Menuntut Balas Karya Wu Lin Qiao Zi Bagian 1
"Menuntut Balas Karya : Wu Lin Qiao Zi Diterjemahkan oleh : OKT (Oey Kim Tiang)
cetakan ulang berjudul : Pembalasan Seorang jagoan
Jilid 1. Menuntut Balas 1.1. Meninggalnya ayah tercinta
Kuil Poo Hoa Sie terletak diatas gunung Poo Hoa San
terpisah lima-puluh lie dibarat-daja dari ketjamatan Hin-kok
dalam propinsi Kangsay. Itulah sebuah kuil besar dan tua,
jang katanja dibangun di dekat achir dinasti Tjhin, didjaman
katjau dari penjerbuan bangsa Hsiungnu dan lainnja. Didalam
kuil, pendopo ketiga, jang diberi nama pendopo Leng Koet
Tian, diperantikan menjimpan abu dari pelbagai pendeta
tersebut, sedang di-depan pendopo itu, jang merupakan
pekarangan lebar, tumbuh dua buah pohon pek jang tinggi
kira-kira tigapuluh tombak dan besarnja sepelukan empat
orang, dan umurnja katanja sudah seribu tahun lebih, sedang
kajunja, kalau dibakar di pendupaan, menjiarkan bau harum..
Itulah kuil dimana Beng Liang Taysoe,seorang pendeta jang
sudah berusia tinggi, mendjalankan ibadatnja.
Dimasa mudanja ialah seorang mahasiswa jang gagal
rnemperoleh gelar sioe-tjay, hingga ia djemu terhadap ilmu
surat, tawar hatinja, hingga ia pergi pesiar, lalu digunung
Thian San, ia masuk mendjadi orang sutji, Setelah berusia
landjut, ia memilih kuilnja ini. Disamping ilmu surat, ia pandai
rnenabuh alat tetabuhan, main tjatur dan melukis gambar. la
bertubuh djangkung, dalam umur tudjuh puluh lebih, ia mirip
seorang dari usia empatpuluh, karena tubuhnja itu tidak
melengkung dan djalannja pun tegar dan. tjepat.
Pada suatu fadjar, selagi kabut belum bujar dan hudjan
gerimis, dari puntjak Bie Lek Hong didepan gunung itu,
kelihatan seorang muda berlari-lari turun, untuk mendatangi
kuil. Ia memasuki langsung pintu samping, jang memakai
merek "Geng In," artinja "Menjambut Mega," terus berlari-lari
dilorong, jang mudun ke bawah. Ia baru berhenti lari setelah
masuk kedalam kamar pendeta kepala, jang berada di
pendopo ketiga. Ia bermuka putih dan tampan" tubuhnja
3 kekar, akan tetapi itu waktu, romannja kutjal. Ia mengangguk
kepada beberapa pendeta, jang ditemui didalam kuil itu, tetapi
ia tidak berbitjara atau merandak. Ia menjingkap kain pintu
dan bertindak masuk tanpa ragu lagi.
Beng Liang Taysoe baru sadja habis liam-keng dan lagi
duduk bersamedhi sambil merapatkan kedua matanja, waktu
ia mendengar tindakan kaki orang diluar kamarnja, ketika ia
rnembuka matanja, melihat si anak muda dengan airmukanja
diliputi kedukaan itu. Ia pun lantas mengerutkan alisnja jang
putih. "In Gak," ia mendahului menegur, suaranja lembut, "pagipagi
begini kau telah datang dan romanmu kutjal, mungkinkah
kambu pula sakitnja ajahmu?"
Anak muda itu mendjura. "Benar, loodjinkee," is menjahut. Ia memanggil loo-djinkee'
atau orang tua jang dihormati dan suaranja pun perlahan.
"Baru tadi penjakit ajah kumat, hanja kali ini beda daripada
biasanja. la mengeluarkan darah tak hentinja. Ajah bilang
dadanja sesak. Baru setelah makan sisa obat loodjinkee, ia
rnerasa sedikit lega. Tapi ajah bilang........"
Ia berhenti sedjenak, kedua matanja pun mendjadi merah.
"Maka itu ajah menjuruh teetjoe datang kemari untuk
memohon loodjinkee suka datang mendjenguk.."
Pendeta tua itu menghela napas.
"In Gak," katanja, "inilah hal jang tjepat atau lambat bakal
datang, jang kaupun bukan tidak mengetahuinja, tjuma ingat,
didepan ajahmu, djangan kau mengasi kentara suatu apa,
untuk mentjegah dia mendjadi bersusah hati. Dalam dua-tiga
hari ini, aku rasa, bakal tidak terdjadi sesuatu. Sekarang kau
pulanglah lebih dulu, loolap akan menjusul ..."
Dengan "loo-lap," atau pendeta jang tua, pendeta itu
membahasakan diri sendiri.
"Baik, loodjinkee," menjahut pemuda, jang dipanggiI In
Gak itu, sambil ia mendjura. Lalu dengan tjepat ia
mengundurkan diri, untuk keluar dari kuil, guna kembali ke Bie
4 Lek Hong darimana tadi ia datang. Di kaki puncak, setelah
melihat kesekitarnja tidak ada lain orang, ia mendaki dengan
berlari-lari dengan ilmu ringan tubuhnja yang mahir. Kalau
mulai naik ia menjedot hawa, setibanja di diatas puntjak ia
mengeluarkan napas. Habis itu ia berlari-lari pula menudju
kebelakang gunung. la baru berhenti sesudah sampai di
tjabang puntjak dimana ia melihat kebawah. sebuah djurang.
Tanpa sangsi lagi, ia terus berlompat turun dengan menggunai
ilmu lompat "Tee in Tjiong" atau "Tangga mega" suatu djurus
dari ilmu silat "Tjit Khim Sin hoat atau "Tudjuh ternak". Maka
dilain saat, ia sudah berbungkuk masuk dalam sebuah guha.
"Anak In!" terdengar satu suara menanja yang lemah, "loo
soehoe sudah datang atau belum?"
"Loo-soehoe" itu jalah panggilan jang berarti "guru tua"
"Loosoehoe bilang ia akan menjusul, maka itu sebentar ia
akan datang,," menjahut si anak muda.
"Ah...." terdengar suara orang itu, mendengar mana pedih
hatinja pemuda itu. Kamar dalam guha itu diterangi pelita, baunja tak sedap
untuk hidung. Kamar itu jang menjambung dengan sebuah
jang lainnja, buatan manusia. Dibagian belakang itu ada
terdapat perapian, medja, mangkuk dan lainnja perabotan
serta sekumpulan dari beberapa puluh djilid buku. Di dalam
kamar itu ada dua buah pembaringan bambu atau bale-bale
jang ditaruh berhadap-hadapan, di timur dan barat, dan jang
di barat, ditempati oleh orang jang berbitjara tadi, jang
tubuhnja memeringkuk, mukanja kurus dan perok, jang
napasnja memain pergi datang. Dia berambut dan kumis
djenggot pandjang. Ketika si anak muda bertindak masuk, .ia
mengawasi dengan sinar-matanja jang saju.
Pemuda itu berduduk disisi pembaringan.
"Ajah, bagaimana rasanja dada ajah, apa mendingan" ia
tanja. Ia menanja tetapi ia membukai kantjing badju ajah itu,
untuk menguruti perlahan.
5 Orang tua itu menghela napas, agaknja merasa sedikit
lega. "Anak In" katanja, "Selama beberapa tahun ini sjukur ada
kau, tetapi kaupun mendjadi menderita karenanja. Ada banjak
hal yang kau belum ketahui, jang sebegitu djauh ajahmu
simpan sadja dalam hati. Sebabnja ini jaitu aku kuatir, djikalau
aku memberitahukannja kepada kau, nanti terganggu
peladjaran silatmu, karena perhatianmu mendjadi terpetjah.
Sekarang ini aku merasa aku bagaikan pelita jang minjaknja
kering, soal berpisah dari dunia ini tinggal soal waktu sadja,
dari itu, dendaman hatiku terpaksa aku mesti mengandal
kepada kau seorang...Tentang hal ichwalku, semuanja
diketahui loo soehoe, biar loo soehoe jang nanti menuturkan
kepada kau. Kau sudah dewasa sekarang, hatiku lega,
melainkan aku menjesal, belum keburu aku membuatnja kau
membangun rumah tangga..."
Mendengar itu, si anak muda bertjutjuran air mata.
"Ajah, djangan ajah berkata begini" katanja, "Loo soehoe
bilang..." Belum habis kata-kata si anak muda, dalam guha itu
berkelebat satu bajangan, lantas Beng Liang taysoe berada
diantara mereka. Lekas-lekas ia berbangkit, untuk memberi
hormat. Si orang tua bergerak, untuk berbangkit, tetapi si pendeta
mentjegah. "Saudara Boen, rebah sadja!" katanja tertawa, "Tidak dapat
kau sembarang bergerak. Ini, kau makanlah" Ia menjerahkan
sebutir obat pulung. Si orang tua menjambut obat itu.
"Baiklah! Terima kasih..." katanja meringis, obatnja ia terus
telan. Ia batuk satu kali. Ia meneruskan: "Sebenarnja tak usah
taysoe mentjapaikan hati lagi, sia-sia belaka pel Tiang Tjoen
Tan ini. Siauwtee telah memeriksa nadiku barusan, siauwtee
merasai denjutannja jang sudah tidak teratur lagi, djadi
siauwtee rasa, pertjuma umpama kata ada obat mustadjab,
6 obat itu paling djuga bisa memperpandjang djiwa dua-tiga hari
lagi...Tidaklah itu tjuma melambatkan mengi, menambah
penderitaan" Maka siauwtee pikir, lebih baiklah siauwtee pergi
siang-siang...Tjuma sebab hatiku masih menggandjal, maka
itu siauwtee menjuruh anak In minta taysoe sudi datang
kemari, untuk siauwtee meninggalkan pesan. Siauwtee
bersjukur jang untuk banjak tahun si In sudah menerima
pelbagai petundjuk dari taysoe, sajang dia belum mendjadi
murid jang resmi, tatapi mulai hari ini, siauwtee minta sukalah
taysoe menerimania sebagai- murid tay soe"supaja kemudian
taysoe mendidiknia dengan keras. Setengah tahun setelah ini,
kapan ia telah selesai diberi peladjaran menurut kitab Hian
Wan Tjin Keng, biarlah ia diidjinkan turun gunung, guna ia
mentiari sekalian musuhku, guna ia menuntut balas. Mengenai
ini, siauwtee mohon taysoe suka djuga memberi segala
petundjuk. Inilah permintaan siauwtee jang terachir, siauwtee
pertjaja taysoe tentulah suka menerimanja, bukan?"
Pendeta tua itu bersenjum.
"Untuk segala apa dibelakang hari, semua loolap akan
urus," katanja, sabar. "Sekarang ini djangan kau banjak
omong dan banjak pikir, baiklah kau tidur sadja"
Sembari berkata, ia rnenotok urat pulas orang tua itu,
maka dia lantas tak sadarkan diri, dia terus tidur.
Untuk beberapa detik, pendeta itu berdiam mengawasi
orang tua itu. "In Gak, mari!" achirnja ia kata.
Si anak muda berdiri dimuka pembaringan, airmatanja
meleleh tak hentinja. Ia menghampirkan, untuk berdiri
disamping pendeta itu. "In Gak, kau djangan bersusah hati," kata Beng Liang
Taysoe jang sendirinja menghela napas. "Manusia itu, seteIah
usianja seratus tahun, tak luput dari kematian, tetapi ajahmu
ini, jang dapat hidup sempurna begini, di dalam kalangan
Kang-ouw, ada berapakah jang dapat menjamakannja ?" la
hening sedjenak, ia kata pula: ."Telah berulangkali ajahmu
minta loolap mengambil kau sebagai murid, senantiasa lolap
7 menampik. Ini bukan disebabkan loolap banjak pernik, hanja
di-samping itu ada sebabnja. Didalam kuilku tidak seorang
jang mengetahui loolap mengerti ilmu silat, paling djuga
mereka menduga duga bahwa loolap berolahraga untuk
kesehatan. Djikalau loolap menerima kau sebagai murid,
dengan sendirinja mesti mengubah panggilan terhadap loolap.
Ajahmu ini banjak sekali musuhnja, djikalau kita alpa, asal
rahasia botjor, bukan sadja ajahmu bakal mengundang
datangnja musuh-musuh besar dan berbahaja, djuga itu akan
mendatangkan kesulitan tak habis-habisnja untuk kuilku. Maka
djuga loolap menolak keras. Sementara itu selama beberapa
tahun ini, kau djuga telah rnewariskan kepandaian ajahmu,
kau tinggal. mernbutuh kan latihan teriebih djauh . Kau tahu,
loolap telah melihat bakatmu jang baik, didalam hati, loo-lap
sudah menerima kau sebagai murid, rnelainkan waktunja
belum tiba. Sekarang, jalah mulai hari ini, loolap terima kau
setjara sah. Akan tetapi, masih ada satu soal jang kau mesti
perhatikan. Selandjutnja, kau tetap, berdiam disini, setiap aku
hendak memberikan peladjaran, nanti aku sendiri jang datang
kemarl Kau, kau tahu, aku larang kau datang ke kuilku, supaja
kau tidak menarik perhatian orang.
"Mengertikah kau?"
"Ja, soehoe" berkata si anak muda, jang bernama In Gak
itu. la girang bukan kepalang, ia terharu bukan main. Segera
ia pay-koei tiga kali, untuk mendjalankan kehormatan sekalian
menghaturkan terima kasihnia.
"Bangun, anak!" berkata sang guru, jang pun tertawa
girang. Sudah semendjak tiga tahun jang lalu si anak muda
mendengar dari ajahnia bahwa Beng Liang taysoe telah
rnenjampaikan puntjaknia kemahiran ilmu silat, bahwa dia tak
ada tandingannja. Katanja, guru itu jalah muridnja Boe Wie
Siangdjin dari djurang Tjap In Gay, sedang Boe Wie Siangdjin
sendiri satu djago luar biasa pada duaratus tahun jang lalu
jang kemudian tak ketahuan kemana parannja. Menurut kata
ajahnja itu, asal dua bahagian sadja kepandaian Beng Liang
8 Taysoe dapat diwariskan, orang sudah boleh mendjagoi.
Sekarang ia mendjadi muridnja pendeta lie hay itu, bagaimana
ia mendjadi tidak sangat girang"
Beng Liang mengawasi murid itu, ia melihat kegirangan
orang tertjampur kedukaan jang hebat, maka ia kata dalam
hatinja: "Anak ini harus dikasihani. Dengan dia menerima
kepandaianku, dia bakal mendjadi orang gagah luar biasa,
tjumalah karena nja, dunia Kang-ouw bakal terbuatnja
mendjadi gempar, maka itu baiklah, dengan pengaruh Sang
Buddha, aku akan mentjoba membataskannja ...... ..." Maka ia
kata pada muridnja itu: "In Gak, kau turut ajahmu datang ke puntjak Bie Lek Hong
ini sedjak usiamu enam tahun, baniak hal jang kan tidak tahu..
Ajahmu ini, Tjia Boen, asalnja orang gagah dari Kwan-lok,
ilmu siiatnja ilmu silat tersendiri. Sekalipun orang kang-ouw,
tidak ada jang ketahui asal-usul-nja. Belum berusia tigapuluh
ia sudah rnendjadi djago Kwan-lok, hingga kaum Rimba
Persilatan menamakan dia Twie Hoen Poan, Si Hakim
Pengedjar Arwah. Ajahmu bertabiat keras, ia membentji
kediahatan bagaikan musuh besarnia, dari itu djikalau orang
dari kaum Djalan Hitam bertemu padanja, pasti dia
dibinasakan tanpa ampun. Bahkan orang dari golongan lurus
apabila dia bertindak diluar garis, dia dihukum djuga,
dikutungi kuping atau hidungnia atau dirusak ilmusilatrija.
Karena tangan besinja ini, ia membangkitkan amarah kedua
golongan sesat dan lurus itu hingga mereka berserikat dan
berdaja untuk menumpasnja."
In Gak memasang kuping, pelbagai rupa perasaaanja. Baru
sekarang ia mengetahui asal-usul atau hal-ichwal ajahnja itu.
Menuntut Balas Karya Wu Lin Qiao Zi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia berdiam sadja, untuk mendengar terlebih djauh.
"Ajahmu itu tidak ketentuan tempat kediamannja," "Beng
Liang melandjuti, dia pergi kemana dia suka. Beberapa kali ia
diketemukan musuh, tetapi sebab musuh kebetulan
berdjumlah sedikit, mereka tidak berani turun tangan. Maka
itu, buat lagi beberapa tahun, ajahmu tetap dengan tabiatnja
9 itu. Pada suatu hari aku bertemu ia di kuil Ouw Yoe Sie
ditepinja sungai Kee Leng kemana ajahmu sering pesiar lantas
kita mendjadi sahabat ;Aku ketahui sifat ajahmu, sering aku
memberi nasehat padanja. Ia suka mendengar kata,
seIandjutnja ia tidak lagi bertangan besi seperti dulu-dulu. Di
tahun kedua sedjak pertemuan ajahmu menikah ibu-mu,
bersama-sama mereka tinggal disebuah kampung nelajan
ditepi sungai itu. Ia menutupi diri, ia tidak rnemperhatikan
pula urusan dunia Kang Ouw, Di tahun ketiga maka kau
dilahirkan. Menurut pantas, setelah rnenjimpan pedangnja dan
menjekap diri ajahmu boleh hidup aman dan berbahagia
hingga di.hari tuanja, siapa sangka, karma itu ada libatannja,
orang sukar meloloskan dirinja. Ketika umurmu tiga tahun,
kau turut ajahmu ke kuil rnendjenguk aku. Tiga hari lamanja
kamu tinggal didaIam kuil. Ketika itu aku melihat wadjah
ajahmu guram, aku rneng?andjuri ia lekas pultang. Diluar
dugaan, setibanja ia di rumah ia mendapatkan ibumu telah
mati basah, rebah diatas pernbaringan dengan dadanja
bertapak tudjuh djari tangan jang hitam, terang-lah
kebinasaannja disebabkan hadjaran tangan jang liehay. Sambii
menangis, ajahmu mengurus djenazah ibumu itu, selesai itu
meninggalkan rumahnja dan pergi untuk, mentjari musuhnja,
guna mentjari balas. Pernah aku. menasehati.untuk ia
menahan untuk merawat dan mendidik padamu, hingga kau
dewasa, akan tetapi ia keras dergan niatnja itu, hingga aku
tidak. dapat mentjegah lebih djauh. Ketika itu, atas
pertolongan kakak seperguruanku, aku telah tinggal di kuilku
jang sekarang ini. Setelah aku memberikan alamatku, kita
berpisahan." Kembali pendeta itu berhenti sedjenak, baru ia melandjuti:.
"Kasihan ajahmu itu, ia pergi dengan ia mesti
menggendong-gendong kau, hidup dalam perantauan, Tahun
lewat tahun, ia masih belum berhasil mentjari musuhnja,
musuh jang membinasakan ibumu itu, Kemudian ajahmu
beruntung mendapatkan kitab Hian Wan Tjin Keng itu. Ia
mendapatkannja di gunung Hoa San. Kitab itu memakai hurufTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
10 huruf Kak koet-boen jang sukar dibatja, ia tidak ,mengerti. Ia
ingat padaku, ia lantas berangkat ke Kang say untuk rninta
bantuanku. Didalam perdjaIanan ini, mungkin orang kenaIi
padanja, maka orang mengumpul diri, ia lantas disusul, lain
diwaktu malam ditepi telaga Tong Teng Ouw, ia diserang. la
dikerojok oleh belasan musuh jang semuanja bertopeng.
Ajahmu boleh gagah tetapi mana sanggup ia melawan begini
banjak musuh liehay, sedang ia djuga menggendong kau"
Setelah bertempur lama, ia mendapat banjak luka, antaranja
tiga totokan ditempat yang berbahaja. Sjukur ajahmu pernah
mendapat peladjaran Kim Kong Sian-kang dari aku, ia dapat
melindungi djantungnja, hingga ia tidak menemui
kematiannja. Dengan berlaku nekat, ia menoblos kepungan, ia
bersembunji dan lari siang malam, achirnja ia sampai
ditempatku. lantas aku menjembunjikan kamu diguha ini.
Ajahmu berobat, ia makan pel Tiang Tjoen Tan, tetapi itu
tjuma dapat memperpandjang usianja belasan tahun. la tidak
bisa berkelahi lagi. Lagipula setiap dua musim semi dan panas,
mesti sakitnja itu kumat. Ajahmu tahu ia tidak dapat menuntut
balas sendiri, maka. Ia mewariskan kepandaiannja kepada
kau, harapannja jalah supaja kau bisa menggantikan dia
membuat pembalasan."
Habis berkata, pendeta tua itu menghela napas.
In Gak menangis sesenggukan, airmatanja turun deras
"Sudah, muridku, tak usah kau terlalu berduka," sang guru
membudjuk, "Selang dua djam, ajahmu ini akan mendusin.
Sekarang aku hendak pulang, sebentar aku nanti kembali."
Beng Liang bertindak keluar, In Gak mengantarkan. Murid
ini melihat guru itu berlompat, gerakannja bagaikan burung
djendjang terbang melajang, sebentar sadja sang guru sudah
hilang dari hadapannja. "Djikalau aku berhasil mewariskan separuh sadja
kepandaiannja guruku, pasti aku akan mengangkat nama
dalam dunia Rimba Persilatan," pikir ia, "Aku akan bunuh habis
semua musuh ajah dan ibuku, tidak perduli jang tjuma turutturutan
sadja!" 11 Hebat pikirannnja pemuda ini, karena dengan demikian
terta-namlah tjita-tjitanja menuntutbalas hebat. Karena ia
sangat bersakit hati ibunja dibinasakan oleh musuh, atau
musuh-musuh, jang demikian pengetiut, litjik dan kedjam, dan
ajahnja dikerojok oleh sekumpulan manusia kedji, hingga ajah
itu mesti sangat menderita sehingga sekarang ini, sedang
ajahnja itu adalah pendekar, penentang segala manusia
busuk. Ajahnja tidak bersalah.. Atau umpamakata ajahnja
keliru, itulah kekeliruan jang berupa tangan besi, disebabkan
sikapnja terlalu keras, Siapa suru si djahat tidak mengenal
peri-kemanusiaan" Bukankah pantas si djahat jang
melewatkan batas dihukum bengis"
Lima hari kemudian Tjia Boen telah meninggalkan dunia
jang fana ini. In Gak menangis menggerung-gerung, ia
berteriak-teriak meminta keadilan Thian. Ia merasa
peruntunganja buruk sekali. Semendjak usia tiga tahun, ia
hidup terlunta-lunta, senantiasa berada dalam gendongan.
Kemudian terus ia masih sesunggukan ia merasa
peruntungannja buruk sekall. Semendjak usia tiga tahun, ia
hidup terlunta-lunta, senantiasa berada dalam gendongan
ajahnja, selagi si ajah dikedjar-kedjar musuh. Belum pernah ia
hidup merdeka sebagai anak-anak lain sebajanja. la mesti
menemani ajahnja, jang tersiksa bathin dan lahirnja, tidak
pernah ia main-main, .sebaliknja ia mesti bertekun mejakini
ilmu silat. Sekarang, sebelum dapat berdiri sebagai manusia, ia telah
ditinggalkan ajahnja, hingga selandjutnja in mesti hidup
sebatang kara hidup dengan tugasnja jang berat dan
berbahaja, hidup untuk menuntut balas!
Beng Liang Taysoe mendampingi Tjia Boen ketika djago ini
hendak menghembuskan napasnja jang terachir, sekian lama
ia membiarkan anak itu mengumbar kesedihannja, baru
kemudian ia membudjuk dan menasihatinja, untuk mereka
bersama mengurus djenazah djago tua itu, jang dikubur
dengan upatjara jang paling sederhana, dikuburkan disatu
tempat jang dipilih dibelakang gunung itu.
12 Semendjak itu, setiap mengenang ajahnja, In Gak
menjambangi kuburan ajahnja itu untuk menangis sedih
disamping kuburan untuk menabur bunga.
Disini ia memperkokoh tekadnja,untuk nanti merantau,
guna mentjari musuh-musuhmja.
Pada suatu hari Beng Liang Taysoe, sang guru, telah
datang keguha muridnja. Ia panggil muridnja kedepannja,
lantas ia kata dengan sikapnja sungguh-sungguh dan keren:
"In Gak, kau dengarl Mulai hari ini aku akan mengadjari kau
ilmu silat. Sebagai permulaan, kau akan mendapatkan
peladjaran duduk bersamedbi, akan menjalurkan
pernapasanan, untuk melatih tenaga-dalammu. Kau mesti
melatihnja setiap hari, djangan putus-putusnja djuga dasar
untuk mejakinkan ilmusilat Bie Lek Sin-Kang. Ajah mu telah
mengadjari ilmu Twie- Hoen Tek-Goat Kiarn-hoat, ilmu pedang
'rnengedjar Arwah dan Memetik RembuIan' jang terdiri dari
tudjuhpuluh-dua djurus serta pukulan Hoei Liong Tjiang atau
Tangan Naga Terbang, jang terdiri Sembilan puluh-tudjuh
djurus. Djuga kedua ilmu itu kau mesti latih terus, jangan kau
alpakan. Itulah ilmu pedang dan tangan kosong jang langka
didalam dunia persilatan dan dengan itu ajahmu telah
mengangkat namanja" Habis berkata dan muridnia berdjandji akan mentaati pesan
gurunja ini lantas mulai dengan pengadjarannja itu.
"In Gak bersamedhi setiap pagi dan sore, ia membagi
waktunja untuk melatih ilmu silatnja. Segera ia mendapat
kenjataan, tu?buhnja mendjadi segar luar biasa dan gerakgeriknja
mendjadi lebih gesit. Maka selandjutnja ia beladjar
lebih tekun, bahkan setiap hari, ia bersamedhi belasan kali.
SeteIah bersamedhi, lenjap segala keletihannja.
Satu bulan kemudian Beng Liang Taysoe datang keguha,
lantas ia melihat perubahan muridnja itu. Ia girang dan kagum
luar biasa. Sungguh pesat kemadjuan si murid. Karena ini, ia
lantas mulai mengadjari Bie Lek Sin-Kang, jang terdiri tjuma
dari duabelas djurus. Ia memberi petundjuk, ia mendjelaskan
13 sambil ia sendiri bersilat untuk dilihat tegas muridnja itu,
hingga muridnja dapat mendjalankannja. Disebelah bakat, In
Gak dibantu ketjerdasannja, dasarnja dan keradjinannja, djuga
keuletannja. Berkatalah sang guru: ,,Bie Lek Sin Kang berendeng
dengan Hian Boen Kong Khie. Bedanja jalah Hian Boen Kong
Khie bersifat keras, setelah dilepaskan sukar untuk dibatalkan,
untuk ditarik pulang. Bie Lek Sin Kang tidak ada tjatjadnja
jang demikian. Saking halus dan sebatnja, Bie Lek Sin Kang
dapat dipakai melukai orang hingga sukar terlihat, sedang
berbareng, tubuh mendjadi kuat bagaikan emas atau badja
hingga sukar terlukakan. Sekarang beladjarlah kau dengan
radjin, satu bulan kemudian, aku akan datang pula."
In Gak mengangguk, ia menghaturkan terima kasih, lantas
ia mengantarkan gurunja keluar. Setelah itu, ia kembali
kedalam, akan berlatih. Seperti biasa, ia beladjar tanpa
mengenal tjapai. Dengan tambahnja peladjaran, ia mesti membagi waktu.
Sekarang setiap fadjar, sebelum terang tanah, ia merajap naik
kepuntjak. Bie Lek Sin-Kang tepat dipeladjarkan ditempat terbuka.
.Aneh peladjaran ini Didalam setengah bulan jang pertama, ia
tidak melihat hasilnja. Adalah selewatnja itu, baru ia merasa.
Tidak sadja tubuhnja bertambah segar, djuga rasanja ia
bernapas dan bergerak semakin leluasa. Ketika ia mentjoba
menjabat tjabang pohon jang besar dengan tangan kosong,
tjabang itu patah serentak, hingga ia mendjadi kagum bukan
main. Karena. itu, ia mendjadi makin radjin.
Ketika selang satu bulan Beng Liang datang melihat
muridnja, ia bersenjum dan mcngatakannja: "Hasil kau ini
tidak dapat ditjela. Tempat ini tidak didatangi orang, kau boleh
beladjar setiap waktu."
14 Kemudian guru ini mengadjarkan pula kedua ilmu pedang
Kim Kong Hok Houw atau Arhat Menakluki Harimau terdiri dari
tiga puluh enam djurus dan Hian thian Tjit Seng atau Tudjuh
Bintang Hian-thian terdiri dari delapan.puluh-satu djurus.
Setelah ini, guru ini guru ini datang dengan terlebih sering,
bukan lagi sehulan sekali, hanja setiap tiga atau lima hari ia
memberi peladjaran lebih tjepat dan menilik lebih sering. Ia
mengadjari djuga penggunaan sendjata rahasia dan tjaranja
untuk menanggapi atau berkelit dari serangan sendjata
sematjam itu. Disamping lweekang atau lay-kang, tenagadalam,
ia pun mengadjari gwa-kang, peladjaran-luar,
begitupun pelbagai petundjuk atau pengadjaran sampingan
lainnja. In Gak tetap beladjar dengan radjin, ia tidak mengenal
lelah bahkan diwaktu turun hudjan ia berlatih terus, hingga
kemadjuannja luar biasa pesat. Sedangkan setiap malam
bulan purnama, dengan tentu ia menjambangi kuburan
ajahnja, untuk rnenangis dan berkata: ,,Ajah, tenangkanlah
hati ajah! Pasti. aku nanti menuntutbalas!"
Bagaikan seketjapan mata, setengah tahun sudah lewat.
Satu hari Beng Liang datang dengan membawa sedjilid buku
berkulit kulit kambing, sambil menundjuki buku itu kepada
muridnja, ia kata: "Ini dia kitab Hian Wan Tjin Keng,jang duluhari didapat
ajahmu. Buku ini memuat peladjaran tentang djalandarah,
bagaimana harus menotoknja, bagaimana harus
membebaskanaja. Djuga perihal pengobatan terutama dengan
djarum. Karena ini, kitab ini pun dinamakan Hian Wan Sip Pat
Kay, atau Delapan belas Pengobatan Kaisar Hian Wan. Aku
akan mengadjari kau setiap hari satu fatsal, selandjutnja
terserah kepada kau untuk memahamkannja hingga kau dapat
mempergunakannja dengan sempurna. Aku pertjaja, dengan
ketjerdasanmu, tak sulit untuk kau mengatasinja."
15 In Gak terima peladjaran itu, setiap hari ia membatja dan
mengapalkannja diluar kepala. Sulit untuk ia rnengenal hurufhuruf
Kak-koet-boen, tetapi ketekunannja membuat ia berhasil
djuga. la tidak kenal tjapai, ia tidak pernah putus asa.
Beng Liang mernbantu muridnja dengan ia memberikan
seperangkat kulit manusia, entah dari mana ia dapatkannja,
dengan begitu, In Gak memperoleh kegampangan untuk
mengenal pel-bagai djalan darah. Bahkan selang tiga bulan, ia
dapat menotok djuga dengan timpukan sehelai daun atau
selembar bunga. Sesudah murdnja madju demikian djauh, Beng Liang,
menjuruh sang murid membagi waktu, jalah setengah hari
beladjar silat setengah hari. Beladjar surat. Llmu surat perlu
untuk memperlengkapi diri, terutama untuk ilmu pengobatan,
ilmu ketabiban dipeladjari berbareng dengan ilmu ringan
tubuh. Demikian tjara luar biasa dari guru itu untuk mendidik
muridnja.. Iimu silat diutamakan, maka ilmu silat didului baru
menjusul jang lainnja, Selewatnja satu tahun maka Tjia in Gak telah mendjadi
seorang muda dari usia sembilan belas tahun, romannja
tampan, tubuhnja sehat dan kuat. Karena pendidikan ajahnja
dan gurunja jang sedikit bitjara" ia mendjadi pendiam"
pikirannja tenang. Memangnja dengan tinggal didalam guha,
di atas gunung jang sunji, ia tidak pernah kenal lain orang
ketjuali ajah dan gurunja itu, tjuma beherapa pcndeta lainnja
dari kuil Poo Hoa Sie Pada suatu hari, Beng Liang datang keguha, dan berkata
Menuntut Balas Karya Wu Lin Qiao Zi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kepada muridnja; "In Gak, semua kepandaianku telah aku
wariskan kepadamu. Untukmu, jang masih kurang, jaian
latihan lebih djauh. Meski demikian, sekarang kau sudah boleh
turun gunung untuk mentjari musuh -musuhnja ajah dan
ibumu, guna kau mewudjudkan pesan ajahmu mentjari balas.
16 Tjuma satu hal aku harap dari kau, jalah kau djangan
melupakan peri-kemanusiaan, djangan kau sembarang
mennbunuh orang. Didalam hal memilih sahabat, kau mesti
berlaku teliti. Djanganlah kau terlalu berkukuh. Jang paling
penting, djangan sekali kau menjebut narna gurumu, dan Bie
Lek Sin kang djangan digunai ketjuali sangat terpaksa!'
Beng Liang seorang pendeta perantau, dia tahu akan
segala matjam orang kam kang ouw, dia kenal pelbagai partai
ilmu persilatan, dia telah menjelami sifat manusia umumnja,
maka semua itu ia djelaskan kepada muridnja ini, supaja
muridnja mengetahui dan mengingatnja baik?-baik. Semua itu
penting untuk seorang jang mau pergi merantau. Ia terutama
memesan bagaimana murid ini harus membawa diri. Setelah
itu, ia memberikan uang duaratus tail perak serta sebilah
pedang lunak jang diberi nama Ouw Kim Djoan-kiam.
"Besok kau boleh berangkat, dan tak usah kau datang pula
kekuilku untuk pamitan," kata si guru achirnja.
Kedua matanja In Gak. penuh airmata. Sangat berat
untuknja berpisahan dari gurunja ini jang mentjintai ia tak
kalah tjinta ajahnja. Wadjah si pendeta pun mendjadi guram,
karena dia pun tak tega hati" maka ketika dia mau berlalu, dia
mendjedjak tanah, dia berlalu dengan tjepat.
Dengan hati pedih In Gak mengawasi gurunja barlalu. Ia
pun menguatkan hatinja. la ingat ia harus mentjaribalas.
Itulah tugasnja. Maka selang sekian lama, ia mulai
membenahkan pauwhok atau buntalannja. Ia membawa apa
jang paling perlu. Malamnja, ia pergi kekuburan ajahnja, untuk
menangisinja pula, karena kali ini ia pamitan untuk waktu jang
tak berbatas. Besoknja pagi, diwaktu berangkat, ringkas sekali buntalan
Tjia In Gak, sedang pedangnja dilibat dipinggangnja.Bukubukunja,
sedari setengah bulan jang lalu, telah diambil
gurunja, sedang piring-rnangkuk tidak ada perlunja. Tidak ada
17 benda jang ia berati, ketjuali guhanja sendiri, guha tem?pat in
bernaung belasan tahun. Ketika ia keluar dari guhanja lantas
ia berdiri tegak menghadap kekuil Poo Hoa Sie, ia terus pay
koei, berlutut dan mengangguk hingga empat kali, tandanja ia
memberi hormat dan meminta diri dari gurunja. Diachirnja,
dengan menggertak gigi, ia berlompat, untuk terus berlari-lari,
meninggalkan guhanja itu. Ia mengangkat kepala, tidak
pernah ia menoleh pula. Maka mulai itu hari, dunia Rimba Persilatan lantas tertutup
dengan hawa pembunuhan, oleh karena satu anak jatim-piatu,
jang hidupnja sangat menderita, hendak melakukan tugasnja
melampiaskan dendam .....
# Tiga puluh lie lebih keselatannja puntjak Bie Lek Hong
terdapat dusun Liong kauw-hie jang mendjadi pusat
pardagangan. Di situ ada sebuah kali, jang airnja mengalir ke
Kiong Tjioe, seperdjalanan seratus enampuluh lie. Ketika In
Gak tiba di sana, kebetulan djatuh hari besar, dari tempattempat
disekitarnja, orang datang- berdujun-dujun, buat
berdagang, buat berbelandja. Maka pusat perdagangan jang
tak Iuas, jang beralasan lantai batu; sesaklah dengan kira-kira
lima ribu orang, hingga pemuda kita berdjalan berdesakdesakan
untuk mentjari sebuah kedai nasi. Suara orang pun
berisik sekali. "Sedjak hari ini. aku mesti melakukan perdjalanan dengan
tak ada tudjuannja," In Gak berpikir selagi ia duduk mengisi
perut. "Kenapa aku tidak mau naik perahu untuk pergi
keibukota propinsi'" Dikota Lam-tjjang pastilah terdapat
orang-orang dari pelbagai kalangan dari sasterawan sampai
segala kuli, dan ular dan naga tinggal mendjadi satu.
Insoe mengatakan, untuk manjerap-njerapi musuhmusuhku,
perlu aku berkenalan dengan orang bangsa
piauwsoe atau anggauta partai persilatan.
Orang sebagai aku, pasti aku dapat memasuki umpama
suatu piauwkok. Atau aku pergi dulu kepropinsi Soe-tjoan,
untuk mendjenguk kuburan ibuku."
18 In Gak tidak menjebut gurunja dengan panggilan soehoe,
guru, hanja insoe, jang berarti guru jang telah melepas budi
banjak terhadapnja. Setelah mengambil putusan, In Gak memanggil pelajan,
untuk menanja apa ada perahu sewaan untuk keibukota.
"Itulah gampang, siangkong," sahut si pelajan sambil
tertawa manis. "Kebetulan sekali, pamanku jang mempunjai
sebuah perahu besar hendak berangkat tengah hari ini.
Baiklah, nanti aku mengaturnja,"
Pelajan ini pergi keluar, untuk memanggil seorang desa
dengan siapa ia lantas berbitjara. orang desa itu menganggukangguk.
Jilid 1.2. Menjadi Guru Sastra di Tjin tay Piauw Kiok
"Dia inilah jang akan mengantarkan siangkong ke perahu,"
katanja kemudian. In Gak sudah dahar tjukup, ia iantas membajar uang
makannja. Ia memberi presen pada pelajan itu. Setelah itu, ia
turut si penundjuk djalan hingga ditepi sungai, jang
merupakan pelabuan pedesaan jang ramai. Disitu terlihat
banjak perahu besar dan ketjil, terutama tampak njata tihangtihang
lajar dan lajarnja. Si pengantar, dengan berdiri ditepian, mengasi dengar
kaokan njaring berulang-ulang. Segera dari sebuah perahu
muntjul seorang, jang terus menjahuti seraja tangannja
menggapai-gapai. "Mari, siangkong," si pengantar mengadjak.
In Gak rnengikut. Setelah melintasi belasan perahu Iainnja,
tibalah mereka diperahu besar itu. Lantas mereka menemui
pemiliknja, seorang tua she Thio, jang ramah-tamah, jang
berkata: "Senang aku menerima kau, siangkong. Perdjalanan
ada seribu lie lebih akan tetapi kalau angin balk, kita akan
sampai diibukota dalam waktu duapuluh hari."
in Gak menghaturkan terima kasih kepada si pengantar,
19 la ikut pemilik perahu itu masuk kedalam gubuk. Perahu
besar itu terbagi dalam delapan ruangan, empat didepan,
empat dibelakang, bagian tengahnja mendjadi dapur dan
ruangan bersantap. Dan empat ruangan belakang, jang
keempat untuk kamar tidur, jang tiga terisi penuh muatan
seperti kulit, daun rokok dan lainnja hasil bumi setempat. Dari
empat ruangan depan, jang dua dipakai sendiri oleh si Thio
dan anak isterinja, jang dua lagi masih kosong. Sedangkan
dibawah lantai perahu disimpan persediaan barang makanan,
seperti beras, sajur, daging dan lainnja.
Senang In Gak melihat kamar untuknja jang terawat bersih,
setelah memeriksa, ia kembali kepada si Thio, untuk bitjara
harga sewanja, untuk membajar dimuka, kemudian habis
berbitjara sebentar, ia kembali pula kekamarnja itu, diruang
depan. Ketika kendaraan air mulai meninggalkan tepian, la
berdiri dikepala perahu, memandang djauh kesekitar sungai,
melihat burung-burung terbang dan telinganja mendengar
njanjian kawanan nelajan.
Setelah beberapa hari di atas perahu, In Gak dapat
berkenalan dengan djurumudi dan anak-buah perahu, hingga
ia mengerti pelbagai istilah bangsa mereka itu, bahkan ia bisa
djuga menggaju, menggunai gala kedjen, dan menguasai
kemudi. Waktu senggang diatas perahu digunai In Gak sebaikbaiknja.
Djikalau ia tidak pasang omong sama si Thio atau
ngobrol sama awak perahu, ia menguntji kamar, untuk
bersamedhi. llmu samedhi itu jalah jang dinamakan Kwie Goan
Tjo-Kang. Sambil bersamedhi, berbareng ia melatih Bie Lek
Sin-Kang. Dan kapan perahu lagi berlabu, ia suka mendarat,
untuk mentjari tempat sepi, guna berlatih silat pedang dan
tangan kosong. Tak suka ia mengadjak salahsatu awak
perahu, untuk pesiar didarat. Sikapnja ini mengherankan awak
perahu, tetapi karena ia manis-budi, orang menganggapnja
itulah tabiatnja. 20 Dari Hin-kok melintasi Kiong tjioe sampai di Louw-leng-hoe,
perdjalanan ada enam ratus lie air, hari jang dilewati sudah
setengah bulan. Aliran air jalah milir tetapi kadang-kadang
mereka terganggu angin barat-laut, karena ketika itu sudah
dipermulaan buIan dua-belas. Kalau ada gangguan, angin,
sepandjang tigapuluh lie, awak perahu terpaksa mendarat dan
menarik perahunja. Sjukur In Gak tidak mempunjai urusan
penting tertentu, ia tidak djadi bergelisah karena kelambatan
itu. Selewatnja Lou-leng-hoe, perahu-perahu berlajar bersamasama,
sedikitnja dua-puluh buah saling beruntun, hingga
diwaktu singgah, semuanja berkumpul, asapnja mengepul,
suara awaknja, ramai, sedang anak-anak bermain-main
dengan gembira dikepala perahu.
In Gak biasa hidup menjendiri digunung, gembira ia
menjaksikan anak-anak itu, maka suka ia mentjampurkan din
dengan mereka, untuk bergurau atau turut main petak.
Sebuah perahu jang mendjadi tetangganja In Gak
ditumpangi piauwsoe Lie Tay Beng, umur kira-kira
empatpuluh, orangnja ramah tamah, senang ia melihat
tingkahnja si pemuda, ia beladjar kenal. Selang tiga hari,
eratlah pergaulan mereka, lantas sering mereka saling
berkundjung, untuk memasang omong atau bersantap
barsama. In Gak dapat melajani dalam segaia hal, ketjuali ia
membungkam mengenai ilmusilat. Ia pun dandan biasa, lebih
rnirip dengan seorang peladjar.
Djuga In Gak senang bergaul sama piauwsoe ini, jang
mempeladjari gwakang" dan agaknja telah mentjapai enam
atau tudjuh bagian latihannja. Piauwsoe banjak kenalannja,
mungkin memperoleh sesuatu keterangan jang diinginkan.
Atau sedikitnja, mendapat sahabat ada faedahnja djuga.
21 Lie Tay Beng ini sebenarnja piauwsoe dari Tjn Tay Piauw
Kiok dari Lamtjiang, ia termasuk golongan kelas dua atau tiga,
bersama isteri dan anaknja ia kembali dari Kiong-tjioe dimana
ia kematian mertuanja, pulangnja ini ia mengarnbil djalan air
karena perdjalanan darat sangat meletihkan mereka. Ialah
piauwsoe tetapi senang ia berkawan seorang pemuda lemahlembut,
selama memasang omong, suka djuga ia bitjara
tentang pekerdjaannja sebagai piauwsoe. Ia tidak menduga
sama setkali bahwa In Gak mengerti ilmusilat.
"Saudara," satu kali Tay Beng menanja, "kau mau pergi ke
ibu kota, adakah untuk mendjenguk sanak atau untuk turut
dalam udjian ilmusurat?"
,,Saudara Lie, kau aneh," In Gak menjahut, tertawa.
"Sekarang ini ada achir tahun ! Diachir tahun, mana ada
udjian lagi?" Tay Beng djengah, ia likat.
"Harap kau tidak salah mengerti, saudara," katanja. "Aku
menduga kau hendak berbuat seperti segolongan peladjar,
jang suka datang siang-siang" untuk menanti waktu sambil
beladjar untuk setengah atau satu tahun, buat mana,
sengadja mereka menjewa rumah. Dengan pergi siang-siang,
mereka tidak usah berangkat kesusu. Djadi tidak ada
maksudku untuk menggodai kau."
"Oh !" kata In Gak, jang berbalik likat sendirinja. Ia
mengerti sekarang halnja ia kurang penga laman, maka lain
kali, maulah ia berhati-hati. Ia menambahkan "Maaf, saudara
Lie, aku pun bergurau sadja. Sebenarnja aku dilarang ajahku
untuk memangku pangkat, sekarang ini ajahku sudah
meninggal dunia, aku memikir untuk mentjari pekerdjaan."
"Kalau begitu, mengapa kau tidak mengatakan dari siangsiang
?" kata si piauwsoe. "Aku bukan omong besar, luas
pergaulanku, untuk mentjarikan kau pekerdjaan, itulah
gampang. Ah, ja, aku ingat. Tiga bulan jang laiu pengurus
22 buku piauwkiok. kami telah menutup mata, ketika aku pergi,
lowongannja belum terisi, entah sekarang, djikalau kau
setudju, maukah kau untuk aku mengusulkannja ?"
In Gak berbangkit, ia rnernberi hormat.
"Saudara, lebih dulu terima kasihku !" katanja.
"Djangan saudara memakai banjak adat-peradatan !" kata
si piauwsoe. "Aku djusteru jang ha?rus memberi alamat
padamu! Mari minum !"
Keduanja tertawa, mereka mengeringi tjawan mereka.
Ketika kendaraan mereka melewati dusun Tjiang-soe-tin,
udara memburuk, angin besar tak mau berhenti, suaranja
menderu hebat, saldju pun turun. Maka putihlah di manamana.
Tak nampak orang berkeliaran. Keadaan ini beda
dengan keadaan di Kang say Selatan dimana udara empat
musim sama sadja, selalu bagaikan musim semi.
In Gak ketarik dengan tjuatja itu, ia melongok keluar
perahu, mulutnja mengasi dengar suara bersenandung.
"Dasar kutu buku !" kata Tay Beng dalam hati.
Achir-achirnja pada tanggal 2 bulan duabelas, tibalah In
Gak di Lam-tjiang, ibukota propinsi Kangsay. Ia turut Tay
Beng mendarat. Tjin Tay Piauw Kiok berada di Yo-kee-tjiang,
tapi In Gak rnenjewa kamar dihotel didepan piauwkiok itu. Tay
Beng kata, sebelum tahun baru, tidak dapat ia lantas bitjara
sama tjong piauw-tauw, jaitu piauwsoe kepala, tentang
pekerdjaan mengurus buku itu. Tapi ia sendiri sering
berkundjung ke hotel, untuk bergaul seperti biasa.
Atau ada kalanja, Tay Beng mengadjak sahabat itu
bersantap direstoran Siong Hok Wan disamping piauw kiok,
ataupun datang kerumahnja didalam piauwkiok. Njonja Lie
manis-budi, dia memandang In Gak sebagai keponakan,
hingga si pemuda bersjukur.
Baru beberapa hari, In Gak, sudah pesiar tjukup di kota
Lam tjiang, hingga ia dapat menjaksikan tempat-tempat
23 terkenal seperti ranggon Theng Ong Kok, telaga Pek Hoa
Tjioe, kuil Ban Sioe Kiong dan lainnja. Selama itu, sering dia
bersenandung seorang diri, hingga orang mengagumi
ketenangannja, sedang sebenarnja, ia lagi menungkuli diri.
Piauwsoe kepala dari Tjin Tay Piauw Kiok she Hee-houw
Menuntut Balas Karya Wu Lin Qiao Zi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nama Him, umurnja sudah enampuluh lebih. Dia keluaran Boe
Tong Pay, terhitung murid-bukan-pendeta. Dia mahir enteng
tubuh dan kedua tangannja kuat menggunai Hong-hongnouw,
jaitu busur lengkung silang. Panah ini tidak dipakai
kalau bukan terhadap musuh tangguh. Jang dia andalkan silat
tangan kosong Thay Kek Tjioe jang terdiri dari tiga puluhsembilan
djurus dan ilmu golok Liong How Toan hoen-too jang
terdiri dari enam puluh-empat djurus. Dia mempunjai dua
anak, jang laki-laki bernarna Gee umur 11 tahun dan jang
perempuan nama Wan Tin, usia 9 tahun, jang semua sudah
mulai peladjari ilmusilat. Karena ia tidak faham surat, ia
membutuhkan guru sekolah untuk anak anaknja itu, agar
keiak dikemudian hari, anak-anaknja pandai silat dan surat.
Karena ini ia penudju In Gak untuk djadi guru sekolah, tjuma
ia belum berani omong. Dengan si pemuda sudah ia bertemu
beberapa kali. Habis Goan-siauw, jaitu pesta Tjap gouw mee, baru Lie Tay
Beng menemui Hee-houw Him, membitjarakan urusan In Gak.
Ia tidak berani bitjara langsung, ia membuang kata-kata dulu.
"Saudara Lie, Tuan Tjia masih muda mana bisa dia
diangkat djadi pemegang buku, untuk bergaul sama orang
dari segala tingkat?" kata piauwsoe tua itu, "Baik begini sadja.
Aku memerlukan guru, buat anak-anakku, apakah Tuan Tjia
suka menerima pekerdjaan itu?"
"Tjongpiauwtauw begini baik masa dia tolak?" kata Tay
Beng, girang. Ia lantas pergi ke hotel, mentjari In Gak, untuk
menjampaikan berita serta menanjakan pendapat si pemuda.
24 In Gak terima pekerdjaan itu, untuk itu, bersama Tay Beng
menemui Heehouw Him, untuk memastikan pekerdjaan, buat
menghaturkan terima kasih. Maka dilain saat, anak-anaknja
piauw?soe itu sudah lantas mendjalankan kehormatan kepada
gurunja dan tuan rumah membikin pesta ketjil untuk
merajakannja. Malam itu djuga In Gak pindah ke piauwkiok dimana ia
dapat tempat dikamar tulis, hingga di lain harinja, ia sudah
lantas mulai mendjalankan tugasnja sebagai guru. Ia pun
lantas berkenalan dengan sekalian piauwsoe dan pegawai
lainnja. Mereka itu mendapatkan guru ini ramah tamah,
ketjuali suatu waktu, matanja bertjahaja tadjam.
Ada kalanja In Gak pergi ke pekarangan peranti beladjar
silat, menjaksikan si piauwsoee tua mengadjari silat kepada
kedua anaknja. Satu kali si piauwsoe tua tanja, bagaimana
peladjaran silat itu, sambil tertawa ia menjahuti bahwa ialah
"orang asing" untuk ilmu silat.
Heehouw Him dan isterinja melihat guru sekolah itu sedikit
persediaan pakaiannja, mereka membuatnja belasan
perangkat. Mereka senang dengan ini guru.
Karena itu, In Gak jang polos, memikir: "Bagaimana aku
balas kebaikan mereka ini?" Ia djuga ingat kebaikannja Lie
Tay Beng. Lewat dua bulan, pada suatu hari In Gak melihat tuan
rumahnja beroman duka. Dia berkumpul di toa-thia, ruang
besar, mendamaikan sesuatu dengan beberapa piauwsoenja.
Ia tidak tahu apa jang dibitjarakan, untuk menjingkirkan
ketjurigaan, ia pergi mendjauhkan diri. Baru malamnja, habis
bersantap, ia pergi pada Tay Beng, untuk minta keterangan
pada piauwsoe ini. 25 "Tjongpiauwtauw lagi menghadapi kesukaran" kata
piauwsoe she Lie itu. "Tahun jang sudah, dibulan tiga,
piauwkiok kami menerima apa jang dinamakan piauw gelap,'
tiba di Ouwlam barat, dikaki bukit Kim Hong Nia, Leng-leng,
piauw itu dibegal Siang Tong Sam Ok, tiga djago djahat dari
Ouwlam Timur. Mereka itu Kioe-bwee-tiauw Ngay Hoa si
Radjawali Ekor Sembilan, Hoei Thian Gia-kang Thia Soan si
Kelabang Terbang, dan Hek Loo-han Gouw Beng, si Lohan
Hitam. Tjongpiuwtauw memohon perdamaian tetapi gagal,
mereka bentrok. Kesudahannja Gouw Beng terbinasa terkena
panah Hong-hong-nouw, Kemudian ternjata, Gouw Beng itu
muridnja Siauw-bin Boe Siang Hong It Taysoe dari kuil Tay Pie
Sie di Soetjoan. Pendeta itu, si memedi Boe Siang Tertawa,
kesohor kegalakannja untuk di Selatan, golongan sesat dan
lurus, memalui dia. Dia tersohor untuk ilmu silatnja Touw-koet
Irn Hong Tjiang. Siapa terkena tangannja, mesti mati. Dia pun
telengas. Katanja dia telah berangkat ke Barat ini, guna
menuntutbalas untuk muridnja itu. Maka djuga sekarang
tjongpiauwsoe lagi bersusah hati, Ia telah mengirim undangan
untuk meminta bantuan orang liehay."
"Tjongpiauwtauw berhati baik, mestinja dia memperoleh
kebaikan," kata In Gak. "Aku sangsi Hong It demikian liehay
seperti katamu, saudara Lie."
"Kau anak sekolah, saudara, kau tidak tahu halnja orang
Kang-ouw,"' kata Tay Beng alisnja mengkerut. "Diantara
mereka banjak sekali orang orang liehay. Orang sematjamku
banjak tetapi tidak ada artinja"
In Gak tidak membantah, ia bahkan tertawa. Tapi diamdiam
ia telah memikirkan daja guna menolongi piauwsoe tua
itu. Beberapa hari kemudian, Heehouw Him kedatangan dua
sahabatnja, jaitu Kian-Koen-Tjioe Loei Siauw Thian si Tangan
Dunia dan Liang Gie Kiam-kek Tjie Tong Peng, si Ahli Pedang
Imyang. Loei Siauw Thian itu murid tunggal Tjin Nia It-Sioe
26 jang pada Iimapuluh tahun dulu terkenal diselatan dan utara
sungai Tiang Kang. Dia kesohor karena ilmusilatnja. Kian Koen
Tjioe, jang terdiri dari tigapuh enam djurus. Dia djarang
tandingan, dan tabiatnja pun aneh, hingga orang malui,
usianja belum empatpuluh tahun, tubuhnja kurus, matanja
tadjam. Tjie Tong Peng keluaran Heng San Pay, dia tjalon
tjiang-boen-djin, ketua partai, dia dikenal sebagai salah satu
dari empat djago pedang di Kanglam. Dalam usia lima puluh,
dia mirip seorang peladjar. Ia memelihara kumis dan djenggot
jang pandjang. Dipunggungnja terus tergendong pedangnja
jang tua. Sebenarnja, jang diundang jalah Tong Peng, Siauw
Thian turut bersama sebab kebetulan ia berada dirumah
sahabatnja itu, sedang ialah seorang perantauan.
Girang Hee-houw Him menjambut dua tetamunja itu.
Katanja sambil tertawa: "Loei Lao- tee, kau datang, maka
kakakmu jang tua ini beleh tidur dengan tenang dan senang!"
Sebaliknja daripada tertawa, Siauw Thian mengasi lihat
roman keren. "Eh kunjuk tua, djangan kau mengangkat aku terlalu
tinggi!." katanja. "Aku kuatir, djikalau aku djatuh, nanti
pinggangku patah hingga piauwkiokmu ini tidak bakal sanggup
memelihara aku!" Tuan rumah tetap tertawa, la mengundang kedua
tetamunja masuk. Malam itu diadakan perdjamuan penjambutan. Sebagai
guru sekolah, In Gak diundang turut hadir. Selama itu, diamdiam
Siauw Thian sudah memperhatikan guru sekolah jang
muda ini. Ia seperti merasa kenal. Ketika ia diberitahukan,
orang she Tjia, lantas ia ingat seorang jang ia kenal, jang
semendjak sekian lama dikabarkan sudah meninggal dunia,
jalah Toan-Hoen-Poan Tjia Boen, sahahat dari gurunja, Tjin
Nia it-sioe. Sedikitnja sekali setiap tahun, Tjia Been
berkundjung kegunungnia. Ketika itu ia masih belum keluar
dari rumah perguruan, sering ia mendampingi gurunja
27 melajani orang she Tjia itu, jang umurnja belum tiga puluh
jang romannja sama dengan ini guru sekolah. Ketika ia sudah
keluar dari rumah perguruan, beberapa kali ia bertemu Tjia
Boen dalam perantauan dan Tjia Boen pernah berbuat
kebaikan terhadapnja. In Gak ini mirip Tjia Boen jang kedua,
Tentang Tjia Boen ia mendengar kabar, orang telah dikepung
musuh-musuhnja, bahwa disatu gunung telah didapatkan
majatnja dua orang, satu orang tua dan satu botjah, jang
dikenali sebagai Tjia Boen. Kalau kabar itu benar, In Gak ini
mungkin puteranja Tjia Boen itu. Karena ragu-ragu, ia djadi
semakin memperhatikan. In Gak tahu orang sering mengawasi ia, ia heran. Ia
melajami dengan mengangguk halus bersenjum. "Aneh Loei
Siauw Thian terus memperhatikan aku. Apakah romanku
membuka rahasiaku terhadapnja?" Ia terus bersikap tenang.
"Silakan minum?" ia mengadjak heberapa kali.
Hee-houw Him pun melihat sahabat itu rnengawasi guru
sekolahnja, dia tertawa dan kata: "Loei Laotee, djangan kau
main mengawasi Tjia Sinshe sadja. Dialah ahli surat, semua
buku dan surat-suratku dia jang urus, tulisannja pun indah
sekali!" Siauw Thian tertawa. "Aku pun kagum melihat Tjia Sinshe maka aku suka
mengawasinja!" sahutnja, untuk menutupi perhatiannja itu.
Tapi, ketika perdjamuan sudah ditutup dan In Gak sudah pergi
kekamarnja, ia kata pada Tong Peng dan tuan rumah: ,.Aku
lihat Tjia Sinshe itu mesti mempunjai kepandaian jang tinggi,
tjumalah ia pandai menjembunjikannja. Saudara Heehouw,
sudah lama kau mengenalnja, mengapa kau tidak mendapat
tahu" Kali ini si kera tua salah mata!"
,,Orang toh anak sekolah, ada apanja jang mentjurigakan?"
kata Hee-houw Him. "Kalau benar- seperti katamu, dia gagah,
kenapa dia kesudian djadi guru sekolah dirumahku ini"
Mungkinkah dia lagi menjingkir dari musuhnja" Kalau benar,
28 apa sudah tidak ada tempat lain" Kenapa dia djusteru memilih
piauwkiok dimana banjak orang dapat sembarang keluar
masuk" Tak takutkah dia nanti gampang kepergok?"
"Turut penglihatanku, dia memang mentjurigai," berkata
Tjie Tong Peng, ".Aku melihat matanja bersinar luar biasa,
besar pengaruhnja. Lainnja tidak. Tapi dia belum berumur
duaputuh tahun, inilah anehnja, Apa benar dia dapat
membawa diri demikian rupa" Satu hal sudah pasti, dia
mestinja orang baik-baik. Sekarang djangan kita usil dia,
mungkin dia mempunjai kesulitannja.
Siauw Thian melirik sahabatnja, dia tertawa"
"Hong It si keledai gundul datang ke Barat, biarnja dia
liehay, belum tentu dia dapat berbuat sesuatu atas diriku !" ia
berkata, ,,Apa jang aku kuatirkan dia berkawan orang liehay,
Kekuatiran ini aku dapatkan semendjak ditengah djalan.
Sekarang, dengan adanja guru sekolah itu, lenjaplah
kekuatiranku, Aku pertjaja dia dapat membantu kita! Kera tua,
untungmu bagus! Oh, kau tidak pertjaja" Suka aku bertaruh!"
Heehouw Him bersangsi, sebab ia tahu Siauw Thian gemar
bergurau. Siauw Thian sendiri diam-diam menduga, kalau In
Gak benar putera Tjia Boen dan sekarang muntjul untuk
mentjari balas, pastilah bakal datang badai, ia tidak mau
menimbulkan soal Tjia Boen, ia djuga tidak mau
mengutarakan dugaannja ini, untuk mentjegah belum apa-apa
terbit gelombang hebat dalam dunia Kang-ouw. Ia pun kuatir
kalau-kalau, karena ia banjak mulut, In Gak nanti membentji
padanja. Tong Peng lantas berkata "Mulai besok, kalau kita bertemu
Tjia SinShe, kita mesti bersikap seperti biasa; untuk
mentjegah dia mendjadi tjuriga."
Siauw Thian tertawa, ia membungkam. Tapi mulai
besoknja, beruntun beberapa hari, ia tentu tentu pergi
kekamarnja In Gak, untuk memasang omong, hingga
selandjutnja pergaulan mereka mendjadi erat.
29 Tjin Nia It sioe tersohor ilmu silatnja tetapi dia djuga pandai
surat. Digunung Tjin Nia, dimana dia hidup menjendiri, di
dalam kamarnja, penuhiah kitab-kitabnja serta banjak gambar
lukisan. Disitu ia menghibur diri dengan pelbagai kitab dan
gambarnja itu. Loei Siauw Thian mendjadi murid tunggal, ia
terdidik sempurna, maka ia pun mengerti surat, bisa bersjair
dan menjanji, melukis, main tjatur dan main khim, tjuma
sifatnja gemar bergurau. Maka itu, dapat dia bitjara asjik dan
getol dengan In Gak hingga si anak muda sering menekan
perut karena saking djenakanja.
In Gak lantas mendapat tahu ini sahabat baru pandai silat
dan surat, bahwa disamping kedjenakaannja itu, dia ramahtamah,
tak mungkin palsu, dari itu, suka ia bersahabat
dengannja. Meski be?gitu, ia terus membitjarakan tentang
pelbagai hal sastera, tentang ilmusilat tak sepatah kata pun
disebut-sebut. Selagi mereka ngobrol, beberapa kali Heehouw Gee dan
Heehouw Wan Tin datang untuk minta petundjuk ilmusilat
kepada Kian Koen Tjioe, jang mereka panggil paman. Sering
Siauw Thian melajani kedua botjah. Ia memberi petundjuknja,
separuh maksudnja untuk memantjing si anak muda. Tapi In
Gak tetap tenang, bahkan satu kali, dengan roman heran, dia
berkata. "Baru hari ini mataku terbuka! Hebat dunia kangouw,
Djadi apa kata orang dahuiu kala!"
Atau lain ka!i, ia kata: "Saudara, kepandaianmu ini belum
pernah aku memelihatnja! Kau mirip dengan Hong Djiam Kong
dan Khong Khong Djie! Dengan ini kau menantang, kau
menghukum manusia-manusia djahat, sungguh kau berbuat
banjak kebaikan !" Walaupun orang bersikap demikian, Loei Siauw Thian
merasa: "Hebat anak muda ini. pandai sekali dia membawa
dirinja, Biar bagaimana, dia mirip naga, dia mirip harimau"
30 Dilain harinja, Siauw Thian datang pula kekamar si guru
sekolab, untuk rnemasang omong, selagi berbitjara, sengadja
ia mengulur tangannja hingga udjung badjunja tersingkap,
hingga terlihat sikutnja. Ia berbitjara sambil tertawa. Dengan
begitu ia mengasi lihat satu luka di sikutnja seperti diluar
keinginannja. Luka itu luka bekas golok, pandjangnja lima
dim. Melihat itu, In Gak agaknja terperandjat. Atas itu, si orang
she Loei menghela napas. Saudara, kau ingin ketahui sebabnja lukaku ini?" ia tanja.
"Inilah luka jang didapat dua puluh tahun dulu. Ketika itu
belum lama aku masuk dalam dunia Kang-ouw. Selagi lewat di
Paleng, aku membelai seorang jang diperbuat tak selajaknja,
karenanja aku bentrok dengan Siam-Lam 'Soe Hiap, empat
djago dari Siam-say Setatan. Aku dikepung berempat" lamalama,
repot aku, lalu sikutku ini kena dibacok. Disaat djiwaku
terantjam, aku ditolong Paman Tjia Boen. Dialah jang dunia
kang-ouw kenal sebagai Twie Hoen Poan, si Hakim Pengedjar
Menuntut Balas Karya Wu Lin Qiao Zi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Arwah. Dia bentji Siam Lam Soe Hiap, jang berempat
mengepung satu orang, dia menjerang. Kesudahannja, dari
empat djago itu, tiga terbinasa, satu terluka.
Kemudian ternjata merekalah murid-murid turunan ketiga
dari partai persilatan Giang Lay Pay. Jang luka itu lari pulang,
dia mengadu kepada ketua partainja. lalu dalam satu
rombongan, mereka menjerbu Paman Tjia. Maksud mereka itu
tidak kesampaian, Paman Tjia jalah sahabat guruku, darinia
pernah aku mendapat banjak kebaikan. Sedjak itu, beberapa
kali aku masih bertemu dengannja. Lalu belasan tahun
kemudan aku mendengar kabar Paman Tjia kena dikerojok
musuh-musuhnja kaum sesat dan lurus di Sam-siang. Ia
berkelahi dengan menggendong anaknja. Katanja dia terluka
dan terbinasa karenanja. Paman Tjia itu murah hatinja, tjuma
dia keras dan bengis. Sajang dia terbinasa setjara demikian
ketjewa. Dari sini pun ternjata keruwetan dunia Kang-ouw,
31 dimana peri--kebenaran dan kesesatan tak dapat dipisahkan.
Mengenai Paman itu, orang tjuma bisa menjesal dan berduka
Siauw Thian pun mendjadi lesuh" ia menghela napas.
Diam-diam ia melirik muka orang.
Mendengar hal-ichwal ajahnja itu, airmuka In Gak berubah,
hanja sedjenak, ia kembali wadjar, tetapi meski dernikian,
perubahan itu tak lobos dari mata tadjam dari Kian Koen Tjioe,
hingga kepertjajaan dia ini mendjadi tetap enam bagian. Dia
tjuma masih heran, siapa itu orang dan botjah jang majatnja
diketemukan di gunung. Kemudian In Gak kata, tawar: "Keruwetan kaum Kang-ouw
itu tidak dapat dimengerti olehku seorang anak sekolah, tetapi
saudara Loei, mengingat kaulah seorang gagah, jang berhati
mulia dan kaupun kenal baik Tjia Boen itu, mengapa kau tidak
mentjoba menolong membalas sakit hatinja" Dapatkah sakit
itu dibiarkan sadja tenggelam di lautan besar atau terpendam
di tanah pegunungan?"
"Saudara, tepat teguran kau ini" kata Siauw Thian, "Aku
tadinja terbenam dalam kesangsian. Siapa dapat mempertjajai
penuh kabar angin" Pula di pihak pengerojok itu, mereka
menutup rapat-rapat mulut mereka, hingga sulit untuk
menjelidikinja. Sampai sekarang ini aku sangsi Paman Tjia
mati setjara ketjewa itu, sebaliknja aku mau pertjaja, dia
masih hidup, hanja dia ada dimana tahu. Sudah belasan tahun
aku mendengar-dengar tentangnja itu?"
Matanja In Gak bertjahaja, lantas ia bersenjum.
"Djikalau begitu, saudara Loei, kau baik sekali" bilangnja.
Siauw Thian tertawa. "Saudara belum ketahui aku orang matjam apa, nanti sadja
kau melihatnja!" katanja.
In Gak agaknja likat. "Saudara Loei, tiada maksudku mengedjek kau. Tentang
kau, sekarang pun aku telah melihat buktinja. Untuk
32 Tjongpiauwtauw, bukankah kau memerlukan dating dari
tempat jang djauh" Menghormati kau, aku masih tidak sanggup, mana berani
aku?" Ia belum habis berkata, Siauw Thian sudah memegat.
"Tjukup saudara, djangan kau mengangkat-angkat aku, aku
malu sekali" Sampai disitu, berhenti sudah pembitjaraan mereka
mengenai urusan Tjia Boen, selandjutnja mereka omong dari
lain hal, sampai orang she Loei itu meminta diri.
Berduduk seorang diri dalam kamarnja, In Gak berpikir:
"Perkataannja Siauw Thian dapat dipertjaja. Sakit hatiku ini
mana bisa aku gampang-gampang menuturkannja kepada lain
orang" Baik, aku sabar dulu......."
Malam itu, karena pikirannja katjau, pemuda ini sukar tidur
njenjak. Karena itu, ia mendjadi berpikir keras.
"Ah, baiklah aku mengubah siasatku" pikirnja achirnja,
"Sebagai anak sekolah sulit aku mentjari keterangan, orang
menghormati tetapi berbareng pun mendjauhkannja. Tak sudi
rupanja orang bergaul erat denganku. Baik aku mengasi lihat
sedikit kepandaianku, asal aku tidak menjebutkan asal-usul
diriku, terutama djangan aku mempertontonkan ilmu silat
ajahku, agar orang tidak mengenalinja..."
Karena dapat mengambil keputusan itu, achirnja bisa djuga
ia tidur njenjak. II Besoknja pagi, In Gak mendusin sesudah matahari naik
tinggi. Ia heran tetapi ia tertawa sendirinja. Katanja dalam
hatinja: "Biasanja aku tidur, suara berkelisik sadja dapat
menjadarkan aku, tetapi semalam, aku tidur njenjak sekali.
Inilah bukti pantangan untuk orang jang paham silat katjau
pikirannja." Selama pagi itu, habis beladjar sendiri, si Gee dan Wan Tin
tiga kali sudah datang ke kamar guru mereka, melihat sang
guru masih tidur, mereka tidak berani mengganggu, paling
33 achir mereka pergi memberitahukan ajah mereka, atas mana
ajah itu berkata: "Benar, djangan kamu membuat berisik hingga membikin
guru kamu bangun. Biar hari ini, tak usah kamu bersekolah,
nanti aku jang memberitahukannja kepada Tjia Shinse."
Karena itu, dengan kegirangan, dengan berdjingkrakan,
kedua botjah itu lari keluar, untuk pergi bermain.
Kapan Loei Siauw Thian mendengar halnja In Gak sampai
siang belum bangun tidur, sepasang alisnja diangkat, hatinja
terbuka. Tambahlah kepertjajaannja, atau berkuranglah
kesangsiannja, dengan satu-dua bagian. Tapi tentang ini, tidak
ada jang ketahui. Habis In Gak membersihkan diri dan dandan, karena
melihat djam sekolah sudah lewat, ia lantas keluar seorang diri
dari piauw kiok. Ingin ia pergi keluar kota untuk mengitjipi
keindahan alam. Perlahan-lahan ia bertindak diluar pintu kota
Soen hoa-moei, matanja mengawasi daun-daun yanglioe jang
hidjau. Hawa segar, angin pun menghembus halus.
Tengah pemuda ini merasa terbuka, mendadak dari dari
djalan tikungan muntjul seekor kuda jang dilarikan keras
sekali. Dari djalan ketjil, penunggang kuda itu mengambil
djalan besar. Tabrakan tak dapat ditjegah ketjuali si pemuda
berlompat minggir. Dalam saat keponggok itu, In Gak tidak berkelit. Sebaliknja
ia bertahan. Ia menggeraki kedua tangannja sambil
memasang kuda-kudanja, ia menangkap kaki depan sang
kuda dan mengangkatnja. Maka kuda itu lantas dengan kedua
kaki belakangnja, tak peduli itulah kuda asal Mongolia jang
besar dan kuat. Karena itu djuga penunggangnja mendjadi
terdjumpalit ke pinggir djalan, sedang kudanja, jang berontak
dan dilepaskan kaki depannja, roboh ke sawah di tepi djalan
itu. Si penunggang kuda dapat berlompat turun ke tepi djalan
besar, tetapi dia lantas mendjadi gusar sekali, dengan keras
dia menegur: "Binatang dari mana berani menghadang
34 perdjalanan Ngay toaya" Apakah kau mau mentjari
mampusmu?" In Gak memandang orang itu jang badjunja hitam,
potongannja ringkas, kedua alisnja buntung, hidungnja
melesak, kedua matanja merah, mulutnja lebar bagaikan
paso, hingga dia nampak bengis, apalagi tengah dia bergusar
sangat itu. Ia tidak takut, sebaliknja ia mendongkol. Kenapa ia
digusari" Kalau bukan ianja, bukankah orang bakal mampus
ditabrak kuda besar itu" Maka ia tertawa dingin dan membalas
menegur: "Sahabat, apakah kau tidak mempunjai mata"
Kenapa kau mengaburkan kudamu begini rupa" Apakah kau
kira kau tidak bakal mengganti djiwa, apabila kau menabrak
orang mampus" Kau begini tergesa-gesa, apakah kau hendak
berbela-sungkawa?" Mata orang itu mendelik, sinar merahnja mendjadi marong.
Dia mementang batjotnja jang Iebar: "Binatang, kau berani
kurang adjar terhadap Kioe-bwee-tiauw Ngay Toaya " Saat
kematianmu telah tiba, botjah! Awas!"
Antjaman itu disusuli tindakan madju dan tindju meluntjur
ke dada! Mendengar orang menjebut she dan gelarannja itu, In Gak
lantas ingat penuturan Lie Tay Bang perlhal Siang Tong Sam
Ok, tiga djago djahat dari Ouwlam. Timur. Dia sekarang
berada disini, itu artinja gurunja, jaitu Hong It Taysoe, telah
tiba. ingat bahwa orang adalah orang djahat dan maksud
kedatangannja ini djahat djuga., ia mendjadi panas hati,
hingga ia memikir untuk mernberi hadjaran kepada si djahat
jang galak ini. Demikian ketika serangan tiba, ia tidak berkelit
tapi menangkis sarnbil tertawa di?ngin, ia melondjorkan
tangannja, untuk menjambuti. Maka dalam sekedjap sadja
nadi Ngay Hoa telah kena ditjekal, terus dipentjet, terus pula
disempar" hingga kesakitan Kioe-bwee-tiauw" si Radjawali
Ekor Sembilan, terpelanting djatuhnja lima tombak, tubuhnja
35 roboh terlentang, dan ketika terlentang itu, tangan kirinja
memegangi tangan kanannja, matanja dipentang lebar
dengan melongo! In Gak bertindak menghampirkan,
"Ngay Toaya, kau kenapa?" ia menanja.
Ngay Hoa. kaget dari heran. Begitu tangannja disambuti,
dia merasa sakit sekali, belum sempat dia mengetahui apaapa,
tubuhnja sudah terpelanting, hingga dia roboh
terbanting. Kesudahannja itu membuat tangannia itu njeri sekali. Dia
pun hampir pingsan. Maka itu, matanja mendelong. Tapi
segera dia sadar, Dia heran kenapa demikian gampang dia
dipetjundangi dia, salah satu dari djago Ouw lam! Tjelaka
kalau kedjadian ini sampai teruwar! Tak dapat dia rnenaruh
kaki lebih lama di Ouwlam itu! Ketika dia ditanja, dia
mendongkol sekali. Dengan lompatan Ikan Gabus Meletik, dia
bangun berdiri. "Binatang, Ngay Toaya akan mengadu djiwa denganmu!"
dia 'berseru, kedua tangannja dibawa kepunggungnja, untuk
menghunus sendjatanja, jaitu tiam hoat-kwat, gegaman
peranti menotok djalan-darah, jang terbuat dart tembaga.
Sambil mengadjukan tindakannja, dia terus menjerang keatas
dan kebawah, sendjatanja itu mentjari masing-masing
djalandarah yoe-moei dan khie hay.
In Gak tertawa pula, perlahan, tubuhnja berkelit kesamping
kiri, tangan kanannja diluntjurkan.
Ngay Hoa merasa matanja seperti kabur. la melihat sesuatu
jang. berkeleban lantas kedua tangannja kesemutan, tanpa
merasa, kedua sendjatanja terlepas dari tjekalannja, kena
dirampas si anak muda. Ia kaget, hendak ia berlompat
mundur, atau tangan kiri orang mendului ia, mampir di djalan
darah tiong-hoe, hingga ia mendjerit, tubuhnja terus roboh.
36 "Ngay Toaya," kata In Gak tertawa, "dihadapanku, djangan
kau rnernpertontonkan kedjelekanmu! Dengan kepandaianmu
sekarang ini, walaupun kau beladjar lagi delapanbelas tahun,
sia-sia belaka! Kau tahu, dengan totokanku ini, kepandaianmu
telah dimusnahkan ! Didalam waktu tiga tahun, aku larang kau
menggunai tenagarnu, djikalau kau melanggar, tidak ampun
lagi, kau pasti mati! Aku lihat dua potong logam ini sudah
tidak ada gunanja, baiklah aku musnakan djuga.
Dengan menekuk kedua tangannja, In Gak rnembikin
sendjata itu melengkung seperti gelang, terus ia buang
kesawah sambil ia berkata pula: "Ngay Hoa, perlu apa kau
datang ke kota Lam-tjiang ini" Apakah keledai gundul Hong It
pun datang bersama" Apakah kau dititahkan dia pergi ke Tjin
Tay Piauw-kiok untuk mengadjukan tantangan" Djikalau
benar, tak usahlah kau tergesa-gesa begini rupa?"
Karena ditotok itu, habis sudah tenaga Ngay Hoa, peluhnja
pun mengalir keluar. la sebenarnja lagi mentjatji diri sendiri,
selagi mempunjai urusan penting, ia rewel ditengah djalan,
hingga orang mentjelakainja, hingga urusannja gagal. Tapi
sekarang, mendengar si anak muda menjebut gurunja dan
rnembuka rahasianja, ia kaget sekali. Tahulah ia bahwa Heehouw
Him sudah mangundang bala-bantuan jang liehay,
hingga ia merasa, gurunja serta dua kawannja mungkin bukan
lawan pemuda ini. Karena ini, ia mendjadi lesu.
"Tuan." aku benar dititahkan Hong It taysoe untuk pergi ke
Tjin Tay Piauw-kiok untuk menjampaikan tantangan, Aku
tjuma orang perintahan. Menjesal aku telah berlaku kurang
adjar terhadap kau. Sekarang aka minta sukalah kau
membebaskan aku. Aku berdjandji, selandjutnja aku akan
merubah kelakuanku, tidak nanti aku berbuat djahat lagi."
Sambil berkata, Ngay Hoa djuga mengasi lihat sinar mata
memohon ampun, Ia seperti kehilangan keangkuhannja. Tak
malu ia untuk bersikap merendah itu.
37 In Gak tidak senang, menghadapi sikap pengetjut itu.
Itulah menandakan orang benar manusia sangat djahat dan
busuk. Maka ia tertawa dingin dan berkata: "Orang she Ngay,
kau menjebut dirimu Siang Tong Sam Ok, itu sadja sudah
menandakan kedjahatanmu. Inilah jang pertama kali kau
bertemu aku, dari itu, dengan mendapat totokan sematjam ini,
aku sudah berlaku murah terhadapmu. Djikalau aku
menghadapi lain orang, pasti aku telah membunuhnja! Maka
itu, djanganlah kau mengharap. mendapat pembebasan.
Tentang kewadjibanmu mengadjukan tantangan, nanti aku
jang menjampaikan, sebab disana aku turut ambil bagian.
Serahkan suratmu padaku, kau sendiri, lekas kau kembali
pada si bangsat gundul. Pada saat jang didjandjikan, pihak
kami akan datang diwaktu jang tepat!"
Ngay Hoa putus asa. Ia merogo sakunja, mengeluarkan
surat gurunja: Sembari menjerahkan itu, ia tanja,
mendongkol: "Kau :siapa, tuan, tolong kau memberitahukan
namamu! Asal aku si orang she Ngay tidak mati, lain kali aku
akan membalas budimu inil"
"Bangsat!" teriak In Gak. "Kau masih hendak menanjakan
namaku" Kalau begitu, kau rupanja memikir mampus!"
Bentakan itu disusul dengan gerakan tubuh.
Ngay Hoa kaget sekali, ia takut bukan main. Lantas ia
memutar tubuhnja, untuk lari ngatjir, sampai kudanja pun ia
lupakan. In Gak besenjum mengawasi orang kabur itu. la melihat
lagi kepengetjutan orang. la lantas menghampirkan kuda
Menuntut Balas Karya Wu Lin Qiao Zi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
djago itu, untuk dinaiki, untuk berdjalan pulang. Ditengah
djalan ia memikirkan kenapa. Ngay Hoa demikian tak punja
guna. Inilah pertempurannja jang pertama kali, hingga ia tidak
menginsjafi liehaynja salah satu djurus dari Hian Wan Sip Pat
Kay, jang barusan ia gunakan. Setelah itu, mendadak ia
menahan kudanja, ia mengeluarkan seruan tertahan. la pun
lantas merogo sakunja, rnengasi keluar suratnja Hong It
38 Taysoe. Ia pikir, alasan apa ia mesti kemukakan pada. Heehouw
Him karena ialah jang membawa surat itu. Ia merobek
sampul, untuk menarik keluar suratnja. Bunjinja itu jalah
tantangan untuk besok pagi bertempur di puntjak Bwee Nia di
See San, Gunung Barat, dan penanda-tangannja jalah Hong It
Taysoe, pendeta kepala dari kuil Tay Pie Sie di Soetjoan
Selatan, bersama Lan Tjhong Siang-Sat, jalah Taylek Koei-Ong
Tjoe Pek Pay serta Tjoei Beng Long koen Khiong Keng.
"Bagus, besok tentu bakal terdjadi suatu pertarungan
dahsjat pikirnja. "Hanja entah siapa itu Lan Tjhong Siang-Sat
dan bagai?mana kepandaiannja
Pemuda ini lantas menduga-duga. Lan Tjhong Siang-Sat
berarti Sepasang Bintang djahat dari Lan Tjhong San. Tjoe
Pek Pay bergelar Taylek Koei-ong, Radja setan Bertenaga
Besar, maka rnungkin dia liehay tangannja. la ingat kematian
ibunja oleh tangan djahat, maka entahlah, dia ada
hubungannja sama ibunja itu atau tidak. Sedang Khiong Keng
jalah si Pengedjar Djiwa.
Tidak lama In Gak menahan kudanja, lantas ia melarikannja
pulang. Ia sudah mendapatkan alasannja. Ditengah djalan ia
membuatnja orang mengagumi romannja jang tampan,
disebabkan ia melarikan kudanja keras, hingga ia menarik
perhatian umum. Kata orang: ."Entah anak siapa dia, demikian
ganteng!...". Ketika achirnja ia tiba dirumah, In Gak turun dari kudanja
dibelakang piauwkiok, ia minta satu pegawai mengurus
kudanja itu, ia sendiri terus masuk kedalam. Pegawai itu
heran, dia mengawasi sambil berkata didalam hatinja: "Aku
tidak sangka guru sekolah begini lemah, umpama kata tidak
dapat menjembelih ajam, dapat menunggang kuda begini
djempol! Sungguh aneh! Kalau dia djatuh, tentulah dia mati
...... .." 39 Dengan berbatuk satu kali In Gak bertindak perlahan dan
tenang. Diruangan besar ia melihat Heehouw Him tengah
berbitjara dengan Tjie Tong Peng dan Loei Siauw Thian, serta
seorang tua kate-ketjil dan kurus-kering, jang ia tidak kenal.
Begitu bertindak masuk, tuan rumah menjambut sambil
tertawa dan berkata : "Tjia Shinshe, mari aku mengadjar kau
kenal dengan seorang luar biasa!" la. Terus menundjuk si
kate-kurus itu,. untuk: menambahkan: "Inilah Thay San It Kie,
si Orang-aneh dari gunung Thay san Oh Ka Lam Tjoei Tjian, si
malaikat Ka Lam Kate. Benar orang boen dan boe berlainan golongan tetapi
baiklah kamu saling berkenalan!" Terus ia pun
memperkenalkan Si. Guru sendiri. Kedua pihak saling memberi
horrnat. Tjoei Tjian mengawasi si guru sekolah semendjak ia baru
muntjul. Inilah sebab baru sadja mereka membitjarakan hal
dia, jang disangka berkepandaian tinggi tapi dia rupanja
menjembunjikannja. Tapi ia tidak melihat apa-apa jang aneh.
Maka ia berpikir "Barusan mereka bertiga memudji orang
tinggi kenapa aku tidak mau mentjoba mengudji dia?" Dari itu,
ia tertawa dan kata"Tuan Tjia, barusan saudara Hee-houw
memudji tinggi kepada kau, sekarang melihat wadjahmu, tuan
benarlah naga atau burung hong diantara kita bangsa
manusia. Akulah si orang hutan, jang dungu, maka kalau
benar kata-katanja saudara Hee-houw ini, marilah kita ikat
persahabatan." Sembari berkata, ia merangkap kedua
tangannja, untuk memberi hormat. Sambil berbuat begitu, ia
mengerahkan tenaga-dalammja, untuk menolak.
In Gak lantas merasakan tolakan angin, maka tahulah
bahwa ia lagi diudji, maka lekas-lekas ia berkata merendah,
"Tjoei Loo-giesoe terlalu memudji, aku tidak berani
rnenerimanja..." Ia minggir dua tindak, tangannja diangkat,
untuk membalas hormat setjara wadjar, setelah itu ia
mengeluarkan suratnja Hong It diserahkan pada tuan rumah.
40 Tjoei Tjian kagum. Ia melihat bagaimana indah orang
menjingkir. Ia kata dalam hatinja: ."Anak. ini lintjah sekali,
djarang aku menemui orang seperti dia."
Siauw Thian mengawasi tingkahnja, orang she Tjoei itu,
hatinja berkata.: ,,Tidak perduli kau liehay, kali ini kau ketemu
batunja" Heehouw Him menjambuti surat, membatja mana, mukanja
mendjadi putjat. "Loei Laotee, benar seperti katamu!" katanja tjepat, hatinja
tegang, "Hong It si bangsat gundul datang bersama Lan
Tjhong Siang sat dan ia mendjandjikan pertemuan besok pagi
di puntjak Bwee Nia di See San. Mereka bertiga sernua bangsa
telengas." Siauw Thian tertawa lebar.
"Kunjuk tua, kenapa kau begitu ketakutan?" katanja,
"Biarnja Siang Sat liehay, aku si orang she Loei suka
menempur mereka" Liang Gie Kiam Kek Tjie Tong Peng, jang sabar berkata: "Di
djaman sekarang ini,orang
jang bisa melajani. Lan Tjhong Siang Sat memang diarang
sekali. Duluhari tiuma tersiar kabar bahwa mereka pernah dua
kali kalah, jalah dari tangannja Thay Hian Tjindjin dari Ngo Bie
Pay dan Twie-Hoen-Poan Tjia Boen. Memang besok belum
tentu kita kalah, akan tetapi untuk memperoleh kemenangan
djuga masih belum ada kepastiannja. Oleb karena itu, saudara
Loei, djangan kita memandang terlalu enteng pada mereka
itu," Oh-Ka-Lam Tjoei Tjian tidak puas, hingga matanja.
mentjilak. "Sajang selama duapuluh tahbun aku si tua-bangka belum
pernah mendjadjah ke Soetjoan, djikalau tidak, tidak nanti aku
mengidjinkan mereka itu bertingkah sampai sekarang ini"
katanja sengit. "Hari ini sjukur telah datang djodohnja, maka
aku si tua-bangka nanti mentjoba-tjoba mereka!"
41 Siauw Thian tahu keberangasannja Tjoei Tjian, djikalau
mereka terus membitjarakan urusan itu, si kate ini bakal naik
darahnja, maka ia berbangkit dan berkata sambil tertawa:
"Biar bagaimana djuga, besok pagi kita bakal pergi kesana,
dari itu pertjuma sekarang kita membitjarakannja pandjang
lebar. Eh, Tjia Laotee, mari kita main tjatur!"
In Gak menurut, maka berdua Siauw Thian ia. meminta
diri. Ketika ia berlalu, in mendengar Tong Peng berkata
perlahan "Tjia Sinshe itu kenapa akrab sekali dengan Loei
Hiantee" Apakah benar katanja Loei Hiantee ini'?" la heran, hatinja
terkesiap. Dengan lekas ia melirik Siauw Thian. Ia melihat si orang
she Loei .seperti tidak dapat mendengar perkataannja Tong
Peng itu, dia djalan terus wadjar sadja.
Sebaliknja, Siauw Thian berkata: "Tjia Laotee, heran sekali,
suratnja Hong It itu boleh djatuh di tangan kau ?"
In Gak terperandjat. Didalam hatinja, ia mentjatji : "Hantu
djahat, kau rupanja menentang aku !" Tapi ia lekas
mendjawab "Ketika tadi siauwtee berdjalan pulang" siauwtee
bertemu seorang jang menjebut dirinja Ngay Hoa dan dia
menjerahkan surat itu padaku dengan permintaan
disampaikan kepada tjong-piauwtauw. Saudara Loei, ada
apakah jang aneh ?" "Oh, begitu ?" kata Siauw Thian, jang mengasi dengar
suara dihidung, tandanja ia separuh pertjaja separuh tidak.
Setelah itu, mereka main tjatur dikamar In Gak. Siauw
Thian terdesak, banjak bidjinja jang dimakan, maka sambil
menolak bidji-bidjinja, ia tertawa dan berkata : "Kau liehay,
Tjia Hiantee, kau seperti dibantu malaikat. Aku sudah lama
tidak main tjatur, aku terdesak., djikalau aku melandjuti, pasti
tidak ada gunanja !"
42 In Gak tertawa, Siauw Thian mengawasi orang, Lalu
mendadak ia kata, masgul ,.Hiantee, aku minta djanganlah
kau dustai aku. Tadi lintjah sekali kau menjingkir dari
tolakannja,Tjoei Tjian, sedikit djuga kau tidak meninggalkan
bekas. Menurut penglihatanku itulah mirip ilmu kaum lwee-kee
jang dinamakan Tjian Tjong Bie Eng Sim Hoat, Hiantee, kau
menumpang didalam piauwkiok; apakah kau mempunjal
sesuatu kesulitan jang kau tengah menjimpannja?"
Sebenarnja hati In Gak bertjekat akan tetapi dapat ia
bersenjum. Ia menatap. "Saudara Loei, matamu tadjam sekali,'' katanja. "Tentang
urusanku ini, baiklah kita menanti sampal besok atau lusa,
baru aku menuturkannja. Dibelakang hari aku pun masih
memerlukan bantuan kau."
Siauw Thian tertawa lebar.
"Hiantee," katanja, "semendjak pertama kali aku melihat
kau, sudah merasa kau mesti menjimpan kepandaian jang
Iuar biasa, sekarang ternjata dugaanku itu benar !"
Si pemuda djuga tertawa pula.
"Mana kepandaian luar biasa !" katanja "Selama beberapa
hari ini, aku tahu saudara terus menjelidiki aku, karena aku
tahu, kebisaanku beda djauh daripada kebisaan saudara, aku
memikir lebih baik aku menjembunjikan diri sadja. Aku pun
mempunjai musuh besar dan
musuhku itu banjak, aku kuatir aku nanti kena menggeprak
rumput hingga ular mendjadi kaget: Djikalau ini sampai
terdjadi; sia- sialah nanti segala usahaku, aku pasti bakal
menjesal tidak habisnja...".
Kian Koen Tjioe menatap anak muda itu, ia mengasi lihat
roman sungguh-sungguh. "Tjia hiantee, kau pertjaja aku!" katanja. "Aku
berpengalaman, aku tahu baik banjak orang dari kalangan
sesat dan lurus, maka untuk pembalasan sakit hatimu itu, aku
rasa dapat aku membantu kau, tentang, kau tuturkan padaku,
43 nanti aku membantu djuga dengan pikiranku. Kau tahu,
akulah seorang, djudjur dan polos, tidak dapat aku menanti
sampai besok-lusa, Hiantee, kau bitjara sekarang, Aku berdjandji tidak nanti
aku membotjorkannja kepada orang lain".
In Gak menatap pula, terus ia .tertawa. lebar.
Djikalau begitu , saudara Loei," katanja, "Baik, mari kita
pergi ke rumah makan Siong Hok Wan, disana sambil
bersantap kita memasang omong melewati sang waktu
malam!" Siauw Thian rnenepuk dengkulnja. ia tertawa pula.
"Baik !" djawabnja, "Marilah" aku mendjadi si tuan rumah."
Kedua-duanja benar-benar lantas berlalu dari piauwkiok,
pergi ke restoran Siong Hok Wan. Disana mereka disambut
dengan manis dan telaten oleh pelajan, jang mengenali orang
Tjin Tay Piauw Kiok. Mereka dipimpin ke medja jang terpilih,
dimana hawa hangat menjenangkan.
Siauw Thian jang memesan barang hidangan, kemudian ia
mengisikan tjawannja In Gak, lalu tjawannja sendiri.
Kemudian lagi ia mengangkat tjawannja itu.
"Laotee" katanja, bersenjum, "Aku dapat mengenal kau,
inilah hal jang seumurku sangat menggirangkan aku.
Sekarang Laotee, paling dulu aku ingin kau memberitahukan
aku, dengan Twie Hoen Poan Tjia Boen, Pamanku itu, kau
mempunjai sangkutan persanakan atau tidak?"
Jilid 1.3 Tewasnja musuh pertama
Orang she Loei ini memanggil Paman kepada Tjia Boen
sebab Tjia Boen sahabat gurunja.
Ditanja begitu, dengan lantas matanja in Gak mendjadi
merah. "Aku jalah anaknja," sahutnja perlahan.
44 Siauw Thian berdjingkrak bangun. memegang keras kedua
pundak orang. "Thian ada matanja !" serunja. "Benarlah dugaanku !
Segala tjatji tidak nanti dapat mentjelakai pamanku itu !
Dimana sekarang adanja ajahmu ?"
In Gak menggeleng kepala. Ia menghela napas.
"Ajahku telah meninggal dunia," sahutnja kembali perlahan.
Orang she Loei itu bermuka guram, ia menghela napas.
"Ajahmu telah meninggal dunia, ini benarlah impian
belaka," katanja, "Sekarang, hiantee, adakah kau dalam
perdjalanan menuntutbalas menurut pesan ajahmu itu ?"'
In Gak menganguk."Ja," sahutnja. "Hanja tugas ini sulit
untukku. Niatku jaitu berdiam didalam piauwkiok barang satu
tahun, untuk menjelidiki orang-orang pelbagai partai, untuk
rnentjari tahu musuh-musuhku, untuk aku nanti
mendatanginja satu demi satu. Sekarang aku merasa niatku
ini tidak dapat didjalankan. Tjara ini meminta waktu terlalu
lama, lebih-lebih aku bersendirian sadja: " Saudara Loei,
dapatkah kau memikir suatu djalan jang ringkas ?"
"Memang, hiantee, berdiam di dalam piauwkiok bukan
djalan jang sempurna. Menurut aku, baiklah kau segera
merantau, masuk dalam dunia Kang-ouw, untuk membuat
nama. Setelah itu, mustahil orang tidak datang mentjari kau "
Kalau perlu, kau boleh menjembunjikan asal-usulmu, agar
tidak ada jang ketahui kaulah anaknja Paman Boen. Djikalau
kau berbuat begini, sulitnja jalah ilmusilatmu. Orang tentu
akan mengenali itulah ilmu silat Paman Boen dan orang dapat
mentjurigai kau" "Tentang ilmusilat, itulah tidak usah dikuatirkan," In Gak
memberi keterangan. "Biarnja ilmusilat ajahku liehay,
keliehayan itu belum ada separuh keliehayannja guruku.
Siauwtee akan tidak memperlihatkan ilmu-silat ajahku itu."
45 Siauw Thian membuka lebar matanja. Ia heran berbareng
kagum. "Bagairnana, hiantee ?" tanjanja. "Kau telah berguru
kepada lain orang " Dan kau bilang, kepandaian ajahmu tak
ada separuhnja kepandaian gurumu itu " Hiantee, pasti
gurumu orang dari golongan terlebih tua. Dapatkah aku
Menuntut Balas Karya Wu Lin Qiao Zi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengetahui namanja. In Gak menggeleng kepala, tetapi ia bersenjum.
"Aku telah mendapat pesan guruku, tidak dapat aku
memberitahukan namanja," ia kata. "Aku minta saudara tidak
buat ketjil hati." Siauw Thian tidak gusar, ia pun tidak memaksa. Bahkan ia
tertawa. ,,Meski hiantee tidak menjebutkannja, kelak hiantee tidak
akan lolos dari mataku !" katanja. "Sekarang biarlah kita
menunda tentang itu. Aku ada memikir suatu djalan, supaja
dengan sebutir batu kau rnendapatkan beberapa ekor burung.
Duluhari itu, orang-orang jang memusuhkan ajahmu
bertjampur-baur kaum sesat dengan kaum lurus, tjuma tidak
djelas siapa-siapa adanja mereka itu, hanja menurut kabar,
disana ada orang-orang dari pihak Boe Tong Pay, Koen Loan
Pay, Hoa San Pay ketiga kaum lurus. Jang lainnja jalah Keng
Lay Pay, Sam Hoan Pay dari Honghoo, Pay Pay dari Siangkang
serta mereka jang tidak berpartai. Dengan mereka itu
hiantee boleh pura-pura bersahabat, untuk mengorek
keterangan mereka. Pilihlah mereka jang djumawa dan
berkepala besar jang dojan berkelahi. Aku pertjaja,
diantaranja mesti ada jang akan membuka mulutnja.
Bagaimana hiantee pikir ?"
"Bagus !" In Gak memudji. "Inilah aku tidak pikir. Baik, aku
akan mengambil siasat ini." Ia berdiam sedjenak, lantas ia
kata, sungguh-sungguh: "Saudara Loei, ibuku terbinasa oleh
satu tangan djahat, dipunggungnja bertapak tudjuh
46 djaritangan, mengenai itu dapatkah saudara menundjuki aku,
siapa orang Kang-ouw jang djeridjinja tudjuh ?"
Siauw Thian berpikir. "Tidak, hiantee, aku tidak pernah mendengar orang dengan
tudjuh djeridji itu," sahutnja. "Tapi ini pun tidak sukar.
Perlahan-lahan sadja kau mentjari tahu siapa jang liehay
djaritangannja. Aku rnenjangsikan Taylek Koei Ong Tjoe Pek
Pay. Setelah dia dihadjar ajahmu, dia tentu menjembunjikan
diri. Dialah sangat membentji ajahmu."
In Gak mengangguk. "Biarlah !" katanja, tertawa dingin. ,,Dia itu benar musuh
ibuku atau bukan, akan aku singkirkan dia Bukankah sudah
terang dia bukannja manusia baik-baik " Boleh apa
membinasakan satu bahaja besar untuk umum ?"
"Hebat hiantee." kata Siauw Thian. "Aku sendiri, tidak
berani aku main gila terhadap Lan Tjhong Siang-Sat.
Sekalipun Tjoei Tjian, Tjie Tong Peng dan Hee-houw Him
mengepung bertiga, masih sulit untuk mendjatuhkan dua
orang itu, maka bagaimana begitu mudah sadja kau
mengatakan hendak menjingkirkan mereka! Tapi biar
bagaimana, ada baiknja kau hendak memberikan bantuanmu.
Bagaimana sekarang kau hendak berdjalan sendiri atau turut
bersama kami?" "Baiklah aku berdjala sendiri sebagaimana kebiasaanku,"
sahut In Gak. :,,Aku minta saudara djangan membilangi aku
bakal turut, aku hendak bekerdja dengan diam-diam."
Siauw Thian tertawa. "Djikalau kau tidak membantu, saudara, dapat aku
menutup mulut !" katanja; Apakah hiantee kira mereka sernua
majat- majat sehingga mereka tidak melihat padamu" "Ah,
hiantee, aku ingin bitjara padamu, aku ingin minta sesuatu.
Aku rasa kita sudah mengenal baik satu sama lain maka itu,
47 sukakah djikalau kita mengangkat saudara, agar kau
rnengakui aku sebagai toako, kakakmu ?"
In Gak tertawa lebar. aSaudara, walaupun kau tidak mengatakannja, itulah
pikiranku !" katanja. "Baiklah, mari kita mengangkat saudara
sekarang djuga !" Pemuda ini lantas memanggil pelajan untuk minta dibelikan
hio dan lilin, untuk disitu djuga mereka memasang hio
mengangkat saudara seraja minum djuga arak jang ditjampuri
darah mereka. Habis itu mereka makan minum terus, setelah
puas baru mereka pulang dan tidur,
Besoknja pagi belum terang tanah, Heehouw Him berempat
sudah berangkat untuk memenuhi djandji. In Gak berangkat
belakangan seorang diri. Ketika ia tiba diluar kota, tjuatja
masih gelap dan masih ramai suara sang kodok, disitu tidak
ada orang jang berlalu-lintas. Maka leluasalah ia beriari-lari
dengan ilmu enteng tubuh, menguntit empat kenalannja itu.
Selagi mendekati kaki bukit Bwee Nia, tjuatja sudah
remang-remang dan Siauw Thian berempat terlihat lagi
mendaki puntjak. Untuk melombai mereka itu, In Gak
mengambil djalan dari samping. Ia pun menggunai ilmu ringan
tubuh "Lang Khong Hie Touw," atau "Menjeberang diudara,"
asal kakinja mendjedjak, tubuhnja lantas melesat djauh,
bagaikan melajang. Bukit dipanggil Bwee nia, bukit bunga atau buah bwee"
tetapi disana tidak ada pohon bwee, hanja pohon bambu
dimana-mana bagaikan rimba besar, daunnja hidjau, memain
diantara sampokan angin, suasananja tenang dan njaman.
In Gak sampai terlebih dulu.
Ia mendapatkan sebidang tegalan rumput Iuas kira-kira
tigapuluh 48 Bak. Ia tidak melihat ada orang disitu, lantas ia pergi
kebelakang sebuah batu besar, untuk menjembunjikan diri.
Belum lama terlihat datangnja tiga orang, jang gerakannja
gesit. "Merekalah tentu Hong It Taysoe dan Lan Tjong Siang Sat,"
duga si pemuda. Hong It bertubuh tinggi tudjuh kaki, djubahnja merah
romannja tampan, tjurne sepasang matanja tadjam dan
bengis, memain tak hentinja, suatu tanda pendiriannja
garnpang berubah. Ia memiara kurnis-djenggot pandjang.
Sendiatanja jalah sebatang sian-thung, atau tongkat, jang
bergemerlap, jang ditaruh dipunggungnja.
Lan Tjhong Siang-Sat memakai pakaian singsat jang
serupa, jang satu beroman djelek dan bengis, mukanja perok,
terlihat otot-ototnja jang biru, matanja ketjil tetapi tadjam,
hidungnja merah dan bibirnja tebal. Sendjatanja jalah poankoanpit. Alatmirip pena Tiongboa, peranti menotok djalandarah.
Tubuh dan tangan?nja lebih besar daripada kepunjaan
kebanjakan orang. Maka In Gak menduga dialah Tjoe Pek Pay.
Jang lainnja bermuka bengis, alisnja berdiri, matanja bersinar
bengis djuga, hidungrija bengkung, bibirnja sedikit terangkat
naik hingga terlihat tegas dua. buah giginja seperti tjaling.
Teranglah dia seorang jang litjin, sendjatanja jaitu sebatang
golok jang tadjam kedua mukanja.
Setelah menghentikan tindakannja, Hong It melihat
kesekitarnja, lantas dia tertawa dan kata "tempat ini indah
sekali, sungguh ini terlalu bagus untuk djadi tempat dimana si
tua-bangka Hee-houw mengubur dirinja I"
Belum berhenti suara si pendeta, disitu muntjul empat
orang lain, jang terus tertawa berkakakan.
Hong It lantas mengenali dua dari tiga kawannja Hee-houw
Him itu, jaitu Kian-koen-tjioe Loei Siauw Thian, orang Kang
ouw jang sukar dilajani, dan Liang Gie Kiam-kek Tjie Tong
49 Peng, murid kepala dari Heng San Pay. Orang jang ketiga,
jang tua dan kate-ketjil serta kurus, ia tidak kenal tetapi ia
rnenduga mesti bukan sembarang orang. Melihat mereka itu"
hatinja mendjadi tidak enak sendirinja, sebab meski ia dibantu
I.an Tjhong Siang-Sat, ia masih djeri"
Hee-houw Him mengurut djanggutnja dan tertawa. Katanja
,Aku si orang she Hee-houw jang tua datang untuk menetapi
djandji, maka itu tolong taysoe memberitahukan, taysoe
mempunjai pengadjaran apakah untukku ?".
Sepasang alis pandjang dari Hong It bergerak, dia tertawa
dingin. "Heehouw Sie-tjoe, indah pertanjaan jang scngadja kau
mengadjukannja" katanja mendongkol" ,.Kau sudah tahu
tetapi toh kau masih menanja! Duluhari itu benar muridku
Gouw Beng bersalah tetapi tidak seharusnja kau menurunkan
tangan djahat terhadapnja! Sedang kemarin ini, ketika
muridku jang lainnja, Ngay Hoa membawa surat, dan dia
datangnja setjara hormat, mengapa kau memusnakan ilmusilatnja
" Tidakkah keterlaluan " Apa sekarang kau hendak
bilang ?" Heehouw Him heran, hingga ia melengak. Surat kemarin
toh. In Gak jang rnenjerahkannja, Karena ini, ia lantas mau
menduga. In Gak itu benar-benar liehay. Ia belum
mendjawab, Siauw Thian mendahuluinja.
"Hong It, kau bitjara enak sekali !" katanja tertawa lebar.
"Gouw Beng terlalu mengandalkan kau, dia malang-rnelintang
di Ouwlam Timur, kedjahatannja telah diketahui umum,
djangan kata memangnja dia telah bersalah terhadap saudara
Hee-houw, meskipun dia tidak mengganggu, djikalau dia
bertemu orang bangsa kami, pasti sukar dia menolong
djiwanja. Pula Ngay Hoa, ketika dia menjampaikan suratnja,
dia berlaku kurangadjar sekali, rnaka dia diadjar adat oleh
seorang sahabatku ! Masih untung dia masih dikasi tinggal
hidup ! Kenapa kau masih berlaku galak begini?"
50 Hong It gusar hingga mukanja mendjadi merah-padam.
"Sudahlah !" menjelak Tjoei Beng Long-koen Khiong Keng
dari Lan Tjhong Siang-Sat.
"Urusan hari ini, tidak perduli siapa benar siapa salah, tidak
dapat diselesaikan dengan omong belaka, dari itu baiklah kita
mengadu tangan sadja, siapa jang menang dialah jang benar.
Kami berdua saudara, dari djauh kami datang ke Timur ini,
kami ingin beladjar kenal dengan orang-orang gagah dari
Tionggoan jang kami kagumi. Setelah sampai disini, dan dini
waktu, perlu apa lagi kita main mengadu lidah seperti si orang
tidak keruan ?" "Siapa si orang tidak keruan ?" Siauw Thian membentak,
"Kamu sendiri, kamu machluk apa " Dimataku si orang she
Loei tidak ada orang sebangsa kamu !"
Mendengar itu matanja Khiong Keng mentjilak. Memangnja
dia beroman djelek dan bengis, sekarang dia nampak
menakuti. Dengan menggeraki goloknja lantas dia menjerang
Siauw Than. Kian Koen Tjioe mendapat namanja disebabkan
kepandaiannja bersilat dengan tangan kosong. Sebenarnja ia
mengerti ilmu pedang hanja djarang sekali ia menggunai
sendjata, akan tetapi sekarang melihat golok istimewa dari
lawan, ia menghunus djuga pedangnja. Ia tahu, musuh tjuma
rnenggertak, maka itu ia menunggu sampai udjung golok
hampir mengenai pundaknja, pundak kiri, mendadak ia
berkelit kesamping sambil terus membatjok lengan lawan itu.
Tjoei Beng Long-koen bukan sembarang orang, djikalau
tidak, tidak nanti namanja mendjadi terkenal, dari itu, meski
pedang musuh sangat tjepat, la toh dapat mengelit tangannja
itu. Berbareng dengan itu, tangan kirinja menghadjar kedada
lawan. Sambil berseru, kembali Siauw Thian mengegos tubuhnja,
membebaskan dadanja dari tindju musuh. Sembari berkelit itu,
51 djuga mernbalas menjerang pula, membabat knarah
pinggang. Khiong Keng terperandjat. Tidak, ia sangka lawannja
demikian gesit, Ia lantas menarik mundur tubuhnja, perutnja
pun dibikin kempes, tetapi ia terlambat sedikit,
"Bret !" maka robeklah udjung badjunja. Ia mendjadi
sangat gusar hingga ia berkaok-kaok, suaranja menjakiti
telinga. Dengan sengit ia menjerang, kali ini dengan salingsusul
hingga tiga kali, mentjari ketiga tempat berbahaja
thiamhoe-hiat, Tjiang boen-hiat, dan khie-hay-hiat. Ia
mengeluarkan ilmu silat goloknja jang ia telah latih untuk
banjak tahun, Itu pula ilmu golok jang membuatnja mendapat
nama besar. Melihat ia didesak, Siauw Thian main mundur. Ia djuga
mendjadi gusar sekali. Habis mundur itu, ia membalas
menjerang. Ia mengeluarkan ilmu goloknja, Kioe Kiong Patkwa,
jang terdiri dari duapuluh delapan djurus.
Demikian mereka bertempur, hingga sebentar sadja sudah
melalui tigapuluh djurus.
Khiong Keng mendjadi habis sabar, segera ia menjerang
dengan tipusilat "Djie Long Hang Yauw," atau "Malaikat Dje
Long Sin menakluki siluman." Goloknja menjambar kelengan
kanan, tjepatnja luar biasa.
Menghadapi serangan berbahaja itu Siauw Thian tidak
mundur, bahkan dia mendahului madju, pedangnja meluntjur
kelengan lawan. Karena dia madju dari samping, tangan
kirinja djuga terus bekerdja, untuk menotok djalan darah hokkiat.
Tjoe Pek Pay kaget melihat gerakan Siauw Thian ini, tanpa
merasa dia berteriak, lantas tubuhnja berlompat madju, niat
membantui. Akan tetapi dia terlarnbat, totokan telah
mengenai djitu pada sasarannja, tanpa ampun lagi, Khiong
Keng roboh terkulai. 52 Tjoel Beng Long-koen tengah menjerang, sebelah kakinja
pun madju, ketika ia disambut Siauw Thian, goloknja jang
meluntjur itu terpengaruh pedang Siauw Thian. Selagi madju,
ia didahului, tak sempat ia mundur pula atau berlompat
kesamping, maka iganja mendjadi kosong, tepat totokan
mengenai samping perutnja. Begitu sakit ia merasa, segera
tubuhnja djatuh terbanting.
Tjoe Pek Pay tidak madju membantui, untuk mentjegah
kawannja bertjelaka. Sekarang ia mengangkat tubuh kawan
itu, untuk periksa lukanja.
Khiong Keng mandl peluh pada dahinja, sepasang alisnja
dikerutkan, mukanja meringis, tanda menderita kesakitan
hebat dan menahannja. Menampak demikian, Pek Pay
mendjadi panas hatinja. Dengan sorot mata gusar, ia
mengawasi Siauw Thian, sembari tertawa menjeringai, ia
kata"Tuan, tanganmu kedjam sekali', maka djikalau aku si
orang she Tjoe tidak membikin badanmu terpisah dari
kepalamu, nama Lan Tjhong Siang-Sat blarlah tenggelam
didasar laut untuk selama lamanja!"
Dimarahi begitu rupa, Siauw Thian sebaliknja tertawa.
"Nama Lan Tjhong Siang-Sat, aku si orang she Loei telah
Menuntut Balas Karya Wu Lin Qiao Zi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membilangnja siang-siang bahwa sebelumnja belum pernah
aku mendengarnja" ia kata tenang. "Maka, djikalau kau tetap
barkaok-kaok seperti orang gila, apa-kah kau tidak kuatir nanti
orang mentertawainja?"
Selagi kedua orang itu berhadapan, hatinja Siauw-bin Boesiang
Hong It kebat-kebit. Sebelumnja ia memang sudah
gentar hati. Sekarang, melihat robohnja Khiong Keng, tahulah
ia jang ia tidak mempunjai harapan lagi. Dipihak musuh masih
ada Hee houw Him bertiga. Mana dapat ia melajani mereka
itu" Maka ia lantas memikir akal.
Tay-lek Koei Ong sendiri telah bangun otot-otot biru gelap
di dahinja, hingga mukanja jang djelek dan bengis mendjadi
53 bertambah bengis, sedang dari mulutnja keluar tertawa
edjekan jang menjeramkan jang tak putusnja. Ia meletaki
tubuh Khiong Keng, terus ia berdiri, tangannja sudah lantas
memegang sepasang sendjatanja jang mendjadi alat penotok
djalandarah: poankoan-pit.
"Oleh karena tuan tidak memandang mata kepada aku si
orang she Tjoe," .katanja dingin, "marilah kita mengambil
keputusan dengan tangan kita, untuk menetapkan siapa tinggi
dan siapa rendah" Siauw Thian hendak menjambut tantangan itu ketika OhKah Lam madju seraja berkata: ,Loei Laotee, kau telah
menang satu rintasan, tidak ada halangannia untuk kau
mengalah kepadaku supaja aku si tua-bangka dapat
menggaruk-garuk tanganku jang gatal"
Siauw Thian menurut, sembarl bersenjum, dengan tenang
ia mengundurkan diri. la pun merasa, mungkin sulit ia
melajani Tjoe Pek Pay, jang mestinja lebih liehay daripada
Khiong Keng jang mendjadi adik-angkatnja dia itu.
"Orang tua, kau siapa?" Pek Pay membentak rnelihat orang
madju dengan tangan kosong. "Kenapa kau tidak menghunus
sendjatamu?" Oh-Kah Lam, si malaikat Kah Lam Ya Kate, tertawa geli
tetapi nadanja dingin. "Aku si orang tua she Tjoei bernama Tjian," sahutnja tawar,
"sudah sepuluh tahun belum per?nah aku bertempur dengan
meng?gunai sendjata. Maka biarlah dengan tangan kosong ini
aku melajani sepasang pitmu itu !"
Tjoe Pek Pay tertawa terbahak.
"Aku tidak pertjaja, orang tua, tanganmu lebih liehay
daripada tanganku!" teriaknja dan terus dia menjimpan
sendjatanja, setelah mana ia bersiap menanti, katanja: "Kita
menggunai tangan kosong melawan langan kosong, djikalau
54 didalam tigapuluh djurus aku tidak dapat mengalahkan kau,
aku si orang she Tjoe akan ngelojor pergi !"
"Bagus!" menjambut Tjoei Tjian. sembari terus ia madju
menjerang dengan kedua tangannja.
Tjoe Pek Pay tidak mundur, dia menjambut serangan itu.
Dia telah mengarahkan tenaganja, maka kesudahannja,
penjerangnja kena dibikin terpental mundur tiga tindak.
Tjoei Tjian, di sebut djuga Sun It Kies orang aneh nomor
satu dari gunung Tay San, gerakannja lintjah bagaikan ular
litjin, untuk di-tenggara ialah djago nomor satu, biasanja ia
bangga sekali akan dirinja sendiri, maka itu, kali ini ia kena
dibikin terpental mundur, murkanja bukan buatan, hingga
bangkitlah kumisnja jang ubanan. Segera ia madju pula,
kembali dengan kedua tangannja jang nampak mirip
sepa?sang ular. Kedua tangan itu mentjari djalan darah.
Pek Pay heran melihat orang sudah-terpental mundur tanpa
kurang suatu apa, karena ini, ia tidak mau berlaku sembrono.
Lantas ia melajani dengan ilmusilatnja, jang diberi nama "Sam
Poan Im Yang Tjiang," atau Tangan Imyang, jang biasa
dikeluarkan tiga kali beruntun, menjerangnja keatas, tengah
dan bawah, datangnja kedua tangan saling susul, tak
ketentuan jang mana terlebih dulu.
Oh Kah Lam melajani terus, dengan begitu mereka
setanding sekali. Liang Gie Kiam-kek menonton pertandingan sambil
memasang mata terhadap Hong It Taysoe, ia melihat pendeta
itu mengawasi pertempuran dengan matanja terus memain
dan wadjahnla suram lantas ia rnenghampirkan.
"Hong It Taysoe," sapanja, tertawa, "djandji pertemuan ini
di selenggarakan oleh aku, sekarang kau berdiri menganggur
sadja" aku pikir baiklah kita pun madju ke gelanggang untuk
main-main!" 55 "Apakah kau kira aku takut kamu dari Heng San Pay?" kata
Hong It dalam hati. Ia terus tertawa dan mendjawab: "Tjie
Sie-tjoe hendak member peladjaran, tidak dapat aku si paderi
tua menampik, hanja karena kita berdua tidak bermusuhan,
bagaimana kalau kita main-main hingga hanja saling towel?"
Tjie Tong Peng tertawa. Ia mendjawab: "Aku si orang she
Tjie telah mendengar halnja ilmu tongkat Hong Loei Thung
hoat jang terdiri dari delapan puluh satu djurus, jang sangat
kesohor, maka itu tidak lain maksudku ketjuali untuk meminta
pengadjaran ilmu tongkat itu."
Hong It tahu baik Heng San Pay mempunjai banjak orang
pandai, ia tidak ingin menanam bibit permusuhan, maka djuga
ia mengeluarkan kata-katanja itu sekarang, setelah
memperoleh djawaban, ia kata pula tertawa: "Baiklah!"
Maka itu, lekas djuga mereka bertempur, jang satu
memegang tongkat, jang lain menggunai pedang.
Siauw Thian berdiri menonton, sering-sering ia memandang
ke sekelilingnja, untuk mentjari Tjia In Gak, jang tentunja
telah menjembunjikan diri di dekat-dekat situ. Ia menduga
dimana adanja si anak muda, maka seterusnja kesana ia
memasang mata. Di gelanggang pertama, Tjoe Pek Pay lantas mulai
bergelisah. Ia merasa sukar untuk lekas-lekas merobohkan
lawannja, sedang ia telah omong besar dengan memberi batas
waktu. Di pihak lain, ia djuga berkuatir memikirkan luka adik
angkatnja, jang tidak ada jang menolongnja. Maka mendadak
ia menjerang dengan tipu silat "Sam hoan to goat" atau "Tiga
kali melihat rembulan". Dengan tangan kanan ia mentjoba
menangkap tangan kiri musuh, dengan tangan kiri ia menotok
dua djalan darah yoe-boen dan im-tiam.
Menjaksikan serangan musuh itu, Tjoei Tjian mendjadi
girang. 56 Dua orang ini mempunjai masing-masing keistimewaannja,
jalah Tjoei Tjian dengan kelintjahannja dan Pek Pay dengan
kekerasannja jang luar biasa, sedang tipu silat "Sam hoan to
goat" itu asalnja dari kitab persilatan Sam Poan Mo Keng dari
Pek Koet Kauw, partai agama Tulang Putih. Sebab Pek Pay ini
ada anggauta partai agama itu. Sjukur Sam Poan Mo Keng
tjuma diwariskan kepada murid utama jang kelak diangkat
mendjadi tjiangbundjin, ketua, djikalau tidak, pasti Tjoe Pek
Pay mendjadi terlebih galak.
Tjoei Tjian itu duluhari, ketika ia berada di puntjak Lok Djit
Hong di gunung Tay San, didalam sebuah guha jang
ketutupan ojot pohon rotan, telah menemui gambar-gambar
ukiran atau sebuah batu besar. Itulah ukiran "Leng Tjoa Tjoan
sie Tjiang" atau "Gerakan tangan sang ular". Sajang ukiran itu
sudah tidak lengkap, rupanja bekas dirusak orang jang
pertama menemuinja. Ia perhatikan itu, ia mejakinkannja:
karena gambarnja tidak lengkap, ia menambahnja sendiri.
Sekian lama ia mengandalkan sangat ilmu silatnja itu, sampai
sekarang ia menghadapi Tjoe Pek Pay, lantas ia insaf sendiri
bahwa ia masih banjak kekurangannja. Saban-sanban ia
terantjam bahaja. Demikian kali ini, ia tidak takut tetapi ia
menghadapi bahaja. Bagaikan kilat demikian serangannja Tjoe Pek Pay. Atas itu,
Tjoei Tjian menangkis dan membebaskan lengannja dengan
kelitjinannja. Mendadak tubuh Pek Pay mentjelat tinggi,
melewati kepala orang, hingga sedetik kemudian, ia sudah
berada dibelakang musuh, sambil ia terus berseru: "Orang tua
she Tjoei, kau terdjebak!" Kata-kata itu dibarengi totokan
tangan kiri kepunggung. Tjoei Tjian kaget bukan main, Ia tidak berdaja melihat
orang lompat melewati dirinja, dan ha?tinja terkesiap
mendengar suara orang dibelakangnja itu. Tidak sempat ia
memutar tabuh, untuk menangkis, segera ia rnembuang
57 dirinja bergulingan dengan tipu-silat ,,Yan Tjeng Sip-pat Koen"
atau "Yan Tjeng bergelimpangan delapanbelas kali."
Atas lolosnja lawan itu, Tjoe Pek Pay tidak mengedjar,
sebaliknja dia berlompat kepada Khiong Keng, tubuh siapa ia
angkat dengan sebelah tangannja, kemudian dengan tertawa
dingin, ia kata: "Sahabat baik, kita ada bagaikan gunung
hidjau jang tak berubah dan air jang mangalir tak putusnja,
sampai kita ketemu pula dibelakang hari!" Habis itu, dengan
membawa saudaranja, ia pergi menghilang diantara
pepohonan lebat. Sama sekali ia tidak menjapa atau
mengadjak Hong It Taysoe.
Tjoei Tjian berlompat bangun untuk berdiri diam dengan
muka putjat. Ia tidak kena dihadjar roboh tetapi rintasan
barusan dapat mendjadi tanda bahwa ia telah terkalahkan,
maka itu, ia likat sendirinja.
Disana Hong It masih terus melajani Tjie Tong Peng, Tapi,
ketika si orang she Tjie melihat Lan Tjhong Siang-Sat
mengangkat kaki, ia lompat keluar gelanggang, sembari
tertawa ia kata; "tay soe, menurut pikiranku, baiklah kita
berhenti sampai disini. Baru-baru ini Hee-houw Piauwtauw:
tidak mengetahui Gouw Beng itu murid taysoe, djikalau tidak,
pasti dia akan memandang. muka taysoe dan tidak bersikap
keras demikian." Habis berkata, ia lantas mengawasi si
Pendeta. Hong It tahu diri, ia dapat menguasai hatinja.
"Heehouw Sietjoe," ia berkataa menghadapi Heehouw Him,
"Hari ini kita belum memperoleh keputusan, akan tetapi
memandang kepada Tjie Sietjoe, baiklah untuk sementara kita
menjudahinja" Dibelakang hari, susahlah untuk aku
mengatakannja sekarang." Tanpa menanti djawaban, ia
memberi hormat pada Tjie Tong Peng, sembari tertawa ia
"Sie- tjoe, sampai bertemu pula!"
58 Hebat pendeta ini, habis berkata, ia mengibaskan
tangannja, kedua kakinja mendjedjak tanah, gesit luar biasa,
tubuhnja mentjelat tinggi, terapung kearah pepohonan jang
lebat. Tapi, ketika tubuhnja mau turun kedalam rimba, disana
terdengar djeritan jang keras dan menjajatkan hati.
Tong Peng semua terkedjut mereka lantas lari kerimba,
untuk melihatnja. Hong It pun, setibanja ditanah, lari
menjusul. Kapan Tong Peng berlima sampai didalam rimba, dimana
ada sebuah batu besar jang mundjul tinggi, maka disisi itu
mereka melihat majatnja Lan Tjhong Siang-Sat. Kedua mata
Khiong Keng tertutup rapat, ia nampak mati tenang. Matanja
Tjoe Pek Pay sebaliknja meletos keluar, mulutnja terbuka dari
mulut itu keluar darah segar. Hebat adalah
Dadanja, dimana bertapak lima djari tangan, tapaknja
dalam, dan dari kelima tapak itu keluar darah hidup.
Mengerikan akan melihat majat itu.
"Eh, apakah itu?" Tjoei Tjian berseru kaget.
Diatas batu besar itu ada ukiran beberapa baris huruf"
ukirannja dalam. Orang semua mendekati, untuk membatja:
"Selama jang belakangan ini, perbuatan Lan Tjhong SiangSat sangat kedjam, mereka sukar dapat ampun. Maka itu kali
ini, untuk jang kedua kali aku memuntjulkan diri, aku
mewakilkan Thian mendjalankan keadilan, Tapi Hong It, dia
keliru. Dialah orang beribadat, tidak. seharusnja dia
sembarang mernpertjajai mulut orang dan karenanja
mentjiptakan permusuhan hebat. Dia pun memangnja
tersohor busuk. Tapi kali ini, karena ditempat ini tidak barbuat
djahat lagi, suka aku memberi ampun, suka aku melepaskan
dia! Tapi ingat, aku larang dia memusuhkan pula Hee houw
Him! .Djikalau tidak maka kuil Tay Pie Sie di Soetjoan Selatan
bakal aku bikin mendjadi puing !"
59 Dibawah ada tanda-tandanja si tukang air; Twie-Hoen Poan
Tjia Boen. Begitu melihat surat luar biasa itu serta nama pengukirnja,
Hong It Taysoe lantas putjat mukanja dan berlalu dengan
tjepat, menghilang didalam hutan bambu.
Siauw Thian tidak merasa aneh, ia menduga kepada Tjia In
Gak. Hanja diam-diam ia memudji ketjerdikannja itu adikangkat.
Pasti telah diatur, disaat kepergiannja Hong It, baru
saudara itu turun tangan, untuk membikin si pendeta
mendapat lihat kesudahannja dan serta ukiran diatas batu itu.
"Kera tua." ia kata pada Hee houw Him, "mulai hari ini
bolehlah kau tidur dengan tenang dan njenjak! Dengan adanja
Twie Hoen Poan sebagai tulang punggungmu, pintu
piauwkiokmu bolehlah tak usah dikuntjj lagi, boleh kau dengan
aman dan selamat melandjuti usahamu !"
Akan tetapi To Pek Sin Wan menghela napas.
"Djikalau hari ini bukannja kau jang merampas
kemenangan pertama, saudara Loei, hingga musuh kena
dipengaruhi semangatnja," ia berkata, "tidak nanti Hong It
mau mengundurkan diri, hingga tak usahlah ia mengeluarkan
kepandaiannja Im Hong Touw Koet Tjiang, Tangan Angin
Djahatnja itu. Memang muntjulnja Twie Hoen Poan Tjia Boen
ada baiknja, ia membuatnja Lan Tjhong Siang-Sat tidak dapat
datang pula. Hanja aku merasa heran. Kabarnja Tjia Boen
telah menemui adjalnja di gunung Boe Kong San, adakah itu
kabar angin belaka?"
"Siapa membilang Tjia Boen sudah meninggal dunia?"
Siauw Thian tertawa , "Khabar angin itu aku tidak pertjaja!
Ada orang luar biasa mesti ada peristiwanja jang luar biasa
djuga! Dengan muntjulnja dia maka kelak kita bakal
menjaksikan pertundjukan-pertundjukan jang menarik hati!"
Liang Gin Kiam-kek Tjie Tong Peng sebaliknja masgul.
60 "Tidak salah" katanja. "Pula Heng San Pay bakal terbetot
arus mata air. Ketika terdjadi pengerejokan terhadap Twie
Haan Poan, partaiku tidak. turut mengambil bagian, hanja
kedjadiannja itu diwilajah propinsi Ouwlam,
Twie Hoen Poan bangsa keras kepala, asal dia mentjurigai
Menuntut Balas Karya Wu Lin Qiao Zi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
partaiku, sudah pasti sukar untuk pihakku membuka mulut."
Siauw Thian tidak memperdulikan kesulitan orang itu, ia
terus tertawa. "Ada urusan apa djuga, sebentarlah di piauwkiok kita
membitjarakannja," kata Oh Kah Lam jang semendjak tadi
membungkam sadja. Maka keempat kawan itu lantas turun gunung berdjalan
pulang. Setibanja dipiauwkiok, hal utama jang Siauw Thian lakukan
jalah segera mentjari In Gak, ketika ia sampai dikamar tulis, ia
melihat si anak muda lagi mentjolet-tjolet pitnja pada bak-hie,
untuk rnenuliskan lian untuk Lie Tay Beng. Menampak
datangnja orang, ia menunda untuk berbangkit dan tertawa.
"Toako, hari ini kau banjak mengeluarkan tenaga!"
sambut?nja. Klan Koen Tjioe mengawasi tadjam.
"Sudah, hiantee, didepan mataku djangan kau berpurapura!"
sahutnja. ,,Perbuatanmu hari ini membuktikan kau
tjerdik sekali, perbuatanmu sangat bagus! Sudah beberapa
puluh tahun aku hidup dalam dunia Kang-ouw, aku pun
merasa aku tjerdik, tetapi aku roboh ditanganmu! Saudara,
aku sangat mengagumi kau. Aku pertjaja. asal kau
menjelenggarakan tipuku itu, dengan sebuah batu
mendapatkan banjak burung, mesti bakal timbul keruwetan
dalam dunia Rimba Persilatan. Tapi saudara, besok aku bakal
berangkat pergi, ada sesuatu jang hendak aku urus,
bagaimana dengan kau: kau hendak menemani aku atau ingin
berdiam terus dulu disini!"
61 In Gak menggeleng kepala.
"Tidak dapat aku turut kau besok,"' katanja. "Asal aku
pergi, orang akan .mentjurigai aku. Toako boleh berangkat
lebib dulu, setengah bulan kemudian, aku nanti menjusul. Aku
boleh mengadjukan alasan memohon tjuti. Toako sebutkan
sadja dimana kau bakal berada, satu hari sebetum hari raja
Toan Ngo pasti aku datang padamu."
Loei Siauw Thian mengangguk.- "Itu bagus," sahutnja.
"Baiklah, satu hari sebelum Toan Ngo, kita nanti bertemu di
Louw Kauw Kio, sebelumnja bertemu tidak dapat kita
berpisahan!" Dengan kesetudjuan ini, Siauw Thian mengundurkan dirj.
Habis menulis lian, In Gak Iihat hari mendekati tengah hari,
maka ia lantas pergi keluar akan menemui semua orang.
Di ruang tetamu hadir banjak orang, ramai pembitjaraan
mereka. Ada datang pemimpin serta piauwsoe-piauwsoe dari
delapan piauwkiok dikota Lam-tjiang itu, mereka sudah lantas
Sumpah Palapa 16 Kitab Ilmu Silat Kupu Kupu Hitam Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Rahasia 180 Patung Mas 8
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama