Ceritasilat Novel Online

Kisah Membunuh Naga 37

Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong Bagian 37


Disamping itu, Ciu Cie Jiak adalah Ciangbunjin dari Go-bie-pay yang mempunyai kedudukan tinggi dalam Rimba Persilatan. Walau pun tidak datang sendiri, para ciang-bun-jin partai-partai itu mengirim wakil ke Hauw ciu untuk membawa barang antaran. Thio Sam hong sendiri tidak bisa datang. Sebagai bingkisan, orang tua itu menulis empat huruf "Kee-jie-,Kee-hu," (Suami isteri yang baik ) diatas selembar sutera. Sutera itu bersama jilid kitab Thay Kek-kun yang ditulis sendiri, diserahkan kepada Song Wan Kiauw. Jie Lian Ciu dan In Lie Heng yang juga mendapat tugas untuk pergi ke Hauw cu guna memberi selamat dan doa restu kepada sepasang mempelai itu. Waktu itu Yo Poet Hwie sudah menikah dengan In Lie Heng dan ia mengikut ke Hauwciu, begitu bertemu, dengan girang Bu Kie berseru, "Lok-Su-cim!"
Muka Yo Poet Hwie lantas saja berubah merah. Ia menarik tangan Bu Kie dan lalu menuturkan segala pengalamannya semenjak meraka berpisahan. Ia girang tercampur terharu.
Sebab kuatir Tan Yoe Liang dan Song Ceng Su menggunakan kesempatan itu untuk mencelakai Thay supeknya, maka Bu Kie lalu memerintahkan Wie It Siauw pergi ke Bu-tong san sebagai wakilnya untuk menghaturkan terima kasih kepada Thio Sam Hong.
Kepada Ceng ek Hok ong, Bu Kie menceritakan sapak terjang Song Ceng Su yang sudah membinasakan Boh Seng Kok dan berniat untuk mencelakai Thio Sam Hong. Ia memesan, supaya sesudah bertemu dengan Thio Sam Hong, Wie It Siauw harus menemani Jie Thay Giam dan Thio Siong Kee untuk
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
berjaga-jaga terhadap tipu muslihat Tan Yoe Liang. Sesudah Song Wan Kjuuw bertiga kembali di Bu tong san, barulah Wie It Siauw pulang.
Mendengar penuturan itu, paras muka Ceng ek Hok ong berubah merah padam. "Atas nasihat Kauwcu, Wie It Siauw tidak berani mengisap lagi darah manusia," katanya dengan suara gusar. "Tapi jika bertemu dengan kedua penjahat itu, aku pasti akan mengisap habis darah mereka."
"Terhadap Tan Yoe Liang, Wie heng boleh berbuat sesuka hati," kata Bu Kie. "Tapi Song Ceng Su adalah putera tunggal Song Toasupeh dan ia selalu dianggap sebagai calon ciangbunjin dari Bu tong pay.
Kalau dia berdosa, biarlah Bu tong pay sendiri yang menghukumnya. Dengan memandang muka Song Toa supeh, Wie heng tidak boleh melanggar selembar rambutpun." Wie It Siauw mengiakan dan segera berpamitan.
Pada Sha gwee Ceecap ( bulan tiga tanggal sepuluh ), sejumlah murid wanita Go-bie tiba di Hauwciu dengan membawa antaran. Teng Bin Kun sendiri tidak muncul.
Lima hari kemudian tibalah hari pernikahan. Pagi-pagi sekali orang sudah berdandan dan mengenakan pakaian yang sebaik-baiknya. Upacara sembahyang kepada Bumi dan Langit itu segera akan dilakukan di gedung hartawan terkaya di kota Hauwciu, Gedung itu dihias seindah-indahnya. Yang menjadi cu hun (yang memegang peranan orang tua) pengantin lelaki adalah In Thian Ceng, sedang Siang Gie Cun menjadi cu hun pengantin perempuan. Tiat koan Toojin mendapat tugas untuk menjaga keselamatan kota Hauw ciu selama pesta. Guna menjaga merembasnya musuh, dia harus mengatur penjagaan diseluruh kota yang dilakukan oleh sejumlah murid Beng kauw pilihan. Diluar kota dijaga oleh Tong Ho yang memimpin satu pasukan tentara. Pagi itu sebagai tamu terakhir datang wakil-wakil Siauw Lim pay dan Hwa san yang membawa barang antaran.
(Begitu tiba waktu Sia sie ( antara jam tiga dan lima sore ), terdengarlah bunyi meriam sebagai tanda dimulainya upacara pernikahan.
Yo Siauw dan Hoan Yauw mengundang semua tamu masuk di toa-thia ( ruangan besar). Tak lama kemudian, diapit oleh In Lie Heng dan Han Lim Jie, Bu Kie keluar dengan diiring suara tetabuhan dan hampir berbareng, Cie Jiak juga masuk ke ruangan upacara dengan dikawani oleh delapan murid wanita Go bie. Kedua mempelai lantas saja berdiri berendeng.
"Sembahyang kepada langit!" teriak pemimpin upacara.
Baru saja Bu Kie dan Cie Jiak mau berlutut tiba-tiba diluar pintu terdengar bentakan yang merdu,
"Tahan !" Di lain detik, seorang wanita yang mengenakan pakaian hijau muda sudah berdiri ditengah-tengah ruangan. Wanita itu bukan lain daripada Tio Beng.
Kejadian yang tidak diduga-duga itu mengejutkan semua orang. Tokoh-tokoh Beng kauw dan berbagai partai persilatan yang sudah kenyang makan asam garam dunia Kang ouw, tidak pernah mimpi, bahwa Tio Beng berani datang seorang diri ke tempat ini. Beberapa orang yang beradat berangasan lantas saja bergerak untuk menyerang.
"Tahan dulu!" bentak Yo Siauw. Sambil menyoja para tamu, ia berkata pula. "Hari ini adalah hari paling beruntung dari Kauwcu kami dan Ciangbunjin Go bie-pay. Tio-Kouwnio datang berkunjung dan beliau adalah tamu kami. Dengan memandang muka Go-bie-pay dan Beng kauw, kami mohon kalian suka melupakan ganjalan lama untuk sementara waktu jangan melakukan sesuatu yang tidak pantas terhadap Tio Kouwnio." Sehabis berkata begitu, ia memberi isyarat kepada Swee Poet Tek dan Pheng Eng Giok dengan kedipan mata. Kedua kawan itu mengerti maksudnya. Mereka segera meninggalkan ruangan itu dan menyelidiki jumlah jago-jago yang mungkin dibawa Tio Beng.
"Tio Kouwnio, kau duduklah sambil menyaksikan pernikahan," kata Yo Siauw pula. "Sesudah upacara, kami akan mengundang Tio-Kouwnio untuk turut minum arak kegirangan."
Tio Beng tersenyum. "Aku hanya ingin bicara beberapa patah dengan Thio Kauwcu," katanya.
"Sehabis bicara, aku akan segera berlalu."
"Sesudah upacara, nona boleh bicara." kata Yo Siauw.
"Sesudah upacara, sudah terlambat." jawabnya.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Yo Siauw dan Hoan Yauw saling mengawasi. Mereka mengerti, bahwa Tio Beng sengaja datang untuk mengacau dan biar bagaimana pun jua, mereka harus mencegah, supaya pesta itu tidak menjadi gagal. Yo Siauw lantas saja maju dua tindak. "Tio Kouwnio," katanya dengan suara menyeramkan. "Sebagai tuan rumah kami tidak ingin bertindak secara melanggar kepantasan dan kami mengharap, bahwa sebagai tamu, Tio Kouwnio juga bisa menghormati diri sendiri." Ia telah mengambil keputusan, bahwa jika Tio Beng rewel, ia akan menotok jalan darahnya.
Si nona menengok kepada Hoan Yauw dan berkata, "Kauw Taysu orang mau turun tangan terhadapku.
Apa kau tak menolong ?"
"Kuncu," kata bekas orang sebawahan itu. "Di dalam dunia sering terjadi kejadian yang tak cocok dengan kemauan kita. Dalam hal ini kuharap Kuncu tak memaksakan sesuatu yang tak bisa dipaksakan lagi."
Si nona tertawa manis. "Tapi aku mau paksa juga," katanya. Ia berpaling kearah Bu Kie dan berkata pula. "Thio Bu Kie, kau adalah pemimpin Beng kauw. Sekarang aku mau tanya. Apakah perkataan seorang lelaki sejati tetap dipertahankan atau tidak?"
Begitu Tio Beng muncul, Bu Kie sangat berkuatir. Ia hanya berdoa supaya Yo Siauw berhasil membujuknya supaya dia lantas berlalu. Mendengar pertanyaan itu jantungnya memukul keras. Ia tak dapat menjawab lain dari pada "Tetap dipertahankan."
"Hari itu," kata Tio Beng, ketika aku menolong jiwa In Lioksiokmu, kau telah berjanji akan melakukan, tiga rupa pekerjaan untukku. Bukankah benar begitu?"
"Benar. Kau ingin pinjam lihat To liong to. Kau bukan saja sudah melihat, kau bahkan sudah mencuri golok mustika itu."
Selama beberapa puluh tahun jago-jago Kangouw gagal dalam usaha mencari golok mustika itu. Maka itu, begitu mendengar bahwa To liong to sudah jatuh ke tangan Tio Beng, mereka lantas saja menjadi gempar.
"Dimana adanya To liong to hanya diketahui oleh Kim mo Say ong Cia Taihiap," kata Tio Beng. "Kau boleh tanya ayah angkatmu sendiri
Kembalinya Cia Sun ke Tionggoan belum diketahui oleh banyak orang. Keterangan Tio Beng sangat mengejutkan dan suara ramai-ramai lantas saja berhenti.
"Siang malam aku memikiri dimana adanya Giehu," kata Bu Kie. "Jika kau tahu, aku mohon kau sudi memberitahukan kepadaku."
Si nona tertawa. '"Kau sudah berjanji akan melakukan tiga pekerjaan, asal saja tidak bertentangan dengan kesatriaan dalam Rimba Persilatan," katanya. "Mengenai permintaan untuk pinjam lihat To liong to dapat dikatakan sudah dipenuhi olehmu. Walaupun golok itu belakangan hilang, aku tak bisa mempersalahkan kau. Sekarang permintaanku yang kedua. Thio Bu Kie di hadapan para orang gagah kau tidak boleh hilang kepercayaan."
"Pekerjaan apa yang harus aku lakukan?" tanya Bu Kie.
"Tio Kouwnio," sela Yo Siauw. "Mengenai janji Kauwcu kami yang bersyarat itu, bukan saja Kauwcu kami sendiri saja, tapi juga seluruh anggauta Bengkauw turut memikul tanggungan untuk menunaikannya. Tapi sekarang adalah saat yang sangat penting, saat bersembahyang kepada langit dan bumi dari Kauwcu kami dengan pengantinnya. Maka itu, aku harap soal ini ditunda untuk sementara waktu dan janganlah Kouwnio merintangi upacara yang sedang berlangsung." Kata-kata yang terakhir itu diucapkan dengan nada keras.
Tapi Tio Beng tenang-tenang saja. Ia seolah-olah tidak memandang sebelah mata kepada Kong beng Co su yang tersohor, "Pekerjaan yang aku ingin berikan kepada Kauwcu-mu terlebih penting lagi dan tidak boleh ditunda," katanya dengan suara ogah-ogahan. Tiba-tiba ia maju beberapa tindak dan berbisik di kuping Bu Kie "Permintaanku yang kedua ialah hari ini kau tak boleh menikah dengan Ciu Kouwnio !"
BuKie tertegun. "Apa?" ia menegas.
"Itulah pekerjaanmu yang kedua," jawabnya "Yang ketiga aku akan berikan belakangan."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Biarpun bisik-bisik, setiap perkataan nona Tio didengar tegas oleh Cie Jiak, Song Wan Kiauw, In Lie Heng dan delapan murid Go bie yang mengiring pengantin perempuan. Mereka semua terkejut dan paras muka mereka lantas saja berubah. Kedelapan murid Go-bie itu lantas saja siap sedia untuk menyerang, jika nona Tio berani menghina Ciang bun-jin mereka.
"Permintaanmu tidak bisa diturut olehku,'' kata Bu Kie. "Kuharap kau suka memaafkan."
"Apa kau mau membatalkan janjimu sendiri?"
"Aku berjanji akan melakukan tiga pekerjaan yang diminta olehmu asal saja pekerjaan itu tidak melanggar "hiap gie". Aku dan Ciu Kouwnio telah setuju untuk menjadi suami istri. Apabila aku menurut kemauanmu, maka aku melanggar "gie?".
Tio Beng tertawa dingin, "Kalau kau menikah dengan dia, berarti kau melakukan perbuatan "put-hauw put-gie", katanya. "Pada waktu arak-arakan di Hong-shia, apakah kau tidak lihat gambaran cara bagaimana ayah angkatmu diakali orang?"
Bu Kie meluap darahnya, "Tio Kouwnio!" bentaknya. "Hari ini aku menghormati kau dan mengalah terhadapmu karena kau adalah tamuku. Tapi kalau kau terus ngaco-belo, janganlah kau salahkan aku."
Si nona tidak menggubris ancaman itu, "Apa benar kau tidak mau melakukan pekerjaan kedua itu?"
tanyanya dengan suara tenang.
Bu Kie adalah orang yang berhati lemah. Tiba-tiba saja ia ingat bahwa sebagai seorang kuncu yang mempunyai kedudukan tinggai, Tio Beng rela memperlihatkan muka sendiri dan meminta ia membatalkan pernikahan. Hal ini pada hakikatnya merupakan satu bukti dari rasa cinta yang tak terbalas.
Mengingat itu tanpa terasa ia berkata dengan suara lemah lembut.
"Tio Kouwnio"urusan sudah jadi begini"kau mundurlah. Thio Bu Kie adalah seorang anak kampong. Bagaimana cara"bagaimana cara"," ia tidak dapat meneruskan perkataannya.
"Baiklah," kata si nona, "Tapi lihat! Apa ini?" Ia membuka tangan kanannya dan menyodorkannya ke hadapan Bu Kie. Begitu melihat, Bu Kie terkejut. Dengan badan gemetaran ia berkata dengan suara terputus-putus, "Ah!...ini"."
Tio Beng buru-buru menutup lagi telapak tangannya dan memasukkan benda itu ke dalam sakunya.
"Sekarang, terserah kepada kau, apa kau suka melakukan pekerjaan kedua itu atau tidak," katanya seraya memuta badan dan berjalan keluar.
Benda apa yang dilihat Bu Kie dan mengapa ia begitu kaget, tidak diketahui oleh orang lain. Cie Jiak sendiri yang berdiri berendeng tidak bisa melihatnya karena mukanya terhalang sutra merah.
"Kalau kau mau, kau boleh ikut aku," kata Tio Beng sambil terus berjalan.
"Tio Kouwnio!...tunggu dulu"segala hal dapat didamaikan."
Tapi si nona tidak meladeni.
Tiba-tiba Bu Kie memburu. "Baiklah!" teriaknya. "Aku setuju untuk menunda pernikahan!"
Tio Beng menghentikan langkahnya.
"Kalau begitu ikut aku!" katanya.
Bu Kie maju dua langkah dan berhenti lagi. Ia menengok ke arah Cie Jiak dan mengawasi nona Ciu dengan sorot mata menyesal dan meminta maaf. Ia kelihatannya seperti mau memberi penjelasan tapi Tio Beng sudah berjalan keluar dengan langkah lebar. Keadaan sangat mendesak dan ia harus mengambil keputusan cepat. Di lain detik sambil menggertak gigi ia mengejar Tio Beng.
Baru saja ia memburu sampai di ambang pintu, disampingnya mendadak berkelabat bayangan merah dan orang lain sudah menerjang Tio Beng dari belakang. Hampir bersamaan dari bawah tangan baju yang berwarna merah menyambar lima jari tangan ke batok kepala si nona Tio. Serangan itu adalah serangan yang membinasakan yang dikirim secepat kilat. Yang menyerang tidak lain adalah pengantin perempuan.
"Sungguh hebat! Dari mana Cie Jiak mendapat pukulan itu?" pikir Bu Kie.
Biarpun sudah mempelajari macam-macam ilmu silat, Tio Beng tidak berdaya lagi. Pada detik yang sangat berbahaya tanpa berpikir lagi Bu Kie melompat dan meraih pergelangan tangan Cie Jiak. Nona Ciu menyikut dengan sikut kirinya. "Duk!", sikut it mampir tepat di dada Bu Kie. Walaupun dilindungi KioeKoleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
yang Sin-kang, Bu Kie terhuyung dan darahnya bergolak, sebab tenaga benturan itu bukan main kuatnya.
Melihat pemimpinnya menghadapi bahaya, Hoan Yauw melompat dan mendorong pundak Cie Jiak.
Dengan gerakan luar biasa si nona ngebut pergelangan tangan Hoan Yauw dengan jari-jari tangannya dan segera Hoan Yauw separuh badannya merasa kesemutan sehingga ia tidak bisa menyerang lagi.
Dengan adanya rintangan itu, Tio Beng sudah maju setengah langkah sehingga batok kepalanya lolos dari pukulan. Tiba-tiba ia merasakan sakit hebat karena lima jari tangan Cie Jiak sudah menancap di pundak kanannya di dekat leher.
Sambil mengeluarkan teriakan kaget, Bu Kie mendorong calon istrinya. Dengan telapak tangan kiri Cie Jiak membabat pergelangan tangan Bu Kie dan kemudian dengan tubuh tidak bergerak ia mengirim pukulan berantai, semuanya delapan pukulan. Mau tak mau Bu Kie melindungi diri dengan Kian-kun Tay lo-ie.
Semua kejadian itu sudah terjadi dalam sekejap mata, seluruh ruangan pesta sunyi senyap dan jago-jago Rimba Persilatan menyaksikannya. Sambil menahan nafas Tio Beng roboh dan darah mengucur dari lima lubang di pundaknya.
Dilain saat Cie Jiak menghentikan serangannya. "Thio Bu Kie!" bentaknya, "Sekarang kau benar-benar sudah mabuk oleh perempuan siluman itu dan kau menyia-nyiakan aku!"
"Cie Jiak!" kata Bu Kie dengan suara memohon, "Kuharap kau bisa membayangkan penderitaanku.
Menikah dengan kau sedikitpun Thio Bu Kie tidak merasa menyesal. Aku hanya mohon supaya pernikahan ini ditangguhkan untuk sementara waktu."
"Sesudah pergi, kau jangan kembali lagi," kata Cie Jiak dengan suara dingin.
Sementara itu Tio Beng sudah bangun berdiri. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia berjalan keluar dengan darah mengucur di pundaknya.
Orang-orang gagah yang hadir di situ sudah kenyang menyaksikan kejadian-kejadian luar biasa dalam dunia ini, tapi peristiwa berdarah semacam itu, saat dua jago perempuan berebut suami adalah pengalaman yang pertama kali.
Tiba-tiba Bu Kie membanting sebelah kakinya, "Cie Jiak!" katanya dengan suara parau. "Budi Giehu terhadapku besar bagaikan gunung"kecintaannya mendalam seperti lautan"Oh Cie Jiak! Kuharap kau mengerti perasaanku"." Sehabis berkata begitu ia menguber Tio Beng. In Thian-Ceng, Yo Siauw, Song wan Siauw Song Wang Kiauw In Lie Heng dan lain-lain yang tak tahu latar belakang kejadian itu tidak berani bergerak.
Saat semua orang kebingungan, tiba-tiba Cie Jiak merobek sutra merah yang menutup kepalanya.
"Tuan-tuan, lihatlah!" teriaknya dengan suara nyaring. "Dia sudah mengkhianati aku. Mulai hari ini, Ciu Cie Jiak dan orang she Thio itu putus hubungan." Seraya berkata begitu, ia mengangkat cu koa dari kepalanya, mencengkeram segenggam mutiara dan melemparkan cu khoa itu, kemudian sambil menggertakkan gigi dengan kedua tangannya ia meremas mutiara itu menjadi hancur seperti tepung dan jatuh ke lantai. "Jika aku tidak bisa mencuci hinaan di hari ini, biarlah badanku hancur seperti mutiara ini!" katanya dengan bernafsu. (Cu koa topi perhiasan bertata mutiara) Baru saja In Thian Ceng dan lain-lain mau mencoba membujuk supaya ia bersabar dan menunggu kembalinya Bu Kie yang tentu akan memberi penjelasan, Cie Jiak sudah merobek pakaian pengantinnya dan melontarkannya ke lantai, kemudian dengan gerakan yang indah ia melompat ke atas genteng. In Thian Ceng dan kawan-kawannya mengejar tapi si nona sudah lari jauh ke arah Timur. Semua orang merasa kagum karena ilmu ringan tubuh Cie Jiak ternyata tak berada di bawah Ceng ek Hok ong Wie It Siauw. Karena tak sanggup mengejar, Yo Siauw dan yang lainnya terpaksa kembali ke toathia.
Demikianlah karena pengacauan Tio Beng, pesta yang meriah itu berakhir secara menyedihkan dan memalukan Beng Kauw. Para tamu yang datang dari jauh tentu saja merasa kecewa dan mereka mencoba menebak benda apa yang diperlihatkan Tio Beng kepada Bu Kie. Dari perkataan Bu Kie, mereka menebak bahwa benda itu tentu mempunyai hubungan dengan Cia Sun tapi tak seorangpun bisa menebak tepat teka-teki itu.
Sesudah berdamai, delapan murid Go Bie segera berpamitan. In Thian Ceng menghaturkan maaf dan mengatakan bahwa ia akan membawa Bu Kie ke puncak Go Bie untuk sekali lagi minta maaf dan kemudaian melangsungkan upacara pernikahan yang tertunda itu. Ia menyatakan harapannya agar
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
persahabatan antara Go Bie pay dan Beng Kauw tak menjadi terganggu. Para murid Go Bie memberi jawaban samar-samar yang penuh rasa dongkol dan mereka segera pergi untuk mencari Cie Jiak.
Benda apakah yang diperlihatkan Tio Beng kepada Bu Kie"
Benda itu adalah rambut manusia yang berwarna kuning emas. Begitu melihat Bu Kie segera mengenali bahwa rambut itu adalah rambut ayah angkatnya. Warna kuning rambut itu berbeda dari warna kuning orang asing adalah akibat dari latihan Lweekang yang luar biasa. Dapatlah dimengerti bahwa begitu melihat rambut tersebut Bu Kie segera menarik kesimpulan bahwa ayah angkatnya jatuh ke tangan Tio Beng atau setidak-tidaknya si nona tahu di mana adanya sang Giehu.
Kecintaan Bu Kie terhadap Cia Sun tak berbeda dari kecintaan seorang putra kandung terhadap ayah kandungnya sendiri. Baginya di dalam dunia ini tak ada hal yang lebih penting daripada keselamatan orang tua itu. Ia kuatir bahwa jika ia melangsungkan upacara pernikahan dengan Cie Jiak, dalam kegusarannya Tio Beng sgera membunuh atau menyakiti Giehunya. Di hadapan para tamu ia tak bisa memberi penjelasan yang jelas. Di antara tamu-tamu itu kecuali orang-orang Beng Kauw dan Bu Tong pay sebagian besar ingin mencari Cia Sun baik untuk membalas sakit hati maupun untuk merebut To Liong To. Maka itu ia merasa sangat berdosa terhadap Cie Jiak demi keselamatan sang ayah angkat, ia tak dapat berbuat lain daripada menyusul Tio Beng.
Begitu keluar dari gedung pesta, ia lihat Tio Beng lari-lari dengan darah menetes di sepanjang jalan. Ia mengempos tenaga dan mempercepat langkahnya. Beberapa saat kemudian ia menghadang di depan si nona. "Tio Kauwnio," katanya, "Janganlah kau memaksa aku untuk menjadi manusia tak berbudi yang akan di tertawai oleh segenap orang gagah."
Tio Beng terluka sangat berat. Dengan memusatkan seluruh tenaganya, ia bisa juga mempertahankan diri. Begitulah melihat Bu Kie ia berkata dengan suara parau. "Kau!...kau?" Karena mengeluarkan suara, pemusatan tenaganya buyar dan sesaat itu juga, ia jatuh terguling.
Bu Kie membungkuk dan bertanya, "Di mana Giehu-ku?"
"Bawalah aku untuk menolongnya," jawab si nona, "Aku akan menunjuk jalan."
"Apa jiwanya terancam?" tanya Bu Kie pula.
"Giehu-mu"dia"jatuh ke tangan Seng Kun!...," jawabnya.
Mendengar nama Seng Kun, hati Bu Kie mencelos. Ia sudah tahu bahwa dalam pertempuran di Kong Beng teng, manusia jahat itu hanya berlagak mati. Manusia itu berkepandaian tinggi dan banyak akalnya.
Dengan ayah angkatnya, ia mempunyai permusuhan hebat. Jika sang Giehu jatuh ke dalam tangannya, dapatlah dibayangkan betapa hebatnya bahaya yang mengancam jiwa orang tua itu.
"Seorang diri, kau tak"tak"akan bisa menolong," kata Tio Beng pula, "Panggillah Yo Siauw"dan"yang lain-lain"." Seraya berkata begitu, ia menuding ke jurusan Barat. Tiba-tiba kepalanya terkulai dan ia pingsan.
Hati Bu Kie seperti dibakar. Dengan tergesa-gesa ia merobek tangan bajunya yang lalu digunakan untuk membalut luka si nona Tio. Sesudah itu ia menggapai seorang anggota Beng Kauw yang kebetulan lewat dijalanan itu. "Lekas kau beritahukan kepada Yo Co-su bahwa dengan membawa sejumlah pembantu, ia harus segera menyusul aku ke jurusan barat," pesannya. "Ada tugas sangat penting yang perlu dikerjakan segera." Orang itu membungkuk dan segera berlalu dengan berlari-lari untuk menyampaikan pesan tersebut.
Sedikitpun Bu Kie tidak mau membuang-buang waktu. Dengan mendukung Tio Beng itu ia segera lari ke pintu kota dan minta segera disediakan seekor kuda pilihan. Perwira yang menjaga pintu tidak berani membangkang dan begitu kuda dituntun keluar, Bu Kie segera melompat ke punggungnya dan mengaburkan ke jurusan barat.
Sesudah melalu belasan lie, tiba-tiba Bu Kie merasa bahwa badan Tio Beng yang didukungnya makin lama menjadi semakin dingin, ia memegang nadinya yang ternyata sudah lemah. Ia kaget dan segera memeriksa luka si nona. Dengan hati mencelos ia lihat lima lubang yang sudah warna ungu hitam, suatu tanda bahwa nona Tio kena racun yang sangat hebat. Sebagai murid Go Bie, bagaimana Cie Jiak bisa memiliki ilmu yang begitu beracun?" tanyanya di dalam hati. "Pukulannya yang hebat luar biasa bahkan lebih hebat daripada Biat Coat Suthay sendiri. Sungguh mengherankan." Ia tahu bahwa jika tidak segera
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
mendapat pertolongan, Tio Beng akan binasa. Tapi ia sendiri tidak membawa obat pemunah racun.
Sesudah berpikir beberapa saat, ia melompat turun dari punggung kuda dan dengan mendukung si nona, ia segera mendaki sebuah gunung yang terletak di sebelah kiri. Sambil memanjat dai memperhatikan rumput-rumput untuk mencari daun obat yang bisa memunahkan racun. Tapi sesudah beberapa saat, sepohonpun tidak dapat ditemukan olehnya.
Dengan bingung ia berjalan terus. Mulutnya komat-kamit memohon pertolongan Tuhan. Tiba-tiba hatinya lega sebab di sebelah kanan di dekat sebuah air tumpah, ia lihat empat lima pohon yang kembangnya merah dan kembang itu obat pemunah racun. Cepat-cepat ia meletakkan Tio Beng di tanah.
Sesudah melompati dua selokan, ia tiba di sisi tumpahan. Tapi baru saja ia membungkuk untuk memetik bunga merah itu, dibelakangnya terdengar bentakan seorang wanita, "Tahan!"
Ia menengok dan melihat tiga wanita yang berdiri di seberang selokan. Ia mengenali bahwa salah seorang di antaranya yang bertubuh jangkung kurus dan mengenakan jubah pendeta, adalah Ceng hu, murid Go Bie pay. Dua yang lain, yang berusia muda dan mengenakan baju hitam juga murid Go Bie tapi ia tak tahu namanya.
Dengan tangan memegang pedang terhunus, Ceng hui membentak, "Thio Kauwcu! Ada apa kau datang ke sini?"
Bu Kie tidak segera menyahut. Ia terus memetik tiga kuntum bunga merah yang segera dimasukkan ke dalam mulutnya. "Ceng hui Suthay," katanya sambil mengunyah kembang, "Apa kau membawa Hud kong Kie tok tan?" Hud kong Kie tok tan adalah pil obat Go Bie pay untuk memunahkan segala jenis racun dan mempunyai khasiat lebih besar daripada bunga yang sedang dikunyahnya. Ia tahu bahwa kalau turun gunung, hampir setiap murid Go Bie pay selalu membawa obat mujarab itu.
"Perlu apa kau bertanya!" kata Ceng hui.
"Tio Kouwnio kena racun hebat dan aku mohon supaya Suthay sudi menghadiahkan tiga butir untuk mengobatinya," jawabnya.
Ceng hui mendelik. "Perempuan siluman itu adalah penjahat yang sudah membinasakan guruku,"
katanya dengan suara keras. "Semua murid Go Bie ingin merobek kulitnya dan makan dagingnya.
Hm!...Mereka kena racun yang sangat hebat" Itulah akibat dosanya sudah melewati takaran. Thio Kauwcu, aku ingin tanya. Hari ini adalah pernikahanmu dengan Ciangbun jin kami. Mengapa begitu dibujuk perempuan siluman itu, kau"kau meninggalkan ruang pesta" Di mana kau mau menempatkan muka Ciangbun jin kami, di mana kau menempatkan Go Bie pay kami?"
Bu Kie menyoja. "Ceng hui Suthay," katanya, "Aku perlu segera menolong jiwa manusia, aku sangat menderita tapi tak bisa menceritakan penderitaanku sekarang. Aku mohon kalian sudi memberi maaf.
Kecintaanku pada Cie Jiak tak akan berubah sampai mati. Langit dan bumi menjadi saksinya."
Ceng hui hanya menafsirkan bahwa orang yang mau ditolong adalah Tio Beng. Ia tak tahu bahwa selain Tio Beng, Bu Kie pun perlu menolong Cia Sun. Maka itu ia jadi lebih gusar. "Biarpun kau merasa perlu untuk menolong dia sepantasnya kau harus menunggu sampai selesai upacara pernikahan," katanya,
"Ha! Kau pandai sekali bersilat lidah!"
Karena pengobatan atas diri Tio Beng tidak boleh tertunda, Bu Kie tidak mau banyak bicara lagi. Ia melompat mendekati nona Tio, merobek baju di bagian pundak dan lalu menaruh bunga merah yang sudah dikunyah di atas luka. Ia menyadari bahwa daging di sekitar luka sudah bengkak dan berwarna lebih hitam. Ia kaget dan sangat kuatir, kalau nona itu sampai binasa di samping rasa duka dan menyesal, iapun tak akan bisa mencari ayah angkatnya lagi. Tanpa petunjuk Tio Beng, dia mau mencari di mana di dunia ini" Mungkin ayah angkatnya itu akan binasa di tangan Seng Kun.
Selagi ia membalut luka dengan tangan gemetar, tiba-tiba ia merasakan sambaran angin dan sebatang pedang menikam dirinya. Tanpa menoleh, Bu Kie menyambut dengan tangan kirinya"tiga jari tangannya mendorong badan pedang dan serangan itu dapat dipunahkan. Dalam menangkis serangan yang dikirim oleh Ceng hui, Bu Kie menggunakan ilmu yang istimewa. Kalau perhitungannya salah sedikit saja, tiga jari tangannya akan putus. Jangankan tanpa melihat, dengan berhadap-hadapan saja seorang ahli silat biasa tak akan berani menggunakan pukulan itu.
Sesudah pedangnya terdorong, Ceng hui segera mengerahkan tenaga pukulan untuk mengirim serangan susulan. Diluar dugaan tenaga dorongan Bu Kie belum habis dan dirinya sendiri turut terdorong sehingga ia terhuyung beberapa langkah.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Ia tahu bahwa ia bukan tandingan Bu Kie. Tapi, karena merasa bahwa hari ini Go Bie pay sudah mendapat hinaan besar dan juga karena Tio Beng adalah musuh besar partainya maka ia tidak mau menyerah begitu saja. Musuh besar itu sudah kena racun hebat dan jika ia bisa menghalang-halangi pertolongan Bu Kie, ia mungkin akan bisa membalas sakit hati tanpa menggunakan pedang. Berpikir begitu ia segera berteriak, "Kwa Sumoay, Auw Sumoay, majulah!"
Kedua gadis remaja itu segera menghunus pedang dan menerjang.
Bu Kie tertawa getir. "Dengan kalian bertiga aku sama sekali tidak punya permusuhan," katanya.
"Mengapa kalian mendesak begitu hebat?" Sambil berkata begitu ia menangkis semua serangan dengan tangan kirinya sedang tangan kanannya terus membalut luka.
Ketiga wanita itu menyerang sehebat-hebatnya tapi dengan Kian kun Tay lo ie Sin kang, Bu Kie berhasil menyelamatkan dirinya dari setiap serangan. Tiba-tiba Ceng hui membentak keras dan pedangnya menikam Tio Beng. "Ah!" seru Bu Kie sambil menyentil badan pedang dengan jarinya.
"Trang!" Ceng hui merasa telapak tangannya terbeset dan pedangnya terpental ke tengah udara kemudian patah dua dan jatuh ke tanah.
Ceng hui jadi kalap, ia melompat dan menotok punggung Bu Kie pada hiat yang membinasakan.
Biarpun sabar, Bu Kie mendongkol juga. Ia menangkis dan mendorong dengan keras sehingga tubuh niekouw itu terpental dan jatuh tanpa ampun. Melihat kakak seperguruannya roboh, si gadis she Kwa dan she Auw tidak berani menyerang lagi.
Ketika itu Bu Kie sudah selesai membalut luka. Ia menyadari bahwa nafas Tio Beng jadi makin lemah dan hawa hitam makin menjalar. Ia tahu bahwa bunga merah itu tidak bisa menolong banyak. Dengan terpaksa ia menoleh ke Ceng hui dan berkata dengan suara memohon, "Ceng hui Suthay, kau adalah murid Sang Buddha yang selalu bertindak berdasarkan kasih. Kumohon kau sudi memberi tiga butir Hud kong Kie tok tan, jika kau sudi meluluskan, seumur hidup aku takkan melupakan budimu yang sangat besar."
"Kau mimpi!" bentak Ceng hui, "Jika kau menolong perempuan siluman itu kau pun menjadi musuh besar dari partai kami."
Sedari tadi si gadis she Auw ingin sekali mencoba membujuk Bu Kie tapi ia belum begitu berani membuka suara. Sekarang ia tak bisa tahan lagi. "Thio Kauwcu," katanya, "Aku dan Ciu Suci begitu"begitu"baik. Mengapa"mengapa"karena perempuan siluman itu"kau jadi begitu" Sebaiknya kau kembali ke Ciu Suci"." Ia tidak bisa meneruskan perkataannya dan mukanya berubah merah.
"Terima kasih atas maksud nona yang sangat baik," jawab Bu Kie. "Tapi aku tidak bisa melihat kebinasaan dengan berpeluk tangan." Sementara itu hawa hitam di sekitar pundak Tio Beng sudah jadi lebih hebat. "Nona," katanya pula, "Apakah kau sudi menghadiahkan tiga butir Hud kong Kie tok tan kepadaku" Nona, kau tolonglah, Thio Bu Kie pasti membalas budimu."
Nona she Auw itu berhenti, merasa kasihan dan segera merogoh saku. Tapi melihat paras muka Ceng hui yang penuh kegusaran, ia tidak berani mengeluarkan pil itu.
"Auw Sumay," bentak Ceng hui. "Apa kau lupa sakit hati kita" Jika kau serahkan pil itu aku akan binasakan kau!"
"Ceng hui Suthay!" bentak Bu Kie. "Kalau kau sendiri tak sudi, akupun tidka memaksa tapi mengapa kau menghalang-halangi orang lain."
Ceng hui tidak menyahut, sambil menaruh kedua tangannya di dada, ia mundur selangkah demi selangkah, "Auw Sumay, Kwa Sumay, berangkat!" serunya.
Melihat si pendeta mau kabur dalam hatinya Bu Kie segera muncul keinginan untuk merampas obat.
"Ceng hui Suthay," katanya, "Apabila kau tetap tidak mau menolong, kau jangan salahkan aku." Seraya berkata begitu, ia merangsek, Ceng hui angkat tangan kirinya dan tangan kanannya menyambar dari bawah tangan kiri, Bu Kie miringkan muka untuk menghindari pukulan itu sedang tangan kirinya menotok jalan darah di pundak Ceng hui.
Begitu tertotok, bagian atas badan pendeta itu tidak bisa bergerak lagi tapi dengan nekad ia menendang betis Bu Kie.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Tendangan itu mampir tepat pada sasarannya tapi ia mendadak merasa Yong coan hiat dibawah kakinya panas, seluruh tubuhnya kesemutan dan ia berdiri terpaku.
"Thio Kauwcu, jangan lukai Suciku!" teriak si gadis she Auw.
"Tidak, sedikitpun aku tidak berniat mencelakai Suci-mu," jawabnya, "Tapi tolonglah ambil obat dari sakunya."
"Auw Sumay!" bentak Ceng hui. "Murid Go Bie boleh mati tidak boleh dihina. Aku mau lihat kalau kau berani ikut perintahnya." Diancam begitu, si nona tidak berani bergerak.
Sekarang Bu Kie tidak lagi menghiraukan adat istiadat antara pria dan wanita. Ia segera merogoh saku Ceng hui. Fui! Ceng hui menyembur dengan ludahnya, Bu Kie miringkan kepalanya sambil menarik keluar tiga botol kristal. Saat itu gadis she Kwa mendadak menikam dari belakang.
Bu Kie mengibaskan tangan bajunya dan ujung pedang menikam angin. Sesudah itu ia membuka tutup tiga botol itu dan memeriksa isinya. Kemudian ia mengambil dan mengunyah tiga butir Hud kong Kie tok tan. Sesudah pil itu hancur, yang separuh ia masukkan ke mulut Tio Beng dan separuh lagi ia taburkan di lubang luka. Karena kuatir tak cukup ia segera memasukkan botol obat ke dalam sakunya. "Maaf!"
katanya seraya membuka jalan darah Ceng hui. Akhirnya dengan mendukung Tio Beng ia lari ke jurusan barat.
Bu Kie menoleh dan melihat berkelabatnya sehelai sinar hijau. Ia terkesiap karena tangan kiri memegang pedang, Ceng hui sudah membacok putus lengannya sebatas pundak. Ia segera sadar bahwa perbuatan nekad itu adalah karena gerakannya sendiri. Tadi wkatu menangkis tikaman si gadis she Kwa, secara tidak sengaja menyentuk kulit tulang pi peo (tulang di antara lengan dan pundak) niekauw itu.
Sebagai seorang pendeta wanita yang suci bersih sentuhan dari seorang pria dianggapnya sebagai suatu hinaan dan kejadian yang sangat memalukan. Dalam gusarnya ditambah dengan adatnya yang berangasan dan keras ia sudah memutuskan lengan kanannya sendiri, muali dari bagian yang disentuh Bu Kie.
Sesudah melakukan perbuatan nekad itu dengan darah mengucur badan Ceng hui bergoyang-goyang tapi dengan menggigit gigi ia mempertahankan diri supaya tidak roboh.
Bu Kie kembali dan sesudah meletakkan Tio Beng di tanah, bagaikan kilat ia memberi tujuh totokan kepada Ceng hui untuk menghentikan keluarnya darah.
"Bangsat Mo Kauw, pergi!" bentak si niekauw.
Mendadak di sebelah kejauhan tiba-tiba terdengar suara suitan dan si nona she Kwa segera mengeluarkan sebuah suitan bambu yang lalu ditiupnya. Bu Kie tahu bahwa itulah tanda Go Bie pay untuk mengumpulkan kawan. Dilain saat, tujuh delapan orang sudah kelihatan mendatangi sambil berlari-lari.
Bu Kie merasa bahwa datangnya bantuan itu jiwa Ceng hui tak perlu dikuatirkan lagi. Maka itu buruburu ia mendukung Tio Beng dan terus kabur.
Sesudah kira-kira tiga puluh li, mendadak terdengar suara rintihan Tio Beng yang baru saja tersadar,
"Apa"apa aku masih hidup?" tanyanya.
Bu Kie girang, "Bagaimana keadaanmu?" tanyanya.
"Pundakku sangat gatal," jawabnya, "Hai!...Ciu Kouwnio sungguh hebat."
Bu Kie lalu merebahkannya di tanah dan memeriksa pula lukanya. Ia sadar bahwa warna hitam belum berubah hanyak ketukan nadi si nona sudah lebih keras daripada tadi. Ia sekarang tahu bahwa Hud kong Kie tok tan tidak cukup kuat untuk melawan racun itu. Sesudah berpikir sejenak, ia segera menghisap lubang luka itu menarik racun ke mulutnya membuangnya ke tanah. Sambil menahan bau amis yang sangat tajam, ia mengisap racun itu dan menyemburkannya berulang-ulang.
Sambil mengusap-usap rambut Bu Kie, Tio Beng bertanya dengan rasa terima kasih yang sangat besar,
"Bu Kie Koko, apa kau bisa menebak latar belakang peristiwa ini?"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Bu Kie tidak menjawab, beberapa saat kemudia ia sudah mengisap habis semua racun dan pergi ke kolam untuk berkumur. Ia kembali dan sesudah duduk di samping nona Tio ia balik bertanya, "Latar belakang apa?"
"Ciu Kauwnio adalah murid sebuah partai lurus bersih. Tapi mengapa ia memiliki ilmu yang sesat itu?"
"Akupun merasa sangat heran, siapa yang sudah mengajarnya?"
Tio Beng tertawa, "Tak bisa lain, orang dari penjahat Mo Kauw," katanya.
Bu Kie pun turut tertawa. "Di dalam Mo Kauw terdapat banyak sekali kepala iblis," katanya. "Tapi diantara mereka tak ada yang memiliki ilmu begitu. Hanya Ong yang bisa menghisap darah manusia dan ilmu Thio Bu Kie yang bisa menghisap pundak manusia yang agak mirip dengan ilmu itu."
Dengan penuh rasa bahagia, Tio Beng menyandarkan kepalanya di dada Bu Kie, "Bu Kie Koko,"
bisiknya. "Hari ini aku sudah mengacaukan pernikahan. Apa kau marah?"
Sungguh aneh, pada waktu itu sebaliknya daripada berduka, Bu Kie merasa senang. Kecuali memikirkan Cia Sun, ia bahkan merasa tenang dan beruntung. Mengapa bisa begitu" Ia sendiri tak tahu sebab musebabnya tapi ia tentu saja merasa malu untuk memberitahukan si nona perasaan hatinya yang sebenarnya. "Tentu saja aku marah," jawabnya. "Di kemudian hari aku pun akan mengacaukan pernikahanmu."
Muka Tio Beng segera berubah dadu, "Jika kau berani, aku akan bunuh kau," katanya tersenyum.
Mendadak Bu Kie menghela nafas.
"Mengapa kau menghela nafas?"
"Entah siapa yang pada penitipan dahulu telah melakukan perbuatan mulia sehingga dalam penitisan sekarang ia begitu beruntung untuk menjadi Kun bee ya." (Kun bee ya suami seorang putri raja muda)
"Sekarang masih ada waktu untuk kau sendiri melakukan perbuatan mulia," kata si nona.
Jantung Bu Kie memukul keras, "Apa?" tegasnya.
Tapi si nona segera memalingkan kepala ke jurusan lain dan tidak menyahut.
Sesudah pembicaraan tiba pada titik itu, mereka merasa jengah utnuk berbicara lagi. Sesudah mengaso, Bu Kie lalu menaruh obat baru pada lubang luka dan kemudian sambil mendukung nona Tio ia meneruskan perjalanan ke jurusan barat.
Malam itu mereka tidur dibawah langit dan pada keesokan paginya mereka tiba di sebuah kota kecil.
Karena Tio Beng masih sangat lemah dan belum bisa menunggang kuda maka Bu Kie hanya membeli seekor kuda untuk ditunggang berdua.
Sesudah berjalan lima hari, mereka tiba di daerah Ho-lam. Pada hari keenam, selagi enak jalan di sebalah depan tiba-tiba kelihatan debu mengebul dan tak lama kemudian mereka mendengar suara kaki kuda yang sangat ramai. Mereka tahu bahwa itu pasukan angkatan darat Mongol. Bu Kie buru-buru minggir dan menahan tunggangannya di sisi jalan.
Pasukan itu terdiri dari beberapa ratus serdadu dan tak memperdulikan Bu Kie dan Tio Beng. Sesudah mereka lewat, di sebelah belakang mengikuti sekelompok penunggang kuda yang tidak teratur.
Tiba-tiba Bu Kie mengeluh, "Celaka!" dan buru-buru melengos ke jurusan lain.
Apa yang dilihatnya tidak lain adalah Sin cian Pat hiong, delapan jago panah itu adalah bawahan Tio Beng. Ia bukan takut tapi ia tahu bahwa jika ia dikenali mereka dia bakal berabe sekali.
Kelompok itu yang terdiri kira-kira dua ratus orang lewat tanpa memperhatikan Bu Kie dan Tio Beng yang di sisi jalan. Sesudah mereka lewat, Bu Kie segera memutar tangannya untuk meneruskan perjalanan.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Mendadak terdengar suara kaki kuda dan tiga penunggang kuda mendatangi dengan cepat. Begitu melihat orang-orang itu, Bu Kie terkesiap. Orang yang ditengah-tengah yang menunggang kuda putih mengenakan pakaian sulam dan topi emas sedangkan dua orang yang mengapitnya Lok Thung Kek dan Ho Pit Ong.
Secepat mungkin Bu Kie mencoba memutar kepala kuda, tapi sudah terlambat. "Kun cu Nio nio!"
teriak Ho Pit Ong, "Jangan takut!" Sehabis berteriak begitu ia bersiul keras dan kelompok Sin cian Pat hiong segera kembali. Dilain saat Bu Kie dan Tio Beng sudah dikurung.
Dengan perasaan ragu Bu Kie mengawasi si nona. Apakah Tio Beng sudah lebih dulu mengatur datangnya bala bantuan ini" Tapi hatinya langsung lega sebab si nona sendiri kelihatannya bingung. Ia memastikan bahwa nona itu tidak menjual dia.
"Koko," seru Tio Beng, "Sungguh tak sidangka bisa bertemu dengan kau di tempat ini! Apa Thia-thia baik?"
Mendengar perkataan "Koko" (kakak) Bu Kie segera mengawasi pemuda yang mengenakan pakaian sulam. Ia segera mengenali bahwa dialah Kuh-kuh Temur, kakak Tio Beng yang dikenal juga dengan nama Han Ong Po-po. Di kota raja ia sudah pernah bertemu dengan pemuda bangsawan itu tapi karena ia mencurahkan seluruh perhatian kepada Hian beng Jie-loo maka ia tidak memperhatikan kakak Tio Beng itu.
Melihat adiknya, Ong Po-po kaget bercampur girang. Ia tidak mengenali Bu Kie. "Kau"kau"!
Mengapa"...," katanya.
"Koko," kata Tio Beng, "Aku dibokong musuh dan mendapat luka beracun. Untung ditolong oleh Thio Kauwcu, tanpa pertolongannya aku tak akan bisa berjumpa lagi dengan Koko."
"Siauw ong-ya, dia tidak lain adalah Kauwcu Mo Kauw, Thio Bu Kie," bisik Lok Thung Kek.
Sudah lama Ong Po-po mendengar nama Bu Kie. Ia menduga bahwa adiknya bicara begitu karena diancam, maka itu ia segera memberi tanda dengan kibasan tangan. Melihat tanda itu, Hian beng Jie-loo segera mendekat dan empat anggota Sin cian Pat hiong segera memasang anak panah gendawa yang ditujukan ke punggung Bu Kie.
"Thio Kauwcu," kata Ong Po-po, "Kau adalah pemimpin suatu agama dan seorang gagah terkenal.
Dengan menghina adikku bukankah akan ditertawai oleh semua orang" Lepaskan adikku! Hari ini aku ampuni jiwamu."
"Koko, mengapa kau berkata begitu," kata Tio Beng. "Sebaliknya dari menghina, Thio Kongcu telah melepas budi padaku."
Ong Po-po masih menganggap bahwa adiknya berada dibawah tekanan. "Thio Kauwcu!" teriaknya,
"Biarpun kepandaianmu sepuluh kali lipat lebih tinggi, kau tidak akan bisa melawan jumlah yang besar.
Lepaskanlah adikku! Hari ini kita berdamai, Ong Po-po tidak akan melanggar janji, kau tidak usah kuatir."
Bu Kie merasa demi keselamatan Tio Beng, nona itu memang lebih baik mengikuti kakaknya supaya bisa diobati oleh tabib-tabib pandai daripada ikut ia terlunta-lunta. Maka itu ia segera berkata, "Tio Kauwnio, kakakmu sudah dating, sebaiknya kita berpisah saja. Aku hanya memohon agar kau memberitahukan di mana ayah angkatku berada supaya aku bisa mencarinya. Tio Kauwnio, di kemudian hari kita masih mempunyai kesempatan untuk bertemu." Sehabis berkata begitu, ia merasa sangat berduka dalam hatinya.
Jawaban Tio Beng diluar dugaan. "Jika aku belum memberitahukan di mana adanya Cia Tayhiap karena mempunyai maksud yang dalam," katanya, "Aku hanya berjanji akan membawa kau ke tempat itu tapi aku tak bisa memberitahukan tempat itu kepadamu."
Bu Kie kaget. "Kau belum sembuh dan ikut aku sangat tidak baik bagi kesehatanmu," katanya, "Paling baik kau ikut kakakmu."
Tapi si nona menggelengkan kepala, sambil mengawasi Bu Kie dengan sinar mata berduka ia berkata,
"Kalau kau tinggalkan aku, kau tidak akan dapat mencari Cia Tayhiap. Aku percaya bahwa aku akan
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
sembuh dalam waktu singkat. Aku yakain bahwa melakukan perjalanan adalah baik untuk kesehatanku.
Kalau aku pulang ke Ong hu aku bisa mati jengkel."
"Siauw ong-ya," kata Bu Kie kepada Ong Po-po, "Cobalah kau bujuk adikmu."
Ong Po-po merasa sangat heran tapi sesaat kemudian ia berkata dengan suara tawar, "Kau jangan bercanda! Aku tahu jari tanganmu memegang hiat yang membinasakan adikku. Kau paksa dia untuk bicara begitu."
Melihat dirinya masih dicurigai, Bu Kie melompat turun dari tunggangannya.
Selagi ia melompat turun, dua anggota Sin cian Pat hiong mengira ia mau menyerang Ong Po-po segera melepaskan anak panah ke punggungnya. Untuk memperlihatkan kepandaiannya ia mengibas dengan Kian kun Tau lo ie Sin kang. Kedua anak panah iu terpental balik dan tepat menghantam kedua gendewa yang segera menjadi patah. Kalau tidak lekas berkelit, kedua orang itupun pasti sudah terluka berat. Melihat kepandaiannya yang luar biasa itu kecuali Hian beng Jie-loo, semua orang termasuk Ong Po-po sendiri merasa kagum sekali.
"Tio Kauwnio," kata Bu Kie, "Sebaiknya kau pulang dulu untuk berobat, setelah kau sembuh kita bisa bertemu lagi."
Tapi si nona menggelengkan kepalanya. "Tidak," jawabnya, "Tabib di Ong hu mana bisa menandingi kau" Thio Kongcu, kalau menolong orang, kau harus menolong sampai akhir."
Mendengar perkataan adiknya, Ong Po-po kaget bercampur gusar. Saat itu Bu Kie berdiri agak jauh dari Tio Beng maka Ong Po-po segera menoleh ke Hian beng Jie-loo dan berkata, "Tolong kalian lindungi adikku. Ayo berangkat!"
"Baik!" jawab mereka yang lalu mendekati Tio Beng.
"Lok Hi Jie we Sian seng!" kata si nona dengan nyaring, "Ada satu urusan penting yang harus diselesaikan olehku dan Thio Kauwcu. Tenaga kami berdua justru tak cukup maka kuminta kalian sudi untuk membantu."
Kedua kakek itu melirik Ong Po-po. "Sepak terjang kepala siluman Mo Kauw selalu menyeleweng dan Kuncu Nio nio tidak boleh mendekati dia," kata Lok Thung Kek, "Paling baik Kuncu Nio nio ikut Siauw ong-ya."
Alis si nona berdiri. "Apa sekarang Jie wie hanya mau menuruti perkataan kakakku dan tak sudi lagi mendengar perkataanku?" tanyanya dengan marah.
"Ajakan Siauw ong-ya adalah untuk kebaikan Kuncu Nio nio sendiri," kata Lok Thung Kek sambil tertawa, "Nasihatnya keluar dair hati yang mencintai."
Tio Beng mengeluarkan suara di hidung. "Koko," katanya, "Atas seijin Thia-thia aku berkelana di dunia Kang ouw, kau tak usah kuatir. Aku bisa menjada diri sendiri jika bertemu Thia-thia sampaikanlah hormatku."
Ong Po-po tahu bahwa si adik sangat disayang oleh ayah mereka dan sebenarnya ia tidak berani terlalu mendesak tapi perginya adik seorang diri dengan Bu Kie biar bagaimanapun juga tak dapat diijinkan olehnya. Melihat si adik sudah mengedut tali untuk segera berangkat, ia segera menghadang dan berkata,
"Hian moay, Thia-thia akan segera tiba di sini. Kau tunggulah sebentar, beritahukan dulu Thia-thia sebelum kau berangkat."
"Begitu Thia-thia datang aku tentu dihalangi," kata si nona, "Koko aku tidak ikut campur urusanmu kaupun jangan ikut campur urusanku."
Ong Po-po melirik Bu Kie, melihat pemuda yang gagah dan tampan romannya itu dan mendengar perkataan adiknya, ia tahu si adik sudah cinta. Tapi Beng Kauw telah memberontak dan Kauwcu Beng Kauw adalah kepala pemberontak. Ia gusar bercampur bingung. Terang-terang adiknya sudah dipengaruhi oleh kepala pemberontak itu. Bencana yang dihadapi bukan bencana kecil, demikian pikirnya.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Sesudah berpikir sejenak, sambil mengibas tangan kirinya ia membentak, "Tangkap kepala siluman itu!"
Hian beng Jie-loo segera menerjang, Lok Thung Kek menggunakan tongkat tanduk menjangan sedang Ho Pit Ong menyerang dengan pit-nya. Lweekang dari Hian beng Jie-loo agak lebih tinggi daripada orang-orang seperti Ia Thian Geng dan Cia Sun dan sekarang mereka mengerubuti seorang musuh adalah kejadian yang baru pertama kali terjadi. Melihat penyerangnya kedua lawan yang tangguh Bu Kie pun tidak berani bertindak sembrono dan segera melayani dengan menggunakan segenap kepandaiannya.
Tio Beng tahu kehebatan kedua kakek itu, ia merasa sangat kuatir akan keselematan Bu Kie. "Hian beng Jie-loo!" teriaknya, "Jika kau melukai Thio Kauwcu aku akan memberitahu Thia-thia dan Thia-thia pasti tak akan mengampuni kau."
"Omong kosong!" bentak Ong Po-po, "Setiap orang berusaha untuk membunuh penjahat pemberontak.
Hian beng Jie-loo! Setelah kalian bunuh penjahat itu, Thia-thia dan aku akan memberi hadiah besar." Ia terdiam sejenak dan berkata pula, "Sok Sianseng, aku akan mempersembahkan empat wanita cantik untukmu."
Hian beng Jie-loo serba salah, pihak mana yang harus diikuti" Sesaat kemudian, Lok Thung Kek memberi isyarat kepada sutenya dengan kedipan mata dan berkata dengan suara perlahan, "Tangkap hidup-hidup saja."
Tiba-tiba Bu Kie mengubah cara bersilatnya. Ia menggunakan ilmu silat Seng hwe teng. Dilain detik dengan satu pukulan aneh yang dikirim dari satu sudut yang tak mungkin dapat dilakukan oleh orang lain ia berhasil menggaplok pipi Lok Thung Kek, "Coba tangkap hidup-hidup!" bentaknya dengan suara mengejek.
Si kakek gusar sekali, tapi sebagai ahli silat kelas utama dalam kegusarannya pemusatan pikirannya tidak terpecah. Ia segera menambah tenaga dan menyerang bagaikan hujan dan angin.
Saat semua orang mencurahkan perhatian pada pertempuran itu, tiba-tiba Tio Beng mengedut tali dan kuda yang ditungganginya segera melompat. Ong Po-po terkejut dan menyabet dengan cambuknya yang mampir di mata kiri binatang itu sehingga sambil meringkik keras dia mengangkat kedua kakinya. Tubuh Tio Beng miring dan karena masih sangat lemah ia hampir jatuh terjengkang. "Koko, apa kau benar-benar mau menghalangi aku?" bentaknya.
"Adik yang baik, dengarlah perkataanku," jawabnya, "Jika kau menurut, aku akan menghaturkan maaf."
"Koko, jika sekarang kau menghalangi aku, aku pasti akan mati. Thio Kauwcu akan membenci aku sampai di sumsum"adikmu"sukar hidup lebih lama lagi"."
"Hian moay, mengapa kau berkata begitu" Gedung Jie lom ong dijaga oleh banyak orang pandai yang tentu akan bisa melindungi kau sebaik-baiknya. Jangankan melukai kau, sekalipun hanya bertemu muka dengan kau, iblis kecil itu tak akan bisa lagi."
Si adik menghela nafas. "Aku justru kuatir tak bisa bertemu muka lagi dengannya," katanya, "Kalau sampai begitu"aku"aku lebih suka mati."
Pada jaman itu wanita Mongol memang lebih berani daripada wanita Han. Selain hubungan kakak dan adik itu sangat erat, mereka biasanya selalu bicara terus terang. Maka itu dalam keadaan terdesak, Tio Beng membuka rahasia hatinya secara terang-terangan.
"Moaycu, mengapa kau bicara yang tidak-tidak?" bentak Ong Po-po dengan gusar, "Kau adalah anggota keluarga raja muda Mongol. Ibarat pohon, kau bercabang emas berdaun giok. Mana bisa kau jatuh cinta kepada anjing itu" Jika tahu, Thia-thia bisa mati berdiri!" Seraya berkata begitu, ia mengibaskan tangan kirinya dan tiga jago segera turun ke gelanggang untuk membantu mengepung Bu Kie. Tapi mereka tak bisa mendekati sebab saat itu Bu Kie dan Hian beng Jie-loo sedang bertempur menggunakan Sin kang yang tertinggi sehingga dalam jarak beberapa tombak angin tenaga dalam menyambar-nyambar bagaikan tajamnya pisau.
"Thio Kongcu!" teriak Tio Beng, "Jika kau mau menolong Giehu, kau harus lebih dulu menolong aku."


Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Mendengar itu Ong Po-po tidak bisa menahan sabar lagi. Ia segera memeluk adiknya dan menendang perut kuda yang segera kabur.
Ilmu silat Tio Beng sebenarnya lebih tinggi dari kakaknya tapi dalam keadaan terluka ia tidak bertenaga untuk melawannya. Ia hanya bisa berteriak, "Thio Kongcu tolong! Thio Kongcu tolonglah aku!"
Bu Kie terkejut, dengan menggunakan seluruh tenaga ia mengirimkan dua pukulan sehingga Hian beng Jie-loo terpaksa mundur beberapa langkah. Dengan menggunakan kesempatan itu ia melompat dan mengejar Ong Po-po. Hian beng Jie-loo dan tiga jago segera mengejar. Tapi begitu mereka mendekat, Bu Kie segera memukul dengan Sin-liong Pah hwee (Naga sakti menyabetkan ekornya), yaitu salah satu pukulan dari Han liong Sip pat ciang. Biarpun belum menyelami inti sari dari pukulan itu tapi karena memiliki Kioe yang Sin kang, tenaga pukulan itu dahsyat sekali sehingga Hian beng Jie-loo dan tiga kawannya tidak berani terlalu dekat.
Dilain saat Ong Po-po sudah terkejar oleh Bu Kie. Sambil melompat tinggi ia mencengkram jalan darah dibatang leher pemuda bangsawan itu yang segera tidak bisa bergerak lagi yang lalu diangkat dan dilemparkan ke arah Lok Thung Kek. Karena kuatir majikannya terluka, si kakek buru-buru menyambuti.
Dilain detik Bu Kie sudah mendukung Tio Beng melompat turun dari punggung kuda dan terus kabur ke lereng gunung.
Ho Pit Ong dan jago lain segera menguber tapi dari lereng Bu Kie lari ke atas puncak yang tingginya beberapa ratus tombak sehingga untuk mengejarnya orang harus mempunyai ilmu ringan badan yang tinggi. Hian beng Jie-loo adalah ahli silat kelas utama tapi ilmu ringan badan mereka tidak seberapa tinggi dan mepat lima jago yang lain bahkan tidak bisa lari lebih cepat daripada Ho Pit Ong. Melihat dirinya dikejar, Bu Kie menjumput beberapa batu dan menimpuk. Dua orang roboh dan menggelinding ke bawah sehingga yang lain tidak berani mengejar terlalu keras. Dalam sekejap Bu Kie sudah lari jauh.
Ong Po-po jadi kalap. "Lepaskan anak panah! Lepaskan anak panah!" teriaknya sambil mementang busurnya sendiri dan lalu melepaskan sebatang anak panah ke punggung Bu Kie tapi karena jaraknya terlalu jauh, jatuh di tanah tanpa mengenai sasarannya.
Setelah memastikan bahwa kaki tangan kakaknya tidak akan bisa mengejar lagi barulah Tio Beng merasa lega. Sambil memeluk leher Bu Kie ia menghela nafas dan berbisik, "Untung aku berjaga-jaga untuk tidak segera memberitahukan di mana adanya Cia Tayhiap, kalau tidak, kau tentu tidak akan mau menolongku."
"Bukankah aku sudah mengatakan bahwa sebaiknya kau pulang untuk berobat?" kata Bu Kie, "Untuk apa kau bentrok dengan kakakmu dan ikut aku menderita."
"Aku rela menderita," jawabnya, "Mengenai kakak, sekarang atau nanti aku pasti bentrok dengan dia.
Hal terpenting bagiku adalah kuatir kau tidak mau mengajak aku. Yang lainnya hal kecil."
Bu Kie tertegun. Ia tak pernah menduga sama sekali bahwa cinta Tio Beng terhadapnya sedemikian besar. Sudah lama ia tahu bahwa si nona menyukai dirinya. Tapi pada hakekatnya ia menganggap rasa cinta itu hanialah rasa cinta yang tidak berdasar teguh dari seorang gadis remaja yang pikirannya mudah berubah-ubah. Baru sekarang ia menyadari bahwa cinta Tio Beng tulus dan murni. Untuk mengikuti dia, si nona rela melemparkan segala kekayaan dunia.
Berpikir begitu ia menunduk dan mengawasi muka yang pucat tapi cantik luar biasa. Pada saat itu sebagai manusia biasa ia tidak dapat menahan gejolak hatinya lagi dan dengan rasa cinta yang meluap-luap ia menempelkan bibirnya ke bibir si nona.
Muka Tio Beng segera berubah merah, kejadian itu merupakan goncangan yang terlampau berat bagi badannya yang sangat lemah dan ia pingsan.
Bu Kie yang paham ilmu ketabiban tidak menjadi bingung. Pingsannya Tio Beng hanya memperlipat rasa terima kasih dan rasa cintanya. Tiba-tiba dalam otaknya berkelabat sebuah pertanyaan, "Cinta Cie Jiak terhadapku mana bisa menandingi cinta Tio Kauwnio?"
Beberapa saat kemudian Tio Beng tersadar. Melihat Bu Kie seperti sedang memikirkan sesuatu ia bertanya, "Apa yang dipikirkan olehmu" Ciu Kauwniokah?"
Bu Kie mengangguk, "Aku merasa bersalah terhadapnya," jawabnya.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Kau menyesal?"
"Waktu aku mau bersembahyang dengan dia sebagai suami istri, aku ingat padamu dan aku sedih.
Sekarang aku ingat dia dan aku merasa bersalah terhadap dia."
"Tapi dalam hati kau lebih mencintai aku, bukankah begitu?"
"Bicara terus terang, terhadapmu aku cinta dan aku benci, terhadap Cie Jiak aku menghormati dan aku takut."
Si nona tertawa geli. "Aku lebih suka terhadapku kau cinta dank au takut," katanya, "Terhadap dia kau menghormati dan kau benci."
Bu Kie ikut tertawa. "Tapi sekarang sudah jadi lain," katanya tersenyum. "Terhadapmu kubenci dan kutakut. Kubenci karena kau sudah menggagalkan pernikahanku, kutakut sebab aku takut kau tidak mau membayar kerugian."
"Bayar kerugian apa?"
"Bayar kerugian dengan dirimu sendiri, dengan menjadi istriku sebagai gantinya Cie Jiak."
Muka Tio Beng segera berubah merah. "Tidak segampang itu," katanya dengan sikap malu-malu,
"Terlebih dulu aku harus ijin dari ayah, aku harus lebih dulu menyadarkan kakak"."
"Tapi bagaimana jika ayahmu menolak?"
Si nona menghela nafas. "Kata orang tua, menikah dengan iblis harus ikut iblis," katanya. "Kalau sampai begitu, bagiku tiada jalan lain kecuali mengikuti si iblis kecil."
"Perempuan siluman!" bentak Bu Kie, "Kau berkomplot dengan penjahat cabul dan pemberontak Thio Bu Kie! Hukuman apa yang harus dijatuhkan atas dirimu?"
"Di dunia ini, kamu berdua dihukum menjadi suami istri yang hidup beruntung sampai berambut putih. Di akhirat kamu berdua harus masuk ke delapan belas lapis neraka dan tidak bisa menitis lagi sebagai manusia!"
Bicara sampai disitu, mereka berdua tertawa terbahak-bahak.
Mendadak di sebelah depan terdengar teriakan seseorang. "Kuncu Nio nio, siauw ceng sudah lama menunggu di sini!" Teriakan itu nyaring dan tajam, suatu tanda bahwa orang itu memiliki Lweekang yang sangat kuat.
Bu Kie terkejut dan segera menghentikannya. Dilain saat, dari sebuah tikungan muncul tiga orang hoan ceng (pendeta asing), yang satu mengenakan jubah warna merah, yang lain memakai jubah kuning, yang ketiga bertubuh kate kecil mengenakan jubah warna kuning emas. Si jubah merah merangkap kedua tangannya dan berkata sambil membungkuk, "Atas titah Ong-ya, siauw ceng menunggu di sini untuk menyambut Kuncu Nio nio pulang ke Ong hu."
Tio Beng tak kenal ketiga pendeta itu. "Siapa kalian?" tanyanya, "Aku belum pernah mengenal kalian."
"Siauw ceng Mohan Fa," jawabnya. Ia menunjuk si kate kecil dan berkata pula, "Yang itu Supeh Kioe Cun cia sedang yang ini kakak seperguruan siauw ceng, Mohan Singh. Kami bertiga datang dari Thian tiok (India) dan bekerja di Ong hu. Waktu kami datang Kuncu sudah berkelana maka tak heran jika Kuncu tak mengenal kami." Setelah berkata begitu, ia membungkuk diikuti oleh kedua kawannya.
"Lweekang orang itu tidak lemah," piker Bu Kie selagi Mohan Fa bicara. "Paman dan kakak seperguruannya tentu lebih hebat lagi. Seorang diri aku belum tentu bisa melawan mereka bertiga."
"Perlu apa kalian mencegat aku di sini?" tanya Tio Beng.
Mereka tidak menyahut hanya Mohan Singh mengangkat tinggi-tinggi seekor merpati putih yang dipegangnya. Tio Beng tahu bahwa itulah merpati pos yang membawa warta dari kakak kepada ayahnya.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Ia menduga bahwa ayahnya yang berkepandaian tinggi sudah turun tangan sendiri. Ia melirik Bu Kie dan melihat paras yang muram, "Apa ketiga pendeta itu sukar dimundurkan?" bisiknya.
Bu Kie mengangguk. Sesudah berpikir sejenak, Tio Beng segera mengambil keputusan. "Aku akan beritahukan kau di mana Cia Tayhiap berada," bisiknya pula, "Apa yang akan terjadi di kemudian hari, apa kau akan menyianyiakan aku atau tidak aku serahkan kepadamu." Ia tahu bahwa Bu Kie sendiri dengan mudah akan bisa meloloskan diri dari kepungan, ia tak mau demi kepentingan pribadi, jiwa Cia Sun sampai terancam.
Tapi sekarang, Bu Kie sendiri sungkan berpisah lagi dengan Tio Beng. Ia menolak untuk kabur sendirian. "Kau jangan kuatir, kita harus menerjang keluar bersama-sama," katanya.
Mereka dicegat di jalan gunung yang sangat sempit. Di sebelah kiri terdapat jurang yang dalam dan disebelah kanan berdiri lereng gunung yang menjulang ke atas bagaikan tembok, jalan satu-satunya ialah menerjang dengan kekerasan.
"Kuncu terluka berat dan Ong-ya sangat kuatir," kata Mohan Fa, "Maka itu beliau telah memerintahkan siauw ceng untuk mengantar Kuncu pulang ke Ong hu secepat mungkin." Walaupun orang asing, ia bisa bicara Tionghoa secara lancar, kedua kawannya tak mengeluarkan sepatah kata. Kioe Cun cia menundukkan kepala sambil memejamkan mata seperti orang bersemedi sedang Mohan Singh berdiri tegak dengan membusungkan dada.
"Di mana Thia-thiaku?" tanya Tio Beng.
"Ong-ya menunggu di kaki gunung," jawabnya, "Beliau ingin sekali bertemu dengan Kuncu."
Tio Beng tertawa. "Bahasa Tionghoamu sangat baik," katanya, "Baiklah! Thio Kongcu mari kita berangkat!" Dengan berlagak menurut ia sudah mencari cara untuk segera kabur begitu mereka berada di tempat yang lebih terbuka.
Tapi diluar dugaan, Mohan Fa mengambil sekarung kain dari punggungnya dan dengan sekali dikibaskan karung itu berubah menjadi kain panjang yang kedua ujungnya dipegang olehnya dan Mohan Singh. "Kuncu, naiklah ke joli ini," katanya sambil membungkuk.
"Aku tak suka duduk di joli," kata Tio Beng sambil tertawa, "Aku lebih senang didukung olehnya."
Bu Kie mengerti bahwa ia tak boleh lengah, hampir bersamaan ia maju dengan langkah lebar.
Sesudah membaca surat yang dibawa merpati pos, ketiga pendeta itu tahu bahwa Bu Kie berkepandaian tinggi. Mohan Singh segera memapakinya dengan benturan sikut. Bu Kie melompat tinggi melewati kepala Kioe Cun cia. Mendadak ia merasa sambaran angin yang sangat dingin ke arah kakinya.
Bagaikan kilat ia membaba dengan tangan kiri untuk menyambut pukulan itu, mendadak angin dingin itu berubah menjadi sangat panas. Ternyata dalam sekejap si pendeta sudah dapat mengubah tenaga pukulannya dari dingin menjadi panas. Itulah Ciang hoat yang sangat hebat dari Thian tiok dan yang sangat berbeda dengan pukulan di wilayah Tiong goan. Tapi Kioe yang Sin kang yang dimiliki oleh Bu Kie adalah gubahan Tat mo Couwsu yang berasal dari Thian tiok, begitu mendengar bahwa ketiga pendeta itu datang dari Thian tiok, ia segera berhati-hati. Dalam sambutannya itu ia menggunakan delapan bagian tangannya, begitu tangan kebentrok dengan meminjam tenaga lawan dan dengan menggunakan kesempatan itu Bu Kie melompat jauh dan kemudian dengan mendukung Tio Beng ia kabur secepatnya. Sesudah menjajal tenaga ia tahu bahwa Lweekangnya masih lebih tinggi setingkat dari tenaga dalam si pendeta.
Ketiga pendeta itu segera menguber sambil berteriak-teriak. Ilmu ringan badan mereka cukup tinggi tetapi mereka masih belum bisa menandingi Bu Kie yang memiliki Lweekang luar biasa. Biarpun mesti mendukung Tio Beng makin lama pemuda itu lari makin cepat dan sesudah melewati sebuah lereng ia sudah meninggalkan pengejarnya jauh sekali.
Tapi baru saja mau cari jalanan kecil untuk menyembunyikan diri, mendadak terdengar suara terompet yang berulang-ulang dan dilain saat tigapuluh lebih serdadu Mongol yang bersenjata gendewa dan anak panah sudah menghadang di depannya. Hampir bersamaan di atas tanjakan muncul pula sejumlah serdadu yang melemparkan balok-balok dan batu-batu ke bawah tanjakan itu. Tapi karena kuatir melukai Tio Beng, balok dan batu itu tidak ditujukan ke arah Bu Kie. Karena jalanan di depan sudah tercegat ia segera berlari ke tanjakan sebelah kiri, tapi baru lari beberapa tombak sudah terdengar suara gembereng dan
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
diatas tanjakan muncul lagi pasukan Mongol lain yang bersenjata gendewa dan anak panah. Kalau seorang diri ia tentu akan menerjang, tapi dengan mendukung Tio Beng, ia tidak berani mengambil tindakan yang nekat itu. Andaikata si nona terkena anak panah atau balok batu dan terbinasa, seumur hidup ia akan menyesal.
Setelah berpikir sejenak, ia segera lari balik ke jalanan yang tadi dilaluinya tapi baru setengah li ia sudah berhadapan dengan ketiga pendeta asing. Ia menaruh Tio Beng di tanah dan membentak, "Kalau masih mau hidup, mundurlah!"
Kioe Cun cia maju selangkah dan segera memukul dada Bu Kie dengan kedua telapak tangannya dalam pukulan Pay san ciang. Dalam menghadapi jalan buntu, Bu Kie tidak dapat berbuat lain selain melawan. Dengan sepenuh tenaga ia segera menangkis dengan tangan kirinya.
Sesudah tertangkis tangannya, Kioe Cun cia terhuyung dan mundur beberapa langkah. Mohan Singh dan Mohan Fa menahan punggungnya dan mendorongnya kembali ke depan. Untuk kedua kalinya Kioe Cun cia mengirim pukulan Pay san ciang. Karena ingin menyimpan tenaga kali ini Bu Kie tidak mau melawan kekerasan dengan kekerasan. Ia menangkis dengan Kian kun Tay lo ie. Tapi ia segera terkejut karena telapak tangannya mendadak tersedot dan melekat pada telapak tangan si pendeta. Dua kali mencoba menarik kembali tangannya tapi tidak berhasil. Karena terpaksa, ia segera mengerahkan Kioe yang Sin kang dan mendorong lawannya. Tapi Kioe Cun cia tidak kena didorong, ia tetap berdiri tegak.
Dalam kagetnya Bu Kie menyadari bahwa Mohan Singh dan Mohan Fa menempelkan kedua telapak tangan mereka pada punggung Kioe Cun cia dan ketiga pendeta itu kelihatannya sedang mengerahkan seluruh tenaga dalam mereka. Ia segera tersadar, ia ingat Thio Sam Hong pernah memberitahukan kapadanya bahwa di Thian tiok terdapat sebuah ilmu mempersatukan tenaga beberapa orang untuk menghadapi tenaga yang sangat besar. Karena kuatir bala bantuan lawan keburu tiba, sambil membentak keras ia mengempos semangat dan menambah tenaganya.
Ketiga pendeta itu lantas saja memperlihatkan tanda2 tidak bisa bertahan lagi dan keringat mereka mengucur dari kepala dan muka. Sekonyong2 Mohan Fa menyemburkan darah dari mulutnya. Itulah bukti bahwa si pendeta sudah terluka berat, tapi sungguh aneh, sesudah darah disemburkan, tenaga pihak lawan berbalik bertambah satu kali lipat. Bu Kie terpaksa menambah pula tenaganya. Di lain saat Mohan Singh, yang selebar mukanya sudah berubah merak, meyemburkan darah ke leher Kioe Cun Cia seperti tadi, tenaga lawan bertambah lagi satu kali lipat. Bu Kie lantas saja mersa tenaganya mulai tertindih.
Dalam keadaan terdesatk ia segera mundur dua tindak untuk mengurangi tekanan dan sesudah itu, sambil mengambil napas dalam2 ia menyerang balik. Diserang begitu, badan Mohan Singh dan Mohan Fa bergoyang2, hampir2 mereka roboh.
Melihat kedua keponakan muridnya tak dapat bertahan lagi, buru-buru Kioe Cun Cia membuka mulutnya dan menyemburkan darah kemuka Bu Kie. Pemuda itu miringkan kepala untuk mengegos semburan itu. Mendadak ia merasa dadanya seperti ditindih dengan besi yang berat nya berlaksa kati dan hawa dibagian tan tian bergolak2. Ia terkejut, Ia tanya nyana, ketiga pendeta itu memiliki ilmu yg sedemikian aneh. Tapi ia pun tahu, bahwa pihak lawan sudah hampir kehabisan tenaga. Jika ia bisa bertahan terus, kemenangan terakhir akan direbut olehnya sendiri. Ia segera memusatkan pikirannya dan mengempos seluruh Kioe yang Sin Kang yang terdapat dalam tubuhnya. Beberapa saat kemudian Mohan Fa berlulut, tapi tangannya masih tetap menempel dipunggung Kioe Cun Cia.
Baru saja Bu Kie bergiran, kupingnya mendadak mendengar suara tindakan kaki yang sangat enteng dan seorang pembokong menghantam punggungnya. Ia terkesiap dan mengibaskan tangan kanannya kebelakang untuk memunahkan serangan itu dengan Kian Kun Tay lo Ie. Tapi ia salah hitung. Tenaga Kian Kun Tay lo ie yg dimilikinya berdasarkan tenaga Kioe yang sin Kang. Pada saat itu hampir semua tenaga itu sudah dipergunakan olehnya untuk melawan ketiga pendeta itu.
Dengan demikian, tenaga untuk menangkis si pembokong hanya kira2 dua bagian dari seluruh tenaganya. Begitu tangannya kebentrok dengan tangan si pembokong, begitu cepat ia merasa menerobosnya semacam hawa yang dingin luar biasa dan badannya lantas saja bergemetaran. Dilain detik, ia roboh.
"Lok Sianseng, tahan!" teriak Tio Beng. Si penyerang gelap memang bukan lain daripada Lok Thung Kek.
Sehabis berteriak, dengan nekad si nona menubruk dan memeluk Bu Kie. "Aku mau lihat siapa yg berani bergerak lagi!" bentaknya.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Lok Thung Kek sebenarnya sudah mengangkat tangan untuk menghabiskan jiwa Bu Kie yang dipandangnya sebagai lawan terberat di dalam dunia. Tapi karena pemuda itu dialingan oleh badan sang Kuncu, ia terpaksa undur kemabli dan lalu bersiul keras, sebagai isyarat bahwa Bu Kie sudah dapat dirobohkan. "Kuncu Nio nio," katanya, "Ong ya hanya menghendaki supaya Kun cu Nio nio pulang.
Beliau tak punya lain maksud. Orang ini adalah pemberontak. Mengapa Kun cu Nio nio melindungi dia?"
Tio Beng sebenarnya ingin mencaci bekas orang sebawahan itu tapi sebab kuatir dia menjadi gusar dan lalu teruntuk tangan jahat terhadap Bu Kie, maka sebisa bisa ia menahan hawa amarahnya dan lalu membangunkan Bu Kie tanpa mengeluarkan sepatah kata.
Beberapa saat kemudian tiga penunggang kuda kelihatan mendatangi yang paling depat Ho Pit Ong, yang kedua Ong Po Po dan yang paling belakang Jie Lam Ong sendiri. Begitu tiba, mereka lantas melompat turun dari punggung kuda.
Jie Lam Ong mengerutkan alisnya dan berkata, "Beng beng, mengapa kau tak turut nasehat kakakmu"
Bikin apa kau disini?"
Air mata si nona lantas saja mengucur, "Thia," katanya, "anak telah di hina orang."
Sang ayah maju beberapa tindak dan mengangsurkan tanagn untuk memegang putrinya. Tiba2 Tio Beng membalik tangannya, sinar putih berkelebat dan ia sudah menandalkan ujung sebatang pisau pada dadanya sendiri. "Thia!" teriak nya dengan suara menyayat hati. "Jika kau tidak meluluskan permintaanku hari ini anak akan mati di hadapanmu!"
Jie Lam Ong terkejut, ia mundur setindak dua, "Eeh!... Beng beng" mengapa kau begitu?" tanyanya.
"Jika kau ingin minta sesuatu bicaralah baik2."
Si nona segera membuka baju di bagian pundaknya dan memperlihatkan lukanya. Racun pada lukanya itu sudah hilang, tapi lukanya masih belum sembuh dan kelihatannya hebat sekali.
Sebagai seorang ayah yg sangat mencintai anaknya, Jie Lam Ong kaget bercampur bingung.
"Mengapa" mengapa kau sampai mendapat luka begitu berat?" tanyanya dengan suara gemetar.
Sambil menuding Lok Thung Kek, Tio Beng menjawab dengan suara terputus putus, "Manusia itu sangan jahat.. anak melawan.. dan " dia menyengkeram anak. Mohon" Thia thia suka mengadilinya?"
Semangat si tua terbang. Untuk sejenak ia mengawasi si nona dengan mulut ternganga dan kemudian berkata dengan gemetar. "Tak.. tak mungkin" siauwjin berani berbuat begitu!"
Jie Lam Ong mendelik dan mengeluarkan suara di hidung. "Binatang!" bentaknya. "Dalam urusan Han Kie, aku sudah menaruh belas kasihan dan tak mau menyelidiki lebih jauh. Sekarang" huh, huh!... kau berani coba2 melanggar puteri ku. Tangkap!"
Ketika itu para busu sudah menyusul sampai disini. Mendengar perintah sang majikan. Biarpun tahu si kakek berkepandaian sangat tinggi, empat orang lantas saja menerjang. Kaget dan gusar mengaduk dalam dada Lok Thung Kek. Ia tahu bahwa si nona mau balas sakit hati sebab ia coba membinasakan Bu Kie. Ia pun tahu bahwa ia takkan dapat melawan sang putri yg pintar dan banyak akalnya. Maka itu, sesudah memukul mundur keempat busu itu dengan tangan ia menghela napas dan berkata "Suiee, mari kita pergi!"
Ho Pit Ong kelihatan bersangsi.
"Ho sianseng!" seru Tio Beng. "Kau orang baik, tak seperti suhengmu. Lekas tangkap kan! Ayahku akan menaikkan pangkatmu dan memberi hadiah besar."
Hian beng Jie Loo adalah ahli silat jarang tandingan pada jaman itu. Hanialah karena kemaruk akan pangkat dan kemewahan, mereka rela mengabdi pada Jie Lam Ong. Ho Pit Ong tahu, bahwa kakak seperguruannya memang suak paras cantik dan tuduhan sang Kuncu Nio Hio mungkin sekali bukan tuduhan kosong. Disamping itu, hatinya jg bergoncang sebab mendengar janji pangkat dan hadiah besar.
Tapi di lain pihak, hubungan dengan Lok thung Kek menyerupai hubungan antara saudara kandung dan ia merasa tak teag untuk mengkhianati suhengnya itu. Maka itulah ia sangsi, sangat bersangsi.
Melihat begitu paras muka Lok Thung Kek lantas saja berubah pucat pasti. "Sute," katanya, "Kalau kau ingin naik pangkat tangkaplah aku!"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Ho Pit Ong menghela napas, "Suko!" katanya. "Mari kita pergi!" sehabis berkata begitu ia lalu melompat mendekati kakak seperguruan nya dan dengan berendeng pundak Hian Beng Jie Loo meninggalkan majikan mereka.
"Beng beng," kata Jie Lam Ong sesudah kedua kakek itu berlalu, "Sesudah terluka kau harus pulang dahulu untuk berobat."
"Waktu anak mau diperkosa, Tio Kongcu itulah yang sudah menolong," kata Tio Beng sambil mengunjuk Bu Kie. "Koko yg tak tahu, latar belakangnya berbalik menuduh dia sebagai pemberontak Thia ada satu peekraan besar yg harus dilakukan oleh anak dan Tio Kongcu. Sesudah selesai kami berdua akan segera menemui Thia Thia."
Mendengar keterangan itu, Jie Lam Omg tahu bahwa putrinya mencintai Bu Kie. Tapi menurut laporan puteranya, pemuda itu Kauwcu dari Beng Kauw kepala pemberontak yg coba merobohkan Gaon Tiauw.
Kunjungannya ke Tiongkok Selatan adalah untuk menghadapi kawanan pemberontak Beng Kauw didaerah Hway see, Ho Lamg dan Ouwpak. Maka itu cara bagaimana ia bisa mempermisikan putrinya mengikuti si kepala pemberontak" "Kakak Kauwcu dari Beng Kauw," katanya. "Apa benar?"
"Koko paling pandai mengarang cerita," jawabnya. "Thia coba taksir2 usianya. Apa mungkin orang yang seperti dia menjadi pemimpin pemberontak Beng Kauw."
Jie Lam Ong mengawasi Bu Kie. Ia menaksir paling banter pemuda itu berusia 22 tahun. Sesudah terluka muka bu kie pucat, sehingga yang tak tahu lebih baik pasti tidak akan menduga bahwa dia adalah pemimpin dari ratusan ribu tentara rakyat. Tapi raja muda itu tahu, bahwa putrinya sangat berakal budi.
Biarpun bukan seorang kauwcu, mungkin sekali pemuda itu salah seorang tokoh penting di dalam Bengkauw pikirnya. Memikir begitu ia lantas saja membentak, "Bawa dia kekota dan selidiki asal usulnya. Asala saja dia bukan anggota Mo Kauw aku akan "memberi hadiah," dengan begitu, ia coba menolong putrinya supaya si nona tak usah mendapat malu terhadap orang2 sebawahannya.
Empat bucu segera mendekati Bu Kie.
Tio Beng menangis, "Thia thia apa benar mau mau memaksakan kebinasaanku?" tanyanya. Ia menekan pisaunya yg lantas saja menancap setengah dim, di daging sehingga darah lantas saja mengucur dan menodai bajunya.
Jie Lam Ong terkesiap, "Beng beng! Tak boleh kau berbuat begitu?" teriaknya.
"Thia thia anakmu tidak berbakti?" kata pula si nona. "Diam diam anak sudah menikah dengan Tio Kongcu dan sekarang anak sudah mengandung! Kalau Thia mau membinasakand ia, binasakanlah anak terlebih dahulu?"
Pengakuan itu bagaikan halilitar ditengah hari bolong. Bukan saja Jie Lam Ong dan Ong Popo, bahkan Bu Kie sendiri kaget tak kepalang. Pemuda itu tak pernah mimpi, bahwa untuk melindungi dirinya si nona rela mengarang cerita itu, kedustaan yg menodai kesuciannya sendiri sebagai seorang gadis bangsawan dan terhormat.
Berulang ulang Jie Lam Ong membanting2. "Apa benar".... Apa benar"...." tanyanya berulang2.
"Hal itu adalah hal yg sangat memalukan," jawabnya. "Kalau bukan karena terpaksa anak pasti tidak akan membusukkan nama sendiri di hadapan orang banyak. Anak tahu, kejadian ini juga akan menyeret nama baik ayah dan saudara. Thia thia, jangalanh kau berduka! Hitung2 Thia thia kehilangan seorang anak. Lepaskanlah supaya anak bisa bawa diri sendiri!"
Dengan tagnan rada bergemetaran raja muda itu mengurut2 jenggotnya, sedang kepala dan mukanya basah dengan keringat. Dia adalah seorang jendral besar yang biasa mengambil keputusan2 penting dalam waktu yg sependek2nya. Tapi sekarang ia bingung. Ia tak tahu apa yg harus diperbuatnya.
"Moaycu," kata Ong Popo, "Kau dan Tio Kongcu terluka berat, maka sebaiknya pulang bersama sama Thia thia untuk berobat. Sesduah kau berdua sembuh, Thia thia lantas bisa menikahkan kamu secara pantas. Thia thia dapat menatu, aku sendiri mendapa moay-hu. Bukankah lebih baik begitu?"
Tio Beng tahu, bahwa bujukan sang kakak hanya merupakan tipu untuk mengulur waktu. Ia tahu, bahwa begitu lekas jatuh ke dalam tangan mereka, Bu Kie tak usah harap hidup lebih lama lagi. Tanpa menghiraukan kakaknya, ia lantas saja berkata, "Thia thia, ibarat beras sekarang adalah menjadi bubur.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Kata orang, kawin dengan ayam, mengikut ayam, kawin dengan anjing, mengikuti anjing. Mati atau hidup anak mengikut Tio Kongcu. Segala siasat tidak akan bisa memperdayai aku. Bagi Thia thia hanya terbuka 2 jalan. Apabila kau suka mengampuni anak, anak akan hidup terus. Tapi jika kau ingin anak mati, anak anak segera mati di hadapanmu."
"Beng beng!" bentak sang ayah dengan gusar. "Kau harus pikir masak2. Jika kau mengikuti pemberontakan itu, mulai dari sekarang kau bukan anakku lagi."
Dalam sedetik itu, si nona memikiri bulak balik ratusan kali. Ia merasa sangat berat untuk meninggalkan ayah dan kakak. Mengingat kecintaan sang ayah, hatinya seperti tersayat pisau. Tapi ia mengerti, bahwa sedikit saja ia bersangsi, jiwa Bu Kie takkan bisa ditolong lagi. Ia segera mengambil keputusan untuk lebih dahulu menolong kecintaannya dan dihari kemudian, barulah berusaha untuk meminta pengampunan sang ayah dan kakak. Maka itu, ia lantas saja berkata dengan suara perlahan.
"Thia thia.. koko" segala apa memang salah Beng beng. Ampunilah aku?"
Melihat keputusan putrinya tak bisa diubah lagi, bukan main rasa dukanya Jie Lam Ong. Ia merasa sangat menyesal, bahwa ia telah memperlihatkan rasa cintanya secara berlebih2an terhadap anak itu dan membiarkannya berkelana di dunia Kangouw, sehingga terjadi kejadian yang menyakiti hatinya itu.
Mereka mengenal putri itu sebagai manusia keras kepala. Kalau dipaksa, bukan tak bisa jadi dia benar2
akan membunuh diri. Tanpa merasa jenderal tua itu menghela napas dan air matanya mengucur, "Beng beng..." katanya dengan suara parau, "Kau harus bsia menjaga diri. Thia thia mau pergi" berhati-hatilah!..."
Si nona mengangguk. Ia tidak berani mengangkat muka untuk melihat wajah ayahnya.
Jie Lam Ong memutar tubuh lalu turun gunung dengan tindakan perlahan. Ia seperti tidak melihat kudanya yg dituntun oleh seorang pengawal. Ia terus berjalan kaki. Tapi baru berjalan belasan tombah, tiba2 ia menengok dan berseru, "Beng beng, apa lukamu tak berbahaya" Apa kau bawa uang?"
Dengan air mata berlinang2, si nona menganggutkan kepalanya.
Alis Jie Lam Ong berkerut. Tiba2 dia berpaling kepada pengawalnya dan berkata, "Serahkan dua ekor kuda kepada Kun Cu!"
Beberapa pegawal lantas saja menuntun dua ekor kuda pilihan dan menyerahkan nya kepada Tio Beng.
Sesudah menghadiahkan kedua ekor kuda kepada putrinya, dengan diiring oelh para pengawal, Jie Lam Ong terus turun gunung. Enam orang busu memapak ketiga pendeta Thian tiok yg tidak bisa jalan karena kehabisan tenaga. Tak lama kemudian di jalanan itu hanya ketinggalan Bu Kie dan Tio Beng berdua.
Bu Kie lantas bersila dan mengerahkan sinkang untuk mengeluarkan hawa dingin akibat pukulan Lok Thung Kek, dari dalam tubuhnya. Dia menderita luka berat, sebab pada Long Thung Kek mengirim pukulan, ia sedang menggunakan seanterot tenaganya untuk menghadapi ketiga pendeta Thian tiok.
Sesudah ia mengerahkan Kioe Yang Cin Khie tiga putaran dan dua kali memuntahkan darah, barulah dadanya yg menyesak jadi lebih lega. Ia membuka mata dan melihat paras muka Tio Beng yg diliputi rasa kuatir, "Tio Kouwnio, kau sangat menderita," katanya dengan suara lemah lembut.
"Apa sampai sekarang kau masih merasa perlu untuk memanggil aku dengan istilah Tio Kouwnio?"
tanya si nona. "Aku sudah bukan orang Kerajaan lagi, aku sudah bukan seorang Kuncu" Apa" apa kau menganggap aku sebagai wanita siluman?"
Perlahan-lahan Bu Kie bangun berdiri.
"Aku ingin ajukan satu pertanyaan," katanya dengan suara sungguh2. "Kau harus menjawab sejujur2nya. Siapakah yg melukai piauw moay ku, In Lee" Apa kau?"
"Bukan!" jawabnya.
"Kalau bukan kau siapa?"
"Aku tidak bisa memberitahukan. Begitu lekas aku bertemu dengan Cia Tayhiap, orang tua itu bisa segera memberi keterangan jlease kepadamu."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Giehuku" Apa benar Giehu tahu siapa yg turunkan tangan jahat?"
"Kau baru saja terluka dan kau tidak boleh banyak berpikir. Aku hanya ingin mengatakan begini.
Apabila dihari kemudian, sesudah menyelidiki sejelas2nya, kau mendapat bukti bahwa Thio Kouwnio dicelakai olehku, maka tanpa kau turun tangan, aku sendiri akan membunuh diri dihadapamu."
Mendengar perkataan yg diucapkan sangat bernapsu dan tegas jelas, Bu kie tidak bisa percaya.
Sesudah memikir sejenak ia berkata. Hm" kalau tak salah piauwmoay dicelakai oleh salah seorang dari kapal Persia. Mungkin sekali seorang yg berkepandaian tinggi dari kapal itu diam diam menyateroni pulau itu membikin kami semua jadi mabuk, turunkan tangan jahat terhadap piauw moay dan kemudian mencuri Ie Thian Kiam dan To Liong To. Dilihat begini, sesudah menolong Gie Hu, kita harus pergi ke Persia. Hai!... Siauw Ciauw!...
Tio Beng tertawa geli, "Ku tahu segala akalmu," katanya. "Kau ingin bertemu dengan Siauw Ciauw dan kau sengaja membuat dugaan yg tidak2. Aku menasehati, lebih baik kau jangan memikir yg bukan.
Paling penting kau mengobati lukamu, supaya kita bisa pergi ke Siauw Lim Sie secepat mungkin."
Bu Kie heran, "Perlu apa ke Siauw Lim Sie?" tanyanya.
"Menolong Cia Tayhiap?" jawabnya.
Bu Kie jadi lebih heran lagi, "Giehu berada di Siauw Lim Sie?" ia menegas.
"Bagaimana Giehu berada disitu?"
"Hal ini banyak seluk beluknya," sahut si nona. "Akupun masih belum tahu seterang2nya. Tapi bahwa Cia Tayhiap sekarang berada di Siauw Lim Sie adalah kenyataan yang tak dapat dibantah lagi. Diantara orang2 sebawahanku terdapat seorang serdadu yang mencukur rambut dan menjadi pendeta di Siauw Lim Sie. Dialah yang beritahukan aku tentang Cia Tayhiap."
"Ha!... sungguh lihai!..." seru Bu Kie. Entah apa yg dimaksudkan olehnya dengan perkataan lihai itu.
Mungkin lihai itu berarti hebatnya bahaya yg dihadapi Cia Sun. Sesudah berkata begitu ia menundukkan kepala dan tak bicara lagi. Mendadak tubuhnya bergoyang "uah". Ia muntah darah.
Tio Beng jadi bingung "Aku sungguh menyesal!" katanya. "Kalau kutahu lukamu begitu hebat, kalau kutahu kau jadi begitu jengkel aku pasti takkan bicara."
Bu Kie duduk menyandar dibatu gunung dan berusaha untuk menjernihkan pikirannya. Tapi sebab pikirannya lagi kalut ia gagal dalam usahanya. "Kong kian Sengceng dai Siauw Lim Sie dibinasakan oleh Gie Hu," katanya. "Selama dua puluh tahun lebih orang2 Siauw Lim Sie coba mencari Gie hu untuk membalas sakit hati. Kalau sekarang Gie hu jatuh ketangan mereka, jiwalnya pasti akan melayang."
"Kau tak usah bingung," bujuk si nona. "Ada sesuatu yang menolong jiwa Cia Tayhiap."
"Apa itu?" "To Liong To." Bu Kie mendengar. Ia mengakui kebenaran perkataan Tio Beng. Selama beberapa ratus tahun Siauw Lim pay menjadi pemimpin dalam rimba persilatan. Partai itu sangat ingin memiliki To Liong To yg dikenal sebagai "Bu lim Cie cun" (yang termulia dirimba persilatan).
Untuk mendapatkan golok mustika itu mereka pasti takkan gampang2 membunuh ayah angkatnya. Tapi biar bagaimana pun juga, orang tua itu tentu takkan terlolos dari macam2 penderitaan dan haluan.
"Menurut pendapatku, usaha menolong Cia Tayhiap sebaiknya dilakukan oleh kita berdua saja," kata Tio Beng. "Biarpun dalam Beng Kauw terdapat banyak orang gagah, tapi kalau kita menyerang secara besar2an, kedua belah pihak pasti akan mendapat kerusakan besar. Apabila Siauw Lim Sie merasa tak tahan menghadapi serang Beng Kauw, mungkin sekali mereka akan turunkan tangan jahat terhadap Cia Tayhiap, sebelum kita keburu menolong."
Bu Kie manggut2kan kepala. Ia menyetujui perkataan si nona dan ia merasa sangat berterima kasih,
"Beng moay, kau benar", katanya. (Beng moay = adik Beng).
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Sungguh sedap perkataan "Beng moay" itu, yang digunakan Bu Kie untuk pertama kali! Tapi dilain detik Tio Beng ingat orangtuannya, sanak familinya. Ia ingat bahwa mulai sekarang ia tak bisa pulang lagi kepada orantuanya dan mengingat begitu, ia berduka. Bu Kie apa yang dipikir gadis itu, tapi ia tak tahu bagaimana harus menghiburnya. Akhirnya ia berbangkit dan berkata. "Hayo kita berangkat."
Melihat paras muka Bu Kie yang pucat pasi. Si nona merasa sangat kuatir. "Thia thia yang sangat mencintai aku tidak akan mengambil tindakan," katanya. "Yang aku kuatir adalah koko. Dia mungkin akan mengirim orang untuk menangkap kita.
Bu Kie mengangguk. Ia pun merasa bahwa Ong Popo yang sangat lihat tak akan gampang2 mau melepaskan mereka berdua. Mereka terluka berat dan perjalanan ke Siauw Lim Sie kelihatannya penuh dengan duri.
"Bu Kie koko," kata si nona. "Sekarang kita menyingkir dulu dari tempat ini. Sesudah tiba di kaki gunung barulah kita berdami lagi."
Sekali lagi Bu Kie mengangguk. Dengan tindakan limbung mendekati kuda. Selagi mau melompat naik, tiba2 badannya sakit dan tenaganya tak cukup untuk naik kepunggung kuda. Sambil mengigit gigi, Tio Beng mendorong dia keatas dengan tangan kiri. Tapi sesudah Bu Kie berada diatas kura, lukanya di dada akibat tusukan pisau kembali mengeluarkan darah. Dengan banyak susah barulah ia bisa turut naik dan duduk dibelakang Bu Kie. Kalau tadi ia dipapah Bu Kie, sekarang ia yang harus memapah Bu Kie.
Sesudah mengaso beberapa saat, tunggangan itu baru dijalankan, sedang yang seekor lagi mengikuti dari belakang.
Perlahan-lahan mereka turun gunung. Tio Beng sudah menduga pasti, bahwa sebegitu lama masih berada di hadapan ayahandanya, kakaknya tentu tidak akan berani bertindak. Tapi kalau sudah menyingkir dari mata orang tua itu, Ong Popo bisa mengambil segala rupa tindakan. Maka itu, mereka segera membelok ke timur dan kemudian mengambil sebuah jalanan kecil. Sesudah berjalan beberapa lama, mereka merasa agak lega. Andaikata Ong Popo mengirim orang untuk mengejar, tak mudah orang itu bisa menemukan mereka.
Selagi enak jalan, sekonyong2 terdengar suara kaki kuda dan dua penunggang kuda mendatangi dari belakang dengan cepatnya. Muka Tio Beng lantas saja berubah pucat. Sambil memeluk pinggang Bu Kie, berkata, "Kakakku bertindak cepat sekali. Kita ternyata tidak bisa terlolos dari tangannya. Bu Kie biarlah aku pulang dulu. Aku akan berikhtiar untuk memohon kepada ayah supaya kita bisa berkumpul kembali.
Bu Kie koko, aku akan bersumpah tidak akan mengkhianati kau!" Sesaat itu kedua pengejar sudah datang dekat sekali. Tio Beng menarik les supaya tunggangan miring ke sisi jalanan dan mencabut pisaunya. Ia sudah mengambil keputusan pasti, bahwa jika kakaknya mau jiwa Bu Kie, ia akan mati bersama2
kecintaannya itu. Tapi sesudah elwat, kedua pengejar itu tidak lantas berhenti dan ternyata mereka hanialah dua serdadu biasa. Baru saja Tio Beng bergirang, kedua serdadu Mongol itu mendadak menahan kuda tunggangan mereka dan sesudah berdamai sejenak mereka lalu membelokkan kuda dan menghampiri.
"Hai! Darimana kamu curi kuda2 itu?" bentak salah seorang yang berewokan.
Mendengar bentakan itu Tio Beng tahu, bahwa mereka jadi mata merah karena melihat kuda yang dihadiahkan oleh ayahnya. Kuda2 itu adalah tunggangan pilihan dengan seta tertata emas sanggurdi yg terbuat daripada per k. Orang2 Mongol sangat mencinai kuda, sehingga oleh karenanya tidaklah heran kalau kedua serdadu itu bergoncang hatinya. Diam2 si nona mengambil keputusan bahwa kalu terpaksa ia akan menyerahkan kuda2 itu. "Jangan kurang ajar!" bentaknya dalam bahasa Mongol, "Dalam pasukan siapa kamu berdua?"
Serdadu itu terkejut. "Siapa Siocia?" dia balas menanya. Melihat pakaian Bu Kie dan Tio Beng yang sangat indah dan mendengar bahasa Mongol yg diucapkan dengan lancar dia tidak berani berlaku sembrono.
"Aku adalah putri Waeri Puche Ciangkun," jawab Tio Beng. "Ini kakakku. Ditengah jalan aku bertemu dengan orang jahat dan kami terluka."
Kedua serdadu itu saling melirik dan kemudian mereka tertawa terbahak2. "Bagus!" teriak si berewok.
"Paling benar aku antar kamu berdua ke akherat!" Seraya berkata begitu, dia menghunus golok menyentik les dan menerjang.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Tio Beng terkesiap. "Ee!" teriaknya. "Aku akan beritahukan ayah dan engkat akan dibeset oleh empat kuda."
Si botak menyeringai dan mengeluarkan suara di hidung. "Puche tak becus melawan pemberontak Beng kauw dan melampiaskan amarahnya terhadap aku," katanya. "Kemarin aku membenrontak dan mencincang ayahmu. Sungguh kebetulan kami bertemu dengan kamu berdua." Seraya berkata begitu ia membacok. Tio Beng mengendut les dan kudanya melompat sehingga golok membacok angin. Selagi siberewok mau mengubar kawannya yg berusia lebih muda berkata, "Jangan bunuh nona manis itu!
Paling benar kita mengambil dia untuk menghibur hati."
"Bagus!" kata si berewok.
Pada detik itu, Tio Beng yg sangat pintar sudah menghitung tindakan yg harus diambilnya. Ia melompat turun dari punggung kuda dan lari ke sisi jalanan.
Kedua serdadu itu lantas saja mengubar.
"Aduh!" teriak si nona yang lantas roboh ditanah.
Si berewok menubruk. Begitu di tubruk, dengan sikutnya Tio Beng menggentus dada si penyerang, yang tanpa bersuara lagi, lantas terguling. Gentasan itu kena tepat pada jalan darah. Kawannya gusar dan lantas menyerang, tapi iapun mendapat nasib seperti si berewok. Sesudah merobohkan kedua serdadu itu, dengan napas tersengal sengal Tio Beng turunkan Bu Kie dari punggung kuda. "Binatang! Kamu mau mati atau hidup?" bentaknya.
Kedua serdadu itu yang tidak mengharap hidup lagi, melihat jalan hidup. "Ampun nona!" kata si berewok. "Aku tidak ikut menyerang Waerl Puche Ciangkun."
"Baiklah," kata si nona. "Kamu menurut perintah, aku akan mengampuni jiwa anjingmu!"
"Turut! Turut!" jawab mereka, tergesa gesa.
Sambil menuding kedua kudanya sendiri si nona berkata, "Dengan menunggang kuda2 itu, kamu harus pergi ke jurusan timur. Dalam sehari dan semalam, paling sedikit kamu harus melalui tiga ratus li. Lebih cepat lebih baik."
Kedua serdadu itu saling mengawasi. Mimpi pun ereka tak pernah mimpi, bahwa mereka akna mendapat perintah itu. Beberapa saat kemudia barulah si berewok berkata, "Kauw nio, siauwjin tidak"
tidak berani?" "Jangan rewel!" memutus Tio Beng. "Lekas nunggang kuda2 itu! Kalau ditanya orang, katakan saja, bahwa kamu membelinya di pasar. Kamu tidak boleh beritahukan hal yg sebenarnya. Mengerti?"
Kedua serdadu itu masih bersangsi. Tapi karena didesak Tio Beng berulang2, sambil menahan sakit dan dengan terpincang2, mereka lalu menghampiri kedua tunggangan itu. Tangan mereka masih belum bisa bergerak. Untung juga setiap orang Mongol pada jaman itu mahir dalam ilmu menunggang kuda, sehingga, biarpun tidak menggunakan tangan, ia bisa juga naik kepunggung binatang itu dan kemudian menjalankannya. Mereka menduga Tio Beng seorang otak miring dan merasa kuatir, kalau si nona berubah pikiran secara mendadak. Maka itu, sesudah berjalan belasan tombak, mereka menjepit perut kuda erat2, sehingga kedua binatang itu lantas saja kabur.
Bu Kie menghela napas, "Beng moay, kau sungguh pintah," ia memuji. "Jika kuda2 itu dilihat oleh orang2nya kakakmu, mereka tentu menaksir, bahwa kita lari kejurusan timur. Beng moay, kemana kini kita menuju?"
"Ke Barat Daya," jawabnya.
Mereka lantas saja menunggung kuda yg ditinggalkan oleh serdadu Mongol dan dengan perlahan menuju ke barat daya.
Jalan kecil yg diambil mereka berliku2 dan penuh dengan pohon2 berduri. Sesudah berjalan kurang lebih satu jam dan melalulu kira2 duapuluh lie, matahari mulai menyelam ke barat. Selagi mencari2
tempat untuk beristirahat, tiba2 mereka melihat mengepulnya asal disebelah depan. "Didepan ada rumah orang untuk kita bermalam," kata Bu Kie dengan girang.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Mereka segera menuju keasap itu. Tak lama kemudia mereka lihat tembok kuning yg mengitari sebuah kelenteng.
Sesudah menurunkan Bu Kie, Tio Beng menghadapkan kuda itu ke arah Barat dan kemudian mencambuknya dengan sebatang ranting duri. Kedua binatang itu berdenger dan kabur sekeras2nya.
Demikianlah, sekali lagi si nona mengatur siasat untuk memperdayai pengejar2 yang mungkin dikirim oleh kakaknya. Dengan hilangnya tunggangan, perjalanan makin sukar dilakukan. Tapi nona Tio tidak mau memikir panjang2. ia mendahulukan apa yg dianggapnya paling penting. Untuk menyelamatkan diri ia haru lebih dahulu menenggelamkan perahu."
Dengan saling memapah, mereka mendekati pintu. Diatas pintu itu terdapat sebuah papan dengan huruf2 yang berbunyi, "Tiong gak Sin oio." (Kelenteng Malaikat Tiong gak) Tio Beng segera mengetuk2 pintu. Sesudah menunggu lama belum juga ada jawaban, si nona mengetuk lagi. Selang beberapa saat, dari dalam terdengar bentakan, "Siapa" Manusia atau setan?" dalam suara itu terdapat lweekang sehingga sudah dapat dipastikan, bahwa yg bicara adalah seorang Rimba Persilatan. Bu Kie kaget dan menarik si nona.
Tiba2 terdengar suara "kreeeyot" dan daun pintu itu yg rupanya jarang dibuka lantas saja terpentang.
Diambang pintu berdiri seorang tapi karena waktu itu cuaca mulai gelap dan dia berdiri membelakangi sinar tenar terang, maka Bu Kie dan Tio Beng tidak bisa melihat mukanya. Tapi dia seorang pendeta, sebab kepalanya gundul dan mengenakan pakaian hwee-shio.
"Kami berdua kakak beradik," kata Bu Kie. "Ditengah jalan kamu bertemu dengan perampok dan mendapat luka. Kami mohon bermalam disini dan kamu percaya Taysu suka menaruh belas kasihan."
Pendeta itu mengeluarkan suara dihidung.
"Huh" tidak!" sahutnya. "Disini bukan pengindapan." Sehabis berkata begitu, tangannya bergerak untuk menutup pintu.
"Taysu, tahan dulu!" kata Tio Beng. "Kata orang, siapa yg membantu orang, membantu diri sendiri.
Dengan menolong kamu, mungkin Taysu mendapat juga kebaikannya."
"Kebaikan apa?" tanyanya dengan aseran.
Si nona segera membuka anting2nya yg tertata mutiara dan meyerahkannya kepada pendeta itu.
Melihat mutiara yang bersinar terang, untuk sejenak si pendeta mengawasi kedua tamunya dengan mata tajam. Akhirnya ia berkata, "Baiklah! Ya " membantu orang, membantu diri sendiri."
Dengan memapah Bu Kie, Tio Beng segera bertindak masuk. Si pendeta membawa merea melewati ruang sembahyang dan sebuah perkarangan dan akhirnya berhenti disebuah kamar samping yang terletak dibagian timur.
"Kalian boleh tidur disini," katanya.
Kamar ini gelap gulita. Dengan meraba2 ranjang, Tio Beng hanya mendapat selembar kasur rumput.
Mendadak terdengar suara sangat nyaring. "Hek Sutee, siapa?"
"Dua tamu yg numpang mengindap," jawabnya si pendeta yang lantas saja bertindak untuk berlalu.
"Taysu," kata Tio Beng, "Bolehkan kami minta dua mangkok nasi dan sedikit makanannya?"
"Tidak ada nasi!" bentaknya, dan terus berlalu.
Si nona mendongkol bukan main. "Kurang ajar!" katanya, "Bu Kie koko, kau tentu lapar. Kita harus berusaha untuk mendapat makanan."
Diluar kamar sekonyong2 terdengar suara tindakan yang ramai. Sinar api berkelebat dan pintu didorong orang. Dua orang pendeta mengangkat Ciaktay (tempat menancap lilin) tinggi2. dengan sekelebatan Bu Kie sudah tahu, bahwa yang datang berjumlah delapan orang ada yg alisnya tebal
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
matanya melotot. Ada yang otot2 mukanya menonjol keluar. Semua beroman bengis dan kelihatannya semua bukan orang baik2.
"Keluarkan semua harta bendamu!" bentak seorang pendeta tua.
"Perlu apa?" tanya Tio Beng.
"Karena berjodoh kalian datang disini dan secara kebetulan kami ingin mengadakan sembahyang besar serta memperbaiki kelenteng kami yang sudah tua," kata si pendeta. "Maka itu kami minta kalian suka mengeluarkan emas, perak dan lain2 barang berharga dan menyumbangkannya kepada kami. Apabila kalian berlaku pelit dan pousat sampai jadi gusar kalian berabe sekali."
"Ah! Itulah perbuatan perampok!" kata si nona dengan gusar.
"Maaf! Maaf!" kata si pendeta sambil menyeringai. "Urusan perampok membunuh dan membakar memang perkerjaan kami. Karena didesak Mo Kauw, kami terpaksa mencukur rambut untuk mengelakan bencana. Kalian berdua berjodoh dengan kami. Kambing gemuk datang sendiri! Ha! Ha! Sungguh kejadian yg sukar terjadi lagi!"
Bu Kie dan Tio Beng terkesiap. Celaka sungguh! Mereka masuk disarang perampok.
"Lie siecu jangan takut," kata seorang pendeta lain sambil tertawa terhehe hehe.
"Kami berdelapan kebetulan tak punya nyonya. Kau begitu cantik! Sungguh kebetulan! He he he he?"
Tio Beng merogoh saku dan mengeluarkan delapan potong emas serta serenceng mutiara yg lalu ditaruh diatas meja. "Inilah semua milikku," katanya. "Kami berdua adalah orang2 Rimba Persilatan juga.
Kami harap dengan memandang persahabatan, kalian tak menganggu kami lagi."
"Bagus!" kata si pendeta tua. "Apakah aku bisa tahu nama partai kalian?"
"Kami murid Siauw Lim Pay," jawabnya. Siauw Lim Pay adalah sebuat partai besar dan dengan menyebutkan partai ebsar itu Tio Beng mengharap urusan akan jadi beres.
Tapi diluar dugaan si tua lantas saja tertawa terbahak2. "Murid Siauw Lim Pay?" Ia menegas denga suara menyeramkan. "Sungguh kebetulan! Kami tidak bisa melawan hweeshio2 Siauw Lim Pay dan sekarang mendapat kesempatan untuk melampiaskan ganjelan kamu terhadap kamu." Seraya berkata begitu, ia mengangsurkan tangannya untuk menarik Tio Beng. Si nona mundur, sehingga tangan itu menjambret angin.
Bu Kie mengerti, bahwa baya sudah sangat mengancam. Ia dan Tio Beng terluka berat dan tidak bisa melawan. Selama beberapa tahun ia merobohkan banyak jago Rimba Persilatan yg kenamaan. Apa sekarang ia mesti binasa di dalam tangan kawanan penjahat kecil" Tidak! Biar bagaimana pun juga, ia mesti melawan. "Beng Moay," bisiknya "Kau sembunyi dibelakang ku. Aku masih bisa bereskan mereka."
Nona Tio sangat pintar. Tapi sekarang ia mati akal. "Siapa sebenarnya kamu semua?"
"Kami adalah murid2 yang diusir dari Siauw Lim Sie," jawab si perampok tua.
"Kalau bertemu dengan anggota lain partai, kami masih bisa menaruh belas kasihan. Tapi terhadap orang Siauw Lim sie" huh.. huh!... semuanya mesti dibunuh."
"Bagus!" bentak Bu Kie. "Kamu pasti murid2 pendeta jahat Goan Tin. Bukan begitu?"
Si perampok tua (Red: aslinya di bilang si nona) mengeluarkan seruan kage. "Heran! Bagaimana kau tahu?" tanyanya.
"Kami justru mau ke Siauw lim sie." Tio Beng mendahului. "Kami ingin menemui Tan Yoe Liang toako untuk mengangkat Gian Tin Taysu menjadi Hong thio." (Hong Thio kepala sebuah kelenteng).
"Bagus!" seru si tua. "Sang Budha memang sangat murah hati."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/


Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya." Menyambung si nona, "kita semua harus bersatu padu untuk mencapai tujuanyg besar."
Semua penjahat itu tiba2 tertawa terbahak2.
Kedelapan penjahat itu memang benar konco2 nya Tan Yoe Liang. Tan Yoe Liang lah yg membawa mereka ke Gian tin. Mereka berasal dari Rimba Hijau (kalangan perampok) dan memiliki ilmu yg cukup tinggi. Sesudah mendapat petunjuk2 Goan tin kepandaian mereka bertambah tinggi. Selama beberapa tahun memang Goan tin berusaha keras untuk merebut kedudukan hong thio dan mencari murid dari berbagai tempat. Untung juga Siauw lim sie mempunyai peraturan yang keras dan setiap murid baru selalu diselidiki asal usulnya, sehingga Goan tin tiada berhasil dalam usaha mengumpulkan orang2nya di dalam kuil itu. Belakangan Tan Yoe Liang mengatur lain siasat. Ia mencari orang2 gagah dan penjahat2
dalam dunia Kang ouw dan mereka mengangkat Goan tin sebagai guru diluar Siauw Lim sie. Mereka disiapkan sekitar Siauw Lim Sie dan menunggu saat yg baik untuk turun tangan.
Goan tin adalah ahli silat kelas utama pada jaman itu. Mendengar nama Siauw Lim sie yang cemerlang dan melihat kepandaian pendeta itu banyak orang Kang ouw lari dari partainya sendiri dan rela menjadi muridnya, untuk menjadi murid Goan tin. Perkataan "Sang Budha memang sangat murah hati"
sebenarnya kata2 rahasia dari persekutuan Goan tin dan harus dijawab dengan "Kembang mekar menemui Sang Budha." Tio Beng sangat pintar. Ia bisa lantas menebak, bahwa Goan Tin ingin merebut kedudukan hong thio, tapi ia tidak tahu, bahwa perkataan yg diucapkan oleh si tua adalah kata2 rahasia.
"Hu toako," kata seorang yg katai gemuk, "Bocah perempuan itu mengatakan guru kita mau diangkat sebagai Hong thio. Darimana ia dengar warta itu" Hal ini hal besar. Kitaharus menyelidiki seterang2nya."
Sementara itu, begitu mendenar nada tertawa kedelapan penjahat itu, Bu Kie sudah tahu bahwa ada sesuatu yg tidak benar dan bahaya yg lebih besar sedang mengancam. Sesudah terluka, meskipun Cin khie (hawa tulen) di dalam tubuhnya tidak menjadi musnah, hawa itu suka dikumpulkan dan digunakan untuk berkelahi. Dalam menghadapi bencana, mati2an ia berusaha untuk mengumpulkan hawa tersebut.
Tapi ia gagal. Hawa itu berkumpul dalam kelompok2 kecil disana sini dalam tubuhnya, tapi tidak bisa menjadi satu dan mengalir disepanjang jalan darah.
Tiba2 si penjahat tua menjambret Tio Beng. Sebab tak kuat menangkis, si nona hanya mundur keranjang Bu Kie sendiri tetap bersila sambil memejamkan kedua matanya. Ia terus mengerahkan pernapasannya dengan harapan sebagian tenaganya akan pulih kembali.
Melihat Bu Kie bersila dengan tenang di tengah ranjang, penjahat yg bertubuh katai gemuk meluap darahnya. "Bocah, kau sungguh sombong!" bentaknya sambil mengerahkan seluruh lweekangnya, sehingga tulang2nya berbunyi perotok2 dan kemudian, ia meninju Lan thiong hiat di dada Bu Kie sekuat2nya. "Buk!" Sehabis meninju lengan kanannya terkulai, matanya melotot dan ia tidak bergerak lagi. Si pendeta tua terkejut dan mengangaurkan tangan untuk menarik kawai itu. Tapi begitu tersentuh, si katai gemuk roboh --- mati!
Kawanan penjahat itu kaget tercampur gusar. Mereka menduga Bu Kie memiliki ilmu siluman.
Mengapa penjahat itu binasa seketika" Sebagaimana telah dikatakan, sesudah terluka Cin Khie (hawa tulen) dalam tubuh Bu Kie sukar berkumpul menjadi satu dan tidak bisa digunakan untuk melukai musuh.
Tapi biarpun begitu, Kioe yang sin Kang di dalam badannya tidak menjadi musnah. Penjahat itu memukul dengan sepenuh tenaganya. Kioe yang Sin kang Bu Kie waktu itu memang tidak cukup untuk menghantam musuh, tapi lebih dari cukup untuk melindungi dirinya sendiri. Begitu terpukul, tenaga Kioe yang segera menolah dan memulangkan tenaga pukulan itu. Disamping itu terjadi pula kejadian yg diluar dugaan. Karena terpukul hawa Kioe yang dalam Bu Kie terbangun pula, sehingga tenaga menolak ditambah lagi dengan tenaga lain. Itulah sebabnya mengapa si penjahat lantas saja binasa.
Pendeta tua itu seorang yg berpengalaman luas. Ia tahu bahwa Bu Kie mengugnakan ilmu meminjam tenaga, memukul tenaga. Tapi ia tidak jadi gentar, sebab ia percaya akan kelihaiannya Tiat see ciang nya (Tangan Pasir Besi). Sambil menarik napas dalam2, ia segera memukul dengan kedua tangannya.
Dalam Rimba Persilatan, Tiat See Ciang si tua cukup terkenal dan ia mendapat julukan Sin see Pa Thian Chioe (Tangan pasir malaikat yg bisa memecahkan langit) Waktu kawannya yg gemuk memukul dada Bu Kie ia menyaksikan terang2an denga kedua matanya sendiri. Ia menduga bahwa didada pemuda itu tersimpat senjata beracun. Maka itu ia sekarang tujukan pukulannya kepada lengan Bu Kie yang berada di luar tangan baju. Ia ingin mematahkan lengan itu lebih dahulu dan kemudian barulah membinasakan pemuda itu. Tapi begitu memukul tubuh si tua terbang
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
keluar dari jendel yg terbukan menjadi hancur dan kepalanya membentur batang pohon, sehingga ia binasa seketika itu juga.
Ketiga kawannya, yg masih belum tahu nasib si tua, lantas saja menyerang dengan berbareng. Yang satu meninju Tay yang hiat yang satu mencoba mengorek biji mata dengan pukulan Siang liong Chio cu (Sepasang naga merebut mutiara) sedang yg ketig menendang tan tian (dibawah pusar). Dengan menundukkan kepala Bu Kie menggores dua jari tangan yang mau mengorek biji matanya sehingga pukulan itu mampir pada dahinya dan sambil menahan napas, ia menerima dua pukulan yg lain.
Kasih Diantara Remaja 7 Pedang Awan Merah Karya Kho Ping Hoo Kesatria Baju Putih 9

Cari Blog Ini