Ceritasilat Novel Online

Kisah Membunuh Naga 14

Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong Bagian 14


Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
beranggapan si nona ialah orang baik. Hanya sekarang ini ia belum dapat memikir kenapa Siauw Hu, si bibi yang belum menikah, telah mempunyai anak perempuan umur lebih daripada lima tahun itu . . . .
Cuma Siauw Hu yang lihat sendirinya.
Selama ini Bu Kie dapat melihat jelas anaknya bibi itu. Nona cilik itu berdiri diam disisi ibunya. Dia masih kecil tetapi nyata dia cantik sekali. Sepasang alisnya bagaikan dilukis, sepasang matanya hitam dan celi, dan dengan mata tajam mengawasi padanya.
"Ibu, apakah anak ini sitabib?" kemudian anak itu berbisik dikuping ibunya. "Apakah rasa nyeri ibu sudah baik?"
Mendengar panggilan "Ibu" mukanya Siauw Hu menjadi merah pula, tak dapat ia mencegah jengahnya.
"Inilah kakakmu, kakak Bu Kie," ia menyahuti. "Ayah kakakmu ini ialah sahabat ibumu. Kemudian ia meneruskan pada Bu Kie, perlahan "Dia... dia bernama Poet Hwie...." Ia berhenti pula sejenak. "Dia she Yo.... Yo Poet Hwie..."
Bu Kie girang, dia tertawa.
"Bagus!" dia berseru. "Aku Thio Bu Kie dan kau Yo Poet Hwie!"
Senang Siauw Hu melihat sikap wajar dari Bu Kie, tak sedikit juga sikap si anak yang hendak menegur kepadanya. Hatinya menjadi lega.
"Anak, kepandaian kakakmu hebat," ia kata pada anaknya. "Sekarang ini rasa nyeriku sudah berkurang"
Poet Hwie memainkan matanya yang celi itu. Ia mengawasi ibunya, terus ia mengawasi Bu Kie.
Sekonyong-konyong ia maju kepada bocah didepannya, untuk merangkul, untuk mencium pipinya.
Bukan main terkejutnya Bu Kie.
(Bersambung ke jilid 24) B O E K I E Karya : CHING YUNG Jilid 24 Nona Poet Hwie ini adatnya sangat polos dan wajar. Sedari masih kecil sekali, kecuali ibu dan pengasuhnya, ia tidak pernah bertemu sama lain orang. Sekarang ibunya terluka parah, mereka pun dalam kesukaran besar, sekarang ia menyaksikan Bu Kie menolongi ibunya itu yang nyerinya menjadi ringan sekali. Ia bersyukur bukan main. Adalah kebiasaannya, kalau ia mengutarakan kegirangan dan rasa syukurnya, suka ia berlompat kepada mereka, untuk memeluk atau merangkul, untuk mencium pipi mereka. Kebiasaan ini sekarang ia melakukannya terhadap Bu Kie tanpa malu.
"Hus!" Siauw Hu berseru. "Jangan begitu Hwie-jie Kakak Bu Kie tidak senang nanti!"
Poet Hwie mementang kedua matanya, ia heran.
"Apakah kau tidak senang padaku?" ia tanya Bu Kie. "Kenapa aku tidak boleh berlaku baik kepadamu?"
Bu Kie tertawa. "Aku girang!" sambutnya. "Aku suka berbuat baik terhadapmu!" Dan ia membalas mencium pipi yang halus dari nona cilik itu.
Poet Hwie girang bukan main, ia menepuk nepuk tangan.
"Hai, tabib kecil, lekas kau obati ibu, supaya ibu sembuh seluruhnya!" ia berseru. "Nanti aku cium pula padamu!"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Tidak kepalang girangnya Bu Kie mendapatkan orang demikian manja dan lincah. Selama belasan tahun hidupnya, ia telah bergaul sama banyak orang, tetapi mereka itu adalah paman pamannya dan Siang Gie Cun juga masih lebih tua delapan tahun daripadanya. Di dalam perahu ia pernah bertemu sama Cu Tit Jiak, akan tetapi pertemuan itu sangat pendek, belum ada satu hari mereka sudah mesti berpisah pula. Jadi belum pernah ia bergaul sama sahabat-sahabat cilik sebayanya. Maka itu, mendapati nona ini, ia berpikir.
"Jikalau aku mempunyai adik benar sekecil ini, yang begini menarik hati, pastilah aku sering mengajak dia pergi bermain-main...."
Dalam usia empat belas tahun, anak yatim piatu ini masih kekanak-kanakan. Ia kehilangan ketikanya untuk bermain-main seperti anak-anak yang kebanyakan.
Sementara itu Kie Siauw Hu telah menyaksikan semua hadirin yang pada terluka. Ia merasa malu untuk mendahului mereka.
"Tuan-tuan ini datang terlebih dulu daripada aku, pergi kau periksa mereka lebih dulu," ia kata pada Bu Kie. Ia tidak ketahui duduknya hal. "Sekarang ini sakitpun berkurang banyak."
"Mereka datang untuk berobat kepada Ouw Sin she," Bu Kie mengasi tahu. "Cuma sekarang ini Ouw Sinshe sendiri lagi sakit. Mana dia bisa mengobati orang" Mereka tidak mau berlalu, maka itu biarlah mereka terus menunggu. Kouwkouw, kau bukannya mencari Sinshe, jikalau kau percaya keponakanmu ini, mari sini, biar aku periksa lebih jauh lukamu. Sudah lama juga aku berdiam di sini, tentang luka-luka aku mengetahui sedikit."
Sebenarnya Kie Siauw Hu yang mendapat suatu petunjuk, datang ke lembah ini untuk mencari Tiap kok Ie sian Ouw Ceng Goe. Ia datang dengan serapa maksud dengan Kan Ciat beramai itu.
Maka itu, melihat keadaannya Kan Ciat semua, ia heran siapa tahu duduknya hal sederhana saja. Ia lantas mengerti bahwa Ouw Ceng Goe tidak berniat menolongi mereka itu. Tapi mengenai Bu Kie, kepercayaannya lantas muncul. Bukankah ia telah ditusuk berulang-ulang dan sekarang rasa nyerinya telah berkurang banyak" Ia jadi tidak boleh memandang enteng kepada usia bocah ini.
"Baiklah." katanya kemudian. "Aku terima kasih padamu ! Tidak apa tabib besar tidak mau mengobati aku, asal ada kau si tabib kecil..."
Bu Kie lantas minta bibi itu masuk ke kamar samping dimana ia lantas bekerja. Lebih dulu ia guntingi bajunya si bibi dibagian tubuhnya yang terluka. Ia mendapatkan tiga luka bacokan golok dibahu, sambungan pundaknya telah menggeser dari tempatnya. Di lengan juga ada tulang yang remuk. Di matanya tabib yang kebanyakan, luka luka itu ialah luka luka yang sukar untuk di obati, tetapi dimata muridnya Ouw Ceng Goe, itulah luka luka biasa. Maka Bu Kie lebih dulu menyambung rapi dulu, tulang yang berkisar itu, habis mana ia memborehkan obat. Kemudian lagi, ia membuat surat obat, yang obatnya ia suruh kacung memasaknya matang. Ia belum biasa membalut luka tapi toh, walaupun rada lambat, dapat menyelesaikan juga tugas ketabibannya itu.
"Kouwkouw, sekarang silahkan kau beristirahat dulu," katanya akhirnya. "Sebentar, setelah habis kekuatan baal dari obat ini, kau akan merasa sakit luar biasa."
"Terima kasih!" menyahut bibi itu.
Bu Kie pergi ke kamar obat untuk mencari buah ongoo dan buah heng. Ia bawa itu untuk dikasihkan pada Poet Hwie. Ketika ia kembali, si nona sudah tidur menyender kepada ibunya sebab dia telah tidak tidur satu malaman. Dari itu ia masuki saja buah buahan itu ke dalam saku sinona. Lantas ia kembali ke depan.
Pria yang muntah darah itu, orang Hoa san pay, lantas berbangkit. Ia menjura dalam terhadap si anak tanggung.
"Siauw Sinshe." katanya. Ia memanggil "Siauw Sinshe" atau tabib kecil. "Oleh karena Ouw Sin she lagi sakit, kau saja yang menolong mengobati kami. Pasti kami akan sangat bersyukur terhadap mu..."
Bu Kie mengawasi orang itu dan kawan kawannya. Sebenarnya semenjak ia belajar ilmu kecuali mengobati Siang Gie Cun dan Kie Siauw Hu ini, belum pernah ia mencoba terlebih jauh kepandaiannya itu. Akan tetapi ia ingat kata katanya Ouw Sinshe, ia menguasai dirinya.
"Rumah ini rumah Ouw Sinshe," ia berkata. "Dan aku sendiri, adalah orang yang menderita sakit yang berada dibawah rawatannya, mana berani aku melancangi tuan rumah ?"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Orang Hoa San Pay itu mengawasi si bocah, ia seperti dapat membade hati orang.
"Memang umumnya, seorang tabib kenamaan mesti telah berusia lima atau enam puluh tahun." ia berkata untuk mengumpak, "Maka itu luar biasa Siauw Sinshe, yang usianya masih muda sekali tetapi kepandaiannya kau sangat langka. Maka itu. Sinshe, aku mohon sukalah kau menolongi kami?"
Si orang terokmok she Nio yang romannya seperti hartawan turut bicara.
"Kami empat belas orang, di dalam kalangan kang ouw, kami mempunyai juga sedikit nama," katanya,
"Maka itu, jikalau kami dapat ditolong oleh Siauw Sinshe, setelah kami pulang nanti, pasti kami akan menguwarkan kepandaian Sinshe ini supaya namanya menjadi kesohor hingga di dalam satu malam, kau akan jadi terkenal diseluruh negeri!"
Dasar masih terlalu muda, dan tidak punya pengalaman, Bu Kie tertarik kata-kata yang mengumpak-umpak itu, hatinya menjadi girang.
"Apakah bagusnya nama kesohor diseluruh negeri ?" katanya. "Ouw Sinshe sendiri tidak dapat menolong kalian, apalagi aku " Apakah yang aku bisa bikin " Agaknya luka kamu bukannya enteng, maka begini saja, aku akan membantu meringankan rasa nyerimu"
Lantas ia mengambil obat obatan guna memberi pertolongannya. Ketika ia sudah melihat luka orang orang itu, ia menjadi heran. Nyata, setiap luka itu beda satu dari lain, semuanya luka luka biasa.
Belum pernah Ouw Ceng Goe mengajari ia tentang bermacam macam luka semacam ini. Ada seorang yang rupanya telah dipaksa menelan beberapa puluh batang jarum, ada orang perutnya tengoncang, tergempur tenaga dalam, ada yang beberapa jalan darahnya telah terlukakan racikan pisau. Semua itu menandakan, si pembuat luka juga mengerti itu tabib baik sekali. Semua itu ialah luka luka yang sangat sukar diobatinya. Ada lagi orang yang pinggiran peparunya terpaku hingga tak hentinya dia batuk batuk dan mengeluarkan darah, ada pula orang yang tulang tulang iganya pada patah tetapi luka itu tidak mengganggu peparu atau jantungnya. Seorang lagi terkutungkan kedua ujung tangannya lalu tangan tangan yang buntung itu, yang kiri ditaruh kebahu kanan, yang kanan ditaruh dibahu kiri. Masih ada pula yang bengkak selurub tubuhnya seperti bekas dipagut kelabang atau binatang berbisa lainnya.
"Semua luka mereka luar biasa. Tidak satu juga yang aku bisa obati," pikirnya. "Orang yang membuatnya luka itu hebat sekali, dia liehay. Kenapa dia menyiksa orang sampai begini?"
Karena memikir begini, ia menjadi ingat luka nya Kie Siauw Hu.
"Luka bibi terlihat biasa saja, apakah bibipun mendapat luka di dalam ?" pikirnya pula kaget. "Kalau tidak, mengapa bibi seorang yang dikecualikan?"
Lekas lekas ia meninggalkan Kan Ciat semua. Ia lari kedalam. Segera ia memeriksa nadinya Siauw Hu. Ia menjadi kaget. Ia mendapatkan nadi si bibi bergerak gerak, sebentar keras, sebentar kendor, atau sebentar lagi jalannya lurus dan serat bergantian. Pasti itu disebabkan sesuatu dari dalam tubuh. Ia kaget sebab ia tidak mengerti akan perubahan itu.
Keempat belas orang itu aneh lukanya, ia tidak memikirkannya. Diantara mereka itu ada orang Khong tong pay, yang ada sangkut pautnya dengan kebinasaan ayah dan ibunya, jikalau mereka tersiksa, pantaslah juga. Akan tetapi Kie Siauw Hu, bibinya ini, tidak dapat ia tidak menolongnya. Maka lekas-lekas ia pergi ke kamarnya Ouw Ceng Goe,
"Sinshe! Apa sinshe sudah tidur ?" ia tanya perlahan.
"Ada apa?" ia mendapat jawaban. "Tidak peduli siapa, aku tidak akan mengobatinya!"
"Ya, sinshe. Hanya luka mereka itu, semuanya luka yang aneh-aneh ...."
Bu Kie lantas saja menurunkan tentang semua luka itu.
Ouw Ceng Goa, yang teraling dengan sekosol mendengari. Kalau ada yang ia tidak mengerti ia menanya tegas, untuk itu. Boa Kie mesti pergi keluar kepada orang-orang yang luka itu, untuk memeriksa pula selanjutnya untuk ia memberikan jawabannya yang terang kepada Tiap kok Ie sian. Oleh karena ini, setengah jam tempo dibutuhkan untuk mendapat tahu jelas lukanya semua limabelas orang itu berikut Siauw Hu.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Beberapa kali Ouw Sinshe mengasih dengar suara tidak terang, agaknya ia terang berpikir, banyak kemudian, ia kata "Hm semua luka itu tidak akan dapat menyulitkan aku ! "
Belum lagi Bu Kie sempat menanya, tiba-tiba ada orang yang bersuara di belakangnya katanya: "Ouw Sinshe, pemilik bunga emas itu telah membilangi aku, untuk aku menyampaikan kepada kau. Dia bilang.
"Kecewa kau dipanggil Tiap kok Ie sian, sebab limabelas macam luka ini, aku menduga tidak satu yang kau sanggup sembuhkan." Haha ! Benar-benar sekarang kau menyembunyikan diri, kau berpura-pura sakit!"
Bu Kie berpaling. Ia mengenali si orang tua berkepala lanang Seng Ciu Ka lam Kan Ciat dari Khong tong pay. Tadinya ia menyangka rambut orang rontok wajar, kemudian ia mendapat tahu, rambut itu rontok sebab kepalanya si gundul pernah dilabur obat yang sifatnya keras oleh sipemilik bunga emas atau Kim hoa hingga rambutnya habis. Bahkan sisa obat beracun menempel dan menembusi kulit, hingga selanjutnya kepala menjadi gatal terus-terusan, hingga ada kekuatiran, selewatnya beberapa hari, racun yang jahat itu nanti menyerang polo atau otak, hingga orang bisa menjadi gila. Sekarangpun kedua tangannya dirantai oleh kawan-kawannya, supaya tidak dapat menggaruk, kalau tidak, tidak nanti dia dapat melawan rasa gatalnya itu.
Atas kata-kata jago Khong tong pay itu, Ouw Ceng Goe kata dengan tawar: "Untukku, aku dapat menyembuhkan syukur, tidak dapatpun tidak apa. Ringkasnya, aku tidak mau mengobati kau! Aku lihat kau masih dapat hidup sampai tujuh atau delapan hari lagi, karena itu baiklah kau lekas pulang untuk menemui isteri dan anak anakmu, orang sedalam rumah tangga ! Apa perlunya kau banyak omong di sini" Apakah faedah nya itu ?"
Kan Ciat menggoyang goyangkan kepalanya. Selagi mendongkol, berduka dan berkuatir, rasa gatalnya menyerang hebat sekali. Karena ia tidak bisa menggaruk, ia membenturkan kepalanya berulang ulang kepada tembok, sedang kedua tangannya, yang digerak-gerakkan, mendatangkan suara berkelontrangan yang berisik. Dan terdengar jelas napasnya yang memburu.
"Ouw Sinshe, orang yang menggunakan bunga emas itu, siang atau malam, bakal datang kemari!" Ia berkata dengan sengit. "Aku juga telah melihat bahwa kaupun tidak bakalan mati secara baik, maka itu, aku pikir baiklah kita bergabung bekerja sama melawan dia. Bukankah ada terlebih baik begitu dari pada kau nantikan kematianmu dengan tidak berdaya?"
"Jikalau kamu semua masih dapat melawan dia, siang siang kamu telah membunuh mampus padanya,"
kata Ouw Ceng Goe "Apakah perlunya aku mendapatkan lima belas kantong nasi yang tidak mempunyai guna?"
Kan Ciat menjadi putus asa. Dari omong keras, ia menjadi merendah, memohon pertolongan tabib pandai itu. Tetapi Ouw Ceng Goe sudah bertekad dengan keputusannya, bahwa ia tidak mau ambil perduli.
Akhirnya Kan Ciat menjadi gusar, hingga ia berjingkrakan.
"Baiklah!" serunya saking nekad "Ke kiri dan ke kanan toh bakal mampus, maka kalau benar benar musti mampus, baiklah, aku akan menggunakan api membakar kandang anjingmu ini. Kami yang biasa memasuki golok putih bersih dan mengeluarkan golok berdarah merah, biar kami membikin terjungkal kau. pendeta bangsat! Biarlah kita sama sama mengantarkan jiwa kita di tempat ini!"
Saat itu, dari luar masuk lagi seorang lain, yaitu orang yang ditolong Bu Kie waktu mau muntahkan darah. Melihat kekalapan Kan Ciat ia meraba pinggang dan mengeluarkan sebatang Go bie Kong-cek (senjata semacam pusut). Sambil monotol dada Kan Ciat dengan pusutnya, ia berkata : "Kau berdosa terhadap Ouw Cianpwee, dan aku si-orang she Sie, merasa sangat tidak enak. Kau ingin yang masuk pisau putih, yang keluar pisau merah" Baiklah! Aku akan mengiringi keinginanmu."
Ilmu silat Kan Ciat sebenarnya tebih tingga daripada si orang she Sie. Tapi karena kedua tangannya diikat dengan rantai besi, maka ia tak melawan dan hanya mengawasi dengan mata membelalak.
"Ouw Cianpwee," kata si orang she Sie dengan suara nyaring, "boanpwee Sie Kong Wan murid Sian ia Sianseng dari Hoan san memberi hormat." Seraya berkata begitu, ia menekuk lutut dan manggutkan kepala empat kali.
Melihat begitu, dalam hati Kan Ciat lantas saja timbul sedikit harapan. Ouw Ceng Goe yang tidak dapat dipaksa dengan kekerasan, mungkin dapat ditataki dengan kelembekan.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Sesudahnya menjalankan peradatan besar, Sie Kong Wan berkata pula: "Kami sungguh bernasib sial, karena justeru pada waktu kami memerlukan pertolongan, Ouw Siashe sakit. Tapi kami tahu, bahwa disini terdapat seorang saudara kecil yang mempunyai kepandaian tinggi dalam ilmu pengobatan. Maka itu, kami memohon Ouw Cianpwee suka memberi permisi supaya saudara kecil itu mengobati luka kami yang sangat luar biasa. Dikolong langit, kecuali murid Tiap kok le Sian tiada orang lain yang dapat menyembuh kan luka kami."
"Anak itu bernama Thio Bu Kie," kata si tabib malaikat dengan suara tawar. "Dia putera Thio Sam Hong. Aku Ouw Ceng Goe manusia jahat dari agama siluman tak ada sangkut pautnya dengan murid dari partai yang lurus bersih. Dia sendiri kena racun dingin dan meminta pertolonganku, Tapi aku sudah bersumpah, bahwa kecuali anggota Beng kauw, anak she thio itu tak sudi menjadi anggauta agama kami, mana biasa aku menolongnya?"
Hati Sie Kong Wan mencelos. Semula ia menduga, Bu Kie murid Tiap kok Ie sian.
Sesudah berdiam sejenak, si tabib berkata pala. "Mengapa kamu tidak mau lantas berlalu dari situ"
Huh-huh! Apa kamu kira aku akan merasa kasihan" Tanyakanlah anak itu. Tanya dia berapa lama dia sudah berdiam dirumahku."
Sie Kong Wan dan Kan Ciat lantas saja mengawasi Bu Kie yang lalu mengacungkan dua jari tangannya.
"Duapuluh hari?" tanya Sie Kong Wan.
"Dua tahun dua bulan tepat" jawabnya.
Kan Ciat dan Sie Kong Wan merasa kepala mereka seperti disiram air es. Mereka saling mengawasi dengan mulut ternganga.
"Biarpun dia berdiam disini sepuluh tahun, aku tetap tidak menolongnya," kata Ceng Goa, "Hanya sayang di dalam tempo satu tahun, racun dingin yang mengeram dalam isi perutnya akan mengamuk, sehingga biar bagaimanapun jua, dia tak bisa hidup setahun lagi. Aku pernah bersumpah di hadapan leluhur agama kami, bahwa biarpun ayah sendiri, biarpun anak kandungku sendiri, aku tetap tak akan menolong, jika ia bukan murid Beng keuw."
Dengan putus harapan Kan Cat dan Sie Kong Wan menghela napes berulang-ulang. Tapi baru saja mereka mau berjalan keluar, tiba-tiba Ouw Ceng Goe berkata "Bocah Bu tong pay itu mengerti juga sedikit ilmu pengobatan. Meskipun ilmu pengobatan Bu tong tidak dapat menandingi ilmu ketabiban Beng kauw, kurasa dia tidak akan membinasakan kamu dengan pengobatan yang keliru. Apa dia suka monolong atau tidak, bukan urusanku"
Sie Kong Wan agak terkelut. Didengar dari pada suaranya, si tabib malaikat seperti juga memberi isyarat supaya Bu Kie memberikan pertolongan. Maka itu, ia lantas saja berkata: "Jika Thio Siauw hiap sudi menolong, kami mempunyai haranan lagi untuk bisa hidup terus."
"Bukan urusanku!" bentak Ceng Goa. "Bu Kie kau dengarlah. Aku melarang kau mengobati mereka dalam rumahku. Kalau kamu tidak berada dalam rumah ini, aku tidak perduli."
Kan Ciat dan Sie Kong Wan kaget dan heran. Mereka sungguh tak mengerti apa maksudnya si tabib malaikat yang beradat aneh.
Tapi Bu Kie yang sangat pintar lantas saja tahu apa maunya Ceng Goe. "Kalian jangan mengganggu Ouw Sinshe yang sedang sakit," katanya. "Ikutlah aku."
Mereka lalu mengikutt Bu Kie keruang depan.
"Pengetahuanku tentang ilmu ketabiban sebenarnya sangat cetek dan luka kalian sangat luar biasa,"
kata si bocah. "Maka itu.. aku tidak mempunyai pegangan, apa aku akan berhasil atau tidak. Jika kalian percaya dan rela diobati olehku, bolehlah aku mencoba-coba. Tapi aku tidak bertanggung jawab akan keselamatan jiwa kalian."
Waktu itu, mereka sedang menderita hebat. Rasa sakit gatal, meluang dan kesemutan tercampur menjadi satu. Mereka mau mati tidak bisa mau hidup pun tidak dapat. Maka itu, begitu mendengar perkataan Bu Kie, mereka segera menyetujui untuk menerima pertolongan bocah itu dengan rela hati.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Sesudah mendapat jawaban, Bu Kie lalu berkata pula: "Sebagaimana kalian tahu, Ouw Sinshe tidak mengijinkan aku mengobati kalian di dalam rumahnya. Ia merasa kuatir, bahwa kalian mati disini, nama harumnya sebagai Ie Sian (tabib malaikat) akan ternoda. Maka itu, marilah kita keluar."
Mendengar perkataan Bu Kie, mereka bersangsi. Apakah kepandaiannya seorang anak-anak yang baru berusia belasan tahun" Kalau dia salah mengobati, tentu penderitaan akan ditambah dengan penderitaan lain. Tapi Kan Ciat sudah lantas berteriak. "Kulit kepalaku gatal bukan main. Saudara kecil, kau boleh mengobati aku lebih dulu."
Sehabis berkata begitu, ia segera bertindak keluar.
Bu Kie memikir sejenak dan lalu masuk kekamar obat, dimana dia mengambil Lam seng, Hong-hong, Pek tit, Thiam ma, Kiang ho, Pek hu cu, Cie souw dan lain-lain, semuanya belasan macam bahan obat.
Sesudah itu, ia memerintahkan seorang kacung mengilingnya dan mencampurnya dengan sedikit arak untuk membuat koyo yang lalu ditempelkan di kepala Kan Ciat yang gundul.
Begitu kena, dia mengeluarkan teriakan kesakitan dan melompat-lompat. "Aduh! Aduh!" teriaknya.
"Sakit sungguh... tapi... tapi... mendingan daripada gatal." Sambil mengertak gigi, ia berlari lari dan berteriak-teriak seperti seorang edan. Beberapa lama kemudian, kecepatan larinya jadi terlebih perlahan dan teriakannya mereda. "Enakan... mendingan,.." katanya dengan napas tersengal sengal. "Bocah itu memiliki kepandaian lumayan.... eh, salah! Thio Siauw hiap, kau memiliki ilmu yang sangat tinggi dan aku merasa sangat berterima kasih sekali kepadamu!"
Melihat hasil itu, semua orang segera memohon pertolongan Bu Kie. Diantara mereka yang paling menderita adalah seorang yang terus bergulingan ditanah sambil mencekal perut. Dia ternyata telah dipaksa untuk menelan tiga puluh lebih lintah hidup yang sekarang menghisap darahnya di dalam perut.
Untung juga Bu Kie segera ingat, bahwa dalam salah sebuah kitab, ia pernah membaca lintah dalam harus ditaklukkan dengan madu.
Buru-buru ia memerintankan seorang kacung mengambil semangkok madu yang lalu di berikan kepada orang itu. Dan sekali lagi ia berhasil. Dengan demikian, ia terus bekerja keras sehingga fajar menyingsing.
Tak lama kemudian, Kie Sianw Hu dan putrinya keluar dari kamar. Melihat Bu Kie masih repot mengobati orang, Siauw Hu segera memberi bantuan apa yang ia bisa.
Delasan orang ini sebenarnya jago-jago yang pernah malang-melintang dalam dunia Kangouw, tapi sekarang mereka jadi jinak sekali. Dengan sabar mereka menunggu giliran dan tak berani membantah apa yang dikatakan oleh si bocah.
Antara mereka hanya Yo Poet Hwie yang bebas dari rasa jengkel atau bingung. Sambil mengunyah buah angco ia berlari lari kian kemari untuk menangkap kupu-kupu yang berterbangan di dalam kebun.
Sesudah lewat tengah hari barulah Bu Kie mulai mengobati luka diluar. Dengan dibantu Siauw Hu ia menghentikan keluarnya darah, memberi obat untuk meredakan rasa sakit, membalut luka dan sebagainya. Sesudah selesai, ia segera pergi mengasoh dalam kamarnya.
Baru saja pulas beberapa jam, ia disadarkan oleh suara ribut ribut. Buru-buru ia bangun dan pergi keluar untuk menengok para penderita. Ternyata keadaan sebagian penderita itu cukup memuaskan tapi keadaan yang sebagian lagi berbalik menghebat. Bu Kie jadi bingung, ia tak tahu apa yang harus diperbuat.
Akhirnya, karena tidak berdaya, ia terpaksa menemui Ouw Ceng Goe dan menceritakan keadaan mereka.
"Mereka bukan anggauta Bang kauw, perduli apa mereka mampus," kata Tiap kok Ie sian dengan suara tawar.
Mendadak Bu Me mendapat serupa ingatan dan ia lantas saja berkata: "Andaikata ada seorang murid Beng kauw yang sedangkan diluar badannya tidak terdapat luka, perutnya kembung bengkak, warna kulitnya hitam biru dan terus menerus berada dalam keadaan pingsan, cara bagaimana Sinshe akan mengobatinya?"
"Kalau benar dia murid Beng kauw, aku akan mengobatinya dengan menggunakan San ka, Liong bwee, Ang hoa, Seng tee, Leng sian, To Ouw " kata Ceng Goe. "Obat-obatan itu aku masak dengan arak
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
encer dan kemudian menambahkannya dengan sedikit To pian. Sesudah minum godokan tersebut si sakit akan buang buang air dan mengeluarkan darah beracun dari kotorannya."
"Ouw Sinshe bagaimana aku akan berbuat jika kuping kiri seorang muiid Beng kauw dituangi timah cair, kuping kanan dituangi dengan air perak dan kedua matanya dilabur dengan cat, sehingga ia menderita kesakitan hebat dan matanya tak bisa melihat lagi"' tanya pula si bocah. (Air perak = Air raksa) Ouw Ceng Goe naik darah. "Siapa berani berlaku begitu kejam terhadap murid Beng kauw?"
bentaknya. "Musuhnya itu memang kejam luar biasa," kata Bu Kie. "Tapi menurut pendapatku, yang paling perlu ialah mengobati lebih dulu dan kemudian barulah kita menanyakan siapa adanya musuh itu."
Sesudah memikir sejenak, Tiap kok Ie sian ber kata: "Kalau dia memang murid Beng kauw, aku akan menuang air perak kedalam kuping kiri nya. Timah akan lumer dan bercampur dengan air perak, sehingga cairan itu akan mengalir ke luar dari kupingnya. Kemudian, aku akan memasukkan jarum emas kedalam kuping kanannya. Air perak akan menempel pada jarum itu yang dengan perlahan bisa ditarik keluar.
Mengenai cat yang masuk dikedua matanya, kurasa akan dapat dipunahkan dengan kepiting yang ditumbuk hancur dan kemudian dibalut pada matanya itu."
Demikianlah, untuk setiap luka yang aneh, Bu Kie meminta pertolongan Ouw Ceng Goe dengan menggunakan nama "murid Beng kauw" dan sang tabibpun memberikan bantuannya dengan segala senang hati. Jika lukanya terlampau aneh dan si penderita tidak jadi mendingan dengan pertolongan pertama, Bu Kie segera menanyakan lagi pendapat Tiap-kok Ie-sian yang lalu mengasah otak dan mencoba pula dengan lain cara pengobatan. Sesudah berselang lima enam hari, semua orang dapat dikatakan sudah mulai sembuh seluruhnya.
Luka yang diderita Kie Siauw Hu adalah luka di dalam, tercampur dengan racun. Tenaga pukulan musuh sudah melukakan perutnya, sedang racunpun sudah masuk kedalam tubuhnya. Sesudah memeriksa dengan teliti, Bu Kie segera memberi obat pemunah racun kepadanya dan selang beberapa hari, keadaannya sudah banyak baik.
Sementara itu, para penderita telah mendirikan sebuah gubuk di depan rumah Ouw Ceng Goe dan mereka tidur menggeletak di tanah dengan hanya dialaskan dengan rumput kering. Beberapa tombak dari gubuk itu, Kie Siauw Hu juga membuat sebuah gubuk yang lebih kecil untuk ia dan puterinya.
Bu Me capai dan lelah. Tapi ia sangat bergembira dan bersemangat, karena ia bukan saja bisa menolong sesama manusia, tapi juga sudah memperoleh resep-resep mujijat dan cara-cara pengobatan yang biasa dari Tiap kok Ie sian.
Tapi pagi itu ia kaget bukan main, sebab waktu bertemu dengan Kie Siauw Hu, ia melihat sinar hitam pada alis nona Kie. Apa penyakitnya kumat lagi" Apa racun mengamuk pula" Cepat-cepat ia memeriksa nadi Siauw Hu. Sesudah itu, ia mencampur ludah Siauw Hu dengan bubuk obat Pek hap san dan begitu lekas melihat campuran itu, ia bisa lantas memberi kepastian bahwa benar racun mengamuk lagi.
Ia mengasah otak mati matian, tapi tidak bisa memecahkan sebab musabab dari perubahan itu. Maka itu, ia selalu meminta pertolongan Ouw Ceng Goe yang segera memberitahukan lain cara pengobatan kepadanya. Benar saja, sesudah diobati menurut petunjuk baru itu, keadaan Siauw Hu jadi terlebih baik.
Tapi, sungguh heran, sehabis Siauw Hu, perubahan luar biasa mendadak datang kepada dirinya Kan Ciat. Kepala gundulnya yang sudah mulai sembuh mendadak borokan lagi dan mengeluarkan bau yang tak sedap. Perubahan itu terjadi silih berganti atas dirinya kelimabelas orang itu: yang satu mendingan, yang lain menghebat lagi penyakitnya.!
Bu Kie bingung bukan main. Ia pergi menemui Tiap kok Ia sian dan menuturkad kejadian yang luar biasa itu. "Sebab musabab dari perubahan itu ialah karena luka mereka sangat aneh, berbeda dengan luka biasa," menerangkan sang tabib malaikat. "Kalau mereka dapat disembuhkan oleb tabib biasa, tak perlu mereka datang kemari."
Malam itu Boa Kie tak bisa pules. Ia berduka dan coba memecahkan teka-teki yang rumit "Perubahan penyakit itu adalah kejadian biasa," pikirnya. "Tapi walaupun begitu tak bisa jadi semua penderita itu mengalami perubahan sampai berkali-kali, sebentar baik, sebentar hebat," Ia gelisah dan bergolak gulik diatas pembaringan.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Kira-kira tengah maiam, tiba-tiba ia mendengar suara tindakan kaki yang sangat enteng dan lewat didepan kamarnya. Ia melompat bangun dam mengintip dari cela-cela jendela. Ia melihat berkelebatnya bayangan manusia yang segera menghilang dibelakang pohon kuil. Dilihat dari pakaian dan gerak-geriknya orang itu bulan lain dari pada Ouw Ceng Goe.
"Eh-eh! .. Mengapa Ouw Sinahe berkeliaran ditengah malam buta?" tanyanya di dalam hati. "Apa cacarnya sudah sembuh?" Sesaat kemudian, ia melihat masuknya Tiap kok Ie sian kedalam gubuk Kie Siauw Hu. Jantungnya berdebar keras dan jiwa kesatrianya tampil kemuka. "Apa dia mau menganiaya atau menghina Kie Kouw kouw?" tanyanya pada diri sendiri. "Meskipun aku bukan tandingannya, tak dapat aku mengawasi dengan berpeluk tangan. Ia melompat keluar jendela dan indap indap, ia mendekatii gubuk Kie Siauw hu.
Gubuk tersebut yang terbuat dari alang-alang hanya untuk menedeng angin dan embun, di dalamnya kosong melompong, tiada sekosol, tiada aling aling apapun jua. Dengan hati bergoncang, Bu Kie mengintip dari belakang gubuk. Ia melihat sang bibi bersama puterinya sedang pulas nyenyak diatas setumpuk rumput rumput kering.
Sekonyong Ouw Ceng Goe merogo saku dan mengeluarkan sebutir pel, yang lalu dicemplungkan kedalam mangkok obat Siauw Hu. Sesudah itu ia memutar badan dan terus berjalan keluar. Sekelebatan Bu Kie melihat, bahwa muka orang tua itu masih ditutup dengan topeng kain hijau.
Bu Kie mengeluarkan keringat dingin. Baru sekarang ia tahu, bahwa Ouw Ceng Goe lah yang sudah menaruh racun, sehingga para penderita tak bisa menjadi sembuh.
Sesudah keluar dari gubuk Siauw Hu, Ceng Goe masuk kegubuk yang lain, dimana dia berdiam agak lama. Bu Kie mengerti, bahwa untuk meracuni keempatbelas orang dengan racun yang berbeda-beda, si tua memerlukan tempo yang lebih banyak. Dilain saat si bocah sudah masuk kedalam gubuk dan mencium mangkok obat Siauw Hu. Di dalam mangkok terisi godokan Pat sian thung dan ia telah memesan supaya begitu bangun tidur, Kouw-kouw segera minum obat itu. Tapi sekarang godokan itu mengeluarkan bau-bauan yang masuk hidung. Sekonyong-konyong terdengar pula suara tindakan kaki.
Buru buru Bu Kie merebahkan diri diatas tanah. Ia tahu, bahwa Ouw Ceng Goe sudah kembali kekamar tidurnya.
Sesudah menunggu beberapa lama, ia segera menaruh mangkuk obat keluar dari gubuk itu. "Kie Kouw-kouw! Kie Kouw-kouw!" ia memanggil manggil dengan suara perlahan.
Sebagai seorang ahli silat, menurut pantas Siauw Hu mudah tersadar, tapi sesudah si bocah memanggil berulang-ulang, ia masih pulas terus. Karena terpaksa, Bu Kie lalu masuk pula dan menggoyang-goyangkan badan bibinya berulang kali. Dengan kaget Siauw Hu tersadar. "Siapa?" tanyanya.
"Kouw-kouw, aku.... " bisiknya. "Mari kita keluar."
Siauw Hu mengerti, bahwa kedatangan Bu Kie ditengah malam tentulah disebabkan oleh kejadian penting. Perlahan-lahan ia menarik lengannya yang ditandalkan dibawah kepala puterinya dan kemudian keluar dari gubuknya bersama sama si bocah.
"Kie Kouw-kouw," bisik Bu Kie, "orang telah menaruh racun dimangkok obatmu. Buanglah obat itu, tapi jagalah, jangan sampai diketahui orang. Besok aku akan memberi penjelasan kepadamu"
Siauw Hu manggutkan kepalanya dan Bu Kie segera kembali kekamarnya. Karena kuatir ketahuan, ia masuk dengan melompati jendela.
Pada esokan paginya, sesudah sarapan. Bu Kie mengajak Yo Poet Hwie pergi menangkap kupu kupu.
Mereka berlari lari, makin lama makin jauh dari rumah Ouw Ceng Goe. Siauw Hu yang mengerti maksud si bocah, lantas saja mengikuti dari belakang. Selama beberapa bari, Bu Kie sering bermain-main dengan sinona ciiik, sehingga perginya ketiga orang itu sama sekali tak menimbulkan kecurigaan.
Sesudah melalui kira kira satu li mereka tiba disatu tanjakan gunung. Bu Kie menghentikan tindakannya dan segera duduk diatas rumput, sedang Siauw Hu segera berkata kepada puterinya: "Poet-jie sekarang jangan mengubar kupu kupu lagi. Pergi petik bunga-bunga dan buatlah tiga buah topi bunga untuk kita bertiga. Si nona kecil jadi girang sekali dan sambil tertawa nyaring, ia berlari-lari untuk mencari bunga.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Kouw kouw," Bu Kie mulai, "apakah kau mempunyai permusuhan dengan Ouw Ceng Goe" Dialah yang sudah menaruh racun kedalam mangkok obatmu."
Siauw Hu terkejut. "Aku belum pernah mengenal Ouw Ceng Goe dan sehingga hari ini aku belum pernah bertemu muka dengannya," jawabnya. Ia berdiam sejenak seperti orang sedang berpikir dan kemudian berkata pu1a. "Saban kali bicara mengenai Ouw Sinshe, Thia thia (ayah) dan Suhu selalu mengatakan, bahwa dia adalah seorang tabib nomor satu di dalam dunia pada jaman ini. Merekapun tidak mengenal Ouw Sinshe. Aku sungguh tidak mengerti, mengapa Ouw Sinshe coba mencelakakan aku."
Sibocah lalu menuturkan kejadian semalam dan menambahkan. "Dalam godokan Pat sian thung itu, aku mengendus bau rumput Pat sian co dan Touw koet kun yang sangat tajam. Kedua daun obat itu memang dapat mengobati luka, tapi racun nya sangat hebat dan tidak boleh digunakan terlalu banyak."
"Selain begitu, sifat kedua daun obat tersebut juga bertentangan dengan delapan macam obat yang terdapat dalam Pat sian thung. Maka itu biarpun tidak membahayakan jiwa, luka Kouw kouw jadi makin sukar disembuhkannya."
Siauw Hu bersenyum. "Kau mengatakan bahwa Ouw Sinshe juga meracuni empat belas penderita yang lain," katanya. "Hal ini lebih mengherankan lagi. Terhadap aku, kita dapat mengandalkan saja, bahwa secara tidak disengaja, ayah atau Go bie pay pernah menyinggung Ouw Sinshe. Tapi bagaimana terhadap yang lainnya" Apa mungkin keempat belas orang itu semuanya berdosa terhadap Ouw Sinshe?"
Bu Kie mengangouk. "Memang! Memang sangat mengherankan," katanya sambil menghela napas.
"Kie Kouwkouw, selat Ouw tiap kok adalah sebuah tempat yang mencil dan tidak banyak diketahui orang. Cara bagaimana kau dan yang lain-lain bisa datang kemari" Siapa adanya Kim hoa Cu jin (Majikan Bunga emas) yang telah melukakan kau" Urusan ini sebenarnya tiada sangkut pautnya dengan aku dan menurut pantas, aku sebenarnya tidak boleh menanya melit-melit. Akan tetapi, karena persoalan berbelit-belit, maka aku harap kau tidak menjadi kecil hatinya"
Paras mukanya Siauw Hu lantas saja berubah merah. Ia mengerti maksud si bocah yang rupa rupanya kuatir, bahwa pertanyaan itu akan menyentuh persoalan puterinya. Persoalan mengapa sebelum menikah ia sudah mempunyai anak. Sesudah memikir sejenak, ia berkata dengan suara parau. "Kau sudah menolong jiwaku, tak dapat aku menyembunyikan sesuatu terhadapmu. Disamping itu, meskipun masih kanak-kanak, kau memperlakukan aku dan Poet jie luar biasa baik. Baiklah, aku akan menceritakan segala penderitaanku kepadamu, orang satu-satunya di dalam dunia yang boleh mendengar rahasiaku."
Sehabis berkata begitu, air matanya mengucur. Ia mengambil saputangan dan sesudah menyusut air mata, ia berkata pula, "Sedari aku kebentrok dengan seorang kakak seperguruan pada dua tahun lebih yang lalu, aku tidak berani menemui Su hu lagi... aku tidak berani pulang..."
"Hmm! Teng Bin Kun! ...... Kouwkouw kau tidak usah takut," kata Bu Kie.
"Bagaimana kau tau?" tanya Siauw Hu dengan rasa terkejut dan heran.
Bu Me segera memberitahukan, bahwa pada malam itu, bersama Siang Gie Cun ia telah menyaksikan peristiwa menolong Pheng Hweeshio.
Siauw Hu menghela napas. "Memang.... rahasia memang tak mungkin ditutup," katanya.
"Kouwkouw, kau tak usah terlalu berduka." kata Bu Kie, "In Lioksiok adalah seorang baik. Kalau kau tidak suka menikah dengannya, urusan itu bukan urusan yang terlalu besar. Begini saja, kalau bertemu dengan Lioksiok, aku akan memberitahukannya, bahwa kau tidak suka menikah dan dia merdeka untuk mencari lain isteri!"
Mendengar perkataan yang polos-jujur itu, yang keluar dari otak sederhana, Siauw Hu tertawa getir.
"Anak," katanya dengan suara bergemetar. "Percaialah, bahwa aku bukan sengaja berbuat kedosaan terhadap pamanmu. Waktu itu aku...aku.... tidak ada lain jalan.... dan akupun sudah merasa menyesal sekali...." Ia tidak meneruskan perkataannya dan air matanya kembali mengucur.
Ia mengawasi si bocah dan berkata dalam hatinya "Anak ini masih suci bersih, bagaikan selembar kertas putih. Ah Lebih baik aku tidak menceriterakan segala hal percintaan kepadanya. Apa pula urusan pribadi ini tiada sangkut pautnya dengan dia." Memikir begitu, ia lantas saja berkata : "Sesudah bercekcok dengan Teng Suci, dengan membawa Poet jie aku bertani dan hidup mengasingkan diri disuatu tempat yang terpisah kira-kira tiga ratus lie disebelah barat Ouw tiap kok ini. Selama dua tahun lebih aku
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
hanya bergaul dengan kaum petani dan aku dapat melewati hari dengan tidak banyak pikiran. Setengah bulan yang lalu, aku mengajak Poet jie kekota untuk membeli kain guna pakaian anakku itu. Di luar dugaan, di atas sebuah tembok, secara kebetulan aku melihat gambar sebuah lingkaran Hud kong (lingkaran sinar Buddha yang suci) dan sebatang pedang."
"Itulah tanda rahasia memanggil kawan dari partai Go bie pay. Aku binguog dan sangat bersangsi.
Sesudah menimbang-nimbang aku menganggap, bahwa meskipun aku telah kebentrok dengan Teng Suci, tapi aku belum pernah me lakukan perbuatan yang menghina guru atau menghianati partai. Disamping itu, bentrokan tersebut juga tak ada sangkut pautnya dengan Suhu dan lain-lain saudara seperguruan.
Tanda itu mungkim diberikan oleh salah seorang saudara seperguruanku yang tengah menghadapi bahaya besar dan jika benar begitu, aku merasa tidak pantas untuk berpeluk tangan. Demikianlah, dengan menuruti petunjuk dari tanda rahasia itu, aku pergi ke Hong yang."
"Di kota Hong yang aku kembali melihat tanda itu yang memberi petunjuk, supaya kawan-kawan datang di rumah makan Lim hway kok. Sudah ketelanjuran datang, aku segera menyusul kesitu. Ternyata dalam rumah makan sudah berkumpul tujuh delapan orang, antaranya terdapat Seng ciu Ka lam Kan ciat dari Khong tong pay, Sie Kong Wan dari Hwa san pay dan lain-lain. Anggauta Goe bie pay hanya aku seorang. Aku mengenal Kan Ciat dan Sie Kong Wan dan lalu menanyakan sebab musabab dari berkumpulnya mereka dirumah makan itu. Mereka memberitahukan, bahwa mereka datang karena melihat tanda rahasia partainya, tapi seperti juga aku mereka tak tahu sebab musabab dari panggilan itu.
Sehari suntuk kami menunggu tapi tak ada yang datang lagi. Pada esokan harinya, dengan beruntun datang pula beberapa orang lain, ada orang Sin kun bun, ada orang Siauw lim pay bagian selatan dan lain lain. Mereka juga mengatakan bahwa kedatangan mereka adalah karena melihat tanda rahasia. Tak satupun diantara mereka yang mendapat urusan secara langsung. Semua orang heran dan bercuriga. Apa tidak bisa jadi kami semua tengah dipermainkan oleh seorang musuh?"
"Ketika itu, diloteng rumah makan berkumpul lima belas orang dari sembilan buah partai. Tanda rahasia setiap partai bukan saja berbeda satu sama lain, tapi juga sangat dirahasiakan, sehingga kalau bukan murid partai yang tersangkut, seorang luar tentu tak mengerti artinya tanda itu. Jika seseorang ingin main gila, apakah ia bisa tahu tanda rahasia dari sembilan partai" Mengingat bahwa aku membawa Poet jie dan kalau bisa, aku tak mau anak itu menghadapi bahaya dan mengingat puta bahwa panggilan itu bukan tantaran saudara seperguruanku ada yang tengah menghadapi bencana besar, maka aku segera mengambil keputusan untuk pulang saja. Tapi baru saja aku mau turun tangan, tiba-tiba ditangga loteng terdengar suara keras, seperti juga undakan tangga dipukul orang dengan menggunakan toya. Suara itu disusul denggn suara batuk-batuk dan seorang nenek yang rambutnya sudah putih semua, mendaki undakan tangga. Ia naik setindak demi setindak sambil batuk-batuk dan kelihatannya lelah sekali.
Disampingnya terdapat seorang nona kecil yang berusia kira kira dua belas tahun dan yang memapah si nenek."
"Melihat nenek yang sudah bagitu tigggi usianya dan juga kelihatannya sedang sakit, aku segera minggir, supaya ia bisa naik lebih dulu. Nona kecil itu ternyata cantik sekali, meskipun usianya masih sangat muda, belum pernah aku melihat wanita yang seayu dia, sehingga tanpa merasa aku mengawasinya beberapa kali. Tangan kanan si nenek mencekal sebatang tongkat dari kayu Pek bok dan dari pakaiannya, ia seperti juga seorang wanita miskin. Tangan kirinya memegang serenceng biji tasbih yang mengeluarkan sinar kuning berkilauan. Ketika aku memperhatikan, rencengan itu ternyata bukan biji biji tasbih, tapi bunga bunga bwee yang terbuat dari pada emas tulen..."
"Aha!" memutus Bu Kie. "Perempuan tuaa itu tidak bisa lain dari pada majikan Kim hoa."
"Benar. Tapi pada waktu itu, siapakah yang bisa menduga jelek kepadanya?" kata Siauw Hu. Sehabis berkata begitu, ia merogoh saku dan mengeluarkan sekuntum bunga bwee emas yang menyerupai Kim Hoa yang pernah diserahkan kepada Ceng Goe oleh Boa Kie.
Si bocah tertegun. Tadinya ia menduga, bahwa Kim hoa Cu jie adalah saorang lelaki yang bertubuh tinggi besar dan bermuka menakutkan. Tak dinyana, majikan bunga emas itu hanialah seorang nenek tua.
"Sesudah berada di atas loteng, nenek itu kembali batuk batuk. Siauw Hu melanjutkan penuturannya,
"Sinona cilik berbisik: "Popo makan obat ya?" Sinenek mengangguk dan nona kecil itu selanjutnya sudah mengeluarkan sebutir yo-wan dari dalam sebuah peles kristal.
Sambil mengunyah yo-wan, nenek itu berkata. "O mie to hud..... O mie to hud ..." Dengan mata separuh tertutup, ia mengawasi kami dan berkata pula dengan suara perlahan: "Hm ... hanya lima belas orang. Coba tanya, apakah orang Kun lun pay dan Bu tong pay sudah pada datang semuanya?"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Kedatangan kedua wanita itu tidak diperhatikan oleh kami. Tapi, begitu sinenek mengucapkan perkataan itu, beberapa orang yang kupingnya lebih tajam segera menengok dan mengawasinya. Melihat nenek itu, hati mereka lega dan menganggap mereka salah dengar.
"Tiba-tiba si nona cilik berkata dengan suara nyaring: "Hai! Popoku menanya kepada kalian. Apakah orang-orang Kun lun pay dan Bu tong pay sudah pada datang semuanya?"
Semua orang terkejut, untuk sejenak mereka tak dapat mengeluarkan sepatah katapun. Sesaat kemudian, barulah Kan Ciat berkata: "Adik kecil, apa katamu?" Jawab nona itu: "Popoku menanya: Mengapa ia tidak melihat murid Bu tong dan Kun lun?" Alis Kan Ciat berkerut dan lalu menanya pula
"Siapa kalian ?"
"Nenek itu kembali batuk-batuk sambil membungkuk-bungkuk. Mendadak.... mendadak saja, aku merasa semacam angin menyambar dadaku, entah dari mana. Sambaran itu hebat luar biasa dan buru buru aku mengibaskan tangan untuk menangkis. Tiba tiba aku merasa dadaku menyesak, darahku bergolak golak, kedua lututku lemas dan aku jatuh duduk sambil muntahkan darah."
"Dalam keadaan setengah pingsan, aku melihat badan si nenek bergrrak gerak, ia menggaplok atau meninju seraya batuk batuk tak hentinya. Dalam sekejap, empat belas orang sudah rebah di atas loteng Kecepatan bergeraknya dan hebatnya tenaganya tak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Seumur hidup, belum pernah kulihat manusia yang bisa bergerak begitu cepat dan mempunyai tenaga Lweekang yang sedemikian hebat. Di antara kami, sejurus pun tak ada yang mampu melawan. Kalau bukan tertotok jalan darah, isi perut mereka terluka karena pukulan Lweekang."
"Tiba-tiba si nenek mengayun tangan kirinya dan lima belas bunga emas menyambar kebahu atau tangan kelimabelas orang. Kali ini dia tidak mencelakakan orang, sebab meskipun limabelas bunga emas itu mengenai tepat pada sasarannya, tak seorangpun yang mendapat luka. Sesudah itu, dia memutar tubuh dan dengan dipapah oleh si nona kecil, ia berkata "O mie to hud! O mie to hud !" Tanpa menengok lagi mereka turun kebawah loteng. Beberapa saat kemudian, kami men dengar suara totokan tongkat ditanah, diseling seling dengan suara batuk-batuk"
Bicara sampai disitu, Yo Poet Hwie mendatangi dengan tangan mencekal sebuah karangan bunga yang merupakan topi. Sambil tertawa ha ha hi hi, ia berkata. "bu, kau pakailah topi ini," dengan sikap aleman, ia lalu menaruh topi bunga itu di kepala sang ibu.
Siauw Hu tertawa sambil manggut manggutkan kepalanya dan kemudian melanjutkan penuturannya.
"Kami semua rebah diatas papan loteng tanpa berkutik, sebagian pingsan, sebagian bernapas sengal-sengal dan sebagian pula merintih dengan perlahan...."
"Ibu," memutus Poet Hwie. "Apakah kau sedang menceritakan perempuan jahat itu " Jangan! Aku takut."
"Nak," kata sang ibu sambil bersenyum, "Pergilah kau memetik bunga lagi dan buatlah sebuah topi untuk kakak Bu Kie"
Poet Hwie mengawasi Bu Kie. "Waena apa yang kau suka ?" tanyanya.
"Merah dan campur sedikit dengan warna putih, lebih besar topinya lebih baik lagi," jawabnya.
"Sebesar ini?" tanyanya pula si nona sambil membuat sebuah lingkaran dengan kedua tangannyaa.
"Ya, sebesar itu," jawabnya.
Poet Hwie segera berlari-lari dengan menepuk nepuk tangan sambil tertawa-tawa. "Kalau sudah jadi kau harus memakainya !" teriaknya.
"Beberapa lama kemudian, dalam keadaan lupa ingat, aku melihat belasan orang naik keloteng,"'
Siauw Hu melanjutkan penuturannya. "Mereke itu adalah pelayan, tukang masak dan pengurus rumah makan. Mereka menggotong kami kedapur. Tak usah dikatakan lagi, Poet jie ketakutan setengah mati dan sambil menangis keras, ia mengikuti orang-orang yang menggotong aku. Setibanya didapur, si pengurus rumah makan membaca tulisan diselembar kertas. Seraya menuding Kan Ciat, ia memerintah: Labur koyo di kepalanya. Seorang pelayan segera membuka sebuah kotak koyo dan melebur isinya di kepala Kan Ciat. Sesudah itu, sambil membaca pula tulisan itu, dia menuding seorang lain dan berkata: Putuskan tangan kanannya dan tempelkan lengan itu dikaki kirinya! Siksaan itu lantas saja dijalankan oleh dua
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
orang pelayan. Waktu giliranku tiba, untung juga aku tidak mendapat hukuman aneh. Aku hanya diperintah minum semangkoh air yang rasanya manis. Aku mengerti, bahwa air itu tentu mengandung racun, tapi aku tidak berdaya."
"Sesudah kami semua mendapat hukuman yang luar biasa, si pengurus rumah makan berkata. "Kamu semua sudah mendapat luka yang tak mungkin disembuhkan lagi. Tak seorangpun diantara kamu yang bisa hidup sepuluh hari atau setengah bulan lagi. Tapi pemilik bunga emas mengatakan, bahwa ia sama sekali tidak bermusuhan dengan kamu. Maka itu, ia menaruh rasa belas kasihan dan membuka suatu jalan hidup untuk kamu. Sekarang pergilah kamu lekas-lekas ke Ouw tiap kok yang terletak ditepi telaga Lie san Ouw dan mintalah pertolongan dari Ouw Ceng Goe yang bergelar Tiap kok Ie sian. Kalau dia sudi menotong, maka kamu semua ada harapan hidup, tapi manakala dia menolak, dalam dunia tak ada orang yang bisa menolong kamu lagi. Tapi Ouw Ceng Goe mempunyai lain julukan, yaitu Kian sie Poet kioe.
Kalau kamu tidak berusaha mati matian, dia pasti tak akan mengulurkan tangan. Jika kamu bertemu dengan Ouw Ceng Goe katakanlah bahwa tak lama lagi Kim hoa Cujin aku akan mencari dia dan dia harus siang siang mempersiapkan penguburan mayatnya sendiri. Sesudah berkata begitu dia segera menyediakan kerata dan kudakuda, memberi petunjuk mengenai jalanan yang harus diambil, dan kemudian mengusir kami."
Bu Kie mendengari cerita itu dengan mata tidak berkedip. "Kie Kouwkouw," katanya, "Didengar dari penuturanmu, pengurus Lim hway kok, tukang masak dan pelayan-pelayannya semua kaki tangan perempuan jahat itu,"
"Akupun menduga begitu," kata Siauw Hu. "Si pengurus rumah makan memerintahkan dijalankannya siksaan itu menurut surat catatan yang rasanya ditinggalkan oleh perempuan kejam itu. Tapi dalam peristiwa terdapat beberapa teka teki yang sehingga sekarang masih belum dapat dipecahkan olehku.
Mengapa nenek itu melakukan perbuatan yang begitu kejam" Kalau dia mendendam sakit hati dan mau mengambil jiwa kami, dia dapat melakukannya dengan mudah sekali. Jika dia hanya ingin menyiksa orang orang dengan rupa-rupa jalan yang kejam mengapa dia mengirim kami kepada Ouw Sinshe " Dia mengatakan bahwa tak lama lagi dia akan mencari Ouw Sinshe untuk membalas sakit hati, Apakah penyiksaannya terhadap kami hanya untuk menjajal kepandaiannya Ouw Sinshe?"
Bu Kie menundukkan kepala, memikir sejenak, ia berkata. "Menurut katanya Siang Gie Cun Toako, Ouw Sinshe mempunyai seorang musuh yang akan datang untuk membalas sakit hati. Musuh itulah Kim hoa Cujie. Menurut pantas Ouw Sinshe seharusnya mengobati kalian dengan sungguh hati, supaya kalian bisa membantu dia dalam menghadapi musuh berat itu. Sesuai dengan julukan Kian sie Poet kioe, ia menolak untuk mengobati. Tapi mengapa, sesudah menolak, ia memberi berbagai resep kepadaku dan mengajarkan aku macam macam cara pengobatan untuk menolong kalian" Resep obat itu manjur sekali.
Tapi mengapa ditengah malam buta ia menggerayang dan memberi racun kepada kalian" Ah! Sikap Ouw Sinshe sungguh aneh" Dalam peristiwa ini muncul banyak cangkriman yang tak akan bisa ditembus olehku."
Lama sekali mereka berunding, tapi mereka tak juga dapat menebak artinya banyak teka teki itu.
Tak lama kemudian, Poet Hwie kembali dengan sebuah topi bunga yang lalu ditaruhnya diatas kepala Bu Kie dan kemudian pergi lagi untuk membuat topinya sendiri.
"Kie kouwkouw," kata pula Bu Kie. "Mulai dari sekarang kau tidak boleh minum apapun juga kecuali jika obat itu diberikan olehku sendiri. Diwaktu malam sebaiknya kau siap sedia dengan senjata untuk menjaga sesuatu yang tidak
diinginkan. Sekarang kau masih belum boleh pulang karena aku masih perlu memberi obat untuk menyembuhkan luka di dalam badanmu. Begitu lekas lukamu tidak berbahaya lagi, kau harus buru buru pulang dengan membawa Poet Hwie."
Siauw Hu mengangguk dengan rasa sangat ber terima kasih. "Manusia she Ouw itu sungguh aneh dan hatinya sukar ditebak," katanya, "Bu Kie, akupun merasa kuatir akan keselamatanmu jika kau berdiam lama-lama disini. Lebih baik kita menyingkir bersama sama."
(Bersambung ke jilld 25) B O E K I E Karya : CHING YUNG Jilid 25 Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Bu Kie yang dikuatirkan keselamatannya jika berada lama-lama di lembah Ouw-tiap-kok sudah menyatakan kesediaannya untuk ikut menyingkir dari lembah itu bersama-sama Kie Siauw Hu dan puterinya.
"Bu kie," kata Kin Siauw Hu, "bila kau mau ikut dengan aku, kita boleh jalan bersama sama. Aku sendiri akan segera pergi menemui suhu ke Go bie san. Kalau nasib baik dan beliau tidak mendengar hasutan Suciku, maka untukmu masih ada sedikit harapan hidup karena beliau memang mempunyai niatan untuk menurunkan semua kepandaiannya kepadaku, bahkan akan mengambil aku sebagai ahil warisnya. Manakala niatan itu dilaksanakan, beliau terutama tentu akan menurunkan Go bie Kioe yang kang kepadaku. Selanjutnya aku bisa ajarkan ilmu itu kepadamu. Dengan memiliki Go bie Kioe yang kang, kau bisa menggabungkannya dsngan Siauwlim dan Bu tong Kioe yang kang sehingga rasanya racun dingin Hian beng Sin ciang bisa dengan gampang terusir keluar dari badanmu. Tapi, aih..., sesudah aku melakukan perbuatan yang tidak panta, mana aku ada muka untuk bertemu lagi dengan Suhu" Mana bisa belia mengangkat aku menjadi ahli warisnya lagi?"
Semula sang bibi bicara dengan semangat berapi-api karena memikiri penyakit yang diderita Bu Kie.
Tapi, manakala teringat olehnya akan dirinya yang telah ternoda, ia jadi tampak bermuram durja.
Melihat paras sang bibi yang sangat berduka, Bu Kie segera menghibur: "Kie Kouw kouw, kau tak usah bersedih. Ouw Sinshe mengatakan bahwa paling lama aku hanya bisa hidup setahun lagi. Akupun sering memeriksa keadaan badanku dan aku yakin, bahwa apa yang dikatakan Ouw Sinshe bukan omong kosong. Andaikata gurumu mengajar Go bie Kioe yang kang kepadamu, kurasa kaupun tak akan keburu menolong aku. Memang benar juga, jalan yang paling baik adalah kita menyingkir sekarang juga. Tapi dalam cara mengobati lukamu, masih ada beberapa bagian yang belum begitu terang bagiku. Untuk itu, aku masih perlu minta petunjuk Ouw Sinshe,"
SiauwHu tertawa dan menanya: "Apa tak bisa jadi ia akan sengaja memberi petunjuk yang salah. Kau tidak boleh lupa, bahwa ia sudah berusaha untuk meracuni aku."
"Tidak, kurasa ia tak akan berbuat sedemikian," membantah Bu Kie. "Sebegitu jauh, obat-obat atau cara mengobati yang diberikan oleh Ouw Sinshe, sangat mustajab dan tepat. Disamping itu, akupun dapat membedakan jika ia sengaja memberikan obat yang salah. Dan.... inilah justeru yang aku tidak mengerti!"
Sesaat itu, Poet Hwie sudah kembali dengan kepala memakai topi rangkaian bunga. Mereka bertiga sudah mempunyai topi, perundinganpun sudah selesai dan mereka lalu kembali kerumah Ouw Ceng Goe.
Malam itu, Bu Kie tak bisa pulas lagi. Kira kira tengah malam Ouw Ceng Goe menggerayang lagi kegubuk Siauw Hu, gubuk Kan Ciat dan kawan-kawannya untuk menaruh racun.
Tiga hari telah lewat tanpa terjadi sesuatu yang luar biasa. Karena tidak pernah kena racun lagi, kesehatan Siauw Hu pulih dengan cepat. Keadaan Sie Kong Wan dan yang lain-lain masih tetap seperti biasa, sebentar mendingan, sebentar hebat. Beberapa orang sudah mulai mengeluh dan mengatakan, bahwa kepandaian Bu Kie masih terlalu rendah, tapi si bocah tidak menggubris.
Malam itu, sambil berbaring dipembaringan, Bu Kie berkata dalam hatinya: "Sesudah lewat malam ini, aku sudah mengikut Kie Kouw-kouw menyingkirkan diri. Karena racun dalam tubuhku tak bisa dipunahkan, lebih baik aku tidak pulang ke Bu tong, supaya Thay su-hu dan paman paman jangan berubah hati. Aku akan pergi ketempat yang sepi dan mati dengan diam-diam."
Mengingat bahwa ia akan segera meninggalkan Ouw tiap kok, hatinya terharu. Walaupun Ceng Goe beradat aneh, ia telah memperlakukannya baik sekali dan selama kurang lebih dua tahun, orang tua itu menurunkan banyak ilmu ketabiban kepadanya. Sesudah berkumpul begitu lama, di dalami hatinya sudah bersemi rasa cinta terhadap orang tua itu.
Maka itu, perlahan-lahan ia bangun, dan pergi kekamar si tabib malaikat dan menanyakan kesehatan orang tua itu dari luar kamar. Tiba-tiba ia ingat bahwa Kim Hoa Cu jin akan segera menyateroni. Apa Ouw Sinshe mampu melawan perempuan jahat itu" Ia merasa kasihan dan segara berkata "Ouw Sinshe, kau sudah berdiam di Ouw tiap kok begini lama, apa kau tidak merasa sebal" Mengapa kau tidak mau pergi pelesir ketempat lain?"
Ceng Goe terkejut. "Aku sedang sakit, mana bisa aku pergi ketempat lain?" jawabnya.
"Tapi Sinshe dapat mengunakan kereta," kata pula Bu Kie. "Dengan menutup jendela kereta dengan tirai supaya tidak masuk angin, kau bisa pergi kemanapun juga"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Tiap kok Ie sian menghela napas. "Anak hatimu mulia sekali," ia memuji. "Dunia sedemikin lebar, dimanapun sama saja. Bagaimana keadaanmu selama beberapa hari ini" Bagaimana dadamu" Apakah hawa dingin masih bergolak di tantianmu?"
"Makin lama hawa itu makin bertambah", jawabnya. "Sudahlah! Biarkan saja. Aka toh sudah tak bisa ditolong lagi."
Untuk beberapa saat Ceng Goe tidak mengatakan suatu apa. "Anak, sekarang aku ingin memberi obat yang akan bisa menolong jiwamu," katanya. "Gunakanlah Tong kwie, Wan cie, Seng tee, Tok ho dan Hong hong, lima macam. Ditengah malam, minumlah obat itu cepat-cepat, dengan menggunakan Coan san ka sebagai penuntun."
Bu Kie kaget. Lima macam bahan obat itu sama sekali tiada sangkut pautnya dengan penyakit yang dideritanya. Bukan saja begitu, sifat kelima macam bahan obat itu malah berbahaya untuk dirinya.
Ditambah dengan Coan san ka, bahaya itu jadi makin besar.
"Sinshe, berapa timbangannya?" tanyanya dengan rasa heran.


Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan rewel!" bentak Ceng Goe dengan suara gusar. "Aku sudah memberitahukan kau. Sudah cukup. Pergi!"
Si bocah gusar. Semenjak berdiam di Ouw tiap kok, orang tua itu memperlakukannya secara sopan-santun dan mereka sering kali merundingkan soal ketabiban sebagai sahabat. Tak dinyana, hari ini Ceng Goe berlaku begitu kasar terhadapnya. Dengan rasa mendongkol, ia kembali kekamarnya.
Sambil bergulik-gulik dipembaringan ia berkata di dalam hati, "Dengan baik hati aku menasehati supaya kau menyingkir, tapi aku berbalik di hina olehmu. Hm ! ... Kau juga coba memberi obat yang tidak-tidak kepadaku. Apa kau kira aku akan kena diakali?".
Makin lama hatinya jadi makin panas. Ia tak mengerti mengapa si tua begitu berani mati dan memberikannya resep obat yang begitu gila-gilaan. Beberapa lama kemudian, ia merasa lelah dan maramkan kedua matanya. Mendadak, dalam keadaan layap layap, serupa ingatan berkelebat dalam otaknya. Ah! Tong kwie, Wan cie, resep tanpa diberi timbangan obatnya... Dalam dunia tak ada resep yang sedemikian. Aha! Apa tak bisa jadi Tong kwie dimaksudkan kay tong kwie kie" Mungkin! (Tong kwie adalah namanya serupa obat. Tapi "Tong kwie" atau "kay tong kwie kie" juga berarti "harus pulang"
) Sesudah memikir beberapa saat, tiba-tiba ia melompat bangun dan berkata dalam hatinya. "Benar!
Resep itu mengandung maksud lain. Dengan Wan cie, ia rupanya ingin menyuruh aku 'cie cay wan hang'
(ingatan berada di tempat jauh) atau dengan lain perkataan, ia ingin aku 'ko hui wan cuw' (pergi ketempat yang jauh). Ia menyebutnya Seng tee (tanah hidup) dan Tok ho (hidup sendirian). Mungkin sekali, Seng tee berarti 'Seng louw' (jalanan hidup) dan sesudah mengambil jalanan hidup barulah aku bisa 'hidup sendirian'. Apa arti Hong hang (menjawab angin)" Ouw Sin she maksudkan supaya aku menutup rahasja, jangan sampai 'membocorkan angin'."
"Obat itu harus diminum cepat-cepat diwaktu tengah malam buta dengan menggunakan Coan san ka sebagai penuntun. 'Cepat cepat', 'tengah malam buta', 'Coan san ka' .... Apakah Ouw Sinshd maksudkan, bahwa aku harus cepat-cepat kabur ditengah malam buta dengan menembus jalanan gunung dan tidak boleh mengambil jalanan raya" Tak salah! Itulah tentu maksud yang sebenarnya." (Coan san ka berarti tenggiling. Arti huruf`-huruf itu sendiri ialah 'menembus gunung').
Berpikir begitu, ia segera menghampiri pintu. Sebelumnya membukanya, ia merendek. "Sekarangi musuh belum tiba, tapi mengapa Ouw Sinshe tidak memberitahukan aku secara teang-terangan?"
tanyanya di dalam hati. "Mengapa ia mengeluarkan cangkeriman itu" Kalau aku tidak dapat menebaknya, bukankah aku bisa celaka" Ah! Sekarang sudah lewat tengah malam, aku mesti menyingkir secepat mungkin."
Walaupun baru berusia belasan tahun, Bu Kie sudah mempunyai jiwa ksatria. Ia ingin segera menyingkir, tapi ia memikiri nasib Ouw Sinshe. Di lain saat ia ingat, bahwa si tabib malaikat tentu lah juga sudah mempunyai pegangan untuk melawan musuh karena sesudah tahu bakal datangnya musuh itu, ia tetap tidak mau menyingkir. Tapi biar bagaimanapun juga, meskipun Ceng Goe sudah memesan supaya ia menutup rahasia, ia tak bisa tidak menolong Siauw Hu dan puterinya.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Perlahan-lahan ia keluar dari kamarnya dan pergi ke gubuk Siauw Hu. Ia menepuk-nepuk tangan seraya memanggil manggil dengan suara perlahan. "Kie Kouwkouw .... Kie Kouwkouw ..... bangun!"
Siauw Hu tersadar "Siapa" Bu Kie ?" tanyanya.
Sesaat itu, sekonyong konyong si bocah merasa sambaran angin yang sangat halus dipunggungnya dan baru saja ia memutar badan, pundak dan pinggangnya sudah kesemutan dan ia roboh tanpa berkutik lagi.
Gerakan penyerang itu cepat luar biasa. Di lain saat, iapun sudah merobohkan Siauw Hu dengan totokan.
Dengan bantuan sinar bulan sisir, Bu Kie melihat, bahwa orang itu mengenakan topeng kain hijau.
Ouw Ceng Goe! Sedang berbagai pertanyaan berkelebat-kelebat dalam otak Bu Kie, tangan kiri si tabib malaikat sudah mencengkeram pipi Siauw Hu untuk memaksanya membuka mulut, sedang tangan kanannya coba memasukkan sebutir yo wan.
Sebelum pel itu masuk kedalam mulutnya, Siauw Hu sudah mengendus bebauan yang sangat tak enak.
Ia mengerti, bahwa pel itu adalah racun yang sangat hebat, tapi ia tidak berdaya, kaki tangannya tidak bisa bergerak lagi.
Dengan sorot mata putus harapan, ia mengawasi puterinya. "Poet jie !" ia mengeluh di dalam hati.
"Ibumu bernasib celaka, kaupun jelek peruntungan. Mulai dari sekarang, ibumu tak bisa merawatmu lagi."
Tiba tiba pada detik yang sangat berbahaya, Bu Kie melompat bangun. Orang itu kaget dan menengok, tapi punggungnya sudah dihantam Bu Kie dengan sekuat tenaga.
Ternyata, sesudah ditotok jalanan darah pada pundak dan pinggangnya, untuk sementara Bu Kie rebah dengan tidak berdaya. Tapi, sebagai ahli waris Cia Sun, selang beberapa saat, ia berhasil membuka jalan darahnya dengan menggunakan Lweekang. Ia melompat bangun dan pada detik yang sangat genting, ia menghantam jalanan darah Kin su hiat dipunggung Ouw Ceng Goe dengan pukulan Sin liong Pa bwee, yaitu salah satu jurus dari Hang liong Sip pat ciang. Meskipun ia hanya mengenal bagian kulit dari pukulan itu, tapi karena jurus tersebut adalah jurus yang sangat luar biasa dan juga sebab Ouw Ceng Goe sama sekali tidak menduga bakal dibokong cara begitu, maka, begitu lekas pukulan Bu Kie mengenai Kin su hiat, ia roboh tanpa mengeluarkan suara.
Berbareng dengan robohnya, topeng kain tersingkap separuh dan begitu melihat, Bu Kie mengeluarkan teriakan tertahan. "Ah !"
Mengapa" Karena muka itu bukan muka Ouw Ceng Goe, tapi muka seorang wanita setengah tua yang berparas cantik.
"Siapa kau?" bentak Bu Kie.
Sesudah terpukul, wanita itu merasakan kesakitan hebat, mukanya pucat pasi, sehingga ia tidak dapat menjawab pertanyaan si bocah.
Buru-buru Bu Kie membuka jalanan darah Kie Siauw Hu dan berkata. "Kie Kouwkouw, tempelkan ujung pedangmu didadanya, supaya dia tidak bisa berkutik. Aku mau menengok Ouw Sinshe." Ia berkuatir akan keselamatannya Ouw Ceng Goe. Ia menduga bahwa wanita itu adalah konco Kim hoa Cu jin. Jika perempuan jahat itu keburu datang, maka dia dan Siauw Hce serta puterinya pasti akan celaka.
Dengan lari seperti terbang ia pergi ke kamar Ceng Goa dan tanpa banyak rewal, ia memukul pintu yang lantas saja terpentang.
"Ouw Sinshe!" teriaknya, tapi tak ada jawaban. Ia segera mengeluarkan bahan api dan menyulut lilin.
Kasur terbuka, tapi orang tua itu tak kelihatan bayang - bayangannya. Melihat kamar itu kosong, hatinya agak lega, karena ia semula menduga bahwa Ouw Ceng Goe sudah dibinasakan. "Ouw Sinshe rupanya diculik musuh," pikirnya.
Baru saja ia mau keluar, di bawah ranjang tiba tiba terdengar suara helaan napas. Ia segera mengangkat ciak-tak (tempat tancapan lilin) dan menyuluhi kolong ranjang. Ia girang bukan main, karena melihat
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Ouw Ceng Goe rebah disitu dengan kaki tangan terikat. "Ouw Sinshe, jangan khawatir!" katanya dan lalu merangkak ke kolong ranjang untuk menyeretnya keluar.
Ternyata, orang tua itu tidak bisa bicara sebab mulutnya disumbat dengan buah toh dan Bu Kie segera mengorek keluar buah itu. Waktu mau membuka ikatan, ia mendapat kenyataan, kaki tangan Ceng Goe diikat dengan tambang urat kerbau, sehingga ia tidak dapat memutuskannya dan lalu mecari pisau.
"Mana perempuan itu?" Tanya Ceng Goe selagi Bu Kie mau memotong tambang.
"Jangan kuatir, ia sudah ditakluki dan tak akan bisa lari," jawabnya.
"Jangan putuskan dulu tambang ini!" Kata Ceng Goe tergesa. "Lekas bawa dia kemari. Lekas kalau terlambat, aku kuatir tak keburu lagi."
Bu Kie heran. "Mengapa begitu?" tanyanya
"Lekas bawa dia kemari!" bentak orang tua "Tidak!.... Begini saja. Lebih dulu, berikan padanya tiga butir Goe hong Hiat ciat tan. Ambillah dari laci ketiga. Lekas...! Lekas .." Ia berkata begitu dengan paras muka bingung dan pucat.
Bu Kie tahu, bahWa Goe hong Hiat ciat tan adalah pel untuk memunahkan racun dan dibuat dengan menggunakan macam-macam bahan yang sangat mahal harganya. Untuk memunahkan racun yarg sangat hebat, sebutir saja sudah lebih dari cukup. Tapi Ouw Ceng Goe menyuruhnya untuk memberikan tiga butir. Siapa wanita itu"
Ia heran tak kepalang, tapi melihat sikap orang tua itu, ia tidak berani menanya melit-melit. Buru buru ia mengambil pel itu dan berlari-lari ke gubuk Siauw Hu.
"Lekas telan!" bentaknya sambil menyodorkan tiga butir Goe hong Hiat ciat tan kepada tawanannya.
"Pergi! Aku tak perlu dengan pertolonganmu!" teriak wanita itu. Begitu mengendus bau Goe hong Hiat ciat tan, ia lantas saja mengetahui, bahwa Bu Kie datang dengan membawa obat.
"Ouw Sinshe yang menyuruh aku membawa obat ini," kata Bu Kie dengan mendongkol.
"Pergi!... pergi!..pergi....!" teriak pula wanita itu. Sesudah kena pukulan Bu Kie, teriakannya lemah sekali.
Si bocah bingung dan hanya bisa menebak-nebak. Ia menduga, bahwa waktu mengikat Ceng Goe wanita itu kena senjata racun. Untuk korek keterangan mengenal musuhnya, Tiap kok Ie sian rupanya sengaja memberi obat pemunah kepadanya. Memikir begitu, ia lantas saja menotok jalanan darah Kian tin hiat, sehingga wanita itu tak bisa melawan dan kemudian memasukkan tiga butir pel itu kedalam mulutnya.
Karena suara ribut-ribut, Poet Hwie mendusin dan mengawasi wanita itu dengan perasaan heran.
"Kouw-kouw mari kita membawa dia kepada Ouw Sinshe," kata Bu Kie. Mereka lantas saja mencekal tangan wanita itu yang lalu diseret ke kamar Tiap kok Ie sian.
Begitu mereka masuk, Ouw Ceng Goe menanya "Sudah makan obat?"
"Sudah," jawab Bu Kie.
Paras muka Ceng Goe jadi lebih tenang dan Bu Kie segera memotong tambang yang mengikat kaki tangannya. Sesudah kaki tangannya merdeka, Tian kok Ie sian segera menghampiri wanita itu, membuka kelopak matanya dam memegang nadinya.
"Eh...eh!" katanya dengan suara kaget, "Mengapa kau mendapat luka" Siapa yang sudah melukakan kau?"
Wanita itu menjebi. "Tanya muridmu!" bentaknya.
Ouw Ceng Goe memutar badannya dan menanya Bu Kie : "Apa kau yang memukul?"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Benar," jawabnya, "waktu dia mau....."
Plok! Plok! Orang tua itu menggaplok Bu Kie keras keras, sehingga mata si bocah berkunang kunang.
Siauw Hu menghunus pedang dan membentak: "Kurang ajar!" Tapi, tanpa menghiraukannya, Ceng Goe lalu menanya wanita itu: "Bagaimana rasanya dadamu" Aku pasti akan menyembuhkan kau." Sikap dan perkataannya berbeda jauh, bagaikan langit dan bumi dengan kebiasaan Kian sie Poet kioe Ouw Ceng Goe. Tapi si wanita tetap tidak mengubris dan terus bersikap tawar.
Dengan rasa heran yang sangat besar, Bu Kie mengawasi kejadian itu sambil mengusap-usap pipinya yang bengkak.
Dengan sikap menyayang Tiap kok Ie sian lalu membuka jalanan darah si wanita, mengurut-urutnya, mengambil beberapa macam daun obat yang lalu dimasukkan kedalam mulut wanita itu, memondongnya dan menaruhnya diatas pembaringan, akan kemudian menyelimutinya dengan selimut tebal. Semua itu dilakukan si-tua secara lemah lembut dan penuh kecintaan.
Bu Kie menggeleng-gelengkan kepala. Benar benar otaknya pusing.
Sesudah berdiri beberapa saat didepan pembaringan, Ceng Goe berkata dengan suara halus: "Sekarang selain racun, kaupun mendapat luka. Jika aku dapat menyembuhkan, kita jangan menjajal-jalal kepandaian lagi."
Wanita itu tertaWa. "Apa artinya luka ini?" katanya. "Tapi apakah kau tahu, racun apa yang ditelan olehku" Jika kau bisa menyembuhkan aku, aku akan mengaku kalah. Hm! .... Tetapi belum tentu kepandaian Ie sian (tabib malaikat atau tabib dewa) bisa menandingi kepandaian Tok sian (si dewi racun)." Sehabis berkata begitu, ia bersenyum dan senyumnya itu menggairahkan.
Dalam usia belasan tahun, Bu Kie belum mengerti soal percintaan. Tapi biarpun begitu, ia bisa merasakan, bahwa diantara kedua orang tua itu terdapat kasih sayang yang tiada batasnya.
"Semenjak sepuluh tahun berselarg, aku sudah mengatakan, bahwa Ie Sian tak akan bisa menandingi Tok sian." kata Ceng Goe. "Tapi kau tak percaya. Kau terlalu suka menjajal ilmu. Aku sungglth tidak mengerti, mengapa kau begitu gila sehingga kau meracuni diri sendiri. Sekarang aku mengharap, bahwa Ia sian akan menang dari Tok Sian. Jika aku gagal, akupun tak sudi hidup sendirian di dalam dunia."
Wanita itu bersenyum pula. "Jika aku meracuni orang lain, kau bisa berlagak kalah." katanya. "Ha ha!... Dengan meracuni diri sendiri, kau tentu akan mengeluarkan seantero kepandaianmu."
Ceng Goe mengusap-ngusap rambut wanita itu dan berkata deagan suara nyaring: "Hatiku sangat berkuatir. Sudahlah ! Jangan kau bicara banyak banyak. Meramkan matamu dan mengaso. Tapi ingatlah.
kalau dengan diam-diam kau mengerahkan Lweekang untuk mencelakakan diri sendiri, kau berbuat curang dalam pertandingan ilmu ini."
"Aku tidak begitu rendah," kata wanita itu sambil tertawa. Ia segera memeramkan kedua matanya dan pada bibirnya tersungging senyuman.
Untuk beberapa saat, kamar itu sunyi-senyap. Siauw Hu dan Bu Kie menyaksikan itu semua dengan mata membelalak. Tiba-tiba Tiap kok Ie sian memutar badan dan menyoja kepada Bu Kie. "Saudara kecil," katanya, "dalam kebingungan aku telah berbuat kesalahan terhadapmu. Aku harap kau sudi memaafkan."
"Sedikitpun aku tidak mengerti, apa artinya ini semua," kata Si bocah dengan mendongkol.
Sekonyong-konyong si tua mengangkat tangan kanannya dan menggapelok dua kali pipi seniri keras-keras. "Saudara, kecil," katanya Pula. "Kau adalah tuan penolongku. Hanya karena aku sangat memikiri keselamnatan isteriku, maka aku sudah berbuat kedosaan terhadapmu."
"Dia..... dia isterimu?" menegas si bocah dengan suara heran.
Ceng Goe mengangguk, "Benar, dia isteriku!" jawabnya.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Melihat sikap orang tua itu dan mendengar bahwa wanita itu adalah isterinya, semua kedongkolan Bu Kie lantas menghilang.
Ceng Goe mengambil kursi dan lalu mempersilakan Siauw Hu dan Bu Kie duduk, "Kalian tentu merasa heran melihat kejadian dihari ini." katanya, "Baiklah! Aku akan menceritakan latar belakangnya tanpa tedeng tedeng. Isteriku seorang she Ong namanya Lan Kouw. Kami berdua adalah saudara seperguruan. Pada waktu kami masih berada dalam rumah perguruan, disamping belajar ilmu silat, aku mempelajari ilmu ketabiban, sedang dia mempelajari Tok sut (ilmu menggunakan racun). Menurut pendapatnya, tujuan belajar ilmu silat adalah untuk membunuh orang dan tujuan Tok sut juga untuk membunuh orang. Bu sut (Ilmu silat) dan Tok sut merupakan dua macam ilmu yang berdiri berendeng.
Maka itu, jika seorang mahir dalam Bu sut dan Tok sut, maka kepandaiannya bertambah dengan satu kali lipat. Ilmu ketabiban adalah untuk menolong manusia, sehingga pada hakekatnya, ilmu ketabiban dan ilmu silat bertentangan satu sama lain. Itulah jalan pikiran isteriku. Tapi karena bakatku terletak dalam ilmu ketabiban, aku tak dapat mengubah kesukaan itu."
"Meskipun apa yang dipelajari kami berdua, perhubungan kami sangat erat dan diantara kami telah timbul perasaan cinta. Belakangan, Suhu telah menikahkan kami berdua. Perlahan-lahan nama kami mulai terkenal dalam dunia kangouw, sehingga banyak orang memberi gelaran Ie Sian kepadaku dan julukan Tok Sian kepada isteriku. Kepandaiannya dalam soal racun sungguh-sungguh lihay. Ia sudah melebihi kepandaian Suhu sendiri dan mungkin sekali di dalam dunia sukar dicari tandingannya. Bahwa dia telah medapat gelaran Sian atau Dewi, merupakan bukti nyata dari kepandaiannya.
"Dasar aku yang tolol, yang bertindak tanpa dipikir lagi. Berapa kali isteriku telah meracuni orang, dan orang itu telah datang kepadaku untuk meminta pertolongan. Tanpa memikir panjang aku segera menolong mereka. Pada waktu itu hatiku malah merasa senang. Sedikitpun aku tidak merasa bahwa tindakanku itu sangat menyinggung perasaan isteriku. Aku sama sekali tak ingat, bahwa jika menyembuhkan orang yang diracuni olehnya, maka itu berarti bahwa kepandaian Ie sian adalah lebih unggul dari pada Tok sian"
Siauw Hu menggeleng-gelengkan kepala dan menghela napas. Sepasang suami isteri itu benar benar manusia aneh.
Sementara itu Ceng Goe melanjutkan penuturannya. "Isteriku sangat mencintai aku. Di dalam dunia sukar dicari tandingannya. Tapi aku sendiri" Dengan di dorong oleh napsu mau menang, berulang kali aku menyinggung perasaannya. Cobalah kalian pikir. Meskipun dia patung, satu waktu dia bisa habis kesabarannya. Akhirnya aku tersadar. Aku bersumpah, bahwa aku tak akan menolong lagi orang yang telah diracuni olehnya. Lantaran begitu, lama-lama orang memberi gelaran Kian sie Poet kioe atau melihat kebinasaan tak sudi menolong padaku. Melihat aku berubah, isterikupun merasa senang. Tapi baru saja beberapa tahun aku mengambil jalan yang benar, muncullah peristiwa adik perempuanku."
"Kehormatan adikku telah dilanggar oleh bangsat Sian Ie Thong dari Hwa san pay dan akhirnya binasa dalam tangannya. Tapi, samoai pada detik mau menghembuskan napasnya yang penghabisan, adikku masih mencintai bangsat itu. Pesannya yang terakhir supaya aku berjanji, bahwa selama hidup aku akan menolongnya, jika ia memerlukan pertolongan. Karena melihat adikku tidak akan mati dengan mata meram jika aku tidak meluluskan permintaannya, maka mau tidak mau, dengan hati penasaran, aku terpaksa memberikan janjiku itu."
"Diluar tahuku, isteriku telah menaruh racun yang sangat hebat dibadan Sian Ie Thong. Racun itu yang jalannya sangat perlahan, akan merusak seluruh tubuh bangsat yang sesudah menderita hebat selama tiga tahun, akan mampus dengan dagingnya membusuk. Sian Ie Tong mengetahui janjiku yang diberikan kepada adikku. Begitu melihat keadaannya berbahaya, ia segera meminta pertolongan kepadaku. Hai!..
Otakku benar-benar pusing. Kalau aku menolong, aku menyinggung isteri sendiri. Kalau tidak menolong aku melanggar janji."
"Sian Ie Tong adalah Ciangbunjin Hwa san pay. Ilmu silatnya tinggi dan dalam kalangan kangouw, ia dikenal sebagai seorang pendekar," kata Siauw Hu. "Sungguh tak dinyana dia sebenarnya manusia rendah. Ouw Sinshe sesudah adikmu binasa dalam tangannya, kaupun tak perlu menolong dia. Apa pula adikmu yang sudah meninggal dunia tidak tahu lagi urusan itu."
"Tidak!" membantah Bu Kie. "Kie Kouwkouw, kau salah. Roh seorang yang sudah meninggal dunia masih bisa mengetahui apa yang terjadi di dalam dunia," Waktu mengatakan begitu ia ingat kedua orang tuanya. Ia mengharap supaya roh ayah dan ibunya masih tetap berada dilam baka dan nanti kalau ia sendiri menginggal dunia, ia akan bisa berkumpul lagi dengan kedua orang itu.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Tiap kok ie sian menghela napas. "Apa yang terjadi dialam baka tidak diketahui oleh manusia,"
katanya. "Pada waktu itu, jalan pikiranku adalah begini: jika aku berdosa terhadap isteriku, dialam kemudian aku masih dapat memperbaikinya. Tapi jika aku melanggar janji ... hai!... Selama hidupnya, adikku selalu menderita... Bagaimana aka tega untuk menyakiti rohnya?"
"Demikianlah, dengan menggunakan seluruh kepandaian, aku akhirnya berhasil menyembubkan sibangsat Sian Ie thong. Isteriku tidak ribut-tibut lagi, ia hanya berkata dengan suara dingin: Bagus.
Kepandaian Tiap kok ie sian Ouw Ceng Goe benar-benar tinggi. Tapi Tok Sian Ong Lan Kauw tak sudi menakluk. Sekarang marilah kita menjajal ilmu, untuk mendapat keputusan, Ie Sian atau Tok sian yang lebih tingggi! Mati matian aku memohon maaf, tapi ia tidak meladeni."
"Beberapa tahun isteriku memperdalami ilmunya dan telah maracuni beberapa orang Kangouw yang ternama.Sesudah meracuni, ia memberi petunjuk supaya orang-orang itu datang kepadaku. Tok sut isteriku ternyata sudah banyak lebih lihay, sehingga tempo-tempo aku tidak mendapat jalan untuk mengobati orang yang kena racunnya. Ditambah lagi dengan rasa sungkan untuk membangkitkan amarah isteriku, maka dalam menghadapi keracunan yang hebat, sudah gagal satu dua kali, aku menghentikan usahaku dan mengatakan saja bahwa aku tak mampu menolong lagi."
"Tapi diluar dugaan, sikapku bahkan menambah kegusarannya. Ia menuduh bahwa aku sudah memandang rendah kepadanya dan bahwa aku sudah sengaja tidak mau mengeluarkan seantero kepandaianku. Dengan gusar ia meninggalkan Ouw tiap kok dan mengatakan bahwa biar apapun yang terjadi, ia takkan kembali kepadaku."
"Selama berada diluar, berulang kali ia meracuni orang dan menyuruh orang-orang itu datang kepadaku. Kependaiannya makin tinggi, sehingga tempo-tempo aku tak tahu, siapa yang sudah meracuni penderita yang meminta pertolonganku. Dalam menghadapi penderita yang seperti itu, dengan menganggap, bahwa dia bukan diracuni oleh isteriku, kadang-kadang aku memberi pertolongan dan menyembuhkannya. Belakangan baru kutahu, bahwa orang itu sebenarnya telah diracuni oleh isteriku.
Demikianlah perhubungan kita jadi makin renggang."
"Namaku Ceng Cu, atau Kerbau Hijau, sebenarnya lebih tepat jika nama itu diganti dengan 'Kerbau Tolol'. Entah kebaikan apa yang sudah kuperbuat, sehingga aku dicintai oleh seorang wanita begitu mulia seperti isteriku itu dan hanialah karena ketololanku, maka ia telah meninggalkan rumah dan hidup terlunta-lunta di luaran. Mengingat bahayanya dunia Kangouw, setiap saat, setiap detik, hatiku selalu memikiri keselamatannya"
Berkata sampai disitu, paras muka Tiap kok Ie sian kelihatan berduka sekali.
Siauw Hu melirik Ong Lan Houw yang rebah dipembaringan. "Di dalam dunia, siapa yang berani melanggar Ouw Hujin?" katanya dalam hati. "Sudah bagus kalau orang lain tidak dilanggar olehnya.
Sungguh lucu! Ouw Sinshe kelihatannya sangat takut pada isterinya."
Sesudah berdiam sejenak, Ceng Goe berkata pula: "Pada tujuh tahun berselang, sepasang suami isteri yang sudah berusia lanjut kena racun hebat dan mereka datang disini untuk meminta pertolongan. Mereka adalah majikan pulau Leng coa to, di laut Tong hay. Mereka memiliki ilmu silat yang luar biasa dan tingkatan merekapun tinggi sekali. Puluhan tahun berselang, nama Kim Hoa Popo dan Gin yap Sianseng menggetarkan Rimba Persilatan."
"Aku tidak berani lantas menolak secara tegas. Tapi cobalah kalian pikir, cara bagaimana aku berani membuat kesalahan lagi" Aku lalu memeriksa nadi mereka dan mengatakan, bahwa Gin-yap Sianseng sudah tak dapat diobati lagi, sedang kim-hoa Popo hanya kena racun enteng dan ia akan bisa menyembuhkan dirinya dengan menggunakan Lweekang sendiri. Aku diberitahukan, bahwa yang meracuni mereka adalah seorang Pek to pay (Partai Unta putih) yang sangat lihay di wilayah See hek (Wilayah barat) dan tiada sangkut pautnya dengan isteriku. Tapi sesudah sesumbar bahwa selain anggauta Beng kauw, aku tak akan menolong orang lagi, maka aku tak bisa menjilat ludah sendiri hanya karena yang minta tolong orang jempolan. Nyonya tua itu memohon mohon supaya aku suka menolong seorang saja, yaitu suaminya, dan untuk itu, ia menjanjikan hadiah yang sangat besar. Kalian harus mengetahui bahwa di dalam Rimba persilatan, Gin yap sian seng dan Kim hoa Popo sangat cemerlang dan bahwa mereka sudah mau membuka mulut untuk meminta pertolonganku, bagiku sudah merupakan muka yang sangat besar (kehormatan besar). Tapi demi kepentingan kami berdua suami isteri aku tetap tidak mau menolong."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Untung juga mereka tidak menggunakan kekerasan. Sesudah yakin tak ada harapan, mereka pergi dengan perasaan duka. Aku mengerti bahwa karena penolakan-penolakanku untuk mengobati orang, aku sudah menanam banyak bibit permu suhan. Tapi kecintaan dan kerukunan antara aku dan isteriku masih lebih panting daripada kepentingan orang lain. Bagaimana pendapat kalian" Bukankah pendirian itu pendirian benar?"
Siauw Hu dan Bu Kie membungkam, tapi di dalam hati mereka tentu saja sangat tidak menyetujui pendirian yang gila itu.
Sementara itu, Ouw Ceng Goe sudah berkata pula: "Waktu Gie Cun datang kesini paling belakang ia mengatakan bahwa di tengah jalan dia bertemu dengan seorang nenek yang memberitahukan bahwa, sesuai dengan dugaanku, Gin Yap Sian seng sudah meninggal dunia karena racun itu. Sesudah Gie Cun berlalu, isteriku mendadak pulang. Melihat Bu Kie, ia segera menggunakan bie-yo (obat tidur), sehingga saudara kecil pules nyenyak semalam suntuk."
"Ah! Kalau begitu kerjaan Ong Lan Kouw," kata si bocah di dalam hati. "Hari itu aku menduga, bahwa aku sakit."
Sesudah melirik isterinya, Ceng Goe melanjutkan penuturannya: "Pulangnya isteriku tentu saja sangat menggirangkan. Iapun sudah mendengar bahwa Kim-Hoa Popo telah datang lagi di Tiong goan, sehingga biarpun masih mendongkol terhadapku, buru-buru ia pulang untuk memberitahukan hal itu kepadaku.
Atas kemauannya, aku berpura-pura sakit cacar dan menolak untuk menemui orang. Kami mengunci diri di dalam kamar dan memikiri siasat untuk menghadapi Kim Hoa Popo. Ilmu silat nyonya tua itu terlalu lihay, sehingga tak mungkin kami melarikan diri. Tapi ia mempunyai adat yang aneh. Jika ia ingin membunuh seseorang, serangannya dibatasi dalam tiga kali. Kalau orang itu bisa menyelamatkan diri dari ke tiga tiga kali serangannya, maka ia akan mengampuninya."
"Selang beberapa hari kemudian datanglah Sie Kong Wan, Kan Ciat, kau sendiri, Kie Kouwnio dan yang lain-lainnya sampai limabelas orang."
"Begitu mendengar luka kalian, aku segera mengetahui, bahwa Kim Hoa Popo sengaja mau mencoba-coba aku, apakah aku masih tetap pada pendirianku, yaitu tidak mau menolong siapapun jua, kecuali murid Beng kauw. Luka kelima belas orang itu rata-rata luka yang sangat aneh. Aku adalah seorang yang keranjingan ilmu ketabiban. Begitu melihat luka atau penyakit aneh, tanganku lantas saja gatal dan ingin menjajal kepandaianku. Sekarang Kim Hoa Popo mengirim bukan satu, tapi Limabelas orang. Kalian dapatlah membayangkan perasaanku. Tapi akupun mengerti maksud nenek itu, jika ada seseorang saja yang diobati olehku, celakalah aku. Ia pasti akan menyiksa aku ratusan kali lipat lebih hebat daripada orang yang diobati itu. Lantaran begitu, sambil menahan keinginan hati, aku tetap berpeluk tangan.
Belakangan sesudah Bu Kie menanyakan pendapatku andaikata orang yang terluka adalah seorang murid Beng kauw, barulah aku memberi petunjuk. Tapi aku sangat berhati-hati dan sengaja menerangkan, bahwa Bu Kie adalah murid Bu tong pay dan tidak bersangkut paut dengan diriku."
"Melihat bahwa dengan pertolongan Bu Kie, urang-orang itu mulai sembuh dengan cepat, Lan Houw kembali merasa tidak senang. Setiap maim, diam-diam ia menaruh racun dipiring mangkok mereka.
Dengan demikian, lagi-lagi ia bermaksud untuk mengadu kepandaian denganku. Kelimabelas orang itu rata rata adalah jago-jago Rimba Persilatan. Bagaimana ia bisa menyateroni tanpa diketahui" Sebelum menyebar racun, lebih dulu ia menggunakan Obat tidur."
Siauw Hu dan Bu Kie saling mengawasi. Sekarang baru mereka mengerti, mengapa pada malam itu, Siauw Hu begitu sukar disadarkan, sehingga Bu Kie sampai perlu menggoyang-goyangkan badannya.
"Selama beberapa hari ini, kesehatan Kie Kouw nio pulih dengan cepat, seperti juga racun isteriku tidak mempan lagi," kata pula Ceng Goa. "Sesudah menyelidiki, ia mengerti bahwa rahasianya sudah diketahui Bu Kie, maka ia segera mengambil keputusan untuk mengambil jiwa Bu Kie. Hai!... Kata orang sungai dan gunung lebih mudah diubah daripada adat manusia. Aku harus mengakui, bahwa aku, Ouw Ceng Goe tidak cukup setia kepada isteriku. Sebenarnya aku sudah mengambil keputusan uatuk berpeluk tangan, tapi karena Bu Kie telah menasehati aku supaya aku menyingkir ketempat lain, maka hatiku lantas saja menjadi lemah. Aku segera memberi resep istimewa padanya dengan menyebutkan Tong wie, Wan sie, Tok ho dan beberapa macam obat lain. Aku tidak dapat bicara terus terang, karena Tan Kouw berada ddampingku."
"Tapi isteriku adalah seorang yang sangat cerdas dan juga mengenal ilmu ketabiban. Mendengar resep yang gila itu, sesudah mengasah otak beberapa lama, ia segera dapat menangkap maksudku yang sebenarnya. Ia lalu mengikat kaki tanganku dan mengambil beberapa macam racun yang lalu ditelannya.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Suko," katanya. "Aku dan kau sudah menjadi suami isteri selama dua puluh tahun lebih. Lautan bisa kering, batu bisa haneur, tapi kecintaan kita tak akan bisa berubah. Tapi kau selamanya memandang rendah kepada Tok toetku. Setiap orang yang diracuni olehku, selalu dapat di tolong olehmu. Sekarang aku sendiri menelan racun. Jika kau dapat menolong jiwaku aku takluk terhadapmu. Bukan main rasa kagetku, berulang ulang aku minta ampun dan mengaku kalah. Tapi ia lalu menyumbat mulutku dengan buah tho, sehingga aku tidak dapat bicara lagi. Kejadian selanjutnya sudah diketahui kalian. Hai! .... Bu Kie, kau berdosa terhadapku. Kau membalas kebaikan dengan kejahatan. Aku menasehati kau untuk menyingkirkan tapi kau berbalik melukakan isteriku yang tercinta." seraya berkata begitu ia menggeleng-gelengkan kepala.
Siauw Hu dan Bu Kie saling mengawasi tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata. Mereka mendongkol tercampur geli. Sedang suami isteri itu benar benar aneh dan sukar dicari tandingannya di dalam dunia selebar ini. Karena rasa cinta yang besar Ouw Ceng Goe takut terhadap isterinya. Dilain pihak, Ong Lan Kouw terus menindih suaminya dan akhirnya ia bahkan meracuni diri sendri.
Sesudah menggelengkan kepala, Tiap kok ie sian berkata pula: "Cobalah kalian pikir: Apa yang harus diperbuat olehku" Kalau sekarang aku berhasil menyembuhkannya, itu akan berarti, bahwa kepandaianku lebih unggul dari pada kepandaiannya dan Lan Kouw tentu akan tetap merasa kurang senang. Jika aku gagal, jiwanya melayang. Hai! Aku mengharap Kim hoa Popo cepat-cepat datang supaya aku lekas-lekas mampus agar jangan merasakan penderitaan ini lebih lama lagi."
Tiba tiba serupa ingatan berkelebat dalam otak Bu Kie. "Racun apa yang ditelan Subo?" to nyanya.
"Bagaimana mengobatinya?" (Subo-Isteri dari seorang guru). Sambil berkata begitu, ia menggoyang-goyangkan tangan, sebagai isyarat supaya Ceng Goe tidak menjawab dengan sebenarnya.
Ceng Goe melirik isterinya yang sedang tidur menghadap kedalam. Sebagai seorang yang sangat pintar, ia segera mengerti maksud bocah itu.
"Selama beberapa tahun kepandaian isteriku sudah maju jauh, sehingga aku tidak dapat menebak racun apa yang ditelannya," jawabnya. "Dan sebelum mengetahui racunnya, aka tentu tak dapat mengobatinya."
Selagi orang tua itu menjawab pertanyaannya, dengan jari tangan Bu Kie menulis huruf-huruf yang berbunyi begini diatas meja: "Beritahukanlah aku dengan tulisan". Selagi menulis, mulutny berkata.
"Kalau begitu Subo tak bisa diobati lagi"
"Isteriku sendiri pasti tahu cara mempunahkan racun itu," kata Ceng Goa. "Tapi aku mengenal adatnya. Biarpun mati, ia tak nanti memberitahukan kepada kita." Waktu berkata begitu, dengan telunjuknya ia menulis diatas meja. Racun Sam ciong Sam co. Sam ciong ialah kelabang, ular tanah dan laba-lain beracun, Sam co terdiri dari Cin po co, Toan chung co dan Siauw houw kun. Sesudah itu ia menulis juga resep obat. (Sam ciong Tiga macam binatang. Sam-co Tiga macam rumput).
Bu Kie mengangguk dan lalu menulis pula diatas meja: "Kau telanlah Sam ciong Sam co. Sesudah kau meracuni diri sendiri, aku yang akan menolong"
Tiap kok Ie sian terkejut, tapi ia segera dapat menangkap maksud Bu Kir. "Jalan ini sangat berbahaya,"
pikirnya. "Tapi karena tak ada lain jalan biarlah aku mencoba secara untung untungan."
Sementata itu Bu Kie sudah berkata pula. "Ouw Sinshe, dengan memiliki kepandaian yang begitu tinggi, apakah bisa jadi kau tak tahu racun apa yang sudah ditelan Subo?"
"Menurut dugaanku, ia telah menelan racun Sam ciong Sam-co," jawabnya. "Sam ciong bersifat "im"
(dingin), sedang Sam-co besifat "yang" (panas). Jangankan sampai enam macam, satu macam saja sudah sukar untuk diobati. Jika aku menggunakan obat yang sangatnya panas untuk mempunahkan racun binatang yang bersifat dingin, maka racun rumput yang panas akan menjadi jadi. Dan begitu juga sebaliknya. Tubuh manusia yang terdiri dari darah daging, tak akan bisa bertahan terhadap enam rupa racun yang hebat itu." Ia mengibas tangannya dan berkata pula: "Kalian pergilah! Manakala Lan Kouw binasa, akupun tak bisa hidup sendirian di dalam dunia."
"Kami harap Sinshe bisa menyayang diri dan coba membujuk Subo," kata Bu Kie.
Ceng Goe menghela napas. "Kalau dia bisa di bujuk, kejadian hari ini boleh tak usah terjadi,"
Jawabnya dengan suara putus harapan.
Siauw Hu dan Bu Kie lantas saja meninggalkan kamar itu.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Sesudah mereka berlalu, Tiap kok Ie sian segera menotok jalanan darah, dipinggangnya dan pinggang isterinya. "Su-moay," katanya dengan suara parau, "suamimu tak mempunyai kemampuan dan tak dapat memunahkan racun Sam ciong Sam co. Jalan satu-satunya ialah mengikuti kau kedunia baka untuk menyambung perjodohan kita," ia merogoh saku isterinya dan mengeluarkan beberapa bungkus obat, yang sesuai dengan dugaannya, berisi Sam ciong Sam co.
Karena ditotok, tubuh Lan Kouw tidak bisa berkutik, tapi mulutnya masih bisa bicara. "Suko, tak boleh kau makan racun!" teriaknya dengan kaget.
Sang suami tidak meladeni. Ia membuka bungkusan bubuk racun yang lalu dimasukkan kedalam mulutnya dan ditelan dengan bantuan air.
Paras muka Lan Kouw pucat pasti. "Suko?" jeritnya. "Kau gila! Mengapa begitu banyak" Racun sebanyak itu dapat membinasakan tiga manusia."
Tiap kok Ie skin tertawa dingin. Ia duduk menyender dikursi disamping kepala ranjang. Sesaat kemudian, perutnya seperti disayat ratusan pisau dan ia mengerti, bahwa Toan-chung co (Rumput memutuskan usus) sudah mulai bekerja. Tak lama lagi, lima racun yang lain juga turut mengamuk dan penderitaan Ceng Goe tak mungkin dilukiskan dengan perkataan.
"Suko! Racun itu ada pemunahnya!" teriak Lan Kouw.
Sang suami menggigil, giginya bercatrukan dan ia berkata sambil menggelengkan kepala : "Aku...
tak....percaya...." "Lekas makan Giok liong Souw hap san!" teriak si isteri. "Gunakan jarum untuk membuyarkan racun!"
"Apa gunanya?" kata Ceng Goe.
Sekarang nyonya itu menangis, "Racun yang ditelan olehku sangat sedikit," katanya: "Kau makan terlalu banyak. Oh Suko!... Lekaslah tolong jiwamu.... Kalau terlambat.... tak keburu lagi...."
"Aku mencintai kau dengan segenap jiwa," kata sang suami. "Tapi kau sendiri tak hentinya mengajak aku mengadu ilmu. Aku merasa, hidup lebih lama tiada artinya .... aduh!: ... aduh!! Ia bukan berpura-pura, ketika itu racun ular dan lawa lawa sudah mulai menyerang jantung. Badannya bergoyang-goyang dan dilain detik, ia sudah tak ingat orang.
Semua kejadian itu didengar jelas oleh Siauw Hu dan Bu Kie yang menunggu diluar pintu. "Suko!
Suko!" Lan Kouw sesambat. "Akulah yang bersalah... Kau tidak boleh mati....aku tak akan mengajak kau mengadu ilmu lagi"
Sekarang Bu Kie menganggap bahwa sudah tiba waktunya untuk ia turun tangan. Ia menerobos masuk dan bertanya: "Subo... lekas! Lekas! beritahukan cara menolong Suhu!"
Lan Kouw girang tak kepalang. "Lekas berikan Giok liong Souw hap san kepadanya!" teriaknya.
"Lekas! Ambil jarum emas dan tusuklah jalan darah Yong coan hiat dan kioe bwee hiat dan cepat!"
Pada detik itu, diluar kamar sekonyong-konyong terdengar suara batuk-batuk. Ditengah malam buta, suara itu membangunkan bulu roma. Kie Siauw Hu melompat masuk, paras mukanya pucat bagaikan kettas. Sambil melompat, ia berkata dengan suara heran :"Kim Hoa Popo...."
Hampir berbareng dengan perkataan popo tirai bergoyang dan diambang pintu berdiri seorang nenek yang tangannya mencekal satu nona cilik yang berparas sangat cantik.
Nenek itu memang bukan lain daripada Majikan Pulau Leng coa to, Kim Hoa Popo. Melihat Ceng Goe mencekal perut dengan paras muka bersemu hitam dan berada dalam keadaan pingsan, ia terkejut dan bertanya: "Ada apa?"
Lan Kouw menangis keras, "Suko! Suko!" jeritnya. "Mengapa kau meracuni diri sendiri?"
Kedatangan Kim Hoa Popo di wilayah Tiong goan mengandung dua maksud. Pertama untuk mencari musuh yang telah meracuni suaminya dan kedua untuk memberi hukuman kepada Ouw Ceng Goe.. Tak dinyana, ia bertemu Tiap kok Ie sian yang sudah hampir mati. Sebagai seorang ahli dalam ilmu menggunakan racun, begitu melihat paras muka Ceng Goe dan Lan Kouw, ia mengetahui, bahwa jiwa
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
mereka sukar untuk di tolong lagi. Ia menduga, bahwa Ceng Goa sudah menelan racun karena takut hukuman yang mungkin dijatuhkan olehnya dan dengan adanya dugaan itu, rasa sakit hatinya lagtas saja menghilang. Ia menghela napas dan sambil menarik tangan si nona cilik, ia berjalan keluar. Dilain saat, suara batuk batuk terdengar diluar rumah, dalam jarak puluhan tombak. Kecepatan bergeraknya nenek sungguh sukar dicari tandingannya.
Sesudah Kim hoa Popo berlalu, Bu Kie meraba dada Ceng Goe yang jantungnya masih mengetuk dengan perlahan.
Buru-buru ia mengambil Giok long Souw hap san yang lalu dicekukkan kemulut orang tua itu dan kemudian mengambil jarum emas untuk menusuk Yong coan hiat dan Kioe bwee hiat, supaya hawa beracun bisa keluar dari lubang tusukan. Sesudah menolong sang Suhu, barulah ia menolong Subo.
Setengah jam kemudian, perlahan-lahan Tiap kok ie sian tersadar. Rasa syukur dilukiskan, ia menaagis dan berkata "Saudara kecil! kau adalah tuan penolong kami yang sudah menolong jiwa kami berdua."
"Sekarang kalian boleh tak usah berkuatir lagi." kata Bu Kie. "Kim hoa Popo yang menduga kalian pasti akan binasa, sudah berlalu tanpa mengatakan sepatah kata"
"Tapi aku masih tetap berkuatir," kata sang Subo. "Kim hoa Popo adaiah seorang yang sangat berhati-hati. Biarpun hari ini ia sudah pergi, dilain hari ia pasti akan datang pula untuk menyelidiki. Kami berdua harus menyingkirkan diri. Saudara kecil, aku ingin meminta pertolonganmu. Buatlah dua buah kuburan kosong dan tulisilah nama kami diatas batu nisan." Si bocah mengangguk sebagai tanda ia akan melakuknn permintaan itu.
Ceng One dan Lan Kouw segera berkemas dan malam itu juga, dengan menumpang sebuah kereta keledai, mereka berangkat meninggalkan Ouw tiap kok. Bu Kie mengantar mereka sampai di mulut selat.
Sesudah berkumpul dua tahun lebih dan sekarang meski berpisahan secara mendadak, Ceng Goe dan Bu Kie merasa sangat terharu. Sambil mengangsutkan sejilid buku tulisan tangan kepada si bocah, orang tua itu berkata. "Bu Kie, semua pelajaranku sudah tercatat dalam buku ini. Aku menghadiahkannya kepadamu. Aku merasa sangat menyesal bahwa racun Hian beng Sin ciang dalam tubuhmu masih belum dapat disingkirkan. Aku mengharap, bahwa sesudah mempelajari buku ini, kau sendiri akan mendapat jalan untuk mempunah racun itu. Dengan berkah Tuhan, dihari kemudian kita masih bisa bertemu lagi"
Sambil menghaturkan banyak terima kasih, Bu Kie menerima hadiah itu.
"Bu Kie," kata Lan Kouw, "kau bukan saja sudah menolong jiwa kami, tapi juga sudah mengakurkan kami berdua suami isteri. Menurut pantas, akupun harus memberikan semua pelajaran kepadamu.. Hanya sayang apa yang dipelajari olehku ada ilmu ilmu meracuni manusia yang tiada faedahnya. Aku hanya dapat memohon pada Tuhan Yang Maha Esa, supaya kau sembuh dalam tempo agar dihari kemudian aku masih bisa membalas sedikit budimu."
Demikianlah, dengun rasa duka, mereka berpisahan.
Sesudah kereta itu tak kelihatan bayangan-bayanganya lagi, barulah Bu Kie kembali kerumah Ceng Goe yang sudah kosong. Pada esokan paginya, ia segera membuat dua buah kuburan disamping rumah dan kemudian memanggil tukang batu untuk mendirikan bong pay (batu nisan). Diatas sebuah bong pay tertulis. "Kuburan Tiap kok Ie sian, Ouw Sinshe, Ceng Goe", sedang dilain bong pay tertulis. "Kuburan Nyonya Ouw, Ong sie"
Kan Ciat, Sie Kong Wan dan yang lain-lain percaya, bahwa kedua suami isteri itu telah meninggal dunia karena sakit cacar.
Sesudah pengacaunya berlalu, dengan diobati Bu Kie, semua orang sembuh dengan cepat sekali.
Dalam sepuluh hari, mereka semua sudah berlalu dengan menghaturkan banyak terima kasih.
Selama beberapa hari, Bu Kie memusatkan seluruh perhatiannya kepada buku yang diberikan oleh Tiap kok ie sian. Ia mendapat kenyataan bahwa isi buku itu benar-benar hebat, berisi resep-resep luar biasa dan macam-macam cara untuk mengobati berbagai penyakit yang aneh-aneh. Sungguh tak malu Ouw Ceng Goe mendapat gelaran Ie sian. Tapi sesudah mempelajari delapan sembilan hari, ia masih juga belum dapat membaca Keterangan tentang cara mengusir racun Hian beng Sin ciang. Ia memikir bulak-balik, mengasah otak Siang malam, tapi tetap tidak berhasil. Ia jadi putus harapan.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Hari itu, dengan perasaan tertindih ia jalan jalan diluar rumah. Sambil mengawasi keduaku kuburan kosong itu, ia berkata dalam hatinya: "Setahun lagi, siapakah yang akan mengubur mayat ku?" Mengingat begitu, hatinya sedih dan air mata nya mengucur.
Sekonyong-konyong dibelakangnya terdengar suara batuk-batuk. Ia kaget, dan memutar badannya.
Orang yang berdiri dibelakangnya ternyata bukan lain daripada Kim hoa Popo yang sedang mencekal tangan sigadis kecil
"Anak kecil, pernah apakah kau dengan Ouw Ceng Goe?" tanya si nenek. "Mengapa kau menangis didepan kuburannya ?"
Jawab Bu Kie. "Aku kena racun Hian beng Sin ciang . . . ."
Si nenek mengangsurkan tangannya dan memegang nadi Bu Kie. "Siapa yang memukul kau?"
tanyanya dengan suara heran.
Bu Kie menggelengkan kepala. "Entahlah," Jawabnya. "Orang itu menyamar seperti seorang perwira Mongol. Aku tak tahu siapa adanya dia. Aku datang kemari untuk meminta pertolongan Ouw Sinshe, tapi ia tak sudi menolong. Sekarang ia meninggal dunia dan penyakitku tentu tak dapat diobati lagi. Itulah sebabnya mengapa aku menangis."
Melihat paras muka si bocah yang sangat tampan dan gerak geriknya yang menarik. Kim hoa Popo merasa kasihan sehingga ia menghela napas panjang dan berkata." Sayang, sungguh sayang!"
Dua tahun yang lalu, waktu baru diberitahukan bahwa racun Hian beng Sin ciang sukat diobati, Bu Kie ketakutan. Belakangan, sesudah berbagai usaha gagal, ia putus harapan dan jadi nekad. Ia sudah tidak memikiri lagi soal mati dan hidupnya. Maka itu, mendengar perkataan si nenak, ia tertawa dingin dan berkata. "Mati atau hidup tak bisa diminta secara paksa. Apakah seseorang yang serakah yang ingin hidup terus menerus bukan seorang yang sedang mabuk " Entahlah. Apakah seseorang yang takut mati bukan seperti seorang kanak-kanak yang kesasar dan tidak mengenal jalan pulang" Entahlah. Apakah seseorang yang sudah meninggal dunia tidak merasa menyesal bahwa ia dahulu ingin sekali dilahirkan di dalam dunia" Inipun tak diketahui olehku,"
Si nenek terkesiap. Untuk sementara ia tidak mengeluarkan sepatah kata dan coba memecahkan maksud perkatan si bocah.
Kata-kata itu adalah petikan dari kitab Lam hoa keng gubahan Cong cu -Chuang tse-. Sebagai mana diketahui Thio Sam Hong menganut agama Too kauw tapi ketujuh muridnya tidak turut memeluk agama tersebut. Meskipun begitu, mereka terus mempelajari Lam Hoa keng semasak-masak nya.
Waktu berada di pulau Peng bwee to, karena tak ada buku dan perabot tulis, Thio Cui San mengajar ilmu surat kepada puteranya dengan menulis huruf diatas tanah. Antara lain, ia telah menyuruh anaknya menghafal kitab Lam-hoa-keng. Kata-kata yang dikutip Bu Kie mengandung makna yang seperti berikut: Hidup belum tentu senang dan mati belum tentu menderita, sehingga pada hakekatnya hidup atau mati tidak banyak perbedaannya. Seseorang yang hidup di dunia seperti sedang mimpi dan kalau ia mati, ia seperti tersadar dari mimpinya. Mungkin sekali, sesudah mati, rohnya menyesal mengapa dahulu dia hidup di dalam dunia dan mengapa dia tidak mati terlebih siang. Demikianlah kira-kira arti perkataan itu.
Sebagai seorang bocah, Bu Kie sebenarnya belum mengerti soal mati atau hidup. Tapi karena selama kurang lebih empat tahun setiap hari ia berada antara mati dan hidup, maka sedikit banyak ia dapat menyelami juga arti perkataan Cong cu. Tanpa merasa, ia mengharap supaya sesudah mati, ia akan berada di tempat yang bahagia, supaya ia bisa berkumpul lagi dengan roh kedua orang tuanya, sehingga kematiannya banyak lebih menyenangkan dari pada hidup sebatangkara di dalam dunia yang lebar ini.
Bagi Kim Hoa Popn, perkata itu telah mengingatkannya kepada sang suami yang sudah almarhum.
Puluhan tahun, dengan penuh kecintaan mereka bersuami isteri. Tiba-tiba pada suatu hari, sang suami yang tercinta telah berpulang kealam baka, seperti seorang pelancong yang pulang ke negeri sendiri.
Mengingat begitu, di dalam hatinya segera muncul satu pertanyaan: "Apakah kebinasaan suami itu bukan kejadian yang tidak terlalu jelek?"
Dengan perasaan heran si nona cilik yang berdiri disamping Kim Hoa Popo mengawasi muka si nenek dan kemudian melirik Bu Kie. Ia tidak mengerti perkataan Bu Kie dan juga tidak mengerti mengapa neneknya bengong terlongong longong.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Beberapa saat kemudian, Kim Hoa Popo menghela napas dan berkata: "Soal mati atau hidup tak bisa diketahui manusia. Biarpun kematian belum tentu merupakan suatu kejadian yang menakuti, tapi pada umumnya manusia takut mati. Benar! Manusia tidak bisa meminta secara paksa. Pada akhirnya, satu hari semua manusia akan mati. Akan tetapi, jika bisa hidup satu hari lebih lama, orang lebih suka hidup satu hari lebih lama!"
Melihat sikap dan perkataan si nenek yang lemah-lembut, hati si bocah jadi tenang tenteram. Sesudah menyaksikan lukanya kelima belas orang dan rasa takutnya Ouw Ceng Goa, Bu Kie menganggap nenek itu sebagai memedi kejam. Tapi sekarang, melihat paras Kim hoa Popo yang penuh kecintaan dan sikapnya yang ramah tamah, ia merasa, bahwa si nenek menyayangnya dengan setulus hati, sehingga dengan demikian rasa takutnya banyak berkurang.
Kisah Pedang Bersatu Padu 5 Pantang Berdendam Serial Tujuh Manusia Harimau (1) Karya Motinggo Boesye Pendekar Lembah Naga 27

Cari Blog Ini