Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja Bagian 18
surut. Padahal seharusnya setiap murid akhirnya harus
melampaui gurunya. Dengan demikian ilmu akan berkembang terus. Hati Mahesa Jenar tiba-tiba menjadi pedih. Pedih sekali.
Justru kesadaran itu timbul ketika dirinya sudah terkurung
di dalam sebuah ruangan yang tertutup rapat. Mungkin ia
dapat menghantam di dinding-dinding ruangan itu dengan
Sasra Birawa dan membuat lubang untuk menemukan jalan
keluar, tetapi agaknya sampai ia mati kehabisan tenaga,
usahanya mustahil akan berhasil.
Dalam penelitiannya itu, Mahesa Jenar menemukan
sebuah mata air kecil di belakang sebuah batu. Segera ia
berjongkok, dan membasahi kerongkongannya yang serasa
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kering dan panas. Setelah itu terasa tubuhnya menjadi
bertambah sehat. Tetapi perasaannyalah yang tidak berkembang seperti
tubuhnya. Perasaannya yang pedih masih saja menyayat.
Tetapi tiba-tiba memancarlah suatu tekad. Tekad yang
membawanya pada suatu ketetapan hati, bahwa justru
dalam keadaannya yang sekarang, ia akan mengisi sisa
hidupnya dengan suatu ketekunan, mendalami ilmunya
mati-matian. Dalam keadaannya itu tiba-tiba ia terkejut
melihat bayangan yang tegak berdiri pada sebuah relung
dinding goa itu, sehingga ia terlonjak berdiri. Tetapi ketika
Mahesa Jenar semakin jelas melihat menembus keremangan relung itu, sadarlah ia bahwa yang berdiri di
situ hanyalah sebuah patung batu yang belum sempurna.
Meskipun demikian hatinya tertarik pula untuk melihatnya.
Siapakah yang sudah membuat patung itu, justru di dalam
sebuah ruangan jauh di dalam goa" Akh, mungkin orang
aneh yang telah menamakan diri Mahesa Jenar itu.
Ketika ia telah semakin dekat, makin jelaslah bahwa
patung batu itu masih belum siap seluruhnya. Dan ketika ia
meraba-rabanya, tampaklah perubahan pada beberapa
bagian. Pada bagian tubuhnya ia melihat lumut-lumut liar
merayapi hampir seluruh bagian, tetapi di bagian kepalanya
tampaklah luka-luka baru dari sebuah pahatan. Tiba-tiba,
ketika ia memandang kepala patung itu, hatinya berdebardebar. Ia melihat bunga melati terselip di atas kupingnya
sebelah kanan. Rambutnya berjuntai sebatang-sebatang
sangat jarang, sedang ikat kepalanya hanya dikalungkan di
lehernya. Itu adalah ciri-ciri khusus dari gurunya, Ki Ageng
Pengging Sepuh, yang semula bergelar Pangeran Handayaningrat. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Dan tiba-tiba, dari wajah patung itu seolah-olah
memancar suatu tuntutan darinya kepada Mahesa Jenar,
apakah yang dapat dicapainya sepeninggalnya.
Oleh pemandangan yang tak disangka-sangka itu, hati
Mahesa Jenar seperti dicengkam oleh suatu keadaan gaib.
Tanpa sesadarnya ia berjongkok dan menunduk hormat di
hadapan patung itu. Seolah-olah ia merasa berhadapan
dengan almarhum gurunya. Beberapa lama kemudian barulah ia tersadar. Yang
berdiri di hadapannya tidak lebih dari sebuah patung.
Patung yang mempunyai ciri-ciri khusus seperti gurunya,
meskipun pahatan wajahnya tidak sempurna. Namun
demikian, Mahesa Jenar merasa, bahwa patung itu dapat
menjadi daya pengantar untuk mencapai suatu pemusatan
pikiran terhadap gurunya. Sekali lagi Mahesa Jenar merasa
berada dalam suatu alam yang gaib. Lewat patung itu ia
mengenang seluruh jasa-jasa gurunya. Seluruh cinta kasih
yang pernah dilimpahkan kepadanya. Dan seluruh
pelajaran-pelajaran yang pernah diberikan. Dari huruf
pertama sampai huruf terakhir dalam ilmu tata berkelahi,
jaya kawijayan dan kasantikan. Ia telah menerima pelajaran
pula, bagaimana ia harus merangkai huruf itu menjadi katakata, dan kata-kata menjadi kalimat. Dengan demikian
sebenarnya ia telah mendapat dasar-dasar pendidikan
sepenuhnya. Bahkan sampai pada aji Sasra Birawa yang
dahsyat itu pun telah dapat dikuasainya. Soalnya kemudian,
bagaimana ia dapat mengendapkan ilmunya untuk
mendapatkan inti sarinya.
Dalam keadaan yang demikian itulah, hati Mahesa Jenar
menyala berkobar-kobar. Tiba-tiba sekali lagi ia dikuasai
oleh keadaan yang khusus. Dengan menyebut kebesaran
nama Allah, maka tanpa sesadarnya ia mulai menggerakkan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tubuhnya. Dimulailah gerakan-gerakan yang pernah
dipelajari, dari unsur gerak yang paling sederhana. Satu
demi satu. Kemudian unsur-unsur yang semakin sukar.
Seolah-olah ia sedang menempuh ujian di hadapan gurunya
sendiri. Demikianlah akhirnya Mahesa Jenar bergerak semakin
lama semakin cepat dan hebat. Orang yang bertempur
dengan dirinya, yang menamakan diri Mahesa Jenar itu
ternyata telah melengkapi unsur-unsur gerak yang telah
hampir dilupakannya. Demikianlah maka Mahesa Jenar
tenggelam dalam satu pemusatan pikiran untuk menyempurnakan seluruh ilmunya.
Dalam keadaannya itu Mahesa Jenar lupa pada segalagalanya. Lupa pada keadaannya, lupa pada waktu, lupa
pada orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu, bahkan
ia lupa pula tentang apa yang dilakukan itu. Demikianlah ia
berjuang sebaik-baiknya, mengungkap segala ilmu yang
pernah dimiliki. Tetapi Mahesa Jenar sekarang, bukanlah Mahesa Jenar
pada saat ia sedang mulai belajar dari gerakan pertama,
kedua dan berturut-turut. Sekarang, kecuali segala macam
unsur-unsur gerak yang pernah dipelajari, iapun pernah
menempuh pengalaman yang luar biasa, sehingga dengan
demikian, tak disengajanya pula, segala macam pengalaman itu menyusup masuk, melengkapi ilmunya
sendiri. Dalam pengembaraannya, ia pernah bertemu
dengan tunas-tunas dari perguruan putih dan hitam yang
bermacam-macam. Ia pernah bertempur dengan Sarayuda
dari cabang Perguruan Pandan Alas yang terkenal dari
Klurak, yang justru sebenarnya orang Gunung Kidul, Gajah
Sora, anak dan sekaligus murid Ki Ageng Sora Dipayana,
Banyubiru. Ia pernah bertempur dengan murid-murid
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Pasingsingan seorang tokoh golongan hitam yang memiliki
bermacam-macam ilmu dari golongan putih, Sima Rodra
dari Gunung Tidar, Jaka Soka dari jenis perguruan golongan
hitam di Nusakambangan, sepasang Uling dari Rawa Pening
yang mempunyai cara bertempur yang aneh dan
berpasangan. Mau tidak mau, semua jenis ilmu gerak itu
saling mempengaruhi. Juga bersama-sama dengan muridnya, Arya Salaka, Mahesa Jenar pernah menekuni
gerak gerik binatang hutan yang paling lemah, sampai yang
paling buas. Bagaimana yang lemah berusaha melepaskan
diri dari kekuasaan binatang yang buas dan kuat. Juga
pertarungan antara hidup dan mati antara binatang buas
yang sama kuat, pertarungan maut antara burung rajawali
dengan ular naga yang besar.
Demikianlah Mahesa Jenar yang menjadi seolah olah
bergerak dengan sendirinya itu, tanpa setahunya telah
mengungkapkan satu jenis ilmu tata berkelahi yang maha
dahsyat. Pemusatan pikiran yang luar biasa dengan
perantaraan patung disampingnya itu, seolah olah Mahesa
Jenar sedang mempertanggung jawabkan dirinya dihadapan
gurunya sendiri. Matahari yang mula-mula memancar dengan teriknya,
semakin lama semakin jauh menjelajah kearah barat. Dan
pada saat mega putih berarak arak ke arah selatan,
Matahari itu dengan lelahnya menyusup kearah garis
cakrawala, meninggalkan warna lembayung yang tersirat
dibalik mega-mega mewarnai wajah langit.
Pada saat itulah ruangan yang dipergunakan oleh
Mahesa Jenar itu dicengram oleh kehitaman warna-warna
yang lemah lembayung dilangit sama sekali tidak dapat
menembus masuk kedalamnya. Apalagi sebentar kemudian
malam telah menjadi semakin kelam. Pada saat itulah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenar baru merasa seluruh tubuhnya menjadi lelah.
Kecuali keadaan tubuh yang memang belum pulih benar
akibat benturan aji Sasra Birawa, juga ia telah mencurahkan
tenaga melampaui batas. Karena itulah, maka Mahesa Jenar
menghentikan latihannya. Dengan meraba-raba dinding ia
menyelusur kearah mata air didalam ruangan itu dibelakang
sebuah batu. Karena kelelahan dan haus maka Mahesa
Jenar segera minum sepuas-puasnya. Setelah itu iapun
segera kembali kemuka patung yang mempunyai ciri
gurunya. Dihadapan patung itulah Mahesa Jenar merebahkan dirinya untuk beristirahat.
Tetapi meskipun demikian, perasaannya yang sudah
terikat pada patung itu, seolah-olah mempunyai kewajiban
untuk menjaganya. Maka ketika diluar goa itu binatang malam mulai meraja
di padang ilalang dan lapangan rumput, mulailah Mahesa
Jenar tenggelam kealam mimpi. Ia tertidur karena
kelelahan... Di langit bintang menari-nari dengan riangnya diiringi
dendang angin yang berhembus lemah. Lubang lubang
diatas ruang yang banyakterdapat didalam goa itu karena
hembusan angin, menimbulkan bunyi-bunyi yang beraneka
warna. Dari nada rendah sampai nada tinggi.
Mahesa Jenar terbangun pada saat matahari melemparkan sinarnya yang pertama. Dari lubang-lubang
diatas ruangan itu Mahesa Jenar dapat melihat betapa
riangnya langit menerima senyuman Matahari pagi.
Bersamaan dengan itu, terasa seakan akan datanglah
waktunya bagi Mahesa Jenar untuk memulai lagi
kewajibannya terhadap gurunya. Dengan khidmat ia
berjongkok dimuka patung batu itu, dengan perantaraannya
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mulailah ia memusatkan pikirannya atas semua ajaran
almarhum gurunya. Apabila pikirannya telah benar-benar
terpusat, serta dalam pendekatan diri setinggi-tingginya
kepada Tuhan Yang Maha Esa, mulailah ia dengan
pendalaman ilmu yang pernah diterimanya.
Demikianlah apa yang dilakukan Mahesa Jenar. Tekun
melatih diri. Mengulangi dan menghubungkan satu sama
lain untuk kemudian mencari intisarinya.
Hari demi hari telah dilampauinya. Bagaimanapun kuat
tubuh Mahesa Jenar, namun dalam kerja yang sedemikian
keras dan tekun, hanya dengan minum saja, tanpa sebutir
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
makananpun, akhirnya tubuhnya menjadi semakin lemah.
Tetapi tidak demikian dengan jiwanya. Perkembangan
jiwanya bertentangan dengan perkembangan tubuhnya.
Semakin lemah keadaan tubuhnya, jiwanya bertambah
membaja. Akhirnya, ketika pada suatu saat tubuhnya telah
menjadi lemah benar karena telah berulang kali
memperdahsyat aji Sasra Birawanya. Mahesa Jenar tidak
lagi dapat berbuat banyak. Jasmaninya adalah wadag yang
terbatas. Maka yang dilakukan kemudian, adalah dengan
tenangnya ia duduk bersila disamping batu itu. Ditutupnya
kesembilan lubang tubuhnya, matanya yang redup
tertanam pada ujung hidungnya. Seolah olah hilanglah
dirinya, meloncat keluar dari tubuhnya yang lemah itu.
Kemudian, seolah-olah dirinya yang hidup di alam lain itulah
yang dengan dahsyatnya bergerak, dengan gerakangerakan yang luar biasa yang tak pernah mampu dilakukan
wadagnya. Gerakan-gerakan yang mempunyai watak agak
lain dengan gerakan-gerakan yang pernah dilakukan dialam
wadag. Tiba-tiba diri Mahesa Jenar dalam alam yang lain
itu, memancar dengan terangnya, menyinari tubuhnya.
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pada saat itulah Mahesa Jenar merasa bahwa timbul
sesuatu di dalam dirinya. Pada saat itulah ia merasa,
menguasai benar setiap watak dari setiap gerak yang
dilakukan, yang dilakukan oleh dirinya di luar wadagnya,
yang sebenarnya adalah perwujudan dari kedahsyatan daya
khayalnya dalam menekuni ilmunya, tanpa ikut sertanya
wadag itu sendiri. Pada saat itulah Mahesa Jenar
menemukan suatu kekuatan yang jauh melampaui kekuatan
wadagnya, dengan menguasai setiap watak dari setiap
gerak. Sedang apa yang pernah dilakukan selama ini adalah
penguasaan gerak itu sebagai suatu gerak jasmaniah
melulu. Pada saat yang terakhir, dirinya diluar wadagnya itu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
berdiri tegak di atas kedua kaki. Kemudian dengan gerak
yang mengagumkan menyilangkan satu tangannya di muka
dada, mengangkat tangannya yang lain tinggi-tinggi.
Ditekuknya satu kakinya ke depan, siap menghantamkan aji
Sasra Birawa. Pada saat itu, terasa seolah-olah wadagnya
terbang melayang mendekati dirinya diluar wadag itu.
Sehingga jarak antara wadag dan kedahsyatan daya
khayalnya dalam kebulatan tekat semakin lama semakin
dekat. Pada saat pertemuan diantara kedua dirinya dalam
bentuknya yang berbeda itu, Mahesa Jenar mendapat suatu
perasaan nikmat yang luar biasa. Perasaan yang tak dapat
dilukiskan. Persenyawaan diri dari unsur-unsur yang seolaholah memiliki watak yang berbeda itu telah memecahkan
masa hidupnya selama ini. Kemudian seolah-olah lahirlah
seorang Mahesa Jenar yang baru. Pada saat itulah, tiba-tiba
bersenyawa pula gerakan-gerakan yang dilihatnya pada diri
diluar wadagnya itu dengan wadagnya. Karena itulah maka
yang ada kemudian hanya seorang Mahesa Jenar, dengan
tubuh yang kurus pucat, tetapi berjiwa sekeras baja, berdiri
diatas satu kakinya, satu tangannya menyilang dada dan
satu tangannya terangkat tinggi-tinggi. Kemudian dengan
satu loncatan lemah, Mahesa Jenar mengayunkan
tangannya menghantam batu yang bertimbun-timbun
menutupi pintu satu-satunya dari ruangan itu. Akibatnya
adalah dahsyat sekali. Meskipun dengan tubuh yang lemah,
namun kekuatan Mahesa Jenar rasanya menjadi berlipatlipat. Batu-batu itupun segera pecah berhamburan. Dan
tampaklah kemudian sebuah lubang, yang semula tertutup
oleh guguran-guguran batu yang bertimbun-timbun,
meskipun tidak menganga seluruhnya.
Pada saat itu, pada saat Mahesa Jenar sedang
mengagumi tenaganya sendiri, terdengarlah sebuah suara
tertawa yang lemah perlahan-lahan di belakangnya. Mahesa
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Jenar terkejut bukan main, dan dengan segera ia memutar
tubuhnya, menghadap arah suara itu. Tetapi pada saat itu,
ruang di dalam goa itu sudah mulai gelap, sehingga Mahesa
Jenar tidak segera melihat sesuatu.
"Suatu latihan yang hebat," tiba-tiba terdengar suara dari
arah patung batu. Mendengar suara itu Mahesa Jenar
seperti orang bermimpi. Kata-kata itulah yang sering
diucapkan oleh gurunya. Adakah patung batu itu benarbenar telah berubah menjadi gurunya" Sesaat kemudian
kembali terdengar suara, "Beristirahatlah, hari masih
panjang." Sekali lagi Mahesa Jenar tersentak. Gurunya
selalu menasehatinya demikian kalau ia terlalu letih berlatih.
Perlahan-lahan Mahesa Jenar melangkah maju mendekati
patung itu. Ia menjadi ragu. Bagaimanapun juga, patung itu
baginya tidak lebih daripada batu-batu biasa. Yang
kebetulan dapat dipergunakan sebagai pancatan untuk
memusatkan pikirannya. Tidak lebih dari pada itu. Tetapi
kalau tiba-tiba patung itu dapat berbicara adalah diluar
nalar. Tetapi tiba-tiba ia menjadi terkejut sekali lagi. Ia melihat
bayangan yang bergerak-gerak di belakang patung itu. Dan
di dalam relung itu dilihatnya pula bayangan yang lebih
kelam dari sekitarnya. Cepat Mahesa Jenar dapat
mengetahui, bahwa di belakang patung itu ternyata ada
sebuah pintu yang dapat ditutup dan dibuka, yang dibuat
dari batu-batu pula, sehingga tidak diketahuinya sebelum
itu. "Siapakah kau...?" desis Mahesa Jenar bertanya.
"Jangan bertanya demikian," jawab suara itu.
"Seharusnya kau sudah tahu bahwa Mahesa Jenar
datang menjengukmu."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mendengar jawaban itu hati Mahesa Jenar tergetar.
Tetapi sekarang ia sudah mendapat suatu keyakinan
tentang dirinya, sehingga dengan demikian ia menjadi
bertambah tenang. Maka katanya kemudian, "Adakah yang
menarik hati bagimu, sehingga kau perlukan menjenguk
aku?" "Ada," jawab orang yang menamakan diri Mahesa Jenar
itu. "Lewat lubang itu aku dapat mengintip apa yang selama
ini kau lakukan." "Kau keberatan?" sahut Mahesa Jenar.
"Tidak," jawabnya, "Aku tidak pernah keberatan terhadap
kelakuan orang lain yang tidak merugikan diriku, apalagi
tidak merugikan orang banyak. A pa yang kau lakukan tidak
lebih dari sebuah pertunjukan yang menyenangkan."
Meskipun Mahesa Jenar tidak senang mendengar katakata itu, namun ia masih diam saja.
"Dengan pertunjukanmu itu aku pasti..." sambung orang
itu, "Bahwa kau pernah membaca lontar kisah Mahabarata.
Kisah seseorang yang tak berhasil berguru kepada seorang
Pandeta yang bernama Kombayana. Orang itu, yang
bernama Bambang Ekalaya atau lebih terkenal dengan
nama Palgunadi, kemudian membuat patung. Patung
Pendeta itu. Pada patung itu ia berguru. Dan akhirnya
benarlah ia dapat menyamai kesaktian murid Kombayana
yang paling dahsyat dalam olah jemparing, yaitu Raden
Arjuna." Mahesa Jenar merenung sebentar. Memang ia pernah
mendengar ceritera itu. Dan apa yang dilakukan memang
mirip sekali. Tetapi pada saat ia memulainya, ia sama sekali
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tidak pernah berpikir, apalagi sengaja menirukan apa yang
pernah dilakukan oleh Bambang Palgunadi. Mengingat
peristiwa itu ia menjadi geli sendiri. Lalu jawabnya, "Kau
benar. Mudah-mudahan akupun berhasil pula seperti
Palgunadi." Tiba-tiba orang itu tertawa tinggi. Katanya, "Kau benarbenar pemimpi. Yang bisa terjadi semacam itu, hanyalah
didalam suatu dongeng saja. Dan kau agaknya ingin
menjadi salah seorang tokoh dongeng-dongeng semacam
itu." Mahesa Jenar mengangkat pundaknya. Jawabnya, "Aku
tidak tahu. Aku hanya mencoba."
"Bagus," sahut orang itu melengking dengan nada yang
berbeda. "Aku akan melihat apakah kau berhasil,"
sambungnya. Setelah itu tiba-tiba ia meloncat maju. Meskipun ruangan
itu sudah menjadi semakin gelap, namun Mahesa Jenar
masih melihat orang itu menyilangkan satu tangannya,
tangannya yang lain diangkatnya tinggi-tinggi, sedang satu
kakinya dingkatnya dan ditekuk ke depan.
Mahesa Jenar terkejut bukan kepalang. Ia sama sekali
tidak menduga bahwa dalam gerakan yang pertama orang
itu telah menyiapkan suatu bentuk aji yang mirip dengan
ajinya Sasra Birawa, bahkan orang itupun menamainya
demikian. Dalam pada itu Mahesa Jenar sadar bahwa kekuatan aji
orang itu adalah sangat dahsyatnya. Beberapa hari yang
lalu, ia menjadi pingsan karena benturan yang hebat.
Sekarang tiba-tiba orang itu akan mengulanginya kembali.
Tetapi Mahesa Jenar tidak dapat berbuat lain daripada
berusaha menyelamatkan diri. Karena itu, segera iapun
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
berbuat hal yang sama dengan tubuhnya yang lemah. Ia
mengharap setidak-tidaknya, dengan perlawanannya itu,
akan dapat mengurangi tekanan yang dideritanya karena
pukulan aji lawannya. Sesaat kemudian ia melihat orang itu meloncat ke depan,
dan dengan derasnya mengayunkan tangan kanannya.
Pada saat yang bersamaan, Mahesa Jenar pun dengan
segenap kekuatan lahir batin yang disalurkan dalam aji
Sasra Birawa, menghantam tangan yang terayun ke arah
kepalanya itu. Maka terjadilah suatu benturan yang maha dahsyat. Dua
macam kekuatan ilmu sakti yang oleh para pemiliknya
dinamai Aji Sasra Birawa telah berbenturan. Dan benturan
kali ini lebih dahsyat dari benturan kedua kekuatan sakti itu
beberapa waktu yang lalu, karena Mahesa Jenar telah
menemukan inti kekuatan ilmunya.
Meskipun demikian bagaimanapun juga, keadaan
jasmaniah mereka mempengaruhi pula. Mahesa Jenar yang
telah sekian lama tersekap di dalam goa itu tanpa sebutir
makananpun, harus berbenturan melawan seorang yang
segar bugar. Namun pancaran kekuatan yang tersembunyi
di balik kekuatan jasmaniah, ternyata memiliki kemampuan
yang nggegirisi. Demikianlah ketika benturan itu terjadi, ternyata kedua
orang itu bersama terlempar surut. Orang yang menamakan
diri Mahesa Jenar itu, merasakan pula betapa hebat pukulan
lawannya, sehingga ia terpaksa jatuh sekali berguling,
barulah ia dapat tegak kembali. Tetapi dalam pada itu,
Mahesa Jenar sendiri terdorong jauh ke belakang sehingga
tubuhnya membentur dinding goa.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Setelah itu dengan lemahnya Mahesa Jenar terduduk di
lantai. Tetapi dalam pada itu terbesitlah suatu perasaan
yang aneh dalam dirinya. Meskipun ia terlempar sampai
membentur dinding goa, dan kemudian dengan lemahnya
terduduk di lantai seperti orang yang kehilangan seluruh
tulang-tulangnya, namun dalam benturan itu ia tidak lagi
merasakan percikan panas yang membakar seluruh
tubuhnya seperti yang dialaminya dahulu. Juga kali inipun
kepalanya tidak menjadi pening berkunang-kunang dan ia
tidak pingsan. Dengan demikian, timbul pulalah suatu
pikiran di dalam kepalanya, seandainya keadaan jasmaniahnya tidak terlalu jelek, mungkin akan dapat
mengimbangi pukulan lawannya. Tetapi disamping perasaan gembira yang membersit di dalam dadanya itu,
iapun menjadi cemas kalau-kalau lawannya itu akan
mengulangi serangannya untuk membinasakannya. Meskipun ia sama sekali tidak takut mati, namun ia masih
menginginkan untuk menurunkan ilmu Perguruan Pengging
itu kepada Arya Salaka. Dan karena itulah, terdorong oleh
kemauannya yang keras dan tekad yang mantap, terasalah
bahwa perlahan-lahan kekuatannya timbul kembali. Sehingga meskipun ia masih harus berpegangan pada
dinding goa, namun iapun berhasil untuk berdiri dan
menanti apa yang akan terjadi. Disamping itu ia bersyukur
pula, bahwa kini di dalam ruangan itu telah menjadi
semakin gelap. Dengan demikian ia mengharap bahwa
orang itu tidak lagi akan menyerang segera. Kalau saja
orang itu menundanya sampai esok, mungkin ia telah
mendapatkan sebagian dari kekuatannya kembali. Dalam
kegelapan itu, maka Mahesa Jenar yang tajam, masih
mampu menangkap bayangan samar-samar di hadapannya.
Tetapi sampai sekian lama ia menyaksikan bayangan itu
tegak tak bergerak. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Dan kemudian ternyatalah, apa yang diharapkan Mahesa
Jenar. Sebab ruangan yang semakin kelam, maka orang itu
pun berkata, "Untunglah bagimu, ruangan ini menjadi amat
gelap sehingga aku berhasrat untuk menunda umurmu
sampai besok. Tetapi bagaimanapun juga aku jadi heran.
Iblis mana yang telah merasuk dalam tanganmu, sehingga
kau mampu melawan Sasra Birawa tanpa cidera."
Mahesa Jenar menarik nafas. Ia menjadi lega oleh
keputusan lawannya. Tetapi ia menjawab sindiran itu,
"Bukankah kau telah berceritera tentang Ekalaya dan
Pendeta Kombayana?" Tiba-tiba orang itu tertawa. Nyaring dan panjang.
Katanya kemudian, "Bagus, kau telah menghidupkan
sebuah cerita petikan dari Mahabarata. Dan aku ingin
melihat akhir dari cerita ini. Apakah kau benar-benar
mampu menandingi aku."
"Mudah-mudahan," jawab Mahesa Jenar pendek.
Sekali lagi orang itu tertawa. Kemudian sambungnya,
"Tetapi aku ingin bertindak adil. Aku tidak mau
memenangkan pertempuran ini melawan seseorang yang
hampir mati kelaparan. Tunggulah kau di sini, aku akan
membawa makanan untukmu."
Kemudian terdengarlah orang itu melangkah pergi.
Mahesa Jenar berdiri termangu-mangu. Ia semakin tidak
mengerti kelakuan orang yang juga menamakan diri
Mahesa Jenar itu. Sesaat kemudian, apa yang dijanjikan orang itu
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terjadilah. Ia masuk kembali lewat mulut goa yang mulamula ditutupinya dengan reruntuhan batu-batu, yang
kemudian terbuka kembali karena tangan Mahesa Jenar.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Di tangan kanannya ia memegang sebuah obor dan di
tangan kirinya sebuah bungkusan daun pisang.
Ia langsung duduk di tengah-tengah ruangan itu, sambil
membuka bungkusannya ia berkata, "Kemarilah. Duduklah
dan makanlah bersama aku."
Mahesa Jenar tidak membantah. Tetapi mula-mula ia
pergi dahulu ke mata air. Sesudah minum beberapa teguk
baru ia duduk di depan orang yang juga menamakan diri
Mahesa Jenar itu. "Makanlah," desak orang itu. "Atau kau takut aku
meracunmu?" Mahesa Jenar menggeleng. "Tidak," jawabnya. "Orang
semacam kau ini pasti tidak akan meracun orang. Sebab
kau terlalu yakin akan kesaktianmu."
Sejenak kemudian mereka berdiam diri sambil menikmati
isi bungkusan yang dibawa oleh orang yang menamakan
diri Mahesa Jenar itu, yang ternyata adalah seonggok nasi
dengan lauk pauknya. Goreng ikan gurami.
Mula-mula Mahesa Jenar tidak menaruh perhatian sama
sekali kepada jenis makanan ini. Tetapi beberapa saat
kemudian ia mulai berpikir.
Dari manakah orang itu mendapat goreng ikan gurami.
Ataukah di dalam goa ini terdapat alat untuk menggoreng
dan kolam ikan gurami"
"Kau telah berbuat suatu kesalahan," desisnya.
Orang itu terkejut. "Kesalahan...?" ia bertanya.
Mahesa Jenar mengangguk. Sambil menunjuk sisa ikan
gurami itu ia berkata, "Mahesa Jenar yang kehilangan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
muridnya di dalam goa ini tidak akan menemukan goreng
ikan gurami dengan demikian mudahnya."
Kembali orang itu terkejut. Tetapi hanya sebentar, sebab
sebentar kemudian ia tertawa tinggi.
Sambil masih menyuapi mulutnya ia menjawab, "Kau
memang suka ngotak-atik. Apa salahnya kalau aku
mendapat goreng ikan gurami" Aku tangkap ikan ini di
kolam di sebelah selatan goa ini."
"Dari mana kau dapat minyak?" potong Mahesa Jenar.
Orang itu terdiam sebentar, lalu katanya, "Sekarang
ternyata kalau kau tak tahu sama sekali ujung pangkal
tempat ini. Aku berada di dalam goa ini atas petunjuk
seorang pendeta sakti yang bernama Panembahan Ismaya
bersama muridku Arya Salaka. Tetapi sesaaat kemudian
muridku itu hilang."
"Adakah seorang Mahesa Jenar, murid Ki Ageng
Pengging Sepuh perlu bersembunyi di dalam goa?" bantah
Mahesa Jenar. Sekali lagi orang itu terdiam. Setelah berpikir sebentar
barulah ia menjawab, "Kalau kau mengaku pula bernama
Mahesa Jenar, apa pula kerjamu di sini?"
Mahesa Jenar membetulkan duduknya. Ia merasa
mendapat sesuatu dari percakapan itu. Jawabnya, "Aku
masuk ke dalam goa ini karena aku mengejar kau, orang
yang mengaku bernama Mahesa Jenar."
"Tetapi menurut katamu..." sahut orang itu, "Kau telah
berada di dalam goa ini sebelumnya. Bukankah kau
menuduh aku memancingmu, memisahkanmu dari seorang
yang kau aku menjadi muridmu?"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Kalau begitu, kita telah menghuni goa ini bersamasama. Namun ada bedanya," jawab Mahesa Jenar. "Kau
agaknya telah mengenal segenap lekuk liku goa ini. Aku
belum." "Aku berada dalam goa ini karena ijin yang memiliki,"
potong orang itu. "Kau agaknya seorang penghuni gelap?"
Mahesa Jenar tertawa pendek. Ia merasa kehilangan
jalan. Karena itu ia berdiam diri.
Suasana kemudian menjadi hening. Namun dalam
keheningan itu, Mahesa Jenar tidak luput dari suatu
keadaan yang sibuk. Sibuk berpikir dan menebak-nebak. Ia
merasa bahwa pasti ada suatu maksud yang tersembunyi.
Mungkin orang itu sudah tahu bahwa dialah sebenarnya
yang bernama Mahesa Jenar.
Tiba-tiba Mahesa Jenar bertanya menyentak, "Kau belum
menjawab pertanyaanku, dari mana kau mendapat minyak
goreng?" Orang itu pun terkejut. Jawabnya, "Sudah aku katakan,
dari cantrik padepokan Karang Tumaritis."
"Kenapa kau bersembunyi dalam goa ini?" desak Mahesa
Jenar cepat. "Beberapa orang sakti mencari aku untuk membalas
dendam," jawabnya secepat pertanyaan Mahesa Jenar.
"Kau takut?" desak Mahesa Jenar pula.
"Tidak. Tetapi aku tidak akan mampu melawan mereka."
"Bohong!" bentak Mahesa Jenar.
Orang itu terkejut. Pandangannya jadi semakin tajam.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Kau sudah berada diantara mereka. Dan mereka tidak
dapat menangkapmu." potong Mahesa Jenar.
Tiba-tiba mata orang itu menjadi merah. Agaknya ia
menjadi marah. Tetapi Mahesa Jenar tidak peduli. Ia berkata terus, "Ada
beberapa pertentangan dalam ocehanmu. Kau bersembunyi
karena orang-orang sakti yang mengejarmu untuk
membalas dendam, tetapi kau telah berada diantara
mereka, dan mereka ternyata tak dapat berbuat sesuatu.
Kemudian kau katakan bahwa kau kehilangan muridmu di
dalam goa ini, sedang agaknya kau mengenal segala lekuklikunya, sehingga mustahillah bahwa kau tak dapat
menemukannya. Ataupun kalau murid yang kau katakan itu
hilang diluar goa ini, kau akan dapat minta tolong kepada
Panembahan Ismaya dan cantrik-cantriknya untuk mencarinya. Nah, sekarang katakan kepadaku. Apakah
maksudmu sebenarnya dengan mengaku bernama Mahesa
Jenar, murid Ki Ageng Pengging Sepuh?"
ORANG itu menjadi semakin marah mendengar kata-kata
Mahesa Jenar yang menghambur seperti bendungan pecah.
Tetapi Mahesa Jenar masih belum berhenti, sambungnya,
"Apalagi kau dapat berceritera tentang semua pengalaman
dan peristiwa yang aku alami. Bahkan sampai pada ke
persoalan hubungan antara aku dan orang-orang sakti yang
mengejarku?" Orang itu sudah tidak sabar lagi. Dengan kerasnya ia
membentak, "Cukup!". Lalu tubuhnya menjadi gemetar, dan
tiba-tiba ia meloncat berdiri. Katanya melanjutkan dengan
suara gemetar, "Kau memancing kemarahanku. Aku sudah
ingin menunda umurmu sampai besok. Tetapi ternyata kau
ingin menyerahkannya sekarang. Berdirilah, dan jangan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mati berpangku tangan. Apakah kau akan membanggakan
Sasra Birawa tiruan yang hanya mampu memecah batu itu.
Itu hanyalah suatu pameran jasmaniah yang sama sekali
tak berharga." Setelah itu ia mencari sebuah batu untuk menyandarkan
obornya. Kemudian sambil mempersiapkan diri ia berkata,
"Marilah kita mulai. Jangan lewatkan waktu dengan sia-sia."
Sekali lagi Mahesa Jenar terkejut bukan kepalang.
Kalimat itu adalah kalimat yang sering diucapkan oleh
gurunya pula. Sudah beberapa kali ia mendengar orang
yang menamakan dirinya Mahesa Jenar itu pasti
mempunyai hubungan dengan gurunya. Kalau tidak, tidak
akan ia menyebut beberapa kata-kata yang bersamaan.
Yang selalu ditujukan kepada dirinya dan saudara
seperguruannya almarhum. Sebelum ia menemukan suatu jawaban, terdengar orang
itu berkata pula, "Berdirilah, dan pergunakan Sasra Birawa
buatanmu yang tidak lebih dari sebuah pedang yang
tumpul. Dengan pedang yang berat dan tumpul itu, kau
dapat mematahkan besi gligen, dengan mengandalkan
kekuatan jasmaniah. Tetapi kalau ada sehelai kapuk yang
melayang-layang dibawa angin, pedangmu itu tidak akan
berguna. Kau tidak akan mampu membelah helaian kapuk
itu bagaimanapun kuatnya tenaga jasmanimu. Tetapi untuk
memotongnya, kau perlukan sebuah pedang yang tidak
perlu berat dan kuat, namun ia harus tajam setajam
perasaanmu." Sekali lagi Mahesa Jenar tersentak. Kata-kata itu sama
sekali bukan kata-kata seorang yang marah dan akan
membunuhnya. Tetapi justru kata-kata yang sangat
diperlukannya. Dengan mesu raga, ia sekarang mampu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menangkap isi katakata itu. Bahkan justru sebagai
penjelasan atas perbedaan watak dari gerak-gerak
wadagnya dan gerak-gerak dirinya yang dilihatnya di luar
wadagnya. Tetapi sekali. Dua buah pedang yang berat, kuat
namun tumpul, yang mampu memecah henda apapun, dan
yang lain pedang yang ringan, tetapi bermata tajam. Hanya
dengan pedang semacam itulah ia akan mampu memotong
sehelai kapuk yang diterbangkan angin.
Apalagi di dalam kata-katanya, orang itu ternyata
menganggapnya, betapa tajam perasaannya. Sehingga
untuk memangkas kapuk yang diterbangkan angin
diperlukan pedang setajam perasaannya. Sesaat kemudian
kembali orang itu berkata, "Berdirilah, aku sudah hampir
mulai." Tetapi Mahesa Jenar tidak juga mau berdiri. Ditatapnya
saja wajah orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu,
seolah-olah sampai menembus ke dalam otaknya. Didalam
cahaya obor yang masih menyala-nyala disamping mereka.
Mahesa Jenar dapat melihat wajah itu dengan agak jelas.
Kalau orang itu dihilangkan rambut-rambut yang melingkari
mukanya, ia akan dapat memastikan, bahwa tak
seorangpun akan mengenalnya sebagai Mahesa Jenar.
Tetapi yang mengherankan, segala gerak, tingkah-laku
serta setiap unsur gerak yang dilakukan adalah tepat
seperti yang dikenal dan dilakukannya. Bahkan tidaklah
mungkin, bahwa secara kebetulan orang itu mengulang
kata-kata gurunya sampai beberapa kali.
Karena itulah maka ia sampai pada suatu kesimpulan,
bahwa orang itu pasti mempunyai hubungan dengan
gurunya. Apapun sifatnya. Dengan demikian maka tidak
sewajarnyalah kalau ia melawannya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Bahkan ketika sekali lagi orang yang berdiri dihadapannya itu menyuruhnya berdiri, Mahesa Jenar
menjawab, "Tidak. Aku lebih senang duduk menikmati
makanan yang kau bawa."
"Kau takut menghadapi kematian?" tanya orang itu.
"Sejak semula aku berkata, bahwa kematian bukanlah
sesuatu yang menakutkan," jawab Mahesa Jenar.
"Kalau begitu kau menunggu apa lagi?" desak orang itu
tidak sabar. "Kau benar-benar mau berkelahi?" tanya Mahesa Jenar
kemudian. "Sebagaimana kau lihat. Aku sudah siap," jawabnya.
"Aku tidak," potong Mahesa Jenar.
"Kau takut?" sahut orang itu.
Mahesa Jenar menggeleng. Katanya, "Aku tidak takut.
Tetapi aku tidak akan dapat menyamai kesaktianmu. Tidak
ada gunanya." Mendengar jawaban itu, orang yang menamakan diri
Mahesa Jenar itu mengerutkan keningnya. Kemudian
katanya, "Nah, kalau begitu kau mengaku sekarang, bahwa
kau bukanlah Mahesa Jenar, murid Ki Ageng Pengging
Sepuh. Sebab Mahesa Jenar bukanlah seorang pengecut."
"Siapa bilang"," bantah Mahesa Jenar. "Aku tidak
mengatakan bahwa aku bukan Mahesa Jenar. Tetapi bukan
berarti bahwa di dunia ini tak ada seorang pun yang
melampaui kesaktianku. Diantaranya kau."
Tiba-tiba orang itu jadi kesal sekali. Karena itu ia
membentak, "aku akan membunuhmu. Melawan atau tidak
melawan." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Ki sanak," jawab Mahesa Jenar dengan tenangnya.
Agaknya ia sudah menemukan jalan untuk mendapatkan
suatu ketegasan. "Aku mempunyai usul. Kenapa persoalan
ini harus diselesaikan dengan sebuah perkelahian" Menurut
katamu kau disembunyikan disini oleh seorang Panembahan
sakti yang bernama Panembahan Ismaya. Akupun
seharusnya berkata demikian pula kepadamu. Karena itu
biarlah Panembahan itu yang memilih satu diantara kita,
siapakah yang dianggapnya benar-benar Mahesa Jenar."
"Tidak perlu pihak ketiga. Marilah kita selesaikan soal kita
sendiri." Mendengar jawaban itu Mahesa Jenar tersenyum.
Jawabnya, "aku makin yakin sekarang bahwa aku tidak
perlu berkelahi. Sebab kau sama sekali tidak bermaksud
bertempur untuk mempertahan-kan suatu kebenaran dan
keyakinan, tetapi kau ingin bertempur karena nafsu
ketamakanmu. Nafsu ingin mempertunjukkan kemenanganmu dan kesaktianmu."
"Omong kosong," potong orang itu.
"Aku menantangmu karena kau telah menamakan dirimu
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mahesa Jenar. Bukankah dengan demikian kau meniadakan
adaku sebagai Mahesa Jenar yang sebenarnya"."
Sekali lagi Mahesa Jenar tersenyum. Ternyata karena
keyakinan pada dirinya sudah bertambah sempurna
sehingga ia tidak lagi bersikap menentang dan tidak lagi
membiarkan perasaannya bergolak. Jawabnya, "kau
menganggap dirimu Mahesa Jenar "."
"Aku tidak menganggap demikian," bantah orang itu,
"sebab aku memang demikian sebenarnya."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Kau dapat berkata demikian kepada orang lain, bahkan
kepadaku. Kepada Mahesa Jenar murid Ki Ageng Pengging
Sepuh, " sahut Mahesa Jenar. "Tetapi dapatkan kau berkata
demikian kepada dirimu sendiri. Kepada hatimu ?"
Orang itu tiba-tiba menjadi gelisah. tetapi ia diam saja.
"Nah ki sanak. Sebenarnya kau tak usah mempersulit
dirimu, " sambung Mahesa Jenar. "Kau dapat berbuat
sekehendakmu tanpa suatu kesaksianpun di sini. Apakah
kau menamakan dirimu Mahesa Jenar atau bukan di
hadapanku, sesudah kau berhasil membunuhku, akibatnya
akan sama saja." "Aku jadi yakin terhadap suatu kebenaran tentang
dirimu," tiba-tiba orang itu berkata. "bahwa otakmu
memang tidak jelek."
Sekali lagi Mahesa Jenar terguncang. Orang yang
menamakan dirinya Mahesa Jenar itu sekali lagi membuat
heran dengan kalimat kalimat yang pernah diucapkan
gurunya. Sehingga dengan demikian Mahesa Jenar menjadi
semakin yakin pula bahwa orang itu pasti mempunyai
hubungan dengan gurunya. Karena itu ia tidak mau
memperpanjang keadaan dalam belitan pertanyaanpertanyaan. Karena itu segera Mahesa Jenar memperbaiki duduknya
menghadap kearah orang yang menamakan dirinya Mahesa
Jenar, yang berdiri tegak dihadapannya. Dengan hidmadnya
ia membungkuk hormat sambil berkata, "Tuan, sudah
beberapa kali aku mendengar tuan mengucapkan kalimatkalimat yang sering diucapkan oleh almarhum guruku, ki
Ageng Pengging Sepuh. Karena itu aku mengharap agar
tuan tidak terlalu lama mengaduk otakku dengan teka-teki
yang tuan berikan mengenai diri tuan."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Orang itu memandang Mahesa Jenar dengan tajamnya.
Tetapi mata itu makin lama semakin menjadi lunak. Dengan
sebuah senyuman ia menjawab, "Jadi kau benar-benar
percaya bahwa aku bernama Mahesa Jenar" Bukankah kau
akui bahwa aku dapat menirukan beberapa kalimat yang
pernah diucapkan oleh guruku ki Ageng Pengging Sepuh"."
"Maafkanlah," jawab Mahesa Jenar, "bagaimana aku
dapat percaya bahwa diriku dapat dipecah menjadi dua
orang. Aku dan tuan. Tetapi bahwa tuan dapat menirukan
kalimat-kalimat ki Ageng Pengging Sepuh, aku tidak akan
membantah, karena itu aku ingin tuan memecahkan
jawaban itu." Sekali lagi orang itu tersenyum. Lalu perlahan-lahan
berjalan mendekat Mahesa Jenar.
"Kalau kau tidak percaya bahwa aku Mahesa Jenar, lau
siapakah aku menurut pendapatmu"," katanya.
"Aku tidak tahu," jawab Mahesa Jenar.
"Kau terlalu membiarkan perasaan marahmu menjalari
otakmu, sehingga kau tidak dapat lagi melihat lebih
saksama. Tetapi sekarang agaknya kau telah berhasil
mengendapkan diri, karena itu dengan gembira aku
melihat, bahwa kau tidak lagi mudah dipaksa untuk
berkelahi, tanpa tujuan."
"Mahesa Jenar. Tidakkah kau dapat mengingat-ingat lagi,
siapakah yang memiliki ilmu Sasra Birawa di dunia ini ?"
----------o-dwkz-arema-o---------SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
IV Mahesa Jenar seperti terbangun dari mimpi yang
membingungkan. Seharusnya sejak semula ia harus sudah
mengingat-ingat hal itu. Dengan teliti ia mulai mengenangkan masa lampau. Suatu lingkungan kecil
didalam padepokan di Pengging dimana ia bersama kakak
seperguruannya menuntut ilmu jaya kawijayan dan
kesaktian, sebagai bekal hidupnya kelak. Tetapi bagaimanapun ia mengingat-ingat, namun yang diingatnya
hanyalah, didalam padepokan itu, kecuali dirinya dan
almarhum Kebo Kenanga tidak ada seorang muridpun lagi.
Akhirnya ia mulai mengingat siapakah yang sering
datang ke padepokan itu. Orang-orang lain yang
mempunyai hubungan erat dengan gurunya. Tetapi
gurunya sangat teliti, sehingga tidak mungkin ada orang
lain yang dapat mencuri ilmu sakti tiu tanpa setahunya.
Tiba-tiba Mahesa Jenar tersentak. Ya, orang itu ada
orang yang selalu datang ke padepokan itu melihat-lihat
gurunya menurunkan ilmu kepadanya.
Karena ingatan itulah maka mata Mahesa Jenar menjadi
berkilat-kilat. Sekali lagi ia membungkuk hormat. Katanya,
"Tuan, baru sekarang agaknya otakku dapat bekerja
dengan baik. Perkenankanlah aku menebak siapakah
sebenarnya tuan"."
Orang itu mengangguk. Kemudian katanya, "Kau telah
berhasil mengingat kembali orang-orang yang memiliki aji
Sasra Birawa?" "Sudah, Tuan," jawab Mahesa Jenar, "Pertama adalah
guru. Kedua dan ketiga adalah murid-muridnya. Aku dan
almarhum Ki Ageng Pengging, Ki Kebo Kenanga. Dan
keempat adalah saudara muda seperguruan Guru, yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tidak lain adalah putra guru yang tua, kakak Ki Kebo
Kenanga. Karena itu aku berani memastikan bahwa Tuan
adalah orang yang keempat itu."
Orang itu mengangguk-angguk. Sahutnya, "Ingatanmu
masih baik kalau kau pergunakan. Ternyata kau menebak
tepat." Sekali lagi Mahesa Jenar membungkuk hormat. Dengan
hikmat ia berkata, "Maafkanlah kelancanganku. Sudah
berapa puluh tahun Tuan meninggalkan kami sehingga aku
tidak dapat mengenal Tuan kembali."
"Tidak ada yang perlu aku maafkan. Semuanya memang
aku kehendaki demikian," jawab orang itu.
Mahesa Jenar tiba-tiba merasakan suatu yang bergelora
didalam dadanya. Suatu campur baur dari bermacammacam perasaan. Sedih, gembira, bangga, terharu. Lebih
dari pada itu, ia beberapa kali mengucap syukur kepada
Tuhan di dalam hatinya. Dalam suatu saat yang tak
disangka sangka, ia bertemu dengan putra gurunya yang
tua, yang dalam perguruan menjadi adik seperguruan
gurunya. Orang itu bernama Ki Kebo Kanigara, yang lenyap
beberapa tahun sebelum gurunya meninggal. Dari gurunya
ia pernah mendengar bahwa ilmu Ki Kebo Kanigara itu
sama sekali tidak berada dibawah gurunya. Bahkan, karena
kegemarannya mengembara, ia dapat menambah ilmu itu
dengan bermacam-macam bentuk dan isi.
Sekarang ia bertemu dengan orang itu dalam suatu
suasana yang seolah-olah mengandung pertentangan.
Karena itu maka Mahesa Jenar bertanya seterusnya,
"Kakang Kebo Kanigara, kalau sejak selama aku dapat
berpikir dengan tenang, maka sejak semula aku tak akan
berani melawan, meskipun aku tidak dapat mengerti
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
maksud kakang dengan mempergunakan nama serta
gelarku." Kebo Kanigara tersenyum. Lalu duduk disamping Mahesa
Jenar. Dengan perlahan-lahan ia menjawab, "Mahesa Jenar,
kalau kau mengenal aku sejak semula, maka keadaanmu
akan berbeda pula. Apa yang kau capai selama beberapa
hari ini, justru karena kau tidak mengenalku."
Sadarlah Mahesa Jenar, bahwa Kebo Kanigara telah
memaksa dengan caranya, supaya ia menekuni ilmunya
lebih dalam lagi. Tetapi meskipun demikian ia masih
bertanya, "Kakang, bukankah Kakang dapat menuntun aku
tanpa teka-teki yang hampir memecahkan kepalaku itu."
Sekali lagi Kebo Kanigara tersenyum. Jawabnya, "Dengan
demikian keprihatinanmu akan jauh berbeda. Kau akan
mendalami ilmumu dengan tahap-tahap yang biasa. Tetapi,
dengan keadaanmu seperti yang kau alami, kau benarbenar membanting tulang untuk memperdalam ilmu itu.
Justru dengan demikian kau benar-benar telah menemukan
sarinya dalam waktu yang singkat."
"Tetapi Kakang..." bertanya pula Mahesa Jenar, "Dari
mana Kakang dapat mengetahui semua keadaan yang
pernah aku alami. Bagaimana Kakang tahu bahwa
Panembahan Ismaya telah menyembunyikan aku di sini,
dan bagaimana Kakang dapat mengenal hampir setiap
orang yang pernah aku kenal pula?"
Kebo Kanigara mengerutkan keningnya. Ia tampak raguragu. Namun kemudian ia menjawab pula, "Mahesa Jenar...
ketahuilah bahwa aku memang merupakan salah seorang
dari penghuni padepokan ini. Apa yang aku lakukan
semuanya atas ijin Panembahan. Dan dari Panembahan
pula aku mendapatkan beberapa petunjuk tentang kau."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Siapakah sebenarnya Panembahan Ismaya itu?" tanya
Mahesa Jenar. Kebo Kanigara menarik nafas panjang sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Jawabnya, "Pertanyaanmu aneh Mahesa Jenar. Kau bertanya tentang
seseorang yang telah kau sebut namanya. Bukankah ia
Panembahan Ismaya. Panembahan sakti yang mengepalai
padepokan Karang Tumaritis ini?"
Dari jawaban itu Mahesa Jenar dapat mengetahui bahwa
ada sesuatu yang tersembunyi, yang tak seorang pun boleh
mengetahui. Karena itu ia tidak bertanya lebih lanjut. Tetapi
ia bertekad untuk pada suatu waktu dapat mengetahuinya
pula, siapakah sebenarnya orang tua yang seolah-olah telah
menyisihkan diri dari dunia ramai itu.
"Kakang..." Mahesa Jenar memulai lagi, "Kalau demikian,
di manakah muridku Kakang sembunyikan?"
Kebo Kanigara tertawa. Lunak dan perlahan-lahan.
Jawabnya, "Benarkah kau bertanya tentang muridmu?"
Mahesa Jenar menjadi heran. Sambil menganggukangguk ia menegaskan, "Ya Kakang. Aku bertanya tentang
muridku?" "Sesudah itu kau pasti akan menanyakan seorang lagi
kepadaku," sahut Kebo Kanigara sambil tersenyum.
"Malahan barangkali yang lebih penting bagimu."
"Ah," desis Mahesa Jenar. Tetapi ia tidak melanjutkan
kata-katanya. Sekali lagi Kebo Kanigara tertawa lunak dan perlahanlahan. Tetapi ia tidak melanjutkan pertanyaannya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Kemudian Mahesa Jenar berkata untuk mengalihkan
pembicaraan, "Kakang, apakah menurut pendapat kakang
Kanigara, ilmuku telah meningkat selama ini?"
"Kau telah merasakannya sendiri," jawab Kebo Kanigara.
"Tetapi menurut penilaianku, kau telah memenuhi
harapanku. Sebab menurut pendapatku, supaya Perguruan
Pengging tidak menjadi semakin pudar, maka muridmuridnya harus dapat selalu melampaui ilmu gurunya.
Demikian berturut-turut. Dan sekarang kau telah mendapatkan itu." Kalau ada guntur menggelegar di telinganya, Mahesa
Jenar tidak akan terkejut seperti saat itu. Memang ia telah
merasakan sesuatu perkembangan yang menggembirakan
dalam latihan-latihan yang dilakukan selama ini dengan
tekunnya. Tetapi ketika ia mendengar pernyataan Kebo
Kanigara, Saudara muda seperguruan gurunya, yang
memiliki ilmu lebih sempurna dari gurunya sendiri,
mengatakan, bahwa ia telah dapat menyamai kesaktian
almarhum gurunya. "Kakang berkata sebenarnya?" tanya Mahesa Jenar
dengan nada kurang percaya.
Kebo Kanigara tersenyum. Jawabnya, "Aku berkata
sebenarnya. Dan aku telah mencobanya. Juga terhadap
gurumu, ayah Pengging Sepuh pun aku pernah mencoba
ilmunya, khusus Sasra Birawa, dan memperbandingkan
dengan kekuatan ilmu yang aku miliki."
Mahesa Jenar menjadi terdiam oleh perasaan yang
bergulat di dalam dadanya. Ia tiba-tiba menjadi sangat
bergembira. Tetapi hanya sesaat. Sesaat kemudian, ia telah
memanjatkan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada Pencipta Alam yang telah menunjukkan jalan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kepadanya lewat adik seperguruan gurunya. Dan karena itu
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pulalah hatinya menjadi tenang. Setenang air telaga yang
tidak dapat dijajagi seberapa dalamnya.
Untuk beberapa lama ruangan itu dikuasai oleh
keheningan Lampu obor yang menyala-nyala dengan
lincahnya, melemparkan sinarnya yang seolah-olah menari
di dinding goa itu. Mahesa Jenar yang masih hanyut dalam
angan-angan duduk sambil menundukkan kepala. Di dalam
hatinya, terucapkanlah sebuah janji, bahwa dengan
kematangan yang dicapainya, ia harus lebih banyak
menyerahkan darma baktinya untuk manusia dan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kemanusiaan, untuk tanah dimana ia dilahirkan dan untuk
bangsa yang hidup diatasnya. Dan sekaligus ia berjanji di
dalam hatinya itu, bahwa dengan segenap kemampuan
yang telah dimiliki itu, ia harus menumpas segala kejahatan
dan pelanggaran atas keharusan dalam hidup bernegara
dan bertata masyarakat. Sehingga terpancarlah api cinta
sejati di atas bumi. Kemudian angan-angannya itu dipecahkan oleh suara
Kebo Kanigara, "Mahesa Jenar... sekarang sudah sampai
waktumu untuk meninggalkan ruang samadimu ini. Biarlah
patung batu itu tinggal sendiri, menjadi saksi bisu atas apa
yang pernah terjadi di sini."
Mahesa Jenar mengangguk satu kali. Kemudian
perlahan-lahan ia berdiri dan memandang patung batu itu
dengan tajamnya. Kebo Kanigara pun kemudian berdiri
pula. "Marilah..." katanya, "Ikutilah aku. Sekarang kau tak
usah marah lagi. Aku akan membawa obor ini, supaya kau
tak kehilangan jalan."
Mahesa Jenar mengikuti Kebo Kanigara itu dengan
langkah yang berat. Seolah-olah ia segan meninggalkan
patung batu itu kesepian. Tetapi ia tidak berkata sepatah
pun. Karena Mahesa Jenar tidak menjawab, Kebo Kanigara
meneruskan, "Mau kau apakan patung batu itu..." Ia tidak
bersedih hati kau tinggalkan di ruangan ini."
Mahesa Jenar tersenyum dan melangkah mengikuti Kebo
Kanigara meninggalkan ruangan itu.
"Mahesa Jenar..." kata Kebo Kanigara kemudian sambil
berjalan menyusur goa yang memiliki beratus-ratus cabang
yang membingungkan itu, "Ada beberapa maksud, karena
aku terpaksa mempergunakan nama serta gelarmu.
Pertama-tama seperti yang telah aku katakan kepadamu.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Kedua, aku ingin seseorang tidak merasa berhutang budi
kepada orang lain kecuali kepada Mahesa Jenar."
Kali ini benar-benar Mahesa Jenar tidak dapat menjawab.
Sampai Kebo Kanigara meneruskan, "Untunglah bahwa aku
dapat meyakinkan diriku bahwa aku benar-benar bukan
orang yang bernama Mahesa Jenar."
"Nanti akan diketahuinya pula Kakang," jawab Mahesa
Jenar kemudian, "Bahwa bukan Mahesa Jenar yang
sebenarnyalah yang telah berbuat jasa itu."
"Jangan Mahesa Jenar," sela Kebo Kanigara, "Aku telah
bersusah payah berperan sebaik-baiknya sebagai Mahesa
Jenar." "Tetapi bagaimanapun juga orang akan tahu juga, bahwa
yang telah melakukan suatu perbuatan yang dahsyat itu
pasti bukan aku," jawab Mahesa Jenar pula. "Sebab Kakang
Kebu Kanigara telah menggunakan sekian banyak orang.
Apakah aku dapat melakukan pekerjaan seperti itu?"
"Kau masih belum dapat mengerti tentang dirimu
sendiri," sahut Kebu Kanigara. "Dengan samadimu itu, kau
akan mampu melakukan apa yang dilakukan olehku dalam
perananku sebagai Mahesa Jenar. Juga terhadap Bugel
Kaliki dan Sima Rodra, kau sekarang tidak berada di
bawahnya." Sekali lagi dada Mahesa Jenar bergetar. Dan sekali lagi
hatinya berjanji untuk membinasakan orang-orang itu.
Tiba-tiba Mahesa Jenar teringat kepada muridnya.
Apakah kira-kira yang telah dilakukannya selama ini. Maka
bertanyalah ia, "Kakang Kebo Kanigara. Lalu bagaimanakah
keadaan muridku?" SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Agaknya kau benar-benar sayang kepada anak itu,"
jawab Kebo Kanigara. "Aku tidak tanggung-tanggung dalam
perananku." Ia meneruskan, "Juga terhadap muridmu aku
telah memaksanya untuk meningkatkan ilmunya dengan
cara yang pernah aku tempuh."
"Cara yang pernah Kakang tempuh?" ulang Mahesa Jenar
dengan herannya. "Adakah Kakang pernah bertemu dengan
anak itu?" Kebo Kanigara tertawa pendek. "Pernah," jawabnya.
"Aku selalu bertemu dengan anak itu di mana-mana. Karena
itu aku banyak mengetahui tentang kau dan muridmu.
Dilengkapi dengan petunjuk-petunjuk dari Panembahan
Ismaya." Dalam pada itu tiba-tiba Mahesa Jenar teringat akan
peristiwa-peristiwa yang pernah disaksikan atas muridnya.
Maka dibayangkanlah bentuk orang yang pernah melakukan
perbuatan perbuatan aneh di pantai Tegal Arang. Seorang
yang mempergunakan 6 wajah, menyerang muridnya setiap
malam berturut-turut. Orang itu bertubuh besar dan kekar.
Dan sekarang orang yang berjalan di hadapannya itu pun
bertubuh besar dan kekar.
"Kakang..." seru Mahesa Jenar sesaat kemudian. "Aku
sekarang berani memastikan bahwa Kakang telah menolong
muridku untuk suatu loncatan yang tingkatan ilmunya di
pantai Tegal A rang dengan cara kakang yang aneh."
TERDENGAR Kebo Kanigara tertawa pendek. Jawabnya,
"Aku tidak telaten melihat anak itu maju setapak demi
setapak. Sejak aku dengar kabar bahwa ayah Handayaningrat meninggal dunia, aku jadi gelisah. Janganjangan tak seorang pun yang akan mewarisi dari perguruan
Pengging. Karena adi Kebo Kenanga meninggal pula, maka
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
satu-satunya yang ada adalah kau. Kemudian kaupun
menghilang. Mati-matian aku mencarimu. Dan akhirnya aku
ketemukan kau. Malahan kau telah mempunyai seorang
murid yang berbakat baik. Tetapi kau pergunakan cara-cara
ayah Pengging Sepuh untuk meningkatkan ilmu muridmu.
Selangkah kecil demi selangkah kecil. Maka aku pun
berusaha membantumu dengan caraku."
"Kakang..." sahut Mahesa Jenar. "Sudah sewajarnyalah
kalau aku mengucapkan beribu-ribu terima kasih."
"Jangan katakan itu," potong Kebo Kanigara. "Kewajibanmu dan kewajibanku dalam hal ini tidak ada
bedanya. Juga kali ini terhadap muridmu itu aku isikan ilmu
dari perguruan Pengging. Berurutan seperti rencana yang
akan kau berikan. Hanya caraku berbeda dengan caramu."
Mendengar keterangan Kebo Kanigara, Mahesa Jenar
berdiam diri. Ia sekarang, barangkali setelah mempelajari
ilmunya lebih tekun dengan suatu cara yang tidak
direncanakannya lebih dahulu, tidak akan lagi mengajari
muridnya dengan cara yang pernah dilakukan sebelumnya.
Di mana muridnya harus menerima pelajaran setingkat
demi setingkat tanpa mengikutsertakan kemampuan daya
cipta muridnya itu sendiri.
"Mahesa Jenar..." kata Kebo Kanigara kemudian, "Marilah
kita melihat muridmu itu berlatih. Aku telah minta kepada
seseorang untuk meneternya dan memperbandingkan
dengan ilmu perguruan lain."
"Ilmu perguruan lain?" ulang Mahesa Jenar keheranheranan. "Adakah seseorang di sini dan perguruan lain?"
"Akan kau lihat nanti," jawab Kebo Kanigara. "Aku telah
melakukan apa saja yang mungkin atas muridmu itu dalam
masa pembajaan dirinya. Aku sendiri suatu waktu datang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
melawannya. Dan pada saat lain aku datang sebagai
gurunya, Mahesa Jenar, untuk memberinya petunjuk
petunjuk. Kadang kadang aku hadapkan Arya Salaka
dengan ilmu dari perguruan lain."
Mahesa Jenar tidak menjawab lagi. Tiba-tiba saja ia
menjadi rindu sekali kepada satu-satunya murid yang telah
dibawanya menjelajah daerah daerah serta mengalami
kesukaran lahir dan batin. Dalam hatinya ia mengucapkan
terima kasih tak habis-habisnya kepada Kebo Kanigara yang
telah membantu mematangkan ilmu muridnya. Dengan
demikian ia mengharap seorang yang tidak kalah saktinya,
Ki Ageng Sora Dipayana dari Banyubiru.
Setelah Mahesa Jenar mengikuti Kebo Kanigara
menempuh jalan yang berliku-liku, maka sampailah mereka
kepada satu gang yang menuju ke dalam sebuah ruang
yang agak luas seperti ruang yang dipergunakan untuk
mengurung Mahesa Jenar. ----------o-dwkz-arema-o---------Editing oleh Ki Arema SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Jilid 12 SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
I Dalam pada itu Kebo Kanigara berbisik, "Mahesa Jenar,
ingat muridmu selama ini belum pernah terpisah dari
gurunya." "Lalu apa yang pernah dilakukan oleh gurunya?" tanya
Mahesa Jenar. "Melatihnya dan menurunkan segala sifat-sifat keluhuran
budi dan kepahlawanan. Gurunya telah mengatakan kepada
anak itu bahwa dalam masa-masa yang dekat, harus sudah
menurunkan api kejantanan dan kesetiaan pada janji
seorang ksatria, supaya api yang menyala di dalam dada
angkatan tua itu tidak padam kehabisan minyak. Sebab
apabila datang waktunya kita meninggalkan mereka, api itu
harus sudah mereka miliki. Bahkan harus berkobar lebih
hebat dari semula." Mahesa Jenar benar-benar tersentuh hatinya mendengar
ucapan itu. Karena ia pun tak akan berbuat lain daripada
itu. "Kakang..." tanya Mahesa Jenar pula, "Tidakkah anak itu
mengenal Kakang bukan sebagai gurunya?"
"Tidak Mahesa Jenar," jawab Kebo Kanigara, "Aku selalu
datang padanya, apabila ruangan itu sudah mulai gelap.
Aku tidak pernah membawa obor yang cukup menerangi
ruangan itu. Di samping itu aku jarang-jarang sekali
bercakap-cakap dengan anak itu. Aku paksa ia bekerja
keras untuk mendalami ilmunya. Nah sekarang kau pun
telah memiliki rambut yang memenuhi mukamu. Aku
mengharap bahwa Arya Salaka tidak sempat membedabedakan antara kita. Hanya mungkin aku agak lebih kasar
daripadamu." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Mungkin ada juga terselip beberapa pertanyaan dalam
hatinya," kata Mahesa Jenar kemudian, "Karena perbedaan
sifat dan cara dari apa yang pernah aku berikan
kepadanya." "Mahesa Jenar..." Kebo Kanigara meneruskan, "Sebelumnya baiklah kita tunggu sampai esok. Lihatlah
bagaimana ia berlatih dengan seseorang dari perguruan lain
di dalam ruangan itu. Aku sudah menyuruhnya tinggal di
situ terus menerus sampai aku,
Mahesa Jenar, membawanya keluar." Bagaimanapun mendesaknya keinginan Mahesa Jenar
untuk bertemu dengan muridnya, namun ia harus
menyabarkannya sampai esok. Tetapi hari esok itu tidak
akan terlalu lama datang.
Meskipun demikian, Mahesa Jenar merasa bahwa ia telah
menunggu terlalu lama. Agaknya matahari menjadi
bertambah malas, sehingga agak kesiangan terbit. Namun
lambat laun, terasalah bahwa fajar telah pecah di timur.
Selama itu ia mengisi waktunya dengan mendengarkan
ceritera Kebo Kanigara tentang muridnya, dan tentang
peranannya sebagai Mahesa Jenar.
"Ingat Mahesa Jenar..." kata Kebo Kanigara, "Kau waktu
itu marah kepada muridmu, karena ia kehilangan jalan.
Seharusnya ia dapat berjalan lebih cepat di belakangmu.
Karena itulah maka kau kurung muridmu dalam ruangan itu
untuk dengan keras berusaha membajakan diri. Ternyata
muridmu adalah seorang murid yang patuh. Ia tidak pernah
mengeluh, meskipun kadang-kadang ia berlatih sampai
hampir pingsan. Kaulah yang membawa makan dan
minumnya. Disamping itu, satu hal yang penting dan
seharusnya aku minta maaf kepadamu bahwa Arya Salaka
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
telah menerima dasar - dasar ilmu khusus perguruan
Pengging, Sasra Birawa".
Mahesa Jenar terkejut mendengar ceritera itu. Karena itu
ia bertanya, "Adakah anak sebesar Arya Salaka telah cukup
kuat untuk memiliki aji itu?"
"Muridmu luar biasa," jawab Kebo Kanigara. "Memang
aku kira akibatnya akan tidak baik kalau kau dalam tingkat
sebelum samadimu, memberikan ilmu itu kepadanya. Tetapi
sekarang tidak. Juga aku merasa tidak. Apalagi ketika aku
tunjukkan bagaimana ia harus mengatur pernafasan,
pemusatan pikiran dan tenaga, aku jadi yakin bahwa
mungkin ia mempunyai bakat lebih baik daripada kita. Nah,
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sekarang kau telah menyadari kematanganmu. Aku harap
kau lanjutkan dasar-dasar ilmu Sasra Birawa. Meskipun
dalam pelaksanaannya barulah dalam tingkat kekuatan
lahiriah saja." "Itu sudah cukup Kakang, sela Mahesa Jenar, Sudah
terlalu banyak bagi seorang anak-anak sebesar Arya Salaka
yang baru berumur lebih kurang 16 sampai 17 tahun itu.
Bukankah kecuali persiapan jasmaniah diperlukan pula
persiapan rokhaniah, supaya tidak ada penyalahgunaan di
kemudian hari." Kebo Kanigara tersenyum mendengar pendapat Mahesa
Jenar. "Kau benar-benar seorang yang teliti terhadap segala
akibat dari suatu perbuatan. Tetapi khusus muridmu itu,
aku kira ia telah cukup mempunyai persiapan lahir batin.
Mungkin karena pengalaman-pengalamannya serta tekanan-tekanan yang dialami dalam usianya yang masih
muda itu, ia menjadi agak terlampau cepat masak."
Mahesa Jenar mengangguk membenarkan. Memang
pengaruh penghidupan yang dialami, sangat terasa pula
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kematangan jiwa muridnya. Ia dapat berpikir hampir seperti
seorang dewasa dengan menanggapi suatu kejadian,
karena itulah maka tiba-tiba timbul pulalah rasa ibanya
terhadap Arya Salaka yang seakan-akan telah kehilangan
sebagian dari tataran hidupnya, sebagian dari masa
mudanya. Ketika itu terasalah bahwa pagi telah datang. Obor yang
dibawa oleh Kebo Kanigara telah lama padam. Kemudian
mereka melanjutkan menyusur lubang-lubang gua itu
mendekati ruang tempat Arya berlatih. Dari sebuah lubang
mereka dapat mengintip ke dalam ruangan itu. Dari sanalah
Mahesa Jenar itu melihat muridnya. Yang mula-mula
memukul dadanya adalah suatu perasaan haru ketika ia
melihat Arya Salaka menjadi kurus dan pucat. Tetapi
kemudian ia tersenyum. Juga senyum haru. Disamping Arya
Salaka ia melihat seorang pemuda yang gagah, berwajah
bening dan berdada bidang. Ia adalah Putut Karang
Tunggal yang agaknya menemani Arya Salaka.
"Kalau bukan aku dalam perananku sebagai Mahesa
Jenar, anak itulah yang membawa makanan untuk Arya,"
bisik Kebo Kanigara. Mahesa Jenar jadi bergembira ketika ia melihat muridnya
bersahabat dengan Putut yang mengepalai para cantrik itu.
"Mereka berdua mempunyai banyak persamaan," bisik
Kebo Kanigara lebih lanjut, "Keduanya tabah dan penuh
semangat. Karena itu mereka tekun berlatih bersama."
"Berlatih bersama...?" ulang Mahesa Jenar terkejut, "Jadi
Putut Karang Tunggal juga memiliki ilmu yang cukup
tinggi?" Kebo Kanigara mengangguk.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Aku tidak mengira. Ia terlalu halus dan sopan. Muridku
adalah seorang anak yang biasa hidup dalam pergaulan
yang kasar. Diantara para petani dan nelayan," sambung
Mahesa Jenar. Kebo Kanigara tersenyum aneh. "Tetapi karena itulah
muridmu menjadi seorang anak yang jujur, yang tidak
memandang setiap persoalan dengan berbelit-belit," sahut
Kebo Kanigara. "Nah, tunggu sebentar..." ia melanjutkan,
"Mereka pasti sedang mempersiapkan diri untuk berlatih
bersama. Aku mengijinkan Arya Salaka melakukan tanpa
pengawasanku. Dan kepada Putut Karang Tunggal itu pun
aku pesankan agar tidak mengatakan kepada Arya Salaka
siapakah aku sebenarnya."
Mahesa Jenar kemudian berdiam diri. Ia memang
mengharap untuk menyaksikan muridnya berlatih. Ia ingin
mengetahui sampai dimana sekarang tingkat kepandaiannya. Hal itu perlu pula untuk menghilangkan
kesan-kesan yang mungkin timbul, apabila ia telah kembali
kepada anak itu sebagai seorang guru yang pernah
diantarai oleh orang lain tanpa setahu anak itu sendiri.
Benarlah apa yang dikatakan oleh Kebo Kanigara. Sesaat
kemudian ia melihat Arya dan Putut Karang Tunggal
mempersiapkan dirinya untuk memulai dengan latihanlatihan yang berat yang mereka lakukan hampir setiap hari.
Melihat langkah Arya yang sedang pergi ke tengah
ruangan itu pun Mahesa Jenar telah merasakan betapa
perubahan yang terjadi pada muridnya, sehingga ia
semakin lekas ingin mengetahui, gerakan-gerakan yang
akan dilakukan. Kemudian setelah mereka masing-masing bersiap, maka
latihan itupun dibuka dengan sebuah serangan yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mengejutkan dari Putut Karang Tunggal. Mahesa Jenar
sendiri menjadi terkejut pula. Ia sama sekali tidak mengira
bahwa anak yang halus, sopan dan sama sekali tidak
menunjukkan kekasaran jasmaniah itu dapat berbuat
sedemikian. Tetapi yang lebih mengejutkan lagi adalah Arya
Salaka. Ia dengan tangkasnya dapat mengelakkan serangan
itu, bahkan dengan suatu gerak yang sangat lincah ia sudah
memulai dengan serangannya.
Demikian latihan itu semakin lama menjadi semakin
cepat. Selangkah demi selangkah mereka bergeser dari satu
titik ke titik yang lain memenuhi ruangan itu.
Dalam pada itu, terjadilah gelora di dalam dada Mahesa
Jenar. Ia sama sekali tidak menduga bahwa anak muridnya
dapat mencapai tingkat yang sedemikian dalam waktu yang
singkat. Perasaan bangga dan gembira berputar-putar di
seluruh rongga dadanya. Muridnya itu kini benar-benar merupakan banteng muda
yang tangkas dan kuat. Sepasang kakinya yang cepat itu,
suatu waktu dapat tegak diatas tanah bagaikan tonggak
besi yang tak tergerakkan. Tangannya yang hanya
sepasang itu tampak bergerak dengan cepatnya, melingkarlingkar dan mematuk-matuk dengan dahsyatnya. Tetapi
lawannya berlatih bukan pula anak kemarin sore. Iapun
telah menguasai ilmunya hampir sempurna. Karena itu
maka latihan itu berlangsung dengan serunya. Mereka
masing-masing mempunyai kekuatan dalam bentuknya
masing-masing. Arya Salaka ternyata tangguh bukan main.
Tubuhnya cukup kuat dan setiap gerakannya menimbulkan
desir dalam dada Mahesa Jenar. Sedangkan Putut Karang
Tunggal sangat mencengangkannya. Gerakannya semakin
lama menjadi semakin lincah dan cepat. Bahkan kemudian
tubuhnya menjadi seakan-akan sangat ringan dan sekaliSH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sekali seperti terbang ia meloncat-loncat membingungkan.
Namun Arya Salaka dapat menanggapinya dengan baik.
Iapun menjadi seolah-olah memiliki beberapa pasang mata
yang terserak-serak di tubuhnya, sehingga kemana
bayangan itu melontar, ia selalu dapat melihatnya dan
segera menghadapinya. Dalam pada itu, semakin lama Mahesa Jenar dapat
semakin melihat jelas kekuatan-kekuatan yang tersimpan
pada setiap gerak kedua anak muda itu. Bagi A rya Salaka ia
hanya dapat berbangga hati, sebab setiap geraknya adalah
gerak-gerak dari perguruan Pengging ditambah dengan
segala macam pengalaman Arya Salaka yang dipetiknya
dari gerak-gerak alam yang pernah ditekuni bersama, yang
dapat disusunnya sendiri dalam satu senyawa yang serasi.
Tetapi yang semakin mengetuk-ngetuk hatinya adalah
setiap gerakan Putut Karang Tunggal yang cepat lincah itu.
Tiba-tiba Mahesa Jenar seolah-olah melihat kedua anak
muda yang sedang berlatih itu seperti pernah terjadi
belasan tahun yang lalu. Meskipun tidak tepat benar,
namun ia pernah menyaksikan ilmu yang dimiliki oleh Putut
Karang Tunggal itu. Akhirnya ketika ia menjadi semakin
jelas, tergetarlah tubuhnya. Hampir saja ia berteriak
menyebutkan sebuah nama, kalau ia tidak segera teringat
bahwa pada saat itu ia masih belum waktunya
menampakkan diri. Namun bagaimanapun juga ia merasa bahwa kedua anak
muda itu berlatih mirip seperti dirinya sendiri berlatih
bersama sahabatnya pada waktu mudanya, Mahesa Jenar
dan Sela Enom. Dan pada saat itulah ia mendapat kepastian
bahwa anak yang menamakan diri Putut Karang Tunggal itu
pasti ada sangkut pautnya dengan Ki Ageng Sela Enom
yang pada masa kanak-kanaknya bernama Anis. Tetapi
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menilik kedahsyatannya maka ia tidak yakin bahwa anak itu
adalah murid Ki Ageng Sela. Sebab bagaimana tingginya
ilmu Ki Ageng Sela itu, namun ia pasti tidak akan mampu
membentuk Putut Karang Tunggal sampai menjadi anak
yang sedemikian mencengangkan.
Karena itu Mahesa Jenar tidak mau berteka-teki lagi.
Akhirnya iapun bertanya kepada Kebo Kanigara, "Kakang,
siapakah sebenarnya Karang Tunggal itu?"
Kebo Kanigara tersenyum, jawabnya perlahan-lahan,
"Adakah sesuatu yang kau lihat padanya?"
"Ya," sambung Mahesa Jenar. "Aku melihat perguruan
Sela ada padanya." "Tepat," jawab Kebo Kanigara. "Ia adalah murid Ki Ageng
Sela." Mahesa Jenar menarik nafasnya. Namun ia masih
bertanya lagi, "Adakah Ki Ageng Sela mampu membentuk
Karang Tunggal menjadi sedemikian mengagumkan?"
"Ki Ageng Sela yang mana yang kau tanyakan," sahut
Kebo Kanigara. "Kalau yang kau maksud Sela Enom, maka
kau benar, meskipun Sela Enom itupun sekarang telah
mampu melakukan hampir seperti apa yang pernah
dilakukan oleh ayahnya."
"Menangkap petir," potong Mahesa Jenar.
Kebo Kanigara tertawa perlahan. Sambil menganggukangguk ia berkata, "Bukankah ceritera tentang kecakapan
menangkap petir itu sudah dimiliki oleh Sela Enom sejak
mudanya" Agaknya bakat turun tumurun itu tidak perlu
dipelajarinya terlalu lama."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenarpun tersenyum pula mendengar jawaban
itu. "Tidak hanya itu..." Kebo Kanigara meneruskan, "Tetapi
berbagai ilmu yang lain. Ia memiliki kedahsyatan tangan
seperti yang dipancarkan oleh Sasra Birawa. Ki Ageng Sela
menamakannya aji Narantaka."
"Agaknya ia mengagumi tokoh Gatutkaca," potong
Mahesa Jenar. "Mungkin," jawab Kebo Kanigara.
Kemudian mereka berdiam diri. Arya Salaka dan Putut
Karang Tunggal masih sibuk berlatih. Agaknya latihanlatihan serupa itu telah sering dilakukan sehingga
bagaimanapun hebatnya, namun tidaklah sangat berbahaya. Ketika matahari telah tegak di langit, agaknya kedua
anak muda itu merasa telah cukup lama berlatih. Karena
itu, terdengar Putut Karang Tunggal bersiul nyaring, dan
berloncatanlah mereka surut. Meskipun tubuh masingmasing dibasahi oleh peluh yang mengalir deras sekali,
namun wajah-wajah mereka menunjukkan kegembiraan.
Dalam pada itu, sekali lagi terdengar Mahesa Jenar
bertanya, "Kakang Kanigara. Siapakah sebenarnya Karang
Tunggal itu" Bagaimanapun juga aku masih melihat
beberapa kelebihan yang dimilikinya daripada Arya Salaka."
Untuk beberapa lama Kebo Kanigara tidak menjawab. Ia
agaknya menjadi ragu-ragu. Tetapi kemudian terdengar
Mahesa Jenar mendesak, "Aku merasa bahwa anak itu
memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh anak muda pada
umumnya. Cahaya wajahnya yang terang seperti
memancarkan wibawa yang mengagumkan."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Ia juga murid Ki Ageng Sela Sepuh," jawab Kanigara.
"Aku sudah mengira," sahut Mahesa Jenar, "Tetapi
siapakah dia?" "Putut Karang Tunggal," jawab Kanigara pula sambil
tersenyum. "Akh...!" desis Mahesa Jenar. "Kakang Kanigara memang
mempunyai kegemaran berteka-teki. Tetapi teka-teki yang
pertama telah aku tebak dengan tepat. Sekarang aku
menyerah. Sebab pada saat aku meninggalkan Demak, aku
tidak sempat menanyakan kepada Nis Sela, apakah ia
mempunyai murid yang sekaligus menjadi adik seperguruan." "Mahesa Jenar..." bisik Kebo Kanigara bersungguhsungguh, "Kau pasti pernah mengenal anak itu. Bukankah
sepeninggal Adi Kebo Kenanga kau masih beberapa tahun
lagi tinggal di Demak, sebelum keadaan memburuk?"
Mahesa Jenar mengangguk. "Kalau demikian kau pasti mengenalnya," sambung Kebo
Kanigara. "Anak itu adalah anak yang aneh. Sebenarnya ia
tidak betah untuk tinggal terlalu lama di sesuatu tempat. Ia
datang berguru hanya apabila ia inginkan. Ia datang
sewaktu-waktu tanpa aturan. Meskipun
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
demikian kecerdasannya sangat mengagumkan. Ia dapat menguasai
segala ilmu hanya dalam waktu yang sangat singkat.
Sepersepuluh dari waktu yang diperlukan oleh anak-anak
muda yang lain. Bahkan kurang dari itu. Ia datang kemari
mencari aku, untuk minta diri. Ia mendapat nasehat dari
seorang Wali yang terkemuka untuk mengabdikan diri di
Kraton Demak, ketika Wali itu melihatnya menunggui padi
gaga di ladang." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Seorang Wali?" tanya Mahesa Jenar. "Siapakah dia?"
"Seorang yang bertubuh tinggi besar, berikat kepala
Wulung dan berbaju Wulung pula," jawab Kebo Kanigara.
"Sunan Kali Jaga...?" gumam Mahesa Jenar.
"Ya," Kebo Kanigara menegaskan. "Ia baru saja datang
dari Pamancingan di Pantai Selatan menuju ke Demak. Pada
saat itulah ia berkata kepada Putut itu, "Hai anak yang
mendapat anugerah Allah. Pulanglah dan pergilah ke
Demak. Jangan asyik menunggui pagagan, sebab kelak kau
akan menduduki tahta." Demikian nasehat Sunan Kali. Dan
agaknya anak itu akan mencoba memenuhinya. Ia datang
untuk minta diri kepadaku, dan sekedar menambah bekal
bagi masa depannya."
Dada Mahesa Jenar berdebar-debar mendengar ceritera
itu. Seorang yang diramalkan untuk memegang tahta.
"Adakah ia mempunyai hubungan dengan Kakang
Kanigara?" tanya Mahesa Jenar pula.
"Ada," jawab Kanigara. "Dan barangkali aku belum
menyebutkan hubungan itu. Ia adalah putra Adi Kebo
Kenanga." "He..." Mahesa Jenar terkejut. "Putra Kakang Kebo
Kenanga. Adakah dia Si Karebet yang nakal itu."
Kebo Kanigara mengangguk. "Karebet yang kemudian
dikenal bernama Jaka Tingkir setelah ia dipelihara oleh Nyai
Ageng Tingkir, kakak perempuan Nyai Kebo Kenanga."
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Tanpa
disangka-sangka sebelumnya ia akan dapat bertemu
dengan anak kakak seperguruannya. Yang bahkan oleh
seorang Wali yang terkenal diramalkan untuk menjadi raja.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Nah, Kakang..." kata Mahesa Jenar kemudian, "Marilah
kita temui mereka." Kebo Kanigara menggeleng. "Tidak mungkin..." jawabnya. "Muridmu akan menjadi heran melihat ada dua
orang yang menamakan diri Mahesa Jenar."
Mahesa Jenar tertegun. "Lalu bagaimana?" ia bertanya.
"Dan ingat, kau harus membersihkan janggut dan
kumismu di hadapan anak itu, supaya ia mendapatkan
wajah Mahesa Jenar yang sebenarnya tanpa curiga. Akupun
akan berbuat demikian. Tentu saja di tempat lain. Sehingga
apabila aku kemudian bertemu dengan anak itu, ia tidak
akan mengenal aku lagi."
Sekali lagi Mahesa Jenar terpaksa tersenyum, meskipun
ia sebenarnya ingin segera dapat menemui kedua anak
muda itu. Namun bagaimanapun ia terpaksa menuruti
nasehat Kebo Kanigara. Sehari itu Mahesa Jenar menunggu saja. Matahari di
langit rasanya berjalan sangat lambatnya. Seolah-olah
dengan segannya mengarungi langit menurut garis
edarnya. Lingkaran-lingkaran cahayanya yang menembus
lubang-lubang di atas ruang itu dengan lesunya berjalan ke
arah yang berlawanan. Ketika matahari telah condong, Putut Karang Tunggal
meninggalkan Arya Salaka seorang diri. Anak itu oleh
gurunya, yang sebenarnya adalah Kebo Kanigara, dilarang
meninggalkan ruangan itu, sebagai suatu cara berprihatin.
Dan apa yang dicapainya adalah sangat menggembirakan
meskipun kadang-kadang terselip juga beberapa pertanyaan mengenai gurunya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Ketika Putut Karang Tunggal itu hilang ke balik lorong
pintu ruangan itu berbisiklah Kebo Kanigara, "Mahesa Jenar,
kau dapat menemui Karebet. Itu saja dahulu."
"Sekarang?" tanya Mahesa Jenar.
"Ya. Ikutlah aku," jawab Kebo Kanigara. "Muridmu itu tak
akan hilang di situ."
Kemudian Mahesa Jenar melangkah mengikuti Kebo
Kanigara, melingkar sepanjang lubang goa yang gelap, dan
yang sebentar kemudian muncul di sebuah ruangan lain
yang agak lebar pula yang banyak terdapat di sepanjang
saluran goa itu. Di dalam ruangan itu pulalah mereka bertemu dengan
Putut Karang Tunggal yang sedang berjalan keluar. Ketika
ia melihat kedua orang itu, ia terkejut. Tetapi kemudian ia
mengangguk hormat. Katanya, "Selamat sore paman
berdua." "Selamat sore Karang Tunggal. Permainanku sudah
hampir selesai. Ini adalah pamanmu yang sebenarnya,"
sahut Kanigara. Karang Tunggal sekali lagi membungkuk hormat kepada
Mahesa Jenar sambil berkata, "Baktiku untuk Paman
Mahesa Jenar." Mahesa Jenar tersenyum. Ia melangkah maju. Sambil
menepuk bahu anak muda itu ia berkata, "Permainanmu
sudah sempurna Karebet. Ketika aku datang mula-mula di
bukit ini, benar-benar aku tidak menduga bahwa kaulah
yang menamakan diri Karang Tunggal."
"Paman Kebo Kanigara yang mengatur semuanya
bersama Eyang Ismaya," jawab Karang Tunggal.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenar menoleh kepada Kebo Kanigara sambil
berkata, "Untunglah bahwa kepalaku belum pecah
memikirkan permainan kalian yang aneh itu." Kemudian
kepada Karang Tunggal ia meneruskan, "Nah Karebet, kau
sudah banyak mendengar tentang aku, tentang seorang
Wali yang menasehatkan kepadamu untuk mengabdi ke
Demak." Karebet menundukkan kepalanya. Katanya lirih, "Mudahmudahan paman melimpahkan pangestu kepadaku.
Meskipun semuanya itu hanyalah sebuah mimpi yang
cemerlang, namun setidak-tidaknya aku akan dapat
mengabdikan diri pada tanah kelahiran ini."
"Bagus..." sahut Mahesa Jenar, "Kau harus mulai dengan
semangat pengabdian. Jangan kau mulai dengan suatu
tekad yang berlebih-lebihan supaya kau tidak mudah
menjadi kecewa." "Akan aku junjung tinggi segala pesan paman Mahesa
Jenar," jawab Putut Karang Tunggal sambil membungkukkan tubuhnya sebagai suatu pernyataan janji.
Tidak saja kepada Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, tetapi juga
kepada diri sendiri. "Mahesa Jenar..." sela Kebo Kanigara kemudian,
"Bawalah pisauku ini. Sebentar lagi apabila ruanganruangan ini telah gelap, masuklah ke dalam ruang muridmu.
Kau dapat menyusur lubang itu, dan akan sampai ke
dalamnya tanpa cabang yang lain. Aku akan menunggumu
di ruang sebelah ini. Kemudian kita keluar bersama-sama
supaya kau tidak usah mencari-cari jalan."
"Baiklah Kakang," jawab Mahesa Jenar.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Jangan banyak berkata tentang waktu lampau. Ajaklah
ia keluar karena segala sesuatu telah kau anggap cukup."
Kanigara menyambung. "Dan seterusnya kau dapat
menuntunnya dengan suatu cara yang lebih baik dari yang
pernah kau pergunakan."
"Baiklah Kakang," jawab Mahesa Jenar sekali lagi.
"Aku menunggu kau di sebelah. Dari ruangan ini kau
akan dapat melihat sinar obor yang akan segera aku
nyalakan kalau ruangan itu telah gelap benar." Berkata
kanigara pula, "Aku juga selalu datang pada saat-saat
semacam itu, meskipun hanya karena aku harus
menyembunyikan wajahku"
Setelah itu Kebo Kanigara segera melangkah pergi diikuti
oleh Putut Karang Tunggal. Untuk sesaat Mahesa Jenar
mengagumi anak kakang seperguruannya itu, sampai hilang
ke dalam sebuah mulut lubang goa itu.
Kemudian Mahesa Jenar mempersiapkan dirinya untuk
segera menemui muridnya, supaya perasaannya tidak
menggelora. Sesaat kemudian, udara menjadi semakin sejuk.
Semburat merah telah memancar di langit, sebagai sisa-sisa
cahaya matahari yang telah membenamkan dirinya. Ia tidak
sabar untuk menunggu lebih lama lagi, karena itu segera
iapun berjalan menyusur gang sempit menuju ke ruang
dimana Arya Salaka sedang membajakan dirinya.
Ketika ia sampai di mulut gang itu, ia mendengar
langkah-langkah di dalamnya. Agaknya Arya Salaka masih
mempergunakan waktunya untuk berlatih. Sebab di dalam
ruangan yang sepi itu ia benar-benar tidak mau menyianyiakan waktu. Karena itu ia mempergunakan setiap
waktunya untuk melatih diri agar segera dapat dicapai
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
suatu tingkatan yang dikehendaki oleh gurunya. Mula-mula
ia bermaksud demikian agar dapat segera meninggalkan
ruangan yang menjemukan itu, tetapi lambat laun ia
berpendapat lain. Ia semakin menjadi tertarik dan
bersemangat mendalami ilmunya karena ilmu itu sendiri,
bukan karena kejemuan dan kesunyian.
Dengan hati-hati Mahesa Jenar melangkah masuk,
sehingga tidak menimbulkan sesuatu suara yang menarik
perhatian muridnya yang sedang tekun. Apalagi sesaat
kemudian, anak itu agaknya sedang memusatkan segenap
perhatiannya, mengatur jalan pernafasannya, dan disilangkannya satu tangannya di depan dada, satu lagi
diangkat tinggi-tinggi, dan satu kakinya ditekuknya ke
depan. Sesaat kemudian tubuhnya sebagai anak panah
melontar maju, tangannya yang diangkat tinggi-tinggi itu
terayun deras mengarah kepada sebuah batu padas di
dinding goa itu. Maka kemudian terjadilah suatu benturan
yang dahsyat, dan disusul dengan lontaran pecahan batu
padas itu berserak-serakan. Itulah pukulan Sasra Birawa
yang telah dimiliki pula oleh seorang anak sebesar Arya
Salaka. Melihat hasil yang dicapai oleh muridnya itu, hampir
Mahesa Jenar tidak dapat menahan diri. Apa yang
dicapainya dengan cara penurunan ilmu Ki Ageng Pengging
Sepuh, sampai bertahun-tahun itu, dapat dipelajari Arya
Salaka kurang lebih hanya satu bulan saja, dengan cara
penurunan ilmu adik seperguruan gurunya. Karena itu ia
sekarang percaya, bahwa Kebo Kanigara benar-benar
melampaui Ki Ageng Pengging Sepuh, yang kebetulan
adalah gurunya, yang bergelar Pangeran Handayaningrat.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Meskipun demikian, apa yang terlahir dari mulutnya
adalah berbeda sekali dengan perasaannya. Maka katanya
lantang, "Ulangi!"
Arya Salaka terkejut. Segera ia menoleh dan membungkuk hormat kepada gurunya yang dirasanya pada
saat-saat terakhir mempunyai kebiasaan yang jauh berbeda
dengan waktu-waktu sebelumnya. Ketika ia mendengar
gurunya mengucapkan kata-kata itu wajahnya segera
menjadi muram. Ia merasa bahwa apa yang baru saja
dilakukan sama sekali tidak memuaskan gurunya.
"Jelek sekali," gumam Mahesa Jenar, meskipun
sebenarnya hatinya memuji. Sebab apa yang dilakukan Arya
pada waktu itu, sama sekali tidak jauh berselisih dengan
apa yang dapat dilakukannya sebelum ia melakukan samadi
dan menemukan hakekat dari watak setiap unsur gerak dari
ilmunya, sehingga menurut Kebo Kanigara, ia telah dapat
menyamai gurunya sendiri.
Mendengar suara gurunya itu Arya Salaka menundukkan
kepalanya. Ia sangat bersedih bahwa ia mengecewakan.
Melihat sikap Arya, Mahesa Jenar menjadi sangat
terharu. Hampir saja ia meloncat dan membelai kepala
muridnya. Untunglah bahwa ia dapat menahan diri. Sambil
mengatur perasaannya ia berkata, "Arya, lihat batu hitam
itu." Dengan mata yang suram, Arya memandang sebuah
batu hitam sebesar kepalanya dalam keremangan petang,
yang terselip diantara batu-batu padas yang menjorok pada
dinding goa. "Apa yang kau lihat itu" " bentak Mahesa Jenar."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Sebuah batu hitam yang terjepit diantara batu-batu
padas," jawab Arya dengan suara yang dalam.
"Itulah sebabnya kau tidak dapat maju," bentak Mahesa
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jenar pula. "Perhatianmu terpecah-pecah pada semua
masalah yang tak berarti. Aku bilang, lihat batu hitam itu.
Aku sama sekali tidak menanyakan apakah batu itu terjepit
batu padas, atau terletak di atas tanah. Seharusnya kaupun
hanya melihat batu hitam itu. Batu hitam itu saja yang
menjadi pusat perhatianmu. Tidak perduli apakah batu itu
tergantung di langit atau apapun."
Sekali lagi Arya menundukkan kepalanya. Tetapi ia
mendapat suatu petunjuk yang sangat berarti dalam
hidupnya. Bahwa ia tidak boleh memandang setiap masalah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tanpa pemusatan persoalan, sehingga masalah pokoknya
dapat menjadi kabur karena masalah tetek bengek yang
dapat membelokkan perhatiannya.
"Arya..." kata Mahesa Jenar kemudian, "Ulangi, dan
pecahkan batu hitam itu."
Sekali ini Arya Salaka tidak mau mengecewakan gurunya
lagi. Dengan penuh tekad, ia membulatkan perhatiannya,
mengatur pernafasannya. Satu kakinya diangkatnya dan
ditekuknya ke depan, satu tangan menyilang dada, dan
satu lagi diangkatnya tinggi-tinggi. Dengan satu loncatan
yang dahsyat Arya Salaka mengayunkan tangannya diikuti
sebuah teriakan nyaring. Dan, batu hitam yang terjepit
diantara batu-batu padas itupun hancurlah berbongkahbongkah. Sekali lagi Mahesa Jenar terguncang hatinya. Anak itu
benar-benar telah menguasai Sasra Birawa dengan baik
dalam bentuk lahirnya. Tetapi baginya adalah sudah terlalu
cukup. Namun ia masih mencoba menahan perasaannya.
Seakan-akan ia sama sekali tidak menaruh perhatian atas
muridnya itu, tetapi ia bahkan duduk di tengah dengan
enaknya sambil mengeluarkan pisaunya. Dengan tenangnya
Mahesa Jenar mulai mencukur janggut dan kumisnya.
Arya mula-mula tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh
gurunya. Tetapi sikap acuh tak acuh itu telah mengecilkan
hatinya pula, dan disamping itu ia semakin tidak mengerti
pada sifat gurunya yang menjadi aneh dan lain.
Dalam kebimbangan itu, kadang-kadang terselip di sudut
hatinya suatu pertanyaan, apakah orang yang menuntunnya selama ini benar-benar gurunya yang
membawanya mengembara dari satu tempat ke tempat
lain, sejak melarikannya dari Banyubiru" Alangkah jauh
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
bedanya. Sejak ia terpisah di dalam salah sebuah saluran di
dalam goa ini, kemudian tersesat masuk ke dalam ruangan
ini, ia merasakan bahwa gurunya menjadi berubah sifat.
Beberapa hari ia tinggal sendiri didalam ruangan ini, sampai
kemudian gurunya menemukannya disini. Yang mula-mula
di dengar dari mulut gurunya bukanlah pernyataan gembira,
tetapi bentakan-bentakan kasar dan marah. Apakah Mahesa
Jenar dapat berbuat demikian..." Dan apakah dalam
beberapa hari itu, sudah cukup waktu untuk menjadikan
gurunya berwajah gelap oleh kumis dan janggut yang
tumbuh demikian lebatnya..."
Sekarang ia melihat orang yang meragukan itu mencukur
janggut dan kumisnya. Tetapi kemudian ia menjadi kecewa
sekali. Sebab setelah orang yang diragukan itu berwajah
bersih, benarlah, ia adalah Mahesa Jenar. Gurunya yang
membawanya pergi dari Banyubiru. Yang menuntunnya
dengan penuh kasih sayang. Tetapi yang akhir-akhir ini
selalu kecewa kepadanya. Kecewa kepada kelambatannya.
Sampai beberapa saat ia masih saja kaku berdiri
memandangi Mahesa Jenar membersihkan wajahnya.
Sekarang Arya tidak ragu-ragu lagi. Memang orang itulah
Mahesa Jenar. Meskipun ruang itu sudah semakin suram,
namun garis-garis wajah itu sudah sangat dikenalnya.
"Arya..." tiba-tiba ia mendengar gurunya berkata,
"Meskipun tingkat ilmumu masih agak mengecewakan,
tetapi pada saat ini aku sudah menganggap cukup. Kau
sudah dapat melayani Putut Karang Tunggal meskipun
belum seimbang benar. Dan barangkali jarak yang ada di
antara kau berdua tidak semakin pendek, bahkan akan
menjadi semakin jauh, karena Putut itu bukanlah anak-anak
sewajarnya. Apa yang kau pertunjukkan pada saat terakhir
tadi telah menunjukkan kemajuan yang besar selama kau
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
berada di dalam ruang ini. Karena itu, sebentar lagi kau
boleh mengikuti aku keluar dari ruang ini."
Mendengar kata-kata gurunya, Arya menjadi gembira
sekali. Kegembiraan yang hampir tak dapat ditahankan,
sehingga hampir-hampir saja ia menjerit kegirangan. Tetapi
segera ia berusaha sekuat tenaga untuk menahannya. Ia
tidak tahu apakah hal yang demikian itu akan dibenarkan
oleh gurunya. Karena itulah maka, yang terpancar
kemudian hanyalah nyala di matanya. Bahkan mata itu
kemudian menjadi basah. Dan hampir saja Arya Salaka
yang telah mampu memecahkan batu sebesar kepalanya itu
menangis. Untunglah bahwa ruang itu telah menjadi semakin gelap
sehingga Mahesa Jenar tidak lagi melihat mata itu. Tidak
lagi melihat air yang membayang di mata muridnya. Sebab
apabila mata yang sayu itu dilihatnya menjadi basah,
mungkin Mahesa Jenar tidak lagi dapat menahan
perasaannya. Perasaan seorang guru, ia bahkan hampir
seperti perasaan seorang bapa terhadap anak tunggalnya
yang selama ini dibawanya merantau untuk menyelamatkan
dari usaha-usaha untuk membinasakannya.
Tetapi, sekarang Mahesa Jenar melihat kemungkinan
menjadi lain. Anak itu sekarang sudah dapat menjaga
dirinya sendiri, serta mempunyai bekal yang cukup buat
masa depannya. Demikianlah Mahesa Jenar menjadi berbangga atas
muridnya itu. Kalau nanti pada suatu ketika, ia bertemu
dengan Gajah Sora, maka ia akan dapat menyerahkan Arya
Salaka tanpa mengecewakan sahabatnya itu.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sesaat kemudian Mahesa Jenar pun berdiri dan
melangkah keluar ruangan sambil berkata acuh tak acuh,
"Arya, ikutilah."
Sekali lagi kegembiraan melonjak didalam dada Arya.
Segera ia pun mengikuti gurunya dekat-dekat supaya ia
tidak lagi kehilangan jalan.
Kemudian sampailah mereka ke dalam ruangan dimana
Mahesa Jenar bertemu dengan Putut Karang Tunggal waktu
ia berjalan bersama Kebo Kanigara. Benarlah dari ruangan
itu ia melihat bayangan cahaya api. Segera Mahesa Jenar
berjalan menyusur jalan-jalan goa yang sempit ke arah api
itu. Ketika mereka sampai, dilihatnya Putut Karang Tunggal
seorang diri memegangi sebuah obor.
"Selamat sore Paman Mahesa Jenar," sapanya sambil
membungkuk hormat. "Selamat sore Karang Tunggal," jawab Mahesa Jenar.
Mula-mula ia ingin menanyakan di mana Kebo Kanigara.
Tetapi maksud itu diurungkan. Namun bagaimanapun juga
ia menjadi sangat berterima kasih di dalam hatinya, bahwa
untuk kepentingannya serta muridnya, Kebo Kanigara
bekerja keras dan melakukan hal-hal yang aneh. Tetapi
lebih dari pada itu adalah untuk kesuburan persemaian
perguruan Pengging. Sejenak kemudian Putut itu berkata pula, "Paman,
marilah kita tinggalkan goa ini. Ada sesuatu yang penting
yang akan disampaikan oleh Eyang Ismaya."
Mahesa Jenar menjadi beragu. Ia tidak tahu apakah
Putut itu berkata sebenarnya, ataukah hanya merupakan
suatu alasan untuk membawanya keluar dari dalam goa itu.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Karena itu ia berdiam diri sampai Putut itu melanjutkan,
"Seseorang yang baru saja datang kemari ingin bertemu
dengan Paman." "Siapakah dia?" tanya Mahesa Jenar sekenanya.
"Paman Kebo Kanigara," jawab Putut Karang Tunggal.
"Itukah yang penting?" tanya Mahesa Jenar pula.
"Bukan itu saja," jawab Putut Karang Tunggal. "Ada dua
tiga soal yang lain."
Mahesa Jenar tidak menjawab lagi. Dipersilahkannya
Putut yang membawa obor itu berjalan dahulu, kemudian ia
pun mengikutinya bersama Arya Salaka yang masih berdiam
diri saja. Setelah mereka berjalan berliku-liku, akhirnya sampailah
mereka ke ruang yang sering dipergunakannya bermain
para cantrik. Dari sana mereka menerobos sebuah lubang
yang diluarnya tertutup oleh dedaunan yang rimbun.
Demikian mereka tegak di luar goa itu, terasalah udara
malam yang segar memercik ke wajah mereka. Sedang di
atas kepala mereka, bertaburan bintang-bintang yang
berpencaran memenuhi langit yang biru hitam. Seleret
awan putih membujur dari kutub ke kutub seolah-olah
membagi langit menjadi dua bagian. Sedang dari semaksemak di sekitar mereka, terdengarlah bunyi jangkrik
bersautan di antara nyanyi belalang. Bersamaan dengan itu
terlonjak pula hati Arya Salaka, yang merasa telah
menyelesaikan suatu kewajiban yang berat. Kalau mulamula ia menjadi bingung atas kelakuan gurunya, maka
akhirnya ia mengira bahwa hal itu adalah merupakan suatu
tahap yang memang harus dilalui. Tetapi sebenarnya bukan
saja Arya Salaka yang mempunyai perasaan demikian.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenar pun seolah-olah merasa terlepas dari suatu
daerah sepi yang penuh dengan pemerasan keringat dan
pikiran. Mengingat hal itu Mahesa Jenar menjadi tersenyum
sendiri. Apalagi kalau ia dengan sepintas lalu memandang
wajah Arya Salaka. Ia menjadi geli. Anak itu merasa seolaholah telah mendapat gemblengan yang berat dari padanya,
padahal ia sendiri sedang melakukan hal yang serupa.
Menggembleng diri sendiri.
Beberapa lama kemudian sampailah mereka ke rumah
dimana mereka selalu diterima oleh Panembahan Ismaya.
Di dalam rumah itu tampak memancar cahaya pelita
yang berkedip-kedip karena permainan angin pegunungan.
Cahayanya yang kuning kemerahan menembus lubanglubang dinding membuat garis-garis lurus yang berpencaran. Ketika mereka memasuki rumah itu, tampaklah
Panembahan Ismaya duduk di atas batu hitamnya yang
dialasi dengan kulit kayu. Demikian orang tua itu melihat
kehadirannya segera ia bangkit dan menyambut dengan
hormatnya, sambil mempersilahkannya duduk.
"Agaknya Anakmas tidak begitu senang tinggal di dalam
goa yang gelap itu," kata Ismaya kemudian. Ternyata
Anakmas dan Cucu Arya Salaka menjadi kurus.
Mahesa Jenar tersenyum. Ia menjadi agak sulit untuk
menjawab, karena itu katanya, "Tidak Panembahan, kami
senang tinggal di dalam goa itu."
Panembahan tua itu mengangguk-angguk. Lalu sambungnya, "Tetapi aku girang bahwa Anakmas dan Cucu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Arya Salaka tetap segar. Bukankah tiada sesuatu selama
ini?" "Tidak Panembahan," tidak, jawab Mahesa Jenar.
"Demikianlah yang aku kehendaki," sahut Panembahan
Ismaya pula. "Tetapi ketahuilah Anakmas, apa yang
anakmas takutkan ternyata benar-benar terjadi. Orangorang yang mengepung bukit ini menyerbu naik."
Dada Mahesa Jenar tergetar mendengar keterangan itu.
Maka iapun bertanya pula, "Adakah mereka memperlakukan
Panembahan dengan kasar?"
"Tidak begitu kasar," jawab Panembahan Ismaya. "Tetapi
mereka mengaduk hampir segala sudut bukit ini."
"Dan Panembahan tidak memberitahukan itu kepadaku...?" sahut Mahesa Jenar.
"Aku hanya memberitahukan kepada Anakmas kalau
mereka akan menyakiti kami," jawab Panembahan itu pula.
"Tetapi ternyata mereka hanya mencari-cari saja."
Mahesa Jenar akan mendesak pula dengan berbagai
pertanyaan, tetapi diurungkannya ketika ia ingat bahwa di
sini ada Kebo Kanigara dan Putut Karang Tunggal. Sehingga
seandainya Panembahan Ismaya ingin melawannya dengan
kekerasan, maka tidak pula ada perlunya untuk
memanggilnya. Karena itu kemudian ia tidak berkata-kata lagi. Ia bahkan
merasa malu bahwa seolah-olah di bukit kecil itu tak ada
orang lain yang mampu menyelamatkannya selain daripada
dirinya. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Maka untuk beberapa saat suasana menjadi hening sepi.
Desir angin di dedaunan menimbulkan suara lirih seperti
dendang seorang ibu yang menidurkan anaknya.
Maka kemudian kesepian itu dipecahkan oleh suara
Panembahan Ismaya yang berkata, "Anakmas, agaknya
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
malam telah larut. Karena itu beristirahat di pondok lain."
"Baiklah Panembahan," jawab Mahesa Jenar.
"Kalau Anakmas keluar dari ruangan ini, Anakmas akan
melihat rumah di sebelah barat. Di situlah Anakmas
beristirahat," sambung Panembahan Ismaya pula. "Di sana
Anakmas akan beristirahat bersama dengan Kebo
Kanigara." Setelah sekali lagi Mahesa Jenar mengiyakan, maka
melangkahlah ia keluar ruangan itu. Tidak beberapa jauh di
sebelah barat tampak sebuah rumah yang lebih kecil dari
rumah itu. Dari dalamnya memancar pula cahaya api yang
redup. Di dalam rumah itu ditemuinya Kebo Kanigara telah
membaringkan dirinya. Ketika ia melihat Mahesa Jenar
berkatalah ia, "Mahesa Jenar, duduklah. Tutup pintu itu
supaya tidak terlalu dingin. Dan dengarlah aku berceritera."
Mahesa Jenar memandang wajah Kanigara yang
tersenyum-senyum dan sudah bersih pula seperti wajahnya.
Ia menjadi curiga. Tetapi ia melangkah juga menutup pintu
dan kemudian duduk di sampingnya.
"Kau ingat pada waktu aku pertama-tama kau lihat?"
tanya Kebo Kanigara. "Ya," jawab Mahesa Jenar singkat sambil mengangguk.
"Di mana muridmu sekarang?" tanya Kanigara tiba-tiba.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Di rumah sebelah bersama-sama dengan Karang
Tunggal," jawabnya singkat.
"Bagus, suatu kebetulan. Karang Tunggal itu suka sekali
berceritera. Pengetahuannya sangat luas, sebab ia sangat
gemar menyepi dan merantau. Jarang-jarang sekali ia
tinggal di rumah. Sehingga ibu angkatnya, Nyai Tingkir
selalu marah kepadanya." Kanigara berhenti sebentar lalu
meneruskan, "Arya akan senang bersama dia. Lalu
seterusnya mengenai urusanmu. Dengarlah. Kau lihat
bahwa aku pada saat itu atas nama Mahesa Jenar
melarikan seorang gadis?"
Mendengar pertanyaan itu hati Mahesa Jenar berdesir.
Dengan kaku ia mengangguk mengiyakan.
"Gadis itu aku sembunyikan. Sejak malam itu aku belum
pernah menemuinya. Aku takut kalau ia mengenal aku yang
ternyata bukan Mahesa Jenar. Dan aku juga takut kalau
tiba-tiba aku merasa bahwa akulah sebenarnya Mahesa
Jenar itu." Kanigara meneruskan sambil tersenyum. Mahesa
Jenarpun tersenyum pula. Tersenyum kaku.
"Kau harus menemuinya," sambung Kanigara pula.
Mahesa Jenar mengangguk saja tanpa sesadarnya.
"Biarlah anakku mengantarkanmu nanti," kata Kanigara
pula. Mahesa Jenar terperanjat. Sehingga ia pun bertanya,
"Siapakah anak Kakang Kanigara itu?"
"Seorang anak perempuan," jawab Kanigara, "Namanya
Widuri. " "Widuri..." Endang Widuri" Jadi adakah anak itu putri
Kakang Kanigara?" tanya Mahesa Jenar pula.
"Ya," jawab Kanigara singkat.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Aku belum pernah mendengar sebelumnya," kata
Mahesa Jenar. "Adakah anak itu dilahirkan di Demak?"
"Aku meninggalkan Demak sejauh umur anak itu," jawab
Kanigara. "Sebenarnya aku tidak pernah menginginkan
untuk meninggalkan kota itu. Tetapi keadaan memaksa aku
berbuat demikian." Mahesa Jenar mendengarkan dengan penuh perhatian.
Agaknya karena itulah maka Kebo Kanigara belasan tahun
yang lalu lenyap dari pecaturan masyarakat Demak.
Sesaat kemudian Kanigara meneruskan, "Kemudian aku
bawa istriku meninggalkan Demak. Anak itu lahir di
perjalanan. Sedang beberapa tahun kemudian ibunya
meninggal dunia. Untunglah bahwa aku bertemu dengan
seseorang yang kemudian menerima kami tinggal bersama,
Panembahan Ismaya." Terbayanglah di mata Kebo Kanigara, suatu masa yang
pahit di dalam hidupnya. Kehilangan istri pada masa
putrinya masih memerlukan kasih sayang seorang ibu.
"Bahkan beberapa tahun kemudian..." kata Kanigara
pula, "Aku sudah harus mewakili menunggu bukit kecil ini
kalau Panembahan Ismaya harus bepergian jauh untuk
mencari obat-obatan dan menambah kewaskitaannya di
hampir seluruh sudut negeri ini. Dan sejak itu pula tak
pernah menampakkan diriku lagi di antara tata masyarakat
Demak." Kanigara kemudian diam, Mahesa Jenar pun diam.
Betapa hati mereka mengenyam kembali masa-masa yang
silam itu. Masa-masa yang penuh dengan kesedihan bagi
Kebo Kanigara. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tetapi tiba-tiba Kebo Kanigara berkata nyaring, "He, aku
telah membelok dari arah pembicaraan semula. Aku akan
berceritera tentang seorang gadis yang aku larikan, bukan
tentang aku." Mahesa Jenar terkejut juga mendengar arah percakapan
yang tiba-tiba menikung tegak. Sehingga duduknya
tergeser maju. Namun kemudian iapun tersenyum kecut.
Tetapi bersamaan dengan itu denyut jantungnya bertambah
cepat. "Nah Mahesa Jenar..." sambung Kanigara tiba-tiba, "Kau
akan dapat menemuinya bersama Widuri."
Mahesa Jenar tidak menjawab, namun hatinya bergetar
hebat. "Tidak banyak yang harus aku pesankan kepadamu.
Sebab aku tidak pernah berkata satu patah katapun. Karena
itu anggaplah bahwa memang sebelum ini kau belum
pernah bertemu dengannya. Kanigara meneruskan, Kecuali
pada saat kau melarikan malam itu."
Mahesa Jenar Jenar masih belum menjawab. Tetapi
Kanigara pun tidak meneruskan kata-katanya. Dengan
malasnya ia bangkit dan kemudian berjalan mondar-mandir.
Akhirnya ia berhenti dan memasang telinganya baik-baik.
"Kau mendengar suara tembang?" tiba-tiba ia bertanya.
Mahesa Jenar kemudian mencoba menangkap setiap
suara yang menyusup ke dalam pondok kecil itu. Jawabnya
kemudian, "Ya aku dengar. Jauh sekali."
"Kau tahu tembang apa itu?" tanya Kanigara pula.
Sekali lagi Mahesa Jenar memperhatikan suara lagu yang
hanya lamat-lamat sampai. Ketika ia sudah mendapat suatu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kepastian, hatinya menjadi berdebar-debar. "Dandanggula,"
desisnya. "Ya, Dandanggula," ulang Kanigara. "Sudah beberapa
malam berturut-turut aku mendengar lagu itu dari arah
yang berbeda-beda." Tiba-tiba Mahesa Jenar berdiri tegak. Mula-mula ia raguragu untuk mengatakan sesuatu. Tetapi karena sinar mata
Kanigara yang seolah-olah mendesaknya, akhirnya ia
berkata, "aku kenal orang itu."
Kanigara mengangkat alisnya, katanya, "siapakah dia"
"Ki Ageng Pandan Alas," jawab Mahesa Jenar.
"Pandan Alas?" tanya Kanigara pula, tetapi ia tidak
terkejut. "Aku kagumi suaranya. Meskipun ia sudah tua,
namun suaranya masih mengingatkan aku kepadanya
belasan tahun yang lalu. Ia sahabat ayahku."
Mahesa Jenar mengangguk mengiyakan.
"Apakah yang dicarinya?" kata Kanigara kosong,
meskipun ia sudah mengerti jawabnya. Sebab ia tahu betul
bahwa Pudak Wangi, yang nama sebenarnya Rara Wilis,
adalah cucu orang tua itu.
"Ia pasti mengira bahwa aku masih di sini. Dengan
demikian ia mengharap aku datang kepadanya mengembalikan cucunya yang dikiranya benar-benar aku
larikan," jawab Mahesa Jenar.
Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian
ia bertanya, "Nah terserah kepadamu. Apakah gadis itu
akan kau kembalikan apa tidak."
"Kenapa baru beberapa hari ini ia datang?" tanya Mahesa
Jenar, seolah-olah kepada dirinya sendiri.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Mungkin ia menunggu sampai rombongan Sima Rodra
itu meninggalkan bukit ini, setelah mencarimu dengan siasia," jawab Kanigara.
"Tidakkah Kakang menangkap mereka?" tanya Mahesa
Jenar pula. "Aku juga bersembunyi. Panembahan Ismaya tidak mau
melihat pertumpahan darah di atas padepokan Karang
Tumaritis," jawabnya.
Mahesa Jenar tidak bertanya lebih lanjut tentang
gerombolan Sima Rodra dan Jaka Soka. Pikirannya sedang
dikacaukan oleh suara tembang itu. Ia menjadi bimbang,
apakah sebaiknya ia datang menemui atau tidak.
Di dalam kebimbangan itu, ia mendengar suara Dandang
Gula itu semakin jelas. Suara itu tiba-tiba menyusul ke dalam dada Mahesa
Jenar, membawa suatu kenangan pada masa-masa yang
silam. Yang mula-mula diingatnya adalah, Ki Ageng Pandan
Alas pernah marah kepadanya ketika ia meninggalkan Rara
Wilis tanpa pamit. Ia tahu betapa sakit hati orang tua itu,
oleh tuduhannya yang barangkali sama sekali tak beralasan
tentang cucunya. Tetapi bagaimanapun juga, ia merasa
bahwa tidak enaklah rasanya menerima kemarahan itu.
Didalam kesepian malam itu, semakin mengumandanglah
suara Ki Ageng Pandan Alas. Seorang tokoh sakti sahabat
gurunya yang pernah kecewa terhadapnya. Namun tiba-tiba
diingatnya pula, pertama kali ia mendengar suara itu. Pada
saat jiwanya sudah berada di ujung tangan seorang tokoh
hitam yang menamakan dirinya Pasingsingan, yang
sebenarnya bernama Umbaran, maka terdengarlah suara
itu. Dan karena suara itu pula agaknya Umbaran
mengurungkan niatnya untuk membunuhnya. Karena itu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tiba-tiba terasalah bahwa bagaimanapun juga orang tua itu
pernah menyelamatkannya. "Aku akan datang kepadanya," gumamnya seolah-olah
belum merupakan suatu kepastian.
Kanigara tersenyum. "Datanglah. Jangan kau bawa
dahulu cucunya. Barangkali ada beberapa hal yang akan
kau bicarakan dengan orang tua itu. Sebab sepengetahuanku, ada orang ketiga yang berdiri diantara
kau dan gadis itu," katanya.
Mahesa Jenar memandang Kanigara dengan tajamnya. Ia
agak heran mengapa orang itu mengetahui hampir segala
seluk beluk hidupnya. Tetapi ia tidak bertanya sesuatu ketika dilihatnya
Kanigara tersenyum sambil berkata pula, "Jangan
memandang aku begitu tajam. Aku jadi takut karenanya.
Nah, pergilah. Kalau kau tak keberatan aku akan ikut serta."
"Tidak, sama sekali tak keberatan," jawab Mahesa Jenar.
"Akulah satu-satunya orang yang berhak jadi wakil orang
tuamu," sambung Kanigara sambil tertawa pendek.
"Ah..." Mahesa Jenar tidak meneruskan.
"Kenapa kau mengeluh?" tanya Kanigara seperti
bersungguh-sungguh. "Tidak," sahut Mahesa Jenar. "Suara tertawa Kakang
yang lunak itu amat memusingkan kepalaku."
Sekali lagi Kanigara tertawa. "Ayolah," katanya.
Maka pergilah mereka berdua, menembus hitam malam
ke arah suara Ki Ageng Pandan Alas yang seolah-olah
melingkar-lingkar menyusur lereng-lereng bukit Karang
Tumaritis. Tetapi karena telinga Kanigara dan Mahesa Jenar
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sedemikian tajamnya, maka segera mereka mengetahui
darimana datangnya sumber suara itu.
Ketika jarak mereka sudah tidak begitu jauh lagi, segera
mereka berhenti. Mereka menunggu sampai Pandan Alas
selesai dengan lagunya. Tetapi agaknya orang tua itu sudah
mengetahui kehadirannya, sehingga belum lagi kalimat
yang terakhir diucapkan ia sudah berhenti. Perlahan-lahan
ia bangkit dari tempat duduknya, seonggok batu padas.
Sapanya, "Agaknya kau datang juga Mahesa Jenar."
Mahesa Jenar dan Kanigara bersama-sama berdiri sambil
membungkuk hormat. Sebelum mereka menjawab Pandan Alas meneruskan,
"Sudah beberapa hari aku mencarimu dengan caraku ini.
Sebab aku yakin bahwa kau sudah mengenal suaraku."
"Baru sekarang aku dapat datang Ki Ageng," jawab
Mahesa Jenar. "Maafkanlah, mudah-mudahan aku tidak
mengecewakan." Pandan Alas tertawa pendek. Kemudian iapun duduk pula
diatas sebuah batu. "Duduklah," katanya. "Mungkin
percakapan kita tidak segera selesai."
Mahesa Jenar dan Kanigara pun segera duduk pula di
muka orang tua itu. Di dalam gelap malam, terasalah
bahwa Ki Ageng Pandan Alas sedang mencoba mengetahui
siapakah kawan Mahesa Jenar itu. Namun agaknya ia belum
mengenalnya sehingga akhirnya ia bertanya, "Mahesa
Jenar, tidakkah aku kau perkenalkan dengan sahabatmu
itu?" Mahesa Jenar tersadar dari kekeliruannya. Tetapi
sebelum ia menjawab, Kanigara sudah mendahului. "Baiklah
aku memperkenalkan diriku Ki Ageng. Aku adalah salah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
seorang sahabat Panembahan Ismaya. Namaku Putut
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Karang Jati." Pandan Alas mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian katanya, "Aku bernama Pandan Alas"
"Aku sudah emndengar nama tuan. Nama yang
mengumandang di sekitar daerah ini. Bukankah tuan yang
memiliki keris Kiai Sigar Penjalin?"
Sekali lagi Pandan Alas tertawa. Jawabnya, "Kau benar.
Keris yang sama sekali tak berarti itu"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Ki Ageng memang suka merendahkan dirinya" sahut
Mahesa Jenar. Pandan Alas menggelengkan kepalanya. Kemudian
dengan bersungguh-sungguh ia berkata, " Mahesa Jenar,
mungkin kau telah mengetahui, buat apa aku datang
kemari. Semula, aku mendengar kabar, bahwa cucuku
ditangkap oleh Sima Rodra. Aku mencoba untuk
membebaskannya bersama-sama dengan Sarayuda. Tetapi
kemudian kau membuat suatu keajaiban. Karena ternyata
aku dan Sarayuda bersama-sama tidak mampu menolongnya. Sekarang aku datang untuk mengucapkan
terima kasih kepadamu"
Mulut Mahesa Jenar menjadi seolah-olah terbungkam.
Apakah yang akan dikatakannya" Sedang orang yang
melakukan semuanya itu duduk di sampingnya. Kebo
Kanigara. Agaknya, Kebo Kanigara merasakan juga kesulitan
Mahesa Jenar itu, sehingga ia pun berusaha menolongnya.
Katanya kepada Mahesa Jenar, "Memang luar biasa. Adakah
tuan waktu itu bertempur melawan selian orang-orang itu?"
Mahesa jenar dengan kaku menggelengkan kepalanya.
Jawabnya, "Tidak. Aku sama sekali tidak bertempur. Aku
hanya melarikan diri saja"
Kitab Mudjidjad 17 Pendekar Sakti Dari Lembah Liar Karya Liu Can Yang Pedang Golok Yang Menggetarkan 13
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama