Ceritasilat Novel Online

Naga Sasra Dan Sabuk Inten 35

Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja Bagian 35


dipacu seperti angin. Yang terdepan adalah Arya Salaka.
Beberapa langkah di belakangnya adalah Mahesa Jenar,
sedang rapat di belakangnya adalah Kebo Kanigara.
Betapa hati Arya Salaka menjadi gelisah dan marah
mendengar laporan pengawas dari Pamingit itu. Ia tidak
tahu kepada siapa ia harus marah. Mungkin kesalahannya
terletak pada Sawung Sariti. Atau pada waktu. Mungkin
Sawung Sariti sudah mencarinya untuk menyampaikan
khabar itu, tetapi tidak segera ditemuinya.
Semakin dalam ia berpikir tentang gerombolan berkuda
yang di antaranya terdapat Pasingsingan, semakin
gelisahlah hatinya. Karena itu kudanya dipacu semakin
cepat. Ia ingin segara sampai.
Ketika ia menoleh, dilihatnya dua orang berkuda
menyusulnya. Ia berbesar hati. Keduanya pasti gurunya
beserta Kebo Kanigara. Ia yakin bahwa kedua orang itu
akan mengikutinya, apalagi keduanya mendengar sendiri,
bahwa yang pergi ke Banyubiru di antara orang-orang
golongan hitam itu terdapat Pasingsingan. Sedangkan di
Banyubiru ada Rara Wilis dan Endang Widuri. Arya Salaka
tahu benar, bahwa Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara
berkepentingan atas keduanya. Mahesa Jenar pasti tidak
mau kehilangan Rara Wilis, sedang Kebo Kanigara akan
mencemaskan nasib putrinya. Tetapi kenapa ia sendiri
menjadi sangat cemas" Siapakah yang ditinggalkan di
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Banyubiru" Paman Mantingan atau Paman Wirasaba, atau
Eyang Wanamerta" Bukan itulah yang pertama-tama kali
diingatnya. Tetapi Banyubiru. Mungkin orang-orang dari
golongan hitam itu akan membakar rumahnya dan rumahrumah rakyat yang tak bersalah. Melepaskan dendamnya
kepada orang-orang yang dijumpainya. Kepada Eyang
Wanamerta, Paman Mantingan, Wirasaba atau Endang
Widuri. Dada Arya tiba-tiba berdesir keras. Dalam keadaan
yang demikian ia tidak sempat menyadari bahwa
sebenarnya yang mendorongnya untuk memacu kudanya
lebih cepat adalah kecemasan atas nasib gadis nakal yang
aneh itu. Demikianlah di malam yang gelap itu Arya Salaka
memacu kudanya habis-habisan. Tidak diingatnya bahaya
yang menghadang di hadapannya. Lereng-lereng pegunungan dan tebing-tebing yang curam.
Dan sebenarnyalah Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara,
disamping kesadarannya akan kewajibannya, melindungi
Arya Salaka dalam perjuangannya melawan kejahatan dan
ketamakan, mereka mempunyai kepentingan masingmasing. Rara Wilis dan Endang Widuri telah memaksa
mereka untuk cemas dan gelisah.
Suara raung anjing-anjing liar mengumandang dari
tebing-tebing pegunungan. Dan malam menjadi semakin
garang karenanya. Desah angin pegunungan yang mengalir
lewat jurang-jurang yang dalam, terdengar seperti bunyi
siul raksasa yang sedang bermalas-malas.
Suara-suara malam itu telah membuat Arya menjadi
semakin gelisah. Ia menjadi jengkel kepada kudanya, yang
seolah-olah berlari dengan segannya, meskipun tumbuhtumbuhan dan batu-batu besar yang menjorok di tepi- tepi
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
jalan tampak seperti hanyut ke belakang secepat banjir.
Namun hatinya ternyata jauh lebih cepat dari kaki-kaki
kudanya itu. Dan Banyubiru terbayang di serambi matanya
seperti menggapai-gapaikan tangan-tangannya, memanggilnya, "Arya, tolonglah aku...." Tetapi suara itu
seperti seorang gadis. Gadis yang dikenalnya baik-baik,
bersenjata rantai perak dengan bandul Cakra yang
bercahaya-cahaya. Tetapi senjata yang sakti itu tak berarti
di mata orang yang berjubah abu-abu, bertopeng kasar dan
menamakan dirinya Pasingsingan. Tiba-tiba iapun tak akan
berarti pula. Ia pernah mendengar Mahesa Jenar
berceritera, bahwa ayahnya Ki Ageng Gajah Sora yang
sedang marah pun tak dapat berbuat sesuatu melawan
hantu berjubah abu-abu itu. Ayahnya itu hanya mampu
menyobek ujung jubahnya dengan tombak Kyai Bancak itu
di Alun-alun Banyubiru. Tanpa disengaja, sekali lagi ia
menoleh. Dan dengan serta merta ia bergumam, "Guruku
telah mampu membunuh Sima Rodra dari Lodaya, sedang
Paman Kebo Kanigara berhasil membinasakan Nagapasa.
Apa artinya Pasingsingan bagi mereka?"
"Tetapi...." Hatinya membantah sendiri, "Kalau segala
sesuatu telah terjadi?" Kembali mengiang di telinganya
sebuah jerit nyaring. Arya Salaka terkejut. Namun segera ia
sadar, bahwa suara itu hanyalah pekik burung hantu yang
sedang berkelahi. Terdengar gigi Arya gemeretak. Dan
kembali malam menjadi bertambah sepi.
Dan malam yang sepi itu benar-benar sedang merajai
permukaan bumi. Pangrantunan, Banjar Gede, Pamingit,
Gemawang dan seluruh wajah bumi menjadi kelam. Juga
Banyubiru. Lereng bukit Telamaya itupun, ditelan oleh
hitamnya malam. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sebagian besar dari penduduknya sedang lelap dipeluk
mimpi. Mereka telah merasa, betapa mereka terhindar dari
bencana. Meskipun ada di antara mereka yang sedang
mengenangkan nasib suaminya, anak-anaknya
atau kekasihnya yang sedang berjuang di Pamingit. Sedang para
penjagapun merasa betapa tenangnya malam.
Pendapa Banyubiru pun tampak sepi. Sepasang obor
masih tampak menyala. Api yang menjalar berlenggang
dengan malasnya dibelai angin malam.
Dua orang penjaga berdiri menahan kantuknya di regol
halaman. Sedang beberapa orang lain duduk di gardu
dengan mata yang redup. Sekali-kali Wanamerta yang
masih duduk di pendapa bersama Ki Dalang Mantingan
tampak menguap. "Beristirahatlah Paman." Terdengar suara Mantingan
lemah. "Malam terlalu dingin," gumam orang tua itu.
"Ya," sahut Mantingan.
"Tetapi hatiku gelisah." Orang tua itu meneruskan.
Mantingan tidak menjawab. Tetapi pandangan matanya
terlempar ke halaman, menembus kelam.
Perlahan-lahan Mantingan menarik nafas dalam.
"Adakah Angger Wilis dan cucuku Widuri telah tidur?"
tanya Wanamerta. "Mungkin," jawab Mantingan. "Baru saja aku selesai
berceritera. Anak itu minta aku berceritera tentang
Gatotkaca, Pergiwa dan Pergiwati."
Wanamerta tersenyum. Tetapi ia berdiam diri. Yang
terdengar kemudian adalah suara seruling. Sayup-sayup
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dibawa angin. Namun suaranya demikian merdu. Seirama
dengan heningnya malam. "Seruling Kakang Wirasaba," desis Mantingan.
"Pantaslah ia bergelar Seruling Gading," sahut Wanamerta. Sebagai biasa Wirasaba berlagu melampaui batas
gending-gending yang ada. Lagunya seperti lagu angin
malam. Hening sepi, namun penuh kemesraan hati
manusia. "Di manakah Angger Wirasaba?" tanya Wanamerta.
"Di gardu belakang. Bersama-sama Sendang Parapat,"
jawab Mantingan. Wanamerta mengangguk-angguk. Namun kegelisahan di
hatinya semakin terasa. Sebagai orang tua, firasatnya
bertambah hari bertambah tajam.
Ia terkejut ketika tiba-tiba daun-daun sawo di halaman
bergoyang ditiup angin yang bertambah kencang.
Mantingan mengikuti arah pandangan Wanamerta.
Tetapi yang dilihatnya pun hanyalah daun sawo yang
bergerak-gerak. "Aneh," gumam Wanamerta.
"Apakah yang aneh?" tanya Mantingan.
"Aku tidak tahu. Tetapi aku menjadi gelisah seperti daundaun sawo di halaman itu," jawab Wanamerta.
Mantingan mengerutkan keningnya. Terasa pula hatinya
berdesir halus. "Sepi yang menggelisahkan," sahutnya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Suara seruling Wirasaba pun tiba-tiba berubah. Nadanya
menjadi bertambah tinggi. Terasa betapa hatinya menjadi
gelisah. Namun betapa merdunya suara seruling itu.
Tetapi sesaat kemudian suara seruling itu berhenti.
Mantingan mengangkat wajahnya. "Berhenti," desisnya.
"Ya," sahut Wanamerta, "Agaknya Angger Wirasaba
kedinginan." Mantingan mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab. Hanya matanya yang kembali beredar mondarmandir di halaman. Karena hatinya yang gelisah,
pandangannya pun menjadi gelisah. Mantingan mencoba
mengamati setiap benda yang ada di halaman. Pohon sawo,
pohon jambu, dinding-dinding halaman, pohon-pohon
kelapa. Semuanya diam beku. Yang bergerak-gerak
hanyalah para penjaga yang berjalan hilir mudik di luar
regol. Tiba-tiba keduanya terkejut ketika terdengar langkah
naik ke pendapa. Ketika menoleh, dilihatnya Ki Wirasaba
berjalan dengan malasnya menjinjing kapaknya. Di
belakangnya berjalan Sedang Parapat yang telah hampir
sembuh. Mantingan dan Wanamerta menarik nafas panjang.
"Ah...." gumam Wanamerta. "Kenapa aku berubah menjadi
penakut?" "Kenapa...?" tanya Wirasaba sambil duduk di samping
mereka. "Aku terkejut mendengar langkah Angger seperti
mendengar langkah hantu," jawab Wanamerta.
Wirasaba mengangguk-angguk lemah. Hatinya pun
dirayapi perasaan-perasaan aneh. Serulingnya terselip di
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
ikat pinggangnya, sedang tangannya menggenggam
kapaknya. Tiba-tiba mata Mantingan sekali lagi menatap daun-daun
sawo yang bergerak-gerak ditiup angin malam. Kemudian
matanya menatap daun-daun jambu di sebelahnya. Aneh.
Daun jambu itu tidak bergoyang terlalu keras seperti daundaun sawo itu. Karena itu ia menjadi curiga. Ketika sekali
lagi ia melihat daun itu bergerak-gerak, dengan serta merta
ia berdiri dengan trisulanya di tangan, kemudian dengan
tangkasnya ia meloncat sambil berkata lantang, "Siapakah
yang mencoba membuat permainan itu?"
Wanamerta, Wirasaba dan Sendang Parapat pun terkejut
ketika mereka melihat Mantingan meloncat. Mereka
masih belum tahu apa yang
dimaksudnya. Tetapi ketika
pandangan mereka mengikuti arah pandangan mata Mantingan, merekapun
melihat bahwa daun-daun sawo itu bergoyang-goyang.
Tiba-tiba terdengarlah suara tertawa yang menyeramkan dari pohon sawo itu. Suara yang sudah
mereka kenal baik-baik. Para
penjaga dan para pengawalpun terkejut pula. Bahkan Mantingan terpaksa
menghentikan langkahnya. "Lawa Ijo," gumamnya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sesaat kemudian dilihatnya bayangan yang melontar
turun dari pohon sawo di halaman itu. Seorang yang
bertubuh tinggi besar dan berdada tegak. Sekali lagi
Mantingan terkejut melihat orang itu. Bukan Lawa Ijo,
tetapi agaknya ia pernah melihatnya.
Tiba-tiba ia menjadi ngeri. Bukankah Watu Gunung telah
dibinasakan oleh Mahesa Jenar" Apakah ia dapat hidup
kembali..." Namun sebelum ia sempat bertanya terdengar
Wirasaba menggeram, "Hem, kau Wadas Gunung."
Mantingan menoleh ke arah Wirasaba. Ia mengulang
perlahan, "Wadas Gunung. Siapakah dia?"
"Adik seperguruan Lawa Ijo," jawab Wirasaba.
"Watu Gunung yang kau maksud...?" Ia bertanya pula.
Wirasaba menggeleng. "Bukan. Saudara kembarnya.
Orang ini pernah bertempur melawan Adi Mahesa Jenar di
Pliridan bersama-sama dengan 20 orang kawannya."


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sementara itu Wadas Gunung telah berjalan beberapa
langkah maju. Sambil tertawa pendek ia berkata, "Nah, kau
orang berkapak yang membantu Mahesa Jenar di Pliridan
dahulu" Kau masih mengenal aku dengan baik."
Wirasaba juga maju. "Kau datang pula ke Gedong Songo
beberapa hari yang lalu," katanya. Dan kapaknya tiba-tiba
bergetar di tangannya. Ketika ia hampir meloncat
menyerbu, terdengar Wanamerta yang tua itu berbisik,
"Hati-hatilah Angger. Ia pasti tidak datang sendiri."
Belum lagi Wanamerta selesai berkata, terdengarlah
suara kentongan bertalu-talu tiga kali berturut-turut.
"Kebakaran," desis Wanamerta.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sekali lagi Wadas Gunung tertawa. Katanya, "Kebakaran.
Jangan terkejut. Banyubiru telah dikepung."
Wajah Sendang Parapat menjadi merah. Ia harus segera
menggerakkan segenap laskar cadangan yang ada. Tetapi
ketika ia melangkah ke gardu penjagaan, sebelum turun
dari pendapa, muncullah seorang lagi di hadapannya.
Sendang tertegun. Ia belum pernah melihat orang itu.
Seorang yang berwajah tampan, berkulit kuning dan
berpakaian rapi. Di tangannya tergenggam sebuah tongkat
warna hitam. "Siapakah kau...?" Tiba-tiba Sendang Parapat bertanya.
Orang itu tersenyum. Senyumnya tampak aneh. Katanya,
"Jangan risaukan siapa aku."
Sendang Parapat menjadi marah. Tetapi ia tidak
mendapat banyak kesempatan. Karena itu ia berteriak saja
dari pendapa, "Bunyikan tanda, gerakkan segenap laskar
cadangan." Sesaat kemudian, orang-orang di gardu penjagaan
menjadi sadar akan bahaya yang datang. Seseorang
kemudian meloncat memukul kentongan titir. Tetapi suara
titir itu terputus ketika tiba-tiba pemukul kentongan itu
terpelanting jatuh. Sendang Parapat terkejut. Karena itu ia
menjadi semakin marah. Untunglah bahwa suara titir yang
pendek itu telah terdengar dari gardu di luar halaman yang
terdekat, sehingga suara titir itupun segera bersambut.
Apalagi ketika seorang yang lain segera merebut pemukul
kentongan dari tangan orang pertama. Kemudian dengan
tanpa takut-takut iapun mengulang memukul kentongan itu
dengan irama yang sama, titir. Namun orang kedua inipun
kemudian terjatuh pula dengan luka di kepalanya. Sebuah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
batu telah membenturnya. Tetapi suara titir telah menjalar
ke segenap penjuru Banyubiru.
Banyubiru yang sedang tidur lelap itu menjadi terbangun
dengan tiba-tiba. Suara kentongan tiga kali berturut-turut
telah mengejutkan hati mereka. Apalagi kemudian
terdengar bunyi titir yang merayap-rayap di seluruh lereng
bukit itu. Laskar Banyubiru pun menjadi terkejut. Untunglah bahwa
mereka telah terlatih dengan baik. Sehingga dalam waktu
yang singkat mereka telah siap untuk menghadapi setiap
kemungkinan. Ketika terdengar suara titir bersahutan,
sadarlah mereka bahwa bahaya yang besar telah datang.
Para pemimpin kelompok itupun segera tahu apa yang
harus dilakukan. Sebagian dari laskar itu segera berangkat
dengan tergesa-gesa ke tempat kebakaran.
Orang yang berwajah tampan itupun mengangkat
wajahnya ketika suara titir telah menjalar ke segenap arah.
Ia mengerutkan keningnya, kemudian katanya kepada
Sendang Parapat, "Jangan berdiri saja di situ, pergilah
supaya umurmu panjang."
Betapa marahnya Sendang Parapat. Segera ia menarik
pedangnya. Dengan penuh nafsu ia berhasrat menyerang
orang itu. Tetapi langkahnya terhenti ketika terdengar suara
halus di belakangnya, "Sendang, jangan tergesa-gesa. Ia
bukan lawanmu." Sendang Parapat menghentikan langkahnya. Iapun
segera menoleh. Bahkan semua orang memandang ke arah
suara itu. Ternyata Rara Wilis telah berdiri di ambang pintu.
Mula-mula ia menjadi ngeri melihat kehadiran Jaka Soka.
Bukan karena ia takut seandainya ia harus bertempur.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tetapi sebagai seorang gadis, ia merasa bahwa Jaka Soka
adalah orang yang pernah menjadi gila karena dirinya.
Ketika Jaka Soka melihat gadis itu, hatinya bergetar
cepat. Ia masih belum dapat melupakan, betapa wajah
gadis itu selalu terbayang. Karena itu tiba-tiba kembali ia
tersenyum. Senyum yang aneh.
Tiba-tiba saja Jaka Soka merasakan adanya suatu kurnia
bagi dirinya. Kalau ia turut ke Banyubiru bersama beberapa
orang dan laskar golongan hitam, adalah karena
dendamnya yang meluap-luap. Ia ingin membunuh siapa
saja yang dapat dibunuhnya, sebagai ganti kematian
gurunya. Tetapi tiba-tiba ia bertemu dengan gadis ini.
Matanya yang redup itupun menjadi bersinar-sinar. Dan
pandangan mata yang demikian itulah yang menyebabkan
seluruh bulu tengkuk Wilis berdiri. Namun, kemudian gadis
itu merasa, bahwa menjadi kewajibannya untuk turut serta
mengamankan rumah ini, sebagai lambang pemerintahan
Banyubiru. Karena itu iapun melangkah maju sambil berkata, "Jaka
Soka, apakah kerjamu di sini" Apakah pekerjaanmu di
Pamingit sudah selesai...?"
Wadas Gunung pun menjadi keheran-heranan. Apakah
yang dilakukan oleh Jaka Soka itu" Dimanakah ia
berkenalan dengan gadis manis yang menyapanya, "Hem,
agaknya kau mendapat pekerjaan baru di sini Jaka Soka."
Jaka Soka tersenyum, jawabnya, "Bukan, Wadas
Gunung. Bukan pekerjaan baru. Aku sudah berjanji akan
datang kepadanya beberapa tahun yang lampau. Dan
agaknya ia pun tetap menanti."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Wajah Rara Wilis menjadi merah. Sekali dilayangkan
pandangannya sekeliling pendapa itu. Di situ masih berdiri
Mantingan, Wanamerta, Wirasaba dan Sendang Parapat.
Sedang di bawah tangga berdiri Wadas Gunung dan di
sebelah lain Jaka Soka. Ketika ia melihat para penjaga yang
berdiri tidak lebih dari lima orang itupun telah bersiap pula.
Ia menarik nafas panjang. Kalau hanya kedua orang itu
saja, mungkin masih akan dapat diatasi. Tetapi ia terkejut
ketika terdengar suara yang seram dari dalam gelap. Lebih
seram dari suara Wadas Gunung. Kemudian disusul dengan
bayangan yang remang-remang semakin lama semakin
jelas. Lawa Ijo. Mantingan menarik nafas. Agaknya bahaya
yang mendatang benar-benar menggetarkan dadanya.
Lawa Ijo itu kemudian berdiri saja disamping Jaka Soka.
Sambil tertawa pendek ia berkata, "Jaka Soka. Apa kau
masih mengharapkan gadis itu?"
"Ia tetap menanti aku dengan setia," jawab Jaka Soka.
Lawa Ijo tertawa ketika ia melihat sekali lagi wajah Rara
Wilis menjadi merah. Namun gadis itu tidak menjawab.
Yang menjawab adalah suara gadis lain, Endang Widuri.
Katanya, "Benar Paman Soka. Bibi Wilis menantimu. Sebab
sepeninggalmu, kuda-kuda kami menjadi kekurangan
rumput." Jaka Soka mengerutkan keningnya. Ia memandang gadis
yang berdiri di pintu itu dengan sinar mata yang seram.
Tetapi Lawa Ijo tertawa mendengar jawaban itu. Katanya,
"Ha, dengar. Apa yang dikatakan gadis nakal itu. Dan
barangkali memang sepantasnya kau menjadi pekatiknya,
mencari rumput bagi kuda-kudanya."
Jaka Soka pernah bertempur dengan Widuri di
Gedangan. Pada saat itu ia benar-benar keheranan, bahwa
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
gadis sebesar itu telah mampu bertempur sedemikian
hebatnya. Dan kini tiba-tiba gadis itu muncul kembali.
Karena itu Jaka Soka menjadi tak senang sama sekali,
katanya, "He monyet kecil. Jangan ganggu aku lagi. Aku
benar-benar akan membunuhmu."
Ketika mendengar kata-kata itu, Widuri menjadi tertawa,
sedang Lawa Ijo pun tertawa pula. Terdengar Lawa Ijo
menyahut, "Jangan marah kepada gadis kecil itu Soka. Ia
berkata sebenarnya."
Mata Jaka Soka menjadi semakin seram. Dengan
tajamnya ia memandang gadis kecil yang nakal itu. Namun
ia tidak bisa meloncat saja kepadanya. Di hadapannya
berdiri Rara Wilis. Kalau saja Rara Wilis lima enam tahun
yang lampau, mungkin ia tidak perlu memperhitungkan
dalam tindakan-tindakannya. Tetapi Rara Wilis yang berdiri
di hadapannya dengan pedang yang tergantung di
lambungnya, adalah Rara Wilis yang telah berhasil
membunuh istri Sima Rodra. Karena itu Jaka Soka masih
berdiri saja di tempatnya.
Sedangkan Endang Widuri, betapapun nakalnya, namun
ia tahu juga bahwa keadaan pendapa Banyubiru itu benarbenar dalam bahaya. Karena itu rantainya sudah tidak
tergantung lagi di lehernya, tetapi dengan jari-jarinya yang
kecil, ia bermain-main dengan senjata itu. Bahkan cakranya
pun telah melekat di ujungnya.
Benda yang berkiliat-kilat, berbentuk bulat bergerigi itu
tidak lepas dari perhatian Jaka Soka. Senjata yang demikian
benar-benar berbahaya. Tetapi ia percaya kepada tongkat
hitamnya serta pedang yang terselip di dalamnya.
Namun sesaat kemudian kembali pendapa itu digetarkan
oleh dua bayangan yang datang memasuki regol halaman.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Ketika penjaga-penjaga di regol halaman itu berusaha
mencegahnya, mereka terpelanting jatuh, dan tidak bangun
kembali. Para penjaga yang lain pun terkejut. Tetapi
mereka terpaku di tempatnya ketika mereka melihat orang
yang datang itu. Yang seorang berjubah abu-abu bertopeng
jelek, dan seorang bertubuh tinggi besar dan berkepala
besar pula. Mereka adalah Pasingsingan dan Sura Sarunggi.
Kedua orang itu berjalan seenaknya ke pendapa. Tetapi
kemudian terdengar suaranya menggeram. "Lawa Ijo.
Permainan apa yang sedang kau lakukan" Kau masih berdiri
saja mengagumi kecantikan gadis-gadis itu" Waktu kita
tidak banyak. Aku telah memberikan petunjuk-petunjuk
bagaimana laskarmu menghindari orang-orang Banyubiru
yang sudah menjadi gila di tempat kebakaran. Waktu kita
tidak banyak." Lawa Ijo sadar, bahwa seseorang telah melihat mereka
di Pamingit. Sehingga dengan demikian ada kemungkinan
mereka menyusul ke Banyubiru. Karena itu ia berkata,
"Baiklah Guru. Dan apakah yang akan Guru lakukan
sekarang?" "Bunuhlah orang-orang ini semuanya. Kecuali kalau Jaka
Soka masih menghendaki gadis itu. Tetapi buatlah ia tidak
berdaya. Aku akan melihat isi rumah, apakah Nagasasra
dan Sabuk Inten benar-benar masih ada di sini."
Terdengar Mantingan dan Wirasaba menggeram. Namun
ia sadar betapa dahsyatnya kekuatan yang datang itu. Ia
sadar pula, bahwa kebakaran di ujung kota adalah suatu
cara untuk memancing laskar Banyubiru.
Pasingsingan dan Sura Sarunggi itu tidak memperhatikan
apa-apa lagi. Mereka langsung berjalan naik pendapa
dengan seenaknya. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Ketika Pasingsingan dan Sura Sarunggi berjalan melintasi
pendapa, tak seorangpun berusaha mencegahnya. Mereka
memandang saja seperti memandang hantu. Mantingan
dengan trisula di tangannya, hanya gemetar saja di
tempatnya, sedang Wirasaba tegak seperti patung dengan
kapak di tangan. Meskipun tangan Rara Wilis sudah melekat
di hulu pedangnya, ia pun tidak berbuat apa-apa. Kali ini
Widuri pun tidak berani bermain-main. Ia telah pernah
melihat hantu berjubah dan bertopeng kasar itu bertempur
melawan Mahesa Jenar di Gedong Songo. Karena itu ketika
kedua orang itu berjalan ke pintu, Widuri menggeser diri.
Sesaat Pasingsingan berhenti pula dan memandangi wajah
gadis yang jernih itu. Tanpa disengaja ia kemudian menoleh
kepada Lawa Ijo. Tetapi kembali ia tidak mempedulikan
keadaan sekelilingnya. Dengan Sura Sarunggi, Pasingsingan
segera memasuki rumah untuk mencari pusaka-pusaka
yang menggemparkan itu. Ketika kedua orang sakti itu telah lenyap ditelan pintu,
mulailah Lawa Ijo menggeram. Kemudian terdengar ia
berkata, "Jaka Soka, jangan terlalu lama bermain-main.
Waktu kita tidak terlalu banyak."
Jaka Soka tersenyum. Dengan mata redup ia melangkah
maju, dan dengan satu loncatan ia naik ke pendapa. Pada
saat yang bersamaan Rara Wilis telah menyambut
pedangnya. Ia sadar bahwa Ular Laut itu pasti akan
menyerangnya. Sekali lagi hatinya meremang, ketika
teringat peristiwa-peristiwa di hutan Tambakbaya. Tetapi
sekarang ia harus menghadapi bajak laut itu dengan
senjata di tangan, tidak untuk bunuh diri, tetapi untuk
membunuh lawannya itu. Yang terjadi di sebelah lain, Wirasaba dengan garangnya
meloncat ke arah Wadas Gunung. Kapaknya yang besar itu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
berputar dengan dahsyatnya. Sedang Wadas Gunung pun
menerima serangan Wirasaba dengan penuh gairah. Di
kedua belah tangannya telah tergenggam dua buah pisau
belati panjang. Sesaat kemudian terjadilah perkelahian yang
sengit. Kedua-duanya bertubuh tinggi, besar dan berkekuatan luar biasa. Keduanya memiliki kelincahan dan
kecepatan bergerak. Wirasaba kini telah memiliki seluruh
ketangkasannya. Kakinya sudah benar-benar pulih kembali,
tidak seperti pada saat ia menyusul Mahesa Jenar ke
Pliridan beberapa tahun yang lampau. Dengan demikian
pertempuran itu menjadi dahsyat sekali. Banturan-benturan


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

senjata mereka berdentang-dentang menyobek sepi malam.
Demikian kerasnya sehingga berloncatlah bunga api
keudara, memercik berhamburan.
Mantingan melihat Wirasaba telah mulai, dan Rara Wilis
telah berhadapan dengan orang yang berwajah tampan itu.
Yang masih berdiri tanpa lawan adalah Lawa Ijo. Lawa Ijo
itu tidak dapat dikalahkan, namun apapun yang terjadi
adalah menjadi kewajiban Mantingan. Karena itu segera
Mantingan meloncat menyerang Lawa Ijo. Terdengarlah
Lawa Ijo tertawa. Sesaat kemudian di tangannya telah
berkilat-kilat pisau belati panjang. Dengan tangkasnya ia
menyongsong serangan trisula Mantingan. Maka sesaat
kemudian mereka telah terlibat dalam suatu perkelahian
yang sengit. Keduanya bertempur mati-matian. Untuk
segera dapat mengakhiri pertempuran, Lawa Ijo yang
garang itu meloncat dengan dahsyatnya, sedangkan
Mantingan pun tidak kalah lincahnya. Karena ia sudah
mengenal Lawa Ijo, maka dalam pertempuran itu, segera ia
mempergunakan ilmu gerak yang dinamainya Pacar Wutah.
Dalam saat-saat berikutnya, trisulanya bergerak-gerak
dengan cepatnya menyerang tubuh lawannya dari segala
arah. Tetapi Lawa Ijo pun telah mengenal ilmu itu. Di
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Gedong Sanga, ia gagal membunuh dalang Mantingan itu.
Sekarang ia akan menebus kegagalannya. Dahulu Dalang
Mantingan berhasil diselamatkan oleh Arya Salaka. Dan
sekarang tak ada orang yang akan menyelamatkannya.
Karena itu, maka Lawa Ijo yakin bahwa kali ini ia akan
berhasil. Wirasaba yang bertempur dengan Wadas Gunung pun
telah mengerahkan segenap kekuatannya. Ia ingat apa
yang pernah terjadi di Gedong Sanga, waktu itu pun Wadas
Gunung ikut serta. Sehingga dengan demikian, sejak
perkelahiannya di Pliridan, ia pernah melihat tandang
Wadas Gunung di Gedong Sanga, meskipun tidak
sedemikian jelas, karena kesempatan yang sempit. Sebab
pada saat itu ia harus bertempur melawan dua orang dari
kawanan Alas Mentaok. Tetapi kini ia harus bertempur
melawan orang kedua sesudah Lawa Ijo. Karena itu ia
harus berjuang mati-matian. Namun Wirasaba, yang
terkenal dengan nama Seruling Gading itupun mempunyai
sifat-sifat yang khusus. Sebagai seorang pengembala yang
pernah merantau dari satu tempat ke tempat lain dengan
bekal seruling dan kapaknya itu, maka ia telah memiliki
pengalaman yang tak kalah luasnya dari lawannya,
penjahat ulung yang bernama Wadas Gunung itu. Dengan
demikian maka kekuatan keduanya tak dapat diselisihkan.
Masing-masing memiliki kekhususannya yang cukup
berbahaya. Wadas Gunung dengan kedua pisau belati
panjangnya menyerang dengan ganasnya. Bertubi-tubi
seperti beribu-ribu pisau belati yang melontar-lontar ke
tubuh Wirasaba. Namun kapak Wirasaba itu seakan-akan
dapat berubah menjadi dinding baja yang membatasinya.
Sehingga dengan demikian ujung pisau lawannya sama
sekali tak berhasil menyentuh pakaiannya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Endang Widuri sementara itu masih berdiri tegak di
samping pintu. Ia melihat bagaimana Wirasaba bertempur
dengan dahsyatnya. Dilihatnya pula Ki Dalang Mantingan
bertempur mati-matian. Ia melihat betapa lincahnya Dalang
Mantingan itu, dan bagaimana dahsyatnya trisulanya
menyambar-nyambar. Namun dilihatnya pula betapa
dahsyatnya Lawa Ijo itu bertempur. Karena itu hatinyapun
menjadi tegang. Yang belum mulai, di antara mereka adalah Jaka Soka. Ia
masih saja berdiri dengan senyumnya yang aneh. Sekali-kali
ia memandang berkeliling, melihat bagaimana Wadas
Gunung menghadapi lawannya, dan di saat lain
dipandangnya dengan seksama pertempuran antara Lawa
Ijo dan Dalang Mantingan. Sebagai seorang yang cukup
berilmu, segera Jaka Soka melihat bahwa Mantingan telah
sampai pada puncak perjuangannya, sedang Lawa Ijo
masih mungkin untuk melepaskan ilmu-ilmu pamungkasnya.
Karena itu ia tersenyum. Sebentar lagi ia akan melihat
lawan Lawa Ijo itu terbelah dadanya. Karena itu untuk
menakut-nakuti lawannya ia berkata, "Wilis, lihatlah.
Sebentar lagi kawanmu yang bernama Mantingan itu akan
terpenggal lehernya, atau terbelah dadanya."
Rara Wilis mengerutkan keningnya. Ia melihat pula apa
yang terjadi. Di Gedong Sanga, Rara Wilis telah mengetahui
pula, bahwa ilmu Mantingan masih belum dapat menyamai
Lawa Ijo. Meskipun demikian ia mencoba untuk tidak
terpengaruh karenanya. Sebab apabila demikian, Ular Laut
itu akan dengan mudahnya menangkapnya. Seandainya ia
terbunuh dalam pertempuran itu, ia tidak akan menyesal.
Sebab dengan demikian ia telah mengorbankan dirinya
untuk ikut serta mempertahankan hak atas Banyubiru dan
atas Keris Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten yang tak begitu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dimengertinya, sebab Mahesa Jenar tidak begitu banyak
menceritakan pusaka-pusaka itu kepadanya. Namun hal
yang sedemikian telah diduganya sejak semula. Sejak ia
menjatuhkan pilihannya atas Mahesa Jenar daripada
Sarayuda. Pada saat itu ia sadar, bahwa Mahesa Jenar
mempunyai masalah yang jauh lebih banyak daripada
Demang Gunungkidul yang kaya raya itu. Kalau Sarayuda
seolah-olah telah menyelesaikan perjuangannya untuk
merebut keadaannya kini, sehingga dengan demikian
Sarayuda tinggal menikmati hasil jerih payahnya, maka
Mahesa Jenar masih harus berjuang terus. Tetapi Rara Wilis
melihat hakekat dari perjuangan kedua orang itu. Sarayuda
berjuang untuk menempatkan dirinya pada tempat yang
sebaik-baiknya, meskipun ia sama sekali tidak merugikan
orang lain, tetapi Mahesa Jenar berjuang untuk kepentingan
yang lebih luas, yang justru mengorbankan dirinya sendiri,
kepentingannya sendiri. Seperti halnya usahanya menemukan keris-keris Nagasasra dan Sabuk Inten, sama
sekali tidak ada hubungannya dengan kamukten yang akan
diharapkan. Mahesa Jenar benar-benar berjuang tanpa
pamrih, selain pengabdian diri pada tanah kelahiran, pada
kemanusiaan. Sebab apabila keris-keris itu benar-benar
jatuh di tangan golongan hitam, akan musnahlah tata
kehidupan manusia, akan musnahlah sendi-sendi pergaulan
manusia. Dan akan lenyap pulalah kesempatan untuk
menjalankan ibadah mereka, memanjatkan bakti kepada
Tuhan. Dan jadilah Demak suatu negara yang bertata
pergaulan rimba. Siapakah yang kuat, merekalah yang
berkuasa, tanpa menghiraukan hukum-hukum yang ada.
Juga usaha Mahesa Jenar untuk meletakkan kembali
Arya Salaka pada tempatnya, sama sekali adalah
perjuangan tanpa pamrih. Ia sekadar melakukan SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kewajibannya sebagai manusia yang melihat kebenaran
terinjak-injak. Dengan demikian, sebagai seorang yang telah menyatakan dirinya bersedia berjuang di samping Mahesa
Jenar, Rara Wilis sama sekali tidak gentar melihat ujung
senjata. Jiwanya, raganya, bulat-bulat diserahkan dalam
pengabdian seperti apa yang dilakukan oleh Mahesa Jenar,
orang yang dikaguminya sejak pertemuannya yang
pertama. Tetapi ia menjadi ngeri, kalau Ular Laut akan berhasil
menangkapnya, dan membawanya ke Nusakambangan,
seperti yang diidam-idamkannya sejak lama. Ia menjadi
ngeri atas kehadiran tokoh-tokoh Pasingsingan di tempat
itu, jangan-jangan ia akan membantu Ular Laut itu,
membuatnya tidak berdaya.
Namun karena itu, ia berkeputusan untuk melawan matimatian. Kalau ia gagal, lebih baik ia mati di pendapa
Banyubiru itu. Dengan demikian, Rara Wilis segera mengangkat
pedangnya mengarah ke dada Jaka Soka sambil berkata,
"Jaka Soka, jangan menakut-nakuti aku. Aku sekarang
bukan lagi gadis yang ketakutan melihat senyum yang aneh
serta matamu yang redup. Nah, marilah kita bermain-main
dengan pedang. Kau atau aku yang mati karenanya."
Jaka Soka menggigit bibirnya. Tetapi Rara Wilis itu
berkata sungguh-sungguh. "Cabutlah pedangmu," desis Rara Wilis, "Supaya aku
tidak membunuh orang yang tidak bersenjata."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Pedang Rara Wilis terjulur beberapa jengkal ke arah
leher Jaka Soka, sehingga Jaka Soka terpaksa bergeser
mundur. "Wilis..." katanya, "Aku tidak akan melukai kulitmu.
Apakah yang kau tunggu di sini" Mahesa Jenar tidak akan
kembali kepadamu, karena ia telah terbunuh di Pamingit."
Dada Rara Wilis berdesir, tetapi kemudian ia menjadi
tenang kembali. Katanya, "Siapakah yang telah membunuhnya?" "Paman Pasingsingan," jawab Jaka Soka.
Rara Wilis tertawa. Tetapi Endang Widuri tertawa lebih
keras. Katanya, "Pasingsingan tak akan mampu melawan
Paman Mahesa Jenar. Kau salah hitung, Jaka Soka. Lain kali
kau perlu mempelajari keadaan sebelum kau mencoba
berbohong." Mata Jaka Soka menjadi semakin redup. Tetapi ia sudah
tidak tersenyum lagi. Sekali lagi ia melihat Wadas Gunung
yang menggeram keras sekali untuk melepaskan marahnya,
karena Wirasaba dapat melawannya dengan baik. Saat
yang lain, Jaka Soka memandang ke arah Lawa Ijo yang
nampak makin baik keadaannya. Meskipun demikian Ki
Dalang Mantingan berjuang dengan gigihnya.
Kemudian Jaka Soka sendiri meloncat selangkah ke
belakang dan dalam sekejap tongkatnya telah terurai. Di
tangan kanan, digenggamnya sebuah pedang yang lentur,
sedang di tangan kirinya adalah warangkanya, berupa
sebuah tongkat yang berwarna hitam.
Rara Wilis tidak menunggu lebih lama lagi. Ia meloncat
ke depan dengan tangan terjulur lurus. Pedangnya
mengarah kedada lawannya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Jaka soka terkejut melihat gerak yang sedemikian
cepatnya. Untunglah bahwa Ular Laut itu memiliki
pengalaman yang luas. Setapak ia menggeser diri sambil
berputar, dengan kerasnya ia memukul pedang Rara Wilis
yang menjulur beberapa jari dari dadanya. Namun Rara
Wilis lincah pula. Ia berhasil membebaskan senjatanya,
untuk kemudian diputarnya cepat dan serangannya telah
datang pula. Demikianlah maka segera mereka terlibat
dalam pertempuran yang cepat. Rara Wilis ternyata cukup
mampu mengimbangi kedahsyatan Ular Laut yang
bertempur membingungkan itu. Jaka Soka mencoba untuk
mengaburkan perlawanan Rara Wilis, dengan menyerangnya berputar-putar dari segala arah. Namun
Rara Wilis menyadarinya, sehingga sekali-kali ia melontarkan diri memotong langkah lawannya dengan
pedang yang terayun cepat sekali. Dalam keadaan yang
demikian terpaksa Jaka Soka mengumpat di dalam hati. Ia
telah jauh lebih dahulu mendalami ilmu-ilmu perkelahian
daripada gadis itu, namun ternyata gadis itu dapat
menyusulnya. Ia menyesal bahwa selama ini ia lebih senang
merantau mencari mangsanya, daripada menekuni ilmunya.
Sendang Parapat berdiri seperti patung melihat
lingkaran-lingkaran perkelahian. Ia melihat betapa Dalang
Mantingan berjuang mati-matian untuk melawan Lawa Ijo.
Wirasaba dengan garangnya mengayunkan kapak raksasanya, sedang Rara Wilis dengan lincahnya bergulat di
antara hidup dan mati. Dengan demikian, ia merasa bahwa
tenaganya tak akan berguna sama sekali seandainya ia
mencoba untuk membantu salah seorang di antaranya.
Malahan mungkin ia akan mengganggu kelincahan mereka.
Para penjaga halaman itu juga menjadi pening. Mereka
tidak bersiap untuk bertempur menghadapi tokoh-tokoh itu.
Apalagi lingkaran-lingkaran pertempuran itu seolah-olah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
telah menjadi sedemikian sulitnya untuk dipisah-pisahkan
lagi di antara lawan dan kawan. Yang tampak di mata


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka adalah bayangan yang melontar berputar-putar
dengan cepatnya. Karena itu, perhatian mereka segera
tertuju kepada kawan-kawan mereka yang luka. Empat
orang. Hanya Endang Widuri-lah yang dapat mengerti betapa
suasana maut telah melingkar-lingkar di halaman itu. Kali ini
gadis yang nakal itu benar-benar menjadi tegang. Ia tidak
dapat lagi bergurau dalam keadaan yang demikian,
sehingga senyumnya sama sekali telah lenyap dari bibirnya.
Matanya yang bening itupun menjadi tajam, setajam gerigi
yang melingkari cakranya. Ia melihat betapa Wirasaba
dapat menyesuaikan diri melawan kekasaran Wadas
Gunung. Bahkan pengembala itupun dapat bertempur
dengan kasar pula. Kapaknya mendesing-desing mengerikan. Sekali terayun ke dada Wadas Gunung, namun
kemudian tangkainya mengarah ke tengkuk lawannya.
Namun dua pisau belati panjang di tangan Wadas Gunung
itupun bergerak dengan cepatnya pula. Mematuk-matuk ke
segenap tubuh Wirasaba, sehingga kemudian yang tampak
hanyalah seleret-leret sinar-sinar yang silau.
Rara Wilis pun dengan lincahnya menggerakkan
pedangnya dengan ilmu yang khusus. Ujung pedang yang
tipis itu selalu bergerak-gerak dengan cepatnya. Kalau Jaka
Soka dapat bertempur seperti Ular yang membelit,
melingkar untuk kemudian meloncat, mematuk dengan
ujung pedangnya, maka Rara Wilis berhasil melawannya
seperti seekor sikatan yang dengan lincahnya menari-nari
dengan sayap-sayapnya yang cepat cekatan. Demikian ia
meloncat-loncat seperti anak-anak yang menari-nari riang
namun ketika tiba-tiba seekor ular mematuknya, cepatSH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
cepat ia meloncat melenting, untuk kemudian dengan
lincahnya, ujung pedangnya menyambar lambung lawannya. Dengan demikian, maka keringat yang dingin
segera mengalir membasahi pakaian Jaka Soka yang
gemebyar karena tretes intan pada timang dan anak
kancing bajunya. Tiba-tiba ia merasa malu. Seandainya
gadis itu benar-benar dapat dibawanya ke Nusakambangan,
bahkan seandainya gadis itu bersedia untuk menjadi
isterinya, maka apabila pada suatu saat timbul perselisihan
antara mereka, meskipun tidak terlalu tajam, maka apakah
ia mampu untuk mengatasinya. Karena itu kemudian yang
menjalar dalam hati Jaka Soka bukan lagi perasaan seorang
laki-laki terhadap seorang gadis seperti beberapa saat yang
lampau. Ketika jiwa Jaka Soka telah benar-benar terancam,
maka yang ada di dada Jaka Soka kemudian adalah
kemarahan yang menyala-nyala. Dengan setinggi gunung
atas kematian gurunya, Nagapasa. Karena itu, ia harus
membunuh siapa saja yang dapat dibunuhnya. Juga gadis
yang garang ini harus dibinasakan.
Demikianlah, kemudian Jaka Soka telah kehilangan
kegairahannya. Ia sudah tidak lagi melihat seorang gadis
cantik yang mempesona, tetapi yang tampak adalah
seorang yang berbahaya bagi jiwanya.
Namun ternyata seimbang dengan itu, Rara Wilis
bertambah marah pula. Baginya pertempuran kali ini adalah
pertempuran yang menentukan. Kalau ia terbunuh, biarlah
ia mengorbankan dirinya, namun kalau ia berhasil
membinasakan laki-laki itu, maka ia akan terbebas dari
kecemasan dan kengerian yang mengejar-ngejarnya
sepanjang umurnya. Tetapi berbeda dengan mereka berdua. Mantingan
benar-benar dalam keadaan yang sulit. Meskipun ia telah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
melawan Lawa Ijo dalam puncak ilmu Pacar Wutah, namun
Lawa Ijo benar-benar memiliki beberapa kelebihan
daripadanya. Lawa Ijo itu dapat ilmu yang paling licik
disamping ilmunya yang memang dahsyat dan bertempur
dengan segala macam cara. Yang paling kasar, sampai
yang menakutkan. Setapak demi setapak Mantingan
terdesak terus. Hanya karena ketabahan dan kepercayaannya pada Kekuasaan Yang Tertinggi, ia masih
mampu bertahan dalam ketenangan.
Melihat keadaan itu, Widuri menjadi cemas. Ia telah
kehilangan sifat kenak-kanakannya dalam keadaan bahaya
yang benar-benar mengerikan seperti saat itu. Karena itu,
dengan penuh tekad dan keberanian, mendidihlah darah
Pengging Sepuh di dalam tubuhnya. Ketika Widuri melihat
Mantingan terdesak, maka ia tidak mau membiarkannya.
Dengan lincahnya ia meloncat sambil berkata nyaring di
antara desing rantainya yang berputar seperti baling-baling,
"Paman Mantingan, biarlah aku ikut serta."
Mantingan memandang dalam sekejap, gadis itu
melontarkan diri seperti terbang ke arah Lawa Ijo. Dan
dilihatnya Lawa Ijo menjadi terkejut karenanya. Sehingga
iblis dari Mentaok itu meloncat beberapa langkah surut.
Dengan liarnya matanya memandang kepada Dalang
Mantingan yang sudah hampir sampai pada saat terakhir
itu, namun kemudian mata Lawa Ijo itu menjadi suram
ketika memandang Widuri yang sudah berdiri dihadapannya
dengan senjatanya yang berbahaya itu. Tiba-tiba terdengar
suara Lawa Ijo itu perlahan-lahan, "Ngger, jangan ikut
campur dengan persoalan kami. Biarlah kami orang tua-tua
menyelesaikan masalah kami dengan cara yang kami
senangi." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Widuri melihat mata yang suram itu. Namun ia tidak mau
terpengaruh oleh keadaan yang tak diketahui sebabnya itu.
Maka jawabnya, "Biarlah Lawa Ijo. Kau datang dengan
membawa senjata dan hasrat yang hitam di dalam hatimu.
Bukankah kau telah dibekali oleh nafsu untuk membunuh..." Marilah, kami telah bersedia untuk
melawannya. Kami bukan sebangsa cacing yang membiarkan diri kami terbunuh tanpa perlawanan. Karena
kami sadar bahwa saat ini adalah saat-saat kami terakhir.
Sebab seandainya kami berdua dengan Paman Mantingan
berhasil membebaskan diri dari tanganmu, hantu-hantu
hitam yang berada didalam rumah inipun segera akan
menangkap kami dan membunuh kami bersama. Terhadap
mereka, kami tak akan dapat berbuat sesuatu. Karena itu,
biarlah kami melawan selagi kami masih sempat. Nah,
lihatlah dada kami yang tengadah di hadapan ujung-ujung
belatimu itu." Lawa Ijo menarik nafas panjang. Tetapi matanya yang
suram itu menjadi menyala. Katanya, "Aku sudah berusaha
untuk mencegahmu, gadis yang nakal. Agaknya kau benarbenar keras kepala."
Widuri tidak peduli lagi, ia melangkah semakin dekat
sambil menjawab, "Kenapa kau mencegah aku" Bukankah
kau datang untuk melepaskan nafsumu" Membunuh dan
kemudian kau sangka akan kau temukan keris-keris itu di
sini...?" Lawa Ijo bukanlah seorang yang berdada longgar.
Karena itu ia menjadi semakin marah. Namun sekali lagi ia
mencoba memperingatkan, "Kalau kau mau menyingkir, aku
akan membebaskan kau. Guruku pun tak akan mengusikmu. Biarlah aku membunuh Ki Dalang yang
masyhur ini." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tetapi Widuri tidak takut. Dengan nyaring ia menjawab,
"Kami mempunyai pendirian yang berbeda dengan
golonganmu. Kami memiliki kesetiakawanan yang dalam
untuk menegakkan kemanusiaan. Bunuhlah Paman Mantingan bersama kami semua."
Lawa Ijo menggeram, "Sekehendakmulah," desisnya.
Lalu ia mulai bergerak. Dengan tangkasnya ia meloncat
menyerang Mantingan. Untunglah Mantingan selalu berhatihati, sehingga ia masih sempat untuk menghindarkan
dirinya. Ketika Lawa Ijo telah mulai kembali dengan serangannya
yang dahsyat, Widuri pun mulai. Senjatanya berputar cepat
seperti baling-baling dengan putaran-putaran yang berbahaya. Sekali cakranya mengarah ke leher. Mendapat
lawan baru yang lincah disamping lawan lamanya, Lawa Ijo
merasakan, bahwa keadaan pertempuran itu menjadi jauh
berubah. Kembali ia mengagumi gadis itu. Betapa
berbahayanya permainan rantai yang berputar-putar,
disamping ujung trisula Mantingan yang mematuk-matuk
dalam ilmu gerak Pacar Wutah.
Dengan kerasnya Lawa Ijo menggeram. Sambil
memusatkan segenap tenaganya ia mencoba untuk
mengatasi desakan lawan. Betapa ganasnya kelelawar yang
buas itu bertempur. Kedua pisau belatinya seakan-akan
merupakan kuku yang panjang diujung sayap-sayapnya
yang mengembang dan bergerak gerak dengan cepatnya.
Namun untuk menghadapi dua orang sekaligus terasa
betapa beratnya. Mantingan dan Widuri, meskipun keduanya memiliki
bekal yang berbeda, namun meeka berusaha untuk
menyesuaikan dirinya. Ternyata gadis itu tidak kalah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tangkasnya dengan Mantingan. Dengan gerak-gerak yang
tangguh Endang Widuri berjuang dengan berani. Darah Ki
Ageng Pengging Sepuh yang mengalir didalam tubuhnya
telah membekalinya dengan api yang menyala nyala
didalam dada gadis itu. Api yang mengobarkan semangat
berjuang dan keteguhan hati.
Diam-diam Lawa Ijo berteka teki didalam hatinya. Ia
pernah bertempur melawan Mahesa Jenar, kemudian
melawan muridnya yang bernama Arya Salaka. Sekarang
berhadapan dengan gadis yang bernama Endang Widuri.
Namun gadis ini memiliki tatanan berkelahi sama hebatnya
dengan Arya dan Mahesa. Apakah Widuri ini juga muridnya
Mahesa". Namun Lawa Ijo tidak sempat menemukan
jawabannya, sebab lawannya semakin lama semakin
mendesaknya kedalam bahaya.
Mantingan melihat keadaan itu. Juga Widuri dapat
merasakan bahwa akhirnya mereka akan dapat menguasai
keadaan. Karena itu Endang Widuri dan Mantingan
berjuang semakin sengit untuk segera dapat mengakhiri
pertempuran. Dengan demikian mereka akan mendapat
kesempatan untuk memusnahkan orang lain yang telah
mencoba untuk menghancurkan Banyubiru, sebelum tokohtokoh sakti yang sedang mengaduk seluruh isi rumah itu
tanpa dapat dicegah selesai dengan pekerjaan mereka.
Sebab apabila mungkin mereka harus berusaha untuk
menyelematkan diri mereka atau mereka harus berusaha
untuk berada di antara laskar Banyu Biru.
Tetapi Lawa Ijo adalah seorang yang luar biasa. Tentu
saja ia tidak mau untuk dengan demikian saja menerima
kekalahan. Ketika lawan-lawannya semakin mendesaknya,
iapun berjuang semakin keras. Bahkan, akhirnya ia
melompat mundur beberapa langkah. Kemudian SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
terdengarlah ia menggeram dengan keras. Dengan gerak
yang dahsyat ia memutar tubuhnya, kemudian sekali lagi ia
menggeram keras. Yang kemudian terasa, betapa udara yang hangat
mengalir perlahan-lahan, bergelombang menyentuh tubuhtubuh Mantingan dan Endang Widuri. Semakin lama
semakin hangat, dan akhirnya jadi panas. Sejalan dengan
itu, Lawa Ijo telah meloncat menerkam Mantingan dengan
garangnya. Mantingan sadar, bahwa bahaya yang
mengerikan telah mengancam dirinya. Lawa Ijo telah
mempergunakan ilmunya Alas Kobar. Demikian pula Endang
Widuri, merasa betapa ia terlalu tergesa-gesa merasakan
kemenangan-kemenangan kecil atas lawannya itu. Kini
ternyata betapa maut telah mengancam jiwanya.


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mantingan masih berusaha sekuat-kuatnya untuk
mempertahankan diri. Widuri pun tidak membiarkan Lawa
Ijo dapat berbuat sekehendak hatinya. Meskipun Lawa Ijo
itu telah berhasil memancarkan ilmunya, namun Widuri
masih sempat menyerangnya, sehingga dengan demikian
Lawa Ijo terpaksa berusaha menghindarkan diri dari
sambaran gigi-gigi cakra yang sangat berbahaya. Tetapi
sesaat kemudian Mantingan dan Widuri telah tidak dapat
bertahan lagi dari serangan Aji Alas Kobar. Udara
disekeliling Lawa Ijo itu tiba-tiba telah menjadi panas.
Udara yang panas itu bahkan seolah-olah menyusup ke
dalam tulang sungsum mereka. Demikianlah akhirnya
Mantingan dan Endang Widuri terpaksa menghindarkan diri
dengan meloncat menjauhi lawannya. Namun Lawa Ijo
tidak mau melepaskan mereka lagi. Apalagi Ki Dalang
Mantingan. Karena itu ketika Mantingan meloncat mundur,
Lawa Ijo segera memburunya. Karena pancaran aji Alas
Kobar yang melibatnya, akhirnya Mantingan merasa bahwa
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
seakan-akan kakinya menjadi kejang. Ia sudah tidak
sempat meloncat lagi.Yang dapat dilakukan kemudian
hanyalah menanti Lawa Ijo menerkamnya, sementara itu
betapa udara yang panas telah menyengat-nyengat
kulitnya. Dalam keadaan yang terakhir itu, Mantingan masih
mencoba untuk mengangkat trisulanya menanti saat-saat
terakhir yang mengerikan. Widuri yang meloncat ke arah
yang berlawanan, melihat, betapa maut menerkam Ki
Dalang Mantingan. Karena itu wajahnya menjadi tegang
dan dadanya bergolak hebat.
Apakah ia akan berdiam diri melihat kawan sepenanggungan itu binasa" Tetapi ia tidak dapat bergerak
maju. Ia tidak mampu untuk menerobos kekuatan Aji Alas
Kobar yang dahsyat itu. Sebab demikian ia melangkah
mendekat, tubuhnya menjadi seolah-olah terbakar hangus.
Namun meskipun demikian, Widuri bukanlah seorang
yang mudah berputus asa. Dari ayahnya ia mendapat
beberapa petunjuk bagaimana seharusnya apabila seseorang berada dalam kesulitan. Ayahnya itu pernah
berkata kepadanya, bahwa manusia tidak boleh berputus
asa. Meskipun keputusan terakhir berada dalam kekuasaan
Yang Maha Tinggi, namun manusia diwajibkan berusaha.
Berusaha sampai kemungkinan terakhir.
Demikianlah akhirnya Widuri mengambil suatu keputusan
yang dapat dilakukan dalam keadaan yang demikian itu.
Ketika ia melihat Lawa Ijo dengan wajahnya yang
menyeringai seperti serigala meloncat memburu Dalang
Mantingan, berputarlah cakranya beberapa kali di udara.
Kemudian dengan sekuat tenaga, sebagai usahanya terakhir
untuk melawan Kelelawar Serigala dari Mentaok itu, cakra
itu dilepaskannya beserta rantainya sekaligus. Suatu hal
yang tak terduga. Apalagi pada saat itu Lawa Ijo sedang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
memusatkan perhatiannya kepada Dalang Mantingan.
Kepada Mantingan itulah dendam Lawa Ijo tersimpan.
Tetapi, demikian ia meloncat, demikian senjata Widuri
melayang ke arahnya, sedemikian cepatnya seperti kilat
menyambar kepalanya. Lawa Ijo terkejut bukan alang kepalang. Tetapi ia
terlambat. Ketika ia berusaha
menghindar, cakra itu dengan derasnya mengenai kepalanya dengan tepat. Terasa betapa kulit kepalanya terkelupas oleh
gerigi-gerigi yang tajam. Lawa Ijo terhuyung ke samping. Perasaan nyeri telah menelan dirinya sedemikian kerasnya. Cakra
pemberian Kebo Kanigara itu
benar-benar senjata yang luar biasa. Yang terdengar kemudian adalah suatu pekik
yang tertahan. Dengan kedua belah tangannya, Lawa Ijo
memegang kepalanya yang terluka itu erat-erat, seperti
takut bahwa kepalanya itu akan terlepas. Namun demikian,
luka itu menjadi semakin nyeri, dan darah yang mengalir
dari luka itu menjadi semakin keras.
Dalang Mantingan untuk sesaat tertegun. Ia melihat
hantu itu kesakitan. Namun karena tekanan yang tajam
pada saat yang mengerikan, yang hampir saja merampas
nyawanya, Mantingan menjadi seperti orang yang
kebingungan. Tetapi cepat ia menguasai kesadarannya
kembali. Ia merasa bahwa Kekuasaan Tertinggi dengan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tangan-tangannya yang Adil telah membebaskannya.
Karena itu, ketika ia melihat kesempatan terbuka di
hadapannya, dengan sisa-sisa tenaganya yang terakhir, ia
mengangkat trisulanya. Trisula Mantingan itupun bukan
senjata yang dibelinya dari pandai besi. Trisulanya itu
adalah pemberian gurunya, Ki Ageng Supit. Karena itu
trisulanya pun memiliki kekuatan yang luar biasa. Dengan
berdoa di dalam hati, yang dipanjatkan kepada Tuhan Yang
Maha Adil, Mantingan melontarkan trisulanya. Lawa Ijo
yang telah kehilangan keseimbangan diri, tidak melihat
trisula itu meluncur menyambar dadanya. Karena itu, tibatiba terasa dadanya terbelah. Kini benar-benar serigala dari
Mentaok itu berteriak tinggi. Dan kemudian iapun
terhuyung sekali lagi, dan akhirnya jatuh terkulai di tanah
yang telah dibasahi oleh darahnya. Halaman Banyubiru itu
benar-benar dicengkam oleh kengerian. Teriakan Lawa Ijo
itu benar-nenar telah menggetarkan udara Banyubiru.
Daun-daun kuning pun berguguran di tanah, sedang
ranting-ranting yang kering berpatahan.
Mendengar teriakan Lawa Ijo itu, Widuri menjadi
gemetar. Ia tahu perasaan apa yang menjalar di dalam
dirinya. Namun tiba-tiba ia merasa segenap bulu-bulunya
tegak berdiri. Karena itu ketika Lawa Ijo itu sudah tidak
mampu lagi untuk berdiri, tanpa disengaja Endang Widuri
menghindar pandang. Wajah Widuri pun jatuh tertunduk di
tanah yang hitam-hitam gelap di dalam cahaya obor yang
remang-remang. Wadas Gunung juga tak kalah terkejutnya mendengar
pekik yang memekakkan telinga itu. Ketika ia pertama-tama
mendengar Lawa Ijo menggeram keras-keras, ia merasa
bahwa pekerjaan kakak seperguruannya itu hampir selesai.
Sebab pada saat itu Lawa Ijo telah mempergunakan Aji Alas
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Kobar. Namun kemudian yang terdengar adalah jerit
kesakitan. Karena itu hatinya pun berdesir dengan
kerasnya. Bahkan seolah-olah dirinya sendirilah yang
kehilangan kekuatannya. Demikianlah Wadas Gunung yang
gagah dan mempunyai kekuatan raksasa itu, kehilangan
pemusatan pikiran. Ketika ia mencoba melihat apa yang
terjadi pada kakak seperguruannya itu, ternyata ia
dihadapkan pada saat yang menentukan. Wirasaba tidak
mau terpengaruh oleh keadaan sekelilingnya. Ia menghadapi lawannya dengan segenap perhatian dan
kemampuan. Karena itu, ketika sebagian dari perhatian
Wadas Gunung direnggut oleh jerit ngeri kakak seperguruannya, Wirasaba melihat kelemahan itu. Setelah
ia bertempur beberapa lama, dalam keadaan yang
seimbang, maka saat yang pendek itu banyak mempunyai
arti baginya. Wadas Gunung melihat seleret sinar yang
menyambar tubuhnya pada saat ia melihat Lawa Ijo
terdorong beberapa langkah untuk kemudian jatuh tak
berdaya. Cepat ia berusaha untuk melawan sambaran
senjata lawannya, namun ia tak berhasil mempergunakan
segenap kekuatannya. Ketika ia memutar tubuhnya
menghadap arah sambaran kapak lawannya, dan menyilangkan kedua pisaunya untuk menahan serangan itu,
Wirasaba sempat menarik senjatanya, dan dengan tangkai
kapaknya itu ia menyerang tengkuk Wadas Gunung.
Serangan ini tidak begitu keras, namun benar-benar telah
menghilangkah keseimbangan perlawanan Wadas Gunung.
Ketika Wadas Gunung berusaha menghindar, kapak
Wirasaba telah berubah arah. Dengan kerasnya senjata
raksasa itu menyampar punggung Wadas Gunung. Kini
sekali lagi halaman itu digetarkan oleh sebuah teriakan
ngeri. Wadas Gunung terbanting di tanah untuk tidak akan
bangun kembali. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sesaat kemudian, halaman itu menjadi sepi. Jaka Soka
telah melontar mundur beberapa langkah. Ternyata, karena
pengalamannya, ia lebih hati-hati dari Wadas Gunung.
Dihindarinya lawannya jauh-jauh, supaya ia dapat melihat
apa yang terjadi. Sesaat darahnya berdesir cepat,
jantungnya seperti berdetang-detang akan pecah. Dua
kakak-beradik seperguruan telah jatuh dalam pertempuran
itu. Sebenarnya Jaka Soka tidak akan terpengaruh kedudukannya sebagai kepala gerombolan di Nusakambangan. Kematian Lawa Ijo dan Wadas Gunung
adalah akibat yang wajar dari usahanya. Mukti atau mati.
Jaka Soka sendiripun sadar, bahwa akibat yang demikian
dapat juga terjadi atas dirinya. Namun kekalahan yang
berturut-turut, baik di Pamingit maupun di Banyubiru ini
sangat memanaskan hatinya. Bahkan di Pamingit, gurunya
yang dibangga-banggakan telah jatuh. Sekarang kawankawan segolongannya terbunuh pula. Karena itu darah di
dalam tubuhnya serasa menggelegak seperti banjir yang
melanda dinding jantungnya. Diawasinya orang-orang yang
berdiri di sekitar pendapa itu. Wirasaba, yang masih
gemetar berdiri bersandar tangkai kapaknya yang diwarnai
oleh darah Wadas Gunung. Mantingan dan Widuri pun
masih saja berdiri seperti patung. Sedang Rara Wilis,
sebagai seorang gadis, hatinyapun berdebar-debar pula.
Untunglah bahwa ia tidak kehilangan kewaspadaannya.
Dihadapannya masih berdiri Ular Laut yang menggelisahkan. ----------o-dwkz)(arema-o---------SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
IV Sesaat kemudian dari pintu rumah itu muncullah orang
berjubah abu-abu, bersama-sama dengan orang yang
berkepala besar. Dengan kesan yang mengerikan, ia
memandang berkeliling. Ia menggeram ketika dilihatnya
kedua muridnya terkulai di tanah. Kemudian seperti
bayang-bayang, ia melayang ke arah Lawa Ijo, yang masih
bergerak-gerak dalam pergulatannya melawan maut.
"Lawa Ijo..." desis Pasingsingan itu.
Lawa Ijo hanya mampu berdesis perlahan-lahan.
Dan kembali Pasingsingan memanggilnya, "Lawa Ijo...."
"Hem..." Lawa Ijo berusaha untuk menjawab. Ternyata
orang itu memiliki daya tahan yang luar biasa. Meskipun


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

darahnya telah mengalir dari luka-luka di kepala dan
dadanya, namun ia masih dapat membuka matanya.
Pasingsingan kemudian tegak berdiri di samping tubuh
murid kesayangan itu. Pandangannya dengan tajam
bergerak dari Mantingan, Endang Widuri, Wirasaba
kemudian Rara Wilis. Sendang Parapat dan para penjaga
yang kaku di tempat masing-masing itu sama sekali tak
diperhitungkan. "Aku tidak menyangka..." Hantu bertopeng itu menggeram. "Bahwa kalian mampu membunuh muridku.
Ketika aku mendengar ia memekik, aku menyangka lain.
Tetapi aku menjadi ragu-ragu. Akhirnya aku sadar bahwa
kedua muridku pasti terluka. Ternyata mereka tidak saja
terluka, tetapi jiwanya telah terancam." Kemudian tangan
hantu itu perlahan-lahan terangkat dan menunjuk kepada
setiap orang yang berada di halaman itu. Mula-mula
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mantingan, kemudian berturut-turut Endang Widuri,
Wirasaba dan Rara Wilis. "Kau, kau, kau dan kau. Hem.
Alangkah sombongnya kalian. Kalian berani membunuh
murid Pasingsingan di hadapan gurunya. Benar-benar suatu
perbuatan yang gila. Karena itu kalian harus mati dengan
cara yang paling menyedihkan. Tidak oleh tangan
Pasingsingan. Aku tidak mau dikotori dengan darah kalian.
Tetapi kalian akan kami ikat di belakang kuda kami. Akan
kami arahkan kuda-kuda kami ke Pamingit. Besok sahabatsahabat di sana akan menemukan mayat kalian yang sudah
terkelupas seperti pisang."
Semua yang mendengar kata-kata itu menjadi gemetar.
Meskipun mereka tidak takut mati, namun mati dengan cara
yang demikian benar-benar tidak menyenangkan. Meskipun
ada senjata di tangan mereka, namun kalau Pasingsingan
itu benar-benar bermaksud demikian maka pastilah mereka
tidak akan mampu mengelakkan diri. Dengan satu pukulan
di tengkuk mereka, atau satu tekanan di dada mereka,
maka hantu itu benar-benar akan dapat membuat mereka
lumpuh. Rara Wilis menjadi semakin ngeri, kalau-kalau tibatiba Jaka Soka berbuat lain. Sebab Jaka Soka akan dapat
mengajukan permintaan kepada Pasingsingan mengenai
dirinya. Tetapi dalam ketegangan itu tiba-tiba suara Lawa Ijo
gemetar, "Guru, dapatkah guru mendengar permintaanku
terakhir?" Pasingsingan menoleh kepada muridnya. Dengan isyaratisyarat ia minta Sura Sarunggi mengawasi orang-orang
yang berdiri dihalaman itu. Kemudian iapun berjongkok di
samping muridnya. Ketika ia melihat luka Lawa Ijo,
Pasingsingan itupun mengerti, bahwa nyawa Lawa Ijo tak
akan dapat diselamatkan. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Apakah permintaamu?" jawab Pasingsingan.
"Pertama..." Suara Lawa Ijo menjadi semakin gemetar.
Terasa betapa dendamnya masih menguasai dirinya.
"Nyawa Dalang Mantingan."
"Hem..." Pasingsingan menggeram sambil memandang
Dalang Mantingan yang berdiri seperti tonggak. Lamatlamat ia mendengar juga apa yang dikatakan oleh Lawa Ijo
itu. Namun ia sudah tidak terkejut.
"Kedua..." Lawa Ijo meneruskan, "Jangan bunuh gadis
nakal itu." Pasingsingan menarik nafas. "Kenapa...?" Ia bertanya.
Tiba-tiba Lawa Ijo berusaha mengangkat kepalanya dan
dipandanginya Endang Widuri yang tegak kaku seperti tiang
pendapa. "Guru..." desis Lawa Ijo, "Dapatkah aku melihat senjata
itu?" Pasingsingan menjulurkan tangannya. Rantai dan cakra
yang mengenai kepala Lawa Ijo masih menggeletak di
sampingnya. Kemudian senjata itupun diserahkan kepada
muridnya. Lawa Ijo dengan tangan yang lemah mengamatamati senjata itu. "Luar biasa," desisnya. "Lumrah kalau
Lawa Ijo terbunuh karena senjata yang ampuh ini," katanya
pula. Pasingsingan tidak tahu apa yang dimaksud muridnya itu,
namun ia masih berdiam diri. Langit di sebelah barat masih
ditandai oleh warna merah, karena api yang masih
berkobar-kobar menelan beberapa rumah yang sama sekali
tak bersalah. "Widuri, kemarilah...." Terdengar Lawa Ijo memanggil.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Panggilan itu terasa aneh. Widuri mula-mula tidak
percaya pada pendengarannya. Apakah benar-benar Lawa
Ijo itu memanggilnya dengan nada yang lunak tanpa rasa
dendam" Ketika Endang Widuri sedang menebak-nebak di
dalam hati, terdengar kembali Lawa Ijo memanggil, lebih
keras, "Widuri, kemarilah."
Widuri menjadi semakin bingung. Bahkan Pasingsingan
tidak tahu apa maksud muridnya itu. Namun dalam nada
suaranya, Lawa Ijo sama sekali tak bermaksud jahat.
Widuri masih belum beranjak dari tempatnya. Sehingga
sekali lagi Lawa Ijo berkata kepada gurunya, "Guru,
panggilkan gadis itu. Aku tak akan berbuat jahat. Dan sekali
lagi aku minta jangan ganggu dia."
Pasingsinganpun menjadi bingung. Namun ia berusaha
untuk memenuhi permintaan muridnya itu. Perlahan-lahan
ia berkata, "Gadis kecil, Lawa Ijo memanggilmu."
Widuri masih belum bergerak. Sedang Rara Wilis menjadi
cemas. Katanya, "Jangan, Widuri."
"Hem..." Lawa Ijo menarik nafas. Berat sekali, seakanakan nafasnya sudah terputus di dadanya, "Sebelum aku
mati..", mintanya. Widuri masih tegak sepergi tonggak. Mantingan sudah
kehilangan ingatannya untuk mencegah atau menyetujuinya. Demikian juga Wirasaba. Nafasnya masih
memburu berebut dahulu setelah ia berjuang mati-matian,
serta dengan sekuat tenaga mengayunkan kapaknya pada
saat terakhir. Kini ia tidak tahu apa yang akan dikatakan
dan apa yang akan diperbuat tentang Widuri.
"Guru..." tiba-tiba Lawa Ijo berkata, "Silahkan guru
meninggalkan aku. Agaknya gadis itu takut kepada Guru."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Apakah sebenarnya yang sedang kau lakukan, Lawa
Ijo...?" tanya Pasingsingan.
"Gadis itu." jawabnya, "Aku sedang mengenangkan
almarhum anakku. Pada wajah gadis itu, sejak aku melihat
untuk pertama kalinya, seakan-akan terbayang wajah
anakku. Kini aku melihat wajah itu pula, tersenyum
kepadaku dan melambaikan tangannya, mengajak aku pergi
mengantarkannya. Anakku itu seandainya ia masih hidup, ia
pasti sebesar gadis itu dan tangkas pula. Setangkas anak
itu," Pasingsingan menggeram. Ia mengutuk di dalam hati.
Kenapa Lawa Ijo berbuat hal yang aneh-aneh seperti
perempuan cengeng. Namun pada saat-saat muridnya yang
disayangnya itu hampir berpelukan dengan maut, ia
terpaksa memenuhinya. Perlahan-lahan ia berdiri untuk
kemudian mundur beberapa langkah sambil berkata kasar,
"Mendekatlah. Aku tidak akan mengganggumu."
Lawa Ijo yang lemah itu kemudian berusaha untuk
melemparkan senjata-senjatanya. Pisau belati yang selama
ini menjadi ciri-ciri kekejamannya, yang kadang-kadang
diikatnya dengan kain bergambar kelelawar hijau berkepala
serigala. Endang Widuri melihat semuanya dengan jantung yang
berdentangan. Ia menjadi ragu-ragu. Tetapi ada sesuatu
yang mendesak-desaknya untuk memenuhi panggilan Lawa
Ijo itu. Tiba-tiba ia bergerak-gerak maju. Bersamaan
dengan itu, Rara Wilis pun meloncat ke arahnya, sambil
berkata, "Widuri."
Kembali langkah Widuri terhenti. Ia menoleh kepada
Rara Wilis. Nafas Rara Wilis pun kemudian menjadi sesak
oleh ketegangan yang memuncak. Lawa Ijo yang sudah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
hampir sampai pada akhir hayatnya melihat Rara Wilis
berusaha mencegah gadis kecil itu. Maka perlahan-lahan ia
berkata, "Aku adalah manusia seperti kalian, meskipun apa
yang aku lakukan selama ini tidak ubahnya seperti
binatang. Aku tidak tahu apa yang akan aku alami, sesudah
aku menginjak alam lain, namun di perbatasan ini aku tidak
akan menambah dosa."
Tiba-tiba hati Rara Wilis tersentuh pula. Sebagai seorang
gadis, perasaannya tidaklah sekeras baja. Ketika Widuri
memandangnya, tanpa sesadarnya ia mengangguk.
Sehingga Widuri kemudian perlahan-lahan melangkah maju
mendekati hantu dari Alas Mentaok yang hampir sampai
ajalnya itu. "Senjatamu benar-benar ampuh, melampaui
senjata yang pernah aku kenal," desis Lawa Ijo.
"Namun ia akan bertambah ampuh kalau kau lekatkan
akik ini di lingkaran bergerigi itu."
Widuri tidak menjawab. Ia berdiri tegak di samping Lawa
Ijo yang masih memegang rantai beserta cakranya. Ia tidak
tahu apa yang dimaksud dengan Lawa Ijo itu. Lawa Ijo
kemudian menarik sesuatu di jari-jarinya. Cincin dengan
mata akik yang berwarna merah menyala.
"Lawa Ijo...!" Pasingsingan berkata lantang. "Apakah
yang kau berikan itu?"
"Kelabang Sayuta," jawab Lawa Ijo lemah.
"Gila, jangan kau lakukan," sahut Pasingsingan. "Akik
Kelabang Sayuta adalah ciri Pasingsingan yang hanya aku
pinjamkan kepadamu."
"Biarlah Guru. Aku berikan akik itu kepada anakku,"
bantah Lawa Ijo dengan suara gemetar.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Pasingsingan menahan dirinya untuk tidak melukai hati
muridnya yang hampir mati itu. Namun dengan demikian,
tanpa dikehendaki, Lawa Ijo justru menanamkan bahaya
dalam tubuh Endang Widuri. Sebab tiba-tiba Pasingsingan
mendapat pemecahan yang mengerikan. "Biarlah akik itu
diberikan, namun gadis itu tidak akan mampu melepaskan
diri dari tangannya."
Kemudian Pasingsingan tidak mencegahnya ketika Lawa
Ijo menyerahkan cincin beserta rantai Widuri sendiri kepada
gadis itu. Widuri pun seperti orang yang kehilangan dirinya.
Ia bergerak saja tanpa sesadarnya menerima pemberian
Lawa Ijo itu. Hanya Rara Wilis yang bagaimanapun juga,
tidak dapat melepaskan Widuri seorang diri berhadapan
dengan hantu itu. Karena itu iapun mendekatinya dengan
pedang terhunus di tangannya.
"Kutuk anakku itu telah sampai pada suatu kenyataan."
Terdengar suara Lawa Ijo gemetar. "Mudah-mudahan aku
dapat mengurangi beban pada saat kematianku. Setelah
kau menerima cincin itu, terasa betapa lapang jalan yang
akan aku tempuh. Hati-hatilah dengan cincin itu. Setiap
goresannya, pasti berakibat maut, kecuali Mahesa Jenar.
Aku tidak tahu kenapa ia berhasil membebaskan dirinya.
Pergunakan akik itu menurut jalan hidupmu. Kalau kau
benci kepada kejahatan, mudah-mudahan ia dapat
menolongmu." Lawa Ijo berhenti. Nafasnya menjadi
semakin sesak. Tiba-tiba ia menggeliat dan terdengar ia
mengeluh. Widuri yang masih berdiri di samping Lawa Ijo
itupun tiba-tiba berjongkok. Kalau mula-mula ia ngeri
melihat wajah yang keras dan kejam itu, maka kini
perasaan itu telah hilang.
"Widuri..." bisiknya. "Bukankah namamu Widuri?"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Widuri mengangguk. "Aku telah membunuh anakku tanpa aku sengaja. Ketika
aku menyangka ibunya berbuat sedheng dengan laki-laki
lain, aku bunuh laki-laki itu. Kemudian aku bunuh pula
istriku. Namun tanpa aku ketahui anak gadisku satusatunya yang masih kecil, memeluk kaki ibunya, sehingga
ketika aku dengan membabi buta menusuk tubuh
perempuan itu, sebuah goresan melukai anakku itu.
Goresan yang dalam di lehernya, sehingga gadis itu
kemudian mati pula dua hari setelah mayat ibunya aku
lempar ke sungai." Lawa Ijo berhenti sejenak. Nafasnya menjadi semakin
tak teratur. Sekali-kali ia menggeliat lemah. Kemudian
berbisik kembali perlahan-lahan. "Tetapi ternyata aku salah
sangka." Kembali Lawa Ijo berhenti. Ia masih berusaha
untuk membuka matanya, lalu meneruskan, "Istriku tidak
berbuat sedheng. Tetapi lelaki itu yang berbuat bengis.
Berbuat di luar batas perikemanusiaan, sedang istriku
adalah korban nafsu kebinatangannya. Namun istriku itu
telah mati tersia-sia. Aku jadi menyesal. A palagi ketika satusatunya anakku itu mati pula. Akhirnya aku kehilangan
keseimbangan. Dan jadilah aku seekor binatang pula.
Tetapi aku tidak mau mendekatkan diri kepada perempuan.
Perempuan yang bagaimanapun juga. Aku hanya ingin
membunuh, berkelahi dan membuat orang lain menjadi
putus asa dan menderita. Kadang-kadang aku rampas harta
bendanya, pusaka-pusakanya dan kadang-kadang aku
bunuh keluarganya, anak-anaknya yang tak berdosa.
Akhirnya aku namakan diriku Lawa Ijo setelah aku berguru
kepada Bapa Pasingsingan."
Pasingsingan menggeram. Ia tidak senang mendengar
penyesalan itu, sebagai suatu perbuatan cengeng.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Seharusnya Lawa Ijo mati dengan janji seorang pemimpin
dari golongan hitam. Tetapi ia berdiam diri. Namun di dalam
hatinya bergolak nafsunya yang mendidih. "Matilah segera


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lawa Ijo," kata hatinya. Pasingsingan sudah tidak
mempunyai harapan untuk menyembuhkan luka-luka
muridnya. "Sesudah itu aku akan membunuh setiap orang
di sini. Mantingan, Wirasaba, Rara Wilis dan gadis yang
telah meruntuhkan kejantanan Lawa Ijo di matanya untuk
mendapatkan akiknya kembali. Mengikat mereka di
belakang kuda dan dipacunya ke Pamingit untuk
meruntuhkan keberanian dan ketahanan perlawanan orangorang Banyubiru." Sesaat kemudian Lawa Ijo memejamkan matanya.
Nafasnya satu-satu masih mengalir lewat hidungnya. Tetapi
sesaat kemudian ia berusaha untuk tersenyum. Bersamaan
dengan itu, dadanya terangkat dan melontarlah nafasnya
yang terakhir. Rara Wilis menjadi terkulai karenanya. Hatinya terketuk
oleh kata-kata terakhir Lawa Ijo. Agaknya orang ini telah
kehilangan masa depannya, karena ia salah duga terhadap
istrinya. Sifat-sifat kekerasan dan kekerasan yang memang
telah dimiliki, menjadi berkembang dengan pesatnya,
sehingga menemukan bentuk puncaknya. Endang Widuri
masih berjongkok di samping Lawa Ijo. Terasa matanya
menjadi panas. Kematian lawannya itu ternyata mempengaruhi jiwanya pula. Tanpa sesadarnya ia
mengamat-amati benda pemberian Lawa Ijo itu. Cincin
bermata batu akik yang merah menyala. Kelabang
Sayuta. Tetapi ia menjadi terkejut ketika terdengar
Pasingsingan berkata dengan suara yang seperti bergulunggulung di dalam perutnya. "Widuri, agaknya kau telah
berhasil merebut hati muridku pada saat-saat terakhirnya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Karena kenangannya yang melambung pada masa
lampaunya, pada almarhum istri dan anaknya itulah, maka
sejak di Gedong Sanga ia selalu berpesan untuk
membebaskan kau dari tanganku. Sebelum mati ia pun
berpesan demikian pula untuk tidak mengganggumu. Tetapi
Lawa Ijo sekarang sudah tidak ada lagi. Pesannya akan
hilang bersama hilangnya nyawamu. Sekarang aku akan
melakukan rencanaku. Mengikat kalian di belakang kuda,
dan mengantarkan kuda-kuda itu ke Pamingit."
Setiap hati yang mendengar kata-kata Pasingsingan itu
menjadi bergetar cepat. Mereka menjadi seperti tersadar
dari mimpinya. Ketika mereka mendengar kata-kata terakhir
Lawa Ijo, mereka seolah-olah terlempar ke dalam satu
dunia yang asing. Namun sekarang kembali mereka berdiri
di atas tanah. Mereka berhadapan dengan iblis bertopeng
dari Alas Mentaok. Mantingan tiba-tiba meloncat dengan cepatnya, meraih
trisulanya yang masih menggeletak di samping Lawa Ijo
setelah berhasil menyobek dada pemimpin gerombolan
yang kehilangan masa depannya itu. Pedang Rara Wilis juga
diangkatnya kembali. Widuri yang masih berjongkok
disamping Lawa Ijo pun berdiri. Dengan hati-hati ia
mengenakan cincin pemberian Lawa Ijo di jarinya,
meskipun agak terlalu longgar, namun karena tangannya
kemudian menggenggam ujung rantainya, maka cincin itu
tidak akan lari karenanya.
Wirasaba yang berdiri tegak agak jauh dari mereka, juga
segera membelai kapaknya, seolah-olah ia ingin menanyakan kepada senjata itu, apakah yang dapat
dilakukan untuk melawan orang yang bernama Pasingsingan itu. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Yang terdengar kemudian adalah suara Sura Sarunggi,
disamping gelaknya yang riuh. "Aku menjadi geli melihat
kelinci-kelinci ini mempersiapkan senjata-senjata mereka.
Aku tidak tahu apa yang mereka pikirkan. Apakah mereka
sedang menduga-duga kekuatanmu, Pasingsingan?"
Pasingsingan tidak menjawab. Malahan ia berkata
kepada Jaka Soka, "Soka, masihkah kau perlukan
perempuan itu?" Jaka Soka terkejut. Selama itu ia pun seperti orang yang
kehilangan kesadaran. Namun akhirnya ia menjawab,
"Perempuan itu sangat berbahaya, Paman."
Pasingsingan tertawa. "Lalu...?" ia bertanya pula.
Jaka Soka menggeleng, jawabnya, "Selama ia masih
seperti sekarang, aku tidak memerlukan lagi."
"Bagus," sahut Pasingsingan, "Perempuan itulah yang
pertama-tama akan aku ikat di belakang kuda bersamasama dengan gadis yang bernama Widuri itu. Seorang
laskar akan memacu kuda itu dan melepaskannya di
Pamingit." Tiba-tiba terdengar Jaka Soka bergumam, "Sayang."
Tetapi Pasingsingan sudah tidak mendengarnya lagi.
Topengnya tiba-tiba tampak menjadi liar. Dipandangnya
satu demi satu, Mantingan, Wilis, Widuri kemudian
Wirasaba. Yang terakhir adalah mayat muridnya. "Ia mati di
luar lingkungan kami" desisnya.
"Ya," sahut Sura Sarunggi. "Ia mati setelah menanggalkan kejantanan golongan kami. Aku tidak tahu
bagaimana kedua muridku mati. Mudah-mudahan mereka
mati sebagai Uling Rawa Pening."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Persetan semuanya!" Tiba-tiba Pasingsingan berteriak.
"Aku tidak punya banyak waktu."
Kata-kata Pasingsingan itu merupakan aba-aba bagi
Mantingan dan kawan-kawannya. Tanpa berjanji, mereka
segera berloncatan merapatkan diri dengan senjata masingmasing yang siap di tangan. Trisula, pedang tipis ditangan
Rara Wilis, kapak raksasa dan rantai bercakra pemberian
Kebo Kanigara. Untuk menghadapi kekuatan-kekuatan lain, betapa dapat
dikalahkan. Keempat senjata itu dalam satu gabungan,
merupakan kekuatan yang dahsyat. Namun bagi Pasingsingan, senjata-senjata itu tak akan banyak berarti.
Meskipun demikian, ia pun berhati-hati pula.
"Mulailah Pasingsingan," kata Sura Sarunggi, "Mungkin
orang-orang Pamingit akan segera menyusul kita. Bukankah
pekerjaan utama kita belum selesai?"
"Ya," jawab Pasingsingan. "Aku menduga kalau keriskeris itu disembunyikan oleh Gajah Sora. Tetapi jangan
takut mengenai orang-orang Pamingit atau Banyubiru yang
akan menyusul kita. Aku telah meletakan beberapa penjaga
untuk memberikan tanda-tanda dengan kentongan apabila
mereka terpancing oleh api di sana."
"Tetapi jangan membuang-buang waktu." sahut Sura
Sarunggi. "Aku senang melihat mereka ketakutan," jawab
Pasingsingan. Sura Sarunggi pun kemudian tertawa sambil
berkata, "Kau benar-benar iblis. Tetapi memang benarbenar menyenangkan. Meskipun demikian jangan terlalu
lama. Apakah aku harus membantu" Kau akan kecewa
kalau mereka mati ketakutan sebelum terseret oleh kudakuda kita." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Bagus," kata Pasingsingan pula. "Aku akan dengan
mudah membunuh mereka bersama-sama. Tetapi aku akan
menemui kesulitan untuk menangkap mereka hidup-hidup.
Bantulah supaya pekerjaanku segera selesai."
Sura Sarunggi tertawa. Ia melangkah maju mendekati
empat orang yang berdiri dalam satu lingkaran beradu
punggung. Pasingsingan pun melangkah dari arah lain.
Udara di halaman Pendapa Banyubiru itu kemudian
diliputi oleh ketegangan. Masing-masing seakan-akan tidak
berani menarik nafas dengan leluasa. Mantingan, Rara
Wilis, Endang Widuri dan Wirasaba telah bertekad untuk
bertempur mati-matian. Mereka lebih baik mati dalam
perkelahian itu, daripada harus terserat di belakang kaki
kuda di sepanjang jalan ke Pamingit.
"Mahesa Jenar dan sahabatnya di Pamingit akan
berterima kasih atas hadiah-hadiah kita ini, Sarunggi" desis
Pasingsingan. "Hadiah yang tak ternilai" jawab Sura Sarunggi.
Namun tiba-tiba langkah mereka terhenti. Sura Sarunggi
yang tinggal beberapa langkah dari korbannya, tiba-tiba
mengangkat wajahnya. Demikian pula Pasingsingan.
"Hem...." geram Pasingsingan, "Apakah ini?"
Mata Sura Sarunggi menjadi liar.
Mantingan dan kawan-kawannya yang telah hampir
kehilangan harapan untuk dapat menyaksikan matahari
terbit di balik bukit-bukit besok pagi, menjadi heran. Apakah
yang mengganggu mereka. Ketika mereka melihat
berkeliling, mereka tidak melihat apapun juga. Yang mereka
lihat di langit yang kelam, mendung mulai mengalir dari
arah utara. Satu-satu bintang-bintang yang gemerlapan itu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tertelan dan hilang di belakang tabir yang kelabu. Angin
yang basah bertiup semakin lama semakin keras. Dan udara
di atas Banyubiru menjadi semakin dingin.
Tetapi Pasingsingan dan Sura Sarunggi masih belum
beranjak dari tempatnya. Bahkan kemudian Jaka Soka pun
menjadi heran. Apakah yang ditunggu lagi"
Tak seorang pun yang akan dapat menghalang-halangi
mereka. Apa yang akan mereka perlakukan..."
Sendang Parapat, Wanamerta yang kaku seperti
tonggak, para penjaga di gardu, tak ada yang mampu
berbuat apapun. Meskipun Sendang Parapat dan Wanamerta tak akan tinggal diam. Ternyata dengan
senjata-senjata di tangan mereka. Namun mereka sadar,
bahwa terhadap Jaka Soka itupun mereka tak akan mampu
melawan. Tiba-tiba Sura Sarunggi dan Pasingsingan menjadi
tegang. Sesaat kemudian terdengar Sura Sarunggi berkata,
"Jangan bersembunyi. Siapakah kau" Mahesa Jenar, Pandan
Alas, Titis Anganten atau Sura Dipayana?"
Mendengar nama-nama itu, tergetarlah dada orang
Banyubiru. Mantingan dan kawan-kawannya. Bahkan Widuri
terpekik kecil, "Ayah barangkali?"
Tetapi tak ada jawaban. Karena itu kembali Mantingan
dan kawan-kawannya menjadi tegang. Seperti Sura
Sarunggi dan Pasingsingan pun bertambah tegang. Mahesa
Jenar, sahabatnya yang berhasil membunuh Nagapasa,
Pandan Alas atau orang-orang lain pasti tidak akan
membiarkan anak-anak mereka, atau sahabat-sahabat
mereka itu menjadi ketakutan. Mereka pasti akan segera
menampakkan diri. Bahkan mereka pasti datang dengan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tergesa-gesa di atas kuda yang derap kakinya akan
memberitahukan kehadiran mereka.
"Tetapi siapakah selain mereka?" bisik Sura Sarunggi di
dalam hatinya. Namun Pasingsingan menjadi gelisah. Ia
pernah bertemu dengan orang-orang aneh itu beberapa
saat lampau di Rawa Pening. Ketika ia hampir saja
membunuh Mahesa Jenar beserta empat kawannya. Yang
seorang adalah Dalang Mantingan itu. Dua orang aneh itu
berhasil membebaskan mereka. Sekarang, ketika Mantingan
berada di ujung maut, terasa sesuatu yang aneh di halaman
itu. Tiba-tiba halaman itu seolah-olah bergetar dengan
dahsyatnya. Dari dalam gelap terdengar suara perlahanlahan. "Akulah yang datang."
"Siapa?" teriak Pasingsingan.
"Pasingsingan," jawab suara itu.
Berdesirlah setiap dada yang mendengar jawaban itu.
Pasingsingan..." "Ah, orang itu pasti berolok-olok saja," pikir
mereka. Namun suara itu bergulung-gulung di dalam perut,
seperti suara Pasingsingan.
Ketika kemudian kilat memancar di langit, maka kembali
di halaman itu seakan-akan menjadi runtuh karena setiap
orang terkejut karenanya. Dari arah suara itu, di dalam
cahaya kilat yang hanya sesaat tampaklah seorang yang
berdiri tegak dengan jubah abu-abu dan bertopeng yang
kasar di wajahnya. Melihat orang itu, Pasingsingan menggeram dahsyat
sekali. Terdengar ia berteriak nyaring, "Siapakah kau"
Apakah kau sudah bernyawa rangkap, berani mengenakan
pakaian khusus Pasingsingan?"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Aku Pasingsingan" jawab suara itu.
"Tak ada dua Pasingsingan di dunia ini," teriak


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pasingsingan. "Aku satu-satunya."
"Kau salah!" Tiba-tiba terdengar suara itu di arah lain.
"Aku juga Pasingsingan." Ketika semua orang menoleh ke
arah suara itu, dalam keremangan cahaya obor, tampaklah
seseorang lagi yang berdiri tegak dengan jubah abu-abu
dan topeng kasar di wajahnya, sehingga serasa akan
meledaklah dada mereka. Dua orang yang sama-sama mengenakan jubah abu-abu
dan topeng kasar di wajah mereka.
Pasingsingan menjadi marah sekali karenanya, sehingga
tiba-tiba tubuhnya menjadi gemetar. Dengan pandangan
liar ia mengawasi kedua orang yang mirip dengan dirinya
itu berganti-ganti. Kemudian sambil menggeram ia berkata,
"Apakah kalian tidak sadar, bahwa permainan kalian itu
akan berakibat maut?"
Kedua orang yang menamakan diri mereka Pasingsingan
itu tidak menjawab, tetapi perlahan-lahan mereka
melangkah mendekat. Seorang di antaranya berdiri di
samping Mantingan dan kawan-kawannya, sedang seorang
yang lain berdiri bertentang pandang dengan Sura
Sarunggi. Namun kemudian terdengar suara Sura Sarunggi
tertawa. Katanya, "Suatu permainan yang bagus, Pasingsingan. Tetapi dengan mengenakan jubah abu-abu
dan topeng yang jelek itu, bukankah permainan terakhir
bagi kalian" Sebab kalian pasti akan mengambil keputusan
untuk membuktikan bahwa Pasingsingan memang hanya
satu. Kalau sekarang tiba-tiba ada tiga, atau barangkali
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
nanti muncul yang lain, empat, lima, enam, sepuluh, maka
nanti akhirnya Pasingsingan benar-benar akan tinggal satu."
"Kau benar," sahut Pasingsingan. "Aku muak melihat
mereka dengan ciri-ciri khusus Pasingsingan itu. Karena itu
mereka harus mati." "Kematian seseorang tidak terletak di tangan orang lain."
Terdengar salah seorang dari kedua orang itu menjawab.
"Tetapi terletak di tangan Yang Maha Agung. Tak
seorangpun dapat meramalkan, apakah satu dari sekian
banyak Pasingsingan itu adalah kau. Tak seorangpun yang
tahu, apakah kau dibenarkan untuk tetap hidup. Apakah
aku atau orang itu yang juga menamakan dirinya
Pasingsingan." Pasingsingan tertawa. Suaranya nyaring mengerikan
seperti rintihan hantu. Yang mendengar suara itu menjadi bergetar, seolah-olah
dadanya terhimpit batu sebesar anak gajah. Sehingga
mereka terpaksa memusatkan kekuatan batin mereka untuk
menahan kesadaran mereka tidak runtuh. Namun beberapa
orang penjaga telah terduduk karenanya. Sendang Parapat
yang belum sembuh benar itupun tidak kuat menahan
getaran yang memukul dadanya, sehingga dengan
demikian, iapun terpaksa menyandarkan diri pada tiang
pendapa. Meskipun demikian akhirnya iapun terduduk pula.
Sedang Wanamerta terpaksa berpegangan tiang erat-erat.
Namun kesadarannya telah melayap-layap seperti orang
yang sedang hanyut menjelang tidur.
Mantingan, Rara Wilis, Wirasaba dan Endang Widuri
masih dapat bertahan diri, berdiri tegak dalam lingkaran
beradu punggung. Meskipun demikian mereka harus
berjuang mati-matian agar mereka tetap dalam kesadaran.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sebab mereka tidak tahu apa yang akan terjadi dengan tiga
orang yang masing-masing menamakan diri mereka
Pasingsingan. Apakah Pasingsingan yang lain itu tidak kalah
jahatnya dengan Pasingsingan yang pertama. Apakah justru
kedua orang yang lain itu lebih berbahaya bagi mereka.
Pasingsingan masih terus tertawa dengan nyaringnya.
Beberapa orang penjaga, bahkan Sendang Parapat, telah
kehilangan kesadaran mereka. Mereka menjadi seperti
orang yang terlepas dari keadaan sekitarnya. Dan karena
itu mereka menjadi terbaring lemah tanpa daya. Hatinya
menjadi nyeri dan pedih. Mantingan dan kawan-kawannya pun semakin lama
menjadi semakin lemah. Sadarlah mereka bahwa Pasingsingan telah melepaskan ajiannya Gelap Ngampar.
Bahkan Jaka Soka sendiripun menjadi gelisah. Semakin
lama ia semakin pucat dan gemetar.
Sura Sarunggi berdiri tegak sambil mengangkat dadanya.
Sebagai orang sakti ia tidak banyak terpengaruh oleh aji
sahabatnya itu. Bahkan akhirnya ia tersenyum dan berkata,
"Gelap Ngampar adalah ilmu ajaib. Pasingsingan yang lain
pun mampu berbuat demikian?"
Namun kedua Pasingsingan yang lain itu tidak menjawab.
Mereka tegak seperti patung saja di tempatnya.
Tetapi tiba-tiba terasa udara yang aneh bertiup di
halaman itu. Perlahan-lahan hanyut di sela-sela arus angin
basah dari lembah. Pasingsingan yang berdiri dekat
Mantingan itu tampak melipat tangan di dadanya.
Sejalan dengan arus udara yang aneh itu, terasa sesuatu
merayap-rayap di dada Mantingan, Rara Wilis, Wirasaba
dan Endang Widuri. Seakan-akan mereka menemukan
kesegaran baru di dalam dirinya. Perasaan nyeri dan pedih
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
yang ditusukkan oleh aji Gelap Ngampar di dalam tubuh
mereka perlahan-lahan menjadi berkurang. Dan angin
masih mengalir mengusap tubuh mereka membawakan
ketenangan dalam diri. Bagaimanapun juga Mantingan adalah seorang yang
memiliki pengalaman yang cukup. Ia adalah seorang dalang
yang banyak mempelajari keajaiban dan kekuatankekuatan yang tersembunyi di balik alam yang kasatmata.
Karena itu tergetarlah hatinya. Sehingga tak sesadarnya ia
berbisik, "Alangkah dahsyatnya. Pertempuran ilmu dari
orang-orang sakti." Widuri, Wilis dan Wirasaba mendengar bisikan itu.
Karena itu mereka menjadi gelisah. Dua raksasa dapat
bertempur tanpa luka pada kulit mereka, namun kelincikelinci dapat terinjak mati di tengahnya.
"Dahsyat...!" Tiba-tiba terdengar Sura Suranggi berteriak.
"Aku merasa Pasingsingan yang lain mampu melawan Aji
Gelap Ngampar. Setidak-tidaknya ia mampu membebaskan
dirinya. Bahkan perlawanannya telah berhasil mempengaruhi orang lain seperti aji Gelap Ngampar itu
sendiri, merata ke segenap arah. Tetapi kekuatan
perlawanan ini bukan ciri Pasingsingan. Pasingsingan-lah
yang memiliki aji Gelap Ngampar."
Pasingsingan menggeram. Tertawanya kini sudah
berhenti ketika ia merasa perlawanan yang kuat. Bahkan
telah membebaskan orang-orang di sekitarnya. Karena itu
ia menjadi semakin marah. Sambil menunjuk ke arah
topeng kasar dari orang yang berdiri di samping Mantingan
yang melipat tangan di dada itu, ia berkata, "Setan.
Agaknya kau mampu mengimbangi aji Gelap Ngampar.
Tetapi itu bukan suatu bukti bahwa kau berhak menamakan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dirimu Pasingsingan. Sebab Pasingsingan tidak saja mampu
melawan, namun mampu melepaskan. Kalau kau menamakan dirimu Pasingsingan, dapatkah kau melepaskan
aji Gelap Ngampar?" "Hem..." geram orang berjubah yang menyilangkan
tangannya. "Kau masih tidak percaya bahwa aku bernama
Pasingsingan." "Setiap orang dapat menyebut dirinya Pasingsingan.
Mengenakan jubah abu-abu dan topeng kasar. Namun aji
Gelap Ngampar tak dimiliki oleh setiap orang," sahut
Pasingsingan hampir berteriak.
Orang yang menamakan dirinya Pasingsingan, yang
berdiri di samping Mantingan sambil melipat tangannya itu,
mengangkat wajahnya. Terdengar ia menarik nafas
panjang. Perlahan-lahan ia menoleh kepada Pasingsingan
yang seorang lagi. "Kau juga bernama Pasingsingan?" Orang itu bertanya
dengan suara yang dalam. "Akulah Pasingsingan itu" jawab orang itu.
Pasingsingan menjadi semakin marah. Katanya lantang,
"Aku tidak peduli apakah kau menyebut dirimu Pasingsingan
atau Setan Belang. Tetapi selama kau tak mampu
menunjukkan ciri-ciri Pasingsingan, maka kau hanya akan
ditertawakan orang sebelum kau terbunuh olehku."
Namun Sura Sarunggi terpaksa berpikir. Orang-orang itu
berhasil membebaskan dirinya dari pengaruh Gelap
Ngampar, sehingga dengan demikian orang-orang itu
bukanlah kelinci-kelinci seperti Mantingan, Rara Wilis,
Wirasaba dan Widuri. Apalagi Wanamerta dan Sendang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Parapat yang kini benar-benar seperti orang yang tak tahu
keadaan diri. "Aji Gelap Ngampar adalah aji yang dahsyat," kata orang
yang berjubah abu-abu yang berdiri di sebelah Sura
Sarunggi itu. "Tetapi aji Gelap Ngampar adalah aji yang
kurang sempurna. Aji yang tak akan dapat dipergunakan
dalam pertempuran besar, dimana dalam pertempuran itu
terdapat kawan dan lawan. Sebab demikian aji itu
dilontarkan, maka tidak saja lawan-lawan kita yang
terbunuh, namun kawan sendiripun akan menderita
karenanya." "Jangan mencoba mengajari aku" bentak Pasingsingan
guru Lawa Ijo, "apapun yang terjadi, namun Gelap
Ngampar benar-benar ditakuti orang".
Pasingsingan yang berdiri di samping Mantingan itu
tertawa, "Ki Sanak yang menamakan diri Pasingsingan, apa
yang dapat kau lakukan dengan Gelap Ngampar sekarang
ini" Kalau kau akan membunuh aku, misalnya, dapatkah
kau pergunakan Gelap Ngampar" Dengan aji itu, kau hanya
mampu membunuh orang-orang ini, yang berkerumun
ketakutan melihat topeng-topeng kita yang kasar."
Kembali Pasingsingan menggeram dahsyat sekali.
"Jangan banyak bicara. Aku berkata tentang kebenaran dan
kenyataan tentang Pasingsingan."
Pasingsingan yang berdiri di samping Sura Sarunggi itu
bertawa terkekeh-kekeh dibalik topengnya yang jelek,
jawabnya, "Kau mengigau tentang kebenaran dan
kenyataan Pasingsingan" Aku tidak tahu kebenaran dan
kenyataan yang kau maksudkan. Bahkan cara berpikir yang
demikian itulah yang menyebabkan dunia ini selalu
bergoncang. Kebenaran yang terpancar dari kedengkian diri
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
serta kenyataan yang ditabiri oleh pamrih dan nafsu. Kalau
setiap orang berpikir demikian, tak ada ukuran tata
pergaulan manusia. Kebenaran akan bertentangan dengan
kebenaran yang lain, menurut kepentingan diri sendiri."
"Huh..." potong Pasingsingan, "Tak ada orang yang
berbuat sesuatu tanpa pamrih. Dunia ini terbentang di
hadapan kita untuk kita nikmati. Kalau kita tidak berbuat
sesuatu adalah salah kita sendiri. Karena itu sudah
sewajarnya kalau kita teguk airnya sepuas-puasnya, dan
kita makan pala gumantung dan pala kependhem
sekenyang-kenyangnya. Nah, aku sekarang sedang menikmati pala keduanya kini. Jangan melintang di jalan
yang akan aku lewati. Aku sedang mendaki puncak
kebesaran. Apakah kau kira kenikmatan dan kebesaran
hanya dapat dimiliki oleh seseorang" Huh. Akupun berhak.
Dan agaknya kaupun sedang berusaha."
"Apa yang sedang kau usahakan?" tanya Pasingsingan
yang berdiri di samping Mantingan.
"Jangan berpura-pura" jawab Pasingsingan.
"Hem..." desah orang yang berdiri di sebelah Sura
Sarunggi. "Apakah kau sedang mencari Kyai Nagasasra dan Kyai
Sabuk Inten?" "Bukankah kau juga sedang mencarinya?" potong
Pasingsingan. "Apakah yang kalian perdebatkan?" sahut Pasingsingan
yang berdiri di samping Mantingan. "Kyai Nagasasra dan
Sabuk Inten" Kalau itu yang kaucari, tak akan kau
ketemukan di sini. Kalau itu yang dimaksud dengan
kebesaran yang setiap orang berhak menikmatinya,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
bukankah dengan demikian kau bermaksud merajai
Demak?" "Apa pedulimu?" bentak Pasingsingan yang berjubah
abu-abu, guru Lawa Ijo. Orang bertopeng di samping Sura Sarunggi itu berkata
pula, "Kalau keris-keris yang kau kehendaki, mengapa kau
berbuat hal yang aneh-aneh" Mengapa kau akan
membunuh orang-orang ini?"
"Mereka menghalangi maksudku, seperti kau," jawab
Pasingsingan.

Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau seseorang berusaha menemukan keris Nagasasra
dan Sabuk Inten untuk diserahkan kepada yang berhak, kau
berusaha untuk dirimu sendiri. Adakah kita akan berpihak
padamu?" tanya Pasingsingan di samping Mantingan.
"Jangan merintangi aku!" Guru Lawa Ijo hampir
berteriak, "Atau kau akan tergilas roda perjuanganku. Mati
tanpa arti?" "Kebesaran yang akan kau dapatkan itu tak akan berarti
bagiku, bagi orang-orang ini dan bagi kawula Demak.
Kebesaran itu hanya akan berarti bagimu sendiri, bagi
kawan-kawanmu. Nah, urungkan niatmu," jawab Pasingsingan di samping Mantingan itu.
"Persetan dengan kalian," sahut Pasingsingan. "Kita
berhadapan sebagai lawan. Tetapi tunjukkan dahulu bahwa
kau berhak bernama Pasingsingan."
Tiba-tiba terdengar Sura Sarunggi tertawa. "Kalian
berbicara tanpa ujung dan pangkal. Tetapi aku sudah dapat
mengambil kesimpulan bahwa kalian sedang bersaing.
Meskipun demikian aku harus mempunyai pilihan. Nah, aku
berpihak pada Pasingsingan yang datang bersama aku di
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sini. Sebab bagiku kedua Pasingsingan yang lain tak akan
berarti. Meskipun seandainya mereka mampu melepaskan
aji Gelap Ngampar, aji Alas Kobar dan segala macam ciri-ciri
Pasingsingan yang lain."
"Tetapi aku akan memberimu kepuasan," kata Pasingsingan di samping Mantingan. "Kau ingin melihat aku
melepaskan aji Gelap Ngampar?" Kepada Pasingsingan di
samping Sura Sarunggi ia berkata, "Kau juga ingin melihat
kebenaran itu?" Tak ada jawaban. Pasingsingan guru Lawa Ijo itu
berdebar-debar. Apakah orang-orang itu benar-benar
memiliki Gelap Ngampar seperti dirinya" Dalam kegelisahannya, ia menebak-nebak, siapakah sebenarnya
kedua orang itu. Kalau mereka itu salah seorang dari
Mahesa Jenar, Pandan Alas dan lain-lainnya, pasti mereka
tak akan mampu melepaskan aji Gelap Ngampar.
Tetapi yang lebih gelisah lagi adalah Mantingan, Rara
Wilis, Wirasaba dan Endang Widuri. Kecuali mereka, Jaka
Soka pun menjadi berdebar-debar. Agaknya benar-benar
akan terjadi pertempuran ilmu yang dapat merontokkan isi
dada mereka. Jaka Soka akhirnya mengambil keputusan untuk
meninggalkan tempat itu sebelum ia mati terhimpit dua
kekuatan yang tak dapat dihindarinya. Meskipun demikian,
ia harus menunggu sampai saat yang tepat baginya.
Pasingsingan di samping Mantingan itu kemudian
mengangkat wajahnya. Kemudian ia memandang berkeliling. Kepada setiap orang yang berada di halaman
itu. Mulai dari Mantingan dan kawan-kawannya, Wanamerta, Sendang Parapat dan para penjaga yang sudah
kehilangan kesadaran mereka. "Hem..." desahnya, "Kalau
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
aku melepaskan aji Gelap Ngampar, mereka akan menjadi
semakin parah." Tiba-tiba terdengar Pasingsingan guru Lawa Ijo itu
tertawa. "Nah, kau mencari alasan untuk mengelak?"
"Tidak... tidak," sahut Pasingsingan itu. "Tetapi kalau aku
ingin memetik buahnya, jangan digugurkan daun-daunnya
tanpa maksud." "Omong kosong. Apa padulimu dengan daun-daun yang
tak berarti?" jawab guru Lawa Ijo.
Sekali lagi Pasingsingan di samping Mantingan itu
memandang berkeliling. Agaknya ia benar-benar menjadi
ragu. Tiba-tiba ia menggeram, dan kepada Pasingsingan
yang berdiri di samping Sura Sarunggi, ia berkata, "Kalau
kau ingin mencoba menjajarkan diri dengan kami, cobalah
melawan aji Alas Kobar seperti yang aku lakukan."
"Tidakkah kau bertanya kepadaku, apakah aku mampu
melepaskan aji itu?" kata Pasingsingan di samping Sura
Sarunggi itu. "Akan datang saatnya nanti," sahut guru Lawa Ijo.
Meskipun hatinya menjadi gelisah. Apakah benar keduaduanya mampu berbuat demikian"
"Menjemukan," sela Sura Sarunggi. "Marilah kita bertempur, Pasingsingan," katanya kepada Pasingsingan
guru Lawa Ijo. "Yang mana kau pilih" Menilik ketahanan
mereka, kita harus melawan satu demi satu. Kecuali kalau
mereka mau menyingkir."
Pasingsingan belum sempat menjawab, ketika tiba-tiba
Pasingsingan di samping Mantingan itu tertawa. Perlahanlahan, namun terasa betapa dahsyatnya. Gelombang demi
gelombang menggeletar menggetarkan udara halaman
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Banyubiru itu, seolah-olah geteran yang memancar dari
pusar bumi, menyebar ke seluruh penjuru. Terasa disetiap
dada goncangan yang tak terkira dahsyatnya. Sehingga
runtuhlah daun-daun yang tak mampu berpegangan lebih
erat lagi pada dahan-dahannya.
Suara Pasingsingan itu tidaklah seperti suara guru Lawa
Ijo yang mengerikan. Suara itu adalah suara yang
sederhana saja, seperti lazimnya orang tertawa. Lunak dan
tidak mengandung kebengisan. Namun yang terasa di dada
orang yang mendengarnya adalah goncangan-goncangan
yang dahsyat. Pada saat goncangan-goncangan itu menyerang dada
Mantingan, berdesislah ia, "Aji Gelap Ngampar." Dan
berusahalah ia menjaga dirinya. Demikian juga Rara Wilis,
Wirasaba, Widuri dan Jaka Soka. Sedang orang-orang lain
menjadi tak berdaya untuk berbuat sesuatu, mengatasi
goncangan-goncangan di dada mereka, sehingga tak
mampu bertahan lebih lama lagi. Tubuh mereka pun mulai
jatuh terkulai tak sadarkan diri.
Tetapi, Mantingan dan kawan-kawannya, bahkan Jaka
Soka pun tak mampu bertahan lebih lama lagi. Tubuh
mereka mulai bergetar, dan tulang-tulang mereka seakanakan terasa lolos dari persendian. Mereka mengeluh dalam
hati. Mereka berada di medan pertempuran yang dahsyat,
namun mereka tak mampu mengayunkan senjata-senjata
mereka untuk turut serta di dalamnya. Mereka hanya dapat
bertahan atas serangan yang dahsyat, yang jauh berada di
atas kemampuan mereka. Sehingga dengan demikian
mereka tidak lebih dari daun-daun kering yang berguguran
di halaman itu. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Meskipun demikian, terasa perbedaan pada kedua aji
Gelap Ngampar yang sama-sama menggoncangkan dada
mereka. Meskipun keduanya dapat membunuhnya, namun
tenaga ini tidak sekasar tenaga yang pertama.
Namun, ketika dada mereka akan runtuh, dari sela-sela
angin basah yang mengalir semakin kencang, menyusuplah
di dalam tubuh mereka, getaran-getaran udara yang segar.
Perlahan-lahan namun pasti, membebaskan mereka dari
kengerian aji Gelap Ngampar itu. Dan sejalan dengan itu,
suara tertawa Pasingsingan itupun terhenti pula.
"Hem..." geramnya, "Kau mampu melawan aji Gelap
Ngampar," katanya kepada Pasingsingan yang berdiri di
samping Sura Sarunggi. Orang itu masih tegak di
tempatnya sambil menyilangkan kedua tangannya terlipat di
dada. Sebelum orang itu menjawab, terdengar Sura Sarunggi
tertawa, "Permainan yang mengasyikkan" katanya. "Jangan
bermain-main terlalu lama. A ku tahu bahwa kalian memiliki
ilmu yang bersamaan. Pasingsingan yang datang kemudian
berdua adalah seperti seperguruan. Entahlah hubungan
kalian dengan Guru Lawa Ijo itu, sehingga kalian memiliki
ilmu Gelap Ngampar. Meskipun terasa beberapa perbedaan,
namun kalian bersumber dari mata air yang sama."
Pasingsingan guru Lawa Ijo itupun berdiri tegak sambil
menahan marahnya. Karena itu tubuhnya tiba-tiba bergetar.
Dengan suara yang berat ia berkata pula, "Gila. Kalian
memiliki aji gelap Ngampar. Jangan berpura-pura, dan yang
satu itu jangan mencoba melepaskan pula. Tetapi itu belum
berarti bahwa kau bisa menamakan diri Pasingsingan."
"Adakah aku harus melepaskan aji Alas Kobar?" tanya
Pasingsingan di samping Mantingan. "Mungkin kau mampu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
pula, menirukan setelah kau atau gurumu berhasil mencuri
ilmu itu. Tetapi yang tak dapat kau curi adalah pusaka
Pasingsingan. Apakah kau memiliki pisau yang bernama
Kyai Suluh?" tanya Pasingsingan dengan pasti.
Tiba-tiba kembali halaman itu bergetar ketika Pasingsingan Guru Lawa Ijo itu berteriak nyaring. Seperti
hantu kelaparan yang kehilangan mangsanya. "Gila,
darimana kau dapatkan benda itu?"
Semua mata tertuju kepada Pasingsingan di samping
Sura Sarunggi. Di tangannya tergenggam sebuah pisau
belati panjang yang bercahaya kuning menyilaukan. "Inikah
yang kau maksud?" katanya.
"Hem..." desis Pasingsingan di samping Mantingan.
"Kalian mau bermain-main dengan senjata." Ia tidak
berkata lebih lanjut, namun iapun kemudian mencabut
sebuah pisau belati yang mirip benar dengan pisau belati
Pasingsingan yang lain itu.
Pasingsingan guru Lawa Ijo menjadi semakin marah.
Darahnya serasa mendidih di dalam rongga dadanya.
Karena itu tanpa disengaja, tiba-tiba tangannyapun telah
menarik pusakanya. Sebuah belati panjang yang berkilau.
Kini ketiga orang yang menamakan diri Pasingsingan itu
masing-masing telah menggenggam senjata yang serupa.
Senjata yang selama ini menjadi ciri Pasingsingan. Pusaka
yang ampuh luar biasa. Namun tiba-tiba Pasingsingan yang
selama ini merasa tiada duanya, menjadi heran, marah dan
bingung, ketika ada dua orang yang menamakan diri
Pasingsingan, serta memiliki beberapa ciri kekhususannya
Aji Gelap Ngampar serta pisau belati panjang yang kuning
berkilauan. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Dengan suara yang bergetar guru Lawa Ijo itu berkata,
"Setan. Kalian dapat membuat senjata yang serupa dengan
senjata ini. Tetapi ada lagi satu senjata Pasingsingan yang
tak dapat dibuat oleh empu yang bagaimanapun saktinya.
Senjata yang diberikan oleh alam kepadaku. Adakah kalian
mempunyai akik yang berwarna merah menyala dan
bernama Kelabang Sajuta?"
Untuk sesaat halaman itu menjadi hening sepi. Angin
lembah semakin lama semakin kencang. Dan awan yang
kelabu menjadi bertambah tebal tergantung di langit.
Sekali-kali guntur bergelegar di kejauhan, memukul-mukul
tebing dan pecah menggema diseluruh relung-relung
pegunungan. Sinar-sinar api memancar di udara seperti Ular
Gundala raksasa yang meloncat-loncat dilangit. Menurut
ceritera yang menjalar dari mulut ke mulut, di langit pada
saat itu sedang terjadi pertempuran antara Ular Gundala
Seta, senjata Wisnu yang sedang menyelamatkan bumi dari
keangkaramurkaan, melawan Ular Gundala Wereng, senjata
Kala yang sedang berusaha menghancurkan bumi karena
ketamakannya. Tetapi pada saat itu, di halaman Banyubiru itu pun
sedang berhadapan dua kekuatan raksasa. Pasingsingan
guru Lawa Ijo dan Sura Sarunggi di satu pihak, dan dua
orang Pasingsingan di pihak lain. Mereka sedang tegak
dengan tegangnya dalam pendirian masing-masing.
Ketika kedua orang Pasingsingan itu belum juga berkata
sepatah katapun, guru Lawa Ijo itu tertawa pendek,
katanya, "Ha apa katamu tentang akik Kelabang Sayuta
hadiah alam kepada Pasingsingan?"
----------o-dwkz)(arema-o---------Editing oleh Ki Arema SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Jilid 23 SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
I Tiba-tiba Pasingsingan di samping Mantingan itu
menjawab, "Kalau kau dapat menunjukkan bahwa kau
memiliki akik Kelabang Sayuta, akupun akan membuktikan
pula bahwa sebagai Pasingsingan, aku memiliki ciri-ciri yang
lengkap seperti katamu."


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mendengar jawaban itu, hati Pasingsingan berdesir.
Ketika ia meraba jari-jarinya, ia menjadi berdebar-debar.
Namun katanya kemudian, "Akik itu sudah aku berikan
kepada muridku Lawa Ijo. Sesaat sebelum ia mati,
diberikannya akik itu kepada Endang Widuri."
"Hem..." desis Pasingsingan di samping Sura Sarunggi.
"Kau sedang mengarang sebuah ceritera."
"Bertanyalah kepada Endang Widuri." Pasingsingan itu
menegaskan. Pasingsingan di samping Mantingan itu menoleh kepada
Endang Widuri. Kemudian ia berkata, "Ciri Pasingsingan
hanya melekat pada tubuh Pasingsingan. Tak ada ciri-ciri
yang lain, apalagi yang dimiliki oleh orang lain. Aku dapat
menyebut lebih dari seribu macam pusaka-pusaka ciri yang
lain yang tak ada padaku."
Darah Pasingsingan bertambah bergelora di jantungnya.
Sambil berteriak ia memaki-maki, "Setan, iblis, thethekan.
Tetapi akik Kelabang Sayuta itu milikku."
"Aku tidak bertanya siapakah yang mula-mula memiliki,"
bantah Pasingsingan di samping Mantingan. "Tetapi akik itu
sekarang tidak ada padamu, tidak ada padaku, dan tidak
ada pada Pasingsingan yang seorang itu lagi."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Pasingsingan di samping Sura Sarunggi tertawa pendek,
katanya, "Sudahlah Ki Sanak yang menamakan diri
Pasingsingan, yang madeg guru di Mentaok. Jangan terlalu
banyak persoalkan di antara kita kini."
"Diam!" bentak Pasingsingan guru Lawa Ijo. "Aku beri
kau waktu sepemakan sirih. Tinggalkan halaman ini. Jangan
campuri urusanku." "Bukan demikian adat yang pernah kau lakukan," sahut
Pasingsingan di samping Mantingan, "Kalau kau yakin dapat
membunuh kami, kau tak akan melepaskan lagi. Dengan
demikian, maka sekarang kau tak yakin akan kemenanganmu. Karena itu, bukankah lebih baik kita
berbicara sebagai manusia terhadap manusia. Bukan
sebagai hantu-hantu yang berkeliaran dari satu kuburan
kelain kuburan, mencari mayat."
"Hem. Benar-benar suatu penghinaan," geram Sura
Sarunggi. Kepalanya yang besar itu terangkat dan dengan
lantang ia melanjutkan, "Jangan merasa dirimu kadang
dewa. Tak ada waktu untuk berbicara sekarang. Pergilah
atau kau akan terkubur di sini."
"Jangan begitu Ki Sanak," jawab Pasingsingan di samping
Sura Sarunggi. "Penyelesaian dengan pengertian, jauh lebih
baik daripada penyelesaian dengan tetesan darah dari
tubuh kita. Sebab dengan demikian, kita akan dikejar oleh
rasa dendam yang tiada akan habis-habisnya. Dendam yang
akan dibalas dengan dendam. Dengan demikian maka
sepanjang umur kita, kita tidak akan dapat menikmati
ketenangan." "Pengecut!" potong Pasingsingan dari Mentaok. "Aku
adalah laki-laki. Di tanganku telah tergenggam pusakaku
Kyai Suluh. Karena itu kau tak ada kesempatan lagi untuk
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kedua kalinya, setelah kau menolak kesempatan yang
pertama." "Jangan," jawab Pasingsingan di samping Mantingan,
"Kita masing-masing mempunyai kesempatan yang sama.
Jangan mengancam dan menakut-nakuti. Aku ulangi,
marilah kita berbicara sebagai manusia dengan manusia.
Kita berbicara tanpa tabir di wajah kita. Kita bicara antara
hati kita yang dilambari dengan kejujuran pada diri kita
masing-masing, betapa hitamnya noda-noda yang melekat
pada tubuh kita masing-masing."
Mendengar kata-kata itu, tiba-tiba Pasingsingan dari
Mentaok itu menggigil. Ia menjadi curiga. Sejak orang yang
menamakan diri Pasingsingan itu mampu melepaskan Gelap
Ngampar, hatinya telah bergetar. Kini kata-kata itu
menambah keyakinannya bahwa ia telah mengenal kedua
orang itu. Meskipun demikian, ia masih mencoba untuk
menyakinkan, apakah dugaannya itu benar. Maka katanya,
"Apakah alasanmu" Apakah untungnya kita berbicara dari
hati ke hati?" Pasingsingan di samping Mantingan menarik nafas,
katanya, "Bagaimanapun kotornya hati kita, namun kita
adalah manusia. Kita memiliki hari-hari lampau dan hari-hari
mendatang. Kita memiliki hari-hari yang cemerlang, namun
kita memiliki juga hari-hari yang suram. Karena itu,
janganlah kita tenggelam dalam kegelapan. Putus asa dan
bunuh diri dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang
terkutuk terus-menerus."
Sura Sarunggi kini benar-benar sudah kehilangan
kesabarannya. Dengan suara yang geram ia berkata,
"Persetan dengan mimpi yang jahat itu. Jangan mencoba
Sumpah Palapa 29 Sepasang Pendekar Kembar Ouw Yang Heng-te Karya Kho Ping Hoo Renjana Pendekar 9

Cari Blog Ini