Ceritasilat Novel Online

Kisah Membunuh Naga 15

Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong Bagian 15


"Nak," kata pula nenek itu, "Siapakah ayahmu dan dimana ia sekarang?"
Tanpa tedeng-tedeng, secara ringkas Bu Kie segera memberi jawaban dan menuturkan sebab musabab sehingga dia berada di Ouw tiap kok.
"Kalau begitu kau adalab putera Bu tong Thio Ngohiap," kata Kim hoa Popo dengan suara heran.
"Menurut pendapatku orang itu melukakan kau dengan Hian beng Sin ciang karena dia ingin memaksa kau memberitahukan tempat sembunyinya Cia Sun. Bukankah begitu ?"
"Benar" Jawab Bu Kie. "Dia telah menyiksa aku dengan berbagai cara, tapi aku tetap membungkam."
"Tapi apa kau tahu dimana adanya Cia Sun ?" tanya pula si nenek.
"Kim mo Say ong adalah ayah angkatku." jawabnya "Tapi biar bagaimanapun jua, aku tak akan memberitahukan kepada siapapun jua."
Mendadak si nenek membalik tangannya dan mencekal kedua tangan Bu Kie yang lalu dipijit keras-keras. Si bocah berteriak keras, matanya berkurang kunang. Pijitan itu bukan saja hebat, tapi dari tangan si nenek juga keluar semacam hawa dingin yang menyerang dadanya. Hawa dingin itu berbeda dengea hawa Hian beng Sin ciang, tapi sama hebatnya.
"Anak baik," kata Kim Hoa Popo, "Beritahukanlah dimana adanya Cia Sun" Sesudah kau memberitahukan, aku akan mengusir racun dari tubuhmu dan juga akan memberikan semacam ilmu silat yang tiada keduanya kepadamu."
Sambil menahan sakit, Bu Kie menjawab dengan suara tetap. "Kedua orang tuaku telah mengorbankan jiwa karena tidak mau menjual sahabat. Kim Hoa Popo, apakah kau memandang aku sebagai manusia yang bisa menjual ayah ibunya?"
(Bersambung ke jilid 26) B O E K I E Karya : CHING YUNG Jilid 26 Si nenek bersenyum, "Bagus ! Bagus!", katanya: "Kau sungguh seorang anak yang baik?"
"Popo, mengapa kau tidak menuang air perak kedalam kupingku?" tanya si bocah dengan berani:
"Mengapa kau tidak memaksa aku menelan jarum" Huh huh ! Dulu, waktu masih kecil, aku sudah tak takut segala siksaan. Apalagi sekarang?"
Kim hoa Popo tertawa terbahak-bahak. "Kau sudah besar anak, memang kau sudah besar," katanya.
"Ha ha ha...ho ho ho ..."Sehabis tertawa, ia batuk-batuk, banyak lebih hebat dari biasanya, sehingga si nona cilik menumbuk-numbuk punggungnya dan memberikan sebutir yowan kepada nya.
Sesudah berhenti batuk-batuk, perlahan-lahan si nenek meletakan cekalannya, pada pergelangan tangan Bu Kie yang bekas dicekal terpeta tapak jari tangan yang berwarna ungu-hitam.
Si nona cilik melirik Bu Kin seraya berkata "Lekas menghatur terima kasih kepada Popo yang sudah mengampuni jiwamu."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Bu Kie mengeluarkan suara dihidung. "Kalau segera dibunuh, mungkin sekali aku lebih senang,"
katanya. "Perlu apa menghaturkan terima kasih?"
Alis si nona berkerut. "Kau terlalu kepala batu." katanya. "Sudahlah! Aku tak akan memperdulikan kau lagi." Ia memutar badan, tapi diam-diam ia melirik Bu Kie lagi.
Si nenek bersenyum. "A lee," katanya, "di pulau kita, kau seorang diri, tak punya kawan. Apa tidak baik kalau kita bawa dia kesana, supaya dia bisa menemani kau" Hanya adatnya tidak begitu bagus."
Si nona yang dipanggil "A-lee" menepuk-nepuk tangan dan berkata dengan girang. "Bagus kita bawa dia kesana. Kalau dia membandel, bukankah Popo bisa mencari jalan untuk menaklukinya?"
Mendengar pembicaraan itu, Bu Kie jadi bingung.
Si nenek manggut-manggutkan kepalanya seraya berkata. "Kau ikut aku. Lebih dulu kita cari seorang dan aku ingin melakukan suatu pekerjaan. Sesudah itu, kita pulang ke pulau Leng coa to."
"Tidak! Kamu bukan orang baik-baik." kata Bu Kie dengan gusar.
Si nenek bersenyum. "Kau sungguh goblok," katanya, "Di pulau kami, kau bisa mendapatkan apapun jua. Makanan yang lezat, tempat bermain, pemandangan indah yang belum pernah dilihat oleh mu. Anak baik, sudahlah, kau jangan rewel dan ikutlah Popo."
Tiba-tiba Bu hie memutar badan dan terus lari. Tapi baru dua tiga tindak, si nenek sudah menghadang didepannya. "Nak, kau tak akan bisa melarikan diri." katanya dengan suara lemah lembut. "Ikutilah aku baik-baik, jangan sampai di paksa."
Bu Kie melompat dan kabur kejurusan lain tapi seperti juga tadi, baru setindak dua, Kim Hoa Popo sudah mencegat pula. Dengan gusar Bu Kie meninju. Si nenek mengegos sambil meniup tinja yang menyambar. Di tiup begitu, Bu Kie merasa tangannya seperti disayat pisau.
Sekonyong-konyong terdengar teriakan nyaring. "Bu Kie Koko !" Suara itu ialah suara Yo Poet Hwie yang muncul dari dalam hutan sambil berlari-lari, diikuti oleh ibunya dari belakang.
Melihat Kim Hoa Popo, paras muka Siauw Hu lantas raja berubah pucat. Tapi dengan memberanikan hati, ia berkata dengan suara gemetar: "Popo, kau tidak akan mencelakakan anak-anak kecil bukan ?"
Si nenek mendelik. "Kau masih belum mati?" tanyanya dengan suara dingin, "Jangan campur campur urusanku. Mari... Mari... Aku mau lihat, mengapa kau belum mati."
Siauw Hu sebenarnya berhati tabah. Tapi dalam menghadapi lawan berat dan karena memikirkan keselamatan puterinya, ia sungkan menerjang bahaya.
Maka itu, seraya menarik tangan puterinya, ia mundur setindak. "Bu Kie kemari," katanya dengan suara perlahan.
Baru saja Bu Kie mau bergerak, si nona cilik sudah menjambret lengannya dan menyengkeram jalan darah Sam yang hiat, sehingga separoh badannya tidak dapat berkutik lagi, "Diam!" bentak gadis kecil itu.
Bu Kie kaget, gusar dan heran," Celaka" ia mengeluh. "Ilmu apa yang digunakan perempuan kecil ini
?" Sekonyong-konyong terdengar suara yang nyaring dan tajam. "Siauw Hu, mengapa nyalimu begitu kecil " Mau mendekati, dekatilah!"
Siauw Hu kaget bercampur girang, "Suhu!" teriaknya, tapi tidak mendapat jawaban. Sesaat kemudian, disebelah kejauhan muncul seorang nio kouw (pendeta perempuan) yang mengenakan jubah pertapaan warna abu-abu dan mendatangi dengan tindakan perlahan. Pendeta itu bukan lain dari pada Ciang bunjin Go bie pay, dan di belakang mengikuti dua orang murid.
Bahwa dari tempat yang begitu jauh, ia bisa melihat begitu tegas dan bisa mengirim suara yang begitu nyaring merupakan bukti dari kelihayan pendata tersebut. Biat coat Suthay, yang namanya dikenal oleh
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
semua jago Rimba Persilatan, bukan saja jarang turun gunung, tapi juga jarang menemui manusia. Kalau ia masih menolak untuk menemui seorang berilmu seperti Thio Sam Hong lain tak usah dibicarakan lagi.
Sesudah datang dekat, in ternyata berusia setengah tua, kurang lebih empat puluh lima tahun sedang paras mukanya dapat dikatakan elok hanya sayang kedua alisnya terlalu turun kebawah sehingga muka yang cantik itu agak menyerupai muka setan Tiauw sie kwi (setan penggantungan) diatas panggung wayang.
Siauw Hu menyambut dengan berlutut seraya berkata. "Suhu, apa kau baik ?"
"Belum mampus dirongrong olehmu," jawabnya.
Siauw Hu tidak berani bangun. Mendengar suara tertawa dingin dari Teng Bin Kun yang berdiri dibelakang gurunya, ia segera mengetahui, bahwa kakak seperguruannya itu sudah bicara banyak tentang dirinya di hadapan sang guru. Jantungnya memukul keras dan keringat dingin keluar dari dahinya.
"Nenek itu telah memanggil kau untuk melihat mengapa kau belum mati," kata Biat coat Su thay.
"Pergilah, dekati dia!"
"Baik.. " kata si murid yang lalu bangun berdiri dan menghampiri si nenek. "Kim Hoa Popo," katanya.
"Guruku sudah datang. Jangan kau berlaku galak lagi."
Kim hoa Popo batuk-batuk. Ia melirik Biat coat Suthay dan manggut-manggukkan kepalanya. "Hm!
Kau Ciang bunjin Go bie pay," katanya. "Benar, aku sudah memukul muridmu. Habis, mau apa kau ?"
"Bagus," jawabnya. "Mau pukul, boleh pukul lagi. Biarpun dia mati, tak ada sangkut pautnya denganku."
Hati Siauw Hu seperti disayat pisau, "Suhu!" teriaknya dengan suara parau, sedang air matanya mulai mengucur.
Biat coat Suthay biasanya dikenal sebagai seorang yang selalu mengeloni muridnya, meskipun murid itu berbuat kesalahan. Sekarang, dengan mengeluarkan perkataan itu terang-terangan ia mengunjuk, bahwa ia sudah tidak menganggap Siauw Hu sebagai muridnya lagi.
"Dengan Go bie pay aku tidak mempunyai permusuhan." kata Kim hoa Popo. "Sesudah memukul sekali, cukuplah. A-lee, mari kita pergi !"
Sehabis betkata begitu, perlahan-lahan ia memutar badan.
Melihat cara-cara si nenek yang dianggapnya kurang ajar, Teng Bin Kun yang belum mengenal kelihayan Kim hoa Popo, lantas saja naik darah.
Dengan sekali melompat, ia sudah menghadang di hadapan nenek itu, "Tak tahu adat!" bentaknya.
"Apa kau mau pergi dengan begitu saja, tanpa mengeluarkan sepatah perkataan sopan?" Seraya barkata begitu, ia mencekal gagang pedang dan sikapnya galak sekali.
Tangan si nenek bergerak dan dengan dua jeriji, dia memijit sarung pedang Teng Bin Kun. "Kau mengancam orang dengan besi rongsokkan!" Katanya sambil tertawa.
Teng Bin Kaoen jadi lebih gusar dan lalu menarik pedangnya, tapi heran sungguh, pedang itu tak dapat dihunus.
A lee tertawa geli. "Besi rosokan sudah berkarat," katanya.
Teng Bin kun coba mencabut lagi dangan menambah tenaga, tapi pedang itu tetap melekat pada sarungnya. Ia tak tahu, bahwa karena dipijit, sarung pedang pecah dan melesak kedatam, sehingga badan pedang tergencet keras.
Paras muka Teng Bin kun lantas saja berubah merah. Ia merasa jengah dan tak tahu harus berbuat apa.
Biat coat Suthay maju setindak dengan tiga jari tangan, ia menjepit gagang pedang dan sekali menyentak, sarung itu pecah dan pedangnya terhunus keluar. "Pedang ini memang bukan senjata mustika, tapi juga bukan besi rongsokan," katanya dengan suara mendongkol. "Kim hoa Popo, mengapa kau tidak berdiam di pulau Leng coa to dan menyateroni wilayah Tiong goan?"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Melihat kepandaian nie kouw, si nenek terkejut. "Pendeta itu besar namanya dan ternyata ia memang memiliki kepandaian tinggi," katanya di dalam hati. "Baiklah aku coba menjajal ilmunya."
Ia lantas saja berkata sambil tertawa: "Suami ku sudah meninggal dunia dan di pulau kami, aku merasa sangat kesepian. Maka itu, aku pergi pesiar, kalau-kalau ada seorang hweeshio atau toesu yang cocok untuk dijadikan kawan" dengan berkata begitu menyebut hweeshio dan toesu, ia mengejek Biat coat. Ia seolah-olah mau mengatakan, bahwa sebagai seorang pendeta perempuan, Biat coat Suthay tidak pantas berkelana diluaran.
Paras muka nie kouw itu, yang beradat keras dan tidak pernah guyon-guyog, lantas saja berubah.
Kedua alisnya makin turun kebawah. Sambil mengibas pedang, ia membentak : "Keluarkan senjatamu!"
Semenjak berguru, murid-murid Goe bie belum pernah melihat guru mereka bertempur. Antara ketiga murid itu, adalah Kie Siauw Hu yang sangat berkuatir akan keselamatan sang guru, karena ia sudah menyaksikan kelihayan Kim hoa Popo.
Sementara itu, Bu Kie, yang lengannya dicekal A-lee, sudah coba meronta seraya membentak:
"Lepaskan! Perlu apa kau pegang aku?" A lee melirik Kie Siauw Hu yang kelihatannya ingin bergerak untuk memberi pertolongan. Ia melepas cekalannya dan berkata: "Diam disini. Aku mau lihat apa kau bisa lari."
Mendengar tantangan, Kim Hoa Popo tertawa: "Dulu, ilmu pedang Kwee Siang, Kwee Liehiap, leluhur Goe bie pay, memang telah menggetarkan dunia persilatan," katanya. "Tapi sesudah turun kepada murid dan cucu muridnya, berapa bagian yang masih ketinggalan?"
"Biarpun hanya ketinggalan sebagian, tapi sudah cukup untuk menyapu bersih segala kawanan siluman," jawab Biat coat dengan mendongkol.
Untuk sejenak si nenek mengawasi ujung pedang dan mendadak ia menotol badan pedang lawan dengan tongkatnya. Tentu saja Biat coat tidak mempermisikan pedangnya ditotol begitu rupa. Sekali bergerak, ia sudah menikam pundak si nenek, yang sambil batuk-batut, lantas saja menyapu dengan tongkatnya. Seraya menarik pulang senjatanya, Biat coat melompat dan bagaikan kilat, ia sudah berada dibelakang Kim Hoa Popo. Sebelum kakinya hinggap ditanah, pedangnya sudah menyambar, tapi sinenek sendiri, tanpa memutar badan, sudah berhasil menangkis dengan tongkatnya.
Kedua wanita itu adalah jago jago kelas utama dalam Rimba Persilatan. Baru saja bergebrak tiga empat jurus, mereka mengetahui, bahwa hari itu mereka mendapat lawan setanding. Sekonyong-konyong terdengat suara "trang!" dan pedang Biat coat patah dua. Semua orang, kecuali A-lee, terkesiap. Mereka memandang rendah tongkat si nenek, sehingga mereka menduga, bahwa patahnya pedang adalah akibat Lweekang Kim hoa Popo yang sangat tinggi. Tapi si-nenek dan si-pendeta sama-sama tahu bahwa patahnya pedang itu bukan lantaran keunggulan Lweekang, tapi sebab luar biasanya tongkat itu yang terbuat daripada San ouw kim, hasil laut diperairan pulau Leng coa to.
San-ouw-kim adalah semacam logam istimewa yang merupakan campuran dari beberapa macam logam dan batu karang, sesudah berada di dalam air berlaksa tahun lamanya, logam itu keras dan berat luar biasa, sehingga bisa memutuskan baja dan menghancur leburkan batu.
Karena mengetahui, bahwa patahnya pedang bukan sebab lawannya kalah, maka sebagai seorang yang berkedudukan tinggi, Kim Hoa Popo tidak mendesak. Sambil batuk-batuk, ia menuggu. Di lain pihak, sebab kuatir guru mereka terluka. Kie Siauw Hu dan kedua saudari seperguruannya buru-buru mendekati Biat coat Suthay.
Sementara itu, Ah lee dan Bu Kie sudah bertengkar lagi. Si nona cilik yang sangat nakal tiba tiba mencekal pula peegelangan tangan Bu Kie. "Lihatlah, kau tidak akan bisa terlepas dari tanganku."
katanya. Begitu pergelangan tangannya tercekal. Bu Kie kembali merasa separuh badannya lemas. Ia bingung dan gusar dan lalu coba menendang. A lee mencekal lebih keras sambil mengerahkan Lwee kang, sehingga kaki Bu Kie tidak bisa diangkat tinggi. "Lepas! Mau lepas tidak?" teriaknya.
"Tidak! Mau apa kau?" jawab si nona. Mendadak Bu Kie menunduk dan lalu menggigit tangan A lee.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Aduh!" teriak si nona yang terpaksa melepaskan cengkeramannya, tapi tangan kirinya lalu menyambar muka si bocah. Bu Kie coba melompat mundur, tapi tidak keburu lagi dan mukanya sudah tercakar. Dilain pihak, tangan A lee mengeluarkan darah akibat gigitan.
Kim Hoa Popo tidak menghiraukan kedua anak yang sedang bertengkar itu. Dalam menghadapi lawan berat, ia tak dapat memecah perhatiannya. Dilain saat, sambil melemparkan potongan pedang, Biat coat Suthay berkata "Pedang itu pedang muridku dan ternyata tidak cukup kuat untuk menahan seranganmu."
Seraya berkata begitu, ia membuka sebuah kantong yang tergantung dipudaknya dan mengeluarkan sebatang pedang tua yang panjangnya empat kaki. Sebelum dihunus, dari sarung pedang sudah terlihat sehelai sinar hijau sehingga dapat diduga, bahwa senjata itu senjata luar biasa.
Kim Hoa Popo melirik dan melihat, bahwa pada sarung pedang itu terdapat dua huruf emas huruf kuno yang berbunyi: "Ie thian". Ia terkesiap dan berseru tanpa merasa: "Ie thian kiam!"
Biat coat mengangguk. "Benar, inilah Ie thian kiam!" katanya.
Sesaat itu, dalam otak si nenek berkelebat kata-kata yang sudah lama tersiar di dalam Rimba Persilatan: "Bu lim cie cun, po-to-to-liong, hauw leng thia hee, boh kam poet ciong ie thian poet cut, swee-ie-ceng hong." (Yang termulia dalam Rimba Persilatan, golok mustika Membunuh naga, perintahnya dikolong langit, tiada manusia yang berani tidak menurut, Ie thian tidak keluar, siapa lagi yang berani melawan ketajamannya.) Ia mengawasi senjata mustika itu dan berkata dengan suara yang hampir tidak kedengaran: "Kalau begitu, Ie thian kiam, jatuh kedalam tangan Go bie pay."
"Sambutlah!" bentak Biat coat seraya menotol dada si nenek dengan sarung pedang. Ia menyerang tanpa menghunus ie thian kiam. Kim ho Popo menangkis dengan tongkatnya. Begitu kedua senjata kebentrok, terdengarlah suara "brt!" dan.. loh! tongkat San ouw kiam putus jadi dua potong!
Si nenek kaget tidak kepalang. Sebelum dihunus, Ie thian kiam sudah begitu hebat! Ia mengawasi senjata lawan dan berkata dengan suara perlahan: "Biat coat Suthay, bolehkah aku melihat mata pedang itu?"
"Tidak bisa!" jawabnya dengan suara yang menyeramkan. "Begitu terhunus, pedang tidak boleh dimasukkan kedalam sarungnya lagi sebelum minum darah!"
Untuk beberapa saat, tanpa mengeluarkan sepatah kata, kedua jago betina itu saling mengawasi. Dalam beberapa jurus tadi, mereka sudah mengadu Lweekang yang telah dilatih sela puluhan tahun. Si nenek tahu bahwa tenaga dalam Biat coat masih kalah setingkat dari Lweekangnya, tapi cetek dalamnya ilmu pedang pendeta itu masih belum dapat diukur olehnya. Tapivsebagal pemimpin Go bie pay, ia tentu memiliki kepandaian luar biasa dan ditambah dengan Ie thian kiam, ia sungguh bukan lawan yang enteng.
Memikir begitu, sambil batuk-batuk ia memutar badan dan lalu berjalan pergi seraya menuntun tangan si nona cilik.
Ketiga murid Go bie pay tak tahu, bahwa pedang guru mereka adalah Ie thian kiam yang sudah lama menghilang dari Rimba Persilatan. Mereka hanya merasa girang, bahwa guru mereka sudah memperoleh kemenangan. "Suhu," kata Teng Bin Kun, "Nenek itu tidak bisa melihat gunung Thaysan dan sudah berani bertempur melawan Suhu. Sekarang dia baru tahu kelihayan Suhu."
Biat coat mengawasi murid itu yang coba mengumpaknya. "Di kemudian hari, begitu lekas mendengar suara batuk-batuknya, kamu mesti lekas lekas menyingkir." katanya dengan suara sungguh. Ia mengatakan begitu sebab meskipun berhasil memutuskan senjata lawan, ia tahu bahwa Lweekang nenek itu lebih unggul dari pada tenaga dalamnya. Tadi, waktu ia menotol dengan sarung pedsang, ia menyertai juga dengan tenaga Go bie kioe yang kang yang sudah dilatihnya selama tiga puluh tahun. Tapi tenaga yang hebat itu seperti amblas di dalam lautan dan tubuh si nenek sedikit run tidak bergeming.
Sesaat kemudian, dengan paras muka yang sangat menyeramkan Biat coat berkata. "Siauw Hu kemari!" Ia berjalan kegubuk Ouw Ceng Goe dengan diikuti oleh ketiga muridnya.
"Ibu!" teriak Yo Poet Hwie sambil mengudak ibunya.
Siauw Hu mengerti, bahwa kedatangan gutunya adalah untuk "membersihkan" rumah perguruan dan meskipun ia sangat disayang, kali ini ia tidak bisa terlolos dari hukuman. Maka itu, dengan suara membujuk ia segera berkata kepada puterinya "Tidak boleh, kau tidak boleh masuk. Kau pergilah bermain."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Bu Kie mengawasi masuknya Biat coat kedalam rumah Ceng Gor sambil berkata di dalam hati:
"Perempuan she Teng itu sangat jahat dan dia pasti akan coba mencelakakan Kie Kouwkouw. Peristiwa dimalam itu telah disaksikan olehku dan pihak yang bersalah adalah siperempuan she Teng. Biarlah, kalau dia bicara yang tidak-tidak aku akan maju untuk membela Kie Kouwkouw." Memikir begitu ia lantas saja bersembunyi dibelakang rumah.
Untuk beberapa saat keadaan sunyi-sunyi saja. Akhirnya terdengar suara Biat coat. "Siauw Hu, kau ceritakanlah."
"Suhoo... aku... aku... "
"Bin Kun, coba kau ajukan pertanyaan," memerintah sang guru.
"Su moay, dalam partai kita, apakah bunyinya larangan ketiga ?" tanya Bin Kun.
"Dilarang berjina," jawabnya.
"Benar.. Larangan keenam?"
"Dilarang berpihak kepada orang luar dan mengkhianati rumah perguruan sendiri."
"Apa hukumannya jika orang melanggar larangan itu?"
Siauw Hu tidak menjawab. Ia menengok kepada gurunya dan berkata. "Suhu, dalam hal ini ada sesuatu yang sukar dikatakan olehku."
"Disini tak ada orang luar, kau bicaralah terus terang," kata Biat coat.
Siauw Hu mengerti, bahwa ia sedang menghadapi kebinasaan den sekarang ia tak dapat menyembunyikan apapun jua. Maka itu, ia lantas saja berkata. "Suhu, pada enam tahun berselang, Su Hu telah memerintahkan kami, delapan orang saudara seperguruan turun tangan untuk menyelidiki tempat bersembunyinya Cia Sun. Pada suatu hari, teecu (murid) tiba di Tay su po. Ditengah jalan, teecu bertemu dengan seorang pria setengah tua, usianya kira-kira empat puluh tahun yang mengenakan baju putih. Dia selalu menguntit toecu. Teecu menginap dirumah penginapan, dia turut menginap disitu, teecu makan dia makan, teecu jalan, ia turut jalan. Semula teecu tidak menghiraukannya, tapi belakangan, karena merasa tak tahan, teecu lalu menegurnya. Tapi dia menjawab seperti orang otak miring. Sebab gusar, teecu menghunus pedang lalu menikamnya. Dia tidak membawa senjata, tetapi diluar dugaanku, ilmu silatnya amat tinggi dan dalam dua tiga jurus, dia sudah merampas senjata teecu."
"Dengan bingung, teecu kabur dan diapun tidak mengejar. Pada keesokan paginya, waktu mendusin dari tidur dalam sebuah kamar penginapan, dengan kaget dan heran, teecu mendapat kenyataan bahwa pedang teecu menggeletak disamping bantal kepala. Ketika teecu meninggalkan rumah penginapan itu, orang itu mengikuti lagi. Teecu mengerti, bahwa teecu tidak dapat menggunakan kekerasan dan lalu menegurnya dengam kata-kata yang tajam. Teecu mengatakan, bahwa dia harus mengenal kesopanan dan bahwa partai Go bie pay bukan partai yang boleh dibuat permainan.
Biat coat manggut-manggutkan kepalanya, seperti juga ia menyetujui perkataan murid itu.
Sesudah berdiam sejenak, Siauw Hu melanjut kan penuturannya. "Orang-orang itu tertawa tawa dan berkata: "Ilmu silat seorang yang sudah terpecah menjadi partai ini dan partai itu, dengan sendirinya sudah merosot. Kalau nona suka mengikuti aku, aku akan memperlihatkan bahwa dalam ilmu silat masih terdapat lain dunia yang berbeda dengan dunia mu."
Biat coat Suthay adalah seorang yang sempit pandangannya. Seumur hidup ia mempelajari ilmu silat dengan mengasingkan diri sehingga pengetahuannya mengenai dunia luar sangat terbatas. Mendengar keterangan Siauw Hu, ia lantas saja merasa ketarik dan berkata. "Kalau begitu kau boleh coba mengikuti dia dan coba menyelidiki ilmu apa yang dimilikinya."
Paras muka si murid berubah merah. "Suhu, dia seorang yang belum dikenal, bagaimana teecu bisa mengikutinya ?"
"Aha! Kau benar!" kata sang guru, "Kau segera usir dia bukan?"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Dengan rupa-rupa jalan teecu coba menyingkirkan diri, tapi selalu tidak berhasil," jawabnya
"Akhirnya teecu tertawan..... Teecu bernasib sial sehingga bertemu dengan musuh penitisan yang lampau
..... " Berkata sampai disitu, suaranya makin perlahan.
"Habis bagaimana?" mendesak Biat coat.
"Teecu tidak bisa melawan dan kehormatan teecu telah dirusak olehnya," Jawabnya dengan suara hampir tidak kedengaran. "Ia menilik tee cu dengan sangat keras, sehingga percobaan teecu untuk bunuh diri selalu gagal. Beberapa bulan kemudian, seorang musuhnya menyatroni dan dengan menggunakan kesempatan itu, teecu baru
bisa kabur. Teecu hamil, tapi tidak berani memberitahukan Suhu dan belakangan teecu melahirkan seorang anak perempuan dengan diam diam."
"Apa kautidak berjusta?" tanya sang guru dengan bengis.
"Biarpun mesti mati berlaksa kali, teecu tak akan berani berjusta " jawabnya.
Untuk beberapa lama Biat coat menundukkan kepala. Akhirnya ia berkata. "Kasihan! Siauw Hu, kau sangat tidak beruntung. Dalam hal ini, bukan kau yang bersalah."
Mendengar perkataan sang guru, Teng Kun sangat mendongkol. Ia mendapat lain bukti, bahwa sang guru sangat menyayang adik seperguruan itu. Dengan sorot mata membenci ia melirik Siauw Hu.
Sesudah menghela napas Biat coat bertanya. "Sekarang bagaimana pikiranmu" Apa yang mau dilakukan olehmu ?"
Air mata Siauw Hu mengucur deras. "Atas kemauan ayah, teecu telah ditunangkan dengan In Liok ya dari Bu tong pay," jawahnya dengan suara parau. "Sesudah kejadian itu, pernikahan tak akan dapat dilangsungkan lagi. Teecu hanya ingin memohon permisi Suhu supaya teecu boleh mencukur rambut untuk menjadi pendeta."
Sang guru menggelengkan kepala. "Itupun bukan jalan yang sempurna," jawabnya. "Siapa namanya lelaki itu ?"
Siauw Hu menunduk dan menjawab dengan suara perlahan. "Dia she Yo, namanya Siauw"
Mendadak, mendadak saja, Biat coat mencelat dari kursinya, dengan jubahnya dikibarkan, sehingga meja terlempar.
Bu Kie terkesiap, sedang ketiga murid Go bie pay itupun tak kurang kaget nya.
"Yo Siauw!" teriak Biat coat Suthay, "Apakah dia Yo Siauw, si raja siluman dari agama Beng Kauw, yang menamakan diri sebagai Kong beng Su cia ?" (Kong beng Su cia - Utusan Terang benderang)
"Dia... dia memang orang Beng kauw," jawab Siauw Hu dengan suara gemetar. "Dia..... dia kelihatannya ....... mempunyai.... mempunyai kedudukan tinggi dalam agama itu."
Muka Biat coat merah padam. "Dimana dia?" bentaknya pula, "Aku mau cari dia!"
"Menurut keterangannya, dia bertempat tinggai dipuncak Co bong hong dipegunungan Kun lun san,"
jawabnya, "Tempat tinggalnya itu hanya di beritahukan kepada teecu seorang. Tiada orang lain yang mengetahuinya. Suhu, apa dia musuh partai kita?"
"HMm!" Biat coat mengeluarkan suara dihidung, "Bukan hanya musuh besar dari partai kita, Toa supehmu, Kouw hung Cun cia dan pentolan Kun lun pay, Yoe liong cu, mati karena memedi Yo Siauw."
Siauw Hu ketakutan, tapi dalam rasa, takut itu berecampur dengan rasa bangga. Kouw bong Cu cia dan Yoe liong cu adalah jago-jago Bu lim yang namanya tersohor, Tapi mereka mati karena "dia".
Murid murid Go bie mengetahui, bahwa guru mereka dan Toasupeh Kouw bong Cun cia adalah dua murid terutama dari sang Su Couw, tapi mereka tak tahu, bahwa diwaktu muda, kedua orang itu saling mencinta dan sesudah Kouw bong Cu cia meninggal dunia, barulah Biat coat mencukur rambut.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Biat coat mendongak mengawasi langit dan mulutnya mencaci. "Bangsat Yo Siauw...... sekarang kau jatuh juga kedalam tanganku!" Tiba-tiba ia putar tubuh seraya berkata. "Baiklah! Kau mempunyai banyak kedosaan: menyerahkan diri kepadanya dan melindungi Pheng Hweeshio, berdosa terhadap kakak seperguruan, menjustai guru, diam-diam memelihara anak. Itu semua bisa diampuni olehku. Sekarang aku ingin memerintahkan kau melakukan sesuatu tugas. Sesudah berhasil, kau boleh kembali ke Go bie san dan aku akan mengangkat kau sebagai ahli waris, mewariskan Ie thian kiam kepadamu dan kemudian hari kau akan menjadi Ciang bunjin dari partai kita!"
Semua orang kaget, lebih lebih Teng Bin Kun Yang lantas saja timbul rasa irinya dan menganggap bahwa sang guru sangat memilih kasih.
"Biarpun mesti masuk kedalam lautan api, teecu tak akan menolak perintah Suhu," kata Siauw Hu.
"Tapi karena sudah bercacad, teecu tidak berani memikir untuk menjadi seorang ahli waris."
"Ikut aku!" kata sang guru seraya menarik tangan Siauw Hu dan bertindak keluar. Mereka mendaki sebuah tanjakan dan berhenti diatas sebidang tanah rumput.
Bu Kie tidak mengerti apa maunya pendeta itu. Dengan berdiri di tempat tinggi sesudah mengawasi keempat panjuru, barulah Biat coat menarik tangan Siauw Hu dan bicara dikuping muridnya ini. Apa yang dikatakannya tentu saja rahasia besar, sehingga kedua orang muridnya yang lain tidak diperbolehkan turut mendengar.
Dengan mata tidak berkesip, Bu Kie terus mengawasi mereka. Sesudah menundukkan kepala beberapa lama, Siauw Hu kelihatan menggelengkan kepalanya beberapa kali dengan sikap yang pasti. Bu Kie mengerti bahwa sang bibi telah menolak perintah Biat coat. Sesaat kemudian, si pendeta mengangkat tangan kirinya, tapi tangan itu berhenti diudara dan ia bicara lagi rupanya sedang coba membujuk pula.
Jantung Bu Kie memukul keras. Siauw Hu kelihatan berlutut dan kepalanya tetap digeleng-gelengkan.
Tiba-tiba tangan Biat coat turun menghantam batok kepala muridnya, yang lantas saja roboh terguling.
Hati Bu Kie mencelos... bukan main rasa dukanya.
Sekonyong-konyong terdengar suara tertawa nyaring, suara Yo Poet Hwie yang menubruk punggung Bu Kie. "Aha! Sekarang aku berhasil menangkap kau!" teriak si cilik.
Dengan cepat Bu Kie mencekal tangan si nona dan menutup mulutnya. "Sst! Jangan ribut," bisiknya.
Melihat muka sang kakak yang pucat pasi, si nona jadi kaget dan ketakutan.
Biat coat kembali kerumah Ceng Goe dengan cepat sekali. "Bin Kun, binasakan anak haram itu," ia memerintah. "Jangan tinggalkan bibit penyakit."
Sesudah adik seperguruannya dihukum, biarpun hatinya senang, Bin Kun merasa agak takut.
Mendengar perintah itu, ia segera berjalan pergi untuk mencari Poet Hwie.
Sambil memeluk si none, Bu Kie menyembunyikan diri diantara rumput alang-alang yang tinggi.
Dengan berbisik ia minta supaya Poet Hwi jangan bersuara dan menyerahkan segala apa kepada putusan Tuhan. Untung juga, sesudah mencari cari beberapa lama, Bin Kun tidak ingat kepada rumput tinggi yang bisa digunakan sebagai tempat bersembunyi. Baru saja ia mau menyelidiki terlebih teliti, gurunya sudah mencaci: "Manusia goblok! Anak kecil saja kau tak mampu cari."
Murid Biat coat yang satunya lagi, Pwee Kim Gie namanya, mempunyai hubungan baik dengan Siauw Hu. Melihat kekejaman sang guru ia merasa sangat tak tega. Maka itu, ia lantas saja berkata: "Suhu, tadi kulihat anak itu lari keluar selat." Ia tahu, bahwa jika diberitahukan begitu, sang guru, yang beradat sabaran, tentu tidak mau berabe untuk mencari terlebih jauh. Ia merasa, bahwa sebagai anak yatim piatu yang baru berusia lima enam tahun, Poet Hwie belum tentu bisa hidup terus. Tapi biar bagaimana jua, mati lapar atau mati diterkam binatang buas ada lebih baik daripada mati ditikam Teng Bin Kun.
"Mangapa kau tidak beritahukan sedari tadi?" tanya Biat coat dengan mendongkol. Dengan menggunakan ilmu ringan badan, ia segera berlari-lari keluar selat, dengan diikuti oleh kedua muridnya.
Poet Hwie yang tak tahu, bahwa ia baru saja terlolos dari lubang jarum, mengawasi Bu Kie dengan mata penuh pertanyaan.
Sesudah tindakan ketiga orang itu tidak terdengar lagi, sambil menuntun Poet Hwie, Bu Kie berlari-lari mendaki tanjakan. "Bu Kie Koko, orang jahat sudah pergi semua bukan?" tanyanya sambil tertawa.
"Kau mau mengajak aku bermain-main diatas gunung, bukan?"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Bu Kie tidak menjawab. Melihat Poet Hwie sudah lelah, tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia mendukungnya dan terus lari secepat mungkin kearah Kie Siauw Hu yang menggeletak diatas tanah.
Sesudah dekat, barulah Poet Hwie melihat ibunya. Ia meronta turun dari dukungan Bu Kie dan kemudian menubruk ibunya. "Ibu! Ibu!..,." teriaknya.
Bu Kie buru-buru berlutut dan memeriksa ke adaan sang bibi. Napas Siauw Hu tinggal sekali kali dan batok kepalanya remuk, sehingga biarpun ditolong dewa, ia tak akan bisa hidup terus.
Perlahan-lahan Siauw Hu membuka kedua matanya. Melihat puterinya dan Bu Kie, matanya berlinang air dan bibirnya bergerak. Ia mau bicara, tapi tak sepatah perkataan bisa keluar dari mulut nya. Bu Kie segera mengeluarkan jarum emas dan menusuk jalan darah Sinteng, Gin tong dan Sin wie. Semangat Siauw Hu terbangun dan ia berkata dengan suara lemah: "Aku memohon.... memohon....supaya kau mengantarkan Poet Hwie kepada ayahnya...". Lengan kirinya meraba dada, seperti mau mengeluarkan sesuatu, tapi mendadak ia berkelejat dan menghembuskan napasnya yang penghabisan.
Sambil menangis keras Poet Hwie memeluk jenazah ibunya. "Ibu!...ibu!.... Mengapa kau".... sakit"...."
ia sesambat. Hati Bu Kie seperti disayat ratusan pisau. Ia ingat, bahwa ia sendiri pernah menangis begitu sambil memeluk jenazah kedua orang tuanya. Tanpa merasa, air mata mengalir turun dikedua pipinya.
Sesudah kenyang memeras air mata Bu Kie ingat pesan sang bibi dan segera mengambil keputusan untuk menunaikan tugas itu. Ia hanya tahu bahwa orang itu bertempat tinggal dipuncak Co bong hong, dipegunungan Kun loan san. Ia tak tahu dimana adanya gunung itu yang sebenarnya berada dalam jarak berlaksa li. Dilain saat, ia juga ingat, bahwa sebelum meninggal dunia, sang bibi meraba dada, seperti mau mengeluarkan sesuatu. Ia lantas saja meraba leher Siauw Hu dan mengeluarkan sepotong Kiat (?") pay (lembaran besi) yang atasnya diukir gambar setan yang menyeringai dan mengangkat cakarnya. Pay tersebut digantung dileher Siauw Hu dengan selembar tali.
Bu Kie tak tahu apa adanya benda itu, tapi ia lalu membukanya dan kemudian menggantungnya dileher Poet Hwie. Sesudah itu, ia mengambil cangkul menggali sebuah lubang dan lalu menguburkan jenazah Siauw Hu. Ketika itu karena lelah, Poet Hwie sudah pulas. Waktu si nona cilik tersadar, dengan berbagai akal ia coba membujuknya, antara lain ia mengatakan, bahwa sang ibu telah terbang kelangit dan nanti, sesudah sekian lama akan kembali didunia. Dasar anak kecil, si nona akhirnya dapat juga dilabui.
Malam itu, sesudah masak nasi dan makan secara sembarangan, Bu Kie yang sudah terlalu capai, tidur pulas dengan nyenyak sekali. Pada kepaginya, setelah membuntal pakalan dalam dua buntalan kecil, ia mengajak Poet Hwie untuk memberi selamat tinggal dan memohon keberkahan. Sesudah itu, kedua yatim piatu berjalan keluar dari Oaw tiap kok....
Bu Kie sama sekali tidak bersenjata. Semula ia ingin membawa potongan tongkat San ouw kim, tapi dicari-cari, tidak ketemu dan ia menduga, bahwa potongan senjata itu telah dibawa oleh Teng Bin kun.
Mengenai bekal, ia hanya mempunyai tujuh delapan tahil perak yang diambilnya dari buntalan Kie Siauw Hu. Ia tak tahu di mana adanya Kun lun san. Ia hanya menduga, bahwa gunung itu jauh sekali dan uang sebegitu tentulah sangat tidak mencukupi. Tapi apakah yang dapat diperbuat olehnya"
Sesudah berjalan setengah hari, barulah mereka keluar dari selat Ouw tiap kok. Karena Poet Hwi masih sangat kecil, mereka maju dengan lambat sekali. Sebentar mengaso, sebentar jalan lagi. Pada malam,itu mereka berada di delam hutan dan diantara kegelapan malam, mereka mendengar macam-macam binatang burung hantu. Poet Hwie ketakutan dan mulai menangis keras. Bu Kie juga takut, tapi dalam keadaan, begitu mau tidak mau ia terpaksa harus membesarkan hati. Tiba tiba ia malihat sebuah guha. Hatinya jadi girang benar, dan sambil menuntun Poet Hwie, ia masuk ke dalam guha itu. Dengan kedua tangan ia menekap kuping si nona supaya dia tidak mendengar suara-suara yang menakutkan.
Dengan menahan rasa lapar, haus dan takut, kedua anak itu melewati sang malam. Pada keesokan paginya, Bu Kie mencari bebuahan hutan untuk menangsal perut dan kemudian mereka meneruskan perjalanan. Di waktu magrib, selagi enak-enak berjalan, sekonyong-konyong poet Hwie berteriak dan tangannya menuding sebuah pohon. Bu Kie menengok. Ia terkasiap dan sambil menarik tangan Poet Hwie, ia segera lari. Yang dilihat mereka adalah dua mayat yang menggelantung di pohon itu. Baru saja belasan tombak, kaki Bu Kie tersandung batu dan roboh terguling. Waktu merangkak bangun, dengan memberanikan hati, ia menengok kepohon dan tanpa merasa ia berteriak. "Ouw Sinshe!" Waktu ia menengok, secara kebetulan angin meniup dan mayat itu terputar, sehingga mukanya menghadapi Bu Kie yang segera mengenali bahwa muka itu adalah muka Ouw Ceng Goe. Yang satunya lagi adalah mayat
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
wanita dan dilihat dari pakainnya, dia pasti bukan lain dari pada Ong Lan Kouw. Dalam cuaca yang sudah hampir gelap, pemandangan itu sungguh menyeramkan dan bulu roma Bu Kie bangun semua.
Sesudah bangun berdiri, si bocah berkata di dalam hatinya: "Tidak boleb, aku tidak boleh menjadi seorang pengecut."
Setindak demi setindak, ia maju dan mendekati. Dari sebelah kejauhan ada dilihatnya sinar keemas emasan dipipi kedua mayat itu. Sesudah didekati, sinar itu ternyata keluar dari bunga emas. "Ah! Ouw Sinhe dan Su bo tidak terlolos dari tangan Kim-Hoa popo", ia mengeluh. Kereta yang ditumpangi mereka berada dalam sebuah selokan dalam keadaan hancur, sedang bangkai keledaipun terdapat dalam selokan itu.
Malam itu Bu Kie dan poet Hwie tidur dibawah pohon. Kira-kira tengah malam mereka disadarkan oleh bunyi binatang. Dibawah sinar rembulan, mereka melihat lima enam ekor anjing hutan sedang menggerogoti bangkai keledai. Dengan hati berdebar-debar, buru-buru Bu Kie mendukung Poet Hwie dan memanjat sebuah pohon. Anjing-anjing itu coba mengudak dan kemudian jalan berputar putar dibawah pohon. Sedang beberapa lama beberapa lama, barulah mereka meninggalkan pohon itu dan berpesta pora lagi dengan daging keledai. Pada esokan paginya, barulah kawanan binatang itu berlalu.
Sesudah anjing-anjing itu pergi jauh, Bu Kie baru berani turun. Ia segera membuka tambang dan menurunkan jenazah suami isteri Ouw Ceng Goe. Tiba-tiba terdengar suara "plak" dan dari atas jatuh sejilid buku. Bu Kie segera menyambutnya dan diatas buku itu, buku tulisan tangan, tertulis seperti berikut: "Tok sut Tay coan" (Kitab lengkap mengenai racun).
Bu Kie membalik-balikkan lembaran yang penuh dengan huruf-huruf kecil. Buku itu menjelaskan sifatnya macam-macam binatang beracun, burung beracun, kutu beracun, rumput beracun, dari yang biasa sampai yang aneh aneh. Cara mengganakannya dan cara mempunahkannya. Sesudah memasukkannya ke dalam saku, dia kemudian mengubur jenazah suami-istri Ouw Ceng Goe dengan menumpuk batu-batu tanah dan rumput diatasnya. Sesudah selesai dan memberi hormat dengan berlutut beberapa kali, sambil menuntun tangan Poet Hwie, ia segera meneruskan perjalanannya.
Diwaktu lohor mereka bertemu dengan jalan raya dan tak lama kemudian, mereka tiba disebuah kota kecil. Mereka lalu mencari rumah makan, atau warung untuk menangsal perut. Tapi sungguh heran, semua rumah tiada penghuninya dan kota kecil itu sunyi senyap bagaikan kuburan. Dengan apa boleh buat, mereka berjalan terus.
Waktu itu adalah musim rontok, yaitu musim panen, tapi apa yang tertampak disawah sawah yang tanahnya kering melela hanialah rumput alang alang. Bu Kie bingung karena ia tidak mengerti apa artinya itu semua. Kawan yang satu-satunya, tidak bisa diajak berdamai. Bahwa dengan menahan lapar si noni cilik masih bisa berjalan terus, sudah dapat dikatakan mujur.
Berjalan sampai sore, mereka tiba disebuah hutan. Tiba-tiba Bu Kie melihat mengepulnya asap. Ia merasa girang sekali, sebab sedari keluar dari selat Ouw tiap kok, baru sekarang ia melihat asap yang berarti adanya mauusia. Buru-buru mereka menuju kearah asap itu.
Waktu sudah berdekatan, mereka melihat lima orang lelaki yang pakaiannya compang-camping badannya kurus kering dan mukanya pucat pasi, sedang berduduk disekitar sebuab perapian dan diatas api terdapat sebuah kuali yang apinya bergolak-golak seperti sedang memasak sesuatu.
Begitu melihat Bu Kie dan Poet Hwie, paras muka mereka berubah terang. Dengan serentak mereka berbangkit. "Bagus! Bocah, mari sini!", kata salah seorang sambil menggapai.
"Kami sangat lapar sekali dan ingin meminta sedikit makanan," kata Bu Kie, "Sebagai tanda terima kasih, kami akan memberi sedikit uang perak."
"Kau mempunyai uang" Coba keluarkan," kata yang seorang.
Bu Kie merogoh saku dan mengeluarkan sepotong perak.
Sambil membetot potongan perak itu, dia bertanya. "Mana orang tuamu?"
"Kami hanya berdua, tak mempunyai lain kawan," Jawab Bu Kie.
Kelima lelaki itu tertawa terbahak-bahak dan saling mengawasi satu sama lain.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Karena didorong rasa lapar, Bu Kie melongok kedalam kuali. Begitu melihat, hatinya mencelos karena apa yang dimasak mereka hanialah daun-daun akar, dan sedikit ubi-ubian.
Sambil menyeringai, salah seorang mencekal tangan Poet Hwie dan berkata "Kambing ini gemuk sekali. Malam ini kita bisa makan kenyang!"
"Ya! Yang lelaki bisa ditunda sampai besok." menyambungi kawannya.
Tak kepalang kagetnya Bu Kie. "Kau.... kau..... mau.... makan daging manusia?" tanyanya terputus-putus.
Seorang yang bertuhub jangkung menyeringai dan berkata dengan suara dalam: "Sudah tiga bulan aku tak permih makan nasi. Daripada mampus ada lebih baik makan, daging manusia." seraya berkata begitu, ia menjambret leher Bu Kie.
Bu Kie mengegos, tangan kirinya menangkis, tangan kanannya menepuk pinggang orang itu. Semejak kecil, ia telah belajar silat di bawah pimpinan Kim-mo Say-ong Cia Sun dan kemudiau dia juga mempelajari ilmu silat dari Bu-tong pay. Meskipun selama dua tahun lebih ia tidak berlatih silat karena repot mempelajari ilmu ketabiban, tetapi apa yang sudah dipelajarinya adalah ilmu-ilmu silat kelas satu di dalam Rimba Persilatan. Maka itu, tepukan tersebut, yang cukup hebat untuk merobohkan ahli silat biasa, tentu saja tak dapat ditahan oleh lelaki itu. Tanpa mengeluarkan suara, dia terpelanting tanpa betkutik lagi.
Seorang kawannya menubruk dan coba menancapkan pisaunya kedada Bu Kie. Bagaikan kilat Bu Kie menendang dengan kaki kanannya, dan pisau itu terbang ke tengah udara. Ia menendang dengan tendangan Wan yo Lian hoan toei yang saling susul dan sesudah kaki kirinya mampir dijanggut orang itu yang lantas saja jatuh terjengkang. Sesudah merobohkan dua orang, buru-buru ia menghampiri Poet Hwie yang sudah mulai menangis.
Tiba-tiba ia meresakan angin dibelakangnya dan dua orang menubruk punggungnya. Dengan sekali berkelit, kedua penyerang itu menubruk tempat kosong. Dengan cepat la menjambret leher baju mereka dan lalu menggentuskan kepala mereka. Waktu dilepaskan, mereka roboh dalam keadaan pingsan.
Sekarang hanya ketinggalan seorang saja. Biarpun empat kawannya sudah dijatuhkan, ia kelihatannya tidak merasa jerih dan sambil menghunus golok, io menerjang. Melihat senjata tajam, sedang ia sendiri bertangan kosong Bu Kie jadi keder, tapi dengan mengepos kesana kesini ia berhasil menyelamatkan diri dari tiga bacokan. Dalam bacokan keempat, orang itu menggunakan seantero tenaganya. Dengan cepat Bu Kie berkelit dan ia membacok angin. Apa celaka, karena terlalu bernapsu dan menyerang dengan seluruh tenaga, ia terhuyung dan jatuh terguling. Tanpa menyia nyiakan kesempatan baik, Bu Kie menendang dengan menggunakan ilmu meminjam tenaga sehingga tubuh orang itu terpental dan jatuh kedalam kuali yang airnya bergolak-golak.
Jika Bu Kie diperintah untuk bertempur melawan lima orang itu, ia pasti tak akan berani. Biarpun sedari kecil ia sudah belajar silat, ia masih belum tahu kepandaiannya sendiri. Kalau bukan sedang menghadapi bahaya besar, ia tentu tak akan berlaku nekat. Sesudah merobohkan lima orang itu, ia tercengang dan setelah semangatnya berkumpul kembali, ia merasa sangat girang.
Baru saja hatinya tenteram, tiba-tiba terdengar suara tindakan kaki dan beberapa orang masuk kedalam hutan. Mendengar suara manusia, Poet Hwie yang belum hilang takutnya lantas saja menubruk dan memeluk Bu Kie erat-erat. Begitu melihat orang orang yang mendatangi, Bu Kie jadi girang. "Kan Toaya! Sie Toaya!" serunya.
Ternyata, antara mereka itu yang terdiri dari lima orang, yang satu adalah Kan Ciat dan yang situ lagi Sie Kong Wan bersama dua saudara seperguruannya. Mereka berempat telah disembuhkan Bor Kie waktu terlika akibat pukulan Kim-Hoa Popo. Orang yang kelima adalah seorang pemuda yang barusan kira-kira duapuluh tahun dan berparas angker. Dengan pemuda itu, Bu Kie belum, pernah bertemu muka.
Kan Ciat mengawasi dan berkata. "Saudara Thio, kau juga berada disini" mengapa orang itu?" Seraya menanya, dia menuding kelima orang yang rebah ditanah.
Dengan suara mendongkol, Bu Kie lalu menceriterakan apa yang sudah terjadi. Sebagai penutup ia berkata: "Celaka sungguh! Mereka mau coba makan kami berdua. Untung juga aku berhasil merobohkannya."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Selagi Boo Kie bicara,Kan Ciat mengawasi Poet Hwie dengan sorot mata luar biasa dan berkata dengan suara perlahan: "Lima hari lima malam tak pernah menelan sebutir nasi... hanya gegares kulit pohon dan rumput.... Hmmm! Dagingnya begitu montok ..... " Melihat sinar mata kelaparan, seolah-olah sinar mata anjing hutan yang sangat menakuti, Bu Kie terkejut dan buru-buru ia memeluk Poet Hwie.
"Mana ibunya?" tanya Sie Kong Wan.
"Kie Lie hiap pergi membeli beras," jawab Bu Kie.
Apa mau Poet Hwie menyelak: "Bukan! Ibu telah terbang kelangit!"
Kan Ciat dan Sie Kong Wan menyeringai.
Mereka tahu, bahwa itu berarti Kie Siauw Hu sudah meninggal dunia.
Sie Kong Wan tertawa dingin. "Beli beras?" tanyanya dengan nada mengejek, "jikalau bisa mendapatkan sebutir beras dalam jarak lima ratus li di sekitar tempat ini, kau betul-betul pintar"
Dengan lirikan mata, Kan Ciat memberi isyarat kepada Sie Kong Wan. Tiba-tiba mereka melompat dengan berbareng, Kan Ciat mencekal kedua tangan Bu Kie, sedang Sie Kong Wan memeluk Poet Hwie.
Bu Kie terkesiap. "E-eh Mau apa kamu?", tanyanya.
"Di seluruh Hong yang hu semua manusia kelaparan," jawab Kan Ciat. "Dalam menghadapi kebinasaan, kami harus menolong diri sendiri. Nona itu bukan sanak familimu. Dia dapat menyambung jiwa kami...."
"Manusis celaka!" caci Bu Ka dengan kegusaran yang meluap-luap. "Kamu, manusia-manusia yang menamakan diri sendiri sebagai orang orang Rimba Persilatan, tapi mau melakukan perbuatan terkutuk itu" Sungguh memalukan! Apa kamu tidak merasa malu, menjadi manusia sehina itu?"
Dalam laparnya memang Kan Ciat sudah tidak mengenal malu. Mendengar cacian pedas ia jadi gusar dan lalu menggaplok muka Bu Kie keras. "Binatang! Kaupun akan mengalami nasib seperti dia!"
bentaknya. Bagaikan kalap Bu Kie meronta-ronta, tapi Seng ciu Ka lam adalah seorang ahli sitat dan cekalannya keras bagaikan besi. Kedua suteenya Sie Kong Wan segera mengambil tambang yang lalu digunakan untuk mengikat kedua anak itu.
Sesudah dibelenggu, Bu Kie menghela napas. Ia merasa bahwa hari ini ia akan menyusul kedua orang tuanya di alam baka. Dalam gusarnya, ia merasa menyesal, bahwa ia sudah menolong jiwanya keempat manusia itu.
"Binatang kecil" caci Kan Ciat. "Kau sudah mengobati lukaku dan di dalam hatimu kau sekarang pasti sedang mengutuk aku."
"Manusia hina-dina!" teriak Bu Kie, "Kamu membalas kebaikan dengan kejahatan. Kalau tidak ditolong aku, sekarang kamu sudah berada dilobang kubur."
"Saudard Thio." kata Sie Kong Wan sambil bersenyum senyum, "kau sudah menolong kami dan untuk itu kami merasa berhutang budi. Tapi sekaranq kami sedang menghadapi kebinasaan karena lapar. Kalau mau menolong, kau harus menolong sampai diakhirnya. Dan kamu sekarang sekali lagi kami memerlukan pertolonganmu.
Keganasan Kan Ciat sudah menyeramkan, tapi kekejatnan Sie Kong Wan yang mengunjuk ketelengasannya sambil tertawa-tawa lebih menyeramkan lagi. Bu Kie jadi nekat dan berteriak: "Aku adalah murid Bu tong, sedang adikku muid Go-bie-pay. Kebinasaan kami berdua tidak menjadi soal. Tapi apakah kamu kira lima pendekar Bu-tong dan Biat-coat Sutbay akan menyudahi perbuatanmu dengan begitu saja?"
Kan Ciat terkejut. Ia merasa bahwa ancaman bocah itu bukan ancaman kosong, sebab Butong pay dan Gobie pay memang tidak boleh dibuat permainan.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Tetapi Sie Kong Wan tertawa terbahak bahak. "Kejadian di hari ini diketahui oleh Langit, oleh Bumi, oleh kau dan oleh aku. Bocah! Sesudah kau berada dalam perut kami kau boleh mengatakan kepada Thio Sam Hong."
Kan Ciat turut tertawa dengan sinting. "Kau benar, kau benar," katanya. "Saudara Thio, untuk menolong jiwa, kami sesungguhnya tak dapat berbuat lain." Sehabis berkata begitu, ia berpaling kepada kedua sutenya Sie Kong Wan dan membentak: "Mengapa kamu berdiri seperti patung" Pergi ambil air dan cari kayu bakar!"
Kedua orang itu mengangguk dan lalu berjalan pergi.
"Sie Toaya," kata Bu Kie dengan suara memohon, "jikalau kalian mau juga makan daging manusia, makanlah dagingku saja seorang. Aku memohon supaya kamu suka membebaskan adik kecil itu. Kalau permintaanku dilulusi, biarpun mati aku tak akan merasa menyesal."
"Mengapa begitu?" tanya si manusia she Sie.


Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Karena pada waktu mau menutup mata, ibunya telah meminta pertolonganku supaya aku mengantarkan dia kepada ayahnya," jawab Bu Kie. "Kan Toaya, dengan makan aku seorang kurasa kamu sudah cukup kenyang dan besok kamu bisa membeli kerbau atau kambing untuk dijadikan barang santapan selaajutnya. Kan Toaya, Sie Toaya, ampunilah adikku itu."
Melihat kesatriaan bocah itu, mau tak mau hati Kan Ciat tergerak juga, ia mengawasi Sie Kong Wan dan bertanya: "Bagaimana pikiranmu?"
"Ini soal kecil," jawabnya. "Tapi kalau rahasia ini bocor, dikemudian hari kite berabe sekali. Song Wan Kiauw, Jie Lian Cu dan yang lain-lain tentu akan cari kita. Wan Toako, jika kau mempunyai jalan untuk menghadapi mereka, aku tidak berkeberatan."
"Tak salah", kata Kan Ciat sambil mengangguk. "Aku sungguh tolol. Aku tidak memikir apa yang mungkin terjadi dihari kemudian."
Sesaat itu, seorang Hwa san pay sudah kembali dengan membawa air dikuali. Bu Kie mengerti, bahwa bahaya sudah sangat dekat. "Poet Hwie moay-moay," katanya. "kau bersumpahlah, bahwa kau tak akan menceritakan kejadian dihari ini kepada siapapun jua."
Tapi anak itu yang belum mengerti apapun jua lantas saja menangis keras. Ia sama sekali tidak tahu bahwa kakak itu sedang menawarkan jiwa sendiri untuk menolongnya.
Pemuda yang tidak dikenal Bu Kie, yang parasnya angker, terus duduk ditanah tanpa mengeluarkan sepatah kata. Sekarang Kan Ciat mengawasinya dan berkata: "Cie Siauw Sie, kalau mau turut makan daging kambing, kau harus bekerja."
"Baik," kata pemuda itu sambil mencabut sebilah golok pendek dari pinggangnya. Sesudah menggigit goloknya, ia mengangkat Bu Kie dan Poet Hwie dan lalu berjalan kearah satu sungai kecil, Bu Kie meronta-ronta dan mencaci kalang kabutan, tapi dia tidak meladeni.
Tapi baru saja ia ber jalan belasan tindak, Sie Kong Wan mendadak berteriak: "Cie Siauw Sie! Disini saja!"
Siauw Sie berjalan terus, "Disungai lebih baik," jawabnya dengan suara tidak terang, sebab giginya sedang menggigit golok.
"Disini! Aku kata disini, disini!" teriak pula Sie Kong Wan. Ternyata manusia she Sie itu lihay juga otaknya. Melihat sianar mata dan sikap pemuda itu yang agak luar biasa, ia bercuriga.
Sekonyong konyong Siauw Sia berteriak. "Lekas lari" Ia melepaskan kedua anak itu ditanah dan memotong tambang yang mengikat tangan mereka.
"Terima kasih untuk budimu yang sangat besar," kata Bu Kie seraya menarik tangan Poet Hwie dan lalu lari sekeras-kerasnys.
Sambil berteriak, Kan Ciat dan Sie Kong Wan mengubar. "Tahan!" bentak Siauw Sia sambil menghadang ditengah jalan.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Melibat pemuda itu berdiri dengan sikap angker sambil melintangkan goloknya, kedua manusia itu agak jeri. "Minggir kau!" bentak Kan Ciat.
"kita adalah orang-orang Kangouw yang harus mempunyai rasa kesatriaan," kata Siauw Sia. "Apa kamu tidak merasa malu kalau kamu mencelakakan anak kecil itu?"
"Jangan rewel!" teriak Kong Wan dengan gusar. "Dalam kelaparan, aku akan gegares siapa pun jua."
Ia menggapai kedua suteenya dan berteriak pula: "Ubar mereka!"
Sementara itu, melihat Poet Hwie tidak bisa lari cepat. Bu Kie lalu mendukungnya dan kabur sekuat tenaga. Tapi apa mau dikata, sebagai seorang anak tanggung, ditambah dengan beban yang berat, ia tidak dapat secepat orang dewasa. Sebelum keluar dari hutan itu, mereka sudah dicandak oleh kedua murid Hwa san pay. Buru-buru Bu Kie menurunkan si nona dari dukungan dan dengan nekat ia menyerang kedua pengejarnya. Pukulannya yang pertama ditangkis oleh salah seorang. "Plak!" badannya terhuyung beberapa tindak.
"Bangsat cilik! Lihay juga kau!" bentak orang itu yang merasakan beratnya pukulan si bocah. Dengan berbareng mereka menghunus golok dan berlangsunglah pertempuran ganjil. Dua orang dewasa yang bersenjata mengerubuti seorang anak yang bertangan kosong. Ketika itu, Bu Kie sudah tidak memikiri jiwanya lagi, sambil mengegos dan melompat kian kemari, ia berteriak-teriak menyuruh Poet Hwie lekas-lekas melarikan diri.
Dilain pihak, Siauw Sia pun sudah dikepung oleh Kan Ciat dan Sie Kong Wan. Baru bergebrak beberapa jurus, ia sudah keteter. Selang beberapa jurus lagi golok Ken Ciat mampir dilututnya yang lantas saja mengucurkan darah. Ia mengerti, bahwa dilanjutkannya pertempuran akan berarti kebinasaannya. Maka itu, sesudah menimpuk Sie Kong Wan dengan goloknya, ia melompat dan terus kabur. Sie Kong Wan berkelit dan golok itu jatuh ditanah.
Sambil berlari, Siauw Sia berteriak: "Saudara Thio, jangan takut. Aku pergi untuk mengambil bala bantuan."
Kan Ciat dan Sie Kong Wan lantas saja menyusul kedua kawannya dan dengan mudah mereka menawan pula kedua anak itu, yang lalu diikat lagi kedua tangannya.
Kan Ciat mengawasi Sie Kong Wan dengan mata mendelik. "Orang she Cie itu bukan manusia baik,"
katanya dengan mendongkol. "Bagaimana dia berjalan bersama-sama kamu?"
"Kami kertemu ditengah jalan," jawab Sie Kong Wan. "Siapa tahu dia orang baik atau orang jahat"
Menurut katanya, dia she Cie bernama Tat. Kau jangan percaya omongannya. Sekarang sudah hampir malam. Dari mana dia mau mengambil bala bantuan?"
"Kalau didengar dari suaranya, dia penduduk Hong-yang," menyelak seorang Sutee Sie Kong Wan,
"Biarpun dia membawa semua penduduk kampung, kita tidak usah takut."
"Penduduk Hong-yang?" menegasi Kan Ciat sambil menyeringai. "Ha ha! Jangankan berkelahi berjalanpun mereka sudah tak mampu. Hayolah Aku sudah kuat menahan rasa lapar." Mereka segera kembali keperapian.
Sesudah tertangkap lagi, Bu Kie dihajar babak belur, pakaiannya robek dan isi sakunya terserak ditanah. Tiba-tiba matanya tertumbuk dengan sejilid buku yang kertasnya kuning dan karena di tiup agin, lembaran buku itu terbuka. Buku itu ialah Tok Sui Tay coan milik Ong Lan Kouw. Ia sekarang sudah tidak memikir untuk hidup dan memperdulikan apapun jua.
(Bersambung ke jilid 27) Kisah Pembunuh Naga Jilid 27 Karya Chin Yung (Transriber: Eeyore) Sesudah mikir begini setengah mati, begitutupun tiada jalan hidup, Bu Kie malah jadi tenang. Pada saat pikirannya bersih itulah, secara tidak disengaja matanya melirik pula ke lembaran buku itu, dan secara kebetulan pula halaman yang terbuka adalah bagian rumput2 beracun. Hatinya tertarik juga dan ia
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
lalu membacanya. Pada bagian itu secara jelas diterangkan bentuk, bau warna, sifat dan cara memunahkannya macam rumput2 beracun.
Sesudah membaca beberapa saat, ia menghela napas. Ia ingat, bahwa beberapa detik lagi, ia akan berkumpul dengan roh orang tuanya.
Sekonyong2, waktu melirik kesebelah kiri, matanya tertumbuk pula dengan segundukan rumput yg berwarna sangat menyolok indah, segar dan mengkilap. Mendadak saja, dalam otak nya berkelebat serupa ingatan.
"Apa tak bisa jadi rumput beracun" Menurut buku ini, rumput yg mengandung racun indah warnanya.
Kalauy benar rumput itu rumput beracun, jiwa Poet Hwie moay moay masih bisa ditolong." Pada saat itu ia sudah tidk memikir untuk menyelamatkan jiwa sendiri. Dengan masih mengeramnya racun dingin di dalam tubunya, anmdaikata hari ini ia selamat, paling banyak ia hanya bisa hidup beberapa bulan lagi., Apa yg dipikirnya ialah usahan menolong Poet Hwie, guna memenuhi permintaan mendiang Kie Siauw Hu.
Dengan perlahan ia menggulingkan badan kearah rumput itu. Karena kedua tangannya terikat kebelakang, ia lalu membelakangi rumput itu dan kemudian mencabutnya. Sungguh untung, gerak geriknya itu tidak diperhatikan oelh musuh2nya yg sedang diserang dengan rasa lapar dan tengah memusatkan perhatiannya keapda air yg hamper mendidih. Sekonyong konyong ia melompat bangun dan sambil mengawasi kejurusan larinya Cie Tang ia berseru, "Cie Taoko, banyak sungguh temanmyu!
Tolong! Tolong!" Dengan terkejut, Kan Ciat dan tiga kawannya segera menghunus senjata. Mereka mengawasi kea rah yg diawasi Bu Kie. Dengan menggunakan kesempatan itu, Bu Kie mundur dua tindak dan melepaskan segabung rumput yang dicekalnya kedalam kuali.
Melihat tidak ada manusia, Kan Ciat mencaci" Bangsat! Kau boleh berteriak sekali lagi, sekuatmu!
Tak ada manusia yang akan menolong kau."
"Hayolah, perlu apa banyak2 bicara," kata Sie Long Wan yg sudah merasa tidak sabaran.
"Sie Tonya, aku haus," kata Bu Kie dengan suara memohon. "Tolong berikan semangkok air panas untukku. Sesudah mati, setanku tak akan mengganggu kau."
"Baiklah," jawabnya sambil menyeringai. Ia lalu menyendok semangkuk dari dalam kuali dan mengangsurkannya ke mulut si bocah.
Sebelum mangkok menempel pada bibirnya Bu Kie sudah berseru, "Aduh! Wangi sungguh apa yg dimasak?"
Bu Kie tidak berdusta. Rumput yg tadi di cemplungkannya kedalam kuali tanpa diketahui orang, memang mengeluarkan bebauan sangat harum yg diendus juga oleh Kan Ciat dan kawan2nya. Sesudah kelaparan beberapa hari, bau harum itu membangkitkan napsu makan memperhebat rasa lapar mereka.
Oleh karena begitu, sebaliknya dari memberikan kepada si bocah, KongWan lalu menceguk sendiri
"kuwah" rumput itu. Astaga, benar2 sedap!, katanya ia segera menyendok semangkok lagi dan menghirupnya dengan bernapsu.
Kan CIat mendongkol bukan main. Ia melompat dan merebut mangkok itu lalu digunakan untuk menyendok "kuah" harum dan segera meminumnya. Dengan beruntung ia menghabiskan 3 mangkok penuh. Kedua suteenya Sie Kong Wan pun masing2 minum 2 mangkot. Sesudah menderita kelaparan berhari hari "kuah" yang hangat itu mendatangkan perasaan nyaman dan mereka mengusap usap perut sambil menyeringai. Kan Ciat yang masih merasa tidak puas lalu mengambil rumputnya dari dalam kuali dan sesudah mengunyah cepat-cepat segara menelannya. Diantara mereka tak seorangpun yg menanya dari mana datangnya rumput itu.
"Nah! Sekarang kita boleh bekerja dengan semangat," kata Kan Ciat sambil ketawa lebar. Sinar matanya lanta saja mengeluarkan sorot kepuasan dan dengan mencekal golok, ia menghampiri Poet Hwie.
Melihat rumput itu belum mengeluarkan akibat suatu apa, Bu Kie menarik kesimpulan bahwa rumput tersebut bukan rumput beracun.
"Habislah jiwaku!" ia mengeluh.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Tapi, baru saja Kan Ciat mengkah dua tindak mendadak ia berteriak "aduh!" sambil memegang perut.
Di lain detik, badannya bergoyang goyang dan ia roboh berguling ditanah.
"Kan heng, mengapa kau?" tanya Sie Kong Wan sambil menghampiri dan coba membangunkannya.
Tapi sekali membungkuk, ia tak dapat melempangkan pinggannya lagi! Ia terjungkal kesamping si orang she Kan tanpa berkutik lagi. Dua orang murid Hwa San Pay yang lain bahkan tanpa mengeluarkan suara.
"Oh Langit! Oh Bumi! Terima kasih atas pertolonganmu!" teriak Bu Kie dengna suara parau sedang air mata mengalir turun di pipinya.
Dengan bergulingan ia mendekati dan menjemput golok yg jatuh dari tanan Kan Ciat dan kemudia menggunakannya untuk memutuskan tambang yg mengikat tangan Poet Hwe. Sesudah tangannya bebas si nona lalu coba menolong kakaknya dan ia baru berhasil sesudah melukakan tangan Bu Kie di dua tempat.
Tak usah menceritakan lagi kegirangan kedua anak itu, sesudah berpeluk2an beberapa lama barulah Bu Kie nengok mayak Kan Ciat dan kawan2nya. Ternyata muka mereka berwarna hitam dan otot2 pada menonjol keluar, sehingga kelihatannya menakuti sekali. "Racun bisa mencelakakan manusia, tp jg bisa menolong manusa baik," kata Bu Kie dalam hati. Ia lalu mengambil pulang Tok beot Tay coan dan memasukkannya kedalam saku, dengan niatan untuk mempelajarinya di hari kemudian.
Dengan saling menggandeng tangan, kedua anak itu berjalan keluar dari hutan yg menyeramkan. Baru saja mereka mau mencari jalanan se-konyong2 disebelah timur terlihat obor2 dan tujuh delapan orang yg membawa rupa2 senjata kelihatan mendatangi. Merek ketakutan dan buru-buru menyembunyikan diri di rumput2 tinggi.
Tak lama kemudian reroton itu sudah tiba didekat tempat persembunyian kedua anak itu. Yang berjalan didepat Cie Tat yg membawa tombak panjang. Sambil mengangkat obor tinggi2. Ia berteriak,
"Hei manusia2 binatang! Lekas keluar untuk terima binasa!" Mereka masuk kedalam hutan dan begitu melihat mayat2 itu, mereka kaget bukan main.
"Saudara Thio! Saudara Thio!" teriak Cie Tat, "Dimana kau" Kamu datang untuk menolong kalian."
Sekarang Bu Kie tahu, bahwa kedatangan mereka adalah untuk memberi pertolongan. Hatinya terharu dan dengan air mata berlinang2, ia melompat keluar dari rumput alang2. Dengan menuntun tangan Poet Hwie, ia berlari2 menghampiri rombongan penolong itu.
"Cie Tako! Aku berada disini," serunya.
Cie Tat girang tak kepalang, sambil memeluk si bocah. Ia berkata, "Saudara Thio, jangan diantara anak2, sedangakan diantara orang2 dewasapun jarang terdapat manusia yang mempunyai jiwa kesatria seluhur kau. Aku sungguh berkuatir. Aku kuatir kau sudah menjadi kurbannya manusia2 itu. Tapi orang baik selalu mendapat pembalasan baik." Ia menanyakan cara bagaimana Kan Ciat dan kawan2nya binasa dan Bu Kie lalu memberikan keterangna sejelas2nya. Mendengar it, semua orang merasa kagum dan memuji kepintaran si bocah.
"Berapa saudara ini adalah sahabat2ku sedari kecil," kata Cie Tat. "Hari ini kai menyembelih seekor kerbau dan mereka sedang memasaknya di kelenteng Hong kan-sie. Begitu aku meminta pertolongan, mereka segera mengikut aku. Tapi kami datang terlambat dan sungguh syukur kau sudah bisa menolong diri sendiri." Sehabis berkata begitu, ia segara memperkenalkan sahabat2nya itu. Seorang yg mukanya persegi dan kupingnya lebar she-Thong bernama Ho yang paras mukanya angker, she-Tong bernama Jie yang bermuka hita dan bertubung jangkung, she-Hoa bernama In, dan orang kulitnya bersih adalah kakak beradik sang kaka she gouw bernama Liang, si-adik Gouw Tin dan akhirnya seorang pendeta yg mukanya jelek dan matanya dalam, tp bersinar sangat tajam. "Yang ini adalah Cu Taoke," katanya. "Ia bernama Goan Coang dan sekrang menjadi pendeta di kelenteng Hong kak sie."
Dia "jadi pendeta bebas" menyambungi Hoa In seraya tertawa. "Dia tidak membaca kitab suci, pekerjaannya hanialah minum arak dan daging".
Melihat paras muka Cu Goan Ciang, Poet Hwie ketakukan dan lalu bersembunyi dibelakang Bu Kie.
"Adik kecil, jangan takut," kata si pendeta.
"Aku makan daging, tapi tidak makan daging manusia".
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Hayolah masakan kita rasanya sudah matang," mengajak Thong Ho.
"Siauw moay-moay, mari aku gendong kau," kata Hoa In seraya berjongkok dan sesudah menggendong Peot Hwie, ia seraya berjalan lebih dulu dengan tindakan lebar. Melihat cara2 mereka yg polos dan bebas, Bu Kie merasa girang.
Sesudah berjalan empat lima li, tibalah mereka di sebuah kelenteng. Begitu masuk diruangan sembahyang, hidung mereka segera mengendus bebahuan sedap dari masakan daging kerbau (xp)
"Sudah matang!" seru Gauw Liang
"Saudara Thio, kau tunggu disini," kata Cie Tat. "Kami akan membawa masakan itu kemari.
Bu Kie dan Poet Hwie segera duduk diatas tikar, sedang Cu Goan Ciang dan kawan2 nya masuk kedalam. Beberapa saat kemudian, mereka kembali dengan membawa piring yang penuh daging dan sepoci arak putih. Tanpa menyia2kan tempo, mereka segera makan minum dengan gembira didepan patung Posat.
"Kie Tako," kata Hoa In sambil mengunyah daging, "peraturan agama kita semuanya bagus. Hanya sayang ada larangan makan daging dan ini aku tidak begitu setuju.
Bu Kie terkejut. "Ah! Kalau begitu mereka orang2 Bengkauw," katanya di dalam hati.
"Tujuan dari agama kita adalah berbuat kebaikan dan membasmi kejahatan," kata Cie Tat. "Larangan makan daging hanya merupakan larang yg terakhir. Sekarang ini tak ada beras dan ak ada sayur, apa kita lebih baik mati kelaparan?"
"Cie Taoko benar!" kata Teng Jie sambil menepuk lutut. "Hayo makanlah sepuas hatimu jangan terlalu rewel."
Selagi enak makan tiba2 terdengar tindakan kaki dan pintu depan digedor, Thong Ho melompat bangun, "Celaka! Orang uta Wang gwee datang mencari kerbau," bisiknya.
Pindtu didorong keras2 dan disusul dengan masuknya yang berbadan keras dan muka bengis "Aha!
Benar saja kerbau Wang gwee digegares kamu!" Teriak seseorang melompat dan menyekel tangan Cu Goan Ciang.
"Pendeta bangsat!" cacai yg satunya lagi "Kami akan menyerahkan kamu kepada tiekoan supaya dihajar mampus."
Cu Goan Ciang tertawa. "Kalian jangan menuduh sembarangan," katanya. "Mana bisa jadi aku mencuri kerbau" Sebagai seorang pertapaan aku tak boleh makan daging."
"Apa itu bukan daging kerbau?" bentak seorang sambil menuding sisa makanan.
Sambil memberi isyarat kepada kawan2nya dengan lirikan mata, Cu Goan Ciang tertawa pula seraya berkata. "Siapa kata itu daging kerbau." Selagi si pendeta memberi jawaban Gouw Liang dan Gouw Tin berjalan kebelakang kedua tukang pacul itu dan dengan sekali membentak, mereka melompat mencekal tangan kedua orang itu, yg tidak dapat berkutik lagi.
Sambil mencabut pisau panjang dari pinggangnya, si pendeta berkata, "Untuk bicara sebenar2nya, yg dimakan kami bukan daging kerbau, tapi daging manusia. Sekarang rahasia sudah diketahui kamu. Maka itu, untuk menutup mulut kamu, jalan satu2nya ialah makan jg dagingmu," sehabis berkata begitu, ia membuka baju salah seorang dan menggorehkan pisaunya didada orang.
Kedua tukang pukul itu ketakutan setengah mati dan lalu me-mohon2 ampun. Si pendeta bersenyum.
Ia menjemput dua potong daging dan lalu memasukkan kedalam mulut mereka. "Telan!" bentaknya.
Tanpa mengunyah lagi, mereka segera menelannya.
Sesudah itu Cu Goan Ciang pergi ke dapur dan mengambil secekel bulu kerbau yg juga lalu dimasukkan kedalam mulut kedua tukan pukul itu "Telan!" bentaknya pula. Karena takut mati, sambil berjengit2 mereka terpaksa menurut perintah.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Goan Ciang tertawa terbahak2. "Nah sekarang kamu boleh mengadu kepada majikanmu." Katanya.
"Kamu boleh melaporkan, bahwa yg gegaras kerbanya ialah kamu. Huh huh!... di hadapan pembesar negeri, aku akan balas menuduh kau. Aku akan menuntut supaya perutmu dibelek. Semua orang akan lihat, bahwa kamu bukan saja sudah gegares dagingnya, tp jg sudah menelan bulu kerbau!" Seraya berkata begitu, ia menggoreskan pula pisaunya dipunggung orang itu yg menggigil karena ketakutan.
Kedua saudara Gouw tertawa berkakakan. Dengan berbareng mereka menendang pantat, kedua tukang pukul itu yang lantas saja terpental keluar dari ruangan sembahyang.
Setelah kaki tangan Thio Wan-gwe diusir, mereka melanjutkan makan minum. Sambil menangsal perut, mereka membicarakan kekejamanan hartwan itu yang sering sekali berbuat sewenang2 terhadap penduduk kampung. Kali ini kedua tukang pukul itu membentur tembok dan mereka pasti tidak berani memberi laporan kepada majikannya. Bu Kie merasa geli dan kagum. "Biarpun mukanya jelek, pendeta she Cu itu lihay sekali," pikirnya.
Dalam makan minum itu, kawan2 Cie Tat memperlakukan Bie Kie bukan seperti anak2 biasa. Setelah mendengar kesatriaan si-bocah yang rela mengorbankan jiwanya sendiri untuk menolong sesama manusia, mereka menghormati anak itu yg dianggapnya sebagai seorang sahabat yg berharga.
Sesudah makan kenyang, tiba2 Teng Ji menghela napas. Hai! Sudah lama sekali bangsa Han ditindas oleh penjajah asing," katanya.
"Sampai kapan bencana kelaparan ini baru bisa lewat?"
"Hampir separuh penduduk Hong yang sudah mati kelaparan," kata Hoa In. "Kurasa dilain tempat pun keadaan tidak lebih baik. Daripada mati konyol, lebih baik kita mengadu jiwa dengan Pat-cu," (Pat cu "
Orang Mongol yang pada waktu itu berkuasa di Tiongkok).
"Benar!" teriak Cie Tat. "Sungguh kecewa jika sebagai laki2 sejati tidak bisa menolong sesama manusia yg memerlukan pertolongan."
"Tak salah," menyambungi Tong Ho. "Kita pun tengah menghadapi kebinasaan. Hari ini kita bisa makan kenyang karena berhasil mencuri kerbau. Apa besok kita bisa mencuri lagi?"
Makin bicara mereka makin sengit dan makin hebat mencaci penjajah.
"Sudahlah!" kata Cu Cian Ciang. "Kita mencaci Tat Cu disini, tapi selembar rambut Tat Cu tidan bergeming. Jika kau benar-benar lelaki tulen, mari kita membunuh Tat Cu!"
Dengan serentak Thong Ho dan yang lain2 melompat bangun. "Bagus! Mari" ,mari?"?".."teriak mereka.
"Cu Taoko," Cie Tat "Kau berusia paling tua dan semua bersedia untuk mendenar segala perintahmu."
Coa Cian Ciang tidak menolak, "Mulai hari ini kita sama2 hidup dan sama2 mati," katanya. "Ada rejiki sama2 makan ada bahaya sama2 tanggung." Mereka mengangkat cawan lalu meneguk kering isinya. Sesudah itu, mereka menghunus golok membacok ujung meja sebagai sumpah setia kawan.
Poei Hwei yg tak tahu apa artinya itu semua, jadi ketakutan dan memeluk Bu Kie.
"Thay suhu memesan supaya aku tidak bergaul dengan orang2 Beng Kauw," kata Bu Kie dalam hati.
"Tetapi perbuatan beberapa orang Beng Kauw seperti Siang Goe Goen Taoko, Cie Taoko dan kawan2nya, banyak lebih mulia daripada sepak terjang manusi2 seperti Kan Ciat dan Sie Kong Wan yang menjadi anggota dari partai2 jurus bersih". Thio Sam Hong adalah orang yang paling dihormatinya. Tapi sekarang sesudah mendapat pengalaman pahit getir, di dalam hati kecilnya ia merasa, bahwa pandangan orang tua itu tidak tepat seluruhnya. "Tapi biar bagaimana jua, aku tidak dapat melanggar pesanan Thay suhu," pikirnya.
"Seseorang gagah tidak menjilat ludah sendiri." Kata Cu Coan Ciang. "Sekarang sesudah makan kenyang, kita boleh lantas bertindak. Hari ini Thio Wan gwee mengadakan pesta dalam gedungnya untuk menjamu Tat-cu. Mari kita binasakan mereka!"
"Bagus!" teriak kawan2nya
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Tahan dulu!" kata Cie Tat yang lalu menggambil keranjang kecil dan mengisinya dengan daging kerbau. Kemudian sambil mengangsurkan keranjang itu kepada Bu Kie, ia berkata
"Saudara Thio, kau masih terlalu kecil dan tidak bisa mengikuti kami. Kami tak punya apapun jua dan hanya memberikan daging ini kepada kalian. Kalau masih hidup, dibelakangan hari kita masih bisa bertemu pula dan bisa makan minum lagi bersama sama seperti hari ini."
Bu Kie menyambuti keranjang itu dan berkata dengan suara terharu.
"Aku mengharapkan kalian bisa segera berhasil membinasakan dan mengusir semua Tat Cu, supaya rakyat dikolong dunia bisa hidup senang."
Mendengar perkataan itu, Cu Goan Ciang dan kawan2nya merasa terkejut.
"Saudara Thio apa yang dikatakan olehmu benar sekali," kata pendeta itu.
"Sampai bertemu lagi," sehabis berkata begitu, dengan menenteng senjata bersama lawan2nya, ia segera meninggalkan Hong-kak-sie.
"Kalau tidak membwa anak kecil, akupun akan turut mereka," kata Bu Kie di dalam hati.
"Mereka hanya bertujuh orang dan mereka pasti tak kan bisa melawan kaki tangan Thio Wan Geew Tat Cu yang berjumlah besar. Mungkin sekali orang2 Thio wan Geew akan menyerang kesini. Kelenteng ini akan berbahaya, memikir begitu dengan membawa keranjang daging dan menuntun tangan Poet Hwie, ia segera meninggalkan kelenteng Hong Kak Sie.
Sesudah jalan lima enam lie, disebelah utara mereka melihat sinar api yang berkobar kobar Bu Kie mengerti bahwa kebakaran itu akibat serangan Cu Gian Ciang dan kawan2nya dan ia merasa girang.
Penderita kedua anak itu suka ditutukan satu persatu. Untung juga mungkin karena kedua orangtuanya adalah ahli2 silat, Poet Hwie mempunya benda yang kuat sehingga ia dapat bertahan dalam perjalanan yang penuh kesengsaraan itu. Kadang2 ia "masuk angin" tapi begitu diberi obat, yaitu rambut2 yg dipetik Bu Kie, ia sudah sembuh kembali.
Dengan berjalan sambil sebentar2 berhenti untuk mengaso, di dalam suatu hari paling banyak mereka bisa melalu duapuluh li. Kira2 setengah bulan barulah mereka tiba di wilayah propinsi Ho Lam, yang keadaannya tidak lebih baik dari propinsi Anhui. Diamna mana mereka bertemu dnegan rakyat yg kelaparan.
Untuk menyambung jiwa Bu Kie membuat busur dan anak panah guna memanah burung2 dan binatang2 kecil. Dengan mengandalkan ilmu silatnyam, ia berhasil dalam usaanya itu. Demikianlah, biarpun sengsara mereka masih bisa maju teus sehari kenyang,s ehari lapar. Syukur juga, disepanjang jalan mereka tidak pernah bertemu dengan tentara Mongol atau penjahat2 yg berkepandaian tinggi.
Bangsat2 kecil yang mau coba menggangu dengan mudah dapat dirobohkan oleh Bu Kie.
Pada suatu hari mereka bertemu dengan seorang kakek dan dalam omong2 Bu Kie menanyakan dimana letaknya puncah Co Bong Hong, gunung Kun Lun San.
Kakek itu kelihatannya kaget sekali. Dengan mata membelah ia mengawasi Bu Kie dan beberapa saat kemudia, barulah ia berkata, "Saudara kecil, dair sini ke Kun Lun San orang harus melewati perjalanan lebih dari sepuluh laksa li. Menurut katanya orang, hanya Tong Ceng (Tong taycie) yang pernah melewati gunung itu. Saudara kecil jangan kau memikir yang tidak2. Dimana rumahmu" Lekas pulang!"
Bu Kie terkejut. "Kalau begitu jauh, aku terpaksa membatalkan perjalanan kesitu dan paling baik aku pergi ke Bu-Tong san untuk berdiam2 dengan Thay suhu," katanya di dalam hati. Tapi di lain saat, ia mendapat pikiran lain. "Sesudah menerima baik permintaan orang, biarpun sukar, tak bisa aku mundur ditengah jalan. Apapula waktu hidupku sudah tidak berapa lama lagi. Jika aku berayal dan kuburu mati, sehingga aku tak dapat memenuhi janji di alam baka, tak ada muka untuk menemu Kie KouwKouw."
Memikir begitu, tanpa bicara lagi dengan si kakek, ia menarik tangan Poet Hwie dan lalu meneruskan perjalanan.
Sesudah berjalan kurang lebih dua puluh haru lagi, pakaian mereka sudah rombeng semua. Sebab kurang makan, muka mereka makin pucal dan badan makin kuru. Penderitaan Bu Kie bahkan ditambah
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
dengan rewelnya si adik yang sering2 menangis dan memanggil2 ibunya. Dengan rupa2 akal, ia membujuk anak itu yg dicintainya seperti saudara kandung sendiri.
Sesudah menyeberang sungai Cu ma ho, bahwa udara jadi semakin dingin, karena pada wkatuitu sudah masuk permulaan musim dingin. Dengah hanya menggenakan pakaian tipis, terutama diwaktu malam, mereka serin gmenggigil kedinginan. Satu ketuika, sebab melihat Poet Hwie bergemetaran hebat, Bu Kie membuka bajunya dna memberikannya kepada si adik.
"Bu Kie koko, apa kau sendiri tidak dingin?" tanya Poet Hwie.
"Tidak aku malah kepanasan." Jawabnya sambil melompat2 supaya darah mengalir lebih cepat dan badannya jadi lebih hangat.
"Kau sungguh baik!" kata si adik dengan suara perlahan. "Kau sendiri kedinginan, tapi kau menyerahkan bajumu kepadaku". Mendengar perkataan itu, gerakan dari seorang dewasa, Bu Kie tercengang.
Sesaat itu, tiba2 terdengar suara bentrokan senjata, dengan suara tindakan kaki. "Bangsat!" teriak seorang wanita "Kau kena paku Seng-bun-teng yang beracun, makin kau lari, makin cepat bekerjanya racun".
Buru-buru Bu Kie menarik tangan Poet Hwie dan melompat kedalam rumput alang2 yang tumbuh di pinggir jalan. Hampir berbareng, seorang lelaki yg berusia tiga puluh tahun lewat bagaikan terbang, sedang beberapa tombak di belakangnya mengikut seorang wanita ygn tangannya mencekal sepasang golok., Walaupun larinya cepat, tindakan lelaki itu limbung dan mendadak ia roboh terjengkang.
Wanita itu menghampiri dan berkata sambil tertawa. "Bangsat! Akhirnya kau jatuh jg kedalam tanganku."
Sekonyong2 diluar dugaan, lelaku itu melompat bangun dan menghantan dengan dua tangannya. "Plak!"
pukulannya mengenai tepat di dada si wanita. Pukulan yg dikirim dengan nekat hebat luar biasa, sehingga wanita itu lantas saja terguling, sedang sepasang goloknya terlempar ditanah.
Dengan napas tersengal sengal, lelaki itu mencabut sebatang paku dari pundaknya. "Keluarkan obat pemunah!" bentaknya.
"Kau bunuh saja aku!" kata si wanita. "Ku tak punya obat pemunah"
Sambil menempelkan ujung golok, yg dicekal di tangan kiri, dileher wanita itu, lelaki itu lalu menggeledah saku orang dengan tangan kanannya. Benar saja ia tak mendapatkan apa yg dicarinya.
Wanita itu tertawa dingin, "Waktu Suhu memerintahkan kami untuk menangkap kau, ia telah memberi senjata rahasia beracun, tapi tidak membekali obat pemunah", katanya. "Sesudah jatuh kedalam tanganmu, aku tak memikir untuk hidup. Tapi kaupun jangan harap bisa ketolongan."
Lelaki itu gusang tak kepalang. Dengan geregetan ia menancapkan Song-bun-teng beracun di pundak orang dan membentak, "Kau juga harus turut merasakan enaknya paku ini! Kamu, orang2 Kun-lun-pay?"
Ia tak dapat meneruskan perkataannya dan roboh ditanah.
Wanita itu mencoba merangkak bangun, tapi lukanya terlalu hebat dan "uah!" ia memuntahkan darah.
Demikianlah kedua musuh itu, yang sama2 terluka berat, rebah dengan napas memburu.
Sesusah mendapat pengalaman pahit dair manusia2 seperti Kan Ciat dan kawan2nya, Bu Kie sekarang sangat hati2 terhadap orang2 Kang-ouw. Ia terus menyembunyikan diri dan tak berani keluar.
Sesaat kemudian, lelaki itu menghela napas dan berkata, "Hari ini aku Souw Hie Cie binasa di Cu-ma-tiam tanpa tahu apa kesalahan terhadap Koe Leon Pay. Celaka sungguh. Benar2 aku mati penasaran.
Ciam Kouw Nio, bolehkah aku memohon keteranganmu?"
Wanita itu adalah seorang she Ciam bernama Cun. Ia tahu, bahwa paku Song-bun-teng dari gurunya mengandung racun yang amat hebat dan mereka berdua akan binasa bersama sama. Mengingat itu ia terduka sangat dan berkata dengan suara perlahan. "Siapa suruh kau mengintip waktu guruku sedang berlatih ilmu pedang. It pit kiam sangan dirahasiakan oleh Su Hu. Jangankan orang luar sedangkan
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
muridnya sendiri bisa dikorek kedua biji matanya, kalau murid itu berani melihat latihannya tanpa permisi."
"Ah!" Souw Hie Cie mengeluarkan suara tertahan dan kemudian mencaci. "Bangsat! Tua bangka sudah mau mampus!"
"Kurang ajar kau!" bentak Ciam Cun, "Sedang ajalmu sudah hampir tiba, kau masih berani mencaci guruku".
"Kalau aku mau mencaci, mau apa kau?" kata Hie Cie dengan gusar. "Apakah aku tidak mempunyai alasan untuk merasa penasaran" Waktu lewat di Pek-goe-san, secara tidak sengaja, kulihat gurumu sedang bersilat dengan menggunakan pedang. Sebab merasa ketarik, aku berhenti dan menonton. Apakah aku mempunyai kepintaran yang luar biasa, sehingga sekali melihat aku sudah bisa memahami Leong heng It pit kiam" Andaikata aku memiliki kecerdasan yang begitu tinggi, kamu semua beberapa murid Kun leon pay, sudah pasti takkan bisa mengalahkan aku. Ciam Kow nio, aku ingin memberitahukan kau secara terang2an, bahwa menurut pendapatku, gurumu, Thie kim Sian seng adalah manusia yang pandangannya terlalu sempit dan jiwanya terlampau kecil. Andaikata " ciam Kouwnio, andaikata benar aku sudah berhasil mencuri satu dua jurus dari Liong heng It pit kiam, kedosaanku tidaklah begitu besar, sehingga aku mesti menerima hukuman mati".
Ciam Cun tak bisa mengeluarkan sepatah kata. Dalam hati kecilnya, ia pun merasa, bahwa sang guru terlalu kecil jiwanya. Begitu lekas mengetahui, bahwa pemuda itu telah mencuri lihat latihannya, ia segera memerintahan enam muridnya, untuk mengubui dan membinasakan "pencuri" itu, sehingga sebagai akibatnya mereka berdua menghadapi kebinasaan bersama sama. Cian cun yakin, bahwa pengakuan pemuda itu yang diberikan pada saat hampir menghembuskan napas yang penghabisan, sudah pasti bukan keterangan justa.
Suaw Hie Cie menghela napas dan berkata lagi. "Dia telah memberikan senjata rahasia beracun kepadamu, tapi tidak membekali obat pemunahnya. Dalam rimba persilatan, mana ada orang begitu gila"
Bangsat?" "Souw Toako," kata Ciam Cun dengan suara halus, "Siaow moay merasa menyesal, bahwa siauw moay telah mencelakakan kau. Bagus juga sebagai hukuman siaw moay akan mengantar kau pulang ke alam baqa. Inilah yang dinamakan nasib. Apakah yang siauw moay merasa lebih menyesal ialah dalam peristiwa ini, siauw moay menyeret toaso dan putra putrimu".
"Istriku sudah menutup mata pada dua tahun berselang dengan meninggalkan dua anak, satu laku dan satu perempuan," kata Souw Hie Cie. "Besok mereka akan jadi anak yatim piatu"
"Apakah dirumahmu masih ada orang lain yang bisa merawat anak2 itu?" tanya nona Ciam.
"Mereka dirawat oleh nsoku (nsoku " istri kakak lelaki)." Jawabnya. "Nao hebat adanya dan licik sifatnya., Sebegitu lama aku masih hidup, ia masih takuti aku. Hai! Mulai besok kedua anakku itu akan sangat menderita."
Ciam Cun yang berhati lembek lantas saja mengucurkan airmata. "Ini semua adalah karea gara2ku"
katanya dengan suara parau.
"Tapi kau tidak boleh disalahkan," kata Hie Cie. "Kau telah menerima perintah gurumu dan kau tidak dapat menolak perintah itu. Kaupun tidka mempunyai permusuhan apapun jg denganku. Sebenar2nya, sesudah kena senjata beracun, aku harus menerima nasib. Perlu apa aku memukul kau dan juga melukakan kau dengan senjata beracun" Andai kata aku tidak berbuat begitu, sebagai seorang yang berhati mulia kau tentu tidak nolong melihat2 kedua anakku yang bernasib buruk itu."
Nona Ciam tertawa getir. "Aku adalah penjahat yang membinasakan kau," katanya. "Bagaimana kau bisa menamakan aku sebagai seorang yang berhati mulia?"
"Aku tidak menialahkan kau, benar2 akut tidak menialahkan kau," kata Hie Cie.
Demikianlah kedua orang yang tadi bertempur matian dan saling berusaha untuk mengambil jiwa pihak lawan, sekarang saling menghibur!
Sesudah mendengar pembicaraan itu, Bu Kie merasa bahwa mereka bukan manusia jahat. Dalam hatiny lantas saja timbul rasa kasihan, lebih lagi terhadap Souw Hie Cie yang mampunyai dua anak yang
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
masih mengeluarkan rawatan. Mengingat penderitaannya sendiri sebagai yatim piatu rasa kasihannya jadi lebih besar dan sambil menarik tangan Poet Hie ia segera bertidak keluar dari alang2.
Andai aku bisa memutar kembali
Waktu yang t"lah berjalan
"Tuk kembali bersama didirimu slamanya
Bukan maksud hati membawa dirimu
Masuk terlalu jauh Ke dalam kisah cinta yang tak mungkin terjadi
Dan aku tak punya hati untuk menyakiti dirimu
Dan aku tak punya hati "tuk mencintai
Dirimu yang s"lalu mencintai diriku
Walau kau tahu diriku masih bersamanya
(Transriber: YinYekSin) ================ Apakah yang Siauw Moay merasa lebih menyesal ialah dalam peristiwa ini, Siauw Moay menyeret toaso dan putra putrimu". "Isteriku sudha menutup mata pada dua tahun berselang dengan meninggalkan dua anak, satu lelaki dan stu perempuan," kata Souw Hie Cie. "Besok, mereka akan jadi anak yatim piatu".
"Apakah di rumahmu masih ada orang lain yang bisa merawat anak-anak itu?" tanya nona Ciam.
"Mereka dirawat oleh nsoku (nsoku " isteri kakak lelaki)," jawabnya. "Nso hebat adatnya dan licik sifatnya. Sebegitu lama aku masih hidup, ia masih takuti aku. Hai! Mulai besok kedua anakku itu akan sangat menderita".
Ciam Cun yang berhati lembek lantas saja mengucurkan air mata. "Ini semua adalah karena gara-garaku" katanya dengan suara parau.
"Tapi kau tidak boleh disalahkan," kata Hie Cie. Kau telah menerima perintah gurumu dan kau tidak dapat menolak perintah itu. Kaupun tidak mempunyai permusuhan apapun juga denganku. Sebenar-benarnya, sesudah kena senjata beracun, aku harus menerima nasib. Perlu apa aku memukul kau dan juga melakukan kau dengan senjata beracun" Andai kata aku tidak berbuat begitu, sebagai seorang yang berhati mulia kau tentu bisa nolong melihat-lihat kedua anakku yang bernasib buruk itu".
Nona Ciam tertawa getir. "Aku adalah penjahat yang membinasakan kau," katanya. "Bagaimana kau bisa menamakan aku sebagai seorang yang berhati mulia?"
"Aku tidak menialahkan kau, benar-benar aku tidak menialahkan kau," kata Hie Cie.
Demikianlah kedua orang yang tadi bertempur matian dan saling berusaha untuk mengambil jiwa pihak lawan, sekarang saling menghibur!
Sesudah mendengar pembicaraan itu, Bu Kie merasa bahwa mereka bukan manusia jahat. Dalam hatinya lantas saja timbul rasa kasihan, lebih lagi terhadap Souw Hie Cie yang mempunyai dua orang anak yang masih mengeluarkan rawatan. Mengingat penderitaannya sendiri sebagai anak yatim piatu rasa kasihannya jadi lebih besar dan sambil menarik tangan Poet Hie ia segera bertindak keluar dari alang-alang.
"Cian Kouwhio, racun apa yang digunakan pada senjata rahasia itu?" tanyanya.
Melihat munculnya kedua anak itu, Hie Cie dan Ciam Cun merasa heran. Dan mendengar pertanyaan Bu Kie, mereka jadi lebih heran lagi. "Aku mengerti sedikit ilmu pengobatan dan luka kalian mungkin sekali bukan tidak dapat diobati," kata pula Bu Kie.
"Akupun tak tahu racun apa yang digunakan," jawab nona Ciam. "Lukanya tidak sakit, tapi gatal bukan main. Menurut katanya Suhu, orang yang kena Sung-bun teng hanya bisa hidup dalam tempo empat jam."
"Bolehkah aku periksa luka kalian?" tanya Bu Kie.
Tapi manakah mereka percaya bocah itu bisa mengobati luka beracun" Dengan pakaian robek, badan kurus kering dan muka pucat Bu Kie dan Poet Hwie kelihatannya seperti pengemis kecil. "Sudahlah, kau jangan rewel. Pergilah! Jangan mengganggu kami."
Bu Kie tidka meladeni. Ia menjemput paku Sun-bun teng dari atas tanah dan mengendus bau harum dari serupa bunga anggrek.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Dalam hari-hari yang belakangan setiap mempunyai tempo yang luang, Bu Kie selalu membaca dan mempelajari Tok-but Tay coan peninggalan Ong Lan Kouw. Dalam kitab itu berisi keterangan lengkap mengenai ribuan macam racun itu yang aneh-aneh dan cara mengobatinya. Maka itulah begitu mengendus bau racun itu, ia segera mengetahui bahwa yang melekat pada paku Song-bun teng adalah racun bunga To-lo hijau. Bau bunga itu sebenarnya berbau amis sehingga orang dapat memakannya sebanyak mungkin tanpa bahaya apapun jua. Tapi begitu lekas bercampur darah, peti bunga itu lantas saja berubah menjadi racun yang sangat hebat, sedang baunya yang amis juga berubah menjadi harum. "Inilah racun bunga To-lo hijau," kata Bu Kie.
Ciam Cun memang tidak tahu racun apa yang digunakan pada paku itu, tapi ia tahu, bahwa dalam taman bunga gurunya ditanam banyak sekali pohon bunga To-lo hijau.
"Eh, bagaimana kau tahu?" tanyanya dengan heran. Bunga To-lo hijau adalah tumbuh-tuimbuhan yang langka dan hanya terdapat di wilayah Barat (See-hek). Di daerah Tionggoan sebegitu jauh belum pernah terdapat pohon bunga tersebut.
Bu Kie manggut-manggutkan kepalanya. "Aku tahu" katanya sambil menarik tangan Poet Hwie dan berkata pula. "Hayolah, kita pergi."
"Saudara kecil," kata nona Ciam cepat. "Jika kau bisa mengobati, tolonglah jiwa kami berdua."
Bu Kie memang ingin menolong, tapi mendadak ia ingat perbuatan Kan Ciat dan Sie Kong Wan, sehingga ia mengambil keputusan untuk membatalkan niatnya itu.
"Tuan kecil," kata Souw Hie Cie, "Mataku tidak berbiji dan aku tidak bisa mengenali seorang pandai.
Kuharap kau sudi memaafkan."
"Baiklah!" kata Bu Kie. "Aku akan mencoba-coba." Seraya berkata begitu ia menotok jalan darah Tan-tiong-hiat di iga kiri dan kanan untuk meringankan rasa sakitnya Ciam Cun dibagian dada akibat pukulan Souw Hie CIe. "Bunga To-lo hijau baru menjadi racun kalau bercampur dengan darah,"
menerangkan Bu Kie. "Sekarang aku minta kalian saling menghisap luka itu untuk membuang racun yang sudah bercampur dengan darah."
Hie Cie dan Ciam Cun merasa jengah. Tapi untuk menolong jiwa, mereka segera menyampingkan perasaan malu dan lalu melakukan apa yang dikatakan si bocah.
Sementara itu, Bu Kie sendiri lalu mencari tiga macam daun obat yang lalu dihancurkan dan diborehi diluka itu. "Tiga macam rumput ini dapat menahan bekerjanya racun," ia menerangkan. "Sekarang mari kita pergi ke kota untuk mencari rumah obat. Aku akan menulis surat obat guna menyembuhkan luka kalian."
Souw Hie Cie dan Ciam Cun girang tak kepalang. Begitu diborehi daun obat, luka mereka yang semula gatal bukan main, lantas saja adem rasanya dan kaki tangan mereka pun tidak begitu kaku lagi dan dapat digerakkan. Tak henti-hentinya mereka menghaturkan terima kasih. Mereka segera mematahkan ranting pohon dan dengan menggunakannya sebagai tongkat, mereka berjalan kejurusan barat dengan mengajak Bu Kie dan Poet Hwie.
Sambil berjalan Ciam Cun menanya siapa guru Bu Kie, tetapi si bocah sungkan memberitahukan dan mengatakan saja, bahwa sedari kecil ia memang sudah mengerti ilmu pengobatan. Sesudah berjalan satu jam lebih, mereka tiba di kota See-ho-tiam dan sesudah mendapat kamar di rumah penginapan, Bu Kie lalu menulis surat obat dan menyuruh seorang pelayan untuk membelinya.
Tahun itu daerah Holam barat tidak kena bencana kelaparan dan keadaan kota See-ho-tiam masih seperti biasa. Sesudah obat dibeli, Bu Kie lalu memasaknya dan memberikannya kepada Souw Hie Cie dan Ciam Cun. Tiga hari menginap dalam penginapan itu dan setiap hari si bocah menukar obat. Obat makan dan obat pakai. Pada hari keempat semua racun yang mengeram dalam tubuh Hie Cie dan Ciam Cun sudah dapat diusir.
Tentu saja mereka merasa sangat berterima kasih. Mereka menanyakan ke mana kedua anak itu mau pergi dan Bu Kie lalu memberitahukann bahwa tujuan mereka adalah puncak Cu-bong heng di pegunungan Kun-lun-san.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Souw Toako," kata si nona. "Jiwa kita ditolong oleh saudara kecil ini. Ta[o urusanmu masih belum dapat diselesaikan. Kelima kakak seperguruanku masih terus mencari-cari kau dan kalau bertemu dengan mereka, kau bisa celaka. Apakah kau suka mengikut aku pergi ke Kun-lun-san?"
Hie Cie kaget. "Ke Kun-lun-san?" ia menegas.
"Benar," jawabnya. "Kita berdua menemui guruku dan memberitahukan, bahwa kau tidak mencuri ilmu pdang Liung heng It-pit-kiam, sejuruspun kau tidka mampu. Dalam urusan ini sebegitu lama guruku belum menyudahi, jiwamu selalu masih berada dalam bahaya."
Hie Cie merasa sangat mendongkol. "Kun-lun-pay terlalu menghina orang," katanya. "Secara kebetulan aku hanya melihat gurumu bersilat untuk sekejap mata, tapi untuk kesalahan yang sebenarnya bukan kesalahan hampir-hampir jiwaku melayang. Ah! Benar-benar keterlaluan."
"Souw Toako," kata nona Ciam dnegan suara lemah lembut. "Cobalah kau piker kesukaran Siauw Moay dalam hal ini. Kalau kau saja yang memberitahukan Suhu pasti tak percaya dan Siauw Moay akan mendapat hukuman. SIauw Moay dihukum tak menjadi soal. Tapi jika kelima saudara seperguruanku sampai salah tangan dan mencelakakanmu8, Siauw Moay tentu akan merasa tidak enak sekali."
Sesudah menghadapi kematian bersama-sama dan setelah bergaul beberapa hari, dalam hati kedua orang muda itu sudah timbul perasaan yang wajar, yaitu perasaan cinta. Mendengar bujukan si nona yang sangat beralasan, kegusaran Hie Cie lantas saja mereda. Di dalam hati iapun mengakui kebenaran perkataan Ciam Cun. Sebegitu lama persoalan ini belum dapat diselesaikan langsung dengan Thie Khim Sianseng, sebegitu lama jiwanya terancam bahaya.
Melihat Hie Cie masih membungkam, nona Ciam berkata pula. "Begini saja. Sekarang kau ikut aku ke Kun lun san. Sesudah itu, jika kau mempunyai urusan penting yang harus diselesaikan, Siauw Moay akan menemani kau untuk membereskannya. Bagaimana pikiranmu?"
Hie Cie jadi girang. "Baiklah," katanya. "Tapi apakah gurumu akan percaya keteranganku?"
"Suhu sangat menyayang aku," jawab si nona. "Kalau aku memohon, ia pasti takkan mencelakakan kau."
Mendengar perkataan-perkataan nona Ciam, Hie Cie segera mengetahui, bahwa gadis itu sudha jatuh cinta kepadanya. Diam-diam ia bergirang dan merasa sangat beruntung. Ia berpaling kepada Bu Kie seraya berkata, "Saudara kecil, mari kita ke Kun lun san beramai-ramai. Di jalan kita takkan merasa kesepian."
"Kun lun san ribuan mil panjangnya dengan puncak-puncak yang tak terhitung beberapa banyaknya,"
kata Ciam Cun. "Aku sendiri tak tahu di mana letak Cu-bong-heng. Tapi kita bisa menyelidiki perlahan-lahan dan aku merasa pasti, kita akan dapat menemukannya."
Pada keesokan harinya, Hie Cie menyewa sebuah kereta untuk Bu Kie dan Poet Hwie sedang ia sendiri bersama nona Ciam mengikuti dengan menunggang kuda. Setibanya di sebuah kota besar, Ciam Cun membeli pakaian baru untuk kedua anak itu. Sesudah menukar pakaian yang pantas, Bu Kie berubah menjadi seorang anak tanggung yang berparas tampan dan angker, Poet Hwie seorang gadis cilik yang ayu dan jelita. Sesudah dapat makan dan ngaso cukup, perlahan-lahan badan mereka menjadi lebih gemuk.
Makin hari hawa udara makin dingin. Dengan melindungi Hie Cie dan Ciam Cun, perjalanan berlangsung dengan licin, tanpa menemui halangan apapun jua. Sesudah tiba di Seek hek Kun-lun yang besar dan angker itu berada di depan mata. Mereka berjalan terus dengna banyak derita, karena harus melalui gurun pasir dalam hawa udara yang sangat dingin.
Pada suatu hari, mereka tiba di Sam seng youw (Lembah tiga malaikat) dari Kun lun san. Begitu masuk di dalam lembah, mereka melihat pohon-pohon luar biasa dan mengendus bau harum yang tak kurang anehnya. Souw Hie Cie, Bu Kie dan Poet Hwie merasa kagum bukan main. Mereka tak pernah menduga, bahwa di lembah itu terdapat pemandangan yang sedemikian indah seolah-olah di dalam surga.
Di samping itu, hawanyapun tak begitu dingin, karena gunung-gunung yang mengitarinya menahan masuknya hawa dingin.


Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dahulu, pendiri Koe-lun pay yaitu Ciok Too yang bergelar Kun-lun Sam-seng telah menggunakan tempo bertahun-tahun untuk memperindah lembah itu yang belakangan dikenal sebagai Sam-seng youw.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Ia memerintahkan murid-muridnya pergi ke berbagai tempat di sebelah barat sampai di India untuk mencari pohon-pohon dan pohon-pohon bunga yang aneh-aneh untuk ditanam di lembah tersebut.
Sesudah melewati lembah tersebut Ciam Cun lalu mengajak mereka ke Thia khimkie tempat tinggalnya Thiem khim Sianseng Ho Thay Ciong. Begitu masuk, ia bertemu dengan beberapa saudara seperguruan yang paras mukanya mengunuk rasa bingung dan ketakutan. Mereka mengunjuk dan tak mengeluarkan sepatah kata Ciam Cun kaget. "Ada apa?" tanyanya dalam hati.
Sambil menarik tangannya seorang adik seperguruan ia bertanya. "Apa Suhu ada?"
Sebelum Sumoay itu menjawab, ia sudah mendengar cacian gurunya yang memaki sambil menepuk-nepuk meja. "Semua tong nasi," teriaknya. "Belum pernah ada pekerjaan yang diurus beres oleh kamu?"
"Suhu lagi keluar adatnya," bisik nona Ciam kepada Souw Hie Cie. "Kita jangan nubruk paku. Besok saja kita menjumpai beliau".
Tapi sebelum mereka keburu mengundurkan diri, tiba-tiba Ho Thay Ciong berseru. "Apa Cun-jie"
Mengapa kau tidak lantas menghadap kepadaku" Ada apa kau kasak kusuk" Apa kau sudah mengambil kepalanya bangsat Souw itu?"
Paras muka Ciam Cun lantas saja berubah pucat. Buru-buru ia masuk dan berlutut di hadapan gurunya.
"Cun Jie, apakah kau sudha menunaikan tugasmu?" tanya sang guru.
"Orang she Souw itu sekarang berada di luar," jawabnya dengan suara gemetar. "Dia sengaja datang kemari untuk meminta ampun. Dia mengatakan bahwa dia seorang tolol dan secara tidak sengaja dia sudah menonton waktu Suhu berlatih. Tapi dia kata, kiamhoat kita sangat tinggi, sehingga meskipun sudah melihatnya, dia tidak mendapat keuntungan jua dan setengah juruspun tak dapat menirunya."
Sebagai seorang murid yang sudah lama berguru, Ciam Cun mengenal adapt sang Suhu yang merasa sangat bangga karena kepandaiannya sendiri. Oleh karena begitu, ia sengaja mengemukakan rasa kagum Souw Hie Cie terhadap kiamhoat Kun-lun-pay. Si nona mengharap supaya dalam girangnya dan sang guru akan mengampuni pemuda ini.
Dalam keadaan biasa, mungkin sekali Hou Thay Ciong akan menerima "topi tinggi" itu dengan segala senang hati. Tapi hari itu ia sedang murung tak dapat digembirakan dengan pujian belaka. Sambil mengeluarkan suara dihidung, ia berkata. "Bagus! Kau telah bekerja baik sekali. Penjarakan orang she Souw itu dalam kamar batu di gunung belakang. Aku akan menjatuhkan hukuman belakangan."
Melihat gurunya sedang marah-marah, nona Ciam tidak berani banyak bicara. "Baiklah," katanya sesudah berdiam sejenak, ia bertanya. "Apa para Subo baik" Aku ingin pergi ke belakang untuk memberi hormat." (Subo-istrinya guru)
Ciam Cun sudah menggunakan istilah "para Subo" karena Ho Thay Ciang mempunyai tak kurang dari lima istri-gundik dan yang paling disayang olehnya adalah gundik yang kelima. Untuk menolong jiwa Souw Hie Cie, si nona berniat pergi menemui Subo kelima itu untuk meminta pertolongan.
Di luar dugaan, begitu mendengar pertanyaan muridnya, paras Ho Thay Ciong lantas saja berubah sedih dan sesudah menghela napas panjang ia berkata. "Memang ada baiknya jika kau pergi menemui Ngo-kouw. Dia sakit berat. Untung kau pulang siang-siang sehingga masih keburu bertemu muka dengannya."
Nona Ciam terkejut. "Ngo-kouw sakit" Sakit apa?" tanyanya.
Sekali lagi sang guru menghela napas. "Sungguh bagus kalau kutahu sakit apa," katanya.
"Sudah tujuh tabib yang terkenal pandai di undang olehku, tapi tak satupun yang tahu dia sakit apa.
Sekujur badannya bengkak"hai!...." Ia menggelengkan kepala dan berkata lagi dengan suara mendongkol.
"Aku mempunyai begitu banyak murid, tapi tak satupun yang berguna. Aku memerintah mereka pergi ke gunung Tiang-pekpsan untuk mencari Loo-san Jie-som, tetapi sesudah pergi dua bulan, seorangpun belum pulang. Aku menyuruh mereka pergi mencari Soat-lian. Sie ouw dan lain-lain obat penolong jiwa semua kembali dengan tangan kosong."
Ciam Cun mengerti bahwa sang guru mengeluarkan kata-kata itu hanya untuk melampiaskan kedongkolannya. Untuk pergi ke Tiang pek san, orang harus melalui perjalanan berlaksa li.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Mana bisa mereka pulang cepat-cepat" Andaikata mereka sudah tiba di gunung itu, belum tentu mereka berhasil mencari Loo san " Jie som. Mengenai Soat-lian, Sie-ouw dan lain-lain obat mujijat, sekalipun dicari selama seratus tahun, belum tentu orang bisa berhasil. Memikir begitu, ia rasa bingung dan berkuatir akan keselamatan Souw Hie Cie, Ho Thay Ciong menyayangi gundiknya yang kelima seperti menyayangi jiwa sendiri. Kalau nyonya itu tidak dapat disembuhkan, dia tentu akan menumplek kedongkolannya di atas kepala orang lain. Tapi si nona tidak berani mengeluarkan sepatah kata.
Untuk sekian kalinya, Ho Thay Ciong menghela napas. "Dengan menggunakan Lweekang aku telah memeriksa pembuluh darahnya, tapi sedikitpun aku tidak menemui sesuatu yang luar biasa katanya.
"Huh, huh! Kalau jiwa Ngo kouw tidak tertolong, aku akan memampuskan semua tabib goblok dalam dunia ini!"
"Coba kutengok padanya," kata Ciam Cun.
"Baiklah mari sama-sama," jawab sang guru.
Mereka lalu pergi ke kamar nyonya muda itu. Begitu masuk, si nona mengendus bau obat-obatan yang sangat keras. Ia menyingkap kelambu dan melihat Subo rebah di ranjang dengan muka seperti Tie Pat Kay (Siluman babi), matanya kecil dalam seolah tidak bisa dibuka lagi. Napasnya tersengal-sengal bagaikan alat penutup api.
Ngo kouw adalah seorang wanita yang sangat cantik. Kalau tak cantik manakah Ho Thay Ciong menyayanginya" Tapi sekarang mukanya seperti mukanya memedi yang menakuti. Melihat begitu Ciam Cun juga menghela napas.
"Panggil tabib-tabib goblok itu!" bentak Ho Thay Ciong.
Seorang nenek yang menjadi pelayan dalam kamar si sakit, lantas saja keluar dan beberapa saat kemudian, ia kembali bersama tujuh orang tabib yang masuk dengan diiringi suara berkerincingnya rantai besi. Ternyata, mereka diikuti satu sama lain dengan rantai besi dan dilihat dari muka mereka yang pucat pasi, mereka pasti sudah banyak menderita. Mereka adalah tabib-tabib ternama di propinsi Su-coan, In lam dan Kam siok, yang telah diundang, dengan baik atau dengan paksa, oleh murid-muridnya Ho Thay Ciong. Tapi tak satupun dapat menyembuhkan, gundik yang disayang itu. Bukan saja tak dapat menyembuhkan, bahkan pendapat mereka mengenai sebab musebab penyakit itu pun berbeda. Ho Thay Ciong telah mengancam bahwa jika Ngo kouw mati, ketujuh "tabib-tabib goblok" itu akan dikubur hidup-hidup. Mereka sudah memeras otak dan memberi macam-macam obat, tapi penyakit Ngo kouw tidak jadi mendingan. Setiap kali memeriksa penyakit nyonya itu, mereka tidak habis-habisnya dan saling menialahkan. Yang satu menuduh yang lain sebagai manusia goblok. Kali ini tidak berbeda. Sesudah memeriksa nyonya itu, mereka segera tarik urat.
Ho Thay Ciong jadi gusar dan ia mencaci sambil berteriak-teriak.
Mendadak, serupa ingatan berkelabat dalam otak Ciam Cun. "Suhu," katanya, "Dari Holam teecu membawa seorang tabib, yang biarpun usianya masih muda, kepandaiannya banyak lebih tinggi daripada tabib-tabib itu."
Sang guru girang. "Mengapa kau tidak memberitahukan terlebih siang," katanya tergesa-gesa.
"Lekas"lekas undang padanya."
Nona Ciam segera keluar dari kamar dan tak lama kemudian, ia kembali bersama Bu Kie. Begitu melihat wajah Ho Thay Ciong, Bu Kie segera ingat bahwa orang tua itu adalah salah seorang yang sudah turut merekan, sehingga kedua orang tuanya membunuh diri. Mengingat peristiwa hebat itu, darahnya lantas saja naik.
Tapi Thie Kim Sianseng sendiri tentu saja tidak mengenalinya. Sesudah berselang beberapa tahun, muka si bocah sudah banyak berubah. Dengan perasaan ia mengawasi Bu Kie yang baru berusia kira-kira lima belas tahun. Rasa sangat itu bercampur juga dengna rasa mndongkol karena si bocah bukan saja tidka menjalankan peradatan dengan berlutut, bahkan sikapnya tawar dan agung-agungan. Tapi ia tidak menghiraukan semua itu. "Apa dia tabib yang dipujikan olehmu?" tanyanya sambil mengawasi muridnya.
"Benar," jawab si nona. "Saudara kecil in mempunyai kepandaian yang sangat tinggi."
Ho Thay Ciong mengeluarkan suara di hidung. Ia tak percaya.
"Waktu teecu kena racun bunga To-lo hijau saudara kecil inilah yang mengobati teecu," menerangkan Ciam Cun. Sekali ini sang guru terkesiap. Racun bunga To lo hijau adalah racun yang sangat lihai
Pendekar Super Sakti 12 Pendekar Guntur Lanjutan Seruling Naga Karya Sin Liong Pendekar Kidal 15

Cari Blog Ini