Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong Bagian 36
Begitu mereka masuk, mata semua pengemis serentak ditujukan kepada tongkat bambu itu.
Bu Kie sebenarnya merasa tak enak untuk terus menunggang Su hwee liong di hadapan begitu banyak wanita. Tapi ia tidak berani lantas turun sebab pedang Tan Yoe Liang masih terus ditudingkan ke punggung Cie Jiak. Ia heran tak kepalang karena mendapat kenyataan bahwa semua pengemis menumplek seluruh perhatian mereka kepada tongkat bambu itu yang seolah olah dipandang sebagai barang terpenting dalam dunia ini. Tongkat ini berwarna hijau biru dan mengkilap luar biasa. Di samping itu Bu Kie tak melihat keistimewaan apapun jua.
Dengan sinar mata yang seperti kilat si baju kuning menyapu seluruh ruangan. Akhirnya ia mengawasi Bu Kie. "Thio Kauwcu," katanya, "kau bukan kanak kanak lagi. Mengapa kau masih memperlihatkan lagak bocah nakal?" Suaranya menegur tapi nadanya hangat, seperti nada seorang kakak yang bicara dengan adiknya.
Muka Bu Kie lantas saja berubah menjadi merah. "Tan Tiangloo sangat licik dan mengancam"
kawanku," jawabnya. "Maka itu aku tidak bisa berbuat lain daripada menangkap pangcu mereka."
Si nona tersenyum. "Menunggang seorang pangcu agak keterlaluan," katanya. "Dalam perjalanan dari Tiang an aku sudah mendengar bahwa kauwcu dari Beng kauw adalah satu iblis kecil. Hari ini"ha!...ha!..," ia menggeleng gelengkan kepalanya.
Sekonyong konyong Su hwee liong berteriak, "Thio Bu Kie penjahat cabul! Lepaskan aku!" Ia mau memberontak tapi tak bertenaga.
Dimaki sebagai penjahat cabul di hadapan begitu banyak wanita, Bu Kie malu bercampur gusar. Tanpa merasa tenaga dalamnya keluar dan Su hwee liong berteriak teriak kesakitan.
Semua pengemis meluap darahnya. Mereka gusar bercampur malu. Mereka malu karena pangcu mereka memperlihatkan kelemahan di hadapan orang luar. Jangankan seorang pangcu, sedang seorang anggota Kay Pang yang biasapun tak akan berteriak teriak kesakitan di hadapan lawan.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Thio Bu Kie," kata Tan Yoe Liang, "Lepaskan Su pangcu." Sehabis berkata begitu tanpa menunggu jawaban ia memasukkan pedangnya ke dalam sarung. Ia manusia licik, tapi ia tahu Bu Kie tak akan menarik keuntungan secara licik. Benar saja Bu Kie segera melompat turun dari punggung Su hwee liong dan dengan sekali lompat ia sudah berada di samping Cie Jiak. Nona Ciu baru saja tersadar, kedua matanya tertutup. Dengan rasa kasihan Bu Kie lalu mendukungnya dan mendudukkannya di sebuah kursi batu di ruangan itu.
Sementara itu sambil merangkap kedua tangannya Tan Yoe Liang berkata kepada si nona baju kuning,
"Pelajaran apakah yang nona mau berikan kepada kami" Bolehkan kami mendapat tahu she dan nama nona yang mulia?" Sambil mengajukan pertanyaan yang sopan santun itu, dia mengasah otaknya. Si baju kuning sudah cukup dewasa, tapi ia masih mengenakan pakaian seorang gadis. Para pengiringnya dan cara kedatangannya mengunjuk bahwa ia bukan sembarangan orang. Tapi siapakah dia" Si gadis cilik yang bermuka jelek juga merupakan sebuah teka teki. Dia memegang tongkat Tah kauw pang (tongkat pemukul anjing) dan Tah kauw pang adalah tanda kepercayaan atau tanda kekuasaan seorang pangcu partai Kay Pang. Cara bagaimana tongkat itu bisa berada dalam tangan si muka jelek" Inilah pertanyaan2
yang berkelebat di otak Tan Yoe Liang.
"Dimana adanya Hun goan Pek lek chio Seng kun?" tanya si baju kuning dengan suara dingin. "Suruh dia keluar untuk menemui aku."
Bu Kie terkesiap. Tan Yoe Liang berubah paras mukanya. Tapi perubahan itu hanya untuk sejenak. Di lain detik ia menjawab dengan tenang. "Hun goan Pek lek chioe Seng kun?" Dia adalah guru Kim mo Say ong Cia Sun. Pertanyaan nona seharusnya diajukan kepada Kauwcu dari Beng kauw".
"Siapa tuan?" tanya si nona
"Aku she Tan, namaku Yoe Liang, tiangloo delapan karung dari Kay pang."
Sambil menuding Su Hwee Liong, si baju kuning bertanya pula. "Siapa manusia itu" Macamnya begitu keren, kenapa dia begitu tolol" Dipijit sedikit saja sudah berteriak teriak!"
Tak kepalang rasa malunya para tokoh pengemis. Sebagian di antara mereka memang memandang rendah kepada Su Hwee Liong.
"Ia adalah Su Pangcu dari partai kami," jawab Tan Yoe Liang. "Beliau habis sembuh dari penyakit dan badannya masih sangat lemah. Nona, sebagai tamu dari tempat jauh, sedapat mungkin aku akan memperlakukan kau secara sopan. Tapi jika kau masih mengeluarkan omongan yang tidak-tidak, kami takkan merasa segan segan untuk bertindak terhadapmu."
Si nona tidak menghiraukan ancaman itu. Ia berpaling kepada seorang berbaju hitam dan berkata,
"Siauw Cui, pulangkan suratnya!"
Si baju hitam mengangguk, merogoh saku dan mengeluarkan sepucuk surat.
Bu Kie yang bermata jeli lantas saja lihat huruf huruf yang bertuliskan di atas amplop yang berbunyi sebagai berikut. "Dipersembahkan kepada Han Toa ya San Tong pribadi dari Beng Kauw." Di sebelah bawahnya terdapat huruf huruf yang lebih kecil. "Dari Su dari Kay pang."
Begitu melihat surat itu, darah Ciang pang Liong tauw mendidih. "Perempuan hina dina!" cacinya.
"Kalau begitu kaulah pencuri surat!" Ia mengangkat tongkatnya dan bersiap untuk menerjang.
Siauw Cui tertawa geli. "Kau tua bangka tolol!" ia balas mencaci. "Surat saja kau tak mampu jaga.
Apa kau tak malu?" Seraya ia berkata lantas saja terbang ke arah Ciang pang Liong tauw. Jarak antara mereka kurang lebih tiga tombak. Bahwa si baju hitam bisa melemparkan sepucuk surat yang begitu enteng pada jarak tiga tombak merupakan bukti, bahwa dia memiliki tenaga dalam yang sangat kuat.
Ciang pang Liong tauw mengangkat tangannya untuk menyambuti. Di luar dugaan, pada jarak tiga kaki, surat ini mendadak membelok ke kiri dan jatuh di lantai. Ciang pang Liong tauw kaget dan lalu membungkuk untuk menjemputnya. Sekonyong konyong Bu Kie mengibaskan tangannya dan mengirim tenaga angin, sehingga surat itu terbang ke atas.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Hampir berbareng, ia mengerahkan Kian kun Tay lo ie Sin kang, sehingga di lain detik surat itu sudah berada di dalam tangannya. Semua pengemis pucat mukanya. Mereka yang tak tahu sebab musababnya menduga bahwa Bu Kie memiliki ilmu gaib.
Sebagai hasil mengintainya, Bu Kie sudah mengetahui bahwa Ciang pang Liong tauw telah diperintahkan oleh Su Hwee Han San Tong yang mau dipaksa supaya menakluk kepada Kay pang, dengan menggunakan Han Lim Jie sebagai tunggangan. Kini, dengan mendengar pembicaraan antara Ciang pang Liong tauw dan Siauw Cui, ia tahu bahwa di tengah jalan, nona nona baju putih hitam itu telah mempermainkan dan mencuri surat si pengemis tua yang terpaksa pulang ke Louw liong sebelum dapat menunaikan tugasnya. Waktu suratnya tercuri, si pengemis ternyata tak tahu siapa yang mencurinya, sehingga dengan demikian dapatlah dibayangkan kelihayannya nona2 itu, yang dipimpin si baju kuning. Mengingat itu, diam diam Bu Kie merasa berterima kasih terhadap si baju kuning.
Sementara itu, sambil tersenyum si baju kuning berkata. "Han San Tong mengangkat senjata di daerah Hway see untuk mengusir Tat cu dari negara kita. Di sepanjang jalan kudengar dia seorang gagah budiman yang sangat memperhatikan kepentingan rakyat jelata. Maka itu, sangatlah tak bisa jadi, bahwa dia akan mau mengkhianati Beng kauw dan menekuk lutut kepada Kay pang, sebab puteranya ditahan oleh Kay pang. Thio Kauwcu, pulangkanlah surat itu. Andaikata surat itu benar-benar jatuh ke tangan Han toaya, akibatnya yang buruk hanya dirasakan oleh Kay pang sendiri. Aku sudah mencuri surat itu karena melihat ketololan Liong tauw Toako dan juga karena di dalam Kay pang terdapat suatu soal besar yang memerlukan kedatangan di tempat ini."
"Terima kasih atas bantuan Toacie," kata Bu Kie sambil merangkap kedua tangannya. "Terimalah hormatnya Bu Kie."
Si nona membalas hormat. "Thio Kauwcu, tak usah kau memakai banyak peradatan," katanya sambil tersenyum.
Bu Kie mengibaskan tangan kanannya dan surat itu lantas saja terbang ke arah Ciang pang Liong tauw.
Sesudah itu, diam diam ia mengirim "am kin" (tenaga gelap atau tenaga yang dikirim dari jarak jauh), yang biarpun dikirim belakangan, tiba terlebih dulu, kira-kira dua kaki di sebelah depan surat tersebut.
Demikianlah, pada saat Ciang pang Liong tauw mengangsurkan tangannya untuk menyambut surat itu, tiba-tiba ia didorong dengan semacam tenaga yang tidak kelihatan, sehingga mau tak mau, ia terhuyung tiga langkah ke belakang hampir hampir ia jatuh terguling di lantai. Sedetik kemudian surat itu jatuh di lantai.
Si tua kaget tercampur gusar. Sambil membungkuk dan menjemput surat itu, ia berteriak. "Perempuan binatang mana yang menyerang dengan anak panah gelap?" Ia mencaci begitu sebab menduga dirinya diserang dengan senjata rahasia luar biasa oleh salah seorang wanita tersebut.
Si baju kuning menggeleng-gelengkan kepalanya. "Sungguh cuma-cuma kau menjadi salah seorang tokoh Kay pang," katanya dengan suara menyesal. "Kau bahkan tak tahu pukulan Khek-shoa Peh goe dari Thio Kauwcu." (Khek shoa Peh goe " memukul kerbau dari tempat yang teraling gunung).
Para pengemis terkejut. Mereka sudah dengar bahwa dalam Rimba Persilatan terdapat semacam ilmu yang bisa merobohkan musuh dari jarak jauh, tapi belum pernah menyaksikan dengan mata sendiri. Di luar dugaan, hari ini mereka membuktikan kebenaran cerita itu.
"Orang pintar sering melakukan perbuatan tolol karena kepintarannya itu," kata pula si baju kuning.
"Dunia memang begitu. Kamu merasa bahwa dengan menawan Han Lam Jie, kamu akan bisa memaksakan takluknya Han San Tong" Hari itu, sebab beberapa kali menemui rintangan kau sudah mengambil jalanan kecil untuk menyingkir dari segala ganggugan. Tapi kau tidak tahu, bahwa andaikata surat itu bisa didengar oleh Han San Tong, bagi Kay-pang sedikitpun tidak ada faedahnya."
Mendengar perkataan si nona, mendadak Tan Yoe Liang ingat sesuatu. Buru buru ia mengambil surat itu dari tangan Ciang pang Liong tauw. Amplop surat kelihatannya masih utuh. Ia lalu merobek amplop, mengeluarkan suratnya dan lalu membacanya. Begitu membaca, paras mukanya berubah pucat.
Mengapa" Sebab surat itu yang semula isinya untuk memaksakan menakluknya Han San Tong kepada Kay pang, sekarang berubah menjadi surat minta menakluknya Kay pang kepada Beng kauw! Surat itu penuh dengan perkataan perkataan merendahkan diri, memohon-mohon supaya Beng kauw sudi menerima menakluknya Kay pang.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Si baju kuning tertawa dingin. "Benar!" katanya. "Surat itu telah aku baca, tetapi bukan aku yang mengubahnya. Sesudah membaca kutahu, bahwa Ciang pang Liong tauw telah dikerjai oleh seorang yang berkepandaian tinggi. Dengan mengingat, bahwa leluhurku mempunyai hubungan yang sangat erat dengan Kay pang, aku sudah curi surat itu, supaya "pang" yang terbesar dalam dunia tak usah mendapat malu yang sedemikian hebat. Coba kau pikir. Kalau surat itu diserahkan oleh Ciang pang Liong tauw kepada Han San Tong, apakah Kay pang masih ada muka untuk berdiri lebih lama lagi dalam dunia Kang ouw?"
Dengan bergantian Coan kang dan Cie hoat Tiang loo, Ciang poen dan Ciang pang Liong tauw membaca surat itu. Seperti Tan Yoe Liang paras muka mereka segera berubah pucat. Mereka malu bercampur gusar. Memang benar, andaikata surat takluk itu dicoba Han San Tong habislah nama Kay pang. Segenap murid Kay pang tak akan bisa berdiri lagi di muka bumi. Ditinjau dari sudut ini, dengan mencuri surat itu, si baju kuning sudah berbuat kebaikan terhadap partai pengemis. Tapi siapakah yang sudah main gila, yang sudah mengubah surat itu"
Seluruh ruangan berubah sunyi.
Tiba-tiba Siauw Cui tertawa. "Kalian ingin tahu siapa yang menukar surat itu bukan?" tanyanya.
Semua pengemis lantas saja memperlihatkan paras muka yang tidak sabaran.
"Ciang pang Liong tauw, bukalah jubah luarmu," kata pula Siauw Cui.
Ciang pang Liong tauw seorang yang beradat polos dan berangasan. Tanpa membuka kancing ia menarik jubahnya. "Bret!" semua kancing putus. Nah sekarang bagaimana?" bentaknya sambil melontarkan jubahnya di lantai.
Tiba-tiba para pengemis di belakangnya mengeluarkan teriakan "ih", seperti juga mereka melihat sesuatu yang mengejutkan.
"Ada apa?" tanya Ciang pang Liong tauw sambil memutar tubuh. Enam tujuh orang menuding ke arah punggungnya. Dengan tidak sabar ia merobek baju dalamnya, sehingga terlihatlah daging dan otot otot badannya yang menonjol keluar. Ia mengawasi baju dalamnya. Ternyata di bagian punggung baju itu terlukis sebuah gambar kelelawar hijau dengan warna menakutkan, mulut berlepotan warna merah darah dan sepasang sayap yang sangat besar, itulah gambar kelelawar pengisap darah.
"Ceng ek Hok ong Wie It Siauw!" seru Coan kang dan Cie hoat Tiangloo dengan berbareng.
Dahulu Wie It Siauw jarang datang di Tianggoan dan namanya tidak begitu dikenal. Selama waktu-waktu belakangan ia berkelana di dunia Kang ouw dengan saban-saban memperlihatkan kepandaiannya, sehingga namanya termashyur, bahkan lebih cemerlang daripada Peh bie Eng Ong In Thian Ceng.
Melihat gambar itu bukan main girangnya Bu Kie.
Di lain pihak dengan kegusaran yang meluap-luap, Ciang pang Liong tauw menimpuk Bu Kie dengan baju dalamnya itu sambil mencaci. "Bagus! Kalau begitu loohu telah dipermainkan oleh kawanan siluman dari agamamu!"
Bu Kie mengibaskan tangan bajunya dan baju dalam itu lantas saja terapung ke atas dan akhirnya menyangkut cabang tertinggi dari sebuah pohon beng.
Tan Yoe Liang mulai bingung. Ia merasa bahwa jalan paling baik ialah coba menyampingkan urusan surat itu. Maka itu, ia lantas menanya si baju kuning. "Apakah kami boleh mendapat tahu she dan nama nona yang mulia" Hubungan apakah yang dipunyai nona dengan kami semua?"
"Dengan kamu?" menegas si nona dengan suara dingin. "Aku hanya mempunyai sedikit hubungan dengan tongkat Tah kauw pang ini."
Semua pengemis tahu, bahwa Tah kauw pang adalah tongkat tanda kekuasaan dari seorang pangcu dan mereka adalah sungguh tak mengerti mengapa tongkat itu bisa berada di tangan orang lain. Semua mata ditujukan kepada Su Hwee Liong yang mukanya pucat pasi dan kelihatannya bingung sekali.
"Pangcu, apakah Tah Kauw pang yang dipegang oleh wanita itu tulen atau palsu?" tanya Coan kang Tiangloo.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Aku" aku" kukira palsu," jawabnya.
"Baiklah," kata si baju kuning. Sekarang keluarkan yang tulen, supaya bisa dibandingkan."
"Tah kauw pang adalah mustika dari partai kami," kata Su Hwee Liong. "Tak dapat aku memperlihatkannya kepada sembarang orang. Lagipula aku sekarang tidak membawa tongkat itu, sebab kuatir hilang."
Para pengemis merasa bahwa alasan itu tak masuk akal. Cara bagaimana seorang Pangcu bisa tak membawa Tah kauw pang sebab takut tongkat itu hilang"
Sekonyong konyong si gadis cilik mengangkat tongkat itu tinggi dan berkata dengan suara nyaring.
"Para Tiangloo! Para murid Kaypang lihatlah Tah kauw pang adalah mustika partai kita yang sudah turun temurun. Mana bisa tongkat ini palsu?"
Mendengar si cilik menggunakan istilah "partai kita", semua orang merasa heran. Mereka meneliti tongkat itu yang mengkilap bagaikan giok dan keras melebihi besi. Tak usah disangsikan lagi, tongkat itu adalah Tah kauw pang yang tulen. Semua pengemis saling mengawasi. Mereka tak dapat menangkap apa itu artinya semua.
Si baju kuning tersenyum tawar dan berkata dengan suara tawar pula. "Kudengar pangcu dari Kaypang memiliki dua rupa ilmu yang sangat istimewa, yaitu Han Liong Sip pat Ciang dan Tah kauw pang hoat.
Siauw Hong, cobalah kau meminta pelajaran Han Liong Sip pat Ciang dari Coan kang Tiangloo. Siauw leng, sesudah Siauw Hong Cie cie memperoleh kemenangan, kau boleh minta pelajaran Tah kauw pang hoat dari Su pangcu." Dua wanita yang memegang seruling lantas saja melompat keluar dan berdiri di kiri kanan.
"Nona!" bentak Tan Yoe Liang dengan suara gusar. "Bahwa kau tak sudi memberitahukan she dan namamu saja, kau sudah tidak memandang sebelah mata kepada kami semua. Sekarang bahkan kau menyuruh kedua pelayanmu untuk menantang Pemimpin kami. Di dalam dunia Kang ouw, mana ada kekurang ajaran yang seperti itu" Su Pangcu biarlah teecu yang bereskan kedua pelayan itu dan kemudian teecu akan menjajal kepandaiannya perempuan yang sudah menghina partai kita."
"Baiklah," kata Su hwee liong.
Tan Yoe Liang segera menghunus pedang dan maju ke tengah ruangan.
"Nonaku menyuruh aku meminta pelajaran dalam ilmu Hang liong Sip pat ciang," kata Siauw Hong.
"Apa kau mahir dalam ilmu itu?" Apa Hang liong Sip pat ciang menggunakan pedang?"
"Su Pangcu seorang yang berkedudukan sangat tinggi dan bukan lawan sebangsa pelayan," kata Tan Yoe Liang dengan suara menghina. Juga tak mungkin seorang pelayan memiliki Hang liong Sip pat ciang. Sudahlah. Terimalah kebinasaanmu di bawah pedangku!"
"Thio Kauwcu, kata si baju kuning kepada Bu Kie, "bolehkah kuminta bantuanmu?"
"Tentu saja," jawabnya.
"Kuminta kau lemparkan manusia she Tan itu dan bekuk penipu itu yang menyamar sebagai Su Pangcu," kata pula si nona.
Tadi, waktu menawan Su hwee liong, Bu Kie sudah bercuriga, sebab orang itu ternyata tak punya kepandaian tinggi yang sesuai kedudukannya. Kecurigaannya jadi makin lebih besar karena melihat orang itu tak punya pendirian dan selalu menurut perkataan Tan Yoe Liang. Maka itu, begitu mendengar perkataan si baju kuning yang menamakan orang itu sebagai "penipu yang menyamar sebagai Su pangcu", ia tidak bersangsi lagi. Ia mengangguk dan lalu melompat ke arah Su hwee liong. Su hwee liong meninju dengan pukulan Tiong tian pauw. Bu Kie tertawa terbahak bahak.
"Apa ini Hang liong Sip pat ciang?" teriaknya seraya mencengkeram baju di dada Su Hwee liong yang lalu diangkat tinggi tinggi. Tan Yoe Liang tahu, bahwa ia bukan tandingan Bu Kie. Tanpa mengeluarkan sepatah kata ia mundur dan menghilang di antara para pengemis.
Sekonyong konyong si nona cilik menangis keras. Ia menubruk dan mencengkeram baju Su hwee liong, dan bagaikan kalap memukulnya berulang ulang. "Binatang!" teriaknya. Kau sudah membinasakan
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
ayahku! Kau membunuh ayahku! Aku akan cincang badanmu!" Ia menjambret rambut Su hwee liong dan" rambut itu terlepas dan terlihatlah kepala yang gundul.
Rambut palsu! Dengan punggung ditekan Bu Kie, orang itu tidak berdaya. Si nona cilik terus memukul. Beberapa tinju menimpa hidungnya, tapi hidung itu tidak mengeluarkan darah. Hidungnya juga hidung palsu!
Para pengemis lantas saja berteriak-teriak.
"Siapa kau?" tanya yang satu.
"Binatang! Mengapa kau berani menyamar sebagai Su pangcu?" caci yang lain.
"Dimana Su pangcu?" dan sebagainya.
Sambil tersenyum Bu Kie mengangkat tubuh orang itu tinggi tinggi yang kemudian dibanting ke lantai. Dia berteriak kesakitan dan tidak bisa bangun lagi. Ia merasa bahwa urusan itu adalah urusan pribadi Kay pang yang harus diselesaikan oleh orang orang Kay pang sendiri.
Ciang pang Liong tauw yang berangasan lantas saja mengirim tinju delapan gaplokan ke pipi si penipu yang lantas saja menjadi bengkak.
"Bukan aku!?" ia sesambat. "Aku" aku diperintah oleh Tan" Tan" Tiangloo!..."
Cie hoat Tiangloo terkejut, "Mana Tan Yoe Liang?" tanyanya.
Tapi Tan Yoe Liang tak kelihatan mata hidungnya. Begitu dia lihat gelagat jelek, begitu dia kabur.
"Kejar!" bentak Cie hoat Tiangloo. Beberapa murid tujuh karung lantas saja mengiakan dan berlari lari keluar dari gedung itu untuk mencari manusia yang kabur itu.
"Bangsat!" caci Ciang pang Liong tauw. "Sungguh penasaran aku musti berlutut di hadapanmu dan memanggil kau sebagai Su pangcu." Ia mengangkat tangannya dan mau menggapelok lagi.
"Pang Heng tee, tahan!" cegah Cie hoat Tiang loo. "Kalau dia mati, kita sukar mencari keterangan." Ia memutar badan dan berkata kepada si baju kuning sambil merangkap kedua tangannya. "Kalau tak mendapat petunjuk Kouwnio, sampai sekarang kami masih dikelabui oleh manusia itu. Bolehkah kami mendapat tahu she dan nama Kouwnio yang harum" Seluruh Kaypang sangat berhutang budi kepada Kouwnio."
Si nona tertawa tawar dan berkata, "Aku sudah biasa hidup di gunung dan tak pernah berhubungan dengan dunia luar. Aku sendiri sudah lupa she dan namaku. Tapi apakah benar-benar di antara kalian tiada yang mengenali adik ini?"
Semua pengemis lantas saja mengawasi si gadis cilik. Tiba-tiba Coan kang Tiangloo maju beberapa tindak dan berkata dengan suara parau. "Dia" dia" seperti Su pangcu Hujin.. apa"apa?"
"Benar," kata si baju kuning. "Dia Su Hong Sek, puteri tunggal dari Su Hwee Liong Pangcu. Waktu menghadapi kebinasaan Su Pangcu telah memerintahkan murid kepalanya, Ong Siauw Thian untuk membawa lari anak itu dan Tah Kauw pang mencari aku supaya di kemudian hari sakit hatinya bisa dibalas. Hanya sayang sebab terluka berat dalam pertempuran, jiwa Ong Siauw Thian tak dapat ditolong.
Tapi ia sedikitnya sudah bisa mengantarkan Hong Sek kepadaku."
"Kouw" kouw" nio," kata Coan kang Tiang loo suara terputus-putus. "Kau kata Su Pangco sudah meninggal dunia?" Bagaimana matinya Su Pangcu?"
* * * * * Pada dua puluh tahun lebih yang lalu, karena tenaga dalamnya tidak mencukupi dalam latihan Hang liong Sip pat ciang, badan Su Hwee liong lumpuh separoh dan tidak bisa menggerakkan kedua lengannya. Dengan mengajak isterinya, ia pergi ke gunung gunung untuk mencari obat dan menyerahkan urusan Kay pang kepada Coan kang dan Cie hoat Tiangloo, Ciang poen dan Ciang pang Liong tauw. Karena kekurangan seorang pemimpin yang pandai dan keempat tetua itu hanya mengurus bidang masing-masing dan tidak bekerja sesama keras, maka kian lama Kay pang yang besar jadi kian lemah.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Waktu Pangcu palsu mendadak muncul, murid-murid yang berusia muda tentu saja tidak mengenalnya, sedang para tetua juga kena dikelabui sebab mereka sudah berpisahan selama bertahun-tahun dan muka si penipu memang sangat mirip dengan muka Su Pangcu.
* * * * * Si baju kuning menghela napas dan berkata dengan suara perlahan. "Su Pangcu binasa dalam tangan Hun goan Pek lek chioe Seng Kun!" "Hah!" Bu Kie mengeluarkan seruan tertahan. Dalam pertempuran di Kong beng teng, dengan mata sendiri ia menyaksikan bagaimana Seng Kun dipukul mati oleh pamannya. Maka itu, ia lantas saja bertanya. "Kouwnio, lagi kapan Su Pangcu dibinasakan?"
"Tahun yang lalu, tanggal enam bulan sepuluh," jawabnya. "Sampai sekarang sudah dua bulan lebih."
"Heran sungguh!" kata pula Bu Kie. "Cara bagaimana Kouwnio tahu bahwa yang turunkan tangan jahat adalah bangsat Seng Kun?"
"Ong Siauw Thian yang memberitahukan kepadaku," jawabnya. "Ong Siauw Thian mengatakan, bahwa Su Pangcu telah beradu tangan dua belas kali dengan seorang kakek. Kakek ini muntah darah dan lari. Su Pangcu pun mendapat luka di dalam dan ia tahu lukanya tak dapat disembuhkan laagi. Ia menduga, bahwa tiga hari kemudian, sesudah sembuh, si kakek akan menyateroni lagi. Maka itu ia segera memberi pesanan terakhir kepada Ong Siauw Thian dan memberitahukan, bahwa musuh itu adalah Hu goan Pek lek Thioe Seng Kun. Pada waktu itu lumpuhnya Su pangcu sudah hampir sembuh. Ia memiliki dua belas pukulan dari Hang liong Sip pat ciang dan di dalam dunia, ia sudah jarang tandingan. Dalam pertempuran melawan Seng Kun, ia sudah menggunakan kedua belas pukulan itu dan sesudah itu, ia tidak bisa menyelamatkan diri lagi dari tangan jahatnya musuh." Mendengar itu Su Hong Sek menangis lagi.
Dengan paras muka berduka Coan kang Tiang loo mengeluarkan sapu tangannya yang kotor dan menyusut air mata si nona. "Siauw sumoay," katanya. "Sakit hati Pangcu adalah sakit hati berlaksa murid Kay pang. Kami akan membekuk Seng Kun dan mencincang badannya jadi laksaan potong. Kami pasti akan membalas sakit hati mendiang ayahmu. Tapi dimanakah adanya ibumu?"
"Ibu sedang berobat ke rumah Yo Cie ci," jawabnya sambil mengunjuk si baju kuning. Sekarang baru orang tahu bahwa gadis itu seorang she Yo.
"Su hujin juga kena dipukul Seng Kun dan mendapat luka yang sangat berat," kata si baju kuning sambil menghela nafas. "Ia datang di rumahku sesudah melalui perjalanan jauh dan sampai kini ia belum tersadar dari pingsannya. Apa ia masih bisa ditolong" sukar dikatakan."
"Tapi" apa dosanya pangcu, sehingga binatang Seng Kun sudah menurunkan tangan jahatnya?" tanya Cie hoat tiangloo dengan suara penasaran. "Sakit hati apa sudah terjadi di antara mereka?"
"Menurut perasaan Su pangcu, ia sama sekali belum pernah mengenal Seng Kun," menerangkan si baju kuning. "Sama sekali tidak ada soal sakit hati. Sampai pada detik terakhir, Su pangcu juga tak tahu sebab musababnya. Menurut dugaan Su pangcu, mungkin sekali ada orang Kay pang yang berbuat suatu kesalahan dan Seng Kun mencari Su pangcu untuk membalas sakit hati."
Cie hoat menundukkan kepalanya. Sesudah berpikir beberapa saat, ia berkata pula. "Untuk menyingkirkan diri dari kejaran Cia Sun, selama beberapa puluh tahun Seng Kun tidak pernah muncul dalam dunia Kang ouw. Mana bisa jadi murid Kay pang kebentrok dengan dia" Dalam hal ini mungkin terselip salah mengerti yang sangat hebat."
Ciang poen Liong tauw yang sedari tadi tak pernah mengeluarkan sepatah kata, tiba2 mengambil sebatang golok bengkok dan menandalkan senjata itu di lehernya si penipu. "Binatang!" bentaknya.
"Siapa namamu" Mengapa kau menyamar sebagai Su pangcu" Lekas mengaku! Kalau kau berdusta"
huh" huh" Ia mengangkat goloknya dan menyabet sebuah kursi yang lantas saja terbelah dua.
Dengan badan bergemetaran, si gundul berkata, "Aku" aku" siauw jin Lay tauw goan Lauw Ngauw (Lauw Ngauw, si kura-kura kepala buduk), salah seorang tauwbak (kepala kelompok) perampok dari kawanan perampok di Loan sek kang, kota Kay koan, propinsi Soa say. Apa mau, waktu merampok, Siauwjin bertemu dengan Tan toaya dan guru Tan toaya menendang Siauwjin sehingga roboh dan selagi Tan toaya mengangkat pedangnya, siauwjin meminta ampun. Setelah mengawasi siauwjin, tiba2 Tan Toaya berkata, "Su hu, roman bangsat kecil ini mirip orang yang kita temui kemarin dulu." Gurunya
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
menggeleng-gelengkan kepala dan berkata, "Huh..huh" lain, tidak sama. Usianya tak cocok, hidungnya terlalu kecil, kepalanya gundul." Tan toaya tertawa dan berkata, "Su hu jangan kuatir, teecu mempunyai daya untuk mengubah itu semua." Tan toaya lalu mengajak siauwjin ke sebuah rumah penginapan di Kay koan. Ia menggunakan sek-ko untuk meninggikan hidung Siauwjin dan memberi rambut palsu"
sehingga siauwjin beroman seperti sekarang. Para loya, andaikata siauwjin punya nyali sebesar langit, siauwjin takkan berani mempermalukan para looya. Siauwjin sudah melakukan ini semua karena diperintah oleh Tan toaya. Jiwa anjing siauwjin berada dalam tangannya. Siauwjin tidak berani tidak menurut. Siauwjin mempunyai seorang ibu sudah berusia delapan puluh tahun" siauwjin mohon para looya sudi mengampuni jiwa anjing Siauwjin." Sehabis berkata begitu, sambil berlutut ia manggut manggutkan kepalanya.
Cie hoat Tiangloo mengerutkan alisnya. Tan Yoe Liang murid Siauw lim pay dan gurunya pendeta Siauw lim sie," katanya. "Apa dia mempunyai lain guru?"
Pertanyaan itu menyadarkan Bu Kie. "Benar," ia menyambungi. "Seng Kun adalah gurunya." Ia lalu memberi tahu, bahwa dengan menggunakan nama Goan tin, Seng Kun masuk ke Siauw lim sie dan berguru kepada pendeta suci Kong kian. Selanjutnya ia menceritakan cara bagaimana di waktu kecil ia pernah dicelakakan oleh Goan tin di dalam kuil Siauw lim sie, cara bagaimana Goan tin turut menyerang Kong beng teng dan akhirnya binasa dalam tangan pamannya, In Ya Ong. Ia menambahkan, bahwa memang benar mayat Goan tin sekonyong konyong hilang.
"Kalau begitu, kita boleh tak usah bersangsi lagi, bahwa di waktu itu Seng Kun pura pura mati dan kemudian kabur," kata Cie hoat Tiangloo.
"Tapi penjahat yang paling besar dan yang paling jadi dalangnya adalah bangsat Tan Yoe Liang," kata Coan kang Tiangloo. "Mereka berdua, guru dan murid, mempunyai angan angan untuk merajai di kolong langit. Mereka membunuh Su pangcu, menyuruh buaya kecil ini menyamar sebagai Pangcu, coba mempengaruhi Beng kauw, berusaha untuk menguasai Siauw lim, Bu tong dan Go Bie pay. Huh..huh..!
Angan angan mereka benar benar tak kecil" Eeh!" mana Song Ceng Su?"
Ternyata pada waktu perhatian semua orang ditujukan kepada Pangcu tetiron, si baju kuning dan Su Hong Sek, diam diam Song Ceng Su turut menghilang.
Sesudah rahasia kejahatan Tan Yoe Liang terbuka, sambil menyoja si baju kuning, Coan kang Tiangloo berkata, "Kouwnio telah membuang budi yang sangat besar kepada Kay pang dan kami tak tahu cara bagaimana untuk membalasnya."
Si nona tertawa tawar. "Orang tuaku punya hubungan erat dengan Pangcu yang dulu," katanya.
"Bantuan yang tiada artinya ini tidak berharga untuk disebut sebut. Aku hanya mengharap kalian suka merawat baik baik adik Su ini." Ia membungkuk dan dengan berkelebat, ia sudah berada di atas genteng.
"Kouwnio tunggu dulu!" teriak Coan kang tiangloo.
Hampir berbareng, empat wanita baju hitam dan empat baju putih turun melompat ke atap gedung, diiringi dengan suara khim dan seruling. Dalam sekejap suara tetabuhan itu telah terdengar sayup sayup di tempat jauh dan kemudian menghilang dari pendengaran. Dengan mulut ternganga semua orang mengawasi ke atas genteng.
Sambil menuntun tangan Su Hong Sek, Coan kang Tiangloo berkata kepada Bu Kie. "Thio Kauwcu, mari masuk."
Ia mempersilahkan Bu Kie berjalan lebih dahulu dan tanpa sungkan2 Bu Kie segera bertindak masuk dengan melewati dua baris pengemis yang berdiri sebagai pengawal kehormatan. Setelah berduduk dengan Cie Jiak di sampingnya, Bu Kie segera berkenalan dengan para tetua Kay pang dan lalu menanyakan halnya Cia Sun.
"Coan Tiangloo," katanya. "Jika ayah angkatku, Kim mo Say ong berada di tempat kalian, kuminta bertemu."
Coan kang tiangloo menghela nafas. "Karena perbuatan bangsat Tan Yoe Liang, Kay pang mendapat malu besar terhadap segenap orang gagah," katanya. "Memang benar, waktu berada di Kwan gwa, Cia tayhiap dan Ciu kouwnio diundang oleh kami. Ketika itu Cia Tayhiap sakit, ia selalu di pembaringan.
Kami belum pernah bertempur dengannya. Belakangan aku membawa beliau ke gedung ini. Pada malam yang lalu, Cia tayhiap telah membinasakan murid murid kami yang menjaganya dan lalu kabur. Peti peti
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
mati para korban masih berada di belakang gedung ini dan belum dikuburkan. Jika tak percaya, Thio Kauwcu boleh lihat dengan mata sendiri."
Mendengar keterangan yang diucapkan dengan sungguh sungguh dan juga memang telah menyaksikan sendiri terbinasanya beberapa murid Kay pang, Bu Kie segera berkata, "Perkataan Coan Tiangloo tidak bisa tidak dipercaya."
Ia menundukkan kepala dan coba menebak nebak kemana perginya sang ayah angkat. Dia ingat, bahwa pada malam kaburnya Cia Sun, ia melihat bayangan seorang wanita yang melompat turun dari atas tembok. Apakah wanita itu si baju kuning" Mengingat itu, ia lantas menanya Su Hong Sek. "Tiauw moay moay, dimana rumah Yo Ciecie" Apa dahulu memang telah mengenal dia?"
Si nona cilik menggelengkan kepala. "Tidak, aku tidak pernah mengenal Yo Ciecie sebelum pertemuan di hari itu," jawabnya. "Sesudah mendapat pesanan Thia thia, dengan membawa tongkat bambu ini Ong tiangloo membawa ibu dan aku dengan naik kereta. Di tengah jalan aku bertemu dengan orang jahat. Dalam pertempuran, Ong tiangloo terluka. Beberapa hari kami naik kereta, naik gunung Ong toako tidak bisa berjalan lagi dan merangkak di tanah. Belakangan kami tiba di luar sebuah hutan. Ong tiangloo berteriak teriak. Belakangan datang seorang ciecie kecil yang memakai baju hitam. Belakangan datang Yo ciecie yang berbicara lama dengan Ong toako dan meneliti tongkat bambu ini. Belakangan Ong tiangloo mati dan ibu pingsan. Yo ciecie lalu membawa aku ke kereta, bersama sama delapan ciecie kecil yang memakai baju putih dan baju hitam." Sebab masih kecil, keterangan Su Hong Sek tak terang dan Bu Kie tidak bisa mengorek sesuatu yang diinginkan dari mulutnya.
Bu Kie menghela nafas dan untuk beberapa saat, semua orang membungkam.
Akhirnya Coan kang tiangloo berkata, "Thio Kauwcu, putera Han San Tong berbicara ayah masih berada di tempat kami!" Ia lalu berbicara dengan seorang pengemis yang lantas masuk ke dalam dengan tindakan cepat.
Tak lama kemudian, terdengarlah cacian Han lim Jie. "Pengemis, kau lagi lagi coba menipu tuan besarmu!" teriaknya. Thio Kauwcu seorang agung dan mulia. Mana boleh jadi ia sudi datang di sarang kawanan pengemis bau" Sudahlah! Lekas lekas kau hantarkan aku ke See tian (dunia baka)! Segala akal bulusnya tidak dapat digunakan terhadapku."
Bu Kie merasa kagum. Di dalam hati ia memuji pemuda itu, yang setia jujur dan bernyali besar. Buru buru ia bangkit dan menyambut, "Han toako," katanya, "aku berada di sini. Selama beberapa hari kau banyak menderita."
Melihat Bu Kie, Han Lim Jie terkesiap. Dengan kegirangan yang meluap luap sedetik kemudian ia berlutut dan berkata, "Thio Kauwcu, benar benar kau berada di sini!" bunuhlah pengemis pengemis bau itu!"
Sambil tertawa Bu Kie membangunkannya. "Han toako," katanya dengan terharu. "Para tiangloo ditipu orang dan sudah terjadi salah mengerti. Sekarang segala apa sudah menjadi terang. Dengan memandang mukaku, kuharap Han Toako sudi melupakan segala apa yang sudah terjadi."
Sesudah bangun berdiri dengan mata melotot Han Lim Jie mengawasi para tokoh pengemis. Ia ingin mencaci untuk melampiaskan rasa dongkolnya, tapi sesudah mendengar perkataan Bu Kie, ia terpaksa menahan sabar.
"Thio kauwcu," kata Cie hoat tiangloo. "Kunjunganmu membikin terang muka partai kami. Kami ingin mengundang kalian dalam sebuah perjamuan sederhana untuk menyambut Thio Kauwcu dan menghaturkan maaf kepada Kouwnio serta Han toako." Ia berpaling kepada seorang murid dan berkata pula, "Lekas sediakan meja perjamuan!"
Murid itu lantas saja mengiakan.
Karena memikir ayah angkatnya dan ingin bicara banyak dengan Ciu Cie Jiak, Bu Kie tak punya kegembiraan untuk makan minum. Maka itu, sambil merangkap kedua tangannya ia berkata, "Aku menghaturkan banyak terima kasih atas undangan kalian. Tapi aku tak bisa membuang buang waktu karena perlu mencari Gie hu. Di lain hari aku mau datang berkunjung pula. Kuharap kalian suka memaafkan untuk penolakan ini."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Tapi Coan kang Tiangloo dan yang lain2 tidak mau mengerti sehingga Bu Kie terpaksa juga menerima undangan itu. Selagi makan minum, para tetua Kaypang kembali menghaturkan maaf dan berjanji akan menyebar murid murid Kaypang untuk bantu mencari Cia Sun. Begitu lekas mendapat warta baik, mereka akan segera melaporkan kepada Beng kauw, kata mereka. Untuk kebaikan itu, Bu Kie menghaturkan banyak terima kasih. Biarpun berkepandaian dan berkedudukan tinggi, ia sedikitpun tidak mengunjuk kesombongan. Ia bahkan sangat merendah, sehingga para pengemis merasa kagum dan takluk. Sesudah bersantap, Bu Kie bertiga segera berpamitan. Para pengemis mengantar mereka sampai sepuluh li di luar kota Louw liong dan mereka berpisahan dengan hati berat.
Dengan menunggang kuda kuda hadiah Kay pang, Bu Kie, Cie Jiak dan Han Lim Jie meneruskan perjalanan ke selatan dengan mengambil jalan raya. Han Lim Jie berlaku sangat hormat. Ia tidak berani merendengkan kudanya dengan Bu Kie dan Cie Jiak dan hanya mengikuti dari belakang. Di sepanjang jalan, ia melayani Bu Kie dan Cie Jiak seperti seorang pelayan.
Bu Kie merasa sangat tidak enak. "Han Toako," katanya, "biarpun kau seorang anggota agama kita, kau hanya diharap mendengar segala perintahku dalam urusan urusan yang resmi. Dalam pergaulan pribadi sehari hari, kita adalah orang orang yang sepantar, yang berkedudukan sama tinggi, seperti saudara dan sahabat. Sedalam dalamnya aku sangat menghormati kepribadianmu."
Han Lim Jie kelihatan bingung dan jengah. "Dengan setulus hati aku yang rendah berdiri sama tinggi dengan Kauwcu?" Aku sudah merasa sangat beruntung, bahwa aku mendapat kesempatan untuk melayani Kauwcu."
"Aku bukan Kauwcu," kata Cie Jiak sambil tersenyum. "Kau jangan mengunjuk kehormatan yang begitu besar terhadapku."
"Cu kouwnio bagaikan seorang dewi," jawabnya. "Bahwa siauwjin bisa berbicara sepatah dua patah kata dengan Kouwnio sudah merupakan kebahagiaan seumur hidup. Siauwjin hanya kuatir, sebagai manusia kasar siauwjin sering bicara kasar dan untuk segala kekurang ajaran, siauwjin mohon Kouwnio suka memaafkan."
Mendengar kata kata memuja itu yang tulus ikhlas, sebagai manusia biasa, diam diam Cie Jiak merasa girang.
Sambil berjalan Bu Kie menanya Cie Jiak, cara bagaimana dia ditangkap oleh orang orang Kay pang.
Si nona memberitahukan, bahwa hari itu, sesudah Bu Kie meninggalkan rumah penginapan untuk menyelidiki siasat Kay pang, badan Cia Sun bergemetaran dan mulutnya ngaco. Ia ketakutan dan berusaha untuk menentramkannya, tapi tidak berhasil. Cia Sun seolah olah tidak mengenalnya lagi. Dia melompat dan kemudian roboh pingsan. Pada saat itu, di tengah enam tujuh orang tokoh Kay pang yang lantas menerobos masuk ke dalam kamar. Sebelum keburu menghunus pedang, jalan darahnya sudah ditotok. Kemudian bersama Cia Sun, ia dibawa ke Louw liong.
Mendengar keterangan itu, Bu Kie manggut manggutkan kepalanya. Sedari kecil ia memang sudah tahu, bahwa sebagai akibat dari latihan Cit Siang kocu, ayah angkatnya mendapat serupa penyakit kalap dan kadang kadang kumat dengan mendadak. Tapi dimana adanya ayah angkat itu sekarang?"
"Kota raja adalah tempat berkumpulnya macam macam manusia," kata Bu Kie akhirnya. "Kurasa, dalam perjalanan ke selatan, sebaiknya kita mampir di kota raja untuk menyelidiki. Mungkin sekali, dari Ceng ek Hok ong Wie hong aku bisa mendapat keterangan berharga."
Cie Jiak tertawa, "Ke kota raja?" ia menegas dengan nada mengejek. "Apa benar benar kau hanya ingin menemui Wie It Siauw?"
Bu Kie mengerti maksud tunangannya, sehingga paras mukanya lantas saja berubah merah. "Memang belum tentu kita bisa menemui Wie heng," jawabnya. Tujuan kita adalah mencari Giehu, kalau kita bisa bertemu dengan Wie heng, Kouw tauwtoo atau Yo Co Su, sedikit banyak kita akan mendapat bantuan."
"Kukenal seorang yang pintar luar biasa," kata Cie Jiak sambil tersenyum. "Dia seorang wanita cantik.
Jika kau cari dia, kau akan mendapat banyak bantuan. Orang-orang seperti Yo Co su atau Kouw Tauw tok tidak akan bisa menyaingi kepintaran nona cantik itu."
Bu Kie pernah menceritakan pertemuannya dengan Tio Beng di kelenteng Biek lek hud, tapi tak urung ia kena disindir juga. "Kau tidak pernah melupakan Tio kouwnio dan setiap ada kesempatan, kau selalu mengejek aku," katanya dengan suara jengah.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Cie Jiak tertawa, "Apa aku atau kau yang tidak pernah melupakan dia?" tanyanya. "Apa kau rasa kutak tahu rahasia hatimu?"
Bu Kie adalah seorang yang polos dan jujur. Ia menganggap, bahwa sesudah berjanji untuk hidup sebagai suami isteri, ia tak boleh menyembunyikan sesuatu di hadapan tunangannya itu. Maka itu dengan memberanikan hati ia lantas saja berkata, "Ada satu hal yang aku harus beritahukan kepada kau. Kuharap kau tidak jadi gusar."
"Kalau pantas gusar, aku akan gusar, kalau tak pantas gusar, aku pasti tak akan gusar," jawabnya.
Bu Kie menjadi lebih jengah. Di hadapan tunangannya pernah bersumpah untuk membunuh Tio Beng guna membalas sakit hatinya In Lee. Tapi waktu bertemu dengan nona Tio, bukan saja ia tidak turun tangan, ia bahkan jalan bersama sama dengan nona itu. Sebagai seorang yang tidak biasa berpura pura, ia tidak berani membuka suara lagi.
Tak lama kemudian mereka tiba di kota kecil dan waktu itu matahari sudah mulai menyelam ke barat.
Mereka segera mencari penginapan kecil untuk bermalam. Sesudah makan Bu Kie mengurut punggung Cie Jiak untuk memperlancar aliran darah. "Hiat" yang tertotok sudah terbuka sendiri, tapi otot masih agak kaku dan mengalirnya darah masih kurang lancar. "Ilmu menotok Kay pang memang istimewa,"
kata Bu Kie di dalam hati. "Cie Jiak angkuh dan sungkan minta pertolongan, sedang orang yang menotok berlagak lupa. Hmm" kawanan pengemis itu mati matian mau coba menolong muka. Sesudah kalah, mereka ingin memperhatikan keunggulan dalam tiam-hoat."
Karena hawa udara panas, sesudah diurut, Cie Jiak berkata, "Mari kita jalan jalan di luar."
"Baiklah," kata Bu Kie.
Dengan Bu Kie menuntun tangan si nona, mereka berjalan sampai di luar kota. Ketika itu sang surya sudah menyelam ke barat, dan sesudah berjalan beberapa lama lagi, mereka lalu duduk di bawah sebuah pohon.
Di situlah antara kesunyian dan pemandangan alam yang indah, Bu Kie lalu menuturkan segala pengalamannya " cara bagaimana ia bertemu dengan Tio Beng di kelenteng Bie lek hud, cara bagaimana ia menemui jenazah Boh Seng kok, pertemuannya dengan rombongan Song Wan Kiauw dan kejarannya terhadap tanda gambar obor dari Louw liong, sampai di Louw liong lagi. Sesudah selesai bercerita, sambil memegang tangan si nona, ia berkata dengan suara sungguh sungguh. "Cie Jiak, kau adalah tunanganku dan tak bisa aku menyimpan saja apa yang dipikir olehku. Tio kouwnio berkeras untuk menemui Giehu dan mengatakan, bahwa ia ingin bicara dengan Giehu. Ketika itu aku sudah bercuriga.
Sekarang, makin kupikir, makin kutakut." Waktu mengucapkan perkataan perkataan paling belakang suara bergemetar.
"Kau takut apa?" tanya Cie Jiak.
Bu Kie merasa, bahwa kedua tangan tunangannya dingin seperti es dan juga bergemetaran.
"Kuingat, bahwa Giehu mempunyai semacam penyakit kalap dan kalau lagi kumat ia tak ingat segala apa," jawabnya.
"Dalam kekalapannya, ia pernah melakukan sesuatu yang tidak pantas terhadap ibu, sehingga kedua matanya buta. Waktu aku lahir, dalam kalapnya Giehu coba membunuh ayah dan ibu. Sungguh mujur, pada detik yang sangat berbahaya, aku menangis keras dan suara tangisanku itu telah menyadarkannya.
Ah!" aku kuatir.. ku kuatir?"
"Kuatir apa?" Bu Kie menghela nafas. "Sebenarnya aku tak boleh membuka rahasia hatiku ini kepada siapa pun jua,"
katanya dengan suara hampir tak kedengaran. "Aku.. aku" kuatir piauwmoay" dibunuh" oleh Giehu?"
Bagaikan dipagut ular, Cie Jiak melompat bangun. "Apa?" tanyanya dengan suara parau. "Cia tayhiap seorang ksatria budiman yang mencintai kita. Mana boleh jadi ia membunuh In Kouwnio?"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Aku hanya berkuatir," kata Bu Kie. "Aku merasa syukur, beribu syukur, jika kekuatiranku itu tidak benar. Tapi" andai kata benar Gie hu membunuh Piauw moay, ia melakukan itu dalam keadaan tidak sadar. Hei!.. Semua" gara gara bangsat Seng Kun."
Cie Jiak menggeleng gelengkan kepalanya. "Tak bisa, tak bisa jadi," katanya. "Apakah racun Sip hiang Joad kin san juga ditaruh oleh Gie hu" Darimana Gie hu mendapat racun itu?"
Bu Kie tak menyahut. Kedua matanya mengawasi ke tempat jauh. Ia tak dapat menembus kabut tebal yang menyelimuti teka teki itu.
"Bu Kie Koko," kata Cie Jiak dengan suara dingin. "Dengan macam macam cara kau berusaha untuk melindungi Tio Beng."
"Kalau Tio Kouwnio benar2 pembunuhnya, mengapa ia berkeras ingin menemui Giehu dan ingin bicara dengannya?" kata Bu Kie.
Si nona tertawa dingin. "Tio kouwnio pintar luar biasa," katanya. "Andai kata ia bertemu dengan Gie hu, ia pasti mempunyai siasat lain untuk meloloskan diri." Tiba tiba nada suara Cie Jiak berubah lunak dan ia berkata dengan suara lemah lembut. "Bu Kie koko, kau seorang yang sangat jujur. Dalam kepintaran dan mengatur siasat, kau bukan tandingan Tio Kouwnio."
Bu Kie menghela nafas pula. Ia mengakui benarnya perkataan Cie Jiak. Sambil memegang tangan si nona, ia berkata, "Cie Jiak, aku merasa bahwa hidup di dunia seperti hidup dalam siksaan. Kau lihatlah, sekarang aku bahkan harus curigai ayah angkatku sendiri. Aku hanya mengharap, bahwa sesudah Tat cu bisa diusir pergi, aku akan bisa hidup ber-sama2 kau di pegunungan yang sepi, jauh dari pergaulan, jauh dari manusia lain."
"Kurasa tak mungkin," kata Cie Jiak. "Kau adalah Kauwcu dari Beng kauw. Apabila, atas berkah Tuhan, Tat cu bisa terusir, tugas mengurus negara jatuh di tangan Beng kauw. Mana bisa kau menikmati penghidupannya yang tenteram itu?"
"Kepandaianku tak cukup untuk menjadi Kauwcu dan akupun sebenarnya tak ingin menjadi kauwcu.
Jika di kemudian hari beban Kauwcu Beng Kauw terlalu berat, maka aku harus menyerahkan kedudukan itu kepada orang yang lebih pandai."
"Kau masih berusia muda, kalau sekarang kepandaianmu belum cukup, apa kau tak bisa menambah pengetahuanmu" Mengenai aku sebagai Ciang bun Go bie pay, akupun mempunyai pikulan yang sangat berat. Suhu telah menyerahkan cincin besi Ciang bun kepadaku dengan pesanan, supaya aku mengangkat naik derajat kami. Maka itulah, andaikata kau benar2 menyembunyikan diri di pegunungan, aku sendiri tak punya rejeki untuk menuntut penghidupan begitu."
Waktu melihat cincin itu di tangan Tan Yoe Liang, aku bingung bukan main. Kukuatir akan keselamatanmu. Kalau punya sayap, aku tentu sudah terbang waktu itu juga. Cie Jiak, siapa yang memulangkannya kepadamu?"
"Song Ceng Su Siauw hiap."
Mendengar disebutkannya nama Song Ceng Su, jantung Bu Kie memukul keras. "Song Ceng Su sangat baik terhadapmu bukan?" tanyanya.
"Mengapa kau menanya begitu?" menegas si nona. Ia menangkap nada luar biasa dalam suara tunangannya.
"Tak apa2," jawabnya. "Kutahu bahwa Song Suko sangat mencintai kau. Dia rela mengkhianati partai dan ayah kandung sendiri. Dia bahkan rela membunuh paman seperguruan sendiri. Tak usah dikatakan lagi, terhadapmu dia baik luar biasa."
Cie Jiak menengadah dan sambil mengawasi sang rembulan yang baru muncul di sebelah timur, ia berkata dengan suara perlahan. "Jika perlakuanmu terhadapku separuh saja dari perlakuannya, aku sudah merasa sangat puas."
"Aku bukan Song Suko. Jika untukmu aku harus melakukan perbuatan put hauw dan put gie (tidak berbakti dan tidak mengenal persahabatan), biar bagaimanapun jua aku takkan dapat melakukannya.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Untukku tak bisa melakukan segala apa. Di pulau kecil kau pernah bersumpah akan membunuh perempuan siluman itu, guna membalas sakit hatinya In Kouwnio. Tapi setelah bertemu muka, kau melupakan semua sumpahmu."
"Cie Jiak, manakala terbukti bahwa To Liong to dan Ie thian kiam dibawa oleh Tio Kouwnio dan piauwmoay dibinasakan olehnya, aku pasti takkan mengampuninya. Tapi apabila tak berdosa, aku tentu tak mengambil jiwanya. Meskipun sekali aku khilaf dalam mengucapkan sumpah itu."
Cie Jiak membungkam. "Mengapa kau diam saja" Apa aku salah?" tanya Bu Kie.
"Tidak!" jawabnya. "Aku sendiri sedang memikiri sumpahku sendiri yang diucapkan di hadapan Suhu di menara Ban hoat sei. Aku merasa sangat menyesal bahwa waktu menerima lamaranmu, aku tak memberitahukan sumpah itu kepadamu secara terang-terangan."
Bu Kie terkejut. "Kau" kau" sumpah apa?" tanyanya.
"Di hadapan Suhu, aku telah bersumpah bahwa jika di hari kemudian aku menikah dengan kau, maka roh kedua orang tuaku takkan mendapat ketenteraman di dunia baka, bahwa roh Suhu akan menjadi setan jahat yang akan terus menggangguku, bahwa anak cucuku akan menjadi manusia2 hina, yang lelaki menjadi budak, yang perempuan menjadi pelacur!"
Tak kepalang kagetnya Bu Kie. Ia berdiri terpaku dan badannya menggigil. Sesudah lewat beberapa lama dan sesudah dapat menetapkan hatinya, barulah ia berkata. "Cie Jiak, sumpah itu tak boleh dianggap sungguh2. Gurumu sudah memaksa kau mengucapkan sumpah itu sebab ia anggap Beng kauw sebagai agama siluman dan aku sendiri sebagai manusia jahat yang tak mengenal malu. Kalau ia tahu hal yang sebenarnya, ia pasti takkan menyuruh kau bersumpah begitu."
Air mata si nona lantas mengucur. "Tapi" tapi" ia sudah tak tahu lagi," katanya. Tiba-tiba ia menubruk Bu Kie dan sambil menangis tersedu-sedu, ia menyesapkan kepalanya di pangkuan pemuda itu.
Sambil mengusap usap rambut tunangannya, Bu Kie berkata. "Cie Jiak, apabila roh gurumu benar-benar angker, ia pasti takkan mempersalahkan kau. Apakah aku benar-benar seorang penjahat cabul, jahanam yang tidak mengenal malu?"
"Sekarang memang belum, tapi siapa tahu karena dipengaruhi Tio Beng, di belakang hari kau tidak menjadi manusia yang tidak mengenal malu?"
Mau tak mau Bu Kie tertawa. "Ah, Cie Jiak!" katanya. "Kau menilai aku terlalu rendah. Apakah kau mengharap mempunyai suami manusia jahat?"
Si nona mengangkat kepalanya. Kedua matanya masih basah, tapi sinarnya sinar tertawa. "Tak malu kau!" bentaknya dengan suara perlahan. "Apa kau sudah menjadi suamiku?" Kalau kau terus bersahabat dengan perempuan siluman itu, aku sungkan menjadi isterimu. Siapa berani memastikan, bahwa kau tidak akan meneladani Song Ceng Su yang rela melakukan perbuatan terkutuk karena gara gara paras cantik?"
Bu Kie menunduk dan mencium dahi tunangannya. "Siapa suruh kau begitu cantik?" katanya. "Inilah salahnya kedua orang tuamu yang melahirkan seorang puteri yang terlalu cantik, sehingga kaum pria mabok otaknya."
Mendadak saja, di belakang pohon dalam jarak kira-kira tiga tombak terdengar suara tertawa dingin.
"Huh..huh!?" Hampir berbareng terlihat berkelebatnya bayangan manusia yang kabur dengan kecepatan kilat.
Cie Jiak melompat bangun. "Tio Beng!?" serunya dengan suara parau.
Suara tertawa itu, memang suara wanita, tapi Bu Kie masih bersangsi, apakah benar Tio Beng" "Perlu apa dia menguntit kita?" tanyanya.
"Lantaran dia mencintai kau!" jawabnya dengan gusar. "Mungkin kau berdua diam diam sudah berjanji untuk bertemu di sini guna mempermainkan aku."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Bu Kie bersumpah keras keras, membantah terkaan tunangannya. Cie Jiak berdiri dengan darah meluap. Tiba-tiba karena mengingat nasibnya, ia menangis lagi.
Dengan tangan kiri memeluk pundak, Bu Kie menyeka air mata tunangannya dengan tangan baju kanannya. "Mengapa kau menangis?" tanyanya dengan suara lemah lembut. "Kalau aku menjanjikan Tio Kouwnio datang di sini untuk mempermainkan kau, biarlah aku dikutuk langit dan bumi. Coba kau pikir, apabila benar aku mencintai dia dan kutahu bahwa dia berada dekat, mana boleh jadi aku mengucapkan kata kata cinta terhadapmu" Bukankah dengan berbuat begitu, aku sengaja menyakiti hatinya?"
Cie Jiak merasa perkataan itu beralasan juga. Ia menghela nafas dan berkata. "Bu Kie koko, hatiku sangat tidak tenteram."
"Mengapa?" "Aku tidak dapat melupakan sumpahku. Selain itu, Tio Beng pun tentu tak bisa mengampuni aku. Baik dalam ilmu silat maupun dalam kepintaran, aku tak dapat menandinginya."
"Aku melindungi kau dengan segenap tenagaku. Kalau dia berani melanggar selembar rambut isteriku, aku pasti takkan mengampuni dia."
"Apabila aku lantas mati dibunuh olehnya, ya sudah saja. Apa yang ditakuti olehku adalah, karena disiasatkan olehnya, kau bergusar terhadapku dan lalu membunuhku. Kalau aku mati cara begitu, aku mati dengan penasaran, dengan mata melek."
"Kau benar sudah gila!" kata Bu Kie dengan tertawa. "Berapa banyak manusia sudah mencelakai aku, berbuat kedosaan terhadapku, tapi toh aku tak membunuh mereka. Mana boleh jadi aku bunuh isteri tercinta?" Ia membuka bajunya dan seraya mengunjuk bekas luka tusukan pedang, ia berkata pula,
Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tusukan siapa ini" Cie Jiak, makin dalam tusukanmu, makin dalam pula rasa cintaku terhadapmu."
Dengan rasa menyesal dan rasa cinta yang sangat besar, Cie Jiak meraba raba tanda luka itu.
Sekonyong-konyong mukanya berubah pucat. "Tikaman dibalas dengan tikaman?" katanya dengan suara parau. "Di belakang hari" andaikata benar kau membunuh aku, aku takkan penasaran lagi?"
Buru-buru Bu Kie memeluk si nona. "Sudahlah Cie Jiak!" katanya. Kita harus lekas2 cari Gie hu supaya orang tua itu segera bisa menikahkan kita. Setelah menikah kalau kau senang, kau boleh menikam aku lagi beberapa kali dan aku takkan merasa menyesal."
Sambil menyandarkan kepalanya di dada Bu Kie, Cie Jiak berbisik, "Aku mengharap, bahwa sebagai laki laki sejati, kau takkan melupakan perkataanmu di malam ini."
Lama mereka berdiam di situ, ber-omong2 dengan penuh kasih, di antara sinar rembulan yang putih bagaikan perak. Sesudah larut malam barulah mereka kembali ke rumah penginapan.
Pada keesokan pagi, bersama Han Lim Jie, mereka meneruskan perjalanan ke selatan. Pada suatu magrib, tibalah mereka di kota raja. Mereka mendapat kenyataan bahwa rakyat di seluruh kota sedang sibuk membersihkan rumah dan jalan, dan di depan setiap rumah terdapat hio to (meja sembahyang).
Mereka lalu mencari rumah penginapan dan menanya seorang pelayan mengenai kerepotan itu.
"Kedatanganmu sungguh kebetulan," kata si pelayan. "Kalian mempunyai rejeki besar, besok adalah hari arak arakan besar di Hong shia (kota tempat tinggalnya kaisar)."
"Arak arakan apa?"
"Besok adalah hari pesiarnya Hong shia (kaisar), kejadian ini hanya terjadi satu tahun sekali. Tujuan Hong shia adalah bersembahyang di kelenteng Keng sioe sie. Malam ini kalian harus tidur siang siang dan besok bangun pagi pagi."
"Pagi pagi sekali kau harus pergi di mulut pintu istana Giok tek tian untuk mendapat tempat yang baik.
Kalau untung bagus, kau bisa lihat wajah Hong siang, Hong houw (permaisuri), Koei hoi (selir kaisar), putera mahkota dan puteri kaisar. Coba kalian pikir, kalau sebagai rakyat jelata kita tidak berada di kota raja mana bisa kita melihat wajah Hong siang dengan mata sendiri?"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Bukan main mendongkolnya Han Lim Jie. Tanpa bisa menahan sabar lagi, ia lantas saja mengeluarkan suara di hidung. "Huh!" manusia apa kau!" bentaknya. "Kau pengkhianat yang tak mengenal malu, yang mengakui musuh sebagai ayahmu sendiri. Apa senangnya melihat muka kaisar Tat cu?"
Si pelayan kaget. Ia menatap muka Han Lim Jie dengan mulut ternganga. Akhirnya sambil menuding ia berkata. Kau!" kau" perkataan memberontak! Apa kau tak takut potong kepala?"
"Kau seorang Han, tapi kau begitu mendewa-dewakan kaisar Tat cu," kata Han Lim Jie. "Kau sungguh tak mengenal malu, lelaki tak punya tulang punggung!"
Melihat sikap Han Lim Jie yang galak garang, si pelayan tidak berani berkata apa apa lagi. Ia memutar badan dan berlalu. Tapi Cie Jiak lantas melompat dan menotok jalan darah di punggungnya. "Dia tentu banyak mulut dan kalau dia dibiarkan pergi, kita mungkin ditangkap," katanya. Seraya berkata begitu, ia menendang tubuh si pelayan ke kolong ranjang dan berkata pula. "Biar dia kelaparan beberapa hari. Kita baru lepaskan dia waktu mau meninggalkan kota ini."
Tak lama kemudian pengurus rumah penginapan berteriak teriak memanggil pelayan itu yang sedang mengaso di kolong ranjang. "A Hok! A Hok! Kemana kau" Ambil air untuk tamu kamar nomor tiga!"
Sambil menahan tertawa, Han Lim Jie menepuk meja, "Hei! Lekas sediakan makanan dan arak!"
bentaknya. Tuan besarmu sudah lapar!"
Makanan dan minuman diantarkan oleh seorang pelayan lain yang datang dengan menggerutu. "Si A Hok tentu kabur untuk melihat keramaian. Kurang ajar! Dia enak-enakan, aku yang capai."
Pada keesokan paginya, baru tersadar Bu Kie sudah dengar ramai ramai. Ia keluar dan melihat ribuan rakyat, lelaki, perempuan, tua dan muda, berjalan ber-bondong2 ke jurusan utara dengan mengenakan pakaian baru. Semua orang riang gembira. Di antara gelak tertawa, terdengar pula suara merotoknya petasan. Keramaian itu melebihi keramaian tahun baru.
Tak lama kemudian Cie Jiak pun turut keluar. "Mari kita nonton," ajaknya.
"Kita pernah bertempur dengan busu gedung Jie lam ong," kata Bu Kie. "Aku kuatir kita akan dikenali. Kalau mau menonton, kita harus menyamar."
Bersama Han Lim Jie, mereka lalu mengenakan pakaian orang dusun dan kemudian menuju ke Hong shia bersama sama rombongan rakyat.
Ketika itu baru masuk Sin sie (jam tujuh sampai jam sembilan pagi), tapi di dalam dan di luar Hong shia sudah penuh dengan manusia. Dengan Bu Kie sebagai pembuka jalan, mereka maju dengan perlahan.
Akhirnya mereka berdiri menunggu di bawah payon sebuah gedung besar, di luar pintu Yan cun bun.
Tak lama kemudian, di sebelah kejauhan terdengar suara gembrengan dan tambur. "Sudah datang!
Mereka datang!" teriak rakyat yang menunggu sambil memanjangkan leher mereka. Suara itu makin lama jadi makin keras sehingga terlihatlah rombongan pertama dari arak-arakan itu. Mereka terdiri dari 108
orang yang bertubuh tinggi besar dan mengenakan seragam hijau. Tangan kiri mereka memegang sebuah gembereng besar dan tangan kanan memukulnya dengan menurut irama.
Hebatnya suara 108 gembereng dapat dibayangkan. Rombongan gembereng diikuti rombongan tambur yang terdiri dari 30 orang. Di belakang mereka mengikuti tetabuhan " ada rombongan pi-poe (semacam gitar) dari See hek, rombongan terompet dari Mongol dan sebagainya. Jumlah anggota rombongan2 itu berkisar antara seratus orang lebih sampai seribu. Sesudah rombongan musik, muncul dua bendera sutera yang sangat besar. Yang satu dengan huruf "An pang Hu kok" (menenteramkan dan melindungi negara), yang lain dengan "Tin sia Hok mo" (menindih yang kotor, menakluki siluman). Kedua bendera itu dikawal oleh 400 serdadu Mongol " di depan 200, di belakang 200, yang menunggang kuda putih dan memegang macam macam senjata. Melihat keangkeran itu, rakyat bersorak sorai tak henti-hentinya.
KISAH PEMBUNUH NAGA Karya Chin Yung Jilid 67 BU KIE mendongkol bukan main. Ia menganggap penduduk kota raja tidak mengenal malu dan melupakan, bahwa negara mereka dijajah orang.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Baru saja kedua bendera itu lewat didepan Bu Kie, dari sebelah barat tiba-tiba menyambar dua helai sinar putih kearah tiang bendera. Sinar itu adalah sinar golok terbang yang masing-masing terdiri dari tujuh batang. Walaupun tiang bendera itu besar, tapi kedua tiang itu tidak dapat bertahan dari serangan tujuh golok, sehingga di lain saat kedua-duanya patah dan roboh bersama sama benderanya. Keadaan lantas saja berubah kalut. Belasan orang terguling tertimpa tiang.
Kejadian yang tidak diduga-duga itu turut mengejutkan Bu Kie dan Cie Jiak. Han Lim Jie kegirangan dan tanpa merasa mulutnya terbuka untuk. bersorak. Untung juga sebelum suaranya keluar mulutnya keburu ditekap Cie Jiak. Bu Kie tahu, bahwa golok terbang itu dilepaskan oleh ahli silat kelas satu, hanya sayang ia tak lihat siapa yang melepaskannya.
Empat ratus serdadu Mongol yang melindungi bendera gusar tercampur takut. Secara serampangan mereka menangkap tujuh delapan orang yang segera dibinasakan di tempat itu juga.
Han Lim Jie meluap darahnya. "Binatang!" cacinya dengan suara tertahan. Yang melepaskan golok sudah kabur, yang dibinasakan rakyat tidak berdosa".
"Sst! Han Toako!" bisik Cie Jiak. "Kita mau nonton, bukan mau bikin ribut".
Han Lim Jie manggutkan kepalanya dan tidak berani buka suara lagi.
Sesudah ribut ribut sebentar dari belakang datang lagi rombongan-rombongan tetabuhan. Rakyat mulai bersorak-sorak pula dan kejadian tadi yang mengenaskan segera dilupakan orang.
Dibelakang rombongan tetabuhan yang kedua itu mengikuti rombongan-rombongan wayang, seperti wayang po-tee-hie dan lain-lain, dan selewatnya, rombongan wayang muncullah kereta-kereta hias yang ditunggu-tunggu. Setiap kereta ditarik kuda pilihan dan diatas kereta terdapat pemuda-pemudi dengan bermacam-macam pakaian yang menggambarkan ceritera-ceritera atau dongeng jaman dahulu, seperti
"Pek-Nio nio merendam Kim san," "Tong Som Cong mengambil kitab suci di See thian". "Tong Beng pesta di istana rembulan dan sebagainya.
Disaban kereta terdapat sehelai bendera suram dengan nama pembesar yang mempersembahkannya.
Makin ke belakang kereta itu makin indah dan pembesar-pembesar yang namanya tertera di bendera juga makin tinggi pangkatnya.
Dengan mendapat tempik sorak gegap gempita, kereta-kereta lewat satu demi satu. Tiba-tiba suara tetabuhan yang mengiring setiap kereta berubah secara menyolok yang diperdengarkan sebuah lagu kuno.
Bu Kie melihat, bahwa di kereta yang sedang mendatangi tertancap sehelai bendera putih, dengan tulisan.
"Ciu Kong Lioe hong Koan coan ( Cie Kong membuang Koan Siok dan Coa Siok ). Di kereta itu terdapat seorang pria setengah tua yang memegang peranan Ciu Kong dan disampingnya berduduk seorang kanak-kanak yang mengenakan pakaian raja yaitu Raja Yan seng ong. Dua orang lain yang mengenakan pakaian sebagai Koan Siok dan Coa Siok, berbisik-bisik satu sama lain dan menuding-nuding Ciu Kong.
Dibelakang kereta tersebut mengikuti lain kereta dengan bendera dengan tulisan yang berbunyi: "Ong Bong Kee-jin Kee Gie" (Ong Bong berlagak jadi manusia budiman) "Ong Bong" di kereta itu, yang mukanya dipoles bedak putih, sedang membagi bagian uang kepada beberapa rakyat miskin, Di belakang kedua kereta itu mengikuti empat bendera dengan tulisan yang merupakan sajak.
"Ciu Kong pernah dicaci.
Ong Bong pernah dipuja. Kalau waktu itu mereka mati,
Tulen palsunya yang tahu siapa?"
Membaca sajak itu. Bu Kie manggut-manggut manggutkan kepala. "Benar," pikirnya. "dalam dunia ini, salah atau benar, hitam atau putih, sukar sekali bisa diketahui. Ciu Kong seorang nabi, tapi, waktu membuang Koan Siok dan Coa Siok orang menuduhnya sebagai pengkhianat yang ingin merebut tahta kerajaan. Ong-bong seorang menteri dorna. Tapi semula pada waktu ia merendahkan diri dan menghormat rakyat ia dipuji. Inilah apa yang dikatakan sesudah berjalan jauh, barulah kita tahu seekor kuda, sesudah diuji lama. barulah kita mengenal hati manusia. Orang yang menerangkan kedua kereta itu bukan sembarang orang. Ia termenung. Ia ingat segala pengalaman yang akhir-akhir ini. Ia ingat duga-dugaannya dalam sebuah teka-teki yang ditutup kabut. Manusia apa sebenarnya Tio Beng" Apa dia membunuh atau tidak membunuh In Lee" Sekonyong-konyong ia disadarkan oleh suara gembereng pecah. Ia menengadah dan melihat sebuah kereta yang ditarik oleh dua kuda kurus. Berbeda dari yang lain, kereta itu polos tanpa hiasan apapun jua.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Beberapa orang tertawa mengejek. "Masakah kereta begitu turut diarak?" kata seorang., Tapi waktu kereta ita mendekati, Bu Kie terkesiap. Ia terkesiap karena diatas kereta, disebuah dipan, bersila seorang tinggi besar yang rambutnya kuning, dan kedua matanya meram. Siapa lagi, kalau yang digambarkan bukan Kim-mo Say ong Cia Sun" Disamping "Cia Sun" berdiri seorang wanita cantik yang memegang cangkir teh. Keayuan wanita itu belum menyamai Cie Jiak, tapi pakaian dan geriknya tidak berbeda dari nona Ciu.
"Ciu Kouwnio, dia mirip kau!" bisik Han Lim Jie dengan suara kaget.
Cie Jiak tidak menyahut, Bu Kie menengok dan melihat muka si nona yang pucat pasi dan dada yang turun naik. Ia tahu bahwa tunangannya sedang bergusar. Ia mencekal tangan orang yang dingin bagaikan es.
Kereta yang disebelah belakang masih memperlihatkan ceritera "Cia Sun Cie Jiak", Cie Jiak menotok punggung "Cia Sun" dan kemudian mengangkat pedang untuk membunuh oraug tua itu. "Benar!
benar!Bunuh dia!" teriak beberapa orang.
Kereta ketiga masih juga cerita "Cia Sun Cie Jiak" Enam tujuh orang mengenakan pakaian pengemis sedang menahan 'Cia Sun dan Cie Jiak."
Bu Kie tak merasa sangsi lagi, bahwa ketiga kereta itu dibuat atas suruhan Tio beng, untuk menghina tunangannya. Ia membungkuk, menjemput enam butir batu kecil dan menimpuk Hebat sungguh timpukan itu! Setiap batu mampir tepat di mata kanan setiap kuda dan batu itu terus masuk ke otak, sehingga sesudah berbenger dan berjingkrak-jingkrak, enam ekor kuda itu lantas saja roboh binasa. Keadaan berubah kalut. Kecuali Cie Jiak dan Han Liem Jie, tak seorangpun mendapat tahu timpukan dari dalam tangan bajunya.
Nona Ciu menggigit bibirnya, "Bu Kie koko," katanya, perempuan siluman itu . . .. terlalu, terlalu menghina aku....." Ia tak bisa meneruskan suaranya yang parau dan badannya agak bergemetaran.
Dengan rasa kasihan, Bu Kie mencekal tangan tunangannya. "Cie Jiak," katanya dengan suara membujuk, perempuan itu memang dapat melakukan apa pun jua. Kau jangan ladeni. Asal aku mencintai kau, orang luar tak akan bisa berbuat sesuatu apa."
Cie Jiak mengangguk. Lewat beberapa saat mendadak ia berkata. "Ah, sekarang ku ingat! Hari itu Giehu sehat-sehat saja dan tiba-tiba ia bergemetaran, lalu roboh. Sesudah roboh mulutnya ngaco. Apa tak bisa jadi.....perempuan siluman itu bersembunyi di rumah penginapan dan melepaskan senjata rahasia terhadap Gie hu?"
"Kurasa tak mungkin" jawab Bu Kie.
"Kalau itu perbuatannya aku rasa tak akan keburu menyusul ke kelenteng Bie tek-hud. Mungkin juga kerajaan Hian beng Jie loo.
Sementara itu sejumlah serdadu Mongol sudah datang dan menyingkirkan bangkai2 kuda supaya arak-arakan tidak terhalang.
Bu Kie dan Cie Jiak tak punya kegembiraan lagi untuk menonton kereta-kereta hias lewat tanpa diperhatikan mereka. Sesudah kereta hias, datanglah rombongan pendeta yang mengenakan jubah merah, diikuti oleh 2000 serdadu Gie lim kun yang bersenjata tombak dan 3000 serdadu pilihan yang bersenjata gendewa dan anak panah. Kemudian, diantara asap hio yaag mengepul keatas, berjalan rerotan joli dengan patung-patung malaikat, semuanya 360 patung. Dengan paling dulu joli Kwan teeSeng kun (Kwan Kong ). Rakyat menyambut rerotan itu dengan mengucapkan doa, banyak diantaranya berlutut ditanah.
Akhirnya, sesudah lewatnya barisan yang membawa alat-alat upacara, seperti kim koa (labu emas), kim toei (martil emas) dan sebagainya, rakyat bersorak, "Hongsiang! Hongsiang!" teriak mereka.
Sebuah joli besar yang ditutup dengan sutera kuning dan digotong oleh 32 sie wie baju sulam kelihatan mendatangi. Joli itu joli kaisar. Bu Kie mengawasi dengan mata tajam. Ia mendapat kenyataan, bahwa kaisar itu pucat mukanya dan suatu tanda dari pelesir dan arak yang tidak mengenal batas. Putera
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
mahkota mengikuti dengan menunggang kuda. Dengan menggendong gendewa tertawa emas, putera kaisar itu kelihatan gagah dan angker dan cocok untuk menjadi sesorang putera Mongol.
"Kauwcu," bisik Han Lim Jie, "mengapa kau tidak mau menggunakan kesempatan ini untuk membinasakan kaisar Tat cu itu?"
"Hm!" jawabnya. Ia tidak bisa lantas mengambil keputusan dan lalu menimbang-nimbang baik tidaknya.
"Dengan membinasakan dia Kauwcu menyingkirkan satu bahaya bagi rakyat," bisik pula Han Lim Jie.
"Biarpun dia banyak pengawalnya2, mana bisa menghalangi serangan Kauwcu."
Mendadak, seorang yang berdiri disebelah kiri Bu Kie, berbisik. "Tidak boleh! Jangan!"
Bu Kie terkejut dan melirik orang itu, seorang penjual obat setengah tua . Sekonyong-konyong dia mengacungkan kedua jempolnya dan membuat tanda obor didepan dadanya. "Pheng Eng Giok menghadap kepada Kauwcu," bisiknya.
Bu Kie kegirangan dan berkata dengan suara tertahan. "Kau! ... Pheng ..."
Pandai sungguh Pheng Hweeshio menyamar, sehingga Bu Kie yang berdiri disampingnya tidak dapat mengenalinya.
"Disini bukan tempat bicara," bisik Pheng Eng Giok. "Kauwcu tidak beleh binasakan kaisar Tat cu."
Bu Kie tahu, bahwa pembantunya itu mempunyai pemandangan yang sangat luas. Ia mengangguk dan mencekal tangannya erat-erat, sebagai tanda rasa girangnya.
Kaisar dan putera mahkata diiringi oleh barisan Gie lim kun dengan kekuatan 3000 orang dan rerotan yang terakhir adalah berlaksa rakyat jelata yang mengenakan pakaian beraneka-warna. "Mari lihat Hong houw Nio nio dan Kong cu Nio nio!" seru beberapa orang sambil menggapai sahabat atau kenalannya.
"Aku ingin sekali lihat mereka," kata Cu Jiak kepada Bu Kie. Ia mengangguk dan bersama Pheng Eng Giok dan Han Lim Jie, mereka lalu menuju ke arah Giok tek tian, bersama-sama rerotan rakyat. Tak lama kemudian mereka melihat tujuh buah loteng indah yang dihias secara indah pula. Dibawah loteng dijaga oleh sepasukan Gie lim kun bersenjata rotan yang digunakan untuk mengusir rakyat yang datang terlalu dekat. Dengan tak banyak susah Bu Kie berempat mendesak ke depan. Di loteng yang di tengah-tengah berduduk sang kaisar disebuah kursi naga-nagaan dengan diapit oleh dua orang permaisurinya yang berbadan gemuk dan berpakaian mewah. Putera mahkota duduk di sebelah kiri, sedang yang duduk di sebelah kanan seorang wanita muda yang berusia kira-kira dua puluh tahun.
"Dia tentulah puteri kaisar," kata Bu Kie di dalam hati sambil mengawasi loteng kedua yang terletak disebelah kiri.
Tiba-tiba jantungnya mengetuk lebih keras, karena di loteng ini berduduk Tio Beng yang mengenakan baju bulu dan perhiasan mahal. Di tengah-tengah loteng itu berduduk seorang raja muda yang berparas agung dan bukan lain daripada Kuhkun Temur, ayahanda Beng-beng Kuncu. Kuhkun Temur, kakak Tio Beng kelihatan berjalan di sisi loteng dengan tindakan seperti tindakan harimau.
Dengan mata mendelong Cie Jiak mengawasi kedua permaisuri yang mewah itu. Tanpa merasa ia maju beberapa tindak dan melewati perbatasan yang diperbolehkan untuk rakyat jelata. Seorang anggota Gie lim kun segera menyabet dengan rotannya.
Bagaikan kilat Cie Jiak menangkap ujung rotan. Dengan mudah ia akan dapat merobohkan serdadu itu, tapi sejenak kemudian ia melepaskan cekalannya dan mundur, akan kemudian menghilang diantara orang banyak.
Ketika itu didepan loteng mulai diadakan latihan barisan Thian mo Thia tin oleh rombongan Han ceng (pendeta asing). "Tin" yang diperlihatkan di keluarga kaisar benar-benar hebat dengan perubahan-perubahan yang sangat aneh, sehingga saban-saban mendapat sambutan yang gegap gempita dari berlaksa rakyat. Tapi Cie Jiak tidak tertarik oleh latihan itu. Sesudah mengawasi Tio Beng beberapa lama, ia menghela napas, dan berkata. "Mari kita pulang."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Setibanya di rumah penginapan, Pheng Eng Giok memberi hormat kepada Bu Kie sebagai mana layaknya dan masing-masing lalu menceriterakan pengalamannya. Pheng Hweeshio yang baru kembali dari Hway see ternyata tak tahu kalau Cia Sun sudah pulang ke Tiong goan. Ia memberitahu, bahwa Cu Goan Cang, Cie Tat dan Siang Gie Cun telah memperoleh banyak kemajuan sehingga Beng kauw sangat disegani.
Pheng Taysu," kata Han Lim Jie sesudah Pheng Eng Giok selesai menutur. "Apabila tadi kita melompat untuk naik ke loteng dan membunuh kaisar Tat cu itu, bukankah dengan demikian kita menyingkirkan satu bencana bagi rakyat?"
Pheng Hweeshio menggeleng-gelengkan kepala, "Kaisar bebodoran itu justru pembantu kita yang sangat berharga," jawabnya. "Mana boleh kita membunuh dia?"
"Han Heng tee" kata Pheng Eng Giok sambil tersenyum, "kaisar itu tolol, kejam dan doyan pelesir.
Paling belakang dia memerintahkan penggalian sungai Hong ho. Rakyat sangat menderita dan bergusar.
Mengapa saudara-saudara kita sudah memperoleh hasil-hasil baik di medan perang" Apa benar tentara rakyat serba kekurangan bisa melawan tentara Mongol yang gagah perkasa" Sebab musabab dari kemenangan kita ialah karena rakyat sudah. membenci Tat cu. Dalam setiap pertempuran, rakyat membantu kita. Kaisar tolol itu tak bisa menggunakan orang-orang pandai, Jenderal yang seperti Jie Lam ong selalu dihalang-halangi dan dicurigai. Kaisar bebodoran itu kuatir, bahwa kalau pahalanya sudah terlalu besar, raja muda tersebut akan merebut kerajaan. Maka itu perlahan-lahan dia mengurangi kekuasaan Jie Lam ong atas ketentaraan dan mengangkat jenderal-jenderal tolol untuk memimpin tentara, sehingga biarpun gagah perkasa, pasukan-pasukan Mongol sering kalah dalam medan perang. Inilah sebabnya mengapa aku mengatakan bahwa kaisar Tat cu itu pembantu kita yang sangat berharga."
Han Lim Jie tersadar. Ia manggut-manggutkan kepalanya dan merasa kagum akan pandangan Pheng Eng Giok yang sangat jauh.
"Apabila kita membunuh kaisar Tat cu itu, putera mahkota akan menggantikannya" kata pula Pheng Hweeshio. "Meskipun bodoh, dia tentu tak sebodoh ayahnya. Jika dia bisa menggunakan panglima-panglima yang pandai usaha kita bisa gagal seanteronya.''
"Syukur sekali Taysu berada disini" kata Bu Kie. "Kalau tidak, mungkin aku sudah menyerang dan merusak urusan besar."
"Kauwcu adalah seorang yang sangat penting dan memikul tugas berat untuk mengusir kekuasaan Tat cu" kata Pheng Eng Giok. "Maka itu Kauwcu tak boleh menempuh bahaya secara sembrono. Seorang kaisar selalu dijaga keras dan diantara pengawalnya terdapat banyak orang yang berkepandaian tinggi.
Meskipun gagah, Kauwcu belum tentu bisa melawan mereka yang berjumlah sangat besar."
Bu Kie mengangkat kedua tangannya dan berkata. "Aku merasa sangat berterima kasih untuk nasihat Taysu dan aku berjanji akan memperhatikannya."
Cie Jiak menghela napas. "Memang kau juga tidak boleh sembarangan menerjang bahaya" katanya. Di hari kemudian sesudah usaha kita berhasil, kursi naga tentu akan diduduki oleh Thio Kauwtjoe."
Han Lim Jie bertepuk tangan. "Benar!" serunya dengan suara perlahan.
"Thio Kauwcu jadi Hongtee. Ciu Kouwnio jadi Hong houw. Pheng dan Yo cusu sebagai Yoe sin siang."
Muka nona Ciu lantas saja berubah merah. Ia menunduk dengan sikap kemalu-maluan tapi sinar ujung matanya menandakan bahwa ia merasa girang sekali.
Dengan sikap bingung Bu Kie sendiri buru-buru menggoyang-goyangkan kedua tangannya. "Han Hengtee, perkataanmu itu tak boleh dikeluarkan lagi!" katanya dengan suara sungguh-sungguh. "Aku hanya bertujuan untuk menolong rakyat dari penderitaan, sesudah berhasil aku akan segera mengundurkan diri. Aku sedikitpun tak kemaruk akan kekayaan dan kedudukan tinggi."
Pheng Eng Giok tertawa. "Kauwcu mempunyai kepandaian dan kebijaksanaan yang jarang tandingan"
katanya, "Kalau waktunya tiba andaikata Kauwcu mau menolak, Kauwcu takkan bisa menolak. Dahulu, Tio Kong In pun belum pernah mimpi akan menjadi kaisar." ( Ti Kong In adalah, pertama dari kerajaan Song)
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Tidak bisa!" kata Bu Kie. "Bila dalam usaha ini hatiku bercabang dan mempunyai angan-angan untuk keuntungan pribadi, biarlah langit dan bumi mengutuk aku, biarlah aku mati secara tidak baik!"
Mendengar penolakan yang disertai sumpah itu, paras muka Cie Jiak lantas saja berubah. Ia melongok keluar jendela dan berkata, "Pemimpin Beng Kauw menjadi kaisar bukan kejadian yang terlalu luar biasa.
Dahulu ayahku mengangkat diri sendiri sebagai raja. Kalau berhasil, bukankah ayah sudah menjadi Hong-tee?"
"Ya, hanya sayang Ciu Cu Ong Ciu Suheng gagal dalam usahanya," kata Pheng Eng giok dengan suara duka. "Kalau berhasil, Ciu Kouwnio sudah menjadi Kong cu Nio-nio."
Cie Jiak tertawa dingin. "Mm!....." Ia mengeluarkan suara di hidung. "Apakah keistimewaan Kun cu dari Jie-lam ong" Tapi toh ada yang mengawasinya tanpa berkedip dan mendewi-dewikannya. Kalau aku jadi lelaki dan aku mau menikah dengan keluarga kaisar sendiri, kalau bisa menjadi Hu-ma barulah boleh dibuat bangga. (Hu ma adalah Menantu lelaki dari seorang kaisar) Pheng Eng Giok dan Han Lim Jie yang menafsirkan perkataan Cie Jiak sebagai guyonan, lantas saja tertawa terbahak-bahak. Tapi Bu Kie sendiri bukan main rasa jengahnya. "Cie-Jiak sangat halus budi pekerti, tapi mengapa ha ri ini ia mengeluarkan kata-kata itu?" pikirnya.
"Mungkin sekali waktu tadi aku mengawasi Tio Kouwnio, Cie Jiak merasa tak senang. Tapi... ah! ...
Perkataannya itu hanya membuktikan kecintaannya terhadapku."
Sementara itu Pheng Eng Giok melaporkan hasil-hasil gerakan Beng Kauw dalam keseluruhannya. Ia mengatakan bahwa biarpun sering juga menderita kekalahan di medan perang tapi tenaga kekuatan Beng kauw makin lama jadi makin besar! Hanya sayang dalam Rimba Persilatan masih terdapat partai-partai yang merasa iri atau mengiri, persatuan yang sempurna belum tercapai. Maka itu kata Pheng Eng Giok alangkah baiknya jika bisa diadakan pertemuan dan musyawarah besar antara orang-orang gagah Rimba Persilatan. Apabila tercapai persatuan yang kokoh, maka usaha mengusir Tat-cu pasti akan terwujud.
"Taysu benar," kata Bu Kie. "Nanti sesudah bertemu dengan Yo-CoSu, kita akan berdamai lebih jauh."
Sesudah makan malam Bu Kie berkata, "Aku dan Pheng Taysu ingin jalan-jalan sambil mendengar-dengar halnya Giehu." Ia menengok kepada Han Lim Jie dan berkata pula: "Han Heng-tee, kau dan Cie Jiak tak usah mengikut. Kalian mengaso saja." Ia tidak mau mengajak Han Lim Jie sebab kuatir saudara yang berangasan itu menerbitkan onar.
Sesudah keluar dari rumah penginapan, mereka berpencaran, yang satu mengambil jalan ke barat, yang lain ke timur dan berjanji akan pulang ke penginapan sebelum jam dua lewat tengah malam.
Bu Kie yang menuju ke barat memasang mata dan kuping. Tapi apa yang didengarnya hanya omong-omongan rakyat tentang keramaian siang tadi dan cerita-cerita ngawur tentang pemberontakan Beng kauw. Ia tak mendapat sesuatu yang penting. Ia berjalan dengan menuruti mau nya kaki, makin lama jalan jadi makin sepi. Tiba-tiba jantungnya memukul keras karena ia mendapat kenyataan, bahwa ia berada didepan sebuah rumah makan kecil, dimana dahulu ia pernah minum arak bersama-sama Tio Beng.
"Mengapa aku bisa datang kesini" Apa lantaran aku selalu tidak dapat melupakan Tio Kouwnio?"
tanyanya di dalam hati. Pintu rumah makan itu separuh dirapati, di dalam tidak terdengar suara, seperti juga tiada tamunya. Ia mendorong pintu dan bertindak masuk. Seorang pegawai kelihatan tertidur sambil mendekam di meja. Ia terus masuk kedalam.
Ternyata, pada sebuah meja di suatu sudut berduduk seorang tamu yang sedang bersantap dengan muka menghadap kedalam, dibawah penerangan sebatang lilin. Hati Bu Kie berdebar-debar sebab ia segera mengenali, bahwa meja itu adalah dimana ia pernah minum arak bersama nona Tio.
Sebab mendengar tindakan, tamu itu mendadak berbangkit dan menengok dan ... orang itu bukan lain dari pada Tio Beng sendiri!
Untuk sejenak kedua-duanya berdiri terpaku dan Kedua-duanya mengeluarkan seruan kaget.
"Kau! ... mengapa kau datang kesini?" kata Tio Beng. Suaranya bergemetaran. Sebagai tanda dari goncangan hatinya.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Aku keluar jalan-jalan dan kebetulan lewat disini dan tak dinyana......" kata Bu Kie sambil mendekati.
Melihat seperangkat piring mangkok dan sepasang sumpit didepan si nona, ia berkata pula "Apa kau sedang menunggu seseorang ?"
Tio Beng lantas bersemu dadu. "Tidak" jawabnya. "Dua kali kita pernah minum arak di sini dan kau duduk di hadapanku. Maka itu ... maka itu ... kuperintahkan pelayan menyediakan piring mangkok itu."
Bu Kie merasa sangat berterimakasih. Ia lihat empat tempat macam sayur di meja dan ke empat macam sayur itu tidak berbeda dengan sayur yang pernah dimakannya bersama sama nona Tio.
Tak kepalang rasa terharunya Bu Kie. Tanpa merasa ia memegang tangan si nona dan berkata dengan perlahan. "Tio Kouwnio .... "
"Aku hanya merasa menyesal ..." kata si nona, "menyesal aku terlahir dalam keluarga raja muda Mongol yang menjadi musuhmu ..."
Pada saat itulah, di luar jendela mendadak terdengar "heh-heh," suara tertawa dingin, dan serupa benda menyambar lilin yang lantas saja menjadi padam. Bu Kie dan Tio Beng mengenal bahwa suara itu suara Cie Jiak. Mereka jadi serba salah keluar salah, berdiam diruangan yang gelap itupun salah. Dalam detik itu, di atap rumah terdengar suara berkeresekan dan bagaikan angin, Cie Jiak sudah berlalu.
"Apa benar kau sudah bertunangan sama dia?" bisik Tio Beng.
"Benar," jawabnya. "Aku tidak boleh berdusta."
"Hari itu waktu bersembunyi dibelakang pohon, kudengar perkataan-perkataanmu yang penuh kecintaan, yang manis seperti madu. Ketika itu, aku ingin lantas mati, aku tak mau hidup lebih lama lagi di dunia ini. Aku tertawa dingin dua kali. Sekarang ia membalasnya. Tapi . . . tapi . . . dari mulutmu aku tidak pernah mendengar sepatah katapun yang bisa menghibur hatiku ..."
"Tio Kouwnio, sebenarnya aku tidak boleh datang kesini lagi, tidak boleh bertemu muka lagi dengan kau. Aku sudah mengikat janji dan aku tak pantas melakukan sesuatu yang dapat membangkitkan rasa dukamu. Tio Kouwnio ibarat pohon kau bercabang emas dan berdaun kemala. Mulai dari sekarang kau harus melupakan aku ...."
Tio Beng memegang tangan Bu Kie dan mengusap-usap tanda bekas luka dibelakang tangan itu. "Luka ini karena gigitanku." katanya, "Biarpun ilmu silatmu tinggi, biarpun ilmu ketabibanmu tinggi, tak bisa kau menghilangkan tanda luka dalam hatiku?" Sehabis berkata begitu, ia menatap wajah Bu Kie dengan air mata yang tak bisa dilukiskan. Sekonyong-konyong kedua tangaanya memegang kepala Bu Kie dan ia
. . .. menggigit bibir pemuda itu sehingga mengeluarkan darah! Sesudah itu ia mondorong dan melompat keluar dari jendela. "Penjahat cabul! Aku benci kau!... aku benci kau ..." serunya.
***** SESUDAH Bu Kie dan Pheng Eng Giok berlalu, Han Lim Jie berkata "Ciu Kouwnio, kau tidurlah siang-siang." Sehabis berkata begitu, ia segera berlalu dan pergi ke kamarnya sendiri. Cie Jiak tertawa, "Han Toako," katanya. "Mengapa kau begitu takut" Duduk omong omong sebentar saja kau tidak mau."
"Tidak ! tidak!" jawabnya. Ia mempercepat tindakannya, masuk ke kamarnya dan lalu menapal pintu.
Sambil rebah diatas pembaringan batu, ia membayangkan kecantikan dan kehalusan Cie Jiak yang dipandangnya seperti dewi. Tak lama kemudian ia tertidur.
Kira-kira tengah malam mendadak pintu terketuk. Ia melompat bangun dan bertanya, "Siapa?"
"Aku," demikian terdengar suara Cie Jiak. "Buka pintu! Aku ingin bicara denganmu."
Han Lim Jie melompat turun dari pembaringan, membuka tapal pintu dan menyalakan lilin. Dengan kaget ia lihat kedua mata si nona yang merah dan sikapnya yang luar biasa. "Ciu Kauwnio, kau . . . kau. .
. kenapa?" tanyanya. Untuk sejenak ia berdiri terpaku dan kemudian sambil lari keluar ia berkata, "Aku mau ambil air." Tak lama kemudian ia masuk lagi dengan membawa sepaso air. "Kau . . . cucilah mukamu," katanya.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Cie Jiak tidak menyahut. Ia hanya menggelengkan kepalanya dan mengawasi api lilin dengan mata mendelong. Mendadak air matanya mengucur. Han Lim Jie kaget bercampur bingung, ia tak tahu apa yang harus diperbuatnya.
Lama juga nona Ciu berdiri bengong seperti orang linglung. Tiba-tiba ia tersadar dan mengeluh dengan suara perlahan.
"Ciu Kouwnio, siapa yang menyakitimu?" tanya Han Lim Jie. "Beritahukanlah kepadaku. Si orang she Han akan tikam dia."
Cie Jiak tetap membungkam. Sambil menghela napas, ia bertindak keluar dan masuk ke kamarnya sendiri. Sesudah duduk beberapa lama, ia keluar lagi.
Han Lim Jie jadi makin bingung. Tak lama kemudian kentong berbunyi tiga kali. "Mengapa Kauwcu dan Pheng Taysu belum juga balik?" tanyanya di dalam hati, "Tak lama ada jalan lain dari pada tunggu pulangnya mereka." Walaupun berkuatir, ia tidak berani menengok si nona yang sudah masuk lagi ke kamarnya. Ia lalu merebahkan diri di pembaringan.
Dalam keadaan setengah tidur, sekonyong-konyong ia mendengar suara gedubrukan di kamar Cie Jiak, seperti jatuhnya kursi. Ia melompat bangun dan berlari-lari ke kamar nona Ciu. Dengan bantuan sinar rembulan, dari luar jendela ia lihat bayangan sesosok tubuh manusia yang bergelantungan dan bergoyang-goyang dengan perlahan. Dengan hati mencelos ia berteriak "Ciu Kouwnio ! ... Ciu Kouwnio ..."
Ia menolak pintu, tapi pintu ditimpal dari dalam. Tanpa memikir panjang lagi, dengan seantero tenaga, ia mendorong pintu dengan pundaknya, sehingga timpal pintu patah. Ia masuk ke dalam dan segera menyalakan lilin. Cocok dengan dugaannya, nona Ciu menggantung diri dengan seutas tambang yang diikatkan pada balok rumah dengan lehernya sendiri. Bagaikan kalap, ia melompat tinggi, menjambret tambang dan menarik sekuat-kuatnya, sehingga tambang itu putus. Dengan tangan bergemetaran, ia mendukung tubuh si nona dan merebahkannya diatas pembaringan. Seperti disambar halilintar, ia mendapat kenyataan, bahwa nona Ciu sudah tidak bernapas! "Ciu Kouwnio !.... Ciu Kouwnio !..." ia sesambat.
Tiba-tiba diluar kamar terdengar suara seorang. "Han Toako, ada apa?" Orang itu lantas masuk kedalam dan dia bukan lain daripada Bu Kie sendiri. Melihat tunangannya, bukan main kagetnya, pemuda itu. Buru-buru ia membuka ikatan tambang pada leher Cie Jiak dan meraba dadanya. Untung juga jantungnya masih berdenyut. "Masih bisa ditolong," katanya dengan suara lega. Ia lalu mengurut punggung Cie Jiak dan mengirim Kioeyang Cin khie kedalam tubuh si nona.
Beberapa saat kemudian Cie Jiak berteriak, "Uah!" dan lalu menangis. Ia membuka matanya dan begitu melibat Bu Kie ia berkata "Biar aku mati! Aku lebih baik mati!" Mendadak ia lihat bibir Bu Kie yang berdarah dan bertanda tapak gigi, darahnya lantas saja bergolak dan dengan sekuat tenaga ia menggaplok.
Han Lim Jie terkesiap. Ia berdiri terpaku dan mengawasi dengan mata membelalak. Pihak mana yang harus diambil olehnya" Di satu pihak Kauwcu yang dipujanya, dilain pihak calon nyonya Kauwcu yang juga dipandangnya seperti dewi. Selagi kebingungan mendadak pundaknya ditepuk orang. Ia menengok dan ternyata orang itu bukan lain dari pada Pheng hweeshio. "PhengTay su" katanya dengan suara girang.
"Lekas bujuk Ciu Kouwnio!"
Pheng Eng Giok tertawa. "Bujuk apa?" tanyanya. "Mari kita keluar".
"Tidak bisa! Mereka akan berkelahi! Ciu Kouwnio bukan tandingan Kauwcu," kata si tolol.
Pheng Eng Giok tertawa terbahak bahak. "Han Heng-tee, apakah kita berdua bisa menandingi Kauwcu?" tanyanya. "Aku berani pastikan dengan seorang diri Ciu Kouwnio akan mendapat kemenangan." Seraya berkata begitu, ia memberi isyarat dengan kedipan mata dan lalu menarik taagan Han Lim Jie.
Sementara itu, sesudah menggapelok tunangannya, Cie Jiak lalu membanting diri di pembaringan dan menangis tersedu-sedu. Bu Kie duduk di pinggir ranjang dan sambil mengusap-usap pundak si nona, ia berkata dengan suara lemah lembut. "Sungguh mati aku tidak berjanji dengan dia untuk mengadakan pertemuan di situ. Hal itu telah terjadi karena kebetulan saja."
"Justa! Bohong! Aku tidak percaya!"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Bu Kie menghela napas. "Cie Jiak, apa kau tak ingat riwayat Ciu Kong dan Ong Bong?" tanyanya.
"Dalam dunia ini banyak sekali kejadian-kejadian kebetulan yang bisa menimbulkan salah mengerti".
Si nona bangun duduk. "Kau sungguh kejam!" teriaknya. "Kuncu Nio nio-mu menghina aku dengan sajaknya dan kau bahkan menyebut-nyebutnya lagi. Lihat bibirmu! Apa kau tak malu?" Sehabis berkata begitu, mukanya sendiri berubah merah.
Bu Kie mengerti, bahwa ia takkan dapat membela diri. Jalan satu-satunya ia harus bersabar. Melihat muka tunangannya yang kemerah-merahan, lehernya yang masih bertanda bekas ikatan tambang dan matanya yang merah, di dalam hatinya lantas saja timbul rasa kasihan. Ia ingat, bahwa jika tidak keburu ditolong oleh Han Lim Jie, tunangannya itu pasti sudah binasa. Mengingat begitu, dengan rasa terharu ia segera memeluk. Cie Jiak coba memberontak, tapi Bu Kie terus memeluk erat-erat dan mencium dahinya.
Lama ia memeluk dan Cie Jiak pun tidak memberontak lagi. Tiba-tiba ia merasa jengah sendiri.
Perlahan-lahan ia melepaskan pelukannya dan berkata. "Cie Jiak, kau tidurlah. Besok kita bicara lagi.
Kalau aku berani menjustai kau lagi dan diam-diam mengadakan pertemuan dengan Tio Kouwnio, kau boleh bunuh aku."
Si nona tidak menjawab. Ia terus menangis dengan perlahan. Makin dibujuk, ia menangis makin keras.
Akhirnya Bu Kie bersumpah, bahwa ia tidak akan berkhianat dan bahwa ia masih tetap mencintai si nona deagan segenap jiwa.
"Aku tak mempersalahkan kau, aku hanya merasa menyesal akan nasibku yang buruk..." kata Cie Jiak dengan suara hampir tak kedengaran.
"Diwaktu masih kecil, kita bersama-sama bernasib buruk," kata Bu Kie. "Dengan Tat cu yang berkuasa, seluruh rakyat bernasib buruk. Nanti sesudah Tat cu terusir, kita akan hidup beruntung."
Tiba-tiba Cie Jiak mengangkat kepalanya dan berkata dengan suara sungguh-sungguh, "Bu Kie Koko, kutahu kecantikanmu terhadapku. Ku tahu ini semua karena gara-gara bujukan si perempuan siluman...
bukan kau yang berhati bercabang. Tapi ... tapi ... dengan sebenarnya aku tak bisa menjadi isterimu. Aku ingin mati. Tapi si Han Lim Jie menolong aku. Sesudah gagal satu kali, aku tak berani mencoba untuk kedua kali. Aku... akan mengikuti contoh Suhu, aku akan mencukur rambut dan menjadi pendeta. Ya!
Ciang ... bunjin dari Gobie pay memang biasanya seorang wanita yang tidak menikah."
"Mengapa kau mempunyai pikiran begitu " Apakah kau bergusar terhadap Tio Kouwnio karena kau anggap Tio Kouwnio memberi petunjuk, bahwa kaulah yang sudah mencelakai ayah angkatku ?"
"Apa kau percaya ?"
"Tentu saja tidak!"
"Kalau tidak percaya, baguslah. Siapapun juga tak akan percaya."
"Tapi mengapa kau terus berduka?"
Cie Jiak menggigit bibirnya. "Karena ... karena ..." katanya. Sehabis mengatakan dua kali perkataan
"karena", ia memalingkan mukanya ke jurusan lain. "Bu Kie Koko," katanya pula dengan suara parau.
"Sebenarnya kau lebih baik tidak pernah bertemu dengan aku. Mulai dari sekarang, kau jangan ingat-ingat lagi diriku. Kau boleh menikah dengan Tio Kouwnio atau dengan wanita lain. Aku . . . aku tak perduli ..." Mendadak kedua kakinya menjejak pembaringan dan tubuhnya melesat keluar dari jendela dan kemudian hinggap diatas rumah.
Bu Kie tertegun. Ia tak pernah menduga bahwa tunangannya memiliki ilmu mengentengkan badan yang begitu. Sesaat itu ia tidak sempat memikir panjang-panjang lagi dan segera menguber.
Si nona kabur ke jurusan timur. Bu Kie mengejar dengan mengambil jalan mutar dan dengan cepat, ia sudah menghadang didepan. Sebab tidak keburu menghentikan tindakannya, Cie JiaK menubruk Bu Kie yang segera memeluknya, mereka berada di dekat sungai kecil. Bu Kie lalu mendukung tunangannya ke sebuah batu besar di pinggir sungai. "Cie Jiak," katanya dengan suara halus, "Suami isteri harus sama-sama senang dan sama-sama susah. Penderitaanmu adalah penderitaanku juga. Ganjelan apa yang sedang dipikir olehmu. Bilanglah! ... kau bilanglah..."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Sambil menyesapkan kepalanya di dada Bu Kie, si nona menangis tersedu-sedu. "Aku ... aku ...."
katanya terputus-putus. "Kehormatanku sudah dirusak orang! ... Aku sudah ternoda ... Aku ... aku sudah
... hamil! Bagaimana aku bisa menikah dengan kau?"
Pengakuan itu bagaikan halilintar ditengah hari bolong. Bu Kie terpaku ia merasa kepalanya puyeng dan matanya berkunang-kunang.
Perlahan-lahan Cie Jiak bangun berdiri. "Itulah sudah nasibku," katanya. "Kau harus bisa melupakan aku."
Bu Kie tidak menyahut. Ia menatap wajah tunangannya dengan mata membelalak. Ia tak percaya kupingnya sendiri.
Si nona menghela napas. Ia memutar badan dan berlalu.
Bu Kie melompat dan seraya mencekal tangan tunangannya, ia bertanya dengan suara gemetar. "Apa
.... bangsat Song Ceng Su?"
Cie Jiak mengangguk. Dengan air mata berlinang-linang ia berkata, "Aku ditotok dan aku tidak bisa melawan ... "
Pada detik itu juga Bu Kie sudah mengambil keputusan. Ia memeluk Cie Jiak dan berkata dengan suara halus. "Cie Jiak, itu semua bukan salahmu. Sesudah beras menjadi bubur, jengkelpun tiada gunanya. Cie Jiak karena penderitaanmu itu, aku lebih mencintai kau, aku lebih merasa kasihan terhadapmu. Besok kita berangkat ke Hway see dan mengumumkan kepada saudara-saudara agamaku, bahwa kita akan segera menikah. Mengenai anak dalam kandunganmu, anggap saja, bahwa anak itu adalah anakku sendiri. Cie Jiak, bagiku kau masih tetap suci, kau tetap putih bersih, karena segala kejadian itu adalah diluar kemauanmu."
"Perlu apa kau menghibur aku" Aku sudah ternoda. Mana bisa aku menjadi hu jin (isteri) dari seorang Kauwcu?"
"Cie Jiak, dengan berkata begitu kau memandang rendah kepadaku Thio Bu Kie seorang laki-laki tulen. Pemandanganku berlainan dengan pemandangan orang biasa. Andai kata, karena khilaf, kau terpeleset dan jatuh, aku masih bisa melupakan segala kesalahanmu. Apalagi dalam hal ini, dimana bencana sudah datang diluar keinginanmu?"
Bukan main rasa berterima kasihnya Cie Jiak. "Bu Kie Koko," katanya, "apa benar kau begitu mulia"
Kukuatir kau menjustai aku."
"Kecintaanku ... kebaikanku terhadapmu, kau akan tahu dihari kemudian. Pada hakekatnya, sekarang ini aku belum berbuat baik terhadapmu."
Si nona menangis makin sedih. "Bu Kie Ko ko ... " bisiknya, "gugurkan saja kandungan ku dengan menggunakan obat ... "
"Tidak boleh!" kata Bu Kie. "Menggugurkan kandungan adalah perbuatan berdosa. Selain begitu, hal itu bisa menusuk kesehatan badanmu." Waktu berkata begitu, di dalam hatinya tiba-tiba muncul perasaan sangsi. Cie Jiak berada dalam tangan Kay pang hanya kira-kira sebulan lamanya. Apa bisa jadi dia sudah hamil" Diam diam ia memegang nadi tunangannya. Tidak! Ia tidak mendapatkan tanda-tanda kehamilan.
Tapi ia tidak mau menanya lebih terang, Ia mahir dalam ilmu ketabiban, tapi kepandaian itu terbatas dalam bidang luka-luka dan penyakit karena keracunan. Dalam penyakit kalangan wanita, ia tak punya banyak pengetahuan.
"Kalau anak ini perempuan masih tak apa," kata pula CieJiak. "Tapi kalau lelaki... Jika di hari kemudian kau menjadi hong tee (kaisar ) apakah dia harus menjadi tay cu ( putera mahkota )" Ah! ...
sebaiknya, digugurkan saja untuk menghilangkan bibit penyakit."
"Cie Jiak," kata Bu Kie dengan suara kaku, "perkataan hong tee kuharap jangan disebut-sebut lagi.
Aku seorang anak kampungan. Sedikitpun aku belum pernah mimpi, belum pernah mempunyai keinginan uutuk naik ditahta kerajaan. Apabila perkataanmu didengar oleh saudara-saudara kita mereka akan anggap aku sebagai manusia yang mengejar kekuasaan dan hati mereka akan menjadi dingin".
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Aku bukan mau paksa kau menjadi hongtee. Tapi kalau sudah takdir, biarpun mau menolak" Kau memperlakukan aku secara begitu mulia. Aku harus berusaha untuk membalasnya. Ciu Cie Jiak seorang wanita lemah, tapi kalau ada kesempatan mungkin sekali aku masih bisa memberi sedikit bantuan supaya kau menjadi kaisar. Ayahku gagal dalam usahanya dan menemui kebinasaan. Dahulu aku menjadi kong cu ( puteri seorang kaisar ). Siapa tahu di hari nanti aku akan menjadi seorang hong houw (permaisuri)?"
Mendengar perkataan yang sungguh-sungguh itu Bu Kie jadi tertawa. "Cie Jiak," katanya, "kemuliaan seorang hong houw belum tentu bisa menandingi kemuliaan Tiangbunjin dari Go bie pay. Sudahlah, hauw Nio-nio! Hamba mohon Hong houw Nio-nio sudi beristirahat!"
Awan kedukaan lantas saja membuyar dan sambil tertawa, kedua orang muda itu mengakhiri pembicaraan mereka.
Pada keesokan paginya, sesudah membuka jalan darah pelayan yang mengaso dikolong ranjang, Bu Kie meminta Pheng Eng Giok berdiam dikota raja tiga hari lagi untuk mendengar-dengar Cia Sun, sedang dia sendiri bersama Cie Jiak dan Han Lim Jie lalu berangkat ke-Hway see.
Perjalanan mereka tidak menemui rintangan. Setibanya didaerah Shoatang mereka sudah bisa menyaksikao kekalahan tenlara Mongol yang terus mundur dengan kerusakan besar. Sedapat mungkin Bu Kie bertiga menyingkir dari kelompok-kelompok musuh yang besar jumlahnya dengan mengambil jalan kecil. Belakangan mereka bertemu dengan seorang serdadu Goan yang kasar dan lalu membekuknya.
Dari serdadu itu, mereka mengetahui, bahwa Han San Tong dengan beruntun mendapat beberapa kemenangan besar dan berhasil merebut beberapa tempat yang penting. Mereka sangat girang dan meneruskan perjalanan secepat mungkin.
Mulai perbatasan Soatang Anhui kekuasaan sudah berada dalam tangan tentara rakyat Beng Kauw.
Diantara tentara itu ada yang mengenal Han Lim Jie dan dia buru-buru melaporkan kepada Goan swee hu (gedung panglima besar). Maka itulah pada waktu Bu Kie bertiga masih berada dalam jarak tigapuluh li dari kota Hauwcu, mereka sudah dipapak oleh Han San Tong yang mengajak Cu Goan Ciang, Cie Tat, Siang Gie Cun, Teng Jie Thong Ho dan lain-lain panglima. Pertemuan itu sudah tentu sangat menggirangkan semua orang.
Sesudah Han San Tong mempersembahkan secawan arak kepada Bu Kie dengan diiringi tetabuhan perang dan sepasukan tentara yang mengenakan pakaian perang mentereng serta bersenjata lengkap, rombongan itu masuk kedalam kota Hauwcu. Dengan menunggang kuda, Cie Jiak mengikuti dibelakang Bu Kie. Di sepanjang jalan ia menengok ke kanan dan ke kiri dengan perasaan bangga. Meskipun belum menyamai arak-arakan Hong tee dan Hong hauw dikota raja, iring-iringan itu sudah cukup memuaskan hatinya.
Setibanya dikota, safu demi satu para jenderal dan perwira menghadap dan memberi hormat kepada Bu Kie. Malam itu diadakan pesta besar. Mendengar puteranya ditolong oleh sang Kauwcu sekali lagi secara resmi Han San Tong menghaturkan terima kasih.
Selama beberapa hari dengan beruntun datanglah Yoe Siauw, Hoan Yauw, In Thian Ceng, In Ya Ong, Tiat koan Hujin Swee Poet Tek, Ciu thian, kelima Ciang kie su dari Ngo-heng-kie dan lain-lain pemimpin Beng kauw. Mereka datang dari pelbagai tempat sebab mendengar warta tentang itu. Beberapa hari itu tak putus-putusnya diadakan pesta-pesta untuk menyambut para pemimpin itu. Lewat beberapa hari lagi tibalah Ceng ek Hok ong Wie It Siauw dan Pheng Eng Giok.
Kepada Bu Kie Pheng Hweeshio melaporkan bahwa ia sama sekali tak mendengar sesuatu tentang Cia Sun.
Waktu mendapat gilirannya, Wie It Siauw berkata, "Selagi berkelana di Hopak, aku bertemu dengan Ciang pang Liong tauw yang sedang menjalankan tugas kurang baik bagi agama kita. Aku lagi guyon-guyon dengannya. Waktu itu aku belum tahu, bahwa Cia Heng sudah kembali di Tiong goan. Kalau tahu aku pasti akan menyelidiki di kalangan Kay pang karena sangat mungkin Cia heng jatuh di tangan mereka." Bu Kie segera memberitahu bahwa Cia Sun memang pernah ditangkap oleh Kay pang tapi kemudian bisa melarikan diri. Iapun menuturkan segala pengalamannya dalam usaha mencari ayah angkatnya itu.
Hoan Yauw dan In Thian Cheng adalah orang-orang yang berakal budi, tapi merekapun tak bisa menembus kabut yang meliputi hilangnya Kim mo Sai ong.
"Kita masih belum bisa meraba asal-usul nona baju kuning itu," kata Hoan Yauw.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Kalau kita mengusut dari nona itu, mungkin sekali kita akan berhasil dalam usaha mencari Ceng heng.
Tapi siapakah yang menaruh tanda-tanda obor dari Louw Liong Kauwcu mengejar sampai di Louw liong lagi?" tanya In Thian Cheng. "Bisa jadi orang itu mempunyai hubungan yang sangat erat dengan hilangnya Cia heng."
Diantara pemimpin-pemimpin Tjeng Kauw terdapat banyak yang berpengalaman luas. Tapi tidak seorangpun yang bisa menebak siapa adanya si baju kuning. Mereka hanya bisa membujuk Bu Kie dengan mengatakan bahwa ditinjau dari sepak-terjangnya si baju kuning sama sekali tidak mengandung niat kurang baik.
Bu Kie pun tidak berdaya. Ia hanya bisa memerintahkan sejumlah anggota Ngo heng kie pergi ke berbagai tempat untuk mengadakan penyelidikan.
Dalam beberapa perternpuran, biarpun mendapat kemenangan, tentara Beng kauw menderita juga kerusakan yang tidak kecil. Maka itu mereka memerlukan waktu dua tiga bulan untuk memperbaiki apa yang rusak, mengumpulkan serdadu baru dan mengaso.
Sebagaimana diketahui, pada malam itu Pheng Eng Giok turut menyaksikan percobaan membunuh diri dari Ciu Cie Jiak. Meskipun tak tahu latar belakangnya, ia mengerti, bahwa diantara pemuda dan pemudi yang sedang bercintaan memang sering terjadi gelombang atau ribut-ribut, Disamping itu, HoanYauw dan beberapa orang lain juga tahu adanya perhubungan yang agak luar biasa diantara Bu Kie dan Tio beng.
Apabila Kauwcu mereka sampai menikah dengan seorang puteri Mongol, maka kejadian ini sudah tentu akan memberi akibat buruk bagi usaha menggulingkan pemerintahan Goan. Maka itulah, sesudah berdamai, mereka menarik kesimpulan, bahwa jalan yang paling baik adalah membujuk Bu Kie supaya melangsungkan upacara pernikahan dengan Cie Jiak secepat mungkin. Mereka menganggap bahwa sekarang adalah waktu yang paling tepat, karena peperangan justeru sedang ditunda.
Waktu mereka mengajukan usul, Bu Kie lantas saja mengiakan. In Thian Ceng lantas saja mencari hari dan segera ditetapkan, bahwa hari pernikahan Bu Kie dan Cie Jiak jatuh pada Sha gwee Cap-go (Bulan tiga tanggal 15).
Tak usah dikatakan lagi, seluruh anggota Beng kauw bergirang dan repot mempersiapkan segala sesuatu untuk pesta pernikahan itu.
Pada waktu itu nama Beng kauw telah menggetarkan seluruh Tiongkok. Disebelah timur, Han San Tong menduduki kota-kota penting di wilayah Hway-see. Disebelah barat, Cie Cun Hui telah mengalahkan tentera Mongol dalam pertempuran-pertempuran di sebelah utara Ouwpak dan selatan Holam. Maka itulah, begitu lekas warta tentang pernikahan Thio Kauw cu disiarkan, segera orang-orang gagah dari Rimba persilatan mulai datang - kian lama makin banyak, sehingga seolah-olah melimpahnya air banjir. Kun lun pay, Kong tong pay dan beberapa partai lain, yang dikenal sebagai partai lurus hati, sebenarnya tidak begitu akur dengan Beng kauw. Tetapi sesudah tokoh-tokohnya ditolong Bu Kie di Bin hoat sie, partai-partai tersebut rata-rata berhutang budi.
Bentrok Rimba Persilatan 10 Si Dungu Karya Chung Sin Kedele Maut 10
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama