Ceritasilat Novel Online

Menuntut Balas 3

Menuntut Balas Karya Wu Lin Qiao Zi Bagian 3


Ia memberi hormat pada In Gak sambil menanja: "Siangkong
membawa tongpay Liong Say Houw partai kami, apakah
siangkong hendak menitahkan sesuatu?"
In Gak bersenjum. Ia tidak lantas mendjawab, hanja
menanja: "Apakah loodjinkee ketua Kay Pay disini" Aku
numpang tanja nama loodjinkee"
"Aku jang rendah Pek Boen Liang" sahut Pengemis itu,
"Tidak leluasa kita bitjara disini, silakan masuk kedalam." Dan
ia memimpin. Didalam, mereka memasuki pintu samping dari pendopo
untuk berduduk di kamar sebelah kanan. Disitu ada sebuah
pembaringan, sebuah medja dengan empat buah kursi.
Dapurnja kate. Segala apa tampak bersih.
"Apakah she dan nama siangkong?" pengemis tanja,
"Apakah siangkong sudi mengasi aku lihat tongpay partai kami
itu?" Sekarang, di tempat terang In Gak dapat melihat tegas
pengemis itu, jang mukanja kuning dan berewokan dan
berdjenggot, jang sepasang matanja tadjam.
"Aku Tjia In Gak," ia menjahut seraja terus lihatkan
tongpay-nja. Mendengar nama itu si pengemis terperandjat hingga ia
berseru: "Ah, kiranja Tjia siauwhiap jang menggemparkan
126 kota Kim Hoa! Maaf!" meski begitu, dengan lekas, dengan
hormat ia menjambuti tongpay atau lebih tepat "Sin Liong Say
Houw leng" untuk diletaki di atas medja bersama pengemis
jang satunja dia berlutut untuk memberi hormat dengan
mengangguk tiga kali, habis mana baru dia ambil kembali
untuk dikembalikan kepada si anak muda. Setelah itu ia
berkata menerangkan: "Sama sekali Sin Liong Say Houw Leng
ini ada tudjuh buah, djikalau bukan ada urusan besar dan
sangat penting, tidak pernah dikeluarkan. Di Pusat besar ada
disimpan tiga buah dan empat jang lain oleh empat orang
tianglo besar masing-masing. Pula Sin Liong Say Houw Leng
ini terdiri dari dua matjam. Jang di pusat terbuat kuningan
bian-kang sedang jang dimiliki empat tianglo dari perunggu,
dan jang siauwhiap miliki inilah satu diantaranja. Ditundjukinja
Sin Liong Say Houw Leng ini menjatakan perwakilan tiangloo,
tanda dari titah jang harus dihormati, maka itu segala perintah
boleh diberikan, perintah itu harus diturut oleh semua
anggauta. Pula ini dapat dipakai untuk menghukum siapa jang
membuat pelanggaran. Siauwhiap, aku mohon tanja, apakah
siauwhiap memiliki ini karena hadiah dari seorang tiangloo"
Pertanjaan ini tidak seharusnja diadjukan olehku, dari itu
terserah kepada siauwhiap sudi mendjawabnja atau tidak?"
In Gak tidak berkeberatan untuk mendjelaskan, maka itu ia
lantas tuturkan bagaimana ia telah berkenalan dengan Kioe
Tjie Sin Liong hingga untuk membalas budi, ia dihadiahkan
tong pay itu. Mendengar itu, Pek Boen Liang segera menekuk lututnja
untuk memberi hormat. "Tjia siauwhiap mengangkat saudara dengan Kioe Tjie
Tiangloo, dengan begitu siauwhiap adalah orang tertua dari
Kay Pay kami," ia berkata, "Sekarang mohon kutanja
siauwhiap hendak memerintahkan apa, biar mesti menjerbu
api tak nanti kumenampik!"
127 In Gak memimpin bangun. "Bangun, Pek Paytauw," katanja
sungguh-sungguh, "Mulailah kita membataskan perhubungan
kita. Kau harus ketahui, biar bagaimana, aku bukanlah
anggauta langsung dari partaimu. Dengan sikapmu ini kau
membuatnja aku sukar berbitjara."
Boen Liang berdiri dengan kedua tangan dikasi turun, tanda
menghormat. "Djikalau siauwhiap suka mengalah, baiklah Pek Boen Liang
bersedia menurut" katanja tetap hormat, "Sekarang ini Oey
Kie Pay mendjadi terlalu bertingkah, karena dia telah bentrok
dengan Kioe Tjie Tiangloo kami tak dapat berdiam sadja!
Baiklah, Boen Liang nanti mengumpulkan semua saudara di
wilajah Kangsouw Utara untuk menghadapi Pouwshia Soe Pa
!" In Gak mengangguk. "Kabarnja Oey Kie Pay baru bagun selama empat-lima
tahun ini" katanja, "Tetapi dia telah dapat mementang
pengaruhnja di tiga propinsi Kangsouw, Anhoei dan Ouwpak,
maka itu dapat diduga bahwa didalamnja ada orang-orang
jang pandai. Karena ini aku minta paytauw djangan bertindak
sembarangan. Aku sendiri jalah orang baru dalam dunia
kangouw, pengetahuanku belum banjak, djadi tentang partai
itu, aku belum tahu djelas. Mengenai ini, tentulah Kioe Tji
Tangloo telah mengaturnja baik-baik. Sekarang aku mohon
keterangan halnja Tjioe Wie Seng, dapatkah paytauw
mendjelaskan sesuatu?"
"Tjioe Wie Seng itu dari Thay Khek Pay," Boen Liang
berkata, "Setelah masuk usia pertengahan, ia tinggal di
kampung halamannja hidup tenang sebagai guru silat, akan
tetapi ketika ia turun tangan di Kangsouw Utara, ia dapatkan
djulukannja itu "Liang Hoay Tayhiap" pendekar dari Liang
Hoay. Tentang sekarang ia mengundurkan diri ada sebabnja
jang memaksa. Kira-kira tiga tahun jang lalu, Oey Kie Pay
128 telah mengundang Tjioe Wie Seng masuk dalam partainja, ia
menampik. Karena itu, perhubungan mereka djadi buruk,
sering Oey Kie Pay datang mengatjau, saban-saban mereka
kena dipukul mundur. Walaupun ada perhubungan jang buruk
itu, pada permulaan tahun ini Oey Kie Pay kembali mengirim
utusan, kali ini untuk melamar puterinja Wie Seng untuk Giok
bin Djie Long Sien It Beng, jang berdudukan sebagai ketua
Gwa Sam Tong dari Oey Kie Pay. Dialah murud Khong Tong
Pay, dia belum pernah menikah. Dia dipudji tampan dan
gagah. Tjioe Wie Seng bentji Oey Kie Pay, lamaran itu ditolak.
Masih partai itu penasaran, masih dua kali mengirim utusan
mengadjukan pula lamaran mereka. Kembali semua itu
ditolak. Achirnja Oey Kie Pay mendjadi murka dan sesumbar,
djikalau si nona Tjioe tidak dinikahkan dengan Sien It Beng,
Tjioe Kee-tjhung hendak dibikin rata dengan bumi. Untuk ini
mereka lantas memasang mata-mata disekitar Tjioe keetjhung.
Achirnja Tjioe Wie Seng mendjadi kewalahan, maka ia
lantas menjebar surat undangan untuk kaum Rimba Persilatan
menghadiri pesta ulang tahunnja jang ke-60 diwaktu mana ia
hendak menjimpan pedangnja untuk mengundurkan diri
sekalian mengadakan pertandingan silat persahabatan guna
memilih menantu, jang nanti dinikahkan dengan puterinja.
Atjara pertandingan jalah kemenangan sepuluh kali dan jang
menang itu, asal dia belum menikah, dia akan dinikahkan
dengan nona Tjioe, umpama pihak Oey Kie Pay jang menang,
si nona akan dipasangi dengan Sien It Beng. Pihak Oey Kie
Pay ketahui baik maksudnja Tjioe Wie Seng jang mengandal
keadilan Rimba Persilatan, tetapi mereka tidak takut. Mereka
pertjaja partainja mempunjai banjak orang liehay dan mereka
sekalian ingin mendjagoi diwilajah sini. Begitulah pihak Oey
Kie Pay itu menjatakan kesetudjuannja dan sekarang ini sudah
siap sedia, dari Ouwpak dan Anhoei sudah datang djagodjagonja.
Tjumalah mereka itu belum mau turun tangan
sebelum tiba sang waktu"
129 Mendengar begitu, In Gak lantas mengambil putusan untuk
membantu setjara diam-diam pada Tjioe Wie Seng, supaja
setelah berhasil, ia dapat segera mengundurkan diri.
"Djikalau begitu, terlalu Oey Kie Pay itu," katanja, "Aku
memikir untuk membantu Tjioe Wie Seng. Apakah Pek
Paytauw dapat membantu aku" Disini ada berapakah saudara
jang ilmu silatnja dapat diandalkan?"
"Tentu, siauwhiap!" sahut Boen Liang, "Orang kita disini
jang mengerti silat tjuma dua puluh orang lebih, akan tetapi
dapat kita minta bantuan dari Liang Hoay. Asal siauwhiap suka
menggunai Sin Liong Leng, dalam satu hari mereka itu bisa
sampai disini" In Gak sudah lantas mengeluarkan tongpaynja. Tapi Boen
Liang menggojang-gojang tangannja.
"Tak usah siauwhiap menjerahkan Sin Liong Leng" katanja,
"Tjukup asal siauwhiap mengutjapkan sepatah kata!"
In Gak mendjadi heran dan kagum. Tidak ia sangka
demikian besar pengaruhnja Sin Liong Leng itu. Dari sini
terbukti bagaimana sungguh-sungguh Kioe Tji Sin Liong
membalas budi hingga tongpay itu diserahkan padanja.
"Baiklah!" katanja kemudian, "Aku memberikan titahku!"
Pek Boen Liang lantas memerintahkan pengemis jang tua,
jang terus mengundurkan diri.
In Gak kemudian memesan, kalau Kioe Tji Sin Liong
datang, agar ia diberitahukan.
Kemudian ia pamitan, untuk pulang ke hotelnja. Oleh Pek
Boen Liang ia diantar sampai di djalan besar.
Ketika itu sudah hampir djam tiga. Selagi In Gak bertindak
memasuki pekarangan hotel, dari dalam, dari pintu hotel
rembulan, keluar tiga jang djalannja tjepat, kelihatannja
mereka sudah sinting. Tanpa dapat ditjegah, mereka
130 bertubrukan. Orang jang didepan itu mendjerit kesakitan,
waktu ia memandang, ia melihat seorang peladjar muda
mengawasi ia sambil bersenjum. Ia mendjadi gusar sekali.
"Anak tjelaka!" ia berteriak. Kau telah membentur dada Ho
Toaya hingga Ho Toaya merasa sakit, kenapa kau tidak mau
lekas matur maaf?" "Kau aneh tuan!" sahut In Gak, tertawa dingin, "Djusteru
kaulah yang tidak mempunjai mata, djikalau aku tidak keburu
kelit, mungkin terjadi perkara djiwa! Sudah kau sinting, kau
masih kelajapan! Bukankah lebih baik kau pulang dan rebah di
pembaringanmu sebagai majat?"
"Hai kurang adjar!" berteriak orang she Ho itu jang
menjebut dirinja "tuan besar" (toaya). Kau berani mengadjari
aku" Anak tjelaka, kau rebahlah!"
Kata-kata ini ditutup dengan tindjunja jang besar dan
keras. Bagaikan kilat tjepatnja, tangan In Gak menjambar
memapaki lalu tiga djeridjinja memegang nadi orang, jang
terus dilempar hingga seketika itu djuga "tuan besar" she Ho
itu terpelanting roboh delapan tindak.
Tanpa menghiraukan orang mati atau terluka, si anak muda
terus bertindak masuk. Kedua kawannja orang she Ho itu kaget. Peristiwa itu
berdjalan tjepat sekali. Ketika mereka menghampirkan kawan
mereka, untuk dikasi bangun, mereka djadi lebih kaget lagi.
Lengan kanan kawan itu bengkak besar sekali. Tidak ajal lagi,
mereka memajang kawan itu untuk lekas menjingkir.
Ketiga orang itu buaja darat semuanja, mereka tahu
mereka telah bertemu orang liehay, takutnja bukan main,
maka itu, mereka segera mengangkat kaki.
131 Sedjumlah tetamu muntjul karena rebut-ribut, waktu
mereka menjaksikan peristiwa itu, mereka pada tertawa. Tapi
diantaranja ada djuga jang memperhatikan si anak muda.
Besoknja pagi, selagi In Gak keluar dari kamarnja, untuk
membuang air, di depan ia, diluar kamar nomor tiga, ada dua
orang tengah memasang omong, kapan mereka melihat ia,
mereka itu mengangguk dan bersenjum djuga, meski ia tidak
kenal mereka itu, ia mengambil sikapnja itu sebagaimana
lajaknja sadja. Ketika ia memutar tubuh, untuk kembali ke
kamarnja, ia melihat dua orang itu bertindak kearahnja. Tanpa
merasa, ia menunda tindakannja.
Dari dua orang itu, jang satu berumur lebih kurang empat
puluh tahun, mukanja bersemu merah, sepasang matanja
tadjam,badjunja biru, dipunggungnja ada golok Gan leng Kioesittoo. Jang lainnja umur kira-kira lima puluh tahun, kumisnja
sudah putih semua, tubuhnja sedang, matanjapun tadjam,
badjunja abu-abu pandjang sampai di dengkul, tjelananja
sepan. Dia membekal sebatang tongkat Hoed-tjioe-koay. Dia
bermuka merah. "Tuan hebat sekali, ilmu silatmu Kim-na-tjioe!" kata dia ini
tertawa, "Kami kaguml"
"Itulah tidak berarti," In Gak berkata merendah, "Silakan
masuk!" Dua orang ini tidak menampik, maka dilain saat, mereka
bertiga sudah didalam kamar.
Si tua tak berlaku sungkan lagi.
,Aku si tua Hoei-in-tjioe Gouw Hong Pioe," dia
memperkenalkan diri. "Dan ini saudara Patkwa Kim-Too The
Kim Go. Tuan, kau she apa?"
"Terima kasih!" sahut In Gak, hormat. "Aku jang rendah
she Gan nama Gak." 132 Pemuda ini menganggap perlu ia mengubah she dan nama
setelah di Kim-hoa ia membuat kegemparan, ini djuga perlu
untuk menolongi Tjioe Wie Seng. Pula ia belum kenal kedua
orang she Gouw dan she The ini.
Dua orang itu saling mengawasi nampaknja mereka heran.
Nama Gan Gak itu aneh. "Oh, Gan Siauwhiap!" kata Hong Pioe: "Didalam Oey Kie
Pay siauwhiap memangku djabatan apakah?"'
Hati In Gak bertjekat. Mungkiln orang ini salah mengenali.
,Aku bukan orang Oey Kie Pay," ia mendjawab, "Aku ini
dari Kangsay mau pergi ke Uta?ra, kebetulan sadja aku lewat
disini dan mampir, sebab aku mendengar kabar Tjioe Tayhiap
hendak mengadakan pesta besar. Ingin aku menonton orang
pie-boe. Oey Kie Pay itu perkumpulan kenamaan. Apakah
tuan-tuan hendak mentjari salah satu orangnja?"
Mendengar itu Hong Pioe memandang Kim Go dan tertawa
lebar. "Apa kataku?" katanja, "Begitu aku melihat, aku pertjaja
Gan siauwhiap bukan orang sebangsa mereka itu! Sekarang
baru kau pertjaja aku, laotee!"
Muka Kim Go kelihatan merah.
"Gan sianwhiap, mari kami memperkenalkan diri," kata pula
Hong Pioe, jang terus memberikan keterangannja tanpa
diminta lagi, hingga sekarang ia ketahui baik siapa adanja dua
orang ini. Gouw Hong Pioe dan The Kim Go terkenal sekali di Kwangwa.
Mereka tinggal di Utara Charhar sebagai pemilik


Menuntut Balas Karya Wu Lin Qiao Zi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

peternakan "Charhar Utara." Selama belasan tahun, kuda
mereka berdjumlah empat-sampai limapuluh ribu ekor. Tjioe
Wie Seng sahabat akrab mereka: Sekarang mereka datang
kemari karena menerima undangan. Setelah bertemu dengan
133 Wie Seng mereka lantas menjewa kamar dihotel Lian In.
Sudah tudjuh hari mereka datang. Setjara diam-diam mereka
tengah manjelidiki gerak-gerik orang-orang Oey Kie Pay. Baru
sadja mereka memikir untuk kembali ke Tjioe-kee-tjhung,
mereka berkenalan dengan In Gak, jang mereka kenal sebagai
Gan Gak. "Djikalau siauwhiap niat pergi ke Tjioe-kee-tjhung, kenapa
kita tidak mau pergi bersama?" Hong Pioe mengadjak,
"Dengan begitu kita tak usah kesepian ditengah djalan. Kami
pun mengharap bantuan siauwhiap"
In Gak berpikir, lantas ia menerima baik adjakan itu.
"Hanja aku minta djanganlah saudara-saudara terlalu tinggi
mengangkat aku" pintanja.
"Djusteru siauwhiap jang terlalu merendah," kata Hong
Pioe tertawa, "Nanti kami merapihkan dulu pauwhok kami,
habis bersantap, baru kita berangkat"
In Gak akur, maka ia mengantar kedua sahabat baru itu
pergi keluar. Selagi Hong Pioe berdua masuk ke kamarnja, ia
terperandjat. Di depan ia, dari sebuah kamar, ia melihat
muntjulnja seorang nona jang berbadju merah jang tjantik
sekali, alisnja lentik, matanja tadjam, hidungnja bangir,
mulutnja ketjil dua baris giginja putih. Potongan mukanja jalah
potongan kwatji. Sudah pakaiannja singsat, dia pun memakai
ikat pinagang putih dimana ada tergantung pedang dengan
runtje hidjau, sedang tangannja memegang sebatang
tjambuk. Sepatunja berwarna hitam.
"Mesti dia mahir ilmu-dalamnja," pemuda ini berpikir.
Si nona dapat melihat orang memperhatikan ia, atjuh tak
atjuh, ia bersenjum, terus ia tertawa seraja terus berlalu
dengan tjepat. 134 Setelah berumur hampir dua puluh tahun itu, baru kali ini
In Gak melihat pemudi setjantik itu, saking kagum ia mendjadi
berdiri mendjublak sadja. Ia bagaikan merasa kosong begitu
lekas si nona lenjap dari pandangan matanja, dengan tidak
keruan rasa ia masuk kekamarnja.
Lekas sekali Hong Pioe dan Kim Go muntjul pula. Mereka
sudah menggembol buntalan mereka.
"Siauwhiap, uang hotel kami telah bereskan," katanja
tertawa, "Mari kita bersantap, supaja kita bisa lekas
berangkat" Pemuda ini bersiap tjepat, maka bertiga mereka pergi ke
rumah makan, untuk sarapan dengan begitu dilain saat,
Nampak mereka sudah mulai dengan perdjalanan mereka
menudju ke Tjioe-kee-tjhung, jang pernahnja lima puluh lie
dari kota Kho-yoe kedudukannja berdamping dengan gunung
dan sungai, gunungnja hidjau, airnja djernih, sekitarnja sunji
dan njaman. Penduduk Tjioe-kee-tjhung, sedjumlah limaratus keluarga,
hidup bertani dan mentjari kaju, sedang rumahnja Tjioe Wie
Seng berada ditengah-tengah, besar gedungnja, lebar
pekarangannja. Dilihat sepintas lalu rumah itu merupakan
seperti separuh dusun. Sekitar rumah dikurung air, jang lebar
sepuluh tombak, dan dalamnja air setombak lebih. Terutama
di-itu waktu, terlihat beberapa tjhungteng tengah meronda. Di
tengah lian-boe-thia, jaitu lapangan berlatih, berdiri sebuah
loei tay, panggung untuk bertanding jang ditjat merah serta
sepasang liannja bertuliskan huruf-huruf air emas, bunjinja:
"Jang datang, jang pergi, semua orang gagah" dan "Semuanja
polos dan djudjur, tidak ada jang telengas dan palsu." Loeitay
itu diberi nama "Wan Yo Tay," atau panggung burung wanyo.
(Burung wanyo, jaitu bebek mandarin, lambang suami is?teri
jang rukun). 135 Dekat samping panggung ada gubuk atau tetarap jang
bersih lengkap dengan kursi-mendja jalah peranti orang
berteduh dan menjaksikan pie-boe atau pertandingan. Ketika
itu sudah berkumpul lebih dari lima puluh tetamu kawan tuan
rumah. Ketjuali tamu, pengurus dan pelajan begitu repot, pula
ada tetamu jang membantu mengawasi orang-orang Oey Kie
Pay, untuk mengawasi mereka kalau mereka main gila.
Sebagai tetamu baru, In Gak tidak mendapat tugas apaapa,
sehingga leluasa ia melihat-lihat, seakan-akan
memperhatikan sluruh Tjioe-kee-tjhung, habis mana seorang
diri ia kembali dengan puas ke Kho-yoe untuk mengadjak Pek
Boen Liang, untuk mengatur segala apa, guna membantu
urusannja, sesudah itu ia balik pula ke Tjioe-kee-tjhung. Ia
sudah mendengar laporan dari Boen Liang, jang sudah
menjiapkan lebih daripada enampuluh djago, bahkan
diantaranja sudah ada jang turun tangan mengawasi matamatanja
Oey Kie Pay jang bersembunji di tudjuh tempat di
luar dusun. Saat itu, lohor djam tiga, Sang Betara Surya mulai tjondong
ke barat, diantara pepohonan jang lebat dekat lauwteng Pek
lok, bagian dalam dari ranggon Tjioe Wie Seng, ada berdiri
seseorang dengan pakaian hitam terus dia nelusup masuk
taman bunga, disitu dengan sebutir batu sebesar katjang dia
menimpuk kearah lauwteng. Hasilnja tidak kedengaran apaapa
dia mendekati rumah lantas dengan lidahnja dia
membasahkan kertas djendela, untuk mengintai kedalam.
Itulah kamarnja Nona Tjioe. Ketika dia membongkar djendela,
dari sisinja dia mendengar suara tertawa dingin perlahan. Dia
terkedjut lantas dia memutar tubuh. Tapi dia tidak melihat ada
orang. Tentu sekali dia mendjadi heran. Tengah dia
memasang mata, mendadak pundaknja jang kanan terasa
kaku, tanpa dia menghendaki goloknja djatuh kelantai papan
papan lauwteng hingga terdengarlah suara berbisik.
136 Dengan satu sabetan tangan kiri, orang itu membatjok
kebelakang, terus dia lompat turun, setibanja di tanah, dia
memasang kuda-kuda dengan goloknja disiapkan. Dia melihat
ke sekitarnja. Tetapi dia tidak mendapatkan siapa djuga.
Taman itu sunji seperti semula tadi, tjuma pohon-pohon
bunga bergojang sendiri karena sampokan angin halus. Di
belakangnja dia mendapatkan bajangannja sendiri, pandjang
dan ketjil mirip gala. "Apakah ini disebabkan hatiku terlalu bergelisah?" dia kata
dalam hatinja. Dia mendjadi ragu-ragu. "Mulanja telingaku
mendengar suara tertawa, lantas pundakku kaku"Apakah itu
bukan sebab gangguan asabab?" Dia djadi bersenjum
sendirinja. Lantas dia berpikir pula: "Aku telah mendapat
tugas tidak dapat aku pulang dengan tangan kosong, atau
selain aku bakal ditegur, orangpun akan mentertawainja.
Akulah Sam Tjioe Khong Khong Tjie Ek, si radja pentjuri."
Oleh karena dapat memikir demikian, orang jang menjebut
dirinja "Sam Tjioe Khong ini, jalah si radja pentjuri bertangan
tiga, sudah lantas mendjedjak tanah pula, akan kembali
berlompat naik keatas lauwteng. Kesunjian taman itu
membuatnja berani sekali.
Kali ini, belum lagi dia tiba di lauwteng, baru dia terpisah
dari tanah kira lima kaki, sekonjong-konjong paha kirinja, di
djalan darah dengkul sebelah dalam, terasa terpagut sesuatu,
njerinja mendesak ke ulu hatinja, hingga tak ampun lagi,
berbareng dengan keluhannja tertahan, dia roboh terbanting,
hingga debu mengepul naik disekitarnja. Bukan main dia kaget
dan takut, sedjenak itu, tak lain ingatannja ketjuali untuk
menjingkirkan diri. Paling dulu dia terus menggulingkan
tubuhnja, dalam gerakan si "Keledai malas bergulingan" untuk
bergelindingan ke gombolan pohon bunga, untuk
menjembunjikan diri disana tanpa berkutik, tanpa bersuara.
137 Dari luar tempat ia bersembunji itu Tjie Ek lantas
mendengar suara tertawa dingin disusuli edjekan tak sedap
untuk telinga : "Bangsat dogol!" Untuk kupingnja, nada suara
itu sangat menusuk hati, hingga dia merasa terganggu seperti
kupingnja didengungkan suara njamuk.
Dia mendjadi kaget berbareng takut. Baru sekarang dia
menduga kepada seorang liehay jang mengawasi padanja.
Segera dia merajap untuk menjingkirkan diri ke samping.Dia
ingin keluar diam-diam, seperti tadi dia masuknja, tanpa
menemui orang. Setelah merasa aman, perlahan-lahan dia
berbangkit untuk menongolkan kepala dari lebatnja
pepohonan. "Ih!" tiba-tiba dia berseru tertahan, saking kaget. Di
depannja dia melihat sepasang kaki manusia. Tubuhnja
bergidik tanpa dia merasa. Ketika dia sudah mengawasi lebih
djauh, dia melihat tubuh seorang jang tertutup djubah abuabu,
dadanja lebar, pinggangnja tjeking, sepasang tangannja
putih, sedangkan mukanja beda dari kebanjakan orang, inilah
muka dari satujat, biru gelap atau matang biru, air mukanja
dingin, alisnja lanang, sebaliknja, sinar matanja jang tadjam
sekali mendatangkan rasa membangunkan bulu roma.
Tak dapat Tjie Ek mengangkat kepala pula, hatinja
mendjadi tjiut. "Tolong tuan, tolong membiarkan aku pergi pulang?"
katanja, tubuhnja gemetaran.
Orang itu tidak menjahut, tjuma sinar matanja jang
memain bengis. Sam Tjioe Khong Khong bergidik, dia menggigil sendirinja.
,,Djikalau tuan tidak ada perlu apa-apa tagi, maaf, tidak
dapat aku menemani lebih lama pula, " kata dia pula seraja
tubuhnja mentjelat, untuk naik ke tembok.
138 "Tak dapat kau lari!" kata satu suara dingin, disaat dia
berlompat tinggi tiga kaki. Mendadak dia merasa kaki
kanannja njeri dimana dia djatuh terbanting sehingga
kepalanja pusing, matanja kabur, disitu dia rebah terkulai
bagaikan tenaganja habis, terasa sakit dan ngilu seluruh
tubuhnja, sedang djidatnja mengeluarkan peluh sebesar
katjang kedele. Dia terus merintih. Di depannja, dia melihat si
orang tadi berdiri diam dengan mukanja tertawa dingin.
Tapi tak lama, orang itu memutar tubuhnja, sebelah
tangannja dibawa kemukanja. Ketika ia memutar tubuhnja
kembali, sekarang tertampaklah wadja pemuda jang tampan.
Lantas ia bertindak perlahan-perlahan, berlalu dari situ.
Tjie Ek heran dan berkuatir, sedang dia biasanja tidak kenal
takut, sebagaimana kali ini, dia menjateroni Tjioe-kee-tjhung
diwaktu lohor. Memang biasa setiap pentjuri bekerdja di waktu
malam, tetapi dia ini telah memikir, djikalau dia dating malam,
pasti pendjagaan kuat dank eras. Maka dia bekerdja siang. Dia
pandai nelusup, tanpa menemui rintangan, dia dapat masuk
kedalam taman bunga. Dia pertjaja, umpama kata dia
dipergoki, pihak pendjaga bakal menduga dialah salah satu
tetamu. Sudah sedjak beberapa hari, banjak orang dating dan
pergi, kawan dan lawan tak diketahui, tak dikenali. Sampai
sebegitu djauh, dia tak kepergok, hingga hatinja girang sekali
diluar dugaannja, disaat dia bakal berhasil, dia roboh ketjewa
dan menderita, hingga runtuhlah nama besarnja.
Malam itu ruangan Tjie-eng-thia dari rumahnja Tjioe Wie
Seng terang mirip siang hari. Wie Seng berseri-seri sambil
tertawa gembira. Disitu pun hadir Tjia In Gak bersama Gouw
Hong Pioe dan The Kim Go, serta sahabatnja dua orang ini,
jang baru tiba tadi pagi jalah Kim bian Gouw Khong Hauw Lie
Peng. Mereka berempat berdiam di podjok kanan dimana
mereka memasang omong perlahan sekali.
139 Tepat tengan orang berbitjara dengan asjik itu, seorang
tjhungteng lari masuk dengan tergopoh-gopoh terus dia
menghampirkan Tjioe Wie Seng untuk melaporkan:
"Tjhungtjoe, pendjaga keempat telah mendapatkan seorang
terluka rebah di dekat lauwteng Pek Tjin Kok, dia menjebutkan
dirinja Sam Tjioe Khong Khong Tjie Ek"
Wie Sang mengerutkan alis, "Bawa dia kemari!" la
menitahkan. Tidak lama, Tjie Ek telah digotong masuk, diletaki dilantai.
Dia masih mengeluarkan keringat didjidatnja, sedang
pakaiannja kujup dengan peluhnja itu. Tubuhnja pun
bergemetaran, dan mukanja putjat sekali.
"Tjioe Tayhiap berlakulah murah!" kata sipentjuri liehay,
sua?ranja lemah. "Tolong mambebaskan aku dari totokan,
nanti aku omong terus-terang."
Wie Seng heran, ia mendekati sambil menduga-duga apa
mungkin Tjie Ek datang dengan maksud buruk dan ada orang
jang telah memergokinja sekalian meroboh-nja. Ia lantas
menotok, berniat membebaskan.
"Aduh! Aduh!" Tjie Ek berteriak-teriak. Dia bukannja bebas,
dia merasakan sakit luar biasa.
Wie Sang merah mukanja, ia mengawasi melongo.
Dari antara para hadirin ada seorang tua, jang
menghampirkan Tjie Ek. Ia membalik tubuh orang untuk
menotok punggungnja tiga kali, disusul sama satu tepukan
keras. Mendadak si pentjuri mendjerit keras, dari mulutnja
menjembur reak, setelah itu dia dapat bangun berdiri, hanja
dia lesu sekali. Si orang tua menghela napas, ia berkata : "Orang jang
telah menotok itu liehay sekali, kalau dia menotok lebih keras
sedikit sadja, djiwa orang ini bakal terbang melajang. Inilah
140 ilmu totok jang djarang ada, sudah beberapa puluh tahun aku
mentjoba mempeladjari, aku tetap tidak berhasil. Apa jang
aku bisa jalah tjuma ilmu membebaskannja."
Mendengar itu, Wie Seng menghadapi orang tua itu,
sembari tertawa ia berkata: "Sebegitu djauh jang aku ketahui,
djarang sekali kau memudji orang, baru sekarang aku
mendengar In Liong Sam Hian To Tjiok Sam berbitjara begini
rupa!" Kapan In Gak mendengar orang itu jalah To Tjiok Sam
gelar In Liong Sam Hian, si "Na?ga langit jang tiga kali
muntjul dimega," jang pun dikenal sebagai Kwan-gwa It Tjiat,
si orang gagah nomor satu dari wilajah Kwan-gwa, ia
memandangnja beberapa kali. Selama di Tjin Tay Piauw-kiok,
pernah ia mendengar Siauw Thian membitjarakan halnja djago
she To itu, jang katanja liehay ilmunja luar dan dalam,
kesohor ilmunja ringan tubuh terutama tangannja, jang
dinamakan Taylek Kimkong Tjiang, atau "Tangan Arhat Kuat."


Menuntut Balas Karya Wu Lin Qiao Zi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pukulannja itu, jang biasa dilakukan sambil berlompat katanja,
dapat mengenai orang dalam djarak sepuluh tombak.
"Tjie giesoe," Wie Seng menanja, panggilannja hormat
tetapi suaranja keren, "Apa maksudmu datang ke gedungku
ini" Sukalah kau omong terus terang tidak nanti aku
sembarang bertindak terhadap dirimu."
Tjie Ek menjeringai, dia djengah sekali.
"Aku telah dibebaskan dari totokan, tidak dapat aku tidak
membalas budi," sahutnja. Lantas dia memberikan
keterangannja, mendengar mana para hadirin kaget bukan
main. Partai Bendera Kuning, Oey Kie Pay, dikepalai oleh Pat Pie
Kim-kong 0e-boen Loei si Tangan Delapan sebagai paytjoe,
ketuanja. Dialah murid satu-satunja dari Shatohuoto, seorang
141 pendeta hanu dari Tibet, kepandaian siapa ia telah berhasil
mewariskan delapan sampai sembilan bagian. Dia pun tjerdik
sekali. Umurnja baru empat puluh lebih. Dia membangun
partainja baru tiga tahun, kemadjuannja sudah pesat sekali,
pengaruhnja meluas diketiga propinsi Kangsouw, Anhoei dan
Ouwpak. Besar tjita-tjitanja, dia ingin mementang
pengaruhnja itu hingga di sembilan propinsi disepandjang
sungai Tiang Kang. Selama dua tahun dulu dia sudah mulai
menelan beberapa partai ketjil di sembilan propinsi itu.
Kemudian dia menghadapi tentangan keras, lantas dia
mengubah siasat, dari keras mendjadi lunak, jalah dengan
mengambil hati orang-orang jang kosen, untuk bekerdja
sama. Siapa tidak mau bekerdja sama, dia tjoba membikin tjelaka,
dengan dibunuh setjara menggelap atau difitnah. Demikian
Tjioe Wie Seng hendak dia tarik kedalam partainja, karena
tjhungtjoe dari Tjioe-kee-tjhung ini menentang, dia lantas
menggunai siasat. Dia sendiri sebenarnja menganggap Wie
seng masih boleh dibiarkan sadja. Jang berkeras menghendaki
ini jalah Hoe paytjoe Liat-ho-tjhee Tjin Lok, si Bintang Api
berkobar. Ia ini kata, Wie Seng kepala besar. Disamping itu ia
sebenarnja menjimpan maksud lain. Jalah ia mengintjar
sepasang pedang mestika Wie Seng, atau sedikitnja sebatang
diantaranja. Kioe Koat atau Tjeng Hong, supaja dengan
bersendjatakan pedang itu ia djadi semakin kosen. Wie Seng
pun tidak dapat ditindas dengan kekerasan sebab Oe-boen
Loei masih djeri terhadap pemerintah Boan, jang sedang
makmur dan kuatnja. Dia kuatir nanti terbit peristiwa besar
hingga dia ditindas pemerintah. Dilain pihak, dia tidak sudi
bentrok sama ketua mudanja, maka dia suka mengalah
terhadap siasatnja Tjin Lok itu.
Demikian Sien It Beng digunai sebagai alat untuk melamar
Nona Tjioe. Lantaran Wie Seng bertindak hendak
mengundurkan diri dan mengadjukan sjarat pie-boe guna
142 menntjari djodoh puterinja, mau tidak mau Tjin Lok
melakukan persediaan berbareng menggunai kekerasan
setjara diam-diam andaikata It Beng gagal. Ia menjiapkan
segala apa untuk penjerbuan . Goat Go hendak ditjulik, supaja
penjelesaian datap dilakukan setjara "lunak." Tjie Ek telah
diberi tugasnja itu. Menurut rentjana, Tjie Ek mesti bekerdja
pada satu hari dimuka pie-boe, jaitu diwaktu malam Goat Go
mesti dibikin pulas dengan asap bius. Kalau Tjie Ek berhasil,
dia mesti memberi tanda, nanti Tjioe-kee-tjhung hendak
diantjam untuk diserbu. Kalau semua orang Tjioe-kee-tjhung
keluar untuk menangkis serbuan, Tjie Ek mesti bekerdja
terlebih djauh mentjuri kedua pedang. Di saat katjau, diduga
gedung kosong dan Tjie Ek bisa bekerdja dengan leluasa.
Setelah berhasil, pihak penjerbu bakal lekas mengundurkan
diri. Untuk djadi penjerbu ini, dipilih musuh-musuhnja Wie Seng,
supaja Oey Kie Pay dapat mentjutji tangan. Bahkan sebaliknja
Oey Kie Pay akan memberikan djandjinja hendak membantu,
dalam waktu tiga bulan, si nona bakal dapat ditolong. Tentu
sekali, Sien It Beng jang bakal djadi penolong palsu itu, supaja
karena mengingat budinja, Goat Go suka menikah dengannja.
It Beng itu mempunjai roman tak dapat ditjela. Akan tetapi
Tjie Ek bukan bekerdja malam, dia bekerdja siang, latjur
untuknja, dia kepergok dan kena ditawan. Bahkan terpaksa
dia mesti membuka rahasia.
Semua orang kaget mendengar kebusukan Oey Kie Pay,
jang menggunai akal muslihat kedji itu. Sjukurlah ada si
penolong tidak dikenal, hingga usaha Tjie Ek dapat
digagalkan, hingga sekarang rahasia Oe-boen Loei atau Tjin
Lok terbuka. "Sajang kau dirintangi, Tjie giesoe," kata Wie Seng
kemudian, "Dapatkah kau mendjelaskan,bagaimana romannja
orang jang merobohkan kau itu?"
143 Dengan djengah Tjie Ek mentjeritakan semua halnja.
Wie Seng heran, matanja menjapu semua hadirin.
"Siapakah sahabat itu?" tanjanja bersenjum, "Apa ada
diantara saudara-saudara jang mengenal ia?"
Semua orang saling mengawasi. Ketika Hong Pioe
memandang In Gak, hatinja berkata: "Mungkinkah dia ini"
Tapi menurut Tjie Ek, orang itu liehay sekali, sedang dia ini
masih terlalu muda. Siapakah dia itu?"
In Gak telah menjalin pakaian, ia menduga pengusaha
ternak ini mentjurigai ia, maka sambil tertawa ia kata:
"Saudara Gouw, menurut Tjie Ek orang itu mesti seorang
gagah luar biasa, maka aku ingin sekali dapat berkenalan
dengannja" "Aku pun sangat ingin menemui dia!" kata Hong Pioe, "Tapi
dia orang luar biasa, djikalau dia tidak memperlihatkan dirinja,
meskipun kita bertemu dengannja, sukar untuk
mengenalinja!" Habis berkata orang she Gouw itu tertawa lebar.
In Gak mengangguk, ia tertawa, ia tidak bitjara lagi.
Lantas Wie Seng memerintahkan Tjie Ek dikurung dalam
kamar batu. Dia akan dibebaskan kapan waktunja telah tiba.
Dilain pihak, ia menitahkan pendjagaan terlebih keras dan
hati-hati. Demikianlah, malam itu lewat dengan aman. Tapi itu
bukannja tak terdjadi sesuatu. Karena Tjie Ek tidak kembali,
Tjin Lok mengirim tiga orang untuk mentjari tahu. Tjelaka
mereka ini, dipegat seorang bertopeng dan dibikin roboh
dengan totokan, terus mereka diantar pulang ke markas
mereka. 144 Kapan sang pagi datang, Tjioe-kee-tjhung mendjadi ramai
sekali. Tetamu-tetamu datang tak putusnja. Repot orang
melakukan penjambutan dan melajani mereka semua.
Gubuk timur dipakai untuk tetamu-tetamu jang membantu
pihak tuan rumah, gubuk barat untuk semua tetamu lainnja,
jang terdiri dari orang dari segala matjam golongan. Dari
pihak Oey Kie Pay, Oe-boen Loei mengirim Tjin Lok beserta
belasan djagonja. Diantaranja terhitung Sien It Beng.
Tjioe Wie Seng dan puterinja duduk di tetarap timur,
didampingi In Liong Sam Hiap To Tjiok Sam. Mata dia ini
tadjam mengawasi ke tetarap timur. Diatas medja terletak
sepasang pedang jang sarungnja tertaburan batu merah,
sedang runtjenja sutera kuning gading.
In Gak duduk di baris pertama, di medja kedua. Bersama ia
ada rombongannja Gouw Hong Pioe. In Gak pernah bertemu
dengan Nona Tjioe, ia menganggap nona itu toapan, benar dia
tidak tjantik luar biasa tetapi toh menarik hati, hingga ia
memikir: "Entah bagaimana tabiatnja Nona Tjioe ini?" Ia
memikir demikian karena ingat Nona Wan Lan, jang lagak
lagunja memuakkan. Memangnja ia tak pernah mentjitjipi
rawatan dan kasih sajang ibunja, dari itu, mengenai wanita, ia
asing sekali. Goat Go sebaliknja, begitu ia melihat In Gak, meresap
sudah kesannja jang baik. Pemuda itu tampan, halus gerakgeriknja.
Tapi ia tidak bisa memikirkan pemuda itu. Sekarang ia
sudah tidak bebas pula, ia bakal djadi rebutan orang banjak.
Umpama kata In Gak turut naik di panggung, ia pertjaja
pastilah dia tidak bakal sanggup melawan banjak iblis.
Selagi In Gak mengawasi ke tetarap barat, tiba-tiba hatinja
bertjekat. Disana ia melihat si nona berbadju merah, jang
lenjap dalam sekelebatan di hotelnja kemarin ini. Hampir ia
mendjerit sendirinja. Nona itu baru tiba,
145 Dia diantar masuk oleh pelajan. Dia masih memegang
tjambuknja jang hitam mengkilap, rupanja terbuat dari otot.
Begitu tiba, matanja menjapu kelilingan, baru dia berindak ke
gubuk, tindakannja tetap.
Semua hadirin, baik dari tetarap timur, maupun dari tetarap
barat, turut tertarik hatinja, semua mengawasi si nona badju
merah itu. Dia langsung menghampirkan Tjioe Wie Seng,
untuk berbisik, atas mana, tuan rumah nampak girang. Lantas
dia diundang duduk bersama Nona Tjioe dan diadjar kenal
degan To Tjiok Sam beramai.
"Gan Siauwhiap, bagaimana kau lihat nona badju merah itu
Itu?" tiba-tiba In Gak mendengar pertanjaan selagi ia
mengawasi si nona . la terperandjat, mukanja bersemu dadu.
Tahulah ia jang ia ditegur karena mengawasi orang.
"Dia tak ada tjelaannja, Gouw Tiongtjoe," ia mendjawab,
"Apakah tiangtjoe tahu siapa nona itu?"
Hong Pioe tertawa, tetapi ia menggeleng kepala.
Ketika itu tengah hari tepat, tiba waktunja pie-boe dimulai,
maka terdengarlah pertanda, suara gembreng tiga kali, disusul
dengan letusan petasan diluar kalangan Tjioe Wie Seng dan
gadisnja terus berbangkit untuk naik di panggung Wan Yo tay.
Wie Seng bersenjum. Si nona mengenakan badju hidjau, di
pinggangnja tergantung pedangnja. Ia berdiri disisi ajahnja.
Letusan petasan disusul tempik sorak, setelah suara
mendengungnja berhenti, sirap djuga sorak-sorai.
Tjioe Tjhungtjoe mengenakan djubah sulam, kumis dan
djenggotnja jang putih pandjang sampai di dada, ia berdiri
tegak, nampaknja keren. Ia memberi hormat kearah timur dan
barat, terus ia berkata: "Hari ini hari ulang tahunku jang keenam
puluh, aku girang dan bersjukur sekali atas kundjungan
146 semua sahabatku, tak dapat aku membalas budi, maka aku
minta sudilah saudara-saudara minum dan dahar sekedarnja"
Kata-kata itu disambut tempik sorak.
"Berbareng dengan perajaan tak berarti ini, aku pun
membangun ini panggung wan Yo Tay" tuan rumah berkata
pula, "Inilah untuk anakku, jang telah berusia dewasa. Oleh
karena aku keras sekali memilihnja, sekian lama belum aku
mendapatkan menantu jang tjotjok maka itu, setelah usiaku
landjut ini, aku memikir mengadakan pertandingan diatas
panggung, guna mendapatkan djodoh anakku. Para hadirin,
siapa ingin bertanding, haraplah memperhatikan sjaratku. Dia
harus berumur tak lebih tiga puluh tahun, dia pun mesti belum
beristeri. Pertandingan dibataskan hanja sepuluh kali. Karena
inilah pertandingan persahabatan, setiap tjalon harus
bertanding hanja hingga saling sentuh sadja, djangan sampai
ada jang melewatkan batas hingga melampaui maksud sutji
dari pertandingan ini. Pula, pertandingan diadakan tjuma
selama tiga hari, selewatnja itu, aku jang rendah hendak
menjimpan pedangku. Maka, saudara-saudara, sudilah
semuanja mengerti maksudku ini. Sekian, terima kasih!"
Kembali gemuruh tempik sorak para hadirin.
Setelah suasana sirap, Wie Seng mengadjak gadisnja turun,
akan kembali ke kursi mereka di tetarap timur.
Segera terlihat naiknja dua pemuda ke atas panggung,
dengan bersendjata tombak dan golok pendek, mereka terus
bertanding. Mereka bukan orang-orang pandai tetapi senang
untuk menjaksikan pertandingan mereka.
Di kedua tetarap, para pelajan mulai menjadjikan barang
hidangan serta araknja, arak simpanan Tiok-yap-tjeng, maka
dilain saat, orang sudah mulai bersantap.
Umumnja kaum muda, jang ingin bertanding, tak tenang
hatinja. Tak tahu mereka, siapa bakal dapat memenangkan
sepuluh pertandingan. Waktu tiga hari pun tjukup lama. Di
147 hari pertama ini, orang tak bernapsu untuk segera naik ke
panggung. Maka sampai djam satu, belum ada pertandingan
jang berarti. Jang bertempur adalah pemuda-pemuda Tjioekeetjhung, seperti dua pemuda jang pertama itu. Mereka
hanja memulai untuk membantu meramaikan.
Akhirnja dari tetarap barat terdengar satu suara dalam :
"Kenapa jang naik ke panggung tjuma tukang silat kembang
sadja, jang tak sedap dipandang" Buat apa mereka ini
ditondjol-tondjolkan" Entah mereka murid siapa, tetapi ada
muridnja tentu ada gurunja! Hajo kamu lekas turun, nanti aku
lemparkan kamu satu demi satu!"
Mendengar itu, kawanan sesat di barat itu pada tertawa
berkakakan. Di timur ada orang jang mendjadi mendongkol sekali,
hingga dia lantas sudah naik ke panggung, untuk menghadap
ke barat dan berkata dengan menantang: "Sahabat, kau
sudah minum tjukup, kau sudah gegares kenjang, buat apa
kau bersuara seperti babi" Kenapa kau tidak mau muntjul
sadja?" Dialah Ngo-pou Twie-hong piauw Lo Tek Hok.
Tantangannja disambut seorang dari barat, jang muka dan
kumisnja merah, kumisnja itu kaku, romannja bengis, matanja
pun gedeh. Dia berseru: "Binatang, hebat kau mentjatji! Aku
Siang-Kang It Sioe Pit Siauw Giam bukan sembarang orang,
maka kau sebutkanlah namamu!"
Lo Tek Hok terkedjut. Ia tahu orang she Pit itu jalah begal
tunggal kesohor di wilajah Siang Kang, mahir ilmu dalam dan
luarnja, kedjam sifatnja. Tapi ia tidak takut. Ialah murid bukan
pendeta dari Ngo Tay San, umurnja belum tiga puluh,
namanja sudah terkenal, adatnja pun tinggi. Dia menjahuti
sambil tertawa dingin: "Nama toaya jalah Lo Tek Hok. Meski
aku bukan orang berkenamaan, aku tidak dapat membiarkan
segala begal bertingkah!"
148 "Oh, kiranja kau Lo Tek Hok?" kata Pit Siauw Giam tertawa
lebar. "Kau berani menantang aku?" Mendadak, menjusul
perkataannja itu, ia menjerang dada orang, mentjari dua
djalan darah yoe-boen dan leng tiong, ia memang murid Hian


Menuntut Balas Karya Wu Lin Qiao Zi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Im Hoen Boen dari bukit Lee Bo Nia di Selatan, jang terkenal
untuk ilmu silatnja, Hian Im Tjiang Lok, tangan liehay. Siapa
kena terserang ilmu itu, diluar terlihat tidak terluka, lukanja
jaitu bagian dalam patah dan petjah tulang iga dan ususnja.
Tek Hok gusar untuk serangan kedjam itu. Ia berkelit ke
kiri, lalu meneruskan, ia menggeser tubuh lebih djauh ke
belakang lawan; dari sini baru ia menjerang dengan tipu silat
Kay Pay Tjioe. Melihat orang demikian gesit, Siauw Giam memudji dalam
hatinja. Ia berkelit kekiri, sembari berkelit, tangan kanannja
menjerang, menghadjar lengan kanan orang she Lo itu.
Tek Hok menolong tangannja itu dengan dikasi turun, ia
tidak menarik pulang, sebaliknja ia meneruskan menjerang ke
perut, habis mana dengan melenggak, kakinnja mendjedjak,
untuk berlompat mundur. Bagus gerakannja ini, bebas ia dari
bahaja, akan tetapi ia lantas mengeluarkan keringat dingin. Ia
tahu bagaimana ia terantjam bahaja barusan.
Siauw Giam djuga lompat mundur dua tindak meskipun ia
tahu bahwa ia tjuma digertak, lantas ia tertawa.
"Botjah, kau dapat lolos?" katanja seraja terus madju
menjerang pula. Ia berlompat.
Tek Hok mengerti bahaja, dia tidak mau menangkis, dia
berkelit. Tapi lantas dia didesak, diserang saling susul hingga
dia mundur ke pinggir panggung. Disini Siauw Giam
berlompat, lagi sekali ia menjerang hebat. Itulah lompatan
"Harimau melompati Sembilan gunung" atau "Houw yauw kioe
san." Di timur, para hadirin kaget hingga ada jang berseru.
Mereka menduga Tek Hok bakal terhadjar gepeng.
149 Kesudahannja itu, mereka melihat Siauw Giam mentjelat
mundur dua tindak, mukanja meringis, tangannja memegang
suatu barang mirip tjabang pohon. Tek Hok sendiri, selagi
orang mundur, segera berlompat turun dari panggung.
Siauw Giam tidak turut lompat turun, tetapi dia berkata
njaring: "Tikus mana jang melukai orang dengan sendjata
gelap" Tapi sebatang sumpit bambu sukar mentjelakai orang
tuamu! Djikalau kau laki-laki, kau keluarlah !" Dia belum
sempat menutup mulutnja, mendadak sebatang sumpit
menjambar ke mulutnja itu, hingga dua buah giginja tjopot
dan mengeluarkan darah, hingga dia mesti membekap
mulutnja, matanja memandang bengis kekedua tetarap.
Setelah mengetahui Siang Kang It Sioe terkena sendjata
rahasia, para hadirin heran. Siapa si penjerang jang demikian
liehay" Bukankah panggung terpisah dari mereka kira tiga
belas tombak" Bukankah biasanja orang menimpuk tjuma tiga
tombak, atau paling djauh enam-tudjuh tombak" Lebih djauh
dari itu, serangan sendjata rahasia sudah tak ada gunanja.
Kapan Hoei In Tjioe melihat sumpitnja In Gak, diam-diam ia
terkedjut. Sumpit itu tinggal sepasang sumpit setengah
potong! Maka ia kata dalam hatinja: "Pemuda ini tidak boleh
dipandang enteng ! Entah apa maksudnja dia"Dia begini
muda, dia liehay, diapun dapat menjembunjikan diri, inilah
luar biasa. Ketika itu dari barat berlompat naik seorang anak muda
dengan pakaian hitam, di punggungnja ada sebatang pedang,
sepasang matanja tadjam. Dia memberi hormat kepada Siang
Kang It Sioe sembari tertawa dia berkata: "Pit Lootongkee,
kau telah menang satu rintasan, silakan mundur. Si penjerang
gelap, sebentar pun akan dapat diketahui, maka itu waktu
masih belum kasip untuk kau turun tangan! Aku jang rendah
Sam Tjay Toat Beng Leng Hoei dari Khong Tong Pay Barat,
maksudku bertanding untuk mendapatkan djodoh dan pedang,
150 maka itu, maukah lootongkee membantu menjempurnakan
tjita-tjitaku ini?" Siauw Giam memang lagi serba salah, maka itu datangnja
pemuda ini kebetulan untuknja. Ia kata: "Aku tjuma mainmain,
Saudara Leng silakan kau menggantikan aku!" Habis
berkata, ia lompat turun, kembali ke tetarap barat.
V Seturunnja Pit Siauw Giam, Leng Hoei lantas bitjara kepada
orang banjak, menuturkan maksudnja turut pie-boe, dari itu ia
menantang siapa suka melajani ia bertempur. Ia bitjara
dengan sikap tekebur. Di tetarap timur, hadirin kebanjakan bermaksud membantu
tuan rumah, tak ada niatnja turut pie-boe, ada djuga jang
ketarik hatinja, sajang usianja sudah lewat tiga puluh atau
anaknja sudah merentet. Ada pula jang memikir pertjuma
bertempur untuk main-main sadja, sedang apabila salah
tangan, permusuhan dapat tertanam karenanja. Maka itu,
tidak ada jang mau menjambut tantangan itu.
Tidak demikian dengan tetamu-tetamu di tetarap barat.
Mereka terdiri dari banjak golongan. Di satu batas, mereka
dapat bersatu, tetapi mengenai soal perdjodohan ini, mereka
memikir masing-masing. Ada mereka jang ingin mengangkat
nama sadja, ada jang hendak mendapatkan hadiah ! Maka
djuga, madjulah satu anak muda. Sajang untuknja, baru
beberapa djurus, dia telah kena dirobohkan Leng Hoei.
Segera naik pula seorang muda lain, terus dia bergebrak
dengan Sam Tjay Toat Beng. Tengah mereka bertempur seru,
seorang pelajan pengantar nasi datang pada In Gak. Pemuda
itu lantas berkata padanja: "Tolong kau ambilkan aku sumpit,
sumpitku djatuh dan kotor."
Jilid 2.3. Lima biji catur merubuhkan penyusup
"Baik, siauwya, nanti aku ambilkan," kata si pelajan
sembari tertawa, terus dia pergi.
151 Hong Pioe bersenjum. Dimata lain orang, biasa sadja
sumpit djatuh dan mendjadi kotor karenanja, hingga perlu
ditukar. In Gak dapat melihat roman si orang she Gouw, lantas ia
kata perlahan: "Gouw Tiangtjioe, aku ingin bitjara sebentar,
dapatkah?" Hong Pioe mengawasi tadjam, ia tertawa.
"Mari!" katanja.
Maka pergilah mereka berdua ke tembok belakang tetarap
itu, di podjokan. "Sebenarnja aku tidak mempunjai urusan penting, hanja
aku merasakan sesuatu, hingga aku anggap tak dapat aku tak
mengatakannja," berkata In Gak.
"Siauwhiap tentulah melihat apa-apa," kata Hong Pioe,
"Silakan bitjara, aku bersedia mendengarnja."
In Gak bersenjum, ia kata perlahan: "Hari ini djangan kasi
ada orang tetarap timur jang naik ke panggung. Aku telah
memperhatikannja, njata pihak barat berdjumlah lebih banjak
satu lipat. Umumnja mereka mengintjar pedang, djodoh hanja
jang nomor dua. Pula mereka kebanjakan orang Oey Kie Pay.
Aku menduga mereka lagi menanti waktu. Sekarang ini tidak
dapat kita sembarangan menduga kekuatan mereka. Aku pikir,
kalau terpaksa satu atau dua orang sadja jang madju, guna
mentjegah bahaja. Jang menjukarkan aku, jalah orang-orang
Oey Kie Pay jang nertjampuran dengan penghuni Tjioe-keetjhung,
hingga mereka sukar dikenali. Maka itu baiklah pedang
mustika ditukar dengan jang palsu, ditaruh di suatu tempat
sebagai umpan. Disamping itu, aku pertjaja, pihak Oey Kie Pay
tentunja tidak puas, mungkin mereka mengirim orang untuk
menolongi Tjie Ek. Bagaimana tiangtjioe berpikir?"
Hong Pioe mengangguk-angguk. Bukan main ia kagum.
Pemuda ini, selain gagah, sangat tadjam matanja dan djauh
pandangannja. 152 "Baiklah, nanti aku bitjara dengan Tjioe Tjhungtjoe." Ia
kata. Terus ia tertawa dan menambahkan: "Siauwhiap,
barusan hebat permainanmu mematahkan sumpit mendjadi
panah tangan." Mukanja In Gak merah tetapi dia tertawa.
Sampai disitu pembitjaraan mereka, mereka kembali ke
tetarap. Hong Pioe terus pergi kepada tuan rumah dan si anak
muda ke medjanja. Ketika itu Leng Hoei sudah menang tiga kali beruntun,
Nampak dia sangat girang dan puas, kedjumawaannja makin
njata. In Gak mengerutkan alis melihat lagak orang itu.
Dari barat sudah lantas muntjul seorang jang lompatannja
naik ke panggung indah sekali, tjepat dan enteng, tak ada
suaranja. Itulah lompatan "Naga hitam membalik mega" Maka
dia dapat sambutan tempik sorak dari kedua tetarap. Dialah
seorang djangkung dengan kumis mirip kambing gunung,
matanja tadjam berkilauan. Dia terus tertawa dingin dan
berkata: "Sahabat she Leng, bagus sekali ilmu silat kau Koen
Goan Tjiang-hoat! Aku Hoei Thian Kat-tjoe In Ho, beruntung
aku dapat menemui Khong Tong Barat!"
Kaget Leng Hoei mendengar nama orang itu, hingga dia
mirip ular berbisa jang mengkerat, sampai dia mundur dua
tindak. "In Loosoe naik kemari, bukankah?"" katanja.
"Ngatjo !" membentak orang tua, si Kala Menebangi Langit
"Usiaku sudah Iandjut mana aku memikir jang bukan-bukan"
Tadi tuan rumah membilang, pertandingan berbatas hanja
saling sentuh, kenapa kau barusan merobohkan dua saudara
angkatku dengan tangan telengas, hingga hamper mereka
djadi bertjatjad" Dari itu, sahabat, ingin aku mentjoba-tjoba
kepandaian kau !" Leng Hoei djeri, itulah bisa dimengerti. Selama tudjuh atau
delapan tahun jang belakangan ini di Kwan-tiong telah muntjul
153 seorang djago jang dapat membuat lain orang sakit kepala.
Dan dialah Hoei Thian Kat-tjoe In Ho ini.Dia liehay, sepak
terdjangnja terahasia, dia pun telengas. Kalau dia bekerdja
biasa dia tidak meninggalkan kurban hidup. Sukar untuk
mentjari dia. Maka dunia rimba persilatan menjebut dia hantu.
Djulukannja jang lain jaitu Kwan tiong It koay, Siluman Kwantiong.
"In Loosoe, kau terlalu," kata Leng Hoei jang tertawa
dingin. la memberanikan hati. Ia pikir, kalau ia kalah, tentu
gurunja akan turun tangan. Ia djuga ingin metjoba sampai
dimana kepandaian orang jang disohorkan liehay dan dimalui
ini. "Bukankah kita lagi bertanding"
"Baiklah, biar kepandaianku tjetek, suka aku melajani kau!"
In Ho tertawa berkakak, matanja bertjahaja. Agaknja dia
djumawa sekali. "Sahabat she Leng, kau berani omong besar di depan In
Ho, kau gagah !" dia kata, "Tjuma kau haruslah menimbangnimbang
dulu dirimu?" "Tentang itu biarlah, nanti aku mentjoba dulu!" Leng Hoei
bilang dingin, "Djikalau aku kalah, itu tentu disebabkan
peladjaranku tidak sempurna, djadi tak usahlah kau
berdjumawa. In Loosoe, silahkan kau memberikan
pengadjaran padaku !"
In Ho tertawa mengedjek, tindjunja meluntjur, kakinja
dimadjukan. Itulah gerakan jang dinamakan "mengindjak
pintu hong-boen." Leng Hoei mendongkol sekali. Serangan sematjam itu
menandakan ketjongkakan si penjerang, bahwa lawan jang
diserang tidak dipandang mata sama sekali. Maka dengan
ilmunja Kim-na-tjioe, ilmu menangkap dari Kong Tong Pay, ia
menjambuti tangan orang. In Ho benar-benar liehay. Mudah sekali mengelakkan
tangan lawannja, setelah mana kakinja bergerak pula, hingga
154 segera ia berada dibelakang lawan itu. Tapi ia tidak
menjerang, ketika Leng Hoei memutar tubuh, ia melesat pula.
Teranglah ia hendak mengitari musuh guna membikin musuh
pusing, hingga si lawan mirip kera jang lagi dipermainkan.
Banjak penonton jang bersorak atau tertawa, hingga
mukanja Leng Hoei mendjadi merah padam, dia mendongkol
dan malu tanpa berdaja. Djikalau dia tidak turut memutar,
setiap waktu dia bisa dihadjar musuh.
In Gak tahu betul Leng Hoei bakal kalah, ia tidak terus
memperhatikan pertandingan itu, ia lebih banjak memasang
mata ke pelbagai pendjuru, terutama terhadap si nona badju
merah. Nona itu mengawasi tadjam ke atas panggung, sabansaban
dia bersenjum ketjil, hingga Nampak tegas sudjennja
jang manis, kedua tangannja dipakai menundjang dagunja.
Agaknja ia tertarik luar biasa oleh pertandingan itu.
"Gila aku," In Gak kata dalam hatinja, "Walau pun dia
menaruh hati padaku, selagi musuh-musuhku belum
terhukum, mana dapat aku memikirkan soal asmara?"
Demikian pemuda ini menegur dirinja sendiri, sesudah
mana, matanja diarahkan pula ke tetarap barat, mengawasi
Tjin Lok dan rombongannja. Ketua muda partai Bendera
Kuning itu saban-saban kasak-kusuk dengan kawannja,
beberapa kali tangannja menundjuk djuga kearah Liang Hoay
Tayhiap. "Mesti dia mengandung sesuatu maksud" pikir pemuda ini,
"Djangan-djangan sebentar malam mereka akan mengulangi
siasat mereka. Mereka telah dihadjar kaum Kay Pay tanpa
mereka menjadari siapa jang menjerangnja, mereka menduga
pihak Tjioe-kee-tjhung sendiri. Kedjadian itu membikin mereka
bertambah bentji pihak Tjioe-kee-tjhung. Tjioe Wie Seng
pastilah dipandang seperti djarum dimata mereka. Aku telah
turun tangan, aku mesti turun tangan terus. Nampak Pek
Boen Liang biasa bekerdja baik, entahlah seterusnja.
155 Ketika itu pertempuran diatas panggung sudah berakhir.
Leng Hoei kena dihadjar pukulan "Mega mendung menutupi
rembulan," dia roboh dari panggung dengan mulut
memuntahkan darah, hingga beberapa orang dari tetarap
barat keluar untuk menolongi.
In Ho tidak menantang, dia lompat turun untuk kembali ke
tempatnja. Untuk sedjenak, berisiklah di tetarap barat itu dimana ada
suara keras dan tjatjian. Suara baru berhenti ketika terlihat
dua orang naik ke panggung untuk bertempur.
Di saat itu Gouw Hong Pioe kembali dengan tjepat, sambil
tertawa ia kata pada In Gak: "Gan siauwhiap telah aku
bekerdja menurut pesan kau. Tjioe Wie Seng memudji kau
tjerdik dan teliti!" Dan ia menudjuk djempolnja, habis mana ia
menambahkan: "Aku si orang tua djuga telah mewakilkan kau
mentjari keterangan! Nona badju merah itu..ah! Dia itu liehay
ilmu silatnja dan romannja djuga tidak dapat ditjela. Aku si


Menuntut Balas Karya Wu Lin Qiao Zi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang tua pun kagum apabila"orang muda!" Dan ia menatap
pemuda di depannja. The Kim Go pun tertawa. In Gak melengak. "Gouw Tiangtjoe, kau bergurau !" katanja likat.
Hong Pioe tertawa. Tapi segera ia berkata dengan
sungguh-sungguh: "Dialah mutiara tunggal kesajangan
Tionggoan It Kiam Tio Kong Kioe. Tionggoan It Kiam liehay
ilmu silatnja dan puterinja Lian Tjoe namanja ini djuga
menggemarinja, maka kepandaiannja pasti tidak buruk. Lihat
sadja sikapnja ketika ia memegang tjambuknja waktu ia baru
datang tadi. Tionggoan It Kiam diundang Tjioe Tjhungtjoe, dia
lagi sakit, tidak dapat dia datang, maka dia mengirim puterinja
sebagai wakilnja. Nona Tio tjantik dan gagah, siapakah tidak
mengagumi dan menghormatinja" Maka djuga, aku bilang?"
156 Ia berhenti dan tertawa, "Gan siauwhiap, djangan kau
mengatakan aku si tua gila basah dan suka
bergurau"Ingatlah itu kata-kata, suatu keluarga mempunjai
seorang gadis, seribu keluarga lain meminangnja. Inilah
saatnja kamu anak-anak muda turun tangan! Anak muda
biasa berkulit tipis, bagaimana kalau aku si tua jang madju
untuk mewakilkan kau berbitjara?"
In Gak likat sekali. Ia tidak sangka Hong Pioe telah dapat
membade hantinja itu. Ia mendjadi tidak enak duduk dan
tidak enak berdiri, mukanja mendjadi merah. Akhirnja ia
paksakan tertawa dan berkata: "Kalau begitu baiklah, aku
menjerahkan kepada lootjianpwee untuk mengurusnja hingga
berhasil !" Setelah itu dengan tjepat ia pergi ke belakang, tak
ia perdulikan Hong Pioe dan Kim Go mentertawakannja.
Di dalam gedungnja Tjioe Wie Seng ini, ketjuali tempat adu
silat ini jang ramai, bagian-bagiannja jang lain semua sunji
dan senjap, meski demikian didalam taman, di air, di setiap
lorong, djuga di kamar tulis dan lauwteng, semua ditaruhkan
pendjaga. Dua atau tiga orang, dengan berombongan, djuga
djalan meronda. Sam Tjioe Khong Khong Tjie Ek dipendjarakan dalam
rumah batu di podjok barat taman, kamar batu itu pernahnja
disamping gunung-gunung. Dia ada jang djaga, segala
keperluannja tidak dialpakan, hingga dia tidak kekurangan
makan. Tjuma dia lenjap kemerdekaannja. Demikian itu, selagi
orang berkumpul di lian boe-thia, dia sendiri duduk menjender
di pembaringannja, kedua tangannja memegangi kepalanja,
matanja memandang keluar kamar, memandang dari djendela
berdjerudji besi. "Dasar aku jang malang," dia berpikir. ".Biasanja aku
merdeka, biasa setiap aku bekerdja satu kali, aku bisa hidup
tidur-bangun selama tiga tahun, tetapi seka?rang, karena aku
mendengar kata-kata sahabat, lantaran aku temahai hadiah
157 lima ribu tail perak, aku telah mendjual djiwaku ! Kenapa aku
begini bodoh " Ah, itu orang jang aku hadapi, dia liehay luar
biasa, seumurku belum pernah aku berhadapan dengan orang
liehay seperti dia! Boleh aku merasa puas roboh ditangannja .
." Sudah umum, siapa lenjap kemerdekaannja, banjaklah
waktunja jang luang untuk berpikir, demikian si radja pentjuri
ini. Dia lantas ingat segala perbuatannja dulu-dulu. Benar dia
biasa melakukan kedjahatan, tetapi ada kalanja djuga dia
mengamal kepada orang-orang melarat. Hanja kurang lebih,
kedjahatannja masih terlebih banjak. Sekarang dia menanja,
bagaimana selandjutnja" Agaknja dia menjesal dia berduka,
tetapi dia masih bersangsi.
Di luar terali, senantiasa ada mata jang mengintai ke dalam
kamar untuk melihat, dia masih ada atau tidak, atau dia
tengah mengerdjakan apa. Karena dia berdiam sadja, dia tidak
diganggu. Ketjuali suara djauh di lian-boe-thia, taman sunji senjap.
Kadang-kadang sadja terdengar gembreng si orang ronda,
atau tindakannja si orang ronda sendiri.
Sekonjong-konjong diatas kamar batu, terdengar suara
berkelisik. Suara itu tak dapat didengar ketjuali orang jang
telinganja lihay. Tjie Ek dapat mendengar suara itu, dia
bergerak bagaikan orang baru sadar. Segera dia melihat
nongolnja kepala di luar terali, disusul dengan ini suara
perlahan: "Saudara Tjie atas nama hoe-pangtjoe, aku datang untuk
menolong kau" Tjie Ek lantas mengenal sahabat itu ialah Tiat pe Djin-him
Koe Souw. Untuk sedjenak dia girang. Bukankah dia hendak
ditolongi. Tapi dilain saat, djidatnja lantas berkerut, lantas dia
menggojang kepala. 158 "Tidak dapat kau menolongi aku" katanja masgul, "Disini
aku diperlakukan baik, mereka telah berdjandji, bila sudah tiba
saatnja aku bakal dimerdekakan. Pula berbahaja untuk aku
kabur sekarang. Pendjagaan disini kuat sekali. Bukan sadja
aku, kau sendiri pun terantjam bahaja saudara. Sekarang aku
tidak mempunjai guna suatu apa, aku telah ditotok hingga
habislah tenagaku. Maka itu, saudara, djangan kau
memperbahajakan djiwamu karena aku. Baik saudara lekas
menjingkir. Pepatah membilang, untuk pembalasan waktu
sepuluh tahun masih belum kasip, maka itu, biarlah kita lihat
dibelakang hari sadja. Bukankah gunung hidjau dan air
mengalir tak berubah?"
Koe Souw tampak bersangsi. Ia berkata: "Tadi malam telah
dikirim beberapa orang kita jang dapat diandalkan, untuk
menolong kau, saudara Tjie, akan tetapi sampai sekarang ini
mereka masih belum pada kembali. Mungkinkah mereka
itupun telah kena ditawan"Saudara Tjie, apakah kau ada
dengar apa-apa mengenai mereka ini?"
Tjie Ek heran dan kaget. "Begitu?" katanja, "Semendjak aku dikurung disini, putus
sudah perhubungan dengan dunia luar, maka aku tidak tahu
apa djuga. Djikalau begitu, saudara Koe, lekas kau menjingkir
!" Koe Souw melihat ke sekitarnja.
"Diluar sini ada beberapa kawanku, mereka bersedia untuk
menjambut" katanja, "Mana dapat aku berlalu dengan begini
sadja" Saudara Tjie, djangan kau kena ditakut-takuti mereka.
Bukankah Tjioe-kee-tjhung ini bukannja kedung naga dan
guha harimau" Dimataku tempat ini mirip tempat boneka ajam
atau andjing" Marilah, mari aku gendong kau pergi dari sini !"
Habis berkata, Koe Souw memegang terali untuk
dipatahkan. Ia berhasil. Ternjata tangannja kuat sekali.
159 Hanjalah, ketika ia mau mematahkan besi terali jang kedua,
mendadak ia mendengar teguran, "Siapa disitu?"
Ia terkedjut, segera ia memutar tubuh, goloknja dipakai
melindungi mukanja. Ia tidak diserang, hanja didepannja,
terpisah tiga kaki, ia melihat dua orang berdiri mengawasi
padanja, orang itu berpakaian serba hitam, sepasang matanja
tadjam berpengaruh. "Kau siapa tuan?" seorang menanja pula, suaranja keras,
"Kau lantjang masuk kemari, djikalau kau bukannja pentjuri
tentulah rampok! Lekas kau serahkan diri, djikalau kau tunggu
sampai aku turun tangan, golok dan tombak tidak ada
matanja, nanti kau mati menjesal!"
Koe Souw benar-benar berani.
"Aku Tiat-pie Djin-him Koe Souw!" sahutnja, temberang.
"Aku mau bekerdja, aku dapat datang kemana aku suka, tidak
perduli istana radja, apapula baru Tjioe kee tjhung jang ketjil
ini! Aku bilangi kau, dusun ini bakal segera hantjur lebur!
Kamu semua mirip kura-kura didalam korang! Perlu apa kamu
masih berlagak gagah?"
Orang itu tidak takut atau gusar, dia bersenjum:
"Orang she Koe, djusteru sekarang ini kaulah si kura-kura
dalam korang itu" katanja, "Apakah kau tidak pertjaja" Kau
lihat, dapatkah kau menjingkir dari sini?"
Koe Souw terperandjat, ia mundur, matanja melirik kekiri
dan kekanan. "Andjing tjilik, kau berani berdjumawa didepan aku si orang
she Koe! Katanja, menjeringai. "Baiklah, hari ini aku
mengadjar kau kenal dengan golokku, golok Kioe-lian-hoan!"
Dua orang itu ialah Tan Boen Han dan Ouw Thian Seng,
kedua muridnja To Tjiok Sam. Mereka masih muda, mereka
tidak kenal takut. Mereka tahu Tiat Pie Djin Him jalah seorang
djahat di Yan-in, mereka tidak djeri.
160 Boen Han tertawa dan berkata: "Orang she Koe, kau biasa
melakukan kedjahatan di Yan-in, dosamu dosa tak berampun,
tuanmu memang lagi tjari kau, kebetulan hari ini kau
mengantarkan dirimu, sekalian aku mewakilkan Thian
mendjalankan keadilan!"
Kata-kata ini ditutup dengan serangan golok Gan-leng-too
dengan tipusilat "Hong-hong sam tiam tauw" jaitu Burung
Hong mengangguk tiga kali.
Koe Souw tertawa dingin, dengan sebat ia menangkis.
Sebagai kesudahan dari itu sendjata mereka bentrok, Tan
Boen Han mundur tiga tindak, goloknya hampir terlepas,
sebab tangannya kesemutan dan sakit. Sekarang ia tahu,
musuhnya kuat sekali, maka tidak mau ia melayani dengan
kekerasan. Koe Souw lantas mengenali, ilmu golok si anak muda ilmu
goloknya To Ciok Sam, hatinya bercekat juga, akan tetapi
sudah terlanjur, ia melawan terus, bahka ia ingin lekas-lekas
merebut kemenangan, maka ia keluarkan ilmu goloknya yang
dibanggakan itu. Tan Boen han bertempur sampai lima puluh jurus, ia tidak
berhasil mengalahkan musuh, sebaliknya ialah yang terdesak.
Kapan Ouw Thian Seng melihat itu, tanpa ragu-ragu lagi ia
maju untuk membantui saudara seperguruan itu.
Ilmu golok Koe Souw benar lihay, ia masih dapat mendesak
dua lawannya. Sampai tiba-tiba:
"Kamu berdua masih tidak mau mundur! Buat apakah kamu
memaksakan diri tidak keruan?"
Itulah satu suara keras dan bengis.
Boen Han dan Thian Seng lompat mundur, saking napasnya
bekerja keras, mereka tidak dapat lantas membuka suara,
mereka hanya heran. Sebaliknya Tjie Ek didalam kurungannya, dia mengenali
suara orang yang membekuk dirinya.
161 Segera orang itu berkata pada Koe Souw: "Koe Souw,
mengapa kau tidak lekas meletaki senjatamu untuk menyeah
ditawan" Apakah kamu kira Ciu kee cung dapat kau datangi
sesuka hatimu?" Koe Souw mundur tiga tindak, ia mengawasi. Maka ia
melihat seorang muka pucat tanpa darah. Ia tidak takut, ia
cuma kaget sebentar. Lantas ia berkata nyaring: "Akulah Tiatpie
Jin-him Koe Souaw! Aku sudah masuk dalam dunia Kangouw
puluhan tahun, belum pernah ada orang berani kurang
ajar terhadapku! Kau siapa" Asal kau bisa lawan golokku,
nanti aku ikat diriku!"
Orang dengan muka luar biasa itu tertawa melenggak:
"Kau masih berani bertingkah?" katanya, "Begini saja,
Jikalau kau bisa lolos dari tanganku, suka aku mengampuni
jiwamu! Sebenarnya orang jahat sebagai kau, mati pun belum
cukup untuk menebus dosamu! Sekarang kau boleh maju,
jangan sungkan-sungkan, nanti kau menyesal!"
Habis berkata, orang mirip iblis itu tertawa seram.
"Saudara Koe, lekas lari!" Tjie Ek berteriak.
Justeru si raja pencuri berteriak, justeru Koe Souw
menyerang. Dia hendak mengadu jiwa.
Begitu ia membacok, Koe Souw kehilangan musuhnya.
Tahu-tahu orang sudah tertawa dingin dibelakangnya! Ia
kaget. Tanpa menoleh lagi, ia menjejak tanah untuk
berlompat kedepan, sesudah mana baru ia memutar tubuhnya
dengan cepat. Ia tidak dapat melihat musuhnya, selagi ia melihat kekiri
dan kanan, tiba-tiba ia mendengar pula tertawa dingin
dibelakangnya. Ia menjadi kaget tidak terkira.
Boen Han dan Thian Seng yang sudah dapat bernapas,
turut menjadi heran. Roman mereka ini dapat dilihat jago
Kang-ouw itu, dia bingung. Baru sekarang dia berkuatir. Tapi
dia mengertak gigi, bagaikan nekat dia memutar tubuh seraya
162 menyerang kebelakang. Itulah gerakan "Pohon tua terbongkar
akarnya." Lagi-lagi, ia membacok tempat kosong.
"Haha..ha..ha.."kembali terdengar tertawa dingin,
"He..hee..he!" Berkuatir dan penasaran, Koe Souw menyerang pula
kebelakang, kali ini ia mengulangi hingga ia membacok sambil
berputaran. Sia-sia belaka semua bacokannya itu, bahkan
tanpa merasa, kakinya menjadi lemas. Itulah pengalamannya
pertama kali, yang mengherankan ianya. Karena ini,
mendadak ia berhenti menyerang terus ia berlompat
ketembok, dengan niatnya mengangkat kaki. Bertentangan
dengan kata-katanya, ia tidak sudi ikat dirinya sendiri, ingin ia
lolos. Belum Tiat-pie Jin him tiba ditembok, untuk lompat
melewatinya, satu bayangan sudah berkelebat, lantas
mendadak ia merasakan iganya kesemutan, hingga habislah
tenaganya, diluar keinginannya, ia roboh ngusruk sendirinya!"
Bukan hanya Boen Han dan Thian Seng yang heran, juga
beberapa orang yang lain, yang bersembunyi dilain bagian
taman itu, yang muncul karena mendengar suara orang bicara
keras dan tertawa. Begitu Koe Souw roboh, mereka lantas
kena dibikin heran. Orang tidak dikenal itu terus lompat ke
tembok untuk menghilang. Boen Han dan Thian Seng lari menyusul, mereka lompat
naik ke tembok. Sia-sia belaka, mereka tidak dapat melihat
lagi orang itu. Sebaliknya untuk kagetnya mereka, mereka
melihat bergelimpangannya beberapa tubuh manusia di kaki
tembok pekarangan sebelah luar. Mereka tidak bisa berdiam
melengak, maka dengan bersiul mereka memanggil orangorang
ronda, untuk menggusur Koe Souw semua kedalam
kamarnya Cie Ek, kemudia sesudah memesan Thian Seng,
Boen Han lari kedepan, ke tetarap timur, guna melaporkan
kejadian barusan ini.

Menuntut Balas Karya Wu Lin Qiao Zi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

163 In Gak pergi tidak lama, dia sudah kembali ke mejanya,
berbicara sambil tertawa-tawa dengan Hong Piu semua.
Diatas panggung, bergantian sudah orang bertempur, naik
dan turun. Siapa yang roboh, kebanyakan dia terluka parah,
suatu bukti si cantik manis dan pedang mestika sangat besar
pengaruhnya. Ciu Wie Seng sendiri, bersama-sama To Ciok Sam, Tio Lian
Cu dan gadisnya, juga berbicara dengan gembira. Mereka
seperti tidak memperhatikan jalannya pertandingan. Sampai
datanglah Tan Bun Han dengan laporannya itu. Semua
menjadi terperanjat. Ciok Sam memesan muridnya, atas itu, Bun Han segera
mengundurkan diri pula. "Siapakah dia?" kata si orang she To kemudian. Ia heran
sekali. "Dia bergerak sangat gesit, hingga tubuhnya seperti
tidak nampak. Kenapa dia tidak mau memperlihatkan dirinya"
Ingin aku menyerahkan gelaranku kepadanya. Ciu laotee,
bukankah tepat aku menghadiahkannya?"
Tio Lian Cu sebaliknya bersenyum, terus dia tertawa,
nyaring tetapi halus: "Ingin aku melihat dia!" katanya, "Ah, dia mestinya dia itu!"
"Bagaimana, Nona Tio," tanya Ciok Sam, "Nona kenal dia
itu" Siapakah dia?"
Nona Ciu bersenyum, ia melirik In Gak.
"Tapi aku yang muda belum berani menentukannya"
sahutnya, "Aku cuma baru menduga saja. Dia berada disekitar
kita, tak sulit untuk mencari tahu siapa dianya.."
Wie Seng berpaling In Gak, ia agaknya heran. Ia ingat
kata-katanya Hong Piu bahwa pemuda itu pandai membawa
diri. Ia sangsi. Sekarang pun ia masih bersangsi, akan tetapi ia
toh memperhatikannya. 164 In Gak sendiri terus bersenyum, ia tak perduli segala apa
yang terjadi didepan matanya. Ia kata dalam hatinya: "Mereka
boleh menvurigakan aku tetapi mereka pasti sukar
membuktikannya" Nona mencurigai sebab orang meninggalkan mejanya,
perginya secara tenang, kembalinya cepat-cepat. Ia merasa
pemuda itu tampan seperti Phoa An, tubuhnya halus, cuma
gerak-geriknya aneh. Sedatangnya Bun Han kecurigaannya
menjadi keras. Ketika itu dilantai di depan panggung terdengar satu suara
nyaring yang menarik perhatian umum. Disana muncul
seorang baru, yang berkata: "Ciu tayhiap, aku Cian Seng
Hoan, ingin aku mengajukan satu pertanyaan" Dia terus
menunjuk kearah Lian Cu, terus dia menyambungi: "Bukankah
nona itu pun menyerahkan diri untuk dipilihkan pasangan
diatas lui-tay ini" Dapatkah, setelah aku menangkan sepuluh
rintasan, aku memilih dia?"
Orang itu, yang menyebutkan namanya, berumur lebih
kurang tiga puluh tahun, tubuhnya jangkung, pinggangnya
bulat, punggungnya lebar. Kata-katanya itu membikin Wie
Seng tercengang, sedang si nona Tio segera mengasi lihat air
muka guram. Sebenarnya, semenjak munculnya tadi, Lian Cu sudah
menarik perhatian para hadirin apa pula mereka yang
mengambil tempat di tetarap barat. Dengan munculnya ia, Ciu
Goat Go lantas kalah pamor. Pula Lian Cu sendiri sering-sering
ia memandang ke tetarap barat itu, tak jeri ia mengawasi
banyak mata tajam yang mengawasi padanya. Demikian Cian
Seng Hoan yang bergelar Coan In Yan cu si walet menembusi
mega. Dia gagah, sayang tabiatnya buruk, gemar ia merusak
kehormatan wanita. Maka juga, melihat nona demikian elok,
tak dapat ia menahan desakan hatinya, dia naik kepanggung
untuk mengajukan pertanyaannya itu. Dia mempunyai
165 beberapa kawan, dia telah kasak-kusuk dengan mereka itu,
yang membantu menganjurkannya.
To Ciok Sam mengerutkan alis, ia kata perlahan: "Dialah
satu manusia busuk. Dia harus diajar adat, jikalau tidak,
percuma kita menganggap kita pembela-pembela keadilan dan
pembenci kejahatan.."
Belum berhenti suaranya In Liong Sam Hian, Nona Tio
sudah bangun dari kursinya, untuk bertindak kedepan
panggung, lantas cambuknya dikerjakan menyambar orang
she Cian yang kurang ajar itu, ujung cambuknya mencari jalan
darah yu bun. "Eh, budak, kau telengas sekali!" kataSeng Hoan tertawa,
sedang tubuhnya melesat, menjauhkan diri dari ujung
cambuk. Sebaliknya, tangannya menyambar.
Lian Cu tahu maksud orang, ia segera menarik pulang
cambuknya untuk diulangi tak kurang cepatnya, guna
sekarang menotok jalan darah khie hay.
Seng Hoan berkelit pula, habis itu, ia melesat maju untuk
merangsak, sebelah tangannya meluncur kekedua pundak si
nona, sedang dari mulutnya sembari tertawa, terdengar katakata:
"Budak, kau sangat telengas, kau seperti menghendaki
tuanmu she Cian berlaku kejam"
"Jahanam!" si Nona membentak. Dia berkelit, lantas dia
mencambuk pula, hingga tiga kali beruntun, karena yang
pertama dan kedua kali, Seng Hoan terus berlompatan dengan
tipusilatnya "Kiem lie to cuan po" atau ikan emas lompat
jumpalitan menembusi gelombang. Dia bergerak lincah.
Celaka untuknya, si nona tidak berhenti hanya dengan
cambukan berantai tiga itu, hanya melanjutkannya, kali ini
hingga lima kali. 166 Seng Hoan repot bukan main, meski ia gesit dan lincah, ia
toh kewalahan. Ia lolos dari bahaya setelah berkelit dari
cambukan yang kelima, yang terakhir. Saking murka, dia kata
bengis: "Budak, kau terlalu telengas! Rupanya kau hendak
membikin aku si orang she Cian berlaku kejam!"
Mukanya Lian Cu menjadi guram, tanpa membilang apaapa,
ia menyerang. Dalam mendongkolnya, ia menyerang
berulang-ulang, yang satu tidak mengenai, yang lain
menyusul, ujung cambuknya itu pun menotok.
Sekarang ini Cian Seng Hoan tidak berani lagi memandang
enteng. Ia pun mengeluarkan kepandaiannya yang istimewa,
yaitu "Leng Wan Sip-pat Pian", delapan belas jurus ilmusilat
Kera Sakti. Ia mengutamakan sepuluh jeriji tangannya yang
kuat. Inilah ilmusilat yang telah mengangkat namanya. Ia
berkelebatan disekitar si nona, seperti burung walet gesitnya,
maka tidaklah kecewa ia memperoleh julukannya Coan In
Yan-cu, si walet merah menembusi mega.
Lewat sekian lama, Seng Hoan dapat merapatkan diri, Si
nona agak repot, karena cambuknya adalah alat untuk
menyerang jauh. Baru sekarang ia menyesal tadi ia sudah
memandang tak mata kepada lawannya ini, hingga ia tak ingat
untuk menggunai pedangnya. Sekarang, untuk menghunus
pedang, ia tak diberi kesempatan.
Cian Seng Hoan mendapat lihat kerepotan nona itu, dia
tertawa. In Gak menonton pertarungan itu dengan saban-saban
bersenyum, kapan ia melihat Nona Tio terdesak itu, diam-diam
ia mematahkan sumpitnya. Ia melakukan itu acuh tak acuh. Ia
membuat patahan setengah dim.
Hong piu melihat kelakuan orang, ia mengawasi sambil
bersenyum. In Gak melihat sikap kawan itu, mukanya
bersemu merah. Tanpa kata apa-apa, ia mengawasi ke
167 gelanggang pertempuran dua jari tangannya mendjepit
patahan sumpit. Mendadak saja, ia menyentil.
Ketika itu Lian Cu menghadapi serangan yang berbahaya,
ia menyelamatkan diri dengan lompat jumpalitan, terpisah
kesamping tiga kaki dari lawannya. Ia tidak cuma mengelit
diri. Berbareng ia juga membalas menyerang si orang she
Cian. "Benar-benar telengas!" kata Seng Hoan sambil berkelit,
setelah mana ia merangsak, dengan sepuluh jerijinya ia
menyambar kaki si nona. Ia percaya bahwa ia bakal berhasil,
ia girang sampai ia lupa bersiaga, ia tertawa lebar.
Tapi baru saja ia tertawa satu kali, tahu-tahu ia kaget tidak
terkira, pinggangnya terasa sakit bukan main, hingga ia
dengan tertawa tertahan , ia roboh keatas tanah.
Lian Cu segera dapat memperbaiki diri. Ia melihat robohnya
lawan, ia menyangka orang adalah kurban cambuknya. Ia
lantas bertindak maju, dengan niat member labrakan. Ia
mendongkol untuk kelakuan jumawa lawannya ini. Tapi ia
menyaksikan orong roboh diam saja, ia menjadi heran. Ia
lantas membalik tubuh orang. Dari heran ia menjadi kaget.
Cepat luar biasa, napas Coan In Yan-cu sudah berhenti
dantubuhnya terasa mulai dingin.
"Heran" pikirnya, "Aku menotok jalan darah cie-gan,
mestinya dia lemas dengkulnya dan roboh terkulai, kenapa
sekarang dia mati mendadak" Ah mungkinkah ada orang
membantui aku?" Nona itu lantas mengawasi tajam ke tanah disekitar tubuh
Seng Hoan, ia melihat patahan sumpit, lekas-lekas ia
menjumpitnya menggenggam itu dalam telapakan tangannya,
lalu dengan tindakan perlahan ia menuju ke mejanya In Gak,
ia menyerahkan potongan sumpit itu tanpa berkata, melainkan
bersenyum. 168 Di tetarap barat orang tahu Cian Hoan sudah berlaku
keterlaluan, dia melanggar pantangan besar Rimba Persilatan,
tidak ada yang mau mengajukan diri untuk membela dia.
Maka itu sunyilah pihak mereka itu, sedang di tetarap timur,
orang memang menonton dengan tidak banyak omong.
Tuan rumah lantas menitahkan orang-orangnya
menyingkirkan mayat untuk dirawat.
To Ciok Sam memegang kepala sumpit dalam telapakan
tangannya, ia menggeleng kepala, dalam hatinya ia kata: "Ini
anak muda lihay luar biasa. Potongan sumpit demikian kecil ia
dapat membikin melesat demikian cepat dan hebat. Ia
rupanya telah mencapai batas kepandaian melepas senjata
rahasia yang berupa daun. Jikalau begitu mestinya satu
oranglah orang yang tadi bekerja diluar taman."
Lian Cu sudah duduk kembali di kursinya, dengan tertawa
perlahan, ia melirik In Gak, lantas ia berbangkit dan berkata
pada Ciu Wie Seng dan To Ciok Sam; "Jiwie loocianpwee,
maaf, boanpwee hendak mengundurkan diri" Dilain pihak,
dalam hati kecilnya ia kata: " Kalau benar dia, sungguh
bagus!" Ketika ia berjalan sampai di pintu, ia menanya si
penjaga: "Kamar tetamu dimana" Sudikah kau mengantarkan
aku kesana?" Pengawal itu menyuruh seorang kawannya pergi
mengantarkan. Selagi berjalan, si nona berpikir: "Akulah seorang nona,
sekarang aku pergi kekamar orang, kalau orang
memergokinya, apa jadinya?" Ia menjadi ragu-ragu. Meski
begitu, ia Tanya pengiringnya dimana kamarnya Gan
Siauwhiap. "Itulah kamar nomor dua diatas lauwteng" sahut si
pengantar. Nona ini membilang terima kasih, terus ia naik ke lauwteng,
ke kamar kedua yang ditunjuki itu. Ketika ia sudah sampai
169 didepan kamar, ia mendapatkan pintunya cuma dirapatkan. Ia
mengangkat tangannya, untuk menolak. Gampang saja, daun
pintu itu menjeblak terbuka. Kamar itu sunyi tidak ada
penghuninya. Cuma ditihang pembaringantergantung
pauwhoknya In Gak. Ia menghampirkan untuk mengasi turun
pauwhok itu, terus ia membukanya. Segera matanya melihat
sepotong baju panjang hitam.
Bukankah tadi Tan Bun Han menyebutkan si orang aneh
mengenakan baju hitam"
Baju itu pun sedikit munjul, mendadak ada barang yang
jatuh dilantai. Ia lantas pungut itu. Untuk kagumnya ia
mendapatkan topeng kulit yang bagus sekali. Sekian lama ia
mengawasi, mulutnya mengasi dengar tertawa perlahan.
Kemudia ia mencoba pakai topeng itu, ia berkaca di kaca
tembaga. Ia girang sekali. Ia nampaknya lucu. Lantas ia
duduk disisi pembaringan, otaknya bekerja. Tapi tak lama,
topeng itu ia bungkus dengan baju hitam tadi, terus ia taruh
didalam bungkusan, disusunan pertama. Itulah tanda bahwa
kekamar itu ada orang yang dating dan menggeser bungkusan
itu. Diatas itu, ia meletaki sapu tangannya, serta sebutir
mutiara, yang ia baru keluarkan dari sakunya. Ia bersenyum
puas, habis itu, baru ia keluar, setelah merapatkan daun pintu,
ia pergi turun. Ketika itu sang maghrib lagi mendatangi. Ciu Wie Seng naik
ke panggung Wan Yo Tay, untuk memberi hormat pada para
hadirin, memberitahukan bahwa piebu ditunda sampai besok.
Ia mengundang mereka bersantap malam.
"Besok pagi kita akan mulai pula," katanya, penutupnya.
Maka dipalulah gembreng tiga kali.
Di kedua tetarap, para tetamu bersorak riuh.
Sambil bersenyum, Wie Seng turun dari panggung.
170 Segera repotlah para cungteng atau pelayan, untuk
menyajikan hidangan, untuk melayani para tetamu bersantap.
Sampai kira jam sepuluh malam, baru orang bubaran.
Ketika In Gak sampai dikamarnya, ia lantas melihat apa-apa
yang tidak beres. Kasurnya melesak, seperti bekas diduduki.
Lantas ia mengambil bungkusannya buat diperiksa. Maka ia
melihat baju hitamnya berada disebelah atas dan
mendapatkan sapu tangan wanita, pula sebutir mutiara
sebesar kacang yang menyiarkan bau harum. Diujung sapu
tangan itu ada sulaman satu huruf "Tio" yang berada atas
sulaman bunga Teratai, indah buatannya. Ia pegangi
saputangan itu, lantas ia menduga pada Lian Cu.
"Nona ini sangat cerdik" pikirnya, "Dengan lantas ia
menduga aku. Barusanpun, ia mengantarkan pulang ujung
sumpitku. Ia meninggalkan saputangan dan mutiara disini,
tentulah ini tanda terima kasihnya. Mana dapat aku menerima
ini" Tugasku menuntutbalas belum selesai, dapatkah aku
terganggu urusan semacam begini" Bisa-bisa tugasku menjadi
terintang"Apa tidak baik aku menemui dia, untuk member


Menuntut Balas Karya Wu Lin Qiao Zi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penjelasan" Dengan begitu apakah sikapku tidak terlalu" Ah,
tidak, tidak dapat aku membayarnya pulang! Habis
bagaimanakah?" Ia menjadi bingung. Ia menghela napas.
Selagi begitu, ia mendengar tindakan kaki diluar kamar.
Lekas-lekas ia sesapkan saputangan dan mutiara kedalam
sakunya. Yang dating itu Gouw Hong Piu, yang terus menolak
pintu dan berkata sambil tertawa: "Gan Siauwhiap, ketika di
Kho-yoe aku sudah tahu kau gagah, aku tidak menyangka kau
begini pandai menyimpan kepandaianmu, maka itu maafkan
aku untuk mataku yang tidak awa," ia berkata sambil member
hormat dengan menjura. 171 In Gak mengulur tangannya, untuk mencegah, lantas Hong
Piu merasakan tenaga yang luar biasa besar, yang menolak
tubuhnya, hingga tak dapat ia membungkuk.
In Gak tertawa dan berkata: "Gouw Tiangcu, kita ada
diantara orang sendiri, harap kau tidak menggunai adat
peradatan. Aku juga tidak mengerti, siapakah itu yang kau
sebutkan?" "Siauwhiap terlalu merendah" kata pemilik peternakan itu
tertawa, "Kau lihay, kau tetap berlagak pilon! Didalam Rimba
Persilatan, sungguh tak banyak orang sebangsa kau,
Siauwhiap, aku datang atas namanya tuan rumah dan saudara
To untuk meminta kau suka beromong-omong"
"Tiangcu, aku tidak sangka kau dapat menggunai banyak
adat peradatan" kata In Gak tertawa, "Kalau mau bicara,
marilah!" Baru ia mau bertindak keluar, atau telinganya
mendengar tindakan kaki ramai, lantas dimuka pintu kamar ia
melihat munculnya The Kim Go bersama tuan rumah dan To
Ciok Sam, juga Ciu Goat Go dan Tio Lian Cu.
"Gan Siauwhiap," kata Ciu Wie Seng yang maju kedepan,
"Maafkan aku yang sekian lama tidak melihat kau. Kawanan
penjahat sudah mengacau rumahku ini, tapi aku tidak
mendapat tahu, syukur ada kau yang menghindarkan bahaya.
Budimu ini, tidak dapat aku balas. Barusan aku minta saudara
Gouw dating lebih dulu pada kau, aku minta maaf yang aku
datang terlambat," lantas ia member hormat.
In Gak lekas membalas. "Jangan, terima kasih!" katanya, menampik.
To Ciok Sam menghampirkan si anak muda, untuk
mencekal tangannya dengan keras, guna menatap tajam
wajahnya. Lantas dia tertawa tergelak.
"Sungguh seorang gagah asalnya ialah anak muda!"
katanya. "Gan Siauwhiap, siapakah gurumu" Dapatkah kau
memberitahukan?" 172 "Tak tepat loocianpwee memuji aku!" kata In Gak
merendah, "Guruku seorang pendeta perantauan, yang tak
ketahuan tempat kediamannya, bahkan aku tidak ketahui juga
nama atau gelarannya, dari itu menyesal tak dapat aku
memberitahukannya. Sebenarnya aku cuma mempelajari ilmu
melepas senjata rahasia serta sedikit akal kecerdikan, dalam
hal lainnya aku tidak mengerti apa-apa. Tentang pengacauan
di Ciu kee cung ini, ada orangnya yang telah membantu
secara diam-diam, perihal aku, kebetulan saja aku berada
disini. Maka itu, tidak berani aku menerima ucapan terima
kasih" Ciok Sam heran. "Sipakah itu yang membantu secara diam-diam?" ia tanya.
"Siauwhiap tentulah ketahui siapa dia.."
Muka In Gak bersemu dadu, ia menggeleng kepala.
"Aku tidak dapat melihat tegas padanya, cuma gerakannya
saja sangat gesit," ia menyahut. "Teranglah dia mempunyai
kepandaian yang mahir sekali"
Mendengar itu In Liong Sam Hian tertawa.
"Aku si orang tua ketahu Siauwhiap pandai sekali
menyembunyikan diri!" katanya, "Sebenarnya dimana ada
orang seperti yang siuwhiap katakan itu?"
Mengetahui orang tidak percaya ia, In Gak tidak berdaya.
Ia kata: "Jikalau loo-cianpwee tidak percaya, aku tidak dapat
bilang suatu apa. Hanya dapat aku bilang, dalam dua tiga hari
ini pasti bakal terjadi sesuatu yang penting, hingga setelah itu,
baru nanti loo-cianpwee percaya aku"
Ciok Sam terus menatap. Ia merasa, makin lama ia makin
menyukai anak muda di depannya ini, yang tampan dan halus
gerak-geriknya. Coba tidak Tan Bun Han menyatakan,
kepandaian orang sangat luar biasa, pasti sudah ia
menawarkan diri untuk menjadi gurunya, agar ia dapat
mewariskan semua kepandaiannya. Kemudian ia kata:
"Baiklah, aku percaya atau tidak, sang waktu yang akan
173 mengasi buktinya! Cuma, kalau itu kawanan bajingan benarbenar
berani mengacau pula..hmmm..biarlah dia nanti merasai
kelihayanku! Siauwhiap, mari kita pergi keluar, untuk menanti
kawanan bajingan itu!"
In Gak menurut, tetapi ia masih berkata:"Oey Kie Pay
berani sekali, sebentar malam haruslah kita berjaga-jaga."
"Aku telah siap dengan penjagaanku," Wie Seng
memberitahu, "Malam ini, aku rasa, tidak bakal ada bahaya.
Kalau Oey Kie Pay mengirim orang, tentu untuk mencari tahu
saja keadaan kita, untuk persiapan menolong orangnya dan
mendapatkan pedang. Umpama kata mereka mau menyerbu,
itu pasti nanti dilakukan setelah pie-bu ditutup."
In Gak mengangguk, ia tidak bilang suatu apa. Dibelakang
ia, kedua nona terdengar kasak kusuk dan tertawa perlahan
tetapi geli, hingga satu kali ia menoleh, ingin tahu kenapa
mereka tertawa. Ia mendapatkan, keempat mata mereka
tajam mengawasi padanya, tangan mereka digerak-geraki
secara menarik. Nona-nona ini sangat lincah, gembira
bagaikan anak kecil. Ciok Sam dapat melihatgerak-gerik anak-anak muda itu, ia
bersenyum, kemudian memandang si anak muda, ia tertawa.
In Gak menjadi likat. Tidak lama ramailah orang berbicara dan tertawa, di ruang
besar dimana mereka itu duduk berkumpul. In Gak-lah sebab
utama dari kegembiraan mereka itu. In Gak sendiri tetap
bersikap tenang dan tak banyak berbicara.
Orang berkumpul samapi sore, sampai si Puteri Malam
muncul menerangi sang gelap-petang. Angin halus
membuatnya cabang-cabang pohon bergoyang-goyang,
memain mendatangkan bayangan.
Tidak jauh dari tempatnya duduk, In Gak melihat papan
catur. Ia menghampirkan itu, ia menjumput biji-bijinya untuk
174 digenggam, lalu ia meletakannya pula, suaranya berbunyi
nyaring. "Aku gemar main catur, entah loo-cianpwee mempunyai
kegembiraan atau tidak?" ia tanya Ciok Sam seraya ia
memandang sambil tertawa kepada jago tua itu.
"Oh, kiranya siauwhiap gemar main catur" katanya, "Sudah
enam puluh tahun aku si orang tua main catur, selalu kalah,
tetapi biar selalu kalah, dia tetap main terus! Siauwhiap,
sukalah kau mengganda."
"Loo-cianpwee bergurau," In Gak kata tertawa, "Aku baru
belajar, mana dapat mengganda?"
"Baiklah," kata Ciok Sam sungguh-sungguh, "Awas, jangan
kau mengalahkan aku hingga aku tidak tahu dimana harus
menaruh muka!" In Gak tetap tertawa manis. Lantas ia duduk menghadapi
jendela. Ciok Sam menggulung tangan bajunya, dengan tangan
kirinya ia mengurut-urut kumis dan jenggotnya. Ia
menjalankan biji-bijinya dengan teliti. Didepan ia, In Gak
bertindak sebat, dia merangsak ketengah menduduki kotakkotak
yang baik, lalu menelan beberapa biji lawannya, hingga
dia lantas menang unggul. Maka jago tua itu menjadi
mengerutkan alis untuk berpikir keras.
Kedua nona menonton di pinggiran, mereka mengeluarkan
kata-kata tak terang, lalu tangan mereka tunjuk-tunjuk
sendirinya, seperti biasanya orang luar tengah menyaksikan
orang mengadu otak itu. Dari bicara perlahan, suara mereka
menjadi membisingkan telinga.
"Dasar kamu anak-anak, kamu berisik saja!" kata Ciok Sam
kemudian, "Awas ya, dengan kamu menggganggu aku, nanti
siapa akan membantu pada kamu!"
Lian Cu tertawa. 175 "Loo-jinkee yang kalah, kami yang muda yang disesalkan!"
dia kata, "Memangnya siapa menghendaki bantuan loojinkee!"
Ciok Sam tertawa lebar. "Anak, kau pandai bicara ya!" katanya, "Aku mau lihat
nanti, kapan tiba waktunya kau membangun rumah tangga,
kau cari aku untuk memohon bantuanku atau tidak?"
Habis berkata, ia terus melirik In Gak.
Muka si nona bersemu dadu.
"Loo-jinkee, kau..." katanya tertahan. Ia sudah mengangkat
kakinya tetapi Goat Go menahan tertawa.
Wie Seng dan The Kim Go juga turut tertawa.
Agaknya mereka itu gembira sekali, sampai mereka seperti
melupakan bahwa mereka mempunyai musuh-musuh gelap.
Ciok sam penasaran, ia bekerja keras, niatnya dapat
memperbaiki kedudukannya. Lama ia berdiam untuk berpikir.
In Gak juga berdiam saja, tapi selagi lawannya mengasah
otak, tangan kanannya menjumput lima biji putih, mulutnya
menghitung: "Satu..dua..tiga ...empat..lima!"
Ciok Sam heran, ia mengawasi.
In Gak terus berdiam, hanya kali ini ia tertawa perlahan,
tangannya terus menimpuk keluar. Gerakannya itu nampak
perlahan tetapi melesatnya biji-biji catur cepat sekali.
Menyusuli timpukan biji-biji catur itu, diluar terdengar suara
seperti orang menahan napas, disusul suara roboh barang
berat. Hui In Ciu Wie Seng terkejut, segera dia lompat keluar
jendela. Dia lantas disusul Kim Go.
In Gak duduk tenang, ia mengawasi papan catur, seperti ia
lagi memikirkan biji-bijinya. Menampak demikian, mau atau
tidak, Ciok Sam menjadi kagum. Ia pun telah melihat tegas
timpukannya anak muda itu.
176 Lian Cu mengawasi si pemuda, ia seperti tidak
memperdulikan suara di luar itu, akan tetapi kapan ia
mendapat kenyataan dua jago catur itu terus berdiam saja, ia
habis sabar, ia membikin mulutnya monyong, tangannya terus
mengacau biji-biji catur itu.
"Kamu si tua dan si muda, bagaimana kamu masih
bergembira main catur?" katanya keras, "Kenapa kamu tidak
mau nelihat keluar?"
Ciok Sam menolak papan caturnya.
"Eh, bocah, kau jail sekali!" katanya tertawa, "Aku bakal
menang, kau mengacaunya! Kau berat sebelah tahu" Kalau
kau disalahkan, kau tentu berbalik menyalahkan aku!"
Lian Cu melotot kepada orang tua itu, sedang Got Go
tertawa terkekeh. Justeru itu Wie Seng dan Kim Go sudah kembali, mereka
mengelek dan menenteng tubuhnya lima orang.
Hui In Ciu Wie Seng tertawa, ia berkata: "Kelima bangsat
ini sudah ditanyai terang, merekalah orang-orang Oey Kie Pay.
Gan Siauwhiap, aku numpang tanya, apakah hendak diperbuat
atas diri mereka ini?"
"Segala apa terserah Ciu cungcu" sahut si anak muda,
"Mana dapat aku mewakilkannya" Aku malu.."
Wie Seng tahu, orang merendahkan diri, tetapi ia tidak mau
memaksa. Ia lantas menitahkan cungteng membawa kelima
orang itu kekamar batu, untuk dicampurkan dengan Tjie Ek
semua. Kemudian sembari tertawa ia kata: "Gan Siauwhiap,
luar biasa lihay tanganmu! Kepandaian ini belum pernah aku
lihat, belum pernah aku mendengarnya." Ia berhenti sebentar,
lalu ia menambahkan: "Kami adalah orang-orang yang
mengerti silat, nama kami terkenal juga didalam rimba
persilatan, kami biasa melatih telinga dan mata kami, akan
tetapi barusan, kami tak mendengar dan tak melihat ketika
177 kelima penjahat itu datang dan naiki pohon! Sungguh kami
malu..." Jilid 2.4. Oey Kie Pay di Kho-yoe keok
In Gak likat. Tapi ia lantas mendengar Tjiok sam tertawa.
"Tjioe Laotee," kata djago tua itu," kita semua, si tua tak
mau mati, kita sudah seharusnja pada mundur sekarang ini
djamannja si anak-anak muda Apakah kau tidak kenal pepatah
jang membilang, gelombang jang dibela kang mendorong
gelombang jang didepan, dan orang baru menggantikan orang
lama" Lihat sadja, selama beberapa hari ini telah terdengar
beritanja hal orang-orang muda jang gagah, jang baru muntjul
Demikian halnja si pemuda sheTjia di Kim-hoa, tanpa sepuluh
djurus dia telah menghadjar mampus pada Tiat-sat-tjioe Koet
sin, hingga dia menggemparkan dunia Kang-ouw di selatan
dan Utara sungai besar. Kalau dipikir-pikir, aku harus
menjemplungkan diri ketelaga Kho Yoe."
Kata-kata ini membangkitkan tertawa ramai.
"Aku bitjara benar-benar, Gan siauwhiap," kata Tjiok sam
kepada si anak muda, jang ia awasi." Aku sudah berumur
Sembilan puluh tahun tapi belum pernah aku menjaksikan
kepandaian seperti kepandaian kau barusan. Bagaimana kalau
sekarang kau mentjoba aku didjarak sepuluh kaki?"
In Gak menggojang kedua tangannja.
"Tidak bisa, lootjianpwee, tidak bisa," katanja tjepat.
Djanganlah lootjianpwee membuatnja aku mengasi lihat
keburukanku" Apa aku bisa jalah menghadjar benda mati,
kalau terhadap benda hidup, aku tak berguna lagi"
Tapi To Tjiok sam tidak mau mengerti, segera ia lompat
hingga lima tombak. 178 "Gan siauwhiap. dj angan kau menampik katanja,
sungguh2." Mari kita mentjoba-tjoba, untuk berlatih. Kau
boleh gunai semua kepandaian kau, umpama kata aku terluka,
tidak apa. Djikalau kau mengalah, kau membuatnja aku tidak
puas" Mengetahui tabiat orang, In Gak tertawa. Ia lantas
mengambil sepuluh bidji tjatur.


Menuntut Balas Karya Wu Lin Qiao Zi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lootjianpwe, maafkan aku jang muda" katanja, jang katakatanja
ditutup dengan timpukannja, mengarah pundak kiri
djago tua itu. Biar bagaimana, Tjiok sam terkedjut melihat datangnja bidji
tjatur itu ia lantas mengibas dengan tangan kanannja. Ia
dapat membebaskan diri tetapi bidji tjatur lewat dekat
diatasan pundaknja. Djusteru itu, In Gak sudah menimpuk
pula, kali ini bukan dengan satu atau dua bidji hanja lima, dua didepan, tiga
dibelakang, hingga kelimanja merupakan bunga bwee. Tiga
bidji jang dibelakang itu pun datangnja saling-susul.
Melihat datangnja serangan itu, Tjiok sam menjerang
berbareng dengan dua-dua tangannja. Ia mengguai
Pekskhong-tjiang, pukulan Udara Kosong. Biasanja, hebat
anginnja serangan itu. Tapi sekali ini, kelima bidji tjatur tidak
tersapu lantas. sembari mengibas itu, djago tua ini berkelit.
Ditangannja In Gak masih ada sisa empat bidji, semua ini
segera disusuli dipakai menjerang pula. Tentu sekali, serangan
jang terachir ini tjepat luar biasa. sebab ketika, Tjiok sam
tengah menangkis dan berkelit. Maka repotlah dia atas
datangnja empat bidji tjatur itu. Terpaksa dia berkelit pula,
sambil mendjatuhkan diri. Ketika dia berbangkit bangun, dia
periksa tubuhnja, untuk mendapatkan kepastian dia bebas
atau tidak. Lalu hatinja mendjadi mentjelos, mukanja
mendjadi putjat. Dia mendapat kenjataan, udjung badjunja
jang kiri kena ditembusi sebuah bidji tjatur
179 "Tidak dapat aku sesalkan dia," pikirnja. "Siapa suruh aku
mendesak dia mengeluarkan kepandaiannja" Djikalau dia
bersungguh-sungguh, mungkin tubuhku mendapat beberapa
liang." Lantas ia tertawa bergelak dan berkata: "Gan
siauwhiap. hebat tanganmu, aku si orang tua, aku menjerah"
Memang djago tua ini mesti menjerah kalah. Ketjewa ia
bergelar In-liong sam-hian, atau naga jang muntjul tiga kali
didalam awan- Djulukan itu berarti ia sebat dan gesit luar
biasa, bagaikan naga memain dimega, siapa tahu, kali ini ia
runtuh. In Gak menjesal atas perbuatannja itu, ia merangkap
tangannja memberi hormat, ia
kata: "Benar tepat djulukan lootjianpwee In-liong sam-hian
Barusan sengadja sadja lootjianpwee mengalah kepadaku,
djikalau lootjianpwee merangsak, apa aku bisa bikin?"
Mendengar itu, Tjiok sam sangat bersjukur, tapi ia kata,
tertawa: "Buat apa kau masih melindungi mukaku, Gan
siauwhiap" Disini orang semua bermata tjeli, siapakah jang
tak melihat" siauwhiap. biasanja aku tidak menjera h kepada
siapa sadja, baru sekarang terhadap kau. Aku hanja kurang
djelas mengenai satu hal. Aku mempunjai tipu silat Tay-lek
Kim-kong-tjiang, djikalau aku menggunai itu, setiap sendjata
mestinja kena tersampok balik, tubuhku tak dapat didekati,
tetapi aneh, bidji tjaturmu tak dapat terpukul mundur semua,
ada djuga jang nerobos terus?"
"Maaf, lootjianpwee, malu aku untuk mendjelaskannja,"
berkata In Gak. "Aku hanja menggunai akal. Bidji tjaturku itu
dapat dipakai menjerang setjara berputar, djadi penolakan
langsung tak dapat mentjegahnja. Barusan bidjiku menjambar
dari samping." Alasan ini masuk diakal, tidak dapat orang tidak pertjaja,
hanja satu hal sudah pasti, tjuma In Gak jang dapat
menjerang setjara demikian, lain orang tidak sanggup,
Entahlah kalau jang diserang bukannja To Tjiok sam. In Gak
180 telah menjembunjikan satu hal serangannja itu menurut Hianwan
Sip-pat-kay. Seperti jang lain-lain, Goat Go dan Lian Tjoe djuga memudji
anak muda itu, jang mereka sangat kagumi, tanpa merasa,
mereka mengawasi orang dengan mereka mementang empat
mata mereka. Tjioe Wie seng dapat melihat kelakuan puterinja. Itulah
kelakuan jang dulu-dulu belum pernah ia lihat. Ia mendjadi
terharu. ia mengasihani anak gadisnja ini, jang telah
tidak mempunjai ibu, hingga dia tidak mendapat merasai
kasih-sajang ibunja. Biasanja si nona pendiam, djarang
sesuatu terkentara pada air mukanja, tetapi kali ini, lain.
Pernah Wie seng memudjikan beberapa anak muda, jang
tampan dan mengerti baik ilmu silat, Goat Go tidak perhatikan
mereka, hatinja tak pernah tergerak, baru sekarang ia nampak
berubah, ia seperti bukan Goat Gojang dulu.
Sementara itu, disitu ada Tio Lian Tjoe. Nona ini lebih tj
antik, ilmu silatnja terlebih tinggi. Nona ini pun lebih berani,
nampak njata dia sangat memperhatikan si anak muda.
Bagaimana sekarang" Wie seng bingung djuga. Dilain pihak lagi, ia belum tahu
keadaan si anak muda. Apakah masih merdeka"
Masih ada satu hal lain, jang lebih penting. sekarang ini
bukan saatnja bitjara perkara djodoh. Mereka lagi terantjam
bahaja dari rombongan Oey Kie Pay. Dan anaknja sendiri
tengah menghadapi urusan pieboe.
Lian Tjoe benar-benar berani. sembari tertawa ia
menghadapi In Gak dan minta diadjari ilmu melepas sendjata
rahasia, ia tak malu-malu atau likat. Melihat orang demikian
polos, In Gak malu hati untuk menolak.
"Nona hendak mempeladjari sendjata rahasia, baik sekali,
akupun tidak suka menjembunjikan apa jang aku bisa,"
181 katanja, turut tertawa. "Tjuma hendak aku mendjelaskan,
sendjata rahasia tidak dapat dipeladjari hanja satu hari atau
satu malam. Baiklah, kalau nanti urusan disini sudah selesai,
aku akan mengadjari pokoknja dulu."
Baru si pemuda menutup mulutnja, atau Goat Gopun
madju."Siauwhiap!" kata Nona Tjioe, "aku djuga ingin
mempelajari sendjata rahasia, dapatkah?"
In Gak heran hingga ia melengak. tapi tjuma sebentar.
"Dapat nona, dapat!" sahutnja lekas.
Hong Pioe semua tertawa. In Gak mendengar itu, ia mendjadi likat. Ia merasa bahwa
orang mentertawai ianja. "Nona Tio, ilmu tjambukmu tadi bagus sekali," ia berkata,
memudji, untuk menjimpangi perhatian orang. Lian Tjoe
bersenjum. "Oh, ja," katanja, agaknja dia kaget, "aku lupa
menghaturkan terima kasih padamu" Dan ia lantas mendjura,
memberi hormatnja. "Djangan, nona, djangan" InGak menampik. Ia gugup, ia
mengulur tangannja, untuk mentjegah.
Nona Tio menarik tangannja, ia menatap.
Kembali In Gak djengah, tetapi ia tertawa dan terus
berkata: "Nona, ilmu tjambukmu liehay, tjuma itu dapat
dipakai menjerang djauh, tidak untuk menjerang dekat. Aku
mempunjai satu akal untuk menutup kekurangan itu."
Lian Tjoe djadi sangat ketarik, "Benar?" tanjanja."Oh, kau
adjarilah aku lekas"
"Mari nona kasi aku pindjam tjambukmu," kata In Gak. jang
masih belum sempat menarik pulang tangannja, maka ia djadi
dapat melondjorkan terus." Mari kita keluar, nona pakai
pedang, nanti aku mengadjari kau."
Lian Tjoe menjerahkan tjambuknja, jang terbuat dari otototot
ular. itulah tjambuk jang ia sangat sajang, jang tidak
sembarang ia kasi lain orang pegang. orang lantas pergi
keluar dimana tjahaja rembulan permai sekali.
182 Lian Tjoe dan In Gak lantas berdiri berpisah tudjuh kaki. Si
nona menaruh pedangnja didada.
"Silakan menjerang, nona," kata in Gak. "Kau menjerang
dengan sungguh-sungguh, djangan sung kan-sungkan."
Lian Tjoe bersenjum, didalam hatinja ia kata: "Kau nanti
lihat ilmu pedangku, Tjioe- hong Lok-yap It-djie Kiam-hoat
adjaran ajahku, jang telah menggemparkan Tionggoan, jang
belum pernah ada tandingannja, sedang aku, aku telah
mewariskannja dengan sempurna. Kau boleh liehay sekali
tetapi apa kau sanggup melajani aku?"
Lantas ia kata, perlahan "Baiklah, aku hendak mulai
menjerang" Dan dengan mendadak, ia menikam, gerakannja bagaikan
badai menjambar. Gerakan ini tepat, tjotjok dengan ilmu
pedang itu, Tjioe- hong Lok-yap It-djie Kiam-hoat, jaitu ilmu
pedang Daun rontok karena angin musim rontok. serangan itu
menudju kepundak kiri. In Gak tidak berkelit, ia djuga tidak menangkis, hanja ia
mendahului, dengan sangat sebat, tjambuk ditangannja
bergerak, udjungnja mentjari udjung pedang.
Lian Tjoe terkedjut. serangannja itu gagal, tjambuknja
seperti tertindih barang berat. Dengan lantas ia memutar
pedangnja, untuk dibikin lolos, buat terus dipakai menjerang
pula, ke iga kiri si anak muda.
Kembali In Gak mengasi lihat kepandaiannja. Udjung
tjambuknja menekan pula pedang si nona, orang sampai
seperti tidak mendapat lihat bagaimana dia menggeraki
tangannja. Lian Tjoe heran, tetapi ia penasaran, maka ia melepaskan
diri, untuk menj erang terus. Ia melandjuti mengguna i ilmu
silatnja itu, jang banjak djurusnja jang beraneka. In Gak tetap
bersilat seperti bermula. Ia main tekan udjung pedang
lawannja itu. 183 Nona Tio terkedjut ketika sendjata mereka bentrok. la
merasakan tangannja kesemutan, sampai pedangnja hampir
terlepas. Tapi sekarang ia mulai mengerti ilmu silat tjambuk
pemuda itu. orang liehay disebabkan mahirnja tenaga
dalamnja. Dari tigapuluh djurus mereka bertempur sampai limapuluh
djurus. si nona terdesak tetapi sekarang ia dapat bersenjum.
Ia melajani dengan tenang, njata si anak muda tidak mau
meroboh kannja. "Kepandaian Gan siauwhiap hebat sekali," kata To Tjiok
sam sesudah menonton sekian lama. "Ia bergerak lintjah
bagaikan naga dan ular. selandjutnja aku tidak berani
memandang enteng lagi kepada dunia"
Liang-hoay Tayhiap Tjioe Wie seng dan Hoei-in-tjioe Gouw
Hong pioe mengangguk. "Rupanja gurunja Gan siauwhiap
bukan sembarang orang," kata Wie seng.
Goat Go berdiam sadja, tetapi dengan berdiam ia
memperhatikan bergerak-geraknja tjambuk In Gak. Ia merasa
puas. "Nona Tio, awas !" mendadak terdengar suaranja si
pemuda. Inilah djurus merampas djiwa untuk merebut
kemenangan Kata-kata itu disusul udjung tjambuk menjambar pundak
kiri si pemudi. Lian Tjoe segera menjambut, untuk memapas tjambuk itu.
Ia bersilat dengan tipu Angin puju menjapu pohon yanglioe,
pedangnja membabat dari kanan kekiri, sinarnja pedang
berkelebat bertjahaja perak.
Tepat disaat tjambuk hampir kena dibabat, mendadak In
Gak tertawa, tubuhnja bergerak kekiri, tangannja ikut
bergerak, membebaskan tjambuk dari babatan, setelah mana,
tjambuk itu disamberkan kembali.
184 "Lepas tanganmu" ia berseru sambil ia menarik dengan
kaget. Diluar kehendaknja, tubuh Lian Tjoe madju empat tindak,
telapakan tangannja dirasakan sakit, tidak dapat ia memegang
lebih lama pedangnja, pedang itu tertarik. terlempar djauhnja
belasan tombak, djatuh ditanah dengan menantjap.
" Maaf, nona, aku tak sempat menahan tanganku," kata In
Gak tertawa. Lian Tjoe mendelik kepada pemuda itu, tetapi
setelah itu, ia tertawa In Gak berlompat kearah pedang, untuk mendjemputnja,
setelah mana, dengan sama gesitnja ia berlompat balik.
Demikian lintjah gerakannja itu, hingga kembali ia
mendatangkan kekaguman kawan-kawannja.
"Sjukur pedang ini tidak rusak" katanja kepada si nona
seraja ia menghaturkan sendjata orang itu. Dapat aku
mengembalikannja dengan baik Lian Tjoe menjambuti sambil
tertawa. "Terima kasih," utjapnja. Itulah penghaturan terima kasih
tidak untuk pedang belaka hanja djuga untuk pengadjaran
jang diberikan- Karena pertandingan itu merupakan latihan
peladjaran baru. Setelah itu, mereka kembali kedalam, ketjuali Goat Go dan
Lian Tjoe. Sebab mereka berdua lantas berlatih, untuk dapat
mendjalankan dengan baik ilmu tjambuknja In Gak barusan.
Berdua mereka saling mengadjari dibagian-bagian jang
mereka ragu-ragu. "Siauwhiap. setelah urusan d isini selesai,
kemana kau hendak pergi?" tanja Tjiok Sam.
"Aku hendak pergi ke Utara, ke kota radja, untuk menetapi
djandji pertemuan sebelum harian Toan-ngo," sahut si anak
muda. "Bagus siauwhiap hendak pergi ke kota radja," kata Tjiok
sam. "Setelah bertemu dengan sahabatmu itu, aku minta
dengan sangat sukalah kau mampir padaku. Rumahku tidak
terpisah djauh dari kota radja, dengan menunggang kuda,
185 siauwhiap akan sampai disana dalam dua-tiga hari. Aku
tinggal di Tjin Hong Too. Dengan tanja-tanja orang, dengan
mudah siauwhiap akan dapat mentjarinja. Ketjuali ingin dapat
memasang omong dengan kau, siauwhiap, aku pun hendak
meminta sesuatu, entah.."
"Djikalau ada titahmu, lootjianpwee, mana aku berani
membantah?" berkata si anak muda mendahului. "Setelah
bertemu dengan sahabatku itu, pasti aku akan berkundjung
kepada lootjianpwee."
In Gak menduga permintaan itu tentu djuga urusan budi
dan penasaran dalam Rimba Persilatan, ia sendiri tengah
mentjari musuh- musuhnj a, ia boleh sekalian sadja
melakukan perantauannja. Ia pertjaja perdjalanan itu akan
membawa kebaikan untuknja. siapa tahu bila ada musuhnja
jang berdiam di Kwan-gwa"
Tjioe Wie seng berpikir mendengar To Tjiok sam memohon
bantuannja In Gak. la menerka urusan itu penting sekali.


Menuntut Balas Karya Wu Lin Qiao Zi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

In-liong Sam-hian sangat terkenal di Kwan-gwa, ada
siapakah jang berani mengganggu dia" pikirnja. Bukankah itu
berarti menarik-narik kumis harimau" Maka ia mengawasi
tetamunja itu. To Tjiok sam menjangka tuan rumah mentjurigai sesuatu,
ia tertawa. "Tjupu-tjupu ini achirnja bakal petjah, tjuma
sekarang belum waktunja" katanja.
Oleh karena orang tidak suka mendjelaskan, Wie Seng
tidak mau menanjakan. Ia lantas menimbulkan pula urusan
kaum Bendera Kuning. Gouw Hong Pioe, The Kim Go dan Tjia In Gak melajani tuan
rumah bitjara, tjuma Tjiok Sam jang berdiam sadja. In-liong
sam- hian agaknja lagi berpikir keras, untuk mengambil suatu
keputusan. Tidak lama muntjullah Goat Go, sembari tertawa-tawa dia
berbisik pada ajahnja. 186 "Ah, anak nakal" ajah itu berseru. Ia terus berpaling kepada
In Gak dan tertawa djuga, ia kata: "Anakku dan Nona Tio
telah mejakinkan ilmu pedang dan tjambuk barusan, ada
beberapa bagian jang mereka belum djelas, dari itu mereka
ingin minta siauwhiap suka keluar sebentar untuk memberikan
petundjuk kepada mereka. sudikah siauwhiap membantu
mereka itu?" In Gak bersenjum."Tentu" sahutnja tjepat dan segera ia
ikut Goat Go keluar. To Tjiok sam mementang lebar matanja, mengawasi tuan
rumah. "Tjioe Laotee," katanja tertawa, "Bagaimana kau lihat
sikapnja anak-anak itu" Aku kuatir mereka bakal menerbitkan
urusan berabeh, jang lebih sulit daripada
sepak-terdjangnja partai Bendera Kuning"
Wie seng mengerti apa jang dimaksudkan In- liong samhian,
ia djuga mengerti bahwa ia terantjam urusan
memusingkan kepala, akan tetapi ia merasa baiklah kalau
anak-anak itu tetap bergaul akrab, maka ia balik mengawasi
sambil bersenjum. "Hal itu siauwtee telah melihatnja" katanja tertawa. "Tapi
anakku buruk. mana mungkin Gan siauwhiap tertarik
kepadanja" Apapula didepan anakku itu, ada Nona Tio
Bukankah anakku memikir jang tidak-tidak" Hanja kasihan si
Goat, dari ketjil ia telah kehilangan ibunja, dan selama ini
hatinjapun tertusuk hingga ia mendjadi senantiasa berduka.
Baru setelah melihat Gan siauwhiap sikapnja berubah daripada
biasanja. Dapatkah siauwtee mentjegah dia" Aku pikir baiklah
aku membiarkan sadja, agar ia mundur sendirinja nanti".
Gouw Hong pioe menggeleng kepala.
"Terdengarnja alasan itu tepat sekali, akan tetapi
kenjataannja tidak demikian," berkata Hoei-in-tjioe." Mereka
bergaul akrab, tidak nanti mereka membiarkan lain orang
menjelak ditengah-tengah mereka. Itu artinja, sedikit
187 kekeliruan sadja dapat mentjiptakan peristiwa jang
menjedihkan. saudara Tjioe, tak dapat urusan dibiarkan
setjara wadjar. Menurut siauwtee, selagi kedua botjah itu
demikian akur satu dengan lain, tidakkah tjotjok apabila
mereka dinikahkan bersama" Bukankah saudara tidak
mempuniai anak laki-laki" Tjotjok sekali umpama nanti, anak
puterimu menurut she asalnja dan anak Nona Tio mengikut
she suaminja. Tidakkah ini bagus untuk kedua pihak?"
Alisnja Tjioe Wie seng terbangun. "Ja, benar, itulah bagus!"
katanja. "Ha, kamu bitjara enak sadja" To Tjiok Sam tjampur bitjara.
"Apakah kata si orang she Tio nanti" sudikah dia menjerahkan
puterinja mendjadi kuda pasangan" Masih ada soal Gan
siauwhiap sendiri Dia sudah bertunangan atau belum"
Dapatkah dia menerima dua kawan hidup sekali gus" Inilah
soal tetapi kamu bitjara enak sadja"
Wie seng tertjengang. Memang benar Hong pioe. Maka ia
mendelong mengawasi To Tjiok sam. Tapi In-liong sam- hian
tertawa. "Walaupun demikian, daja tak dapat tak dipikirkan," ia
bilang. "Si orang she Tio lagi sakit, entah bagaimana dengan
penjakitnja itu. Dia memang bertabiat aneh tetapi aku tahu
benar dia biasapertjaja aku. Akupertjaja dia akan menjetudjul
Gan siauwhiap Jang masih mendjadi soal jalah puterimu
sendiri Djikalau dia mundur sendiri, soal tidak ada. Akan tetapi
aku ketahui baik tabiatmu, maka demikian djuga tentunja
puterimu, dia pastilah tidak gampang-gampang mau mundur.
Baiklah, laotee, kau serahkan urusan padaku"
Senang djuga Wie seng mendengar itu "Terima kasih"
katanja, hatinja pun mendjadi lega.
Ketika itu In Gak masuk dengan wadjah berseri-seri,
tangannja mentjekal sehelai kertas. segera dia berkata: "Gouw
Tiangtjoe, The Tayhiap. sudikah djiewie menemani aku pergi
sebentar ke Lioe sie Wan?"
188 Wie seng menduga ada urusan-"Apakah bunjinja surat itu,
siauwhiap?" ia tanja.
In Gak tidak mau membuka rahasia dirinja, dengan
perlahan-perlahan ia merobek hantjur surat ditangannja itu,
sembari tertawa ia kata: "Barusan kebetulan sadja seorang
Kisah Si Pedang Kilat 6 Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan K L Dendam Iblis Seribu Wajah 10

Cari Blog Ini