Ceritasilat Novel Online

Naga Sasra Dan Sabuk Inten 34

Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja Bagian 34


Sima Rodra dengan marahnya.
"Tak ada pilihan lain," sahut Mahesa Jenar.
Sima Roda kemudian mengaum keras sekali. Beberapa
orang di sekitarnya terkejut, meskipun laskar dari golongan
hitam sendiri. Hanya orang-orang dari Gunung Tidar sajalah
yang bertambah semangat di dalam dada mereka
mendengar auman yang mengerikan itu. Dengan suatu
loncatan yang buas, sebuas harimau lapar, Sima Rodra
menyerang langsung kepada Mahesa Jenar. Demikian
cepatnya serangan itu, sehingga Mahesa Jenar agak
terkejut. Namun hanya sesaat. Sesaat kemudian ia seakanakan menancapkan kedua kaki dalam-dalam, menyiapkan
diri menyambut serangan itu. Ia sengaja tidak menghindar,
tetapi ia ingin membentur tangan lawannya untuk
menjajagi sampai di mana kekuatan Sima Rodra yang
pernah menggemparkan itu.
Kalau hal itu terjadi beberapa tahun lalu, maka Mahesa
Jenar pasti akan terlempar dan terbanting mati, karena
Sima Rodra dengan marahnya telah mengerahkan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kekuatannya. Tetapi yang terjadi adalah berbeda, Mahesa
Jenar telah menemukan kekuatan yang tersembunyi di
dalam tubuhnya, setelah ia mesu diri di Bukit Karang
Tumaritis. Dengan demikian maka yang terjadi adalah
benturan yang dahsyat. Demikian dahsyat sehingga seakanakan terjadi benturan guntur di langit. Tubuh masingmasing tergetar dan kemudian terdorong selangkah surut.
Sekali lagi Sima Rodra mengaum dahsyat. Meskipun ia
tidak mengalami cidera, namun betapa herannya melihat
Mahesa Jenar masih tegak berdiri dihadapannya. Karena itu
sekali lagi ia menyerang dengan dahsyatnya. Namun kali ini
Mahesa Jenar telah menemukan nilai-nilai kekuatan
lawannya, sehingga ia dengan sempurna dapat menempatkan diri pada keadaan yang seharusnya. Dengan
tangkas Mahesa Jenar menghindarkan diri, dengan
meloncat ke samping. Namun harimau yang hampir gila itu
benar-benar tangkas. Demikian kakinya menyentuh tanah,
kakinya yang lain diputar ke arah lambung lawannya. Sekali
lagi Mahesa Jenar terpaksa menarik tubuhnya condong
kebelakang. Tetapi sekali lagi harimau tua itu menyerangnya dengan tendangan ganda.
Kali ini Mahesa Jenar tidak dapat hanya menyondongkan
dirinya. Ia pun terpaksa melompat mundur. Tetapi dengan
demikian ia menemukan kelemahan lawannya. Sekali lagi
kaki Sima Rodra masih terjulur, Mahesa Jenar menangkapnya pada bagian bawah lututnya. Namun
Harimau Lodaya itupun tangkas pula. Ia tidak mau
membiarkan hal itu terjadi. Ketika tangan Mahesa Jenar
menyentuh kakinya, segera ia melipatnya, sehingga dengan
demikian tangan Mahesa Jenar menjadi terjepit. Mahesa
Jenar menggeram perlahan-lahan, tetapi segera ia
mendorong tubuh lawannya yang tegap besar itu dengan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
siku tangannya yang lain di arah lambung. Demikian
kerasnya sehingga Sima Rodra dan Mahesa Jenar bersamasama jatuh terguling. Tetapi dengan demikian, Mahesa
Jenar telah melepaskan jepitan lawannya, bahkan ketika ia
melihat Sima Rodra meloncat bangkit, Mahesa Jenar pun
telah berdiri pula. Maka segera mereka terlibat kembali dalam perkelahian.
Masing-masing adalah orang-orang perkasa, yang mempunyai kelebihan dari orang lain. Sima Rodra dengan
penuh nafsu kebuasan bertempur mati-matian. Sebab ia
sadar bahwa orang-orang seperti Mahesa Jenar adalah
penghalang utamanya. Di pihak lain, Mahesa Jenar pun
bertempur dengan penuh kesadaran akan kewajibannya
sebagai manusia yang mengabdikan diri pada kemanusiaan.
Kegagalannya kali ini, lebih-lebih kegagalan laskar Pamingit
dan Banyubiru berarti runtuhnya martabat manusia,
setidak-tidaknya di Pamingit dan Banyubiru. Dengan
demikian, ia bertekad untuk bertempur yang terakhir
kalinya dengan Harimau Gila itu. Biarlah ia terbunuh kalau
ia tidak berhasil, namun kalau ia berhasil, maka telah
diletakkannya satu di antara berjuta-juta batu yang akan
membentuk bangunan kemanusiaan.
Pertempuran itu semakin lama semakin dahsyat. Sima
Rodra dengan mengaum-aum mengerikan, menyerang
dengan buasnya. Tangannya kadang-kadang mengembang
seperti sayap, tetapi kemudian terjulur untuk menerkam
lawannya seperti harimau. Jari-jarinya yang kokoh dan kuat
merupakan bahaya yang setiap saat dapat menembus
daging lawannya. Dalam pertempuran yang hiruk pikuk itu,
Sima Rodra tampak sebagai seekor harimau hitam di antara
beratus-ratus kelinci yang sedang berjejal-jejalan. Namun
lawan yang dihadapinya kini bukan kelinci-kelinci itu. Tetapi
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
lawannya adalah seekor banteng yang tangguh. Seekor
Banteng yang dengan tenang dan yakin pada dirinya atas
lambaran kebenaran, berjuang menegakkan sendi-sendi
kemanusiaan. Sehingga dengan demikian maka pertempuran di antara mereka, adalah pertempuran yang
akan diakhiri dengan lenyapnya salah satu dari keduanya.
Pertempuran yang melambangkan pertempuran yang akan
terjadi di sepanjang jaman. Kebenaran melawan kemungkaran dan kejahatan. Pertempuran di antara
mereka yang berjalan di jalan Allah, melawan mereka yang
melawan cinta Tuhan. Tetapi Tuhan Maha Pengampun.
Karena itu, bagi siapa saja yang bertobat serta menyebut
nama-Nya dengan ikhlas serta penyerahan yang tulus,
maka pintu Rumah-Nya selalu terbuka.
Sejalan dengan matahari yang semakin tinggi, semakin
seru pulalah pertempuran itu. Setiap senjata telah menjadi
merah oleh darah. Darah sesama manusia. Dan tanah telah
menjadi merah pula oleh siraman darah yang merah segar.
Tetapi karena bau darah itulah maka mereka menjadi
semakin buas. Mereka tinggal memilih dua kemungkinan di
dalam peperangan itu. Mati terbunuh atau terpaksa
membunuh. Tetapi mereka telah bertindak atas suatu
keyakinan. Bagi golongan hitam, membunuh adalah
pekerjaan mereka untuk mendapatkan kepuasan nafsu dan
kemungkinan yang menimbulkan harapan. Kali ini mereka
mengharap untuk mendapat bagian dari tanah yang mereka
perebutkan. Pamingit, dan lusa Banyubiru, serta segala
kekayaan di atasnya. Bahkan atas setiap laki-laki untuk
diperintahnya dan berkuasa atas setiap perempuan untuk
diperlakukan dengan sekehendak hati mereka.
Sedang masa mendatang, mereka mendapat harapan
yang lebih baik lagi apabila benar-benar mereka dapat
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
memecahkan kerajaan Demak. Siapa tahu mereka akan
dapat pangkat Tumenggung, dengan rumah yang besarbesar dan selusin isteri yang cantik-cantik.
Sebaliknya, laskar Banyubiru dan Pamingit berjuang atas
keyakinan mereka pula. Mereka terpaksa membunuh untuk
menghentikan kebuasan manusia atas manusia. Mempertahankan tanah mereka dan milik mereka.
Mempertahankan karunia Tuhan untuk mereka.
Karena itulah maka, kedua belah pihak bertempur matimatian. Siapa yang lengah, dadanya akan tertembus
senjata. Dan mataharipun seakan-akan menjadi suram
karena sinarnya yang ditakbiri oleh debu yang mengepul di
udara seperti kabut. Di antara deru senjata dan teriakan penuh nafsu,
terdapatlah beberapa titik-titik perkelahian yang paling
dahsyat. Ki Ageng Sora Dipayana melawan Bugel Kaliki
yang berputar seperti angin pusaran. Ki Ageng Pandan Alas
melawan Pasingsingan seperti beradunya angin prahara
yang bertentangan arah. Titis Anganten melawan Sura
Sarunggi yang seolah-olah menjadi tenggelam dalam kabut
yang gelap. Di bagian lain, Mahesa Jenar bertempur
melawan Sima Rodra demikian dahsyatnya seperti guntur
dilangit yang saling sambar menyambar.
Tetapi ada di antara mereka, tokoh yang dahsyat dari
golongan hitam itu yang masih berdiri saja di antara kedua
laskar yang bertempur. Hanya sekali-kali saja ia
menggerakkan tangannya untuk melawan seranganserangan laskar Banyubiru, dan sekali-kali ia terpaksa
menghindar kalau dua tiga orang yang gagah berani
menyerangnya bersama-sama. Namun tangannya benarbenar seperti tangan hantu. Sekali ia berhasil merampas
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sebuah pedang, dan menancapkan pedang itu dengan
mudahnya di dada pemiliknya. Dengan tertawa menyeringai
ia berpaling sambil bergumam, "Tikus yang sombong."
Kemudian ia melangkah pergi di antara kacau-balaunya
pertempuran, seperti berjalan di dalam kesibukan pasar
saja. Ia melihat betapa sahabat-sahabatnya bertempur
mati-matian. Ia melihat betapa Sima Rodra berjuang sekuat
tenaga melawan Mahesa Jenar. Orang itupun menjadi
heran pula. Bagaimana mungkin Mahesa Jenar dapat
mengimbangi Sima Rodra yang ganas itu. Terhadap Ki
Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Pandan Alas dan Titis
Anganten ia tidak perlu heran. Pertempuran diantara
mereka dapat berlangsung lama. Sehari, dua hari, bahkan
tanpa batas, seperti kalau ia sendiri tanpa lawan. Karena itu
ia sedang berpikir apakah yang harus dilakukan. Membunuh
sebanyak-banyaknya, atau membantu salah seorang dari
keempat sahabatnya. Ia harus yakin bahwa kawankawannya itupun dapat membawa diri. Karena itu biarlah ia
bekerja sendiri. Tetapi membunuh laskar-laskar kecil yang
berserak-serakan seperti tikus itupun tak akan berarti.
Sebagai seorang tokoh yang ditakuti tidak saja di Nusa
Kambangan, ia merasa terlalu berharga untuk berperang
melawan laskar-laskar Banyubiru yang tak berarti itu.
Sekali-kali ia memandang jauh ke sapit sebelah kanan.
Terhadap muridnya Jaka Soka pun ia tidak terlalu cemas.
Seandainya Jaka Soka itu harus berhadapan dengan Lembu
Sora sekalipun. Karena itu tidak ada kerja lain baginya daripada
membunuh. Bukankah di dalam peperangan yang
berjumlah besar, membunuh siapapun yang ada didekatnya
bukan berarti merendahkan diri. Pertempuran yang
demikian adalah pertempuran yang kacau. Setiap senjata
dapat mengarah setiap dada lawan. Maka akhirnya
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Nagapasa itupun menjadi puas terhadap pendiriannya.
Daripada berdiri saja di situ, memang lebih baik berbuat
sesuatu yang dapat memperingan pekerjaan laskar dari
golongan hitam. Kemudian setelah ia mendapat ketetapan hati, mulailah
ia bergerak sekali sambar, kembali ia merampas sebuah
tombak. Ia memutar tombak itu sekali diudara kemudian
dengan satu gerakan kemungkinan untuk menghindar.
Demikian cepat dan keras. Tetapi tiba-tiba Nagapasa
menarik kembali tombak itu ketika tiba-tiba ia mendengar
seseorang menyapanya, "Alangkah dahsyatnya Tuan."
Nagapasa menoleh. Ia melihat seorang bertubuh tegap
kekar berdiri di sampingnya. Orang itu belum pernah
dikenalnya. Karena itu ia mengacuhkannya. Maka kembali ia
mencari orang yang hampir terbelah dadanya oleh
tombaknya sendiri. Tetapi orang itu sudah lari menghilang
di antara hiruk pikuk pertempuran, mencari lawan yang tak
bertangan hantu. Nagapasa kecewa. Ia menggeram dan sekali lagi
menoleh kepada orang yang menyapanya. Tiba-tiba ia
menjadi muak melihat wajahnya yang tenang. Orang itu
pasti salah seorang dari laskar Banyubiru. Tetapi tiba-tiba
Nagapasa kehilangan nafsu untuk membunuh orang itu.
"Mungkin ia belum mengenal aku. Biarlah aku bermain-main
dahulu. Biarlah ia menjadi ngeri dan baru kemudian aku
akan membunuhnya setelah ia melihat bagaimanakah
caranya aku membunuh," pikirnya.
Mendapat pikiran itu, segera Nagapasa mendesak maju
ke dalam laskar Banyubiru. Ia akan berbuat hal-hal yang
aneh untuk menakut-nakuti orang yang menyapanya


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan tenang. Tetapi orang itu mengikutinya dalam jarak
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
yang dekat sekali. Seakan-akan ia melekat pada jarak yang
ditetapkan. Namun Nagapasa tidak memperdulikannya,
bahkan lebih baiklah bila orang itu dapat melihat dengan
seksama bagaimana ia dapat mematahkan leher seorang
dengan tangannya, mencukil matanya dengan jari-jarinya,
dan memecahkan kepala itu dengan pukulan tangannya.
Ketika seseorang bertempur di dekatnya, iapun segera
meloncat menangkap orang Banyubiru. Tangannya mencekik leher, sedang tangannya yang lain terayun ke
dahi orang itu. Benar-benar suatu pemandangan yang
mengerikan. Tetapi kembali Nagapasa mengurungkan niatnya, ketika
ia mendengar orang yang mengikutinya itu tertawa.
Meskipun suaranya lunak sekali namun nadanya benarbenar tak menyenangkan. Kemudian terdengar ia berkata,
"Tidak tanggung-tanggung. Suatu pameran kekuatan yang
luar biasa." Nagapasa memandang orang itu dengan seksama,
sementara tangannya masih mencekik leher. Ia mengamatamati orang itu dengan tanpa berkedip. Benar-benar orang
itu belum pernah dikenalnya. Tetapi menilik sikapnya, orang
itu pasti bukan orang kebanyakan atau salah seorang dari
laskar biasa dari Banyubiru.
"He, kau siapa?" tanya Nagapasa acuh tak acuh.
Orang itu mengerutkan keningnya. Jawabnya, "Laskar
Banyubiru." "Aku sudah tahu," bentak Nagapasa marah. "Namamu
dan jabatanmu?" "Kebo Kanigara," jawabnya.
"Laskar biasa." Nagapasa menggeram.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Nagapasa menggeram. Nama itu benar-benar belum
pernah dikenalnya. Tetapi sikap orang itu sangat
menyakitkan hatinya. "Sudahkah kau mengenal aku?" bertanya Nagapasa
"Ya, aku kenal," jawab Kanigara. "Bukankah Tuan yang
menamakan diri Nagapasa?"
Nagapasa menjadi semakin jengkel. Ternyata orang itu
telah mengenalnya, tetapi kenapa ia sedemikian berani
menghadapinya. "Bagus," kata Nagapasa lebih lanjut. "Kalau demikian kau
kenal juga dari mana Nagapasa datang?"
"Ya," jawab Kanigara pula. "Nagapasa berasal dari
Nusakambangan dengan muridnya yang bernama Jaka
Soka. Nagapasa adalah seorang yang sakti, sejajar
kesaktiannya dengan Pasingsingan, Sima Rodra, Sura
Sarunggi dan Bugel Kaliki."
Nagapasa mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menjadi semakin heran. Orang yang bernama Kebo
Kanigara itu mengenalnya dengan lengkap, namun ia masih
berani menyapa seenaknya saja. Apakah orang ini benarbenar ingin bunuh diri"
"Kalau demikian..." Nagapasa berkata pula, "Apa
maksudmu mengikuti aku?"
"He..." Kanigara berpura-pura terkejut, meskipun ia tahu
apa yang tersirat di dalam pikiran Nagapasa itu, "Bukankah
kita berada di dalam peperangan. Dan bukankah setiap kita
dari Banyubiru dan dari golongan hitam dapat menjadi
lawan?" SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Nagapasa menjadi semakin marah mendengar jawaban
itu, katanya, "Kau akan melawan aku?"
"Apakah aku harus memilih lawan" sahut Kanigara.
"Siapa yang ada di hadapanku adalah lawanku."
"Kau sudah menjadi gila," teriak Nagapasa. "Lihat betapa
orang ini hampir mati karena tanganku. Aku dapat
memperlakukan berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus orang
seperti ini." "Ya, aku percaya," jawab Kanigara.
"Kau ingin aku berbuat demikian terhadapmu?" bentak
Nagapasa semakin keras. "Tidak," jawab Kanigara.
Kejengkelan Nagapasa menjadi semakin memuncak.
"Lalu apa maumu?" Ia berteriak lebih keras lagi.
"Kita berperang. Mauku
bertempur melawan Tuan,"
sahut Kanigara. "Orang ini agaknya orang
gila," pikir Nagapasa. Dengan demikian ia kehilangan nafsu untuk berbuat sesuatu. Melawan orang gila baginya hanya akan membuang-buang waktu saja. Kembali Nagapasa
berpaling kepada orang yang dicekiknya. Kepada orang itu
ia akan menumpahkan kejengkelannya. Dengan menggeram ia berkata, "Nasibmu tak begitu baik, tikus
yang malang. Berdoalah sebelum kepalamu aku pecahkan."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Kemudian terayunlah kembali tangan Hantu Laut dari
Nusakambangan itu. Sedang orang yang dicekiknya telah
kehilangan harapan untuk dapat hidup. Ia kenal siapakah
Nagapasa itu. Dan menyesallah bahwa ia kurang berhatihati, bertempur di dekat orang bertangan maut itu. Namun
akhirnya ia memejamkan matanya pasrah diri. Dalam
perjuangan maut adalah tantangan. Kalau maut itu datang,
biarlah ia menelannya. Namun ia yakin bahwa ia telah
berjuang menegakkan kebenaran.
Tetapi tiba-tiba terjadilah suatu hal yang tak terdugaduga. Ketika tangan Nagapasa hampir saja memecahkan
kepala orang yang telah pasrah diri itu, terjadilah suatu
benturan yang keras. Tangan Nagapasa terasa bergetar
hebat. Ia merasa bahwa tangannya telah mengenai
sesuatu, tetapi sama sekali bukan kepala orang yang
dicekiknya. Dan kepala itu sama sekali tidak dipecahkannya,
malahan tangannya sendiri merasa tergetar. Belum lagi ia
sadar akan peristiwa itu, kembali terasa sebuah pukulan
yang dahsyat mengenai tangannya yang lain, yang sedang
mencekik orang yang telah berputus asa itu, demikian
kerasnya sehingga tanpa disengaja tangannya terlepas, dan
orang yang dicekiknya itu terpental beberapa langkah dan
jatuh berguling-guling. Nagapasa melompat selangkah mundur. Ia telah
berpuluh tahun hidup dalam kancah perkelahian, pertempuran dan pembunuhan. Karena itu ia telah memiliki
pengalaman yang tak terkira banyaknya. Sehingga dengan
demikian segera ia sadar, bahwa sesuatu telah terjadi,
sesuatu yang berada di luar perhitungan. Ketika ia sadar
memandang berkeliling, yang dilihatnya hanyalah orang
yang bernama Kebo Kanigara itu, selain beberapa orang
yang sedang bertempur melawan lawan masing-masing.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Dengan demikian ia dapat mengambil kesimpulan, bahwa
Kebo Kanigara lah orangnya, yang telah mencoba
membentur tangannya. Nagapasa menjadi marah sekali. Wajahnya tiba-tiba
menjadi merah, semerah darah. Meskipun bibirnya terkatup
rapat, namun terdengar betapa giginya gemeretak. Dengan
tangan yang bergetar ia menunjuk wajah Kebo Kanigara
sambil berkata dengan gemetar, "Kau...?"
Kebo Kanigara masih setenang tadi. Sambil mengangguk
ia menjawab singkat, sesingkat pertanyaannya, "Ya."
Nagapasa sadar bahwa orang yang bernama Kebo
Kanigara itu bukan orang gila seperti yang disangkanya.
Tetapi Kebo Kanigara benar-benar orang perkasa, yang
telah menempatkan diri sebagai lawannya dalam pertempuran itu dengan penuh kesadaran. Dengan
demikian darahnya kini telah benar-benar mendidih. Karena
itu ia sudah tidak mampu lagi untuk bertanya-tanya.
Dengan memekik tinggi ia meluncur seperti ular yang
mematuk lawannya, dengan tangan terjulur ke arah wajah
Kebo Kanigara. Tetapi Kebo Kanigara bukan anak-anak
yang terkejut melihat ular sawah yang melingkar di
pematang. Ia cukup dewasa untuk menghadapi setiap
kemungkinan. Karena itu, ketika ia mendapat serangan dari Nagapasa,
sama sekali tidak menjadi gugup. Dengan tenangnya Kebo
Kanigara membuat perhitungan yang tepat. Ketika serangan
Nagapasa itu hampir menyentuhnya, tiba-tiba ia menjatuhkan dirinya menelentang. Kedua kakinya segera
menyambar perut lawannya, dan dengan lemparan yang
keras, Nagapasa terpelanting keudara. Tetapi Nagapasa
pun cukup mempunyai bekal untuk bertempur melawan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Kebo Kanigara. Ia mula-mula terkejut mengalami peristiwa
itu, namun segera ia menguasai dirinya kembali. Dengan
sebuah putaran ke udara, ia telah mencapai keseimbangannya. Karena itu Nagapasa dapat dengan
baiknya menjatuhkan diri di atas kedua kakinya. Tetapi
ketika ia berhasrat untuk meloncat menyerang lawannya,
Kebo Kanigara pun telah siap pula tegak seperti bukit
karang yang tak tergoyahkan oleh badai yang betapapun
dahsyatnya. Sesaat kemudian, kembali Nagapasa menyerang dengan
kerasnya dibarengi dengan sebuah teriakan tinggi. Dan
kembali Kebo Kanigara melawannya dengan tenang, namun
penuh gairah. Sebab Kebo Kanigara pun yakin, bahwa
orang-orang seperti Nagapasa adalah sumber dari segala
macam bencana bagi umat manusia. Maka karena itulah
pertempuran antara kedua orang perkasa itu segara
menjadi semakin dahsyat. Nagapasa bertempur seperti
seekor naga. Tubuhnya seolah-olah menjadi lemas dan
dapat bergerak ke segenap arah. Tulang-tulangnya seakanakan menjadi selemas daun. Begitu baiknya Nagapasa
menguasai tubuhnya, sehingga setiap bagiannya dapat
berubah menjadi senjata yang berbahaya. Jari-jarinya,
sikunya, kepalanya, lutut dan jari kakinya, tumitnya dan
segala bagian yang lain. Ia dapat meluncur dengan
cepatnya, melingkar-lingkar seperti pusaran air yang
menghisap segenap benda yang tersentuh jari-jari
lingkarannya, menelannya dan menghancur-lumatkannya.
Demikian dahsyatnya Nagapasa bertempur sehingga benarbenar mirip seekor naga raksasa yang bertempur didalam
lautan yang digelorakan oleh ombak yang dahsyat.
Tetapi lawannya adalah Kebo Kanigara. Seorang yang
telah memiliki ilmu yang sempurna. Benarlah kata orang,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
yang bahkan almarhum Ki Ageng Pengging Sepuh sendiri
mengakui, bahwa sebenarnya Kebo Kanigara telah
melampaui kemampuannya. Kebo Kanigara telah menemukan cara untuk menempa diri dengan dahsyatnya.
Ia hanya memerlukan waktu tidak lebih dari semperempat
waktu yang diperlukan oleh Ki Ageng Pengging Sepuh
dengan caranya. Karena itulah maka Kebo Kanigara benarbenar memiliki sifat yang luar biasa. Ia dapat bertempur
selincah anak kijang di padang rumput, namun ia dapat
garang seperti singa. Di saat-saat yang lain Kebo Kanigara
bertempur seperti seekor garuda dengan sayap-sayapnya
yang kokoh seperti baja namun trengginas seperti sikatan.
Seperti Mahesa Jenar, Kebo Kanigara juga memiliki


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kekhususan. Ia benar-benar tangguh sebagaimana ciri-ciri
khusus Perguruan Pengging. Seakan-akan berkulit tembaga,
bertulang besi. Serta apabila keringatnya telah membasahi
punggungnya, tandangnya menjadi semakin garang, seperti
banteng ketaton. Demikianlah, ketika matahari memanjat langit semakin
tinggi, pertempuran itupun menjadi semakin sengit. Kebo
Kanigara dan Nagapasa telah mengerahkan segenap
kemampuan mereka. Namun disamping kemarahan yang
semakin memuncak, Nagapasa pun menjadi heran. Apakah
ia sebenarnya sedang bertempur melawan seorang
manusia, ataukah tiba-tiba saja ada malaikat yang
menjelma dan melawannya"
"Persetan dengan malaikat. Aku tidak takut melawan
malaikat seandainya ia benar-benar ada." Nagapasa
mengumpat di dalam hati, namun di dalam relung hatinya
yang terdalam ia mengeluh, "Gila benar orang ini. Siapakah
sebenarnya dia?" SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Kebo Kanigara pun berjuang terus. Ia sadar bahwa
lawannya adalah seorang yang luar biasa. Hantu Laut yang
memiliki kesaktian dan pengalaman yang mengerikan.
Karena itu, Kebo Kanigara pun cukup berhati-hati. Namun
sedikit demi sedikit, akhirnya ia berhasil mengetahui segisegi kedahsyatan ilmu lawannya, tetapi juga segi
kelemahan-kelemahannya. Suatu hal yang tak dapat dilihat
oleh orang biasa. Kebo Kanigara memiliki daya pengamatan
yang lebih tajam dari manusia kebanyakan. Dengan
demikian, apa yang selama ini tak diketahui orang, dapatlah
diketahuinya, dan apa yang tak dapat dikerjakan orang lain,
ia dapat melakukannya. Pertempuran di lereng Gunung Merbabu itupun menjadi
semakin riuh. Percikan darah berhambur-hamburan membasahi tanah pegunungan dan rumput-rumput liar.
Kedua belah pihak berjuang semakin gigih. Sebab tak ada
pilihan lain, apabila seseorang telah berada di tengahtengah api peperangan. Debu mengepul semakin tinggi di udara. Putih gelap,
seperti kabut ampak-ampak di lereng-lereng bukit.
Ki Ageng Sora Dipayana masih bertempur melawan Bugel
Kaliki. Silih ungkih, singa lena. Desak-mendesak, serangmenyerang silih berganti. Tetapi keduanya sadar, bahwa
kesaktian mereka benar-benar berimbang. Sekali-kali, baik
Ki Ageng Sora Dipayana maupun Bugel Kaliki, berusaha
untuk menebarkan pandangannya ke bagian-bagian
pertempuran yang lain, seperti juga apa yang dilakukan
oleh Ki Ageng Pandan Alas dan Pasingsingan, Titis
Anganten dan Sura Sarunggi. Sekali-kali mereka pun ingin
mengetahui apa yang telah terjadi di bagian-bagian yang
lain. Dari celah-celah deru senjata, Ki Ageng Sora Dipayana,
yang bertempur seorang diri di antara laskar Banyubiru dan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Pamingit yang saling bertempur pula. Semula Ki Ageng Sora
Dipayana mencemaskan nasib Mahesa Jenar, tetapi
kemudian ia menjadi heran. Mereka telah cukup lama
bertempur, namun agaknya Mahesa Jenar masih tetap
bertahan dengan gigihnya.
"Apakah yang telah terjadi dengan Angger Mahesa Jenar
selama ini?" pikirnya. Dan tiba-tiba sesaat kemudian orang
tua itupun terkejut pula. "Apakah yang sudah dilakukan
oleh Kebo Kanigara itu?" Timbul pertanyaan pula di dalam
hatinya. Bahkan ia menjadi semakin heran ketika melihat,
bahwa Kebo Kanigara dapat bertempur melawan Nagapasa
sebaik dirinya sendiri atau orang-orang seangkatannya.
Bahkan karena darah yang jauh lebih muda daripada
darahnya dan orang-orang seangkatannya, Kebo Kanigara
tampak betapa tangkas dan perkasanya.
"Hem..." desisnya, "Siapakah sebenarnya orang itu?"
Ternyata di bagian lainpun terdengar Ki Ageng Pandan
Alas berdesis, "Benar-benar Angger Kebo Kanigara sakti
tiada taranya." Di bagian lain lagi Titis Anganten
bergumam, "Aneh. Belum pernah aku mengenalnya. Namun
tiba-tiba ia telah mengejutkan kami."
Bukan saja orang-orang Banyubiru dan Pamingit yang
keheran-heranan melihat keperkasaan Kebo Kanigara,
namun orang-orang dari golongan hitampun menjadi cemas
melihat tandangnya. Ketika orang-orang lain sedang sibuk menilai dirinya,
Kebo Kanigara sempat menyaksikan betapa Mahesa Jenar
berjuang di antara hidup dan mati. Tanpa sesadarnya
merayaplah perasaan bangga di dalam dirinya. Ia melihat
benih subur tumbuh di dalam tubuh Mahesa Jenar yang
kemudian bahkan telah berkembang dengan rimbunnya. Ia
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
melihat Mahesa Jenar itu telah dapat menguasai ilmunya.
Tidak saja Mahesa Jenar itu telah dapat mensejajarkan diri
dengan almarhum gurunya, namun dalam penglihatan Kebo
Kanigara, Mahesa Jenar bahkan telah melampauinya. Masamasa pembajaan diri yang dahsyat telah menempa Mahesa
Jenar dan muridnya sedemikian dahsyat pula. Dan sekarang
Mahesa Jenar mencoba menerapkan ilmunya dalam suatu
perjuangan yang menentukan.
Dalam suatu kesempatan yang lain, Kebo Kanigara
melihat bagaimana Arya Salaka bertempur melawan Lawa
Ijo. Anak muda itupun menunjukkan betapa gigihnya ia
berjuang melawan kejahatan. Tombaknya yang bernama
Kyai Bancak itu menyambar-nyambar seperti seribu mata
tombak bersama-sama, melawan sepasang pisau belati
panjang yang berkilat-kilat ditangan Hantu Alas Mentaok.
Namun Arya Salaka telah tumbuh menjadi anak muda yang
perkasa. Apapun yang dilakukan lawannya, dengan baiknya
Arya dapat melayaninya. Kegarangan dan kekasaran Lawa
Ijo sama sekali tak mempengaruhi langkahnya. Apalagi Arya
telah membumbui ilmunya dengan segala macam tingkah
laku binatang-binatang liar yang pernah menarik perhatiannya. Bagaimana seekor tikus berhasil menyelamatkan dirinya dari gigi-gigi ular berbisa, dan
bagaimana seekor kijang yang lemah berhasil membebaskan dirinya dari terkaman serigala-serigala lapar.
Namun Arya Salaka pun tahu, bagaimana seekor banteng
dengan tanduknya, dalam ketenangan yang luar biasa,
berhasil merobek perut seekor harimau yang justru
menyerangnya dengan garang.
Melihat pertempuran itu Kebo Kanigara menarik nafas. Ia
menjadi bertambah tenang, sebab dengan demikian ia
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
hampir pasti, bahwa setidak-tidaknya Lawa Ijo tidak akan
berhasil membunuh anak muda itu.
Mahesa Jenar pun sempat melihat bagaimana muridnya
itu bertempur. Dengan semangat yang menyala-nyala serta
kepercayaan pada Keadilan yang Maha Tinggi. Arya Salaka
bertempur mati-matian berlandaskan pada suatu keyakinan
bahwa bagaimanapun juga kebenaran akan memenangkan
kemungkaran. Ki Ageng Lembu Sora pun bertempur dengan gigihnya di
bagian lain. Dibebani oleh rasa tanggungjawab atas tanah
serta kampung halamannya, serta perasaan-perasaan lain
yang memburunya selama ini, kekhilafan-kekhilafan yang
pernah dilakukannya serta nafsu-nafsu yang memalukan
telah mengetuk-ngetuk dinding hatinya. Seakan-akan
terdengar suara yang berputar di udara, "Lembu Sora, kau
harus mampu memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah
kau lakukan. Lihatlah betapa anak yang akan kau singkirkan
itu kini berjuang tanpa pamrih untukmu. Lalu apa yang
akan kau lakukan?" "Akan aku bunuh kawan-kawanku kini." Lembu Sora
menggeram. "Mereka adalah orang-orang yang menyeretku
ke dalam tindakan-tindakan yang hina."
Lawannya, Ular Laut dari Nusakambangan, terkejut
mendengar Lembu Sora tiba-tiba menggeram. Tetapi
kemudia iapun tersenyum. Katanya, "Hati-hatilah Ki Ageng
Lembu Sora, jangan melamun. Pedang tipisku ini dapat
merobek dadamu." Kembali Lembu Sora menggeram. Betapa bencinya ia
kepada Jaka Soka. Apalagi sejak nyawanya berada di ujung
kerisnya sendiri, yang ditekankan ke lambungnya oleh
Mahesa Jenar, pada saat laskarnya mencegat laskar Demak
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
yang sedang membawa Gajah Sora. Pada saat itu, seolaholah ia telah bersumpah, bahwa pada suatu saat ia harus
dapat membunuh Jaka Soka dengan tangannya. Tetapi Jaka
Soka itupun bukanlah anak-anak yang baru mampu berdiri.
Ia adalah seorang bajak laut yang buas. Meskipun
wajahnya selalu membayangkan senyuman yang menarik,
namun di balik senyumnya itu tersembunyi kejahatan dan
kebengisan yang bertimbun-timbun. Hanya karena seorang
gadis yang cantik dalam penilaiannya, dan bernama Rara
Wilis di hutan Tambakbaya, ia berhasrat untuk membunuh
semua orang yang berada di tempat itu, tanpa sebab.
Hanya karena mereka mengetahui bahwa ia menginginkan
gadis itu. Dengan demikian, maka pertempuran di antara
merekapun menjadi semakin sengit. Dendam yang
membara di dalam dada Lembu Sora telah mendorongnya
untuk berjuang sekuat tenaga, sedang Jaka Soka menjadi
semakin berani, karena saat itu gurunya yang dibanggabanggakan berada pula di dalam pertempuran itu,
Nagapasa. Akhirnya mataharipun perlahan-lahan melampau puncak
langit. Semakin lama menjadi semakin condong ke barat.
Angin pegunungan berdesir lembut mengusap daun-daun
pepohonan di ujung-ujung senjata.
Setiap orang dalam pertempuran itu berusaha untuk
memusnahkan lawan-lanan mereka secepat-cepatnya.
Masing-masing berjuang dengan gigih dan tanpa pengendalian diri. Namun tak seorangpun dari mereka yang
dengan senang hati menyerahkan nyawanya. Karena itulah
maka pertempuran itu bertambah-tambah riuh dan ribut.
Keringat dan debu yang melekat pada tubuh mereka,
bercampur darah yang meleleh dari luka, sama sekali tak
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mereka hiraukan. Perasaan sakit dan pedih yang
ditimbulkan oleh goresan-goresan ujung senjata sama
sekali tak terasa, selagi merka masih dapat berdiri dan
mengayunkan senjata-senjata mereka, maka tak ada
kesempatan untuk bermanja-manja. Bagi mereka yang
telah menjadi lemas karena darah yang terperas hilanglah
harapan mereka untuk dapat melihat matahari terbit esok
hari. Mereka akan terjatuh dan diinjak-injak. Mungkin oleh
lawan dan mungkin oleh kawan. Meskipun demikian,
apabila maut belum saatnya datang, ada saja di antara
mereka yang berhasil merangkak-rangkak membebaskan
diri dari kancah pertempuran, atau seorang kawan yang
sempat memapahnya dan menyingkirkannya.
Sawung Sariti tak pula kalah garangnya. Wadas Gunung,
murid Pasingsingan yang muda itu agaknya bertempur pula
penuh nafsu dan kemarahan. Tetapi Wadas Gunung tidak
segarang Lawa Ijo. Karena itu ia sendiri segera terdesak
oleh cucu dan sekaligus murid Ki Ageng Sora Dipayana
yang masih sangat muda itu. Namun tiba-tiba seorang yang
bertubuh pendek gemuk dengan otot-otot yang menonjol
seperti orang hutan, datang membantunya dengan senjatasenjata yang mengerikan. Bola-bola besi yang bertangkai.
Orang yang bertubuh bulat itu adalah Bagolan. Bola
besinya bergerak dengan garangnya, menyambar-nyambar
di antara kilauan dua pisau belati panjang di tangan Wadas
Gunung. Namun, pedang Sawung Sariti seolah-olah mempunyai
mata. Ke mana keempat senjata lawannya itu mengarah,
terdengarlah dentang senjata mereka beradu. Seperti
ayahnya, Sawung Sariti dapat berbangga diri karena
kekuatan tubuhnya. Meskipun Wadas Gunung bertubuh
tegap kuat dan Bagolan memiliki lengan yang berbongkahSH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
bongkah seperti orang hutan, namun Sawung Sariti dapat
membentur kekuatan mereka dengan keseimbangan yang
cukup. Pedang Sawung Sariti seperti juga pedang ayahnya,
berukuran tidak wajar. Pedangnya lebih besar dan lebih
panjang daripada pedang biasa. Meskipun pedang itu tidak
setajam pedang Jaka Soka, namun dengan pedang itu
Sawung Sariti mampu mematahkan besi gligen.
Dengan hadirnya Bagolan, maka pertempuran itu
menjadi seimbang. Meskipun semula Wadas Gunung agak
malu-malu juga bertempur melawan anak semuda itu
berdua. Namun dalam saat-saat hidup dan mati menjadi
taruhannya, maka perasaan itupun lenyap tanpa bekas.
Dengan baiknya mereka berdua bertempur berpasangan.


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Maju bersama-sama dari arah yang berbeda. Tetapi pedang
Sawung Sariti berputar seperti lingkaran angin yang
melindungi tubuhnya, sedemikian rapatnya sehingga tak
seujung jarumpun dapat ditembus oleh senjata lawannya.
Wulungan ternyata seorang jantan. Ia bertempur seperti
seekor elang. Dengan garangnya ia menggerakkan
pedangnya menyambar-nyambar. Sedang di bagian lain,
Galunggung pun tidak mengecewakan. Orang itu bersenjata
pedang pula seperti Wulungan. Dengan tangkasnya ia
meloncat kesana kemari, menggerakkan pedangnya dengan
lincahnya, mematuk-matuk seperti lidah api yang dihembus
angin. Beberapa orang dari golongan hitam telah mengenalnya.
Mereka telah pernah bekerja bersama-sama dalam usaha
mereka memusnahkan Arya Salaka. Namun sekarang
mereka harus berhadapan sebagai lawan. Seorang yang
bertubuh pendek, kasar dan menjemukan, menempatkan
diri sebagai lawan Galunggung. Orang itu adalah Sakajon.
Tokoh kepercayaan Sima Rodra dari Gunung Tidar. Mereka
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
berdua bertempur dengan penuh nafsu. Sakajon dengan
pedang pendek namun besar, bertempur seperti seekor
babi hutan yang garang, sedang Galunggung melayanipun
seperti seekor serigala lapar.
Laskar golongan hitam yang bertempur berhadapan
dengan sayap kiri laskar Banyubiru menjadi terkejut ketika
mereka merasa terbentur pada kekuatan yang tak mereka
duga. Sri Gunting dari Rawa Pening, yang semula dengan
bangga dapat mendesak laskar Pamingit dari Sumber
Panas, kini benar-benar membentur dinding baja. Dengan
marahnya Sri Gunting mencoba untuk memusnahkan
pimpinan kelompok lawannya. Tetapi orang yang bersenjata
tombak bermata dua itu benar-benar tangkas. Jaladri, yang
mempimpin kelompok di bagian tengah sapit kiri itu,
dengan gigihnya bertempur melawan tokoh pertama
sesudah Uling Rawa Pening. Bahkan tiba-tiba Jaladri
menjadi bergirang hati. Setelah sekian lama ia menempa
diri di bawah penilikan Ki Dalang Mantingan dan Ki
Wirasaba, yang kemudian ditambah dengan beberapa
pengetahuan yang berharga dari Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara, kini ia mendapat kesempatan untuk mengamalkannya. Menumpas golongan hitam.
Demikian juga Bantaran yang berada di ujung Sapit kiri.
Ia berusaha dengan gigih untuk memotong gerakan
lawannya yang mencoba melingkari ujung sayap itu, dan
menyerang dari samping dan belakang. Karena keprigelannya maka ia berhasil dalam usahanya itu.
Meskipun ia sendiri harus bertempur mati-matian melawan
Welang Jrabang, salah seorang kepercayaan Jaka Soka.
Namun Bantaran telah memiliki pengetahuan yang cukup
untuk dapat menyelamatkan dirinya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Di bagian yang lebih padat, tampaklah Penjawi
bertempur dengan penuh tekad. Tak ada persoalan hidup
atau mati di dalam kepalanya. Ia hanya menyerahkan diri
dalam satu pengabdian. Seterusnya ia pasrah diri setelah
berjuang sekuat kemampuannya. Namun karena itu, ia
menjadi tenang. Dan ketenangannya itulah yang menyebabkan Penjawi menjadi seperti burung alap-alap,
yang menyambar-nyambar dengan kuku-kukunya yang
runcing tajam. Laskar Banyubiru benar-benar menakjubkan. Tidak saja
lawan-lawan mereka menjadi cemas, tetapi agaknya orangorang Pamingit yang sempat melihat betapa anak-anak
Banyubiru itu bertempur, menjadi bersyukur di dalam hati.
Bagaimanakah kiranya seandainya mereka, orang-orang
dari Pamingit terpaksa bertempur melawan laskar Banyubiru
itu" Laskar yang semula mereka anggap tidak lebih dari
sekelompok pemuda yang hanya pandai mencegat
pedagang-pedagang yang pergi ke pasar, atau merampok
warung-warung penjual makanan untuk menyambung
hidup mereka. Kini ternyata bahwa laskar Banyubiru yang
berada di sekitar Candi Gedong Sanga itu adalah benarbenar pejuang yang mengabdikan diri pada cita-citanya.
Matahari kian lama menjadi semakin rendah. Awan yang
putih tampak berarak-arak di wajah langit yang biru.
Burung gagak berterbangan berputar-putar di atas daerah
pertempuran yang menghamburkan bau darah. Burungburung itu berteriak-teriak di udara. Mereka menjadi tidak
sabar menunggu lebih lama lagi. Betapa segarnya darah
yang mengalir dari luka. Mereka harus mendapatkannya
lebih dahulu sebelum anjing-anjing liar dan serigala-serigala
lapar mendahuluinya. Tetapi pertempuran itu masih ribut.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Dan burung-burung itupun menjadi semakin tidak sabar dan
berteriak-teriak tinggi. Meskipun laskar Banyubiru dan Pamingit berhasil
mendesak laskar golongan hitam, namun pergeseran garis
pertempuran itu tidak seberapa jauh. Bahkan dapatlah
dikatakan bahwa kekuatan mereka seimbang. Korban satusatu jatuh. Dan masih banyak yang akan menyusul. Setiap
orang di dalam pertempuran itu mempunyai kemungkinan
yang sama. Mati di ujung senjata.
Melihat semuanya itu Kebo Kanigara mengerutkan
keningnya. Betapa perasaan ngeri mengorek-orek jantungnya. Setiap ia melihat tubuh yang terbanting di
tanah dan setiap telinganya mendengar jerit kesakitan,
terasa hatinya seperti tertusuk sembilu. Tiba-Tiba Kebo
Kanigara berhasrat untuk menghentikan pertempuran itu
segera. Meskipun sebenarnya tidak saja Kebo Kanigara
yang dijalari oleh perasaan yang demikian itu, namun
mereka sama sekali tidak mampu berbuat sesuatu, atau
mereka belum berhasil untuk berbuat sesuatu.
Ki Ageng Sora Dipayana melihat dengan sedih, korbankorban yang berjatuhan. Setiap kali ia melihat darah yang
memancar dari luka, setiap kali ia memperkuat seranganserangannya, namun lawannya berbuat demikian pula.
Bugel Kaliki telah mengerahkan segenap kesaktiannya
untuk melawan Ki A geng Sora Dipayana.
Tak jauh berbeda pula perasaan Ki Ageng Pandan Alas
dan Titis Anganten. Merekapun telah berjuang sekuat-kuat
tenaga mereka. Semakin cepat pertempuran itu selesai,
menjadi semakin baik bagi mereka dan laskar mereka.
Jumlah korban mereka, namun lawan mereka tak pula kalah
saktinya. Apalagi kemudian, ketika Pasingsingan benarSH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
benar telah dilumuri oleh keringat yang mengalir dari setiap
lubang kulitnya, hatinya menjadi bertambah gelap. Tiba-tiba
saja di tangannya telah tergenggam pusaka saktinya, Ki
Ageng Suluh, sebuah pisau belati panjang kuning
gemerlapan. Ki Ageng Pandan Alas terkejut melihat senjata
itu. Ia menyangka bahwa Pasingsingan akan melepaskan
ilmu andalannya, Gelap Ngampar atau Alas Kobar, atau
kedua-duanya. Tetapi agaknya Pasingsingan sadar bahwa
lawannya mempunyai cukup daya tahan untuk melawannya. Karena itu, ia mengambil ketetapan hati,
pusakanya itu akan dapat menyelesaikan masalahnya
dengan cepat. Setiap goresan yang dapat melukai kulit
Pandan Alas, adalah suatu alamat, bahwa Pandan Alas akan
tinggal disebut namanya. Tetapi Pandan Alas tidak mau
melawan Kyai Suluh itu dengan tangannya. Ketika pisau
yang gemerlapan itu melingkar-lingkar di sekitar tubuhnya,
dengan tangkasnya ia menarik pusakanya pula, Kyai Sigar
Penjalin. Sebilah keris yang tidak kalah saktinya. Dengan
demikian maka pertempuran antara keduanya menjadi
semakin sengit. Tanpa mereka kehendaki, menyingkirlah
laskar Banyubiru, Pamingit dan laskar golongan hitam dari
daerah sekitar mereka berdua. Sehingga dengan demikian,
seolah-olah bagi mereka sengaja disediakan tempat yang
cukup luas untuk mengadu kesaktian.
Daerah pertempuran, yang berupa padang rumput dan
sawah-sawah yang terletak di lereng bukit itu, merupakan
daerah yang sama sekali tidak rata. Ada bagian yang
cekung, namun ada bagian-bagian yang menjorok naik,
sehingga dengan demikian memungkinkan bagi mereka
untuk dapat melihat arena pertempuran itu seluas-luasnya.
Demikianlah agaknya maka hampir setiap orang di dalam
pertempuran itu mempunyai gambaran atas peristiwa yang
terjadi di arena itu. Kalau mereka berkesempatan, dapatlah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mereka melihat betapa debu mengepul tinggi ke udara dari
daerah sayap kiri, atau kilatan ujung senjata di sayap
kanan. Mereka dapat juga melihat daerah-daerah yang
lengang di tengah-tengah arena, yang merupakan pertanda
bahwa di daerah itulah tokoh-tokoh sakti sedang mengadu
tenaga sehingga tak seorangpun yang berani mendekati.
Ketika matahari telah surut ke ufuk barat, Ki Ageng Sora
Dipayana menjadi semakin gelisah. Apabila malam tiba, dan
pertempuran ini harus dihentikan, maka akan terulang
kembali perisitiwa ini besok pagi. Bertempur, bunuhmembunuh dan korban akan berjatuhan. Demikian
seterusnya. Mungkin berhari-hari, seperti ia sendiri akan
mengalaminya melawan Bugel Kaliki. Mungkin seminggu,
dua minggu. Ia sendiri atau Bugel Kaliki akan betahan
terus, tetapi laskarnya akan semakin surut.
Namun demikian, apa yang dilakukan adalah batas
tertinggi dari kemampuannya. Sebab Bugel Kaliki pun
berusaha untuk membunuhnya seperti apa yang diusahakannya atas orang itu. Demikian juga Pandan Alas
dan Titis Anganten. Tetapi di sapit sebelah kiri terjadilah hal yang agak
berbeda. Ketika Kebo Kanigara melihat warna lembayung
membayang dilangit, ia menarik keningnya. Ketika ia sekilas
melihat Mahesa Jenar yang bertempur tidak demikian jauh
darinya, ia tersenyum kecil. Memang pada saat itupun
Mahesa Jenar dihinggapi oleh perasaan yang sama seperti
perasaan yang menjalar di dalam dada Ki Ageng Sora
Dipayana, di dalam dada Ki Ageng Pandan Alas, Titis
Anganten dan Kebo Kanigara. Karena itulah maka, seperti
mereka pula, mencemaskan betapa korban akan berjatuhan
besok pagi, lusa atau seterusnya, apabila keseimbangan
pertempuran tidak segera berubah. Karena itu, ketika senja
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mewarnai langit, terdengar ia menggeram perlahan-lahan.
Sekali lagi dengan tajamnya ia memandang wajah Sima
Rodra yang bertempur dengan dahsyatnya sambil
mengaum mengerikan. Tiba-tiba di wajah itu terbayanglah
betapa keji perbuatan-perbuatan yang pernah dilakukan.
Kalau anak perempuannya telah melakukan perbuatan yang
terkutuk, apakah kira-kira yang pernah dilakukan oleh
Harimau tua itu" Berapa puluh gadis yang pernah
dikorbankan untuk upacara-upacaranya yang aneh-aneh"
Sekali lagi Mahesa Jenar menggeram. Agaknya Sima
Rodra pun sadar bahwa menjelang malam, ia harus
mengambil suatu kepastian, supaya besok pertempuran
dapat dimulai dengan permulaan yang berbeda. Karena itu
Sima Rodra pun menjadi bertambah liar. A khirnya terjadilah
suatu hal yang mengerikan. Sima Rodra itu mengaum
dengan dahsyatnya, serta menggerakkan seluruh tubuhnya
seperti orang yang menggigil kedinginan. Mahesa Jenar
pernah melihat gerakan-gerakan yang demikian. Pada saat
itu ia mengambil pusaka-pusaka keris Kyai Nagasasra dan
Sabuk Inten dari Gunung Tidar. Untunglah bahwa pada saat
itu Titis A nganten datang menolongnya, sehingga kekuatan
aji Sima Rodra yang dinamainya Macan Liwung itu dapat
dipunahkan. Dan keadannya kini pun sudah tidak
memerlukan pertolongan orang lain. Karena itu, selagi ia
berkesempatan, segera ia mengatur jalan pernafasannya
baik-baik, memusatkan segenap pancaindra dan pikirannya.
Diangkatnya satu kakinya, satu tangannya bersilang dada
dan tangannya yang lain diangkatnya tinggi-tinggi seperti
akan menggapai langit. Demikianlah, pada saat yang
tegang itu terdengarlah bibir Mahesa Jenar bergumam,
"Dengan Nama Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang,
tiada kekuasaan dan tiada kekuatan kecuali dari Tuhan
yang Maha Kuasa dan Maha Besar." Pada saat itulah ia
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
melihat Sima Rodra itu meloncat dengan kecepatan dan
kekuatan yang tak dapat dikira-kirakan. Mahesa Jenar
berusaha untuk tidak membenturkan diri dengan kekuatan
aji Macan Luwung itu. Dengan lincahnya ia meloncat


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

selangkah ke kanan, kemudian dengan satu putaran ia
menghindari serangan Sima Rodra. Sima Rodra yang telah
melancarkan kekuatan yang tiada taranya, dengan
kecepatan yang luar biasa pula, menjadi kehilangan daya
tahannya untuk menarik serangannya. Ia terdorong
selangkah ke depan, ketika pada saat yang bersamaan
Mahesa Jenar berputar lagi untuk kemudian dengan
garangnya meloncat ke arah Harimau yang telah menjadi
gila itu. ----------o-dwkz)(arema-o---------Editing oleh Ki Arema SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Jilid 22 SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
I Semuanya itu terjadi hanya dalam waktu yang sangat
singkat. Nagapasa meluncur seperti seekor naga yang
mematuk mangsanya secepat tatit, sedang tak ada sekejap
mata kemudian, Sima Rodra menerkam pula seperti seekor
Harimau gila, secepat petir menyambar.
Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Pandan Alas, Titis
Anganten dan Lembu Sora beserta Sawung Sariti, demikian
juga Arya Salaka, hanya sempat melihat betapa dua orang,
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara bersikap serupa. Keduaduanya sedang menyalurkan aji yang sama dengan cara
yang sama, Sasra Birawa. Meskipun persamaan itu telah
menimbulkan suatu teka-teki pada mereka, dan bahkan
tokoh-tokoh sakti dari golongan hitam, namun mereka tidak
sempat menebak-nebak lagi, ketika mereka melihat apa
yang terjadi kemudian. Ternyata Kebo Kanigara sama sekali tidak berusaha
untuk menghindar. Dengan tatag dan penuh kepercayaan
kepada diri, ia membenturkan aji Sasra Birawa melawan aji
Nagapasa, sedang di lain pihak Mahesa Jenar telah
menghemat tenaganya dan melakukan suatu tindakan yang
pasti, menghindari benturan dengan aji Macan Liwung,
namun dengan pasti ia berputar satu kali dan mengayunkan
ajiannya Sasra Birawa. Dalam keadaan yang demikian Sima
Rodra hanya mampu untuk bertahan. Tetapi apa yang
terjadi benar-benar telah menggoncangkan setiap dada
mereka yang menyaksikan. Dua benturan yang hampir
bersamaan disusul dengan bunyi yang gemuruh dua kali
berturut-turut. Kemudian apa yang mereka saksikan
hampir-hampir tak dapat dipercaya. Nagapasa, seorang
yang sakti tanpa banding di sekitar pulau Nusakambangan,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
bahkan yang tak terkalahkan oleh setiap tokoh sakti yang
manapun dari golongan hitam maupun lawan-lawan
mereka, kini terbanting diam. Meskipun tak sempat sedikit
pun tampak luka pada kulitnya, namun isi dadanya serasa
hangus terbakar. Karena itu, Nagapasa tidak usah
mengaduh untuk kedua kalinya. Naga Laut yang
mengerikan itu mati di tangan Kebo Kanigara, orang yang
sama sekali tak dikenal, baik oleh golongan hitam, maupun
oleh para pemimpin Banyubiru dan Pamingit. Sedang tidak
jauh darinya, Sima Rodra mengaum dahsyat, sekali ia
menggeliat, kemudian diam untuk selama-lamanya. Mati.
Untuk beberapa saat, semua orang yang menyaksikan
peristiwa itu terpaku di tempatnya. Lembu Sora dan
Sawung Sariti tak begitu jelas melihat apa yang terjadi.
Yang diketahuinya kemudian adalah sorak-sorai yang
membahana seperti benteng runtuh. Sayup-sayup terdengar di antara gemersik angin senja, laskar Banyubiru
berteriak-teriak, "Nagapasa mati, Nagapasa mati...!"
Kemudian disusul, "Sima Rodra mati, Sima Rodra mati..."
Teriakan-teriakan itu benar-benar hampir tak dipercaya.
Bagaimana mungkin Nagapasa dapat mati, dan Sima Rodra
tua dari Lodaya itu pula. Apakah Mahesa Jenar dan
sahabatnya itu mampu membunuh mereka" Tetapi sorak itu
masih mengumandang terus. Bahkan kemudian menjalar
hampir ke segenap daerah pertempuran. Namun bagaimanapun juga berita itu sangat meragukan.
Bahkan, Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Pandan Alas
dan Titis Anganten, yang beruntung dapat melihat peristiwa
itupun, meragukan penglihatannya. Mereka saling SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
memandang satu sama lain. Kemudian mereka mengangguk-anggukkan kepala mereka dengan penuh
kekaguman dan keheranan. "Suatu keajaiban," desis Sora Dipayana.
Tokoh-tokoh sakti itu terpaksa menahan gelora perasaan
mereka yang melonjak-lonjak. Meskipun ia telah menempa
diri, serta sejak ia melihat untuk pertama kali atas orang
yang bernama Kebo Kanigara itu, sudah terasa padanya
betapa besar pengaruhnya terhadap Mahesa Jenar, namun
sama sekali tak diduganya bahwa Kebo Kanigara itupun
memiliki ilmu keturunan Pengging yang gemilang. Bahkan
sedemikian sempurnanya sehingga timbullah keraguan di
dalam hatinya, bahwa orang itu adalah murid Ki Ageng
Pengging Sepuh, sebaya dengan mereka. Sedang orang
yang bernama Kebo Kanigara itu ternyata, sebagaimana
terbukti, telah berhasil membunuh Nagapasa dalam suatu
benturan ilmu. Dengan demikian dapatlah ditarik suatu
kesimpulan, bahwa orang itu pasti memiliki kesempurnaan
Sasra Birawa lebih dahsyat daripada Ki Ageng Pengging
Sepuh yang perkasa. Sebab seandainya Ki Ageng Pengging
Sepuh masih ada di antara mereka dalam tatarannya, dan
membenturkan diri melawan Nagapasa, belum dapat
diambil suatu kepastian bahwa ilmu Sasra Birawa itu akan
dapat mengatasi, apalagi sampai membunuh Nagapasa.
Tetapi di samping itu, Mahesa Jenar pun ternyata dapat
membunuh Sima Rodra, pada saat Sima Rodra telah siap
melawan Sasra Birawa yang diayunkannya. Seandainya
Mahesa Jenar telah berhasil menyusul kesempurnaan
gurunya sekalipun, Sima Rodra itu pasti tidak akan mati.
Namun adalah suatu kenyataan. Nagapasa dan Sima Rodra
mati hampir pada saat yang bersamaan karena aji yang
sama, Sasra Birawa. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Dari manakah anak-anak muda itu mendapat kedahsyatan dan kesempurnaan ilmunya?" gumam Titis
Anganten. Sedang Lembu Sora, setelah mendapat suatu kepastian
tentang kematian Nagapasa dan Sima Rodra, menjadi
gemetar. Bulu-bulu tengkuknya serentak berdiri. Terasa
betapa punggungnya meremang. Hampir saja ia terlibat
dalam perkelahian melawan Mahesa Jenar, bahkan sampai
terulang beberapa kali. Dahulu ia tidak dapat mengalahkannya. Meskipun kemudian ilmunya berkembang
dengan pesat, namun apakah ia dapat berhadapan
melawan Sima Rodra..." Sedang Mahesa Jenar itu telah
berhasil membunuh Harimau Lodaya itu. Dan seandainya
Sasra Birawa itu dikenakan pada tengkuknya, apakah kirakira yang akan terjadi" Mungkin lehernya akan patah,
bahkan mungkin kepalanya akan terlontar dan pecah
berserak-serakan. Diam-diam Lembu Sora mengucap
syukur, dan sekaligus ia benar-benar tenggelam dalam
perasaan kagum dan hormat. Meskipun Mahesa Jenar telah
memiliki kedahsyatan ilmu Sasra Birawa, namun ia selalu
menghindari bentrokan dengan dirinya. Benar-benar suatu
sikap yang jarang ditemuinya.
Sesaat kemudian, di antara derai sorak-sorai laskar
Banyubiru, kembali terdengar dentang senjata beradu.
Laskar Banyubiru menjadi bertambah berani dan berbesar
hati, sedang sebaliknya di laskar golongan hitam menjadi
ngeri. Dua tokoh sakti dari antara mereka telah mati. Dan
kematian dua orang itu benar-benar mempengaruhi
keseimbangan pertempuran. Pasingsingan, Bugel Kaliki dan
Sura Sarunggi harus berpikir untuk kesekian kalinya.
Meskipun lawan-lawan mereka tak akan dapat membunuhnya dengan mudah, tetapi bagaimanakah kalau
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tiba-tiba Kebo Kanigara atau Mahesa Jenar datang
mendekat" Tokoh-tokoh sakti dari golongan hitam menjadi gelisah.
Apalagi Jaka Soka. Sama sekali tak dimengertinya apa yang
sebenarnya terjadi. Gurunya yang diagung-agungkan
selama ini, mati di tangan orang yang tak bernama.
Alangkah anehnya dunia ini. Ia menyesal bahwa gurunya
melibatkan diri dalam persoalan ini. Atas permintaannya.
Gurunya, yang jarang-jarang menampakkan diri, terpaksa
menyeberangi selat Nusakambangan. Tetapi itupun bukan
salahnya, sebab ternyata Lawa Ijo, Sima Rodra Gunung
Tidar, Uling Rawa Pening pun telah membawa guru mereka
masing-masing. Sehingga apabila kemudian mereka
memperoleh kemenangan akan terdesaklah dirinya, apalagi
gurunya tidak ada di sampingnya. Tetapi kini gurunya itu sudah tidak ada
lagi. Karena itu hatinya menjadi kecut. Apapun yang
terjadi, maka ia akan mengalami kekalahan. Kemenangan golongan hitampun sama sekali tak berarti baginya. Sebab kemenangan itu pasti akan
dimiliki oleh Lawa Ijo dan
Pasingsingan atau Sura Sarunggi, bahkan mungkin Bugel Kaliki. Ia hanya dapat
mengharap embun yang menetes dari langit, apabila tokohtokoh sakti itu dalam pertentangan kemudian menjadi
sampyuh. Tetapi itu mustahil terjadi. Yang mungkin terjadi,
mereka akan membagi kemenangan. Dan Nusakambangan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
akan dipencilkan. Karena itu, Jaka Soka telah kehilangan
nafsunya untuk bertempur terus. Ia kini tinggal
mempertahankan dirinya supaya tidak mati. Ketika ia
memandang langit yang telah hampir kehilangan cahayanya, ia menjadi gembira. Ia tidak mau meninggalkan
medan hanya karena keseganannya kepada kawankawannya. Atau tuduhan-tuduhan lain yang semakin
menyulitkan kedudukannya.
Dalam pada itu, matahari beredar terus. Ketika tokohtokoh sakti dari keduabelah pihak terlibat kembali dalam
pertempuran, warna-warna yang kelam mewarnai lembahlembah yang cekung. Perlahan-lahan warna itu merayapi
tebing semakin tinggi. Angin pegunungan yang sejuk terasa
silirnya mengusap tubuh. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara yang telah kehilangan
lawannya tidak segera berbuat sesuatu. Mereka masih diam
dan tegak di tempat masing-masing. Namun di daerah
sekitar mereka benar-benar telah menjadi sepi. Orangorang dari Laskar golongan hitam, jauh-jauh telah


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyingkir dari kedua orang yang luar biasa itu.
Akhirnya malampun datang merebut waktu. Medan itu
menjadi semakin gelap. Dan mereka yang bertempur telah
kehilangan pengamatan atas kawan dan lawan. Karena itu,
terdengarlah sebuah tengara atas perintah sasmita dari Ki
Ageng Sora Dipayana. Ketika sangkalala itu berbunyi, laskar
Banyubiru dan Pamingit segera mempersiapkan diri mereka
untuk menghentikan peperangan. Mereka tidak lagi
mengambil kesempatan-kesempatan untuk menyerang,
namun mereka tidak mau diserang dalam keadaan yang
demikian. Tetapi agaknya golongan hitam itupun benarbenar telah kehilangan semangat mereka. Demikian mereka
mendengar bunyi sangkalala, yang meskipun mereka tahu,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
bahwa tanda itu diberikan oleh pimpinan laskar lawannya,
namun dengan serta merta mereka berloncatan mundur
dan dengan serta merta pula pertempuran itu berhenti.
Laskar golongan hitam itu segera menarik diri. Seperti
juga mereka datang, mereka pergi demikian saja tanpa
ikatan satu sama lain. Seolah-olah mereka tidak terdiri dari
satu pasukan yang baru saja bertempur. Tetapi seolah-olah
mereka adalah rombongan orang yang pulang nonton tayub
dan menjadi mabuk tuak. Berbondong-bondong dengan
langkah gontai, mereka meninggalkan medan. Satu-Dua
orang mencoba menolong kawan-kawan mereka yang luka
dan memapahnya. Tetapi kebanyakan dari mereka sama
sekali tidak ambil pusing kepada mereka yang terpaksa
berjalan sambil merintih-rintih, bahkan hampir merangkakrangkak sekalipun. Apalagi mereka yang terluka dan parah
terbaring di bekas daerah pertempuran itupun sama sekali
tidak mendapat perhatian. Telah menjadi kebiasaan
mereka, laskar golongan hitam, untuk menjaga diri masingmasing. Bahkan untuk kepentingan rahasia mereka, sama
sekali mereka tidak segan membunuh kawan sendiri.
Berbeda dengan laskar Pamingit dan Banyubiru. Segera
mereka berkumpul dalam kelompok masing-masing.
Pemimpin-pemimpin kelompok yang tetap hidup segera
menghitung laskar mereka, sedang yang terpaksa gugur
atau terluka, segera ditunjuk gantinya. Mereka segera
membentuk kelompok-kelompok yang mendapat tugas
khusus, merawat kawan-kawan mereka yang terluka dan
gugur dimedan perjuangan menegakkan hak atas tanah
mereka. Bahkan tugas mereka melimpah pula kepada
kawan-kawan mereka yang parah. Merekapun berhak
mendapat pertolongan dan pengobatan atas luka-luka
mereka. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Demikianlah medan pertempuran itu segera menjadi
sepi. Beberapa orang dengan obor di tangan menjalankan
tugas mereka. Sedang orang-orang lain, dalam satu barisan
yang tertib kembali ke perkemahan di Pangrantunan.
Mereka harus mempergunakan waktu istirahat mereka
sebaik-baiknya. Besok mereka masih harus bertempur lagi.
Mungkin mereka akan mendesak maju. Mereka merasa
bahwa keseimbangan pertempuran telah berubah. Bahkan
mungkin besok mereka telah dapat memasuki Pamingit. Ki
Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Pandan Alas dan Titis
Anganten, demikian pertempuran selesai, segera pergi
bergegas-gegas menemui Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara. Ketika mereka telah berdiri di hadapan kedua
orang itu, tiba-tiba tanpa sengaja mereka mengangguk
hormat. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menjadi kaku
karenanya. Mereka pun segera menghormat tokoh-tokoh
sakti yang sebaya dengan Ki Ageng Pengging Sepuh itu.
Namun segera terdengar Ki Ageng Sora Dipayana
berkata, "Sungguh luar biasa. Angger Mahesa Jenar dan
Angger Putut Karang Jati. Kami orang-orang tua ini,
agaknya telah kehilangan daya pengamatan atas cahaya
teja yang memancar dari tubuh Angger berdua.
Sebagaimana terbukti, bahwa Angger telah melakukan
sesuatu yang tak dapat kami duga sebelumnya karena rasa
sombong di hati kami. Seolah-olah tak ada orang lain yang
dapat menyamai kesaktian-kesaktian kami. Ternyata bahwa
Angger berdua memiliki kesaktian jauh di atas kesaktian
kami orang-orang tua yang tak tahu diri."
Mahesa Jenar menjadi semakin kaku. Ia tidak pernah
melihat sikap yang sedemikian merendahkan diri dari tokohtokoh tua itu. Karena itu ia menjadi bingung, bagaimana ia
harus menjawab. Yang kemudian terdengar adalah jawab
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Kebo Kanigara, "Ada kekuasaan di atas, kekuasaan-Nya,
dan berterima kasih kepada-Nya pula. Kami tidak lebih
hanyalah lantaran-lantaran yang ditunjuknya."
Tokoh-tokoh sakti yang mendengar kata-kata Kebo
Kanigara itu langsung tersentuh hatinya. Sebagai orangorang yang taat beribadah, mereka langsung dapat
merasakan betapa Tuhan mengulurkan Tangan-Nya untuk
menolong umatnya. Sementara itu, mereka yang mendapat tugas di bekas
medan pertempuran itu menjalankan pekerjaan mereka
dengan tertib. Mereka berusaha meringankan setiap
penderitaan dari mereka yang terluka.
Ki Ageng Sora Dipayana dan kawan-kawannyapun
mendahului kembali ke perkemahan bersama-sama dengan
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Tak banyak yang mereka
percakapkan di sepanjang perjalanan itu. Namun di dalam
dada tokoh-tokoh sakti itu masih tetap tersimpan berbagai
pertanyaan mengenai Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara.
Pagi tadi mereka masih menyangka bahwa kedua orang itu
masih harus bertempur dalam perlindungan mereka dan
laskar-laskar mereka. Tetapi tiba-tiba suatu kenyataan,
kedua orang itu memiliki kesaktian melampaui kesaktian
mereka sendiri. Sampai perkemahan, segera Ki Ageng Sora Dipayana
mengatur penjagaan dan pengawasan atas daerah
perkemahan mereka dan pengawasan atas daerah lawan.
Beberapa orang mendapat tugas untuk mengamat-amati
perkemahan dan setiap gerak-gerik dari laskar golongan
hitam. Apapun yang mereka lakukan, para pengawas itu
harus memberikan laporan setiap saat dengan tertib.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Ketika Ki Ageng Sora Dipayana kemudian bersama-sama
dengan Mahesa Jenar pergi membersihkan diri, sambil
mengambil air wudlu, dari celah-celah pintu rumah tempat
peristirahatannya mereka melihat Lembu Sora sedang
sembahyang. Mahesa Jenar berhenti pula ketika tiba-tiba Ki Ageng
Sora Dipayana berhenti. Orang tua itu melihat anaknya
bersembahyang, seperti orang yang sedang mengagumi
sesuatu. Mahesa Jenar menjadi heran. Bukankah sembahyang itu harus dilakukan setiap hari, bahkan lima
kali dalam keadaan wajar"
Bahkan orang tua itu kemudian bergumam, "Tuhan telah
menerangi hatinya." Mahesa Jenar menjadi semakin heran, maka bertanyalah
ia, "Bukankah sudah seharusnya dilakukan, Ki Ageng?"
Ki Ageng Sora Dipayana menarik nafas dalam-dalam.
Jawabnya, "Aku hampir saja putus asa. Lembu Sora lebih
senang mengadu ayam dan berjudi daripada mendekatkan
diri kepada Tuhan. Beberapa tahun terakhir, ia seolah-olah
sudah lupa sama sekali akan kewajiban itu. Syukurlah, kini
ia telah menemukan jalannya. Tetapi..." kata-kata orang tua
itu terputus oleh tarikan nafasnya.
"Tetapi..." Tidak dengan sengaja Mahesa Jenar
mengulangi kata itu. Ki Ageng Sora Dipayana memandangi wajah Mahesa
Jenar dengan mata yang suram. Terasa ada sesuatu yang
menghimpit hatinya. Tanpa menjawab pertanyaan Mahesa
Jenar, Ki Ageng Sora Dipayana melangkah kembali untuk
membersihkan dirinya. Mahesa Jenar pun tidak bertanya
lebih lanjut. Ia mengikuti saja langkah orang tua itu sambil
berdiam diri. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Ketika mereka bertemu dengan Arya Salaka, Ki Ageng
Sora Dipayana bertanya, "Dari mana kau Arya?"
Arya berhenti, kemudian ia menjawab, "Sesuci Eyang."
Orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, "Bagus. Di mana adikmu Sawung Sariti?"
Arya Salaka menggeleng-gelengkan kepalanya, jawabnya, "Aku tidak melihatnya, Eyang. Barangkali ia
bersama-sama Paman Lembu Sora."
"Kalau kau bertemu dengan anak itu nanti, berilah ia
beberapa petunjuk. Ajaklah ia kembali kepada Yang Maha
Kuasa," pinta orang tua itu.
"Baiklah Eyang," jawab Arya.
Kemudian Ki Ageng Sora Dipayana dan Mahesa Jenar
pergi pula ke pancuran dari sumber air di bawah pohon
beringin tua. "Angger Mahesa Jenar agaknya beruntung dapat
membawa Arya Salaka ke jalan yang gemilang, lahir dan
batin. Tanpa keseimbangan itu, maka yang terjadi adalah
kekecewaan," gumam Ki Ageng Sora Dipayana. Karena
itulah segera Mahesa Jenar mengerti, bahwa Ki Ageng Sora
Dipayana sedang mencemaskan nasib cucunya, Sawung
Sariti. Malam itu, ketika semuanya telah selesai, Mahesa Jenar,
Kebo Kanigara dan Arya Salaka dengan nikmatnya
menyuapi mulut masing-masing dengan nasi hangat dan
serundeng kelapa seperti pagi tadi.Namun meskipun
demikian, karena letih dan lapar, maka terasa seolah-olah
hidangan yang dimakannya itu adalah hidangan yang
seenak-enaknya. Mereka duduk-duduk di antara laskar
mereka, di sekeliling perapian untuk menghangatkan diri.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Beberapa kali terdengar suara Bantaran, Penjawi, Jaladri
dan beberapa orang lain tertawa ketika ia mendengar
Sendang Papat berceritera. Anak itu memang pandai
berkelekar. Namun lambat laun suara tertawa merekapun
semakin jarang dan lambat. Kemudian mereka tidak dapat
menahan kantuk mereka. Diatas anyaman daun kelapa
mereka merebahkan diri. Tidur sambil memeluk senjata
masing-masing. Arya Salaka kemudian tertidur pula. Begitu nyenyaknya
dibuai oleh mimpi yang segar.
Ketika Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara akan
merebahkan dirinya pula, mereka dikejutkan oleh langkah
seseorang mendekati mereka. Ketika mereka menoleh
dilihatnya Lembu Sora datang kepada mereka.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara bangkit, sambil
mempersilahkan, "Marilah Ki Ageng."
Lembu Sora mengangguk hormat dengan tulusnya.
Berbeda dengan saat-saat yang lampau. Kemudian
merekapun duduk pula didekat perapian yang masih
menyala-nyala itu. "Adi Mahesa Jenar dan Kakang Putut Karang Jati..." Ki
Ageng Lembu Sora mulai, "Aku memerlukan datang kepada
kalian berdua untuk memohon maaf atas segala kekhilafan
yang pernah aku lakukan, lebih-lebih kepada Adi Mahesa
Jenar dan apabila aku masih sempat untuk bertemu karena
kepalaku tidak terpenggal pedang Jaka Soka besok pagi,
aku akan bersujud pula di bawah kaki Kakang Gajah Sora.
Betapa besar dosa yang telah aku lakukan. Atas ayah Sora
Dipayana, Kakang Gajah Sora dan lebih-lebih lagi atas
Pamingit dan Banyubiru."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Hati Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tergetar
mendengar pengakuan itu, dan terasa betapa ikhlasnya
Lembu Sora memandang kepada diri sendiri.
Udara malam terasa dingin, namun kehangatan yang
dilemparkan oleh perapian di samping mereka terasa
betapa nyamannya. Sebelum Mahesa Jenar menjawab, Lembu Sora
meneruskan, "Dalam keadaan-keadaan yang sulit seperti
apa yang aku alami sekarang, baru dapat aku lihat, betapa
noda-noda telah melekat pada masa lampau itu. Mudahmudahan aku belum terlambat." Lembu Sora diam sesaat
menelan ludah yang seolah-olah menyumbat kerongkongan. "Tetapi Kakang, apabila besok aku terbunuh
dalam mempertahankan tanah ini, biarlah Kakang
menyampaikan rasa penyesalanku kepada Kakang Gajah
Sora kelak." "Tak ada kelambatan untuk menyatakan kesalahan diri,"
sahut Mahesa Jenar. "Meskipun aku belum lama
berkenalan, namun aku tahu bahwa dada Kakang Gajah
Sora adalah seluas samodra. Karena itu, kalau Ki Ageng
menyatakan penyesalan diri dengan ikhlas, maka Kakang
Gajah Sora pun pasti akan memaafkannya."
"Ya..." Lembu Sora menjawab, "Aku tahu itu. Aku sadar
betapa Kakang Gajah Sora memanjakan aku sejak masa
kanak-kanak kami. Tetapi apa yang aku lakukan telah
melampaui batas. Aku telah sampai pada usaha untuk
membunuhnya atau meniadakannya. Bahkan membunuh
anaknya yang tak mengetahui sama sekali persoalan di
antara kami. Syukurlah bahwa Tuhan membebaskan aku
dari pembunuhan-pembunuhan itu."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Hal itu tidak akan mengurangi kelapangan dada Kakang
Gajah Sora," kata Mahesa Jenar seperti kepada anak-anak


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang betapa miskin jiwanya dalam menanggapi hidup dan
kehidupan." "Tetapi kalau aku tidak sempat karena aku terbunuh...?"
Lembu Sora bertanya benar-benar seperti orang yang
sedemikian bodohnya. "Tidak," jawab Mahesa Jenar, "Meskipun hidup dan mati
berada di tangan Tuhan, namun berdoalah agar Tuhan
menyelamatkan Ki Ageng Lembu Sora. Saat ini Kakang
berada di pihak yang benar. Karena itulah maka kami dan
Arya Salaka bersedia berdiri di pihak Ki Ageng. Dan karena
itu pula Tuhan akan melimpahkan rahmat-Nya."
Lembu Sora terdiam. Matanya yang muram, merenungi
api yang sedang menjilat- jilat ke udara dengan lincahnya.
Tetapi di dalam nyala yang seolah-olah menari- nari itu
dilihatnya betapa kelam masa-masa lampau yang pernah
dijalaninya. Ketamakan, kebencian, pemanjaan nafsu
lahiriah, dan segala macam sifat-sifat yang tercela.
Dilihatnya betapa dirinya duduk di atas singgasana Demak,
dengan Kyai Nagasasra di tangan kanan dan Kyai Sabuk
Inten di tangan kiri. Sedang kakinya beralaskan bangkai Ki
Ageng Gajah Sora dan Arya Salaka, dan sekitarnya
berserak-serakanlah bangkai-bangkai orang Banyubiru.
Pandan Kuning, Sawungrana dan lain-lain. Tiba-tiba ia
menjadi ngeri pada gambaran cita-citanya waktu itu.
Dengan tanpa disengaja maka kedua tangannya diangkatnya menutupi wajahnya. Akhirnya wajah itu
tertunduk lesu. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara mengetahui betapa
rasa penyesalan bergolak di dalam dada Ki Ageng Lembu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sora. Betapa ia mengutuki dirinya sendiri yang telah
tersesat terlalu jauh. Untunglah bahwa akhirnya ditemukannya jalan kembali.
Untuk sesaat suasana dicekam oleh kesepian. Malam
menjadi semakin dalam dan sepi. Namun terasa di sana sini
para pengawas dan para penjaga bekerja dengan tekunnya.
Di tangan mereka terletak tanggungjawab atas keselamatan
perkemahan Pangrantunan. Sebab tidaklah mustahil laskar
golongan hitam itu menyerang mereka pada malam hari
ketika mereka sedang nyenyak tertidur.
Tiba-tiba Arya Salaka menggeliat. Ketika ia membuka
matanya, ia melihat pamannya Lembu Sora duduk bersamasama dengan gurunya dan Kebo Kanigara. Karena itu iapun
segera bangkit dan duduk pula. Lembu Sora melihat Arya
bangun dekat di sampingnya. Tiba-tiba terasa betapa
hatinya bergelora. Dan tiba-tiba pula dengan serta merta
diraihnya kepala anak muda itu seperti masa anak-anak
dahulu. "Arya..." desisnya, "Maafkan pamanmu."
Arya pun merasa betapa hatinya bergetar mendengar
kata-kata pamannya. Karena itulah maka mulutnya menjadi
seolah-olah terkunci. Namun hatinya berkata, "Aku akan
berusaha melupakannya, Paman."
Kemudian ketika kepala itu dilepaskan, mata Arya
menjadi panas. Seolah-olah ada yang berdesakan hendak
meloncat keluar. Karena itulah maka ditengadahkan
kepalanya ke langit. Sedang Ki Ageng Lembu Sora pun
menarik nafas dalam-dalam.
Kembali suasana terlempar ke dalam heningnya malam.
Dan kembali Lembu Sora berangan-angan. Kini yang
bergolak di dalam hatinya adalah anaknya, Sawung Sariti.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Ia menyesal telah membawa anak itu lewat jalan yang
penuh dengan noda dan dosa. Apalagi ketika ia sadar
bahwa sampai saat ini anak itu masih tetap dalam
pendiriannya. Karena itu kemudian ia berkata, "Arya, di
manakah adikmu?" Arya memalingkan kepalanya. Ia mendengar pertanyaan
yang serupa dari eyangnya tadi. Maka iapun menjawab,
"Aku tidak tahu, Paman. Tadi eyangpun menanyakan Adi
Sawung Sariti. Aku kira Adi bersama-sama dengan Paman."
Kembali penyesalan melonjak-lonjak di dalam dadanya.
Pasti anak itu pergi dengan Galunggung. Seorang yang
sama sekali tidak mempunyai harga diri dan kesopanan
dalam tata pergaulan manusia. Tetapi kembali Lembu Sora
menimpakan kesalahan pada diri sendiri. Kenapa selama ini
hal itu dibiarkannya. Ia tidak pernah membatasi perbuatan
anaknya yang diandalkannya untuk dapat mendampinginya
dalam rencana-rencana jahatnya. Bahkan anak itulah yang
didorongnya di depan. Sekarang anak itu terlalu jauh
tersesat lebih jauh daripada dirinya sendiri.
"Mudah-mudahan ia terbentur pada kenyataan ini seperti
aku sendiri," gumam Lembu Sora, lebih-lebih ditujukan
kepada dirinya sendiri. Kemudian kepada Arya Salaka ia
berkata, "Arya, adikmu telah terlampau jauh tersesat
seperti aku. Namun aku masih dapat melihat kenyataan ini.
Mudah-mudahan Sawung Sariti pun demikian. Dapatkah
kau membantu aku membawanya kembali ke jalan yang
benar?" "Mudah-mudahan, Paman," jawab Arya, meskipun ia
tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia merasa adik
sepupunya itu sedemikian membencinya, jauh lebih dalam
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
daripada pamannya itu sendiri. Namun demikian ia berjanji
untuk berusaha. Dalam pada itu, tiba-tiba datanglah Wulungan. Dengan
heran ia melihat Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Arya
Salaka masih enak-enak duduk di situ. Apakah ia belum
mendengar laporan yang disampaikan oleh beberapa orang
pengawas" Tetapi karena persoalannya sedemikian penting, maka
Wulungan pun tidak segan- segan menanyakannya. Maka ia
pun kemudian duduk pula di samping perapian itu sambil
bertanya kepada Mahesa Jenar, "Tuan, apakah Tuan telah
mendengar laporan para pengawas?"
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. "Belum Wulungan," jawabnya. "Laporan tentang apa?"
"Ataukah laporan ini disampaikan kepada Ki Ageng Sora
Dipayana" Namun meskipun demikian, Ki Ageng Sora
Dipayana pasti segera memberitahukan kepada Tuan dan
Angger Arya Salaka," sambung Wulungan.
"Penting sekalikah laporan itu?" tanya Arya.
"Ya, sangat penting bagi Angger," jawab Wulungan.
"Kalau demikian..." ia melanjutkan, "Biarlah aku panggil
orang itu." ----------o-dwkz)(arema-o---------SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
II Wulungan segera berdiri dan berjalan dengan tergesagesa. Yang ditinggalkan di tepi perapian itupun bertanyatanya di dalam hati. Sesaat kemudian Wulungan kembali
bersama seorang pengawas dari Pamingit. Diajaknya orang
itu duduk pula, dan berkatalah ia, "Inilah orang yang
menyampaikan laporan itu, Tuan."
Lembu Sora memandangi orang itu dengan seksama.
Kemudian berkatalah ia, "Katakanlah apa yang kau lihat?"
Orang itu pun mengingsar duduknya. Kepada Ki Ageng
Lembu Sora ia berkata, "Aku adalah salah seorang yang
mendapat tugas untuk mengawasi perkemahan laskar
golongan hitam. Aku telah melaporkan segala sesuatu
kepada Angger Sawung Sariti dan Kakang Galunggung."
Wulungan tiba-tiba mengangkat dadanya sambil menarik
nafas dalam-dalam. Pasti ada sesuatu yang tidak pada
tempatnya. Laporan itu tidak diteruskan kepada Arya
Salaka, Mahesa Jenar atau Ki Ageng Sora Dipayana. Lembu
Sora mengerutkan keningnya. Seperti Wulungan, ia dapat
menduga kelicikan anaknya. Namun sekali lagi dadanya
dihantam oleh kegelisahan, penyesalan yang tiada taranya.
Seolah-olah terdengar suara berdesing ditelinganya. "Kau
jangan salah, Lembu Sora. Anak itu memang kau didik
demikian." "Di mana Sawung Sariti dan Galunggung itu?" tanya
Lembu Sora menggeram. "Aku temui mereka di pojok teras. Mereka baru saja
keluar dari rumah Kakang Badra Klenteng Pangrantunan,"
sahut orang itu. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Apa kerjanya di sana?" Tiba-tiba mata Lembu Sora
terbelalak. Orang itu menundukkan kepalanya. Tetapi ia
tidak menjawab. Karena orang itu tidak menjawab, Lembu
Sora mendesaknya, "He, apa kerjanya di sana?"
Wulungan memalingkan wajahnya ke arah api yang
memercik dengan riangnya. Kebenciannya kepada anak
kepala daerah perdikannya itu tiba-tiba semakin menyala
seperti nyala api yang dipandangnya itu. Badra Klenteng
adalah orang yang sekotor-kotornya di Pangrantunan. Di
rumahnya ada dua tiga orang gadis. Bukan gadis, tetapi
yang disebutnya gadis penari. Penari tayub yang terkenal.
Bukan terkenal karena keindahannya menari, tetapi terkenal
karena keberaniannya menari. Menari dalam tataran yang
melanggar tata kesopanan dan kepribadian.
Kepala pengawas itupun menjadi semakin tunduk. Ia
tahu apa yang harus dikatakan. Tetapi mulutnya terkunci.
Sehingga dengan demikian ia tetap berdiam diri.
Akhirnya terdengar Lembu Sora menggeram, "Bagus,
jangan kau katakan kepadaku sekarang apa yang
dikerjakan oleh anak itu. Terkutuklah mereka. Aku tidak
tahu kemana mukaku aku sembunyikan kalau Adi Mahesa
Jenar, Kakang Putut Karang Jati dan Arya Salaka tahu apa
yang dikerjakan di sana. Tetapi apakah laporan itu?"
"Belumkah Angger Sawung Sariti menyampaikannya?"
tanya pengawas itu. Lembu Sora menggelengkan kepalanya. "Belum."
"Agak terlambat," katanya. "Aku telah melihat beberapa
waktu yang lalu." "Ya, apakah itu?" desak Arya Salaka tidak sabar.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Aku lihat serombongan kecil orang-orang berkuda
meninggalkan perkemahan mereka. Mereka menuju ke
utara," jawabnya. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tersentak. Mereka
mendesak maju sambil bertanya, "Siapakah mereka?"
"Tidak jelas. Tetapi mereka menuju ke jalan ke
Banyubiru," jawabnya.
"He...!" Arya hampir berteriak. "Kau tahu benar?"
"Aku mengikuti beberapa langkah," jawabnya. "Karena
itu aku yakin mereka pergi ke Banyubiru. Di simpang tiga
Banjar Gede, mereka membelok ke timur."
"Pasti ke Banyubiru," desis Arya.
"Aku pun pasti," sahut pengawas itu, "Tetapi aku tidak
dapat mengikutinya terus. Ketika salah seekor kuda mereka
berhenti, akupun berhenti pula. Agaknya salah seorang
telah melihat aku. Sehingga ketika kudanya berputar,
akupun memacu kudaku pula meninggalkan mereka.
Untunglah kudaku agak lebih baik sehingga aku tak
ditangkapnya. Sehingga akhirnya aku sampai pada gardu
penjagaan. Aku tidak tahu apa yang dikerjakan oleh
pengejarku itu. Namun aku kemudian langsung melaporkan
peristiwa itu kepada Angger Sawung Sariti dan Kakang
Galunggung." "Gila," desah Lembu Sora. "Sawung Sariti dan
Galunggung tidak menyampaikan itu kepadaku, kepada
ayah Sora Dipayana atau kepada Kakang Mahesa Jenar."
"Wulungan..." tiba-tiba Lembu Sora berteriak, "panggil
mereka!" SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Wulungan yang menjadi marah pula di dalam hati,
segera bangkit. "Baik Ki Ageng," jawabnya. Dan iapun
kemudian hilang di dalam gelap.
"Siapakah mereka itu?" tanya Arya Salaka.
"Aku tidak tahu," jawab orang itu. "Tetapi aku kira salah
seorang di antaranya adalah orang yang berjubah abuabu." "Pasingsingan...?" desis mereka bersamaan Tiba-tiba
meloncatlah Arya Salaka dari tempat duduknya. Tanpa
berkata apapun juga ia berlari kencang-kencang.
"Arya..." panggil Mahesa
Jenar, "Apa yang akan kau
lakukan?" "Kuda!" Hanya kata-kata
itulah yang meloncat dari
bibirnya. Mahesa Jenar yang
tahu betapa watak muridnya
itupun kemudian berdiri pula
sambil berkata kepada Ki Ageng Lembu Sora, "Adi,
tolong sampaikan kepada Ki
Ageng Sora Dipayana, kami
mendahului perintah supaya
tidak terlalu lambat."
Kebo Kanigara kemudian berdiri pula. Ia tidak sampai
hati melepaskan Arya Salaka berdua dengan Mahesa Jenar
saja. Kalau di dalam rombongan Pasingsingan itu ada Bugel
Kaliki dan Sura Sarunggi, maka celakalah Arya Salaka.
Mahesa Jenar sendiri mungkin dapat mempertahankan
dirinya beberapa lama meskipun ia harus berhadapan


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan dua tokoh hitam itu sekaligus, namun bagaimana
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dengan Arya" Karena itu ia berkata, "Mahesa Jenar, aku
pergi bersamamu." "Baiklah Kakang," jawab Mahesa Jenar singkat. Iapun
sadar akan bahaya yang setiap saat dapat mengancam
keselamatan muridnya. Justru pada taraf terakhir dari
perjuangannya. Sementara itu, Bantaran, Penjawi, Jaladri dan Sendang
Papat telah terbangun pula. Dengan gelisah ia bertanya,
"Ada apa Tuan-tuan?"
"Aku akan pergi sebentar, Bantaran. Jagalah laskar baikbaik. Tempatkan dirimu langsung di bawah perintah Ki
Ageng Sora Dipayana apabila besok pagi-pagi aku belum
kembali," kata Mahesa Jenar dengan tergesa-gesa. Ia tidak
sempat memberi banyak penjelasan. "Aku titipkan laskar
Banyubiru kepadamu Ki Ageng," katanya kepada Lembu
Sora. "Baik Adi," jawab Lembu Sora. "Tetapi tidakkah Adi perlu
membawa pasukan?" "Tidak," sahut Mahesa Jenar, "Di Banyubiru masih ada
separo laskar Arya Salaka."
Lembu Sora mengangguk sambil berdiri. Ia tidak sempat
berkata-kata lagi. dengan tergesa-gesa berjalan mengikuti
jalan yang dilewati Arya tadi. Mereka tahu benar ke mana
muridnya itu pergi. Arya pasti pergi ke tempat kuda-kuda
dipersiapkan. Mereka masih dapat melihat Arya melarikan kudanya
seperti angin. Dengan demikian, Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara segera meloncat ke punggung kuda-kuda yang
mereka anggap cukup baik. Para penjaga kuda itu
memandang mereka dengan heran. Yang mereka dengar
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
hanyalah kata-kata A rya tadi, "Aku ambil seekor." Lalu anak
itu pergi dengan cepatnya. Sekarang mereka melihat
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun mengambil masingmasing kuda dengan tergesa-gesa.
"Apa yang terjadi Tuan?" tanya seorang penjaga.
"Tidak apa-apa," jawab Mahesa Jenar, "Kami sedang
berlatih berpacu kuda."
Penjaga itu tersenyum. Tetapi ia tidak percaya. Meskipun
demikian ia tidak bertanya-tanya lagi. Mahesa Jenar dan
Kebo Kanigara pun segera memacu kudanya. Suara derap
kakinya berdetak-detak memecah kesepian malam. Beberapa orang yang mendengar suara derap kaki kuda
itupun terkejut. Namun mereka tidak sempat bertanya,
apakah dan kemanakah mereka pergi. Meskipun demikian,
mereka terpaksa meraba-raba senjata-senjata mereka,
kalau-kalau ada hal-hal yang penting akan terjadi di
perkemahan itu. Sementara itu dengan geram Lembu Sora berjalan ke
tempat peristirahatan ayahnya. Ia benar-benar marah
kepada Sawung Sariti dan Galunggung. Karena perbuatan
mereka itu, telah membuka kemungkinan terjadinya
peristiwa-peristiwa yang mengerikan. Sedangkan Bantaran,
Jaladri, Penjawi dan Sendang Papat beserta beberapa orang
Banyubiru yang lain bertanya-tanya dalam hati pula. Mereka
mendengar dari Ki Ageng Lembu Sora apa yang terjadi.
Tetapi mereka tidak diperkenankan meninggalkan laskar
mereka. Karena itu merekapun menjadi gelisah. Apakah
yang akan terjadi di Banyubiru. Namun mereka menjadi
agak tenang ketika mereka sadar bahwa di Banyubiru masih
ada Wanamerta, Ki Dalang Mantingan, Wirasaba dan separo
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dari laskar Banyubiru. Mudah-mudahan mereka dapat
mengatasi kesulitan yang akan timbul.
Ketika Ki Ageng Lembu Sora sampai ke tempat Ki Ageng
Sora Dipayana dilihatnya Sawung Sariti dan Galunggung
telah berada di sana. Dengan wajah yang merah, ia masuk
ke ruangan itu sambil menggeram, "Apa kerjamu Sawung
Sariti?" Sawung Sariti menoleh kepada ayahnya. Ia terkejut.
Belum pernah ia melihat mata ayahnya memancarkan sinar
yang demikian kepadanya. "Mungkin ayah sedang marah kepada seseorang,"
pikirnya. Tetapi ternyata Lembu Sora itu memandangnya
terus seperti hendak menelannya hidup-hidup.
"Duduklah Lembu Sora," ayahnya mempersilahkan.
"Sawung Sariti sedang menyampaikan kabar yang aku kira
penting." Lembu Sora duduk di samping ayahnya, namun
pandangan matanya masih saja melekat kepada anaknya.
"Terlambat," geram Lembu Sora.
"Apa yang terlambat Lembu Sora?" tanya Ki Ageng Sora
Dipayana. "Kabar itu," jawab Lembu Sora. "Mungkin sesuatu telah
terjadi sekarang di Banyubiru. Pembunuhan dan pembalasan dendam." "Sabarlah," potong ayahnya, "Apakah yang sebenarnya
terjadi?" "Apa yang disampaikan oleh Sawung Sariti?" Lembu Sora
ganti bertanya. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Tokoh-tokoh sakti dari golongan hitam telah meninggalkan perkemahan mereka," jawab ayahnya.
"Ke mana?" desak Lembu Sora.
"Ke mana...?" ulang Ki A geng Sora Dipayana.
Sawung Sariti dan Galunggung menjadi bingung.
Agaknya Ki Ageng Lembu Sora telah mengetahui apa yang
terjadi. Sejenak mereka saling berpandangan. Tetapi
mereka terkejut ketika Lembu Sora membentaknya sambil
berdiri, "Kemana" Tidakkah kau sampaikan laporan itu
selengkapnya setelah kau ulur waktu hampir seperempat
malam supaya segala sesuatu menjadi semakin jelek?"
Sawung Sariti menjadi bertambah bingung. Adakah
ayahnya bersungguh-sungguh, ataukah ayahnya hanya
ingin menghilangkan kesan bahwa ayahnya akan berterima
kasih kepadanya. Tetapi tiba-tiba ayahnya bersikap lain.
Namun Sawung Sariti adalah anak yang cerdik. Ia tidak
kehilangan akal. Karena itu ia menjawab, "Aku belum
selesai ayah. Aku baru menyampaikan sebagian."
"Berapa lama kau perlukan waktu untuk menyampaikan
laporan yang dapat kau ucapkan dengan beberapa kalimat
saja?" bentak ayahnya.
"Sudahlah Lembu Sora." Ki Ageng Sora menengahi,
"Biarlah anakmu meneruskan laporannya. Memang ia belum
lama datang kepadaku."
Tetapi kemarahan Lembu Sora telah memenuhi dadanya.
Kemarahan yang bercampur-baur dengan penyesalan dan
perasaan yang menekan hatinya. Karena itu ia berkata lagi,
"Jadi kau belum lama menghadap eyangmu?"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sawung Sariti tidak tahu maksud ayahnya, karena itu ia
menjawab, "Ya ayah."
"Ke mana kau selama ini?" desak Lembu Sora.
Sawung Sariti menjadi beragu. Ia tidak berani berkata
kepada ayahnya, dari mana ia pergi, karena ada eyangnya.
Biasanya ia tidak perlu berahasia kepada ayahnya, tetapi
terhadap eyangnya, Sawung Sariti tidak berani berterus
terang. Karena itu tanpa disengaja ia berpaling kepada
Galunggung, seakan-akan minta supaya Galunggung
menjawab pertanyaan ayahnya itu.
Ternyata Galunggungpun mengerti pula, karena itu ia
menjawab, "Kami dari nganglang daerah medan, Ki Ageng."
"Medan mana?" Lembu Sora mendesak terus.
Galunggung pun menjadi beragu. Kenapa Ki Ageng
Lembu Sora tidak seperti biasa. Pada saat-saat lampau ia
tidak pernah mengurus ke mana ia pergi, dan apa saja yang
dilakukan. Tiba-tiba seperti disambar petir Sawung Sariti
mendengar ayahnya berteriak, "Kau pergi ke rumah Badra
Klenteng kan...?" Ki Ageng Sora Dipayana mengerutkan keningnya, seperti
mimpi ia mendengar kata-kata Lembu Sora tentang
cucunya itu. Mulut Sawung Sariti tiba-tiba seperti terkunci. Ayahnya
benar-benar marah kepadanya. Tidak kepada orang lain.
Kemarahan yang belum pernah dialaminya. Namun
Galunggung tiba-tiba berkata membela diri, "Tidak, Ki
Ageng. Siapakah yang mengatakan?"
Mata Lembu Sora bertambah menyala, "Kau mau bohong
Galunggung. Kau kira aku tidak tahu?"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Demi Allah," sahut Galunggung, tetapi ia tidak sempat
melanjutkan kata-katanya, karena tiba-tiba Ki Ageng Lembu
Sora meloncat dengan garangnya, dan menampar mulut
Galunggung sambil berteriak, "Jangan sebut kata-kata itu.
Mulutmu terlalu kotor untuk mengucapkannya."
Galunggung terdorong ke samping. Hampir saja ia jatuh
kalau tubuhnya tidak membentur dinding. Ketika ia
berusaha tegak kembali, terasa cairan yang hangat meleleh
dari mulutnya. Darah merah menyala, seperti kemarahan
yang menyala di dalam dadanya. Tetapi ia tidak berani
berbuat sesuatu. "Lembu Sora..." Ki Ageng Sora Dipayana memanggil
anaknya, "Duduklah. Biarlah aku bertanya kepada mereka."
Nafas Lembu Sora menjadi semakin memburu. Tetapi ia
duduk pula di samping ayahnya. Sawung Sariti sama sekali
tidak berani menatap wajah ayahnya, apalagi eyangnya
yang telah mendengar bahwa ia baru saja pergi ke rumah
Badra Klenteng. Tiba-tiba merayaplah dendam dadanya
kepada orang yang menjumpainya waktu itu. Pengawas
yang melaporkan peristiwa orang-orang golongan hitam itu.
Demikian juga Galunggung. Berkatalah di dalam hatinya,
"Kalau aku temui orang itu, aku sobek mulutnya dan akan
aku kubur ia hidup-hidup."
Ketika Galunggung pun telah duduk kembali dan
mengusap darah yang meleleh dari mulutnya dengan
lengan bajunya, terdengar Ki Ageng Sora Dipayana berkata
sareh, "Sudahlah Lembu Sora, segala sesuatu bukanlah
terjadi dengan tiba-tiba. Apalagi watak dan kelakuan.
Sekarang tenangkan hatimu. Hari masih panjang. Mudahmudahan aku mengalami masa-masa yang cerah. Masamasa yang cerah bukan bagiku sendiri, tetapi bagimu, bagi
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
cucuku Sawung Sariti, dan bagi cucuku Arya Salaka.
Kesempatan untuk membersihkan diri masih terbuka,
apalagi bagi anak semuda cucuku Sawung Sariti."
Lembu Sora menundukkan wajahnya. Sekali lagi ia
terlempar pada kenyataan akan kesalahan diri. Penyesalan
yang memukul-mukul dinding hatinya menjadi semakin
deras. "Nah, Sawung Sariti..." Ki Ageng Sora Dipayana
melanjutkan, "Apakah yang kau katakan tentang orangorang dari golongan hitam itu?"
Sawung Sariti mengangkat wajahnya, namun segera
tertunduk kembali. Perlahan-lahan terdengar ia berkata
dengan suara yang gemetar penuh dendam kepada
pengawas yang telah melaporkan keadaan, "Orang-orang
dari golongan hitam itu pergi ke Banyubiru, Eyang."
Ki Ageng Sora Dipayana terkejut. "Ke Banyubiru?"
ulangnya. "Ya," jawab Sawung Sariti yang kemudian mengulangi
laporan yang didengarnya dari pengawas itu.
"Kapan kau dengar laporan itu?" tanya Ki Ageng Sora
Dipayana. "Beberapa saat yang lalu," jawab Sawung Sariti.
"Kenapa baru sekarang kau sampaikan kepada
eyangmu?" bentak Lembu Sora. Sawung Sariti tidak
menjawab. Galunggung pun tidak. Tetapi seperti berjanji
mereka berteriak di dalam hati, "Mati kau pengawas gila."
Ki Ageng Sora Dipayana menjadi gelisah. Kemudian
kepada Sawung Sariti ia berkata, "Panggillah kakakmu Arya
Salaka." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sawung Sariti ragu sebentar, kemudian ia menjawab,
"Baiklah Eyang." Sesaat kemudian iapun berdiri, dan
bersama-sama dengan Galunggung ia meninggalkan rumah
itu. Ketika mereka keluar dari pintu, mereka melihat
Wulungan berdiri tegak dengan tangan bersilang dada.
Sawung Sariti berhenti sejenak, kemudian ia bertanya,
"Kau lihat Kakang Arya?"
Wulungan menggelengkan kepala. "Tidak Angger."
Kemudian Sawung Sariti melangkah pula dengan
tergesa-gesa. Galunggung sama sekali tidak mengucapkan
sepatah katapun. Ketika mereka telah menjauh, Wulungan
pun pergi di belakang mereka.
Di dalam perkemahan itu Lembu Sora berkata, "Tak akan
dijumpai Arya di sini."
Ki Ageng Sora Dipayana mengerutkan keningnya. Sambil
menoleh kepada anaknya ia bertanya, "Kenapa?"
"Arya telah pergi ke Banyubiru belum lama," jawab
Lembu Sora. "He...?" Ki A geng Sora Dipayana terkejut. "Sendiri?"
"Tidak. Dengan Adi Mahesa Jenar dan Kakang Putut
Karang Jati," sahut Lembu Sora.
"Mengapa?" tanya ayahnya pula.
"Ia sudah tahu apa yang terjadi," jawab Lembu Sora.


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk-anggukkan
kepalanya perlahan-lahan. Kemudian ia bertanya pula, "Dari
mana anak itu mendengar?"
"Langsung dari pengawas itu," jawab Lembu Sora.
Diceriterakannya apa yang diketahuinya mengenai SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
pengawas itu, serta kelambatan Sawung Sariti. Diceriterakannya pula bagaimana Arya Salaka langsung
meloncat ke kandang kuda dengan tombaknya dalam
genggaman. "Anak itu sadar akan tanggungjawabnya," desis
kakeknya. "Namun sayang ia terlalu tergesa-gesa.
Bukankah yang pergi ke Banyubiru itu Pasingsingan"
Untunglah Anakmas Mahesa Jenar dan anak Putut
Karangjati mengetahuinya, sehingga mereka segera
menyusul." Kepada ayahnya, Lembu Sora menyampaikan pesan
Mahesa Jenar, bahwa mereka terpaksa mendahului
perintah. "Mereka tahu benar apa yang harus mereka lakukan,"
gumam Ki Ageng Sora Dipayana. "Mereka orang-orang yang
memiliki firasat dan daya pengamatan melampaui kami
semuanya di sini. Bahkan mereka adalah orang-orang sakti
yang tak ada bandingnya di antara kita."
"Sayang, laporan yang sampai kepada mereka agak
terlambat," desah Lembu Sora. "Mudah-mudahan segala
sesuatu tidak menjadi lebih buruk karena pokal anakku.
Arya dan Banyubiru telah banyak mengalami kesusahan dan
kerusakan karena pamrih yang berlebih-lebihan, dan
apakah sekarang harus mengalami bencana yang lebih
dahsyat lagi?" "Tenanglah Lembu Sora," ayahnya menenangkan.
"Mahesa Jenar dan Putut Karangjati akan dapat melakukan
pekerjaannya dengan baik. Sekarang beristirahatlah. Kita
belum tahu apa yang harus kita lakukan besok pagi.
Suruhlah Sawung Sariti beristirahat pula. Demikian juga
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
seluruh laskarmu. Malam tinggal setengahnya lagi. Ki Ageng
Pandan Alas dan Titis agaknya telah tidur nyenyak pula."
"Baiklah ayah," jawab Lembu Sora sambil berdiri.
Kemudian iapun melangkah pergi ke pondoknya untuk
beristirahat, meskipun kepalanya masih dipenuhi oleh
penyesalan yang melonjak-lonjak. Setiap ia berusaha
melupakan, setiap kali dadanya bergetar, kenapa bayangbayang masa lampaunya datang berturut-turut. Namun
demikian ia berusaha untuk beristirahat dengan merebahkan dirinya di atas bale-bale bambu yang
direntangi tikar mendong.
Pada saat yang bersamaan, Sawung Sariti sedang
mondar-mandir mencari Arya Salaka. Namun sebenarnya
yang ingin dijumpainya pertama-tama adalah pengawal
yang dianggapnya tumbak-cucukan itu, yang suka
melaporkan kesalahan orang lain. Sawung Sariti dan
Galunggung sama sekali tidak menyesalkan perbuatan
mereka, tetapi mereka menyesalkan pengawas itu.
Ketika tiba-tiba mereka melihat pengawas itu duduk
bersandar batang nyiur di antara kawan-kawannya yang
berbaring tidur, Sawung Sariti menggeram, "Jahanam." Ia
mengumpat. Kemudian dengan satu loncatan ia telah
berdiri di hadapan pengawas itu sambil membentak, "He
bangsat kau masih di sini?"
Pengawas itu terkejut, sehingga ia meloncat berdiri.
"Kenapa kau tidak kembali ke tugasmu?" bentak Sawung
Sariti. "Seseorang telah menggantikan tugasku," jawab orang
itu kecemasan. "Bohong!" sanggah Sawung Sariti.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Orang itu menjadi bingung. "Benar angger," jawabnya.
"Aku telah bebas dari tugasku itu."
"Ha, agaknya kau lebih senang di sini. Mengadu domba
antara aku dengan Kakang Arya Salaka," bentak Sawung
Sariti. Orang itu mula-mula tidak mengerti maksud Sawung
Sariti itu. Tetapi kemudian disadarinya apa yang terjadi.
Sawung Sariti agaknya menjadi marah kepadanya, karena
ia telah berkata sebenarnya kepada Ki Ageng Lembu Sora.
Mungkin Ki Ageng Lembu Sora itu telah memarahinya.
Karena itu ia berkata, "Angger, jangan menyalahkan aku
kalau aku terpaksa mengatakan apa yang aku lihat demi
kewajibanku." "Pandainya tikus ini," potong Sawung Sariti. "Kau bisa
berkata hijau atas warna merah, dan kau bisa berkata
merah atas warna hijau."
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Apa yang harus
dikatakan" Ia menjadi semakin cemas ketika tiba-tiba
Galunggung melangkah maju dengan mata yang menyalanyala. Katanya, "Lihatlah, karena mulutmu yang lancang
itu, aku ditampar oleh Ki Ageng Lembu Sora."
Pengawas itu masih tetap berdiam diri. Beberapa orang
kawan-kawannya menjadi terbangun karenanya. Tetapi tak
seorangpun yang berani mencampurinya.
Tiba-tiba Galunggung itu berkata, "Ikuti aku."
"Ke mana?" orang itu menjadi ketakutan.
"Ikuti aku!" bentak Galunggung.
Orang itu tidak berani membantah lagi. Ia berjalan saja
di belakang Galunggung dan di belakangnya berjalan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sawung Sariti. Dengan gelisah ia mencoba menebak,
apakah yang akan dilakukan atas dirinya. Ia menjadi raguragu, apakah kebenaran yang diucapkannya itu dapat
diputar balik sedemikian rupa sehingga ia perlu mendapat
hukuman. Galunggung berjalan semakin lama semakin cepat.
Mereka menerobos pagar-pagar halaman dan meloncati
dinding desa. Akhirnya mereka sampai di gerumbulgerumbul kecil di samping desa Pangrantunan itu. Orang itu
menjadi semakin cemas. Ketika ia melihat Gunung Merbabu
dalam keremangan malam, tampaknya seperti raksasa yang
akan menerkamnya. Orang itu menjadi gemetar ketika tiba-tiba Galunggung
mencabut pedangnya sambil tertawa menakutkan, katanya,
"Mulutmulah yang pertama-tama harus disobek, lalu kau
akan aku kubur hidup-hidup."
"Apa salahku?" tanya orang itu gemetar. "Seandainya
aku berbuat salah karena laporanku, adalah pantas aku
dihukum mati dengan cara demikian. Apalagi aku telah
berusaha melakukan pekerjaanku sebaik-baiknya."
"Baik bagimu tidak selalu baik bagi orang lain." jawab
Sawung Sariti, "Dengan perbuatanmu itu, nanti kalau terjadi
sesuatu di Banyubiru, akulah yang dipersalahkan. Karena
itu, kau harus dilenyapkan. Dengan demikian, di hadapan
Eyang Sora Dipayana, tak ada seorangpun yang dapat
membuktikan kesalahanku."
Pengawas yang malang itu menjadi semakin ketakutan.
Ia tidak mengerti kenapa kebenaran sama sekali tidak
menjadi pertimbangan Sawung Sariti, yang hanya mengenal
kebenaran dari seginya sendiri.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Meskipun demikian, ia masih berusaha untuk membela
diri. "Angger Sawung Sariti. Kalau angger mengambil
keputusan untuk menghukum aku dengan kesaksianku,
maka kesaksianku itu telah diketahui pula oleh Ki Ageng
Lembu Sora, Angger Arya Salaka beserta gurunya serta
sahabat gurunya yang telah berhasil membunuh mati orang
sakti dari Nusakambangan."
Sawung Sariti mengerutkan keningnya. Ia
mengumpat di dalam hati. Kenapa Arya Salaka mendapat sahabat-sahabat yang sedemikian saktinya,
sehingga sedikit banyak dapat mempengaruhi keadaannya" Namun ia menjawab, "Aku dapat menyangkal kesaksian- kesaksian itu. Kau sangka
ayahku itu akan membenarkan kesaksianmu"
Setidak-tidaknya aku dapat
memperpendek waktu yang hilang sejak kau memberikan
laporan itu kepadaku sampai waktu yang aku pergunakan
untuk menyampaikan kepada Eyang Sora Dipayana."
"Kau tak usah terlalu banyak bicara," potong
Galunggung. "Nikmatilah udara terakhir ini sebaik-baiknya.
Sesudah itu, kau tak akan mengenalnya lagi."
Pengawas itu menjadi semakin gemetar. Namun ia
berkata, "Kalau ada akibat yang kurang baik bagi kalian
berdua, bukankah itu bukan salahku. Kalau kalian tidak
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sengaja memperlambat berita itu, maka segala sesuatu
akan menjadi baik." "Tutup mulutmu!" bentak Galunggung. "Kau tak perlu
mengigau pada saat-saat terakhir."
Tiba-tiba menjalarlah suatu perasaan lain didalam dada
pengawas itu. Ia adalah seorang prajurit. Beberapa kali
telah pernah dilihatnya ujung pedang yang berkilat-kilat.
Sekarang kenapa ia takut menghadapi pedang. Ia merasa
berpijak di atas kebenaran. Kalau ia terpaksa, apa boleh
buat ia telah dipepetkan ke suatu sudut dimana ia harus
mempertahankan diri. Dirasanya sesuatu terselip di ikat
pinggangnya. Keris. Meskipun yang berdiri di hadapan dua
orang yang sama sekali di atas kemampuannya untuk
melawan, namun ia tidak mau mati seperti tikus di tangan
seekor kucing. Biarlah ia berusaha untuk membebaskan diri.
Kalau perlu ia akan berteriak-teriak sekeras-kerasnya,
sambil melawan sedapat-dapatnya.
Galunggung yang telah terbakar oleh kemarahannya,
menjadi kehilangan kesabarannya. Dengan garangnya ia
melangkah maju sambil menggeram, "Jangan melawan,
sebab kalau kau melawan berarti akan memperlambat saatsaat kematianmu. Derita yang terakhir adalah selalu tidak
menyenangkan." Tetapi pengawas itu tidak peduli. Dengan tangkasnya ia
meloncat mundur sambil menarik kerisnya.
Melihat orang itu menarik senjatanya. Galunggung
tertawa. "Benar-benar kau sedang sekarat." Kemudian
sambil tertawa ia melangkah maju.
Tetapi tiba-tiba ketegangan itu dipecahkan oleh suara
yang sama sekali tak diduga oleh mereka. Tenang, namun
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
penuh pengaruh. Katanya, "Aku adalah satu-satunya saksi
yang melihat kebenaran diinjak-injak."
Seperti disambar petir, Galunggung dan Sawung Sariti
mendengar kata-kata itu. Ketika mereka menoleh,
dilihatnya Wulungan berdiri tenang sambil bersilang dada.
Pedangnya tergantung di lambung kirinya.
Sawung Sariti menjadi gemetar karena marahnya. Sambil
melangkah maju ia berkata, "Paman Wulungan, kau berani
mengganggu pekerjaanku?"
"Tidak Angger," jawab Wulungan tanpa bergerak.
"Tidak...?" sahut Sawung Sariti, "Lalu apa yang Paman
kerjakan sekarang. Apakah kau kira bahwa pedangmu itu
bermanfaat untuk melawan aku" Kau tahu, bukankah aku
murid Sora Dipayana?"
"Ya. Aku tahu bahwa angger adalah murid Ki Ageng Sora
Dipayana," jawab Wulungan.
"Kau tahu bahwa aku mampu melawan Wadas Gunung
berdua dengan anak buahnya?" desak Sawung Sariti.
"Ya." "Kau tahu bahwa aku adalah putra kepala daerah
Perdikan Pamingit dan Banyubiru sekaligus?"
"Ya." "Nah, apa yang akan kau lakukan sekarang?" tanya
Sawung Sariti sambil mengangkat dadanya.
"Tidak apa-apa." jawab Wulungan, "Aku tidak akan
melawan Angger. Sebab aku tahu, betapa aku mampu tak
melakukannya. Aku hanya ingin tahu, apa yang akan
Angger lakukan di sini?"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Apa kepentingamu" Dan apa pedulimu?" bentak Sawung


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sariti. "Setiap orang berkepentingan atas tegaknya kebenaran.
Aku yang membawa pengawas itu kepada Ki Ageng Lembu
Sora dan Angger Arya Salaka. Dan akulah yang minta
kepadanya untuk mengulangi laporannya."
"Hem..." geram Sawung Sariti. "Kau adalah saksi yang
kedua sesudah orang ini. Kalau begitu bagaimana kalau kau
aku bunuh sekalian?"
"Itu adalah urusan Angger Sawung Sariti," jawab
Wulungan masih setenang tadi.
"Kau akan melawan seperti tikus ini?" desak Sawung
Sariti. "Tidak," jawab Wulungan. "Tak ada gunanya. Tetapi
pernahkan Angger mendengar aku berlomba lari" Aku
adalah pelari tercepat dari setiap kawan-kawanku, baik
pada masa kanak-kanakku, maupun kini."
"Gila!" umpat Sawung Sariti. "Kau bukan seorang
jantan." "Aku memang bukan seorang jantan," jawab Wulungan.
"Tetapi aku mempunyai pertimbangan lain. Aku wajib
menyelamatkan kebenaran ini. Kalau aku mati, maka
kebenaran ini akan tertanam bersama mayatku. Tetapi
kalau aku lari selamat, bukankah aku dapat memberitahukannya kepada Ki A geng Sora Dipayana...?"
"Gila, Gila...." Sawung Sariti mengumpat tak habishabisnya. Ketika itu Galunggung mencoba mengingsar
dirinya, untuk menutup kemungkinan Wulungan kepada
pengawas itu. "Ki Sanak, baiklah kita berlomba lari. Jangan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
melawan. Kalau Adi Galunggung melangkah satu langkah
lagi, perlombaan akan dimulai tanpa pembicaraan lain."
Langkah Galunggung terhenti karenanya. Kalau Wulungan benar-benar melarikan dirinya saat itu, dan
orang yang pertama itu melarikan diri pula, akan sulitlah
untuk menangkap kedua-duanya. Salah satu atau keduanya
mungkin akan dapat melenyapkan dirinya di dalam
gerumbul-gerumbul yang berserak-serak itu, atau berteriakteriak minta tolong sehingga apabila terdengar oleh laskar
Banyubiru, persoalannya akan menjadi sulit.
"Setan," gumam Galunggung menahan marah yang
memukul-mukul dadanya. Sawung Sariti menjadi semakin marah. Dengan gigi
gemeretak ia berkata, "Lalu apa yang kau kehendaki
Wulungan?" Wulungan menarik nafas. Tangannya masih terlipat di
dadanya. Ia melihat kegelisahan Sawung Sariti. Meskipun
demikian ia tidak boleh kehilangan kewaspadaan. Dengan
perlahan-lahan namun penuh dengan tekanan, Wulungan
menjawab, "Tidak banyak Angger. A ku menghendaki orang
itu Angger bebaskan dari segala tuntutan pribadi. Sebab
Angger memandang persoalannya dari kepentingan diri
sendiri." "Gila, kau licik seperti demit." Sawung Sariti mengumpat.
"Kita semua adalah orang-orang yang licik. Penuh nafsu
tanpa pengendalian," jawab Wulungan.
Sekali lagi Sawung Sariti menggeram. Katanya,
"Kepalamu memang harus dipenggal."
Tetapi Wulungan tidak mendengarkan. Ia meneruskan
kata-katanya, "Kau dengar Angger melepaskan orang itu,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
maka aku berjanji tidak akan mengatakan kepada siapapun
juga, apa yang terjadi sekarang di sini. Orang itupun tidak
akan membuka mulutnya pula." Kemudian kepada
pengawas itu Wulungan berkata, "Begitu kan...?"
Pengawas itu mengangguk kosong, meskipun hatinya
bergolak. Tetapi ia harus selamat dahulu.
Sekali lagi Galunggung menggeram, katanya, "Apa
jaminanmu?" "Tidak ada," jawab Wulungan cepat.
"Bagaimana aku bisa percaya?" desak Galunggung.
"Terserah padamu. Percaya atau tidak," sahut Wulungan.
"Tetapi aku bukan orang yang suka melihat benturanbenturan diantara keluarga sendiri."
Kemudian dengan penuh kejengkelan Sawung Sariti
berkata, "Baiklah aku percaya kepadamu Wulungan. Tetapi
kalau kau memungkiri kesanggupanmu, aku banyak
mempunyai alasan dan cara untuk membunuhmu."
"Terserah kepada Angger," jawab Wulungan.
Sawung Sariti tidak menjawab. Tetapi dengan tergesagesa ia melangkah pergi. Galunggungpun kemudian
mengikutinya dibelakang. "Ikuti aku," perintah Wulungan kepada pengawas itu.
Pengawas itu tidak membantah, namun di dalam dadanya
bergelutlah ucapan terima kasih kepada Wulungan. Mereka
berdua berjalan tidak begitu jauh di belakang Galunggung.
Dengan demikian Wulungan dapat mengetahui langsung
apa yang akan dilakukan seandainya orang itu akan
mencoba menyergapnya.Tetapi Sawung Sariti dan Galunggung berjalan terus ke perkemahan. Karena itu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Wulungan dan pengawas itu telah merasa dirinya tentram.
Ia tahu betul bahwa Sawung Sariti atau Galunggung tidak
akan mengganggunya, sebab dengan demikian Wulungan
akan segera mengetahui apa yang terjadi atasnya.
Sampai di perkemahan, Sawung Sariti masih tetap
mengumpat-umpat. Ia sudah kehilangan nafsu untuk
mencari Arya Salaka. "Persetan dengan anak itu,"
geramnya. "Dan persetan dengan Banyubiru."
"Bagaimana kalau Ki Ageng Sora Dipayana bertanya
tentang A rya?" tanya Galunggung.
"Pergilah kepada Eyang Sora Dipayana, katakan kalau
Arya tak dapat kami ketemukan," perintah Sawung Sariti.
Dan Galunggung pun segera pergi.
----------o-dwkz)(arema-o---------SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
III MALAM berjalan terus. Semakin lama menjadi semakin
dalam. Bintang-bintang telah jauh berkisar dari tempatnya.
Sementara itu, di jalan yang berbatu-batu menuju ke
Banyubiru berderak-deraklah suara kaki tiga ekor kuda yang
Kemelut Blambangan 7 Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Tangan Geledek 7

Cari Blog Ini