Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja Bagian 24
"Ya," sahut Panembahan Ismaya. "Jajar tua itulah yang
sebenarnya bernama Pasingsingan. Aku pahatkan nama itu
pada dinding-dinding hatiku."
Mahesa Jenar, Kanigara dan kedua murid orang tua itu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
Mahesa Jenar, Kanigara dan kedua murid orang tua itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara itu Panembahan Ismaya meneruskan, "Ketika aku sudah tidak
mendapat kesempatan lagi untuk membersihkan namaku,
maka aku menjadi sangat malu. Aku merasa bahwa
wajahku tak patut lagi berada ditengah-tengah para satria
Demak. Karena itulah maka akhirnya aku memutuskan
untuk mengundurkan diri dari padanya. Mengasingkan diri
di tempat yang jauh."
Akhirnya aku menemukan suatu lembah yang pantas
bagi tempat pengasinganku. Di lembah itulah akhirnya aku
bertapa. Mencoba untuk mendapat imbangan dari segala
perasaan yang menekan dadaku. Kalau kadang-kadang aku
ingin melihat kesibukan manusia, aku datang ke desa-desa
di sekitar lembah itu. Namun rasa-rasanya setiap orang
muak memandang wajahku, sehingga akhirnya aku
terpaksa mengenakan sebuah kedok. Demikianlah aku
dengan prihatin hidup tidak sebagai manusia yang
sewajarnya. Aku hidup benar-benar seperti seekor
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kelelawar. Yang muncul dalam saat-saat menusia tenggelam dalam mimpi. Bahkan akhirnya ada orang yang
menyangka aku hantu. Hantu bertopeng dan berjubah abuabu. Namun demikian aku tetap percaya pada keadilan.
Keadilan yang maha tinggi, yang terletak di tangan Tuhan
Yang Maha Kuasa. Aku yakin, bahwa meskipun pada saatsaat itu aku seolah-olah hilang dari percaturan manusia,
namun aku yakin, bahwa pada suatu saat aku akan
kembali. Kembali ditengah-tengah pergaulan hidup.
Meskipun bukan Buntara, tetapi setidak-tidaknya cita-citaku,
berlanjut dari hidupku akan berada di tengah-tengah
manusia dalam keadaan yang baik.
Akhirnya saat itu tiba. Ketika aku melihat seorang
pemuda dalam perjalananku yang memang sering aku
lakukan, beserta seorang anak laki-laki yang memiliki wajah
yang cerah, tiba-tiba aku merasa bahwa padanya aku dapat
menumpangkan harapan. Padanya aku ingin ikut serta
dengan menyerahkan tekad untuk kembali berada di tengah
manusia. Karena itulah aku selalu membayanginya. Kalau
bukan aku sendiri, aku menyuruh Kanigara untuk
mengikutinya. Apalagi ketika aku melihat, bahwa orang
muda itu memiliki keturunan ilmu yang sama dengan
Kanigara. Demikianlah akhirnya aku berhasil membawa
Mahesa Jenar ke bukit kecil yang aku namakan Karang
Tumaritis beserta muridnya Arya Salaka. Aku ingin
memberinya bekal-bekal dalam usahanya menjelang hariharinya yang akan datang. Tidak saja Nagasasra dan Sabuk
Inten, tetapi juga berbagai macam ilmu sekadarnya.
Tetapi agaknya otaknya terlalu jernih. Sehingga
bersama-sama dengan Kanigara ia justru memaksa aku
untuk mempercepat membuka diri. Untunglah bahwa segala
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sesuatunya bagiku sudah terasa matang. Sehingga
meskipun aku dipaksa untuk membuka diri, tidak banyaklah
pengaruhnya bagi semua rencana-rencana yang sudah aku
siapkan. Yang mendengar ceritera itu seolah-olah terpaksa
menahan napasnya. Ternyata bahwa Panembahan Ismaya
telah lama membayangi Mahesa Jenar. Teringatlah Mahesa
Jenar, pada saat ia hampir kehilangan akal, ia telah dicegat
oleh laki-laki berjubah abu-abu itu untuk meluruskan
kembali jalannya. Juga di pantai Tegal Arang, seseorang
telah mengingatkan tekadnya untuk menemukan Kiai
Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten. Dan orang itu agaknya
bukan Panembahan Ismaya, tetapi Kebo Kanigara, dimana
ia sempat menuntun Arya Salaka dalam beberapa hari
untuk menjadikan anak itu bertambah masak. Tetapi
ternyata Kebo Kanigara sendiri tidak mengerti keseluruhan
dari tugasnya. Sementara itu Panembahan Ismaya meneruskan, "Dalam
jarak yang cukup panjang, diantara masa-masa aku
melenyapkan diri dari istana, sampai saat terakhir ini,
banyaklah pengalaman yang aku jumpai. Bahkan terlalu
banyak. Di dalam hidupku muncullah orang-orang seperti
Umbaran, yang mula-mula aku sangka orang yang berhati
baik, namun akhirnya, ternyata bahwa ia telah menambah
hidupku menjadi semakin buruk. Kemudian datanglah
Radite dan Anggara. Kepadanya aku mula-mula menaruh
harapan. Tetapi kembali Umbaran merusak jalan hidup
mereka. Sehingga Radite akhirnya tergelincir dan mengalami masa-masa seperti yang pernah aku alami.
Mengasingkan diri di Pudak Pungkuran ini. Untunglah
bahwa ia menemukan ruang gerak yang dapat menolong
kepahitan masa lampaunya. Juga kemudian aku jumpai
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Kanigara dengan gadis kecilnya. Aku bawa ia ke Karang
Tumaritis. Tetapi agaknya ia lebih cinta pada anak gadisnya
daripada masa depannya sendiri. Sehingga seolah-olah,
seluruh hidupnya telah diserahkan buat hari kemudian
anaknya. Dan karena sifat kebapaan yang sedemikian
dalamnya itulah, aku tidak sampai hati untuk memisahkannya dari anaknya, meskipun aku dapat
menjamin masa depan anak itu. Karena itu, tugas yang aku
bebankan padanyapun bukanlah tugas yang panjangpanjang. Sehingga ia akan selalu berada disamping gadis
kecil yang sudah tak beribu lagi itu. Sehingga akhirnya aku
dijumpai Mahesa Jenar beserta Arya Salaka. Meskipun
dalam garis hubungan keluarga, ia tidak dekat Kanigara,
namun karena ia berasal dari istana pula, maka aku
mengharap agak banyak dari padanya. Mudah-mudahan
Mahesa Jenar tidak akan menyia-nyiakan harapanku itu."
Tiba-tiba Mahesa Jenar merasa, suatu beban yang
sangat berat terpikul di atas pundaknya. Beban yang masih
samar-samar. Apakah yang harus ia lakukan untuk
memenuhi harapan Panembahan tua itu. Karena itu ia
sambil membungkukkan kepalanya, bertanya kepadanya,
"Panembahan, apakah agaknya yang harus aku lakukan
untuk memenuhi harapan Panembahan itu?"
Panembahan Ismaya mengangguk-anggukkan kepalanya,
katanya, "Hampir setiap orang telah melupakan nama
Buntara. Mereka yang sekali dua kali teringat nama itu,
terutama bagi mereka yang telah lanjut usia, akan
mencibirkan bibir mereka. Tetapi itu tidak penting.
Sebagaimana tekadku sejak masa mudaku, bagiku yang
penting adalah keselamatan negeri diatas segala-galanya.
Demikianlah hendaknya kau Mahesa Jenar. Adalah suatu
kebetulan bahwa aku dapat menyimpan pusaka-pusaka
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
yang hilang itu, yang justru akan dapat membantu
membina kesejahteraan negara, dengan menyerahkannya
kepada orang yang tepat. Nah, Mahesa Jenar, pekerjaan
yang aku harap dapat kau lakukan, adalah mengadakan
penilaian atas kedua keturunan yang sudah aku katakan
kepadamu, kelak. Tetapi itu tidak berarti bahwa kau hanya
menjadi penonton saja, namun dalam saat-saat yang perlu,
kau harus ikut pula."
Dengan demikian segala sesuatu kini menjadi jelas,
kenapa Panembahan Ismaya bernama Pasingsingan dan
kenapa ia sangat menaruh perhatian atas tata pemerintahan Demak. Setelah orang tua itu menarik nafas panjang, ia mulai
lagi berkata, "Mahesa Jenar, ternyata kau telah melakukan
pekerjaan itu. Bahkan apabila kelak ada seorang pemimpin
yang memiliki sifat-sifat kepemimpinan, disuyudi oleh para
kawula serta berjiwa seperti jiwa lautan, karena memiliki
Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, yang akibatnya akan
membawa kesejahteraan bagi tanah tumpah darah ini,
sebagian adalah karena perjuanganmu. Perjuangan yang
telah kau lakukan sejak lama. Perjuangan yang tak dikenal
oleh siapapun. Sebab perjuangan yang kau lakukan adalah
perjuangan yang khusus. Tetapi aku percaya akan
kebesaran jiwamu. Meskipun namamu kelak tidak akan
dipahatkan di batu-batu ataupun tertulis di lontar-lontar
kitab babad, namun kaulah hakekat dari kemenangan itu."
Mendengar penjelasan itu, tiba-tiba bulu-bulu kuduk
Mahesa Jenar meremang. Memang sejak semula ia sama
sekali tidak bermimpi untuk mendapat tanda jasa di
dadanya. Atau namanya digoreskan di pintu-pintu gerbang
kota, serta di jalan-jalan raya. Yang diimpikan adalah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kesejahteraan rakyat di bumi tercinta ini. Kesejahteraan
lahir dan batin. Jasmaniah dan rohaniah.
Dalam pada itu, terdengar Panembahan Ismaya
meneruskan, "Karena itu Mahesa Jenar, sebagian besar dari
pekerjaanmu itu sudah selesai. Kau tidak perlu lagi
bersusah payah mencari Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk
Inten, sebab kedua pusaka itu sudah di tanganku.
Sementara itu, kau dapat menyelesaikan pekerjaanmu
yang lain. Kau telah berjanji kepada sahabatmu Ki Ageng
Gajah Sora untuk menuntun anaknya. Nah, lakukanlah itu
baik-baik. Bawalah anak itu pada suatu tugas yang besar.
Memperoleh kembali tanah pusaka baginya. Sementara itu
biarlah aku berusaha mendapatkan kembali kebebasan
Gajah Sora itu." Kemudian ruangan itu menjadi hening. Yang terdengar
hanyalah tarikan nafas mereka yang duduk di dalamnya
sambil mengurai gagasan masing-masing. Sehingga
kemudian suasana itu dipecahkan oleh suara Panembahan
Ismaya dalam nada yang jauh berbeda dari semula.
Katanya, "Nah, Paniling, Darba dan kedua kemanakannya.
Aku sudah selesai berceritera. Sekarang berilah aku
kesempatan untuk mengenal desamu yang sepi ini."
Mendengar kata-kata itu Paniling seperti orang yang
terbangun dari mimpi yang mengasyikkan. Dengan
tergagap ia menjawab, "Baik, baiklah Guru."
"Jangan panggil aku Guru. Di sini aku adalah kakakmu,"
potong Panembahan Ismaya. "Namaku...." ia berhenti
mengingat-ingat, lalu lanjutnya, "Siapakah kau akan
menyebut diriku kalau tetangga-tetanggamu bertanya
namaku?" SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Paniling tidak segera menjawab. Ia tidak tahu, nama
apakah yang baik diterapkan pada orang yang menyebut
dirinya kakaknya itu. Tiba-tiba Kebo Kanigara menyela, "Among Raga."
Panembahan Ismaya tertawa, jawabnya, "Ah, seolaholah aku hanya mementingkan masalah-mnasalah jasmaniah belaka. Tetapi nama itu baik. Memang kau
pandai mencari nama. Baiklah aku pakai nama itu di sini,
meskipun isi kata itu sendiri tidak begitu mapan bagiku."
Kanigara sadar, bahwa memang nama itu tidak begitu
menyenangkan, namun ia masih juga membela diri. "Tetapi
Panembahan, bukankah nama itu akan menjadi aling-aling
dari keadaan Paman yang sesungguhnya. Bukankah di sini
Panembahan ingin menampakkan diri dalam ujud jasmaniahnya saja, tetapi bukan dalam ujud keseluruhan."
Panembahan Ismaya mengangguk-anggukkan kepalanya,
jawabnya, "Baiklah, aku tidak keberatan."
Demikianlah, untuk sehari-dua Panembahan Ismaya
tinggal di rumah muridnya. Ia mencoba memenuhi harapan
tetangga-tetangga Paniling, untuk sekali dua kali berkunjung ke rumah mereka berganti-ganti. Dengan penuh
kesederhanaan Panembahan Ismaya, Mahesa Jenar dan
Kebo Kanigara bergaul dengan mereka.
Meskipun demikian, apabila malam datang, serta pondok
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di ujung padukuhan itu telah menutup pintunya, selalu
terjadilah pembicaraan-pembicaraan yang jauh berbeda
dengan setiap pembicaraan yang sederhana dengan para
tetangga mereka. Tetapi di belakang pintu tertutup itu,
Panembahan Ismaya selalu memberi kepada keempat
orang yang terdekat dari padanya itu berbagai ilmu dan
pengetahuan. Lahir dan batin. Bahkan diceriterakan pula
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
bagaimana ia memiliki segala macam kesaktian. Memang
sejak masa mudanya, ia selalu berusaha untuk mendapatkan berbagai macam ilmu. Sebab dalam
kekisruhan yang terjadi, pada akhir kejayaan Majapahit, ia
selalu mengira bahwa dengan kekuatan jasmaniah kejayaan
itu dapat dibina kembali. Karena itulah ia mencoba untuk
mendapatkan kekuatan-kekuatan itu. Setelah ia terpaksa
meninggalkan lingkungan kesatriaan, usaha itu semakin
diperdalam. Namun jiwanya telah berbeda. Ia ingin
menemukan segala bentuk kekuatan untuk mencapai
tujuan. Panembahan tua itu mengakui, bahwa mula-mula
memang dikandung maksud untuk menunjukkan kebersihan
dirinya dengan kekuatan. Ia ingin membuat hal yang anehaneh dengan memaksa orang untuk berlutut di hadapannya. Dan kepada orang-orang itu ia akan
memaksakan kehendaknya. Meskipun dasar kehendak itu
selalu baik dan bermanfaat bagi beberapa orang, namun
cara-cara dan sifat kepahlawanan cengeng itu akhirnya
tidak memberinya kepuasan. Dan akhirnya maksud-maksud
itu sama sekali diurungkan. Bahkan semakin banyak ilmu
yang dihirupnya, semakin jauhlah ia dari sifat-sifat itu. Dan
akhirnya malahan ia membawa dirinya dengan luka-luka di
hati untuk mengasingkan diri di lembah yang jauh dari
lingkungan manusia. Di situlah ia menerima Umbaran
sebagai muridnya, tetapi orang itu kemudian dimintanya
meninggalkan tempat itu. Beberapa tahun kemudian
datanglah Radite dan Anggara. Sehingga suatu saat, ia
merasa bahwa ilmu-ilmu yang pernah dicapainya itu tak
akan berarti apa-apa bagi manusia apabila tidak diamalkan.
Dengan demikian ia mengharap Radite untuk mewakilinya
dengan topeng dan jubah abu-abu. Dengan mempergunakan nama Pasingsingan, mulailah Radite
mengamalkan ilmunya. Sedang Anggara untuk sementara
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dimintainya memelihara pertapaannya selama ia melenyapkan diri dari kedua muridnya untuk menyaksikan
hasil pengamalannya dari jarak yang cukup jauh. Tetapi ia
menjadi kecewa ketika Radite kemudian tergelincir.
"Bagimu Mahesa Jenar..." akhirnya Panembahan Ismaya
minta, "Jadikanlah semua itu bekal bagimu."
Demikianlah yang mereka lakukan dari hari ke hari.
Bergaul dengan para petani disiang hari, dan menambah
bekal hidup mereka di malam hari. Sehingga akhirnya,
ketika Panembahan Ismaya memandang segala sesuatunya
telah cukup, maka setelah ia bermohon diri kepada para
tetangga, pergilah ia meninggalkan padukuhan Pudak
Pungkuran mendahului Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara,
setelah ia berpesan kepada Radite. "Radite, seseorang yang
membiarkan kejahatan berlangsung tanpa berusaha untuk
menghalang-halangi maka orang yang demikian itu dapat
dianggap telah ikut membantu berlangsungnya kejahatan."
Mula-mula Radite tidak mengerti maksud pesan itu.
Tetapi beberapa waktu kemudian barulah ia sadar, bahwa
ia sama sekali tidak berbuat sesuatu terhadap saudara
seperguruannya yang terang-terangan telah melakukan
berbagai kejahatan. Yaitu Umbaran. Karena itu, tiba-tiba ia
merasa bahwa gurunya telah memaafkan segala kesalahannya, bahkan mempercayakan kepadanya, untuk
menghentikan segala kejahatan yang selalu dilakukan oleh
Umbaran dengan nama Pasingsingan. Hidup atau mati.
Dengan demikian tiba-tiba beban yang selama ini
menghimpit hatinya, seolah-olah berguguran, rontok tanpa
bekas. Terasalah kemudian betapa ringan perasaannya kini.
Dan dengan penuh tekad ia berjanji, bahwa ia akan
melakukan pesan itu sebaik-baiknya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Beberapa hari kemudian Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara pun segera mohon diri pula, kembali ke Karang
Tumaritis. Kebo Kanigara telah merasa sedemikian rindunya
kepada putrinya yang ditinggalkannya beberapa hari,
sedang Mahesa Jenar pun ingin segera menemui muridnya
untuk mengajaknya memulai dengan suatu tugas yang
berat, kembali ke Banyubiru.
----------o-dwkz-0-arema-o---------SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
III Dalam perjalanan pulang, Mahesa Jenar dan kebo
Kanigara memerlukan singgah sebentar di kota Banyubiru.
Ketika malam turun perlahan-lahan di lereng-lereng bukit
Telamaya, mereka berdua menambatkan kuda mereka agak
jauh di luar kota. Dengan berjalan kaki mereka menyusuri
jalan-jalan kota. Satu-dua masih tampak pintu rumah yang
terbuka. Lampu minyak yang suram melemparkan
cahanyanya berpencaran menusuk gelap malam. Bahkan di
belakang regol halaman yang masih ternganga, masih
tampak beberapa orang laki-laki duduk-duduk sambil
bercakap-cakap. Banyubiru dalam penglihatan Mahesa Jenar tidak banyak
mengalami perubahan. Jalan-jalan yang itu-itu juga
menjalar dari satu ujung ke ujung yang lain. Bangunanbangunan tidak banyak bertambah, bahkan beberapa
banjar tampak tak terpelihara. Tempat-tempat ibadah pun
agaknya menjadi bertambah suram. Tetapi ketika Mahesa
Jenar dan Kebo Kanigara sampai di ujung jalan kota,
mereka terkejut ketika mereka melihat obor terpancang di
tengah-tengah lapangan. seperangkat gamelan telah siap
pula di tempat itu. Beberapa orang telah mulai ramai
mengerumuninya. Dengan penuh keinginan untuk mengetahui, Mahesa
Jenar dan Kebo Kanigara mendekati lapangan itu. Kepada
seorang anak yang lewat di sampingnya, Mahesa Jenar
bertanya, "Apakah Banyubiru sedang ada perayaan?"
Anak itu memandang Mahesa Jenar dengan heran.
Kemudian anak itu malah ganti bertanya, "Apakah Bapak
bukan penduduk Banyubiru...?"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenar ragu sebentar. Tetapi ia harus menjawab
agar tidak menimbulkan kecurigaan. Karena itu katanya,
Bukan, Nak. Aku bukan penduduk Banyubiru. Aku datang
dari Pangrantunan." "Pangrantunan...?" Anak itu tiba-tiba terkejut.
Kembali Mahesa Jenar ragu. Namun ia mengangguk. "Ya,
kenapa...?" "Tidak apa-apa," jawab anak itu. "Beberapa hari yang
lalu beberapa orang Pangrantunan juga datang kemari.
Mereka adalah saudara-saudara ibuku. Menurut pamanpaman itu, Pangrantunan sekarang kembali kacau. Mereka
ketakutan karena Simarodra tua sering mengunjungi
pedukuhan itu. A pakah betul demikian..." Dan apakah betul
Simarodra tua itu menuntut lebih banyak dari Simarodra
dahulu?" "Betul, Nak..." jawab Mahesa Jenar sekenanya, namun
karena itu ia ingin lebih banyak tahu. Karena itu ia
bertanya, "Siapakah pamanmu itu" Dan apakah yang
dilakukan di sini...?"
"Pamanku bernama Reksadipa. Ia datang untuk
melaporkannya kepada Ki Ageng Lembu Sora," jawab anak
itu. Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu
sahutnya, "Hem... jadi kau kemenakan Kakang Reksadipa."
Kemudian Mahesa Jenar berhenti sebentar. "Lalu apa
katanya ketika ia kembali ke Pangrantunan?"
"Tidak apa-apa," anak itu menjawab, "Tetapi Paman
mengeluh. Katanya Ki Ageng Lembu Sora sedang akan
mempertimbangkan. Tetapi itu tidak bijaksana. Sebab
menurut Paman, keadaan sudah sangat gawat. Dan rakyat
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Pangrantunan sendiri tidak mampu untuk melawan mereka,
meskipun rakyat Pangrantunan tidak takut."
Mahesa Jenar menarik nafas panjang. Memang letak
Pangrantunan yang seolah-olah berhadapan dengan
Gunung Tidar itu sangat tidak menguntungkan. Tetapi
menghadapi hal sedemikian tidakkah Ki Ageng Lembu Sora
Dipayana dapat berbuat sesuatu..." Namun kepada anak itu
sudah pasti Mahesa Jenar tidak bertanya demikian. Karena
itu ia bertanya tentang obor dan gamelan yang sudah siap
di lapangan itu. Katanya, "Nak, ada apakah dengan
keramaian itu?" "Itu bukan keramaian," jawabnya. "Dahulu Paman
Reksadipa juga bertanya demikian. Gamelan itu memang
setiap hari berada di sana. Orang-orang sekarang sedang
bersenang senang karena panenan kemarin meskipun tidak
memuaskan. Mereka setiap malam mengadakan tayub di
lapangan itu." "Di lapangan terbuka..." Tiba-tiba Mahesa Jenar
menyela. "Ya," jawab anak itu. "Setiap orang boleh ikut. Kalau
siang mereka mengadu ayam. Juga di tempat itu."
"O...." Tiba-tiba Mahesa Jenar mengeluh. Alangkah jauh
kemunduran yang dialami oleh tanah perdikan ini.
Meskipun Kanigara tidak mengerti seluruh persoalan
yang berputar di dalam kepala Mahesa Jenar, namun sedikit
banyak ia pun mengerti. Tayub setiap malam dan mengadu
ayam setiap hari adalah gejala-gejala kehancuran suatu
daerah. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Ketika beberapa lama Mahesa Jenar berdiam diri,
berkatalah anak itu, "Sudahlah Paman, aku akan pulang.
Hari telah malam." Anak itu tidak menunggu jawaban Mahesa Jenar.
Demikian ia selesai berbicara segera ia menghambur ke
dalam gelap. Di kelokan jalan, Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara masih melihat anak itu singgah di sebuah warung
untuk membeli sesuatu. "Itulah Kakang... gambaran Banyubiru saat ini. Suram
dan mengerikan. Menyabung ayam di siang hari dan tuak di
malam hari," kata Mahesa Jenar kepada Kebo Kanigara.
"Kesalahan yang tak boleh dibiarkan lebih lama lagi,"
jawab Kebo Kanigara. Kemudian kedua orang itu bersepakat untuk menyaksikan tari tayub yang sebentar lagi akan
diselenggarakan di lapangan itu.
Demikianlah, ketika hari menjadi semakin gelap, di tanah
lapang itu menjadi semakin banyak orang. Beberapa orang
niyaga pun telah bersiap di belakang seperangkat gamelan.
Sehingga sesaat kemudian suara gamelan telah mulai
mengalun, menggoncang kesepian malam, yang kemudian
disusul dengan suara waranggana memanjat tinggi. Namun
terasalah bahwa suasananya bukanlah suasana yang sopan.
Sebentar kemudian ternyata bahwa memang demikianlah
yang terjadi. Beberapa orang lelaki segera muncul di
gelanggang. Menari dan berdendang. Sedang dari mulut
mereka menyebar bau tuak. Disusul dengan munculnya
beberapa orang ledek di tengah-tengah arena itu.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara duduk tidak seberapa
jauh dari tempat itu. Namun mereka mencari tempat yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
gelap, dimana cahaya obor tidak menyentuhnya, karena
bayang-bayang beberapa orang yang berdiri menonton.
Ketika malam menjadi semakin dalam, suasana di tengah
tanah lapang itu pun menjadi semakin riuh. Beberapa orang
telah menjadi pening karena mabok. Bahkan beberapa
orang telah kehilangan kesadaran dan berbuat hal-hal yang
aneh-aneh di arena itu. Beberapa penari wanita yang telah
terlatih melayani mereka dengan baiknya, sehingga suasana
di arena itu betul-betul menjadi suasana gila-gilaan. Dalam
keadaan yang demikian tidak mustahil kalau sampai terjadi
bentrokan-bentrokan dan perkelahian-perkelahian diantara
mereka, karena mereka telah kehilangan pengamatan diri.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Di tepi arena, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara melihat
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
beberapa orang yang sibuk berjualan. Apa saja yang dapat
mereka jual. Makanan, minuman dan tembakau. Mereka
sama sekali tidak menaruh perhatian pada suasana yang
berlangsung di sekitarnya. Yang penting bagi mereka
adalah bahwa dagangan mereka laku, dan mereka
mendapat uang sebanyak-banyaknya. Para penjual yang
terdiri laki-laki dan perempuan, menghanyutkan diri saja
dengan keadaan. Bersenda-gurau, berteriak-teriak melayani
orang-orang mabok atau kelelahan. Namun orang itu tak
sempat menghitung lagi berapa uang yang harus mereka
bayarkan. Asal mereka menggenggam uang logam, mereka
lemparkan begitu saja kepada penjualnya, perempuanperempuan muda yang merajuk dengan manjanya.
Tetapi tiba-tiba mata Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara
sempat melihat seorang perempuan yang berdiri tegak agak
di kejauhan. Nampaknya ia ragu-ragu untuk mendekati
tempat itu. Tetapi kemudian perlahan-lahan ia melangkah
maju. Ketika ia menjadi semakin dekat, dan seleret sinar
lampu para penjual menyambar wajahnya, tampaklah
bahwa perempuan itu memiliki ciri-ciri yang lain dari setiap
perempuan yang berada di tanah lapang itu. Wajahnya
yang sayu pucat dan tubuhnya yang kekurus-kurusan,
seolah-olah mencerminkan perasaannya yang sedih.
Ketika beberapa orang melihatnya, segera mereka
melemparkan pandangan mata mereka. Tetapi ada juga
orang yang dengan nada mengejek berteriak, "Marilah Nyai.
Apakah yang kau cari...?"
Perempuan itu tidak menjawab. Tetapi segera matanya
memandang berkeliling, kepada hampir semua orang yang
berdiri di sekitar arena itu. Seakan-akan ia sedang mencari
seseorang diantara wajah-wajah itu.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Anakmu tidak berada di sini, Nyai," teriak salah seorang,
yang kemudian disusul dengan gelak tawa. "Carilah anak itu
di tengah rimba," sambung suara yang lain. "Mungkin ia
berada bersama bapaknya." Kembali terdengar suara
bergelak-gelak. Perempuan itu masih berdiam diri, berdiri seperti patung.
Namun dengan demikian Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara
dapat memandangnya lebih jelas. Dari sinar matanya,
mereka dapat menduga bahwa karena sesuatu penderitaan,
orang itu agaknya menjadi agak terganggu kesadarannya.
Meskipun tidak begitu berat.
Ketika kemudian dilihatnya dari mata perempuan itu
menitik butiran-butiran air. Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara menjadi yakin bahwa sesuatu benar-benar telah
menghimpit perasaannya. Ternyata mereka tidak perlu
terlalu lama berteka-teki ketika terdengar seorang laki-laki
berkata dengan kasarnya, "Suamimu tak berani pulang,
Nyai. Demikianlah hukuman bagi pemberontak. Dan bayimu
yang mati itu tidak akan bisa hidup lagi. Apalagi ikut
bersenang-senang bersama kami sekarang, tak ada tempat
bagi laki-laki semacam suamimu itu."
Air mata di wajah perempuan itu menjadi semakin deras.
Agaknya ia dapat mengerti, bahwa suaminya tidak berada
di tempat itu. Kemudian terdengarlah suara lain yang bertanya,
"Siapakah dia?"
"Istri Penjawi," jawab suara yang lain lagi.
"O, karena itulah ia masih muda dan cantik," sahut suara
yang pertama. "Kalau begitu kenapa tidak saja ia kau ajak
menari...?" SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Tidak mau. Ia baru saja kematian bayinya. Mungkin dua
tiga hari lagi," sahut suara lain yang disusul dengan gelak
tertawa orang banyak. Diantara suara yang riuh, di sela-sela suara gamelan
yang semakin menggila itu tiba-tiba terdengarlah suara
yang berat mengatasi yang lain. Katanya, "Aku tidak
percaya kalau ia tidak mau. Ataupun kalau ia tidak mau,
seret saja ia ke arena."
Oleh suara yang berat itu, tiba-tiba semua terdiam. Dan
semua mata memandang ke arah suara itu. Seorang yang
tinggi besar dan berwajah kasar berdiri bertolak pinggang di
pinggir arena. Sedang bola matanya dengan tajam
memandang istri Penjawi itu seperti hendak meloncat dari
kepalanya. Sambungnya, "Ternyata ledek Banyubiru tak ada
yang secantik ledek-ledek dari Pamingit. Dan perempuan itu
agaknya akan bisa setidak-tidaknya menyamainya."
Orang yang berwajah kasar itu maju beberapa langkah
ke arah perempuan muda yang disebut istri Penjawi, yang
kemudian menjadi ketakutan. Apalagi ketika orang itu
meneruskan kata-katanya. "Sayang bahwa wajah yang
cantik itu tidak mendapat pemeliharaan."
Ketika orang yang tinggi besar dan berwajah kasar itu
melangkah terus, keadaan segera menjadi tegang. Tetapi
beberapa orang yang mabok mulai tertawa-tawa kembali
dan menganggp bahwa apa yang akan terjadi merupakan
suatu tontonan yang menyenangkan. Namun beberapa
orang lain, yang kepalanya juga sudah mulai pening-pening,
segera merasa tersinggung. Bahkan seorang yang sudah
setengah mabuk berteriak, "Hei, monyet dari Pamingit.
Jangan ganggu orang Banyubiru. Aku sendiri sudah lama
jatuh cinta kepadanya. Tetapi aku tidak mendapat
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kesempatan. Nah, sekarang suaminya mungkin sudah
mampus ditelan macan. Karena itu, perempuan itu akan
aku ambil sebagai istriku yang muda."
Orang yang bertubuh tinggi besar itu menoleh. Dilihatnya
seseorang yang bertubuh sedang, namun kokoh kuat
seperti orang hutan berjalan mendekatinya. Tampak bibir
orang Pamingit itu bergerak-gerak mengejek. Kemudian
terdengar ia menjawab, "Jangan terlalu kasar berkelakar
sahabat. Orang Banyubiru harus menghormati orang-orang
Pamingit. Sebab Banyubiru sekarang berada di bawah
pemerintahan Pamingit. Kalau kau tidak mau mati, jangan
ganggu aku. Biarkan orang Pamingit berbuat sesuka
hatinya. Bahkan istrimu pun kalau aku kehendaki harus kau
serahkan." Mata orang Banyubiru yang kokoh kuat itu segera
menyala marah. Dengan membentak-bentak ia menjawab,
"Jangan banyak mulut. Pergi atau kau akan segera jadi
bangkai." Pertunjukan itu segera terhenti karena ribut-ribut yang
terjadi. Beberapa ledek yang sedang menari-nari dengan
tenangnya berjalan ke tengah-tengah jajaran gamelan dan
duduk diantara para niyaga. Mereka sama sekali tidak
menunjukkan perasaan cemas atau takut. Hal yang
demikian sudah sering terjadi. Tetapi ketika mereka
mendengar bahwa pertengkaran itu terjadi antara orang
Pamingit dan Banyubiru, perhatian mereka agaknya tertarik
juga. Salah seorang ledek dengan memanjangkan lehernya,
berusaha melihat mereka yang bertengkar, lalu bertanya,
"Siapakah yang bertengkar?"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Terdengarlah seorang niyaga menjawab, "Jiwala dengan
orang Pamingit." Ketika ledek itu berhasil melihat orang Pamingit yang
tinggi besar berwajah kasar itu, ia tertawa sambil menyubit
kawannya. "Hei, agaknya Si Saraban yang bertengkar
dengan Jiwala. Apakah kau tidak membantunya...?"
"Peduli apa?" jawab kawannya, seorang ledek yang
berhidung pesek. "Kemarin ia sanggup memberi aku uang,
tetapi sampai sekarang ia tidak menepati janjinya."
Sekali lagi mereka menjengukkan kepalanya. Lalu
dengan mengerutkan keningnya, ledek yang berhidung
pesek itu berkata, "Gila. Bukankah mereka mempertengkarkan istri Penjawi itu?"
Sekali lagi kawannya mencubitnya sambil tertawa. "He,
kau agaknya mendapat saingan. Kalau Saraban menang,
kaulah yang harus berkelahi melawan istri Penjawi itu."
Kawannya tidak menjawab, tetapi ia semakin merengut.
Mendengar percakapan itu Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara terpaksa menahan nafas. Tetapi hatinya
mengeluh. Sampai sedemkian jauh orang-orang Banyubiru
terperosok ke dalam jurang yang mengerikan.
Dalam pada itu, orang Banyubiru yang bernama Jiwala
itupun sudah berdiri di hadapan Saraban. Dengan bertolak
pinggang ia memandang orang Pamingit itu dari ujung
rambut sampai ke ujung kakinya. Sedang orang Pamingit
itu mengawasinya dengan marah. Tetapi sebentar-sebentar
mereka berdua terpaksa menengok ke arah perempuan
yang kekurus-kurusan dan berdiri dengan gemetar di
pinggir tanah lapang itu. Ternyata sedemikian ketakutan,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sampai istri Penjawi itu tidak tahu apa yang harus
dilakukan. Dalam pada itu sekali lagi Saraban membentak, "Pergi.
Jangan halang-halangi aku."
Jiwala tidak menjawab, tetapi dengan tangkasnya ia
menyerang perut Saraban. Namun agaknya Saraban pun
bukan orang yang dapat diremehkan. Demikian tangan
Jiwala terulur ke arah perutnya, dengan cepatnya ia
memiringkan tubuhnya dan sekaligus kakinya menyambar
dada lawannya. Jiwala yang sedang mabuk itu tidak sempat
menghindarkan dirinya, sehingga terasa kaki orang yang
bertubuh tinggi besar itu mendorong tubuhnya kuat-kuat.
Demikianlah ia terlempar beberapa langkah dan jatuh
berguling. Agaknya tendangan orang Pamingit itu cukup
keras, karena ternyata setelah bersusah payah berusaha
barulah Jiwala dapat bangun. Namun ia sudah tidak berani
lagi mendekati orang Pamingit yang bernama Saraban itu.
Melihat geraknya, segera Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara tahu, bahwa orang Pamingit itu bukan lawan
Jiwala. Menurut dugaan mereka, Saraban pasti termasuk
orang yang cukup baik kedudukannya, bahkan mungkin ia
adalah salah seorang pimpinan laskar Pamingit.
Perkelahian itu hanya berlangsung beberapa saat saja.
Sebab ketika Jiwala tidak berani lagi mendekati lawannya,
tak seorang pun lagi yang mengganggu Saraban. Bahkan
tiba-tiba terdengar seseorang berbisik. "Salah Jiwala sendiri,
kenapa ia melawan orang itu. Bukankah ia pengawal Ki
Ageng Lembu Sora?" Mendengar bisikan itu, dada Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara berdesir. Tentulah orang Banyubiru itu tidak akan
dapat mengalahkannya. Kemudian terdengarlah orang lain
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
berbisik pula, "Kalau Jiwala tidak sedang mabok, tentu ia
tidak berani berbuat demikian."
Demikianlah ternyata Saraban kemudian akan dapat
berbuat sekehendak hatinya. Kembali dengan wajah yang
menakutkan, ia memandang istri Penjawi yang berdiri
gemetar. Ternyata ia benar-benar menjadi ketakutan dan
kehilangan akal, sehingga ia sama sekali tidak berpikir
untuk melarikan diri. Mula-mula ia mengharap bahwa ada
orang yang menolongnya, tetapi dengan jatuhnya Jiwala,
harapannya menjadi lenyap.
Mula-mula Saraban itu masih memandang berkeliling.
Agaknya ia masih mencari lawan untuk menunjukkan
kekuatannya. Ketika tak seorangpun yang berani mengganggu lagi, barulah setapak demi setapak ia
mendekat. Nyi Penjawi menjadi semakin ketakutan. Setapak ia
mundur, tetapi dua tapak Saraban melangkah maju,
sehingga jarak mereka menjadi semakin dekat.
Dalam pada itu, beberapa orang yang semula tertawatawa kini menjadi terdiam. Bagaimanapun juga, di dalam
sudut hati mereka yang paling dalam, tersirat juga rasa
kasihan. Kasihan kepada istri Penjawi yang sedang ditinggal
suaminya menyingkir, karena Lembu Sora akan membinasakannya. Ditambah lagi, baru beberapa minggu ia
kehilangan bayinya. Sekarang tiba-tiba seorang laki-laki
berwajah kasar, dengan rakusnya ingin merampas
kecantikannya. Apalagi orang itu adalah orang Pamingit.
Tetapi tak seorangpun yang berani berbuat sesuatu.
Sebab tak seorangpun yang merasa mampu mengalahkan
Saraban. Sedang untuk maju bersama-sama pun mereka
tidak berani. Sebab dengan demikian, orang-orang Pamingit
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
pasti akan beramai-ramai menyerang mereka. Meskipun
sebenarnya mereka tidak bersalah, karena melindungi
seseorang yang diperlakukan tidak adil, namun orang
Pamingit dapat saja membuat alasan-alasan.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menyaksikan semua
peristiwa itu dengan wajah yang tegang. Ketika Saraban
tinggal beberapa langkah saja jaraknya dari Nyi Penjawi,
Mahesa Jenar tidak dapat membiarkan hal yang kotor itu
berlangsung. Tetapi ketika ia sudah bergerak, terasa Kebo
Kanigara menggamitnya sambil berbisik, "Duduklah Mahesa
Jenar. Biarlah aku selesaikan masalah ini. Sebab belum ada
di antara mereka yang mengenal aku. Sedang kau agaknya
telah dikenal oleh beberapa orang di sini."
Mendengar bisikan Kebo Kanigara, Mahesa Jenar
mengurungkan niatnya. Ia membiarkan Kebo Kanigara
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perlahan-lahan berdiri. Tetapi ketika selangkah ia maju,
mereka bersama dikejutkan oleh sebuah suara yang berat
parau dari kegelapan di belakang perempuan yang kekuruskurusan itu. Katanya, "Saraban, jangan berlagak jantan
sendiri. Orang Banyubiru tidak semuanya berjiwa betina.
Cobalah kau maju selangkah lagi, namamu akan terhapus
dari deretan nama-nama pengawal Lembu Sora. Dan
bangkaimu akan dikubur dengan segala macam kutuk dan
caci." Saraban ternyata terkejut juga mendengar suara itu.
Dengan tidak disadarinya sendiri, ia menghentikan
langkahnya. Matanya yang liar dibukanya lebar-lebar untuk
mengetahui, siapakah yang dengan sombong mencoba
menghalang-halangi niatnya. Dalam pada itu, dari dalam
gelap, muncullah sebuah bayang-bayang, yang dengan
tetap melangkah maju. Sesaat kemudian tampaklah di
bawah cahaya lampu yang samar, seorang laki-laki dengan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mata yang menyala-nyala karena marah, berdiri diantara
laki-laki yang bernama Saraban dengan perempuan yang
kekurus-kurusan, yang sedang meneteskan air mata putus
asa. Orang itu tidak setinggi dan sebesar Saraban. Namun
tubuhnya tampak kuat seperti baja.
Ketika Saraban mengenal wajah orang itu, ia
menggeram. Dan bersamaan dengan itu terdengar Mahesa
Jenar berdesis sambil berdiri karena terkejut, "Bantaran...."
"Bantaran...." ulang Kebo Kanigara yang terpaksa
menghentikan langkahnya. "Siapakah dia?"
"Salah seorang kepercayaan Ki Ageng Gajah Sora yang
bersama-sama dengan Penjawi terpaksa menyingkir dari
Banyibiru." "Kalau begitu..." sahut Kanigara, "Aku tak perlu
mengganggunya." "Aku kira demikian," jawab Mahesa Jenar.
Dengan demikian Kanigara mengurungkan langkahnya,
tetapi mereka mencari tempat untuk menyaksikan peristiwa
yang mendebarkan hati itu.
Dalam pada itu, Bantaran masih tetap berdiri di muka
Nyi Panjawai, dengan kaki renggang dan dada terbuka.
Sesaat kemudian, tampaklah matanya beredar kesegenap
arah. Memandang setiap wajah orang Banyu Biru yang
berdiri di sekitarnya. Dan tiba-tiba saja orang-orang Banyu
Biru yang kena sambaran matanya, dengan cepat
menundukkan mukanya. Mereka seolah-olah merasa
mendapat teguran dari salah seorang pemimpin mereka.
Meskipun beber:apa orang lebih senang menjelenggarakan
sabungan ayam dan tari tayub daripada berjuang
membebaskann tanah perdikan mereka, namun beberapa
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
orang yang lain masih juga merasa malu atas kelakuan
mereka itu. Dan dari mulut Bantaran itu kemudian terdengar
suaranya menggeram, "Aku melihat kelakuan kalian.
Hampir setiap malam aku berada di tempat ini. Dan hampir
setiap malam aku melihat apa yang terjadi. Mabuk, judi,
berkelahi di antara sesama karena hal-hal yang memalukan,
dan menyabung ayam di siang hari. Dan puncak dari
kebodohan kalian adalah membiarkan setan ini mengganggu isteri orang. Isteri kawan setiamu, yang
sekarang sedang berjuang untuk kalian."
Suasana menjadi sunyi diam. Tak seorang pun yang
berani menatap wajah Bantaran yang merah menyalanyala. Bahkan seandainya ada selembar daun kuning jang
gugur, suaranya akan jelas terdengar seperti gemuruhnja
guntur di langit. Dalam pada itu, Saraban pun mendjadi marah pula. Ia
pernah berkenalan dengan Bantaran. Karena itu ia tahu
benar bahwa Bantaran termasuk salah seorang yang
sedanq dikejar-kejar oleh laskar Pamiingit, untuk disingkirkan. Karena itu, terdengarlah Saraban berteriak
dengan suara yang gemuruh, "Hai Bantaran. Ternyata kau
benar-benar sombong. Kedatanganmu tidak saja sangat
mengganggu kesenangan kami malam ini, tetapi akan
serupa benar dengan serangga menjelang api. Nah agaknja
malam ini aku akan mendapat dua hadiah yang berharga.
Membunuh Bantaran dan mendapat isteri baru."
Terdengar Bantaran menggeretakkain giginya. Namun
perlahanlahan ia menoleh kepada Nji Penjawi sambil
berkata, "Menyingkirlah Nyai, biarlah monyet ini aku
selesaikan." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Nyai Penjawi tak menjawab sepatah katapun. Namun, air
matanya mendjadi semakin deras mengalir. Sementara itu
Bantaran meneruskan. "Suamimu selamat sampai sekarang.
Mudah-mudahan ia kelak akan datang dengan pasukannja.
Nah kalau demikian barulah orang tahu, siapakah Penjawi
itu." "Jangan mengigau" bentak Saraban,
Mendengar bentakan itu, selanqkah Bantaran maju. la
tidak merasa perlu untuk berdebat lebih lama. Tetapi terasa
bahwa tak ada cara penyelesaian yanq lebih baik daripada
bertempur dengan orang itu. Meskipun ia sadar, bahwa
seandainya kehadirannya itu didengar oleh Lembu Sora dan
laskar Pamingit yang lain, maka akibatnja akan sangat
berbahaya. Meskipun orang-orang yang berada di tanah lapang itu
sudah hampir setiap hari menyaksikan perkelahian, namun
kali ini suasananya agak berbeda. Yang mereka lihat setiap hari adalah
perkelahian di antara orang-orang mabuk. Sedang sekarang mau tidak
mau mereka melihat pertengkaran langsung tidak saja karena Nyi
Penjawi, tetapi lebih daripada itu. Yaitu di antara orang Pamingit dan
orang Banyu Biru. Orang yang dengan penuh nafsu ingin
menguasai daerah orang lain melawan orang yang
mempertahankan daerah itu.
Maka, ketika selangkah lagi Bantaran maju, berpencaranlah orang-orang yang berada di tanah lapang
itu ke tepi. Mereka semuanya mengetahui siapakah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Bantaran, dan sebagian besar dari mereka pun mengetahui
pula, siapakah Saraban. Karena itu tak seorang pun yang
berani mendekati mereka berdua jang sudah bersiap untuk
bertempur. Demikianlah, sesaat kemudian, tanpa berkata sepatah
pun lagi, Saraban meloncat dengan garangnya rnenjerang
Bantaran, Namun Bantaran pun telah siap pula menyambutnya, sehingga tidak usah menunggu terlalu
lama, pertempuran itu segera berlangsung dengan serunya.
Saraban yang bertubuh tinggi besar itu ternyata mempunjai
tenaga yang luar biasa besarnya, sedang Bantaran
meskipun lebih kecil dan pendek, tetapi ia dapat bergerak
dengan lincahnya. Dengan cepatnya ia meloncat dari satu
arah ke arah jang lain. Karena itulah maka serangannya
seolah-olah datang dari segala penjuru.
Mula-mula Saraban dapat selalu mengikuti arah gerak
Bantaran. Bahkan sekali dua kali serangannya yang
berbahaya dapat memaksa Bantaran melontar selangkah
dua langkah mundur. Tetapi lama kelamaan kaki Bantaran
semakin lincah melontar-lontarkan tubuhnja kesana kemari,
sehingga akhirnya Saraban menjadi bingung. Beberapa kali
Bantaran berhasil memancing lawannya menghadap ke
arah yang salah, sehingga dalam keadaan yang demikian,
meloncatlah serangan-serangan Bantaran yanq dahsyat.
Untunglah bahwa tubuh Saraban benar-benar keras seperti
kayu. Sehingga untuk beberapa lama ia dapat bertahan.
Namun karena serangan Bantaran itu datang bertubi-tubi
bahkan kemudian seperti aliran air terjun, maka, akhirnyja
terasalah bahwa Saraban mulai terpaksa bekerja matimatian. Dan beberapa saat kemudian terpaksalah orang
Pamingit yang bertiubuh tinggi besar itu mengeluh. Tetapi
meskipun demikian, ia masih juga berusaha sekuat
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tenaganya untuk dapat mengimbanyi lawannya. Sekali dua
kali tangannya yang besar dan berat itu terayun dengan
kerasnja disusul dengan lontaran kakinya dibarenqi teriakan
yang memekakkan telinga. Namun Bantaran selalu berhasil
menghindar dan kemudian meloncat maju membalas
menyerang. Meskipun tenaganja tidak sebesar orang
Pamingilt itu, namun pukulannya yang selalu mengarah ke
tempat-tempat yang ringkih, menjakan Saraban terdesak
terus. Ketika Saraban lengah, tangan Bantaran berhasil masuk
di antara kedua tangan lawannya yang bersilang, mengenai
rahangnya. Dengan kerasnya muka Saraban teranqkat disusul dengan
sebuah pukulan ke arah perut. Terdengarlah Saraban mengaduh
pendek sambil membungkukkan badannya. Pada saat itu, sekali lagi
tangan Bantaran terayun deras sekali. Namun agaknya
Saraban melihat arah sambaran tangan lawannya. Dengan
sisa tenaganya ia menghindar ke samping. Dengan
demikian serangan Bantaran tidak mengenai sasarannya.
Bahkan tubuhnya terbawa beberapa langkah maju, terseret
oleh ayunan tangannya. Saraban melihat kesempatan itu.
Dengan sekuat tenaga yang masih ada ia memukul tengkuk
Bantaran. Namun Bantaran yang masih segar ternyata
sudah dapat memperbaiki kedudukannya menghadapi
serangan itu. Demikian tangan Saraban terjulur, dengan
kecepatan kilat tangan itu ditangkapnya sambil memutar
tubuhnya dan merendahkan diri. Bantaran menjangkau
kepala Saraban dari atas pundaknya. Dengan menghentakkan kekuatan. Bantaran menarik orang Pamingit yang bertubuh besar itu, sehingga melontar
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dengan kerasnya, dengan kaki terputar ke atas. Kemudian
dengan gemuruhnya tubuh Saraban terbanting di tanah.
Semua orang yang menyaksikan kesudahan dari
perkelahian itu menahan nafasnya. Meskipun orang-orang
Banyubiru menjadi cemas atas peristiwa itu, namun mereka
di dalam hatinya bangga juga atas keunggulan orang
Banyubiru atas orang Pamingit.
Bantaran yang telah berhasil menjatuhkan lawannya,
berdiri dengan tegap di depan tubuh Saraban yang sudah
tak berdaya lagi untuk bangkit. Sekali lagi ia memandang
berkeliling, ke arah wajah-wajah orang Banyubiru yang
berdiri di sekitar tempat perkelahian itu. Dan sekali lagi
wajah-wajah orang Banyubiru itu terbanting di tanah yang
ditumbuhi rumput dengan suburnya. Dalam pada itu
terdengarlah suara Bantaran parau, "Saudara-saudaraku,
rakyat Banyubiru. Aku menyesal atas semua yang telah
terjadi di tanah perdikan ini. Kalian ternyata telah terbius
oleh pemanjaan nafsu yang tak terkendali. Tetapi dengan
peristiwa ini, kalian tidak akan dapat untuk seterusnya
berpangku tangan. Sebab kawan-kawan orang Pamingit itu
tidak akan tinggal diam. Dan akibatnya akan dapat kalian
rasakan. Untuk seterusnya kalian hanya dapat memilih,
menangkap aku, lalu menyerahkan kepada Lembu Sora,
yang dengan demikian kalian akan bebas dari pembalasan
dendam, atau bangkit melawan kekuasaan Pamingit atas
tanah kita sambil menunggu kehadiran pemimpin kita Ki
Ageng Gajah Sora atau putranya Arya Salaka."
Tak seorangpun yang menyatakan pendapatnya. Dan
memang demikianlah perasaan mereka yang mendengar
kata-kata Bantaran. Sebagian diantara mereka menjadi
malu atas kelakuan mereka, tetapi memang ada juga
diantaranya yang di dalam hatinya mengumpati Bantaran.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sebab dengan perbuatannya itu, pastilah akan terjadi halhal yang sama sekali tak dikehendaki. Orang-orang
Pamingit pasti akan datang ke
tempat itu dan mengaduknya. Menangkapi orang-orang yang dicurigainya,
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memukuli mereka tanpa alasan untuk melampiaskan
dendam mereka. Belum lagi gema suara Bantaran itu lenyap, tiba-tiba
terdengarlah derap beberapa ekor kuda dengan kencangnya menuju ke tanah lapang itu. Mendengar derap
yang berdatangan Bantaran tampak terkejut. Segera ia tahu
apakah yang sebentar lagi akan terjadi. Meskipun demikian
ia tetap tenang. Dan dengan tenang pula ia berkata
lantang, "Rupa-rupanya ada juga pengkhianat-pengkhianat
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
di Banyubiru ini. Dan agaknya mereka telah melaporkan
kehadiranku." Orang-orang yang berdiri di tanah lapang itu segera
menjadi gelisah. Beberapa orang telah bersiap untuk
melarikan diri. Tetapi mereka sama sekali tidak mendapat
kesempatan. Sebab dalam waktu yang sangat singkat,
beberapa orang berkuda telah datang dan langsung
mengepung tanah lapang itu di empat penjuru.
Bantaran masih dalam sikapnya yang tenang, memandang berkeliling. Kepada kira-kira sepuluh-duabelas
orang yang masih berada di atas punggung kuda mereka.
Wajah para penunggang kuda itu tampak garang-garang,
sedang di tangan mereka masing-masing tergenggam
senjata. Ada yang berupa tombak, pedang atau macammacam senjata yang lain. Dua orang diantara mereka, mendorong kuda mereka
agak ke depan. Rupa-rupanya dua orang itu adalah
pemimpin rombongan. Salah seorang daripadanya terdengar berteriak dengan suara yang nyaring, "Hai orangorang Banyubiru yang tak tahu diri. Katakanlah kepada
kami, siapakah diantara kalian yang bernama Bantaran."
Bantaran masih tegak di tempatnya. Tetapi karena
kekacauan yang timbul, karena beberapa orang yang ingin
melarikan diri, maka di sekitarnyapun telah berdiri beberapa
orang dengan tubuh gemetar sehingga orang-orang
berkuda itu tidak segera dapat melihat tubuh Saraban yang
terkapar di tanah. Suara pemimpin rombongan berkuda yang bergeletar
memenuhi tanah lapang itu untuk beberapa lama tidak
mendapat jawaban. Karena itu ia mengulangi, "Ayo...
katakanlah kepada kami, siapakah diantara kalian yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
bernama Bantaran. Kalau tidak ada diantara kalian yang
mau menunjuk batang hidungnya, maka semuanya yang
berada di tanah lapang ini akan kami bawa. Sesudah itu
janganlah kalian mengharap untuk bertemu kembali dengan
anak istri kalian." Bantaran menarik nafas dalam-dalam
sambil menekan dadanya. Sudah tentu ia tidak menghendaki sekian banyak orang menjadi korban untuk
dirinya. Meskipun demikian sekali dua kali tampaklah ia
menoleh ke arah Nyi Penjawi yang berdiri tidak jauh di
belakangnya. AGAKNYA, Nyi Penjawi itulah yang memberati hati
Bantaran. Sebagai seorang sahabat Penjawi, ia tidak akan
tega melihat nama perempuan itu dinodai.
Sebelum Bantaran mengambil suatu sikap, tiba-tiba
seorang diantara dua orang berkuda itu meloncat turun dan
menyambar baju orang yang bertubuh sedang tetapi
tampak otot-ototnya menonjol seperti orang hutan. Sambil
membentak-bentak orang itu bertanya, "Siapa namamu...?"
Dengan tergagap orang yang masih agak mabok itu
menjawab, "Gonjang, Tuan."
"Kenalkah kau dengan orang yang bernama Bantaran?"
tanya orang Pamingit seterusnya.
Untuk beberapa saat Gonjang berdiam diri. Namun tibatiba terdengarlah jawabannya di luar dugaan. Orang yang
suka mabok dan berbuat tidak sepantasnya itu ternyata
memiliki kesetiakawanan yang tinggi. Sebagai orang
Banyubiru ia merasa berkewajiban melindungi Bantaran.
Karena itu jawabnya, "Kenal Tuan. Aku kenal betul dengan
orang itu." "Nah kalau begitu tunjukkanlah orangnya kepada kami,"
desak orang Pamingit itu.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Kemudian terdengarlah jawabnya yang mengejutkan hati
orang-orang di tanah lapang itu. "Sudah sejak berbulanbulan ia tidak pernah menampakkan dirinya, Tuan. Karena
itu aku tidak dapat menunjukkannya kepada Tuan."
Tiba-tiba mata orang Pamingit itu seolah-olah akan
meloncat dari batok kepalanya. Ternyata jawaban itu sama
sekali tidak diduganya. Karena itu ia menjadi marah sekali.
Ketika tangannya yang memegang baju Gonjang diguncang-guncangkan, Gonjang pun ikut terguncang
seperti sebatang pohon yang diputar-putar badai. Sambil
membentak-bentak lebih kasar orang Pamingit itu sekali lagi
bertanya, "Ayo katakanlah kepada kami, yang mana
diantara kalian yang bernama Bantaran."
"Betul Tuan... ia tidak berada di sini sekarang," jawab
Gonjang tergagap. "Bohong!" bentak orang Pamingit itu. "Aku mendapat
laporan bahwa ia berada di tanah lapang ini sekarang."
"Nah, kenapa Tuan tidak bertanya kepada orang yang
melaporkan itu saja...?" sahut Gonjang.
Orang Pamingit itu tidak menjawab lagi. Tetapi sebuah
pukulan yang keras melayang ke wajah Gonjang. Dengan
kerasnya orang itu terdorong ke belakang, dan kemudian
terjatuh dengan kerasnya. Terdengarlah ia mengerang
kesakitan. Namun meskipun demikian ia tidak juga
menunjukkan siapakah diantara mereka yang bernama
Bantaran. Tetapi dalam pada itu, ternyata Gonjang adalah orang
yang cerdik. Ia telah mencoba memancing orang Pamingit
itu untuk menunjukkan kepada orang-orang Banyubiru,
siapakah yang sebenarnya tidak berkhianat. Namun
agaknya orang Pamingit itu pun telah berjanji untuk
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
melindungi pengkhianat itu, sehingga orang itu tidak
dibawanya serta. Bantaran yang menyaksikan peristiwa itu, hatinya
menjadi berdebar-debar. Ia menjadi bimbang, justru karena
ia sedang berusaha untuk melindungi istri Penjawi. Kalau
saat itu ia dapat ditangkap, maka bila Saraban nanti sadar
kembali, nasib istri Penjawi itupun sudah dapat dibayangkan. Sebab untuk melawan sepuluh orang berkuda
itu agaknya di luar kemampuannya. Bantaran hampir
mengenal satu demi satu orang-orang Pamingit yang akan
menangkapnya. Temu Ireng, Talang Semut, Dadahan, dan
orang-orang setingkatnya. Seandainya tak seorang diantara
orang Banyubiru yang mau menunjukkannya, namun kalau
orang-orang Pamingit itu meneliti satu demi satu orang
yang berada di tanah lapang itu, meskipun makan waktu
lama, akhirnya dirinya akan diketemukan juga. Sebab
orang-orang Pamingit itu pun telah mengenalnya seperti ia
mengenal mereka. Belum lagi Bantaran mendapat suatu cara yang sebaikbaiknya, orang Pamingit itu telah menangkap seorang lagi.
Seorang muda yang berwajah tampan, berkumis sebesar
lidi. Pakaiannya terbuat dari kain lurik yang mahal. Tetapi
demikian ia diseret ke depan, tubuhnya tiba-tiba serasa
lumpuh. Dan ketika orang Pamingit itu membentaknya, ia
menjadi pingsan. Akhirnya Bantaran mengambil suatu ketetapan untuk
menyatakan dirinya di hadapan orang-orang Pamingit itu
sebelum jatuh korban lebih banyak lagi. Ia akan mencoba
melawan dan menimbulkan kekacauan, sementara itu ia
berharap Nyi Penjawi sempat melarikan diri. Tetapi ketika
Bantaran bermaksud membisiki Nyi Penjawi tentang
maksudnya itu, tiba-tiba diantara sekian banyak orang yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
berdiri di tanah lapang itu muncullah seseorang yang
bertubuh sedang, tegap dan berdada bidang. dengan suara
yang berat namun penuh wibawa ia berkata nyaring, "Hai,
orang-orang Pamingit.... Inilah Bantaran."
Semua yang berada di tanah lapang terkejut mendengar
pengakuan itu. Untuk sesaat kembali tanah lapang itu
menjadi hening sunyi. Sesunyi tanah pekuburan. Tetapi
dalam pada itu semua mata bergerak ke arah seorang yang
berjalan perlahan-lahan namun pasti, menyibak orangorang yang berada di depannya, menuju ke arah dua orang
yang agaknya memimpin rombongan orang-orang Pamingit
itu. Ketika mereka melihat orang itu, sekali lagi mereka
terkejut. Dan yang lebih terkejut adalah Bantaran sendiri.
Orang-orang Banyubiru menjadi bertanya-tanya di dalam
hati, siapakah orang yang telah dengan beraninya
menamakan dirinya Bantaran di hadapan sepuluh orang
Pamingit yang garang-garang itu..."
Tetapi, sesaat kemudian Bantaran menjadi sadar, bahwa
seseorang telah mencoba melindunginya. Namun orang itu
belum pernah dilihatnya. "Nyai..." bisik Bantaran kepada Nyi Penjawi, "Adakah ia
orang baru...?" Nyai Penjawi menggelengkan kepalanya. "Aku belum
pernah melihatnya, Kakang."
Bantaran menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba
menebak, siapakah orang yang telah mencoba menyelamatkan dirinya itu. Tetapi tiba-tiba ia menjadi
cemas atas keselamatan orang itu. Dua orang pemimpin
rombongan orang-orang Pamingit itu bukanlah orang yang
dapat diajak berbicara. Mereka adalah Temu Ireng dan
Talang Semut. Dua orang yang lebih suka mempergunakan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tangannya daripada mulutnya. Apalagi pengakuan orang itu
hanya akan mendatangkan bencana saja baginya. Sebab
orang yang bernamaTemu Ireng dan Talang Semut itu telah
mengenal siapakah orang yang bernama Bantaran,
sehingga pengorbanannya akan menjadi sia-sia. Sebab
akhirnya mereka masih akan mencari orang yang
dikehendakinya. Karena itu Bantaran ingin meloncat maju
untuk mencegah pengorbanan yang dianggapnya akan siasia saja. Tetapi ketika ia sudah bersiap untuk meloncat dan
berteriak, tiba-tiba seseorang menggamitnya. Ketika ia
menoleh, ia terperanjat bukan kepalang, sampai ia tergeser
dari tempatnya. Demikian terperanjatnya Bantaran, sampai
beberapa saat ia tak dapat berkata-kata. Baru setelah debar
jantungnya berkurang, terdengarlah ia berdesis, "Tuan...
Bukankah Tuan...." "Ssst... jangan kau sebut nama itu," potong orang yang
menggamitnya. Bantaran mengangguk angguk cepat. Namun ia masih
agak bingung menanggapi kehadiran orang yang sama
sekali tak disangka-sangka itu.
"Tuan..." sambungnya sambil tergagap, "Kenapa Tuan
tiba-tiba saja berada di tempat ini...?"
Orang itu, yang tak lain adalah Mahesa Jenar, tersenyum
lebar. "Bantaran... ketika sepuluh orang berkuda itu datang,
kau agaknya tetap tenang. Tetapi ketika kau lihat aku, kau
menjadi kebingungan."
Bantaran mencoba memperbaiki jalan nafasnya sambil
menjawab, "Sebab bagiku kehadiran Tuan lebih berkesan di
hati, daripada monyet-monyet dari Pamingit itu."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sekali lagi Mahesa Jenar tertawa kecil. Kemudian katanya
memperingatkan Bantaran pada keadaannya kini, "Apalagi
orang-orang Pamingit itu akan menangkap kau."
Bantaran tersadar akan bahaya yang mengancam. Tetapi
bersamaan dengan itu kembali ia teringat kepada orang
aneh yang mengaku dirinya Bantaran itu. Karena di
sampingnya sekarang ada Mahesa Jenar maka disampaikannya keheranannya itu kepadanya. "Tuan, aku
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menjadi heran, ketika seseorang mengaku bernama
Bantaran, dan dengan beraninya menghadapi Temu Ireng."
Mahesa Jenar dan Bantaran bersama-sama mengangkat
wajah, memandang ke arah orang yang menamakan dirinya
Bantaran, yang sekarang telah dekat benar dengan Temu
Ireng dan Talang Semut. Dalam pada itu terdengar Bantaran meneruskan,
"Agaknya orang itu belum mengenal siapakah mereka
berdua, ditambah dengan delapan orang lainnya."
"Jangan risaukan orang itu," sahut Mahesa Jenar.
Bantara menoleh sambil mengerutkan keningnya.
"Kenalkah Tuan dengan orang itu?"
Mahesa Jenar mengangguk, tetapi ia masih tetap
memandang kepada orang yang menamakan diri Bantaran,
yang sekarang sudah berdiri tepat di hadapan Temu Ireng.
"Siapakah dia...?" desak Bantaran.
"Paman guruku," jawab Mahesa Jenar singkat.
"O...." Suara Bantaran seolah-olah terpotong di
kerongkongan. Baru kemudian ia meneruskan, "Alangkah
bodohnya aku. Kalau demikian sepuluh orang itu sama
sekali tidak akan berarti."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenar tidak sempat memperhatikan kata-kata
Bantaran, sebab pada saat itu ia melihat Temu Ireng
melangkah maju. Kemudian terdengarlah suaranya mengguntur, "Kaukah yang bernama Bantaran...?" Orang yang bediri di hadapannya, yang sebenarnya
adalah Kebo Kanigara, menjawab dengan tenangnya, "Ya,
akulah Bantaran." Sekali lagi temu Ireng memandang orang yang berdiri di
hadapannya itu tanpa berkedip. Kemudian terdengarlah ia
tertawa terbahak-bahak, tertawa untuk menegaskan
kemarahannya yang hampir memecahkan dadanya. Dan
ketika suara tertawa itu tiba-tiba terhenti, terdengarlah ia
berkata dengan kerasnya kepada kawannya yang masih
berada di atas kudanya. "Hai... Adi Talang Semut, agaknya
mataku telah rusak. Coba katakan kepadaku, adakah orang
ini Bantaran...?" Orang-orang yang berada di tanah lapang itu hatinya
menjadi tegang. Mereka sama sekali belum pernah
mengenal orang aneh yang mengumpankan dirinya itu.
Tetapi disamping itu, orang-orang yang mula-mula
mengumpati Bantaran di dalam hati, menjadi malu. Kalau
orang yang belum mereka kenal saja bersedia melindungi
pemimpin Banyubiru itu, bukankah kewajiban orang
Banyubiru sendiri untuk berbuat lebih banyak lagi"
Dalam pada itu Talang Semut tidak kalah marahnya. Ia
mendorong kudanya maju mendekati Kebo Kanigara.
Semakin dekat ia dengan Kanigara, semakin teganglah
setiap wajah yang menyaksikan peristiwa itu. Tidak pula
kalah tegangnya wajah Bantaran. Bahkan sampai ia
menggigit bibirnya sendiri.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Talang Semut ternyata tidak menjawab pertanyaan Temu
Ireng dengan kata-kata. Sedemikian marahnya ia, karena ia
merasa dipermainkan oleh orang yang belum dikenalnya,
yang disangkannya juga orang Banyubiru yang ingin
melindungi pemimpinnya, sehingga Talang Semut merasa
tidak perlu bertanya-tanya lagi. Maka ketika kudanya telah
dekat benar dengan tubuh Kebo Kanigara, diangkatnya
cambuknya tinggi-tinggi sambil menggeram keras.
Cambuk itu sekali menggeletar di udara, dan seterusnya
dengan derasnya menyambar tengkuk Kebo Kanigara.
Hampir semua orang yang menyaksikan peristiwa itu
seakan-akan berhenti bernafas. Talang Semut bagi orang
Banyubiru tak ubahnya seperti hantu peminum darah.
Sekali ia turun tangan, maka hampir dapat dipastikan
bahwa korbannya tak akan dapat lagi melihat matahari
terbit. Demikianlah mereka menyangka bahwa orang yang
mengaku bernama Bantaran itu akan menjadi korban
kemarahan Talang Semut. Tetapi sekejap kemudian, dada mereka terguncang
menyaksikan akibat perbuatan Talang Semut. Bahkan
beberapa orang menjadi tak begitu percaya kepada mata
mereka. Sebab apa yang mereka saksikan sama sekali
diluar dugaan mereka. Ketika cambuk itu melayang ke arah tubuhnya, Kebo
Kanigara meloncat dengan tangkasnya, menangkap tangkai
cambuk itu. Dengan keras sekali ia menariknya. Tetapi
agaknya Talang Semut memegang cambuk itu sedemikian
eratnya, sehingga cambuk itu tak terlepas dari tangannya.
Tetapi ternyata kekuatan Talang Semut bukanlah tandingan
Kebo Kanigara, sehingga ketika Kanigara menariknya lebih
keras lagi, tubuh Talang Semut-lah yang ikut terseret dari
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kudanya. Karena Talang Semut tidak menduga, maka untuk
sesaat ia kehilangan akal. Ketika ia sadar, tangan Kebo
Kanigara telah memegang bagian depan bajunya sedemikian erat, dan sebuah pukulan melayang tepat ke
arah pelipisnya. Semuanya itu berlangsung sedemikian
cepatnya sehingga Talang Semut tidak mempunyai
kesempatan sama sekali untuk membela diri. Yang terjadi
kemudian adalah pelipisnya seolah-olah membentur dinding
baja. Begitu kerasnya sehingga tiba-tiba saja matanya
menjadi berkunang-kunang. Sesaat kemudian ia sama
sekali tidak sadarkan diri, dan tubuhnya yang sudah tak
berdaya itu jatuh terkulai di tanah. Pingsan.
Temu Ireng melihat peristiwa itu terjadi di depan
hidungnya. tetapi ia seolah-olah terpukau oleh suatu
kekuatan gaib. Bermimpi pun ia tidak. Bahwa ada orang
yang dapat sedemikian mudahnya mengalahkan Talang
Semut. Yang pernah didengar Temu Ireng adalah, orang
yang paling sakti di Banyubiru adalah Ki Ageng Sora
Dipayana. Dan orang yang telah melakukan suatu keajaiban
itu adalah seorang yang masih terhitung muda. Tiba-tiba
Temu Ireng sampai pada suatu kesimpulan bahwa hal itu
terjadi atas kesalahan Talang Semut sendiri. Sebab agaknya
ia kurang berhati-hati. Dengan demikian ia kehilangan
kesiagaan diri. Karena itulah kemudian dengan menggeram
Temu Ireng mencabut goloknya, dan dengan berteriak
keras ia langsung menyerang Kebo Kanigara. Dalam pada
itu Dadahan beserta kawan-kawannya telah menyaksikan
bagaimana Talang Semut dijatuhkan oleh orang yang
mengaku bernama Bantaran. Karena itu mereka tidak mau
membiarkan Temu Ireng bertempur seorang diri. Dengan
demikian mereka beramai-ramai menyerang Kebo Kanigara.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Namun Kebo Kanigara adalah seorang yang hampir
sempurna dalam ilmunya. Ilmu tata berkelahi dari
keturunan ilmu perguruan Pengging. Karena itu, meskipun
kemudian empat orang menyerangnya bersama-sama dari
atas punggung kuda, namun ia sama sekali tidak gugup.
Bahkan kemudian dengan lincahnya ia menyambut setiap
serangan yang datang. Dengan demikian, terjadilah suatu pertempuran yang
ribut. Empat orang berkuda bertempur melawan seorang
yang meloncat-loncat dengan lincahnya diantara derap kaki
kuda. Bahkan kemudian keempat penunggang kuda itu
kadang-kadang menjadi bingung, karena kuda-kuda mereka
saling melanggar. Sesekali kalau Kebo Kanigara sempat,
ditusukkanlah jari-jarinya yang kuat itu ke perut salah satu
kuda yang bersimpang-siur di sekitarnya, sehingga dengan
terkejut kuda itu meringkik dan melonjak-lonjak.
Beberapa penunggang kuda yang lain masih berusaha
untuk dapat mengawasi seluruh tanah lapang, supaya
orang yang sesungguhnya dicari tidak melepaskan diri.
Namun dalam pertempuran itu, orang-orang yang berada di
tanah lapang menjadi kacau balau. Mereka berlarian kesana
kemari tak tentu tujuan, menghindarkan diri dari
kemungkinan terinjak oleh kaki-kaki kuda yang seolah-olah
menjadi liar. Dalam keadaan yang demikian itulah Mahesa Jenar
berbisik kepada Bantaran, "Bantaran... masih adakah
keluarga Penjawi yang lain yang perlu diselamatkan dari
kemarahan orang Pamingit kelak, atau barangkali
keluargamu sendiri...?"
"Keluargaku... tidak Tuan. Mereka semua telah
mengungsikan diri. Sedang keluarga Penjawi pun sudah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tidak ada, kecuali seorang kakek, ayah Nyi Penjawi itu,"
sahut Bantaran. "Nah, kalau demikian, pergilah kepada kakek itu,"
sambung Mahesa Jenar, "Supaya ia tidak memikul
tanggungjawab atas peristiwa ini. Sebab mungkin besok
atau lusa, Saraban benar-benar menjadi gila. Juga orangorang yang menjadi malu atas kekalahannya dari Paman
Guru itu." Bantaran mengangguk-angguk. Tetapi ia masih bertanya,
"Lalu bagaimanakah dengan Tuan dan Nyi Penjawi...?"
"Tinggalkan Nyi Penjawi ini padaku," jawab Mahesa
Jenar. "Nanti kita dapat bertemu di tepi Sendang Putih.
Kuda kami, kami tinggalkan di sana."
Sekali lagi Bantaran mengangguk.
"Disamping itu..." lanjut Mahesa Jenar, "Aku ingin
mendapat keterangan darimu tentang pasukan-pasukan
yang telah kau persiapkan bersama-sama dengan Penjawi.
Mungkin sebentar lagi kita memerlukannya."
"Baiklah Tuan," sahut Bantaran.
"Hati-hatilah," bisik Mahesa Jenar kemudian. "Aku harap
kita dapat bertemu sebelum fajar."
Setelah berpesan kepada Nyi Penjawi, untuk mengikuti
segala petunjuk Mahesa Jenar, Bantaran kemudian ikut
serta menghanyutkan diri dalam kekacauan yang terjadi.
Demikian pula Mahesa Jenar, dengan menggandeng Nyi
Penjawi, berusaha mencari kesempatan untuk melepaskan
diri dari daerah tanah lapang yang terkutuk itu. Usaha
Mahesa Jenar itu tidaklah terlalu sukar. Dalam puncak
kekacauan, kelima orang berkuda yang berusaha mengawasi orang-orang di tanah lapang itu ternyata tidak
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dapat menguasai keadaan. Ditambah dengan usaha Kebo
Kanigara menyeret titik pertempuran itu semakin ke tengah,
sehingga keadaan menjadi semakin kacau. Akhirnya
beberapa orang berbondong-bondong berlarian meninggalkan lapangan itu tanpa menghiraukan apapun
juga. Meskipun kelima orang Pamingit itu berusaha untuk tetap
menahan orang-orang itu di lapangan, namun usaha
mereka tidak berhasil. Bahkan akhirnya mereka terpaksa
melepaskan orang-orang berlarian kesana kemari, karena
kuda-kuda mereka seolah-olah menjadi gila di kejutkan oleh
teriakan-teriakan orang-orang yang ketakutan.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sesaat kemudian, lapangan itu telah menjadi kosong,
kecuali Kebo Kanigara yang masih harus bertempur
melawan orang-orang berkuda dari Pamingit itu. Apalagi
kini kelima orang yang lain, yang tidak berhasil menahan
orang-orang Banyubiru di lapangan, ingin menumpahkan
kemarahan mereka kepada orang yang menamakan dirinya
Bantaran. Sebab orang itulah sumber dari kekacauan dan
kegagalan mereka menangkap Bantaran.
Dalam pada itu, Kebo Kanigara merasa bahwa tugasnya
telah selesai. Ia yakin bahwa Bantaran dan Mahesa Jenar
telah berhasil menyelamatkan Nyi Penjawi. Karena itu ia
harus segera mengakhiri pertempuran.
Demikianlah Kebo Kanigara mulai bertempur dengan
sepenuh tenaga. Ia tidak saja menghindari seranganserangan orang Pamingit itu, tetapi iapun telah mulai
menyerang mereka. Ketika seekor kuda dengan penunggangnya yang garang bersenjata sebilah pedang
yang gemerlapan menyerangnya, Kebo Kanigara tidak saja
menghindari serangannya, tetapi tiba-tiba iapun meloncat
keatas punggung kuda itu. Lawan-lawannya yang
menyaksikan perbuatannya menjadi heran, bahkan menjadi
kebingungan untuk beberapa saat, lebih-lebih penunggang
itu sendiri. Ketika ia masih belum sadar, terasalah sebuah
pukulan yang dahsat mengenai tengkuknya. Sesudah itu,
tubuhnya dengan kerasnya terlempar dari punggung
kudanya dan seterusnya tak sadarkan diri. Sedang
pedangnya yang gemerlapan kini telah berada di tangan
Kebo Kanigara. Maka mulailah Kebo Kanigara bertempur melawan
delapan orang, tetapi kini dengan pedang ditangan. Sebagai
seorang yang memiliki ilmu yang tinggi, maka Kebo
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kanigara selalu dapat menempatkan dirinya pada keadaan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
yang menguntungkan. Dengan tangan kiri memegang
kendali kuda, sedang dengan tangan kanan ia mengayunayunkan pedangnya berputar-putar dahsyat. Ia dapat
mempergunakan hampir seluruh tanah lapang itu sebaikbaiknya. Sekali-sekali ia melarikan kudanya menjauhi
lawan-lawannya. Kemudian dengan tangkasnya ia memutar
kudanya cepat-cepat untuk menghadapi lawannya yang
paling depan. Dengan demikian ia dapat memancing
pertempuran melawan orang-orang Pamingit itu hampir
satu persatu. Dan satu persatu pula mereka dapat
dirobohkan. Pedang ditangannya itu seolah-olah merupakan
patuk seekor burung garuda yang bertempur melawan
delapan ekor serigala. Sekali-sekali garuda itu terbang
tinggi, kemudian menukik cepat, dan dengan paruhnya
yang runcing tajam, dibinasakannya serigala itu satu
persatu. Demikianlah akhirnya pedang Kanigara itu telah
berhasil melukai orang kelima dipundak kanannya.
Demikian hebat luka itu, sehingga akhirnya seperti keempat
orang yang lain, orang itu jatuh tersungkur ditanah, dengan
tubuh lemas tak berdaya. Kini tinggallah tiga orang lagi. Tentu saja ketiga orang itu
mengerti bahwa lawannya bukanlah manusia setingkat
mereka. Kalau semula mereka, delapan orang, tidak mampu
mengalahkannya, apalagi kini tinggal 3 orang lagi.
Bagaimanapun juga beraninya orang-orang Pamingit itu,
namun mereka harus melihat suatu kenyataan, bahwa
mereka bertiga tidak akan mungkin memenangkan
pertempuran itu. Karena itu selagi nyawa mereka masih tinggal didalam
tubuh, serta selagi darah mereka masih belum tertumpah,
maka tidak ada cara lain yang lebih baik daripada
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menghindarkan diri dari tanah lapang itu secepat-cepatnya.
Untunglah kalau mereka sempat datang kembali dengan
membawa bantuan. Syukurlah kalau Sawung Sariti atau
lebih-lebih Ki Ageng Lembu Sora sendiri, yang kebetulan
sedang berada di Banyubiru dapat menyaksikan ketangkasan orang itu. Maka setelah mereka masing-masing berpikir dan
mengambil suatu keputusan, yang seolah-olah diatur
bersama, maka ketika salah seorang daripadanya memutar
kudanya dari tanah lapang itu sambil memperingatkan
kawan-kawannya, bahwa lebih baik menyelamatkan diri
serta membawa bantuan lebih banyak lagi, segera
menghamburlah ketiga ekor kuda itu dengan penunggangnya meninggalkan Kebo Kanigara secepat
mereka dapat. ----------o-dwkz-0-arema-o---------SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
IV Kebo Kanigara memandang ketiga orang yang meninggalkan gelanggang itu sambil mengusap peluhnya.
Kemudian matanya berkisar dari satu tubuh ketubuh yang
lain, yang masih terkapar ditanah lapang itu. Ia mengharap
agar kemudian kawan-kawan mereka segera datang dan
merawat luka-luka mereka. Sebab Kebo Kanigara sama
sekali tidak bermaksud membunuh mereka semua. Kalau
diantara terpaksa ada yang menghembuskan napas
penghabisan, itu adalah diluar kemauannya. Sebab dalam
bermain dengan air, pastilah ada diantaranya yang terpercik
dan menjadi basah karenanya.
Setelah itu, segera Kebo Kanigara teringat kepada
Mahesa Jenar dan Bantaran. Dengan Mahesa Jenar ia
berjanji untuk segera kembali ketempat kuda-kuda mereka
tertambat. Karena itu sebelum keadaan menjadi lebih
buruk, segera Kebo Kanigara meloncat dari kudanya, dan
berlari lewat jalan semula, pergi ke Sendang Putih. Ia
terpaksa menyusur jalan-jalan sempit dan halamanhalaman kosong seperti yang dilaluinya semula, karena ia
tidak mengenal daerah dan jalan-jalan lain di Banyubiru.
Tetapi dengan demikian, beruntunglah ia, karena sesaat
kemudian lamat-lamat ia mendengar derap kuda, jauh lebih
banyak dari semula, menuju ketanah lapang dimana ia baru
saja bertempur. Karena itulah ia segera mempercepat
larinya supaya tidak terkejar oleh orang-orang yang pasti
akan mencarinya. Baru ketia ia telah menyusup ke semak-semak,
mengambil jalan yang memotong. Ia menjadi agak lega dan
memperlambat larinya. Apalagi ia terpaksa berusaha
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mengenal kembali jalan setapak yang dilaluinya itu, supaya
ia tidak tersesat. Beberapa lama kemudian sampailah ia di tempat mereka
berjanji untuk bertemu. Di situ telah menanti Mahesa Jenar,
Bantaran, Nyi Penjawi dan seorang kakek tua ayah Nyi
Penjawi. Dengan tersenyum Mahesa Jenar menyambut kedatangan Kebo Kanigara, katanya, "Sudah puaskah
Kakang bermain-main dengan orang Pamingit?"
Sambil duduk di samping Mahesa Jenar, Kanigara
menjawab sambil tersenyum pula, "Mereka adalah kawan
bermain yang baik. Orang-orang Pamingit itu ternyata ahli
menunggang kuda." Dengan tersenyum pula Mahesa Jenar menjawab,
"Sayang mereka tidak dapat bermain-main dengan senjata
sebaik mereka naik kuda."
Kemudian dengan lesu Kanigara berkata seperti kepada
diri sendiri, "Aku terpaksa melukai beberapa orang
diantaranya. Sebab aku tidak dapat bermain-main dengan
senjata sebaik diantara mereka yang terbunuh."
Mahesa Jenar sama sekali tidak menyahut. Ia tahu betul
perasaan Kebo Kanigara, bahwa bukanlah pada tempatnya,
dalam keadaan yang demikian, dimana ia tidak mempunyai
persoalan langsung dengan orang-orang Pamingit itu,
tangannya terpaksa menumpahkan darah. Tetapi dalam
keadaan yang demikian, tak seorangpun yang akan dapat
menyalahkannya. Apalagi Bantaran. Sebagai seorang
pemimpin laskar Banyubiru, ia menjadi keheran-heranan,
bahwa dalam pertempuran yang berlangsung itu, dimana
seorang harus melawan 10 orang bersama-sama, masih
juga menyesal kalau ia terpaksa membunuh lawannya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sesaat kemudian keadaan menjadi sunyi. Masing-masing
membiarkan angan-angannya mengembara ke daerah yang
berbeda-beda. Kemudian terdengarlah kembali Mahesa Jenar berkata
kepada Bantaran, "Bantaran... aku masih ingin mendapat
beberapa keterangan tentang laskarmu dan laskar Penjawi.
Sebab mau tidak mau, apabila Ki Ageng Lembu Sora dan
Sawung Sariti tetap pada pendiriannya, kita akan
memerlukannya." Bantaran menggeser duduknya, kemudian menjawabnya,
"Laskar kami sebenarnya tidaklah begitu banyak, Tuan.
Apalagi sampai saat ini kami sama sekali tidak mendapat
bimbingan yang baik. Apakah artinya kami berdua. Aku dan
Penjawi. Sedang yang kami hadapi adalah Ki Ageng Lembu
Sora dan putranya, Sawung Sariti. Sedangkan tingkat
keterampilan kami tidaklah lebih daripada pengawalpengawal Lembu Sora itu."
"Tetapi bagaimanakah dengan tekad mereka...?" sela
Mahesa Jenar. "Itulah yang mendorong kami untuk tetap berjuang.
Mereka ternyata bersedia menunggu pemimpin mereka. Ki
Ageng Gajah Sora atau putranya, Arya Salaka yang hilang
itu." "Bagaimanakah dengan Wanamerta?" Mahesa Jenar
mencoba bertanya. "Orang tua itupun telah meninggalkan Banyubiru." jawab
Bantaran. "Tetapi kami belum mengetahuinya, di mana ia
berada." Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia berkata, "Bantaran, agaknya Wanamerta
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
benar-benar belum berhasil mencari hubungan dengan
kalian. Ketahuilah bahwa Wanamerta telah berhasil
menyusul putra Ki Ageng Gajah Sora."
"Arya Salaka...?" potong Bantaran terkejut.
"Ya," jawab Mahesa Jenar, "Dan selama ini Arya salaka
dalam keadaan selamat."
"Syukurlah," sahut Bantaran. "Memang demikianlah
berita yang pernah aku dengar, meskipun aku belum
meyakini sebelumnya. Sekarang karena Tuan yang
mengatakannya, maka aku dapat mempercayainya."
"Dari mana kau dengar berita itu?" tanya Mahesa Jenar.
"Aku tidak jelas sumbernya," jawab Bantaran. "Tetapi
aku kira dari orang-orang Pamingit. Sebab aku dengar
mereka sedang mencari untuk membunuhnya. Bahkan yang
kami dengar Arya Salaka selalu bersama-sama dengan
Tuan." Kembali Mahesa Jenar mengangguk=anggukkan kepalanya. Katanya, "Berita itu benar. Hampir seluruhnya.
Bahkan Sawung Sariti sendiri sudah untuk kedua kalinya
berusaha membunuh Arya Salaka dengan tangannya."
Mendengar keterangan itu, Bantaran mengangkat
kepalanya. Bagaimanapun ia merasa tersinggung atas
kelakuan Sawung Sariti. Maka katanya, "Untunglah bahwa
Arya Salaka dapat Tuan selamatkan."
"Ia telah dapat menyelamatkan dirinya sendiri," jawab
Mahesa Jenar. Bantaran menjadi heran mendengar jawaban itu. Sawung
Sariti pada saat-saat terakhir telah menjadi seorang
pemuda yang tangguh, berkat tuntunan kakeknya, Ki Ageng
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sora Dipayana. Meskipun seandainya Arya Salaka mendapat
tuntunan dari Mahesa Jenar, apakah anak itu akan dapat
menyamai ketangguhan Sawung Sariti. Malahan, seandainya paman guru Mahesa Jenar itu yang mendidiknya, ia masih belum yakin bahwa Arya dapat
menyamai Sawung Sariti. Sebab Ki Ageng Sora Dipayana
adalah seorang yang sukar dicari tandingnya. Tetapi
Bantaran tidak mau menanyakannya. Ia takut kalau-kalau
dengan demikian akan dapat menyinggung perasaan
Mahesa Jenar. Dalam pada itu Mahesa Jenar meneruskan, "Yang
penting bagimu Bantaran, peliharalah tekad dan kesetiaan
laskarmu terhadap perjuangan yang telah dirintisnya.
Dalam waktu yang singkat aku akan membawa Arya Salaka
ke tengah-tengah mereka."
Tiba-tiba dada Bantaran terasa seolah-olah mengembang
karena kegembiraan. Kalau Arya Salaka berada di tengahtengah mereka maka laskarnya akan menjadi laskar yang
bertekad baja, yang tidak lagi memperhitungkan hidup dan
mati yang memang diluar kekuasaan manusia.
"Karena itu..." Mahesa Jenar meneruskan, "Bersiaplah
menghadapi masa yang menentukan."
"Baiklah Tuan," jawab Bantaran mantap. "Akan kami
kabarkan hal ini kepada mereka supaya mereka merasa
bahwa apa yang mereka lakukan itu mempunyai arti bagi
tanah perdikan mereka."
"Kalau demikian, ke manakah aku harus membawa Arya
Salaka...?" sahut Mahesa Jenar.
"Ke Gedong Sanga, Tuan," jawab Bantaran cepat. "Di
sekitar candi itu kami menempatkan laskar kami."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Baiklah. Dan beruntunglah aku dapat bertemu dengan
kau di sini, sehingga aku mendapat banyak bahan untuk
saat-saat terakhir."
Demikianlah, mereka mengakhiri pembicaraan. Setelah
sekali lagi Mahesa Jenar berjanji akan membawa Arya ke
Candi Gedong Sanga, maka bersama dengan Kebo Kanigara
ia minta diri untuk segera kembali ke Karang Tumaritis,
dimana Arya Salaka pasti telah menunggunya. Bersamaan
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan itu, berangkat jugalah Bantaran lewat jalan-jalan
hutan membawa istri Penjawi beserta ayahnya untuk
berkumpul kembali dengan laskarnya, setelah beberapa hari
ia berkeliaran di daerah sekitar Banyubiru untuk melihat
perkembangan daerah itu. Namun kali ini dengan bangga ia akan dapat berkata
kepada laskarnya tentang apa yang disaksikannya di
Banyubiru, pertemuannya dengan Mahesa Jenar yang tanpa
diduga-duganya. Serta yang terakhir bahwa mereka boleh
mengharap, dalam waktu singkat Mahesa Jenar akan
membawa Arya Salaka ke tengah-tengah mereka.
Di perjalanan kembali ke Karang Tumaritis, Mahesa Jenar
dan Kebo Kanigara tak henti-hentinya memperbincangkan
kemunduran-kemunduran yang terjadi di Banyubiru.
Kemunduran dalam segala bidang. Namun mereka masih
menduga-duga apakah sebabnya Ki Ageng Sora Dipayana
masih berdiam diri. Demikianlah mereka menempuh perjalanan, melintasi
padang-padang rumput, hutan-hutan yang tidak begitu
lebat, mendaki lambung-lambung bukit, serta menuruni
lereng-lerengnya, untuk kemudian sampai ke daerah
persawahan yang membentang luas di hadapan mereka,
setelah mereka bermalam di bawah bentangan langit biru.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sedang pedukuhan yang tampak di hadapan mereka,
seperti pulau-pulau yang tersembul dari lautan, adalah
pedukuhan Gedangan. Oleh hembusan angin yang cepatcepat lambat, butir-butir padi yang sudah mulai menguning
tampak seperti wajah lautan yang berombak-ombak. Jauh
di ujung desa tampaklah beberapa puluh orang perempuan
seperti semut yang terapung-apung, sudah mulai menuai
padi. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara melihat semuanya itu
dengan wajah yang cerah. Mereka ikut bersama-sama
dengan para petani Gedangan, merasa gembira bahwa hasil
jerih payah mereka selama beberapa bulan kini sudah dapat
dipetik hasilnya. Lebih daripada itu, Mahesa Jenar melihat
benar-benar kemajuan yang telah dicapai oleh pedukuhan
kecil ini dalam bidang pertanian.
Setelah puas memandang sawah yang terbentang di
hadapan mereka itu, segera mereka menarik kekang kuda
masing-masing, dan berjalanlah kuda-kuda mereka seenaknya. Burung-burung liar yang terkejut karena suara
telapak kaki kuda itu, beterbangan terpencar-pencar.
Sedang butiran-butiran padi yang penuh berisi, seolah-olah
merundukkan batang-batang mereka kepada kedua orang
yang baru datang itu. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara bagi orang-orang
Gedangan adalah orang-orang yang sangat dihormati.
Karena mereka berdua telah banyak memberikan jasa
mereka kepada pedukuhan kecil itu. Karena itu ketika
seseorang melihat kehadiran mereka, ia segera berlari-lari
melaporkannya kepada pejabat-pejabat pedukuhan, sehingga sesaat kemudian ributlah pendapa kelurahan
Gedangan. Mereka segera bersiap-siap untuk menyambut
kedatangan tamu-tamu mereka.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Ketika Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara sampai di
halaman kelurahan, bahkan mereka menjadi terkejut. Mulamula mereka heran, apakah yang terjadi di kelurahan itu
sehingga banyak orang hilir-mudik kesana kemari. Tetapi
ketika akhirnya mereka mengetahui duduk perkaranya,
mereka menjadi geli. Hal yang sedemikian itu sebenarnya
sama sekali tak mereka kehendaki. Sebab apa yang mereka
lakukan tidak lebih dan tidak kurang daripada melakukan
kewajiban mereka, sebagai manusia yang mengabdikan diri
pada sumbernya serta hasil pancaran dari sumber itu.
Tetapi rakyat Gedangan itu menjadi kecewa ketika
mereka mengetahui bahwa Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara tidak dapat terlalu lama tinggal di pedukuhan
mereka, sebab suatu kewajiban yang penting telah
menanti. Mereka hanya dapat bermalam satu malam saja,
untuk seterusnya mereka minta diri meneruskan perjalanan
ke Karang Tumaritis. Sedangkan kuda-kuda yang dipinjamnya, masih belum mereka kembalikan, bahkan
Mahesa Jenar telah berpesan apabila diperlukan mereka
masih akan meminjamnya lebih banyak lagi nanti.
"Berapa ekor lagi yang akan Tuan perlukan...?" tanya
Wiradapa. "Lima atau enam ekor," jawab Mahesa Jenar kepada
Lurah Gedangan itu. "Baiklah Tuan, kuda-kuda itu akan kami sediakan sejak
hari ini," sahut Wiradapa, dan seterusnya ia berkata,
"Kecuali itu, perkenankan kami mengundang Tuan berdua
beserta sahabat dan putra-putra Tuan untuk mengunjungi
pedukuhan kami ini pada akhir bulan."
"Apakah keperluan kalian...?" tanya Mahesa Jenar.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Kami akan mengadakan upacara bersih desa. Sebagai
pernyataan terimakasih dan kegembiraan kami atas karunia
Tuhan yang telah menjadikan sawah-sawah kami bertambah subur serta tanaman-tanaman kami selamat dari
gangguan hama." Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tersenyum. "Baiklah,"
jawab mereka hampir bersamaan.
Kemudian setelah itu, mumpung masih pagi, segera
berangkat ke bukit kecil yang dinamai oleh penghuninya
Karang Tumaritis. Ketika matahari telah sampai di atas kepala mereka,
sampailah mereka di atas bukit kecil itu. Perjalanan mereka
di atas punggung kuda seakan-akan merupakan tamasya
yang menyenangkan. Kedatangan mereka disambut dengan meriah oleh
penghuni bukit kecil itu. Para cantrik dan endang. Lebihlebih lagi, betapa gembira hati Endang Widuri yang telah
beberapa lama ditinggalkan oleh ayahnya. Untunglah
bahwa saat itu ia sudah mempunyai kawan bermain yang
dapat melayaninya, yaitu Rara Wilis. Arya Salaka pun
menjadi sangat gembira. Sebab hanya dialah yang
mengetahui, walaupun hanya sedikit, bahwa apa yang
dilakukan oleh gurunya beserta Kebo Kanigara adalah tugas
yang berbahaya. Ketika mereka sudah beristirahat beberapa lama,
bertanyalah Kebo Kanigara kepada anaknya, "Widuri,
apakah Panembahan dalam keadaan sehat...?"
Dengan manjanya Widuri menjawab, "Yang aku ketahui,
sepeninggal ayah, Panembahan mengurung dirinya di
dalam sanggar sampai berhari-hari. Tak seorang pun yang
diperkenankan ikut serta. Bahkan makanan pun telah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dibawanya sendiri sejak Panembahan mulai dengan
samadinya." Kebo Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi tahulah ia, dan juga Mahesa Jenar tahu, bahwa
sebenarnya Panembahan Ismaya pada saat itu sedang pergi
meninggalkan padepokan untuk menyusulnya ke Pudak
Pungkuran, dimana ia bersama-sama dengan Mahesa Jenar
sedang menemui Radite dan Anggara.
"Apakah beliau sekarang masih berada di dalam
sanggar?" tanya Kanigara kemudian.
Widuri menggeleng. Jawabnya, "Sudah hampir seminggu
Panembahan wudhar dari samadinya."
Sambil memandang kepada Mahesa Jenar, Kebo
Kanigara berkata, "Kalau demikian, baiklah kita menghadap." Mahesa Jenar menyetujuinya pula. Dan ketika mereka
sudah melangkah sampai luar pintu pondok, menyusullah
Arya Salaka sambil berbisik, "Paman, Panembahan agak
menyesal ketika aku katakan tentang kepergian Paman
berdua." Kanigara dan Mahesa Jenar terhenti. Tetapi kemudian
mereka berdua tersenyum. Jawab Kanigara, "Kami akan
mencoba menjelaskan kepada Panembahan."
"Mudah-mudahan Panembahan dapat mengerti," sahut
Arya Salaka. "Aku kira demikian," sahut Mahesa Jenar. "Nanti sesudah
kami menghadap, aku beritahukan kepadamu."
Arya Salaka mengangguk, tetapi hatinya masih juga
gelisah. Jangan-jangan Panembahan masih tetap kecewa
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
terhadap gurunya serta Kebo Kanigara.tetapi ia sudah tidak
berani bertanya lagi. Ketika Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar sampai di rumah
kediaman Panembahan Ismaya, Panembahan tua itu
ternyata sedang duduk dihadap beberapa orang cantrik
tertua. Agaknya ada sesuatu yang sedang mereka
perbincangkan. Ketika dilihatnya kedatangan Kabo Kanigara
dan Mahesa Jenar, maka dengan perasaan gembira mereka
berdua disambutnya serta segera dipersilakan masuk.
"Marilah Angger berdua... beberapa hari aku menjadi
gelisah atas kepergianmu berdua. Syukurlah kalau kau
berdua tidak menemui halangan sesuatu."
Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar mengangguk hormat,
sebagai pernyataan bakti mereka kepada Panembahan tua
itu. "Agaknya kalian berdua menjadi gembira karena
perjalanan itu..." Ternyata wajah kalian bertambah segar,"
sambung Panembahan Ismaya.
Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar tidak menjawab.
Mereka hanya menundukkan muka mereka. Sebab tak ada
yang akan mereka katakan, karena Panembahan Ismaya
telah mengetahui seluruhnya. Tetapi tiba-tiba Panembahan Ismaya berkata kepada para
cantrik, "Cantrik-cantrik sekalian... aku perkenankan kalian
meninggalkan ruangan ini. Sediakanlah makan siangku. A ku
ingin setelah ini makan bersama-sama dengan Kanigara dan
Mahesa Jenar." Maka mundurlah para cantrik dari ruangan itu, untuk
mempersiapkan makan siang Panembahan Ismaya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sepeninggal para cantrik, barulah Panembahan bertanya
segala sesuatu mengenai perjalanan kembali Mahesa Jenar
dan Kebo Kanigara. Dan kepada Panembahan itu
diceritakan pula bagaimana keadaan Banyubiru sekarang.
Kemunduran dalam segala bidang, terutama kemunduran
akhlak. "Panembahan..." kata Mahesa Jenar kemudian, "Menurut
pertimbanganku, segala sesuatu yang terjadi di Banyubiru
itu harus segera dihentikan, dengan mengembalikan Arya
Salaka ke sana. Atau lebih-lebih kalau mungkin Kakang
Gajah Sora." Panembahan Ismaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ia merasa ditagih janji, sebab merasa berkesanggupan
untuk membebaskan Gajah Sora. Tetapi untuk melaksanakan kesanggupan itu agaknya tidak terlalu
mudah. Karena itu ia menjawab, "Kau benar Mahesa Jenar.
Bawalah Arya Salaka lebih dahulu. Aku masih belum dapat
membebaskan ayahnya. Aku harap hal itu segera terjadi.
Dan bukankah akan sangat menggembirakan kalau Gajah
Sora nanti dapat kembali ke Banyubiru setelah Banyubiru
dapat dipulihkan..." Dan apa yang terjadi sebelum itu,
seolah-olah hanya suatu peristiwa dalam mimpi, meskipun
mimpi yang menyedihkan."
Mahesa Jenar masih merenungkan masalah-masalah
yang akan dihadapinya. Kalau saja tidak ada persoalan yang
lebih besar, yang akan langsung mempengaruhi pemerintahan Demak, maka cara yang semudah-mudahnya
untuk membebaskan Ki Ageng Gajah Sora adalah
menyerahkan kembali Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk
Inten. Tetapi ternyata cara itu tidak dapat ditempuhnya.
Sebab Banyubiru bagi Demak hanyalah merupakan
sebagian saja dari seluruh persoalan. Namun ia percaya
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kepada Panembahan Ismaya. Panembahan itu pasti akan
menemukan suatu cara untuk membebaskan Gajah Sora.
Dengan atau tanpa Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Syukurlah kalau kalau nanti Gajah Sora dapat menjumpai
tanah perdikan sudah pulih kembali, meskipun belum
seluruhnya. Tetapi setidak-tidaknya Gajah Sora merasa
bahwa ia kembali ke tanahnya sendiri, seperti pada saat
ditinggalkan. Kemudian diceritakan pula oleh Mahesa Jenar pertemuannya dengan Bantaran, salah seorang pemimpin
laskar Banyubiru, serta pasukannya di sekitar Candi Gedong
Sanga. Akhirnya Panembahan Ismaya menyetujui permintaan
Mahesa Jenar untuk mengajak Kanigara serta dalam
usahanya mengembalikan Banyubiru ke dalam tangan Arya
Salaka. Sebab tanpa orang-orang yang lebih tua itu, Arya
Salaka tidak akan mampu melakukan pekerjaan berat itu.
"Tetapi kau jangan terlalu tergesa-gesa, Mahesa Jenar..."
Panembahan Ismaya menasihati, "Sebab apa yang akan
dilakukan oleh Arya Salaka adalah pekerjaan yang sulit.
Mula-mula kau harus berusaha untuk menjelaskan
masalahnya tanpa pertumpahan darah. Kau dapat
membawa laskar yang dipimpin Bantaran hanya untuk
membuat keadaan seimbang, supaya keseimbangan itu
diperhitungkan pula oleh Lembu Sora. Sebab apabila ia
hanya berhadapan dengan kalian berdua beserta Arya
Salaka, maka mereka pasti akan berkeras kepala. Selain
daripada itu, kau harus mempersiapkan Arya Salaka untuk
menghadapi setiap kemungkinan yang akan terjadi. Lahir
dan batin. Supaya dalam setiap keadaan hatinya tidak
terguncang dan kehilangan keseimbangan."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Demikianlah Mahesa Jenar mendapat banyak sekali bekal
yang perlu baginya untuk memenuhi kesanggupannya
kepada Ki Ageng Gajah Sora, pada saat orang itu pergi
meninggalkan Banyubiru, dan menitipkan anaknya kepadanya. Setelah makan siang bersama-sama dengan Panembahan Ismaya dan Kebo Kanigara, maka segera
Mahesa Jenar minta diri untuk beristirahat. Namun demikian
ia tidak dapat melepaskan diri dari persoalan-persoalan
yang selalu membelit hatinya, persoalan Banyubiru.
Agaknya Arya Salaka pun hampir tidak sabar menanti
Mahesa Jenar. Ketika ia melihat gurunya itu datang, segera
ia bertanya, apakah Panembahan Ismaya marah kepadanya. Dengan tersenyum Mahesa Jenar menjawab, "Panembahan bukanlah orang yang dapat marah. Apakah
kau pernah melihat Panembahan marah?"
Arya menggeleng, tetapi ia menjawab, "Aku selalu cemas
bahwa Panembahan akan marah untuk pertama kalinya
kepada Paman dan Paman Kanigara."
Mahesa Jenar tertawa kecil. Kemudian sahutnya, "Tidak.
Panembahan tidak marah. Ia hanya memberi aku dan
Kakang Kanigara nasihat. Dan nasihat-nasihat itu akan
sangat berguna bagiku dan Kakang Kanigara."
Sejak saat itu Mahesa Jenar mencoba untuk memberi
penjelasan kepada Arya Salaka untuk melengkapi pengetahuannya tentang keadaan sebenarnya yang terjadi
di Banyubiru. Karena Arya Salaka sekarang menurut
anggapan Mahesa Jenar telah cukup siap untuk mengetahui
segala-galanya, maka Mahesa Jenar kini tidak lagi
menyembunyikan sesuatu. Juga dijelaskan apa yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sekarang terjadi kalau keadaan yang demikian dibiarkan
berlarut-larut. Arya Salaka mendengarkan semua penjelasan itu dengan
menekan dada. Ia telah dapat merasakan betapa jeleknya
keadaan Banyubiru sepeninggal ayahnya.
Hampir setiap malam ia duduk bercakap-cakap dengan
Mahesa Jenar, yang kadang-kadang ditemani Kebo
Kanigara, Rara Wilis dan Endang Widuri. Apa yang mereka
percakapkan selalu berkisar pada masalah Banyubiru.
Apalagi kalau Wanamerta berkesempatan untuk ikut serta
berbicara. Banyak sekali cerita yang dapat membakar dada
Arya Salaka. Sebagai orang tertua, yang pada saat Gajah
Sora meninggalkan Banyubiru menerima tanda pemerintahan Pusaka Kyai Bancak, dan yang selajutnya
kehadirannya di Banyubiru oleh Ki Ageng Lembu Sora sama
sekali tidak diperhitungkan, bahkan disingkirkan dengan
satu cara yang keji, ia benar-benar sakit hati.
Disamping semua penjelasan, untuk mempersiapkan
Arya Salaka menghadapi keadaan-keadaan di Tanah
Perdikan yang sudah kira-kira lima tahun ditinggalkan, ia
selalu menerima pula tuntunan-tuntunan lahiriah. Setiap
hari ia masih harus berlatih sekeras-kerasnya. Menambah
pengetahuan tata pertempuran dan olah senjata. Dalam
keadaan yang demikian, terasalah betapa perkembangan
jasmaniah Arya Salaka menjadi bertambah cepat setelah
orang aneh yang mengenakan jubah memijiti hampir
seluruh tubuhnya pada suatu malam, setelah ia bertempur
melawan Sawung Sariti. Untunglah bahwa di bukit kecil itu
ia mempunyai banyak kawan berlatih. Endang Widuri yang
memiliki cabang keturunan ilmu yang sama dengan
ilmunya. Rara Wilis dari Perguruan Pandan Alas. Serta
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Meskipun sebenarnya
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Arya Salaka kadang-kadang bertanya di dalam hati tentang
persamaan yang sedemikian dekatnya antara Kebo
Kanigara dengan gurunya, Mahesa Jenar, namun pertanyaan itu tetap disimpannya. Sejalan dengan itu,
kadang-kadang ia menjadi heran pula, bahwa ilmu gurunya
sendiri agaknya menjadi jauh berkembang, seolah-olah
berkembang dengan sendirinya. tetapi juga keheranan ini
disimpannya di dalam hati.
Sudah tentu bahwa dalam keadaan demikian tidak saja
Arya Salaka sendiri yang berhasil memperkuat dirinya lahirbatin, tetapi juga kawan-kawannya berlatih. Mereka
ternyata saling menerima dan memberi. Ilmu pedang yang
luar biasa lincahnya, dari perguruan Pandan Alas, dalam
keserasiannya dengan ilmunya. Sebaliknya, keteguhan serta
gerak-geraknya yang kuat dapat mempengaruhi keterampilan Rara Wilis. Sedangkan kenakalan Endang
Widuri pun kadang-kadang dapat memberi banyak ilham
kepada Arya, sehingga dalam ilmunya kadang-kadang sifat
itu terungkap dalam gerak-gerak yang tampaknya tidak
masuk akal dan kurang berhati-hati, namun sebenarnya
mempunyai segi-segi yang mengelabuhi lawan.
Maka, ketika segala sesuatunya telah dirasa cukup,
sampailah Mahesa Jenar pada taraf terakhir dari
pekerjaannya menjelang keberangkatan mereka ke Banyubiru, yaitu mematangkan jiwa Arya Salaka menghadapi segala macam kemungkinan. Kemungkinan
yang paling menyenangkan sampai kemungkinan terakhir
yang dapat saja terjadi. Yaitu gugur dalam menunaikan
kewajiban sucinya. Tetapi jiwa Arya memang sudah mendapat tempaan
yang luar biasa sejak bertahun-tahun terakhir. Kesulitan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
hidup yang hampir setiap hari dijalani, sulit lahir-batin,
adalah bekal yang baik dalam pekerjaannya itu.
Disamping itu, Mahesa Jenar tidak pula lupa menunjukkan, bahwa apa yang akan dilakukan itu adalah
suatu usaha. Usaha yang wajib diperjuangkan oleh manusia
untuk mencapai cita-citanya, namun segala keputusan
terakhir dari semua masalah, terletak ditangan Tuhan Yang
Maha Kuasa. Demikianlah, akhirnya Mahesa Jenar menyampaikan
segala macam persiapan dan anggapannya, bahwa segala
sesuatunya sudah cukup, kepada Panembahan Ismaya.
Bersamaan dengan itu, ia mohon diri bersama muridnya
untuk menunaikan kewajibannya, serta sekali lagi ia mohon
kepada Panembahan untuk mengizinkan Kebo Kanigara
pergi bersamanya. Panembahan Ismaya memandang Mahesa Jenar dengan
hampir tak berkedip. Ini adalah suatu masalah yang paling
rumit, yang selalu tumbuh hampir setiap saat. Alangkah
menyedihkan, bahwa seseorang melakukan persiapan
sampai seteliti-telitinya untuk melakukan tindakan kekerasan. Padahal, seharusnya setiap bentuk kekerasan
pasti harus ditentang. Tetapi ia tidak dapat menyembunyikan kenyataan, bahwa diantara anak manusia
di dunia ini masih saja ada yang sama sekali tidak
menghiraukan kemanusiaannya, yang dengan segala
macam cara, menindas manusia-manusia yang lain. Dan
terhadap manusia-manusia yang demikian itu, wajarlah
bahwa ada usaha-usaha untuk mencegahnya. Usaha
terakhir pencegahan itu adalah dengan cara yang sama
sekali menyimpang dari tuntutan cinta kasih manusia.
Sebab kadang-kadang yang harus dilakukan adalah
nampaknya berlawanan dengan ungkapan cinta kasih itu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sendiri. Yaitu kekerasan, perkelahian dan bahkan kadangkadang persoalan hidup dan mati.
Karena persoalan-persoalan yang sedemikian itulah,
maka selalu timbul pertentangan di dalam diri. Pertentangan antara hakekat dari pengabdian diri terhadap
manusia sebagai tempat untuk meletakkan pengabdian
yang tertinggi dengan penuh cinta kasih sebagaimana
Tuhan melimpahkan cinta kasihnya kepada manusia, serta
kenyataan bahwa manusia itu sendiri telah menodainya. Di
sinilah kadang-kadang dijumpainya persimpangan jalan
antara tujuan dengan cara pengabdian. Namun demikian
bukanlah segala cara dapat dibenarkan untuk mencapai
tujuan. Sebab dalam hal yang demikian kaburlah batas
antara tujuan yang hendak dicapai dengan mengorbankan
tujuan itu sendiri, sebagai puncak pengabdian. Dalam hal
yang demikian itu, apabila segala macam cara dapat
dibenarkan, maka akan timbullah fitnah, kebiadaban,
kekejaman dan kesewenang-wenangan, yang justru
menghilangkan nilai tertinggi dan tujuannya, yaitu manusia.
Terhadap Mahesa Jenar
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan Kebo Kanigara, Panembahan Ismaya tidak tedheng aling-aling. Dan karena
itulah maka Panembahan Ismaya sendiri masih mempergunakan dua bentuk selama ini. Orang berjubah
abu-abu yang sakti dan seorang Panembahan yang
menjauhkan diri dari daerah keduniawian.
Mendengar uraian itu Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar
hanya dapat menundukkan wajah mereka dengan
takzimnya. Namun didalam dada mereka bergolaklah
pertanyaan-pertanyaan yang tak terucapkan. Pertanyaan
tentang diri mereka, tentang Arya Salaka yang terusir dari
Banyubiru, dan tentang hak yang sudah terampas dari
tangannya. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Namun meskipun pertanyaan itu tidak terucapkan,
agaknya Panembahan Ismaya dapat mengertinya. Karena
itu katanya, "Karena itu Mahesa Jenar, kau harus dapat
mencari keserasian dari cara dan tujuan pengabdian. Dan
dari sinilah nanti akan tampak, bahwa seseorang memiliki
ketinggian budi yang tidak sama. Ada orang yang berbudi
luhur dan berjiwa besar dan ada orang yang berbudi rendah
dan berjiwa kecil. A da orang yang mengumandangkan nilainilai kemanusiaan, namun akan seribu satu macam
semboyan, tetapi nilai-nilai kemanusiaan itu tercermin
dalam tindak tanduknya sehari-hari. Seorang yang
menganggap dirinya pendukung nilai-nilai kemanusiaan,
tetapi ia mengorbankan manusia untuk mempertahankan
kepentingan diri sendiri yang dipancangkannya di atas
tumpukan bangkai-bangkai. Namun sebaliknya ada orang
yang dengan berdiam diri membangun nilai-nilai itu dalam
lingkungan yang jauh dari pamrih untuk mencemerlangkan
diri. ----------o-dwkz-0-arema-o---------Editing oleh Ki Arema SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Jilid 16 SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
I SETELAH berhenti sejenak, Panembahan Ismaya meneruskan, "Karena itulah Mahesa Jenar, aku tidak dapat
mencegah Arya Salaka untuk mengambil haknya kembali.
Untuk mengambil kekuasaan yang ada di Banyubiru dari
tangan adik atau pamannya. Sedang kekuasaan itu sendiri
bukanlah hal yang selalu baik atau tidak baik. Hampir
semua orang di dunia ini menginginkan kekuasaan. Dalam
bentuk yang besar atau dalam ujud yang lebih kecil serta
dalam lingkungan yang kecil pula. Namun yang harus dinilai
kemudian adalah bagaimana kekuasaan itu dipergunakan.
Akhirnya, bahwa manusia yang mempunyai kekuasaan
itulah, yang menentukan bentuk dari kekuasaan yang
berada di dalam tangannya. Apakah ia mengabdikan
kekuasaan itu untuk nilai-nilai kemanusiaan ataukah dengan
kekuasaannya ia justru menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan itu." Mahesa Jenar, aku harap kau dapat memahaminya.
Selanjutnya aku mengharap, bahwa Arya Salaka akan dapat
mendengarnya pula darimu. Karena kau adalah gurunya,
maka aku kira kaulah orang paling dekat di hatinya. Kaulah
yang akan dapat memberitahukan kepadanya, bahwa
kekuasaan yang berada kembali di tangannya nanti harus
menemukan titik sasaran yang benar. Seperti tombak
lambang kebesaran Banyubiru yang dibawanya itu. Tombak
itu dapat dipergunakannya untuk melindungi diri serta
orang lain. Namun tombak itu di tangan orang yang tidak
bertanggungjawab dapat dipergunakan untuk membunuh
kawan seiring. Nah Mahesa Jenar, pergilah. Ingat,
pengabdianmu harus kau tujukan kepada manusia. Tidak
kepada kedudukan, harta benda dan nafsu. Dan
pengabdianmu itu merupakan unsure terpenting dari
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kebaktianmu yang tertinggi. Bakti dengan tulus ikhlas
kepada Tuhan Yang Maha Esa."
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menundukkan
wajahnya semakin dalam. Tak ada satu patah kata pun
yang sisip dari hatinya, dari pendiriannya. Memang
demikianlah tujuan pengabdian yang selama ditempuhnya.
Karena itu, setiap kata yang diucapkan oleh Panembahan
Ismaya itu telah mempertebal keyakinannya. Di dalam hati
ia berjanji untuk menuangkan pengertiannya itu sejauhjauhnya kepada Arya Salaka. Sebab di tangan Arya Salaka
lah letak kekuasaan Banyubiru di masa datang.
Rombongan itu mula-mula singgah di Gedangan untuk
mendapat pinjaman kuda, disamping mereka memenuhi
undangan Wiradapa untuk mengunjungi upacara bersih
desa. Upacara yang diselenggarakan setiap para penduduk
Gedangan selesai dengan musim menuai padi. Demikian
pula kali ini. Mereka bersuka ria karena panenan mereka
berhasil. Pada malam itu, ketika rombongan Mahesa Jenar
bermalam di Gedangan, suasana desa itu benar-benar
meriah. Mereka menyelenggarakan peralatan bersama di
sebuah tanah lapang kecil di tengah-tengah desa mereka.
Setiap keluarga datang dengan membawa ancak berisi
berbagai macam makanan. Nasi beserta lauk-pauknya dan
bermacam-macam jenis masakan yang lain. Bahkan ada
yang membawa jodhang penuh dengan masakan yang
enak. Makanan jadah, jenang alot, tasikan, sagon, lapis dan
sebagainya. Maka apabila upacara-upacara adat telah
selesai, maka segera makanan mereka itu dibagi bersamasama dan dimakan bersama-sama pula. Demikianlah,
peralatan itu benar-benar merupakan peralatan yang
meriah. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sedangkan hampir seluruh desa mereka dihiasi dengan
janur-janur kuning yang mereka sangkutkan di setiap regol
halaman. Dan di hadapan regol desa mereka letakkan
hiasan yang termeriah, dengan janur-janur kuning, daun
topengan dan daun-daun yang berwarna-warni. Merah,
kuning, hijau dan berbelang-belang. Demikian pula dinding
yang melingkari desa mereka serta sepanjang dinding
halaman rumah-rumah, terpancang berpuluh-puluh bahkan
beratus-ratus oncor yang menjadikan desa mereka terangbenderang seolah-olah siang.
Anak-anak Gedangan pun mendapat bagian pula.
Semalam suntuk mereka tidak tidur. Setelah mereka lelah
berlari-larian kesana kemari, mereka dapat menikmati
pertunjukan wayang beber. Pertunjukan yang mengisahkan
kepahlawanan, yang dipetik dari ceritera Mahabarata.
Demikianlah rombongan kecil Mahesa Jenar dapat ikut
pula menikmati kemeriahan malam bersih desa di
Gedangan itu. Mereka ikut serta bergembira bersama-sama
penduduk Gedangan dan kemudian ikut serta dengan
mereka mengunjungi pertemuan di pendapa Kelurahan
serta menikmati upacara tari-tarian sebagai pernyataan
terima kasih pula atas panenan mereka yang berhasil.
Tetapi dalam pada itu, Arya Salaka menjadi semakin
trenyuh di dalam hati. Teringatlah segala kemeriahan
upacara di Tanah Perdikan Banyubiru pada masa kecilnya.
Pada masa ayahnya masih memimpin tanah itu. Dan karena
itulah tekadnya menjadi semakin bulat. Ia harus
mendapatkan kembali tanah itu. Ia berjanji di dalam
hatinya, apabila ia harus mewakili ayahnya dalam
pemerintahan tanah perdikan itu, yang dilakukannya harus
menguntungkan rakyatnya. Membina kembali Banyubiru
dalam segala seginya. Dan ia harus dapat menjadikan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Banyubiru sebagai idaman ayahnya. Menjadikan Banyubiru
gemah ripah lohjinawi kertaraharja. Dimana setiap orang
dapat menikmati kesuburan tanah kampung halamannya,
dimana setiap orang dapat menikmati cerahnya matahari
dan bulatnya bulan di malam hari. Menikmati ketenteraman
hidup dan tanpa kegelisahan menjelang hari tuanya. Cukup
sandang, cukup pangan. Sejahtera lahir dan batin.
Maka, setelah mereka bermalam dua malam di
Gedangan, rombongan kecil itu melanjutkan perjalanan.
Mereka diantar oleh hampir segenap penduduk Gedangan
sampai ke regol desa mereka. Dengan penuh kebanggaan
mereka memandang debu yang mengepul dilemparkan oleh
derap kaki-kaki kuda yang berlari seenaknya. Seolah-olah
mereka melihat rombongan pasukan berkuda yang tak
Pedang Kiri Pedang Kanan 8 Perkampungan Misterius Seri Pendekar Cinta 4 Karya Tabib Gila Lambang Naga Panji Naga Sakti 7
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama