Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong Bagian 9
Sementara itu, So So memikir dari yang lain. Disatu pihak ia mendongkol terhadap puteranya, tapi dilain pihak ia ingat, bahwa anak itu belum mengerti kejustaan dan rasa cintanya terhadap Cia Sun tak dapat diukur dalamnya. Maka itu, bahwa dia menangis dan membantah pernyataan orang tentang kematian ayah angkatnya adalah hal yang sangat dapat dimengerti. Memi kirbegitu, ia merasa menyesal sudah menggaploknya begitu keras dan lalu memeluk Bu Kie sambil mengusap-usap pipi sibocah.
"Ibu. Giehu tidak mati, bukan?" bisik Bu Kie dikuping ibunya.
"Tidak, tidak mati, aku hanya mempedayai mereka," jawab sang ibu "Mereka adalah orang orang jahat yang ingin mencelakakan Giehumu."
Bu Kie tersadar. Dengan mata gusar, ia me nyapu Jie Lian Cui dan semua orang yang berada disitu, Mulai hari itu, kedua kakinya menginjak dunia Kangouw dan mulai saat itu, ia mengerti akan kekejaman manusia.
Beberapa saat kemudian, orang-orang Khongtong dan Go bie masing-masing pihak berjumlah enam tujuh orang sudah masuk kegubuk perahu. Pemimpin rombongan Khong tong adalah Kat-ie Loojin, seorang tua yang bertubuh kurus kering, sedang kepala rombongan Go bie adalab seorang Niekouw (pendata wanita) setengah tua. Melihat Lie Thian Hoan dan kawan-kawannya, mereka kaget dan heran.
"Tong Samko! Ceng hie Su thay!" teriak See hoa cu. "Bu tong pay dan Peh bie kauw sudah bergandengan tangan. "Kali ini kita rugi besar."
Orang yang dipanggil "Tong Samko" adalah Kat-ie Loojin Tong Bu Liang, salah seorang dari Khong thong ngoo loo, sedang Ceng hie
Suthay ialah murid turunan keempat dari Go bie pay dan dalam Rimba Persilatan, pendeta wanita itu mempunyai nama yang cukup besar.
Mendengar teriakan See hoa cu, mereka tercengangang, Ceng hie Suthay yang berpikiran panjang dan mengenal adat See hoa cu tidak mau lantas percaya. tapi Tong Bun Liang lantas saja naik darahnya, "Jie Jie hiap, apakah benar begitu?" tanyanya dengan suara keras.
Sebelum Jie Lian Ciu keburu menjawab, See hoa cu sudah mendahului: "Bu tong pay dan Peh bie kauw sudah jadi cinkee (besan). Thio Cui San, Thio ngohiap, sudah menjadi menantu In Toakauwcu..."
"Thio Ngohiap yang sudah menghilang sepuluh tahun yang lalu?" tanya Tong Bun Liang dengan heran.
"Benar, itulah adikku Cui San," jawab Lian Ciu seraya menunjuk Ngohiap. "Ngotee, inilah Tong Bun Liang, Tong Samya, seorang Cianpwee dari Khong tong pay."
Bu Liang dan Cui San saling membungkuk dan mengucapkan kata-kata merendahkan diri.
See hoa cu yang sudah tak dapat menahan sabar lagi, lantas saja berkata pula: "Thio Ngo hiap dan In Kauwnio tahu tempat persembunyiannya Kim mo Say ong Cia Sun, tapi mereka menolak untuk memberitahukannya kepada kami. Mereka malah berdusta dan mengatakan, bahwa bangsat Cia Sun sudah mampus."
Begitu mendengar nama Kim mo Say ong Cia Sun, darah Tong Bun Liang meluap. "Dimana dia sekarang ?" tanyanya dengan suara keras,
"Dalam urusan ini, lebih dulu aku harus melaporkan kepada In su dan aku mohon maaf karena tak dapat segera memberitahukan kepada kalian." jawab Cui San.
Kedua mata Tong Bun Liang seolah-olah mengeluarkan api. "Dimana adanya bangsat Cia Sun?"
teriaknya. "Dia telah membinasakan keponakanku. Aku tak mau hidup bersama-sama dia dalam dunia.
Dimana dia" Katakan saja! Kau mau memberitahukan atau tidak?"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Perkataan-perkataan itu yang dikeluarkan tanpa sungkan-sungkan dan tanpa mengenal kesopanan sudah menggusarkan So So yang lantas saja
berkata dengan suara dingin : "Mengapa kau tidak menceritakan juga, bahwa dia sudah melukakan Kong tong Ngoolo dan merampas kitab Cit siang Kun?"
Dalam melukakan Ngoolo dan merampas kitab Cit siang kun, Cia Sun telah menggunakan nama Seng Kun. Hal yang sebenamya baru diketahui Khong tong pay pada kira-kira lima tahun berselang. Tapi, karena kejadian tersebut menodai nama partay maka orang-orang Khong tong pay selalu meenutupkan rapat. Bagaimana nyonya muda itu bisa tahu rahasia tersebut"
Paras muka Kat-ie Loojin lantas saja berubah pucat dan sambil mementang sepuluh jarinya, ia mengangkat kedua tangannya untuk menyerang. Tapi dilain detik, ia ingat, bahwa sebagai seorang tua, tak pantas ia turun tangan lebih dahulu terhadap seorang wanita muda yang kelihatannya begitu lemah lembut sehingga tangan yang sudah terangkat itu berhenti ditengah udara.
Sambil menahan amarah, ia berpaling kepada Cui San dan bertanya: "Siapa dia ?"
"Isteriku," jawabnya.
"Puterinya In Toakauwcu dari Peh bie kauw," menyelak See hoa cu.
Peh bie Eng ong In Thian Ceng memiliki ilmu silat yang tidak dapat diukur tingginya dan sehingga waktu itu, seorangpun belum pemah dapat melayaninya dalam sepuluh jurus. Mendengar, bahwa nyonya Cui San adalah puteri In Thian Ceng, Tong bun Liang lantas saja merasa keder dan berkata dengan suara terputus-putus : "Oh!... begitu"
Sesaat itu, Ceng hie Suthay yang sedang masuk kegubuk perahu belum pemah bicara, baru membuka mulut. "Sebaiknya kita minta Jie Jiehiap menerangkan seluk beluk kejadian ini," katanya.
"Urusan ini berbelit belit dan sudah menyeret banyak sekali orang," kata Lian Ciu. "Disamping itu, permusuhan sudah berjalan lama sekali, sudah kurang lebih sepuluh tahun, sehingga dapatlah dimengerti, jika kita tak akan dapat mengupasnya dalam tempo pendek. Begini saja, tiga bulan kemudian partai kami akan mengadakan perjamuan di Hong ho lauw dan mengundang wakil-wakil berbagai partai serta golongan. Dalam pertemuan itu, kita akan merundingkan persoalan ini sedalam-dalamnya. Bagaimana pendapat kalian ?"
"Aku setuju," jawab Ceng hie seraya mengangguk.
"Siapa benar, siapa salah, boleh dibicarakan tiga bulan lagi," kata Tong Bun Liang. "Tapi tempat sembunyinya Cia Sun harus diberitahukan sekarang juga."
Cui San menggelengkan kepala. "Sekarang tidak bisa," katanya dengan suara tetap. Tong Bun Liang gusar tak kepalang, tapi sebisa bisanya ia menahan sabar, karena ia mengerti bahwa jika Bu tong pay sampai bersatu padu dengan Peh bie kauw, akibat bakal hebat sekali. Maka itu, dengan muka merah padam, ia bangun berdiri dan mengangkat kedua tangannya: "Baiklah. Kita akan bertemu kembali tiga bulan kemudian."
"Tong Samya, bolehkah kami menumpang di perahumu ?" tanya See hoa cu.
"Mengapa tidak ?" jawabnya.
"Bagus! Sumoay, ayolah !" mengajak See hoa cu. Orang orang Kun loan datang ketempat pertempuran dengan menggunakan perahu Bu tong dan dengan sikapnya itu, terang terang See hoa cu sudah memandang Bu tong pay sebagai lawan.
Tapi Jie Lian Ciu tetap bersikap tenang. Dengan manis budi ia mengantar semua tamu kekepala perahu. "Sepulangnya kami ke Bu tong dan sesudah kami memberi laporan kepada Insu, kami akan segara mengirim surat undangan," katanya sambil membungkuk.
Baru saja See hoa cu mau menyebrang keperahu Khong tong, tiba-tiba So So berkata: "See hoa Tootiang, tahan dulu! Aku mau menanyakan serupa hal."
"Ada apa ?" tanya siberangasan sambil memutar tubuh.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Tootiang," kata pula si nyonya sambil bersenyum. "tak henti-hentinya kau mengatakan, bahwa agama kami agama menyeleweng, agama sesat. sedang aku sendiri perempuan siluman. Bolehkah aku tahu dimana sesatnya dan dimana sifat silumannya?"
Untuk sejenak See hoa cu tertegun. Sesudah menenteramkan hati, ia menjawab: "Agamamu bukan agama tulen, tapi menyeleweng dan tersesat dari jalan yang lurus. Kecantikanmu seperti kecantikan siluman rase yang jahat dan cabul. Itu jawabanku. Perlu apa kau rewel rewel. Kalau kau bukan siluman, bagaimana seorang laki laki sejati Thio Ngohiap bisa terpincuk ! Hu-hu !"
"Terima kasih untuk penjelasan itu," kata So So.
See hoa cu girang dan bangga, menganggap nyonya muda itu sudah dijatuhkan dengan kata katanya yang tajam. Sambil bersenyum, ia menindak kepapan untuk menyeberang keperahu Tong Bun Liang.
Perahu Bu tang dan Khong tong adalah perahu perahu besar dengan tiga layar sehingga walaupun berdempetan, jarak antara kedua perahu itu, yang dihubungkan dengan papan masih kira kira dua tombak.
Karena harus bicara dulu dengan So So, See hoa cu jadi ketinggalan dan sesudah semua orang berada di perahu Tong bun Liang, ia sendiri baru mulai menyeberang. Baru berjalan beberapa tindak, mendadak ia merasakan kesiuran angin luar biasa dibelakangnya. Meskipun berangasan dan pendek pikiran, ia berkepandaian tinggi dan berpengalaman luas. In tahu dirinya dibokong dan begitu memutar badan, tangannya sudah mencekal pedang.
Mendadak, mendadak saja, ia merasa kedua kakinya menjeblos kebawah. Papan penyeberangan putus jadi dua! Sebisa-bisanya ia berusaha untuk menolong diri, tapi karena jarak keperahu Khong tong masih agak jauh, maka tanpa ampun lagi ia tercebur kedalam air.
Sial sungguh, ia tidak bisa berenang, sehingga dalam sekejap, ia sudah minum beberapa ceguk air asin.
Selagi ia kebingungan dan memukul serta menendang air dengan tangan dan kaki,tiba-tiba melayanglah seutas tambang. Cepat cepat ia mencekalnya dan dilain saat, ia merasa badannya terangkat naik keatas permukaan air.
Ia menengadah dan melihat bahwa yang mengangkatnya adalah Thia Tancu yang paras muka nya seperti tertawa, tapi bukan tertawa.
Tak usah dikatakan lagi, itu semua kerjaan So So. Karena mendongkol, diam-diam ia memerintahkan Hong dan Thia Tancu "mengerjakan." si berangasan itu. Tigapuluh enam golok terbang dari Hong Tancu terkenal dalam kalangan Kang ouw. Golok itu yang tipis dan tajam luar biasa, jarang meleset dari sasarannya. Selagi So So bicara dengan See hoa cu, dengan sekali menimpuk, Hoag Tancon telah memotong papan itu dengan hui to nya dan meninggalkan sebagaian kecil supaya tidak lantas jatuh kedalan air dan baruakan patah jika diinjak.Thia Tancu sendiri siapa sedia deagan seutas tambang, tapi pertolongannya baru diberikan sesudah See hoa cu minum banyak air.
Wie Su Nio, Tong Bun Liang dan yang lain lain menyaksikan itu dengan mata membelalak, tapu mereka tidak dapat segera menolong, karena berada dalam jarak yang agak jauh.
See hoa cu merasa dadanya seperti mau meledak, tapi dalam keadaan tidak berdaya, sedapat dapatnya ia menahan amarah. Celaka sungguh, baru mengangkat kira kira satu kaki dari permukaan air, Thia Tancu berseru. "Toheng," katanya, "jangan kau bergerak. Tenagaku tidak cukup. Jika kau bergerak tambang ini bisa terlepas !"
See hoa cu bingung bukan main. Kalau dilepas, ia bisa celaka, atau sedikitnya bakal minum lebih banyak air asin.
Tiba tiba Thia Tancu berteriak: "Hati hati!" Dengan sekali menyentak, tubuh See hoa cu terayun kebelakang tujuh delapan kaki dan kemudian, ia melemparkan bandulan manusia itu keperahu seberang.
Begitu kedua kakinya hinggap diatas geladak perahu Khong tong, See hoa cu kalap bahna gusarnya.
Kegusarannya lebih meluap-luap, karena orang-orang Peh bie kauw dengan serentak bersorak-sorai.
Karena pedangnya sendiri sudah hilang di dalam air, bagaikan kilat ia menghunus pedang Wie Su Nio dan melompat kekepala perahu untuk menerjang musuh. Tapi, jarak antara kedua perahu itu sudah sangat jauh, sehingga apa yang dapat dibuatnya hanialah mencaci habis-habisan.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Semua perbuatan So So telah dilihat oleh Jie Lian Ciu, yang diam-diam mengakui, bahwa wanita itu benar mempunyai sifat-sifat yang sesat dan kurang tepat untuk menjadi pasangan adiknya. Maka itu, ia lantas saja berkata. "In Hio cu dan Lie Hio cu, kuharap kalian suka menghadapi pertemuan di Oey ho lauw pada tiga bulan kemudian. Sekarang kita berpisah saja. Ngotee, mari ikut aku pergi menemui Insu."
"Baiklah," kata Cui San dengan perasaan tidak enak.
So So mengerti, bahwa dengan berkata begitu. Lian Ciu berusaha untuk memisahkan diri dari sang suami. Dengan paras muka duka, ia mendongak mengawasi langit dan kemudian menunduk, memandang geladak perahu.
Cui San lantas saja mengerti maksud isterinya, yang ingin mengingatkan sumpahnya sendiri yaitu
"Langit diatas. Bumi dibawah, kita tak akan berpisahan lagi."
Maka itu, ia lantas saja berkata: "Jieko, aku ingin sekali mengajak teehumu dan anakku pergi menemui Insu lebih dulu dan sesudah mendapat perkenan beliau, barulah aku mengunjungi Gakhu (mertua).
Bagaimana pendapatmu?"
"Begitupun baik," jawab sang kakak sambil pengangguk.
So So girang. "Susiok", katanya kepada Lie Thian hoan, "aku mohon kau suka memberitahu kan Thia thia (ayah), bahwa anaknya yang tidak berbakti telah bisa pulang kebali, dan di dalam beberapa hari, kami akan pulang ke Cong to untuk menemui beliau."
"Baiklah." kata Lie Hiocu seraya manggutkan kepala. "Kami akan menunggu kalian di Cong to." Ia bangun berdiri dan berpamitan.
"Bagaimana dengan kakakku?" tanya So So sebelum Lie Thian hoan berlalu.
"Bagus, sangat bagus!" jawabnya. "Selama bebarapa tahun ini, ilmu silat kakakmu telah mendapat kemajuan luar biasa, sehingga aku sendiri sudah ketinggalan sangat jauh."
"Ah! Susiok selamanya suka guyon-guyon dengan anak anak." kata So So sambil tertawa.
"Tidak, aku tidak bicara main-main," kata sang paman dengan suara sungguh"sungguh. "Kemajuan kakakmu malah telah dipuji juga oleh ayahmu sendiri."
"Ah Susiok!" kata nyonya Cui San. "Janganlah memuji orang sendiri di hadapan orang luar. Aku kuatir Jie Jie hiap akan tertawa."
"Sesudah Thio Ngohiap menjadi Kouw-ya (menantu), apakah Jie Jie hiap masih dipandang sebagai orang luar" kata Lie Thian Hoan seraya tertawa dan kemudian, sesudah memberi hormat, bersama dengan kawannya, ia lalu meninggalkan perahu Bu tong. Mendengar tanya jawab itu, Lian Ciu merasa kurang senang, tapi ia hanya mengerutkan alis dan tidak mengatakan apa-apa.
Begitu lekas orang-orang Peh hie kauw berlalu, Cui San segera bertanya dengan tergesa-gesa : "Jieko, bagaimana dengan keadaan Samko " Apa..apa.. lukanya sudah sembuh"'
Lian Ciu menghela napas, ia tidak lantas menjawab pertanyaan adiknya.
Jantung Cui San berdebar keras. Dengan mata membelalak, ia mengawasi muka sang kakak.
"Samtee tidak mati," kata Lan Cui akhimya. "Tapi, hampir tiada beda dengan mati. Ia telah menjadi orang bercacad, kaki tangannya tidak dapat digerakkan lagi. Jie Thay Giam Jie Sam hiap..hm....dunia Kangouw tak akan melihatnya lagi."
Air mata Cui San lantas saja mengucur. " Apa kah sudah diketahui siapa yang mencelakakannya?"
tanyanya dengan suara parau.
Lian Ciu tidak meniawab. Mendadak ia mutar kepala dan sinar matanya yang seperti kilat menatap wajah So So. "In Kauwnio, apa kau tahu siapa yang melakukan Jie Samtee?" tanyanya dengan suara tajam .
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
So So menggelengkan kapala. "Kudengar Jie Samhiap kena pukulan Kim kong cie dari Siauw lim sie,"
jawabnya. "Benar! Tapi apa kau tahu siapa yang melakukan serangan itu?" tanya pula Lian Cu.
"Tidak, aku tak tahu," jawabnya.
Lian Ciu tidak mendesak lagi, tapi menengok kepada Cui San seraya berkata: "Ngotee, menurut Siauw lim pay kau telah membinasakan keluarga Liang boan Piauw kiok dan beberapa pendata. Siauw lim sie.
Apa benar?" Cui San tergugu dan menjawab dengan suara terputus-putus : "Ini... ini .."
"Kejadian itu tiada sangkut pautnya dengan dia ", menyelak So So. "Akulah yang sudah membunuh mereka."
Lian Ciu melirik nyonya muda itu dengan sorot mata gusar, tapi sejenak kemudian, paras mukanya udah berubah sabar kembali. "Aku memang tahu bahwa Ngo tee tak akan membunuh orang secara serampangan." katanya. "Semenjak kau menghilang antara partai kita dan Siauw lim pay telah terjadi sangketa. Kita mengatakan, bahwa mereka telah melukakan Samko, tapi mereka sebaliknya menuduh kau sebagai orang yang telah membunuh puluhan orang Siauw lim. Karena tak ada saksi, maka urusan itu sehingga sekarang masih belum bisa dibereskan. Untung juga Kong bun Tay-su Ciang bun jin dari Siauwlim pay, adalah seorang yang berpandangau jauh dan menghormati Insu. Dengan sekuat tenaga, ia sudah melarang murid-muridnya menimbulkan gelombang. Itulah sebabnya mengapa selama sepuluh tahun, Butong dan Siauw lim belum pernah terjadi bentrokan senjata."
"Diwaktu muda aku telah bertindak semberono dan sekarang aku merasa sangat menyesal" kata So So.
"Tapi apa mau dikata beras sudah menjadi nasi. Jalan satu satunya adalah menyangkal tuduhan mereka,"
Paras muka Lian Ciu lantas saja berubah. Ia sungguh tak mengerti, bagaimana adiknya yang begitu mulia bisa menikah dengan wanita sesat itu.
Dilain pihak, So So pun merasa kurang senang terhadap Lian Ciu, karena Jie-hiap ini bersikap dingin tapi juga terus memanggil dengan panggilan "In Kouwnio" (nona In) dan tidak menggunakan "teehu"
(isteri dari adik lelaki). Maka itu, ia lantas saja berkata dengan suara tawar: "Siapa yang berbuat, ia yang harus bertanggung-jawab,
urusan ini, aku pasti tak akan menyeret-nyeret pihak Bu tong pay. Suruh saja Siauw lim pay cari Peh bie kauw."
Lian Ciu jadi gusar dan berkata dengan suara nyaring: "Dalam kalangan Kangouw, yang paling diutamakan adalah keadilan. Jangankan Siauw lim pay sebuah partai besar, anak kecilpun tak boleh dihina dengan mengandalkan kekuatan."
Jika teguran pedas itu diberikan pada sepuluh tahun berselang, So So tentu sudah menghunus pedang.
Tapi sekarang, biarpun darahnya meluap, sebisa-bisa ia menahan napsu.
"Ajaran Jieko sedikitpun tak salah," kata Cui San seraya membungkuk.
"Aku tak kepingin dengar ajaranmu," kata So So di dalam hati dan sambil menarik tangan Bu Kie, ia bertindak keluar. "Bu Kie, mari kita meninjau perahu besar ini yang belum pemah dilihat olehmu,"
katanya. Sesudah isteri dan puteranya berlalu dari gubuk perahu, Cui San segera berkata dengan suara jengah.
"Jieko, selama sepuluh tahun ini, aku...."
"Ngotee," sang kakak memotong perkataannya sambil mengebas tangan. "Kecintaan antara kau dan aku adalah kecintaan darah daging. Dalam bahaya apapun juga, aku akan tetap berdiri didampingmu untuk hidup dsn mati bersama-sama. Urusan pernikahanmu, kau tak usah membicarakan dengaku.
Sesudah kemali di Bu tong, kau boleh melaporkan kepada Suhu, Jika Suhu gusar dan lalu menjatuhkan hukuman, kita beramai, Bu tong Cit hiap, akan berlutut di hadapan Suhu untuk memohon pengampunan.
Puteramu sudah begitu besar dan aku tidak percaya, bahwa Suhu akan cukup tega untuk memisahkan kau dengan anak isterimu."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Bukan main rasa girang dan terima kasihnya Cui San. "Terima kasih atas kecintaan Jieko," katanya dengan suara terharu.
Jie Lian Ciu adalah seorang yang diluarnya kelihatan menyeramkan dan keras, sedang di dalamnya, lembek dan mulia. Diantara Bu tong Cit hiap ialaj yang paling jarang berguyon, sehingga adik-adik seperguruannya lebih takut terhadapnya daripada terhadap Song Wan Kiauw. Tapi selain ditakuti, ia juga sangat dicintai, karena ia sangat mencintai saudara-saudara seperguruannya. Hilangnya Cui San mendukakan hatinya, sehingga hampir-hampir ia menjadi kalap. Pertemuan dengan si adik pada hari itu merupakan kejadian yang luar biasa menggirangkan, tapi ia tidak memperlihatkan kegirangannya itu pada paras mukanya dan malah sudah menegur So So dengan kata-kata keras.
Sesudah berada berduaan, barulah ia mengutarakan isi hatinya di hadapan si adik. Apa yang paling dikuatirkan olehnya adalah keselamatan So So yang sudah membunuh begitu banyak murid Siauw lim sie dan ia merasa, bahwa peristiwa itu tidak mudah dapat dibereskan dengan jalan damai. Tapi diam-diam ia sudah mengambil keputusan bahwa jika perlu, ia rela mengorbankan jiwanya sendiri, demi kepentingan dan keutuhan keluanga Su teenya.
"Jieko apakah bentrokan kita dengan Peb-bie kauw karena gara gara siauwtee?" tanya pula Cui San.
"Siauw tee sungguh merasa tidak enak."
"Bagaimana sebenamya kejadian dalam pertemuan Ong-poan-san ?" Lian Ciu balas menanya, tanpa menjawab pertanyaan siadik.
Cui San lantas saja menuturkan segala pengalamannya, cara bagaimana malam malam ia masuk kegedung Long bun Piauw kiok, bagaimana ia mengenal So So, bagaimana ia turut menghadiri pertemuan di Ong poan san, bagaimana Cia Sun membunuh orang, merampas To liong to dan akhirnya menawan ia dan So So. Sesudah mendengar penuturan itu, Lian Ciu lalu meminta penjelasan mengenai nasib Ko Cek Sang dan Chio Tauw. Sesudah segala apa jelas baginya, ia menghela napas seraya berkata:
"Jika kau tidak pulang, entah sampai kapan rahasia ini baru bisa diketahui."
"Benar," kata Cui San, "Saudara angkatku .....hmm. Pada hakekatnya, Cia Sun sebenarnya bukan manusia jahat. Ia telah melakukan
banyak kedosaan sebab mengalami pengalaman hebat dan mendendam sakit hati yang hebat pula. Pada akhimya, aku telah mengangkat saudara dengan ia."
Lian Ciu hanya manggut manggutkan kepalanya.
"Dengan teriakannya yang maha dahsyat, Gie heng (saudara angkat) telah merusak urat syaraf semua orang yang berada di pulau itu." kata pula Cui San. "Ia mengatakan, bahwa andaikata orang orang itu tidak menjadi mati, mereka akan kehilangan ingatan dan dengan begitu, barulah rahasia To liong to tidak sampai menjadi bocor."
"Didengar dari penuturanmu, biarpun sangat kejam, Cia Sun adalah manusia luar biasa," kata Lian Ciu. "Sepak terjangnya sangat hati-hati, tapi ia masih terpeleset dan melupakan satu orang."
"Siapa?" tanya Cui San.
"Pek Kwie Sioe," jawabnya.
"Ah! Tancu dari Hian bu tan," kata Cui San dengan kaget.
Lian Ciu mengangguk. "Menurut keteranganmu, diantara jago-jago yang berkumpul di pulau Ong poan san pada hari itu, Pek Kwie Sioe-lah yang memiliki Lweekang yang tinggi," katanya. "Karena diserang dengan semburan arak oleh Cia Sun, ia telah jatuh pingsan. Jika ia tidak berada dalam keadaan pingsan, mungkin sekali ia tak dapat mempertahankan diri pada waktu Cia Sun mengeluarkan teriakannya yang dahsyat itu."
"Benar!" Cui San memotong perkataan Su hengnya sambil menepuk lutut. "Waktu itu memang Pek Kwie Sioe belum tersadar, sehingga oleh karenanya ia tak mendengar teriakan Gie heng dan secara kebetulan berhasil menyelamatkan dirinya. Benar! Gieheng seorang yang berpikiran panjang, tapi ia tidak bisa berpikir sampai di situ."
Lian Ciu menghela napas, "Yang masih hidup hanya Pek Kwie Sioe dan kedua murid Kun lun pay itu," katanya pula, "Sebagaimana kau
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
tau Lweekang Kun lun pay sangat luar biasa dan walaupun tenaga dalamnya masih belum cukup tinggi, Ko Cek Sang dan Chio tauw bisa terlolos juga dari kebinasaan. Tapi mereka hilang ingatan, seperti orang menderita penyakit urat syaraf. Setiap kali ditanya, siapa yang mencelakakan mereka, mereka hanya menggeteng-gelengkah kepala, Ko Cok Sang hanya menyebutkan nama seorang, yaitu nama 'In So So'...Hmmm".
Ia berhenti sejenak dan kemudian berkata lagi . "Sekarang baru aku mengerti, bahwa si orang she Ko menyebut-nyebut nama Teehu, karena ia tidak dapat melupakan kecantikan Teehu. ..hm. Jika dilain kali See hoa cu mengeluarkan kata-kata yang kurang ajar, entah bagaimana aku harus menjawabnya.
Pihaknya sendiri yang tidak benar, tapi dia masih mau menialahkan orang."
"Jika Pak Kwie Sioe tidak kurang suatu apa, dia tahu dari seluk beluk dari segala kejadian di Ong poan san," kata Cui San.
"Tapi dia tetap menutup mulut," kata Lian Ciu. "Apa kau bisa menebak sebab musababnya?"
Siadik memikir sejenak. "Ya." jawabnya, sesaat kemudian. "Mereka menutup mutut karena masih mengharap bisa merampas To liong to "
"Benar," kata Lian Ciu. "Permusuhan dalam Rimba Persilatan berpangkal disitu. Kun loan pay menuduh, bahwa In So So mencelakakan Ko Cek Seng dan Chio Tauw, sedang pihak kita menganggap kau sudah dibunuh oleh orang orang Peh bie kauw"
"Apakah hadirnya Siauwtee di pulau itu telah diberitahukan oleh Pek Kwie Sioe ?" tanya Cui San.
"Bukan," jawabnya. "Pek Kwie Sioe membungkam tidak sepatah kata keluar dari mulutnya. Bersama Sie tee dan Cit tee, aku telah membuat penyelidikan di pulau itu. Kami tahu kehadiranmu, sebab melihat duapuluh empat huruf yang di tulis olehmu ditembok batu dengan menggunakan Tiat pit. Kami, segera mencari Pek Kwie Sioe dan menanyakan tentang dirimu. Karena jawabannya kurang ajar, kita bertempur dan dia kena satu pukulanku. Tak lama kemudian orang orang Kun lun pay minta keterangan dari Peh bie kauw dan berbuntut dengan pertempuran. Malam pertempuran itu, Kun lun pay menderita kerugian dua orang dipihaknya binasa dan permusuhan menghebat. Srlama sepuluh tahun, dendaman sakit hati ini jadi makin mendalam."
Cui San sangat berduka. "Karena gara gara siauwtee suami isteri, berbagai partai menemui bencana "
katanya. "Siauwtee sungguh merasa sungguh sangat tak enak. Sesudah memberi laporan kepada Insu, siauwtee akan mengunjungi berbagai partai untuk coba mendamaikan dan siauw tee rela menerima hukuman apapun jua."
Lian Ciu menghela napas. "Dalam urusan orang ridak dapat menialahkan kau," katanya. "Jika hanya karena persoalan kau berdua suami istri yang terseret dalam permusuhan, paling banyak hanya Kun loan, Bu tong dan Peh bie kauw, Tapi, dalam keinginannya untuk merampas To liong to, Peh bie kauw tidak pernah menyebut nyebut nama Cia Sun, sehingga dengan begitu, Kie keng pang, Hay see pay dan Sin kun boon sudah menumplek kedosaan diatas kepala Peh bie kauw. Mereka menganggap, bahwa orang orang Peh Bie kauwlah yang sudah membinasakan pemimpin-pemimpin mereka. Itulah sebabnya, mengapa Peh bie kauw sudah dikeroyok oleh begitu banyak partai dan golongan"
Cui San menggoyang-goyangkan kepalanya. "Aku sungguh-sungguh tidak mengerti apa kebaikannya To liong to, sehingga Gakhu (mertua lelaki) rela menerima segala tuduhan yang tidak-tidak itu," katanya.
"Aku sendiri belum pernah bertemu muka dengan mertuamu," kata Lian Ciu. "Tapi kepandaiannya dalam memimpin orang-orangnya untuk melawan begitu banyak musuh, sangat dikagumi oleh semua orang."
"Jieko, ada hal lain yang tidak dimengerti olehku," kate pula Cui San. "Go bie dan Khong tong tidak turut hadir dalam pertemuan di Ong Poan San, mengapa mereks juga bermusuhan dengan Peb bie kauw?"
"Sebab musababnya berpangkal pada Giehengmu, Cia Sun, " jawabnya. "Dalam usahanya untuk mendapatkan To liong to Peh bie kauw tetah mengirim perahu-parahu Cia Sun diberbagai pulau. Kau harus mengetahui bahwa rahasia tak mungkin ditutup selama-lamanya. Meskipun Pek Kwie Sioe tetap membungkam, lama-lama rahasia itu bocor juga. Dangan menggunakan name Hun-Goan Pek lek chioe Seng Kun, Gie-hengmu telah melakukan lebih dari tiga puluh pembunuhan yang menggemparkan.
Banyak jago dari berbagai partai yang binasa ditangannya. Apa kau tahu kejadian ini?"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Cui San manggutkan kepala. "Kalau begitu, orang akhirnya tahu, bahwa itu semua telah dilakukan olehnya," katanya dengan suara perlahan.
"Setiap kali membunuh orang, diatas tembok ia menulis huruf-huruf besar yang berbunyi:Yang membunuh ialah Hun goan Pek-lek-chioe Seng Kun," Lian Ciu melanjutkan penuturannya.
"Kejadian kejadian itu sedemikian hebatnya, sehingga aku dan lain-lain saudara pernah menerima perintah insu untuk turun gunung guna bantu menyelidiki. Semula, tak satu manusiapun yang dapat menebak siapa penjahatnya, sedang Seng Kun sendiri tak pernah muncul. Tapi, sesudah rahasia Pak bie kauw bocor, orang-orang pandai berbagai partai lantas saja bercuriga dan mulai menebak-nebak. Cia Sun adalah murid tunggal dari Hun-goan Pek lek Chie. Orang juga tahu meskipun tak tahu sebab sebabnya bahwa, belakangan Cia Sun bermusuhan hebat dengan gurunya. Maka itu, orang lantas saja menduga bahwa yang menggunakan nama Seng Kun adalah Cia Sun."
"Jumlah manusia yang dibunuh Cia Sun sudah terlalu besar dan jumlah partai yang punya dendam sudah terlalu banyak. Bahkan seorang yang berkedudukannya paling tinggi dalam Siauw lim-pay, yaitu Kong kianTaysu, juga binasa dalam tangannya . Coba kau menaksir-naksir berapa jumlah orang yang ingin membalas sakit hati terhadapnya"
Paras muka Cui San berubah. pucat sekali, "Ya... Gie heng telah kembali kejalan lurus, tapi kedua tangannya berlumuran terlalu banyak darah." katanya dengan suara parau. "Jieko .. Pikiranku terlalu kusut dan aku tidak dapat memikir lagi."
"Dengan demikian semua orang mengeroyok Peh bie kauw," kata pula Lian Cu. "Karena kau, aku dan saudara-saudara mencari Peh bie kauw, karena Ko Cek Seng dan Chio Tauw, Kun loan pay mencari Peh bie kauw, karena kebinasaan pemimpinnya. Kie keng pang mencari Peh bie kauw. Siauw lim pay dan lain-lain golongan mencari Peh bie kauw sebab mau menanyakan dimana tempat sembunyinya Cia Sun.
Selama beberapa tahun sudah terjadi lima kali pertempuran besar dan jumlah pertempuran kecil tak dapat dihitung lagi. Dalam pertempuran-pertempuran besar, pihak Peh bie kauw selalu jatuh dibawah angin.
Akan tetapi, dengan kecerdikannya, Gak humu selalu dapat menolong rombongannya, sehingga tidak sampai menjadi hancur. Mau tidak mau semua orang orang mengakui, bahwa dia benar benar manusia luar biasa. Selama persoalan belum jelas dan masih banyak hal yang meragukan, Siauw lim, Kun lun, bu tong dan lain-lain pengurus tidak mau bertindak keterlaluan. Tapi golongan-golongan Kang ouw yang lainnya tidak sungkan-sungkan lagi. Kali ini, kami mendapat warta bahwa Hiocu dari Thian sie tong telah berlayar dengan sebuah perahu besar. Kami lantas saja menguntip. Lie Hiocu gusar dan pertempuran lantas saja terjadi. Jika kau tidak keburu datang, jumlah korban pasti akan lebih besar"
Bukan main rasa menyesalnya Cui San. Dengan sorot mata duka ia mengawasi kakak seperguruannya yang kelihatannya banyak lebih tua daripada sepulah tahun berselang. "Jieko selama sepuluh tahun, kau sungguh menderita..." katanya dengan suara berbisik. "Sesudah bisa bertemu lagi dengan kau, matipun aku rela...aku..."
"Ngotee, tak usah kau terlalu sedih," memotong kakak. "Berkumpulnya kembali Bu tong Cit hiap adalah kejadian yang sangat menggembirakan. Semenjak Samtee terluka dan kau menghilang, orang-orang Kangouw mengubah panggilan menjadi Bu tong Ngo Hiap. Huh huh! Hari ini Cit Hiap berkumpul kembali....." Ia tak dapat meneruskan perkataannya, sebab mendadak ia ingat, bahwa biarpun Cit hiap masih lengkap tujuh orang, tapi sebenarnya tidak begitu, karena Jie Thay Giam sudah tak dapat menunaikan lagi tugasnya sebagai seorang pendekar.
Sesudah berlayar belasan hari, mereka tiba dimulut Sungai Tiang kang. Mereka segera menukar perahu yang lebih kecil dan meneruskan perjalanan disungai itu. Cui San dan So So sudah menukar pakaian yang pantas dan mereka sungguh merupakan pasangan yang setimpal yang satu tampan, yang lain cantik. Bu Kie pun mengenakan baju baru dan sebagian rambutnya dibuat menjadi dua kuncir yang diikat dengan sutera merah.
Dengan parasnya yang tampan, kegesitan dan kecerdasannya, ia sungguh seorang bocah yang menarik.
Dalam sibuknya mempelajari ilmu silat, Lian Ciu tidak menikah dan ia sekarang menumplek kasih sayangnya kepada putera Suteenya itu. Bu Kie yang pintar mengetahui, bahwa Supeh yang parasnya menyeramkan itu sangat mencintai nya, sehingga, saban-saban Lian Ciu mempunyai waktu luang, ia selalu mendekati sang paman untuk menanyakan ini dan itu. Sebagai anak yang bisa bidup di pulau terpencil, pengalaman bocah itu sangat terbatas sekali banyaknya, sehingga hampir segala apa yang dilihatnya merupakan suatu yang baru baginya. Lian Cioc tidak pemah merasa bosan untuk menjawab
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
penjelasan penjelasan yang seperlunya. Sering-sering dengan mendukung Bu Kie, ia berdiri di kepala perahu untuk menikmati pemandangan alam bersama sama keponakannya itu.
Hari itu, perahu tiba dikaki gunung Teng koan san, daerah Tong leng dalam propinsi An hui. Diwaktu magrib, perahu itu berlabuh didekat sebuah kota kecil dan juragan perahu mendarat untuk membeli daging dan arak. Cui San suami isteri dan Jie Lian Ciu beromong-omong digubuk perahu sambil minum teh, sedang Boa Kie main-main sendirian di kepala perahu.
Didarat, duduk didekat perahu itu, kelihatan seorang pengemis tua yang lehemya dilibat seckor ular hijau, sedang kedua tangannya bermain-main dengan seekor ular besar yang badannya hitam dengan titik putih.
Karena belum pemah melihat ular, Bu Kie menonton permainan sipengemis dengan mata membelalak.
Melihat si bocah, pengemis itu mengangguk sambil tertawa-tawa. Tiba-tiba sekali ia mengebas tangan, ular hitam itu melesat keatas, jungkir batik ditengah udara beberapa kali dan kemudian jatuh didadanya.
Boo Kie heran bukan main dan terus mengawasi dengan mata tidak berkedip. Sipengemis tertawa dan menggapai-gapai sebagai undangan.
Tanpa memikir panjang Bu Kie segera melompat kedarat dan mendekatinya, Pengemis itu mengambit sebuah kantong kain yang menggemblok dipunggungnya dan sambil membuka mulut kantong, Ia berkata seraya berkata: "Di dalam kantong ini terdapat serupa benda yang lebih menarik. Coba kau lihat."
"Benda apa?" tanya Bu Kie.
"Sangat menarik, kau lihat saja sendiri," jawabnya.
Bu Kie membungkuk dan mengawasi kedalam kantong itu, tapi ia tak dapat melihat apapun just. Ia maju setindak lagi untuk melihat dengan lebih jelas. Mendadak, bagaikan kilat, kedua tangan si pengemis bergerak, menungkup kepala Bu Kie. Bocah itu hanya dapat mengeluarkan teriakan di tenggorokan, karena mulutnya sudah dibekap dan badannya diangkat keatas.
Teriakan Bu Kie memang sangat lemah. Tapi Lian Ciu dan suami isteri Cui San adalah ahli kelas satu yang kupingnya tajam luar biasa.
Seketika itu mereka tahu, bahwa telah terjadi sesuatu yang tidak baik. Dengan serentak mereka berlari lari kekepala perahu dan melihat Bu Kie yang sudah menjadi tawanan si pengemis. Baru saja mereka mau melompat kedarat, pengemis itu sudah membentak: "Jangan bergerak! Kalau kau masih sayang akan jiwa anak ini, jangan bergerak!"
Seraya mengancam, ia merobek baju Bu Kie dibagian pinggang dan mengangsurkan mulut ular hitam itu kedekat kulit punggung si bocah.
Melihat begitu, bukan main bingung dan gusarnya So So. Tanpa memikir lagi tangannya bergerak untuk melepaskan jarum emas.
"Jangan!" bentak Lian Ciu dengin suara perlahan. Ia sudah mengenali, bahwa ular hitam itu adalah salah satu dari delapan belas macam ular paling berbisa di dalam dunia. Ular tersebut yang mengambil kedudukan kesebelas, diberi nama Cit lie seng. Makin hitam warnanya dan makin halus titik-titik putihnya, makin hebat bisanya. Ular sipengemis itu, yang hitamnya mengkilap dan titik putihnya bersinar terang, kelihatan membuka mulutnya yang besar, dalam mana terdapat empat batang caling, siap sedia untuk memagut punggung Bu Kie yang putih bersih.
Sekali dipagut, bocah itu pasti akan segera binasa. Andaikata pengemis itu bisa lantas dibinasakan dan obat pemunah bisa lantas didapatkan, masih belum tentu jiwa Bu Kia keburu ditolong dengan obat itu.
Itulah sebabnya, mengapa Lian Ciu mencegah niatan So So Dengan paras muka tidak berubah, ia bertanya: "Sebab apa tuan menawan anak itu ?"
"Sebelum aku menjawab, kau lebih dulu harus menolak perahumu sampai kira-kira delapan tombak dari tepi sungai," kata sipengemis.
Lian Ciu mengerti, bahwa sesudah perahu terpisah jauh dari tepian, Bu Kie makin sukar ditolong. Tapi karena anak itu menghadapi bencana, ia tidak dapat berbuat lain daripada menurut. Ia lalu menjemput rantai sauh dan sekali menyentak, sauhnya yang beratnya kira-kira lima puluh kati sudah melompat keluar dari permukaan air.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Melihat Lweekang Jie Jiehiap yang sangat tinggi itu, paras muka si tua agak berubah.
Dengan jantung berdebar keras, Cui San mengambil gala dan menotol tanah, sehingga perahu itu lantas saja bergerak ketengah sungai.
"Lebih jauh sedikit ?" teriak pengemis itu.
"Apa belum delapan tombak ?" tanya Cui San dengan mendongkol.
"Waktu mengangkat sauh Jie Jiehiap telah memperlihatkan Lweekang yang begitu tinggi," kata si tua sambil tertawa "Maka itu, biarpun sudah terpisah delapan tombak, aku yang rendah masih sangat kuatir,"
Apa boleh buat, Cui San mendorong pula sejauh beberapa tombak.
"Apakah aku boleh mendapat tahu she dan nama tuan yang mulia ." tanya Lian Ciu sambil menyoja.
"Aku yang rendah hanialah seorang perajurit yang tidak masuk hitungan dalam Kay pang (Partai pengemis), sehingga namaku hanya akan mengotor kuping Jie Jiehiap," jawabnya.
Melihat pengemis itu menggendong enam buah karung, Lian Ciu merasa heran, sebab seorang pengemis yang membawa karung sebanyak itu mempunyai kedudukan yang cukup tinggi. Disamping itu.
sepanjang pengetahuannya, Kay pang adalah sebuah partai yang selalu melakukan perbuatan perbuatan mulia, sedang Pangcu dari partai itu adalah sahabat karib dari Toa seekonya, Song Wan Kiauw.
Selagi ia berpikir, tiba tiba So So berkata: "Apakah, Bu san pang dari Su coan timur sudah dipersatukan dengan Kay pang" Kalau tidak salah, dalam partai pengemis tidak terdapat orang yang seperti tuan."
Si tua mengeluatkan seruan tertahan, bahna kagetnya. Sebelum ia menjawab, So So sudah berkata pula
: "Ho Loosam, kau jangan main gila. Jika kau mengganggu selembar rambut anakku, aku akan mencincang tubuh Bwee Ciok Kian !"
Pengemis itu kaget tak kepalang, sehingga paras mukanya berubah pucat. Sesaat kemudian, sesudah dapat menenteramkan hatinya, ia berkata: "In Koawnio mempunyai mata yang sangat tajam dan dapat mengenali Ho Loosam, Atas perintah Bwee Pangcu, aku datang kemari untuk menyambut Kongcu."
"Singkirkan ular itu !" bentak So So dengan gusar. "Hu hu! Gerombolan Bu san pang yang tiada artinya berani menyentuh kepala Peh bie kauw!"
"In Kouwnio, kau salah," bantah Ho Loosam "Sedikitpun kami tidak mempunyai niatan untuk melanggar keangkeran Peh bie kauw. Asal saja In Kouwnio sudi menjawab pertanyaanku, bukan saja aku akan segera mengembalikan Kongcu, tapi Bwee Pangsu sendiripun akan datang berkunjung untuk meminta maaf."
"Pertanyaan apa ?" tanya So So.
"In Kouwnio sendiri mungkin sudah mendengar, bahwa putera satu satunya dari Bwee Pangcu telah binasa di dalam tangan Cia Sun." jawab nya. "Bwee Pangcu memohon supaya Thio Ngo hiap dan In Kouwnio .... aku salah ... supaya Thio Ngo Hiap dan Thio Hujin sudi menaruh belas kasihan dengan memberitahukan tempat bersembunyinya Cia Sun. Untuk budi yang sangat besar itu, seluruh partai akan merasa sangat berterima kasih."
So So mengerutkan alis. "Kami tak tahu " katanya.
"Kalau begitu, kami memohon supaya kalian suka mendengar dengarkan dimana adanya Cia Sun, sedang dipihak kami, kami akan merawat Kongcu baik baik" kata pula sipengamis. "Nanti sesudah kalian mendapat tahu tempat sembunyinya Cia Sun. Bwee Pangcu sendiri akan mengembalikan Kongcu."
Melihat caling ular hanya terpisah beberapa dim dari punggung puteranya, hati So So berdebar debar.
Jika ia dapat mengambil keputusan sendiri, ia tentu akan segera membuka rahasia. Ia menengok dan mengawasi muka suaminya. Sesudah menjadi suami isteri sepuluh tahun, is mengenal adat sang suami yang keras dan mulia. Ia tahu, bahwa apapun jua yang akan terjadi Cui San pasti tidak akan menghianati Cia Sun. Ia mengerti, bahwa jika ia membuka rahasia dan Cia Sun binasa oleh karenanya, perhubungan
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
mereka sebagai suami isteri sudah pasti tak bisa dipertahankan lagi. Maka itulah melihat paras muka Cui San yang menyeramkan, ia terpaksa menutup mulut.
"Baiklah, kau boleh menawan anakku," kata Thio Ngohiap dengan suara nyaring. "Seorang laki-laki tak akan menjual sahabat. Ho Loosam, kau terlalu memandang rendah kepada Bu tong Cit hiap."
Si pengemis terkejut, itulah jawaban yang tidak diduga-duga. Semula ia menaksir, bahwa begitu cepat Bu Kie tertawan, Cui San dan So So pasti akan memberitahukan tempat sembunyinya Cia Sun. Dengan rasa kagum, sambil berpaling kearah Lian Ciu, ia berkata: "Jie Jiehiap, Cia Sun adalah manusia berdosa yang kedosaannya bertumpuk tumpuk bagaikan gunung. Bu tong pay selalu mengutamakan keadilan dan pendirian yang sangat dihormati dalam Rimba Persilatan. Aku mengharap Jiehiap suka membujuk Ngohiap"
"Mengenai urusan ini, aku dan Ngotee sekarang justeru ingin pulang ke Bu tong untuk melaporkannya kepada Insu dan meminta keputusannya," kata Lian Ciu, "Tiga bulan kemudian, kami akan mengadakan pertemuan di Hong ho lauw. Aku harap Bwee Pangcu dan tuan juga suka menghadiri pertemuan itu, supaya kita beramai bisa berunding untuk mendapatkan suatu penyelesaian yang memuaskan. Sekarang aku minta kau suka melepaskan anak itu."
Lian Ciu bicara dengan suara perlahan dari jarak belasan tombak. Tapi setiap perkataannya dapat didengar jelas oleh Ho I.oosam yang jadi kagum bukan main. "Bu tong Cit hiap yang namanya mengetarkan seluruh negeri sunguh-sungguh bukan nama kosong." katanya di dalam hati. "Kali ini aku sudah menanam bibit permusuhan bagi Bu san pang. Tapi, biar bagaimanapun juga, sakit hati Bwee Pangcu tidak bisa tidak dibalas."
Ia merangkap kedua tangannya seraya berkata: "Kalau begitu, aku memohon beribu maaf dari kalian.
Tidak ada jalan lain dari pada aku mengajak Thio Kongcu pulang ke Tongcoa."
Karena Ho Loosam merangkap kedua tangannya, maka mulut ular yang dicekal dengan salah satu tangannya jadi tepisah agak jauh dari pungung Bu Kie. Biarpun kepalanya berada di dalam karung, bocah itu telah mendengar jelas semua pembicaraan. Begitu lekas ia merasa tangan sipengemis terlepas dari dirinya, bagaikan kilat ia menepuk jalanan darah Leng tay hiat, dipunggung Ho Loosam, dan dengan berbareng, ia menendang seraya melompat. Karena kuatir musuh melepaskan ular, tanpa membuka karung yang masih menutup kepalanya, ia meloncat beberapa kali deagan sekuat tanaga.
Sesudah kabur belasan tombak, barulah ia mencabut karung dari kepalanya. Ia heran sebab melihat pengemis tua itu rebah ditanah tanpa bergerak.
Sementara itu, cepat-cepat Cui San menolak perahunya ketepi sungai dan kemudian, bersama isterinya dan kakaknya, ia melompat kedaratan. Bagaikan terbang So So berlari-lari kearah puteranya, yang lalu dipeluk dengan rasa girang yang meluap-luap.
Cui San sendiri segera menghunus pedang dan membunuh kedua ular berbisa itu.
Sesudah itu, barulah ia membungkuk dan memeriksa keadaan Ho Loosam yang mulutnya terus mengeluarkan darah dan kelihatannya sedang menderita kesakitan hebat,
"Ngotee," kata Lian Ciu dengan perasaan heran, "apa mungkin tepukan Bu Kie yang begitu enteng bisa mengakibatkan luka yang begitu berat ?" Ia mengangsurkan tangan dan coba mengangkat lengan kiri situa, tapi lengan itu kaku, seperti orang yang tertotok jalanan darahnya. Melihat begitu, ia segera mengurut jalanan darah Tau tiong hiat, dibagian dada, dan Toa twie hiat, dibelakang leher Ho Loosam.
Diluar dugaan, begitu diurut, sipengemis mengeluarkan teriakan menyayat hati. "Aduh! Mau bunuh, lekas bunuh .... Jangan kau ... menyiksa!" Ia sesambat. Seluruh tubuhnya menggigil dan giginya bercetukan.
Lian Ciu kaget tak kepalang, karena dengan urutan itu, ia bermaksud untuk menolong. Tan tiong hiat ialah pusat, atau sumber dari hawa tubuh manusia, sedang Toa twie hiat adalah tempat berkumpulnya jalanan darah besar dibagian kaki tangan manusia. Maka itu, jika kedua jalanan darah sudah mengalir baik, lain lain jalanan darah yang tertutup akan terbuka kembali.
Tapi diluar dugaan, akibatnya justeru sebaliknya. Melihat Ho Loosam menderita kesakitan yang begitu hebat, Lian Ciu segera menotok jalanan darah dipundaknya untuk mengurangkan penderitaannya dan keemudian berpaling mengawasi Cui San.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Tapi Cui San pun tidak mengerti sebab musababnya. "Sumoay," katanya. "Apakah kau melukakan dia dengan jarum emas?"
"Tidak," jawabnya. "Mungkin dia kena dipagut ulamya sendiri."
Sambil menahan sakit, si tua berkata: "Tidak... anakmu yang menghantam punggungku..." Ia melirik Bu Kie dengan sorot mata heran dan takut.
So So senang hatinya. "Bu Kie," katanya dengan suara bangga, "benarkah kau sendiri yang menghajamya " Bagus! Bagus sekali!"
"Jalan darah apa yang harus dibuka untuk menolongnya?" tanya Cui San dengan suara jengah. Ia merasa main, bahwa sebagai ayah ia tidak dapat menolong orang yang dihajar oleh puteranya sendiri, sehingga pertanyaan itu tidak langsung ditujukan kepada Bu Kie.
So So tertawa geli. "Anak," katanya. "Thia thia menyuruh kau membuka jalanan darahrnya. Tolonglah dia! Sekarang dia sudah mengena lihaynya Cia Bu Kie."
Mendengar perkataan Cia Bu Kie, Lian Ciu merasa heran. "Cia Bu Kie ?" menegasnya.
"Ya," jawab Cui San sambil mengangguk. "Siauwtee telah menyerahkan anak itu kepada Gieheng dan sedari dilahirkan ia telah mengguna kan she Cia."
Bu Kie menggelengkan kepalanya. "Aku tak bisa," katanya.
"Mengapa tak bisa?" tanya sang ayah.
"Giehu hanya mengajar aku untuk menotok orang, tapi tidak memberitarukan cara bagaimana harus membuka totokan itu," jawabnya. Ia diam sejenak dan kemudian berkata pula: "Waktu menurunkan pelajaran itu kepadaku, Giehu mengatakan, bahwa jika pukulan mengenai Tai-yang, Tan-tiong, Toa-twie dan Leng tay, empat jalanan darah besar, orang yang terpukul bisa lantas binasa. Aku segera menanyakan bagaimana caranya menolong orang yang terpukul. Ia nneagerutkan alis dan berselang beberapa saat, barulah ia menjawab begini: Di dalam dunia, ilmu ini hanya dikenal olehku dan olehmu berdua orang.
Perlu apa kau belajar cara menolongnya" Kau hanya boleh memukul musuh dengan pukutan ini. Dan kalau yang dipukul musuh, perlu apa kita menolongnya" Apakah kau mau memberi kesempatan kepadanya, supaya dibelakang hari dia bisa membalas sakit hati" Itulah jawab Giehu terhadap pertanyaanku."
Cui San dan isterinya mengakui bahwa suara itu, memang suara Cia Sua yang tangannya kejam dan kalau membabat, selalu membabat sampai diakarnya.
Biar bagaimanapun jua, Ho Loosan seorang laki laki yang keras kepala. "Jie Jiehiap, Thio Ngohiap, dalam hal ini, yang bersalah memamg aku sendiri," katanya. "Hatiku tidak baik dam memang pantas aku mendapat pembalasan yang tidak baik. Sekarang aku memohon supaya kalian cepat cepat mengambil jiwaku, supaya aku tidak menderita terlalu lama."
Lian Ciu menggelengkan kepala. "Tidak, kedosaanmu tidak pantas mendapat hukuman mati," katanya.
"Aku meminta maaf untuk keponakanku yang sudah turun tangan tanpa mengetahui berat entengnya tangan itu. Kami akan berusaha sedapat mungkin untuk menolong jiwamu," sehabis berkata begitu, ia mendukung Ho Loosam dan menaruhnya di dalam gebuk perahu.
Sesudah itu ia kembali kedaratan dan bertanya kepada Bu Kie: "Apa namanya pukulan yang telah digunakan olehmu ?"
Melihat paras sang paman yang menyeramkan, bocah itu jadi ketakutan dan lantas saja menangis.
"Aku bukan sengaja mau membinasakannya," jawabnya "Dia... dia mengancam aku dengan ular ... Aku takut, aku ... sangat takut ...."
Lian Ciu menghela napas. Dengan rasa cinta ia mendukung keponakannya dan mensusutan matanya.
"Jiepeh tidak menialahkan kau," katanya dengan suara halus. "Jika dia mengancam Jiepeh dengan ular, akupun akan menghajar dia."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Sesudah dibujuk dan dielus elus, barulah Bu Kie berhenti menangis "Menurut katanya Giehu pukulan itu ialah pukulan yang sudah hilang dari Rimba Persilatan," Ia menerangkan. "Namanya Hang liong Sip pat ciang (Delapanbelas pukulan untuk menaklukkan naga)"
Begitu mendengar perkataan Hang liong Sip pat ciang, paras muka Lian Ciu berubah dan ia lalu menurunkan sibocah dari dukungannya.
Hang liong Sip pat ciang adalah ilmu silat yang sangat tersohor dari Ang Cit Kong, Pangcu partai pengemis pada akhir jaman kerajaan Lam tong, Di samping ilmu itu Ang Cit Kong, melirik ilmu silat tongkat yang diberi nama Tah kauw Pang hoat. (Ilmu silat tongkat untuk memukul anjing ), yang juga sudah menggetarkan Rimba Persilatan dan sangat disegani oleh jago-jago pada masa itu, Tah kauw Pang hoat adalah ilmu yang hanya diturunkan kepada Pangcu dari Kaypang dan sampai pada waktu itu masib dikenal orang. Tapi Han-liong Sip pat ciang sudah lama menghilang dari dunia persilatan.
Ilmu itu telah diturunkan oteh Ang Cit Kong kepada Kwee Ceng, tidak terdapat orang yang berbakat cukup untuk mempelajarinya. Sin tiauw Tay hiap Yo Ko adalah seorang yang mengenal macam-macam ilmu silat antaranya Hang liong Sip pat ciang, tapi lantaran belakangan satu lengannya putus ia tidak dapat menggunakan ilmu itu yang harus digunakan dengan kedua-dua tangan. Maka itulah, selama kirakira seratus tahun, Rimba Persilatan hanya mendengar nama, tapi belum pernah melihat ilmu silat tersebut. Diluar dugaan, Bu Kie telah mendapatkannya dari Cia Sun.
"Apa benar kau memukul Ho Loosam dengan Hong liang Sip pat ciang?" mendesak Lian Ciu yang masih tidak percaya akan keterangan keponakannya.
Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bu Kie mengangguk. "Menurut kata Giehu pukulan itu diberi nama Sin liong Pa bwee (Naga sakti menyabet dengan buntutnya)." jawabnya.
Lian Ciu dan Cui San lantas saja ingat bahwa waktu menceritakan Hong liang Sip pat ciang, guru mereka memang pemah menyebutkan nama "Sin-liong Pa bwee," tapi Thio Sam Hong sendiri tidak mengenal pukulan itu. Mengingat bahwa dalam usianya yang masih begitu muda, Bu Kie sudah melukakan Ho Loosam begitu berat, keterangannya tentang Hang-liong Sip pat ciang mungkin tidak palsu.
"Waktu Bu Kie menerima pelajaran dari Gie hang, Siauwtee berdua isteri dilarang mendekat,"
menerangkan Cui San. "Siauwtee tak nyana Giehu sudah menurunkan ilmu yang luar biasa itu"
"Giehu mengatakan, bahwa ia hanya mengenal tiga dari delapanbelas pukulan itu dan ia mendapatkannya dari seorang ahli yang sudah mengasingkan diri dari dunia Kangouw." kata Bu Kie,
"Giehu juga mengatakan, ia merasa bahwa dalam perubahan perubahan ketiga pukulan itu ada sesuatu yang kurang tepat. Mungkin sekali, ahli itu sendiri belum dapat menyelami isi pukulan pukulan itu sampai kedasar dasarnya."
Jie Lian Ciu dan Thio Cui San jadi bengong. Mereka kagum bukan main akan lihaynya jago jago dijaman dulu. Cia Sun yang hanya memdapat oleh beberapa pukulan, sudah begitu hebat. Maka itu, lihaynya Ang Cit Kong dan Kwee Ceng hanya dapat dibayang bayangkan.
Antara ketiga orang itu, So So lah yang paling bunga hatinya. Sebagai seorang ibu, ia sangat bangga bahwa dalam pukulannya yang pertama puteranya yang masih begitu kecil sudah memperlihatkan kepandaian yang tinggi itu, Dalam girangnya, ia tidak memperhatikan pembicaraan antara suami dan Jiepehnya.
"Kurasa, selain Ho Loosam, Bu san pang juga mengirim lain orang untuk memyantu," kata Cui San.
"Sebaiknya kita lekas lekas menyingkir dari tempat ini"
"Benar," ka'a Lian Ciu. "Aku sudah memberikan obat Tok bing sinsan kepada Ho Loosam. Harap saja obat itu dapat menolong jiwanya."
Mereka berempat lantas kembali keperahu. Napas Ho Loosam sangat lemah dan mulutnya masih mengeluarkan darah.
"Bu Kie," kata Ciu San dengan suara keren. "Kali ini, aku tidak menialahkan kau. Lantaran adanya ancaman hebat, kau terpaksa turun tangan. Tapi lain kali, kecuali jika terlalu terdesak, tak boleh kau sembarangan bertempur. Lebih lebih, aku melarang kau menggunakan tiga pukulan dari Hang liong Sip liong itu. Kau mengerti ?"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Baiklah. Anak tak akan melupakan pesan ayah," jawab sibocah.
Melihat paras muka ayah nya yang menyeramkan, air mata lantas saja berlinang linang dikedua matanya dan sesaat kemudian, ia lantas saja menangis keras.
Tak lama kemudian, juragan perahu sudah kembali dengan membawa arak dan daging, Lian Ciu segera memerintahkannya untuk menjalankan perahu.
(Bersambung Jilid 15) BU KIE Karya : CHING YUNG Terjemahan: Bu Beng Tjoe Jilid 15 Malam itu, sesudah bersantap, Lian Ciu bersila dengan tangan menekan jalanan darah Toatwie hiat dibelakang leher Ho Loosam dan kemudian mengempos Lweekangnya untuk bantu mengobat sipengemis.
So So sangat tak puas akan cara-cara Jiepehnya itu yang dianggapnya seperti nenek2. Menurut jalan pikirannya, manusia semacam Ho Loosam bukan saja tidak pantas ditolong, malah harus dilemparkan kedalam air.
Sesudah mengalirkan Lweekangnya beberapa jam, Lian Ciu merasa lelah dan Cui San lalu menggantikannya. Diwaktu fajar menyingsing, pengemis tua itu tidak mengeluarkan darah lagi dan pada mukanya mulai terdapat sinar dadu.
"Jiwamu sudah ketolongan," kata Lian Ciu dengan girang. "Hanya mungkin ilmu silatmu tidak bisa pulih kembali "
"Budi Jie-wie tak akan dilupakan olehku si orang she Ho," kata Ho Loosam. "Akupun tak ada muka untuk menemui lagi Bwee Pangcu. Mulai dari sekarang, aku akan menyingkir dari diri pergaulan dan tidak akan berkeliaran lagi di dalam kalangan Kangouw."
Waktu perahu tiba di An keng, pengemis itu berpamitan dan berlalu.
Sesudah berpisahan sepuluh tahun dengan guru dan saudara-saudara seperguruannya, Cui San ingin sekali tiba di Bu tong secepat mungkin. Ia merasa sangat tidak sabar akan perlahannya perahu, maka sesudah melewati An keng, ia mengajukan usul untuk mengambil jalanan darat dengan menunggang kuda.
"Ngotee, kurasa kita lebih baik terus menggunakan perahu," kata sang kakak. "Biarpun lebih lambat beberapa hari, kita lebih selamat. Diwaktu ini, entah berapa banyak orang ingin menyelidik tempat sembunyinya Cia Sun."
"Dengan berjalan bersama-sama Jiepeh, apakah masih ada manusia yang berani mencegat kita ?" kata So So.
"Kalau kami tujuh saudara semua berkumpul, mungkin sekali orang akan sangsi untuk mengganggu,"
kata Lian Ciu. "Tapi dengan hanya bertiga, tak bisa kita menghadapi begitu banyak orang pandai.
Disamping itu, tujuan kita ialah untuk menyelesaikan urusan ini secara damai. Perlu apa kita menanam lebih banyak bibit permusuhan?"
Cui San mengangguk "Tak salah apa yang di katakan Jieko" katanya.
Beberapa hari kemudian, mereka tiba di Bu hiat, wilayah Oawpak. Malam itu, setibanya di Hok-tie-kouw, perahu itu melepas sauh dan bersiap untuk bermalam disitu.
Tiba-tiba Lian Ciu mendengar suara kaki kuda digili-gili dan ia mendongok keluar dari gubuk perahu.
Secara kebetulan, dua penunggang kuda sedang membelokkan tunggangannya yang lalu dikaburkan kearah kota. Dengan begitu ia tidak bisa melihat muka kedua orang itu. Tapi dilihat dari gerak-geraknya yang gesit dan lincah, mereka pasti bukan sembarang orang.
Lian Ciu melirik adiknya dan berkata dengan suara perlahan: "Kurasa di tempat ini bakal terjadi sesuatu. Lebih baik kita berangkat sekarang juga."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Baiklah," kata Cui San dengan rasa berterima kasih.
Semenjak Bu tong Cit-hiap turun gunung. dengan memiliki kepandaian tinggi dan sepak terjangnya selalu menuruti jalan yang lurus, mereka tak pernah menyingkir dari orang lain. Selama beberapa tahun yang paling belakang, nama Jie Lian Ciu naik makin tinggi, sehingga malah para Ciang bun jin dari partai-partai ternama, seperti Kun loan, Khong dan sebagainya, menaruh hormat terhadapnya. Tapi, malam itu, ia tak mau berdiam lama-lama di Hoktie kouw karena melihat bayangan dua orang yang tidak ternama. Cui San mengerti bahwa sikap sang kakak itu adalah demi keselamatan keluarganya.
Sementara itu, Lian Ciu sudah memanggil juragan perahu. Sambil mengangsurkan sepotong perak yang beratnya lima tahil, ia minta supaya perahu diberangkatkan sekarang juga. Meskipun lelah, melihat uang yang berjumlah besar itu, ia jadi girang dan mengiakan.
Malam itu, rembulan memancarkan sinarnya yang gilang gemilang. Bu Kie sudah menggeros, sedang ayah bundanya bersama sang Jiepeh minum arak di kepala perahu sambil menikmati pemandangan malam yang sangat indah itu. Dengan hati lapang, mereka minum sambil beromong-omong.
"Tak lama lagi Insu berulang tahun yang ke seratus," kata Cui San. "Bahwa siauwtee keburu pulang untuk turut serta dalam pertemuan yang langkah itu merupakan bukti bahwa Langit menaruh belas kasihan atas diri siauwtee."
"Hanya sayang kita tidak bisa menyediakan antaran yang sepantasnya," menyambungi si isteri.
Lian Ciu tertawa seraya berkata: "Teesu, apakah kau tahu, siapa diantara tujuh muridaya yang paling dicintai Insu?"
"Tentu saja Jiepah," jawabnya sambil bersenyum.
Lian Ciu tertawa. "Teehoa nakal sekali," katanya. "Kau tahu, tapi kau sengaja mengatakan begitu.
Diantara kami bertujuh orang, yang paling dicintai Insu adalah suamimu yang tampan."
So So girang bukan main. "Aku tak percaya," katanya dengan paras muka berseri-seri.
"Diantara kami bertujuh setiap orang mempunyai keunggulan sendiri-sendiri," menerangkan Lien Ciu.
"Toasuko mempelajari kitab Ya keng dan sebagai manusia, ia rendah hati, sederhana besar jiwanya dan luas pemandangannya. Samtee seorang hati-hati dan pandai bekerja. Pekerjaan yang diberikan Insu belum pernah digagalkan olehnya. Sietee berotak cerdas luar biasa. Lioktee unggul dalam ilmu pedang dan Cit tee belakangan ini telah mempelajari juga Gwakang (ilmu silat luar), sehingga ia akan mahir dalam ilmu dalam dan ilmu luar serta akan dapat menangkap tenaga keras dan tenaga lembek."
"Bagaimana dengan Jiepeh sendiri?" tanya So So.
"Aku berotak tumpul dan tak mempunyai keunggulan dalam apapun jua," jawabnya," jika Tee hu ingin tahu juga, boleh dikatakan bahwa dalam pelajaran yang diturunkan oleh Suhu, akulah yang paling giat mempelajarinya."
So So bertepuk tangan. "Aku memang tahu, bahwa diantara Bu tong Cit hiap, Jiepeh yang ilmu silatnya paling tinggi," katanya sambil tertawa. "Tapi Jiepeh sangat merendahkan diri dan suka mengakuinya."
"Memang, diantara kami bertujuh, memang Jie ko yang berkepandaian paling tinggi," kata Cui San.
"Hai! .... Selama sepuluh tahun Siauwtee tak pernah menerima pelajaran In su dan diwaktu ini, siauwtee pasti menduduki kursi yang paling buncit." Waktu mengucapkan kata-kata itu, suaranya bernada sedih.
"Akan tetapi, diantara kita bertujuh, kaulah yang Bun bu coan cay," kata Lian Ciu, "Tee hu, aku sekarang ingin membuka suatu rahasia. Pada lima tahun berselang, ketika Suhu merayakan ulang tahunnya yang kesembilan puluh lima, tiba-tiba paras muka beliau berubah sedih Sesudah menghela napas, beliau berkata: Diantara tujuh muridku, yang otaknya paling cerddas dan bun bu song coan hanialah Cui San seorang. Aku sebenarnya mengharap, hahwa dihari kemudian ia akan bisa menjadi ahli warisku. Ah! .. Hanya sayang rejeki anak itu tipis sekali dan selama lima tahun, belum diketahui bagaimana nasibnya. Mungkin.... mungkin sekali ia sudah mendapat kecelakaan"
"Kau dengarlah, Teehu. Apakah keliru, jika aku mengatakan, bahwa Ngotee paling disayang oleh Suhu?"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Mendengar itu, Cui San merasa berterima kasih dan terharu, sehingga air matanya lantas saja berlinang-linang.
"Sekarang Ngotee sudah kembali dengan selamat dan pulangnya bersama-sama kalian, sudah merupakan antaran yang paling berharga untuk Suhu," kata pula Lian Ciu.
Bicara sampai disini sekonyong konyong terdengar suara kaki kuda yang di kaburkan digili gili sungai.
Kuda-kuda itu mendatangi dari sebelah timur dan menurut kearah barat. Ditengah malam yang sunyi, suaranya terdengar tegas sekali dan dari suara tindakan bisa diketahui, bahwa jumlahnya empat ekor kuda.
Lian Ciu bertiga saling mengawasi. Di dalam hati mereka tahu, bahwa empat penungang kuda itu yang datang ditengah malam buta, kebanyakan mempunyai sangkut paut dengan mereka.
Meskipun mereka sungkan mencari urusan, mereka bukan orang-orang yang takut mendapat urusan.
Maka itu, biarpun bercuriga, mereka tenang tenang saja dan tidak membicarakan kejaran empat pengunggang itu.
"Pada waktu aku turun gunung, Suhu sedang menutup diri dan bersemedhi," kata pula Lian Ciu.
"Menurut perhitungan, setibanya kita di Bu-tong, beliau sudah selesai."
"Dulu ayah pernah memberitahukan kepadaku, bahwa selama hidup ia hanya mengagumi Thio Cinjin dan Kian bun tie seng, empat pendeta suci dari Siauw lim-pay," kata So So. "Tahun ini Thio Cinjin sudah mencapai usia seratus tahun dan dalam keagamaan, mungkin ia tidak mempunyai tandingan lagi didunia ini. Apakah beliau sedang mempelajari ilmu untuk hidup abadi?"
"Bukan, Insu sedang merenungkan ilmu silat," jawabnya.
So So agak kaget. "Dalamnya ilmu silat yang dimiliki beliau sudah tak dapat diukur lagi," katanya.
"apa lagi yang ingin dipelajari" Apakah pada jaman ini beliau masih mempunyai tandingan?"
"Semenjak usia sembilan puluh lima tahun, saban tahun in Su menenutup diri sembilan bulan lamanya," menerangkan Lian Ciu. "Beliau sering mengatakan, bahwa intisari daripada ilmu silat Bu tong terletak di dalam kitab Kioe yang Cin keng. Hanya sayang, pada waktu Kak wan Couw su menghafal isi kitab itu, Insu masih terlalu muda dan sesudah lewat sekian tahun, ia sudah tidak ingat lagi seluruh isinya.
Maka itulah, dalam ilmu silat kami masih terdapat kekurangan-kekurangan."
"Kioe yang Cin keng adalah warisan Tat mo Couw su Insu mengatakan, bahwa makin lama beliau merenungkan, makin beliau merasa, bahwa dalam ilmu silat kami masih terdapat terlalu banyak kekurangan, seolah hanya merupakan separoh dari sebuah keseluruhan. Beliau mengatakan, bahwa untuk mencapai keseluruhan itu, orang harus mendapatkan dan mempelajari Kioe im Cin keng. Hanya sayang, sedang Kioe yang Cin keng saja masih belum lengkap, dimanakah orang harus mencari Kioe im Cin keng
" Disamping itu, apakah di dalam dunia benar-benar terdapat kitab Kioe im Cin keng, masih merupakan sebuah teka teki."
"Tat mo Couw su adalah seorang luar biasa dari negeri Thian tiok (India). Dalam kecerdasan dan bakat belum tentu Insu kalah dari Tat mo Couw su. Maka itu, sedang Cin keng tak mungkin didapatkan, apakah Insu sendiri tidak mampu mengubah ilmu silat yang sempurna" Pertanyaan itu tidak bisa menghilang dari otak Insu. Maka itulah, beliau lalu menutup diri untuk mempelajari dan merenungkan ilmu silat kami guna mencapai suatu kesempurnaan."
Mendengar keterangan itu, bukan main rasa kagumnya Cui San dan So So.
"Yang turut mendengar Kak wan Couwsu menghafal Kioe yang Cin keng ada tiga orang." Lian Ciu melanjutkan penuturannya. "Yang satu Insu sendiri, yang kedua Bu sek Taysu dari Siauw lim sie, sedang yang ketiga seorang wanita yaitu Couwsu Goe bie pay, Kwee Siang Kwee Lie hiap. Kecerdasan, bakat dan kepandaian mereka berlainan satu sama lain. Yang ilmu silatnya paling tinggi pada waktu itu adalah Bu sek Taysu, Kwee Lie hiap ialah puteri Kwee Tayhiap dan Oey Yong, Oey Pangcu. Sebagai puterinya ahli-ahli silat kelas utama pada jaman itu, beliau sudah memiliki ilmu silat yang beraneka warna. Insu sendiri pada waktu itu dapat dikatakan belum mengenal ilmu silat. Tapi sebab itulah ilmu silat Bu tong menjadi ahli waris yang paling bersih dari pada kitab Kioe yang Cin keng."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Belakangan mengenai ilmu-ilmu silat Siauw Lim, Go bie dan Bu tong, orang memberi julukan Ko (tinggi) kepada Siauw lim. Pok (luas) kepada Go bie dan Sun (bersih) kepada Bu tong. Ketiga partai masing-masing mempunyai keunggulan sendiri dan juga mempunyai kekurangan kekurangan."
"Kalau begitu, Kak wan Couw su memiliki ilmu silat yang paling tinggi pada jaman itu," kata So So.
"Tidak !" jawabnya. "Kak wan Couw su tidak mengerti ilmu silat. Dalam kuil Siauw lim sie, ia bekerja sebagai pengurus Cong keng kok (gedung perpustakaan). Ia seorang kutu buku yang membaca segala rupa kitab dan menghafalnya. Secara kebetulan ia mendapatkan Kioe yang Cin-keng Yang lalu dibacanya dan dihafalnya. Ia sama sekali tak tahu, bahwa dalam kitab itu terdapat ilmu silat yang sangat tinggi."
Lian Ciu selanjutnya menuturkan cara bagaimana kitab itu hilang dan tidak dapat ditemukan lagi. Cui San sendiri sudah pernah mendengar cerita itu dari gurunya, tapi So So yang baru pertama kali mendengarnya, merasa ketarik bukan main.
Lian Ciu seorang pendiam dan biasanya sangat jarang bicara. Tapi sekarang, dalam kegembiraannya karena sudah bertemu pula dengan adiknya yang disangka mati, ia berbicara banyak sekali, bahkan berguyon. Sesudah bergaul belasan hari dengan So So, ia merasa, bahwa si Teehu sebenarnya bukan manusia jahat. Ia yakin, bahwa kekejaman So So pada masa yang lampau, adalah akibat daripada suasana dan pergaulannya. Kata orang, mendekati bak (tinta) keluaran hitam, mendekati cu see (bubuk merah) berlepotan merah. Sedari kecil, apa yang dilihat dan didengar So So adalah perbuatan-perbuatan sesat dan kejam, sehingga sesudah besar, ia tidak dapat membedakan lagi apa yang benar, apa yang salah dan biasa membunuh manusia secara serampangan. Tapi sesudah menikah dengan Suteenya, adat yang kejam itu perlahan-lahan berubah. Itulah kesimpulan Lian Ciu.
Baru saja Cui San ingin menanyakan Suhengnya tentang kemajuan yang telah dicapai oleh gurunya dalam usaha menyempurnakan ilmu silat Bu-tong, sekonyong konyong suara tindakan kuda tadi terdengar pada kali ini dari menuju ketimur dan tidak lama kemudian mereka lewat diatas gili gili dekat perahu.
Cui San agak terkejut, tapi ia tidak menggubris. "Jieko" katanya. "jika Insu mengundang tokoh-tokoh Siauw lim dan Gobie untuk bersama2 menyempurnakan ilmu silat, kurasa ketiga partai ini sama-sama akan memperoleh keuntungan yang sangat besar."
Lian Ciu menepuk lututnya. "Kau benar !" katanya dengan bersemangat. "Perkataan Suhu, bahwa dihari kemudian kau bakal menjadi ahli warisnya sungguh tepat sekali."
"Perkataan itu kurasa sudah dikeluarkan karena Insu selalu mengingat Siauwtee yang tidaak diketahui kemana perginya," kate Cui San. "Bukankah seorang anak durhaka yang bergelandangan di luaran lebih dipinggirkan oleh ibunya daripada anak berbakti yang selalu berdampingan dengan sang ibu" Pada waktu ini, janganlah dibandingkan dengan Toako, Jieko dan Sieko, sedangkan dengan Lioktee dan Cit tee pun, ilmu silat Sauwtee masih belum bisa menempil."
"Bukan, tafsirannya bukan begitu," kata Lian Ciu sambil meggelengkan kepala. "Sebegitu jauh mengenai ilmu silat, memang juga Ngotea tidak bisa menandingi aku. Akan tetapi, seorang ahli waris Insu mempunyai tanggung jawab yang sangat besar untuk memperkembangkan ilmu silat. Insu sering mengatakan, bahwa dalam dunia yang lebar ini, soal gemilang atau suramnya Bu tong pay sebagai partai persilatan adalah soal remeh. Soal yang penting ialah seorang ahli silat harus menunaikan tugasnya sebagai seorang anggota dari Rimba Persilatan. Jika ia bisa mempelajari menyelami rahasia ilmu silat dan kemudian menurunkan pelajarannya itu kepada orang lain, supaya ilmu silat seorang kun cu (manusia utama) berbeda dengan ilmu silat seorang Siauwjin (manusia rendah). Jika ia dapat mempersatukan pencinta-pencinta negeri untuk mengusir penjajah dan merampas pulang negeri yang sedang dijajah, maka dapatlah dikatakan, bahwa ia sudah menunaikan tugasnya yang sangat mulia. Itulah penedapat Insu mengenai tanggung jawab seorang ahli silat. Maka itulah seorang ahli warisnya, pertama harus mempunyai batin yang luhur dan kedua harus memiliki kesadaran. Mengenai batin, kita bertujuh tiada banyak bedanya. Tapi mengenai kesadaran, Ngotee lah yang paling unggul."
Cui San menggoyangkan tangannya. "Tapi siauw tee masih tetap berpendapat, bahwa perkataan itu sudah dikeluarkan Insu karena beliau terlalu memikirkan siauwtee," katanya dengan suara ter haru.
"Andaikata benar Insu mempunyai niat begitu, biar bagaimanapun jua, siauwtee tak akan dapat menerimanya."
Mendadak Lian Ciu berpaling kearah So So. Ia bersenyum seraya berkata: "Teehu pergilah kau melindungi Bu Kie, supaya ia tak jadi kaget. Urusan diluar akan diurus olehku dan Ngotee."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
So So memandang kedarat, tapi ia tak dapat melihat sesuatu yang luar biasa. Selagi ia bersangsi, Lian Ciu berkata pula: "Diantara pohon pohon itu bersembunyilah orang dan diantara rumput alang-alang disebelah depan pasti bersembunyi perahu-perahu musuh"
So So membuka rnatanya lebar-lebar dan mengawasi keempat penjuru, tapi ia tetap tak melihat apapun jua. Diam-diam dia menduga mata sang Jiepeh kabur.
Sekonyong konyong Lian Ciu berteriak: "Bu tong san Jie Jiehiap dan Thio Ngo hiap numpang lewat di tempat ini. Kami memohon kalian sudi memaafkan, jika kami melanggar kesopanan. Kami mengundang kalian untuk naik keperahu ini guna minum bersama-sama."
Teriakan Lian Ciu diikuti dengan suara air yang terpukul dayung dan sesaat kemudian, dari antara rumput alang-alang muncullah enam buah perahu kecil yang didayung cepat sekali dan yang kemudian berbaris dan menghadang dari satu tepi kelain tepi sungai. Dari salah sebuah perahu itu terdengar suara
"uuu...uuu..." dan dilepaskan sebatang anak panah pertandaan, yang mengeluarkan suara nyaring. Hampir berbareng, dari antara gerombolan pohon pohon melompat keluar belasan orang yang ringkas dan badannya semua mengenakan pakaian warna hitam dan semua mencekal senjata. Sedang muka mereka ditutup dengan topeng kain yang berwarna hitam juga.
So So kagum tak kepalang. "Nama besar Jie peh sungguh bukan nama kosong," pikirnya. Melihat jumlah musuh yang besar cepat cepat ia masuk kedalam gubuk perahu untuk melindungi puteranya. Anak itu ternyata sudah mendusin. Sesudah merapikan pakaiannya ia berbisik "Anak kau jangan takut!"
"Sahabat dari mama yang akan berkunjung?" tanya Lian Ciu. "Bu tong Jie Jie dan Thio Ngo hiap menyampaikan salam persahabatan."
Tapi tak satu manusiapun yang muncul dari perahu-perahu itu dan pertanyaan Jiehiap tetap tidak mendapat jawaban.
"Celaka!" Lian Ciu mengeluarkan seruan tertahan dan lalu melompat keair. Ia kelahiran Kang lam dan rumah tinggalnya berdekatan dengan sungai, sehingga semenjak kecil ia sudah mahir dalam ilmu berenang.
Ia menyelam dan melihat empat orang sedang berenang mendekat, ia mengerti maksud mereka yaitu ingin membor dasar perahu supaya perahu itu karam.
Jie Lian Ciu segera bersembunyi disamping badan perahu. Begitu lekas keempat orang itu datang dekat, kedua tangannya bergerak dan dua orang sudah tertotok jalanan darahnya. Hampir berbareng ia mengirim tendangan dan jalanan darah Cit sit hiap, dipinggang orang ketiga, kena tertendang. Musuh yang keempat coba melarikan diri, tapi Lian Ciu keburu menjambret pergelangan kakinya dan lalu melontarkannya keatas perahu. Mengingat, bahwa ketiga musuhnya pasti bakal mati kalelap jika tidak ditolong, ia segera melemparkan mereka satu persatu kekepala perahu dan kemudian barulah ia sendiri meloncat keatas perahu.
Sementara itu sesudah bergulingan, musuh keempat melompat bangun dan lalu menikam dada Cui San dengan bornya. Melihat ilmu silat orang itu biasa saja, tanpa berkelit. Cui San menangkap pergelangan tangannya yang mencekal senjata kemudian menotok jalanan darah didada dengan sikutnya. Tanpa mengeluarkan teriakan, dia rubuh diatas geladak perahu.
"Diantara yang berkumpul didarat kelihatannya terdapat beberapa orang yang berkepandaian tinggi", kata Lan Ciu. "Sesudah berhadapan, tak dapat kita berlaku sungkan lagi."
Cui San mengangguk dan lalu memerintahkan juragan perahu untuk menjalankan kendaraan air itu.
Karena mesti melawan arus air, jalanannya perahu perlahan sekali. Begitu berdekatan dengan enam perahu musuh, Lian Ciu mengangkat keempat tawanannya, membuka jalanan darah mereka dan lalu melemparkannya keperahu yang paling dekat. Tapi sungguh heran dari enam perahu itu sama sekali tidak terdengar suara manusia, belasan orang yang berkumpul di daratanpun tidak mengeluarkan sepatah kata, seolah-olah mereka semua gagu, sedang keempat orang yang barusan dilontarkan juga tak muncul lagi.
Tiba-tiba, selagi perahu Lian Ciu mau melewati keenam perahu itu, seorang pendayung dari perahu musuh yang paling dekat mengayun tangannya dan hampir berbareng, dengan dua kali suara ledakan, kemudi perahu Lian Ciu terbakar dan perahunya sendiri terputar badannya.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Yang dilemparkan oleh sipendayung ialah semacam dinamit yang biasa digunakan oleh para nelayan untuk mendinamit ikan. Hanya karena barang peledak itu dibuat luar biasa besar maka tenaganyapun jauh lebih bear daripada dinamit yang biasa.
Dengan paras muka tetap menunjuk ketenangan, Lian Ciu melompat keperahu musuh. Sebagai seorang yang berkepandaian tinggi, nyalinya sangat besar dan sampai pada saat itu, ia masih tetap tidak bersenjata.
Kedatangan Jiehiap tidak digubris oleh sipendayung. "Siapa yang melemparkan dinamit?" bentak Lian Ciu. Tapi orang itu tidak menjawab dan lagaknya seperti orang gagu dan tuli.
Lian Ciu segera masuk kegubuk perahu, dimana terdapat dua orang laki-laki yang duduk pada sebuah meja, tapi merekapun tidak bergerak dan tidak bersuara.
Dengan mendongkol ia mencekal tengkuk salah seorang dan lalu mengankatnya tinggi-tinggi. "Hai!
Kau jangan main gila!" bentaknya. tapi orang itu merarnkan kedua mata nya dan tetap menutup mulut.
Sebagai seorang kenamaan dari Rimba Persilatan, Lian Cu sungkan mengunjak kegarangan terhadap seorang yang bukan tandingannya. Ia lalu melepasakan orang itu dan pergi kebelakang perahu, dimana ia bertemu dengau Cui San dan So So yang mendukung Bu Kie.
Tiba-tiba So So berteriak "Awas! Penjahat menenggelamkan perahu!" Sesaat itu, air sudah mulai mencapai geladak perahu.
Ternyata, musuh yang berdiam di perahu itu sudah membuat persiapan dan begitu lekas Lian Ciu berempat pindah keperahu mereka, orang-orang itu lalu membuka sumbat lubang lubang di dasar perahu.
Lian Ciu berempat lantas melompat keparaha yang kedua, tapi perahu itupun mulai kalam.
"Ngotee, sekarang tak bisa tidak, kita mendarat juga," katanya. Ia mengerti, bahwa musuh telah membuat keenam perahu itu sebagai papan loncatan untuk mengundang tamu-tamu naik kedaratan.
Beberapa saat kemudian, mereka sudah berada diatas gili-gili.
Belasan lelaki yang mengenakan pakaian hitam itu berdiri dalam garis setengah lingkaran, sehingga Lian Ciu berempat separuh terkurung. Sabagain besar diantara mereka bersenjatakan pedang sedang yang lainnya mencekal sepasang golok atau Joanpian (cambuk). Tak satupun yang membawa senjata berat.
Jiehiap berdiri tegak dengan paras muka dingin dan sepasang matanya yang bersinar terang menyapu musuh-musuh yang menghadang itu.
Mendadak, seorang musuh yang berdiri ditengah-tengah mengebas tangan kanannya dan barisan setengah lingkaran itu segera terpecah dua dan membuka jalan ditengah-tengah. Mereka berdiri dengan badan separuh membungkuk, ujung senjata mereka ditudingkan kebumi, sedang kedua tangan mereka dirangkap sebagai tanda memberi hormat. Sesudah membalas hormat, Lian Ciu bertindak maju. Begitu Jiehiap lewat sekonyong-konyong ujung kedua barisan kembali menyambung menjadi satu dan menutup jalanan keluar, sehingga Cui San, So So dan Bu Kie lantas saja terkurung.
Ngohiap tertawa terbahak-bahak. "Kalau begitu, yang dikehendaki kalian adalah aku, seorang she Thio," katanya. "Terima kasih atas perhatian kalian yang begitu besar."
Musuh yang berdiri ditengah tengah, yang rupanya menjadi pemimpin rombongan, kelihatan bersangsi. Ia menundukkan pedangnya dan sekali lagi membuka jalan.
"So So, kau jalan lebih dulu !" memerintah sang suami.
Sambil mendukung Bu Kie, si isteri segera bertindak maju.
Sekonyong-konyong selagi mau melewati kedua barisan, lima orang bergerak bagaikan kilat dan pedang mereka menuding Bu Kie. Dengan kaget So So bertindak mundur, tapi kelima musuh itu mengikuti dan pedang mereka tetap berada dalam jarak kira-kira satu kaki dari tubuh si bocah.
Lian Ciu yang sangat berwaspada sudah lantas melihat kejadian itu. Sekali menotol tanah dengan kedua kakinya, tubuhnya terbang dan masuk ke dalam kurungan musuh. Bagaikan kilat, kedua tangannya menepuk empat kali, saban tepukan mengenakan pergelangan tangan musuh yang mencekal pedang dan empat batang pedang hampir berbareng terpental ketengah udara. Sesudah itu, tangan kirinya menyambar
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
pergelangan tangan musuh yang kelima. Begitu mencekal, ia merasa tangan musuh halus luar biasa, seperti juga tangan seorang wanita. Buru-buru ia menotok jalanan darah orang dan buru-buru pula ia melepaskan cekalannya. Tangan orang itu lantas saja lemas dan pedangnya jatuh ditanah.
Sesudah pedang mereka terlepas, kelima orang itu cepat-cepat melompat mundur.
Dilain saat, dua batang pedang menyambar Lian Ciu. Kedua senjata itu menikam lurus dari kiri dan kanan. Jiehiap lantas saja mengenali bahwa serangan itu ialah pukulan Tay mo pang see (Pasir yang rata digurun pasir) dari Kun lun pay.
Lian Ciu menunggu sampai ujung pedang hanya terpisah kira-kira tiga dim dari dadanya dan pada saat yang tepat, ia menarik sedikit dadanya kebelakang, sedang telunjuk tangan kiri dan tangan kanan menyentil badan kedua pedang itu.
Kedua sentilan itu kelihatannya tidak bertenaga, tapi sebenarnya hebat luar biasa disertai dengau Lweekang yang sangat tinggi. Menurut kebiasaan senjata lawan pasti akan terlepas. Tapi kali ini begitu telunjuknya nenyentuh badan pedang, ia merasakan sambutan dari tenaga Jioa kin (tenaga lembek), sehingga Lweekangnya kena dipunahkan. Tapi kedua musuh itu tak dapat mempertahankan diri, satu terhuyung tiga tindak dan badannya bergoyang-goyang sedang yang lain, sesudah mengeluarkan teriakan kesakitan, muntah darah.
Semenjak mencegat, tak satupun mengeluarkan suara dan teriakan itu adalah suara pertama. Sungguh heran, teriakan itu tajam dan nyaring, seperti teriakan seorang wanita.
Melihat kelihayan Lian Ciu, pemimpin rombongan mengebas tangannya dan belasan orang itu lantas saja mundur, akan kemudian menghilang di antara pohon-pohon. Lian Ciu mengawasi bayangan mereka deugan mata tajam. Ia mendapat kenyataan, bahwa hampir semuanya bertubuh langsing dan gerak-gerik mereka yang gemulai menyerupai gerak-gerik wanita.
"Jie Jie dan Thio Ngo dari Bu tong pay menghaturkan maaf kepada Thie khim Sianseng! " teriak Lian Ciu.
Orang-orang itu tidak menjawab, hanya sayup sayup terdengar tertawanya seorang wanita.
Sesudah bahaya lewat, So So menurunkan Bu Kie dari dukungannya dan sambil terus mencekal tangan puteranya, ia berkata. "Jiepeh, orang-orang itu rasanya orang perempuan. Apa mereka orang orang Kun lun pay?"
"Bukan," jawabnya "mereka orang Go bie pay."
"Go bie pay?" menegas Cui San dengan perasaan heran. "Bukankah tadi Jieko menyebut nama Thie khim Sianseng?"
Lian Ciu menghela napas, "Mereka tidak bersuara dan muka mereka ditutup dengan topeng itu semua menandakan bahwa mereka sungkan dikenali orang," katanya. "Lima pedang yang mengancam Bu Kie ialah Han bwee kiam tin (Barisan pedang bunga Bwee) dari Kun lun pay, sedang kedua orang yang menikam aku juga menggunakan pukulan Tay mo pang see data Kun lun pay. Karena mereka menyamar sebagai orang Kun lun, aku sungkan membuka rahasia mereka dan sengaja menyebutkan nama Thie khim Sianseng, Ciang bunjin dari Kun lun pay."
"Bagaimana Jiepeh tahu mereka orang Go bie pay?" tanya So So. "Apa diantaranya ada yang dikenal?"
"Tidak," jawabnya. "Dilihat dari Lweekangnya yang tidak seberapa dalam, mereka mungkin cucu cucu murid Biat coat Su thay, Ciang bunjin Go bie pay. Dengan lain perkataan, mereka adalah murid turunan keempat dari partai tersebut. Diantara mereka, tak satupun yang dikenal aku. Tapi pada waktu mereka coba mempunahkan sentilanku dengan tenaga Jio kin, aku segera mengenali, bahwa ilmu yang digunakan lima Go bie pay. Sebagaimana kau tahu, tidaklah terlalu sukar untuk meniru pukulan-pukulan partai lain.
Tapi begitu lekas seseorang menggunakan Lweekang, tak dapat tidak, topengnya terlocot."
Cui San mengangguk. "Sebenarnya mereka tak akan terluka berat, jika mereka tidak melawan dan segera melepaskan senjata waktu disentil Jieko," katanya. "Aku tahu, kalau Jieko memandang mereka semua seperti musuh, kedua bocah itu tentu sudah hilang jiwanya. Hanya aku merasa heran, mengapa hari ini mereka mencegat kita, sedang biasanya orang-orang Go bie pay selalu berlaku sungkan terhadap kita."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Di waktu muda. Insu pernah menerina budi Kwee Siang Liehiap Couw su dari Go bie pay."
menerangkan Lian Ciu. "Oleh karena begitu, In su sering memesan, supaya kami jangan sampai kebentrok dengan murid-murid Go bie, supaya persahabatan lama dapat dipertahankan terus. Sesudah sentilanku mengenakan pedang, barulah aku tahu, bahwa mereka tak akan bisa bertahan. Aku ingin menarik pulang Lweekang, tapi sudah tidak keburu lagi, sehingga kedua orang itu terluka juga. Biarpun tidak disengaja, aku sudah melanggar pesanan Insu."
So So tertawa. "Baik juga Jiepeh menyebutkan nama Thie khim Sianseng, sehingga, jika bersalah, kesalahan itu tidak ditujukan langsung terhadap Go bie pay."
Sementara itu, keenam perahu kecil sudah karam semua, sedang perahu yang ditumpangi Lian Ciu berempat sudah pergi jauh. Anak buah perahu perahu kecil itu dengan basah kuyup mulai merangkak naik digili-gili.
"Apa mereka semua orang-orang Go bie?" tanya So So.
"Bukan." bisik Lian Ciu. "Kurasa mereka orang orang Liang coan pang dari Cauw ouw."
Melihat lima batang pedang Go bie yang sangat bagus menggeletak ditanah, So So membungkuk untuk menjemputnya.
"Jangan ganggu!" melarang sang Jiepeh. "Jika dipedang itu diukir nama, dihari kemudian kita tak akan bisa menyangkal lagi. Hayolah kita meneruskan perjalanan."
Sekarang So So sudah merasa takluk terhadap Jiepeh yang mulia dan lihay itu. "Baiklah," katanya sambil berjalan dengan menuntun tangan Bu Kie.
Sesudah melewati gerombolan pohon pohon sekonyong-konyong Bu Kie berteriak dengan suara girang: "Kuda! Lihat!"
Benar saja, dibawah sebuah pohon lioe tampak tertambat tiga ekor kuda yang besar dan garang.
Cepat cepat mereka menghampiri dan didahan pohon tercantum selembar kertas. Cui San mengambil kertas itu yang tertulis perkataan seperti berikut: "Mempersembahkan tiga ekor kuda untuk menebus dosa."
"Mereka ternyata berlaku sungkan sekali terhadap kita," kata Lian Ciu. Mereka segera menunggang kuda-kuda itu dengan Bu Kie duduk di depan ibunya. Sibocah yang belum pernah menunggang kuda jadi girang tak kepalang.
"Sesudah banyak orang mengetahui gerak-gerik kita, kurasa menumpang perahu atau menumpang kuda tiada banyak bedanya," kata Cui San.
"Benar," jawab sang kakak: "Kita tentu akan menghadapi lebih banyak gelombang. Kalau bukan terlalu terpaksa, kita tidak boleh turunkan tangan terlampau berat." Ia berkata begitu, karena mengingat terlukanya kedua murid Go bie dan hatinya tetap merasa tidak enak.
Diam-diam So So merasa sangat malu. Karena kesalahan yang begitu kecil, Jiehiap sudah merasa begitu menyesal. Betapa jauh perbedaan antara dirinya sendiri yang pernah memandang jiwa manusia seperti jiwa semut dan sang Jiepeh yang sedemikian mulia hatinya. Ia merasa bahwa orang yang berdosa harus bertanggung jawab dan ia tak pantas menyukarkan Jie Lian Ciu lagi. Karena memikir begitu, ia lantas saja berkata: "Jiepeh, tujuan mereka ialah kami berdua suami istri. Sedang terhadap Jiepeh, mereka berlaku hormat sekali. Jika didepan ada rintangan lagi, biarlah teehu yang menyambutnya lebih dulu dan jika aku kalah, barulah Jiepeh menolong."
"Ah, mengapa Teehu berkata begitu?" kata Lian Cu. "Dengan berkata begitu, Teehu menganggap aku seperti orang luar. Kita sekarang sudah terikat pamili, mati dan hidup haruslah bersama-sama."
So So tidak berani membantah lagi. "Terang terang mereka tahu, bahwa Jiepeh berada bersama sama kami, tapi mengapa mereka berlaku begitu ceroboh dan mengirim saja murid-murid turunan keempat yang ilmu silatnya belum seberapa?" tanyanya pula.
"Mungkin sekali karena persiapan mereka dilakukan dengan tergesa-gesa, sehingga tidak keburu memanggil orang orang lebih pandai," jawab Lian Ciu.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Karena menduga, bahwa pencegatan Go hie pay bertujuan untuk menyelidiki tempat sembunyinya Cia Sun, Cui San lantas berkata: "Baru sekarang kutahu, bahwa Gieheng bermusuhan dengan Go bie pay.
Selarna berada di Peng hwee to, ia tidak pernah menyebut-nyebut itu."
"Ya, semula akupun merasa heran," kata Lian Ciu. "Go bie pay adalah sebuah partai persilatan yang menjaga keras peraturannya, sedang murid muridnya sebagian terbesar terdiri dari kaum wanita. Biat coat Suthay selamanya tidak mempermisikan murid-murid Go bie berkelara dalam dunia Kangouw. Mereka kebanyakan menjadi pendata, mengasingkan diri dari pergaulan atau menikah dan mengurus rumah tangga. Waktu Go bie pay mengirim orang untuk bertempur dangan Peh bie kauw kamipun merasa heran.
Belakangan baru kami tahu latar belakangnya. Pada suatu malam Phui Peng, Phui Loo eng hiong, siorang jago tua dipropinsi Holan, dibunuh orang dan diatas tembok tertulis huruf-huruf yang berbunyi: Si pembunuh ialah Hun goan Pek lek chioe Seng Kun."
"Apakah Phui Peng anggauta Go bie pay ?" tanya So So.
"Bukan," jawabnya. Sesudah berdiam beberapa saat, barulah Jie Lian Ciu memberi penjelasan:
"Sebenarnya adalah kurang pantas untuk membicarakan soal-soal pribadi dari orang-orang yang tingkatannya lebih atas. Sepanjang keterangan, di waktu muda, Biat coat Suthay adalah salah seorang wanita tercantik dalam Rimba Persilatan. Belakangan, mendadak beliau mencukur rambut dan menjadi pendeta, sedang Phui Loo enghiong memutuskan sebuah lengannya sendiri, dan sampai mati ia tidak pernah menikah."
Hampir berbareng, Cui San dan So So mengeluarkan seruan tertahan. Baru sekarang mereka tahu, bahwa Ciang bun jin Go bie pay yang tersohor itu pernah mengalami kegagalan dalam percintaan.
Mereka mengerti, kalau Biat coat Suthay sedapat mungkin ingin membalas sakit hatinya orang yang dicintainya.
"Jiepeh, apakah Phui Loo enghiong seorang baik atau seorang jahat'?" tanya Bu Kie.
"Tentu saja seorang baik," jawabnya. "Sesudah mengutungkan lengan sendiri, ia bercocok tanam, membaca kitab-kitab dan menyembunyikan diri dari pergaulan manusia."
"Hai! Perbuatan Giehu memang sangat tidak pantas," kata Bu Kie dengan suara duka. "Ia tak boleh membunuh manusia secara serampangan saja"
Lian Ciu jadi girang sekali. Ia mengangkat anak itu dan lalu mengusap kepalanya, "Anak kau sekarang tahu, bahwa seorang manusia tidak boleh sembarangan membunuh sesama manusia" katanya dengan suara halus. "Jiepeh sungguh merasa girang. Orang yang sudah mati tidak bisa hidup kembali. Maka itu, biarpun terhadap seorang yang sangat jahat, kita masih tidak boleh segera membunuhnya. Kita harus memberi kesempatan supaya dia bisa membelok kejalanan yang lurus."
"Jiepeh, aku ingin ajukan satu permintaan, bolehkan" tanya Bu Kie.
"Permintaan apa?" menegas sang paman.
"Jika mereka mencari Giehu, aku minta jie peh suka membujuk mereka supaya mereka tidak membinasakannya karena Giehu sudah buta dan tidak dapat melawan mereka," kata si bocah.
Lian Ciu bersangsi. Sesudah memikir sejenak, ia menjawab: "Tak dapat aku meluluskan permintaanmu. Tapi aku berjanji, bahwa aku sendiri tak akan membunuh Giehumu"
Bu Kie mengawasi Jiehiap dengan mata membelalak dan air matanya berlinang-linang.
Waktu fajar menyingsing, mereka tiba disebuah kota kecil, dimana mereka mengaso setengah harian dan diwaktu lohor segera meneruskan perjalanan.
Selang beberapa hari, tibalah mereka dikota Hankouw. Hari itu selang mendekati kota Anlok.
Ditengah jalan mereka bertemu dengan belasan orang yang lari lintang pulang dari sebelah depan.
Begitu bertemu dengan rombongan Lian Ciu mereka berteriak-berteriak: "Balik! Balik! Jangan menuju terus! Disebelah depan serdadu Tat cu (serdadu Mongol, Goan) sedang membunuh dan merampok".
Sambil mengawasi So So, salah seorang berkata "Kau sungguh berani mati. Kalau bertemu dengan mereka, kau bakal celaka."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Ada berapa banyak?" tanya Lian Ciu,
"Belasan orang," jawabnya dan mereka segera lari terus kejurusan timur.
Musuh terbesar dari Bu tong Cit-hiap ialah serdadu Goan yang sering berbuat sewenang-wenang terhadap rakyat. Dalam mendidik murid-muridnya, Thio Sam Hong memegang peraturan keras dan selamanya melarang murid-murid itu sembarangan turun tangan. Tapi jika menghajar serdadu Goan yang sedang merampok atau membunuh rakyat, mereka bukan saja tidak ditegur malah dipuji. Maka itu, mendengar rombongan musuh hanya berjumlah belasan orang, Lian Ciu lantas saja mengeprok tunggangannya dan maju kedepan diikut oleh Cui San bertiga.
Benar saja, sesudah berjalan kira-kira tiga mereka mendengar sesambat rakyat. Belasan serdadu yang bersenjata golok dan tombak tengah mengunjuk kegarangannya dan diatas tanah sudah menggeletak beberapa mayat.
Bukan main gusarnya Cui San. Ia menyerang dan melompat dari punggung kuda. Sebelum kedua kakinya hinggap dibumi, tinjunya menghantam dada seorarg serdadu yang mau menenteng satu anak kecil. Tanpa mengeluarkan suara serdadu itu roboh ditanah. Kawannya gusar dan menikam punggung Cui San dengan tombaknya.
Cui San memutar badan dan ujung tombak hanya terpisah kurang lebih setengah kaki dari dadanya.
Sambil bersenyum ia menangkap ujung senjata dan lalu mendorongnya keras-keras, sehingga gagang tombak menghantam dada serdadu itu yang lantas saja roboh pingsan.
Melihat kelihaian Cui San, sambil berteriak teriak belasan serdadu lantas saja mengurung. So So buruburu melompat turun dari tunggangannya. Ia merampas sebatang tombak dan membinasakan dua orang musuh. Serdadu-serdadu itu jadi keder dan mereka lalu melarikan diri. Tapi sambil lari disepanjang jalan mereka masih mengunjuk kekejaman dan mrlukakan beberapa orang penduduk,
"Cegat! Cegatlah mereka!" teriak Lian Cui yang cudah meluap darahnya. Seraya berkata begitu, ia mengubar dan mencegat empat orang serdadu. Cui San dan So So pun turut mengejar dan masing-masing memotong jalanan lari dari sejumlah musuh.
Walaupun garang, serdadu Goan kebanyakan tidak memiliki ilmu silat tinggi, sehingga Cui San dan So So tidak kuatir akan keselamatan Bu Kie.
Bu Kie juga melompat turun dari punggung kuda. Melihat paman dan kedua orang tuanya sedang mengamuk diantara belasan musuh, ia kegirangan dan menepuk nepuk tangan seraya berteriak-teriak:
"Bagus! Bagus!"
Sokonyong-konyong, serdadu Goan yang tadi disodok Cui San dengan gagang tombak dan roboh pingsan, melompat bangun dan memeluk Bu Kie. Si bocah, terkesiap lalu menghantam dengan pukulan Sin liong Pa bwee. Karena melihat paman dan kedua orang tuanya mengamuk tanpa mengenal kasihan lagi, ia menggunakan pukulan itu dengan seantero tenaga.
Di luar dugaan serdadu Goan itu hanya mengeluarkan suara "heh!" terlahan, badannya tidak bergenting dan dengan sekali menotol tanah dan dengan kedua kakinya, ia melompat keatas punggung kuda yang lalu dikaburkan keras-keras.
Lian Ciu, Cui San dan So So kaget tak kepalaug, cepat-cepat mereka mengubar. Dengan beberapa lompatan Jiehiap sudah menyandak dan tangan kirinya menghantam punggung serdadu itu. Tanpa menengok, serdadu itu menangkis. "Plak!", kedua tangan beradu. Lian Ciu merasa tenaga musuh dahsyat luar biasa, seolah-olah gelombang besar, sehingga dadanya menyesak, tubuhnya bergoyang-goyang dan terhuyung beberapa tindak. Tunggangan serdadu itu tak kuat bertahan, keempat kakinya bergemetaran dan dia jatuh berlutut. Sambil mendukung Bu Kie, serdadu itu melompat turun dan terus kabur dengan menggunakan ilmu ringan badan. Dalam sekejap ia sudah lari puluhan tombak jauhnya.
Melihat paras muka Lian Ciu yang pucat pasir Cui San tahu, bahwa kakak seperguruan itu telah mendapat luka yang tidak enteng.
Buru-buru in menghampiri dan memeluknya. Sementara itu, dengan nekad So So mengejar terus, tapi musuh berkepandaian tinggi, makin lama jarak antara mereka makin jauh sehingga belakargan, sesudah membelok disebuah tikungan, serdadu itu menghilang dari pemandangan. Tapi So So yang sudah kalap mengejar terus.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Minta Teehu balik." kata Lian Ciu dengan suara perlahan. "Kita harus..... berusaha dengan perlahan"
"Bagaimana luka Jieko?" tanya si adik sambil menikam dua serdadu yang menerjang dengan tombaknya.
"Tak apa-apa," jawabnya, "Yang paling penting panggillah Teehu."
Karena kuatir diantara sisa serdadu itu masih terdapat orang pandai, Cui San segera mengubar kian kemari dan sesudah mengusir mereka, barulah la melompat kepunggung kuda dan menyusul isterinya.
Sesudah membedal tunggangannya belasan li, barulah ia bertemu dengan So So yang tengah berlari-lari dalam keadaan kalap dan dengan tindakan limbung, suatu tanda, bahwa nyonya muda ini sudah kehabisan tenaga. Cui San memeluknya dan menaikkannya kepunggung kuda.
Sambil menangis sedu-sedan, So So berkata "Anak kita hilang ! Tidak kecandak ..... tidak kecandak....." Tiba-tiba matanya mendelik dan ia pingsan dalam pelukan sang suami.
Karena memikir keselamatan saudara seperguruannya, cepat-cepat Cui San memutar kuda dan lari balik ketempat tadi. Jauh-jauh ia melihat tiga serdadu Goan yang bersenjata tombak sedang mendekati Lian Ciu. Biarpun Suhengnaya duduk menyender dipohon ketiga serdadu itu, yang sudah berkenalan dengan kelihayannya Jiehiap tidak berani lantas menyerang.
"Tat-cu, serahkan jiwamu!" teriak Cui San sambil menerjang dengan kaburkan tunggangannya. Dilain saat, dua diantaranya sudah roboh, sedang musuh yang ketiga lari lintang-pulang. Sambil membentak keras, Ngohiap menimpuk dengan tombaknya. Dalam kegusarannya sebab putranya diculik, Suhengnya terluka dan isterinya pingsan, ia menimpuk dengan sepenuh tenaga. Tombak itu terbang dengan mengeluarkan suara mengaung dan "jres!" serdadu itu terpaku ditanah Sementara itu, So So sudah mendusin. "Bu Kie!", ia sesambat.
Sesudah menjalankan pernapasan beberapa lama, Lian Ciu mengambil sebutir pel Thay it Tok beng tan yang lalu ditelannya. Beberapa saat kemudian, pada mukanya terlihat sinar merah. Ia membuka matanya seraya berkata perlahan "Sungguh hebat tenaga orang itu!"
Cui San lega hatinya. Ia tahu, bahwa jiwa su hengnya sudah terlolos dari bahaya, tapi ia masih tidak berani mengajak bicara. Perlahan-lahan Jie hiap bangun berdiri. "Apa sudah tidak kelihatan bayangan bayangan lagi?" tanyanya dengan suara perlahan.
"Jiepeh....bagaimana baiknya"' tanya si Tee hu dengan suara parau.
"Legakan hatimu, Bu Kie tidak kurang suatu apa," jawabnya. "Orang itu berkepandaian sangat tinggi.
Aku merasa pasti bahwa seorang yang berkepandaian setinggi itu tak akan mencelakakan anak kecil yang tidak berdosa."
Air mata So So kembali mengucur. "Tapi... tapi... Bu Kie sudah diculik," katanya. Lian Ciu mengangguk. Ia memeramkan kembali kedua matanya dan mengasah otak.
Sesaat kemudian, ia membuka, matanya seraya berkata: "Aku tidak dapat menebak asal usul orang itu.
Jalan satu satunya kita harus menanyakan Suhu."
So So bingung bukan main. "Jiepeh, yang paling penting kita harus memikiri daya untuk merampas pulang Bu Kie," katanya memohon.
"Asal usul orang itu dapat diselidiki belakangan"
Lian Ciu tidak menyahut, ia hanya menggeleng gelengkan kepala.
"So moay, Jieko mendapat luka berat, sedang orang itu berkepandaian begitu tinggi," kata Cui San.
"Andai kata kita sekarang dapat mencarinya, kitapun tidak dapat berbuat banyak,"
"Apa kita menyudahi dengan begitu saja ?" tanya si isteri dengan suara mendongkol.
"Kita tak perlu cari dia," jawabnya. "Dialah yang pasti akan cari kita."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
So So adalah seorang wanita yang sangat pintar. Hanya karena puteranya diculik, pikirannya kalut dan ia tidak dapat berpikir dengan otak dingin. Mendengar perkataan sang suami, ia tersadar dan mengerti maksud Cui San. Serdadu Goan itu memiliki kepandaian begitu tinggi, sehingga Lian Ciu sendiri sampai terluka. Dia pasti seorang tokoh Rimba Persilatan yang menyamar. Jika mau, sesudah Lian Ciu terluka, dia bisa membinasakan Cui San bertiga. Tapi dia hanya menculik Bu Kie. Dari kenyataan itu, dapatlah di tebak, bahwa tujuan orang itu ialah ingin menekan, supaya Cui San dan isterinya mau mem buka rahasia mengenai tempat sembunyinya Cia Sun.
Cui San lalu mendukung dan menaikkan Jieko nya keatas punggung kuda dan perlahan-lahan mereka meneruskan perjalanan. Setibanya di An lok, mereka menginap disebuah rumah penginapan kecil dan sesudah bersantap, mereka segera mengunci pintu.
Lian Ciu segera bersila dan mengerahkan Lweekang untuk mengobati lukanya. Cui San duduk didekatnya, sedang So So menyender disebuah kursi panjang. Kira-kira tengah malam, Lian Ciu turun dari pembaringan dan berjalan perlahan lahan, memutari kamar, untuk mengendorkan otot ototnya.
"Ngotee." katanya. "Selama hidup, kecuali Suhu sendiri, belum pernah aku bertemu dengan manusia yang memiliki Lweekang begitu hebat."
Pada waktu disodok dengan gagang tombak oleh Cui San, "serdadu" itu berlagak pingsan sehingga Cui San bertiga tidak memperhatikannya. Sekarang mereka mengingat ingat wajah dan potongan badan orang itu. Kalau tak salah, dia brewokan, tiada banyak bedanya dengan kebanyakan serdadu Goan.
"Dia menculik Bu Kie pasti dengan tujuan untuk menyelidiki Gieheng," kata So So. "Ah! Apakah anak itu akan membuka rahasia?"
"Bu Kie pasti tidak akan membuka rahasia," kata sang suami dengan suara tetap. "Kalau dia membuka rahasia, dia bukan anak kita,"
"Benar," kata si isteri. " Dia parti tidak membuka rahasia.,"
Tiba-tiba nyonya Cui San menangis pula.
"Mengapa kau menangis?" tanya sang suami.
"Kalau..... Bu Kie menutup ....... .mulut, penjahat itu pasti akan ......mempersakitinya." jawabnya terputus-putus. "Mungkin..... mungkin dia turunkan tangan beracun."
Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Cui San dan Lian Ciu menghela napas. "Batu kumala yang tidak digosok, tidak akan jadi barang yang berguna," kata Cui San. "Biarlah dia merasakan sedikit penderitaan. Mungkin sekali penderitaan itu banyak faedahnya dihari kemudian."
Walaupun mulutnya berkata begitu hatinya sakit sekali. Ia ingat bahwa pada saat itu Bu Kie sedang menderita siksaan atau sedang tidur nyenyak di atas pembaringan. Kalau dia sedang tidur nyenyak, dia tentu sudah membuka rahasia dan sudah menjadi manusia yang tak punya pribudi.
"Dari pada jadi manusia rendah, lebih baik dia mati," kata Cui San di dalam hatinya. Ia melirik isterinya yang kelihatan berduka bukan main. Pada ke dua mata si isteri terlihat sinar mohon belas kasihan. Jantungnya memukul keras. Ia merasa. bahwa jika penjahat itu menekan So So dengan mengancam jiwa Bu Kie mungkin sekali si-isteri akan menakluk.
Ia menghela napas dan berkata "Jieko, bagaimana keadaanmu" Apa kau merasa enakan " "
Semenjak kecil, mereka berdua bersama-sama belajar silat, sehingga yang satu sudah bisa rnembaca isi hati yang lain. Melihat sikap dan mendengar pertanyaan si adik, Lian Ciu sudah mengerti maksudnya. Ia mengerti, bahwa Cui San kuatir penjahat itu akan rnenyateroni dan coba menaklukkan So So dengan menyiksa Bu Kie. "Baiklah, kita meneruskan perjalanan malam ini juga."
Sesudah membayar uang sewa kamar dan santapan, mereka segera berangkat dan berjalan dengan mengambil jalanan kecil. Mereka bukan takut mati. Yang dikuatirkan ialah penjahat itu akan menyiksa Bu Kie didepan mata mereka, untuk memaksa mereka membuka rahasia.
Mereka meneruskan perjalanan tanpa bertemu dengan rintangan lagi. Tapi So So jatuh sakit karena duka, Cui San segera menyewa dua kereta keledai untuk So So dan Lian Ciu, sedang ia sendiri melindungi dengan menunggang kuda.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Sesudah melewati Siangyang, pada suatu malam mereka menginap disebuah rumah penginapan dikota Tay-pang-liam. Baru saja Cui San mengucapkan selamat malam kepada Suhengnya dan ingin kembali kekamarnya, tiba-tiba seorang lelaki menyingkap tira daa menyelonong masuk.
Dia mengenakan baju hijau dan celana pendek, sedang tangannya menyekal cambuk, sehingga macamnya seperti seorang kusir kereta. Begitu masuk, dia mengawasi Lian Ciu dan Cui San dengan mata melotot dan sesudah tertawa dingin, lalu memutar badan berjalan keluar.
Cui San tahu, bahwa orang itu mengandung maksud tidak baik. Sikap orang itu yang kurang ajar menggusarkan sangat hatinya. Sesaat itu,
tirai kain yang didorong oleh orang itu, terayun kedepan Cui San. Ia segera menangkap ujung tirai dan sambil mengerahkan Lweekang, menimpuknya kepunggung orang itu. "Ptak !" dia terhuyung, akan kemudian roboh dilantai. Cepat-cepat dia bangun berdiri, "Penjahat-penjahat Bu-tong pay !" bentaknya,
"Sedang kebinasaan sudah berada diatas kepalamu, kau masih mengunjuk keganasan !" Mulutnya mencaci, tapi kakinya lari dan dari tindakannya yang limbung, ia bukan terluka enteng.
Lian Ciu tidak mengatakan suatu apa.
"Jieko, apa tidak baik kita jalan terus?" tanya Cui San.
"Tidak!" jawab sang kakak deagan suara lantang. "Besok pagi baru kita terangkat."
Cui San mengerti jalan pikiran kakak seperguruannya dan semangatnya lantas saja meluap luap
"Benar!" katanya. "Dari tempat ini, dua hari lagi kita akan tiba di gunung kita. Biarpun kita tolol, tak dapat kita merosotkan derajat dan keangkeran Bu tong pay. Di bawah kaki Bu tong san, masa boleh kita lari ngiprit?"
Sang kakak bersenyum. "Sesudah orang tahu siapa kita, biarlah mereka tahu, bagaimana murid murid Bu tong menghadapi kebinasaan yang sudah berada diatas kepala," katanya dengan suara angkuh.
Lian Ciu lantas saja mengikut kekamar Cui San dimana mereka duduk bersila diatas pembaringan batu dengan berendeng pundak sambil memeramkan mata dan menjalankan pernapasan. Malam itu, tujuh delapan orang berkeliaran diluar kamar dan diatas genteng, tapi mereka tidak berani menerjang karena merasa jerih terhadap nama besarnya Bu tong pay.
Pedang Golok Yang Menggetarkan 5 Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo Cinta Bernoda Darah 13
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama