Ceritasilat Novel Online

Kisah Membunuh Naga 7

Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong Bagian 7


?" bisiknya. "Diantara manusia atau dibawah lautan mungkin sekali aku dapat berkumpul dengan kau." jawabnya perlahan. "Tapi dihari kemudian, sesudah kita meninggal dunia, kau masuk di surga, aku... aku ....akan masuk keneraka !"
"Omong kosong!" bentak Cui San dengan suara menyinta.
So So menghela napas dan berkata dengan suara menyesal: "Aku sendiri mengerti ......aku mengakui, bahwa aku telah melakukan banyak sekali perbuatan jahat dan banyak membunuh manusia secara sembarangan."
Cui San terkejut. Diam diam dia merasa, bahwa memang benar dia tidak pantas menikah dengan seorang wanita yang sepak terjangnya menyeleweng seperti So So. Akan tetapi karena rasa cintanya sudah mendalam dan juga sebab dalam menghadapi bahaya besar, orang tidak menghitung hitung kejadian dihari kemudian, maka ia lantas saja membujuk dengan suara lemah lembut:
"Jika kau ingin memperbaiki kesalahanrnu, sekarang masih belum terlambat. Mulai dari sekarang, kau harus berbuat kebaikan guna menebus segala dosamu." So So tidak menyahut. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba ia menyanyi dengan perlahan.
Yang dinyanyikannya adalah lagu Sam poyang, sebuah lagu rakyat yang sangat terkenal pada jaman kerajaan Goan. Lagu itu biasa dinyanyikan rakyat dari selatan sampai diutara, hanya kata katanya banyak berbeda satu sama lain.
Sambil menahan napas Cui San mendengar nyanyian itu yang seperti berikut
"Dia dan aku, Aku dan dia. Diantara kita, terdapat binyak rintangan.
Bagaimana dapat mencapai sebuah pernikahan"
Akhirnya mati didepan keraton Giam ong.
Ai ya ! Biarkanlah ! Mengambil alu untuk menumbuknya.
Mengambil gergaji untuk menggargajinya.
Mengambil penggilingan untuk menggilingnya,
Mengambil kuali untuk menggorengnya.
Ai ya ! Biarkanlah ! Apa yang terlihat, manusia, hidup mendapat hukuman,
Belum pernah terlihat, setan jadi perantaian.
Ai ya ! Biarkanlah ! Alis terbakar, perhatikan saja mata,
Alis terbakar, perhatikan saja mata."
Nyanyian itu disambut dengan sorak sorai Cia Sun dari dalam gubuk perahu. "Bagus ! Bagus sungguh nyanyian itu !" teriaknya "In Kouwnio, kau lebih menyocoki aku daripada Thio Siang kongmu yang berlagak mulia !"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Ya, aku dan kau adalah manusia-manusia jahat dan kita pasti akan mati secara tidak baik," kata si nona.
"Kalau kau mati secara tidak baik, akupun begitu," bisik Cui San.
So So kaget tercampur girang. Ia mengawasi pemuda itu dan hanya dapat mengeluarkan sepatah kata:
"Ngoko ...." Pada esokan paginya, dengan menggunakan Long gee pang, Cia Sun membinasakan seekor ikan Yang beratnya belasan kati dan yang dapat menangsal perut selama dua hari. Karena lapar, biar pun ikan mentah, mereka makan dengan bernapsu. Untung toya itu yang dipasangi paku-paku seperti gaetan merupakan alat yang sangat cocok untuk memukul ikan. Biarpun diatas perahu sudah tidak ketinggalan setetes air tawar, tapi dengan menelan minyak dan cairan yang keluar dari badan ikan mereka masih dapat mempertahankan diri.
Arus air terus mengalir keutara dan siang malam, mereka dapat melihat bintang kutub Utara yang memancarkan sinarnya berhadapan dengan kepala perahu.
Diwaktu siang, matahari muncul dari sebelah kiri perahu dan diwaktu sore, menyelam dari sebelah kanan.
Selama belasan hari. keadaan berlangsung seperti itu tanpa perobahan.
Semakin lama hawa udara jadi semakin dingin. Dengan memiliki Lweelang yang tinggi, Cia Sun dan Cui San masih dapat mepertahankan diri. Tapi tidak begitu dengan In So So. Ia kedinginan, sehingga mukanya berubah pucat. Cia Sun dan Cui San membuka jubah panjang mereka dan memberikannya kepada sinona, tapi pakaian yang tidak seberapa tebal itu, tidak banyak menolong.
Dengan sekuat tenaga si nona coba menguatkan diri bertahan dan sebisa-bisanya harus memperlihatkan paras gembira. Tapi Cui San yang tahu, bahwa kegembiraan itu adalah kegembiraan yang dibuat-buat, jadi makin bingung. Ia mengerti, kalau perahu terus menuju keutara beberapa hari lagi, kecintannnya bakal mati ke dinginan.
Tapi benar juga orang kata, Langit tidak memutuskan jalanan manusia.
Secara tidak diduga duga, perahu berpapasan dengan sekelompok biruang dan dengan menggunakan Long gee pang, Cia Sun telah membinasakan beberapa antaranya.
Kulit biruang merupakan selimut hangat, sedang dagingnya dapat dimakan. Tak usah dikatakan, mereka tertiga jadi girang bukan main.
Malam itu, mereka berkumpul di kepala perahu sambil mengawasi langit.
"Bintang apa yang paling berfaedah dalam dunia ini?" tanya So So sambit tertawa.
Cia Sun dan Cui San tertawa geli. "Biruang" jawab mereka hampir berbareng.
Sesaat itu tiba-tiba terdengar suara "ting tung ting tung !"
Serentak meraka memasang kuping, mendadak paras muka Cia Sun berubah pucat. "Es Es yang mangambang !" katanya deagan suara parau. Ia memukul mukul air dengan senjatanya dan terdengar suara terpukulnya kepingan-kepingan es.
Hati mencelos, dingin bagaikan es. Mereka tahu, bahwa jika perahu terus menuju keutara, pada akhirnya dia akan terjepit diantara balokan balokan es dan tidak dapat bergerak lagi. Itu akan berarti, bahwa merekapun tak akan bisa hidup lebih lama lagi. Malam itu mereka tak dapat pulas, kuping mereka terus mendengari "ting tung ting tung" yang tak henti hentinya.
Pada esokan paginya, kepingan-kepingan es sudah jadi lebih besar, sudah sebesar mangkok, sedang suaranya pun makin nyaring, Cia Sun tertawa getir seraya berkata: "Hai! Aku bermimpi ingin membuka rahasia To liong to. Tapi siapa nyana, sebelum berhasil, aku sudah jadi manusia es."
Jantung sinona berdebar debar. Ia mencekal tangan Cui San erat-erat.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Tiba-tiba Cia Soma mengangkat To liong to dan membentak dengan suara gusar. "Paling benar lebih dulu aku mengantarkan kamu kekeraton Raja Naga!" Tapi sudah mengangkat golok, ia tak tega dan sambil menghela napas, ia pergi kegubuk perahu untuk menaruh golok mustika.
Empat hari lewat lagi dan selama empat hari Itu, perahu terus menuju keutara. Balokan es jadi semakin besar, sekarang sebesar meja atau rumah kecil. Mereka merasa, bahwa kebinasaan su dah berada didepan mats dan dalam menghadapi kebinasaan, mereka jadi nekad dan tak mau memikir panjang-panjang lagi.
Malam itu kira-kira tengah malam, sekonyong-konyorg terdengar suara gedubrakan dan perahu bergoncang hebat. "Bagus ! Bagus sungguh !" teriak Cia Sun, "Gunung es !"
Cui San dan So So saling mengawasi sambil bersenyum getir. "Inilah saat terakhir!" pikir mereka.
Tiba-tiba mereka saling memeluk erat erat. Mereka ingin mati dalam keadaan begitu, dilain saat, mereka merasa air es sampai dilutut. "Tamatlah! perahu sudah pecah !"
Sekonyong-konyong terdengar teriakan Cia Sun: "Naik keatas gunung es! Bisa hidup sehari, biar kita hidup sehari! Langit mau membinasakan aku, aku melawan!"
Kedua orang muda itu tersadar. Buru buru mereka melompat kekepala perahu. Disamping perahu berdiri sebuah gunung es yang dibawah sinar rembulan, memancarkan sinar hijau yang dingin luar biasa.
Itulah pemandangan yang indah tapi menakuti.
Cia Sun berdiri disebuah undakan, dibagian bawah gunung es itu, dan ia menyodorkan senjata nya untuk menyambut kedua orang muda itu. Dengan tangan kiri So So menekan Long gee pang bersama sama Cui San, ia melompat naik ke gunung es itu.
Perahu itu ternyata terlubang besar dan selang kira-kira seminuman teh, sudah tenggelam kedalam laut.
Cia Sun segera menggelar selembar kulit biruang diatas es dan mereka bertiga lantas saja duduk dengan berendeng pundak. Jika berada di atas bumi, besar gunung es itu kira-kira bersamaan dengan sebuah bukit kecil, dengan garis tengah kurang lebih delapan belas tombak dan tingginya kira-kira lima tombak.
Cia Sun mendongak sambil mengeluarkan teriak nyaring, seolah-olah sedang menantang musuh,
"Berdiam di perahu yang sempit, dadaku menyesak," katanya. "Tempat ini lebih cocok untuk aku melemaskan urat," berkata begitu, ia berjalan mundar mandir dan sungguh heran, kakinya tidak terpeleset meskipun permukaan es licin luar biasa.
Cui San mengerti, dia sedang menantang Langit yang dianggapnya sangat tidak adil terhadapnya.
Dalam menghadapi kebinasaan, rasa penasarannya semakin menjadi.
Dengan menuruti tiupan angin dan arus air, gunung es itu terus bergerak kejurusan utara.
Pada suatu hari, selagi mereka bertiga duduk terpekur, tiba-tiba Cia Sun tertawa terbahak bahak dan berkata dengan suara mengejek: "Langit telah mengirim sebuah perahu untuk menyambut kita guna bertemu dengan Pak kek Siang ong (Dewa Kutub Utara)."
Mendengar itu So So hanya bersenyum. Ia tidak menghiraukan andaikata langit bakal rubuh asal saja kecintaannya berada didampingnya. Tapi Cui San mengerutkan alis dan pada paras mukanya terlukis sinar kedukaan.
Selang tujuh delapan hari, sinar es yang disoroti matahari adalah demikian hebat berkilauannya sehingga mata mereka dirasakan sakit sekali. Oleh karena begitu, diwaktu siang mereka menyelimuti kepala dengan kulit biruang sambil merebahkan diri diatas es dan diwaktu malam, barulah mereka bangun untuk menangkap atau memburu biruang.
Sungguh heran, semakin keutara siang hari jadi
semakin panjang, sehingga belakangan, jangka waktu dimalam hari hanya beberapa jam saja.
Makin lama Cui San dan So So jadi makin lelah dan paras muka mereka makin pucat. Cia Sun sendiri kelihatan seperti seorang lupa ingatan dan pada kedua matanya terlihat sinar luar biasa. Kadang-kadang, kalau datang kalapnya, ia menuding-nuding tangan dan mencaci-caci, seolah-olah manusia edan.
Pada suatu malam, karena tak dapat pulas di waktu siang, Cui San tidur sambil menyender di es, tiba-tiba dalam pulasnya, ia mendengar jeritan So So: "Lepas Lepas!" Ia tersadar dan melompat bangun dan
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
melihat Cia Sun sedang memeluk kecintaannya dengan mulut mengeluarkan suara "ho ho ho," seolah olah bunyi binatang buas.
Sesudah menyaksikan lagak Cia Sun yang luas biasa selama beberapa hari Cui San merasa sangat berkuatir. Hanya ia tak nyana bahwa orang itu dapat berbuat begitu rupa terhadap So So. "Lepas !"
bentaknya dengan gusar, sambil melompat maju.
Cia Soan tertawa terbahak-bahak. "Dalam menghadapi kebinasaan, aku tak mergenal segala peraturan bau," katanya. "Waktu masih berada diatas bumi, aku sudah tidak mengenal Lie gie liam tie. Apa lagi sekarang?"
Lie gie liam tie berarti adat istiadat, pribudi putih bersih tak korup dan mmgenal malu, yaitu empat prinsip dari Kwan Tong.
"Lepas!" teriak pula Cui San dengan gusar. "Jika tidak, aku akan mengadu jiwa denganmu."
"Apamu dia" Jangan campur-campur urusanku!" jawabnya dengan suara dingin. Ia mengeraskan pelukannya, sehingga So So mengeluarkan jeritan kesakitan.
"Dia isteriku," kata Cui San dengan bingung. "Cia Cianpwee, seorang laki-laki lurus berjalan lurus.
Biarpun kita sekarang berada diatas gunung es, tapi janganlah kau melakukan perbuatan yang hanya akan memalukan diri sendiri."
Cia Sun tertawa terbahak-bahak. "Aku si orang she Cia belum pernah menghiraukan jahat atau baik,"
katanya. Andai kata benar kau suami nya, kau tetap tidak boleh campur-campur dan harus turut segala perintahku. Jika berani membandal, aku akan hajar kau."
Cui San tak dapat menahan sabar lagi. Baiklah, biar kita bertiga mampus bersama sama!" bentaknya seraya menghantam punggung Cia Sun yang menangkis dengan tangan kirinya. Tubuh Cui San bergoyang-goyang dan karena licinnya es, ia tak dapat berdiri tetap dan lantas saja terguling. Cia Soon mengangkat kaki kanannya dan menendang pinggang pemuda itu. Tapi Cui San pun bukan anak kemarin dulu. Ia menekan es dengan satu tangannya dan melompat bangun, sedang tangan yang lain menotok jalan darah dilutut Cia Sun. Pada detik yang berbahaya, cepat bagaikan tandangannya, tangan kanannya memukul kepala Cui San, sedang tangan kirinya memeluk pinggang si nona.
Sesaat itu tangan kiri So So mendapat kemerdekaan, maka buru-buru ia menggunakan dua jerijinya untuk menotok jalan darah Sui touw hiat ditenggorokan orang. Tapi, diluar dugaan, tanpa menghiraukan serangan itu, Cia Sun terus mengerahkan Lweekang dan memukul kepala Cui San. Dengan kedua tangan, pemuda itu menangkis dan ia terkesiap, karena pukulan itu berat luar biasa, sehingga dadanya menyesak.
Dilain pihak, nona In pun tidak kurang kaget nya. Kedua jerijinya yang menotok Sui touw hiat seperti membentur benda yang licin dan serta didorong balik dengan serupa tenaga yang tidak kelihatan. Si nona mencelos hatinya, sebab, walaupun seorang yang mempunyai ilmu weduk Kim ciong to atau Tiat po san tak akan dapat menahan totokannya itu. Dari sini dapat dibayang kan, betapa tinggi kepandaian Cia Sun.
Waktu itu, badan So So dan tangan kanannya di peluk keras-keras dan hanya tangan kirinya yang merdeka. Sesudah totokannya gagal, dengan pertolongan sinar es, ia lihat muka Cui San yang kedua matanya berwarna merah seperti darah dan seolah-olah mengeluarkan api. Pada detik itu. mendadak ia ingat pengalamannya waktu mengikuti ayahnya memburu harimau dihutan. Ia ingat bahwa kedua mata seekor harimau yang terluka juga berwarna merah darah. Sepulangnya dari perburuan, sering-sering ia merasa kasihan terhadap binatang itu.
Sekarang, melihat Cia Sun yang menyerupai macan edan rasa kasihannya timbul dan ia berkata pada dirinya sendiri: "Dia biasanya ramah tamah dan sopan santun. Ia beradat aneh, tapi keanehan itu adalah akibat pengalaman getir dalam penghidupannya. Tapi biar bagaimanapun juga, ia seorang luar biasa mahir ilmu surat dan ilmi silat. Bahwa sekarang ia kalap adalah karena otaknya yang kurang beres."
Selagi memikir begitu, tiba-tiba disebelah utara muncul sinar berkredepan yang beraneka warna dan indah luar biasa. "Cia Cian pwee," katanya dengan suara lemah lembut. "Kau mengasolah. Lihatlah!
Ditepian langit muncul sinar yang sangat luar biasa!"
Cia Sun menengok kearah yang ditunjuk si nona. Ternyata, diantara kegelapan disebelah utara itu muncul ribuan, bahkan laksaan, sinar terang yang sangat aneh, sebentar besar, sebentar kecil, sedang warnanya yang kuning campur ungu dan dalam sinar ungu itu berkredepan sinar keemas emasan.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Cia Sun terkesiap, ia melepaskan pelukannya dan menarik pulang tangannya yang menindih ke dua tangan Cui San. Dilain saat, sambil menggendong tangan, ia berjalan kepinggir gunung es dan memandang kearah utara dengan mata membelalak. Ternyata, mereka sudah mendekati Kutub Utara.
Sinar yang luar biasa itu adalah pemandangan yang hanya terdapat didaerah kutub. Pada jaman itu belum pernah ada orang Tionghoa yang pernah melihat pemandangan tersebut.
Sambil mencekal tangan kecintaannya, Cui San mengiwasi orang anah itu dengan hatiri berdebaran.
Malam itu, Cia Sun tidak mengganggu lagi. Lama sekali ia berdiri terpaku disitu sambil menikmati sinar-sinar menakjubkan itu.
Pada keesokan paginya, sinar-sinar itu menghilang dari pemandangan. Cia Sun rupanya merasa jengah karena kejadian semalam, sehingga seharian suntuk ia tak pernah berani melirik sinona, sedang gerak-geriknya pun kelihatan kikuk sekali.
Beberapa hari kembali lewat dan mereka terus berlayar kejurusan utara. Sementara itu, gilanya Cia Sun mulai kumat lagi. Semakin hari caciannya terhadap langit jadi semakin hebat. Sedang dari matanya keluar pula sinar mata binatang buas. Cui San dan So So memperhatikan perubahan perubahan itu dengan hati berkuatir dan mereka selalu berwaspada untuk menghadapi segala kemungkinan.
Hari itu sudah lewat jam tujuh malam, tapi matahari yang menyerupai sebuah bola merah masih tergantung ditepian laut sebelah barat dan tak juga mau menyelam. Mendadak Cia Sun melompat bangun dan sambil menuding matahari, ia membentak: "Kau juga mau menghina aku" Oh, matahari jika aku memiliki busur dan anak panah, dengan sekali memanah, aku dapat menembuskan badan mu!" Tiba-tiba, dengan tinjunya ia menghantam es yang jadi somplak dan kemudian, dengan sekuat tenaga, ia menimpuk matahari dengan potongan es itu, yang terbang puluhan tombak dan kemudian jatuh dilaut. Ia mengutangi lagi perbuatan itu, sehingga dalam tempo tidak terlalu lama, ia sudah melontarkan tujuh puluh lapis potongan es. Sesudah itu, sambil berteriak-teriak, ia menginjak injak gunung es itu, sehingga kepingan-kepingan es pada muncrat keatas.
"Cia Cianpwee, kau mengasolah dulu," membujuk So So dengan suara lemah lembut. "Jangan kau meladeni matahari itu."
Cia Sun menengok dan dengan mata merah, ia menatap wajah si nona. So So ketakutan, tapi ia memaksakan diri untuk bersenyum.
Sekonyong konyong sambil berteriak keras Cia Sun melompat dan memeluki nona. "Mampus kau!
Mampus!" jeritnya. So So memberontak, tapi sedikitpun tidak bergeming. Cui San kaget bukan main dan tanpa mengeluarkan sepatah kata. ia menghantam jalan darah Sin tohiat dipunggung Cia Sun. Tapi tinju yang hebat itu seolah-olah memukul besi. Sementara itu, sambil mengeluarkan suara "ho ho ho" seperti bunyi binatang buas, Cia Sun mengeraskan pelukannya.
"Lepas! Jika kau tak lepas, aku akan menggunakan senjata !" teriak Cui San.
Tapi orang kalap itu tetap tidak meladeni.
Cepat bagaikan kilat Cui San mencabut Poan koan pit dari pinggangnya dan lalu menotok jalan darah Kian kin hiat dipundak kanan serta Siauw hay hiat pada lengan kiri Cia Sun. Tapi dia sungguh-sungguh lihay. Jika seorang ahli silat biasa kena totokan itu, sudah pasti kedua tangannya tidak akan dapat digunakan lagi. Tapi ia hanya merasa kesemutan dan dengan sekali menjambret, ia berhasil merampas Poan koan pit yang lalu dilontarkan kelaut.
Tapi serangan Cui San bukan tidak ada hasilnya. Totokan itu melonggarkan pelukan Cia Sun. Nona in memberontak dan berhasil memerdekakan dirinya. Tapi hampir berbareng, sambil mengbantam leher Cui San dengan telapak tangan kirinya, Cia Sun coba menyengkeram badan sinona dengan tangan kanan.
Dengan satu suara "bret!" kulit biruang yang menyelimuti badan So So, menjadi robek. Cui Saa tahu, bahwa jika ia melompat mundur, kecintaannya pasti akan tertangkap lagi. Maka itu sambil mengerahkan seantero Lwee kangnya, ia menyambut tangan lawan dengan pukulan Bian ciang.
Begitu lekas kedua tangan kebentrok, ia merasa tangannya diisap dengan semacam tenaga yang dahsyat luar biasa, sehingga tidak dapat dilepaskan lagi. Ia tidak dapat berbuat lain dari pada mengempos semangat untuk coba melawan. Tiba tiba ia merasakan menyerangnya semacam hawa yang sangat panas dari tangan lawan sehingga pikirannya kalang-kabut dan kepalanya pusing.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Inilah untuk ketiga kalinya Cui San mengadu tenaga dengan Cia Sun. Dalam dua pertandingan yang lebih dulu, ia belum pernah mengalami serangan yang seaneh itu.
Dilain detik, dengan satu tangannya terus menempel pada tangan pemuda itu, Cia Sun miringkan badannya dan coba menjambret si nona. Dengan cepat nona In melompat kebelakang. Selagi tubuhnya masih berada ditengah udara. tiba-tiba Cia Sun menendang es, sehingga beberapa keping terbang dan mengenakan lutut kanan si nona, yang sambil mengeluarkan teriakan kesakitan, rubuh terguling. Hampir berbareng, Cia Sun mengebas tangannya yang menempel dengan tangan Cui San, sehingga pemuda itu terlempar beberapa tombak jauhnya dan jatuh dipinggir gunung es, ia terpeleset dan tergelincir kedalam air.
"Celaka !" Cui San mengeluarkan seruan tertahan. Tapi berkat kepandaiannya yang sudah mencapai taraf sangat tinggi dalam keadaan yang sangat berbahaya, ia masih keburu mencabut Gin kauw dari pinggangnya yang lalu digunakan untuk menotok es, dan dengan meminjam tenaga , badannya kembali melesat keatas.
Selagi kedua kakinya hinggap diatas es, hatinya berdebar-debar, karena ia merasa pasti, bahwa So So akan jatuh lagi kedalam tangannya orang edan itu.
Tapi diluar dugaan dibawah sinar rembulan, ia lihat Cia Sun sedang menekap kedua matanya dengan tangan sambil mengeluarkan suara kesakitan, sedang So So sendiri menggeletak diatas es. Buru buru Cui San membangunkannya. Sambil memeluk leher pemuda itu, si nona berbisik : "Aku.... aku telah lukakan matanya."
Mendadak, sambil mengaum bagaikan harimau, Cia Sun menubruk, tapi untung juga, sambil memeluk kecintaanaya dan dengan bergulingan Cui San dapat menyelamatkan diri. Tiba-tiba terdengar beberapa kali suara keras dan kedua tangan Cia Sun kelihatan amblas di dalam es yang beratnya seratus kati lebih.
Ia berdiri diam sambil memasang kuping untuk mendengar dimana adanya kedua orang muda itu, Cui San dan So So mengerti apa artinya itu, perlahan-lahan menyenubunyikan diri di dalam sebuah lubang yang terdapat di gunung es itu dan mengawasi si orang edan sambil menghela napas. Melihat darah mengalir dari kedua mata Cia Sun, Cui San mengerti, bahwa pada saat berbahaya, So So sudah menimpuk dengan jarum emasnya dan sekarang orang itu sudah menjadi buta.
Tapi, biarpun sudah tak dapat melihat, kuping orang kalap itu tajam luar biasa. Lama ia berdiri bagaikan patung. Jika kedua orang muda itu mengeluarkaw suara sedikit saja, ia pasti akan menyerang sehebat-betatnya
Untung juga suara gelombang, angin dan suara terbenturnya balokan balokan es pada gunung es itu telah menutupi suara napas mereka. Andaikata mereka berada dalam sebuah kamar tertutup diatas daratan sudah boleh dipastikan mereka tak akan terlolos dari tangan Cia Sun.
Sesudah memasang kuping beberapa lama tanpa berhasil, dalam kegusaran, kesakitan dan ketakutan, Cia Sun kalap lagi. Sambil berteriak-teriak, ia memukul-mukul dan menendang-nendang, sambil menimpuk kian kemari dengan potongan-potongan es. Dengan paras muka pucat, Cui San dan So So saling peluk dalam lubang itu. Mereka yakin, sepotong es saja sudah cukup untuk mengambil jiwa mereka.
Cia Sun mengamuk kurang lebih setengah jam, tapi kedua orang muda itu merasakan seperti juga setengah tahun. Beberapa saat kemudian, ia berhenti dan mendadak berkata dengan suara lemah lembut:
"Thio Siangkong, In Kauw Nio, barusan aku kalap dan telah melakukan gila-gila. Kuharap kalian sudi memaafkan"
Sudah berkata begitu. ia duduk untuk menunggu jawaban.
Thio Cui San adalah seorang yang mulia dan murah hati, tapi iapun seorang pintar yang sangat hati-hati, sehingga tidak gampang diakali orang. Nona In yang licin dan banyak akalnya, lebih-lebih sukar diabui.
Mereka tidak meladeni perkataan Cia Sun dan tetap berwaspada sambil bernapas pelan-pelan. Sesudah mengulangi perkataannya beberapa kali, Cia Sun menghela napas panjang seraya berkata: "Jika kalian tak sudi memberi maaf, akupun tidak bisa memaksa lagi," Sehabis berkata begitu, ia menarik nafas dalam-dalam.
Tiba-tiba dalam otak Cui San berkelebat satu peringatan. Ia ingat, bahwa sebelum mengeluarkan jaritannya yang dahsyat di pulau Ong poan San, Cia Sun telah menarik napas seperti itu. Hatinya mencelos, menyumbat kuping sudah tidak keburu lagi. Dengan cepat ia membetot tangan sinona dan melompat kedalam air.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Sebelum si nona mengerti maksudnya, Cia Sun sudah mengeluarkan teriakannya yang dahsyat. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, pemuda itu membetot pula tangan kecintaannya dan mereka menyelam kedalam air.
Dengan Gin kauw yang dicekel di tangan kiri, Cui San menggaet pinggiran gunung es, sedang tangan kanannya memegang tangan nona In.
Tapi, biarpun kepala berada dibawah permukaan
air, kuping mereka masih mendengar juga teriakan-teriakan yang hebat luar biasa. Gunung es terus maju keutara. Diam-diam Cui San bersyukur, bahwa yang dilemparkan Cia Sun adalab Poan koan pit, sehingga ia masih dapat menggunakan Gin Kauw untuk menggaet gunung es itu. Andaikata ia kehilangan Gin Kauw, maka meskipun dapat menyelamatkan diri dari teriakan Cia Sun, mereka pasti akan mati di dalam air, sebab ditinggalkan gunung es itu yang terus bergerak maju.
Sesudah lewat. beberapa lama, mereka menim but dipermukaan air untuk menyedot hawa udara yang segar. Cia Sun pun sudah berhenti berteriak.
Teriakan-teriakan itu rupanya telah meminta banyak tenaga dan dengan letih, ia bersila diatas es sambil menjalankan pernapasannya. Cui San lantas saja menarik tangan So So dan pelan pelan mereka merayap naik keatas.
Sesudah duduk di tempat agak jauh dari Cia Sun, mereka mencabut bulu biruang untuk menyumbat kuping.
Mereka mengerti, bahwa setiap detik mereka menghadapi bahaya besar.
Matahari belum juga menyelam karena mereka sudah berada didaerah kutub, dimana siang dan malam berbeda jauh dengan lain bagian bumi.
Beberapa saat kemudian, So So yang basah kuyup tak dapat mempertahankan dirinya lagi. Badannya bergemetaran dan giginya bercakrukan.
Tentu saja suara itu segera terdengar Cia Sun, yang sambil membentak keras, lalu menghantam dengan Long gee pang. Buru-buru mereka menyingkirkan diri. Dengan satu suara nyaring luar biasa, gunung es itu somplak dan tujuh delapan balokan es jatuh kedalam laut.
Sesudah gagal dengan pukulannya yang pertama, Cia Sun segera memutar senjatanya bagaikan titiran.
Begitu diputar, senjata itu yang panjangnya setombak lebih segera mengeluarkan tenaga mendorong yang sangat hebat dalam jarak tujuh delapan tombak.
Cui San dan So So terpaksa mundur terus dan dalam sekejap mereka sudah berdiri di pinggir gunung es.
Cia Sun teru" mendesak .....
"Bagaimana baiknya?" bisik si nona dengan suara parau.
Sekali lagi Cui San membetot tangan si nona dan mereka segera melompat pula kedalam air.
Selagi badan mereka masih berada ditengah udara, terdengar suara nyaring dan beberapa kepingan es menghantam punggung mereka yang dirasakan sakit sekali. Hampir berbareng dengan jatuhnya mereka kedalam air, sebalok es, sebesar meja, jatuh didekat mereka. Dengan cepat Cui San menjambretnya dan dilain saat, mereka sudah duduk diatas balokan es itu.
Bagaikan seorang gila, Cia Sun menimpuk kalang kabut dengan potonngan-potongan es, tapi sebab matanya buta dan balokan es yang diduduki kedua orang muda itu terus bergerak maju, maka timpukannya meleset semua.
Karena balokan es itu banyak lebih kecil dari gunung es, maka jalannyapun banyak lebih cepat, sehingga tak lama kemudian, Cui San dan So So sudah meninggalkan Cia Sun jauh sekali. Tapi karena kecilnya, balokan es itu tak dapat menahan berat badan dari dua orang dan sebagian tubuh mereka masuk kedalam air.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Untung juga, tak lama kemudian mereka bertemu dengan sebuah gunung es Cepat-cepat mereka menggayu dengan menggunakan tangan untuk mendekati gunung es itu dan kemudian merapat naik keatasnya.
"Langit tidak memutuskan jalanan orang, tapi langit telah memberikan sangat banyak penderitaan kepada kita," kata Cui San sambil tertawa getir. "So So bagaimana keadaanmu?"
"Sayang sungguh kita tidak membekal daging biruang," kata sinona. "Apa Gin Kauwmu hilang?"
Dilain saat, mereka tertawa geli, karena mereka baru merasa, bahwa bulu biruang yang digunakan untuk menyumbat kuping, belum dicabut, sehingga masing-masing tidak dapat mendengar apa yang dikatakan oleh pihak lain.
"So So," kata Cui San sesudah mereka mencabut bulu biruang dari kuping mereka. "Andaikata kita mesti mati kitapun tak akan berpisahan lagi."
"Ngoko," kata sinona dengan suara aleman. "Aku ingin mengajukan sebuah pertanyaan. Kuharap kau akan menjawab dengan sejujurnya. Apakah kau akan tetap mencintai aku, andaikata kita betada di daratan, tanpa mengalami penderitaan yang hebat ini ?"
Cui San tertegun. Beberapa saat kemudian, barulah ia dapat menjawab: "Aku rasa, kita tidak akan bisa bersahabat begitu cepat. Juga .... juga .... kita pasti akan mendapat banyak rintangan. kita barasal dari lain partai...."
So So manghela napas, "Akupun berpendapat begitu," katanya. "Itulah sebabnya, mengapa pada waktu kau bertanding pertama kali dengan Cia Sun, aku sudah tidak mau melepaskan jarum emas, biarpun didesak berulang-ulang olehmu."
"Ya, tapi mengapa begitu?" tanya Cui San dengan rasa heran, "Aku semula menduga, bahwa kau menolak untuk melepaskan jarum, karena kuatir melukakan aku yang waktu itu sedang bertanding di tempat gelap."
"Bukan, bukan begitu," bisik sinona. "Kalau waktu itu aku melukakan dia dan kita dapat kembali kedaratan, kau tentu akan meninggalkan aku!"
Cui San kaget mendengar pengakuan. itu. "So So!" serunya.
"Mungkin kau akan gusar," kata sinona. "Tapi tujuanku yang satu-satunya adalah supaya tidak berpisahan dengan kau. Keinginan Cia Sun supaya kita mengawaninya di pulau yang terpencil, cocok sekali dengan keinginanku,"
Bukan main rasa terima kasihnya Cui San. Ia tak pernah menduga, bahwa rasa cinta sinona adalah demikian besar. "So So, sedikitpun aku tidak gusar," bisiknya.
Nona In dongak mengawasi pemuda itu dan berkata pula dengan suara lemah lembut: "Langit telah mengirim aku keneraka dingin ini, tapi sebaliknya daripada penasaran aku merasa beruntung sekali. Aku mengharap kita jangan kembali keselatan untuk selama-lamanya. Hm ... Jika kita pulang ke Tiong goan gurumu tentu akan membenci aku, sedang ayah mungkin sekali akan membunuh kau ..."
"Ayahmu ?" menegas Cui San.
"Ya, ayah adalah Peh bie Eng ong In Thian Ceng," jawabnya. "Ia adalah pendiri dan pemimpin Peh bie kauw."
"Oh, begitu ?" kata Cui San. "So So, kau tak usah takut. Aku pasti akan tetap berada bersama sama kau. Aku yakin, biarpun ayahmu ganas, ia tentu tidak akan membunuh puteri dan mantunya sendiri."
Mendengar perkataan itu, paras si nona bersinar terang, sedang mukanya bersemu dadu. "Apa kau bicara setulus hati?" tanyanya.
"So So, biarkan sekarang saja kita terangkap
menjadi suami isteri," kata Cui San.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Mereka lantas saja berlutut dengan berendeng diatas es dan Cui San berkata dengan suara nyaring :
"Raja Langit menjadi aksinya, bahwa hari ini tee cu Thio Cui San terangkap jodoh menjadi suami isteri dengan In So So. Biarlah senang dan susah bersama-sama dan cinta mencinta selama-lamanya!"
(Bersambung jilid 11) BU KIE Karya : CHING YUNG Terjemahan: Bu Beng Tjoe Jilid 11 Sesudah Cui San si nonapun berdoa perlahan: "Aku mohon supaya Langit melindungi kami berdua, supaya dari satu ke lain penitisan kami bisa terus menerus menjadi suami isteri." Ia berdiam sejenak dan kemudian berkata pula: "Andaikata dibelakang hari kami bisa kembali di Tiong goan, tee cu akan mencuci hati dan memperbaiki kesalahan-kesalahan yang dulu. Tee cu akan bertobat dan bersama-sama suamiku, tee cu akan berusaha untuk melakukan perbuatan-perbuatan balk. Tee cu tak akan membunuh manusia lagi secara sembarangan. Jika tee cu melanggar sumpah ini, biarlah Langit dan manusia menghukum tee cu."
Cui San girang tak kepalang. Ia tak pernah menduga, bahwa tanpa diminta, sang isteri telah bertobat dan bersumpah untuk menjadi manusia balk. Sesudah selesai dengan upacara pernikahan itu, sambil saling mencekal tangan dan duduk berendeng diatas es. Pakaian mereka basah dan hawa dingin menyerang dengan hebat. Akan tetapi, hati mereka hangat bagaikan hangatnya muslin semi yang penuh kebahagiaan dan keindahan.
Lewat beberapa lama, baru mereka ingat, bahwa sudah sehari suntuk, perut mereka belum ditangsal.
Kedua senjata Cui San sudah hilang dilaut, tapi So So masih mempunyai pedang yang tergantung dipinggangnya. Cui San lalu menghunus pedang isterinya, membungkus ujung pedang dengan kulit biruang dan kemudian, sambil mengerahkan Lwee kang sampai di jeriji tangan, ia menekuknya sehingga ujung pedang itu menjadi bengkok seperti gaetan. Tak lama kemudian, dengan menggunakan gaetan itu, ia berhasil menangkap seekor ikan yang cukup besar. Ikan diwilayah Kutub Utara gemuk dan banyak minyaknya, sehingga biarpun baunya sangat amis dapat menambahkan tenaga dan menghangatkan badan.
Demikianlah siang malam, gunung es itu terapung-apung kejurusan utara, Mereka mengerti, bahwa kemungkinin pulang ke Tionggoan hampir tidak ada, tapi hati mereka tenang dan damai. Ketika itu, siang sudah berubah sangat panjang, sedang malam sangat pendek dan mereka tak dapat mengbitung hari lagi.
Pada suatu hari, mendadak mereka lihat mengepulnya asap hitam disebelah utara. So So yang melihat lebih dulu, mencelos hatinya dan paras mukanya berubah pucat. "Ngo ko!" teriaknya sambil, menuding asap hitam itu.
"Apa disitu terdapat manusia?" tanya sang suami dengan rasa kaget tercampur girang. Tapi biarpun sudah tertampak dalam pandangan mata, tempat mana asap itu keluar masih terpisah jauh sekali, Sesudah lewat lagi satu hari, asap itu jadi makin besar dan makin tinggi kelihatannya dan diantara asap terlihat sinar api.
"Siapa itu?" tanya So So.
Sang suami tidak menjawab, ia hanya menggelengkan kepalanya.
"Ngoko, ajal kita sudah hampir tiba," kata si isteri dengan suara gemetar. "Itu pintu nereka."
Cui San terkejut, tapi ia segera membujuk: "Mungkin juga disana ada manusia yang sedang membakar hutan."
"Kalau membakar hutan, bagaimana asap dan apinya begitu tinggi?" tanya sang isteri.
"So So, sesudah tiba disini, biarlah kita menyerahkan segala apa kepada Langit," kata Cuj San. "Kalau Langit tidak mau kita mati kedinginan dan ingin kita mati terbakar, biarlah kita menerima nasib."
Dengan perlahan tapi tentu, gunung es itu terus menuju kearah asap dan api. Cui San dan So So yang tidak mengerti sebab musababnya, merasa sangat heran dan mereka hanya menganggap, bahwa apa yang bakal terjadi, baik kecelakaan maupun keselamatan, adalah takdir.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Apa yang dilihat mereka sebenarnya adalah sebuah gunung berapi yang bekerja, sehingga sebagai akibat, air laut diseputar gunung itu menjadi hangat dan air yang hangat mengalir kejurusan selatan.
Dengan demikian, secara wajar, air yarg dingin atau es terbetot kearah utara.
Sebagaimana diketahui, angin dan gelombang yang saling terjadi ditengah lautan adalah karena perbedaan antara air dingin dan panas dalam hawa dan air.
Sesudah terapung-apung lagi sehari semalam, gunung es itu tiba dikaki gunung.
Ternyata gunung berapi itu berada diatas sebuah pulau yang sangat besar. Disebelah barat terdapat sebuah puncak dengan batu yang bentuk dan macamnya sangat aneh. Selama berkelana di daerah Tionggoan, Cui San sudah kenyang mendaki gunung-gunung yang kenamaan, akan tetapi, belum pernah ia melihat puncak yang begitu luar biasa. Ia mengawasi itu semua dengan mata membelalak dan kegirangan meluap-luap di dalam hatinya. Ia tak tahu bahwa puncak itu adalah tumpukan lahar yang disemprotkan gunung berapi selama ratusan atau ribuan tahun. Disebelah timur terdapat tanah datar yang sangat luas. Tanah datar itupun muncul disitu karena bekerjanya gunung berapi. Abu yang disemprotkan oleh gunung itu jatuh ke dalam laut dan lama-lama, mungkin dalam tempo ribuan tahun, air laut teruruk dan muncullah tanah datar yang sangat luas.
Biarpun tempat itu sudah mendekati Kutub Utara, tapi karena gunung berapi masih bekerja, maka hawa di pulauitu menyerupai hawa di gunung Tiang pek san atau daerah Hek Liong kang. Dipuncak-puncak yang tinggi terlihat salju, tapi di tempat yang rendah, pohon-pohon menghijau, pohon siong, pek dan lain-lain yang tidak terdapat diwilayah Tionggoan.
Sesudah memandang beberapa lama dengan mata tidak berkesip, tiba-tiba So So melompat dan memeluk suaminya. "Ngoko ! Kita sudah tiba di tempat dewa !" bisiknya dengan suara serak.
Kegirangan Cui San pun sukar dilukiskan. Ia tak dapat mengeluarkan sepatah kata dan hanya balas memeluk isterinya yang tercinta.
Lama mereka saling peluk dengan disaksikan oloh sejumlah menjangan yang sedang makan rumput dengan tenang diatas pulau itu. Kecuali asap api yang agak menakuti, segala apa yang tertampak disitu adalah tenang, damai dan indah.
Mandadak terdengar teriakan So So: "Celaka ! Kita tak dapat mendarat!" Ternyata gunung es itu, yang terpukul dengan air yang hangat, mulai bergerak meninggalkan pulau.
Cui San pun tidak kurang kagetnya. Buru-buru
mengerahkan Lweekang dan menghantam es yang lantas saja somplak sebesar balok. Sesudah itu, sambil memeluk balokan es itu, mereka melompat kedalam air dan dengan menggunakan tangan dan kaki sebagai penggayu, mereka akhir nya mendarat di pulau itu.
Melihat kedatangen manusia, manjangan-menjangan yang sedang makan rumput mendongak dan mengasi, tapi mereka tidak memperlihatkan rasa takut sedikit jua. Perlahan lahan So So mendekati, menepuk-nepuk punggung salah seekur. "Kalau disini terdapat juga beberapa ekor burung ho, aku pasti akan mengatakan, bahwa tempat ini adalah tempatnya dewa Lam kek Sian ong," katanya seraya tertawa.
Karena letih, mereka segera merebahkan diri diatas lapangan rumput dan pulas nyenyak untuk beherapa jam lamanya. Waktu tersadar, matahari masih belum menyelam. "Sekarang mari kita menyelidiki pulau ini untuk mendapat tahu apa ada manusia atau binatang buas," kata sang suami.
"Aku rasa tak mungkin ada binatang buas," kata So So.
"Lihat saja menjangan-menjangan itu yang hidup damai dan tenteram."
So So adalah seorang wanita yang sangat memperhatikan dandanannya. Biarpun menghadapi bahaya diatas gunung es, ia tetap berpakaian rapi.
Sekarang sudah berada diatas bumi, begitu tersadar, ia membereskan pakaian dan rambutnya dan kemudian membantu sang suami menyisir rambut. Sesudah itu, harulah mereka berangkat untuk menyelidiki pulau tersebut.
Untuk menghadapi segala kemungkinan, So So mencekal pedangnya yang sudah bengkok, sedang Cui San sendiri lalu mematahkan cabang pohon untuk dijadikan semacam tongkat. Dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan, mereka berlari-lari dari selatan keutara yang panjangnya lebib dari duapuluh
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
lie. Apa yang dilihat mereka di sepanjang jalan, selain pohon pohon yang tinggi kate, adalah binatang kecil, burung dan pohon-pohon bunga yang kebanyakan tidak dikenal mereka.
Belakangan, sesudah melewati hutan besar, dari
jauh mereka lihat sebuah gunung batu dan dikaki gunung itu terdapat sebuah guha. "Ah! Sungguh bagus tempat ini !" teriak sang isteri sambi1 lari-lari.
"Hati hati!" teriak Cui San.
Belum rapat mulutnya, dari dalam guha mendadak berkelebat satu bayangan dan seekor biruang putih yang sangat besar menerjang keluar. Biruang itu yang panjang bulunya seolah-olah seekor kerbau.
Dengan kaget So So melompat mundur. Biruang itu berdiri diatas kedua kakinya seperti manusia dan menghantam kepala So So dengan satu telapak kakinya. Nyonya itu menyambut dengan sabetan pedang, tapi apa mau, karena pedang bengkok itu sudah jadi lebih pendek, sabetannya meleset. Baru saja ia mau membabat lagi, binatang itu sudah menubruk dan menghantam senjatanya yang lantas saja jatuh diatas tanah.
"So So, mundur!" teriak Cui San seraya melompat dan menotok lutut biruang itu dengan tongkatnya.
Cabang kayu itu patah, tapi tulang kaki binatang itu hancur dan dia mengeluarkan jeritan hebat dan menyeramkan.
Buru-buru So So menjemput pedangnya untuk memberi bantuan.
"Lekas lontarkan pedarg itu keudara!" teriak Cui San. Sang isteri terkejut, tapi ia nenurut apa yang diperintahkan suaminya.
Dengan menotol tanah dengan kakinya, Cui San melompat tinggi dengan menggunakan ilmu Tee in ciong dan sekali menjambret, ia menangkap pedang itu. Dengan tangan kiri mencekal tongkat pendek, ia sekarang seperti juga ber senjatakan Gin kauw dan Poan kian pit. Ia mengangkat tangan kanannya dan menyabet dari atas kebawah dengan gerakan huruf "Hong" (tajam). Pukulan tersebut diberikutkan dengan Lweekang yang sangat dahsyat dan tongkat pendek itu amblas tujuh delapan dim di kepala binatang itu yang sesudah ngamuk dan menggeram hebat, lantas saja rubuh tanpa berkutik lagi.
So So menepuk-nepuk tangan sambil tertawa. "Indah sekali ilmu ringan badan itu!" teriaknya. "Hebat sungguh totokan itu!"
Tapi, baru babis ia berteriak begitu tiba-tiha Cui San berseru : "Awas! Lari!"
Mendengar teriakan suaminya dengan cepat ia melompat kedepan. Begitu menengok kebelakang, ia terkesiap karena dibelakangnya sudah berbaris tujuh ekor biruang putih yang memperlihatkan sikap menakutkan.
Cui San mengerti. bahwa mereka berdua tak akan dapat melawan tujuh binatang buas itu. "Lari !"
bisiknya dan mereka lantas saja kabur dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan.
Meskipun badannya besar, binatang-binatang itu bisa lari cepat sekali, tapi kecepatan mereka masih kalah dengan ilmu ringan badan Cui San dan So So, sehingga sesudah mengubar beberapa lama, mereka ketinggalan agak jauh. Tapi mereka terus mengejar dari belakang.
"Jalan satu-satunya lari ke air," kata Cui San "Apa biruang tidak bisa berenang?" tanyanya.
"Entahlah," jawab So So sambil menggelengkan kepala.
"Harap saja mereka tidak bisa berenang."
Sambil bicara mereka lari terus secepat-cepat nya.
"Celaka!" mendadak So So mengeluh.
"Mengapa ?" tanya Cui San.
"Apa kau tahu apa makanan biruang putih?" sang isteri balas menanya. "Menurut katanya seorang jurumudi. biruang makan madu tawon dan ikan."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Makan ikan" menegas Cui San sambil menghentikan tindakannya. "Kalau benar binatang itu makan ikan, mereka pasti bisa berenang."
Sebelum mereka dapat berdamai terlebih jauh,
sekonyong konyong So So berteriak: "Ih! Mengapa mereka berada didepan kita ?"
Dengan hati berdebar-debar mereka mengawasi enam ekor biruang yang mendatangi dari sebelah depan.
"Bukan. Mereka bukan biruang yang tadi," kata Cui San. "Kita sekarang dicegat dari depan dan dari belakang," Sehabis berkata begitu, buru burn ia melompat keatas satu pohon siong yang sangat besar .
Sesudah berada diatas, ia menggaetkan kedua kakinya dicabang pohon, sehingga badannya menggelantung kebawah dan kedua tangannya menyambut-tangan sang isteri yang turut melompat keatas. "Aku harap saja mereka tak dapat memanjat pohon," kata So So sesudah mereka duduk disatu cabang.
"Biarpun mereka, bisa manjat kita tak usah kuatir," kata sang suami. "Maju satu, kita binasakan satu.
Asal saja tidak dikurung, kita masih dapat melayani."
Sesaat kemudian, enam ekor biruang yang datang dari depan dan tujuh ekor dari belakang sudah berkumpul dibawah pohon. Mereka mendongak dan menggeram hebat sambil memperlihat gigi mereka.
Cui San mematahkan sebatang cabang kecil yang lain digunakan untuk menimpuk mata seekor biruang.
Timpukan itu mengenakan tepat pada sasarannya dan sambil menggeram serta me lompat-lompat bahna sakitnya, binatang itu menyeruduk pangkal pohon dengan kepalanya. Melihat hasil pertama, Cui San segera mengulangi perbuatannya. Tapi kawanan binatang itu ternyata pintar sekali dan mereka semua menundukkan kepala dan mulai mengeragoti pohon. Oleh karena begitu, Cui San hanya dapat menimpuk punggung mereka yang kulitnya tebal, sehingga serangan itu tidak dirasakan sama sekali. Tak lama kemudian, pangkal pohon itu sudah somplak sebagian dan jika di dorong beramai-ramai, sudah pasti akan roboh.
Cui San menghela napas. "Aku tak nyana, sesudah berhasil menyelamatkan diri dari lautan, kita bakal jadi makanan kawanan biruang," katanya.


Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan jantung memukul keras, So So mengawasi satu pohon siong yang terpisah kira-kira tujuh delapan tombak. "Ngoko," bisiknya. "Dengan ilmu mengentengkan badan, sekali lompat kau bisa turun kebawah dan dengan sekali lompat lagi, kau bisa naik kepohon itu."
Sang suamipun sudah lihat kemungkinan itu. Memang, kalau seorang diri, ia dapat berbuat begitu.
Tapi dengan membawa isterinya, mereka tentu akan tercegat ditengah jalan. Maka itu sambil menggeleagkan kepala, ia berkata: "Tidak dapat. Tak dapat aku berbuat begitu."
"Ngoko, tak usah kau pikiri aku," kata pula sang istiri. "Tidak perlu kita mati berdua-dua."
"Kita sudah bersumpah, bahwa Langit diatas bumi dibawah, kita tak akan berpisahan untuk selama-lamanya." jawab sang suami. "Mana dapat aku meninggalkan kau dengan begitu saja ?"
Bukan main rasa terharunya nyonya itu, sehingga air matanya lantas saja berlinang-linang. Ia ingin coba membujuk lagi, tapi mu!utnya seearti terkancing.
Sesaat itu, tiba-tiba pohon bergoyang-goyang, karena didesak dengan berbareng oleh kawanan biruang itu.
Hati So So mencelos, sehingga tanpa merasa, ia mengeluarkan teriakan perlanan. Ia tahu. beberapa detik lagi, pohon itu pasti akan rubuh.
Pada saat yarg sangat berbahaya, disebelah kejauhan sekonyong konyong terdengar suara yang sangat tajam. Suara itu tidak begitu keras, tapi aneh sekali, seperti bunyi burung malam, seperti bunyi khim, seperti angin meniup daun bambu dan seperti bunyi genta.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Begitu mendengar suara itu, ketigabelas biruang berhenti serentak dalam usahanya untuk merubuhkan pohon dan berdiri diam sambil memasang kuping. Dari sikap mereka, seolah olah suara itu adalah suara yarg paling menakuti di dalam dunia. Apa yang paling mengherankan lagi, sesaat kemudian, seekor demi seekor menundukkan kepala dan mendekam diatas tanah tanpa bergerak.
Walaupun tak tahu apa artinya itu, Cui San dan So So girang tak kepalang dan harapan besar muncul dalam hati mereka. "Tolong! Tolong!" jerit So So. "Tolong....! Biruang mau mencelakakan manusia."
Jeritan itu disambut dengan suara yang tadi, yang mendatangi dengan kecepatan luar biasa, lebih cepat dari terbangnya burung.
Sesaat kemudian, didepan mereka berkelebat satu bayangan merah, seolah-olah sebuah bola api yang menyambar dari satu pohon disebelah depan dan kemudian hinggap didahan pohon dimana Cui San dan So So sedang menyembunyikan diri.
Sekarang baru mereka bisa melihat nyata. Yang hinggap didahan itu adalah seekor kera yang bulu nya merah, tingginya kira-kira tiga kaki, mukanya putih seperti batu giok, sedang kedua matanya yang berkilat-kilat mengeluarkan sinar keemas emasan.
Bahwa binatang yang datang kesitu adalah seekor
kera yang begitu menarik, tidak diduga-duga mereka. Waktu berteriak untuk meminta pertolongan, So So menaksir, bahwa binatang yang mengeluarkan suara begitu adalah binatang buas yang sangat menakuti.
Tapi karena sedang menghadapi bahaya besar, mau tidak mau, ia berteriak juga. Maka itu, dengan kegirangan yang meluap-luap, ia segera mengangsurkan tangannya kearah kera itu.
Biarpun belum pernah melihat manusia kera itu ternyata pintar luar biasa. Ia rupanya mengerti maksud persahabatan itu dan segera mengulur satu tangannya dan menyentuh tangan si nyonya. Sambil menuding kawanan biruang itu, So So ber kata: "Mereka mau mencelakakan kami. Apa kau dapat menolong?"
Melihat gerakan So So, seraya memekik kera itu melompat turun dan menghampiri salah seekor biruang. Dengan sekali menggerakkaa tangan, jari-jarinya amblas kedalam kepala biruang itu dan dilain saat, tangannya sudah memegang otak biruang. Ia melompat naik pula dan dengan sikap hormat, mengangsurkan otak biruang itu kepada So So.
Cui San dan isterinya kaget bakan main. tenaga binatang yang sehebat itu sungguh-sungguh belum pernah didengar mereka. So So sebenarnya tidak sanggup menelan otak mentah itu. Tapi sebab tidak mau membangkitkan kegusaran tuan penolong itu, dengan apa boleh buat, ia menyambutinya. Ia menggigit sebagian otak itu, dan menyerahkan sisanya kepada Cui San.
Diluar dugaan, otak biruang itu lezat luar biasa, lebih enak dari makanan apapun jua yang pernah dimakannya. Sambil bersenyum, ia lalu mengambilnva kembali dari tangan suaminya dan menghabis kan semuanya.
"Terima kasih, terima kasih," katanya sambil memanggut-manggutkan kepala.
Dilain saat kera itu sudah melompat turun lagi dan mengambil pula dua otak biruang yang lalu dimakannya. Sungguh mengherankan, kawanan biruang itu bukan saja tidak berani melawan, tapi juga tidak berani lari Mereka terus mendekam diatas tanah, seperti orang yang sedang menerima hukuman.
So So tertawa nyaring. "mampuskan semua biruang itu," katanya. "Kalau kau tidak keburu datang, kami berdua tentu sudah masuk kedalam perut mereka." Sambil memekik kera itu melompat turun lagi dan dalam sekejap ia sudah membinasakan semua biruang itu.
Cui San dan So so lantas saja turut melompat turun. Melihat tiga belas bangkai binatang itu, Cui San merasa tidak tega dan ia berkata dengan suara menyesal: "Sebenarnya tak usah membinasakan mereka semua. Cukup jika mereka diusir pergi."
Mendengar perkataan suaminya, So So yang sedang mencekal lengan si kera agak terkejut. "Ngoko tentu mencela aku," katanya di dalam hati. "Ya... aku harus berusaha untuk mengubah adatku yang kejam." Tapi biarpun hatinya menyesal, ia tertawa seraya berkata: "Hm. . . sekarang Ngoko merasa kasihan terhadap biatang-binatang buas itu. Kalau saudara kera tidak datang menolong, apakah biruang-biruang itu akan menaruh belas kasihan terhadap kita?"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Kalau kita sama kejamnya seperti binatang, bukankah kita tiada beda seperti binatang?" kata sang suami.
"Binatangpun ada juga yang baik," kata So So sambil tertawa. "Lihatlah saudara kera ini.
Kepandaiannya lebih tirggi dan rupanya lebih tampan daripada kau."
Cui San tertawa terbahak-bahak. "Ai ya?" seru nya. "Kau membuat aku cemburu."
Sesudah terlolos dari lubang jarum. mereka bergembira sekali dan beromong-omong dengan tertawatawa. Kera merah itupun tidak kurang gembiranya dan dia melompat-lompat kian kemari.
"Kawanan biruang itu mungkin mempunyai anak, coba kita tengok," kata Cui San.
Dengan So So menutun kera, mereka lalu masuk kedalam guha. Sesudah berjalan-jalan kira-kira sembilan tombak, ditengah-tengah guha itu terbuka sebuah lubang, sehingga sinar terang menyorot masuk kedalam. Hanya sayang, guha yang sebenar nya sangat nyaman itu berbau busuk sebab penuh dengan kotoran dan air kencing biruang. "Kalau tidak berbau busuk, tempat ini cocok sekali untuk menjadi tempat meneduh kita," kata So So sambil menekap hidung.
"Kita dapat mernbersihkannya," kata sang suami.
"Sesudah lewat sepuluh hari atau paling lama setengah bulan, kurasa bau itu akan hilang sendirinya"
So So mengawasi Cui San dengan hati girang tercampur duka, karena ia ingat, babwa mulai hari itu, ia akan berdiam di pulau tersebut bersama sama Cui San untuk selama-lamanya.
Sementara itu, Cui San sudah mematahkan cabang-cabang poloh yang lalu dibuat menjadi sebuah sapu. Dengan dibantu oleh isterinya, ia lalu menyapu kotoran biruang. Dengan gembira sikera coba membantu, tapi biarpun pintar, kera tetap kera dan sebaliknya daripada membantu, ia mengacau pekerjaan orang. Karena mengingat budinya, Cui San dan So So membiarkan ia mengunjuk kenakalannya. Sesudah bekerja berat, guha itu akhirnya bersih, tapi bau busuknya belum mau menghilang juga.
"Alangkah baiknya jika kita dapat mencuci dengan air," kata So So. "Hanya sayang kita tak punya tahang."
Sesudah memikir sejenak, Cui San berkata: "Ada jalan," Buru-buru ia mendaki gunung dan mengambil beberapa balok es yang lalu ditaruh dibatu-batu yang agak tinggi dalam guha itu.
"Ngoko, lihay sungguh otakmu!" memuji sang isteri sambil menepuk-nepuk tangan.
Tak lama kemudian, balokan es itu mulai melumer dan airnya mangalir kebawah, sehingga guha itu seolah-olah disiram.
Sedang suaminya mencuci guha, dengan menggunakan pedang bengkok, So So memotong daging biruang yang kemudian ditumpuk menjadi satu. Walaupun di pulau itu terdapat gunung berapi tapi karena berada dalam wilayah Kutub Utara, maka hawanya masih sangat dingin. Maka itu, sesudah diuruk dengan potongan-potongan es, daging itu rasanya tak akan rusak dalam tempo lama.
Sesudah selesai bekerja, So So menghela napas seraya berkata: "Manusia selalu merasa tidak puas.
Jika sekarang kita dapat menyalakau api dan membakar telapak kaki biruang, kita akan dapat mencicipi makanan yang sungguh luar biasa."
(Telapak kaki biruang semenjak jaman purba sudah diakui sebagai salah satu makanan yang paling enak).
"Api ada, hanya terlalu besar," kata Cui San sambil mengawasi asap yang mengepul dari gunung berapi. "Perlahan-lahan kita harus berdaya untuk mengambil api itu."
Malam itu mereka makan otak biruang dan tidur diatas pohon.
Pada esokan paginya, baru saja membuka mata, So So sudah berteriak : "Aduh! Wangi sungguh !" Ia melompat turun dari pohon dan mendapat tahu, bahwa bau wangi itu darang dari dalam guha.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Bersama suaminya, ia berlari-lari kedalam guha, dimana terdapat tumpukan-tumpukan bunga yang tengah dilontarkan kian kemari oleh sikera sambil melompat-lompat, So So yang sangat suka akan bunga jadi girang bukan main dan mengawasi lagak kera itu sambil menepuk nepuk tangan.
Cui San. "Aku hendak bicarakan serupa soal
denganmu." Melihat paras suaminya yang bersungguh-sungguh
ia agak terkejut. "Ada apa?" tanyanya.
"Aku ingin berdamai bagaimana kita bisa mendapatkan api." jawabnya,
"Ah, orang edan kau!" bentak stag isteri seraya tertawa . "Kukira ada urusan penting. Ambil api!
Aku setuju. Lekas beritahukan rencanamu."
"Dimulut gunung berapi, hawanya luar biasa panas dan kita tak akan dapat mendekatinya,"
menerangkan Cui San. "Maka itu menurut pendapatku, jalan satu-satunya ialah membuat tambang yang panjang dari kulit pohon. kemudian menjemur tambang itu dan ....."
"Bagus!" memutus sang isteri. "Kemudian mengikat sebutir batu diujung tambang, melontarkan tambang itu kemulut gunung barapi dan menariknya kembali sesudah ujung tambang terbakar. Bukankah begitu maksudmu?"
Cui San mengangguk seraya memuji kepintaran isterinya.
Karena ingin sekali makan daging matang, tanpa menyia-nyiakan tempo lagi, mereka segera bekerja.
Selang dua hari, mereka sudah membuat tambang yang panjangnya seratus tombak lebih dan yang lalu dijemur dibawah sinar matahari. Pada hari ke empat, dengan membawa tambang itu, mereka lalu pergi ke gunung berapi.
Walaupun kelihatannya dekat, gunung itu terpisah empat puluh li lebih dari tempat mereka. Makin dekat dengan gunung itu, hawa makin panas. Keringat mengucur dari tubuh mereka dan diseputar itu tidak terdapat pohon-pohonan lagi. Apa yang mereka menemuinya hanialah batu-batu yang gundul.
Sesudah berjalan lagi beberapa lama, hawa panas jadi makin hebat. Melihnt muka isterinya yang merah kepanasan, Cui Scan yang menggendong jadi tak merasa tega. "Kau tunggu disini, biar aku saja yang pergi kesitu," katanya.
"Jangan rewel!" bentak sang isteri. "Kalau kau banyak bicara, aku tak akan meladeni lagi. Paling banyak seumur hidup kita tidak mengenal api lagi, seumur hidup makan makanan mentah."
Cui San besenyum dan mereka teuns mendaki gunung itu. Sesudah berjalan lagi kurang lebih satu li, napas mereka tersengal-sengal dan hampir tak dapat bertahan lagi. Cui San memiliki Lweekang yang sangat tinggi, tapi iapun merasa matanya ber kunang-kunang dan kupingnya berbunyi. "Sudahlah,"
katanya. "Dari sini saja kita melontar kan tambang ini. Jika tidak menyala. hem...kita..."
So So tertawa dan menyambungi: "Kita jadi suami isteri orang hutan..." Belum habis perkataannya, badannya bergoyang-goyang dan ia pasti rubuh jika tidak buru-buru mencekal pundak suaminya.
Dari atas tanah Cui San menjemput sebutir batu yang lalu diikatkan keujung tambang. Sesudah itu, sambil berlari-lari dan mengerahkan Lweekang, ia melontarkan tambang dengan sekuat tenaga.
Bagaikan seekor ular, tambang itu terbang di tengah udara, kemudian jatuh dipermukaan bumi. Akan tetapi, sebab jarak dengan mulut gunung yang mengeluarkan api, masih terlalu jaub, maka sesudah mereka menunggu beberapa lama, tambang itu belum juga menyala.
Sementara itu, mereka merasakan hawa panas semakin hebat, sehingga mata mereka seolah-olah mengeluarkan api. Cui San menghela napas seraya berkata: "Orang-orang dulu membuat api dengan menggosok kayu atau memukul batu. Sudahlah! Menggunakan tambang tidak berhasil. Biarlah kita cari lain jalan saja."
Dengan rasa kecewa, So So manggutkan kepalanya.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Selagi ia mau memanggil sikera merah, yang selalu mengikuti kemanapun juga mereka pergi, tiba-tiba ia lihat binatang itu menjemput sebutir batu dan dengan menyontoh cara Cui San, dia berlari-lari, kemudian melontarkan batu itu. Dia gembira bukan main dan kelihatannya tak takut akan hawa panas.
Melihat begitu, tiba tiba So So mendapat satu
pikiran. "E eh, kera itu kelihatannya tidak takut api." katanya di dalam hati. Ia segera bersiul dan berkata: "Saudara kera, apakah kau dapat menolong untuk membawa ujung tambang ke api dan menialahkannya ?" Sambil berkata begitu, ia memberi isyarat dengan tangannya.
Kera itu ternyata pintar luar biasa. Baru saja So So memberi isyarat dua tiga kali, ia sudah mengerti apa maksudnya dan seraya berbunyi keras, dengan belasan kali lompatan saja, dia sudah melalui seratus tombak lebih dan sesudah menjemput ujung tambang, dia berlari kemulut gunung bagaikan kilat cepatnya.
Melihat begitu, Cui San dan So So merasa menyesal, karena mereka kuatir dia tercemplung di dalam lubang api. "Kauw jie! Kauw jie!" teriak So So. "Balik! Hayo balik!"
Baru saja ia berteriak begitu, jauh-jauh terlihat mengepulnya asap diujung tambang yang kemudian ditarik dengan cepat oleh si kera dan beberapa saat kemudian ujung tambang yang menyala sudah berada di hadapan Cui San dan So So. Bukan main girangnya mereka, So So melompat dsn memeluk binatang itu, sedang Coai San lalu mengambil cabang-cabang kayu kering yang diikat menjadi satu sebagai semacam obor dan kemudian menyulutnya dengan api ditambang itu.
Apa yang sangat mengherankan bagi mereka ialah, jangankan badannya sedangkan bulu si kera sedikitpun tidak berubah.
Dengan hati gembira, kedua suami isteri itu segera kembali keguha biruang bersama-sama sikera merah.
Mereka segera mengumpulkan cabang-cabang kayu dan rumput kering untuk membuat sebuah perapian. Di dalam dunia, dapat dikatakan semua binatang sangat takuti api. Tapi sikera merah adalah lain dari yang lain.
Sambil mengeluarkan bunyi yang menggelikan dan dengan lagak nakal, ia bergulingan beberapa kali diatas perapian yang berkobar-kobar.
Mendadak Cui San ingat apa yang pernah dituturkan oleh gurunya dan tanpa merasa, ia mengeluarkan seruan "ah !"
"Ada apa ?" tanya sang isteri.
"Suhu pernah memberitahukan aku, bahwa di dalam dunia hidup semacam tikus yang dinamakan tikus api," jawabnya. "Tikus itu dapat masuk bedalam api tanpa terbakar bulunya yang panjangnya satu dim lebih, dapat dibuat menjadi semacam kain yang diberi nama kain asbes. Kalau kain itu kotor, cara mencucinya adalah memasukannya kedalam api dan begitu dikeluarkan dari api, warnanya sudah putih kembali seperti sediakala. Menurut pendapatku, kera itu tidak banyak berbeda dengan tikus yang dituturkan Suhu."
So So tertawa. "Jika bulu Saudara Kauw jie rontok, aku akan membuat kain untukmu!" kata nya. "Tapi paling sedikit kau harus berusia dua atau tiga ratus tahun."
Sesudah mempunyai api, segala apa beres, mereka masak air, memasak daging dan membuat satu dua rupa masakan. Sedari perahu tenggelam, belum pernah mereka merasakan makanan matang. Sekarang secara tidak diduga duga, mereka dapat makan telapak kaki biruang yang kesohor lezat dan dapatlah dibayangkan kegembiraan mereka. Si kera merah yang tidak makan lain daripada otak biruang, pergi kehutan untuk mencari buah-buahan.
Madam itu, sesudah makan kenyang, Cui San dan So So tidur di dalam guha diantara bau wangi dari berbagai macam bunga yang luar biasa.
Keesokan paginya, Cui San keluar dari guha dan dengan hati lapang ia memandang ketempat jauh.
Tiba-tiba ia melihat seorang yang bertubuh tinggi besar berdiri tegak diatas batu cadas dipinggir laut.
Ia kaget bukan main, karena orang itu bukan lain dari pada Cia Sun! Sesudah mengalami penderitaan
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
yang sangat hebat, ia dan isterinya mendarat di pulau yang indah itu. Tapi baru saja menikmati penghidupan bahagia dan tenteram beberapa hari, si memedi sudah muncul lagi.
Dilain saat, ia lihat Cia Sun jalan mendatangi dengan badan bergoyang goyang. Ternyata, sesudah matanya buta, ia tidak dapat menangkap ikan atau membunuh biruang, sehingga sedari hari itu, ia tak pernah menangsal perut dan biarpun badannya kuat luar biasa, ia tak dapat mempertahankan diri lagi.
Sesudah berjalan belasan tombak, badannya kelihatan bergemetar dan rubuh diatas tanah.
Buru-buru Cui San kembali keguha. Begitu melihat suaminya, So So bersenyum seraya berkata: "Ngo
.." Ia tidak meneruskan perkataannya sebab melihat paras sang suami yang suram.
Sesudah berhadapan dengan isterinya, Cui San berkata dengan suara perlahan: "Si orang she Cia ada disini!"
So So melompat bangun seperti orang dipagut ular. "Dia sudah lihat kau ?" bisiknya. Tapi saat itu juga ia ingat, bahwa Cia Sun sudah buta dan hatinya jadi lebih tenang. "Ngoko, kau tak usah takut," katanya pula. "Masakan kita berdua, ditambah lagi dengan Kauw jie, tidak dapat melawan seorang buta?"
Cui San manggut-manggutkan kepalanya. "Dia rubuh pingsan karena kelaparan" katanya.
"Mari kita tengok," kata sang isteri sambil merobek ujung bajunya kemudian dirobek lagi jadi empat potong kecil. Dua segera dimasukkan ke dalam kupingnya dan yang dua lagi diserahkan kepada suaminya. Dengan tangan kanan mencekal pedang dan tangan kiri menuntun si kera merah, ia segera mengikuti Cui San untuk menengok Cia Sun.
Sesudah berada dekat, Cui San berteriak: "Cia Cianpwee. apa kau mau makan ?"
Dalam keadaan lupa ingat, Cia Sun mendengar teriakan itu dan pada paras mukanya lantas saja terlukis sinar harapan. Tapi dilain saat, ia mengenali, bahwa suara itu adalah suara Cui San dan paras mukanya lantas saja berubah menyeramkan. Selang beberapa lama, barulah ia mengangguk.
Cui San segera melontarkan sepotong daging seraya berteriak: "Sambutlah !"
Cia Sun bangun sambil menekan tanah dengan tangan kiri dan dengan pertolongan kupingnya yang sangat tajam, dengan tangan lainnya ia menangkap daging itu yang lalu dimakan perlahan-lahan.
Melihat seorang yang begitu gagah perkasa telah menjadi lemah dalam hati Cui San lantas saja timbul perasaan kasihan. Tapi So So mempunyai pendapat lain. Ia sangat tidak mupakat dengan tindakan suaminya yang sudah memberi makanan kepada Cia Sun.
"Hmm! Sesudah kuat, mungkin dia akan membinasakan kita berdua," katanya di dalam hati. Tapi karena sudah bersumpah untuk menjadi orang baik maka meskipun hatinya mendongkol, ia menutup mulut.
Sesudah makan sepotong daging itu. Cia Son lantas saja pulas diatas tanah. Cui San segera menyalakan sebuah perapian didekatnya untuk mengusir hawa dingin dan mengeringkan pakaian Cia Sun yang basah kuyup. Sampai lohor barulan si buta sadar.
"Tempat apa ini?" tanyanya.
Melihat gerakan mulutnya, Cui San dan So So, yang menungguinya, segera mencabut satu sumbatan kuping untuk mulai bicara, tapi mereka sangat berwaspada dan siap sedia untuk menyumbat kuping jika terlihat gerakan yang luar biasa.
"Pulau ini adalah pulau yang tidak ada manusia." jawab Cui San.
Cia Sun mengeluarkan suara dihidung. Beberapa saat kemudian, barulah ia berkata: "Katau begitu kita tak akan bisa pulang."
"Hal itu lebib baik kita menyerahkan saja ke pada kebijaksanaan langit," kata pula Cui San.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Mendadak Cia Sun meluap darahnya dan bagaikan kalap ia mulai mencaci langit. Sesudah kenyang memaki maki ia meraba-raba satu batu besar dan lalu duduk diatasnya. "Apa yang kamu ingin berbuat terhadapku ?" tanyanya.
Cui San melirik isterinya yang segera memberi isyarat, bahwa ia menyerahkan keputusan kepada sang suami. "Sesudah memikir sejenak, pemuda itu lalu berkata dengan suara nyaring: "Cia Cianpwee, kami berdua suami isteri ..."
"Hm..... " Cia Sun memotong pembicaraan orang. "Kamu sudah menjadi suami isteri?"
Paras muka, So So lantas saja bersemu dadu, sedang hatinya girang. "Dalam pernikahan kami, dapat dikatakan Cianpweelah yang menjadi comblang," katanya seraya tertawa. "Untuk itu. kami harus menghaturkan terima kasih."
Cia Sun kembali mengeluarkan suara dihidung.
"Baiklah. Apa yang kamu mau berbuat terhadapku?" tanyanya pula.
"Cia Cianpwee," kata Cui San. "Kami merasa sangat menyesal, bahwa kami telah membutakan kedua matamu. Tapi karena hal itu sudah terjadi kami meminta maaf pun tiada gunanya. Jika kits ditakdirkan untuk berdiam dipalau ini seumur hidup dan tak bisa kembali lagi di Tionggoan maka satu-satunya yang dapat diperbuat kami ialah merawat Cianpwee seumur hidup."
Cia Sun mengangguk. "Ya.. begitu saja," kata nya.
"Kami berdua sangat mencintai satu sama lain dan akan hidup atau mati bersama-sama," kata pula Cui San. "Jika penyakit Cianpwee kumat lagi dan mencelakakan salah seorang diantara kami, maka orang yang masih hidup sudah pasti tak akan mau hidup lebih lama lagi."
" Kau ingin mengatakan, bahwa jika kalian berdua mati, akupun tak bisa hidup seorang diri di pulau ini. Bukankah begitu?" tanya Cia Sun
"Benar," jawab Cui San.
"Kalau begitu, perlu apa kalian menyumbat kuping?" tanya pula Cia Sun.
Cui San dan So So saling mengawasi sambil bersenyum dan lalu mencabut potongan kain yang masih menyumbat kuping kiri mereka. Mereka merasa kagum bukan main, karena walaupun sudah tak dapat melihat, Cia Sun masih dapat mengetahui segala apa dengan kupingnya yang sangat tajam.
Sesudah beromong omong sedikit, Cui San lalu meminta orang tua itu memberi nama kepada pulau mereka. "Di pulau ini terdapat es yang ribuan tahun tak pernah melumer dan terdapat pula api yang laksaan tahun tak pernah padam." kata Cia Sun. "Maka biarlah kita menamakannya pulau Pang hwee to saja." Pang hwee to berarti Pulau es dan api.
Demikianlah. Mulai waktu itu, tiga manusia dan seekor kera menjadi penghuni dari pulau terpencil itu.
Untuk keperluan hidup, Cui San dan So So bekerja keras. Mereka membuat piring mangkok dengan membakar tanah liat, membuat dapur dengan menumbuk tanah dan batu, membuat kursi meja dan lain-lain perabotan rumah tangg. Biarpun buatannya sangat kasar, alat-alat dan perabotan itu dapat memenuhi keperluan mereka. Saban-saban ada tempo yang luang, mereka menanam pohon-pohon bunga disebelah kiri guha itu.
Cia Sun juga tidak pernah rewel dan hidup dengan tenteram. Setiap hari ia duduk termenung sambil mencekal To liong to. Ia rupanya terus mengasah otak untuk memecahkan rahasia yang bersembunyi dalam golok mustika itu. Mereka membujuk supaya ia jangan memutar otak lagi. "Aku pun mengerti bahwa andaikata aku dapat memecahkan rahasia ini, aku tak akan dapat berdiam disebuah tempat yang terpencil dan tak punya harapan untuk bisa kembali ke Tionggoan," jawabnya dengan suara getir. "Akan tetapi, karena aku tak punya kerjaan dan merasa sangat kesepian maka biarlah aku mengasah otak untuk menghilangkan tempo." Mendengar jawaban yang sangat beralasan, mereka mengangguk dan tidak membujuk lagi.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Kira-kira setengah li dalam guha biruang, terdapat sebuah guha lain yang lebih kecil. Sesudah bekerja keras kurang lebih sepuluh hari, Coai San mengubah guha itu menjadi sebuah kamar yang kecil, yang lalu diserahkan kepada Cia Sun untuk dijadikan kamar tidurnya.
Beberapa bulan telah terlalu dengan cepatnya. Pada suatu hari, bersama sikera merah, Cui San dan So So pesiar kesebelah utara pulau itu. Di luar dugaan mereka, pulau itu sangat panjang dan sesudah melalui seratus li lebih, mereka belum wencapai ujungnya.
Sesudah berjalan lagi beberapa lama, disebelah depan menghadang sebuah hutan yang sangat besar.
Mereka mendekati hutan itu, tapi baru saja Cui San ingin masuk, si kera merah berbunyi keras dan memperlihatkan sikap ketakutan. So So jadi kuatir dan berkata: "Ngo ko, kau tak boleh masuk, Kauw jie kelihatannya saungat ketakutan."
Cui San merasa heran tercampur kuatir, karena si isteri yang biasanya sangat bergembira jika menemui sesuatu yang luar biasa, pada waktu waktu
belakangan sangat lesu kelihatannya. "So So, mengapa kau?" tanyanya. "Apa badanmu kurang enak."
Ditanya begitu, So So kelihatannya kemalu maluan, sehingga paras mukanya barubah merah. "Tidak apa-apa," jawabnya dengan suara perlahan.
Sang suami jadi makin heran dan terus mendesak. Akhirnya, sambil menunduk ia berkata dengan suara perlahan: "Langit rupanya tahu, bahwa kita terlalu kesepian dan akan mengirim seorang manusia lain datang kepulau ini."
Cui San terkesiap dan dilain saat, kegirangannya meluap-luap. "Kita akan punya anak?" tanyanya.
"Sts! Perlahan sedikit!" bentak si isteri, tapi dilain saat ia tertawa geli karena baru ia ingat bahwa disekitar hutan itu tiada lain manusia.
Siang malam terbang bagaikan anak panah yang melesat dari busurnya. Cuaca berubah agi, siang makin pendek dan malam makin panjang, sedang hawa udarapun makin dingin. Sesudah hamil, So So gampang capai, tapi ia tetap melakukan pekerjaan sebari-hari seperti masak, menambal pakaian dan menyapu lantai.
Malam itu ia sudah hamil hampir sepuluh bulan. Sesudah menyalakan perapian di dalam guha, kedua suami isteri lalu duduk beromong-omong. "Ngoko. coba kau tebak, apa anak kita lelaki atau perempuan?"
kata So So. "Perempuan seperti kau, lelaki seperti aku, bagi ku sama saja." jawab sang suami.
"Aku lebih suka anak lelaki." kata pula So So. "Coba kau pilih satu nama untuknya."
Cui San hanya mengeluarkan suara "hmmm" dan tidak menjawab perkataan isterinya.
"Ngoko, apa sedang dipikir olehmu?" tanya pula sang isteri. "Dalam beberapa hari ini kau kelihatannya agak bingung."
Cui San bersenyum. "Tak apa-apa, mungkin karena kegirangan bakal menjadi ayah, aku kelihatannya tolol," jawabnya.
Tapi nyonya itu yang sangat pintar tak dapat
diakali. Ia sudah melihat bahwa pada mata suaminya terdapat sinar kekuatiran. "Ngoko, jika kau tidak berterus terang, aku akan jengkel sekali." katanya dengan suara lemah lembut. "Ada apa yang mendukakan hatimu?"
Cui San menghela napas. "Aku harap saja penglihatanku keliru," katanya. "Dalam beberapa hari ini, kulihat perubahan pada paras muka Cia Cianpwee."
So So mengeluarkan seruan tertahan dan berkata dengan suara berkuatir : "Benar, akupun sudah lihat perubahan itu. Paras mukanya makin hari jadi makin ganas dan mungkin sekali ia bakal kalap lagi."
Cui San manggut-manggutkan kepalanya. "Dia rupanya jengkel karena tidak dapat menembus rahasia yang meliputi To liong to." katanya.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Tiba-tiba air mata So So mengucur, sehingga suaminya terkejut. "Aku sedikitpun tidak merasa halangan kalau kita mati bertempur dan mati bersama-sama dia," katanya dengan suara sedih. "Tapi....
tapi....." Dengan rasa terharu, Cui San memeluk istrinya.
"Benar sesudah mempunyai anak, kita tak boleh sembarangan mengadu jiwa," katanya "Kalau dia kumat lagi kalapnya, tiada jalan lain dari pada membinasakannya. Kedua matanya sudah buta dan aku merasa pasti, dia tak akan bisa mencelakakan kita."
Mendengar niatan suaminya untuk membunuh Cia Sun, badan nyonya itu bergemetaran. Sebagaimana diketahui, waktu masih ia kejam luar biasa dan dapat membunuh puluhan manusia tanpa berkesiap. Tapi sesudah hamil, entah mengapa hatinya jadi berubah mulia.
Pernah kejadian pada suatu hari Cui San menangkap seekor biang menjangan yang diikut oleh dua anaknya sampai diguba. So So merasa tak tega dan berkeras supaya suaminya melepaskan betina menjangan itu. Ia lebih suka makan buah buahan saja daripada membunuhnya.
Melihat istrinya menggigil, Cui San tertawa seraya berkata dengan suara menyinta: "Aku harap saja dia tidak kalap lagi. So So, berikan saja nama Liam Cu (Langit Welas asih) kepada anak kita. Apa kau setuju" Aku ingin supaya kalau sudah besar, dia akan terus ingat, bahwa ibunya mempunyai hati yang welas asih. Perem puan atau lelaki, kita berikan saja nama itu."
So So mengangguk dengan perasaan beruntung. "Dulu, setiap kali aka membunuh manusia, hati ku merasa girang," katanya. "Tapi sekarang, dengan mengatahui, bahwa dalam hatiku telah muncul perasaan kasih terhadap sesama manusia, aku merasa bahagia dan kebahagiaan itu berbeda jauh dengan kegirangan diwaktu dulu, waktu aku membunuh manusia."
Sang suami manggut-manggutkan kepalanya. "Aku sungguh girang mendangar pengutalanmu ini,"
katanya. "Orang kata, bibit mencelakakan manusia tidak boleh ditanam di dalam hati, bibit menolong manusia harus dipupuk."
"Benar," kata So So. "Tapi bagaimana kita harus bertindak, kalau benar dia kalap lagi. Dengan adanya saudara Kauw jie sebagai pembantu, kekuatan kita bertambah besar."
"Tapi kurasa kita tidak dapat terlalu mengandalkan kera" kata sang suami. "Dia memang pintar sekali, tapi belum tentu dia mengerti kemauan kita. Kita harus mencari daya upaya yang lebih semgurna."
"Begini saja," So So mengajukan usulnya. "Waktu momberikan makanan kepadanya, kita menaruh racun.... Tidak! Tidak boleh begitu! Belum tentu dia kalap lagi dan mungkin sekali kita menduga keliru."
"Aku mempunyai serupa akal yang rasaaya dapat digunakan," kata Cui San. "Mulai besok kita pindah kebagian sebelum guha ini dan membuat sebuah lubang jebakan dibagian luar dan diatas lubang itu, kita tutup dengan rumput dan daun daun kering."
"Akal itu sangat baik, hanya aku kuatir kau akan dicegat dia ditengah jalan waktu kau memburu binatang," kata So So.
Cui San tertawa. "Tak usah kau kuatirkan keselamatanku," katanya, "Begitu lekas melihat gelagat kurang baik, aku bisa lantas melarikan diri. Dengan memanjat batu-batu cadas dan tebing, kurasa dia tak akan dapat menyandak aku."
Keesokan paginya, Cui San lalu mulai menggali lubang dibagian luar guha itu. Karena tidak mempunyai cangkul besi, ia terpaksa menggunakan potongan kayu, sehingga pekerjaan itu memerlukan tenaga yang sangat besar. Tapi berkat Lweekangnya yarg sangat tinggi, sesudah bekerjaa keras tujuh hari lamanya, ia berhasil menggali lubang yang dalamnya sudah kira-kira tiga tombak.
Sementara itu, makin hari Cia Sun makin gila lagaknya. Sering-sering ia menari-nari di tempat terbuka sambil mencekal To liongto. Cui San bekerja makin keras. Sesudah menggali lima tombak, ia berniat menancapkan potongan-potongan kayu tajam didasar lubang. Menurut rencananya, guha itu bermulut lebar dan berdasar sempit sehingga jika Cia Sun jatuh kedalamnya, ia bukan saja akan terluka, tapi sukar dapat melompat keluar karena badannya bakal terjepit.
Hanya sayang, sebelum ia selesai mengali sampai lima tombak, penyakit Cia Sun sudah keburu kumat lagi.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Hari itu, sesudah makan tengah hari, Cia Sun jalan mundar-mandir didepan guha. Cui San tidak berani bekerja, karena kuatir suara menggali tanah akan menimbulkan kecurigaannya. Ia juga tidak berani meninggalkan isterinya dan terus berdiam diluar mulut guha sambil menahan napas dan berwaspada.
Tiba-tiba Cia Sun mulai mencaci. Ia mencaci langit, Bumi, dewa-dewa dan malaikat-malaikat.
Sesudah itu ia mencaci kaizar-kaizar dan orang orang ternama dijaman purba. Sebagai seorang yang berpengetahuan tinggi, maki-makiannya di sertai dengan kutipan-kutipan sejarah sehingga Cui San yang mendengarnya jadi merasa ketarik sekali.
Sesudah puas menyikat orang-orang dulu, ia mulai mencaci pentolan pentolan dalam Rimba Persilatan. Tatmo Couw su dari Siau lim pay, Gak Bu Bok (Gak Hoi), jago-jago dan yang lain - lain bintang dilangit persilatan semua disikat bersih. Ia mencaci orang-orang gagah dari satu kelain jaman dan apa yang sangat menarik, caciannya bukan membuta tuli, tapi di sertai juga dengan kupasan-kupasan pedas tajam mengenai kekurangan dari ilmu silat setiap partai atau perseorangan. Waktu memaki orang-orang gagah dijaman buntut Lam song (Kerajaan Song Selatan), yang disikat olehnya adalah Tong sia, See tok, Lam tee, Pay kay dan Tiong sin thong dan sesudah lima jago itu, ia mencaci juga Kwee Ceng dan Yo Ko. Akhirnya, tibalah giliran Thio Sam Hoag, pendiri dari Bu tong pay dan sampai disitu, Cui San tak dapat menahan sabar lagi.
Dengan darah meluap, Cui San membuka mulutnya untuk balas memaki. Tetapi sebelum perkataannya keluar, tiba-tiba Cia Sun berteriak : "Thio Sam Hong bukan manusia! Muridnya. Thio Cui San, juga bukan manusia! Paling benar aku mampuskan dulu bininya!"
Sambil berteriak begitu, ia melompat masuk kedalam gua.
Cui San lantas saja turut melompat, tapi hampir berbareng, ia dengar suara gedubrakan, sebagai tanda, bahwa orang edan itu sudah terjeblos kedalam jebakan.
Tapi karena didasar lubang belum dipasang kayu-kayu tajam, maka biarpun terguling. Cia Sun tidak sampai terluka dan sesudah hilang kagetnya, ia segera melompat keatas.
Sementara itu, Cui San sudah menjemput potongan kayu yang digunakan untuk menggali tanah dan begitu lihat munculaya badan Cia Sun, ia segera menghantam kayu itu. Mendengar sambaran angin tajam, bagaikan kilat Cia Sun menangkap kayu itu dengan tangan kirinya dan membetotnya keras-keras.
Cui San tak kuat menahan betotan yang sangat hebat itu, sehingga bukan saja kayu terlepas, tapi telapak tangannyapun terbeset dan mengeluarkan darah. Tapi karena pukulan tersebut, tubuh Cia Sun kembali jatuh kedalam lubang.
Pada saat itu, tanpa diketahui sang suami, So So sebenarnya sudah hampir melahirkan anak. Waktu si edan mondar mandir didepan gua perutnya sudah sakit.
Tapi ia tidak berani memanggil suaminya karena kuatir didengar Cia Sun. Sekarang, melihat senjata suaminya direbut, sambil menahan sakit ia mengambil pedangnya yang lalu dilontarkan ke pada Cui San.
"Kepandaian orang itu sepuluh kali lipat tinggi dari padaku dan jika aku mem bacok, pedang ini pasti akan direbut olehnya," pikir Cui San. Mendadak ia ingat, bahwa sesudah kedua matanya buta, Cia Sun menganggap potongan kayu tadi dengan mendengar sambaran angin pukulan. Maka itu, pasti akan berhasil jika bisa menyerang tanpa menerbitkan sambaran angin.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa terbahak bahak disusul dengan melompatnya si kalap kemulut lubang hua. Cui San segera menudingkan ujung pedang yang sudah diluruskan setelah mereka mendarat di pulau itu kearah siedan yang sedang melesat keatas. Ia tidak menikam atau membacok, ia hanya menunggu.
"Crass" ujung pedang menancap di kepala Cia Sun. Karena tak ada sambaran angin, Cia Sun yang sedang melompat keatas tentu saja tak menduga, bahwa ia akan dipapaki dengan senjata tajam.
Masih untung ia mempunyai kepandaian yang sangat tinggi dan dapat bergerak luar biasa cepat.
Begitu ujung pedang menggores batok kepalanya begitu ia melenggakkan kepala seraya menangkap badan pedang dan mengerahkan tenaga Ciankie toei (ilmu untuk menambah berat badan), sehingga tubuhnya jatuh lagi kedalam lubang dengan kecepatan luar biasa. Tapi, biarpun dapat menyelamatkan jiwanya, ia sudah terluka agak berat dan darah mengucur dari kepalanya.
Begitu jatuh, ia segera mencabut pedang yang
menancap dibatok kepalanya dan sesudah menghunus To liong to, untuk ketiga kalinya ia melompat pula sambil memutar golok mustika itu guna melindungi kepalanya.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Kali ini Cui San menimpuk dengan satu batu besar, tapi batu itu dipukul terpental dengan To liong to.
Begitu kedua kakinya hinggap dipinggir lubang, Cia
Sun menerjang seperti orang gila. Sambil melompat mundur, hati Cui San mencelos. Ia ingat, bahwa hari itu ia dan So So akan berpulang kealam baka, tanpa melihat lagi anaknya yang belum terlahir.
Biarpun sedang kalap di dalam perkelahian, Cia Sun ternyata masih dapat menggunakan otaknya. Ia merasa, bahwa yang paling penting adalah menjaga supaya Cui San dan So So tidak dapat keluar dari guha itu. Begitu lekas mereka keluar, ia tak akan dapat mencarinya.
Maka itu, dengan tangan kanan mencekal golok dan tangan kiri memegang pedang, ia memutar kedua senjata itu bagaikan titiran cepatnva, sehingga mulut guha tertutup dengan sambaran sambaran senjata yang sangat hebat.
Mendadak, pada saat yang sangat berbahaya bagi dirinya kedua suami isteri itu, di dalam guha terdengar suara menangisnya bayi. Cia Sun terkesiap dan ia berhenti bergerak. Bayi itu menangis terus.
Pada saat itu, walaupun tahu, bahwa bencana sudah berada diatas kepalanya, Cui San tidak menghiraukan orang edan itu lagi. Dengan perasaan yang tak dapat dilukiskan, mata Cui San dan So Sa mengawasi bayi itu yang menggerak-gerakkan kaki tangannya sambil menangis keras. Mereka mengerti, bahwa dengan sekali membabat, Cia Sun dapat membinasakan mereka bersama bayi yang baru terlahir itu. Tapi mereka tidak menghiraukan. Di dalam hati, mereka bersyukur, bahwa sebelum mati, meraka masih dapat melihat wajah anak itu.
Mereka sama sekali tak pernah mimpi, bahwa tangisan bayi itu mempunyai pengaruh yang sangat luar biasa. Dengan tiba-tiba saja, Cia Sun tersadar dan kalapnya hilang seketika, seperti daun disapu angin.
Didepan matanya lantas saja terbayang peristiwa pada puluhan tahun berselang, waktu keluarganya dianiaya. Istrinya belum lama melahirkan dan bayi yang baru lahir itu tidak luput dari keganasan musuh.
Dalam otaknya berkelebat- kelebat peringatan-peringatan yang menyayat hati, kecintaan suami istri, kekejaman musuh, dibantingnya bayi yang baru lahir, usahanya untuk me nambah kepandaian, tapi kepandaian musuh bertambah lebih cepat, didapatinya To liong to dan kegagalannya untuk menembus rahasia golok mustika itu. Lama ia berdiri terpaku, sebentar bersenyum, sebentar mengertak gigi.
"Lelaki atau perempuan ?" mendadak terdengar
pertanyaan Cia Sun. "Lelaki." jawab Cui San.
"Apa arinya sudah digunting?" tanyanya pula.
"Benar! Aduh, kulupa!" jawab Cui San.
Cia Sun segera memutar pedang yang dicekalnya dan menyodorkan gagangnya kepada Cui San yang segera menyambuti dan memotong ari bayi itu. Sesaat itu ia terkesiap, karena barulah ia ingat bahwa si edan berada dekat sekali dengan mereka.
Tapi begitu melirik muka Cia Sun, ia merasa lebih lega, karena kekalapannya sudah menghilang dan paras mukanya terlukis perasaan menyayang.
"Berikan kepadaku," kata So So dengan suara lemah.
Sang suami segera mengangkat bayi itu dan menaruhnya kedalarn dukungan isterinya.
"Apa kau sudah masak air untuk memandikannya ?" tanya Cia Sun dengan suara perlahan.
Cui San tertawa. "Aku benar gila!" katanya. "Aku sudah melupakan segala apa." Seraya berkata, ia segera bertindak keluar untuk memasak air. Tapi baru satu dua tindakan, ia berhenti karena sangsi.
Cia Sun rupanya dapat menebak kekuatiran pemuda itu "Kau berdiam saja disini menemani isterimu,"
katanya. "Biar aku yang masak air."
Ia segera memasukkan To liong to kedalam sarung dan berjalan keluar sambil melompati lubang jebakan. Tak lama kemudian, ia sudah kembali dengan membawa sepaso air panas dan Cui San lalu memandikan bayinya.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Bagaimana macamnya bayi itu?" tanya Cia Sun.
"Seperti ibunya atau seperti ayahnya ?"
Cui San beriseyum "Lebih banyak menyerupai ibunya,"
jawabnya "Tidak gemuk, mukanya potongan kwaci"
Cia Sun menghela napas panjang. Sesudah termenung sejenak, ia berkata dengan suara perlahan: "Aku mendoakan, supaya sesudah besar ia jangan bernasib jelek. Aku mendoakan supaya ia banyak rezeki dan umur panjang, jauh dari segala penderitaan."
"Cia Cianpwee, apakah nasib anak ini kurang baik?" tanya So So.
"Bukan begitu," jawabnya, "Kudengar, anak itu menyerupai kau. Kalau benar, ia berparas terlampau ayu. Orang kata, orang yang terlalu ayu sering bernasib jelek sehingga aku kuatir, jika dihari kemudian anak ini masuk dalam dunia pergaulan, ia akan menemui banyak kesukaran."
"Cia Cianpwee, kau memikir terlalu jauh," kata Cui San sambil tertawa. "Kita berempat berada di pulau yang terpencil ini, sehingga mana dapat anak kami masuk kedalam dunia pergaulan ?"
"Tidak!" bentak So So. "Kita boleh tak usah kembali ke Tionggoan, tapi anak ini tidak dapat dibiarkan berdiam di sini terus menerus, seumur hidupnya. Sesudah kita bertiga mati, siapa yang akan meagawaninya" Sesudah dia dewasa, dimana ia harus mencari isteri ?"
Semenjak kecil In So So berada diantara orang-orang Peh bie kauw dan apa yang dilihatnya ialah perbuatan-perbuatan yang kejam sehingga sesudah besar, sifatnya jadi ganas sekali. Tapi sesudah bersuami isteri dengan Thio Cui San, sifat nya berubah dengan perlahan. Sekarang setelah menjadi ibu, rasa cinta yang wajar terhadap anaknya memenuhi lubuk hatinya dan ia rela berkorban demi kepentingan bayi yang baru lahir itu.
Mendengar perkataan sang isteri, Cui San berduka sekali. Dengan berada di pulau itu, yang terpisah laksaan li dari wiiayah Tionggoan, dan dengan tak memiliki alat pengangkutan, mana dapat mereka kembali kedalam dunia pergaulan" Tapi ia membungkam, karena kuatir isterinya putus harapan.
"Tak salah perkataan Thio Hujin." kata Cia Sun. "Bagi kita bertiga, tidak halangannya untuk berdiam disini seumur hidup. Tapi anak ini, tidak! Tak dapat kita membiarkan dia berdiam disini seumur hidupnya tanpa mencicipi kesenangan dunia. Thio Hujin, kita bertiga harus berusaha sedapat mungkin supaya anak itu bisa kembali ke Tiong goan."
Bukan main girangnya So So. Ia berusaha untuk bangun berdiri. Buru-buru Cui San mencekal lengannya seraya berkata: "So So, kau mau apa " Rebahan saja!"
"Ngoko," jawabnya, "Kita berdua harus berlutut di hadapan Cia Cianpwee guna menghaturkan terima kasih untuk kebaikannya terhadap anak kita."
Cia Sun menggoyang-goyangkan tangannya seraya mencegah: "Tak usah! Tak usah! Apa anak itu sudah di beri nama ?"
"Secara sembarangan kami sudah memilih satu nama, yaitu Liam Cu," jawab Cui San. "Cia Cianpwee seorang yang berpengetahuan tinggi, makaa bolehlah Cianpwee memilih lain nama yang lebih cocok untuknya!"
Cia Sun memikir sejetak. "Thio Liam Cu.. Thio Liam Cu.... " katanya. "Namanya itu sudah cukup baik. Tak usah diubah"
Tiba-tiba So-co mendapat satu pikiran. "Orang aneh itu kelihatannya menyayang sekali anakku,"
katanya di dalam hati "Paling benar aku memberikan anak ini sebagai anak pungutnya, supaya ia tidak turunkan tangan jahat kalau kalapnya datang lagi." Memikir begitu, it lantas saja berkata: "Cia Cianpwee, untuk kepentingan anak ini, aku akan mengajukan suatu permohonan kepadamu dan ku harap kau tidak menolaknya."
"Permohonan apa ?" tanyanya.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Aku ingin menyerahkan Liam Cu kepadamu untuk dijadikan anak angkat," jawabnya. "Biarlah kalau sudah besar, ia dapat merawat kau seperti ayahandanya sendiri. Dengan berada dibawah perlindunganmu seumur hidupnya ia tentu tak akan dihina orang. Ngoko, bagaimana pendapatmu?"
"Bagus!",kata Cui San. "Aku harap Cia Cianpwee tidak menolak permohonan kami berdua."
Paras muka Cia Sun mendadak berobah dan diliputi dengan sinar kedukaan yang sangat besar. "Anak kandungku sendiri telah dibanting orang sehingga jadi perkedel," katanya dengan suara perlahan. "Apa kau tidak lihat?"


Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

(Bersambung jilid 12) BU KIE Karya : CHING YUNG Terjemahan: Bu Beng Tjoe Jilid 12 Cui San dan Sa So saling melirik dengan perasaan berkuatir, karena perkataan itu seperti keluar dari mul"tnya seorang edan. Dalam kekuatiran merekapun merasa kasihan terhadap orang yang bernasib malang itu. Sesudah berdiam sejenak, Cia Sun berkata pula: "Kalau dia hidup, sekarang sudah berusia delapan belas tahun. Aku Cia Sun pasti akan turunkan semua baik ilmu surat maupun ilmu silat kepadanya. Huh huh! Dia belum tentu kalah dari Bu tong Cit hip atau Siauw lim Sam gie."
Kata-kata itu, yang kedengarannya angkuh, bernada sedih dan mengutarakan perasaan dari seorang yang hatinya sangat kesepian. Mendengar itu, Cui San dan So So turut berduka dan mereka merasa menyesal, bahwa karena terpaksa, kedua mata orang itu telah dibikin buta.
"Kalau dia masih dapat melihat, bukankah kita berempat bisa hidup senang di pulau ini ?" kata Cui San di dalam hati.
Untuk beberapa saat lamanya, ketiga orang itu tidak mengeluarkan sepatah kata. Akhirnya kesunyian dipecahkan oleh Cui San yang berkata dengan suara tetap: "Cia Cianpwee, kau terimalah anak ini. Kami akan menukar she nya jadi she Cia."
Mendadak, sehelai sinar terang berkelebat di muka Cia Sun yang suram. "Apa benar ?" tanyanya dengan suara kurang percaya. "Kau rela dia menukar she " Cia Liam Cu....Cia Liam Cu.... Namun itu cukup baik. Tapi anakku yang mati bernama Bu Kie."
"Kalau Cia ciapwee menghendaki, anak kami boleh dinamakan Bu Kie," kata Cui San.
Tak kepalang girangnya Cia Sun, tapi dalam kegirangan itu, ia merasa sangsi, kalau-kalau ke dua suami isteri itu sedang menipu dia. "Kalian memberikan anakmu kepadaku, tapi bagaimana kau sendiri ?"
tanyanya pula. "Tak perduli dia she Cia atau she Thio, kami berdua akan tetap menyintainya," kata Cui San. "Di belakang hari, ia harus mengunjuk kebaktian kepada Cianpwee dan kepada kami sendiri. Bukan kah itu baik sekali " So So, bagaimana pendapat mu?"
"Aku setuju apa yang dikatakan olehmu," jawab So So dengan suara agak bersangsi. "Makin banyak orang menyintainya, makin bagus untungnya anak itu."
Dengan air mata berlinang-linang Cia Sun menyoja sambil membungkuk. "Aku menghaturkan banyak-banyak terima kasih kepada kalian," kata nya dengan suara terharu. "Sakit hati membuta kan mata mulai sekarang sudah dihapuskan, Cia Sun kehilangan anak, tapi hari ini dia mendapat pula seorang anak.
Di hari kemudian, nama Cia Bu Kie akan menggetarkan dunia dan biarlah orang tahu, bahwa ayahnya adalah Thia Cui San, ibunya In So So, sedang ayah angkatnya adalah Kim mo Say ong Cia Sun"
Barusan So So agak bersangsi karena Cia Bu Kie yang tulen telah binasa seperti perkedel, sehingga ia kuatir nama itu kurang baik, untuk anak nya. Tapi melihat kegirangan Cia Sun yang begitu besar, ia merasa tak tega untuk mengutara kan kesangsiannya. Ia yakin, bahwa anak itu tentu akan sangat dicinta Cia Sun dan hal ini merupakan keberkahan untuk anak itu.
"Cia Cianpwee apa kau mau mendukungnya?" tanyanya sambil mengangsurkan anak itu.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Cia Sun menyambuti dan memeluknya dengan hati-hati. Mendadak, karena terlalu girang, kedua tangannya bergemetaran dan air matanya mengalir. "Kau...kau.. ambilah pulang,"katanya. "Melihat mukaku, dia bisa ketakutau setengah total."
"Jika masih senang, kau boleh mendukungnya terlebih lama," kata So So sambil bersenyum.
"Dikemudian, hari kaulah yang harus mengajak ia bermain-main." Sehabis berkata pegitu ia menyambuti anak itu.
, "Baik! Baik!" kata Cia Sun sambil tertawa debar.
Mendengar si bayi menangis keras ia ber kata pula: "Tetekkanlah. Dia ]apar. Aku mau keluar dulu."
Cui San dan So So bersenyum. Dengan matanya yang sudah buta, biarpun So So sedang menyusukan, ia sebenarnya boleh berdiam terus disitu. Tadi dalam kalapnya, ia begitu ganas. Tapi sekarang, ia begitu mengenal adat.
Sebelum ia bertindak keluar, Cui San sudah mendului: "Cia Canpweee...."
"Tidak! Sesudah kita jadi orang sendiri, kau tak dapat menggunakan istilah Cianpwee lagi," katanya.
"Apa kalian setuju jika kita sekarang mengangkat saudara" Tali kekeluargaan ini akan banyak baiknya untuk anak kita!"
"Cianpwee adalah seorang yang berusia banyak lebih tua dan berkepandaian banyak lebih tinggi, sehingga mana bisa kami berdua berdiri berendeng dengan Cianpwee?" kata Cui San.
"Fui!" bentak Cia Sun. "Kau adalah seorang dari Rimba Persilatan dan aku sungguh tak mengerti mengapa kau begitu, rewel " Ngotee, Su moay, apakah kau berdua bersedia untuk memanggil aku Toako (kakak paling tua) ?"
"Baiklah, biar aku yang lebih dulu memanggil Toako." kata So So. "Kalau dia tetap mau panggil kau Cianpwee, maka terhadap akupun, dia harus memanggil Cianpwee."
"Kalau begitu, biarlah siauwtee menurut perintah Toako," kata Cui San.
"Sesudah kita mencapai persetujuan, beberapa hari lagi, sesudah aku lebih kuat, barulah kita bersembahyang dan memberitahukan kepada Langit dan bumi, akan kemudian menjalankan peradatan mengangkat ayah dan mengikat tali persaudaraan," kata SoSo.
Cia Sun tertawa terbahak-bahak. "Satu laki laki tak akan menarik pulang perkataannya. Perlu apa bersembahyang kepada langit" Aku sudah membenci Langit !" Sehabis berkata begitu dengan tindakan lebar ia berjalan keluar. Beberapa saat kemudian, Cui San dan So So mendengar suara tertawanya yang panjang dan nyaring. Sedari bertemu, belum pernah mereka melihat dia begitu bergembira.
Demikianlah, dengan penuh perhatian, ketiga orang itu merawat dan memelihara Cia Bu Kie. Sebagai seorang yang bergelar Kim-mo Say ong, kepandaian Cia Sun dalam ilmu menangkap dan melatih binatang dapat dikatakan tidak bandingannya di dalam dunia. Cui San mengajak ia pergi keberbagai pelosok pulau itu dan sekali pergi, ia tidak melupakan lagi jalanan jalanannya.
Dalam pembagian pekerjaan, Cia Sun bertanggung jawab untuk menyediakan daging kepada keluarganya, menangkap menjangan atau memburu biruang.
Kadang-kadang sikera merah mengikut, tapi karena cara kera itu membinasakan biruang terlalu mudah, maka Cia Sun berbalik tidak merasa gembira. Semula ia masih suka mengajaknya untuk dijadikan penunjuk jalan, tapi sesudah mengenal jalanan, ia tidak mempermisikan lagi dia mengikut dan memerintahkannya berdiam untuk ber main-main dengan Bu Kie.
Beberapa tahun telah lewat dengan aman sentosa. Bayi itu bertubuh kuat, tidak pernah mengenal penyakit, dan dengan cepatnya sudah menjadi seorang anak yang mungil dan subur. Diantara ketiga orang tua itu, Cia Sun lah yang paling memanjakannya. Setiap kali Cui San atau So So mau nenghukumnya, karena ia terlalu nakal, Cia Sun selalu datang disama tengah dan menghalang halangi. Dengan demikian, saban-saban ayah dan ibu kandungnya bergusar, ia tentu lari ketempat sang ayah angkat untuk meminta pertolongan. Kedua orang tuanya hanya dapat menggeleng-geleng kan kepala dan menggerutu, bahwa anak itu terlalu dimanja oleh sang toako.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Waktu Bu Kie berusia empat tahun, So So lalu mulai mengajar ilmu surat kepadanya. Pada hari ulang tahunnya yang kelima, Cui San berkata: "toako, anak kita sudah boleh belajar silat. Mulai hari ini, kurasa kau sudah boleh mengajarnya. Apa Toako setuju?"
Sang kakak menggelengkan kepalanya. "Tak bisa," jawabnya. "Ilmu silatku terlampau dalam. Jika sekarang aku yang mengajarnya, ia tak mengerti. Sebaiknya, lebih dulu kau menurunkan ilmu Bu tong Sim hoat dan sesudah is berusia delapan tahun, barulah aku yang mengajarnya. Sesudah aku mengajar dua tahun, kamu sudah boleh pulang!
So So kaget dan heran. "Apa" pulang" Pulang ke Tionggoan?" menegasnya.
"Benar." jawabnya. "Selama beberapa tahun, sehari aku memperhatikan arah angin dan arus air. Aku mendapat kenyataan, bahwa saban tahun pada malam yang paling panjang, turunlah angin yang meniup keras terus menerus sampai beberapa puluh malam. Sebelum waktu itu tiba, kita dapat membuat sebuah getek yang besar, memasang layar dan jika Langit tidak mengacau, mungkin sekali kalian bisa ditiup angin sampai di Tionggoan."
"Kami?" tanya pula So So. "Apa kau tidak turut serta?"
"Mataku sudah tidak bisa melihat, perlu apa aku pulang ke Tionggoan?" jawabnya.
"Jika kau tidak ikut, kami pasti tak akan mempermisikan kau berdiam sendirian di pulau"
kata So So. "Anak kitapun tak akan mau mengerti, Ka1au bukan Gie hu (ayah angkat), siapa lagi yang bisa menyayangnya?"
Cia Sun menghela napas dan paras mukanya kelihatan berduka. "Aku sudah menyayangnya sepuluh tahun. cukuplah," katanya. "Langit selama nya mengacau penghidupanku. Jika anak kita berdampingan terlalu lama denganku, Langit mungkin akan menggusari dia dan dia bisa celaka."
Cui San dan So So bingung. Tapi sesaat kemudian, mereka manganggap, bahwa sang kakak bicara sembarangan saja dan hati mereka jadi lebih lega.
Mulai hari itu, Cui San mulai memberi pelajaran Lweekang kepada puteranya. Ia menganggap bahwa bagi anaknya yang masih begitu kecil, pelajaran Lweekang untuk menguatkan diri sudahlah cukup.
Disamping itu, dengan berdiam di pulau tersebut, anak itu sebenarnya tidak perlu memiliki ilmu silat, karena tidak ada kemungkinan untuk berkelahi. Mengenai kesempatan pulang ke Tionggoan tidak pernah disebut-sebut lagi oleh Cia Sun, sehingga Cui San dan So So menganggap, bahwa kakak mereka sudah berkata begitu secara sembarangan saja.
Waktu Bu Kie berusia delapan tahun, benar saja Cia Sun mengajukan untuk memberi pelajaran ilmu silat. Tapi ia mengadakan peraturan, bahwa waktu ia menurunkan pelajaran, baik Cui San maupun So So tidak boleh turut menyaksikan. Peraturan itu yang sudah lazim dalam Rimba Persilatan, tidak pernah dibantah oleh mereka. Mereka tahu, bahwa sang kakak akan memberi pelajaran yang sebaik baiknya kepada Bu Kie.
Sang tempo lewat dengan cepat dan tahu-tahu Bu Kie sudah menerima pelajaran setahun lebih dari ayah pungutnya. Semenjak terlahirnya anak itu, karena hatinya bahagia dan mempunyai tugas tertentu, Cia Sun tak pernah memperhatikan lagi To liong to. Pada suatu malam, karena tak dapat pulas. Cui San keluar dari guha dan jalan-jalan diseputar situ. Tiba-tiba ia lihat Cia Sun sedang bersila diatas satu batu besar sambil mencekal golok mustika dengan kepala menunduk.
Baru saja ia mau menyingkir diri, sang kakak yang sudah mendengar suara tindakannya sudah keburu berseru: "Ngotee, kurasa kata-kata Bu lim cu-coan, poto To liong hanya kata-kata kosong belaka."
Cui San menghampiri seraya berkata: "Di dalam Rimba Persilatan memang banyak sekali tersiar omongan-omongan yang tidak boleh dipercaya. Toako adalah seorang yang berpengetahuan tinggi, sehingga aku sesungguhnya tidak mengerti, mengapa kau percaya omongan itu?"
"Ngotee, aku bukan percaya secara serampangan saja," jawabnya. "Keterangan itu dapat dari Kong kian Taysu, seorang pendeta dari Siauw limpay."
"Ah!" Cui San mendadak mengeluarkan seruan tertahan. "Kong kian Taysu! Kudengar ia adalah Suheng (kakak seperguruan) dari Kong bun Taysu, Ciangbujin Siauw limpay. Ia sudah meninggal dunia lama sekali."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Benar," kata Cia Sun. "Akulah yang membinasakannya!"
Tak kepalang kagetnya Cui San. Dalam dunia Kangouw terdapat kata yang seperti berikut: "Siauw lim Seng ceng, Kian Bun Tie Seng," (Pendeta suci dari Siauw lim pay ialah Kian, Bun, Tie dan Seng). Kata-kata itu adalah untuk mengunjuk keempat Hweeshio lim sie, yaitu Kong kian, Kong bun, Koug tie dan Kong seng. Belakangan ia dengar dari gurunya, bahwa Kong kian telah meninggal dunia dan tak dinyana, sekarang ia mendapat tahu, bahwa pendeta suci itu telah dibinasakan oleh kakaknya.
Cia Sun telah menghela napas panjang dan paras mukanya berubah sedih. "Kong kian manusia tolol,"
katanya. "Ia membiarkan aku memukulnya tanpa membalas. Ia mati sesudah dipukul tigabelas kali"
Cui San jadi lebih kaget lagi. Seorang yang kuat menerima tigabelas pukulan Cia Sun, harus mempunyai kepandaian yang luar biasa tinggi.
Sementara itu, paras muka Cia Sun jadi semakin suram dan terdapat sinar kemenyesalan yang sangat dalam.
Cui San mengerti, bahwa dibalik kebinasaan Kong kian Taysu bersembunyi peristiwa yang sangat mendukakan. Ia yakin bahwa kebinasaan pendeta suci itu bukan kejadian yang biasa saja. Biarpun sudah delapan tahun mereka hidup bersama-sama di pulau itu sebagai saudara angkat, dalam rasa menghormat kepada kakak, dalam hati Cui San juga terdapat rasa jerih. Ia tidak berani menanya melit-melit, karena kuatir membangunkan peringatan tidak enak dari masa dahulu.
"Selama hdupku, orang yang dihargai olehku hanya beberapa gelintir saja," kata pula Cia Sun dengan suara perlahan. "Orang yang seperti guru mu, yaitu Thio Cinjin, aku hanya mendengar nama dan belum pernah bertemu dengan beliau. Kong kian Taysu sungguh seorang pendeta suci. Meskipun nama besarnya tidak begitu dikenal seperti adik adik seperguruannya, seperti Kong tie dan Kong seng, tapi menurut pendapatku, kepandaian kedua Taysu itu tak dapat menandingi Kong kian Taysu"
Semenjak bertemu dengan Cui San, Cia Sun selalu memandang rendah kepada semua pentolan pentolan dunia. Maka itu, Cui San heran tak kepalang ketika mendengar pujian terhadap Kong kian Taysu.
"Mungkin sekali karena orang tua itu selalu hidup menyembunyikan diri di dalam kelenteng, maka tak banyak orang mengenal kapandaiannya." kata Cui San.
Cia Sun tidak kedengaran menjawab. Ia bengong dan kedua matanya mengawasi ketempat jauh.
"Sayang!..... Sungguh sayang!....." katanya pada dari sendiri, "Manusia yang begitu luar biasa telah binasa dalam tanganku! Jika waktu itu ia membalas, aku Cia Sun tentu tak bisa hidup sampai sekarang,"
"Apakah Kepandaian pendeta itu lebih tinggi daripada Toako ?" tanya Cui San.
"Mana bisa aku dibandingkan dengan beliau ?" jawabnya. "Ilmu silat murid-muridnya juga lebih tinggi daripada aku." Ia mengeluarkan kata-kata itu dengan nada penyesalan yang tiada taranya.
Cui San jadi makin heran. Ia hampir tak percaya keterangan kakaknya. Gurunya sendiri, Thio Sam Hong, adalah salah seorang luar biasa pada jaman itu. Tapi ia yakin, bahwa Jika gurunya mesti bertanding dengan Cia Sun, paling banyak sang guru lebih unggul setengah tingkat. Jika Kong kian lebih unggul dari pada Cia Sun, bukankah gurunya sendiri tak akan dapat menandingi Kong kian" Tapi iapun mengenal kakaknya sebagai manusia yang sangat angkuh. Jika ia tak benar-benar merasa takluk, ia pasti tak akan membuat pengakuan itu.
Cia Sun rupanya dapat membaca apa yang dipikir oleh adiknya. "Baiklah. Panggil Bu Kie sekarang.
Katakan padanya, bahwa aku ingin menceritakan sebuah cerita dahulu."
Sejengkal Tanah Sepercik Darah 8 Pedang Kayu Cendana Karya Gan K H Pendekar Pedang Dari Bu Tong 21

Cari Blog Ini