Ceritasilat Novel Online

Kelana Buana 4

Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen Bagian 4


melabrak maju tapi kuatir tenaga tidak mengijinkan, sekali bergerak dan menyerang secara
kekerasan keadaan luka dirinya tentu diketahui lawan.
"Nona cilik," ujar Toan Siu-si tertawa. "Sungguh aku kagum pada kau. Kau terkena Ang-saciangku,
betapa sakit dan derita yang kau rasakan tanggung orang biasa tidak akan kuat
bertahan, namun kau masih bisa berpura-pura begitu persis seperti tidak terjadi apa-apa."
Lalu ia berpaling ke arah Pok Thian-tiau, katanya: "Suheng! Luka-luka budak kecil ini jauh lebih
parah dari lukamu, kau pun tidak perlu mengumbar amarah begitu besar!"
"Sute!" seru Pok Thian-tiau gusar "Apa-apaan omonganmu ini" Apa kita tidak perlu menuntut
balas lagi dan mengampuni jiwa mereka demikian saja" Kejadian malam ini bila sampai tersiar luas
di Bulim, orang lain sih tidak tahu. tentu mereka anggap kita tidak mampu mengalahkan putri dan
murid Lu Siu-gun, di mana muka Tiam-jong-siang-sat ditaruh selanjutnya?"
Tahu bahwa sang sumoay memang sudah terkena pukulan beracun musuh, sungguh kejut dan
marah Beng Goan-cau bukan kepalang, "sret" kontan ia tusukkan pedangnya ke arah Toan Siu-si,
sembari bentaknya: "Baik, Beng Goan-cau mengadu jiwa dengan kalian."
Tapi Toan Siu-si tidak melayani serangannya, sebat sekali ia melompat mundur menghindar,
teriaknya: "Nanti dulu, aku ada omongan!"
"Kau sudah melukai sumoayku, ada omongan apa pula yang harus kukatakan kepadamu?"
Pok Thian-tiau menjadi gugup, teriaknya: "Sute, kau..."
Dengan cepat dan mahir sekali Toan Siu-si lekas membubuhi obat Kim-jong-yok pada luka-luka
Pok Thian-tiau, ujarnya: "Suheng tidak usah kuatir, aku tidak akan membuat kau kehilangan
muka. Tapi permusuhan gampang di kat sulit dilerai, asai kedua pihak sama-sama memperoleh
bagiannya, apa halangannya diadakan gencatan senjata sementara?"
Walaupun Pok Thian-tiau sebagai suheng, tapi pengetahuan dan kepandaian ilmu silatnya
diungkuli sutenya, maka selamanya ia bersikap hormat dan patuh kepada sutenya. Maka setelah
mendengar kata-kata Toan Siu-si ia berkata: "Baik, asal muka dan gengsi Tiam-jong-siang-sat kita
tidak sampai dirugikan, aku menurut saja."
Sumoay sudah terluka, gencatan senjata memang adalah yang diharapkan oleh Beng Goan-cau,
maka cepat ia pun berseru: "Baik, lalu bagaimana maksudmu" Silakan jelaskan!"
"Luka-luka sumoaymu jauh lebih parah dari suhengku, kalau dilanjutkan, kalian tidak bakal
memperoleh keuntungan, bukan saja jiwa sumoaymu mungkin tidak bisa diselamatkan lagi,
mungkin jiwamu sendiri pun harus kau pertaruhkan."
Beng Goan-cau menjengek dingin: "Aku orang she Beng memang sudah tidak ingin hidup lagi,
ucapanmu ini tidak perlu kau lanjutkan, lekas kau jelaskan cara selanjutnya saja."-Sementara
dalam batin ia berpikir: "Gembong iblis ini menempatkan diri sebagai pihak pemenang, jelas
hendak tawar menawar dan mengulur waktu. Ai, asal jiwa sumoay bisa diselamatkan, meski harus
sedikit menderita dan kena malu pun tidak menjadi soal."
Toan Siu-si terbahak-bahak, serunya: "Ucapanmu terlalu berat. Biasanya orang suka berkata,
membunuh orang tidak jarang cuma menganggukkan kepala belaka. Apalagi yang mengikat
permusuhan adalah gurumu, untuk apa kami harus mencabut nyawamu" Tapi pepatah ada bilang
juga, hutang ayah putra-putrinyalah yang harus bayar, bagi kaum persilatan guru bagai ayah,
gurumu berhutang satu pukulan pada kami suheng-te, entah apakah Beng Tayhiap sudi menebus
hutang gurumu ini?" "Baik," sahut Beng Goan-cau tanpa pikir panjang. "Silakan kalian maju masing-masing pukul
satu kali!" Keruan Lu Su-bi terperanjat, teriaknya: "Suheng, jangan!"
Toan Siu-si menyengir ujarnya: "Meski lwekang Beng Tayhiap ampuh, belum tentu kau kuat
bertahan dari pukulan berbisa dari Tiam-jong-siang-sat. Bila sampai jiwa Beng Tayhiap melayang
ini jadi bertentangan dengan maksud kami semula, jangan begitu caranya!"
"Sebetulnya apa kehendakmu" Kenapa bicara pelintat-pelintut!"
Berkatalah Toan Siu-si pelan-pelan: "Hal ini dapat kau lakukan, malah gampang sekali. Cukup
asal kau berlutut dan menyembah tiga kali kepada kami, anggap saja ini sebagai penebus hutang
gurumu. Untuk selanjutnya permusuhan di antara kita terhitung sudah lunas!"
Muka Lu Su-bi yang semula sudah pucat pasi seketika merah membara, makinya: "Kentutmu
busuk! Bajingan, sengaja kau hendak menghina kami, bukan saja menghina kami, kau pun
menghina ayahku almarhum! Suheng, kau bisa sabar, aku harus labrak dia!"
"E, eh," seru Toan Siu-si. "Dua jiwa ditukar menyembah tiga kali, hitung dagang yang cukup
ringan dan menguntungkan bagi kalian masa kalian tidak sudi?"
Bertaut alis Beng Goan-cau, matanya mendelik bundar. Hardiknya: "Beng Goan-cau lebih baik
ajal daripada bikin malu perguruan, hari ini kalau kau tidak mampus biarlah aku yang mati! Silakan
maju!" Maklum biasanya Beng Goan-cau paling menghormati gurunya, kalau Tiam-jong-siang-sat
hanya menyuruh dia menyembah, demi jiwa sumoaynya mungkin bisa dilakukan, atau paling tidak
bisa dipertimbangkan. Tapi' Toan Siu-si menjelaskan bahwa ia menyembah sebagai balas dosa
akan perbuatan gurunya dulu, sekali ia menyembah berarti nama dan gengsi gurunya ia sapu
bersih, mana sudi dia melakukan.
Bahna gusarnya Beng Goan-cau mainkan goloknya dengan bernafsu, beruntun ia putar
goloknya sekencang angin menyerbu Tiam-jong-siang-sat. Di luar sadarnya justru ia kena
dipancing oleh Toan Siu-si, bahwa menghadapi pukulan beracun Tiam-jong-siang-sat sebetulnya
Beng Goan-cau sudah kepayahan, sekali ia mengumbar nafsu amarah, keadaannya semakin payah
dan tak kuasa bertahan lama.
Pok Thian-tiau sangat benci Lu Su-bi, sambil menyeringai iblis ia berkata: "Budak busuk,
matamu buta melek, berani melukai aku, aku pun tidak perlu mencabut nyawamu, cukup asal kau
tebus dengan kedua biji matamu saja?", sambil mengayun lengannya yang berlepotan darah
dengan gencar ia merabu Lu Su-bi. Beberapa gebrakan Lu Su-bi masih kuasa bertahan, namun
kepala sudah pusing dan mata pun berkunang-kunang, bumi rasanya berputar dan hampir kiamat.
Disamping harus mengerahkan tenaga murni untuk menolak hawa beracun Beng Goan-cau
harus selalu memperhatikan keadaan sumoaynya pula, dalam pertempuran sengit itu tiba-tiba
terdengar "cras", secuil kain baju Beng Goan-cau kena dicomot robek oleh Toan Siu-si.
Toan Siu-si bergelak tertawa, seninya: "Beng Goan-cau, apa kau masih keras kepala anggap
dirimu sebagai Hohan" Sayang, sayang! Sayang ilmu silatmu ini. Sebetulnya aku tidak ingin
mencabut nyawamu, tapi terpaksa kau harus kutamatkan riwayatmu."
Toan Siu-si sudah anggap Beng Goan-cau sebagai ikan yang masuk ke dalam jalanya, siapa
tahu belum lagi suara tawanya lenyap, dari batu gunung di sebelah belakangnya sana, di mana
terdapat gerombolan liar mendadak terbang keluar sesosok bayangan hitam, laksana kilat tiba-tiba
menubruk ke arah dirinya.
Tidak perlu dijelaskan orang ini tentu Hun Ci-lo adanya. Tapi Beng Goan-cau tidak tahu sama
sekali. Sejak kecil Hun Ci-lo sudah suka kebersihan, tapi supaya dirinya tidak dikenali oleh Beng Goancau,
terpaksa ia comot tanah terus diusapkan ke mukanya di samping itu ia sobek lengan bajunya
yang warna hitam untuk membungkus sanggul rambutnya.
Gerakan pedang Hun Ci-lo laksana kilat, "Sret" dengan tipu Pek-hong-koan-jit ujung pedangnya
menusuk ke Tay-yang-hiat di kepala Toan Siu-si. Keruan Toan Siu-si terkejut, batinnya: "Entah
dari mana perempuan gila ini muncul tiba-tiba, liehay benar permainan pedangnya!"-Tersipu-sipu
ia gunakan Hong-tiam-thau menghindar berbareng pindah tempat menggeser kedudukan sembari
membalikkan telapak tangan memukul ke belakang.
Di mana sinar pedang berkelebat, seketika Toan Siu-si merasa kepalanya menjadi dingin.
Ternyata setengah rambut kepalanya sudah terpapas rontok oleh tajamnya pedang Hun Ci-lo.
Kepalanya menjadi botak kelimis seperti rumput terbabat sampai seakar-akarnya.
Hun Ci-lo cuma mengandal tiga jurus permainan pedangnya untuk memperoleh kemenangan,
jurus pertama ia tidak berhasil menusuk luka musuh, diam-diam ia merasa sayang, cepat sekali ia
sudah menggeser kaki pindah posisi, jurus kedua Hian-oh-jan-sa, kali ini sasarannya adalah Pok
Thian-tiau. Ginkang Toan Siu-si sebetulnya setanding dengan Hun Ci-lo, soalnya dia harus menghindar
baru melancarkan serangan balasannya, maka tamparan telapak tangannya itu mengenai tempat
kosong, ujung baju lawan pun tidak tersentuh.
Memang kepandaian Pok Thian-tiau tidak ungkulan dibanding sang sute, sudah terluka lagi, kini
tinggal sebelah tangannya saja yang mampu menghadapi musuh maka ia tidak mampu
meluputkan diri dari serangan jurus pedang Hun Ci-lo yang memang khusus diciptakan untuk
mematahkan pukulan berbisanya itu.
Begitu Pok Thian-tiau melayangkan telapak tangannya memukul kontan terdengar "Cras"! tepat
sekali Lau-kiong-hiat di telapak tangannya kena tertembus oleh ujung pedang Hun Ci-lo.
Lekas sekali Hun Ci-lo sudah mencabut keluar pedangnya, terus ditabaskan ke sebelah
belakang dengan jurus Giok-Ii-to-soh, tepat sekali ia sambuti pukulan berbisa Toan Siu-si dari
sebelah belakang. Bagi setiap orang yang sama berlatih pukulan berbisa pada tubuhnya ada tiga tempat jalan
darah penting yang pantang kena dilukai musuh, yang pertama adalah Tay-yang-hiat di pelipis,
kedua adalah Tam-tian-hiat di bawah perut dan yang ketiga adalah Lau-kiong-hiat di telapak
tangan. Kalau Lau-kiong-hiat kena tertembus pedang maka pukulan beracunnya punah dan tak
bisa digunakan lagi. Toan Siu-si tahu akan bahaya ini, lekas-lekas ia tarik telapak tangannya dan merubah
permainannya, betapapun tepat gerak pembahan permainannya tak urung di mana sinar hijau
berkelebat, tajam pedang Hun Ci-lo berhasil menggores luka panjang tiga inci di lengannya.
Begitu telapak tangannya dilubangi ujung pedang, pukulan berbisa Pok Thian-tiau tidak
berguna lagi, seraya menggerung kesakitan ia jumpalitan mundur tiga tombak. Meski ia ada
berlatih kepandaian yang lain, tapi pukulan berbisa, yang diandalkan sudah tidak mampu
dilancarkan lagi, mana ia berani bertempur lebih lama lagi"
Luka ringan Toan Siu-si bila dibanding luka suhengnya boleh dikata tidak menjadi soal apa-apa.
Tapi keadaan Pok Thian-tiau tidak mungkin kuat bertahan lagi, seorang diri sudah tentu ia tidak
kuasa melawan lagi, terpaksa ngacir saja lebih baik.
Malam itu bulan sabit, pancaran sinarnya redup dan kurang terang, gerak-gerik Hun Ci-lo
teramat cepat lagi, kedatangannya yang mendadak dan tak terduga-duga pula, seperti elang
menerkam kelinci saja, beruntun tiga jurus gebrakan ia memukul roboh Tiam-jong-siang-sat,
sehingga Beng Goan-cau sedikit pun tidak melihat jelas siapa dia adanya.
Begitu tiga jurus pedangnya selesai dilancarkan dengan hasil yang cukup gemilang, baru Hun
Ci-lo menghela napas lega dan bersyukur dalam hati, sekilas ia mencuri pandang ke arah Beng
Goan-cau, lalu tanpa menoleh lagi ia tinggal pergi.
Cepat Beng Goan-cau berteriak: "Musuh sudah lari tidak usah dikejar, harap Inkong (tuan
penolong) lekas kembali dan terimalah hormat terima kasihku.?"Belum lenyap suaranya bayangan
Hun Ci-lo sudah terbang laksana burung malam melewati pagar tembok dan menghilang ditelan
kegelapan. Dia sangka Hun Ci-lo pergi mengejar musuh, mana dia tahu bahwa dengan rasa getir dan
mendelu memang sengaja ia menghindari pertemuan dengan Beng Goan-cau.
Tapi bagaimana juga dia adalah orang yang dulu menjadi sahabat karib Beng Goan-cau malah
jadi kekasihnya pula, setiap gerak-geriknya sudah sangat hafal dalam pandangan Beng Goan-cau,
meskipun Beng Goan-cau tidak melihat jelas siapa dia adanya, tapi di kala ia melompati pagar
tembok, meski hanya satu dua detik saja, tak tertahan tergeraklah sanubarinya, terasa olehnya
bayangan orang seperti sudah amat dikenal.
Di saat hati Beng Goan-cau tergerak dan berpikir: "Siapakah orang itu?" tiba-tiba didengarnya
Lu Su-bi tertawa geli, namun disusul ia mengeluh kesakitan terus sempoyongan hampir jatuh.
Kiranya setelah hatinya lega kaki tangan lantas merasa lemas dan tidak kuat bertahan lagi.
Beng Goan-cau kaget, cepat ia memburu memayang sumoaynya. Setelah menarik napas Lu Subi
berkata: "Istirahat sebentar cukuplah. Untung tertolong oleh orang itu, lekas kau
mengundangnya kembali, dia adalah seorang perempuan, masa kau tidak melihatnya" Jangan
berkaok-kaok saja memanggilnya Inkong segala!"-baru sekarang Beng Goan-cau tahu karena dia
berteriak memanggil Inkong itulah sumoaynya tertawa geli.
Waktu Beng Goan-cau menegas tampak wajah sumoaynya pucat pasi bagai kertas, di antara
tengah alisnya terselubung hawa hitam, tak tertahan ia menghela napas, katanya: "Siau-sumoay,
jangan kau coba-coba mengeraskan hati, mari kubantu masuk rumah istirahat. Aku tahu kau ingin
membalas kebaikan orang, tapi bila penolong itu sudi bertemu muka dengan kita, dia akan datang
sendiri kemari lagi, kalau sebaliknya kita kejar pun tidak berguna!"
Sambil menggayut pada suhengnya Lu Su-bi berkata: "Aneh, kenapa dia menolong kita, tapi
sengaja menghindari kita pula, dapatkah kau mengira-ngira siapakah dia adanya?"
"Darimana aku bisa tahu" Kesehatanmu lebih penting, tak usah urus siapa dia, marilah istirahat
dulu!" Lahirnya Beng Goan-cau berkata begitu, namun dalam hati diam-diam ia menerka: "Bukan
mustahil Ci-lo adanya" Kalau betul dia, kenapa tidak sudi terlihat oleh aku" Selama delapan tahun
ini betapa aku menderita merindukan dia, apakah dia tidak lagi rindu kepadaku?" Mendadak
teringat olehnya dua bait syair yang dulu ia baca bersama Hun Ci-lo:
"Bersua seperti tidak ketemu, ada hati seakan-akan tiada cinta!"
Hatinya jadi hampa, namun dari sini lapat-lapat ia dapat menangkap alasan kenapa Hun Ci-lo
tidak mau menemui dirinya, karena keadaan dua pihak yang tidak lagi mengi-jinkan.
Walau merasa letih tapi Lu Su-bi tidak bisa pulas, sepasang matanya tidak berkisar dari
suhengnya. Dilihatnya Beng Goan-cau menggayut di jendela, mukanya menghadap keluar entah
apa yang sedang dipikirkan, maka segera ia bertanya: "Suko, apakah dia kembali?"
Beng Goan-cau seperti tersentak sadar, ia berpaling dan bertanya hampa: "Siapa maksudmu?"
"Nah sikapmu yang linglung itu, siapa kau kira yang kumaksud?" goda Lu Su-bi. "Sudah tentu
perempuan penolong kita yang seperti naga yang kelihatan kepala tidak terlihat ekornya!"
"Jadi kau masih pikirkan dia" Sejak tadi ia sudah pergi jauh, tidak akan kembali lagi!"
"E, eh, darimana kau bisa tahu?"
"Bukankah kau katakan dia sebagai kepala naga yang tidak terlihat ekornya" Demikian juga
pandanganku, kalau dia benar-benar hendak bertemu dengan kita sejak tadi ia sudah berada di
sini!" "O, jadi kau bukan memikirkan dia lalu siapa yang sedang kau pikirkan?"
Diam-diam Beng Goan-cau mengeluh dalam hati, batinnya: "Karena aku siau-sumoay terluka
parah, sebaliknya aku selalu merindukan Ci-lo."- Maka seperti membujuk bocah kecil layaknya ia
berkata: "Apapun tidak kupikirkan, cuma aku berdoa dan mengharap supaya kau lekas sembuh.
Nih kuberi sebutir pil, setelah makan obat ini lekaslah tidur saja."Pil yang dia berikan ini adalah Siau-hoan-tan buatan Siau-lim-si yang khusus untuk mengobati
luka-luka dalam. Obat Siau-hoan-tan ini adalah pemberian dan Leng Tiat-jiau, pernah suatu ketika
dalam pertempuran besar ia terluka cukup berat, maka Leng Tiat-jiau memberinya tiga butir Siauhoantan dari pemberian Tau-pi Siansu dari Siau-lim-pay, karena sayang ia masih simpan satu
butir. Setelah menelan pil obat itu, berkatalah Lu Su-bi tersenyum: "Kau anggap obat ini sebagai
permen dan membujuk aku tidur ya" Tapi aku masih tidak ingin tidur."
Tergerak hati Beng Goan-cau. katanya: "Dulu waktu kau merawat penyakitku sering bernyanyi
dan bersenandung bagi aku. Tapi aku tidak bisa nyanyi, biar kutiup seruling saja, kau mau dengar
tidak?" "Baik, baik sekali!" seru Lu Su-bi girang. "Aku masih ingat di waktu berada di Siau-kim-jwan,
kau dan Song-suko yang satu meniup seruling yang lain bersenandung, sudah lama aku tidak
dengar tiupan serulingmu."
"Sayang Theng-siau tidak berada di sini, tiada orang senandung bagimu."-Lalu pelan-pelan ia
meniup serulingnya. Yang ditiup adalah sebuah lagu daerah Kang-lam yang sangat populer di
sana, nada lagunya sebetulnya sangat lincah dan enteng, namun perasaan Beng Goan-cau
sebaliknya sedang mendelu dan pedih.
Karena delapan tahun yang lalu di dalam taman kembang ini pula ia sering meniup lagu ini
untuk didengar oleh Hun Ci-lo.
Lu Su-bi tidak tahu akan seluk beluk ini, namun ia mendengar dengan seksama. Masih segar
dalam ingatannya di kala mereka masih di Siau-kim-jwan, Song Theng-siau juga pernah
menyanyikan lagu ini bagi dia. Dari irama seruling yang merdu menawan hati ini. lapat-lapat ia
seperti mendengar suara nyanyian Song Theng-siau terngiang di pinggir kupingnya.
Lagu ini merupakan gubahan dari lagu selingan drama "bilik barat' yang sangat populer di
Kang-lam, di mana mengisahkan sepasang kekasih-- Thio Seng dan Ing-ing--sedang memadu
kasih, suatu ketika Thio Seng harus pergi ke tempat jauh dan lama tidak kunjung pulang, seorang
diri Ing-ing menunggu dan merindukan pujaan hatinya. Lagu dalam adegan babak ini cukup lincah
dan mengasyikkan maka banyak orang, entah dari kalangan tinggi atau kaum rendah, sama suka
menyanyikan lagu ini. Begitu asyik Lu Su-bi mendengarkan, hatinya seperti dikili-kili oleh buaian asmara terbayang
akan musim semi nan cerah di bumi Siau-kim-jwan yang indah dan permai itu, di dalam hutan
yang penuh ditaburi kembang-kembang liar, Beng Goan-cau menggayut pohon meniup seruling,
sementara Song Theng-siau bernyanyi pelan-pelan. Bayangan di depan mata semakin remangremang
dan tanpa terasa Lu Su-bi sudah terlelap dalam buaian impian.
Akhirnya lagu itu selesai ditiup, namun gema suaranya masih berkumandang di tengah udara.
Adalah perasaan Beng Goan-cau jus-teru dicekam kepedihan yang tak terhingga. Terbayang
sebuah gambar lukisan dalam pandangan matanya. Cuma lukisan itu sudah kotor berlepotan debu,
warnanya sudah mulai luntur.
Delapan tahun yang lalu sebelum dia berangkat menunaikan tugas, di dalam taman kembang di
bawah teras kembang sana untuk yang terakhir ia meniupkan lagu ini untuk Hun Ci-lo.
Masih teringat olehnya pada waktu itu ia pernah berkata kepada Hun Ci-lo: "Aku bukan Thio
Seng dan kau pun bukan Ing-ing. Aku pasti masih bisa kembali di bawah teras kembang ini
kutiupkan pula lagu ini bagimu."
Sekarang dia benar-benar kembali sesuai dengan janjinya, dan bukan Thio Seng yang ingkar
janji dan menyia-nyiakan kekasihnya, tapi Hun Ci-lo justru seperti Ing-ing ternyata sudah menikah
dengan orang lain. Taman kembang ini sudah menjadi liar dan tidak terurus lagi. teras kembang
itu pun sudah roboh, dia pun tidak akan dapat menemukan Hun Ci-lo untuk mendengar tiupan
lagunya ini. Tapi dapatkah hal ini hanya menyalahkan Hun Ci-lo"
Masih teringat olehnya setelah ia mengucapkan kata-katanya itu. dengan pedih Hun Ci-lo
menghela napas, katanya rawan: "Begitulah. Semoga kelak aku masih bisa mendengar tiupan
lagumu ini." Dikatakannya pula: "Kalau kau sampai lama tidak kembali, entah berapa malam aku tidak akan
bisa tidur pulas, aku akan berdiri di sini termakan air embun sampai pagi menjelang."
Betapa murni cintanya itu, kini masih terngiang di pinggir kupingnya. Betapapun ia tidak
percaya bahwa Hun Ci-lo benar-benar sudah melupakan dirinya, ataukah dia hanya bisa
menyalahkan takdir yang mempermainkan mereka"
Lu Su-bi sudah lelap dalam impian, mukanya yang pucat bersemu merah dan mengulum
senyum manis, mungkin ia sedang bermimpi sangat indah dalam pulasnya. "Sayang impian
indahku sudah lama tercerai berai." demikian dalam hati Beng Goan-cau berkata.
Rasa duka tidak tertahan lagi. Siau-sumoay sudah pulas, Beng Goan-cau tidak perlu main
sembunyi lagi untuk menutupi rasa kepedihan hatinya.


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Memandang ke luar jendela, tampak sinar bulan yang redup serta bintang-bintang berkelapkelip,
angin malam menghembus sepoi-sepoi, merontokkan dedaunan pohon yang mulai
menguning. Tak tahan lagi Beng Goan-cau angkat pula serulingnya, mulailah ia meniup lagulagunya
untuk melimpahkan rasa kepedihan hati yang mencekam sanubarinya.
"Ci-lo. Ci-lo di mana kau" Di mana kau" Kau dengar tiupan serulingku" Dengarkah kau akan
irama serulingku ini?"
Tiupan seruling Beng Goan-cau ini memang ditujukan kepada Hun Ci-lo, dia sedang
mengharap, mengharap Hun Ci-lo mendengar tiupan serulingnya, dan mau kembali pula secara
diam-diam untuk bertemu muka sekali saja dengan dia.
Sinar bintang semakin pudar, cahaya bulan pun sudah semakin doyong ke barat, harapan Beng
Goan-cau yang penghabisan kali ini pun ikut pudar dan sirna.
Irama seruling nan merdu mengalun tinggi terpencar ke segala penjuru memasuki hutan
menembus udara malam. Dalam hutan gelap sana Hun Ci-lo sedang melangkah goyang gontai,
satu dua langkah ia pasti berpaling ke belakang. Memang Hun Ci-lo mendengar suara serulingnya.
Tapi dapatkah dia kembali"
Irama seruling seperti gelisah, menyesali dan kangen, seperti menangis dan sesambatan akan
nasib yang menimpa ini. Hun Ci-lo sampai terlongong seperti orang linglung. Sehingga ia tidak
menyadari bahwajauh di belakang dirinya sedang dikuntit orang.
la tahu bahwa Beng Goan-cau sedang memanggil dirinya, hampir ia tidak kuasa menahan
gejolak hati ini hendak memburu balik, namun meski setiap satu dua langkah ia berpaling, namun
langkahnya tidak pernah bergeser arah, terus maju ke depan.
"Aku tidak bisa kembali, aku tidak bisa kembali! Sekali aku pulang tentu aku tidak kuasa
mengendalikan diri lagi, perjodohan yang setimpal antara Goan-cau dengan sumoaynya juga bakal
kurusak demikian saja," jantung Hun Ci-lo bergejolak semakin cepat, begitulah ia memperingatkan
dirinya sendiri. Kalau kakinya terus melangkah ke depan, adalah pikirannya sudah melayang kembali pada
masa silam di mana dulu ia hidup bersama Beng Goan-cau.
Delapan tahun yang lalu, dia masih merupakan seorang gadis yang duduk di bawah teras
kembang sedang asyik mendengarkan tiupan lagu Beng Goan-cau, raut wajahnya nan cantik
laksana kembang mekar di musim semi, perasaannya seperti pula kembang yang semerbak mekar
di dalam kalbunya. Delapan tahun kemudian, hari ini ia masih belum tua, namun perasaan hatinya seperti daundaun
pohon di musim rontok sedang berguguran, demikian juga parasnya sudah mulai kuyu dan
kurus seperti tetumbuhan di musim rontok.
Irama seruling yang merawan hati itu, mengalun menembus udara masuk ke dalam hutan,
terngiang ke dalam kupingnya, membuat hatinya tambah pilu dan luka.
"Aku tidak bisa pulang, aku tidak boleh pulang. Betapapun aku tidak bisa bertemu lagi dengan
Goan-cau!" demikian Hun Ci-lo berpikir dan bertekad.
Akan tetapi meski bumi dan langit sedemikian besar dan luasnya, ke mana pula ia harus
menempatkan dirinya" Rumahnya sendiri ia tidak bisa pulang, rumah Nyo Bok lebih tidak mungkin
pula. Ke mana dia harus pergi" Ke mana"
"Kelanjutan hidupku mungkin harus kuhabiskan dalam kelana di kangouw. Ai, Hoa-ji, anak Hoa!
Hanya karena kaulah ibu masih tetap hidup sampai sekarang!" Teringat kepada putranya,
langkahnya semakin dipercepat dan tidak menoleh lagi.
Tatkala itu bulan sabit sudah doyong ke pucuk pohon. Tak lama lagi hari sudah akan terang
tanah. Tidak lama setelah dia pergi, ada seorang mengeluarkan suara mengejek muncul dari dalam
gerombolan rumput. Hun Ci-lo pasti tidak akan menyangka akan hal ini.
Silakan para pembaca yang cerdik coba menebak, siapakah orang yang menerobos keluar dari
semak rumput ini" Ternyata dia adalah suami Hun Ci-lo, tak lain tak bukan guru silat dari Siok-ciu yaitu Nyo Bok
adanya. Di waktu Nyo Bok merencanakan pura-pura mati, pernah ia bicara terhadap istrinya, tujuannya
adalah hendak menyempurnakan hubungan istrinya dengan Beng Goan-cau. Sudah tentu tindakan
ini membuat Hun Ci-lo serba susah dan malu lagi, semula Hun Ci-lo menentang keras, pernah dia
membujuk dan meminta-minta di hadapan suaminya supaya membatalkan niatnya itu, malah dia
pernah hendak bersumpah kepada suaminya, untuk selanjutnya bertekad melupakan Beng Goancau,
hanya me-nyintai suami saja. Tapi Nyo Bok lantas menutup mulutnya, tidak memberi
kesempatan ia mengucapkan sumpahnya. Karena dia tahu bahwa hati nurani istrinya bukan
menjadi miliknya, meski sumpah segala juga tiada gunanya. Karena kewalahan oleh libatan
suaminya ini, dan lagi ia tidak ingin hubungan mereka selama delapan tahun ini menjadi retak,
terpaksa akhirnya ia menyetujui tindakannya, ia berjanji untuk merahasiakan seluk beluk kematian
suaminya ini. Sejak mula ia menyangka bahwa suaminya entah menyembunyikan dirinya di mana, mana dia
duga bahwa orang ternyata sedang menguntit jejaknya.
Tapi umpama Hun Ci-lo tahu dirinya sedang dikuntit pasti ia pun tidak mengenalnya. Karena
sekarang dia mengenakan sebuah topeng tipis yang dibuat sedemikian rupa sehingga benar-benar
menyerupai kulit muka orang. Jauh sebelum ia menikah, salah seorang sahabatnya yang pulang
dari daerah Biau memberikan topeng itu kepadanya. Bahwasanya Hun Ci-lo tidak tahu bahwa
suaminya ada menyembunyikan topeng palsu itu. Dandanan Nyo Bok biasanya pun sudah ia salin
dengan lain bentuk dan coraknya.
Sambil terkekeh dingin Nyo Bok menerobos keluar dari semak rumput, dalam hati ia membatin:
"Mungkin mimpi juga Ci-lo tidak akan menduga bila aku bakal berada di belakangnya. Tapi
perubahan malam ini memang berada' di luar dugaanku pula. Untuk selanjutnya anggap sajalah
tiada manusia macam Nyo Bok ini dalam dunia fana ini." Adegan malam itu masih segar dalam
ingatannya. Setelah ia ucapkan kata-katanya itu, Hun Ci-lo memeluk punggungnya dan menangis
gerung-gerung. Kini bayangan punggung Hun Ci-lo sudah menghilang dari pandangan matanya, teringat akan
kejadian malam itu, serta bayangan punggung istrinya yang menghilang itu, tak terasa mulutnya
mengulum senyum sinis dan dingin, dalam hati ia mencemooh diri sendiri: "Kukira tindakanku ini
dapat memincut sanubarinya, siapa tahu kenyataan gagal total!"
Ternyata maksud Nyo Bok sebenarnya tidaklah seperti apa yang pernah ia ucapkan itu, ingin
menyempurnakan hubungan Hun dan Beng berdua, adalah sebaliknya, meski ia memerankan
seorang suami yang gagal dalam membina rumah tangganya, sebetulnya dalam sanubarinya tidak
rela mengakui kegagalan ini. Bahwa dia pura-pura mati dan mengundurkan diri dari gelanggang
asmara ini tidak lain hanyalah merupakan suatu tipu daya belaka, seperti seorang yang sedang
berjudi, berjudi dengan nasib, harapannya ia dapat merebut cinta kasih istrinya yang sudah hilang
ini kembali ke dalam pelukannya.
Dia tahu kelemahan sanubari Hun Ci-lo, setelah ia laksanakan tindakannya itu, pasti Hun Ci-lo
merasa menyesal dan bertobat dan lagi pasti akan sangat terharu dan terima kasih akan
pengorbanannya. Perubahan rasa sanubari itu sendiri justru sangat aneh dan sulit diraba
sebelumnya, seperti pepatah ada bilang, menggunakan hati mengganti hati. Siapa tahu dengan
terjadinya tragedi dalam percintaan ini, Hun Ci-lo dapat terpengaruh dan terketuk sanubarinya,
bisa mencintai dirinya setulus dan sesungguhnya.
Demikianlah menurut perhitungannya. Sejak ia menghilangkan jejaknya, belum tentu istrinya ini
pergi mencari Beng Goan-cau, mungkin karena merasa menyesal dan terketuk sanubarinya tetap
tinggal di rumah menunggu dirinya pulang. Sudah tentu ia pun pernah memikirkan bahwa
perhitungannya ini belum tentu bisa terlaksana, tapi paling tidak separuh bisa berhasil sesuai
dengan harapannya, seperti berjudi saja layaknya.
Kini dadu sudah dilempar keluar, kesudahan dari judinya itu pun sudah terbentang di depan
mata. Bukan saja istrinya segera pergi mencari Beng Goan-cau, malah dari kejadian malam ini, dia
lebih menyelami perasaan istrinya, bahwa Hun Ci-lo benar-benar sangat mencintai Beng Goan-cau,
cinta ini justru jauh lebih besar dari perhitungannya semula.
Tapi ia tidak tahu bahwa dalam keadaan kepepet dan tiada jalan lain yang harus ditempuh,
setelah mengalami perang batin, baru Hun Ci-lo nleluruk pulang menjenguk Beng Goan-cau.
Perhitungan Nyo Bok sebetulnya tidak meleset, memang Hun Ci-lo teramat iba dan terima kasih
kepadanya, malah hatinya pun rada menyesal dan berat.
Kalau Hun Ci-lo tahu, suami yang selamanya ia anggap seorang bijaksana, terutama setelah
adanya kejadian ini, sebelum ini ia kagum dan anggap sang suami betul-betul seorang ksatria,
malah pernah terpikir dalam angan-angannya untuk kembali saja keharibaan suaminya,
ternyatalah sang suami adalah seorang picik dan pintar mengatur tipu daya jangka panjang,
betapa ia akan terkejut"
Kalau bayangan punggung Hun Ci-lo sudah menghilang, namun gejolak hati Nyo Bok masih
belum tenteram. "Memang dia sekarang meninggalkan Beng Goan-cau, dia pun berbuat supaya Beng Goan-cau
tidak mengenali dirinya, tapi kenapa dia harus berbuat demikian" Apakah ini bukan demi Beng
Goan-cau juga?" "Dia berani menempuh bahaya terancam jiwa melolos pedang menggasak Tiam-jong-siang-sat
dan mengalahkannya, namun ia tidak beri kesempatan Beng Goan-cau mengenali dirinya. Ini
karena dia hendak memberi kesempatan Beng Goan-cau merangkap jodoh bahagia dan rela
berkorban sendiri, inilah baru betul-betul cinta yang suci, cinta yang murni!"
Berpikir sampai di sini timbul ah rasa sirik dan jelus dalam sanubari Nyo Bok, batinnya pula:
"Meski kelak Beng Goan-cau benar-benar menikah dengan sumoaynya, seumpama kelak Hun Ci-lo
benar kembali ke haribaanku, tapi hatinya masih berada di tempat Beng Goan-cau sana, aku
memperoleh dia tanpa memiliki hatinya, apa gunanya?"
Mendadak timbul sebuah pikiran lain dalam hati: "Untuk memadamkan cintanya ini, kecuali
Beng Goan-cau dibunuh!"- Benar, hanya cara ini baru bisa melampiaskan penasaran hatiku. Kalau
Beng Goan-cau sudah dibunuh, seandainya aku masih belum bisa memiliki hatinya, paling tidak
Beng Goan-cau pun tidak akan bisa memiliki dia!"
Tapi cara bagaimana untuk membunuh Beng Goan-cau" Tadi dia mendekam di luar tembok,
membikin sebuah lubang untuk mengintip, keadaan Beng Goan-cau menempur Tiam-jong-siangsat
tadi dilihatnya sejelas-jelasnya. Sekarang ia pejamkan mata, seolah-olah masih melihat golok
emas Beng Goan-cau yang diobat-abitkan itu mengeluarkan deru angin yang keras, permainannya
begitu lincah dan hebat sekali laksana naga mengamuk saja.
Meski rasa cemburu sudah membakar hati Nyo Bok, namun masih belum hilang pikiran
jernihnya, ia masih sadar, mengandal kepandaian sendiri untuk membunuh Beng Goan-cau,
mungkin bukan saja tidak berhasil malah jiwa sendiri yang bakal melayang.
Bagi Nyo Bok yang memang berotak encer dan banyak tipu dayanya, setelah pikir bolak-balik,
akhirnya ia mendapat sebuah akal. Itulah cara membunuh meminjam golok, dia mendapat suatu
akal untuk membantu Tiam-jong-siang-sat membunuh Beng Goan-cau
Setelah berketetapan hati, ia tidak lagi menguntit istrinya, cepat ia putar haluan terus mengejar
ke jurusan Tiam-jong-siang-sat.
Di ufuk timur sang surya sudah mulai muncul, hari sepagi itu jalanan belum tampak orang
berlalu lalang, hanya Tiam-jong-siang-sat berdua saja.
Setelah melarikan diri dari rumah keluarga Hun, kira-kira mereka sudah lari dua puluh li, badan
pun terasa letih, akhirnya mereka mengendorkan langkah kaki.
Toan Siu-si hanya terkena luka luar yang cukup ringan, tidak mengganggu gerak-geriknya,
lebih parah keadaan suhengnya Pok Thian-tiau. Lengan kiri Pok Thian-tiau kena terbacok oleh
golok Lu Su-bi, sehingga seluruh lengannya hampir terbacok putus, sementara pedang Hun Ci-lo
pun tepat mengenai jalan darah Lau-kiong-hiat, telapak tangannya berlubang tertembus pedang,
ilmu pukulan berbisanya punah dan tidak bisa digunakan lagi.
Bakat Pok Thian-tiau memang kalah dibanding sutenya Toan Siu-si, untuk melatih Hek-sa-ciang
ini, ia menggunakan waktu sepuluh tahun lamanya, kini ilmu yang paling dibanggakan itu musnah
oleh sekali tusukan pedang Hun Ci-lo, kalau hendak dilatih lagi dari permulaan, mungkin harus
memeras keringat pula selama sepuluh tahun, tapi juga belum tentu bisa berhasil.
Sepanjang jalan ini, mulut Pok Thian-tiau terus mengumpat caci kalang kabut, memaki Beng
Goan-cau, mengumpat perempuan siluman cilik pula, dia pun memaki perempuan laknat yang keji
dan buruk rupa itu. Sudah tentu ia tidak tahu bahwa perempuan laknat buruk rupa itu bukan lain
adalah Hun Ci-lo yang pada masa remajanya merupakan gadis tercantik di bilangan Soh-ciu.
Mendengar makian suhengnya Toan Siu-si sendiri merasa sebal dan tidak sabar lagi, tiba-tiba ia
berkata tawar: "Aku sebaliknya rada kagum terhadap Beng Goan-cau!"
Pok Thian-tiau tercengang, teriaknya: "Apa, semalam kau pun kena rugi oleh mereka,
bagaimana sekarang kau memuji dan kagum kepada musuh malah!"
"Sebenarnya Beng Goan-cau bukan musuh utama kita, musuh kita adalah suhunya."
"Tok-kang (pukulan berbisa) latihanku sudah amblas karena gara-garanya, sedang kau pun
kena tergores oleh golok sumoaynya itu, masih kau katakan mereka bukan musuh kita!"-Jikalau
biasanya Pok Thian-tiau tidak segan dan patuh terhadap sutenya, mungkin ia sudah mengumbar nafsu
dan memaki kalang kabut. Toan Siu-si manggut-manggut, ujarnya: "Ucapanmu juga tidak salah. Setelah terjadi
perkelahian semalam, sudah tentu kita sudah mengikat permusuhan dengan Beng Goan-cau. Tapi
tidak bisa tidak aku masih kagum terhadap dia."
"Dalam hal apa kau kagum terhadap Beng Goan-cau?"
"Akan kagum karena dia seorang laki-laki sejati, dan lagi permainan ilmu goloknya itu pun
sangat menakjubkan. Bicara terus terang, bila berkelahi satu lawan satu kita berdua terang bukan
tandingannya. Semalam bisa menghadapi secara langsung pelajaran murni ilmu golok ciptaan Lu
Siu-gun, terhitung kita tidak sia-sia dalam perjalanan ini."
"Jadi maksudmu, dendam sakit hati ini kau tidak ingin membalasnya?"
"Bukan begitu maksudku, kagum dan membalas dendam dua persoalan yang berlainan. Cuma
aku hendak menggunakan cara lain untuk menuntut balas."
"Cara apa?" "Aku belum sempat memikirkan, cuma aku tidak ingin berkelahi cara adu jiwa dengan dia. Aku
akan berlatih kepandaian lebih tinggi supaya dia tunduk lahir batin kepadaku," demikian ujar Toan
Siu-si. Pok Thian-tiau tahu bahwa sute-nya ini jauh lebih cerdik dan banyak tipu akalnya, suka
menuruti isi hatinya lagi, apa yang pernah dipikirkan tentu harus dilakukan. Kepandaian silat Pok
Thian-tiau memang lebih asor dibanding sute-nya, apalagi ilmu pukulan beracun pun sudah
musnah, terpautnya semakin jauh. Walaupun Pok Thian-tiau kurang senang hati-, tapi ia tidak
berani mengumbar adatnya, terpaksa ia berkata: "Aku jelas tidak mampu lagi, semoga kau kelak
dapat menuntut balas dan melampiaskan dendam sakit hatiku pula!"
Tengah mereka bicara, mendadak dilihatnya seseorang sedang berlari-lari kencang dan
tergesa-gesa ke arah mereka.
Waktu Pok Thian-tiau angkat kepala, dilihatnya seorang laki-laki yang berpakaian dekil serta
mengenakan baju luar besar yang banyak tambalannya, saking kotor pakaiannya ini sampai
mengkilap dan berbau apek, raut wajahnya pucat bersemu kelabu, boleh dikata tiada warna darah
sedikit pun, waktu berlari hanya tumit kakinya yang menyentuh tanah, ringan laksana asap
melayang ke depan bagaikan mega mengambang, cepat sekali.
Diam-diam Pok Thian-tiau menggerutu dalam hati: "Darimana munculnya makhluk aneh ini
seperti setan liar atau sukma gentayangan yang diusir dari kelenteng besar dan tidak diterima di
biara kecil." Hatinya sedang dirundung kekesalan dan uring-uringan lagi, keruan ia menjadi sebal
dan benci, begitu putar tubuh ia memaki sambil menuding laki-laki yang mendatangi itu: "Kau ini
kunyuk, bukan setan bukan manusia, main kuntit secara sembunyi-sembunyi di belakang kami
mau apa?" Laki-laki itu berkata tawar: "Pok-siansing, harap kau jangan memaki orang, kulihat keadaanmu
sekarang begitu runyam, tampangmu sendiri pun tidak begitu enak dipandang."
"Oho, kau setan keparat ini juga berani mengolok aku," teriak Pok Thian-tiau gusar. "Meski
tuanmu malam ini kalah berkelahi, untuk menggebah kau rasanya masih berkecukupan!"- Meski
ilmu pukulan berbisanya sudah musnah, kepandaian silat yang lain masih mampu dimainkan,
dalam gusarnya ia gunakan sebelah tangan yang luka enteng, telapak tangannya menampar ke
depan. Laki-laki itu berkata: "Kenapa marah-marah, masa kau tidak tahu bahwa aku membawa
manfaat bagi kalian." Suaranya dingin dan mukanya pun tidak mengunjuk mimik perubahan.
Terdengarlah suara "Blang!" tamparan Pok Thian-tiau mengenai badan orang, tapi laki-laki itu
hanya tergeliat sedikit saja, sebaliknya Pok Thian-tiau sendiri terhuyung mundur tiga langkah.
Mana Pok Thian-tiau tahu, laki-laki yang dia anggap seperti setan liar ini tak lain tak bukan
adalah guru silat kenamaan di Siok-ciu, Nyo Bok adanya. Biasanya Nyo Bok paling mengutamakan
kebersihan pada muka, seorang guru silat yang paling mentereng berpakaian, untuk menguntit
jejak isterinya dengan sembunyi-sembunyi, meski ia mengenakan kedok muka palsu, tapi ia pun
berjaga-jaga jika sampai kepergok dan kuatir dikenali oleh Hun Ci-lo, maka ia menyamar sekotor
mungkin. Dia tahu pukulan beracun Pok Thian-tiau sudah musnah oleh tusukan pedang Hun Ci-lo, maka
ia memberanikan diri mandah ditampar sekali. Dalam hal latihan lwekang memang dia lebih
unggul setingkat dari Pok Thian-tiau, kini Pok Thian-tiau sudah terluka parah lagi, maka jaraknya
terpaut semakin jauh, sudah tentu tamparannya itu sedikit pun tidak bisa melukainya.
Betapapun Toan Siu-si memang jauh lebih berpengalaman dan bisa berpikir cermat, cepat ia
tarik Pok Thian-tiau ke samping serta katanya: "Orang asli sengaja menyembunyikan dirinya, kalau
mau unjukkan diri tentu dia bukan yang asli. Mungkin tuan ini tidak suka diketahui siapa kau
sebenarnya" Baik, kami pun tidak usah tanya siapa nama kebesaran tuan, hanya kami ingin tahu
ada petunjuk apa tuan menyijsul kami?"-Secara langsung kata-katanya sudah menyatakan bahwa
dia tahu bahwa Nyo Bok mengenakan kedok palsu, rupanya sekarang bukan wajah aslinya.
Nyo Bok manggut-manggut, katanya pelan-pelan: "Ternyata Toan-siansii g seorang yang suka
terus terang, maka aku pun bicara terus terang saja. Terus terang kejadian semalam aku sudah
tahu seluruhnya, kalian mau tidak menuntut balas kepada Beng Goan-cau?"
"Kalau mau kenapa?" sela Pok Thian-tiau. "Meski ilmu silatmu cukup lumayan, belum tentu kau
dapat mengalahkan Beng Goan-cau. Hm, hm, jika aku tidak terluka, paling-paling kau hanya bisa
berimbang dengan aku, masa mengandal kemampuan ini kau bisa bantu kami menuntut balas?"
"Ya, bicara sejujurnya aku pun bukan tandingan Beng Goan-cau," demikian ujar Nyo Bok. "Tapi
kalah berkelahi bisa menggunakan akal, asal kalian suka bekerja menurut tipu daya ini, aku punya
caraku sehingga Beng Goan-cau suka berlutut dan menyembah di hadapan kalian!"
Pok Thian-tiau ragu-ragu, katanya menyeringai: "Benarkah kau punya kemampuan itu" Baik
bila kau bisa membuat Beng Goan-cau berlutut terhadap kami, maka aku pun suka menyembah kepadamu!" "Jangan, kurasa tidak perlu," ujar Nyo Bok.
"Sute," kata Pok Thian-tiau. "Aku tahu kau tidak ingin membunuh Beng Goan-cau, tapi bila
dapat membuat dia berlutut dan menyembah kepada kita, dendam sakit hati ini dapatlah
kuanggap impas saja. Sekilas Toan Siu-si memandang Nyo Bok, lalu katanya: "Tapi aku malah ingin tahu, kenapa
tuan ini kelihatannya begitu bernafsu untuk menuntut balas bagi kami?"
"Bicara terus terang, aku pun punya pertikaian dengan Beng Goan-cau, jadi bukan melulu demi
kalian saja," demikian Nyo Bok coba menjelaskan.
"O, jadi begitu!" ujar Toan Siu-si.


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Maka kalau kalian setuju, kuanjurkan marilah kita ikat janji untuk mengerjakan hitung dagang
ini," demikian Nyo Bok menawarkan.
Toan Siu-si menyeringai dingin: "Terhitung kau sudah memperoleh pembelinya. Ini merupakan
suatu dagang gelap bukan?"
"Tidak salah!" seru Nyo Bok bergelak tertawa. "Sekarang belum lagi terang tanah, boleh saja
kontrak ini dianggap suatu dagang gelap."
"Ada omongan lekas katakan, mau kentut lekas lepaskan, bagaimana caramu itu?" sela Pok
Thian-tiau tidak sabaran.
Kata Nyo Bok: "Beng Goan-cau punya seorang sahabat karib bernama Song Theng-siau, kukira
kalian sudah tahu akan orang ini bukan?"
Kata Toan Siu-si: "Waktu mereka berada di Siau-kim-jwan, selamanya mereka tidak pernah
berpisah. Kabarnya kepandaian silat orang ini tidak lebih rendah dari Beng Goan-cau, apa benar?"
Nyo Bok manggut-manggut, katanya lebih lanjut: "Aku sih pernah melihat ilmu silatnya, lebih
rendah sedikit dibanding Beng Goan-cau. Beng Goan-cau punya seorang anak..."
Sekonyong-konyong Pok Thian-tiau menyeletuk seraya memaki: "Kau membual apa, Beng
Goan-cau belum lagi menikah, darimana ia memperoleh anak" Bukankah kau sengaja hendak
menipu kami?" "Pek-heng, kau hanya tahu satu tidak tahu yang kedua," jengek Nyo Bok. "Meski belum
menikah juga boleh saja punya anak, anak itu adalah anak haram Beng Goan-cau."
Dasar Pok Thian-tiau seorang dungu, ia garuk-garuk kepala dan berpikir setengah hari baru
paham, katanya: "Ya, kalau jantan dan betina tinggal bersama lantas bisa punya anak, belum
tentu harus melalui upacara resmi" Betul, betul, ucapanmu tidak salah, tapi lantas bagaimana
pula?" "Bocah itu kini sedang dibawa oleh Song Theng-siu menuju ke Soh-ciu," demikian Nyo Bok
melanjutkan keterangannya. "Mereka menempuh jalan besar, tentu kalian sangat mudah
menemukan mereka." Baru sekarang Toan Siu-Si paham segala-galanya, serunya: "O, jadi kau hendak menggunakan
bocah itu sebagai sandera" "
"Tepat, cara kita membalas dendam terletak pada bocah itu. Ilmu silat Song Theng-siau walau
tidak lemah, tapi dia harus melindungi bocah itu, bagaimana juga bukan tandingan kalian. Dengan
mudah pasti kalian dapat merebut bocah itu dari tangannya!"
"Untuk apa aku bocah kecil itu" Mencari kesulitan saja!" ujar Pok Thian-tiau.
Nyo Bok tertawa-tawa, serunya: "Anak Beng Goan-cau berada di tangan kalian, apa yang kalian
inginkan dia harus menurut perintah, masa dia berani membangkang?"
Pok Thian-tiau menepuk kepala, teriaknya: "Betul! Urusan yang begini gampang, kenapa aku
tidak bisa memikir sebelumnya."
Nyo Bok lantas mengeluarkan sebuah Han-giok, katanya lebih lanjut: "Beng Goan-cau, sendiri
selamanya belum pernah melihat putranya itu, apa yang kalian katakan belum tentu dia mau
percaya. Namun meski ia tidak kenal anaknya, batu mainan ini kukira masih dikenalnya dengan
baik." Ternyata Han-giok itu adalah pemberian Beng Goan-cau kepada Hun Ci-lo sebelum mereka
berpisah malam itu. Sebagai seorang yang cermat berpikir, sebelum berangkat ia ada berpikir
panjang, ia tahu keadaan peperangan yang sulit diduga ini, mungkin kelak bakal terjadi sesuatu
perubahan yang tak terduga sebelumnya, maka ia tinggalkan sebentuk mainan batu jade
peninggalan leluhurnya dan berpesan kepada Hun Ci-lo, kelak bila anak mereka sudah besar, batu
mainan itu supaya diserahkan kepada anak mereka. Siapa tahu terjadi sesuatu perubahan antara
suami istri dan anak mereka tidak bisa berkumpul bersama, maka ia tinggalkan batu jade itu
sebagai tanda pengenal di kelak kemudian hari.
Setelah Hun Ci-lo menikah dengan Nyo Bok, pada suatu ketika Nyo Bok menemukan batu
mainan jade yang disembunyikan Hun Ci-lo ini serta menanyakan asal-usulnya. Pertama Hun Ci-lo
anggap Beng Goan-cau sudah wafat, kedua ia berterima kasih akan kebaikan sang suami, maka
tanpa tedeng aling-aling lagi ia ceritakan asal-usul batu mainan itu kepada suaminya.
Malam itu Hun Ci-lo membawa keluar puteranya, sebelum berangkat ia ada mencari batu
mainan itu tapi tidak ketemu, maklum dalam keadaan bingung dan tergesa-gesa lagi, ia
menyangka lupa menyimpannya entah di mana, terpaksa ia tinggal pergi tanpa mencarinya lagi
sampai ketemu. Sedikit pun ia tidak pernah curiga pada suaminya, di luar tahunya justru batu
mainan itu memang dicuri oleh Nyo Bok.
Setelah mengeluarkan batu mainan itu, Nyo Bok berkata: "Setelah kalian merebut anak Beng
Goan-cau silakan taruh batu mainan ini di atas lehernya, selanjutnya boleh kalian lantas menemui
Beng Goan-cau. Memang Beng Goan-cau seorang laki-laki sejati, tapi tiga kali menyembah ditukar
putra kandungnya sendiri, aku berani pastikan Beng Goan-cau pasti akan berlutut tiga kali."
"Baik, baik," teriak Pok Thian-tiau berjingkrak girang. "Cara ini bagus sekali."
"Benar, meski demikian terhitung sakit hati kami sudah terbalas. Tapi di dalam hitung dagang
gelap ini, apa pula keuntungan yang hendak kau keruk?" Toan Siu-si cukup pintar untuk main
diplomasi. Nyo Bok kertak gigi, katanya penuh kebencian: "Aku ingin mendapatkan jiwa Beng Goan-cau."
"O, betulkah kau mempunyai dendam kesumat sedemikian besarnya terhadap Beng Goan-cau?"
Toan Siu-si menegas. "Tapi, meski dia berlutut terhadap kami, aku tidak mau mewakili kau
membunuhnya!" "Tidak perlu kalian turun tangan," kata Nyo Bok mantap. "Di saat dia berlutut terhadap kalian
aku bisa mencabut nyawanya dengan senjata rahasiaku."
Memang Nyo Bok membekal senjata rahasia yang dilumuri racun jahat, ia membatin: "Bila Beng
Goan-cau tidak mau berlutut, melihat putra kandungnya berada di tangan musuh, pasti pikiran
kacau dan batin terpukul, saat mana kukira tidak sulit aku membunuh dia dengan panah
beracunku!" "Adakah syarat lainnya?" tanya Toan Siu-si.
"Ada," sahut Nyo Bok, "cuma merepotkan kalian saja."
"Kau sudah membantu kami, sedikit kerepotan juga tidak menjadi soal, silakan kau jelaskan,"
Pok Thian-tiau berkata. "Setelah urusan selesai, aku akan menguntit kalian secara diam-diam, hari kedua baru bersua
dengan kalian di tengah jalan. Tatkala itu mungkin dandananku sudah berubah sama sekali,
berubah bentuk lain. Tapi suaraku ini masih bisa kalian ingat bukan?"
"Sudah tentu ingat," sahut Pok Thian-tiau. "Tapi untuk apa kau berbuat demikian?"
"Aku ingin bocah itu. Kuharap jangan sekali-kali kalian membongkar kejadian ini serta mengaku
kenal dengan diriku. Setelah bertemu di tengah jalan aku akan pura-pura naik pitam dan mungkin
memaki kalian pula dan akhirnya berkelahi, kuharap kalian tidak ambil di hati. Kalian pura-pura
kena kukalahkan sehingga berhasil merebut anak itu."
Pok Thian-tiau mengerutkan alis, katanya: "Kau ingin Tiam-jong-siang-sat pura-pura kalah di
tanganmu, tidak boleh jadi!"
"Kalau begitu biarlah aku kena terluka, boleh kau pukul aku sehingga terluka tapi akhirnya
kalian tetap membiarkan bocah itu kena kurebut."
"Nah begitu sih bolehlah. Yang terang aku sih tidak ingin bocah liar itu."
"Jadi jelasnya, hitung dagang ini boleh teken kontrak lho!" ujar Nyo Bok kegirangan.
Ternyata sebelumnya Nyo Bok sudah merancang rencana jangka panjang, kalau dia berhasil
merebut anak itu, jika hal ini diketahui oleh Hun Ci-lo, akan tiba suatu ketika ia akan pulang
mencari dirinya. Sudah tentu Hun Ci-lo tidak akan curiga bahwa dialah yang membunuh Beng
Goan-cau, apalagi bocah itu sendiri bisa menjadi saksi bahwa Beng Goan-cau memang dibunuh
oleh Tiam-jong-siang-sat. Kelak bisa saja ia membuat alasan pada Hun Ci-lo, bahwa dia kangen
dan menguatirkan keselamatannya maka menyusul ke Soh-ciu, di tengah jalan itulah dia bentrok
dengan Tiam-jong-siang-sat. Tatkala itu musuh asmara sudah lenyap, sekali lagi pasti Hun Ci-lo
akan berterima kasih pada dirinya yang telah merebut dan menyelamatkan putranya. Bukankah
selanjutnya dia bakal memiliki hati cinta Hun Ci-lo"
Rencana ini memang cukup sempurna, cuma dia rada meleset menilai pribadi Toan Siu-si.
Meskipun Toan Siu-si terkenal sebagai gembong iblis yang jahat, tapi jiwa dan martabatnya
bukanlah seorang yang berpandangan sempit dan hina dina.
Waktu Nyo Bok menguraikan syaratnya yang kedua, Toan Siu-si mandah berdiri di samping
sambil mendengarkan dengan tenang, tanpa menyeletuk sepatah pun. Dia tidak mengenakan
kedok muka, tapi raut wajahnya seperti raut muka Nyo Bok yang mengenakan kedok palsu, kaku
tanpa ekspresi. Mengira rencana kerjanya bakal terlaksana dan berhasil, Nyo Bok mengulurkan tangan,
katanya: "Toan-toako, batu jade ini kuserahkan kepadamu. Tiga hari kemudian kira-kira pada
kentongan ketiga, aku menunggu kedatangan kalian di belakang taman itu." Waktu dia datang di
tengah jalan ia melihat Song Theng-siau sedang menempuh perjalanan membawa anak Hun Ci-lo,
jalannya lambat dan ketinggalan jauh di belakang, kira-kira ratusan li lebih, maka dia dapat
memperhitungkan waktu secara tepat, dalam jangka tiga hari, Tiam-jong-siang-sat pasti dapat
menunaikan tugasnya ini dengan baik, dan kembali ke rumah keluarga Hun.
Tak duga belum lagi ia bicara habis, Toan Siu-si mendadak menamparkan telapak tangannya ke
arah mukanya. Sudah tentu kejut Nyo Bok bukan kepalang, betapapun dia seorang guru silat yang cukup
berpengalaman, mendapat serangan mendadak ini, meski terkejut tapi tidak menjadi kacau, cepat
sekali ia gunakan Hong-tiam-thau menghindar berbareng Kim-kong-lak-yang-jiu pun sudah
menyongsong ke depan. Untung ia bisa bergerak secara reflek, dalam keadaan yang gawat itu dapat menghindar dari
tamparan telapak tangan Toan Siu-si yang besar. Tapi tak urung ujung jari Toan Siu-si
menyerempet di bawah kupingnya, keruan Nyo Bok rasakan mukanya kesakitan dan panas
membara. Kim-kong-lak-yang-jiu yang dimainkan Nyo Bok ini sejurus mengandung enam perubahan
selingan, aneh dan lurus saling bertentangan, perubahannya sulit diraba. Meskipun kepandaian
Toan Siu-si jauh di atas Nyo Bok, soalnya ia belum pernah melihat ilmu pukulan yang hebat ini,
sementara waktu ia tidak berani terlalu mendesak atau pandang ringan musuh, sekali serangan
tidak berhasil, lekas-lekas ia melompat miring tiga tindak.
"Tang" batu mainan yang dipegang Nyo Bok itu pun terjatuh di atas tanah.
"Toan-siansing!" teriak Nyo Bok. "Kalau dagang batal, hubungan antar kita masih ada, ada
omongan apa silakan dirunding dengan aturan."
Dari samping lekas Pok Thian-tiau ikut membujuk: "Iya, jite, kulihat orang ini tidak bermaksud
jahat terhadap kita, kenapa kau turun tangan menyerang dia?"
Toan Siu-si mendengus ejek, katanya menuding Nyo Bok: "Memang aku orang she Toan ingin
menuntut balas, tapi membalas dendam harus secara terang-terangan dan menggunakan cara
yang lazim pula. Menggunakan panah beracun membokong orang, terhitung perbuatan manusia
macam apa" Hm hm! Kau hendak bikin kami menjadi manusia rendah hina dina, sebaliknya kau
hendak pura-pura menjadi hohan. masa ada urusan yang begitu gampang di dunia ini" Cara
hitung dagangmu ini sungguh memalukan."
Bicara sampai memalukan, mendadak ia meninggikan nada dan berteriak lebih keras:
"Menghadapi manusia rendah hina dina macam kau ini, pakai aturan apa segala" Lekas kau
menggelinding pergi! Kalau tidak jangan kau menyesal kalau aku tidak kenal kasihan padamu!"
Selama hidup Nyo Bok selalu disanjung puji dan banyak orang menjilat padanya, kapan ia
pernah dicaci maki dan dihina sedemikian" Kalau tamparan Toan Siu-si itu tidak mengenai
sasarannya, tapi harga diri dan gengsinya kena digasak habis-habisan oleh orang. Baru sekarang
mendadak ia merasakan bahwa dirinya dalam pandangan orang lain ternyata adalah manusia
rendah hina dina, apalagi orang yang memaki dirinya ini malah seorang gembong iblis yang sudah
dianggap tersesat. Seketika itu terketuk sanubari Nyo Bok, serta merta hatinya merasa sangat menyesal. Pipi
masih terasa panas, sebaliknya sekujur badan basah oleh keringat dingin.
Cuma sayang rasa menyesal ini hanya selintasan belaka mengetuk sanubarinya. Namun dia
tidak berani mengumbar adat terhadap Toan Siu-si. Malah dia dikejutkan oleh rasa kesemutan dan
gatal-gatal pada kulit mukanya, pikirnya: "Aku mengenakan kedok muka, tidak terkena tamparan
tangannya, mungkinkah bisa terkena pukulan beracunnya?"
Karena menginsyafi keliehayan pukulan beracun Toan Siu-si, Nyo Bok tidak berani bertingkah
lagi, katanya: "Agaknya kau salah paham akan maksud baikku. Baiklah kalau kau hendak anggap
diri sebagai ksatria, silakan saja!"
Setelah melontarkan kata olok-olok balasan untuk melampiaskan kedongkolan hatinya, terus
ngeluyur tinggal pergi. Toan Siu-si terbahak-bahak, semula memang ia tertawa menggila kesenangan, tapi akhirnya
suaranya semakin rendah dan lirih mengandung kegetiran hatinya. Dalam hati ia pun berpikir:
"Kumaki dia sebagai manusia rendah hina dina, tapi sepak terjangku terhadap Beng Goan-cau
apakah terhitung perbuatan laki-laki sejati?"
"Jite," ujar Pok Thian-tiau. "Menurut ucapanmu, jadi keparat itu anggap kita ini manusia dogol
yang gampang ditipu?"
"Benar. Kali ini kelihatannya kau lebih pintar," sahut Toan Siu-si.
"Kalau begitu, apa lagi yang sedang kau pikirkan. Marilah pulang saja, seorang laki-laki
membalas dendam sepuluh tahun pun belum terlambat."
"Aku sedang berpikir... ya, toako, kita tidak usah tergesa-gesa pulang, mari kita rebut anak itu!"
"Benar, kita rebut anak itu dan paksa Beng Goan-cau bertekuk lutut terhadap kita, kalau kita
suruh dia menyembah tiga kali, pasti dia tidak berani menyembah dua kali, di samping itu laki-laki
keparat itu pun tidak akan bisa mengeruk keuntungan."
"Aku ingin merebut anak itu, tapi bukan begitu maksud tujuanku."
"Ada maksud apa lagi kau?"
Toan Siu-si menengadah melihat cuaca, di ufuk timur sudah mulai terang, surya segera akan
muncul keluar dari lapisan mega. Berkatalah Toan Siu-si: "Hari ini cuaca amat baik, saat nyaman
untuk melakukan perjalanan, mari kita rebut dulu bocah itu, kelak dalam kesempatan lain
kututurkan rencanaku."
Pok Thian-tiau tidak tahu jalan pikiran sutenya, dalam hati ia membatin: "Dalam sepuluh tahun
mendatang, jelas aku tidak akan mampu menuntut balas terhadap Beng Goan-cau. Peduli apa
rencana sute, asal saja bertujuan merebut anak Beng Goan-cau, biarlah Beng Goan-cau dibikin
bersedih dan kuatir terhadap nasib anaknya." Maka, dengan rasa riang ia ikuti langkah sutenya
terus berlari-lari menempuh jalan besar, mereka hendak menyongsong kedatangan Song Thengsiau
yang membawa anak Beng Goan-cau di tengah jalan.
Setelah keserempet tamparan Toan Siu-si, seperti anjing yang kena gebuk dan lari terbirit-birit
mencawat ekor, menyesal malu dan dongkol pula hati Nyo Bok.
"Siapa kira seorang guru silat kenamaan di kangouw seperti diriku ini bakal mendapat malu dan
penghinaan begini rupa, untung tadi tidak dilihat orang lain," demikian batin Nyo Bok. Waktu ia
berpaling ke belakang, Tiam-jong-siang-sat tidak dilihatnya mengejar datang, baru legalah
hatinya, lambat-lambat ia melangkahkan kakinya.
Terpikir pula oleh Nyo Bok: "Daripada minta-minta kepada orang lain lebih baik mohon pada
diri sendiri. Ilmu silat turunan leluhurku betapapun tidak akan terkalahkan oleh Beng Goan-cau,
aku sendirilah yang harus disalahkan, biasanya tidak tekun belajar dan rajin berlatih. Buktinya
Toaci dapat mengkombinasikan tenaga positif dan negatif dalam permainan Kim-kong-liok-yang-jiu
yang lebih liehay. Apalagi Lwc-kang-sim-hoat keluarga Nyo kami, ayah hanya menurunkan kepada
aku seorang. Asal aku mau belajar lebih giat, berlatih lagi beberapa tahun, kepan-daianku tentu
akan lebih unggul dari Toaci, tatkala itu rasanya belum terlambat membuat perhitungan dengan
Beng Goan-cau." "Tapi tahun-tahun mendatang ini cara bagaimana aku harus melewatkan hidupku. Untuk
melatih ilmu lwekang yang sulit dan rumit itu, sudah tentu memerlukan suatu tempat yang
tersembunyi dan sepi, pagi malam berlatih tidak kenal lelah, sedikit pun tidak boleh diganggu oleh
urusan luar, adakah aku punya kesabaran ini" Bila di saat latihan teringat bahwa istri sendiri
ternyata mencintai laki-laki lain, dapatkah aku mengendalikan perasaan hatiku" Dan lagi, belum
tentu berhasil dalam latihan, umpama berhasil dapatkah mengalahkan Beng Goan-cau, semua ini
sulit diduga dan diketahui."
Pikir punya pikir kepalanya menjadi pusing dan hati pun resah, karena ia mengenakan kedok
palsu, mukanya terasa gerah dan gatal-gatal. Nyo Bok celingukan dan tidak terlihat ada orang di
sekelilingnya, lekas-lekas ia mencopot kedok palsunya serta menarik napas lega.
Di saat pikiran kacau dan hati kesal itulah, mendadak dirasakan angin berkesiur mendatang dari
belakang. Nyo Bok terkejut sadar dari lamunannya, lekas ia berpaling, tampaklah seorang laki-laki
mengenakan pakaian serba hitam tahu-tahu sudah berdiri di belakangnya. Seperti tertawa tidak
tertawa laki-laki baju hitam ini menyapa: "Nyo-busu! Selamat bertemu! Selamat bertemu!"
Waktu Nyo Bok melihat tegas, tak teringat olehnya di mana dan kapan ia pernah ketemu orang
ini, cepat ia menjawab: "Kau salah mencari orang, orang rudin seperti aku ini, bukanlah seorang
Busu yang kenamaan segala."
Seperti diketahui guru silat Nyo Bok dari Siok-ciu yang kenamaan itu sudah masuk liang kubur,
sudah tentu Nyo Bok tidak suka bahwa kematian palsunya diketahui oleh seseorang yang belum
pernah dikenalnya ini. Nyo Bok membatin dalam hati: "Orang ini aku tidak kenal, mungkin hanya kaum keroco yang
tidak punya nama di kangouw, entah di mana dia pernah melihatku satu dua kali. Walaupun kini
aku tidak mengenakan kedok, tapi cara dandananku yang serba dekil dan kotor seperti laki-laki
rudin ini, mukaku yang kisut lagi, mana bisa disamakan dengan guru silat kenamaan dari Siok-ciu
yang bernama Nyo Bok" Asal aku menyangkal dengan ketus, orang ada yang sama, barang ada
yang sebentuk, tentu akhirnya dia menyangka salah mengenali orang."
Tak diduga setelah mendengar Nyo Bok menyangkal, laki-laki baju hitam itu malah bergelak
tertawa, nada tawanya sangat menusuk kuping, lalu katanya: "Nyo Busu, tidak salah aku mencari
kau, malah kau yang salah menemukan orang lain!"
Nyo Bok jadi gusar, serunya: "Sudah kutegaskan aku bukan Nyo Busu, kau masih cerewet dan
bikin ribut apa" Apa pula maksudmu?"
Dengan nada suara seperti banci, orang itu berkata: "Nyo Busu, di hadapan seorang laki-laki
sejati jangan kau bicara melantur, pengalamanmu semalam dan kejadian tadi pagi sudah
kuketahui, kau mencari Tiam-jong-siang-sat minta mereka menuntut balas bagi kau, bukankah
kau salah menemukan orang" Lebih benar kalau kau mencari aku!"
Nyo Bok terperanjat dibuatnya, timbul ah niatnya membunuh untuk menutup mulut, pikirnya:
"Kalau keparat ini sampai menyiarkan rahasiaku ini, cara bagaimana aku harus menjadi orang
selanjutnya" Aku tidak bisa membiarkan dia tetap hidup!"
Timbul niat membunuh, Nyo Bok berkata tawar: "Sahabat, sungguh tajam pandanganmu, aku
Nyo Bok sungguh kagum terhadapmu." Mulut bicara, mendadak ia melangkah dua tindak, tiba-tiba
pukulannya melayang menyerang ke arah laki-laki baju hitam.
Laki-laki baju hitam itu terbahak-bahak, serunya: "Kau hendak bunuh orang buat menutup
mulutnya?" di tengah suara tawa dan sambaran pukulan lawan, tiba-tiba telapak tangan kirinya
terangkat membuat setengah bundaran, dengan gaya Kim-na-jiu-hoat, sementara telapak kanan
menyelo-nong ke depan dari bawah ketiak, kedua jarinya terangkap menotok ke urat nadi Nyo
Bok. Tipu yang digunakan Nyo Bok adalah jurus mematikan dari Kim-kong-Iiok-yang-jiu, kekuatan
pukulannya keras dan dahsyat, meski sepotong batu besar pun bisa terpukul remuk. Tak diduga
permainan Kim-na-jiu-hoat laki-laki itu terlebih liehay, serangannya ini justru memaksa lawan


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk menyelamatkan diri lebih dulu, belum lagi Nyo Bok mengerahkan penuh tenaganya,
pergelangan tangannya sudah terketuk oleh jari-jari orang, kontan ia rasakan seluruh lengannya
sakit kesemutan. Untung gerak perubahan permainan Nyo Bok cukup sebat pula, sehingga urat
nadi yang penting tidak sampai kena secara telak.
Terdengar laki-laki baju hitam itu tertawa dingin: "Kim-kong-liok-yang-jiu dari keluarga Nyo
ternyata memang hebat, cuma untuk membunuh aku, agaknya tidak sedemikian gampang!"
Baru sekarang Nyo Bok sadar akan kesalahan perhitungannya, bahwa ternyata lawannya ini
seorang tokoh yang amat liehay.
Diam-diam Nyo Bok membatin bahwa dirinya jelas tidak bakal menang melawan laki-laki di
hadapannya, tiga puluh enam jalan, lari adalah yang paling tepat, begitu putar tubuh ia ngacir
seperti dikejar setan. Agaknya laki-laki baju hitam itu tidak melepas dirinya begitu saja, begitu Nyo Bok lompat ke
depan hendak lari, belum lagi kakinya menginjak tanah, terdengarlah angin berkesiur dari
lambaian baju orang, tahu-tahu laki-laki baju hitam itu sudah melompat tinggi melampaui atas
kepalanya dan menghadang jalan larinya.
Nyo Bok kertak gigi, bentaknya: "Baik, aku adu jiwa dengan kau."
Kedua tangan bekerja, tangan kiri dengan jurus Liok-liong-ping-ka, sementara tangan kanan
dengan jurus Thian-ma-hing-khong, sejurus Kim-kong-liok-yang-jiu mengandung enam gaya
selingan, dengan kedua telapak tangan dilancarkan bersama, dalam jurus sembunyi, gaya di
belakang gaya masih ada tipu-tipunya lagi, seluruhnya ada dua belas tipu-tipu sisipan, di dalam
pelajaran ilmu pukulan, permainannya ini boleh dikatakan merupakan ilmu yang paling rumit dan
sangat liehay. Tak nyana Kim-na-jiu-hoat lakilaki itu justru jauh lebih hebat dan aneh, tidak kalah
rumit dan liehaynya daripada Nyo Bok.
Laki-laki baju hitam itu juga menyongsongkan kedua telapak tangannya, sedikit pun Nyo Bok
tidak tahu jurus permainan apa yang dilancarkan lawannya, seketika ia melihat berbagai penjuru
sekelilingnya yang kelihatan hanya bayangan telapak tangan dan bentuk sosok tubuhnya. Dua
belas tipu-tipu pukulan Kim-kong-liok-yang-jiu yang dilancarkan Nyo Bok ternyata sekaligus dapat
dipatahkan semua. Malah tidak demikian saja kesudahannya, laki-laki itu masih berputar secepat angin selicin
belut, telapak tangan memotong sementara jari mengetuk, tiga belas jalan darah penting di tubuh
Nyo Bok seketika di bawah ancaman Kim-na-jiu-hoat lawan yang liehay.
Namun seperti kucing mempermainkan tikus saja, laki-laki baju hitam itu hanya bergaya saja
mencengkeram atau menotok, bahwasanya ia tidak betul-betul lancarkan serangan secara telak.
Keruan Nyo Bok merasa terpukul gengsinya, teriaknya gusar: "Mau bunuh silakan bunuh, seorang
laki-laki masa mandah kau permainkan?"
Laki-laki itu mencemooh dalam hati: "Kau pun berani mengagulkan diri sebagai laki-laki?"-Tapi
lahirnya ia bersikap ramah dan menaruh hormat, sambil menarik kedua tangannya ia berkata
tertawa nyaring: "Tidak berkelahi tidak akan kenal, sekarang kita boleh mulai bicara saja" Nyo
Busu, kau sendiri yang mengatakan hendak mengadu jiwa padaku, sebaliknya aku tiada maksud
begitu. Maksudku cukup baik terhadap kau, tanpa mengandung maksud-maksud jelek!"
Kejut Nyo Bok masih belum hilang, setelah ia mengamati orang, akhirnya bertanya: "Siapakah
tuan" Ada petunjuk apa?"
Laki-laki itu berkata tawar: "Nyo Busu, Tiam-lam-su-hou yang semalam kau lihat semua adalah
anak buahku. Dari sini kukira kau dapat mengira-ngira bagaimana jabatan dan kedudukanku?"
Lebih kejut lagi Nyo Bok dibuatnya, serunya: "Harap tuan suka memberi penjelasan."
"Dengan maksud baik, aku ingin mengikat persahabatan dengan kau, maka tidak perlu aku
mengelabui kau lagi. Aku adalah Ciok Tio-ki, wakil komandan dari Gi-lim-kun, mungkin sebelum ini
kau pernah mendengar namaku?"
Seketika mengkirik bulu kuduk Nyo Bok, mimpi pun ia tidak menduga laki-laki yang
dianggapnya kaum keroco tak bernama ini kiranya adalah wakil komandan Gi-lim-kun.
Pergaulan Nyo Bok memang cukup luas, para sahabat dari aliran hitam atau putih semua ada,
tapi seorang pejabat tinggi seperti komandan Gi-lim-kun ini, baru pertama kali ini ia bertemu.
Sudah tentu rasa kejut Nyo Bok ini bukan hanya karena Ciok Tio-ki adalah wakil komandan Gilimkun saja. Sebelum Ciok Tio-ki menduduki jabatannya sekarang, dulu ia pun seorang tokoh
kosen dalam bulim yang disegani. Memang seperti apa yang diucapkan oleh Ciok Tio-ki, memang
Nyo Bok sudah lama kenal kebesaran namanya. Masih segar dalam ingatan Nyo Bok di kala ia
mendengar para sahabat pendekar membicarakan bahwa Ciok Tio-ki kini terima menghamba dan
menjadi kaki tangan pihak pemerintah penjajah, ia pernah menghela napas dan merasa sayang,
sebagai seorang tokoh yang kenamaan kenapa terima diperbudak oleh musuh.
Nyo Bok mengangkat kepala serta katanya: "Aku orang she Nyo hanyalah rakyat kecil belaka,
mana berani bersahabat dengan para pembesar segala!"
"Nyo-heng terlalu sungkan," ujar Ciok Tio-ki. "Kau adalah guru silat yang kenamaan di lima
propinsi utara, selamanya aku pun kagum terhadapmu?"
Karena diumpak dan diagulkan, meski Nyo Bok belum sampai lupa daratan, dalam hati ia
merasa syur dan tambah gengsi, cepat ia berkata: "Tidak berani. Entah untuk urusan apa Cioktayjin
mencari diriku ?" "Bicara sejujurnya, aku merasa simpatik terhadap kau, kedatanganku ini ingin membantu kesulitanmu,
di samping itu aku pun membawakan oleh-oleh pangkat kedudukan dan harta kekayaan
bagi kau. Asal kau suka dengar nasehatku, bukan saja sakit hatimu bisa terbalas, kau pun bisa
hidup mewah dan bahagia."
"Aku tidak mengharap kedudukan atau pangkat segala, tapi kenapa Ciok-tayjin begitu
bersemangat hendak membantu aku menuntut balas?"
Ciok Tio-ki cengar-cengir, katanya: "Manusia hidup demi kepentingannya. Memang belum tentu
kau mau percaya bila aku suka melolos golok membanty kesu-litanmu. Bahwa aku suka
membantu- kau sudah tentu membawa keuntungan dan manfaat bagi kedua pihak."
"Keuntungan atau manfaat apa yang Tayjin maksudkan?" tanya Nyo Bok.
"Beng Goan-cau adalah murid didik Lu Siu-gun, sedang Lu Siu-gun adalah buronan pemerintah
yang harus diringkus, kedua persoalan ini, kukira kau sudah tahu bukan?"
Dengan kaku tanpa menunjukkan perasaan, Nyo Bok manggut-manggut sebagai jawaban
mengerti. Maka Ciok Tio-ki melanjutkan: "Sepuluhan tahun yang lalu, empat orang Bhayangkari
dan tiga ang-gauta Gi-lim-kun telah mengejar jejak Lu Siu-gun dan tiga anggauta keluarganya. Di
tengah jalan mereka bertemu dan terjadilah pertempuran seni, akhirnya meski Lu Siu-gun terluka
parah, tapi lima orang dari pihak kami kena dibinasakan oleh golok emas Lu Siu-gun. Cuma
seorang anggauta Bhayangkari dan seorang Gi-lim-kun yang berhasil melarikan diri membawa
luka-luka yang parah, untung mereka tidak sampai mati. Anggauta Gi-lim-kun itu tidak lain tidak
bukan adalah diriku."
Bicara sampai di sini, dengan sorot dingin Ciok Tio-ki melirik ke arah Nyo Bok. Nyo Bok masih
diam tak memberi reaksi apa. Ciok Tio-ki lantas menyambung: "Setelah terluka parah Lu Siu-gun
menyembunyikan diri di hutan pegunungan, serta memanggil pulang muridnya dari Soh-ciu untuk
melindungi keluarga gurunya. Mendapat perintah guru, lekas Beng Goan-cau pulang sambil
membawa sahabat karibnya Song Theng-siau, sementara itu kaki tangan pihak pemerintah terus
disebar luas untuk menyelidiki jejak Lu Siu-gun sekeluarga. Akhirnya lima orang anggauta
Bhayangkari dari istana raja meluruk ke tempat persembunyian Lu Siu-gun, tatkala itu Lu Siu-gun
sudah keburu mangkat, namun mereka masih belum tahu. Akhirnya di hutan pegunungan mereka
bertempur pula mati-matian dengan amat serunya, kelima orang ini beruntun kena dibunuh pula
oleh Beng Goan-cau dan Song Theng-siau. Waktu itu karena luka-lukaku belum lagi sembuh jadi
aku tidak ikut menggrebek ke sana, kalau tidak, siapa bakal mati di tangan siapa belum lagi bisa
dipastikan. Tapi meski aku tidak ikut, karena aku pernah dibacok golok emas guru Beng Goan-cau
serta anak buahku pun kena dibunuhnya pula, maka permusuhanku dengan Beng Goan-cau jelas
sudah terikat sejak lama."
Nyo Bok masih mendengarkan dengan tenang dan diam saja dengan sikap dingin. Setelah
menghela napas, Ciok Tio-ki meneruskan ceritanya: "Sudah tentu bukan hanya karena urusan
pribadi saja aku bermusuhan dengan Beng Goan-cau, kukira hal itu kau pun sudah tahu...
beberapa tahun belakangan ini, apa saja yang dia kerjakan di Siau-kim-jwan. Hehe, sekarang dia
sudah menjadi salah seorang tokoh penting yang harus dibekuk batang lehernya, seperti
juga.gurunya itu, dia merupakan buronan pemerintah yang sewaktuwaktu harus dihukum
pancung. Kenapa aku mau membantu kau menuntut balas, hehehe, Nyo Busu, kini kau sudah
paham bukan?" "Sudah paham!" sahut Nyo Bok kaku. "Kau karena tugas..."
Ciok Tio-ki bergelak tertawa, belum habis Nyo Bok bicara ia sudah menukas: "Tepat, aku
karena tugas dan kau hendak menuntut balas. Kalau kita berdua kerja sama menghadapi Beng
Goan-cau, bukankah akan membawa keuntungan bagi dua pihak."
Gelak tawanya bernada tinggi rendah seperti kokok beluk mengoceh di malam hari, tak enak
didengar dan menusuk kuping. Orang licik seperti Nyo Bok pun tak urung mengkirik bulu romanya.
Sebetulnya tak perlu Nyo Bok mendengar penjelasannya sampai selesai, sejak mula ia sudah
dapat meraba ke mana tujuan orang. Di waktu Nyo Bok mendengarkan tadi, lahirnya ia bersikap
kaku tanpa perasaan, sebetulnya sanubarinya sedang bergulat dengan tegangnya.
Dasar cerdik dan orang yang pintar menggunakan akal liciknya, di kala timbul niatnya hendak
membunuh Beng Goan-cau, belum pernah Nyo Bok berpikir lebih mendalam: Orang yang hendak
dia bunuh ini bukan saja seorang lawan asmaranya, malah seorang tokoh dalam laskar gerilya.
Lebih tidak pernah terpikirkan olehnya, pada akhirnya ia bakal kerjasama dengan wakil komandan
Gi-lim-kun untuk menghadapi Beng Goan-cau seorang.
"Adalah cukup pantas dan jamak kalau aku kerjasama dengan Tiam-jong-siang-sat, bila aku
kerja sama dengan wakil komandan Gi-lim-kun, kalau rahasia ini sampai bocor dan diketahui
khalayak ramai, para hohan di kangouw apakah tidak menghina dan menterta-wakan aku"
Mungkin bukan hanya ditertawakan saja, untuk berdiri dan kelana di kangouw pun mungkin tiada
tempat lagi bagi aku," demikian Nyo Bok menerawang.
Kawan-kawan Nyo Bok terdiri dari aliran putih dan golongan hitam, tapi hubungan yang paling
kental sudah tentu terdiri dari orang-orang aliran pendekar, dan lagi walaupun ia tidak
menerjunkan diri dalam barisan melawan pemerintah penjajah, paling sedikit dalam percakapan
dan semangat ia sangat setuju dan menyokong sepak terjang para kawan-kawannya itu. Oleh
karena itu di kala ia mendadak berpikir, mungkin suatu ketika bakal menjadi musuh para kawankawannya
itu. Tidak bisa tidak ia jadi gundah dan was-was, malah rada gentar dan takut.
Sepihak rasa cemburu membakar hati, pihak lain ia harus berpikir panjang sebelum bertindak
mengingat akibatnya kelak. Maka terpikir pula oleh Nyo Bok: "Untuk menuntut balas sendiri,
mungkin harus berlatih lagi sepuluh tahun juga belum tentu bisa berhasil, sulit mencari seorang
tokoh kosen yang kini menawarkan diri untuk membantu, kesempatan baik ini apakah harus,
kusia-siakan" Ya, kalau Ciok Tio-ki menarik aku sebagai pembantunya, tentu dia sendiri tidak
mampu menghadapi Beng Goan-cau. Kalau begitu aku minta dia menutup rahasiaku ini sebagai
imbalan dari kerjasama ini, masa dia berani menolak?"
Nyo Bok beranggapan bahwa ia sudah punya modal untuk main tawar menawar dengan orang,
siapa tahu bahwa hakikatnya dia sudah tergenggam di dalam telapak tangan orang untuk
dimainkan saja. Dengan dingin Ciok Tio-ki mengawasi dia, katanya menyeringai: "Seorang laki-laki dapat
berkcputusan sekejap kata, kenapa main ragu-ragu segala" Bagaimana, bicaralah terus terang!"
Nyo Bok kertak gigi, katanya: "Baik, tapi apakah hanya kita berdua saja?"-Semula ia mengharap
intrik mereka ini tidak diketahui oleh orang ketiga, pertanyaan ini hanyalah untuk memancing
keterangan Ciok Tio-ki lebih lanjut, tak nyana jawaban Ciok Tio-ki justru jauh di luar dugaannya.
Dalam hati Ciok Tio-ki bersorak girang: "Ikan sudah terjaring!" mendadak dia bergelak tertawa,
katanya: "Sudah cukup asal kau setuju kerjasama dengan aku, soal menuntut balas, tidak perlu
sekarang juga harus dilaksanakan!"
Nyo Bok melengak, tanyanya: "Jadi kau belum siap untuk berangkat bersama aku membunuh
Beng Goan-cau?" "Kulihat betapa kecil nyalimu ini." Demikian ejek Ciok Tio-ki. "Bicara terus terang, aku sendiri
tidak punya pegangan pasti berhasil membunuh Beng Goan-cau. Tapi asal kau mau dengar
petunjukku, aku berani tanggung akan datang suatu ketika kau akan berhasil membalas sakit
hatimu. Ya, benar, ada sebuah soal lain kau masih belum memberi jawaban kepadaku."
Nyo Bok terkejut pula, katanya: "Harap Ciok-tayjin suka jelaskan, pangkat kedudukan atau
kekayaan apa yang hendak diberikan kepadaku" Cara bagaimana pula kau hendak menghadapi
aku?" Kata Ciok Tio-ki pelan-pelan: "Sat-tayjin sangat tertarik padamu, beliau ingin menarik kau
menjadi Bhayangkari kelas dua dari istana raja. He he he, sekali muncul ja-batanmu lantas
Bhayangkari kelas dua, kedudukan pangkat dan keuntungan yang bakal kau terima selanjutnya
tentu tidak kecil!" Nyo Bok terkejut, sahutnya: "Aku orang she Nyo tidak berani mengharapkan...
mengharapkan..." Belum selesai ia berkata, Ciok Tio-ki sudah berjengek dingin, katanya: "Tidak mau pun harus
kau terima! Kalau tidak, aku pun tidak usah bunuh kau, cukup aku membeber segala apa yang
tadi malam dan pagi ini kulihat dan kudengar kepada khalayak ramai, bahwa istri Nyo Bok
sebelumnya sudah punya gendak dan melahirkan anak, Nyo Busu yang kenamaan itu tidak
mampu membalas sakit hatinya sendiri, dia lari mencari bantuan kepada Tiam-jong-siang-sat serta
mengatur tipu daya keji untuk merampas anaknya sendiri! Eh, salah omong, anak haram dari
istrinya dan musuh besarnya itu, karena takut menghadapi gendak istrinya itu beberapa tahun ini
terpaksa Nyo Busu harus mengakui anak itu adalah putranya! Hahaha, kalau kejadian ini sampai
tersiar luas akan kulihat kau Nyo Busu ini apakah ada muka tetap hidup" Seandainya kau masih
bandel menebalkan muka berhadapan dengan orang, kalau orang tidak menghina dan
mentertawakan kau sebagai pengecut, tentu pula mereka memandang rendah dan hina
kepadamu!" Betapa kotor dan menusuk kuping ucapan Ciok Tio-ki ini, mungkin sanubari Nyo Bok tidak
sebejat dan seburuk seperti apa yang dikatakan ini (umpamanya ia mengakui Nyo Hoa sebagai
anak, bukan seperti apa yang dikatakan oleh Ciok Tio-ki, soalnya waktu itu ia sudah beranggapan
bahwa Beng Goan-cau sudah mati), tapi beberapa persoalan ini memang menjadikan Nyo Bok
merasa sirik dan kuatir bila sampai diketahui orang luar.
Sebagai guru silat kenamaan, di mana Nyo Bok berada selalu mendapat sanjung puji dan
dihormati orang, terhadap gengsi dan nama ia sangat prihatin, setelah mendengar uraian Ciok Tioki
yang mengorek boroknya ini, mencelos dingin perasaan hatinya, diam-diam ia berpikir: "Jikalau
benar sampai tersiar luas rahasiaku itu, benar-benar lebih baik mati daripada hidup dengan nama
busuk." Akan tetapi jikalau dia meluluskan syarat yang diajukan Ciok Tio-ki" "Bukankah aku sudah
terima menjadi anjing alap-alap pemerintah penjajah" Seandainya tidak sampai terbunuh oleh
para sahabat dari kaum pendekar atau patriot laskar gerilya, apa pula tujuan hidupku?"-Tiba-tiba
teringat oleh Nyo Bok akan tamu dari piaukiok yang berkunjung ke rumahnya tiga tahun yang lalu.
Piau-thau itulah yang membawa kabar di hadapan Hun Ci-lo bahwa Beng Goan-cau hakikatnya
masih hidup di dunia ini. Masih segar dalam ingatannya di kala piauthau itu mengisahkan
kepahlawanan Beng Goan-cau dan Song Theng-siau dalam perjuangan melawan penjajah adalah
sedemikian gagah dan perwiranya! Tatkala itu meski ia sudah tahu bahwa Beng Goan-cau adalah
musuh asmaranya, tidak bisa tidak ia pun turut mengumpak dan memuji. "Kalau aku benar-benar
menjadi anjing alap-alap pemerintah penjajah, mungkin seorang piauthau yang kerjanya
keluyuran itu pun akan memandang rendah dan hina kepadaku!"
Lalu terpikir pula oleh Nyo Bok: "Yang jelas khalayak ramai sekarang anggap aku sudah mati,
kedua jalan itu sama membuat aku hidup tidak mati pun tidak, kalau begitu aku tidak usah
mengunjukkan diri saja untuk selamanya, anggap saja diriku sendiri pun sudah ajal!"
"Tapi apakah Ciok Tio-ki man-dah membiarkan aku hidup bebas seorang diri tanpa ikatanikatan
lainnya" Kalau urusan sudah terlanjur, kecuali aku betul-betul mati, kalau tidak bisakah aku
selama hidup ini selalu sembunyi tanpa bertemu dengan beberapa orang kenalan" Apalagi tahun
ini aku baru berusia tiga puluh enam, apakah aku harus merelakan diri hidup mengasingkan diri di
hutan pegunungan menunggu ajal belaka?"
Lahir dan batin sedang bergolak dalam sanubari Nyo Bok, perang batin antara kebajikan dan
kesesalan, ke mana ia harus menuju atau menempatkan diri" Begitulah Nyo Bok berpikir pulang
pergi, namun selalu ia menemui jalan buntu dan sukar mengambil keputusan.
Kelihatannya Ciok Tio-ki dapat meraba jalan pikirannya, mendadak ia terbahak-bahak, ujarnya:
"Nyo Busu! Yang kau takutkan hanya bila rahasiamu diketahui orang lain. keteranganku belum lagi
selesai kujelaskan, coba kau dengar lebih lanjut, tentu tidak akan mempersulit keadaanmu."
Kata Ciok Tio-ki lebih lanjut: "Pangkat yang kami berikan kepadamu hanya tituler belaka, tak
perlu kau harus pergi ke kota raja menjabat kedudukanmu ini. Kecuali Sat-congkoan, aku dan
komandan Gi-lim-kun yahg bernama Lam Kiong-sin tiada orang ke empat yang tahu. Seperti
keadaanmu sekarang kau pun boleh saja berhubungan erat dengan para kawan-kawanmu lama.
bagaimana cukup melegakan bukan?"
Nyo Bok masih bimbang sekian lamanya, akhirnya ia berkata: "Benarkah hanya pangkat tituler
belaka" Tak perlu aku. aku..."
Ciok Tio-ki menyeringai sinis, ujarnya: "Bila namamu sudah tercantum di dalam daftar, berarti
kau adalah orang kami sendiri, sudah tentu kau harus melakukan tugas-tugas yang kami serahkan
kepadamu. Tapi kau tidak usah kuatir, hal ini akan kami rahasiakan sehingga tidak diketahui orang
luar." "Entah tugas apa saja yang Ciok-tayjin hendak serahkan kepadaku?"
"Kau seorang cerdik, masa belum paham" Kami ingin supaya kau menjadi mata kuping (matamata)
pihak kerajaan!" "Maksudmu jadi mata-mata pihak kerajaan!" ujar Nyo Bok gemetar, sekarang paham dia,
bahwa Ciok Tio-ki hendak menjadikan dia sebagai penyelidik gelap, yaitu ia harus bergaul erat
sama kawanan pemberontak atau pasukan gerilya memata-matai semua gerak gerik dan
memberikan laporan seperlunya.
Tiba-tiba Ciok Tio-ki menarik muka, hilang seri tawanya, dengan muka kereng dan bengis ia
menambahkan: "Bekerja giat demi kepentingan kerajaan adalah tugas dan kewajibanmu, apalagi
aku sudah berjanji membantu kau menuntut balas. Untuk ini aku sudah mengatur secara
sempurna, kini aku tinggal menunggu jawaban tegasmu."
Gundah dan gelisah pula hati Nyo Bok. namun Ciok Tio-ki mendesak sedemikian rupa tidak
memberi kesempatan atau peluang sedikit pun untuk berpikir dan menimang-nimang. Ia tahu Ciok
Tio-ki sangat culas dan kejam, cara kejahatan apapun bisa dilakukan olehnya. Maka dalam kedaan
terdesak, yang terpikir olehnya hanya bila dia tidak menyetujui ajakan Ciok Tio-ki, bukan saja tidak
mampu menuntut balas, nama dan gengsi bakal hancur berantakan. Kalau terima ajakannya
kemungkinan bisa menutupi rahasianya ini. Sedikit pun tidak terpikir olehnya, bila dia menjadi
anjing alap-alap atau mata-mata pihak kerajaan, bukan saja nama gengsi sendiri pun bisa hancur
berantakan akibatnya pun akan lebih lagi.
Akhirnya Nyo Bok tunduk pada tekanan dan bujuk rayu Ciok Tio-ki, katanya: "Ciok-tayjin suka
berpikir demi kepentinganku, siaujin dengan suka hati rela menyumbangkan tenaga bagi Tayjin!"
Ciok Tio-ki bergelak tertawa, ujarnya: "Bok-heng tidak usah sungkan, kini kita terhitung orang
sendiri! Tapi, ada sebuah ucapan perlu kupertegas, kau bekerja bukan demi kepentinganku,
adalah demi kepentingan kerajaan."
"Ya, ya!" Nyo Bok mengiakan sambil merunduk-runduk.
Ciok Tio-ki berkata lebih lanjut: "Kali ini tidak banyak bantuan yang kubawa dari kota raja, tapi


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kau tidak usah kuatir, betapapun Beng Goan-cau tidak akan dapat lolos dari cengkeraman
tanganku. Silakan kau pulang ke rumahmu, suatu ketika aku bisa mengutus seorang kurir untuk
mencari hubungan dengan kau." Sementara dalam batin ia berpikir: "Ikan besar yang berhasil
kukail ini, pahalanya lebih besar dari pada membekuk batang leher Beng Goan-cau."
Ternyata Ciok Tio-ki ini memang seorang cerdik pandai yang pintar mengatur tipu daya, kali ini
ia membawa-Tiam-lam-su-hou keluar dari kota raja, waktu lewat di Soh-ciu didapat kabar bahwa
Beng Goan-cau pulang ke rumah keluarga Hun. Karena dia sendiri rada jeri menghadapi Beng
Goan-cau, maka ia perintahkan Tiam-lam-su-hou menyirapi gerak-gerik Beng Goan-cau lebih dulu.
Tak nyana Tiam-lam-su-hou kena dilabrak habis-habisan hanya oleh sumoay Beng Goan-cau. Tak
lama kemudian ia sendiri pun menonton perkelahian Beng Goan-cau melawan Tiam-jong-siang-sat
yang sengit dan seru. Begitu takjub dan jeri hatinya sehingga ia tidak berani unjukkan diri.
Dengan bertangan kosong sudah tentu ia sulit memberikan laporan dari kegagalan tugasnya,
dasar cerdik, ia gunakan akal untuk memelet Nyo Bok ke pihaknya.
Nyo Bok seorang guru silat yang kenamaan dan berhubungan luas dengan para kaum
persilatan, meski dia tidak masuk jadi ang-gauta laskar gerilya, namun ada hubungan erat dengan
pihak orang-orang gagah dan para ksatria. Orang macam ini kalau sudi mengekor dan menjadi
mata-mata pihak kerajaan, sudah tentu merupakan seorang pilihan yang paling tepat.
Cara Ciok Tio-ki menghadapi Nyo Bok sebenarnya di luar rencana tugas atau perintah dari
atasannya, adalah setelah dia mengetahui rahasia pribadi Nyo Bok baru timbul akalnya dan
bekerja menurut putusan hati sendiri. Bujuk rayunya pada Nyo Bok akan diberi pangkat dan
kedudukan apa segala, bahwasanya ia hanya memalsu dan mencatut nama kebesaran atasannya
belaka. Bahwa Sat-congkoan yaitu komandan Gi-lim-kun pernah membicarakan Nyo Bok kepada dirinya
memang benar. Pernah Sat Hok-ting mengutarakan hasratnya hendak memelet Nyo Bok jadi kaki
tangannya, namun karena kemungkinan berhasil terlalu kecil, saat itu hanya dibicarakan sambil
lalu saja. Sungguh tidak nyana, dicari merusakkan sepatu besi tidak ketemu, begitu ketemu sedikit
pun tidak mengeluarkan tenaga.
Di bawah tekanan atau ancaman serta bujuk rayu secara halus Ciok Tio-ki, di luar dugaan ia
berhasil mengail mangsanya ini sedemikian mudah, keruan girang bukan buatan.
Saking senang diam-diam Ciok Tio-ki berpikir: "Tak kira hanya dengan makanan pangkat
Bhayangkari kelas dua aku berhasil mengail seekor ikan besar. Meski aku mencatut dan memalsu
perintah Sat-congkoan, tapi aku berhasil mengail ikan besar bagi kepentingannya, pahala ini jauh
lebih besar dari aku menerima sepuluh anggauta Bhayangkari kelas satu, betapapun ia akan
memuji dan memberi persen kepadaku dari pada memakiku atau menentang tindakanku ini!"
Terpikir pula oleh Ciok Tio-ki: "Kalau aku bekerja sama dengan Nyo Bok menghadapi Beng
Goan-cau, kemungkinan bisa berhasil membekuk batang lehernya, tapi bila sampai dia berhasil
meloloskan diri, untuk selanjutnya Nyo Bok pasti tidak bisa lagi bergaul bebas di hadapan umum
sebagai kaki tangan pihak kerajaan. Demi tugas yang lebih penting dan toh rencana ini cukup
memakan waktu, soal membekuk Beng Goan-cau sih boleh dianggap urusan kecil, tapi untuk
mengulur pancing mengail ikan besar jauh lebih sulit. Lebih baik aku jangan sembarangan
bertindak, sekali-kali aku harus melindungi rahasia Nyo Bok lebih penting."
Sebagai seorang yang berpikiran tenang dan licik, maka ia gunakan alasan hendak
membalaskan sakit hati Nyo Bok, setelah Nyo Bok kena dipelet, lantas dia membujuk Nyo Bok
supaya jangan terlalu gugup untuk menuntut balas, malah menyuruhnya pulang ke kampung
halaman lebih dulu. Mendengar orang menyuruh dirinya pulang ke kampung halaman, Nyo Bok jadi serba susah,
dengan ragu-ragu ia berkata: "Mungkin Ciok-tayjin belum tahu bahwa aku sudah pura-pura mati.
Kecuali istriku seorang, semua sanak kadang dan familiku serta kawan-kawanku tiada yang tahu
akan seluk beluk ini, mana bisa aku pulang ke kampung halaman dan unjuk muka secara terangterangan
di muka umum?" "Kejadianmu aku tahu jelas, sudah tentu aku punya akal supaya kau hidup lagi, dan akalku ini
sedikit pun tidak akan bikin malu kepadamu!"
"Harap Tayjin suka jelaskan!" Berkata Ciok Tio-ki pelan-pelan: "Kau boleh beri alasan bahwa
kematianmu yang pura-pura ini adalah untuk menghindari kejaran pihak kerajaan!"
Nyo Bok terperanjat, serunya: "Maksudmu aku harus menyaru sebagai buronan pihak
kerajaan?" "Tidak salah, malah kau boleh bicara lebih tandas bahwa orang yang ditugaskan untuk
meringkus kau adalah aku ini."
"Kalau begitu, cara bagaimana pula aku harus pulang secara terang-terangan" Apa tidak takut
kau dengar berita dan meluruk datang menangkap aku?"
Bertaut alis Ciok Tio-ki, katanya: "Kelihatannya kau cukup pintar, kenapa begitu ceroboh. Siapa
yang suruh kau mengunjukkan diri di muka umum" Maksudku hanya beberapa sanak kadang dan
para sahabat dekatmu saja yang melihat kau, dan mereka harus diberitahu asal mula kenapa kau
harus pura-pura mati."
Sebetulnya Nyo Bok tidak seceroboh seperti yang dikatakan, tujuan Ciok Tio-ki menyuruh dia
berbuat demikian sebetulnya siang-siang sudah.dapat ia tebak dalam benaknya. Bahwa dia purapura
tidak mengerti karena nuraninya masih belum tega untuk melakukan sesuatu yang
mengingkari martabat seorang lurus, apa lagi harus membungkuk-bungkuk menjadi boneka Ciok
Tio-ki dan terima diperintah segala.
Tapi sang korban sudah terkail, mana mungkin Ciok Tio-ki mau melepasnya demikian saja"
Maka setelah secara halus membujuk dan menekannya pula, sambil tertawa ia berkata: "Kau tidak
usah kuatir dan takut, sekembalimu ini kutanggung para sahabat dan sanak ka-dangmu malah
akan menyanjung dan memuji kau, sedikit pun tidak akan merugikan kebaikan nama dan
gengsimu. Hm, bukankah kau punya murid yang bernama Bun Seng-liong, sekarang menjadi
piauthau dari Tin-wan Piaukiok, dan murid kedua adalah anak hartawan di Siok-ciu yang bernama
Gak Hou, ya bukan?" Dalam waktu singkat Nyo Bok tidak tahu ke mana juntrungan kata-kata orang, sambil manggut
ia mengiakan. Kata Ciok Tio-ki pula: "Iparmu atau suami toacimu punya seorang paman, yaitu Su-hay-sinliong
Ki Kian-ya yang kenamaan di empat penjuru kangouw, betul tidak?"
Dengan kaku Nyo Bok mengiakan lagi seraya manggut-manggut.
"Baik, menurut apa yang kutahu, Bun Seng-liong dan Gak Hou sama hendak mencari buku silat
peninggalanmu. Waktu kau pulang datanglah pada tengah malam secara sembunyi-sembunyi,
pertama kau temui kedua muridmu itu. Lalu pergilah ke Poting menemui tetua dari familimu yaitu
Su-hay-sin-liong Ki Kian-ya!"
"Bila Gak Hou tahu kau adalah buronan pemerintah tentu sangat terkejut, malah mungkin
secara diam-diam memberi lapor kepada pejabat setempat, tapi memang begitulah tujuanku,
dengan demikian persoalanmu bahwa kau buronan tulen bisa segera tersebar luas dan diketahui
umum..." "Tin-wan Piaukiok adalah perusahaan ekspedisi yang terbesar di kota raja, usia Bun Seng-liong
masih muda namun sudah menjabat sebagai piauthau dari sebuah perusahaan besar, kuduga dia
pun tidak akan rela merusak masa depannya. Tapi dia tidak berkeluarga dan punya harta seperti
Gak Hou, dan lagi ingin mendapatkan buku rahasia ajaran silatmu, kuduga ia tidak akan lapor
kepada pejabat. Boleh kau serahkan buku ajaran silatmu kepadanya, soal buku ajaran silat itu
tulen atau palsu terserah kepadamu untuk memberi putusan."
"Menurut dugaanku, setelah Bun Seng-liong memperoleh buku ajaran silatmu, kemungkinan
besar dia akan membawa pulang rahasiamu ini kepada Cong-piauthau, minta Cong-piauthau suka
mencarikan akal baginya. Tiada halangannya kuberitahukan kepadamu, sedikit banyak aku rada
curiga terhadap Han-congpiauthau dari Tin-wan Piaukiok ini, demikian ingin aku tahu, dia suka
melindungi kau atau tidak, dari sini aku dapat meraba seluk beluknya. Lebih baik kalau dia suka
melindungi kau, setelah mengetahui rahasianya, lebih lanjut kau bisa tahu seluk beluk dari para
sahabat kangouw lainnya. "Soal Su-hay-sin-liong Ki Kian-ya, sudah tentu dia akan membantu kesulitanmu. Kalau kau
dapat memperoleh kepercayaannya, para kaum kangouw yang menamakan dirinya kaum
pendekar atau orang-orang gagah dari laskar gerilya, tentu anggap kau adalah orang segolongan
mereka sendiri. Betapa banyak manfaat yang kau peroleh tidak perlu kujelaskan sekarang
kepadamu!" Mendengar uraian yang panjang lebar ini mencelos perasaan hati Nyo Bok, pikirnya: "Tipu
muslihat orang ini sangat cermat dan teliti, betapa culas tujuannya, sungguh sulit dinilai dari
tampangnya. Namun lahirnya terpaksa ia harus mengumpak: "Rencana tipu muslihat Ciok-tayjin
sungguh mengagumkan, kagum, kagum! Tapi..." "Tapi apa?"
"Bun dan Gak dua bocah itu mudah dihadapi, kuatirnya Su-hay-sin-liong Ki Kian-ya sulit ditipu
mentah-mentah." "Bukan soal sulit, mari kubisiki!"
Tempat mereka bicara adalah di jalan pegunungan, waktu masih sangat pagi, orang jalan
belum kelihatan, bila Ciok Tio-ki hendak bicara sebetulnya tidak perlu main bisik-bisik segala. Nyo
Bok tahu orang hanya pura-pura bertingkah belaka bahwa urusan cukup penting dan tidak boleh
bocor, hatinya menjadi geli, maka seperti badut yang main di atas panggung ia pun bergaya
cepat-cepat maju dua langkah serta menjura di hadapan Ciok Tio-ki, katanya: "Harap Ciok-tayjin
memberi petunjuk!" Baru saja kata-kata 'petunjuk' lenyap, mendadak Ciok Tio-ki ayun sebelah tangan terus menggablok
ke arah dadanya. Betapapun Nio Bok tidak menyangka bila dirinya bakal diserang. Untung
sebagai guru silat yang cukup pengalaman di medan laga, reaksinya pun amat cepat, namun
betapapun cepatnya ia berkelit, tak urung dadanya toh terserempet oleh jari-jari Ciok Tio-ki,
kontan ia rasakan dadanya sakit dan panas membara.
Sakit terkejut badannya terpental mundur dan jatuh terjengkang menghadap ke langit, dalam
kejutnya ia berteriak: "Ciok-tayjin, kau, apa-apaan kau..."
Belum habis ia bicara tampak Ciok Tio-ki sudah memburu maju memayang badannya seraya
tertawa cengar-cengir, ujarnya: "Nyo-heng, maaf, maaf! Soalnya kalau tidak demikian, Su-hay-sinliong
Ki Kian-ya mana mau percaya kepadamu?"
Baru sekarang Nyo Bok menjadi paham, katanya: "Ciok-tayjin, jadi kau suruh aku
menggunakan tipu menyiksa diri?"
"Benar. Coba kau buka baju dan lihat keadaan dadamu!"
Waktu Nyo Bok menyingkap baju dan menunduk, dilihatnya di kulit dadanya berbekas lima jari
tangan warna merah membara seperti dicap saja layaknya, keruan mencelos hatinya. Tapi ia pun
paham bahwa Ciok Tio-ki sengaja menaruh belas kasihan, kalau tidak mungkin dirinya tidak akan
tersiksa hanya kesakitan kulitnya saja.
Berkatalah Ciok Tio-ki pelan-pelan: "Bekas jari tangan ini mungkin dalam setengah tahun tidak
akan hilang. Su-hay-sin-liong Ki Kian-ya banyak pengalaman dan berpengetahuan luas, tidak
mungkin dia tidak bisa melihat bahwa bekas jari ini adalah hasil dari pukulan Lui-sin-ciang aku
orang she Ciok. He, he soal cara bagaimana kau merangkai cerita untuk menipu dia, kukira Nyoheng
seorang pemain sandiwara kawakan, kiranya aku tidak perlu beri petunjuk lebih lanjut."
Girang dan kejut pula Nyo Bok dibuatnya, pikirnya: "Aku bisa menggunakan alasan bahwa Ciok
Tio-ki berhasil menyirapi hubungan rahasiaku dengan pihak laskar gerilya lalu mengancam aku
menyerah dan takluk padanya, aku tidak mau tunduk, maka dia lantas menggunakan Lui-sin-ciang
melukai aku. Setelah terluka, demi menyelamatkan diri terpaksa aku pura-pura mati. Tanggung Ki
Kian-ya seratus persen percaya akan bualan-ku ini! Asal Ciok Tio-ki sendiri tidak membocorkan
rahasia ini, orang-orang gagah dari kaum persilatan masih akan anggap diriku pahlawan
menentang penjajahan."
Terbayang bahwa dirinya bakal memperoleh gelar pahlawan melawan penjajah, hati Nyo Bok
merasa syur dan seperti dikili-kili. Terpikir pula olehnya: "Begitu nama kebe-saranku tersebar luas,
akan datang suatu ketika Hun Ci-lo bisa mendengar berita ini. Tidak perlu aku mencari dia, pasti
dia sendiri akan datang menemui aku."
Ternyata dengan berbagai daya upaya Nyo Bok berusaha memper-isteri Hun Ci-lo, memang dia
kepincut akan kecantikan dan kepandaian sastra serta ilmu silat Hun Ci-lo, tapi kecuali itu, dia pun
mempunyai dua sebab lainnya.
Sebab pertama yaitu karena dia tahu benar bahwa ilmu silat Hun Ci-lo jauh lebih tinggi dari
kemampuan sendiri terutama dalam hal lwekang, bila dapat memperisteri dia tentu dapat
mempelajari ajaran lwekang tingkat tinggi dari leluhur istrinya. Tujuan ini sudah berhasil
dicapainya. Dan sebab yang kedua karena Hun Ci-lo adalah putri Hun Cong-san.
Lahirnya Hun Cong-san adalah seorang tokoh Bulim yang sudah mengundurkan diri, namun
secara sembunyi-sembunyi ia ada hubungan teramat kental dengan para pahlawan penentang
penjajah, malah dia merupakan seorang tokoh terpenting dari barisan gerilyawan. Orang luar tiada
yang tahu, namun Nyo Bok jelas sekali mengetahui hal ini.
Sebetulnya Nyo Bok tiada minat ikut menerjunkan diri dalam gelanggang percaturan adu
kekuatan antara pemerintah penjajah dengan gerilyawan yang bekerja secara main sembunyi, tapi
besar pula hasratnya untuk mencari ikatan dengan para patriot bangsa. Cara ini bukan saja dapat
mengharumkan nama dan memperluas pergaulannya, dan lagi bila kelak pihak gerilya
memperoleh posisi yang lebih menguntungkan, dirinya pun bakal disanjung dan dihargai oleh
sesama kaum persilatan. Begitu sang ayah demkian pula sang putri, setelah menikah meski Hun Ci-lo tidak kuasa
mewarisi cita-cita ayahnya, tapi dia paling menghargai orang-orang gagah yang melawan
pemerintah, pernah berulang kali ia membujuk suaminya, menyuruhnya memberi sekedar bantuan
para patriot bangsa itu. "Kalau Hun Ci-lo mendapat tahu bahwa suaminya ternyata adalah patriot bangsa melawan
pemerintah penjajah, betapa senang hatinya! Bukan mustahil dia bakal benar-benar mencintai aku
sepenuh hatinya." Angin pagi menghembus lewat, tanpa merasa Nyo Bok bergidik kedinginan dibuatnya, terpikir
pula olehnya: "Tapi seandainya sampai diketahui bahwa aku patriot bangsa melawan penjajah
yang palsu, bahwasanya adalah kaki tangan pihak kerajaan, dia, cara bagaimana dia hendak
menghadapi aku?" - Teringat oleh Nyo Bok kata-kata istrinya yang biasa ditujukan kepada dirinya setiap
membicarakan salah seorang kaum persilatan terima mengekor dan menjadi budak pihak
pemerintah kerajaan, tentu dia mengertak gigi dan benci setengah mati. Membayangkan betapa
kebencian istrinya itu, serta merta berdiri bulu kuduk Nyo Bok. "Cara bagaimana dia hendak
menghadapi aku?"-Nyo Bok tidak berani memikirkan lebih lanjut.
"Kau masih ada kesukaran apa" Agaknya kau sedang memikirkan isi hati apa-apa?"-Melihat dia
terlongong, segera Ciok Tio-ki mengajukan pertanyaan sambil menyunggingkan senyum sinis.
"Ti... tidak apa-apa. Aku cuma sedang berpikir cara bagaimana merangkai cerita supaya bisa
menipu Su-hay-sin-liong!"
Ciok Tio-ki tertawa seperti tidak tertawa, ujarnya: "Waktu masih cukup panjang, belum
terlambat kau berpikir pelan-pelan. Baik, sekarang sudah terang tanah, jalanan bakal banyak
orang, sudah saatnya kita berpisah. Lekaslah kau pulang saja!"
Cepat Nyo Bok mengiakan sambil membungkuk-bungkuk lagi, sementara dalam hati ia tertawa
getir: "Bahwasanya hubungan kita ini sebetulnya memang tidak bisa dilihat sinar matahari."-Kuatir
di tengah jalan bisa kepergok dengan Song Theng-siau, lekas-lekas ia mengenakan kedoknya pula,
bergegas ia menempuh perjalanan lewat jalan pegunungan, jadi bingung dan kuatir, tangan
kecilnya dengan kencang menariknya ke depan.
-oo0dw0oo- Sepanjang jalan ini, Song Theng-siau pun selalu memikirkan Hun Ci-lo. Semakin dekat Soh-ciu
jantungnya berdebur semakin keras, tanpa merasa ia tertawa geli sendiri: "Hm, kenapa sih aku ini.
tidak memikirkan lagi pada Ci-lo, kenapa pula aku takut menghadapi dia" Demikian juga terhadap
sahabat kentalku, Beng Goan-cau?"
"Paman, kenapa kau berhenti" Apa yang sedang kau pikirkan?" - Sudah tentu Nyo Hoa tidak
bisa menyelami jalan pikiran Song Theng-siau, karena semakin semakin lambat dan akhirnya
berhenti, tak tertahan lagi rasa herannya.
Song Theng-siau terlongong, entah dia dengar tidak teguran Nyo Hoa, sesaat kemudian
mulutnya menggumam: "Cepat, cepat!"
Nyo Hoa keheranan, tukasnya: "Paman, apa katamu" Semakin jalan kita semakin lambat
kenapa kau malah mengatakan cepat?" Melihat sikap linglung Song Theng-siau ia jadi bingung dan
kuatir, tangan kecilnya dengan kencang menarik kedepan.
Tiba-tiba Song Theng-siau tersentak sadar, setelah menenangkan hatinya dengan tertawa geli
ia berkata: "Tinggal lima enam puluh li lagi, bakal tiba di rumah nenek luarmu. Kalau jalan kita
cukup cepat, nanti malam kau bisa bertemu dengan ibumu.'
Nyo Hoa mengkedip-kedipkan matanya, dengan sikap kurang mengerti dan heran ia menegas:
"Nenek luarku, Paman apa kau tldak menlpu,aku" Masa aku punya nenek luar?"
Song Theng-siau geli, sahutnya: "Kalau tiada nenek luar, di sana kau masih punya ibu kan?"
"Menurut ibu, nenek luar berada di tempat yang sangat jauh sekali, ibu sendiri pun tidak tahu
tempat itu. Waktu kutanya ayah, ayah malah bilang mungkin nenek luar sudah lama meninggal,
suruh aku selanjutnya tldak usah bertanya kepada lbu" Anak kecil belum tahu dan belum bisa
membedakan antara kata-kata 'hilang dan meninggal' serta makna kata 'tiada' apalagi selama dia
belum pemah melihat nenek luar, ayah ibunya berkata begitu pula, maka dianggapnya bahwa
dirinya memang tidak punya nenek luar lagi.
"Memang nenek luarmu pergi ke tempat yang amat jauh," demikian Song Theng-siau
menjelaskan. "Tapi rumah beliau ada di tempat ini. Rumah nenek luarmu adalah rumah ibumu
pula, kau tahu tidak?"
Nyo Hoa manggut-manggut, sahutnya: "Aku paham."
"Apakah nenek luarmu sudah kembali, aku belum tahu. Tapi aku tahu bahwa ibumu pasti ada
di rumah." "Apa benar?" teriak Nyo Hoa kegirangan. "Kalau begitu sebentar aku bisa ketemu dengan ibu?"
"Ya. Kau senang tidak" Ibu melihat kau betapa dia lebih girang pula!" sementara dalam batin
Song Theng-siau berpikir: "Bukan saja kau melihat ibu, kau pun bisa ketemu ayah kandungmu!"
Dalam bayangan Song Theng-siau, bahwa Goan-cau dan Hun Ci-lo pasti sudah kumpul kembali,
kaca bundar yang pecah sudah kembali aslinya. "Mereka menghadapi ujian berat, mengalami
penderitaan dan kesengsaraan yang berat pula, baru sekarang berkesempatan rujuk kembali,
seharusnya aku ikut girang dan mengucapkan selamat kepada mereka. Ai, anggap saja bocah ini
sebagai kado yang kubawa bagi mereka. Setelah menyerahkan bocah ini, tiada urusan yang
melibatkan diriku, aku bebas menuju ke tempat nan jauh," demikian pikir Song Theng-siau dengan
senang, namun ia pun merasa hambar dan berduka pula.
Pikiran Song Theng-siau yang amat ruwet ini, jangan kata Nyo Hoa tidak akan mengerti,
seumpama Hun Ci-lo sendiri berada di dampingnya pun tidak akan bisa menebak isi hatinya.
Mendengar sebentar malam bakal bisa ketemu dengan ibunya, Nyo Hoa lantas berjingkrak
kegirangan, sambil menarik tangan Song Theng-siau ia berteriak riang: "Paman, ayolah jalan lebih
cepat!" Song Theng-siau seperti kehilangan semangat, pikirnya: "Ya, benar, seharusnya aku
memberanikan diri menyampaikan selamat bahagia terhadap mereka!" ?"-katanya: "Baik, baik
ayo jalan lebih cepat!"
Di saat pikiran Song Theng-siau kalut dan hati tidak tenteram itulah, mendadak didengarnya di
belakang sana ada orang berteriak memanggil: "Song Theng-siau, Song-tay-hiap! Song Thengsiau!"-

Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mendengar ada orang memanggil namanya serta merta Song Theng-siau menghentikan
langkah dan berpaling ke belakang.
Waktu ia melihat tegas, pendatang ini kiranya seorang laki-laki berparas cakap berdandan
sebagai sastrawan umumnya memegang kipas, berusia tiga puluhan. Melihat orang tidak dikenal
dan masih asing ini, Song Theng-siau jadi heran, pikirnya: "Siapa orang ini, agaknya belum pernah
aku melihat dia" Naga-naganya dia punya urusan penting hendak mencari aku?"
Melihat orang yang dipanggilnya berpaling, sementara mukanya mirip dengan apa yang pernah
digambarkan oleh Nyo Bok, Toan Siu-si tahu bahwa dia tidak salah menemukan orang yang
sedang dicarinya. Cepat sekali ia sudah menyusul tiba, serunya: "Song tayhiap, kau tidak tahu
aku, tapi aku kenal kau. Ada sebuah urusan perlu aku jelaskan kepadamu."
Heran Song Theng-siau, tanyanya: "Siapakah saudara ini" Selamanya kita belum pernah kenal
dan ketemu, ada urusan apa hendak dibicarakan dengan aku?"
Toan Siu-si berkata sambil menunjuk Nyo Hoa: "Tak perlu kau tahu siapa aku, ayah bocah ini
apakah Beng Goan-cau?"
Nyo Hoa segera menimbrung dengan bersungut: "Omong kosong. Ayahku adalah Nyo Bok dari
Siok-ciu, siapa tidak tahu dan kenal akan nama ayahku?"
Adalah Song Theng-siau yang berjingkrak kaget, teriaknya: "Kau, darimana kau bisa tahu?"
"Paman!" seru Nyo Hoa gugup, "Dia seorang penipu, jangan kau percaya obrolannya. Bukankah
kau sendiri pernah suruh aku berlutut di makam ayah minta diri" Masa kau belum tahu bahwa
ayahku seorang she Nyo?"-Meski usia Nyo Hoa baru tujuh tahun, tapi otak encer dan cerdik, ia
merasa dari nada pertanyaan Song Theng-siau seakan-akan ia mengakui apa yang dikatakan
orang itu adalah benar, hati kecilnya serta merta menjadi gugup dan kebingungan.
Toan Siu-si tersenyum manis, katanya: "Kiranya kau belum menjelaskan seluk beluk ini kepada
bocah ini." "Kau membicarakan bocah ini, apa tujuanmu?"
Berkata Toan Siu-si: "Bicara terus terang, aku mendapat pesan dari Beng-tayhiap untuk
menerima bocah ini, harap kau serahkan dia kepadaku!"
"Paman, jangan kau percaya obrolannya," teriak Nyo Hoa dongkol dan merengek. "Jangan kau
percaya dia! Dia adalah penipu, penipu!"
Sebetulnya Toan Siu-si tidak gentar akan kepandaian Song Theng-siau yang cukup tinggi,
soalnya dia tidak ingin main kekerasan, maka sengaja ia gunakan cerita bohong hendak
menipunya secara halus. Tapi sayang ada beberapa kenyataan yang tidak diketahui oleh Toan Siusi
maka akal muslihatnya sudah tentu tidak dapat mengelabui Song Theng-siau.
Dasar Song Theng-siau pun seorang yang cerdik dan cermat, setelah terkejut, lekas ia dapat
membongkar kebohongan orang, dalam hati ia lantas membatin: "Hun Ci-lo bahwasanya tidak
pernah ketemu dengan si maling sakti Kwi-hwe-thio, Kwi-hwethio sendiri juga tidak meluruk ke
Soh-ciu, betapapun Hun Ci-lo dan Beng Goan-cau tidak bisa menujum, bahwa aku membawa
pulang putra mereka?"
"Apalagi mengandal hubungan eratku dengan Beng Goan-cau, seandainya ia sudah tahu
persoalan ini, pasti dengan lega hati ia man-dah menunggu saja di rumah menunggu
kedatanganku membawa pulang anaknya. Mana mungkin dia membocorkan rahasia pribadinya
kepada orang luar, sebaliknya mengutus seorang asing yang tidak kukenal menyambut pulang
putranya ini?" Toan Siu-si pura-pura unjuk tawa, katanya membujuk Nyo Hoa: "Anak baik, aku tidak menipu
kau. Kau tidak percaya silakan tanya pamanmu."-- Dia unjuk seri tawa sambil melangkah maju
Petualangan Manusia Harimau 6 Si Dungu Karya Chung Sin Pendekar Super Sakti 20

Cari Blog Ini