi segala. Kali
ini dia pula yang paksa aku ikut kemari. Mana aku berani menyerbu laskar rakyat?"
"Sepanjang jalan ini, perbuatan kotor apa saja yang kalian lakukan, mengakulah terus terang!"
"Semua itu Bun Seng-liong sendiri yang melakukan, terus terang aku tidak berani menghina
dan bikin kotor nama sunio."
Tujuan Hun Ci-lo hendak tanya perbuatan jahat apa yang mereka lakukan untuk merugikan
perjuangan laskar gerilya, mendengar kata-katanya ini, tak terasa malah melenggong, tanyanya:
"Perbuatan apa yang merugikan diriku" Katakan!"
"Dari Nyo-toakoh ia mendapat tahu bahwa kau bersama Miao-siansing, maka sepanjang jalan
ini dia menyebar kabar buruk yang merusak nama baik kalian. Katanya, katanya kalian... ai, tak
berani aku kurang ajar terhadap Sunio, kata-kata kotor yang dia ucapkan itu tak, tak berani aku
mengatakarnya!" Walau Gak Hou tak berani mengatakan, namun Hun Ci-lo sudah paham, roman mukanya
mengulum senyum dingin, pikirnya: "Paling mengatakan aku gen-dak Miao-toako dan main serong
segala! Tidak menjadi soal dia merusak nama baikku, sebaliknya Miao-toako yang tidak bersalah
ikut kena getahnya." Karena pikirannya ini, amarah seketika berkobar di rongga dadanya, dengan
dingin ia tatap muka Bun Seng-liong.
Diam-diam Bun Seng-liong mencuri lihat sikap Hun Ci-lo, ia tahu orang pasti takkan
mengampuni jiwanya, maka segera ia berlaku nekad dan untung-untungan pura-pura menjadi
laki-laki keras kepala, jengeknya dingin: "Hun Ci-lo, bunuhlah aku untuk menutup mulutku."
"Kau kira bisa buka mulut menyemprot muka orang dengan darah lantas aku takut kepadamu?"
"Apa itu menyemprot muka orang dengan darah (maksudnya memfitnah), memangnya
sekarang kau sedang minggat dengan seorang laki-laki liar" Hehe, perbuatan baik kalian kebetulan
kepergok olehku, kau tidak bunuh aku menutup mulut, kukira kau tidak akan bisa tidur nyenyak."
Miao Tiang-hong gusar, serunya: "Keparat ini hendak memancing kau supaya tidak
membunuhnya, aku justru tak peduli permainan liciknya ini!" Tapak tangan pelan-pelan diangkat
menepuk ke batok kepalanya, belum lagi mengenai sasarannya, angin tekanannya sudah bikin air
mata Bun Seng-liong meleleh, kepala serasa ditindih batu besar sehingga pusing tujuh keliling.
Bun Seng-liong hendak main gagah sebagai laki-laki sejati, namun menghadapi saat antara
mati dan hidup, gemetar juga sekujur badannya, kata-kata yang sedianya hendak dilontarkan pun
tak kuasa diucapkannya. Tiba-tiba Hun Ci-lo menghela napas, katanya: "Sudahlah, ampuni saja jiwanya!"
"Ampuni dia?" tanya Miao Tiang-hong.
"Kita hanya mengejar kesucian hati dan kebersihan diri, tidak setimpal kita bikin persoalan
dengan bocah keparat berjiwa kotor seperti dia ini!"
"Baik, hukuman mati boleh dibatalkan, derita hidup harus kau rasakan!" Tapak tanganmya
menepuk ringan saja, seketika Bun Seng-liong rasakan sekujur badan seperti ditusuki jarum-jarum
yang tak terhitung banyaknya, seluruh urat nadi dan jalan darahnya serasa meledak pecah, sakit
bukan main seketika pandangan berputar dan sempoyongan jatuh lemas.
"Modal untuk jadi cakar alap-alapmu sudah kurampas. Selanjutnya bila kau pakai kekerasan
terhadap orang, sekali kau menggunakan hawa murni, jiwamu akan segera melayang! Baik, mati
atau hidup, terserah pada tingkah lakumu selanjutnya. Menggelundunglah pergi!"
Sambil menahan sakit Bun Seng-liong terseok-seok merayap bangun terus lari pontang-panting
memeluk kepala, Gak Hou lekas memburu memayangnya. Bun Seng-liong segera memakinya:
"Barusan kau ingin supaya aku lekas mati baru hatimu puas, kini pura-pura hendak mengambil
hatiku." "Suheng," Gak Hou tergagap, "tidak bisa tidak siaute harus bilang demikian!"
Lebih murka Bun Seng-liong dibuatnya, dampratnya: "Tadi kau hanya bicara demi
keselamatanmu sendiri, memangnya masih ada aku suhengmu dalam pandanganmu?"
Tiba-tiba Gak Hou sadar akan peringatan Miao Tiang-hong barusan, segera ia balas menjengek
dingin: "Bun Seng-liong, jangan kau pamer diri sebagai suhengku yang busuk, kau sekarang
manusia cacat yang tak berguna lagi, memangnya kau sangka aku takut kepadamu" Hehe, aku
baik hati terhadap kau, kau malah memaki aku, baik, biar kita jalan menempuh arahnya sendiri,
memangnya aku sudi mencari muka kepadamu."
Mereka belum tiba di bawah gunung, maka perdebatan mereka sayup-sayup masih
kedengaran. Miao Tiang-hong merasa dongkol dan geli pula. Waktu ia berpaling dilihatnya Hun Cilo
berdiri melongo dengan hambar.
"Ci-lo, kenapa kau menangis?" Hun Ci-lo melengos sambil mengusap air mata, katanya: "Tidak
apa-apa, mataku kena debu."
"Kebetulan mereka tinggalkan kedua kuda tunggangan ini, marilah kita berangkat!" Mereka
jalan berjajar, sepanjang jalan Hun Ci-lo selalu masgul dan murung, sepatah kata pun tak bicara
lagi. "Ci-lo, bukankah tadi kau bilang kesucian hati dan kebersihan diri, kenapa pula kau harus
mereras diri lantaran kata-kata Bun Seng-liong?"
"Aku tidak salahkan dia!"
"Memangnya kenapa kau jadi tidak senang hati?"
"Aku salahkan diriku sendiri."
Miao Tiang-hong menghela napas, ujarnya: "Ci-lo, jangan banyak pikiran, kuanjurkan lekaslah
kau pergi ke Siau-kim-jwan menemui Beng Goan-cau saja."
Belum sempat Hun Ci-lo menjawab, tiba-tiba terlihat dari depan mencongklang pesat dua ekor
kuda mendatangi, dua pemuda penunggangnya kelihatan masih amat muda belum cukup dua
puluhan, begitu dari kejauhan melihat mereka berdua, tiba-tiba sama menjerit dan membalikkan
kuda. Kiranya kedua pemuda ini adalah murid-murid Nyo Bok yang paling kecil, mereka adalah Song
Beng-ki dan Oh Lian-ba. Di antara enam murid-murid Nyo Bok, kedua orang ini berusia paling
muda dan jiwanya masih murni, biasanya Hun Ci-lo paling sayang kepada mereka Sekilas Hun Cilo
melenggong, lekas ia keprak kudanya mengejar, serunya: "Kenapa kalian lari dari hadapanku?"
"Sunio, ai, aku tak tahu apakah aku masih harus panggil kau sunio" Aku, aku..." Tiba-tiba Song
Beng-ki kertak gigi, saking gugup air mata bercucuran, katanya: "Aku, aku tak bisa katakan!"
Kata Hun Ci-lo lemah lembut: "Meskipun aku sudah berpisah dengan gurumu, kalian boleh
pandang aku sebagai angkatan yang lebih tua bukan" Apakah kalian ada mendengar kabar
jelekku?" Kata Song Beng-ki: "Sunio, selamanya aku menghormatimu, cuma kenapa kau harus berpisah
dengan suhu?" Oh Lian-ba ikut menimbrung: "Sunio, toasuheng menyiarkan kabar-kabar buruk itu, sebetulnya
aku tidak percaya, tapi, tapi..." "Sekarang kau percaya bukan?" "Sunio," kata Oh Lian-ba. "Lebih baik kau kembali ke samping suhu. Kalau di luar kau bergaul dengan orang lain, meski sepak
terjang terang-terangan dan berkelakuan baik, omongan iseng selalu bisa dikumandangkan orangorang
iseng. Sunio, kalau nama baikmu dibikin rusak, kami yang jadi murid pun ikut tercela."
Tak terasa timbul kepedihan Hun Ci-lo, namun timbul juga rasa marahnya, pikirnya: "Kiranya
mereka salahkan aku membuat mereka kehilangan muka! Kedua bocah ini berjiwa jujur polos dan
bajik, sayang mereka mendapat didikan tak benar dari Nyo Bok, kini lambat laun berpikiran egois
demi kepentingan diri sendiri. Tapi bagaimana juga mereka lebih baik dari Bun Seng-liong, aku
tidak bisa salahkan mereka."
Kata Oh Lian-ba was-was: "Sunio, aku masih terlalu muda dan tak tahu urusan, kalau salah
omonganku, harap kau tidak ber-kecil hati."
"Usia kalian masih kecil, banyak urusan yang belum bisa kalian pahami. Tapi lantaran apa aku
harus berpisah dengan gurumu, aku bisa menjelaskan kepada kalian. Sebab yang utama, karena
jalan yang dia tempuh berlawanan dengan cita-citaku."
Dengan mendelong dan hampa Oh Lian-ba dan Song Beng-ki awasi sunionya sesaat lamanya,
agaknya mereka belum bisa menyelami makna dari kata-kata Hun Ci-lo.
"Coba kutanya kalian dulu," Hun Ci-lo menambahkan. "Dalam pandangan kalian, orang macam
apa sebenarnya guru kalian itu?"
"Suhu adalah guru silat kenamaan di Siok-ciu, orang-orang yang kami kenal sama menghormat
dan segan kepada beliau."
"Benar, dia memang guru silat kenamaan, tapi dia pun mempunyai kedudukan lain yang belum
kalian ketahui." "Kedudukan apa?" tanya Oh Lian-ba.
"Mata-mata dari kerajaan Boan!"
Song dan Oh amat kaget, tanpa berjanji sama berteriak: "Apa katamu, kau maksudkan suhu
seorang mata-mata?" "Tidak bakal lantaran aku sudah berpisah dengan dia lantas memfitnahnya!"
Oh dan Song berpandangan tak bersuara. Terang bahwa mereka rada ragu-ragu dan kurang
percaya akan kata-kata Hun Ci-lo.
"Untuk apa kalian datang ke Tayli?" tanya Hun Ci-lo.
"Toa-suheng yang suruh kami kemari."
'Untuk apa kalian disuruh kemari?"
"Dia suruh kami ikut dia bekerja. Kami sudah lulus dari perguruan, sudah tiba saatnya untuk
mencari nafkah sendiri!" "Bekerja apa?"
Agaknya Song Beng-ki tidak senang pertanyaan yang berbelit-belit ini, katanya: "Aku tidak
tahu. Aku percaya suheng pasti bisa mengaturnya dengan baik."
"Untuk persoalan ini apa suhumu tahu?"
"Sudah tentu kami pernah memberi laporan kepada suhu, suhu malah memberi dorongan
supaya kami lekas kemari."
"Kalau kalian belum tahu, aku malah sudah tahu. Bun Seng-liong menghendaki kalian
membuntuti jejaknya, menjadi antek kerajaan!"
Berubah air muka Song Beng-ki, tanyanya: "Sunio, kau bilang demikian, adakah kau punya
bukti?" "Bun Seng-liong dan Gak Hou sudah lama menjadi bintara dalam Gi-lim-kun, kalau kalian tidak
percaya, boleh kalian mengejar ke jalanan sana, tidak akan lama kalian bisa menemukan mereka,
pakaian yang mereka kenakan adalah seragam kemiliteran."
Mendengar penjelasan ini, seketika Song dan Oh berdiri menjublek.
Sesaat kemudian baru Song Beng-ki bersuara: "Kenapa toa-suheng menipu kami" Setiba di
Tayli, bukankah tipu dayanya bakal terbongkar?"
Oh Lian-ba ikut bicara: "Dia sudah berjanji hendak menunggu kami di Tayli, kenapa pula dia
berada di sini?" Agaknya mereka masih ragu-ragu dan setengah percaya akan keterangan Hun Cilo.
"Dia anggap bila kalian berada di Tayli sudah terjatuh ke dalam genggamannya, terpaksa harus
patuh dan tunduk akan segala perintahnya. Tatkala itu, berada dalam markas tentara Tartar,
memangnya dia takut kalian mengetahui kedudukannya?"
"Markas tentara apa?" Oh Lian-ba menegas dengan kaget.
"Bun Seng liong mendapat perintah langsung dari Komandan Gi-lim-kun Pakkiong Bong,
dimutasikan ke Tayli, membantu panglima tinggi penguasa perbatasan di sini mengerahkan
pasukan untuk menggempur Siau-kim-jwan. Salah seorang anak buah Pakkiong Bong yang
terpercaya yaitu Sa Mi-wan juga berada di markas tentara sana, Sa Mi-wan inilah yang akan
menjadi tulang punggung Bun Seng-liong di Tayli ini. Apa kalian suka rela menjual jiwa bagi
kerajaan untuk memusuhi laskar rakyat?"
Oh Lian-ba kertak gigi, sahutnya: "Sudah tentu tidak!"
"Namun bila sudah masuk ke dalam jebakan mereka, sukar kau melepaskan diri. Untunglah
semalam terjadi suatu peristiwa besar di Tayli, segala tipu daya yang diaturnya sudah berantakan
lebih dulu." Gundah dan tak tentram perasaan Oh Lian-ba, tanyanya: "Peristiwa besar apa?"
"Sa Mi-wan tulang punggungnya itu, dan atasan Sa Mi-wan panglima tinggi penguasa
perbatasan di sini semalam sama dibunuh orang. Dia dan Gak Hou melarikan diri dari Tayli.
Cukuplah, apa yang perlu kalian ketahui sudah kuberitahu, kalian tetap akan pergi ke Tayli?"
Lama Song dan Oh terlongong, katanya kemudian: "Terima kasih sunio memberi petunjuk dan
penerangan, sudah tentu kami tidak akan masuk ke dalam perangkap ini, segera kami putar balik
pulang ke rumah!" "Boleh kalian pulang putar lewat jalanan kecil di sana itu, di tengah jalan kalian bisa bertemu
dengan toa-suheng dan ji-suheng. Gak Hou masih cukup baik, sekarang dia sudah bentrok dengan
Bun Seng-liong, setelah kalian bertemu dengan ji-suheng, boleh kalian pulang bersama."
Tersendat tenggorokan Oh Lian-ba, katanya: "Sunio adalah orang baik, tapi ada sebuah kata
kanak-kanak yang ingin kukatakan kepadamu, harap kau tidak berkecil hati."
"Ya, katakanlah."
"Sunio, kau pun pulanglah. Aku tidak berani bujuk kau rujuk kembali dengan suhu, tapi baik
juga kalau kau pulang ke rumah ibumu. Ai, kau orang baik, aku paham, tapi mungkin orang lain
tidak mau mengerti."
Hun Ci-lo tahu maksudnya, ia hanya tertawa getir saja. Kuda tunggangan Song dan Oh sudah
jauh dan tak kelihatan, hati Hun Ci-lo masih risau dan gundah, hatinya seperti derap kuda yang
melonjak-lonjak di tanah pegunungan, serasa ditusuk sembilu sakitnya. Perlahan-lahan Miao
Tiang-hong mendekatinya, katanya: "Ci-lo, kau harus senang malah, kenapa bersedih?"
"Aku tidak sedih! Walau tiada sesuatu yang patut kubuat girang!"
"Kau sudah tolong dua anak besar yang tidak tahu apa-apa, sehingga mereka tidak sampai
menyeleweng ke jalan sesat, masakah tidak patut dibuat girang" Tapi, kau bilang kau tiada
ganjalan hati, tentunya kau menipu aku."
"Ganjalan hati memang ada. Tapi tidaklah menyedihkan seperti yang kau bayangkan."
"Ci-lo, kau tidak seperti perempuan umumnya, aku tahu kau kuasa mengalami pukulan batin
ini. Tapi, ingin aku tanya kepada kau."
"Ya, katakanlah!"
"Apa yang mereka percakapkan aku dengar semuanya, bukan lantaran ucapan mereka itu kau
terketuk sanubarimu?"
"Hubungan persahabatan kita memang sukar dipahami orang lain."
"Aku sendiri sih tak perlu takut menghadapi omongan iseng itu, tapi aku tetap anjurkan kau
menemui Goan-cau." "Ya, tiba saatnya kita pun berpisah."
"Bagus, jadi kau terima saranku pergi ke Siau-Kim-jwan?"
"Ke mana aku hendak pergi, aku pun tak tahu. Tapi dunia sebesar ini, kukira akan bisa kucapai
suatu tempat tujuan."
Berkerut dahi Miao Tiang-hong, namun sebentar saja mukanya dihias senyuman pula, katanya
tiba-tiba: "Ci-lo, lihatlah Po-jun-hoa mulai mekar. Begitu kembang ini mekar, musim semi pun
datang." Hun Ci-lo melengak, katanya: "Musim semi datang, memangnya kenapa?"
"Goan-cau pernah bicara dengan aku, katanya Po-jun-hoa mekar sebelum waktunya di Siaukimjwan. Kalau sekarang kau susul ke Siau-kim-jwan, masih sempat kau menikmati musim semi
di sana. Kuharap kabut yang menyelimuti hatimu bisa sirna dan buyar tersapu sinar matahari
musim semi di sana."
"Terima kasih akan maksud baikmu. Tapi kupikir di mana pun pasti ada musim semi, semoga
kau pun bisa mendapatkan musim semi."
Miao Tiang-hong tertawa getir, katanya: "Ci-lo, baik sekali ucapanmu ini, aku akan ingat katakatamu."
Perasaan kedua pihak sama rumit dan campur aduk, begitulah dengan membekal setitik
harapan dan perasaan hambar mereka berpisah.
Hun Ci-lo mengantar bayangan orang lama kelamaan menghilang di kejauhan. "Apakah aku
harus pergi ke Siau-kim-jwan, menemui Goan-cau sekali lagi?" Po-jun-hoa yang tumbuh di pinggir
jalan bergoyang gontai dihembus angin, seolah-olah sedang mengangguk dan unjuk senyuman
mekar kepadanya. Namun ia masih sukar ambil keputusan.
"Entah Lim Bu-siang sudah tiba di Siau-kim-jwan belum" Kalau dia sudah tiba di sana, musim
semi di Siau-kim-jwan tentu lebih indah, lebih semarak," demikian pikir Hun Ci-lo.
Po-jun-hoa sedang mekar menyambut datangnya musim semi di Siau-kim-jwan. Po-jun-hoa
terdapat dua warna, ada yang merah ada yang putih, entah lantaran hawa ataukah tanah di sini
berbeda dengan tempat lain, musim semi tahun ini datang lebih pagi dari tahun-tahun yang lalu,
Po-jun-hoa yang mekar semua bewarna putih. Kelopak kembang laksana susu, sebesar kembang
melati, dilihat dari kejauhan, laksana di tanah pegunungan tersebar merata kepingan pci.ik yang
kemilau, enak dipandang menyamankan perasaan.
Pada suatu desa kecil yang terletak seratusan li dari pangkalan laskar rakyat di Siau-kim-jwan,
di sebuah jalan belukar yang tak terlihat orang berlalu lalang, Beng Goan-cau sedang beranjak
seorang diri. Hari ini kebetulan tiba gilirannya menerima tugas meronda bagian luar, serta mencari tahu
situasi pihak musuh. Belakangan ini suasana di Siau-kim-jwan memang aman tentram, namun tersiar kabar pihak
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kerajaan sedang mengerahkan pasukan besar terbagi dari berbagai jurusan hendak menggempur
Siau-kim-jwan, pimpinan laskar gerilya di Siau-kim-jwan siang-siang sudah mendapat kabar, mau
tidak mau mereka harus siap waspada dan berjaga-jaga.
Hidup di tengah masa perjuangan yang sengit dan suasana yang panas ini, tiada senggang
Beng Goan-cau memikirkan persoalan pribadi dan cinta asmara. Tapi kini, ia jalan seorang diri di
jalanan yang sepi, melihat Po-jun-hoa sepanjang jalan yang bergoyang-goyang ditiup angin, tak
urung timbul kenangan manis di masa lalu dalam buaian asmara Terbayang waktu ia bertamasya
bersama Hun Ci-lo di musim semi di Sohciu.
Di saat lubuk hatinya dibuai oleh kenangan lama, tiba-tiba didengarnya suara keresekan dari
semak rumput liar di rumpun kembang sana, Goan-cau tersentak kaget, teringat akan tugas yang
diembannya, segera ia membentak: "Siapa" Kenapa main sembunyi, hayo lekas keluar!"
Tampak seorang laki-laki desa yang berpakaian kumal dan penuh tambalan menerobos keluar
dari semak belukar sana, raut mukanya terlihat bekas-bekas jalur lecutan cambuk.
Beng Goan-cau kaget, serunya: "Siau-hoat-ko, kaukah itu?"
Ternyata pemuda desa ini bernama Ting Hoat, pekerjaannya sehari-hari menggembala kerbau
milik tuan tanah setempat, dua tahun yang lalu, perjuangan laskar gerilya Siau-kim-jwan
berkembang sampai ke desa pegunungan ini, tuan tanah itu lari, maka keluarga Ting Hoat bisa
hidup lebih baik dan tenang. Beng Goan-cau pernah bertugas dalam desa ini memberikan segala
bantuan pangan dan sandang, maka ia amat kenal pemuda ini. Ting Hoat amat kegirangan,
seperti melihat sanak kadangnya sendiri, lekas berlari mendatangi, dengan kencang ia genggam
tangan Beng Goan-cau, katanya: "Beng-toako, aku memang hendak mencari kau."
"Siapakah yang pukul kau?"
Dengan napas ngos-ngosan Ting Hoat pun sedang bertanya: "Beng-toako, kau ada bertemu
dengan lihiap itu tidak?"
Beng Goan-cau melengak, segera ia keluarkan bubuk obatnya seraya berkata: "Siau-hoat-ko,
tak usah tergesa-gesa, biar kuobati dulu luka-lukamu." Setelah selesai membubuhkan obat ia
bertanya pula: "Lihiap yang kau katakan, aku belum menemuinya, apakah yang terjadi?"
"Aku dipukul oleh tentara pemerintah. Pasukan mereka mendatangi desa kami, menangkap
orang, merampok dan main pukul."
Kedudukan desa ini terletak ratusan li dari markas laskar gerilya, dulu pernah diduduki oleh
pasukan pemerintah, akhirnya pasukan Ceng dipukul mundur, selama dua tahun belakangan ini
tak terlihat jejak musuh menginjak desa kecil ini. Karena tenaga memang kurang, maka pihak
gerilya tidak mengutus sebagian tentaranya untuk berjaga di situ, apalagi jaraknya memang amat
jauh. Setelah sekian tahun berada dalam pasukan besar, sedikit banyak Beng Goan-cau sudah
mengerti strategi peperangan, batinnya: "Kabarnya pasukan Ceng hendak menyedot tenaga
sepasukan besar tentara Hunlam untuk menyerbu kemari. Letak desa itu amat berbahaya dan
merupakan tempat yang amat baik untuk dijadikan pangkalan, kalau mereka menyerbu datang
dari arah sini, berarti menggencet kita dari depan dan belakang, tentunya serba bera-be juga bagi
pasukan kami. Jelas karena belum mengetahui seluk beluk situasi daerah ini maka mereka
mengutus pasukan pelopor untuk mencari jalan, namun kalau toh jejak musuh sudah berada di
tempat yang cukup menguatirkan kedudukannya, tak bisa aku berpeluk tangan."
Betul juga segera Ting Hoat menjelaskan lebih lanjut: "Yang datang sih tidak banyak, kira-kira
sepuluhan orang. Sayang kami tidak punya golok dan tombak, kewalahan menghadapi pasukan
pemerintah yang seperti serigala buasnya. Aku melawan dengan cangkul, akhirnya kena ditangkap
mereka, maka kami dihajar sampai babak belur dengan cambuk dan cemeti. Yang tertangkap
masih ada Thio-toapek dan Siau-sun-cu kira-kira dua puluhan orang. Hm, pasukan pemerintah
apa, perbuatan mereka lebih rendah dari binatang."
"Lalu cara bagaimana kau bisa melarikan diri?" tanya Beng Goan-cau.
"Kami di ikat dan digandeng satu sama lain terus digusur ke luar desa, sepanjang jalan kami
masih terus dihajar. Aku kertak gigi mengeluh kesakitan pun tidak. Sudah tentu yang lain ada
yang menjerit-jerit kesakitan. Berjalan tidak jauh, mendadak tampak seorang gadis baju putih lari
mendatangi dengan cepat, seperti angin lesus yang lari ke luar dari hutan, kiranya dia lari datang
menolong karena mendengar jerit tangis rombongan kami yang tersiksa ini."
Tutur Ting Hoat lebih lanjut: "Begitu tiba, dia lantas damprat kawanan tentara itu: Siang hari
bolong, kalian kawanan berandal ini berani menganiaya dan menyiksa rakyat jelata yang tak
berdosa!' Para tentara anjing itu bergelak tawa, ujarnya: 'Kami adalah tentara pemerintah kerajaan,
memangnya hendak menggempur berandal, kau gadis liar tak punya mata ini malah berani
katakan kami ini berandal. Budak ini cukup ayu dan menggiurkan, kebetulan ada bidadari
mengantar diri ke hadapan kita malah!' Begitu mulut-mulut kotor tentara-tentara anjing ia terus
nyerocos sembari merubung maju hendak membekuknya. Tak nyana belum gelak tawa mereka
hilang, orang-orang yang merubung ke depan itu sama mendapatkan ganjarannya!"
"Ganjaran apa?"
Lihiap itu tertawa dingin, katanya: "Kalian ini memang berandal yang buta matanya, sekilas
tampak sinar dingin menyolok mata, terdengar suara tang-ting yang ramai sampai serasa
kupingku pekak, belum lagi aku melihat jelas, tampak golok dan tombak sudah sama kutung dan
berserakan di atas tanah, sudah tentu semua itu dipukul jatuh oleh lihiap itu. Tentara yang semula
terbahak-bahak tertawa riang, kini berganti jerit tangis kesakitan."
"Lihiap itu merebut sebuah cambuk panjang, begitulah dengan sengit ia hajar kawanan tentara
kurang ajar itu, seperti menggiring bebek layaknya ia gebah mereka lari pontang-panting. Ha,
sungguh menyenangkan. Sayang lihiap itu berhati welas asih, tiada satu pun yang dibunuhnya."
"Segera lihiap itu membuka belenggu kami, serta bertanya jalan kepada kami, kiranya dia
hendak pergi ke Siau-kim-jwan. Maka kutanya dia, siapa yaag dia kenal di Siau-kim-jwan. Katanya
dia punya teman she Beng di Siau-kim-jwan, ha, begitu dia katakan nama orang itu, aku
kegirangan setengah mati, ternyata teman yang dia cari adalah kau Beng-toako."
"Semula aku hendak menunjuk jalan baginya, tapi katanya aku ter-luka, dianjurkan lekas
pulang merawat luka-lukaku ini. Dia suruh kami beramai pulang bersama, karena desa baru
mengalami perampokan, perlu cepat pulang untuk mengadakan perbaikan, sekaligus supaya
keluarga di rumah tidak kuatir."
"Mereka sudah pulang semua, tapi kupikir jadi orang harus tahu balas budi, aku ini bocah yang
dibesarkan angon kerbau, dalam desa rudin ini termasuk keluargaku paling miskin, jikalau para
saudara dari Siau-kim-jwan tidak bantu dan menolong aku, mana bisa aku mengecap kehidupan
yang enak dan senang seperti ini" Maka adalah pantas kalau aku harus secepatnya memberi kabar
kepada kalian. Apalagi jiwaku ini ditolong oleh lihiap itu, kalau dia tidak sempat menyusul tiba,
mungkin kami beramai sudah tamat jiwanya. Apalagi dia mencarimu, maka perlu aku
menyampaikan kabar ini kepadamu, maka secara diam-diam aku putar balik dan lari kemari. Tapi
Beng-toako, kau belum bertemu dengan dia, ini rada menguatirkan aku, dia masih asing dan tak
tahu jalan, lekaslah kau pergi mencarinya."
"Adakah lihiap itu memperkenalkan dirinya?"
"Tidak." Tapi berpikir sebentar lantas Ting Hoat menyambung: "Yang terang dia lebih cantik
dari gambar bidadari yang pernah kulihat di rumah tuan tanah."
Belum habis ia bicara, tampak Beng Goan-cau sudah mencemplak ke atas kudanya, katanya:
"Terima kasih akan beritamu ini, tak perlu kau lukiskan dia, aku sudah tahu!"
Sekali lecut Beng Goan-cau bedal kudanya sekencang angin, menuju ke arah tempat yang
ditunjuk oleh Ting Hoat, pikirnya: "Perempuan yang dilukiskannya tentu Hun Ci-lo adanya. Tapi
ginkang Hun Ci-lo amat tinggi, kenapa malah ketinggalan oleh Ting Hoat. Jalan ke sini sudah
ditunjukkan memangnya sesat jalan" Atau kebentur pasukan besar musuh?" Di saat hatinya
gundah itulah, di depan sana di dalam hutan didengarnya suara beradunya senjata tajam.
Sudah tentu girang Goan-cau bukan main, lekas ia melompat turun terus melesat terbang
berlari ke dalam hutan, betul juga dilihatnya seorang gadis baju putih sedang dikerubuti oleh
seorang kakek ubanan dan seorang perwira pertengahan umur.
Tapi di luar dugaannya bahwa gadis itu bukan Hun Ci-lo yang dia rindukan siang malam namun
adalah Lim Bu-siang. Kakek ubanan adalah Thong-thian-hou, sedang perwira pertengahan itu
adalah wakil komandan Gi-lim-kun Ciok Tio-ki adanya.
Kiranya tentara yang dihajar Lim Bu-siang itu pulang memberi laporan, maka Coh Thian-hiong
dan Ciok Tio-ki lantas tahu akan dirinya, cepat mereka lewat jalan singkat mencegat ke depan.
Ginkang Lim Bu-siang jauh lebih unggul dari mereka, namun senjata rahasia Coh Thian-hiong
yang tunggal susah dilawan. Waktu Beng Goan-cau menerobos masuk ke dalam hutan, Coh Thianhiong
sedang kembangkan kepandaian menimpuk senjata rahasia tunggalnya, merintangi dan
mencegah Lim Bu-siang lari.
Senjata rahasianya terbang lewat di atas kepala Lim Bu-siang, namun tiba-tiba bisa putar balik,
lalu menyerang serempak dari arah yang tak terduga mengincar tempat-tempat penting di badan
Lim Bu-siang. Meski tidak sampai terkena serangan senjata rahasia ini, namun ia cukup mencakmencak
kerepotan dibuatnya. Karena itu, gerakan gin-kangnya sedikit banyak terpengaruh, cepat
sekali Ciok Tio-ki sudah mengudak tiba.
Ciok Tio-ki bersenjata sepasang potlot baja, serangan totokan jalan darahnya amat lihay dan
ganas, namun ilmu pedang Lim Bu-siang adalah ajaran murni dari Jan-bau-khek, sakti
mandraguna, jauh lebih unggul dari ilmu permainan totokan sepasang potlot lawan. Tapi karena
tiap kali ia harus pecah perhatian untuk melayani sergapan senjata rahasia Coh Thian-hiong,
paling hanya setanding melawan Ciok Tio-ki. Cepat sekali Coh Thian-hiong sudah menyusul tiba,
bersama Ciok Tio-ki mereka mengeroyoknya.
Beng Goan-cau membentak keras: "Memang aku tengah cari kalian untuk membuat
perhitungan lama!" Mendadak melihat Beng Goan-cau muncul, hampir saja Lim Bu-siang tidak
percaya akan penglihatan mata sendiri. Sekilas karena sedikit lena, hampir saja ia tercakar oleh
jari-jari tangan Coh Thian-hiong.
Cepat sekali, lenyap suaranya Beng Goan-cau pun sudah menyerbu tiba, golok cepatnya
laksana kilat, seiring dengan hardikan mengguntur, dengan sejurus Tok-pi-hoa-san (lengan
tunggal membacok gunung Hoa-san) ia bacok batok kepala Ciok Tio-ki. Sepasang potlot Ciok Tioki
terangkat bersama, ia balas dengan sejurus Hing-ka-kim-liang (menyangga melintang belandar
emas), "Trang" lelatu api berpercik, Ciok Tio-ki tak kuasa melawan tenaga raksasa Beng Goan-cau,
kakinya tersuruk sempoyongan beberapa langkah, terasa kulit kepalanya silir dingin. Meski batok
kepalanya tak sampai terbelah, namun jantung sudah melonjak kaget dan ketakutan.
Dengan gerakan badan Hong-biau-loh-hoa, ringan sekali Lim Bu-siang meluputkan diri dari
cengkraman Coh Thian-hiong, serunya kegirangan: "Tentunya aku tidak sedang bermimpi, Bengtoako,
kiranya memang kau adanya!"
"Serahkan anjing alap-alap ini, hadapi rase tua itu. Rase tua itu lebih jahat dan licik, jangan kau
lepas dia lari." Terbangkit semangat Lim Bu-siang, serunya: "Jangan kuatir, rase tua ini takkan bisa lolos!"
Badannya melesat terbang, dari membela diri ia balas menyerang, dikembangkannya kelincahan
tubuhnya, beruntun beberapa lompatan turun naik ia sudah mengejar Coh Thian-hiong.
Di sebelah sini Beng Goan-cau tidak menyia-nyiakan kesempatan, seperti bayangan mengikuti
wujudnya ia tubruk Ciok Tio-ki serta menyerangnya dengan gencar, setiap tabasan dan bacokan
goloknya satu lebih cepat dari yang lain, rang-sakannya laksana damparan gelombang sungai
Tiangkang yang tak kenal putus dan bergulung-gulung, keruan Ciok Tio-ki dide-saknya kerepotan
dan tak sempat ganti napas.
Sembari menyerang Beng Goan-cau menambah semangat tempurnya sembari menghardik dan
menggembor sekerasnya, semakin lama semakin gagah dan bersemangat. Sebagai wakil
komandan Gi-lim-kun, kepandaian silat Ciok Tio-ki sebetulnya tidak lemah, menurut biasanya,
seumpama bukan tandingan Beng Goan-cau, paling tidak kuasa bertahan ratusan jurus. Tapi
dicecar sedemikian cepat dan membadai ini, semangat tempurnya menjadi luluh dan terpengaruh
oleh kegagahan dan wibawa Beng Goan-cau, hanya puluhan jurus saja, ia sudah terdesak di
bawah angin, keadaannya cukup gawat.
Waktu Lim Bu-siang berhasil mengejar Coh Thian-hiong, mereka sudah sama melampaui dua
peng-kolan gunung, jaraknya cukup jauh dari tempat Beng Goan-cau. Karena tidak melihat Coh
Thian-hiong, semakin gundah dan kuatir Ciok Tio-ki dibuatnya, mau lari, mana mampu menjebol
kurungan sinar golok Beng Goan-cau yang rapat dan ketat ini" Dalam keadaan terdesak dan
gugup ini, ingin dia lancarkan tipu permainannya yang berbahaya untuk meraih kemenangan
secepatnya, kebetulan Beng Goan-cau tengah melancarkan sejurus Hoan-pi-ji-ca (membalik
lengan menusukkan golok), dia layani dengan potlot kirinya mengunci ke atas dari bawah,
sementara potlot di tangan kanan menyelonong miring menyimpang, menusuk Ih-khi-hiat di
bawah ketiak Beng Goan-cau. Jurus balasannya ini, ia biarkan tangan kirinya terbacok luka oleh
golok lawan, asal totokan potlot kanannya berhasil, maka dari terdesak sekaligus ia bisa
mengambil kemenangan. Sudah tentu Beng Goan-cau tidak memberi peluang kepada musuh" Tipu licik ia balas dengan
tipu pula, sebat sekali mendadak ia rubah permainannya, kaki menggeser badan malah mendesak
maju lebih dekat sambil menghardik keras: "Robohlah kau!" Tajam golok membalik ke atas,
dengan punggung golok yang ia putar sekali mengetuk kepala Ciok Tio-ki, memang gerakan
goloknya teramat cepat luar biasa dan susah di kuti mata biasa, belakangan menyerang mengenai
sasaran lebih dulu, begitu Ciok Tio-ki merasakan gelagat yang tidak menguntungkan, mau berkelit
pun sudah terlambat. Seiring dengan hardikan Beng Goan-cau, kepala Ciok Tio-ki kena terketuk
oleh punggung golok Beng Goan-cau dan jatuh gedebukan, begitu keras ketukan itu kontan ia
jatuh pingsan. Di bawah lekukan gunung akhirnya Coh Thian-hiong tersusul oleh Lim Bu-siang, meskipun ia
licik, licin dan banyak akalnya, sukar meloloskan diri.
Lim Bu-siang kembangkan ilmu pedang ajaran murni ciptaan Jan-bau-khek, gaya pedangnya
lincah laksana naga bermain di udara, gerak-gerik badannya selincah kupu-kupu menari di atas
kuntum bunga, tiba-tiba kosong mendadak isi, tiba-tiba menyerang kadang-kadang menggertak,
menggempur, menusuk, mencolek, mengiris, menggentak, membacok, mencukil dan berbagai
variasi yang mengagumkan, setiap gerak pedangnya amat telak dan tepat mengarah bagianbagian
mematikan di badan musuh. Sungguh serasi sekali dan tepat kalau dikatakan cepat di
antara lamban enteng di antara ketepatan. Begitu indah gemulai gerak-geriknya mengikuti
permainan pedangnya seperti mega mengembang air mengalir, enteng mantap dan tenang lincah!
Coh Thian-hiong membekal Iwekang yang tinggi, tujuh puluh dua jurus permainan Kim-na-jiu-hoat
yang dia kembangkan pun amat hebat dan ganas, kalau setahun yang lalu, Lim Bu-siang mungkin
bukan tandingannya, namun sekarang latihan ilmu pedang Lim Bu-siang dari ajaran cikal bakal
perguruannya sudah diyakinkan sempurna, betapapun tinggi dan ulet kepandaian Coh Thianhiong,
sulit ia bertahan dari rangsakan pedang Lim Bu-siang, apalagi dia bertangan kosong, mana
berani melawan ketajaman pedang lawan.
Beruntun Coh Thian-hiong kembangkan gerakan badan yang berlainan, namun tetap tak
mampu lolos dari belenggu sinar pedang lawan. Ceng-kong-kiam di tangan Lim Bu-siang
menunjuk timur menggempur barat, tuding selatan menghantam utara, ujung pedang yang
berkilauan laksana kunang-kunang bertebaran di udara, ke mana pun Coh Thian-hiong berkelit
dan pindah posisi, ujung pedang selalu mengarah hiat-tonya yang berbahaya. Keruan terkejut dan
mencelos hati Coh Thian-hiong, dengan menebalkan mukanya ia berkata: "Lim lihiap, kau
berwelas asih dan bermurah hati, aku sih dipaksa oleh Ciok Tio-ki, didesak untuk berlawanan
dengan kau, harap sukalah kau mengingat selama ini aku tidak pernah bermusuhan denganmu,
tidak mendesak dan memaksaku sedemikian rupa?"
Lim Bu-siang menjengek dingin: "Kau berlawanan dengan aku pun tidak menjadi soal, tapi ingin
aku tanya kepadamu, Hun Ci-lo punya permusuhan apa pula denganmu, demi harta dan
kedudukan tinggi, berulang kali kau menjual jiwa bagi Pakkiong Bong hendak mencelakai
jiwanya?" "O, jadi kau merasa penasaran bagi Hun Ci-lo dan hendak melampiaskan dendamnya" Salah
kalau kau berpikiran demikian!"
Lim Bu-siang melongo, katanya: "Apa maksud kata-katamu ini?" Mulut bicara namun
pedangnya tak berhenti atau menjadi kendor.
Coh Thian-hiong menyeringai, katanya: "Lim lihiap, tahukah hubungan rahasia antara Hun Ci-lo
dengan Beng Goan-cau" Kubantu kau menghadapi Hun Ci-lo, bagi kau ada manfaatnya malah.
Bicara lebih jelas, aku mempersulit Hun Ci-lo, Beng Goan-cau membenci aku, itu sudah jamak,
namun kau kena dibujuk oleh Beng Goan-cau untuk menuntut balas bagi Hun Ci-lo, ini, hehehe,
hal ini kurasa.." Belum habis kata-katanya, Lim Bu-siang naik pitam dibuatnya, dampratnya: "Tidak sudi aku
dengar obrolan kotormu ini!""Sret; sret, sret" beruntun dengan beberapa jurus tipu pedang yang ganas dan cepat ia
memberondong lawan, sehingga Coh Thian-hiong terdesak mundur dan tak sempat meneruskan
kata-katanya. Sekonyong-konyong dari balik gunung sebelah sana berkumandang lolongan panjang seperti
binatang buas terluka parah, lalu terdengar derap langkah berlari-lari menuju ke arah pertempuran
mereka sini. Terbetik suatu akal licik pada benak Coh Thian-hiong, tiba-tiba ia pura-pura berjingkrak girang,
teriaknya: "Ciok-tayjin, lekas kemari, lekas kemari!"
Lim Bu-siang tidak mengira akan tipu daya orang, keruan hatinya kaget. Maklumlah kalau benar
orang yang berlari mendatangi ini Ciok Tio-ki, tentulah yang menjerit panjang menyeramkan tadi
adalah Beng Goan-cau adanya, betapa Lim Bu-siang takkan gugup dan gelisah"
Sebat sekali Coh Thian-hiong berkesempatan lompat mundur jumpalitan setombak lebih, belum
lagi berdiri tegak tangannya sudah terayun, sekaligus ia sambitkan tujuh buah senjata rahasia ke
arah Lim Bu-siang. Pada saat mana kebetulan bayangan Beng Goan-cau muncul di ujung
pengkolan gunung sana, jengeknya dingin: "Rase tua, Ciok-tayjinmu sedang menunggumu di
sana" Lim Bu-siang melompat tinggi ke tengah udara, sinar pedangnya berkembang rapat, maka
terdengarlah suara riuh menusuk pendengaran, semua senjata rahasia timpukan Coh Thian-hiong
kena dipukul rontok. Semula Coh Thian-hiong mengira bisa menyergapnya secara tak terduga-duga, tak nyana ilmu
pedang gadis muda ini memang sudah mencapai kesempurnaannya, keruan takutnya bukan main,
segesit rase berlari lekas ia angkat langkah seribu.
Beng Goan-cau bergelak tertawa, serunya: "Siang-moay, ilmu pedang bagus. Lekas kita bekuk
rase tua itu!" Lim Bu-siang menghela napas lega, katanya: "Hampir saja aku tertipu oleh rase tua ini. Tapi dia
takkan bisa lolos dari tanganku."
Biasanya Coh Thian-hiong amat membanggakan ilmu meringankan tubuhnya, namun ginkang
Lim Bu-siang jauh lebih tinggi, dalam sekejap saja jarak kedua pihak sudah ditarik lebih pendek,
kirakira cuma dua tiga tombak jauhnya. Meski Coh Thian-hiong masih menimpukkan senjata
rahasianya, tapi karena sudah kehilangan bantuan Ciok Tio-ki, mengandal kepandaian timpukan
senjata rahasianya, mana mampu merintangi Lim Bu-siang.
Tanpa terasa mereka saling kejar sampai di puncak bukit, senjata rahasia Coh Thian-hiong pun
semakin berkurang, kini sisanya tidak banyak lagi, semakin gugup dan jeri pula hatinya. Mendadak
Beng Goan-cau menghardik bagai guntur: "Diberi tidak membalas kurang hormat, nah kau pun
sambutlah senjata rahasiaku!" Di tengah kumandang hardikannya, golok pusakanya ditimpuk
terbang melesat laksana kilat menyambar lurus ke depan.
Ginkang Beng Goan-cau lebih asor, jaraknya dengan Coh Thian-hiong yang sudah berada di
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
atas bukit kira-kira sudah ratusan langkah, sekali-kali Coh Thian-hiong tidak mengira lwekang
orang sedemikian mengejutkan, golok terbang yang menyambar dari jarak ratusan langkah masih
meluncur sedemikian pesatnya sampai mengeluarkan deru angin keras, telak sekali mengarah
mukanya. Sebetulnya Coh Thian-hiong seorang tokoh kosen ahli menimpuk dan menyambuti senjata
rahasia, tapi golok terbang ini melesat dengan kekuatan besar luar biasa.
Dia yakin bahwa lwekang sendiri tidak ungkulan melawan Beng Goan-cau, mana berani ia
menyambuti secara kekerasan, dalam seribu kesibukannya lekas ia kembangkan kepandaian
entengi badannya berkelit ke samping terus menerjang naik ke samping pula. Siapa tahu meski
gerakan badannya berkelit amat cekatan dan enteng, namun karena gugup dan tegang, tidak ia
sadari bahwa tempatnya berpijak sudah berada di pinggir jurang. Maka begitu ia melompat dan
melesat naik, kontan kakinya menginjak tempat kosong, waktu hendak melompat naik pula
tenaganya sudah habis dan tak memadai keinginan hatinya.
Terdengar suara "Trap!" golok terbang sambitan Beng Goan-cau menancap amblas ke dinding
gunung, kembang api dan batu-batu berpercik. Sebaliknya Coh Thian-hiong terjungkal jatuh ke
dalam jurang. Tak lama kemudian terdengar suara gedebukan serta lolong kesakitan yang
menggetarkan jiwa. Jelas bahwa badan Coh Thian-hiong terbanting hancur lebur dan jiwa pun
amblas. Beng Goan-cau mencabut golok pusakanya, katanya menghela napas: "Perbuatan jahat keliwat
batas pasti mendapat ganjaran yang setimpal. Rase tua ini mampus, marilah kembali
membereskan Ciok Tio-ki."
Karena batok kepala terketuk oleh punggung golok Beng Goan-cau, Ciok Tio-ki masih pingsan
dan belum sadarkan diri, rada lama kemudian baru pelan-pelan siuman. Napas masih bekerja
namun tak punya tenaga, terpaksa rebah di tanah sambil mengeluh kesakitan.
Kata Lim Bu-siang: "Kau adalah wakil Pakkiong Bong, jadi cakar kepercayaan Sat Hok-ting lagi.
Pakkiong Bong dan Sat Hok-ting membeli Boh Cong-tiu mendurhakai perguruan dan leluhurnya,
hampir saja Hu-siang-pay terjeblos ke jurang nista, kaulah orang perantara yang menyeretnya ke
jalan sesat. Cakar alap-alap ini jauh lebih bedebah dari rase tua itu."
"Benar, menurut apa yang kutahu, Nyo Bok pun dia ancam dan dibujuknya serta dipaksa,
sehingga menjurus ke jalan sesat, kesalahan keparat ini jauh lebih besar. Sesuatu benda sesudah
membusuk akan menjadi ulat, Nyo Bok mendapat ganjaran setimpal sesuai dosanya, namun dosa
keparat ini patut dihukum mati."
Semakin dipikir semakin marah hati Lim Bu-siang, makinya: "Ciok Tio-ki, kau tidak sangka akan
mengalami nasib seperti hari ini bukan?"
Kata Ciok Tio-ki mengeraskan kepala: "Aku terjatuh di tangan kalian, apa pula yang harus
kukatakan" Beng Goan-cau kau seorang gagah, lekas kau bacok bikin aku mampus saja, biar aku
mati dengan segera!"
"Aku masih ingin supaya kau hidup beberapa lama lagi, asal kau dengar kata, bukan mustahil
kami akan melepasmu pulang!"
Terbetik setitik harapan dalam benak Ciok Tio-ki, lekas katanya: "Beng tayhiap, apa yang kau
inginkan, silakan berkata saja!" '
"Tak perlu tergesa-gesa, kau harus kuserahkan kepada Leng-toako atau Siau-toako untuk
menjatuhkan putusannya, apa yang harus kau lakukan mereka pasti akan beri tahu kepadamu!"
Tengah mereka bicara, tiba-tiba terlihat Ting Hoat dengan beberapa orang desa berlari
mendatangi dengan bersenjata cangkul. Lim Bu-siang bertanya: "Eh, untuk apa kalian kemari
lagi?" Kata Beng Goan-cau: "Hoat-toako ini adalah temanku, tadi dialah yang menyampaikan kabar
kepadaku." "Aku kuatir kau tidak berhasil menemukan lihiap ini, maka kupanggil teman-teman ini untuk
bantu kau mencari. Ha, kiranya kau sudah berhasil membekuk perwira anjing ini." Orang-orang
desa itu serempak merubung maju sambil angkat pentung dan cangkul, beramai-ramai mereka
hendak menghajar Ciok Tio-ki sampai mati.
"Jangan bunuh dia," lekas Beng Goan-cau merintangi. "Masih ada gunanya kita biarkan dia
tetap hidup." Namun Ciok Tio-ki sudah kena beberapa kali gebukan.
Kata Beng Goan-cau lebih lanjut: "Kebetulan malah kedatangan kalian, biar aku minta tolong
kepada kalian semua."
"Beng-toako, kenapa kau begini sungkan" Kau ingin aku mengerjakan apa, silakan katakan
saja!" "Perwira anjing ini tolong kalian gusur bersama dan serahkan kepada pos penjagaan di daerah
yang terdekat, suruh mereka secepatnya mengantarnya kepada Siau-thau-ling untuk dijatuhi
hukuman." " " Ternyata Beng Gaon-cau dan Lim Bu-siang perlu cepat-cepat pulang memberi
laporan, kalau menggusur tawanan tentu kurang leluasa di perjalanan. Dan lagi ia pikir Lim Busiang
pasti banyak omongan yang hendak diutarakan kepada dirinya, kalau ada orang ketiga di sisi
mereka, meskipun hanya seorang tawanan, tapi tidak leluasa juga.
"Beng-toako, ular berbisa atau anjing galak yang sudah terluka pun bisa menggigit orang,
jangan kau terlalu lena dalam hal ini."
"Itu gampang diatasi, biar kucabut giginya yang berbisa kan beres!" Lalu ia jinjing golok
pusakanya dan berkata pula: "Seharusnya sekali bacok jiwamu harus kuhabisi, sekarang biar
kuampuni jiwamu, namun sekali bacokan harus kutambah menjadi empat kali bacokan!" Sembari
bicara goloknya berkilauan menyambar pulang pergi, naik ke kiri turun ke kanan, dalam sekejap
saja badan Ciok Tio-ki ditinggali empat jalur luka-luka bacokan golok. Di mana empat kali
tabasannya ini, ia bikin putus urat nadi kaki tangan Ciok Tio-ki, betapapun tinggi ilmu silatnya,
selanjutnya dia menjadi seorang cacat seumur hidup.
Beng Goan-cau serahkan Ciok Tio-ki kepada orang-orang desa, lalu tinggal pergi bersama Lim
Bu-siang. Di tengah jalan Lim Bu-siang tertawa, katanya: "Beng-toako, kau tidak menyangka aku
mendadak muncul di sini bukan?"
"Memang di luar dugaan. Beberapa waktu yang lalu kudengar kabar jelek yang tidak
menguntungkan bagi Hu-siang-pay kalian, kau sebagai Hu-siang-pay ciang-bun, masakah Cioksuhengmu
dan suheng lainnya membiarkan kau meninggalkan mereka seorang diri?"
Seperti udara cerah, langit membiru laut, hati Lim Bu-siang sedikit pun tidak diliputi kabut gelap
atau awan mendung, mendengar pertanyaannya, seketika bergairah semangatnya, tuturnya:
"Ancaman bencana dalam Hu-siang-pay kami sudah berselang. Pakkiong Bong menghasut Boh
Cong-tiu dan Cong Sin-liong dan kawanan berandal dari aliran sesat meluruk ke Thay-san membuat onar, akhirnya
mereka gagal total. Kawanan berandal digebah lari semua, Cong Sin-liong mampus, Boh Cong-tiu
pun digusur pulang oleh Pui- susiokku!"
Beng Goan-cau heran, tanyanya: "O, jadi kau masih punya seorang Pui-susiok, kenapa belum
pernah kudengar kau menyinggungnya."
"Pui-susiok adalah tokoh aneh misterius yang menuntun aku menemukan ajaran silat cosu
dalam gua itulah. Dulu aku sendiri pun belum tahu siapa dia, setelah hari itu dia muncul dan
menangkap Boh Cong-tiu hidup-hidup, baru aku tahu bahwa dia susiokku, dijuluki Tang-hay Sanjin
Pui Hi-kok!" Lalu ia tuturkan kejadian itu serta asal usul Tang-hay Sanjin kepada Beng Goan-cau.
Beng Goan-cau jadi senang. Lim Bu-siang berkata dengan tersenyum: "Masih ada sebuah kabar
belum sempat kuberi tahu kepada-mu.
Beng Goan-cau melengak, katanya: "O, masih ada kabar baik apa?"
"Kabar mengenai Hun-cici dan Miao tayhiap."
"Sebelum kau datang ke Siau-kim-jwan sudah bertemu dengan mereka?"
"Malah dengan Hun-cici aku mengobrol semalam suntuk. Kebetulan waktu Boh Cong-tiu
meluruk ke Thay-san hari itu, mereka berdua pun tiba dalam waktu yang tepat, sengaja belum
kuberitahu sampai sekarang, supaya kau kaget dan senang."
"O, kalian mengobrol semalam suntuk, apa saja yang dibicarakan?"
"Tidak kuberi tahu!" seru Lim Bu-siang cekikikan.
"Tidak kau beri tahu, sedikit banyak aku bisa meraba."
Merah muka Lim Bu-siang, katanya: "Jangan kau menebak sembarangan, omongan kaum hawa
mana boleh kuberi tahu kepadamu, tapi dia minta aku menyampaikan beberapa patah kata
kepadamu, sudah tentu harus kusampaikan!"
"Apa yang dia katakan?"
"Katanya dia ada keperluan harus berangkat ke Tayli bersama Miao tayhiap, mungkin tidak ke
Siau-kim-jwan menengokmu. Dia pun berkata selama hidupnya dia punya dua sahabat karib paling
baik, seorang kau dan yang lain Miao tayhiap. Dia amat menghargai masa-masa pergaulannya
denganmu di masa lalu, namun dia minta supaya kau tidak usah mengenangnya. Katanya dia
pernah mengalami berbagai kehidupan getir dan pahit, namun dia percaya kehidupan yang akan
datang tentu jauh lebih baik dari dulu."
Kata-kata yang mengandung arti ini, sudah tentu Beng Goan-cau cukup mengerti. Sesaat
hatinya senang dan hambar pula. Seketika benaknya menjadi kalut dan risau, lama kelamaan
terasa hampa, entah bagaimana perasaan hatinya.
Lim Bu-siang tertegun sejenak, tanyanya kurang tentram: "Beng-toako, kau tidak merasa
senang dengan mereka?"
Barulah Beng Goan-cau tersentak dari lamunannya, sahutnya: "Kenapa aku tidak senang" Miao
Tiang-hong adalah sahabatku, aku tahu dialah satu-satunya orang yang setimpal menjadi
sandaran hidup Hun Ci-lo. Bicara terus terang, sudah lama aku mengharap mereka bisa terikat
menjadi suami istri. Sekarang terkabul ah keinginan hatiku, mana bisa aku tidak ikut girang bagi
mereka?" "Beng-toako," ujar Lim Bu-siang lembut, "aku tahu dulu kau pernah menyukainya, sayang
takdir mempermainkan orang, urusan dunia memang sukar diramalkan, sebetulnya kalian adalah
pasangan yang setimpal, namun toh dipisahkan oleh permainan takdir."
"Urusan yang sudah berselang aku tidak ingin mengungkitnya kembali. Tapi, hubunganku
dengan Hun Ci-lo kelak pasti akan kujelaskan kepadamu. Meskipun aku tidak ingin mengungkitnya
kembali." Sebagai gadis mekar yang menanjak dewasa dan cerdik pula, sudah tentu Lim Bu-siang
maklum juga akan arti kata-kata orang, seketika merah mukanya, katanya: "Benar, kejadian yang
sudah berselang biarlah lalu, kenapa diungkit pula" Dulu Hun-cici banyak mengalami derita hidup,
kini dia sudah mendapatkan sandaran hidupnya, kita harus bersyukur dan ikut girang. Soal
hubunganmu dengan dia, kelak kau pun tak perlu jelaskan dengan aku. Aku, aku sudah tahu!"
Begitulah dengan kecepatan mereka menempuh perjalanan, malam itu juga Beng Goan-cau
dan Lim Bu-siang sudah kembali ke Siau-kim-jwan, saat mana sudah menjelang tengah malam,
namun Leng Thiat-jiau dan Siau Ci-wan berdua menyambut kedatangan mereka, setelah
mendengar laporan Beng Goan-cau, Leng Thiat-jiau jadi senang, katanya: "Tahu diri sendiri tahu
kelemahan musuh pula, seratus kali perang seratus kali menang, kau memperoleh kabar yang
begini penting mengenai situasi musuh, jelas kita bakal menang."
Siau Ci-wan menimbrung sambil tertawa: "Ciok Tio-ki sampah persilatan itu, tak nyana sudah
kau bekuk hidup-hidup, sungguh menggirangkan juga."
"Bukan jasaku seorang saja, nona Lim lebih besar menghabiskan tenaganya."
"Lim lihiap," ujar Leng Thiat-jiau, "kau buang kedudukan ciang-bun, rela menempuh bahaya
datang ke Siau-kim-jwan membantu kami berjuang dalam kehidupan serba sulit ini, sungguh harus
dipuji dan mengagumkan. Tapi tak perlu aku banyak omong sungkan, seharian kau sudah capai
dalam perjalanan, silakan beristirahat lebih pagi." Lalu ia suruh orang membawa Lim Bu-siang ke
bagian laskar perempuan. Setelah Lim Bu-siang mengundurkan diri, Leng Thiat-jiau tertawa pula katanya: "Goan-cau, kau
pun sudah penat, namun aku tidak memberi kesempatan kau istirahat lho!"
"Ya, pasukan kerajaan secara besar-besaran bakal menggempur datang, kita harus
merundingkan cara untuk mematahkan gempuran mereka."
"Soal itu kesampingkan dulu setelah kita berhasil mengompes keterangan Ciok Tio-ki. Aku
masih ada kabar baik belum kuberi tahu kepada kau!"
"Kabar baik apa?"
"Kau pulang membawa seorang tamu, pihak Lau Khong sana pun kedatangan empat tamu,
kebetulan keempat tamu ini baru tadi siang datang."
"Siapakah keempat tamu itu?"
"Mereka datang dari Tayli, malah begitu tiba mereka ingin segera menemuimu."
"Siapakah mereka?" desak Goan-cau.
"Tak usah gugup, toh kau harus menemui mereka, pergilah kau ke sana," timbrung Siau Ciwan.
Lau Khong sudah datang sebulan yang lalu, menempati perkemahan yang lain.
Begitulah dengan perasaan heran dan ingin tahu Beng Goan-cau beranjak menuju ke
perkemahan Lau Khong. Sudah tentu kedatangannya disambut meriah, Lau Khong berkata
kesenangan: "Beng-toako, kau sudah pulang. Mari, mari kami sedang tunggu kau, kau
kuperkenalkan kepada mereka."
Kiranya keempat tamu itu adalah Thia Sin-gan, Thia Giok-cu dan Bu Toan serta Bu Cheng.
Terlebih dulu Lau Khong perkenalkan Bu Toan berdua: "Ayah mereka adalah locianpwe laskar
gerilya kita, beliau adalah Bu tayhiap Bu Ting-hong dari Soatang. Miao Tiang-hong adalah susiok
mereka." Lalu ia perkenalkan Thia Sin-gan dan putrinya: "Thia-toako adalah teman baik Kwi-hwethio,
tentunya kau sudah pernah mendengar namanya Nona Thia ini adalah putri tunggalnya."
Beng Goan-cau bergelak tawa, ujarnya: "Kalau demikian, kita termasuk orang-orang sendiri!"
Meski ia bicara sambil tertawa lebar, namun hatinya gundah dan hampa seperti kehilangan apaapa.
Berkata Lau Khong sambil menuding Bu Cheng: "Begitu tiba dia ingin bertemu denganmu.
Soalnya dia membawa kabar yang mungkin cukup menggirangkan hatimu."
"Apa iya?" ujar Beng Goan-cau tersenyum, dalam hati ia sudah meraba sebagian.
"Beng tayhiap," ujar Bu Cheng, "aku bawakan kabar seorang sahabat baikmu, coba kau tebak
siapa dia?" "Aku tidak bisa menebaknya," Beng Goan-cau sengaja pura-pura.
"Perlu diketahui bahwa kami datang dari Tayli, di sana kami menginap di keluarga Toan yang
pernah jadi raja di Tayli."
"Aku tahu, Toan Siu-si dari keluarga Toan adalah teman baikku. Apa dia yang titip kabar baik
untuk aku?" "Bukan, yang tinggal dalam keluarga Toan itu waktu masih ada dua orang lagi, yaitu Miao
susiok dan Hun-kokoh!"
"O, Hun-kokoh yang kau maksud tentunya Hun Ci-lo?"
"Ya. Dia amat baik terhadapku, usianya jauh lebih tua, mungkin bakal menjadi bibi guruku lagi,
maka kupanggil dia kokoh."
Berdetak jantung Beng Goan-cau, namun ia tekan gejolak perasaannya, katanya tertawa: "Ah,
mungkin dia bibi gurumu" Kalau demikian, memang ini kabar baik."
"Sebetulmya kami ajak dia kemari, hari itu setelah kusampaikan maksudku baru aku sadar akan
kecerobohanku." "Tentunya dia hendak pergi ke lain tempat dengan Miao-susiokmu, maka tidak kemari?"
"Waktu berpisah Hun-kokoh ada bilang, katanya kau adalah teman baik mereka berdua, setiba
di sini suruh kami kalau ada persoalan supaya berunding denganmu."
"Oh, begitu, lalu ada persoalan apa yang hendak kau rundingkan dengan aku?"
"Tidak apa-apa," sahut Bu Cheng dengan muka merah. "Hun-kokoh amat perhatikan diriku,
maka sebelumnya dia berpesan sekadarnya."
Dasar sama-sama gadis remaja yang bersifat lincah dan suka bercanda, tiba-tiba Thia Giok-cu
tertawa geli, serunya: "Kau tak berani bilang, biar kuwakili bagaimana?"
Semakin jengah muka Bu Cheng, rengeknya merengut: "Tidak perlu kau goyang lidah, kau
mengatai aku, sebentar aku pun menggodamu!"
Semula Beng Goan-cau keheranan, serta ia perhatikan tindak tanduk dan sikap mereka,
sebentar saja lantas paham, sahutnya tertawa: "Aku sudah tahu!"
Thia Sin-gan tertawa lebar, katanya: "Kalian sama-sama malu, biar aku saja yang bicara. Miao
tayhiap adalah susiok nona Bu, seharusnya dialah yang menjadi wali pernikahan mereka..."
"Aku sudah paham," tukas Beng Goan-cau. "Karena Miao Tiang-hong sendiri tidak bisa kemari,
maka dia minta supaya aku mohon pimpinan laskar gerilya di sini mewakilinya merestui
pernikahan mereka." "Ya, begitulah!" ujar Thia Sin-gan.
"Gampang diurus, biar setelah pertempuran kali ini selesai, sekaligus kita bisa rayakan
kemenangan dengan perjamuan pernikahan."
"Thia-toasiok, kau tidak adil. Kenapa kau hanya bicarakan urusanku..."
"Kita sama-sama putra-putri kaum persilatan, urusan masa depan kenapa harus malu-malu
dibicarakan. Tapi perlu aku tanya dulu kepada Bu-kongcu dan putriku!"
"Tidak perlu tanya. Thia-cici sudah setuju menjadi ensoku!"
Merah jengah muka Thia Giok-cu, "Jangan sembarang omong, kata siapa?"
"Engkohku yang bilang, kau sudah menerima lamarannya, apa tidak bakal jadi ensoku?"
"Kalau demikian aku bakal menjadi mertua nih," kelakar Thia Sin-gan. "Beng tayhiap, bikin
capai dirimu saja untuk menjadi comblang!"
"Boleh saja. Lebih baik kalau kalian dua pasang mempelai menikah bersama, perjamuan tentu
lebih ramai." Timbrung Lau Khong: "Sayang Miao tayhiap dan Hun Lihiap tidak berada di Siau-kim-jwan,
kalau tidak tentu jauh lebih ramai lagi."
Setelah urusan besar ini selesai dibicarakan, kembali Bu Cheng menjadi lincah dan banyak
mulut pula: "Memangnya perlu kau pikirkan mereka. Agaknya mereka sudah berat berpisah, bukan
mustahil mereka akan melangsungkan pernikahan di tempat lain. Kalau bersua dengan Miaosusiok
pasti kutuntut arak kegirangannya!"
"Sudahlah, jangan kita bicara soal pribadi saja," sela Lau Khong tertawa. "Seharusnya bicara
soal pergerakan laskar rakyat di sini."
Beng Goan-cau tersentak sadar, diam-diam ia merasa menyesal dan malu diri, cepat ia
tenangkan diri, ujarnya: "Ya, tiba saatnya membicarakan urusan pokok, bagaimana keadaan di
Tayli sana?" "Kerajaan semula hendak menyedot sebagian kekuatan pasukan di Tayli untuk digabung
dengan pasukan dari Gunbing, sekaligus untuk menggempur Siau-kim-jwan. Tapi perhitungan
dengan rencana muluk-muluk ini sekarang terang tak dapat terlaksana," demikian tutur Thia Singan.
"Kenapa?" tanya Beng Goan-cau.
Lau Khong tertawa, ujarnya: "Han-ciangkun yang berkuasa di Tayli sudah binasa oleh Thiatoako.
Demikian pula Sa Mi-wan yang diutus Pakkiong Bong untuk bantu Han-ciang-kun itu
terbunuh juga oleh mereka kakak beradik."
Beng Goan-cau girang, katanya: "Jasa kalian sungguh tidak kecil, dengan berhasil membunuh
kedua orang ini, meski pihak kerajaan bisa mengutus atau angkat seorang pengganti yang lain,
namun untuk mengerahkan pasukan, pulang pergi harus makan waktu beberapa bulan lagi."
Mereka bercakap-cakap dengan riang gembira sehingga tidak merasa sang waktu berjalan
dengan cepat, tanpa terasa hari sudah menjelang fajar. Tiba-tiba terlihat Siau Ci-wan dan Leng
Thiat-jiau berdua datang bersama, sikap kedua orang kelihatan riang gembira pula.
Lau Khong melenggong, tanyanya: "Siau-toako, Leng-toako, begini pagi kalian kemari."
"Setengah malaman kalian mengobrol, semua belum tidur bukan?" balas tanya Leng Thiat-jiau.
"Ya, belum!" sahut Beng Goan-cau.
"Kami juga semalam tidak tidur. Beng-heng, Lau-heng, cara menggempur kepungan musuh
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sudah berhasil kami rancang dengan baik. Sengaja kami kemari untuk merundingkan dengan
kalian, marilah kita perhatikan dan analisa pula apakah boleh dilaksanakan menurut rencana ini?"
demikian kata Leng Thiat-jiau pula.
Semakin senang Beng Goan-cau dibuatnya, katanya: "Leng-toako kau paham strategi perang,
tipu daya yang kau buat tentu bagus sekali, ingin siaute mendengar penjelasanmu."
"Kalau dikatakan, jasamu pula yang paling besar, cara menggempur musuh, kami peroleh dari
Ciok Tio-ki yang kau tawan tadi sore."
"Apa orang-orang desa itu sudah membawa Ciok Tio-ki kemari?" tanya Beng Goan-cau.
"Ya, waktu kau kemari tadi dia pun digusur ke markas pusat, barusan aku dan Siau-toako
mengom-pes keterangannya."
Selanjutnya Siau Ci-wan bicara: "Pasukan Ceng yang dipimpin Ciok Tio-ki akan dikerahkan dari
Gun-bing, tampuk pimpinannya dipegang oleh seorang perwira she Ui. Menurut keterangan Cok
Tio-ki, Ui-congping ini punya hubungan pribadi yang amat intim dengan Han-ciangkun yang
berkuasa di Tayli itu, mereka masing-masing sudah berjanji akan tanggal dan waktu
pemberangkatan dari masing-masing tempat, untuk bertemu di luar lingkungan Siau-kim-jwan.
Menurut rencana perjalanan pasukan, jikalau tiada terjadi sesuatu di luar dugaan, dua hari
mendatang ini pasukan dari Tayli itu akan tiba di bagian barat Siau-kim-jwan untuk bergabung
dengan mereka. "Sayang sekali, pihak di Tayli justru kebentur peristwa di luar dugaan, rencana mereka untuk
menggabung kekuatan kedua pihak di Siau-kim-jwan menjadi tak terlaksana," demikian timbrung
Lau Khong tertawa. "Benar," ujar Leng Thiat-jiau. "Tapi kabar dari Tayli sudah kita ketahui. Sebaliknya Ui-congping
dan Ciok Tio-ki belum tahu sama sekali. Mimpi pun mereka takkan menyangka bahwa Hanciangkun
dan Sa Mi-wan di Tayli sudah sama terbunuh orang."
Beng Goan-cau sadar dan paham, katanya: "Jadi cara menggempur musuh adalah
menggunakan titik perangkap yang kita atur. Kita tipu Ui-congping itu, benar tidak?"
"Benar, apa halangannya kita tipu mereka kali ini. Akan kusuruh seseorang menyamar jadi Hanciangkun
itu, membawa sepasukan tentara Ceng menempuh perjalanan malam hari, lewat jalan
kecil menuju ke pegunungan sebelah barat sana untuk menunggu kedatangan musuh, lalu kirim
kabar kepada Ui-congping untuk bergabung di sana. Beberapa tahun terakhir, tidak sedikit tentara
Ceng yang kita tawan, seragam mereka dan panji-panji barisan banyak pula yang kita miliki, cukup
kalau digunakan oleh ribuan saudara kita."
"Tipu ini memang baik, cuma dari mana kita cari orang yang sama untuk menyamar Hanciangkun
itu" Sebelum pertemuan kedua pasukan dimulai, paling tidak mereka mesti saling kirim
kurir untuk memberi kabar, orang yang diutus sebagai kurir ke pihak Tayli, tentulah seorang yang
sudah amat kenal Han-ciangkun pula, apakah Han-ciangkun samaran itu tidak kuatir ketahuan
mereka?" demikian Beng Goan-cau utarakan pendapatnya.
"Han-ciangkun samaran itu sudah kita dapatkan, tanggung takkan ketahuan oleh musuh,"
sahut Ciau Ci-wan dengan tersenyum.
"Siapa dia?" tanya Beng Goan-cau.
"Apa kau sudah lupa kepada maling sakti nomor dua sejagat Li-ma-cu yang pintar merias diri
memalsu orang lain?"
"Apa Li-ma-cu sudah kemari?"
"Bukan Li-ma-cu saja, temannya Kwi-hwe-thio, si maling sakti itu pun sudah tiba. Mereka tiba
kemarin dulu." "Ya, kalau demikian aku jadi ingat," sela Lau Khong. "Semula Kwi-hwe-thio seperjalanan kemari
dengan aku, di tengah jalan mendadak dia pamit hendak ke tempat lain mencari seseorang lalu
akan menyusul kemari. Jadi dia pergi mencari Li-ma-cu."
"Waktu di Pakkhia, Li-ma-cu pernah menyaru Pakkiong Bong, anak buah Pakkiong Bong pun
kena dikelabui olehnya, kalau dia yang menyaru jadi perwira gadungan, tanggung takkan salah
lagi," demikian puji Beng Goan-cau.
Berkata Leng Thiat-jiau lebih lanjut: "Tapi sebelum penggabungan itu dilaksanakan, kita harus
berjaga-jaga bila Ui-congping itu menyergap secara tiba-tiba, dia memang seorang jendral perang
yang berbakat. Goan-cau, di desa kecil itu kau sudah menemukan pasukan penyelidiknya, maka
jangan sekali-kali memandangnya enteng."
"Aku cukup hafal keadaan bumi desa itu, biar aku saja yang menghadapinya!"
"Boleh saja. Kalau demikian Lau-toako, kau, Bu Toan dan Bu Cheng pergilah bantu Li-ma-cu."
Setelah segala sesuatunya diatur dengan baik, pihak Siau-kim-jwan segera mengerahkan tenagatenaga
andalannya untuk bekerja sesuai dengan rencana, hal ini tak perlu kami terangkan. Beng
Goan-cau repot menyambut datangnya tugas perang yang akan datang, maka tak sempat pula ia
merindukan Hun Ci-lo. Sebaliknya di saat peperangan mulai berkobar itulah Hun Ci-lo kebetulan beranjak di daerah
pedalaman Siau-kim-jwan. Tiga hari kemudian sejak para pimpinan laskar gerilya merundingkan rencana melawan musuh,
tempatnya pada suatu pegunungan belukar yang sepi tujuh delapan puluh li jauhnya dari
pangkalan besar laskar gerilya. Walau peperangan sudah mulai berkembang, tapi di lingkungan
pegunungan, masih belum terdengar riuhnya benturan senjata tajam, belum terlihat berkibarnya
panji-panji kebesaran pasukan Ceng, maka sulit diketahui bahwa peperangan sudah mulai
berkobar. Hari sudah mulai gelap, namun seorang diri Hun Ci-lo masih menempuh perjalanan. Ingin
rasanya secepatnya ia tiba di Siau-kim-jwan, namun serasa hati takut pula tiba di Siau-kim-jwan.
Siau-kim-jwan, tempat indah permai yang sejak dulu dirindukan, dirinya memang masih asing
akan tempat itu, namun di sanalah kampung halaman kedua bagi Beng Goan-cau, kini ia berada di
tempat yang masih asing bagi dirinya, namun semakin dekat serasa hati semakin jeri dan rawan.
Bertemu seperti tidak ketemu, ada cinta seperti tak kenal asmara. Ia tahu besok ia akan bisa
bertemu dengan Beng Goan-cau, namun hatinya masih gundah dan risau, tak tahu apakah harus
menemuinya tidak. Ia kuatir perasaannya yang sudah terpendam dan tawar bakal berkobar dan
bersemi pula, seumpama dirinya kuasa mengendalikan perasaan hatinya, mungkin Beng Goan-cau
takkan bisa melupakan setia dan sumpah sehidup semati masa lalu. Begitulah sambil berjalan
pikirannya bergolak timbul tenggelam tak bisa tentram.
Hari semakin gelap, cuaca mendung lagi, tiba-tiba hujan gerimis dan semakin deras, dia harus
mencari tempat untuk berteduh. Di saat ia celingukan mencari pohon besar dan rindang untuk
berteduh, tiba-tiba dilihatnya di balik pepohonan di kejauhan bukit sana, seperti ada sebuah
kelenteng bobrok, Iapat-lapat kelihatan sinar api dari dalam kelenteng.
Hun Ci-lo amat girang, ia kira sebangsa pemburu yang sedang berteduh di dalam kelenteng,
membuat api unggun untuk mengusir hawa dingin. Segera ia beranjak menuju ke arah kelenteng
di atas bukit sana. Hujan semakin besar dan kejap lain air seperti ditumpahkan dari atas langit. Suara air gemericik
riuh rendah, sayup-sayup terdengar suara percakapan dua orang dari dalam kelenteng. Mungkin
kuatir temannya tidak mendengar suaranya, kalau hujan semakin deras, maka suara percakapan
mereka pun semakin keras pula.
Hun Ci-lo empos semangat dan menyedot napas, segera ia kembangkan ginkang. Gerak
langkahnya amat ringan, maka orang dalam kelenteng tidak mendengar, namun percakapan
mereka malah didengar jelas oleh Hun Ci-lo.
"Sudahlah, besok pagi-pagi kita sudah tiba dalam pasukan besar, kau pun tak perlu takut lagi,"
terdengar seorang berkata dalam kelenteng.
"Omong kosong, apa sih yang kutakutkan?" jawab seorang yang lain.
"Tak usah kau kelabui aku, dua hari ini sepanjang jalan ini kau selalu kebat-kebit, bukankah
Panji Sakti 1 Rajawali Lembah Huai Karya Kho Ping Hoo Dendam Empu Bharada 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama