Ceritasilat Novel Online

Para Ksatria Penjaga Majapahit 14

Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana Bagian 14


yang amat cerdas bahkan sangat licik melakukan
berbagai cara untuk mencapai sebuah kemenangan
dalam setiap pertempurannya.
"Janganlah Mahaptih mengatakan rencana yang
sebenarnya kepada Tumenggung Rananggana, aku
belum dapat sepenuhnya mempercayainya. Perintahkan
setengah pasukannya untuk masuk ke hutan Pronojiwo,
sementara aku akan membawa seluruh sisa pasukan kita
menempuh jalan lain menyergap warga dan para
pengungsi di kademangan Pronojiwo", berkata Tumenggung Jala Pati kepada Mahapatih Dyah
Halayuda. Ternyata Tumenggung Jala Pati sudah dapat
memperhitungkan bahwa pasukan lawan pasti akan
menyergap mereka di hutan Pronojiwo. Maka dengan
liciknya telah meminta Mahapatih Dyah Halayuda
memerintahkan Tumenggung Jala Rananggana membawa setengah pasukannya masuk ke hutan
Pronojiwo sebagai pancingan yang dapat menahan
pasukan lawan di hutan itu, sementara dengan diamdiam Tumenggung Jala Pati akan menempuh jalan lain
memasuki Kademangan Pronojiwo.
"Temunggung Jala Rananggana akan masuk 965 kedalam jebakan Mahapatih. menantunya sendiri", berkata Demikianlah, diawali disebuah pagi yang cerah
dimana sebuah iring-iringan pasukan Majapahit terlihat
keluar dari perkemahannya. Mereka adalah lima ribu
prajurit Majapahit yang dipimpin langsung oleh
Tumenggung Jala Rananggana.
Sesuai dengan perintah Mahapatih Dyah Halayuda
selaku senapati agung, telah menugaskan Tumenggung
Jala Rananggana dan pasukannya sebagai pasukan
pelopor pembuka jalur pasukan induk memasuki hutan
Pronojiwo. Tumenggung Jala Rananggana tidak mengetahui apa
yang ada dalam akal pikiran Mahapatih Dyah Halayuda
saat itu, dimana pasukannya diperalat hanya untuk
sebagai pancingan menahan pasukan Lamajang di hutan
Pronojiwo. Terlihat pasukan itu telah mulai menjauhi
perkemahan mereka, terus bergerak diatas tanah basah,
diatas genangan air sisa hujan yang turun cukup deras
kemarin malamnya. Tibalah pasukan itu dimuka hutan, membelakangi
matahari pagi yang menerangi punggung-punggung
mereka. Pendengaran Tumenggung Jala Rananggana yang
cukup terlatih itu telah mendengar suara binatang
memekik ketakutan, dan bersamaan dengan itu pula
dilihatnya banyak burung-burung hutan terbang seperti
sebuah pertanda binatang itu telah terusik ketenangannya. Terlihat Tumenggung Jala Rananggana mengangkat
966 tangannya tinggi-tinggi, seketika itu seorang penghubungnya telah meneriakkan sebuah aba-aba
perintah untuk berhenti berjalan.
Maka seketika itu juga pasukan itu berhenti ditempat
dalam barisan yang utuh. "Berhati-hatilah, hari ini kita tidak tengah berwisata
memasuki sebuah hutan sepi. Tapi kali ini kita akan
memasuki sebuah kawasan hutan yang telah dipenuhi
banyak musuh, menunggu kelengahan kita dengan
berbagai macam jebakan. Waspadalah kalian, atau
nyawa kalian akan terkubur di hutan ini tanpa pertanda
apapun", berkata Tumenggung Jala Rananggana
mengingatkan pasukannya. Terlihat Tumenggung Jala Rananggana menganggukkan kepalanya perlahan kepada seorang
penghubungnya. Maka terdengarlah sebuah aba-aba yang sangat
keras dari seorang penghubung itu, sebuah perintah
untuk kembali berjalan kearah hutan Pronojiwo.
Rumput-rumput basah, ujung ilalang yang basah
langsung rebah memercikkan air tergilas langkah
pasukan Tumenggung Jala Rananggana yang telah
bergerak maju. Didepan mereka hutan Pronojiwo yang
dipenuhi pohon-pohon tua yang menjulang tinggi serta
tanaman merambat seperti pagar hidup mengelilingi
hutan Pronojiwo. Diterangi cahaya matahari pagi, pasukan itu telah
memasuki wilayah hutan Pronojiwo seperti seekor ular
naga merayap masuk ke lubang hitam, bermula hanya
tinggal setengah badannya yang terlihat, berlanjut
dengan sedikit bagian ekornya yang tersisa dan akhirnya
lenyap seluruh wujud pasukan itu.
967 Ternyata cahaya matahari tidak mampu menembus
kedalaman hutan yang cukup lebat itu, pasukan itu
seperti berada di dalam sebuah goa yang remangremang, semerbak aroma daun dan tanah humus
terbawa angin tercium oleh para prajurit Majapahit itu
yang telah seluruhnya memasuki hutan Pronojiwo.
Tangan para prajurit itu terlihat sudah berada diujung
pangkal pedang masing-masing, kewaspadaan benarbenar memenuhi hati dan pikiran para prajurit itu yang
terus menerabas semak belukar diantara kerapatan
pohon-pohon besar yang hitam berlumut sebagai
pertanda cahaya matahari jarang sekali menjamahnya.
Krakkk !!!! Terdengar suara batang pohon patah bergeser
terdengar di beberapa tempat telah membuat semua
prajurit yang terlatih itu langsung sigap diujung
kewaspadaannya sambil menyapu dengan mata nanar
mereka menanti musuh yang mungkin muncul dari
bawah bumi. Ternyata suara batang pohon patah itu adalah benarbenar batang pohon yang memang sengaja di patangkan
dari pangkalnya, begitu cepat dari tiga kedipan mata
sudah terdengar puluhan batang pohon roboh di kanan
kiri para prajurit Majapahit itu.
Kepanikan yang sangat luar biasa dari para prajurit
Majapahit itu yang berlari kesana kemari menghindari diri
tertimpa batang-batang pohon yang roboh disekitar
mereka. Bumm, Bumm, Bumm !!! Terdengar puluhan batang pohon yang tumbang
menghantam bumi. 968 Terdengar suara jerit para prajurit Majapahit yang
tidak sempat berlindung dan berlari terkena hantaman
batang dan cabang pohon yang tumbang.
Kesatuan barisan pasukan itu sudah tidak utuh lagi.
Dan ditengah kepanikan yang liar tak terkendalikan
itu, seperti ribuan anak panah yang meluncur dari
busurnya, atau sebuah air bah yang tumpah dari sebuah
bendunga besar, ribuan manusia bersenjata lengkap
dengan pedang terhunus telah datang dari berbagai arah
menjepit pasukan Majapahit yang tengah panik berlari
kesana kemari tanpa arah.
Puluhan prajurit Majapahit dengan begitu mudahnya
menjadi sasaran pedang lawan yang datang tiba-tiba itu
yang datang seperti pasukan kumbang yang tengah
marah mengejar siapapun yang bergerak. Itulah
sambutan selamat datang dari pasukan gabungan, para
prajurit Lamajang dan Blambangan yang dipimpin oleh
dua orang tangguh yang sudah malang melintang
menghadapi berbagai macam pertempuran, dua orang
tangguh itu adalah Adipati Menak Koncar dan Rangga
Pamandana yang terlihat memimpin pasukan mereka
dari dua tempat yang berbeda, menghancurkan pasukan
Majapahit yang tengah panik tak terkendali itu.
Dalam waktu yang begitu amat singkat, di awal
gebrakan telah langsung menyusutkan sepertiga jumlah
prajurit Majapahit, yang paling banyak adalah mereka
yang mati seketika terkena hantaman batang dan cabang
pohon besar yang tumbang, selebihnya terkena sabetan
pedang lawan ketika masih dalam keadaan kurang siap
dan kepanikan. Beruntung Tumenggung Jala Rananggana dapat
dengan cepat mengendalikan situasi para prajuritnya
969 yang bercerai berai. "Merapatlah kalian dan jangan terpisah dari kelompok
masing-masing", berkata Tumenggung Jala Rananggana
mengendalikan seluruh pasukannya.
Terlihat Tumenggung Jala Rananggana menarik
nafas panjang melihat para pemimpin kelompok
prajuritnya sudah dapat membangun dan mengikat
kembali kelompoknya yang tercerai berai itu. Maka
perlawanan pasukan Majapahit mulai terlihat dapat
bertahan menghadapi pasukan gabungan dari Lamajang
dan Blambangan itu. Dengan cara bertempur berkelompok itu telah
membuat para prajurit Majapahit dapat mengurangi
korban di pihak mereka, meski dengan jumlah yang
berkurang dari sebelumnya ketika mereka masuk ke
dalam hutan itu. Nampaknya jumlah banyaknya prajurit
tidak banyak berpengaruh dalam pertempuran di tengah
hutan itu, tapi kekompakan setiap prajurit dalam
kelompoknya yang banyak mempengaruhi jalannya
pertempuran. Cukup lama berlangsungnya pertempuran di dalam
hutan itu, gaya bertempur kedua pasukan yang
berseberangan itu memang berasal dari satu sumber
yang sama telah membuat pertempuran layaknya sebuah
latihan pertempuran biasa, masing-masing sepertinya
sudah dapat membaca gerak lawan masing-masing.
Di tengah-tengah suasana pertempuran itu,
Tumenggung Jala Rananggana masih mencoba
menyapu dengan pandangannya, mencoba mencari
anak menantunya. Tapi suasana pertempuran di
kerapatan hutan rimba itu sangat sukar sekali
menemukan Adipati Menak Koncar.
970 Hingga akhirnya pendengaran Tumenggung Jala
Rananggana yang cukup tajam telah mendengar suara
suitan panjang. Belum sempat berpikir apapun,
Tumenggung Jala Rananggana telah melihat pasukan
lawan telah bergerak keluar dari pertempuran dan
menghilang seperti tertelan bumi.
Tinggallah pasukan Tumenggung Jala Rananggana
termangu-mangu ditinggal lawan-lawan mereka.
"Tetaplah kalian dalam kewaspadaan, nampaknya
musuh kita akan kembali memberikan kejutan lain",
berkata Tumenggung Jala Rananggana kepada para
pasukannya itu. Masih basah ludah Tumenggung Jala Rananggana
berucap, tiba-tiba terdengar suara berdesir mengisi udara
di dalam hutan itu. Terkejut Tumenggung Jala Rananggana manakala
mengetahui bahwa suara berdesir itu berasal dari suara
ratusan anak panah yang meluncur dari berbagai penjuru
mata angin. Seketika itu juga ratusan bahkan ribuan prajurit
Majapahit telah menjadi korban anak panah yang
terbang meluncur dari berbagai arah.
Hanya sedikit prajurit Majapahit yang selamat dari
hujan panah itu, mereka dapat berlindung di pepohonan
dan bebatuan. Atau beberapa orang prajurit Majapahit
yang punya kemampuan cukup tinggi sebagaimana
Tumenggung Jala Rananggana yang dapat melindungi
dirinya sendiri. "Hancurlah seluruh pasukanku bilasaja mereka
datang dan muncul tiba-tiba seperti di awal
pertempuran", berkata Tumenggung Jala Rananggana
971 dalam hati manakala hujan anak panah sudah mulai reda
dan melihat pasukannya telah bercerai berai kembali.
Namun yang dikhawatirkan oleh Tumenggung Jala
Rananggana tidak terjadi, nampaknya pihak lawan bukan
gerombolan pemakan manusia, bukan gerombolan
manusia biadab yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan.
Pasukan dari Lamajang dan Blambangan ini adalah
sebuah pasukan yang masih punya norma-norma
ageman yang kuat, tidak hilang pengendalian diri mereka
melihat jumlah pasukan lawan yang telah jauh berkurang,


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jauh untuk bertahan menghadapi terjangan pasukan
gabungan dari Lamajang dan Blambangan itu.
Yang dilihat oleh Tumenggung Jala Rananggana
adalah kemunculan para prajurit lawan layaknya seperti
pagar betis mengelilingi pasukannya yang sudah
terkoyak-koyak itu. Terlihat Tumenggung Jala Rananggana berdiri
mematung manakala seorang lelaki datang menghampirinya dengan pandangan mata tajam seperti
menghunjam jantungnya, sebuah mata dengan sorot
mata penuh kebencian. Berdesir hati dan perasaan Tumenggung Jala
Rananggana yang masih diam termangu melihat lelaki
yang datang kepadanya itu dengan sorot mata penuh
kebencian. "Mengapa Menak Koncar memandangku dengan
sorot mata penuh kebencian kepadaku ?", bertanyatanya Tumenggung Jala Rananggana dalam hati tidak
dapat mengerti bahwa lelaki yang dikenalnya sebagai
anak menantunya itu yang biasa menatapnya penuh
cinta kasih, penuh rasa hormat yang tinggi itu telah
memandangnya dengan wajah dan sorot mata penuh
972 kebencian yang amat dalam.
"Tak kusangka ayah mertuaku yang sangat
kuhormati, yang selalu memberikan wejangan tentang
nilai-nilai agung seorang ksatria sejati, ternyata telah
datang dan bekerja sama dengan sekumpulan orangorang biadab berhati culas. Tidak kusangka ayah
mertuaku yang kuhargai selama ini telah bersekutu
dengan orang licik berhati rendah", berkata Adipati
Menak Koncar masih dengan wajah dan sorot mata
penuh kebencian yang amat sangat memandang ayah
mertuanya sendiri. "Wahai anak menantuku, kelicikan dan kepicikan apa
gerangan yang kamu tuduhkan kepada diriku ini,
jelaskanlah kepadaku sehingga aku tidak bertanya-tanya
mengapa dirimu memandangku dengan mata penuh
kebencian seperti itu?" bertanya Tumenggung Jala
Rananggana kepada Adipati Menak Koncar dengan
perasaan hati yang pedih dan perih melihat kebencian
anak menantunya itu kepada dirinya.
"Perlukah aku menjelaskannya?" berkata Adipati
Menak Koncar dengan suara yang datar.
Tersentuh juga harga diri Tumenggung Jala
Rananggana mendengar cara Adipati Menak Koncar
berkata kepadanya. "Wahai anak menantuku, kalah dan menang dalam
pertempuran menurutku adalah sesuatu yang lumrah.
Begitu juga hidup dan matiku di pertempuran ini juga
sesuatu yang mungkin sudah digariskan oleh Gusti Yang
Maha Agung. Bila hari ini aku berhadapan dengan
pasukan dari ayah kedua cucuku, itu pun kuanggap
sebagai bagian dari garis hidupku pula. Karena aku
berdiri disini adalah garis kehidupanku sebagai seorang
973 prajurit Majapahit yang memegang janji dan amanat suci.
Bila pedangku melukai seorang musuh, itu adalah garis
dan tugasku sebagai seorang prajurit. Wejangan itu
pernah kusampaikan kepadamu. Namun hari ini aku
melihat kebencian didalam matamu telah membuat perih
dan pedih hati orang tua sepertiku ini", berkata
Tumenggung Jala Rananggana dengan suara yang
bergetar menahan gejolak perasaan hatinya yang
berduka. Mendengar perkataan orang tua yang sangat
dihormati itu telah menyurutkan perasaan hati Adipati
Menak Koncar yang bergejolak penuh kesangsian dan
kebencian kepada orang tua itu, berbalik membentur
keraguan bergumul didalam amuk perasaan dan
pikirannya. "Pasukan Majapahit telah berlaku licik, menahan
pasukanku di hutan ini sementara dengan diam-diam
masuk dan menguasai ke Kademangan Pronojiwo dari
jalan yang lain. Saat ini para warga Kademangan
Pronojiwo dan para pengungsi telah menjadi sandera
hidup pasukan Majapahit itu. Katakan bagaimana ayah
mertua dapat mencuci tangan sendiri, mengetahui dan
bersekutu bersama kelicikan. Puaskah ayah mertua
mendengar kemenangan dengan jalan kelicikan, bukan
dengan pedang dan cara terhormat sebagaimana jiwa
seorang ksatria seperti yang selalu ayah mertua
petuahkan kepada anak menantumu ini", berkata Adipati
Menak Koncar dengan memicingkan mata seperti ingin
membaca apa yang ada dalam pikiran ayah mertuanya
itu. "Anak menantuku, ternyata kamu salah besar
menilaiku seperti itu. Aku membawa pasukan ini sebagai
pasukan pembuka. Bila benar apa yang kamu katakana,
974 itu artinya aku dan pasukanku telah diperalat oleh
mereka, telah dikorbankan oleh mereka untuk sebuah
jalan kemenangan lewat jalan culas yang tidak ada
sedikitpun terbesit di hatiku. Bilamana aku mengetahui
apa yang ada dalam pikiran mereka, pasti akulah yang
akan menjadi menentang pertamanya. Bila memang
benar apa yang kamu katakan tentang penyanderaan
warga biasa, maka mulai saat ini aku akan berada
berseberangan dengan mereka, aku akan memerangi
mereka bersamamu, wahai anak menantuku", berkata
Tumenggung Jala Rananggana dengan suara yang
tegas dan kuat. Nampaknya Adipati Menak Koncar seperti tidak
memungkiri semua perkataan ayah mertuanya itu yang
diketahuinya tidak pernah berdusta, sangat tegas dan
kuat memegang jiwa ksatriannya.
"Maafkan anak menantumu ini, telah salah dan
berpikir dangkal menilai ayah mertua", berkata Adipati
Menak Koncar menunduk penuh rasa penyesalan.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan dan disesalkan,
yang perlu kita selesaikan hari ini adalah bagaimana
menyelamatkan para warga yang menjadi sandera dan
Kademangan Pronojiwo yang telah dikuasai oleh
pasukan Dyah Halayuda itu", berkata Tumenggung Jala
Rananggana kepada Adipati Menak Koncar.
Para prajurit yang tersisa dari pasukan Jala
Rananggana itu telah ikut mendengar pembicaraan
pemimpin mereka, telah mendengar sendiri bahwa
mereka ternyata hanya dijadikan sebuah umpan, sebuah
korban di hutan Pronojiwo itu telah membuat mereka
dapat memilih dimana kebenaran seharusnya berpijak.
Namun sebagai seorang pemimpin yang bijak,
975 Tumenggung Jala Rananggana masih memberi
kesempatan kepada prajuritnya untuk bicara dan
memilih. "Kalian masih dapat memilih dan menentukan, ikut
bersamaku bergabung dengan pasukan Empu Nambi,
atau tetap berada di bawah naungan panji pasukan
Majapahit. Apapun pilihan kalian tidak akan merubah
sikapku atas kalian, kita adalah saudara", berkata
Tumenggung Jala Rananggana kepada pasukannya
yang tersisa itu. "Kami akan selalu berada di belakang tuan
Tumenggung", berteriak para prajurit pasukan Tumenggung Jala Rananggana menyampaikan pilihannya. Demikianlah, pasukan yang semula bertempur di
hutan Pronojiwo itu kini terlihat telah bersatu padu,
berjalan beriringan menuju arah timur, menuju arah
benteng Randu Agung. Apa yang sebenarnya terjadi pada Kademangan
Pronojiwo " Sebagaimana diceritakan di muka bahwa Tumenggung Jala Pati telah bermain mata dengan
Mahapatih Dyah Halayuda untuk memperalat setengah
dari pasukan Tumenggung Jala Rananggana agar
masuk hutan Pronojiwo, sementara tanpa sepengetahuan Tumenggung Jala Rananggana, diamdiam mereka telah membawa seluruh pasukan Majapahit
lewat jalan lain masuk ke Kademangan Pronojiwo yang
telah ditinggalkan oleh pasukan Adipati Menak Koncar
dan Rangga Pamandana. Tanpa perlawanan apapun, pasukan Majapahit
dengan mudahnya menguasai Kademangan Pronojiwo,
976 menawan warga dan para pengungsi yang ada di sana.
Kedatangan pasukan Majapahit itu begitu cepat
bergerak mengepung Kademangan Pronojiwo telah
membuat para warga dan para pengungsi tidak berdaya
untuk lari menyelamatkan diri.
Para lelaki, orang tua, wanita dan anak-anak telah
diperintahkan keluar dari rumah dan digelandang ke
sebuah tanah lapang dekat banjar desa.
Beruntung seorang lelaki muda lepas dari
pengawasan mereka dan berhasil lolos lari ke hutan
Pronojiwo dan melaporkannya langsung kepada Adipati
Menak Koncar apa yang terjadi atas para warga dan para
pengungsi di Kademangan Pronojiwo itu.
Itulah sebabnya Adipati Menak Koncar begitu marah
kepada Ayah mertuanya sendiri, menduga Tumenggung
Jala Rananggana dan pasukannya telah menjebaknya.
Namun ternyata Tumenggung Jala Rananggana tidak
mengetahui kelicikan Senapati Agungnya sendiri, merasa
telah menjadi sebuah umpan tak berharga.
Tiga pasukan dengan tunggul, rontek dan umbulumbul berbeda terlihat berjalan bersama.
"Apa yang telah terjadi ?", berkata Empu Nambi
dalam hati yang melihat tiga pasukan dari kesatuan yang
berbeda itu tengah memasuki gerbang pintu Benteng
Randu Agung. Apalagi melihat sebuah umbul-umbul
besar yang sudah sangat dikenalnya ketika dirinya masih
sebagai seorang Patih Amangkubumi di istana Majapahit.
"Kesatuan pasukan Jala Rananggana", berkata kembali
Empu Nambi dalam hati sambil memandang sebuah
umbul-umbul bergambar harimau putih didalam lingkaran
matahari. 977 "Sungguh sebuah kegembiraan hati melihat seorang
mertua lelaki berjalan beriringan dengan anak
menantunya", berkata penuh kegembiraan hati Empu
Nambi menyambut kehadiran Tumenggung Jala
Rananggana di benteng Randu Agung itu.
"Seorang tuan rumah yang baik biasanya
mengadakan yang tidak ada untuk menjamu seorang
besannya", berkata Tumenggung Jala Rananggana
kepada Empu Nambi penuh persahabatan.
Terlihat Empu Nambi, Adipati Menak Koncar, Rangga
Pamandana dan para pemimpin pasukan lainnya telah
duduk bersama di pendapa benteng Randu Agung.
"Bukankah pasukan kalian seharusnya berada di
Kademangan Pronojiwo ?", berkata Empu Nambi sambil
memandang kearah Adipati Menak Koncar dan Rangga
Pamandana, berharap salah seorang diantaranya dapat
bercerita apa yang telah terjadi.
Maka Adipati Menak Koncar langsung bercerita apa
yang terjadi di Kademangan Pronojiwo saat itu, juga cikal
bakal mengapa Tumenggung Jala Rananggana akhirnya
bergabung bersama pasukannya itu.
"Apa sebenarnya yang mereka inginkan dari
penguasaan Kademangan Pronojiwo itu ?", berkata Panji
Samara. "Yang pasti mereka masih menganggap benteng
Randu Agung ini terlalu kuat untuk digempur langsung
oleh mereka. Masih terlalu pagi untuk menilai apa yang
sebenarnya mereka inginkan dari penguasaan Kademangan Pronojiwo, masih terlalu banyak kemungkinan mengapa mereka harus membayar dengan
sebuah harga yang sangat mahal, mengorbankan
setengah pasukan Jala Rananggana hanya untuk
978 menguasai sebuah Kademangan yang tidak berarti itu",
berkata Empu Nambi menanggapi pertanyaan Panji
Samara itu. Semua orang diatas pendapa benteng Randu Agung
itu seperti terpancing untuk terus berpikir, menjadikan
suasana di atas pendapa itu menjadi begitu sepi, hening


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanpa suara apapun, semua orang nampaknya telah
terperangkap didalam alam pikirannya masing-masing.
"Kedemangan itu memang tidak berarti apapun,
namun warga dan para pengungsi yang ada di sana pasti
sangat berarti bagi sebagian prajurit yang ada di benteng
Randu Agung ini, setidaknya di sana ada keluarga
mereka, istri, anak atau orang tua mereka sendiri",
berkata Tumenggung Jala Rananggana memecahkan
suasana keheningan diatas pendapa itu.
Perkataan Tumenggung Jala Rananggana seperti
sebuah pedang tajam yang bergerak menikam jantung
hati dan pikiran semua orang. Lebih-lebih Adipati Menak
Koncar yang langsung tersentak, pucat pasi.
Sontak semua mata diatas pendapa benteng Randu
Agung itu langsung tertuju kearah Empu Nambi,
berharap orang tua yang sangat bijak itu dapat
menyampaikan sebuah pendapatnya, memberikan
sebuah jalan keluar. Empu Nambi memang melihat ketegangan memenuhi semua orang diatas pendapa itu, terbaca
lewat cahaya mata mereka yang penuh pengharapan
dan ketergantungannya kepada dirinya seorang.
Namun Empu Nambi tidak berkata apapun, tidak juga
menemukan jawaban apapun di kepalanya. Terlihat
Empu Nambi hanya menarik nafas panjang berharap
dapat menemukan sebuah jawaban, namun pikirannya
979 seperti tidak bekerja, yang terbayang adalah ratusan
para sandera yang dipenuhi suasana mencekam,
dipenuhi suara-suara bentakan kasar. Dan diantara
bayangan itu tergambar dua orang anak lelaki kecil yang
tengah ketakutan di pelukan Ibunya. Wajah kedua anak
lelaki dan ibunya itu adalah wajah kedua cucu lelakinya
sendiri bersama anak menantu wanitanya sendiri.
"Mereka harus membayar mahal bila terjadi sesuatu
atas kedua cucu dan anak menantuku, meski selembar
rambut mereka", berkata Empu Nambi seperti bergumam
kepada dirinya sendiri. "Akhirnya pertanyaanku telah terjawab, bukan nilai
Kademangan itu yang berarti bagi mereka, tapi sandera
jiwa para warga dan pengungsi itulah sebagai barang
berharga bagi mereka, setidaknya sebagai umpan
pancingan agar kita keluar dari benteng ini, atau sebagai
alat tukar mereka memeras diri kita memenuhi dan
menuruti apa keinginan mereka", berkata Panji Samara.
"Banyak hal yang bisa terjadi, banyak hal
kemungkinan yang akan kita temui. Mari kita pasrahkan
diri kita kepada pemilik semua jiwa, pemilik hidup dan
kehidupan ini. Semoga Gusti Yang Maha Agung
memberikan jalan keselamatan kepada kita, memberikan
jalan ketenangan kepada hati dan pikiran kita, dan selalu
berada didalam genggaman tangan, mata dan
perlindungannya", berkata Empu Nambi berusaha
melepas kecemasannya sendiri, melepaskan kepentingan dirinya sendiri. Mencoba menenangkan
dirinya sendiri dengan meleburkan segala pikiran akal
budinya kedalam kekuasaan yang Maha Tunggal, pemilik
alam semesta ini. 980 JILID 12 HENING seketika suasana diatas pendapa benteng
agung itu, perkataan Empu Nambi begitu menyejukkan
hati, perkataan Empu Nambi seperti sebuah sihir yang
amat kuat, memberikan sebuah pengharapanpengharapan, memberikan keyakinan-keyakinan bahwa
jalan terbaik pasti akan mereka dapatkan.
"Hanya dialah yang Maha Tunggal yang mengetahui
apa yang terjadi jauh diluar batas dinding pagar batu
benteng ini, hanya dialah yang Maha Tunggal yang
mengetahui apa yang akan terjadi di waktu dekat ini,
nanti malam, besok atau lusa nanti. Sementara nafsu
dan laskar pikiran kita selalu mengusung kita seakan
dewa yang dapat berbuat sebagaimana Sang Hyang
Widi berbuat dan berkuasa", berkata kembali Empu
Nambi. Perkataan sang guru suci itu kembali seperti sebuah
sihir yang amat kuat, melenyapkan kecemasan dan
kegusaran hati semua orang yang hadir diatas pendapa
itu, perkataan guru suci itu seperti sebuah mata air yang
jernih mengalir diatas sebuah sungai kecil yang bening,
mengalir diatas sebuah danau yang sepi dan dalam,
begitu teduh menyejukkan mata hati dan jiwa.
Ternyata orang-orang di benteng Randu Agung itu
tidak harus menunggu lama tentang nasib para warga
dan pengungsi di Kademangan Pronojiwo, karena di pagi
harinya terlihat seorang lelaki berkuda mendekati
benteng Randu Agung. "Katakan kepentinganmu datang ke benteng Randu
Agung ini", berkata seorang prajurit penjaga di
panggungan kepada lelaki berkuda itu.
"Aku utusan Mahapatih Dyah Halayuda, ingin 981 bertemu dengan Empu Nambi", berkata lelaki berkuda itu
kepada prajurit penjaga. "Bukakan pintu gerbang untuknya, dan antarkan
langsung kepada Empu Nambi", berkata prajurit penjaga
itu kepada kedua orang kawannya.
Terlihat dua orang prajurit tengah menuruni tangga
panggungan. "Kuantar kamu ke hadapan Empu Nambi", berkata
salah seorang prajurit penjaga itu kepada lelaki berkuda
yang mengatakan dirinya sebagai utusan Mahapatih
Dyah Halayuda. Ternyata di pendapa benteng Randu Agung telah
berkumpul para pemimpin pasukan bersama Empu
Nambi. "Orang ini mengatakan utusan Mahapatih Dyah
Halayuda, ingin bertemu langsung dengan Empu Nambi",
berkata seorang prajurit penjaga kepada Empu Nambi.
"Bawalah orang itu kepadaku", berkata Empu Nambi
kepada prajurit penjaga itu yang langsung turun dari
panggung pendapa untuk membawa kembali seorang
utusan Mahapatih Dyah Halayuda.
Terlihat prajurit penjaga itu telah naik kembali ke
panggung pendapa sambil membawa utusan Mahapatih
Dyah Halayuda. "Katakan apa yang ingin disampaikan oleh Mahapatih
Dyah Halayuda kepada kami", berkata Empu Nambi
kepada utusan itu. "Tuanku Mahapatih Dyah Halayuda hanya ingin
menyampaikan bahwa para warga di Kademangan
Pronojiwo saat ini masih dalam keadaan selamat tak
kurang apapun", berkata utusan itu kepada Empu Nambi.
982 "Hanya itukah Mahapatih Dyah Halayuda mengutusmu datang kepadaku?" berkata Empu Nambi
kepada utusan itu. "Tuanku Mahapatih Dyah Halayuda ingin membuat
sebuah penawaran kepada Empu Nambi", berkata
utusan itu kepada Empu Nambi.
"Panawaran apakah gerangan yang diinginkan
tuanmu itu dariku ?", bertanya Empu Nambi sambil
memicingkan matanya seperti menembus jantung utusan
itu, mengaduk-aduk pikiran dan perasaannya hingga
membuat utusan itu merasakan dirinya seperti berdebardebar tak menentu.
Terlihat utusan itu berusaha menenangkan dirinya.
"Tuanku Mahapatih Dyah Halayuda ingin melakukan
sebuah penawaran, menukar para warga dengan diri
Empu Nambi", berkata utusan itu masih dengan hati
masih berdebar-debar yang tidak kunjung hilang setelah
berusaha ditenangkannya. "Masih adakah penawaran lain, selain pertukaran
itu?" bertanya Empu Nambi merasa kasihan melihat
wajah utusan itu yang terlihat sudah penuh tetesan peluh
keringat sebesar biji jagung.
"Tuanku Mahapatih Dyah Halayuda berharap Empu
Nambi datang besok pagi seorang diri, atau nasib warga
di Kademangan Pronojiwo setiap paginya akan kami
antarkan ke benteng Randu Agung ini sebanyak lima
orang, tentunya dalam keadaan sudah tidak bernyawa",
berkata utusan itu dengan wajah menunduk tidak berani
menatap langsung tatapan Empu Nambi.
"Kembalilah kamu kepada tuanmu itu, katakan bahwa
kami di Benteng Randu Agung ini biasa berperang
983 dengan pedang dan lembing di tangan, bukan dengan
cara-cara licik dan culas. Katakan pula bahwa selembar
rambut warga tak berdosa itu terganggu, jangan harap
kalian dapat kembali ke Kotaraja Majapahit dalam
keadaan hidup", berkata Empu Nambi dengan suara
bergetar menahan amarahnya yang terasa sudah
mendidih membakar hati dan perasaannya.
"Ijinkan aku keluar dari benteng Randu Agung ini,
pesan Empu Nambi akan kusampaikan kepada tuanku
Mahapatih Dyah Halayuda", berkata utusan itu berpamit
diri. "Antarkan orang ini keluar
Agung", berkata Adipati Menak
orang prajurit penjaganya yang
bawah panggung pendapa untuk
keluar dari benteng Randu Agung.
dari benteng Randu Koncar kepada dua masih menunggu di mengantar utusan itu Terlihat semua mata diatas panggung pendapa
Randu Agung itu tertuju kearah Empu Nambi, mereka
semua menunggu apa perkataan Empu Nambi tentang
tawaran Mahapatih Dyah Halayuda yang ingin menukar
jiwa para warga dengan dirinya sendiri, seorang
pemimpin sebuah pasukan besar di benteng Randu
Agung yang punya kekuatan seimbang dengan pasukan
Majapahit yang kini telah menguasai Kademangan
Pronojiwo. Namun Empu Nambi yang tengah dinantikan
suaranya itu hanya tersenyum sambil menyapu
pandangannya ke semua orang diatas pendapa benteng
Randu Agung itu. "Aku merasa tersanjung, di usiaku yang sudah rapuh
ini, ternyata nilai kepalaku ini masih begitu berharga",
berkata Empu Nambi masih sambil tersenyum menatap
984 satu persatu orang-orang yang berada diatas panggung
pendapa yang diketahuinya punya rasa kesetiaan yang
amat tinggi kepadanya. "Apakah ayahanda akan memenuhi penawaran
Mahapatih Dyah Halayuda ?", bertanya Adipati Menak
Koncar merasa tak sabar menunggu jawaban yang
sesungguhnya dari ayahandanya itu.
"Kuterima tawaran itu, tapi dengan harga yang lebih
mahal", berkata Empu Nambi sambil menyapu
pandangannya ke semua orang diatas pendapa Benteng
Randu Agung itu. Terlihat semua orang diatas pendapa itu seperti
terpaku, merasa terbentur dengan dua pilihan yang
sangat sukar untuk dipilih seperti buah simalakama,
membiarkan Empu Nambi menjadi alat tukar, atau
membiarkan lima orang mati di setiap pagi hari sesuai
dengan ancaman Mahapatih Dyah Halayuda.
"Menurutku kita tidak tengah dihadapkan dengan dua
pilihan yang sangat sulit, tapi kita tengah berhadapan
dengan sebuah permainan nyawa", berkata Empu Nambi
dengan suara yang sangat tenang sekali seperti tidak
tengah menghadapi sesuatu yang sangat menegangkan.
"Apa yang Empu Nambi maksudkan dengan sebuah
permainan nyawa ?", bertanya Panji Anengah meminta
Empu Nambi menjelaskannya.
"Aku akan datang sendiri ke Kademangan Pronojiwo
sebagaimana permintaan mereka, pastikan para warga
keluar dari Kademangan Pronojiwo dengan selamat.
Bakarlah hutan Pronojiwo sebagai pertanda bahwa para
warga telah berada di tempat yang aman. Jangan
khawatirkan tentang diriku, segeralah kalian menggempur pasukan Majapahit di Kademangan
985 Pronojiwo, pastikan tidak ada seorang pun musuh yang
keluar hidup-hidup dari Kademangan Pronojiwo itu",


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkata Empu Nambi dengan suara yang sangat tegas
dan jelas. Kembali suasana diatas panggung pendapa itu
menjadi penuh ketegangan, semua orang tidak dapat
membantah dengan usulan yang lebih baik selain yang
ditawarkan oleh Empu Nambi untuk menukar dirinya
dengan nyawa para warga dan pengungsi di
Kademangan Pronojiwo. "Kurasa inilah jalan yang terbaik yang harus kita pilih,
persiapkanlah seluruh pasukan kita untuk menghadapi
mereka besok. Tempatkanlah seluruh pasukan kita
malam ini juga di hutan Pronojiwo tanpa sepengetahuan
musuh agar kita dapat bergerak cepat memasuki
Kademangan Pronojiwo", berkata kembali Empu Nambi
di hadapan para pemimpin pasukannya.
"Benar-benar sebuah permainan nyawa", berkata
Panji Anengah sambil menarik nafas panjang, mencoba
meredam ketegangan hatinya membayangkan Empu
Nambi menyerahkan diri menjadi tawanan musuh.
"Apakah kamu mempunyai usulan yang lebih baik
dari yang kutawarkan ini, wahai saudaraku Panji
Anengah?" bertanya Empu Nambi sambil tersenyum
kepada Panji Anengah. "Hingga saat ini, aku belum mendapatkan yang lebih
baik dari usulan yang Empu Nambi tawarkan", berkata
Panji Anengah sambil menggelengkan kepalanya
perlahan. "Setiap hari kita sebenarnya tengah bermain-main
dengan nyawa kita, bukankah aku sering menyampaikan
kepada kalian bahwa umur kita adalah sebuah rahasia"
986 kapan dan dimana kita tidak mengetahuinya ujung batas
umur kita sendiri. Namun seorang manusia yang sudah
terlatih menghadapi mati sebelum kematian datang pasti
tidak akan gentar menghadapi kematian yang
sesungguhnya setiap saat dan setiap waktu. Bila Gusti
yang Maha Agung pemilik hidup dan kehidupan ini
mengambil nyawaku besok, itu adalah garis tanganku
sendiri, garis hidupku yang memang sudah ditentukan
hingga sampai disitu. Namun kita tidak tahu bila Gusti
Yang Maha Agung menentukan lain. Itulah yang
kumaksudkan bahwa kita tengah bermain-main dengan
nyawa kita sendiri, besok", berkata Empu Nambi.
Dan malam itu kembali hujan mengguyur bumi
Lamajang dengan sangat derasnya bersama suara
Guntur yang seperti tiada henti bergemuruh.
Disaat seperti itulah terlihat para prajurit dari benteng
Randu Agung keluar menyelinap dibawah kelamnya
malam dan guyuran air hujan bergerak tak terlihat oleh
pihak musuh menuju hutan Pronojiwo sesuai dengan
perintah Empu Nambi. Hingga akhirnya menjelang tengah malam tiba,
hanya beberapa prajurit penjaga saja yang tersisa
tertinggal di benteng Randu Agung itu.
Perlahan hujan deras berangsur surut dan tiris
bersamaan dengan semburat warna merah menyinari
cakrawala langit kelam di awal penghujung pagi itu.
Di awal pagi yang dingin itu, seperti pagi sebelumnya
sudah terlihat asap membumbung tinggi berasal dari
dapur umum benteng Randu Agung.
"Lihatlah olehmu, sepagi ini dapur mereka sudah
berasap. Aku baru menyadari begitu berat prajurit yang
bertugas di dapur, mereka harus sudah bangun dan
987 bekerja di awal pagi, sementara para prajurit tempurnya
mungkin masih mendengkur", berkata seorang petugas
pengamat pasukan musuh yang ditempatkan tidak jauh
dari benteng Randu Agung kepada kawannya.
"Semua sangat dibutuhkan dan punya andil yang
sama pentingnya dalam sebuah pasukan yang utuh,
tanpa prajurit yang bertugas memasak, prajurit tempur
akan mati kelaparan sebelum perang dimulai", berkata
kawannya menimpali perkataan prajurit petugas
pengamat itu. Ternyata kedua petugas pengamat musuh itu tidak
tahu bahwa prajurit di dalam benteng itu sudah hampir
seluruhnya sudah berada di hutan Pronojiwo, sementara
asap yang mengepul dari dapur umum itu hanya kayu
bakar yang sengaja dibakar untuk mengelabui pihak
lawan, seakan-akan pasukan Empu Nambi masih utuh
berada di dalam benteng Randu Agung itu.
Dan perlahan warna semburan merah cahaya sang
fajar sudah terlihat merata mengisi cakrawala langit
diatas bumi Lamajang. Dan perlahan sang fajar akhirnya
muncul menampakkan dirinya menerangi bumi,
menghangatkan rumput dan tanah basah.
Terlihat sekumpulan belibis putih terbang mengitari
kaki gunung Semeru. Sekumpulan belibis putih itu
sebenarnya berasal dari danau Ranu Pane, mungkin
pagi itu mereka tengah mencari sebuah singgahan baru
mencari makanan lain yang tidak ada di danau Ranu
Pane. Namun sebagian orang Lamajang saat itu masih
mempercayai bahwa sekumpulan belibis putih itu adalah
binatang piaraan para dewa yang bermukim di puncak
Mahameru Gunung Semeru. Kehadiran mereka terbang
meninggalkan danau Ranu Pane selalu dikaitkan bahwa
hari ini ada roh seorang manusia suci akan dijemput oleh
988 para dewa untuk dibawa ke puncak Mahameru.
Sementara itu di muka hutan Pronojiwo terlihat
seorang lelaki tua berjalan sendiri. Dari jubah putih yang
dikenakannya itu dipastikan bahwa lelaki tua itu adalah
seorang brahmana, atau seorang guru suci dari salah
satu aliran agama yang ada di bumi Majapahit saat itu.
Angin dingin di muka hutan Pronojiwo terlihat
mengurai rambut dan jubah lelaki tua itu yang terus
berjalan kearah Kademangan Pronojiwo.
"Tidak seorang pun diperbolehkan masuk ke
Kademangan Pronojiwo saat ini, tanpa kecuali dirimu
wahai pendeta tua", berkata salah seorang dari sekitar
sepuluh orang prajurit Majapahit yang menghadang lelaki
tua itu di muka gerbang gapura Kademangan Pronojiwo.
"Katakan kepada tuan kalian Mahapatih Dyah
Halayuda, bahwa aku Empu Nambi datang seorang diri",
berkata lelaki tua yang ternyata adalah Empu Nambi
kepada sekelompok prajurit Majapahit yang menghadangnya. Mendengar bahwa lelaki tua yang dihadangnya
ternyata adalah seorang Empu Nambi, dengan serta
merta mereka langsung meraba pedang di pinggang
masing-masing. Ternyata nama besar Empu Nambi
sudah benar-benar akrab di telinga mereka. Dan tanpa
disengaja di pagi itu mereka harus berhadapan muka
dengan pemimpin besar pasukan musuh yang konon
sering mereka dengar punya kesaktian yang amat tinggi,
dapat terbang mengendarai angin dan membakar hutan
dengan tangannya. Melihat rasa jerih di wajah para prajurit Majapahit itu,
Empu Nambi menyapu pandangannya dengan
tersenyum ramah, membiaskan perasaan gentar para
989 prajurit Majapahit itu. "Aku akan menunggu disini, dan
tidak akan pergi jauh-jauh. Cepatlah kalian menyampaikan kabar tentang kedatanganku ini", berkata
Empu Nambi dengan sinar wajah yang ramah penuh
senyum dibibirnya itu. Maka terlihat dua orang prajurit Majapahit telah
langsung berlari masuk ke Kademangan Pronojiwo yang
terjaga ketat itu. Dan tidak lama berselang, terlihat kedua prajurit itu
datang kembali bersama sekitar lima ratus prajurit
dimana diantaranya terlihat seorang pembesar bersama
mereka. "Ternyata seorang Empu Nambi seorang ksatria
besar, menepati janjinya datang di pagi ini seorang diri",
berkata pembesar itu dari atas punggung kudanya.
"Aku datang untuk memenuhi tawaranmu, wahai
Mahapatih Majapahit yang perkasa", berkata Empu
Nambi kepada pembesar itu yang tidak lain adalah
Mahapatih Dyah Halayuda. "Wahai para prajurit, lekas kalian tangkap orang ini",
berkata Mahapatih Dyah Halayuda kepada para
prajuritnya. "Aku tidak akan melakukan perlawanan setelah kamu
penuhi janjimu, melepaskan seluruh orang Lamajang
yang tersandera di Kademangan Pronojiwo ini", berkata
Empu Nambi dengan suara penuh berwibawa agung
menggetarkan dada siapapun yang mendengarnya.
Ternyata Empu Nambi sengaja melambari tenaga
sakti ajian gelap ngamparnya, membuat para prajurit
Majapahit tersentak ragu melaksanakan perintah
Mahapatih Dyah Halayuda. 990 "Baik, aku akan memenuhi janjiku", berkata
Mahapatih Dyah Halayuda yang ikut berdebar
merasakan tenaga sakti ajian Gelap Ngampar yang
dilepas oleh guru suci yang sangat sakti itu.
Terlihat Mahapatih Dyah Halayuda memerintahkan
beberapa prajuritnya yang langsung keluar dari
pasukannya kembali ke Kademangan Pronojiwo.
Dan tidak lama berselang terlihat rombongan warga
penduduk Lamajang yang masih diliputi wajah penuh
takut dan cemas beriringan digelandang para prajurit
Majapahit keluar dari gerbang gapura Kademangan
Pronojiwo. "Ki Sanepo, kemarilah", berkata tiba-tiba Empu
Nambi memanggil seorang lelaki tua yang seusia
dengannya yang berjalan di ujung iring-iringan para
warga. "Ampun tuanku Empu Nambi, apakah tuan gerangan
yang menukar seluruh jiwa kami?", berkata lelaki tua
yang dipanggil Ki Sanepo itu oleh Empu Nambi sambil
datang dengan duduk bersimpuh.
"Katakan kepadaku, apakah tidak ada lagi warga di
dalam Kademangan Pronojiwo ini?", berkata Empu
Nambi kepada Ki Sanepo. "Hamba orang terakhir dari iring-iringan ini", berkata
Ki Sanepo kepada Empu Nambi.
"Berdirilah wahai Ki Sanepo, bawalah seluruh warga
lewat hutan Pronojiwo", berkata Empu Nambi kepada Ki
Sanepo. "Kami warga bumi Lamajang tidak akan melupakan
budi besar tuanku", berkata Ki Sanepo sambil berdiri.
"Cepat berjalan bergabung bersama para warga, dan
991 jangan sekali-kali kamu menengok kebelakang", berkata
Empu Nambi dengan suara berbisik kepada Ki Sanepo.
Maka terlihat Ki Sanepo tua itu sudah berjalan cepat
menyusul iring-iringan para warga Lamajang yang sudah
semakin jauh meninggalkan gerbang gapura Kademangan Pronojiwo. "Wahai Empu Nambi, aku telah memenuhi janjiku
melepas semua sandera. Serahkan dirimu menjadi
tawananku", berkata Mahapatih Dyah Halayuda kepada
Empu Nambi masih ragu menduga-duga orang tua itu
yang punya kesaktian sangat tinggi itu tidak menepati
janjinya, melakukan perlawanan.
"Wahai Mahapatih Dyah Halayuda, putra tunggal
Empu Dyah Agniyuda yang penuh kemuliaan, keturunan
sang Raja Wurawuri yang sakti Mandraguna, mengapa
kamu masih meragukan diriku tidak menepati janjiku
sendiri. Perintahkan prajuritmu untuk mengikat kedua
tanganku ini, aku tidak akan melakukan perlawanan",
berkata Empu Nambi sambil menjulurkan kedua
tangannya. "Ikat tangan orang ini", berkata Mahapatih Dyah
Halayuda kepada seorang prajuritnya dengan suara yang
bergetar. Ternyata ucapan Empu Nambi yang menyebut nama
ayahandanya itu telah membuat diri Mahapatih itu
terkejut bukan main, dari mana Empu Nambi mengetahui
asal usul dirinya itu, menyebut nama ayahandanya
sendiri, menyebut nama keturunannya dari Raja
Wurawuri yang sudah sangat lama tidak terdengar
disebut-sebut lagi namanya.
Terlihat Mahapatih Dyah Halayuda turun dari
kudanya mendekati Empu Nambi yang sudah terikat.
992 Dan dua orang musuh besar itu terlihat sudah saling
terikat dalam satu pandangan mata.
"Bagaimana Empu Nambi dapat menyebut nama
ayahandaku dengan jelas?", berkata Mahapatih Dyah
Halayuda dengan tatapan mata yang kuat menghunjam.
Namun Empu Nambi menanggapinya dengan wajah
penuh senyum seperti tanpa beban apapun.
"Nampaknya Empu Agniyuda seorang yang berhati
bersih, mampu melihat apa yang akan terjadi, sudah


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dapat melihat bahwa akhirnya aku dapat bertemu
dengan putranya yang hilang", berkata Empu Nambi
masih dengan senyumnya. "Apa yang dikatakan oleh ayahandaku kepadamu?",
tertarik sekali nampaknya Mahapatih Dyah Halayuda
dengan cerita Empu Nambi tentang ayahandanya itu.
"Ayahandamu berpesan kepadaku bilamana bertemu
denganmu untuk mengatakan bahwa berhentilah kamu
bermimpi, kembalilah kepada ajaran suci para
leluhurmu", berkata Empu Nambi kepada Mahapatih
Dyah Halayuda. "Hanya itu?", berkata Mahapatih Dyah Halayuda.
"Bukan hanya itu", berkata Empu Nambi.
"Katakanlah", berkata Mahapatih Dyah Halayuda
seperti tidak sabar lagi.
"Ayahmu mengatakan kepadaku, bila terlihat
sekelompok burung belibis putih terbang rendah di kaki
gunung Semeru serta melihat sebuah asap tebal
kebakaran di hutan Pronojiwo, itulah pertanda bahwa
umurmu sudah diambang batas kematian", berkata Empu
Nambi kepada Mahapatih Dyah Halayuda.
993 Berdebar perasaan Mahapatih Dyah Halayuda
mendengar perkataan Ayahandanya yang disampaikan
oleh Empu Nambi itu, karena disaat itu dirinya memang
tengah melihat sekelompok burung belibis putih tengah
berputar-putar rendah di kaki gunung Semeru. Dan
bersamaan itu pula dilihatnya ada sebuah kepulan asap
tebal berasal dari hutan Pronojiwo yang terbakar.
"Ayahandaku salah membaca panggraitanya, semua
pertanda itu adalah untukmu, wahai Empu Nambi",
berkata Mahapatih Dyah Halayuda sambil mencabut
trisula kembarnya dan langsung menghunjamkannya ke
dada Empu Nambi yang masih dalam keadaan terikat
kedua tangannya. Satu dari trisula Mahapatih menembus dada kanan
Empu Nambi, sementara trisula lainnya telah langsung
menembus jantung Empu Nambi.
Kejadian itu begitu cepat, tidak ada seorang pun yang
dapat mencegah dua tangan Mahapatih Dyah Halayuda
yang sangat terlatih itu telah menggerakkan kedua
trisulanya dengan begitu cepatnya ke tubuh Empu
Nambi. Terlihat orang tua itu langsung roboh tertelungkup
mencium tanah. "Mahapatih, kamu telah membuat kuburan pasukanmu disini", berkata Tumenggung Jala Pati.
"Apa maksud perkataanmu, aku tidak mengerti,
wahai Tumenggung Jala Pati", berkata Mahapatih Dyah
Halayuda kepada Tumenggung Jala Pati.
"Kematian Empu Nambi akan membuat marah besar
seluruh pasukannya, mereka pasti datang dengan
dendam berkobar di dada, mati sebagai bela pati atau
994 hidup membayar darah", berkata Tumenggung Jala Pati
yang mengerti kecintaan pasukan Empu Nambi kepada
pimpinannya itu. "Apakah kamu takut wahai Tumenggung Jala Pati?",
berkata Mahapatih Dyah Halayuda kepada Tumenggung
Jala Pati. "Takut tidak ada dalam sejarah hidupku, aku hanya
mengingatkan dirimu sebagai senapati agungku, bahwa
apa yang kamu lakukan adalah menyalahi tata karma
jiwa para ksatria, membunuh seorang tawanan yang
tidak berdaya", berkata Tumenggung Jala Pati dengan
suara bergetar menahan rasa kebencian yang amat
sangat kepada atasannya itu yang punya hati dan jiwa
pengecut. "Kamu salah besar, wahai Tumenggung Jala Pati.
Kita datang ke bumi Lamajang ini dalam tugas membawa
Empu Nambi hidup atau mati. Dan sekarang kita telah
melaksanakan tugas itu dengan baik", berkata Mahapatih
Dyah Halayuda tanpa rasa sesal sama sekali.
Terlihat Tumenggung Jala Pati ingin membantah
perkataan Mahapatih Dyah Halayuda, namun tidak
sempat keluar dari mulutnya. Karena sebuah bayangan
hitam seperti ribuan serigala hitam terlihat samar keluar
dari hutan Pronojiwo. Bukan hanya Tumenggung Jala Pati, bukan hanya
Mahapatih Dyah Halayuda, tapi seluruh prajurit Majapahit
saat itu seperti tersentak kecut hatinya melihat sebuah
pasukan besar bergerak dengan berbagai senjata
tergenggam telanjang menuju kea rah mereka.
Pasukan besar itu adalah pasukan Empu Nambi yang
sejak malam hari sudah menunggu di hutan Pronojiwo,
memastikan seluruh warga berada ditempat yang aman,
995 melaksanakan amanat Empu Nambi untuk tidak melepas
siapapun prajurit Majapahit hari itu keluar hidup-hidup
dari bumi Lamajang. Kedatangan pasukan Empu Nambi seperti sekumpulan serigala yang kelaparan, menerkam,
mengganyang dan membantai musuh seperti layaknya
sekumpulan anak domba yang tersasar.
Para prajurit Majapahit yang terkenal tangguh, seperti
kehilangan darahnya melihat semangat membara di mata
para prajurit lawan yang bernyala-nyala seperti layaknya
seekor serigala haus darah mengejar mangsanya.
Dalam keadaan perang brubuh yang sangat buas itu,
Tumenggung Jala Pati seperti telah kehilangan akalnya,
tidak dapat mengendalikan seluruh pasukannya. Benarbenar sebuah peperangan yang tak terkendalikan, yang
ada hanya membunuh atau terbunuh.
Tumenggung Jala Rananggana, Panji Anengah, Panji
Wiranagari dan Panji Samara bersama seluruh
pasukannya adalah para prajurit yang sangat berani
yang sudah sangat dikenal di kalangan para prajurit
Majapahit, dan sekarang mereka telah menjadi lawan
mereka sendiri di Kademangan Pronojiwo itu.
Rasa gentar sudah menghantui hati para prajurit
Majapahit saat itu, ditambah lagi pertanda yang dikenai
oleh seluruh pasukan Empu Nambi yang sangat aneh itu,
memakai sebuah tangkai daun jarak diatas kepala
mereka, benar-benar seperti pasukan hantu yang
berkeliaran mencari mangsa di tengah hari bolong.
"Jangan kamu biarkan siapapun keluar hidup-hidup
dari bumi Lamajang ini", demikian pesan Empu Nambi
yang terus berdengung di telinga seluruh pasukannya
telah membuat langkah dan gerak para pasukan itu
996 seperti pasukan dewa kematian, pedang ditangan
pasukan Empu Nambi terlihat sudah berwarna merah
darah, sudah banyak nyawa hilang dan terluka dari
pedang-pedang itu. "Kakang Adipati Menak Koncar, berapa nyawa yang
terbunuh lewat cakramu itu", berteriak Kuda Anjampiani
kepada Adipati Menak Koncar yang tidak begitu jauh
darinya. "Seratus satu", berkata Adipati Menak Koncar sambil
menghantam dada seorang prajurit Majapahit yang
langsung terlempar di tanah tak bergerak lagi.
"Terlalu jauh untuk menyusulmu", berkata Kuda
Anjampiani sambil menyabet pedangnya setengah
lingkaran yang membuat perut lawannya robek penuh
darah. Semangat tempur yang tinggi dan digerakkan oleh
para pemimpin pasukan yang sangat berpengalaman
telah membuat pasukan Empu Nambi langsung berada
diatas angin menguasai hampir seluruh pertempuran di
Kademangan Pronojiwo itu.
"Ikal-Ikalan Bang, bawa pasukanmu keluar dari
Kademangan ini, biarkan pasukan Jala Pati terkubur
disini", berkata Mahapatih Dyah Halayuda kepada IkalIkalan Bang.
Tanpa menunggu perintah kedua kalinya, Ikal-Ikalan
Bang langsung menggerakkan pasukannya keluar dari
Kademangan Pronojiwo, terlihat Mahapatih Dyah
Halayuda ada bersama pasukan itu.
"Gila, mereka meninggalkan pasukanku bertahan
disini", berkata Tumenggung Jala Pati ketika menyadari
hanya pasukannya yang tertinggal menghadapi pasukan
997 Empu Nambi yang tangguh penuh semangat membara
itu. "Wahai saudaraku seluruh pasukanku di kesatuan
Jala Rananggana, bergabunglah kalian bersamaku",
berteriak mengguntur Tumenggung Jala Rananggana
kepada setengah pasukannya yang masih berada di
pihak pasukan Majapahit. Dan teriakan itu seperti sebuah besi sembrani, ribuan
pasukan yang tergabung dalam kesatuan jala
Rananggana yang tidak ikut berperang di hutan
Pronojiwo kemarin harinya terlihat saat itu juga bergerak
kearah suara Tumenggung Jala Rananggana.
Berpindahnya setengah dari kesatuan Jala Rananggana yang bergabung dengan induk semangnya
telah membuat pasukan Majapahit semakin kerdil dan
menciut keberaniannya. Ternyata kesatuan Jala pati dan kesatuan Jala
Rananggana ketika masih di Kotaraja Majapahit adalah
dua kelompok pasukan yang diam-diam menyimpan
permusuhan dan saling berseberangan.
Bermula dari kecemburuan kesatuan jala pati melihat
perhatian Empu Nambi ketika masih menjadi seorang
Amangkubumi di istana Majapahit sangat dekat dengan
kesatuan Jala Rananggana. Keadaan hal itu
dimanfaatkan oleh Ra Kuti menghasud pimpinannya,
Tumenggung Jala Pati hingga akhirnya berada dalam
kendali seorang Ra Kuti. Dan ketika Empu Nambi keluar
dari lingkungan istana Majapahit, kesatuan pasukan jala
Rananggana benar-benar sangat dikucilkan dan berbalik
meresa cemburu melihat perhatian yang berlebih
seorang Ra Kuti terhadap kesatuan pasukan Jala Pati,
bahkan dapat dikatakan sebagai anak emasnya.
998 Perseteruan lama itu nampaknya telah berkobar
dalam sebuah kebencian yang amat sangat di hati para
prajurit yang tergabung dalam kesatuan Jala
Rananggana itu di Kademangan Pronojiwo, bersama
pasukan yang bertanda setangkai daun jarak di
kepalanya, mereka telah membantai pasukan yang
ditinggalkan oleh senapatinya sendiri.
Perlahan tapi pasti, prajurit Majapahit terus menyusut
tajam seperti domba-domba betina dikepung sekumpulan
serigala jantan yang kelaparan.
"Kakang Adipati Menak Koncar, berapa korban
cakramu", berteriak Kuda Anjampiani kepada Adipati
Menak Koncar. "Dua ratus dua", berkata Adipati Menak Koncar
sambil melayangkan cakranya kearah dua orang prajurit
Majapahit. Cakra ditangan Adipati Menak Koncar terlihat begitu
keras dan cepat bergerak membuat dua orang prajurit
Majapahit itu tidak sempat lagi mengelak terhantam
berturut-turut dalam waktu yang hampir bersamaan yang
langsung jatuh terjengkang di tanah tak mampu
bergerak, mungkin nyawanya sudah langsung melayang
terhantam cakra bergigi tajam di kepala kedua prajurit
Majapahit itu. Dan perlahan tapi pasti, prajurit Majapahit terus
menyusut semakin berkurang, jatuh terluka atau mati
tersabet sebuah pedang lawan.
Dan pada akhirnya, para prajurit Majapahit sudah
seperti para anak domba dalam kejaran para serigala
buas, tidak membiarkan seorang pun prajurit yang lolos
di Kademangan Pronojiwo itu.
999 Hingga akhirnya ketika matahari telah condong ke
barat, prajurit Majapahit hanya tersisa sekitar dua puluh
orang. "Tumenggung Jala Pati, perintahkan sisa pasukanmu
menyerah sebelum habis tanpa tersisa", berkata
Tumenggung Jala Rananggana sambil mengepung
Tumenggung jala Pati dan sisa pasukannya yang masih
bertahan. "Aku akan mati bersamamu", berkata Tumenggung
Jala Pati yang langsung menghentakkan seluruh
tenaganya menerjang kearah Tumenggung Jala
Rananggana. Terkesiap Tumenggung Jala Rananggana mendapatkan serangan yang tiba-tiba itu yang
diketahuinya sebuah gerak jurus untuk mati bersama.
Begitu beraninya langkah yang dilakukan Tumenggung Jala pati itu, menerjang dan seperti


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membiarkan pedang Tumenggung Jala Rananggana
mendekati perutnya, sementara pedangnya terangkat
sedikit mengarah ke leher Tumenggung Jala
Rananggana. Begitu cepat gerakan Tumenggung Jala Pati
membuat tidak ada kesempatan lain pada diri
Tumenggung Jala Rananggana selain memutuskan cara
yang sama, mati bersama. Trang..!!!! Tiba-tiba saja sebuah cakra membentur kedua
pedang mereka yang hampir saja saling membunuh itu.
Terlihat kedua pedang yang terbentur cakra itu langsung
terlempar terlepas dari tangan kedua Tumenggung itu.
Telapak tangan keduanya merasakan perih dan
1000 panas seperti terbakar dan keduanya terlihat mundur
beberapa langkah. Ternyata benturan cakra itu berasal dari tangan
Adipati Menak Koncar yang kuat dan bergerak begitu
cepat membenturkan kedua pedang para Tumenggung
yang telah sama-sama memutuskan untuk mati bersama.
"Orang ini tidak boleh mati, dia harus memberitahukan dimana ayahandaku berada", berkata
Adipati Menak Koncar sambil menuding telunjuknya
kearah Tumenggung Jala Pati yang terlihat sudah pasrah
mendapatkan kenyataan dalam satu gerakan saja sudah
langsung terlihat tingkat kemampuan Adipati Menak
Koncar yang berada jauh diatasnya.
"Ayahandamu telah terbunuh, sebelum pasukan
kalian datang di Kademangan Pronojiwo ini", berkata
Tumenggung Jala Pati. "Katakan siapa yang berkata Adipati Menak menggelegar. membunuh ayahandaku",
Koncar dengan suara "Mahapatih Dyah Halayuda yang telah membunuhnya", berkata Tumenggung Jala Pati merasa
gentar melihat kemarahan Adipati Menak Koncar
dihadapannya itu. "Ikat orang ini dan bunuh siapapun yang masih
menunjukkan perlawanan", berkata Adipati Menak
Koncar memerintahkan prajuritnya mengikat Tumenggung Jala Pati serta sisa pasukannya itu.
Nampaknya suara kemarahan Adipati Menak Koncar
telah membuat ciut sisa pasukan Majapahit itu, terlihat
mereka memilih menyerahkan diri dan tidak berani
menunjukkan perlawanan sedikitpun.
1001 Dan terlihat Adipati Menak Koncar bersama dengan
beberapa orangnya sudah langsung menyisir mayatmayat yang bergelimpangan di kademangan Pronojiwo
itu, berharap dapat menemukan jenasah Empu Nambi.
Namun hingga matahari terlihat mulai condong lebih
jauh lagi ke barat bumi, mayat Empu Nambi belum juga
ada yang menemukannya. Tanpa mengenal lelah Adipati Menak Koncar terus
mencari mayat ayahanda yang sangat dicintainya itu,
bahkan akhirnya telah memanggil Tumenggung Jala Pati
untuk menunjukkan dimana ayahandanya itu terbunuh.
"Aku melihat sendiri Empu Nambi jatuh tertelungkup
di tanah ini", berkata Tumenggung Jala Pati
menunjukkan tempat terbunuhnya Empu Nambi."Aku
masih ingat betul bahwa Empu Nambi berada tidak jauh
dari gerbang gapura Kademangan Pronojiwo ini", berkata
kembali Tumenggung Jala Pati memastikan terakhir kali
melihat Empu Nambi. Nampaknya Adipati Menak Koncar tidak menyangsikan persaksian Tumenggung Jala Pati,
meminta seorang prajuritnya membawa kembali
Tumenggung Jala Pati ke tempat para tahanan.
"Saudaraku, Adipati Menak Koncar. Hari sudah
menjadi gelap, besok kita dapat mencarinya kembali",
berkata Rangga Pamandana membujuk Adipati Menak
Koncar untuk beristirahat.
Dimanakah gerangan mayat Empu Nambi, mungkinkah mayat guru suci itu hilang seperti tertelan
bumi" Ternyata ada seorang yang mengetahui apa yang
terjadi atas diri Empu Nambi, melihatnya ketika trisula
1002 kembar Mahapatih Dyah Halayuda menghunjam tubuh
guru suci yang sangat lemah lembut dan berhati mulia
itu, bahkan melihat siapa gerangan yang membawa pergi
mayat Empu Nambi dengan mata dan kepalanya sendiri.
Sayangnya orang itu tidak berada di Kademangan
Pronojiwo disaat semua orang mencari mayat Empu
Nambi. Ternyata orang yang melihat Empu Nambi di saatsaat terakhirnya, hingga ketika sudah menjadi mayat saat
itu telah berada di kademangan Tempuro, tempat para
pengungsi, para warga Lamajang saat itu.
Tentunya kita akan mengingat kembali, siapa
gerangan orang tua yang terbelakang di iring-iringan
para pengungsi yang keluar dari kademangan Pronojiwo.
Dialah orang tua yang dipanggil oleh Empu Nambi,
memastikan bahwa seluruh tidak ada sandera yang
tertinggal di Kademangan Pronojiwo. Dialah Ki Sanepo
tua itu, saksi yang melihat apa yang terjadi atas diri
Empu Nambi. Ternyata Ki Sanepo tua tidak mengindahkan
larangan Empu Nambi agar segera meninggalkan
kademangan Pronojiwo selekasnya, tidak boleh
menengok kebelakang sedikitpun. Ternyata Ki Sanepo
tua begitu mencintai Empu Nambi, diam-diam
menyelinap sembunyi di sebuah semak belukar yang
lepas dari perhatian para prajurit Majapahit.
Ki Sanepo tua dari persembunyiannya telah melihat
dengan mata dan kepalanya sendiri bagaimana liciknya
Mahapatih Dyah Halayuda membunuh Empu Nambi
dalam keadaan tak berdaya, dalam keadaan terikat
kedua tangannya. 1003 Berkaca-kaca kedua mata Ki Sanepo melihat orang
yang sangat dicintainya itu jatuh tertelungkup mencium
tanah dengan darah tergenang di tanah.
Dan ada yang tak akan terlupakan oleh Ki Sanepo
tua seumur hidupnya, manakala gemuruh suara langkah
kaki pasukan Empu Nambi keluar dari hutan Pronojiwo,
ketika perang berkecamuk di Kademangan Pronojiwo itu,
Ki Sanepo tua telah melihat sekumpulan burung belibis
putih masih beterbangan rendah disekitar kaki gunung
Semeru, berputar-putar rendah diatas langit Kademangan Pronojiwo yang tengah berkecamuk
peperangan itu. Dan Ki Sanepo tua telah melihat dengan
mata dan kepalanya sendiri berkelebat dua bayangan
putih seperti terbang dan turun di tempat dimana mayat
Empu Nambi berada. Semua terlihat begitu cepat, mayat
Empu Nambi terlihat telah dibawa terbang oleh kedua
bayangan putih itu menghilang bersama sekumpulan
burung belibis yang sebelumnya masih berputar-putar di
atas langit Kademangan Pronojiwo.
Kepada semua orang di kademangan Tempuro
dimana para pengungsi sementara tinggal, Ki Sanepo
tua bercerita apa yang dilihatnya itu. Maka tersiarlah
berita menjadi cerita dari mulut ke mulut diantara para
pengungsi, bahwa mayat Empu Nambi telah dibawa
terbang oleh burung belibis putih ke puncak Mahameru.
Dan manakala beberapa orang prajurit yang
diperintahkan melihat keadaan para pengungsi di
Kademangan Tempuro, cerita tentang mayat Empu
Nambi sampai juga ke telinga para prajurit itu yang
langsung salah seorangnya berangkat kembali malam itu
juga untuk menyampaikannya kepada Adipati Menak
Koncar. Hubungan bathin antara seorang ayah dan putranya
1004 kadang begitu kuat, di hati Adipati Menak Koncar
sepertinya selalu berkata bahwa ayahanda tercintanya itu
masih hidup, namun dirinya tidak mengetahui dimana
keberadaan ayahandanya saat itu.
Benarkah firasat yang dirasakan oleh Adipati Menak
Koncar itu bahwa ayahandanya itu masih hidup"
Ternyata dimalam itu, terlihat dua orang pendeta
berjubah putih seperti terbang berkelebat mendaki
gunung Semeru. Salah seorang dari mereka terlihat
terbang sambil membawa mayat Empu Nambi. Kesaktian
kedua orang pendeta itu memang sungguh sangat luar
biasa, mereka berdua seperti manusia setengah dewa
yang terlihat melesat terbang dan berhenti di tepi danau
Ranu Pane. Salah seorang diantara mereka terlihat telah
membaringkan mayat Empu Nambi dihadapannya.
"Biarlah cerita tentang burung belibis putih akan
menjadi cerita para warga bumi Lamajang, Empu Nambi
telah dibawa terbang ke puncak Mahameru", berkata
salah seorang diantara keduanya sambil tersenyum.
Bulan sabit diatas danau Ranu Pane saat itu bersinar
menerangi kedua wajah pendeta itu, wajah keduanya
terlihat begitu bersih, begitu sangat gagah layaknya
wajah para raja-raja. "wahai Baginda, lihatlah luka di tubuh Empu Nambi
sudah tertutup tanpa bekas", berkata salah seorang
diantara mereka kepada kawannya itu yang dipanggilnya
dengan sebutan "Baginda".
"Tak ada senjata yang dapat melukai seorang pemilik
ajian Pancasona, juga tak ada senjata yang dapat
membunuh pemilik ajian Pancasona ini", berkata seorang
yang dipanggil dengan sebutan Baginda itu sambil
memandang wajah Empu Nambi yang terlihat segar,
1005 layaknya seorang yang tengah tertidur.
Terlihat kedua pendeta sakti itu saling berpandangan
manakala telah melihat tanda-tanda kehidupan muncul di
diri Empu Nambi, mulai dari detak jantungnya yang
kembali berdetak, juga suara nafas yang keluar masuk
dari lubang hidungnya. Dan terlihat keduanya menarik nafas panjang
manakala memandang Empu Nambi yang perlahan
membuka kelopak matanya. "Duhai kedua orang saudaraku, apakah aku sudah
berada di alam nirwana bertemu dengan kalian berdua?",
berkata Empu Nambi kepada kedua orang itu yang
nampaknya begitu sangat dikenalnya.
"Empu Nambi baru saja bermain dengan kematian",
berkata salah seorang dari mereka.
"Aku baru ingat, sepasang trisula telah melukaiku",
berkata Empu Nambi yang langsung bangkit duduk
meraba dadanya. "Kami berdua telah membawa Empu Nambi ke danau
Ranu Pati ini", berkata kembali salah seorang
diantaranya. "Aku iri dengan kehidupan kalian berdua, jauh dari
kehidupan duniawi yang tidak pernah sepi dari masalah,
kekisruhan, pergolakan dan kecamuk", berkata Empu
Nambi kepada keduanya. "Kami tidak pernah jauh dari kehidupan kalian,
melihat kecamuk yang terjadi di bumi Majapahit ini dari
pagar luar. Dengan cara seperti ini kami dapat menilai
siapa orang-orang yang paling pantas mendapat restuku
menjadi para ksatria penjaga bumi Majapahit ini.
Bukankah aku masih seorang Raja yang belum
1006 tergantikan?", berkata salah seorang dari kedua pendeta
sakti itu dengan wajah penuh senyum dan selalu cerah
berseri. "Ampuni hambamu, wahai tuanku Baginda Raja
Sanggrama Wijaya. hamba telah memerangi putra
tuanku", berkata Empu Nambi kepada salah seorang dari
mereka yang ternyata tidak lain adalah Baginda Raja
Sanggrama Wijaya. "Wahai saudaraku, Empu Nambi. Justru aku
berterima kasih kepadamu, apa yang kamu lakukan
bersama pasukanmu adalah untuk melindungi bahtera
kerajaanku dari badai prahara, dari orang-orang yang
salah berada di lingkungan istanaku", berkata Baginda
Raja Sanggrama Wijaya kepada Empu Nambi.
"Apa yang hamba lakukan hanya sekedar


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengurangi kekuatan yang tengah mengancam istana
saat ini", berkata Empu Nambi.
"Aku berharap gejolak badai prahara yang tengah
melanda istana Majapahit saat ini akan membuka mata
hati putraku Jayanagara, dapat melihat dan memilih
siapa lawan yang harus diwaspadai, siapa kawan yang
harus dirangkulnya", berkata Baginda Raja Sanggrama
Wijaya. "Tumenggung Mahesa Semu, Gajahmada dan
Adityawarman adalah para ksatria yang selalu setia
menjaga istana, apakah hamba orang tua ini harus
kembali ke istana?", bertanya Empu Nambi kepada
Baginda Raja Sanggrama Wijaya.
Mendengar pertanyaan Empu Nambi, terlihat
Baginda Raja Sanggrama Wijaya tersenyum memandang
Empu Nambi. 1007 "Aku tidak menyangsikan kesetiaan Empu Nambi,
dan kuyakini bahwa badai prahara di bumi Majapahit ini
akan segera reda menghilang manakala Empu Nambi
menginjakkan kaki di istanaku", berkata Baginda Raja
Sanggrama Wijaya berhenti sebentar sambil memandang
jauh kearah hutan cemara yang ada di dekat danau
Ranu Pane itu. "Namun alur peralihan kekuasaan akan
mandul, putraku tidak akan tumbuh dewasa karena tidak
ada tantangan untuknya menjaga dan memelihara
singgasananya sendiri", berkata kembali Baginda Raja
Sanggrama Wijaya. "Kita telah membangun sebuah bahtera besar
Majapahit ini sebagaimana amanat para leluhur kita lewat
pahatan yang terukir indah di dinding candi Borobudur.
Kita telah membangun bahtera besar Majapahit ini, jauh
lebih besar dari yang diangankan oleh Raja Erlangga
muda ketika berdiri diatas gunung Penanggungan. Kita
telah membangun bahtera besar Majapahit ini jauh dari
mimpi-mimpi para raja Singasari. Dan hari ini kita berdiri
diatas dermaga karya, memandang orang-orang muda
membawa bahtera besar Majapahit ini lebih jauh dari
yang pernah kita layari, biarlah para orang muda itu
mengenal waktu yang tepat kapan saatnya mengembangkan layar bahteranya, mengenal angin
yang bersahabat dan mengenal amuk badai hujan angin
prahara di atas lautan lepas. Restu kita para orang tua
adalah doa untuk mereka para orang muda mengarungi
sejarah emas masa depan mereka sendiri", berkata
seorang pendeta sakti lainnya yang tidak lain adalah
Patih Mahesa Amping yang terlihat masih gagah perkasa
dengan sinar mata begitu teduh sebagaimana sinar mata
para brahmana suci yang telah menemukan puncak
kedamaian hakikat pengembaraan sejati diri.
"Saudaraku, Empu Nambi. Besok pagi kita akan
1008 melihat di danau ini begitu banyak burung belibis putih
bermain terbang dan berenang. Entah sejak kapan
sekumpulan burung belibis putih itu hidup dan tinggal di
sekitar kawasan ini turun temurun. Namun aku yakin
bahwa leluhur mereka adalah para pengembara yang
telah banyak melihat belahan dunia dan akhirnya telah
membawa kelompoknya menemukan kawasan di lereng
Gunung Semeru ini, memutuskan untuk menetap dan
bermukim selamanya disini. Seperti itulah akhir dari
sebuah pengembaraan hakikat hidup kita, menemukan
sebuah nirwana alam kekekalan abadi, di ujung
pengembaraannya", berkata Baginda Raja Sanggrama
Wijaya sambil tersenyum memandang Empu Nambi.
"Malam ini dua orang saudaraku sepertinya tengah
menunjukkan kepadaku sebuah tempat yang sangat
indah dan bermaksud untuk mendatanginya.", berkata
Empu Nambi seperti dapat membaca makna perkataan
kedua sahabatnya itu yang telah lama mengasingkan
dirinya menjadi seorang pertapa suci.
"Seorang saudara yang baik selalu teringat kepada
saudaranya ketika berada di sebuah tempat yang sangat
indah, hanya satu kalimat yang diucapkannya, duhai
seandainya saudaraku ada dan melihatnya", berkata
Baginda Raja Sanggrama Wijaya kepada Empu Nambi.
"Sebagaimana leluhur burung belibis putih di danau
Ranu Pane ini, lereng gunung Semeru ini nampaknya
ujung pengembaraanku, mengisi hari-hari tuaku disini
sebagai seorang bujangga mengukir diatas daun rontal,
memahat sejarah panjang perjalanan para ksatria
penjaga Majapahit", berkata Empu Nambi kepada dua
orang sahabat sejatinya itu.
Demikianlah, malam itu Empu Nambi telah
memutuskan dirinya untuk hidup mengasingkan dirinya di
1009 lereng Gunung Semeru itu.
Beberapa hari kedua sahabatnya itu membantu
Empu Nambi membangun sebuah gubuk sederhana di
sekitar kawasan lereng Gunung Semeru itu.
Beberapa hari lamanya kedua sahabatnya itu
menemaninya, bertukar pikiran dan pengalaman,
berbincang tentang pengembaraan bathin, memaknai
hidup dan kehidupan hakikat diri sejati serta jalan terang
menuju alam kekekalan abadi untuk bersatu dengan
Yang Maha Tunggal, sebagai semesta, sebagai hamba,
sebagai ada dalam ketiadaanNYA, sebagai tiada didalam
keberadaanNYA. Hingga akhirnya kedua sahabatnya itu berpamit diri
untuk kembali ke Bukit Gedang, sebuah tempat
pengasingan diri mereka berdua di sekitar lereng Gunung
Kelud. "Sewaktu-waktu aku akan datang menyambangi
kalian ke Bukit Gedang", berkata Empu Nambi ketika
berpisah dengan keduanya.
"Sewaktu-waktu kami juga akan datang menyambangi lereng Gunung Semeru ini", berkata
Baginda Raja Sanggrama Wijaya.
Maka sejak itu Empu Nambi tidak pernah lagi turun
dari lereng gunung Semeru itu. Orang-orang di bumi
Lamajang sudah terlanjur percaya bahwa Empu Nambi
telah dibawa oleh burung belibis putih peliharaan para
dewa yang hidup dan bermukim diatas puncak
Mahameru. Orang-orang bumi Lamajang sudah terlanjur
percaya bahwa Empu Nambi telah berkekalan hidup dan
bermukim bersama para dewa diatas puncak Mahameru.
Sementara itu berita tentang kematian Empu Nambi
1010 telah sampai di istana Majapahit, tentunya bersamaan
dengan kembalinya Mahapatih Dyah Halayuda di
Kotaraja Majapahit. "Harga nyawa Empu Nambi senilai hancurnya
pasukan segelar sepapan", berkata Raja Jayanagara
manakala mendengar tentang kematian Empu Nambi
dan hancurnya kesatuan pasukan Jala Pati di bumi
Lamajang. "Pasukan musuh telah berlaku licik, telah
menggunakan racun yang amat ganas dalam
pertempuran mereka", berkata Mahapatih Dyah
Halayuda mencoba mengarang sebuah cerita tentang
kehancuran pasukannya itu.
"Kita harus membangun sebuah pasukan baru",
berkata Raja Jayanagara kepada Mahapatih Dyah
Halayuda. Bukan main gembiranya hati Dyah Halayuda
mendengar perkataan Raja Jayanagara itu, sebuah jalan
untuk menarik sebuah kekuatannya yang selama ini
masih sangat dirahasiakannya itu yang selama ini perlu
biaya yang cukup besar. "Mohon restu tuanku, hamba akan membangun
pasukan baru itu ", berkata Mahapatih Dyah Halayuda
penuh kegembiraan hati. Rencana Mahapatih Dyah Halayuda yang akan
menarik kekuatan pasukan bayangannya menjadi
sebuah kesatuan pasukan resmi kerajaan Majapahit itu
tercium juga oleh Tumenggung Mahesa Semu lewat
laporan seorang pejabat bendahara istana yang sangat
dekat dengannya itu. "Istana semakin rawan dengan kehadiran pasukan itu
1011 resmi menjadi kesatuan pasukan Kerajaan Majapahit.
Karena kesatuan pasukan itu lebih patuh kepada
Mahapatih Dyah Halayuda dan Ra Kuti ketimbang
kepada Rajanya sendiri", berkata Tumenggung Mahesa
Semu kepada Gajahmada suatu malam ditempat
kediamannya di puri Pasanggrahan Tanah Ujung Galuh.
"Mereka sudah semakin dekat dengan sasaran yang
mereka inginkan", berkata Gajahmada.
Sementara itu di waktu yang sama Mahapatih Dyah
Halayuda dan Ra Kuti tengah berunding mematangkan
rencana-rencana mereka. "Akhirnya pasukan kita resmi menjadi pasukan
kerajaan Majapahit ini", berkata Mahapatih penuh
kegembiraan hati. "Untuk mengelabui semua orang di istana ini, kita
harus berpura-pura membangun sebuah pasukan baru",
berkata Ra Kuti mencoba mengingatkan Mahapatih Dyah
Halayuda agar selalu berhati-hati.
"Aku jadi tidak sabaran untuk secepatnya menguasai
istana ini, duduk di singgasana sebagai seorang Raja
besar yang dihormati dan dijunjung tinggi", berkata
Mahapatih Dyah Halayuda tanpa sengaja mengungkapkan angan-angannya sendiri.
Terkejut Ra Kuti mendengar perkataan Mahapatih
Dyah Halayuda, namun Ra Kuti berusaha menutupi
keterkejutannya itu di hadapan Mahapatih Dyah
Halayuda. "Gila orang ini, lupa dengan ucapannya
dahulu yang ingin menjadikan diriku sebagai seorang
Raja. Wahai Ki Secang, aku akan menyingkirkanmu
sebelum kamu melangkah mendekati singgasana
khayalmu itu", berkata Ra Kuti dalam hati.
1012 Namun di mulut Ra Kuti berkata lain dengan apa
yang ada dalam pikirannya sendiri saat itu, "aku juga jadi
tidak sabaran untuk secepatnya melenyapkan Raja
lemah itu", berkata Ra Kuti kepada Mahapatih Dyah
Halayuda. Demikianlah, Mahapatih Dyah Halayuda dan Ra Kuti
telah dapat mengelabui orang-orang diistana, pura-pura
telah mengumpulkan orang-orang baru sebagai prajurit
baru dimana sebenarnya para prajurit baru itu adalah
pasukan mereka sendiri yang selama ini dibina di sebuah
tempat yang sangat dirahasiakan.
Sebagaimana layaknya membentuk sebuah kesatuan
pasukan baru, hari-hari Mahapatih Dyah Halayuda
terlihat selalu berada di lingkungan pasukannya itu,
melihat dari dekat kemajuan-kemajuan pasukan barunya
itu, meski hanyalah sebuah sandiwara besar, karena
pasukannya itu sudah terbentuk sebagai sebuah yang
kuat dan sudah sangat terlatih. Untuk menyempurnakan
sandiwaranya itu, kadang Mahapatih Dyah Halayuda
telah mengajak Raja Jayanagara melihat langsung ke
tempat penggemblengan pasukannya itu.
"Sebuah pasukan yang tangguh, sekuat pasukan
yang sudah lama dibentuk", berkata Raja Jayanagara.
Mendengar pujian dari Raja Jayanagara, terlihat
Mahapatih Dyah Halayuda tersenyum gembira.
"Mereka hamba jemput dari berbagai padepokan
yang ada di bumi Majapahit ini. Mereka sudah punya
dasar kemampuan yang cukup kuat sehingga tidak sulit
untuk mengarahkan dan membentuk mereka secara
perorangan menjadi seorang prajurit yang tangguh",
berkata Mahapatih mengarang sebuah jawaban yang
dapat diterima oleh Raja Jayanagara.
1013 Demikianlah, Mahapatih Dyah Halayuda dan Ra Kuti
telah dapat mengelabui orang-orang di istana, bahkan
Raja Jayanagara sendiri tentang pasukan baru itu.
Akhirnya Raja Jayanagara menjadi begitu puas
dengan hasil pembentukan kesatuan pasukan baru yang
dilakukan oleh Mahapatih Dyah Halayuda dan telah
membuat sebuah kekancingan meresmikan pasukan
baru itu dengan sebuah acara upacara pelantikan
khusus. Atas usul Mahapatih Dyah Halayuda kepada Raja
Jayanagara, telah ditunjuk salah seorang dari parajurit di
pasukan itu yang sangat cakap dan punya kemampuan
sangat tinggi diantara mereka sendiri seorang yang dapat
dipercaya menjadi pimpinan tertinggi, seorang Tumenggung dari kesatuan pasukan baru itu, yang
ternyata adalah Ikal-Ikalan Bang dengan sebuah upacara
pengukuhan yang sangat besar disaksikan oleh para
pejabat istana Majapahit.


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Banyak perwira tinggi yang pantas menjadi
pemimpin besar pasukan baru itu, namun Raja
Jayanagara telah condong memilih orang itu", berkata
Tumenggung Mahesa Semu membicarakan perihal
pengukuhan Tumenggung Ikal-Ikalan Bang kepada
Gajahmada dan Adityawarman.
"Nampaknya orang itu yang diusulkan oleh
Mahapatih Dyah Halayuda kepada Raja Jayanagara,
orangnya sendiri", berkata Gajahmada kepada Tumenggung Mahesa Semu. "Nampaknya mereka sudah begitu matang merencanakannya, sehingga tidak mudah menyusupkan
orang luar dilingkungan pasukan baru itu", berkata
Tumenggung Mahesa Semu kepada Gajahmada dan
1014 Adityawarman. "Yang kita hadapi saat ini adalah tidak dapat
membayangi gerakan mereka dari dekat", berkata
Adityawarman. "Masih ada jalan lain mendekati mereka", berkata
Gajahmada kepada Adityawarman dan Tumenggung
Mahesa Semu. Mendengar perkataan Gajahmada telah membuat
Tumenggung Mahesa Semu dan Adityawarman seperti
mendapatkan sebuah pengharapan lagi setelah merasa
putus asa. "Katakan kepada kami jalan itu, wahai Gajahmada",
berkata Tumenggung Mahesa Semu tidak sabaran
kepada Gajahmada. "Aku belum begitu yakin, apakah
menyetujuinya", berkata Gajahmada.
ibundaku "Apakah ada hubungannya dengan ibundamu?",
berkata Adityawarman kepada Gajahmada.
Gajahmada tersenyum memandang Adityawarman
yang nampaknya menjadi tidak sabaran itu.
"Aku harus minta ijin kepada ibundaku untuk meminta
bantuan beberapa orang anggota prajurit kesatuan
khusus Srikandi mendekati para prajurit Tumenggung
Ikal-Ikalan Bang", berkata Gajahmada.
"Ibundamu telah berjanji akan membantu kita",
berkata Tumenggung Mahesa Semu.
Demikianlah, pada hari itu juga terlihat Gajahmada
telah keluar dari istana dan berjalan ke arah sebuah
barak kesatuan khusus pasukan Srikandi dimana Nyi
Nariratih saat itu masih dipercaya menjadi pimpinan
1015 pasukan khusus itu yang terdiri dari para prajurit wanita.
Ketika tiba di barak khusus itu, seorang prajurit
wanita langsung mengantar Gajahmada ke tempat
ibundanya, Nyi Nariratih.
"Pasti ada sesuatu yang amat penting sehingga kamu
harus ke barak ini", berkata ibundanya kepada
Gajahmada sambil menatap wajah putranya itu seperti
hendak membaca jalan pikiran yang ada di benak
Gajahmada. Langsung saja Gajahmada menyampaikan maksud
dan tujuannya menemui ibundanya itu.
"Aku pernah berjanji kepada Tumenggung Mahesa
Semu untuk dapat selalu siap membantunya, katakan
kepadanya bahwa aku akan mengirim sepuluh prajurit
terbaikku membayangi gerak mereka lebih dekat lagi",
berkata Nyi Nariratih penuh kasih telah memenuhi
permintaan putranya itu. "Terima kasih, wahai ibundaku yang paling baik
sedunia", berkata Gajahmada menggoda.
"Paling baik dan tidak sombong", berkata Nyi
Nariratih menimpali canda putranya itu.
Maka diantar dengan wajah penuh senyum
ibundanya, terlihat Gajahmada telah keluar dari bilik
tempat kerja wanita yang sangat dihormati di kesatuan
pasukan khusus Srikandi itu.
Terlihat Gajahmada telah kembali ke istana dan
langsung menemui Tumenggung Mahesa Semu dan
Adityawarman. "Ibundaku menyetujuinya, akan menugaskan sepuluh
prajurit terbaiknya", berkata Gajahmada kepada
Tumenggung Mahesa Semu dan Adityawarman.
1016 "Setiap prajurit Srikandi rata-rata punya kemampuan
tataran kanuragan yang cukup tinggi, mereka juga punya
kemampuan melaksanakan tugas telik sandi yang sangat
hebat", berkata Tumenggung Mahesa Semu penuh
kegembiraan hati mendengar laporan dari Gajahmada
tentang kesediaan Nyi Nariratih itu.
Demikianlah, di istana yang terlihat adem, sejuk dan
damai itu ternyata ada sebuah kekuatan yang tengah
mengintai, seperti sekumpulan anjing hitam yang tengah
mendekati seekor anak domba di malam hari yang
tersesat jauh dari induknya.
Sementara tiga ekor harimau masih diam
bersembunyi mengamati setia gerak anjing-anjing liar itu.
Saat itu candrasengkala tercatat di bulan keempat,
candranya air mata menggenang dalam kalbu.
Kapuk randu mulai berbuah, burung-burung kecil
mulai bersarang dan bertelur, para petani sudah
memanen tanaman palawijanya dan bersiap untuk
menanam padi gaga. Dan malam itu bulan terlihat tipis melengkung diatas
langit Tanah Ujung Galuh. Terlihat Nyi Nariratih tengah
duduk di panggung pendapa bersama sang putra
tercinta, Gajahmada. Mata keduanya kadang menatap jauh kearah gapura
puri pasanggrahan itu, seakan ada yang diharapkan
muncul dari balik gerbang gapura itu.
"Akhirnya mereka datang juga", berkata Nyi Nariratih
kepada Gajahmada manakala melihat tiga orang muncul
dari balik gerbang gapura puri Pasanggrahan mereka.
Wajah ketiga orang itu semakin jelas terlihat ketika
cahaya pelita malam yang tergantung diatas tangga
1017 pendapa itu menyinari wajah ketiganya.
Ternyata mereka bertiga yang baru datang itu adalah
Tumenggung Mahesa Semu, Adityawarman dan Supo
Mandagri. "Maaf kami datang sedikit terlambat, beruntung Supo
Mandagri berhasil membujuk seorang tukang rakit yang
tengah beristirahat di rumahnya untuk menyeberangkan
kami", berkata Tumenggung Mahesa Semu menyampaikan alasan keterlambatan mereka datang di
Tanah Ujung Galuh itu. "Kami hanya khawatir terjadi sesuatu atas kalian
bertiga, ternyata ada masalah dengan tukang rakit di
sungai Kalimas", berkata Nyi Nariratih kepada
Tumenggung Mahesa Semu. "Selama di perjalanan kami terus berpikir, pasti ada
sebuah berita yang amat sangat penting sekali", berkata
Tumenggung Mahesa Semu ketika sudah duduk
sempurna di atas panggung pendapa puri pasanggrahan
itu. "Ada berita yang sangat penting sekali yang aku
dapatkan dari salah seorang prajuritku yang berhasil
masuk di lingkungan kesatuan pasukan Tumenggung
Ikal-Ikalan Bang", berkata Nyi Nariratih terdiam sesaat
sambil menarik nafas dalam-dalam. "Mereka tengah
merencanakan sebuah makar, yang diawali dengan
melakukan penculikan dan pembunuhan atas tujuh orang
yang mereka anggap sebagai penghalang besar menuju
kursi singgasana", berkata kembali Nyi Nariratih.
"Siapa tujuh orang yang akan bernasib malang itu?",
bertanya Tumenggung Mahesa Semu.
"Tumenggung Jala Yudha, lima pejabat utama istana
1018 dan Raja Jayanagara", berkata Nyi Nariratih merinci tujuh
orang sasaran penculikan dan pembunuhan itu.
"Mahapatih Dyah Halayuda adalah salah seorang
dari lima pejabat utama istana, apakah itu artinya Ra Kuti
tidak ingin berbagi?", berkata Adityawarman merasa
heran. "Mereka menyandikan rencana makar itu dengan
sebutan gerakan tiga puluh sabda candra sempurna",
berkata Nyi Nariratih. Mendengar ucapan Nyi Nariratih, semua orang di
pendapa itu terlihat langsung mengerutkan keningnya,
mencoba berpikir untuk menerjemahkan kata sandi
gerakan pihak musuh, gerakan tiga puluh sabda candra
sempurna. "Tiga puluh sabda adalah jumlah isi kitab yang
digunakan oleh umat Ra Kuti", berkata Gajahmada.
"Candra sempurna adalah bulan purnama", berkata
Adityawarma. "Apakah bermakna gerakan pasukan Ra Kuti pada
bulan purnama ini?", berkata Tumenggung Mahesa
Semu. "Tiga belas hari lagi akan jatuh purnama", berkata
Gajahmada. "Apa yang dapat kita lakukan menghadapi gerakan
mereka itu?", bertanya Nyi Nariratih kepada semua orang
yang ada di atas panggung pendapa.
Lemparan pertanyaan Nyi Nariratih telah membuat
semua orang kembali berpikir keras, suasana langsung
menjadi sepi dan senyap. "Yang pasti mereka akan mengerahkan pasukannya
1019 menguasai istana", berkata Tumenggung Mahesa Semu
mencoba memecahkan suasana.
"Namun tanpa lima pejabat utama istana, Ra Kuti
tidak akan mendapatkan dukungan untuk menjadi
seorang Raja", berkata Adityawarman.
"Nampaknya kita harus mendahului rencana mereka",
berkata Gajahmada. "Maksudmu?", Gajahmada bertanya Adityawarman kepada "Menculik orang yang akan mereka culik", berkata
Gajahmada menjelaskan maksud perkataannya itu.
"Termasuk juga menculik
bertanya kembali Adityawarman.
Raja Jayanagara", "Raja Jayanagara adalah yang paling utama untuk
kita selamatkan", berkata Gajahmada.
"Aku setuju dengan usulmu itu, kita bergerak
mendahului mereka", berkata Tumenggung Mahesa
Semu. "Kita bergerak Gajahmada. secara serempak", berkata "Aku akan mengerahkan seluruh prajuritku membantu
gerakan ini", berkata Nyi Nariratih.
"Terima kasih Nyi Nariratih, kita memang perlu tujuh
kelompok untuk melaksanakan gerakan kita ini dalam
waktu yang sama", berkata Tumenggung Mahesa Semu.
"Kita perlu sebuah tempat yang amat rahasia
menyembunyikan orang-orang yang akan kita culik itu",
berkata Nyi Nariratih. "Ke sebuah tempat yang tidak ada dalam pikiran
1020 mereka", berkata Gajahmada.
Semua mata tertuju ke arah Gajahmada, seakan
meminta penjelasannya lebih lanjut.
"Mereka akan selalu berpikir bahwa kita akan
membawa orang-orang yang kita culik itu di Tanah Ujung
Galuh, kita akan mengelabui pikiran mereka ", berkata
Gajahmada. "Ada sebuah tempat setengah hari perjalanan ke
arah barat Kotaraja Majapahit, aku sering mencari batu
bintang di Kabuyutan Bebander dan kenal baik dengan
Ki Buyut Bebander", berkata Supo Mandagri.
"Bagus, besok kita sudah mulai melakukan beberapa
persiapan", berkata Tumenggung Mahesa Semu.
"Besok aku akan memerintahkan tujuh orang
prajuritku sebagai penunjuk arah ikut bersama Supo
Mandagri ke Kabuyutan Bebander, tujuh puluh orang
akan bergabung dengan pasukan Bhayangkara di
lingkaran pertama dan tujuh ratus pasukanku berada
dilingkaran kedua mengamankan dan melindungi seluruh
gerakan kita", berkata Nyi Nariratih sambil merinci
beberapa hal yang harus dilaksanakan oleh pasukan
gabungan itu, pasukan Bhayangkara dan pasukan
khusus Srikandi itu. "Pasukan telik sandiku yang berada di Kotaraja
Majapahit

Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan kukerahkan memantau segala kemungkinan yang bisa saja terjadi, dan turun sebagai
pasukan cadangan bila dimungkinkan", berkata
Tumenggung Mahesa Semu. Demikianlah, hingga larut malam mereka mematangkan rencana gerakan rahasia itu di puri
pasanggrahan Tanah Ujung Galuh. Dan manakala sudah
1021 tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, terlihat
Tumenggung Mahesa Semu dan Adityawarman pamit diri
untuk kembali ke Kotaraja Majapahit.
"Di malam seperti ini, apakah ada tukang rakit di
Sungai Kalimas?", bertanya Nyi Nariratih.
"Kami sudah meminta seorang tukang
menunggu", berkata Tumenggung Mahesa Semu.
parit Terlihat Tumenggung Mahesa Semu dan Adityawarman telah berjalan menjauhi pendapa puri
pasanggrahan itu, dan menghilang di ujung gerbang
gapura. Awan hitam terlihat membayangi
melengkung di langit malam.
bulan tipis "Nampaknya malam ini akan turun hujan", berkata
Nyi Nariratih sambil memandang mendung diatas langit
yang telah menutupi cahaya rembulan kepada Supo
Mandagri dan Gajahmada. "Akan mengantar tidurku menjadi lebih nyenyak lagi,
bermimpi berjalan bersama tujuh bidadari ke Kabuyutan
Bebander", berkata Supo Mandagri sambil tersenyum
berpamit diri untuk beristirahat.
"Mari kita beristirahat, besok pagi kita sudah harus
bangun dan bekerja kembali", berkata Nyi Nariratih
kepada putranya, Gajahmada.
Sementara itu awan hitam yang menutupi rembulan
di langit malam terlihat telah bergerak tertiup angin yang
cukup keras, pertanda hujan pergi ke tempat lain, bukan
di Tanah Ujung Galuh itu.
Dan rembulan menggantung di langit malam ditemani
tiga empat bintang, menjaga bumi yang tertidur.
1022 Pagi-pagi sekali, Supo Mandagri sudah terbangun
dan bersama Nyi Nariratih dan Gajahmada telah
berangkat ke Kotaraja Majapahit.
Supo Mandagri langsung bergabung dengan tujuh
orang prajurit Srikandi yang rencananya ditugaskan
sebagai penunjuk arah. Tanpa menarik perhatian banyak
orang, mereka terlihat telah keluar dari Kotaraja
Majapahit ke arah barat menuju Kabuyutan Bebander.
Dan sejak saat itu, puluhan petugas telik sandi telah
bergabung bersama pasukan srikandi telah menyebar di
enam tempat yang berbeda, di sekitar rumah kediaman
lima orang pejabat utama istana dan seorang pemimpin
prajurit di benteng Tanah Ujung Galuh, Tumenggung Jala
Yudha yang kebetulan bertempat tinggal di kotaraja
Majapahit. Dan hari-hari pun terus berlalu, hingga menjelang tiga
hari sebelum hari yang ditentukan itu telah disepakati
tujuh orang yang akan menjadi pemimpin tujuh pasukan
penjemput itu. "Gajahmada membawahi pasukan yang akan
menjemput Mahapatih Dyah Halayuda, Adityawarman
diistana membawahi pasukan yang akan menjemput
Raja Jayanagara, sementara aku sendiri yang akan
memimpin pasukan penjemput Tumenggung Jala Yudha.
Empat pasukan lagi kuserahkan kepada Gajahmada
sebagai pemimpin pasukan Bhayangkara", berkata
Tumenggung Mahesa Semu. "Aku akan memerintahkan empat orang prajuritku
yang telah dikenal secara pribadi oleh Ki Demung
Samaya, Ki Kunuruhan Anekakan, Ki Rangga Jalu dan Ki
Tumenggung Wasa. Mudah-mudahan keempat pejabat
utama istana itu tidak mempersulit dirinya sendiri",
1023 berkata Gajahmada. "Kita akan bergerak bersama dari tempat barakku di
penghujung waktu malam, di saat garis merah fajar
menyambung dari ufuk timur ke barat. Untuk pasukan
yang dipimpin oleh Adtyawarman dapat bergerak
langsung dari istana", berkata Nyi Nariratih menentukan
waktu yang tepat untuk bergerak bersama.
Dan keesokan harinya ketika masih kurang satu hari
dari waktu yang ditentukan itu, Tumenggung Mahesa
Semu telah mendapatkan laporan dari para petugas telik
sandinya bahwa para pejabat agung itu masih seperti
biasa datang dan pergi dari rumah masing-masing. Dan
tidak ada tanda-tanda pihak lawan maju satu hari
mendahului mereka. Namun Tumenggung Mahesa Semu
tetap memerintahkan para petugas telik sandinya agar
selalu siaga dan bertindak cepat bila terjadi
kemungkinan-kemungkinan diluar perhitungan mereka
sendiri. Dan warga Kotaraja Majapahit masih seperti tidak
menyadari akan terjadi sesuatu yang besar dalam
sejarah kehidupan mereka, suasana sehari menjelang
peristiwa tiga puluh candra sempurna kotaraja Majapahit
tetap seperti biasa, di pasar, di perempatan jalan dan di
setiap padukuhan setiap orang masih melakoni
kehidupan hari-hari mereka. Nampaknya para warga
Kotaraja Majapahit sama sekali tidak menyadari bahwa
kota mereka telah menjadi sebuah padang perburuan.
Dan di hari itu, disaat bulan bulat sempurna.
"Sandi kita malam ini adalah membawa naga muda
sembunyi", berkata Tumenggung Mahesa Semu kepada
seluruh pasukan yang akan bergerak malam itu dari
barak pasukan khusus Srikandi.
1024 Malam Majapahit. itu purnama menghias langit Kotaraja Banyak orang punya kenangan sendiri tentang bulan
purnama, biasanya anak-anak laki dan perempuan
dibiarkan bermain jauh malam disaat bulan purnama.
Seperti itulah suasana di beberapa padukuhan pada
malam bulan purnama di Kotaraja Majapahit, beberapa
anak kecil lelaki dan perempuan terlihat tengah bermain,
berlari-lari dan bernyanyi. Sepasang kekasih muda saling
berjanji setia di bawah cahaya sang rembulan yang
teduh dan menyejukkan hati itu.
Sementara itu di barak pasukan khusus Srikandi
telah berkumpul sebuah pasukan gabungan menanti
dengan perasaan berdebar dan gelisah sang waktu yang
bergerak seperti seekor ciput, begitu lambat merambat
malam itu mereka rasakan.
Beragam para prajurit gabungan itu menghadapi rasa
gelisah mereka, ada yang melupakannya dengan cara
melucu, berbincang hal-hal yang ringan. Namun
beberapa prajurit tidak dapat melepaskan kegelisahannya, terlihat dari sikapnya yang tidak betah
duduk berlama-lama, berdiri berlama-lama.
Gajahmada, Tumenggung Mahesa Semu dan Nyi
Nariratih yang melihat beragam cara para prajuritnya
menyikapi rasa gelisahnya tidak begitu memperdulikannya, mereka anggap setiap orang punya
cara dan sikap tersendiri menghadapi kegelisahan
hatinya. Yang mereka harapkan adalah mereka akan
siap lahir dan bathin manakala waktunya telah tiba.
"Ada banyak kemungkinan yang akan dapat kita
temui, bisa jadi kita datang terlambat didahului mereka,
bisa jadi kita datang bersamaan, atau kita datang
1025 sebelum mereka datang", berkata Nyi Nariratih
membicarakan berbagai kemungkinan-kemungkinan
yang akan dihadapi di lapangan.
"Aku sudah menyiapkan pasukan telik sandiku yang
akan mencoba menahan mereka bila datang mendahului
kita, setidaknya hingga pasukan penjemput datang",
berkata Tumenggung Mahesa Semu.
"Tidak kusangsikan tingkat tataran para petugas telik
sandimu, setahuku mereka adalah para prajurit utama
yang terbaik dalam sebuah pendadaran", berkata Nyi
Nariratih merasa lega dengan kesiapan para petugas
telik sandi menghadapi kemungkinan lain diluar
perhitungan mereka. "Ada beberapa orangku yang kusiapkan tidak jauh
dari barak pasukan Ikal-Ikalan Bang, tugas mereka
adalah menghambat gerak mereka bila memang keluar
disaat awal perhitungan kita", berkata Tumenggung
Mahesa Semu sambil tersenyum.
"Ternyata aku bekerja sama dengan seorang
perancang ulung", berkata Nyi Nariratih yang diam-diam
mengakui ketelitian dan kesiapan Tumenggung Mahesa
Semu itu menghadapi berbagai kemungkinan yang bisa
saja terjadi. "Seribu kemungkinan masih bisa terjadi, seperti
mereka bergerak bukan dari barak mereka, tapi dari
sebuah tempat yang tidak kita ketahui", berkata
Tumenggung Mahesa Semu. Mendengar perkataan Tumenggung Mahesa Semu
membuat Gajahmada dan Nyi Nariratih terdiam sesaat,
membenarkan kemungkinan yang dikatakan oleh
Tumenggung Mahesa Semu 1026 Sementara itu sang waktu diam-diam telah
menyelinap diantara warna rembulan yang semakin
pucat, diantara garis merah yang tersambung dari ufuk
timur dan barat langit malam.
"Aku berdoa untuk kalian semua, kita bertemu di
Kabuyutan Bebander", berkata Nyi Nariratih melepas
pasukan gabungan itu dari baraknya.
Kotaraja Majapahit masih begitu sepi dan dingin
ketika pasukan gabungan itu bergerak di enam tempat
berbeda. Seperti kebanyakan rumah-rumah yang ada di
sepanjang jalan utama Kotaraja Majapahit, rumah Ki
Demung Samaya terlihat begitu lengan. Dua orang
prajurit penjaga terlihat sudah terkantuk-kantuk di gardu
jaganya. Namun keduanya langsung segar kembali matanya
karena dikejutkan oleh suara ketukan keras pintu
gerbang dari luar. "Katakan, siapa kalian", berkata salah seorang
prajurit penjaga dari dalam.
"Lekas buka pintu, kami pasukan bhayangkara",
berkata suara dari luar. Mendengar suara dari luar yang mengatakan
pasukan Bhayangkara telah membuat mereka terkejut,
pasti ada hal yang sangat amat penting sehingga
pasukan Bhayangkara harus datang di hari masih awal
pagi seperti itu. Maka tanpa pikir dua tiga kali salah seorang prajurit
penjaga itu langsung membuka pintu gerbang.
Masih dengan hati penuh tanda tanya besar, dua
orang prajurit penjaga itu telah melihat lima belas orang
1027 prajurit Bhayangkara lengkap dengan pertandanya telah
memasuki pintu gerbang yang terbuka, dibelakang
mereka terlihat dua puluh orang prajurit dari pasukan
khusus Srikandi ikut memenuhi halaman muka rumah Ki
Demung Samaya itu. "Bangunkan Ki Demung Samaya segera, ada hal
yang sangat penting untuk kami sampaikan", berkata
salah seorang prajurit Bhayangkara kepada kedua
prajurit penjaga itu. "Segera aku akan membangunkannya", berkata salah
seorang prajurit penjaga itu yang langsung berjalan cepat
kearah pintu butulan. "Tetaplah kamu disini", berkata salah seorang prajurit
Bhayangkara kepada seorang prajurit penjaga yang telah
ditinggal oleh kawannya itu.
Prajurit penjaga itu telah melihat kelima belas prajurit
Bhayangkara telah berjalan kearah pendapa rumah Ki
Demung Samaya dan langsung menunggu didepan pintu
pringgitan. Tanpa membantah apapun, prajurit penjaga itu diam
ditempat, tidak berani berbuat apapun karena


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dihadapannya ada sepasukan prajurit Srikandi dengan
sikap seperti tengah menjaganya.
Seandainya saja prajurit penjaga itu mengetahui
bahwa diluar pintu gerbang sudah ada lebih banyak lagi
prajurit yang siap berjaga-jaga, pasti akan membuat
perasaannya menjadi ciut dan tidak berpikir apapun
selain berdoa semoga tidak terjadi apapun atas dirinya
dan dapat pulang ke rumah pagi itu menemui anak dan
istri tercinta. "Apakah tidak menunggu hari terang kalian datang ke
1028 rumahku?", berkata seorang lelaki tua yang terlihat keluar
dari pintu pringgitan menemui para prajurit Bhayangkara
itu. "Maaf Ki Demung, sangat penting sekali", berkata
salah seorang prajurit Bhayangkara yang nampaknya
sudah saling mengenal dengan baik dengan Ki Demung
Samaya itu. "Bila memang demikian, aku akan segera berkemas",
berkata Ki Demung Samaya yang berpikir bahwa dirinya
akan di kawal oleh pasukan Bhayangkara itu ke istana
untuk menghadap Raja Jayanagara.
Maka tidak lama kemudian terlihat Ki Demung
Samaya sudah bersiap diri untuk berangkat.
Demikianlah, tanpa curiga apapun terlihat Ki Demung
Samaya berjalan kearah pintu gerbang.
Terlihat Ki Demung Samaya mengerutkan keningnya
ketika melihat sepasukan prajurit Srikandi ada di
rumahnya. "Begitu pentingkah sehingga bukan hanya pasukan
Bhayangkara yang datang menjemputku?", berkata Ki
Demung Samaya dalam hati.
Namun Ki Demung merasa ada sebuah kejanggalan,
dirinya tidak berjalan kearah istana, melainkan kearah
barat Kotaraja Majapahit.
"Bukankah istana ada disebelah timur?", bertanya Ki
Demung Samaya sambil berhenti berjalan.
"Kita memang tidak tengah menuju istana", berkata
salah seorang prajurit Bhayangkara sambil menjelaskan
kemana sebenarnya mereka akan pergi dan mengapa
harus pergi secepatnya keluar dari Kotaraja Majapahit
itu. 1029 "Aku percaya dengan penjelasan kalian, semoga
para pejabat utama lainnya juga masih dapat
diselamatkan dari penculikan mereka", berkata Ki
Demung Samaya sambil mempercepat langkahnya
mengikuti langkah para prajurit yang mengawalnya itu.
"Terima kasih atas kepercayaan Ki Demung kepada
kami", berkata salah seorang prajurit Bhayangkara itu
yang nampaknya telah ditunjuk sebagai pimpinan dan
kelompok pasukan gabungan itu.
Demikianlah, tidak lama berselang terlihat rombongan pasukan yang mengawal Ki Demung
Samaya sudah mulai mendekati gapura gerbang batas
kotaraja sebelah barat itu.
Ternyata di sebuah persimpangan jalan rombongan
pasukan gabungan itu telah bertemu dengan pasukan
gabungan lainnya yang tengah membawa tiga pejabat
utama istana lainnya. Empat kelompok pasukan gabungan terlihat telah
melewati gapura batas kotaraja Majapahit.
Apa yang telah terjadi dengan tiga kelompok pasukan
penjemput lainnya" Sebagaimana yang dikatakan oleh Tumenggung
Mahesa Semu, seribu satu kemungkinan akan bisa saja
terjadi. Dan satu dari seribu kemungkinan itu dialami sendiri
oleh pasukan gabungan yang dipimpin langsung oleh
Tumenggung Mahesa Semu. Ternyata pasukan gabungan itu telah didahului oleh
pihak lawan. Ketika pasukan gabungan itu memasuki halaman
rumah Tumenggung Jala Yudha, terlihat sebuah
1030 pertempuran tengah terjadi antara pasukan telik sandi
yang bergabung dengan pasukan Srikandi menghadapi
para prajurit pasukan Ikal-Ikalan Bang yang berjumlah
sekitar seratus orang lebih. Meski jumlah petugas telik
sandi dan pasukan Srikandi lebih sedikit dari jumlah
lawan, namun terlihat mereka dapat mengimbanginya.
"Selamatkan Tumenggung Jala Yudha dan putrinya,
biarlah kami akan menahan mereka", berkata seorang
pemimpin petugas Telik sandi kepada Tumenggung
Mahesa Semu. Mata Tumenggung Mahesa Semu segera menyapu
seluruh pertempuran di halaman rumah itu, dan
dilihatnya seorang lelaki sebaya dengan dirinya tengah
bertempur sambil merangkul seorang anak perempuan
kecil yang menangis ketakutan.
Tumenggung Jala Yudha baru sebulan itu ditinggal
mati oleh istrinya, tidak menyangka bahwa didalam
suasana yang masih berduka itu mendapatkan sebuah
percobaan penculikan atas dirinya. Terlihat dengan
sangat gagahnya Tumenggung bertempur sambil
menggendong putri kecilnya. Pedang ditangan kanannya
terlihat begitu cepat menangkis serangan lawannya
bahkan kadangkala dapat balas menyerang lawanlawannya.
"Lindungi Tumenggung Jala Yudha dan putrinya itu",
berkata Tumenggung Mahesa Semu kepada pasukan
gabungan yang dibawanya itu.
Nampaknya para pasukan itu telah sangat paham
apa yang diinginkan oleh Tumenggung Mahesa Semu,
terlihat pasukan gabungan yang baru datang itu sudah
langsung memasuki medan pertempuran dan dengan
cepat telah berada melingkari Tumenggung Jala Yudha.
1031 "Tumenggung Jala Yudha, kami datang untuk
melindungi dirimu", berkata Tumenggung Mahesa Semu
kepada Tumenggung Jala Yudha agar tidak terjadi salah
pengertian."Ikutilah gerak pasukan kami", berkata
kembali Tumenggung Mahesa Semu kepada Tumenggung Jala Yudha. Sebagai seorang Tumenggung yang punya banyak
pengalaman tentang berbagai jenis gelar perang,
Tumenggung Jala Yudha dapat memahami bahwa
pasukan yang dibawa oleh Tumenggung Mahesa Semu
itu telah bergerak dengan gelar cakra yudha, sebuah
gelar perang yang bertujuan untuk mempertahankan dan
melindungi seorang yang dianggap sangat penting.
Perlahan pasukan dengan gelar cakra yudha itu telah
bergerak mendekati gerbang halaman rumah.
Nampaknya pemimpin pasukan telik sandi dan
pasukan srikandi yang sudah beberapa hari berjaga di
sekitar rumah Tumenggung Jala Yudha itu tahu betul apa
yang harus mereka lakukan meloloskan pasukan
penjemput itu membawa keluar dan menyelamatkan
Tumenggung Jala Yudha. Terlihat orang itu telah
memimpin pasukannya membentuk serangan dengan
gelar emprit neba. Serangan dengan gelar emprit neba itu benar-benar
sangat menyulitkan pihak musuh dan telah memecahkan
perhatian mereka. Dan Tumenggung Mahesa Semu telah memanfaatkan suasana pertempuran itu terus menggerakkan pasukan gabungan yang dipimpinnya
keluar dari gerbang rumah Tumenggung Jala Yudha.
Melihat pasukan gabungan Tumenggung Mahesa
Semu sudah berhasil keluar dari gerbang halaman
1032 rumah, para petugas telik sandi dan pasukan Srikandi
menjadi pasukan yang sangat kokoh menahan pasukan
lawan tidak dapat keluar dari halaman rumah
Tumenggung Jala Yudha. "Kita tahan lawan hingga tidak mungkin lagi mengejar
pasukan Tumenggung Mahesa Semu", berkata salah
seorang petugas telik sandi yang ditunjuk menjadi
pimpinan pasukan itu. Meski jumlah petugas telik sandi dan pasukan
Srikandi itu hanya berjumlah setengah dari jumlah
musuh, namun mereka punya kemampuan rata-rata yang
cukup tinggi mampu menahan pasukan musuh tidak
dapat bergerak menerobos gerbang halaman yang
mereka pertahankan itu. Sebagaimana diketahui bahwa petugas telik sandi
adalah prajurit pilihan yang terbaik, prajurit-prajurit yang
telah lulus ujian pendadaran dengan catatan nilai
tertinggi dari setiap angkatannya, hanya selisih sedikit
dari kemampuan yang dimiliki oleh
pasukan Bhayangkara. Sementara itu pasukan Srikandi adalah sebuah
pasukan khusus yang langsung digembleng oleh Nyi
Nariratih, seorang wanita perkasa yang punya
kemampuan ilmu sangat tinggi. Maka tidak heran para
prajurit wanita itu punya ketrampilan dan kemampuan
olah kanuragan yang sangat disegani. Seorang prajurit
Srikandi konon dapat mengalahkan sepuluh orang
prajurit biasa yang terlatih.
Maka tidaklah heran, seratus pasukan Ikal-Ikalan
Bang yang ditugaskan untuk menculik Tumenggung Jala
Yudha di rumahnya itu tidak dapat menerobos
pertahanan pasukan Telik sandi dan pasukan Srikandi
1033 yang hanya berjumlah setengah dari jumlah pihak lawan
itu. Dan manakala pasukan Tumenggung Mahesa Semu
sudah tidak terlihat lagi, mulailah pasukan gabungan itu
mengendurkan pertahanan mereka, perlahan mundur
memancing pihak lawan terus bergerak mengikuti
langkah mereka yang bergerak melawan arah perginya
pasukan Tumenggung Mahesa Semu.
Pihak lawan tidak menyadari bahwa mereka sudah
terpancing bergerak kearah yang salah.
Sementara itu cahaya fajar terlihat sudah
membentang dari utara ke selatan, pemimpin pasukan
gabungan itu memperhitungkan bahwa jarak pasukan
Tumenggung Mahesa Semu sudah tidak mungkin dapat
dikejar lagi. "Saatnya kita menghilang sebelum fajar pagi menjadi
terang", berkata pemimpin pasukan gabungan itu.
Mendengar teriakan pemimpin pasukan gabungan
itu, dengan sangat terlatih pasukan gabungan itu telah
membentuk langkah mundur dengan cara silang terus
menjauhi pertempuran dan menghilang menyelinap
diantara jalan-jalan kecil di pagi yang masih remang itu.
"Sial, kita sudah terpancing jauh dari sasaran kita
sendiri", berkata seorang pemimpin pasukan Ikal-Ikalan
Bang telah kehilangan lawan mereka.
Sementara itu pasukan Tumenggung Mahesa Semu
sudah berlari jauh meninggalkan Kotaraja Majapahit.
"Arah kita adalah Kabuyutan Bebander, masih
setengah hari perjalanan", berkata Tumenggung Mahesa
Semu kepada Tumenggung Jala Yudha yang masih
menggendong putri kecilnya itu.
1034 "Apa yang mereka lakukan hari ini tidak akan
kumaafkan, pada saatnya aku akan mengerahkan
seluruh pasukanku menghancurkan pasukan Tumenggung Ikal-ikalan Bang itu", berkata Tumenggung
Jala Yudha dengan suara bergetar penuh luapan
kemarahan. "Simpan dendam Tumenggung Jala Yudha untuk
sementara waktu, kita akan melakukan pembalasan
bersama", berkata Tumenggung Mahesa Semu kepada
Tumenggung Jala Yudha. Jalan menuju arah Kabuyutan Bebander dari Kotaraja
Majapahit itu memang hanya sebuah jalan setapak yang
berbatu-batu kadang sangat curam menurun atau terjal
mendaki telah membuat langkah pasukan gabungan itu
agak melambat. "Apakah pasukanku yang terakhir keluar dari Kotaraja
Majapahit?", berkata Tumenggung Mahesa Semu dalam
hati merasa heran tidak bertemu dengan keenam
pasukan lainnya diperjalanan itu.
Saat itu Tumenggung Mahesa Semu memang tidak
mengetahui bahwa masih ada dua kelompok pasukan di
belakangnya, pasukan yang dipimpin oleh Gajahmada
untuk menjemput Mahapatih Dyah Halayuda dan
pasukan yang dipimpin langsung oleh Adityawarman


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang akan menjemput Raja Jayanagara di istana.
Apa yang terjadi atas kedua kelompok pasukan itu"
Sebagaimana yang di ceritakan di muka, bahwa tepat
disaat garis tipis merah cahaya fajar membentang dari
arah ufuk timur dan barat, enam pasukan gabungan
terlihat keluar dari barak pasukan khusus Srikandi.
Mereka telah punya tugas masing-masing di tempat yang
berbeda. Pasukan gabungan yang dipimpin oleh
1035 Gajahmada terlihat telah Mahapatih Dyah Halayuda. bergerak kearah rumah Tidak ada ganjalan apapun ketika pasukan gabungan
itu memasuki gerbang halaman rumah Mahapatih Dyah
Halayuda yang hanya dijaga oleh empat orang prajurit
penjaga. Pamor pasukan Bhayangkara membuat
keempat prajurit penjaga itu sudah langsung membuka
pintu gerbang dengan lebar-lebar.
Namun permasalahan mereka temui pada diri
Mahapatih Dyah Halayuda sendiri.
Mahapatih Dyah Halayuda menyangsikan niat baik
pasukan gabungan itu bahkan berbalik menuduh akan
mencelakai dirinya. "Tidak mungkin ada yang berniat menculikku, janganjangan justru kalian sendiri yang berniat datang ke
rumahku ini untuk mencelakaiku", berkata Mahapatih
Dyah Halayuda. "Mahapatih Dyah Halayuda, apa yang kami lakukan
ini adalah untuk keutuhan dan kelanjutan Kerajaan
Majapahit ini. Untuk itu mungkin kami dengan sangat
terpaksa akan berlaku kurang hormat terhadap seorang
pejabat utama istana", berkata Gajahmada dengan
pandangan mata begitu tajam seakan berkata bahwa
kehidupan yang dimiliki saat itu adalah karena
kemurahannya dalam peristiwa peperangan di Blambangan. "Ki Secang dulu dan hari ini sangat berbeda, wahai
anak muda. Hari ini aku adalah seorang Mahapatih besar
Kerajaan Majapahit ini yang dapat menunjuk tangan
menurunkan hukuman kepada siapapun yang aku
inginkan", berkata Mahapatih Dyah Halayuda seperti
dapat membaca makna pandangan mata Gajahmada itu.
1036 "Kawan-kawan, tangkap orang ini dengan cara
apapun, meski harus mengkutungi tangan dan kakinya
dan kita akan membawanya dengan cara menyeretnya",
berkata Gajahmada dengan kata-kata yang sangat keras
bermaksud melemahkan Mahapatih Dyah Halayuda.
Mendengar perkataan Gajahmada, seluruh pasukannya sudah langsung bersiap diri mengurung
Mahapatih Dyah Halayuda. Namun Mahapatih Dyah Halayuda seorang yang
sangat licin bagai seekor belut dan dengan kemampuan
ilmunya yang sangat tinggi telah langsung melesat tak
terduga-duga melompati panggung pendapa rumahnya
dan telah menjejakkan kakinya diatas halaman rumah.
Melihat apa yang dilakukan oleh Mahapatih Dyah
Halayuda, seluruh pasukan gabungan itu langsung
mengejarnya. Saat itu Mahapatih Dyah Halayuda telah berada
ditengah halaman, sementara pasukan gabungan yang
dipimpin oleh Gajahmada itu hanya beberapa langkah
kaki tengah mengejarnya. Disaat seperti itulah muncul dari arah luar gerbang
sebuah pasukan besar sejumlah sekitar seratus orang.
"Kalian datang tepat waktunya, lekas kalian tangkap
orang-orang yang tengah mengejarku itu", berkata
Mahapatih Dyah Halayuda kepada pasukan yang baru
datang itu yang dari pertandanya adalah pasukan
Tumenggung Ikal-Ikalan Bang.
Sambil berkata memerintah seperti itu, Mahapatih
Dyah Halayuda langsung berbalik badan menghadap
kearah pasukan Gajahmada yang berhenti mengejarnya.
Dan tidak lama berselang pasukan Gajahmada sudah
1037 berada dalam kepungan pasukan Ikal-Ikalan Bang yang
baru datang itu. Dan pertempuran akhirnya sudah tidak dapat
dihindari lagi terjadi di halaman Mahapatih Dyah
Halayuda. Gabungan pasukan Bhayangkara dan Srikandi itu
seperti sepasang kekasih yang tanggap, tangguh dan
tanggon menahan serbuan pihak lawan yang datang
bagai air bah. Dan cambuk Gajahmada telah menyapu jalan
menghempaskan siapapun yang berada didekatnya.
Sementara matanya terus mencari dimana Mahapatih
Dyah Halayuda dapat ditemui.
Dua orang prajurit musuh penghalang terakhir terlihat
terlempar terkena tendangan dan lecut cambuk
Gajahmada yang terlihat bergerak sangat cepat. Dan
akhirnya Mahapatih Dyah Halayuda dan dirinya terlihat
Mestika Golok Naga 5 Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl Badai Awan Angin 2

Cari Blog Ini