Ceritasilat Novel Online

Naga Sasra Dan Sabuk Inten 5

Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja Bagian 5


memiliki kepandaian apa-apa. Aku sendiri pernah datang
mengunjunginya. Tetapi seperti yang sudah aku katakan,
orang itu agak kurang waras. Ia merasa bahwa ia sama
sekali tidak mempunyai milik, sehingga menurut perhitungannya tidak akan ada orang yang datang
mengganggunya, ". Mahesa Jenar mendengar keterangan Sagotra dengan
saksama. Ia mulai menghubung hubungkan keterangan itu
dengan kakek Rara Wilis. Mungkinkah orang tua itu adalah
Ki Santanu..." "Siapakah nama orang tua itu?" tanya Mahesa Jenar tibatiba. Sagotra menggelengkan kepalanya, "Tak ada orang
yang mengetahui nama sebenarnya. Aku juga pernah
menanyakan kepadanya, tetapi ia hanya menyebutkan
panggilan yang biasa diperuntukkannya saja."
"Ya, siapa panggilan itu?" desak Mahesa Jenar
"Orang memanggilnya dengan sebutan Ki Ardi."
"Ardi" "ulang Mahesa Jenar.
Sagotra mengangguk. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tiba-tiba terlintaslah dalam benak Mahesa Jenar, bahwa
Ardi dapat berarti Gunung. Sedang kakek Rara Wilis pun
berasal dari daerah pegunungan. Ah, apakah salahnya
kalau ia berkenalan dengan orang tua itu"
"Sagotra...," katanya kemudian, "Dapatkah kau menunjukkan jalan ke rumah Ki Ardi itu?"
Sagotra diam-diam menimbang-nimbang. Ia menjadi
agak kebingungan. Tentang dirinya sendiri, ia belum
mendapat penyelesaian. Sekarang ia mendapat pekerjaan
baru, mengantarkan Mahesa Jenar ke rumah orang tua itu.
Tetapi sesudah itu lalu bagaimana" Mestikah ia harus
bunuh diri, atau Mahesa Jenar akan membunuhnya..." Serta
bagaimanakah kalau ia bertemu dengan kawan-kawannya
yang juga sedang mencari Mahesa Jenar"
Mahesa Jenar melihat kebingungan hati Sagotra serta
sedikit banyak menangkap perasaannya. Tetapi, disamping
itu mendadak timbul pula kebimbangan di hatinya sendiri.
Lalu bagaimana dengan Sagotra itu kemudian" Kalau orang
itu dilepaskan, maka soalnya akan berkepanjangan. Pastilah
ia akan melaporkan semuanya kepada Wadas Gunung
dengan keduapuluh kawannya. Dan ini berarti suatu
pekerjaan yang sangat berat. Sedangkan untuk membunuhnya, tidaklah terlintas dalam angan-anannya.
Sebab orang seperti Sagotra bukanlah seorang yang pantas
untuk menerima hukuman yang demikian berat. Sebab ia
tidaklah lebih dari seorang pesuruh. Karena itu kemungkinan satu-satunya adalah membawa Sagotra itu
seterusnya, sampai keadaan terasa aman. Mendapat pikiran
yang demikian itu, maka Mahesa Jenar segera mengambil
keputusan, katanya, "Sagotra, barangkali kau segan untuk
melakukan permintaanku, menunjukkan jalan ke rumah Ki
Ardi, sebab kau merasa bahwa tak ada gunanya kau
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
berbaik hati kepadaku. Tetapi ketahuilah Sagotra, aku
terpaksa memutuskan untuk membawamu kemana aku
pergi, demi keamananku. Kalau aku seorang diri, barangkali
aku segera melepaskanmu. Lalu sesudah itu aku dapat
menyelamatkan diriku secepat-cepatnya. Tetapi sekarang
aku sedang melindungi seorang gadis. Karena itu, janganlah
membantah perintahku. Janganlah kau takut, bahwa
sesudah semuanya selesai aku akan membunuhmu. Sebab
bagiku kau tidak lebih dari sebuah alat yang tak perlu
dirusak. " Kalau yang berkata demikian itu Wadas Gunung, atau
salah seorang dari rombongannya, hati Sagotra pasti tidak
akan banyak terpengaruh. Sebab ia tahu pasti, b ahwa katakata yang demikian itu sama sekali tak berarti. Bagi Wadas
Gunung serta kawan-kawan segerombolannya, tidak ada
batas antara sahabat yang setia pada hari ini, serta lawan
yang harus dibinasakan hari esok.
Tetapi yang berkata demikian adalah orang lain. Orang
yang baru saja dikenalnya, bahkan yang telah diserangnya
dengan sekuat tenaga untuk dibunuh. Namun demikian
orang itu masih berkata kepadanya, bahwa ia masih boleh
mengharap untuk dapat menyaksikan matahari terbit esok
pagi. Dan kata-kata ini mempunyai kesan yang jauh
berlainan dengan segala pujian, janji dan segala macam
yang pernah keluar dari pemimpin-pemimpin rombongannya. Karena itu hati Sagotra bergoncang hebat. Tanpa sadar,
Sagotra meloncat, lalu bersujud di muka Mahesa Jenar
sampai mencium tanah. Dan anehnya, sejak ia meninggalkan masa kanak-kanaknya, serta kemudian
terperosok dalam dunia yang hitam kelam, baru
sekaranglah orang yang bernama Sagotra itu sampai
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
meneteskan air mata. Bukan saja karena ia terlepas dari
terkaman maut. Sebab hal yang demikian itu telah
seringkali dialami. Dalam segala kegiatannya sebagai
anggota gerombolan penjahat, banyak tangkapan- tangkapan maut yang dapat dihindari Sagotra. Tetapi ia
tidak pernah merasa terharu sama sekali mengalami
peristiwa-peristiwa itu, bahkan yang ada di d alam benaknya
adalah dendam yang membara, serta kebanggaan dan
kesombongan. Mahesa Jenar menyaksikan sikap Sagotra itu dengan
penuh keheranan. Ia tidak dapat menangkap seluruh
perasaan yang bergelut dalam dada orang itu, sehingga
tampak sangat menggelikan. Bahwa orang itu tinggi tegap,
berkumis tebal serta berkulit hitam mengkilap, tetapi
menangis tersedu-sedu. Karena itu katanya, "Sagotra, agak
aneh kelakuanmu itu bagiku. Seorang laki-laki macam kau
yang dengan sikap jantan berani menentang maut, kini
tiba-tiba menangis macam anak-anak."
"Tuan...," jawab Sagotra sambil mengangkat kepalanya,
"Tak pernah selama hidupku merasakan sesuatu yang
demikian mengharukan seperti kali ini. Ternyata bukanlah
kekerasan melulu yang dapat menyelesaikan masalahmasalah yang dihadapi dalam kehidupan ini. Meskipun Tuan
bermodalkan kekuatan yang tiada taranya, tetapi sikap
Tuan adalah suatu penguasaan mutlak atas diriku.
Seandainya Tuan tidak berbuat demikian, mungkin dalam
kesempatan-kesempatan yang ada aku pasti akan
menyerang Tuan, atau setidak-tidaknya aku ingin mati
sebagai seorang laki-laki sejati. Tetapi sekarang, hidup
matiku bulat-bulat di tangan Tuan. Juga seandainya Tuan
ingin menyaksikan aku mati di sarang semut Salaka,
tidaklah menjadi masalah lagi bagiku."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenar terharu juga mendengar kata-kata
Sagotra. Tetapi meskipun demikian, ia tetap berhati-hati.
Sebab kata-kata itu keluar dari mulut seorang penjahat
yang cukup mempunyai ikatan yang sempurna. Tidak
mustahil bahwa cara-cara yang demikian sering dilakukan
untuk mengurangi kewaspadaan lawan. Hanya karena
kejadian itu tampaknya meyakinkan, maka Mahesa Jenar
pun tidak perlu lagi terlalu mencurigainya. Sejenak
kemudian mereka saling berdiam diri, hanyut oleh arus
perasaan masing-masing. Sementara itu nyala api di sebelah selatan itu pun
tampak semakin terang. Angin malam pun terasa demikian
dingin menggigit tulang. "Sagotra," kata Mahesa Jenar kemudian memecahkan
kediaman mereka, "marilah kita pergi,".
"Mari Tuan," jawab Sagotra.
Perlahan-lahan Mahesa Jenar berdiri tegak serta
memandang ke arah Rara Wilis berbaring.
"Tetapi mestikah gadis itu aku bangunkan" " desis
Mahesa Jenar. "Atau kita menunggu sampai besok, " sahut Sagotra.
"Tidakkah ada bahayanya?" jawab Mahesa Jenar,
"Apakah tidak mungkin salah seorang kawanmu datang
pula ke tempat ini" Dengan demikian kaupun pasti akan
mendapat kesulitan."
Sagotra diam menimbang-nimbang. Memang mungkin
sekali salah seorang dari kawannya datang pula ke tempat
ini meskipun mula-mula mereka berpencaran.
"Jadi bagaimana pendapat Tuan?" tanya Sagotra lagi.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenar tidak segera menjawab. Ia pun sedang
berpikir, bagaimana sebaiknya. Kalau pada saat itu ia
langsung bersama-sama Rara Wilis, pergi ke arah api itu,
tidakkah ada kemungkinan orang-orang yang sedang
mencarinya pergi ke arah api itu juga"
"Sagotra," katanya, "tidakkah kawan-kawanmu juga akan
pergi ke arah api itu?"
"Aku kira tidak Tuan.," jawab Sagotra, "Pasti mereka
tahu bahwa arah itu adalah arah rumah Ki A rdi."
"Tetapi mungkin pula mereka berpikir bahwa di sana
akan dapat mereka temukan kami, yang dapat diperhitungkan, bahwa kami akan pergi ke arah api itu."
Sagotra mengangguk kecil. Memang masuk akal pula
bahwa kawan-kawannya mempunyai perhitungan yang
demikian. Jadi bagaimanakah sebaiknya..."
Kembali mereka diam menimbang-nimbang. Memang
tidaklah mudah menghindari gerombolan Lawa Ijo yang
berjumlah 20 orang, justru di wilayah mereka sendiri.
Sagotra yang merupakan salah seorang dari gerombolan itu
pun masih belum dapat menemukan, bagaimanakah jalan
yang sebaik-baiknya untuk menghindari kawan-kawannya.
"Tuan..." akhirnya Sagotra bertanya, "Adakah sesuatu
kepentingan Tuan dengan orang itu?"
Mendapat pertanyaan yang demikian, Mahesa Jenar agak
menjadi repot untuk menjawabnya. Pastilah ia tidak akan
dapat mengatakan bahwa ia sedang mencari seseorang ada
hubungannya dengan keris Sigar Penjalin. Sebab pastilah ia
mendapat jawaban bahwa orang itu bernama Ki Ageng
Pandan Alas dari Klurak, Wanasaba. Tiba-tiba Mahesa Jenar
teringat bahwa kakek Rara Wilis itu menyebut dirinya Ki
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Santanu. Karena itu segera ia menjawab, "Sagotra,
sebenarnya kedatanganku ke daerah Pliridan ini adalah
untuk mencari seseorang yang bernama Ki Santanu. Kalau
aku dapat bertemu dengan Ki A rdi, mungkin aku akan dapat
menanyakan kepadanya tentang orang-orang yang pernah
tinggal di daerah ini. Mungkin ia mengenal orang yang
bernama Ki Santanu itu."
Sagotra tampak mengerutkan keningnya. Ia mencoba
mengingat-ingat orang-orang yang pernah tinggal di daerah
ini. Sebab ia dalam melakukan tugasnya banyak
berhubungan pula dengan penduduk, sehingga hampir
semua dikenalnya. Tetapi nama Santanu belum pernah
dikenalnya. "Tuan," jawab Sagotra, "barangkali aku dapat mengenal
semua orang di sini sedemikian baiknya, seperti juga Ki
Ardi. Tetapi nama itu belum aku dengar. Mungkin
disamping namanya ia mempunyai sebutan lain, atau
barangkali Tuan dapat mengatakan kepadaku bagaimanakah ciri-ciri orang itu?"
Mahesa Jenar menggeleng perlahan-lahan. Katanya,
"Aku sendiri belum pernah mengenal wajahnya. Ia adalah
kakek gadis itu. Nah, mungkin kau dapat bertanya
kepadanya. Marilah kita tengok ia, barangkali sudah
bangun." Sagotra tidak menjawab. Segera ia berdiri dan berjalan di


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

belakang Mahesa Jenar. Tetapi mendadak terjadilah
sesuatu yang mengejutkan. Cepat seperti kilat, Mahesa
Jenar meloncat ke arah tikar yang masih terbentang. Tetapi
Rara Wilis sudah tidak ada lagi terbaring diatasnya. Jantung
Mahesa Jenar bergelora hebat sekali. Sadarlah ia bahwa ia
telah berbuat suatu kelengahan. Di daerah yang berbahaya
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
serta mengandung banyak rahasia ini, ia telah terlalu lama
meninggalkan Rara Wilis seorang diri.
Segera ia berdiri tegak serta mengangkat kepalanya.
Memusatkan pikiran serta segenap pancainderanya untuk
menangkap tiap-tiap gerakan maupun suara di sekitarnya.
Tetapi tidak ada yang tampak selain daun dan ranting yang
digoyangkan angin, serta tak ada yang didengar selain
gemersik dedaunan itu, serta tarikan nafas Sagotra.
Mahesa Jenar adalah seorang yang cukup matang. Ia
memiliki ketenangan pikiran serta kecepatan bertindak.
Tetapi meskipun demikian, kali ini hampir kehilangan semua
sifat-sifatnya itu. Pada saat ia menghadapi Pasingsingan, ia
masih tetap sadar dan dapat menguasai pikiran
sepenuhnya. Tetapi sekarang ia menghadapi suatu
peristiwa yang belum pernah dirasakan. Hilangnya Rara
Wilis dirasakannya sebagai suatu peristiwa yang langsung
menusuk perasaannya yang paling dalam. Dalam ketidaksadarannya tiba-tiba Mahesa Jenar berlari kesana
kemari sambil memanggil-manggil nama Rara Wilis. Melihat
sikap Mahesa Jenar yang demikian itu, Sagotra menjadi
heran bercampur cemas, sehingga terpaksa ia pun turut
berlari-lari kian kemari. Tetapi sebagai orang yang lebih tua,
tahulah Sagotra bahwa Mahesa Jenar tidak hanya merasa
bertanggung jawab atas hilangnya Rara Wilis, tetapi
pastilah ada suatu perasaan yang jauh lebih dalam daripada
itu. Dan memang demikianlah kiranya. Mahesa Jenar
mencoba mendesak perasaan-perasaan yang menyentuhnyentuh hatinya terhadap Rara Wilis, tetapi ternyata
perasaan itu telah menyangkut di hatinya sedemikian
eratnya. Hilangnya Rara Wilis dirasakannya sebagai hilangnya
sebagian dari jiwanya sendiri.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sampai beberapa saat masih saja Mahesa Jenar
memanggil-manggil Rara Wilis. Tetapi tidak ada suara yang
menyambutnya. Sehingga ketika Mahesa Jenar sudah pasti,
bahwa Rara Wilis telah lenyap, menggelegaklah darahnya.
Tubuhnya bergetar, serta giginya gemeretak. Tiba-tiba saja
ia ingin menghancurkan apa saja yang ada di sekitarnya
untuk menyalurkan amarahnya. Dalam keadaan yang
demikian, dengan penuh kemarahan Mahesa Jenar
menyalurkan segala kekuatannya ke sisi telapak tangannya,
disilangkannya tangan kirinya di muka dada, serta
diangkatnya tangan kanannya tinggi-tinggi. Dengan sekali
loncat ia telah berdiri disamping sebuah batu seperut
kerbau. Maka dengan menggeram hebat sekali, dihantamnya batu itu sampai pecah berserakan.
Sagotra adalah seorang penjahat yang telah banyak
makan garam. Telah banyak sekali ia menyaksikan betapa
hebatnya Lawa Ijo. Tetapi ketika ia menyaksikan apa yang
telah dilakukan oleh Mahesa Jenar, tubuhnya menjadi
gemetar. Pada saat ia menyaksikan Lawa Ijo terluka parah,
sama sekali ia tidak percaya, bahwa luka itu disebabkan
oleh karena pukulan tangan saja. Ia menyangka, bahwa
orang yang telah melukainya pasti mempergunakan senjata
rahasia atau sebangsanya. Tetapi sekarang, ketika ia
berkesempatan untuk menyaksikan sendiri, akibat dari
pukulan orang yang telah melukai Lawa Ijo itu, bulu
tengkuknya serentak berdiri. Kalau misalnya saja, pukulan
itu dikenakan kepalanya, pastilah akan hancur berserakan
pula lebih dari batu itu. Diam-diam Sagotra mengucap
syukur dalam hatinya, bahwa Mahesa Jenar tidak masuk
dalam jebakan mereka. Sebab kalau sampai hal itu terjadi,
maka akibatnya pasti hebat sekali. Meskipun gerombolannya berjumlah 20 orang, serta diantaranya ada
orang-orang seperti Wadas Gunung, Carang Lampit yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mempunyai kepandaian hampir setingkat Wadas Gunung,
Bagolan yang terkenal mempunyai aji welut putih, serta
beberapa orang lagi, tetapi sulitlah kiranya untuk dapat
menangkap Mahesa Jenar. Andaikata itu bisa terjadi,
pastilah lebih dari separo diantaranya sudah tak lagi sempat
menyaksikan datangnya fajar.
Tetapi, belum lagi Sagotra habis berangan-angan, tibatiba matanya terbelalak lebar, tubuhnya semakin gemetar
lagi, serta peluh dingin mengalir membasahi seluruh
badannya. Pada saat itu, Mahesa Jenar yang tidak puas
dengan pelepasan amarahnya, mendadak meloncati
Sagotra dan langsung memegang leher orang itu, sambil
menggeram, "Setan, rupanya kau telah memancing aku
untuk menjauhi Wilis."
Belum lagi Mahesa Jenar berbuat sesuatu, nafas Sagotra
telah terasa sesak. Ingin ia menjawab, tetapi tak sepatah
katapun keluar dari mulutnya, karena ketakutannya yang
amat sangat. Ia tahu betul, bahwa dalam keadaan yang
demikian dapat saja Mahesa Jenar bertindak diluar
kesadarannya. Wajah Mahesa Jenar yang lunak, kini telah berubah
menjadi merah membara dibakar oleh kemarahannya.
Kedua tangannya yang memegang leher Sagotra semakin
lama semakin menekan. Kini nafas Sagotra benar-benar menjadi sesak. Tangan
Mahesa Jenar itu terasa demikian erat mencekik lehernya,
sampai akhirnya ia merasa, bahwa akhir hidupnya telah
tiba, justru karena hal yang sama sekali tak diketahuinya.
Tetapi ketika telah terasa, bahwa harapan untuk hidup
sudah tidak ada lagi, hatinya malahan menjadi tenang.
Maka dengan susah payah ia berkata, "Tuan, aku tidak
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
akan menghindarkan diri dari hukuman yang akan Tuan
jatuhkan atas diriku. Sebab hal yang demikian adalah wajar
sekali. Tetapi yang aku sangat sedih adalah justru
kematianku disebabkan oleh suatu hal yang sama sekali tak
kumengerti. Sebab aku sama
sekali tak sengaja menjauhkan Tuan dari gadis itu. Maka, kalau Tuan benarbenar akan membunuhku, bunuhlah aku sebagai salah
seorang anggota gerombolan Lawa Ijo yang ingin
mencelakakan Tuan" Ternyata kata-kata yang diucapkan dalam keadaan yang
putus asa itu, dapat menyentuh kesadaran Mahesa Jenar.
Apalagi ketika Mahesa Jenar sejenak memandang wajah
Sagotra yang kasar, jelek dan kotor, tetapi yang dari
matanya memancar keputus-asaan dan kekosongan.
Bahkan lama-kelamaan berubah menjadi seperti mata
kanak-kanak yang belum pernah dijamah dosa.
Demikianlah, maka sedikit demi sedikit Mahesa Jenar
dijalari kembali oleh sifat-sifatnya, serta sedikit demi sedikit
pikirannya dapat bekerja kembali. Sejalan dengan itu
pegangan tangannya pun menjadi semakin kendor dan
kendor, sehingga akhirnya dilepaskanlah leher Sagotra itu
sama sekali. "Maafkanlah aku," Sagotra, bisik Mahesa Jenar.
Mendengar kata-kata itu kembali hati Sagotra melonjak
hebat sekali. Hampir saja air matanya tidak lagi dapat
ditahannya. "Sagotra...," kata Mahesa Jenar selanjutnya, yang
bagaimanapun masih ingin mendapat lebih banyak
penjelasan, "Benarkah kau tidak berbuat itu?"
"Tuan," jawab Sagotra, "memang aku dapat memahami
tuduhan itu. Tetapi sebenarnyalah, bahwa kedatanganku
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sama sekali tak ada hubungannya dengan hilangnya gadis
itu. Kecuali kalau hal ini dilakukan oleh orang-orang
segerombolanku di luar rencana semula."
Mahesa Jenar menundukkan kepala. Tetapi ia dapat
mempercayai kata-kata Sagotra. Sebab andaikata hal itu
dilakukan oleh kawan-kawan Sagotra, bahkan Jaka Soka
sekalipun, ia pasti akan dapat menangkap suara ataupun
gerak dari orang itu, sebab untuk mengalahkan Sagotra ia
sama sekali tidak perlu memusatkan segala perhatiannya.
Apalagi jarak mereka dengan Rara Wilis berbaring tidaklah
demikian jauhnya. Karena itu ia menduga, bahwa hal ini
dilakukan oleh seseorang yang memiliki kehebatan luar
biasa pula. Tiba-tiba bulu tengkuknya meremang, ketika ia
mengingat betapa cepatnya Pasingsingan bertindak.
Perlahan-lahan ia berjalan menuju ke tikar yang masih
terbentang itu. Tiba-tiba Mahesa Jenar melihat bungkusan
Rara Wilis masih juga ada di situ. Ia jadi teringat, bahwa
dalam bungkusan itu terdapat sebilah keris pusaka Ki Ageng
Pandan Alas, yaitu Kiai Sigar Penjalin. Tetapi alangkah
terkejut serta kecewanya ketika ternyata keris itu telah
lenyap pula. Akhirnya seperti orang yang dicopoti segala
tulangnya. Ia duduk lemas diatas tikar Rara Wilis.
Sagotra yang masih saja mengikutinya kemana ia pergi,
duduk pula di atas tikar di belakang Mahesa Jenar. Tetapi
sama sekali ia tidak berani menegurnya.
Angin malam masih saja berhembus silir, yang bagi
Mahesa Jenar terdengar sebagai sebuah lagu sedih yang
mengiringi ratapan hatinya. Tiba-tiba saja ia merasa, bahwa
tanpa disengaja ia telah menguntai butiran-butiran mutiara
harapan yang kini telah terenggut dan berderai berserakan.
Alangkah dalam luka yang dideritanya. Dua masalah yang
sekaligus menghancurkan perasaannya. Sebagai seorang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
laki-laki langsung ia telah dihinakan. Sebuah pertanggungjawaban yang digenggamnya telah dirampas
oleh orang tanpa dapat berbuat apa-apa, dan sekaligus
yang hilang itu adalah sebagian dari jiwanya pula.
Dalam keadaan yang demikian tiba-tiba seperti orang
bermimpi Mahesa Jenar mendengar alunan lagu Dandanggula sayup-sayup sampai. Mendengar lagu itu,
geragapan Mahesa Jenar berdiri. Meskipun lagu itu tidak
begitu jelas, tetapi segera Mahesa Jenar mengenal, bahwa
Dandanggula itu telah dibawakan oleh seorang yang oleh
Pasingsingan beberapa hari yang lalu disebut Pandan Alas.
Seperti juga beberapa hari yang lalu, suara itupun
bergulung-gulung berkumandang memenuhi segala penjuru. Sehingga sulitlah bagi Mahesa Jenar untuk
mengetahui dengan pasti arah suara itu. Mahesa Jenar
segera berdiri tegak, kepalanya sedikit diangkat ke atas
dengan memusatkan pancainderanya untuk menangkap
getaran Dandanggula yang lamat-lamat sampai ke
telinganya. Pada saat itu, perasaan Mahesa Jenar sedang
bergolak hebat, karena hilangnya Rara Wilis.
Karena itu, seakan-akan Mahesa Jenar mendapat suatu
tenaga rohaniah tambahan yang cukup besar, sehingga
kemampuan Mahesa Jenar pun seakan-akan bertambah.
Dengan demikian, setelah beberapa saat Mahesa Jenar
berdiam diri, hampir seperti orang bersamadi, perlahanlahan ia dapat menangkap arah suara yang sayup-sayup
sampai ke telinganya itu.
Maka ketika ia telah mendapat suatu kepastian dari mana
arah suara itu, cepat seperti kilat ia meloncat dan kemudian
menyusup gerumbul menuju arah barat.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sagotra bertambah heran menyaksikan kelakuan Mahesa
Jenar, disamping keheranannya mendengar suara lagu
Dandanggula itu. Karena itu ia pun segera berlari mengikuti
Mahesa Jenar, sehingga mereka berdua seolah-olah sedang
bermain kejar-kejaran. Sebentar kemudian Mahesa Jenar telah keluar dari
gerumbul kecil itu, serta dengan cekatan sekali ia melompat
keatas gundukan tanah yang agak tinggi untuk dapat
menangkap setiap gerak di padang rumput yang terbuka
itu. Sebab mustahil kalau sampai ada orang di padang
terbuka yang sedemikian itu sampai terlepas dari
pengawasannya yang seakan-akan mempunyai kelebihan
dibanding mata orang biasa.
Tetapi sampai beberapa saat, sama sekali ia tidak
melihat suatu apapun. Sedang suara Dandanggula itupun
telah berhenti. Sementara itu, bulan pun telah rendah sekali, hampir
sampai ke garis cakrawala, sehingga malam menjadi


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semakin kelam. Mahesa Jenar menjadi semakin mengeluh
dalam hati. Dirasanya betapa picik pengetahuan serta
rendah ilmu yang dimilikinya, sehingga dalam keadaan
seperti ini sama sekali ia tidak berdaya.
Pada mulanya ia merasa, bahwa cukuplah kiranya bekal
yang dimiliki untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan
yang bakal datang dalam perantauannya. Tetapi ternyata
menghadapi tokoh-tokoh macam Pasingsingan, Ki Ageng
Pandan Alas, ia tidak lebih dari seorang anak kecil yang
baru pandai berdiri. Dengan tidak sengaja Mahesa Jenar memandangi bulan
yang masih sangat remaja, yang hampir tenggelam di kaki
langit. Sinarnya demikian suram, sesuram hatinya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tiba-tiba saja ia menangkap bayangan yang membayang
tepat di hadapan wajah bulan yang hampir lenyap itu.
Heranlah Mahesa Jenar, kenapa baru saat itu ia menangkap
bayangan yang berada di tempat terbuka. Dalam
keremangan bulan yang masih memancarkan sinarnya yang
terakhir itu Mahesa Jenar dapat melihat dengan jelas
bayangan dari dua orang, laki-laki dan perempuan. Ia
hampir pasti bahwa perempuan itu adalah Rara Wilis,
sedang laki-laki yang membimbingnya itu tampak bertubuh
kurus tinggi. Melihat hal itu berdebarlah jantungnya cepat sekali.
Tetapi ketika ia hampir saja melompat mengejar bayangan
itu, tiba-tiba ia menjadi tertegun heran. Kedua orang itu
melambaikan tangannya kepadanya, seakan-akan menyampaikan ucapan selamat tinggal.
Terasa ada suatu kesan yang aneh meraba-raba hati
Mahesa Jenar. Mula-mula timbul suatu perasaan yang sakit,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
ketika ia melihat Rara Wilis bersama-sama dengan seorang
laki-laki yang tidak dikenalnya. Tetapi ketika Mahesa Jenar
teringat akan lagu Dandanggula yang baru saja
didengarnya, segera teringat pulalah ia akan Ki Ageng
Pandan Alas. Lebih-lebih ketika ternyata laki-laki itu dengan
tangannya yang lain melambaikan sebilah keris yang
tampak seperti membara di keremangan malam. Tahulah
Mahesa Jenar, bahwa itulah Sigar Penjalin yang sudah
berada di tangan pemiliknya. Juga mau tidak mau pastilah
ia menghubungkan nama Ki Santanu dengan Ki Ageng
Pandan Alas. Maka dengan sedih serta hati yang kosong,
diluar sadarnya Mahesa Jenar mengangkat tangannya pula
untuk melambaikan salam perpisahan.
Sesaat kemudian lenyaplah bayangan itu bersama
dengan lenyapnya butiran-butiran yang pernah berkilau di
hatinya. Sekali lagi Mahesa Jenar lemas seperti kehilangan segala
tulang-belulangnya. Sebagaimana manusia biasa, ia merasa
betapa sedihnya perpisahan yang terjadi secara tiba-tiba
itu. Terbayanglah kembali segala peristiwa yang pernah
terjadi, sejak pertama kalinya ia tertarik kepada wajah Rara
Wilis yang terselip diantara beberapa orang yang akan
menyeberang hutan Tambakbaya. Terbayang pula bagaimana pada malam pertama gadis cantik itu ketakutan
mendengar teriakan-teriakan binatang hutan, serta bagaimana Jaka Soka berusaha untuk menculiknya,
sehingga terpaksalah ia ikut serta dalam perkelahian antara
para pengawal dengan Jaka Soka. Dengan terpaksa pula ia
harus berhadapan untuk kedua kalinya dengan Lawa Ijo.
Juga terbayang dengan jelas, bagaimana selanjutnya ia
harus mengantar Rara Wilis seorang diri ke daerah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tambakbaya yang rasanya bagaikan tamasya yang tak akan
terlupakan. Juga pada saat terakhir dimana ia menunggui
gadis itu, yang tidur dengan nyenyaknya karena lelah.
Kakinya, tangannya, dadanya yang penuh berisi serta
rambutnya yang bergerak-gerak dibelai angin.
----------odwOkzo----------SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
III Mahesa Jenar terduduk di rerumputan liar sambil
menutup mukanya dengan kedua belah tangannya. Ingin ia
segera melenyapkan segala kenang-kenangan itu. Tetapi
semakin keras ia berusaha, semakin jelas gambarangambaran itu menerawang di hatinya.
Sagotra juga masih saja berada di belakang Mahesa
Jenar, dapat merasakan kesedihan Mahesa Jenar sepenuhnya. Meskipun selama ini perasaannya dikuasai
oleh nafsu untuk membunuh, merampas dan sebagainya,
tetapi sebagai manusia ia pun pernah merasakan tali batin
yang pernah menjeratnya. Tetapi sampai sekian, yang tak dimengertinya, kenapa
Mahesa Jenar sama sekali tak berbuat apa-apa ketika ia
menyaksikan bayangan yang tiba-tiba muncul di depan
wajah bulan yang hampir tenggelam itu. Meskipun ia tahu
betapa hebatnya orang yang membawa Rara Wilis itu,
tetapi ia mengagumi Mahesa Jenar sebagai manusia luar
biasa. Sehingga meskipun dengan agak ragu-ragu ia
beranikan diri untuk bertanya, "Tuan, kenapa Tuan tidak
bertindak ketika mereka menampakkan diri di hadapan
Tuan?" Mahesa Jenar baru merasa bahwa ia berkawan, ketika ia
mendengar sapa itu. Perlahan-lahan ia menoleh, serta
menjawabnya, "Sagotra, tidakkah kau tahu siapa dia"
Sehingga tak akan bergunalah kalau aku mengejarnya."
"Siapakah orang itu, Tuan?" tanya Sagotra ingin tahu.
"Ki A geng Pandan Alas," jawab Mahesa Jenar.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Ki Ageng Pandan Alas...?" ulang Sagotra terkejut. "Jadi
dialah orangnya yang mempunyai kesaktian sejajar dengan
Ki Pasingsingan" "
Mahesa Jenar mengangguk perlahan, sedang Sagotra
dengan penuh ketakjuban menggeleng-gelengkan kepalanya. Itulah sebabnya maka orang itu berhasil
mengambil Rara Wilis tanpa diketahui oleh orang seperti
Mahesa Jenar. "Kenapa Rara Wilis ia ambil?" tanyanya lebih lanjut.
"Adakah hubungan antara mereka" "
"Aku tidak tahu, Sagotra," jawab Mahesa Jenar. "Tetapi
yang aku ketahui adalah Rara Wilis membawa keris Sigar
Penjalin." "Itulah pusaka Ki Ageng Pandan Alas," potong Sagotra.
"Ya," sambung Mahesa Jenar. "Tetapi Rara Wilis
mengatakan, bahwa keris itu berasal dari kakeknya yang
bernama Ki Santanu." Dan tiba-tiba saja karena katakatanya sendiri Mahesa Jenar teringat pada nama yang
disebutkan Sagotra, yaitu Ki Ardi. Apalagi ketika ia
memandang ke arah selatan, masih tampaklah di sana
bayangan warna merah di udara. Maka timbullah kembali
keinginannya untuk bertemu dengan orang itu. Sebab
darinya ia ingin mendapat beberapa keterangan tentang
orang-orang yang pernah tinggal di daerah itu. Karena itu
katanya kepada Sagotra, "Sagotra, marilah antarkan aku
kepada Ki A rdi." "Masih adakah gunanya?" sahut Sagotra.
"Aku tidak tahu, Sagotra. Tetapi antarkan aku ke sana,"
jawab Mahesa Jenar. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Maka dengan tidak menjawab lagi Sagotra langsung
berdiri serta bersama-sama Mahesa Jenar menempuh jalan
ke arah selatan menuju rumah Ki Ardi.
Demikianlah malam menjadi gulita, karena kedipan
bintang-bintang di langit tidak mampu menyibakkan
gelapnya malam. Mereka berjalan tanpa lagi banyak berbicara. Sagotra
yang tampaknya sudah agak biasa berjalan di daerah ini,
berjalan di depan. Sedang Mahesa Jenar, meskipun belum
banyak mengerti tentang daerah yang dilalui, tetapi ia
mempunyai pandangan yang tajam sekali, sehingga
tidaklah banyak menemui kesulitan.
Demikianlah maka setapak demi setapak mereka
mendekati arah api yang masih menyala-nyala.
Maka setelah mereka berjalan beberapa lama, melewati
padang ilalang, serta menyusup gerumbul-gerumbul kecil
yang berserakan disana-sini, sampailah mereka di sebuah
bukit kapur yang kecil. Mahesa Jenar serta Sagotra tidak
langsung menampakkan diri, tetapi dari jarak beberapa
depa mereka masih berdiri di semak-semak. Dari situlah
mereka menyaksikan tempat kediaman Ki Ardi, serta Ki A rdi
sendiri yang pada saat itu sedang berada disamping api
yang menyala nyala, sedang memahat sebuah batu besar.
Ternyata rumah Ki Ardi tidaklah lebih dari sebuah goa di
bukit kecil itu, yang langsung menghadap ke batu besar
yang sedang dipahatnya. Ketika Mahesa Jenar mengamatamati pahatan Ki Ardi itu, ia menjadi kagum. Di atas batu
yang besar itu dipahatkan gambar seekor ular naga besar,
yang tampaknya sedang marah. Kepalanya menengadah ke
atas, serta mulutnya menganga lebar. Disela-sela giginya
yang runcing mengerikan itu tampaklah lidahnya menjulur
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
keluar. Sedang ekor naga itu terurai ke belakang, berlekuklekuk. Di belakang serta di depan ular yang sedang marah
itu, tampaklah dua ekor yang tak kalah garangnya, siap
menerkam. Kuku-kuku serta taring-taring harimau itu
tampak tajam menakutkan. Sebelum itu Mahesa Jenar telah sering melihat pahatanpahatan batu serta patung-patung yang bagus buatannya di
kota-kota. Bahkan candi-candi yang termasyur pun telah
sering pula dikunjungi. Namun pahatan Ki A rdi itu tidak pula
kalah indahnya. Garis-garisnya tegas dan mantap, sehingga
pahatan itu dapat mengungkapkan watak serta keadaan
binatang-binatang itu sejelas-jelasnya. Mereka yang
menangkap pahatan itu segera akan dapat merasakan,
bahwa seolah-olah sebentar lagi akan terjadi pergulatan
dahsyat antara naga raksasa itu melawan dua ekor harimau
yang ganas. Sagotra yang hampir sepanjang hidupnya tak pernah
mengenal arti bentuk semacam itu, tak begitu dapat
mengenal betapa tinggi nilai pahatan Ki Ardi. Yang tampak
olehnya pada saat itu tidaklah lebih gambar seekor naga
yang hendak bertempur melawan dua ekor harimau. Tidak
nampak olehnya mata naga itu sedemikian menyala karena
marahnya, sedang kedua harimau itu telah begitu bernafsu
untuk menguasai lawannya.
Mahesa Jenar yang mengagumi keindahan pahatan itu,
tidak jemu-jemu selalu memandanginya dengan saksama.
Baris demi baris dinilainya dari berbagai sudut. Tetapi lebih
dari itu, mendadak ia terperanjat. Hatinya bergoncang
hebat, sampai diluar sadarnya ia meloncat maju. Melihat hal
itu, Sagotra menjadi terkejut pula. Apalagi yang
menyebabkan Mahesa Jenar berbuat demikian" Tidak pula
kalah kagetnya Ki A rdi sendiri, sampai-sampai ia terlonjak.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Apa yang nampak pada Mahesa Jenar, lukisan naga itu
tidak lain daripada lukisan Keris Nagasasra. Ketika tanpa
disengaja ia menghitung lekuk tubuh naga itu yang
berjumlah 11, maka Nagasasra itu sekaligus mewujudkan
dapur Sabuk Inten pula. "Nagasasra Sabuk Inten...?" desis Mahesa Jenar.
Ki Ardi yang masih belum dapat menguasai dirinya,
menjadi ketakutan, sampai tubuhnya gemetar. Tanpa
menduga-duga, tiba-tiba saja seseorang telah muncul di
sampingnya tanpa suara. Dengan mata yang menyorotkan berbagai dugaan
Mahesa Jenar bergantian memandang kepada Ki Ardi dan
hasil pahatannya yang berwujud Nagasasra Sabuk Inten.
Melihat bentuk Naga yang hampir tepat seperti bentuk keris
Kiai Nagasasra, yang hanya berbeda ukurannya saja,
pastilah Ki Ardi pernah setidak-tidaknya melihat keris itu,
sedang dapur Sabuk Inten yang menyamai lekuk keris Kiai
Sabuk Inten pun menimbulkan dugaan pada Mahesa Jenar
bahwa Ki Ardi pernah melihat kedua duanya, yang
kebetulan pada saat ia meninggalkan Demak, kedua keris
itu sedang lenyap dari gedung perbendaharaan. Apalagi
telah didengarnya pula dari Samparan bahwa ada
kepercayaan golongan hitam, bahwa kedua keris itu telah
mempunyai keturunan atau rangkapannya masing-masing
yang justru sedang diperebutkan. Tetapi yang masih belum
dapat diketahui dengan pasti adalah yang diperebutkan itu
benar-benar rangkapannya atau malahan aslinya yang
lenyap dari perbendaharaan Kerajaan Demak.
Berbagai pikiran hinggap pergi di kepala Mahesa Jenar.
Tetapi tidaklah mungkin kalau hal ini hanyalah suatu
kebetulan. Atau malah Ki Ardi termasuk salah seorang dari
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
golongan hitam yang juga sedang memperebutkan keris
itu" Sedemikian besar keinginannya untuk memilikinya,
sehingga terwujud dalam pahatannya sebagai ungkapan


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perasaannya. Malahan tiba-tiba Mahesa Jenar teringat pada
kata-kata Samparan beberapa hari yang lalu sebelum
menghembuskan nafas terakhirnya, bahwa di kalangan
hitam terdapat nama sepasang suami-istri Sima Rodra.
Tetapi menurut Samparan, Sima Rodra itu berdiam di
Gunung Tidar. Namun tidak mustahil kalau si suami pergi
merantau dalam usahanya menemukan Nagasasra dan
Sabuk Inten. Kalau demikian halnya, anehlah kalau Lawa
Ijo sampai tidak tahu, bahwa di daerahnya bermukim salah
seorang saingannya. Kalau saja Sagotra yang tidak
mengerti, itu adalah hal yang wajar sekali.
Tetapi apa yang dilukiskan dalam pahatan itu, hampir
jelas sekali. Dua ekor harimau yang dikatakan itu adalah
suami Sima Rodra yang sedang siap menerkam seekor naga
yang melukiskan Keris Kyai Nagasasra sekaligus Kyai Sabuk
Inten. Karena itu Mahesa Jenar ingin mendapatkan kepastian
dari dugaannya. Kalau saja orang itu benar-benar Sima
Rodra, pastilah ia mempunyai ketahanan yang setingkat
dengan Lawa Ijo. Karena itu ia tidak ingin terlibat dalam
pertempuran, sebab dalam keadaannya yang sekarang ini,
dimana jiwanya sedang bergolak, maka tidaklah mustahil
baginya, segera mengambil keputusan untuk mempergunakan ilmunya Sasra Birawa apabila sedikit saja
ia terdesak. Karena itu ia ingin dengan singkat serta tanpa
diduga-duga, menguasai orang itu, sehingga tidak usah
terjadi pertempuran. Sedang ia akan dapat memaksa
lawannya untuk memberi keterangan tentang kedua keris
itu. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Maka setelah Mahesa Jenar mendapat kepastian pikiran,
segera dengan gerakan kilat ia meloncat menangkap
dengan tangkapan mati pergelangan tangan Ki Ardi. Tetapi
apa yang dialami adalah diluar dugaan. Ketika tangannya
menyentuh kulit Ki Ardi terasalah bahwa tangan itu
sedemikian kendornya, serta tak bertenaga. Sehingga
Mahesa Jenar malah terkejut.
Dengan tak disengaja maka mulailah Mahesa Jenar
memandangi tubuh Ki Ardi. Ternyata baru saat itulah ia
dapat mengenal tubuh itu dengan seksama, sebab sejak
kehadirannya, perhatiannya telah terikat oleh pahatan
orang itu. Ki Ardi meskipun tidak tergolong tinggi, namun ia
tidaklah pendek. Umurnya telah agak lanjut, dan ini ditandai
oleh kerut-kerut mukanya serta rambutnya yang sudah
putih. Ketika Mahesa Jenar memandang mata orang tua,
yang menatapnya dengan keheran-heranan atas kelakuannya, Mahesa Jenar menjadi terkejut. Meskipun
orang itu matanya yang tampaknya sedemikian bening,
seolah-olah air di dalam sumur, yang dalam sekali. Juga
nampaklah dasarnya yang berputar-putar semakin lama
semakin dalam, seakan-akan sumur itu akan mengisap
hanyut. Mahesa Jenar menjadi semakin heran, bahkan
kemudian menjadi cemas, sebab dirinya menjadi seakanakan ikut serta berputar semakin cepat. Sadarlah Mahesa
Jenar kemudian, bahwa ia sama sekali tidak berhadapan
dengan seorang yang mengutamakan kekuatan jasmaniah.
Tetapi orang tua itu ternyata mempunyai kekuatan batin
yang luar biasa, sehingga dengan kekuatan itu ia dapat
mempengaruhi orang lain. Akhirnya Mahesa Jenar tidak
tahan lagi melihat perputaran yang melilitnya itu, sehingga
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
segera tangan Ki Ardi dilepaskan dan ia meloncat tiga
langkah surut. Sagotra sama sekali tidak tahu maksud serta akibat
perbuatan Mahesa Jenar itu, sehingga ia masih saja berdiri
diam seperti patung. Tetapi ia menjadi heran, ketika
dilihatnya tiba-tiba Mahesa Jenar membungkuk hormat
kepada orang itu, sambil berkata, "Maafkan aku Ki A rdi, aku
telah salah duga terhadap Bapak."
Ki Ardi masih saja memandanginya dengan sorot mata
keheranan. Bahkan kesan-kesan ketakutannya pun masih
ada. Dan inilah yang menjadikan Mahesa Jenar semakin
pening. Orang yang mempunyai pengaruh sedemikian
besarnya, hanya dengan sorot matanya saja, tetapi yang
seakan-akan tidak sadar akan kekuatannya sendiri,
sehingga masih saja berkesan ketakutan. Mengalami hal
yang demikian Mahesa Jenar berpikir keras. Bagaimanapun,
ia adalah seorang bekas prajurit pengawal raja yang sudah
sering mengalami hal-hal yang tampaknya diluar kewajaran.
Maka dalam hal itu pun segera Mahesa Jenar sadar, bahwa
pastilah ada suatu rahasia yang menyelubungi orang tua
itu. Pastilah ada hal-hal yang sengaja disembunyikan.
Mungkin ia sengaja berbuat demikian supaya orang tidak
mengenal atau menduga, bahwa sebenarnya ia mempunyai
kelebihan dari orang lain.
Maka dengan hormatnya, sekali lagi Mahesa Jenar
berkata, "Maafkan, aku yang salah duga terhadap Bapak."
Sejenak kemudian tampaklah bibir orang itu bergerakgerak dan terdengarlah suaranya kecil bergetar, "Tuan,
apakah salahku sehingga Tuan menyakiti aku?"
Mahesa Jenar menundukkan mukanya dengan penuh
penyesalan atas kelancangannya. Maka jawabnya, "Bapak,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sama sekali Bapak tidak bersalah. Tetapi akulah yang
berbuat kesalahan terhadap Bapak."
Orang tua itu tidak menjawab lagi. Hanya matanya yang
sudah cekung itu merenung jauh sekali menembus gelap
malam. Kembali Mahesa Jenar kagum atas mata itu, yang
seakan-akan dapat menelan segala isi padang ilalang luas
itu, bahkan isi dari hutan Tambakbaya.
Ingin ia menghubungkan orang tua ini dengan Ki Ageng
Pandan Alas yang diduganya juga Ki Santanu. Tetapi Ki
Ageng Pandan Alas adalah seorang yang mempunyai
kekuatan jasmaniah luar biasa, sehingga hanya dengan
kapak batu kuno ia dapat melukai sebatang pohon yang
besarnya lebih dari empat pemeluk, hampir separonya.
Sedangkan orang tua ini mempunyai tubuh yang kendor
dan sama sekali tak bertenaga. Apalagi baru beberapa saat
berselang Ki Ageng Pandan Alas pergi bersama-sama Rara
Wilis. Meskipun demikian, setiap kemungkinan bisa terjadi.
Mengingat hal itu semua, Mahesa Jenar semakin sibuk
berpikir. Akhirnya ia mengambil ketetapan bahwa sebaiknya ia
dengan baik-baik bertanya, mengenai pahatan itu. Katanya,
"Bapak..., yang kau lakukan mendorong keinginanku untuk
mengetahui pahatan yang sedang Bapak buat itu."
Orang itu menjadi heran mendengar kata-kata Mahesa
Jenar, jawabnya, "Adakah dengan membuat pahatan ini aku
telah berbuat kesalahan terhadap tuan?"
"Tidak Bapak," sahut Mahesa Jenar cepat-cepat, " Tetapi
bolehkah aku bertanya, apakah yang sedang Bapak pahat
itu" " Kembali orang itu heran. Kemudian dengan langkah yang
lambat serta agak kebongkok bongkokan orang itu berjalan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menjauhi pahatannya beberapa depa, lalu mengamat-amati
dengan seksama. Tiba-tiba saja ia tersenyum, serta
matanya menjadi cerah. "Pahatanku sudah hampir selesai.
Apa yang tadi tuan tanyakan?"
"Pahatan itu...." Mahesa Jenar menjawab, "Apakah yang
sedang Bapak pahat?"
"Tidakkah Tuan tahu..." kata orang tua itu sambil
mendekati pahatannya. Dan kemudian diraba-rabanya hasil
kerjanya itu dengan mesra. "Bukankah ini seekor naga"
Katakanlah Tuan, apakah aku tidak berhasil melukis seekor
naga?" "Tentu, tentu," jawab Mahesa Jenar dengan cepat
"Lalu apa yang Tuan tanyakan?" tanya orang tua itu.
"Maksudku," jawab Mahesa Jenar. "apakah yang Bapak
lukiskan itu seekor naga, atau suatu bentuk dari bendabenda yang pernah Bapak lihat sebelumnya?"
Orang tua itu semakin heran, tanyanya, "Adakah Tuan
pernah melihat sesuatu benda yang mirip dengan
pahatanku ini?" Mahesa Jenar jadi ragu. Mula-mula ia ingin mengatakan
tentang keris Nagasasra yang mempunyai bentuk yang
sama dengan pahatan naga itu. Mustahil kalau kesamaan
itu hanyalah kebetulan saja. Kesamaan cita dalam cipta
yang sampai sedemikian dekatnya dengan aslinya.
Kesamaan yang sedemikian itu pastilah yang satu diilhami
oleh yang lain atau malahan salinan sepenuhnya. Tetapi
akhirnya diurungkannya keinginan itu. Karena tidak akan
banyak gunanya. Sebab pastilah orang tua itu sengaja
merahasiakan. Maka, akhirnya Mahesa Jenar hanya berkata,
"Tidak... Bapak, tetapi apa yang Bapak pahatkan adalah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
suatu bentuk yang dahsyat sekali. Ataukah Bapak pernah
melihat seekor naga yang sedemikian?"
Tampaklah Ki Ardi mengerutkan keningnya. Tetapi
sejenak kemudian ia tersenyum. "Belum, Tuan. Aku belum
pernah melihat seekor naga pun. Yang pernah aku lihat
hanyalah ular-ular kecil yang sering berkeliaran di sekitar
tempat ini. Tetapi aku pernah mendengar dongeng
dongeng tentang seekor naga. Nah, menurut gambaran
angan anganku sedemikianlah kira-kira bentuknya."
Kembali orang tua itu meraba-raba pahatannya. Ia
nampaknya bangga serta bahagia sekali atas hasil kerjanya.
"Tuan...," katanya kemudian, "Silakan Tuan berdua
duduk. Aku ingin menyelesaikan pekerjaan ini, sekarang
juga. Sebab tidaklah mungkin untuk ditunda. Sementara itu
silakan Tuan mendengarkan dongeng tentang naga yang
sedang aku pahatkan ini."
Dengan tiada menunggu jawaban, Ki Ardi segera mulai
dengan kerjanya kembali. Mahesa Jenar dan Sagotra segera
mengambil tempat duduk di dekat api yang masih menyalanyala. Suaranya gemeretak, karena ledakan-ledakan kecil
yang ditimbulkan oleh dahan-dahan yang sedang dimakan
api. ----------odwOkzo----------SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
IV "Tuan," Ki Ardi sambil memahat mulai berceritera. "Naga
ini menurut ceritera dilahirkan dalam dua alam yang
berbeda tempatnya. Tetapi dalam pahatanku ini, tidaklah
kedua-duanya aku lukiskan, tetapi aku ingin mendapat satu
bentuk kesatuan dari dua ekor naga itu. Seekor naga
dilahirkan di samodra, sedangkan satu lagi dilahirkan di
angkasa. Tetapi diatas bumi ini mereka bertemu dan
bersahabat. Keanehan dari kedua ekor naga itu adalah,
yang seekor bersisikkan emas, sedangkan yang seekor, di
leher, perut serta ekornya berbalutkan intan permata. Pada
suatu hari, raja yang sedang berkuasa diatas bumi ini,
merasa disusahkan oleh seorang putrinya. Putri itu jatuh
cinta kepada seorang yang sama sekali tak dikehendaki oleh
ayahandanya. Sebab laki-laki itu bukanlah laki-laki biasa.
Menurut ceritera, laki-laki itu berasal dari bintang kemukus
yang sering membawa bencana. Hanya karena laki-laki itu
terlalu sakti, maka tidak ada yang berani mengganggunya.
Maka pada suatu ketika bertemulah raja itu dengan
kedua ekor naga yang sedang merantau mengelilingi bumi
ini. Raja itu kemudian minta kedua ekor naga itu untuk
mengusir laki-laki yang mengganggu puterinya. Kedua ekor
naga itu menyanggupinya. Didatanginya laki-laki yang berasal dari bintang kemukus
itu. Maksudnya, apabila tidak perlu, masalahnya akan
diselesaikan dengan damai. Tetapi rupanya laki-laki itu
merasa yakin akan kesaktiannya, sehingga akhirnya
terjadilah pertempuran yang maha dahsyat. Kedua ekor
naga itu pun ternyata mempunyai kesaktian yang luar
biasa. Laki-laki itu dengan bersenjatakan petir di kedua
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
belah tangannya menyerang dengan ganasnya, sedangkan
naga yang bersisik emas itu, dari mulutnya menyembur api
yang menyala-nyala. Sementara itu naga yang bersisik intan
permata itu, dari kedua matanya memancar sinar yang
beracun. Tetapi karena kesaktian mereka masing-masing,
senjata-senjata itu hampir tidak banyak berguna. Laki-laki
bintang itu ternyata tidak saja mampu bertempur di atas
daratan. Sekali-sekali ia terjun pula ke dasar lautan. Tetapi
naga yang lahir di dalam samodra itu tidak membiarkannya.
Disusullah ia ke dasar lautan dan bertempurlah mereka di
sana. Air laut pun menjadi bergolak seakan-akan mendidih.
Kalau laki-laki itu jemu bertempur di lautan, terbanglah ia
ke angkasa. Dan bertempurlah mereka di udara. Demikian
dahsyat pertempuran itu sampai langit menjadi gelap,
hanya kadang-kadang saja memancar kilat dan petir disela
oleh semburan api yang tak terkira panasnya, keluar dari
mulut naga bersisik emas itu.
Demikianlah pertempuran itu berlangsung sampai 40
hari, 40 malam. Tetapi masih saja belum ada yang nampak
akan kalah. Bahkan pertempuran itu semakin lama semakin
sengit. Sekali waktu terjadi di dalam samodra, dan sekali
waktu di angkasa" Tiba-tiba orang tua itu berhenti, sambil perlahan-lahan ia
berjalan mundur menjauhi pahatannya.
Sebentar ia tersenyum dan sebentar kemudian keningnya
berkerut. Katanya, "Tuan, pahatanku telah selesai. Apakah
kata tuan tentang ini?"
Mahesa Jenar yang sejak semula telah merasakan
keindahan pahatan itu menjawab, "Bagus, Ki Ardi."


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ki Ardi tertawa perlahan. Lalu sambungnya, "Baru
sekarang aku mendapat pujian atas hasil kerjaku. Selama
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
ini tidak pernah seorang pun, jangankan pujian-pujian,
sedang perhatian saja tidak pernah aku dapatkan. Sagotra
dengan kawan-kawannya yang sering berkeliaran di daerah
ini, sama sekali tidak dapat menikmati hasil pekerjaanku.
Nah, Sagotra, apa katamu sekarang?"
Sagotra yang sejak tadi berdiam diri, menjadi agak
bingung untuk menjawab pertanyaan Ki Ardi itu. Maka ia
menjawab sekenanya saja, "Bagus, Ki Ardi."
Ki Ardi tertawa terkekeh-kekeh mendengar jawaban
Sagotra. "Apa yang bagus?"
Sagotra menjadi agak tersipu mendengar kata-kata itu.
Tetapi ia tidak mau kalah. "Nagamu itu Ki Ardi, kalau saja
bersisikkan emas benar-benar, serta berbalutkan intan
permata, mungkin umurmu tidak lebih dari malam ini."
Kembali Ki Ardi tertawa terkekeh-kekeh, lanjutnya,
"Pastilah itu terjadi kalau nagaku benar-benar seperti
dongeng yang pernah aku dengar itu. Tetapi sesudah kau
bunuh aku, kau juga akan mati ditelan nagaku ini."
Rupanya Sagotra bukan ahli berdebat. "Orang tua gila.
Kalau kau tanyakan pendapat orang lain mengenai
pahatanmu itu, pastilah kau mengharap orang itu
memujinya. Tetapi pahatanmu itu sebenarnya sangatlah
jelek" Ki Ardi masih saja tertawa. Rupanya ia sudah biasa
bergaul dengan Sagotra serta kawan-kawannya Lawa Ijo
yang lain. Katanya kemudian, "Sebaiknya kau makan dulu,
baru menilai pahatanku ini. Nah masuklah ke mulut gua itu,
nanti kau akan mendapatkan jagung bakar. Makanlah itu,
baru kau memberikan pendapatmu"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tetapi Sagotra rupanya malu dengan adanya Mahesa
Jenar di situ. Karena itu pura-pura saja ia tidak mendengar.
Bahkan ia berkata terus, "Ki A rdi, aku lebih suka mendengar
dongenganmu daripada menyaksikan pahatanmu itu."
Sambil masih tertawa, Ki Ardi mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, "Baiklah aku lanjutkan dongeng itu,
tetapi aku ingin bertanya, siapakah kawan barumu ini?"
Mendengar pertanyaan itu darah Mahesa Jenar tersirap,
sedang Sagotra menjadi bingung, bagaimana harus
menjawab pertanyaan itu. Sebentar mereka berdiam diri
mencari jawaban, akhirnya Mahesa Jenar yang menjawab,
"Ki Ardi aku dan Sagotra secara kebetulan saja bertemu di
perjalanan. Dan Sagotra telah berbaik hati mengantarkan
aku ke arah api yang Bapak nyalakan."
Ki Ardi mengangguk-angguk kecil, katanya melanjutkan,
"Anehlah kalau hal itu terjadi. Biasanya apa yang dilakukan
oleh Sagotra dan kawan-kawannya membunuh dan
merampas terhadap siapa saja yang dijumpainya di daerah
ini" "Ki Ardi," potong Sagotra tidak senang, "jangan kau
membual. Lebih baik kau berkata atau berceritera tentang
hal-hal yang baik." Mendengar kata Sagotra yang diucapkan dengan nada
keras, Ki Ardi nampak agak takut-takut juga. Maka katanya
membetulkan, "Maaf Sagotra... maksudku bukan tidak baik,
aku hanya ingin bergurau saja. Nah sekarang aku lanjutkan
saja ceriteraku." Kemudian Ki Ardi mengambil tempat duduk di hadapan
Mahesa Jenar, juga di dekat api. Sebentar kemudian
mulailah ia melanjutkan ceriteranya. "Kedua ekor naga itu,
yang telah berumur 40 hari 40 malam, belum dapat
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menguasai lawannya. Karena itu pertempuran semakin
bertambah sengit. Seluruh penduduk bumi menjadi
ketakutan. Tidak ada tempat untuk mengungsikan diri.
Sebab pertempuran itu terjadi di seluruh permukaan bumi,
di seluruh lautan, dan diseluruh langit. Raja bumi itu pun
menjadi bertambah prihatin. Apalagi putrinya setiap hari
selalu menangis saja. Tetapi untuk mengabulkan permintaan putri itu, tidak terlintas di dalam pikiran
ayahanda raja. Karena itu ia tidak tahu apa yang akan
dikerjakan. Akhirnya ia terpaksa menunggu saja akan
kesudahan pertempuran yang maha dahsyat antara laki-laki
dari bintang kemukus itu dengan dua ekor naga yang
dimintai bantuan. Demikianlah pertempuran itu masih berlangsung terus, di
laut timbul gelombang sebesar gunung, di darat bertiup
angin topan yang dahsyat. Sedangkan di udara, petir
menyambar-nyambar guruh dan bunga-bunga api yang
maha panas. Sampai hari yang ke-100, keadaan masih
belum berubah, hati raja bertambah gelisah pula.
Maka pada hari yang ke 101, dengan tidak disangkasangka menghadaplah seekor naga yang amat sederhana,
ke hadapan raja. Naga itu berwarna agak kehitam-hitaman.
Matanya berkilat-kilat seperti bintang. Dengan rendah hati
naga itu berkata kepada raja, "Paduka yang memerintah
kerajaan bumi, perkenankanlah hamba mengabdikan diri
kepada Paduka serta diperkenankan membantu kedua
saudara hamba yang sedang bertempur melawan laki-laki
yang berasal dari bintang kemukus."
Tentu saja permintaan itu dikabulkan oleh raja. Maka
dengan senang hati, naga itu langsung menuju ke medan
pertempuran yang saat itu sedang terjadi di daratan.
Kedatangannya menimbulkan perbawa yang luar biasa,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sehingga dengan tiba-tiba saja pertempuran itu berhenti
sejenak. Melihat kedatangan naga ini, mereka bertiga yang
sedang bertempur menjadi heran. Maka bertanyalah naga
yang bersisik emas, "Hai naga yang sangat sederhana,
tanpa menunjukkan tanda-tanda kebesaran apapun, apakah
maksud kedatanganmu?"
Naga itu menjawab, "Saudaraku, aku datang untuk
membantumu." Mendengar jawaban itu, naga berbalut intan merasa
tidak senang. Lalu katanya, "Saudaraku hanyalah mereka
yang dapat menunjukkan tanda kebesarannya."
Alangkah sedih hati naga yang kehitam-hitaman itu,
ditambah lagi laki-laki dari bintang kemukus itu memakinya
pula. "Kau yang mirip sebatang pohon roboh itu akan turut
serta dalam permainan ini...?"
Tetapi disabarkannya hati naga yang sederhana itu.
Jwabnya, "Terserahlah kata-kata kalian atas diriku. Tetapi
aku ingin menunjukkan pengabdianku."
"Kalau demikian" kata naga bersisik emas, "kerjakanlah
itu sendiri." Ya," sahut naga yang bersalutkan intan, "kerjakanlah itu
sendiri." "Baiklah," jawab naga yang kehitam-hitaman, "Silakan
kalian beristirahat."
Mendengar kata-kata Naga Hitam itu, alangkah
marahnya laki-laki bintang yang merasa dirinya sangat
sakti. Maka tanpa mengucapkan sepatah kata pun langsung
diserangnya naga hitam itu dengan kedua belah tangannya
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
yang memegang petir. Tetapi apa yang disaksikannya
sangatlah mengagumkan. Naga hitam itu melingkar cepat
sekali dan dengan sekali menggerakkan ekornya kedua petir
itu pun telah dapat direbutnya, dan dengan suara
menggelegar petir-petir itu dibantingnya di punggung
gunung sampai pecah berserakan.
Laki-laki bintang itu terkejut menyaksikan hal yang
demikian. Tetapi ia pun tidak kurang saktinya. Segera
kedua tangannya itu bergerak menangkap guruh yang
sedang berkeliaran di langit. Maka dengan sekuat tenaga,
guruh itu pun dihantamkan ke kepala lawannya. Naga itu
melihat guruh yang dengan suara gemuruh mengarah ke
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kepalanya, segera menyemburkan angin kencang dari
mulutnya, sehingga guruh itu pun terlontar kembali ke arah
laki-laki bintang itu. Hanya karena kecepatannya menghindar, laki-laki itu tidak hancur karena senjatanya
sendiri. Dengan kejadian-kejadian itu, laki-laki bintang
kemukus yang merasa dirinya tak terkalahkan itu menjadi
marah sekali. Dikeluarkannya segala kesaktian serta
kepandaiannya yang terakhir untuk menyerang naga hitam
itu. Maka segera terjadilah pertempuran yang tak terkira
dahsyatnya. Tidak hanya lautan menjadi bergolak, topan
mengalir dengan derasnya, serta petir menyambarnyambar, tetapi segera hutan-hutan menjadi terbakar.
Lautan mendidih serta gunung-gunung terlempar berserakserakan. Kedua lawan yang sedang mengadu tenaga itu
telah mempergunakan apa saja yang dapat dipegangnya
untuk dijadikan senjata. Maka semakin ketakutanlah segenap penduduk negeri
bumi itu. Pada hari yang ketujuh, pertempuran itu
bertambah seru dan cepat. Laki-laki bintang kemukus itu
telah mengalami perkelahian 100 hari melawan dua ekor
naga yang cukup sakti. Tetapi tenaganya masih tetap segar.
Sekarang ia baru tujuh hari bertempur melawan seekor
naga yang dikatakannya sebagai sebatang pohon yang
roboh saja, namun ia merasa bahwa tenaganya telah mulai
kendor. Ia telah mencoba mengerahkan segala kesaktiannya, tetapi tidaklah banyak hasilnya. Sekali waktu
ia berhasil menangkap ekor naga hitam itu. Lalu dengan
tangannya yang kokoh kuat itu, diputarnya naga itu di
udara, sehingga menimbulkan angin putaran yang luar
biasa. Baik di darat maupun di lautan. Banyak gunung dan
pulau-pulau yang terangkat dan terlempar bertebaran.
Tetapi naga itu tidak pula kehilangan akal. Tubuhnya yang
kehitam-hitaman itu tiba-tiba menyala-nyala, sehingga
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
ketika tangan laki-laki bintang itu merasa panas, terpaksa
naga itu dilepaskan dan terlontar ke udara. Timbullah suatu
pemandangan yang mengerikan. Suatu lingkaran api
berputar-putar di udara. Sebentar kemudian berubahlah
naga itu menjadi gumpalan api yang bergulung-gulung
menghantam lawannya. Laki-laki bintang itu menjadi agak
kebingungan. Maka segera ia menghindar dengan terjun ke
dasar Samodra. Namun api-api itu pun menyusulnya ke
dasar samodra, dengan api masih tetap menyala, sehingga
air lautan menjadi mendidih karenanya. Segera laki-laki itu
meninggalkan lautan, dan terbang ke udara. Naga itu juga
tetap mengejarnya. Kemana laki-laki itu pergi, gumpalan api itu tetap
menyusul di belakangnya, sehingga akhirnya laki-laki
bintang kemukus itu merasa bahwa ia tak mampu lagi
menandingi naga hitam yang dapat menyalakan api dari
tubuhnya, jauh lebih panas daripada api yang keluar dari
mulut naga yang bersisik emas, dan jauh lebih berbahaya
dari sorot beracun di kedua belah mata naga yang berbalut
intan permata. Maka tidak ada jalan lain, kecuali kembali ke asalnya.
Segera laki-laki bintang itu pun terbang lebih tinggi, dan
akhirnya lenyaplah ia berlindung di balik kabut beracun
yang memancarkan cahaya yang menyilaukan, yang
menyelubungi dunianya, yaitu bintang kemukus.
Setelah melihat lawannya kembali ke asalnya, naga
hitam itu merasa bahwa tugasnya telah selesai. Segera ia
turun kembali ke bumi untuk menemui kedua naga yang
bersisik emas dan berbalut intan. Mudah-mudahan setelah
ia menunjukkan jasanya, sudilah kiranya kedua naga itu
mengaku sebagai saudara. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tetapi alangkah kecewanya, ketika ia sampai di bumi,
kedua ekor naga itu sudah tidak ada lagi.
Maka menghadaplah naga hitam itu kepada baginda raja
bumi untuk menanyakan kalau-kalau kedua ekor naga itu
sudah mendahuluinya menghadap. Di sepanjang jalan,
naga hitam itu selalu bersyukur di dalam hati, mereka
dalam keadaan telah hampir pulih kembali. Orang-orang
sudah tidak lagi ketakutan. Agak berbanggalah hatinya
kalau ia mendengar beberapa orang menyebut-nyebutnya
sebagai pahlawan yang berhasil mengusir laki-laki bintang
kemukus yang membawa bencana wabah berbahaya.
Tetapi kebanggaan itu disimpannya dalam hati, sebab ia
merasa bahwa apa yang dilakukannya adalah amal
pengabdian semata. Ketika ia menghadap raja bumi, alangkah terkejutnya
waktu ia melihat upacara penyambutan yang luar biasa. Ia
bahkan menjadi malu dan kaku.
Ketika ia berkesempatan menghadap baginda, yang
pertama ditanyakan adalah kedua ekor naga yang bersisik
emas dan berbalut intan. Tetapi dengan menyesal, baginda
bersabda, Naga Hitam.., kedua saudaramu itu telah
meninggalkan kerajaan bumi di luar pengetahuan kami,
seorang menteri yang melihatnya, menanyakan kemana
mereka pergi. Naga bersisik emas menjawab bahwa ia akan
pergi tanpa tujuan, sebab ia telah merasa bersalah
menghinakan engkau. Sedangkan naga yang berbalut intan
berkata bahwa ia minta maaf kepadamu. Juga mereka


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merasa malu sekali bahwa mereka tak dapat memenuhi
janjinya, mengusir laki-laki dari bintang itu.
Naga hitam itu menjadi sedih sekali. Hampir saja ia
meneteskan air mata. Untunglah bahwa ia sadar, kalau ia
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sedang berada diantara mereka yang menyambutnya
dengan penuh kebesaran. Dari baginda, naga hitam itu mendapat hadiah sebuah
gua yang indah sekali, yang berdinding emas dan
bertahtakan intan berlian. Tetapi naga hitam itu masih saja
senang berkeliaran di rawa-rawa dan hutan-hutan, sebagai
daerah permainannya masa kanak-kanak.
Sekali waktu masih terasa kesedihan hatinya mengenang
kedua ekor naga yang pergi meninggalkannya.
KI ARDI menghentikan ceritanya sejenak. Ia membetulkan duduknya sambil kembali mengamat-amati
pahatannya, seolah-olah ingin memahami kesesuaian
antara bentuk pahatannya serta isi ceriteranya.
Sagotra meskipun orang yang kasar, namun rupanya ia
gemar juga mendengarkan dongeng tentang kesaktiankesaktian. Karena itu ketika beberapa saat Ki Ardi masih
belum melanjutkan ceriteranya, ia berkata, "Ki Ardi
ceriteramu bagus sekali. Tetapi rupanya kau sengaja
menjengkelkan kami dengan memutus-mutus ceritera itu."
Sekali lagi Ki Ardi tertawa terkekeh-kekeh. Lalu
jawabnya, "Sabarlah Sagotra, pastilah ceritera itu aku
lanjutkan.... Nah dengarlah baik-baik."
"Naga hitam itu sepanjang waktunya masih dipergunakan
untuk mengharap pada suatu saat bertemu kembali dengan
kedua Naga yang dirasanya senasib. Apalagi setelah
keduanya mengaku bersalah terhadapnya.
Tetapi akhirnya yang paling menyedihkan adalah, ketika
ia mendengar kabar bahwa terjadilah kerusuhan-kerusuhan
di istana raja bumi. Banyak bangsawan dan kesatria saling
bertengkar, bertempur, bahkan saling membunuh. Soalnya
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
adalah karena mereka berebut untuk mendapatkan putri
baginda yang pernah jatuh cinta pada laki-laki bintang
kemukus. Sedemikian hebatnya perebutan itu sehingga
para bangsawan dan kesatria tidak malu-malu lagi
mempergunakan laskar pengikut masing-masing untuk
mencapai maksudnya. Sehingga memang kadang-kadang
terjadilah pertempuran-pertempuran kecil diantara mereka.
Hampir saja naga hitam itu marah, dan mengambil
keputusan untuk memusnahkan sekalian bangsawan dan
kesatria, malahan kerajaan bumi sekaligus. Tetapi
untunglah bahwa ia dapat menyabarkan diri. Sebab ia pun
pernah merasa berjuang untuknya.
Adapun naga yang bersisik emas serta naga yang
bersalut intan memang sebenarnya pergi meninggalkan
kerajaan bumi karena menyesal dan malu. Mereka pergi
merantau tanpa arah dan tujuan, dengan maksud untuk
bertapa dan menjauhkan diri dari masalah-masalah lahiriah.
Sebab ternyata tanda-tanda kebesaran yang mereka miliki
tidaklah dapat dipergunakan untuk mengatasi lawan yang
cukup sakti, bahkan tidak berguna sama sekali.
Kabar kepergian kedua ekor naga itu menggemparkan
kerajaan-kerajaan di luar bumi. Yaitu kerajaan di bawah
tanah, di bawah lautan dan di lapisan-lapisan langit.
Serentak mereka menyebar panglima-panglimanya untuk
menemukan serta membujuk kedua ekor naga untuk
berpihak kepada mereka masing-masing. Dengan perhitungan kesaktian kedua ekor naga itu digabungkan
dengan kesaktian-kesaktian yang telah ada pastilah dapat
mengalahkan kerajaan bumi, walaupun dibantu oleh naga
hitam yang sakti." "Pada suatu saat sampailah ia di suatu daerah yang
kelam. Daerah yang sama sekali tak dikenal."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Kembali Ki Ardi berhenti. Dan kembali pula ia
memandangi pahatannya. Sebentar kemudian katanya,
"Nah, pada bagian inilah ceritera itu aku ambil sebagai
bahan pahatanku ini. Daerah kelam itu dikuasai oleh dua
ekor harimau raksasa yang berkulit hitam legam. Ternyata
kedua ekor harimau ini pun ingin dapat menguasai kedua
ekor naga itu. Baik secara halus ataupun secara kasar.
Ketika ternyata kedua ekor naga itu menolak bekerja sama
dengan mereka, terjadilah suatu perselisihan. Sehingga
akhirnya pertempuranpun tak dapat dihindarkan. Sebenarnya kedua ekor harimau itu tak dapat menguasai
lawannya, kalau saja daerah mereka tidak menguntungkan.
Daerah kelam yang penuh rahasia itu sangat membingungkan kedua ekor naga itu. Sehingga akhirnya
naga itu pun hanya bertahan apabila diserang. Tetapi
setelah ia terjebak ke dalam daerah itu, sulit bagi mereka
untuk mencari jalan keluar."
Sampai sekian Ki Ardi menarik nafas dalam-dalam.
Nampaknya legalah hatinya, seolah-olah ia telah melahirkan
suatu rahasia yang selama ini disimpannya.
Tetapi sementara itu Sagotrapun mendesak, "Tidakkah Ki
Ardi akan mengakhiri dongeng itu?"
"Mengakhiri...?" tanya Ki Ardi, "Bagaimana aku akan
mengakhiri" Kejadian itu memang baru sampai sekian,".
"Baru sampai sekian...?" tanya Sagotra heran.
Mahesa Jenar pun tidak kalah herannya. Apalagi ketika
dilihatnya perubahan garis wajah Ki Ardi. Kesan-kesan
kejenakaan yang selama ini selalu tersembul diantara
tawanya, lenyap sama sekali. Bahkan ketika Mahesa Jenar
memandang matanya, yang sejak semula sudah mengagumkan, kini seakan-akan dunia ini ada di dalamnya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tetapi rupanya Sagotra tidak melihat perubahan itu,
sehingga masih saja ia mendesak, "Ki Ardi... katakanlah
akhir dari dongeng itu. Nanti aku akan memuji pahatanmu
itu pula." Ki Ardi tersenyum, tetapi senyumnya kosong. Malahan
tiba-tiba ia berkata sambil berdiri, "Tunggulah Sagotra,
akhir dari cerita ini masih agak lama. Sekarang aku akan
masuk sebentar. Kawanilah Tuan ini."
Rupanya Sagotra ingin lekas-lekas mendengar akhir
ceritera itu sehingga ia menggerutu tak habis-habisnya.
Meskipun demikian Ki Ardi seolah-olah tidak mau lagi
mendengarkan. Ia berjalan perlahan- lahan masuk ke dalam
goa dan sejenak kemudian lenyaplah ia ditelan gelap.
Mahesa Jenar yang melihat perubahan itu, menjadi
curiga. Tetapi ia sama sekali tak menunjukkan kecurigaannya. Hanya saja karena mungkin segala sesuatu
dapat terjadi, maka haruslah ia bersiaga.
Apalagi ketika sampai beberapa lama, Ki Ardi masih juga
belum muncul. Kecurigaan Mahesa Jenar semakin
bertambah. Kembali terasa betapa bodohnya, sehingga ia
dapat dipermainkan oleh keadaan. Ataukah ia sudah
berubah menjadi seorang penakut, yang selalu diliputi oleh
perasaan was-was dan curiga..."
Sagotra pun akhirnya merasa tidak sabar, hanya
masalahnya yang berbeda. Maka segera ia pun berdiri dan
memanggil-manggil Ki Ardi. Tetapi tidak ada terdengar
orang menyahut. Karena tampaknya Sagotra telah terbiasa
bergaul dengan Ki Ardi. Tampaknya telah pula Sagotra
terbiasa masuk-keluar rumahnya. Maka, ketika panggilannya tiada mendapat sambutan, segera Mahesa
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Jenar pun berdiri dan melangkah menuju ke mulut goa. Dan
sejenak kemudian ia pun telah lenyap ditelan gelap.
----------odwOkzo---------SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
V Maka, saat itu, Mahesa Jenar tinggal duduk seorang diri
disamping api yang masih menyala-nyala. Bayanganbayangan yang ditimbulkan tampak selalu bergerak-gerak.
Kadang-kadang membesar bagai akan menerkam, dan
kadang-kadang mengecil seperti akan lenyap.
Suasana malam itu rasanya diliputi oleh suatu rahasia.
Dan ini sangat menggelisahkan Mahesa Jenar. Aneh, bahwa
pada saat itu ia merasa kehilangan ketenangan.
Sejenak kemudian, apa yang digelisahkan ternyata
terjadi. Tiba-tiba dengan tak diketahui arahnya, di atas
bukit kapur kecil itu tampaklah sesosok tubuh manusia yang
berdiri tegap. Meskipun cahaya api itu samar-samar
mencapainya, tetapi tidak dilihatnya wajah orang itu
dengan jelas, meskipun Mahesa Jenar yang berpandangan
sangat tajam. Segera Mahesa Jenar pun meloncat berdiri. Ia tidak tahu
maksud orang itu. Tetapi pastilah ia tergolong orang sakti,
sehingga dengan begitu saja, tanpa diketahui arahnya, ia
sudah hadir di situ. Sehingga untuk menjaga diri dari segala
kemungkinan, segera Mahesa Jenar memusatkan pikirannya, mengatur pernafasannya serta menyalurkan
segala kekuatannya ke sisi telapak tangannya, meskipun ia
belum bersikap. Melihat kesiagaan Mahesa Jenar, orang itu tertawa lirih.
Bunyi tertawanya lunak dan menyenangkan. Ketika
kemudian orang itu berkata, Mahesa Jenar menjadi
terkejut, sampai tubuhnya gemetar. Suara orang itu
ternyata kecil dan nyaring. "Mahesa Jenar, tidak perlu kau
kerahkan ilmumu Sasra Birawa, aku tak bermaksud apaapa. Maafkan kalau aku mengejutkan engkau."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Ternyata suara itu pernah didengarnya. Ya, bahkan baru
saja. Suara itu adalah suara Ki Ardi. Jadi ternyata benarlah
dugaannya, bahwa Ki A rdi bukanlah orang sembarangan.
Apalagi ketika orang itu melambaikan sebilah keris yang
tampaknya seperti membara di kegelapan malam. Jantung
Mahesa Jenar serasa akan berhenti.
"Kalau begitu," katanya tergagap Tuan adalah Ki Ageng
Pandan Alas." "Ya...," jawab orang itu, "sengaja aku bersembunyi di sini
untuk membayangi setiap gerak Pasingsingan yang aku
sangsikan keasliannya. Sebab Pasingsingan, adalah sahabatku dimasa muda, tidaklah tergolong dalam aliran
hitam. Dan sementara ini, Pasingsingan memelihara murid
kesayangannya yang kau lukai, biarlah aku mengurus
keluargaku pula. Kau sementara ini dapat tinggal di sini.
Seminggu lagi kau dapat menuai jagung di belakang bukit
ini. Baru setelah itu kau lanjutkan perjalanmu. Sayanglah
jagung itu kalau tak ada yang memetiknya"
Dengan tak sengaja Mahesa Jenar melangkah maju
mendekati bukit kapur itu. Tetapi segera Ki Ardi yang
ternyata juga Ki A geng Pandan Alas mencegahnya. "Mahesa
Jenar, aku masih belum mempunyai waktu untuk
menemuimu. Yang penting kau ketahui adalah tak perlu
Sagotra kau beritahu masalah ini. Mungkin ia sudah
berubah pikiran, tetapi di dalam keadaan terpaksa sulitlah ia
menyimpan rahasia. Juga kau tak perlu menjelentrehkan
ceritera yang baru saja aku ceritakan. Aku percaya bahwa
pasti kau tahu maksudnya, kalau aku katakan bahwa Naga
Hitam itu kemudian dikenal dengan nama Kyai Sengkelat."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Nah, Mahesa Jenar," kata Ki Ardi kemudian, baiklah aku
pergi dahulu, aku harap kita dapat bertemu lagi dalam
keadaan yang lebih baik. Belum lagi Mahesa Jenar sempat menjawab, Ki Ageng
Pandan Alas telah pergi dengan cepatnya dan segera lenyap
ditelan gelap. Sepeninggal Ki Ageng Pandan Alas, kembali
Mahesa Jenar merasa, bahwa apabila ia berhadapan
dengan tokoh-tokoh itu, alangkah kecil dirinya. Ki Ageng
Pandan Alas, Ki Pasingsingan dan yang pernah didengarnya
lagi dari gurunya tentang orang-orang yang setingkat


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan mereka itu, kecuali gurunya sendiri almarhum juga
yang terkenal dengan sebutan Pangeran Gunung Slamet, Ki
Ageng Sora Dipayana dari pinggang Gunung Merbabu yang
kemudian hampir tak pernah terdengar namanya, dan juga
yang terkenal dengan sebutan yang aneh Titis Angentan
yang berasal dari Banyuwangi yang memiliki kesaktian
seperti Adipati Blambangan Wirabumi yang hanya dapat
dikalahkan oleh Raden Gajah pada waktu itu.
Tetapi sementara Mahesa Jenar merenungkan dirinya,
teringatlah ia akan pesan Ki Ageng Pandan Alas tentang
dongengannya yang dihubungkannya dengan Kyai Sengkelat. Cepat-cepat ingatan Mahesa Jenar bekerja.
Akhirnya diketemukanlah hubungan dongengan Ki Ardi itu
dengan cerita yang pernah didengarnya. Yaitu tentang
Naga yang bersisik emas dan bersalut intan pastilah yang
dimaksud Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, yang pada
waktu itu, untuk menyembuhkan penyakit seorang putri
Majapahit, terpaksa pada suatu malam bertempur di udara
dengan sebilah keris sakti pula yang bernama Kyai Condong
Campur. Tetapi kedua keris itu tak dapat menyelesaikan
tugasnya, malahan Kyai Sabuk Inten agak mengalami lukaluka, patah sedikit ujungnya. Sementara itu Kyai Sangkelat
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
yang dapat mengusir Kyai Condong Campur sehingga
menjelma menjadi bintang kemukus yang masih mendendam kepada umat manusia dengan memancarkan
bermacam-macam kuman penyakit. Juga jelaslah sudah
sekarang dimana Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten itu
berada. Pastilah kedua keris itu ada di tangan suami-istri
Sima Rodra dari Gunung Tidar. Dengan menceriterakan itu
pastilah maksud Ki Ageng Pandan Alas minta kepadanya
untuk menemukan kembali kedua keris itu.
Tentu saja Mahesa Jenar menerima tugas ini dengan
penuh tanggung jawab. Sementara itu tampaklah Sagotra keluar dari dalam goa.
Ia masih saja menggerutu. "Orang itu gila, dimana ia
bersembunyi, gumamnya."
"Tuan..." katanya kepada Mahesa Jenar, "orang itu tidak
ada di dalam rumahnya. Sudah aku aduk sampai ke sudutsudutnya tetapi aku tak bisa menemukannya. Memang
kalau orang itu sedang kambuh gilanya, rumah ini sering
ditinggalkan begitu saja sampai berhari-hari. Mungkin kini
tiba-tiba sakitnya itu datang lagi."
"Sudahlah Sagotra," jawab Mahesa Jenar "janganlah kau
pikirkan orang tua itu. Biarlah ia mendapatkan kepuasan
dengan caranya sendiri. Sekarang baiklah kita bicarakan
masalah kita sendiri, masalahmu dan masalahku."
Tiba-tiba tersadarlah Sagotra terhadap keadaannya,
sehingga membelitlah kembali kegelisahan hatinya.
"Sagotra," kata Mahesa Jenar melanjutkan, "apakah kau
akan kembali kepada kawan-kawanmu ". Kalau demikian
pertimbanganmu, sekarang aku kira belum begitu
terlambat. Tentang diriku terserah kepadamu. Apakah akan
kau laporkan kepada kawan-kawanmu apakah tidak."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tampaklah Sagotra diam-diam menimbang-nimbang
dipikirkannya setiap segi yang mungkin menguntungkan
dan yang mungkin mencelakakan. Bagaimanakah akibatnya
kalau ia kembali kedalam gerombolannya. sedangkan kalau
tidak lalu kemanakah ia akan pergi ". Setelah Sagotra
berkenalan dengan seorang seperti Mahesa Jenar, terasalah
betapa miskinnya hidup dalam sarang gerombolan.
Meskipun ia tidak pernah merasakan kekurangan akan
sandang dan pangan, tetapi ternyata bukanlah itu-itu
melulu yang diperlukan bagi pemenuhan kebutuhan hidup.
Karena itu, timbulah keinginannya untuk dapat menemukan
suatu kehidupan baru. "Tuan," katanya kemudian, "sebenarnya aku tidak lagi
mempunyai keinginan untuk kembali kepada gerombolanku.
Tetapi karena selama ini aku hanya mengenal penghidupan
yang sedemikian, aku menjadi bingung, bagaiman aku
harus memulai penghidupan baru. Atau barangkali kalau
tuan menghendaki, aku dapat ikut serta dengan tuan
kemana tuan pergi." Mendengar permintaan Sagotra, Mahesa Jenar menjadi
agak kebingungan. Sudah wajarlah kalau Sagotra merasa
canggung untuk memulai suatu macam penghidupan yang
lain daripada selama ini dilakukannya. Tetapi iapun tidak
akan dapat menerima Sagotra selalu bersamanya. Sebab
banyaklah hal-hal yang tidak boleh dimengerti oleh orang
lain, yang harus dikerjakan.
Tiba-tiba Mahesa Jenar mendapat suatu pikiran yang
dapat menolong menemukan jalan keluar. Katanya
"Sagotra, kau tidak dapat terus menerus bersamaku. Sebab
akupun tidaklah tahu pasti akan masa depanku. Tetapi aku
mau menunjukkan kau suatu jalan keluar yang barangkali
dapat kau tempuh, apabila benar-benar kau menghendaki
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
jalan keluar dari penghidupanmu yang hitam sekarang ini.
Dan sekaligus kau dapat menolong aku pula, maukah kau
?" Sagotra memandang Mahesa Jenar dengan mata yang
hampir tak dapat berkedip. Permintaan Mahesa Jenar untuk
menolongnya adalah suatu penghormatan baginya. Karena
itu dijawabnya kemudian "Tuan, apa yang tuan perintahkan
pasti akanaku lakukan dengan sepenuh kemampuan yang
ada padaku. Nah katakankah tuan."
"Sagotra," kata Mahesa Jenar selanjutnya "tolonglah aku
menyampaikan kabar kepada sahabatku. Pergilah kau
menyeberang hutan Tambak Baya. Terserahlah jalan mana
yang akan kau ambil. Tetapi arahnya adalah arah dimana
kau temukan aku tadi, sedikit agak ke utara. Kau akan
sampai di sebuah desa di seberang hutan Tambak Baya
yang bernama Cupu Watu. Dari sana kau langsung menuju
ke arah timur. Lewat sebuah candi yang terkenal dengan
nama Candi Tara, bekas tempat pemujaan Dewi Tara. Dari
sana kau langsung menuju Prambanan. Temuilah Demang
yang bernama Pananggalan. Sampaikan salam keselamatanku kepadanya. Dan katakanlah aku mengharap
kedatangan adiknya Ki Dalang Mantingan di daerah Rawa
Pening, dua hari sebelum purnama penuh, pada bulan
terakhir tahun ini."
"Katakanlah bahwa Ki Dalang Mantingan sudah tahu
kepentingannya. Selanjutnya atas tanggunganku mintalah
perlindungan kepadanya untuk dapat hidup dalam
lingkungan keluarga Kademangan itu. Asal kau mau
mencurahkan segala ketulusan serta keihlasan hati, pastilah
kau akan diterima dengan baik."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sagotra agak berbimbang sebentar mendengar kata-kata
Mahesa Jenar. Memang ia selalu ragu-ragu untuk dapat
mempercayai dirinya sendiri. tetapi ia tidak mau
mengecewakan Mahesa Jenar. Karena itu ia berjanji dalam
hatinya, bahwa ia akan memenuhi permintaan itu sedapatdapatnya. Maka setelah segala petunjuk-petunjuk yang diperlukan
telah diberikan oleh Mahesa Jenar, segera Sagotrapun
bersiap untuk menempuh suatu perjalanan yang cukup
berbahaya bagi dirinya. Tetapi sebenarnya Sagotra
bukanlah seorang penakut. Dan ia termasuk tokoh yang ke
6 sesudah Wadas Gunung, Carang Lampit dan sebagainya
diantara ke-20 orang yang sedang mencegat Mahesa Jenar.
Karena itu setelah berketetapan hati untuk menempuh
perjalanan itu, maka iapun tak pula mengenal gentar.
Karena perjalanan didaerah hutan itu akan berlangsung
beberapa hari, meskipun dengan agak malu-malu sedikit
diperlukannya juga mengambil beberapa ontong jagung
sebagai bekal perjalanannya.
Dan berangkatlah Sagotra pada malam itu juga supaya
tidak terlambat. Sebab apabila ditunggu sampai besok
pastilah beberapa kawannya sudah mencarinya.
Sepeninggal Sagotra, Mahesa Jenar segera merasa
betapa sepinya tinggal seorang diri ditengah padang,
dibawah sebuah bukit kapur. Tetapi bagaimana juga ia ingin
memenuhi permintaan Ki Ageng Pandan Alas untuk tinggal
kira-kira seminggu di tempat itu. Rupanya Ki Ageng Pandan
Alas merasa sayang pula pada tanaman-tanamannya kalau
tak ada yang memetiknya. Tetapi karena menunggu jagung
itulah maka Mahesa Jenar terpaksa terikat dalam keadaan
yang sulit. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Pada hari pertama, Mahesa Jenar memerlukan untuk
mengenal seluruh daerah di sekitar bukit kapur itu.
Benarlah kata Ki Ageng Pandan Alas, bahwa di belakang
bukit itu banyak terdapat tanaman jagung yang subur.
Sedangkan agak kesamping sedikit terdapat sebuah
blumbang yang berair jernih.
Demikianlah Mahesa Jenar berusaha untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan Ki Ardi. Merebus
jagung dan membakar daging hasil buruan semalam.
Kemudian mengelilingi tanaman jagung, kalau-kalau
diganggu burung, makan pagi, berburu dan seterusnya.
Pada hari kedelapan ia telah mulai merasa jemu. Apalagi
sebuah tugas yang besar, yaitu membebaskan keris
Nagasasra dan Sabuk Inten masih menantinya. Tetapi
meskipun demikian disabarkan juga hatinya sebab jagung
yang sudah mulai kuning itu dua hari lagi pasti sudah
masak untuk dipetiknya. Tetapi pada hari ke 9 terjadilah suatu hal yang dapat
merubah rencananya. Pada hari itu Mahesa Jenar sedang sibuk menyalakan api
sebagaimana dilakukan tiap-tiap hari apabila malam tiba,
seperti juga yang dilakukan oleh Ki Ardi. Tiba-tiba
telinganya yang tajam menangkap suara beberapa orang
yang dihanyutkan angin utara. Suara itu semakin lama
semakin jelas, sehingga dapat diterka bahwa orang-orang
itu sedang mendekatinya. Mahesa Jenar tidak tahu siapakah
kira-kira orang-orang yang datang itu. Untuk tidak
menimbulkan hal-hal yang tidak dikehendaki maka segera
Mahesa Jenar menyelinap masuk ke dalam goa. Dari sana,
dari dalam gelap, ia akan dapat melihat siapakah mereka
itu, apabila mereka mendekati perapian.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Benarlah dugaannya. Beberapa orang datang beriringiringan mendekati perapian. Di muka sendiri berdiri seorang
gagah tegap. Sedang di belakangnya berjalan seorang yang
tinggi agak kekurus-kurusan. Di belakangnya lagi berjalan
seorang yang pendek bulat dan berkumis lebat. Di belakang
mereka berjalan beberapa orang yang tampaknya amatlah
garang-garangnya. Melihat orang yang berjalan paling depan darah Mahesa
Jenar berdegupan. Segera teringatlah ia akan wajah
seseorang yang pernah dibinasakannya. Yaitu Watu
Gunung. Teringatlah Mahesa Jenar akan kata-kata Sagotra
bahwa seorang saudara kembar Watu Gunung, yaitu Wadas
Gunung, sedang mencarinya. Kalau demikian pastilah orang
yang berjalan paling depan itu Wadas Gunung, sedangkan
yang lain adalah sebagian dari rombongan gerombolan
Lawa Ijo yang berjumlah 18 orang.
Mahesa Jenar masih saja berdiri di dalam gelap. Kalau
tidak perlu, ia akan menghindari bentrokan-bentrokan yang
akan terjadi. Tiba-tiba orang yang pendek bulat itu berteriak dengan
nyaringnya. "Ardi..., Ki Ardi...!"
Mahesa Jenar jadi berbimbang hati. Perlukah panggilan
itu dijawab" Kalau demikian halnya, pastilah segera dikenal
bahwa suaranya lain dengan suara Ki Ardi. Karena itu maka
ia berdiam diri saja. Karena tidak mendapat jawaban, orang pendek itu
mengulangi lagi, teriaknya. "Ardi..., hai Ki Ardi. Jangan
main-main. Kali ini waktu kami hanya sedikit. Kami hanya
ingin mendapat beberapa ontong jagung untuk makan kami
besok. Sesudah itu kami akan pergi."
Kembali suara itu tidak mendapat jawaban.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Orang tua gila." gerutunya, "Masih saja ia suka bermain
gila dalam waktu yang begini."
"Ki Ardi...!" teriak yang tinggi kurus itukemudian, "Kami
sedang sibuk dengan tugas kami. Keluarlah! Jangan
bermain gila-gilaan selagi kami tergesa-gesa,".
Juga teriakan ini lenyap ditelan malam tanpa ada
jawaban. Rupanya Wadas Gunung menjadi jengkel, katanya,
"Carang Lampit dan Bagolan. Masuklah. Seret orang itu
keluar dan ambil saja persediaan makanan yang ada. Aku
masih ingin menunggu setan itu sampai tiga hari"
Mahesa Jenar segera menangkap isi kata-kata Wadas
Gunung. Rupanya dalam menunggu kedatangannya,
rombongan itu kehabisan makanan. Sedang yang dimaksud
dengan setan yang ditunggu itu, pastilah dirinya. Kembali
Mahesa Jenar bimbang. Apakah yang akan dilakukan"
Untuk tetap berdiam diri di dalam goa adalah sangat
berbahaya. Apabila benar-benar ada diantara mereka yang


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masuk dan mengenalnya, maka pasti akan terjadi
perkelahian. Dan perkelahian melawan beberapa orang, di
ruangan yang sempit tidaklah menguntungkan baginya.
Karena itu, segera sebelum orang yang disebut Carang
Lampit dan Bagolan itu memasuki goa, Mahesa Jenar telah
lebih dahulu meloncat ke mulut goa. Kehadiran Mahesa
Jenar yang tiba-tiba itu sangat mengejutkan seluruh
rombongan Lawa Ijo. Juga Bagolan yang pendek bulat,
Carang Lampit yang tinggi kekurus-kurusan, bahkan juga
Wadas Gunung sendiri. Baru setelah beberapa saat Wadas
Gunung dapat mengatur perasaannya bertanyalah ia,
"Siapakah kau yang berada di rumah Ki A rdi?"
"Aku adalah anaknya," jawab Mahesa Jenar.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Wadas Gunung mengerutkan alisnya, kemudian katanya,
"Sudah sejak lama aku mengenal Ki Ardi. Tetapi tak pernah
aku mendengar bahwa ia mempunyai seorang anak."
"Aku kira," jawab Mahesa Jenar, "tidak ada perlunya
untuk menceriterakan anak-anaknya kepada orang lain,"
Kembali Wadas Gunung menarik alisnya tinggi-tinggi.
Tetapi sementara itu ia pun tidak habis-habisnya
mengamat-amati tubuh Mahesa Jenar. Akhirnya diketemukannya ciri-ciri yang cocok dengan keterangan
yang diterimanya dari Ki Pasingsingan. Karena itu tiba-tiba
saja ia bertolak pinggang dan dari mulutnya berderailah
sebuah tawa yang mengerikan yang menusuk-nusuk ulu
hati, seperti suara jeritan hantu kubur.
Melihat sikap Wadas Gunung serta mendengar derai
tertawanya, tahulah Mahesa Jenar, bahwa Wadas Gunung
telah mengenalnya. Karena itu ia pun segera bersiap
menghadapi segala kemungkinan.
Setelah beberapa lama surutlah suara tertawanya. Dan
demikian suara itu berhenti, berteriaklah Wadas Gunung itu
dengan suaranya yang nyaring. "Hai, seluruh rombongan
yang sedang mencari seorang yang bernama Rangga
Tohjaya. Pantaslah, bahwa orang ini dapat memperpanjang
umurnya sampai sembilan hari, karena ia disembunyikan
oleh Ki Ardi. Tetapi bagaimanapun akhirnya orang itu dapat
kami temukan juga. Nah, sekarang pandanglah orang ini
dengan baik, amatilah dengan saksama, sebab sebentar lagi
ia harus kita binasakan. Sekarang kita boleh mengaguminya
sebagai seorang yang perkasa, yang telah berhasil
membunuh saudara kembarku Watu Gunung dan yang
dapat melukai pemimpin kami Lawa Ijo. Dendam kami
adalah setinggi gunung, sedalam lautan. Sekarang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
bersiaplah dan jangan lepaskan orang ini. Juga setelah
orang ini binasa, harus dibinasakan juga Ki Ardi, yang telah
berusaha membebaskan orang ini dari tangan kita."
Mendengar kata-kata Wadas Gunung, segera setiap
orang anggota gerombolan itu mempersiapkan diri dan
mencabut senjata masing-masing. Sebagian besar dari
mereka bersenjatakan sebilah belati panjang sebagai
senjata yang khusus diperuntukkan anggota rombongan
Lawa Ijo. Tetapi diantaranya ada juga yang bersenjata dua.
Di tangan kirinya ia memegang pisau belati panjang,
sedang tangan kanannya menggenggam sepotong carang
pring ori sebesar ibujari kaki, tetapi panjangnya tidak lebih
dari lima jengkang. Bagolan, di kedua belah tangannya
menggenggam bola besi bertangkai. Wadas Gunung sendiri
ternyata juga tidak mau memandang ringan kepada Mahesa
Jenar. Ia pun memegang dua buah senjata di kedua belah
tangannya. Yaitu belati panjang.
Melihat semua lawannya bersenjata, Mahesa Jenar mulai
menimbang diri. Hatinya terasa berdegupan juga. Sebab
orang-orang seperti Wadas Gunung, Carang Lampit,
Bagolan dan sebagainya tampaknya bukan pula orang
sembarangan. Apalagi kini mereka menggenggam senjata
masing-masing. Maka mulailah Mahesa Jenar berpikir. Di
manakah tempat yang paling menguntungkan untuk
melawan mereka" Di mulut goa, ia tidak akan dapat
diserang dari samping dan belakang. Tetapi kalau ujungujung senjata itu bersama menyerangnya dari depan, sulit
baginya untuk menghindar. Maka lebih baik baginya apabila
bertempur di tempat terbuka. Ia akan dapat mempergunakan kegesitan, serta mudah-mudahan gelap
malam di luar membantunya. Mendapat pikiran itu, sebelum
Mahesa Jenar mendapat serangan, segera ia meloncat
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dengan kecepatan yang luar biasa, menerobos orang-orang
yang mengepungnya. Dan tahu-tahu Mahesa Jenar telah
berada di belakang mereka, di dekat api yang menyalanyala. Secepat kilat tangannya memegang dua batang kayu
yang sedang dimakan api. Dengan kedua batang cabang
kayu sebesar lengan itulah ia siap menghadapi segala
kemungkinan. Melihat kecepatan Mahesa Jenar bergerak, hampir semua
orang sangat heran sampai terdiam seperti patung. Dengan
loncatan yang hampir tak dapat dilihat, kepungan mereka
dengan begitu saja sudah dapat ditembus. Menyaksikan
buruannya telah berada di luar jaring, Wadas Gunung
menjadi marah sekali. Sehingga dengan teriakan keras ia
memerintahkan kepada anak buahnya segera untuk
mengepung kembali. Wadas Gunung sendiri bersama-sama Carang Lampit,
Bagolan orang ke-3, Seco Ireng orang ke-4, Cemara Aking
orang ke5, dan Tembini orang ke-7, langsung menyerang.
Ketujuh orang tokoh itu dikurangi Sagotra, merupakan
tenaga gabungan yang luar biasa kuatnya, meskipun tidak
lengkap. Senjata mereka tampak gemerlapan memenuhi
udara dan seolah-olah bergulung-gulung melanda Mahesa
Jenar dengan dahsyatnya. Mahesa Jenar segera melihat
bahaya yang akan datang. Sudah pasti Mahesa Jenar tidak
akan dapat sekaligus menangkis serangan dari enam orang
yang mempunyai kekuatan yang cukup. Karena itu segera
Mahesa Jenar mencari akal. Maka dengan tiba-tiba tanpa
diduga oleh seorangpun, Mahesa Jenar dengan kedua
cabang kayu di tangannya memukul api yang sedang
menyala-nyala ke arah penyerang-penyerangnya. Segera
bara-bara api serta potongan-potongan kayu yang masih
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menyala bertebaran di udara dan mengarah kepada lawanlawannya. Wadas Gunung beserta kawan-kawannya terkejut bukan
alang kepalang. Sama sekali tak terlintas di dalam
pikirannya, bahwa serangan mereka akan mendapat
sambutan begitu panas. Karena itu segera mereka sibuk
menghindarkan diri dari serangan api. Mereka yang sempat
menghindar segera berloncatan kian kemari, sedang
mereka yang tidak lagi mempunyai kesempatan, segera
berusaha memukul api itu dengan senjata masing-masing.
Melihat kebingungan itu Mahesa Jenar tidak menyia-nyiakan
waktu. Segera ia melompat serta memutar kedua potong
kayunya, menyerang keenam orang yang masih belum
sempat mempersiapkan diri. Serangannya ini ternyata
mempunyai hasil yang cukup baik. Kayu di tangan kirinya
dengan derasnya menyambar Cemara Aking. Melihat
serangan yang datang tiba-tiba itu Cemara Aking tidak
sempat menghindar. Maka yang dapat dilakukan hanyalah
menangkis serangan Mahesa Jenar dengan kedua pisau
belati panjangnya yang disilangkan di muka kepalanya.
Tetapi pukulan Mahesa Jenar demikian kerasnya sehingga
tangan Cemara Aking tidak mampu untuk melawannya. Ia
tak berhasil menghindarkan kepalanya dari benturan kayu
Mahesa Jenar. Segera pemandangannya menjadi kuning
berputaran, serta kepalanya seolah-olah ditindih batu yang
besar sekali. Cemara Aking terhuyung-huyung surut
beberapa langkah ke belakang dan akhirnya ia terduduk
lemah. Dalam saat yang bersamaan pula, tangan kanan
Mahesa Jenar sempat menyambar lambung Carang Lampit.
Tetapi Carang Lapit ternyata mempunyai kekuatan yang
cukup pula sehingga ia berhasil mengurangi tekanan
serangan Mahesa Jenar dengan carang orinya. Meskipun
demikian lambungnya terasa sakit bukan kepalang. Dan ini
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
telah banyak mengurangi kebebasan geraknya. Melihat
kedua kawannya dikenai dalam saat yang sangat singkat
Wadas Gunung menjadi bertambah marah, disamping
perasaan keheranan serta keseganan yang merambati
hatinya. Segera iapun membuka sebuah serangan dengan
menusuk dada Mahesa Jenar.
Mahesa Jenar dengan gerakan yang sedikit saja, dengan
menarik tubuhnya miring tanpa mengubah letak kakinya,
telah dapat menghindari serangan Wadas Gunung. Malahan
dengan tangan kirinya ia sempat menyodokkan batang
kayunya ke perut lawannya. Melihat serangannya gagal
serta malahan mendapat serangan balasan, segera Wadas
Gunung meloncat ke samping. Pada saat itu, serangan
Tembini datang sangat mendadak, dengan sebuah tombak
terkait. Melihat kilatan senjata yang dengan cepatnya
mengarah ke perutnya, Mahesa Jenar agak terkejut.
Rupanya Tembini yang masih muda ini mempunyai
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kegesitan yang luar biasa. Tetapi segera Mahesa Jenar
melihat kekurangan lawannya. Belum lagi ia yakin bahwa
serangannya akan berhasil, ia sudah mempergunakan
seluruh kekuatannya, sehingga ia tidak lagi mempunyai
tenaga cadangan. Melihat hal itu segera Mahesa Jenar
dengan sebagian besar kekuatannya menghantam mata
tombak Tembini dengan kayunya, sehingga terjadilah suatu
benturan yang dahsyat. Tangan Tembini bergetar hebat
sampai terasa sakit, sedang tombaknya menancap ke kayu
Mahesa Jenar. Belum lagi Tembini sadar, Mahesa Jenar
telah merenggut kayunya sehingga terseretlah tombak
Tembini itu, dan terlepas dari tangannya. Tetapi belum lagi
Mahesa Jenar menangkap tombak pendek itu, Bagolan
orang yang pendek bulat, dengan garangnya meloncat
sambil memutar bola besinya yang bertangkai. Mahesa
Jenar melihat serangan yang akan datang. Tangan
kanannya yang memegang kayu dimana tombak Tembini
menancap, pastilah belum dapat dipergunakan dengan baik.
Maka sebelum Bagolan mencapai jarak yang cukup untuk
mempergunakan senjatanya, Mahesa Jenar dengan kekuatan yang hampir penuh melemparkan kayu di tangan
kirinya ke arah Bagolan. Kayu itu meluncur cepat, sehingga
Bagolan tidak lagi dapat berbuat lain daripada menangkis
serangan itu dengan kedua bola besinya. Tetapi serangan
Mahesa Jenar terlalu deras dan keras. Maka ketika terjadi
benturan yang hebat, salah satu bolabesi Bagolan ikut serta
terlempar bersama kayu Mahesa Jenar, sehingga menimbulkan rasa nyeri yang tak terhingga pada telapak
tangan Bagolan. Dengan demikian maka terpaksalah ia
mengurungkan serangannya dan berlari-lari mengambil bola
besinya yang terjatuh. Dalam saat yang sekejap itu Mahesa
Jenar telah dapat mencabut tombak berkait Tembini yang
menancap di batang kayunya. Mendapat senjata yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
cukup baik itu, Mahesa Jenar menjadi bertambah garang.
Meskipun pada saat itu segera datang pula serangan Wadas
Gunung dan Seco Ireng bersama-sama, tetapi seranganserangan itu dapat pula satu demi satu dipunahkan.
Demikianlah pertempuran itu menjadi semakin dahsyat.
Api yang dinyalakan Mahesa Jenar sudah tidak lagi
menyala. Hal ini sangat menguntungkan Mahesa Jenar yang
berpandangan tajam sekali. Ia melawan kerubutan itu
dengan berloncatan kesana-kemari, menyusup diantara
mereka dan kadang-kadang meloncat menjauhi. Tetapi
lawannya bukan orang-orang sembarangan. Ternyata
Wadas Gunung mempunyai kecakapan sejajar dengan Watu
Gunung. Sedangkan Carang Lampit hanya sedikit berada di
bawah Wadas Gunung. Untunglah orang ini telah dilukainya
lebih dulu sehingga geraknya tidaklah berbahaya sekali.
Bagolanpun ternyata tidak kalah gesitnya dengan Gagak
Bangah yang bersama-sama dengan Watu Gunung dulu
mengerubutnya. Ditambah lagi dengan Seco Ireng, Tembini
dan Cemara Aking yang baru dapat bergerak sedikit-sedikit
saja, karena kepalanya masih pening sekali. Disamping itu
mereka masih mempunyai tenaga cadangan yang siap
menyerangnya dari segala jurusan.
Ketika pertempuran itu sedang berlangsung dengan
dahsyatnya, dimana masing-masing pihak berusaha untuk
mengalahkan lawannya. Maka di sebelah timur membayanglah warna fajar. Langit yang kelam menjadi
kemerah-merahan, sedangkan bintang fajar memancar
dengan cemerlangnya.

Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Melihat cahaya merah itu, hati Mahesa Jenar menjadi
berdebar-debar. A pabila sebentar lagi langit menjadi terang,
akan sulitlah kedudukannya.
Apalagi sampai saat itu saja sudah terasa bahwa
tenaganya sebagai manusia biasa adalah sangat terbatas.
Melawan 6 orang cukup kuat, ditambah lagi yang lain-lain
yang telah pula mulai bergerak mengeroyoknya, adalah
suatu pekerjaan yang barangkali diluar kemampuan
tenaganya yang biasa. Tekanan yang kuat dari Wadas
Gunung, serangan yang tiba-tiba dari Tembini yang telah
bersenjatakan pisau belati panjang, gempuran-gempuran
bola bertangkai Bagolan, sambaran-sambaran carang ori
yang tidak kalah berbahayanya, serta tusukan-tusukan
parang Seco Ireng yang dahsyat adalah bahaya-bahaya
yang setiap saat dapat merenggut jiwanya. Dalam keadaan
gelap, mereka masih agak ragu-ragu mempergunakan
senjata itu, sebab Mahesa Jenar selalu berusaha untuk
membelit lawan-lawannya. Tetapi kalau matahari sudah
terbit, akan berbedalah keadaannya. Mungkin ia tak akan
mampu melawan sampai tengah hari saja. Karena itu
mengingat keselamatan diri, tugas yang masih harus
diselesaikan serta pertimbangan yang sebaik-baiknya,
adalah membinasakan gerombolan hitam itu. Terlintas
dalam pikiran Mahesa Jenar untuk segera menyelesaikan
pertempuran ini sebelum fajar. Adapun cara satu-satunya
adalah dengan mempergunakan ilmunya Sasra Birawa, di
sisi telapak tangan kanannya, digabungkan dengan
kemahirannya mempergunakan segala macam senjata
dengan tangan kirinya. Dan untunglah pada saat itu ia
memegang sebuah tombak berkait. Dengan mempergunakan gabungan kedua macam kekuatan itu ia
memperhitungkan bahwa ia akan dapat mengakhiri
pertempuran sebelum cahaya matahari yang pertama.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tetapi belum lagi ia melaksanakan maksudnya, tiba-tiba
terjadilah suatu hal yang sangat mengejutkan dan tak
terduga-duga. Pada saat itu, pada saat pengikut Lawa Ijo
siap untuk menyerang Mahesa Jenar bersama-sama,
terjunlah seseorang ke kancah pertempuran. Meskipun
Mahesa Jenar tidak berkesempatan untuk mengenal orang
baru itu dengan seksama, tetapi sepintas ia melihat bahwa
orang itu berperawakan sedang, serta bersenjatakan
sebuah kapak sangat besar. Tampaknya ia tidak begitu
lincah, tetapi mendengar desing ayunan kapaknya dapat
diduga betapa besar tenaganya.
Dengan kekuatan yang luar biasa, ia memutar kapaknya,
dan langsung menyerang pengikut-pengikut Wadas Gunung. Sejenak kemudian terjadilah dua lingkaran
pertempuran yang amat dahsyat. Dengan hadirnya orang
baru, yang masih belum sempat dikenalnya, Mahesa Jenar
merasa bahwa pekerjaannya menjadi berkurang. Sebab
mau tidak mau perhatian Wadas Gunung sebagai pemimpin
rombongan menjadi terpecah, sehingga ia tidak lagi dengan
sepenuhnya mengadakan tekanan kepada Mahesa Jenar.
Apalagi ternyata luka di lambung Carang Lampit tidak dapat
dianggap ringan. Di arah luka itu terasa makin lama
semakin sakit. Karena itu gerakan-gerakannya menjadi
semakin lemah dan hampir tak berarti. Demikian juga
keadaan Cemara Aking. Di dalam dua lingkaran pertempuran itu, Mahesa Jenar
harus melawan tokoh-tokoh gerombolan Lawa Ijo yang
sudah tidak begitu penuh lagi kekuatannya, sedang
anggota-anggota gerombolan itu terpaksa tidak dapat turut
serta mengeroyok Mahesa Jenar, sebab mereka harus
melayani pendatang baru yang dengan garangnya
menghantam mereka dengan kapaknya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mengalami perubahan keadaan ini, Mahesa Jenar pun
merasa masih belum waktunya mempergunakan ilmunya
Sasra Birawa. Sebab ia merasa bahwa bersama dengan
orang baru itu ia akan dapat mematahkan kekuatan Wadas
Gunung. Perhitungan Mahesa Jenar memanglah tepat. Meskipun
orang baru itu tidak begitu lincah, tetapi tiba-tiba sambaran
kapaknya selalu diikuti dengan berdesingnya angin maut.
Anggota-anggota gerombolan Lawa Ijo yang mencoba
menangkis ayunan kapak itu, senjatanya terlepas dan
terpatahkan. Melihat keadaan itu Wadas Gunung menjadi marah
sekali. Tetapi ia tidak dapat meninggalkan Mahesa Jenar
yang bagaimanapun dirasakan lebih berbahaya, apalagi
kepadanyalah ia menyimpan dendam. Karena itu dengan
teriakan nyaring ia memerintahkan Bagolan untuk melawan
orang berkapak itu. Mendengar perintah Wadas Gunung
segera Bagolan dengan loncatan panjang meninggalkan
gelanggang dan segera terjun ke lingkaran pertempuran
lain. Ternyata Bagolan pun mempunyai tenaga raksasa.
Sehingga dalam pertempurannya melawan orang berkapak
itu seringkali terjadi benturan-benturan yang dahsyat antara
bola besi bertangkai dengan kapak raksasa itu. Bagaimanapun perkasanya orang berkapak itu, ketika ia
harus melawan keroyokan yang sedemikian banyaknya
ditambah lagi dengan seorang tokoh seperti Bagolan,
akhirnya tampak juga bahwa ia agak terdesak.
Sebaliknya Mahesa Jenar yang lawannya berkurang lagi
seorang menjadi semakin leluasa bergerak. Tetapi dalam
pada itu segera ia melihat kerepotan orang yang
bersenjatakan kapak itu. Maka segera iapun menjadi
cemas. Meskipun ia sama sekali belum mengenalnya, tetapi
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
pada saat ia melibatkan diri dalam pertempuran itu, adalah
sangat menguntungkannya. Karena itu ia tidak dapat
membiarkan saja ketika ia melihat orang berkapak itu
terdesak. Untuk mengimbangkan keadaan, Mahesa Jenar berpikir
bahwa sebaiknya pertempuran tidak terbagi. Ia dan orang
berkapak itu harus berada dalam satu lingkaran
pertempuran menghadapi seluruh gerombolan. Dengan
demikian ruang pertempuran menjadi bertambah sempit.
Mendapat pikiran yang demikian segera Mahesa Jenar
memutar tombaknya, dan dengan gerakan kilat ia meloncat
menembus kepungan lawan. Selanjutnya dengan cepat
sekali ia meloncat kesamping orang yang bersenjata kapak
itu, sambil berkata, "Ki Sanak, baiklah kita bekerja bersama.
Kau hadapi separo lingkaran, aku separo. Disamping itu kita
pergunakan setiap kesempatan untuk menghantam lawan."
Orang berkapak itu tidak menjawab tetapi ia tahu maksud
Mahesa Jenar, maka segera ia pun menempatkan diri
beradu punggung dengan Mahesa Jenar.
----------odwOkzo---------SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Jilid 4 SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
I Kembali hati Wadas Gunung terperanjat melihat
kelincahan Mahesa Jenar. Mengertilah ia sekarang kenapa
Pasingsingan memaksanya membawa 20 orang anak
buahnya bersama-sama untuk menangkap satu orang saja.
Ternyata buruannya memang bukan orang biasa. Tetapi
Wadas Gunung adalah orang yang berpengalaman cukup,
sehingga ketika ia melihat sikap Mahesa Jenar dan orang
berkapak itu saling membelakang, tahulah ia maksudnya.
Untuk mencegah kesulitan-kesulitan selanjutnya, cepatcepat ia memerintahkan untuk menghantam lawan sebelum
mereka mencapai keseimbangan dalam bekerja bersama. Ia
sendiri beserta tokoh-tokoh rombongan itu segera
melancarkan serangan-serangan yang berbahaya. Tetapi
karena perubahan keadaan yang demikian cepatnya itu,
tidak semua anak buah Wadas Gunung dapat mengikuti
jalan pikiran pimpinannya, sehingga dalam pelaksanaannya
terjadilah kekacauan. Karena lawan mereka berkumpul
pada satu titik, maka ketika mereka akan menyerang
bersama-sama, terjadilah desak-mendesak diantara mereka, sehingga mereka tidak leluasa mempergunakan
senjata masing-masing. Dalam keadaan yang demikian,
segera Mahesa Jenar mengambil keuntungan yang sebesarbesarnya. Mahesa jenar segara meloncat maju, dan
memutar tombak berkaitnya seperti baling-baling. Kemudian dengan gerakan yang sangat mengejutkan
lawannya, Mahesa Jenar langsung menyerang beberapa
orang yang berdiri di hadapannya. Mendapat serangan yang
tak terduga-duga ini, tak seorang pun sempat mengelak
diri, sehingga dalam satu ayunan Mahesa Jenar sekaligus
dapat melukai 4 orang anggota gerombolan Lawa Ijo, dan
melemparkan beberapa senjata dari tangan pemiliknya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Melihat kejadian itu, tergetarlah hati para anggota
gerombolan Lawa Ijo, sehingga hampir serentak mereka
berdesakan mundur. Untunglah bahwa para pemimpin
gerombolan itu cepat bertindak. Serentak mereka
berloncatan maju dan dengan dahsyatnya mereka
melakukan serangan-serangan balasan. Melihat orang ini
tampil, segera Mahesa Jenar menarik diri serta menyesuaikan kedudukannya dengan orang yang bersenjatakan kapak, yang ternyata telah pula memutar
kapaknya untuk melindungi dirinya dan sekali-sekali
menyambar mereka yang berani mendekatinya.
Dalam siasat perkelahian ternyata Wadas Gunung pun
tak kalah cerdiknya. Untuk memecah kerja sama lawannya,
segera Watu Gunung memerintahkan untuk melumpuhkan
kedudukan yang lemah. Karena itu berkumpullah tokohtokoh mereka untuk menyerang orang berkapak itu
bersama-sama. Tetapi maksud ini pun segera diketahui oleh
Mahesa Jenar, karena itu katanya kepada orang berkapak
itu, "Ki Sanak, baiklah kita selalu bergerak, supaya tak
dapat mereka patahkan batas diantara kita."
Kali ini orang berkapak itu pun tidak menjawab, tetapi
rupanya ia pun mengerti maksud Mahesa Jenar. Maka
ketika Mahesa Jenar mulai dengan loncatan loncatannya
kesana-kemari, orang itu pun selalu menyesuaikan dirinya,
meskipun ia tidak selincah Mahesa Jenar.
Melihat perubahan cara bertempur Mahesa Jenar, Wadas
Gunung mengeluh dalam hati. Belum lagi rencananya dapat
berjalan lancar, ia harus sudah menghadapi keadaan baru.
Sehingga kembali timbul kekacauan di barisannya.
Kesempatan ini pun dipergunakan oleh Mahesa Jenar dan
orang berkapak itu. Dengan deras sekali kapak raksasa itu
terayun, dan tiga buah senjata melesat dari tangan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
pemiliknya, dan sekaligus dua orang tersobek dadanya.
Disamping itu dengan lincahnya pula Mahesa Jenar
mengadakan serangan. Tombaknya mematuk-matuk membingungkan. Dalam serangan ini pun ia berhasil
melukai dua orang sekaligus. Bahkan dalam serangan
berikutnya, pundak Tembini tergores oleh tombaknya
sendiri. Mengalami hal itu, Tembini menjadi marah bukan
buatan. Matanya merah menyala. Tetapi baru saja ia akan
meloncat menerkam lawannya dengan kedua pisau
belatinya, mendadak Wadas Gunung yang tidak pula kalah
marahnya menyaksikan Tembini dilukai, telah mendahuluinya mengadakan serangan yang dahsyat sekali.
Mendapat serangan Wadas Gunung dengan penuh
kekuatan, segera Mahesa Jenar menarik diri, meloncat kecil
kesamping, dan dengan satu putaran mengait senjatasenjata di tangan Wadas Gunung. Tetapi Wadas Gunung
pun cukup siaga. Segera ia menarik kedua tangannya.
Sayang bahwa ia agak terlambat sehingga satu dari
pisaunya tak dapat dipertahankan sehingga jatuh dari
tangannya. Wadas Gunung adalah seorang pemarah yang keras hati.
Bahkan karena marahnya, kadang-kadang ia kehilangan


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perhitungan. Juga pada saat itu. Ia pun menjadi mata
gelap. Dengan sebuah pisau yang masih ada di tangannya,
ia meloncat menyerang Mahesa Jenar sejadi-jadinya.
Serangan ini ternyata sangat menguntungkan Mahesa
Jenar, sebab belati Wadas Gunung lebih pendek dari
tombak berkait yang dipegang oleh Mahesa Jenar. Karena
itu Mahesa Jenar sama sekali tidak menghindar. Hanya
tombaknya yang dijulurkan menanti terkaman Wadas
Gunung. Melihat mata tombak mengarah ke dadanya,
Wadas Gunung terperanjat. Tetapi ia telah terlanjur
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
meloncat keras sekali. Maka segera ditariknya pisaunya
untuk menangkis tombak Mahesa Jenar. Tetapi tangan
Mahesa Jenar adalah tangan yang perkasa, sehingga
pukulan pisau Wadas Gunung, yang tak dapat dilakukan
dengan sepenuh tenaga, karena ia sendiri baru dalam
keadaan meloncat, tidaklah banyak artinya.
Bentrok Rimba Persilatan 16 Memburu Iblis Lanjutan Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Tongkat Rantai Kumala 9

Cari Blog Ini