Ceritasilat Novel Online

Naga Sasra Dan Sabuk Inten 32

Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja Bagian 32


baik bagiku untuk menumpas kalian di sini sekarang juga.
Baru aku akan tenang kembali ke Pamingit untuk
memusnahkan orang-orang dari golongan hitam itu."
Mahesa Jenar sadar, bahwa ia tidak perlu memberi
keyakinan kepada Lembu Sora bahwa ia sama sekali tidak
mengadakan hubungan apapun dengan golongan hitam. Ia
tidak perlu mengabarkan bahwa yang terakhir ia bertempur
mati-matian melawan Pasingsingan. Sebab apapun yang
dikatakan, tidak akan mempengaruhi maksud Lembu Sora
untuk memusnahkan mereka. Karena itu yang dapat
dilakukan adalah mempersiapkan diri sepenuhnya untuk
menghadapi setiap kemungkinan yang akan terjadi.
----------o-dwkz-0-arema-o---------SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
III Dalam pada itu tiba-tiba Ki Ageng Sora Dipayana
melangkah maju. Agaknya ia dapat mengambil kesimpulan
dari pertengkaran antara anaknya dengan Mahesa Jenar.
Maka katanya kemudian, "Lembu Sora. Jangan kehilangan
pegangan. Yang penting sekarang adalah menyelamatkan
tanahmu, Pamingit. Kalau kau buang waktu dan tenagamu
di sini, maka aku kira keadaan tanahmu dan dirimu sendiri
akan menjadi semakin parah."
"Apakah yang dapat dilakukan oleh empat orang itu,
Ayah...?" bantah Lembu Sora.
Ki Ageng Sora Dipayana menyahut, "Empat orang ini
adalah orang-orang yang dapat kau lihat berdiri di sini
Lembu Sora. Tetapi di belakang mereka berdiri satu
pasukan yang kuat di perbatasan kota."
"Pasukan itu tak akan berarti bagiku," jawab Lembu Sora
dengan sombongnya. "Berarti atau tidak berarti, namun itu telah mengurangi
waktumu dan tenaga laskarmu. Kau lihat apa yang
tersimpan di dalam bumbung Wanamerta itu" Panah
sendaren, yang dapat menggerakkan laskar mereka dari
jarak yang jauh. Dan kau dengan apa yang dikatakan
Angger Mahesa Jenar" Arya Salaka telah mampu
membunuh sepasang Uling dari Rawa Pening. Karena itu
kau akan dapat mengira-irakan, apakah yang dapat
dilakukan oleh Angger Mahesa Jenar."
"Aku tidak peduli," potong Lembu Sora.
"Kau harus pedulikan itu," sahut ayahnya. Tetapi Ki
Ageng Sora Dipayana tidak sempat meneruskan ketika di
luar regol terdengar suara ribut.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Apakah itu?" tanya Lembu Sora keras-keras. "Laskar
diperbatasan mulai bergerak?"
Seseorang berlari-lari datang kepadanya. Dengan
hormatnya ia berkata, "Bukan Ki Ageng. Sama sekali bukan
laskar dari perbatasan. Tetapi mereka adalah rakyat
Banyubiru." "Apa yang mereka lakukan" Adakah mereka sudah gila?"
bentak Lembu Sora. "Tidak Ki Ageng," jawab orang itu. "Mereka mencoba
untuk memasuki halaman."
"Kenapa?" Lembu Sora membentak-bentak.
"Mereka ingin melihat Arya Salaka," jawabnya.
"Gila. Mereka telah benar-benar gila. Kenapa kau bilang
tidak?" Lembu Sora menjadi semakin marah. Persoalan itu
menambah kepalanya menjadi pening. "Bunuh mereka yang
memaksa." "Jangan Lembu Sora," ayahnya menyabarkan. "Kau
jangan menambah lawan. Rakyat Banyubiru adalah
sebagian darimu selama kau masih berdiri di sini. Karena itu
dengarlah suaranya. Selama ini tak pernah mengerti apa
yang tersimpan di dalam hatinya. Kau paksa mereka
berkata seperti apa yang kau katakan.
Sekarang kau benar-benar di dalam kesulitan. Biarlah
aku menempatkan dirimu pada tempat yang seharusnya.
Pergilah ke Pamingit dan hancurkan golongan hitam yang
telah menodai kedaulatanmu." Kemudian kepada Arya
Salaka, kakeknya itu berkata, "Arya, aku minta kepadamu,
tundalah persoalanmu. Sebab setiap pertengkaran di antara
kita hanya akan memberi kesempatan kepada golongan
hitam untuk melumpuhkan kita. Kau mau?"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Arya ragu sejenak. Tiba-tiba ia dihadapkan pada suatu
pilihan yang sulit. Hampir-hampir ia tidak dapat lagi
meredakan kemarahannya, seandainya bukan kakeknya
yang bertanya kepadanya. Karena itu, berdasarkan pada
pertimbangan-pertimbangan yang lebih jauh, Arya merasa
tidak berkeberatan. Meskipun demikian ia memandang juga
kepada gurunya. Ketika gurunya mengangguk, Arya pun
menjawab, "Aku akan bersedia dengan sepenuh hati,
Eyang." Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk-angguk gembira.
Sambil tersenyum ia berkata, "Bagus. Aku memang sudah
menduga bahwa hatimu bersih sebersih hati ayahmu."
Kembali Lembu Sora menjadi sakit hati mendengar
pujian itu. Dengan lantangnya ia berkata, "Ayah terlalu
memberi hati kepadanya. Biarlah ia tahu bahwa ia sama
sekali tak cukup bernilai untuk mempersoalkan kedudukan
Kakang Gajah Sora." "Eyang..." sahut Arya yang hampir kehilangan kesabarannya kembali, "Biarlah paman memilih."
"Jangan, jangan...." potong Sora Dipayana cemas.
Suaranya terputus oleh keributan yang semakin menjadijadi di luar regol. Terdengarlah suara rakyat Banyubiru itu
berteriak-teriak, "Berilah kami jalan. Biarlah kami melihat
Arya Salaka." Para penjaga menjadi semakin sibuk. Mereka merapatkan diri dengan senjata terhunus untuk menahan
arus rakyat yang sedemikian lama semakin banyak.
"Dari mana mereka tahu, bahwa Arya Salaka ada di sini?"
tanya Sora Dipayana kepada salah seorang pengawal.
"Entah Ki A geng," jawabnya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Lembu Sora." Ki Ageng Sora Dipayana berkata kepada
anaknya, "Kesetiaan mereka kepada kampung halamannya
harus kau perhitungkan pula. Mereka dapat menjadi lunak,
namun dapat menjadi liar melampaui serigala."
Lembu Sora terdiam. Ia menjadi benar-benar ngeri
menghadapi keadaan. Golongan hitam dengan ganasnya
telah melanda Pamingit. Sekarang rakyat Banyubiru seperti
orang mabuk berbondong-bondong datang untuk melihat
Arya Salaka. "Arya..." kata Ki Ageng Sora Dipayana, "Hanya kau yang
mampu menenangkan mereka. Pergilah kepada mereka,
dan berjanjilah bahwa kau akan menunda persoalan sampai
pamanmu dengan orang-orang golongan hitam itu selesai."
Kembali A rya ragu. Namun sekali lagi ia melihat gurunya
menganggukkan kepalanya. Maka Arya pun menjawab,"Baiklah Eyang."
"Aku percaya kepadamu." Kakeknya berkata seterusnya.
Lalu kepada Mahesa Jenar ia berkata, "Apalagi kepada
Angger Mahesa Jenar sebagai penerus perguruan Pengging
yang terkenal. Aku percaya kepada Angger seperti aku
percaya kepada setiap kata yang diucapkan oleh Ki Ageng
Pengging Sepuh." Mahesa Jenar sadar, bahwa kata-kata itu sama sekali
bukanlah pujian, tapi baginya, Ki Ageng Sora Dipayana
menyatakan permintaannya yang sedalam-dalamnya, supaya ia dapat mengendalikan Arya Salaka. Namun
demikian ia menjawab, "Mudah-mudahan aku dapat
menjunjung kepercayaan itu."
Kemudian kepada Lembu Sora ia berkata, "Kau dapat
pergi dengan tenang Lembu Sora. Anggaplah bahwa di
Banyubiru sekarang tidak ada persoalan apapun. Dengan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
demikian kau dapat mencurahkan segenap perhatianmu
kepada tanahmu." Lembu Sora masih ragu. Baginya sebenarnya akan sama
saja akibatnya. Dalam keadaan payah, ia masih harus
menghadapi lawan lain. Tetapi akhirnya ia benar-benar
mengharap, agar Arya menunda tuntutannya sampai ia
dapat menyegarkan laskarnya kembali.
Ketika di luar suara rakyat Banyubiru seolah-olah hendak
membelah langit, maka sekali lagi Ki Ageng Sora Dipayana
berkata kepada Arya, "Arya, tenangkan mereka. Syukurlah
kalau mereka mau kau minta pulang ke rumah masingmasing, supaya tidak menambah beban pembicaraan kita di
sini. Sementara itu biarlah pamanmu dan adikmu Sawung
Sariti mempersiapkan keberangkatannya."
Arya membungkuk hormat. Kemudian ia melangkah ke
regol halaman diikuti oleh Wanamerta, Mahesa Jenar dan
Kebo Kanigara. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Demikian ia sampai di depan regol, terdengarlah suara
rakyat Banyubiru itu. "Itukah Arya Salaka" Itukah...?"
Kemudian suara itu menjadi semakin riuh. Akhirnya
meledaklah suara mereka, "Arya Salaka...! Arya Salaka....!"
Kemudian Arya berdiri di atas sebuah dingklik kayu.
Mula-mula yang menyentuh perasaannya adalah keharuan
yang mendalam. Untuk sesaat ia tak dapat berkata sepatah
katapun. Seolah-olah lidahnya menjadi beku. Baru
kemudian ia berkata, "Berbahagialah aku, karena kesempatan yang aku peroleh, berhadapan muka dengan
rakyat Banyubiru yang setia."
Suara rakyat itu semakin menggemuruh, seperti lebah
berpindah sarang. Arya Salaka mengangkat tangannya. Suara itupun
menjadi semakin berkurang, dan akhirnya hilang sama
sekali. Para pengawal masih saja berdiri rapat dengan ujung
senjata yang rapat pula. "Aku datang kembali ke Banyubiru, karena rinduku
kepada kampung halaman dan kepada kalian," sambung
Arya Salaka. Suaranya terputus oleh tepuk tangan
gemuruh. "Tetapi..." sambung Arya Salaka, "Maafkanlah
bahwa aku belum mempunyai banyak waktu untuk
menyambut kalian dengan tanggapan yang lebih baik.
Karena itu aku janjikan, lain kali aku akan menerima kalian,
seluruh rakyat Banyubiru di alun-alun ini. Sekarang, setelah
terpenuhi permintaan kalian, berhadapan muka dengan
aku, aku harap kalian sudi meninggalkan tempat ini,
kembali ke tempat kalian masing-masing."
Rakyat Banyubiru menjadi kecewa. Mereka ingin
mendengar kabar, apakah yang telah terjadi di dalam
lingkaran dinding rumah itu. Mereka ingin mendengar,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
apakah Ki Ageng Lembu Sora masih akan tetap menguasai
Banyubiru. Namun sekali lagi Arya minta mereka untuk
bubar, dengan janji secepat-cepatnya ia akan memberikan
kabar itu kepada rakyat Banyubiru. Sehingga dengan
demikian, meskipun hati mereka belum lapang seperti
harapan mereka, namun setidak- tidaknya mereka telah
bertemu dengan anak muda yang mereka rindukan. Yang
telah mereka dengar kehadirannya dari Ira, yang sengaja
menyebar kabar kedatangan Arya Salaka.
Ketika rakyat yang berjejalan itu telah surut, dan
semakin lama semakin hilang, maka siaplah Lembu Sora
beserta putranya Sawung Sariti. Beberapa orang berkuda
telah disebar untuk menarik pasukan Pamingit dari
perbatasan. Penarikan itu disambut dengan berbagai
pertanyaan di dalam hati.
Mula-mula, mereka yang menyandang senjata karena
gemerincingnya uang, merasa berbahagia sekali ketika
mereka mendengar bahwa pasukan itu ditarik dari garis
pertempuran. Sebab mereka memang sama sekali tidak
mengharapkan darah mereka menetes, menyiram tanah
yang tak memberikan harapan apa-apa bagi mereka.
Dengan demikian mereka mengharap untuk dapat segera
bertemu dengan anak istrinya atau dengan kekasihnya,
atau dengan orang tua mereka yang telah pikun dan
meletakkan harapan mereka kepada anak-anaknya. Tetapi
ketika mereka mendengar kabar, bahwa mereka harus
berhadapan dengan golongan hitam lebih dahulu, mereka
menjadi kecewa. Bagi mereka, orang-orang golongan hitam
pasti akan jauh lebih buas dan biadab daripada orang-orang
Banyubiru. Tetapi ketika mereka teringat anak-istri mereka,
sawah dan ladang dimana mereka meletakkan harapan
mereka untuk memberi anak-anak mereka makan, maka
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tiba-tiba timbullah semangat mereka. Terasalah perbedaan
tanggapan, bahwa mereka akan lebih ikhlas berkorban
apabila mereka mempertahankan sawah ladang mereka,
daripada mereka harus merampas sawah ladang orang lain.
Di Alun-alun Banyubiru mereka berkumpul. Di hadapan


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka Ki Ageng Sora Dipayana berkata, "Rakyat Pamingit
yang berani.... Kenanglah masa-masa orang tuamu dahulu
menempa tanah ini menjadi daerah perdikan seperti yang
kalian miliki ini. Karena itu pertahankan tanah itu. Rakyat
Pamingit, bagian dari tanah perdikan yang semula bernama
Pangrantunan, pasti akan tetap berdarah jantan. Orangorang golongan hitam bukanlah hantu yang harus kita
takuti, tetapi mereka adalah setan-setan yang harus kita
musnahkan. Masa depan tanah kalian berada di dalam
genggaman kalian." Orang yang semula ragu-ragu hatinya, kini menjadi
teguh. Kalau ada di antara orang-orang laskar Pamingit itu
orang Pangrantunan, maka merekapun masih teringat,
beberapa tahun yang lampau, beberapa orang bawahan
Sima Rodra selalu datang menarik tanda panungkul kepada
mereka. Mereka tak dapat berbuat sesuatu, sebab tanah itu
telah digadaikan oleh Lembu Sora. Tetapi sejak dua orang
Lembu Sora terbunuh, berbedalah keadaannya. Apalagi
kemudian terjadi perubahan perhubungan antara Ki Ageng
Lembu Sora dan Sima Rodra, apalagi sepeninggal Sima
Rodra muda suami-istri, sehingga gadai tanah itu dicabut.
Kini mereka harus berhadapan dengan golongan hitam itu.
Bekal dendam yang ada di dalam dada mereka telah
menyalakan semangat mereka untuk menumpas golongan
hitam itu habis-habisan, meskipun ada di antara laskar
Pamingit itu yang pernah mengalami suatu masa, dimana
mereka harus bekerja bersama dengan laskar hitam itu.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Ketika matahari telah memanjat semakin tinggi di kaki
langit, terdengarlah bunyi sangkalala. Seperti air mengalir
laskar Pamingit itu bergerak, meninggalkan Alun-alun
Banyubiru kembali ke kampung halaman, untuk mempertahankan tanah mereka dari terkaman orang-orang
yang tergabung di dalam suatu lingkaran hitam yang
berhati kelam. Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti, dengan kuda
masing-masing, berjalan di ujung pasukannya. Di belakangnya berjalan dengan tekad yang bulat, pemimpin
pengawal kepala daerah perdikan itu, Wulungan. Seterusnya beberapa orang pilihan, yang tergabung dalam
laskar pengawal itu. Barulah kemudian berbaris membujur
ke belakang, kelompok-kelompok laskar Pamingit.
Sebenarnya Lembu Sora pun mempunyai beberapa orang
pilihan yang dapat membantunya, menghadapi tokoh-tokoh
hitam. Selain Wulungan, di dalam laskar Pamingit itu
terdapat orang-orang yang setingkat Galunggung, Welat
Ireng, Pakuwon, Sampir, dan beberapa orang lainnya.
Mereka mendapat tugas untuk mengawasi laskar Pamingit
itu, memimpin mereka dan mengolah mereka, disamping
Lembu Sora dan Sawung Sariti sendiri. Kepada merekalah
Lembu Sora meletakkan harapannya atas laskarnya.
Namun demikian, di sepanjang perjalanan itu kepada Ki
Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti selalu dikejar-kejar
oleh berbagai persoalan. Selain perasaan marah yang
membakar dadanya, melontar pula kecemasan di hatinya.
Siapa sajakah yang turut serta di dalam laskar yang
menduduki Pamingit itu" Yang sudah jelas baginya, adalah
Joko Soka dari Nusakambangan. Betapa bencinya ia kepada
bajak laut yang gila itu. Kalau saja tak ada gerombolan lain
yang membantunya, maka ia yakin bahwa Jaka Soka
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
bukanlah beban yang terlalu berat baginya. Ia yakin bahwa
jumlah laskarnya akan terlampau besar untuk menghadapi
Ular Laut itu. Tetapi adakah gurunya ikut serta. Nama
Nagapasa adalah nama yang cukup menggetarkan.
Meskipun nama itu telah lama tenggelam, namun setiap
orang tahu, bahwa Jaka Soka adalah murid dari bajak tua
yang terkenal dengan nama ilmunya yang mengerikan,
Nagapasa. Apalagi kalau golongan hitam yang lain ikut
serta mengambil bagian dalam penyerbuan itu, maka
pekerjaannya akan menjadi berat sekali. Di dalam laskarnya
tak seorangpun yang akan dapat berhadapan seorang
lawan seorang dengan Nagapasa itu. Kalau benar orang itu
ada, ia sendiri harus menghadapinya dengan bantuan
sepuluh atau duapuluh orang bersama-sama. Bahkan
mungkin ia memerlukan lebih dari limapuluh orang, sedang
yang separonya pasti akan binasa. Bahkan mungkin dirinya
pun akan binasa. Dalam keadaan yang demikian, tiba-tiba terasa betapa
kecil kekuatan Lembu Sora kini. Kalau saja kakaknya, Gajah
Sora, ada. Kalau saja ayahnya ada di antara laskarnya.
Kalau saja Arya Salaka....
"Tidak!" Tiba-tiba terdengar suara Lembu Sora tersentak.
Sawung Sariti terkejut. Ia menoleh kepada ayahnya.
"Apa yang ayah maksud?"
Lembu Sora menggeleng. "Tak apa-apa."
Meskipun jawaban itu sama sekali tidak memuaskannya,
namun ia tidak bertanya lagi. Ia sendiri sedang sibuk
berangan-angan. Apakah yang kira-kira akan dilakukan
nanti. Sekali-kali ia menoleh kepada laskarnya yang
mengalir tak putus-putusnya. Dengan tersenyum ia berkata
dalam hatinya, "Betapa kuatnya orang perorang dari
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
golongan hitam, namun dengan ditimbuni mayat laskar
Pamingit yang tak terhitung jumlahnya, mereka pasti akan
ngeri juga." Memang, bagi Sawung Sariti jumlah korban
dari laskarnya bukanlah soal. Meskipun demikian ia berpikir
juga. "Tetapi kalau terlalu banyak laskar ini akan berkurang
nanti, dengan apa aku harus melawan Arya Salaka?" Ia pun
menjadi bimbang. Sawung Sariti sadar bahwa ia harus
bertempur, sebab ia tahu benar bahwa orang hitam itu tak
akan diajak berbaik hati. Ia sadar bahwa kalau selama ini
mereka berdiam diri, bahkan dalam berbagai hal mereka
membantunya, itu karena mereka mempunyai beberapa
persamaan kepentingan. Tetapi kemudian timbul pula angan-angannya, "Ah,
jumlah laskar anak itu, tak akan seberapa kuat."
Ia mencoba membesarkan hatinya sendiri, meskipun
setiap kali ia ingat kepada nama-nama Jaka Soka, Lawa Ijo,
apalagi Nagapasa, mungkin juga Pasingsingan, Sima Rodra
tua, Bugel Kaliki, hatinya berdesir. Tetapi ia mencoba untuk
menyembunyikan perasaannya. Dan sekali lagi ia mencoba
untuk membanggakan jumlah laskarnya.
"Satu seratus," bisiknya di dalam hati. "Laskarku pasti
masih akan mempunyai banyak kelebihan."
Dengan demikian Sawung Sariti menjadi sedikit tenang.
Sekali-kali ia menatap langit yang biru. Sehelai-helai awan
yang putih mengalir ke utara, seperti kapuk dihanyutkan
angin. Putih dan bersih. Tiba-tiba di balik awan yang bersih
itu terbayang wajah Arya Salaka. Alangkah cekatan
tangannya memainkan tombaknya. Disampingnya terbayang wajah yang meskipun memancarkan kesejukan
hatinya, namun suatu ketika wajah itu cepat menyala
melampui nyala api. Mahesa Jenar. Lalu apakah yang dapat
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dilakukan oleh seorang yang berwajah angker yang selalu
berada bersama-sama dengan Mahesa Jenar" Orang itu
ternyata pernah menggemparkan laskarnya, ketika ia
melindungi Bantaran di tanah lapang, tempat orang-orang
Banyubiru menyelenggarakan tayub. Lalu terkenanglah ia
kepada Wanamerta yang tua. Yang pada masa kecilnya,
pernah membelai kepalanya, mendukungnya di punggung
dan memberinya buah-buahan yang segar. Ketika awan
yang putih itu telah menjalar semakin jauh, muncullah
segumpal awan yang lain. Tiba-tiba tampaklah seolah-olah
memandangnya dengan segan seorang wanita, yang
dikenalnya bernama Rara Wilis. Wanita inipun bukan wanita
kebanyakan yang berlari seperti kijang apabila ia
mendengar dentang senjata. Bahkan wanita ini pernah
diketahuinya, bertempur di antara laskar Gedangan
melawan laskarnya. Yang muncul kemudian adalah wajah
yang manis dari seorang gadis lincah. Endang Widuri. Ia
melihat gadis ini pertama-tama di Karang Tumaritis. Tetapi
kemudian di Gedangan, gadis ini dilihatnya pula sepintas.
Namun, dalam pertemuan yang sebentar itu, tertanamlah
suatu perhatian yang aneh kepadanya. Adakah gadis ini ikut
serta di dalam laskar Arya Salaka" Agaknya gadis inipun
mampu mempermainkan senjata.
Ketika angin yang kencang bertiup dari pegunungan,
awan yang putih itu pecah berserakan, seperti hati Sawung
Sariti yang pecah pula. Nama-nama itu, Arya Salaka,
Mahesa Jenar, Putut Karang Jati, Wanamerta, Rara Wilis
dan Endang Widuri itupun pada suatu saat akan berdiri
berhadapan untuk dilawannya. Apakah pekerjaan ini lebih
ringan daripada melawan orang-orang golongan hitam"
"Satu seratus." Kembali Sawung Sariti berdesis di dalam
hatinya. "Tetapi bagaimana dengan rakyat Banyubiru?"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Suara hatinya membantah sendiri, "Mereka agaknya masih
tetap menunggu kedatangan Arya Salaka. Dan merekapun
pasti tak akan dapat diabaikan."
"Persetan!" Tiba-tiba hati Sariti mengumpat. "Semua
harus aku musnahkan. Baik golongan hitam maupun Arya
Salaka. Pamingit dan Banyubiru harus jatuh ke tanganku.
Kemudian akan aku kuasai Kedu Bagelan. Ke utara sampai
ke Bergoto. Apalagi kalau Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten
telah berada di tanganku."
Sawung Sariti tersenyum sendiri. "Eyang akan tahu nanti,
bahwa cucunya akan mampu menggulung dunia." Suara itu
mengumandang di dalam otaknya, dibarengi oleh
mengumandangnya derap langkah laskarnya.
Di Banyubiru, sepeninggal laskar anaknya, Ki Ageng Sora
Dipayana berdiri terpaku memandang debu yang mengepul
dibelakang laskar itu. Meskipun ia masih tegak di alun-alun,
namun hatinya serasa pergi bersama-sama dengan pasukan
yang akan menghadapi pekerjaan yang cukup berat.
Melawan laskar golongan hitam. Setelah ekor dari iringiringan telah lenyap di balik tukungan, barulah ia beranjak
dari tempatnya, dan sambil menoleh kepada Mahesa Jenar
ia berkata, "Aku mengharap, bahwa peristiwa ini akan dapat
mendorong anak itu menyadari keadaannya."
Mahesa Jenar tidak menjawab, tetapi ia mengangguk.
"Marilah Angger..." ajak Ki Ageng Sora Dipayana, "Kita
kembali ke pendapa."
"Aku sudah menduga bahwa golongan hitam akan
mengambil kesempatan ini," kata Mahesa Jenar ketika
mereka telah duduk kembali di pendapa Banyubiru.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Bagaimana Angger dapat mengetahuinya?" tanya Sora
Dipayana, meskipun sebenarnya untuk menduga hal itu
tidaklah sulit. "Bahkan aku hampir pasti," jawab Mahesa Jenar, "Karena
itu aku berusaha sedapat mungkin untuk menunda
pertempuran." Mahesa Jenar berhenti sejenak sambil
memandangi wajah Arya. Tetapi anak itu menundukkan
wajahnya. Kemudian terdengar Mahesa Jenar meneruskan,
"Namun darah yang mengalir di dalam tubuh anak-anak
muda memang masih terlalu panas. Bahkan darah di dalam
tubuhku inipun rasa-rasanya masih terlalu sering mendidih."
Ki Ageng Sora Dipayana tersenyum. Kebo Kanigara pun
tersenyum pula. Kemudian Mahesa Jenar menceriterakan, apa yang
selama ini dialaminya di sekitar Candi Gedong Sanga.
Kehadiran gerombolan Lawa Ijo dan seorang berkuda yang
meninggalkan tempatnya menghilang di balik cakrawala
ketika orang itu melihat laskar Arya Salaka mendekati
Banyubiru, kemarin. "Golongan hitam pasti mengira bahwa pagi ini
pertempuran sudah berkobar di Banyubiru antara laskar
Kakang Lembu Sora melawan laskar Arya Salaka." Mahesa
Jenar mengakhiri keterangannya.
"Angger benar," jawab Ki Ageng Sora Dipayana.
"Untunglah bahwa pertempuran di Banyubiru tertunda."
"Tuhan Yang Maha Adil telah melaksanakan rencananya.
Menyelamatkan rakyat Banyubiru dan Pamingit dari
kekuasaan golongan hitam," desis Mahesa Jenar. "Andaikata pertempuran telah berkobar pagi ini, maka
kedua laskar Pamingit dan Banyubiru akan sama-sama
hancur. Pamingit hari ini telah jatuh ke tangan golongan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
hitam, lalu besok atau lusa Banyubiru inipun akan mereka
telan habis." Arya masih berdiam diri. Namun kini membayang
kembalilah di dalam pelupuk matanya, bagaimana gurunya
berusaha mati-matian untuk menunda pertentangan yang
mungkin terjadi antara laskarnya dengan laskar pamannya.
Arya kini dapat menyadari sepenuhnya, bahaya apakah
yang akan menimpa Pamingit dan Banyubiru apabila ia


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

benar-benar terlibat dalam pertempuran dengan pamannya.
Di dalam hati Arya berkali-kali mengucap syukur, serta
berkali-kali ia menyebut kebesaran nama Tuhan yang telah
menunda pertempuran itu. Dalam pada itu terasalah pada Arya Salaka beserta
rombongannya, betapa Ki Ageng Sora Dipayana menjadi
gelisah. Agaknya ia benar-benar tidak sampai hati
melepaskan Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti pergi.
Sebab iapun tahu bahwa golongan hitam itu mempunyai
orang-orang yang tak akan dapat dilawan oleh anaknya,
meskipun ia telah berusaha untuk menempa anak serta
cucunya siang dan malam. Hal ini ternyata kemudian ketika orang tua itu akhirnya
berkata, "Arya Salaka. Meskipun kau telah berjanji untuk
menunda persoalanmu sampai waktu yang tak ditentukan,
tetapi aku minta kepadamu untuk mengawasi Banyubiru.
Sebab siapa tahu, ada orang-orang yang akan mengambil
kesempatan, mempergunakan kekosongan Banyubiru untuk
memuaskan keinginan diri. Merampas dan merampok.
Jagalah keamanan Banyubiru atas nama pamanmu Lembu
Sora, sampai ada penjelasan yang mudah-mudahan tak
perlu mempergunakan kekerasan."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Bagaimanapun juga, terasa dada Arya berdesir ketika ia
harus menjaga keamanan Banyubiru, tetapi atas nama
pamannya. Meskipun demikian ia benar-benar tidak mau
mengecewakan kakeknya. Karena itu ia menjawab, "Baiklah
Eyang. Aku akan menjaga Banyubiru sebaik-baiknya. Tidak
hanya atas nama Paman Lembu Sora, tetapi atas nama
ayah Gajah Sora." Mahesa Jenar menarik nafas, sedang Ki Ageng Sora
Dipayana tersenyum. "Baiklah..." katanya, "Jagalah keselamatannya. Aku terpaksa meninggalkan kalian.
Bawalah sebagian dari laskarmu ke dalam kota, supaya kota
ini tidak akan menjadi kota yang kosong, kota yang sama
sekali tak berkekuatan senjata. Siapa tahu, kalau ada halhal yang gawat. Sebab golongan hitam itupun mempunyai
otak-otak yang cukup berbahaya."
"Baiklah Eyang," jawab Arya, "Akupun akan segera
kembali ke tengah-tengah laskarku sebelum tengah hari.
Aku akan menyerahkan sebagaian mereka. Tetapi biarlah
Paman Wanamerta untuk sementara memimpin daerah ini.
Aku akan tetap berada di antara anak buahku."
Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk-anggukan kepalanya. Ia benar-benar menjadi kagum kepada Arya,
yang telah meluluhkan diri dengan laskarnya, sebagai ciri
seorang pemimpin yang merasa dirinya satu dengan anak
buahnya. Sedang Wanamerta menjadi terkejut karenanya.
Katanya, "Apakah yang harus aku lakukan" Bukankah Cucu
Arya Salaka telah berada di sini?"
"Aku akan menepati kata-kataku," jawab Arya. "Biarlah
aku melepaskan persoalan ini sampai Paman Lembu Sora
selesai. Namun demikian aku juga berjanji bahwa aku akan
menyelenggarakan keamanannya sampai paman selesai."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Cucu tidak perlu menarik garis pemisah antara yang
memerintah dan yang menyelenggarakan keamanannya,"
Sahut Wanamerta, "Sebab seorang kepala daerah perdikan
harus memegang kedua-duanya "
"Tetapi aku bukan kepala daerah perdikan, Eyang,"
jawab Arya Salaka. "Baiklah Wanamerta," potong Sora Dipayana. Ia tahu
benar perasaan apakah yang bergolak di dalam dada anak
itu. A rya Salaka agaknya benar-benar segan untuk mewakili
pamannya, sehingga baginya lebih baik untuk menyerahkannya saja kepada orang lain. "Kau pun berhak
untuk berlaku sebagai wakil Lembu Sora Wanamerta." Ki
Ageng Sora Dipayana meneruskan. "Hanya untuk beberapa
saat. Aku kemudian akan datang kembali. Mencoba
menyelesaikan masalah tanah ini."
Kemudian, setelah pembicaraan itu selesai, minta diri
kepada Ki Ageng Sora Dipayana untuk menyusul anaknya
ke Pamingit. Mungkin tenaganya akan sangat dibutuhkan
untuk menemui tokoh-tokoh hitam dari angkatan tua.
Sementara itu Arya Salaka segera akan kembali pula ke
tengah-tengah laskarnya. Katanya, "Eyang Wanamerta,
biarlah eyang tinggal di sini. Aku akan datang kemudian
dengan membawa beberapa orang yang akan membantu
Paman di sini." Wanamerta tidak dapat berkata lain, kecuali mengiyakan.
----------o-dwkz-0-arema-o---------SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
IV Maka sesaat kemudian berangkatlah Ki Ageng Sora
Dipayana, menyusul laskar Pamingit, berkuda seorang diri.
Sebagai seorang yang cukup berpengalaman, ia segera
dapat mengetahui, apa yang harus dilakukan. Sedang Arya
Salaka pun kemudian bersama-sama dengan Mahesa Jenar
dan Kebo Kanigara, juga meninggalkan kota dengan kuda
masing-masing. Hanya Wanamerta lah yang terpaksa
ditinggalkan seorang diri di pendapa Banyubiru dengan dua
tiga orang pengawal yang tak berarti, orang-orang
Banyubiru yang selama ini ikut serta di dalam barisan
Lembu Sora. Tetapi mereka sama sekali belum pandai
memegang tangkai pedang. Ketika kemudian Wanamerta tinggal sendiri di pendapa
itu, dipanggilnya salah seorang dari para pengawal itu,
katanya, "Kemarilah. Aku ingin mendapat keterangan dari
kau." Orang itu menjadi ketakutan. Sebenarnya nyawa mereka
serasa telah lepas sejak pasukan Pamingit meninggalkan
Banyubiru. Mereka merasa seperti cacing yang dilepaskan di
tengah-tengah abu hangat. Mereka menjadi takut, bahwa
orang-orang Banyubiru akan balas dendam kepada mereka.
Tetapi agaknya wajah Wanamerta sama sekali tidak
menakutkan. Karena itu salah seorang darinya datang
mendekat dengan sangat hormatnya. "Ada perintah,
Kiai...?" ia bertanya.
"Kemarilah, duduklah," kata Wanamerta.
Orang itu ragu sebentar. Namun ia akhirnya naik, dan
duduk di depan Wanamerta.
"Berapa orang kalian?" tanya Wanamerta.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Tiga orang di regol Kiai, di ujung alun-alun tiga orang di
setiap jalan masuk," jawabnya.
"Siapakah pemimpinmu?" Wanamerta bertanya pula.
"Kerta Pitu," jawab orang itu.
Wanamerta mengangguk-angguk. Kemudian katanya,
"Jalankan pekerjaanmu baik-baik, tetaplah waspada.
Laporkan yang perlu kepadaku."
Orang itu mengangguk hormat. "Baik Kiai," jawabnya.
"Nah, kembalilah," kata Wanamerta selanjutnya.
Orang itu pun segera kembali ke tempatnya. Seorang
yang lain telah disuruh oleh Wanamerta memanggil Kerta
Pitu untuk diberinya beberapa keterangan. Kerta Pitu harus
menempatkan di setiap gardu penjagaan seorang berkuda
yang harus menjadi penghubung setiap ada persoalanpersoalan penting. Meskipun sebenarnya Wanamerta terlalu
cemas, karena kira-kira limapuluh pengawal yang belum
mampu untuk bertempur itu bagi Banyubiru adalah
kekuatan yang sama sekali tak berarti. Beberapa orang
yang telah cukup kuat, ternyata dibawa di dalam laskar
Lembu Sora untuk memperkuat laskar Pamingit. Meski
demikian Wanamerta menjadi sedikit tenang ketika
diingatnya bahwa di perbatasan berbaris dalam kesiagaan
tempur laskar Arya Salaka yang selalu akan menolongnya
apabila bahaya datang. Malahan Arya Salaka telah
menyanggupkan diri untuk membawa beberapa orang
laskarnya ke dalam kota dan menjaga keselamatan tanah
ini dari segala yang mungkin akan mengancam. Tetapi ia
harus menunggu sampai laskar itu datang. Mungkin malam
nanti, mungkin besok pagi. Ia mengharap dalam waktu
yang singkat tidak akan terjadi sesuatu.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Ketika Wanamerta telah selesai memberikan beberapa
petunjuk, serta Kerta Pitu telah meninggalkan pendapa itu
untuk melaksanakan, Wanamerta pun masuk ke dalam
rumah kepala daerah perdikan Banyubiru itu. Beberapa
orang pelayan, yang berada di dalam rumah itu sejak masa
Ki Ageng Gajah Sora, masih berada di rumah itu pula,
sedang beberapa orang lain adalah orang-orang baru.
Namun demikian, apa yang dilihatnya kini, adalah jauh
berbeda dari kira-kira lima-enam tahun yang lalu. Dulu ia
berada di dalam rumah itu seperti di dalam rumahnya
sendiri. Bahkan ia telah mengenal dengan baik hampir
segenap sudut-sudutnya. Dulu, ketika Nyai Ageng Gajah
Sora masih ada, tampaklah rumah ini bersih dan terawat
rapi. Tetapi kini rumah itu menjadi seakan-akan tak
berpenghuni. Tampaklah sarang labah-labah bergayutan di
langit-langit, di setiap sudut dan bahkan hampir di setiap
lekuk-lekuk dindingnya. Hitam-hitam langes dari lampulampu minyak, membekas mengotori dinding dan tiangtiangnya. Melihat perubahan itu Wanamerta menekan dadanya.
Keadaan rumah ini benar-benar menggambarkan keadaan
seluruh tanah perdikan Banyubiru. Kotor dan tak terawat.
Tetapi ia tidak mempunyai wewenang untuk berbuat lebih
jauh. Ia tidak berhak mengumpulkan para bahu, kepalakepala dukuh dan para pamong desa lainnya. Ia tidak
mempunyai kekuasaan untuk mengadakan peraturanperaturan baru atau perubahan-perubahan apapun. Sebab
ia hanya berada di rumah itu untuk sementara. Mungkin
sangat singkat. Seandainya malam nanti Ki Ageng Lembu
Sora telah selesai dengan pekerjaannya, besok mereka
pasti akan datang kembali. Mungkin dengan pasukan, dan
mungkin harus bertempur melawan orang itu. Karena itu,
yang dapat dilakukan adalah membiarkan segala sesuatu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
berjalan seperti biasa. Ia hanya dapat memecahkan
persoalan-persoalan yang timbul dalam batas-batas tertentu. Meskipun demikian, seandainya Lembu Sora
memerlukan waktu yang lama dalam perlawannya atas
orang- orang hitam itu, iapun bermaksud untuk berbuat
lebih banyak lagi. Ketika hari semakin siang, dan terik matahari seperti
membakar rumput di alun- alun, Wanamerta bermaksud
untuk beristirahat. Tetapi baru saja ia meletakkan tubuhnya
di bale-bale bambu di pringgitan rumah itu, terdengarlah
seorang pengawal naik ke pendapa, sambil berdiri di depan
pringgitan ia berkata, "Kiai, seseorang ingin bertemu
dengan Kiai." "Siapa?" tanya Wanamerta sambil bangkit.
"Sontani," jawab orang itu.
"Sontani...?" ulang Wanamerta, "Apakah keperluannya?"
"Ya, Sontani. Aku tak tahu apa yang akan disampaikan
kepada Kiai. Ia ingin berbicara langsung," jawab pengawal
itu. Wanamerta berpikir sejenak. Apakah yang akan
dilakukan" Barangkali ia akan membalas dendam sakit
hatinya, ketika ia terpaksa menelan keadaan yang pahit di
tanah lapang. "Sendiri..?" tanya Wanamerta pula.
"Tidak Kiai," jawab orang itu, "Dengan anak-istrinya."
"He...?" Wanamerta terkejut. "Dengan anak-istrinya?"
Orang itu mengangguk. "Ya."
"Baiklah, aku datang," kata Wanamerta kemudian.
Namun demikian ia masih ragu. Apakah maksud
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kedatangan orang itu. Kalau saja ia bermaksud jahat, tak
akan ia membawa anak-istrinya. Meskipun demikian, iapun
tidak boleh kehilangan kewaspadaan. Tetapi Sontani
bukanlah orang yang harus ditakuti.
Ketika Wanamerta muncul di pintu, dilihatnya Sontani
benar-benar dengan istri dan seorang anaknya duduk di
pendapa. Demikian Sontani melihat Wanamerta, segera ia
berlari terbongkok-bongkok dan langsung bertiarap di kaki
orang tua itu, sambil berkata meratap, "Kiai, ampunilah
segala dosa-dosaku. Aku merasa bahwa aku telah bersalah
terhadap Kiai, terhadap Banyubiru dan terhadap Anakmas
Arya Salaka. Tetapi semuanya itu adalah karena terpaksa.
Aku sebenarnya sama sekali tak ingin untuk sesuatu
kedudukan apapun. Dan sekarang aku menyerahkan
kembali semua jabatan yang pernah aku terima dari Lembu
Sora, orang yang terkutuk itu. Orang yang telah merampas
ketentraman hidup keluargaku. Sebab bagiku, segala
jabatan itu tak akan berarti, selama aku tidak dapat
menunjukkan kesetiaanku kepada kampung halaman ini.
Biarlah Ki Bakung kembali kepada jabatannya, Bahu Lemah
Abang. Dengan demikian Lemah Abang akan menjadi
tentram kembali setelah Lembu Sora mengacaunya. Biarlah
orang terkutuk itu disambar petir, atau mati dicincang oleh
orang-orang dari Gunung Tidar atau Rawa Pening, atau ...."
Suara Sontani terputus oleh kata-kata Wanamerta, "Jangan


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

salahkan Lembu Sora, Sontani. Dan jangan kau umpati
orang itu, sebab Lembu Sora adalah paman Arya Salaka.
Putra Ki A geng Sora Dipayana yang kita hormati."
Sontani terkejut seperti disengat kelabang. Perlahanlahan ia bangkit dan duduk di depan Wanamerta yang
masih berdiri dipintu. Ia tidak tahu kenapa Wanamerta tidak
mau mengutuk Lembu Sora. Bukankah Lembu Sora telah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mengkhianati Banyubiru" Karena itu tiba-tiba keringat
dingin mengalir di seluruh tubuhnya.
Sontani menjadi bingung. Bagaimanakah tanggapan yang
sebenarnya dari Wanamerta terhadap Lembu Sora" Ketika
untuk beberapa saat Wanamerta masih berdiam diri,
berkatalah Sontani dengan suara gemetar. "Kiai, kenapa
Kiai tidak mengutuk Lembu Sora yang telah memecah belah
rakyat Banyubiru?" "Lembu Sora telah berjuang untuk suatu cita-cita.
Dihadapinya segala akibat dari perjuangannya. Ia tidak
takut mati karena cita-citanya itu. Meskipun jalan yang
ditempuhnya tidak benar, malahan bertentangan dengan
keadilan, namun ia dapat dihormati karena keberaniannya,"
jawab Wanamerta. Kemudian ia melanjutkan, "Sedang ada
orang lain yang mencoba untuk mendapatkan keuntungan
dari perjuangan Lembu Sora itu. Ia bersujud di bawah
kakinya selagi kesempatan memungkinkan. Tetapi kalau
keadaan menjadi suram, maka ia akan mencoba untuk
menghindar, meloncat untuk menyesuaikan diri dengan
keadaan baru. Seperti seekor bunglon yang dapat berwarna
hitam kalau ia berada di cabang yang hitam, dan berwarna
hijau kalau ia hinggap di atas daun-daun yang segar."
Sontani benar-benar menjadi gemetar. Sekali dua kali ia
menoleh kepada istri dan anaknya, yang memandangi
dengan cemas. Tetapi Sontani masih belum berputus asa.
Ketika Wanamerta masih tegak berdiri, dan memandang ke
arah cahaya terik matahari yang berserak-serak dihalaman,
maka tiba-tiba Sontani berkata, "Kiai, entahlah apa yang
dibawa oleh istriku. Barangkali Kiai akan dapat menerimanya dengan senang hati, sebagai persembahan
seorang kawula yang setia mengabdi diri kepada Kiai."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Wanamerta tidak sempat menjawab. Sontani dengan
terbongkok-bongkok bangkit dan melangkah turun dari
pendapa. Ketika ia naik lagi, di tangannya telah tersangkut
sebuah bungkusan yang besar.
"Kiai..." katanya setelah ia berjongkok kembali di
hadapan Wanamerta, "Terimalah tanda kesetiaanku ini."
Wanamerta memandang Sontani dengan pandangan
yang kosong. Ia bersedih hati, ketika ia melihat kenyataan
bahwa di Banyubiru ada seseorang yang berjiwa seperti
orang yang berjongkok dihadapannya itu. Ia lebih hormat
kepada Lembu Sora, kepada Sawung Sariti, yang dengan
gigih bekerja keras untuk mencapai tempat yang setinggitingginya buat dirinya sendiri, meskipun berdosalah mereka
yang mengorbankan orang lain untuk kepentingan dan
kesenangan diri. Wanamerta masih belum berkata apapun ketika Sontani
membuka bungkusan itu dengan penuh harapan. Kalau
Wanamerta berkenan dihatinya, ia pasti dapat mempengaruhi Arya Salaka. Mungkin ia tidak akan
mendapat sesuatu hukuman, bahkan mungkin ia akan tetap
berada pada kedudukan yang sekarang, Bahu di Lemah
Abang. Ketika bungkusan itu telah terbuka, Wanamerta melihat
beberapa potong kain lurik didalamnya. Bahkan ia melihat
sehelai sutera yang bagus dan mahal. Ia melihat sebuah
pendok keris dari emas, dan beberapa benda-benda lain
yang berharga. "Kiai", Sontani meminta, "adalah suatu karunia yang
tiada taranya kalau Kiai sudi menerima barang-barang yang
sama sekali tak berarti ini."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Hati Wanamerta menjadi bertambah suram. Dan
kesuraman hatinya itu terbayang di wajahnya.
Sekali lagi ia memandang bungkusan itu. Ketika berkilat
cahaya intan dibalik lipatan kain-kain itu, hatinya berdesir.
Agaknya Sontani membawa pula timang tretes intan
berlian. "Alangkah banyaknya barang-barang yang kau bawa
Sontani", berkata Wanamerta.
Sontani menjadi bergembira mendengar perhatian itu.
Apakah artinya barang- barang itu dibanding dengan
nyawanya" "Tidak seberapa Kiai. Aku bukanlah orang yang cukup
kaya untuk mempersembahkan barang-barang yang cukup
bernilai", jawab Sontani. Harapannya tiba-tiba menjadi
tumbuh. "Hampir seluruh umurku aku bekerja keras. Namun aku
tak akan mampu mendapatkan barang-barang yang kau
bawa itu", sahut Wanamerta.
"Mudah-mudahan lain kali aku dapat menambahnya
dengan barang-barang yang tak bernilai lainnya", jawabnya.
Ia mengharap Wanamerta membungkuk dan membuka
lipatan-lipatan kain, mengamat-amati pendok emas dan
timang tretes intan berlian itu. Tetapi untuk beberapa saat
Wanamerta masih tegak seperti tiang- tiang pendapa rumah
itu, sehingga akhirnya Sontani menjadi bingung. Bajunya
telah basah oleh keringat yang mengalir semakin deras.
Kemudian Sontani menjadi kecewa. Sangat kecewa,
ketika Wanamerta berkata, "Sontani, darimanakah kau
dapatkan barang-barang itu?".
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Aku telah bekerja keras selama ini Kiai", jawab Sontani
terbata-bata. "Aku juga bekerja keras selama ini. Bantaran juga,
Penjawi, Sendang Papat, Jaladri dan orang-orang lain.
Tetapi mereka tidak dapat, jangankan benda-benda serupa
itu, sebagian kecilpun tak dimilikinya", berkata Wanamerta.
Sontani menjadi bingung. Ia tidak tahu apa yang akan
dikatakan. Dalam kebingungan itu terdengarlah Wanamerta
berkata, "Sontani, aku mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya atas pemberianmu itu", Wanamerta
berhenti sejenak, sedang Sontani menengadahkan wajahnya. Tetapi Wanamerta meneruskan, "Namun sayang,
aku tak dapat menerimanya. Serahkanlah barang-barang itu
kembali kepada asalnya. Bukankah kau dapat membeli
barang-barang itu karena kau menjabat Bahu Lemah
Abang. Karena kau memeras rakyat Lemah Abang untuk
kepentinganmu dan kepentingan Lembu Sora" Bukankah
kau dapatkan barang-barang itu karena rakyatmu
kelaparan" Nah Sontani. Kalau kamu ingin menebus
kesalahanmu, setidak-tidaknya mengurangi, kembalikan
barang-barang itu. Kepada mereka yang berhak. Tidak
kepadaku. Tidak kepada cucu Arya Salaka."
Sontani menjadi semakin bingung. Mulutnya kini benarbenar terkunci. Ia masih berjongkok pada kedua lututnya
dengan gemetar, dan Wanamerta masih berdiri dipintu
pringgitan. "Sontani", terdengar kembali suara Wanamerta, "ada
seribu jalan yang dapat kau tempuh untuk menyerahkan
kembali barang-barangmu itu. Kau dapat membantu
mereka dengan alat-alat pertanian. Kau dapat mendirikan
untuk mereka gubug-gubug yang lebih baik, banjar-banjar
desa dan tempat ibadah yang layak."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mendengar kata-kata Wanamerta itu, jantung Sontani
serasa membeku dan darahnya serasa berhenti mengalir.
Tetapi nafasnya satu-satu berloncatan lewat lubang- lubang
hidungnya. Betapa panas udara siang ini, namun rasarasanya hembusan nafasnya jauh lebih panas dari panasnya
udara. Tiba-tiba terdorong oleh kegelisahan yang bergelora
didalam dadanya ia berkata putus-putus, "Tetapi, tetapi
Kiai, bukankah Kiai memerlukan barang-barang ini?"
Wanamerta menggeleng lemah, jawabnya, "Tidak,
Sontani." Dalam kebingungan Sontani mendesak, "Kiai, bukankah
Kiai sendiri berkata bahwa Kiai tidak pernah dapat memiliki
barang-barang serupa ini meskipun Kiai bekerja keras dan
membanting tulang hampir seumur hidup Kiai. Dan
sekarang aku datang untuk mengantarkannya kepada Kiai.
Bukankah waktu yang pendek ini akan jauh lebih berharga
daripada hampir seumur hidup Kiai?"
Wanamerta menarik nafas. Perlahan-lahan terdengar ia
menjawab, "Sontani, kau dan aku mempunyai perbedaan
kebutuhan dalam menjalani hidup ini. Aku merasa
berbahagia karena aku tidak akan dapat memiliki bendabenda serupa itu. Sebab dalam kemiskinan, aku akan dapat
menikmati kekayaan. Miskin akan benda-benda duniawi,
tetapi aku merindukan kekayaan dihari-hari yang abadi.
Sebab kekayaan duniawi melulu, tak akan ada artinya di
harapan Tuhan Yang Maha Esa, yang telah menentukan
akan datangnya masa, dimana manusia bertanggungjawab
kepada-Nya. Sedangkan kau agaknya telah terjerumus ke dalam
kekuasaan nafsu duniawi. Tetapi kau tak akan pernah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
merasa bahagia karenanya. Bahagia yang abadi. Kebaktian
kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan pengabdian kepada
titah yang dikasihi-Nya, manusia. Dengan demikian
hidupmu akan menjadi terasing. Terasing dari rasa kasih.
Kasih antara manusia dan kasih yang dilimpahkan Tuhan
kepadamu. Karena itulah maka kau semakin dalam
membenamkan dirimu ke dalam timbunan benda-benda
serupa itu." Sontani merasa seolah-olah terlempar ke dalam suatu
keadaan yang tak dikenalnya. Hitam dan kelam. Tetapi di
titik yang sangat jauh tampaklah cahaya yang terang
menyorot langsung ke dalam jiwanya. Cahaya itu semakin
lama menjadi semakin tenang, bahkan kemudian ia menjadi
silau karenanya. Akhirnya sekali lagi ia bertiarap di hadapan kaki
Wanamerta. Kali ini ia benar-benar tak dapat menahan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
keharuannya. Sontani, yang pernah menjabat Bahu
pedukuhan Lemah Abang, yang pernah dengan kekerasan
mendesak kedudukan Kiai Bakung itu, tiba-tiba menangis
tersedu-sedu. Dengan keduabelah tangannya ia menutup
wajahnya. Ia menjadi sangat malu karena usahanya untuk
menyuap Wanamerta. Wanamerta sadar bahwa kata-katanya tepat menyentuh
perasaan Sontani, maka ia meneruskan, "Sontani.
Pulanglah. Bawalah benda-benda yang sama sekali tidak
berarti bagiku itu. Kembalikan mereka kepada yang berhak
dengan bijaksana. Cepatlah sebelum Arya Salaka datang
dan melihat caramu yang sama sekali tidak disukainya itu.
Ia masih terlalu muda untuk dapat berbuat seperti aku."
Sontani perlahan-lahan bangkit dan duduk bersila di
hadapan orang tua itu. Anak-istrinya yang gelisah,
memandanginya dengan penuh pertanyaan di dalam
kepalanya. Ketika detak jantung Sontani telah menjadi tenang
kembali, maka hatinya menjadi tenang. Tiba-tiba ia menjadi
tidak takut lagi kepada Wanamerta, juga kepada Arya
Salaka. Tidak takut untuk menerima dendamnya. Di dalam
dadanya, kini tersimpanlah suatu tekad untuk menebus
nodanya. Meskipun seandainya ia harus digantung di
tengah-tengah beringin kurung.
"Kiai..." katanya kemudian, "Aku akan pulang ke Lemah
Abang. Aku akan coba untuk memenuhi pesan Kiai
Wanamerta. Menyerahkan kembali barang-barang ini
kepada yang berhak. Seterusnya, seandainya Anakmas Arya
Salaka datang, dan menghendaki hukuman atas pengkhianatanku, aku tidak akan membela diri. Apapun
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
yang akan ditimpakan atasku, akan aku jalani dengan
ikhlas, meskipun seandainya aku akan dihukum mati."
Wanamerta menggeleng. Jawabnya, "Percayalah Sontani.
Darah Banyubiru bukanlah darah yang haus akan
pembalasan dendam dan pembunuh. Mungkin kau akan
terbunuh oleh pedang yang bersarang di dalam dadamu,
seandainya kau tetap pada pendirianmu. Tetapi kau telah
menemukan jalan kembali. Kembalilah. Tuhan Maha
Pengampun." Sekali lagi Sontani bersujud di hadapan Wanamerta.
Tetapi Wanamerta menahannya, dan dengan ramah ia
berkata, "Jangan bersujud kepadaku. Duduklah bersama
anak dan istrimu, aku akan duduk bersama-sama dengan
kalian." Tetapi Sontani menolaknya. Ia akan meninggalkan
pendapa itu sebelum Arya Salaka datang seperti yang


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dinasihatkan oleh Wanamerta. Sehingga dengan demikian
iapun segera minta diri beserta anak-istrinya yang sama
sekali tidak mengerti persoalan yang bergolak di dada
suaminya. Sepeninggal Sontani, kembali Wanamerta membaringkan
dirinya untuk beristirahat. Terbayanglah betapa kemunduran lahir dan batin dari tanah perdikan ini. Sontani
adalah salah satu dari sekitar banyak orang yang
kehilangan kepribadiannya. Mungkin masih banyak orang
lain yang justru lebih parah daripadanya.
Ketika kemudian ia tertidur karena lelahnya, mendadak ia
terbangun oleh derap kaki kuda. Cepat ia bangkit dan
meloncat ke pintu. Ia masih sempat melihat seekor kuda
lari dengan kencangnya memasuki halaman. Kemudian
seorang pengawal meloncat turun dan langsung datang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kepadanya. Dengan tergesa-gesa pengawal itu berkata,
"Kiai, laskar di perbatasan bergerak mendekati kota."
Wanamerta tidak terkejut karenanya. Ia tahu persis,
laskar Arya Salaka yang akan membantu mengamankan
kota. Karena itu ia bertanya, "Semua...?"
"Tidak Kiai," jawab orang itu. "Hanya sebagian."
" Kau tahu, siapa pemimpinnya?" tanya Wanamerta pula.
"Entahlah," jawab orang itu sambil menggeleng.
"Jemputlah mereka, dan bawalah mereka kemari," kata
Wanamerta kemudian. Orang itu ragu sebentar, tetapi kemudian iapun segera
berangkat melakukan perintah itu.
Di sepanjang jalan, hatinya diliputi oleh kecemasan,
seperti pada saat ia melihat laskar Pamingit meninggalkan
kota. Apakah yang akan dilakukan oleh laskar di perbatasan
itu atasnya, dan atas orang-orang Banyubiru yang lain,
yang ikut serta dalam kelaskaran Lembu Sora..."
Ketika ia melewati gardu penjagaan kedua, tiga orang
yang bertugas di gardu itu telah menghilang. Pengawal
berkuda itu tahu bahwa mereka akan berusaha menyembunyikan diri mereka, karena mereka takut akan
pembalasan. Dengan demikian pengawal itu menjadi
semakin ragu. Dalam keraguan itu kudanya berlari terus.
Maka sebelum ia mengambil keputusan, pengawal itu telah
sampai di gardu pertama. Ia menjadi berlega hati ketika di
gardu itu, masih dilihatnya empat orang berjaga-jaga.
Untuk meyakinkan pendiriannya, pengawal itu berhenti
sejenak. Kepada orang-orang di gardu itu ia berkata,
"Gardu kedua telah kosong."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Kosong?" tanya orang-orang di gardu pertama itu.
"Kenapa?" "Aku kira mereka takut," jawab pengawal berkuda itu.
"Takut apa?" tanya orang-orang di gardu.
"Kalau laskar Arya Salaka itu datang, ada kemungkinan
mereka akan ditangkap dan dihukum. Juga kita semua,"
jawabnya. Tiba-Tiba salah seorang dari mereka berempat itu
tertawa. Dengan lantang ia berkata, "Jangan takut. Mereka
tidak akan berbuat apa-apa selama mereka masih berada di
bawah pimpinan Arya Salaka."
"Kau yakin?" tanya pengawal berkuda itu.
"Jangankan kita, orang-orang Banyubiru. Terhadap orang
Pamingit pun Arya Salaka tidak berbuat sesuatu. Pimpinan
gardu ini semalam telah mengalami perlakuan yang tak
disangka-sangka dari Arya Salaka. Meskipun orang itu
dibawa serta, namun ia akhirnya kembali dengan selamat,
justru pada saat kita telah memukul tanda bahaya untuk
menangkap anak muda itu."
Pengawal yang masih duduk di atas kudanya itu masih
ragu-ragu juga. Ia mendatangi orang yang berceritera itu,
yang tidak lain adalah Ira, dengan sorot mata yang
bertanya-tanya. Sehingga terdengar Ira menjelaskan, "Aku
menjadi jaminan bagi kalian. Kalau orang-orang yang ikut
serta dalam laskar Arya Salaka itu mendendam kalian,
akulah yang pertama-tama akan naik ke tiang gantungan."
Orang yang bertugas untuk menjemput laskar yang
semakin lama semakin dekat itupun menjadi percaya,
meskipun hatinya masih gelisah. "Baiklah..." katanya,
"Mudah-mudahan katamu benar."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Kemudian ia memacu kudanya kembali, ke arah kepulan
debu putih di depan mereka. Kuda itupun melemparkan
debu yang putih pula, yang kemudian lenyap dihembus
angin pegunungan. Semakin dekat orang berkuda itu dengan barisan yang
mendatang, hatinya menjadi semakin gelisah. Ketika
kudanya telah berada beberapa ratus langkah lagi, ia
menghentikannya. Kembali ia menjadi ragu-ragu. Janganjangan orang-orang yang berada di dalam barisan itu akan
bersama-sama menyerangnya dan beramai-ramai mencincangnya sebagai seorang pengkhianat. Tetapi kalau
diingatnya kata-kata Ira, ia menjadi agak tenang.
Demikianlah ketika barisan yang mendatang itu sudah
semakin dekat, orang itu mengangkat tangan kanannya
tinggi-tinggi sebagai suatu pernyataan bahwa ia tidak
sedang menggenggam senjata.
Di ujung barisan itu, seorang anak muda yang duduk di
atas punggung kuda mengangkat tangannya pula.
Melihat anak muda itu, dada pengawal itu berdesir. Ia
tidak salah lagi. Pasti anak muda itulah Arya Salaka.
Dengan demikian ia menjadi berdebar-debar. Di samping
anak muda itu, dilihatnya seorang gadis yang juga duduk di
punggung kuda. Tetapi ketika ia melihat seorang yang
berjalan dibelakangnya, kembali ia menjadi gelisah. Orang
itu adalah Bantaran. Ketika barisan itu sudah semakin dekat lagi, meloncatlah
ia turun dari kuda, dan dengan hormatnya ia membungkukkan dirinya. Arya memandang orang itu dengan seksama. Ia pun
mengangguk pula. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Tuan..." kata pengawal itu dengan hormatnya, "Aku
menjalankan perintah Kiai Wanamerta untuk menjemput
Tuan, dan membawa Tuan ke halaman rumah Ki Ageng
Lembu Sora." Arya menggelengkan kepalanya. Jawabnya, "Haruskah
aku pergi ke Pamingit?" Pengawal itu menjadi heran,
jawabnya, "Tidak Tuan. Rumah Ki Ageng Lembu Sora di
Banyubiru." "Adakah Ki Ageng Lembu Sora mempunyai rumah di
Banyubiru?" tanya Arya.
"Ada Tuan, di sebelah alun-alun," jawab pengawal itu. Ia
menjadi bingung oleh pertanyaan Arya.
"Rumah itu adalah rumahku. Bukan rumah Ki Ageng
Lembu Sora," jawab Arya.
Berdentanglah jawaban Arya Salaka itu ditelinganya.
Benar, rumah itu memang milik rumah Ki Ageng Gajah
Sora. Maka dengan cepatnya ia membetulkan kata-katanya,
"Tuan benar. Kiai Wanamerta menunggu Tuan di rumah
Tuan sendiri." "Apakah kau dari laskar Paman Lembu Sora?" tanya
Arya. Pertanyaan itu sungguh tidak menyenangkan. Tetapi itu
adalah karena kesalahannya. Sebab selama ini ia memang
menganggap bahwa rumah itu adalah rumah Ki Ageng
Lembu Sora. Pengawal itu menjadi gelisah. Badannya mulai
dialiri oleh keringat dingin dari punggungnya. Ternyata
dalam keadaan yang sulit itu ia kurang berhati-hati. Ia
merasa bahwa ia telah menggali lubang untuk dirinya
sendiri. Akhirnya ketika ia tak dapat berbuat lain maka
iapun menjawab, "Ya, Tuan." Suaranya gemetar. Kini ia
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tinggal menunggu apakah yang akan dilakukan oleh anak
muda itu, atau oleh orang yang berdiri di belakangnya, atau
oleh seluruh barisan itu. Mungkin mereka akan melemparinya dengan batu sampai mati, atau mungkin
mengikatnya di belakang kuda itu dan menariknya
sepanjang jalan. Tetapi kalau demikian, ia tidak berteriak di
gardu pertama, bahwa Ira-lah yang pertama-tama akan
naik ke tiang gantungan. Ketika untuk beberapa saat Arya Salaka masih berdiam
diri, ia menjadi semakin tegang dan gelisah. Sekali-kali ia
mencuri pendang ke arah wajah anak muda itu, namun ia
tidak dapat mengetahuinya, apakah yang tersirat di
wajahnya itu. Tiba-tiba di dalam kegelisahannya ia mendengar jawaban
yang mengejutkan, bahkan hampir tak dipercayainya.
"Marilah. Naiklah ke punggung kudamu. Berjalanlah di
depan." Untuk sesaat ia terpaku. Dengan termangu-manggu ia
memandang Arya Salaka yang masih duduk di atas kudanya
dengan tenang. Ketika tampak wajah anak muda itu tanpa
berkesan kemarahan, barulah ia percaya pada telinganya.
Perlahan-lahan ia mendekati kudanya, dan meloncat ke
atasnya. Karena getar kakinya, maka barulah loncatan
kedua ia berhasil duduk di punggung kudanya. Kemudian
perlahan-lahan pula ia memutar kuda itu dan berjalan
mendahuluinya. Kembali barisan itu berjalan maju mendekati kota.
Akhirnya mereka sampai juga di gardu pertama. Keempat
penjaganya berdiri berjajar dengan tegak. Ira lah yang
bertanggung jawab atas keselamatan mereka, sehingga
meskipun dengan gemetar mereka tidak melarikan diri.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Arya melihat keempat orang itu. Tetapi ia tidak berbuat
sesuatu. Bahkan ia segera dapat mengenal Ira. Dengan
tersenyum ia berkata, "Ira, tidakkah kau ikut Paman Lembu
Sora ke Pamingit?" Ira membungkuk hormat, jawabnya, "Tidak Tuan. Aku
lebih senang menunggu kedatangan tuan di sini."
"Terima kasih," jawab Arya, "Agaknya Paman Lembu
Sora memang tak memerlukan kau."
"Aku bersenang hati kalau demikian," jawab Ira.
"Tetapi kau tidak akan bersenang hati kalau itu terjadi
kemarin atau lusa," sahut Arya Salaka.
Ira diam. Memang ia tidak akan bersenang hati. Sebab
dengan demikian berarti ia kehilangan mata pencahariannya. Sungguh lucu. Tetapi ia diam saja. Ia tidak
berkata apa-apa ketika Arya menjadi bertambah jauh. Ia
melihat di belakang Arya Salaka itu seorang yang baginya
sangat menakutkan. Bantaran. Mudah-mudahan Bantaran
pun tidak mendendamnya. Akhirnya barisan itu sampai juga di halaman rumah
kepala perdikan Banyubiru. Wanamerta menerima mereka
dengan perasaan lega. Kalau ada apa-apa kini, ia tidak
cemas lagi. Segera dipersilakannya Arya Salaka naik ke pendapa. Di
samping Arya Salaka, duduk dengan wajah yang cerah,
putri Kebo Kanigara, Endang Widuri. Ia mendapat izin dari
ayahnya untuk mengikuti anak muda itu mengantarkan
laskarnya ke Banyubiru. Kemudian Bantaran duduk bersama
mereka. Sesudah mereka mengadakan pembicaraan
singkat, segera Bantaran membagi pekerjaan kepada
laskarnya yang berjumlah 100 orang itu. Mereka disebar di
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
seluruh kota dengan pesan, pekerjaan mereka adalah
mengamankan dan melindungi rakyat Banyubiru. Bukan
menakut-nakuti. Terhadap laskar Banyubiru yang ditinggalkan oleh Lembu Sora, mereka harus bersikap baik.
Dengan demikian mereka harus memberi kesan, bahwa
kehadiran mereka benar-benar memberikan suasana baru.
Suasana yang tenang, tentram dan damai.
"Kalian kali ini adalah tenaga-tenaga suka rela untuk
membantu Ki Ageng Lembu Sora menjaga ketentraman
tanah ini. Namun kalian harus menunjukkan bahwa kalian
mempunyai tanggungjawab atas pekerjaan kalian. Kalian
harus membuktikan bahwa jiwa kalian berbeda dengan jiwa
laskar Ki Ageng Lembu Sora sendiri. Junjung tinggi namamu
dan nama pemimpinmu." Arya Salaka menekankan setiap


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kata kepada laskarnya. Ketika laskar itu mulai berpencaran, terdengarlah suara
riuh hampir di seluruh jalan-jalan di dalam kota. Rakyat
Banyubiru menyambut kedatangan laskar itu dengan
keriangan yang bergelora. Mereka melihat laskar yang
berjalan dalam kelompok-kelompok kecil itu sebagai
pelindung mereka. ----------o-dwkz-0-arema-o---------SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
V Kecuali laskar yang diserahkan kepada Wanamerta, yang
dipimpin langsung oleh Bantaran, Arya Salaka telah
menugaskan Penjawi dan Jaladri untuk pergi ke Pamingit.
Mereka mendapat tugas untuk mengetahui, sampai di mana
kekuatan golongan hitam. Mereka harus menyaksikan
pertempuran yang terjadi antara laskar Lembu Sora dan
laskar hitam, dan kemudian kembali kepada Arya Salaka
untuk melaporkan hasilnya.
Malam itu Arya dan Endang Widuri bermalam di rumah
Arya yang telah ditinggalkan hampir enam tahun. Banyaklah
yang dapat diceriterakan kepada gadis itu tentang rumah
ini. Ia dapat menunjukkan di mana ia pada saat itu berhasil
membunuh seorang yang akan mengambil pusaka-pusaka
simpanan ayahnya, namun ia sendiri terpukul dan pingsan
karenanya. Ia dapat menunjukkan pula, ke mana ia
melarikan diri ketika tiba-tiba rumah ini diserang oleh laskar
yang tak dikenalnya. Ketika ia telah berhasil membunuh
salah seorang dari mereka, tiba-tiba ia dikeroyoknya.
Untunglah Penjawi datang tepat pada saatnya. Widuri
mendengarkan ceritera itu, dengan penuh minat. Ia
menjadi terharu mendengarkan ceritera pengalaman yang
pernah dijalani oleh Arya Salaka pada umurnya yang masih
sangat muda. "Kalau malam ini mereka datang kembali..." kata Arya
Salaka, "Aku tak perlu berlari-lari lagi."
"Kau telah merasa dirimu tak terkalahkan" sahut Widuri.
"Tidak," jawab Arya. "Sebab sekarang ada kau. Bukankah
kalungmu itu menakutkan orang?"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Widuri mencibirkan bibirnya, katanya kepada Wanamerta
yang duduk bersama mereka, "Apakah Eyang takut juga
kepada kalungku ini?"
Wanamerta tertawa. Jawabnya, "Aku tidak. Sebab aku
tak bermaksud jelek. Entahlah cucu Arya Salaka."
"Ah..." Tiba-tiba wajah gadis itu menjadi merah. Ia tidak
tahu apa sebabnya. Sedang Arya pun tiba-tiba menundukkan wajahnya. Ketika keadaan menjadi sepi, terdengarlah di kejauhan
gonggong anjing liar yang berkeliaran di lereng-lereng
pegunungan. Dari selatan mengalirlah angin pegunungan
membawa udara yang sejuk.
"Cucu Widuri..." kata Wanamerta kepada gadis lincah itu,
"Aku persilakan Cucu beristirahat di ruang sebelah. Biarlah
aku dan Cucu Arya Salaka berjaga-jaga di sini."
Widuri memang sudah ngantuk. Karena itu segera iapun
berdiri dan masuk ke ruang di dalam rumah itu. Ia sama
sekali tidak takut, karena di luar berjaga-jaga Arya Salaka,
Wanamerta dan Bantaran. Sedang di halaman belakang pun
ada beberapa orang yang mengawal.
Sementara itu di perbatasan, Mahesa Jenar, Kebo
Kanigara, Mantingan, Wirasaba dan para pemimpin laskar
Banyubiru yang lain sedang sibuk menyalakan api untuk
mematangkan kijang hasil buruan mereka.
Tidak jauh dari perapian itu, Rara Wilis bertiduran di atas
rumput-rumput kering sambil menganyam angan-angan.
Sekali-kali angan-angannya itu membumbung tinggi,
membelit di antara bintang-bintang di langit, namun sekalikali ia terlempar kembali ke dunianya kini. Berbaring di
antara batang-batang ilalang. Di antara laskar yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
bersiaga penuh untuk bertempur. Entah besok, entah lusa.
Kemudian apakah sesudah pertempuran itu berakhir ia
masih dapat menikmati gemerlapnya bintang di langit..."
Atau kalau Tuhan masih mengurniakan umur panjang
kepadanya, apakah ia masih dapat bertemu dengan Mahesa
Jenar..." Rara Wilis tiba-tiba tersentak karena angan-angannya
sendiri. Tidak sengaja ia memandang ke perapian.
Dilihatnya di antara mereka, seorang yang selama ini
mengikat hatinya. Tetapi laki-laki itu tidak menoleh
kepadanya. Bahkan ia masih asyik menikmati daging kijang
yang kadang-kadang diselingi oleh tertawanya yang riang.
Agaknya Ki Dalang Mantingan adalah orang yang cukup
jenaka, sehingga mereka tertawa-tawa karena kelucuannya.
Rara Wilis menarik nafas panjang. Sebagai seorang gadis
ia kadang-kadang ditakut-takuti oleh umurnya yang
bertambah-tambah dari hari ke hari. Apakah ia harus
berjalan dari satu padang rumput ke padang rumput yang
lain" Dari satu perkelahian ke perkelahian yang lain
sepanjang hidupnya..." Tidakkah pada suatu saat ia akan
dihadapkan kepada suatu kuwajiban yang seharusnya
dijalani oleh setiap wanita..." Rara Wilis pada suatu saat
pasti ingin melepaskan pedang dari pinggangnya dan
menggantinya dengan pisau dapur yang sederhana. Ia pada
suatu saat pasti ingin melepaskan ikat pinggang kulitnya,
yang kasar, dimana pedangnya selalu menggantung, dan
menggantinya dengan selendang yang halus untuk
mengemban bayinya. Ya. Ia rindukan masa yang
berbahagia. Masa ia tidak bermain-main dengan nyawanya,
tetapi bermain-main dengan anaknya.
Akhirnya, sebagai seorang manusia yang lemah, ia hanya
dapat memanjatkan doa kepada Kekuasaan Yang Tertinggi,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mudah-mudahan sampailah ia pada saatnya, diperkenankan
menikmati hidup ini sebagai manusia biasa, sebagai wanita
biasa. Ketika sekali lagi ia memandang ke perapian, ia masih
melihat mereka yang duduk melingkari perapian itu
bersenda-gurau. Karena itu iapun terbawa pula oleh
suasana yang gembira itu. Sehingga kemudian ketika ia
mendengar Ki Dalang Mantingan berjenaka, ia pun
tersenyum sendiri. Di langit, bintang gemintang satu-satu berjalan di dalam
garis edarnya. Sedang mega putih yang membayang di
selatan, sebagai selimut yang putih, menaburi punggung
bukit Telamaya. Malam itu berjalan setapak demi setapak menjelang pagi.
Baik yang berada di Banyubiru maupun yang berserak-serak
di perbatasan. Meskipun tidak meninggalkan kewaspadaan,
namun mereka dapat menikmati istirahat malam itu dengan
baiknya. Mereka sadar bahwa bahaya pasti tidak akan
datang. Baik dari laskar Lembu Sora maupun dari laskar
golongan hitam. Sebab mereka selambat-lambatnya petang
tadi, pasti sudah saling berhadapan. Bahkan mungkin
bagian-bagian dari laskar mereka sudah terlibat dalam
bentrokan-bentrokan. Perhitungan mereka itupun benar. Tak ada apapun yang
terjadi sampai matahari muncul di timur, diantar oleh
kicauan burung-burung liar yang hinggap di cabang-cabang
pohon perdu. Lereng bukit itu seolah-olah disiram oleh kesejukan
cahaya pagi yang segar yang merayap turun dari ujungujung pepohonan, dan jatuh berserakan di tanah merah.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Ketika Mahesa Jenar membuka matanya, setelah
beberapa saat ia tertidur dalam kehangatan perapiannya, ia
terkejut melihat sesosok tubuh yang berdiri tidak jauh
darinya. Dalam keremangan cahaya pagi, dilihatnya
bayangan itu menggeliat dengan nyamannya, kemudian
tampaklah dadanya yang segar menggelombang dalam
tarikan nafas pagi. Perlahan-lahan Mahesa Jenar bangkit. Seperti terpaku ia
melihat bayang-bayang yang mengesampingkannya. Ia
menjadi heran sendiri. Seperti kisah dalam mimpi, bahwa di
tengah-tengah padang ilalang itu, dapat ditemuinya
keindahan yang sempurna menurut selera hatinya.
Ketika bayangan itu perlahan-lahan melangkahkan
kakinya, Mahesa Jenar bangkit berdiri. Agaknya bayangan
itu mendengar desis kakinya sehingga terputarlah
wajahnya, memandang Mahesa Jenar yang berjalan
perlahan-lahan mengikutinya.
"Bintang pagi masih bersinar di tenggara," tegur Mahesa
Jenar dalam nada yang rendah.
Rara Wilis tersenyum. "Tetapi matahari telah meninggalkan peraduannya."
Mahesa Jenar menengadahkan wajahnya, memandang
matahari pagi yang masih kemerah-merahan. Sambil
tersenyum pula ia berkata, "Ia akan datang pada saat ia
harus datang." "Dan ia akan pergi pada saat ia harus pergi," sahut Wilis.
"Peredaran jinantra alam yang tak terkendalikan oleh
kekuatan apapun, selain oleh Maha Penciptanya," kata
Mahesa Jenar. "Karena itu, milikilah yang harus kau miliki," potong Wilis.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Matahari...?" tanya Mahesa Jenar sambil tersenyum.
"Ya," jawab Wilis
"Matahariku adalah mataharimu," kata Mahesa Jenar
pula. Keduanya tersenyum. Hanya mereka berdualah yang
dapat merasakan betapa indahnya senyum mereka masingmasing. Seindah bintang pagi di tenggara, seindah matahari
pagi di puncak bukit. "Aku akan mencuci muka di mata air sebelah," kata Rara
Wilis kemudian. "Pergilah. Aku akan menyiapkan api," jawab Mahesa
Jenar. Rara Wilis berjalan semakin cepat. Di pinggangnya masih
tergantung pedang tipisnya. Mahesa Jenar memandangi
bayangan itu sampai hilang di balik sebuah batu padas.
Disanalah Rara Wilis mendapatkan mata air yang kecil.
Hari itupun tak mereka jumpai persoalan-persoalan yang
penting. Bahkan mereka dapat hilir-mudik dari perbatasan
masuk ke dalam kota. Kebo Kanigara telah menjemput
puterinya, sedang Mahesa Jenar dan Arya Salaka malam
berikutnya bermalam di Banyubiru.
Seperti malam kemarin. Malam inipun berlalu begitu saja.
Namun mereka mengharap bahwa hari berikutnya Penjawi
dan Jaladri telah dapat datang kembali dengan keteranganketerangan yang mereka perlukan.
Sebelum fajar menyingsing di pagi yang dingin,
datanglah orang yang mereka harap-harapkan itu.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Derap dua ekor kuda yang lari dengan kencangnya,
memukul-mukul jalan yang berbatu-batu menuju ke rumah
kepala daerah perdikan Banyubiru.
Para pengawal perbatasan segera berloncatan dari gardu
mereka yang bersiaga. Tetapi ketika mereka melihat
Penjawi dan Jaladri yang duduk di punggung-punggung
kuda itu, maka mereka biarkan berlalu. Debu yang
dihambur-hamburkan oleh kaki-kaki kuda itu seperti
tumbuh dari dalam tanah, sejalan dengan pertanyaanpertanyaan yang tumbuh di dalam dada para pengawal itu.
Kabar apakah yang dibawa oleh Penjawi dan Jaladri..."
Arya Salaka dan Mahesa Jenar pun kemudian mendengar
derap kuda yang semakin dekat. Segera mereka bangkit
dari pembaringan mereka sambil menebak-nebak, siapakah
orang-orang yang berkuda di pagi-pagi buta ini. Demikian
juga Wanamerta dan Bantaran yang berada di pendapa pun
segera bersiaga. Kalau-kalau ada sesuatu yang tak mereka
harapkan terjadi. Tetapi hati mereka menjadi kendor
kembali setelah mereka melihat Penjawi dan Jaladri masuk
ke halaman. Demikian ketika kuda-kuda itu berhenti, berloncatanlah
mereka turun dan langsung naik ke pendapa. Tampaklah
wajah-wajah mereka yang kotor karena debu yang tak
sempat mereka usap. Sedang di punggung membekaslah
keringat mereka yang mengalir deras. Namun demikian
tampaklah senyum mereka membayang di bibir mereka.
Wanamerta menerima mereka dengan tergopoh-gopoh.
Dipersilahkanlah mereka duduk, dan kepada seorang
pelayan, Wanamerta minta untuk segera disediakan bagi
mereka, minum yang hangat.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Terima kasih Kiai," kata Penjawi di antara desah
nafasnya yang mengalir cepat.
"Selamatkah kalian?" tanya Wanamerta kemudian.
"Baik Kiai," jawab mereka hampir bersamaan.
"Syukurlah," sambung Wanamerta.
Bersamaan dengan itu muncullah Mahesa Jenar dan Arya
Salaka lewat pintu pringgitan. Mereka langsung duduk di
hadapan Penjawi dan Jaladri. Dari wajah-wajah kedua
orang itu, Mahesa Jenar dan Arya Salaka mendapat kesan,
bahwa mereka telah menempuh perjalanan yang berat.
Merekapun kemudian menanyakan keselamatan kedua
orang itu. "Perjalanan yang menyenangkan." Namun terdengarlah
suara itu amat perlahan-lahan.
Dengan senyum lucu Jaladri memandang Penjawi, sambil


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyebut, "Cemasnya yang tak terduga-duga."
Yang mendengar ikut tersenyum pula.
"Kalian tentu punya ceritera yang panjang," kata Arya
Salaka. "Tetapi aku lihat kalian tak sempat mandi di
perjalanan. Karena itu, apabila keadaan tidak mendesak,
mandilah kalian dahulu. Kemudian setelah makan pagi,
biarlah kalian berceritera panjang lebar. Akan aku panggil
semua pimpinan laskar Banyubiru, Paman Kebo Kanigara,
Bibi Wilis dan Endang Widuri. Aku kira mereka akan senang
pula mendengar ceriteramu."
"Baiklah," jawab Penjawi. "Kami akan mandi dahulu,
makan pagi, lalu kami akan berceritera, supaya ceritera
kami tidak terlalu banyak tertinggal."
Jaladri tertawa, sambungnya, "Urutan yang bijaksana,"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Kemudian setelah minum teh hangat dengan gula aren,
Penjawi dan Jaladri segera turun ke mata air di sebelah
rumah itu. Mereka mendapat pinjaman beberapa potong
pakaian untuk mengganti pakaian yang telah basah oleh
keringat, dan kotor oleh debu tebal. Dalam kesempatan itu,
Arya Salaka telah memerintahkan untuk menjemput para
pemimpin laskar Banyubiru yang berada di perbatasan,
termasuk Mantingan dan Wirasaba.
Ketika matahari telah naik di ujung cemara, pendapa
Banyubiru itupun telah dipenuhi oleh para pemimpin laskar
Banyubiru. Mereka semua mengharap dapat mendengarkan
langsung ceritera Penjawi dan Jaladri. Meskipun masih agak
payah, di pendapa itu hadir juga Sendang Parapat.
Penjawi dan Jaladri duduk berjajar di samping Arya
Salaka. Kemudian duduk pula Wanamerta, Bantaran,
Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Mantingan, Wirasaba, Rara
Wilis dan Endang Widuri. "Nah..." kata Arya Salaka kemudian, "Mulailah dengan
kisah cemasmu." Penjawi membetulkan letak duduknya, sambil menarik
nafas ia berkata, "Baiklah. Setelah perutku kenyang,
ingatanku menjadi baik, sehingga banyaklah yang akan aku
ceriterakan kepada kalian."
Yang hadir di pendapa itu telah siap untuk mendengar
apakah yang telah terjadi di Pamingit.
"Lusa," Penjawi mulai, "aku dan Adi Jaladri berangkat ke
Pamingit, beberapa saat setelah Ki Ageng Sora Dipayana
meninggalkan Banyubiru. Namun demikian, kami masih
dapat mendahului laskar Pamingit itu. Kami titipkan kuda
kami dirumah paman Derpa, dan mulailah kami dengan
pekerjaan kami. Ki Ageng Lembu Sora ternyata benar-benar
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
seorang yang memiliki ketangkasan berpikir. Kami terkejut
ketika kami diketahui, bahwa beberapa bagian laskarnya
langsung menerobos lewat Randu Putih, dan menduduki
Kepandak. Sedang induk pasukannya masih tetap menuju
pusat pemerintahan Pamingit, dan setelah terlibat dalam
bentrokan tak berarti, induk pasukan itu bermalam di
Sumber Panas. Ini adalah suatu keadaan yang sama sekali tak diduga
oleh golongan hitam. Karena itu, dengan mudahnya mereka
dapat didesak dari tempat-tempat itu. Tetapi karena itu
pulalah maka mereka agaknya menjadi marah. Menjelang
pagi, aku dan adi Jaladri melihat-lihat pertempuran yang
akan berkobar di Kepandak. Kami berjanji bahwa malam
hari kami bertemu di rumah Paman Darpa, setelah kami
mendapat gambaran dari kedua garis pertempuran itu.
Pekerjaan kamipun menjadi agak sulit, sebab kami tidak
mau diketahui oleh kedua belah pihak. Untunglah bahwa
aku dapat menghubungi beberapa orang Banyubiru yang
berada di dalam Laskar Lembu Sora, ketika mereka sedang
mengambil air untuk keperluan laskar itu. Tetapi pekerjaan
Adi Jaladri agak lebih sulit."
Penjawi berhenti sejenak. Ia memandang kepada Jaladri,
katanya, "Tidak ada orang yang lebih mengetahui daripada
Adi sendiri. Nah ceriterakanlah."
Jaladri mengangguk. Sambil tertawa kecil ia berkata,
"Bukan lebih sulit. Tetapi aku justru lebih beruntung." Ia
berhenti sebentar lalu meneruskan, "Pagi-pagi buta aku
mencoba untuk mencari tempat yang baik. Aku ingin tahu,
siapakah yang berada di dalam kedua pasukan yang akan
bertempur itu. Tetapi baru saja aku mendapat tempat yang
baik menurut pikiranku, tiba-tiba terdengar suara berdesir
di belakangku. Aku terkejut, dan aku menjadi berdesir
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
ketika tiba-tiba aku ketahui, menurut ciri-ciri yang pernah
aku dengar, seorang tua, bertubuh bongkok dengan wajah
yang mengerikan." "Bugel Kaliki?" potong Wanamerta.
"Ya, Bugel Kaliki," sahut Jaladri. "Dengan mata yang
mengandung kebencian ia memandang kepalaku. Akhirnya
ia tertawa terkekeh-kekeh dan berkata, - "Hai kelinci yang
malang. Siapakah namamu, dan apakah kerjamu di sini?" Aku menjadi gemetar. A ku tahu siapakah orang itu. Karena
itu tiba-tiba terbayanglah di dalam otakku, gambaran
Yamadipati datang untuk menagih janji. Mengambil kembali
nyawa yang dititipkan di dalam raga ini."
"Apa yang dikerjakan oleh hantu itu" - bertanya Sendang
Papat tidak sabar. "Menakut-nakuti aku," jawab Jaladri. "Dan aku benarbenar takut kepadanya. Apalagi kemudian ia bertanya
kepadaku pula - Kenalkah kau kepadaku?"
"Aku tahu bahwa aku bukan musuhnya. Karena itu aku
tidak mau kehilangan kesempatan. Tanpa menjawab
pertanyaannya, segera aku menarik kerisku, dan langsung
aku menusuk ke arah telungkup. Nah, kau lihat jalur-jalur di
mukaku ini?" "Tetapi kau tetap hidup," sela Bantaran ingin tahu.
"Ya. Aku tetap hidup," sambung Jaladri, "Bukan karena
aku sekarang telah mampu melawan Bogel Kaliki, atau aku
dapat melepaskan diri dari tangannya."
"Ya. Lalu kenapa?" Sendang Parapat menjadi tidak sabar,
"Apakah kau dibiarkan pergi?"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Jaladri tertawa. "Jangan terlalu tergesa-gesa. Dengar
urutan ceriteraku. A ku kemudian bangkit, dan dengan tekad
yang bulat aku akan mati sebagai laki-laki. Berjuang dengan
tenaga yang ada padaku. Tetapi tiba-tiba Tuhan
menyelamatkan aku. Ketika Bugel Kaliki itu dengan
marahnya menggeram, dan hampir menerkam kepalaku,
terdengar suara di belakangku. "Jangan Kaliki. Jangan
mengganggu anak-anak."
Bugel Kaliki terkejut. Aku juga terkejut. Kalau seseorang
dapat hadir di tempat itu tanpa diketahui oleh Bugel Kaliki,
maka aku mengharap bahwa setidak-tidaknya orang itu
akan dapat menyelamatkan aku."
"Siapakah orang itu?" tanya Sendang Parapat.
"Aku tidak tahu," jawab Jaladri.
"Hus!" sahut orang yang berada di pendapa itu hampir
berbareng. "Jangan teka-teki."
"He..." jawab Jaladri, "Siapa yang berteka-teki" Aku
benar-benar tidak tahu, Kakang Penjawi juga tidak tahu.
Siapakah dia." Arya tertarik pada ceritera itu. Tampak alisnya berkerut.
Demikian juga Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan orangorang lain. "Apa yang dilakukan?" tanya Arya Salaka kemudian.
Jaladri mengingsar duduknya, ia meneruskan, "Bugel
Kaliki terkejut atas kehadirannya. Ia mengurungkan niatnya
untuk memecahkan kepalaku. Tetapi segera ia bersiaga
untuk menghadapi musuh barunya. "Jangan ganggu aku" ia
berdesis. Tetapi orang yang datang itu tertawa. Suaranya
nyaring. "Aku mengembara dari satu tempat ke tempat lain
tanpa tujuan. Karena itu akupun kadang-kadang melakukan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
pekerjaan-pekerjaan tanpa tujuan. Antara lain mengganggumu." Bugel Kaliki benar-benar marah. Terdengar suaranya
menggeram seperti serigala. Namun orang asing itu masih
tertawa-tawa saja. Demikianlah akhirnya keduanya terlibat
dalam satu perkelahian tanpa kata-kata lain. A ku tidak tahu
bagaimana aku harus menilai pertempuran itu. Mereka
bergerak-gerak dengan cepatnya. Kadang-kadang mereka
melontarkan diri mereka seperti bintang beralih. Sambarmenyambar. Aku pernah menyaksikan dua ekor elang
berkelahi. Gagah benar. Namun itu lebih cepat seperti
Sikatan. Si Bongkok itupun sungguh luar biasa. Aku heran
kenapa bongkoknya itu sama sekali tidak mengganggu.
Melihat perkelahian itu aku menjadi malu pada diri sendiri.
Apakah yang terjadi seandainya aku yang harus bertempur
melawan Bugel Kaliki itu. Namun demikian aku tidak mau
lari. Aku akan menunggu sampai pertempuran itu
berakhir.Kalau penolongku itu kalah dan binasa, biarlah aku
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
binasa pula. Tetapi kalau ia menang, biarlah aku sempat
mengucapkan terima kasih kepadanya.
Tetapi pertempuran itu kemudian terganggu. Aku melihat
bayangan lain yang datang di tempat itu pula. Bersamaan
dengan kehadiran orang kedua itu, aku lihat Bugel Keliki
berteriak nyaring, untuk kemudian melontar mundur dan
lenyap di dalam keremangan pagi. Orang yang bertempur
melawannya sama sekali tidak mengejarnya. Ia, sekarang
berhadapan dengan orang yang datang terakhir. Namun
agaknya mereka tidak akan bertempur. Bahkan mereka
berdua tampaknya seperti dua orang sahabat yang baru
bertemu. Mereka saling mengguncang tangan masingmasing." "Siapakah yang datang kemudian" Juga tidak tahu?"
tanya Wanamerta. Jaladri tertawa. Penjawi pun tertawa. "Kiai..." jawab
Jaladri, "Kepada orang yang terakhir itu, aku sudah
mengenalnya. Bahkan kalian juga mengenalnya."
"Ya, siapa" Kalau kau sudah mengenal, kami mengenal
pula." Sendang Parapat semakin tidak sabar.
"Ki A geng Sora Dipayana," jawab Jaladri.
"Oh...." Terdengar orang-orang yang mendengar
bergumam. Mereka menarik nafas lega, seolah-olah
merekalah yang terlepas dari ancaman maut.
Jaladri berhenti pula untuk sesaat. Kemudian ia
meneruskan, "Aku hanya sempat mengucapkan terima
kasih kepada orang yang tak kukenal itu. Tetapi aku tidak
sempat bertanya tentang dirinya sebab kemudian Ki Ageng
Sora Dipayana bertanya kepadaku, "Apa kerjamu di sini
Jaladri?" SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Aku menjadi ragu sebentar. Tetapi kepada Ki Ageng Sora
Dipayana aku tak dapat berkata lain, kecuali mengatakan
yang sebenarnya. Mula-mula aku menjadi cemas, janganjangan hal itu tak dikehendaki oleh Ki Ageng, namun tibatiba Ki Ageng Sora Dipayana berkata, "Marilah. Hari hampir
pagi. Sebentar lagi pertempuran akan dimulai."
Aku tak dapat membantah. A ku ikuti Ki Ageng kembali ke
pasukan Pamingit. Agaknya Ki Ageng Sora Dipayana berada
di dalam laskar yang menduduki Kepandak. Laskar ini
dipimpin oleh Wulungan. Sedang menurut Ki Ageng Sora
Dipayana, induk pasukan yang berada di Sumber Panas
dipimpin langsung oleh Ki Ageng Lembu Sora sendiri. Ketika
kami hampir sampai, aku hanya mendengar orang asing itu
berkata, "Kau biarkan anakmu sendiri?"
"Tak ada pilihan lain" jawab Ki Ageng Sora Dipayana.
"Kalau aku tak ada di sini, dan ada salah seorang dari
setan-setan itu datang kemari, seperti apa yang dilakukan
oleh Bugel Kaliki itu, maka laskar ini akan habis ludas."
"Kalau mereka beberapa orang menempatkan diri
mereka untuk melawan anakmu?" jawab orang asing itu.
"Ia membawa laskar lebih banyak. Aku sudah
menasehatkan untuk bertempur dalam kelompok-kelompok,
untuk menghadapi mereka. Dengan senjata jarak jauh atau
senjata bertangkai panjang. Dan Lembu Sora telah
menyiapkan laskar panah sebaik-baiknya."
"Belum cukup" jawab orang asing itu.
"Untuk sementara, tak ada cara yang lebih baik. Tetapi
aku percaya, kalau Lembu Sora berotak cair, maka sedikit
demi sedikit ia akan dapat mengatasi keadaan" jawab Ki
Ageng Sora Dipayana. Ternyata ia kemudian meneruskan,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Soalnya terserah kepada nasibnya. Mudah-mudahan Tuhan
memaafkan kesalahan-kesalahannya."
"Kalau begitu..." orang asing itu menjawab, "biarlah aku
ikut serta dalam permainan ini. Aku akan bekerja bersamasama dengan anakmu."
Ki Ageng Sora Dipayana terkejut, sampai langkahnya
terhenti. "Kau.."- terdengar suaranya dalam.
Orang itu mengangguk, lalu terdengarlah ia tertawa.
Sebelum Ki Ageng Sora Dipayana menjawab orang itu telah
melontarkan dirinya sambil berkata, "Sebelum pagi, mudahmudahan aku tidak terlambat."
Ki Ageng Sora Dipayana hanya dapat menggelenggelengkan kepala. Perlahan-lahan terdengar gumamnya,
"Terimakasih, terima kasih."
Tiba-tiba saja Ki Ageng Sora Dipayana terkejut oleh
suara kentongan jauh di Pamingit. Agaknya laskar orangorang hitam itu telah mempersiapkan diri mereka.
"Ayolah, sebelum kita digilas oleh hantu-hantu yang tak
kenal perikemanusiaan itu."
Aku mengikuti di belakang Ki Ageng. Di Kepandak, laskar
Pamingitpun telah siap. Di hadapan mereka berdiri dengan
gagahnya, Wulungan. Di pinggangnya terselip sebuah
pedang panjang, sedang dilambungnya tampaklah sebilah
keris. Ketika ia melihat Ki Ageng Sora Dipayana datang, segera


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ia membungkukkan dirinya, tetapi ketika ia melihat aku,
tampaklah perubahan di wajahnya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Ki Ageng Sora Dipayana tahu perasaannya, katanya,
"Jangan hiraukan kehadiran Jaladri. Aku yang membawanya. Ia tidak akan mengganggu kalian."
Wulungan tidak membantah, ia hanya mengangguk
hormat. Ketika cahaya merah di atas bukit-bukit sebelah timur
telah semakin merata, mulailah laskar Pamingit bergerak.
Laskar inipun seperti laskar yang dipimpin oleh Ki Ageng
Lembu Sora, bergerak dalam kelompok-kelompok, dan
bersenjata jarak jauh. Agaknya mereka benar dipersiapkan
untuk menghadapi setiap tokoh dari golongan hitam itu,
kelompok demi kelompok. Aku sendiri, yang tidak tergabung dalam laskar itu, hanya
selalu mengikuti kemana Ki Sora Dipayana pergi. Dan Ki
Agengpun sama sekali tidak keberatan. Bahkan akhirnya
Ki Ageng itu memberi aku sebatang tombak sambil berkata,
"Kalau kau terpaksa mempertahankan dirimu Jaladri,
pergunakan tombak ini. Kerismu terlalu pendek untuk
melawan Lawa Ijo atau Jaka Soka, atau kalau kau bertemu
sekali lagi dengan Bugel Kaliki."
Hatiku jadi berdebar-debar mendengar kata-kata itu.
Laskar Pamingit dapat melawan mereka dengan kelompokkelompok mereka. Aku bagaimana?"
Agaknya Ki Ageng Sora Dipayana memaklumi perasaanku, karena itu terdengar kata-katanya, "Kaupun
harus membentuk kelompok tersendiri Jaladri. Nah, akulah
orang yang termasuk dalam kelompok kecilmu."
Aku menundukkan kepalaku, karena malu.
Ki Wulungan membawa laskarnya, melingkar ke Selatan
dengan gelar Jinantra Sawur. Lingkaran-lingkaran kecil yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
bergerak bersama-sama dalam satu garis yang menebar.
Sungguh suatu yang bagus untuk melawan toko-tokoh yang
biasa bertempur perseorangan dan mempunyai kesaktian
yang luar biasa seperti tokoh- tokoh golongan hitam.
Ketika terdengar sebuah tengara dari Wulungan, maka
dengan kecepatan yang sedang, laskar itu langsung
menyerbu kedalam pemusatan laskar-laskar hitam. Dalam
sepintas dari laskar hitam yang disediakan untuk melawan
mereka. Namun diujung laskar golongan hitam itu aku
melihat dua orang yang mengerikan. Seorang yang sudah
aku kenal Bugel Kaliki, dan yang seorang lagi, aku dengar
namanya dari Ki Ageng Sora Dipayana, bernama Nagapasa.
"Nagapasa...?" Mahesa Jenar mengulang nama itu.
"Ya," sahut Jaladri. "Melihat mereka berdua Ki Ageng
Sora Dipayana memanggil Wulungan, katanya, "Wulungan,
lawanlah Bugel Kaliki. Bawalah sedikitnya dua kelompok
laskar panahmu. Jaga, jangan sampai salah seorang dari
kamu mendekat, dan jagalah supaya kau dan kelompokmu
tidak kehabisan tenaga. Orang itu mampu bertempur sehari
penuh dengan kesegaran yang sama, bahkan berhari-hari."
Wulungan mengangguk sambil menjawab, "Baik Ki
Ageng, akan aku bawa tiga kelompok terkuat dari anak
buahku. Yang lain akan dipimpin oleh adi Gupita, melawan
laskar hitam itu." "Bagus" jawab Ki Ageng Sora Dipayana. Kemudian
kepadaku Ki A geng itu berkata, "Jaladri. Aku harus melayani
musuh yang tak dapat diduga-duga tabiatnya. Ia dapat
berlaku lunak, tetapi ia dapat bengis seperti setan. Karena
itu lebih baik bagimu untuk memperkuat kelompokkelompok yang akan dibawa oleh Wulungan melawan
musuhmu pagi tadi." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Aku tak dapat membantah, meskipun aku tahu bahwa
Wulungan agak bimbang menerima titipan itu.
Ketika aku berjalan di samping Wulungan menuju
kekelompok pertama, aku berkata kepadanya, "Jangan
curigai aku. Aku tak akan mengganggumu. Sebab hidup
matiku sekarang berada di dalam kerjasama antara kita dan
laskarmu." Wulungan tersenyum. Jawabnya, "Aku mempercayaimu.
Aku kira setiap orang didalam laskar Arya Salaka berlaku
jantan seperti pimpinan mereka."
Aku tidak tahu maksudnya. Apakah ia benar-benar
memuji, ataukah ia sedang menyindir aku. Tetapi kemudian
kami tak sempat berkata-kata lagi. Wulungan memerintahkan beberapa orang untuk memberitahukan
tugas-tugas mereka. Tiga kelompok kemudian saling
mendekat dan menuju satu sasaran, sedang yang lain
masih di tempatnya masing-masing, di bawah pimpinan
seorang yang cukup mempunyai wibawa, Gupita.
Laskar hitam itupun kemudian maju menyongsong lawan
mereka. Mereka sama sekali tidak mempergunakan gelar
perang, atau gelar mereka mirip dengan gelar Gelatik Neba.
Namun tampaklah betapa mereka percaya pada diri mereka
masing-masing. Terbayanglah diwajah mereka, kebiadaban
dan keganasan yang pernah mereka lakukan dan akan
mereka lakukan. Didalam mata mereka seolah-olah
tampaklah goresan-goresan nama-nama dari korban-korban
mereka yang berpuluh-puluh jumlahnya.
Aku pernah mengalami beberapa kali pertempuran.
Namun kali ini aku benar-benar berdebar-debar. Disekitarku
berjalan orang-orang yang kurang aku kenal, baik tabiatnya
maupun cara-cara mereka mempergunakan senjata.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Akupun tidak mengetahui apakah mereka menganggap aku
lawan mereka atau musuh mereka. Namun demikian
akhirnya aku harus melekatkan kepercayaan kepada diri
sendiri. Betapapun ringkihnya aku ini, namun aku hanya
dapat mengeluh dan menyadarkan diri kepada kepercayaan
itu, dilambari oleh pasrah diri kepada pepestan, kepada
kuasa tangan Yang Maha Kuasa.
Demikianlah akhirnya kedua laskar ini bertemu. Sesaat
sebelum pertempuran berkobar, Wulungan berbisik kepadaku, -Jaladri, kami saat ini akan bertempur di atas
tanah persawahan. Batang-batang padi ini sebentar lagi
akan hancur terinjak-injak oleh kaki-kaki kami. Namun
tanah persawahan ini akan memberikan kesegaran dalam
jiwa kami. Karena untuk tanah inilah kami sekarang sedang
menyabung nyawa. Meskipun batang-batang padi ini akan
hancur, namun besok di atasnya akan dapat kami tanami
kembali, dengan batang-batang padi yang lebih segar.
Sebab kami tebarkan pupuk di tanah ini dengan darah
putra-putra terbaik dari tanah ini."
Aku terharu mendengar kata-katanya. Sedang dari
matanya terpancar ketulusan hatinya serta kesediaannya
berkorban untuk tanahnya.
Sesaat kemudian kami dikejutkan oleh teriakan-teriakan
ngeri. Orang-orang hitam itu berloncatan sambil memekikmekik. Senjata-senjata mereka gemerlapan dalam cahaya
pagi. Pada saat yang hampir bersamaan, melontarlah
senjata-senjata anak- anak Pamingit. Berpuluh-puluh
bahkan beratus-ratus anak panah bertebaran diudara.
Tetapi orang-orang golongan hitam itu memutar senjata
mereka menjadi gulungan perisai yang sangat rapat.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Demikianlah akhirnya pertempuran tak dapat dihindari.
Orang-orang Pamingit terpaksa meletakkan busur-busur
mereka dan menarik pedang-pedang mereka. Sehingga
sesaat kemudian, riuhlah pertempuran itu dengan dentang
senjata beradu, pekik yang mengejutkan dari orang-orang
golongan hitam itu. Wulungan dengan kelompoknya
langsung menyiapkan diri mereka dan memancing Bugel
Kaliki untuk melibatkan dirinya. A nak-anak dalam kelompok
ini agaknya benar-benar terpilih. Mereka tidak melemparkan
panah mereka berlebih-lebihan. Satu-satu saja, mengarah
kepada si Bongkok yang mengerikan itu. Akhirnya marahlah
Bugel Kaliki. Seperti serigala yang menggeram, kemudian
langsung melompat dan menyerbu kedalam laskar
Wulungan. Cepat anak buah Wulungan memencar diri.
Mereka menyerang dengan panah mereka. Tak berhamburhamburan, namun cukup memberi perlawanan yang kuat
terhadap hantu dari Gunung Cerme itu.
----------o-dwkz-0-arema-o---------Editing oleh Ki Arema SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Jilid 21 SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
I Bugel Kaliki kemudian menjadi benar-benar marah.
Agaknya ia benar-benar tidak biasa mempergunakan
senjata. Sehingga ketika anak panah menyambar-nyambar
semakin banyak, ia menjadi agak bingung. Dengan
demikian, aku menduga bahwa orang itu sama sekali tidak
kebal dari senjata. Tiba-tiba terjadilah suatu yang tidak
kami duga-duga. Bugel Kaliki melepas kain panjangnya.
Sesaat kemudian kain itupun telah berputar dan
menyambar setiap anak panah yang diarahkan kepadanya.
"Gila," gerutu Wulungan, namun anak buahnya
menyerang terus. Bugel Kaliki berloncat seperti kijang, dan sekali-kali ia
menyambar orang-orang terdekat. Namun demikian ia
menyerang, sehingga ia terpaksa untuk menangkisnya.
Demikianlah pertempuran yang aneh itu berlangsung.
Meskipun demikian, hantu yang bongkok itu berhasil pula
mendapatkan beberapa orang korban. Sungguh suatu
kejadian di luar kemampuan untuk mengatakan, apakah
yang sudah dilakukannya. Namun Wulungan dengan anak
buahnya berjuang dengan gigihnya. Hanya karena jumlah
mereka yang sangat banyaklah maka Bugel Kaliki tidak
dapat membunuh mereka. Apa yang dikatakan oleh Ki Ageng Sora Dipayana
ternyata benar. Bugel Kaliki itu benar-benar tidak berkurang
tenaganya. Ketika matahari telah mencapai puncaknya,
orang itu masih saja segar seperti semula. Untunglah
bahwa Wulungan telah mengatur anak buahnya, sehingga
mereka tidak menumpahkan seluruh tenaga mereka.
Berganti-ganti mereka menempatkan diri mereka di garis
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
pertama, sehingga dengan demikian mereka telah
menghemat tenaga mereka. Gupita pun ternyata adalah seorang pemimpin yang baik.
Ia dapat menguasai laskarnya sebaik-baiknya. Meskipun
orang-orang dari golongan hitam itu menyerbu dengan tak
teratur, namun mereka tetap melawan dalam gelar yang
baik. Pada dasarnya setiap orang dari golongan hitam itu
mempunyai kelebihan dari setiap orang di dalam laskar
Gupita, namun karena kerja sama mereka lebih rapi serta
jumlah mereka lebih banyak, maka merekapun dapat
memberikan perlawanan yang cukup.
Sedang di tempat lain, aku lihat Ki Ageng Sora Dipayana
terikat dalam pertempuran melawan Nagapasa. Mereka
berdua ternyata memiliki banyak kelebihan daripada
manusia biasa seperti aku ini. Melihat cara Ki Ageng
bertempur, aku menjadi bangga hati. Seolah-olah terbayang
kembali masa kanak-kanakku. Masa Daerah Perdikan
Pangrantunan mengalami masa-masa yang cemerlang.
Tak seorangpun yang mengganggu perkelahian kedua
orang itu. Baik laskar dari golongan hitam maupun laskar
Pamingit. Seolah-olah mereka dibiarkan berbuat sesuka hati
mereka. Tetapi aku tak sempat menyaksikan lebih lama.
Sebab di hadapanku menyambar-nyambar dengan dahsyatnya Si Bongkok dari Gunung Cerme. Aku tidak mau
menjadi korban begitu saja. Karena itu, akupun berusaha
untuk melindungi diriku sebaik-baiknya. Bahkan ternyata
orang-orang Pamingit itupun tidak membiarkan aku
terbunuh tanpa pembelaan. Setiap Bugel Kaliki mencoba
menyambar aku, orang-orang Pamingit itupun selalu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
melindungi aku dengan panah-panahnya, atau dengan
pedang-pedangnya. Demikian pertempuran itu berlangsung sehari penuh. Tak
dapat dikatakan siapa yang memperoleh kemenangan,
selain korban jatuh satu demi satu dari keduabelah pihak.
Pertempuran itupun masih belum berkisar dari medan yang
sama. Meskipun keduabelah pihak berusaha keras untuk
mendesak lawan-lawan mereka. Orang-orang hitam yang
marah itu mencoba mengusir orang-orang Pamingit dari
Kepandak, sedang orang-orang Pamingit berusaha untuk
mendesak orang-orang hitam itu masuk ke dalam kota,
atau meninggalkan Pamingit sama sekali. Namun mereka
masing-masing terpaksa mengakui kegigihan lawan.
Sehingga ketika matahari telah tenggelam di balik ujung

Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ujung perbukitan di sebelah barat, terasa betapa letih
menyusup ke dalam tubuh. Karena itu, ketika terdengar
tanda-tanda untuk menghentikan pertempuran, kedua
belah pihak yang telah tenggelam dalam kepayahan yang
sangat, segera menarik diri mereka masing-masing. Orang
dari golongan hitam, yang biasanya tidak mengenal waktu
untuk bertempur, saat itupun agaknya benar-benar telah
kehabisan tenaganya. Merekapun segera menarik pasukan
mereka, dan mengundurkan diri dari garis pertempuran.
Hanya Wulungan lah yang agak sulit melepaskan diri dari
serangan-serangan Bugel Kaliki. Meskipun malam menjadi
semakin gelap. Untunglah bahwa orang tua itupun akhirnya
merasa perlu untuk menghentikan pertempuran, sebab di
dalam gelap malam, panah-panah orang Pamingit itu
menjadi semakin tidak jelas, dan dengan demikian Bugel
Kaliki merasa bahwa bahayanya menjadi semakin besar.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Ki Ageng Sora Dipayanapun menghentikan pertempuran
pula. Aku tidak tahu, bagaimana mereka berjanji, sehingga
mereka masing-masing meninggalkan medan itu pula.
Demikianlah pertempuran di hari pertama itu berakhir.
Dan berakhir pula ceriteraku. Malam itu aku mohon ijin
untuk meninggalkan Pamingit. Sebab aku telah berjanji
dengan Kakang Penjawi. Ki Ageng Sora Dipayanapun tidak
menahan. Namun demikian Ki Ageng berpesan, "Jaladri.
Sampaikan apa yang kau lihat kepada cucuku. Katakan
bahwa hari ini, berapa puluh orang dari Pamingit telah jatuh
menjadi korban di Kepandak dan mungkin juga di Sumber
Panas. Aku mengharap, sebentar lagi Lembu Sora akan
mengirimkan orangnya kemari, mengabarkan apa yang
telah terjadi. Tetapi yang pasti, bahwa besok akan jatuh
pula korban-korban baru. Aku tidak tahu berapa hari
pertempuran akan berlangsung. Dan aku tidak tahu apakah
kami akan berhasil mengusir orang-orang golongan hitam
itu dari Pamingit. Salamku buat cucuku, buat Angger
Mahesa Jenar serta sahabat-sahabatnya, serta buat
Wanamerta yang setia. Kalau laskar Pamingit tidak mampu
lagi bertahan di Kepandak, kami akan mundur ke
Pangrantunan, sedang laskar Lembu Sora harus bergabung
pula ke sana." Suara Ki Ageng Sora Dipayana kemudian
menurun, "Entahlah. Apakah aku masih akan dapat
bertemu dengan cucuku itu." Jaladri mengakhiri ceriteranya.
Dari wajahnya terbayang perasaannya yang muram.
Agaknya pesan Ki Ageng Sora Dipayana itu sangat berkesan
di hatinya. Suasana di pendapa itu menjadi sepi hening. Masingmasing duduk dengan tenangnya. Ada sesuatu yang
tersangkut di dalam dada mereka. Sehingga akhirnya
suasana sepi itu dipecahkan oleh suara Arya Salaka
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mengejutkan, "Apa yang kau lihat di Sumber Panas, Kakang
Penjawi?" Penjawi terkejut. Ia mengangkat wajahnya memandang
Arya Salaka. Kemudian diperhatikannya satu demi satu
setiap wajah dari mereka yang duduk di pendapa itu.
Setelah menarik nafas dalam-dalam iapun menjawab, "Aku
tidak mengalami pertempuran seperti Adi Jaladri. Namun
aku dapat menyaksikan sebagian darinya, sedang sebagian
aku dengar dari orang Banyubiru yang telah aku hubungi
sebelumnya. Di Sumber Panas, Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung
Sariti pun mempunyai pekerjaan yang berat. Sebab di
antara orang-orang hitam yang harus dilawannya terdapat
Sima Rodra, Pasingsingan dan Sura Sarunggi."
"Ketiga-tiganya berkumpul?" potong Arya.
"Ya, ditambah dengan Lawa Ijo dan Jaka Soka,"
sambung Penjawi. "Gila...." desis Wanamerta.
"Ya..." Penjawi meneruskan, "Karena itulah maka mereka
mengalami tekanan yang luar biasa. Untunglah bahwa
orang asing yang diceriterakan oleh Adi Jaladri, benar-benar
datang ke Sumber Panas. Dari jauh aku tidak dapat melihat
bagaimanakah bentuk tubuh serta wajahnya. Namun dari
sekian banyak orang, aku dapat mengambil kesimpulan
bahwa orang itu memiliki kesaktian yang tak ada
bandingnya. Ia dapat melawan salah seorang dari tokoh
hitam itu seorang diri, sedang Ki Ageng Lembu Sora dan
Sawung Sariti, masing-masing memerlukan beberapa puluh
orang untuk membantunya. Apalagi kelompok-kelompok
lain. Mereka harus berjuang mati-matian melawan Lawa Ijo
dan Jaka Sora." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Ketika Penjawi berhenti berceritera, kembali pendapa itu
menjadi sepi. Sehingga tarikan nafas mereka yang lebih
cepat dari biasa, menjadi semakin terang.
Sesaat kemudian Penjawi meneruskan, "Korban berjatuhan. Namun laskar Pamingit jauh lebih banyak dari
laskar golongan hitam itu, sehingga pekerjaan orang dari
golongan hitam itupun tidak ringan. Meskipun demikian,
tampaklah setapak demi setapak mereka mendesak maju.
Ki Ageng Lembu Sora terpaksa menarik diri, dan
mempergunakan segenap tenaga cadangan yang ada.
Sehingga dengan demikian korbannyapun menjadi semakin
banyak. Meskipun beberapa puluh orang dari golongan
hitam itu jatuh pula, namun keadaan laskar Ki Ageng
Lembu Sora tak menyenangkan. Kekuatan Ki Ageng Lembu
Sora telah dikerahkan ketika matahari telah berada
sejengkal di atas punggung bumi. Namun karena tekanan
yang dahsyat, maka laskar itupun terpaksa menarik diri.
Untunglah bahwa senja turun. Sehingga ketika laskar
Pamingit telah mempergunakan kekuatan terakhirnya,
jatuhlah malam dengan cepatnya. Sungguh suatu
pertolongan yang tiada taranya. Ketika itu, laskar Pamingit
telah terpaksa meninggalkan Sumber Panas dan mundur
beberapa tonggak ke pedukuhan di belakangnya. Aku sekali
lagi mencoba mencari orang-orang Banyubiru yang berjanji
akan memberi aku beberapa keterangan. Dari orang itulah
aku mendengar bahwa orang asing yang tak kukenal itu
mencoba memberi beberapa petunjuk kepada Lembu Sora.
Ia mengharap setidak-tidaknya besok pagi, laskar Lembu
Sora dapat bertahan di tempatnya. Tetapi aku tidak sempat
melihat pertempuran hari ini. Mudah-mudahan orang asing
itu dapat memberi sekedar nafas kepada laskar Pamingit."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Penjawi berhenti berceritera. Sekali lagi ia memandang
wajah Arya Salaka. Dilihatnya keringat mengalir dari
keningnya. Matanya tajam menatap lantai di hadapannya.
Pendapa itu kembali digenggam oleh kesepian. Ceritera
Penjawi dan Jaladri menumbuhkan perasaan yang aneh.
Tidak saja pada Arya Salaka, tetapi juga setiap hati para
pemimpin laskar Banyubiru. Berkali-kali terngiang di telinga
mereka, "Korban berjatuhan. Korban berjatuhan. Dan
korban pada laskar Pamingit itu masih akan bertambahtambah." DALAM kediaman itu terdengar Mahesa Jenar bertanya,
"Penjawi atau Jaladri, tahukah engkau bagaimana bentuk
tubuh orang yang tak kau kenal itu?"
Penjawi menggeleng, tetapi Jaladri menjawab, "Sungguh
tak tersangka bahwa orang itu mempunyai kesaktian yang
mengagumkan. Tubuhnya tidak lebih gagah dari seorang
perempuan. Suaranyapun kecil, nyaring seperti suara
perempuan." "Titis Anganten..." potong Mahesa Jenar cepat-cepat.
"Orang sakti dari Banyuwangi."
"Titis Anganten...?" ulang Kebo Kanigara dan Arya Salaka
hampir berbareng. "Ya," jawab Mahesa Jenar.
"Aku pernah ditolongnya pula dari terkaman Sima Rodra
tua." "Aku pernah mendengar namanya," gumam Kebo
Kanigara, "Ayah pernah menyebut-nyebutnya."
"Ia datang tepat pada waktunya," sahut Mahesa Jenar.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Lalu suasana menjadi sepi kembali. Masing-masing
hanyut dalam angan-angan mereka sendiri.
Dalam keheningan itu, tiba-tiba terdengar suara Arya
Salaka, "Nah, kalian telah mendengar apa yang telah terjadi
di Pamingit." Tak seorangpun yang menyahut. Mereka masih tetap
dalam kediaman yang beku.
Ketika tak seorangpun yang bersuara, bertanyalah
Mahesa Jenar, "Apakah yang akan kau lakukan Arya?"
Arya tidak segera menjawab. Ia memandang berkeliling,
seolah-olah ia minta pertimbangan dari mereka. Meskipun
demikian, otaknya yang cerdas segera menangkap maksud
pertanyaan gurunya. Di dalam dadanya selalu berdentang
pesan eyangnya kepada Jaladri, "Aku tidak tahu apakah
kami akan berhasil mengusir orang-orang golongan hitam
itu dari Pamingit, dan seterusnya. Entahlah, apakah aku
masih dapat bertemu dengan cucuku itu." Maka kemudian
iapun berkata lantang, "Nah, apa kata kalian" Bukankah
dalam keadaan yang sulit itu, kita dapat mempergunakan
kesempatan sebaik-baiknya" Hari ini kita akan dapat
menghancurkan laskar Pamingit itu. Dengan demikian
Banyubiru akan menjadi milik kita. Bahkan Pamingit pun
kemudian akan kita duduki setelah kita berhasil menumpas
laskar dari golongan hitam."
Para pemimpin laskar Banyubiru itu tiba-tiba terkejut
mendengar kata-kata Arya Salaka. Meskipun mereka datang
ke perbatasan untuk maksud itu, namun tiba-tiba terasa
sesuatu keganjilan di dalam dada mereka.
"Kenapa kalian diam?" tanya Arya Salaka. "Kesempatan
ini tak akan berulang."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Para pemimpin Banyubiru itu masih diam. Mereka tidak
tahu perasaan apa yang bergolak di dalam dada mereka
sendiri. Hanya Mahesa Jenar yang kemudian menjadi
gelisah. Namun ia masih berdiam diri pula. Ia sedang
meraba-raba maksud pertanyaan muridnya itu, dengan
suatu kepercayaan yang penuh, bahwa muridnya adalah
seorang yang berhati jantan, namun berotak cemerlang.
Karena itu ia masih menanti maksud A rya Salaka.
Memang Arya Salaka benar-benar seorang pemuda yang
cakap. Ia dapat melihat keadaan dengan cermat. Dalam
saat yang pendek, ia dapat merasa bahwa hatinya bergolak
ketika ia mendengar ceritera Panjawi dan Jaladri. Demikian
pula agaknya perasaan yang bergetar di dalam dada setiap
pemimpin laskar Banyubiru itu. Bagaimanapun mereka
membenci dan bahkan mereka telah berjanji untuk
berjuang mati-matian mengusir orang-orang Pamingit dari
Banyubiru, serta kalau perlu mereka akan saling membunuh
untuk mempertahankan kesetiaan mereka, namun demikian, ketika mereka mendengar bahwa orang-orang
Pamingit mengalami tekanan yang berat dari golongan
hitam, timbullah perasaan yang lain di dalam diri mereka.
Sebab apapun yang terjadi di antara mereka, permusuhan
yang bagaimanapun tajamnya, namun orang Banyubiru dan
Pamingit adalah orang-orang dari cabang aliran darah yang
sama. Mereka semula adalah orang-orang dari daerah
perdikan Pangrantunan. Ayah-ayah mereka, kakek-kakek
mereka telah bersama-sama bekerja untuk tanah ini.
Banyubiru dan Pamingit. Bagi orang Banyubiru, orang-orang
Pamingit adalah orang-orang yang masih bersangkut paut
dengan darah keturunan mereka. Di Pamingit tinggallah
kemenakan-kemenakan mereka, atau sepupu mereka atau
paman mereka. Demikian pula sebaliknya. Sehingga dengan
demikian, apakah mereka akan merelakan darah mereka
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
yang mengalir didalam tubuh saudara-saudara mereka itu
memercik dari luka-luka mereka, karena pokal orang-orang
golongan hitam" Karena pertanyaan-pertanyaan itulah,
maka mereka masih tetap berdiam diri.
Agaknya Arya Salaka telah mengamati keadaan dengan
tepatnya. Sekali lagi ia memandang gurunya. Demikian
Mahesa Jenar memandang langsung mata muridnya,
tahulah ia apa yang tersirat di hatinya. Karena itu iapun
menjadi terharu. Tetapi ia tidak berkata apapun, selain
beberapa kali mengangguk-anggukkan kepalanya.
Yang terdengar kemudian adalah suara Arya Salaka.
"Paman-paman sekalian, pemimpin laskar Banyubiru yang
setia. Agaknya aku tahu apa yang tersimpan di dalam dada
kalian. Ketika aku ajukan beberapa pertanyaan kepada
kalian, tetap berdiam diri, sebab kalian tidak menyakini apa
Suling Emas Dan Naga Siluman 18 Bentrok Rimba Persilatan Karya Khu Lung Sumpah Palapa 12

Cari Blog Ini