Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja Bagian 37
yang mempunyai pengaruh yang jelas kepada pemiliknya.
Akik itu akan dapat mempengaruhi keuletan dan
keterampilan berpikir. Demikianlah rombongan itu berjalan dengan kecepatan
sedang. Paling depan tampak Arya Salaka di atas kuda
hitam, kemudian Rara Wilis dan Endang Widuri yang
menjajarinya. Di belakang mereka, berkuda berdua Mahesa
Jenar dan Kebo Kanigara. Mereka kini merasa bahwa
sebagian dari pekerjaan mereka yang terberat sudah
selesai. Golongan hitam telah 8 dari 10 bagian hancur.
Lebih dari itu, bagi Mahesa Jenar yang paling membesarkan
hatinya, adalah sikap Lembu Sora. Agaknya Ki Ageng
Lembu Sora telah menyadari kesalahan-kesalahan yang
pernah dilakukannya. Agaknya orang itu telah menemukan
jalan untuk kembali. Kembali kepada Tuhan, dan kembali
kepada kesadaran diri atas segala ketamakan dan
keserakahannya. Matahari semakin lama menjadi semakin rendah, seakanakan kini bola langit itu bertengger di atas pegunungan di
sebelah barat. Sinarnya yang kemerah-merahan memancar
ke segenap arah, ke wajah langit dan ke wajah bumi. Daundaun yang hijau menjadi semburat merah. Namun cahaya
merah itupun semakin lama semakin pudar. Akhirnya
tinggal menyangkut di ujung-ujung daun hijau di lerenglereng bukit, untuk seterusnya tenggelam di balik
pegunungan. Di langit kini bermunculan bintang-bintang. Satu demi
satu. Namun akhirnya jumlahnya tak terhitung lagi.
Bintang-bintang berpencaran dari ujung langit ke ujung
yang lain. Awan yang kelabu sehelai-helai mengalir ke
utara. Yang kemudian seakan-akan berkumpul menjadi
satu. Awan-awan yang basah itu kemudian menjadi
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
semakin tebal dan menjadilah lapisan mendung di langit
yang luas. Rombongan kecil itu mempercepat perjalanan mereka.
Mereka takut kehujanan. Semalam, hampir seperempat
malam mereka membiarkan diri mereka terbenam dalam
hujan yang lebat. Kini mereka tidak ingin kedinginan lagi.
Lebih baik berbaring di samping perapian sambil merebus
ketela pohon daripada harus menempuh perjalanan di
hujan yang dingin. Beberapa saat kemudian tampaklah di kejauhan api yang
menyala. Agaknya itu adalah perapian dari anak-anak
Pamingit atau Banyubiru di Pangrantunan. Karena itu kuda
mereka berlari semakin cepat. Perapian itu tampaknya
hanya satu dua saja. Tidak seperti kemarin. Berpuluh-puluh
di sekitar desa Pangrantunan.
Ketika kuda Arya memasuki daerah itu, ia benar-benar
terkejut. Yang dilihatnya hanyalah beberapa kelompok
orang-orang yang sedang menghangatkan diri. Ke manakah
laskar Pamingit dan Banyubiru yang banyak itu"
Arya menarik kekang kudanya. Ia berhenti agak jauh dari
desa. Wilis dan Widuri pun berhenti pula. Tetapi Mahesa
Jenar dan Kebo Kanigara mendahuluinya sampai ke tempat
Arya Salaka berhenti. "Kenapa sesepi ini, Paman...?" bisik Arya.
Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar mengamati keadaan
dengan seksama. Kata Mahesa Jenar, "Apakah orang-orang
itu orang-orang Pamingit atau Banyubiru...?"
"Entahlah" jawab Arya.
Kembali mereka berdiam diri. Dengan tajamnya Mahesa
Jenar dan Kebo Kanigara mencoba untuk mengetahui apa
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
yang sedang dihadapinya. Juga orang-orang yang kemudian
berdiri di samping perapian itu. Apakah mereka kawan
apakah lawan. Sedang orang-orang yang berada di perapian itu pun
bersiaga ketika mereka mengetahui ada rombongan orangorang berkuda datang ke dekat mereka.
Mahesa Jenar mendorong kudanya beberapa langkah
maju. Dan orang-orang di tepi perapian itupun menyongsongnya dengan tombak yang tunduk.
"Siapakah kalian?" tanya salah seorang dari mereka.
Mahesa Jenar tidak segera menjawab. Ia membiarkan
orang-orang itu menjadi semakin dekat.
"Siapakah kalian...?" terdengar kembali pertanyaan salah
seorang dari mereka. Kini Mahesa Jenar tidak ragu-ragu lagi. Menilik bayangan
pakaian yang melekat di tubuh mereka, pastilah mereka
bukan dari golongan hitam. Karena itu ia menyahut,
"Mahesa Jenar bersama Arya Salaka dan rombongan."
"O...." sahut orang itu, dan tombak mereka menjadi
semakin tunduk. "Laskar manakah kau?" tanya Mahesa Jenar kemudian.
"Pamingit," jawab orang itu, "Kami mendapat tugas
untuk menanti kedatangan Tuan."
Mahesa Jenar menjadi berlega hati. Dengan isyarat
tangan ia memanggil Arya, Wilis dan Widuri. Segera mereka
pun mendekat. "Kenapa sepi?" tanya Arya Salaka.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Silahkanlah Tuan singgah sebentar. Kami mendapat
tugas untuk menanti Tuan-tuan dan membawa Tuan-tuan
ke induk pasukan," jawab orang itu. Namun nampaknya
orang itu sedemikian tenang sehingga Arya Salaka, Mahesa
Jenar dan Kebo Kanigara mendapat kesan yang baik.
Mahesa Jenar beserta rombongannya kemudian mengikuti orang yang mempersilahkan itu. Mereka dibawa
ke pondok yang semula dipergunakan untuk Ki Ageng Sora
Dipayana selagi memegang pimpinan pertempuran.
Ketika mereka memasuki halaman, muncullah seseorang
di muka pintu pondok itu. Dengan bergegas dan hormat ia
berkata, "Silahkan Tuan-tuan."
Arya Salaka dan rombongan, telah mengenal orang itu,
Wulungan. Karena itu Arya Salaka menjadi semakin tenang
dan tidak berprasangka. Maka segera mereka meloncat
turun dari kuda-kuda mereka dan langsung masuk ke dalam
pondok itu, duduk di atas bale-bale yang besar, hampir
memenuhi ruangan. "Sehari penuh kami menunggu Tuan-tuan," kata
Wulungan. "Kami mengira bahwa Tuan akan datang pagi
tadi. Karena itu, ketika Tuan-tuan tidak segera datang, kami
menjadi cemas. Ki Ageng Sora Dipayana berpesan, apabila
malam nanti Tuan-tuan tidak datang, kami harus menyusul
bersama-sama dengan Ki A geng Sora Dipayana sendiri."
"Atas pangestumu, kami selamat, Wulungan," sahut
Mahesa Jenar, kemudian ia bertanya, "Kami terkejut ketika
kami melihat daerah ini sedemikian sepi."
"Semuanya sudah selesai" jawab Wulungan.
"Selesai...?" ulang Arya Salaka.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Ya. Pekerjaan kami sudah selesai. Orang-orang dari
golongan hitam telah meninggalkan seluruh daerah
Pamingit. Mereka menghindarkan diri dari pertempuran
kemarin. Ketika kami maju ke garis perang, pertahanan
mereka telah kosong. Seorang pengawas melihat,
sekelompok demi sekelompok, mereka meninggalkan
daerah ini, namun pengawas itu belum yakin bahwa mereka
seluruhnya telah pergi," jawab Wulungan.
Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Arya Salaka menarik
nafas. Namun Widuri nampak mengernyitkan alisnya,
katanya, "Jadi aku sudah terlambat?"
"Apa yang terlambat?" tanya ayahnya.
"Aku tidak dapat melihat pertempuran itu," sahut Widuri.
"Beruntunglah kau," kata ayahnya pula.
"Salah ayah. Kenapa aku tidak boleh berangkat dahulu
bersama-sama dengan laskar Banyubiru beberapa hari yang
lalu" jawab Widuri. "Beruntunglah kau," ulang ayahnya, "Kau akan ngeri
melihat pertempuran itu. Kau akan melihat darah mengalir,
melihat orang mengerang kesakitan karena terluka."
"Beruntunglah aku, karena aku hampir mati ditelan
Pasingsingan," Widuri meneruskan. Kebo Kanigara tersenyum, Mahesa Jenar pun tersenyum. "Tetapi bukankah
kau masih utuh?" sambung ayahnya.
Widuri tidak berkata-kata lagi. Yang lain pun untuk
sesaat berdiam diri sehingga ruangan itu menjadi sepi.
"Nah, Tuan-tuan..." Wulungan memecah kesepian,
"Beristirahatlah. Besok pagi-pagi Tuan-tuan kami antar ke
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Pamingit. Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Lembu Sora
dan tamu-tamu mereka menunggu Tuan-tuan."
"Siapakah tamu-tamu itu?" tanya Arya.
"Bukan tamu baru. Ki Ageng Pandan Alas, Titis
Anganten" jawab Wulungan.
Kemudian Wulungan meninggalkan mereka untuk
beristirahat. Awan yang basah di langit telah bersih disapu
oleh angin. Tetapi udara terasa betapa panasnya.
Arya Salaka, yang tidak begitu tahan akan udara yang
panas itu, bangkit berdiri. Maksudnya hanya untuk
menyejukkan diri di luar pintu. Namun kemudian ia tertarik
untuk berjalan-jalan di halaman. Di kejauhan, api masih
tampak menyala-nyala. Agaknya laskar Pamingit itu masih
merasa perlu untuk menghangatkan tubuh. Memang di
udara yang terbuka, udara terasa lebih sejuk dan dingin
daripada di dalam rumah. Selain itu, agaknya mereka
sedang merebus jagung. Arya berjalan saja tanpa tujuan. Ketika ia sampai di jalurjalur jalan desa, ia pun mengikutinya. Kedua senjatanya
ditinggalkan di pondoknya. Sebab ia mengira bahwa
keadaan di Pangrantunan itu telah benar-benar aman.
Dengan demikian ia berjalan saja seenaknya tanpa
kecurigaan apa-apa. Namun yang tak diketahuinya, beberapa pasang mata
sedang mengikutinya. Kemana ia berjalan, berpasangpasang mata itupun lalu menyertainya. Mereka berlindung
di balik pepohonan dan bayang-bayang gerumbul-gerumbul
kecil di kiri-kanan jalan desa itu. Menilik gerak-gerik
mereka, mereka bukanlah orang-orang yang dapat
diabaikan. Ternyata telah sekian lama mereka mengikuti
langkah Arya Salaka. Arya masih belum menyadarinya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sehingga dengan demikian, orang-orang itupun semakin
lama menjadi semakin berani. Mereka kini lebih merapat
lagi di belakang Arya Salaka yang sedang kehilangan
kewaspadaan. Tetapi pancaindera Arya Salaka ternyata telah benarbenar terlatih. Meskipun ia tidak berprasangka apa-apa,
namun didengarnya gemersik daun-daun kering di kirikanan jalan sempit itu. Dan gemersik itu selalu
mengikutinya kemana ia pergi.
Arya Salaka tidak segera menoleh atau mengamat-amati
suara itu. Ia masih akan meyakinkan tanpa diketahui orang
lain, bahkan seandainya ada orang yang mengikuti, orang
itu pun tidak akan mengetahuinya bahwa Arya Salaka telah
menyadari kehadiran mereka.
Kalau Arya Salaka mempercepat langkahnya, gemersik
itupun menjadi semakin cepat, dan apabila Arya
memperlambatnya dengan pura-pura memperhatikan sesuatu pada tubuhnya, gemersik itupun lambat pula.
Akhirnya Arya berhenti, perlahan-lahan ia memutuar
tubuhnya yang berjalan kembali lewat jalan itu pula. Suara
gemersik itupun berhenti dan berputar pula mengikutinya.
Namun Arya telah berbuat sesuatu dengan perhitungan.
Ia mengharap teka-teki itu segera dapat ditebaknya. Kalau
orang itu akan menyerang atau berkepentingan dengan
dirinya, maka orang itu pasti akan segera melakukannya,
sebelum ia menjadi semakin dekat dengan pondoknya.
Tetapi seandainya orang-orang itu hanya akan mengintainya, suara itu pasti akan lenyap dan berhenti.
Dengan demikian menjadi kewajibannya untuk mengejar
dan menangkap mereka atau salah satu dari mereka.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Apa yang diharapkan Arya itupun terjadi. Agaknya orang
yang mengikuti Arya Salaka itu tak membuang waktu, dan
tak mau menunggu sampai Arya menjadi semakin dekat
dengan pondoknya, di mana telah menunggu Mahesa
Jenar, Kebo Kanigara dan beberapa orang lagi. Tiba-tiba
Arya mendengar langkah yang menjadi semakin jelas, dan
tiba-tiba seseorang telah meloncat tepat di belakangnya.
Arya adalah seorang yang cukup memiliki bekal
pengetahuan beladiri. Apalagi ia telah sengaja memancing
orang itu keluar dari persembunyiannya. Karena itu, segera
ia memutar diri menghadapi setiap kemungkinan yang bakal
datang. Tetapi ketika ia melihat orang yang berdiri di
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hadapannya, ia menjadi terkejut bukan buatan. Bagaimanapun beraninya, namun dada A rya Salaka berdesir
pula. Di hadapannya kini berdiri seseorang berkerudung
kain yang kehitam-hitaman dan bertopeng kulit kayu kasar.
"Pasingsingan," desis Arya.
Orang itu tertawa. Suaranya berat dan kasar. Katanya,
"Apakah hanya Pasingsingan yang memiliki topeng di dunia
ini?" Arya menyadari kesalahannya. Pasingsingan memiliki
tanda-tanda khusus. Jubah abu-abu dan topeng kayu yang
jelek dan kasar. Sedangkan orang yang berdiri di
hadapannya itu berciri lain. Ia tidak mengenakan jubah, dan
topengnya dibuat dari klika kayu yang sangat sederhana.
"Siapa kau?" tanya Arya Salaka.
"Aku kleyang kabur kanginan. Berkandang langit,
berselimut mega" jawabnya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Jangan banyak berputar-putar. Kalau kau sengaja
menyembunyikan dirimu, apa maksudmu?" tanya Arya pula.
"Bukankah kau Arya Salaka...?" tanya orang bertopeng
itu. Arya tidak merasa perlu untuk menyembunyikan dirinya,
maka ia pun menjawab dengan jujur, "Ya, aku Arya
Salaka." Orang itu tertawa. "Jadi kaulah yang mengaku anak
kepala daerah perdikan Banyubiru?"
"Kenapa kau sangka aku mengaku-aku..?" sahut Arya
Salaka. "Aku tidak akan mengaku demikian seandainya
ayahku bukan kepala daerah perdikan Banyubiru."
Kembali orang itu tertawa. Suaranya sangat menyakitkan
hati. Katanya "Di mana ayahmu sekarang?"
Pertanyaan itu benar-benar menyakitkan hati Arya
Salaka. Karena itu ia menjawab, "Jangan banyak bicara.
Apa maksudmu?" "Ikut aku" kata orang itu.
"Lalu...?" sela Arya.
"Jangan bertanya" jawab orang itu.
"Adalah hakku untuk mengerti apa yang akan aku
kerjakan" kata Arya.
"Hanya ada dua pilihan bagimu. Mau atau tidak?" desak
orang itu pula. Arya masih mencoba menyabarkan diri, meskipun
hatinya bergelora. Meskipun demikian ia menjawab,
"Jangan memaksa"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Jawab pertanyaanku. Mau atau tidak" berkata ora itu
pula. "Tidak" jawab Arya tegas.
"Kalau begitu aku harus memaksamu. Dengan kekerasan. Kalau perlu akan aku bawa meskipun kau telah
menjadi mayat" kata orang itu.
Arya masih sibuk berpikir. Siapakah orang ini. Apakah ia
dari golongan hitam atau dari golongan lain yang tak
menyukainya. Apakah hal ini ada hubungannya dengan
kedudukannya sebagai satu-satunya orang yang berhak
atas tanah perdikan Banyubiru"
Tetapi Arya tak berkesempatan untuk berpikir lebih lama.
Sebab orang itu membentaknya, "Bersiaplah!"
Arya tak sempat menjawab. Ia melihat orang itu
meluncur dengan cepat menyerangnya. Namun Arya Salaka
pun telah bersiap pula. Karena itu dengan tangkasnya ia
mengelak, dan bahkan dengan lincahnya ia pun membalas
menyerang lawannya. Demikianlah maka segera terjadi
perkelahian di antara mereka. Arya Salaka mula-mula masih
meragukan lawannya. Namun ketika lawannya itu
bertempur dengan kerasnya, maka ia pun tak mempunyai
pilihan lain daripada melayaninya dengan sekuat tenaganya.
Orang bertopeng itu bertempur dengan gigih. Ia tidak
banyak bergerak, namun serangan-serangannya yang
datang tak ubahnya seperti gunung yang runtuh.
Segumpal-segumpal beruntun berguguran. Namun Arya
telah bertempur selincah kijang. Dengan cepat dan tangkas
ia selalu berhasil menghindarkan diri dari setiap serangan
yang datang. Bahkan serangan-serangannya pun datang
seperti badai yang dahsyat. Mengalir tanpa berhenti.
Gelombang demi gelombang.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Karena itupun maka pertempuran itu menjadi semakin
seru. Masing-masing telah bekerja sekuat tenaga untuk
mengalahkan lawannya. Arya bertempur seperti banteng
ketaton. Tetap, tangguh dan tanggon. Namun lawannya
pun bertempur seperti seekor gajah yang demikian percaya
pada kekuatan tubuhnya. Demikianlah pertempuran itu berjalan semakin sengit.
Arya Salaka ternyata memiliki ketangkasan yang cukup
dapat mengimbangi lawannya. Namun meskipun demikian,
ia selalu waspada. Tadi ia mendengar gemersik itu di kiri
dan kanan jalan. Sehingga kesimpulannya, orang yang
mengintainya tidak hanya seorang. Ia pasti mempunyai
kawan. Dengan demikian ia harus selalu waspada, sebab
setiap saat kawannya itu akan dapat muncul dan
menyerangnya bersama-sama.
----------o-dwkz)(arema-o---------SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
V Tetapi meskipun sudah sekian lama Arya bertempur,
orang yang lain belum muncul juga. Sehingga Arya menjadi
curiga. A pakah mereka akan menyerangnya apabila ia telah
benar-benar kelelahan. Karena itu, Arya menjadi marah,
dengan lantang berkata, "Hai, orang yang licik. Ayo
keluarlah dari persembunyianmu. Kalau kalian akan
bertempur bersama-sama, majulah bersama-sama. Jangan
main sembunyi-sembunyian."
Namun tak ada jawaban. Hanya seorang itu sajalah yang
bertempur melawannya. Ketika ia mendengar Arya berkata
dengan marah, ia pun menyahut, "Jangan sombong, kau
kira bahwa di dunia ini hanya ada seorang laki-laki yang
bernama Arya Salaka...?"
"Aku tak berkata demikian," jawab Arya sambil
bertempur. "Aku ingin kalian bertempur dengan jujur.
Jangan mengambil kesempatan yang licik."
"Aku bukan betina," kata orang bertopeng sederhana itu.
Namun dengan itu gerakannya menjadi semakin keras.
Seperti angin pusakanya bergerak berputar-putar. Kini ia
menjadi bertambah lincah dan bertambah garang. Tetapi
Arya Salaka pun telah kehilangan kesabarannya, karena
kemarahannya telah memuncak. Arya tidak tahu dengan
siapa ia berhadapan, namun agaknya lawannya benarbenar bertempur antara hidup dan mati. Karena itu ia pun
bertempur mati-matian. Ia tidak mau menjadi korban dalam
persoalan yang gelap. Pertempuran itu sudah berlangsung beberapa lama.
Namun tak seorangpun yang tampak akan dapat
memenangkan perkelahian itu. Kedua-duanya telah SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mengerahkan segenap tenaga yang mereka miliki, namun
perlawanan merekapun menjadi semakin bertambah sengit.
Tetapi lambat laun, Arya merasakan sesuatu yang aneh
pada lawannya. Seolah-olah ia pernah mengenal gerakgerak yang demikian itu. Mula-mula lawannya mempergunakan tata berkelahi yang asing baginya. Aneh
dan bercampur baur. Tetapi ketika Arya mendesak terus,
lawannya itu tak mampu lagi mempergunakan tata gerak
yang aneh-aneh dan bercampur baur. Sehingga akhirnya
lawan Arya yang bertopeng itu terpaksa mempertahankan
dirinya dengan ilmu yang sesungguhnya dimilikinya.
Arya Salaka mencoba mengamati setiap gerak dan
perlawanan lawannya itu. Bagaimana ia menyilangkan
tangannya di bawah dadanya, bagaimana ia meloncat
miring dan bagaima ia memutar sikunya apabila ia mencoba
melindungi lambungnya. Serangan-serangannya pun seakan-akan pernah dikenalnya. Dengan tangan yang
mengepal berkali-kali menyambar dagu, dengan ujungujung jari dari keempat jarinya yang lurus mengarah ke
bagian bawah leher dan perut. Dengan sisi-sisi telapak
tangan, dan dengan siku dalam jarak-jarak yang pendek.
Kaki Arya pun dengan lincahnya bergerak dan meloncat.
Kadang-kadang seakan-akan tertancap di tanah seperti
tonggak besi yang tak tergoyahkan. Namun kadang-kadang
tumitnya tiba-tiba menyambar lambung.
Arya sempat mengingat-ingat sambil berkelahi. Meskipun
kadang-kadang serangan lawannya itu datang dengan
dahsyat. Sekali-kali ia terdesak mudur, sebuah demi sebuah
serangan lawannya itu mengejarnya. Ketika kaki lawannya
itu menyambar dadanya, ia menarik tubuhnya dan
berputar, namun lawannya meloncat maju. Dengan kaki
yang lain, orang bertopeng itu menyapu kakinya yang baru
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
saja menginjak tanah. Demikian cepat sehingga Arya tak
sempat mengelak. Karena sapuan itu, Aya kehilangan
keseimbangan, namun ia adalah seorang yang cukup
terlatih. Dengan demikian, ia dapat menjatuhkan dirinya
dengan baik dan berguling satu kali, untuk kemudian
melenting berdiri. Tetapi ia terkejut ketika demikian ia
tegak, sebuah pukulan menyambar dagunya. Terdengar
giginya gemertak. Ia hanya sempat menarik wajahnya
untuk mengurangi tekanan pukulan lawannya, namun
wajahnya itupun terangkat pula. Perasaan sakit seperti
menyengat dagunya itu. Ia terdorong selangkah surut.
Lawannya tidak mau kehilangan kesempatan, dengan
tangkasnya ia meloncat maju. Namun kali ini Arya tidak
mau menjadi sasaran terus-menerus. Dengan tak diduga
oleh lawannya, sekali lagi Arya meloncat ke samping,
kemudian dengan lincahnya ia memutar tubuhnya, dan
kakinya menyambar perut lawannya. Terdengar lawannya
mengaduh perlahan. Disusul dengan serangan kedua ke
arah dada. Sekali lagi orang itu terdorong ke belakang. Dan
Arya mengejarnya terus. Dengan demikian pertempuran itu kian seru dan
berbahaya. Apalagi bagi Arya, sebab ia terpaksa
menyimpan sebagian perhatiannya untuk menghadapi
setiap serangan yang tiba-tiba dari orang-orang yang masih
bersembunyi di balik-balik pagar. Meskipun demikian Arya
tak dapat dikalahkan dengan segera. Bahkan tampaklah
bahwa Arya dapat melawan dengan baiknya dalam
keseimbangan yang setingkat.
Tiba-tiba dada Arya berdesir. Tiba-tiba pula ia
mengingatnya. Serangan-serangan yang demikian dahsyat
itu pernah dirasakan di Gedangan. Sawung Sariti. Gerakangerakan ini demikian mirip dengan ilmu saudara
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sepepuhnya itu. Tetapi apakah lawannya itu Sawung Sariti"
Ia mencoba mengamat-amati tubuh lawannya itu, dari kaki
hingga ujung kepalanya. Ia bertubuh tinggi tegap dan
berdada bidang. Orang itu agaknya terlalu besar bagi
Sawung Sariti. Namun karena orang itu berkerudung kain
yang kehitam-hitaman, sehingga dengan demikian ia tak
dapat menilainya dengan jelas.
Meskipun dapat masuk di akal, apabila tiba-tiba Sawung
Sariti menyeranganya, namun ia tidak berani berprasangka
demikian. Apalagi ia meragukan bentuk tubuh lawannya itu.
Ketika ia teringat pengalamannya di pantai Tegal Arang,
apakah kali ini eyangnya yang mencoba menjajagi
kekuatannya. Bahkan ilmu Sawung Sariti itu diterima dari
eyangnya. Tetapi tubuh eyangnya pun tak sebesar itu.
Eyangnya bertubuh kecil dan tidak terlalu tinggi. Jadi siapa"
Apakah pamannya" Paman Lembu Sora" Tak mungkin.
"Tidak," hatinya
melonjak, "Mudah-mudahan bukan Paman." Sambil berteka-teki Arya melayani lawannya. Meskipun
pamannya bertubuh tinggi besar dan berdada bidang,
namun ia tidak menyangka bahwa orang itu pamannya.
Pundak pamannya tidak setinggi itu dan leher pamannya
agak lebih panjang. Tetapi sepengetahuannya, orang yang
memiliki ilmu keturunan eyangnya hanyalah pamannya dan
Sawung Sariti. Ia tidak memperhitungkan pengawal Sawung
Sariti yang berwajah bengis dan bernama Galunggung.
Sebab ia tidak yakin bahwa Galunggung memiliki ilmu
sedemikian tinggi. Arya juga tidak dapat menyangka bahwa
orang itu Wulungan. Sebab Wulungan pun tak akan mampu
mempergunakan ilmu Pangrantunan sampai tingkat itu.
Apakah Wulungan dalam penilaiannya adalah orang yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
baik dan jujur. Jujur dalam menilai diri sendiri, jujur dalam
menilai kesalahan-kesalahan sendiri.
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siapa..." Siapa....?" Pertanyaan itu berputar-putar di
kepala Arya Salaka. Siapakah orang ini dan siapakah yang
bersembunyi di balik pagar.
Tiba-tiba ia melihat bayangan obor di kejauhan. Obor
orang-orang Pamingit yang bertugas menunggunya di
Pangarantunan sekaligus mengawal daerah kecil itu. Orangorang Pamingit itu mungkin akan nganglang atau
mempunyai keperluan lain di pondok penginapannya, atau
barangkali mereka kebetulan adalah orang Pangrantunan
yang akan mempunyai kepentingan dimalam yang gelap itu.
Dalam kesibukan pertempuran itu, Arya Salaka sempat
melihat daun-daun yang bergoyang di pagar dekat tempat
mereka bertempur. Matanya yang tajam melihat sebuah
bayangan yang merapat di pagar bambu yang telah rusak.
Pikirannya yang cepat segera mengetahui, bahwa orang itu
pasti akan menghadang orang yang membawa obor dan
yang semakin lama semakin dekat. Arya Salaka menjadi
cemas. Orang yang membawa obor itu tidak tahu apa yang
terjadi. Bahkan orang yang membawa obor itu mungkin
seorang atau dua orang laskar biasa, sehingga apabila ia
mendapat serangan yang tiba-tiba, maka akan terancamlah
jiwanya. Karena itu Arya tidak mau membiarkan hal itu
terjadi, sehingga ia harus berbuat sesuatu untuk
menyelamatkannya. Tetapi sampai saat ini ia masih sibuk
melayani lawannya yang menyerangnya seperti air sungai
yang mengalir tak henti-hentinya. Karena itu tiba-tiba dalam
kecemasannya mengenai nasib orang yang membawa obor
itu, Arya Salaka berteriak, "Hai, siapa yang membawa obor
itu?" SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Kenapa kau berteriak-teriak?" tanya orang yang
bertopeng. "Hai, orang yang membawa obor itu. Jangan mendekat.
Bahaya sedang menanti di sini," sambung Arya tanpa
memperdulikan kata-kata orang bertopeng.
"Kau mencari kawan?" sindir orang bertopeng itu.
Arya tidak menjawab. Yang terdengar di kejauhan suara
orang yang membawa obor, "Ada apa di situ?"
"Jangan mendekat," teriak Arya sambil bertempur terus.
Obor itu berhenti. Arya menjadi agak berlega hati. Namun
terdengar orang di balik pagar berdesis, "Curang. Kau tidak
memberi kesempatan aku bertempur."
"Siapa kau?" tanya Arya.
"Jangan ribut!" bentak orang di balik pagar itu. Arya
melihat obor di kejauhan itu menjadi semakin jauh.
Malahan kemudian tampak obor itu terbang cepat sekali.
Agaknya orang yang membawa obor itu telah berlari
sekencang-kencangnya. Ketika obor itu telah hilang di balik bayangan pohonpohonan, Arya berkata, "Nah, jangan menunggu laskarlaskar yang tak tahu-menahu itu terjebak. Sekali lagi aku
bertanya, siapakah kalian?"
Orang bertopeng itu tertawa. Ia tidak menjawab, tetapi
serangannya menjadi semakin sengit. Namun perlawanan
Arya menjadi semakin rapat dan serangan-serangan
balasan Arya pun datang seperti ombak di lautan, beruntun
menghantam tebing. Semakin lama tampaklah tenaga Arya
Salaka semakin mantap. Serangan-serangannya menjadi
semakin berbahaya, setelah ia mengetahui kekuatan dan
kekurangan tata gerak lawannya. Hal inipun dirasakan pula
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
oleh lawannya, berkali-kali ia terpaksa melontarkan diri
surut, berputar dan menghindar. Meskipun ia berusaha
sekuat tenaganya, namun ia tak dapat menekan Arya
Salaka yang muda itu. Meskipun demikian, orang di balik pagar itu tidak muncul
untuk membantu kawannya. Sehingga Arya menjadi
bertambah pusing. Kalau orang itu ingin membinasakan,
kenapa orang di balik pagar yang barangkali lebih dari
seorang itu tidak menyerangnya bersama-sama. Namun ia
tidak boleh lengah. Ia harus tetap waspada, apabila orangorang di balik pagar itu menunggu saat yang setepattepatnya bagi mereka. Ataukah ia berhadapan dengan lakilaki yang tinggi hati"
Demikianlah pertempuran itu berlangsung terus. Bertempur sambil berteka-teki.
Orang yang membawa obor itu adalah orang
Pangrantunan. Ia bukanlah laskar Pamingit. Karena itu
ketika ia mendengar teriakan Arya, ia menjadi ketakutan.
Sebenarnya ia hanya ingin ke sungai, ketika perutnya tak
dapat diajak menunggu sampai besok. Ketika ia berlari-lari,
dijumpainya dua orang laskar yang sedang nganglang.
Sambil terengah-engah ia berkata, "Ki Sanak, ada bahaya di
jalan ini." Laskar itu pun bertanya, "Dari mana kau tahu?"
"Aku akan lewat di jalan ini. Tetapi dikejauhan aku
mendengar seseorang berteriak, Jangan mendekat...!"
jawab orang itu. Kedua orang itu mengangguk-angguk. "Marilah kita bawa
Kakang Wulungan." "Ayolah" jawab yang pertama.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Kedua orang itupun cepat-cepat berputar lewat jalan lain
menuju ke pondok Wulungan. Di sana ditemuinya
Wulungan berdiri dihalaman bersama Mahesa Jenar dan
Kebo Kanigara. Ketika Wulungan melihat orang itu bergegas, bertanyalah
ia, "Apa yang terjadi?"
Laskar itu melaporkan apa yang didengarnya.
"Nah, itulah..." sahut Mahesa Jenar, "Kami juga
mendengar seseorang berteriak. Tetapi tidak jelas apa yang
diteriakkan." "Marilah kita lihat," desis Kebo Kanigara.
Mahesa Jenar mengangguk, katanya kepada Wulungan,
"Kau tetap di sini. Jaga setiap kemungkinan. Bunyikan
tanda kalau kau perlukan kami."
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun segera melangkah
pergi. Sedang Wulungan tetap berdiri di halaman untuk
mengamati keadaan di sekitarnya. Diperintahkannya
memanggil beberapa orang yang masih enak-enak duduk di
samping perapian sambil merebus jagung muda. Kepada
mereka Wulungan minta, agar mereka meningkatkan
kewaspadaan. Setiap saat dapat terjadi hal-hal yang tak
mereka kehendaki. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tidak mau mendekati
tempat yang ditunjukkan oleh kedua orang laskar Pamingit
itu lewat jalan desa. Sebagai seorang yang banyak makan
garam, mereka sadar bahwa jalan itu berbahaya. Karena itu
mereka justru memilih kebun dan gerumbul-gerumbul kecil
sebagai jalan yang sebaik-baiknya.
Arya Salaka masih saja sibuk melayani lawannya. Namun
lambat laun, terasa bahwa nafasnya agak mulai lebih baik
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
daripada nafas lawannya. Perlahan-lahan namun pasti, ia
mulai mendesak orang bertopeng itu, meskipun untuk
berbuat demikian Arya harus berjuang ngetog kekuatan dan
ilmunya. Disamping kemenangannya yang datang lambat
sekali itu, Arya masih harus memperhitungkan apa yang
kira-kira dapat dilakukan apabila orang-orang di balik pagar
itu datang membantu. Tetapi apa yang ditunggunya itu akhirnya datang. Orangorang di balik pagar itu benar-benar meloncat dari dalam
kelam. Seorang, lalu disusul seorang lagi.
Melihat mereka, Arya segera menyiapkan diri. Arya
belum pernah melihat mereka berdua. Yang seorang agak
pendek bulat, yang seorang bertubuh gagah, tinggi. Menilik
gerak mereka, Arya mencoba untuk menjajagi keprigelan
mereka. "Setidak-tidaknya mereka bertiga ini setingkat,"
pikir Arya, "Kalau demikian aku akan mengalami kesulitan
untuk melawannya." Di dalam gelap malam, Arya tidak memperhatikan wajahwajah mereka dengan seksama. Apalagi Arya masih harus
bertempur pula. Karena itu ia sama sekali tidak mendapat
kesan apa-apa mengenai wajah kedua orang itu.
Karena itu maka sekali lagi Arya ingin mendapat
kepastian dari lawan-lawan mereka, sebelum ia mengambil
sikap terakhir. "Ki Sanak, apapun yang akan kalian lakukan,
berkatalah siapakah kalian dan apakah maksud kalian?"
Orang bertopeng itu berdesis, jawabnya, "Tutup
mulutmu." "Adakah kalian benar-benar bermaksud jahat?" Arya
meneruskan seperti tak mendengar jawaban orang
bertopeng itu. "Apa salahku, dan apakah hubungan antara
kita?" sahut Arya. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Kau mengaku anak kepala daerah perdikan Banyubiru.
Tanah itu akan aku miliki" jawab orang bertopeng itu.
"Jangan mengigau. Marilah kita berbicara, tidak
bertempur. Kalau kau benar-benar ingin tanah ini,
mengakulah siapa kau." Arya bertambah curiga. Ia ingat
kemauan yang tak terkendalikan dari adik sepupunya.
Apakah orang ini benar-benar adiknya yang membawa
orang-orang asing untuk membunuhnya"
"Tutup mulutmu. Kami bertiga sudah siap membunuhmu" bentak orang bertopeng itu. Sedang dalam
pada itu kedua kawan-kawannya pun telah bergerak pula
mendekati titik perkelahian itu. Arya kini benar-benar harus
menentukan sikap terakhir. Siapapun yang berdiri di
hadapannya, kalau orang-orang itu benar-benar akan
membinasakannya apapun alasannya ia harus membela
dirinya mati-matian. Sebagai seorang laki-laki yang diasuh
oleh Mahesa Jenar, sebenarnya Arya cukup berlapang dada.
Namun iapun tak mau mati. Meskipun dalam keraguan, ia
berusaha untuk tidak berprasangka terhadap Sawung Sariti.
Tubuhnya, suaranya dan kata-katanya bukan tubuh suara
dan kata-kata adiknya. Adiknya tidak berkata sekasar itu,
namun lebih licin, licik dan menyakitkan hati. Tatageraknya
pun agak berbeda. Adiknya licin dan cekatan, orang itu
tangguh meskipun cepat bergerak pula. Tetapi akhirnya ia
tidak peduli lagi, siapapun yang dihadapi. Ketika dua orang
kawannya mulai bergerak, Arya tidak mempunyai pilihan
lain daripada mempertaruhkan segenap ilmunya. Kedua
orang yang membantu orang bertopeng itu ternyata
bertatagerak lain. Lain sekali dengan orang bertopeng itu.
Mereka agaknya sama sekali tak ada hubungan perguruan.
Dalam saat-saat terakhir terasa bahwa Arya tak dapat
mampu mempertahankan dirinya. Maka daripada mati
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sebelum segenap tugasnya selesai, Arya telah memilih
keputusan yang terakhir. Ia melontar mundur agak jauh
dari lawannya, dipusatkannya segala daya kekuatannya,
pikirannya dan diaturnya nafasnya menurut saluran ilmu
terakhirnya, Sasra Birawa.
Tetapi kembali ia dikejutkan oleh peristiwa yang tak
dapat dimengertinya. Ketiga orang itu sama sekali tak
mengejarnya. Bahkan orang bertopeng itu tiba-tiba
berteriak, "Arya, jangan. Jangan."
Pemusatan pikiran Arya agak terganggu. Namun kembali
ia mengatur tata pernafasannya. Ia tidak mau gagal karena
pengaruh perasaannya. Namun kali ini ia benar-benar
terpaksa mengurungkan niatnya, sebelum getaran di
dadanya menjalar ke sisi telapak tangan kanannya.
Tiba-tiba dari dalam kelam di balik pepohonan terdengar
suara, "Jangan Arya. Salurkan ilmumu kembali, redakan
getaran di dalam dirimu sebelum kau terbenam di
dalamnya." Dalam hal yang demikian, Arya tak dapat berbuat lain
daripada menurut perintah itu. Kakinya yang hampir
diangkatnya, diletakkannya kembali di atas tanah.
Kemudian tangan kanannya yaag sudah mulai bergerak,
disilangkannya di muka dadanya untuk meredakan getarangetaran yang telah mulai bergerak di dalam dirinya.
Perlahan-lahan ilmu yang dahsyat itu mengendor kembali
sebelum menguasai tubuh Arya sepenuhnya.
Arya Salaka melihat dua orang perlahan-lahan menyusup
di bawah pagar bambu di tepi jalan, dekat di sampingnya.
Mereka adalah Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Keduanya
sama sekali tidak mengesankan ketegangan yang
dialaminya selama ia bertempur melawan orang bertopeng
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
itu. Bahkan dengan perlahan-lahan Mahesa Jenar menepuk
pundaknya sambil berkata, "Bersyukurlah. Kau mendapat
lawan yang luar biasa."
Dua orang kawan orang bertopeng itu melangkah surut.
Mereka mencoba bersembunyi di dalam kelam di bawah
pepohonan yang rimbun, sedang orang bertopeng itu
berdiri tegak seperti patung.
Arya menjadi keheran-heranan melihat sikap gurunya,
yang seakan-akan tak terjadi suatu apapun di sini.
Dirasanya dalam malam yang gelap dingin itu tubuhnya
dibasahi oleh keringatnya yang mengalir dari segenap
wajah kulitnya. Namun Mahesa Jenar menganggap apa
yang terjadi agaknya seperti suatu permainan yang
menyenangkan. Arya kemudian mencoba untuk menilai sikap gurunya.
Barangkali gurunya yakin bahwa orang yang bertempur
melawannya itu tidak lebih daripada dirinya. Mungkin
gurunya tahu pula bahwa kedua kawan orang bertopeng itu
adalah orang-orang yang tak berarti apa-apa bagi gurunya
dan Kebo Kanigara. Kemudian terdengarlah Mahesa Jenar berkata, "Arya,
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
siapakah lawanmu itu?"
"Aku tidak tahu, Paman," jawab Arya. Mahesa Jenar
menoleh kepada orang bertopeng kulit kayu yang
sederhana itu, yang seakan-akan dibuat dengan tergesagesa. Sebuah klika kayu yang dilubangi di kedua lubang
mata, kemudian diikat pada kepalanya dengan tali dan ikat
kepalanya. "Tidakkah kau mengenal tata gerak yang dipergunakan
untuk melawanmu?" tanya Mahesa Jenar pula.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Ya, aku mengenal Paman" jawab Arya.
"Nah, ilmu siapakah itu?" desak gurunya.
"Ilmu keturunan dari perguruan Pangrantunan" jawab
Arya. "Sekarang cobalah kau ingat-ingat, siapakah yang
memiliki ilmu itu." Arya diam sejenak. Tak ada tiga empat. Lembu Sora dan
Sawung Sariti. Mula-mula ia ragu-ragu untuk menjawab,
namum kemudian meloncatlah kata-kata dari bibirnya, "Ada
dua, Paman. Paman Lembu Sora dan Adi Sawung Sariti."
"Siapakah di antara mereka?" tanya Mahesa Jenar lebih
lanjut. Arya menjadi semakin beragu. Sekali lagi ia melihat
orang bertopeng itu dengan seksama. Dari ujung jari-jari
kaki sampai kepalanya. Tetapi dalam gelap malam itu tak
dapat ditebaknya dengan pasti siapakah orang yang
bertopeng itu. Orang bertopeng itu berdiri seperti patung. Dua orang
kawannya tampak merapatkan diri masing-masing dengan
pagar di tepi jalan. Akhirnya Arya menebak saja sekenanya.
"Paman, orang itu bukan adi Sawung Sariti."
"Jadi...?" desak Mahesa Jenar. Arya Salaka menjadi
tergagap menjawab, "Jadi, jadi agaknya Paman Lembu
Sora." "Apakah kau pasti?" tanya Mahesa Jenar.
Arya kini benar-benar bingung. Bingung sekali. Ia tahu
bahwa bentuk pamannya tak seperti orang itu, meskipun
juga bertubuh tinggi dan besar. Namun lehernya dan
pundaknya agak berbeda. Dalam keragu-raguan itu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
terdengar Mahesa Jenar berkata, "Agaknya kau tidak pasti
Arya." Arya mengangguk. "Nah, kalau demikian, siapakah orang lain yang memiliki
ilmu keturunan dari Pangrantunan?"
Terdengar orang bertopeng itu menggeram.
"Tak ada," jawab Arya.
Mahesa Jenar tertawa. Sekali-kali pandangannya menyambar dua orang yang merapat di tepi jalan. Katanya
kepada kedua orang itu, "Jangan terlalu merapat pagar Ki
Sanak. Barangkali seekor ulat akan melekat di leher kalian."
"Hem...." kedua orang itupun menggeram.
"Arya..." kata Mahesa Jenar, "Adakah kau pernah
menerima dasar-dasar dari perguruan Pangrantunan?"
Dada Arya tiba-tiba berdesir. Teringatlah pada masa
kanak-kanaknya, ia pernah mempelajari ilmu-ilmu dasar
tata gerak dari perguruan Pangrantunan. Karena itu tibatiba ia menjawab, "Pernah, Paman."
"Siapakah yang memberimu pelajaran?"
Arya kini teringat, bahwa memang ada orang lain yang
memiliki ilmu itu, jawabnya, "Ada orang yang memiliki ilmu
itu, Paman, tetapi..." kata-kata Arya terputus. Orang itu
adalah ayahnya. Dan ayahnya kini sedang berada di
Demak. Diingatnya kata-kata ayahnya pada saat ia
meninggalkannya di hadapan laskar Banyubiru yang siap
dalam gelar Dirada. Katanya pada saat itu, "Arya, aku akan
pergi. Jauh sekali, dan belum tentu kapan akan kembali."
Tiba-Tiba tubuh orang bertopeng itu bergetar. Terdengarlah sekali ia menggeram. Kemudian tiba-tiba saja
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tangannya bergerak merenggut topeng yang dikenakannya.
Agaknya ia tidak dapat lagi menahan hatinya. Demikian
topengnya terlepas dari wajahnya, berkatalah orang itu,
"Arya, aku adalah orang ketiga yang memiliki ilmu
perguruan Pangrantunan."
Suara itu di telinga Arya Salaka terdengar seperti suara
runtuhnya gunung Merbabu. Dadanya bergetar keras sekali,
dan jantungnya bergelora seperti akan meledak.
Dan tiba-tiba pula meloncatlah kata-katanya, hampir
berteriak, "Ayah!"
"Ya," jawab orang bertopeng itu, "Aku adalah
ayahmu." Sesaat Arya mengamat- amati wajah itu. Meskipun di
dalam gelapnya malam, namun wajah ayahnya telah
tercetak di dalam hatinya.
Sehingga, dengan segera ia
dapat mengenal kembali, meskipun hanya garis lekuklekuk wajah itu. Hampir tak
ada perubahan sejak kirakira lima enam-tahun yang
lampau. Karena itu tiba-tiba
darahnya seperti melonjak-lonjak. Dan tanpa sesadarnya
Arya melompat maju, menjatuhkan diri di kaki ayahnya
sambil berkata gemetar. "Ayah, betulkah ayahku, ayah
Gajah Sora." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Terdengarlah suara orang itu perlahan-lahan, tidak kasar
dan tidak mengandung nada permusuhan, "Kau masih
mengenal aku dengan baik bukan, Arya?"
Arya ingin menjawab. Di dadanya tiba-tiba penuh dengan
kata-kata yang akan melontar keluar, namun mulutnya
segera tersumbat oleh sesuatu yang menyekat. Karena itu
yang terlontar keluar hanyalah sepatah kata, "Ya."
Gajah Sora menepuk bahu anaknya dengan bangga.
Kemudian anak itupun ditariknya berdiri. Sambil berkata ia
memandang kepada Mahesa Jenar, "Hampir aku tak
percaya, bahwa anak inilah yang pernah aku tinggalkan
lima tahun yang lampau."
Mahesa Jenar tidak menyahut, tetapi ia melangkah maju.
Diulurkannya kedua tangannya, yang segera disambut oleh
Gajah Sora dengan penuh gairah. Disambutnya salam
Mahesa Jenar itu dengan sepenuh hati. Dan terasalah oleh
Mahesa Jenar bahwa tangan itu gemetar.
Mahesa Jenar pun haru. Ketika ia melihat Arya hampir
bertiarap di kaki ayahnya, matanya terasa panas.
Perpisahan yang sekian lama dan tanpa harapan untuk
dapat bertemu pada saat-saat yang demikian ini. Tiba-tiba
orang itu berdiri di hadapannya.
Kemudian Mahesa Jenar menoleh kepada dua orang
yang berdiri merapat pagar. "Apakah kalian akan tetap
berdiri di situ?" Terdengar kedua orang itu tertawa. Salah seorang
daripadanya menjawab, "Permainanmu ternyata lebih baik
daripada permainan Kakang Gajah Sora, Kakang."
Mahesa Jenar pun tertawa, jawabnya, "Hampir aku tidak
tahan bersembunyi di balik gerumbul itu. Nyamuknya bukan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
main. Sedang kalian berdua masih saja ingin melihat,
bagaimana Arya menjadi semakin bingung."
Kedua orang itupun kemudian melangkah maju. Seorang
bertubuh gemuk bulat, sedang yang lain agak lencir.
Keduanya ternyata berpakaian lengkap, sebagaimana dua
orang prajurit yang datang dari Demak.
Kedua orang itu mengulurkan tangannya pula, yang
disambut oleh Mahesa Jenar bergantian. Kemudian mereka
itu diperkenalkan pula kepada Kebo Kanigara. Ternyata
mereka itupun pernah mendengar nama itu, namun baru
kali inilah mereka berhadapan dengan putra Ki Ageng
Pengging Sepuh. "Marilah kita mencari tempat yang lebih baik Kakang
Gajah Sora" ajak Mahesa Jenar, "Barangkali Kakang Gajah
Sora dapat menceriterakan sesuatu kepada kami, suatu
ceritera yang menarik." Meskipun demikian hati Mahesa
Jenar masih belum terang, apakah kedua prajurit Demak itu
mempunyai tugas khusus mengawal Gajah Sora. Namun ia
berkata, "Mari Adi Gajah Alit dan Adi Paningron. Aku
mempersilahkan kalian."
Gajah Sora menoleh kepada dua orang prajurit yang
ternyata Gajah Alit dan Paningron. Kedua orang prajurit
itupun mengangguk, sedang Gajah Alit berkata, "Marilah,
akupun tidak tahan lagi. Nyamuk Pangrantunan benarbenar buas dan besar-besar."
"Tidak Adi," sahut Mahesa Jenar, "Tetapi barangkali Adi
tidak biasa digigit nyamuk."
"Ah..." desis Gajah Alit, "Bukankah Kakang Mahesa Jenar
tadi juga hampir tidak tahan oleh nyamuk?"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenar tertawa. Gajah Alit memang senang
berkelakar sejak masa persahabatan mereka dahulu di
Demak. Kemudian berjalanlah mereka beriringan ke pondok.
Ketika mereka memasuki halaman, mereka melihat
Wulungan masih berdiri di muka pintu. Dua orang yang lain
tampak berjaga-jaga di dalam gelap. Ketika Wulungan
melihat Mahesa Jenar, segera iapun melangkah menyambutnya, "Apakah yang terjadi?" ia bertanya.
"Seseorang telah mencoba menyerang Arya Salaka,"
Mahesa Jenar menjawab, namun sambil tersenyum.
Katanya meneruskan, "Inilah orangnya. Pernahkah kau
mengenalnya?" Wulungan mengerutkan keningnya. Nyala obor di muka
rumah itu lamat-lamat mencapainya. Sehingga wajah Gajah
Sora itupun dapat dilihatnya.
Orang itu bertubuh gagah tegap, berdada bidang,
meskipun agak kurus namun jelas betapa baik bentuk
tubuhnya. Kumisnya lebat meskipun tidak sepanjang kumis
Ki Ageng Lembu Sora. Tiba-tiba Wulungan itupun
menundukkan kepalanya. Demikian hormat sambil berkata,
"Selamat datang Ki Ageng Gajah Sora. Kedatangan Ki
Ageng adalah sedemikian tiba-tiba. Salam baktiku untuk Ki
Ageng." "Masih kau ingat bentuk tubuh yang kurus kering ini,
Wulungan?" tanya Gajah Sora.
"Tidak. Ki Ageng tidak kurus kering. Ki Ageng cukup
segar meskipun agak susut sedikit. Tetapi hampir tak ada
perubahan sejak aku melihat untuk yang terakhir kali"
jawab Wulungan. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Ki Ageng Gajah Sora tersenyum. Kemudian merekapun
melangkah masuk ke dalam pondok itu, dan duduk di balebale besar diruang depan. Sesaat kemudian beberapa orang
telah siap merebus air dan jagung muda.
Sambil menikmati hindangan itu maka berkatalah Mahesa
Jenar, "Kedatangan Kakang Gajah Sora sangat mengejutkan
kami. Apalagi bersama-sama dengan Kakang, ikut serta adi
Gajah Alit dan Adi Paningron. Apakah artinya ini?"
Gajah Sora menarik nafas panjang. Sekali wajahnya
beredar di sekitar ruangan itu. Kemudian berhenti di wajah
Arya Salaka. Sekali lagi ia menarik nafas. Katanya, "Adi
Mahesa Jenar. A nakku ini benar-benar mengejutkan hatiku.
Sebelum aku berceritera, seharusnya aku mengucapkan
beribu-ribu terima kasih kepada Adi. Agaknya Adi Mahesa
Jenar telah memenuhi permintaanku, mengasuh anak nakal
ini, bahkan melampaui harapan yang aku khayalkan tentang
dirinya." Mahesa Jenar tersenyum, jawabnya, "Bukanlah aku yang
telah menjadikannya anak yang cukup bekal untuk menjaga
dirinya, tetapi darah yang mengalir di dalam tubuhnya,
agaknya merupakan modal yang tak ternilai harganya."
Arya menundukkan wajahnya. Ia malu ketika ia
mendengarkan ayah serta gurunya sedang menilai dirinya.
"Modal yang tak ditangani oleh tangan yang baik, ia tidak
akan berkembang, bahkan akan kehilangan nilai-nilainya,"
jawab Gajah Sora pula. Kemudian ia meneruskan, "Aku
pernah bertempur dengan Adi Mahesa Jenar di Gunung
Tidar. Aku mengagumi betapa dahsyatnya ilmu dari
perguruan Pengging. Ketika aku kemudian terpisah dari Adi
lima-enam tahun yang lalu, dan kemudian aku mencoba
untuk bertempur melawan anak asuhan Adi yang berilmu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
keturunan dari Pengging, aku merasa bahwa seakan-akan
aku mengulangi pertempuran di Gunung Tidar itu. Arya
Salaka benar-benar telah memiliki ilmu seperti yang Adi
miliki pada saat itu. Dan ternyata bahwa Arya telah benarbenar mencerminkan Adi Mahesa Jenar sewaktu adi
bertempur di Gunung Tidar itu."
Mahesa Jenar tersenyum. Ia pun berbesar hati ketika ia
mendengar sendiri bahwa Gajah Sora tidak kecewa melihat
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
anaknya. Terbayang pula di dalam rongga mata Mahesa Jenar,
bagaimana ia bertempur di mulut gua Sima Rodra di
Gunung Tidar melawan Gajah Sora, sehingga akhirnya ia
terpaksa melepaskan aji pemungkasnya, Sasra Birawa. Pada
saat itu Gajah Sora tidak dapat berbuat lain daripada
menyelamatkan dirinya dengan aji andalan perguruan
Pangrantunan, Lebur Saketi.
Mahesa Jenar menjadi geli sendiri mengenangkan
peristiwa itu, sehingga ia tersenyum sambil menundukkan
wajahnya. Tetapi sesaat kemudian senyum itu lenyap
seperti awan disapu angin. Sasra Birawa dan Lebu Saketi
tidak saja pernah berbenturan di atas Gunung Tidar dalam
suatu peristiwa kesalahpahaman, namun kedua aji itupun
pernah berbenturan di Gedangan, masing-masing dilontarkan oleh Arya Salaka yang mewarisi ilmu dari
Pengging, melawan saudara sepupunya, Sawung Sariti,
yang memiliki ilmu keturunan dari Pangrantunan. Tetapi
benturan itu sama sekali bukan karena salahpaham, namun
benar-benar karena kemarahan yang tak tertahankan.
Kesengajaan karena nafsu kedengkian, ketamakan dan
keserakahan. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tetapi Mahesa Jenar kemudian tersadar dari lamunannya
oleh suara Gajah Sora. "Adi, mungkin Arya Salaka tidak
akan menjadi anak seperti sekarang ini, seandainya aku
sendiri yang mengasuhnya."
Mahesa Jenar mengangkat wajahnya. Ia tersenyum
tetapi ia tidak menjawab.
Kemudian Gajah Sora meneruskan, "Selain kekagumanku
atas kemajuan yang pesat dari anakku, aku kira kalianpun
menjadi heran, kenapa tiba-tiba aku berada di Pangrantunan." Mahesa Jenar mengangguk sambil menjawab, "Ya. Tentu
saja kami menjadi gembira atas pertemuan ini."
"Tetapi kenapa aku dan Kakang Paningron hadir pula di
sini?" sela Gajah Alit sambil tersenyum.
Mahesa Jenarpun tertawa. "Ya," jawabnya, "Kenapa
kalian datang pula?"
"Kakang Mahesa Jenar mempunyai prasangka kepada
kami, Kakang," kata Gajah Alit kepada Panigron. Paningron
tersenyum. Memang ia tidak begitu banyak berbicara. Ia
lebih senang mendengarkan Gajah Alit berkelakar daripada
berbicara sendiri. Mahesa Jenar sudah mengenal watak sahabatnya yang
gemuk ini. Karena itu ia pun menjawab, "Agaknya kau
bertugas mengawal Kakang Gajah Sora, Adi. Kau sangka
Kakang Gajah Sora akan melarikan diri seandainya Kakang
mendapat kesempatan sehari dua hari menengok tanah
perdikannya?" Gajah Alit tertawa. Jawabnya, "Tidak, aku tidak bertugas
mengawal Kakang Gajah Sora, tetapi aku bertugas
menangkap Kakang Mahesa Jenar."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Kalau begitu," sahut Mahesa Jenar, "Aku akan
membantumu." Semuanya tertawa mendengar kelakar yang segar. Arya
Salaka pun tertawa pula. "Nah, bagaimanakah yang sebenarnya?" tanya Mahesa
Jenar kemudian. ----------o-dwkz)(arema-o---------Editing oleh Ki Arema SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Jilid 24 SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
I Gajah Alit tidak segera menjawab pertanyaan Mahesa
Jenar. Ditebarkannya pandangan matanya melingkari
ruangan itu. Baru kemudian ia berkata, "Biarlah Kakang
Gajah Sora berceritera. Kakang pasti tidak akan percaya
seandainya aku yang mengatakannya."
"Kau terlalu sering berdusta," sahut Mahesa Jenar.
Sekali lagi semuanya tertawa. Tetapi tidak berkepanjangan, sebab kemudian Gajah Sora berkata, "Apa
yang dapat aku ceriterakan" Yang aku ketahui, Baginda
memerintahkan lewat Adi Gajah Alit, bahwa aku
diperkenankan kembali ke Banyubiru."
"Tidak hanya itu," sela Gajah Alit.
"Agaknya Adi Paningron lah yang paling tahu," jawab
Gajah Sora. Semua mata berkisar ke wajah Paningron. Wajah yang
tenang dan pendiam. Namun sebuah senyuman tersungging di bibirnya. "Baiklah," katanya, "Kalau aku yang harus berceritera.
Tetapi aku tidak dapat berceritera seperti A di Gajah Alit."
"Ah..." desis Gajah Alit.
"Demikianlah yang sebenarnya," Paningron meneruskan,
"Kebetulan aku mengetahui beberapa persoalan. Setelah
Baginda menganggap bahwa Kakang Gajah Sora benarbenar tidak bersalah, maka sebenarnya pada saat itu
Kakang Gajah Sora sudah dapat dibebaskan. Sejak
pertemuan kami di Rawa Pening, Baginda menjadi pasti
bahwa Gajah Sora benar-benar tidak bersalah. Aku dan Adi
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Gajah Alit telah meyakinkan Baginda. Namun Baginda
menghendaki, agar usaha mencari kedua pusaka itu
menjadi semakin gigih. Terutama Baginda mengharap ayah
Kakang Gajah Sora dan sahabat-sahabatnya berjuang matimatian, dengan harapan untuk dapat segera membebaskan
Kakang Gajah Sora. Tetapi keadaan berkembang ke arah
yang tak dikehendaki. Beberapa saat, kami, di Demak
kehilangan jejak atas perkembangan daerah perdikan
Banyubiru. Baru beberapa saat kemudian kami ketahui
bahwa Banyubiru berada dalam kesulitan. Mula-mula kami
tidak pasti, apa yang menyebabkan. Tetapi terasa adanya
ketegangan dalam pemerintahan rakyat Banyubiru seakanakan kehilangan pegangan. Kehilangan kiblat. Pada saat
yang demikian itulah Baginda menganggap Gajah Sora
harus kembali ketanahnya. Harus kembali kepada ayahnya
yang sedang berjuang mati-matian untuk menegakkan
kembali apa yang dimilikinya. Sora Dipayana telah berjuang
hampir sepanjang umurnya untuk persatuan dan kemerdekaan tanah perdikan ini. Pada saat-saat yang
demikian, kami ketahui pula, bahwa orang-orang dari
golongan hitam telah memancing di air keruh. Dan inilah
bahaya yang sebenarnya, yang akan mengancam
Banyubiru, Pamingit dan bahkan Demak. Karena itu,
akhirnya Gajah Sora akan diserahkan kembali, kembali
kepada Ki A geng Sora Dipayana.
Yang mempercepat tindakan Baginda adalah berita
terakhir yang sampai di Demak, bahwa Banyubiru terancam
perang saudara. Antara Arya Salaka dan Sawung Sariti.
Perang yang telah lama dinanti-nantikan oleh golongan
hitam. Perang yang akan menumpas seluruh kehidupan
rakyat Banyubiru dan Pamingit. Perang yang akan
memadamkan sama sekali nyala api yang pernah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dikobarkan oleh Ki Ageng Sora Dipayana di atas tanah
perdikan Pangrantunan."
Paningron diam sejenak. Ia menarik nafas dalam-dalam,
kemudian tangannya meraih mangkuk, dan meneguk
seteguk air jahe yang hangat.
"Agaknya kalangan istana sudah mengetahui semua yang
terjadi di Banyubiru" sela Mahesa Jenar.
"Tidak seluruhnya," sahut Paningron, "Utusan dan
bahkan pejabat-pejabat rahasia dari Demak berkeliaran di
Banyubiru dan Pamingit."
Mahesa Jenar tersenyum. Seharusnya ia sudah
memaklumi sebelumnya. Seharusnya ia kenal, bagaimana
orang-orang seperti Paningron dan kawan-kawannya
bekerja. Kadang-kadang mereka dijumpainya seperti
penjual daun, penjual kayu dan sayur-sayuran. Kadangkadang mereka ditemuinya sebagai seorang saudagar yang
kaya raya, yang menjelajah kampung untuk mencari
dagangan. Sejenak kemudian Paningron meneruskan, "Tetapi
hubungan antara Demak dan Banyubiru tidaklah semudah
yang kita kehendaki. Itulah sebabnya, kadang-kadang kita
terlambat berbuat sesuatu. Itu pulalah sebabnya kali ini
kami terlambat juga. Untunglah bahwa pertempuran antara
laskar Arya Salaka dan laskar Pamingit itu di Banyubiru
dapat dihindarkan." "Aku yakin akan hal itu," potong Ki Ageng Gajah Sora,
"Selama Arya masih berada di dekat adi Mahesa Jenar."
"Aku hampir tak berdaya," jawab Mahesa Jenar,
"Pertempuran itu sudah berada di ujung hidung Arya
Salaka. Untunglah Ki Ageng Sora Dipayana berusaha sekuat
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tenaga. Lebih dari itu agaknya Tuhan telah mengambil
keputusan, bahwa Banyubiru dan Pamingit akan diselamatkan dari bencana kemusnahan."
"Kakang benar," sahut Gajah Alit, "."Kalau pertempuran
itu tak dapat dicegah, di atas bangkai rakyat Banyubiru dan
Pamingit akan menari-nari rianglah tokoh-tokoh golongan
hitam dari daerah yang berserak-serak itu. Dari Gunung
Tidar, Nusakambangan, Rawa Pening, Mentaok dan Lembah
Gunung Cerme Demikianlah kemudian pembicaraan mereka berkisar dari
satu soal ke soal lain. Bahkan kemudian Paningron dan
Gajah Alit tidak dapat menyembunyikan kekaguman mereka
atas Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, katanya, "Tak
seorang pun yang mampu membunuh Nagapasa dan Sima
Rodra seorang diri. Namun Kakang Kebo Kanigara dan
Kakang Mahesa Jenar telah melakukan hal itu."
Kebo Kanigara mengerutkan keningnya. "Adakah Adi
melihat peristiwa itu?"
"Kami tidak," jawab Gajah Alit, "Tetapi orang-orang kami
menyaksikan, setidak-tidaknya mendengar kabar tentang
perisitwa itu. Juga kami telah mendengar, bahwa Arya
Salaka telah mampu bertempur seorang melawan seorang
dengan Lawa Ijo. Sungguh suatu kemajuan di luar dugaan
ayahnya. Itulah agaknya yang mendorong Kakang Gajah
Sora untuk menilai sendiri kemampuan Arya Salaka itu."
Mahesa Jenar tersenyum. Gajah Sora pun kemudian berceritera, bagaimana
mereka bertiga bergegas untuk sampai ke Banyubiru, ketika
mereka mendengar bahwa keadaan Banyubiru sudah
sedemikian gawat. Namun mereka terlambat. Meskipun
demikian mereka berlega hati. Yang terjadi kemudian
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
adalah pertempuran justru antara laskar Banyubiru
bersama-sama dengan laskar Pamingit melawan laskar
golongan hitam di Pamingit. Mereka jumpai Banyubiru telah
kosong. Karena itu merekapun segera pergi ke Pamingit.
Namun pertempuran di Pamingit itupun telah selesai.
Seorang petugas yang ditanam oleh Paningron melaporkan,
bahwa Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Arya Salaka justru
pergi ke Banyubiru, karena Pasingsingan mendahului
mereka. "Nah, Adi Mahesa Jenar..." tanya Gajah Sora kemudian,
"Bagaimana dengan Pasingsingan?"
Kemudian Mahesa Jenar lah yang berceritera. Pasingsingan terbunuh oleh Pasingsingan.
"Ceritera tentang Pasingsingan itu panjang, Kakang,"
kata Mahesa Jenar kemudian, "Lain kali akan aku
ceriterakan selengkapnya. Kepada Kakang, kepada Ki A geng
Sora Dipayana, Ki Ageng Pandan Alas, Titis Anganten, dan
yang lain-lain." "Mereka juga belum mengetahui?" tanya Gajah Sora.
Mahesa Jenar menggelengkan kepalanya. "Belum. Belum
seorang pun yang tahu."
Sejenak merekapun berdiam diri. Dalam saat-saat yang
demikian, Mahesa Jenar mengamat-amati pakaian yang
dikenakan oleh Gajah Alit dan Paningron. Ia menarik nafas
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
panjang. Pakaiannya seperti yang dipakai Gajah Alit itupun
pernah dipakainya. Pakaian perwira pengawal raja. Beskap
hitam, sabuk kuning keemasan dan ikat kepala biru. Kain
panjang, sapit urang, celana hitam berpelisir kuning.
Sebilah keris berwarangka emas terselip di pinggangnya.
Sedang Paningron pun memakai pakaian kebesarannya.
Mirip dengan pakaian Gajah Alit, tetapi ia tidak berikat
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
pinggang kuning, stagennya agak berwarna emas dengan
permata yang berkilat-kilat. Juga di pinggang Paningron
terselip sebilah keris dengan warangka gayaman.
Tetapi ketika Mahesa Jenar sedang berangan-angan,
berkatalah Gajah Sora, "Adi Mahesa Jenar, banyak yang
ingin aku ketahui, dan banyak yang ingin aku dengarkan,
tetapi baiklah lain kali kami lanjutkan. Aku sudah rindu
menyampaikan sujud kepada Ayah, Sora Dipayana."
Mahesa Jenar mengangkat wajahnya. Jawabnya, "Aku
kira demikian sebaiknya. Wulungan akan bersama-sama
dengan kita." "Meskipun demikian..." Gajah Sora meneruskan, "Adi
Paningron mempunyai satu kepentingan lain, yang
barangkali Adi Mahesa Jenar mengetahuinya."
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya, ia bertanya,
"Apakah itu?" "Tidak begitu penting," sahut Paningron.
Mahesa Jenar mengangguk-angguk kecil. Ia menunggu
persoalan apa pula yang dibawa oleh Paningron ini. Apakah
tentang dirinya, atau yang lain"
Paningron memandang kepada Gajah Alit. Belum lagi
mendengar sepatah kata pun, ia telah menganggukangguk. Kemudian kepada Mahesa Jenar ia berkata, "Tidak
penting, Kakang." MAHESA JENAR menjadi semakin bertanya-tanya di
dalam hati. Kemudian berkatalah Paningron, "Ada dua masalah yang
akan aku katakan. Sengaja aku simpan sampai aku
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
berhadapan dengan Kakang Mahesa Jenar. Hal ini Kakang
Gajah Sora sendiri pun belum mengetahuinya."
"Apakah soalnya?" sela Mahesa Jenar.
"Yang pertama," sahut Paningron, "Adalah Kakang
Mahesa Jenar dapat mengatakan kepada kami, bagaimanakah bentuknya orang yang mengambil pusakapusaka Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten."
Mahesa Jenar menjadi ragu. Ia sekarang tahu pasti
siapakah orang yang mengambil pusaka-pusaka itu. Tetapi
sebelum menjawab, terdengar Gajah Sora berkata, "Telah
aku katakan. Orang itu berjubah abu-abu."
"Adakah orang itu berhubungan dengan ceritera
Pasingsingan yang terbunuh oleh Pasingsingan?" tanya
Paningron pula. Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Akhirnya ia
menjawab, "Tidak. Pasingsingan yang membunuh Pasingsingan bukanlah orang itu."
Paningron mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi
ia memandang kawannya yang gemuk bulat. Katanya, "Soal
itu perlu juga aku sampaikan."
"Silahkan Kakang" jawab Gajah Alit sambil tersenyum.
"Adakah orang lain di rumah ini?" tanya Paningron.
Mahesa Jenar memandang berkeliling. Rara Wilis dan
Endang Widuri tidak nampak sejak tadi. Wulungan yang
mengerti maksud Mahesa Jenar, berkata, "Mereka sudah
tidur sejak tadi." "Siapa?" sahut Paningron.
"Anakku" jawab Kebo Kanigara.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"O, tak apalah." Paningron meneruskan, "Aku akan
berkata tentang Nagasasra dan Sabuk Inten." Tetapi ia
berhenti. Dengan sudut matanya ia memandang ke arah
Wulungan. "Berkatalah," desak Mahesa Jenar, "Orang itu bisa kita
percaya." "Sebelum ceriteraku sampai pada masalah yang kedua,"
kata Paningron, "Kami mengetahui sesuatu tentang pusakapusaka itu." Gajah Sora dan Mahesa Jenar mengerutkan alisnya,
sedang Kebo Kanigara menarik nafas dalam-dalam.
"Ini juga salah satu sebab
yang menentukan, bahwa Baginda benar-benar yakin,
bahwa Kakang Gajah Sora tidak menyimpan pusaka- pusaka itu." Paningron meneruskan, "Pada suatu
saat, Kakang Arya Palindih
melihat seseorang membawa
kedua pusaka itu." Gajah Sora terkejut mendengar kata-kata itu, tetapi Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menjadi berdebar-debar.
"Siapakah orang itu?" tanya Gajah Sora.
"Seperti yang kau katakan," jawab Paningron, "Berjubah
abu-abu. Orang itu datang kepada Arya Palindih, berkata
kepadanya, apakah Kakang Palindih pernah melihat bendaSH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
benda yang dibawanya. Ternyata benda-benda itu adalah
Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten."
"Hem..." Gajah Sora berdesis.
"Tentu saja Kakang Arya Palindih bertanya kepadanya,
darimana pusaka-pusaka itu didapatnya. Dan orang itu
berkata terus terang bahwa keduanya diambil dari
Banyubiru," Paningron meneruskan. "Tetapi ketika kedua
pusaka itu diminta oleh Kakang Palindih, orang itu
berkeberatan. Sehingga akhirnya terpaksa Kakang Palindih
mencoba memaksanya. Tetapi orang itu luar biasa. Kakang
Palindih tak mampu melawannya. Dan kedua pusaka itu
lenyap kembali." Gajah Sora menggeram. Namun Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara berpikir, "Pasti, tak seorang pun mampu
menangkapnya." "Tetapi..." kata Paningron, "Bahwa Kakang Gajah Sora
terbukti tidak bersalah, Kakang Palindih menjadi yakin
karenanya. Dan ini adalah salah satu sebab pula yang
meyakinkan Baginda."
Paningron berhenti sejenak. Diteguknya wedang jahe di
mangkuknya. Kemudian ia meneruskan, "Tetapi kemudian
orang itu muncul kembali."
"Kapan?" bertanya Gajah Sora
"Dan inilah ceritera yang kedua," sahut Paningron,
"Ketika seorang prajurit diusir dari istana, maka beberapa
orang mendapat tugas untuk mengamat-amatinya sampai
beberapa saat. Kalau-kalau orang baru itu berbuat
sesuatu." "Kenapa diusir?" tanya Mahesa Jenar.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Seorang anak muda yang perkasa," jawab Paningron.
"Tak seorang pun seangkatannya yang dapat menyamai
keperwiraannya. Ia diketemukan oleh Baginda di halaman
masjid, ketika Baginda hendak bersembahyang. Anak muda
itu sedemikian tergesa-gesa, sehingga ia dapat meloncat
mundur sambil berjongkok melampaui sendang di halaman
masjid itu." Berdebarlah dada Kebo Kanigara mendengar ceritera itu.
Ia tahu bahwa kecakapan yang demikian itu jarang-jarang
dimiliki oleh seseorang. Namun ia tidak bertanya.
"Karena kecakapannya..." Paningron melanjutkan, "Dalam waktu yang singkat, ia telah diangkat menjadi
pimpinan kelompok Wira Tamtama dengan anugrah
pangkat Lurah. Tetapi sayang, bahwa ia kemudian berbuat
suatu kesalahan." "Apakah kesalahannya?" tanya Mahesa Jenar.
"Ia telah membunuh seseorang yang bernama Dadung
Ngawuk" jawab Paningron.
"Membunuh orang?" tiba-tiba Kebo Kanigara menyela,
"Apa soalnya?" "Orang baru, yang mencoba memasuki Wira Tamtama.
Namun orang itu terlalu sombong. Maka anak muda itupun
marah dan dibunuhnya Dadung Ngawuk dengan sadak
kinang" jawab Paningron. Mendengar jawaban itu Gajah Alit
tertawa. Bahkan ia hampir tak dapat menahan suara
tertawanya itu. Mula-mula yang melihat Gajah Alit itu
tertawa, menjadi heran, namun akhirnya Mahesa Jenar,
Kebo Kanigara dan Gajah Sora mengetahuinya, "Membunuh
dengan sadak kinang."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Paningron tersenyum, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara
tersenyum pula. Namun Arya Salaka menjadi tegang. Ia tak
tahu kenapa mereka tertawa karenanya.
Tetapi tiba-tiba Gajah Alit berhenti tertawa. Alisnya
berkerut dan wajahnya menjadi bersungguh-sungguh.
Tanpa disengajanya ia memandang Kebo Kanigara tanpa
berkedip. Paningron dan Mahesa Jenar tiba-tiba menjadi
tegang. Tetapi sesaat kemudian, juga Paningron seperti orang
yang tersentak dari mimpinya. Bahkan terlontar dari
mulutnya, "Oh!"
Kebo Kanigara menggelengkan kepalanya. Katanya, "Tak
apa-apa Adi. Aku sudah menduga, bahwa anak itu akan
kambuh kembali." Mahesa Jenar masih belum tahu apa yang terjadi, apalagi
Arya Salaka dan Wulungan. Sehingga akhirnya Kebo
Kanigara bertanya, "Bukankah anak muda itu bernama Mas
Karebet?" Mahesa Jenar dan Arya Salaka terkejut. Namun
tanggapan mereka berbeda-beda. Arya Salaka terkejut,
karena sahabatnya itu terpaksa membunuh seseorang
tanpa dipikirkan akibatnya. Sehingga ia terpaksa diusir dari
istana. Sedang Mahesa Jenar terkejut karena Mas Karebet
telah membunuh Dadung Ngawuk dengan sadak kinang. Ia
mengurai lebih jauh keterangan itu. Sehingga Baginda
mengusirnya dari istana. Akhirnya Paningron berkata, "Maafkan kakang Kebo
Kanigara, aku tadi lupa bahwa Mas Karebet, yang disebut
juga Jaka Tingkir adalah putra Ki Kebo Kenanga, dan
bukankah kakang Kebo Kanigara itu kakak Kebo Kenanga?"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Tak apalah. Justru aku berterima kasih kepada adi
berdua. Dengan demikian aku tahu apa yang dilakukan oleh
anak itu" kata Kebo Kanigara. "Siapakah Dadung Ngawuk
itu?" ia bertanya. Paningron memandang Arya sesaat, kemudian ia
menjawab perlahan-lahan, "Simpanan Baginda."
"Hem..." Kebo Kanigara menggeram. Namun Arya Salaka
menjadi semakin bingung. "Bukankah Dadung Ngawuk itu
seorang yang sombong, yang melamar menjadi seorang
Wira Tamtama?" Mahesa Jenar menundukkan wajahnya. Ia tidak berkata
sepatah katapun. Dengan sudut matanya, ia melihat Kebo
Kanigara menjadi pucat dan pada dahinya mengalirlah
keringat dingin. "Tetapi," Paningron meneruskan, "Bukan seluruhnya
kesalahan Jaka Tingkir. Dadung Ngawuk lah yang
memancing-mancing keonaran. Memang Jaka Tingkir terlalu
tampan. Dan Baginda terlalu kasih dan percaya kepada
Lurah Wira Tamtama yang baru itu. Bahkan lebih daripada
Nara Manggala seperti Adi Gajah Alit itu."
Kebo Kanigara mengangguk-angguk. Kemudian ia
bertanya, "Kemudian apakah yang ingin adi berdua ketahui
dari kami?" "Kami mendengar berita terakhir, Mas Karebet berada di
Banyubiru" jawab Paningron.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menjadi ragu.
Demikian pula Arya Salaka. Memang Karebet pernah
muncul di Banyubiru. Namun mereka berdiam diri.
"Mungkin kakang berdua tak mengetahuinya" kata Gajah
Alit. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sesaat suasana menjadi sepi. Masing-masing tenggelam
dalam angan-angan sendiri.
Kemudian terdengar Paningron meneruskan, "Keluarga
terdekat Dadung Ngawuk marah kepada Mas Karebet.
Mereka berusaha untuk membunuhnya. Sebab dengan
demikian mereka telah kehilangan harapan. Keluarga
mereka yang ingin menompang mukti. Tetapi Mas Karebet
bukan anak-anak yang dapat dibunuh seperti membunuh
cacing. Ketika pada suatu saat, beberapa orang keluarga
Dadung Ngawuk berhasil menemukan anak muda itu, maka
mereka beramai-ramai mengeroyoknya. Pada saat itulah
orang berjubah abu-abu itu muncul. Tak seorangpun
mampu melawannya. Bahkan orang berjubah itu berkata,
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jangan bunuh anak muda ini. Seorang Wali yang Waskita
berkata, bahwa ia akan merajai pula Jawa."
Kembali mereka berdiam diri. Gajah Sora, Mahesa Jenar
dan Kebo Kanigara menundukkan wajahnya. Sedang Arya
Salaka sibuk menebak. Namun ia gembira, kalau benar apa
yang diucapkan Wali yang Waskita itu, maka sahabatnya
akan menjadi raja. Sedang Wulungan sama sekali tak
mengetahui ujung dan pangkal pembicaraan itu.
Angin malam bertiup semakin kencang. Kini udara sudah
tidak terlalu panas. Awan di langit perlahan-lahan telah
hanyut disapa angin pegunungan.
Akhirnya, merekapun merasakan kelelahan yang merayapi tubuh-tubuh mereka. Maka mereka berkeputusan
untuk menunda ceritera mereka sampai besok. Kini mereka
perlu beristirahat. Namun meskipun mereka berbaring, tetapi angan-angan
mereka masing-masing masih membumbung tinggi. Kebo
Kanigara membayangkan betapa kemenakannya itu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
melakukan pelanggaran di halaman istana. "Ah," pikirnya,
"benar-benar anak nakal. Penyakitnya itu setiap saat dapat
muncul dengan tiba-tiba. Seharusnya ia menghindari
kesalahan ini, meskipun ia tidak bersalah seluruhnya"
Sedang Arya Salaka sibuk membayangkan masa
depannya disamping masa depan sahabatnya yang
gemilang. Namun ia tidak iri hati. Kalau ia dapat kembali ke
tanah pusakanya, maka ia telah mengucap syukur kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Apalagi kini ayahnya telah kembali
kepadanya. Namun terdengar ia berdesah. Ia belum
berhasil menemukan ibunya. Ia masih belum berani
menyinggung-nyinggung keselamatan ibunya kepada ayahnya. Sebab ia masih belum menemuinya. Meskipun ia
melihat pertanyaan tentang ibunya itu memancar dari
rongga mata ayahnya, namun agaknya ayahnyapun
berusaha menahan diri, di hadapan orang-orang lain ini.
Memang demikianlah pertanyaan tentang isterinya itu
melingkar-lingkar di hati Gajah Sora. Namun ia agak malu
untuk melahirkannya. Yang melayang-layang di dalam angan-angan Mahesa
Jenar adalah Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Kalau
orang berjubah abu-abu itu berkata bahwa Jaka Tingkir
kelak akan merajai pulau Jawa, bagaimanakah dengan
kedua pusaka itu" Apakah oleh Panembahan Ismaya, kedua
pusaka itu akan diserahkan kepada Mas Karebet sebagai
sipat kandel, dan apakah kedua pusaka itu akan luluh
dalam dirinya. "Aku akan menanyakannya ke Karang
Tumaritis kelak," pikirnya. "Sekarang biarlah aku mengantar
Arya sampai ke tempatnya. Tanah perdikan Banyubiru."
Meskipun angan-angan mereka bertentangan kian
kemari, namun mereka tetap berbaring diam.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Wulungan tidak ikut berbaring dengan mereka, tetapi ia
berdiri dan melangkah keluar. Ia berjalan ke arah api di
pojok desa, dan ia berbaring di antara anak buahnya.
Kepada anak buahnya diceriterakannya apa yang dilihatnya,
bahwa Ki Ageng Gajah Sora telah kembali diantar oleh dua
orang prajurit istana. Sisa malam berjalan dengan tenangnya, dibungai oleh
bintang pagi di tenggara, bertengger di atas punggung
bukit. Mereka yang berbaring di bale-bale besar itupun
telah lelap dibuai mimpi.
Tetapi mereka tidak tidur terlalu lama. Pagi-pagi benar,
sebelum cahaya matahari memancar dari balik cakrawala,
mereka telah bangun. Setelah bersembahyang Subuh,
segera mereka bersiap-siap untuk pergi ke Pamingit.
Wulunganpun segera mempersiapkan diri beserta beberapa
orang laskarnya, untuk mengantar Mahesa Jenar dan
kawan-kawannya ke Pamingit dan kini bahkan bertambah
dengan Ki A geng Gajah Sora, Paningron dan Gajah Alit.
Rara Wilis dan Widuri pun terkejut bercampur gembira
ketika mereka mengetahui bahwa ayah Arya Salaka telah
kembali dengan selamat. Perjalanan di pagi yang segar itu terasa sangat
menggembirakan bagi Widuri. Kudanya kadang-kadang
berpacu mendahului, kadang-kadang berlari berputar di
lapangan rumput terbuka mengejar kelinci yang berkeliaran.
Arya Salaka pun sebenarnya tidak kalah gembiranya.
Sebenarnya ia ingin berpacu pula, mengejar kuda Endang
Widuri, tetapi ia tidak tahu, perasaan apa yang telah
mencegahnya. Gajah Sora yang melihat gadis itu dengan lincahnya
seolah-olah menari-nari di atas punggung kuda menjadi
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
heran. Alangkah lincah dan tangkasnya. "Ah, tidaklah
aneh," bisik hatinya, "Ayahnya, Kakang Kebo Kanigara telah
mampu membunuh Nagapasa." Dan tiba-tiba saja hatinya
menjadi sangat tertarik pada gadis itu. "Sayang," hatinya
berbisik terus, "Aku tak punya anak gadis seperti itu."
Tetapi ia tidak kalah bangga melihat Arya Salaka yang
duduk tenang di atas kuda di sampingnya. Anak itu tampak
kokoh, kuat seperti Mahesa Jenar. Kalau dahulu, di gunung
Tidar, kematangannya dalam menerapkan ilmu Lebur
Saketi, satu lapis lebih tinggi dari Mahesa Jenar, maka kini
ia yakin, bahwa anaknya sudah tak dapat dikalahkannya.
Ilmunya sendiri, hampir tak berubah selama ia berada di
Demak. Tetapi ia tidak menyesal. Bagi tanah perdikannya,
Arya Salaka sudah akan mampu dibujur-lintangkan apabila
ada mara bahaya datang. Terhadap Mahesa Jenar pun, ia
tak habis heran, dari mana ia dapat mematangkan ilmunya
sehingga ia mampu membunuh Sima Rodra"
Tak banyak yang mereka percakapkan dalam perjalanan
itu. Sebenarnya mereka masing-masing ingin segera
sampai, tapi tak seorang pun yang berkesan tergesa-gesa.
Mereka berusaha menahan perasaan masing-masing.
Ketika mereka sampai di Jatisari, mereka melihat desa ini
masih sepi. Beberapa rumah tampak rusak. Ketika mereka
sampai di sebuah rumah yang lebih besar daripada rumahrumah yang lain, Wulungan berkata kepada Mahesa Jenar,
"Baiklah aku melihat rumah Bahu Jatisari ini."
"Lihatlah," jawab Mahesa Jenar, "Rumah itu masih
tampak sepi." Ketika Wulungan membelokkan kudanya masuk ke
halaman rumah Bahu Jatisari, rombongan itupun berhenti
menunggu. Beberapa orang laskar anak buah Wulungan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
ikut masuk ke halaman rumah itu. Mereka berloncatan
turun dari kuda mereka, dan bersama-sama dengan
Wulungan memasuki rumah itu. Tidak lama kemudian
mereka telah keluar kembali. Tampak wajah mereka
membayangkan kekecewaan dan kemarahan.
"Apa yang terjadi?" tanya Mahesa Jenar, ketika
Wulungan telah berada di dalam rombongan itu kembali.
"Perampokan yang biadab," jawab Wulungan, "Rumah
itu telah hampir kosong. Orang-orang golongan hitam telah
merampoknya." Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak
berkata apa-apa. Yang berkata kemudian Ki Ageng Gajah
Sora, "Kasihan rakyat Pamingit."
Sesaat kemudian rombongan itu melanjutkan perjalanan.
Di sepanjang jalan mereka melihat bekas-bekas keganasan
gerombolan hitam yang telah menunggu daerah perdikan
Pamingit. Juga di sepanjang jalan mereka ketemukan
bekas-bekas rakyat Pamingit yang mengungsi. Widuri yang
berkuda paling depan, meloncat turun dari kudanya, ketika
dilihatnya sebuah golek terkapar di tanah.
"Apa yang kau ambil itu?" tanya ayahnya, Kebo Kanigara.
"Golek," jawab Widuri. "Anak yang mempunyai golek ini
mesti mencarinya. Mungkin pada waktu itu ia didukung oleh
ibunya berlari-lari, menghindarkan diri dari api peperangan.
Semalam suntuk anak itu pasti menangis mencari goleknya
ini." "Kepada siapa golek itu akan kau kembalikan?" tanya
ayahnya. "Di pengungsian akan aku ketemukan," jawab Widuri,
"Gadis kecil yang manis."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Ayahnya tersenyum. Sebagai seorang gadis Widuripun
perasa, ia bersedih hati kalau ia melihat orang lain
meneteskan air mata. Dan ia akan tertawa kalau ia melihat
orang lain bergembira. Golek kecil itupun diselipkan di ikat pinggangnya.
Kemudian dengan lincahnya ia meloncat ke atas punggung
kuda. Dan Widuri pun berpacu kembali.
Setiap orang di dalam rombongan itu menyaksikan
dengan sedih akibat keganasan gerombolan orang-orang
dari golongan hitam, yang datang dari berbagai daerah
untuk merusak sendi-sendi kehidupan di Pamingit. Tetapi
Tuhan Maha Adil. Hampir seluruh tokoh-tokoh mereka itu
dapat dihancurkan. Dengan demikian mereka tak akan
mampu lagi untuk kembali mengadakan keributan, apalagi
mimpi mereka tentang Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten.
Sebenarnya jarak dari Pangrantunan ke Pamingit tidaklah
begitu jauh. Dalam kecepatan sedang, jarak itu dapat
ditempuh dalam setengah hari. Tapi rombongan ini tidak
berjalan ajeg. Berkali-kali mereka harus berhenti, kalau
mereka melihat sesuatu yang tidak pada tempatnya.
Bahkan sekali dua kali ditemuinya mayat yang masih belum
terurus. Dengan demikian mereka harus berhenti dan
melaksanakan pemakaman sebagaimana seharusnya. Karena itu maka perjalanan rombongan itu menjadi lambat.
Ketika matahari telah jauh condong di sisi barat dan
cahaya merah berpancaran di wajah langit yang kelabu,
berdebar-debarlah setiap jantung semua orang dari
rombongan itu. Di hadapan mereka, terbujur sebuah desa
Banjar Panjang. Itulah Pamingit. Tanpa sengaja perjalanan
rombongan itu menjadi kian cepat. Dan dari mulut ke
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mulut, Ki Ageng Gajah Sora terdengar bergumam,
"Pamingit!" Kebo Kanigara yang mendengar gumam itu menoleh
kepada Ki Ageng Gajah Sora, tetapi sesaat kemudian
pandangan matanya berkisar pada anaknya.
"Widuri...." Ia memanggil.
Widuri menarik tali kekang kudanya. Dan ketika ia sudah
sampai berada di samping ayahnya, terdengarlah ayahnya
berkata, "Widuri, itulah Pamingit."
Tetapi kata-kata itu agaknya tak berkesan di hati Widuri.
Berbeda dengan pada saat ia pertama kali melihat
pedukuhan di lereng bukit Telamaya. Terhadap Pamingit
itu, ia merasa tidak berkepentingan sama sekali. Ia datang
kemari karena ayahnya datang kemari pula. Berbeda
dengan perasaan-perasaan orang lain, apalagi Mahesa
Jenar. Di Pamingit nanti akan ditemuinya semua orang yang
diperlukan untuk menempatkan kembali batas antara
Banyubiru dan Pamingit. Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng
Lembu Sora, dan Ki Ageng Gajah Sora. Adalah suatu
kebetulan bagi Arya Salaka, bahwa Demak merasa perlu
untuk mengirimkan orang-orangnya yang akan dapat
menjadi saksi pertemuan itu.
Selain Mahesa Jenar, Rara Wilis pun diganggu oleh
angan-angannya sendiri. Ia tidak tahu benar persoalanpersoalan apa yang akan dapat dipecahkan di Pamingit, tapi
firasatnya mengatakan bahwa persoalan-persoalan yang
dihadapi oleh Mahesa Jenar hampir selesai. Ia tidak tahu
bagaimana dengan keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai
Sabuk Inten. Namun ia berdoa di dalam hati, mudahmudahan segera ia dapat menikmati cerahnya matahari.
Tiba-tiba tanpa disadarinya, Rara Wilis menghitung-hitung
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
umurnya sendiri. Gadis-gadis desanya yang sebaya dengan
dirinya pada umumnya telah mempunyai dua tiga orang
anak. Mengingat hal itu hatinya menjadi berdebar-debar.
Digeleng-gelengkan kepalanya untuk mencoba mengusir
angan-angannya yang mengganggunya itu.
Mereka kini telah hampir memasuki pusat pemerintahan.
Tanah Perdikan Pamingit. Ternyata daerah inilah yang
paling banyak mengalami bencana. Mereka menyaksikan
rumah-rumah penduduk dan banjar-banjar desa menjadi
reruntuhan dan abu. Namun meskipun demikian daerah ini
telah banyak penghuninya. Rumah-rumah yang masih tegak
telah dipenuhi oleh para pengungsi.
Sekarang Wulungan yang berkuda paling depan.
Terdengar giginya gemeretak menahan marah. Terasa
jantungnya hendak meledak ketika melihat daerahnya
menjadi hancur. Tapi tak satu pun yang dapat dilakukan.
Apalagi ketika di hadapannya terbentang halaman bekas
rumah kepala daerah perdikan Pamingit, di samping alunalun. Halaman itu kini telah rata. Tak sebatang tiangpun
yang masih tegak, yang dapat mengangkat kemewahan
rumah ini pada masa lampau.
Rombongan itu berhenti di regol halaman. Mereka diam
membisu. Hanya pandangan mata merekalah yang
menyapu pemandangan yang mengerikan itu.
Ketika tiba-tiba Wulungan melihat dua orang laskar
Pamingit muncul menyongsong rombongan itu, Wulungan
bergegas-gegas menemui mereka.
"Di manakah Ki A geng?" tanya Wulungan.
"Di banjar desa sebelah," jawab salah seorang dari kedua
orang itu. "Marilah ikut kami."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kemudian, kedua orang itupun berjalan bergegas-gegas
ke arah yang ditunjukkan, sedang Wulungan dan seluruh
rombongan mengikutinya. Mereka menyusup lewat jalan
sempit dan langsung memotong arah.
Matahari telah tenggelam di balik bukit. Dari kejauhan
tampak nyala api pelita, memancar dari lubang pintu.
"Itulah banjar desa yang masih separo tegak," kata
orang yang menjemput rombongan itu. Sekali lagi
terdengar Wulungan menggeram. Ia sendirilah yang
memimpin pembangunan banjar desa itu, dahulu.
Demikianlah akhirnya rombongan itu memasuki halaman
banjar desa. Ketika mereka yang ada di dalam banjar desa itu
mengetahui kedatangan rombongan itu, segera merekapun
menyambutnya. Yang pertama-tama melampaui telundak
pintu, adalah seorang tua yang bertubuh kecil. Ki Ageng
Sora Dipayana. Ia terkejut, ketika di dalam gelap dilihatnya
sebuah rombongan yang agak besar.
Kepada Wulungan, yang berada di paling depan, orang
tua itu berkata, "Rombonganmu menjadi besar, Wulungan?"
"Sebuah oleh-oleh yang tak terduga-duga, Ki Ageng,"
jawab Wulungan. Ki Ageng Sora Dipayana mengerutkan keningnya. Tetapi
ia tidak perlu bertanya untuk kedua kalinya, sebab segera Ki
Ageng Gajah Sora meloncat turun dari kudanya, dan
langsung meloncat sujud di kaki ayahnya.
"Kau..." desis orang tua itu. Betapa ia terkejut, dan
betapa darahnya serasa mengalir semakin cepat.
"Gajah Sora, Ayah," jawab Gajah Sora.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Hem..." orang tua itu menggeram. Diangkatnya
wajahnya menengadah ke langit. Terasa sesuatu di pelupuk
matanya. "Kau telah diperkenankan pulang kembali?" tanya ayah
yang bahagia itu. "Ya, Ayah," jawab Gajah Sora.
Orang Tua itu menarik nafas dalam-dalam. Dalam
keremangan ujung malam. Dilihatnya dua orang gadis dan
dua orang asing dalam rombongan itu. Menilik pakaiannya,
kedua orang asing itu agaknya dua orang yang datang dari
Demak. Karena itu Ki Ageng Sora Dipayana menyapanya
dengan hormat, "Adakah Anakmas berdua datang bersamasama dengan anakku, Gajah Sora?"
Paningron dan Gajah Alit yang juga sudah turun dari
kudanya seperti yang lain juga, membalas hormat bersamasama. Kemudian terdengar Gajah Alit menjawab, "Benar Ki
Ageng. Kami datang bersama-sama dengan Kakang Gajah
Sora." Ki Ageng Sora Dipayana mengerenyitkan alisnya.
Timbullah seleret kebimbangan di dalam hatinya. Apakah
anaknya Gajah Sora masih perlu diawasi" Namun tak
sepatah kata pun pertanyaan yang melontar dari mulutnya.
Yang kemudian dilakukan oleh orang tua itu adalah
mempersilahkan tamu-tamunya masuk ke dalam banjar
desa yang telah tidak utuh lagi itu.
----------o-dwkzOarema-o---------SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
II Maka duduklah mereka berdesak-desakan di dalam
ruangan yang sempit. Ki Ageng Sora Dipayana dengan
beberapa orang Pamingit bersama-sama dengan tamu-tamu
mereka. Rara Wilis sejak kedatangannya, sebenarnya ingin
melihat, apakah kakeknya benar-benar berada di Pamingit,
namun orang tua itu belum dilihatnya berada di antara
mereka. Setelah mengucapkan selamat datang, maka berkata Ki
Ageng Sora Dipayana, "Ruangan ini kami pergunakan untuk
sementara. Rumah-rumah yang lain telah musnah dimakan
api. Karena itulah maka kami terpaksa berpencaran. Kami
menempati pondok-pondok yang tersebar. Kami baru
memberitahukan kepada sahabat-sahabat kami, bahwa
Anakmas Mahesa Jenar, Anakmas Kebo Kanigara, bahkan
Gajah Sora dan tamu-tamu kami yang lain telah datang.
Kalau mereka bersama-sama kemari akan sesaklah ruangan
sesempit ini. Juga Lembu Sora dan pimpinan-pimpinan
laskar Banyubiru telah kami panggil."
Dan apa yang dikatakan oleh Ki Ageng Sora Dipayana itu
ternyata terbukti kemudian. Terdengarlah dari beberapa
jurusan suara langkah tergesa-gesa. Beberapa orang
datang berturut-turut dan berdesak-desakkan di muka
pintu. Mereka adalah orang-orang Banyubiru. Di antaranya
tampak Bantaran, Panjawi, Jaladri, Sendang Papat dan yang
lain-lain. Mereka hampir tidak percaya ketika seseorang
mengatakan kepada mereka, bahwa bersama-sama dengan
Mahesa Jenar dan Arya Salaka telah datang pula Ki Ageng
Gajah Sora. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Agaknya Ki Ageng Gajah Sora tanggap pada keadaan. Ia
tidak bisa mempersilahkan mereka masuk karena ruangan
yang sempit. Karena itu segera ia berdiri dan melangkah ke
pintu. Orang-orang Banyubiru itu rasa-rasanya seperti sedang
bermimpi, ketika mereka melihat Ki Ageng Gajah Sora
benar-benar berdiri di hadapannya. Ketika kemudian
mereka tersadar, berebutlah mereka mengulurkan kedua
tangan mereka, untuk menyambut salam kepala daerah
perdikan mereka yang mereka kasihi. Mereka menyambut
tangan Ki Ageng Gajah Sora dengan penuh gairah, seolaholah tidak mau melepaskannya lagi.
Ki Ageng Gajah Sora pun menjadi terharu melihat
kesetiaan anak buahnya. Sesaat kemudian terdengarlah suara para pemimpin
laskar Banyubiru itu seperti seribu burung bersama-sama
berkicau, berebut dahulu bertanya tentang seribu satu
macam persoalan dan pengalaman Ki Ageng Gajah Sora.
Sambil tersenyum Ki Ageng Gajah Sora menjawab,
"Ceriteraku akan panjang sekali. Besok sajalah aku
ceriterakan kepada kalian. Yang pasti bagi kalian sekarang,
bahwa aku telah tiba kembali dengan selamat di hadapan
kalian, tanpa cacat dan tanpa cidera. Aku datang seperti
saat aku pergi." Beberapa orang Banyubiru itu belum puas mendengar
jawaban yang hanya terlalu pendek. Mereka masih ingin
mendengar uraian Ki Ageng Gajah Sora tentang dirinya
lebih panjang lagi. Tetapi sekali lagi sambil tersenyum Ki
Ageng Gajah Sora berkata, "Kalau kalian sedang haus
sekali, janganlah minum terlalu banyak, kalau kalian lagi
lapar sekali, janganlah makan terlalu banyak."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Ah," terdengar mereka bergumam. Tetapi akhirnya
mereka pun sadar, bahwa Ki Ageng Gajah Sora tak akan
dapat berceritera dalam keadaan yang sedemikian.
"Duduklah dahulu," Ki Ageng Gajah Sora meneruskan.
"Di halaman atau di emper banjar ini, nanti malam kita bisa
menghabiskan waktu kita sambil berbicara tentang apa
saja." Kemudian orang-orang Banyubiru itupun meninggalkan
pintu itu. Mereka bertebaran di halaman, duduk di bawah
pepohonan, di akar-akar kayu dan di batu-batu. Sibuklah
mereka dengan ceritera mereka masing-masing tentang Ki
Ageng Gajah Sora. Mereka mencoba menebak-nebak dan
mereka-reka, apakah yang sekiranya telah terjadi dengan
kepala daerah Perdikan mereka.
Masih sesaat Ki Ageng Gajah Sora berdiri di muka pintu.
Ia melihat anak buahnya duduk bertebaran di halaman. Di
dalam ruangan banjar terdengar percakapan yang riuh.
Sekali Ki Ageng Gajah Sora melemparkan pandangannya ke
langit, awan yang tipis mengalir dihembus angin yang
lembut. Bintang-bintang menjadi suram disaput oleh selapis
mendung. "Mudah-mudahan tidak turun hujan," gumam Gajah
Sora. "Kalau terjadi demikian, alangkah susahnya. Apalagi
di pondok-pondok yang kecil yang ditempati bersama lima
enam keluarga beserta anaknya."
Tiba-tiba gumam Ki Ageng Gajah Sora terhenti, ketika
dilihatnya sesosok tubuh perlahan-lahan mendatangi banjar
itu. Sesosok tubuh yang tinggi besar, berdada bidang,
hampir seperti dirinya. Ia melihat bahwa orang yang
mendatanginya itu agak ragu. Sekali-kali langkahnya
terhenti, tetapi kemudian dilanjutkannya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Gajah Sora mengangkat dahinya. Terbayanglah apa yang
selama ini dialami. Meskipun ia mendapat perlakuan yang
baik, namun sangat terbatas. Ia sudah tahu seluruhnya,
peran apakah yang dilakukan oleh adiknya, Ki Ageng Lembu
Sora. Dan yang datang dengan ragu-ragu itu adalah
adiknya. Adiknya, yang dengan sengaja pernah menjerumuskannya ke dalam suatu keadaan yang sulit. Ia
tahu betul bahwa adiknya itu bernafsu untuk memiliki
kekuasaan yang lengkap, seperti apa yang pernah dimiliki
oleh ayahnya, Ki Ageng Sora Dipayana.
Wajah Ki Ageng Gajah Sora menjadi tegang sekali ketika
langkah Ki Ageng Lembu Sora terhenti. Hanya beberapa
langkah di hadapannya. Keduanya tegak seperti dua patung
yang hampir serupa, gagah, tegap dan kokoh. Orang-orang
Pamingit dan Banyubiru yang melihat peristiwa itu menjadi
tegang pula. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi dan
apa yang seharusnya mereka lakukan.
Suara di dalam banjar desa yang tinggal separo itu masih
riuh. Terdengar suara Gajah Alit seperti air yang mengalir,
diselingi oleh gelak tertawanya yang menonjol daripada
suara orang-orang lain. Nadanya tinggi agak sumbang.
Adalah pembawaannya sejak anak-anak, apabila ia menjadi
seorang periang dan senang berkelakar dalam keadaan
apapun. Paningron, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara hanya
kadang-kadang saja terdengar tertawanya menyentak,
sedang Arya Salaka dan Rara Wilis tampak hanya
tersenyum-senyujum tertawa
terkekeh-kekeh. Apalagi ketika sekali lagi Gajah Alit menyinggung tentang Gajah
Sora selama di Demak. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Widuri yang duduk bertentangan dengan lubang pintu,
tidak begitu tertarik pada ceritera Gajah Alit. Hanya kadangkadang saja tertawa nyaring. Tetapi bukan karena ia
mendengar ceritera Gajah Alit yang lucu, tetapi justru ia
menertawakan bagaimana Senapati Demak yang bulat
pendek itu tertawa. Tetapi, tiba-tiba Widuri pun menjadi bersungguhsungguh ketika ia melihat Ki Ageng Gajah Sora
merenggangkan kakinya. Sebagai seorang gadis yang
terlatih dalam tata gerak bela diri, ia melihat bahwa ada
sesuatu di antara renggang kaki Gajah Sora, juga sepasang
kaki yang renggang. Cepat-cepat Widuri mengamit tangan ayahnya sambil
berbisik, "Ayah, kenapa dengan Paman Gajah Sora?"
Kebo Kanigara segera memaklumi. Ia dapat melihat
lewat samping kaki Gajah Sora. Di dalam gelap, dilihatnya
seseorang yang sudah dikenalnya, Ki Ageng Lembu Sora.
Pertemuan itu menjadi terganggu. Semua melihat perubahan wajah Widuri dan
Kebo Kanigara. Dengan cemas Ki Ageng Sora Dipayana bertanya, "Ada apa
Anakmas?" "Putra Ki Ageng yang
muda telah datang," jawab
Kebo Kanigara. Segera orang tua itu menangkap sasmita tamunya. Cepat ia meloncat
berdiri dan langsung SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
melangkah ke luar pintu. Hampir saja ia melanggar Ki
Ageng Gajah Sora yang masih berdiri membelakangi pintu.
"Lembu Sora..." kata orang tua itu, "Inilah kakakmu yang
sudah lama kau tunggu."
Kata-kata orang tua itu benar-benar berpengaruh di dada
Lembu Sora. Sebenarnya iapun sama sekali tak bermaksud
apa-apa. Ketika ia sedang berbaring di bale-bale dalam
pondoknya, berlepas baju karena udara yang panas,
datanglah utusan ayahnya, memberitahukan kedatangan
kakaknya. Mendadak terasa tubuhnya gemetar, dan dengan
serta merta timbullah keinginannya untuk memeluk kaki
saudara tua yang pernah disengsarakannya itu untuk minta
maaf. Lembu Sora segera meloncat, menyambar bajunya
dan sambil berjalan tergesa-gesa, ia mengenakan baju itu
di sepanjang jalan, sambil berteriak, "Cari Sawung Sariti.
Beritahukan kepadanya, bahwa aku menghadap Kakang
Gajah Sora untuk menyerahkan segala kesalahan."
Tetapi ketika ia sampai di halaman banjar desa itu, dan
melihat bayangan kakaknya berdiri di muka pintu seperti
sikap seekor gajah yang sedang marah, ia menjadi raguragu. Apakah kakaknya nanti tidak tiba-tiba saja memukul
kepalanya selagi ia sedang memeluk kakinya" Apakah ia
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masih berhak memanggil orang yang berada di muka pintu
itu dengan sebutan Kakang" Karena keragu-raguannya itu,
dan karena kesadaran diri akan kesalahannya yang
bertimbun-timbun, ia beberapa kali terhenti. Bahkan yang
terakhir, kurang beberapa langkah lagi, ia sudah tidak dapat
lagi memaksa dirinya untuk maju. Bahkan tiba-tiba ia
melihat ketegangan sikap kakaknya, dan tanpa sadar, ia
pun menarik kakinya merenggang.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tiba-tiba muncullah ayahnya. Dan bersamaan dengan
itu, kembali pulalah pikirannya yang jernih. Ia datang untuk
minta maaf kepada kakaknya itu. Apakah kakaknya akan
memaafkannya atau tidak, bukanlah soalnya. Apakah
kakaknya akan memukul hancur kepalanya dengan Lebur
Seketi, juga bukan soalnya. Karena itu sekali lagi ia
memaksa diri, mengusir ketakutannya untuk melihat
kesalahan dirinya sendiri. Dengan langkah yang gemetar,
Lembu Sora mendekat Gajah Sora. Tetapi ia tidak
berjongkok dan memeluk kaki kakaknya. Yang dilakukan
hanyalah mengulurkan kedua tangannya sambil membungkukkan punggungnya dalam-dalam. Dari mulutnya keluarlah suaranya berdesir lambat, "Kakang
Gajah Sora...." Gajah Sora masih berdiri tegang. Di belakangnya, di
mulut pintu telah berdiri beberapa orang berdesak-desakan.
Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Paningron dan Gajah Alit.
Terasa sesuatu bergolak di dadanya. Sebagai manusia
biasa, sulitlah baginya untuk melenyapkan segala kenangan
pahit yang harus ditelannya. Semuanya itu adalah akibat
dari perbuatan adiknya itu.
Ki Ageng Sora Dipayana melihat pergolakan di hati
anaknya yang tua. Ia pun bisa mengerti, betapa pedih
hatinya selama ini. Namun bagaimanapun juga keduanya
adalah anaknya. Apalagi pada saat terakhir, Lembu Sora
telah menemukan kembali jalan kebenaran. Karena itu ia
berkata, "Adikmu telah lama menunggumu. Dalam limpahan
kasih keluarga Pangrantunan, ia telah menemukan titik-titik
terang dalam hidupnya."
Gajah Sora menahan nafasnya. Perlahan-lahan tangan
kanannya bergerak. Akhirnya dengan hati kosong,
disambutnya tangan adiknya. Tetapi ia terkejut ketika
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Lembu Sora tidak saja menggenggam tangannya itu eraterat, tetapi diciumnya, dan dibasahinya tangan itu dengan
air mata. Dada Gajah Sora pun bergetar. Darahnya yang serasa
menggelegak sampai ke lehernya oleh perasaan marah,
dendam dan muak yang meluap-luap ketika melihat adiknya
itu, kini perlahan-lahan mengendap kembali ke dalam
hatinya. Ki Ageng Lembu Sora seorang laki-laki yang tak
mengenal takut, seorang laki-laki yang bergegayuhan
setinggi awan, yang berkelana di langit biru, yang
karenanya telah melupakan tata subasita, bahkan telah
melupakan kulit daging sendiri, kini seperti kanak-kanak
yang kehilangan barang mainannya, menitikkan air mata
sambil menggenggam tangan kakaknya.
Ki Ageng Gajah Sora pun runtuhlah hatinya. Dikenangkannya pada masa kanak-kanak mereka. Pada
masa-masa mereka sering bertengkar dan berkelahi
berebut barang mainan. Kalau Gajah Sora sedang asyik
membuat mainan dari kayu atau dari bambu, kemudian
datang Lembu Sora yang kecil merebutnya. Kadang-kadang
Gajah Sora yang belum puas menikmati permainannya pun
menjadi marah dan berusaha merebut permainan itu
kembali. Tetapi Lembu Sora mempertahankan dengan
tangisnya. Kalau demikian, akhirnya runtuhlah pertahanan
hati Gajah Sora. Ia tidak akan meminta permainan itu
kembali. Seperti saat ini. Pada saat-saat yang demikian itulah
letak kelemahan Gajah Sora. Kelemahan yang dimiliki sejak
masa kanak-kanaknya. Sejak ia harus bekerja keras
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
membantu ayah bundanya, membangun tanah perdikan
Pangrantunan. Seandainya, seandainya saat inipun tiba-tiba Lembu Sora
berkata, "Kakang, aku iri hati melihat kamukten Banyubiru.
Aku ingin untuk ikut menikmatinya. Betapa rinduku kepada
suatu masa yang gemilang dari perjalanan hidupku, dengan
memiliki daerah bekas tanah perdikan Pangrantunan
seutuhnya," seandainya demikian, maka Gajah Sora pasti
akan hancur dengan sendiri. Pastilah dengan gemetar ia
berkata, "Terserahlah Lembu Sora." Tetapi, tetapi
seandainya Lembu Sora datang kepadanya dengan tangan
bertolak pinggang. Menuding di depan hidungnya sambil
berteriak, "Minggat kau Gajah Sora. Banyubiru adalah
milikku." Seandainya demikian, maka pasti akan ditengadahkan wajahnya, dan akan dijawabnya dengan
lantang, "Marilah Lembu Sora, lampaui mayatku dahulu."
Tetapi, tetapi yang terjadi bukanlah demikian. Lembu
Sora tidak menangis untuk meminta kemukten Banyubiru,
dan Lembu Sora tidak bertolak pinggang untuk menantang
kakak kandungnya sendiri. Baru saja, dalam saat yang
pendek dialami, betapa pahitnya daerah Pamingit yang
dilanda oleh arus peperangan. Betapa pedih hati Lembu
Sora melihat api yang menelan rumah-rumah dan banjarbanjar desa, mendengar pekik tangis perempuan dan anakanak yang berusaha untuk memperpanjang hidupnya.
Betapa ngeri perasaan anak-anak melihat darah yang
bercucuran dan betapa tertekan jiwanya melihat ayahnya
diseret ke jalan-jalan. Tetapi peperangan itu sendiri serasa menjadi sahabat
yang paling karib dari manusia. Setiap kali akan datang
kembali, mengunjungi sahabatnya. Kalau tidak, maka
sahabatnya itulah yang bertingkah mengundangnya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Ternyata dalam sejarah hidup manusia yang ditulis di
lontar-lontar, kitab-kitab kidung dan di lontar-lontar yang
lain, selalu akan berulang kembali kata-kata: perang,
perang, perang! Meskipun setiap mulut akan mengutuknya sebagai hantu
yang paling menakutkan, tetapi seperti juga kekasih yang
selalu dirindukan. Tidak saja negara-negara besar di Nusantara sendiri
yang timbul dan tenggelam setelah pacah perang-perang
besar, seperti Mataram Lama, Jenggala, Kediri, Pajajaran,
Majapahit, dan bahkan ceritera-ceritera yang dibawa oleh
para perantau, para pelaut dan pedagang asing di pantai
Nusantara. Negara-negara Parangakik, Ngerum, negaranegara Cina dan Jepang yang berebut pengaruh, selalu
diakhiri oleh tangis para janda dan anak-anak karena suami
dan ayah mereka lenyap dengan mengerikan sekali dalam
kebiadaban api peperangan.
Dan peperangan yang paling terkutuk, yang selalu terjadi
di bumi Nusantara sejak masa-masa pemerintahan Senduk
di Mataram Lama, Jayabaya dan Jayasaba, sampai pada
masa-masa pemerintahan Tumapel Kediri dan seterusnya,
pecahnya Majapahit, adalah karena perang saudara.
Pemberontakan Peregreg, dan sebagainya, adalah permulaan dari kemunduran Majapahit.
Karena itulah, didasari pada kesadaran yang demikian,
setelah kepalanya sendiri hampir terbentur hancur, Lembu
Sora sempat melihat dalam dirinya. Ia tidak mau mengalami
nasib yang demikian. Kehancuran mutlak atas Pamingit dan
Banyubiru. Yang membelit dirinya kini adalah penyesalan.
Penyesalan yang menghujam ke dalam jantung kalbunya.
Dan ia belum terlambat. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Gajah Sora pun kemudian telah bersiap sebagai seorang
kakak yang baik. Sambil menepuk bahu adiknya, ia berkata
perlahan-lahan. "Masuklah Lembu Sora."
Lembu Sora tidak bisa menjawab. Mulutnya tersumbat.
Tetapi ia mengangguk dan melangkah ke pintu.
Yang berada di pintu pun telah duduk kembali ke
tempatnya. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Gajah Alit dan
Paningron, kemudian Arya Salaka, Wilis dan Widuri. Disusul
kemudian Gajah Sora dan Lembu Sora, sedang yang
terakhir kali menempati tempatnya adalah Ki Ageng Sora
Dipayana. Mula-mula terasa betapa hatinya bergelora ketika Ki
Ageng Lembu Sora melihat siapa saja yang hadir di dalam
ruangan itu. Apalagi ketika ia melihat dua orang yang
berpakaian lengkap sebagai prajurit-prajurit Demak. Jelas
terbayang di kepalanya, bagaimana ia dengan orang-orang
golongan hitam, mencegat laskar Demak, lima enam tahun
yang lampau. Bagaimana pada saat itu Mahesa Jenar telah
menyergapnya. Tetapi kemudian hati Lembu Sora menjadi sumeleh. Ia
pasrah pada kekuasaan Yang Maha Kuasa. Ia akan
menerima kebenaran tertinggi. Sebab kemudian ia yakin,
bahwa kebenaran tidak dapat dipaksakan oleh manusia,
meskipun manusia seluruh dunia mengakuinya. Namun oleh
Tuhan Yang Maha Kuasa. Kebenaran yang berjalan di atas
firman-Nya. Tetapi sesuatu telah terjadi di luar halaman banjar desa
itu. Dua pasang mata telah menyaksikan betapa Ki Ageng
Lembu Sora menangis. Dan wajah kedua orang itupun
menjadi merah karena marah.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Seorang berperawakan kokoh dengan jalur-jalur ototnya
yang menjorok di seluruh permukaan kulitnya. Orang itu
adalah Galunggung, sedang yang lain, seorang anak muda
sebaya dengan Arya Salaka, putra Ki Ageng Lembu Sora
sendiri. "Perempuan," bisik Sawung Sariti.
"Ayah Angger Arya Salaka terlalu perasa," sahut
Galunggung. "Apa yang kira-kira dilakukan Ayah" Menyerah kepada
nasib" Atau malahan menyerahkan Pamingit sebagai
tebusan dirinya?" Sawung Sariti meneruskan sambil
mencibirkan bibirnya. "Apa kira-kira yang akan dilakukan oleh dua orang
prajurit dari Demak itu di sini?" tanya Galunggung tiba-tiba.
Sawung Sariti mengerutkan keningnya. "Entahlah,"
jawabnya, "Mungkin ia akan menangkap Ayah, karena Ayah
pernah mencegat laskar Demak, dahulu."
Mata Galunggung yang seperti burung hantu itu tiba-tiba
menjadi suram. Ia menarik nafas sambil mengeram,
katanya, "Kalau benar, aku kira lebih baik hancur daripada
menyerah." "Apakah kau sangka yang dua orang itu mampu
menghancurkan kita?" kata Sawung Sariti dengan nada
yang tinggi. "Laskarnya," sahut Galunggung, "apakah kira-kira hanya
dua orang itu saja?"
"Jangan pikirkan itu," potong Sawung Sariti, "Barangkali
ia mengawal Paman Gajah Sora yang hanya sekadar boleh
menengok keluarga. Tetapi yang penting bagiku adalah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Arya Salaka. Apakah Paman Gajah Sora kembali
memerintah di Banyubiru atau tidak, kalau Arya Salaka
dapat aku lenyapkan, maka akhirnya Pamingit dan
Banyubiru akan jatuh di tanganku dengan sendirinya."
"Angger benar. Tak ada orang lain yang dapat mewarisi
kedua daerah ini secara sah selain Angger Sawung Sariti,"
jawab Galunggung. Sawung Sariti tersenyum. Seolah-olah ia telah memastikan dirinya untuk menerima warisan dari ayahnya
atas Pamingit dan dari pamannya Gajah Sora atas
Banyubiru. Meskipun dengan demikian ia harus duduk di
atas bangkai kakak sepupunya.
"Marilah kita pergi," ajak Sawung Sariti.
"Tidaklah Angger akan menghadap Pamanda Gajah
Sora?" tanya Galunggung.
Sawung Sariti mencibirkan bibirnya, jawabnya, "Buat
apa?" Dan Keduanya pun melangkah pergi. Tak seorang pun
yang mengetahui apa yang akan dilakukan oleh Sawung
Sariti. Dan keduanya pergi tanpa menarik perhatian seorang
pun. Sebagaimana mereka datang dari dalam gelap,
berhenti dan berdiri menyaksikan apa yang terjadi di
halaman banjar desa dari dalam gelap, mereka pun lenyap
ditelan oleh kegelapan.
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Di Banjar Desa, pembicaraan-pembicaraan telah mulai
berlangsung lancar sekali. Paningron, meskipun tidak
dengan tegas, namun disindirnya, bahwa ia tidak akan
mengambil suatu tindakan apapun terhadap Banyubiru dan
Pamingit, karena peristiwa pencegatan lima tahun lampau,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sebab menurut laporan yang masuk ke Demak, pencegatan
itu dilakukan oleh golongan hitam.
Sesaat kemudian di halaman itupun dikejutkan oleh
suara tawa yang tinggi nyaring. Kemudian masuklah ke
halaman itu seorang tua yang bertubuh tinggi, kekuruskurusan. Dengan suara yang berderai, ia bertanya kepada
anak-anak yang duduk di halaman, "Siapakah yang berada
di dalam?" "Penuh, Ki A geng," jawab salah seorang.
Ki Ageng Pandan Alas tertawa. Katanya, "Seseorang
memberitahu kepadaku, katanya Anakmas Mahesa Jenar
telah datang, bersama-sama dengan beberapa orang lain,
di antaranya dua orang gadis. Adakah Rara Wilis
bersamanya?" Yang ditanya oleh Ki Ageng Pandan Alas, kebetulan
adalah anak-anak Banyubiru, yang memang mengenal Rara
Wilis. Dari lubang pintu mereka memang melihat gadis itu
berada di dalam. Maka salah seorang menjawab, "Ya, Ki
Ageng, salah seorang di antaranya adalah Rara Wilis."
Ki Ageng Pandan Alas tertawa. "Aku sudah rindu
kepadanya," katanya. Dan suaranya itu terdengar dari
dalam ruangan Banjar Desa. Maka berkatalah Ki A geng Sora
Dipayana, "Angger Rara Wilis agaknya eyangmu telah
datang." "Ya, Eyang," jawabnya, "Aku sudah mendengar
suaranya." Pada saat itulah Ki Ageng Pandan Alas muncul. Bagitu
saja ia langsung masuk ke dalam Banjar. Tetapi ia tertegun,
ketika dilihatnya banyak orang lain. Di antaranya, bahkan
dua orang prajurit dalam pakaiannya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Silahkan Ki Ageng," Ki Ageng Sora Dipayana
mempersilahkan. "Uh!" sahut Ki Ageng Pandan Alas, "Aku kira hanya
orang-orang kita sendiri, tetapi agaknya ...." suaranya
terputus, lalu sambil berjalan berjongkok ia maju ke depan
Gajah Sora sambil berkata, "Bukankah ini Angger Gajah
Sora seperti yang kau katakan, Ki Ageng?" Ia berkata Ki
Ageng Sora Dipayana, namun tangannya terancung kepada
Gajah Sora. Dengan serta merta Gajah Sora menyambut salam itu,
sambil membungkuk hormat ia menjawab, "Terimakasih,
Paman." Baru kemudian Ki Ageng Pandan Alas sempat menyapa
cucunya Rara Wilis. "Kau bertambah kurus Wilis," katanya.
Rara Wilis menundukkan wajahnya.
"Tetapi jangan terlalu kau biarkan dirimu menjadi
semakin kurus. Itu tidak baik. Apalagi bagi gadis-gadis,"
kata eyangnya. Yang terdengar kemudian adalah suara Endang Widuri,
"Tidak Eyang, Bibi Wilis hampir setiap pagi dan sore minum
jamu singset. Karena itu Bibi Wilis kian hari kian bertambah
cantik." "Ah," potong Wilis sambil mencubit lengan anak itu.
"Aduh!" Widuri mengaduh, namun ia tertawa-tawa saja.
Dengan hadirnya Ki Ageng Pandan Alas, ruangan itu
bertambah ramai dan ribut. Namun juga bertambah panas.
Apalagi sesaat kemudian Titis Anganten telah datang pula
meramaikan pertemuan itu. Pertemuan dari sekelompok
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sahabat yang lama terpisah-pisah, namun kemudian
berkumpul kembali dalam suasana yang menyenangkan.
Pembicaraan mereka berkisar kesana kemari tak
menentu. Terasa seakan-akan waktu begitu sempit dan
cepat. Karena itu mereka terpaksa menunda pembicaraan
mereka sampai esok. Belum ada hal yang puas mereka
Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya 3 Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Pendekar Sakti 12
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama