Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana Bagian 1
https://pelangisingosari.wordpress.com/
PARA KSATRIA PENJAGA MAJAPAHIT
Karya : Ki Arief "Sandilaka" Sujana
Seri ini merupakan seri ke lima karya Ki Arief
"Sandukala" Sujana, dalam rangka meneruskan Serial
Pelangi di Langit Singasari karya Ki SH Mintardja
Seri 1: Sang Fajar Bersinar di Bumi Singasari
Seri 2: Kabut di Bumi Singasari
Seri 3: Tapak-tapak Jejak Gajahmada
Seri 4: Kisah Dua Naga di Pasundan
Seri 5: Para Ksatria Penjaga Majapahit
Bocoran cerita (Sinopsis) dari Pak Dhalangnya:
SINOPSIS Pangeran Jayanagara harus naik tahta mengantikan
ayahnya disaat usianya masih begitu muda. Untungnya
raja muda itu mendapat dukungan dari para sahabat
ayahnya, orang-orang yang dulu pernah berjuang
bersama ayahnya Raden Wijaya membangun Majapahit.
Mereka adalah para ksatria penjaga Majapahit.
Gejolak pemberontakan kadang datang melanda
Raja muda ini, namun kembali para sahabat ayahnya,
para ksatria penjaga Majapahit kembali turun tangan
dengan penuh kesetiaan meredam dan memadamkan
api pemberontakan itu. Namun perjalanan kesetiaan para penjaga Majapahit
itu tertahan disebuah jalan simpang, manakala harus
berhadapan dengan salah seorang diantara mereka
sendiri. Dan Majapahit seperti terbakar oleh perang diantara
2 para ksatria penjaganya. Dalam gejolak peperangan itu, lahirlah seorang
ksatria penjaga Majapahit generasi kedua, dialah
Gajahmada sang ksatria penjaga Majapahit itu.
Gajahmada, sang ksatria tunggal penjaga Majapahit
telah melepaskan segala kepentingan pribadinya untuk
sebuah kesetiaan, juga cintanya.
Dyah Gitarja atau Tribhuwana putri dan Gajahmada
telah bersama memadamkan asmara cinta mereka,
sebuah cinta asmara terlarang. Namun mereka terus
bersama, bersatu dalam sebuah cita-cita mulia, menjaga
Majapahit terus hidup sebagaimana cinta mereka yang
terus hidup abadi sepanjang masa.
Jilid 1 Sentong kiri HARI itu adalah dua hari setelah hari raya manis
Galungan di ujung barat Jawadwipa.
Matahari pagi bersinar begitu cerah, memutihkan
udara langit diatas Sungai Cisadane ketika dua ekor
elang muda melintas jauh ke ujung batas pandang di
bawah lengkung langit biru terang.
Dua orang pemuda menatap air sungai yang hijau
jernih diatas sebuah perahu sampan didayung dua orang
prajurit muda melawan arah arus air menuju hulu Sungai
Cisadane. "Perjalanan panjang menuju arah jalan pulang",
berkata seorang pemuda kepada kawannya diatas
perahu sampan itu. 3 "Pangeran dapat selalu mencari arah jalan pulang,
sementara aku setiap saat selalu mencari ujung
perjalananku yang tidak pernah sampai", berkata
kawannya masih menatap riak air sungai jernih di ujung
kayu dayung seorang prajurit muda.
Siapakah dua orang muda diatas perahu sampan itu
yang tengah didayungi oleh dua orang prajurit muda itu"
Kedua anak muda diatas sampan itu adalah
Pangeran Jayanagara dan Gajahmada yang baru saja
meninggalkan Kotaraja Rakata.
Sudah hampir dua kali Hari Raya Galungan mereka
berada di Istana Rakata. Berat hati Gajahmada harus
meninggalkan Istana Rakata, berpisah dengan kakeknya
Raja Pulau Api dan ayah kandungnya sendiri, Pendeta
Darmayasa. "Aku begitu yakin bahwa di dalam dirimu telah
bersemayam jiwa seekor raja elang perkasa yang akan
menemukan sarangnya di puncak tebing tinggi. Pergilah
wahai elangku, jadilah penguasa samudera menyatukan
nusa dan daratan yang terpisah lautan, lengkingmu akan
terus bergema sepanjang masa", berkata Raja Pulau Api
kepada Gajahmada ketika melepasnya pergi meninggalkan istana Rakata.
"Wahai putraku, bawalah bersamamu segenggam
tanah Rakata ini, agar kamu selalu ingat bahwa disinilah
darah dagingmu berasal, di atas tanah terapung ada dan
kadang menghilang. Janganlah bersedih manakala kamu
tidak melihat lagi Gunung Api Rakata berdiri diatas selat
sunda ini, karena tanah Rakata telah kamu bawa, telah
kamu simpan bersama hati dan kerinduan kami", berkata
Pendeta Darmayasa kepada putranya, Gajahmada.
Ketika melepasnya meninggalkan istana Rakata bersama
4 Pangeran Jayanagara. Sementara itu, perahu sampan yang dinaiki oleh
Gajahmada dan Pangeran Jayanagara terlihat sudah
mendekati dermaga Pangkalan Jati. Sebuah dermaga di
tepian Sungai Cisadane yang biasa di gunakan para
pedagang memulai pelayaran mereka ke berbagai
tempat hingga ke ujung muaranya.
"Terima kasih telah mengantar kami", berkata
Pangeran Jayanagara dan Gajahmada bersamaan
sambil melompat ke atas dermaga kayu kepada dua
orang prajurit muda yang mengantar mereka menyusuri
Sungai Cisadane itu. "Kami akan merindukan tuan-tuan", berkata salah
seorang prajurit muda itu kepada mereka berdua.
Terlihat Gajahmada dan Jayanagara melambaikan
tangannya kepada dua orang prajurit muda itu diatas
sampan perahu mereka yang terus bergerak meluncur
mengikuti air Sungai Cisadane menuju muara.
Mata Gajahmada dan Pangeran Jayanagara masih
tetap memandang perahu sampan dan kedua prajurit itu
sampai tidak terlihat lagi menghilang di ujung sebuah
tikungan sungai yang dirimbuni rumpun bambu
memenuhi tepian Sungai Cisadane.
Matahari merangkak perlahan kearah puncaknya,
namun sinarnya terhalang kerimbunan rumpun bambu
diatas tanah yang menaik curam, terlihat Gajahmada dan
Pangeran Jayanagara berjalan mendaki menjauhi
dermaga Pangkalan Jati itu.
Demikianlah, mereka berdua terlihat berjalan
menyusuri arah hulu Sungai Cisadane lewat jalan darat.
Sungai Cisadane yang luas itu terlihat seperti seekor
5 naga besar tengah merayap di bawah dua buah tebing
perbukitan. Jalan tanah keras yang tengah dilalui oleh
Gajahmada dan Pangeran Jayanagara adalah jalan
tanah keras di sebuah perbukitan menuju hutan Rumpin.
Mereka kadang bertemu bersisipan jalan dengan
beberapa orang pedagang yang berjalan secara
berkelompok. Setelah gerombolan Ki Guntur Geni dan Ki Guntur
Bumi yang telah ditumpas habis, jalan perdagangan dari
pedalaman menuju arah pesisir barat Jawadwipa
nampaknya telah menjadi jalan yang aman. Namun
bukan berarti para perampok sudah tidak ada lagi,
mereka adalah orang-orang pemalas yang melihat
kesempatan. Berbekal ilmu kanuragan dan sedikit
kekebalan mereka menghimpun kawan menjadi para
perampok kambuhan. Namun ada beberapa pedagang
yang pandai mencoba berdamai dengan mereka,
memberikan sebuah upeti agar barang dagangan
mereka aman. Jadilah para perampok ini sebagai rajaraja kecil menguasai beberapa tempat dan daerah di
sepanjang jalan perdagangan itu.
Teduh dan sepi manakala mereka mulai memasuki
daerah hutan Rumpin. Suara kicau burung memenuhi suasana udara hutan
Rumpin ketika kedua anak muda ksatria Majapahit itu
semakin memasuki hutan lebat itu.
"Suara pertempuran", berkata Gajahmada kepada
Pangeran Jayanagara manakala mereka mendengar
suara denting senjata dan teriakan orang-orang yang
tengah bertempur. Ternyata dugaan mereka tidak meleset, kedua anak
6 muda itu telah melihat sebuah pertempuran di hutan
Rumpin itu. "Nampaknya dua kelompok perampok memperebutkan wilayah", berkata Pangeran Jayanagara menilai dua
kelompok yang tengah bertarung itu, melihat sikap kasar
sebagian besar orang-orang yang tengah bertempur itu.
"Aku ingin memberi sedikit pelajaran kepada
mereka", berkata Gajahmada kepada Pangeran
Jayanagara sambil terus melangkah mendekati arah
pertempuran itu. Terlihat Gajahmada perlahan melepas
pendek yang melingkar di pinggangnya.
cambuk Gelegar !!! Gelegar !!! Gelegar !!! Tiga kali Gajahmada menghentakkan
pendeknya dengan sentakan sendal pancing.
cambuk Suara itu benar-benar memekakkan telinga siapapun
yang mendengarnya. Juga semua orang yang tengah
bertempur itu. Suara gelegar cambuk pendek Gajahmada telah
menghentikan pertempuran, orang-orang itu seperti
terkejut dan segera melompat mengambil jarak dengan
lawan masing-masing. Gajahmada melihat sekitar dua puluh orang dari dua
kelompok yang tengah bertempur itu seketika berhenti
bertempur, arah pandang mereka semua tertuju kepada
dirinya. "Kalian telah berbuat onar di wilayah kekuasaanku",
berkata Gajahmada dengan wajah dan suara keren
7 penuh wibawa. "Siapa kamu mengaku-ngaku sebagai penguasa
wilayah hutan ini?", berkata salah seorang diantara
mereka. "Ketika Ki Guntur Geni dan Ki Guntur Bumi masih
hidup, kalian bersembunyi. Ketika kedua orang itu mati,
kalian keluar seperti tikus-tikus pengecut keluar dari
lubang persembunyian", berkata Gajahmada sambil
bertolak pinggang. Mendengar perkataan Gajahmada yang menyebut
nama Ki Guntur Geni dan Ki Guntur Bumi, semua orang
nampaknya membenarkan, dan nama kedua orang itu
memang masih membekas di hati mereka, terutama
kekejamannya yang tidak mengenal ampun.
Namun salah seorang diantara mereka nampaknya
punya kebencian tersendiri, merasa muak dengan nama
Ki Guntur Geni dan Ki Guntur Bumi terdengar
ditelinganya. "Jangan sebut nama itu lagi dihadapanku, atau
mulutmu kusumpal dengan golok ini", berkata salah
seorang diantara mereka maju beberapa langkah
mendekati Gajahmada dengan sikap mengancam.
"Benar Ki Badra, kita habisi satu orang ini, baru kita
selesaikan kembali urusan kita", berkata seorang dari
kelompok lain yang berseberangan dengan kelompok
orang yang dipanggil dengan nama Ki Badra itu.
"Mari mendekatlah, kalian akan tahu bahwa aku lebih
kejam dari pada Ki Guntur Geni dan Ki Guntur Bumi",
berkata Gajahmada dengan sikap menantang.
"Habisi anak muda sombong ini!!", berteriak Ki Badra
sambil menunjuk ke arah Gajahmada.
8 Teriakan Ki Badra itu telah menggerakkan dua puluh
orang melangkah langsung mengepung Gajahmada
dengan golok panjang terangkat keatas, siap
mencincang tubuh Gajahmada.
Namun Gajahmada telah mendahului gerakan mereka.
bergerak lebih dulu Gerakan Gajahmada begitu cepat, mata orang biasa
tidak dapat mengikutinya.
Hanya dengan sekerdipan mata saja, semua orang
yang hendak mencincang Gajahmada beramai-ramai itu
terlihat tercengang merasakan tangan mereka tergetar
panas dan dengan terpaksa melepas golok panjang dari
genggaman tangan mereka, membiarkannya jatuh ke
tanah. Ternyata Gajahmada dengan gerakan yang sangat
begitu cepat telah melecut satu persatu golok di tangan
mereka melambari cambuknya dengan sedikit tenaga
sakti sejatinya. Belum habis rasa terkejut mereka, tiba-tiba saja
Gajahmada telah bergerak dengan sangat cepat sekali
mendekati Ki Badra. Gerakan itu begitu cepat membuat
Ki Badra tidak sempat berbuat apapun, hanya tersadar
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
merasakan lehernya tertarik dengan kuat oleh libatan
cambuk Gajahmada membuat orang itu terseret dengan
tali cambuk yang masih melibat batang lehernya.
Seketika Ki Badra merasakan nafasnya tersengal.
Terlihat tangan kuat Gajahmada sudah berada di
belakang leher Ki Badra yang tidak berani berbuat
apapun, takut dengan sekali hentakan nyawanya lepas
melayang. "Dengar oleh kalian, aku lebih kejam dari Ki Guntur
Geni dan Ki Guntur Bumi. Namun perlu kalian ketahui
9 bahwa kawanku itu bahkan lebih kejam dariku", berkata
Gajahmada dengan suara lantang.
Kaget juga Pangeran Jayanagara bahwa dirinya tibatiba saja dilibatkan, namun Pangeran Jayanagara yang
tidak jauh berdiri dari Gajahmada sudah dapat mengerti
keinginan kawannya itu dengan langsung bersikap
garang layaknya seorang perampok berhati bengis dan
kejam. "Hari ini nyawamu ku ampuni", berkata Gajahmada
sambil mendorong tubuh Ki Badra yang masih terjerat
oleh cambuknya itu. Maka dorongan itu telah membuat tubuh Ki Badra
terjerumus kedepan dan berguling di tanah kotor.
Semua orang yang mengenal Ki Badra sebagai
Jawara nomor satu diantara mereka seperti tidak percaya
dengan apa yang mereka lihat dengan mata kepala
mereka sendiri. Ki Badra di hadapan anak muda itu
seperti sebatang bambu kering yang tidak berdaya.
"Sebarkan kepada siapapun bahwa mulai hari ini
wilayah hutan Rumpin ini adalah milik sepasang rampok
bercambuk Guntur, itulah nama panggilan kami. Dan
kami tidak ingin berbagi dengan siapapun, dengan
perampok manapun. Pergilah kalian, hari ini kami masih
bermurah hati tidak ingin membunuh tikus-tikus seperti
kalian", berkata Gajahmada dengan wajah begitu angker,
layaknya seorang perampok sungguhan yang berhati
kejam biasa membunuh nyawa manusia tanpa berkedip
sedikit pun. Tanpa menunggu apapun, para perampok yang
tengah berebut wilayah kekuasaan itu pun telah bergeser
menjauh pergi dari pandangan dan penglihatan
Gajahmada. 10 "Sepasang rampok bercambuk Guntur, sebuah nama
yang hebat", berkata Pangeran Jayanagara kepada
Gajahmada manakala sudah tidak terlihat siapapun
orang di hutan itu. "Sangat kejam dan angker terdengar, terutama oleh
tikus-tikus sawah", berkata Gajahmada tersenyum.
"Setidaknya telah membuat para perampok gentar
untuk mendatangi wilayah sekitar hutan Rumpin ini",
berkata Pangeran Jayanagara memuji cara Gajahmada
membuat jera para perampok.
"Semoga wilayah hutan Rumpin ini aman untuk
sementara waktu", berkata Gajahmada.
Terlihat mereka berdua telah berjalan kembali,
melanjutkan perjalanan mereka yang tertunda masuk ke
hutan Rumpin lebih kedalam lagi.
Demikianlah, Gajahmada dan Pangeran Jayanagara
terus berjalan keluar masuk hutan, mendaki perbukitan
dan lembah gunung, melewati banyak padukuhan di
beberapa tempat. Orang-orang melihat mereka hanya
sebagai dua anak muda pengembara biasa, tidak ada
yang mengetahui bahwa salah satu dari anak muda itu
adalah seorang putra mahkota Majapahit.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang
itu, akhirnya mereka berdua telah mendekati kaki
Gunung Galunggung. Matahari belum terjatuh rebah di barat bumi
manakala mereka berdua telah berada di Padepokan
Prabu Guru Darmasiksa. Prabu Guru Darmasiksa
menyambut mereka berdua dengan perasaan penuh
suka cita. "Terima kasih telah membawa kembali sarung Kujang
11 Pangeran Muncang", berkata Prabu Guru Darmasiksa
manakala menerima sarung Kujang Pangeran Muncang
dari tangan Gajahmada. Dan mereka pun saling bercerita selama perpisahan
diantara mereka selama itu.
Kepada Prabu Guru Darmasiksa, mereka menyampaikan rencana mereka berdua untuk kembali ke
Majapahit. "Beristirahatlah kalian di sini dua tiga hari, kalian baru
saja tiba dari sebuah perjalanan yang sangat
melelahkan", berkata Prabu Guru Darmasiksa kepada
Gajahmada dan Pangeran Jayanagara.
Demikianlah, mereka berdua mengikuti permintaan
Prabu Guru Darmasiksa untuk beristirahat sekitar dua
hari di Padepokan yang teduh dan asri itu.
Namun dua hari bagi Gajahmada adalah sebuah
waktu yang sangat panjang, selama di padepokan itu
wajah Andini seperti kadang hadir tengah berjalan di atas
halaman muka Padepokan dengan senyumnya.
Terbayang kembali hari-hari dalam kebersamaan mereka
saat menuju Rawa Rontek, juga saat selama mereka
berdua di rumah kediaman Patih Anggara.
"Cinta dan angan-angan ini adalah sebuah penjara
hati, aku harus keluar membebaskan diriku", berkata
Gajahmada dalam hati mencoba meredam perasannya
sendiri. Dan pagi itu langit diatas lereng Gunung Galunggung
begitu pekat berselimut kabut tebal, sebagai sebuah
pertanda bahwa hari itu akan menjadi begitu cerah tanpa
hujan. Terlihat dua orang cantrik tengah menyiapkan dua
12 ekor kuda di depan halaman padepokan Prabu Guru
Darmasiksa. "Kami di Tanah Pasundan ini akan merindukan kalian
berdua", berkata Prabu Guru Darmasiksa mengantar
Gajahmada dan Pangeran Jayanagara yang telah
menuruni anak tangga pendapa Padepokan menuju
halaman mendekati kuda-kuda mereka yang telah
dipersiapkan itu. Langit pagi diatas Padepokan Prabu Guru
Darmasiksa begitu teduh manakala sekumpulan awan
tertiup angin menutupi matahari pagi.
"Kami akan merindukan kalian semua", berkata
Gajahmada dan Pangeran Jayanagara sambil melambaikan tangan mereka berdua kepada para cantrik
dan Prabu Guru Darmasiksa yang mengantar mereka
berdua keluar dari regol pintu gerbang Padepokan.
Prabu Guru Darmasiksa dan para cantrik masih terus
memandang Gajahmada dan Pangeran Jayanagara
diatas kudanya hingga tak terlihat lagi menghilang di
ujung jalan yang menurun.
"Mari kita berpacu", berkata Pangeran Jayanagara
ketika dihadapannya terlihat padang ilalang terhampar
luas di jalan yang menurun.
"Aku akan mengejarmu", berkata Gajahmada
manakala telah melihat Pangeran Jayanagara telah
memacu kudanya mendahuluinya.
Terlihat dua ekor kuda telah terpacu berlari
membelah padang ilalang di bawah langit pagi yang
cerah. Demikianlah, Gajahmada dan Pangeran Jayanagara
seperti dua ekor elang muda yang akan kembali menuju
13 tanah merdeka, tanah Majapahit yang telah lama mereka
tinggalkan selama ini. Sorot dan sinar mata mereka
terlihat begitu jernih dan tajam memandang kedepan
sebagai pertanda kematangan jiwa dan kepercayaan diri
yang tinggi. Dua orang muda yang telah memiliki tataran
kesaktian yang tinggi di jamannya, seusia muda mereka
yang mungkin akan masih terus berkembang lagi.
Setelah menempuh perjalanan sehari semalam,
akhirnya langkah kedua kuda mereka telah membawa
mereka sampai di bandar Muara Jati.
"Selamat bertemu kembali Ki Gedeng Tirta", berkata
Gajahmada kepada seorang tua yang ditemuinya di
sebuah rumah tidak jauh dari bandar Muara Jati.
"Senang bertemu dengan angger berdua", berkata
orang tua itu yang dipanggil sebagai Ki Gedeng Tirta itu
yang masih ingat kepada mereka berdua.
"Ternyata daya ingat Ki Gedeng Tirta masih sangat
tajam", berkata Pangeran Jayanagara kepada Ki Gedeng
Tirta. "Siapa yang lupa dengan cucu buyut junjunganku
sendiri", berkata Ki Gedeng Tirta sambil tersenyum.
Kepada Ki Gedeng Tirta, mereka berdua
menyampaikan rencana mereka untuk kembali ke
Majapahit. "Anger berdua sangat beruntung, perhitunganku nanti
malam akan berlabuh jung Majapahit yang datang dari
Tanah Melayu", berkata Ki Gedeng Tirta kepada mereka
berdua. Demikianlah, mereka berdua beristirahat di rumah Ki
Gedeng Tirta sambil menunggu kedatangan Jung
Majapahit yang datang dari Tanah Melayu.
14 Ternyata perhitungan Ki Gedeng Tirta sebagai
seorang Syahbandar di Muara Jati itu tidak jauh meleset.
Malam itu Jung Majapahit memang telah datang merapat
di Bandar Muara Jati. "Mereka akan membongkar sedikit muatan di sini,
besok malam Jung Majapahit akan melanjutkan
pelayarannya kembali", berkata Ki Gedeng Tirta kepada
Gajahmada dan Pangeran Jayanagara di rumahnya
memberi kabar tentang kedatangan Jung Majapahit itu.
Ketika pagi harinya, Gajahmada dan Pangeran
Jayanagara bersama Ki Gedeng Tirta datang ke Bandar
pelabuhan Muara Jati untuk sekedar melihat-lihat
keadaan di sana. Bukan main gembira hati mereka manakala
mengetahui bahwa Rakyan Argalanang, seorang pejabat
Majapahit yang mengurusi perdagangan Majapahit ada
bersama Jung besar itu. "Pangeran sudah menjadi seorang pemuda", berkata
Rakyan Argalanang kepada Pangeran Jayanagara. "Dan
kamu pasti adalah Mahesa Muksa, putra Patih Mahesa
Amping sahabatku", berkata kembali Rakyan Argalanang
dengan penuh gembiranya dapat bertemu kedua anak
muda itu di Bandar Muara Jati.
Kepada Ki Gedeng Tirta, Rakyan Argalanang
bercerita bahwa dirinyalah yang telah membawa
Pangeran Jayanagara dari Tanah Melayu menemui
ayahnya Baginda Sanggrama Wijaya yang saat itu
tengah berjuang melawan penguasa Kediri.
"Baginda Sanggrama Wijaya telah memintaku untuk
mengantar putranya ini mengungsi ke Balidwipa yang
selanjutnya bersama keluarga istana Singasari kami
mengungsi ke tempat jauh, di Tanah Wangi-wangi",
15 bercerita Rakyan Argalanang mengenang masa-masa
perjuangan mereka dahulu.
"Sebelum Majapahit berdiri seperti sekarang ini,
pastilah kalian orang-orang muda yang punya semangat
dan cita-cita yang hebat", berkata Ki Gedeng Tirta
kepada Rakyan Argalanang.
Demikianlah, ketika hari berganti menjelang malam
terlihat Jung Majapahit telah menjauhi dermaga Bandar
Muara Jati melanjutkan pelayarannya.
Sepanjang malam, Rakyan Argalanang diatas
pelayarannya banyak bercerita kepada Gajahmada dan
Pangeran Jayanagara tentang petualangan dirinya
bersama Baginda Sanggrama Wijaya, Mahesa Amping
dan Ranggalawe di Tanah Melayu dan beberapa tempat
lainnya. Sebuah cerita yang selama ini tidak pernah
mereka dengar. "Petualangan para ksatria Majapahit",
Gajahmada sangat tertarik dengan cerita itu.
berkata Demikianlah, Gajahmada dan Pangeran ikut berlayar
bersama jung Majapahit menyusuri Jawadwipa sebelah
utara yang singgah di beberapa bandar pelabuhan pada
saat itu seperti Bandar Pragota, juga pantai Rembang
dan Tuban. "Mengapa paman tidak menjumpai Adipati Ranggalawe?", berkata Pangeran Jayanagara kepada
Rakyan Argalanang manakala Jung Majapahit tengah
bergeser menjauhi pantai Tuban.
"Pamanmu ini pernah menemuinya ketika Jung
Majapahit ini merapat di Tuban. Namun sahabatku itu
sudah sangat berbeda jauh, menerimaku tidak sebagai
seorang sahabat lagi. Pamanmu tidak tahu apa yang
16 terjadi atas dirinya. Sejak saat itu pamanmu ini tidak lagi
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ada keinginan datang menjumpainya", berkata Rakyan
Argalanang bercerita tentang sikap Ranggalawe
kepadanya. Tidak terasa, Jung Majapahit telah semakin menjauhi
pantai Tuban meluncur membelah laut malam.
Sementara itu hati Gajahmada sudah seperti terbang di
Kotaraja Majapahit. Sebuah tempat yang sudah seperti
begitu lama di tinggalkan, dimana disana ada ibu
kandungnya yang mungkin juga tengah merindukannya.
"Sedang apa gerangan saat ini kamu wahai
ibundaku?", berkata Gajahmada dalam hati sambil
memandang wajah bulan yang terpotong terhalang awan
hitam di malam itu. Sementara itu tujuh tiang kayu penyangga kain layar
kadang berdenyit menahan angin barat yang berhembus
kuat dan penuh mendorong Jung terbesar di jamannya
saat itu terus meluncur membelah ombak laut malam
meninggalkan garis buih putih yang panjang.
Akhirnya, manakala langit malam perlahan berubah
warna kemerahan, Jung Majapahit telah mendekati
Tanah Ujung Galuh. "Turunkan layar!!", terdengar suara teriakan lantang
dari atas anjungan. Terlihat beberapa orang pelaut Majapahit menaiki
tangga tali tiang layar. Nampaknya mereka sudah begitu
terbiasa dan sangat mahir sekali naik dan berjalan
diantara tali temali itu.
"Pamanmu melihat kalian berdua seperti tidak sabar
berharap segera sampai merapat di Bandar Tanah Ujung
Galuh", berkata Rakyan Argalanang kepada kedua anak
17 muda itu yang tengah berdiri di lambung Jung Majapahit.
Mendengar perkataan Rakyan Argalanang, terlihat
kedua anak muda itu saling berpandangan sambil
tersenyum, merasa telik Rakyan Argalanang atas
perasaan mereka berdua tidak meleset jauh.
"Bila melihat kalian berdua, pamanmu jadi teringat
kepada Patih Mahesa Amping dan Baginda Raja
Sanggrama Wijaya", berkata Rakyan Argalanang.
"Apa yang paman lihat dari kami berdua?", bertanya
Gajahmada. "Persahabatan kalian, seperti persahabatan mereka
berdua", berkata Rakyan Argalanang menjawab
pertanyaan Gajahmada kepadanya.
Pagi itu, jung Majapahit telah merapat di Tanah Ujung
Galuh. "Kita berpisah disini", berkata Gajahmada di depan
sebuah barak prajurit. "Salam untuk ibumu", berkata Pangeran Jayanagara
sambil terus melangkah menuju istana yang sudah tidak
begitu jauh lagi. Terlihat Gajahmada telah memasuki barak prajurit itu,
sebuah barak pasukan khusus para prajurit wanita
dimana Nyi Nariratih dipercaya sebagai pimpinan
tertinggi pasukan khusus itu.
"Putraku!!", berkata Nyi Nariratih sambil menghampiri
dan memeluk putranya itu.
Penuh kegembiraan kedua ibu dan anak itu setelah
berpisah cukup lama saling bercerita.
"Jadi kamu telah bertemu muka dengan ayahmu
sendiri?", berkata Nyi Nariratih penuh kegembiraan
18 manakala Gajahmada telah bercerita tentang ayahnya.
"Ayah pula yang telah memercikkan air suci,
mengembalikan nama asliku, Gajahmada", berkata
Gajahmada. Bukan main gembiranya Nyi Nariratih mendengar itu.
"Doaku ternyata dipenuhi oleh Gusti yang Maha
Agung, namamu telah dipuput oleh ayahmu sendiri",
berkata Nyi Nariratih dengan wajah penuh tangis suka
cita mendengar semua cerita putranya selama dalam
pengembaraan di Tanah Pasundan.
Dengan berat hati, Gajahmada bercerita juga tentang
Pendeta Gunakara kepada ibundanya.
"Orang tua itu telah begitu penuh kasih menjadi
pembimbingmu selama ini", berkata Nyi Nariratih
mengenang Pendeta Gunakara sejak Gajahmada masih
dalam pangkuannya. "Pekan lalu, Kakang Putu Risang mu, telah kembali
ke Balidwipa untuk menjadi pemimpin Padepokan
Pamecutan yang dibangun oleh Patih Mahesa Amping
dan Empu Dangka", berkata Nyi Nariratih bercerita
tentang kembalinya Putu Risang ke tanah asalnya di
Balidwipa. "Bila saja Kediri tidak jauh, mungkin aku sudah berlari
hari ini menemui ayah angkatku itu", berkata Gajahmada
kepada ibundanya. "Kediri memang jauh, namun ayah angkatmu itu
sudah tiga hari ini berada di istana Majapahit", berkata
Nyi Nariratih. "Benarkah yang ibunda katakan?", berkata Gajahmada berharap ibundanya tidak tengah bercanda.
19 "Aku tidak bercanda, temuilah segera Tuan Patih
Mahesa Amping di istana", berkata Nyi Nariratih kepada
Gajahmada. "Putramu akan menemuinya", berkata Gajahmada
yang masih rindu kepada ibunya itu berkemas dan pamit
diri untuk menemui Patih Mahesa Amping di istana.
Matahari di atas Kotaraja Majapahit sudah bergeser
dari puncaknya, manakala Gajahmada tengah melangkahkan kakinya memasuki gerbang pintu istana.
"Aku ingin bertemu dengan Patih Mahesa Amping,
dimana aku dapat menemuinya?", bertanya Gajahmada
kepada seorang prajurit penjaga yang juga telah
mengenalnya dengan baik. "Aku akan mengantarmu, sahabat", berkata prajurit
itu kepada Gajahmada. Demikianlah, prajurit itu telah membawa Gajahmada
ke sebuah pura khusus untuk para tamu agung
bermalam di istana Majapahit.
Bukan main gembiranya Patih Mahesa Amping
manakala melihat Gajahmada datang menemuinya.
"Baru tadi pagi, aku mendapatkan tentang
kedatangan kamu dan Pangeran Jayanagara dari Tanah
Pasundan, kupikir baru besok kamu datang menemuiku",
berkata Patih Mahesa Amping kepada Gajahmada.
Dan mereka pun saling bercerita selama banyak
waktu selama mereka saling berpisah.
"Berbahagialah bahwa kamu telah dipertemukan
dengan ayah kandungmu sendiri, dan berbahagialah
kalian, Prabu Guru Darmasiksa telah mewariskan ilmu
adi luhung itu kepada kalian", berkata Patih Mahesa
Amping ketika mendengar cerita Gajahmada tentang
20 pengembaraannya di tanah Pasundan.
"Kapan ayahanda kembali ke Kediri?", bertanya
Gajahmada kepada Patih Mahesa Amping.
Patih Mahesa Amping tidak langsung menjawab.
Sebagai seorang yang telah lama mengenal ayah
angkatnya itu, Gajahmada dapat melihat bahwa Patih
Mahesa Amping nampaknya tengah menghadapi sebuah
masalah besar. Wajah lelaki yang selalu riang itu dilihat
oleh Gajahmada seperti terhalang sebuah kabut yang
mengganggu keceriaan hatinya.
"Apakah putramu boleh mengetahui apa yang tengah
mengganjal hati dan pikiran ayahandaku?", bertanya
Gajahmada kepada ayah angkatnya itu.
"Aku memang tengah mencari seseorang untuk
berbagi, wahai putraku", berkata Patih Mahesa Amping
penuh senyum memandang Gajahmada bukan lagi
sebagai seorang anak kecil, tapi seorang pemuda
dewasa. "Aku putramu, siap mendengarnya ayahandaku", berkata Gajahmada.
wahai "Aku mempercayakan dirimu, wahai putraku", berkata
Patih Mahesa Amping sambil mengeluarkan sebuah
gulungan rontal dari balik pakaiannya. "Rontal ini adalah
surat tangan Ranggalawe kepada Baginda Raja
Sanggrama Wijaya. Untuk inilah aku dipanggil datang di
istana Majapahit ini. Kupercaya dirimu untuk ikut
membacanya, wahai putraku", berkata Patih Mahesa
Amping sambil memberikan gulungan rontal itu kepada
Gajahmada. Terlihat Gajahmada menerima gulungan rontal itu,
membacanya kata demi kata.
21 Isi gulungan rontal yang tengah di baca oleh
Gajahmada isinya adalah seperti ini :
"Kepada Baginda Raja Sanggrama Wijaya, junjungan
dan sahabatku. Masih ingatkah tuan tentang sebuah cerita seekor
anak harimau yang terluka, tersisih dari lingkungannya" Ayahku telah datang menyelamatkan harimau itu,
membesarkannya agar dapat kembali mengenal
padang perburuannya. Ayahku telah datang kepadaku, tidak mempermasalahkan tentang jabatan Patih Amangkubumi di
Majapahit, tidak mempermasalahkan tentang patih di
Daha, ayahku juga tidak meminta separuh kekuasaan
sebagaimana janji yang pernah tuan berikan
kepadanya. Ayahku hanya meminta tuan untuk memberikan
kekuasaan daerah Tuban kepadaku, sedikit dari
separuh kekuasaan Majapahit yang besar ini.
Dari Ranggalawe, putra Arya Wiraraja."
Demikian Gajahmada membaca dalam hati sebuah
rontal yang ternyata dari Ranggalawe untuk Baginda
Raja Sanggrama Wijaya. "Wahai putraku, Baginda Raja telah berbagi hati
tentang surat ini kepadaku. Dan aku telah berbagi hati
kepadamu. Inilah tentang sebuah perasaan hati
kebimbangan manakala lawan kita adalah sahabat
sendiri. Aku, Baginda Raja dan Ranggalawe seperti tiga
jariku ini, begitu dekat", berkata Patih Mahesa Amping
kepada Gajahmada. Terlihat Gajahmada terdiam, teringat akan cerita
22 Rakyan Argalanang ketika mereka merapat di Bandar
pelabuhan Tuban. "Putramu pernah singgah di Bandar pelabuhan
Tuban dalam pelayaran pulang", berkata Gajahmada.
"Tuban adalah sebuah daerah yang kecil, namun
melepas kekuasaan Tuban sama artinya menutup pintu
Majapahit, yang akan dapat mati secara perlahan karena
Tuban ibarat sebuah batang leher dari Majapahit ini.
Itulah yang ada dalam pikiran ayah Ranggalawe, pemikir
ulung, ahli siasat perang yang tidak ada duanya di dunia
ini, Adipati Sunginep, Arya Wiraraja", berkata Patih
Mahesa Amping kepada Gajahmada.
Kembali Gajahmada terlihat terdiam, nampaknya
tengah merenungi arti sebuah persahabatan dan
kekuasaan. "Tuan Jayakatwang selalu berkata kepadaku, tidak
ada pertemanan abadi dalam kancah kekuasaan",
berkata Gajahmada seperti berbicara kepada dirinya
sendiri. "Kamu benar wahai putraku, persahabatan harus di
pisahkan dari kekuasaan", berkata Patih Mahesa Amping
seperti menemukan sebuah jawaban dari perkataan
Gajahmada itu. Tidak terasa matahari diatas istana Majapahit telah
terlihat bergeser mendekati ujung barat cakrawala.
Sementara itu terlihat dua orang prajurit pengawal
berjalan memasuki pura peristirahatan Patih Mahesa
Amping. "Nampaknya Baginda Raja memerlukanku", berkata
Patih Mahesa Amping ketika melihat dua orang prajurit
pengawal itu mendekati pendapa pura. "Datanglah besok
23 pagi menemuiku disini", berkata kembali Patih Mahesa
Amping sambil berdiri. Terlihat Gajahmada ikut berdiri mengantar Patih
Mahesa Amping yang telah menuruni anak tangga pura,
dan melihat lelaki gagah itu telah berjalan diiringi dua
orang prajurit pengawal istana yang akan mengantarnya
menemui Baginda Raja Sanggrama Wijaya.
Gajahmada masih melihat ayah angkatnya itu di
ujung sebuah lorong jalan istana dan menghilang di
sebuah tikungan jalan. "Seorang ksatria penjaga Majapahit yang setia",
berkata Gajahmada dalam hati begitu bangga kepada
ayah angkatnya itu yang begitu setia, menyerahkan
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
segala hati, pikiran dan juga jiwanya bagi kerajaan
Majapahit. Matahari putih, awan putih dan langit putih meneduhi
langkah kaki Gajahmada berjalan di Kotaraja Majapahit
yang sudah terlihat mulai sepi itu, hari telah berada di
ujung senja. Pura pasanggrahan Jayakatwang terletak di sebuah
bukit kecil di Tanah Ujung Galuh, di sanalah langkah kaki
Gajahmada tertuju. "Selamat datang kembali wahai putraku", berkata
Jayakatwang di pura pasanggrahannya menyambut
kedatangan Gajahmada. Setelah menyampaikan keselamatan masing-masing,
mereka berdua saling bercerita beberapa peristiwa
selama perpisahan diantara mereka.
Namun manakala mereka asyik bercerita berbagai
peristiwa, muncul dari ruang dalam Nyimas Turukbali
bersama dua orang gadis mengiringi dibelakangnya.
24 "Ternyata pahlawan hatiku telah kembali pulang",
berkata Nyimas Turukbali menyambut kehadiran
Gajahmada yang sudah dianggap sebagai putranya
sendiri. "Wahai dua orang gadis jelita, mengapa masih berdiri
mematung?", berkata Jayakatwang menggoda dua orang
gadis yang masih berdiri canggung penuh malu.
"Mari duduk bersama kami, bibimu akan memperkenalkan kalian kepada Gajahmada", berkata
Nyimas Turukbali meminta kedua gadis itu duduk
bersama mereka di pendapa pura.
Mendengar perkataan Nyimas Turukbali, Terlihat
kedua gadis itu ikut duduk bersama mereka.
Gajahmada memandang kedua gadis jelita itu yang
juga tengah memandangnya dengan sebuah senyum
tersungging penuh malu dari keduanya.
"Dua gadis manis yang tengah berkembang", berkata
Gajahmada dalam hati "Yang manis selalu tersenyum itu adalah Dyah
Gayatri. Sementara di sebelahnya adalah adiknya
bernama Dyah Wiyat. Mereka berdua adalah
kemenakanku sendiri, putri kandung Baginda Raja
Sanggrama Wijaya," berkata Nyimas Turukbali memperkenalkan kepada Gajahmada. "Ibunya Ratu
Gayatri telah mempercayakan mereka tinggal bersama
kami", berkata kembali Nyimas Turukbali kepada
Gajahmada. "Ketika di istana, aku tidak pernah melihat kalian
berdua", berkata Gajahmada yang merasa heran tidak
pernah melihat kedua gadis manis itu.
"Di istana Majapahit sudah tentu mereka berdua
25 dipingit tidak boleh kemana-mana keluar dari pura
keputrian", berkata Nyimas Turukbali menjelaskan.
Demikianlah, perjumpaan mereka di pura Jayakatwang itu dilanjutkan dengan perjamuan makan
malam. Terlihat Dyah Gayatri dan Dyah Wiyat sudah mulai
tidak canggung lagi berhadapan dengan Gajahmada.
Ternyata aslinya mereka adalah dua gadis yang sangat
periang. Dan malam di pendapa pura Jayakatwang
menjadi penuh canda ceria diantara mereka.
"Aku sudah merasa tidak sepi lagi tinggal di pura ini",
berkata Nyimas Turukbali.
"Aku juga telah mendapat teman berbincang lagi",
berkata pula Jayakatwang.
"Tidak terasa, hari sudah larut malam", berkata
Nyimas Turukbali mengingatkan semuanya untuk segera
beristirahat. Dan malam pun terlihat bergelayut dengan suara sepi
denging malam, dengan suara daun dan batang cabang
pohon yang bergesek ditiup angin, juga debur ombak
malam pantai Tanah Ujung Galuh seperti suara nyanyian
gending mengalun sepanjang malam, mengantar tidur
hati yang telah letih, terlelap dan tertidur di peraduan
mimpi. Hingga akhirnya sang pagi datang memenuhi
janjinya, diawali dengan suara sayup ayam jantan
bersahutan hingga terdengar semakin dekat dan begitu
jelas dari sebuah padukuhan sebelah.
Dan pagi itu Gajahmada telah merasa berada di
rumahnya sendiri, setelah melewati sebuah pengembaraan yang panjang di Tanah Pasundan.
26 "Patih Mahesa Amping telah meminta aku untuk
menemuinya di istana", berkata Gajahmada kepada
Jayakatwang ketika mereka bersama menikmati sarapan
pagi di pendapa pura. "Tingkat ilmu kepandaian Patih Mahesa Amping
sudah begitu tinggi, berbahagialah Majapahit ini
mempunyai seorang Patih seperti dirinya", berkata
Jayakatwang. "Kesetiaan seorang sahabat", berkata Gajahmada.
Akhirnya ketika pagi sudah menjadi terang tanah,
Gajahmada berpamit diri untuk berangkat ke istana
Majapahit bertemu dengan Patih Mahesa Amping.
Ketika Gajahmada tengah memasuki halaman pura
peristirahatan Patih Mahesa Amping, ternyata di pendapa
pura sudah ada tamu lain.
"Senang melihatmu kembali, wahai anak muda",
berkata seorang tua yang tidak lain adalah Ki Sandikala,
sang Patih Mangkubumi adanya yang mempunyai nama
asli sebagai Empu Nambi. "Semoga kedatangan hamba tidak mengganggu
kunjungan tuan Patih Mangkubumi", berkata Gajahmada
penuh hormat kepada orang tua itu yang sudah
dikenalnya dari kecil di tanah pengungsian, di Balidwipa
dan di Tanah Wangi-wangi.
"Justru aku datang untuk menemuimu", berkata Patih
Mangkubumi dengan wajah penuh senyum keramahan
yang selalu menghiasi dirinya.
"Menemui hamba?" balik bertanya Gajahmada.
"Aku akan menjelaskan kepadamu", berkata Patih
Mahesa Amping kepada Gajahmada.
27 Terlihat Gajahmada bergeser duduknya, mencoba
menyimak apa gerangan yang akan disampaikan oleh
dua orang paling dihormati di Majapahit itu.
"Kemarin, kami berdua telah berbincang banyak
dengan Baginda Raja Sanggrama Wijaya", berkata Patih
Mahesa Amping memulai penjelasannya kepada
Gajahmada. "Perbincangan kami menyangkut perihal
daerah Tuban dan Adipati Ranggalawe", berkata kembali
Patih Mahesa Amping melanjutkan.
Terlihat Patih Mahesa Amping diam sejenak,
memberi kesempatan Gajahmada menunggu pembicaran selanjutnya. "Kami bertiga telah sepakat untuk menjadikan daerah
Tuban sebagai sebuah daerah yang memerlukan sebuah
pengawasan khusus", berkata Patih Mahesa Amping
melanjutkan penjelasannya.
Kembali Patih Mahesa Amping terdiam sejenak,
memberikan kesempatan Gajahmada mengerti dengan
jelas apa yang telah disampaikannya itu.
"Untuk selanjutnya, biarlah Patih Mangkubumi
menjelaskan kepadamu", berkata Patih Mahesa Amping
kepada Patih Mangkubumi. "Kami perlu seseorang yang dapat di percaya
mengawasi gerak-gerik daerah Tuban. Dan kami telah
menemukan orang itu. Kamulah Gajahmada yang kami
anggap patut melaksanakan pengawasan khusus itu",
berkata langsung Patih Mangkubumi kepada Gajahmada.
"Hamba siap melaksanakan tugas ini, semoga hamba
tidak mengecewakan kepercayaan yang telah diletakkan
di pundak hamba ini", berkata Gajahmada dengan wajah
penuh semangat. 28 "Namun sebaiknya kamu berangkat setelah upacara
penobatan Pangeran Jayanagara menjadi Raja muda di
Kediri", berkata patih Mahesa Amping kepada
Gajahmada. "Pangeran Jayanagara menjadi Raja Muda
Kediri?", berkata Gajahmada penuh tanda tanya.
di "Sudah lama istana Kediri kosong tanpa seorang pun
mengisi tahta singgasananya", berkata Patih Mahesa
Amping. "Sebagai seorang putra Mahkota Kerajaan Majapahit,
sudah waktunya Pangeran Jayanagara belajar mengendalikan sebuah kerajaan, dimulai dari kerajaan
Kediri", berkata Patih Mangkubumi menambahkan.
"Aku akan selalu berada di sampingnya", berkata
Patih Mahesa Amping sambil tersenyum seakan dapat
membaca arah pikiran Gajahmada tentang Pangeran
Jayanagara. "Pada saatnya kami akan tua dan mati, aku menjadi
yakin bahwa dirimu adalah salah satunya yang akan
menggantikan kami, menjaga kerajaan ini tetap terus
berkibar, bahkan lebih berkembang dan meluas dari
sekarang ini", berkata Patih Mangkubumi kepada
Gajahmada. "Hamba bangga telah mengenal tuan Patih
Mangkubumi, seorang empu yang mempunyai pengikut
besar di Jawadwipa dan Balidwipa ini. Namun tuan telah
melepas semua itu, hanya untuk sebuah kesetiaan.
Sebagaimana ayahandaku, patih Mahesa Amping yang
telah meninggalkan istana Tanah Melayu, juga demi
sebuah kesetiaan. Ijinkan hamba, Gajahmada bersumpah untuk meninggalkan segala kesenangan
sendiri, hanya mengabdi kepada sebuah kesetiaan
29 Kerajaan gula kelapa ini", berkata Gajahmada merasa
terharu melihat dua orang terhormat di hadapannya yang
telah mengorbankan diri dan masa depannya untuk
sebuah kesetiaan. Dan seperti kemarin, terlihat dua orang prajurit
pengawal Raja telah terlihat memasuki halaman pura.
"Masih ada sepekan ini untuk kita saling bertemu,
sebelum upacara penobatan Pangeran Jayanagara",
berkata Patih Mahesa Amping sambil berdiri kepada
Gajahmada. Ternyata kedua prajurit pengawal itu memang
ditugaskan oleh Baginda Raja untuk memanggil kedua
orang kepercayaannya itu, Patih Mahesa Amping dan
Patih Mangkubumi. Gajahmada ikut berdiri mengantar
menuruni anak tangga pendapa pura.
keduanya Dengan pandangan matanya, Gajahmada mengikuti
langkah mereka berdua yang dikawal oleh dua orang
prajurit pengawal yang akhirnya tidak terlihat lagi,
menghilang di sebuah tikungan jalan lorong istana.
"Aku akan ke sanggar istana", berkata Gajahmada
dalam hati. Namun sebelum ke sanggar istana, terlihat
Gajahmada melangkahkan kakinya ke pura kesatrian
untuk menemui Pangeran Jayanagara.
"Selamat atas rencana penobatanmu sebagai Raja
muda di Kediri", berkata Gajahmada kepada Pangeran
Jayanagara yang telah ditemuinya.
"Telingamu begitu tajam, mengetahui segala apapun
di istana ini", berkata Pangeran Jayanagara.
30 "Patih Mahesa Amping yang memberitahukannya
kepadaku", berkata Gajahmada.
Sentong tengah Terlihat kedua anak muda itu telah berjalan menuju
arah sanggar istana. "Apakah Pangeran ada perasaan rindu kepada
Kakang Putu Risang?" berkata Gajahmada ketika
mereka telah memasuki ruang dalam sanggar istana.
"Benar-benar merindukannya", berkata Pangeran
Jayanagara. "Aku juga sangat merindukannya", berkata pula
Gajahmada menyampaikan perasaan hatinya.
"Kakang Putu Risang selalu menemani kita disini",
berkata kembali Pangeran Jayanagara
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sambil memandang kearah tonggak-tonggak dan balok
perintang kayu keseimbangan.
"Dia pula yang mengajari kita menggunakan berbagai
jenis senjata", berkata Gajahmada sambil memandang
ke arah tempat rak senjata dari berbagai jenis.
"Kenangan yang indah", berkata Pangeran Jayanagara sambil berdiri menghadap sebuah tonggak
kayu yang berjajar dari rendah sampai tinggi.
Terlihat Pangeran Jayanagara seperti menarik nafas
dalam-dalam. Ternyata dirinya tengah bersiap diri untuk melakukan
sebuah latihan rintangan dan keseimbangan.
Hup !!! Pangeran Jayanagara telah melompat di sebuah
31 tonggak kayu dan hinggap berdiri hanya dengan sebuah
kaki. Perlahan Pangeran Jayanagara terus melompat dari
satu tonggak kayu ke tonggak kayu lainnya dan berjalan
dengan keseimbangan penuh diatas sebuah titian
bambu. Gerakan Pangeran Jayanagara terlihat begitu lincah
dan cekatan. Akhirnya, Pangeran Jayanagara telah menerapkan
tenaga sejati dirinya, maka gerakannya menjadi terlihat
begitu cepat bahkan hanya terlihat seperti bayangan
yang melesat kesana kemari.
Melihat apa yang dilakukan oleh Pangeran
Jayanagara, ternyata telah membuat Gajahmada tertarik
untuk melakukan yang sama.
Terlihat Gajahmada sudah langsung seperti terbang
hinggap di sebuah tonggak kayu dan langsung melesat
mendekati arah Pangeran Jayanagara seperti tengah
mengejarnya. Maka, di dalam ruang sanggar kedua anak muda itu
seperti tengah bermain, menguji kecepatan gerak
mereka seperti ingin mengatakan, "Lihatlah wahai
kakang Putu Risang, aku sudah bukan anak kecil lagi",
begitulah mereka berdua melepas rasa rindu mereka
kepada guru mereka yang kini sudah sangat jauh di
Balidwipa. Bila saja ada orang yang tidak sengaja masuk ke
sanggar istana itu, pasti akan menyangka ada dua
siluman terbang, karena keduanya sudah terlihat seperti
dua bayangan yang melesat begitu cepat.
Setelah merasa bosan dengan apa yang telah
32 mereka berdua lakukan di sanggar istana itu, melesat
dan hinggap dari satu tonggak kayu ke tonggak lainnya.
Maka mereka pun terlihat telah turun dan berhenti
bersama. "Aku ingin kembali pulang", berkata Gajahmada
kepada Pangeran Jayanagara
"Hari belum mendekati sore, atau karena di Pura
Jayakatwang ada dua bunga yang semerbak mulai
berkembang?", berkata Pangeran Jayanagara mulai
menggoda. "Tidak ada hubungannya dengan dua gadis itu, aku
ingin cepat pulang karena Ki Sabah hari ini sakit, tidak
ada yang menyiapkan kayu bakar untuk perapian",
berkata Gajahmada kepada Jayanagara.
"Bila kamu tidak ingin mendekati mereka, biarlah aku
yang akan mendekatinya", berkata Pangeran Jayanagara. "Pangeran adalah saudara tiri mereka, adat dan
aturan manapun melarangnya", berkata Gajahmada.
"Kamu benar, tapi menurutku mereka memang
sangat cantik rupawan", berkata Pangeran Jayanagara.
"Benar Pangeran, mereka memang cantik rupawan
seperti bunga yang baru mekar", berkata Gajahmada
dengan polos dan jujur. "Nah, apa kataku, kamu ternyata sudah tertarik
kepada mereka", berkata Pangeran Jayanagara kembali
menggoda. "Aku hanya ingin berkata sejujurnya", berkata
Gajahmada sambil tersenyum tidak dapat mengelak lagi
bahwa dirinya memang mengagumi kedua gadis itu,
Dyah Gayatri dan Dyah Wiyat.
33 Demikianlah, Pangeran Jayanagara akhirnya tidak
dapat mencegah keinginan Gajahmada untuk kembali ke
Pura Jayakatwang. Sebagaimana yang dikatakan kepada Pangeran
Jayanagara, hari itu seorang pelayan yang bernama Ki
Sabah memang tengah sakit dan tidak bisa bekerja.
Maka ketika sampai di Pura Jayakatwang, terlihat
Gajahmada sudah langsung ke belakang Pura untuk
menyiapkan kayu untuk perapian.
Ketika Gajahmada tengah bekerja membelah kayu
menjadi lebih kecil, terlihat dua orang gadis tengah
melangkah mendekatinya. "Bolehkah kami ikut membantu?", berkata salah
seorang dari gadis itu yang lebih tua umurnya yang
ternyata adalah Dyah Gayatri.
"Tidak perlu, nanti telapak tanganmu jadi keras
seperti tukang panggul di bandar pelabuhan", berkata
Gajahmada sambil menghentikan kerjanya dan
memandang kedua gadis itu.
"Bukankah ibundamu sendiri adalah seorang
pemimpin prajurit wanita di Kerajaan Majapahit ini?",
berkata Dyah Gayatri kepada Gajahmada.
Mendengar perkataan Dyah Gajatri telah membuat
Gajahmada berpikir untuk membenarkannya.
"Tuan putri benar, ibu hamba memang seorang
prajurit wanita, sudah terbiasa menggunakan berbagai
macam senjata. Tapi bila boleh jujur hamba katakan
bahwa hamba lebih menyukai ibu hamba di rumah
memegang jarum sulam merangkai hiasan diatas jarik",
berkata Gajahmada kepada Dyah Gajatri.
"Wanita tidak lebih dari sebuah hiasan di mata
34 seorang lelaki", berkata Dyah Gajatri sambil mencibirkan
bibir mungilnya menjadi terlihat begitu manis.
Dan tidak sengaja Gajahmada menikmatinya, dan
tidak sengaja berujar, "wanita memang seperti kembang
mekar penghias taman bunga".
"Aku akan membuktikan bahwa wanita tidak hanya
menjadi hiasan di taman bunga istana, tapi wanita dapat
juga menjadi seorang Raja, memerintah kaum lelaki",
berkata Dyah Gajatri dengan penuh semangat.
Terkejut Gajahmada mendengar ucapan Dyah
Gajatri, namun dihadapan dua gadis ini tidak ingin
berseteru panjang, apalagi berbicara tentang perbedaan
antara lelaki dan wanita.
"Di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin, apapun
kehendak yang Maha Agung dapat saja terjadi", berkata
Gajahmada seperti ingin menuntaskan pembicaraan
tentang perbedaan itu. "Jadi, apakah kami sudah dapat membantu
membelah kayu?", berkata Dyah Gajatri sambil
tersenyum. "Tanggung, sudah tinggal sedikit lagi yang belum
dibelah", berkata Gajahmada sambil tertawa.
"Katakan saja bahwa kamu memang tidak ingin kami
membantumu", berkata Dyah Gajatri sambil menggandeng tangan adiknya pergi melangkah.
Terlihat Gajahmada mencoba mencuri pandang
langkah kaki mereka. Diam-diam menilai sikap gadis
yang bernama Dyah Gajatri sebagai seorang wanita yang
sangat tegas, tidak canggung untuk menyampaikan
sebuah pendapatnya, meski usianya terhitung masih
begitu belia. 35 "Gadis itu nampaknya telah mewarisi sifat
kepemimpinan ayahnya, Baginda Raja Sanggrama
Wijaya", berkata Gajahmada dalam hati.
Dan ketika wajah senja mulai redup berganti malam,
Gajahmada melihat suasana di pringgitan menjadi lebih
hangat dengan kehadiran kedua gadis itu.
Waktu itu, Gajahmada dan Jayakatwang tengah
berbincang-bincang di pendapa, Nyimas Turukbali, Dyah
Gajatri dan Dyah Wiyat datang ikut bergabung di
pendapa pura. "Apakah harus bibimu yang mengatakannya kepada
Gajahmada?", berkata Nyimas Turukbali sambil
memandang kearah dua anak gadis itu.
Terlihat kedua gadis itu mengangguk penuh malu
kepada Nyimas Turukbali. Sementara itu, Gajahmada dan Jayakatwang terlihat
mengerutkan keningnya sebagai tanda tidak mengerti
ada keperluan apakah dari mereka bertiga.
"Gajahmada", berkata Nyimas Turukbali kepada
Gajahmada sambil tersenyum dan diam sebentar sambil
menoleh kearah dua gadis itu, semakin membuat hati
Gajahmada semakin bertanya-tanya.
"Dengarlah", berkata kembali Nyimas Turukbali
kepada Gajahmada. "kedua keponakanku ini meminta
dirimu untuk membimbingnya dalam berlatih olah
kanuragan", berkata Nyimas Turukbali kepada Gajahmada. Gajahmada tidak langsung menjawab, terlihat
tersenyum memandang kearah Dyah Gajatri dan Dyah
Wiyat. Gajahmada melihat kedua gadis itu seperti penuh
harap menunggu jawaban darinya.
36 "Hamba bersedia menjadi pembimbing mereka",
berkata Gajahmada kepada Nyimas Turukbali sambil
tersenyum. Mendengar kesediaan dari Gajahmada, terlihat kedua
gadis itu seperti tengah menarik nafas lega.
"Bergembiralah wahai Gajahmada, ada dua orang
putri Raja meminta bimbingan darimu", berkata
Jayakatwang menggoda. "Namun salah satu dari mereka
nampaknya masih meragukan, apakah dirimu dapat
menjadi seorang pembimbing yang layak, bukankah
begitu Gajatri?", berkata kembali Jayakatwang sambil
memandang kearah Dyah Gajatri.
Mendengar perkataan Jayakatwang ditujukan langsung kepada dirinya, telah membuat Dyah Gajatri
tersenyum, pikirnya bahwa pamannya ini sudah dapat
membaca jalan pikirannya.
"Bukan maksudku meragukan kakang Gajahmada,
tapi aku hanya ingin meyakinkan saja", berkata Dyah
Gajatri kepada Jayakatwang.
"Kamu dengar sendiri, wahai anak muda", sang putri
meragukan dirimu", berkata Jayakatwang sambil tertawa
kepada Gajahmada. "Tunggu apa lagi, lekas kalian berdua turun ke
halaman", berkata kembali Jayakatwang sambil menepuk
bahu Gajahmada. "Ternyata untuk menjadi seorang pembimbing putri
Raja, harus melewati sebuah ujian", berkata Gajahmada
sambil berdiri tersenyum.
Terlihat Gajahmada telah melangkahkan kakinya
menuruni anak tangga pendapa diikuti oleh Dyah Gajatri.
Jayakatwang, Nyimas Turukbali dan Dyah Wiyat
37 telah melihat Gajahmada dan Dyah Gajatri sudah saling
berhadapan di halaman depan pendapa.
"Hamba sudah siap tuan putri", berkata Gajahmada
kepada Dyah Gajatri. Mendengar perkataan Gajahmada, terlihat Dyah
Gajatri telah bersiap diri untuk memulai sebuah serangan
pertamanya. Demikianlah, sejak malam itu hampir di setiap awal
senja terlihat Gajahmada tengah membimbing dua putri
Majapahit, Dyah Gajatri dan Dyah Wiyat.
Dan hubungan mereka bertiga akhirnya sudah
menjadi begitu dekat, kadang mereka terlihat tengah
berjalan bersama di jalan Kotaraja Majapahit.
Gajahmada masih juga menyempatkan diri bertemu
dengan ibunya, pemimpin tertinggi pasukan prajurit
wanita. Gajahmada juga masih sering datang ke istana
menemui Pangeran Jayanagara.
Namun ada satu hal yang membuat Gajahmada
merasa sangat penasaran sekali, bahwa dirinya tidak
pernah sekalipun bertemu dengan Ratu Gayatri, ibu
kandung dari Dyah Gajatri dan Dyah Wiyat.
Diam-diam Gajahmada mulai mencari tahu ada apa
dengan Ratu Gayatri itu, putri bungsu Raja Singasari
terakhir, Raja Kertanegara.
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Berkat kedekatannya dengan beberapa abdi dalem
istana Majapahit, akhirnya Gajahmada telah mengetahui
sebuah rahasia yang tidak banyak orang umum
mengetahuinya, hanya beberapa orang terdekat dari
Ratu Gayatri sendiri. Ternyata Ratu Gayatri telah mengasingkan diri
menjadi seorang Bhiksuni. Sementara dimana beliau
38 mengungsi, tidak seorang pun dapat mengetahuinya.
Yang diketahui oleh Gajahmada bahwa beberapa prajurit
dan abdi dalem istana telah berangkat bersamanya.
Apa yang terjadi pada diri putri bungsu Raja terakhir
Singasari itu" Semula orang menganggap bahwa pengasingan diri
Ratu Gayatri adalah akibat kekecewaannya kepada
Baginda Raja Sanggrama Wijaya yang telah memilih
Dara Petak sebagai seorang permaisuri raja. Namun
dugaan orang itu ternyata meleset jauh. Ratu Gayatri
mengungsi dan mengasingkan diri bukan karena
kekecewaannya tidak terpilih menjadi permaisuri raja,
tapi jauh sebelum itu dirinya telah menemukan sebuah
ajaran suci kebenaran, sebuah ajaran suci yang
mengajarkan bahwa setiap insani berhak mencapai
nirwana. Sebuah ajaran suci baru yang mengajarkan
bahwa tingkat tertinggi dalam mencapai makna hakikat
ajaran suci bukan hanya milik seorang Brahmana.
Sebuah ajaran suci baru yang mulai meresap perlahanlahan di lingkungan istana.
Semakin Ratu Gayatri menekuninya, semakin dirinya
menemukan hakikat hidup sebenarnya. Maka akhirnya
tekadnya telah bulat untuk menjauhi maraknya dunia,
menjauhi segala keinginan nafsu duniawi dengan pergi
jauh mengasingkan diri menjadi seorang Bhiksuni.
Sebelum berangkat mengasingkan diri, Ratu Gayatri
telah menitipkan kedua putrinya kepada Nyimas
Turukbali yang masih saudaranya sendiri, sama-sama
putri Raja Singasari. Ratu Gayatri berharap Nyimas
Turukbali dapat membimbing kedua putrinya itu
Demikianlah, setelah mengetahui hal ikhwal keadaan
Ratu Gayatri itu, telah membuat Gajahmada lebih sayang
39 lagi kepada Dyah Gajatri dan adiknya itu. Gajahmada
telah berniat mengangkat kedua putri itu menjadi seorang
yang berilmu tinggi, seorang yang mumpuni meski
lahiriah mereka seorang wanita.
Pagi itu kabut baru saja terkuak ditembusi sang fajar
yang baru terbangun, namun titik embun seperti mutiara
masih menjuntai di ujung pucuk daun muda. Gerumbul
hijau pepohonan seperti baru muncul setelah sepanjang
malam terhalang kegelapan.
"Hari ini hamba minta ijin untuk membawa Dyah
Gajatri dan Dyah Wiyat ke perbukitan terdekat untuk
melatih ketahanan mereka", berkata Gajahmada di pagi
itu kepada Jayakatwang di pendapa pura.
"Aku percaya mereka berada dalam pengawasanmu",
berkata Jayakatwang memberikan ijin kepada Gajahmada. Demikianlah, pagi itu terlihat Gajahmada bersama
Dyah Gajatri dan adiknya tengah berjalan keluar dari
halaman pura Jayakatwang.
Seperti yang dikatakan kepada Jayakatwang,
nampaknya Gajahmada telah membawa kedua gadis itu
menuju sebuah perbukitan yang tidak begitu jauh dari
Kotaraja Majapahit. Terlihat wajah Dyah Gajatri dan Dyah Wiyat
memerah, keringat telah membasahi wajah dan tubuh
mereka ketika langkah kaki mereka bertiga telah
mendekati sebuah puncak perbukitan.
"Puncak bukit yang indah", berkata Dyah Wiyat
terlihat penuh gembira ketika telah berada diatas puncak
bukit menatap alam sekitarnya yang nampak hijau.
"Beristirahatlah sejenak, setelah itu kalian dapat
40 berlatih tanding disini", berkata Gajahmada kepada
kedua gadis itu. Puncak bukit itu hanya sebuah bulakan kecil yang
dikelilingi oleh hutan belukar, dari atas puncak itu
Kotaraja Majapahit dapat terlihat.
Namun mereka bertiga sama sekali tidak menyadari
bahwa ada sepasang mata tengah memperhatikan
mereka yang terhalang sebuah gerumbul semak belukar.
Ternyata pemilik sepasang mata itu adalah seorang
wanita. Mungkin siapapun yang kebetulan melihat wanita itu
pasti akan tertegun terpesona menganggap bahwa
seorang bidadari telah jatuh ke bumi. Karena tubuh dan
paras wajah wanita itu begitu sempurna, layaknya
sebuah lukisan bidadari yang biasa terukir menghias batu
candi. "Pantas, selama ini dia tidak pernah memikirkan
diriku", berkata wanita itu dalam hati.
Sekilas pemilik wajah rupawan itu terlihat seperti
menarik nafas panjang, menahan rasa sedih yang
menghimpit. Terlihat mata yang indah itu sudah mulai berkacakaca.
Akhirnya tanpa disadari telah mengalir dua tiga tetes
air mata jatuh melewati kulit wajahnya yang kuning
langsat itu. Dan tiba-tiba saja wanita itu telah berdiri dan berbalik
badan. Terlihat telah menghentakkan kakinya dan berlari
jauh menuruni bukit itu. 41 Wanita itu masih terus berlari sambil menangis.
Nampaknya ketahanan wanita itu begitu kuat, setelah
sekian lama berlalu tidak terlihat kelelahan sedikitpun.
Sementara di wajahnya masih terlihat air mata yang tiada
henti membasahinya. Akhirnya daya tahan tubuhnya semakin melemah,
terlihat langkah kakinya tidak berlari lagi, namun masih
tetap melangkah meski dengan tubuh yang sedikit
goyah. Sementara itu isak tangisnya masih juga belum
reda. Hari ke hari wanita itu masih terus berjalan tanpa
arah, rambut dan pakaian wanita itu terlihat kusam dan
kotor, mungkin sudah beberapa kali terjatuh tersangkut
akar di hutan atau tersandung batu dan terjatuh di tanah
kotor. Hingga akhirnya, di sebuah tempat terlihat wanita itu
berjalan dengan sedikit limbung, mungkin sudah
beberapa hari tidak memikirkan kebutuhan tubuhnya
untuk makan dan minum. Di sebuah tanah sepi, tubuh wanita itu terlihat jatuh
terkulai lemas tak sadarkan diri.
Lama tubuh wanita itu tergeletak di tanah sepi belum
juga sadarkan diri. Beruntung, dua orang wanita terlihat tengah berjalan
di tanah sepi itu dan melihatnya.
"Nyi Ajeng Nglirip, wanita ini masih hidup", berkata
seorang wanita kepada seseorang didekatnya yang
dipanggil dengan sebutan Nyi Ajeng Nglirip.
Terlihat wanita yang dipanggil Nyi Ajeng Nglirip itu
telah berjongkok memeriksa lebih teliti lagi.
42 "Benar, wanita ini masih hidup", berkata Nyi Ajeng
Nglirip kepada wanita didekatnya
"Apakah kamu membawa madu?", berkata Nyi Ajeng
Nglirip kepada wanita didekatnya.
Wanita di dekatnya itu tidak menjawab, tapi sudah
langsung mengeluarkan sebuah bubu bambu dari balik
pakaiannya dan memberikannya kepada Nyi Ajeng
Nglirip. Perlahan Nyi Ajeng Nglirip meneteskan cairan hitam
dari dalam bubu itu di bibir wanita itu yang dengan
tangan lain telah merenggangkan bibir wanita yang
masih tak sadarkan diri itu.
"Bawalah ke tempat teduh", berkata Nyi Ajeng Nglirip
kepada wanita didekatnya itu yang nampaknya adalah
seorang pelayannya. Terlihat Nyi Ajeng Nglirip dan pelayannya menunggui
wanita yang belum siuman itu yang telah diletakkan
dibawah sebuah pohon yang cukup rindang.
"Lihatlah, wanita ini sudah mulai bergerak", berbisik
Nyi Ajeng Nglirip kepada pelayannya.
Nyi Ajeng Nglirip dan pelayannya itu memang tengah
melihat bahwa wanita itu sudah mulai bergerak, kelopak
matanya perlahan terbuka.
"Dimanakah aku?", berkata wanita
memandang berkeliling dengan matanya.
itu sambil "Kamu ada di tempat aman bersamaku", berkata Nyi
Ajeng Nglirip merasa kasihan dengan wanita itu.
"Siapa kamu?", berkata wanita itu sambil
memandang dengan tajam ke arah Nyi Ajeng Nglirip.
"Orang-orang di sekitarku memanggilku dengan
43 panggilan Nyi Ajeng Nglirip", berkata Nyi Ajeng Nglirip
kepada wanita itu. "Apa yang terjadi atasmu, wahai
anakku", berkata kembali Nyi Ajeng Nglirip kepada
wanita itu penuh dengan kelembutan hati.
Namun pertanyaan Nyi Ajeng Nglirip itu telah
membuat wanita itu seperti tengah menerawang, teringat
kembali apa yang telah dilihatnya dengan mata
kepalanya sendiri bahwa Gajahmada tengah bersama
dengan dua orang gadis di puncak bukit tidak jauh dari
Kotaraja Majapahit. Kembali wanita itu merasakan hatinya seperti teririsiris sembilu, begitu pedih.
Dan kelembutan hati Nyi Ajeng Nglirip di dekatnya itu
seperti melihat ibundanya sendiri. Maka tanpa disadari
wanita itu telah memeluk Nyi Ajeng Nglirip begitu erat
sambil menangis tersedu-sedu.
"Menangislah wahai anakku, tumpahkanlah seluruh
perasaan hatimu", berkata Nyi Ajeng Nglirip sambil
membelai rambut wanita itu.
Benar apa yang dikatakan oleh Nyi Ajeng Nglirip,
wanita itu merasa dadanya menjadi sedikit lega setelah
memuaskan dirinya dalam tangis.
Tangis wanita itu sudah mulai reda, namun masih
didalam pelukan Nyi Ajeng Nglirip.
"Tengok dan tiliklah wajah Gusti Yang Maha Agung di
relung hatimu yang terdalam, pandang dan tataplah,
kamu akan melihat kekuasaanNya, kamu akan melihat
kebesaranNya, kemurahanNya yang tak terbatas",
berkata Nyi Ajeng Nglirip dengan suara begitu lembut
seperti menembus hati dan perasaan wanita itu. "Masuk
dan berlindunglah kamu bersama_Nya. Dialah sumber
44 lautan kasih, Dialah samudra tempat semua tertuju,
wahai anakku", berkata kembali Nyi Ajeng Nglirip.
Nampaknya wanita itu telah mengikuti semua
perkataan Nyi Ajeng Nglirip, merasakan wajah Gusti
Yang Maha Agung dalam cermin hatinya.
"Tetap dan jagalah dirimu dalam wajahNya", berkata
Nyi Ajeng Nglirip melihat wanita itu seperti telah
menemukan dirinya sendiri. "Dia tidak akan pernah
berpaling darimu, di saat semua manusia berpaling
darimu, Dia tidak akan pernah memusuhimu, di saat
semua manusia memusuhimu. Berjalanlah kamu
kepadaNya, maka dia akan mendekatimu dengan berlari.
Rasakan bahwa sesungguhnya Dia lebih dekat dari
batang lehermu", berkata kembali Nyi Ajeng Nglirip
dengan suara penuh kasih sayang dan kelembutan
seorang ibu kepada anaknya.
Terlihat wanita itu perlahan melepas pelukannya dan
memandang ke arah Nyi Ajeng Nglirip.
"Bawalah aku bersamamu, agar aku dapat tetap
bertahan dari jeratan kepedihan luka ini. Bawalah aku
bersamamu, agar aku dapat tetap dalam penyinaran
cahaya kasih abadi", berkata wanita itu sambil
memegang erat kedua tangan Nyi Ajeng Nglirip.
"Siapa namamu, wahai anakku?", bertanya Nyi Ajeng
Nglirip "Andini", berkata wanita itu menyebut namanya.
"Nama yang bagus", berkata Nyi Ajeng Nglirip, meski
di kepalanya begitu banyak yang ingin ditanyakannya
tapi hanya sampai di ujung lidahnya, takut
pertanyaannya akan membuka kembali luka di hati gadis
itu. 45 "Mari ikut bersamaku", berkata Nyi Ajeng Nglirip
sambil memegang tangan Andini membantunya berdiri.
Matahari di atas tanah sepi itu terlihat telah bergeser
jauh dari puncaknya, sinarnya tidak lagi menyengat.
Terlihat Andini telah berjalan bersama Nyi Ajeng
Nglirip dan pelayannya. Sementara itu di waktu yang sama, di istana
Majapahit baru saja berlangsung wisuda penobatan
Pangeran Jayanagara menjadi Raja Muda di Kediri.
Sudah hampir dapat dipastikan bahwa upacara
penobatan Putra Mahkota Majapahit itu sangatlah
meriah. Semua tokoh-tokoh besar agama dan
padepokan besar di Majapahit telah diundang untuk
datang menghadirinya, termasuk para perwakilan
kerajaan yang berada dibawah kedaulatan Majapahit
Raya dan para Adipati. Namun dari semua yang hadir,
hanya perwakilan dari Tuban yang tidak nampak satu
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pun. "Apabila Adipati Ranggalawe tidak dapat hadir,
tentunya dapat saja mewakilkan seorang utusannya",
berkata salah seorang pejabat istana menanggapi
ketidak hadiran Adipati Ranggalawe.
Itulah sebabnya, setelah upacara wisuda itu berakhir,
Baginda Raja Sanggrama Wijaya meminta Patih Mahesa
Amping bersama Patih Mangkubumi datang ke tempat
peristirahatannya. "Nampaknya Adipati Ranggalawe mulai menunjukkan
giginya", berkata Baginda Raja kepada Patih Mahesa
Amping dan Patih Mangkubumi manakala mereka berdua
telah hadir di tempatnya.
"Dalam waktu yang dekat ini, kami telah menugaskan
46 seseorang untuk melakukan pengawasan khusus di
lingkungan Tuban", berkata Patih Mangkubumi.
"Siapa orangnya yang
bertanya Baginda Raja. mendapat tugas itu?", "Gajahmada, putra angkat Patih Mahesa Amping",
berkata Patih Mangkubumi.
"Rencananya besok putraku Gajahmada berangkat
ke Tuban, bersamaan dengan keberangkatan kami
mengantar Raja Muda Jayanagara ke Kediri", berkata
Patih Mahesa membenarkan perkataan Patih Mangkubumi. Terlihat Baginda Raja Sanggrama Wijaya terdiam
memandang kedua sahabatnya yang sangat dipercaya
itu yang juga sangat teliti dan seksama menanggapi
setiap permasalahan yang ada.
"Satu dari sahabat kita, Adipati Ranggalawe telah
memisahkan diri dari persaudaraan kita", berkata
Baginda Raja sambil memandang kosong ke depan.
Nampaknya tengah merenungi sebuah perjalanan
panjang ke belakang, perjalanan perjuangan merebut
kembali tahta singgasana dalam suka dan duka bersama
para sahabat setia, diantaranya Adipati Ranggalawe.
"Kita bukan hanya berhadapan dengan Adipati
Ranggalawe, di belakangnya berdiri Adipati Arya
Wiraraja", berkata Patih Mangkubumi memecah lamunan
Baginda Raja. "Ayah Adipati Ranggalawe adalah seorang yang
sangat mumpuni dalam hal bersiasat, seorang
kepercayaan Pahlawan Mahesa Agni di jaman Singasari
di waktu kejayaannya", berkata Patih Mahesa Amping
menambahkan. 47 "Peperangan harus kita bayar dengan harga yang
sangat mahal, hilangnya banyak nyawa, penderitaan dan
rasa ketakutan di akhir setiap sebuah peperangan. Juga
akan melemahkan kerajaan Majapahit yang tengah
berkembang ini", berkata Baginda Raja.
"Kita berusaha untuk menghindarinya, namun kita
dengan sangat terpaksa membunyikan genderang
peperangan bila ada orang yang dengan sengaja ingin
merusak dan mengancam kedaulatan Kerajaan
Majapahit ini", berkata Patih Mangkubumi dengan penuh
semangat. "Meski orang itu adalah saudara kita sendiri?",
berkata Baginda Raja. "Benar tuanku, meski orang itu adalah saudara kita
sendiri", berkata Patih Mangkubumi penuh dengan
ketegasan. "Aku percaya dengan kalian berdua, selama kalian
berdua masih menganggap aku sebagai saudaramu.
Kuserahkan segala urusan Adipati Ranggalawe kepada
kalian berdua", berkata Baginda Raja Sanggrama Wijaya.
Masih banyak lagi yang mereka bertiga rundingkan
hingga hari terlihat sudah menjadi larut malam. Akhirnya
Raja Sanggrama Wijaya memberi perkenan Patih
Mahesa Amping dan Patih Mangkubumi meninggalkannya. "Kutitipkan putraku, Raja muda Jayanagara
kepadamu, wahai saudaraku", berkata Raja Sanggrama
Wijaya kepada Patih Mahesa Amping.
"Aku akan menjaganya sebagaimana aku menjaga
keluargaku, wahai saudaraku", berkata pula Patih
Mahesa Amping sambil tersenyum.
48 Demikianlah, ketiga sahabat itu berpisah. Meski
hubungan mereka diluar adalah sebagai seorang Raja
dengan bawahannya. Namun ketika bertemu diluar
pandangan orang lain, mereka tidak lagi membatasi diri,
tanpa penghormatan dan unggah-unggah apapun,
mereka berbicara seperti setara sebagaimana dua
sahabat bicara, dua saudara berbicara.
Pagi itu langit terlihat begitu cerah mewarnai udara
bumi Kotaraja Majapahit manakala sebuah rombongan
pasukan berkuda telah mendekati batas gerbang pintu
Kotaraja Majapahit. Rombongan pasukan berkuda itu adalah para prajurit
Majapahit yang akan mengantar Raja Muda Jayanagara
menuju Kotaraja Kediri. Tidak lama berselang, terlihat seorang pemuda
berpakaian seperti seorang pengembara tengah
melangkah berjalan kaki keluar dari gerbang batas
Kotaraja Majapahit. Ternyata pemuda pengembara itu
adalah Gajahmada yang akan melaksanakan tugasnya
sebagai telik sandi, mengamati keadaan daerah Tuban
dan sekitarnya. Ketika menemui sebuah jalan simpang, terlihat
Gajahmada telah mengambil arah jalan ke utara. Sebuah
jalan yang biasa digunakan oleh para pedagang lewat
jalan darat menuju kearah Tuban dan daerah pesisir
pantai utara lainnya. Meski berpakaian selayaknya seorang pengembara,
namun Gajahmada bukan pengembara biasa. Dengan
kemampuannya yang tinggi, di beberapa tempat yang
sepi telah menerapkan kesaktian sejatinya berlari seperti
terbang melesat bahkan kadang dengan mudahnya
mendaki tebing-tebing tinggi.
49 Meski begitu, Gajahmada masih tetap memenuhi
kebutuhan jasmani sebagaimana manusia biasa.
Sementara menjelang tidur di waktu malam Gajahmada
masih tetap melaksanakan olah laku rahasia pusaka
sang pertapa dari Gunung Wilis yang tenyata adalah
ayah kandungnya sendiri, sang pendeta Darmayasa.
Disaat selesai olah laku rahasianya, Gajahmada
merasakan kebugaran kembali, merasakan hawa
murninya telah berlipat-lipat ganda.
Maka tidaklah heran bila Gajahmada dapat berlari
seperti tidak menjejakkan kakinya di tanah, ilmu
meringankan tubuhnya sudah dapat dikatakan nyaris
begitu sempurna. Akhirnya di sebuah pagi, terlihat Gajahmada tengah
memasuki sebuah Padukuhan kecil. Dan kebetulan
sekali hari itu adalah hari pasar. Terlihat Gajahmada
sudah berada di pasar padukuhan itu dan tengah
mencari sebuah kedai. Seorang pemilik kedai menjelaskan arah untuk
menuju Tuban dari padukuhan itu.
"Jarak perjalanan ke Tuban hanya perlu satu hari
semalam perjalanan", berkata pemilik kedai itu sambil
memberikan beberapa petunjuk arah. "Hanya ketika akan
memasuki hutan Jatirogo, ki sanak perlu hati-hati",
berkata kembali pemilik kedai itu.
"Apakah di hutan Jatirogo itu banyak penyamun?",
bertanya Gajahmada kepada orang tua itu.
Terlihat orang tua itu menggelengkan kepalanya.
"Bukan banyak penyamun, tapi sebuah kawasan
yang cukup angker, orang-orang tua kami sering
mengatakan bahwa di dalam hutan itu ada sebuah istana
50 siluman", berkata pemilik kedai itu.
Mendengar cerita itu, terlihat Gajahmada tersenyum.
"Terima kasih untuk penjelasannya, semoga aku
dapat bertemu dengan salah seorang putri dari istana
siluman itu", berkata Gajahmada sambil tersenyum
kepada pemilik kedai itu ketika akan berpamit diri untuk
melanjutkan kembali perjalannya ke Tuban.
Terlihat orang tua pemilik kedai itu menarik nafas
panjang sambil memandang punggung tubuh Gajahmada yang semakin menjauh.
"Pengembara muda yang berani", berkata pemilik
kedai itu merasa heran kepada Gajahmada yang tidak
gentar mendengar ceritanya tentang hutan Jatirogo yang
angker itu. Matahari saat itu telah berada diatas puncak
cakrawala ketika langkah Gajahmada mendekati sebuah
hutan yang terlihat begitu rapat dan pepat.
"Hutan Jatirogo", berkata Gajahmada dalam hati
mengingat kembali cerita dari pemilik kedai yang
dijumpainya tadi pagi. Dan tanpa rasa gentar sedikit pun Gajahmada telah
memasuki kawasan hutan itu, sebuah hutan yang
dipenuhi pohon kayu yang telah berumur ratusan tahun,
dengan pokok batang begitu besar tinggi menjulang serta
dahan yang bercabang rimbun dipenuhi jamur dan
tanaman merambat. Dan semakin masuk lebih kedalam
lagi, pepohonan dan belukar semakin rapat.
Hingga akhirnya Gajahmada menemukan sebuah
bulakan cukup luas yang dipenuhi reruntuhan batu-batu
sudah berlumut, nampaknya bekas sebuah bangunan.
"Istana siluman", berkata Gajahmada dalam hati
51 mengingat kembali cerita pemilik kedai.
Namun langkah Gajahmada tertunda manakala di
ujung sana terlihat beberapa orang nampaknya baru saja
ingin memasuki kawasan di sekitar reruntuhan itu.
"Siapakah mereka?", berkata Gajahmada dalam hati
sambil segera menyelinap bersembunyi di kerimbunan
semak belukar. Dari tempat persembunyiannya, Gajahmada telah
melihat ada sekitar seratus orang lelaki telah memenuhi
tempat itu. Dan Gajahmada mencoba memasang telinga untuk
mencuri dengar pembicaraan mereka.
Akhirnya pendengarannya yang sangat tajam telah
menangkap sebuah pembicaraan.
"Mereka para prajurit dari daerah Sunginep?",
berkata Gajahmada dalam hati ketika telah menangkap
beberapa pembicaraan dengan logat bahasa asal yang
sudah dikenalnya. Lama Gajahmada menyimak pembicaraan mereka
sampai akhirnya Gajahmada dapat mengetahui bahwa
akan datang para prajurit lagi dari Sunginep dalam
jumlah lebih besar lagi mengisi kawasan sekitar hutan
Jatirogo. "Kedatangan mereka berkaitan dengan sikap Adipati
Tuban?", berkata Gajahmada dalam hati.
Akhirnya, setelah merasa cukup mencuri dengar para
prajurit Sunginep itu, Gajahmada terlihat telah
menyelinap berjalan memutar.
"Aku harus melihat suasana kademangan di sekitar
Tuban, agar aku mendapat gambaran yang jelas apakah
52 benar bahwa Adipati Ranggalawe bermaksud memisahkan diri dari kedaulatan Majapahit Raya",
berkata Gajahmada ketika telah keluar dari hutan
Jatirogo. Sementara itu hari terlihat sudah mulai gelap,
langkah Gajahmada telah semakin menjauhi hutan
Jatirogo. Dan Gajahmada telah berjalan di sebuah jalan
perbukitan di bawah malam. Terlihat kumpulan pelita
malam dari rumah-rumah penduduk terpisah bertebaran
di bawah perbukitan sebagai pertanda bahwa di bawah
sana ada sebuah padukuhan.
"Pemilik kedai itu mengatakan bahwa setelah
melewati hutan Jatirogo, aku telah berada di wilayah
Kademangan Singgahan", berkata Gajahmada dalam
hati sambil terus melangkah mendekati arah kerlap kerlip
pelita malam yang bertaburan di sekitar perbukitan itu.
Langkah kaki Gajahmada telah membawanya
berjalan diantara pematang sawah yang tersebar
berundak disinari cahaya bulan yang remang. Semilir
angin terlihat telah menyentuh ujung juntai padi yang
masih belum menguning itu telah serentak bergoyang
searah. Akhirnya Gajahmada telah menemukan sebuah jalan
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang cukup lebar dapat dilewati dua buah gerobak yang
bersisipan, sebuah jalan padukuhan.
"Berhenti!!", berkata seseorang lelaki yang keluar dari
gardu ronda kepada Gajahmada di sebuah pertigaan
jalan. Terlihat seseorang lagi kawannya telah ikut keluar
dari gardu rondanya. 53 "Hari sudah malam, apa keperluanmu datang di
padukuhan kami?", berkata orang yang mencegat
Gajahmada. "Aku hanya seorang pengembara yang kebetulan
lewat di Padukuhan ini", berkata Gajahmada dengan
nada suara merendah. "Jangan kelabui kami, sudah tiga hari ini beberapa
orang lewat padukuhan ini, mereka adalah para pemburu
mustika batu Tuban", berkata orang itu dengan wajah
penuh selidik. "Apakah wajahku begitu mirip sebagai seorang
pemburu benda mustika?", berkata Gajahmada sambil
tersenyum. "Maafkan kawanku ini, dua tiga hari ini memang
banyak orang asing lewat di padukuhan kami. Tadi pagi
ada seorang warga kami mengabarkan bahwa kambing
betinanya telah hilang", berkata seorang kawannya lebih
sopan dan ramah. "Seperti yang telah kukatakan, aku hanya seorang
pengembara", berkata Gajahmada.
"Silahkan ki sanak melanjutkan perjalanan, tapi kalau
boleh mendengar saranku, sebaiknya ki sanak tidak
bermalam di padukuhan kami, jangan-jangan ki sanak
akan jadi korban kecurigaan warga padukuhan ini",
berkata orang yang bertutur lebih sopan dan ramah itu.
"Terima kasih, aku memang hanya lewat padukuhan
ini", berkata Gajahmada kepada kedua peronda itu.
Ketika Gajahmada sudah melangkah jauh, terlihat
orang yang bertutur sopan dan ramah itu telah
menasehati kawannya itu. "Kita boleh mencurigai orang asing, tapi harus
54 dengan kata-kata yang santun. Untung saja orang itu
tidak mudah tersinggung. Apa jadinya diri kita bila
kebetulan orang itu berilmu tinggi", berkata orang itu
menasehati kawannya. Sementara itu Gajahmada telah
melewati padukuhan itu. berjalan jauh "Para pemburu mustika batu Tuban?", berkata
Gajahmada dalam hati sangat tertarik dengan ucapan
salah satu peronda itu. "Besok pagi aku akan mencari tahu tentang para
pemburu mustika batu Tuban itu", berkata kembali
Gajahmada dalam hati. Sementara itu hari sudah menjadi semakin larut
malam, semilir angin sudah terasa menyengat kulit.
Akhirnya Gajahmada telah memutuskan untuk bermalam
di sebuah gubuk di sebuah persawahan yang ada di
perbatasan dua padukuhan.
Terlihat Gajahmada telah naik ke atas sebuah gubuk
bambu, telah duduk meluruskan kakinya dan bersandar
di tiang bambu. Mata anak muda itu sebentar saja sudah
terpejam, namun indera pendengarannya masih selalu
terjaga sebagaimana jiwa para ksatria yang selalu siaga
siap menghadapi segala mara bahaya yang bisa saja
terjadi, kapan dan dimanapun.
Namun malam itu tidak terjadi apapun hingga
akhirnya suara ayam jantan di pagi itu telah
membangunkan Gajahmada. Terlihat langkah kaki Gajahmada telah memasuki
sebuah padukuhan yang lain. Pagi memang masih
remang, namun beberapa orang petani telah bersisipan
jalan dengan Gajahmada, mungkin akan melihat sawah
55 mereka yang sudah bunting muda itu.
"Maaf pak tua, dimanakah letak Kademangan
Singgahan", bertanya Gajahmada kepada seorang lelaki
tua yang bersisipan jalan dengannya.
"Padukuhan ini sudah termasuk Kademangan Singgahan", berkata lelaki
menjawab pertanyaan Gajahmada.
wilayah tua itu "Terima kasih, dimana arah pasar kademangan
Singgahan. Kebetulan aku ingin mengunjungi seorang
saudara yang rumahnya ada di dekat pasar
Kademangan Singgahan", berkata kembali Gajahmada.
"Pasar Kademangan ada di ujung jalan ini, ikuti saja
jalan ini", berkata orang itu kepada Gajahmada.
Hari itu Gajahmada Kademangan Singgahan. telah memasuki pasar Biasanya di hari pasaran pasar itu akan menjadi
sangat ramai dikunjungi orang, namun hari itu bukan hari
pasaran ketika Gajahmada telah memasuki pasar
Kademangan Singgahan. Akhirnya Gajahmada memutuskan untuk memasuki
sebuah kedai yang tetap buka meski hari itu bukan hari
pasaran. Ketika memasuki kedai itu, Gajahmada hanya melihat
dua orang lelaki telah berada di kedai itu.
Seorang pemilik kedai datang menghampirinya,
orang tua yang sangat ramah.
"Pengunjung hari ini memang sedang sepi, hanya
ramai disaat hari pasaran saja", berkata pemilik kedai itu
menjawab pertanyaan Gajahmada tentang suasana di
kedai itu setiap harinya.
56 Maka Gajahmada telah memesan makanan dan
minuman yang ada di kedai itu.
Terlihat pemilik kedai itu kembali ke dalam untuk
menyiapkan pesanan Gajahmada.
"Ternyata kita tidak sendiri, ada banyak orang yang
ingin memiliki Mustika batu Tuban itu", berkata salah
seorang yang lebih tua dari pengunjung kedai itu yang
duduk membelakangi Gajahmada.
"Berita tentang adanya mustika batu Tuban seperti
angin yang berhembus. Orang-orang dari tempat yang
jauh juga telah berdatangan", berkata orang yang lebih
muda. "Selama ini aku hanya mendengar selentingan orang,
bahwa Nyi Ajeng Nglirip seorang wanita yang
mempunyai ilmu yang sangat tinggi", berkata pengunjung
yang lebih tua. "Mungkin karena itulah, wanita itu telah begitu berani
menerima para pemburu mustika batu Tuban secara
terbuka", berkata orang yang lebih muda.
"Aku jadi seperti tidak sabar, ingin memastikan
apakah wanita itu memang berilmu sangat tinggi",
berkata orang yang lebih tua.
Terlihat Gajahmada yang mencuri dengar pembicaraan mereka itu menarik nafas dalam-dalam
karena mendengar kedua orang itu telah memangggil
pemilik kedai untuk membayar makanan dan minuman
mereka. Mata Gajahmada sempat melihat keduanya tengah
keluar dari kedai itu. "Paman, kemarilah", berkata Gajahmada kepada
pemilik kedai itu yang tengah membersihkan meja.
57 "Apakah ki sanak perlu menambah minuman?",
bertanya pemilik kedai itu sambil menghampiri
Gajahmada. "Aku hanya ingin bertanya, apakah paman
mengetahui tentang mustika batu Tuban?", bertanya
Gajahmada kepada pemilik kedai itu.
Terlihat pemilik kedai itu tidak langsung menjawab,
matanya berpaling sebentar seperti tengah memastikan
bahwa tidak ada siapapun di kedai itu selain mereka
berdua. "Sudah sepekan ini aku melihat ada beberapa orang
yang memang tengah memburu batu mustika itu",
berkata pemilik kedai itu dengan suara pelan, seperti
takut didengar orang. "Baru pada Gajahmada. sepekan ini?", bertanya kembali "Cerita tentang mustika batu Tuban memang sudah
kami dengar secara turun temurun dari para orang tua
kami, namun baru sepekan ini banyak orang
berdatangan untuk memburunya", berkata pemilik kedai
itu. "Apa yang paman ketahui dari cerita tentang mustika
Batu Tuban itu", bertanya Gajahmada.
"Ketika aku masih kecil, orang tuaku pernah bercerita
bahwa seekor naga langit telah turun ke bumi untuk
bertelur. Akhirnya naga langit itu telah menemukan
sebuah tempat yang sangat baik untuk bertelur yaitu di
sebuah goa yang terlindung oleh sebuah air terjun. Naga
langit itu hanya bertelur tiga butir, setelah lama dierami
dua butir telur itu menetas. Dua bayi naga langit itu telah
di bawa terbang oleh naga langit itu, maka tinggal sebutir
58 telur naga langit yang sembuhuk menjadi sebuah batu.
Hingga pada suatu hari seorang pengembara telah
menemukannya", berkata pemilik kedai itu menghentikan
sejenak ceritanya. "Ternyata batu itu adalah sebuah mustika, telah
membuat perbawa tersendiri siapapun yang memilikinya
akan disanjung penuh hormat, seorang hamba akan
patuh, seorang kawan akan setia, dan musuh akan
gentar menghadapinya. Konon pengembara itu telah
membangun sebuah istana di hutan Jatirogo dan menjadi
seorang raja yang menguasai separuh dari bumi ini",
berkata kembali pemilik kedai itu melanjutkan ceritanya,
terlihat menarik nafas dalam-dalam sambil mengumpulkan kembali ingatan cerita dari orang tuanya
itu. "Orang tuaku tidak bercerita lebih jauh, mengapa
batu mustika itu akhirnya di kembalikan ke tempatnya
semula oleh Raja itu dan telah kembali menjadi seorang
pengembara biasa sebagaimana sebelumnya", berkata
pemilik kedai itu mengakhiri ceritanya tentang mustika
batu Tuban. "Apakah paman mengetahui, dimana goa tempat
naga langit itu bertelur?", bertanya Gajahmada.
"Orang tuaku mengatakan bahwa goa itu berada di
balik air terjun Nglirip", berkata pemilik kedai itu. "Namun
tidak ada seorang pun yang berani masuk ke goa itu,
mereka percaya bahwa naga langit masih selalu menjaga
tempat itu, menjaga dengan lidah apinya. Ada sebuah
cerita seseorang telah mencoba naik ke atas goa itu,
namun belum sampai sudah terbakar dan tersambar
sebuah petir", berkata kembali pemilik kedai itu.
"Apa hubungannya goa itu dengan Nyi Ajeng
59 Nglirip?", bertanya kembali Gajahmada.
"Nampaknya Kisanak belum mengetahui tentang
wanita itu", berkata pemilik kedai itu sambil tersenyum
kepada Gajahmada. "Aku baru mendengar nama itu dari dua orang
pengunjung kedai ini", berkata Gajahmada.
"Sekitar empat atau lima bulan yang lalu, sebuah
rombongan kecil datang dan menetap di sekitar air terjun
Nglirip. Pemimpin rombongan itu adalah seorang wanita.
Para warga di sekitarnya memanggilnya dengan sebutan
Nyi Ajeng Nglirip. Ada beberapa warga yang sakit telah
dapat disembuhkan oleh wanita itu. Namun entah siapa
yang menghembuskan berita bahwa wanita itu telah
memiliki Mustika Batu Tuban, sehingga sudah sepekan
ini banyak orang berdatangan dari berbagai penjuru
untuk merebut benda mustika itu dari tangan Nyi Ajeng
Nglirip yang baik hati itu", berkata pemilik kedai itu.
"Baru tadi kudengar dari dua orang pengunjung kedai
ini, bahwa Nyi Ajeng Nglirip akan menemui para pemburu
mustika itu pada hari kedua purnama bulan ini", berkata
Gajahmada. "Dua tiga orang pernah datang di hari yang berbeda,
namun mereka semua telah kembali dengan tangan
hampa karena tidak dapat mengalahkan Nyi Ajeng
Nglirip. Mungkin Nyi Ajeng Nglirip tidak ingin susah
menghadapi orang satu persatu, telah membuat sebuah
tantangan terbuka, menghadapi semua orang para
pemburu Mustika Batu Tuban di hari yang sama, dua hari
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
setelah purnama bulan ini", berkata pemilik kedai itu
kepada Gajahmada. "Terima kasih untuk cerita tentang Mustika Batu
Tuban itu", berkata Gajahmada sambil membayar lebih
60 untuk makanan dan minuman kepada pemilik kedai itu.
Tidak susah memang untuk mencari tahu jalan
menuju ke air terjun Nglirip, hampir semua orang di
padukuhan itu telah mengetahuinya.
"Lihatlah bukit di seberang itu, di sana lah air terjun
itu bersumber. Ki sanak harus menuruni lembah untuk
mendekatinya", berkata seorang lelaki memberikan arah
menuju air terjun Nglirip kepada Gajahmada.
Sebagai seorang yang dibesarkan di lingkungan
istana, terutama didikan langsung Jayakatwang, seorang
mantan Raja besar di Kediri, telah membuat Gajahmada
dapat berpikir cerdas dan berwawasan lebih luas lagi
memahami setiap kejadian. Gajahmada dapat menangkap bahwa berita angin tentang Mustika Batu
Tuban itu sengaja dihembuskan agar semua mata dapat
tertipu tidak melihat sebuah kekuatan tengah
dipersiapkan. "Berita mustika itu telah memalingkan semua orang,
kehadiran para prajurit dari Sunginep dapat mengalir
tanpa diketahui oleh siapapun", berkata Gajahmada
dalam hati yang telah mampu dapat membaca suasana
di sekitar Tuban itu berkaitan dengan sikap Adipati
Ranggalawe yang bermaksud memisahkan diri dari
kedaulatan Majapahit. Demikianlah, Gajahmada belum keluar dari
Kademangan Singgahan, telah mulai mengamati
suasana di beberapa padukuhan.
Terlihat Gajahmada mulai berkeliling dari satu
padukuhan ke padukuhan lainnya. Tidak seorang pun
yang menaruh curiga kepadanya, mereka melihat
Gajahmada hanya sebagai seorang pengembara biasa.
Beruntung bahwa di jaman itu para pengembara sudah
61 menjadi sebuah pemandangan umum, mereka sudah
biasa melihat para pengembara datang dan pergi tanpa
tentu arah dan tujuannya.
Hari kedua setelah bulan purnama. Gajahmada
teringat pertemuannya dengan seorang pemilik kedai,
bahwa hari ini adalah hari tantangan terbuka dari Nyi
Ajeng Nglirip kepada para pemburu Mustika Batu Tuban.
Bergegas Gajahmada mencoba mencari arah untuk
menuju ke air terjun Nglirip.
Maka dengan kesaktian ilmunya yang tinggi, tidak
ada kesukaran apapun untuk menuruni sebuah lembah
dan mendaki sebuah bukit. Tubuh Gajahmada terlihat
begitu ringan melesat seperti tidak menyentuh bumi.
"Air terjun Nglirip", berkata Gajahmada dalam hati
manakala menyusuri sebuah sungai telah mendengar
suara gemuruh air terjun yang terhempas jatuh ke
bawah. Terlihat langkah Gajahmada terhenti sejenak, melihat
sudah banyak orang berada dekat dengan air terjun
Nglirip yang tiada henti bergemuruh.
"Mereka pasti para pemburu Mustika Batu Tuban itu",
berkata Gajahmada dalam hati sambil berpikir mencari
jalan memutar untuk melihat dari dekat tanpa diketahui
oleh siapapun. "Salah seorang dari dua wanita itu pasti adalah Nyi
Ajeng Nglirip", berkata Gajahmada manakala sudah
dapat mendekati air terjun Nglirip tanpa diketahui oleh
siapapun. Yang tengah dilihat oleh Gajahmada adalah dua
orang wanita yang berada di dalam sebuah tajuk
sederhana. Namun wajah mereka masih terhalang air
62 terjun dan kabut tipis percikan air terjun.
Nampaknya Nyi Ajeng Nglirip telah mempersiapkan
sebuah tajuk sederhana dekat dengan kubangan
jatuhnya air terjun agar para pemburu mustika itu tidak
mengusik ketenangan padepokannya.
"Nyi Ajeng Nglirip, serahkan Mustika Batu Tuban itu
kepadaku", berkata salah seorang dari para pemburu
mustika itu dengan suara lantang mencoba mengalahkan
suara gemuruh air terjun.
"Mustika Batu Tuban itu bukan milikku, masih ada
didalam goa. Bila kalian ingin memilikinya, cobalah ambil
sendiri", berkata salah seorang diantara wanita itu yang
lebih tua dari wanita di sebelahnya. Dan suara wanita itu
begitu lembut namun terdengar sangat jelas
mengalahkan gemuruh air terjun.
"Ajian Gelap Ngampar", berkata Gajahmada dalam
hati manakala mendengar suara yang dilontarkan oleh
wanita itu seperti bergema memenuhi hutan tempat air
terjun berada. "Nyi Ajeng Nglirip, terima kasih telah mengijinkan aku
mengambil sendiri benda mustika itu", berkata seorang
lelaki melangkah mendekati tajuk sederhana dan
memberi hormat kepada Nyi Ajeng Nglirip.
Terlihat Nyi Ajeng Nglirip membalas salam hormat
orang tua itu yang rambutnya telah dipenuhi warna putih.
Namun tiba-tiba saja menghadang orang tua itu.
seseorang telah datang "Ki Welireng, langkahi mayatku sebelum kamu
mendekati goa itu", berkata seorang lelaki yang berumur
sama tuanya dengan lelaki tua yang dipanggil dengan
nama Ki Welireng itu. 63 Sentong kanan "Ternyata penguasa Gunung Raung tidak ingin
didahului, bagaimana bila kamu biarkan aku mengambil
batu mustika itu, lalu turun melangkahi mayatmu",
berkata Ki Welireng sambil tertawa.
"Sebelum kamu melangkah mendekati goa itu,
kerisku sudah memenggal lehermu", berkata lelaki tua
yang disebut sebagai penguasa Gunung Raung itu
sambil meraba gagang kerisnya.
"Ki Sembogo, nama besarmu hanya meraung-raung
di sekitar Gunung Raung, tidak akan bergema melebihi
kabut di bawah lembahnya. Tongkat kayuku akan
menghentikan suara raungmu itu yang tidak merdu itu",
berkata Ki Welireng sambil mengangkat tongkat kayunya
dengan sikap siap menantang.
"Kusumbat mulut besarmu", berkata Ki Sembogo
sambil menarik keris di pinggangnya dan sudah langsung
menerjang tubuh Ki Welireng.
"Kerismu kurang cepat Ki Sembogo, rasakan pukulan
tongkatku", berkata Ki Welireng sambil bergeser cepat
menghindari keris Ki Sembogo dan balas menyerang
dengan mengayunkan tongkatnya kearah kepala
lawannya. Nampaknya kedua orang itu sudah saling mengenal
satu dengan yang lainnya, sudah sering bertarung dan
seperti telah mengenal keistimewaan jurus lawannya.
Maka terlihat mereka berdua telah langsung bertarung
dengan tataran tingkat puncaknya.
Maka dalam waktu singkat, semua orang telah
64 melihat sebuah pertarungan antara dua orang berilmu
tinggi itu, kadang melihat kilatan cahaya keris Ki
Sembogo yang datang seperti kilat menyambar-nyambar,
kadang juga melihat putaran tongkat kayu di tangan Ki
Welireng yang nyaris seperti putaran angin puting beliung
menggulung-gulung menutupi semua gerak Ki Semboga.
Trang !! Gajahmada yang memiliki penglihatan yang sangat
tajam telah dapat melihat ada dua buah kerikil dengan
sengaja dilemparkan dengan kekuatan tenaga penuh
telah dengan jitu menggetarkan senjata Ki Sembogo dan
Ki Welireng. Kedua orang yang tengah bertempur itu
seketika seperti terdorong mundur beberapa langkah.
"Hanya orang yang berilmu tinggi yang mampu
melakukannya", berkata Gajahmada dalam hati dengan
hati berdebar ingin melihat siapa gerangan orang berilmu
tinggi itu. Gajahmada dari tempat persembunyiannya telah
melihat seorang tua renta dengan badan sedikit bungkuk
tengah mendekati Ki Sembogo dan Ki Welireng.
"Ki Seketi!!", berkata Ki Sembogo dan Ki Welireng
berbarengan. "Kalian adalah dua orang tua yang bodoh, mau saja
di tipu oleh wanita", berkata orang itu yang dipanggil
sebagai Ki Seketi oleh Ki Sembogo dan Ki Welireng.
"Ternyata Ki Seketi dari Alas Rancange jauh-jauh
telah datang menikmati alam sekitar air terjun yang indah
ini", berkata Nyi Ajeng Nglirip kepada orang tua renta
yang baru datang itu. "Terima kasih telah mengenal namaku yang tidak
ternama ini", berkata Ki Seketi kepada Nyi Ajeng Nglirip.
65 "Siapa tidak mengenal pemilik pukulan tanpa
bayangan", berkata kembali Nyi Ajeng Nglirip kepada
orang tua yang baru datang itu.
"Pengenalanmu atas diriku ternyata sangat
mencukupi, namun ada satu yang tidak kamu ketahui,
bahwa aku sangat marah bila ada seseorang telah
berbuat curang di depan mataku", berkata Ki Saketi
kepada Nyi Ajeng Nglirip tanpa berpikir bahwa wanita itu
akan menjadi tersinggung dengan ucapannya.
Namun ternyata Nyi Ajeng Nglirip adalah seorang
wanita yang dapat menguasai perasaannya, tidak ada
perubahan dalam warna wajahnya sedikitpun.
"Bagaimana Ki Saketi dapat mengatakan bahwa aku
ini seorang penipu?", bertanya Nyi Ajeng Nglirip kepada
Ki Saketi dengan wajah penuh senyum.
"Caramu telah membuat semua yang ada di sini
mungkin akan saling bertempur satu dengan yang
lainnya, di ujungnya kamu dengan mudah dapat
melumpuhkan sisa orang yang dapat selamat dalam
pertempuran itu, dalam keadaan tenaga yang sudah
terkuras", berkata Ki Saketi sambil mencoba menilik
wajah Nyi Ajeng Nglirip apakah kata-katanya dapat
mengena. Namun sekali lagi Ki Saketi tidak melihat perubahan
apapun di wajah wanita yang terlihat masih cantik itu
meski usianya sudah dapat dikatakan sudah tidak muda
lagi. Dan sambil tertawa renyah, Nyi Ajeng Nglirip berujar,
"aku ingin mendengar apakah Ki Saketi punya usulan
yang lebih baik?", berkata Nyi Ajeng Nglirip kepada Ki
Saketi. 66 Perkataan Nyi Ajeng Nglirip datang seperti sebuah
pedang mengancam tepat diujung leher Ki Seketi.
Mendengar pertanyaan yang tiba-tiba itu telah
membuat Ki Saketi terkejut, tapi itu tidak lama, sekejab
kemudian terlihat wajah aslinya yang sangat dingin tanpa
perasaan. "Usulku adalah terbalik dari caramu semula, jadi
semua orang disini akan mengeroyok dirimu baru
kemudian kami akan saling bertempur", berkata Ki Saketi
dengan wajah dinginnya. Perkataan Ki Seketi dirasakan seperti sebuah
serangan balik yang langsung menyudutkan diri Nyi
Ajeng Nglirip. Namun wanita itu dengan cepat menguasai
perasaannya sendiri, seperti punya tameng berlapis-lapis
menutupi wajah aslinya. "Bila caramu memang lebih baik, aku siap untuk
mengikutinya. Siap dikeroyok oleh semua yang hadir di
air terjun ini. Biarlah semua orang akan menertawakan
bahwa hari ini ada dua wanita telah dikeroyok bersama",
berkata Nyi Ajeng Nglirip sambil menilik perubahan di
wajah Ki Seketi. Terlihat Nyi Ajeng Nglirip tersenyum melihat Ki Seketi
seperti terperangkap dengan perkataannya itu.
"Dan hari ini akan menjadi berita besar, bahwa
seorang seperti Ki Seketi ikut bersama sebagai seorang
pengeroyok", berkata kembali wanita itu dengan wajah
datar tanpa sedikitpun terlihat kegentarannya.
Lama Ki Seketi terdiam, perkataan wanita itu
memang seperti sebuah senjata tajam langsung
mengancam batang lehernya sendiri. Sebagai seorang
67 yang sangat disegani dan dihormati di sepanjang pesisir
pantai utara itu memang terlihat menjadi sangat gelisah.
Namun bukan Ki Seketi bila tidak dapat keluar dari
perangkap perang kata-kata itu.
Terlihat Ki Seketi telah tertawa bergema mengisi
seluruh kawasan air terjun Nglirip, semua orang seperti
tergetar dadanya. "Dengarlah, wanita di hadapan kita telah menantang
kita semua, habisi kedua wanita itu", berkata Ki Seketi
dengan suara lantang mengalahkan suara gemuruh air
terjun. Suara Ki Seketi memang seperti sebuah sihir telah
menggerakkan semua orang yang ada di air terjun itu
untuk mendekati tajuk. Berdebar jantung Gajahmada melihat semua orang
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
telah bersiap untuk menyerang kedua wanita yang ada di
dalam tajuk itu. Dan dada Gajahmada menjadi semakin berdebar
manakala telinganya telah mendengar suara petikan
kecapi tiba-tiba saja mengisi tiap relung dinding dan
udara di sekitar air terjun itu.
"Tembang hina kelana?", berkata dalam hati
Gajahmada yang sangat mengenal tembang petikan
suara kecapi itu. Belum sempat berpikir apapun, Gajahmada telah
melihat beberapa orang telah memegang dadanya,
beberapa orang lagi sudah langsung jatuh pingsan.
Ternyata pemetik suara kecapi itu telah melambarinya dengan kekuatan tenaga inti sejati tingkat
tinggi setara dengan ajian gelap Ngampar yang sangat
terkenal itu. 68 Untuk melindungi dirinya sendiri, Gajahmada telah
melambari dirinya sendiri agar tidak termakan goncangan
suara kecapi itu. "Siapakah gerangan pemetik kecapi itu?", bertanya
Gajahmada dalam hati sambil menyelinap menyeberang
mendekati tajuk sederhana dimana dua wanita itu masih
ada di sana. Sementara itu suara kecapi masih terus bergema
menghentak dan menggetarkan dada semua orang,
diantara sekian banyak orang yang ada di air terjun
Nglirip itu, hanya tiga orang yang masih dapat bertahan
tidak terpengaruh suara petikan kecapi, mereka bertiga
adalah Ki Seketi, Ki Welirang dan Ki Sembogo.
Bukan main terperanjatnya Gajahmada manakala
telah berada tidak jauh dari tajuk sederhana itu.
Apa yang telah membuat diri Gajahmada terperanjat"
Ternyata Gajahmada dari tempatnya bersembunyi
telah melihat jelas wajah kedua orang wanita yang
berada diatas bale bambu tajuk itu. Dan Gajahmada
telah mengenal siapa kedua wanita itu.
Namun Gajahmada harus melepas rasa terperanjatnya ketika melihat dengan cepat kedua wanita
itu telah melenting keluar dari dalam tajuk.
Gajahmada menahan nafas manakala telah melihat
tajuk sederhana itu hancur porak poranda tak berbentuk
lagi. Ternyata Ki Seketi telah tidak sabar lagi ingin
menghentikan suara getar kecapi dengan jalan
melepaskan pukulan andalan perguruannya yang
terkenal itu, pukulan tanpa bayangan.
Untung saja kedua wanita itu telah merasakan
69 sebuah angin pukulan tak terlihat kasat mata akan
mengancam diri mereka, maka sebelum prahara angin
pukulan itu datang, mereka berdua telah meloncat
menyelamatkan diri. Terlihat Ki Seketi dengan penuh kebanggaan tertawa
panjang. Namun tawa Ki Seketi yang panjang itu tiba-tiba saja
terhenti. Ternyata pendengarannya yang tajam telah
mendengar suara alunan seruling, namun dirinya sama
sekali tidak mengetahui arah sumber suara itu berasal
karena suara itu seperti berputar dari segala penjuru.
Kecut hati Ki Seketi ketika merasakan getaran suara
seruling itu lebih dahsyat dari getaran suara kecapi.
Meski telah melambari dirinya dengan kekuatan inti sejati
yang dimiliki, suara seruling itu masih saja terasa
menghimpit rongga dadanya.
Sementara itu Ki Sembogo dan Ki Welireng terlihat
sudah duduk bersila memejamkan matanya menahan
getaran suara seruling dengan kesaktian tenaga sejati
miliknya. Namun suara seruling itu seperti tidak mampu
dibendung, dada mereka seperti terhimpit batu gunung
yang amat besar. Bukan main terkejutnya Ki Seketi manakala melihat
Ki Sembogo dan Ki Welireng yang diketahuinya
mempunyai tenaga sakti hanya setingkat dibawahnya
tengah berusaha sekuat tenaga menahan getaran suara
seruling itu. Terlihat di ujung bibir kedua orang sakti itu
masing-masing telah mengalir darah hitam. Nampaknya
tenaga sakti sejati mereka sendiri telah berbalik arah
menghantam jantung mereka sendiri yang tidak kuat
menahan tekanan getaran lewat suara seruling yang
70 masih terus terdengar berputar-putar dari berbagai
penjuru mata angin. Sementara itu kedua wanita yang telah keluar dari
tajuk tidak merasakan tekanan dari suara seruling itu,
nampaknya peniup seruling itu dapat mengendalikan
arah suara serulingnya. "Hanya orang yang sudah sangat mumpuni saja yang
dapat mengendalikan kemana arah serangan suara",
berkata Nyi Ajeng Nglirip kepada wanita di dekatnya.
"Sepertinya aku telah mengenal siapa peniup seruling
itu", berkata wanita itu kepada Nyi Ajeng Nglirip.
"Kamu telah mengenal peniup seruling itu?", bertanya
Nyi Ajeng Nglirip kepada wanita itu.
Terlihat wanita itu menjawabnya dengan sebuah
anggukan kepala perlahan.
"Hanya ada satu orang yang dapat menembangkan
seruling hina kelana", berkata wanita itu sambil matanya
mencari arah sumber suara seruling.
Sebagaimana Ki Seketi, wanita itu juga tidak dapat
mencari sumber arah suara seruling itu yang masih
terdengar berputar-putar dari segala arah penjuru mata
angin. "Tunjukkan dirimu, tunjukkan dirimu adalah seorang
ksatria sejati", berkata lantang Ki Seketi merasa putus
asa tidak juga menemukan arah sumber suara pemilik
seruling itu. Maka tiba-tiba saja suara seruling itu berhenti.
Tiba-tiba saja muncul seorang pemuda membawa
sebuah seruling bambu dari balik sebuah gerumbul
semak dan pohon perdu. 71 "Kakang Mahesa Muksa", berkata wanita di sebelah
Nyi Ajeng Nglirip memandang tidak percaya kehadiran
pemuda itu. "Ternyata anak nakal itu", berkata Nyi Ajeng Nglirip
sambil tersenyum memandang kearah pemuda yang
muncul tiba-tiba itu. "Nyi Ajeng mengenalnya?", bertanya heran wanita itu
kepada Nyi Ajeng Nglirip.
"Sejak kecil anak muda itu bersama kami, di
Balidwipa, di Tanah Wangi-wangi dan terakhir di tanah
Ujung Galuh", berkata Nyi Ajeng Nglirip yang nampaknya
telah mengenal pemuda peniup seruling itu.
Namun pembicaraan kedua wanita itu terhenti ketika
mendengar suara Ki Seketi yang mengguntur penuh
kemarahan. "Suara serulingmu memang dahsyat, tapi jangan
berbangga hati sebelum merasakan pukulanku", berkata
Ki Seketi sambil membuat sebuah gerakan memukul
angin. Ternyata Ki Seketi tidak asal sesumbar, dari
tangannya keluar angin pukulan kasat mata seperti
sebuah prahara menerjang kearah anak muda itu peniup
seruling itu yang tidak lain adalah Gajahmada.
Nampaknya Gajahmada seperti memiliki mata bathin
yang sangat tajam, telah mengetahui bahaya angin
pukulan tak terlihat kasat mata itu tengah mengancam
dirinya. Maka terlihat Gajahmada sudah bergeser cepat
menghindari serangan pukulan tanpa bayangan itu,
sebuah ilmu andalan Ki Seketi yang sangat
dibanggakannya hingga sangat disegani di sepanjang
72 pesisir pantai utara Jawadwipa.
"Tikus busuk !!", berkata geram Ki Seketi melihat
sasaranya dapat meloloskan diri.
Bukan main akibat serangan pukulan tanpa
bayangan dari Ki Seketi itu, terlihat sebuah batu besar
hancur pecah terbelah-belah terkena sasaran pukulan
itu. Kembali sebuah pukulan dari tangan Ki Seketi telah
meluncur menerjang kearah Gajahmada, namun
sebagaimana sebelumnya, kembali anak muda itu
dengan mudahnya telah melenting ke tempat lain
menghindari serangan tak terlihat kasat mata itu.
"Kadal buntung !!!", kembali sumpah serapah keluar
dari mulut Ki Seketi itu melihat sasarannya telah
melenting jauh. Demikianlah, Ki Seketi terus menyerang dengan
pukulan jarak jauhnya itu kemana pun Gajahmada
berpijak. Sumpah serapah masih saja terdengar dari mulut Ki
Seketi bersamaan dengan lolosnya sasaran tempurnya.
Suasana di kawasan air terjun itu sudah tidak utuh
lagi, pepohonan tumbang, batu keras hancur terbelah,
tanah merah dan semak belukar terbang berserakan
terkena sasaran pukulan jarak jauh dari Ki Seketi yang
sangat dahsyat itu seperti angin prahara terus mengejar
kemana pun Gajahmada menghindar.
"Anak setan !!", berkata
menghentikan serangannya.
Ki Seketi sambil Ternyata Ki Seketi telah melihat Gajahmada telah
memecahkan dirinya menjadi sepuluh orang yang sama
terlihat tengah berlari mengelilingi tubuh Ki Seketi.
73 Rupanya Gajahmada sudah merasa bosan selalu
menjadi sasaran serangan Ki Seketi. Dengan gerakan
yang sangat cepat menerapkan ilmu meringankan
tubuhnya yang nyaris mendekati kesempurnaan itu
berputar mengelilingi tubuh Ki Seketi.
"Aku dapat menyerangmu dari berbagai arah",
berkata Gajahmada kepada Ki Seketi dengan nada suara
penuh ancaman. Terlihat Ki Seketi berdiri terpaku dengan jantung
berdebar keras merasa perkataan Gajahmada bukan
omong kosong belaka, benar-benar sebuah ancaman.
Ki Seketi masih terpaku berdiri di tempatnya
manakala salah satu dari kesepuluh ujud Gajahmada itu
telah melepaskan sebuah lidah api berwarna kuning
emas dan meluncur menghantam sebuah batu sebesar
kepala kerbau di dekat tubuh Ki Seketi.
Darah Ki Seketi seperti berhenti seketika manakala
menyaksikan dengan mata terbuka sebuah batu sebesar
kepala kerbau itu hancur berdebu terbang berhamburan.
Terlihat wajah Ki Seketi menjadi pucat seperti tidak
ada darah di tubuhnya telah membayangkan bila saja
pukulan itu diarahkan ke tubuhnya sendiri dari arah yang
tidak mungkin dapat dihindari.
"Ampunilah diriku yang tidak mengenal tingginya
puncak gunung berdiri di hadapanku sendiri", berkata Ki
Seketi dengan suara yang masih bergetar memohon
belas kasih dari Gajahmada.
"Aku bukan dewa pencabut nyawa, tidak punya
kekuasaan apapun memendek dan memanjangkan hidup
seorang manusia. Bersyukurlah bahwa kamu masih
menikmati udara di sekelilingmu", berkata Gajahmada
74 kepada Ki Seketi yang masih gemetar itu.
"Bolehkah aku yang tua ini mengenal siapa kamu
orang muda. Agar kepada keluarga dan keturunanku
dapat kuceritakan bahwa di tempat air terjun ini ada
orang yang baik hati telah memberi kesempatanku untuk
hidup lebih lama lagi", berkata Ki Seketi kepada
Gajahmada. "Namaku Gajahmada", berkata Gajahmada.
"Terima kasih, aku akan selalu mengingatnya",
berkata Ki Seketi sambil memberi hormat dan berbalik
badan dan melangkah pergi.
Terlihat Gajahmada menghampiri dua orang wanita
yang masih berdiri. "Gusti Kanjeng Ratu Gayatri, ampuni hamba yang
punya sedikit kepandaian ini telah mengambil alih semua
ini, karena hamba tidak ingin tangan Gusti kanjeng kotor
karenanya", berkata Gajahmada penuh hormat kepada
wanita yang biasa dipanggil Nyi Ajeng Nglirip itu.
"Jangan hambakan dirimu karena aku sudah jauh
keluar dari kehidupan istana, orang-orang disini telah
memanggilku dengan nama Nyi Ajeng Nglirip, panggillah
aku sebagaimana mereka memanggilku, wahai Mahesa
Muksa", berkata Nyi Ajeng Nglirip kepada Gajahmada
dengan wajah penuh senyum merasa gembira telah
bertemu dengan Gajahmada yang dikenalnya sejak kecil
bernama panggilan, Mahesa Muksa.
Terlihat arah pandang mata Gajahmada telah beralih
kepada wanita yang lain, seorang wanita bermata indah
yang juga tengah memandangnya.
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Andini, aku tidak menyangka bahwa kita dapat
bertemu kembali di tempat ini", berkata Gajahmada
75 menyapa wanita itu yang ternyata adalah Andini, putri
Bango Samparan sang penguasa Rawa Rontek dari
tanah Pasundan. "Ceritanya sangat panjang, aku takut Kakang Mahesa
Muksa menjadi bosan mendengarnya", berkata Andini
dan menutup kata-katanya dengan sebuah senyum yang
amat-amat manis dalam pandangan Gajahmada.
"Ternyata kalian berdua memang telah saling
mengenal", berkata Nyi Ajeng Nglirip sambil memandang
keduanya saling bergantian.
Sementara itu dari beberapa semak belukar terlihat
bermunculan beberapa lelaki dan perempuan. Ternyata
mereka adalah para pengikut setia Nyi Ajeng Nglirip.
Terlihat Nyi Ajeng Nglirip telah memberi perintah
kepada orang-orangnya itu untuk membawa dan
merawat beberapa orang yang masih pingsan ke
padepokannya yang tidak begitu jauh dari air terjun
Nglirip itu. Demikianlah, Gajahmada telah diajak oleh Nyi Ajeng
Nglirip ke Padepokannya. Di padepokannya, Nyi Ajeng Nglirip yang sebenarnya
adalah Kanjeng Ratu Gayatri itu telah menerima
Gajahmada seperti sanak keluarga sendiri yang sudah
lama tidak berjumpa. Diatas pendapa padepokan, Nyi Ajeng Nglirip banyak
bercerita tentang suka duka sebagai keluarga istana
Singasari yang harus berpindah dari satu tempat ke
tempat lain dalam suasana pengasingan.
"Mahesa Muksa masih sangat kecil pada saat itu.
Yang kuingat dia adalah anak yang sangat nakal di
Tanah Wangi-wangi. Patih Mahesa Amping yang
76 ditugaskan melindungi keluarga istana sangat menyayanginya", berkata Nyi Ajeng Nglirip tentang
Gajahmada sewaktu kecil yang didengar oleh Andini dan
Gajahmada sendiri. Gajahmada kemudian bercerita tentang pengembaraannya di Tanah Pasundan kepada Nyi Ajeng
Nglirip. "Gajahmada, sebuah nama yang bagus", berkata Nyi
Ajeng Nglirip manakala Gajahmada bercerita tentang
sebuah upacara penggantian namanya di istana Rakata.
"Kakang Gajahmada, aku akan mulai merubah
panggilanku kepadamu", berkata Andini dengan wajah
tersenyum. Sementara itu matahari diatas padepokan yang tidak
jauh dari air terjun Nglirip itu terlihat sudah di awal senja,
wajah udara bumi terlihat bening dan daun seperti
terdiam beku tanpa angin sedikitpun.
"Kamu belum bercerita tentang dirimu, perjalananmu
yang jauh dari tanah Pasundan", berkata Gajahmada
kepada Andini manakala Nyi Ajeng Nglirip pamit sebentar
untuk melihat keadaan orang-orang yang tadi siang telah
pingsan di sekitar air terjun.
"Semula aku datang di tanah timur Jawadwipa ini
hanya untuk membenarkan perasaan hati ini, seberapa
besar cinta dan kerinduan yang ada di dalam hati ini
kepada seorang lelaki yang aku tak tahu apakah dirinya
mempunyai perasaan yang sama sebagaimana diriku
ini", berhenti sebentar Andini sambil menatap wajah
Gajahmada. "Siapakah lelaki yang beruntung itu, wahai Andini?",
berkata Gajahmada dengan perasaan penuh berdebar77
debar keras. "Kamulah wahai Kakang Gajahmada, kamulah lelaki
itu", berkata Andini sambil menatap wajah Gajahmada,
terlihat mata indahnya sudah mulai berkaca-kaca.
"Salahkan aku ini, salahkan aku sebagai lelaki yang
tidak punya keberanian mengungkapkan kebenaran hati,
seorang lelaki yang selalu dipenuhi rasa takut, rasa
bersalah. Aku telah memilih persahabatan, memilih
Pangeran Jayanagara yang akan terluka bila saja ku
perjuangkan perasaan cintaku kepadamu. Siang dan
malam aku sering bertanya-tanya, apakah langkahku ini
Si Dungu 6 Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H Sejengkal Tanah Sepercik Darah 5
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama