Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong Bagian 42
Sesudah mengawasi golok mustika itu beberapa saat, Bu Kie menyabetkannya ke arah sepasang tombak Mongol. "Tak!" dua tombak itu putus menjadi empat potong.
Para hadirin bersorak sorai. Sementara itu, Gouw Kin Co memegang dua potong Ie thian kiam dengan mata merenung. Di depan matanya terbayang mendiang Cung ceng Ciang Kie su Swee kim-kie dan puluhan saudara lain yang dibinasakan dengan pedang itu.
Perlahan-lahan air matanya mengalir turun, "Kauwcu," katanya dengan suara perlahan. "Pedang ini telah mengambil jiwa Chung To do dan banyak saudara lain. Gouw Kin Co membencinya sampai ke tulang-tulang. Dengan sangat menyesal, aku tak sanggup menyambungnya kembali. Aku bersedia menerima segala hukuman." Sehabis berkata begitu ia menangis tersenguk-senguk.
"Gouw heng sama sekali tidak berdosa," kata Bu Kie dengan suara lemah lembut.
"Itu hanya menunjuk "gie hie" Gouw heng yang sangat tebal." Ia mengambil dua potong pedang itu dari tangan Gouw Kin Co dan menghampirinya. "Ceng hui! Pedang ini adalah milik Go bie pay,"
katanya. "Kuminta Su thay sudi mengambilnya untuk kemudian diserahkan kepada Ciu"kepada Song Hu jin." Ceng hui mengambilnya tanpa mengeluarkan sepatah kata.
Untuk beberapa lama Bu Kie mencekal To liong to sambil mengerutkan alis. Akhirnya ia berpaling kepada Kong bun dan berkata, "Hong thio, golok ini didapatkan oleh Giehuku. Sekarang Giehu sudah menjadi seorang pendeta dan murid Siauw lim. Sudah sepantasnya kalau To liong to disimpan oleh Siauw lim pay."
Kong bun menggoyang-goyangkan tangannya. "Golok itu telah menemukan majikannya," katanya.
"Dari berlaksa tentara, Thio Kauwcu telah merebut kembali To liong to. Hal ini disaksikan oleh semua orang. Belakangan Gouw Toako menyambungnya kembali dengan mengucurkan darah sendiri.
Disamping itu, segenap anggota Rimba Persilatan telah mengangkat Thio Kauwcu sebagai Bu lim Beng cu, baik dilihat dari sudut kepandaian dan kebijaksanaan, maupun dari sudut kebajikan dan kedudukan yang tinggi, To liong to harus berada dalam tangan Thio Kauwcu. Menurut pendapat loolap hal ini adalah yang paling adil."
Semua orang menyetujui pendapat Kong bun dan beramai-ramai mendesak supaya Bu Kie sudi menerimanya.
Karena tidak bisa menolak lagi, mau tak mau Bu Kie lalu menggantungkan To liong to dipinggangnya.
"Apabila dengan golok ini aku bisa menguasai enghiong Timba Persilatan untuk mengusir Tat cu, aku akan merasa girang sekali," pikirnya.
Semua orang merasa girang. Banayk yang lalu menghafal kata-kata yang dikenal sejak seratus tahun yang lalu. "Bu lim cie cun, po to to liong, hauw leng, thiat hu, boh kam poet ciong!" atau Yang mulia dalam Rimba Persilatan adalah golok mustika To liong. Memerintah di kolong langit, tak ada yang berani tidak menurut. Disebelah bawah masih ada perkataan, "le jian poet cut, swee ie kiam ceng hiong?"
apabila Ie thian kiam tidak keluar, siapakah yang berani mengadu ketajaman dengan dengannya" Melihat Ie thian kiam sudah tidak dapat disambung lagi, orang-orang yang menghafal tidak menyebutkan lagi delapan perkataan yang terakhir itu. Pihak yang merasa paling puas karena rusaknya Ie thian kiam adalah anggota-anggota Swie kim kie, sebagaimana diketahui banyak orang, bendera itu telah dibinasakan dengan pedang menggunakan pedang mustika tersebut.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Sesudah penyambungan golok selesai, sejumlah anggota Ang su kie menggotong keluar sebuah kuali besar dari dalam kuil dan sesudah mengisi minyak dalam kuali itu segera menarihnya di atas dapur.
Minyak panas itu akan digunakan untuk menyemprot tentara Mongol jika mereka menyerang pula.
Sore itu, kecuali tentara Ngo beng kie dan sejumlah pendeta Siauw lim yang menjaga di luar, semua orang bersantap di dalam kuali itu. Sehabis makan Bu Kie memanjat satu pohon besar dan mengamat-amati gerakan musuh di kaki gunung. Ia lihat tentara Mongol terpencar di sana sini di seputar gunung dan asap putih mengepul di berbagai tempat yang merupakan satu tanda bahwa serdadu-serdadu itu sedang menanak nasi.
Bu Kie melompat turun dari pohon. "Wie heng," katanya kepada Wie It siauw. "Saat malam menjelang kau selidiki keadaan musuh kalau-kalau mereka ingin menyerang di waktu malam."
Wie it Siauw mengiyakan dan segera berlalu.
"Kauwcu," kata Yo Siauw, "Menurut pendapatku, sesudah dihajar di depan gunung hari ini, Tatcu tidak akan menyerang lagi. Yang kita harus jaga adalah bokongan dari gunung."
"Benar," kata Bu Kie. "Mari kita mengamati dari atas bukit." Bersama Yo Siauw, Hoan Yauw dan Gan Hoan, ia segera berangkat ke bukit di belakang gunung di mana Cia Sun pernah dipenjarakan.
"Aku ikut!" kata Tio Beng.
Dari puncak bukit, mereka mengawasi ke bawah, keadaan tenang-tenang saja. Sama sekali tak ada petunjuk dari gerakan tentara. Sambil mengusap-usap tiga batang siong yang dirubuhkannya, Bu Kie ingat pengalamannya yang sangat hebat. Tiba-tiba dalam otaknya teringat peringatan, "Ah, hampir kulupa," katanya di dalam hati. "Gie hu telah berpesan agar kuperiksa keadaan di dalam lubang."
Batu penutup lubang masih belum dikembalikan ke tempat asalnya. Ia segera melompat turun.
Ternyata dasar lubang itu merupakan sebuah kamar dengan garis tengah kira-kira setombak. Cuaca sudah mulai gelap dan keadaan di lubang itu lebih gelap lagi. Ia mengeluarkan bibit api untuk menerangi keadaan lubang. Dengan bantuan sinar api, ia lihat empat gambar di empat penjuru dinding batu. Gambar-gambar itu dilukis engan menggunakan potongan batu tajam, sederhana tapi cukup terang.
Gambar di sebelah timur memperlihatkan dua wanita " yang satu tidur di tanah, yang lain menotok wanita yang tidur dengan jari tangan kirinya, sedang tangan kanannya merogoh saku yang sedang tidur itu. Di sisi gambar terdapat tulisan yang berbunyi "mengambil obat".
Gambar di sebelah selatan menunjuk sebuah gambar kapal dan seorang wanita yang melemparkan seorang wanita lain ke kapal itu. Pada gambar itu terdapat tulisan "mengusir"
Bu Kie mengeluarkan keringat dingin. "Benar-benar begitu kejadiannya!" pikirnya. "Cie Jiak menotok jalan darah Beng moay dan mencuri Sip hiong Joan kin san untuk meracuni Giehu dan aku. Sesudah itu ia melemparkan Beng moay ke kapal Persia. Tapi mengapa ia tidak membunuhnya" Hmm"ya! Kalau dibunuh, ia tidak bisa menimpakan dosa diatas pundak Beng moay. Kalau begitu piauw moay pun dicelakai olehnya."
Di bawah gambar itu dilukiskan dua orang lelaki. Yang satu sedang tidur pulas, yang lain yang rambutnya panjang tengah memasang kuping. Bu Kie kaget. Ia sekarang menyadari bahwa semua perbuatan Cie Jiak diketahui oleh ayah angkatnya. "Giehu sungguh bisa menahan sabar dan di pulau itu ia sama sekali tidak memperlihatkan tanda-tanda bahwa ia sudah tahu pengkhianatan Cie Jiak," katanya dalam hati.
"Ia memang harus berlaku begitu. Ketika itu ia dan aku sudah menelan Sip hiang Joan kin-san dan jiwa kami berada dalam tangan Cie Jiak. Tak heran kalau Giehu menuduh Beng moay dengan sungguh-sungguh. Ia tahu aku seorang jujur, apabila aku ragu, rahasia bisa bocor."
Pada gambar ketiga, di sebelah barat terlihat Cia Sun yang sedang duduk dan dibokong dari belakang oleh Cie Jiak, sedang dari luar menerobos masuk sejumlah anggota Kay pang. Gambar ini sama dengan apa yang terlihat dalam arak-arakan di kota raja.
Baru saja Bu Kie mau memeriksa gambar keempat, api padam. "Beng moay, kemari," serunya.
"Kupinjam api."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Tio Beng melompat turun. Gambar keempat memperlihatkan dibawanya Cia Sun oleh belasan pria, sedang di kejauhan dari belakang pohon mengintip seorang wanita muda. Lukisan keempat gambar itu sangat baik muka orangnya kecuali muka Cia Sun yang tidak menyerupai orang-orang itu. Bu Kie mengerti bahwa hal itu sudah terjadi karena Cia Sun buta sejak puluhan tahun berselang dan belum pernah melihat muka orang-orang yang dilukisnya.
Sambil menuding wanita muda yang bersembunyi di balik pohon, Bu Kie bertanya, "Siapa wanita itu"
Kau atau Cie Jiak?" "Aku," jawabnya. "Seng Kun merampas Cia Tayhiap dari tangan Kay pang dan kemudian mengirimnya ke Siauw lim sie. Tapi ia sendiri membuat tanda-tanda Beng kauw sehingga kau mengubar-ubar tanda-tanda itu dalam sebuah lingkaran besar. Sering aku ingin merebut Cia Tayhiap tapi selalu tidak kesampaian. Belakangan aku mencoba juga tapi gagal dan aku hanya bisa mengambil segenggam rambut Cia Tayhiap untuk dijadikan barang bukti guna mencegah pernikahanmu dengna Cie Jiak. Saat melakukan itu aku merasa tak enak hati dan merasa bersalah terhadapmu."
Bu Kie mengawasi si nona dengan mata merenung. Selama beberapa bulan, nona yang ayu itu kurus banyak, pipinya menjadi agak pucat dan ia merasa sangat kasihan. Tiba-tiba ia memeluk erat-erat. "Beng moay"aku yang bersalah." Karena pelukan itu api segera padam dan gua itu gelap gulita. "Beng moay,"
kata Bu Kie pula. "Jika kau kurang pintar, mungkin sekali aku sudah membunuhmu. Kalau sampai terjadi begitu"."
Si nona tertawa. "Apa kau tega mengambil jiwaku?" tanyanya. "Waktu kau bertemu dengan aku di kota raja, mengapa kau tidak segera membunuh aku?"
Bu Kie menghela napas. "Beng moay, rasa cintaku terhadapmu telah membuat aku tidak berdaya,"
katanya. "Jika piauw moay benar-benar dibinasakan olehmu, aku tak tahu apa yang harus kulakukan.
Sekarang semuanya sudah menjadi jelas. Disamping rasa menyesal untuk Cie Jiak, aku harus mengakui bahwa diam-diam aku merasa girang."
Mendengar pengakuan yang setulus hati itu, si nona girang bukan main hatinya. Dia segera menyusupkan kepalanya di dada yang lebar. Lama mereka berada dalam keadaan begitu, tanpa mengucapkan sepatah kata! Akhirnya Tio Beng menengadah. Ia lihat bulan seperti sisir tergantung di sebelah timur sedang keadaan di sekitar sunyi bagaikan kuburan. Ia tahu Yo Siauw, Hoan Yauw dan Gan Hoan sudah menyingkir ke tempat lain supaya tidak mengganggu mereka.
"Bu Kie Koko," kata si nona, "Apa kau masih ingat pertemuan kita di Lek bu San chung" Kita bersama-sama jatuh ke dalam penjara di bawah tanah. Bukankah kejadian itu menyerupai kejadian sekarang ini?"
Bu Kie tertawa. Ia mencekal kaki kiri Tio Beng dan sepatunya.
Tio Beng tertawa geli! "Kau tak tahu malu!" bentaknya, "Lelaki menghina perempuan!"
"Kau bukan perempuan biasa. Akal bulusmu sangat banyak. Sepuluh lelaki belum tentu bisa menandingi kau seorang."
"Aku yang rendah tak sanggup menerima pujian begitu tinggi dari Thio Kauwcu yang mulia."
Sampai di situ mereka terbahak-bahak. Kata-kata itu telah diucapkan mereka waktu berada dalam lubang jebakan di Lek hu chung. Kalau dulu mereka berhadapan sebagai musuh sekarang sebagai kekasih.
Mendadak sayup-sayup terdengar bentakan-bentakan, satu tanda dari terjadinya pertempuran. Mereka memasang kuping.
"Mari kita lihat!" kata Bu Kie sambil memegang tangan Tio Beng dan dengan sekali menggenjot tubuh, mereka sudah berada di muka bumi. Di tempat yang jauh mereka lihat tiga bayangan manusia berlari-lari ke jurusan timur dengan kecepatan luar biasa. Dari gerakan-gerakannya dan cara berlarinya, ketiga orang itu adalah ahli-ahli silat kelas satu.
Yo Siauw muncul, ia mendekati Bu Kie dan berkata, "Mereka bukan orang kita."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Yo Cosu," kata Bu Kie. "Bersama Yoesu kau berdiam di sini. Aku kuatir musuh menggunakan tipu, memancing harimau keluar dari gunungnya. Aku mau mencoba selidiki mereka."
Yo Siauw menerima perintah itu dengan membungkuk.
Bu Kie segera memeluk pinggang Tio Beng dengan sebelah tangannya dan sambil menjejak bumi ia mengeluarkan ilmu meringankan tubuh. Toga bayangan di depan itu ternyata sedang kejar-kejaran, satu kabur dua mengudak. Bu Kie menambah tenaga, kakainya bekerja makin cepat sehingga Tio Beng merasa seperti dibawa terbang dengan menunggang awan. Sesudah mengejar satu li lebih dengan bantuan sinar bulan yang reman-remang, mereka segera mengenali bahwa kedua orang yang mengejar itu tak lain adalah Lok Thung Kek dan Ho Pit Ong.
Mendadak Pit Ong menimpuk dengan poan kaon pitnya yang berujung patok burung. Orang yang dikejar melompat ke samping dan menangkis senjata musuh dengan pedangnya. Dengan sedikit kelambatan itu, Lok Thung sudah menyandak dan menikam dengan tongkatnya yang bercagak seperti tanduk menjangan.
Orang itu menghindar dan membalas dengan pukulan telapak tangan, Bu Kie dan Tio Beng mengeluarkan seruan tertahan. Ia adalah Ciu Cie Jiak, mukanya pucat seperti kertas dan rambutnya terurai. Segera Bu Kie menarik tangan Tio Beng dan bersembunyi di belakang pohon.
Sesudah menyambut pit-nya yang jatuh, Ho Pit Ong segera merangsek dan mengepung Cie Jiak bersama kakak seperguruannya.
"Setan tua!" bentak Cie Jiak. "Untuk apa kau mengejar aku?"
"Hari ini Thio Bu Kie merebut To liong to dan In thian kiam," kata Lok Thung Kek. "Dengan mata sendiri kami lihat bahwa ilmu pit kip, ilmu silat yang terdapat dalam kedua senjata itu sudah tidak ada lagi. Pit kip itu pasti berada di tangan Song Hujin."
Bu Kie terkejut. "Pit kip memang ada," jawab Cie Jiak. "Tapi sesudah selesai dan berhasil latihanku, aku segera membakarnya."
Lok Thung Kek mengeluarkan suara di hidung. "Enak saja menggoyangkan lidah!" katanya. "To liong to dan Ie thian kiam dikenal sebagai yang termula dalam Rimba Persilatan. Semua ahli silat di kolong langit ingin sekali mendapatkannya. Mana bisa pit kip dalam kedua senjata itu dapat dipelajari dalam waktu singkat" Biarpun tinggi, ilmu Song Hujin belum mencapai puncak tertinggi. Kalau Song Hujin sudah selesai dalam latihan semua pelajaran yang tertera dalam pit kip itu, maka dalam sekejap mata kau bisa mengambil jiwa kami berdua. Mengapa kau main kejar-kejaran?"
"Kalau kau tak percaya, terserah," kata Cie Jiak. "Aku tak punya waktu untuk bicara lama-lama."
Seraya berkata begitu, ia melompat untuk lari.
"Tahan!" bentak Lok Thung Kek. Dengan bersamaan kedua kakek itu menyerang dari kiri kanan.
Cie Jiak memutar pedangnya bagaikan titiran dan menyambut serangan-serangan Hian beng Jieloo. Di siang hari Bu Kie telah menyaksikan Cie Jiak telah menggunakan cambuk dan kin dengan rasa kagum ia menonton silat pedang indah. Sesudah belasan jurus, biarpun dikerebuti Lweekang yang lebih kuat mungkin sekali mereka sudah dijatuhkan. "Sungguh sayang," kata Bu Kie dalam hati. "Jika Cie Jiak bersenjata Ie thian kiam, Hian beng Jieloo tidak akan bisa berbuat banyak, dengan pedang biasa ia kalah Lweekang dan kalah ulet. Paling banyak ia bisa pertahankan diri dalam dua ratus jurus."
Sesudah lewat dalam beberapa jurus lagi Cie Jiak mengeluarkan pukulan-pukulan aneh. Bu Kie tahu bahwa itulah usaha untuk melarikan diri. Dengan serangan nekat-nekatan itu kalau untung bagus, memang Cie Jiak bisa berhasil. Tapi salah sedikit saja ia bisa celaka. Perlahan-lahan Bu Kie keluar dari tempat sembunyinya dan mendekati gelanggang pertempuran. Kalau perlu, ia mau menolong.
Mendadak seraya membentak keras Cie Jiak mengirim tiga tikaman berantai kepada Lok Thung Kek.
Karena sedikit terlambat, tikaman ketiga merobek baju dan pundak si kakek turut tergores pedang, pada waktu itu Ho Pit Ong mendadak menimpuk punggung Cie Jiak dengan kedua pitnya. Dalam menghadapi musuh, kalau tidak terpaksa, Ho Pit Ong belum pernah menggunakan timpukan itu. Tapi sekarang, karena kuatir datangnya bala bantuan musuh yang bisa menggagalkan usaha merebut pit kip, ia menggunakan
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
pukulan yang diberi nama Siang ho Lee kong (sepasang burung ho berbunyi di angkasa). Begitu kedua poan-koan pit yang ditimpuk beradu di tengah udara dengan mengeluarkan suara nyaring dan satu di atas dan satu di bawah, menyambar kepala dan pinggang Cie Jiak.
Dilain pihak, begitu merasakan sambaran angin di punggung, Cie Jiak berkelit. Tapi diluar dugaan, sesudah terbentrok di tengah udara dengan pit itu mengubah arah serangan. Ketika itu dapat menolong diri dari pit yang menyerang kepala, tak keburu mengelak pit yang menyambar pinggang.
Pada detik yang sangat berbahaya Bu Kie melompat dan menjambret pit itu sambil menangkis timpukan Ho Pit Ong dengan sebelah tangan yang lain.
Cie Jiak yang menduga bahwa ia bakal mati sudah pejamkan kedua matanya. Selagi Bu Kie menangkis serangan Ho Pit Ong, tangan Lok Thung Kek menyambar dan menjambret di kempungannya.
Itulah Hian beng Sin ciang yang menggetarkan Rimba Persilatan. Begitu kena, napas Cie Jiak sesak dan ia roboh.
Semua kejadian itu terjadi dalam sekejap mata. Dengan kagetnya Bu Kie melemparkan poan koan pit Ho Pit Ong, mendukung pinggang Cie Jiak dan melompat setombak lebih jauhnya. "Hian beng Jieloo,"
bentaknya. "Kau sungguh tak tahu malu!"
Lok Thung Kek tertawa terbahak-bahak.
"Kukira siapa, tak tahunya Thio Toakouw cu," katanya dengan suara mengejek. "Di mana Kun cu ku"
Ke mana kau bawa Kun cu?"
Tio Beng menghampiri dan mengambil Cie Jiak dari tangan Bu Kie. Ia tertawa dan berkata," Lok Sianseng, siang malam kau tak bisa melupakan aku. Apa kau tak takut ayahku marah?"
"Perempuan siluman!" bentak si kakek dengan gusar. "Huh huh"kau mencoba merenggangkan aku dengan suteeku. Dengan ayahmu kami sudah putuskan semua hubungan. Jie lam ong marah atau tidak, tak ada sangkut pautnya dengan kami lagi."
Bu Kie menatap wajah kedua kakek itu dengan darah meluap. Mendengar cacian terhadap Tio Beng dan melihat pukulan terhadap Cie Jiak, ia segera ingat perbuatan mereka terhadap dirinya di waktu ia masih kecil, "Beng moay," katanya. "Kau mundurlah. Hari ini aku akan beri pelajaran kepada mereka."
Melihat Bu Kie bertangan kosong, Lok Thung Kek segera menyimpan senjatanya.
Bu Kie maju selangkah dan sesudah membentak "sambutlah!" ia memukul dengan Lok ciak hwee dengan mendorong kedua telapak tangannya. Pukulan yang dikirim dengan gerakan perlahan adalah Thay kek Kun hoat, tapi pada kedua tangannya tersembunyi tenaga Kioe yang Sin kang. Ia telah mengambil keputusan untuk menggunakan tenaga Sun yang (panas) yang paling murni untuk menghadapi tenaga Sun im (dingin) dari Hian beng Sin ciang.
Di jaman sekarang Thay kek kun sudah jadi ilmu silat yang biasa saja. Tapi pada akhir kerajaan Goan, waktu baru dirubah oleh Thio Sam Hong di dalam Rimba Persilatan jarang sekali terlihat ilmu tersebut.
Karena kuatir Bu Kie menyembunyikan sesuatu di balik pukulan yang enteng lemas itu, Thung Kek tak berani menyambut dan lalu melompat ke samping. Bu Kie memutar tubuh sambil mengirim pukulan kedua pada Ho Pit Ong.
Beberapa kali Bu Kie pernah bertempur dengan Hian beng Jieloo dan ia tahu bahwa kepandaiannya melebihi kedua kakek itu. Tapi kedua lawan itu bukan orang sembarangan.
Ia tak boleh begitu sembrono atau memandang enteng. Kesalahan kecil bisa berakibat hebat. Dengan menggunakan Thay kek Kun hoat, yang mengirimkan pukulan dalam bentuk lingkaran, ia berada dalam kedudukan tegak dengan garis pembelaan yang hampir tak bisa ditembus. Pada hakikatnya Thay kek Kun hoat adalah ilmu silat yang mengerahkan tenaga. Pada lingkaran-lingkaran Thay kek itu ia menyelipkan tenaga Kioe yang Sin kang sehingga hawa panas yang murni menekan hawa dingin dari Hian beng Sin ciang.
Makin lama gerakan-gerakan Bu Kie jadi makin lancar. Ia mengerti bahwa kedua kakek itu adalah jago-jago yang jarang tandingannya dalam dunia. Sesudah merobohkan mereka, tak mudah ia bisa bertemu lagi dengan lawan yang setimpal, yang bisa digunakan sebagai kawan berlatih silat. Maka itu ia tidak tergesa-gesa.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Sesudah bertempur seratus jurus lebih, secara kebetulan waktu menengok ia melihat tubuh Tio Beng gemetaran dan hampir tak kuat menyangga tubuh Cie Jiak lagi. "Celaka!" ia mengeluh. "Cie Jiak kena pukulan Hian beng Sin ciang, yang ia latih adalah tenaga dingin. Tenaga dingin ditambah lagi dengan tenaga dingin yang sangat beracun, Beng moay juga kena akibatnya dan tak tahan lagi."
Buru-buru ia menambah tenaga dengan pukulan-pukulan hebat, ia mencoba menindih Lok Thung Kek.
Si kakek dapat menangkap maksudnya, sambil berkelit ia berseru, "Sutee! Berkelahi dengan siasat gerilya. Perempuan she Ciu itu sudah hampir mampus, jangan biarkan dia menolong."
"Baik," jawab Ho Pit Ong sambil melompat keluar dari gelanggang menjemput kedua pitnya dan kemudian menyerang dengan kedua senjata itu. Bu Kie mendongkol. Ia merangsek dan mengirim pukulan geledek yang disertai dengan sepuluh bagian tenaga Kie yang Sin kang sehingga napas Ho Pit Ong sesak. Tanpa memperdulikan keselamatan suteenya, Lok Thung Kek mengeluarkan toyanya dan menikam pinggang Bu Kie dengan senjata itu.
Biarpun menggunakan senjata, Hian beng Jieloo tak bisa merobohkan Bu Kie tetapi dengan senjata, sedikitnya untuk sementara waktu mereka dapat mempertahankan diri.
Dilain pihak, dalam menghadapi senjata, Bu Kie menukar ilmu silat. Ia sekarang menggunakan Liong jiauw Kin nan chioe yang diturunkan oleh Kong seng Seng ceng (Liong jiauw Kin nan chioe, Silat cakar naga).
"Sungguh bagus Liong jiauwmu!" seru Lok Thung Kek. "Sebentar lagi dapat digunakan untuk menggali."
"Menggali lubang?" tanya Ho Pit Ong.
Lok Thung Kek tertawa nyaring, "Ya, menggali lubang untuk mengubur Ciu Kauwnio," jawabnya.
Karena bicara, pemusatan tenaga si kakek terpecah. Mendadak Bu Kie menendang lutut kirinya, dia gusar dan lalu menyerang bagaikan angin dan hujan.
Sambil bertempur, Bu Kie menengok beberapa kali. Gemetar tubuh Cie Jiak dan Tio Beng makin hebat. "Beng moay, bagaimana?" tanyanya.
"Dingin luar biasa!" jawabnya.
Bu Kie terkesiap. Sesudah berpikir sejenak, ia mengerti sebabnya. Tak salah lagi, karena baik hati Tio Beng mengerahkan Lweekang dan coba membantu Cie Jiak untuk melawan hawa dingin. Tapi lantaran tenaga dalamnya masih rendah, sebaliknya dari berhasil ia sendiri diserang hawa dingin. Bu Kie segera menyerang sehebat-hebatnya untuk menjatuhkan lawannya secepat mungkin. Tapi Hian beng Jieloo menukar siasat. Mereka terus mundur dengan berpencaran dan menyerang balik kalo Bu Kie mencoba mendekati Cie Jiak dan Tio beng.
Bu Kie bingung. "Beng moay!" teriaknya. "Lepaskan Ciu Kauwnio!"
"Aku"aku"tak bisa!"
"Mengapa?" "Punggungnya menempel keras di telapak tanganku," ia bicara dengan gigi gemeretukan dan tubuh bergoyang-goyang.
Bu Kie jadi lebih bingung.
"Thio Kauwcu," kata Lok Thung Kek. "Ciu Kauwnio berhati kejam, ia mengirim hawa dingin ke tubuh Cocu Nio nio. Cocu Nio nio menghadapi bahaya, apa tak baik kita berdamai saja?"
"Berdamai bagaimana?"
"Kita hentikan dulu pertempuran ini. Kami akan mengambil dua jilid kitab yang berada pada Ciu Kauwnio sedang kau bebas untuk menolong Kuncu."
Bu Kie mengeluarkan suara di hidung, ia tak dapat menyetujui usul itu. Ilmu silat Hian beng Jieloo sudah sangat tinggi. Jika memperoleh kedua kitab itu kepandaian mereka akan mencapai tingkat yang tak
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
akan bisa ditaklukkan oleh siapapun juga. Ia menengok dan lihat muka Tio Beng yang putih berubah menjadi hijau, sedang parasnya menunjukkan penderitaan hebat. Ia mengerti bahwa ia tak boleh berpikir lebih lama lagi, tiba-tiba ia melompat mundur, mencekal telapak kanan si nona dengan tangan kirinya dan mengirim Kioe yang Cin khie.
"Serang!" teriak Lok Thung Kek. Sebatang tongkat dan dua poan-koan pit segera menghantam bagaikan hujan dan angin.
Begitu mendapat aliran Kioe yang Cin khie, Tio Beng yang darahnya sudah hampir membeku segera merasakan kehangatan yang sangat nyaman. Bu Kie mengerahkan seluruh tenaganya dan melawan dengan nekat. Tapi dengan cepat ia merasa tak tahan sebab ia harus menggunakan sebagian besar tenaga dalamnya untuk menekan hawa dingin Hian beng Sin ciang dari kedua kakek dan Kioe im dari Ciu Cie Jiak dan bersamaan itu ia harus menggunakan Lweekang untuk melayani dua jagao kelas utama. Sesudah bertempur beberapa lama, kaki celana di bagian lututnya dirobek dengan poan koan pit dan darah mulai mengucur. Ia terdesak dan menghadapi bencana. Sekali lagi ia mengerahkan seluruh Lweekang dan berteriak memanggil Yo Siauw dan kawan-kawannya. Tapi di lain saat ia mendengar bentakan-bentakan Yo Siauw dan Hoan Yauw serta suara beradunya senjata. Ia tahu bahwa mereka pun dikepung musuh.
Karena kuatir datangnya bala bantuan, Hian beng Jieloo memperhebat serangan mereka. Sambil menggeram Lok Thung Kek mengirim tiga serangan berantai ke arah mata Bu Kie. Dengan telapak tangan Bu Kie berhasil menangkis serangan lawan, mendadak Ho Pit Ong menggulingkan diri di tanah dan menotok pinggangnya dengan poan koan pit kiri. Bu Kie tak keburu berkelit lagi, karena itu ia terpaksa mengerahkan Kian kun Tay lo ie utnuk memindahkan totokan itu, tapi karena si kakek menggunakan Lweekang yang sangat dahsyat, ia tidak bisa memastikan bahwa ia akan berhasil. "Tak!"
pinggangnya tergetar tapi"heran!...ia tidak merasa sakit. Dilain detik ia mengerti bahwa totokan itu jatuh pada To liong to yang tergantung di pinggangnya. Dalam pertempuran, Bu Kie biasanya tidak menggunakan senjata. Paling banter ia menggunakan Seng hwee leng. Ia tak pernah membawa senjata sehingga ia sama sekali tak ingat bahwa sebatang golok mustika tergantung di pinggangnya.
Sekarang ia sadar dan girang, sambil membentak keras ia menendang dan Ho Pit Ong buru-buru mundur bagaikan kilat. Ia menghunus To liong to dan membabat tongkat Lok Thung Kek yang menyambar dada "Sret!" kepala menjangan tongkat itu putus dan jatuh di tanah.
"Celaka!" seru si tua.
Dua pit Ho Pit Ong menikam bersamaan dan sekali lagi Bu Kie membabat dengan To liong to. Hampir bersamaan dengan dua poan koan pit berubah menjadi empat potong. Semangat Bu Kie terbangun dan memutar golok mustika itu seperti titiran sehingga Hian beng Jieloo tidak berani mendekati lagi.
Dibawah perlindungan To liong to, sekarang Bu Kie bisa menggunakan seluruh Kioe yang Cin khie untuk menekan hawa dingin. Dalam beberapa saat saja hawa dingin beracun dari Hian beng Sin ciang yang mengeram dalam tubuh Tio Beng dan Ciu Cie Jiak sudah terusir semuanya menjadi bersih. Sesudah racun Hian beng Sin ciang musnah, tanpa diketahui Bu Kie, terjadi satu perkembangan baru. Apabila dua hawa "im" (dingin) dan "yang" (panas) bertempur dalam tubuh manusia, maka yang lebih kuat selallu memusnahkan yang lebih lemah. Demikianlah sesudah hawa Hian beng Sin ciang terusir, Kioe yang Cin khie lalu menekan tenaga Kioe im yang dimiliki Cie Jiak.
Sesudah mendapatkan Kioe im Cin keng yang disembunyikan dalam Ie thian kiam, Cie Jiak berlatih diam-diam secara tergesa-gesa. Karena kuatir diketahui Cia Sun dan Bu Kie, ia hanya berani berlatih di waktu malam dan karena waktu sudah mendesak, ia tak sempat mempelajari dasar-dasar kitab ilmu silat itu dan terpaksa memilih ilmu rendah yang lebih mudah dilatih diantaranya Kioe im Pek koet jiauw. Dulu jilid kedua Kioe im Cin keng dicuri oleh Tan Hian Hong dan Bwee Tiauw Hong (keduanya muruid Oey Yok Su dari tangan Tong sia Oey Yok Su). Apa yang dipelajari oleh kedua murid murtad itu juga Kioe im Pek koet jiauw. Dapat dimengerti bahwa ilmu yang dilatih tergesa-gesa tak bisa mempunyai dasar Lweekang yang kuat, begitu bertemu dengan lawan tangguh tenaga dalamnya akan segera tertindih.
Setelah kena racun Hian beng Sin ciang, Cie Jiak lalu memasukkan hawa beracun ke dalam usaha mengusirnya dari tubuhnya. Sesudah Bu Kie menolong barulah ia merasa nyaman. Tapi baru saja ia mau melepaskan diri dari telapak tangan Tio Beng, semacam tenaga yang sangat kuat telah menyedot dan ia tak bisa melepaskan dirinya lagi. Tadi Tio Beng yang tak bisa melepaskan diri dari punggungnya tapi sekarang ia sendiri yang tak bisa memberontak diri telapak tangan Tio Beng. Ini sudah terjadi karena adanya perbedaan kekuatan tenaga.
Bu Kie terus mengirim Kioe yang Cin khie karena ia masih merasakan perlawanan hawa dingin yang kelaur dari telapak tangan Tio Beng. Ia hanya menduga bahwa racun Hian beng Sin ciang belum terusir
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
semuanya. Ia tak tahu bahwa hawa dingin itu adalah Kioe im Cin khie dari Cie Jiak. Makin lama Kioe im Cin khie yang didapatkan Cie Jiak dengan susah payah makin berkurang. Cie Jiak mengeluh tapi ia tak berani buka suara sebab sekali bicara, ia akan muntah darah.
Untung juga, sesudah keadaan badannya pulih kembali, Tio Beng tertawa dan berkata, "Bu Kie Koko, aku sudah sembuh. Sekarang boleh kau layani kedua tua bangka itu!"
"Baiklah!" kata Bu Kie sambil menarik kembali tenaga dalamnya.
Cie Jiak seperti orang yang baru mendapat pengampunan. Sesudah tenaga menyedot hilang, ia merasa bahwa hawa racun Hian beng Sin ciang sudah terusir dari tubuhnya tapi tenaga dalamnya sendiri berkurang banyak. Satu dua detik ia mengawasi Bu Kie yang sedang memutar golok dan menyerang Hian beng Jieloo dengan hebatnya. Mendadak ia mementang lima jari tangannya yang lalu ditancapkan ke batik kepala Tio Beng.
"Aduh!" teriak nona Tio.
Totokan dan teriakan itu disertai dengan suara "krek" dari patahnya tulang. Yang patah adalah tulang-tulang jari tangan Cie Jiak yang segera kabur secepatnya.
Bu Kie terkesiap. Ia menengok dan berseru, "Beng moay"."
Si nona meraba-raba kepalanya dengan tangan gemetaran.
Bu Kie melompat mundur dan dengan tangan kanan memutar golok, ia meraba kepala Tio Beng dengan tangan kirinya. Ia merasa lega karena biarpun tangannya menyentuh darah yang basah lengket, tapi batok kepala nona Tio tidak mendapat kerusakan. "Beng moay, jangan takut!" katanya. "Hanya luka di kulit."
Gagalnya serangan Ciu Cie Jiak dan patahnya jari-jari tangannya adalah karena di dalam tubuh Tio Beng masih terdapat Kioe yang Cin khie dan tenaga dalam Cie Jiak sudah berkurang banyak.
Sambil bertempur, Bu Kie merasa bahwa dengan menggunakan golok mustika itu biarpun menang, kemenangan itu bukan kemenangan gemilang. "Yo Cosu! Hoan Yoe su! Bagaimana keadaan kalian?"
teriaknya. "Tiga sudah roboh, masih ada tujuh," jawab Hoan Yauw. "Kauwcu tak usah kuatir!"
Mendengar jawaban yang disertai dengan Lweekang yang kuat. Bu Kie tahu bahwa keadaan mereka memang tak usah dikuatirkan, ia segera menyerahkan To liong to kepada Tio Beng dan kemudian memindahkan pukulan Ho Pit Ong ke arah lain dengan Kian kun Tay lo ie tingkat ketujuh. Kian kun Tay lo ie tingkat ketujuh adalah ilmu yang sangat sulit dan tak boleh digunakan secara sembarangan. Salah sedikit saja ilmu itu bisa membakar diri yang menggunakannya. Maka itulah, pada waktu mesti menolong Tio Beng dan Cie Jiak dari hawa dingin, biarpun keadaannya berbahaya ia tak berani menggunakan ilmu tersebut. Hian beng Jieloo adalah tokoh-tokoh kelas utama, Kian kun Tay lo ie tingkat rendah takkan berhasil terhadap mereka.
Sekarang sudah selesai menolong Tio Beng dan Cie Jiak, barulah ia berani menggunakan ilmu tersebut.
"Plak!" pukulan Ho Pit Ong pindah arah dan menghantam pundah Lok Thung Kek.
Lok Thung Kek terkejut. "Sutee, mengapa kau begitu?" tanyanya dengan gusar.
Ho Pit Ong orang yang otaknya tumpul dan dalam setiap urusan ia harus berpikir lama sebelum bisa menangkap artinya. Dalam kejadian ini ia merasa heran dan bingung biarpun di dalam hati ia tahu bahwa Bu Kie yang melakukannya. Ia berpendapat bahwa jalan satu-satunya untuk minta maaf dari suhengnya adalah menyerang musuh sehebat-hebatnya. Demikianlah ia segera menendang dengan seluruh tenaganya. Bu Kie mengibaskan tangan kirinya dan tendangan itu menyambar tan tian (di bawah pusar) Lok Thung Kek. Tan tian adalah pusat penting dalam tubuh manusia untuk mengerahkan hawa. Lok Thung Kek terkesiap. Secepat kilat ia berkelit dan membentak, "Sutee, apa kau gila?"
"Benar Ho Sianseng!" seru Tio Beng. "Bekuk suhengmu yang berdosa dan cabul! Ayahku akan memberi hadiah besar kepadamu."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Bu Kie geli di dalam hati. Semula ia ingin menggunakan Kian kun Tay lo ie untuk menuntun serangan Ho Pit Ong ke arah Lok Thung Kek dan Lok Thung Kek ke arah Ho Pit Ong. Tapi sesudah mendengar perkataan Tio Beng, ia hanya menuntun pukulan-pukulan Ho Pit Ong ke arah Lok Thung Kek dan terhadapa Lok Thung Kek ia tetap melayani dengan Thay kek kun. "Ho Sianseng, kau tak usah kuatir,"
katanya. "Kita berdua pasti bisa menumpas manusia she Lok ini. Jie lam ong akan mengangkat kau sebagai"sebagai?"
"Ho Sianseng!" Tio Beng menolong. "Pangkatmu sudah ada di sini. Ia merogoh saku, mengeluarkan segulung kertas dan mengibas-ngibaskannya. "Dengarlah!" teriaknya pula. "Kau akan dianugerahkan pangkat Thay goan Hu kok Yang Wie Tay ciang kun."
Saat itu pukulan Bu Kie menolak Lok Thung Kek ke samping kiri. Secara kebetulan selagi terhuyung si tua dipapaki oleh pukulan Ho Pit Ong yang arahnya dialirkan dengan Kian kun Tay lo ie sehingga kakek she Lok itu tergencet di antara dua pukulan yang menyambar dari kiri dan kanan.
Selama puluhan tahun Lok Thung Kek dan Ho Pit Ong tak pernah berpisah dan mencintai seperti saudara kandung sendiri. Lok Thung Kek tak percaya bahwa adik seperguruannya akan menjual dia tapi sesudah lima kali beruntun diserang dengan pukulan yang membinasakan ia jadi kalap. "Binatang,"
teriaknya. "Aku tak sangka karena pangka kau melupakan giekhie."
Ho Pit Ong kebingungan. "Aku"aku"," katanya dengan suara terputus-putus.
"Benar," sambung Tio Beng. "Kau berbuat begitu sebab terpaksa, karena kau akan menjadi Hu kok Yang Wie Tay ciang kun."
Selagi si nona bicara, Bu Kie mengerahkan sepuluh bagian tenaganya. Begitu pukulan Ho Pit Ong menyambar, ia mengalihkan dengan Kian kun Tay lo ie dan "plak" pukulan itu jatuh tepat di pundak Lok Thung Kek. Lok Thung Kek balas memukul dan beberapa gigi Ho Pit Ong yang masih tinggal rontok semua. Sebagai seorang tua, Ho Pit Ong sangat menyayangi beberapa gigi itu sehingga dapatlah dimengerti kalau darahnya segera meluap. "Suko! Kau keterlaluan," bentaknya. "Aku memukul kau tanpa senjata."
"Omong kosong!" teriak Lok Thung Kek.
Biarpun berkepandaian tinggi, Hian beng Jieloo tak mengenal Kian kun Tay lo ie tingkat ketujuh.
Dalam silat Tionggoan memang terdapat ilmu "meminjam tenaga dan empat tahil memukul ribuan kati"
tapi orang yang berkepandaian seperti mereka tak gampang-gampang bisa diserang ilmu begitu. Maka itu, Lok Thung Kek sama sekali tak pernah menduga bahwa serangan-serangan adik seperguruannya adalah karena perbuatan Bu Kie.
Di dalam hati Ho Pit Ong tahu bahwa Bu Kie lah yang main gila. "Setan! Kurang ajar kau!" cacinya.
"Benar, tak usah panggil dia suko lagi!" menyambung Tio Beng. "Memang dia setan!"
Sesaat itu Bu Kie menarik pukulan Ho Pit Ong ke pipi Lok Thung Kek, yang begitu kena lantas saja bengkak.
"Bu Kie Koko, mari kita bantu Yo Co Su," kata Tio Beng.
Melihat kalapnya Lok Thung Kek, Bu Kie tahu bahwa siasatnya sudah berhasil. "Ho Sian seng, aku serahkaan penjahat cabul itu kepadamu," katanya seraya melompat keluar dari gelanggang pertempuran.
"Ho Sianseng," kata Tio Beng, "sesudah kau membekuk suko mu, kau boleh pinjam pit kip To Liong To selama sebulan."
Sesudah Bu Kie dan Tio Beng berlalu, kedua kakek itu bertempur terus sampai kedua-duanya terluka.
Ho Pit ong coba membersihkan diri, tapi Lok Thung Kek tak bisa percaya sehingga akhirnya mereka menjadi musuh.
Dengan mengikuti suara beradunya senjata, Bu Kie dan Tio Beng pergi ke tempat pertempuran Yo Siauw dan kawan-kawannya. Di atas tanah menggeletak lima mayat, Yo Siauw melayani tiga orang, Hoan Yauw dan Gan Hoan dia bertanding dengan seorang lawan. Antara lima musuh itu yang paling berat adalah lawannya Hoan Yauw. Meskipun berkepandaian tinggi, Hoan Yauw tidak bisa berbuat banyak dan hanya lebih unggul sedikit di dalam pukulan-pukulan. Bu Kie tidak turun tangan, ia hanya
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
menonton. Beberapa saat kemudian Yo Siauw merobohkan seorang, melihat bahaya dua lawan Yo Siauw lantas kabur, diturut oleh lawannya Gan Hoan. Selagi musuhnya lari, Gan Hoan melepaskan pasir beracun dan orang itu sambil berteriak kesakitan lantas saja roboh binasa. Di lain saat hanialah lawan Hoan Yauw yang masih berkelahi dengan mati-matian.
"Saudara, kulihat kau seorang gagah," kata Hoan Yauw. "Lebih baik kau menyerah saja."
"Apakah manusia yang menyerah kepada musuh masih bisa dinamakan orang gagah!" tanya orang itu dengan gusar.
"Benar," kata Bu Kie seraya maju ke depan dan menyabet beberapa kali dengan To Liong To.
Berbareng dengan sabetan-sabetan itu, di tengah udara berterbangan rambut manusia. "Hoan heng, lepaskan dia!" kata Bu Kie sambil tersenyum.
Sebab merasa dingin, orang itu mengusap kepala dan mukanya. Mendadak saja ia berdiri terpaku dengan mulut ternganga. Ternyata sebagian rambut dan jenggotnya telah terpapas habis. Ia menyoja kepada Bu Kie dan berkata, "Aku takluk dan rela menerima segala hukuman."
Bu Kie tertawa. "Saudara boleh berlalu," katanya.
Orang itu menghela nafas, memutar tubuh dan meninggalkan tempat itu.
"Apa mereka semua busu gedung Jie lam ong?" tanya Bu Kie kepada Tio Beng. "Siapa dia?"
"Dia pemimpin wie su (pengawal) dari kakakku," jawabnya. "Namanya, Kioejian kun Louw Sian Kek.
Waktu ini dialah jago utama dalam gedung ayahku." (Kioejian kun " silat si jenggot).
"Si jenggot jadi janggut licin," kata Yo siauw sambil tertawa. "Rasanya, dia tidak bisa berdiam lebih lama lagi di gedung Ong hu."
Selagi mereka bicara, sejumlah pendeta Siauw lim dan anggota Beng kauw memburu ke tempat pertempuran Hian beng Jieloo. Melihat datangnya banyak orang, kedua kakek itu lantas berlalu sambil terus bertempur di sepanjang jalan.
Setibanya di kuil Siauw lim sie, Bu Kie memeriksa luka Tio Beng yang sama sekali tidak berbahaya.
Mendadak Bu Kie ingat dan ia berkata, "Beng moay, secara kebetulan kau membawa kertas, sehingga Lok Tung Kek tidak bisa tidak percaya."
Si nona tertawa manis. Ia merogoh saku, mengeluarkan segabung kertas tipis dan mengulap ulapkannya di muka Bu Kie. "Coba kau tebak kertas apa ini?" katanya.
Bu Kie tertawa. "Kalau kau yang suruh, seumur hidup aku takkan bisa menebak," jawabnya.
Kertas itu terdiri dari dua gabung dan si nona lalu memecahnya dan menaruh dua gabung itu di kedua telapak tangannya.
Bu Kie mengawasi. Yang dilihat seperti kertas itu ternyata bukan kertas, tapi sutera setipis sayap tonggeret. Di atas lembaran lembaran sutera itu terdapat huruf huruf yang sangat halus.
Ia menjemput gabungan yang satu. Pada halaman muka terdapat tulisan "Bu Bok Ie su" (kitab peninggalan Gak Hui). Dalam kitab itu " lembaran lembaran kitab itu " lembaran lembaran sutera itu memang bukan lain daripada kitab " terdapat ilmu perang yang serba lengkap. Ia mengambil kitab yang lain, yang di atasnya tertulis "Kioe im cin keng" (kitab ilmu silat Kioe im). Kitab itu berisi macam-macam ilmu silat yang aneh-aneh dan pada halaman halaman terakhir terdapat pelajaran Kioe im pek koei jiauw, Cui sim ciang, dan sebagainya.
Bu Kie meneliti itu semua dengan jantung memukul keras. "Dari" dari mana" kau dapatkan ini?"
tanyanya dengan suara terputus-putus.
"Selagi dia tidak bisa bergerak, aku tidak menyia-nyiakan kesempatan yang baik," jawabnya. Aku tak sudi belajar ilmu-ilmu beracun, sebaiknya kitab ini dibakar saja. Perlu apa ditinggalkan di dalam dunia untuk mencelakai manusia?" (dengan "dia" Tio Beng maksudkan Ciu Cie Jiak).
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Bu Kie membalik-balik beberapa lembaran cinkeng. Ia mendapat kenyataan bahwa isinya sangat dalam dan tak bisa lantas dipecahkan olehnya. Di samping itu ia mendapat bukti bahwa bagian depan bukan terdiri dari ilmu silat keleas rendah. "Beng moay, kau salah," katanya. "Kioe im cin keng berisi ilmu ilmu yang sangat tinggi. Kalau dipelajari dan dilatih menurut aturan, dalam sepuluh atau dua puluh tahun, orang akan memperoleh hasil menakjubkan. Memang juga, kalau orang tergesa-gesa dan mempelajari kulit-kulitnya saja yang memberi hasil cepat, ia akan memperoleh ilmu ilmu yang sifatnya beracun." Ia terdiam sejenak dan kemudian berkata lagi. "Cie cie yang mengenakan baju kuning itu mempunyai ilmu silat yang sejalan dengan Ciu kauwnio. Tapi pukulan dan gerakannya memperlihatkan suatu ilmu yang lurus bersih. Tak bisa salah lagi, iapun mendapatkan ilmunya dari Kioe im cin keng."
"Bu Kie koko," kata Tio Beng. "Cie cie itu mengatakan di belakang gunung Ciong lim san terdapat kuburan mayat hidup, burung rajawali sakti dan pasangan pendekar tak muncul lagi dalam dunia Kangouw. Apa artinya ini?"
Bu Kie menggelengkan kepala. "Tak tahu," jawabnya. "Nanti kita boleh tanya Thay suhu."
Sesudah beromong-omong lagi beberapa lama, karena musuh tidak membuat gerakan apa apa lagi, semua orang lantas pergi tidur.
Pada keesokan paginya, Bu Kie memanjat satu pohon besar untuk menyelidiki keadaan musuh. Ia mendapat kenyataan, bahwa jumlah musuh bertambah dengan kira-kira selaksa orang dan dilihat dari gerakannya, mereka sedang mempersiapkan gerakan baru. Di antara gerakan gerakan bendera dan serdadu, sayup sayup terdengar bunyi terompet yang tak berhenti hentinya. Persiapan tentara Goan itu telah membuat hati orang gagah jadi merasa keder.
"Beng moay?" kata Bu Kie sesudah turun dari pohon.
"Hem" ada apa?" tanya si nona.
"Tak apa apa" aku hanya ingin memanggil namamu." Bu Kie sebenarnya ingin meminta pikiran gadis yang pintar itu dalam usaha mengundurkan musuh. Tapi di dalam saat itu ia ingat, bahwa Tio Beng tersebut adalah seorang puteri Mongol, yang karena cinta sudah mengkhianati orang tuanya sendiri.
Kalau sekarang ia minta si nona menelurkan siasat untuk membasmi bangsanya sendiri, ia anggap permintaan itu agak keterlaluan.
Tapi dengan melihat paras muka Bu Kie dan nada suaranya, Tio Beng sudah bisa membaca isi hati pemuda itu. "Bu Kie koko, aku merasa terima kasih, bahwa kau mengerti kesukaranku," katanya. "Dalam hal ini sebaiknya aku tidak bicara banyak."
Dengan merasa masgul Bu Kie masuk ke kamarnya. Ia mengasah otak, tapi sesudah beberapa lama, belum juga ia mendapatkan jalan yang baik. Dalam pekatnya ia membalik lembaran kedua kitab yang diberikan Tio Beng. Sesudah Kioe im cin keng, tanpa sengaja ia membaca kalimat "terkepung di gunung Goe tauw san" dalam Bu bok lesu. Ia kaget dan membaca terus.
Ternyata di bagian itu Gak Hui menceritakan pengalamannya pada waktu ia dan tentaranya dikepung oleh tentara Kim yang berjumlah besar di gunung Goe tauw san, cara bagaimana ia menjalankan siasat menggeret musuh dari dalam dan luar sehingga mereka memperoleh kemenangan besar.
Tiba-tiba Bu Kie menepuk meja. "Langit membantu aku," serunya. Biarpun keadaan Siauw sit san sekarang berbeda dari keadaan Goe tauw sasn dahulu, ia merasa ia masih bisa jalan untuk mendapatkan kemenangan.
Makin lama ia kelihatan makin gembira. "Gak Bu bok sungguh sungguh manusia luar biasa," katanya seorang diri. "Dalam keadaan begitu berbahaya, seorang manusia tak akan berdaya lagi" Memang"
memang ilmu perang seperti ilmu silat. Kita harus ada petunjuk dari orang pandai?" Ia mencelup telunjuknya di air teh dan membuat peta bumi di atas meja. Ia tahu, bahwa keadaan sangat berbahaya, tapi ia yakin bahwa dengan bantuan Tuhan, Siauw Lim sie masih dapat ditolong. Dalam perang, yang berjumlah kecil sukar melawan musuh yang berjumlah besar dan di dalam peperangan ini, ia tidak boleh mengadu kekuatan, tak boleh mengadakan pertempuran berhadap-hadapan.
Tak lama kemudian ia sudah mempunyai gambaran tegas tentang apa yang harus dilakukananya.
Tanpa menyia nyiakan waktu, ia segera pergi ke Tay hiong Po thian dan minta Kong bun Hong Thio mengumpulkan para orang gagah.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Sesudah semua enghiong berkumpul, Bu Kie berkata dengan suara nyaring. "Sekarang ini tentara Tat cu berkumpul di kaki gunung dan mungkin sekali mereka akan segera menyerang pula. Walaupun kemarin kita mendapat kemenangan kecil dan sudah menurunkan semangat musuh, tapi kalau menyerang lagi dengan mati-matian, kita yang berjumlah lebih kecil sukar melawan mereka yang berjumlah sangat besar." Ia berdiam sejenak, kedua matanya yang sangat tajam menyapu seluruh ruangan. "Aku ini adalah seorang yang tidak punya kemampuan, tapi atas kecintaan kalian sudah mengangkat aku sebagai Bu lim Beng bu dan untuk sementara waktu, aku terpaksa menerima keangkatan itu," katanya pula. "Hari ini kita harus bersama-sama membasmi musuh. Demi kepentingan kita beramai-ramai, kuminta kalian suka mentaati segala perintah."
Pidato pendek itu disambut dengan sorak sorai gegap gempita. Semua orang berjanji akan turut segala perintah Beng cu.
Bu Kie girang. "Terima kasih!" katanya. "Nah, marilah kita mula. Gouw Kin Co!"
Begitu namanya dipanggil, pemimpin Swie kim kie itu maju dan memberi hormat dengan membungkuk.
"Aku menugaskan kau dan saudara saudara dari benderamu untuk mempertahankan undang undang ketentaraan," kata Bu Kie. "Siapapun juga yang tak mentaati perintah harus dapat hukuman mati dengan timpukan tombak dan kapak Swie kim kie. Peraturan ini berlaku untuk semua orang. Tertua dari agama kita, tetua rimba persilatan tidak terkecuali."
"Baik!" kata Gouw Kin Co seraya merogoh saku dan mengeluarkan bendera putih kecil.
Dalam rimba persilatan, nama Gouw Kin Co belum begitu dikenal. Tapi pada waktu diadakan pameran kekuatan Nio beng kie, semua orang tahu bahwa bendera putih itu tak dibuat permainan. Orang yang ditimpuk dengan bendera itu berarti diserang dengan lima ratus anak panah dan lima ratus kapak pendek.
Biarpun mempunyai kemampuan tinggi, dia tak usah harap bisa terlolos dari serangan itu.
Bu Kie mengeluarkan perintah tersebut sebab pada halaman pertama dari Bu Ie su, ia membaca nasehat seperti berikut. "Dalam memimpin tentara yang terpenting adalah peraturan yang keras." Ia tahu bawa para Enghiong dalam rimba persilatan biasanya sangat bangga dengan kepandaian sendiri dan tak sudi menunduk di bawah perintah orang. Manakala kebiasaan itu dipraktekkan dalam menghadap tentara Goan, mereka semua akan termusnah.
Sehabis mengeluarkan titah pertama, sambil menuding tembok di luar ruangan musyawarah, Bu Kie berkata pula, "Para enghiong siapa yang mempunyai ilmu ringan tubuh tinggi dan bisa melompat tembok itu, kuminta supaya perlihatkan kepandaian."
Banyak orang lantas saja kurang puas, bahkan di antara para cianpwee ada yang mendongkol karena merasaa bahwa dengann mengajukan pertanyaan itu, Bu Kie menghina mereka.
Selagi orang saling mengawasi, Thio Siong Kee maju dan berkata, "Aku bisa!" Dengan sekali menjejak bumi, ia sudah melompati tembok yang tinggi itu. Tee in ciong dari Bu tong pay tersohor di kolong langit. Bagi Thio Siong Kee, melompati tembok itu sama mudahnya seperti membalik tangan sendiri.
Sesudah Thio Siong Kee, dengan beruntun Jie Lian Ciu, In Lie Heng, Yo Siauw, Wie It Siauw, In Ya Ong dan lain-lain memperlihatkan kepandaiannya. Contoh itu segera diturut oleh orang-orang gagah dari lain partai. Dalam sekejap empat ratus orang lebih sudah berhasil melompati tembok itu. Yang lain sebab rupa rupanya tidak ungkulan, tidak mencoba.
Para enghiong yang menghadiri pertemuan itu rata-rata memiliki kepandaian istimewa. Ilmu mengentengkan tubuh hanya merupakan salah satu cabang dari ilmu silat yang banyak coraknya. Sering kejadian, bahwa seorang yang mempunyai ilmu luar biasa tidak tinggi ilmu ringan tubuhnya. Dalam dunia persilatan, ada kalanya seorang tokoh menggunakan seluruh hidupnya untuk melatih jari tangannya.
Maka itulah, tinggi rendah dalam ilmu mengentengkan tubuh tidak menjadi ukuran dari tinggi rendah kepandaian orang yang tersangkut, hal ini diketahui oleh semua ahli silat. Dengan demikian orang orang yang tidak bisa melompati tembok itu sama sekali tidak merasa malu.
Bu Kie mendapat kenyataan, bahwa di antara empat ratus orang itu, pendeta Siauw Lim sie berjumlah kurang lebih sembilan puluh orang. "Nama besar Siauw Lim sie memang bukan nama kosong," katanya
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
di dalam hati. "Dalam ilmu ringan tubuh saja, tokoh-tokoh Siauw Lim sie berjumlah lebih besar dari lain partai."
"Jie jiepeh, Thio Siepeh, In liok siok, kuminta kalian bertiga memimpin para enghiong yang sudah melompati tembok," kata Bu Kie. "Kalian harus memancing musuh dengan berlagak seperti orang yang melarikan diri dari kuil ini. Apabila musuh berhasil dipancing dan mereka menguber kalian, maka hasil itu merupakan pahala nomor pertama. Sesudah kalian lari, sampai di belakang gunung kalian harus?"
Petunjuk selanjutnya diberikan dengan bisik bisik saja dan tidak dapat didengar oleh orang lain.
"Koe koe," kata Bu Kie selanjutnya. "Kau bersama Yo cosu, Hoan Yauw su dan Wie Hok ong, empat orang kuminta suka membantu aku. Kita mengambil kedudukan di tengah tengah guna mengawasi jalan pertempuran dan memberi bantuan kepada pihak yang memerlukannya."
Dengan ringkas dan tegas Bu Kie mengeluarkan berbagai perintah " siapa yang harus bersembunyi untuk memotong jalan musuh, siapa yang harus melindungi bagian belakang pasukan sendiri, bagaimana harus menyerang dari depan, bagaimana harus menyerang dari samping dan sebagainya.
Melihat kepandaian pemimpinnya, Yo Siauw takluk dan kagum. Ia tak tahu bahwa semua pengaturan itu berdasarkan siasat dalam Bu bok ie su.
Akhirnya Bu Kie berkata. "Kong bun Hong thio, Kong tie Seng ceng, aku minta kalian berdua memimpin para enghiong dari Go bie pay untuk menolong orang-orang yang terluka dan mengubur yang mengorbankan jiwa."
Sebagaimana diketahui rombongan Go bie tidak punya pemimpin sebab Cie Jiak tidak berada di situ.
Lantaran ada ganjalan, Bu Kie merasa tidak enak untuk memerintah mereka. Sebab itu ia meminta bantuan Kong bun dan Kong tie, dua orang tua yang mempunyai nama besar dan kedudukan tinggi. Ia merasa bahwa tindakannya itu akan tidak ditentang oleh murid murid Go bie, benar saja semua anggota Go bie pay menerimanya tanpa mengeluarkan sepatah katapun juga.
Di luar dugaan Kong bun dan Kong tie saling mengawasi dan kemudian saling mengangguk. "Lo ceng sangat takluk akan kepandaian Beng cu," kata Kong bun sambil membungkuk. "Sebenarnya looceng tidak boleh mengeluarkan bantahan terhadap pengaturan Beng cu. Tapi lantaran terpaksa kami berdua ingin memohon sesuatu."
"Hong thio tak usah berlaku sungkan," kata Bu Kie. "Katakanlah apa yang dipikirkan Hong thio."
"Kami berdua hanya memohon supaya kami diperbolehkan untuk menjaga kuil ini," kata Kong bun.
Bu Kie mengerutkan alis. Sesudah memikir sejenak, ia dapat menangkap latar belakang permintaan itu. Tipu yang sedang dijalankan adalah tipu meninggalkan Siauw Lim sie, berlagak kabur ke belakang gunung untuk memancing musuh dan kemudian membasminya. Tapi ini didasarkan siasat Gak Hu waktu jenderal itu terkepung di Goe tauw san. Tapi keadaan Goe tauw san berbeda dengan Siauw sit san. Goe tauw san adalah sebuah gunung yang gundul, tidak ada sesuatu yang berharga. Dilain pihak, di atas Siauw sit san berdiri kuil Siauw Lim sie yang berusia ribuan tahun, sebuah pusat agama Buddha yang suci. Ada kemungkinan bahwa apabila kuil itu ditinggalkan tanpa terjaga, tentara musuh akan merusaknya bahkan mungkin juga akan membakarnya. Lantaran itulah Kong bun dan Kong tie minta permisi untuk menjaganya. Mereka bertekad untuk mati hidup bersama sama di kuil Siauw Lim sie.
Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Baiklah," kata Bu kie sambil mengangguk. "Aku merasa sangat kagum akan tekad Jie wie taysu, kalian boleh menjaga kuil ini."
Para enghiong merasa heran. Semula mereka menduga bahwa Bu Kie akan menolak permintaan itu.
Melihat pemimpin mereka diperbolehkan menjaga kuil, sejumlah murid Siauw Lim lantas saja ingin mengikuti jejak itu.
"Undang-undang ketentaraan keras dan harus dipatuhi!" teriak Kong bun dengan suara keras. "Murid partai kami yang berani membantah akan segera dicoret namanya sebagai murid Siauw lim pay."
"Hari ini dengan bersatu padu saudara saudara wilayah Tionggoan melayani Tat cu," kata Bu Kie.
"Kuminta para Suhu yang mengurus tambur dan lonceng yang membangunkan semangat menggetarkan seluruh kuil." Dengan darah bergolak para enghiong mengusap usap senjata mereka.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Sebagai tindakan pertama, hampir berbareng dengan komando Hee Yam, para anggota Liat hwee kie mengeluarkan kayu bakar dan rumput yang lalu ditumpuk di samping kuil kemudian di bakar. Dalam sekejap api sudah berkobar kobar.
Mendengar suara tambur dan melihat berkobarnya api, tentara Goan yang berada di kaki gunung lantas saja menduga bahwa orang-orang di Siauw Lim sie sudah membakar kuil dan akan segera kabur.
Dengan sekali mengibaskan tangan Jie lian ciu memimpin seratus lima puluh orang lebih yang berlari lari ke bawah mencari sebelah kiri Siauw sit san. Sebelum mereka tiba di lereng, tentara musuh mulai menyerang ke atas sambil bersorak sorai. Para orang gagah segera lari berpencaran supaya tentara Goan tidak dapat membasmi mereka dengan anak panah.
Rombongan kedua yang dipimpin oleh Thio Siong Kee dan rombongan ketiga di bawah pimpinan In Lie Heng, dengan beruntun muncul dan lari ke bawah, setiap orang menggendong sebuah bungkusan besar yang berisi papan atau seprei, selimut tebal. Dimana serdadu Goan mengira mereka adalah orang orang yang kabur dengan penuh ketakutan, dengan membawa sedikit bekal yang masih keburu dibawa.
Padahal bungkusan bungkusan itu adalah tameng untuk melindungi diri dari anak panah Mongol yang sangat lihay.
Sesudah mengawasi beberapa lama, pemimpin tentara Goan segera memerintahkan selaksa serdadu untuk mengejar dan selaksa lainnya tetap menjaga kedudukan mereka.
"Yo Cosu, pemimpin tentara Tat cu seorang pandai," kata Bu Kie. "Dia tidak mengerahkan seluruh tentara."
"Benar," jawab Yo Siauw. "Kewaspadaan itu bisa membahayakan kita."
Tiba-tiba di kaki gunung terdengar suara terompet yang berulang ulang dan dua ribu tentara berkuda Goan mulai menerjang ke atas dari kiri dan kanan. Dengan mata tidak berkedip, Bu Kie mengawasi kemajuan musuh. Jalanan gunung penuh bahaya dan berliku-liku, tapi kuda-kuda Mongol yang terlatih bisa maju terus tanpa menemui banyak kesukaran. Begitu lekas rombongan musuh yang terdepan mendekati pendopo kuil. Bu Kie memberi isyarat dengan mengibaskan tangannya. Hampir berbareng pasukan Liat hwee kie bergerak dan bersembunyi di rumput rumput tinggi. Pada saat musuh berada dalam jarak kurang lebih seratus tombak, Hie Yam memberi komando. Minyak segera menyembur, anak panah api menyambar. Kuda kuda berjingkrak keras, tentara Goan berteriak teriak seluruh pasukan berubah kalut, banyak kuda dan manusia roboh tergelincir ke bawah gunung dengan badan berkobar kobar.
Tapi tentara Goan memang tentara jempolan. Pasukan depan terpukul, pasukan belakangnya tidak bergeming. Dengan rapih mereka turun dari tunggangan mereka dan menerjang ke atas dengan berjalan kaki. Liat hwee kie terus menyemprotkan minyak dan api. Beberapa ratus musuh binasa, tapi yang lainnya merangsek terus.
Melihat begitu lain lain bendera dari Beng kauw segera membantu. Ang sui kioe menyemburkan air beracun dan Houw tauw kiee melepaskan pasir beracun. Tangannya kedua bendera menghancurkan pasukan Goan. Dengan dekat beberapa ratus orang menyerang terus tapi dengan tidak berapa sukar mereka dibasmi oleh pasukan Swe kim kie dan Kie bok kie.
Sekonyong konyong di kaki gunung terdengar suara tambur yang sangat hebat. Dalam saat lima ribu tentara musuh seperti kipas dengan membawa tameng tameng besar. Dengan adanya tameng tameng itu, air dan pasir beracun tidak bisa berbuat banyak.
Kie bok kie turun tangan dengan melontarkan balok balok besar. Tapi usaha itupun hanya membuat beberapa lubang pada barisan musuh yang lekas dapat menutupnya kembali.
Melihat keadaan itu, Kong bun segera berkata, "Thio Kauwcu, harap kau dan yang lain-lain lekas mundur untuk melindungi tenaga inti dari rimba persilatan kita. Biarpun hari ini kita menderita kekalahan, di kemudian hari kita akan bisa bergerak lagi."
Bu Kie tidak menyahut. Dengan rasa kuatir ia mengawasi pasukan tengah dari pasukan musuh. Tiba-tiba ia lihat di bawah sehelai bendera terdapat seorang panglima yang menunggang seekor kuda tinggi besar dan mengenakan pakaian perang kuning berkilauan, seperti emas. Panglima ini kelihatannya sangat angker, tapi sebab teraling topi, mukanya tak kelihatan tegas. Bu Kie menengok kepada Gouw Kin Co dan berkata, "Gouw Kinsu, kau serang panglima itu."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Baik!" jawabnya sambil mengibaskan bendera putih dan menerjang ke bawah. Seratus batang tombak menyambar, seratus anggota Swie kie mengikuti ke arah perwira dan dan serdadu yang berada di seputar jenderal itu.
"Wie Hok Ong," kata pula Bu Kie. "Mari kita bekuk panglima itu. Yo Cosu dan Hoan Yosu, kalian berdua harus melindungi kami."
Ketiga pemimpin Beng kauw itu girang, mereka kagum akan tindakan sang Kauwcu yang berani dan tepat itu.
Bu Kie dan Wie It siauw adalah jago ilmu ringan tubuh yang sukar dicari tandingannya pada jaman itu. Dengan berbareng mereka dan bagaikan berkrecepnya dua sinar kilat, tahu-tahu mereka sudah berada di barisan tameng. Dengan mudah ia memukul jatuh semua anak panah dan kemudian dengan sekali menotol tameng musuh dengan ujung kaki mereka tameng tameng yang membentang seolah olah sebuah dinding besi. Tentara Goan kaget dan gusar. Sambil berteriak teriak ia coba mengepung ketua penyerang itu. Tapi Bu Kie dan Wie It Siauw bukan jago biasa. Dengan gerakan luar biasa dan ketabahan luar biasa pula, mereka melewati rimba golok dan tombak. Dalam sekejap mereka sudah menghampiri panglima itu.
jenderal itu menikam dengan tombaknya. Bu Kie berkelit menangkap gagang tombak dan menarik sehingga panglima perang itu terhuyung ke depan. Wie It Siauw melompat dan mencengkeram batang lehernya. Panglima itu juga bukan sembarang orang. Dengan tangan kiri ia menghunus pedang dan membabat. Bu Kie mengegos menangkap pergelangan tangan musuh yang memegang pedang dan kemudian menariknya dari atas kuda. Pasukan pengawal mengeluarkan teriakan tertahan dan mati-matian mereka coba menolong, tapi mereka ditahan oleh Yo Siauw dan Hoan Yauw.
"Berangkat!" kata Bu Kie dengan suara girang.
Wie It Siauw segera menotok jalan darah tawanannya, menggendongnya dan lalu kabur ke atas gunung, ke tempat yang sepi. Melihat jenderal mereka tertawan, sambil berteriak teriak tentara Goan menguber. Tapi mereka tentu saja bukan tandingan Wie Hok ong yang berlari lari seperti kera di antara batu batu cadas dan di tempat yang tak mungkin dilewati oleh manusia biasa. Melihat kawan itu sudah berhasil, Bu Kie segera mengajak Yo Siauw dan Hoan Yauw kembali ke atas gunung.
Sesudah berada di tempat aman, Wie It Siauw sengaja memperlihatkan kepandaiannya. Sambil lari ia melemparkan tubuh panglima itu. Tentara Goan berteriak karena menduga pemimpin mereka bakal jatuh dengan tubuh hancur luluh. Tapi selagi tubuh itu melayang ke bawah, Wie Hok ong sudah menyusul menyangganya dengan kedua tangan. Setelah mengulangi permainan berbahaya itu beberapa kali, ia tiba di puncak. "Yo Cosu!" teriaknya. "Jual beli datang!" seraya berteriak begitu, ia melontarkan tubuh si panglima ke arah Yo Siauw yang lalu menyambuti dalam satu gerakan yang sangat indah.l Yo Siauw membuka topi tawanannya. Panglima yang berparas tampan mengawasi dengan mata mendelik dan alis berdiri.
Mendadak Tio Beng berteriak. "Koko!"
Ia menubruk dan memeluk jenderal itu yang ternyata bukan lain daripada Ong Po po, kakak si nona.
Itulah kejadian yang tidak disangka-sangka.
Alis Bu Kie berkerut. Ia menghampiri dan ia mendukung Ong Po po yang berkata, "Maaf." Sesudah itu lalu diserahkan kepada Kong bun dan Kong tie. "Taysu, dengan menggunakan dia sebagai tanggungan, Siauw Lim sie bisa diselamatkan," bisiknya. "Tapi dia mempunyai hubungan dengan aku dan kuharap Jiewie Taysu jangan mencelakakannya."
Kedua pendeta itu girang dan lalu mengambil dua batang golok yang kemudian ditandalkan di leher Ong Po po.
"Tentara Mongol, dengarlah!" teriak Yo Siauw. "Siauw ong ya kamu sudah jatuh ke dalam tangan kami. Mundurlah, supaya kamu tidak mencelakai jiwanya."
Ban hon thio yang memimpin selaksa tentara itu kaget bercampur bingung. Kalau panglima itu benar benar binasa, Jie lam ong akan marah besar dan mungkin sekali seluruh pasukan akan mendapat hukuman mati. Maka itu sesudah memikir beberapa saat, ia segera mengeluarkan titah untuk menarik pulang semua tentara.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Selagi para enghiong bersorak sorai dengan penuh kegirangan, di kaki gunung sekonyong-konyong terdengar suara tambur yang bergemuruh dan sejumlah anak panah api menyambar ke tengah udara.
Hampir berbareng di empat penjuru terdengar teriakan teriakan yang seolah olah menggetarkan seluruh Siauw sit san.
"Kauwcu, bala bantuan datang!" kata Yo Siauw dengan girang.
Bu Kie mengangguk. "Bala bantuan datang," teriaknya. "Terjang musuh!"
Perintah itu disambut dengan tempik sorak. "Para enghiong, dengarlah!" teriak pula Bu Kie. "Lebih dahulu binasakan perwira kemudian baru serdadu."
Karena tahu datangnya bala bantuan Siauw Lim sie, tentara Goan yang baru dapat perintah mundur, lantas saja merosot semangatnya. Maka itu begitu diterjang oleh para enghiong, mereka lantas menjadi kalut dan lari ke bawah gunung dengan kalang kabut.
Setibanya di lereng Bu Kie lihat bendera bendera Beng kauw. Di sebelah selatan terdapat sehelai bendera besar dengan huruf "Cie" sedang di sebelah utara lain bendera dengan huruf "Siang". Ia tahu bahwa yang datang menolong adalah Cie Tat dan Siang Gie Cun. Kedua panglima itu yang semula berada di daerah Hwayho secara kebetulan datang di Holam selatan. Begitu mendapat warta dari Po tay hweeshio, mereka segera menggerakkan seluruh tentara dan menyusul siang malam, sehingga dalam waktu dua hari saja mereka sudah tiba di Siauw sit san. Pasukan Cie tat dan Siang Gie Ciu terdiri dari orang orang yang berpengalaman dan gagah berani. Sebab jumlah mereka banyak lebih besar, maka sesudah bertempur beberapa gebrakan mereka berhasil memberi pukulan hebat kepada selaksa tentara Goan yang menjaga di kaki gunung dan lantas saja lari lintang pukang ke jurusan barat.
Sebagaimana diketahui Bu Kie sendiri sudah menetapkan satu siasat. Dengan menggunakan orang-orang yang mahir dalam ilmu ringan tubuh, ia ingin memancing tentara musuh ke dalam selat gunung yang terletak di sebelah barat Siauw sit san. Tiga penjuru selat itu tertutup pada lereng gunung yang seperti dinding terjal. Jie Lian Cu dan kawan kawaannya berhasil memancing musuh ke selat itu, Ban hu Tio yang memimpin selaksa tentara itu juga tahu berbahayanya saat tersebut. Tapi sebab musuh berjumlah sangat kecil hanya beberapa ratus orang, maka menurut pendapatnya biarpun diserang pasukan yang sembunyi ia bisa melayani. Maka itu tanpa bersangsi ia segera memerintahkan tentaranya mengejar terus.
Setibanya di lereng, Jie Lian Cu dan kawan-kawannya segera memanjat ke atas dengan menggunakan tambang-tambang yang sudah disediakan dan tergantung di lereng itu. Tapi mereka adalah ahli-ahli silat jempolan, sehingga tanpa menemui banyak kesukaran mereka bisa merayap terus ke atas. Dalam pihak tentara Goan yang mengenakan pakaian perang yang sangat berat tentu saja tidak bisa berbuat begitu.
Begitu masuk di selat dan lihat gerakan musuh, Ban hu thio dan tentara Goan lantas insyaf bahwa ia sudah terjebak. Cepat-cepat ia memerintakan tentaranya supaya mundur. Tapi sudah kasep! Api, pasir beracun dan anak panah lantas saja menyambar-nyambar. Hampir berbareng pasukan Kie bok kie melontarkan balok-balok besar ke mulut selat yang lantas saja tertutup rapat.
Tak lama kemudian barisan Goan kedua yang juga terdiri dari selaksa orang dan dikejar oleh pasukan Cie Tat serta Siang Gie Cun tiba di situ. Sebab mulut selat sudah tertutup mereka kabur ke empat penjuru.
"Sungguh sayang!" kata Bu Kie kepada Cie Tat. Kalau sudah diatur terlebih dahulu barisan Goan yang kedua itu tentu bisa dipancing masuk ke dalam selat dan seantero barisan yang terdiri dari dua laksa jiwa akan dapat dimusnahkan sekaligus. Tapi Bu Kie sudah boleh merasa puas dengan hasil yang diperoleh. Ia sama sekali tidak pernah menduga bahwa bala bantuan bisa datang begitu cepat. Waktu mengatur siasat tujuannya hanialah menyelamatkan kuil Siauw Lim sie.
Sementara itu Cie Tat segera memerintahkan tentara memperkuat tutupan selat dengan batu2 besar dan menitahkan sepasukan anak panah memanjat ke atas lereng untuk memanah musuh dari atas ke bawah.
Tentara Goan yang sudah tak bisa membela diri lagi jadi makin kalang kabut. Sambil sesambat dan berteriak teriak, mereka lari seperti gila, mencari cari perlindungan di antara batu batu dan pohon pohon.
Tak lama kemudian Siang Gie Cen dan tentaranya tiba. Pertemuannya dengan Bu Kie menimbulkan kegirangan besar. Ia seorang yang beradat berangasan. Begitu tahu musuh terkepung di dalam selat ia berteriak. "Singkirkan semua balok dan batu! Biar kuhajar semua Tat Cu!"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Perlu apa kau menggunakan tenaga?" kata Cie Tat sambil tertawa. "Di dalam selat tiada air dan tiada makanan. Dalam tiga empat hari mereka akan mati sendiri."
Siang Gie Cun tersenyum dan tak berkata apa apa lagi.
Apa yang dapat dilakukan Cie Tat dan Siang Gie Cun ialah memerintahkan tentaranya membasmi bagian musuh yang kedua, yang lari berpencaran ke bawah gunung.
Sesudah musuh kabur semua, atas permintaan Tio Beng, Bu Kie melepaskan Ong Po po dan memerintahkan Gouw Kin Co serta sejumlah anggota Swie kim kie mengantarnya sampai lima puluh lie.
Sesudah lima puluh lie, Tio Beng sendiri mengantar lagi sepuluh lie dan berulang ulang mohon maaf.
Tapi Ong Po po tak meladeni adiknya itu, sehingga si nona kembali ke Siauw sit san dengan rada berduka dan masgul. Malam itu di kaki Siauw sit san diadakan pesta besar sebagai tanda girang berhubung dengan kemenangan besar. Para enghiong yang sudah berhari hari hanya makan makanan ciacay malam itu makan minum sepuas hati.
Selagi bersantap Cie Tat menuang secawan arak dan mempersembahkannya kepada Bu Kie. "Kauwcu, aku memberi selamat dengan secawan arak ini!" katanya.
Bu Kie menyambuti dan menceguk isinya.
"Kauwcu, semula aku hanya merasa takluk akan pribudi dan ilmu silatmu yang sangat tinggi," kata pula Cie Tat. "Di luar dugaan, Kauwcu pun mahir dalam ilmu perang dan dapat menggunakan siasat perang seperti malaikat. Inilah rejeki agama kita dan keberuntungan untuk segenap rakyat."
Bu Kie tertawa terbahak bahak. "Cie Toako," katanya, "Jangan kau memuji aku. Kemenangan hari ini didapat berkat kedatangan jiewie Toako yang sangat cepat dan juga peninggalan Gak Bu bok. Dalam peperangan ini, siauwtee tak punya pahala suatu apa."
"Peninggalan Gak Bu bok?" menegas Cie Tat. "Bolehkah Kauwcu memberi penjelasan?"
Bu Kie merogoh saku dan mengeluarkan Bu Bok Ie su. Ia membalik lembarannya sampai pada bagian terkepung di Goe tauw san, dan lalu menyerahkannya kepada Cie Tat.
Sesudah membaca, Cie Tat kaget tercampur girang. Ia menghela nafas dan berkata, "Perhitungan Bu Bok takkan dapat ditandingi oleh manusia manapun juga di jaman ini. Apabila sekarang Gak Bu Bok masih hidup dan memimpin kita, Tat cu pasti akan bisa diusir balik ke padang pasir." Sehabis berkata begitu, dengan sikap hormat ia mengembalikan kitab itu kepada sang kauwcu.
Tapi Bu Kie tidak menyambuti. "Hari ini baru aku tahu apa artinya "bo lim cie cun, po to liong, hauw leng thian hee, bo kam poet ciong,?" katanya. "Apa yang dikatakan "bo lim cie cun (yang termulia dalam Rimba Persilatan) bukan To liong to. Yang termulia dalam Rimba Persilatan adalah kitab perang Gak Bu bok yang disembunyikan dalam golok itu. Dengan kitab itu seseorang yang bisa mengalahkan musuh, sehingga akhirnya ia bisa "hauw leng thian hee, boh kam poet ciong". Cie toako, aku telah mengambil keputusan untuk menghadiahkan kitab ini kepadamu dengan pengharapan supaya kau bisa mewujudkan cita cita "hoan ngo ho san" dari Gak Bu Bok." (Hoan ngo ho san adalah cita-cita yang termasyur dari Gak Hui, hoan ngo ho san berarti kembalikan sungai dan gunungku).
Cie Tat terkejut. "Orang sebawahanmu sama sekali tak punya kebajikan dan kepandaian, sehingga mana berani menerima hadiah Kauwcu yang begitu besar?" katanya sambil membungkuk.
"Cie Toako jangan menolak. Demi kepentingan umat manusia di kolong langit, aku menyerahkan kitab ini kepadamu."
Cie Tat tak bisa mengucapkan sepatah kata. Kedua tangannya yang memegang Bu Bok Ie su kelihatan gemetar.
"Dalam kata kata yang terkenal itu masih terdapat dua baris terakhir yang berbunyi, "Ie thian poet cut, swee ie ceng hiong"," kata pula Bu Kie. "Sekarang Ie thian kiam patah dua, tapi kupercaya di kemudian hari pedang itu akan tersambung pula. Di dalam pedang tersebut disembunyikan sejilid kitab ilmu silat yang sangat lihay. Aku mengerti maksudnya. Kitab perang Gak Bu Bok adalah untuk mengusir Tat cu dari negara kita. Sesudah Tat Cu diusir pergi, seorang lain akan berkuasa di negara kita. Apabila Kaisar itu ternyata seorang penjahat yang sewenang wenang sehingga rakyat menderita, maka seorang enghiong akan tampil ke muka dan membinasakan kaisar durjana itu dengan Ie Thian Po Kiam. Biarpun dia
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
berkuasa, belum tentu dia bisa menangkis tekanan Ie Thian kiam. Cie Toako, kuharap kau ingat perkataanku ini."
Bulu roma Cie Tat bangun semua dan keringat membasahi pakaiannya. Ia tidak berani menolak lagi dan berkata sambil menjura, "Orang sebawahanmu tidak bisa berbuat lain daripada menerima perintah Kauwcu." Ia menaruh kitab itu di meja, berlutut empat kali dan kemudian berlutut di hadapan Bu Kie sebagai pernyataan terima kasih. Mulai waktu itu, Bu bok Ie Su menjadi milik Cie Tat. Di kemudian hari benar saja dialah yang bisa mengalahkan tentara Goan dan mengusirnya sampai di daerah Tiongkok, sehingga nama besarnya menggetarkan di seluruh wilayah di sebelah utara padang pasir.
* * * * * Semenjak perang Siauw sit san, segenap orang gagah di daerah Tiong goan mempersatukan diri dengan Beng kauw. Setiap perintah Bu Kie ditaati oleh semua orang. Selama ratusan tahun, Beng kauw dianggap sebagai agama iblis. Di luar dugaan sekarang Beng kauw menjadi pemimpin dari para orang gagah di seluruh Tiongkok dalam usaha merebut pulang negara dari tangan bangsa lain. Di belakang hari Cu Goan Ciang bercabang hatinya dan dengan tipu muslihat ia naik ke atas tahta kaisar. Tapi adalah sebuah kenyataan, bahwa yang membantu dia merebut Tiongkok adalah orang orang Beng kauw dan mungkin itulah sebabnya mengapa ia menggunakan perkataan dan "Beng" (terang) untuk nama kerajaannya. Duaratus tujuh puluh tahun kerajaan Beng berkuasa di Tiongkok dan asal mula berdirinya dari kerajaan tersebut adalah usaha Beng kauw.
* * * * * Malam itu semua orang makan minum sepuas hati. Pada keesokan harinya, mereka meminta diri dari Kong Bun dan Kong tie. Melihat keadaan Go bie pay yang rusak dan tak punya pemimpin dan mengingat pula keadaan Song Ceng Su yang terus di dalam tandu, Bu Kie tak sampai hati. Ia menghampiri rombongan partai dan berkata kepada Ceng Hu, "Bolehkah aku menengok keadaan Song Toako?"
"Kau tak usah berlagak baik hati!" jawabnya dengan ketus.
Si sembrono Ciu Tian naik darahnya. "Kurang ajar!" cacinya. "Dengan mengingat kecintaan dulu Kauwcu kami sudah mengobati lukanya. Sebenarnya manusia yang mengkhianati orang tua yang gagah itu boleh dibinasakan oleh siapapun juga."
Ceng Hu menjebikan bibir. Ia ingin balas mencaci, tapi sebab kuatir dihajar, sebisa bisa ia menahan nafsu amarahnya. "Semenjak dulu Ciangbunjin Go bie pay adalah gadis yang putih bersih seperti es dan batu Giok," katanya dengan suara dingin. "Kalau Ciu Ciang bun bukan seorang gadis, cara bagaimana ia rasa menjadi pemimpin partai kami" Hmm!... beradanya manusia seperti Song Ceng Su dan partai kami benar-benar sudah menodai nama baiknya Ciu Ciang bun. Lie sutit, Liong sutit, pulangkan saja manusia itu kepada Bu tong pay!"
Dua pemikul tandu lantas saja mengiakan, memikul tandu yang berisi Song Ceng Su, menaruhnya di hadapan Jie Lian Ciu dan lalu menyingkir.
Semua orang kaget. "Apa?"" tanya Jie Jiehiap. "Bukankah ia suami Ciangbunjin mu?"
"Hi!" bentak Ceng Hui dengan nada mendongkol. "Manusia semacam dia mana dipandang mata oleh pemimpin kami" Sebab perbuatan si bocah Thio Bu Kie, barulah Ciu ciangbun memancing bocah she Song itu yang rela menyamar sebagai suami. Siapa duga" siapa duga" huuh huh"! Kalau tahu bakal terjadi kejadian ini, perlu apa Ciu ciangbun menodai namanya sendiri?""
Bu Kie tak bisa bersabar lagi. "Kalau begitu dia bukan Song Hujin?" tanyanya.
Ceng Hui menengok dan membentak. "Aku tidak bicara denganmu!"
Sesaat itu Song Ceng Su yang rebah di tandu bergerak dan berkata dengan suara di tenggorokan. "Apa Thio Bu Kie sudah" dibunuh?""
"Jangan mimpi!" ejek Ceng Hui. "Maut sudah berada di atas kepalamu dan kau masih membayang bayangkan paras cantik."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Melihat Ceng Hui sukar diajak bicara, In Lie Heng segera menanya seorang murid Go bie pay lain.
"Lie Sumoay, bagaimanakah kejadian yang sebenarnya?"
Yang ditanya seorang setengah tua, Lie Beng Hee namanya, sahabat mendiang Kioe Siauw Hu.
Mendengar pertanyaan itu, ia lalu berkata, "Ceng Hui Sioecie, In Liok Hiap bukan orang luar, bolehkah Siauwmoay menceritakan apa yang terjadi?"
"Hal ini tidak ada sangkut pautnya dengan orang luar atau bukan orang luar dan lebih lebih harus menjelaskannya kepada orang luar. Ciu Ciang bun wanita suci, putih bersih yang tak punya hubungan apapun juga dengan pengkhianat she Song itu. Bukankah dengan mata sendiri kita semua sudah lihat Sioe kiong sie di lengan Ciu Ciang bun" Kenyataan ini harus diumumkan kepada kawan kawan Rimba Persilatan demi nama baik Ciu Ciang bun, demi Go bie pay?"
Mendengar perkataan Ceng Hui yang bicara tanpa juntrungan itu, In Lie heng segera berkata kepada Lie Beng Hee, "Lie Sumoay, kalau begitu kuharap kau suka lantas bicara bagaimana Song sutit masuk ke dalam partai kalian dan hubungan apa terdapat antara dia dan Ciu ciangbun" Hal ini aku akan melaporkan kepada guruku. Hal ini kuanggap penting untuk kedua partai kita. Kita harus menjaga dan memelihara keakuran antara Go bie dan Bu tong pay!"
Lie Beng Hee menghela nafas. "Orang seperti Song siauwhiap memang sukar dicari," katanya dengan suara perlahan. "Hanya sayang karena gara-gara mabuk cinta, dia terjerumus ke dalam jurang kehinaan.
Mungkin sekali Ciu ciang bun telah menjanjikan bahwa sesudah Thio Bu Kie dibunuh mati, yaitu sesudah membalas dendam sebab si bocah she Thio kabur dalam upacara pernikahan, ia akan suka menikah dengan Song siauwhiap. Itulah sebabnya mengapa Song siauwhiap rela masuk ke dalam partai kami dan meminta ilmu silat istimewa dari pemimpin kami. Dalam enghiong Tayhwee tiba-tiba Ciu Ciang bun mengakui dirinya sebagai Song hujin, sebagai isteri Song siauwhiap.
Ketika itu semua murid Go bie kaget dan heran. Sebagaimana kalian tahu, hari itu Ciu ciang bun berhasil merobohkan semua orang gagah?"
"Jangan sembarangan!" menggerutu Ciu Tian. "Dia menang sebab Thio Kauwcu mengalah."
Lie Beng hee tidak meladeni dan bicara terus. "Kemenangan itu menggirangkan sangat kami semua, tapi di dalam hati kami merasa kurang puas, sebab perkataan "Song hujin" itu! Malamnya kami menanyakan Ciu ciangbun maksud dari sikapnya. Ciu ciangbun menggulung lengan baju kirinya dan memperlihatkan lengannya. "Semua kemari," katanya dengan suara menyeramkan. Kami semua menghampiri dan dengan mata sendiri kami lihat sebutir Sioe kioe see pada lengannya masih tetap merah seperti sedia kala. Itulah bukti, bahwa ia masih seorang gadis suci dan bersih. "Aku mengakui diri sebagai Song Hujin untuk menjalankan tipuku," katanya. Aku ingin membangkitkan kedongkolan si bocah she Thio, supaya dia tidak bisa memusatkan seantero semangatnya dan aku bisa menjatuhkan dia dalam Piebu. Bocah itu kepandaiannya tinggi dan aku sebenarnya tak akan bisa menang. Demi kepentingan partai kita, namaku tidak ada artinya. Itulah perkataan yang diucapkan oleh Ciu ciangbun." Dalam memberi penjelasan Lie Beng Hee bicara keras keras supaya bisa didengar oleh banyak orang.
Sesudah berdiam sejenak, ia berkata pula, "Murid-murid partai kami, baik wanita maupun pria kecuali yang menjadi pendeta sebenarnya tidak dilarang untuk menikah, untuk berumah tangga.
Tapi semenjak jaman Kwee Couw, ilmu silat yang tertinggi hanya diturunkan kepada seorang gadis yang masih suci. Pada waktu mengangkat guru, lengan murid wanita dimasukkan Sioe kiong see oleh mendiang suhu periksa lengan semua murid wanita yang dimasukkan Sioe kiong see. Tahun itu, lengan Kie su Cie juga diperiksa"!" Ia tidak bisa meneruskan perkataannya dan mukanya bersemu dadu. Ia berusia lanjut, tapi ia masih merasa jengah untuk menyebutkan perhubungan antara Yo Siauw dan Kie Hu mengakibatkan terhapusnya Sioe Kiong See. Sebagaimana diketahui, In Lie heng sudah menikah dengan Yo Poet Hwie (putri Yo Siauw dan Kie Siauw Hu) dan pernikahan itu sangat beruntung. Tapi mendengar penutuuran Lie Beng Hee, In Liok hiap lantas saja ingat nasib mendiang tunangannya itu dan tanpa merasa, dengan air mata berlinang-linang ia menengok ke arah Yo Siauw. Begitu menengok, begitu ia melegos, sebab ia lihat air mata yang turun dengan perlahan di kedua pipi mertua itu. Sioe kiong see, semacam papir yang dimasukkan ke lengan seorang gadis merupakan tanda dari kesucian gadis itu.
Begitu menikah, titik Sioe kiong yang berwarna merah terang lantas hilang.
"In Liok hiap," Lie Beng Hee berkata lagi, "demikianlah, sebab Ciang bun jin kami ingin membangkitkan kedongkolan Thio Kauwcu dan Siong siauwhiap mabuk cinta, maka terjadilah peristiwa yang kita sangat inginkan. Aku hanya mengharap agar Song siauwhiap bisa sembuh kembali. Kumohon
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
In Liok hiap suka bicara baik di hadapannya Thio Cinjin dan Song tayhiap agar kerukunan antara kita tidak dirugikan.
"Aku memang harus berbuat begitu," kata In Lie Heng. Tapi sutitku itu seorang berdosa yang pantas dihukum mati. Perbuatannya memalukan partai kami. Aku harap dia mati sendiri terlebih cepat." Pada hakekatnya In Lie Heng seorang mulia yang berhati lemas. Tapi mengingat perbuatan Song Ceng Su di dalam mencelakakan Boh Seng Kok darahnya meluap.
Selagi beromong omong di sebelah kejauhan mendadak teriakan ketakutan yang nyaring dan tajam.
Itulah teriakan Cie Jiak. Bahaya apa yang ditemuinya, teriakannya itu sangat menyeramkan dan membangunkan bulu roma.
Semua orang terkesiap hampir berbareng mereka berpaling ke arah teriakan itu. Bu Kie, Ceng Hu, Lie Beng Hee dan sejumlah orang lantas saja berlari lari ke jurusan teriakan itu. Sebab kuatir Cie Jiak bertemu musuh tangguh atau binatang buas, Bu Kie mengempos semangatnya dan dalam sekejap ia sudah melewati hutan. Satu bayangan hijau mendatangi dan bayangan itu adalah Cie Jiak. Bu Kie menyambuti dan bertanya, "Cie Jiak, ada apa?"
"Setan" setan uber aku!" jawabnya sambil menubruk dan memeluk Bu Kie. Ia menggigil dan giginya berbicara.
Sebab kasihan, Bu Kie membiarkan dirinya dipeluk. Ia menepuk nepuk pundak Cie Jiak dan menenteramkannya. "Jangan takut, mana ada setan" Apa yang dilihat olehmu?"
Muka dan kedua lengan Cie Jiak belepotan darah sebab tergores duri, sedang pakaiannya robek di sana sini. Separuh tangan kirinya terobek putus sehingga lengannya yang putih terbukan dan pada lengan itu terlihat satu titik merah yang terang bagaikan giok. Itulah titik Sioe kiong sie, tanda dari seorang gadis yang masih suci. Bu Kie sekarang mendapat kepastian apa yang dikatakan Lie Beng Hee adalah sebuah kebenaran. Sesaat itu dalam otaknya berkelebat macam macam pikiran. Dia pernah mengatakan kepadaku bahwa waktu di penjara oleh Kaypang kesuciannya telah dinodai oleh Song Ceng Su dan dia sudah hamil, pikirnya. Waktu aku periksa nadinya, aku tak dapat tanda tanda kehamilannya. Ketika itu aku sangsikan ketepatan pemeriksaanku, ternyata ia menipu aku. Semua pengakuannya dusta belaka. Di lain saat ia berkata pada dirinya sendiri, "Thio Bu Kie oh Thio Bu Kie! Ciu kauwnio adalah musuh yang sudah membinasakan piauwmoay mu. Dia masih gadis atau sudah menikah, ada hubungannya dengan dirimu?"
Ia menggigit bibir dan mengeraskan hati. Tapi sebab si nona menggigil, ia tak tega untuk menolaknya.
Sementara itu sesudah bersandar di dada Bu Kie beberapa lama, Cie Jiak jadi lebih tenang. "Bu Kie koko, apa benar kau?" tanyanya dengan suara parau.
"Benar aku, apa yang dilihat olehmu" Mengapa kau begitu ketakutan?"
Mendengar pertanyaan Bu Kie, nona Ciu bergemetaran lagi dan "uah"!" ia menangis keras.
Beberapa saat kemudian Yo Siauw, Wie It Siauw, Ceng Hui, In Lie Heng dan yang lain lain tiba disitu. Melihat Cie Jiak sedang menangis dan memeluk Bu Kie, mereka saling memberi isyarat lalu menyingkir. Orang orang Beng Kauw, Bu tong dan Go bie pay sangat mengharap Cie Jiak dan Bu Kie bisa akur kembali dan terangkap menjadi suami isteri. Mereka mengharap begitu sebab Tio Beng pernah menyakiti hati mereka dan juga sebab nona itu adalah puteri seorang Mongol. Mereka kuatir pernikahan antara Bu Kie dan Tio Beng akan merugikan usaha besar.
Sesudah menangis beberapa lama, Cie Jiak bertanya, "Bu Kie koko, apa ada yang mengubar?"
"Tak ada! Siapa yang mengejar kau" Hian beng Jie loo kah?"
"Bukan" bukan" lihatlah yang terang. Apa benar tak ada manusia. Bukan" bukan manusia" apa tak ada sesuatu yang mengudak kemari?"
Bu Kie tertawa, "Di siang hari bolong kalau ada yang mengubar masakan tak kulihat?" katanya dengan suara lemah lembut. "Cie Jiak, selama beberapa hari kau terlalu letih. Mungkin sekali matamu kabur dan kau salah lihat!"
"Tak mungkin, tiga kali kulihat dia," jawabnya.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Apa yang kau lihat sampai tiga kali?" tanya Bu Kie.
Sambil memegang kedua lengan Bu Kie erat erat dan sesudah mengumpulkan seantero keberaniannya, Cie Jiak menengok ke belakang akan kemudian baru-baru memutar kepalanya lagi ke arah Bu Kie.
Melihat muka pemuda itu yang penuh kekuatiran, tiba-tiba rasa terharu yang tiada taranya bergelombang dalam hati si nona. Tenaganya habis dan ia roboh ke tanah. "Bu Kie koko?" katanya dengan nada sesambat yang diliputi penyesalan hebat. "Aku" aku telah menipu kau habis habisan. Akulah yang curi Ie thian kiam dan To Liong to. In" In Kouwnio dibunuh olehku. Jalan darahnya Cia tayhiap ditotok olehku. Aku tak pernah menikah dengan Song Ceng Su. Dalam hatiku hanya" hanya terdapat" kau seorang?"
"Aku sudah tahu itu semua. Tapi mengapa kau berbuat begitu?"
"Kau tidak tahu apa yang dikatakan oleh mendiang guruku di atas menara di Ban hoat sie. Ia memberitahukan rahasia Ie thian kiam dan To liong to kepadaku. Ia paksa aku bersumpah, bahwa sesudah berhasil mencuri pedang dan golok mustika itu, aku harus angkat derajat Go bie pay. Ia paksa aku bersumpah, bahwa aku akan berlagak baik terhadapmu, tapi tidak boleh mencintai kau dengan sesungguhnya?"
Dengan rasa kasihan Bu Kie mengusap usap tangan si nona. Di depan matanya lantas saja terbayang cara bagaimana Biat Cut Suthay membinasakan Kie Siauw Hu dengan tangannya sendiri. Cara bagaimana di padang pasir niekouw tua itu bersumpah untuk memusnahkan Beng kauw, cara bagaimana dia membunuh anggota anggota Swie kiem kie dengan Ie thian kiam dan cara bagaimana di Bin hoat sie, nenek itu lebih suka binasa daripada menerima pertolongannya. Peristiwa peristiwa itu membuktikan bahwa kebencian Biat coat Su thay terhadap Beng kauw adalah kebencian yang sangat mendalam.
Ciu Cie Jiak adalah ahli waris si nenek dan telah menerima pesan terakhir. Maka itu ia percaya, bahwa perbuatan Ciu Cie Jiak yang berdosa telah dilakukan atas anjuran Biat coat.
Bu Kie adalah seorang yang mudah memaafkan dan tidak bisa menaruh dendam. Ia ingat pula, bahwa dalam pertempuran di Kong beng teng melawan suami isteri Ho Thay Ciong dan dua tetua Hwa san pay kalau tidak dapat pertolongan si nona, mungkin sekali ia sudah binasa. Sebagai seorang yang berhati mulia, pertolongan itu menonjol ke depan dan segala kedosaan nona Ciu jadi terlebih kecil. Rasa kasihannya lantas saja bertambah besar. "Cie Jiak," katanya dengan suara halus, "bilanglah apa yang dilihat olehmu" Mengapa kau begitu ketakutan?"
Tiba-tiba si nona melompat bangun. "Tidak! Aku tak akan beritahukan kepadamu," katanya dengan nafas memburu. "Aku dikejar setan penasaran" aku berdosa dan pantas mendapat pembalasan. Hari ini aku sudah mengakui semua di hadapanmu. Aku" aku tak akan bisa hidup lama di dalam dunia?"
Sehabis berkata begitu, ia lari ke bawah gunung.
Bu Kie mengawasi dengan mulut ternganga. "Setan penasaran?" tanyanya di dalam hati. "Apa perbuatan orang Kay pang yang coba membalas sakit hati dengan menyamar sebagai setan?"
Nona Ciu lari ke rombongan Go bie pay. Lie Beng Hee buru buru mengambil baju dan menyerahkannya kepada sang pemimpin. Sesudah memakai baju itu diluar baju yang rombeng, Cie Jiak segera bicara kepada murid Go bie dengan suara perlahan dan mereka menjawab dengan manggut-manggutkan kepala.
"Kita berangkat sekarang," kata Bu Kie. Mendadak ia lihat Cie Jiak menghampiri Kong bun dan bicara bisik-bisik. Paras muka pendeta itu tiba-tiba berubah, ia kelihatannya kaget dan menggeleng-gelengkan kepala seperti orang tidak percaya akan sesuatu. Sesudah bicara lagi beberapa patah, se-konyong2 nona Ciu berlutut dan merangkap kedua tangannya, sedang bibirnya bergerak-gerak seperti orang berdosa atau meminta sesuatu. Dilain pihak dengan paras muka angker Kong bun pun mengucap sesuatu.
"Heran! ..." kata Ciu Tian. "Kauwcu kau harus mencegah."
"Mencegah apa?" tanya Bu Kie.
"Ciu Kauwnio kelihatannya mau jadi hweeshio," jawabnya, "Kalau kau masuk dipintu kosong runyamlah untuk Kauwcu." (Masuk dipintu kosong berarti pendeta ).
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Yo Siauw tertawa geli. "Andaikata benar Ciu Kauwnio, jadi niekouw," katanya "Mana bisa ia mengangkat hweeshio Siauw lim sebagai guru?" (Hweeshio pendeta lelaki. Niekouw pendeta perempuan).
Si sembrono menabok mulutnya sendiri. "Benar ! Kau benar! Aku yang tolol," katanya. "Tapi apa yang diminta Ciu Kauwnio dari Kong-bun" Yang satu Ciangbun Siauw lim pay, yang lain Ciangbun Go bie pay. Mereka sederajat dan setingkat, Ciu Kauwnio tak perlu berlutut."
Dilain saat Cie Jiak sudah bangun berdiri. Paras mukanya kelihatan tenang seperti orang yang baru dihibur hatinya.
"Sudahlah," kata Bu Kie. "Jangan urus urusan orang lain." Ia menengok kebelakang dan berkata pula.
"Beng moay, mari kita berangkat." Tiba-tiba saja ia terkejut sebab Tio beng tak berada di sampingnya, sedang biasanya nona Tio tak pernah berada jauh dari dirinya,
"Mana Tio Kauwnio?" tanyanya. Mendadak keringat dingin keluar dari dahinya. "Celaka!" ia mengeluh. "Mungkin Beng-moay kabur sebab lihat Cie Jiak memeluk aku." Tergesa-gesa ia memerintahkan sejumlah orang pergi mecari Tio Beng.
Selagi orang repot, Hee Yam, Cangkie su Liat hwee kie datang dan berkata. "Melaporkan kepada Kauwcu, aku lihat Tio Kauwnio turun gunung!"
Bu Kie sangat berduka. "Tanpa memperdulikan segala apa Beng-moay telah mengikuti aku," katanya.
"Dalam mengikuti aku ia telah merasakan banyak penderitaan. Mana bisa aku menyia-nyiakan dia?" Ia berpaling pada Yo Siauw dan berkata pula, "Yo-heng segala urusan aku serahkan kepadamu. Aku mau meninggalkan kalian untuk sementara waktu."
Sesudah meminta diri dari Kong Bun dan lain-lain ia berkata kepada Cie Jiak. "Cie Jiak, baik-baik menjaga diri. Di hari kemudian kita akan bertemu pula." Si nona tak menjawab. Ia menunduk dan manggut-maaggutkan kepalanya, sedang air matanya jatuh menetes di tanah.
Dengan ilmu mengentengkan tubuh Bu Kie turun gunung, Disepanjang jalan ia melewati para enghiong yang mau pulang.
Diantara mereka tak terdapat Tio beng. Sesudah mengejar tiga puluh li lebih, siang mulai berganti malam dan jalan mulai sepi. Tiba-tiba ia berkata pada dirinya sendiri, "Beng-moay seorang cerdik. Tak mungkin ia mengambil jalan besar. Apabila ia menggunakan jalanan ini, aku tentu sudah menyandak.
Apa dia masih bersembunyi di gunung?"
Memikir begitu ia segera kembali ke atas dan lari berputar-putar, dengan kadang-kadang naik ke pohon tinggi. Tapi yang terlihat hanialah gunung, lorong dan kawanan gagak yang pulang ke sarang.
Ia pergi ke belakang gunung, tapi yang dicari tetap tak kelihatan bayangannya. "Beng-moay," katanya di dalam hati, "biarpun aku harus mengitari bumi dan menjelajahi samudera, aku akan mencari kau."
Sesudah mengambil keputusan begitu, hatinya jadi lebih tenang. Ia memanjat pohon dan merebahkan diri di salah satu cabang yang melintang. Sesudah bercapai lelah sehari suntuk, tak lama kemudian ia tertidur.
Kira-kira tengah malam kupingnya yang tajam tiba-tiba menangkap suara tindakan yang sangat enteng. Ia lantas saja tersadar dan membuka matanya. Bulan sisir sudah menyondong ke barat dan memancarkan sinarnya yang remang-remang. Ia lihat seorang yang sedang berjalan ditanjakan ke jurusan selatan. Dilihat pakaiannya, dia seorang wanita yang bertubuh kurus kecil dan langsing. Bu Kie girang, hampir-hampir ia berteriak, "Beng moay!" Tapi belum memanggil ia sudah lihat perbedaan antara wanita itu dan Tio beng. Dia bertubuh lebih jangkung dari nona Tio dan ilmu pengenteng badannya juga berbeda. Bu Kie heran dan menanya diri sendiri. "Siapa dia" Perlu apa ia malam-malam jalan sendirian?"
Sebenarnya ia tak ingin mencampuri urusan orang lain. Tapi dilain saat ia ingat bahwa mungkin sekali dari wanita itu ia bisa mencari keterangan mengenai nona Tio.
"Apabila ia ternyata tidak mempunyai sangkut paut dengan Beng moay, akupun bisa menyingkir tanpa diketahui," pikirnya. Memikir begitu ia segera turun dari pohon. Dengan hati-hati ia menguntit dari jauh.
Memang kurang pantas menguntit wanita yang tidak dikenal ditengah malam buta. Ia menjaga jangan sampai diketahui. Wanita itu yang mengenakan baju hitam ternyata menuju kearah Siauw lim sie.
"Apa maunya dia?" tanya Bu Kie di dalam hati. "Aku telah diangkat sebagai Bu lim Bengcu.
Kalau ia meugandung maksud kurang baik terhadap Siauw lim, aku tak bisa tidak mencampuri." Ia
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
berhenti sejenak dan memasang kuping. Keadaan diseputarnya sunyi senyap. Wanita itu tak punya kawan dan ia merasa lega.
Selama kurang lebih satu jam, si baju hitam tak pernah menengok kebelakang. Dengan melihat punggungnya dan gerak-geriknya, Bu Kie merasa bahwa ia pernah bertemu dengan wanita itu. "Apa Bu Beng Eng Kouwnio " Apa Teng Bin Kun ?" ia menduga-duga.
Tak lama kemudian kuil Siauw lim sie sudah berada didepan mata. Sesudah mendaki kuil dengan tindakan lebih perlahan. Ia berlaku sangat hati-hati.
Sekonyong-konyong dari dalam terdengar suara yang bergemuruh yang keluar dari tenggorokan ratusan manusia. "Eh..." kata Bu Kie di dalam hati. "Mengapa di tengah malam buta begitu banyak pendeta membaca kitab suci" Ada apa ?"
Mendengar suara berdoa itu, wanita tersebut berjalan makin perlahan. Sesudah maju beberapa tombak lagi, ia tiba disamping Tayhiong Po thian. Mendadak terdengar suara tindakan yang sangat enteng dan ia mendekam diantara rumput-rumput tinggi. Beberapa saat kemudian empat pendeta bersenjata golok dan sianthung keluar meronda. Siauw lim sie ternyata tetap waspada.
Sesudah keempat pendeta itu lewat, wanita itu melompat keluar dari tempat sembunyinya dan menghampiri jendela, Lompatan dan gerakannya mengunjuk bahwa dia memiliki ilmu ringan badan kelas satu,
"Ia tidak membekal senjata, mungkin ia tidak mengandung maksud jelek," pikir Bu Kie. Sebab ingin melihat muka wanita itu, kalau-kalau benar ia mengenalinya, Bu Kie lalu mengambil jalan memutar dan kemudian menempatkan diri di sudut barat laut Tay hiong Po thian. Ia mengerti bahwa kedudukannya sangat tak enak. Kalau hanya diketahui oleh pendeta Siauw lim ia akan hilang muka sebab seorang yang berkedudukan tinggi seperti dirinya memang tak pantas mengintip-ngintip ditengah malam buta. Maka itulah ia bergerak dengan sangat hati-hati.
Dari sela jendela ia mengawasi kedalam. Diruangan itu terdapat ratusan pendeta yang sebaris demi sebaris bersila diatas tikar. Diantara mereka ada yang memegang alat sembahyang, ada pula yang berdoa sambil merangkap kedua tangan. Mereka rupa-rupanya sedang mengadakan sembahyang untuk roh dari orang2 yang baru meninggal dunia.
"Benar," kata Bu Kie di dalam hati. "Dalam Eng hiong Tay hwee banyak orang binasa, sedang dalam peperangan melawan tentara Goan juga banyak yang mengorbankan jiwa. Berdasarkan welas asih mereka mengadakan sembahyang besar untuk menuntun roh-roh ke sorga".
Sembahyang itu dipimpin oleh Kong bun Taysu sendiri, Disamping Kongbun terdapat seorang wanita muda. Begitu melihat wajahnya, Bu Kie terkejut sebab dia bukan lain daripada Ciu Cie Jiak.
Bu Kie menghela napas. "Sembahyang ini tentu diadakan atas permintaan Cie Jiak pada tadi siang,"
pikirnya. "Ia merasa berdosa dan menyesal, banyak orang yang tidak berdosa binasa dalam tangannya."
Dengan matanya yang tajam, ia mengawasi leng pay (papan dengan tulisan nama orang yang disembahyangi ) di atas meja. Tiba-tiba saja air matanya mengucur sebab di lengpay itu tertulis huruf-huruf ini: "Tempat yang suci dari pendekar wanita In Lee".
Diantara ketukan bok hie Cie Jiak berlutut di depan meja sembahyang dan berkata dengan suara perlahan. Sayup-sayup Bu Kie menangkap perkataan begini, "In Kouwnio ... kau yang sudah berada dilangit .... mengasolah dengan tenang ... jangan ganggu aku ...."
Jantung Bu Kie mengetuk lebih keras.
Piauw moay yang telah dibinasakan Cie Jiak bernasib malang," katanya di dalam hati. "Tapi penderitaan Cie Jiak mungkin lebih hebat dari pada piauw moay sendiri." Tiba-tiba ia ingat doa yang diucapkan oleh para anggauta Beng-kauw waktu mereka menghadapi bencana di Kong beng teng.
"Hidup apa senangnya, mati apa susahnya" Kasian manusia dalam dunia banyak yang menderita. Kasian manusia di dunia banyak yang menderita!"
Perlahan-lahan Cie Jiak bangun berdiri, tubuhnya agak miring dan mukanya menghadap ke arah timur.
Mendadak paras mukanya berubah dan ia menjerit. "Kau ... kau lagi!" Jeritan itu nyaring dan tajam menindih suara lonceng diruangan sembahyang.
Bu Kie terkesiap dan menengok ke jurusan itu. Ia lihat kertas jendela berlubang dan pada lubang itu terdapat muka seorang wanita yang penuh dengan tanda bekas luka, goresan-goresan senjata yang panjang. Ia menggigil dan mengeluarkan teriakan tertahan. Muka itu bukan lain daripada In Lee yang sudah mati!
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Bu Kie ingin menghampiri tapi kedua lututnya lemas dan ia berdiri terpaku. Dilain saat muka itu menghilang dan Cie Jiak roboh terjengkang.
Sekarang Bu Kie tidak perduli lagi segala apa. "Cu Jie Cu Jie! Apa benar kau?" teriaknya. Teriakan itu menggetarkan seluruh lembah tapi tak ada yang menjawab. Sesudah menenteramkan hatinya ia menguber dengan menggunakan jalanan yang tadi dilewati wanita itu Tapi apa yang dilihatnya hanya bulan sisir dan bayangan pohon. Ia tidak percaya setan. Tapi dalam keadaan begitu, keringat dingin mengucur dan bulu romanya bangun semua. "Benar, benar dia," katanya di dalam hati. "Tak heran, waktu kulihat punggung dan gerak geriknya, aku merasa seperti sudah mengenalnya. Apa benar, sebab mati penasaran rohnya tidak berpulang kealam baka" Apa benar rohnya tahu, bahwa di Siauw lim sie sedang diadakan sembahyang" dan dia datang untuk menerima doa-doa?"
Sementara itu sejumlah pendeta sudah keluar untuk menyelidiki. Melihat Bu Kie mereka kaget tercampur heran. Seorang pendeta tua memberi hormat dan berkata. "Sebab tak tahu Kauwcu datang berkunjung, kami tidak keburu menyambut. Mohon Kauwcu sudi maafkan".
Bu Kie membalas hormat dan lalu masuk kedalam ruangan sembahyang. Cie Jiak belum tersadar dari pingsannya. Ia memburu dan memijit bibir dan mengurut punggung si nona. Beberapa saat kemudian Cie Jiak mendusin. Ia melompat dan memeluk Bu kie seraya berteriak. "Setan! ..."
"Aku pun heran," kata Bu Kie. "Tapi kau tak usah takut. Disini terdapat banyak pendeta suci dan mereka pasti bisa menyingkirkan segala setan penasaran".
Atas dorongan rasa takut yang luar biasa nona Ciu jadi kalap dan memeluk Bu Kie di hadapan orang banyak. Sesudah Bu Kie bicara ia tersadar dan mukanya lantas bersemu merah. Ia melepaskan pelukannya tapi tubuhnya masih terus bergemetaran dan mencekal kedua tangan Bu Kie sekeras-kerasnya.
Sesudah memberi hormat kepada Kong bun Bu Kie memberitahukan adanya muka yang penuh tanda di jendela timur. Kong bun dan yang lain tidak melihatnya.
"Bu Kie .... Thio Kauwcu," kata Cie Jiak, "yang kulihat adalah dia."
Bu Kie lantas menyahut. "Aku - - - - akupun melihat dia," katanya akhirnya.
Si nona menggigil. "Kau .... kau juga lihat?" ia menegas.
Bu Kie mengangguk. "Siapa yang dilihat olehmu?"
"In Kouwnio, Cu Jie, Piauw moayku."
Nona Ciu mengeluarkan seruan, tubuhnya bergoyang-goyang, kedua matanya meram dan ia pingsan lagi.
Bu Kie segera mencekal tangannya, sehingga ia tidak sampai roboh. Sesaat kemudian ia tersadar pula,
"Yang kulihat adalah Cu Jie," kata Bu Kie. Tapi dia bukan setan .... dia manusia biasa."
"Bukan setan " Apa benar?"
"Aku telah menguntit dia sampai disini. Tindakannya tindakan manusia biasa, bukan setan," Bu Kie berkata begitu terutama untuk menghibur Cie Jiak. Di dalam hati, ia sendiri tidak percaya apa yang dikatakannya.
"Apa sungguh-sungguh dia bukan setan?" si nona menanya lagi.
Bu Kie menengok kearah Kong bun dan berkata, "Hong-thio, ada sesuatu yang aku kurang mengerti.
Aku mohon petunjuk Hong thio. Sesudah manusia mati, apa benar ada roh atau setannya?"
Sesudah berpikir beberapa saat, Kong bun menjawab, "Soal yang mengenai alam baka sangat sukar dijelaskan. Segala apa dalam dunia ini merupakan kekosongan. Apalagi roh atau setan?"
"Tapi mengapa Taysu mengadakan sembahyang besar ini" Bukankah untuk menyembahyangi roh?"
"Siancay! Roh sebenarnya tak usah diseberangi. Sembahyang dilakukan kami bertujuan menenteramkan hati manusia. Yang harus diseberangi adalah manusia hidup.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Bu Kie tersadar. Ia menyoja dan berkata sambil membungkuk, "Terima kasih atas petunjuk Taysu.
Ditengah malam buta aku mengganggu kalian. Kumohon Taysu suka memaafkan."
"Kauwcu adalah Toa in jin (penolong besar) kami. Beberapa kali kauwcu sudah membebaskan Siauw lim sie dari bencana. Kauwcu tak usah berlaku sungkan."
Sesudah berpamitan dengan Kong bun dan para pendeta, Bu Kie berkata kepada Cie Jiak. Mari kita jalan."
Si-nona kelihatan bersangsi!
"Kalau begitu kita berpisahan disini saja, " kata pula Bu Kie yang lalu bertindak keluar.
Cie Jiak mengawasi tindakan pemuda itu. Ia tahu, bahwa kalau sekarang mereka berpisahan, belum tentu mereka akan bisa bertemu lagi. Mendadak ia berseru, "Bu Kie Koko .... aku ikut." Ia mengudak dan meninggalkan kuil Siauwlimsie berendeng pundak dengan Bu Kie.
Sesudah terpisah dari kuil beberapa puluh tombak, si nona memegang tangan Bu Kie. Pemuda itu tahu bahwa dia masih ketakutan. Tapi sebagai manusia biasa, memegang tangan seorang wanita cantik dia mengendus bau harum menimbulkan perasaan yang sukar dilukiskan. Mereka berjalan tanpa mengeluarkan sepatah kata.
Sesudah melalui beberapa li, si nona menghela napas. "Bu Kie Koko," katanya, "hari itu waktu kita pertama bertemu di sungai Han sui, jiwaku ditolong oleh Thio Cinjin. Kalau tahu aku harus mengalami begini banyak penderitaan, alangkah baiknya jika aku mati dihari itu."
Bu Kie tidak menyahut. Tiba-tiba ia ingat pula doa Beng kauw. Tanpa merasa ia berkata dengan suara perlahan. "Hidup apa senangnya mati apa susahnya" Kasihan manusia dalam dunia, banyak yang menderita. Kasihan manusia dalam dunia, banyak yang menderita!"
Tangan Cie Jiak bergemetaran. "Kutahu, dalam mengirim aku ke Go bie, Thio Cin jin bermaksud baik,"
katanya. "Tapi andaikata ia menerima aku sebagai murid Bu tong, keadaan sekarang tentu lain sekali Hai-! Insu (guruku yang besar budinya) pun sangat baik terhadapku. Tapi . . . ia paksa aku bersumpah berat, ia paksa aku membenci Beng kauw, membenci kau tapi di dalam hatiku . . . "
Bu Kie merasa sangat terharu. Ia mengerti bahwa segala penderitaan si nona dan segala perbuatannya yang berdosa sebagian besar karena gara-gara Biat coat Suthay. Mengingat itu, rasa kasihannya bertambah pula."
Angin malam yang bersilir dengan perlahan mengirim harumnya bunga ke hidung dua orang muda itu.
Waktu itu adalah permulaan musim panas. Langit bertabur bintang dan diantara keindahan dan keharuman sang malam, Bu Kie mendengar pengakuan rasa cinta dari seorang wanita cantik. Jantungnya mengetuk lebih keras.
Pendekar Lembah Naga 7 Rajawali Lembah Huai Karya Kho Ping Hoo Jodoh Rajawali 17
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama