Ceritasilat Novel Online

Naga Sasra Dan Sabuk Inten 15

Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja Bagian 15


Manahan menggeleng-gelengkan kepala. Jawabnya, "Itu
yang aku tidak tahu. Karena itu aku harus mengelilingi
seluruh pulau untuk menemukannya."
Hampir semua orang yang mendengar, mengerutkan
dahinya. Mereka merasa aneh bahwa seseorang sampai
kehilangan bapaknya. Tetapi meskipun demikian ternyata
mereka tidak berhasil mencegah. Manahan serta Bagus
Handaka pergi meninggalkan mereka. Banyak pula kawankawan Handaka yang menjadi kecewa karena kepergiannya. ----------o-dwkzOarema-o---------SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
IV Maka dengan rendah hati Manahan menyerahkan seluruh
hasil panennya kepada para tetangganya, dan dengan hati
yang agak berat pula, setelah bergaul hampir tiga tahun
dengan para nelayan yang kasar namun berhati bersih, ia
terpaksa meninggalkan mereka. Suatu hal yang terpaksa
berulang kali dialaminya. Menetap di suatu tempat dan
kemudian meninggalkannya, dan kembali ia harus berjalan
menyusur jalan-jalan pedukuhan, hutan dan lereng-lereng
gunung serta lembah-lembah yang hijau padat.
Tetapi kali ini Manahan tidak membawa muridnya
menyembunyikan diri, tetapi bahkan sebaliknya. Mereka
berusaha mendekati Banyubiru untuk mengambil ancangancang atas perjuangan yang bakal dilakukan. Mereka
harus lebih dahulu mengetahui seluk-beluk daerah itu dan
mengetahui tanggapan rakyatnya terhadap pimpinan
daerah yang sebenarnya tidak berhak sama sekali itu.
Dengan Kyai Bancak, tanda kebesaran Banyubiru yang
berwujud sebuah ujung tombak, di pinggangnya, setelah
dilepas dari tangkainya, Bagus Handaka berjalan dengan
tegapnya menuju ke arah selatan. Manahan yang berjalan
di belakangnya memandangi anak itu dengan bangga. Ia
mengharap agar Bagus Handaka benar-benar dapat
menjadi seorang anak yang kuat dan berhati mulia seperti
harapan ayahnya. Tetapi dengan demikian Manahan jadi
teringat kepada Gajah Sora. Apakah kira-kira yang terjadi
atasnya" Namun ia percaya bahwa Gajah Alit dan Paningron
dapat membantu kesulitannya. Setidak-tidaknya memperingan tuduhan yang ditimpakan atasnya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Perjalanan Manahan dan Handaka kemudian sampai
pada daerah hutan dan kemudian mereka harus menyusur
kaki gunung Slamet, membelok kearah timur.
Demikianlah dari hari ke hari mereka selalu berjalan
tanpa henti-hentinya. Ternyata kekuatan jasmaniah Bagus
Handaka cukup memuaskan. Ia sama sekali tetap segar dan
lincah. Disamping itu selama perjalanan mereka, masih
sempat juga Manahan memberikan tambahan pengetahuan
kepada muridnya. Dan bahkan karena kecerdasan Bagus
Handaka, maka dapatlah ia menemukan unsur-unsur gerak
yang bagus, yang ditirunya dari gerak-gerak binatang buas.
Dengan tuntunan gurunya, Bagus Handaka yang hampir
menghabiskan waktunya selama perjalanan itu dengan
memperhatikan gerak-gerik kera-kera yang berloncatan dari
dahan ke dahan, maka kemudian ia berhasil menirukan
beberapa bagian, yang dapat dileburnya ke dalam unsurunsur gerak yang telah dimilikinya.
Handaka juga senang sekali memperhatikan perkelahian
antar binatang. Dari binatang yang paling buas sampai
binatang yang paling lemah. Diperhatikannya pula,
bagaimana seekor kancil berhasil melepaskan diri dari
terkaman serigala-serigala yang buas, dan bagaimana
seekor banteng dengan tangguhnya menanti serangan
seekor harimau dan kemudian dengan tanduk-tanduknya
yang tajam membinasakannya.
Dengan demikian Bagus Handaka mendapatkan berbagai
macam pengetahuan dari alam. Manahan sendiri sebenarnya kagum atas ketangkasan otak muridnya, maka
ia menjadi semakin bangga bahwa tidak sia-sialah ia
menuntun anak itu. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Karena itu, Manahan selalu memberinya petunjukpetunjuk atas kemungkinan kemungkinan yang dapat
dimanfaatkan dari setiap gerak yang dilihatnya. Kecuali
gerak-gerak binatang, juga gerak-gerak dari benda-benda
yang lain, seperti angin pusaran, air bah dan bahkan
kelincahan gerak nyala api.
Demikianlah, di sepanjang perjalanan itu, tidak sedikitlah
pengetahuan yang ditangkap oleh Handaka. Dan karena itu
pula ia sama sekali tidak merasakan suatu kejemuan atau
keletihan selama ia bersama-sama dengan gurunya
menyusuri jalan-jalan hutan yang lebat dan sulit.
Setelah meninggalkan lembah kaki gunung Slamet,
mereka mulai dengan perjalanan yang tidak kalah sulitnya.
Mereka menyusur tebing pegunungan Prau, setelah
melampaui beberapa pedukuhan yang tak berarti.
Tetapi meskipun mereka sama sekali tidak mengenal
letih, namun kadang-kadang mereka terpaksa berhenti pula
untuk beberapa lama di suatu tempat. Kadang-kadang
sampai satu dua bulan, kadang-kadang malahan lebih.
Setelah itu kembali mereka meneruskan perjalanan mereka
sambil berbuat bermacam-macam kebajikan. Di tempattempat yang pernah dilewati oleh mereka itu, banyaklah
hal-hal yang ditinggalkannya. Pemberitahuan tentang
banyak hal. Tentang pertanian dan sebagainya.
Karena itu mereka selalu meninggalkan kesan yang baik,
sehingga nama Manahan dan Bagus Handaka menjadi
banyak dikenal orang. Pada suatu kali mereka memasuki
sebuah pedukuhan yang sepi di ujung hutan. Penduduknya
yang menamakan pedukuhannya itu Gedangan, terdiri dari
petani-petani yang menggarap sawah dengan cara yang
sederhana sekali. Mereka masih belum begitu menaruh
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
perhatian kepada saluran-saluran air. Untunglah bahwa
tanah mereka adalah tanah yang subur, sehingga meskipun
dengan cara-cara yang sangat sederhana, hasil pertanian
mereka dapat mencukupi kebutuhan.
Berbeda dengan pengalaman-pengalaman mereka, Manahan dan Bagus Handaka ketika memasuki pedukuhan
itu, mengalami penerimaan yang aneh. Hampir setiap mata
memandang mereka dengan penuh kecurigaan. Manahan
dan Handaka merasakan keasingan penerimaan itu. Karena
itu mereka bersikap hati-hati dan berusaha untuk tidak
menyinggung perasaan mereka.
Kepada salah seorang dari para petani yang sedang
berdiri di pematang, Manahan bertanya dengan hormatnya,
"Kakang, apakah aku diperkenankan untuk memasuki
pedukuhan ini?" Orang itu tidak segera menjawab. Tetapi sekali dua kali
ia melemparkan pandangannya kepada beberapa orang
yang bertebaran menggarap sawah di sekitarnya. Baru
setelah beberapa saat ia menjawab, "Siapakah kau
berdua?" "Aku bernama Manahan dan ia anakku, Handaka," jawab
Manahan. Mendengar nama itu, orang itu mengernyitkan alisnya.
Agaknya nama itu asing baginya. Kemudian terdengar ia
berkata, "Entahlah aku tak tahu. Berkatalah kepada lurah
kami." Manahan mengangguk-anggukkan kepalanya, sambil
bertanya pula, "Di manakah Bapak Lurah itu?"
"Di rumahnya" jawab yang ditanya pendek.
"Maksudku, di mana rumahnya?" sambung Manahan.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Kembali orang itu ragu-ragu dan kembali ia menebarkan
pandangannya kepada orang-orang yang sedang menggarap sawah di sekitarnya. Tiba-tiba ia menunjuk
pada salah seorang daripadanya sambil berkata, "Bertanyalah kepada orang itu."
Manahan menoleh menurut arah tangan orang itu.
Dilihatnya di sudut desa berdiri seorang yang bertubuh
pendek kokoh dengan urat-urat yang menonjol. Namun
matanya membayangkan kejernihan hatinya.
Setelah mengucapkan terimakasih, segera Manahan dan
Handaka berjalan ke arah orang bertubuh pendek itu. Dan
kemudian dengan hormatnya Manahan bertanya, "Adakah
Bapak ini Lurah dari pedukuhan ini?"
Orang itu menggelengkan kepalanya, sambil menjawab,
"Bukan Ki Sanak, aku bukan lurah di sini. Adakah kau punya
keperluan dengan lurahku?"
Manahan menganggukkan kepalanya. Sambungnya,
"Demikianlah, aku mempunyai sedikit keperluan."
"Apakah keperluan itu?" tanya orang yang bertubuh
pendek. Tiba-tiba saja setelah mengalami peristiwa itu, timbullah
keinginan Manahan untuk mengetahui lebih banyak hal lagi.
Karena itu timbul pula keinginan untuk bermalam.
Maka kemudian kata Manahan, "Sebenarnya keperluanku
hanyalah akan mohon izin untuk bermalam barang semalam
dua, setelah aku berjalan beberapa hari terus-menerus
tanpa beristirahat."
Orang yang bertubuh pendek itu mengernyitkan
keningnya. Kemudian ia bertanya pula, "Siapakah kau
berdua?" SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Aku adalah seorang perantau dan bernama Manahan.
Sedang anak ini adalah anakku, bernama Handaka," jawab
Manahan memperkenalkan diri.
Dengan seksama orang itu mengamat-amati mereka
berdua. Baru sesaat kemudian ia berkata, "Saat ini lurah
kami sedang menerima beberapa orang tamu. Karena itu
mungkin tak ada tempat lagi bagi kalian untuk bermalam di
rumah lurah kami. Ataupun kalau tempat itu ada, pastilah
lurah kami dengan terpaksa tidak akan mengizinkan kalian
bermalam di sana." Manahan mengangguk perlahan-lahan. Ia menjadi
semakin ingin untuk mengetahui lebih banyak lagi. Karena
itu katanya, "Bukan maksudku untuk bermalam di rumah
Pak Lurah. Meskipun aku ditempatkan di kandang kuda
sekalipun, asal aku diizinkan bermalam untuk melepaskan
lelah barang semalam dua malam, aku akan mengucapkan
terimakasih." Orang yang bertubuh pendek serta bermata jernih itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian setelah
berpikir sejenak ia menjawab, "Menilik wajah-wajah kalian
yang merah hitam terbakar terik matahari, serta menilik
pakaian kalian maka aku percaya bahwa kalian telah
menempuh jarak yang sangat jauh. Maka adalah kewajiban
kami untuk memberikan sekadar tempat melepaskan lelah
bagi kalian berdua. Karena itu maka kalian akan aku bawa
pulang ke rumahku, di sana kalian dapat bermalam. Sebab
selain Lurah di pedukuhan ini, aku pun termasuk orang
yang harus membantu pekerjaannya."
Oleh jawaban itu, hati Manahan menjadi gembira. Karena
itu segera ia mengangguk hormat, katanya, "Alangkah
besar hati kami berdua atas ijin sekaligus tempat yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
disediakan untuk kami berdua. Tetapi hendaknya kehadiran
kami janganlah menambah kesibukan," katanya.
Orang itu tersenyum sambil menggelengkan kepala, "Aku
memang selalu sibuk," katanya, "jadi kehadiran Ki Sanak
sama sekali tak mempengaruhi kesibukan itu."
Memang sejak semula Manahan sudah mengira bahwa
orang itu pasti seorang yang baik hati serta ramah, ditilik
dari sinar matanya yang jernih. Apalagi setelah Manahan
bercakap-cakap sejenak, makin pastilah ia bahwa orang itu
orang yang berbudi. "Marilah Ki Sanak," kata orang itu, "Ikutlah ke pondokku.
Dan kalian dapat beristirahat sepuas-puasnya."
Maka kemudian ikutlah Manahan serta Bagus Handaka ke
rumah orang yang bertubuh pendek bermata jernih itu. Dan
kemudian ketika mereka bercakap-cakap di sepanjang
jalan, tahulah Manahan bahwa orang itu adalah tangan
kanan dari lurah mereka, namanya Wiradapa.
Sebagai seorang kepercayaan kepala pedukuhan, rumah
Wiradapa tidaklah begitu jauh dengan rumah lurahnya.
Halamannya cukup luas ditumbuhi berbagai macam
pepohonan serta dipagari oleh deretan pohon nyiur yang
berpuluh-puluh jumlahnya. Di pedukuhan yang kecil itu,
rumah Wiradapa merupakan rumah yang cukup baik
meskipun tidak begitu besar. Beratap ijuk dan bertulangtulang kayu.

Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di rumah itu pun Manahan mengalami pelayanan yang
baik, meskipun bagi Manahan dan Handaka hanya
disediakan ruangan di bagian belakang rumah. Sebab
menurut tangkapan Wiradapa, Manahan tidaklah lebih dari
dua ayah-beranak yang pergi merantau untuk mencari
penghidupan yang baik. Tetapi kemudian sejak Manahan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
serta Handaka dipersilakan di ruang yang diperuntukkan
bagi mereka, maka mereka tidak lagi bertemu dan
bercakap-cakap dengan Wiradapa sampai malam, karena
Wiradapa harus pergi ke lurahnya.
Manahan dan Handaka yang setelah beberapa lama
selalu tidur di tempat-tempat yang sama sekali tak
menentu, dan sekarang mendapat tempat pembaringan
yang selayaknya, segera membaringkan diri sejak gelap
mulai turun. Tempat pembaringan yang tidak lebih dari
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sebuah bale-bale bambu serta tikar pandan yang
dibentangkan di atas galar. Bagi Manahan serta Handaka,
pada saat itu dirasakan sebagai suatu pembaringan yang
sangat baik. Karena itu pula maka belum lagi malam sampai
seperempat bagian, mereka telah tertidur nyenyak.
Tetapi meskipun bagaimana nyenyaknya mereka tidur,
namun telinga Manahan adalah telinga yang terlatih baik.
Itulah sebabnya meskipun suara itu sangat perlahan-lahan
tetapi sudah cukup untuk membangunkannya.
Manahan menjadi terkejut ketika mendengar seseorang
berkata perlahan, "Di mana mereka tidur...?"
"Di ruang sebelah belakang, Tuan," jawab yang lain,
yang oleh Manahan suara itu dikenalnya, yaitu suara
Wiradapa. Kemudian terdengarlah beberapa orang melangkah
mendekat ke ruang tidurnya. Mendengar langkah-langkah
itu, segera Manahan curiga. Karena itu ia pun segera
bersiap-siap untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan
yang akan terjadi. Tetapi sampai sedemikian ia merasa
masih belum perlu untuk membangunkan muridnya yang
masih tidur dengan nyenyaknya.
Sampai di muka pintu, terdengarlah langkah-langkah itu
berhenti, dan terdengarlah seseorang berbisik, "Kau yakin
bahwa orang itu tak berbahaya...?"
"Tidak, Kakang Lurah, aku yakin bahwa orang itu
hanyalah bagian dari orang-orang yang hidup berpindahpindah seperti burung yang selalu mencari tempat dimana
ada makanan." Terdengar Wiradapa menjawab.
"Aku akan melihatnya...." Terdengar suara lain lagi.
"Silakan Tuan," jawab Wiradapa.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Aku akan dapat mengetahui apakah dia orang
berbahaya atau benar-benar orang-orang malas yang
kerjanya mondar-mandir dari desa yang satu ke desa yang
lain" terdengar lagi suara itu, "sebab aku tidak mau ada
orang yang dapat mengganggu usahaku."
Kembali terdengar Wiradapa menjawab, "Apa saja yang
baik bagi Tuan." Kemudian terdengarlah langkah-langkah mereka semakin
dekat dan dengan sekali dorong pintu itu sudah terbuka.
Dengan tangkasnya salah seorang dari mereka meloncat
masuk dan tiba-tiba saja di tangannya telah tergenggam
sebilah pedang. Dalam sinar pelita yang remang-remang,
berkilat-kilatlah cahayanya menyilaukan. Dengan suara
yang keras orang itu membentak, "He, perantau malang,
aku bunuh kau." Berbareng dengan itu melekatlah ujung
pedangnya di dada Manahan yang masih saja berbaring di
bale-bale bambu. Mendengar orang itu berteriak, Bagus
Handaka menjadi terkejut. Cepat ia dapat menguasai
kesadarannya karena latihan-latihan berat yang pernah
dijalani. Tetapi demikian ia akan bergerak, terasalah
pergelangannya dipijat oleh gurunya, yang berbaring di
sampingnya. Sehingga dengan demikian ia mengurungkan
niatnya, meskipun ia sama sekali tidak tahu maksudnya.
Bahkan kemudian ia melihat gurunya menggigil ketakutan
dan dengan suara gemetar berkata, "Tuan... jangan aku
Tuan bunuh. Ampunilah aku yang tidak berdosa."
Untuk beberapa saat beberapa pasang mata memandanginya dengan seksama. Mereka terdiri seorang
anak sebaya dengan Bagus Handaka, yang kira-kira baru
berumur 16 tahun. Dialah yang dengan geraknya yang
lincah mengancam Manahan dengan pedangnya. Kemudian
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
di sampingnya sebelah-menyebelah berdiri dua orang yang
lain lagi terdiri Wiradapa dan seorang lagi yang disebutnya
Kakang Lurah. Ialah kepala daerah Pedukuhan Gedangan.
Kemudian terdengarlah anak yang memegang pedang itu
berkata dengan nyaring, "Menyebutlah nama nenek
moyangmu, sebab saat kematianmu telah datang."
Handaka tidak tahu siapakah yang telah mengancam
gurunya, juga orang-orang yang berdiri di dalam ruangan
itu. Ia tidak habis herannya melihat sikap gurunya. Baginya
lebih baik mati dengan tangan terentang daripada mati
seperti seekor cacing yang sama sekali tak berdaya.
Bukankah gurunya telah menuntunnya demikian dalam
menghadapi lawan-lawannya ..." Tetapi sekarang gurunya
sendiri bersikap sebagai seorang pengecut. Karena
perasaan-perasaan yang berdesakan itulah Handaka
menjadi gemetar. Bukan karena ketakutan, tetapi karena
pergolakan dadanya yang tak tertahan.
Hampir Handaka tak dapat menguasai dirinya ketka
sekali lagi ia mendengar Manahan menjawab, "Ampun
Tuan, ampun.... Apakah dosaku maka Tuan akan
membunuhku?" Melihat sikap Manahan itu Wiradapa memandangi wajah
anak muda yang memegang pedang itu dengan sikap
meminta untuk membebaskannya. Tetapi anak muda itu
agaknya sama sekali tidak menaruh belas kasihan. Namun
kemudian terdengarlah ia tertawa sambil berseru, "Apakah
kerjamu berdua di sini?"
Manahan nampak gugup mendengar pertanyaan itu.
Maka jawabnya gemetar, "Aku tidak apa-apa, Tuan.
Sungguh aku tidak apa-apa."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sekali lagi anak muda itu tertawa menyeringai. Sedang
ujung pedangnya masih saja melekat di dada Manahan.
Sesaat kemudian terdengarlah ia berkata, "Kau datang pada
saat yang tidak menguntungkan bagimu." Dan setelah itu ia
merenung sejenak menyambung "Kenapa kau pilih desa ini
untuk bermalam...?" Manahan emandang wajah anak muda itu dengan wajah
kecemasan. Untuk beberapa lama ia tidak menjawab,
sampai terdengar anak muda itu membentaknya, "Hei
perantau malas, jawab, kenapa kau bermalam di sini"
"Aku tidak tahu," jawab Manahan gugup.
Anak muda itu menarik nafas panjang mendengar
jawaban Manahan yang ketakutan itu. Kemudian tangannya
yang memegang pedang itu mengendor. Dan dengan nada
yang merendahkan ia berkata, "Kalau di dunia ini dipenuhi
oleh orang-orang macam itu, maka manusia ini tak ada
bedanya dengan binatang-binatang melata yang mengais
makanan dari dalam tanah tanpa dapat berbuat apa-apa."
Kemudian ia membentak, "He orang-orang malang. Kau
harus menggerakkan tanganmu kalau kau ingin mengisi
perutmu. Selama kau berada di sini kau harus bekerja
keras. Aku menjadi muak melihat kau menjual belas
kasihan untuk mendapat makan. Karena itu besok pada
saat matahari terbit, kau sudah harus datang ke rumah
bapak lurah untuk menerima pekerjaan yang harus kau
lakukan besok." Sesudah berkata demikian anak muda itu segera
menyarungkan pedangnya kembali, dan sekali lagi dengan
pandangan yang menghina ia menggerutu, "Seharusnya
orang-orang macam itu wajib dimusnahkan, supaya dunia
kita tidak kekurangan makan." Setelah itu segera ia pun
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
melangkah pergi, diikuti oleh kedua orang yang bertubuh
kokoh kuat berwajah seram, serta lurah pedukuhan itu.
Tinggallah Wiradapa yang memandangi Manahan dengan
perasaan welas. Tetapi ketika ia akan berkata sesuatu,
terdengarlah suara di luar, "He Wiradapa, apa yang kau
kerjakan?" Wiradapa mengurungkan niatnya, lalu dengan cepatnya
ia melangkah keluar. Sebentar kemudian hilanglah langlahlangkah mereka ditelan oleh bunyi binatang-binatang
malam. Demikian langkah mereka menghilang, melentinglah
Bagus Handaka dari tempat tidurnya, dan dengan
kecepatan yang luar biasa ia sudah tegak berdiri di hadapan
gurunya, seolah-olah ia ingin memperlihatkan ketangkasannya. Dengan mata yang memancarkan kemarahan dan gigi yang gemeretak terdengar ia
menggeram, "Bapak..." Setelah itu bibirnya sajalah yang
gemetar, tetapi tak ada kata-katanya yang meluncur keluar.
Meskipun di dalam dadanya berdesak-desakkan berbagai
macam perasaan yang akan dilahirkan, namun hanya satu
kata itulah yang berhasil diucapkan.
Tetapi ia bertambah bingung dan tidak mengerti ketika
dilihatnya gurunya masih saja berbaring dengan bibir yang
tersenyum-senyum. Baru ketika ia melihat Handaka
gemetar di hadapannya, ia berkata "Duduklah Handaka."
Tetapi Handaka masih saja tegak seperti patung, suara
gurunya itu tidak terdengar oleh telinganya yang seperti
mendesing-desing, sehingga Manahan terpaksa mengulangi
lagi, "Duduklah Handaka."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Dengan perasaan yang dipenuhi oleh teka-teki, Handaka
kemudian duduk di samping gurunya. Namun terasa bahwa
dadanya masih bergetar keras.
"Tenanglah Handaka. Tak ada yang perlu kau
khawatirkan," sambung Manahan kemudian.
"Tetapi..." sahut Handaka tergagap. "Tetapi kenapa
demikian?" Handaka menjadi semakin bingung ketika gurunya
kemudian tertawa panjang, meskipun perlahan-lahan,
supaya tidak menimbulkan suara riuh.
"Apa yang demikian...?" tanya Manahan sambil tertawa.
Handaka menjadi semakin bingung, meskipun demikian
ia menjawab, "Kenapa Bapak tadi menjadi sedemikian
takut" Kalau Bapak tidak menahan aku, barangkali aku
sanggup berbuat sesuatu untuk mengusir mereka. Ataupun
kalau mereka adalah orang-orang sakti, bukankah lebih baik
binasa daripada mereka hinakan sedemikian?"
"Bagus, memang sedemikianlah seharusnya," potong
Manahan. "Tetapi kenapa aku tidak boleh berbuat demikian?"
sambung Handaka yang merasa mendapat kesempatan
untuk menyatakan perasaannya. Maka mengalirlah katakatanya seperti hujan yang dicurahkan dari langit. "Dan
kenapa Bapak sama sekali tidak melakukan perlawanan.
Malahan bapak minta ampun kepada orang yang sama
sekali tidak kenal. Bukankah kami tidak pernah berbuat
kesalahan terhadap mereka" Sebab kami belum pernah
bertemu sebelumnya, dan... "
"Sudahlah Handaka," potong Manahan. Tenanglah, dan
dengarkanlah kata-kataku seterusnya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Handaka menjadi terdiam. Ia mencoba untuk mendengarkan kata-kata gurunya dengan baik.
"Handaka..." kata Manahan kemudian, "Aku percaya
bahwa apa yang kau katakan itu dapat kau lakukan.
Memang harusnya kita berbuat demikian. Tetapi untuk kali
ini aku mempunyai pertimbangan-pertimbangan lain.
Pertimbangan pikiran yang kadang-kadang bertentangan
dengan perasaan. Sebagai seorang laki-laki yang berhati
jantan, seharusnya kita lawan setiap serangan dengan dada
tengadah. Apalagi penghinaan. Namun demikian ada
kalanya keadaan menuntut tanggapan yang lain atas
penghinaan yang kita terima itu. Karena pertimbanganpertimbangan itulah maka aku tidak melawan sama sekali
ketika anak muda itu mengancamku dengan pedangnya."
"Tetapi ia tidak sekadar mengancam," bertanya Handaka,
"Bagaimana kalau pedang itu benar-benar ditusukkan
kepada Bapak?" "Bukankah ia tidak berbuat demikian" jawab Manahan
sambil tersenyum, dan hal itu aku ketahui dengan pasti. Ia
hanya akan menggertak untuk mengetahui apakah aku
memiliki kemampuan untuk melawan atau tidak. Ia hanya
ingin mengetahui apakah kita memiliki ilmu tata perkelahian
atau tidak. Sekarang ternyata bahwa ia telah mendapat
kesan bahwa kita adalah orang-orang yang malas, yang
merantau dari satu desa ke lain desa untuk sekadar
mendapat makan. Bukankah dengan demikian kita
mendapat keuntungan?"
Setelah diam sejenak, Manahan kemudian meneruskan,


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Handaka... sebenarnya aku ingin mengetahui apa yang
mereka lakukan di sini, tanpa kecurigaan apapun."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mendengar penjelasan itu Handaka menundukkan
kepalanya. Ia menjadi malu kepada dirinya sendiri atas
ketergesa-gesaannya. Apalagi ia telah telanjur seolah-olah
mengajari gurunya. Ternyata apa yang dilakukan gurunya
adalah suatu cara untuk maksud-maksud tertentu.
"Sudahkah kau jelas Handaka?" tanya Manahan.
Handaka mengangguk perlahan. Sadarlah ia sekarang,
betapa banyak persoalan yang sama sekali tidak
dipikirkannya, yang ternyata perlu untuk diketahuinya.
Ternyata bahwa tidak semua persoalan harus diselesaikan
dengan kekuatan dan kekerasan, tetapi dapat diambil cara
yang lain. Dengan demikian ternyata bahwa pandangan
gurunya sangat jauh mendahuluinya.
"Nah, Handaka... marilah kita tidur kembali. Hari masih
malam. Tutuplah pintu itu," ajak Manahan sambil
membaringkan dirinya kembali. Handaka sama sekali tidak
berkata sepatah kata pun. Perlahan-lahan ia pun bangkit
menutup pintu, dan kemudian merebahkan dirinya di
samping Manahan. Pikirannya sibuk menduga-duga siapakah orang-orang yang telah datang menjenguk nya
tadi. Dalam remang-remang cahaya pelita ia tidak dapat
memandang wajah mereka dengan jelas.
"Handaka... kata Manahan pelan, "Mulai besok kita akan
mendapat pekerjaan baru. Aku tidak tahu apakah kira-kira
yang harus kita kerjakan. Mudah-mudahan dengan
demikian kita akan mengetahui siapakah mereka dan
apakah maksud kedatangan mereka kemari."
"Tetapi alangkah sombongnya anak muda itu, Bapak,"
gerutu Handaka. Manahan tertawa pendek, lalu jawabnya, "Bukankah itu
persoalan biasa" Anak-anak sebaya dengan kau memang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sedang dalam taraf pergolakan. Mereka senang menunjukkan ketangkasan serta kelebihannya."
Handaka tidak menjawab lagi. Ia merasa bahwa sebagian
jawaban gurunya ditujukan kepadanya pula.
Sesaat kemudian terdengarlah Manahan meneruskan,
"Karena itu, jiwa yang bergolak itu harus mendapat saluran
yang sebaik-baiknya. Untuk itu perlu kesadaran. Kesadaran
akan keadaan diri sendiri serta keadaan yang melingkupinya." Seperti biasa, Handaka selalu mendengarkan nasihat
gurunya baik-baik. Ia berjanji dalam hati bahwa ia akan
berusaha untuk mentaatinya sejauh-jauh mungkin.
Setelah itu Manahan tidak berkata-kata lagi. Kantuknya
telah mulai menyerangnya kembali. Dan sesaat kemudian ia
pun telah tertidur pula. Demikian pula Bagus Handaka.
Ketika ayam jantan berkokok untuk kedua kalinya,
kesadarannya pun mulai tenggelam. Dan ia pun tertidur
kembali dengan penuh angan-angan di kepala.
Pagi-pagi benar Manahan telah bangun. Segera Handaka
dibangunkannya pula. Sebab pada saat matahari terbit
mereka harus sudah sampai di halaman kalurahan untuk
menerima tugas-tugas yang akan diberikan oleh anak muda
yang datang semalam. Ketika mereka keluar dari ruang itu mereka melihat
Wiradapa sudah berdiri di pagar halaman. Agaknya ia pun
baru bangun. Maka ketika ia melihat Manahan mendekati, ia
pun berkata mengingatkan, "Ki Sanak, bukankah kau
diwajibkan datang ke kalurahan pagi ini?"
Manahan mengangguk hormat sambil menjawab, "Benar
Tuan, dan aku akan segera pergi."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Baik Ki Sanak, bersiap-siaplah. Nanti kita pergi bersama.
Sekarang mandilah, aku pun akan membersihkan diri pula,"
kata Wiradapa sambil melangkah pergi.
Manahan dan Handaka pun segera pergi ke sumur di
belakang rumah untuk membersihkan diri. Setelah itu
mereka menghangatkan diri dengan air panas dan gula
kelapa yang sudah disediakan untuk mereka. Sementara itu
Manahan selalu menasihati Handaka untuk tidak bertindak
tergesa-gesa dalam segala hal. Ia harus menyesuaikan diri
dengan kedudukannya sebagai seorang yang dianggap tak
berdaya. Hanya apabila jiwanya benar-benar terancam,
barulah boleh bertindak untuk melindungi dirinya.
Beberapa saat kemudian Wiradapa pun telah siap.
Bertiga mereka berjalan bersama-sama ke kalurahan.
Ketika mereka sampai ke halaman kalurahan, ternyata di
pendapa telah banyak orang. Dari pakaian mereka segera
dapat diketahui bahwa beberapa orang di antaranya
bukanlah orang dari padukuhan itu. Orang-orang asing itu
berpakaian lebih baik dan lengkap daripada orang
pedukuhan itu sendiri, serta pada umumnya di pinggang
mereka terselip sebilah keris atau senjata-senjata yang lain.
Melihat Wiradapa datang, segera mereka mempersilahkannya. Dan lurah mereka sendiri memanggilnya untuk duduk di sampingnya. Sedang
Manahan dan Handaka, mereka suruh duduk di lantai di
tangga pendapa itu. Tampaklah di wajah Handaka perasaan
tidak senang, namun Manahan sendiri, wajahnya sama
sekali tidak berkesan apa-apa.
Sebentar kemudian muncullah dari ruang dalam seorang
pemuda sebaya dengan Bagus Handaka. Wajahnya
memancar cerah dan pakaiannya pun lebih baik dari
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
pakaian mereka semua yang hadir di pendapa itu. Di
sampingnya sebelah menyebelah, berdirilah orang-orang
yang bertubuh gagah tegap dengan wajah-wajahnya yang
seram. Mereka itulah yang tadi malam datang melihat
Manahan di tempatnya menginap.
Pada saat itu, sinar matahari yang baru saja naik, mulai
menembus dedaunan dan jatuh di tanah-tanah lembab.
Embun malam yang melekat di rerumputan perlahan-lahan
mulai mengering menimbulkan asap putih yang melapisi
cahaya pagi. Sedangkan tetesan-tetesan embun yang
tersangkut di dedaunan, tampak berkilat-kilat memantulkan
cahaya matahari yang masih kemerah-merahan, seperti
butiran-butiran permata yang cemerlang.
Dengan semakin cerahnya cahaya matahari, semakin
jelas pulalah wajah-wajah yang berada di dalam pendapa
kalurahan. Mulai dari wajah yang sudah dikenalnya dengan
baik, yaitu Wiradapa, sampai wajah lurah pedukuhan itu.
Juga wajah orang-orang asing itu satu demi satu mulai
dapat dikenal. Manahan dan Bagus Handaka yang duduk
agak jauh dari mereka, mulai memperhatikan wajah-wajah
itu pula. Satu demi satu. Namun Manahan tak dapat
mengenal seorang pun dari mereka. Mereka bagi Manahan
benar-benar orang asing yang belum pernah dilihat
sebelumnya. Karena itu Manahan sama sekali tidak lagi menaruh
banyak perhatian, kecuali menanti pekerjaan apakah yang
akan diberikan kepadanya, dan seterusnya menyelidiki
apakah yang mereka kerjakan di situ. "Mudah-mudahan
mereka tidak berbuat keributan," pikirnya.
Lalu setelah itu mulailah perhatiannya beredar ke sudutsudut halaman rumah kepala pedukuhan itu. Sejak dari
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
pagar batu yang mengelilingi setinggi orang, sampai pada
pohon-pohon liar yang tumbuh tidak begitu teratur
bertebaran di sana-sini. Tetapi tiba-tiba Manahan terkejut karena gemeretak gigi
Handaka. Ketika ia menoleh, dilihatnya wajah Handaka
yang merah padam, sedang nafasnya mengalir cepat.
Manahan menjadi agak terkejut. Sadarlah ia bahwa pasti
ada sesuatu di hati anak itu. Untunglah bahwa Manahan
cepat dapat menggamit Bagus Handaka yang hampir saja
melompat berdiri. "Handaka..." bisik Manahan, "Ada apa?"
Mata Bagus Handaka menjadi merah menyala. Tubuhnya
gemetar karena menahan diri. "Bapak, biarkan aku kali ini
membuat perhitungan," desisnya.
Manahan menjadi keheran-heranan. "Kau kenapa
Handaka?" tanya Manahan.
"Aku tidak mau melepaskan anak itu pergi," jawabnya.
Manahan menjadi semakin heran. Karena itu ia segera
berusaha menenangkan hati Bagus Handaka.
Dengan perlahan-lahan ia berkata, "Tenanglah Handaka,
jangan kau biarkan perasaanmu meluap-luap. Ada apakah
sebenarnya dengan anak itu?"
"Bapak, belumkah Bapak kenal dia?" tanya Handaka.
Manahan menggelengkan kepalanya.
"Semalam aku agak kurang dapat melihat wajah anak
muda itu. Juga barangkali setelah tiga tahun aku tidak
bertemu, maka baru setelah aku mengingat-ingat agak
lama, aku kenal ia kembali," sambung Bagus Handaka.
"Siapakah dia?" desak Manahan ingin tahu.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Sawung Sariti, putra Paman Lembu Sora," jawab
Handaka. Berdesirlah dada Manahan mendengar jawaban itu.
Memang sebelumnya ia belum pernah melihat anak itu.
Tetapi bagaimanapun, Manahan tidak ingin maksudnya
gagal. Apalagi setelah ia mengetahui bahwa anak itu adalah
anak Lembu Sora, keinginannya untuk mengetahui maksud
kedatangannya di pedukuhan itu semakin mendesak. Maka
itu segera ia berkata, "Bagus Handaka, cobalah kuasai
perasaanmu. Dengan bertindak tergesa-gesa barangkali,
tidak banyak keuntungannya. Sudah aku katakan bahwa
aku ingin mengetahui apakah kedatangannya kemari.
Agaknya ia sudah tidak mengenal kau kembali setelah kau
menjadi anak sawah dan anak laut. Barangkali kulitmu telah
hitam terbakar matahari dan tersiram ombak lautan. Hal itu
adalah suatu keuntungan bagimu sehingga usaha kita tidak
lekas dapat diketahui. Dengan mengetahui lebih banyak
tentang Sawung Sariti itu, bukankah jalanmu menjadi
semakin licin...?" Bagus Handaka menekan giginya kuat-kuat. Ia sedang
berusaha untuk menenangkan dirinya. Seperti biasa ia tidak
pernah berani melanggar perintah dan nasehat gurunya,
bagaimanapun nasehat atau perintah itu bertentangan
dengan kehendaknya. "Handaka..." sambung Manahan, "Barangkali permintaanku ini mengecewakan engkau, tetapi dengan
sangat aku harapkan bahwa kau dapat memenuhinya."
Handaka menundukkan kepalanya. Dengan penuh
ketaatan ia menjawab, "Baiklah Bapak, aku selalu berusaha
untuk dapat memenuhi nasehat Bapak."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Manahan mengangguk-anggukkan kepalanya perlahanlahan. Sambil tersenyum ia berkata pula, "Nah, sekarang
nikmatilah permainan ini. Ingat, kita adalah perantau yang
tak berharga. Dua orang ayah-beranak yang malas, yang
pergi dari satu tempat, ke lain tempat untuk menuntut
belas kasihan orang."
Handaka menganggukkan kepalanya, tetapi ia tidak
menjawab. Terkilaslah di dalam otaknya permainanpermainan aneh yang pernah dilakukan oleh gurunya, yang
kadang kadang sangat membingungkannya. Kemudian
teringat pulalah keanehan orang yang tak dikenal, yang
bahkan gurunya pun tak mengenalnya, yang mengajarkannya dengan cara yang sama sekali tak didugaduganya. Enam malam berturut-turut menyerangnya
dengan cara yang berbeda-beda menurut urutan yang
teratur. "Apakah setiap orang sakti itu mempunyai cara-cara
yang tidak menurut kebiasaan orang-orang lumrah...?"
pikirnya. Tetapi ia tidak menanyakan hal itu kepada gurunya.
Sementara itu terjadi pulalah berbagai pembicaraan
diantara orang-orang yang berada di pendapa. Pembicaraan
mereka mula-mula berkisar pada persoalan-persoalan yang
berarti. Tentang sawah, air dan tentang kebiasaankebiasaan penduduk pedukuhan itu. Diantara mereka
terdengarlah seorang yang tampaknya berasal dari
Pamingit, yang bersama-sama dengan Sawung Sariti
memberikan beberapa petunjuk mengenai cara-cara
mengolah sawah.

Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tiba-tiba kemudian terdengarlah anak muda yang
ternyata adalah Sawung Sariti itu berkata nyaring, "He,
Paman Lurah, siapakah dua orang yang duduk di sana itu?"
Mendengar sapa itu, semua mata kemudian tertuju
kepada Manahan dan Bagus Handaka, yang kemudian
kepalanya menjadi semakin tunduk. Dadanya terasa
bergelora hebat, namun ia sama sekali tidak berani
melanggar pesan gurunya. Sesaat kemudian terdengarlah Wiradapa menjawab,
"Mereka adalah Manahan dan Bagus Handaka, yang
semalam bermalam di rumahku, Tuan."
"O..." sahut Sawung Sariti. "Untuk apa mereka datang
kemari?" "Bukankah Tuan yang memerintahkannya?" jawab
Wiradapa pula. Terdengarlah Sawung Sariti tertawa. Suaranya terdengar
melengking tinggi. Katanya, "Benar Paman, memang aku
yang menyuruhnya kemari. Aku sama sekali tidak senang
melihat orang bermalas-malas seperti kedua orang itu."
Mendengar percakapan itu dada Bagus Handaka serasa
akan pecah terdesak oleh gelora perasaannya. Ia belum
pernah mengalami tanggapan yang sangat menyakitkan
hati seperti itu. Ia menjalani semua pahit getir penghidupan
dengan senang hati, tetapi tidak untuk direndahkan
sedemikian. Namun dengan tabah ia menelan segala kepahitan itu,
sebagai suatu kewajiban. Karena itu mukanya menjadi
merah pengab. Dadanya seolah-olah berdentang dentang
oleh pukulan detak jantungnya. Manahan melihat keadaan
Bagus Handaka itu dengan penuh pengertian. Sebenarnya
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
ia merasa kasihan kepada anak itu, namun ia harus
mengajarinya menahan diri. Maka dengan lembut ia
berbisik, "Di dalam perjalanan hidupmu kelak Handaka,
banyaklah tekanan-tekanan batin yang lebih dahsyat
daripada permainan ini. Karena itu anggaplah kali ini
sebagai latihanmu yang masih terlalu ringan."
Kata-kata Manahan itu ternyata besar pengaruhnya.
Memang latihan selamanya terasa hebat. Karena itu ia
menjadi agak tenang dan menerapkan dirinya dalam suatu
keadaan latihan. "Paman Lurah..." kembali terdengar suara Sawung Sariti,
"Pekerjaan apakah yang dapat diberikan kepada orangorang malas itu?" Lurah Gedangan yang sama sekali tidak mempunyai
rencana apapun menjadi agak bingung, maka jawabnya,
"Terserahlah Tuan, sebab aku tidak memerlukan mereka
berdua." Kembali terdengar Sawung Sariti tertawa nyaring. Tetapi
kemudian tampak wajahnya berkerut. Agaknya ia teringat
sesuatu yang sangat penting. Tiba-tiba ia berdiri dan
mendekati salah seorang pengiringnya. Untuk beberapa
saat mereka saling berbisik-bisik. Setelah itu kemudian
dengan tersenyum-senyum Sawung Sariti berkata, "He
orang-orang malas, siapakah namamu?"
Manahan memutar duduknya, dan sambil membungkuk
hormat ia menjawab, "Namaku Manahan, Tuan... dan ini
anakku bernama Handaka."
"Nama-nama yang bagus," sahutnya, kemudian ia
meneruskan, "Apakah yang dapat kau kerjakan?"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Manahan mengangkat mukanya, jawabnya, "Apa saja
yang Tuan perintahkan, aku akan mencoba melakukannya."
Sawung Sariti mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya, "Besok aku mempunyai pekerjaan penting
untukmu berdua. Sekarang belum. Tetapi ingat, jangan
coba-coba meninggalkan pedukuhan ini. Sebab menurut
pikiranku tak ada orang lain yang dapat melakukannya
kecuali kalian berdua. Kalau kalian mencoba dengan diamdiam pergi dari pedukuhan ini, maka pasti orang-orangku
akan menemukan kalian dan memenggal leher kalian.
Mengerti...?" Manahan memandangi wajah anak muda itu dengan
penuh pertanyaan. Dengan nada bertanya-tanya ia
menjawab, "Pekerjaan apakah yang akan Tuan berikan itu.
Dan adakah aku mampu melaksanakan?"
"Kau pasti dapat melakukan," jawabnya bersungguhsungguh lalu ia meneruskan, "Karena kalian akan
melakukan pekerjaan yang penting itu, maka sekarang
kalian boleh beristirahat, tidur untuk sehari penuh. Dan
jangan takut kelaparan untuk sehari ini. Paman Wiradapa
akan memberimu makan sebanyak-banyaknya."
Sekali lagi dada Handaka berguncang. Apalagi kalau
diingatnya bahwa orang yang mengucapkan kata-kata itu
adalah anak pamannya yang telah berkhianat kepada
ayahnya. Tetapi kemudian Bagus Handaka telah dapat menempatkan perasaannya sebaik baiknya, sehingga
karena itu hanya suatu tarikan nafas yang dalam yang
terdengar. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Nah, orang-orang malas..." sambung Sawung Sariti,
"Sekarang kau boleh pergi. Kau boleh berjalan kemana kau
suka, tetapi ingat jangan tinggalkan pedukuhan ini."
"Baiklah Tuan," jawab Manahan penuh hormat. Dan
kemudian bersama-sama dengan Bagus Handaka mereka
meninggalkan halaman kalurahan.
Mereka berjalan begitu saja sepanjang jalan desa tanpa
tujuan. Manahan berjalan di depan dengan kepala tunduk,
sedang di belakangnya Bagus Handaka mengikutinya
dengan kepala yang dipenuhi teka-teki.
"Kemana kita pergi Bapak?" tanya Handaka kemudian.
Manahan menoleh, dan kemudian memperlambat
jalannya sampai Handaka berjalan di sisinya. Kemudian ia
menjawab, "Asal kita berjalan Handaka. Melihat sawahsawah, ladang serta lereng-lereng pegunungan."
"Apakah kira-kira yang harus kita kerjakan besok pagi?"
tanya Handaka pula. "Entahlah," jawab Manahan. "Agaknya bukan pekerjaan
yang menyenangkan." Setelah itu mereka berdua bersama-sama berdiam diri.
Tetapi kaki mereka melangkah terus sepanjang jalan yang
kemudian sampai ke daerah persawahan. Batang-batang
jagung yang sudah setinggi lutut, tampak hijau segar di
bawah sinar matahari pagi.
Burung liar terbang bertebaran mencari mangsanya. Dan
di sana sini beberapa orang telah mulai mengerjakan
sawahnya. Menyiangi tanamannya dan mengalirkan air dari
parit-parit. Meskipun apa yang mereka lakukan adalah caracara yang sederhana sekali, namun karena tanah yang
subur maka tanaman mereka tampak subur pula.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Manahan dan Handaka berjalan saja berkeliling tanpa
tujuan. Ketika kemudian matahari semakin tinggi, mereka
berdua beristirahat di bawah pohon rindang di simpang
jalan. Selama itu tidak juga banyak yang mereka
percakapan, karena pikiran mereka masing-masing dipenuhi
oleh berbagai masalah yang melingkar-lingkar.
Matahari merayap-rayap semakin tinggi di kaki langit.
Manahan dan Handaka melihat iring-iringan orang berkuda
keluar dari pedukuhan. Mereka adalah Sawung Sariti
dengan tiga atau empat pengawalnya, Pak Lurah dan
beberapa orang lagi. Agaknya mereka akan menempuh
suatu perjalanan yang agak jauh, meskipun pasti pada hari
itu juga mereka akan kembali ke pedukuhan itu.
"Wiradapa tidak ikut dengan mereka," bisik Manahan.
Handaka menganggukkan kepalanya. Tetapi, ia tidak
menjawab. Manahan pun tidak melanjutkan kata-katanya
pula. Kembali mereka tenggelam dalam angan-angan
mereka masing-masing. Tetapi sejenak kemudian mereka melihat Wiradapa
berjalan keluar lewat sudut desanya. Sebentar ia berhenti
sambil memperhatikan titik-titik yang semakin lama semakin
jauh sambil meninggalkan hamburan debu putih.
----------o-dwkzOarema-o---------Editing oleh Ki Arema SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Jilid 10 SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
I Kemudian setelah titik-titik itu hilang di kelokan jalan,
kembali Wiradapa memandang berkeliling. Tiba-tiba
matanya terhenti pada Manahan dan Handaka yang masih
duduk di bawah pohon di simpang jalan. Tampaklah orang
itu tersenyum dan kemudian ia melangkah mendekati.
"Tuan tidak ikut serta dengan rombongan itu?" tanya
Manahan sambil menghormat.
Wiradapa menggelengkan kepala sambil menjawab,
"Tidak Ki Sanak, aku lebih senang tinggal di rumah."
"Kemanakah mereka pergi?" tanya Manahan pula.
"Entahlah," jawab Wiradapa. Tetapi di balik kata-katanya
itu Manahan menangkap sesuatu yang tidak wajar. Namun
ia sama sekali tidak mendesaknya.
"Siapakah mereka itu Tuan?" tanya Manahan mengalihkan persoalan. "Adakah mereka bukan penduduk pedukuhan ini?"
"Bukan Ki Sanak," jawab Wiradapa sambil duduk di sisi
Manahan. Mereka bukan penduduk pedukuhan ini. Menurut
keterangan mereka, mereka datang dari Banyubiru. Anak
muda itu adalah putra kepala daerah perdikan Banyubiru
dan Pamingit, yang menurut keterangan mereka, adalah
bekas daerah Pangrantunan lama.
Manahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan
ekor matanya ia melihat wajah Bagus Handaka yang
berubah menjadi merah. Untunglah bahwa anak itu
menundukkan wajahnya sehingga perubahan itu tidaklah
begitu nampak. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Anak muda itu bernama Sawung Sariti," lanjut
Wiradapa, "Dan orang-orang itu adalah pengawal-pengawal
mereka dari Pamingit."
"Apakah keperluan mereka datang kemari?" tanya
Manahan pula. Wiradapa tersenyum. Ia memandang Manahan dengan
wajah yang lucu. Jawabnya, "Suatu keperluan yang penting
bagi orang-orang yang punya cita-cita,
Manahan menarik nafas. Ia sadar akan permainannya.
Memang bagi orang yang pekerjaaannya merantau dari
satu desa ke desa yang lain, pertanyaannya agak terlampau
maju. Meskipun demikian, terdorong oleh keinginan untuk
mengetahui lebih lanjut, ia bertanya pula, "Tuan, apakah
cita-cita seseorang yang telah menjabat sebagai kepala
daerah perdikan?" Kembali Wiradapa tersenyum. Katanya, "Banyak juga
yang ingin kau ketahui Ki Sanak. Memang barangkali
bagimu apa yang telah kau capai hari ini telah cukup tanpa
memikirkan masa depan. Tetapi justru bagi orang-orang
yang semakin tinggi pangkatnya, semakin tinggi citacitanya. Demikian juga Anakmas Sawung Sariti. Bukankah
diatas kepala perdikan masih banyak jabatan penting"
Jabatan-jabatan istana, misalnya. Sedang jabatan istana
yang paling tinggi adalah raja."
"Raja...?" ulang Manahan. "Menurut pendengaranku, raja
adalah jabatan turun- temurun."
"He, kau tahu juga tentang raja?" potong Wiradapa,
kemudian ia melanjutkan, "Tetapi tidak selamanya
demikian." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Manahan mendengarkan kata-kata Wiradapa dengan
sungguh sungguh. Ia mengharap agar dengan demikian
Wiradapa sampai pada keterangan yang sejauh-jauhnya.
"Tuan..., adakah orang yang lain kecuali keturunannya
boleh menjadi raja?" tanya Manahan pula.
Wiradapa tertawa geli. "Memang dapat terjadi demikian.
Adakah Ki Sanak ingin menjadi raja?"
Manahan tertawa pula. Sahutnya, "Siapakah yang tidak
mau menjadi raja" Apapun yang dikehendaki selalu ada.
Makanan lezat serta minuman segar. Pakaian gemerlapan
serta perhiasan yang cemerlang."
Wiradapa tidak dapat menahan tertawanya, sampai
tubuhnya berguncang-guncang. "Memang barangkali kepentinganmu, apabila kau menjadi raja, adalah makanan
lezat serta minuman segar. Tetapi kau tidak pernah berpikir
tentang pekerjaan serta kewajibannya."
"Apakah pekerjaan raja?" tanya Manahan.
"Banyak sekali," jawab Wiradapa.
"Banyak sekali dan tidak menyenangkan. Meskipun
demikian banyak orang yang ingin menjabatnya. Termasuk
Anakmas Sawung Sariti."
"Tetapi kenapa Tuan muda yang ingin menjadi raja itu
datang kemari. Adakah ia ingin menjadi raja di sini?" sahut
Manahan. Sekali lagi Wiradapa tertawa. Jawabnya, "Baiklah aku


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ceriterakan kepadamu, barangkali perlu kau ceriterakan
kelak buat anak cucumu sebagai pengetahuan. Mungkin
anak cucumu kelak tidak lagi menjadi perantau seperti Ki
Sanak ini. Untuk menjadi raja kadang-kadang diperlukan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
benda-benda pusaka sebagai sipat kandel, atau sebagai
wadah untuk menerima wahyu keraton. Dengan memiliki
pusaka-pusaka tertentu, orang menjadi kuat menerima
wahyu. Tanpa pusaka itu, mungkin seseorang yang tidak
kuat menerima wahyu keraton, malahan dapat menjadi gila.
Misalnya, setelah ia menjadi raja, mempergunakan
kekuasaannya sewenang-wenang, atau menghamburhamburkan uang perbendaharaan, sehingga akhirnya ia
jatuh dari jabatannya itu dengan berbagai cara. Nah,
sekarang Anakmas Sawung Sariti sedang bersiap-siap untuk
mendapatkan pusaka istana yang akan menjadi sipat
kandel. Pusaka itu berupa dua keris yang maha sakti, yang
bernama Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten."
Mendengar keterangan itu sesuatu terasa berdesir di
dada Manahan, dan kemudian jantungnya terasa berdetak
lebih cepat. Juga Bagus Handaka terkejut sampai ia
mengangkat mukanya. Untunglah bahwa Manahan masih
dapat mengendalikan diri, sehingga perasaannya tidak
berkesan pada wajahnya. Demikian juga Bagus Handaka,
cepat-cepat menundukkan mukanya kembali.
"Jadi kedatangan mereka kemari, adalah dalam usaha
mereka menemukan pusaka pusaka itu," sambung
Wiradapa. Manahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan
sikap yang bodoh ia bertanya, "Adakah kedua keris itu di
sini?" Wiradapa menggelengkan kepala, jawabnya, "Tak
seorangpun diantara kami di sini yang pernah melihat keriskeris itu, bahkan mendengar namanya pun baru kali ini."
Melihat cara mengatakannya, Manahan percaya bahwa
Wiradapa telah berkata sebenarnya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Karena itu ia menjadi kecewa, sebab ia mengharapkan
setidak-tidaknya petunjuk di mana kira-kira kedua keris itu
sekarang. "Tetapi..." sambung Wiradapa, "Di sebelah selatan, ada
sebuah padepokan yang disebut orang Padepokan Karang
Tumaritis atau disebut juga Karangdempel. Di sana tinggal
seorang tua yang saleh. Yang suka menolong sesama.
Bahkan ia terkenal dengan kepandaiannya mengobati
segala macam penyakit. Ke sanalah Anakmas Sawung Sariti
tadi pergi, menghadap orang tua yang menamakan dirinya
Panembahan Ismoyo. Konon orang percaya bahwa orang
tua itu titisan Dewa Ismoyo yang ditugaskan untuk
menunggui pertapaannya. Kemudian seperti kepada diri
sendiri ia meneruskan, Tetapi mudah-mudahan seandainya
beliau tahu, janganlah beliau memberitahukan kepadanya."
Kata-kata yang terakhir itu justru menyentuh perasaan
Manahan serta meninggalkan kesan yang aneh. Kalau
sampai orang seperti Wiradapa yang baik hati itu
mengucapkan kata-kata yang demikian, pastilah ada
sebabnya yang cukup penting. Dan tiba-tiba tanpa sadar ia
bertanya, "Kenapa demikian Tuan?"
Wiradapa tersadar bahwa ia telah mengucapkan katakata yang sebenarnya tidak perlu. Segera ia mencoba
memperbaiki kesalahannya, katanya sambil tersenyum
hambar, "Eh, mudah-mudahan kepadakulah Panembahan
Ismoyo kelak memberitahukan."
Manahan sadar sesadar-sadarnya, bahwa Wiradapa ingin
bergurau untuk menyembunyikan keterlanjurannya. Dan
karena itu iapun segera menyesuaikan diri untuk
menyenangkan hati Wiradapa.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sambil tertawa-tawa Manahan menyahut, "Kalau Tuan
kelak mendapatkan pusaka-pusaka itu, serta kemudian
menjadi raja, bukankah Tuan akan sudi mengambil kami
berdua sebagai pekatik?"
Mendengar kata-kata Manahan, Wiradapa tertawa, lalu
jawabnya, "Bukankah kau mau berdoa untukku?"
"Tentu, Tuan..., tentu!" jawab Manahan.
Wiradapa menarik nafas panjang. Mendadak saja
dahinya tampak berkerut, katanya perlahan-lahan, "Aku
tidak boleh mimpi demikian, asal desa ini dapat aku
selamatkan dari noda, aku telah merasa senang."
Sekali lagi perasaan Manahan tersentuh. Namun ia tidak
bertanya apa-apa. Sehingga kemudian Wiradapa berdiri
sambil berkata, "Ah, lebih baik aku pergi dahulu Ki Sanak,
untuk menengok sawah. Kalau Ki Sanak sudah lelah dudukduduk di sini, pulanglah. Ki Sanak dapat beristirahat di
rumah. Bukankah besok Ki Sanak akan mendapat pekerjaan
penting?" Karena itu pula maka Manahan teringat untuk
menanyakan pekerjaan apakah kira-kira yang akan
dilakukannya besok. "Tuan..., apakah yang harus aku
kerjakan besok?" Wiradapa menggelengkan kepalanya, "Entahlah. Dan
setelah itu ia pun segera melangkah pergi."
Dari percakapan pendek itu Manahan dapat mengambil
banyak kesimpulan. Pasti terjadi sesuatu yang kurang wajar
di pedukuhan kecil dan sepi ini. Mungkin pula telah terjadi
beberapa pertentangan pendapat diantara mereka.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Setelah Wiradapa agak jauh, berkatalah Manahan kepada
Bagus Handaka, "Handaka..., bukankah dengan permainan
ini banyak yang dapat kita ketahui?"
Handaka mengangguk, dan sambil tersenyum ia
menjawab, "Permainan yang sulit, Bapak."
Manahan tertawa mendengar jawaban Handaka, katanya
melanjutkan, "Semakin sulit permainan ini, semakin banyak
hal yang kita dengar. Apalagi besok. Mungkin kita akan
mendapat pekerjaan yang menyenangkan sekali."
"Mudah-mudahan Bapak, mudah-mudahan bukan pekerjaan yang sulit," jawab Handaka.
"Karena itu..." sahut Manahan, "Marilah kita beristirahat
untuk menyiapkan diri menghadapi pekerjaan kita besok."
Handaka tidak menjawab, dan ketika kemudian Manahan
berdiri dan melangkah, Handaka pun mengikutinya. Mereka
dengan perlahan-lahan, tepat seperti dua orang pemalas,
berjalan di sepanjang jalan yang membujur diantara
persawahan, dimana tampak banyak orang laki-laki
perempuan bekerja keras untuk makan mereka sehari-hari.
Beberapa pasang mata memandang Manahan dan Handaka
dengan pandangan yang aneh. Tetapi Handaka dan
Manahan sama sekali tidak menghiraukan lagi. Pikiran
mereka sedang dicengkam oleh pertanyaan yang melingkar
di seputar hari besok. Apakah kira-kira yang harus
dikerjakan. Siang hari itu, Manahan dan Handaka duduk-duduk saja
di dalam ruangan mereka. Hanya ketika matahari condong
tanpa ada yang menyuruhnya, Handaka mengambil air
untuk mengisi jeding dan padasan.Setelah sembahyang Isa,
kembali mereka menyekap diri sambil bermain macanan.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sesaat kemudian setelah malam semakin dalam,
Manahan dan Handaka pun segera menutup pintu
ruangnya. Mereka sama sekali tidak bernafsu untuk keluar.
Dalam kesempatan yang demikian Handaka lebih senang
belajar berbagai-bagai ilmu dari gurunya, yang mengajarinya membaca dan menulis pula. Kadang-kadang
Handaka minta gurunya berceritera mengenai berbagai ilmu
pengetahuan yang mungkin akan sangat berguna kelak.
Demikian juga malam itu, Manahan menceriterakan
berbagai hal dari lontar-lontar yang pernah dibacanya
sehingga tidak terasa malam menjadi semakin jauh
menukik ke pusatnya. Tetapi tiba-tiba mereka terganggu oleh suara telapaktelapak kaki memasuki halaman. Kemudian terdengar suara
memanggil dari halaman. "Adi Wiradapa..., sudahkah Adi tidur?"
Kemudian terdengar jawaban dari dalam, "Belum
Kakang, marilah, silahkan."
Agaknya Lurah pedukuhan itu dengan pengiringnya
datang berkunjung. Setelah rombongan itu masuk dan
dipersilahkan duduk, terdengarlah mereka bercakap-cakap.
Mula-mula perlahan-lahan tetapi lama kelamaan menjadi
semakin keras. Manahan dan Bagus Handaka segera ikut
memperhatikan percakapan itu pula.
"Kakang Lurah...." Terdengar suara Wiradapa. "Aku tidak
akan turut mempertanggungjawabkan perbuatan terkutuk
itu." "Adi Wiradapa..." jawab lurah itu, "Sudah berpuluh tahun
kita bekerja bersama-sama. Sekarang kenapa Adi mau
mengubah naluri itu?"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Aku hanya mau bekerja sewajarnya," jawab Wiradapa.
"Tetapi dengan pekerjaan itu, kita akan mendapat
kesempatan sebaik-baiknya untuk menjadi kaya raya,"
sahut lurah pedukuhan itu.
"Hem...." Wiradapa menggeram, "Aku tidak mau
pedukuhan ini ternoda. Pedukuhan yang sudah berpuluhpuluh tahun kita bina, sekarang akan kita korbankan untuk
keperluan yang sesat."
"Jangan berlagak seperti malaekat. Apakah kesalahan itu
dapat ditimpakan kepada kita" Kalau aku mengajak Adi
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Wiradapa untuk turut serta dalam pekerjaan ini, adalah
karena Adi Wiradapa akan banyak memperingan pekerjaan
kami dan akan kami bagi hadiah yang kita terima bersamasama. Sebab aku tidak ingin untuk mendapatkannya
sendiri." "Aku tidak mimpi untuk menerima hadiah, Kakang,"
potong Wiradapa. "Hem, jangan menyesal kalau terjadi sesuatu. Aku telah
menyiapkan orang-orangku sendiri. Tanpa Adi, pekerjaan ini
akan selesai dengan baik. Tetapi jangan coba menghalangi
aku." "Jangan menakut-nakuti aku dengan ancaman," sahut
Widarapa. "Aku sudah mengenal Kakang Lurah, dan Kakang Lurah
sudah lama pula mengenal aku."
Lurah pedukuhan itu tidak menjawab, tetapi terdengar ia
menggeram marah. Kemudian terdengar langkahnya pergi
disusul oleh langkah menjauhi.
Percakapan itu sangat menarik perhatian Manahan dan
Bagus Handaka. Tetapi sayang bahwa dari percakapan itu,
tak ada yang menunjukkan tindakan apa yang akan
dilakukan oleh lurah itu.
"Apakah yang akan mereka lakukan Bapak?" tanya Bagus
Handaka berbisik. Manahan menggelengkan kepala. "Entahlah," jawabnya.
"Adakah lurah itu akan menyerang Sawung Sariti?" tanya
Handaka seterusnya. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Pasti tidak," jawab Manahan. "Kalau demikian dari siapa
lurah itu mengharapkan hadiah?"
Handaka mengangguk-angguk. Tetapi pikirannya menjadi bertambah kalut. "Mungkin pekerjaan kita besok ada hubungannya dengan
peristiwa ini," kata Manahan kemudian.
"Ya, mungkin demikian Bapak," sahut Handaka.
Setelah itu kembali mereka berdiam diri, mereka-reka
dan menebak-nebak apakah yang kira-kira akan terjadi.
Dalam pada itu terdengarlah Wiradapa menutup pintu
dan kemudian terdengar ia berkata kepada istrinya, "Nyai,
tidurlah di ruang belakang. Jangan pedulikan apa yang
terjadi." "Ada apakah sebenarnya Kakang" Dan kenapa Kakang
tidak mau bekerja sama dengan Kakang Lurah?" tanya
istrinya. "Tak ada apa-apa. Tetapi sekali lagi, jangan pedulikan
apa yang terjadi," jawab Wiradapa.
"Tetapi...?" Terdengar istrinya masih akan bertanya.
"Sudahlah Nyai," potong suaminya, "Tak ada apa-apa
yang terjadi". Kemudian istri Wiradapa tidak berkata apa-apa lagi.
Kemudian terdengar ia pergi ke ruang belakang, dekat
dengan ruang Manahan.Setelah itu terdengar gemerincing
senjata. Agaknya Wiradapa bersiap-siap untuk menghadapi
setiap kemungkinan. Manahan dan Handaka menjadi semakin bertanya-tanya
di dalam hati. Begitu penting agaknya persoalan yang
dihadapi oleh Wiradapa, sehingga ia terpaksa menyiapkan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
senjata, untuk menghadapi orang yang telah berpuluh
tahun bekerja bersama-sama.
Kemudian kembali malam ditelan sepi. Yang terdengar
hanyalah suara jengkerik dan angkup nangka bercuit-cuit.
Tetapi dalam setiap dada orang-orang di dalam rumah itu,
berdeburan dengan riuhnya, kekhawatiran kecemasan dan
keinginan tahu tentang apa yang bakal terjadi.
Sampai tengah malam, kesepian malam berjalan tanpa
terganggu. Manahan dan Handaka sudah berbaring di
pembaringan mereka. Namun mereka sama sekali tidak
meninggalkan kewaspadaan. Meskipun mereka tidak


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berjanji, namun di dalam hati mereka masing-masing
tersimpan suatu keinginan untuk membantu Wiradapa kalau
kemudian terjadi sesuatu, apabila dianggap perlu. Dengan
diam-diam Manahan meraba-raba dinding. Kalau terpaksa
dinding kayu dan bambu itu harus dijebolnya untuk dapat
dengan segera sampai di ruang dalam.
Baru ketika tengah malam itu telah lewat, terjadilah
sesuatu. Beberapa orang terdengar hilir-mudik di halaman,
bahkan beberapa diantaranya telah berada di halaman
belakang. Hati Manahan dan Handaka kemudian berdebar-debar
pula. Karena itu, meskipun mereka masih tetap berbaring,
tetapi siap untuk melakukan setiap gerakan yang perlu.
Apalagi ketika dengan telinga yang tajam mereka
mendengar ada nafas orang dekat di muka pintu ruang,
malahan mereka melihat pula dinding ruang itu bergerakgerak. Pastilah bahwa ada orang yang sedang mengintip.
Namun demikian mereka masih tetap berbaring, sehingga
tidak menimbulkan suatu kecurigaan.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tetapi sampai beberapa lama, mereka sama sekali tak
mengalami sesuatu. Meskipun langkah-langkah di halaman
masih saja terdengar, namun agaknya mereka, yang hilirmudik itu tak berbuat lain kecuali berjalan kesana-kemari.
Sehingga dengan demikian Manahan menduga bahwa
orang-orang itu hanyalah ditugaskan untuk mengawasi
Wiradapa. Sedang Wiradapa agaknya tidak mau membuat
perkara. Ia masih tetap di dalam rumahnya, meskipun
masih juga kadang-kadang terdengar suara senjatanya
yang agaknya tak lepas dari tangannya. Dengan demikian
rumah itu diliputi oleh ketegangan yang semakin
memuncak. Manahan dan Bagus Handaka sama sekali tidak
mencemaskan keadaan mereka, karena mereka merasa
cukup mampu untuk menjaga diri. Tetapi mereka menjadi
tegang pula, karena teka-teki yang mengetuk-ngetuk
perasaan mereka terus-menerus sejak siang tadi. Mereka
ingin teka-teki itu segera terpecahkan.
Tetapi ketika malam sudah semakin dalam, terdengarlah
hiruk-pikuk di kejauhan. Segera Manahan dan Bagus Handaka bangkit untuk
memperhatikan suara-suara itu, yang semakin lama
terdengar semakin riuh. Dengan pengetahuannya yang
tinggi, Manahan segera mengetahui bahwa keributan itu
adalah keributan pertempuran. Tetapi ia tidak dapat
menebak pihak-pihak manakah yang sedang bertempur itu.
Mungkin pihak penduduk pedukuhan itu di bawah pimpinan
lurah mereka sedang menyerang Sawung Sariti dengan
para pengikutnya. Kalau demikian, maka besar kemungkinannya laskar Gedangan akan dimusnahkan.
Tetapi kalau demikian halnya, lalu siapakah yang berdiri di
belakang lurah Gedangan itu, yang menjanjikan hadiah
besar" SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sesaat kemudian tiba-tiba terdengar Wiradapa menggeram, lalu berteriak, "Siapakah di luar...?"
Terdengar suara tertawa pendek. Kemudian jawabnya,
"Kau tak perlu mengenal aku, Wiradapa."
"Baik, aku tak perlu mengenal kau," sahut Wiradapa.
"Tapi hentikan pengkhianatan itu."
Manahan dan Bagus Handaka berdebar-debar dan cemas
mendengar percakapan itu, tetapi juga terkejut. Ternyata
yang berada di halaman bukanlah laskar Gedangan. Dan
karena kekalutan itu Manahan dan Bagus Handaka menjadi
ragu-ragu untuk berpihak.
"Kalau kalian tak mau menghentikan pengkhianatan itu,
aku yang akan berbuat," terdengar kembali Wiradapa
berteriak. Dan kembali terdengar tawa menyeramkan di
halaman. "Kau jangan berlagak Wiradapa. Seandainya kau
memiliki kesaktian sekalipun kau tak akan memenangkan
kami berenam. Karena itu, tetaplah kau di rumahmu sampai
ada keputusan hukuman apa yang harus kau jalani besok."
"Gila...!" potong Wiradapa. "Kau kira aku sebangsa
cacing yang tak mampu berbuat apa-apa. Cobalah kalian,
meskipun berenam memasuki rumahku ini. Jangan harap
dapat keluar lagi dengan selamat."
"Luar biasa," teriak orang lain dari halaman. "Sayang
kami tak mendapat perintah untuk memasukinya."
Wiradapa tidak menjawab. Tetapi ia menggeram penuh
kemarahan. Kemudian terdengar langkahnya hilir-mudik di
dalam rumahnya. Kegelisahan di rumah itu tidak saja mencengkam hati
Wiradapa, tetapi juga merayap-rayap di kepala Manahan
dan Bagus Handaka. Sehingga tanpa disengaja SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Manahanpun kemudian bangkit dan berjalan pula hilir
mudik di dalam ruangan, sedang Bagus Handaka menjadi
asik bermain-main dengan ujung tombaknya yang keramat,
Kyai Bancak. Ternyata pertempuran yang hiruk pikuk itu tak
berlangsung lama. Sesaat kemudian suara itu telah lenyap.
Tetapi justru karena itu Manahan jadi curiga. Ia mendapat
firasat bahwa ada suatu permainan yang kotor di balik
segala peristiwa ini. Ia kemudian teringat akan kelicikan
Lembu Sora. Tidaklah mustahil bahwa anaknya pun akan
berbuat demikian. Belum lagi Manahan mendapat suatu perkiraan apa-apa,
terdengarlah beberapa ekor kuda berderap memasuki
halaman, langsung mengepung rumah. Lamat-lamat
terdengar suara Wiradapa marah. Geramnya, "Setan. Orang
itu benar-benar cari perkara."
Kemudian disusul sebuah teriakan di halaman, "Masih
adakah tikus itu di dalam"
"Masih, Tuan," jawab yang lain dari halaman pula.
"Bagus, ia harus bertanggungjawab atas peristiwa itu,"
sahut yang tadi. Lalu terdengarlah beberapa orang berloncatan turun,
disusul oleh ketukan pada pintu rumah Wiradapa. "He,
Wiradapa. Bukalah pintu"
"Siapakah kau?" teriak Wiradapa dari dalam.
"Apa pedulimu. Tak ada kesempatan untuk bermanismanis dan sapa-menyapa. Buka pintu dan ikuti aku
menghadap Anakmas Sawung Sariti," jawab yang di luar.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Aku bukan pegawainya. Buat apa aku menghadap?"
sahut Wiradapa dengan beraninya.
Mendengar jawaban itu Manahan dan Bagus Handaka
saling berpandangan. Agaknya Wiradapa tidak berdiri di
pihak Sawung Sariti. Tiba-tiba perasaan mereka jadi lega.
Kalau sampai mereka terpaksa melibatkan diri, mereka tidak
perlu segan-segan. Sebab mereka itu pasti tidak akan
membantu anak Lembu Sora itu.
Sementara itu terdengarlah beberapa orang tertawa
berderai. Dan kembali terdengar seseorang berkata, "Kau
terlalu sombong Wiradapa, apakah kau kira pintu rumahmu
berlapis baja" Dan kau sendiri bertulang besi, sehingga
berani membantah perintah ini?"
"Aku kira kau juga belum bertulang besi," jawab
Wiradapa dengan beraninya. "Karena itu buat apa aku
takut" Cobalah pecahkan pintu. Aku ingin melihat kalau kau
berani." Agaknya yang di luar pun jadi ragu. Terdengarlah ia
mengumpat dan kemudian berkata, Wiradapa, "kalau kau
jantan, keluarlah." Sekarang terdengar suara Wiradapa menghina, "Jangan
bicara tentang kejantanan. Kalau kau datang sendiri
sebagai jantan sejati, akan aku sambut di halaman dengan
penuh kejantanan." Kembali terdengar orang itu mengumpat-umpat. Kemudian berkatalah ia kepada anak buahnya, "Biarlah ia
hidup sampai esok pagi. Jagalah jangan sampai lolos. Juga
orang-orang malas yang tidur di ruang belakang. Ada kerja
buat mereka esok." "Baik Kakang," jawab yang lain.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Setelah itu terdengar derap kuda menjauh.
Tetapi tidak beberapa lama kemudian terdengar derap
itu mendekat kembali. Bahkan lebih banyak lagi. Ketika
kuda itu telah berhenti di halaman, terdengar suara yang
sudah dikenal oleh Manahan dan Bagus Handaka. Yaitu
suara Sawung Sariti. "Wiradapa, kau benar-benar tidak mau
keluar" Kau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu. Kau mengkhianati kami, sehingga beberapa
orang kami jadi korban."
"Jangan coba putar-balikkan keadaan," bantah Wiradapa
dari dalam. "Bagus, kalau kau tak mau keluar, aku suruh bakar
rumahmu ini," ancam Sawung Sariti, maka musnahlah
Wiradapa sekeluarga. "Gila!" teriak Wiradapa, "begitukah cara putra kepala
daerah perdikan yang besar memaksakan kehendaknya
kepada orang lain?" Terdengar Sawung Sariti tertawa dengan nada yang
tinggi. Kemudian katanya, "Aku tidak perduli. Keluarlah.
Rumah dan keluargamu akan selamat. Mungkin kau juga
akan selamat kalau ternyata kau tak bersalah. Juga suruh
orang-orang malas peliharaanmu itu pergi bersama kau.
Ada pekerjaan untuknya."
Kemudian suasana dicengkam oleh kesepian. Bagus
Handaka memandang Manahan dengan penuh pertanyaan.
Hal itu diketahui oleh Manahan, sehingga terdengar ia
berbisik, "Kita ikuti mereka Handaka, Jaga dirimu baik-baik.
Agaknya pada suatu saat kita harus bertindak"
Handaka mengangguk, ketika bersamaan dengan itu
terdengar langkah menuju ke ruangan itu. Sesaat kemudian
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
terdengar orang membentak-bentak, "Ayo keluar! Keluar...!" Sekali lagi Handaka memandang wajah Manahan yang
tetap tenang, seperti air di telaga yang dilindungi oleh
gunung-gunung dari gangguan angin. Ketika Manahan
menganggukkan kepalanya, Handakapun berdiri, lalu
bersama-sama melangkah ke arah pintu. Demikian pintu
terbuka, menyerbulah beberapa orang masuk. Manahan
dan Handaka segera didorong keluar dengan bentakanbentakan yang kasar. Di luar, gelap malam masih membalut seluruh
pedukuhan kecil yang sepi itu. Namun saat itu digemparkan
oleh kedatangan tamu-tamu dari Banyubiru yang agaknya
membuat keributan. Kemudian mereka digiring ke halaman depan, dan di
sana ternyata Wiradapa pun terpaksa keluar rumah pula. Ia
masih memperhitungkan keselamatan keluarganya, sehingga ketika rumahnya diancam akan dibakar, terpaksa
ia mengambil keputusan lain.
Dengan dikawal kuat, mereka bertiga segera dibawa ke
kalurahan. Sawung Sariti, dengan naik kuda, berlari
mendahului. Sampai di pendapa kelurahan, Manahan melihat
beberapa orang bersenjata siap berjaga-jaga. Nampaknya
mereka adalah gabungan dari laskar pedukuhan itu
bersama-sama dengan Laskar Pamingit. Sedang diantara
mereka tidak tampak seorang pun dari Banyubiru. Manahan
yang tajam pandangannya, segera memperhitungkan
keadaan itu. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Wiradapa kemudian sebagai seorang pesakitan dihadapkan kepada Sawung Sariti yang duduk di samping
lurah pedukuhan itu. "Wiradapa..." kata Sawung Sariti dengan lagak seorang
hakim. "Sadarkah kau akan segala perbuatanmu?"
Wiradapa memandang Sawung Sariti dengan penuh
kebencian. Jawabnya, "Aku berbuat dengan penuh
kesadaran dan tanggungjawab untuk kebaikan nama
pedukuhan yang telah aku bina berpuluh tahun."
"Tutup mulutmu!" bentak Sawung Sariti, "Jangan coba
berkata yang bukan-bukan. Aku bertanya dan minta
pertanggungjawabanmu atas kematian orangku yang paling
baik. Bukankah kau telah membuat gerombolan untuk


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merampok kami?" Wiradapa menggeram marah. Jawabnya, "Setan pun tak
akan percaya ocehanmu"
Sawung Sariti menjadi marah sekali. Dengan nada yang
tinggi ia berkata hampir menjerit, "Widarapa. Kau telah
menghina rombongan kami. Apakah kau kira bahwa kami
tak mampu bertindak" Dengarlah baik-baik. Rombongan
kami dengan kekuatan cukup akan dapat memusnahkan
seluruh pedukuhan ini. Tetapi kami tidak akan berbuat
demikian. Kami tahu bahwa tidak seluruh penduduk ini
bersalah, ternyata bahkan ada beberapa orang yang
membantu kami. Dan aku akan berterima kasih kepada
mereka itu. Sekarang katakan kepada kami siapakah yang
turut dalam penyerbuan itu. Atau batangkali kau minta
bantuan kepada salah satu gerombolan di sekitar daerah
ini" Malahan mungkin dua orang yang kau sebut perantau
malas itu adalah anggota gerombolan pula"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mata Wiradapa menjadi menyala-nyala. Dengan gigi
gemeretak ia menyahut, "Jangan banyak bicara. Apakah
sebenarnya maksudmu" Membunuh aku atas permintaan
lurah pengecut itu, supaya aku tidak selalu membayanginya" Aku menolak turut dalam permainan gilagilaan itu, tetapi agaknya lurah yang tamak itu takut aku
membuka rahasia." "Diam!" bentak lurah yang sejak tadi berdiam diri.
"Kau mau menyeret orang lain masuk ke jurang yang
telah kau gali sendiri?"
Wiradapa tertawa rendah, "Pengecut!"
"Kau pengecut," sahut Sawung Sariti. "Nah rakyat
Gedangan.... Pedukuhanmu telah dinodai oleh Wiradapa.
Untunglah bahwa aku tidak memusnahkan kalian. Tetapi
aku menuntut kesetiaan kalian pada pedukuhanmu ini.
Apakah yang dapat kau lakukan untuk membuktikan itu"
Sedang sekarang di hadapanmu berdiri seorang pengkhianat." Akibat kata-kata Sawung Sariti itu dalam sekali. Segera,
semua mata orang yang hadir di pendapa tertuju kepada
Wiradapa. Wajah-wajah itu kemudian menjadi semakin
tegang, semakin tegang, disusul kata-kata lurah mereka,
"Atas nama pimpinanmu, bertindaklah."
Kata-kata itu merupakan aba-aba yang serentak
menggerakkan orang-orang Gedangan yang berdiri di
pendapa itu. Segera mereka melangkah maju dengan
senjata di tangan siap untuk membunuh Wiradapa.
Manahan terkejut menyaksikan peristiwa itu. Segera ia
teringat bagaimana ia sendiri pernah mengalami fitnah yang
dituduhkan oleh Lembu Sora di Banyubiru. Untunglah pada
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
saat itu Gajah Sora sempat mencegahnya. Tetapi kali ini,
pimpinan mereka justru berdiri di pihak Sawung Sariti. Maka
segera ia menggamit Bagus Handaka yang segera dapat
menanggapi. Maka berbisiklah Manahan, "Handaka, kita bebaskan
Wiradapa. Tetapi aku tetap ingin mengetahui siapakah yang
terbunuh diantara rombongan Sawung Sariti. Karena itu
marilah kita menarik perhatian mereka dengan melarikan
diri. Tetapi ingat, kita harus tertangkap."
"Lalu apakah mereka tidak akan membunuh kita?" tanya
Handaka. "Tidak, sebab ada sesuatu yang harus kita lakukan.
Mungkin sesuatu yang sangat rahasia. Baru sesudah itu kita
akan dibunuh," jawab Manahan.
Bagus Handaka menarik nafas. Tugas itu sebenarnya
sangat berat dan berbahaya. Manahan dapat membaca
perasaan Handaka itu, namun ia hanya tersenyum.
Ketika orang-orang di pendapa sudah semakin ribut, tibatiba meloncatlah Manahan melarikan diri diikuti oleh Bagus
Handaka. Tetapi mereka sama sekali tidak berusaha untuk
bersembunyi. Dengan ketolol-tololan mereka berlari
sepanjang jalan pedukuhan.
Melihat Manahan dan Bagus Handaka lari, beberapa
orang berteriak-teriak memanggil, dan beberapa orang
yang cepat berpikir segera mengejarnya. Perhatian seluruh
isi pendapa kemudian terpusat kepada Manahan dan
anaknya yang sedang berusaha melarikan diri.
"Tangkap mereka..." teriak Sawung Sariti.
Tetapi agaknya ia tidak begitu percaya kepada anak
buahnya, sehingga ia sendiri kemudian melompat dengan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tangkasnya, dan seperti anak panah ia terbang mendahului
orang-orang yang telah lebih dahulu mengejar Manahan
dan Handaka. Manahan dan Handaka yang memang tidak benar-benar
akan melarikan diri, sengaja memperlambat langkah
mereka, setelah cukup jarak yang mereka tempuh untuk
memberi kesempatan kepada Wiradapa melenyapkan
dirinya. Tetapi telinga Manahan segera menangkap langkah
yang sangat cekatan menyusulnya. Dengan agak terkejut
Manahan menoleh. Dan dengan kagum ia melihat Sawung
Sariti menghambur ke arahnya.
"Berhenti!" teriak anak muda itu.
Manahan dan Bagus Handaka masih berpura-pura lari.
Namun dalam hati Manahan dihinggapi oleh suatu
pertanyaan baru. A langkah hebatnya anak itu. Menilik gerak
serta langkahnya, agaknya Sawung Sariti telah memiliki
ilmu yang cukup tinggi. Sebentar kemudian anak muda itu telah dapat menyusul
Manahan. Tangannya segera menyambar baju perantau
yang malang itu, sedang tangannya yang lain terayun deras
ke arah rahang Manahan. Manahan sama sekali tidak
berusaha mengelak ketika sebuah pukulan yang keras
mengenainya. Dengan keras ia terlontar ke belakang dan
akhirnya ia jatuh berguling-guling sambil berteriak-teriak,
"Ampun Tuan Muda..., ampun." Tetapi dalam pada itu ia
dapat mengukur sampai dimana kekuatan Sawung Sariti,
yang benar-benar membuatnya heran. Tenaga anak muda
itu benar-benar mengagumkan. Untunglah bahwa yang
dikenainya adalah Manahan. Kalau saja Manahan benarbenar seorang perantau, maka Sawung Sariti telah
membuat suatu kesalahan, sebab kepala perantau itu pasti
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
akan retak dibuatnya. Sesaat ia telah mencoba-coba
membanding-bandingkan anak itu dengan Bagus Handaka.
Apakah Bagus Handaka juga memiliki kekuatan sebesar itu"
Namun agaknya ia tidak perlu mencemaskan muridnya,
meskipun ia belum yakin benar bahwa Handaka dapat
melebihi kekuatan Sawung Sariti.
"Kau mencoba untuk melarikan diri he...?" Kemudian
terdengar Sawung Sariti membentak-bentak marah.
Sementara itu orang-orang yang lain berdatangan pula.
"Tidak Tuan Muda, tidak," rintih Manahan, sedang Bagus
Handaka berdiri tidak jauh darinya dengan gigi yang
terkatub rapat. "Apa kau bilang?" teriak Sawung Sariti. "Dengan berbuat
begitu kau masih ingkar bahwa kau akan melarikan diri?"
"Tidak Tuan Muda, aku tidak akan melarikan diri. Tetapi
aku takut," jawab Manahan.
"Takut" Apa yang kau takutkan?" potong anak muda itu.
"Aku takut melihat pembunuhan," sambung Manahan
dengan suara gemetar. Tanya jawab itu kemudian terhenti ketika kemudian
datang pula beberapa orang berlari-lari.
"Ada apa kalian menyusul?" tanya Sawung Sariti marah.
"Wiradapa melarikan diri, Tuan," jawab orang itu.
"He, apa kau bilang?" Mata Sawung Sariti kem"udian
menyala-nyala, dengan suara yang gemetar ia meneruskan,
Kau bilang Wiradapa melarikan diri?"
"Ya, Tuan," jawab orang itu ketakutan.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tiba-tiba semuanya dikejutkan oleh gerakan Sawung
Sariti yang hampir tak terlihat kecepatannya, disusul oleh
teriakan ngeri. Orang yang berdiri di hadapannya itu
terlempar beberapa langkah dan kemudian terjatuh sambil
mengerang kesakitan. "Setan...!" gerutunya. "Apakah yang kalian kerjakan..."
Dan buat apa aku mengupah kalian" Menjaga seekor tikus
sakit-sakitan saja kalian tidak mampu. Ayo cari sampai
ketemu. Kalau tidak, kalian jadi gantinya."
Beberapa orang berdiri bingung, sampai terdengar
Sawung Sariti berteriak," Pergi, pergi monyet...!" Dan
bubarlah orang-orang itu berlari bertebaran untuk mencari
Wiradapa. Setelah orang-orang itu pergi, Sawung Sariti memandang
Manahan dan Handaka dengan geramnya. Dengan
menahan kemarahan ia berdesis, "Orang-orang gila inilah
yang telah merusak rencanaku." Kemudian katanya kepada
salah seorang pengikutnya, "Bawa mereka kembali ke
kelurahan." Beberapa orang segera bergerak menangkap tangan
Manahan dan Handaka. Dengan kasarnya mereka didorongdorong, bahkan kadang-kadang ditendang-tendang untuk
pergi kembali ke pendapa kelurahan.
----------o-dwkzOarema-o---------SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
II Sampai di pendapa kalurahan, Sawung Sariti membentak-bentak tak habis-habisnya. Beberapa buah
tempat duduk dibanting-bantingnya hingga pecah berderakderak. Semuanya memandang anak muda yang perkasa itu
dengan ketakutan. Tetapi diantara segenap mata yang
kecemasan itu, memancarlah keriangan di mata Bagus
Handaka. Ia melihat kegesitan sikap Sawung Sariti. Dengan
demikian ia menjadi gembira. Mudah-mudahan ia mendapat
kesempatan yang baik. "Bapak..." bisik Handaka perlahan-lahan, "Anak muda itu
hebat sekali. Mudah-mudahan aku mendapat kawan
berlatih yang cukup baik."
Mendengar bisik muridnya, Manahan tersenyum, namun
ditahannya. Hati-hati, "Hati-hatilah. Agaknya ia pun
memiliki ilmu yang cukup."
Handaka masih akan berkata lagi, tetapi tidak jadi,
karena terdengar Sawung Sariti berteriak, "Paman Lurah
Gedangan. Aku tidak mau rencanaku gagal sama sekali.
Karena itu pekerjaan pemalas-pemalas itu tidak dapat
ditunda sampai besok."
Lurah Gedangan yang ketakutan pula segera menjawab,
"Terserah Tuan."
"Perintahkan pada orang-orang itu semua untuk berjagajaga di luar. Besok mereka harus mengubur orang-orangku
yang gugur. Tak seorang pun boleh meninggalkan
pendapa," perintah Sawung Sariti lantang.
Segera Lurah Gedangan itu menirukan perintah Sawung
Sariti, bahkan sampai pada kata-katanya pun ia tidak berani
mengubahnya. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"He Manahan dan Handaka..." Terdengar Sawung Sariti
memanggil. "Aku mempunyai pekerjaan untukmu berdua.
Aku tidak bisa menunggu sampai besok karena kau telah
mencoba melarikan diri."
Manahan dan Handaka pun segera berdiri sambil
mengangguk hormat. Jawab Manahan, "Apapun yang
diperintahkan kepada kami, selama kami mampu
melakukannya, pasti akan kami junjung tinggi."
"Diam!" bentak Sawung Sariti. "Mau atau tidak mau
bukanlah urusanku. Tetapi pekerjaan itu harus kau
selesaikan. Mari ikuti aku."
Manahan jadi ragu sebentar, tetapi kemudian segera ia
naik ke pendapa diikuti oleh Handaka.
Tetapi langkah mereka terhenti ketika terjadi ribut-ribut
di luar. Ketika mereka menoleh, tampaklah Wiradapa
digiring ke pendapa. Dari pelipisnya mengalir darah segar.
Sedang dua tiga orang yang menangkapnya menderita
luka-luka pula. Agaknya Wiradapa telah melawan dengan
gagah berani. "Monyet itu tertangkap pula," teriak Sawung Sariti.
"Ya, Tuan Muda," jawab salah seorang diantaranya
dengan bangga. "Bagus.... Nah, kau akan aku ikutsertakan dengan para
pemalas sahabat-sahabatmu ini. Ayo ikuti aku," perintahnya
pula kepada Wiradapa. Kemudian beberapa orang mendorong Wiradapa dengan
kuatnya sehingga hampir saja ia tertelungkup.
"Kalau kau tidak mencoba lari, hidupmu masih mungkin
aku pertimbangkan," gerutu Sawung Sariti.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Kemudian Manahan, Handaka dan Wiradapa segera
dibawa masuk oleh Sawung Sariti dengan hanya diikuti oleh
lurah Gedangan dan pengawalnya. Sampai di ruang dalam,
mereka melihat tiga sosok mayat terbujur di lantai. Sambil
menyeringai Sawung Sariti berkata, "Lihat tiga diantara para
korbanmu." Wiradapa tidak menjawab, hanya wajahnya yang
menegang.

Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan berbuat tolol" bentak Sawung Sariti, "Dengan
sekali pukul aku sanggup memecahkan kepala kalian
bertiga." Setelah berkata demikian, Sawung Sariti membawa
ketiga orang tawanan itu ke ruang yang lain. Mereka jadi
terkejut pula ketika samar-samar di bawah sinar lampu
mereka melihat pula sesosok tubuh terbaring diam.
"Itulah pekerjaan kalian," katanya. "Kalian harus
membawa mayat itu ke tempat yang akan ditunjukkan oleh
Pak Lurah." Wiradapa memandang lurahnya dengan mata yang
memancarkan perasaan dendam tiada taranya. Sehingga
dari mulutnya meluncurlah umpatan yang kasar, "Kakang
Lurah, kelakuanmu lebih rendah dari anjing. Dan sekarang
kau mau mencuci bekas-bekasnya dengan melenyapkan
aku." Wiradapa terpental menubruk dinding. Meskipun Sawung
Sariti tidak mengerahkan segenap kekuatannya, namun
telah cukup menjadikan mata Wiradapa berkunang-kunang.
Tetapi Manahan kagum akan ketetapan hatinya. Meskipun
dengan susah payah ia bangkit namun wajahnya masih
memancarkan dendam dan kebencian. Ia sama sekali tidak
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
takut menghadapi segala macam bencana yang akan
dialami. Melihat sikap Wiradapa yang demikian, Sawung Sariti
menjadi semakin marah, katanya, "Wiradapa, lebih baik kau
mempergunakan saat terakhirmu sebaik-baiknya. Atas
kemurahan hatiku, sesudah kau bertiga mengubur mayat
itu, kalian boleh memilih cara yang kau anggap baik untuk
membunuh kalian, dengan demikian kalian tidak akan
membuka rahasia tempat pemakaman nanti."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mendengar kata-kata itu, hati Manahan berdesir hebat.
Inilah agaknya permainan yang dilakukan oleh Sawung
Sariti. Sampai sekian, beberapa hal telah dapat diduga oleh
Manahan. A gaknya Sawung Sariti telah bersekutu dengan
lurah Gedangan. Lurah itu harus berhubungan dengan
orang-orang yang harus menyerang mereka. Beberapa
korban harus jatuh, dan diantaranya terdapat seorang yang
penting. Orang itu pasti merupakan bayangan yang
menakutkan bagi Sawung Sariti, sehingga harus disingkirkan dengan tidak meninggalkan kesan. Sampai
kuburannya pun harus dirahasiakan pula. Kalau kemudian
ternyata diketahui, bahwa orang itu terbunuh, Sawung
Sariti pun dapat cuci tangan. Pembunuhan itu dilakukan
oleh gerombolan perampok yang akan merampok
rombongan mereka, dan mayatnya tidak diketahui. Tetapi
apabila mungkin orang itu hanya akan dinyatakan hilang,
pergi tidak pamit dan sebagainya.
Dalam kesibukannya Manahan dikejutkan oleh bentakan
Sawung Sariti, "Ayo cepat, apa yang kalian tunggu lagi"
Kalau kalian sampai berbuat aneh-aneh, maka akulah yang
akan menentukan jalan kematian yang harus kau tempuh.
Aku dapat berbuat apa saja yang mungkin tidak kalian
duga-duga." Agaknya Wiradapa berkeberatan dengan persetujuan itu.
Ia lebih baik mati di tempat daripada harus menurut
perintah gila-gilaan itu. Tetapi Manahan yang mula-mula
melangkah maju disusul oleh Handaka. Wiradapa memandang Manahan dan Handaka dengan mata yang
kecewa dan menghina. "Kalian mau melakukan perbuatan itu. Pengecut. Matilah
sebagai seorang jantan..."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sekali lagi kata Wiradapa terputus oleh sebuah pukulan
yang keras. Tetapi kali ini ia mengelak. Bahkan ia membalas
menyerang pula. Kembali Manahan kagum melihat
kejantanan orang itu, meskipun ia yakin bahwa Sawung
Sariti bukanlah lawannya.
Dan itu ternyata dalam beberapa saat yang pendek saja.
Dengan cepatnya Sawung Sariti berhasil menangkap tangan
Wiradapa, dan sekali putar Wiradapa sudah tidak berdaya
lagi. "Orang gila!" geram Sawung Sariti, dan kemudian
katanya kepada Manahan, "Kau akan mendapat pekerjaan
baru nanti. Mengubur orang ini hidup-hidup."
Hati Manahan dan Handaka terlonjak mendengar
perintah itu. Namun hal itu lebih baik. Sebab dengan
demikian ada kesempatan baginya untuk menolong orang
itu. Kemudian justru Manahan dan Handaka yang tidak
sabar lagi. Segera ia ingin mengetahui siapakah yang
terbaring di hadapannya itu. Maka ketika ia sudah berdiri di
samping mayat itu, cepat tangannya bergerak menarik
kerudungnya. "He..." teriak Sawung Sariti terkejut. "Apa yang kau
lakukan itu..." Apakah kau juga ingin mendapat hukuman
yang sama dengan orang ini?"
Tetapi Manahan sama sekali tak mempedulikan teriakan
Sawung Sariti itu, sehingga akhirnya terbukalah kerudung
mayat itu. Dengan demikian, di bawah sinar lampu yang
samar-samar, yang seolah ikut serta berduka atas kematian
beberapa orang yang tak berdosa, Manahan dan Handaka
dapat melihat siapakah yang terbaring tak bergerak di
hadapannya dengan wajah putih pucat serta SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
membayangkan ketulusan hatinya. Melihat wajah yang
pucat itu Manahan dan Bagus Handaka terlonjak. Hatinya
bergelora seperti akan memecahkan dadanya, sehingga
kemudian tubuhnya menggigil hebat.
Sementara itu terdengarlah Sawung Sariti menghardik
penuh kemarahan, "He, pemalas-pemalas yang tak tahu
diri. Apa urusanmu dengan mayat itu, sehingga kau berani
membuka kerudungnya" Ingat, bahwa aku dapat
membunuhmu dengan cara yang lebih hebat daripada
dikubur hidup-hidup."
Tetapi Manahan dan Bagus Handaka tidak mendengar
suara itu. Mereka sedang berjuang untuk menguasai
perasaannya. Namun agaknya Bagus Handaka sudah tidak
kuasa lagi menahan dirinya. Seperti kilat ia meloncat dan
sekejap kemudian ia sudah berdiri di hadapan Sawung
Sariti. Sawung Sariti, Lurah Gedangan, Wiradapa dan dua
orang pengawal Sawung Sariti terkejut melihat gerakan itu.
Apalagi ketika dengan gigi gemeretak Handaka berteriak
nyaring, "Sawung Sariti, kau benar-benar biadab. Apakah
keuntunganmu dengan membunuh Paman Sawungrana"
Mungkin kau takut bahwa pada suatu ketika orang
mengetahui bahwa kau sama sekali tak berhak mengaku
diri putra kepala tanah perdikan Banyubiru. Karena itu kau
menganggap perlu untuk menyingkirkan orang yang paling
"mengetahui keadaan yang sebenarnya."
Karena terkejut, untuk beberapa lama Sawung Sariti
berdiri seperti patung. Tetapi kemudian tiba-tiba dengan
tidak berkata apapun, ia langsung menyerang Handaka
dengan hebatnya. Tangannya dengan keras mengarah ke
rahang, sedang tangannya yang lain menyambar leher. Ia
bermaksud melumpuhkan lawannya dengan sekali gerak.
Tetapi ternyata anak perantau malas yang berdiri di
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
hadapannya itu benar-benar telah membingungkan benaknya. Dengan gerak yang tangkas Handaka menggeser
tubuhnya sehingga serangan Sawung Sariti tidak mengenai
sasarannya. Kembali Sawung Sariti terpaku. Tetapi hanya sesaat. Ia
sadar bahwa ia harus menyelamatkan dirinya ketika
Handaka membalas menyerangnya. Sehingga sekejap
kemudian terjadilah pertempuran diantara kedua anak
muda itu. Namun sampai sekian Sawung Sariti masih
sangat merendahkan lawannya. Ketika para pengawalnya
akan bertindak, ia berteriak dengan sombongnya, "Biarkan
anak yang sombong itu mengenal aku dengan baik. Jangan
diganggu." Maka berlangsunglah kemudian perkelahian yang sengit.
Karena Sawung Sariti bertempur seorang diri, Manahan pun
tidak beranjak dari tempatnya berdiri. Malah tiba-tiba timbul
keinginannya untuk mengetahui sampai di mana perbandingan ilmu yang dimiliki oleh kedua anak muda itu.
Beberapa saat kemudian, Sawung Sariti segera diganggu
oleh kerisauan hatinya. Karena sama sekali ia tidak
menduga bahwa anak perantau malas itu mampu
melawannya sampai beberapa lama. Karena itu semakin
mendidihlah darahnya. Timbullah berbagai dugaan mengenai anak itu. Sehingga sambil bertempur berteriaklah
ia, "Hei anak gila, apakah kau belum pernah mendengar
nama Sawung Sariti dengan baik" Atau barangkali kau baru
sekarat. Nah katakan kepadaku siapakah sebenarnya kau
ini. Mungkin benar dugaanku bahwa kau adalah salah
seorang dari gerombolan perampok, menilik ketangkasanmu. Tetapi jangan mimpi dapat meluputkan diri
dari hukumanku atas kelancanganmu ini."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Bagus Handaka memberi kesempatan Sawung Sariti
sampai habis berbicara, tetapi setelah itu seperti angin ribut
ia menyerang dengan dahsyatnya. Sekali lagi Sawung Sariti
terkejut. Dengan agak sibuk ia berusaha membebaskan
dirinya. Untunglah bahwa ia pun memiliki kepandaian yang
cukup sehingga dengan suatu gerakan melingkar dan
meloncat ia dapat menghindari serangan Bagus Handaka.
Kemudian pertempuran itu menjadi semakin sengit. Sedang
Sawung Sariti menjadi semakin heran pula melihat tandang
lawannya. Tetapi Manahan yang menyaksikan pertempuran itu tidak
pula kalah herannya. Ia melihat Sawung Sariti dapat
mengimbangi muridnya. Ia tahu pasti bahwa seandainya
ilmu yang diterimanya khusus dari ayahnya, maka mustahil
bahwa dalam waktu yang singkat itu Sawung Sariti telah
memiliki ilmu yang sedemikian tinggi. Akhirnya Manahan
sampai pada suatu kesimpulan yang sangat menggelisahkan, bahkan menyedihkan hatinya. Ia menduga
bahwa sepeninggalnya, Ki Ageng Sora Dipayana telah
kembali ke Banyubiru, dengan atau tanpa Kyai Nagasasra
dan Kyai Sabuk Inten. Tetapi menilik Sawung Sariti masih
mencarinya, maka kemungkinan besar kedua keris itu
masih belum diketemukan. Tetapi agaknya orang tua itu
telah menerima keterangan yang salah tentang daerah
perdikan itu. Dengan licinnya Lembu Sora pasti membujuknya,
sehingga orang tua itu percaya pada kisah yang
disusunnya. Maka karena tidak ada keturunan lain yang
dapat diharap meneruskan dan mewarisi ilmunya, maka
Sawung Sariti telah menerima langsung pelajaran dari
orang tua itu. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Pertempuran itu berlangsung semakin lama semakin
dahsyat. Sedang hati Manahan semakin gelisah pula. Sebab
ia melihat pertarungan antara hidup dan mati dari cabang
perguruan Ki Ageng Sora Dipayana. Dua orang sahabat
yang pada masa-masa yang silam selalu bekerja bersama
untuk kesejahteraan umat manusia. Tetapi pada saat itu, ia
tidak mampu berbuat apa-apa.Manahan sama sekali tidak
dapat melerainya, karena apa yang dilakukan oleh Sawung
Sariti telah jauh menyimpang dari sifat keutamaan ilmu Ki
Ageng Sora Dipayana. Sedang agaknya Kyai Ageng Sora
Dipayana telah bekerja mati-matian menurunkan ilmu itu
kepadanya. Ternyata dengan ketangkasan dan keperkasaan
Sawung Sariti, yang dengan tangkasnya, bertempur
melawan Bagus Handaka. Untunglah bahwa Bagus Handaka
pernah mengalami kemajuan yang pesat sekali, selama
enam malam di pantai Tegal Arang. Dimana seorang yang
berilmu mumpuni berpura-pura menyerangnya setiap
malam berturut-turut. Kalau seandainya Bagus Handaka
hanya melulu menerima pelajaran darinya tanpa suatu
loncatan, maka bagaimana bisa muridnya itu mampu
melawan murid Ki Ageng Sora Dipayana. Tetapi ternyata


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahwa kedua anak itu berimbang.
Mengalami perlawanan yang tidak kalah hebatnya dari
ilmunya sendiri, Sawung Sariti menjadi gelisah. Ia menjadi
curiga terhadap anak muda yang melawannya itu. Maka
sekali lagi ia berteriak, "He anak sombong, siapakah
sebenarnya kau" Dan darimanakah kau mengenal bahwa
yang gugur itu Paman Sawungrana?"
Handaka menyeringai marah sambil menjawab, "Buat
apa kau tahu siapakah aku. Sebab sebentar lagi namamu
akan terhapus dari muka bumi."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sawung Sariti adalah seorang anak muda yang sombong.
Selama hidupnya ia selalu dihormati dan dimanjakan.
Karena itu ketika ia mendengar jawaban Bagus Handaka,
hatinya bertambah menyala-nyala. Karena itu ia tidak lagi
berpikir lain kecuali membinasakan lawannya. Ia tidak lagi
mempedulikan apakah lawannya bersenjata atau tidak.
Cepat seperti kilat tangan Sawung Sariti menarik pedangnya
dan diputarnya seperti baling-baling. Ternyata ketangkasannya mengolah senjata tidak mengecewakan
pula. Melihat lawannya bermain pedang, Handaka meloncat
beberapa langkah mundur, dan dengan gerak yang tidak
kalah cepatnya tangannya telah memegang sebuah ujung
tombak bertangkai pendek. Itulah Kyai Bancak. Tanda
kebesaran tanah perdikan Banyubiru.
Sawung Sariti sendiri belum pernah melihat tombak itu.
Karena itu ia sama sekali tidak terkejut. Bahkan ia
menyerang dengan garangnya. Perlawanan Bagus Handaka
pun tidak kalah dahsyatnya. Agaknya salah seorang
pengawalnya pernah mengenal tombak itu. Tombak yang
mempunyai cahaya kebiru-biruan. Karena itu dengan gugup
ia berteriak, "Angger, itulah tombak Kyai Bancak."
Meskipun Sawung Sariti belum pernah melihat Kyai
Bancak, ia pernah mendengarnya. Karena itu ketika ia
mendengar nama itu disebutkan, ia pun menjadi terkejut
dan meloncat mundur. Bagus Handaka kini benar-benar sudah tidak dapat
mengendalikan perasaannya lagi. Maka ketika ia mendengar
seseorang menyebut nama tombaknya, ia menjadi bangga,
dan dengan sengaja ia ingin menunjukkan kepada Sawung
Sariti bahwa tombak kebesaran Banyubiru itu ada padanya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Karena itu segera ia berteriak menjawab, "He orang yang
berwajah hantu, kau mengenal tombak ini...?"
Karena pengaruh tombak di tangan Bagus Handaka, tibatiba orang itu menjadi takut dan menjawab," ya, ya... anak
muda, aku kenal tombak itu."
"Ayo katakan siapakah yang pernah memiliki tombak
ini?" desak Handaka.
Orang yang ketakutan itu menjawab gugup, "Ki Ageng
Gajah Sora". "Bagus..." jawab Bagus Handaka, "Siapakah Gajah Sora
itu?" Seperti orang yang kehilangan akal orang itu menjawab,
"Kepala Daerah Perdikan Banyubiru."
"Bagus..." ulang Bagus Handaka. "Kalau kau tahu itu,
katakan kepada anak muda sombong yang mengaku putra
kepala daerah perdikan Banyubiru dan Pamingit sekaligus,
bahwa Banyubiru bukanlah miliknya."
Mendengar percakapan itu Sawung Sariti menjadi
berdebar-debar. Ia memang pernah mendengar ceritera
tentang tombak itu. Dan ia mengetahui pula bahwa kakak
sepupunya hilang tak tentu perginya, membawa Kyai
Bancak. Dalam saat yang pendek itu otaknya berputar keras.
Tidak mustahil bahwa yang berdiri di hadapannya itu adalah
kakak sepupunya. Ia pernah bergaul pada waktu kecil.
Tetapi setelah beberapa tahun tidak bertemu, memang ada
kemungkinan untuk tidak mengenalnya lagi. Apalagi anak
muda yang berdiri di hadapannya itu wajahnya kehitamanhitaman terbakar terik matahari serta berpakaian lusuh dan
jelek. Kalau demikian, lalu siapakah yang mengaku menjadi
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
bapaknya itu..." Akhirnya ia memutuskan untuk menanyakan saja kepada anak muda yang memegang
tombak itu, "Anak muda yang perkasa, adakah kau
sebenarnya memang berhak atas tombak itu?"
"Adakah kau tahu seseorang yang berhak memilikinya
kecuali aku?" jawab Handaka.
"Menurut pendengaranku, satu-satunya orang yang
berhak atas tombak itu, kecuali Paman Gajah Sora yang
sekarang masih di Demak, adalah putranya yang bernama
Arya Salaka," sahut Sawung Sariti.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mengikuti pembicaraan kedua anak muda yang sedang
diamuk oleh kemarahan itu, Manahan menjadi agak cemas.
Ternyata Sawung Sariti yang biasa bergaul dengan orangorang pemerintahan mempunyai cara-cara yang licin dalam
setiap pembicaraan, sedang Bagus Handaka yang hidup
diantara para petani dan nelayan, memiliki kejujuran yang
utuh. Sehingga ia sama sekali tidak sadar bahwa ia terseret
ke dalam sebuah percakapan yang berbahaya. Manahan
yang sadar akan itu, cepat berusaha untuk mencegah
Bagus Handaka menjawab pertanyaan Sawung Sariti.
Tetapi agaknya ia terlambat.
Sebab demikian tangannya bergerak untuk menggamit
anak itu, terdengarlah mulut Bagus Handaka berkata,
"Akulah Arya Salaka, karena itu aku mengenal Paman
Sawungrana yang gugur karena pokalmu."
Meskipun sebelumnya Sawung Sariti sudah mendugaduga, namun mendengar jawaban itu ia masih terkejut
sekali sehingga tubuhnya bergetar. Dengan demikian
sekaligus ia melihat bahaya yang lebih besar menghadang
di depannya. Sepeninggal Sawungrana, sebenarnya ia telah
mengurangi jurang yang menghalanginya untuk sampai
pada kekuasaan yang penuh atas Banyubiru dan Pamingit
sepeninggal ayahnya. Tetapi ternyata Arya Salaka yang
memang masih diragukan itu, benar-benar masih hidup dan
sekarang berdiri di hadapannya. Karena itu, tidak ada
tindakan yang lebih tepat dan baik menurut anggapannya
kecuali melenyapkannya sama sekali. Maka segera ia
berteriak nyaring, "Bagus sekali, kalau kau benar-benar
Arya Salaka. Maafkanlah aku Kakang, bahwa aku harus
bertindak tegas meskipun terhadap saudara sepupuku
sendiri, karena kau telah bersekutu dengan Wiradapa."
Kemudian terdengar Sawung Sariti berteriak lebih keras
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
lagi, "Hei orang-orang yang berada di pendapa, kepunglah
rumah ini, jangan seorang pun boleh lari." Lalu katanya
kepada dua orang pembantunya beserta lurah Gedangan,
"Ayo tangkap Kakang A rya Salaka."
Mendengar perintah Sawung Sariti itu, barulah kedua
orang pengawalnya itu sadar. Bagaimanapun juga mereka
adalah pengikut-pengikut Sawung Sariti. Sehingga meskipun anak muda yang disebutnya melakukan
perlawanan, tak ada pilihan lain selain menangkapnya hidup
atau mati. Karena itu segera mereka berloncatan menyerbu.
Sementara itu orang-orang yang berada di pendapa
Kalurahan itu pun sudah mulai bergerak. Memang sejak
mereka mendengar suara ribut di ruang dalam, mereka
menjadi bingung. Tetapi karena mereka takut untuk
meninggalkan pendapa itu, maka dengan gelisah mereka
tetap saja tidak meninggalkan tempatnya. Baru ketika
mendengar suara Sawung Sariti berteriak, maka seperti
kuda yang dilepas dari kandang, mereka menghambur
berlarian mengepung rumah lurah Gedangan, sebagian lagi
menerobos masuk. Sehingga terdengar suara hiruk pikuk
tak keruan. Wiradapa menjadi keheran-heranan dan bingung melihat
tingkah laku anak perantau malas itu, menjadi sadar pula
akan bahaya. Tetapi ia sama sekali tidak berani
mencampuri pertempuran antara kedua anak muda yang
memiliki kepandaian yang jauh di atasnya. Maka yang dapat
dikerjakan adalah mengurangi tenaga lawan Handaka.
Dengan tanpa diduga-duga maka segera ia menyerang
lurahnya yang sudah bersiap untuk membantu Sawung
Sariti menangkap anak muda yang dikenalnya sebagai anak
perantau malas. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mendapat serangan yang tiba-tiba itu, lurah Gedangan
terkejut, maka segera ia mengurungkan niatnya, dan
terpaksa ia melayani Wiradapa, kawan yang telah sekian
lama bersama-sama membangun pedukuhan Gedangan itu.
Sedang kedua pengawal Sawung Sariti ikut menyerang
Bagus Handaka. Tetapi satu hal yang mereka lupakan,
bahwa mereka sama sekali tak memperhitungkan kehadiran
Manahan, yang justru adalah guru Bagus Handaka.
Sementara itu beberapa orang telah memasuki ruangan
itu. Suasana kemudian berubah menjadi ribut tak keruan. Di
ruang yang tak seberapa lebar itu berjejal-jejalan orang
yang bersama-sama akan menangkap Bagus Handaka.
Ketika Manahan melihat dua orang pengawal Sawung
Sariti beserta banyak orang yang lain mulai mengerubut
muridnya, ia tidak dapat tinggal diam. Segera ia pun
menerjunkan dirinya ke dalam kekalutan itu.
Melihat Manahan turut campur, marahlah kedua orang
pengawal Sawung Sariti, yang mengira bahwa Manahan
tidak lebih dari seorang yang hanya dapat berlari-lari saja.
Maka dengan acuh tak acuh salah seorang darinya
mendorong Manahan minggir. Tetapi betapa terkejutnya,
ketika tangannya seolah-olah menyentuh dinding besi,
bahkan ia sendiri terdorong surut. Maka segera orang itu
mengerti, bahwa Manahan pun tidak kalah hebatnya dari
anak yang telah bertempur melawan Sawung Sariti.
Karena itu, ia tidak dapat menganggap enteng lagi,
bahwa musuhnya hanya seorang yang mampu berlari-lari
saja. Dengan demikian terpaksa ia menyediakan tenaga
sepenuhnya untuk melawan Manahan, dengan perhitungan
bahwa biarlah Sawung Sariti mendapat bantuan dari orangorang yang telah datang memasuki ruangan itu. Kemudian
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
apabila ia telah dapat menyingkirkan Manahan, barulah
Bagus Handaka akan diselesaikan.
Dengan demikian maka terjadilah tiga lingkaran
pertempuran. Bagus Handaka melawan Sawung Sariti
dibantu oleh beberapa orang, Manahan melawan dua orang
pengawal Sawung Sariti, dan Wiradapa melawan lurahnya.
Sesaat kemudian ternyata dugaan para pengawal
Sawung Sariti itu meleset. Mereka sama sekali tidak dapat
dengan segera menyelesaikan pekerjaannya. Meskipun
mereka bukanlah orang yang dapat diremehkan, namun
untuk menundukkan Manahan bukanlah pekerjaan yang
ringan. Sedangkan Bagus Handaka, ketika harus mengalami
lawan yang jumlahnya sama sekali tak seimbang, menjadi
agak terdesak. Untunglah bahwa ia memiliki keuletan serta
ketabahan hati. Perhatian Bagus Handaka pada berjenisjenis binatang hutan yang sedang berkelahi, banyak
memberi manfaat kepadanya. Tetapi ia tidak usah terlalu
lama bercemas hati. Sebab perlahan-lahan tetapi pasti
Manahan terus-menerus mendesak lawannya. Bahkan
sebagian dari tenaganya telah dapat dipergunakannya
untuk mengurangi tekanan pengeroyokan terhadap muridnya. Wiradapa yang bertempur pula dalam keadaan
berimbang dengan kekuatan lurah Gedangan. Mereka
agaknya telah mencurahkan segala kemampuan mereka
untuk segera mengalahkan lawannya. Tetapi disamping itu,
bergolaklah kegelisahan diantara mereka. Baik Lurah
Gedangan, Wiradapa maupun Sawung Sariti bersamaan
para pengiringnya, meskipun sebabnya berbeda-beda.
Sebagian dari mereka menjadi bertanya-tanya di dalam
hati, siapakah sebenarnya kedua orang yang mereka
anggap perantau malas itu. Sebab dalam keadaan yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
demikian, ternyata bahwa kepandaian mereka dalam ilmu
tata berkelahi tidak ada yang menandingi.
Beberapa saat kemudian Sawung Sariti yang cerdik,
akhirnya merasa bahwa akhir dari pertempuran itu tidaklah
seperti yang diharapkan. Ruangan yang sempit itu sama
sekali tak menguntungkannya. Sebab beberapa orang yang
mengeroyok lawannya itu, malahan kadang-kadang menganggunya. Sehingga terpaksa beberapa kali ia harus
berteriak-teriak dan malahan beberapa kali pula ia terpaksa
memukul orangnya sendiri yang sangat menjengkelkannya.
Karena hal itulah maka akhirnya ia membuat perhitunganperhitungan dengan seksama. Dalam waktu yang dekat ia
harus dapat mengatasi keadaan, dan setidak-tidaknya
menyelamatkan dirinya sendiri.
Pertempuran itu semakin lama menjadi semakin ribut
dan kacau. A palagi ketika tiba-tiba pelita yang tergantung di


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dinding terlempar jatuh. Minyaknya yang tumpah berhamburan itu segera dijilat api, dan dalam sekejap telah
menyala berkobar-kobar. Maka terjadilah keributan yang
semakin kacau. Orang-orang di dalam ruangan itu tidak lagi
memperhatikan lawan-lawan mereka, tetapi mereka segera
berusaha untuk dapat keluar dan menghindarkan idri dari
nyala api yang semakin lama semakin besar, bahkan
akhirnya api itu telah merayap sepanjang dinding ruangan.
Dalam keadaan yang demikian, Bagus Handaka dan
Manahan menjadi kehilangan pengamatan atas lawan-lawan
utamanya. Beberapa orang yang berlari-lari kian kemari itu,
sangat mengganggunya. Bahkan beberapa orang telah
melanggar mereka dan mendorong-dorong mereka tanpa
sengaja. Manahan yang segera dapat mengerti dan
menguasai masalahnya menjadi sangat marah. Sebab ia
yakin bahwa Sawung Sariti telah dengan sengaja membakar
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
ruangan itu. Karena itulah maka dengan sekuat tenaga ia
menerjang orang-orang yang menghalangi jalannya
menerobos keluar sambil berteriak, Handaka, lawanmu
telah berada di luar. Mendengar suara gurunya, Handaka pun segera
meloncat dan menyibakkan orang-orang yang sedang kacau
itu. Beberapa orang jatuh bergulingan dan terinjak-injak
kawan-kawan mereka sendiri. Namun Manahan dan Bagus
Handaka sama sekali tak sempat memperdulikan mereka
itu. Perhatiannya terpusat kepada Sawung Sariti, anak
pamannya yang telah berkhianat kepada ayahnya.,
Namun alangkah kecewa mereka itu. Sebab demikian
Manahan dan Bagus Handaka sampai di halaman,
terdengarlah derap kuda menderu, dan seperti terbang
lepaslah tiga buah bayangan orang berkuda melarikan diri.
"Itulah dia..." teriak Manahan, "Marilah kita cari sisa kuda
mereka". Handaka tidak menunggu kalimat Manahan berakhir.
Segera dia berlari ke halaman belakang. Tetapi ternyata
kandang kuda itu telah kosong. Agaknya Sawung Sariti
yang cerdik itu sempat menyingkirkan dan menakut-nakuti
kuda yang lain, sehingga kuda-kuda itu lari berpencaran.
Bagus Handaka menjadi seperti orang yang kebingungan
berlari-lari mengelilingi kandang kuda itu. Namun ia sama
sekali tak menemukan seekor pun.
Gila! geramnya penuh kemarahan.
Manahan pun tidak kalah marahnya. Namun ia lebih
dapat menguasai diri. Maka katanya kemudian kepada
muridnya, "Sudahlah Handaka, baiklah kita bicarakan apa
yang harus kita kerjakan seterusnya."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sementara itu, terdengarlah jerit dan teriakan diantara
ledakan-ledakan kebakaran. Dalam waktu yang pendek, api
telah menguasai hampir seluruh rumah kalurahan yang
dibuat dari kayu, bambu dan ijuk itu. Beberapa orang
berlari-larian menjauhi. Diantara mereka tampaklah tertatihtatih Wiradapa yang agaknya menderita luka-luka.
Melihat Wiradapa yang sudah hampir-hampir tak mampu
lagi menjauhkan dirinya dari kemarahan api itu, hati Bagus
Handaka dan Manahan bersama-sama tergetar. Cepat
mereka meloncat dan memapahnya ke halaman belakang.
Ketika Wiradapa sadar bahwa yang menolongnya itu adalah
dua orang yang dianggapnya perantau malas dan ternyata
telah sangat membingungkannya itu, cepat-cepat ia
menjatuhkan diri sambil berkata perlahan-lahan, "Tuan,
maafkanlah aku. Aku tidak tahu siapakah sebenarnya tuantuan ini. Sedang tuan muda ini agaknya masih ada
hubungan darah dengan tuan muda Sawung Sariti yang
tamak itu." Manahan cepat-cepat menangkap lengan Wiradapa dan
Kisah Para Pendekar Pulau Es 6 Satria Gunung Kidul Karya Kho Ping Hoo Seruling Samber Nyawa 13

Cari Blog Ini