Ceritasilat Novel Online

Naga Sasra Dan Sabuk Inten 2

Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja Bagian 2


diadakan di halaman itu, dengan mengharap-harap sekali
waktu ada orang yang dapat mengalahkan, syukur
mengubur kelima iblis penghuni rumah itu. Tetapi sampai
sekarang, kalau ada orang yang menuntut istri atau
anaknya, dan terpaksa melewati pertandingan di arena itu,
tentu dibinasakan dengan kejamnya. Sedang istri atau anak
mereka, malahan menjadi barang taruhan yang makin tak
berharga. Hal ini, Demang Pucangan sendiri tak dapat mengatasinya. Dan tak seorangpun berani melaporkan
kepada atasan yang berwenang. Sebab dengan perbuatannya itu nyawanya jadi terancam.
Kembali kali ini akan ada sebuah pertandingan. Orang
sudah menduga bahwa hal ini tentu berhubungan dengan
hilangnya Nyi Wirasaba. Tetapi siapakah yang akan
memasuki arena". Ayahnya, Ki Asem Gedekah" Atau salah
seorang muridnya" Atau siapa"
Sementara itu Mahesa Jenar masih enak-enak tidur.
Berbareng matahari semakin tinggi, Ki Asem Gede semakin
gelisah. Adalah di luar dugaannya kalau pada saat itu salah
seorang pelayan Samparan masuk ke gandok itu dengan
membawa hidangan minuman dan makanan. Rupanya
mereka akan menunjukkan bahwa mereka adalah orang
yang baik hati, serta perbuatannya itu betul-betul untuk
kepentingan penduduk setempat.
Dengan ketajaman hidung seorang ahli obat-obatan, Ki
Asem Gede mencium minuman dan makanan itu, kalaukalau ada semacam racun atau obat bius di dalamnya,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tetapi ketika menurut pendapatnya tak terdapat apa-apa
maka sedikit demi sedikit ia mencoba mencicipinya sebelum
Mahesa Jenar bangun, yang tentu akan minum dan makan
juga. Rupanya minuman dan makanan itu benar-benar
bersih. "Rupanya Watu Gunung begitu yakin akan memenangkan pertandingan ini seperti yang sudah-sudah,"
pikir Ki Asem Gede. Sementara itu Mahesa Jenar telah menggeliat bangun.
Dengan tangannya ia menggosok-gosok matanya yang
nampak merah kurang tidur. Ketika ia melihat adanya
beberapa macam hidangan, ia memandang Ki Asem Gede
dengan penuh pertanyaan. KI Asem Gede tahu bahwa
Mahesa Jenar ragu-ragu, sehingga ia segera menjelaskan,
"Anakmas, kita telah mendapat kehormatan untuk
menikmati masakan dari Pucangan. Aku, sebagai orang
yang mendalami masalah obat-obatan, telah meyakinkan
bahwa makanan ini bersih dari racun maupun obat bius dan
malahan aku pun telah mencicipinya."
Mendengar keterangan itu Mahesa Jenar menjadi tak
ragu-ragu lagi. Cepat tangannya menyambar mangkuk
minuman dan segera minum beberapa teguk teh hangat,
disusul beberapa potong makanan. Segera setelah itu,
tenaganya terasa telah pulih kembali, setelah semalam
tidak tidur dan berkuda sekian jauhnya.
Berita akan adanya pertarungan di halaman rumah
Samparan itu segera meluas. Beberapa orang yang pergi ke
pasar bergegas untuk segera pulang, supaya dapat
menyaksikan pertandingan itu. Sedang beberapa orang
yang merasa mempunyai sedikit kekuatan, mencibirkan
bibir, bahwa orang yang berani mencoba melawan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
rombongan Samparan adalah orang yang telah jemu hidup.
Padahal orang-orang itu sendiri pun tidak mampu
melawannya. Sedang orang yang diributkan, pada saat itu sama sekali
tak menghiraukan kesibukan orang-orang di halaman. Pada
saat-saat semacam itu, ia merasa perlu menenangkan
pikiran dan memusatkan tenaga. Seperti biasa, Mahesa
Jenar sama sekali tak pernah meremehkan lawannya.
Sebab sikap yang demikian akan menghilangkan kehatihatiannya. Ketika matahari sudah agak tinggi, selesailah segala
persiapan. Para penonton telah banyak, mengelilingi arena.
Sebentar kemudian terdengar kentongan dipukul orang lima
kali - lima kali berturut-turut. Suaranya memencar
menghantam dinding-dinding jurang dan tebing pegunungan, yang kemudian dilemparkan kembali. Menggema seperti aum harimau kelaparan mencari makan.
Demikianlah suara kentongan itu lima kali-lima kali
berutrrut-turut bagi orang-orang Pucangan, seolah seperti
suara malaikat pencabut nyawa yang memanggil-manggil
korbannya. Kemudian keluarlah dari pendapa rumah itu, Samparan
beserta empat orang kawannya. Masing-masing dengan
pakaian yang hampir sama. Celana hitam sampai lutut, kain
lurik merah soga, sabuk kulit ular bertimang emas, dan
berikat kepala merah soga pula, tanpa baju.
Kelima orang itu langsung menuju ke arena. Orang-orang
yang berkerumun bersibak memberi jalan.
Sementara itu Mahesa Jenar juga sudah dipanggil.
Seperti orang yang segan-segan, ia berjalan bersama Ki
Asem Gede menuju ke arena. Pakaiannya adalah pakaian
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kusut, dan habis dipakai tidur tadi. Meskipun ia bernama
Mahesa Jenar, anehnya ia suka warna-warna hijau. Kainnya
lurik berwarna hijau gadung. Ikat kepala dan bajunya juga.
Mahesa Jenar dengan acuh tak acuh menjawab,
"Selamat pagi Watu Gunung, aku sengaja tidak mandi,
sebab aku takut kalau airmu memperlemah semangatku,
sehingga aku tak dapat melayani permainanmu dengan
baik." Melihat Mahesa Jenar, beberapa orang mulai menilainilai. Memang agak aneh bagi mereka. Begitu tenang dan
sama sekali tidak gugup. Dipandang dari segi ketegapan
tubuhnya, ternyata Watu Gunung lebih tinggi sedikit dari
lawannya, serta otot-ototnya tampak lebih kuat. Umurnya
pun tampaknya tak terpaut banyak. Tetapi, orang-orang
yang sedang sibuk menilai itu menjadi bingung. Mereka
sama sekali tak menemukan satu hal pun dari Mahesa Jenar
yang dapat melebihi lawannya. Tingginya, besarnya, ototototnya dan segalanya. Tetapi ketika mereka memandang
matanya seakan-akan mereka menjadi yakin kalau Mahesa
Jenar akan memenangkan pertarungan ini. Mereka sama
sekali tak sampai pada pikiran bahwa mata yang terangcemerlang itu memancarkan suatu kebesaran pribadi yang
tak ada bandingnya. Hal ini rupanya dirasakan juga oleh
Samparan dan kawan-kawannya, sehingga ketika Watu
Gunung bertemu pandang dengan Mahesa Jenar, hatinya
berdegup keras dan cepat-cepat ia melemparkan pandangannya. Dengan gugup untuk menutupi kerisauan
hatinya, Watu Gunung berteriak, "Kakang Samparan,
senjata apa yang pantas aku pakai?"
Samparan yang tak mengira akan mendapat pertanyaan
itu dengan sekenanya saja menjawab, "Apa yang kau pilih!"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Kembali Watu Gunung jadi kebingungan, dan untuk
mengatasinya, ia ingin mencari jawab pada lawannya dan
sekaligus untuk lebih merapati kegelisahannya, katanya,
"Mahesa Jenar, senjata apakah yang kau ingin pakai?"
Mahesa Jenar merenung sebentar, kemudian jawabannya
makin menjadikan Watu Gunung kebingungan. "Watu
Gunung... senjata adalah barang yang berbahaya. Sedang
permainan ini hanya sekadar untuk menentukan pihak
manakah yang dibenarkan Tuhan. Karena itu aku
menganggap bahwa aku tak ingin mempergunakan
senjata." Watu Gunung menjadi semakin keripuhan, apalagi
ketika Mahesa Jenar menyambung, "Tetapi meskipun
demikian, kalau kau ingin mempergunakan senjata, kalau
itu sudah menjadi kebiasaanmu, aku sama sekali tak
keberatan, sedangkan bagiku sendiri senjata itu hanya akan
merepotkan saja." Muka Watu Gunung menjadi merah seperti darah. Malu
dan marah bercampur aduk. Belum pernah ia direndahkan
sedemikian. Dan sekarang orang yang tak bernama itu
berani berbuat demikian. Maka dengan suara lantang penuh
kesombongan dan kemarahan, ia menjawab, "Aku bukanlah
bangsa pengecut yang hanya berani bermain dengan
senjata. Kalau aku bertanya tentang senjata itu maksudku
sudah tegas, berkelahi sampai salah satu diantara kita mati.
Tetapi kalau kau takut melihat tajamnya senjata, baiklah
aku juga tidak akan bersenjata, sebab dengan tanganku ini
aku akan dapat mematahkan lehermu."
Orang yang mendengar ucapan ini bulunya berdiri. Watu
Gunung sudah terkenal kehebatannya dan kekejamannya.
Apalagi ia sekarang dikendalikan oleh kemarahan yang
besar. Tetapi hal itu bagi Mahesa Jenar adalah suatu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
keuntungan. Sebab dengan kemarahan itu Watu Gunung
akan kehilangan sebagian dari pengamatan dirinya.
Sementara itu Watu Gunung sudah berteriak, "Mahesa
Jenar marilah kita mulai." Mahesa Jenar segera mempersiapkan diri. Ia tidak mau dikenai oleh serangan
yang pertama kali dan digerakkan oleh hawa kemarahan,
yang tentu akan menambah kekuatan lawannya.
Dan apa yang diduga oleh Mahesa Jenar adalah benar.
Belum lagi mulutnya terkatub rapat, Watu Gunung sudah
meloncat maju dan langsung menyerang ulu hati Mahesa
Jenar. Serangan itu begitu garang nampaknya seperti
harimau menerkam mangsanya. Orang-Orang yang menyaksikan pertarungan itu, darahnya sudah tersirat
sampai ke kepala. Tetapi Mahesa Jenar yang sudah
bersiaga, cepat menarik kaki kirinya ke belakang dan
memutar sedikit tubuhnya, sehingga pukulan itu tak
mengenai sasarannya. Gagal dari serangan pertama ini
Watu Gunung menyerang pula dengan kakinya ke arah
perut Mahesa Jenar, tetapi juga seperti serangannya yang
pertama. Serangan ini pun dengan mudahnya dapat
dihindarkan. Melihat kedua serangannya itu menyentuh
pakaian lawan pun tidak, Watu Gunung menjadi semakin
marah. Kembali ia membuka serangan dengan tangannya
ke arah dada, dan sekaligus mempersiapkan tangan yang
lain untuk menutup jalan menghindar. Rupa-rupanya
serangan ini hampir berhasil mengenai lawannya. Tetapi
pada saat terakhir ketika tangannya sudah berjarak setebal
jari dari dada, Mahesa Jenar segera menarik tubuhnya ke
belakang dengan satu loncatan yang cepat, ia menghindar
ke arah sebelah dari tangan yang lain. Watu Gunung
menjadi semakin uring-uringan. Dan meluncurlah kemudian
serangan-serangan yang cukup dahsyat. Tetapi beberapa
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
orang telah menjadi cemas. Sebab dalam pandangan
mereka, Mahesa Jenar selalu terdesak. Pada saat terakhir,
Mahesa Jenar merasa betul-betul terdesak. Memang
lawannya pada saat itu tidaklah dapat dianggap ringan,
meskipun belum sekuat Mantingan, tetapi Watu Gunung
mempunyai keistimewaan juga. Ia begitu percaya kepada
kekuatan jarinya, sehingga berkali-kali ia menyerang
dengan menyodok perut, kening dan mata.
Maka timbullah keinginan Mahesa Jenar untuk menguji
kekuatan daya tahan lawannya. Ketika pada suatu saat
pertahanan dada Watu Gunung terbuka, cepat-cepat
Mahesa Jenar mempergunakan kesempatan ini. Seperti
seekor burung menyambar belalang, ia pergunakan sisi
telapak tangannya untuk menghantam dada lawannya.
Serangan itu begitu mendadak dan cepat sehingga
lawannya tak sempat menghindarinya. Merasa kena
hantaman di dadanya, cepat-cepat Watu Gunung mundur
selangkah. Mulutnya meringis sebentar menahan sakit.
Tetapi oleh daya tahan badannya, segera rasa sakit itu
hilang.

Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mengalami hal ini, Watu Gunung malahan sekali lagi
meloncat mundur, dan aneh sekali, ia tidak bersiap-siap
untuk menyerang atau bertahan, malahan ia berdiri di atas
kedua kakinya yang direnggangkan dan kedua tangannya
bertolak pinggang. Melihat sikap yang demikian, Mahesa Jenar pun menjadi
tertegun heran. Tetapi menghadapi sikap ini ia tidak berani
gegabah, sebab siapa tahu bahwa sikap ini adalah suatu
sikap untuk mengelabuinya dan memancingnya dalam
suatu keadaan yang tak menguntungkan. Ia menjadi
semakin heran ketika tiba-tiba Watu Gunung tertawa keras
dengan suaranya yang nyaring. Begitu kerasnya ia tertawa
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sampai menimbulkan getaran-getaran di dada orang yang
mendengarnya. Sebaliknya para penonton yang melihat Watu Gunung
bersikap demikian, seketika tubuhnya menjadi gemetar.
Sebab dengan demikian Watu Gunung sudah menemukan
suatu kepastian bahwa dalam waktu singkat ia pasti akan
dapat menghancurkan lawannya. Dan, biasanya dipegangnya kedua kaki lawannya itu, diputar di udara, dan
dengan sekali tetak dihantamkan pada pohon sawo di tepi
arena itu sehingga kepalanya menjadi pecah berserakan.
Melihat hal itu, Ki Asem Gede ikut menjadi cemas. Ia
melihat nyata-nyata bahwa pukulan Mahesa Jenar tepat
mengenai dada, tetapi pukulan itu tak mengakibatkan apaapa. Tetapi melihat ketenangan Mahesa Jenar, Ki Asem
Gedepun menjadi agak tenang pula. Satu kesalahan dari
Watu Gunung dan para penonton pertarungan itu adalah
bahwa mereka tidak menyadari kalau pukulan Mahesa Jenar
itu hanya mempergunakan sebagian kecil dari seluruh
kekuatannya. Dengan melihat akibat dari pukulan
percobaan itu, Mahesa Jenar dapat mengukur bahwa kalau
ia mempergunakan tigaperempat saja dari kekuatannya,
dada Watu Gunung itu sudah pasti akan rontok.
Ketika suara tertawa dari Watu Gunung makin menurun,
para penonton pun menjadi semakin gelisah. Sebab,
demikian suara itu berhenti, demikian Watu Gunung akan
menyerang dengan dahsyatnya tanpa menghiraukan
hantaman lawan. Dan biasanya pada waktu yang singkat ia
telah berhasil meringkus kaki lawan itu dan membenturkan
kepalanya di pohon sawo. Berbeda dengan semua pikiran-pikiran itu, tiba-tiba
Mahesa Jenar mendapat kesan yang aneh dari suara
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tertawa itu. Ia jadi terkenang pada suatu peristiwa yang
sangat memalukan dan hampir-hampir menjatuhkan
namanya. Peristiwa itu terjadi beberapa waktu yang lalu
ketika ia masih menjabat sebagai perwira pasukan
pengawal raja. Pada saat Demak sedang membentuk dirinya dan
memperkokoh kedudukannya, di mana dibutuhkan kekuatan yang sebesar-besarnya, maka di daerah pantai
selatan berdirilah suatu himpunan dari beberapa tokohtokoh sakti dari golongan hitam yang ingin mempergunakan
kesempatan untuk kepentingan diri sendiri serta golongannya. Gerombolan ini diketuai oleh seorang yang
sakti dan berkekuatan luar biasa, yang menamakan dirinya
Lawa Ijo. Sehingga gerombolan itu pun kemudian lazim
disebut gerombolan Lawa Ijo. Pada masa jayanya, Lawa Ijo
mempunyai daerah pengaruh yang luas di daerah selatan
sepanjang pantai sampai ke daerah Bagelen dan Banyumas.
Menurut kabar, gerombolan ini bersarang di hutan Mentaok.
Demikian merasa dirinya begitu kuat, sampai Lawa Ijo
sendiri beserta beberapa orang kepercayaannya berani
melakukan pengacauan di ibukota kerajaan Demak.
Meskipun pasukan keamanan sudah dikerahkan namun
Lawa Ijo tak pernah bisa dijumpai, kecuali hanya bekasbekas perbuatannya yang kadang-kadang tak mengenal
perikemanusiaan, dan tanda-tanda pengenal yang sengaja
ditinggalkan, yaitu secarik kain yang bergambar seekor
kelelawar berwarna hijau dan berkepala serigala diikatkan
pada sebilah pisau, yang agak panjang.
Bahkan kekurangajarannya memuncak lagi dengan
usahanya memasuki kamar perbendaharaan istana, dimana
disimpan harta kekayaan istana beserta benda-benda untuk
upacara yang terbuat dari emas, berlian dan permataSH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
permata lainnya. Adalah suatu aib yang tercoret di muka
para pengawal istana, kalau pada saat itu tak seorang pun
yang mengetahui bahwa lima orang gerombolan Lawa Ijo
yang dipimpin oleh Lawa Ijo sendiri sampai dapat memasuki
halaman istana bagian dalam.
Untunglah bahwa pada saat-saat dimana gerombolan
Lawa Ijo sedang mengganas, pasukan pengawal istana
telah mengambil langkah-langkah
seperlunya untuk menghadapi segala kemungkinan. Sehingga tiap malam
tidak hanya para prajurit yang bertugas ronda keliling,
tetapi juga para perwira. Malam itu adalah malam dimana
Mahesa Jenar sedang mendapat giliran bertanggungjawab
pada keselamatan raja serta istana seisinya. Dan justru
pada malam itu pulalah gerombolan Lawa Ijo bertindak.
Pada malam itu kira-kira hampir tengah malam, Mahesa
Jenar di ruang penjagaannya merasakan angin aneh bertiup
perlahan-lahan. Begitu nyamannya sampai para perajurit
merasa kantuk dengan tiba-tiba dan bahkan menjadi tak
kuat lagi menahan matanya. Mahesa Jenar sendiri merasa
bahwa ia pun tak luput dari serangan itu. Tetapi ia adalah
seorang perajurit yang berpengalaman. Begitu ia merasakan suatu ketidakwajaran, hatinya menjadi curiga.
Meskipun demikian ia tidak segera bertindak. Mula-mula ia
pusatkan kekuatan batinnya untuk melawan akibat angin
yang aneh itu, sehingga lambat laun ia berhasil
mengatasinya. Kemudian ia sendiri pun berpura-pura
merebahkan diri di samping seorang perwira bawahannya
yang sudah hampir tak kuat lagi menahan kantuknya.
Tetapi begitu Mahesa Jenar berbaring, lalu berbisiklah ia
perlahan-lahan sekali kepada perwira bawahannya itu. "Adi
Gadjah Alit, rupa-rupanya dirimu telah terkena sirep.
Sadarlah dan cobalah melawan."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mendengar bisikan Mahesa Jenar ini, Gadjah Alit menjadi
seperti tersadar dari kantuknya. Cepat-cepat ia pun
memusatkan seluruh kekuatan batinnya dan dengan sekuat
tenaga ia melawannya. Akhirnya ia pun sedikit demi sedikit
berhasil menguasai dirinya kembali. Ketika Mahesa Jenar
melihat bahwa Gadjah Alit telah dapat menguasai dirinya,
kembali ia berkata, "Adi Gadjah Alit, rupa-rupanya ada
sesuatu yang tidak wajar di dalam istana ini. Aku kira
sebagian besar penjaga sudah terlibat dalam cengkeraman
sirep itu. Tetapi baiklah kita tidak usah ribut. Marilah kita
berdua berusaha untuk menguasai keadaan."
"Lalu apa yang harus aku lakukan kakang Rangga
Tohjaya?" tanya Gadjah Alit.
"Dengan berpura-pura tidur, mereka tentu tidak mengira
kalau kita tengah mengadakan penyelidikan. Marilah kita
berpencar. Lewat pintu belakang dari ruangan ini. Kau pergi
ke utara dan aku ke selatan. Kalau salah satu diantara kita
melihat hal yang mencurigakan dan kiranya kita masingmasing seorang diri tak mampu mengatasi, sebaiknya kita
memberi tanda dengan sebuah suitan."
"Baiklah kakang Rangga," jawab Gadjah Alit.
Dan setelah beberapa saat tak terjadi apa-apa, perlahanlahan dan berhati-hati sekali mereka berdua menyelinap
pintu belakang ruang jaga dengan tidak membangunkan
seorang pun, agar orang yang bermaksud jahat itu sama
sekali tak menduga bahwa diantara sekian banyak penjaga
itu ada yang terluput dari sirepnya.
Dengan berlindung pada bayang-bayang dan batangbatang tanaman mereka berdua menyelidiki keadaan taman
itu dengan seksama. Gadjah Alit ke utara, sedangkan
Mahesa Jenar atau Rangga Tohjaya ke selatan. Beberapa
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
lama mereka tak menemukan tanda apa-apa. Malahan
halaman dalam istana itu rasanya jauh lebih sepi dari
biasanya. Tapi Mahesa Jenar dan Gadjah Alit adalah orangorang yang penuh dengan pengalaman dan mempunyai
ketajaman batin yang luar biasa. Mahesa Jenar yang
meskipun pada waktu itu belum melihat adanya sesuatu
yang mencurigakan, tetapi ia sudah mendapat firasat
bahwa ia telah berdekatan dengan apa yang dicarinya.
Itulah sebabnya ia segera diam menenangkan diri di
belakang sebuah tanaman yang agak rimbun. Dipusatkannya segala perhatiannya ke
suasana di sekelilingnya. Angin aneh yang ternyata adalah mengalirnya
kekuatan sirep dari seseorang yang cukup kuat ilmu
kebatinannya, masih saja bertiup. Bahkan daya sirep itu
demikian kuatnya sehingga baik Mahesa Jenar maupun
Gadjah Alit harus tetap menyediakan sebagian perhatianya
untuk tetap melawan pengaruhnya. Dengan mengukur
kekuatan angin aneh itu, Mahesa Jenar sedikit banyak
dapat menjajaki sampai dimana kehebatan orang yang
memasangnya. Dengan demikian Mahesa Jenar harus betulbetul waspada, sebab ia tahu betul bahwa orang yang
memasang sirep itu tentulah seorang yang mempunyai
kesaktian tinggi. Dari tempat persembunyiannya Mahesa
Jenar dapat melihat bahwa tiga orang yang bertugas jaga di
sudut dinding halaman itu telah tertidur semuanya.
Tombaknya disandarkan pada dinding halaman, dan
mereka bertiga begitu saja menggeletak tidur di atas
rumput. Maka setelah agak lama Mahesa Jenar menanti,
datanglah saat yang menyebabkan denyut jantung Mahesa
Jenar bertambah cepat. Karena pendengarannya yang
sangat tajam itulah maka ia mendengar suara berdesir di
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
atas atap balai perbendaharaan istana. Ketika dengan
matanya yang setajam telinganya itu pula ia mengamatamati arah suara itu, darahnya jadi tersirap. Dilihatnya
samar-samar bayangan yang berkerudung hampir seluruh
tubuhnya berjalan mengendap-ngendap. Tiba-tiba bayangan itu berhenti hanya beberapa depa saja di
atasnya. Mahesa Jenar segera mengatur jalan nafasnya
supaya tidak didengar oleh bayangan itu. Dan memang
rupa-rupanya bayangan itu sama sekali tidak mengerti
kalau di bawahnya bersembunyi seseorang.
Bayangan itu kemudian berdiri dan terdengarlah suatu
suitan nyaring. Setelah itu ia berdiri tegak sambil
memandang ke arah sudut pagar halaman. Tiba-tiba
muncullah berturut-turut, hampir seperti seekor berati yang
terbang dan hinggap di atas dinding pagar yang tingginya
satu setengah kali tinggi orang. Dan kemudian terdengarlah
tawa itu. Bayangan di atas balai perbendaharaan itu
memperdengarkan suara tertawa yang walaupun tidak
keras tetapi memancarkan suatu pengaruh yang luar biasa,
sehingga seseorang yang mendengarnya hatinya menjadi
begitu pedih seperti mendengar rintihan hantu kubur.
Bukan itu saja. Keempat bayangan yang muncul kemudian
itu memperdengarkan suara tertawa yang sama, sehingga
terpaksa Mahesa Jenar harus segera dengan kekuatan
batinnya menutupi lubang-lubang pendengaran hatinya
untuk tidak menerima pengaruh jahat dari suara itu.
Kemudian keempat orang itu meloncat dengan gaya seperti
seekor burung, turun ke halaman. Seperti terapung di
udara, mereka berlari ke arah bayangan di atas atap itu.
Sementara itu dari arah lain Mahesa Jenar melihat
bayangan seorang yang pendek bulat berlari seperti batu
berguling-guling masuk jurang begitu cepatnya ke arah
empat bayangan itu. Belum lagi Mahesa Jenar berbuat
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sesuatu, bayangan itu sudah langsung menyerang. Hati
Mahesa Jenar berdebar bertambah cepat. Bayangan yang
gemuk pendek dan menggelinding cepat sekali tadi sudah
pasti adalah Gajah Alit. Rupanya ketika Gajah Alit
mendengar suitan bayangan di atas atap itu, ia mengira
kalau Mahesa Jenarlah yang memberi tanda kepadanya
untuk membantunya. Maka ketika ia dengan hati-hati sekali
pergi ke arah suara itu, ia mendengar suara tertawa
bersahut-sahutan. Dan ia melihat keempat bayangan itu
seperti terbang mengarah ke balai perbendaharaan. Maka


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan tidak banyak pertimbangan lagi ia langsung
menyerang keempat bayangan itu.
Keempat bayangan itu rupa-rupanya sama sekali tidak
menduga kalau ia akan mendapat serangan demikian
hebatnya. Sehingga dalam beberapa saat rupa-rupanya
Gajah Alit telah berhasil melukai satu di antaranya. Tetapi
ketiga yang lain menjadi sangat marah dan segeralah
terjadi pertempuran yang hebat sekali.
Sementara itu Mahesa Jenar belum memperlihatkan diri.
Kecuali keadaan masih belum memerlukan, rupanya Gajah
Alit tidak begitu banyak mengalami kesulitan. Meskipun ia
harus bekerja mati-matian melawan tiga orang yang
mempunyai tenaga tempur yang cukup, ia sendiri
memandang perlu untuk tetap mengawasi gerak-gerik
bayangan di atas atap balai perbendaharaan itu. Dan apa
yang diduganya ternyata benar. Bayangan di atas atap itu
ternyata adalah pemimpinnya, yaitu Lawa Ijo sendiri.
Melihat keempat orangnya itu tak segera dapat mengatasi
lawannya, Lawa Ijo tampaknya tidak sabar lagi. Tiba-tiba ia
mengeluarkan suatu suitan nyaring dan seperti seekor elang
menyambar ia terjun dari atap. Kedua tangannya
dikembangkan dan tampaklah jari-jari tangannya yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kokoh kuat itu siap menerkam Gajah Alit. Mahesa Jenar
yang memang sudah siap, tidak membiarkan Gajah Alit
dilukai, segera ia pun meloncat dari persembunyiannya.
Geraknya tampak kuat, tangkas dan teguh seperti seekor
banteng yang terluka menyerang lawannya. Mendengar
suitan dari atas atap itu, Gajah Alit segera sadar bahwa
suitan itu seperti yang didengarnya tadi, ternyata bukanlah
suara Mahesa Jenar. Maka segera ia melontarkan diri jauh
ke belakang sampai empat lima depa, dan segera bersiap
menghadapi kemungkinan dari musuhnya yang baru itu.
Melihat gerak yang demikian cepatnya ketiga musuhnya jadi
terkejut, demikian juga Lawa Ijo yang terpaksa membuat
satu gerakan di udara untuk mengubah arah terjunnya.
Tetapi kembali di luar dugaannya bahwa dari arah lain
datanglah dengan garangnya suatu serangan yang dahsyat.
Kembali Lawa Ijo mengubah gaya tubuhnya. Tetapi,
meskipun demikian ia tak mempunyai kekuatan lagi untuk
menyerang ke arah yang berlawanan, sehingga segera ia
melipat tangan kanannya untuk melindungi dada,
sedangkan tangan kirinya disiapkan untuk menyerang. Mak,
pada saat kaki Lawa Ijo baru saja menyentuh tanah,
datanglah serangan Mahesa Jenar dengan dahsyatnya,
sehingga terjadilah suatu benturan yang sangat hebat dari
dua tenaga raksasa. Tetapi rupanya Mahesa Jenar menang
perhitungan, sehingga Lawa Ijo terdorong ke belakang dan
kehilangan keseimbangan. Ia berguling dua kali ke
belakang dan barulah ia dapat tegak kembali. Tetapi,
sementara dadanya terasa nyeri sekali, nafasnya agak
sesak. Pukulan Mahesa Jenar yang dilontarkan sepenuh
tenaga itu rupanya telah melukai bagian dalam tubuh Lawa
Ijo. Meskipun demikian, pada saat benturan itu terjadi,
tangan kiri Lawa Ijo ternyata telah dapat mengenai pundak
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenar, sehingga tangan kanan Mahesa Jenar pun
menjadi sakit dan geraknya menjadi terbatas.
Gajah Alit yang melihat munculnya Mahesa Jenar dengan
tiba-tiba itu menjadi girang, dan geraknya bertambah
mantap. Sambil menyerang kembali ia sempat berkata,
"Ee.., kakang Rangga, rupa-rupanya kau mau mengajak
main sembunyi-sembunyian."
Tetapi Mahesa Jenar diam saja, sebab ia sedang
berhadapan dengan lawan yang sangat tangguh.
Maka, segera terjadi dua kancah pertarungan yang
dahsyat. Mahesa Jenar melawan Lawa Ijo, dan Gajah Alit
melawan tiga orang pengikut Lawa Ijo. Mungkin karena
Lawa Ijo telah berhasil dilukainya lebih dahulu, maka
pertempuran antara Mahesa Jenar dan Lawa ijo segera
tampak berat sebelah. Sekali dua kali memang ia bisa
mengenai tubuh Mahesa Jenar, tetapi sebaliknya Mahesa
Jenar telah mengenainya dua kali lipat. Karena tangan
kanannya terluka, Mahesa Jenar memusatkan serangannya
pada kecepatan gerak kakinya. Dan ternyata ini berbahaya
sekali bagi Lawa Ijo. Pada suatu kali Lawa Ijo dengan
dahsyatnya menyerang arah tenggorokan Mahesa Jenar
dengan dua buah jarinya yang dirapatkan. Cepat-cepat
Mahesa Jenar menghindar dengan menarik tubuhnya sedikit
ke samping. Tetapi secepat kilat Lawa Ijo mengubah
serangannya dengan suatu tendangan ke arah ulu hati
Mahesa Jenar. Serangan itu datangnya cepat sekali,
sehingga hanya dengan gerakan yang kecepatannya tak
dapat dilihat, Mahesa Jenar berhasil menangkis serangan
itu dan dengan tangannya mendorong kaki itu ke dalam.
Dorongan itu begitu kuatnya sehingga Lawa Ijo terputar
setengah lingkaran. Maka kembali Mahesa Jenar mempergunakan kesempatan ini. Belum lagi kaki Lawa Ijo
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
itu menjejak tanah, Mahesa Jenar telah memberikan suatu
tendangan dan dengan tumitnya ia mengenai lambung
lawannya. Kembali Lawa Ijo terlompat beberapa langkah.
Dan karena dada Lawa Ijo memang sudah terluka, maka
pukulan ini rasanya jauh lebih hebat dari serangan yang
pertama, sehingga Lawa Ijo terlompat ke belakang. Mahesa
Jenar yang akan memburunya, terpaksa segera menghentikan geraknya. Seleret sinar putih terbang
menyambar dadanya. Secepat kilat ia miringkan tubuhnya,
dan sinar putih itu lari hanya berjarak setebal daun dari
dadanya, mengenai dinding balai perbendaharaan dan
langsung menancap di sana hampir sampai ke tangkainya.
Ternyata benda itu adalah sebilah pisau yang pada
tangkainya diikatkan secarik kain yang bergambar seekor
kelelawar hijau dengan kepala serigala. Melihat pisau itu
tertancap begitu dalam, hati Mahesa Jenar tersirap juga.
Kalau saja pisau itu menancap di dadanya, entahlah apa
jadinya. Sementara itu terjadilah suatu hal di luar dugaan. Setelah
melemparkan pisaunya, segera Lawa Ijo meloncat ke
belakang dan secepat kilat ia melarikan diri. Mahesa Jenar
tentu saja tak membiarkan Lawa Ijo lari, sehingga ia segera
mengejarnya. Tetapi di luar dugaannya pula, kedua orang
yang turut mengeroyok Gajah Alit segera meninggalkannya
dan menghadangnya. Mereka sekarang sudah memegang
senjata di tangan masing-masing. Sebuah belati panjang.
Mahesa Jenar menjadi jengkel sekali. Sedianya ia sama
sekali tak ingin melayani orang itu, supaya tidak kehilangan
Lawa Ijo. Tetapi kedua orang itu nekad menyerang Mahesa
Jenar. Terpaksa Mahesa Jenar berhenti untuk melayani
kedua orang itu. Baik Mahesa Jenar maupun Gajah Alit
mengerti akan maksud kedua pembantu Lawa Ijo itu, yaitu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
untuk memberi kesempatan kepada pemimpinnya supaya
dapat meloloskan diri. Karena itu Gajah Alit pun berusaha untuk menghindari
pertarungan dengan lawannya yang tinggal seorang itu
untuk dapat mengejar Lawa Ijo. Tetapi lawannya itu pun
sudah seperti orang kemasukan setan. Maka akhirnya
Mahesa Jenar dan Gajah Alit mengambil keputusan untuk
menyelesaikan lawan masing-masing, baru berusaha
menangkap Lawa Ijo. Tetapi belum lagi mereka berhasil
menyelesaikan pertempuran itu, Lawa Ijo telah meloncat ke
atas dinding halaman. Kemudian kembali terdengar suara
tertawa itu, suara tertawa yang menusuk-nusuk hati begitu
pedihnya seperti suara rintihan hantu kubur. Dengan cepat
tertawanya itu makin lama makin terdengar jauh dan
lemah. Menyaksikan hilangnya Lawa Ijo di depan matanya,
Mahesa jenar dan Gajah Alit menjadi gusar bukan kepalang.
Dan sekarang kegusarannya itu hanya dapat ditumpahkan
kepada lawannya yang ketika itu juga sudah berusaha
untuk melarikan diri. Maka dengan kekuatan penuh, Mahesa
Jenar segera menghantam lawannya. Pisau yang dipegang
oleh kedua orang itu sama sekali tak berarti. Dan sekali
pukulan Mahesa Jenar melayang mengenai kepala salah
seorang di antaranya, sehingga terdengar suatu jerit ngeri.
Disusul teriakan keras dari yang seorang lagi karena tulangtulang rusuknya rontok disambar kaki Mahesa Jenar. Maka
seperti batang pisang keduanya roboh di tanah dan tak
bergerak-gerak lagi. Belum lagi gema teriakan itu berhenti,
terdengarlah suara keluhan yang tertahan. Rupanya Gajah
Alit pun berhasil menyelesaikan pertempurannya. Hanya
saja ia mempunyai cara sendiri untuk menumpahkan
kemarahannya. Dengan tangannya yang pendek kukuh itu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
ia menyambar leher lawannya. Lalu dengan ibu jarinya yang
kokoh ia menekan leher itu sampai nafas lawannya putus.
Namun meskipun pada pagi harinya terjadi kegemparan
dalam istana, serta hampir tiap-tiap mulut menyatakan
pujian terhadap Mahesa Jenar dan Gajah Alit, yang telah
berhasil menggagalkan usaha Lawa Ijo, bahkan dapat pula
membinasakan empat orang anggotanya, tetapi Mahesa
Jenar tetap merasa kagum akan kekuatan tenaga batin
lawannya. Meskipun terjadi perkelahian begitu hebatnya,
serta beberapa kali terdengar teriakan dan suitan, namun
tak seorang pun dari mereka yang tertidur karena pengaruh
sirep itu terbangun. Apalagi suara tertawa itu. Alangkah tajamnya, sehingga
mempunyai pengaruh yang luar biasa. Orang yang tidak
mempunyai daya tahan yang kuat tentu akan terpengaruh
karenanya, akhirnya menggigil ngeri dan kehilangan
tenaga. Sekarang, pada saat ia bertanding melawan Watu
Gunung untuk kepentingan Ki Asem Gede, kembali ia
mendengar tertawa yang demikian. Mirip sekali dengan
suara tertawa Lawa Ijo. Orang-orang yang tak berkepentingan serta tak terlibat dalam perkelahian itu pun
menjadi menggigil karenanya. Bahkan beberapa orang telah
terduduk lemah tanpa kekuatan lagi untuk dapat berdiri.
----------odwOkzo---------SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
IV Mendapat ingatan itu, kegusaran hati Mahesa Jenar
seperti tergugah. Dalam sejarah hidupnya belum pernah
ada seseorang penjahat yang sudah berada di bawah
hidungnya terluput dari tangannya. Meskipun ia sekarang
bukan lagi seorang prajurit Demak, ia tetap memiliki jiwa
pengabdian untuk kedamaian hati rakyat. Karena itu sekali
lagi ia ingin bertemu dengan Lawa Ijo, yang sejak peristiwa
itu namanya tak pernah terdengar lagi. Tetapi ia yakin,
bahwa apabila tak terbinasakan, pada suatu saat pasti Lawa
Ijo akan muncul kembali. Watu Gunung yang memiliki ciriciri khas sama dengan Lawa Ijo, tentu mempunyai
hubungan erat. Mungkin Watu Gunung adalah bekas
gerombolan Lawa Ijo, atau mungkin juga muridnya. Maka
timbullah keinginan Mahesa Jenar untuk mempermainkan
orang ini sebagai undangan buat kehadiran Lawa Ijo.
Kenangan dan pikiran-pikiran itu hanya sebentar saja
melintas di otak Mahesa Jenar. Sementara itu suara tertawa
Watu Gunung sudah kian lemah, kian lemah. Para penonton
pun menjadi kian ngeri dan ketakutan. Beberapa orang
diantaranya terjatuh lemas seperti dicopoti tulangtulangnya. Saat yang mengerikan tentu segera tiba. Para
penonton yang mengharap segera berakhir riwayat kelima
iblis itu, meratap dalam hati.
Tepat pada saat mulut Watu Ganung terkatup, matanya
segera berubah jadi merah dan liar. Wajahnya tampak
bertambah bengis. Ia memandang Mahesa Jenar dengan
tajam. Tangannya direntangkan ke samping, sedangkan
jari-jarinya yang kuat itu dikembangkan, siap untuk
menerkam dan merobek lawannya. Setapak demi setapak ia
maju mendekati umpannya. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tetapi, sementara Mahesa Jenar pun telah siap, dan
telah mendapat keputusan untuk mempermainkan lawannya. Tetapi ia tetap waspada dan hati-hati, sebab ia
tahu betapa kuatnya Lawa Ijo. Kalau saja orang ini dapat
mewarisi segala kehebatan Lawa Ijo, pertarungan tentu
akan menjadi sangat sengit sekali.
Ketika jarak mereka tinggal kira-kira dua depa, Watu
Gunung menggeram hebat. Lalu dengan gerak yang cepat
sekali ia melompat menerkam Mahesa Jenar. Serangan
yang dilontarkan dengan sepenuh tenaga, serta dari jarak
yang begitu dekat dengan kecepatan yang tinggi,
menjadikan darah para penonton berdesir. Apalagi ketika
mereka melihat Mahesa Jenar tidak sempat menghindari
serangan itu. Ia hanya dapat melindungi dirinya dengan
tangannya, yang disilangkan di muka dadanya untuk
menahan terkaman jari-jari Watu Gunung.
Memang saat itu Mahesa Jenar sama sekali tidak


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berusaha menghindar. Ia hanya mempergunakan tangannya untuk melindungi dadanya. Dan ketika serangan
itu datang, terdengarlah beberapa jeritan tertahan, justru
dari para penonton. Sedangkan Ki Asem Gede pun tak
sempat mengedipkan matanya. Mereka mengira bahwa
akan terjadi suatu benturan yang dahsyat dan tangan
Mahesa Jenar akan dipatahkan.
Tetapi apa yang terjadi adalah jauh dari itu. Sama sekali
tak terjadi benturan yang keras. Sebab waktu tangan Watu
Gunung menyentuh tangannya, Mahesa Jenar surut ke
belakang selangkah untuk memusnahkan tenaga lawan.
Sesudah itu ia gunakan enam bagian tenaganya untuk
mendorong lawannya. Watu Gunung sama sekali tidak
mengira bahwa ia akan mengalami pelayanan yang
demikian. Karena itu seperti bola besi yang dilemparkan ke
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
udara oleh tenaga seekor banteng, ia melayang sebentar
dan terjatuh beberapa depa ke belakang. Hanya karena
kelincahan dan keuletannya saja maka ia tidak terpelanting
dan jatuh bergulingan. Meskipun tubuhnya bergetar, Watu
Gunung berhasil tegak di atas kedua kakinya, bahkan ia
telah siap pula dengan sebuah pertahanan.
"Bagus. Ulet juga orang ini," desis Mahesa Jenar.
Tetapi Mahesa Jenar tidak mau memberi kesempatan
lagi. Watu Gunung geragapan, cepat-cepat ia rendahkan
tubuhnya dan melindungi lambungnya dengan siku. Tapi
rupanya Mahesa Jenar tidak betul-betul menyerang
lambung itu, sebab sebentar kemudian tangan kanannya
sudah berputar mengenai tengkuk Watu Gunung. Kembali
Watu Gunung terhuyung-huyung ke samping. Dikerahkannya semua tenaganya untuk menahan tubuhnya
supaya tidak jatuh, dan dengan susah payah ia berhasil
juga. Perubahan yang terjadi demikian cepatnya itu, menyebabkan para penonton terkejut bukan kepalang.
Malahan kemudian ada yang tidak percaya pada apa yang
terjadi. Setan mana yang telah membantu Mahesa Jenar
mendapat kekuatan itu. Samparan beserta ketiga kawannya sampai berdiri.
Sebagai orang yang penuh pengalaman, Samparan segera
melihat kekuatan Mahesa Jenar yang luar biasa itu. Kalau
mula-mula Mahesa Jenar tampak lemah dan tak bertenaga,
itu karena ia sedang menjajagi sampai di mana kekuatan
lawannya. Kalau mula-mula ia merasa yakin bahwa Watu
Gunung akan berhasil, sekarang adalah sebaliknya, ia
menjadi yakin kalau Watu Gunung akan binasa, atau
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
setidak-tidaknya namanyalah yang binasa. Rupanya ketiga
kawannya pun berpikir demikian juga.
Apalagi Mahesa Jenar telah mendesak demikian
hebatnya. Anehnya, serangan serangan Mahesa Jenar tidak
tampak membahayakan. Pada suatu kali, ketika Mahesa
Jenar meloncat dengan dahsyatnya ke udara, kakinya
bergerak menyambar kepala Watu Gunung, sehingga Watu
Gunung terpaksa merendahkan diri untuk menghindar.
Tetapi segera kaki itu ditarik, dan sekali menggeliat Mahesa
Jenar telah berdiri di belakang Watu Gunung. Tangannya
bergerak cepat sekali ke arah kepala Watu Gunung.
Serentak hati para penonton tergetar. Hampir saja mereka
bersorak, karena pasti kepala Watu Gunung akan
terhantam. Tetapi rupanya Mahesa Jenar berbuat lain. Ia
hanya menyambar saja ikat kepala Watu Gunung yang
berwarna merah soga itu. Mendapat perlakuan ini, wajah Watu Gunung menjadi
merah, semerah ikat kepalanya yang disambar Mahesa
Jenar itu. Giginya gemeretak menahan marah, dan
tubuhnya bergetar secepat getaran darahnya. Bagi orang
seperti Watu Gunung, lebih baik kepalanya diremukkan
daripada dihina sedemikian.
Ki Asem Gede, yang sejak melihat perubahan sikap
Mahesa Jenar sudah mendapat kepastian akan akhir dari
pertarungan itu, melihat Mahesa Jenar berbuat demikian
tak dapat lagi menahan geli hatinya. Tertawanya melontar
tak terkendalikan sampai tubuhnya berguncang-guncang.
Mendengar suara Ki Asem Gede tertawa terkekeh-kekeh,
hati Watu Gunung semakin terbakar. Maka secepat halilintar
menyambar, tangannya tergerak, dan seleret sinar
menyambar dada Mahesa Jenar.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Melihat sinar itu, sesaat Mahesa Jenar bimbang. Kalau ia
menghindar, tentu pisau itu akan mengenai salah seorang
penonton yang berdiri diluar arena itu. Tetapi ia tidak
mempunyai waktu banyak untuk berbimbang-bimbang.
Pada saat yang tepat ia miringkan tubuhnya seperti apa
yang ia lakukan sewaktu ia menghadapi keadaan yang
sama, ketika ia bertempur dengan Lawa Ijo. Tetapi
sekarang ia tidak menghendaki pisau itu menelan korban
orang yang tak berdosa. Dengan suatu gerakan yang sukar
dilihat dengan mata, tangan Mahesa Jenar menyambar
tangkai pisau itu. Tahu-tahu pisau itu sudah di tangannya.
Melihat adegan itu, penonton menjadi gempar. Mereka
menjadi lupa bahwa diantara mereka masih ada empat
orang iblis yang menyaksikan pertunjukan itu dengan
penuh kemarahan. Kecenderungan mereka untuk memihak
Mahesa Jenar akan menambah dendam keempat orang itu.
Ki Asem Gede yang paling tak dapat menguasai dirinya.
Seperti orang anak kecil ia berteriak-teriak memuji. "Bagus
..., bagus ..., bagus ...."
Tetapi, tiba-Tiba teriakannya dan kegemparan
penonton pun mendadak terhenti. Mereka melihat seorang
dengan lincah meloncat ke dalam arena sambil memegang
sebuah pedang pendek. Itulah Gagak Bangah. Anggota termuda dari kawanan
iblis itu. Rupa-rupanya ia tidak dapat lagi mengendalikan
dirinya melihat Watu Gunung dihinakan sedemikian.
Meskipun ia merasa bahwa ia sendiri tidak akan mampu
melawan Mahesa Jenar, tetapi berdua dengan Watu
Gunung adalah lain soalnya. Ia sendiri tidak sekuat Watu
Gunung, tetapi ia mempunyai kelebihan dalam hal
kecepatan bergerak. Dan kecepatannya itu apabila
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
digabungkan dengan kekuatan tenaga Watu Gunung
mungkin akan dapat merobohkan lawan yang bagaimanapun tangguhnya. Melihat seorang kawannya
memasuki arena, hati Watu Gunung yang sudah tipis sekali
itu menjadi tergugah kembali. Ia sudah tidak peduli lagi
kepada peraturan yang ditentukan dalam pertarungan itu.
Melihat seorang lagi masuk dalam arena, Mahesa Jenar
terkejut. Ia surut beberapa langkah ke belakang, dan
pandangannya mengandung pertanyaan. Tetapi dengan tak
banyak cakap, Gagak Bangah sudah memutar pedang
pendeknya dan dengan kecepatan yang luar biasa ia
menyerang Mahesa Jenar. "Tunggu," terpaksa Mahesa Jenar ingin mendapatkan
penjelasan sambil meloncat menghindar9i serangan itu,
"adakah kau ingin menggantikan Watu Gunung?"
Tetapi, ia tidak mendapat jawaban, bahkan kini Gagak
Bangah dan Watu Gunung menyerang bersama-sama.
"Kalian melanggar peraturan," sambung Mahesa Jenar
sambil meloncat menghindari sambaran pedang pendek dan
kemudian cepat sekali ia meloncat dua depa ke belakang
sebelum kaki Watu Gunung mengenai tungkaknya.
"Tidak ada suatu peraturan pun yang dapat mengikat
kami," teriak Gagak Bangah dengan garangnya. "Kami
berdiri di atas segala peraturan. Kalau kami berhak
menentukan peraturan, kami pun berhak mengubah atau
menghapus peraturan itu."
Mahesa Jenar jadi sadar bahwa ia berhadapan dengan
orang-orang yang licik dan tidak bersikap jantan. Ia paling
benci pada sifat-sifat yang demikian. Ia lebih menghargai
seseorang yang mengakui kekalahannya daripada orang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
yang licik dan curang. Itulah sebabnya kemarahan Mahesa
Jenar tergugah. Tetapi ia sekarang berhadapan dengan dua orang yang
mempunyai keistimewaan masing-masing dan tergolong
dalam tingkatan yang cukup tinggi. Karena itu ia harus
mengerahkan sebagian besar kepandaiannya.
Ki Asem Gede yang menyaksikan kecurangan itu pun
menjadi gusar. Untuk melawan dua orang, belum tentu
Mahesa Jenar dapat menang. Karena itu ia sudah
membulatkan tekad untuk melibatkan diri dalam pertempuran itu. Tetapi baru saja ia akan meloncat, tibatiba terdengarlah sebuah bisikan, "Jangan berbuat sesuatu
Ki Asem Gede." Ki Asem Gede terkejut bukan kepalang. Dan
terasa di kedua belah lambungnya melekat ujung senjata
tajam. Ketika ia menoleh, dilihatnya Wisuda dan Palian,
yakni anggota ke-3 dan ke-4 dari kawanan iblis itu berdiri di
belakangnya dan mengancamnya dengan keris. Maka
terpaksa Ki Asem Gede mengurungkan niatnya, meskipun
hatinya bergelora hebat, sambil menanti suatu kesempatan.
Sementara itu, pertempuran di arena bertambah hebat.
Gagak Bangah dengan gesitnya menyambar-nyambar
sambil mempermainkan pedang pendeknya, seperti seekor
Sikatan menyambar belalang. Sedangkan Watu Gunung pun
dengan mengandalkan kekuatannya menyerang dengan
garangnya. Apalagi kini ia telah memegang pula sebuah
belati panjang yang dicabutnya dari bawah kainnya, seperti
yang dilemparkan tadi. Tetapi, Mahesa Jenar pun ternyata tidak mengecewakan.
Diam-diam ia merasa bersyukur bahwa dengan tidak
sengaja Watu Gunung telah memberinya sebilah pisau
belati panjang. Dan dengan senjata itu ia melayani kedua
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
lawannya. Ia pernah mendengar bahwa belati kawanan
Lawa Ijo terkenal keampuhannya serta terbuat dari baja
pilihan. Apalagi kini senjata itu ada di tangan Mahesa Jenar
yang mempunyai kepandaian dalam mempergunakan
segala macam senjata. Maka dalam waktu yang singkat
ujung belati itu dengan dahsyatnya menyerang lawannya
dan seolah-olah berubah menjadi beribu-ribu mata pisau
yang mematuk-matuk dengan garangnya.
Keadaan yang seimbang dari pertempuran itu tidak
berlangsung lama. Sebab segera Mahesa Jenar berhasil
mendesak lawannya ke dalam keadaan yang sulit.
Sebenarnya Mahesa Jenar tidak biasa membinasakan
lawannya, apalagi tidak ada sebab-sebab yang memaksa. Ia
lebih suka mengampuni seseorang apabila orang itu sudah
tidak dapat berbuat apa-apa. Tetapi tidak demikian halnya
terhadap orang-orang yang licik dan curang. Sebab orangorang yang demikian sudah tidak menghargai lagi sifat-sifat
kejantanan dan kekesatriaan. Orang-orang semacam itulah
yang selalu akan menimbulkan bencana. Karena itu
terhadap orang-orang yang demikian, juga kepada
lawannya itu, Mahesa Jenar telah mengambil keputusan
untuk membinasakan sama sekali.
Maka segera ia merangsang lawannya lebih hebat lagi.
Pisau panjang yang berada di tangannya itu bergerak
semakin cepat sehingga hampir merupakan gumpalan
gumpalan sinar yang bergulung-gulung mengerikan sekali.
Watu Gunung dan Gagak Bangah sama sekali tidak
menduga bahwa Mahesa Jenar memiliki kepandaian yang
demikian tinggi. Maka diam-diam mereka berdua mengeluh
dalam hati. Karena mereka tadi memberi kesempatan
kepada orang ini untuk bertanding membela anak Ki Asem
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Gede. Keringat dingin sudah membasahi seluruh tubuh
mereka berdua. Maka, sesaat kemudian terdengarlah bunyi berdentang
dari senjata yang beradu. Ternyata pisau panjang Mahesa
Jenar telah menyambar pedang pendek Gagak Bangah.
Sambaran itu begitu kuatnya sehingga tangan Gagak
Bangah merasa nyeri sekali. Belum lagi ia dapat
memperbaiki keadaannya, kembali pedangnya disambar
oleh pisau Mahesa Jenar. Dan benar-benar kali ini ia tidak
mampu lagi berbuat apa-apa sehingga pedangnya terpental
jatuh. Melihat keadaan itu, Watu Gunung segera berusaha
menolong kawannya. Dengan lompatan yang cepat ia
mendesak maju, dan membabat tangan Mahesa Jenar.
Tetapi Mahesa Jenar telah menarik tangannya kembali dan
dengan sisi telapak tangan kirinya ia menghantam
pergelangan tangan Watu Gunung. Hantaman

Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu sedemikian kerasnya terlepas dari tangannya. Maka kini
sampailah saatnya untuk mengakhiri pertempuran.
Tetapi, Mahesa Jenar tidak mau membunuh lawannya
dengan senjata. Segera dilemparkannya belati itu, dan
secepat kilat sebelum Watu Gunung dan Gagak Bangah
sempat menjatuhkan dirinya, kedua tangan Mahesa Jenar
masing-masing meraih kepala kedua orang itu. Dengan
tenaga yang didasari kegusaran hati, dibenturkannya kedua
kepala itu sekuat tenaga. Maka terdengarlah suara hampir
seperti sebuah ledakan diikuti oleh jerit ngeri melengking.
Sekejap kemudian suara itu terputus dan kedua orang itu
rebah di tanah dengan kepala pecah.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Berbareng dengan itu. Ki Asem Gede yang melihat
bahwa pertempuran itu hampir selesai, segera memutar
otaknya. Bagaimana ia dapat membebaskan diri dari
ancaman Wisuda dan Palian. Sebab tidak mustahil apabila
kedua orang itu melihat kedua kawannya dibinasakan,
maka mereka pun akan dibinasakan pula. Maka untuk
sementara Ki Asem Gede berbuat seperti orang yang
ketakutan dan tak berdaya. Tetapi, ketika Wisuda dan
Palian baru memperhatikan saat-saat terakhir dari kedua
kawannya, Ki Asem Gede segera bertindak. Dengan
kecepatan yang luar biasa ia merendahkan dirinya dan
kedua tangannya menangkap pergelangan Wisuda dan
Palian yang memegang senjata. Dengan sekuat tenaga
kedua orang itu ditarik ke depan lewat atas pundaknya, dan
pada saat kedua orang itu terpelanting dengan kedua
kakinya di atas, Ki Asem Gede mengubah gerakannya
dengan menyentakkan kedua tangan korbannya itu kembali
ke belakang. Dengan demikian kedua orang yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sebelumnya sama sekali tidak curiga itu terangkat dan
dengan dahsyatnya terbanting ke depan. Kepala dua orang
itu membentur tanah. Maka tanpa ampun lagi kedua orang
itu lehernya terpuntir dan nafasnya putus seketika.
Orang-orang yang melingkari arena, melihat dua
kejadian yang mengerikan dan terjadi pada saat yang
hampir bersamaan itu, terdiam seperti patung. Bahkan
tubuh mereka hanya dapat sebentar memandang Mahesa
Jenar dan sebentar memandang Ki Asem Gede, yang
sesudah mengeluarkan seluruh tenaganya itu kemudian
menjadi lemas dan terduduk di atas tanah.
Mahesa Jenar tidak tahu apa yang sudah dilakukan oleh
Ki Asem Gede. Maka ketika ia melihat keadaannya, ia
menjadi cemas. Cepat-cepat ia melangkah menghampirinya.
Dan pada saat yang demikian para penonton menjadi
tersadar tentang apa yang baru saja terjadi. Segera
terjadilah kegemparan. Beberapa orang berdesak-desakan
ingin menyaksikan mayat-mayat di tengah arena itu, tetapi
sebagian ingin melihat apa yang terjadi dengan Ki Asem
Gede. Tetapi, kegemparan itu segera berubah menjadi
jeritan yang hampir bersamaan keluar dari beberapa mulut
para penonton. Sebab pada saat Mahesa Jenar sudah
hampir sampai pada tempat Ki Asem Gede terduduk, ada
tombak meluncur yang datangnya sangat cepat. Apalagi
Mahesa Jenar sama sekali tak mengetahui, karena
perhatianya tertuju pada Ki A sem Gede. Mendengar jeritanjeritan itu Mahesa Jenar terhenti. Dan segera perasaannya
yang tajam menangkap bahwa ada sesuatu terjadi di
belakangnya. Cepat-cepat ia membalikkan diri. Semuanya
itu terjadi hanya dalam waktu yang singkat, maka tak ada
kemungkinan bagi Mahesa Jenar untuk menghindarkan diri.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Maka yang dapat dilakukannya hanyalah, dengan tangannya melindungi dada.
Tetapi ketika tombak itu hampir menancap di tubuh
Mahesa Jenar, terjadilah suatu benturan yang dahsyat
diiringi dengan suara gemericing senjata beradu, sehingga
timbullah bunga api yang memancar. Kembali para
penonton terkejut bukan main. Kecuali Mahesa Jenar dan Ki
Asem Gede, tak seorangpun yang melihat bahwa dari arah
lain menyambar pula sebuah senjata sehingga membentur
tombak yang hampir saja menembus tubuh Mahesa Jenar.
Apalagi ketika dua senjata yang beradu itu jatuh di
tanah, maka darah orang-orang yang berkeliling arena itu
berhenti dibuatnya. Ternyata tombak yang dilempar kearah
Mahesa Jenar itu patah ujungnya, sedangkan di
sampingnya menancap sebuah trisula.
"Mantingan...!" Teriak salah seorang diantara mereka.
"Ya, Dalang Mantingan," sahut yang lain. Dan sebentar
kemudian arena itu telah dipenuhi oleh teriakan orang
menyebut nama Mantingan. Memang, Mantingan telah
terkenal di daerah itu sejak beberapa waktu yang lampau.
Tetapi kemudian lama ia tidak muncul, dan sekarang
mereka melihat lagi sebuah trisula, yang bertangkai kayu
berian, dan pada pangkalnya berukiran kuncup bunga
kamboja. Hampir semua orang mengenal benda itu. Di
mana benda itu berada, di sana Mantingan pasti ada, dan
sebaliknya. Tetapi meskipun mereka sudah mengetahui hal itu,
ketika mereka mengikuti arah pandangan mata Mahesa
Jenar, darah mereka tersirap juga melihat seseorang duduk
dengan tenangnya di atas seekor kuda yang berwarna abuabu. Sungguh mengagumkan. Tetapi, kekaguman mereka
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
segera berubah menjadi keheran-heranan ketika mereka
melihat Ki Dalang Mantingan, yang mempunyai nama
demikian agungnya itu menunduk hormat kepada Mahesa
Jenar. "Malaikat manakah orang ini, sehingga orang seperti
Mantingan masih juga menunduk hormat?" pikir mereka.
Tetapi mereka tidak sempat berpikir banyak, sebab
mereka segera melihat Mantingan meloncat turun dan
memburu ke arah dari mana tombak pendek tadi
dilemparkan. "Kau Samparan?" desis Mantingan.
Dan tampaklah diantara penonton, Samparan yang pucat
dan gemetar. Ia kenal betul kepada Mantingan. Kalau pada
saat yang lalu ia masih berani membusungkan dada, itu
karena membanggakan kekuatan mereka berlima. Tetapi
kini empat kawannya telah mengalami nasib yang
mengerikan, sehingga hatinya pun berubah menjadi kerdil.
"Masih inginkah kau mengadakan sayembara tanding?"
tanya Mantingan melanjutkan.
"Ampun Ki Dalang. Aku hanya sekadar menuruti
permintaan Watu Gunung," jawab Samparan gemetar.
Mantingan tersenyum mendengarkan jawaban ini, dan ia
heran pula melihat kelakuan Samparan yang begitu
pengecut. Sementara itu Mahesa Jenar dan Ki Asem Gede yang
sudah agak pulih kekuatannya telah pula berdiri di samping
Mantingan. Melihat tokoh-tokoh itu, hati Samparan semakin
kecil dan wajahnya semakin putih. Untunglah bahwa ia
berhadapan dengan orang-orang yang berhati lapang,
selapang lautan yang sanggup menampung aliran sungai.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"AKU ampuni kau kalau anakku pada saat ini masih
seperti pada saat kau ambil dari suaminya," kata Ki Asem
Gede kemudian. "Demi Tuhan, putrimu disentuh pun tidak," jawab
Samparan cepat-cepat. "Antarkan aku padanya," perintah Ki A sem Gede.
Segera Samparan mempersilahkan Ki Asem Gede,
Mahesa Jenar dan Mantingan untuk mengikutinya. Lewat
Gandok sebelah barat, mereka masuk ke belakang
menyusup masuk ke dapur, dan di sana mereka masuk ke
kamar mandi yang kosong tak berair. Ternyata dasar kolam
kamar mandi itu adalah sebuah pintu rahasia untuk
memasuki ruang di bawah tanah.
Ki Asem Gede dan kawan-kawannya menjadi ragu-ragu.
Apakah tempat itu bukan suatu alat perangkap saja.
"Kau mau main gila Samparan?" tanya Ki Asem Gede
dengan suara geram. "Mana aku berani berbuat sesuatu terhadap kalian,"
sahut Samparan bersungguh-sungguh. Meskipun demikian
mereka harus berhati-hati juga. Ki Asem Gede kemudian
berjalan dahulu, baru Samparan di belakangnya kemudian
Mahesa Jenar dan Mantingan dengan trisulanya di
belakangnya lagi sambil mengawasi kalau-kalau Samparan
akan mengkhianati mereka. Ruang di bawah tanah itu
terdiri dua bagian. Bagian pertama adalah sebuah ruangan
yang terbuka dan kosong, diterangi beberapa obor yang
ditancapkan pada dinding ruangan. Di bagian atas ruangan
tampak beberapa lubang udara yang dengan jalur-jalur
bumbung dari tanah liat dihubungkan dengan udara
terbuka. Sedang bagian kedua adalah sebuah ruang yang
dipisahkan oleh sebuah dinding papan dengan ruang yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
pertama. Dinding itu mempunyai sebuah pintu yang kuat
dan dikancing dengan sebuah palang kayu yang cukup
besar. "Di situlah Nyai Wirasaba disimpan oleh Watu Gunung,"
kata Samparan sambil menunjuk pada palang pintu yang
besar itu. Ki Asem Gede jadi tertegun. Ia ragu-ragu untuk
membuka pintu itu. Jangan-jangan ada sesuatu yang
berbahaya. Rupanya Samparan mengerti isi hati Ki Asem
Gede, maka sambungnya, "Bolehkah aku membukanya?"
Ki Asem Gede masih ragu-ragu sebentar, tetapi
kemudian katanya, "Bukalah, tetapi jangan main gila."
Samparan maju perlahan-lahan mendekati pintu itu.
Matanya memandang dengan tajam, seakan-akan ingin
melihat langsung ke dalam ruangan yang tertutup itu. Baru
setelah ia merenung sejenak, tangannya bergerak
membukanya. Baru saja pintu itu terbuka, serentak mereka terkejut
melihat seorang yang meloncat keluar dan langsung
menyerang Samparan dengan sebuah patrem. Untunglah
bahwa Samparan sempat menghindar. Tetapi serangan itu
tidak hanya terhenti di situ, bahkan bertambah sengit.
Hanya sayang bahwa penyerangnnya tidak mempunyai
pengetahuan tata berkelahi yang cukup sehingga dengan
mudahnya Samparan mengelakkan diri.
Ketika orang itu melihat beberapa orang lain berada di
tempat itu, apalagi setelah melihat Ki Asem Gede, ia jadi
tertegun dan sebentar kemudian berubah menjadi keheranheranan. Tetapi sesaat kemudian ia berlari menjauhkan diri dan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
memeluk kaki Ki Asem Gede. Ia Nyai Wirasaba, putri Ki
Asem Gede. "Ayah!" serunya. Tetapi kemudian suaranya di kerongkongan. Ki Asem Gede pun memandang putrinya
dengan terharu. Dengan susah payah ia berhasil
membendung air matanya sehingga tidak mengalir. Baru
beberapa lama ia tidak mengujungi putrinya itu. Dan
sekarang ia menyaksikan putrinya dalam keadaan yang
menyedihkan. Orang-orang yang menyaksikan perisitiwa itu, mau tidak
mau juga merasa terharu. Bahkan Samparan, seorang iblis
yang selama ini tidak mempunyai rasa perikemanusiaan
sedikitpun, menyaksikan hal itu dengan suatu perasaan
yang aneh. Perasaan yang belum pernah dimilikinya.
Setelah suasana agak reda, segera mereka keluar dari
ruangan di bawah tanah itu, dan untuk menenangkan
perasaan Nyai Wirasaba, mereka sementara waktu
beristirahat di gandok sebelah barat.
"Setan-setan itu tidak berbuat jahat kepadamu?" tanya Ki
Asem Gede kepada putrinya.
Nyi Wirasaba tidak segera menjawab. Tetapi ia
memandang Samparan dengan pandangan yang jijik, benci
dan penuh kemarahan. "Manakah kawan-kawan iblis itu?" tanyanya kepada Ki
Asem Gede, tetapi sementara itu beberapa kali Nyi
Wirasaba memandang Mahesa Jenar dan Mantingan dengan
penuh pertanyaan. Lamat-lamat ia ingat, bahwa dengan
Mantingan ia pernah berkenalan. Tetepi di mana, dan
kapan" Sedangkan yang satu lagi sama sekali ia belum
pernah melihat. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Ki Asem Gede mengerti perasaan putrinya, maka segera
diceritakan apakah yang sudah terjadi. Dan tiba-tiba saja
Nyi Wirasaba berdiri lalu membungkuk hormat kepada
Mahesa Jenar dan Mantingan. Dengan suara yang terputusputus ia menyatakan betapa besar terima kasihnya atas
pertolongan mereka. Sekaligus ia teringat bahwa Mantingan
telah dikenalnya pada waktu mereka masih sama-sama
kecil. Tetapi yang kemudian tak lagi pernah bertemu sejak
Mantingan mengikuti gurunya ke Wanakerta.
Sementara, Mahesa Jenar dan Mantingan tak habishabisnya memandangi wajah Nyi Wirasaba. Wajarlah
kiranya kalau Watu Gunung tergila-gila kepadanya. Betapa
bahagianya orang itu, yang telah menerima anugerah
Tuhan berupa kecantikan wajah yang sempurna, dan
keserasian tubuh yang tanpa cela. Mantingan yang pada
masa kanak-kanaknya sering bermain dan bertengkar
bersama, tidak pernah membayangkan bahwa pada usia
dewasanya perempuan ini akan memiliki kelebihan dari


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kawan-kawannya sepermainan. Tetapi, tak seorang pun
yang mengetahui bahwa Nyai Wirasaba sendiri selalu
meratap di dalam hati, menyesali nasibnya yang jelek.
Karena memiliki wajah yang cantik dan tubuh yang bulat,
yang telah beberapa kali menjeratnya ke dalam kesulitankesulitan yang hampir tak dapat diatasi. Bahkan pada saat
yang terakhir ini, ia telah mengambil keputusan bahwa
apabila tak ada pertolongan yang datang, ia lebih baik
mengakhiri hidupnya dengan sebilah patrem yang berhasil
dibawanya di dalam sabuknya, daripada hidup di dalam
lingkungan iblis-iblis itu. Setelah perasaan Nyi Wirasabaa
agak tenang, maka segera Ki Asem Gede mengajaknya
meninggalkan rumah itu. Di luar masih banyak orang yang
sejak tadi belum mau meninggalkan halaman itu. Meskipun
mereka setiap hari melihat wajah Nyi Wirasaba, kalau Nyi
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Wirasaba kebetulan pergi ke pasar atau ke sawah, tetapi
kali ini mereka ingin juga melihat wajah itu. Wajah yang
menjadi sebab berakhirnya kelaliman Samparan dan kawankawannya. Ketika Nyi Wirasaba tampak melangkah ke luar
pintu rumah Samparan, orang-orang berdesak-desakan
mengerumuninya. Nyi Wirasaba menunduk malu. Di
belakangnya menyusul Ki Asem Gede, Mantingan, Mahesa
Jenar dan kemudian Samparan.
Suasana segera berubah menjadi tegang kembali ketika
tiba-tiba Mahesa Jenar membalikkan diri, dan secepat kilat
menangkap tangan Samparan dan diputarnya ke belakang.
Samparan terkejut bukan kepalang, sambil menyeringai
kesakitan. Tangan Mahesa Jenar yang menangkapnya itu
begitu erat seperti tanggem besi yang menjepit tangannya.
Bahkan tidak hanya Samparan yang terkejut, tetapi juga
orang-orang yang menyaksikan, termasuk Ki Asem Gede
dan Mantingan. "Adakah aku berbuat salah?" rintih Samparan.
"Kau tidak berbuat salah, tetapi aku ingin mendapat
keterangan dari kau," jawab Mahesa Jenar.
Samparan dan orang-orang yang menyaksikan sibuk
menduga-duga, keterangan apakah gerangan yang dikehendaki oleh Mahesa Jenar.
"Samparan," Mahesa Jenar melanjutkan, "kau dan Watu
Gunung adalah termasuk dalam satu gerombolan yang
mempunyai persamaan kesenangan. Yaitu berbuat kejahatan. Dalam dunia kejahatan, sahabat jauh lebih
berharga dari saudara, bahkan orang tua. Rahasia rahasia
yang tak pernah didengar oleh keluarga sendiri, kadangkadang didengar oleh sahabat-sahabatnya. Nah, SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
katakanlah, aku yakin kau mengetahuinya, apakah
hubungan Watu Gunung dengan Lawa Ijo?".
Mendengar pertanyaan ini Samparan terkejut seperti
disambar petir meleset. Tidak pula kalah terkejutnya Ki
Asem Gede, Mantingan dan mereka yang ikut mendengarnya. Nama Lawa Ijo adalah nama yang tabu
diucapkan. Sebab dengan menyebut namanya saja, sudah
cukup alasan bagi Lawa Ijo untuk membunuh. Meskipun
pada saat-saat terakhir Lawa Ijo tidak pernah lagi muncul,
tetapi apabila nama itu disebutkan, orang yang mendengarnya telah cukup menggigil ketakutan.
Samparan tidak segera menjawab pertanyaan itu. Ia
berdiri pada suatu titik yang berbahaya sekali. Ia semakin
takut kepada Mahesa Jenar, yang sama sekali tak
diduganya akan mengajukan pertanyaan semacam itu. Dari
manakah gerangan ia mencium kabar tentang Watu
Gunung dan hubungannya dengan Lawa Ijo" Teranglah
bahwa ia bukan orang sejajarnya, bahkan tidak sejajar
dengan Mantingan. Kalau tidak, ia tidak akan seenaknya
saja menyebut nama Lawa Ijo.
Ki Asem Gede dan Mantingan pun tergetar juga hatinya.
Mereka berdua pun maklum akan kehebatan Lawa Ijo.
"Jawablah!"- desak Mahesa Jenar. Sementara itu,
pegangannya pun makin dikuatkan. Samparan berdesis
menahan sakit. "Aku tak tahu," jawab Samparan mencoba berbohong.
Tetapi belum lagi ia selesai mengucapkan jawabannya,
tangannya yang terpuntir itu terasa semakin sakit, dan
terangkat ke atas. "Kau tak mau menjawab?" geram Mahesa Jenar.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Keringat dingin memenuhi tubuh Samparan. Ia merasa
serba salah, dan seakan-akan ia telah dihadapkan pada
suatu keharusan memilih, mati di tangan Lawa Ijo atau
Mahesa Jenar. "Aku tak mengetahui seluruhnya. Aku hanya pernah
mendengar nama itu disebut-sebut oleh Watu Gunung,"
jawab Watu Gunung. "Apa katanya?" desak Mahesa Jenar pula. Kembali
Samparan ragu-ragu. "Kau takut kepada Lawa Ijo?" bentak Mahesa Jenar yang
sudah mulai jengkel. "Bagus. Kau takut dibunuhnya. Tetapi
bagaimana kalau yang melaksanakan pembunuhan itu
aku?" lanjut Mahesa Jenar.
Tubuh Samparan mulai menggigil. Ia sudah melihat
kedua kawannya dipecahkan kepalanya oleh orang itu.
Kalau ia tidak menuruti perintahnya, jangan-jangan
kepalanya akan dipecahkan pula. Akhirnya ia mengambil
keputusan untuk berkata, dengan harapan Lawa Ijo sudah
tidak akan muncul kembali.
"Yang aku ketahui," katanya, "Watu Gunung adalah tidak
saja anggota gerombolan itu, tetapi ia adalah saudara muda
seperguruan Lawa Ijo."
Mendengar jawaban Samparan ini, orang-orang jadi
gemetar dan ketakutan. Saudara muda Lawa Ijo binasa di
desa mereka. "Katakan yang lain, aku jadi tanggungan kalau Lawa Ijo
marah," sahut Mahesa Jenar. Samparan merasa bahwa ia
tidak dapat berbuat lain daripada menuruti perintah itu.
"Watu Gunung pasti pernah berkata, di mana Lawa Ijo
sekarang." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Samparan dengan sangat terpaksa akan menjawab
pertanyaan itu. Tetapi sebelum mulutnya bergerak, tiba-tiba
ia merasa Mahesa Jenar mendorongnya sehingga ia
terpelanting jatuh. Dan sementara itu sebuah pisau belati
melayang tepat lewat tempatnya berdiri tadi, langsung
mengenai dinding dan tembus masuk ke dalam rumah.
Dalam pada itu, berkelebatlah sesosok tubuh di antara
penonton meloncat lari meninggalkan halaman. Mantingan
tidak mau melepaskan orang itu begitu saja. Secepat kilat ia
memburunya, yang kemudian disusul oleh Mahesa Jenar.
Tetapi Mantingan belum berpengalaman menghadapi
orang-orang gerombolan Lawa Ijo. Maka ia tidak
menyangka sama sekali bahwa orang yang dikejarnya itu
tiba-tiba berhenti membalikkan diri, dan sebuah sinar putih
menyambar dadanya. Mantingan terkejut bukan main.
Secepat kilat ia memukul sinar putih itu dengan trisulanya.
Terdengarlah suara berdentang dengan hebatnya. Tangan
Mantingan yang memegang trisula itu bergetar hebat,
sedangkan pisau yang dilemparkan ke dadanya itu berubah
arah. Tetapi meskipun demikian, lengannya tergores juga
sedikit. Ia tertegun mengalami peristiwa itu. Dan Mahesa
Jenar yang melihat darah di lengan Mantingan jadi terhenti
pula. Dan sementara itu orang yang telah melemparkan
pisau itu sempat menyelinap di antara pepohonan dan
menghilang. Dari kejauhan terdengarlah gema suara orang
tertawa. Suara itu mengiris ulu hati seperti suara ringkikan
hantu kubur. "Lawa Ijo telah datang," desis Mahesa Jenar.
"Diakah Lawa Ijo?" tanya Mantingan.
"Mungkin, tetapi setidak-tidaknya salah seorang dari
gerombolan itu," jawab Mahesa Jenar. "Aku ingin suatu kali
dapat bertemu dengan Lawa Ijo. Nah lupakan dia Kakang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mantingan untuk sementara. Marilah kita kembali. Mungkin
Samparan dapat menunjukkan tempatnya," lanjut Mahesa
Jenar. Maka segera mereka kembali ke rumah Samparan.
Tampaklah orang-orang yang masih berdiri di halaman itu
berwajah pucat-pucat ketakutan. Beberapa diantaranya
menggigil, terduduk tak berdaya. Apalagi waktu terdengar
suara tertawa di kejauhan.
Ketika Ki Asem Gede melihat tangan Matingan berdarah,
cepat ia berlari menyongsongnya.
"Kau terluka?" tanya Ki A sem Gede.
Mantingan mengangguk mengiakan.
Cepat-cepat Ki Asem Gede memeriksa luka itu. Dan
sebentar kemudian tampak ia mengangguk-angguk. "Tidak
beracun," gumamnya. "Karena itu marilah kita lekas
meninggalkan tempat ini dan menyerahkan kembali anakku
kepada suaminya. Sementara itu aku dapat mengobati luka
Adi Mantingan, yang untung tak berbahaya".
Tetapi, sementara itu Ki Asem Gede melihat Samparan
seperti orang yang tidak sadar terduduk, di tanah. Tingkah
Samparan tampaknya menggelikan. Sifat-sifat garangnya
sama sekali tak berbekas. Apalagi setelah ia hampir saja
disambar pisau. Yang ia tahu pasti, bahwa itulah pisau
gerombolan Lawa Ijo. "Samparan, kau kenapa?" tegur Mahesa Jenar.
Samparan memandang kepada Mahesa Jenar dengan
mata yang layu dan mengandung suatu permohonan untuk
mendapat perlindungan. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenar menangkap maksud itu. "Samparan, kau
jangan berbuat demikian. Tidakkah kau malu pada dirimu
sendiri" Bagaimanapun kau adalah laki-laki yang mengenal
cara untuk membela diri. Meskipun demikian, kalau kau
memang merasa tak mampu berdiri sendiri, kau dapat
mengikuti Kakang Mantingan nanti ke Prambanan. Aku
memang masih memerlukan engkau. Tetapi pada saat ini
kau barangkali tidak lagi dapat mengucapkan sepatah kata
pun. Kakang Mantingan nanti kalau kembali ke Prambanan,
akan mampir kemari menjemputmu. Dan percayalah bahwa
pada waktu ini Lawa Ijo tidak akan berani menginjak rumah
ini. Sebaliknya kau pun jangan meninggalkan rumah ini.
Sebab ada dua kemungkinan, ditangkap oleh Lawa Ijo atau
akulah yang akan memburumu" .
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar yang meyakinkan itu,
Samparan menjadi agak tenang sedikit. Perlahan-lahan ia
berdiri dan membungkuk hormat kepada Mahesa Jenar. Ia
mempunyai suatu kesan yang aneh. Kehebatannya,
kegarangannya, tetapi juga keluhuran budinya. Sehingga
tidak langsung, ia telah memandang ke dirinya sendiri, yang
beberapa saat lalu masih merasa sebagai seorang yang tak
terkalahkan. Alangkah luasnya dunia ini. Dan berapa saja
orang-orang yang sakti tinggal di dalamnya. Baik dari
golongan hitam maupun dari golongan putih. Yang satu
memenangkan yang lain, dan yang lain lagi dapat
mengatasinya pula. Dalam waktu yang sesingkat itu,
Samparan telah menyaksikan orang-orang seperti Watu
Gunung, Ki Asem Gede, Mantingan, Lawa Ijo, dan Mahesa
Jenar. Belum lagi nama-nama yang pernah didengarnya dan
yang belum dikenalnya. Segera setelah itu, Ki Asem Gede beserta kawankawannya meninggalkan tempat itu untuk menghantar Nyi
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Wirasaba kepada suaminya yang rumahnya tak begitu jauh,
hanya berantara dua bulak yang tak begitu lebar.
Di perjalanan itu, timbullah suatu pertanyaan di hati
Mahesa Jenar maupun Mantingan. Sebenarnya pertanyaan
itu telah timbul sejak mereka mengetahui persoalan Nyi
Wirasaba. Dalam persoalan ini, kenapa Ki Wirasaba sendiri
tidak berbuat sesuatu untuk membebaskan istrinya" Bahkan
yang didengar oleh Mahesa Jenar dari murid Wirasaba yang
menghadap Ki Asem Gede, sudah ada dua orang murid
Wirasaba terluka. Mengingat bahwa Ki Wirasaba sedikitnya
memiliki empat orang murid, menunjukkan bahwa ia pun
memiliki pengetahuan tentang tata berkelahi, tetapi ia tak
berbuat apa-apa. Itulah suatu hal yang aneh. Mungkinkah
Ki Wirasaba tidak mencintai istrinya, atau barangkali terikat
sesuatu perjanjian dengan Samparan dan kawankawannya" Mahesa Jenar dan Mantingan, seperti orang yang
sepakat untuk tidak menanyakan hal itu. Mereka takut
kalau-kalau ada suatu rahasia yang dapat menyinggung
kehormatan Ki A sem Gede.
Setelah mereka berjalan beberapa lama, segera mereka
memasuki desa tempat Ki Wirasaba tinggal.


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rumah Ki Wirasaba adalah rumah yang cukup besar,
berdiri di tepi jalan induk di desanya. Berhalaman luas dan
mempunyai ciri-ciri yang agak berbeda dengan halaman di
sekelilingnya. Halaman Ki Wirasaba disegarkan oleh
tanaman-tanaman berbunga yang berdaun hijau sejuk. Di
sudut halaman terdapat sebuah jambangan berisi air yang
bersih bening. Dan di sana-sini bergantung sangkar-sangkar
burung. Berkeliaran pula binatang-binatang piaraan ayam,
itik, angsa dan sebagainya. Halaman itu berdinding batu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
merah yang disusun teratur, yang seakan-akan menjadi
batas dari dua daerah yang tampak sangat berlainan.
Halaman-halaman lain di desa itu masih ditumbuhi
bermacam-macam pohon serba tak teratur. Bahkan di sanasini masih ada pohon-pohon liar yang tumbuh, rumpunrumpun bambu yang hebat, pohon beringin tua, dan randu
alas, yang masih merupakan tempat-tempat yang dianggap
keramat oleh penduduk di sekitarnya.
Mahesa Jenar dan Mantingan waktu melangkahkan kaki
memasuki halaman rumah Ki Wirasaba, telah dijalari suatu
perasaan aneh. Mereka berdua adalah orang-orang yang
telah banyak melihat daerah-daerah lain, bahkan kota-kota
besar, tetapi jarang mereka merasakan kesejukan seperti
yang dirasakan pada saat itu. Alangkah mesranya tangan
yang telah menggarapnya, sehingga halaman itu menjadi
begitu indahnya. Tetapi mereka tidak sempat merasakan kesejukan itu
lebih lama lagi. Tiba-tiba mereka tersentak melihat Nyi
Wirasaba yang tiba-tiba saja berlari mendahuluinya. Pintu
rumah itu, yang ternyata tidak terkunci, didorongnya kuatkuat sehingga hampir saja ia jatuh tertelungkup. Ia segera
menghilang di balik pintu rumahnya. Segera setelah itu
terdengarlah suara Nyi Wirasaba bercampur isak yang
tertahan. "Kakang ..., Kakang Wirasaba ..., aku kembali
Kakang. Kembali kepadamu...." Sesudah itu, yang terdengar
hanyalah tangis Nyi Wirasaba yang tak tertahan lagi.
Ki Asem Gede, Mantingan dan Mahesa Jenar tertegun
sejenak. Suatu peristiwa yang mengharukan. Pertemuan
antara seorang istri dengan suaminya yang dicintai, setelah
mereka dipisahkan beberapa saat tanpa adanya suatu
harapan untuk dapat bertemu kembali.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Ki Asem Gede bertiga berdiri saja di muka pintu seperti
patung. Sebentar kemudian terdengarlah suara yang berat dan
dalam. "Nyai, masihkah aku berhak menerima kau kembali"
Atau masih berhakkah kau kembali kepadaku ...?"
----------odwOkzo---------SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Jilid 2 SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
I Mendengar jawaban itu, mendadak tangis Nyi Wirasaba
terputus karena terkejut. Ia tidak begitu mengerti maksud
jawaban suaminya, dan karena itu ia bertanya kepada Ki
Wirasaba, "Apakah maksudmu, Kakang?"
"Nyai," Ki Wirasaba menjelaskan, "kalau kau dibebaskan
oleh Samparan dan kawan-kawannya setelah kau
menyerahkan dirimu, maka kau tidak berhak lagi kembali
kepadaku. Tetapi kalau ada orang lain yang membebaskan
engkau, Nyai, maka akulah yang tidak berhak lagi
menerima aku." Mendengar penjelasan itu, Nyai Wirasaba terkejut bukan
kepalang, maka kembali meledaklah tangisnya. "Kakang,"
katanya di antara sedu-sedannya, "aku masih bersih seperti
kemarin, Kakang. Bukankah dengan demikian aku masih
berhak kembali kepadamu" Kalau aku tidak lagi merasa
berhak kembali kepadamu, kau hanya akan tinggal dapat
mengenang namaku, sebab aku telah bertekad untuk
bunuh diri. Tetapi kalau orang lain yang membebaskan aku,
kenapa kau merasa tidak berhak lagi menerima aku?" kata
Nyi Wirasaba diantara sedu-sedannya.
"Nyai," jawab Ki Wirasaba, "laki-laki yang tahu diri, hanya
dapat memetik buah dari pohon yang ditanamnya sendiri,".
Mendengar jawaban itu, Ki Asem Gede tidak kalah
terkejutnya. Maka segera ia melompati pintu dan cepatcepat menemui menantunya. Mahesa Jenar dan Mantingan
yang merasa berkepentingan pula, segera mengikuti Ki
Asem Gede. Barangkali mereka dapat menolong memberikan beberapa keterangan yang diperlukan.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mendengar kata-kata Wirasaba, Mahesa Jenar dan
Mantingan dapat menduga, kalau orang itu mempunyai
harga diri yang cukup tinggi. Tetapi yang masih merupakan
pertanyaan, mengapa Wirasaba sendiri tak berbuat sesuatu
untuk membebaskan istrinya"
Melihat kedatangan Ki Asem Gede dan dua orang yang
tak dikenalnya, Wirasaba menjadi agak terkejut. Tetapi
segera ia membungkuk hormat dengan tetap masih duduk
bersila di atas pembaringannya.
"Selamat datang Bapak Asem Gede."
Ki Asem Gede membalas hormat, jawabnya, "Selamat
Wirasaba, aku datang mengantarkan istrimu. Mudahmudahan kau mau menerimanya dengan baik. Kau tidak
usah mempersoalkan siapakah yang membebaskannya.
Yang penting, ia pulang dengan selamat, dan masih tetap
seperti saat ia diambil darimu."
Wirasaba diam sejenak. Ia tundukkan kepalanya sambil
berpikir. Sebenarnya ia adalah seorang jantan yang
memang agak tinggi hati. Ia tidak mau menerima
pertolongan orang lain berdasarkan belas kasihan. Apalagi
dalam persoalan ini, persoalan seorang istri.
"Siapakah yang telah membebaskan istriku?" tanya
Wirasaba. Ki Asem Gede tertegun sejenak. Ingin ia mengaku telah
membebaskan anaknya untuk menjaga perasaan menantunya, tetapi ia takut kalau dengan demikian ia dikira
orang yang tak mengenal budi. Sebaliknya Mahesa Jenar
pun sebenarnya ingin mengatakan bahwa Ki Asem Gede
telah membebaskan anaknya, tetapi ia pun takut kalaukalau hal ini dianggap merendahkan orang tua itu.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Melihat gelagat yang demikian, Ki Wirasaba dapat
menebak bahwa seseorang telah membebaskan istrinya.
Bahkan tidak mustahil kalau orang itu adalah salah seorang
yang sekarang berada di hadapannya, atau kedua-duanya.
Maka segera muncullah sifat tinggi hatinya, katanya, "Bapak
Asem Gede, aku mempunyai dugaan bahwa orang itu telah
membebaskan istriku. Aku juga mempunyai dugaan bahwa
orang itu telah berhasil membebaskan istriku dengan
kekerasan. Sebab mustahil Samparan dan Watu Gunung
akan melepaskan korbannya begitu saja sebelum nyawanya
dapat dicabut. Adakah orang yang menyabung nyawa tanpa
pamrih?" Mendengar sindiran itu, hati Mahesa Jenar tergoncang
hebat. Tidak kalah pula terperanjatnya Mantingan dan Ki
Asem Gede, sehingga wajah mereka menjadi semburat
merah. Nyi Wirasaba melihat gelagat yang kurang baik itu.
Dan kembali sebuah goresan tajam melukai hatinya yang
sudah hampir sembuh. Cepat ia menjatuhkan diri di
samping pembaringan suaminya, berlutut sambil menangis,
katanya, "Kakang, aku telah kembali kepadamu. Jangan
lepaskan aku lagi." Mendengar ratap istrinya, sebenarnya hati Wirasaba
terobek-robek karenanya. Ia pun sebenarnya sangat
mencintai istrinya, sebagaimana istrinya mencintainya.
Tetapi perasaan harga diri yang berlebih-lebihan telah
melibat hati Wirasaba, sehingga sedikit pun ia tidak
menunjukkan getaran perasaannya.
Mata Wirasaba yang sayu memandang keluar lewat
jendela di samping pembaringannya. Memandang daundaun yang bergoyang-goyang digerakkan angin, serta
kilatan-kilatan matahari yang jatuh bertebaran di atas tanah
pegunungan yang kemerah-merahan.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Suasana kemudian dikuasai oleh kesepian yang tegang.
Mahesa Jenar mengeluh dalam hati. Kutuk apakah yang
ditimpakan Tuhan atas dirinya, sehingga ia mengalami
suatu kejadian yang demikian rumitnya" Haruskah pada
suatu saat ia berhadapan dengan Wirasaba sebagai lawan"
Kalau demikian, maka menang atau kalah ia akan tetap
sama saja. Sama-sama mengalami penderitaan batin. Kalau
Mahesa Jenar kalah, maka kekalahan itu tak akan dapat
dilupakannya seumur hidupnya. Sebaliknya kalau ia
menang, bagaimanakah nasib Nyai Wirasaba" Sebab
dengan demikian Ki Wirasaba pasti tidak akan mau
menerimanya kembali. Bahkan mungkin ia akan membunuh
dirinya. Belum lagi Mahesa Jenar menemukan jalan keluar, tibatiba didengarnya Wirasaba berkata, "Nyai, aku akan
menerima kau kembali sebagaimana kau terlepas dari
tangan Samparan." Suara Wirasaba itu terdengar sebagai gemuruhnya seribu
guntur yang menggelegar bersama-sama.
Suasana menjadi bertambah tegang. Peluh dingin telah
mengalir di seluruh tubuh Mahesa Jenar. Apa yang
diduganya ternyata benar-benar terjadi.
Sampai saat itu pun ia masih belum dapat menemukan
suatu pilihan. Bagaimanapun, sebagai seorang laki-laki ia
tidak bisa menelan tantangan itu begitu saja. Sehingga
dengan demikian tubuhnya menjadi gemetar menahan
perasaannya yang melonjak lonjak. Hampir saja ia
melangkah maju dan menerima tantangan itu. Tetapi ketika
dilihatnya Nyai Wirasaba masih menangis, bahkan makin
menjadi-jadi, ia kembali ragu-ragu.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Akhirnya setelah perasaannya berjuang beberapa lama,
Mahesa Jenar mengambil suatu keputusan yang sangat
berat. Sebagai seorang laki-laki, apalagi sebagai seorang
yang berjiwa prajurit, ia belum pernah menghindari suatu
tantangan. Tetapi kali ini bertekad, berkorban buat kedua
kalinya, untuk ketentraman hidup putri Ki Asem Gede.
Karena itu ia berdiam diri, tanpa mengucapkan sepatah
kata pun. Ki Asem Gede menjadi kebingungan, dan tidak
tahu apa yang seharusnya dilakukan. Ia pun mempunyai
pikiran yang sama dengan Mahesa Jenar. Kalau saja
Mahesa Jenar menerima tantangan itu, Mahesa Jenar
bukanlah tandingan Wirasaba. Bagaimanapun hebatnya
menantunya, tetapi setinggi-tingginya yang dapat dicapainya adalah tingkat Dalang Mantingan. Apalagi dalam
keadaan seperti sekarang ini.
Belum lagi suasana yang tegang itu terpecahkan,
mendadak mereka dikejutkan oleh suatu bayangan yang
melayang, meloncat masuk lewat jendela yang terbuka di
samping pembaringan Wirasaba. Geraknya cepat dan lincah
sekali. Mereka menjadi semakin terperanjat ketika mereka
melihat siapakah orang itu. Ternyata orang yang telah
berdiri tegak diantara mereka adalah Samparan.
"Pengecut tua," teriaknya sambil menuding wajah Ki
Asem Gede, "kau curi anakmu dengan laku seorang
perempuan. Aku telah merampasnya dengan kejantanan.
Aku telah melukai dua orang murid Wirasaba yang
menghalangi maksudku. Seharusnya kau ambil perempuan
itu dengan laku seorang jantan pula. Nah, sekarang aku
datang untuk mengambilnya kembali"
Melihat tingkah laku, sikap dan kata-kata Samparan, Ki
Asem Gede terkejut bukan kepalang. Apalagi yang mau
diperbuat oleh setan kecil ini"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sedangkan Mantingan mempunyai tanggapan lain.
Mungkin kawanan Lawa Ijo telah datang untuk menuntut
balas atas kematian Watu Gunung dengan mempergunakan
Samparan sebagai umpan. Lain pula dengan Ki Wirasaba. Melihat kedatangan
Samparan dan mendengar kata-katanya, matanya menjadi
berkilat-kilat. Seakan-akan suatu cahaya terang memancar
di dalam jiwanya. "Samparan," sahut Wirasaba, "kau pun tidak berlaku
jantan. Kau tidak mengambil istriku dari tanganku. Kau
hanya berani melayani anak-anak yang baru dapat
meloncat-loncat tak berarti. Kalau benar katamu, Bapak Ki
Asem Gede mengambil istriku, Bapak Asem Gede ingin
mengembalikan keadaan seperti semula. Nah, sekarang,
kalau kau inginkan istriku, ambillah ia dari tanganku dengan
laku seorang jantan".
Samparan tertawa dingin, jawabnya, "Kau bermaksud
demikian?" Ki Wirasaba tertawa nyaring. Wajahnya kini menjadi
cerah seperti cerahnya matahari.
Mahesa Jenar yang berotak cerdas segera menangkap
arah persoalannya. Diam-diam ia memuji kelincahan otak
Samparan. Tetapi lebih dari itu, ia kagum maksud baik
Samparan, meskipun dengan tindakannya itu

Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ia menghadapi kemungkinan yang berat sekali.
"Kau telah mengundang orang-orang ini untuk melindungi istrimu?" tanya Samparan dengan nada
menghina. Wirasaba yang tinggi hati, segera merasa tersinggung.
Dengan marahnya ia menjawab, "Samparan, mulutmu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
terlalu lancang. Aku belum kenal mereka keduanya. Mereka
datang bersama-sama Bapak Asem Gede. Urusan ini adalah
urusanku dengan kau. Jadi kau dan akulah yang harus
menyelesaikan." Kembali Samparan tertawa dingin."Wirasaba, jangan kau
mimpi akan masa lampau. Memang beberapa tahun yang
lalu kau merupakan seorang tokoh yang mempunyai nama
cemerlang. Sebutanmu cukup menggetarkan. Tetapi
dengan kakimu yang lumpuh sekarang ini, kau menjadi
sebatang seruling gading yang telah retak".
Mahesa Jenar dan Mantingan terperanjat dua kali lipat.
Ternyata Wirasaba adalah orang yang terkenal dengan
sebutan Seruling Gading. Seorang tokoh penggembala yang
tak ada tandingannya diantara mereka. Kekuatan tubuhnya
dan kepandaiannya meniup seruling merupakan suatu
paduan yang sudah ditemukan. Tetapi Seruling Gading itu
kini sudah lumpuh. Dan kata-kata Samparan itu juga
merupakan jawaban atas teka-teki yang selama ini selalu
membelit pikiran Mahesa Jenar dan Mantingan. Karena
kelumpuhannya itu pulalah agaknya, maka Wirasaba tak
berbuat sesuatu untuk membebaskan istrinya.
Mendengar ejekan Samparan itu, hati Wirasaba menjadi
terbakar. Ia sudah hampir tak dapat menguasai
kemarahannya. Cepat tangannya meraih senjatanya dari
bawah bantalnya. Sebuah kapak bertangkai yang panjangnya kira-kira hampir sedepa.
"Kalau kau tidak membawa senjata, Samparan ..., kau
boleh meminjam senjata-senjata ku. Manakah yang kau
sukai?" kata Wirasaba sambil menunjuk ke sudut ruang.
Pada dinding yang ditunjuk itu bergayutan bermacamSH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
macam senjata. Kapak, tombak, pedang, keris dan
sebagainya. Perlahan-lahan Samparan berjalan ke sudut ruang
tempat senjata itu tergantung. Dengan tenangnya ia mulai
menimang-nimang senjata itu satu demi satu.
"Wirasaba," katanya, "alangkah banyaknya jenis senjatamu sebagai pertanda kebesaran namamu. Hanya
saja tak satu pun sebenarnya yang cukup berharga kau
pergunakan. Tetapi baiklah aku mencoba tombak pendekmu ini untuk melayani kapakmu yang terkenal itu."
Wirasaba menjadi bertambah marah mendengar celaan
itu, sehingga kemudian ia tidak sabar lagi. Ia telah bersiap
dan menggeser tubuhnya ke tepi pembaringan. Samparan
yang telah mendapatkan pilihan senjata diantara sekian
banyak macam senjata yang tergantung di sudut ruang itu
pun segera mempersiapkan diri.
Ki Asem Gede dan Mantingan segera mengetahui pula
maksud Samparan. Itulah sebabnya mereka berdiri
termangu-mangu penuh kekhawatiran akan keselamatan
Samparan. Tetapi Samparan berdiri tenang-tenang saja,
meskipun ia tahu pasti tingkat ketinggian ilmu Wirasaba.
"Samparan, mulailah!" Wirasaba menggeram tidak sabar
lagi. Samparan memperdengarkan suara tertawa yang
hambar dan dingin. Sebentar ia memandang wajah Mahesa
Jenar yang dikagumi. Sorot matanya memancar aneh,
sebagai sorot mata anak-anak yang dilepas dari pelukan
bapaknya yang akan pergi berperang.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tetapi sekejap kemudian Samparan segera meloncat
dengan lincahnya, sambil memutar tombaknya menyerang
Wirasaba. Mahesa Jenar melihat segala gerak Samparan dengan
terharu. Ia memandang Samparan sebagai seorang anak
yang telah hilang, dan kini sedang berusaha untuk kembali
ke pangkuan kebenaran. Samparan sedang berjuang untuk
menebus segala dosa yang pernah dilakukan.
Samparan mulai dengan sebuah tusukan ke arah dada
Wirasaba. Sebenarnya gerak Samparan cukup lincah dan
mantap. Hanya sayang bahwa ia tidak dapat menyelaraskan
gerakan-gerakan kaki dengan tangannya. Sedangkan
Wirasaba ternyata memang seorang yang berilmu cukup
tinggi. Meskipun ia tidak dapat mempergunakan kakinya,
tetapi dengan gerak tangannya yang tampaknya tidak
banyak membuang tenaga, ia dapat menangkis seranganserangan Samparan, sehingga tusukannya meleset ke
samping. Bahkan sekaligus ia siap menghantam lengan
Samparan dengan tangkai kapaknya. Cepat Samparan
menarik serangannya, dan selangkah meloncat ke kiri.
Kembali mata tombak Samparan akan mematuk lambung
lawannya. Namun Wirasaba cukup cekatan. Dengan
tenaganya, ia memutar kapaknya untuk menangkis
serangan tombak Samparan itu.
Demikianlah, pertarungan itu semakin lama semakin
bertambah sengit. Samparan telah mengeluarkan hampir
segenap ilmunya untuk menundukkan lawannya. Sedangkan Wirasaba, bagaimanapun hebatnya, namun
karena ia hanya mampu menangkis serangan lawannya dan
hanya mampu menyerang dalam jarak yang sangat
terbatas, maka tampaklah ia mulai terdesak. Untunglah
bahwa ia memiliki sepasang tangan yang kuat dan cekatan,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sehingga pada saat-saat yang sangat berbahaya ia masih
berhasil membebaskan dirinya dari ujung tombak Samparan. Mahesa Jenar, Mantingan dan Ki Asem Gede, yang
menyaksikan pertarungan itu, mengikuti dengan perasaan
yang tegang. Berbagai macam gambaran membayang di
kepala masing-masing. Kali ini pun mereka diliputi oleh
kecemasan-kecemasan yang sangat tak menyenangkan.
Apalagi Nyai Wirasaba yang tak dapat mengerti
persoalan yang dihadapi saat itu. Hatinya menjadi bergolak
sedemikian hebatnya, sehingga ia tidak berani lagi
menyaksikan pertempuran itu.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Maka, semakin lama semakin jelaslah bahwa Samparan
akan berhasil menguasai keadaan. Ia mempergunakan
suatu cara yang sangat menguntungkan. Sesaat ia
meloncat maju sambil menyerang, tetapi sesaat apabila
serangannya gagal, ia segera meloncat surut menjauhi
Wirasaba untuk menghindari serangan-serangannya yang
sangat berbahaya. Melihat cara Samparan bertempur, Wirasaba menjadi
semakin kalap, disamping rasa penyesalan yang meluapluap atas cacat kaki yang dideritanya. Karena itulah maka
cara bertempurnya pun semakin lama menjadi semakin
kabur. Sehingga pada suatu saat, dengan gerak tipu yang
cepat sekali, tombak Samparan mengarah ke leher
Wirasaba. Wirasaba segera mengangkat tombaknya untuk
menangkis serangan itu. Tetapi selagi kapak Wirasaba
bergerak, Samparan mengubah serangannya. Dengan satu
putaran yang cepat tombaknya mengarah ke perut
Wirasaba. Melihat perubahan yang cepat sekali itu Wirasaba
terkejut, secepat kilat ia mengayunkan kapaknya memukul
tombak Samparan. Pada saat yang demikian, kedudukan
Wirasaba menjadi lemah sekali. Kalau Samparan menghindari bentrokan itu, kemudian dengan perubahan
sedikit ia memukul kapak Wirasaba dengan arah yang
sama, maka mungkin sekali kapak itu akan terlempar jatuh.
Tetapi pada saat ia akan melakukannya, tiba-tiba
terlintaslah di dalam benaknya, suatu ingatan, bahwa ia
tidak benar-benar berhasrat untuk mengalahkan Wirasaba.
Samparan datang sekadar untuk membebaskan Mahesa
Jenar dari syak wasangka. Kalau ia betul-betul memenangkan pertarungan itu, maka maksudnya untuk
menebus kesalahannya, tidak akan berhasil. Ia tidak akan
dapat mengembalikan suasana ketenteraman rumah tangga
Wirasaba yang telah dirusaknya. Malahan mungkin ia akan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menyaksikan Wirasaba yang akan merasa sangat tersinggung kehormatannya itu, bunuh diri, bahkan akan
disusul pula oleh istrinya. Karena pikiran yang demikian,
maka sesaat Samparan kehilangan pemusatan pikiran.
Sementara itu, waktu yang sesaat itu dapat dipergunakan oleh Wirasaba sebaik-baiknya. Segera ia
dapat memperbaiki keadaan. Dengan suatu gerakan yang
dahsyat, kapaknya mengayun ke arah kepala Samparan.
Samparan tersadar tepat pada saatnya. Tetapi ia tidak lagi
dapat menghindar. Segera disilangkannya tombak pendeknya untuk menangkis kapak Wirasaba. Maka
terjadilah suatu benturan yang hebat. Ternyata tenaga
Wirasaba luar biasa kuatnya. Juga tombak Wirasaba yang
dipergunakan Samparan adalah tombak pilihan yang tak
terpatahkan oleh kekuatan Wirasaba sendiri. Tetapi tenaga
Samparan lah yang tak dapat menandingi kekuatankekuatan itu, sehingga tangan yang memegang tombak itu
tergetar hebat, dan tombak itu meleset lepas dari
pegangannya. Mereka yang menyaksikan kejadian itu darahnya serasa
terhenti. Sebab kelanjutannya tentu akan mengerikan
sekali. Mahesa Jenar yang sudah dapat meramalkan apa
yang akan terjadi, hampir saja meloncat maju untuk
mencegahnya. Untunglah segera ia sadar, bahwa kalau ia
berbuat demikian, akibatnya akan sangat tidak menyenangkan bagi dirinya maupun bagi ketenteraman hati
Wirasaba. Maka yang dapat dilakukannya hanyalah
mengharap suatu keajaiban sehingga apa yang ditakutkan
itu tidak terjadi. Tetapi rupanya tidak demikianlah yang
terjadi. Tombak Samparan yang disilangkan itu berhasil
menyelamatkan kepalanya, tetapi kapak Wirasaba yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
terayun demikian derasnya dan digerakkan oleh kekuatan
yang luar biasa itu, tidak seberapa mengalami perubahan
arah. Maka terjadilah suatu goresan panjang merobek dada
Samparan. Terdengarlah suatu keluhan yang tertahan. Samparan
terhuyung-huyung surut beberapa langkah. Dari lukanya
menyembur darah yang merah segar. Mahesa Jenar,
Mantingan dan Ki Asem Gede tergoncang hatinya melihat
peristiwa itu. Telah berapa puluh kali mereka melihat darah
yang mengucur dari luka, tetapi jarang mereka mengalami
kejadian seperti ini.

Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wirasaba yang tidak mengetahui latar belakang dari
peristiwa itu, memandang Samparan dengan tak berkedip.
Dari wajahnya memancar perasaan puas dan dendam
sedalam lautan. Ia merasa bahwa dengan demikian telah
terbalaslah sebagian rasa sakit hatinya, dan ia merasa
bahwa tak ada hutang budi kepada siapapun juga.
----------odwOkzo---------SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
II Samparan, yang dadanya terbelah, masih berusaha
sekuat sisa tenaganya untuk keluar dari ruangan itu. Kedua
tangannya ditekankan pada dadanya yang terluka itu.
Mahesa Jenar memandangnya dengan penuh haru.
Cepat ia menyusul, diikuti oleh Mantingan dan Ki Asem
Gede. Tepat sampai di luar pintu, rupanya Samparan sudah
tidak dapat lagi menguasai keseimbangan badannya.
Untunglah bahwa Mahesa Jenar cepat menangkapnya,
ketika ia hampir saja terjatuh. Dan dengan perlahan-lahan
Samparan diletakkan di atas tanah.
Meskipun lukanya sangat membahayakan, tetapi wajah
Samparan sama sekali tak menunjukkan rasa sakit. Bahkan
dengan tenangnya ia memandang Mahesa Jenar, Matingan
dan Ki Asem Gede berganti-ganti. Kemudian dengan
tersenyum ia berkata, "Ki Asem Gede. Ki Dalang Mantingan
dan Ki Sanak Mahesa Jenar, aku sudah berusaha untuk
mengurangi kesalahanku."
Ki Asem Gede mengangguk-angguk, jawabnya,"Puaskanlah hatimu. Nah sekarang biarlah aku
mencoba menyembuhkan luka-lukamu"
"Tak ada gunanya, Ki Asem Gede," jawab Samparan
sambil menggelengkan kepalanya, dengan suara sangat
pelan. "Biarlah aku coba," desak Ki Asem Gede, meskipun ia
sendiri sudah melihat, bahwa hampir tak ada kemungkinan
untuk mengobati luka Samparan itu.
Kembali Samparan memaksa dirinya tersenyum dan
menggeleng perlahan-lahan.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Ki Sanak Mahesa Jenar," desahnya kemudian," sebelum
aku mati, baiklah aku katakan kepadamu suatu rahasia
yang ingin kau ketahui. Bukankah sekarang aku tidak perlu
takut kepada Lawa Ijo dan kepada siapapun" Kau mau
mendengar?" Mahesa Jenar segera merapatkan dirinya. Lalu jawabnya,
"Aku ingin mendengar, Samparan. Tetapi sekarang bukan
waktunya. Kau terlalu banyak mengeluarkan darah, karena
itu kau harus beristirahat."
Samparan menarik nafas dalam-dalam. "Waktuku tinggal
sedikit. Dengarlah. Menurut Watu Gunung, Lawa Ijo
sekarang berada di Pasiraman. Sebuah telaga kecil di
seberang hutan Mentaok. Desa tempat tinggalnya itu pun
bernama Desa Pasiraman pula. Desa itu terletak tepat di
tepi hutan. Agak ke barat sedikit terdapatlah hutan yang
hampir dipenuhi oleh pohon pucang, sehingga hutan itu
disebut Alas Pucang Kerep," kata Samparan. Samparan
berhenti sebentar. Terdengar arus nafasnya semakih cepat.
"Beristirahatlah Samparan," desak Mahesa Jenar,
"Keterangan itu sudah cukup bagiku,"
Samparan berusaha untuk menggeleng. "Belum cukup.
Di sana Lawa Ijo sedang menggembleng diri. Ia sedang
berusaha untuk memulihkan luka-lukanya yang dideritanya
ketika ia sedang berusaha mencuri pusaka-pusaka di Kraton
Demak" lanjut Samparan sangat lemah.
Mahesa Jenar agak terkejut mendengar keterangan itu.
"Kalau demikian, Lawa Ijo inilah yang pernah dilukainya
dahulu," pikir Mahesa Jenar.
"Usaha Lawa Ijo untuk memulihkan diri, ternyata
sekarang sudah berhasil," sambung Samparan hampir
berbisik-bisik, "Ia selalu berada dalam pengawasan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
gurunya. Aku belum pernah bertemu dengan gurunya itu,
tetapi seperti apa yang digambarkan oleh Watu Gunung,
aku dapat membayangkan bahwa gurunya itu adalah
seorang iblis yang jarang ada duanya".
Mahesa Jenar menjadi tertarik pada cerita Samparan,
sehingga ia lupa bahwa ia berhadapan dengan seorang
yang luka berat. Maka desaknya tidak sabar, "Siapakah
nama gurunya itu?" "Ia adalah seorang yang mempunyai kesaktian luar
biasa. Namanya Pasingsingan."
"Pasingsingan?" ulang Mahesa Jenar. Terkejutnya bukan
alang kepalang. Ia pernah mendengar nama itu dari
gurunya, baik Syeh Siti Djenar maupun Ki Ageng Pengging
Sepuh. Tetapi tokoh ini sama sekali tak digambarkan
sebagai seorang tokoh yang aneh dan sakti. Tetapi yang
didengarnya, Pasingsingan adalah seorang yang luhur budi.
Seorang penolong yang tak pernah memperkenalkan wajah
aslinya, karena ia selalu memakai topeng. Hanya karena
topeng itu dibuat sedemikian kasar dan jelek, maka
Pasingsingan digambarkan sebagai seorang yang berwajah
menakutkan. Adakah sesuatu peristiwa yang terjadi sehingga tokoh itu
berbalik diri dari lingkungan putih ke lingkungan hitam"
Tetapi sementara itu Samparan telah mulai berbisik lagi.
"Beberapa waktu yang lalu ..., Lawa Ijo pernah dilukai oleh
seorang senapati Demak, waktu ia sedang berusaha untuk
mendapatkan pusaka."
Mendengar cerita ini Mahesa Jenar semakin tertarik.
"Ki Sanak, dalam lingkungan golongan hitam terdapat
suatu kepercayaan, bahwa barang siapa memiliki sepasang
pusaka yang mereka perebutkan, adalah suatu pertanda
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
bahwa orang itu akan dapat merajai seluruh golongan
hitam. Dengan demikian akan cukup kekuatan dan
dukungan bila pada suatu saat mendirikan suatu
pemerintahan tandingan yang kekuasaannya akan dapat
menyaingi kekuasaan Demak." Suara Samparan menjadi
semakin perlahan-lahan, tetapi masih cukup jelas.
"Sedangkan Lawa Ijo, atas petunjuk Pasingsingan, akan
mencuri langsung pusaka asli, yang menurunkan sepasang
pusaka yang diperebutkan itu," lanjut Samparan.
"Apakah ujud dan nama pusaka-pusaka itu?" Tiba-tiba Ki
Asem Gede menyela. Samparan menarik nafas untuk mengatasi denyut
jantungnya yang semakin memburu. "Pusaka-pusaka itu
berupa keris. Seekor naga bersisik seribu dan sebuah keris
lain berlekuk sebelas dengan pamor yang memancarkan
cahaya kebiru biruan."
"Naga Sasra dan Sabuk Inten," potong Dalang Mantingan
mengejutkan. "Ya," jawab Samparan, "demikian mereka menyebut
namanya. Nagasasra dan Sabuk Inten. Tetapi yang
sepasang, yang mereka perebutkan itu masih meragukan.
Pasingsingan mengira bahwa keris itu hanyalah keturunannya saja, sedang yang asli masih berada di
keraton. Untunglah bahwa pada saat Lawa Ijo akan mencuri
pusaka-pusaka itu, ada dua orang prajurit terlepas dari
pengaruh sirepnya yang terkenal. Empat orang anak buah
Lawa Ijo terbunuh, sedangkan Lawa Ijo sendiri terluka di
bagian dalam dadanya".
Sekarang Mahesa Jenar semakin bertambah jelas bahwa
Lawa Ijo yang berusaha memasuki gedung perbendaharaan
itulah yang dimaksud oleh Samparan.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Untunglah bahwa ada orang-orang seperti kedua
prajurit itu." Samparan meneruskan, "Alangkah gagahnya.
Kemudian Lawa Ijo dapat mendengar bahwa kedua prajurit
itu bernama Rangga Tohjaya dan Gajah Alit,"
Sekarang Ki Asem Gede dan Mantingan yang terperanjat.
Rangga Tohjaja adalah Mahesa Jenar. Jadi kalau demikian
Mahesa Jenar pernah bertempur, bahkan melukai Lawa Ijo.
Dengan tak mereka sadari terloncatlah sebuah pertanyaan
dari mulut Ki Asem Gede, "Jadi Anakmas pernah melukai
Lawa Ijo?" Mendengar pertanyaan ini Mahesa Jenar menjadi
bimbang sebentar. Samparan, yang meskipun dalam
keadaan parah, tampak wajahnya berubah hebat mendengar pertanyaan Ki Asem Gede itu. Ia menyebutkan
bahwa yang melukai Lawa Ijo adalah Rangga Tohjaja dan
Gajah Alit, tetapi kenapa Ki Asem Gede bertanya kepada
Mahesa Jenar" Mahesa Jenar menangkap perubahan wajah Samparan.
Pikirannya mengatakan, tak baik orang yang pada saat-saat
terakhir masih menyimpan teka-teki. Karena itu ia
menjawab pertanyaan Ki Asem Gede. Tetapi jawaban ini
ditujukan kepada Samparan. "Samparan, barangkali kau
heran, bahkan mungkin tak percaya. Tetapi biarlah aku
beritahukan kepadamu supaya kau percaya. Supaya kau
menjadi jelas. Akulah Rangga Tohjaja yang kau maksudkan
tadi. Memang aku pernah bertempur dan melukai Lawa Ijo
di halaman dalam Istana Demak. Karena itulah aku akan
selalu mencarinya." Belum lagi Mahesa Jenar selesai berkata, tiba-tiba
dilihatnya mata Samparan yang tenang itu, membasah. Lalu
kata-katanya terputus-putus. "Jadi ... inikah pahlawan itu"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Berbahagialah aku dapat bertemu dengan Tuan. Nah, Tuan
Rangga Tohdjaja, mudah-mudahan usahaku yang kecil ini
dapat mengurangi dosaku. Akhirnya hendaklah tuanku
ketahui, bahwa Pasingsingan berpendirian, apabila keturunan dari kedua pusaka itu saja mempunyai kasiat
yang demikian, apalagi pusaka-pusaka aslinya."
Sejenak kemudian wajah Samparan menjadi semakin
tegang. Beberapa kali ia berusaha menguasai jalan
pernafasannya. Tetapi bagaimanapun, keadaannya bertambah parah. Darah masih mengalir dari lukanya. Tibatiba sebagai seorang tabib, tersadarlah Ki Asem Gede
bahwa ia harus bertindak secepatnya untuk menyelamatkan
jiwa Samparan, sampai kemungkinan yang terakhir.
"Adi Mantingan," katanya, "marilah kita angkat
Samparan ini ke Gandok Wetan. Barangkali ada suatu cara
untuk mengobatinya".
Mendengar kata-kata itu, segera Mantingan bangkit dan
siap bersama-sama Ki Asem Gede mengangkat Samparan.
Tetapi, dengan senyuman yang sayu, Samparan berbisik
perlahan. "Terimakasih Ki Asem Gede. Tetapi masih ada
suatu rahasia lagi yang perlu Tuan ketahui, Rangga Tohjaja.
Besok pada bulan terakhir tahun ini, akan ada suatu
pertemuan para sakti dari aliran hitam untuk menilai ilmu
masing-masing, dan sekaligus mencari seorang tokoh
sebagai pemimpin mereka. Kecuali kalau sebelum itu
seseorang diantara mereka dapat membuktikan bahwa ia
telah memiliki pusaka-pusaka Nagasasra dan Sabuk Inten.
Dalam hal ini maka mereka hanya akan menentukan urutan
hak saudara tua dari setiap gerombolan."
Kemudian denyut jantung Samparan turun dengan
cepatnya. Wajahnyapun menjadi semakin pucat. Meskipun
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
demikian ia masih berusaha untuk berkata, "Bulan terakhir
tahun ini, tepat pada saat purnama naik, di lembah Tanah
Rawa-rawa, akan hadir dalam pertemuan itu antara lain
Lawa Ijo dari Mentaok. Sepasang Uling dari Rawa Pening
sebagai tuan rumah, yaitu Uling Kuning dan Uling Putih.
Suami-istri Sima Rodra dari Gunung Tidar, Djaka Soka,
Bajak Laut yang berwajah tampan dari Nusakambangan,
yang mendapat julukan Ular Laut." Sebenarnya Samparan
masih akan berkata menyebut beberapa nama lagi, tetapi ia
sudah terlalu lemah. "Sudahlah Samparan," potong Ki Asem Gede, "Jangan
pikirkan semua itu. Tenangkanlah dan beristirahatlah,".
Samparan tersenyum buat terakhir kalinya. Ia menarik
nafas panjang, dan sesudah itu terhentilah denyut
jantungnya. Mereka yang menyaksikannya, untuk sesaat
menundukkan kepala masing-masing dengan rasa haru.
Perlahan-lahan tubuh itu kemudian diangkat dan
diletakkan di atas bale-bale di Gandok Wetan. Tetapi
wajahnya sekarang tidak lagi membayangkan kejahatan
seperti yang pernah dilakukan semasa hidupnya. Wajah itu
kini bagaikan kotak kaca yang sudah dibersihkan isinya dari
kotoran-kotoran yang semula memenuhinya.
Kemudian Ki Asem Gede segera memanggil beberapa
orang pelayan dan murid-murid Wirasaba. Mereka diminta
merawat mayat Samparan. Mayat seorang yang pernah
menggemparkan Pucangan dengan kejahatan-kejahatan.
Selain itu, kepada murid-murid Wirasaba bahkan kepada
Nyi Wirasaba, Ki Asem Gede minta supaya tidak
mengatakan suatu apapun tentang peristiwa Samparan dan
kawan-kawannya kepada Ki Wirasaba.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Maka, Samparan adalah satu-satunya diantara kelima


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang gerombolannya yang mendapat penghormatan
terakhir pada saat penguburannya. Pengorbanan Samparan
sebagai penebus dosa tidaklah sia-sia. Untuk beberapa lama
Ki Wirasaba dapat menikmati ketenteraman hidupnya
kembali di samping istrinya yang setia.
----------odwOkzo---------SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
III Pada malam setelah semua peristiwa itu terjadi,
Mantingan dan Mahesa Jenar diminta untuk tinggal di
rumah Ki Wirasaba bersama-sama Ki Asem Gede. Tetapi
untuk menghindari hal-hal yang dapat menimbulkan salah
faham, maka sengaja Mantingan dan Mahesa Jenar tidak
banyak bercakap-cakap dengan Ki Wirasaba. Hanya dalam
kesempatan itu, ketika mereka duduk-duduk bertiga,
Mahesa Jenar, Ki Dalang Mantingan dan Ki Asem Gede,
berceriteralah orang itu, tentang sebab-sebabnya Ki
Wirasaba menjadi lumpuh. "Wirasaba adalah seorang pilihan dalam kalangannya,"
ceritera ki Asem Gede,." Yaitu para penggembala. Ia
mendapat gelar Seruling Gading karena kepandaiannya
meniup seruling. Pada usia yang masih sangat muda, ia
mulai dengan perantauannya dari satu daerah ke daerah
yang lain untuk menuruti keinginannya yang melonjaklonjak di dalam dadanya. Ia sebenarnya berasal dari Karang
Pandan, di kaki Gunung Lawu. Sehingga pada suatu saat
sampailah ia ke Prambanan. Kedatangannya bagiku sangat
menguntungkan. Sebab pada saat itu aku sedang
dibingungkan oleh sebuah lamaran yang mengerikan.
Anakku, istri Wirasaba itu, pada saat itu sedang menerima
lamaran dari seorang yang sangat ditakuti di daerah kami.
Tetapi orang itu bukanlah orang baik-baik. Adatnya sangat
kasar dan angkuh. Sehingga anakku bersumpah di
hadapanku, kalau terpaksa ia harus menjalani perkawinan
itu, berarti bahwa hidupnya harus diakhiri
Kehadiran Wirasaba merupakan angin baru bagi anakku.
Perkenalan mereka semakin lama menjadi semakin erat.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sebagai orang tua aku segera mengetahui bahwa hati
mereka terjalin. Pradangsa, orang yang ingin mengawini anakku itu,
melihat hubungan yang semakin erat itu. Ia menjadi marah
Bende Mataram 19 Rumah Judi Pancing Perak Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung Kekaisaran Rajawali Emas 3

Cari Blog Ini