Ceritasilat Novel Online

Kisah Membunuh Naga 22

Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong Bagian 22


Berpikir begitu, ia memutar badan dan turun ke bawah mendekati nona.
"Aku punya bahan api, tapi tak punya lilin," kata si pelayan kecil, "Kalau dinyalakan sebentar tentu sudah padam kembali."
"Tunggu dulu," kata Bu Kie sambil berjalan maju dengan perlahan. Sesudah berjalan beberapa puluh langkah, mereka tiba di ujung terowongan. Mereka meraba-raba, mendadak tangan Bu Kie menyentuh tahang kayu. "Ada jalan," katanya dengan girang dan memukul hancur tahang itu dengan kedua tangannya.
Isi tahang yang menyerupai tepung, jatuh berhamburan. Ia mengambil sepotong papan dan berkata,
"Coba nyalakan api."
Nona kecil itu lalu mengeluarkan baja pencetus api, batu api dan sumbu. Dengan cepat ia membuat api dan menyulut potongan kayu itu. Mendadak api itu menyala di potongan kayu yang lantas saja terbakar, sedang hidung mereka mengendus bau belerang. Mereka terkejut.
"Bahan peledak!" seru si nona seraya mengangkat tinggi-tinggi potongan kayu yang sudah menyala itu. Mereka lantas saja mendapati kenyataan bahwa isi tahang itu ternyata bahan peledak yang berwarna hitam. Si nona tertawa dan berkata dengan suara pelan. "Bila barusan letusan api menyambar ketumpukan bahan peledak itu, hwee-shio jahat yang berada di luar akan turut binasa bersama-sama kita." Seraya berkata begitu, ia menengok ke arah Bu Kie yang tengah mengawasinya dengan mata membelalak.
"Mengapa?" tanyanya tertawa.
"Ah"Kalau begitu, kau"kau"sangat cantik," kata Bu Kie.
Si nona tertawa geli sambil menutup mulutnya dengan sebelah tangan. "Karena kaget aku melupakan samaranku," katanya. Ia meluruskan pinggangnya dan ternyata bahwa ia bukan saja tak bongkok tapi juga tak pincang.
Dengan sinar mata yang terang, alis yang kecil bengkok, hidung mancung dan lekuk pada pipinya, ia seorang wanita yang sangat ayu. Hanya sebab masih berusia muda dan tubuhnya belum cukup besar maka kecantikannya itu, ia kelihatannya masih kekanak-kanakan.
"Memang kau menyamar begitu?" kata Bu Kie.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Siocia sangat membenci aku," jawabnya. "Dengan melihat romanku jelek, ia merasa senang. Tanpa menyamar, aku tentu sudah mati."
"Mengapa ia mau nyawamu?" tanya pemuda itu pula.
"Sebab ia selalu curiga," sahutnya. "Ia kuatir aku akan membunuh ia dan Looya."
"Gila!" kata Bu Kie, "Tadi waktu ia sudah tidak bisa bergerak, kau mencekal pedang tapi kau tidak mencelakai dia. Mulai dari sekarang ia pasti tak akan curiga lagi."
Si nona tertawa kecil. "Dengan membawa kau kemari, Siocia tentu akan lebih curiga lagi," katanya.
"Tapi sudahlah! Perduli apa dia curiga atau tidak. Masih belum tentu, apa kita bisa keluar dari tempat ini."
Dengan bantuan sinar obor, mereka ternyata berada di tempat yang menyerupai kamar batu di mana terdapat alat-alat senjata, busur dan anak panah yang sudah berkarat. Senjata-senjata itu rupanya disediakan untuk melawan musuh. Dinding di sekitar ruangan itu tertutup rapat. Sekarang mereka tahu bahwa Goan-tin sudah sengaja batuk-batuk untuk memancing mereka ke jalan buntu.
"Kongcu, namaku Siauw Ciauw," kata si nona memperkenalkan diri. "Kudengar Siocia memanggil Bu Kie Koko kepadamu. Kalau tak salah, namamu Bu Kie. Benarkah begitu?"
"Benar," jawabnya. "Aku she Thio"." Mendadak ia mengingat sesuatu. Ia mengambil sebatang tombak yang beratnya kira-kira empat puluh kati. "Bahan peledak ini mungkin bisa menolong kita," katanya,
"Bukan mustahil kita akan bisa menghancurkan batu besar itu."
"Bagus, bagus!" seru Siauw Ciauw seraya menepuk-nepuk kedua tangannya. Tepukan tangan itu diiringi dengan suara kerincingan rantai.
"Rantai ini mengganggu gerakan tangan dan kakimu," kata Bu Kie. "Sebaiknya diputuskan saja."
"Jangan!" cegah si nona. "Looya bisa marah besar."
"Aku tak takut. Katakan saja akulah yang memutuskannya," kata Bu Kie. Sehabis berkata begitu sambil mengerahkan Lweekang, ia membetot rantai yang mengikat pergelangan tangan Siauw Ciauw.
Rantai hanya sebesar batang sumpit dan tenaga betotan tak kurang dari tiga ratus kati. Tapi sungguh heran, rantai itu tidak bergeming dan hanya mengeluarkan suara "aung".
Bu Kie heran. Ia membetot lagi dengan menambah tenaga, tapi tetap tidak berhasil.
"Rantai ini memang sangat aneh, tak dapat diputuskan walaupun dengan menggunakan senjata mustika," kata Siauw Ciauw. "Anak kuncinya berada dalam tangan Siocia."
Bu Kie manggut-manggutkan kepalanya. "Kalau kita bisa keluar, aku akan minta anak kunci itu,"
katanya. "Ia tak akan memberikannya," kata si nona.
"Tapi aku percaya, ia akan meluluskan permintaanku," kata Bu Kie. "Hubunganku dengannya bukan hubungan biasa." Sehabis berkata begitu, dengan membawa tombak ia pergi ke bawah batu besar. Untuk beberapa saat ia berdiri dan memasang kuping, suara nafas Goan-tin sudah tidak terdengar lagi, rupanya ia sudah pergi jauh.
"Mungkin kita tak bisa menghancurkan batu ini dengan satu ledakan," kata Bu Kie yang dengan menggunakan ujung tombak lantas saja mulai membuat lubang di celah antara batu besar dan lantai terowongan. Ia kemudian mengisi lubang itu dengan bahan peledak dan memukul-mukulnya dengan kepala tombak supaya menjadi padat. Sesudah itu, ia menabur segaris bahan peledak dari lubang terus ke ruangan bawah. Garis bahan peledak itu hendak dijadikan semacam sumbu untuk peledakan.
Sesudah beres, Bu Kie lalu mengambil obor dari tangan si nona yang buru-buru menekap kuping dengan kedua tangannya. Dengan berdiri menghadang di depan Siauw Ciauw, Bu Kie segera menyulut
"sumbu" itu. Api menyala dan bagaikan kilat menyambar ke lubang yang berisi bahan peledak.
Dunggg!...Hawa panas menyambar, ruangan itu bergoncang! Bu Kie terhuyung dua langkah sedang
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Siauw Ciauw jatuh terjengkang. Obor padam dan asap memenuhi ruangan itu. Sambil membangunkan si nona, Bu Kie bertanya, "Siauw Ciauw, apa kau terluka?"
"Aku"aku"taka pa-apa," jawabnya. Mendengar suara yang terputus-putus seperti orang bersedih, Bu Kie merasa heran. Waktu obor sudah dinyalakan lagi, ia melihat mata si nona mengembang air. "Kau kenapa?" tanyanya.
"Thio Kongcu," sahutnya, "Kau belum pernah mengenal aku, tapi"tapi mengapa kau begitu baik terhadapku?"
"Apa?" tanya Bu Kie dengan rasa heran.
"Mengapa kau menghalangi aku?" kata Siauw Ciauw. "Aku adalah seorang budak yang kedudukannya sangat rendah. Kau"kau seorang yang mulia. Mengapa kau melindungi aku dengan menghadang di depanku?"
Pemuda itu tersenyum. "Kau seorang wanita dan adalah sepantasnya saja jika aku berusaha untuk melindungi keselamatanmu," katanya. Melihat asap sudah mulai menghilang, ia naik lagi ke atas untuk memeriksa hasil ledakan. Ternyata batu raksasa itu tidak bergeming dan hanya somplak di satu sudut.
Dengan perasaan gelisah ia berkata, "Untuk membuat lubang yang cukup besar guna merangkak keluar, batu ini mungkin harus diledakkan tujuh atau delapan kali. Tapi sisa bahan peledak hanya cukup untuk kira-kira dua kali ledakan." Seraya berkata begitu, ia mengangkat tombak dan mulai membuat sebuah lubang lain di celah antara dinding terowongan dan batu raksasa.
Mendadak pada waktu ujung tombak menyodok dinding, sepotong batu jatuh ke bawah dan terlihatlah lubang di dinding itu. Bu Kie kaget bercampur girang. Ia memasukkan sebelah tangan dan menggoyang-goyangkannya. Dinding itu bergerak sedikit. Ia menggerakkan tenaga dalam dan membetot. Ia berhasil membuat sepotong batu copot. Sesudah tiga potong batu copot, lubangnya sudah cukup besar untuk memuat badan manusia. ternyata di situ terdapat sebuah terowongan lain. Walaupun tidak dapat menghancurkan batu raksasa, ledakan tadi sudah melepaskan batu-batu dinding terowongan.
Dengan mencekal obor, Bu Kie masuk lebih dulu ke terowongan yang kedua dan kemudian menggapai Siauw Ciauw supaya si nona mengikuti masuk. Seperti yang pertama, jalanan ini berputar-putar bagaikan keong dan menurun ke bawah. Kali ini Bu Kie bertindak lebih hati-hati. Ia mencekal tombak erat-erat, siap sedia untuk menangkis bokongan Goan-tin. Sesudah melalui kira-kira delapan puluh tombak mereka tiba di depan sebuah pintu batu. Bu Kie segera menyerahkan obor dan tombak kepada Siauw Ciauw dan sambil mengerahkan Lweekang, ia mendorong pintu yang segera saja terbuka.
Pintu itu adalah pintu sebuah kamar batu yang sangat besar. Bu Kie bertindak masuk dan mendadak ia melihat dua kerangka manusia. Pakaian kedua kerangka itu masih belum hancur, sehingga dapat diketahui bahwa mereka adalah seorang pria dan seorang wanita.
Siauw Ciauw agak takut dan ia mendekati kawannya.
Bu Kie mengangkat obor tinggi-tinggi dan meneliti keadaan di dalam kamar. "Mungkin kita berada di bagian paling ujung dari jalan rahasia ini," katanya. "Apa masih ada jalan keluar?"
Dengan tombak ia mengetuk-ngetuk seluruh dinding tapi suara semuanya padat, tak ada yang kosong.
Ia mendekati kedua kerangka itu, tangan kanan yang wanita mencekal sebatang pisau berkilauan yang menancap di dadanya. Ia terkejut dan lantas teringat pengakuan Goan-tin yang mengatakan bahwa pada waktu ia mengadakan pertemuan rahasia dengan Yo Hu-jin, pertemuan itu telah dipergoki oleh Yo Po Thian yang binasa karena gusar dan Yo Hu-jin sendiri kemudian bunuh diri. "Apakah kedua kerangka inii suami istri Yo Po Thian?" tanyanya dalam hati.
Ia mendekati kerangka lelaki, di samping kerangka tergeletak selembar kulit kambing yang lalu diambilnya dan diteliti. Di satu muka kulit itu berbulu di lain muka licin dan mengkilat.
Siauw Ciauw turut mengawasi. Tiba-tiba dengan paras berseri-seri ia mengambil kulit itu dari tangan Bu Kie. "Selamat, Kongcu!" katanya dengan suara girang. "Ini adalah ilmu silat tertinggi dari Bengkauw." Sehabis berkata begitu ia menggoreskan jari tangannya di mata pisau yang menancap di dada Yo Hu-jin dan kemudian mengoles darahnya di bagian kulit yang licin. Perlahan-lahan di atas kulit yang kena darah timbul huruf-huruf seperti berikut, "Beng-kauw Seng-hwee Sim-hoat Kian-koon Tay lo ie." (Kian kun Tay lo ie, ilmu api suci dari agama Beng-kauw)
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Tapi Bu Kie tak terlalu girang. "Di jalan rahasia ini tiada air dan tiada beras," pikirnya. "Kalau tak bisa keluar, paling lama tujuh delapan hari, aku dan Siauw Ciauw akan mati kelaparan. Ilmu yang bagaimana tinggipun tiada gunanya." Ia melirik kedua kerangka itu dan bertanya pula dalam hatinya, "Mengapa Goan-tin tak mengambil kulit kambing itu. Mungkin sekali sesudah melakukan perbuatan terkutuk ia tak berani datang lagi. Ah! Ia tentu tak tahu bahwa Kian kun Tay lo ie Sim hoat tertulis di kulit itu. Kalau ia tahu, jangakan Yo Po Thian dan istrinya sudah meninggal dunia, sekalipun mereka masih hidup ia pasti akan datang mencurinya."
"Siauw Ciauw, bagaimana kau tahu rahasia kulit kambing itu?"
"Aku mencuri dengar waktu Looya bicara dengan Siocia," jawabnya. "Mereka berdua adalah murid-murid Beng-kauw dan mereka tak berani masuk ke sini untuk mengambilnya. Seperti Kongcu ketahui, hanya seorang Kauwcu yang boleh masuk ke jalan rahasia ini."
Dengan rasa haru Bu Kie mengawasi kedua kerangka itu. "Sebaiknya kita menguburkan mereka,"
katanya. Bersama si nona, ia segera mengumpulkan batu-batu kecil dan pasir yang rontok karena ledakan tadi dan kemudian mendampingkan kedua kerangka itu. Mendadak Siauw Ciauw mengambil sesuatu dari kerangka Yo Po Thian. "Thio Kongcu, sepucuk surat," katanya.
Bu Kie membacanya, di atas sampul tertulis, "Dipersembahkan kepada istriku." Karena sudah lama, sampul itu agak rusak sedangkan huruf-hurufnya pun sukar dibaca tapi dari coretannya yang telah buram, dapat dilihat bahwa huruf-huruf itu indah dan angker. Sampul masih utuh, belum tersobek.
"Sebelum membaca, Yo Hu-jin telah bunuh diri," kata Bu Kie. Dengan sikap hormat, lalu menaruh surat itu di atas kerangka. Baru saja ia mau mengubur dengan pasir dan batu, Siauw Ciauw berkata,
"Apakah tak baik bila kita membaca surat itu" Mungkin sekali Yo Kauwcu meninggalkan pesan?"
"Kurasa kurang pantas," kata Bu Kie.
"Mungkin Kongcu keliru," bantah si nona. "Andaikata ada sesuatu yang diinginkan Yo Kauwcu dan belum terpenuhi, alangkah baiknya jika diketahui kita supaya kita bisa menyampaikan langsung kepada Looya dan Siocia."
Bu Kie mengangguk lalu menyobek sampul. Ia mencabut sehelai sutera putih yang tertulis sebagai berikut:
"Hu-jin bacalah ini, semenjak menikah denganku siang malam Hu-jin berduka. Aku adalah seorang yang tak mempunyai budi sehingga aku tak bisa menyenangkan hatimu dan untuk kekurangan itu aku merasa menyesal tak habisnya, kini kita akan berpisah untuk selama-lamanya. Kuharap Hu-jin sudi memaafkanku.
Ciu Kauwcu dari turunan ketiga puluh dua telah memerintahkan supaya setelah selesai dalam latihan Kian kun Tay lo ie Sin-kang, aku segera pergi ke Congto dari Kay pang (markas besar Partai Pengemis) untuk mengambil kembali barang-barang peninggalan Ciu Kauwcu dari turunan ketiga puluh satu.
Aku baru saja menyelesaikan latihan Sin-kang tingkat kelima. Apa daya, aku tahu urusan Seng Su-tee.
Darah dan hawa bergolak-golak dan aku tak dapat menguasai diriku lagi. Tenagaku akan buyar dan aku menghadapi kematian. Inilah takdir. Tiada manusia dapat melawan takdir."
Membaca sampai di situ Bu Kie menghela nafas, "Kalau begitu, sebelum menulis surat, Yo Kauwcu telah tahu adanya pertemuan antara Seng Kun dan istrinya di jalan rahasia ini," katanya.
Siauw Ciauw mengawasi pemuda itu dengan sorot matanya tapi ia tak berani membuka mulut. Maka itu secara singkat Bu Kie lalu menceritakan tentang Seng Kun dan Yo Hu-jin.
"Menurut pendapatku, Yo Hu-jin lah yang bersalah," kata si nona. "Jika ia tetap mencintai Seng Kun, seharusnya ia tak boleh menikah dengan Yo Kauwcu. Setelah menikah dengan Yo Kauwcu, ia tak boleh membuat pertemuan rahasia lagi dengan Seng Kun."
Bu Kie manggut-manggutkan kepalanya. Di dalam hati ia memuji nona cilik yang sudah bisa membedakan apa yang benar dan apa yang salah. Sesudah berdiam sejenak, ia membaca lagi.
"Ciu Kauwcu adalah seorang gagah dan berakal budi. Sungguh sayang, ia mati dalam tangan Su Tiang-loo (empat tetua) dari Kay pang. Sebegitu lama barang peninggalan Ciu Kauwcu belum dapat diambil kembali. Sebegitu lama juga di mana adanya Seng hwee-leng belum bisa diketahui. Sekarang aku menghadapi kematian dan aku telah menyia-nyiakan pesan Ciu Kauwcu. Aku adalah orang berdosa
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
dalam agama kita. Kuharap dengan mengggunakan surat ini Hu-jin sudi mengumpulkan kedua Kong-beng Su-cia, keempat Hu-kauw Hoat-ong, kelima Ngo-beng Khie-see dan Ngo Sian-jin. Beritahukanlah kepada mereka bahwa aku memerintahkan seperti berikut: "Siapapun jua yang bisa mengambil barang peninggalan Ciu Kauwcu dan Seng hwee-leng, dialah yang akan menjadi Kauwcue turunan ketiga puluh empat dari agama kita.
Siapa yang membantah boleh segera dibinasakan! Akupun memrintahkan supaya untuk sementara waktu Cia Sun bertindak sebagai Hu Kauwcu (wakil pemimpin agama) utnuk mengurus berbagai urusan dari agama kita.?"
Hati Bu Kie berdebar-debar, kini baru ia tahu bahwa ayah angkatnya telah ditunjuk oleh Yo Po Thian sebagai Hu Kauwcu. Hanya sayang, Yo Hu-jin sudah bunuh diri. Bila tidak, orang-orang Beng-kauw tentu tak sampai saling bermusuhan dan saling bunuh. Di dalam hati kecilnya diam-diam ia merasa bangga bahwa Yo Po Thian sudah menghargai ayah angkatnya.
Ia membaca lagi. "Untuk sementara waktu, ilmu Kian kun Tay lo ie harus diserahkan kepada Cia Sun. Nanti, sesudah ada kauwcu baru, barulah Sim-hoat itu diserahkan kepadanya. Kauwcu baru bertugas untuk memperbesar agama kita, mengusir kaum penjajah, melakukan perbuatan-perbuatan mulia, menumpas kejahatan, meluruskan yang bengkok dan membasmi segala kebusukan."
Bu Kie berhenti lagi. Ia bingung dan berkata dalam hatinya, "Dilihat begini, Beng-kauw mempunyai tujuan yang sangat mulia. Berbagai partai persilatan yang memusuhi agama itu adalah perbuatan yang tidak pantas."
Ia menghela nafas dan melanjutkan.
"Dengan menggunakan Sin-kang yang masih berada dalam tubuhku, aku akan menutup pintu batu supaya aku bisa berada bersama-sama Seng Su-tee. Untuk selama-lamanya aku tak akan berpisah lagi dengan dia. Hu-jin sendiri bisa meloloskan diri dengna melihat peta jalan rahasia. Pada jaman ini, tiada orang lain yang bisa menggerakkan pintu batu Bu Ong-wie. Andaikata di kemudian hari ada seorang gagah yang bisa membuka pintu itu, aku dan Seng Su-tee sudah jadi kerangka belaka. Hormat dari suamimu, Po Thian."
Di belakang surat itu terdapat sebuah peta yang melukiskan semua jalan dan pintu-pintu dari jalan rahasia itu.
Bu Kie girang tak kepalang. "Yo Kauwcu ternyata memang ingin mengurung Seng Kun dalam jalan rahasia ini dan rela mati bersama-sama," katanya. "Sayang sekali ia tak dapat mempertahankan diri dan sudah mati terlebih dulu sedang manusia busuk itu masih bisa malang melintang hingga sekarang. Bagus juga kita mendapat peta ini dan kita akan bisa keluar."
Sehabis berkata begitu, ia meneliti peta tersebut dan mencari tempat di peta di mana mereka berada sekarang. Tiba-tiba ia seperti diguyur air dingin. Mengapa" Karena jalan keluar yang satu-satunya adalah jalan yang sudah ditutup dengan batu raksasa oleh Seng Kun. Peta berada di tangan, tapi tidak berguna!
"Kongcu, jangan terlalu bingung," hibur Siauw Ciauw. "Mungkin sekali kita bisa cari jalan lain." Ia mengambil peta itu dari tangan Bu Kie dan lalu memperhatikannya. Tapi sesudah melihat sampai matanya berkunang-kunang ia tak bisa mendapatkan jalan lain. Jalan yang tertutup batu itu adalah jalan satu-satunya.
Melihat paras si nona yang putus harapan, Bu Kie tertawa getir. "Menurut surat Yo Kauwcu, seseorang yang sudah berhasil dalam Kian kun Tay lo ie Sin-kang bisa mendorong pintu batu itu," katanya. "Di saat ini, hanya Yo Siauw Sianseng yang pernah berlatih ilmu itu tapi kepandaiannya masih cetek sehingga andaikata ia berada di sini, belum tentu ia bisa berhasil. Di samping itu, kitapun tak tahu di mana tempat kedudukan Bu Ong-wie. Tidak tertulis di atas peta, di mana kita harus mencarinya?"
"Bu Ong-wie?" tegas Siauw Ciauw. Bu Ong-wie adalah salah satu "wie" (kedudukan) dari enam kedudukan yang terdapat dalam Lak-cap Sie-kwa (ilmu pentang-pentangan) dari Hok-hie. Bu Ong-wie terletak di antara Beng Ie-wie dan Swee-wie. Seraya berkata begitu ia berjalan sesuai dengan kedudukan dari ilmu pentang-pentangan itu. Sesudah berada di sudut barat laut dari ruangan itu, ia berkata, "Kalau tak salah di sini."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Semangat Bu Kie terbangun, "Apa benar?" tanyanya. Ia berlari-lari ke tempat senjata dan mengambil sebuah kampak. Dengan alat itu, ia membersihkan tanah dan pasir yang melekat di dinding. Benar saja ia segera mendapatkan garis-garis yang menunjukkan adanya sebuah pintu. Ia girang dan berkata dalam hati, "Meskipun tak mengenal Kian kun Tay lo ie Sin-kang, aku sudah memiliki Kioe yang Sin-kang.
Mungkin dapat digunakan."
Ia segera mengumpulkan hava di bagian pusar, mengerahkan tenaga dalam kedua lengannya, memasang kuda-kuda dan kemudian mendorong pintu. Pintu itu tidak bergeming. Ia mencoba berulang-ulang dengan segenap tenaganya. Tetap tidak berhasil. Ia mendorong lagi sehingga tulang-tulangnya berkelotokan dan kedua lengannya lemas. Pintu tetap tidak bergerak.
"Thio Kongcu, sudahlah!" kata Siauw Ciauw. "Sebaiknya kita gunakan bahan peledak."
"Baiklah, aku lupa kita masih punya bahan peledak," kata pemuda itu.
Mereka segera mengambil sisa bahan peledak dan meledakkannya di bawah pintu. Batu somplak tapi pintunya tetap tidak bergerak.
Dengan rasa menyesal dan terharu, Bu Kie menarik tangan si nona dan berkata dengan suara halus,
"Siauw Ciauw"akulah yang bersalah, aku mengajak kau kemari sehingga kau tidak bisa keluar lagi."
Si nona mengawasi muka Bu Kie dengan matanya yang bening. "Thio Kongcu, sebenarnya kau yang harus menialahkan aku," katanya. "Jika aku tidak membawa kau kemari"kau tidak"." Ia tidak dapat meneruskan perkataannya dan lalu menyeka air mata dengan lengan bajunya.
Untuk beberapa saat, mereka membungkam. Tiba-tiba si nona tertawa. "Sudahlah!" katanya. "Kita tidak bisa keluar, jengkelpun tak berguna. Sebaiknya aku menyanyi. Apa kau setuju?"
Bu Kie sebenarnya tak punya kegembiraan untuk mendengarkan nyanyian, tapi supaya tidak mengecewakan si nona, ia mengangguk. "Bagus!" katanya sambil tertawa.
Siauw Ciauw segera duduk di samping pemuda itu. Sesudah mendehem beberapa kali, ia mulai.
"Bersandar di guba, Membuat gubuk, Biarpun melarat, tetap bahagia,
Di tepi sungai berbicara dengan si pencari kayu,
Di gunung mencari sahabat lama,
Di angkasa berkawan dengan burung Hong,
Dia berhasil, Dia menertawai kita! Dia gagal, Kita menertawai dia!"
Waktu si nona menyanyi, Bu Kie tak begitu memperhatikan. Tapi sesudah mendengar "dia berhasil, dia menertawai kita, dia gagal, kita menertawai dia" hatinya tertarik dan ditambah dengan suara si nona yang sangat merdu, rasa jengkelnya segera menghilang.
Sementara itu, si nona melanjutkan nyanyiannya.
"Syair menghilangkan kedukaan,
Pedang penuh keangkeran, Seorang Enghiong tak perdulikan kemiskinan atau kekayaan, Di sungai membunuh Kauw,
Dikira memanah Tiauw, Di daerah perbatasan memutar golok,
Dia berhasil, Dia menertawai kita, Dia gagal, Kita menertawai dia."
Waktu menyanyi dibagian itu, suara si nona nyaring dan bernada gagah.
"Siauw Ciauw, sungguh merdu suaramu!" Bu Kie memuji. "Siapa yang menggubah lagu itu?"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Si nona tertawa. "Kau bohong! Suaraku tak keruan begitu," katanya. "Aku meniru nyanyian orang lain. Tak tahu siapa yang menggubahnya." Sesudah berdiam sejenak, ia berkata pula. "Apa benar kau senang mendengarnya" Tidak bohong?"
Bu Kie tertawa nyaring, "Mana bisa aku berbohong di hadapanmu," katanya. "Tidak! Memang benar suaramu merdu dan sajak lagu itu indah sekali. Sungguh!"
"Baiklah, kalau begitu aku mau menyanyi lagi," kata si nona. "Sayang sekali tidak ada pie-pee (semacam gitar)." Sambil menepuk-nepuk batu dengan lima jarinya, ia segera menyanyi pula.
"Perubahan di dunia silih berganti,
Manusia harus menyesuaikan diri,
Nasib memutuskan kemakmuran atau keruntuhan,
Dalam kebahagiaan bersembunyi malapetaka,
Dalam malapetaka bersembunyi kebahagiaan,
Mana ada kekayaan abadi"
Dari angkasa, sang surya kelam ke barat,
Dari bundar sang rembulan somplak sebelah,
Di langit dan di bumi tak ada yang sempurna,
Hilangkan kerutan alis, Hentikan permusuhan remeh,
Paras muka di hari ini, Lebih tua daripada kemarin,
Yang lama pergi yang baru datang,
Semua tak luput, Yang pintar, yang bodoh, Yang miskin, yang kaya, Pada akhirnya manusia, Tidak bisa lari dari hari itu,
Hari ini ada kesenangan, Nikmatilah kesenangan, Siang dan malam seratus tahun,
Yang berusia tujuh puluh tahun jarang ada,
Sang waktu mengalir bagaikan air,
Gelombang demi gelombang."
Sajak itu adalah pengutaraan isi hati dari seseorang yang sudah kenyang makan asam garamnya dunia dan yang sudah bisa melihat tidak kekalnya segala keduniawian. Bahwa sajak itu diucapkan oleh seseorang muda belia seperti Siauw Ciauw, kelihatannya sangat tidak sesuai. Mungkin sekali ia tak tahu artinya. Ia hanya mendengar nyanyian orang lain dan lalu meniru.
Tapi Bu Kie lain, ia masih muda, tapi selama sepuluh tahun, ia telah merasakan bermacam-macam kegetiran dan mendapat berbagai pengalaman luar biasa. Sekarang ia terkurung di perut gunung dan di hadapannya tidak ada jalan hidup. Tapi sesudah mendengar nyanyian Siauw Ciauw, ia merasa dadanya lega. Ia merasa kuat, terutama karena dua kalimat yang berbunyi "pada akhirnya manusia, tidak bisa lari dari hari itu."
"Hari itu!" "Hari itu!" yang mesti di alami setiap manusia, setiap makhluk berjiwa. "Hari" pulang ke alam baka.
Sebagai manusia, Bu KIe yang masih muda sudah beberapa kali mengalami detik-detik mati atau hidup. Pada masa lampau, mati atau hidupnya tidak bersangkutan dengan siapapun juga. Tapi sekarang, keadaan agak berlainan. Kematiannya bukan saja menyeret Siauw Ciauw, tapi juga mempunyai hubungan dengan mati hidupnya Beng-kauw, selamat celakanya Yo Siauw dan yang lain-lain, permusuhan antara Goan-tin dengan ayah angkatnya. Ia tidak takut mati, terlebih sesudah mendengar nyanyian si nona. Tapi kalau boleh, ia tidak mau mati sekarang karena ia merasa memikul tugas-tugas yang belum diselesaikan.
Ia lalu bangkit dan mendorong pula pintu batu itu. Ia merasakan mengalirnya Cin-khie di seluruh tubuhnya, sepertinya ia mempunyai tenaga yang besarnya tidak terbatas, tapi tidak dapat dikeluarkan.
Tenaga itu seperti gelombang air bah yang tertahan oleh gili-gili. Tiga kali ia mencoba, tiga kali ia gagal.
Sementara itu Siauw Ciauw sudah melukai lagi jari tangannya dan mengoleskan darahnya di kulit kambing, "Thio Kongcu," katanya. "Apakah tidak baik jika kau melatih Sin-kang dari Kian kun Tay lo ie" Kau sangat cerdas dan mungkin sekali segera berhasil."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Bu Kie tertawa. "Para Kauwcu dari Beng-kauw telah berlatih seumur hidup, tapi hanya beberapa orang saja yang bisa dikatakan berhasil," jawabnya. "Sebagai Kauwcu mereka pasti bukan orang sembarangan.
Mereka semua mempunyai kecerdasan dan kepandaian yang sangat tinggi. Bagaimana caranya aku bisa mengharap bahwa dalam waktu singkat aku bisa berhasil dalam suatu latihan yang sukar, yang tidak dapat dilakukan oleh para mendiang Kauwcu itu?"
Si nona tak menyahut. Ia menunduk dan menyanyi dengan perlahan.
"Hari ini ada kesenangan,
Nikmatilah kesenangan itu,
Hari ini bisa berlatih, Berlatihlah hari ini."
Sambil tersenyum Bu Kie lalu mengambil kulit kambing itu dari tangan Siauw Ciauw dan lalu membacanya. Ia mendapati kenyataan bahwa apa yang tertulis adalah ilmu untuk menjalankan pernafasan dan menggunakan tenaga dalam. Ia lalu mencoba-coba dan"dengan mudah ia berhasil. Di kulit itu terdapat juga tulisan yang berbunyi sebagai berikut.
"Inilah Sin-kang tingkat pertama. Orang yang cerdas dan berbakat bisa berhasil dalam waktu tujuh tahun. Orang biasa harus menggunakan waktu empat belas tahun."
Bu Kie heran tak kepalang. Ia berhasil dalam sekejap mata. Mengapa dalam kulit kambing tertulis harus menggunakan sedikitnya tujuh tahun"
Ia segera membaca ilmu tingkat kedua dan terus berlatih. Kali inipun ia berhasil dengan mudah. Ia merasa semacam hawa dingin yang halus seperti benang seakan-akan menyambar keluar dari sepuluh jari tangannya. Di bawah ilmu itu terdapat penjelasan sebagai berikut.
"Inilah Sin-kang tingkat kedua. Orang cerdas dan berbakat bisa berhasil dalam waktu tujuh tahun.
Orang biasa harus menggunakan waktu sedikitnya empat belas tahun. Manakala sesudah berlatih dua puluh satu tahun masih belum mendapat kemajuan, orang itu dilarang maju pada tingkat ketiga, untuk mencegah kecelakaan yang tidak dapat ditolong lagi." (Menurut kepercayaan, jika seseorang melatih Lweekang tinggi secara salah atau secara memaksakan diri, maka ilmu itu bisa membinasakan orang yang berlatih seperti "golok makan tuan")
Bu Kie kaget bercampur girang. Dengan bernafsu ia segera membaca ilmu ketiga. Ketika itu, huruf-huruf di atas kulit kambing telah mulai buram, tapi baru saja ia mau mencabut pisau untuk menggores jari tangannya, Siauw Ciauw sudah mendahului dan mengoles kulit kambing dengan darahnya.
Ia berhasil dalam ilmu ketiga dan keempat sama mudahnya seperti orang membelah bambu. Dengan rasa takut Siauw Ciauw mengawasi muka pemuda itu yang berwarna aneh, sebelah hijau. Tapi hatinya segera tentram kembali karena paras Bu Kie tetap tenang dan hanya kedua matanya berkilat-kilat. Waktu Bu Kie melatih diri dalam Sin-kang tingkat kelima, suatu perubahan terjadi pada dirinya.
Mukanya sebentar biru sebentar merah, waktu mukanya biru badannya agak gemetaran dan berhawa dingin seperti gundukan es, sedang waktu mukanya merah keringat menetes turun seperti hujan gerimis dari kedua pipinya.
Siauw Ciauw mengeluarkan sapu tangan dan mengangsurkan tangan untuk menyeka keringat di muka pemuda itu. Tapi baru saja sapu tangan menyentuh dagu, lengannya mendadak bergetar dan hampir-hampir ia jatuh terjengkang. Bu Kie bangkit dan menyapu keringat dengan lengan bajunya. Ia tak mengerti mengapa Siauw Ciauw terhuyung. Ia tak mengerti bahwa ia sudah berhasil dalam latihan Sinkang tingkat kelima.
Kian kun Tay lo ie Sin-kang adalah suatu ilmu menakjubkan untuk mengerahkan dan menggunakan tenaga. Pada hakekatnya, ilmu tersebut adalah untuk mengeluarkan tenaga luar biasa yang tersembunyi dalam tubuh setiap manusia. Dalam keadaan biasa tenaga yang bersembunyi itu tak dapat dikeluarkan.
Hanya pada detik-detik berbahaya, misalnya pada waktu kebakaran barulah tenaga itu keluar. Sering kita mendengar cerita bahwa dalam menghadapi bencana, seseorang yang lemah dapat melakukan perbuatan yang luar biasa seperti mengangkat barang ratusan atau ribuan kati beratnya yang tak akan dapat dilakukannya dalam keadaan biasa.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Sesudah berhasil dalam Kioe yang Sin-kang, tenaga yang bersembunyi dalam tubuh Bu Kie tidak dapat tertandingi oleh siapapun juga dalam dunia ini. Tapi karena belum mendapat petunjuk dari seorang guru yang pandai, ia masih belum bisa menggunakan tenaga yang bersembunyi itu.
Sekarang, sesudah mempelajari Kian kun Tay lo ie Sin-kang dan melatih diri dalam ilmu itu, maka tenaganya yang tersembunyi membanjir keluar bagaikan air bah yang tak dapat ditahan lagi.
Bagi manusia biasa, Kian kun Tay lo ie Sin-kang adalah ilmu yang sukar dipelajari dan salah sedikit saja dalam latihannya, ilmu itu bisa "makan tuan" bisa membinasakan si pelajar sendiri. Mengapa begitu"
Karena ilmu untuk mengerahkan tenaga dalam sangat berbelit-belit, sedang si pelajar sendiri tidak mempunyai tenaga dalam yang cukup kuat untuk mengimbanginya. Sebagai contoh, kalau seorang bocah yang baru berusia tujuh delapan tahun bersilat dengan menggunakan martil yang beratnya ratusan kati, maka makin sulit ilmu silat yang dijalankannya, makin gampang kepalanya terpukul martil. Tapi hal ini tak mungkin terjadi jika yang bersilat dengan martil itu seorang dewasa yang bertenaga besar.
Dalam waktu yang lalu, orang-orang melatih diri dalam Kian kun Tay lo ie Sin-kang semuanya tidak mempunyai cukup tenaga dan memaksa diri belajar. Sebagaimana diketahui, seorang ahli silat yang sedang mengajar serupa ilmu, biasanya tidak bisa merasa puas dan rela mengundurkan diri di tengah jalan. Maka itu banyak yang sudah menjadi korban dari latihan yang dipaksakan.
Mengapa Bu Kie berhasil sedangkan tokoh-tokoh yang lebih hebat gagal" Jawabnya sangat sederhana.
Karena Bu Kie memiliki cukup tenaga yang didapat dari latihan Kioe yang Sin-kang.
Sesudah menyelesaikan latihan tingkat kelima, pemuda itu merasa semangatnya bergelora dan tenaga dalamnya dapat dikeluarkan atau ditarik pulang sesuka hati. Di samping itu, iapun merasakan kesegaran luar biasa pada sekujur badannya. Kini ia melupakan hal untuk mendorong pintu batu dan terus mempelajari ilmu tingkat keenam. Berselang kurang lebih satu jam ia telah mulai dengan ilmu tingkat ketujuh.
Inilah yang paling sukar, beberapa lipat ganda lebih sukar daripada pelajaran tingkat keenam. Untung juga, ia mahir dalam ilmu pengobatan dan "hiat-to". Dengan pengetahuan itu, ia selalu dapat memecahkan bagian-bagian yang sulit dan kurang terang.
Setelah berhasil sebagian besar dari ilmu tingkat ketujuh itu, tiba-tiba ia bertemu dengan satu bagian ilmu yang dilukiskan dengan beberapa baris huruf. Sesudah membaca dengan teliti, ia lalu mulai berlatih menurut petunjuk itu. Mendadak ia merasa hawa yang rasanya bergejolak sedang jantungnya memukul keras. Ia segera menghentikan latihan dan menentramkan semangatnya. Beberapa saat kemudian, ia berlatih lagi, tapi hasilnya tak berbeda.
Ia melompati kalimat pertama dan berlatih dengan kalimat kedua. Latihan itu berjalan lancar, tapi waktu tiba pada kalimat ketiga, ia kembali mengalami kesukaran. Makin lama, kesulitan makin besar.
Setelah ia mempelajari seluruh Kian kun Tay lo ie Sin-kang, ada tiga belas kalimat yang tak berhasil dilatih olehnya.
Sesudah berpikir beberapa saat, ia menaruh kulit kambing itu di atas batu dan kemudian ia berlutut beberapa kali. Dengan suara perlahan ia berkata, "Secara tak sengaja, teecu Thio Bu Kie telah mendapatkan ilmu Sin-kang dari Beng-kauw. Dalam mempelajari ilmu tersebut tujuan teecu adalah untuk menolong jiwa sendiri dan bukan semata-mata ingin mencuri ilmu Beng-kauw. Jika teecu bisa lolos dari tempat berbahaya ini, maka dengan menggunakan Sin-kang teecu akan berusaha sekeras-kerasnya guna kepentingan Beng-kauw. Teecu pasti takkan melupakan budi para Kauwcu yang sudah menolong jiwa teecu."
Siauw Ciauw pun berlutut dan sesudah manggutkan kepalanya beberapa kali, ia berdoa dengan suara perlahan, "Teecu memohon supaya para leluhur melindungi Thio Kongcu dalam usaha menegakkan kembali agama kita dan memulihkan keangkeran para leluhur."
Bu Kie bangkit seraya berkata, "Aku bukan murid Beng-kauw dan dengan mengingat ajaran Thay suhu, akupun takkan masuk ke dalam kalangan Beng-kauw. Tapi sesudah membaca surat wasiat Yo Kauwcu, aku yakin bahwa tujuan Beng-kauw adalah luhur dan lurus. Dengan demikian aku bertekad untuk menggunakan segenap tenagaku guna menyingkirkan salah pengertian berbagai partai dan mendamaikan permusuhan kedua belah pihak."
"Thio Kongcu, kau mengatakan bahwa kau gagal dalam tiga belas kalimat," kata Siauw Ciauw.
"Mengapa kau tak mau mengaso dan sesudah segar baru mencoba lagi?"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Biar bagaimanapun juga, hari ini aku sudah berhasil dalam Sin-kang tingkat ketujuh," kata Bu Kie.
"Memang benar ada tiga belas kalimat yang dilompati dan dalam keseluruhannya masih terdapat suatu kekurangan. Tapi sebagaimana dikatakan dalam nyanyianmu sendiri, dalam dunia ini tak ada sesuatu yang sempurna. Mengapa aku ini tak bisa merasa puas" Apakah jasa dan kemuliaannya Thio Bu Kie sehingga ia mesti memiliki seluruh ilmu dari Beng-kauw" Aku menganggap pantas sekali, jika aku tak berhasil dalam tiga belas kalimat itu."
"Benar kata Kongcu," jawab si nona yang lalu mengambil kulit kambing itu dari tangan Bu Kie dan minta diberitahukan kalimat-kalimat mana yang dimaksudkan itu. Diam-diam ia membaca ketiga belas kalimat itu beberapa kali.
"Perlu apa kau menghafal?" tanya Bu Kie sambil tersenyum.
Paras si nona berubah merah. "Tak apa-apa," jawabnya dengan jengah. "Aku hanya ingin tahu kalimat apa yang sedemikian sukar sehingga tak dapat dipecahkan olehmu sendiri." Tapi di dalam hatinya, Siauw Ciauw mempunyai maksud lain. Ia tahu bahwa pemuda itu seorang yang jujur dan jika mereka bisa keluar dari tempat itu, ia tentu akan menyerahkan kulit kambing itu kepada Yo Siauw. Ia menghafal tiga belas kalimat itu supaya kalau dikemudian hari Bu Kie mau mencoba lagi, ia bisa membantu biarpun kulit kambingnya sudah berada di tangan orang lain.
Dengan mengenal batas, tanpa diketahui olehnya sendiri, Bu Kie telah menyelamatkan diri dari suatu bahaya.
Dulu, tokoh yang membuat ilmu Kian kun Tay lo ie adalah seseorang yang memiliki tenaga dalam sangat tinggi tapi tenaga dalamnya belum mencapai tingkat Kioe yang Sin-kang. Ia mengubah Sin-kang ketujuh tapi ia sendiri belum berhasil melatih seluruhnya. Ada beberapa bagian yang ditulis bukan berdasarkan kenyataan tapi khayalan yang keluar dari otaknya yang sangat cerdas. Tiga belas kalimat yang tidak dapat ditembus Bu Kie adalah bagian khayalan itu. Manakala Bu Kie tidak mengenal batas dan bertekad untuk memiliki seluruh ilmu, maka ia akan menyimpang ke jalan yang salah sehingga pada akhirnya ilmu itu akan "makan tuan", ia bisa jadi gila atau binasa.
Sesudah mengaso beberapa saat, Bu Kie dan Siauw Ciauw lalu mengubur kerangka Yo Po Thian dan istrinya dengan pasir dan batu-batu kecil. Sesudah itu mereka menghampiri pintu batu.
Bu Kie menempelkan tangan kanannya pada pintu itu dan mendorong dengan menggunakan Kian kun Tay lo ie Sin-kang. Begitu didorong, pintu itu bergerak. Ia menambah tenaga dan pintu lantas saja terbuka dengan perlahan.
Siauw Ciauw kegirangan. Ia melompat-lompat sambil menepuk-nepuk tangan. Mendengar suara kerincingan rantai, Bu Kie berkata, "Coba aku berusaha memutuskan rantai itu."
"Kali ini kau pasti berhasil," kata si nona.
Seraya mengerahkan Lweekang, Bu Kie membetot, tapi rantai itu hanya mulur dan tak putus. "Celaka!
Makin panjang akan makin sukar," kata Siauw Ciauw.
Bu Kie menggelengkan kepala. "Aneh benar."
Mengapa rantai itu begitu alot"
Rantai tersebut terbuat dari sebuah batu meteor yang jatuh dari langit. Batu itu mengandung semacam logam yang sifatnya sangat berbeda dengan logam apapun jua yang ada di dunia. Secara kebetulan batu itu dipatahkan salah seorang Kauwcu dari Beng-kauw dan secara kebetulan pula pada jaman itu hidup seorang pandai besi yang luar biasa. Dengan menggunakan api si pandai besi melebur batu itu dan kemudian membuat rantai yang sekarang terikat pada kaki tangan Siauw Ciauw. Bahwa Bu Kie bisa menariknya sehingga mulur sudah merupakan suatu perbuatan yang tidak dapat ditiru oleh siapapun jua.
Siauw Ciauw menunduk dan menghela nafas.
"Jangan jengkel, serahkan saja padaku," hibur Bu Kie. "Aku akan berusaha untuk membuka rantai itu.
Kita telah terkurung dalam perut gunung tapi aku masih bisa keluar. Aku tidak percaya kita tidak berdaya terhadap rantai yang begitu kecil."
Si nona mendongak dan berkata seraya tertawa. "Thio Kongcu, sesudah berjanji kuharap kau tidak mungkir lagi."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Aku akan minta supaya Poet Hwie Moay-moay membuka rantai itu," kata Bu Kie. "Ia pasti tak akan menolak permintaanku."
Dalam tekadnya untuk mencari Goan-tin, Bu Kie segera mendorong lagi kedua batu raksasa yang beratnya berlaksa kati. Tapi walaupun ia memiliki Sin-kang, tenaga manusia selalu terbatas. Kedua batu itu hanya bergoyang-goyang sedikit dan tidak dapat digeser. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya dan bersama Siauw Ciauw lalu keluar dari pintu batu yang terbuka. Sesudah berada di luar, ia memutar badan untuk menutupnya pula. Tapi ternyata yang merupakan daun pintu adalah batu raksasa, Bu Kie menghela nafas. Untuk membuat terowongan di bawah tanah itu, entah berapa banyak tenaga dan pikiran yang sudah digunakan orang-orang Beng-kauw.
Dengan tangan mencekal peta jalan rahasia, Bu Kie mengajak Siauw Ciauw mencari jalan keluar.
Terowongan banyak cabangnya, tapi dengan pertolongan peta, dengan tak banyak kesulitan mereka bisa keluar.
Begitu berada di alam bebas, mereka memejamkan mata karena tak tahan dengan sinar terang yang menyilaukan. Selang beberapa lama, perlahan-lahan mereka membuka mata lagi.
Mereka ternyata berada di atas bumi yang tertutup salju. Mata mereka silau oleh sebuah sinar salju yang disoroti matahari.
Sementara itu, Siauw Ciauw meniup api obor, membuat sebuah lubang di salju dan kemudian menguburkan potongan kayu yang tadi dijadikan obor di dalam lubang itu. "Kayu, oh kayu!" katanya dengan suara perlahan. "Terima kasih banyak untuk pertolonganmu. Kamu telah memberikan sinar terang sehingga Thio Kongcu dan aku bisa keluar dari gua. Tanpa pertolonganmu kami tentu akan binasa."
Bu Kie tertawa terbahak-bahak, hatinya senang sekali. "Di dalam dunia banyak sekali manusia yang tak mengenal budi," pikirnya. "Dengan berbuat begini, Siauw Ciauw menunjukkan bahwa ia seorang yang luhur budinya." Ia merasa kagum, ia mengawasi kulit muka yang putih bagaikan batu pualam.
Tanpa sadar ia memuji, "Siauw Ciauw, kau sungguh cantik."
"Thio Kongcu, apa kau membohongi aku?" tanya si nona dengan girang.
"Sekarang kau ayu sekali," jawabnya. "Tapi kau tak boleh berlagak bongkok dan pincang lagi."
"Baiklah," kata Siauw Ciauw. "Jika kau berkata begitu, biarpun Siocia, aku tentu takkan menyamar lagi."
"Gila! Perlu apa dia bunuh kau," bentak Bu Kie.
Mereka segera pergi ke pinggir tebing dan memperhatikan keadaan di sekitarnya. Mereka ternyata berada di lereng sebuah puncak. Waktu datang di Kong beng-teng, Bu Kie berada dalam karungnya Swee Poet Tek sehingga ia sama sekali tidak tahu keadaan bumi di gunung ini. Sekarangpun ia masih belum tahu di mana mereka berada. Sambil menudung mata dengan tangannya ia memandang ke tempat jauh.
Tiba-tiba ia lihat beberapa sosok tubuh manusia yang tergeletak di sebelah barat laut.
"Coba kita lihat," katanya sambil mencekal tangan Siauw Ciauw dan lalu menuju ke tanjakan itu dengan berlari-lari. Sesudah memiliki Kioe yang dan Kian kun Tay lo ie Sin-kang, setiap gerakan Bu Kie hebat luar biasa. Maka itu, meskipun membawa Siauw Ciauw, larinya cepat bagaikan walet terbang, dalam sekejap mereka sudah tiba ke tempat yang dituju.
Empat mayat rebah di situ, semua berlumuran darah. Tiga di antaranya mengenakan seragam Bengkauw sedang yang seorang pendeta, mungkin sekali murid Siauw Lim sie.
"Celaka!" seru Bu Kie di dalam tenggorakan. "Selagi kita berada di perut gunung, keenam partai sudah berada di sini." Ia meraba dada keempat mayat itu. Semuanya dingin.
Ia segera menarik tangan Siauw Ciauw dan mendaki puncak dengan mengikuti tapak kaki. Sesudah melalui beberapa puluh tombak, mereka kembali bertemu dengan tujuh mayat yang rupanya sangat menakutkan.
Bu Kie bingung, "Bagaimana dengan Yo Siauw Sianseng, Poet Hwie Moay-moay?" katanya. Ia berlari-lari makin cepat sehingga Siauw Ciauw seolah-olah sedang terbang dengan ditenteng pemuda itu.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Setelah membelok di sebuah tikungan, mereka bertemu dengan lima mayat murid Beng-kauw, semuanya tergantung di pohon dengan kepala di bawah kaki di atas dan muka seperti dicakar dengan cakar yang sangat tajam.
"Ah! Itu cakar Houw-jiauw chioe dari Hwa San-pay," kata Siauw Ciauw. (Houw-jiauw chioe, Cakar Harimau)
"Siauw Ciauw, bagaimana kau tahu?" tanya Bu Kie dengan heran. "Siapa yang memberitahukannya kepadamu?"


Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi, karena memikirkan keselamatan kedua belah pihak yang sedang bermusuhan, tanpa menunggu jawaban ia terus berlari-lari. Di sepanjang jalan dia bertemu dengan mayat-mayat, sebagian besar mayat murid Beng-kauw, tapi mayat murid keenam partai pun tak sedikit jumlahnya.
Bu Kie menduga bahwa selama ia terkurung di perut gunung sehari semalam, keenam partai telah melakukan serangan besar-besaran. Sebab Yo Siauw, Wie It Siauw dan yang lain-lain terluka berat maka murid-murid Beng-kauw tak punya pemimpin sehingga dalam pertempuran itu mereka jatuh di bawah angin. Tapi, meskipun begitu dia melawan dengan nekad dan mendapatkan kerusakan besar.
Waktu hampir tiba di puncak gunung, Bu Kie mendengar suara bentrokan senjata yang sangat hebat.
Hatinya agak lega. "Pertempuran belum berhenti, keenam partai rupanya belum masuk di toa thia,"
pikirnya. Ia mempercepat langkahnya.
Mendadak dua batang piauw menyambar.
"Siapa kau" Berhenti!" bentak seseorang.
Sambil menghentikan langkah, Bu Kie mengibaskan tangan dan kedua piauw itu terbang kembali.
"Aduh!" seseorang berteriak dan terus roboh.
Bu Kie kaget, yang roboh seorang pendeta. Kedua piauw itu menembus pundaknya dan kemudian menancap di salju. Ia tertegun, ia mengibas dengan pelan hanya untuk memukul jatuh senjata rahasia itu.
Tak disangka, kibasan itu bertenaga sedemikian besar. Buru-buru ia membangunkan si pendeta dan berkata, "Aku bersalah telah melukai Taysu, mohon Taysu sudi memaafkan."
Darah berlumuran dari lukanya tapi pendeta itu sangat tegap dan gagah. Tiba-tiba ia menendang dan kakinya mampir tepat di lambung Bu Kie yang tak menduga akan diserang dengan cara begitu. Tapi hampir bersamaan dengan tendangan kaki kanannya itu, tubuh si pendeta terpental dan menghantam satu pohon sehingga tulang kaki kanannya patah dan mulutnya mengeluarkan darah. Bu Kie sendiri tidak tahu bahwa sesudah mempunyai dua macam Sin-kang, di dalam tubuhnya terdapat semacam tenaga dahsyat yang bisa melawan setiap pukulan secara wajar.
Melihat pendeta itu terluka berat, hati Bu Kie makin tidak enak. Ia membangunkannya berulang-ulang dan memohon maaf. Pendeta itu mengawasinya dengan mata melotot. Ia heran bercampur gusar.
Mendadak dalam pekarangan yang terkurung tembok terdengar tiga kali teriakan kesakitan. Bu Kie tidak dapat memperhatikan pendeta itu lagi. Sambil menarik tangan Siauw Ciauw, ia masuk dengan berlari-lari. Sesudah melewati dua ruangan, mereka tiba di sebuah lapangan terbuka yang penuh manusia.
Rombongan yang berkumpul di sebelah barat jumlahnya lebih kecil, sebagian besar sudah terluka dengan pakaian berlumuran darah. Rombongan itu adalah rombongan Beng-kauw. Jumlah rombongan yang di sebelah timur beberapa kali lipat lebih besar dan terbagi jadi enam barisan kecil. Mereka itu adalah keenam partai.
Bu Kie segera saja melihat bahwa Yo Siauw, Yo Poet Hwie, Wie It Siauw, Swee Poet Tek dan yang lain-lain berada di tengah-tengah rombongan Beng-kauw. Mereka belum bisa bergerak. Di tengah gelanggang terdapat dua orang yang sedang bertempur hebat. Karena semua mata menuju ke arah pertandingan itu, maka masuknya Bu Kie dan Siauw Ciauw tidak diperhatikan oleh siapapun juga.
Perlahan-lahan Bu Kie mendekati. Kedua orang itu berkelahi dengan tangan kosong. Sambaran-sambaran angin dahsyat yang keluar dari pukulan-pukulan mereka menandakan bahwa mereka adalah ahli-ahli silat kelas utama. Mereka bertempur dengan kecepatan kilat dan setiap pukulan istimewa selalu disambut dengan sorak sorai.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Bu Kie mengawasi dengan hati berdebar-debar. Ia mengenali bahwa yang satu, yang bertubuh kecil adalah Bu tong Sie-hiap Thio Siong Kee, sedang lawannya adalah seorang tua yang berbadan tinggi besar, beralis putih dan berhidung bengkok seperti patok burung. "Siapa kakek itu?" tanyanya di dalam hati.
Mendadak dari rombongan Hwa San-pay terdengar teriakan seseorang. "Tua bangka Peh Bie! Lebih baik kau menyerah kalah! Kau bukan tandingan Bu tong Sie-hiap."
Jantung Bu Kie memukul keras. Kalau begitu orang tua itu kakek luarnya. Peh Bie Eng-ong In Thian Ceng. Ingin sekali menubruk dan memeluk orang tua itu tapi ia tak bisa berbuat begitu.
Semua orang memperhatikan jalannya pertandingan sambil menahan nafas. Di atas kepala Thio Siong Kee dan In Thian Ceng terlihat uap putih, suatu tanda mereka sedang mengeluarkan Lweekang yang paling tinggi dalam suatu pertempuran mati atau hidup. Kedua lawan sama-sama mempunyai nama besar, yang satu Peh Bie Kauwcu dan Hu Kauw Hoatong dari Beng-kauw, yang lain murid Thio Sam Hong dan anggota Bu Tong Cit-hiap yang menggetarkan dunia persilatan. Pertempuran ini adalah pertempuran yang akan memutuskan keunggulan antara Bu Tong-pay dan Peh Bie-kauw. Dengan mata berkilat-kilat, In Thian Ceng menyerang bagaikan angina dan hujan sedangkan Thio Siong Kee terus mempertahankan diri sesuai dengan dasar ilmu silat Bu Tong yang menguasai serangan dengan ketenangan. Siong Kee tahu bahwa lawannya yang lebih tua dua puluh tahun lebih mempunyai Lweekang yang lebih dalam. Akan tetapi, sebagai imbangan ia berusia lebih muda mempunyai keuletan yang lebih besar sehingga dalam suatu pertempuran yang lama, ia pasti akan memperoleh kemenangan.
Tapi diluar dugaan, In Thian Ceng adalah seorang yang luar biasa yang jarang terdapat di dalam dunia.
Meskipun sudah berusia lanjut, tenaganya tidak kalah dari orang muda. Bagaikan ombak air pasang, gelombang demi gelombang Lweekang menghantam Siong Kee.
Melihat pertempuran yang hebat itu, Bu Kie semula girang karena ketemu dengan kakek dan pamannya, berbalik jadi bingung. In Thian Ceng adalah gwa kong (kakek luar) yang mempunyai hubungan darah dengan dirinya. Thio Siong Kee adalah seorang paman yang mencintainya seperti anak sendiri. Dulu waktu ia kena pukulan Hiang beng Sin ciang, tanpa memperdulikan bahaya, paman itu sudah turut berusaha untuk mengobati dengan menggunakan Lweekang maka itu kalau sampai salah satu pihak ada yang luka atau binasa, ia akan merasa menyesal tiada habisnya. Baru saja ia berpikir untuk mencoba mendamaikan, tiba-tiba kedua lawan itu membentak keras dan melompat mundur dengan serentak.
"In Locianpwee memiliki Sin-kang yang sangat tinggi," kata Siong Kee. "Aku merasa takluk."
"Thio heng sendiri mempunyai Lweekang yang sangat kuat dan aku tidak akan dapat menandingi,"
kata si kakek. "Thio heng adalah saudara seperguruan dari menantuku. Apakah hari ini kalian bertekad untuk menguji kepandaian?"
Mendengar mendiang ayahnya disebut, mata Bu Kie berubah merah. Ia merasa sangat berduka dan berdoa supaya pertempuran itu tidak dilangsungkan.
"Boanpwee mundur lebih jauh daripada Locianpwee dan sudah kalah setengah jurus," kata Siong Kee seraya mengangkat kedua tangannya. Sesudah mengatur jalannya pernafasan, sambil membungkuk ia mengundurkan diri.
Kisah Pembunuh Naga Jilid 40 Karya Chin Yung ================ Tiba tiba dari barisan Bu Tong pay melompat keluar seorang pria yg membentak sambil menuding Ian Thian Ceng. "In Loojiel. Jika kau tak menyebut Thio Ngoko tak menjadi soal. Sesudah disebutkan, sakit sekali hatiku. Jie Samko dan Thio ngoko kedua2nya celaka dalam tangan Peh Bie Kauw. Jika sakit hati ini tak dibalas, Cuma2 saja Boh Seng Kok menjadi anggota dari Bu Tong Cit Hiap." Seraya berkata begitu, ia menghunus pedang dan memasang kuda2 dalam gerakan Bangak Tiaow Cong (Laksdana gunung memberi hormat), serupa pukulan yg biasa di keluarkan jika seorang murid Bu Tong berhadapan dengan lawan yang tingkatanya lebih tinggi. Boa Cit hiap sedang bergusar, tapi setiap gerak geriknya sesuai dengan kedudukannya sebagai seorang tokoh terkemuka dalam rimba persilatan.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Si kakek kelihatan berduka. "Semenjak anakku meninggal dunia loohu sebenarnya tak ingin menggunakan senjata lagi," katanya dendean suara perlahan. "Akan tetapi kalau aku tetap melayani dengan tangan kosong; aku berlaku kurang hormat terhadap para pendekar Bu Tong." Ia menengok dan menggapai seorang murid Beng Kauw yang memegang sebatang toya besi.
"Coba kupinjam toyamu," katanya.
Dengan kedua tangan, murid itu menyerahkan senjatanya kepada In Thian Ceng. Begitu menyambuti, si kakek mengerahkan tenaganya.
"Tak !", toya besi itu patah menjadi dua potong! Semua orang mengeluarkan seruan tertahan. Mereka tidak menduga, bahwa In Thian Ceng yg sudah begitu tua masih mempunyai tenaga yan sedemikian hebat.
Boh Seng Kok tahu, bahwa lawannya pasti takkan menyerang lebih dulu. Maka itu, tanpa sungkan2
lagi, ia segera membuka serangan dengan pukulan Pekuiauw Tiauw hong (Ratusan burung menghadap kepada burung Hong). Dengan tegetarnya ujung pedang, seolah2 puluhan batang pedang menyambar dengan beberapa pukulan ini masih tetap merupakan kiam hoat kehormatan terhadap seorang yg tertua.
Sambil menangkis dengan toya buntung yang dicekal dalam tangan kirinya. In Thian Ceng berkata
"Bocah Cit hiap tak usah berlaku sungkan". Setelah lewat gebrakan pertama, pertempuran lantas saja berlangsung dengan hebatnya.
Dengan senjata yg lebih berat, gerakan2 In Thian Ceng kelihatan kaku dan perlahan. Akan tetapi orang2 yg berkepandaian tinggi mengetahui, bahwa si kakek melayani lawanya dengan pukulan2 yg disertai Lweekang yg sangat tinggi. Di lain pihak, Boh Seng Kok menyerang bagaikan harimau edan dalam sekejap ia telah mengirim enampuluh lebih serangan yg membinasakan.
Makin lama Boh Seng Kok menyerang makin cepat, sehingga belakangan orang hanya bisa melihat sinar berkelebatnya pedang dan tak bisa mengenali lagi gerakan pukulan2nya. Kun-lun dan Go-bie adalah partai2 yg terkenal dalam ilmu pedangnya. Tapi biarpun begitu, orang2 kedua partai tersebut masih merasa sangat kagum akan lihainya Boh Cit Hiap. Mereka harus mengakui, bahwa tersohornya Bu tong Kiam hoat bukan nama kosong belaka.
Akan tetapi, biapun sudah menyerang bagaikan topan, pedang Boh Seng Kok masih tetap tak bisa menembus garis pertahanan si kakek itu.
"Si tua telah merobohkan sorang tokoh Hwa san pay dan tiga jago Siauw Lim," pikir Boh Seng Kok.
"Dia juga sudah bertempur melawan Sio Ko dan aku adalah lawannya yang kelima. Jika aku tidak memperoleh kemenangan, dimana aku harus menaruh muka Bu Tong pay?" Memkir begitu, seraya membentak keras, ia mengubah Kiam hoatnya. Dengan mendadak, pedang yg kaku menjadi lemas, seperti ikatan pinggang. Itulah Jiauw cie Jioe Kiam dari Bu Tong pay itu yang semuanya memuat tujuh puluh dua jurus (Jiauw cie Jioe Kiam " ilmu pedang lembek memutari jati tangan.
Tanpa tertahan lagi, para penonton bersorak sorak.
Mau tak mau In Thian Ceng terpaksa mengubah cara bersilatnya. Sekarang ia menggunakan ilmu ringan badan dan melawan dengan kecepatan pula.
Sekonyong2 Boh Seng Kok membentak dan pedangnya menyambar dada lawan. Tapi sebelum menyentuh dada, ujung pedang mendadak membengkok dan menyambar pundak kanan si kakek. Dalam menggunakan Jiauw Jie Jioe Kiam, orang harus mempunyai Lweekang yg sangat tinggi untuk mengubah sifatnya pedang dari kaku menjadi lemas. Dapat dimengerti, bahwa serangan pedang yg lemas seperti ikatan pinggang sangat sukar ditangkis. Walaupun berpengalaman, In Thian Ceng belum pernah bertemu dengan kiam hoat yg seaneh itu.
Demikianlah, melihat sambaran pedang dipundaknya, ia mengengos sebab sudah tidak keburu untuk menangkis lagi.
Mendadak terdengar suara "cring!" ujung pedang membal dan menikam lengan kirinya!
Hampir berbareng dengan tikamana yg tepat itu, In Thian Ceng mengulur tangan kanannya entah bagaimana tangan itu mulur setengah kaki dan menyapu pergelangan Boh Seng Kok! Sambaran kilat itu
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
berhasil merampas pedang Boh Cit hiap! Lebih celaka lagi, tangan kanan si kakek sudah menempel di Kian tin hiat, di pundak Boh Seng Kok.
Eng Jiauw Kim na chioe (cengkeraman ceker burung elang) dari Peh bie Eng ong adalah suatu ilmu yang sangan tersohor dalam rimba persilatan. Pada jaman itu, tidak ada manusia yg dapat menandinginya.
Sekali ia mencengkram dengan menggunakan Lweekang, tulang pundak Boh Cit hiap akan hancur seumur hidup dan ia akan menjadi seorang yg bercacad.
Para pendekar Bu tong kaget tak kepalang. Tapi baru saja ia melompat niat untuk memberi pertolongan si kakek menghela napas dan berkata dengan suara duka:
"Satu saja sudah lebih daripada cukup , perlu apa terulang lagi?" Ia melepaskan cengkeramannya dan tangan kanannya menarik pedang yg dirampas. Begitu pedang tercabut, darah mengucur dari lengan kirinya.
Seraya mengawasi pedang itu, ia berkata pula. "Selama puluhan tahun, loohu belum pernah dikalahkan, Thio Sam Hong. Kau benar2 lihai?"
Boh Seng Kok berdiri terpaku dan mengawasi dengan mulut ternganga. Lewat beberapa saat, barulah ia bisa membuka mulut. "Terima kasih atas budi loocian pwee yang sudah menaruh belas kasihan."
"Tanpa menjawab In Thian Ceng mengangsurkan pedang yang telah dirampasnya. Tapi Beh Cit hiap merasa malu dan segera mengundurkan diri tanpa menerima senjatanya.
Bu Kie segera merobek tangan bajunya, tapi baru saja ia mau maju untuk membalut luka kakek luarnya, dari barisan Bu teng sudah keluar seorang pria yg jenggotnya, yang berwarna hitam, melambai sampai di dada dan mengenakan pakaian imam. Orang itu bukan lain dari pada Seng Wan Kiauw. Kepala Bu tong Cit hiap. "Permisikanlah aku membalut luka Loocianpwee." Katanya dengan suara manis. Tanpa menunggu jawaban, ia mengeluarkan obat, melaburnya diluka sikakek dan membalutnya dengan sapu tangan.
Melihat keangkeran dan keagungan Song Wan Kiauw, orang2 He Bie Kauw, maupun Beng Kauw, tidak merasa curiga "Terima kasih," kata In thian Ceng.
Bu Kie girang. "Mungkin karena merasa berterima kasih, Song Supeh sudah membalut luka Gwa kong," pikirnya. "Biarlah permusuhan bisa habis sampai disini."
Tapi diluar dugaan, sesudah selesai membalut, Song Wan Kiauw mundur setindak dan berkata seraya mengibas tangannya. "Aku yang rendah ingin minta pengajaran dari Loocianpwee!"
Bu Kie terkesiap. Tanpa merasa, ia berteriak. "Tidak adil! Melawan seorang tua dengan bergiliran adalah perbuatan tak adil!"
Semua orang menengok dan mengawasi pemuda yang berpakaian compang camping itu kecuali orang Goe Bie Pay, Song Ceng Su In Lie Heng. Swee Poet Tek dan beberapa orang lain, tak ada yang tahu siapa adanya Bu Kie.
"Tak salah perkataan sahabat kecil itu," kata Song Wan Kiauw. "Hari ini kita menunda permusuhan antara Bu Tong dan pek bie kauw. Sekarang ini adalah saat yg memutuskan dalam pergulatan antara enam partai dan Beng Kauw. Maka itu, kami dari Bu tong pay menantang pihak Beng Kauw."
Dengan matanya yang sangat tajam, perlahan lahan In Thian Ceng menyapu seluruh lapangan. Yo Siauw Wie It Siauw dan lain2 pemimpin belum bisa bergerak. Jago-jago Ngo heng Kie sudah roboh semua kalau tidak binasa, luka berat, puteranya sendiri, In Ya Ong, menggelatak dalam keadaan pingsan.
Dalam kalangan beng kauw hanialah ia seorang yang masih dapat menandingi Song Wan Kiauw. Tapi sesudah melawan lim ajago, ia mulai merasa lelash dan disamping itu, iapun sudah terluka.
Selagi si kakek mengasah otak untuk mencari jalan keluar, seorang tua yang bertubuh kecil dari rombongan Kong tong pay itu tiba2 berteriak. "Tenaga Mo Kauw telah memusnah. Kalau sekarang kamu tidak mau menakluk, mau tunggu sampai kapan lagi?"
"Kong tie Taysu! Marilah kita hancurkan sin wie (tempat pemujaan) dari tigapuluh tiga Kauwcu Mo Kauw!"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Dalam gerakan membasmi Beng Kauw, Hong thio (kepala gereja) Siauw Lim sie, yaitu Kong buq Taysu, tidak turut serta, karena ia harus tetap menjaga kuil Siauw Lim sie, karena ia harus tetap menjaga kuil Siauw Lim sie di Siong san. Maka itu, murid2 Siauw Lim sie dipimpin oleh Kong tie taysu. Sebab Siauw lim sie mempunyai kedudukan sangan tinggi dalam Rimba persilatan, maka partai2 yg mengikat dalam gerakan ini dengan suara bulat telah mengangkat Kong tie taysu sebagai pemimpin.
Sebelum Kong tie menjawab, seorang dari Haw san pay sudah mendahului. "Apa" Menakluk" Hari ini, tak satupun dari kawanan mo kauw yang boleh dibiarkan hidup terus. Kita harus membasmi sampai diakar2nya. Kalau masih ada yang ketinggalan dikemudian hari dunia kang ouw bisa dikacaukan lagi. Hei kawanan Mo kaow! Lebih baik kamu menggorok leher sendiri, supaya tuan besarmu tak usah berabe!"
Diam2 In Thian Ceng menggerakkan lwee kang. Ia merasa lengan kirinya tertusuk pedang sampai di tulang dan pada waktu menggerahkan tenaga dalam, ia merasa sangat sakit. Ia tahu bahwa sebagai murid kepala Thio Sam Hong, Song Wan Kiauw telah mendapat seluruh kepandaian guru besar itu. Dalam keadaan segar, belum tentu ia bisa memperoleh kemenangan. Apalagi sekarang setelah ia lelah dan terluka.
Tapi sebab lain2 jago Beng Kauw sudah binasa atau terluka berat, maka baginya, tidak ada pilihan lagi dari pada hanya mengadau, jiwa. Ia tidak takut mati ia hanya merasa sayang bahwa nama besarnya yang sduah dijaga seumur hidup bakal segera menjadi hancur.
"In Loocianpwee," kata Song Wan Kiauw, "Antara Bu tong pay dan peh bie kauw terdapat permusuhan yang dalam bagaikan lautan. Tapi kami tidak ingin menggunakan kesempatan pada waktu musuh sedang menghadapi bahaya. Maka itu, persoalan ini dapa tditunda dan diperhitungkan dikemudian hari. Tujuan dari enam partai adalah untuk menyerang Beng Kauw, Peh Bie Kauw sudah memisahkan diri dari Beng Kauw dan kenyataan ini sudah diketahuik oleh semua orang. Perlu apa In Loocianpwee turut menceburkan diri" Kuharap Loocianpwee suka mengajak semua anggota Peh bie kauw dan turun dari gunung ini."
Semua orang tahu, bahawa karena utusan Jie Thay Giam, Bu tong pay telah bermusuhan hebat dengan Peh bie Kauw. Maka itu, perkataan Song Wan Kauw yg membuka jalanan hidup bagi Peh bie kauw, sudah membangkitkan rasa heran dan kagun dama hatinya semua orang.
In Thian Ceng tertawa terbahak2.
"Song Tayhiap, banyak berterima kasikh untuk maksudmu yg sangat baik," katanya. "Tapi biar bagaimanapun jg, loohu adalah salah seorang dari keempat Hu Kauw Hoat Ong. Meskipun benar loohu sudah mendirikan agama lain, tapi jika Beng Kauw berada dalam keadaan bahaya, loohu pasti tidak bisa berpeluk tangan diluar gelanggang. Hari ini loohu rela mengorbankan jiwa Song tayhiap, kau mulailah!"
Seraya berkata begitu, ia maju setindak dan memasung kuda2.
"Baiklah!" kata Song Wan Kiauw. Ia mengangkat telapak tangan kirinya dan menempelkan tinju kanan pada telapak kanan itu.
Itulah Ceng chioe sit, suatu gerakan yg memberi hormat kepada seorang yg tingkatannya lebih tinggi.
Bu tong pay adalah partai yg belum lama didirikan dan dalam mengubah ilmu silat Bu tong, Thio Sam Hong menggunakan cara2 tersendiri, lain dari pada yg lain. Maka itu, gerakan Song Wan Kiauw tak dikenal In Thian Ceng. Tapi melihat lawannya agak membungkuk, ia tahu, bahwa Wan Kiauw memberi hormat, sehingga oleh karenanya, ia berkata, "Song Taihap, jangan berlaku sungkan."
Sambil berkata begitu, ia mengangkat kedua tangannya kedada untuk membalas hormat.
Menurut kebiasaan, Wan Kiauw harus maju dan menyerang. Tapi berbeda dengan kebiasaan Song Tayhiap, mengirim pukulan tanpa bertindak maju. Pukulan itu dikirim dari jarak setombak lebih.
In Thian Ceng terkejut. Apakah ilmu silat Bu tong sudah begitu lihai, sehingga memiliki Sin kang Khek san Pah goe" Tanyanya dalam hati. Buru-buru ia mengerahkan tenaga dalam dan mengibaskan tangan kanannya untuk menangkis. (Khek san Pah goe " dengan terliang gunung pemukul kerbau, semacam ilmu yg dapat merobohkan lawan dari jarak jauh dengan "angin" pukulan yg disertai lweekang tertinggi).
Tapi sekali lagi, ia kaget karena sampokannyat idak terbentur dengan tenaga lawan. Dalam kagenya ia pun merasa heran.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Sudah lama aku mengagumi ilmu loocianpwe dan guruku pun sering menyebutkan kepandaian loocianpwee yang sangat tinggi," kata Song Wan Kiauw. "Tapi sekarang loocianpwee sudah bertanding dengan beberapa orang, sedang boanpwee masih segar, sehingga kalau kita mengadu kepandaian menurut cara yg biasa, pertanidngan itu sangat tak adil. Sekarang begini saja, kita hanya mengadu jurus tak mengadu trenaga." Seraya berkata begitu, dari jarak setombak lebih ia menendang. Tendangan itu cepat bagaikan kilat yg dikirim dari arah yang tak diduga-duga, suka dielakan dan dalam pertempuran biasa, pasti akan dapat merobohkan seorang ahli silat yg ternama.
"Sungguh indah tendangan itu!" memuji In Thian Ceng seraya meninju. Dengan tinju itu yaitu siasat membela diri dengan menyerang (the best defense is by offense "!"!") si kakek berhasil memunahkan tendangan Wan Kiauw, yg lantas saja membalas pukulan telapak tangan.
Demikianlah, dari jarak jauh, mereka mulai serang menyerang.
Makin lama, silat mereka makin cepat. Walau pun mereka bertempur dari jarak jauh, tetapi semua pukulan tidak disertai tenaga dalam dan tidak menyentuh badan, tapi mereka adalah ahli2 silat kelas utama, maka masing2 tahu kalah menangnya. Andaikata pukulan yg satu tidak dapat dipunahkan pihak yg lain, maka pihak yang kalah takkan bisa tidak mengakui akan kekalahannya. Bukan saja dia, tapi lain2
ahli silat yg berkepandaian tingipun bisa mengikut jalannya pertempuran luar biasa itu.
Mereka bertanding hebat sekali tidak kalah hebatnya seperti dalam pertandingan sungguhan. Sesuai dengan azas ilmu silat Bu Tong, Wan Kiauw menggunakan ilmu "lembek" untuk menindih "kekerasan"
lawan, sedang Thian Ceng mengutamakan "kekerasan" untuk menghancurkan "kelembekan" orang.
Waktu In Thian Ceng melawan Thio Siong Kee dan Boh Seng Kok, Bu Kie tidak dapat memperhatikan dari semua jurus2 mereka, karena dalam kebingungan dan berkuatir akan keselamatan mereka. Tapi sekarang, karena mengetahui bahwa pertandingan itu hanya memutuskan kalah dan menang dan tidak membahayakan jiwa, maka dengan lega hati ia bisa memusatkan seantero perhatiannya kepada jalan pertempuran.
Makin lama ia menonton, makin besar rasa tak mengertinya. "Gwa-kong dan Song Toa supeh adalah ahli2 utama dalam Rimba persilatan, tapi mengapa ilmu silat mereka begitu banyak cacadnya?", tanyanya di dalam hati. "Bila lengan Gwa-kong kekiri setengah kaki, tinjunya yg tadi pasti akan mampir tepat didada Toa supeh. Bila sambarang tangan Toasupeh terlambat sedetik, cengkeramannya kearah pundak Gwa Kong tentu berhasil. Apakah mereka sengaja saling mengalah" Ditinjau dair jalannya pertempuran, kelihatannya bukan begitu."
Memang. Dalam pertandingan jarak jauh itu, baik In Thian Ceng maupun Song Wao Kiauw tak saling mengalah. Adalah tidak benar jika dikatakan, bahwa kepandaian kedua jago itu banyak cacadnya. Sebab musabab dari masuknya jalan pikiran tadi kedalam otak Bu Kie ialah karena, sesudah memiliki Kio yang dna Kian koe Tay lo ie Sin kang, dalam ilmu silat, pemuda itu sudah lebih unggul setingkat daripada In Thian Ceng " Son Wan Kiauw. Pukulan2 yg dapat dibayangkan dan dapat pula dilakukan oleh Bu Kie, tidak akn dapat dilakukan oleh In Thian Ceng " Song Wan Kiauw, maupun oleh jago-jago lain. Sebagai contoh, jika seekor burung yg terbang diangkasa melihat caranya berkelahinya dua harimau, dia bisa bertanya di dalam hatinya. "Mengapa harimau itu tak mau terbang menubruk musuhnya?"
"Apabila si harimau akan berbuat begitu, bukankah dia akan mendapat kemenangan?" si burung tak tahu, bahwa harimau tidak mampu terbang.
Karena belum cukup berpengalaman, sebab musabab itu belum dapa dipikir Bu Kie.
Sesudah bertanding lagi beberpa alama tiba2 Song Wan Kiauw mengubah cara bersilatnya. Kedua tangannya seperti menari nari dan gerak geraknnya lemas bagaikan kapas. Itulah Bian Ciang (ilmu pukulan kapas) dari Bu Tong pay. In Thiang Ceng membenak keras dan memperhebat serangan2nya dalam ilmu silat keras untuk melawan pukulan2 "lemek" dari lawannya.
Lewat beberapa saat, sekonyong2 telapak tangan kiri Song Wan Kiauw menyambar, disusul dnegna pukulan telapak tangan kana yg biarpun dikirim belakangan tiba terlebih dahulu. Hampir berbareng, telapan tangan kirinya miring dan menyusul pula dari belakang. Melihat seluruh tubunya sudah ditutup dengan pukulan lawan, seraya berteriak In Thian Ceng mengeluarkan kedua tinjunya. Semua orang terkejut. Dua telapak tangan dan dua tinju menempel satu sama lain di tengah udara!
Sesudah mengeluarkan seantero kepandaian dan sesudah menbapai gebrakan yg memutuskan, kedua jago itu tidak bisa berbuat lain drpd mengadu tenaga lawan.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Tiba2 Song Wan Kiauw bersenyum dan menarik pulang kedua tangannya. "Ilmu silat Locianpwee tinggi luar biasa dan boanpwee merasa takluk," katanya seraya membungkuk. In Thian Ceng pun segera menarik pulang tinjunya dan berkata dengan suara manis. "Sekarang loohu mengakui, bahwa semenjak dahulu Ciang Hoat (Ilmu pukulan dengan tangan kosong) dari Bu tong pay tiada tandingannya di dalam dunia."
Karena sudah berjanji untuk tidak bertanding dengan menggunakan tenaga dalam, maka pertandingan itu tidak dapat dilangsungkan lagi.
Dipihak Bu tong pay masih ada Jie Lian Ciu dan In Lie Heng yg belum turun ke dalam gelanggang.
Ketika itu muka In Thian Ceng berwarna merah dan diatas kepalanya keluar uap dari hawa panas.
Biarpun dalam pertandingan td ia tdiak menggunakan tenaga dalam, tapi karena lawannya terlalu kuat dan ia bersilat dengan menggunakan seantero kepandaian, maka sekarang tenaganya sudah habis sama sekali. Maka itu, jika turun kedalam gelanggang, Jie Lian Ciu atau In Lie Heng dengan mudah bisa merobohkannya dan mendapat nama besar sebagai jago yg telah menjatuhkan Peh bie Eng ong. Kedua pendekar Bu tongitu mengawasi dan kemudian menggeleng2kan kepalanya. Mereka sungkan menggunakan kesempatan selagi lawan habis tenaganya. Mereka yakin, bahwa mereka akan menang, tapi kemenangan itu, bukan kemenangan yg boleh dibanggakan.
Tapi kalau tokoh2 Bu tong memikir begitu, orang lain tidak demikian. Dari barisan Khong tong pay mendadak melompat keluar seorang tua yg bertubuh kate kecil. Ia adalah orang yg menyarankan untuk membakar tempat pemujaan para kauwcu Beng-kauw.
Begitu berhadapan dengan In Thian Ceng ia berkata, "Aku si orang she tong ingin bermain main sedikit dnegan In Loojie." Tantangan itu ia keluarkan dengan suara yg sangat memandang rendah.
Peh Bie Eng ong melirik dan mengeluarkan suara dihidung. "Dalam waktu biasa, Khong Teng Ngo loe tidak masuk dalam perhitungan," pikirnya. "Celaka sungguh! Benar jg kata orang harimau yg kesasar ditanah datar akan dihinakan oleh kawanan anjing. Jika roboh dalam tangan Bu tong Cit hiap, aku rela.
Terhadap Tong Bun Liang, tak nanti aku mengalah." Waktu ia merasa sekujur badannya lemas dan keinginan satu2nya merebahkan diri di pembaringan. Tapi mendengar tantangan Bun Liang darahnya meluap dan alisnya yg putih beridir. Sambil mengepos sisa tenaganya yg penghabisan, ia membentak,
"Bocah! Kau mulailah!"
Tetua Khong Ting itu mengerti, bahwa sesungguhnya keabisan tenaga, dalam beberapa jurus saja In Thian Ceng akan roboh sendiri. Maka itu, tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi, ia segera melompat kebelakang musuhnya dan mengirim tinju kepunggung Peh bie Eng ong. In Thian Ceng mengengos dan menangkis, tp Tong Bun Liang sudah melompat kesamping dengan gerakan yg sangat gesit. Benar saja, baru beberapa gebrakan mata In Thian Ceng gelap dan memuntahkan darah dari mulutnya. Badannya tergoyang goyang tanpa tercegah lagi, ia jatuh duduk.
Tong Bun Liang girang, "In Thian Ceng! Hari ini kau mampus dalam tanganku!" teriaknya seraya melompat keatas.
Melihat Tong Bun Liang melompat tinggi dan dari atas menghantam kebawah, Bu Kie terkesiap dan mengambil keputusan untuk menolong kakeknya. Tapi sebelum ia bergerak, In Thian Liang sudha mengangkat tangan kanannya dalam suatu gerakan menyeramkan unutk menyambut musuhnya. Tong Bun Liang sudah tak dapat mengelakan sambutan itu.
"Krek!....krek!" kedua tangan jago Khong tong itu patah karena pukulan Eng Jiauw Kim na ohioe.
Sekali lagi terdengar "krek-krek" dan tulang kedua betisnya pun turut patah. Ia jatuh ambruk tanpa bisa bergerak lagi.
Semua orang mengawasi dengan mata membelak. Mereka tak pernah menduga, bahwa sesudah terluka berat, In Thian Ceng masih bisa berbuat begitu.
Dengan robohnya tetua mereka yg ketiga, orang2 Khong tong tentu saja merasa malu. Karena Khong Tong Bun Liang menggeletak didekat Peh bie Eng ong, tiada seorang pun yg berani maju menolong.
Sesudah berselang beberapa saat dari barisan Khong tong barulah keluar seorang tua bongkok yg bertubuh tinggi besar. Sambil menendang sebutir batu kearah In Thian Ceng ia membentak, "Peh Bie Lonh Jie! Biarlah aku si orang she Cong membereskan perhitungan lama denganmu.
Orang itu she Cong bernama Wie Hiap tetua kedua dari Khong tong Ngoloo. Dengan menyebutkan
"perhitungan lama" dapatlah diketahui bahwa dahulu ia sudah pernah dirobohkan oleh In Thian Ceng.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Tak!" batu yg di tendang Cong Wie Hiap mampir tepat didagu In Thian Ceng yg lantas saja mengucur darah. Semua orang terkejut, terhitung Cong Wie Hiap sendiri, yg sama sekali tidak menduga, bahwa batu itu bisa melukakan musuhnya. Sekarang ia tahu, bahwa In Thian Ceng tidak berdaya lagi, dan satu pukulan saja sudah cukup untuk membinasakannya. Ia maju seraya mengangkat tangannya.
Tiba2 dari barisan Bu tong pay melompat keluar seorang yg menghadang di hadapannya. Orang itu yg berparas angker dan mengenakan jubah panjang yg terbuat dari kain kasar, bukan lain daripada Bu tong Jie hiap Jie Lian Ciu. Sambil menjura Jie hiap berkata, "Cong Heng In Kauwcu terluka berat, sehingga biarpun kau menang, kemenangan itu bukan kemenangan gemilang. Dengan partai kami, In Kauw Cu ia mempunyai perhitungan2 yg belum dibereskan. Maka itu, siauwtee harap Cong heng suka menyerahkannya kepada siauwtee."
Cong Wie Hiap mengeluarkan suara di hidung. "Terluka berat?" ia menegas. "Huh-huh! Dia berlagak mampus. Kalau tadi dia tidak berpura pura, Tong Sam Tee tentu tidak sampai celaka. Jie Jie Hiap, kau mengatakan partaimu memiliki perhitungan dengan dia. Akupun mempunyai perhitungan dengan dia.
Aku akan menyerahkan dia kepadamu, sesudah menghajarnya tiga kali..."
Jie Lian Ciu yg ingin menolong In Thiang Ceng, lantas saja berkata. "Cit siang kun dari Cong Heng tersohor dalam Rimba Persilatan. Dalam keadaan begini, mana bisa In Kauw Cu menerima tiga pukulanmu?"
Paras muka jago Khong tong itu lantas saja berubah. "Kalau begitu, begini saja, katanya dengan suara mendongkol." Dia telah mematahkan kaki tangan Tong Sam Tee. "Aku akan mematahkan jg kaki tangannya. Ini yang dinamakan pembayaran tunai."
Jie Lian Ciu kelihatan bersangsi.
"Jie Jie hiap!" bentuk Cong Wie Hiap. "Sebelum berangkat ke See heek, enam partai telah membuat perserikatan dengan sumpah yg berat. Mengapa kau sekarang ingin melindungi situa bangka dari Mo Kauw itu?"
Jie hiap menghela napas. "Baiklah, sekarang kau boleh berbuat sesukamu," katanya. "Sesudah kembali di Tionggoan, aku akan minta pengajaran dari Cit Siang Kun mu."
Cong Wie Hiap kaget. Ia tak mengerti mengapa Jie Lian Ciu coba menolong In Thian Ceng. Ia merasa jeri terhadap Bu tong pay, tapi di hadapan banyak orang, ia tak mau memperlihatkan kelemahannya.
Seraya tertawa dingin, dia berkata. "Di dalam dunia, orang tidak boleh melampui kepantasan. Biarpun Bu tong pay lebih kuat daripada sekarang, ia tidak boleh berbuat sewenang wenang."
Perkataan itu sangat kejam, secara langsung menyeret nama partai dan secara tidak langsung menyentuh sama Thio Sam Hong sendiri. Song Wan Kiauw mendongkol. "Jie tee!" seruanya. "Biarkan dia berbuat sesukanya!"
"Baiklah," jawab si adik. "Sungguh seorang gagah sejati! Sungguh seorang gagah sejati!"
Perkataan itu seperti juga mau memuji In Thian Ceng dan mengejek Cong Wie Hiap. Tetapi karena tidak mau bermusuhan dengan Bu Tong Pay, tetua Khong tong itu berlagak tidak mengerti. Begitu lekas Jie Lian Ciu mundur, ia segera maju mendekati korbannya.
Sementara itu, Kong tie Taysu mengeluarkan perintah dengan suara yang sangan lantang. "Aku minta Hwa san pay dan Khong tong pay membinasakan sisa kawanan Mo kauw yg berada dilapangan ini. Bu tong pay menggeledah disebelah barat dan Go Bie Pay menggeledah disebelah disebelah timur.
Seorangpun tidak boleh terlolos. Kun Lun Pay menyediakan bahan2 api untuk membakar serang Mo-Kauw."
Sesudah membagi tugas kepada lima partai, ia merangkap kedua tangannya, seraya berkata, "Aku minta murid2 Siauw Lim Sie menyediakan alat2 sembahyang dan membaca kitab suci, supaya para enghiong dari enam partai dan para pengikut Mo Kauw yang sudah meninggal dunia, bisa mendapat temapt yang lapang dialam baqa dan supaya hutang piutang ini bisa berakhir sampai disini.
Selagi Kong tie mengeluarkan perintah, Cong Wie Hiap menghentikan tindakannya dan turut mendengari. Sesaat kemudian, ia maju lagi. Semua orang menahan napas. Begitu lekas pukulan dikirim, In Thian Ceng akan binasa dan usaha membasmi Mo Kauw turut selesai.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Pada detik menghadapi kemusnahan, kecuali yang terluka berat dan tidak bisa bergerak lagi, semua anggauta Beng kauw segera bersila dilantai dengan kedua tangan yg sepuluh jarinya terpentang itu merupakan simbol dari api yg berkobar2. Sambil memeramkan mata, mereka mengikuti yo Siauw mendia menurut cara Beng Kauw
"Membakar ragaku, Api nan suci, Hidup, apa senangnya, Mati, apa susahnya" Untuk kebaikan menyingkirkan kejahatan,
Guna kegemilangan Beng Kauw,
Kesenangan dan kedukaan, Semua berpulang kedalam tanah,
Kasihan manusia dalam dunia,
Banyak yang menderita! Kasihan manusia dalam dunia,
Banyak yang menderita!"
Dalam mengucapkan doa itu, dari Yo Siauw yg berkedudukan paling tinggi sampai pada pegawai daput yg berkedudukan paling rendah sedikitpun tidak mengujuk rasa takut, suara mereka lantang dan sikap merekapun angker.
Jie Lian Ciu mendengari dengan hati berduka. Ia merasa bahwa mereka yg bisa bersikap tabah dalam menghadapi kebinasaan dan bahkan masih bisa berkasihan terhadap manusia yg hidup menderita, adalah orang2 gagah yang mulia.
"Pendiri Beng Kauw seorang mulia, hanya sayang pengikut2 nya yang belakangan menyeleweng dari jalan yang benar!" katanya di dalam hati (kalau salah ketikan dari paragraph ini krn OCR nya ga kebaca
>< - red) Sementara Bu Kie yg semula merasa keder sebab menghadapi begitu banyak orang, sekarang menjadi nekad. Ia nekad karena Cong Wie Hiap sudah mendekati kakeknya dan Kong tie sudah mengeluarkan perintah untuk membunuh sisa anggota Beng Kauw. Dengan sekali melompat ia sudah menghadang di depang Cong Wie Hiap. "Tahan!" bentaknya. "Kau ingin membunuh seorang yg sudah terluka berat apa kau tidak takut ditertawai?" Ia membentak dengan bernafsu, sehinga suara menggeledek dan menggetarkan seluruh lapangan. Semua orang yang sudah bergerak untuk menjalankan perintah Kong Tie, serentak menghentikan serangannya dan mengawasi pemuda itu.
Melihat, bahwa yang mencegatnya tak lebih daripada seorang pemuda yg berpakaian compang camping, Cong Wie Hiap bersenyum tawar dan segera mendorong Bu Kie, yg lantas mengengos seraya menyampok dengan tangannya.
"Plak!" Cong Wie Hiap terhuyung tiga tindak. Secepat kilat ia mengerahkan tenaga kedua kakinya supya bisa berdiri tetap. Tapi diluar dugaan, gelombang tenaga Bu Kie terus mendorongnya sehingga tubuhnya terjengkang. Sebagai seorang ahli silat, dalam bahaya, buru-buru ia menotol tanah dnegan kaki kanannya dan badannya lantas saja melesak kebelakang setombak lebih. Tapi, waktu kedua kakinya hinggak ditanah, gelombang tenaga itu masih belum mereda, sehingga ia kembali terhuyung tujuh delapan tindak!
Itulah kejadian yg betul2 diluar dugaan. Semua orang tidak mengerti sebab musababnya. Mereka mengira Cong Wie Hiap sengaja main gila atau berguyon. Cong Wie Hiap sendiri tak pernah mimpi, ?"?"
(asli ga kebaca !!!! - Red)-itu bertenaga sedemikian besar.
Sesudah mengumpukan semangatnya, Cong Wie Hiap mengawasi Jie Lian Ciu dengan mata melotot.
"Lelaki harus berterang!" teriaknya. "Tak boleh menyerang orang denga panah gelap!" Ia menaksir, bahwa tadi Jie Lian Ciu memberi bantuan secara menggelap atau mungkin sekali bantuan itu diberikan oleh kelima pendeta Bu tong dengan serentak. Sebab tak bisa jadi seorang manusia mempunyai tenaga yang begitu besar.
Jie Lian Ciu bingung, tapi karena tak merasa bersalah, ia tak mempedulikan dan hanya balas melotot,
"Gila betul!" katanya dalam hati.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Sementara Cong Wie Hiap sudah maju mendekati Bu Kie dan membentak seraya menuding, "Bocah siapa kau!"
"Aku Can A Goe," jawabnya seraya mengangsurkan tangan dan menempelkannya di leng tay hiat di punggung In Thian Ceng. Gelombang tenaga yang berhawa panas lantas saja menerobos masuk kedalam tubuh si kakek. Jago tua itu membuka kedua matanya yg mengawasi Bu Kie yg membalas dengan senyuman sambil menambah tenaganya. In Thian Ceng heran tak kepalang. Tenaga itu sangat menakjubkan. Sebelum Cong Wie Hiap tiba dihadapkannya, dada dan tantiannya yang menyesak sudah lega kembali. Terima kasih sahabat kecil bisiknya.
Dengan gagah ia melompat bangun dan berkata dengan suara lantang. "Orang she Cong! Apa jempolnya Cit Siang Kun dari Khong tong pay" Mati! Aku bersedia untuk menerima tiga serangmu."
Ceng Wie Hiap bangun. Ia tak nyana lawannya bisa segera berangkat dengan semangat penuh.
Bagaimana bisa jadi begitu" Hatinya lantas saja merasa jeri, terutama terhadap Eng Jiauw Kim Na Chioe yg sangat lihai "Memang Cit siang kun tak dapat dikatakan jempol!:" katanya. "Baik." Kau terimalah tiga tinjuku. I dalam hati ia mengambil keputusan untuk mengadu Lweekang, supaya pertandingan yg lama, tenaganya yg masih segar akan dapat mengalahkan lawan yg sudah payah.
Mendenger disebutkannya Cit "siangkun", didpn mata Bu Kie segera tebayang kejadian pada malam itu di pulau Peng hweeto, dimana ayah angkatnya telah menceritakan peristiwa kebinasaan Kong Kian Tayeoe akibat pukulan Cit Siangkun. Belakangan ia sendiri disuruh menghafal teori Cit Siangkun dan pernah digaplok beberapa kali oleh ayah angkat itu sebab tidak bisa menghafal lancar. Ia ingat pula teori ilmu pukulan tersebut dan... ia sekarang mengerti artinya teori itu. Ia heran tak kepalang. Mengapa ia jadi begitu cerdas!
Ia tak tahu, bahwa sebab musababnya terletak pada kenyataan, bahwa ia sudah mahir dalam Kioe yang dna Kim kun Tay lo ie Sing kang Kioe yang meliputi segala rupa lweekang yg terdapat diseluruh Rimba Persilatan, sedang Kiam kun tay lo ie ialah ilmu untuk mengerahkan tenaga dalam dan menggunakannya.
Dengan demikian, sesudah dapat memahami kedua Sing kang yg tertinggi itu, lain2 ilmu silat sudah tak jadi soal baginya.
"Jangankan tiga, tiga puluh tinjupun akan kuterima," kata In Thian Ceng. Ia berpaling pda Kong tie dan berkata dengan suara lantang, "Kong Tie Taysu, sebelum mati, aku belum menyerah kalah! Apakah kau mau berbuat sewenang wenag dengan mengunakan jumlah yang besar.
Ternyata pada waktu tiba di Kong Beng Teng melihat Yo Siauw dan beberapa tokoh lain sudah terluka, dengan menggunakan kata2 tajan In Thian Ceng berhasil mencegah pengeroyokan kepada pihaknya. Sesuai dengan kebiasaan dalam Rimba Persilatan, Kung tie Taysu telah menyetujui untuk mengadu kekuatan dengan satu melawan satu. Tapi pada akhirnya jago-jago Peh Bie Kauw dan Ngo heng Kie roboh semua, kalau tidak mati terluka hebat, dan yg ketinggalan hanialah si kakek sendiri. Tapi sebegitu lama In Thian Ceng masih belum menyerah, Kong tie memang tidak boleh memerintahkan pembasmian.
Bu Kie tahu, bahwa biarpun keadaannya sudha banyak mendingan, kakeknya tidak boleh menggunakan terlalu banyak tenaga. Kegagahan orang tua itu terhadap Cong Wie hiap telah didorong oleh tekad untuk berkelahi sampai binasa. Maka itu, ia segera berbisik, "In locianpwee, biarlah aku yg maju lebih dahulu. Jika aku kalah, barulah locianpwee maju."
Si kakek yakin, bahwa lweekang pemuda itu, tinggi luar biasa dan dalam keadaan segar, ia tidak akan bisa menandinginya. Akan tetapi merasa bahwa ia berkewajiban untuk membela Beng kau dengan jiwanya, sedang pemuda itu yang mungkin tak punya sangkut paut dengan Beng Kauw tidak pantas untuk berkorban. Ia tahu bahwa biarpun lihai Bu Kie tak akan bisa melayani lawan yg berjumlah begitu besar.
Mana bisa ia membiarkan seorang pemuda yg begitu mulia membuang jiwa secara cuma2 diatas Keng beng Teng" Memikir begitu, ia lantas saja bertanya, "Sahabat kecil, bolehkah ku tahu partai atau rumah perguruanmu" Kau kelihatannya bukan anggota agama kami. Benarkah begitu?"
"Boanpwee memang bukan anggota Beng Kauw," jawabnya. "Tapi sudah lama boanpwee mengagumi loocianpwee dan hai ini kita berdua akan melawan musuh bersama sama."
In Thian Ceng heran tak kepalang, tapi sebelum ia keburu menanya lagi, Cong Wie Hiap sudah maju sambil berteriak, "Orang she In, sambutlah tinju pertama!"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Tahan!" bentak Bu Kie, "In Loocianpwee mengatakan, bahwa kedudukanmu belum cukup tinggi untuk bertanding dengannya. Kalau kau bisa menangkan aku, barulah ia akan melayani kau."
"Siapa kau!" bentak Cong Wie Hiap dengan gusar. "Bocah, kau sungguh tak menggenal mampus! Apa kau mau berkenalan dengan kelihaian Cit Siang Koe dari Khong tong pay?"
Tiba2 serupa pikiran berkelebat dalam otaknya Bu Kie. "Untuk mendamaikan kedua belah pihak, jalan satu2 nya ialah membuka rahasia kebusukan Goan Tin," pikirnya. "Kalau menggunakan kekerasan, mana dapat aku melawan jago-jago dari enam parti. Apapula para pamanku juga berada disini. Mana bisa aku berhadapan dengan mereka sebagai musuh?"
Sesudah memikir sejenak, ia segera berkata dengan suara nyaring. "Kelihaian Cit Siang koang dari Khong tong pay sudah diketahui olehku lama sekali. Bukankah pendeta suci Siauw Lim Pay, Kong Kian Tay su, jg binasa karena pukulan itu?"
Pernyataan itu menggemparkan barisan Siauw Lim Pay. Sepanjang pengetahuan mereka, Kong Kian Tay su binasa dalam tangan Cia Sun. Turut sertanya Siauw Lim Pay dalam gerakan membasmi Beng Kauw juga bertujuan untuk membalas sakit hati ini. Tapi dalam pemeriksaan jenazah Kong Kian yg bebas dari tanda2 luka, urat2nya terputus dan tulang2nya patah, seperti dipukul Cit siang kun dari Khong tong pay.
Waktu itu, selama beberapa hari Kong Beon, Kong Tie dan Kong Seng mengadakan perdamaian rahasia. Mereka menganggap bahwa Khong tong pay tidak mempunyai jago yang berkepandaian begitu tinggi, sehingga dapat membinasakan Kong kian yang sudah berhasil dalam latihan Kim Kong Poet hoay tei Sin Kang. Maka itu biarpun tanda2 sangat mencurigakan mereka merasa bahwa pendeta suci itu bukan dibinasakan oleh orang Khong tong pay. Belakangan dengan membawa murid2nya Kong Seng membuat penyelidikan. Dari penyelidikan itu, mereka mendapat kepastian, bahwa waktu Kong kian meninggla dunia di Lok Yang, Khong tong Ngo Loo berada di dearah barat daya, sehingga pembunuh itu sudah tentu bukan dilakukan oleh kelima tetua tersebut. Sebab dalam Khong tong pay, hanya Ngo Loo yang sekiranya bisa melukakan Kong Kian, maka kecurigaan Siam Lim pay lantas saja hilang.
Disamping itu, pada tembok rumah pengindapan di Lok Yang jg terdapat tulisan yg berbunyi
"membinasakan Kong Kian Taysu dan bawah tembok ini." Belakangan Siauw lim pay tahu, bahwa orang yg menggunakan nama Seng Kun adalah Cia Sun.
Sesudah lewat banyak tahun, tiba2 Bu Kie menyebutkan lagi kejadian itu, sehingga dapatlah dimengerti jika orang2 Siauw Lim Pay menjadi kaget.
"Kong kian Taysu telah dibunuh oleh bangsat Cia Sun dan kenyataan ini diketahui diseluruh kalangan kang ouw," kata Cong Wie Hiap dengan gusar. "Dengan Khong tong pay, kejadian itu tiada sangkut pautnya."
"Apakah kau menyaksikan dengan mata sendiri pada waktu Cia Cianpwee membinasakan Kong kian Seng ceng?" tanya Bu Kie. "Apakah kau berada di tempat itu?"
Mendengar pertanyaan itu, Cong Wie lantas saja menduga, bahwa Bu Kie disuruh Bu Tong pay untuk merenggangkan perhubungan antar Khong tong dan Siauw lim pay. Karena itu, ia lantas saja berhati2.
"Waktu Kong tian Seng Ceng meninggal dunia, Lok yang Khong thong Ngo Loo berada di Inlam, sebagai tamu Lioe Tayhiap dari Tiam Cong pay," jawabnya dengan sungguh2. "Cara bagaimana bisa berada di tempat pembunuhan?"
"Maka itu," teriak Bu Kie, "Kalau benar waktu itu kau berada di In lam, cara bagaimana kau bisa mengatakan dengan pasti, bahwa Kong kian Seng Ceng dibunuh Cia Cianpwee" Adalah sebuat kenyataan yg tidak bisa dibantah lagi, bahwa Kong kian Taysu binasa karena pukulan Cit siang kun. Cia Cianpwee bukan orang Khong tong pay. Mana boleh kau menuduh orang secara serampangan?"
Cong Wie Hiap merasa dadanya seolah olah mau meledak. "Tutup mulut!" bentaknya. "Sesudah membunuh Kong Kian taysu, diatas tembok binatang Cia Sun menulis huruf2 seperti berikut. 'Seng Kun membinasakan Kong kian Taysu' dibawah tembok ini huruf2 itu ditulis dengan darah. Sesudah diketahui umum, bahwa dengan menggunakan nama gurunya, Cia Sun sudah melakukan pembunuhan diberbagai tempat."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Bu Kie terkejut karena ia tak tahu bahwa sesudah membunuh Kong kian, ayah angkatnya menulis kata2 itu ditembok. Tapi ia lantas saja mendongak dan tertawa terbahak bahak, "perkataan itu bisa ditulis oleh siapapun jua," katanya.
"Siapa yg lihat bahwa huruf2 itu ditulis oleh Cia Cianpwee" Akupun bisa mengatakan bahwa huruf2
itu ditulis oleh orang Khong tong pay. Tapi belajar Cit siang koan tidak semudah menulis." Ia menengok ke arah Kong tie and berkata pula," Kong tie taysu bukankah soohengmu binasa karena pukulan Cit siang kun" Apakah tidak benar jika aku mengatakan, bahwa Cit Siang kun serupa ilmu yang tidak pernah diturunkan oleh orang partai Kong tong pay?"
Sebelum Kong tie menjawab seorang pendeta yg bertubuh besar tinggi dan mengenakan jubah warna merah tiba2 melompat keluar dari barisan Siauw Lim Pay. Seraya mengetrok sianthungnya (tongkat pertapaan) yg bersinar keemas2an dibumi, ia membentak, "Bocah suruhan siapa kau" Apakah manusia serendah kau mau coba mengadu lidah dengan guruku?"
Bu Kie mengawasi dan segera mengenali, bahwa pendeta itu adalah salah seorang dari delapan belas loo han yg bernama Goan Im. Dahulu, pada waktu Siauw Lim pay turut datang di Bu Tong untuk mendesak orang tuanya, pendeta itulah yg sudah memberi kesaksian, bahwa beberapa murid Siauw lim sie telah dibinasakan oleh mendiang ayahnya. Waktu itu, dalam kedukaan yg sangat besar, ia memperhatikan muka setiap orang dan menyimpan didlm otaknya. Sekarang begitu melihat Goan Im darahnya bergolak golak, paras mukanya merah padam dan badannya gemetaran. Sekuat tenaga ia menindih kegusarannya yg sudah mendekat kekalapan. "Bu Kie! Bu Kie!" serunya di dalam hati.
"Tugasmu di hari ini adalah mendamaikan permusuhan diantara enam partai dan Beng Kauw. Kau tak boleh merusak segala apa karena kepentingan pribadi. Sakit hati terhadap Siauw Lim pay dapat dibereskan dihari kemudian."
Karena pertanyaannya tidak segera dijawab, Goan Im membentak pula. "Bocah! Jika kau kaki tangan Mo Kauw, panjangkan lehermu untuk menerima kebinasaan! Tapi kalau kau tiada sangkut pautnya dengan agama siluman itu, menyingkirlah dari gunung ini secepat mungkin. Sebagai orang pertapaan, kami takkan mencelakai kau." Ia berkata begitu sebab melihat Bu Kie tak mengenakan seragam Beng Kauw dan jg krena pemuda itu bergemetaran badannya yg di tafsirkan olehnya sebagai rasa ketakutan.
"Bukankah kau Goan Im Taysu?" tanya Bu Kie. "Dalam partaimu terdapat seorang yg dikenal sebagai Goan Tin Taysu. Cobalah minta keluar. Aku ingin ajukan beberapa pertanyaan."
"Goan tin Suheng tidak turut datang kesini" jawabnya. "Jika kau ingin bicara lekaslah. Kami tak punya banyak waktu untuk mendengari segala obrolanmu. Siapakah gurumu?" Ia menanya begitu karena turut menyaksikan tehuyungnya Cong Wie Hiap karena sampokan Bu Kie. Ia tahu, bahwa guru pemuda itu bukan sembarangan orang. Kalau bukan memikir begitu, ia tentu tak sudi rewel2 pada saat berhasilnya usaha keenam partai.
"Aku bukan mengikut Beng kauw dan jg bukan murid dari sesuatu partai di daerah Tionggoan," kata Bu Kie. "Akan tetapi, aku mempunyai sangkut paut dengan Beng Kauw, Bu Tong, Siauw Lim, Go Bie, Kun Lun dan Hwa san pay. Untuk bicara terus terang, gerakan enam partai untuk membalas Beng Kauw adalah karena perbuatan seorang jahat. Di dalam itu terselip suatu salah mengerti yang sangat hebat.
Biarpun masih berusia muda, aku tahu seluk beluk persoalannya. Maka itu, dengan memberanikan hati aku minta kedua belah pihak menghentikan pertempuran, menyelidiki soal ini sampai kedasar2nya, supaya siapa yang salah, siapa yg benar menjadi terang dan kemudian membereskan permusuhan ini seadil2nya."
Pernyataan Bu Kie itu disambut dengan gelak tertahan, ejekan dan jengekan. "Ha,ha,ha... He, he,he,he.... Hi,hi,hi....." mereka tertawa terbahak2, dan ejekan2 berkumandang diseluruh lapangan.
"Bocah itu tentunya sudah gila!"
"Otaknya miring! Dia rupanya mengganggap dirinya seperti Thio Cinjin dari Bu Tong pay atau Kong Beon Seng ceng dari Siauw Lim Pay!"
"Dia mimpi memperoleh To Ling To dan menjadi yg termulia dalam Rimba Persilatan!"
"Ha ha ha! Dia anggap kita seperti anak kecil. Aduh! Aku tertawa sampai perutku sakit."
"Ho ho ho.... Hi hi hi....!"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Dalam Go Bie Pay hanya seorang, yaitu Ciu Cie Jiak, yg tidak membuka mulut. Dengan rasa duka, ia mengerutkan alis. Semenjak bertemu dengan Bu Kie digurun pasir, ia merasa rapat hati dengan pemuda itu. Mendengar ejek2an, ia turut merasa malu. Tapi waktu ia melirik, pemuda itu berdiri tegak sambil mengangkat kepala. Sikapnya angker dan tenang.
Tiba2 Bu Kie berkata dengan suara nyaring. "Asal saha Goan Tin Taysu dari Siauw Lim pay mau munculkan diri dan bicara beberapa patah kata denganku segala tipu jahatnya, segera akan bisa diketahui oleh kalian." Ia berkata sepatah demi sepatah dan meskipun suara tertawa dan ejekan masih belum mereda, setiap perkatannya dpt didengar jelas sekali oleh setiap orang yang dilapangan yg luas itu. Semua orang terkejut dan suara ramai lantas saja mereda. Mereka tak nyana bahwa pemuda itu mempunyai Lweekang yang begitu tinggi.
"Bocah, kau sungguh licin!" bentak Goan Im. "Kau tahu, bahwa Goan tin Suheng tidak berada disini dan kau sengaja menyeretnya. Mengapa kau tidak mengambil Thio Cui San dari Butong untuk dijadiakan kesakitan?"
Ejekan menusuk itu disambut dengan segalak tertawa oleh orang banyak, sedang murid2 Bu tong serentak saja berubah paras mukanya.
"Goan Im, hati2 bila bicara!" bentak Kong tie.
Mengapa Goan Im mengejek Thio Cui San" Karena ia merasa sakit hati terhadap Thio Ngo hiap. Ia menganggap Thio Ngo hiap yg sudah membutakan mata kanannya dengan senjata rahasia dipinggir telaga, padahal perbuatan itu dilakukan oleh In So So.
Mendengar cacian terhadap mendiang ayahnya, tak kepalang gusarnya Bu Kie.
"Apa kau dapat menodai nama baiknya Thio Ngo Hiap?" bentaknya. "Kau... kau..."
Goan Im tertawa dingin. "Thio Cui San cari penyakit sendiri dan dibikin mabuk oleh perempuan siluman," katanya. "Dia mendapat pembalasan setimpal karena paras cantik..."
Itulah melampai batas! Sekuat tenaga Bu Kie menindih amarahnya. Berulang kali ia berkata di dalam hati.
"Bu Kie! Bu Kie! Ingatlah tugasmu yg suci!" Tapi ia gagal (matanya berkunang kunang dan ia kalap) Dengan sekali melompat, tangan kirinya sudah mencengkram pinggang si pendeta yg lalu diangkat keatas, sedang tangan kirinya merampas sian thung! (don't ask me kenapa pake tangan kiri dua2nya... red) Menghadapi Bu Kie, Goan Im seolah olah anak itik menghadapi elang - sedikitpun ia tak bisa melawan.
Hampir berbareng, dua pendeta melompat dari barisan Siauw Lim Pay dan menyabet Bu Kie dari kiri kanan dengan sin thung mereka. Itulah cara terbaik untuk menolong orang, serupa siasat yg dikenal sebagai, "Menyerang Goei untuk menolong Toi". Dengan siasat itu, musuh yang diserang harus menolong diri dan sebab musuh harus menolong diri, maka kawan yg menghadapi bencana dengan sendirinya dapat ditolong. Kedua pendeta itu adalah Goan tin dan Goan hiap.
Tapi Bu Kie lihai luar biasa. Begitu merasai kesiuran angin, dengan tangan kiri ia menenteng Goan Im dan tangan kanan mencekal sin thung, ia melompat tinggi dan menotol sin thung Goan tin dan Goan hiap dengan kedua ujung kakinya. Sungguh dahsyat totolan itu! Goan Tin dan Goan Hiap serentak jatuh terjengkal! Untung juga tongkatnya tak menghantam kepala sendiri.
Semua org mengeluarkan teriakan tertahan!
Dilain saat, bagaikan daun kering yg melayang, Bu Kie hinggap di muka bumi.
"Tee in ciong dari Bu tong pay!" seru beberapa orang (Tee in cion - Lompatan Tenaga Awan) Memang benar lompatan Bu Kie adalah Tee In Ciong yg tersohor dalam Rimba Persilatan. Diwaktu kecil Bu Kie mengikuti ayah, Thay suhu dan para pamannya.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Sehingga biarpun belum pernah belajar ilmu silat Bu tong secara resmi, ia sudah banyak mendengar dan melihat. Sesudah memiliki Kian kun tay lo ie sin kang, dengan mudah ia mengolah segala rupa ilmu silat. Tadi, secara mendadak ia ingat lompatan Tee in ciong dan waktu menjajalnya, ia berhasil secara wajar.
Pendekar2 Bu Tong, spt Jie Liao Ciu, Boh Seng Kok dan yang lain2, tentu saja mahir dalam ilmu ringan badan itu. Mereka bisa melayang2 ditengah udara, bagaikan burung. Tapi melakukan lompatan Tee in ciong sambil menenteng seorang dewasa yg bertubuh besar berat, adalah diluar kemampuan mereka.
Sementara itu, sambil menahan napas orang2 Siauw Lim Pay mengawasi Goan Im yg berada dalam tangan Bu Kie. Dengan sekali mengemplang, pemuda itu bisa menghancurkan kepala si pendeta. Mereka tidak akan keburu menolong sebab Goan Im berada dalam jarak tujuh delapan tombak. Jalan satu2nya ialah menimpuk dengan senjata rahasia. Tetapi jalan itupun tak mungkin digunakan, sebab Bu Kie bisa menggunakan tubuh Goan Im sebagai tameng, sehingga senjata rahasia akan berbalik mencelakai pendeta itu sendiri. Demikianlah, meskipun di dalam barisan Siauw Lim terdapat Kong tie dan Kong Seng yg berkepandaian tinggi, mereka tidak berdaya.
Dengan mata menyala dan menggertak gigi Bu Kie menggangkat Sian Thung. Hati semua murid Siauw Lim mencelos, beberapa diantaranya meramkan mata krena tak tega menyaksikan kebinasaan Goan Im.


Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Diluar dugaan, tongkat yg sudah terangkat berhenti ditengah udara. Untuk beberapa saat, Bu Kie mengawasi korbannya dengan paras muka yg sukar dilukiskan. Perlahan lahan kegusarannya mereda dan perlahan lahan pula ia melepaskan Goan Im dari cekalannya.
Ternyata, pada detik yg sangat genting tiba2 pemuda itu dapat menguasai dirinya. "Begitu lekas aku bunuh salah seorang dari rombongan enam partai itu, aku bermusuhan dengan mereka semua dan aku tak dapa memainkan peranan sebagai pendamai lagi." Pikirnya. "Jika aku gagal, permusuhan hebat ini tidak akan bisa dibereskan lagi."
Kisah Pembunuh Naga Jilid 41 Karya Chin Yung ================ "Dengan demikian, aku justru terjerumus ke dalam jebakan yang dipasang oleh binatang Seng Kun. Sudahlah! Aku harus menelan semua hinaan. Hanya dengan begitu barulah aku bisa membalas sakit hati kedua orang tuaku dan Gie-hu."
Sesudah melepaskan Goan im, ia berkata dengan suara perlahan, "Matamu bukan dibutakan oleh Thio Ngo Hiap. Janganlah mendendam begitu hebat. Apalagi sesudah Thio Ngo Hiap bunuh diri, semua sakit hati sebenarnya sudah harus habis. Taysu adalah seorang pertapa yang tentu tahu, bahwa dunia ini penuh dengan kekosongan. Perlu apa Taysu begitu sakit hati?"
Sesudah lolos dari lubang jarum, Goan im berdiri terpaku dan mengawasi Bu Kie dengan mata membelalak tanpa bisa mengeluarkan sepatah katapun. Melihat pemuda itu mengangsurkan sianthungnya seperti orang linglung ia menyambut dan sesaat kemudian ia mengundurkan diri dengan menundukkan kepala.
Melihat hebatnya Bu Kie, Cong Wie Hiap kaget bercampur heran. Tapi sebab ia sudah turun ke dalam gelanggang tak dapat ia memperlihatkan kelemahannya. "Orang she Can!" teriaknya. "Siapa sebenarnya yang sudah menyuruh kau berbuat begini?"
"Aku bukan suruhan orang," jawabnya. "Aku bertindak demi keadilan dengan harapan agar enam partai dan Beng Kauw bisa berdamai."
Cong Wie Hiap mengeluarkan suara di hidung, "Tak mungkin aku berdamai dengan Beng Kauw,"
katanya dengan kaku. "Bangsat tua she In itu hutang tiga pukulan Cit siang kun. Sesudah aku menghajar dia, kita boleh bicara lagi." Seraya berkata begitu ia menggulung tangan bajunya.
"Cong Cianpwee tak henti-hentinya menyebut Cit siang kun," kata Bu Kie. "Tapi menurut penglihatan boanpwee, latihan Cianpwee dalam ilmu itu masih jauh dari cukup. Dalam tubuh manusia terdapat Ngo heng. Jantung berarti "Api", paru-paru berarti "Emas", ginjal berarti "Air", nyali berarti "Tanah" dan hati
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
berarti "Kayuz". Disamping itu terdapat dua macam Khie (hawa), yaitu Im dan Yang (negative dan positif) sehingga semuanya berjumlah tujuh unsur. Begitu seseorang terburu-buru melatih diri dalam ilmu Cit siang kun maka ketujuh unsur itu akan terluka semua. Makin tinggi latihannya makin hebat luka di dalam badannya. Sebelum ilmu itu dapat melukai musuh, ilmu tersebut lebih dulu melukai diri sendiri.
Untung juga latihan Cianpwee masih belum tinggi sehingga luka Cianpwee masih dapat diobati." (Cit siang kun berarti ilmu pukulan tujuh luka)
Cong Wie Hiap terkejut. Keterangan pemuda itu sesuai dengan apa yang tertulis di dalam kitab Cit siang kun! Di dalam kitab itu diperingatkan keras bahwa seseorang yang mau melatih Cit siang kun harus mempunyai Lweekang yang sangat tinggi harus mencapai di mana Khie (hawa) yang dikerahkan bisa menerobos masuk ke dalam semua jalan darah yang terdapat di dalam tubuh manusia. Siapa yang belum mencapai tingkat setinggi itu dilarang mempelajarinya. Tapi Cong Wie Hiap tak menggubris. Begitu ia merasa tenaga dalamnya sudah cukup kuat, ia segera melakukan latihan Cit siang kun. Latihan itu benar saja banyak menambah tenaganya, karena belum merasakan bahaya, ia lupa daratan. Sekarang mendadak ia mendengar perkataan Bu Kie dan lantas saja ia jadi kaget. "Mengapa kau tahu?" tanyanya tanpa sadar.
Sebaliknya dari menjawab pertanyaan itu, Bu Kie berkata, "Cong Cianpwee, bukankah kau sering merasa sakit pada In bun hiat di pundakmu" In bun hiat berhubungan dengan paru-paru. Itu berarti paru-paru Cianpwee sudah terluka. Bukankah Ceng leng hiat Cianpwee di lengan terasa gatal-gatal" Ceng leng hiat berhubungan langsung dengan jantung dan itu berarti bahwa jantung Cianpwee telah terluka. Setiap hawa lembab dan turun hujan, betis Cianpwee di bagian Ngo lie hiat terasa lemas. Bukankah begitu" Ngo lie hiat berhubungan dengan hati dan aku berani mengatakan bahwa hati Cianpwee juga ikut terluka.
Makin lama Cianpwee berlatih, tanda-tanda itu akan makin terasa. Kalau Cianpwee berlatih terus enam tujuh tahun lagi, maka sekujur tubuh Cianpwee akan menjadi lumpuh."
Pendekar Lembah Naga 23 Senopati Pamungkas I Karya Arswendo Atmowiloto Si Pedang Tumpul 5

Cari Blog Ini