Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong Bagian 24
Pada hakekatnya, kalau sama-sama sudah mencapai puncak kesempurnaan, ilmu silat See hek tidak akan bisa menandingi ilmu dari Tiong goan. Bahwa Bu Kie masih terus bisa mempertahankan diri adalah karena ia sudah memiliki ilmu See hek sampai pada tingkat yang tertinggi, sedang keempat lawannya baru mengenal kulit-kulit dari ilmu silat Tionggoan itu. (See hek Daerah barat).
Dalam sekejap ia sudah dapat memikir beberapa cara untuk merobohkan lawannya itu. Tapi ia masih bersangsi. "Kalau kini aku menjatuhkan mereka, Biat coat akan mendusin dan menggusari nona Ciu,"
pikirnya. "Nenek itu sangat kejam. Ia dapat melakukan perbuatan apapun jua."
Maka ia tak lantas mengubah cara bersilatnya. Tapi sekarang, berbeda daripada tadi, ia bisa melayani dengan tenang sambil memperhatikan jurus-jurus lawan. Makin lama ia makin tahu seluk-beluk Ceng-hoan Liang gie.
Sementara itu, melihat keadaan Bu Kie tak berubah, Cie Jiak jadi makin bingung.
"Dalam repotnya melayani musuh, ia tentu tak bisa lantas menangkap ilmu silat yang sangat tinggi itu," pikirnya. Melihat Bu Kie makin terdesak, ia jadi nekat.
Sambil menghunus pedang, ia melompat masuk ke dalam gelanggang. "Su wie Cianpwee!" serunya.
Jika kalian tidak bisa merobohkan bocah itu, biarlah aku yang mencoba-coba."
Ho Thay Ciong jadi gusar. "Jangan rewel! Minggir kau!" bentaknya.
Alis Pan Siok Ham berdiri. "Pernah apa kau dengan bocah itu?" tanyanya dengan suara keras. "Kau mau melindungi dia" Kun lun pay tak boleh dibuat permainan."
Karena topengnya dilucuti, paras muka Cie Jiak lantas saja berubah merah.
"Cie Jiak balik!" bentak Biat-coat.
"Kun-lun-pay tidak boleh dibuat permainan. Apa kau tidak mendengar?"
Bu Kie merasa sangat berterima kasih. Dia merasa, bahwa mereka terus berlagak terdesak, si nona pasti akan mencari lain daya upaya untuk membantu dirinya. Kalau hal itu dilihat oleh Biat-coat, Cie Jiak bisa celaka. Maka itu, ia lantas tertawa terbahak-bahak. "Aku adalah pecundang dari Go-bie-pay", katanya. "Aku pernah ditawan Biat-coat Suthay, memang benar Go-bie-pay lebih unggul daripada Kunlun pay". Seraya berkata begitu, ia maju dan tidak ke kiri. Kini tangan kanannya yang memegang ranting bwee membabat ke bawah.
Kesiuran angin yang dahsyat itu, lantas saja menghantam punggung si kate. Pukulan dan tindakan Bu Kie dilakukan dengan tenaga dan waktu yang tepat, sehingga tanpa merasa, golok si kate menyambar ke arah Pan Siok Ham. Pemuda itu ternyata memukul dengan Kian kun Tay-lo-ie Sin-kang dan bertindak menurut kedudukan Pat kwa. Dalam kagetnya, si jago pedang betina menangkis dengan pedangnya.
"Trang!", tangkisannya berhasil, tapi golok si jangkung sudah menyusul.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Untuk menolong istrinya, Ho Thay Ciong melompat dan menangkis golok si jangkung.
Bu Kie menepuk dengan telapak tangannya dan golok si kate membacok kempungan Ho Thay Ciong.
Pan Siok Ham gusar. Dengan beruntun ia mengirim tiga serangan berantai, sehingga si kate repot. "Hei!
Jangan kena diakali si bangsat kecil itu!" teriaknya.
Kini Ho Thay Ciong mendusin. Seraya menikam Bu Kie. Dengan Tay-lo-ie Sin kang, pemuda itu menyambut pedang Ho Thay Ciong yang lantas saja berubah arah dan menyambar pundak si jangkung.
Si jangkung berteriak-teriak bahna gusarnya. Dengan sekuat tenaga ia membacok kepala Ho Thay Ciong.
Si kate buru-buru berteriak, "Sutee, jangan kalap! Itu semua perbuatan si bocak. Celaka!" Pada detik itu, pedang Pan Siok Ham berkelebat di pundaknya.
Dalam sekejap kedua kakek Hwa san pay sudah terluka enteng, digores pedang kawan sendiri.
Gerakan-gerakan kedua golok dan kedua pedang jadi kalang kabut. Bacokan, babatan, papasan, tikaman yang ditujukan ke tubuh Bu Kie selalu berubah arah dan menghantam kawannya sendiri.
Kini semua orang bisa lihat, bahwa itu semua perbuatan Bu Kie. Tapi ia tak tahu, ilmu apa yang digunakan pemuda itu. Yang tahu hanialah Yo Siauw seorang. Tapi iapun hampir tidak percaya, bahwa seorang manusia bisa memiliki Kian kun Tay-lo-ie Sin-kang sampai pada taraf yang begitu tinggi.
Untuk melawan, Pan Siok Ham memberi isyarat dengan teriakan. "Mutar ke Bu-bong wie!..." Tapi itu semua tak menolong sebab Kian-kun Tay-lo ie Sin-kang sudah menguasai mereka dari delapan penjuru.
Mati-matian ia coba memberontak. Tapi semua sia-sia saja setiap gerakan atau bacokan pasti menikam kawannya sendiri.
"Suko, apa tak baik kau mengurangi sedikit tenagamu?" teriak si jangkung sambil menangkis golok kakak seperguruannya.
"Aku bacok bangsat kecil itu, bukan kau?" kata si kate.
"Suko, hati-hati!" teriak si jangkung. "Bacokan ini mungkin akan berbalik?" Benar saja goloknya menyambar sang kakak.
Tiba-tiba dengan paras muka menyeramkan, Pan Siok Ham melemparkan pedangnya. "Ini benar,"
pikir si kate yang lantas saja turut membuang senjatanya dan kemudian menendang Bu Kie. Mendadak pedang Ho Thay Cong menyambar mukanya dan sebab telah tak bersenjata, buru-buru ia menundukkan kepala. "Lepaskan senjata!" teriak Pan Siok Ham. Mendengar perintah sang isteri, Ho Ciang-bun segera melontarkan pedangnya jauh2. Sambil membuang goloknya, si jangkung menjambret leher Bu Kie. Ia merasa telapak tangannya menyentuh benda keras dan ia segera mencengkeram. Sedetik kemudian ia terkesiap, sebab yang dicengkeramnya bukan lain daripada gagang goloknya sendiri yang dipulangkan oleh Bu Kie dengan menggunakan Kian-kun Tay-lo-ie Sin Kang.
"Aku tak mau menggunakan senjata!" teriak si jangkung seraya melemparkan lagi goloknya. Bu Kie miringkan badan dan menangkap pula senjata itu yang sekali lagi dipulangkan ke tangan lawan. Kejadian itu terulang beberapa kali. Dalam kaget dan kagumnya si jangkung tertawa terbahak-bahak. "Bangsat bau, kau benar-benar mempunyai ilmu siluman!" teriaknya.
Sementara itu, si kate dan suami isteri Ho sudah menyerang dengan tangan kosong. Ilmu silat tangan kosong dari Hwa san dan Kun lun tidak kalah hebatnya dari ilmu silat dengan memakai senjata. Tapi pemuda itu licin bagaikan ikan di air. Pada detik-detik berbahaya, ia selalu bisa menyelamatkan diri, akan kemudian balas menyerang. Sampai di situ, keempat jago mengerti bahwa mereka tak akan bisa mendapat kemenangan.
"Bangsat bau! Awas senjata rahasia!" teriak si jangkung. Ia mendehem dan menyembur Bu Kie dengan riaknya. Bu Kie berkelit dan dengan menggunakan kesempatan itu, si jangkung melontarkan goloknya.
Tiba-tiba ia berteriak, "Celaka! Maaf!" Apa yang sudah terjadi" Dengan tangan kiri Bu Kie mengibas riak itu yang berbalik dan mampir di dahi Pan Siok Ham.
Si ratu Kun lun jadi kalap. Sekarang ia nekad. Ia mengambil keputusan untuk mati bersama-sama Bu Kie. Sambil mementang sepuluh jarinya dan berdiri di belakang Bu Kie untuk mencegat jalan mundur pemuda itu. Melihat kesempatan baik, Ho Thay Ciong juga menubruk. Ia merasa pasti kali ini bocah bau itu tak akan bisa meloloskan diri.
Seraya bersiul nyaring, badan Bu Kie mendadak melesat ke atas dan begitu berada di tengah udara, ia mengerahkan Kian kun Tay lo Ie Sin kang dan mengibas kedua tangannya dengan gesit dan cekatan.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Sesudah itu ia lantas memutar badan dan dengan gerakan yang sangat indah tubuhnya melayang ke muka bumi dan hinggap pada jarak kurang lebih setombak dari tempat semula.
Hasil perbuatan Bu Kie sangat menakjubkan!
Ho Thay Ciong memeluk pinggang isterinya, Pan Siok Ham mencengkeram pundak sang suami, sedang si kate dan si jangkung juga saling peluk erat-erat. Sesudah berkutat sejenak, keempat jago itu sama-sama roboh.
Dilain detik suami isteri Ho mendusin dan dengan paras muka kemerah-merahan mereka melompat bangun.
"Mampus kau!" teriak si jangkung. Celaka! " sial!...
"Lepas!" seru si kate.
Dengan malu bercampur gusar, kedua kakek itu pun berbangkit.
"Bangsat bau!" teriak si jangkung. "Ini bukan piebu. Kau menggunakan ilmu siluman. Kau bukan enghiong."
Si kate mengerti, bahwa pertempuran tak guna dilangsungkan lagi. Makin lama mereka akan menderita makin hebat. Sambil mengangkat kedua tangannya ia berkata, "Sin kang tuan tinggi luar biasa, aku si tua belum pernah melihat kepandaian yang semacam itu. Hwa san pay menyerah kalah."
"Maaf", jawab Bu Kie sambil membalas hormat. "Boanpwe menang sebab kebetulan. Kalau tadi para Cianpwee tak menaruh belas kasihan, siang-siang Boanpwee sudah binasa di bawah golok dan pedang Ceng-hoan Liang gie." Dengan berkata begitu Bu Kie bicara sejujurnya. Kalau tak dibantu Cie Jiak, ia memang bakal celaka.
Si jangkung girang. "Bagus! Kau tahu, bahwa kau menang sebab kebetulan," katanya.
"Apakah aku boleh tahu she dan nama Jie wie Cianpwee yang mulia?" tanya Bu Kie. "Kalau belakang hari kita bertemu pula, boanpwee bisa memanggil dengan panggilan yang benar."
Si jangkung tertawa lebar dan menjawab. "Suko ku ialah Wie?"
"Tutup mulut!" bentak si kate. Ia menengok kepada Bu Kie dan berkata pula. "Sebagai jenderal yang keok kami merasa sangat malu. Tuan tak perlu tahu nama kami yang hina dina." Sesudah berkata begitu, ia masuk ke dalam barisan Hwa san pay. Si jangkung tertawa nyaring. "Dalam peperangan, menang atau kalah adalah kejadian lumrah," katanya. "Bagiku tak menjadi soal." Ia menjemput dua batang golok yang menggeletak di tanah dan kemudian balik ke barisannya sendiri.
Sementara itu Bu Kie sudah menghampiri Sian Ie Thong dan menotok jalan darahnya. "Sesudah pertempuran selesai, aku sekarang mau mengobati kau," katanya. "Aku menotok jalan darahmu untuk mencegah naiknya racun ke jantung." Di detik itu, mendadak ia merasai kesiuran angin dingin di belakangnya dan rasa perih di punggungnya. Ia terkesiap, kakinya menotol bumi dan badannya melesat ke atas.
"Cres" cress?" disusul dengan teriakan menyayat hati.
Di tengah udara ia memutar badan dan ia mendapat kenyataan dua batang pedang suami isteri Ho Thay Ciong sudah amblas di dada Sian Ie Thong!
Sebagai orang yang mempunyai kedudukan dan kepandaian tinggi dan sebagai orang yang selalu bangga akan kepandaiannya, Ho Thay Ciong dan Pak Siok Ham merasa penasaran, bahwa mereka telah roboh dalam tangannya seorang pemuda yang tak dikenal dalam rimba persilatan. maka itu, tanpa memperdulikan pantas atau tidak pantas selagi Bu Kie membungkuk untuk menotok jalan darah Sian Ie Thong, ia membokong dengan pukulan yang dinamakn "Bu seng Bu sek" (tak ada suaranya, tak ada warnanya).
Bu seng Bu sek adalah salah satu pukulan terhebat dari Kun lun pay. Pukulan itu harus di dalami oleh dua orang yang tenaga dalamnya kira-kira bersama. Dua tenaga yang keluar dari pukulan itu saling bertentangan, sehingga sebagai akibatnya, suara yang bisa terdengar dalam menyambarnya senjata menjadi hilang. Itulah sebabnya mengapa jurus ini dinamakan "Bu seng Bu sek."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Diluar dugaan, sesudah memiliki Kioe yang Sin kang, panca indera Bu Kie lebih tajam dan gerakannya cepat luar biasa. Tapi meskipun begitu, bajunya robek dan kulitnya kena juga digores pedang.
Karena suami isteri Ho tidak keburu menarik pulang senjata mereka, maka yang menjadi korban adalah Sian Ie Thong.
Semua orang menjadi gempar.
Sebab sudah ketelanjur, bagaikan kalap kedua pemimpin Kun lun pay itu segera menerjang Bu Kie.
Sesudah mendapat malu besar mereka mengambil keputusan untuk mengadu jiwa. Pedang mereka menyambar-nyambar dan setiap serangan adalah serangan untuk binasa bersama-sama musuh.
Tiba2 Bu Kie mendapat serupa ingatan. Ia berjongkok dan menjemput sedikit tanah yang sesudah dicampur dengan keringat pada telapak tangannya, lalu dibuat menjadi dua butir pel. Di lain saat Ho Thay Ciong dan Pan Siok Ham menyerang dari kiri kanan. Bu Kie melompat ke samping mayat Sian Ie Thong dan berlagak mengambil sesuatu dari saku mayat. Kemudian ia memutar badan dan menghantam kedua lawan itu dengan telapak tangan, dengan menggunakan tujuh bagian tenaga. Dengan berbareng suami-isteri Ho merasai tekanan hebat pada dada mereka dan napas mereka menyesak. Cepat-cepat mereka membuka mulut untuk menyedot hawa segar. Tiba-tiba Bu Kie mengayun kedua tangannya dan kedua pel tanah itu masuk ke dalam tenggorokan Ho Thay Ciong dan Pan Siok Ham. Mereka batu-batuk, tapi kedua
"yo-wan" sudah masuk ke dalam perut.
Paras muka kedua suami isteri itu lantas saja berubah pucat. Mereka melihat Bu Kie mengambil sesuatu dari saku Sian Ie Thong. Apalagi kalau bukan racun"
Mengingat penderitaan Sian Ie Thong, bulu roma mereka bangun semua. Pan Siok Ham sudah lantas merasa pusing dan badannya bergoyang-goyang.
"Di dalam sakunya Sian Ie Thong selalu membawa-bawa ulat sutera emas yang dibungkus dengan lilin," kata Bu Kie dengan suara tawar. "Kalian masing-masing sudah menelan sebutir lilin, kalau Jie wie cianpwee bisa memuntahkannya sebelum lilin melumer di dalam perut, mungkin sekali jiwa kalian masih bisa ditolong.
Sambil mengerahkan lweekang, Ho Thay Ciong dan isterinya segera berusaha untuk memuntahkan
"yo-wan" itu. Dengan tenaga dalamnya yang sangat kuat, beberapa saat kemudian mereka berhasil mengeluarkan tanah itu yang sudah tercampur dengan cair kantong nasi.
Si kakek jangkung dari Hwa san pay lantas saja mendekati dan setelah melihat apa yang keluar dari perut, ia tertawa dan berkata, "Aduh! Itulah tai ulat sutera emas. Ulat itu mengeram dalam perutmu dan berak."
Kaget dan gusarnya ratu Kun lun pay sukar dilukiskan. Dengan sekuat tenaga ia menghantam si jangkung yang iseng mulut. Kakek nakal itu melompat balik ke barisannya dan seraya menuding Pan Siok Ham, ia berteriak, "Perempuan galak! Kau sudah membunuh Ciang bun jin dari partai kami dan Hwa san pay pasti tak akan menyudahi perbuatanmu itu."
Suami isteri Ho terperanjat. Meskipun berdosa besar, Sian Ie Thong adalah seorang Ciang bun jin.
Mereka mengerti bahwa kesalahan tangan itu akan berekor panjang dan hebat, tapi dalam menghadapi kebinasaan segera, mereka tak sempat menghiraukan lagi bahaya di belakang hari. Mereka tahu bahwa di dalam dunia hanialah Bu Kie yang bisa menolong mereka. Tapi mengingat perbuatan mereka dahulu hari, apakah pemuda itu sudi mengangsurkan tangan"
Bu Kie tertawa tawar dan berkata dengan suara tawar pula. "Jie wie tak usah takut, walaupun Kim-can sudah berada dalam perut enam jam kemudian barulah racunnya mengamuk. Sesudah membereskan urusan besar ini, boanpwee pasti akan menolong. Boanpwee hanya berharap Ho Hujin jangan memaksa aku minum arak beracun."
Biarpun disindir, kedua suami isteri itu menjadi bingung. Tapi mereka merasa malu hati untuk mengucapkan terima kasih dan sambil menundukkan kepala, mereka lalu kembali ke barisan sendiri.
"Cobalah Jie wie minta empat butir Giok tong Hek seng tan dari Khong tong pay, kata Bu Kie. "Obat itu bisa menahan naiknya racun ke jantung."
Ho Thay Ciong mengangguk dan segera memerintahkan salah seorang muridnya minta pel itu dari pemimpin Khong tong pay.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Dalam hati Bu Kie tertawa geli. Giok tong Hek sek tan memang obat pemunah racun, tapi obat itu mengakibatkan sakit perut selama dua jam. Sesudah menelannya, perut suami isteri Ho sakit bukan main.
Mereka makin ketakutan dan menduga racun sudah mulai mengamuk. Mereka tak pernah mimpi bahwa mereka dikelabui oleh pemuda itu.
Sementara itu Biat coat Suthay berkata kepada Song Wan Kiauw. "Song Thay hiap, antara enam partai hanya ketinggalan dua partaimu dan partai kami. Partai kami kebanyakan terdiri dari kaum wanita. Maka itu Song Tayhiap lah yang harus bertindak."
"Siauw too sudah dikalahkan oleh In Kouwcu," jawab Wan Kiauw. "Kiam-hoat Suthay tinggi luar biasa dan Suthay pasti bisa menakluki bocah itu."
Biat-coat tersenyum tawar dan seraya menghunus Ie thian kiam, ia bertindak masuk ke dalam gelanggang.
Se-konyong2 Jie hiap Jie Lian Ciu keluar dari barisan Bu tong pay. Sedari tadi dengan rasa kagum dan heran ia memperhatikan ilmu silat Bu Kie. "Walaupun lihay belum tentu Biat-coat Suthay bisa melawan empat jago dari Hwa san dan Kun-lun," pikirnya. "Kalau ia kalah Bu tong pay jua kalah, maka usaha enam partai akan gagal sama sekali. Biarlah aku yang menjadi lebih dulu." Memikir begitu ia segera menyusul Biat-coat dan berkata. "Suthay, biarlah kami berlima saudara yang lebih dulu mengadu ilmu dengan pemuda itu. Paling belakang barulah Suthay maju dan aku merasa pasti Suthay akan memperoleh kemenangan."
Maksud Jie Lian Ciu cukup terang. Bu tong pay dikenal sebagai partai yang mengutamakan latihan lweekang. Kalau ilmu pendekar Bu tong dengan bergiliran melayani pemuda itu, maka andai kata mereka tak mendapat kemenangan, pemuda itu pasti akan lelah sekali. Sesudah dia lelah, Biat coat maju untuk merobohkannya.
Si nenek mengerti maksud Jie Lian Ciu. Ia mendongkol dan berkata dalam hati. "Siapa sudi menerima budi Bu tong pay" Dengan cara begitu biarpun menang, kemenangan itu bukanlah kemenangan gemilang!" Ia sombong memandang rendah kepada semua manusia. Meskipun sudah menyaksikan kelihayan Bu Kie, di dalam hati ia merasa bahwa jago dari lain-lain partai adalah manusia-manusia tolol.
Ia tak percaya bahwa ia tak bisa merobohkan pemuda itu.
Maka itu seraya mengibaskan tangan jubah ia berkata, "Jie Jie hiap balik saja! Sesudah dihunus, Ie thian kiam tak bisa dimasukkan lagi ke dalam sarungnya sebelum bertempur."
"Baiklah," kata Jie Lian Ciu yang segera kembali ke barisannya.
Sambil melintangkan pedang mustika di dadanya, Biat coat menghampiri Bu Kie. Ie thian kiam dibenci dan ditakuti Beng kauw. Anggota Beng kauw yang binasa karena pedang itu sukar dihitung jumlahnya. Sekarang, melihat si nenek maju dengan pedang terhunus, mereka semua berkuatir tercampur gusar dan beramai-ramai mereka mencaci Biat coat.
Si nenek tertawa dingin, "Jangan rewel kalian!" bentaknya. "Kalian tunggulah! Sesudah membereskan bocah itu, aku akan segera membereskan kalian semua."
In Thian Ceng tahu Ie thian kiam sukar dilawan. "Can Siauw hiap, senjata apa yang ingin digunakan olehmu?" tanyanya.
"Aku tak punya senjata," jawabnya. "Bagaimana pikiran Loo ya cu?" Di dalam hati ia memang merasa jeri terhadap pedang mustika itu.
Perlahan-lahan sang kakek menghunus pedang yang tergantung di pinggangnya. "Terimalah Pek hong kiam ini," katanya. "Meskipun tidak bisa menandingi Ie thian kiam dari bangsat perempuan itu, pedang ini senjata yang jarang terdapat dalam dunia Kangouw." Seraya berkata begitu, ia menyentil badan pedang yang lantas saja membengkok karena lemas seperti ikat pinggang. Satu suara "uunng !" yang nyaring bersih lantas saja terdengar dan badan pedang pulih kembali seperti sedia kala. (Pek hong kiam "
Pedang bianglala putih). Dengan sikap menghormat Bu Kie menyambuti pedang itu. "Terima kasih," katanya sambil membungkuk.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Pedang itu sudah mengikuti aku selama puluhan tahun dan sudah membunuh banyak sekali manusia rendah," kata In Thian Ceng. "Kalau hari ini dia bisa membunuh bangsat perempuan itu, biarpun mati loohu merasa puas."
"Boanpwee akan perbuat apa yang boanpwee bisa," kata Bu Kie.
Sambil menundukkan ujung pedang ke muka bumi dan memegan gagang pedang Pek hong kiam dengan kedua tangan, pemuda itu berkata kepada Biat coat. "Kiam hoat boanpwee sudah pasti bukan tandingan Suthay dan sebenar-benarnya boanpwee tidak berani melawan Cianpwee. Cianpwee pernah menaruh belas kasihan kepada para anggota Swie kim kie, mengapa sekarang Cianpwee tidak bisa menaruh belas kasihan kepada boanpwee?"
Alis si nenek lantas saja turun. "Kawanan setan Swie kim kie ditolong olehmu," katanya dengan suara menyeramkan. "Biat coat Suthay belum pernah mengampuni orang. Sesudah menang baru kau boleh membuka bacot."
Para anggota Lima Bendera Beng kauw, yang sangat membenci nenek itu, lantas saja berteriak-teriak.
"Bangsat tua! Kalau kau benar-benar jagoan coba kau bertanding dengan tangan kosong melawan Can Siauwhiap."
"Kiam hoatmu cetek sekali. Yang diandalkan olehmu hanialah pedang Ie thian kiam."
"Apa kau rasa kau bisa menang?"
Dan sebagainya. Biat coat tidak memperdulikan cacian dan ejekan itu. "Hayo mulai!" katanya dengan nyaring.
Bu Kie sebenarnya belum pernah belajar ilmu pedang. Mendengar undangan si nenek ia bersangsi.
Tiba-tiba ia ingat Liang gie Kiam-hoat dari Ho Thay Ciong yang lihay dan indah. Ia segera mengangkat pedang dan membabat. "Siauw Pek Toan in dari Hwa san pay!" seru Biat coat dengan heran (Siauw pek Toan in " memapas tembok memotong awan).
Bagaikan kilat si nenek menikam dari samping. Dalam gebrakan pertama itu, tanpa menangkis serangan, ia balas menyerang. Dengan lweekang yang hebat, ujung Ie thian kiam menyambar pusar pemuda itu.
Bu Kie berkelit ke samping, tapi sebelum ia berdiri tegak pedang Biat coat sudah meluncur di tenggorokannya. Bu Kie terkesiap. Dengan bingung ia menggulingkan diri di tanah. Tapi sebelum ia melompat bangun, angin dingin sudah menyambar-nyambar di lehernya. "Celaka!" ia mengeluh, ujung kakinya menotol tanah dan badannya melesat ke atas. Ia berhasil menyelamatkan jiwa dari satu kedudukan yang hampir tidak mungkin dilakukan oleh seorang manusia. Baru saja hadirin mau bersorak, si nenek sudah melompat dan pedangnya diangkat untuk memapaki tubuh pemuda itu.
Detik itu tubuh Bu Kie sedang melayang turun ke bawah. Karena berada di tengah udara, ia tidak bisa berkelit lagi. Ie thian kiam menyambar! Hati Bu Kie mencelos. Satu diantara dua: kalau bukan kedua kakinya, badannya akan terbabat kutung!
Pada saat yang sangat berbahaya, Kian kun Tay lo ie memberi reaksi yang wajar. Tanpa memikir lagi, ia menyentuh ujung Ie thian kiam dengan ujung Pek hong kiam. "Trang!" Pek hong kiam melengkung dan membal. Dan dengan menggunakan tenaga membal itu, badan Bu Kie sekali lagi melesat ke atas!
Biat coat benar-benar tidak mengenal kasihan. Ia melompat dan membabat tiga kali beruntun. Badan Bu Kie sudah melayang ke bawah. Ia tidak bisa berbuat lain daripada menangkis "Trang." Pek-hong kiam kutung dua! Dengan hati mencelos ia menepuk ubun-ubun (embun-embunan) segera membabat pergelangan tangannya. Sebab babatan itu cepat luar biasa, ia tidak keburu menarik pulang tangannya.
Dalam keadaan demikian, ia hanya bisa menolong diri dengan satu jalan. Dengan kecepatan yang hampir tiada taranya, ia menyentil badan Ie thian kiam dan berbareng dengan meminjam tenaga sentilan itu, tubuhnya terbang ke tempat yang lebih selamat.
Lengan Biat coat kesemutan, telapak tangannya seperti juga terbeset dan Ie thian kiam hampir terlepas dari tangannya! Ia terkesiap. Ia menengok dan Bu Kie dengan tangan mencekal peang buntung, berarti dalam jarak dua tombak lebih.
Itulah gebrakan-gebrakan yang sungguh jarang terlihat dalam Rimba Persilatan!
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Dalam sekejap mata itu, Biat coat menyerang delapan kali setiap jurus, jurus membinasakan. Delapan kali Bu Kie memunahkan serangan itu, delapan kali ia melolos dari lubang jarum. Baik serangan, maupun pembelaan diri, sama-sama mencapai puncak kehebatan, puncak keindahan. Semua orang menahan napas. Mereka hampir tak percaya, bahwa apa yang dilihat mereka adalah suatu kenyataan.
Sesudah lewat sekian lama barulah terdengar sorak sorai gegap gempita.
Bagaikan patung Bu Kie berdiri tersu sambil memegang pedang buntung. Ia merasa sudah jatuh di bawah angin. Ia tak tahu, bahwa Ie thian kiam disentil, lengan si nenek kesemutan dan kalau ia menyerang terus, ia sudah mendapat kemenangan. Memang Bu Kie kurang pengalaman.
Walaupun beradat tinggi, Biat coat sekarang mengakui kelihayan pemuda itu. "Tukar senjatamu dan mari kita bertempur lagi," katanya.
Dengan rasa menyesal Bu Kie mengawasi pedang buntung itu. Di dalam hati ia berkata, "Gwakong menghadiahkan pedang mustika ini kepadaku dan aku sudah merusakkannya. Sungguh tak enak" senjata apalagi yang bisa melawan Ie thian kiam?"
Selagi bersangsi, tiba-tiba Ciu-Tian berteriak. "Aku punya sebuah golok mustika. Kau ambillah!"
"Ie thian kiam terlalu hebat, sahut Bu Kie. "Boanpwee kuatir senjata Cianpwee akan menjadi rusak."
"Biar dirusak", kata Ciu-Tian. "Kalau kau kalah, kami semua mati. Perlu apa golok mustika itu?"
Bu Kie anggap perkataanitu memang tak salah, maka tanpa berkata apa-apa lagi ia menghampiri Ciu Tian untuk mengambil goloknya.
"Thio Kongcu, kau harus menyerang, tak boleh hanya membela diri," bisik Yo Siauw ketika Bu Kie lewat di depannya.
Mendengar panggilan "Thio Kongcu" Bu Kie kaget, tapi ia segera mengetahui mengapa Yo Siauw menggunakan istilah itu. Yo Poet Hwie sudah mengenali dirinya dan memberitahukan kepada ayahandanya. Terima kasih atas petunjuk Cianpwee," jawabnya.
Waktu lewat di samping Wie It Siauw, Ceng ek Hok ong juga berbisik, "Gunakanlah ilmu peringan badan terus menerus."
Bu Kie girang. "Terima kasih" jawabnya.
Kong beng Su cia Yo Siauw adalah ahli-ahli silat kelas utama dan mereka belum tentu kalah dari Biat coat Suthay. Hanya sayang, sebelum bertempur mereka dibokong Goan tin sehingga badan mereka menajdi lumpuh. Tapi kecerdasan otak dan ketajaman mata mereka tidak pernah sama sekali berubah dan bisik-bisikan itu memang siasat tepat untuk menghadapi Biat coat.
Berat golok mustika itu yang sudah dipegang Bu Kie kira-kira empat puluh kati. Warnanya hitam, bentuknay aneh dan tidak usah dikatakan lagi, senjata itu barang pusaka yang sudah berusia tua sekali. Di dalam hati ia masih merasa menyesal, bahwa pedang kakeknya sudah rusak dalam tangannya. Tapi pedang itu sudah dihadiahkan kepadanya. Golok ini masih menjadi milik Ciu Tian yang meminjamkannya. "Golok mustika ini tidak boleh dirusak," pikirnya.
Ia maju mendekati lawan dan sesudah menarik napas dalam-dalam, ia berkata. "Suthay, boanpwee mulai!" Bagaikan asap, badannya melayang ke belakang Biat coat dan mengirim bacokan pertama.
Sebelum si nenek itu memutar badan, ia sudah melompat ke samping dan mengirim bacokan kedua.
Badannya lantas berkelebat-kelebat, goloknya menyambar-nyambar tak henti-hentinya.
Yang sekarang digunakan Bu Kie adalah ilmu ringan badan tercepat yang pernah dikenal dalam Rimba Persilatan. Ilmu ringan badan itu adalah hasil dari pengerahan Kioen yan Sin kang dan Kian kun Tay lo ie Sin kang. Ilmu ringan badan Ceng ek masih kalah jauh. Sesudah lari beberapa puluh putaran, Kioe yang Sin kang mengamuk makin hebat dalam tubuhnya dan ia sekarang seolah-olah terbang di atas bumi.
Melihat begitu, murid2 Go bie pay jadi bingung. Mereka tahu guru mereka bakal kalah.
Sekonyong-konyong Teng Bin Kun berteriak. "Hari ini tujuan kita adalah membasmi Mo kauw. Kita datang bukan untuk pie bu. Saudara-saudara, mari kita gempur bocah itu!" Ia menghunus senjata dan melompat ke dalam gelanggang. Seluruh murid Go bie lantas saja mengikuti dan segera mengambil
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
kedudukan di delapan penjuru. Ciu Cie Jiak berdiri di sudut barat daya. "Ciu su moay, kau turut serta atau tidak terserah kepadamu," ejek perempuan she Teng itu.
Cie Jiak gusar bercampur malu. "Perlu apa kau berkata begitu?" tanyanya.
Mendadak Bu Kie melompat ke hadapan Teng Bin Kun yang segera menikam. Dengan sekali menggerakkan tangan kirinya pemuda itu sudah merampas pedang lawan yang lalu ditimpukkan kepada Biat coat. Si nenek membabat dan memutuskan pedang itu, tapi tangannya kesemutan sebab Bu Kie menimpuk dengan lweekang yang hebat.
Pemuda itu bekerja cepat. Badannya berkelebat-kelebat, tangannya menyambar-nyambar merampas pedang-pedang para murid Go bie yang dengan beruntun-runtun ditimpukkan kepada Biat coat. Murid-murid Go bie rata-rata berkepandaian tinggi, tapi berhadapan dengan Bu Kie, mereka tidak berdaya.
Puluhan pedang terbang menyambar Biat coat bagaikan hujan gerimis. Dengan paras muka pucat pasi si nenek memutar Ie thian kiam dan memutuskan pedang2 itu. Tak lama kemudian sebab pegal lengan kanannya tak bisa digunakan lagi dan ia lalu memutar senjata dengan tangan kiri. Semua barisan mundur ke belakang karena potongan2 pedang menyambar kian kemari.
Tak lama kemudian, semua murid Go bie kecuali Ciu Cie Jiak seorang sudah bertangan kosong.
Bu Kie ingin membalas budi si nona, tapi dengan demikian perbedaan itu jadi sangat menyolok. Cie Jiak tahu hal ini bakal berekor. Ia melompat untuk menyerang, tapi pemuda itu selalu menyingkirkan diri.
"Ciu sumoay, benar saja ia memperlakukan kau secara istimewa sekali" ejek Teng Bin Kun.
Paras muka nona Ciu lantas saja berubah merah. Dengan jengah ia berdiri terpaku.
"Ciu sumoay, Suhu sedang diserang musuh, mengapa kau berdiri seperti patung?" kata pula perempuan she Teng itu. "Mungkin sekali di dalam hati kau mengharap bocah itu mendapat kemenangan."
Biarpun sedang kebingungan, setiap perbuatan Teng Bin Kun didengar tegas oleh si nenek. Tiba-tiba dalam otaknya berkelebat satu ingatan, "Cie Jiak!" bentaknya. "Apa benar kau mau menghina guru?"
Seraya membentak, ia menikam dada si nona!
Hati nona Ciu mencelos. Tentu saja ia tidak berani menangkis. "Suhu!..." teriaknya. Ia tidak dapat meneruskan perkataannya sebab hampir menyentuh dada!
Bu Kie tak tahu, dalam tikaman itu Biat Coat hanya mau menjajah. Pada detik terakhir, si nenek menarik pulang senjatanya. Karena tak bisa menebak jalan pikiran orang yang juga sebab sudah menyaksikan kekejaman Biat coat terhadap Kie Siauw Hu, tanpa memikir panjang lagi ia melompat, memeluk pinggang Cie Jiak dan melompat ke tempat yang lebih selamat.
Kedudukan Biat coat segera berubah dari pihak yang diserang, ia sekarang bisa menyerang. Ia segera menikam punggung Bu Kie. Sebab lagi menolong orang, gerakan Bu Kie agak terlambat dan terpaksa ia menangkis dengan goloknya. "Tang!" golok mustika itu putus. Biat coat mengudak dan menikam pula.
Bu Kie menimpuk dengan golok buntung, kali ini dengan menggunakan seantero lweekang. Hampir berbareng dada si nenek menyesak karena tekanan angin timpukan. Ia tidak berani menyambut dengan pedangnya dan secepat kilat ia membanting diri di tanah. Tapi biarpun begitu, ratusan lembar rambutnya terpapas putus!
Melihat kesempatan baik, tanpa melepaskan Cie Jiak, Bu Kie melompat dan menghantam dengan telapak tangannya. Karena darahnya meluap, ia menghantam dengan sepenuh tenaga. Sambil berlutut Biat coat coba membabat pergelangan tangan Bu Kie. Pemuda itu segera mengubah gerakan tangannya, dari menepuk jadi mencengkeram dan" tahu tahu tangannya sudah mencekal Ie thian kiam!
Cengkeraman itu yang dilakukan dengan Sin kang Kian kun Tay lo ie tingkat ketujuh, tak dapat dilawan oleh Biat coat.
Walaupun sudah menang, Bu Kie tidak berani berlaku sembrono. Seraya menudingkan ujung Ie thian kiam ke tenggorokan si nenek, perlahan-lahan ia mundur dua tindak.
"Lepaskan aku!" teriak Cie Jiak sambil memberontak.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Ah"! Ya"!" katanya. Dengan paras muka merah, ia melepaskan nona Ciu. Ia mengendus bebauan wangi yang sangat halus dan waktu melepaskan, beberapa lembar rambut si nona menyentuh pipinya.
Tanpa terasa ia melirik. Muka Cie Jiak bersemu dadu. Meskipun parasnya mengunjukkan perasaan takut, sinar matanya memperlihatkan rasa bahagia.
Perlahan-lahan Biat coat berbangkit. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia mengawasi Bu Kie.
Mukanya sangat menyeramkan.
Seraya mengangsurkan gagang pedang, Bu Kie berkata, "Ciu Kauw-nio, tolong serahkan pedang ini kepada gurumu."
Cie Jiak berdiri bengong. Macam2 pikiran berkelabat dalam otaknya. Sesudah terjadi apa yang sudah terjadi, ia merasa pasti dirinya akan dipandang sebagai pengkhianat partai, seorang yang menghina guru sendiri. Apakah ia benar-benar harus berkhianat kepada gurunya sendiri" Bu Kie memperlakukannya secara baik sekali. Tapi, biar bagaimanapun juga, ia seorang anggota Mo kauw, anggota dari agama
"siluman". Sekonyong-konyong kupingnya mendengar bentakan gurunya, "Cie Jiak, bunuh dia!"
Tahun itu, sesudah mengajak Cie Jiak pulang ke Bu tong san, Thio Sam Hong lalu menyerahkan muridnya, yaitu Cie Jiak kepada Biat coat Suthay sebab di dalam kuil Siauw Lim Sie tak pernah bernaung murid wanita. Nona Ciu berbakat baik. Dengan mengingat dirinya seorang yatim piatu, ia belajar giat-giat dan kemajuannya pesat sekali. Biat coat sangat menyayangnya dan selama delapan tahun, belum pernah ia berpisahan dengan gurunya itu. Di mata Cie Jiak, Biat coat bagaikan seorang ratu. Perkataannya merupakan undang-undang yang tak pernah dibantah.
Kini mendengar bentakan sang guru yang angker dan berpengaruh, tanpa merasa dalam bingungnya ia mengangkat Ie thian kiam dan menikan dada Bu Kie.
Karena tak menduga bakal diserang, pemuda itu tidak berwaspada. Tiba-tiba pedang menyambar. Ia terkesiap tapi sudah tidak keburu menangkis atau berkelit lagi. Untung juga waktu menikam tangan Cie Jiak bergemetaran, sehingga ujung pedang mencong ke samping dan amblas di dada sebelah kanan.
Dengan berteriak, si nona menarik pulang Ie thian kiam. Pedang berlepotan darah dan darah mengucur dari dada Bu Kie. Hal itu mengejutkan semua orang. Keadaan berobah kalut, di empat penjuru terdengar teriakan.
Bu Kie mendekap dada dengan tangannya. Tubuhnya bergoyang-goyang sedaun paras mukanya mengunjuk perasaan gegetun, menyesal dan heran seakan ia mau bertanya. "Apa sungguh-sungguh kau mau mengambil jiwaku?"
Cie Jiak sendiri mengawasi hasil perbuatannya dengan mata membelalak dan mulut ternganga. Dengan suara parau ia berkata, "Aku" " Di dalam hati ia ingin menubruk Bu Kie, tapi ia tidak berani. Sesaat kemudian, sambil menutup muka dengan kedua tangannya, ia memutar badan dan lari balik ke barisannya.
Peristiwa itu tak pernah diduga oleh siapapun jua.
Dengan paras muka pucat pasi, Siauw Ciauw memapah Bu Kie. "Thio Kongcu" kau?" katanya terputus-putus. Luka pemuda itu amat berat, tapi untung, sebab moncong ujung pedang tidak melanggar jantung.
Dengan mengawasi Siauw Ciauw, Bu Kie berkata, "Mengapa kau menikam aku." Ia tidak bisa meneruskan perkataannya, napasnya tersengal sengal dan seraya membungkuk ia batuk-batuk. Matanya berkunang-kunang, kepalanya pusing, sehingga ia tak dapat membedakan Siauw Ciauw dari Cie Jiak.
Darah mengucur terus dan pakaian si nona turut basah.
Sesaat kemudian, sesudah teriakan mereda, lapangan yang penuh manusia itu berubah sunyi senyap.
Tak seorangpun baik anggota 6 partai, maupun anggota Beng kauw atau Peh bie kauw mengeluarkan sepatah katapun. Apa yang tadi dilakukan oleh pemuda itu kelihayannya dalam menjatuhkan sejumlah tokoh ternama dan cara caranya yang mengunjuk perasaan kemanusiaan sudah membangkitkan rasa kagum dan hormat dalam hatinya semua orang. Maka itu, baik kawan maupun lawan berduka atas kejadian itu. Di dalam hati, mereka mengharapkan keselamatannya.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Dengan dipeluk Siauw Ciauw, perlahan-lahan Bu Kie duduk di tanah. "Siapa yang punya obat luka yang paling manjur?" seru si nona.
Kong seng segera mendekati dan mengeluarkan sebungkus obat bubuk dari sakunya. "Giok leng san kami sangat mutajab," katanya seraya membuka baju Bu Kie. Luka itu beberapa dim dalamnya. Ia segera memborehi bubuk obat di lubang luka, tapi sebab darah mengucur, obat itu tidak bisa menempel dan turun ke bawah tersiram darah. Kong seng jadi bingung. "Hai! Bagaimana baiknya"... bagaimana baiknya?" katanya.
Yang paling bingung adalah suami isteri Ho Thay Ciong. Mereka menganggap bahwa mereka telah menelan ulat sutera emas. Kalau pemuda itu mati, jiwanya pun takkan tertolong. Dengan hati berdebar-debar Ho Ciong bun berjongkok di samping Bu Kie dan bertanya, "Bagaimana mengobati orang kena Kiam cam Kouw tok bagaimana" Hayo, lekas terangkan!"
"Pergi!" bentak Siauw Ciauw sambil menangis. "Kalau Thio Kongcu mati, kita mampus bersama-sama!"
Di waktu biasa, mana mau Ho Thay Ciong dibentak-bentak oleh seorang wanita macam Siauw Ciauw.
Tapi keadaan kini bukan keadaan biasa. Tanpa memperdulikan si nona, ia bertanya lagi. "Bagaimana mengobati Kiam cam Kouw tok" Hayo! Bagaimana?"
Kong seng meluap darahnya, "Thie-khim Sian seng!" bentaknya, "Jika kau tak minggir, loolap takkan berlaku sungkan2 lagi terhadapmu."
Tiba-tiba Bu Kie membuka matanya dan mengawasi semua orang yang berdiri di sekitarnya.
Kemudian, ia mengangkat tangan kirinya dan menotok tujuh delapan "hiat" di seputar luka. "Sesaat kemudian, mengalirnya darah jadi terlebih perlahan, Kong-seng girang. Buru-buru pendeta suci itu memborehi Giok leng san di dada yang terluka. Siauw Ciauw segera merobek tangan bajunya yang lalu digunakan untuk membalut luka. Muka Bu Kie pucat seperti kertas. Ia terlalu banyak mengeluarkan darah.
Per-lahan-lahan otak Bu Kie menjadi terang lagi. Ia segera mengerahkan tenaga dalam dan lantas saja merasa bahwa hawa tak bisa jalan di dada sebelah kanan. Dalam keadaan setengah mati, tekadnya tetap tak berubah. "Sebegitu lama masih bernapas, aku takkan mengizinkan enam partai membasmi semua anggota Beng-kauw," katanya di dalam hati. Sambil meramkan kedua matanya, mengerahkan Cin-khie yang lalu dialirkan beberapa kali di seputar dada bagian kiri.
Sesudah itu, perlahan-lahan ia berbangkit dan berdiri. Dengan matanya, ia menyapu seluruh lapangan dan berkata dengan suara perlahan. "Kalau dalam Go bie dan Bu tong pay masih ada orang yang tidak setuju dengan permintaanku, ia boleh segera keluar untuk bertanding."
Perkataan itu disambut dengan rasa heran juga kagum yang sukar dilukiskan. Semua orang lihat, bahwa pemuda itu terluka berat. Tapi, baru saja darahnya berhenti mengalir, ia sudah bisa berdiri dan menantang pula. Apa ia manusia" Manusia biasa tak akan bisa berbuat begitu.
"Go bie pay sudah kalah," kata Biat coat dengan suara dingin. "Jika kau tidak mati, di belakang hari kita bisa perhitungkan lagi. Kini hanya ketinggalan Bu tong pay. Kalah menang harus diputuskan oleh Bu tong pay."
Maksud Biat coat Suthay dimengerti oleh tokoh-tokoh semua partai.
Dalam usaha untuk mengepung Kong beng teng, jago-jago Siauw lim, Khong tong, Kun lun, Hwa san dan Go bie sudah dirobohkan Bu Kie. Hanya Bu tong pay yang belum bergebrak dengan pemuda itu.
Tapi sekarang Bu Kie terluka berat. Jangankan pendekar Bu tong, sedang seorang biasapun sudah cukup untuk menjatuhkannya. Mungkin sekali, tanpa bertempur, Bu Kie akan mati sendiri. Setiap pendekar Bu tong bisa segera membinasakannya dan sesudah ia binasa, keenam partai bisa mewujudkan keputusan untuk membunuh semua anggota Beng kauw.
Tapi Bu tong pay sangat mengutamakan "Hiap sie". Menyerang seorang yang terluka berat memang bukan perbuatan bagus, sehingga mungkin sekali kelima pendekar Bu tong merasa keberatan untuk turun tangan. Tapi kalau Bu tong pay berpeluk tangan, apakah keenam partai harus pulang dengan tangan hampa, dengan kegagalan" Membasmi Beng kauw adalah usaha besar yang sudah menggetarkan seluruh
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Rimba Persilatan. Kalau mereka gagal, apakah mereka masih ada muka untuk tampil lagi dalam kalangan Kang ouw" Serba susah maju salah, mundur salah. (Hiap gie " kesatriaan) Maksud perkataan Biat coat ialah dipertahankan atau tidaknya kehormatan keenam partai terserah atas keputusan Bu tong pay.
Jalan mana yang akan ditempuh partai itu"
Song Wan Kiauw, Jie Lian Ciu, Thio Siong Kie, In Lie Heng dan Boh Seng Kok saling mengawasi.
Mereka tak bisa segera mengambil keputusan. Tiba-tiba Song Ceng Su, putera Song Wan Kiauw, berkata,
"Thia-thia, Su wie Siok-siok, biarlah anak saja yang membereskan dia."
"Tak bisa," kata Jie Lian Ciu. "Kau turun tangan tiada bedanya dengan kami yang turun tangan."
"Menurut pendapat Siauw tee, kepentingan umum adalah lebih penting daripada kepentingan pribadi dari pada soal nama kita," kata Thio Siong Kee.
"Nama adalah sesuatu yang berada di luar badan manusia," Boh Seng Kok menjawab. "Biar bagaimanapun jua siauw tee merasa berat untuk mencelakai seorang manusia yang sudah terluka berat."
Keempat pendekar mengawasi Song Wan Kiauw. Sebagai kakak seperguruan yang paling tua, ialah yang harus mengambil keputusan terakhir.
Song Tay hiap melirik In Lie Heng. Adiknya itu tak mengeluarkan sepatah kata, tapi mukanya mengunjukkan sinar kegusaran. Ia mengerti, bahwa si adik ingat nasib tunangannya, Kie Siauw Hu yang telah dinodai Yo Siauw dan akhirnya binasa karena gara-gara perbuatan Kong ben Su cia itu. Ia tahu bahwa si adik menaruh dendam yang sangat mendalam. Jika sakit hati itu tidak terbalas, jika Beng kauw tidak dimusnahkan rasa penasaran In Lie Heng takkan hilang. Maka itu, ia lantas saja berkata dengan suara perlahan. "Mo kauw kedosaannya. Memerangi yang jahat adalah kewajiban orang-orang sebangsa kita. Dalam dunia ini tiada yang sempurna. Orang tak bisa mendapat semuanya. Kita harus memilih yang paling penting, Ceng Su, dan berarti hati-hatilah."
"Baiklah!" kata si anak seraya membungkuk dan lalu menghampiri Bu Kie. "Can Siauwhiap," katanya dengan suara nyaring, "jika kau bukan anggota Beng kauw, kau boleh segera turun gunung dan mengobati lukamu. Usaha enam partai untuk menumpas kejahatan tiada sangkut pautnya denganmu."
Dengan satu tangan memegang dada, Bu Kie menjawab, "Dalam usaha menolong sesama manusia, sebegitu lama ia masih bernyawa, seorang lelaki harus berjuang terus. Terima kasih atas maksud Song-heng yang sangat baik. Tapi aku sudah mengambil keputusan untuk hidup atau mati bersama-sama Beng kauw!"
Para anggota Beng kauw dan Peh bie kauw merasa sangat terharu. Banyak di antaranya berteriak-teriak, mencegah Bu Kie berkelahi terus. Dengan tindakan limbung In Thian Ceng maju mendekati.
"Orang she Song, " katanya, "biarlah loohu yang meladeni kau." Tapi baru ia mengerahkan lweekang, kedua lututnya lemas dan ia kembali roboh di tanah.
Ceng Su mengawasi Bu Kie. "Canheng, kalau begitu demi kepentingan umum, aku terpaksa berbuat kedosaan terhadapmu," katanya.
Siauw Ciauw melompat dan menghadang di depan Bu Kie. "Lebih dahulu kau harus membunuh aku!"
teriaknya. "Siauw Ciauw, kau tak usah kuatir," kata Bu Kie dengan suara perlahan. "Kepandaian pemuda itu biasa saja. Untuk melayani dia tenagaku masih lebih daripada cukup."
"Thio Kongcu, tapi kau" kau terluka berat!" kata si nona.
Bu Kie tersenyum. "Tak usah takut," katanya.
Mendengar perkataan itu, Ceng Su naik darah. "Bagus!" bentaknya, "Kepandaianku memang biasa saja. Aku minta pelajaran darimu yang mempunyai tenaga lebih daripada cukup."
"Siauw Ciauw, mengapa kau begitu baik terhadapku?" tanya Bu Kie dengan suara terharu.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Si nona tahu, bahwa ia tak dapat berbuat apa-apa lagi untuk mencegah pertempuran.
"Aku tak bisa hidup sendirian," katanya dengan suara duka dan putus harapan.
Dengan sorot mata menyinta, Bu Kie mengawasi nona itu. Dalam menghadapi kebinasaan, ia dapat terhibur karena ia tahu, bahwa di dalam dunia sedikitnya ada seorang yang menyintanya setulus hati.
"Minggir kau!" bentak Ceng Su dengan mata melotot.
"Mengapa kau begitu kasar terhadap seorang wanita?" tanya Bu Kie.
Tapi Ceng Su tidak meladeni teguran itu. Ia bahkan mendorong pundak Siauw Ciauw, sehingga si nona terhuyung beberapa tindak. "Di antara lelaki dan perempuan siluman, mana ada manusia baik?" katanya dengan kaku. "Bangun kau! Sambutlah seranganku!"
Bu Kie menghela napas. "Ayahmu adalah seorang kesatria", katanya, "Mengapa kau begitu kasar!
Untuk melayani kau, tak perlu aku bangun berdiri." Di mulut ia berkata begitu, tapi sebenar-benarnya ia tak kuat berdiri lagi.
Keadaan Bu Kie yang sudah payah dapat dilihat orang banyak, antaranya oleh Song Ceng Su sendiri.
"Ceng Su, kau totok saja jalan darahnya supaya ia tidak bisa bergerak," teriak Jie Lian Cu. "Tak usah membinasakan dia".
"Baiklah," jawabnya seraya menotok pundak Bu Kie dengan jari tangan kanannya.
Bu Kie tidak bergerak, tapi pada detik jari tangan lawan hampir menyentuh Kian tin hiat ia mengibas dengan tangannya dan Ceng Su menotok angin. Sebab kejadian itu di luar dugaan, Ceng Su sempoyongan, hampir-hampir menubruk Bu Kie.
Sesudah kagetnya hilang, ia menendang dada Bu Kie dengan menggunakan tujuh bagian tenaga. Jie Lian Cu telah memesan supaya ia tidak berlaku kejam, tapi mengapa ia mengirim tendangan yang berat itu" Apa lantaran Bu Kie mengatakan kepandaiannya biasa saja"
Bukan, sebab musababnya terletak di lain bagian. Ceng Su membenci Bu Kie dan ia membenci karena soal cinta.
Begitu melihat wajah Ciu Cie Jiak, begitu ia jatuh cinta. Tak henti-hentinya ia melirik atau mengawasi si nona. Sebagai puteranya seorang pendekar Bu tong, ia merasa tak pantas mengincar si nona terus menerus, tapi ia tak bisa melawan hatinya. Setiap gerakan, setiap senyuman, setiap kerutan alis Cie Jiak tidak terlepas dari matanya. Apa celaka, Cie Jiak mengunjuk rasa cintanya kepada Bu Kie. Sorot mata nona itu selalu diperhatikan Ceng Su. Atas perintah Biat coat, Cie Jiak menikam Bu Kie. Tapi sesudah menikam, si nona memperlihatkan rasa duka dan menyesal yang tiada terbatas.
Song Ceng Su mengerti, bahwa sesudah terjadi penikaman itu, tak perduli Bu Kie mati atau hidup, si nona tentu takkan melupakan perbuatannya itu. Iapun tahu, apabila ia membunuh pemuda itu, Cie Jiak pasti merasa sangat sakit hati, akan membencinya. Tapi oleh sebab dibakar rasa iri dan rasa iri hati, ia sungkan melepaskan kesempatan untuk membinasakan seorang yang tak berdosa yang menjadi saingannya. Ceng Su sebenarnya pemuda bun bu song coan (pandai ilmu surat dan ilmu silat), salah seorang terpandai di antara murid-murid turunan yang ketiga dari Bu tong pay dan pada hakekatnya ia seorang baik. Akan tetapi, begitu terbentur dengan soal cinta, ia tak bisa membedakan lagi apa yang benar, apa yang salah.
Melihat tendangan itu, semua orang terkejut. Untuk menyelamatkan jiwa Bu Kie mesti melompat atau menangkis. Pada saat ujung kaki mampir di dadanya, ia angkat tangan kiri dan mengibas. Di luar dugaan, kibasan itu sudah menolak tenaga dari tendangan kaki Ceng Su lewat dalam jarak tiga dim dari badannya.
Karena ia menendang dengan bernafsu, Ceng Su tidak menarik pulang kakinya dan lalu melompat sambil menendang ke belakang, menendang punggung Bu Kie dengan tumit kaki kiri. Tendangan itu hebat dan tidak mengira, tapi untuk kedua kalinya Bu Kie berhasil menyelamatkan jiwanya dengan hanya mengibaskan lima jari tangannya.
Melihat begitu, semua orang terheran-heran.
"Ceng Su, dia sudah tak punya tenaga dalam lagi," seru sang ayah. "Itulah ilmu Sie nio po cian kin"
(Sie nio po cian kian " Empat tahil menghantam seribu kati)
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Song Wan Kiauw memang lihay dan berpengalaman. Ia bisa lihat bahwa Bu Kie sudah habis tenaganya dan ilmu yang digunakannya, biarpun dinamakan Kian kun Tay lo ie pada hakekatnya tidak berbeda dengan Sin nio po koan kin, atau ilmu "Meminjam tenaga untuk memukul tenaga" dari Rimba Persilatan Tiong-goan.
Mendengar petunjuk ayahnya, Ceng Su tersadar dan ia segera mengubah cara bersilatnya. Kedua tangannya bergerak seperti orang menari-nari dan pukul-pukulannya kelihatan aneh, seperti disertai dengan lweekang, seperti juga tidak disertai lweekang. Itulah Bian ciang (ilmu pukul kipas), salah satu ilmu silat terlihay dari Bu tong pay.
Ilmu "Meminjam tenaga untuk memukul tenaga" merupakan dasar dari ilmu silat Bu tong pay. Untuk menggunakan Sie nio po cian kin, pihak lawan harus menggunakan tenaga yang besar, tenaga ribuan kati, supaya tenaga itu bisa dipinjam. Tapi sekarang Song Ceng Su menggunakan Bian ciang, maka tenaganya keluar di antara ada dan tidak ada. Dengan demikian, Bu Kie tak akan bisa meminjam tenaga itu.
Tapi tiada yang tahu, bahwa dalam Kian kun Tay lo ie, Bu Kie sudah mencapai tingkat tertinggi, yaitu sudah berlatih sampai pada tingkat ketujuh. Jangankan pukulan Bian ciang yang masih berbentuk, sedang benda yang tak ada bentuknya pun, seperti hawa racun atau suara aneh, masih dapat dipunahkan olehnya.
Begitu diserang, ia meramkan kedua matanya dan tersenyum, sedang lima jari tangan kirinya bergerak-gerak seperti sedang memetik khim. Dalam sekejap, Bian ciang yang terdiri dari tigapuluh enam jurus sudah punah semuanya.
Song Ceng Su tercengang. Dalam bingungnya ia menyapu seluruh lapangan dengan matanya dan secara kebetulan matanya kebentrok dengan mata Ciu Cie Jiak. Tiba-tiba saja darahnya meluap. Ia bergusar dan berduka karena paras muka si nona mengunjuk rasa kuatir. Ia tahu, bahwa Cie Jiak bukan memikiri keselamatannya.
Dalam marahnya, ia lantas saja menarik napas dalam dalam, tangan kirinya menghantam pipi kanan Bu Kie, telunjuk tangan kanannya menotok Pot hu hiat di bagian pundak. Jurus itu dinamakan Hoa kay Peng tee (Kembang mekar). Namanya bagus, hebatnya bukan main. Dua pukulan tadi disusul dengan dua pukulan lagi, tangan kanan menggaplok pipi kiri, telunjuk tangan kiri menotok Hong hu hiat. Dengan demikian, jurus Hoa kay Peng tee berisi empat pukulan yang turun bagaikan hujan angin, dengan kecepatan kilat.
Semua orang terkesiap, banyak diantaranya mengeluarkan seruan tertahan.
Tiba-tiba terdengar suara "Plaak! Plaak!" yang sangat nyaring. Tangan kiri Song Ceng Su menggaplok pipi kirinya, tangan kanan menggaplok pipi kanan dan berbareng satu telunjuk menotok Pok hu hiat, lain telunjuk menotok Hong hu hiatnya sendiri. Ternyata, dengan menggunakan Kian kun Tay lo ie yang paling tinggi, Bu Kie sudah berhasil memindah keempat pukulan itu ke tubuh si pemukul.
Sambung ke jilid 44 Kisah Pembunuh Naga Jilid 44 Karya Chin Yung ================ Jika Song Ceng Su tidak menyerang begitu cepat, sesudha menotok Pot Hu Hiatnya sendiri, ia tak akan bisa mengirim dua pukulan yang berikutnya. Tapi karena empat pukulan itu dikirim secara berantai dengan kecepatan luar biasa, maka biarpun Pok Hu Hiat nya sudah tertotok, ia masih bisa mengirim dua serangan lagi, sebab lengannya belum kesemutan. Sesudah keempat pukulan itu dikirim, barulah kaki tangannya lemas dan ia roboh terjengkang. Beberapa kali ia coba bangun, tapi tidak berhasil. Song Wan Kiauw menghampiri dengan berlari lari. Dengan mengurut beberapa kali ia membuka jalan darah puteranya yg tertotok. Kedua pipi Ceng Su bengkak dan bertepa lima tarak jari. Lukanya enteng, tapi karena adatnya yg tinggi, maka bagi Ceng Su, kekalahan itu merupakan penderitaan yg lebih hebat dari pada kebinasaan. Song Wan Kiauw mengenal adat puteranya. Tanpa mengeluarkan sepatah kata ia menuntung anaknya dan kembali kebarisan Bu tong.
Tepuk tangan dan sorak sorai menggetarkan seluruh lapangan. Semua org merasa kagum, kagum sekali.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Tiba2 Bu Kie muntah darah, sambil memegang dada ia batuk2.
Semua orang mengawasi kejadian itu dengan hati berdebar2. Mereka berkuatir akan keselamatan jiwanya pemuda gagah itu. Sebagian memperhatikan Bu Kie, sebagian pula mengawasi orang2 Bu Tong.
Apa yg akan diperbuat mereka" Mengaku kalah kan" Mengajukan lain jago kah"
Sesaat kemudian Wong Wan Kiauw berkata dengan suara nyaring. "Hari ini Bu tong pay sudah menunaikan kewajiban. Mungkin sekali bintnag Mo Kauw masih terang. Secara tidak diduga duga muncul pemuda luar biasa ini. Kalau kita mendesak terus, apa bedanya antara partai lurus bersih dan Mo Kauw?"
"Aku setuju dengan pendapat Taoko," menyambung Jie Lian Ciu. Sekarang kita pulang dan minta petunjuk Suhu. Sesudah pemuda itu sembuh, kita boleh bertempur lagi. Ia berbicara dengan suara nyaring dan bersemangat. Dengan kata2 itu ia menekankan bahwa hari ini Bu tong pay mengalah, ia tak percaya bahwa partainya tidak bisa melawan pemuda itu.
Thio Seng Kee dan Bu Seng Kong mengangguk, sebagai tanda mereka menyetujui pendapat Lian Ciu.
Sekonyong konyong In Lie Heng menghunus pedang dan dengan mata menyala ia menghampiri diri Bu Kie. "Orang she Can!" bentaknya. "Dengan kau, aku tak punya permusuhan apapun jua. Jika sekarang aku mencelakai kau, In Lie Heng bukan seorang baik2. Tapi sakit hati ku terhadap Yo Siauw dalam bagaikan lautan. Aku mesti bunuh padanya. Kau minggirlah!"
Bu Kie menggelengkan kepalanya. "Sebegitu lama aku masih bernyawa, aku akan cegah pembunuhan terhadap anggota Beng Kauw yg manapun jua," katanya dengan suara tetap.
"Kalau begitu, aku terpaksa membunuh kau" kata In Lie Heng dengan mata beringas.
Bu Kie muntah darah lagi. Matanya berkunang dan ia berada dalam keadaan separuh ingat, separuh lupa, "In Liok siok!" katanya denga suara parau. "Kau turun tanganlah."
In Lie Heng terkesiap. Suara itu, suara memanggil "In Liok siok," agaknya mungkin tidak asing lagi didengar dikupingnya. Mendadak ia ingat. "Bu Kie!" katanya di dalam hati. "Diwaktu kecil, Bu Kie sering memanggil "In Liok siok" dengan nada suara seperti itu. Apa pemuda ini Bu Kie..." Ia mengawasi muka yang pucat pasi itu. Makin diawasi, muka itu makin mneyerupai muka Bu Kie. Sudah delapan tahun mereka berpisah. Dari seorang bocah cilik, Bu Kie sudah berubah menjadi seorang dewasa.
Tubuhnya sudah berubah, mukanya pun sudah banyak berubah. Tapi dalam semua perubahan itu, masih banyak terbayang muka Bu Kie si bocah cilik yg menderita hebat karena pukulan Hiang Beng Sin Ciang.
Sesaat kemudian, In Lie Heng membuka mulutn, suaranya gemetar. "Apa .... Apa kau Bu Kie?"
Bu Kie merasa tenaganya habis semua. Matanya labur, kepalanya pusing dan ia merasa bahwa ia sudah berada dekat dengan liang kubur. Ia sekarang tak pelu menyembunyikan lagi dirinya. Bibirnya bergerak dan ia berbisik, "In Liok siok.... Titijie sering ingat kau...."
Mata In Liok hiap berkunang kunang. Perkataan seolah olah halilintar ditengah hari bolong. Kaget, heran, kagum, gegetun.... Semua tercampur menjadi satu. Ia seorang yg berperasaan sangat halus. Air matanya lantas saja mengucur deras. Ia melontarkan pedangnya menubruk, memeluk dan mendukung Bu Kie. Kata dia dengan suara serak "Bu... Kie!... Putra tunggal dari Ngo ko..."
Song Wan Kiauw, Jie Lian Ciu, Thio Siong Kee dan Boh Seng Kok memburu dan berdiri diseputar In Lie Hong. Kekagetan dan kegirangan mereka sukar dilukiskan.
Orang2 Beng Kauw tak kurang girangnya, mimpipun mereka tak pernah mimpi, bahwa pemuda yang coba menolong mereka dengan mempertaruhkan jiwa sendiri, bukan lain daripada putranya Bu Tong Ngo Hiap Thio Ciu San.
Melihat keponakannya pingsan buru-buru In Lie Heng mengeluarkan Thian ong Hu Sim tan dan memasukannya kedalam mulut Bu Kie. Sesudah menyerahkan pemuda itu kepada Jie Lian Ciu, ia segera memungut pedangnya dan menghampiri Yo Siauw.
Seraya menuding musuh besar itu, ia berteriak, "Binatang Yo Siauw! Aku... aku..." Ia tidak dapat meneruskan perkataannya dan lalu mengangkat pedang.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Kong Beng Su cia itu yg badannya masih belum bergerak, lantas saja meramkan kedua matanya dan menunggu kebinasaan seraya bersenyum.
Tiba2, pada detik sangat berbahaya, seorang wanita muda melompat dan menghadap di depan Yo Siauw. "Tahan! Jangan lukai ayahku!" bentaknya.
In Lie Heng mengawasi. Tiba2 ia mengeluarkan seruan tertahan dan sekujur badannya dingin. Gadis itu yg bertubuh jangkung kecil dan bermata besar tiada bedanya dari Kie Siauw Hu. Sedari bertunangan, wajah nona Kie yang manis selalu terbayang didepan matanya. Belakangan ia mendapat tahu, bahwa tunangan itu di bawa lari dan dinodai kehormatannya oleh Kong Beng Su cia Yo siauw, sehingga akhirnya ia membuang jiwa. Tak usah dikatakan lagi, kejadian itu sangat menyakiti hatinya.
Tak dinyana Kie Siauw Hu muncul pula. Badannya bergoyang2 dan ia berkata dengan suara gemetar.
"Siauw Hu Moay coo" kau?"
Gadis itu bukan lain daripada Yo Poet Hwie, berkata, "Aku bernama Yo Poet Hwie. Kie Siauw Hu adalah ibuku. Ibu sudah lama meninggal dunia."
In Lie Heng tertegun dan tersadar, "Ah!.... aku betul gila!" katanya. "Kau minggirlah. Hari ini aku akan membalaskan sakit hati ibumu."
"Bagus!" seru si nona. "In Siok siong, bunuhlah pendeta perempuan bangsat itu!" Seraya berkata begitu, ia menuding Biat Coat Suthay.
"Apa" Mengapa?" menegas In Lie Heng.
"Ibu dipukul mati oleh pendeta bangsat itu," jawabnya.
"Dusta! Kau jangan bicara sembarangan," bentak Lie Heng.
"Aku tidak berdusta," kata si nona dengan suara dingin. "Ibu dibinasakan di Ouw tiap kok. Pendeta bangsat itu menyuruh ibu membunuh ayah. Ibu menolak dan dia lantas turun tangan. Kulihat dengan mata ku sendiri. Kejadian itu jg disaksikan oleh Bu Kie kok. Jika Siok2 tidak percaya, tanialah pendeta bangsat itu sendiri."
Waktu nona Kie binasa, Peot Hwie masih sangat kecil. Belakangan, sesudah dewasa, barulah ia tahu apa yg sudah terjadi.
In Lie Hong menengok dan mengawasi Biat Coat dengan sorot mata menanya. "Su.. thay..." katanya dengan suara tak lampias. "Dia kata.... Kie Kouw Nii..."
Paras muka si nenek merah padam. "Benar," katanya. "Perlu apa murid yang tidak mengenal malu itu dibiarkan hidup lebih lama dalam dunia" Dia dan Yo Siauw saling mencintai. Dia lebih suka berkhianat dari pada menurut perintah guru. In Liok Hiap, guna menolong mukamu, aku tak tega untuk membuka rahasia itu. Hm! Tak guna kau memikiri perempuan yg mukanya begitu tebal!"
Paras muka Lie Heng pucat bagaikan kertas. "Tidak! Aku tak percaya!" teriaknya.
"Tanyakan anak itu, siapa namanya," kata Biat Coat.
Dengan air mata berlinang, Lie Heng menatap wajah si nona.
"Aku bernama Yo Poet Hwie," kata nona itu "Ibu pernah mengatakan, bahwa ia tidak merasa mneyesal akan terjadinya kejadian itu!"
Mendadak In Liok Hiap mengeluarkan teriakan menyayat hati. Ia melemparkan pedangnya ditanah, menekap mukanya dengan kedua tangan dan lari turun gunung bagaikan terbang.
"Liok tee! Liok tee!" memanggil Song Wan Kiauw dan Jie Lian Dioe.
Lie Heng lari terus. Tiba2 ia terguling, bangun, lari lagi dan dalam sekejap tak kelihatan bayang2nya lagi.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Semua orang menghela napas dan turut merasa duka akan nasib In Liok hiap yang malang itu. Bahkan seorang pendekar Bu Tong jatuh diwaktu lari merupakan penderitaannya yang maha hebat.
Sementara itu, Son gWan Kiauw, Jie Lian Ciu, Thio Siong Kee dan Boh Seng Kok duduk diseputar Bu Kie dengan masing2 mengeluarkan sebelah tangan yang telapaknya ditempelkan didada, perut, punggung dan pinggang Bu Kie dan kemudian mengerahkan Lweekang yg dimasukkan kedalam tubuh pemuda itu untuk mengobati lukanya. Selang beberapa sat, mereka merasai munculnya tenaga mengisap dalam tubuh Bu Kie yg terus menerus menyedot Lweekang mereka. Mereka kaget, kalau pengisapan itu tidak berhenti, dalam waktu sejam dua jam, tenaga dalam mereka bakal disedot habis2an. Namun karena jiwa Bu Kie masih dalam keadaan bahaya, mati hidupnya belum ketahuan, mereka tentu saja tidak bisa segera menarik pulang bantuan itu.
Bagaimana baiknya> Selagi keempat partai itu bersangsi tiba2 Bu Kie membuka matanya dan mengeluarkan seruan perlahan. "Ah!" Dilain saat Song Wan Kiauw merasai masuknya semacam hawa hangat dari telapak tangan mereka. Pemuda itu ternyata sudah menggerahkan Kioe yang Sin kang dan mengirim tenaga dalamnya kepada keempat paman itu.
"Tak boleh! Kau harus istirahat," kata Song Wan Kiauw. Dengan serentak mereka menarik tangan mereka dan berbangkit. Hampir berbareng mereka merasai mengalirnya hawa hangat yg sangat nyaman disekujur badan mereka. Bu Kie bukan saja sudah memulangkan tenaga bantuan, tapi sudah membalas budi dengan menghadiahkan Kiauw yang Cie Khie kepada paman2nya itu. Song Wan Kiauw berempat saling mengawasi dengan rasa kagum. Bahwa keponakan itu yang sudah terluka sedemikian berat masih mempunya Lweekang yang begitu kuat, sungguh2 diluar dugaan.
Meskipun Bu Kie masih menderita luka diluar yang sangat hebat, kesehatan di dalam badan sudah pulih kembali dan hawa sudah bisa mengalir dengan leluasa. Perlahan lahan ia bangun seraya berkata,
"Song Toapeh, Jie Jiepeh, Thio Siepeh, Boh Cit siok, tit jie memohon maaf untuk segala kekurang ajarannya. Apakah Thay su hu berada dalam keadaan sehat?"
"Su hu baik2 saja," jawab Wan Kiauw. "Bu Kie... kau.. kau sudah besar!..." Perkataan terputus putus karena terharu, ia ingin bicara banyak tapi mulutnya terkancing.
Dilain pihak sesudah mengetahui bahwa pemuda yang sudah menolong jiwanya adalah cucunya sendiri Peh Bie Enghong In thiau Ceng girang bukan masih belum bisa berbangkit, ia tertawa terbahak bahak.
Biat Coat Suthay mengawasi itu semua dengan paras muka menyeramkan. Tiba2 ia mengibaskan tangannya dan lalu bertindak untuk turun gunung, yg diikuti oleh murid2nya. Sambil menundukkan kepala, Ciu Cie Jiak turut berjalan, tapi baru bertindak beberapa langkah ia tak tahan untuk menengok kearah Bu Kie. Pemuda itupun sedang mengawasinya sehingga kedua pasang mata lantas saja kebentrok.
Pada muka si nona yang pucat lantas saja timbul sinar dadu. Sinar matanya adalah sedemikan rupa, sehingga ia seperti juga mau minta maaf atas perbuatannya dan mengharap supaya Bu Kie menjaga diri baik2. Pemuda itu rupanya tahu akan perasaan si nona. Sambil tersenyum, ia manggut2kan kepalanya.
Perasaan Cie Jiak lantas saja berubah terang. Ia balas tersenyum dan lalu meyusul rombongannya dengan tindakan lebar.
Itu semua tak terlepas dari mata Song Ceng Su. Untuk beberapa detik mata pemuda itu mengeluarkan sinar kebencian.
Sesudah Bu Tong pay tahu siapa adanya Bu Kie dan sesudah Go Bie Pay berlalu, usaha ena, partai untuk membasmi Beng Kauw gagal seanteronya. Orang2 Khong tong dan Kun Lun lantas saja berpamitan. Ho Tay Ciong mendekati dan berkata, "Saudara kecil aku memberi selamat bahwa hari ini kau bertemu dengan keluarga sendiri..." Tanpa menunggu sampai orang tua itu habis bicara. Bu Kie segara mengeluarkan dua butir Yowan dari sakunya. Yowan itu hanya obat biasa untuk menolak racun.
Sambil mengangsurkan kepada Ho Thay Ciong. Pemuda itu berkata. "Cianpwee berdua masing2 boleh menelan sebutir. Sesudah makan obat ini, racun Kim cam Kauw tak akan punah."
Ho Thay Ciong mengawasi kedua yowan itu dengan perasaan sangsi.
"Boanpwee pasti tak berdusta" kata pula Bu Kie.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Mendengar perkataan itu ia tak berani membuka mulut lagi. "Andaikata dia memberi obat palsu di hadapan keempat pendekar Bu tong aku tentu tak bisa menggunakan kekerasan," pikirnya : "Apalagi orang2 Siauw Lim beridir di pihak bangsat kecil itu. Sudahlah! Terserah kepada nasih," memikir begitu seraya tertawa getir, ia berkata. "Terima kasih." Sesudah menelan yowan itu bersama Pay Siok Ham ia segera memerintah murid2nya merawat jenazah partai Kun Lun dan kemudian sesudah berpamitan mereka turun gunung.
"Bu Kie," kata Jie Lian Ciu, "karena kau terluka berat sebaiknya kau berdiam saja disini untuk sementara waktu, guna berobat. Kami tak bisa menemani kau. Kami hanya mengharap supaya sesudah sembuh kau suda tangan ke Bu tong San, agar Su Hu turut merasa girang."
Dengan mata mengembang air, pemuda itu manggutkan kepalanya.
Keempat pemuda itu ingin sekali mengajukan banyak pertanyaan, tapi melihat kelemahan keponakannya, mereka berani bicara banyak2.
Sekonyong2 diantara barisan Siauw Lim terdengar teriakan seorang, "Kemana perginya jenazah Goan tin suheng?"
"Mengapa hilang ?" menyambung yg lain.
Boh Seng Kok heran dan segera mendekati tujuh delapan pendeta Siauw Lim yang sedang merawati jenazah anggota2 partainya. Benar sajat tidak melihat jenazah Goan tin.
"Lekas pulangkan jenazah Goan tin suheng!" teriak Goan im sambil menuding orang2 Beng Kauw.
Ciu Thian tertawa terbahak2. "Benar2 kau sudah gila!" katanya. "Perlu apa kami mencuri mayat pendeta."
Orang2 Siauw Lim tidka rewel lagi. Jawabnya itu ada benarnya jg. Mereka menduga mungkin sekali waktu mengumpulkan jenazah orang2 Hwa san pay atau Kong tong pay sudah mengambil jenazah Goan tin.
Tak lama kemudian, dengan beruntun barisan Siauw Lim dan Bu Tong turun gunung.
Bu Kie menyoja dan membungkuk untuk memberi selamat jalan kepada para pamannya.
"Anakku Bu Kie," kata Song Wan Siauw.
"Hari ini namamu tersohor di kolong langit dan Beng Kauw menanggung budimu yang sangat berat.
Kuharap supaya kau bisa menuntun mereka ke jalan yang lurus."
"anak pasti akan memperhatikan pesan Tao Su pek," jawabnya.
"Dalam segala hal kau harus berhati2, kau harus menjaga jangan sampai diperdayai oelh manusia2
rendah," kata Thio siong Kee.
Bu Kie mengangguk. Baik pihak paman, maupun pihak keponakan, sama2 merasa beat untuk berpisahan.
Sesudah keenam partai pergi semuanya, Yo Siauw dan In Thian Ceng saling mengawasi. Tiab2
mereka berteriak dengan berbareng, "Para anggauta Beng Kauw dan Peh Bie Kauw! Berlutut untuk menghaturkan terima kasih kepada Thio Tay hia!" Dilain saat semua orang sudah mendekam diatas bumi.
Bu Kie bingung tak kepalang apa pula diantara mereka terdapat kakek dan pamannya sendiri. Di luar dugaan, karena berlutut luka di dadanya terbukan lagi dan darah kembali mengucur dan ia lantas saja roboh pingsan.
Siauw Ciauw tersipu sipu memapahnya. Dua orang tauw bak (pemimpin regu) segera mengambil tandu dan merebahkan tuan penolong itu di dalamnya
Alis Yo Siauw berkerut, "Lekas antar Thio Tay Hiap kekamarnya," katanya. "Selama beberapa hari ia tidak boleh diganggu oleh siapapun jua."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Kedua tauw bak itu mengiakan sambil membungkuk dan lalu membusung Bu Kie kekamar Kong Beng Su cia dengan diikuti oleh Siauw Ciauw. Waktu ia lewat didepan Poet Hwie, nona Yo berkata dengan suara dingin: "Siauw Ciauw! Kau sungguh pandai bersandiwara. Aku memang sudah menaksir, bahwa kau main gila. Aku hanya tidak menduga, bahwa dibelakang penyamaran memedhi perempuan bersembunyi seorang nona yang cantik manis."
Siauw Ciauw tidak menjawab. Ia berjalan terus sambil menundukkan kepala dan menyeret rantai.
Selama beberapa hari orang2 Beng Kauw yg tidak terluka sangat repot. Mereka harus mengubur yang mati dan mengobati yang luka. Sekarang mereka insyap, bahwa adegan yang berupa cakar2an di dalam kalangan sendiri akhirnya membawa bencana besar. Ditambah dengan kekuatiran akan keselamatan Bu Kie, maka diantara mereka tak ada yang menyentuh nyentuh lagi soal permusuhan lama.
Dengan memiliki Kioe yang sin kang dan juga sebab tusukan pedang yang tidak melanggar bagian berbahaya, kesembuhan Bu Kie terjadi dengan cepat sekali. Dalam tujuh delapan hari, lukanya sudah mulai rapat.
In Thian Ceng, Yo Siauw, Wie It Siauw, Swe Poet Tek dan yang lain2 masih rebah diranjang. Tapi setiap hari, dengan menggunakan tandu mereka menengok tuan penolong itu. Melihat kesehatan Bu Kie pulih dengan cepat, mereka semua girang sekali.
Pada hari kedelapan, malam. Bu Kie sudah bisa duduk. Malam itu Yo Siauw dan Wie It Siauw datang dikamarnya.
"Sesudah kena It im cie bagaimana keadaan Jie Wie selama beberapa hari ini?" tanya Bu Kie.
Serangan2 dingin kian hari kian meningkat, akan tetapi, sebab kuatir pemuda itu jengkel, mereka serentak menjawab, "Banyak mendingan."
Tapi Bu Kie tak mudah dilagui. Melihat mukanya yang bersinar hitam dan suara yang tak bertenaga, ia tahu keadaan yg sebenarnya.
"Tenaga dalamku sudah pulih enam-tujuh bagian dan kini aku telah bisa membantu jie wie," katanya.
"Tidak! Tak boleh!" kata Yo Siauw tergesa2. "Perlu apa Thio tayhiap begitu kesusu" Sesudah sembuh seluruhnya, masih banyak waktu untuk menolong kami."
"Memang juga tidak perlu terburu-buru," menyambung Wie It Siauw sambil tertawa.
"Sekarang atau nanti tak banyak bedanya. Yang paling penting ialah Thio tayhiap harus menjaga diri sendiri."
"Gie hu (ayah angkatku) adalah pantaran jie wie dan tingkatan jie wie lebih tinggi dari pada aku," kata Bu Kie. "Maka itu kumohon jie wie jangan mengugnakan panggilan tayhiap lagi karena aku tak bisa menerimany." (Tayhiap pendekar besar)
Yo Siauw bersenyum. "Dikemudian hari kami semua akan menjadi orang sebawahanmy," katanya. "Di hadapanmu kami takkan berani turun bersama sama."
Bu Kie terkejut. "Yo Peh peh, apa katamu!" ia menegas.
"Thio tayhiap" kata Wie It Siauw, "Kedudukan Kauw cu dari Beng Kauw tak bisa diduduki oleh lain orang drpd kau sendiri!"
Dengan kaget pemuda itu menggoyang goyangkan kedua tangannya. "Tidak! Tidak! Biar bagaimanapun jua tit jie takkan berani menerima," katanya. (Tit jie keponakan) Saat itu, mendadak saja, dari sebelah kejauhan terdengar teriakan nyaring. Itulah tanda bahaya di kaki Kong Beng Teng!
Yo Siauw dan Wie It Siauw agak terkejut. Apa keenam partai masih merasa penasaran dan datang menyerang lagi" Tapi sebagai jago kelas utama, paras muka mereka sedikitpun tidak berubah.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Apakah jin somg yang kemarin sudah dimakan?" tanya Yo Siauw. "Ciauw, pergi kau ambil lagi dari kamar obat dan tolong godok supaya bisa lantas bisa dimakan oleh Thio tayhiap." Baru saja ia berkata begitu, disebelah barat dan selatan kembali terdengar teriakan nyaring.
"Apa kita diserang musuh?" tanya Bu Kie.
"Beng Kauw dan Peh bie Kauw tidak kekurang orang pandai," kata Wie It Siauw. "Thio tayhiap, kau tak usah kuatir. Beberapa bangsat kecil tak cukup untuk dibuat pikiran."
Beberapa saat kemudai teriakan2 sudah terdengar dipinggir gunung! Cepat sungguh bergeraknya musuh. Mereka ternyata bukan bangsat kecil.
"Coba kukeluar untuk membereskan mereka," kata Yo Siauw. "Wie Heng, kau berdia saja disini untuk menemai Thio tayhiap. Huh, huh! Apakah orang kira Beng Kauw boleh di hina terus, menerus oleh segala manusia?" Biarpun badannya belum bisa bergerak, suaranya lantang dan gagah.
Diam2 Bu Kie merasa bingung. "Siauw Lim, Bu tong danyang lain2 adalah partai2 lurus bersih dan tak mungkin mereka datang lagi untuk menyerang," pikirnya. "Yang datang mungkin sekali manusia2
jahat. Semua orang pandai di Kong Beng Leng terluka berat. Selama tujuh delapan hari mereka belum mendapat pengobatan yang tepat. Kita tak akan bisa melawan musuh. Kalau bertempur, kita semua akan mengantarkan jiwa."
Sekonyong2 dari luar menerobos masuk sesorang yang mukanya berlepotan darah da dadanya tertancap pisau.
Begitu masuk ia berteriak dengan suara terputus putus. "Musuh.... Meyerang dari tiga jurusan...
saudara2 kita.... Tak tahan..."
"Musuh dari mana?" menegas Wie It Siauw.
Orang itu menuding keluar, tapi sebelum ia bisa menjawab, ia roboh dan melepaskan napasnya yang penghabisan.
Suasana teriakan jadi makin ramai.
Sekonyong2 ua orang lain masuk ke kamar. Yo Siauw mengenali, bahwa yg diselah depan adalah Cian Kie Hu Su (wakil pemimpin) dari Ang Sui Kie. Ia terluka berat, lengannya putus sebatas bahu dan mukanya pucat pasi. Orang yg mengikuti dibelakangnya juga berlumuran darah.
Meskipun berada dalam keadaan setengah mati, wakil pemimpin itu bersikap tenang dan sambil membungkuk, ia berkata, "Thio tayhiap, Yo Co su, Wie Hiat ong, musuh yang menyerang kita terdiri dari Kie Keng pang, Hay see pay, Sin kun bun dan lain2."
Alis Yo Siauw berkerut dan ia mengeluarkan suara di hidung, "Hm... kawanan setan kecil itu jg berani menghina kita?" katanya.
"Yang menjaid kepala adalah seorang Hoan ceng dari See Hek," menerangkan Ciang Kie Hu Su. "Dia berkepandaian sangat tinggi dan menggunakan Ie thian kiam...." (Hoan ceng dari Seee hek - Pedeta asing dari daerah barat).
Mendengar "Ie thian kiam", hampir berbarengan Bu Kie, Yo Siauw dan Wie It Siauw mengeluarkan seruan tertahan.
"Apa benar Ie thian kiam?" tanya Yo Siauw, "Apa kau tak salah lihat?"
"Selagi aku bertempur, saudara Ong ini berada disampingku, memegang obor," jawabnya. "Aku pasti tidak salah lihat. Dengan sekali, pendeta itu memutuskan golok dari lenganku. Aku dapat membaca huruf
"Ie thian" pada pedang itu. Tak bisa salah lagi."
Waktu bicara sampai disitu, kelima Ngo Sian Jie Leng Kiam, Tiat Kun Tan Jin Thio Tiong, Pheng Eng Giok, Swee Poet Tek dan Ciu Tian masuk dengan digotong oleh beberapa orang.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Kurang ajar! Betul2 kurang ajar!" teriak Ciu Tian. "Kay pang bersama Sam bun pang dan Bu San pang jg turut menyerang. Sebegitu lama masih bernyawa aku tak akan menyudahi sakit hati ini..." belum habis ia bicara, dengan bertongkat In Thian Ceng dan In Ya Ong turut masuk kedalam kamar.
"Bu Kie, kau tidur saja disini," kata sang kakek. "Bangsat! Segala partai cilik seperti Ngo Beng to dan Toan Hun chio jg berani datang kemari. Aku mau lihat apa yang bisa diperbuat mereka."
"Dilihat begini musuh yang menyerang bukan kecil jumlahnya," kata Yo Siauw, "Sayang, sungguh sayang kita masih belum bisa bergerak."
Diantara tokoh2 itu, dalam kalungan Beng Kauw. Yo Siauw berkedudukan paling tinggi dalam Peh Bie Kauw, In Thian Ceng menjadi Kauw Cu sedang Pheng Bug Giok dikenal sebagai jago yang terkenal budi. Selama hidup mereka sudah kenyang mengalami gelombang hebat. Dengan kepandaian dan kebijaksanaan mereka selalu bisa lulus dari ujian dengan selamat. Tapi sekarang mereka menghadapi jalanan buntu. Sedang semua jago terluka hebat, musuh yang berjumlah besar datang menyerang. Apa yang harus diperbuat mereka" Kemungkinan satu satunya adalah dibasmi musuh.
Waktu itu di dalam hati, semua orang sudah menganggap Bu Kie sebagai Kauw Cu sehingga tanpa merasa mereka semua mengawasi pemuda itu.
Tentu saja Bu Kie turut mengasah otak. Dalam beberapa detik, macam2 ingatan berkelebat2 dalam otaknya. Dalam ilmu silat, ini memang lebih unggul daripada To Siauw dan yang lain2. Tapi dalam menarik daya upaya ia masih kalah dari jago-jago yg sudah berpengalaman itu. Kalau mereka sudah putus asa, apakah yang bisa diperbuat olehnya sendiri.
Untuk beberapa saat kamar itu sunyi senyap.
Sekonyong2 Bu Kie ingat sesuatu. "Ah!" teriaknya. "Jalan satu2nya menyembunyikan diri dalam jalanan rahasia. Musuh mungkin tak akan tahu. Tapi seandainya mereka tahu tak gampang2 mereka menerjang masuk." Di dalam hati ia merasa, bahwa daya itu paling sempurna sehingga suaranya penuh kegirangan. Tapi diluar dugaannya, kelihatannya tidak mendapat jawaban. Semua saling mengawasi tanpa mengeluarkan sepatah kata. Mereka kelihatannya tidak menyetujui usul itu.
"Seorang laki2 harus bisa mundur dan bisa maju," kata Bu Kie. "Kau sekarang mundur untuk sementara waktu. Begitu lekas kita sudah sembuh, kita boleh keluar untuk bertarung. Menurut pendapatku, tindakan ini sama sekali tidak menurunkan derajat atau keangkeran kita."
"Daya upaya Thio tayhiap memang sangat baik," kata Yo Siauw. Ia menengok kepada Siauw Ciauw dan berkata pula, "Siauw Ciauw, tolong antar Thio tayhiap kejalanan rahasia." "Kalau aku pergi, kita semua pergi bersama sama," kata Bu Kie.
"Thio tayhiap jalan duluan, kita akan mengikuti dibelakang," kata Yo Siauw.
Didengar dari nada suaranya, pemuda itu tahu, bahwa Yo Siauw dan yang lain2 takkan mengikuti.
Maka itu, ia lantas saja berkata dengan suara nyaring. "Para cianpwee! Walaupun Thio Bu Kie bukan anggauta Beng Kauw, tapi sesudah kita bersama sama melewati bahaya besar, perhubungan antara kita adalah perhubungan mati hidup bersama sama. Apakah para cianpwee kira kau seorang manusia yg takut mati" Apakah para cianpwee duga, Thio tayhiap, ada sesuatu yg diketahui olehmu," jawabnya dengan suara terharu. "Menurut peraturan Beng Kauw yg sudah berturun turun, jalanan rahasia di Kong beng teng dianggap sebagai tempat suci. Kecuali Kauw cu, anggota yang manapun jua tak boleh masuk kesitu.
Siapa yang melanggar peraturan, dia akan kena hukuman mati. Karena Thio tayhiap dan Siauw ciauw bukan anggotra partai, maka kalian berdua tak usah menaati peraturan tersebut."
Sementara itu teriakan2 makin santer dan makin dekat kedengarannya.
Jalanan keatas Kong keng teng penuh dengan bahaya, tak mudah dipanjat dan disana sini terdapat tebing2 yg curam. Dibanyak tempat dipasang pintu2 besi atau batu raksasa. Maka itu biarpun Beng Kauw tak bisa memberi perlawanan hebat tapi musuh tidak gampang2 bisa mencapai puncak Kong Beng teng.
Disamping itu, karena merasa jeri akan nama Beng Kauw yang besar, musuh tidak berani menerjang secara sembrono. Tapi didengar dari teriakan2 itu, mereka dapat merasak maju dengan perlahan.
Makin lama Bu Kie jadi makin bingung. "Dalam waktu satu jam lagi, semua orang bakal binasa,"
katanya didlm hati. Dalam bingungnya, ia segera bertanya, "Para Cianpwee! Apakah peraturan itu tidak dapat diubah?"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Dalam paras duka Yo Siauw meng geleng2kan kepalanya.
"Bisa!" kata Pheng Eng Giok sekonyong2. "Thio Tayhiap memiliki ilmu silat yg sangat tinggi dan rasa perikemanusiaan yg sangat luhur. Disamping itu, Thio tayhiap telah membuang budi yang besar luar biasa kepada kita. Sampai mati, kita semua tak akan bisa membalas budi itu. Kalau sekarang kita ramai2
mengangkat kau sebagai Kauw Cu turunan ketiga puluh empat, maka sebagai Kauw Cu kau bisa memerintah kita semua untuk masuk ke jalan2 rahasia itu. Kalau di perintah oleh Kauw Cu sendiri kita tidak melanggar peraturan yang sudah ditetapkan."
Mendengar usul Pheng Eng Giok, semua orang yg sudah mempunyai niatan untuk mengangkat Bu Kie sebagai Kauw Cu, dengan serentak menyatakan setuju.
Tapi Bu Kie menggoyang2kan tanganya. "Tak bisa, ini tak bisa!" katanya. "Boanpwee masih terlalu muda dan berpengetahuan terlampau cetek. Boanpwee tidak mempunyai kemuliaan apapun jua.
Bagaimana boanpwee bisa menerima tanggung jawab yang sedemikian berat" Disamping itu, Thay suhu jg pernah memesan, bahwa boanpwee skali kai tidak boleh masuk kedalam kalangan Beng Kauw. Dengan merasa sangat menyesal, boanpwee tidak bisa menerima usul Pheng Tay su."
"Bu Kie aku adalah kakekmu dan sebagai kakek, aku sekarang memerintahkan supaya kau masuk kedalam Beng Kauw," kata In Thia Ceng. "Andai kata dalam ikatan denga kau kedudukan sebagai kakek tidak lebih tinggi dari Thay suhumu, tapi sedikitnya sebagai kakek aku tidak jauh lebih rendah dari guru besar itu. Sekarang, dengan menggunakan
Kekuasaan sebagai kakek, aku memudahkan perintah Thay suhumu. Kalau kau menerima, orang luar pasti tak akan bisa menialahkan kau. Tapi biar bagaimanapun jua, aku menyerahkan segala keputusan kepada pertimbanganmu sendiri."
"Dengan ditambah seorang paman, kita jadi terlebih kuat," menyamnung In Ya Ong. "Kata orang, bertemu dengan paman seperti bertemu dengan orangtua sendiri. Orang tuamu sudah meninggal dunia dan aku sebagai pamanmu, bisa menggantikan kedudukan orangtua mu."
Mendengar perkataan kakek dan pamannya, Bu Kie berduka dan serba salah. Sambil menghela napas, ia berkata, "Waktu berada dalam jalan rahasi, aku telah mendapatkan surat wasiat mendiang Yo Kauw Cu. Aku mengambil surat itu unutk diperingatkan kepada kalian. Dan surat tersebut, mendiang Yo Kauw Cu memesan supaya ayah angkatku, Kamo mo Say Ong, diangkat menjadi Kauw Cu untuk sementara waktu."
"Thio tay hiap," kata Pheng Eng Giok, "Seorang laki2 tidak boleh terlaku berkukuh dalam hal2 kecil.
Seorang laki2 haris bisa menyesuaikan dii dengan perubahan2 bersar dalam dunia. Sekarang Cia Sun tidak berada disini. Maka itu, aku sekarang mengusulkan, supaya sesuai dengan keinginan mendiang Yo Kauw Cu, Thio tayhiap menduduki kursi Kauw Cu, untuk sementara waktu."
"Benar! Benar!" menyambut semua orang.
Dalam menghadapi bencana Bu Kie akhirnya mengambil keputusan cepat. Yang paling penting menolong jiwa yang lain boleh didamaikan belakangan, pikirnya. "Sesudah para Cianpwee mengunjuk kecintaan yg sedemikian besar, jika aku tetap menolak, maka aku akan menjadi manusia yg berdosa.
Sekarang untuk sementara waktu Bu Kie menerima kedudukan Kauw Cu. Nanti, sesudah kita melewati bahaya dengan selamatan kuharap kalian suka mengangkat seorang lain yg lebih cakap."
Pertanyaan itu disambut dengan sorak sorai. Biarpun sedang menghadapi bencana mereka sangat girang dan paras muka semua orang berseri seri.
Bagaimana mereka tak girang" Semenjak meninggalnya Yo Po Thian, Beng Kauw tidak mempunyai pemimpin, sehingga belakangan, agama itu menjadi berantakan dan jago-jagonya saling bermusuhan.
Sebagian memisahkan diri, sebagian mendirikan lain "agama" atau partai, sebagian melakukan perbuatan2 ,jahat tanpa tercegah kejadian2 itu bantu meruntuhkan Beng Kauw. Sekarang sesudah lewat banyak tahun, mereka mendapat seorang Kauw Cu yang berkepandaian tinggi dan luhur pribadinya, sehingga bila diharapkan bahwa Beng Kauw akan segera mendapat kembali keangkeran dan kemakmuran yang dahulu. Bagaimana mereka tak girang"
Dengan serentak orang2 yg masih bisa berlulut lantas saja berlutut di hadapan Kauw cu baru itu. In Thian Ceng dan In Ya Ong adalah kakek dan paman Bu Kie. Tapi kedua orang tua itupun turut menekuk lutut.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Dengan bingung ia berteriak, "Aduh! Harap kalian jangan begitu! Bangunlah Yo Co Su, aku minta kau segera menyampaikan perintah kepada semua orang, supaya seluruh anggota agama kita, dari yg tinggi sampai yang rendah, semua masuk ke jalanan rahasia. Perintahkan Ang So Kie dan Liat Hwee Kie melepas api dan menahan musuh. Semua bangunan yang berdiri diatas Kong Beng Teng harus dibakar habis."
"Baiklah," jawab Yo Siauw. "Perintah Kauw Cu akan segera dilaksanakan," ia lantas saja di gotong keluar dari kamar itu untuk memerintahkan Ang Sui dna Liat Hwee melindungi dari belakang dan semua orang mundur ke jalanan rahasia.
Waktu masuk ke jalanan rahasia mereka membawa ransum dan air secukupnya, sehingga biarpun harus bersembunyi satu dua bulan, mereka takkan mati kelaparan.
Para anggauta Beng Kauw dan Peh Bie Kauw berjalan tanpa mengeluarkan sepatah kata. Jalanan rahasia itu dianggap sebagai tempat suci oleh orang lain kecuali Kauw Cu. Hanialah atas kurnia Kauw Cu, mereka sekarang bisa masuk kesitu.
Dengan berdiri disekitar kerangka Yo Po Thian, Yo Siauw dan lain2 pemimpin mendengari penuturan Bu Kie tentang cara bagaimana ia mendapat surat wasiat mendiang Yo Kauw Cu dan cara bagaimana ia melatih diri dalam ilmu Kien Kun Tay Lo Ie Sin Kang.
Sesudah selesai penuturannya, Bu Kie segera mengangsurkan kulit kambing yang berisi pelajaran Kian Kun Tay Lo Ie Sin Kang kepada Yo Siauw. Tapi Yo Siauw tidak berani menerima. Seraya membungkuk ia berkata, "Dalam surat wasiat mendiang Yo Kauw Cu telah menetapkan, bahwa untuk sementara waktu Kian Kun Tay Lo Ie Sim hoat dipegang oleh Cia Sun dan kemudian diserahkan kepada Kauw Cu baru.
Menurut pantas Sim hoat ini skrg hrs disimpan Kauw Cu Sendiri."
Dengan bergilir semua orang membaca surat wasiat Yo Po Thian. Banyak diantaranya menghela napas dan menggeleng gelengkan kepala. Mereka tak pernah menyangka bahwa Yo Po Thian sedemikian gagahnya akhirnya binasa karena gara2 cinta. Kalau siang2 mereka tahu ada surat wasiat itu, Beng Kauw tantu takkan terpecah belah berantakan. Mengingat saudara2 yang sudah mengorbankan jiwa dan segala hinaan yang dideritanya merasa menyesal dan lalu mencaci Seng Kun.
"Biarpun Seng Kun adik seperguruan mendiang Yo Kauw Cu dan guru dari Kim mo Say ong, kita tak pernah bertemu muka dengannya," kata Yo Siauw. "Siapapun takkan menduga, bahwa selama beberapa puluh tahun ia mengatur dan menjalankan siasat untuk merobohkan Beng Kauw."
Ciu Tian mengeluarkan suara dihidung.
"Yo Cu Su, Wie Hong Ong, sesudah masuk dalam perangkap, kalian masih juga belummendusin dan dilihat begini, kalian seperti juga manusia2 tolol," kata Ciu Tian. Ia sebenarnya mau menyebutkan juga nama "si tua bangka Peh Bie," tapi perkataan itu ditelan lagi kedalam perutnya, sebab ia merasa malu hati kepada Kauw Cu.
Disentil begitu, paras muka Yo Siauw lantas saja berubah menjadi merah. "Tapi manusia takkan bisa terlolos dari jaring "Langit"," katanya. "Pada akhirnya, bangsat Seng Kun mampus jg dalam tangan saudara Ya Ong."
"Mengingat kejahatan nya, dia sebenarnya mati terlalu enak," kata pemimpin Liat hwee kie dengan suara mendongkol.
Setelah beromong2 lagi beberapa lama, mereka baru bersila dan menjalankan pernapasan untuk mengobati luka.
Berselang tujuh delapan hari Bu Kie sudah hampir sembuh dan yang masih ketinggalan hanya luka yg dalamnya kira2 sedim. Ia segera mengobati anggota2 Beng Kauw dan Peh Bie Kauw yang mendapat luka diluar. Meskipun kekurangan obat, dengan pembantuan penjaruman, "pempakaran" dan ilmu mengurut ia berhasil menolong semua orang.
Semua orang2 itu hanyal mengenal Kauw Cu mereka sebagai pemuda yg ilmu silatnya tinggi luar biasa. Mereka tak pernah menyangka, bahwa Bu Kie pun memiliki ilmu ketabiban yg dapat direndengkan Tiap kok ie sian Ouw Ceng Goe.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Lewat beberapa hari lagi, Bu Kie sudah sembuh seanteronya. Dengan menggunakan Kioe yang Sin Kang, ia segera menolong Yo Siauw, Wie It Siauw, Yo Poet Long Hwie dna Ngo Sin Jiu untuk mengusir racun dingin It Um Cie yang mengeram dalam tubuhnya. Dalam tempo tga hari saja, racun telah dapat dikeluarkan.
Begitu sembuh, dengan semangat bergelora mereka terus mau keluar untuk menghajar musuh.
"Tunggu dulu," kata Bu Kie. "Kalian baru saja sembuh dan tenaga dalam belum pulih semuanya.
Bersabarlah beberapa hari lagi."
Selama beberapa hari itu, semua orang2 bersiap sedia. Yang ilmu silatnya agak rendah menggosok golok, menggosok pedang. Yang ilmu silatnya tinggi, melatih Lweekang.
Sedari di keroyok oleh enam partai besar, mereka telah menerima banyak hinaan dan kedongkolan sudah bersusun tindih.
Malam itu Yo Siauw mengawasi Bu Kie dan menceritakan segala sesuatu mengenai agama mereka, seperti sejarah, peraturan2, pengaruh dan kekuatan diberbagai tempat, kepandaian dan watanya tokoh2 yg terkemuka.
Selagi beromong2 tiba2 terdengar suara rantai dan Siauw Ciauw masuk dengan membawa nampan teh.
Setelah menaruh kedua cangkir di hadapan pemimpin itu, ia segera keluar lagi.
Sekonyong2 Bu Kie teringat sesuatu dan ia segera berkata, " Yo Co su, selama beberapa hari ini nona kecil itu tidak pernah melakukan pelanggaran apa2. Kuharap kau suka membuka rantainya."
"Baiklah," kata Yo Siauw yang lantas saja memanggil putrinya. "Poet Hwie, Kauw Cu ingin supaya Siauw Ciauw dilepaskan," katanya. "Kau bukalah kuncinya."
"Anak kunci berada dalam lemari, dalam kamarku," jawabnya. "Aku tidak membawanya kemari."
"Tak apa, nanti saja," kata Bu Kie.
"Kurasa anak kunci itu takkan terbakar lumer."
Sesudah puterinya keluar, Yo Siauw berkata, "Kauw Cu, biarpun Siauw Ciauw masih berusia muda, tindakan2nya sangat aneh. Kita harus berhati2."
"Siapa nona itu" Bagaimana asal usulnya?" tanya Bu Kie.
"Pada waktu kira2 setengah tahun yg lalu, waktu aku bersama Poet Hwie jalan2 dibawah gunung, tiba2 kulihat dia sedang menangis di gurun pasir sambil memeluk dua mayat," kata Yo Siauw. "Aku menghampiri dan menanya. Ia mengatakan, bahwa kedua mayat itu adalah jenazah ayah ibunya. Menurut penuturannya, sebab sang ayah membuat suatu pelanggaran di Tiong Goan, maka mereka " ayah, ibu dan anak tiga orang " dihukum untuk bekerja dalam tentara See Hek. Beberapa hari yg lalu, mereka melarikan diri karena tak tahan di hina dan di persakiti perwira Mongol. Tapi akhirnya, sebab sudah terluka dan habis tenaga, kedua orang tua itu meninggal dunia. Biarpun romannya jelek, aku merasa kasihan. Sesudah mengubur kedua jenazah itu, dan mengajaknya pulang dan menyuruh menemani Peot Hwie."
Bu Kie manggut2kan kepalanya.
"Kalau begitu Siauw Ciauw yatim piatu," "sama seperti aku," katanya di dalam hati.
Sesudah berdiam sejenak, Yo Siauw berkata pula, "Sesudah Siauw Ciauw berdiam di Kong beng teng, pada suatu hari, ketika aku mengajar ilmu silat kepada Poet Hwie, itu terjadi sesuatu yg luar biasa. Aku mencoba memberi penjelasan tentang kedudukan keenam puluh empat dari Pat Kwa. Anehnya Poet Hwie masih belum mengerti, mata Siauw Ciauw sudah mengawasi kedudukan yg benar."
"Mungkin sekali sebab dia berotak sangat cerdas," kata Bu Kie.
"Semula akupun menganggap begitu dan bahkan aku mersa girang," kata Yo Siauw. "Tapi belakangan aku bercuriga dan dengan sengaja menyebutkan satu kauw koat (teori ilmu silat) yang sangat sulit. Kauw koat itu belum pernah diturunkan kepada Poet Hwie. Untuk menjajalnya, aku sengaja menyebutkan kedudukan2 Pat kwa yg kalah. Benar saja, kulihat alisnya berkerut, sehingga aku menarik kesimpulan,
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
bahwa ia tahu akan kesalahanku itu. Mulai waktu itu aku berhati2. Aku tahu, bahwa nona cilik ini memiliki kepandaian tinggi dan kedatangannya ke Kong Beng Teng mengandung maksud tertentu."
"Apakah tidak bisa jadi kedua orang tuanya paham kitab Ya Keng dan ia mendapat pelajarang turunan?" tanya Bu Kie.
"Aku rasa tidak begitu," bantah Yo Siauw. "Sebagiamana Kauw Cu tahu. Ya Keng yang dipelajari oleh seorang ses rawan berdau dengan Ya Keng yang dipelajari untuk ilmu silat. Kalau benar Siauw Ciauw mendapat pelajaran itu dari kedua orang tuanya, maka kedua orang itu adalah ahli2 silat kelas utamg. Supaya dia tidak bercuriga, sikapku sama sekali tidak berubah. Beberapa hari kemudian dengna menggunakan satu kesempatan baik, aku menanyakan nama ayah ibunya dan asal usul mereka. Tapi ia sangat licin dan aku tidak dapat meraba apapun jua. Akupun tidak marah. Aku hanya memesan supaya Poet Hwie berhati hati. Satu hari aku berguyon dan Poet Hwie tertawa terbahak2. Siauw Ciauw yang juga berada disitu tak takut untuk tidak tertawa. Ia berdiri dibelakang aku dan Poet Hwie dan rupanya ia mangganggap kami berdua tidak akan lihat tertawanya. Diluar dugaannya, ketika itu Poet Hwie sedang memegang sebatang cit sioe (pisau) yang mengkilap bagaikan kaca dan bayangan mukanya terlihat nyata kebadan pisau itu. Dengan tertawanya itu, penyamarannya terlocot. Ia ternyata bukan seorang wanita jelek. Romannya yang jelek bukan sewajarnya, tp di buat2. Kecantikannya bahkan melebih Poet Hwie."
Bu Kie bersenyum, "Membuat muka yang aneh itu terus menerus memang bukan pekerjaan mudah,"
katanya. "Tapi kami masih belum membuka topengnya," Yo Siauw melanjutkan penuturan. "Malam itu, sesudah larut malam, diam2 aku pergi ke kamar Poet Hwie untuk mengintip gerak-geriknya. Sesudah mengintip beberapa lama, dan keluar dari kamar Poet Hwie dan pergi kerentahan kamar2 disebelah timur.
Ia masuk kesetiap kamar dan menyelidiki saban pelosok, entah mau cari apa. Aku tak tahan lagi. Aku keluar dari tempat sembunyi dan tanya dia lagi cari apa. Akupun tanya siapa yang menyuruhnya dtg kemari. Tapi ia tenang2 saja. Ia menyangkal semua tuduhan dan mengatakan, "bahwa ia masuk keluar kamar hanya untuk main-main karena tak bisa pules. Dengan berbagai jalan aku coba membujuknya dan memancingnya supaya aku mengaku terus terang, tapi semua usahaku sia2 saja. Karena jengkel, aku mengurung dia di dalam kamar dan tidak memberi makan selama 7 hari dan 7 malam, sehingga mati.
Tapi ia tetap menutup mulut. Dengan kewalahan aku lalu merantai kai tangannya dengan rantai hian tiat supaya kalau dia bergerak rantai itu bersuara. Tindakan ini adalah untuk mencegah dia mencelakai Poet Hwie dengan membokong.
"Kauw Cu, itu merasa pasti, bahwa dia dtg kemari atas suruhan musuh kita. Sebab dia mengerti kedudukan2 Pat Kwa, maka mungkin sekali dia anggauta Bu tong ataupun Go Bie. Tapi biar bagaimanapun jua, kita tentu tak usah terlalu berkuatir. Dia hanya seorang gadis cilik. Dengan mengingat jasanya, bahwa dia sudah merawat Kauw Cu selama beberapa hari. Kauw Cu sudah menaruh belas kasihan dan mengampuninya. Dia untung besar bertemu dengan Kauw Cu dan aku pun tidak menentang keputusan Kauw Cu."
Bu Kie tertawa dan lalu berbangkit, "Yo Co su, sudah lama kita terkurung di penjara dan kurasa sekarang sudah tiba waktunya untuk kita mencari sedikit hiburan," katanya.
Yo Siauw girang sekali. "Apa kita sudah boleh keluar?" tanyanya.
"Yang belum sembuh tidak boleh bergerak," jawabnya. "Kedua Ciang Kie Su dari Ang Sun dan Kie Bok, tak boleh ikut serta. Yang lain keluar semua."
Perintah itu disambut dengan sorak sorai. Sesudah semua orang bersiap sedia, Bu Kie mendorong batu raksasa yang menutup pinta jalanan rahasia. Ia keluar lebih dahulu dan menunggu diluar pintu. Sesudah semua orang keluar, ia menutup lagi pintu itu dengan batu raksasa tersebut. Dalam kalangan Beng Kauw, orang yang memiliki tenaga paling besar ialah Gon Hoan Ciang Kie Su Houw Touw Kie. Ia mengerahkan lweekang dan coba mendorong batu itu dengan sekuat tenaga. Tapi usahanya itu seperti capung mendorong pilar batu.
Supaya tidak mengagetkan musuh, semuanya berjalan dengan mengindap2 sambil menahan napas. Bu Kie sendiri menilik gerakan barisan itu dengan berdiri diatas satu batu besar. Dengan bantuan sinar rembulan, ia lihat pasukan Peh Bie Kauw mengambil kedudukan disebelah barat. Rombongan2 Lwee Sam Tong " dan Gwa ngo tan, yaitu Sin Coa, Ceng Liong, Peh Houw Hian Bu dan Ciu Ciak tan berbaris rapi dengan masing2 di kepalai oleh pemimpin mereka.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Disebelah timur berkumpul Ngo Kie dari Beng Kauw, yaitu Swie Kim, Kie Bok, Ang Sut Liat Hwee dan Houw Touw Kie, yang mengambil kedudukan Ngo Heng dan masing2 di kepalai oleh pemimpin2nya.
Yang ditengah2 adalah empat pasukan Su Bun (Empat Pintu) yang berada dibawah kekuasaan Yo Siauw. Su Bun berarti pintu Thian (Langit), Tee (Bumi), Hong (angin) dan Loei (Geledek) yang masing2
dipimpin oleh seorang Bun Cu dan semua anak buahnya adalah para anggota dari Kong Beng Teng.
Thian Cu Bun terdiri dari para anggota pria daerah Tionggoan. Lee Cu Bun yang dipimpin Yo Poet Hwie terdiri dari hweeshio atau toojin, sedang Loei Cu Bun terdiri dari orang2 See Hek (Daerah Barat).
Anak buah Lima Bendera dan Empat Pintu itu banyak yang baru saja sembuh dari lukanya, tapi sekarang mereka berbaris dengan semangat bergelora.
Sebagai rombongan terakhir ialah rombongan Bu Kie sendiri yang dilindungin oleh Ceng ke Hong Ong, Wie It Siauw dan Ngo Sian Jia.
Dengan hati berdebar2 semua orang menunggu perintah Kauw Cu.
Perlahan lahan Bu Kie berkata, "Musuh sudah menyerang sampai disini. Biarpun kita tak ingin bertempur, kita tak bisa tidak bertempur. Akan tetapi, kalau bukan terlalu terpaksa, kita tak boleh melukai atau membunuh sesama manusia. Kuharap kalian suka ingat pesan ini."
"Saudara2 Peh Bie Kauw, yg di pimpin oleh In Kauw Cu, harus menyerang dari jurusan barat. Ngo Heng Kie, yang di pimpin oleh Bun Ciong Siong, Ciang Kie Su dair Kei Bok Kie menyerang dari timur.
Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Yo Co Su yang memimpin Su Bun menyerang dari utara. Ngo Siang Jin menyerang dari selatan, Wie Hong Ong dan aku sendiri akan berdiam ditengah2 untuk memberi bantuan kepada yg memerlukan bantuan."
Semuar orang membungkuk. Sesaat kemudian, Bu Kie mengibas tangan kirinya dan berkata, "Serbu!!" Dengan serentak empat pasukan bergerak mengepung Kong Beng Teng dari empat jurusan.
"Hok Ong," kata Bu Kie, "Kita berdua keluar dari jalanan rahasia dan serang mereka secara mendadak."
Mereka masuk ke jalanan rahasia dan keluar dari kamar Yo Poet Hwie. Begitu keluar mereka bertemu dengan tumpukan puing dan hidung mereka mengendus bau sangit.
Dikalangan musuh ternyata terdapat banyak orang pandai. Sebelum pasukan2 Beng kauw, Peh Bie Kauw datang dekat, mereka sudah tahu dan segera berteriak2, memberi isyarat kepada kawan2nya.
Bu Kie dan Wie It Siauw saling mengawasi sambil tersenyum. Mereka yakin, bahwa pihak mereka akan mendapat kemenangan. Mereka memperhatikan jalan pertempuran dengan menyembunyikan diri di belakang tembok yang roboh.
Beberapa saat kemudia, dengan bantuan sinar rembulan mereka lihat Swee Poet Tek dan Ciu Tian, yg tiba paling dahulu dan yang segera menyerang musuh. Sesudah itu, dengan beruntun tibalah In Thian Ceng, Yo Siauw dan pasukan2 Ngo Heng Kie. Hebat sungguh serangan mereka. Mereka mengamuk bagaikan harimau edan.
Yang menyerang Kong Beng Teng dikali ini adalah Kaypang, Hay see pay dan lain2, semuanya beberapa belas partai besar dan kecil.
Sesudah Kong Beng Teng terbakar habis, mereka anggap orang2 Beng Kauw sudah binasa semua dan mereka sudah mendapat kemenangan besar. Maka itu, selama beberapa hari, Kay Pang, Kie Keng Pang dan sejumlah partai lain sudah turun gunung, sedang yang masih berada di Kong Beng Teng hanialah Sin Kun Bun, Sam Kang Pang, Bu San Pang dan Ngo Hong To. Serangan mendadak dari Beng Kauw dan Peh Bie Kauw sudah membingungkan mereka dan biarpun diantara mereka terdapat banyak jago yg pandai mereka semua bukan tandingan Yo Siauw dan kawan2nya. Baru saja bertempur kira2 semakan nasi, sebagian besar sudah mati atau terluka.
Melihat begitu, Bu Kie segera keluar dari tempat persembunyiannya dan berkata dengan suara nyaring,
"Anggota2 dari berbagai partai dengarlah! Semua pemimpin Beng Kauw sekarang berkumpul disini. Tak
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
guna kalian melawan terus. Lemparkan senjata kalian! Aku akan mengampuni jiwa kalian dan memperbolehkan turun gunung tanpa diganggu."
Tiba2 seroang Hoan Ceng (pendeta asing) yang bertubuh kate kecil melompat dan membentak, "Siapa kau?"
"Jangan kurang ajar!" bentak Yo Siauw, "Inilah Thio Kauw Cu, Kauw Cu kami yang baru."
"Aku tak perduli Kauw Cu atau bukan Kauw Cu," kata si pendeta dengan jumawa.
"Sambutlah pedangku!" bagaimana kilat pedang menyambar. Dengan matanya yg sangat jeli, Bu Kie segera mengenali bahwa pedang itu benar In Thian Kiam, ia berkelit dan bertanya, "Mengapa pedang milik Go Bie itu bisa ditangan Tay su?"
Sebaliknya dari menjawab dia mengirim tiga serangan berantai. Menghadapi senjata mustika itu, Bu Kie sangat berhati2. Untuk menyelamatkan diri ia berkelit ber ulang2. Tiba2 tangan kiri Bu Kie menyambar dan mencekal pergelangan tangan kanan si pendeta yang lantas saja kesemutan dan Ie Thian Kim yg dipegangnya, jatuh ketanah. Tapi hoan ceng itu cukup lihai. Mendadak tangan kirinya menghantam dada Bu Kie. Tapi sebaliknya dari Bu Kie, dia yang terguling karena seluruh tubuh pemuda itu dilindungi oleh Sinkang. Begitu terguling, begitu dia melompat bangun menjemput In Thian Kiam yg menggeletak di tanah, Peng Eng Giok buru-buru melompat dan menjambret dengan pedangnya.
Berbarengan dengan berkelebatnya sinar pedang, Peng Hwesio sudah kutung dua. Sesudah memutuskan pedang lawannya, si pendeta segera kabur kebawah gunung.
Seraya membentak keras Bu Kie melompat dan mengejar pendeta itu. Di dalam hati sangat berkuatir akan keselamatan Ciu Cie Jiak. Cara bagaimana In Thian Kiam, yg berada dalam tangan nona Ciu, kena rampas oleh hoan ceng itu" Maka itu, ia segera mengambil keputusan untuk membekuk pendeta itu guna mencari keterangan.
Tapi baru saja ia mengejar beberapa puluh tombak, disebelah kiri tiba2 terdengar teriakan "Celaka!"
diikuti dengan terbangnya sebatang pedang yg berkelebat ketengah udara.
Itulah suara Yo Poet Hwie si noan pasti sedang menghadapi bahaya. Teriakan Poet Hwie keluar dari tempat yang penuh pohon2. tanpa memikir lagi Bu Kie melompat masuk kedalam gerombolan photon itu.
Sekonyong2 ia merasai menyambar angin tajam dan sebatang golok berkelebat kemukanya. Searaya mengengos ia menangkap tangan si penyerang yang lalu dilemparkan beberapa tombak jauhnya.
Hampir berbaereng ia dengar bentakan dan cacian. Ia menerobos kearah suara itu. Ternyata Poet Hwie yang tidak bersenjata tengah diserang oleh seorang pria sangat tinggi besar yang menggunakan sepasang kampak.
Dengan sekali melompat Bu Kie sudah menghadang di depan si penyerang, "Tahan!" bentaknya.
Orang itu terkejut sejenak, akan kemudian mengayun kedua kampaknya. Bu Kie mengibaskan tangan kirinya dengan menggunakan Kian Kun Tay Lo Ie Sin Kang. Kedua senjata itu tersempok miring oelh tenaga Sin kang dan "prak", menghantam satu batu besar sehingga lelatu muncrat dan mata kampak somplak. Dengan lelaki itu kesemutan dan tidak bisa mengangkat senjatanya lagi. Poet Hwie sungkan menyia2kan kesempatan baik. Ia melompat dan meninju Tay yang hiat musuh yang lantas saja roboh tanpa bernyawa lagi.
Kisah Pembunuh Naga Jilid 45 Karya Chin Yung ================ "Poet Hwie moy moy apa kau terluka?" tanya Bu Kie. "Tidak, terima kasih atas pertolonganmu," jawabnya.
Bu Kie bersembunyi. "Hayo kita balik!" katanya.
Karena harus menolong nona Yo. Bu Kie tidak bisa mengurus Hoan Cong itu lagi. Begitu tiba di puncak gunung, tiba2 mereka mendengar teriakan menyeramkan. "Siapa yang takut mati, , tak diberi ampun! Siapa yang takut mati, tak diberi ampun!" ketika itu, rombongan Bu san pang sudah merusak dan
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
mereka kabur kalang kabutan. Tapi, begitu mendengar teriakan yang begitu menakutkan itu, semangatnya kembali lagi dan mereka lalu melawan pula secara nekat2an. Dalam sekejap sejumlah anggota Beng Kauw mati dan terluka. Tapi sebab kalah tenaga dan kalah jumlah, satu demi satu mereka roboh.
"Kalian dengarlah!" terial Bu Kie. "Tak guna kalian melawan lagi, lebih baik meyerah saja."
Tapi orang2 terus meyerang mati2an. Dibawah sinar purnama, paras mukanya kelihatan ketakutan, seperti juga di belakang mereka ada iblis yang memaksa mereka bertempur nekat2an. Melihat begitu Bu Kie merasa tak tega. Dengan menggunakan ilmu ringan badan tubuhnya berkelebat dan jari2 tangannya bekerja, menotok jalan darah orang2 itu. Sekejap saja, kecuali 3 orang yang berkepintaran sangat tinggi dan lincah geraknya, mereka roboh. Ketiga orang itu akhirnya dibinasakan oleh Yo Siauw, Wie It Siauw dan In Ya Ong.
Beng Kauw mendapat kemenangan besar. Lebih dari 300 musuh dibinasakan atau ditawan. Yang berhasil melarikan diri hanya beberapa orang saja. Tak lama kemudian diatas Kong Beng Teng dinyalakan api unggun yang sangat besar, sebagai peryataan terima kasih kepada beng cun yang sudah melindungi Beng Kauw.
Panji Tengkorak Darah 3 Kitab Ilmu Silat Kupu Kupu Hitam Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Harimau Mendekam Naga Sembunyi 18
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama