Ceritasilat Novel Online

Naga Sasra Dan Sabuk Inten 1

Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja Bagian 1


SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Naga Sasra dan Sabuk Inten
Dicetak dan diterbitkan oleh:
Badan Penerbit : Kedaulatan Rakyat Yogyakarta
Cetakan kedua 1966 Hak cipta dilindungi oleh undang-undang
Pembuat Ebook : Sumber DJVU : Koleksi Ismoyo
http://serialshmintardja.wordpress.com/nssi/
Ebook : Dewi KZ http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kang-zusi.info http://cerita-silat.co.cc/
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Daftar Isi : NAGA SASRA DAN SABUK INTEN
DAFTAR ISI : JILID 1 JILID 2 JILID 3 JILID 4 JILID 5 JILID 6 JILID 7 JILID 8 JILID 9 JILID 10 JILID 11 SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 I II III IV SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
JILID 22 I II III IV JILID 23 I II III IV V JILID 24 I II SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
III IV V JILID 25 I II III IV V JILID 26 I II III IV SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
JILID 27 I II III IV JILID 28 I II III IV. WIDURI HILANG V JILID 29 I II SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
III IV IV SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Jilid 1 SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
I AWAN yang hitam pekat bergulung-gulung di langit
seperti lumpur yang diaduk dan kemudian dihanyutkan oleh
banjir, sehingga malam gelap itu menjadi semakin hitam.
Sehitam suasana Kerajaan Demak pada waktu itu, dimana
terjadi perebutan pengaruh antara Wali pendukung
kerajaan Demak dengan Syeh Siti Jenar.
Pertentangan itu sedemikian meruncingnya sehingga
terpaksa diselesaikan dengan pertumpahan darah.
Syeh Siti Jenar dilenyapkan. Disusul dengan terbunuhnya
Ki Kebo Kenanga yang juga disebut Ki Ageng Pengging. Ki
Kebo Kenanga ini meninggalkan seorang putra bernama
Mas Karebet. Karena dibesarkan oleh Nyai Ageng Tingkir,
kemudian Mas Karebet juga disebut Jaka Tingkir.
Jaka Tingkir inilah yang kemudian akan menjadi raja,
menggantikan Sultan Trenggana. Jaka Tingkir pula yang
memindahkan pusat kerajaan dari Demak ke Pajang.
Pada masa yang demikian, tersebutlah seorang saudara
muda seperguruan dari Ki Ageng Pengging yang bernama
Mahesa Jenar. Karena keadaan sangat memaksa, Jaka
Tingkir pergi meninggalkan kampung halaman, sawah,
ladang, serta wajah-wajah yang dicintainya. Ia merantau,
untuk menghindarkan diri dari hal-hal yang tak diinginkan.
Telah bertahun-tahun Mahesa Jenar mengabdikan dirinya
kepada Negara sebagai seorang prajurit. Tetapi karena
masalah perbedaan ajaran tentang kepercayaan, yang telah
menimbulkan beberapa korban, ia terpaksa mengundurkan
diri, meskipun kesetiannya kepada Demak tidak juga susut.
Maka hanya dengan bekal kepercayaan kepada diri
sendiri serta kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenar mencari daerah baru yang tidak ada lagi
persoalan mereka yang berbeda pendapat mengenai
pelaksanaan ibadah untuk menyembah Tuhan Yang Maha
Esa. Mahesa Jenar adalah bekas seorang prajurit pilihan,
pengawal raja. Ia bertubuh tegap kekar, berdada bidang.
Sepasang tangannya amat kokoh, begitu mahir mempermainkan segala macam senjata, bahkan benda
apapun yang dipegangnya. Sepasang matanya yang dalam
memancar dengan tajam sebagai pernyataan keteguhan
hatinya, tetapi keseluruhan wajahnya tampak bening dan
lembut. Ia adalah kawan bermain Ki Ageng Sela pada masa
kanak-kanaknya. Ki Ageng Sela inilah yang kemudian
menjadi salah seorang guru dari Mas Karebet, yang juga
disebut Jaka Tingkir, sebelum menduduki tahta kerajaan.
Meskipun mereka bukan berasal dari satu perguruan,
tetapi karena persahabatan mereka yang karib, maka
seringkali mereka berdua tampak berlatih bersama. Saling
memberi dan menerima atas izin guru mereka masingmasing. Gerak Mahesa Jenar sedikit kalah cekatan
dibanding dengan Sela yang menurut cerita adalah cucu
seorang bidadari yang bernama Nawangwulan. Betapa
gesitnya tangan Ki Ageng Sela, sampai orang percaya
bahwa ia mampu menangkap petir.
Tetapi Mahesa Jenar lebih tangguh dan kuat. Dengan
gerak yang sederhana, apabila dikehendaki ia mampu
membelah batu sebesar kepala kerbau dengan tangannya.
Apalagi kalau ia sengaja memusatkan tenaganya.
Pada malam yang kelam itu Mahesa Jenar mulai dengan
perjalanannya dari rumah almarhum kakak seperguruannya,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Ki Kebo Kenanga di Pengging. Ia sengaja menghindarkan
diri dari pengamatan orang.
Mula-mula Mahesa Jenar berjalan ke arah selatan dengan
menanggalkan pakaian keprajuritan, dan kemudian membelok ke arah matahari terbenam.
Setelah beberapa hari berjalan, sampailah Mahesa Jenar
di suatu perbukitan yang terkenal sebagai bekas kerajaan
seorang raksasa bernama Prabu Baka, sehingga perbukitan
itu kemudian dikenal dengan nama Pegunungan Baka.
Salah satu puncak dari perbukitan ini, yang bernama
Gunung Ijo, adalah daerah yang sering dikunjungi orang
untuk menyepi. Di sinilah dahulu Prabu Baka bertapa
sampai diketemukan seorang gadis yang tersesat ke puncak
Gunung Ijo itu. Mula-mula gadis itu akan dimakannya,
tetapi niat itu diurungkan karena pesona kecantikannya.
Bahkan gadis itu kemudian diambilnya menjadi permaisuri,
ketika ia kemudian dapat menguasai kerajaan Prambanan.
Gadis cantik itulah yang kemudian dikenal dengan nama
Roro Jonggrang. Dan karena kecantikannya pula Roro
Jonggrang oleh Bandung Bandawasa, yang juga ingin
memperistrinya setelah berhasil membunuh Prabu Baka,
disumpah menjadi patung batu. Candi tempat patung itu
lah yang kemudian terkenal dengan nama Candi Jonggrang.
Tetapi pada saat Mahesa Jenar menginjakkan kakinya di
puncak bukit itu terasalah sesuatu yang tak wajar.
Beberapa waktu yang lalu ia pernah mengunjungi daerah
ini. Tetapi sekarang alangkah bedanya. Tempat ini tidak lagi
sebersih beberapa waktu berselang. Rumput-rumput liar
tumbuh di sana-sini. Dan yang lebih mengejutkannya lagi, adalah ketika
dilihatnya kerangka manusia.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Melihat kerangka manusia itu hati Mahesa Jenar menjadi
tidak enak. Ia menjadi sangat berhati-hati karenanya.
Tetapi ia menjadi tertarik untuk mengetahui keadaan di
sekitar tempat itu. Ia menjadi semakin tertarik lagi ketika
dilihatnya tidak jauh dari tempat itu terdapat beberapa
macam benda alat minum dan batu-batu yang diatur
sebagai sebuah tempat pemujaan. Dan di atasnya terdapat
pula sebuah kerangka manusia. Mahesa Jenar pernah
belajar dalam pelajaran tata berkelahi mengenai beberapa
hal tentang tubuh manusia. Itulah sebabnya maka ia dapat
menduga bahwa rangka-rangka itu adalah rangka
perempuan yang tidak tampak adanya tanda-tanda
penganiayaan. Cepat ia dapat menebak, bahwa beberapa waktu
berselang telah terjadi suatu upacara aneh di atas bukit ini.
Tetapi ia tidak tahu macam upacara itu.
Untuk mengetahui hal itu, ia mengharap mendapat
keterangan dari penduduk sekitarnya. Tetapi Mahesa Jenar
menjadi kecewa ketika ia melayangkan pandangannya ke
sekitar bukit itu. Tadi ia sama sekali tidak memperhatikan
bahwa tanah-tanah pategalan telah berubah menjadi
belukar. Agaknya sudah beberapa waktu tanah-tanah itu
tidak lagi digarap. Maka ketika ia sudah tidak mungkin lagi untuk
mendapatkan keterangan lebih banyak lagi tentang
kerangka-kerangka tersebut, maka dengan pertanyaanpertanyaan yang berputar-putar dikepalanya, Mahesa Jenar
melanjutkan perjalanannya ke barat, menuruni lembah dan
mendaki tebing-tebing perbukitan sehingga sampailah ia di
atas puncak pusat kerajaan Prabu Baka. Dari atas bukit itu
Mahesa Jenar melayangkan pandangannya jauh di dataran
sekitarnya. Di sebelah utara tampaklah kumpulan candi
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
yang terkenal itu, yaitu Candi Jonggrang. Sempat juga
Mahesa Jenar mengagumi karya yang telah menghasilkan
candi-candi itu. Menurut cerita, candi-candi yang berjumlah
1.000 itu adalah hasil kerja Bandung Bandawasa hanya
dalam satu malam saja, untuk memenuhi permintaan Roro
Jonggrang. Tetapi ketika ternyata Bandung Bandawasa
akan dapat memenuhi permintaan itu, Roro Jonggrang
berbuat curang. Maka marahlah Bandung Bandawasa.
Jonggrang disumpah sehingga menjadi candi yang ke
1.000. Candi itu dikitari oleh persawahan yang ditumbuhi
batang-batang padi yang sedang menghijau. Daun-daunnya
mengombak seperti mengalirnya gelombang-gelombang
kecil di pantai karena permainan angin.
TIBA-TIBA Mahesa Jenar teringat akan kerangkakerangka yang ditemukannya di atas Gunung Ijo. Di dekat
persawahan yang sedang menghijau itu pasti ada
penduduknya. Di sana, mungkin ia akan mendapat


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beberapa keterangan tentang kerangka-kerangka itu.
Karena pikiran itu maka segera ia menuruni bukit dan
cepat-cepat pergi ke arah pedesaan di sebelah Candi
Jonggrang di tepi Sungai Opak.
Ketika ia sampai di desa itu, terasa alangkah asingnya
penduduk menerima kedatangannya. Anak-anak yang
sedang bermain di halaman dengan riangnya, segera
berlari-larian masuk ke rumah. Terasa benar bahwa
beberapa pasang mata mengintip dari celah-celah dinding
rumahnya. "Apakah yang aneh padaku?" pikirnya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Ia merasa susah untuk menemukan orang yang dapat
diajak berwawancara untuk menjalankan beberapa soal,
terutama mengenai peristiwa Gunung Ijo.
Rumah-rumah di kiri kanan jalan desa itu serasa tertutup
baginya. Beberapa kali ia berjalan hilir mudik kalau-kalau ia
berjumpa dengan seseorang yang dapat ditanyainya atau
seseorang yang menyapanya. Tetapi sudah untuk kesekian
kalinya tak seorang pun dijumpainya, dan tak seorang pun
menyapanya. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk
mengetuk salah satu dari sekian banyak pintu-pintu yang
tertutup. Tiba-tiba terasa sesuatu yang tidak wajar. Dari balik-balik
pagar batu di sekitarnya, didengarnya dengus nafas yang
tertahan-tahan. Tidak hanya dari satu-dua orang, tetapi
rasa-rasanya banyak orang yang bersembunyi di balik
pagar-pagar itu. Mahesa Jenar tidak mengerti maksud
mereka mengintip dari balik-balik pagar. Karena itu ia purapura tidak mengetahui akan hal itu.
Tetapi ketika ia akan melangkahkan kakinya menginjak
ambang regol sebuah halaman, berloncatanlah beberapa
orang laki-laki dari balik pagar-pagar batu di sekitarnya.
Semuanya membawa senjata. Golok-golok besar, tombak
panjang dan pendek, pedang, keris dan sebagainya.
Mahesa Jenar sebentar terkejut juga, tetapi cepat
otaknya bekerja. Ia segera mengambil kesimpulan bahwa
agaknya memang pernah terjadi sesuatu di daerah ini. Ia
juga menduga bahwa orang-orang itu tak bermaksud jahat.
Mereka hanya berjaga-jaga dan waspada. Sebagai orang
asing di daerah berbahaya sudah sepantasnyalah bahwa ia
dicurigai. Itulah sebabnya ia mengambil keputusan untuk
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tidak berbuat apa-apa, dan hanya akan menurut semua
perintah yang akan diterima.
Orang yang menjadi pemimpin rombongan itu berperawakan sedang. Badannya tak begitu besar, tetapi
otot-ototnya yang kuat menghias seluruh tubuhnya.
Diantara jari-jari tangan kanannya terselip sebuah trisula,
yaitu sebuah tombak bermata tiga. Di sampingnya berdiri
seorang yang berperawakan tinggi besar, berkumis lebat.
Pandangannya tajam berkilat-kilat. Ia tak bersenjata tajam
apapun kecuali sebuah cambuk besar yang ujungnya lebih
dari sedepa panjangnya, dan pada juntai cambuk itu
diikatkan beberapa potongan besi, batu dan tulang-tulang.
Rupa-rupanya ia merupakan salah seorang tokoh
terbesar dari para pengawal desa itu, disamping beberapa
pengawal lain yang segera mengepungnya.
"Ikut kami!" Tiba-tiba terdengarlah sebuah perintah yang
menggelegar keluar dari mulut orang yang tinggi besar itu.
Terasalah oleh Mahesa Jenar betapa orang yang tinggi
besar itu ingin mempengaruhinya dengan suaranya.
Mahesa Jenar yang sudah mengambil keputusan untuk
tidak berbuat sesuatu yang dapat menimbulkan keributan,
menuruti perintah itu dengan patuh. Orang yang tinggi
besar itu berjalan di depan bersama-sama dengan
pemimpin rombongan, kemudian berjalanlah di belakangnya Mahesa Jenar diiringi oleh para pengawal.
Rombongan itu berjalan menyusur jalan desa menuju ke
sebuah rumah yang agak lebih besar dari rumah-rumah
yang lain, berpagar batu agak tinggi dan berhalaman luas.
Mereka memasuki halaman itu dengan melewati sebuah
gerbang yang dikawal orang di kiri-kanannya, sedangkan di
halaman itu pun telah pula menanti beberapa orang laki-laki
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
yang juga bersenjata. Diantara mereka berdirilah seorang
laki-laki yang sudah agak lanjut usianya.
Pemimpin rombongan serta orang yang tinggi besar
langsung mendatangi orang tua itu. Mahesa Jenar masih
saja mengikuti di belakangnya.
"Kakang Demang," lapor pemimpin rombongan itu,
"orang ini terpaksa kami curigai. Selanjutnya terserah
kebijaksanaan kakang."
Orang tua yang ternyata demang dari daerah itu,
mengangguk-anggukkan kepalanya. Beberapa garis umur
telah tergores di wajahnya, tetapi ia masih nampak segar
dan kuat. Wajahnya terang dan bersih. Giginya masih utuh,
putih berkilat diantara bibir-bibirnya yang tersenyum ramah.
"Ia sedang menyelidiki daerah kami, Kakang. Mungkin ia
menemukan seorang gadis untuk korbannya," tiba-tiba lakilaki yang tinggi besar itu menyambung dengan suaranya
yang bergerat. Sesudah itu ia memandang berkeliling dan
tampaklah setiap laki-laki yang kena sambaran matanya
mengangguk-angguk kecil tanpa keyakinan apa-apa.
Pikiran yang terang dari Mahesa Jenar segera dapat
menghubungkan ucapan ini dengan kerangka-kerangka
yang ditemuinya di Gunung Ijo. Mungkin ucapan orang itu
bertalian dengan peristiwa yang sedang menjadi tanda
tanya di dalam hatinya. Demang tua itu memandang Mahesa Jenar dari ujung
kaki sampai ke ujung rambutnya. Umurnya yang telah
lanjut, menolongnya untuk mengenal sedikit tentang watakwatak orang yang baru saja dijumpainya. Dan terhadap
Mahesa Jenar, ia tidak menduga adanya maksud-maksud
buruk. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Bolehkah aku bertanya?" kata Demang tua itu dengan
nada yang berat tetapi sopan dan rumah. "Siapakah nama
Ki Sanak dan dari manakah asal Ki Sanak" Sebab menurut
pengamatan kami, Ki Sanak bukanlah orang dari daerah
kami." Mula-mula Mahesa Jenar ragu. Haruskah ia mengatakan
keadaan yang sebenarnya, ataukah lebih baik menyembunyikan keadaan yang sebenarnya ..." Ia masih
belum tahu, sampai di mana jauh akibat tindakan-tindakan
pemerintah Kerajaan Demak terhadap para pengikut Syeh
Siti Jenar. Kalau ia tidak berkata yang sebenarnya, maka
ada suatu kemungkinan bahwa kecurigaan orang terhadapnya semakin besar. Mungkin pula ia ditangkap,
ditahan atau semacamnya itu. Akhirnya Mahesa Jenar
mengambil keputusan untuk mengatakan sebagian saja dari
keadaannya. Oleh keragu-raguannya inilah maka sampai
beberapa saat Mahesa Jenar tidak menjawab, sehingga
ketika baru saja ia akan berkata, terdengarlah orang yang
tinggi besar itu membentak, "Ayo bilang!"
Mahesa Jenar sebenarnya sama sekali tidak senang
diperlakukan sedemikian, tetapi ia tidak ingin ribut-ribut.
Maka dijawabnya pertanyaan itu dengan sopan pula,
"Bapak Demang, kalau Bapak Demang ingin mengetahui,
aku berasal dari Pandanaran. Aku adalah pegawai istana
Demak, yang karena sesuatu hal ingin menjelajahi daerahdaerah wilayah Kerajaan Demak."
Beberapa orang tampak terkejut mendengar jawaban ini.
Seorang pegawai istana adalah orang yang pantas sekali
mendapat kehormatan. Sedang orang ini" Orang yang
mengaku menjadi pegawai istana itu menjadi orang
tangkapan. Apakah kalau hal semacam ini sampai terdengar
oleh kalangan istana, tidak akan menjadikan mereka
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
murka" Mahesa Jenar merasakan pengaruh kata-katanya itu
atas orang-orang yang mengepungnya. Demikian juga
wajah orang tinggi besar itu tampak berubah. Dahinya
berkerinyut dan alisnya ditariknya tinggi-tinggi.
Demang tua itu sekali lagi mengangguk-anggukkan
kepalanya, tetapi kemudian ia bertanya lagi dengan nada
yang masih sesopan tadi. "Menilik sikap Ki Sanak, memang
tepatlah kalau ki sanak seorang pegawai istana, atau
setidak-tidaknya orang-orang kota seperti yang pernah aku
kenal. Tetapi kedatangan Ki Sanak seorang diri kemari,
merupakan sebuah pertanyaan bagi kami."
Sekali lagi tampak wajah-wajah di sekitar Mahesa Jenar
berubah. Mereka jadi ikut bertanya pula di dalam hati. "Ya,
kenapa seorang pegawai istana pergi sedemikian jauhnya
seorang diri?" Tetapi tak seorangpun yang mengucapkan
pertanyaan itu. "Orang ini ingin memperbodoh kita Kakang," kembali
terdengar suara gemuruh orang yang tinggi besar itu
dengan matanya yang berkilat-kilat. Sekali lagi ia
memandang berkeliling, kepada orang-orang yang berdiri
memagari. Dan sekali lagi orang-orang itu mengangguk-angguk kecil
tanpa keyakinan apa-apa. Sikap orang yang tinggi besar itu semakin tidak
menyenangkan hati Mahesa Jenar, tetapi ia masih saja
menahan dirinya dan menjawab dengan ramah pula.
"Bapak Demang, sebenarnya memang aku mempunyai
banyak keterangan mengenai diriku, tetapi sebaiknyalah
kalau keterangan-keterangan itu aku berikan khusus untuk
Bapak Demang, tidak di hadapan orang banyak. Sebab ada
hal-hal yang tidak perlu diketahui umum."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenar sama sekali tidak menduga bahwa
perkataannya itu mempunyai akibat yang kurang baik.
Orang yang tinggi besar itu, yang sebenarnya bernama
Baureksa, dan bertugas sebagai kepala penjaga keamanan
Kademangan Prambanan, merasa sangat tersinggung. Ia
merasa direndahkan oleh orang asing itu, dengan
mengesampingkannya dari pembicaraan. Karena itu ia
membentak dengan suaranya yang lantang. "Apa perlunya
Kakang Demang meladeni orang semacam kau" Sekarang
saja kau bicara." Perlakuan orang itu sebenarnya sudah keterlaluan. Tetapi
Mahesa Jenar masih berusaha untuk menahan diri, dan
menjawab dengan baik. "Apa yang perlu kau ketahui telah
aku katakan." "Belum cukup," jawab Baureksa semakin marah. "Apa
yang akan kau katakan kepada kakang Demang?"
Mahesa Jenar memandang kepada orang tua itu.
Wajahnya yang bening menjadi agak suram. Sebenarnya ia
dapat menerima permintaan Mahesa Jenar, tetapi ia tidak
dapat menyakiti hati bawahannya yang merupakan tulang
punggung kademangannya. Memang, Demang tua itu
sendiri sering merasa tidak senang akan sikap Baureksa.
Tetapi orang ini terlalu berpengaruh karena kehebatannya.
Malahan pernah terpikir olehnya untuk suatu waktu
memberi pelajaran sedikit kepada Baureksa, sebab
meskipun usianya telah lanjut tetapi ia masih merasa
mampu untuk melakukannya. Tetapi hal yang demikian
akan tidak baik pengaruhnya terhadap rakyat yang justru
sekarang memerlukan perlindungan dari bahaya yang setiap
saat dapat mengancam. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Dan tiba-tiba saja ia mendapat suatu pikiran baik. Menilik
tubuh, sikap dan gerak-gerik Mahesa Jenar, orang tua yang
sudah banyak pengalaman itu segera mengenal, bahwa
Mahesa Jenar bukan orang yang pantas direndahkan. Ia
tersenyum dalam hati karena pikiran itu.
"Lalu bagaimanakah sebaiknya Baureksa?" tanya Demang tua itu. Sikap Baureksa semakin garang. Ia merasa bahwa
demangnya akan menyerahkan segala sesuatu kepadanya.
"Orang itu harus berkata sebenarnya," katanya.
"Kalau tidak mau?" pancing Demang itu.
"Dipaksa!" jawab Baureksa tegas-tegas. Dan jawaban ini
memang diharapkan sekali oleh demang tua itu.
"Bagus... terserah kepadamu. Yang lain sebagai saksi
atas apa yang terjadi," katanya.
Keadaan berubah menjadi tegang. Tak seorangpun
mengerti maksud dari kepala daerahnya itu. Sebenarnya
orang-orang itu sama sekali tak menghendaki kejadiankejadian semacam itu, sebab dalam pandangan mereka,
Mahesa Jenar adalah orang yang sopan dan baik. Kalau
sekali Baureksa sudah bertindak, biasanya tak dapat
dikendalikan lagi. Dan orang yang diperiksanya biasanya
kesehatannya tak dapat pulih kembali. Tetapi tak seorang
pun yang berani menghalang-halanginya sifat-sifatnya yang
mengerikan itu. Apalagi kalau orang itu benar-benar


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pegawai istana, maka apakah kiranya yang akan terjadi".
Berbeda sekali dengan pikiran Baureksa.Ia menjadi
gembira seperti anak-anak yang mendapat mainan.
Meskipun ia juga mempunyai otak, tetapi tidak dapat
bekerja dengan baik. Adatnya keras dan lekas marah.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Apalagi setelah beberapa waktu yang lalu, pada waktu
terjadi huru hara, dan ia tidak mampu untuk mengatasinya.
Maka sekarang ia ingin mengembalikan kepercayaan rakyat
atas kehebatannya dengan menumpahkan segala dendamnya kepada orang asing itu. Tetapi untuk itu ia tidak
akan segera turun tangan sendiri. Ia ingin melihat dahulu
sampai dimana kekuatan barang mainannya. Sebab
bagaimana tumpulnya otak Baureksa, namun ia masih juga
melihat suatu kemungkinan yang ada pada calon
korbannya. Sebaliknya Mahesa Jenar mengeluh dalam hati. Cepat ia
dapat menangkap maksud Demang tua yang bijaksana itu
dengan menangkap pandangan matanya.
"Permainan berbahaya" pikirnya. "Demang tua itu sama
sekali belum mengenal aku, sebaliknya aku pun belum
mengenal orang macam Baureksa itu."
Tetapi bagaimana pun, Mahesa Jenar terpaksa melayaninya kalau ia tidak mau menjadi bulan-bulanan
celaka. "Gagak Ijo...!" tiba-tiba terdengar Baureksa berteriak
keras-keras. Dan orang yang dipanggilnya Gagak Ijo itu dengan gerak
yang cekatan meloncat ke hadapan Baureksa.
Gagak Ijo yang nama sebenarnya adalah Jagareksa
adalah seorang pembantu, bahkan tangan kanan Baureksa.
Kedua-duanya mempunyai sifat yang hampir sama.
Tubuhnya agak pendek bulat, sedang otot-ototnya
menjorok keluar membuat garis-garis yang sama jeleknya
dengan garis-garis wajahnya.
"Suruh orang itu bicara," perintah Baureksa.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Bicara tentang apa Kakang?" tanya Gagak Ijo.
Mendengar pertanyaan itu, Baureksa memaki keraskeras, "Bodoh kau. Suruh dia bicara, di mana rumahnya, di
mana gerombolannya, dan suruh dia katakan kapan
gerombolannya akan datang lagi untuk menculik gadis."Gagak Ijo mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekarang
ia sudah tahu tugasnya. Memeras keterangan dari orang
asing itu. Perlahan-lahan Gagak Ijo memutar tubuhnya, menghadap Mahesa Jenar. Sebentar ia mengatur jalan
nafasnya, dan dengan perlahan-lahan pula ia mendekati
korbannya. Suasana menjadi bertambah tegang. Peristiwa
semacam ini telah berulang kali terjadi, biasanya dilakukan
terhadap para penjahat atau terhadap mereka yang
melanggar adat. Tetapi sekali ini, orang-orang kademangan
itu merasakan adanya suatu perbedaan dengan kejadiankejadian yang pernah terjadi.
"Jawab setiap pertanyaanku dengan betul," perintah
Gagak Ijo dengan garangnya. Matanya menjadi berapi-api
dan mulutnya komat-kamit.
"Siapa namamu?"
Pertanyaan yang pertama ini mengejutkan Mahesa Jenar.
Ia tidak menduga bahwa dari mulut orang itu akan keluar
pertanyaan yang demikian. Maka untuk pertanyaan yang
pertama ini Mahesa Jenar menjawab dengan tenangnya.
"Namaku Mahesa Jenar."
Rupa-rupanya ketenangannya ini sangat mengagumkan
orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu. Tidak pernah
ada seorang pun yang dapat bertindak setenang itu
menghadapi Gagak Ijo, apalagi Baureksa.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Bagus..." dengus Gagak Ijo. "Nama yang bagus.
Mengenal namamu adalah perlu sekali bagiku. Kalau
terpaksa tanganku membunuhmu. Orang-orang sudah tahu
bahwa kau bernama Mahesa Jenar." Gagak Ijo lalu
mengangguk-angguk dengan sikap yang sombong sekali.
Memang, ia mempunyai kebiasaan untuk tidak segera
bertindak. Ia senang melihat korbannya ketakutan dan
bahkan pernah ada yang sampai terjatuh di tempat. Tetapi
kali ini ia merasa aneh, Mahesa Jenar tenang bukan
kepalang. Dan ini sangat menjengkelkannya.
"Kau sudah dengar perintah kakang Baureksa?" katanya,
"Apa yang harus kau katakan, sekarang katakanlah."
"Tak ada yang akan aku katakan," jawab Mahesa Jenar.
Gagak Ijo terkejut mendengar jawaban itu, sehingga
membentak keras. "Bicaralah!" Lalu suaranya ditahan
perlahan-lahan. "Bicaralah supaya aku tidak usah memaksamu." Mahesa Jenar kemudian menjadi jemu melihat sikap
Gagak Ijo yang sombong itu. Maka ia mengambil keputusan
untuk cepat-cepat menyelesaikan pertunjukan yang
membosankan itu, dengan membuat Gagak Ijo marah.
"Baiklah aku berkata," kata Mahesa Jenar, "bahwa
rumahku adalah jauh sekali seperti yang sudah aku katakan
kepada Bapak Demang tadi. Tetapi kedatanganku kemari
sama sekali tidak akan menculik gadis-gadis. Aku datang
kemari karena aku ingin menculik kau untuk menakuti
gadis-gadis." Mereka yang mendengar jawaban itu terkejut bukan
main. Alangkah beraninya orang asing itu. Malahan
akhirnya beberapa orang menjadi hampir-hampir tertawa,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tetapi ditahannya kuat-kuat, kecuali demang tua itu yang
tampak tersenyum-senyum. Sebaliknya Gagak Ijo menjadi marah bukan kepalang.
Mukanya menjadi merah menyala dan giginya gemeretak.
Selama hidup ia belum pernah dihinakan orang sampai
sedemikian, apalagi di hadapan Demang dan Baureksa.
Maka ia tidak mau lagi berbicara, tetapi ia ingin menyobek
mulut Mahesa Jenar yang sudah menghinanya itu. Dengan
gerak yang cepat ia meloncat dan kedua tangannya
menerkam wajah Mahesa Jenar.Orang-orang yang menyaksikan gerak Gagak Ijo itu menjadi tergoncang
hatinya. Mereka telah berpuluh kali melihat ketangkasan
Gagak Ijo, tetapi kali ini gerakannya adalah diluar dugaan.
Hal ini terdorong oleh kemarahannya yang meluap-luap,
sehingga semua orang yang menyaksikan menahan nafas
sambil berdebar-debar. Tetapi gerakan ini bagi Mahesa Jenar adalah gerakan
yang sangat sederhana. Bahkan mirip dengan gerak yang
tanpa memperhitungkan kemungkinan yang ada pada
lawannya. Untuk menghindari serangan ini Mahesa Jenar
tidak perlu banyak membuang tenaga. Hanya dengan
sedikit mengisarkan tubuhnya dengan menarik sebelah
kakinya, Mahesa Jenar telah dapat menghindari terkaman
Gagak Ijo itu. Dengan demikian, karena dorongan
kekuatannya sendiri Gagak Ijo menjadi kehilangan
keseimbangan. Dalam keadaan yang demikian, sebenarnya
Mahesa Jenar dengan mudahnya dapat membalas serangan
itu dengan suatu pukulan yang dapat mematahkan tengkuk
Gagak Ijo. Tetapi Mahesa Jenar tahu, kalau dengan
demikian akibatnya akan hebat sekali. Karena itu, ia hanya
menyerang Gagak Ijo dengan sentuhan jarinya, untuk
mendorong punggung Gagak Ijo dengan arah yang sama.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Gagak Ijo yang memang sudah kehilangan keseimbangan,
segera jatuh tertelungkup mencium tanah.
Mereka yang berdiri mengitari arena pertarungan itu,
mula-mula mengira bahwa akan hancurlah muka orang
asing itu diremas oleh Gagak Ijo. Tetapi ketika mereka
menyaksikan kenyataan itu, menjadi sangat terkejut dan
heran. Gagak Ijo itu sendiri malahan yang mencium tanah.
Banyak diantara mereka tidak dapat melihat apa yang
sudah terjadi. Tetapi dengan demikian Mahesa Jenar tambah berhatihati, sebab ia tahu bahwa apa yang dilakukan Gagak Ijo
adalah diluar kesadarannya, karena terdorong oleh
kemarahannya yang memuncak. Sehingga dalam tindakan
selanjutnya, pastilah Gagak Ijo akan memperbaiki
kesalahannya. Gagak Ijo sendiri kemudian merasa bahwa tindakannya
kurang diperhitungkan lebih dahulu. Ia baru sadar ketika
hidungnya sudah menyentuh tanah, dan sebentar kemudian
seluruh mukanya. Peristiwa ini adalah memalukan sekali.
Tokoh seperti Gagak Ijo dengan bulat-bulat terbanting di
atas tanah tanpa dapat berbuat sesuatu untuk menahannya. Karena itu ia menjadi semakin marah.
Hatinya menjadi seperti terbakar dan matanya merah
menyala-nyala. Seluruh tubuhnya menggigil seperti orang
kedinginan. Tetapi setelah mengalami kejadian tersebut, ia tidak
berani menyerang dengan membabi buta. Karena itu, ketika
ia mulai menyerang lagi, ia berbuat lebih hati-hati. Dengan
kecepatan yang tinggi, ia menyerang dengan kakinya ke
arah perut Mahesa Jenar. Tetapi dengan cepat pula
serangan ini dapat dihindari, dan sebelum Gagak Ijo dapat
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
berdiri tegak kembali, Mahesa Jenar telah membalas
menyerang dadanya. Tetapi Gagak Ijo cukup waspada. Ia
membuat gerakan setengah lingkaran ke belakang untuk
menghindari serangan Mahesa Jenar. Bersamaan dengan
itu, kakinya menyambar tangan Mahesa Jenar. Mahesa
Jenar cepat-cepat menarik serangannya, dan secepat itu
pula tangannya yang lain menyentuh kaki Gagak Ijo itu ke
atas. Sekali lagi Gagak Ijo kehilangan keseimbangan, dan
kali ini ia jatuh terlentang. Dengan gugup Gagak Ijo
berguling dan kemudian berusaha tegak kembali. Sementara itu Mahesa Jenar telah jemu dengan permainan
ini. Ia ingin segera mengakhirinya. Maka ketika Gagak Ijo
hampir berhasil menegakkan dirinya, seperti sambaran kilat
telapak tangan Mahesa Jenar melekat di dada Gagak Ijo.
Meskipun Mahesa Jenar hanya mempergunakan tenaga
dorong yang tidak seberapa, tetapi akibatnya hebat sekali.
Nafas Gagak Ijo mendadak serasa berhenti, dan
pandangannya menjadi kuning berkunang-kunang. Meskipun dengan susah payah, ia mencoba untuk menahan
diri, tetapi perlahan-lahan ia terjatuh kembali. Ia terduduk
di tanah dengan nafas tersenggal-senggal, sedangkan
kedua tangannya berusaha untuk menahan berat badannya. Orang-orang yang melihat pertandingan itu berdiri tanpa
berkedip. Gagak Ijo termasuk orang yang dikagumi di desa
itu. Tetapi Mahesa Jenar dengan mudahnya dapat
menjatuhkannya. Ilmu macam apakah yang dimilikinya"
Belum lagi mereka sempat berpikir lebih banyak, mereka
dikejutkan oleh gertak Baureksa yang gemuruh seperti
membelah langit. Ketika ia menyaksikan Gagak Ijo, orang
kepercayaannya dipermainkan orang asing itu, hatinya
menjadi panas. Meskipun di antara kemarahannya itu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
terselip pula perasaan was-was. Ternyata orang yang
dianggapnya barang mainan itu, adalah barang mainan
yang mahal. Itulah sebabnya maka sebelum mengadu tenaga,
Baureksa akan berusaha untuk mengurangi kegesitan
lawannya dengan melukainya lebih dahulu. Cambuknya
yang besar dan panjang dengan potongan-potongan besi,
batu dan tulang-tulang itu diputarnya di atas kepala sampai
menimbulkan suara berdesing-desing. Mahesa Jenar kini
harus benar-benar waspada. Suara yang berdesing-desing
itu sedikit-banyak dapat menunjukkan kira-kira sampai di
mana kekuatan Baureksa. Hanya apakah Baureksa dapat
mempergunakan kekuatan serta tenaganya dengan baik,


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itulah yang masih perlu diuji.
Orang-orang yang menyaksikan menjadi semakin
berdebar-debar. Apalagi ketika mereka melihat Baureksa
akan mempergunakan senjatanya, maka menurut pikiran
mereka, sedikit kemungkinannya Mahesa Jenar dapat
menyelamatkan diri. Cambuk Baureksa yang berputar-putar itu, cepat sekali
menyambar leher Mahesa Jenar, tetapi secepat itu pula
Mahesa Jenar membungkuk menghindari, sehingga cambuk
itu tidak mengenai sasarannya. Baureksa yang merasa
serangannya gagal menjadi semakin marah. Dengan cepat
ia mengubah arah cambuknya dan dengan mendatar ia
menyerang arah dada. Mahesa Jenar sadar bahwa dalam
jarak yang agak jauh sulit baginya untuk menghindari
serangan-serangan cambuk Baureksa yang cukup cepat dan
keras. Karena itu sebelum cambuk Baureksa sempat
mengenainya, Mahesa Jenar dengan gerakan kilat meloncat
maju, dekat sekali di samping Baureksa, dan menggempur
tangan Baureksa yang memegang senjata itu. Gempuran itu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
terasa hebat sekali dan tak terduga-duga. Terasa tulangtulang Baureksa gemertak. Perasaan sakit serta panas
menyengat-nyengat, tidak hanya pada bagian yang terkena,
tetapi seakan-akan menjalar sampai ke ubun-ubun.
Cambuknya segera terlepas dan melontar jauh. Baureksa
sama sekali tidak mengira bahwa hal yang semacam itu
bisa terjadi. Karena itu sama sekali ia tak dapat
memberikan perlawanan, dan membiarkan cambuknya
terlontar. Mengalami hal semacam itu, meskipun terpaksa
menahan sakit, Baureksa menjadi bertambah kalap. Ia
mengumpulkan segenap tenaganya dan ingin menebus
malunya dengan mematahkan leher lawannya.
Dengan sekuat tenaga ia menyembunyikan rasa sakitnya,
sehingga Mahesa Jenar tak dapat mengukur akibat
gempurannya dengan pasti. Baureksa cepat-cepat menarik
diri untuk segera bersiap-siap menyerang, sedangkan
Mahesa Jenar pun telah bersiap pula menghadapi segala
kemungkinan. Kembali Baureksa menyerang lawannya ke
dua arah sekaligus. Tangan kanannya menyodok perut,
sedangkan tangan kirinya menghantam pelipis. Mendapat
serangan ini Mahesa Jenar segera merendahkan diri serta
memutar tubuh. Tetapi ketika Baureksa melihat bahwa
Mahesa Jenar mencoba menghindar, segera Baureksa
mengubah arah serangannya. Cepat-cepat ia menarik
tangannya dan dengan satu gerakan dahsyat ia meloncat
dan menendang kepala lawannya. Mahesa Jenar tidak
menduga bahwa Baureksa dapat meloncat secepat itu.
Karena itu ia tidak lagi sempat mengelak. Sebenarnya
Mahesa Jenar masih akan menghindari bentrokanbentrokan secara langsung, sebab sampai sekian ia masih
belum dapat menjajagi sampai di mana kekuatan Baureksa
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
yang sebenarnya. Tetapi kali ini, ia harus melawan
serangan kaki Baureksa itu. Maka untuk tidak mengalami
hal-hal yang tidak dikehendaki atas dirinya, terpaksa
Mahesa Jenar mempergunakan sebagian besar dari
tenaganya yang dipusatkan pada siku tangan kanannya. Ia
merendah sedikit sambil memiringkan tubuhnya. Maka,
terjadilah suatu benturan yang hebat antara kaki Baureksa
dengan siku tangan Mahesa Jenar. Akibatnya hebat pula.
Baureksa ternyata telah mengerahkan seluruh tenaganya,
dan ketika ia melihat bahwa Mahesa Jenar tidak sempat
mengelakkan serangannya, ia sudah memastikan bahwa
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
orang asing itu akan terpelanting dan tidak akan dapat
bangun kembali. Tetapi dugaan itu ternyata meleset sama sekali. Ketika
kaki Baureksa yang sudah mengerahkan seluruh tenaganya
itu menyentuh siku tangan Mahesa Jenar, Baureksa merasa
bahwa kakinya seolah-olah menghantam dinding batu yang
keras sekali. Dan kini tulang-tulang kakinyalah yang
bergemeretakan, sedangkan ia terpental oleh kekuatannya
sendiri dan dengan kerasnya terbanting di tanah, sehingga
tidak sadarkan diri. Orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu, serentak
hatinya bergetar, sampai beberapa orang menggigil karena
tegang. Beberapa orang tidak dapat mengikuti dengan
pandangan matanya tentang apa yang terjadi. Yang mereka
ketahui hanyalah Baureksa terbanting di tanah hingga
pingsan. Demang Pananggalan, demikian nama Demang tua itu,
hatinya menjadi cemas menyaksikan pertempuran itu.
Sebab kalau sampai terjadi sesuatu hal, dia lah yang harus
bertanggungjawab. Cepat-cepat ia mendekati Baureksa yang sedang
pingsan. Dirabanya seluruh tubuhnya. Ia menjadi terkejut
sekali ketika tangannya meraba kaki Baureksa yang
membentur siku Mahesa Jenar. Kaki itu terasa dingin sekali
dan di beberapa bagian terasa adanya luka dalam yang
berbahaya bila tidak lekas-lekas mendapat pertolongan.
Orang-orang yang berkerumun menjadi terdiam seperti
patung. Mereka tidak tahu lagi bagaimana harus menilai
kehebatan orang asing itu, yang dengan bermain-main saja
telah dapat mengalahkan Gagak Ijo dan kemudian sekaligus
Baureksa. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Demang Penanggalan yang cemas atas keadaan
Baurekso segera memanggil orang untuk memanggil Ki
Asem Gede, seorang tua yang pandai mengobati segala
macam penyakit, termasuk luka-luka dalam yang timbul
karena benturan-benturan semacam itu. Di dalam hati ia
mengagumi kehebatan orang asing itu yang dapat melukai
lawannya, sedemikian hebatnya hanya dengan pertahanan.
Bagaimana kalau ia sengaja menyerang dan sengaja
menghantam lawannya. Adapun Mahesa Jenar sendiri ketika melihat akibat dari
benturan yang terjadi, menjadi agak menyesal juga, bahwa
ia telah mempergunakan terlalu banyak tenaganya sehingga
Baurekso menjadi pingsan. Perlahan-lahan ia memandangi
orang-orang yang berdiri di sekelilingnya dengan sikap
waspada. Sebab, bermacam-macam kemungkinan dapat
terjadi dengan jatuhnya Baurekso.
----------odwOkzo---------SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
II SEMENTARA itu Baureksa dan Gagak Ijo telah diangkat
orang ke dalam sambil menunggu Ki Asem Gede. Kini
perhatian orang seluruhnya tertumpah kepada Mahesa
Jenar yang masih belum bergeser dari tempatnya. Hanya
sebentar mereka melirik juga kepada Demang Pananggalan,
sambil bertanya-tanya di dalam hati, apakah seterusnya
yang akan diperbuat oleh demang tua itu" Sebenarnya pada
saat itu Demang Pananggalan telah mengambil keputusan
untuk mempersilahkan Mahesa Jenar masuk ke rumah
kademangan dan memberikan keterangan-keterangan.
Tetapi segera keadaan menjadi tegang kembali ketika
seseorang dengan langkah yang tegap dan tenang
memasuki gelanggang. "Kakang Demang," kata orang itu dengan nada yang
berat berwibawa, "perkenankanlah aku memperkenalkan
diri terhadap orang asing ini."
Alangkah terkejutnya Demang Pananggalan melihat
orang itu memasuki gelanggang. Ia menjadi kebingungan,
sebab sama sekali ia tidak menduga bahwa persoalannya
akan berlarut-larut. Orang itu adalah pemimpin pasukan
yang menangkap Mahesa Jenar tadi, dan ia adalah adik
kandung demang tua itu. Beberapa kali adik kandungnya
yang bernama Mantingan itu menyatakan ketidaksenangannya atas sikap Baureksa yang sering
adigang-adigung-adiguna. Dan mendadak ia ingin membelanya. Melihat kebingungan dan keragu-raguan
Demang Pananggalan, Mantingan menyambung, "Aku tidak
akan membela seseorang, Kakang. Tetapi aku tidak mau
orang lain menyangka betapa lemahnya kademangan ini.
Kami tidak tahu siapakah orang asing itu. Syukurlah kalau ia
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
bermaksud baik, tetapi kalau orang itu ingin menjajagi
kekuatan kita, alangkah berbahayanya. Sedangkan keterangan yang diberikan bukanlah berarti suatu
kebenaran yang harus kita percaya demikian saja."
"Tetapi maksudku bukan kau, Mantingan," kata demang
itu tergagap. Sebab ia tahu bahwa adiknya adalah orang
yang berilmu. Ia adalah orang yang lebih hebat daripada
dirinya sendiri. Ia adalah murid kedua Ki Ageng Supit di
Wanakerta. Mantingan adalah seorang dalang yang secara kebetulan
sedang mengunjungi kampung halamannya, yang baru saja
didatangi oleh gerombolan yang menculik gadis-gadis. Dan
Mantingan diminta untuk sementara tetap tinggal, kalau
ada kemungkinan gerombolan penculik itu datang kembali.
Tetapi saat itu Mantingan seperti tidak mendengar katakata kakaknya. Ia segera menyerahkan trisulanya kepada
orang terdekat yang dengan gugup menerima senjata itu
tanpa kesadaran. "Ki Sanak," kata Mantingan kepada Mahesa Jenar dengan
sopan, "aku belum pernah bertemu dengan kau sebelumnya
dan juga belum pernah mempunyai suatu persoalan
apapun. Tetapi tadi kau telah mempertunjukkan ketangkasan dan ketangguhanmu. Maka perkenankanlah
aku sekarang mencoba untuk melayanimu dengan sedikit
pengetahuan yang aku miliki."
Mahesa Jenar sibuk menduga-duga dalam hati. Orang ini
sikapnya agak berbeda dengan orang lain yang berada di
situ. Menilik sikapnya, sudah seharusnya kalau Mahesa
Jenar lebih berhati-hati melawannya.
"Dan sekarang," sambung Mantingan, "awaslah... aku
mulai." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Dan sesudah itu, benar-benar ia mulai menyerang.
Langkahnya tetap ringan. Ia membuka serangannya dengan
kaki, sedangkan kedua tangannya bersilang melindungi
dada. Melihat serangan ini, Mahesa Jenar terkejut. Ia kenal
gerakan pembukaan ini. Ketika orang itu dipanggil
namanya, sama sekali ia tidak menduga bahwa orang itu
pulalah yang berdiri di hadapannya. Bahkan sedang
mengadu tenaga dengan dirinya. Ia adalah Dalang
Mantingan dari Wanakerta, murid Ki Ageng Supit. Ia sering
mendengar nama itu. Bahkan pernah tersebar khabar di
Demak bahwa Dalang Mantingan seorang diri dapat
menangkap tiga saudara perampok dari Jarakah, di kaki
Gunung Merapi, yang dikenal dengan satu nama: Samber
Nyawa. Gerak pembukaan ini jelas berasal dari Ki Ageng
Supit, yang meskipun belum setaraf dengan gurunya tetapi
Ki Ageng Supit juga mempunyai nama yang dikagumi pula.
Tetapi Mahesa Jenar tidak sempat berpikir banyak.
Sebab ia segera sibuk melayani lawannya, yang bergerak
menyambar-nyambar dengan gerakan-gerakan yang cukup
tangguh. Akhirnya Mahesa Jenar tidak dapat hanya bersikap
mengelak dan menghindar saja. Ia tidak bisa hanya
bersikap mempertahankan diri saja. Untuk mengurangi
kebebasan gerak lawannya, ia harus ganti menyerang.
Serangan Ki Dalang Mantingan semakin lama menjadi
semakin hebat pula. Tangannya bergerak-gerak dengan
cepat dibarengi gerak kakinya yang ringan cekatan. Sekali
tangan Mantingan itu sudah berubah menyambar kening.
Tetapi Mahesa Jenar adalah bekas prajurit pengawal raja,
dan ia adalah murid Pangeran Handayaningrat yang juga
disebut Ki A geng Pengging Sepuh.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Untuk melawan Mantingan, sengaja Mahesa Jenar
mempergunakan tanda-tanda khusus dari perguruannya,
sebab jelas bahwa perguruannya mempunyai beberapa
persamaan dengan gerak-gerak yang dilakukan oleh
Mantingan. Segera Mantingan pun dapat pula mengenal tata
berkelahi Mahesa Jenar yang juga seperti ilmunya sendiri,
mempunyai sumber yang sama. Yaitu peninggalan
almarhum Bra Tanjung, yang diwarisi oleh Raden Alit yang
sedikit bercampur dengan gerak-gerak penyerangan yang
mantap dari Lembu Amisani. Tetapi yang ia tidak tahu dari
manakah Mahesa Jenar mempelajari tata berkelahi itu, yang
memiliki banyak perubahan dan penyempurnaan- penyempurnaan dengan gabungan-gabungan yang tepat
dan berbahaya. Itulah sebabnya Mantingan harus berhati-hati benar dan
memeras segala kepandaiannya untuk memenangkan
pertandingan ini.

Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Maka, ketika Mantingan berhasrat untuk cepat-cepat
mengakhiri pertandingan ini, ia memusatkan segala tenaga
dan pikiran untuk kemudian sebagai angin ribut melanda
lawannya. "Hebat ...!" pikir Mahesa Jenar ketika ia menerima
serangan bertubi-tubi dari Mantingan. "Memang perguruan
Wanakerta memiliki keistimewaan yang
tak dapat diabaikan." Kemudian terpaksa ia membuat beberapa langkah surut.
Tetapi Ki Dalang Mantingan tidak menyia-nyiakan tiap
kesempatan. Cepat ia maju dengan melancarkan gempuran-gempuran hebat. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Rupa-rupanya Ki Dalang Mantingan menjadi agak gusar
ketika serangan serangannya tidak segera dapat mengenai
lawannya, bahkan lawannya itu dapat pula mendesaknya.
Karena itu gerakan-gerakan serta serangan-serangannya
menjadi bersungguh-sungguh. Ia tidak mau mengorbankan
namanya seperti Gagak Ijo dan Baureksa.
Demang Panggalan menjadi semakin cemas dan
bingung. Ia tidak menghendaki orang asing yang belum
diketahuinya benar-benar asal-usulnya itu mendapat
cedera, sebab tidak mungkin ia berdiri sendiri. Apalagi kalau
benar-benar ia orang Istana Demak. Tetapi disamping itu,
Demang Pananggalan sangat sayang kepada adiknya, dan
ia sama sekali tidak rela kalau adiknya mengalami hal-hal
yang tidak diharapkan, baik tubuhnya maupun namanya.
Sementara itu pertarungan menjadi semakin sengit.
Serangan-serangan Mantingan menjadi semakin dahsyat
dan ia sudah hampir kehilangan pengamatan diri sehingga
geraknya tak terkekang lagi.
Ketika serangannya yang dilancarkan dengan kedua
tangannya sekaligus mengarah ke sasaran yang berbeda
dapat dihindari oleh Mahesa Jenar, cepat ia mengubah
serangan itu dengan serangan berikutnya, dengan kaki
yang mengarah ke perut Mahesa Jenar. Melihat perubahan
itu Mahesa Jenar terpaksa meloncat mundur. Tetapi
Mantingan rupa-rupanya sudah bertekad untuk memenangkan pertempuran itu dengan segera. Maka,
demikian Mahesa Jenar meloncat mundur, disusulnya pula
dengan kaki yang lain setelah ia memutarkan tubuhnya
setengah lingkaran atas kaki yang pertama. Rupa-rupanya
Mahesa Jenar sama sekali tidak menduga bahwa seranganserangan Mantingan akan sedemikian bertubi-tubi SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
datangnya, sehingga terasalah tumit Mantingan mengenai
pinggangnya. Gempuran ini demikian hebat sehingga tubuh Mahesa
Jenar bergetar dan hampir saja ia kehilangan keseimbangan. Meskipun tubuh Mahesa Jenar sudah cukup
terlatih serta mempunyai daya tahan yang kuat, namun
terasa juga bahwa tumit yang mengenai pinggangnya itu
menimbulkan rasa sakit. Kena tendangan ini, hati Mahesa Jenar menjadi agak
panas juga. Karena itu ia berketetapan hati untuk melayani
Ki Demang Mantingan dengan lebih bersungguh-sungguh
lagi. Maka segera geraknya berubah menjadi semakin cepat
dan keras. Ia membalas setiap serangan dengan serangan
pula. Dan ia sama sekali tidak mau tubuhnya disakiti oleh
lawannya lagi. Ki Dalang Mantingan terkejut melihat perubahan
tendangan lawannya. Maka segera ia sadar bahwa orang
yang dilawannya itu berilmu tinggi. Tetapi segala
sesuatunya telah terlanjur. Satu-satunya kemungkinan
baginya adalah, lawannya menghendaki pertempuran itu
akan berlangsung mati-matian.
Dan memang sebenarnyalah demikian.
Serangan-serangan Mahesa Jenar berikutnya datang
bertubi-tubi seperti ombak yang bergulung-gulung menghantam pantai. Bagaimanapun kukuhnya batu-batu
karang tebing, namun akhirnya segumpal demi segumpal
berguguran jatuh juga ke laut.
Dalang Mantingan mengeluh di dalam hati.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sebagai seorang yang telah banyak mempunyai
pengalaman, ia merasa bahwa lawannya memiliki
kepandaian yang lebih tinggi.
Dan yang kemudian terjadi adalah, Ki Dalang Mantingan
mulai tampak terdesak. Bagaimanapun ia berusaha, kini ia
terpaksa untuk bertahan saja. Ia sama sekali tidak
berkesempatan untuk menyerang. Bahkan beberapa kali ia
telah dapat dikenai oleh lawannya, meskipun tidak di
tempat-tempat yang berbahaya. Tubuh Mantingan terasa
nyeri sekali. Tetapi, meskipun demikian ia bukanlah Mantingan kalau
sampai ia menyerah. Sementara itu, Demang Pananggalan semakin kebingungan. Ia segera melihat kesulitan adiknya.
Bagaimanapun, ia mempunyai perasaan tidak rela melihat
hal yang demikian itu berlangsung. Mantingan yang
dibangga-banggakan seluruh penduduk Kademangan,
sekarang akan dikalahkan oleh orang asing di hadapan
penduduknya sendiri. Karena itu hampir di luar sadarnya ia
meloncat maju. Meskipun umurnya sudah lanjut dan tidak
sekuat Mantingan, namun karena pengalamannya maka
Demang tua ini nampaknya berbahaya juga. Langsung ia
menyerang Mahesa Jenar dengan gerakan-gerakan yang
tak terduga-duga untuk mengurangi tekanannya pada
Mantingan. Maka segera Mahesa Jenar menjadi sibuk berpikir,
apakah maksud yang sebenarnya dari Demang tua ini.
Penduduk yang mengitari pertarungan itu dengan
asyiknya menyaksikan gerak masing-masing dengan
keheran-heranan, sebagai suatu hal yang belum pernah
dilihat sebelumnya. Mendadak mereka terkejut sekali
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
melihat Demang terjun langsung ke arena. Mereka serentak
merasa bangun dari sebuah mimpi yang dahsyat. Dalam hal
yang demikian, bagaimanapun hebatnya lawan, mereka
merasa wajib membela pemimpin mereka meskipun harus
menyerahkan nyawanya. Serentak mereka menggenggam senjata masing-masing
makin erat. Sedangkan beberapa orang yang berdiri di baris
paling depan sudah mulai bergerak.
Mahesa Jenar segera melihat kesulitan yang bakal
datang. Karena itu ia semakin waspada. Ia mulai
menghimpun kekuatan-kekuatannya untuk membuat gempuran-gempuran terakhir, meskipun hal itu dilakukan
dengan berat hati. Ia sama sekali tidak menduga, bahwa ia
harus terlibat dalam masalah yang sama sekali tak diketahui
sebab-sebabnya. Tetapi bagaimanapun, ia tidak mau
dijadikan bulan-bulanan dari peristiwa-peristiwa yang tak
diketahui ujung- pangkalnya itu.
Tiba-tiba ketika keadaan sudah sedemikian memuncaknya, halaman itu digetarkan oleh sebuah teriakan
nyaring. "Adi Pananggalan dan Adi Mantingan, apa yang terjadi?"
Teriakan yang dilontarkan sepenuh tenaga itu bergetar
memenuhi halaman Kademangan, sehingga semuanya
terkejut karenanya. Dan pertarungan itu pun segera
terhenti. Ternyata yang berteriak itu adalah Ki Asem Gede, yang
datang untuk mengobati Baureksa dan Gagak Ijo.
"Apa yang terjadi ...?" ulangnya. Perlahan-lahan matanya
memandang berkeliling, ke wajah-wajah yang berdiri di
sekitar halaman itu, kemudian dipandanginya wajah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mantingan dan Demang Pananggalan dengan matanya yang
bening, sehingga membawa pengaruh yang sejuk. A langkah
damainya hati seorang yang mempunyai wajah dan mata
yang begitu lunak. Umurnya sudah lanjut, dan hampir
seluruh rambutnya sudah putih. Ia berjalan perlahan
mendekati Mahesa Jenar. Lalu membungkuk dengan
hormatnya. "Anakmas, apa yang terjadi?" tanyanya, dan
kemudian ia menoleh kepada Demang Pananggalan dan Ki
Dalang Mantingan, "Apa yang terjadi?" ulangnya kembali.
Demang Pananggalan merasa sulit untuk memberi
jawaban. Memang ia sendiri bertanya kepada dirinya,
kenapa ini sampai terjadi" Ketika Pananggalan tidak segera
menjawab, Ki Asem Gede kembali memandang kepada
Mahesa Jenar. Matanya hampir tiada berkedip, seakan-akan
ia masih belum yakin kepada penglihatannya.
Ketika ia memasuki halaman itu, dan melihat
pertarungan yang sengit, hatinya tersirap. Ia pernah
melihat orang yang bertempur melawan Demang Pananggalan kakak-beradik.
Ia merasa pernah bertemu dengan orang itu di Demak,
ketika ia bersama-sama dengan kakaknya, yang juga
seorang ahli obat-obatan, memenuhi panggilan Panji
Danapati, untuk mengobati anaknya yang sakit.
"Anakmas..." katanya kemudian, "bolehkah aku ini, orang
tua yang tak berharga menanyakan sesuatu kepada
anakmas?" Melihat wajah orang tua itu, hati Mahesa Jenar menjadi
lunak seketika, bahkan ia agak malu kepada diri sendiri
yang masih sedemikian mudahnya terbakar oleh nafsu.
"Silahkan, Bapak..." jawabnya. "Apakah kiranya yang
ingin Bapak ketahui?"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Maafkanlah orang tua ini," kata orang tua itu
selanjutnya sambil menatap Mahesa Jenar dengan penuh
perhatian. "Maafkan aku, kalau aku berani mengatakan
bahwa aku pernah bertemu dengan Anakmas di Demak."
Mendengar pertanyaan ini Mahesa Jenar mengerutkan
keningnya. Ia mulai mengingat-ingat, apakah ia benarbenar pernah bertemu dengan orang itu.
"Aku pernah datang ke Demak," sambung Ki A sem Gede,
"bersama-sama dengan kakakku, untuk mencoba menyembuhkan sakit putera Panji Danapati, salah seorang
perwira dari perajurit pengawal raja."
Mendengar kata-kata Ki Asem Gede, tiba-tiba Mahesa
Jenar jadi teringat pertemuannya dengan orang tua itu.
Pada saat itu ia sedang berkunjung ke rumah kawan
sepasukan yang pada saat yang bersamaan sedang
memanggil dua orang tua untuk mengobati anaknya yang
sedang sakit. Dan ia jadi teringat, bahwa salah seorang dari
kedua orang itu, adalah yang sekarang berdiri di
hadapannya. "Di sana..." Ki Asem Gede melanjutkan, "aku bertemu
pula dengan seorang perwira lain, kawan Panji Danapati itu.
Kenalkah Anakmas dengan Panji Danapati?"
Mahesa Jenar agak ragu, tetapi perlahan-lahan ia
mengangguk juga. "Nah..." kata orang tua itu pula, "kalau begitu aku tidak
salah lagi, Anakmaslah yang aku jumpai di ndalem
Danapaten. Benarkah?"
Mahesa Jenar masih saja ragu-ragu. Sebenarnya ia ingin
melupakan saja apa yang pernah terjadi. Meskipun
sebenarnya ia masih ingin mengabdikan diri kepada
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
negerinya, tetapi dengan terbunuhnya Ki Kebo Kenanga,
saudara seperguruannya, lebih baik ia menyingkirkan diri,
dan mencari cara pengabdian yang lain.
Juga penegasan tentang dirinya akan mempermudah
setiap usaha untuk menangkapnya, apabila ia dianggap
berbahaya seperti Ki Kebo Kenanga. Ia tidak ingin kalau


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sampai terjadi bentrokan dengan orang-orang yang sedang
menjalankan kewajibannya, serta,kawan-kawan seperjuangannya dahulu. Maka lebih baik baginya untuk
menjauhkan diri saja dari setiap kemungkinan itu.
Tetapi sekarang ia tidak dapat mengingkari pertanyaan
orang tua itu. Karena itu, kembali Mahesa Jenar
mengangguk lemah. Oleh anggukan itu, tiba-tiba Ki Asem Gede membungkuk
lebih hormat lagi dan dengan suaranya yang lembut ia
berkata, "Kalau begitu Anakmas ini adalah tuanku Rangga
Tohjaya." Perkataan Ki Asem Gede itu seperti petir datang
menyambar telinga Ki Dalang Mantingan serta Demang
Pananggalan. Ia pernah mendengar nama itu, bahkan nama
itu terlalu besar untuk disebut-sebut sebagai seorang
pahlawan yang sudah mengamankan Demak dari gangguan-gangguan kejahatan.
Mahesa Jenar sendiri agak terkejut juga mendengar
nama itu disebutkan. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain
daripada mengiyakan. Sebab Ki Asem Gede itu pasti pernah
mendengarnya dari Panji Danapati, bahwa ia sebagai
seorang perwira pengawal raja, disamping namanya sendiri
mendapat gelar Rangga Tohjaya.
Demang Pananggalan dan Ki Demang Mantingan masih
berdiri termangu-mangu. Mereka masih belum yakin benar
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
akan kata-kata Ki Asem Gede, sampai Ki Asem Gede
menyapanya. "Adi Pananggalan dan Adi Mantingan,
belumkah adi berdua pernah mendengar nama itu?"
Mereka berdua tersadar oleh sapa itu. Dengan hati-hati
Demang Pananggalan mencoba bertanya, "Ki Asem Gede,
aku memang pernah mendengar gelar itu serta kebesarannya, tetapi aku belum mengenal wajahnya,
karena aku orang yang picik dan sama sekali tak berarti.
Tetapi perkenankanlah aku bertanya bahwa beliau tadi
berkenan menyebut gelarnya dengan Mahesa Jenar ...?"
Ki Asem Gede tertawa lirih. "Benar Adi berdua, Mahesa
Jenar adalah namanya, sedang gelarnya sebagai seorang
prajurit adalah Rangga Tohdjaja."
Hati Demang Pananggalan dan Dalang Mantingan
berdegup keras. Tetapi pandangan mata mereka masih
mengandung seribu macam pertanyaan, sehingga akhirnya
Mahesa Jenar sendiri mengambil keputusan untuk
mengatakan keadaannya yang sebenarnya sebagai suatu
hal yang tak mungkin lagi diingkari. Katanya, "Bapak
Demang dan Kakang Mantingan, memang sebenarnyalah
aku yang bernama Mahesa Jenar, telah menerima anugerah
nama sebagai seorang prajurit, Rangga Tohjaya."
Mendengar penjelasan itu detak jantung Demang
Pananggalan dan Dalang Mantingan serasa akan berhenti.
Mereka sama sekali tidak mengira bahwa mereka telah
berhadap-hadapan dengan seorang yang sakti. Untunglah
bahwa segala sesuatunya belum terlanjur. Kalau sampai
terjadi Rangga Tohjaya mengeluarkan segala kesaktiannya
maka sulitlah bagi mereka semua untuk dapat keluar dari
halaman itu dengan masih bernafas.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Maka, seperti digerakkan oleh satu tenaga penggerak,
Dalang Mantingan dan Demang Pananggalan cepat-cepat
melangkah maju ke hadapan Mahesa Jenar, dan bersamasama membungkuk hormat. Dengan agak terputus-putus
karena berbagai perasaan yang berdesakan di dadanya,
Demang Pananggalan berkata, "Kami mohon ampun ke
hadapan Anakmas Rangga Tohjaya, bahwa kami telah
berbuat suatu kesalahan yang besar sekali. Serta
mengucapkan beribu-ribu terima kasih atas kemurahan
Anakmas yang tidak sekaligus menghabisi jiwa kami. Dan
sekarang kami menjerahkan diri untuk menerima segala
hukuman yang seharusnya kami jalani."
Mahesa Jenar terharu juga melihat Demang tua itu
ketakutan. Sejak semula ia sudah menduga bahwa Demang
tua itu sama sekali tak bermaksud jahat kepadanya. Hanya
karena perkembangan keadaan saja maka semuanya itu
terjadi. Bahkan mungkin di luar dugaan Demang tua itu
sendiri. Maka berkatalah Mahesa Jenar, "Bapak Demang
Pananggalan dan Kakang Mantingan, tak ada sesuatu yang
harus aku maafkan. Yang sudah terjadi tak perlu disesali.
Yang perlu, sekarang silahkan Ki Asem Gede mengobati
kedua orang-orangmu yang terluka. Tetapi percayalah, aku
sama sekali tidak bermaksud untuk melukainya benarbenar." Kembali Demang Pananggalan dan Mantingan mengagguk hormat, lalu mereka mempersilahkan Mahesa
Jenar masuk ke Kademangan.
Orang-orang yang berada di halaman menyaksikan
semuanya itu dengan keheran heranan. Mereka yang
pernah mendengar nama Rangga Tohjaya dan pernah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mendengar kesaktiannya, segera bercerita dengan suara
yang berderai derai, seakan akan dengan mengenal nama
itu mereka sudah terhitung orang yang terkemuka dalam
kalangan kepahlawanan. Sementara itu Ki Asem Gede sudah mulai melakukan
kewajibannya. Ternyata luka Gagak Ijo dan Baureksa tidak
ringan. Beberapa kali mereka tak sadarkan diri. Untung Ki
Asem Gede segera turun tangan. Kalau sampai terlambat
satu malam saja, mungkin mereka sudah tak tertolong lagi.
Kecuali itu, ternyata Ki Dalang Mantingan juga mengalami
cedera. Beberapa bagian tubuhnya tidak bekerja seperti
biasa dan di beberapa bagian yang terkena serangan
Mahesa Jenar tampak membengkak dan kemerah-merahan.
Untunglah, daya tahan tubuh Mantingan cukup kuat
sehingga Ki Asem Gede tidak perlu bekerja terlalu keras
untuk menolongnya. Maka, ketika keadaan sudah agak reda, dan Ki Asem
Gede sudah tidak sibuk lagi, duduklah mereka di atas balebale besar di pendapa Kademangan, mengelilingi lampu
minyak yang nyalanya bergoyang-goyang diayun-ayunkan
angin. Di luar, gelap malam mulai turun sebagai tabir
raksasa berwarna hitam kelam. Sedangkan di langit satu
demi satu bintang mulai bercahaya menembus hitamnya
malam. Maka mulailah, mereka mulai berbicara dan bercerita
tentang diri masing-masing. Mahesa Jenar tidak lagi
menyembunyikan sesuatu. Diceritakannya seluruh masalah
mengenai dirinya, kenapa ia sampai meninggalkan Demak.
"Aku telah menanggalkan pakaian keprajuritan dan telah
menyisihkan segala macam senjata", katanya, "dengan
suatu keinginan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tetapi rupa-rupanya Tuhan sendiri belum berkenan,
sehingga aku masih dikendalikan oleh nafsu,".
Semuanya yang mendengarkan mengangguk-anggukan
kepala, dan mereka merasa juga bersalah, sehingga
Mahesa Jenar terpaksa menyesali dirinya.
Sementara itu mulailah hidangan mengalir. Demang
Pananggalan yang merasa telah menyakiti hati Mahesa
Jenar, ingin sedikit mengurangi kesalahannya dengan
menghidangkan apa yang mungkin dihidangkan pada saat
itu. Sedangkan Ki Asem Gede, kecuali seorang yang
bijaksana serta mempunyai ilmu obat-obatan, ternyata juga
seorang yang jenaka. Banyak hal yang dapat ia ceritakan
tentang dirinya dengan lucu sekali, sehingga suasana
menjadi meriah dan akrab. Diceritakan, bagaimana ia
terpaksa sekali mengobati seorang yang sakit, hanya
dengan air saja, tanpa ramu-ramuan obat yang lain. Sebab,
pada saat itu ia sedang berada dalam perjalanan dan tak
membawa obat-obatan yang diperlukan.
"Tetapi" katanya, "tiga hari kemudian orang itu datang
kepadaku, dengan membawa empat ikan gurameh sebesar
penampi, sebagai ucapan terima kasih atas obat-obatku
yang mujarab," "Sebabnya," sambung Ki Asem Gede, kenapa obatobatku banyak yang dapat berhasil, adalah sebagian besar
dari mereka yang aku obati mempunyai kepercayaan
kepadaku. Bahwa seseorang yang menderita sakit merasa
berbesar hati, adalah merupakan obat yang banyak
menolongnya. Lebih daripada itu, semuanya adalah berkat
kuasa Tuhan Yang Maha Esa. Tetapi..", suara Ki A sem Gede
terputus, sedang mereka yang mendengarkan jadi
bertanya-tanya dalam hati, kenapa tiba-tiba saja wajah Ki
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Asem Gede yang cerah menjadi muram" Beberapa kali ia
menelan ludah, seperti ada sesuatu yang menyumbat
kerongkongannya. "Tetapi..." ulang Mahesa Jenar yang ingin mendengar
kelanjutan ceritera Ki Asem Gede itu.
"Ah tak apalah," tukasnya. "Segala sesuatu ada
pengecualiannya. Sebagai seorang yang beratus bahkan
beribu kali menyembuhkan orang sakit, maka sekali-kali
Tuhan tak memperkenankan juga. Itu adalah suatu bukti
akan kebesaran-Nya" Mahesa Jenar maklum bahwa ada sesuatu yang tak mau
ia sebutkan. Karena itu ia tidak bertanya lebih lanjut.
"Nah... Anakmas..." sambung Ki Asem Gede kemudian,
sambil berusaha untuk mengembalikan suasana, "kenapa
tidak saja Anakmas berceritera tentang apa yang Anakmas
jumpai di perjalanan. Tidakkah Anakmas menjumpai
kejadian kejadian yang lucu, misalnya, seperti yang terjadi
di sini" Seorang seperti Adi Pananggalan dan Adi Mantingan
berlagak sebagai seorang sakti." Mendengar pertanyaan ini
Mahesa Jenar tersenyum, demikian juga Demang Pananggalan dan Dalang Mantingan, meskipun kalau
teringat akan hal itu, hati mereka masih tergetar.
Tetapi kemudian oleh pertanyaan ini, Mahesa Jenar
teringat akan keperluannya datang ke desa itu. Yaitu, ingin
mengetahui jawaban teka-teki tentang adanya kerangka
yang dijumpainya di puncak Gunung Ijo. Karena itu
bertanyalah ia, "Ki A sem Gede, Bapak Demang Pananggalan
serta Kakang Mantingan. Memang sebenarnya ada aku
jumpai sesuatu dalam perjalananku yang ingin aku
tanyakan. Itulah sebabnya maka aku datang kemari." Ketika
Mahesa Jenar tampaknya bersungguh-sungguh, maka
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mereka yang mendengarkanpun menjadi bersungguhsungguh pula. "Di puncak Gunung Ijo," sambung Mahesa Jenar, "aku
jumpai sesuatu yang mencurigakan. Alat-alat minum yang
berserak-serakan. Bekas unggun api. Dan yang paling
mengherankan adalah adanya batu-batu yang disusun
sebagai suatu tempat untuk sesaji, sedangkan di atasnya
terdapat kerangka perempuan. Dan tidak jauh dari tempat
itu, aku ketemukan pula kerangka yang lain. Juga seorang
perempuan." Mendengar pertanyaan itu Demang Pananggalan menundukkan muka dalam-dalam. Ki Asem Gede mengerutkan dahinya yang sudah dipenuhi oleh garis-garis
ketuaannya, sedangkan Dalang Mantingan menarik nafas
dalam-dalam. Melihat keadaan itu maka makin nyatalah
bagi Mahesa Jenar bahwa daerah ini pasti langsung
mengalami bencana yang bertalian dengan peristiwa
Gunung Ijo. "Anakmas..." jawab Ki Demang Pananggalan dengan
suara yang dalam. "Akulah orangnya, kalau ada orang tua
yang sama sekali tak berguna." Ia berhenti sebentar
menelan ludah, lalu sambungnya, "Apalagi aku sebagai
seorang Demang, yang seharusnya dapat memberikan
perlindungan kepada rakyatku. Tetapi nyatanya aku sama
sekali tak mampu berbuat demikian." Kembali Demang tua
itu berhenti berbicara. Matanya memandang jauh menusuk
gelapnya malam. Di halaman, beberapa orang masih duduk
berkelompok-kelompok sambil berceritera tentang kehebatan pertarungan siang tadi.
Demang Pananggalan mengeser duduknya sedikit.
Matanya masih menembus gelap, seolah-olah ada yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dicarinya di kegelapan itu. Tetapi rupa-rupanya ia ingin
melanjutkan ceriteranya. Ki Demang pun meneruskan


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ceritanya. "Ketika itu, di daerah ini lewat serombongan
orang-orang berkuda. Didesa ini mereka berhenti dan minta
untuk menginap barang semalam. Mereka memasuki desa
ini menjelang senja. Karena tak ada tanda-tanda yang aneh
pada mereka, serta sikap pimpinannya yang ramah maka
kami tak dapat menolak permintaan itu. Rombongan itu
dipimpin oleh dua orang suami-isteri yang akan
mengadakan ziarah ke Gunung Baka. Tetapi ketika malam
pertama telah lewat, mereka minta untuk diperkenankan
bermalam semalam lagi sambil melepaskan lelah dan
mengadakan persiapan-persiapan untuk sesaji. Permintaan
ini pun tak dapat aku tolak." Sekali lagi ia berhenti. Ruparupanya ia sedang mengingat-ingat apa yang telah terjadi.
Kemudian sambungny. "Tetapi terkutuklah mereka. Terkutuklah rombongan orang-orang berkuda itu. Pada
malam kedua mereka menangkap seorang gadis yang
sedang pergi ke sungai. Gadis ini sempat menjerit, dan
seorang yang baru pulang dari mengairi sawahnya dapat
menyaksikan peristiwa itu. Pengantar gadis itu, seorang
pemuda tanggung dipukulinya sampai pingsan. Maka ketika
hal itu disampaikan kepada kami, meledaklah amarah kami.
Segera Banjar Kademangan yang kami sediakan sebagai
tempat penginapan mereka, kami kepung rapat-rapat.
Mereka segera kami ancam untuk menyerah. Tetapi yang
terjadi adalah diluar dugaan kami. Mereka sama sekali tidak
menghiraukan kehadiran kami, orang-orang hampir seluruh
desa ini. Ketika kami mendengar gadis itu menjerit, hati
kami tak tahan lagi. Cepat-cepat kami menyerbu masuk.
Tetapi rupa-rupanya mereka telah siap menanti kedatangan
kami. Dan segera terjadilah pertempuran. Orang-orang
kami lebih banyak dikendalikan oleh kemarahan yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
meluap-luap, daripada kesediaan untuk bertempur. Apalagi
rombongan berkuda itu ternyata terdiri dari orang-orang
yang tangguh. Maka lenyaplah segala kesan keramahtamahan mereka. Bahkan tampaklah betapa dahsyat cara
mereka menjatuhkan lawan. Beberapa saat pertempuran itu
berlangsung dengan dahsyatnya, tetapi segera tampak
betapa lemahnya kami. Segera orang-orang kami dapat
dihantam dan dicerai-beraikan. Aku tidak lagi dapat berpikir
lain daripada bertempur mati-matian. Dan aku beserta
Baureksa dan Gagak Ijo sebagai orang-orang yang paling
dapat dipercaya pada waktu itu, berhasil menerobos masuk
ke banjar, sehingga kami bertiga langsung terlibat dalam
perkelahian melawan suami-istri pemimpin gerombolan itu.
Mungkin terdorong oleh kemarahanku maka terasa seolaholah tenagaku menjadi berlipat-lipat. Si istri itu pun ternyata
mempunyai ilmu yang tinggi, ditambah lagi betapa kasarnya
cara mereka bertempur. Si Suami menerkam dan mengaum
seperti harimau, sedangkan si isteri menyerang dengan jarijari yang dikembangkan. Wajah-wajah mereka yang ramah
itu sekarang sudah berubah menjadi wajah-wajah iblis yang
menakutkan. Tetapi aku sama sekali tidak peduli. Mungkin
saat itu, akupun berkelahi seperti iblis. Tetapi kemudian
ternyata bahwa kami bertiga bukanlah lawan mereka.
Apalagi tenagaku adalah tenaga orang tua yang sangat
terbatas. Ketika nafasku sudah mulai mengganggu, segera
aku merasa terdesak, sedangkan serangan mereka semakin
lama menjadi semakin kasar."
Demang tua itu menarik nafas sambil membetulkan
duduknya, kemudian ia melanjutkan, "Saat itu aku sudah
berpikir bahwa rupa-rupanya ajalku sudah hampir tiba.
Sebab daya tahanku semakin lama menjadi semakin lemah.
Apalagi Baureksa dan Gagak Ijo sama sekali tak dapat
berbuat sesuatu. Tetapi ternyata Tuhan menghendaki lain.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Rupa-rupanya salah seorang
telah memberitahukan kesulitan-kesulitan kami ini kepada Ki Asem Gede, yang
pada saat yang tepat datang menolong kami."
Demang itu berhenti berceritera. Pandangan matanya
yang suram itu dilemparkan kepada Ki Asem Gede. Lalu
katanya, "Selanjutnya Ki Asem Gede-lah yang lebih
mengetahuinya." Mahesa Jenar mendengarkan cerita Demang tua itu
dengan penuh perhatian. Terbayang betapa Demang tua itu
telah berusaha mati-matian untuk melindungi rakyatnya,
sampai ia tidak memikirkan nasibnya sendiri. Tetapi ruparupanya lawannya adalah orang yang perkasa.
Ki Asem Gede yang diminta melanjutkan cerita itu,
berkisar sedikit. Dipandangnya pelita yang nyalanya
bergerak-gerak oleh angin yang berhembus ke pendapa. Ia
batuk-batuk sedikit, lalu mulailah ia bercerita. "Anakmas,"
katanya, "sebenarnya bukanlah pertolongan yang aku
berikan, tetapi semata-mata hanyalah karena kebetulan
saja dan terutama atas kehendak Tuhan. Aku bukanlah
orang yang mempunyai kepandaian yang cukup untuk
bertanding. Kalau pada masa mudaku, sekali dua kali aku
pernah terlibat dalam suatu pertarungan, itu sama sekali
bukan karena aku mampu melakukannya, tetapi itu
hanyalah karena kebodohan dan kesombonganku yang
kosong saja." Diam-Diam Mahesa Jenar mengamati tubuh Ki Asem
Gede yang sudah tua itu. Kulitnya sudah melipat-lipat dan
hampir seluruh rambutnya, bahkan alisnya pun telah
memutih seluruhnya. Namun gerak-geriknya masih tampak
tanda-tanda kelincahan. Ini menandakan bahwa pada masa
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mudanya ia adalah seorang yang kuat. Bahkan mungkin
sampai saat ini pun ia masih memiliki kekuatan itu.
"Pada masa mudaku," sambung Ki A sem Gede, "memang
aku pernah berguru kepada seseorang yang dikenal dengan
nama Ki Tambak Manyar."
Mendengar nama itu disebut-sebut, Mahesa Jenar
terhenyak, sebab ia pernah mendengar nama itu dari
almarhum gurunya bahwa almarhum Ki Tambak Manyar
adalah seorang prajurit Majapahit yang tangguh. Karena itu,
mau tidak mau ia harus memandang Ki Asem Gede sebagai
seorang yang berilmu, baik dalam obat-obatan maupun
ilmu tata berkelahi. Bahkan rupa-rupanya ia memiliki
kecerdasan otak yang tidak mengecewakan pula.
"Tetapi," lanjut Ki Asem Gede, "sebagai aku katakan tadi,
aku tidak banyak mendapat kemajuan. Barangkali tubuhku
terlalu ringkih untuk melakukan hal-hal yang berat dan
keras. Karena itu Ki Tambak Manyar melatih aku dalam hal
mempergunakan senjata sebaik-baiknya. Baik jarak pendek
maupun jarak jauh. Dan ini adalah suatu keuntungan.
Sebab ilmu ini dapat aku berikan kepada banyak orang
sekaligus meskipun tidak sedalam-dalamnya, kecuali hanya
kepada satu-dua orang saja. Terutama dalam hal
mempergunakan bandil, panah, supit dan sebagainya."
Orang tua itu berhenti sebentar dan menarik nafas dalamdalam. Kemudian ia melanjutkan, "Kepandaian yang tak
berarti itu ternyata berguna juga dalam suatu waktu,
dimana Adi Pananggalan hampir menjadi korban keganasan
orang-orang berkuda itu. Ketika aku datang, penduduk
kademangan ini telah kehilangan semangat dan hampir
putus-asa. Sedangkan kalau sampai terjadi penduduk
daerah ini melarikan diri, akibatnya akan hebat sekali.
Orang-orang berkuda itu pasti akan melakukan tindakanSH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tindakan yang ganas dan kotor lainnya. Karena itu, segala
usaha untuk mengusir mereka itu harus dijalankan. Pada
saat itulah, maka aku mengumpulkan orang-orang yang
sudah ketakutan itu dan berusaha untuk membangkitkan
semangatnya kembali. Aku peringatkan kepada mereka
bahwa sebaiknya kita melawan orang-orang berkuda itu
dari jarak jauh, sebab dengan mengadu kekuatan sudah
jelas bahwa kepandaian dan keperkasaan mereka jauh di
atas kita. Dengan jumlah yang banyak dan seranganserangan jarak jauh, mungkin kita akan berhasil
mengacaukan mereka. Maka, dengan mempergunakan senjata ini, lanjut Ki
Asem Gede, rupa-rupanya semangat mereka bangkit
kembali. Dan sebentar kemudian, setelah segala siasat
ditentukan, mulailah kami menyerang orang-orang berkuda
itu dari jarak jauh dan dari segala jurusan. Orang-orang
kami mempergunakan panah, supit dan bandil. Sedang
rupa-rupanya orang-orang berkuda itu tidak bersiap untuk
melakukan pertempuran jarak jauh, sehingga berhasilah
siasat kami untuk mengacaukan perhatian mereka. Apalagi
kami mempergunakan panah yang ujungnya kami balut
dengan kain berminyak serta kami nyalakan. Akhirnya
pemimpin mereka suami isteri itu terpaksa keluar dari
Banjar dan akhirnya merekapun dapat kami usir pergi.
"Tetapi yang menyedihkan kami adalah, Adi Demang
Pananggalan, Baureksa dan Gagak Ijo, mengalami luka-luka
yang cukup berat, serta tidak sadarkan diri. Apalagi gadis
yang ditangkapnya itu. Ia mengalami ketakutan yang
sangat sehingga akhirnya ia memerlukan waktu yang cukup
lama untuk mengembalikan kesadarannya." Kembali Ki
Asem Gede berhenti. Ia membetulkan duduknya dan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
seolah-olah menunggu Mahesa Jenar meresapi katakatanya. Bagi Mahesa Jenar, persoalannya menjadi semakin jelas.
Bahwa pernah terjadi percobaan untuk menculik gadis di
daerah ini. Untunglah bahwa usaha itu dapat digagalkan.
Tetapi meskipun demikian, rupanya, di daerah ini
rombongan itu berhasil mendapatkan gadis-gadis untuk
korban upacaranya yang aneh itu.
"Kemudian sesudah itu..." Ki Asem Gede melanjutkan
lagi, "di atas salah satu puncak pegunungan Baka, yaitu
puncak Gunung Ijo, hampir tiap malam terlihat api yang
menyala-nyala. Kami kemudian hampir memastikan bahwa
rombongan orang-orang berkuda itu pergi ke sana. Kami
merasa bahwa rombongan itu adalah rombongan yang
berbahaya, tetapi kami tidak segera dapat memburunya
sebab kami mengetahui kekuatannya. Meskipun demikian
kami memutuskan untuk pada suatu saat akan menyusul
mereka. Mengusir mereka atau kalau mungkin menghancurkan mereka sama sekali. Akan tetapi beberapa
waktu kemudian tidak lagi pernah nampak nyala api di
puncak Gunung Ijo. Dan sekarang A nakmas datang dengan
membawa penjelasan tentang apa yang kira-kira pernah
terjadi di atas puncak Gunung Ijo itu." Cerita Ki Asem Gede
diakhiri dengan suatu tarikan nafas yang panjang. Suatu
tarikan nafas penjelasan.
Mahesa Jenar sekarang sudah pasti, bahwa orang-orang
berkuda itu adalah orang orang yang mempunyai
kepercayaan sesat. Memang pernah terdengar adanya
suatu aliran kepercayaan yang dalam upacaranya
menggunakan gadis-gadis sebagai korban, disamping
pemanjaan nafsu-nafsu lahirlah yang lain. Minuman keras,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
makan dengan suatu cara yang hampir dapat disebut buas,
dan sebagainya. Suasana kemudian menjadi sepi. Sedang malam semakin
lama semakin dalam. Mereka dihanyutkan oleh pikiran
masing-masing serta gambaran-gambaran yang mengerikan
tentang apa yang terjadi atas gadis-gadis yang dijadikan
korban kepercayaan sesat semacam itu.
Tetapi, dI bagian belakang rumah Kademangan itu,
tampak adanya suasana yang berbeda sama sekali.
Beberapa orang perempuan sedang sibuk mempersiapkan
makan malam yang kali ini berbeda dengan kebiasaan,
karena adanya seorang tamu yang sangat mereka hormati.
Mereka telah menyembelih beberapa ekor ayam yang paling
besar yang dapat mereka tangkap. Mereka juga telah
mengundang juru masak yang paling terkenal di
Kademangan itu. Sehingga tiba-tiba saja seolah-olah
Demang Pananggalan sedang melangsungkan suatu
perhelatan. Di pendapa Kademangan, Ki Asem Gede-lah yang mulamula mencoba memecahkan kesepian, dan berusaha untuk
mengubah suasana, melenyapkan ketegangan yang
mencekam. Katanya, "Adi Pananggalan, tidakkah Adi
berhasrat menjamu Anakmas Mahesa Jenar" Tentang
ceritera orang-orang berkuda itu, baiklah kita simpan lebih
dahulu, sampai kesempatan lain. A ku kira Anakmas Mahesa
Jenar perlu melepaskan lelah setelah menempuh perjalanan
yang jauh serta telah meladeni Adi berdua bermain loncatloncatan. Nah, Adi Pananggalan, aku ada usul. Adi pasti
setuju kalau gamelan Adi Pananggalan itu dibunyikan."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Demang Pananggalan tersenyum mendengar usul itu.
Memang ia mempunyai seperangkat gamelan yang bagus,
baik bahannya maupun bunyinya.
Tentu saja Demang Pananggalan tidak dapat menolak
usul itu. Maka, katanya kepada orang-orang yang berada di
halaman, "Siapa yang di luar?"
"Aku, Bapak Demang," jawab salah seorang diantaranya.
Maka, sebentar kemudian orang itu berdiri dan melangkah
naik ke pendapa. "Berapa orang seluruhnya?" tanya Demang tua itu lebih
lanjut. "Enam atau tujuh orang, Bapak Demang," jawab orang
itu. "Nah, aku kira telah cukup. Mari kita bermain-main
dengan gamelan. Ki Asem Gede ingin mengenang masa


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mudanya sebagai seorang penggemar gending," ajak
Demang Pananggalan. Ki Asem Gede tertawa terkekeh-kekeh. Sahutnya, "Lebih
dari itu..., aku adalah seorang penari juga. Tetapi tidak
adakah seorang pesinden yang baik di desa ini?"
Kembali Ki Demang Pananggalan tersenyum, juga
Mahesa Jenar dan Mantingan. Rupanya Ki Asem Gede
adalah seorang penggemar uyon-uyon.
"Nah, kalau begitu panggil Nyai Jae Manis," kata Demang
Pananggalan kepada orang tadi, yang sudah turun ke
halaman. "Baik Bapak Demang," jawabnya, sambil melangkah
turun. Sebentar kemudian terdengar suara berbisik-bisik
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dan meledaklah tawa yang tertahan dari orang-orang yang
berada di halaman. "Tetapi yang paling gembira dengan usul ini," sambung
Ki Asem Gede, "adalah Adi Mantingan, yang telah beberapa
lama tidak mendengar suara gamelan." Kembali terdengar
mereka tertawa riuh. Sebentar kemudian mulailah segala sesuatunya berlangsung dengan meriah. Hidangan yang disiapkan oleh
Nyai Demang satu demi satu mengalir keluar. Sementara itu
bunyi gamelan yang berpadu dengan suara Nyai Jae Manis
benar-benar dapat membelai hati pendengarnya. Di
halaman, satu demi satu orang berdatangan untuk turut
serta menikmati suara pesinden kenamaan dari daerah ini.
----------odwOkzo---------SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
III Tetapi belum lagi mereka puas menikmati semuanya itu,
tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara derap kuda yang
berlari kencang. Makin lama makin dekat dan makin dekat.
Mendengar derap kuda itu, Demang Pananggalan,
Mantingan, Ki Asem Gede dan Mahesa Jenar serentak
mengangkat mukanya untuk mengetahui dari mana arah
kedatangan mereka. Sedangkan di halaman segera terjadi
keributan. Perempuan-perempuan berlari-lari kesana- kemari, anak-anak menangis menjerit-jerit. Mereka masih
belum melupakan peristiwa beberapa waktu yang lalu,
ketika ada rombongan orang-orang berkuda yang
mengganggu ketenteraman desa mereka.
Untunglah bahwa Demang Pananggalan cepat bertindak.
Ia segera meloncat ke halaman dan mengatasi keadaan.
"Perempuan dan anak-anak masuk ke rumah," perintah
Demang Pananggalan dengan suara nyaring. "Sedangkan
semua laki-laki di halaman ini, segera memencar dan
berusaha untuk mendapatkan senjata apa saja. Kita masih
belum tahu siapakah yang datang, tetapi keselamatan desa
ini di tangan kalian," lanjut Demang.
Laki-laki Kademangan ini bukanlah bangsa pengecut.
Tetapi meskipun demikian, hati mereka berdebar-debar
juga mengenangkan kebuasan orang-orang berkuda yang
datang beberapa waktu yang lalu.
Cepat-cepat mereka berpencar dengan senjata seadanya
di tangan masing-masing. Karena mereka sama sekali tidak
bersiaga, maka kecuali yang sedang bertugas ronda,
mereka semuanya tidak bersenjata. Untuk mencukupi
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kebutuhan, ada yang memegang sabit rumput, kapak
pembelah kayu, kayu penumbuk padi, kayu tajam untuk
mengupas kelapa, bahkan ada yang bersenjata perunggu
wilahan gamelan, di tangan kanan dan kiri. Beberapa orang
yang rumahnya berdekatan dengan pendapa kademangan,
berloncatan pulang untuk mengambil tombak, pedang dan
apa saja yang ada untuk mempersenjatai kawan-kawan
mereka. Tetapi getaran hati mereka terasa jauh berkurang ketika
mereka melihat di atas tangga pendapa kademangan berdiri
Ki Asem Gede dan Ki Dalang Mantingan dengan trisulanya
di tangan, serta tamu mereka yang gagah perkasa, Mahesa
Jenar, yang juga bergelar Rangga Tohjaya, dengan sikap
yang tenang dan meyakinkan.
Pada saat itu, suara derap kuda itu sudah demikian
dekatnya. Sesaat kemudian mereka melihat empat orang
penunggang kuda berturut-turut menyusup regol memasuki
halaman Kademangan. Tetapi, ketika para penunggang
kuda itu melihat kesiap-siagaan orang-orang di halaman itu,
mereka tampak terkejut, dan sekuat tenaga mereka
menarik kendali kuda masing-masing sehingga kuda-kuda
itu berdiri dan meringkik-ringkik. Secepatnya kuda itu
menjejak kaki depannya di atas tanah, secepat itu pula para
penunggangnya berloncatan turun.
Bersamaan dengan itu, lega pulalah hati setiap orang
yang berdiri di halaman, karena mereka menyaksikan
bahwa kedua penunggang kuda yang di depan tampak
samar-samar oleh cahaya lampu, memakai sabuk putih,
serta segulung tali berjuntai di pinggangnya dan di
pinggang yang lain tergantung kantong yang berisi batubatu pilihan. Itulah ciri-ciri murid Ki Asem Gede yang
bersenjatakan bandil. Dua orang yang lain pun tidak
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menunjukkan tanda-tanda yang berbahaya, meskipun di
pinggang mereka tergantung kapak yang tajamnya putih
berkilat-kilat oleh cahaya lampu.
Tetapi, sebaliknya dari orang-orang yang berdiri di
halaman, wajah Ki Asem Gede segera berkerut ketika
menyaksikan orang-orang berkuda yang datang itu.
Dijelaskan bahwa ia sedang berusaha untuk menguasai
debar jantungnya. Begitu kedua murid Ki Asem Gede menjejakkan kakinya,
segera mereka dengan cepat menghadap gurunya,
sedangkan kedua orang yang lain berdiri sambil memegang
kendali keempat ekor kuda itu.
Kedua murid Ki Asem Gede itu segera membungkuk
hormat, dan salah seorang diantara mereka berkata, "Ki
Asem Gede, kedua kawan ini adalah murid-murid Ki
Wirasaba." Mendengar laporan itu wajah Ki Asem Gede makin
berkerut. Ia memandang kepada kedua orang itu dengan
gelisah, lalu dengan langkah cepat ia mendekatinya.
Rupanya ia ingin berbicara dengan orang-orang itu tanpa
didengar oleh orang lain.
"Bagaimana?" tanya Ki Asem Gede, setelah orang itu
mendekat. Meskipun kata-kata itu diucapkan perlahanlahan, tetapi karena jaraknya tak begitu jauh, maka suara
itu terdengar juga oleh orang-orang yang berdiri di atas
tangga. Dua orang itu sebelum menjawab, matanya menyambar
beberapa orang yang berdiri di halaman, lalu ke Ki Asem
Gede. "Katakanlah," desak Ki Asem Gede.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Mereka telah menculik Nyi Wirasaba," jawab salah
seorang diantaranya. "He..?" Ki Asem Gede terkejut bukan alang-kepalang,
tubuhnya yang sudah kisut itu menggigil.
"Kalian tak berbuat apa-apa?"
Kedua orang itu menundukkan kepala. Mereka tak berani
memandang wajah Ki Asem Gede yang sedang menahan
gelora hatinya. "Kami telah mencoba," jawabnya," tetapi kekuatan kami
tak berarti. Dua orang kakak seperguruan kami telah
mereka lukai dengan berat, dan bagi kami satu-satunya
adalah melaporkan ini kepada Ki Asem Gede. Tetapi
kebetulan Ki Asem Gede tiada di rumah, sehingga kami tadi
diantar kemari." Tampaklah tubuh Ki Asem Gede semakin menggigil. Dan
adalah diluar dugaan mereka yang berada di halaman itu,
tiba-tiba secepat kilat Ki Asem Gede meloncat ke atas salah
satu kuda itu. Sekali tarik kendali, kuda itu telah berputar
dan meluncur bagai anak panah.
Mereka yang menyaksikannya menjadi terpaku diam, tak
tahu apa yang mesti dilakukan. Demikian juga keempat
orang yang datang berkuda tadi, berdiri saja tegak seperti
patung. Belum lagi mereka tersadar, mendadak mereka melihat
sesosok tubuh melayang pula ke atas punggung kuda yang
satu lagi. Dengan kecepatan yang luar biasa pula, kuda ini
melompat mengikuti arah larinya kuda yang dinaiki oleh Ki
Asem Gede. Orang itu tidak lain adalah Mahesa Jenar. Ketika ia
mendengar percakapan Ki Asem Gede dengan keempat
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
orang berkuda itu, ia sudah mengira kalau terjadi sesuatu.
Maka ketika secepat itu Ki Asem Gede melarikan kudanya,
ia makin yakin bahwa tentu ada kesulitan dengan
menantunya. Dan dialah orang yang pertama-tama dapat
menguasai dirinya dari pergolakan perasaannya, sehingga
ia mengambil keputusan untuk mengikuti orang tua itu.
Kuda Ki Asem Gede lari dengan kecepatan penuh di
malam yang gelap dengan meninggalkan debu putih yang
berhambur-hamburan, ke arah utara menyusur kali Opak.
Jalannya begitu sempit dan berbahaya. Tapi Ki Asem Gede
sama sekali tak menghiraukan. Ia ingin cepat-cepat sampai
ke Pucangan, dimana ia yakin kalau anaknya, Nyi Wirasaba,
ditahan. Ia tahu betul bahwa segerombolan orang-orang
ternama di daerah itu, yang merasa cukup mempunyai
kesaktian, menjadi takabur dan berbuat sewenang-wenang.
Kejahatan-kejahatan seringkali mereka lakukan. Pemerasan dan penganiayaan. Dan yang paling jahat
adalah pengambilan istri orang. Ini mereka lakukan, karena
mereka merasa tak terkalahkan. Bahkan mereka juga
mengambil gadis-gadis untuk dijadikan istri mereka yang
keempat, kelima atau kesekian. Tak seorangpun yang dapat
mencegahnya. Sedang kali ini yang menjadi korban adalah
anak Ki Asem Gede. Mengingat semuanya itu, hati Ki Asem
Gede bergolak hebat sekali karena marahnya. Sejak ia
mengasingkan diri di Asem Gede, ia sudah tak pernah lagi
berangan-angan bahwa pada suatu kali ia masih harus
bertempur. Ia merasa sudah masanya menyepi dan
mempergunakan sisa hidupnya untuk diabadikan pada
perikemanusiaan. Tetapi menghadapi persoalan seperti
sekarang ini" Wajah Ki Asem Gede yang lunak dan damai
itu berubah menjadi merah darah. Mulutnya terkatub dan
giginya gemeretak. Kudanya yang berlari seperti setan itu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
rasa-rasanya begitu lambatnya, sehingga berkali-kali Ki
Asem Gede terpaksa menggebraknya.
Debu yang dihambur-hamburkan oleh kaki kuda Ki Asem
Gede itu, telah menolong Mahesa Jenar untuk dapat
mengikutinya dari jarak yang agak jauh. Untunglah bahwa
kudanya agak lebih baik sedikit dari kuda Ki Asem Gede,
sehingga jarak mereka makin lama makin dekat.
Berapa lama mereka berkuda, tak lagi terasa, karena
perasaan mereka masing-masing begitu tegangnya. Ki
Asem Gede ingin segera sampai ke tempat tujuannya,
sedangkan Mahesa Jenar sibuk menduga-duga apa yang
sudah terjadi atas anaknya.
Perjalanan mereka kini menyusup belukar, menjauhi
Sungai Opak. Meskipun keadaan di dalam belukar itu
gelapnya bukan main, Mahesa Jenar mempunyai penglihatan dan pendengaran yang sangat tajam, sehingga
dengan mendengarkan derap kuda Ki Asem Gede, ia dapat
menyusup lewat jalan sempit itu ke arah yang benar.
Setelah beberapa lama mereka menelusur jalan belukar,
akhirnya mereka sampai ke mulutnya. Begitu mereka
muncul dari belukar, terasa hawa sejuk menyapu muka.
Mahesa Jenar lebih merasakan segarnya udara, sebab Ki
Asem Gede perhatiannya penuh tertumpah kepada
putrinya. Kini jalan yang mereka lalui mulai menanjak dan berlikuliku. Rupanya mereka telah sampai di kaki Gunung Merapi.
Lama-lama di sebelah timur telah membayang warna
merah. "Hampir fajar," dengus Mahesa Jenar seorang diri.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Kuda-kuda mereka kini telah mulai menyusur jalan
persawahan. Juga di daerah ini padi sedang berbunga.
Batang-batangnya yang berwarna hijau segar itu ditaburi
oleh warna kemerahan fajar menjadi sedemikian bagusnya,
sehingga untuk sementara Mahesa Jenar terpaku perhatiannya. Tetapi ketika diingatnya orang tua yang di
depannya itu semakin melarikan kudanya, ia pun segera
mengesampingkan keindahan fajar. Sekali ia sentakkan
kakinya, kudanya berlari semakin cepat seperti terbang.
Tiba-tiba kuda Ki Asem Gede membelok ke timur, dan
sebentar kemudian menyusup masuk ke sebuah desa.
Itulah Pucangan. Mahesa Jenar tidak mau kehilangan
jejak. Dengan ujung kendali, kudanya dicambuk agar


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melaju lebih cepat lagi. Ki Asem Gede tak sedikit pun mengurangi kecepatan
kudanya. Ketika sampai di muka sebuah rumah yang
berhalaman luas dan beregol besar, ia membelokkan
kudanya memasuki halaman. Kuda yang semula lari seperti
kuda gila itu, langsung menuju ke pendapa rumah itu. Baru
ketika jaraknya tinggal beberapa langkah, Ki Asem Gede
menarik kendali dan berhenti di muka pendapa. Pendapa itu
ternyata tertutup dinding di empat sisinya. Pintunya masih
tertutup rapat, dan lampu di dalamnya hanya menyala
remang-remang. Cepat Ki Asem Gede turun dari kudanya.
Sebentar ia tertegun. Tempat itu tampaknya sunyi. Tetapi ia
yakin kalau putrinya berada di tempat itu. Itulah rumah
pemimpin gerombolan orang-orang yang merasa dirinya tak
dapat dirintangi kemauannya, bernama Samparan.
Ki Asem Gede mengetok pintu itu keras-keras. Sekali,
dua kali, tak ada yang menyahut. Akhirnya Ki Asem Gede
tak sabar lagi. Dengan kedua sisi telapak tangannya ia
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
memukul daun pintu itu sekuat tenaga, hingga berderakderak. Maka patahlah palang pintu itu, sehingga terbuka
lebar-lebar. Cepat-cepat ia meloncat masuk, dan tampaklah
olehnya lima orang sedang duduk di atas sebuah balai-balai
bambu yang besar menghadapi meja kecil berisi bermacammacam makanan dan minuman keras.
Kelima orang itu memandang Ki Asem Gede dengan
pandangan kosong, dan sikap yang acuh tak acuh, sehingga
Ki Asem Gede semakin marah.
"Kalian menculik anakku!" teriaknya. Sikap Ki Asem yang
sudah tua itu tampak garang dan sama sekali berobah dari
sifat keramah-tamahannya.
"Kami sudah mengira kalau kau akan datang ke
pondokku yang jelek ini," jawab salah satu dari kelima
orang itu, yang rupanya adalah pemimpinnya, Samparan.
"Tetapi adalah kurang bijaksana kalau seorang tamu
mesti merusak pintu," sambung orang itu. Lalu terdengarlah
suara mereka berlima tertawa berderai-derai.
Ki Asem Gede semakin marah, direndahkan sedemikian.
Cepat ia membungkuk mengambil palang pintu yang telah
dipatahkannya tadi, dan dilemparkan sekuat tenaga ke arah
meja kecil di atas bale-bale di antara kelima orang itu.
Begitu hebatnya lemparan Ki Asem Gede sehingga meja
kecil yang tertimpa palang pintu itu pecah berserakserakan. Suara tertawa kelima orang itu jadi terputus
karena terkejut bukab kepalang, dan cepat-cepat meloncat
menjauhi dan turun dari balai-balai itu. Mereka sama sekali
tidak mengira kalau orang tua itu masih memiliki tenaga
yang sedemikian kuatnya. Tetapi, sebentar kemudian
terdengar Samparan tertawa terbahak-bahak. "Bagus ...,
bagus" katanya, " Alangkah hebatnya".
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Ki Asem Gede sudah tidak mau mendengarkan lagi.
Kembali ia berteriak. "Aku datang untuk mengambil
anakku." Lagi, Samparan tertawa, tapi kali ini tawanya dingin.
"Kami telah berbuat suatu kebaikan bagi penduduk di
sekitar daerah ini, dengan menyimpan anakmu."
"Apa kau bilang?" potong Ki Asem Gede.
"Anakmu telah melakukan perbuatan-perbuatan terkutuk
dengan mengganggu ketentraman rumah tangga orang,
meskipun ia sudah bersuami."
"Omong kosong!" teriak Ki Asem Gede semakin marah.
Kembali Samparan tertawa tertawa dingin, "Sudah
seharusnya kau tidak percaya," sambungnya, "sebab kau
ayahnya. Tetapi ketahuilah bahwa di daerah ini telah timbul
keributan karena pokal anakmu. Bahkan lebih dari itu, di
daerah barat daya telah timbul wabah penyakit. Kau tahu
sebabnya" Ketahuilah, bahwa itu disebabkan karena salah
istrimu itu pula, sehingga danyang-danyang menjadi
marah." Ki Asem Gede sudah sampai pada puncak kemarahannya
sehingga seluruh tubuhnya bergetar. Ia tahu benar betapa
liciknya orang-orang itu, dan betapa pandainya mereka
memutar balik kenyataan. "Samparan..." jawab Ki Asem Gede dengan suara
menggigil. "Aku tahu siapakah kau. Jadi kau tak usah
banyak bicara di hadapanku. Aku tahu bahwa anakku
menolak menuruti kehendakmu dan kawan-kawanmu,
gerombolan iblis ini, sehingga kau terpaksa menculiknya
dan menyimpannya. Sekarang aku minta anakku itu kau
serahkan kepadaku." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Samparan mendengus lewat hidungnya, lalu berkata lagi,
"Aku tetap pada keteranganku. Dan kami berlima atas
persetujuan rakyat di daerah ini, telah mengambil
keputusan untuk menjatuhkan hukuman atas anakmu itu.
Aku hanya meniru apakah hukuman yang dijatuhkan pada
orang demikian pada jaman dahulu, yaitu dilempari batu
sampai mati." Mendengar jawaban itu, tubuh Ki Asem Gede semakin
menggigil dan giginya gemertak menahan marah yang
hampir meledak. "Hanya Sultan di Demak yang berhak
menjatuhkan hukuman mati, atau orang yang telah
mendapat kuasanya. Orang-orang Pucangan ini pun tak
berhak melakukan itu, apalagi iblis-iblis macam kau ini."
teriak Ki A sem Gede. Samparan mengangguk-angguk, lalu kembali terdengar
tawa iblisnya. "Betul..., betul Ki Asem Gede, tetapi di daerah
terpencil sejauh ini, jari-jari kekuasaan Demak tak begitu
terasa. Maka sudah sewajarnyalah kalau kami yang merasa
sedikit ada kemampuan, membantu berlakunya undangundang di daerah ini, menghapuskan kekhianatan."
Hampir Ki Asem Gede tak dapat menahan dirinya.
Untunglah bahwa pikirannya masih dapat bekerja. Ia
merasa tak akan mampu melawan kelima orang itu.
"Di Demak," kata Ki Asem Gede kemudian, "untuk tiaptiap keputusan ada hak pembelaan. Berlaku jugakah
peraturan ini?" Mendengar pertanyaan ini kelima orang itu tampak
berpikir. Tetapi sebentar kemudian terdengar kembali tawa
iblis keluar dari mulut Samparan.
"Kau cerdik sekali Ki Asem Gede. Kau ingin menjadikan
persoalan ini menjadi persoalan umum."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Bukankah telah kau katakan bahwa putusanmu itu atas
persetujuan penduduk di daerah ini" Bukankah dengan
demikian hal itu sudah menjadi persoalan umum?"
Kembali Samparan merenung. Tampak ia berpikir untuk
mengatasi usul Ki Asem Gede itu. Kalau sampai terjadi ada
semacam pengadilan bagi persoalan ini, dimana dapat hadir
saksi-saksi, maka terang hal ini tidak menguntungkan
pihaknya. Tetapi akhirnya ia ketemukan juga suatu cara
untuk mengatasinya. "Ki Asem Gede," katanya, "kami adalah bangsa yang
mengenal keadilan. Kenapa kami keberatan kalau diadakan
pembelaan" Tetapi karena kekuasaan tertinggi dalam
persoalan ini adalah di tangan kami, maka kamilah yang
menentukan cara pembelaan itu."
"Bagaimana caranya?" Dalam kesulitan ini Ki Asem Gede
hanya dapat mengharap suatu perkembangan persoalan
yang dapat menguntungkan dirinya.
Samparan menarik alisnya tinggi-tinggi, kemudian
menjawab, "Keadilan yang tertinggi terletak di tangan
takdir. Karena itu pembelaan dalam persoalan ini pun sudah
seharusnya kalau didasarkan atas hal itu. Tegasnya,
pembelaan itu hanya dapat dilakukan dengan sebuah
pertarungan. Kau boleh memilih seorang pembela, atau
barangkali kau sendiri" Sedang di pihak kami pun akan ada
seorang yang harus mempertahankan keputusan kami itu.
Nah, kemudian segala sesuatu terserah pada kehendak
takdir." Kemudian Samparan menarik nafas panjangpanjang. Ia yakin kalau pihaknya pasti akan menang. Sebab
bagaimana hebatnya Ki Asem Gede, tetapi karena umurnya
yang sudah lanjut itu, tentu tidak akan berbahaya lagi.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Setan...," dengus Ki Asem Gede. Tetapi meskipun
demikian ia masih berusaha untuk mendapat suatu
kesempatan. "Bagus..." katanya kemudian, "aku terima cara itu.
Sekarang aku minta ditetapkan waktu. Minggu depan
barangkali?" Samparan jadi tertawa terbahak-bahak. Ia menangkap
maksud Ki Asem Gede. "Kau memang licik sekali. Kau
mengharap bahwa kau dapat mencari bantuan orang lain.
Atau dalam kesempatan itu kau dapat membebaskan
anakmu. Nah Ki Asem Gede... supaya persoalan ini tidak
berlarut-larut, aku tetapkan hari pertarungan ini adalah hari
ini. Bukankah fajar sudah datang?"
Seperti disengat ribuan lebah, Ki Asem Gede mendengar
putusan Samparan itu. Bahwa setan itu betul-betul licik, kini
telah terbukti. Dan ia sesali ketergesa-gesaannya tadi.
Kalau saja ia tadi membicarakan soal ini dengan sahabatsahabatnya. Ki Asem Gede sendiri bukan berarti takut menghadapi
persoalan itu, meskipun misalnya ia harus menyerahkan
nyawanya. Tetapi taruhannya terlalu besar. Kalau ia kalah,
berarti kekalahan itu berlipat dua, sedangkan ia sendiri
sadar bahwa tenaganya sudah mulai surut. Apalagi
menghadapi iblis-iblis yang segar dan sedang tumbuh.
Kembali Ki Asem Gede menyesali dirinya. Biasanya ia
berlaku tenang. Tetapi menghadapi persoalan satu-satunya
anak yang diharapkan dapat melanjutkan namanya, ia jadi
kehilangan ketenangan itu.
Tetapi pada saat ia sedang kebingungan, tiba-tiba
terdengarlah suatu suara yang berat, dan mengandung
pengaruh yang luar biasa. Katanya, "Ki Asem Gede akan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menerima ketetapan hari itu. Dan Ki Asem Gede akan
menunjuk aku sebagai pembelanya."
Mendengar suara itu, semua yang berada di dalam
ruangan segera memandang ke arah pintu di mana berdiri
seorang dengan sikap yang tenang meyakinkan. Itulah
Mahesa Jenar. Melihat kehadiran Mahesa Jenar tanpa diduga-duga itu,
Ki Asem Gede menjadi girang bukan kepalang, sampai
hampir-hampir ia berteriak. Cepat-cepat ia melangkah
mendekati dan menggoyang-goyangkan tangan sahabatnya
yang baru saja dikenalnya itu.
Sementara itu kelima orang penghuni rumah itu
memandang dengan heran dan mencoba menebak-nebak.
Siapakah gerangan orang yang begitu besar kepala
sehingga berani menawarkan diri untuk membela anak Ki
Asem Gede itu" Sedang wajah orang itu belum pernah
dikenalnya. "Siapakah dia?" tanya Samparan kemudian.
Hampir saja Ki Asem Gede menyebut gelar Rangga
Tohjaya untuk sekaligus menakut-nakuti kelima orang itu.
Tetapi melihat gelagat itu, segera Mahesa Jenar
mendahului, "Aku adalah Mahesa Jenar, sahabat Ki Asem
Gede." "Mahesa Jenar?" ulang Samparan. Nama itu pun sama
sekali tak terkenal di daerah ini. Orang yang paling mereka
takuti adalah Dalang Mantingan, yang beberapa waktu lalu
berhasil menangkap tiga serangkai perampok yang
bernama tunggal Samber Nyawa. Dan seandainya Dalang
Mantingan pada saat itu ada di situ pun belum tentu dapat
mengalahkan mereka berlima yang merasa mempunyai
kekuatan dua kali lipat dari kekuatan Samber Nyawa itu.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Hanya tentu saja kalau Mantingan ada di situ, ia takkan
berani membuat tantangan pertarungan yang demikian.
Tetapi sekarang yang ada hanya orang yang sama sekali
tak ternama. Melihat keragu-raguan orang-orang itu, serta takut kalau
mereka mengubah peraturannya, segera Mahesa Jenar
menambahkan, "Aku kira tak ada lagi persoalan. Apapun
yang akan terjadi atas diri kami nanti, yang melaksanakan
pertandingan itu, bukanlah suatu soal yang perlu
direnungkan. Aku adalah laki-laki seperti kalian juga."
Perkataan Mahesa Jenar ini rupa-rupanya telah berhasil
menyentuh harga diri Samparan serta kawan-kawannya,
apalagi mereka telah merasa bahwa kehebatan mereka
sukar mendapat tandingan.
Dalam pada itu salah seorang kawan Samparan segera
melangkah setindak maju, dan dengan suaranya yang
nyaring berkata, "Kakang Samparan, apa yang sudah
terucapkan sebaiknya dilaksanakan. Aku belum kenal orang
ini, dan orang ini pun rupa-rupanya belum kenal kami.
Baiklah kini kami saling berkenalan. Aku usulkan sebagai
pelaksanaan dari peraturan itu, pertandingan diadakan di
halaman rumah ini secara terbuka. Siapa saja boleh
menyaksikan. Dan satu soal lagi, pertarungan dilaksanakan
sampai selesai. Maksudku, sampai salah satu pihak tak
mampu melawan. Jadi tidak boleh menarik diri. Siapa yang
menang mempunyai hak untuk berbuat apapun atas yang
kalah, dan atas barang taruhan." Kata-kata itu diucapkan
dengan penuh keyakinan, bahwa Mahesa Jenar merupakan
sebuah umpan yang sangat lunak.
Mahesa Jenar menarik nafas panjang. Sedang Ki Asem
Gede yang semula sangat girang, kini menjadi agak cemas
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
juga. "Kalau... seandainya... Mahesa Jenar kalah..." Akh tak
mungkin," pikirnya. Sementara itu Samparan tak mengangguk meskipun ia
tidak seyakin Watu Gunung, kawannya yang telah
melengkapi peraturan tadi. Ia menduga bahwa orang itu
pun sedikit-banyak mempunyai pegangan sehingga berani
menyatakan dirinya sebagai pembela. BELUM lagi ia berkata
apa-apa kembali Watu Gunung menyambung, "Nah
sekarang siapakah diantara kami yang pantas melayani


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kawan itu?" Dari nada pertanyaan ini, Samparan tahu bahwa Watu
Gunung bernafsu untuk menjadi jago yang harus
bertanding dengan Mahesa Jenar. Watu Gunung adalah
seorang yang termasuk paling kuat di antara mereka. Kalau
Samparan yang terpilih menjadi pemimpin, adalah karena
dialah yang tertua dan terbanyak mempunyai pengalaman,
baik dalam tata perkelahian maupun dalam lika-liku
pembicaraan dan tipu muslihat. uAgar tidak mengalami
kegagalan, Samparan pun sependapat dengan Watu
Gunung, bahwa sebaiknya orang yang terkuatlah yang
harus melayani orang asing ini, sehingga tidak ada
kemungkinan mengalami kekalahan.
"Baiklah kawan-kawan," katanya, "aku memilih Adi Watu
Gunung untuk melayani tamu kita nanti".
Watu Gunung menjadi gembira mendengar putusan ini.
Sebaliknya kawan-kawannya yang lain merasa kecewa
karena tidak dapat bermain-main dengan seorang yang
sama sekali tak bernama tetapi sudah berbesar kepala
untuk mencoba-coba menghalang-halangi kemauan mereka. Tetapi bagaimana pun mereka akan turut
merasakan hasil kemenangan Watu Gunung nanti. Memang,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sebenarnya Watu Gununglah yang paling berkepentingan
pada saat itu. Sebagai seorang pemuda, sebelum
meninggalkan kampung halamannya, dahulu ia pernah
berangan-angan untuk dapat mengawini anak Ki Asem
Gede. Tetapi ia kalah beruntung dengan Wirasaba,
sehingga ia terpaksa mengalami patah hati. Sekarang, ia
ingin membalas sakit hatinya dengan menculik Nyi Wirasaba
itu. Watu Gunung berperawakan tinggi gagah, bertubuh
kekar, dan sebenarnya ia agak tampan juga. Kalau ia sejak
semula menjadi orang baik-baik, mungkin ia juga akan
mendapatkan istri yang cantik. Tetapi sekarang, hampir
semua perempuan menjadi pingsan kalau mendengar nama
Watu Gunung disebut orang.
"Sekarang," kata Samparan kemudian, " sambil
menunggu siang, sebaiknya tamu-tamu ini kami persilahkan
beristirahat di gandok sebelah timur. Adi Wisuda, tolong
antarkanlah tamu kita ke sana,"
Maka, orang yang dipanggil Wisuda, salah seorang dari
lima orang itu, segera mempersilahkan Ki Asem Gede dan
Mahesa Jenar untuk mengikutinya ke gandok sebelah timur.
Di sana, mereka berdua ditinggalkan untuk beristirahat.
Ki Asem Gede terpaksa menggeleng-gelengkan kepala,
ketika dilihatnya Mahesa Jenar segera merebahkan dirinya
di atas sebuah amben, katanya, "Ki A sem Gede, semalaman
aku tidak tidur, dan pagi-pagi benar aku sudah harus
berpacu kuda dengan Ki Asem Gede, maka sebaiknya aku
tidur sebentar agar aku nanti dapat melayani Watu Gunung
itu dengan sedikit ada kegembiraan"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sesudah berdiam diri sebentar, terdengarlah segera
nafas Mahesa Jenar mengalir secara teratur. Ia sudah
tertidur. Ki Asem Gede heran bukan main. Sebentar lagi ia harus
mengadu tenaga antara hidup dan mati melawan seorang
yang termasuk mempunyai kehebatan dalam tata
pertarungan. Tetapi sekarang, dengan enaknya ia tidur
mendekur. Ketika hal itu direnungkan dalam-dalam,
ternyata Mahesa Jenar sama sekali tak memandang remeh
calon lawannya. Dengan beristirahat, meskipun hanya
sebentar, ia akan dapat memulihkan tenaganya, sehingga
dengan demikian ia akan dapat bertanding dengan baik.
Mendapat pikiran yang demikian ia pun merasa bahwa
dirinya juga perlu mengaso, siapa tahu tenaganya nanti
diperlukan. Ternyata hatinya tidak setenang Mahesa Jenar.
Ia tetap kuatir akan nasib anak satu-satunya itu, dan ia
juga khawatir kalau Samparan dan kawan-kawannya
berbuat curang. Karena itu ia hanya berbaring. Matanya
sama sekali tak dapat dipejamkan.
Pada saat itu sinar mahatari pagi telah mulai masuk
menyusup lubang-lubang dinding meskipun masih condong
sekali. Sekali dua kali telah terdengar suara gerobag lewat
di jalan di depan rumah itu. Dan di halaman telah sibuk
beberapa orang mengatur arena untuk bertanding siang
nanti. Beberapa orang yang lewat, ketika melihat beberapa
tonggak ditancapkan dan tali-tali direntangkan, mereka
tahu bahwa akan ada pertandingan lagi di halaman rumah
Samparan yang juga dikenal sebagai rumah setan.
Sebenarnya tak seorang pun yang ingin dekat dengan
rumah serta penghuninya itu, sebab mereka takut kalau
entah harta kekayaannya, entah ternaknya, dan yang
ditakuti adalah kalau istri atau gadisnya dikehendaki oleh
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
iblis-iblis itu. Tetapi di samping itu mereka juga ingin
melihat tiap-tiap pertarungan yang memang sering
Pendekar Guntur 24 Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An Pendekar Panji Sakti 12

Cari Blog Ini