Menuntut Balas Karya Wu Lin Qiao Zi Bagian 2
mendengar peristiwa diatas buki Bwee Nia itu, lantas mereka
ingin mendengarnja terlebih tegas. Repot tuan rumah melajani
mereka. Selang satu djam, baru mereka bubaran.
Sesudah ruang mendjadi sepi, tuan rumah menjuiruh
menjediakan barang hidangan.
Tengah bersantap, mendadak Tjje Tong Peng menghadapi
In Gak dan kata sambil tertawa:. "Tjia Sinshe, aku tahu benar
peristiwa tadi tentulah kau telah melihatnja sendiri! Aneh,
mengapa kau pandai sekali menjembunjikan dirimu?"
In Gak tertawa. "Aku pertjaja tuan-tuan telah melihat aku," "katanja, "tetapi
tentang diriku, maaf, ada kesulitannja untuk aku
mendjelaskan. Kepandaianku tidak berarti, aku kalah djauh
dari tuan-tuan, maka aku pikir baiklah aku menjembunjikan
diriku. Tentang peristiwa tadi, bukan sadja aku melihatnja
semua dengan tegas, bahkan aku menjaksikan djuga
bagaimana Twie-Hoen-Poan Tjia Boen tengah menghadjar Tay
62 Lek Koei Ong Tjie Pek Pay, "sajang aku terpisah djauh, hingga
aku tidak dapat mendengar pernbitjaraan mereka."
In Gak lantas melukiskan pakaian dan potongan tubuhnja
Tjia Boen. Tentu sadja itulah karangan belaka, tetapi itulah
tepat, karena orang jalah ajahnja sendiri, tentu sekali ia
mengenalnja dengan baik. Semua orang disitu pertjaja keterangan itu ketjuali Siauw
Thian tetapi ini kakak-angkat bahkan sengadja berlagak heran
dan kagum. "Tjia Laotee," Tjoei Thian tanja, akau pandai silat,
sebenarnja kau dari partai mana?"
"Tidak ada partaiku," sahut. In Gak menggeleng kepala.
Oh Ka Lam mengerutkan alis.
"Mana ada silat tanpa partainja?" katanja. "Kau tidak sudi
bitjara, laotee, mungkin kau tidak melihat mata padaku?"
"Memang benar tidak ada partainja.;" In Gak tertawa
"Djikalau lootjianpwee tetap tidak pertjaja, baik disebut Boe
Kek Pay sadja.' "Boe Kek Pay?" 'katanja. "Sudah enampuluh-lima tahun
umurku, belum pernah aku mendengar nama partai itu!
Sudah. tidak perduli apa djuga, sebentar habis bersantap, Aku
minta kau bersilat barang satu-dua djurus!"
In Gak menggeleng kepala puIa.
. "Kebisaanku tidak herarti, apa jang dapat dilihat"
Daripada membikin malu diri sendiri,lebih baik aku tidak
memberi pertundjukan akan keburukanku," Ia berhenti
sedjenak "Hanja sekarang ingin aku memberitahukan
Heehouw Loo-piauwtauw, lagi setengah bulan, ingin aku minta
tjuti setengah tahun, untuk aku pergi ke Utara. untuk
menjambangi sanakku disana. Nanti bulan sebelas aku akan
kembali. Selama ini setengah tahun, akan aku adjarkan apa
jang aku bisa kepada kedua putera dan puteri Loopiauwtauw."
Heehouw Him girang sekali.
63 "Inilah jang aku minta pun tidak berani!" katanja. Lantas ia
perintah memanggil kedua anaknja, mereka itu memberi
hormat sambil menghaturkan terima kasih.
Kedua anak itu girang sekall, lantas mereka tarik tangan
guru mereka untuk diadjak pergi ke belakang.
Besoknja.Tjie Tong Peng pa?mitan untuk pulang ke Heng
San dan Tjoei Tjian untuk pergi ke Tjauw Ouw di An-hoei akan
mendjenguk sahabatnja, sedang Loei Siauw Thian berangkat
ke Utara. Demikian mereka berpisahan.
Mulai itu waktu, Tjia In Gak mengadjari kedua murid ilmu
silat, dua rupa kepandaian jang dinamakan ,,Pek Wan Tjiang,"
ja?itu Tangan Kera Putih, dan "Pat kioe Lenglong Tjioe,"
Tangan Lintjah. Untuk sementara, peladjaran surat dihentikan
dulu. Kedua anak itu berbakat balk dan radjin, selama
setengah bulan itu, mereka sudah mendapatkan kira tudjuh
bagian. Kedua peladjaran ini, jang diberikan In Gak, beda
hasilnja dari peladjaran oleh guru silat jang kebanjakan.
Lie Tay Beng djuga diwariskan ilmu silat "Thay Khek
Tjiang." Piauwsoe ini menghela napas, katanja: "Laotee, sungguh
aku tidak sangka kau pandai silat, hingga aku, jang sering
merantau, tidak dapat melihat kau! Aku malu .."
Kemudian tiba saat keberangkatannja In Gak. Tiga hari
dimuka ia telah didjamu. Pesta dihadiri semua piauwsoe dan
pegawai piauwkiok. Ia merasakan hangatnja pesta perpisahan
itu. ia dibekali uang tigaratus tail, la menampik, tetapi
Heehouw Him memaksa, katanja: "Kau tahu, hiantee,
perdjalanan mernbutuhkan uang. Pula. kau harus ketahui,
uang satu boen bisa rnembikin matinja seorang gagah sedjati.
Kita toh tidak nanti suka berlaku sebagai si kurtjatji Djalan
Hitam, untuk pergi mentjuri" Persahabatan kita bukan
persahabatan biasa, maka itu, djangan kau tolak uang tidak
berarti ini." 64 In Gak tidak dapat menampik terus, ia mengutjap terima
kasih. Heehouw Him bersama kedua anaknja dan Lie Tay Beng
mengantar djauhnja tigappuluh lie, lalu mereka berpisahan
dengan perasaan amat berat.
In Gak melakukan perdjalanannja dengan tetap
rnenunggang kuda jang ia rampas dari Bwee Nia, ia ketarik
dengan telaga See Ouw, maka itu, menudju ke propinsi
Tjiatkang. Dihari kedua ia tiba diketjamatan Kangsan dalam
wilajah propinsi itu. Ketika itu sudah djam dua, kota sudah
sepi. Djarang orang berlalu-lintas diluaran. Maka tindakan kaki
kudanja menerbitkan suara taktok taktok diatas batu hidjau.
Ia mendapatkan hotel didepan restoran Soe San Tjoen dimana
masih terdapat orang bersantap dengan ramai, maka habis
mengambil kamar dan tjutji muka, ia pergi ke restoran itu
untuk memesan barang makanan.
la duduk di medja jang menghadapi djalan besar. Disitu
ada belasan tetamu lainnja, jang datang terlebih dulu.
Merekalah jang tengah berpesta itu.
Tidak lama datang lagi delapan tetamu, jang romannja
bengis. Mereka memilih medja, lantas satu. diantaranja
mengeprak-ngeprak medja meminta arak dan makanannja,
hingga repotlah si pelajann jang rnenteriaki kawannja lekas
membawa arak dan barang makanan jang diminta itu.
Diam-diam In Gak memperhatikan orang jang rupanja
mendjadi kepala, jang lantas berkata dengan keras: "Aku tidak
sangka aku si Yoe Sam Hoo kena dibikin mendongkol ini
hari.." "Sudahlah, Yoe Toako," kata seseorang. "Djangan karena
wanita kau bentrok dengan Kim-hoa Sam Kiat. Kau tahu
sendiri, tiga djago Kim-hoa bertulang punggung Kian KoenTjioe Loei Siauw Thian. Kita semua tidak dapat bertahan
sekalipun lima djurus melawan dia itu
65 "Tjie Loo-sam, kau bitjara menjebalkan," kata seseorang
lainnja lagi. "Bukankah ada dibilang, siapa tidak dapat
menuntutbalas dia bukannja seorang koentjoe" Untuk apa dan
kita mengangkat nama" Biarnja Loei Siauw Thian liehay, aku
tidak pertjaja dia selihay apa jang kau katakan Yoe Toako
mahir ilmunja keras dan lunak, kenapa dia. mesti djeri
terhadap Kim-hoa Sam Kiat" Mari kita bakar sarangnja!"
Mendengar kakak-angkatnja ada di Kim-hoa, girang In
Gak.Maka ia menjesal jang ia tidak segera sampai dikota itu.
Tapi ia belum ketahui duduknja perkara Yoe Sam Hoo ini.
Maka sembari dahar, diam-diam ia memasang telinga.
"Gouw Laotee, tidak dapat kita bitjara seperti katamu ini,"
kata Sam Ho. ,.Kau ketahui sendiri, tidak sudi aku
diperrnainkan orang. Memang, mulanja jalah adah pihak kita.
Pada tudjuh hari jang lalu beberapa wanita lewat didepan
rumah kita. Kim In, adik angkatku, melihat seorang nona
tjantik, dia lantas mengatakan beberapa kata-kata sambil lalu.
Nona itu tidak senang, dia menegur. Adikku tidak gusar, dia
bahkan mendekati si nona, memainkan tangan dan kakinja.
Diluar dugaan, nona itu liehay. Adik Kim In diserang roboh
dan diperhina. Ketika mau mengangkat kaki, nona itu masuk
ke dalam rumah dan mengambil benderaku, bendera jang
bersulam burung walet emas, sambil menjatakan, untuk
mengambil pulang itu, tjarilah dia di Sam Eng Piauwkiok di
Kim hoa. Ketika itu aku tidak ada dirumah, djikalau tidak, tidak
nanti aku membiarkan mereka pergi dengan begitu sadia.
Bendera itu bendera partai, mana bisa itu dibiarkan lenjap"
Kalau nanti paytjoe menjalahkannja sungguh hebat akibatnjar
Karena itu aku mengutus Tjie Loo-sam ke Kim-boa, untuk
dengan hormat meminta nona itu diserahkan. Kim-hoa Sam
Kiat tidak bilang apa-apa, adalah Kian-Koen-Tjioe Loei Siauw
Thian jang menolak keras. Dia kata tidak bakal dipulangkan
ketjuali saudara Kim In datang sendiri menghaturkan maaf.
Kemarin ada orang kita jang kembali dari Kim hoa, dia.
66 membawa omongan katanja Loei Siauw Thian sudah pergi ke
Utara, maka hari ini aku minta Tjie Loo-sam pergi ke Kim-hoa,
melulu untuk minta pulang bendera, lainnja kita tidak
perdulikan lagi. Tjoba pikir, apakah katanja nona itu" Katanja:
'Hmm! Bukankah duluan kau telah datang kemari" Apakah
kataku terhadapmu" Suruh si orang she Kim datang kemari
untuk berlutut dan mengangguk memohon ampun, baru
benderanja aku kasi pulang! Kenapa sekarang kau datang
pula" Apakah kau memandang tidak mata pada nona kamu"
Untuk mendapat pulang bendera tidaklah begitu mudah!
Djikalau si orang she Kim tidak datang sandiri, kau datang
sepuluh kali djuga sia-sia belaka! Tjoba pikir, djikalau bendera
itu tidak demikian penting dan bersangkut paut dengan diri
dan kekajaanku, mana aku mendjadi gusarT'
"Djikalau demikian adanja" mereka memang terlalu
menghina," kata si Gouw. "Saudara Kim telah dirobohkan,
maka sekarang, aku pikir, 'kau pergi kepada paytjoe; bilang
sadja mereka itu jang mentjari gara-gara, bahwa bendera itu
ditjuri mereka." "Daja itu aku telah pikir djuga," kata Sam Hoo menarik
napas. "Tapi itu tidak dapat diambil. Bendera lenjap berarti
melanggar satu diantara tiga pantangan besar, Habis, mana
bisa aku hilang muka?"
Si Gouw berpikir pula, lalu ia kata: "Aku lihat begini sadja
kita bekerdja. Baru beberapa hari jang lalu kita kedatangan
dua tetamu jang kosen, jalah jang satu Song Boen Kiam-kek
Leng Hoei dari Kong Lay Pay, jang lainnja Tjit-Im-Tjioe Tjek
Thian Tjhong, jalah Long see It Pa, djago dari Long-see. Kita
gosok mereka itu hingga mereka suka membantu kita. Kimhoa
Sam Kiat orang Siauw Lim Pay, Kong Lay Pay memang
membentji Siauw Lim Pay itu, asal ada urusan sedikit sadja,
mereka bentrok. Maka itu, mustahil mereka tidak akan kena
diogok?" 67 Yoe Sam Hoo setudju. "Djikalau mereka berdua dapat turun tangan, itulah bagus
!" katanja. "Kita tidak perIu meperdulikan lagi Loei Siauw
Thian ada di Kim-hoa atau tidak.Saudara Gouw, baik, mari kita
bekerdja menurut saranmu ini!"
Sampai disitu, mereka lantas bersantap.
In Gak sendiri menjesal mendengar Slauw Thian sudah
berangkat ke Utara. Tapi mengenai keputusannja. Yoe Sam
Hoo, ia pikir, baiklah mereka itu mengatjau. Ia lantas
membajar uang makan, terus ia pulang ke hotel. Pelajan
menjambutnja dengan manis, menjediakan teh, lalu menanja,
ia perlu apa lagi. "Aku numpang tanja, Yoe Sam Hoo itu orang apa?"
Pelajan itu terkedjut. "Kau orang pelantjongan, tuan, kenapa kau ketahui nama
Yoe Toaya?" tanjanja,
"Djangan takut," In Gak menghibur. "Tadi aku melihat dirumah
makan lagi menjebut-njebut dirinja. Aku menduga dia
orang berkenamaan, maka itu aku menanjakan kau."
Lega hati si pelajan. Tadinja is menjangka pemuda ini
bentrok dengan Sam Hoo. la tertawa dan kata: "Aku kira ada
urusan apa tuan menanjakan Yoe Toaya. Dialah to-tijoe,
kepala tjabang di Kang-san ini, dari partai Ngo Yan Pay dari
Tjiatkang Barat. Dia banjak orangnja, biasa dia mengganggu
penduduk baik-baik atau memeras kaum pedagang. Umpama
hotel kami ini, setiap bulan kami haru membajar tjukai
sepuluh tail perak."
Mata In Gak bersinar, hingga si pelajan terkedjut. Melihat
orang takut, ia tertawa dan kata: "Belum pernah aku dengar
halnja Ngo Yan Pay itu, Siapakah kepalanja" Dia tentu orang
liehay sekali?" "Tuan, aku tidak tahu djelas tentang partai itu. Tidak heran
tuan tidak tahu sebab tuan adalah seorang peladjar. Paytjoe
dart Ngo Yan Pay jaitu Kim-Eng Pat-Kiam Loo Boen Kee,
68 tinggalnja di Tjeng Ouw San-tjhung. Belum pernah aku
melihat dia. Bahkan katanja, orang partainja pun sedikit jang
pernah melihatnja." "Tjeng Ouw?" tanja In Gak, berpura-pura. "Apakah itu
sebuah telaga, jang indah ?"
"Kau keliru, tuan! Tjeng-Ouw itu sebuah dusun duapuluh lie
lebih diselatan kota ini, penduduknja beberapa ratus keluarga.
Tjeng Ouw San-tjhung itu terpernah disisi gunung."
In Gak tertawa. "Ah., aku kira dia telaga mirip dengan See Ouw jang
kesohor di Hangtjioe!" katanja. "Nah, pergilah kau
beristirahat!" Pelajan itu menjahuti ja dan Iantas mengundurkan diri.
In Gak merebahkan dirinja, untuk beristirahat, tetapi pada
djam tiga, ia berbangkit untuk berdandan, setelah membuka
djendela, ia berlompat keluar, untuk terus lompat naik keatas
genteng berlari-lari keselatan. Tidak lama tibalah ia di Tjeng
Ouw San-tjhung. Sebelum memasuki batas, ia melihat
kelilingan dulu, kuatir ada pendjagaan. la belum
berpengalaman tetapi telah luas pengetahuannia. Ia tabu,
pusat partai biasanja terdjaga keras, orang luar tak dapat
lantjang memasukinja. Baru setelah memeriksa ia lompat naik
keatas tembok, untuk dari sana lompat ke dalarn pekarangan.
Paling dulu ia naik atas sebuah pohon besar didalam kebun.
"Siapa?" tiba-tiba ia mende?ngar suara dalam. la kaget, ia
Menuntut Balas Karya Wu Lin Qiao Zi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berdiam. "Ah, Lao Ouw" kau. melihat memedi!." kata seorang lain.
"Hmm,.Siapa. bilang memedi" Aku melihat tegas satu
bajangan lompat ke pohon !."
"Itulah .burung malam! Djangan takut tidak karuan! Selain
sudah malam, djuga siapa berani datang kemari untuk
menggodai harimau" Kau tentu salah mata !"
In Gak terus berdiam, matanja dipasang. la mendapatkan
pekarangan sangat Iuas, banjak pepohonannja. Rumah atau
69 sekumpulan rumah, berada disisi bukit. Dari sana mensorot
belasan tjahaja api. Setelah mernperhatikan sekian lama, pemuda ini memetik
tiga bidji buah, terus ia lompat ke puntjak gunung-gunungan,
Sengadja ia mengasi dengar sedikit suara, guna memantjing
muntjulnja ketiga pendjaga tadi, tepat mereka baru
memperlihatkan diri, mereka ditimpuk dibikin pingsan. Maka
leluasalah ia menghampirkan rumah, untuk lompat naik
ketasnja. Ia melewati beberapa wuwungan. Dirumah dimana
ia mendengar suara orang,disitu ia mententjari pajon, untuk
menggelantungan, untuk mengintai kedalam djendela.
"Tjoe Tjindjin," terdengar seorang, "rupanja benar Twie
Hoen-Poan Tjia Boen tidak mati. Lan Tjhong Siang-Sat
demikian liehay, mustahil mereka mati tak berdaja" Maka itu,
kau haruslah berhati-hati. Aku sendiri, aku Lo Boen Kee, aku
tidak takut, sebab aku tidak bermusuh dengannja, tidak djuga
Ngo Yan Pay. Kau lain. Kau telah bekerdja sama Boe-shia Sam
Pa menurunkan tangan djahat di Pa-tong, ikut membinaakan
kawannja Tjia Boen itu dengan ratjun. Dari tiga djago dari
Boe-shia itu, dua binasa dan satu luka, kau sendiri lolos, maka
tentulah kau sangat dibentji. Sekarang dia muntjul pula, pasti
dia mendjadi terlebih liehay. Maka baiklah kau pulang ke Tong
Pek San, untuk mengekang diri."
"Lo Paytjae, kau baik hati,inilah aku tahu," kata seorang
lain. "Sudah limabelas tahun aku menjekap diri mejakinkan
kepandaianku, maka aku pertjaja, meski aku tidak bisa
melawan Tjia Boen, umpamakata aku bertemu dengannja,
pasti aku dapat menjingkirkan diriku. Baiklah kau ingat,
muntjulnja Tjia Boen ini baru kabar angin sadja!" Dan lantas
dia tertawa terbahak-bahak.
"Hebat warta dalam dunia Kang-ouw," pikir In Gak
"Demikianlah tjepat warta tersiar." Ia tidak ingat, kedjadian
70 sudah setengah bulan jang lalu, sedang dalam dunia Kangouw,
berita dapat teruwar luas dalam hanja dua-tiga hari.
Lantas In Gak membasahkan kertas djendela, untuk
melihat kedalam. la mendapatkan dua orang duduk di.atas
pembaringan. Tak sulit membedakan Lo Boen Kee dan Tjoe
Tjindjin. Boen Kee bertubuh besar dan kekar. Si imam
bermuka pandjang dan kurus, sepasang matanja tjelong,
hidungnja bengkung, bibir dan djanggutnja berkumisberdjenggot.
In Gak mengertak gigi mangetahui Tjoe Tjindjin ini salah
satu pengepung ajahnja. Ia lantas memikir tindakan apa ia
mesti ambil untuk membuat pembalasan, untuk sekalian
menambah menggemparkan dunia Kangouw. la masih
membekal sebidji buah, maka lantas menimpuk kedalam,
habis mana ia berlompat turun, Ia brsembunji dibelakang
sebuah pohon. Tepat timpukan itu, Api didalam padam. Segera terlihat dua
bajangan berlompat keluar.
"Siapa berani main gila di Tjeng Ouw San-tjhung dari Ngo
Yan Pay?" demikian Lo Boen Kee menegur. Dialah jang
muntjul serta disusul Tjoe Tjindjin, sahabatnja itu. Dia lantas
mengawasi tadjam kesekitarnja. Tapi dia tidak melihat apaapa,
hingga dia mulai merasa heran. Djusteru dia mendengar
djeritan dibelakangnja, hingga dia mendjadi kaget. Lima
tombak dibelakangnja. itu, dia mendapatkan Tjoe djin rebah
rna.ndi darah, dadanja: berlobang lima , luka itu mirip dengan
lukanja Taylek Koei-Ong Tjoe Pek Pay. Bukan main kagetnja,
hatinja sampai berdebaran.
Djeritan Tjoe Tjindjin terdengar oleh pelbagai pendjaga,
mereka datang merubung, begitupun orang-orang dari dalam
rumah. Mereka semua tertjengang, hati mereka tjiut sendiri.
Tetapi kemudian, mereka berbisik menduga-duga.
"Baik kita tjari si pembunuh," seorang mengusulkan.
71 "Pertjuma," Boen Kee mandjawab. ,Peraturan ini dilakukan
Tayhiap Tjia Boen. Dia tidak bermusuh denganku, untuk apa
mengedjarnja" Baiklah kita mengasi kabar sadja pada muridmuridnja,
dan terserah kepada mereka, mereka mau
menuntut balas atau tidak. Menjesal peristiwa terdjadi disini,
mungkin ada orang jang bakal mentjela kita ......"
Sikap Boen Kee ini sikap membela diri. Sebenarnja tidak
senang ia bahwa orang datang ke san-tjhungnja tanpa
perkenan atau pemberitahuan dan melakukan pembunuhan
hebat itu, tetapi ia tidak mau rewel. Diluar dugaan, sikapnja ini
telah diterima ketiru oleh pihak Tong Pek San.
In Gak menanti saatnja tepat sekali. Djusteru si imam lewat
didekatnja, djusteru ia muntjul dan menjerang dengan
totokannja. Tak sempat imam itu menangkis atau berkelit,
maka punggungnja berlobang lima, mengeluarkan darah
hidup. Dia mendjerit bahna sakitnja, tubuhnja roboh, terus
djiwanja melajang. Setelah itu In Gak menghilang, pulang ke
hotelnja. Karena ia puas, ia dapat tidur njenjak hingga
besoknja ia mendusin sesudah matahari memoloskan sinarnja
didjendela kamarnja. Ia lekas dandan dan menangsal perut,
lantas ia berangkat ke Kimhoa.
Perdjalanan dari Kangsan ke Kimhoa, djauhnja kira-kira
tiga-ratus lie, dilakukan didjalan besar umum jang lebar, jang
ramai lalu-lintasnja, hingga tak hentinja terdengar kelenengan
kereta-kereta keledai dan kuda. Pula itu waktu dimusim semi
bulan ke-tiga, yang-lioe dan bunga tho sedang indahnja. In
Gak mengasi kudanja djalan perlahan, mengikuti
serombongan kereta piauwkiok jang pulang ngosong, hingga
piauwsoe dan pegawai-pegawainja berhati lega, senang
mereka memasang omong. "Lao Tio, pagi ini diwaktu berangkat dari Kangsan, aku
mendengar kabar hebat, " berkata satu piauwsoe. "Tadi
malam pusat Ngo Yan Pay disana, jaitu Tjeng Ouw SanTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
72 tjhung, telah dikatjau orang dahsjat sekali, dan katanja Ngo
Tok Tjindjin Tjoe Hian Thong dari kuil Soen Yang Koan
digunung Tong. Pek San telah dibinasakan musuhnja sedjak
tigapuluh tahun jang lampau, jaitu Twie -Hoen-Poan Tjia
Boen, Katanja, jang paling lutju, jalah orang tidak tahu
bagaimana dia diserangnja, tahu-tahu dia telah kedapatan
mati. Peristiwa itu menakutkan Lo Boen Kee. Selama jang
belakangan ini, Ngo Yan Pay sangat galak, maka orang heran
kenapa Twie Hoen Poan tidak sekalian menjingkirkan dia
........." ,,Kau benar," kata si piauw?soe she Tie, "waktu itu pun
aku telah mendengarnja. Mungkin Tjia Tayhiap bertindak
menurut rentjananja sendiri, jang kita tidak dapat terka. Jang
heran jaitu halnja Tjia Tayhiap sendiri. Menurut katanja
pemimpin kita, Tjia Tayhiap sudah mati teraniaja di gunung
Boa Kong San tigapuluh tahun jang lalu. Mengapa sekarang
dia muntjul pula" Tentang ini baik kita tanjakan nanti
setibanja kita dirumah."
Mendengar bahwa Tjoe Tjin-djin jang ia binasakan itu
sebenarnja Ngo Tok Tjindjin Tjoe Hian Thong dari Tong Pek
San, In Gak rnerasa bahwa perbuatannja itu diluar dugaannja.
Memang semasa dipuntjak Bie Lek Hong, ia pernah
mendengar ajahnja rnembilangi halnja Ngo Tok Tjindjin
sangat djahat dan telengas, Bahwa kurbannja bukan sedikit,
bahwa dia biasa membiarkan murid-muridnja mengganas,
Djadi kebetulan sekarang ia membinasakannja. Ia merasa
tidak puas untuk tjaranja itu membunuh musuh, tetapi karena
siasatnja untuk menuntut balas, sebab orang memang djahat,
ia dapat melegakan hatinja.
Jilid 1.4 Menjelesaikan masalah Sam Eng Piauwkiok
73 "Mungkinkah mereka ini dari Sam Eng Piauw-kiok di Kimhoa
ia tanja dalam hatinja. Maka ia lantas memandang ke
kereta piauwkiok dimana ia melihat sebuah bendera ketjil
warna kuning gading, potongannja persegi tiga, ditengah
tersulam indah dan mentereng satu huruf "Tjiok" jang
didampingi masing-masing sulaman seekor singa dan Garuda.
Maka itu, tepatlah dugaannja.
"Hari belum tengah hari, kenapa aku tidak mau mampir
sadja?" pikirnja pula pemuda ini. Dan ia lantas mengambil
putusan. Begitulah ia larikan kudanja, hingga di waktu magrib
tibalah ia dikota itu. Kim-hoa kota besar dan ramai, terkenal untuk hamnja, jang
sama kesohornja dengan babi ham kota Soan-wie di In Lam.
Didalam kota In Gak djalankan kudanja perlahan, terus ia
singgah di hotel Kong Bouw. Habis membersihkan diri, ia
lantas tanja pelajan dimana pernahnja Sam Eng Piauw-Kiok.
"Tidak djauh tuan" sahut si pelajan, "Sekeluarnja dari sini,
tuan menudju kekanan, disana ada sebuah kuil Khong Tjoe,
didepan itu jalah piauwkiok tersebut. Apakah tuan mentjari
orang?" In Gak mengangguk. Ia lantas minta alat tulis, buat menulis
namanja. Dengan membawa itu, ia keluar dari hotel, berdjalan
perlahan kearah kanan. Benar, belum ada sehirupan teh ia
sudah tiba di depan piauwkiok itu. Empat huruf "Sam Eng
Piauw Kiok tertulis dengan air emas', suratnia keren dan
bagus. Dimuka itu ada beberapa orang duduk berbitjara dalam
rombongan. Ia mengham?pirkan seorang tua umur limapuluh
lebih, sembari memberi hormat, sambil bersenjum ia minta
tolong dikabarkan kepada pemimpinnja hal ia mohon bertemu.
la meniabut dirinja: "Tjia In Gak dari Tjin Tay Piauw Kiok,
Lam. tjiang." la pun menjerahkan kartu namanja,
74 Orang itu berbangkii dengan tergesa-gesa, dengan hormat
ia menjambuti kartjis nama, setelah minta tetamunja suka
menanti, tjepat-tjepat ia masuk kedalam.
Tidak lama keluarlah tiga orang, satu diantaranja bertubuh
djangkung, mukanja bundar, tahajanja terang, kumis
djenggotnja pandjang, matanja tadjam, mulutnja lebar, begitu
ia melihat si anak muda, ia tertawa gembira dan berkata: "Tjia
laotee, dari saudara Siauw Thian kami mendengar hal kau
pintar dan gagah, kami kagum sekali, maka sungguh kami
girang jang kau mengingat kami dan mau datang
berkundjung. lnilah suatu kehormatan besar untuk kami!"
Sam Eng Piauw Kiok dikepalai tiga saudara Phang, jang
mendjadi murid Siauw Lim Sie. Jang paling tua Kim Tji Sin-Eng
Phang Pek Hiong, jang kedua Pok-Thian Tiauw Phang Tiong
Kiat, dan jang ketiga Mo ln-Peng Phang Siok Tjoen. Belum
satu tahun piauwkiok mereka dibuka, mereka sudah
memperoleh nama baik, lalu selama tiga belas tahun hingga
sekarang ini, mereka mendapat kemadjuan dan aman-aman
sadja. Mereka ramah-tamah, demikian kali ini mereka menjambut
In Giak.. "Tjia Laotee," kata Pek Hiong kemudian, "Menurut saudara
Siauw Thian, kau melihat sendiri Tjia Tayhiap membinasakan
Lan Tjhong Siang-Sat, benarkah itu?"
Mukanja In Gak berubah merah.
"Hari itu aku mengintai," sahunja, "aku melihat Tjia Tayhiap
membinasakan musuhnja dengan djari tangan Kim Kong Tjie.
Mu?lanja aku tidak tahu siapa Tjia tayhiap, sampai aku
melihat surat jang ditinggalkan dibatu."
Pek Hiong mengawasi tadjam, ia berkata lagi: "Baru sadja
aku dengar halnja Tjia Tayhiap telah kepropinsi Tjiatkang ini
75 dan tadi malam di Tjeng Ouw San-tjhung ia sudah
membinasakan Ngo Tjin Tjindjin Tjoe Hian Tong dari Tong Pek
San. Ia benar gagah dan tjerdas, tak ketjewa namanja
kesohor. Apakah tentang itu laotee dapat mendengar?"
"Ja, baru tadi ditengah djalan, ketika orang-orang
piauwkiok membitjarakannja," sahut In Gak tertawa. "Aku dengar
muntjulnja Tjia Tayhiap, dunia rimba Persilatan bakal
mengalami badai!" Sampai disitu, ketiga tuan rumah mengundang tetamunja
bersantap, In Gak tidak dapat menampik, tjuma ia menolak
duduk dikursi pertama, katanja ia masih terlalu muda.
Ketika itu dari pintu angin muntjul seorang nonta tjantik
jang bertubuh langsing. Melihat dia, Tiong Kiat kata: "Kebetulan, Nona Lan, Mari
aku perkenalkan dengan Tjia Siauw-hiap."
Nona itu mengangguk pada In Gak, lantas dia mengambil
tempat duduknja. In Gak membalas hormat sam?bil bersenjum. Ia segera
merasa, nona ini sangat merdeka, hingga dia bersifat mirip
prija. Dari Pek Hiong ia lantas mendapat tahu orang she Nie
nama Wan Lan gelar Lo-sat Giok-lie dan pernah le atau ipar
dari Siok Tjoen. Karena gelaran orang itu jang ber?arti
Raksasa Kemala, ia mau menduga si nona telengas.
Nona itu lantas menanja iparnja: "Tjiehoe, hari ini Yoe Sam
Ho dan si orang she Kim datang atau tidak?"
Ipar ilu menjahuti sambil tertawa: "Ie jang baik, tadi malam
Tjia Tayhiap telah main-main ditempat Ngo Yan Pay, mungkin
hati mereka rontok, maka itu, mana mereka mau usilan
mengurus bendera Kim Yang Leng-kie itu?"
76 Si nona mendjebi dan berkata: .,Sjukur djikalau mereka
tidak da?tang, djikalau toh mereka datang, mereka mesti
berlutut setiap tiga tindak, baru mereka akan dapat pulang
benderanja itu!" "Djikalau itu terdjadi, Nona Lan, pasti plauwkiok kita bakal
ditutup!" kata Pek Hiong tertawa.
"He, Phang-sie Sam Eng jang kesohor djeri terhadap Ngo
Yan Pay jang ketjil itu?"
Pek Hiong tertawa, dia tidak mendjawab, hanja dia tanja In
Gak: "Laotee, mana pauwhokmu?"
"Ditempat penginapan, dihotel Kong Bouw," sahut. si anak
muda. "Ah. Laotee, kau terlalu! Apa?kah piauwkiok kami tidak
Menuntut Balas Karya Wu Lin Qiao Zi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tepat menerima kau?"
Lantas tanpa menanti persetudjuan In Gak, ia menjuruh
orang pegawainja mengambil pauwhok atau buntalan pakaian
tetamunja itu. In Gak tidak menolak, la malah mengutjap terima kasih.
Sementara itu ia heran disitu tjuma ada tiga saudara Phang
serta Nona Nie, berempat ia menanja.
"Selama dua bulan ini kami tidak menerima pekerdjaan.
Pula semua piauwsoe berdiam diluar piauwkiok, tanpa ada
urusan mereka tidak sembarang datang kemari," Tiong Kiat
mengasi keterangan, .,Djikalau ada urusan, baru mereka
dipanggil." "Oh, begitu. Aku tadinja me?ngira disini sama dengan
piauw-kiok di Lam-tjiang, semua orang tinggal mendjadi satu."
Tiga saudara Phang bersenjurn. Tapi Pek Hiong lantas
nampak bergelisah. In Gak memperhatikan tetapi ia berdiam
sadja. Tidak demikian dengan si Nona Lan. Dia tertawa
dengan menanja: "Toako, apakah kau berduka karena besok
77 Tjit Sat Tjioe bakal datang menggeretjok" Itulah bukan urusan
penting,! Disini ada Tjia Siauwhiap, dengan mudah dia dapat
disuruh pergi !" Kata-kata ini sebenarnja tak manis untuk In Gak.
Nona Nie ini murid Yan San Sin Nie, dia biasa dimandjai
gurunja. dia mendjadi besar kepala, tak suka dia mengalah
terhadap siapa pun, Pula tabiatnja keras, hingga suka dia
berbuat berlebihan. Ini sebabnja kenapa dia segera
mendapatkan djulukannja meski belum lama dia terdjun dalam
dunia Kang-ouw. Kali ini dia datang ke Kim-hoa ini
mendjenguk kakak dan tjiehoenja, lantas dia mendengar Loei
Siauw Thian memudji tinggi kepada in Gak, dia mendjadi tidak
puas. Setelah melihat si anak muda jang tampan, dia kagum,
tetapi karena In Gak agaknja tawar, dia penasaran. Maka
sengadja dia berkata demikian.
Ketiga saudara Phang dapat menerka hati si nona, mereka
menjesal sebab tak dapat mentjegah itu, mereka masgul. In
Gak tjerdas, ia pun dapat menduga, ia bersenjum. Akan
tetapi, ketika ia menjapu para hadirin, matanja bersinar
hingga mereka itu tak berani mengawasi dia.
"Sebenarnja Tjit Sat Tjioe orang matjam apa?" kemudian si
pemuda tanja. Phang Pek Hiong menghela napas.
"Beginilah biasa dunia Kang-ouw," sahutnja. "Sebenarnja
aku tidak suka omong banjak. pada tiga bulan jang lalu tanpa
sengadja aku berbitjara dengan mereka itu tentang ilmu silat,
lantas kita berselisih pendapat. Saking mendongkol aku
menjebutnja mereka bukan dari pihak lurus. Mereka mendjadi
tidak senang, lantas mereka menantang. Tjit Sat Tjoe Koet Sin
murid seorang pendeta berilmu dari Tjeng Hay, dia lurus
berbareng sesat, dia susah dilajani, dari itu aku menjesal
karenanja..." 78 "Toh itu bukannja permusuhan," kata In Gak bersenjum.
"Djuga peladjaranku bukan asal lurus, aku tidak menggubris
demikian. Mungkin tabiat Koet Sin aneh tetapi aku rasa dia
tidak akan perbesar urusan salah paham itu .. .... "
"Kau tidak pertjaja!" njeletuk Nona Lan tertawa dingin,
"Lihatlah besok!"
In Gak heran. Mengapa nona ini seperti mau mengatjau
dan menentang ia. Ia toh tidak berbuat sesuatu terhadapnja"
Maka ia berkata: "Nona, aku tidak membilang dapat
mengalahkan Tjit Sat Tjioe, sebaliknja, kaulah jang
mengatakan demikian. Kau telah membikin malu Ngo Yan Pay,
kau tentu gagah-perkasa, maka, seperti katamu barusan, kau
pasti djuga mudah sadja dapat menghadjar Tjit Sat Tjioe! Aku
minta djanganlah kau menjebut-njebut aku"
Wan Lan melengak. Tidak ia sangka orang demikian sabar.
Sekarang ia menduga In Gak pasti ketahui segala sepak
terdjangnja, maka dia bersikap tawar. Sebenarnja ia
menginsafi kekeliruannja tetapi ia biasa membawa adat?nja
itu, tidak sudi ia mengaku salah. Maka dengan mengambul, ia
berbangkit untuk terus masuk kedalam, tak sepatah kata ia
utjapkan. In Gak tidak meladeni, ia tjuma tertawa dingin.
"Maaf, maaf," kata Pek Hiong, jang menjesal dan hatnja
tidak tenang. "Demikian memang tabiat ipar kami itu."
Siok Tjoen menjesali iparnja itu, sembari tertawa, ia kata:
"Begitulah tabiat iparku, sembrono dan aseran, biasa
berbitjara tanpa pikir lagi. Tabiatnja itu djuga jang membikin
dia sering bentrok. Sulitnja dia tidak dapat mengubahnja.
Saudara Tjia, aku minta sukalah kau memaafkan dia"
"Itulah tidak apa," sahut in Gak, jang lantas dapat
bersenjum. Hati Pek Hiong mendjadi lega.
79 .,Saudara Tjia," katanja kemudian. "Aku rninta kau suka
tinggal beberapa hari dengan kami disini. Bukankah djandjimu
dengan saudara Loei di bulan kelima" Sebenarnja aku ingin
sekali menerima pelbagai pengadjaran dari kau."
In Gak tertawa, ia menerima tawaran itu. Ia kata:
,.Sekarang ini pun aku tengah pesiar, untuk melihat-iihat
tempat-tempat jang kenamaan, tidak ada halangannja untuk
aku berdiam disini Iebih lama sedikit. Kau baik sekall, saudara
Phang. Terima kasih untuk kebaikanmu ini. Aku tjuma minta
djangan sandara terlalu mempertjajai perkataannja saudara
Loei itu. Sebenarnja aku tidak mempunjai kepandaian apaapa,
dengan aku diangkat-angkat, aku malu dan hatiku
mendjadi tidak senang. Aku kuatir djusteru aku menjebabkan
kegagalan." Pek Hiong tertawa. "Kata-katanja Kian Koen Tjioe tidak nanti salah," udjarnja.
Belum berhenti suara Pek Hiong ini, mendadak Tiong Kiat
berseru dengan tubuhnja terus berlompat pesat sekali ke tjinttjhee,
dari mana ia berlompat lebih djauh naik keatas genting.
Melihat kegesitannja itu, pantas ia didjuluki Pok Thian Tiauw,
si Radjawali Menerbangi Langit.
"Sahabat, kau masih tidak mau berdlam?" begitu terdengar
bentakan Tiong Kiat itu. Lalu terdengar suara jang seram: "Kamu tiga saudara
Phang, kamu tak tepat menahan aku Gouw Tie dari Thian-Lam
Soe Tjiat! Baiklah kau pulang, untuk menjiapkan segala apa,
untuk saat adjalnu, supaja besok kamu tak sampai tak keburu
!" Tiong Kiat terperandjat mendengar nama orang itu.
Ketika itu Pek Hiong bersama Siok Tjoen dan In Gak
menjusul naik. Pek Hiong pun terkedlut melihat melihat orang
80 jang bitjara dengan saudaranja itu, tapi ia lantas madju
kedepan untuk memberi hormat.
,,Kiranja Gouw tongkee dati Thian-Lam." katanja, "Gouw
Tongkee, rasanja belum pernah aku si orang she Phang
mempunjai urusan dengan kau, maka itu, apakah sekarang
tongkee dating untuk urusan lain orang?"
Dengan membahasakan: "tong kee" tuan, Pek Hiong
berlaku hormat sekali. Gouw Tie tertawa dingin. "Orang sematjam kau mana tepat berurusan dengan aku
!." katanja djumawa, "Atau kalau benar demikian pastilah
siang-siang kau sudah pergi menghadap Giam Lo Ong si Radja
Acherat. Mana dapat kau hidup sampai sekarang ini" Benar,
aku si orang she Giouw datang untuk lain orang! Mulutmu
kotor, kau tidak memandang mata kami kaum tidak lurus, dari
itu Tjit Sat Tjioe telah mengundangku datang kesini, untuk
aku beladjar kenal dengan kamu kaum lurus! Malam ini
kebetulan sadja aku Iewat disini, tidak niatku mentjari garagara,
maka baiklah kita menanti sehingga besok diwaktu mana
nanti kamu bisa lihat! Maaf,. tidak dapat aku menemani kamu
lama-lama!" Gouw Tie lantas memberi hormat, terus ia memutar tubuh,
untuk berlalu. ,,Perlahan dulu" tiba-tiba keluar suara njaring tetapi halus
dari mulut In Gak. Gouw Tie berpaling dengan tjepat, maka ia melihat si anak
muda, seorang peladjar jang tampan, halus gerak-geriknja.
Tanpa merasa, dia tertawa:
"Anak, kau hendak bitjara apa?" dia tanja, atjuh tak atjuh.
,Tuan ketjilmu tidak puas melihat ketjongkakanmu ini "
sahut In Gak, sekarang dalam suaranja, "Sam Eng Piauwkiok
bukan tempat dimana datang dan pergi dengan merdeka
81 menurut sesukamu! Kau telah datang, maka kau mesti
berdiam disini" Gouw Tie, jang menjebut diri Thian Lam Soe Tjiat, dlago
dari Thian-Lam tertawa berkakak, bukan main djumawanja:
"Botjah, dengan mengandalkan apa kau hendak menahan
aku" dia tanja, mengedjek.
In Gak menggeraki kedua tangannja.
"Mengandalkan ini!" djawabnja,
Tiga saudara Phang mendjadi bergelisah. Mereka merasa
tetamunja ini tidak tahu selatan.
Gouw Tie tertawa, terbahak pula.
"Botjah!' dia berkata, "Djikalau Giam Lo Ong menetapkan
orang mesti dibetot njawanja djam tiga, tak dapat itu ditunda
sampai djam lima! Maka djuga kau, jang harus hidup sampai
besok, disaat ini kau mentjari mampusmu, djangan kau
sesalkan aku kedjam"
Segera djago selatan ini bertindak madju, untuk menjerang
dengan tangan jang terkerahkan tenaganja.
Dilihat dari tjaranja bertindak, dia sama sekali tidak
memandang mata kepada si anak muda.
Selagi orang berdjumawa itu, In Gak menimpalinja. Atas
datangnja serangan, ia tidak berkisar dari tempatnja berdiri,
melainkan tangan kanannja jang menjambut dengan djurus
"Twie San Tian Hay" atau "Mendorong gunung, menguruk laut".
Tangannja itu mendahului membentur dada penjerangnja.
"Buk!" demikian suara tangan beradu dengan dada dan
Gouw Tie segera terpental mundur lima tindak. Karena kakinja
mengindjak keras, genting petjah beberapa bidji.
Tiga saudara Phang heran hingga mereka melengak.
Gouw Tie kaget tidak terkira, ia merasa sakit dan malu. Dia
memandang enteng kepada lawannja, dia menggunai tenaga
82 lima bagian. Dia pertjaja, sebagai akibat serangannja, orang
akan rebah setengah bulan diatas pem?baringan. Buktinja,
dialah, jang metal mundur.
"Binatang, hebat kau !" dia membentak, matanja melotot,
"Mari sambut lagi sebelah tanganku!" Dan ia berlompat madju
seraja menindju. In Gak telah mengambil keputusannja. Ia hendak
menggemparkan kota Kim-hoa. Tadi ia mendongkol terhadap
lagak Wan Lan, sekarang ia djemu melihat ketjongkakan
orang she Gouw ini. Maka siang-siang ia telah menutup diri
dengan Bie Lek Sin Kang. Sedari ia membuatnja orang
terpental, ia mengawasi dengan bersenjum, tubuhnja tak
bergeming. Tiga saudara Phang dapat melihat, kali ini Gouw Tie
menjerang dengan djurus Pek Houw Tjiang atau Tangan
Harimau putih. Untuk djurus ini orang mundur dulu baru
madju. In Gak sebaliknja berdiri tenang. Maka Siok Tjoen
lantas berseru: "Laotee, awas!"
Sementara itu serangannja Gouw Tie sudah tiba kepada
sasarannja. In Gak menjambut tindju dengan dengan tenang,
baru mendadak ia mengerahkan tenaganja, menolak dengan
keras. Tanpa ampun tubuh Gouw Tie terlempar balik dua
tombak, roboh menggabruk diatas genting, hingga banjak
genting petjah hantjur. "Aku menjangka Thian Lam Soe Tjiat machluk apa, kiranja
tjuma sebegini!" kata In Gak tertawa dingin.
Gouw Tie merajap bangun, kedua tangannja bengkak dan
rasanja sangat njeri. Saking malu ia mendjadi gusar sekali. Ia
kata dengan sengit: Binatang! Djangan bertingkah! Sajang aku
berlaku sembrono hingga aku terpedajakan kau! Djangan kau
bergirang, lihat besok, sang mendjangan akan terbinasa
ditangan siapa?" Setelah mengumbar kemendongkolannja itu,
terus dia berlompat turun untuk ngelojor pergi dengan tjepat.
83 "Mari" In Gak mengadjak terus ia lompat turun untuk
kembali kedalam. Pek Hiong memberi hormat seraja berkata: "Laotee, baru
sekarang mataku terbuka. Benar-benar aku bilang, orang
dengan kepandaian sebagai kau sungguh djarang ada didalam
Rimba Persilatan djaman sekarang ini!"
Sementara itu Siok Tjoen dalam hatinja masih menjesali
Wan Lan jang tjongkak. Ia melihat In Gak halus dan bertubuh
lemah, siapa tahu, tenaga-dalamnja mahir sekali.
In Gak bermuka merah, lalu bersenjum.
,Toako, kau terlalu memudji," katanja. "Kau tidak lihat
bahwa aku sebenarnja menggunai ke-tjerdikan. Orang she
Gouw itu benar waktu dia membilang dia kurang waspada,
pertama dia me-mandang enteng padaku, kedua dia tidak
menggunai tenaga sepenuhnja. Jang kedua kali, dia
terpengaruh kegagalannja, kuda-kudanja tidak terpelihara lagi,
maka tjukup aku mcndorong padanja. Pula benar katanja
bahwa besok akan terlihat mendjangan terbinasa ditangan
siapa." Tong Kiat tertawa. "Bitjaramu beralasan, hiantee," katanja. benar bahwa kau
sangat merendahkan diri."
In Gak tidak melajani bitjara, ia melainkan tertawa.
Ketika itu, Wan Lan muntjul pula. Tadi dia mendongkol, dia
masuk kedalam untuk melempar diri keatas pembaringannja,
djadi tidak menjaksikan pertempuran barusan.
Dia mendengar kabar sesudah terlambat. Ketika dia
mendengar keterangan Siok Tjoen, tjiehoenja, dia
membanting kaki dan kata, menjesal: "Sajang aku tidak
tahu,kalau tidak pasti aku bunuh djahanam ini"
84 Siok Tjoen melibat orang bitjara tanpa menoleh kepada In
Gak, ia mengerti ipar ini masih mendongkol. Ia tertawa dan
kata: "Ie, kau hebat, sedikit-sedikit bitjara membunuh orang.
Menuntut Balas Karya Wu Lin Qiao Zi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kalau nanti kau menikah lalu kau bentrok dengan suamimu,
bagaimana, apa kau djuga hendak membunuhnja?"
"Tjiehoe, kau lantjang mulut!" ipar itu menegur, matanja
melotot. "Kau tidak menghormati dirimu, awas, nanti aku
membilangi entjie!" Benar, dia lantas masuk pula kedalam.
Siok Tjoen dan dua saudaranja tertawa.
Masih mereka bitjara sebentar, sampai In Gak diantar
kekamarnja didalam taman.
"Apakah hiantee senang dengan kamar ini?" Pek Hiong
tanja. "Senang, terima kasih," sahut In Gak. Ia melihat kamar
terbagi dua, untuk kamar tidur dan kamar tulis, perabotannja
lengkap, perawatannja sempurna, Ada pot-pot bunga lan dan
koei jang harum baunja serta gambar-gambar lukisan
didinding. Pelbagai kitab pun tersedia di medja-tulis, lengkap
dengan perabot tulisnja. Semundurnja ketiga tuan rumah, ia lantas merebahkan diri.
Ia tidak dapat lantas pulas, sebaliknja, ia memikirkan
pengalamannja semendjak turun gunung. la belum pernah
menemui tandingan jang berarti. Lan Tjhong Siang-Sat, Ngo
Tok Tjindjin, dan Gouw Tie dari Thian-Lam Soe Tjiat barusan
semuanja tersohor, tapi njatanja, kepandaian mereka tidak
berarti. Mengenai Thian Lam Soe Tjiat, selama di Bie Lek Hong,
pernah ia mendengar dari gurunja, Beng Liang Taysoe.
Mereka itu dari partai Tjhee Liong Pay atau Naga Hidjau di
Koei-kim, kedua propinsi Kwiesay dan Koei-tjioe, memangnja
mereka kedjam, djikalau turun tangan, tak suka mereka
membiarkan musuh hidup. Karena Gouw Tie berkepandaian
85 tjuma sebegitu, ia pertjaja, tiga jang lainnja tentulah tak djauh
bedanja. ,Kalau mereka tidak mempunjai kawan lain, jang liehay,
pasti pihak kita bakal menang," pikirnja lebih djauh. "Jang
hebat adalah Nie Wan Lan, jang tabiatnja keras. Dia murid
Yan San Sin Nie. seorang bhiksuni, kenapa tindak-tanduknja
menjalahi ibadat Sang Buddha. Kenapa bhiksuni itu dapat
murid begini binal" Heran! Aku berdiam disini, baiklah aku
mendjauhkan diri dari padanja.."
Setelah itu, baru si pemuda dapat tidur, Ia mendusin
besoknja fadjar, beium tjuatia terang, terus ia duduk
bersamedhi, untuk melatih tenaga-dalamnja. Tidak lama habis
bersamedhi, tiga saudara Phang datang mengundangnja
kedepan, untuk bersantap pagi.
Wan Lan muntjul tidak lama kemudian. Dia mengenakan
pakaian hidjau tua dengan pinggiran sutera, potongannja
ringkas, mukanja memakai pupur dan yantjie tipis. Dia
memandang In Gak sambil bersenjum, maka si pemuda
membalas bersenjum djuga sambil berkata: "Selamat pagi,
nona!" Setelah lewat sang malam, kedjadian kemarin seperti telah
bujar lenjap. Sambil sarapan, Pek Hiong berbitjara dari hal pemudapemuda
jang baru muntjul seperti Siauw-Pek-liong Kat Thian
Ho si Naga Putih, Thian-Kong Kiam Tong-hong Giok Koen dan
Ouw bin Mo-lek Kiang Tjong Yauw serta seorang nona, Keng
Po Sian-tjoe Lo Yauw Bwee. Beberapa tahun dulu mereka itu
menggemparkan bagian selatan dan utara dari sungai besar,
sedang sekarang, inilah si pemuda she In.
,,Sebaliknja kita, jang sudah berusia landjut, kita tidak
berguna lagi"katanja.
86 In Gak tjuma bersenjum. Sebaliknja Wan Lan, dia
mendjebi. "Apakah artinja segala anak muda!" katanja "Kalau aku
bertemu dengan mereka itu, ingin aku tjoba-tjoba!"
Tiga saudara Phang mengerutkan alis, masgul mereka
mendengar suara si nona. Sjukur itu waktu datang empat orang, semuanja piauwsoe
jang baru mendengar peristiwa tadi malam. In Gak melihat
mereka semua berumur lebih-kurang empat puluh tahun, jang
satunja, nampaknja baik tenaga-dalamnja, seperti terlihat
pada wadjahnja. Tiga saudara Phang mengadjar kenal mereka itu pada In
Gak. Merekalah Say-oet-tie Lie Eng, Tjo-pek Kim-Too Ouw
Siauw Tjeng, Kauw liam-tjhio Lou Tiong Goan, dan Pat-kwatjioe
Kheng Liang. Mereka agaknja ragu-ragu melihat si
pemudalah jang tadi malam mempetjundangi Gouw Tie.
"Tjong-piauwtauw, bagaimana dengan tantangannja Tjit
Sat Tjioe ?" Kheng Liang tanja.
"Kita didjandjikan bertemu di?lapangan Sio-kauw-thio
didalam kota," sahut Pek Hiong. "Sekarang kita mau
berangkat." Benar-benar piauwsoe kepala ini menitah menjiapkan
sembilan ekor kuda, maka tak lama ke-mudian, berangkatlah
mereka. Sio-kauw-thio berada disebelah barat kota, lapangannja
lebar tetapi bala dan tak terurus, sebab selama negara aman,
sudah lama lapangan itu tidak dipakai baris oleh tentara Boan.
Ketika mereka sampai, disana tidak ada orang, keadaan sunji.
Mereka lantas menambat kuda mereka disisi panggung.
"Djangan-djangan mereka tidak datang," kata Siok Tjoen
tertawa. "Tadi malam tentulah hati mereka gentar, lagipula
87 terkabar Twie-Hoen-Poan Tjia Lootjian?pwee telah muntjul di
Kangsan. Mustahil mereka tidak pergi menjembunjikan diri?"
"Tak mungkin," kata Pek Hiong menggeleng kepala. "Tjit
Sat-Tjioe Koet Sin djumawa dan berkepala besar, dia telah
mengundang kita, mesti dia mempunjai andalan. Karena Tjia
Lootjianpwee bukan kaum lurus, Koet Sin mungkin pertjaja,
lootjianpwee tidak akan usil urusannja ini.."
Mendengar perkataan tjongpiauwtauw ini, orang berdiam.
In Gak sendiri memperhatikan lian dipanggung, jang
ukirannja banjak jang gugus, hingga surat?nja sukar dibatja,
ia mengetok-ngetok batu sambil bersenandung.
Wan Lan melihat kelakuan pemuda itu, dia mendjebi dan
berkata kepada iparnja: "Lihat, tjiehoe, si kutu buku!"
Siok Tjoen mendelik kepada iparnja itu.
In Gak dapat mendengarsuara si nona, ia tidak mengambil
mumat, dengan tetap mengendong tangannja, ia tetap
bersenandung, nampaknja ia tenang sekali. Tapi didalam
hatinja, ia merasa djemu, kesannja tak manis terhadap si
nona. Orang tidak berdiam lama atau dari mulut lapangan
terdengar berisiknja tindakan belasan ekor kuda, maka
semuanja menoleh. In Gak segera dapat kenjataan mereka itu
berdjumlah duabelas orang, tua dan muda, djangkung dan
kate tak tentu. Seorang jang bertubuh kurus, mukanja putih, matanja
besar, kumis-djenggotnja lantjip mirip djenggot kambing
gunung, usianja lebih-kurang empatpuluh tahun serta
membawa golok Kim san-too, sudah lantas menghampirkan
Phang Pek Hiong untuk memberi hormat dan berkata : "Phang
Toako, siauwtee Tioe Djin Sian, siauwtee tidak bersangkutan
satu apa dengan toako tetapi lantaran toako mengatakan kami
88 bukan dari kaum lurus, sekarang kami mengadjak beberapa
kawan jang tak berpartai datang kemari untuk main-main,
tjukup asal kita saling towel. Dengan begitu kesatu kita tidak
merusak persahabatan dan kedua, supaja toako sekalian
dapat melihat kepandaian kami kaum tidak lurus"
Habis berkata dia tertawa, terbahak, suaranja tak sedap
untuk telinga. "Saudara Tjoe," kata Phang Pek Hiong tertawa, "sebenarnja
tak usah saudara sampai menge-rahkan banjak orang, sebab
pembitjaraan kita itu hari hanja omong iseng-iseng belaka.
Tapi karena saudara sudah sampai disini; pertjuma kita bitjara
lagi banjak-banjak. Silahkan saudara memberi pengadjaran
kepada kami" Pek Houw Seng-Koen Gouw Tie ada didalam rombongan
dengan mata tadjam ia meng?awasi In Gak, sinarnja
membentji, begitu mendengar suaranja Pek Hiong, ia
madjukan diri, mulutnja berkata keras: "Orang she In, tadi
malam aku alpa, aku kena digigit andjing tjilik, maka
sekarang, suruhlah si andjing ketjil keluar untuk melajani aku
si orang she Gouw" Kata-kata itu ditutup dengan dihunusnja
pedangnja. Biar bagaimana, In Gak gusar. la dimaki sebagai andjing
ketjil. Tapi belum sempat ia madju, Nona Nie telah
mendahului ia. Nona itu sudah lantas mendamprat: "Bangsat
tua, sajang tadi malam aku tidak turut hadir, djikalau tidak,
tidak nanti kau hidup sampai ini menit! Bangsat djahat
sematjammu, hari ini nonamu akan menghadjarnja supaja kau
tahu diri!" Gouw Tie mendongkol tetapi dia tertawa mengedjek. Dia
kata: "Aku si orang she Gouw memperoleh namaku sedjak
duapuluhtahun lalu, belum pernah aku menemui nona kurang
89 adjar sematjam kau! Djikalau kau dapat melajani pedangku
limapuluh djurus, akan aku meletaki pedangku ini, namaku
ditjoret dari dunia Kang-ouw!"
"Hmm! Aku pun belum pernah mendengar namamu!" sahut
si nona singkat. Dan ia terus menikam.
Gouw Tie berkelit kesamping, sambil berkelit tangannja
menjabet, guna membabat lengan si nona.
Wan Lan tertawa, tangannja segera ditarik pulang,
tubuhnja turut bergerak, setelah mana, ia menjerang pula, kali
ini dengan tipusilat "Hudjan-angin diseluruh djagat."
Pedangnja itu menikam dan menjambar berulang-ulang.
Gouw Tie mendongkol, terpaksa ia main mundur. Ia pun
terkedjut. Baru sekarang ia menghadapi musuh begini liehay,
orangnja muda dan bahkan seorang nona jang belum hilang
bau teteknja. Karena ini, terpaksa ia menggunai ilmu
pedangnja ,Pek Houw Sam Tjiat Kiam," ilmu pedang Harimau
Putih, untuk mendjaga pamornja.
Demikianlah, dua batang pedang berkilau-kilau, dan dua
buah tubuh bergerak-gerak bagaikan bajangan,
Semua orang menonton dengan perhatian, terutama In
Gak. Ia melihat Wan Lan tidak sabaran, si nona lantas
menggunai ilmu silat "Mou-nie Hang Mo" atau "Muni
menaklukkan siluman,' jang mempunjai duapuluh delapan
djurus. Itulah ilmu pedang jang dijakinkan 'Yan San Sin-Nie
selama tigapuluh tahun. Wan Lan belum melatih sempurna
tetapi sudah mentjapai enam atau tudjuh bagian, maka djuga
Gouw Tie lantas terkurung sinar pedang.
,,Nona Nie pasti menang," pikir In Gak, jang terus
memperhatikan sebelas orang lainnja, da?ri jang mana, dua
orang menarik perhatiannja. Orang jang satu sudah landjut
usianja, tubuhnja tegar, tjuma sedikit melengkung, dia
mempunjai mata besar dan hidung gedeh, kumis dan
90 djenggotnja pandjang, pakaiannja hitam. Jang luar biasa jalah
tangannja besar sekali. Ia menduga: "Dialah tentu Tjit-SatTjoe Koet Sin." Orang jang lainnja djangkung-kurus, mukanja
putih tidak ada kumisnja sepasang matanja tjelong tetapi
sinarnja tadjam. Dia selalu nampak bersenjum dan
dipunggungnja tergendol sebatang pedang. Ia tidak kenal dia
siapa maka ia tiuma menduga, orang tentunja bagus ilmu
dalamnja dan litjik sifatnja.
Wan Lan mendengar In Gak gampang sadja merobohkan
musuh, ia ingin berbuat begitu djuga. Inilah jang membuat
Gouw Tie mengeluh, Dia belum teriuka tetapi badannja
berulang-ulang kena ditegur pedang, hingga badju itu mendjai
robat-rabit. Pedang si nona pedang Tjioe Song Kiam, Es
Musim Rontok," tadjamnja luar biasa, dapat menabas kutung
segala matjam sendjata lainnja.
Achir-achirnja Gouw Tie djadi kalap, matanja mendelik,
kumisnja seperti bangun berdiri, terus dia mentjoba membalas
menjerang hebat, setelah mendesak tiga kali, dia berlompat
tinggi, sebelah tangannja diajun, hingga terlihat
menjambarnja benda berkilauan.
"Serahkan djiwamu!" Pek Houw Seng-Koen membentak
membarengi menjambarnja lima batang Pek-houw-teng, paku
Harimau Putih, sendjata rahasia jang djarang sekali
digunakan, jang dibuat dari kuningan dan pandjangnja tiga
dim. Djuga paku itu dipakaikan ratjun jang bisa meminta
djiwa. Wan Lan melihat Gouw Tie berlompat tinggi, ia kata dalam
hatinja: "Kau tjari mampus, ja! Ia lantas menjusul seraja
menjerang dengan tipu "Naga sakti menakluki siluman,"
membabat kedua kaki lawannja. Tapi ia kaget sekali ketika ia
mendengar musuh membentak dan sinar-sinar berkeredepan
91 menjambar kearahnja. Karena tidak sempat berkelit, terpaksa
ia menangkis. "Djangan bentur!" mendadak terdengar teriakan tjegahan.
Menjusul itu, dua-dua Gouw Tie dan Wan Lan tertolak
mundur, terpisah lima atau enam tombak satu dari lain, dan
batang-batang paku, jang terbabat pedang, runtuh ketanah,
menjebabkan laju kuningnja rumput jang terlanggar.
Diantara mereka itu terlihat seorang pendeta dengan tubuh
jang tinggi dan besar, jang mukanja bundar dan tampan, jang
kumis dan djenggotnja pandjang sampai kedada. Dia sutji
bagaikan Sang Buddha. Lantas dia menghadapi Gouw Tie dan
berkata sambil bersenjum: "Gouw Sie-tjoe, apakah kau masih
mengenali loolap" Dulu hari kita pernah bertemu satu dengan
lain, hanja aku tidak menjangka, belum lama lewat atau
sekarang sie-tjoe telah melupakan sumpahmu terhadap Touw
Liong Kie soe?" Gouw Tie mundur dengan terhujung. Sebenarnja ia gusar
jang serangannja itu dirintangi, tetapi ketika ia telah melihat si
pendeta, kagetnja tidak terkira, hatinja mendjadi tjiut. Ia
mengenali pendeta itu jalah Hoat Hoa Taysoe, pendeta
berilmu dari Siauw Lim Sie. la lantas ingat kedjadian duluhari,
ketika didjalan Kweisay Selatan ia membegal seorang
pembesar jang pulang berpensiun, selagi hampir ia berhasil, ia
dihalangi pendeta itu bersama Touw Liong Kie-soe jang
disebutkan itu. Ia melawan, ia menjerang tetapi Touw Liong,
Kie-soe dapat memunahkannja, hingga dialah jang sebaliknja
Menuntut Balas Karya Wu Lin Qiao Zi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terluka parah. Touw Liong Kiesoe hendak menotok mati
padanja, ia minta-minta ampun: sesudah bersumpah tidak
akan menggunai lagi pakunja baru ia dibebaskan dari
kematian. Diluar dugaannja, kali ini in bertemu pula Hoat Hoa
Taysoe. Maka ditegur pendeta itu, ia mendjublak.
92 Kim-hoa Sam Kiat girang sekali, mereka segera
menghampirkan hweeshio itu, untuk menberi hormat, sebab
Hoat Hoa jalah soepee, paman guru mereka. Tapi mereka
didului Tjit Sat Tjioe Koet Sin, jang lantas menghadapi Hoat
Hoa sembari dia tertawa dingin.
"Taysoe, siapakah kau?" tegurnja, "Kenapa kau
mentjampuri urusan kita ini?"
"Amida Budha!" memudji pendeta itu tertawa, "Loolap jalah
seorang asing, pikiranku kosong, tubuhku tak berdebut, tidak
biasa loolap mentjampuri urusan lain orang. Tapi barusan, tak
dapat loolap menjaksikaan orang ditjelakai paku Pek houwteng,
terpaksa loolap turun tangan, Sekarang loolap mohon
kiesoe djangan mentjari musuh karena urusan ketjil, baiklah
kamu menjingkirkan bentrokan dan sebaliknja mendjadi akur
satu dengan lain." Mendengar itu, Koet Sin ter?tawa terbahak-bahak.
Djikalau taysoe bilang begitu, baiklah!" katanja. "Sekarang
perintahkan tiga saudara Phang bertekuk lutut, dan
mengangguk-angguk terhadap kami, untuk menghaturkan
maaf, nanti aku si orang she Koet suka menghabiskan
sangkutan kita" Kata-kata itu membikin merah muka ketiga saudara Phang.
"Soepee," kata Tiong Kiat mengadjukan diri, "Baiklah
urusan ini djangan soepee tjampur tahu. Kami ingin ketahui
bagaimana hebatnja kepandaian Tjit Sat Tjioe, biarlah dia
memperlihatkannja agar orang kagum dan takluk!"
Hoat Hoa masgul, alisnja berkerut. la lantas mundur tanpa
membilang satu apa. Nona Lan memberi hormat pada pendeta itu, ia mengutjap
terima kasih. Hoat Hoa tjekal tangannja, untuk tanja ini dan
itu. Tiong Kiat memandang Koet Sin, dia tertawa dingin.
93 "Peristiwa hari ini disebabkan gara-gara Tjoe Djin Sian,
muridmu," katanja. "Aku tidak sangka dia mirip si kura-kura,
jang mengelepotkan kepalanja! Sungguh tidak tahu malu!"
Mukanja Koet Sin mendjadi merah, dia mendelik terhadap
Tiong Kiat, terus dia menoleh kepihaknja seraja memanggil:
"Djin Sian, mari! Bagaimana dengan Kim-hoa Sam Kiat ini"
Kau boleh bertindak sendiri, djangan kau membikin malu
gurumu!" Tjoe Djin Sian madju, mukanja merah.
Tiong Kiat tertawa mengedjek, lantas dia menuding dan
kata: "Sudah, Tjoe Djin Sian, tak usah kau mengotjeh tidak
keruan! Mari kita gunai tangan kita!"
Tjoe Djin Sian tidak bitjara lagi, ia mengeluarkan goloknja,
terus ia menjerang. Ketika Tiong Kiat mundur, tiga kali ia
menjerang saling-susul. Setelah itu, si orang she Phang
membalas, pe?dangnia membabat kepinggang. Atas ini,
saking kaget ia lompat mundur. Ia menangkis dengan sia-sia
pedangnja terus tertekan, sulit untuk melepaskannja, hingga
ia mengeluarkan peluh dingin. Achirnja, saking terpaksa, guna
menolong djiwanja, ia mendjatuh?kan diri, untuk bergulingan
dengan tipusilat "Keledai malas bergulingan."
Tiong Kiat tertawa dingin, kembali ia madju, untuk
menjusuli tikamannja. Djin Sian kaget, matanja silau sinarnja pedang, pertjuma
dia hendak berkelit pula, pundak kirinja kena disontek pedang
hingga mengutjurkan darah.
Setelah itu, Tiong Kiat. tidak menjerang lebih djauh, sambil
mundur setindak, ia kata tertawa: "Dengan kepandaian
sematjam ini kau main gila menerbitkan jang tidak-tidak! Hm!
Djikalau aku tidak ingat perkenalan kita, tidak nanti aku suka
memberi ampun! Sekarang pergilah!"
94 Djin Sian menetapkan hatinja, ia memandang Tiong Kiat,
lantas dengan memegangi lukanja, ia mundur, mukanja putjat
Koet Sin gusar sekali muridnja dirobohkan dalam beberapa
djurus sadja, ia sampai berdjingkrakan, mulanja ia mau madju
sendiri, tetapi si orang djangkung kurus dan bermuka putih
disampingnja mentjegah. "Tahan dulu saudara Koet" kata dia itu. "Nanti siauwtee
jang mentjoba lebih dulu."
Lantas dia berlompat kedepan Tiong Kiat, gerakannja
sangat gesit. Dia menjeringai ketika dia berkata: "Barusan kau
menundjuki keliehayanmu, sekarang aku si orang Kang-ouw
tak ternama, Sin-Kiam-tjioe Shie Goan Liang, mohon
pengadjaran dari kau!"
Mendengar nama itu, terutama djulukannja Sin Kiam Tjioe,
si Pedang Sakti, Kim-hoa Sam Kiat terperandjat. Mereka tahu
orang jalah murid partai Tiam Tjhong pay jang liehay buat
kepandaiannja ilmu pedang dan tangan kosong dalam usia
empatpuluh dia kesohor kosen, gemar pipi litjin, hatinja pun
kedjam. Aku rasa loodjie bukan tandingannja, baiklah..." kata Pek
Hiong, tapi ia tertahan, sebab In Gak lantas berkata padanja:
,Djangan kuatir, toako, aku tanggung djieko tidak kurang
suatu apa." Pek Hiong berdiam tetapi hatinja berdebaran.
Tiong Kiat dan Goan Liang sudah lantas bertempur, sebab
tidak ada orang jang madju disana tengah. Goan Liang
aseran, Tiong Kiat pun tidak mau menjerah tanpa berdaja.
Goan Liang benar liehay, gerakannja sangat lintjah,
pedangnja berbahaja. Maka untuk melajani dia, Tiong Kiat
menggunai ilmu pedang "Tat mo Sip Sam Kiam," tiga belas
95 djurus ilmu pedang warisan Bodhidharma. Seru sekali mereka
bertanding. Sedang tigapuluh djurus, Shie Goan Liang mendadak
tertawa pandjang dan tubuhnja melesat tinggi, lalu sambil
turun, ia membabat dengan tipusilat "Mengeprak rumput
mentjari ular." Tiong Kiat terkedjut, ia berlompat untuk berkelit, tetapi
segera ia disusul, diserang dengan tikaman "Ular berbisa
mentjari liangnja." Karena ia berkelit, punggungnja terantjam
tanpa ia berdaja, tak keburu ia menangkis atau berkelit lebih
djauh. Djusteru disaat berbahaja itu, satu siulan pandjang
terdengar, tubuh In Gak nampak melesat kedepan, tangannja
terajun. Goan Liang terkedjut mendengar siulan itu, tanpa merasa,
gerakannja mendjadi lambat. Maka selamatlah Tiong Kiat!
Sedang In Gak segera berada didepan orang she Shie ini.
Dia mendjadi gusar, segera dia menjerang ini musuh jang
baru. "Lepas!," berseru In Gak melihat ia disambut tikaman.
Dengan tangan kanannja jang diluntjurkan, ia mengetuk
kelengan. Tepat ketukannja ini, segera pedang lawan terlepas
dan mental delapan tombak djauhnja, seperti ular masuk
kedalam rumput tebal. Bukan main Goan Liang merasakan tangannja njeri ketika
ia memandang muka orang, ia heran. Dia mendapatkan
seorang botjah umur delapan atau sembilanbelas tahun, jang
romannja tampan. In Gak bersenjum. ,.Tuan didjuluki Sin Kiam Tjioe, kenapa tuan tak sanggup
bertahan untuk satu kali ketukan?" ia tanja.
Goan Liang panas hati. Ia anggap itulah sindiran untuknja.
96 "Hm!" katanja; mendongkol, Kau tidak memakai aturan
kang-ouw, sahabat! Mengapa kau membokong aku" Aku
kurang puas!" Matanja In Gak terpentang, ia tertawa lebar.
,Kau menjebut-njebut aturan Kang-ouw, itulah aku tidak
perduli!" katanja njaring. "Aku tjuma bertindak menuruti rasa
hatiku! Asal aku merasa tidak puas, tentu aku turun tangan!
Kau ada bangsa busuk, tahu apa kau aturan Kang-ouw"
Djikalau kau tidak puas, pergi ambil pedangmu, mari kita
main-main!" Goan Liang tertawa berkakak.
"Biar aku bodoh, aku bukan bangsa busuk!" teriaknja. ,Kau
begini muda tetapi kau tjongkak sekali, nanti aku si orang she
Shie mengadjar adat padamu!"
Habis berkata, Goan Liang lompat kaarah pedangnja, untuk
mengambil itu, terus dia berlompat balik, indah lompatannja
menurut tipusilat "Burung elang bardjumpalitan." Sekedjap
sadja dia sudah berdiri pula didepan In Gak, terus dia
menuding sambil menantang: "Hunuslah pedangmu!"
In Gak mengangkat kedua tangannja.
"Aka si orang she Tjia akan melajani tuan main-main
dengan tanganku jang berdarah-daging sadja!" katanja.
"Orang dengan kepandaian sebagai kau tak pantas, tak ada
deradjatnja membuat aku menggunai pedang!"
Bukan main mendongkolnja Goan Liang.
"Aku si orang she Shie belum pernah menemui orang
setjongkak kau!" katanja sengit, tubuhnja sampai bergemetar,
mukanja pun putjat "Baiklah, lihat pedang!"
Kata-kata itu ditutup dengan satu tikaman.
97 Goan Liang bernjali besar sebab dia murid Tiam Tjhong
Pay. satu diantara tudjuh partai besar jang kesohor ilmu
pedangnja. kemudian dari seorang pandai jang
menjembunjikan diri, dia dapat kepandajan lebih djauh hingga
ilmu pedangnja djadi bertambah liehay, sekarang dia
menghadapi orang djumawa, dia berkelahi dengan hebat,
beda daripada waktu melajani Tiong Kiat.
In Gak tidak melajani keras dengan keras. Sebaliknja,
bagaikan kupu-kupu berterbangan, ia bergerak sangat lintjah
didepan orang she Shie ini, senantiasa ia berkelit dari tikaman
atau taba?san pedang, tidak pernah ia membalas, kalau toh ia
mengulur tangan, ia hanja ingin merampas pedang lawan
Tjepat sekali lewat sudah dua puluh djurus. Sekonjongkonjong
si anak muda tertawa dan ber?kata: "Tuan, aku si
orang she Tjia telah beladjar kenal dengan ilmu pedangmu,
njata kepandaian tjuma sebegini! Sekarang aku si orang she
Tjia ingin memohon maaf dari kau " Lalu kata-kata itu ditutup
dengan sambaran tangan kiri kearah pedang, niatnja
dirampas. Itulah salah satu tipu dari silat Hian Wan Sip-pat
Kay. .,Kau mau tjari mampus?" kata Goan Liang dalam hatinja.
la pertjaja orang memperbahajakan dirinja sendiri. Akan tetapi
belum ia berhenti berpikir itu, tahu-tahu udjung pedangnja
sudah didjepit lima djari tangan, maka waktu si anak muda
mengerahkan tenaganja, udjung pedang itu patah seketika,
menjusul mana djari tangan anak muda itu meluntjur terus,
menotok djalan darah tjiang-boen didada kiri. Sama sekali tak
berdajalah ia, segera ia merasai darahnja mandak, tubuhnja
terus roboh. Dengan udjung pedang lawan masih ditangannja, In Gak
mengibas kemuka orang sambil ia menjeringai dan berkata:
"Apakah pedang ini tepat dinamakan pedang, sakti" Hm! Kau
lihat!" la mengajun tangannja, hingga pedang itu terbang
98 kearah panggung, untuk menantjap di penglari dalamnja satu
kaki. Shie Goan-Liang berdjuluk Sin Kiam Tjioe, Ahli Pedang
Sakti, maka itu pedangnja itu, jang bernama Tjeng-kong-kiam
dipandang sebagai pedang sakti, tetapi sekarang pedang itu
kena dibikin patah dan ditimpukkan nantjap, maka
tertjenganglah semua hadirin. Orang pun heran sekali Goan
Liang dapat dirobohkan dalam dua gebrakan dan orang tidak
mengetahui ilmu silat apa itu jang digunai si pemuda.
Ilmusilat Hian Wan Sip-pat Kay itu jalah ilmu silat
berbareng ilmu ketabiban dari dua ribu tahun jang lalu, jang
telah seperti lenjap dari dunia, maka djuga, sekalipun Hoat
Hoa Taysoe dari Siauw Lim Sie, dia kena dibikin bingung
karenanja, dia pun tidak mengenalnja.
Djuga Nona Lan, jang berkepala besar, jang tak pernah
tak?luk kepada siapapun, ikut mendjadi kagum.
Dengan menahan saklt, Shie Goan Liang merajap bangun.
Perlahan sekali dia bergerak. Terus dia mengertak gigi dan
berkata; "Aku si orang she Shie menjesal jang peladjaranku
tidak sempurna, aku menjerah kalah, hanja aku berbesar hati
aku mengundang kau datang ke Tiam Tjhong San. Aku bodoh,
tak pantas aku menggunai pedang, akan tetapi didalam
partaiku masih ada jang lainnja jang djauh melebihi aku, aku
minta sukalah kau memberi pengadjaran kepada mereka itu
Sekian, sekarang aku memohon diri."
Alis In Gak bangun, ia tertawa.
"Baru Tiam Tjhong Pay, aku tidak melihatnjal" katanja
sengadja. "Kau telah mengundang, berani aku menerimanja,
hanja sajang, tidak dapat aku pergi sekarang lantaran aku
masih mempunjai lain urusan penting. Tolong bilangi ketuamu
99 bahwa didalam waktu lima tahun akan aku pergi ke
gunungmu itu. Sekarang kau pergilah!"
Sembari berkata, dengan perlahan dengan kedua tangannja
In Gak menolak tubuh orang, atas mana Shie Goan Liang
merasa ada tenaga keras jang mendorong tubuhnja itu,
hingga ia lantas terpental, sia-sia ia mentjoba
mempertahankan diri dengan tipu berat tubuh, ia toh
terdampar lima tombak djauhnja. Ia mendjadi djeri, tanpa
berkata apa-apa lagi, ia ngelojor pergi.
Seberlalunja Goan Liang, In Gak menghadapi Koet Sin.
"Orang she Koet" ia berkata bersenjum, "Peristiwa ini
dimulai oleh kau, maka itu tidak dapat kau berpeluk tangan
sadja tak mengurusnja"
Tjit Sat Tjioe telah melihat dirobohkannja Goan Liang, dia
djeri. Dia tahu dia tjuma gagah sedikit daripada kawannja itu.
Akan tetapi sekarang dia ditantang, dia mendjadi gusar sambil
tertawa dingin dia kata, "Meskipun tuan sangat lihay, tidak
dapat tuan tak memandang mata kepada lain orang! Memang
urusan ini disebabkan aku, tetapi mula-mulanja adalah Kim
Hoa Sam Kiat jang terlalu djumawa, karena mereka tidak
Menuntut Balas Karya Wu Lin Qiao Zi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melihat mata kepada kami kaum tidak lurus"
In Gak tertawa. "Djadi karena urusan ketjil itu tuan membangkitkan
pertentangan golongan?" katanja, "Tidakkah urusan itu bisa
membangkitkan pertentangan lebih hebat didalam Rimba
persilatan" Biarlah aku menjebut tentang diriku sendiri.
Sebenarnja aku djuga bukan berasal dari kalangan lurus.
Karena aku bukan kaum lurus, menurut kau, aku djadi mesti
masuk dalam golongan kamu bangsa rase dan tikus! Baiklah
kau ketahui, perselisihan mulut dapat timbul diantara kawankawan
karena sedikit kata-kata jang menjinggung, tetapi,
djikalau orang suka berpikir, perselisihan itu dapat ditiadakan
100 dengan hati dingin. Bukankah jang bengkok dapat dibikin
lempang" Seharusnja kau mengerti muridmu sendiri si bangsa
tidak keruan jang tjupat pandangannja. Karena dia tjupat, dia
dapat diberi maaf. Kenapa kau sendiri , jang dianggap
terhormat, kau berhati lemah, bertelinga tipis, hingga kau
tidak dapat membedakan jang benar dari jang tidak benar"
Inilah jang membuat aku tidak mengerti. Sebetulnja kau mesti
dihukum, akan tetapi mengingat kegelapanmu, suka aku
berlaku murah. Nah, lekas kau pergi!"
Koet Sin djago Rimba Hidjau, sudah biasa dia galak malang
melintang, tidak dapat dia menahan sabar akan hinaan itu,
maka dia djadi meluap kegusarannja.
"Binatang!" dia berteriak, "Apakah kau kira tepat kau
hendak mengasi adjaran kepada aku si orang tua?"
In Gak pun gusar. Bukan sadja nasehatnja tidak diladeni, ia
pun didamprat. Maka berubahlah air mukanja.
"Bangsat tua!" katanja bengis, "Aku suruh kau pergi, kau
tidak mau pergi, ini artinja kau tjari mampus sendiri!"
"Belum tentu" sahut Tjit Sat Tjioe tertawa dingin. Dia lantas
menjerang dengan kedua tangannja. Dia telah memikir, kalau
serangannja gagal, hendak dia mundur. Hebat serangannja
itu. Tak pertjuma dia didjuluki Tjit Sat Tjioe, Tjit Sat itu berarti
Tudjuh bintang djahat" Djadinja dia liehay tangannja (Tjioe).
In Gak pun telah bersiap. Ia menggunai Bie Lek Sin Kang.
Beda daripada lawannja, ia bergerak seperti tak nampak
gerakan tangannja. Nampaknja sabar sekali ia menjambut
serangan. Akan tetapi, setelah tangan kedua pihak bentrok
satu dengan lain, mendadak tubuh jang besar dari Koet Sin
terpental mundur, djumpalitan dua kali, terus roboh ditempat
sepuluh tombak lebih. 101 Semua orang kaget, lantas semua memburu. Mereka
melihat Tjit Sat Tjioe jang demikian garang, rebah terkulai
dengan mandi darah, kedua tangannja patah, napasnja empas
empis. Dia lantas diangkat kawan-kawan untuk digotong
pergi. Maka disitu sekarang tinggal Pek Houw Seng koen Gouw
Tie seorang. Dia memandang bentji pada In Gak, lantas dia
memutar tubuhnja untuk berlompat pergi, hingga sekedjap
kemudian, dia sudah berada diluar kalangan. Hingga dengan
demikian tenanglah sang badai dan gelombang.
In Gak memandang orang berlalu, ia menghela napas,
dengan menggendong tangan, ia mengawasi langit. Tapi
segera ia dirubung orang-orang Sam Eng Piauwkiok.
Jilid 2.1. Mengobati Kioe Tjie Sin Liong
"Sie-tjoe muda" berkata Hoa Hoa bersenyum, "Dengan
enteng sekali kau menggeraki tanganmu, apakah itu berarti
kau telah mentjapai puntjaknja kaum Budhist jang dinamakan
Boe Siang Kim kong Sian Tjiang?"
Si pemuda mengawasi pendeta itu, ia menggeleng kepala.
"Tadjam sekali mata Taysoe" katanja sabar,"Tjuma
peladjaranku ini, djikalau dibanding dengan Kim Kong Sian
Tjiang bedanja djauh sekali. Mana aku mempunjai bakat dan
djodoh untuk memperoleh itu" Djikalau taysoe sudi, suka aku
mendapat barang satu dua petundjuk dari taysoe"
"Loola ptidak mempunjai kepandaian itu," kata Hoat Hoa
tjepat, menjangkal, "Sekalipun ketiga tiangloo kami, mereka
tjuma mengerti permulaannja sadja. Loolap menanjakan
sebab kelihatannja kepandaian sitjoe mirip dengan Boe Siang
Kim Kong Sian Tjiang itu"
102 In Gak berdiam, ia melainkan bersenjum. Ia ingat semasa
di Poo Hoa Sie, gurunja pernah membilangi bahwa Bie Lek Sin
Kang dan Boe Siang Kim Kong Sia Tjiang itu sama-sama ilmu
kepandaian kaum Budhist, bedanja jalah Bie Lek Sin Kang
lebih hebat dan digunainja dapat sesuka hati, sebaliknja Kim
Kong Sian Tjiang itu, setelah digunai sukar untuk dibatalkan
atau ditarik pulang. Setelah itu orang berdjalan pulang ke piauwkiok. Tiba di
rumah, Kim Hoa Sam Kiat lantas mengadakan perdjamuan
untuk merajakan kemenangan itu, hingga suara ramai mereka
kedengaran keluar, sampai ada jang mendunga piauwkiok itu
entah lagi mengadakan pesta apa. Sengadja mereka
mengadakan pesta ini untuk membikin nama si pemudda
tersiar. Maka itu ketjuali orang dalam, ada diundang djuga
sahabat-sahabat dari pelbagai piauwkiok lainnja, antaranja
hadir Thie bin In Tiang Lee Sie Kie, piauwsoe ketua dari Tiong
Gie piauwkiok, jang dari Souwtjioe baru pulang ke Tjie-tjioe.
"Sekarang ini Rimba persilatan digemparkan dua peristiwa
besar," kata piauwsoe itu tertawa, "Jang siauwhiap
merobohkan Tjit Sat Tjioe Koet Sin ini. Jang lainnja jaitu
muntjulnja pula Twie Hoen Poan Tjia Boen dalam dunia kangouw.
Aku baru kembali dari Kangsouw Utara, selagi lewat di
Kho-yoe, disana Sam Tjioe Gia Kang Hok Leng Tok telah
terbinasakan Twie Hoen Poan. Hok Leng Tok jalah begal besar
jang untuk banjak tahun sudah hidup menjendiri ditepinja
telaga Kho Yoe Ouw. Pula dia mati sama seperti kematiannja
Lan Tjong Siang Sat baru-baru ini, jaitu dadanja ditembusi
djaridjari tangan jang liehay. Jang aneh pula kedua orang
terkenal itu sama-sama she Tjia, melainkan jang satu tua dan
jang lain muda!" 103 Kim tjie Sin Eng Phang Pek Hiong heran mendengar warta
itu. "Saudara Lee, kapankah terdjadinja peristiwa itu?" ia tanja,
"Baru kemarin dulu malam terdengar Twie Hoen Poan berada
di Kangsan dimana tempat Ngo Yan Pay dia membinasakan
Ngo Tok Tjindjin dari Tong Pek San. Sungguh tak ketentuan
dimana beradanja Twie Hoen Poan itu. Mustahilkah dia telah
mengetahui siapa-siapa jang dulu hari mengerojok dia dan
sekarang dia mau membalasnja satu demi satu?"
"Itulah kedjadian empat hari jang lalu. Karena aku mesti
lekas-lekas pulang, tidak sempat aku mentjaritahu lebih djauh.
Untuk Twie Hoen Poan, dalam dua hari dari Kho-yoe pergi ke
Kangsan bukanlah soal sukar."
Mendengar itu Lan Kang Tiauw-kek Yo Tjoen Keng, si
Pengail dari sungai Lan Kang menghela napas, katanja:
"Perdjalanan dari Kho-yoe ke Kangsan sedikitnja lima sampai
tudjuh ratus lie, tetapi itu disampaikan dalam dua hari,
sungguh luar biasa!"
In Gak djuga heran mendengar ajahnja membinasakan
Sam Tijoe Gia Kang di Kho-yoe. Ia melirik pada Lee Sie Kie,
dalam hatinja ia kata: "Lan Tjong Siang Sat dan Ngo Tok
Tjindjin terbinasa ditanganku. Siapakah jang bekerdja di Khoyoe
itu; mesti ada lain orang jang memakai nama ajahku...Ah
mengerti aku sekarang! Itulah mesti kerdjaan saudara Loei
Siauw Thian! Mestinja Sam Tjioe Gia-kang salah seorang jang
duluhari telah mengerojok ajahku, maka saudara Loei menelad
aku, dia membinasakan manusia djahat itu seperti tjaraku!"
"Amida Budha!" terdengar Hoat Hoa memudji, "Sepak
terdjangnja Twie Hoen Poan itu, meski ia berdiri di pihak jang
benar, menurut rasa loolap ada sedikit berlebihan, maka itu
kekalahannja di Siang-tong berpokok pada perbuatan
berlebihan itu. Inilah jang kami kaum Budhist namakan karma.
104 Sajang sekarang setelah muntjul pula, dia bertindak
melebihkan duluhari itu...Inilah balas membalas, entah sampai
kapan berachirnja ini?"
In Gak sabar tetapi ia tidak puas ajahnja dipersalahkan.
"taysoe," katanja, "Apakah taysoe tidak ketahui, dengan
menjingkirkan seorang djahat, orang telah menanam
sematjam djasa baik" Bukankah perbuatannja Tjia Tayhiap itu
untuk membasmi kedjahatan, untuk mengandjurkan kebaikan"
Bukankah menjingkiran kedjahatan tepat dengan pokok
tudjuan kami kaum Rimba persilatan" Apakah jang tidak
sesuai?" Hoat Hoa bersenjum ketika ia mendjawab "Apa jang
siauwhiap bilang memang tepat dan loolap pun tidak
maksudkan tidak sesuai, tetapi loolap pikir banjak membunuh
berarti menanam bibit penderitaan dan itu djuga mentjari
pusing sendiri." Melihat dua orang itu bertentangan pendapat, Pat Kwa
Tjioe Kheng Liang menjelak untuk menjimpangi perhatian.
Katanja: "Tjia siauwhiap, kau telah member djandji lima tahun
akan menemui Shie Goan Liang, kapan kiranja baru kau dapat
memenuhi djandji itu?"
"Sekarang ini belum dapat aku menentukan," In Gak
djawab bersenjum. "Tetapi pasti, didalam lima tahun, aku
akan pergi ke tempatnja!"
"Tiam Tjhong Pay itu mendjadi satu diantara tudjuh ahli
pedang besar di djaman ini," berkata Yo Tjoen Teng, "diantara
mereka benar ada orang-orang jang liehay hingga mereka
biasa tak memandang mata kepada kaum Persilatan
seumumnja, dari itu baik sekali djikalau Tjia Siauwhiap dapat
melampiaskan kemendongkolan kita. Hanja aku pikir perlu
siauwhiap mentjari beberapa pembantu, sebab pergi seorang
diri kurang sempurna."
105 Mendengar itu, In Gak tertawa.
"Aku tidak mengatakan aku tidak mau mentjari kawan,"
katanja, "Tjuma aku pikir untuk urusanku sendiri buat apa aku
membawa-bawa sahabat ?"
Ketika itu Nona Nie merasa tidak puas sekali. Beberapa kali
ia mau tjampur bitjara, selalu ia gagal. Pula sikap si pemuda
terhadapnja tawar. Achirnja ia tertawa dingin.
" Tjia toako," katanja, "tadi kau membilang Shie Goan Liang
tidak tepat menggunai pedang, habis siapakah itu jang
tjotjok?" Mendengar pertanjaan ipar ini, Siok Tjoen bergelisah. Ia
merasa sang ipar benar-benar tidak mengenal selatan. Tapi
belum sempat ia berbuat apa-apa, In Gak sudah tertawa
lebar. Pemuda ini tidak mendjadi kurang senang.
"Aku tidak berani bilang siapa jang tepat dan siapa jang
tidak," sahutnja, "Aku baru muntjul dalam dunia Kang-ouw,
pengalamanku belum banjak, bitjaraku kurang pandai, tjuma
sebab orang she Shie itu benar-benar mempunjai kepandaian,
maka barusan aku mengatakannja demikian. Itulah tjuma
mengenai dia seorang, melulu untuk melampiaskan
kemendongkolanku. Bitjara terus-terang, sampai saat ini
belum aku mendapatkan sendjata jang tjotjok untukku!"
Wan Lan melirik, ia berkata pula, lagu suaranja seperti bersenandung
: "Bagaimana tentang siauwmoay, apakah
siauwmoay tepat menggunai pedang" Kalau tidak, baiklah
pedang siauwmoay ini dihaturkan kepada toako, pastilah
tjotjok !" Sengadja si nona menjebut dirinja soauw-moay.
In Gak serba salah hingga ia mendjadi likat, hingga ia tidak
dapat membuka mulutnja. 106 Siok Tjoen mendongkol sekali hampir ia menegur ie itu
dimuka umum. la paksakan diri tertawa dan kata "Ie, kita
tjuma mendengar suara kau, tak dapatkah kau bitjara sedikit
sadja !" Wan Lan menoleh, ia melihat muka merah dari tjiehoenja
itu. "Ah, kenapakah kau ?" katanja. "Tjia Toako sendiri tidak
membilang, apa-apa."
Siok Tjoen menggeleng kepala, matanja mentjilak kepada
si nona, terus ia memandang In Gak, agaknja ia kewalahan.
Si pemuda melihat itu, ia tertawa. Sedang sebenarnja,
kesannja terhadap si nona tambah memburuk. Dilain pihak,
Wan Lan mulai djelus terhadap pemuda itu, karena dia
dikuasai kemandjaannja. Sampai disitu, Hoat Hoa bitjara pula, menutur maksudnja
datang ke selatan ini, jalah mentaati titah ketuanja; untuk
pergi ke kuil Siauw Lim Hee ih di Pouw-thian guna
mendjalankan kundjungan adat kebiasaan setiap lima tahun
sekali, bahwa selagi lewat di Kim Hoa ini ia ingat keluarga
Phang jang mendjadi keponakan muridnja dengan siapa sudah
tiga puluh tahun ia tidak pernah bertemu, hanja kebetulan
sekaIi menjaksikan orang mengadu silat.
"Melihat gerak-gerik kaki tanganmu, Tjia siauwhiap" ia
menambahkan, "Kau mestinja telah mendapat peladjaran
golongan Budhist, atau djikalau gurumu bukan seorana
pendeta jang lie-hay, dia mestinja seorang jang telah
menjembunjikan diri, hidup dalam kesunjian. Loolap seorang
pendeta, tetapi loolap telah mentjoba mengutamakan
ilmusilat, rasanja loolap berhasil djuga mengarti sedikit
intisarinja, sebaliknja siauwhiap, jang masih begini muda,
telah mahir sekali silatnja, dari itu, djikalau siauwhiap suka,
sudikah kau main-main barang tiga djurus dengan loolap?"
107 Biar bagaimana In Gak taat kepada pesan gurunja, atas
adjakan si pendeta ia lantas menampik.
"Kebisaanku rendah sekali, mana berani aku
membangkitkan buah tertawaan" Lebih baik tak usahlah!"
katanja. Belum sempat Hoat Hoa berkata pula, Wan Lan menjelak
lagi: "Tjia toako, apakah toako tidak suka memberi muka
kepada Hoat Hoa Soepee?"
In Gak memandang nona itu dingin. Ia djemu. Lantas ia
berbangkit perlahan-lahan, untuk bertindak ke lian bu-thia,
tempat latihan. Orang semua lantas mengikuti Hoat Hoa
berdjalan mendampingi anak muda itu.
Kim-hoa Sam Kiat djalan paling belakang, mereka menegur
nona Nie, tetapi dia ini mengganda bersenjum.
Menuntut Balas Karya Wu Lin Qiao Zi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku minta taysoe suka menaruh belas kasihan kepadaku."
kata In Gak setibanja di gelanggang. Ia memberi hormat,
lantas ia memisahkan diri setombak hingga mereka djadi
berdiri di timur dan barat.
Hoat Hoa mengangguk, ia kata tertawa :"Loolap tjuma
ketarik hati untuk main-main, sama sekali kita bukan benarbenar
bertanding. Siauwhiap, silahkan!"
In Gak tidak banjak aturan lagi. Ia merangkap kedua
tangannja, ia memberi hormat dalam sikap "Lian tay pay koei"
setelah mana terus ia menjerang.
Hoat Hoa tertawa dan kata: "Baiklah, loolap lantjang
menjambut" Ia lantas berkelit, untuk terus membalas dengan
tipu silat "Hong kie in yong" jaitu "Angin bergerak, mega
melajang-lajang", suatu djurus dari ilmu silat "Tat mo Kioe Sie",
ilmu silat simpanan S iauw Lim pay. Jang dapat mempeladjari
itu tjuma keempat tiangloo. Seperti namanja menundjuki,
semuanja terdiri dari sembilan djurus (kioe sie).
108 In Gak segera merasakan dorongannja angin, walaupun ia
melindungi diri dengan Bie Lek Sin kang, ia masih tertolak
djuga, meski begitu ia tidak segera melakukan penjerangan
membalas, ia berkelit untuk menghindarkan diri. Ia ingin
berkelit terus hingga tiga kali beruntun. Setelah itu mendadak
ia mentjelat hingga ia djadi berada di belakang si pendeta.
Belum ia memernahkan diri, Hoat Hoa sudah memutar tubuh
dibarengi serangannja pula, kali ini dengan djurus "Guntur
menggemparkan langit" jang djauh lebih hebat daripada jang
sudah itu. Djuga kali ini pendeta itu gagal. Dia mendjadi heran "
mengherani mahirnja ilmu Tjit Khim Sin-hoat dari si anak
muda. In Gak berdiri sambil tertawa.
,Lootjianpwee, masih ada satu djurus !" katanja manis.
Biarnja ia orang petapaan, hati Hoat Hoa mendjadi panas.
Ia malu andaikata orang mengetahui ia gagal menjerang
dengan Tat-?mo Kioe sie. Apa nanti anggapan umum tentang
ilmusilat Siauw Lim Sie "
"Maaf" ia lantas berkata menjusuli serangannja dengan
kedua tangan, tangan kiri dengan "Kim-kong Hang Mo"
menjerang lengan kiri si anak muda, tangan kanannja mentjari
djalan darah khie-hay, tipusilatnya jalah "Lan Hoa Tjioe"
pukulan bunga Lan Hoa. Bagaikan kilat tjepatnja, demikian
dua tangan ini menjerang, hingga orang banjak berkuatir
untuk In Gak. Si anak muda sendiri tapinja tersenjum, tjepat luar biasa
dia mundur lima dim, melulu untuk mengelakkan diri, setelah
mana ia menjerang dengan suatu djurus Hian Wan Sip pat
Tjiang kedua djari tangannja memapaki hendak menotok
telapakan tangan si pendeta!
109 Hoa Hoa lagi menjerang, tidak dapat ia menarik pulang
serangannja itu. Pula tidak dapat ia menangkis dengan
tangannja jang lain. Maka djuga ketika kedua tangan mereka
bentrok, ia mendjadi kaget. Mendadak ia merasakan
tangannja kesemutan, mendjadi kaku, tenaganja hilang,
hingga tanpa terasa, ia terdjeru-nuk madju. Tapi sianak muda
mengadjukan kedua tangannja untuk menahan, hingga orang
dapat berdiri diam. "Lootjianpwee, tiga djurus lewat" katanja tertawa,"Terima
kasih jang lootjianpwee telah suka mengalah."
Dimata orang banjak, mereka itu seri, akan tetapi Hoat Hoa
heran atas kepandaian anak muda itu.
,Tjia siauwhiap," katanja, "Bukan loo lap merendah tetapi
melihat kegagahan kau ini, mesti kau bakal mendjagoi Rimba
Persilatan, maka itu semoga Thian melindungi agar djanganlah
kau sampai melakukan pembunuhan, sebaliknja supaja
dapatlah kau kemadjuan terlebih djauh!"
In Gak tertawa. "Nanti boanpwee ingat baik-baik pesan ini," kata ia, "tak
nanti boanpwee melupakannja."
Setelah itu, mereka kembali. Orang banjak memudji dan
mengatakan Hoat Hoe Taysoe telah berbuat baik sekali
terhadap sianak muda. Kemudian perdjamuan ditutup dan semua orang bubaran.
Sore itu In Gak memberitahukan tuan rumah bahwa ia
hendak pergi ke Utara untuk menjusul Loei Siauw Thian,
kakak angkatnja itu, maka besok pagi-pagi ingin ia berangkat.
Sam Kiat mentjegah tetapi ia mendesak, hingga mereka itu
tidak dapat menahan lebih lama. Mereka pun merasa, pemuda
ini tak puas dengan Wan Lan.
IV Besoknja pagi, seorang diri Tjia In Gak melakukan
perdjalanan pula. Ia diantar Kim-hoa Sam Kiat dan djuga Nona
110 Nie. Dia ini tampak tak puas dengan perpisahan itu"ada
sedihnja, ada penasarannja . . .
Tiba dikota Hang-tjioe jang kesohor, In Gak singgah, untuk
pesiar setengah bulan. Setelah melintasi propinsi Tjiat-kang, ia
masuk ke propinsi Kangsouw. Pada suatu hari, setelah lewat di
Tin-kang, ia sampai di Kang-taow atau Yang-tjioe, pun kota
terkenal dan ramai. Ia sampai di waktu maghrib, segera ia
melihat ramainja kota dan telinganja mendengar suara
tetabuan dan njanjian disana-sini, maka setelah menitipkan
kuda di hotel, ia pergi djalan-djalan. Disini ia menjaksikan, asal
ada uang, tak usah orang kekurangan kesenangan. Tepatlah
utjapan tua :"Dengan uang sepuluh laksa rentjeng melibat
pinggang menunggang burung djendjang pergi ke Yang-tjioe.
Selama dalam perdjalanannja ini, ia selalu berada sendirian,
tak inigin ia mentjari sembarang sahabat, bahkan di hotel pun
ia memakai nama palsu. Demikian kali ini.
Habis djalan-djalan sebentar, ia kembali ke hotel, untuk
bersantap, setelah bersantap, la langsung masuk kamarnja,
untuk rebah-rebahan, kedua matanja dirapatkan. Ia lantas
memikirkan tentang per?djalanannja ini seorang diri. Sesudah
lewat beberapa bulan la masih tak tahu tentang musuhnja,
hingga ia mirip si buta menunggang kuda, tak tahu ia
tudjuannja. la menganggap inilah bukan tjara jang baik.
"Aku mesti mentjari kawan jang dapat diadjak berdamai "
ia kata dalam hatinja. Maka ia ingat pula Siauw Thian, djuga jang lainnja, mereka
itu seperti berbajang di depan matanja, tak ketjuali Nona Lan
jang mendjemukan itu. Untuk menenangi diri ia bangun untuk
berduduk bersamedhi sekalian melatih diri.
Tidak lama setelah bersamedhi, In Gak ingin tidur, ketika ia
mau membuka pakalan luar, tiba-tiba telinganja mendapat
dengar rintihan perlahan serta isak tangisnja anak ketjil. Ia
111 menduga kepada orang sakit. Maka ia membuka pintu, pergi
ke kamar di depannja, darimana suara itu datang. Ia sudah
mengulur tangannja untuk mengetuk pintu, atau ia urungi itu.
Ia anggap perbuatannja itu kurang baik. Maka ia terus
menghampirkan pelajan, jang lagi duduk menjender dipintu
depan dengan matanja meram melek.
Adalah kebiasaan dihotel itu untuk menaruh pelajan
pendjaga pintu, untuk menjambut atau mengantar tetamu
jang datang atau ada keperluan pergi diwaktu malam.
Demikian pelajan ini. la Iantas berbangkit dan berdiri dengan
hormat ketika ia melihat tetamumja, terus ia menanja:
"Apakah tuan hendak berangkat di waktu begini ?"
In Gak menggojangi tangan, ia tidak mendjawab hanja
menanja siapa penghuni dikamar depan kamarnja itu.
"Oh, dia . . . ." kata pelajan itu, agaknja terperandjat.
,.Pada sepuluh hari jang lalu dia datang mengambil tempat
disini. Dialah seorang tua dengan dandanan pengemis serta
seorang botjah. Dia terluka seluruh tubuhnja, be?gitu dia
masuk ke dalam kamar dia merebahkan diri terus dia
mendapat demam panas-dingin. Dia mempunjai sebungkus
obat bubuk, dia telan itu. Njatanja obat itu tidak menolong,
bahkan dia mendjadi terlebih pajah, hing?ga pernah dia
pingsan. Botjah itu lari keloar, dia mentjari seorang jang
mukanja kuning. Ketika dia ini melihat orang tua itu, dia
berduka, lekas dia pergi mentjari tabib jalah Oey Pek Tong
alias Poan Sian, si Tabib Setengah Dewa. Tabib ini pandai,
banjak sekali sudah ia menolong orang.
Tapi setelah memeriksa nadi si sakit, ia menggojang
kepala, sakitnja sudah berat sekali, susah ditolong, kalau
diberi obat, paling djuga akan hidup lagi sepuluh hari atau
setengah bulan, terus ia pergi tanpa memberi obat atau surat
obatnja, tak mau ia mene?rima uang hadiah. Madjikannja
takut orang mati dihotelnja, ia minta orang muka kuning itu
mengadjaknja pergi. Orang muka kuning itu minta si sakit
112 dibiarkan menginap disini, ia kata ia mau pergi mentjari obat.
Ia pergi dengan meninggalkan uang lima puluh tahil perak, ia
memesan sangat agar ia ditunggui. Ia sudah pergi lima atau
enam hari sampai sekarang ia belum kembali. Aku kuatir buat
keselamatan orang tua itu.
In Gak mengerutkan alis. "Maukah kau mengantar aku
kepadanja ?" ia tanja.
Pelajan itu mementang matanja, Tapi ia tertawa.
"Apakah tuan mengarti ilmu pengobatan ?" ia tanja, raguragu.
Lantas ia mengantarkan, seorang diri ia ngotjeh hampir
tak kedengaran : "Tuan muda ini mungkin kurang sehat
asabatnja, meski la mengarti ilmu tabib, mana dapat ia
melawan Oey Poan Sian ?"
Segera mereka tiba didepan kamar. Pelajan ini mengetuk
pintu sambil berkata:"Engko ketjil, buka pintu, ada jang ingin
menolong mengobati penjakit?"
Daun pintu dibuka lantas oleh satu botjah jang romannja
tampan, tjuma matanja merah dan bengul, setelah
memandang In Gak, ia kata dengan hormat: "Apakah paman
mengarti ilmu tabib" Baiklah, tjuma kita djadi membikin
berabeh pada paman. Silahkan masuk!"
In Gak kagum. Botjah itu hormat dan bisa bitjara. Ia
bertindak masuk. Ia melihat si orang tua lagi rebah di
pembaringan, napasnja mengap-mengap. Penerangan di
dalam kamar itu hanja lilin jang tinggal separuh, apinja guram,
hingga kamar dengan sendirinja nampak seram.
"Anak muda, terima kasih." kata si orang tua, lemah, ketika
ia mengetahui ada jang mendjenguknja. "Hanja sakitku ini
tidak dapat diobati dengan obat jang biasa, maka aku kuatir
membuatnja kau pusing sadja." Lalu samar-samar nampak
agak? nja ia mengendalikan hatinja, jalah rasa agung diri.
In Gak menghampirkan, untuk duduk disisi orang.
113 ,Lodjinkee, djangan kuatir," kata ia halus, "Setiap perantau
sukar lolos dari gangguan penjakit. Mari aku lihat penjakitmu,
rasanja aku sanggup mengobatinja."
"Benarkah?" kata si botjah mendadak "Kalau benar, paman
aku si Tjioe Lin hendak aku memberi hormat lebih dulu kepada
kau untuk menghaturkan terima kasihku"
Benar-benar ia hendak menekuk Iutut.
In Gak mentjegah. "Tahan dulu, saudara ketjil," katanja tertawa, "Kau sabar."
Lalu dengan sebelah tangan memegang lilin, ia periksa lidah si
orang tua dan memegang djuga nadi kanannja, diteruskan
pula nadi kiri. Achirnja ia berdiri dan berkata sambil tertawa:
"Meski penjakit ini berat, masih ada harapan untuk
disembuhkan. Penjakit ini disebabkan angin djahat.
Loodjinkee, kau tentu habis bertempur, kau telah menggunai
tenagamu berlebihan, lalu kau melakukan perdjalanan tjepat
hingga tak sempat kau beristirahat, hingga gangguan masuk
kedalam tubuh, sudah begitu kau terserang hawa dingin
hingga panas dan dingin mengaduk mendjadi satu. Berbareng
dengan itu kau djuga sudah makan obat. Sjukurlah, kalau
terlambat lagi beberapa hari, obat dewa djuga tidak bakal
menolong?" "Anak muda, pemeriksaanmu tepat," kata si orang tua,
"Bagaimana sekarang?"
In Gak mengawasi kagum. Meski penjakitnja berat, orang
tua itu tetap besar hati, ia mendjawab:"Asal loodjinkee
menahan sakit, dapat aku menjembuhkannja."
Orang tua itu bersenjum. "Anak muda, kau turun tanganlah!" katanja, "Aku si orang
tua jang tidak mau mampus ini rasanja masih dapat menahan
penderitaan terlebih djauh!"
114 In Gak pun tertawa, tanpa berkata-kata lagi, ia
mengeluarkan kotak kuning ketjil dari sakunja, darimana ia
mengambil sembilan batang djarum emas jang ketjil sekali,
pandjangnja empat dim, setelah ia minta si orang tua
tengkurap, lantas ia menusuk sembilan kali, di sembilan
tempat. Ia menusuk dengan tjepat dan tepat. Kalau tabib
lainnja, dia berlaku hati-hati dan perlahan.
Si orang tua merintih dan kata: "Anak muda, aku merasai
tubuhku kaku dan ngilu, inilah hebat?"
"Lawan loodjinkee!" kata In Gak tertawa, "Tak tahan berarti
penjakit tidak dapat disembuhkan. Tahan sedikit. Kalau
sebentar aku mentjabut djarumku, kau pun harus menahan
napas, kalau napasmu bujar, bakal berabeh lagi!"
"Aku tahu. Anak muda, dimana kau peladjari ilmu tabibmu
ini" Tabib atau ahli ilmu silat jang pandai menggunai djarum
aku kenal beberapa diantaranja, tetapi belum pernah aku
menemui jang sepandai kau ini. Aku pertjaja lootee,
ilmusilatmu pun mungkin mahir sekali, bukankah?"
In Gak tertawa mendengar ia sekarang dipanggil "loo-tee"adik. "Tentang ilmusilat, aku mengerti sedikit," katanja, "Kalau
nanti loodjinkee sudah sembuh aku ingin sekali menerima
petundjuk dari kau."
"Hm!" orang tua itu berseru, "Kau minta petundjukku. Lootee,
itulah dapat! Aku si tua tidak sembarang menerima budi
orang, maka itu setelah kau mengobati aku, untuk kau pasti
akan ada kebaikannja!"
Mendengar begitu, In Gak berhenti tertawa.
"Loodjinkee," katanja sungguh-sungguh, "Dalam hal
mengobati, aku mempunjai tiga pantangan" Tahukah
loodjinkee?" 115 Si orang tua merebahkan kepalanja, tetapi suara orang
Menuntut Balas Karya Wu Lin Qiao Zi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membuatnja mengangkatnja.
"Laotee, aneh kata-katamu ini!" katanja, "Mana aku ketahui
ini" Tjoba bilang, apakah pantangan itu?"
In Gak tertawa. Ia mendustai orang tua itu, untuk
mengakali orang dapat melawan rasa njeri tusukan djarum.
Tanpa diadjak bitjara, si orang tua mesti menderita hebat.
Dengan banjak bitjara tanpa meras, berkuranglah
penderitaannja itu, tak usahlah dia pingsan. Ia tjerdas,
sampaipun gurunja memudjinja. Kali inipun ia mendapatkan
akal untuk mengalihkan perhatian si sakit. Tapi ia mendjawab,
katanja: "Pantangan jang pertama jaitu aku tidak mengobati
manusia djahat.- "Oh, begitu ?" kata si orang tua. "Itulah pantas, Tjumalah
seorang tabib tak dapat tak menolongi djiwanja orang jang
ba?kalan mati" "Aku jang rendah bukannja tabib, aku tak masuk hitungan
itu." "Djawaban jang bagus ! Jang kedua?"
In Gak girang. la mendapat kenjataan orang sudah dapat
bitjara keras. "Ialah jang diluar kelihatan sebenarnja hatinja berbahaja
dan litjik !" "Bagus ! Itupun pantas. Yang ketiga ?"
In Gak tertawa lebar, ia berkata njaring :Aku tidak
mengobati tanpa ada kebaikan atau faedahnja"
Si orang tua tertawa lantas dia berkata njaring: "Bagus,
botjah!" Kau mengobati aku karena mengharap kebaikan!
Baiklah, lain waktu aku si orang tua akan berlaku tjerdik !"
Si botjah Tjioe Lin jang terus menerus berduka pun
tertawa. Inilah untuk pertama kali semendjak gurunja " jalab
si orang tua - menderita sakit itu.
116 In Gak tertawa. Ia telah melihat waktunja, maka ia kata :
"Loodjinkee, apakah kau sekarang djuga dapat memainkan
napasmu?" Si orang tua itu dapat tertawa ia berkata njaring tanpa
merasakan sekarang pernapasannja bergerak lurus, tjuma
tinggal sedikit sesaknja, tapi ia girang bukan main.
"Laotee, kau liehay !" katanja. Kembali ia tertawa lebar.
In Gak segera berkata sungguh-sungguh "Loodjinkee, awas
! Aku hendak mentjabut djarum ini. Nah, siaplah untuk
menahan !" Benar-benar anak muda ini dalam bekerdja, satu demi satu,
perlahan djarum itu ditjabut. Maka itu si orang tua mengasi
dengar rintihan perlahan. Dia merasa seluruh tubuhnja
mendjadi kaku. Ketika dia telah ditepuk tiga kali, dia
mendengar suaranja In Gak: "Sekarang djangan menahan
napas lebih djauh" Sambari berkata ia mengeluarkan sebutir pel Tjiang Boen
Tan dan kata: "Loodjinkee telanlah pil ini"
In Gak masih bekerdja lebih djauh. la menjuruh si orang
tua membuka badjunja, untuk ia menguruti seluruh
tubuhnnja. Si orang tua merasakan bekerdjanja djeridji tangan pemuda
itu, jang mendatangkan hawa hangat, jang membikin
darahnja mengalir dengan beraturan, hingga mukanja mulai
bersemu dadu. Sekira sepasangan hio, baru In Gak berhenti mengurut.
Si orang tua mengenakan pula badjunja, kedua matanja
dibuka lebar-lebar, mulutnja dipentangkan katanja keras:
"Bagus benar, botjah ! Tjaranja kau mengurut ini membuat
aku perlu beladjar pula delapan atau sepuluh tahun, tetapi kau
117 mengatakan bahwa kau meminta petundjukku! Oh Laotee,
apakah bukannja menghina aku?"
In Gak bersenjum. Lutju akan mendengar sebentar ia
dipanggil si botjah, sebentar sebentar Laotee alias si adik.
Sama sekali ia tidak mendjadi kurang puas.
"Loodjinkee, sekarang telah sembuh seluruhnja penjakitmu
didalam " ia kata. "Tinggal angin djahat jang belum tersapu
semuja. Nanti aku membuatkan kau surat obat, lantas kau
suruh pelajan pergi beli " Ia pun minta Tjioe Lin pergi kedepan
untuk memindjam perabot tulis.
Anak itu pergi sambil berlari-lari, lekas djuga ia telah
kembali. In Gak lantas menulis resepnja.
Si orang tua menjaksikan bagaimana surat obat itu tjepat
dibuatnja ia mendjadi kagum.
In Gak tertawa. Ia menjerahkan surat obat pada Tjioe Lin
dan Tjioe Lin kembali lari keluar, untuk menjuruh pelajan
membelinja. Sementara itu, fadjar sudah tiba. Dihotel itu, suasana djadi
berisik. Sekalian tetamu pada berkemas atau berangkat pergi,
hingga pelajan semuanja mendjadi repot, tak terketjuali
pelajan jang tadi melajani mereka. Dia sudah mandi keringat.
"Eh, engko ketjil, apakah tidak lihat aku begini repot !"
katanja, ketika Tjioe Lin minta pertolongannja. la baru
mengatakan demikian, mendadak ia awasi botjah, matanja
dibuka lebar, agaknja ia heran, lantas ia tanja : "Bagaimana "
Tuan muda itu berhasil menolongi orang tuamu ?"
Tjioe Lin tidak sempat menjahut, ia mengangguk.
Mendengar demikian, pelajan itu menjambar obat, untuk
terus dibawa lari, tak ia perdulikan tetamu memanggilmanggilnja.
Ia lari kedalam kamar. Untuk herannja, ia
mendapatkan si orang tua lagi duduk berbitjara sambil
tertawa-tertawa dengan si anak muda. Ia berdiri mendelong.
118 "Aku si orang tua toh tidak mati, bukan?" kata orang tua itu
tertawa. "Bukankah kau merasa aneh?"
,.Ah, kau gujon, tuan"." Kata pelajan itu likat.
"Uang kelebihannja untukmu !" katanja.
"Terima kasih tuan, terima kasih!" kata si pelajan berulangulang,
"Oh kau benarlah dewa. Di kolong langit ini ada orang
jang lebih pandai daripada Oey Poan Sian, benar aneh, benar
aneh!" lantas dia lari keluar.
In Gak membiarkan orang pergi, ia memandang si orang
tua dan kata sambil tertawa: "Loodjinkee, kalau kau bukan
orang aneh rimba persilatan, kau tentu orang Kang-ouw jang
luar biasa!" "Sebutan orang aneh Rimba Persilatan tidak sanggup aku
terima, kalau orang Kang-ouw luar biasa, mungkin tepat,"
sahut orang tua itu, "Aku si tua she Tjhong bernama Sie,
dalam Rimba Persilatan gelaranku jang ketjil jalah Kioe Tjie
Sin Liong, Laotee, pernahkah kau mendengarnja?"
In Gak terkedjut hingga tanpa merasa ia berseru: "Oh,
lootjianpwee kiranja Kioe Tjie Lootjianpwee jang mendjadi
salah satu dari Kay Pang Sam Loo!." Ia terus menatap
tangannja orang tua itu, karena tadi ia mendapatkan djeridji
tangan orang ada sepuluh tetapi kenapa disebutnja sembilan
(kioe tjie). Ia djuga tidak sangka orang ada satu diantara Kay
Pang Sam Loo, tiga tetua dari Partai Pengemis, jang
djulukannja Kioe Tjie Sin Liong, berarti "Naga Sakti Sembilan
Djeridji." Menampak sikap orang, si orang tua menundjukkan
djeridjinja. Ia menambahkan: "Nah, Laotee, kau telah melihat
njata atau belum?" In Gak mengawasi. Pada tangan kiri, ia melihat djeridji
tengahnja terbuat dari tembaga jang warnanja mirip dengan
119 warna kulit tangan, hingga mendjadi satu, sedang
pembuatannja bagus sekali. Ia mengangguk.
"Sebenarnja lootjianpwee, apakah telah terdjadi
terhadapmu?" ia tanja kemudian. "Maukah lootjianpwee
menuturkannja kepadaku?"
Tjhong Sie menundjuk pada Tjioe Lin si botjah, ia lantas
memberikan keterangannja : Tjioe Lin itu anaknja Tjoan InTjioe Loen Thian, djago dari Yan-in. Setelah mendapat nama,
Loan Thian hidup menjendiri di tepi telaga Tong Peng Ouw di
ketjamatan Tong-peng, Shoatang. Ia ingin hidup aman dan
damai. Selama merantau ia bentrok dengan Pouw Shia Soe
Pa, empat djago dari Pouw-shia, Hoo-pak, jalah Tjhee-biansay
Yo Liang, Giam Ong Leng Tan Sioe Tjian, Tjo Siang-hoei
Yo Bouw Ho dan Tjian Tjioe Koay-wan Ouw Leng. Yoe Liang
itu, lima djari tangannja kena dibabat kutung. Lantas keempat
djago Hoo-pak itu menghilang. Tidak tahunja mereka berguru
pada seorang berilmu di gunung Tiang Pek San. Setelah turun
gunung, mereka mentjampurkan diri dalam rombongan Oey
Kie Pay, partai Bendera Kuning, ditiga propinsi Kangsouw,
Anhoei dan Ouwpak. Mereka berniat menuntutbalas. Niat ini
didengar Tjhong Nie di Iembah See-leng-kiap di Gietjiang dari
orang Oey Kie Pay. Loen Thian itu sabahatnja Tjhong Nie
maka Tjhong Nie segera pergi ke Tong-peng, buat mengasi
kisikan dan bantuan. Ketika ia tiba di Pouw-shia, ia terlambat.
Tjioe Loe Thian sudah kena dikerojok. Diwaktu menolongi,
Tjhong Sie dikepung tudjuhbelas djago Oey Kie Pay. Ia
berhasil membinasakan lima musuhdan menolongi Tjioe Lin
untuk dibawa menjingkir.Ia dikedjar. Sjukur di tengah djalan
bisa djuga ia lolos. Tiga hari tiga malam ia kabur, tanpa
minum dan makan, tubuhnja pun terluka, disepandjang djalan
ia terkena angin maka setibanja di Kang-touw, ia roboh. Disini
ia menjembunjikan diri, maka ia menjuruh Tjioe Lin pergi
mentjari Kepala Pengemis di Yang-tjioe jang bernama Tjian
Leng dan menitahkan kawan ini pergi ke Ouwpak, untuk minta
120 obat dari Liongpeng Ie-In Khioe Tjoe Beng, ia sendiri
menguati diri, menanti pertolongan itu. Maka sjukur ia
bertemu In Gak , kalau tidak, mestilah ia mati terlantar di
hotel itu. Mendengar itu In Gak berkasihan terhadap Tjioe Lin. Ia
menggenggam kedua tangan anak itu jang nasibnja mirip
nasibnja sendiri. "Bagus lootjianpwee dapat ini," katanja. "Setelah dia
dewasa, dia tentu dapat menuntutbalas !"
"Hai, kembali lootjianpwee !" tegur Tjhong Sie, matanja
dibuka lebar. "djikalau kau hargai aku, panggillah aku toako.
Tentang ilmusilat, kau tentu tak beda daripada aku, laotee. Eh
ja, aku sampai lupa menanja, kau murid siapa?"
"Guruku seorang pendeta," sahut In Gak. "Karena soehoe
tidak mau menjebutkan namanja, menjesal aku tidak dapat
membilangi. Hanja nasibku sama dengan nasibnja adik Lin ini.
Tentang musuhku siapa, sampai sekarang tidak aku ketahui,
maka sekarang aku lagi mentjarinja. Aku pergi ke Utara ini
untuk menjusul kakak-angkatku dengan siapa aku telah
membuat djandji, sekalian aku mentjari musuh-musuhku itu."
Tjhong Sie mengawasi dengan mata bersinar tadjam,
lantas dia tertawa dan kata : "Sudah kita bitjara lama, masih
laotee tidak menjebut sesuatu. Laotee, sifatmu sama dengan
sifatku, maka itu umpamakata kau tidak telah tolong
mengobati aku, suka aku bersahabat dengan kau. Kau tidak
dapat menjebut nama gurumu dan siapa musuhmu, tidak apa,
aku tidak mau memaksa menanjakan. Meski begitu, harus kau
menjebut she dan namamu, dan siapa itu kakak-angkatmu.
Boleh, bukan ?" In Gak tertawa. "Nama siauwtee Tjia In Gak dan kakak-angkatku itu Kian,
Koen-Tjioe Loei Siauw Thian," ia mendjawab.
121 Kembali matanja Kioe Tjie Sin Liong terbuka lebar.
"Apa ?" katanja. "Kau djadinja bersahabat dengan si orang
Kang-ouw jang nakal dan berandalan itu" Ah, dibelakang hari,
kamu berdua pasti bakal mempertundjuki sandiwara jang luar
biasa ! Bagaimana kalau aku si tua tak mau mampus terhitung
satu diantara kamu?"
"Mana aku berani, laoko?" kata In Gak menampik. "Ah,
djangan bertingkah sebagai nenek-nenek !" kata Tjhong Sie.
Mendadak sikapnja mendjadi sungguh-sungguh: "Begini sadja,
aku djadi loo-toa, si tua ! Shatee, bagaimana mengenai Tjioe
Lin ini" Apakah dia ada harapan madju?"
In Gak tidak djadi tidak senang atas kelakuan Tjhong Sie
ini, jang mengangkat diri mendjadi kakak angkat paling tua
tanpa meminta persetudjuan orang. Ia bahkan senang untuk
kepolosan itu. Ia pun merasa, seorang diri ia terlalu terpentjil.
"Pandangan toako pasti tidak salah !" ia mendjawab. Ia
tertawa. Ia menggaruk-garuk kepala, katanja: "Kita mendjadi
saudara angkat, habis bagaimana orang-orangmu memanggil
aku bila mereka bertemu denganku?"
Tjioe Lin sendiri sudah lantas berlutut, memberi hormat
sambil memanggil : "Samsoesiok I" Pang?gilan itu berarti
paman jang ketiga. In Gak lekas memimpin bangun, ia kata tertawa "Gurumu
tidak suka banjak pernik, mengapa kau mengangguk-angguk
padaku ?" "Sudahlah" kata Tjhong Sie tertawa. "Kau masih muda
sekali, kau sekarang mendjadi orang tertua partaiku, itulah hal
jang lain orang, walaupun dia minta, dia tidak bakal dapatkan,
maka kenapa kau pun bertingkah" Sekarang begini sadja. Kau
mau pergi ke Utara, nah kau pergilah. Aku sendiri hendak
pergi dulu kepada sahabatku Gouw Kang Hie-Sioe Teng It
Peng, aku sendiri hendak titipkan Tjioe Lin padanja, buat
beladjar silat selama tiga tahun, setelah itu, aku nanti
122 menjusul kau." Ia berhenti sebentar, akan merogo keluar
sebuah tongpay warna hitam di-mana ada ukirannja jang
indah merupakan tiga ekor naga, singa dan harimau, rupanja
seperti barang kuno, terus ia sesapkan itu ditangan In Gak,
seraja menambahkan: "Inilah koan-wie lenghoe dari Kay Pay,
terhadap benda ini sekalipun ketua jang sekarang, akan
menghormatinja. Kau bawa ini ke Utara, dimana perlu kau
tundjuki kepada setiap anggauta, kau memesan kata-kata,
maka djikalau nanti aku menjusul kesana, dapat aku mentjari
kau. Kalau perlu, kau pun boleh minta bantuan atau bekerdja
sama dengan dabang partai disetiap tempat !"
In Gak menerima baik dan menjimpan pertanda kepartaian
itu, ia kata: "Toako, kau sempat bertemu di Louw Kauw Kio
pada tanggal empat bulan lima. Itu waktu, djieko djuga bakal
tiba disana !" "Djangan kau kuatir !" kata Tjhong Sie tertawa, "Djandji
kita berat bagaikan gunung ! Malah mungkin, sebelum kau
keluar dari propinsi Shoatang, kita akan sudah bertemu pula !"
Ketika itu pelajan muntjul dengan obat jang sudah matang,
Menuntut Balas Karya Wu Lin Qiao Zi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan segera Tjhong Sie tjegluk itu.
"Kau masak pula" In Gak memerintah.
"Baik tuan," djawab si pelajan, jang terus mengundurkan
diri. In Gak lantas adjak saudara angkat itu dan muridnja pergi
ke restoran di depan. Ia tidak memesan arak, sebab Tjhong
Sie belum boleh minum air kata-kata. Untuk saudara itu, ia
minta bubur, maka djuga Kioe Tjie Sin Liong dahar tak
bernapas?" Tjuma tiga hari mereka berkumpul, lantas mereka berpisah.
Tjhong Sie dan Tjioe Lin menudju ke Selatan , In Gak ke
Kho-yoe. Tempat itu terpisah dari Kang-touw tak lebih dari
seratus lie, mendekati maghrib, In Gak sudah sampai disana,
123 terus ia mengambil kamar di hotel Lian In, sebuah penginapan
jang "menjolok mata" sebab jang tinggal disitu kebanjakan
orang Rimba Persilatan, sebagaimana nampak orang pada
membekal pelbagai sendjata. Maka pemuda ini, jang dandan
mirip peladjar diawasi dengan pandangan mata enteng.
"Tuan ada perlu apa?" tanja pelajan, jang mengantarkan
tetamunja kekamar dan terus menjediakan the. Dia berdiri
dengan hormat, kedua tangannja turun.
"Kenapa disini ada banjak orang Kang-ouw?" In Gak tanja,
"Apakah ini biasanja?"
"Tuan peladjar dan mungkin djarang bepergian," sahut
pelajan itu, "Djadi tuan tidak tahu hal ichwal kaum Kang-ouw.
Djikalau tuan ingin ketahui, baiklah, aku akan mendjelaskan,"
Pelajan it uterus bersikap hormat, "Empat puluh lie dari kota
ini ada sebuah dusun Tjioe kee-tjhung dengan sang
tjhungtjoe, pemiliknja, jalah Liang Hoay Tayhiap, she Tjioe
nama Wie Seng, gelarnja Twie Seng Tek Goat, si Pengedjar
Bintang Pemetik Rembulan. Katanja dia sangat gagah. Kali ini
dia merajakan ulang tahunnja jang ke-60, hari pesta jaitu tiga
hari lagi. Pesta itu dibikin berbareng untuk dia mengumumkan
hendak mengundurkan diri. Untuk pestanja, dia telah
mengundang banjak tetamu. Disamping itu, ada lagi sesuatu
jang menarik perhatian. Tjioe tjhungtjoe mempunjai seorang
putri, Goat Go namanja, orangnja tjantik, ilmu silatnja tinggi,
bahkan katanja melebihkan ajahnja. Nona itu mempunjai
sepasang pedang mustika, namanja Kie Koat dan Tjeng Hong.
Karena nona Tjioe masih merdeka, di hari pesta akan
diadakan pieboe tayhwee, jaitu pertemuan persilatan, siapa
dapat mengalahkan si nona, orang itu selain akan dapat
hadiah pedang Kie Koat, dia pun akan memiliki si nona sendiri
sebagai istrinja. Hal ini menggemparkan maka djuga hotel
kami ini sekarang mendjadi ramai sekali."
Habis berkata, pelajan itu tertawa, agaknja ia senang
sekali. 124 "Terima kasih!" kata In Gak, jang pun tertawa.
Pelajan itu tidak berdiam lebih lama lagi, sebab kebetulan
ada jang memanggilnja. Setelah beristirahat, In Gak keluar untuk djalan-djalan. Ia
mendapatkan, dibanding dengan Kangtouw, Kho-yoe sepi
sekali, tjuma di djalan sebelah utara jang rada ramai. Disini ia
bersantap di sebuah restoran, terus ia pulang, niatnja untuk
tidur siang-siang. Di tengah djalan ia melihat seorang
pengemis berdiri di tepi djalan lagi meminta amal. Tiba-tiba ia
ingat suatu apa. Ia menghampirkan, ia menaruh uang di
tangan pengemis itu, seraja berkata dengan suara dalam:
"Loodjinkee, aku ingin bitjara dengan ketuamu, dimana adanja
dia sekarang?" Pengemis itu hendak menghaturkan terima kasihnja, ia
terperandjat mendengar pertanjaan itu, segera ia mengawasi
tadjam, hingga untuk sekian lama itu ia berdiam sadja.
In Gak djuga mengawasi. Ia bisa mengerti kesangsian
orang. Maka tanpa ajal, ia mengasi lihat tongpaynja Kioe Tjie
Sin Liong. Melihat itu, si pengemis terkedjut, tapi sekarang lekas
sekali sikapnja berubah tjepat ia menjahuti, suaranja hormat:
"Disini ada banjak orang, siangkong, mari turut aku jang
rendah." Lalu ia berdjalan ke sebuah gang sempit dan gelap.
In Gak mengikuti. Gang gelap sekali, sampai susah melihat
lima djari tangan, tetapi itu tidak menjulitkan ia. Ia djalan
terus, meski pengemis itu sudah melewati gang ketjil lain.
Didepan sebuah kuil Sam Koan Bio, ia diminta menanti
sebentar, si pengemis sendiri langsung masuk.
Kuil itu tidak ada penerangannja, maka itu, didalamnja pun
gelap. Dari tjahaja bintang-bintang,
Terlihat bagian luar kuil sudah pada rusak. Ini djustru
tempat bagus untuk Kay Pay, jaitu Partai Pengemis jang
mendjadikannja markasnja.
125 -ooOOOoo- Jilid 2.2. Tjioe Wie Seng mentjari menantu
Tidak lama muntjullah dua orang tukang minta-minta jang
djalan didepan jalah pengemis jang tadi. Jang lainnja berusia
lebih kurang lima puluh tahun, tubuhnja djangkung dan kurus.
Sepasang Pedang Iblis 19 Misteri Tirai Setanggi Tujuh Manusia Harimau (4) Karya Motinggo Busye Mencari Bende Mataram 19
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama