Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana Bagian 17
disegani oleh semua orang karena kedekatan mereka
yang sangat erat dengan keluarga istana Majapahit.
Hingga ketika mereka beristirahat di pendapa,
dengan penuh kehati-hatian Ki Ajar Bendawa
menanyakan jati diri Gajahmada dan dua orang wanita
yang bersamanya itu. "Mohon maaf bila aku terlalu banyak bertanya,
siapakah tuan dan kedua putri ini sebenarnya dan
kaitannya dengan keluarga istana Kahuripan ?", bertanya
Ki Ajar Bendawa kepada Gajahmada.
"Kami memang keluarga istana Kahuripan yang
tengah berburu, yang baru saja bertanding dengan murid
Ki Ajar Bendawa adalah putri bungsu dari Ibunda Ratu
Gayatri", berkata Gajahmada
"Ampunilah diri kami yang tidak tahu berhadapan
dengan gunung yang amat tinggi, berhadapan dengan
keluarga istana Kahuripan yang sangat di hormati",
berkata Ki Ajar Bendawa. "Maaf bila aku memperkenalkan diri sebagai kakak
dari sang putri, kedudukanku sendiri hanya sebagai
seorang patih di Kahuripan", berkata Gajahmada kepada
Ki Ajar Bendawa "Sungguh tersanjung diri ini, bahwa hari ini aku
berkenalan dengan seorang patih dari kerajaan
Kahuripan", berkata Ki Ajar Bendawa sambil
merangkapkan kedua tangan di depan dadanya sebagai
tanda penghormatannya. Akhirnya tanpa di minta, Ki Ajar Bendawa telah
memperkenalkan dirinya dan muridnya sendiri hanya
1187 sebagai seorang pengembara biasa yang kebetulan
tengah melanglang di sekitar hutan gunung Penanggungan. "Kami berdua hanya pengembara biasa yang tengah
melanglang, kami berdua berasal dari Tanah Wengker",
berkata Ki Ajar Bendawa menyampaikan tempat asal
mereka. Dan dua hari sudah Jaka Sesuruh menjadi pelayan di
rumah singgah, dan dua hari yang singkat itu Gajahmada
telah mendapat seorang kawan baru, seorang lelaki tua
bernama Ki Ajar Bendawa. Dan Gajahmada sering
menghabiskan waktu malamnya bersama Ki Ajar
Bendawa, disaat semua orang di rumah singgah
beristirahat setelah seharian berburu di hutan
Penanggungan. Senang sekali Gajahmada mendapatkan kawan
bicara di hutan perburuan itu dengan seorang seperti Ki
Ajar Bendawa, sorang yang terlihat sangat santun. Dari
Ki Ajar Bendawa, banyak didengar cerita tentang
keadaan dan suasana kerajaan Wengker.
"Warga Wengker umumnya adalah orang-orang yang
kesehariannya sangat patuh dan taat kepada agamanya.
Orang-orang yang sudah terkunci pintu hatinya untuk hal
yang lain selain bekerja di sawah, beryoga dan
bersamadi", berkata Ki Ajar Bendawa bercerita tentang
kehidupan orang-orang Wengker pada umumnya.
"Pasti sebuah kota tua yang diberkahi, aman dan
sejahtera", berkata Gajahmada menanggapi cerita Ki Ajar
Bendawa. Dalam kesempatan lainnya, Ki Ajar Bendawa
mencoba bertanya tentang gerak jurus Dyah Wiyat yang
dilihatnya, sebagai sebuah gerak jurus yang sangat rumit
1188 yang baru pertama kali dilihatnya seumur hidupnya itu.
"Aku mengenal gerak jurus aliran perguruan
Padepokan Bajra Seta, sementara gerak jurus yang
dimainkan oleh sang putri sangat asing bagiku", berkata
Ki Ajar Bendawa kepada Gajahmada di suatu malam.
Gajahmada tidak langsung menjawab, hanya sedikit
tersenyum memandang kearah Ki Ajar Bendawa.
"Aku mengetahui bahwa Ki Ajar Bendawa pastinya
akan memberikan pengarahan kepada Jaka Sesuruh
tentang beberapa cara menghadapi sang putri. Maka aku
mencoba mengajarkan sang putri dengan sebuah gerak
jurus aliran perguruan yang berbeda untuk mengejutkan
murid Ki Ajar Bendawa di pagi harinya. Yang Ki Ajar
Bendawa saksikan itu adalah sebuah gerak jurus yang
bernama Adityakundala", berkata Gajahmada bercerita
dan menjelaskannya kepada Ki Ajar Bendawa.
"Aku orang tua tidak akan menyesal bila besok
umurku di ambil oleh Sang pencipta, ternyata di hari
tuaku ini masih dapat menyaksikan gerak jurus yang
amat langka itu, sebuah gerak jurus yang pernah
kudengar ceritanya dari eyang buyutku sendiri, sebuah
gerak jurus yang tak terkalahkan dan sangat sulit
dipelajari dan ditiru oleh siapapun, sebuah gerak jurus
yang diciptakan oleh seorang sakti di jaman dahulu yang
bernama Empu Tantular", berkata Ki Ajar Bendawa
dengan mata penuh berbinar-binar.
"Aku mewarisi gerak jurus itu dari ayahku sendiri",
berkata Gajahmada. "Sebuah kegembiraan hati berjumpa dengan pewaris
tunggal ilmu ciptaan Sang Empu Tantular", berkata Ki
Ajar Bendawa semakin menghormati orang muda yang
telah menjadi kawan bicaranya itu, seorang muda yang
1189 menurut dugaannya pastinya telah mempunyai banyak
ilmu simpanan yang sangat tinggi di balik kerendahan
hatinya itu. Dan hari-hari pun datang saling menggenapi, siang
dan malam, ada pertemuan dan adapula perpisahan.
Sebagaimana Gajahmada yang
Ki Ajar Bendawa, maka selama tiga
semakin mengenali sosok Jaka
seorang yang tidak banyak bicara,
menghargai seorang wanita.
semakin mengenal hari itu Dyah Wiyat Sesuruh sebagai sangat santun dan Disaat tengah malam tiba, disaat sendiri di
peraduannya, hati dan pikiran Dyah Wiyat sepertinya
ingin secepatnya sang malam berlalu agar dirinya dapat
segera berjumpa dengan pemuda itu yang selalu
menghadirkan sebuah debaran kebahagiaan yang
meletup-letup, yang melonjak-lonjak memenuhi seluruh
perasaannya. Namun sang waktu adalah kuda liar yang terus
berjalan lurus menembus batas terang dan batas
kegelapan yang tiada pernah berhenti berlari sejak
kelahirannya. "Kami tidak pernah merasa telah memenangkan
sebuah pertaruhan, tiga hari telah kalian penuhi sebagai
pemenuhan janji para lelaki terhormat", berkata
Gajahmada melepas perpisahan dengan Ki Ajar
Bendawa dan muridnya yang akan pergi.
"Senang bertemu dengan kalian, bila ada waktu kami
akan datang berkunjung", berkata Ki Ajar Bendawa.
"Pintu istana Kahuripan akan selalu terbuka lebar
untuk kalian berdua", berkata Gajahmada kepada Ki Ajar
Bendawa dan muridnya yang sudah berada di halaman
1190 muka rumah singgah. Demikianlah, diiringi pandangan Gajahmada, Biksuni
Andini dan Dyah Wiyat, terlihat Ki Ajar Bendawa dan
muridnya terus berjalan memasuki lebih dalam lagi hutan
timur di kaki gunung Penanggungan itu, dan menghilang
di telan kegelapan dan rimbunnya pepohonan.
Sementara itu dua orang pelayan mereka terlihat
tengah berkemas-kemas, ternyata giliran Gajahmada dan
rombongannya hari itu juga akan segera meninggalkan
rumah singgah, meninggalkan hutan perburuan kembali
ke kotaraja Kahuripan. Burung-burung pagi terlihat beterbangan kesana
kemari dari satu dahan ke dahan lainnya, dari satu pohon
ke pohon lainnya. Sesekali terlihat rombongan kera
berpindah tempat mencari buah-buah manis yang
tumbuh jauh di seberang hutan lain.
Lima orang penunggang kuda terlihat telah keluar
dari hutan timur di kaki gunung Penanggungan itu
menuju arah kotaraja Kahuripan.
"Sebuah kulit harimau yang sangat bagus", berkata
Gajahmada dalam hati manakala melihat sebuah kulit
harimau yang menjadi alas duduk sang putri diatas
punggung kudanya. Sejak saat itu, Kulit harimau itu memang tidak pernah
jauh dari kehidupan Dyah Wiyat, karena kulit harimau itu
adalah hasil perburuan mereka berdua, Dyah Wiyat dan
seorang pemuda tampan yang meninggalkan sebuah
nama yang indah manakala disebut ditengah kesunyian
hati. Dan sang waktu pun silih berganti di bumi Kahuripan.
Seratus hari setelah penobatannya sebagai pejabat
1191 Patih di Kahuripan, Patih Gajahmada mulai merambah
tidak hanya membangun kekuatan pasukan kerajaan
Kahuripan, namun mulai memikirkan kesejahteraan dan
kemakmuran seluruh warga Kahuripan.
Dan kali ini perhatian Gajahmada tertuju kepada
sebuah tambak besar peninggalan Raja Erlangga di
padukuhan Kalagyan yang sudah tinggal puing-puing
batu berserakan. Keinginan Patih Gajahmada untuk membangun
kembali tambak peninggalan Raja Erlangga itu ternyata
mendapat sambutan yang cukup menggembirakan, baik
dari pihak keluarga istana maupun dari seluruh warga
Kahuripan. Dan di waktu yang sangat tepat, di musim kering di
Candra Bentala Rengka, pembangunan tambak
Kalagyan telah dimulai. Berduyun-duyun seluruh warga
Kahuripan bahu membahu turun menyumbangkan
tenaganya membangun tambak besar itu.
Gembira hati Patih Gajahmada memandang para
warga Kahuripan yang tengah membawa batu-batu besar
dari berbagai tempat. Gembira hati Patih Gajahmada melihat dalam waktu
yang begitu amat singkat telah berdiri kembali sebuah
tambak besar, dua kali lipat besarnya dibandingkan
dengan yang pernah dibangun oleh Raja Erlangga di
tempat yang sama, di Padukuhan Kalagyan.
"Tambak Kalagyan itu telah mengikat kecintaan para
warga terhadap keluarga istana Kahuripan, dan
engkaulah sang pahlawan kami di bumi Kahuripan ini",
berkata Ibunda ratu Gayatri penuh rasa terima kasih
kepada Gajahmada yang telah mencetuskan sebuah
karya besar bagi seluruh warga bumi Kahuripan.
1192 "Tanpa restu Nyimas Kanjeng Ratu, tambak besar
sungai Kalagyan itu pasti masih menjadi sebuah puing
yang tiada berarti", berkata Patih Gajahmada kepada
ibunda Ratu Gayatri. Demikianlah, disaat mangsa utama Labuh semplah,
candranya air mata menggenang dalam kalbu, disaat
mata air mulai terisi, kapuk randu mulai berbuah, burungburung kecil mulai bersarang dan bertelur, di bulan yang
baik, di hari yang baik, keluarga istana bermaksud untuk
meresmikan tambak besar Kalagyan itu dengan
mengundang beberapa keluarga istana kerajaan
terdekat. "Tamu dari Kerajaan Wengker telah datang,
bermaksud untuk datang menghadap", berkata seorang
prajurit pengawal istana Kahuripan kepada Juwaraja
Tribuwana. "Sampaikan bahwa kami keluarga istana Kahuripan
menerima kedatangan mereka di pendapa agung ini",
berkata Juwaraja Tribuwana kepada prajurit pengawal
itu. "Raja Wijayarajasa dari kerajaan Wengker adalah
tamu pertama kita", berkata ibunda Ratu Gayatri kepada
Juwaraja Tribuwana, Dyah Wiyat dan Patih Gajahmada
yang telah berada di pendapa agung istana Kahuripan.
Maka tidak lama berselang, terlihat di halaman muka
pendapa agung, seorang prajurit pengawal istana
kerajaan Kahuripan berjalan mengiringi dua orang lelaki
yang sudah berumur, dan seorang pemuda.
Manakala ketiga tamu yang datang dari kerajaan
Wengker itu semakin mendekati pendapa agung, terlihat
Dyah Wiyat membelalakkan matanya, dua orang dari
ketiga tamu dari kerajaan Wengker itu ternyata sudah
1193 sangat dikenalnya dengan baik.
Ketika ketiga tamu itu tengah menaiki tangga
panggung pendapa agung istana Kahuripan, Dyah Wiyat
sepertinya berusaha mengendalikan perasaan hatinya
sendiri, sebuah perasaan kegembiraan hati bersama
debar yang tidak dimengerti datang begitu saja
menguasai dirinya. "Selamat datang di istana Kahuripan, wahai raja
penguasa bumi Wengker, tanah yang makmur dan
diberkati para dewa", berkata ibunda ratu Gayatri
menyambut kedatangan Raja Wengker di pendapa
agung istana Kahuripan. "Sebuah kehormatan mendapatkan
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebuah undangan dari keluarga istana Kahuripan ini", berkata
Raja Wengker setelah duduk bersama di panggung
pendapa agung istana Kahuripan.
Setelah saling menyampaikan keselamatan masingmasing, Raja Wengker itupun memperkenalkan dua
orang yang bersamanya itu.
"Aku perkenalkan dua orang yang mengiringi
perjalananku dari kerajaan Wengker menuju bumi yang
dilindungi para dewata ini. Yang tidak lain adalah
sahabatku yang bernama Ki Ajar Bendawa", berkata Raja
Wengker memperkenalkan seorang lelaki tua yang
bersamanya itu yang tidak lain adalah Ki Ajar Wengker
yang sudah dikenal oleh Gajahmada dan Dyah Wiyat di
hutan perburuan di hutan timur kaki gunung
Penanggungan. Terlihat Ki Ajar Bendawa tersenyum hangat
manakala pandangan matanya tertahan antara tatapan
mata Gajahmada dan Dyah Wiyat.
1194 "Sementara anak muda yang bersamaku ini adalah
putraku sendiri, bernama Raden Kudamerta", berkata
Raja Wengker memperkenalkan seorang anak muda
yang bersamanya itu. Terlihat Dyah Wiyat mengerutkan keningnya,
menatap anak muda yang diperkenalkan oleh Raja
Wengker sebagai putranya itu yang bernama Raden
Kudamerta. "Ternyata Jaka Sesuruh yang kukenal adalah putra
Raja Wengker, semoga saja anak muda itu tidak buka
suara tentang perlakuanku di tanah perburuan", berkata
Dyah Wiyat dalam hati penuh kegelisahan yang amat
sangat. Namun kegelisahan Dyah Wiyat semakin menjadijadi manakala anak muda yang dikenalnya bernama Jaka
Sesuruh itu membuka suara di panggung pendapa
agung istana Kahuripan itu.
"Maafkan ananda wahai ayahandaku. Aku dan Ki Ajar
Bendawa sudah mendahului ayahandaku, sudah saling
mengenal diantara keluarga istana Kahuripan yang hadir
di pendapa agung ini", berkata Raden Kudamerta sambil
tersenyum membuka suaranya di pendapa agung istana
Kahuripan itu. Terlihat Dyah Wiyat masih berdebar-debar manakala
Raden Kudamerta melanjutkan perkataannya.
"Ananda dan Ki Ajar Bendawa ketika melanglang di
sekitar hutan Gunung Penanggungan tidak sengaja
bertemu dan dijamu di rumah singgah milik keluarga
istana Kahuripan ", berkata Raden Kudamerta
melanjutkan perkataannya.
"Ternyata aku kedahuluan putraku sendiri", berkata
1195 Raja Wengker sambil tersenyum.
"Ananda Raden Kudamerta, ada dua putriku berada
di pendapa agung ini, siapakah gerangan diantara
keduanya yang kamu temui di hutan perburuan itu",
bertanya ibunda Ratu Gayatri kepada Raden Kudamerta.
"Sungguh ananda seorang yang tidak berbudi bila
ananda melupakan sang putri cantik jelita berhati mulia
yang tidak membedakan kasta, menjamu dua orang
pengembara jelata biasa, salah seorang putri Kanjeng
Ratu yang bernama Dyah Wiyat", berkata Raden
Kudamerta kepada ibunda Ratu Gayatri.
Terlihat ibunda Ratu Gayatri tersenyum, sebenarnya
sudah banyak mengetahui tentang kejadian di hutan
perburuan lewat Gajahmada, tentunya tanpa sepengetahuan Dyah Wiyat.
"Kita orang tua memang selalu kedahuluan dengan
orang-orang muda", berkata ibunda Ratu Gayatri sambil
melirik kearah putrinya, Dyah Wiyat.
Sebagai seorang wanita yang punya wawasan cukup
luas, yang ada di kepala ibunda Ratu Gayatri adalah
ikatan kekuasaan yang dapat mengikat lewat hubungan
perkawinan. "Tidak ada salahnya bila perkenalan mereka dilanjuti
dengan sebuah ikatan perkawinan, maka kedudukan
kerajaan Majapahit sebagai pusat kerajaan akan menjadi
semakin kuat", berkata ibunda Ratu Gayatri dalam hati.
Namun lamunan ibunda Ratu Gayatri terpecahkan
manakala seorang prajurit pengawal istana datang
menghadap Juwaraja Tribuwana melaporkan bahwa ada
beberapa utusan dari kerajaan terdekat yang sudah
datang. 1196 "Antarkan mereka ke pendapa agung ini", berkata
Juwaraja Tribuwana kepada prajurit pengawal itu.
Maka tidak lama berselang, ramailah suasana di
pendapa agung istana Kahuripan itu yang dihadiri para
Juwaraja dari berbagai kerajaan tetangga yang umumnya
adalah para kerabat keluarga istana Majapahit itu sendiri.
Dan tentunya tidak ketinggalan Juwaraja Kertawardana
dari Tumapel yang tidak lain adalah suami dari Juwaraja
Tribuwana sendiri. Kedudukan ibunda ratu Gayatri di pendapa agung
istana Kahuripan ternyata sangat dihormati, karena
wanita itu adalah salah seorang istri Baginda Raja
Sanggrama Wijaya. "Kemakmuran dan keamanan adalah dua sisi mata
uang logam keping yang tak terpisahkan selamanya.
Pembangunan tambak Kalagyan adalah bagian yang tak
terpisahkan dari sebuah upaya meratakan kesejahteraan
bagi umat manusia di bumi Kahuripan ini", berkata
ibunda Ratu Gayatri. Tambak Kalagyan adalah sebuah bendungan air
yang berasal dari sebuah Sungai Kalagyan yang
melewati kerajaan Kahuripan, sebuah sungai kecil
pecahan dari sungai Brantas.
Raja Erlangga membangun tambak Kalagyan
terutama untuk mengamankan kerajaannya dari bencana
alam sungai Brantas yang kadang sering meluap
membanjiri daerah sekitarnya. Nampaknya Patih
Gajahmada berpikir yang sama sebagaimana pikiran
Raja Erlangga, membangun kembali tambak Kalagyan
menjadi sebuah bendungan yang lebih besar dari yang
pernah ada sebelumnya. Dan di pagi yang amat cerah itu, enam kereta
1197 kencana diiringi ratusan prajurit terlihat berjalan menuju
arah padukuhan Kalagyan. Mereka adalah para
bangsawan yang akan mengunjungi tambak Kalagyan
yang konon merupakan sebuah bendungan air yang
sangat indah yang di buat di jamannya saat itu, sebuah
bendungan air yang asri dikelilingi pepohonan besar
hutan Kalagyan. Terlihat keenam kereta kencana yang membawa
para bangsawan itu berhenti di sebuah anak tangga
seribu, sebuah anak tangga batu yang dapat mengantar
setiap orang untuk naik keatas mencapai dinding
bendungan. Maka tidak lama berselang, anak tangga seribu itu
telah dipenuhi kaki-kaki para bangsawan yang sepertinya
penuh hasrat untuk mencapai puncak dinding
bendungan. "Sungguh sebuah pemandangan yang amat elok",
berkata Ki Ajar Bendawa kepada Gajahmada manakala
mereka sudah berada diatas puncak dinding bendungan
air Tambak Kalagyan. "Hutan Kalagyan adalah penyangga kekuatan dinding
bendungan, perlu kesadaran warga menjaga kelangsungan hutan Kalagyan", berkata Patih Gajahmada kepada Ki Ajar Bendawa.
"Air ini akan mengaliri sawah ladang para petani
sepanjang tahunnya", berkata Ki Ajar Bendawa sambil
memandang aliran air yang meluncur jatuh kebawah dan
merayap seperti seekor naga besar membelah bumi
Kahuripan, membelah persawahan yang luas membentang. Sementara itu beberapa sampan kecil terlihat tengah
dikayuh mengelilingi bendungan air yang cukup luas itu.
1198 "Terima kasih tidak bercerita yang sebenarnya
tentang apa yang telah terjadi di hutan perburuan",
berkata Dyah Wiyat diatas sampan kecil kepada seorang
pemuda tampan yang tengah mendayung sampan
mengelilingi bendungan air.
"Bukankah aku telah berkata yang sebenarnya ?",
berkata pemuda tampan itu sambil tersenyum.
"Seandainya dari semula kutahu kamu adalah
keluarga istana dari Wengker, kupukul kamu dengan
tenaga penuh", berkata Dyah Wiyat sambil bersungut
manja. "Aku masih berutang dua kekalahan darimu", berkata
pemuda tampan itu kepada Dyah Wiyat.
"Apakah ada keinginan darimu untuk melunasinya ?",
bertanya Dyah Wiyat. "Aku tidak begitu yakin dapat mengalahkanmu",
berkata pemuda tampan itu.
Demikianlah, sampan kecil itu ternyata tidak hanya
mengelilingi sekitar bendungan, namun telah menyusuri
setiap rahasia hati yang tersembunyi dari muda-mudi itu.
Bendungan air tambak Kalagyan yang cukup luas itu
ternyata tidak mampu membendung curahan lautan
asmara kedua muda-mudi itu.
Para pujangga menorehkan sajak-sajak cinta
keduanya tidak terbatas pada perjalanan pulang antara
tambak Kalagyan menuju istana Kahuripan, namun
berlanjut dalam sebuah peminangan.
Maka belum lengkap satu bulan dari pertemuan
mereka di tambak Kalagyan, datang kembali keluarga
Kerajaan Wengker ke istana Kahuripan untuk meminang
Dyah Wiyat. 1199 Sang putri cantik jelita, sang pemuda tampan
rupawan. Sungguh sebuah perpaduan yang sangat
serasi dan elok, menjadi perbincangan di berbagai
kalangan di bumi Majapahit, di kalangan para kawula alit
maupun para bangsawan. Sebuah upacara perkawinan berlangsung dengan
sangat amat meriah, dilaksanakan dalam suasana jauh
dari peperangan, dalam suasana damai memayungi bumi
Majapahit Raya, dihadiri oleh segenap keluarga dan
kerabat istana, para raja dan Juwaraja serta seluruh
utusan berbagai penjuru daerah kekuasaan Kerajaan
Majapahit Raya. Raja Jayanagara, Mahapatih Arya Tadah dan
Tumenggung Adityawarman datang di hari perkawinan
Dyah Wiyat dan Raden Kudamerta memberi restu
keduanya. Dan hari itu, ibunda ratu Gayatri, ditemani Juwaraja
Tribuwana dan patih Gajahmada telah menjamu para
penguasa dari pusat itu di pendapa agung istana
Kahuripan. "Ikatan perkawinan antara Dyah Wiyat dan Raden
Kudamerta telah membuat ikatan yang semakin
menguatkan keluarga Kerajaan Majapahit ini", berkata
Mahapatih Arya Tadah membuka pembicaraan di
pendapa agung istana Kahuripan.
"Blambangan dan Lamajang sudah kembali ke
pangkuan kita, dan sekarang kerajaan Wengker telah
terikat dalam ikatan perkawinan. Sementara itu Tumapel
dan Kahuripan telah berada dalam satu kendali", berkata
Ibunda Ratu Gayatri diam sejenak sambil menyapu
pandangannya ke semua orang yang hadiri di pendapa
agung. 1200 Semua orang terdiam, semua orang membenarkan
apa yang dikatakan oleh wanita yang selalu punya
pemikiran yang sangat cemerlang itu dalam mengatur
dan menata berbagai permasalahan di kerajaan
Majapahit itu. "Masih ada satu lagi wilayah di Kerajaan Majapahit ini
yang perlu mendapatkan perhatian dari kita bersama,
sebuah wilayah yang pernah menjatuhkan kerajaan
Ayahandaku Raja Kertanagara", berkata kembali ibunda
ratu Gayatri dan kembali terdiam sambil menyapu
pandangannya ke semua orang di pendapa agung itu.
"Apakah yang ibunda maksudkan wilayah itu adalah
Daha?", berkata Raja Jayanagara.
"Benar wahai putraku", berkata Ibunda Ratu Gayatri
kepada Raja Jayanagara. "Kekancinganku sebagai Juwaraja di Daha belum
kulepaskan, hingga saat ini aku telah menunjuk
Tumenggung Tanggulangin sebagai pejabat sementara
di kepatihan", berkata Raja Jayanagara.
"Peristiwa penyerangan orang-orang Mongol masih
membekas di hati orang Kediri. Tujuh keturunan mungkin
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
baru dapat menghapus luka berdarah itu. Banyak hal
bisa saja terjadi ada angin kepentingan yang diam-diam
berhembus menyalakan kembali bara dendam yang
sudah semakin meredup itu", berkata ibunda Ratu
Gayatri dihadapan semua orang yang hadir di pendapa
agung istana Kahuripan. "Ibunda pasti punya pemikiran, apa yang harus kami
lakukan", berkata Raja Jayanagara kepada ibunda Ratu
Jayanagara. "Menempatkan seseorang yang dapat kita percaya di
1201 Daha", berkata Ibunda Ratu Gayatri kepada Raja
Jayanagara. "Siapa kira-kira pilihan yang tepat menurut ibunda",
berkata Raja Jayanagara. "Aku mengusulkan Dyah Wiyat sebagai Juwaraja di
Daha", berkata ibunda Ratu Gayatri sambil memandang
ke semua orang yang hadiri di pendapa agung itu.
Terlihat ibunda ratu Gayatri tersenyum seperti dapat
membaca apa yang ada dalam pikiran semua orang yang
hadiri di pendapa agung itu.
"Aku dapat mengerti kesangsian kalian terhadap usia
Dyah Wiyat yang masih muda belia itu, namun aku akan
menyertakan bersamanya seseorang yang sudah tidak
kita sangsikan lagi kesetiaannya, juga kemampuannya",
berkata Ibunda Ratu Gayatri masih dengan wajah penuh
senyum. "Siapakah gerangan yang Nyimas Kanjeng Ratu
maksudkan?", bertanya Mahapatih Arya Tadah merasa
tertarik dengan perkataan ibunda ratu Gayatri.
"Seorang pemuda yang punya kesetiaan dan
kecintaan yang tidak perlu disangsikan lagi bagi kerajaan
Majapahit ini, saat ini ada bersama kita, ada diantara kita
sendiri", berkata ibunda Gayatri masih dengan senyum di
wajahnya. Entah mengapa, seluruh pandangan yang hadir di
pendapa agung itu tertuju bersamaan kepada seorang
pemuda yang duduk bersimpuh menjadi pendengar yang
baik. Siapa lagi pemuda itu yang tidak lain adalah Patih
Gajahmada. "Ternyata kita punya pandangan yang sama terhadap
anak muda ini, karena yang ada dalam pikiranku bahwa
1202 hanya Patih Gajahmada saja yang pantas menyertai
Dyah Wiyat di Daha, karena di Kerajaan Kahuripan ini
aku sudah melihat sendiri kemampuannya sebagai
seorang Patih", berkata ibunda Ratu Gayatri masih
dengan wajah penuh keceriaan menambah kecemerlangan sisa-sisa kecantikannya yang konon di
katakan orang sebagai kembarannya ratu Kendedes
yang menitis kembali. "Wahai saudaraku, apakah kamu bersedia menjadi
Patih di Daha?", bertanya Raja Jayanagara kepada Patih
Gajahmada. Semua orang nampaknya telah bersekutuan tidak
menyangsikan kemampuan Patih Gajahmada, semua
orang terlihat menunggu jawaban anak muda itu.
Semua orang melihat anak muda itu menarik nafas
panjang sambil menegakkan dadanya.
"Hamba adalah seorang petarung yang tidak pernah
memilih lawan di panggung pertarungan. Seandainya
saja hamba ditugaskan berdiri satu abad lamanya untuk
menjadi penyangga tiang istana Kerajaan Majapahit ini,
maka selama itu pula hamba berdiri dengan dua kaki ini
meski nyawa sudah hilang sirna. Seandainya saja hamba
diperintahkan menjadi tanah tempat istana Majapahit ini
berdiri, hamba rela terinjak ribuan kaki manusia, ribuan
celaan caci maki manusia demi kemuliaannya kerajaan
Majapahit ini, sendika dawuh?", berkata Patih
Gajahmada dengan suara penuh kesungguhan hati.
Perkataan Patih Gajahmada benar-benar seperti
sebuah sirep perasuk sukma, sirna sepi sunyi seketika
suasana diatas panggung pendapa agung istana
Kahuripan itu. Semua orang seperti tergetar hatinya
mendengar perkataan Patih Gajahmada yang memang
1203 tidak ada seorang pun yang menyangsikan kesetiaan
dan pengabdiannya bagi kerajaan Majapahit.
"Terima kasih, wahai saudaraku. Kesediaan dan
kesanggupanmu seperti semilir angin sejuk di padang
kegersangan. Bila Majapahit adalah matahari, Daha
adalah bulannya. Maka bumi ini akan terus dipayungi
cahaya kemakmuran dan keteduhan hati. Dan engkaulah
bintang sang fajar itu yang akan hadir memberikan
sebuah pengharapan baru", berkata Raja Jayanagara
kepada Patih Gajahmada mencoba memecahkan
kesunyian diatas panggung pendapa agung itu.
"Tumenggung Adityawarman, setahuku bahwa kamu
cukup lama tinggal menetap di Daha, ceritakanlah
kepada saudaramu, apa yang kamu ketahui tentang
orang-orang Kediri", berkata Ibunda Ratu Gayatri kepada
Tumenggung Adityawarman. Terlihat Tumenggung Adityawarman memperbaiki
letak duduknya, nampaknya ingin menyampaikan
sesuatu di pendapa agung itu.
"Yang kuketahui bahwa orang Kediri selalu
menganggap kita ini sebagai orang Jenggala, sementara
di kepala mereka hanya ada satu semboyan, Panjalu
Jayati yang artinya orang Kediri selalu jaya dan menang.
Namun Ayahandaku Patih Mahesa Amping akhirnya
dapat merebut cinta mereka lewat sebuah kerja keras
membangun Kediri tanpa pamrih serta tidak pilih kasih
dalam memutuskan sebuah keadilan, putra daerah dan
para pendatang mendapatkan perlakuan yang sama di
Bale pengadilan agung", berkata
Tumenggung Adityawarman menyampaikan pengalamannya selama
tinggal dan menetap di Daha.
"Penggambaranmu tentang hakekat orang Kediri
1204 sangat kuat, wahai putra Patih Mahesa Amping. Setiap
suku bangsa di bumi ini memang tidak lepas dari ingatan
sejarah masa lalu mereka, kemenangan Prabu Jayabaya
atas Jenggala, kekalahan Kerajaan Kediri oleh Ken Arok
adalah ingatan yang menggores begitu kuat di hati
mereka, membekas dalam bentuk sebuah kecintaan di
satu sisi dan kebencian disisi lainnya", berkata ibunda
Ratu Gayatri diam sejenak sambil menarik nafas
panjang, nampaknya masih ada perkataan lainnya yang
masih tersimpan di kepalanya.
Semua orang diatas panggung pendapa agung
terdiam, sepertinya tengah menunggu tutur kata dari
ibunda Ratu Gayatri yang penuh bermakna kebijakan itu,
penuh dengan wawasan yang sangat luas.
"Nampaknya Patih Mahesa Amping sangat andal
memainkan perannya lewat kecintaan orang Kediri
kepada sang Prabu Jayawijaya yang telah memberikan
sebuah pengharapan kepada mereka bahwa di suatu
masa akan turun seorang Ratu Adil, seorang ksatria
piningit. Nampaknya selama menjalankan tugasnya,
Patih Mahesa Amping telah mampu menjelmakan dirinya
sebagai sang ratu adil itu, seorang ksatria piningit yang
datang dari nagari antah berantah membawa
kemakmuran di tanah mereka. Harapanku, semoga saja
jejak langkah Patih Mahesa Amping dapat menjadi
sebuah contoh pijakan bagi siapapun yang datang di
istana Kerajaan Daha itu", berkata Ibunda Ratu Gayatri
menuturkan bagaimana menyelami dan memahami
kehidupan orang Kediri. "Sendika dawuh?", berkata Patih Gajahmada sambil
merangkapkan kedua tangan didadanya dihadapkan
kepada ibunda Ratu Gayatri yang sangat dihormati itu.
Semilir angin senja berhembus menyejukkan hati,
1205 menebarkan keteduhan setiap jiwa yang hadir di atas
pendapa agung Kahuripan. Harapan mereka, bahtera
Majapahit semakin kokoh di dermaga titian menanti
musim untuk berlayar menantang gelombang pasang.
Dan perlahan sang senja merayap menyelinap di
kegelapan malam. Rembulan terlihat temaram bulat diatas altar kuil
istana Kahuripan, seorang dara terlihat tengah
meletakkan sajen persembahan di arca sang Budha dan
Arca Sang dewa Siwa di kiri kanan sisi altar. Wajah sang
dara seperti tak berjiwa dibawah bias cahaya rembulan
yang memantulkan kuning lembut kulit tubuhnya yang
hanya terbalut kain menutupi dada dan bagian tubuhnya
kebawah hingga sampai ke mata kakinya.
Terlihat sang dara duduk bersimpuh di bawah altar
persembahan, memejamkan matanya seperti berdoa
penuh kepasrahan dalam samadhi.
Seandainya saja arca sang Budha dan arca sang
dewa Siwa dapat berbicara, pasti akan terucap sebuah
pujian atas kecantikan dan kejelitaan yang teramat
sempurna dari sang dara yang tengah bersimpuh pasrah
dalam samadinya. Sang dara yang tengah bersimpuh di bawah altar
persembahan itu adalah Biksuni Andini.
Nampaknya sang dara telah mendengar kabar
tentang tugas yang telah di berikan kepada pahlawan
pujaan kekasih hatinya itu yang akan mengemban tugas
sebagai seorang patih di kerajaan Daha.
"Telah kupenjarakan hatiku, namun tidak mampu
meredam asmara rindu ini", berkata Biksuni Andini dalam
hati mencoba meredam perasaan jiwanya yang liar
1206 meradang hasrat cinta asmara membahana.
Sementara itu bunga kamboja layu terhampar jatuh di
tengah altar suci membangunkan samadhi sang dara.
Bunga kamboja layu itu diraihnya, wajahnya terlihat sayu
menatap beberapa bunga kemboja yang masih segar di
dahannya, di bawah cahaya rembulan di kuil istana
Kahuripan. Genap empat puluh hari setelah pernikahan Dyah
Wiyat dan Raden Kudamerta, keluarga istana Kahuripan
bermaksud melaksanakan boyong manten, mengunjungi
keluarga Raden Kudamerta di istana Wengker.
"Kita singgah di Daha", berkata Ibunda Ratu Gayatri
kepada Dyah Wiyat dan Raden Kudamerta.
Dan seperti biasa, Ibunda Ratu Gayatri selalu
mengajak murid terkasihnya, Biksuni Andini.
Bukan main gembiranya hati Biksuni Andini
mendengar kabar itu, ikut bersama keluarga istana
Kahuripan berkunjung ke istana Wengker dan istana
Daha. Sebuah perjalanan panjang mengantar kekasih
pujaan hatinya di tempat tugas barunya sebagai seorang
Patih di Daha. Demikianlah, di pagi yang amat cerah terlihat sebuah
kereta kencana diiringi seratus prajurit berkuda telah
keluar dari Kotaraja Kahuripan.
Semilir angin pagi berhembus perlahan, menyapu
rambut seorang pemuda tanpa ikat kepala diatas
punggung kudanya. Disebelahnya seorang wanita cantik
berjubah biksuni dengan bibir seperti terlukis selalu
tersenyum. Mereka berdua itu tentu saja adalah Patih
Gajahmada dan Biksuni Andini yang selalu berjalan
beriring di belakang mengawal kereta kencana di depan
1207 mereka yang berjalan perlahan.
Mentari pagi bersinar mengiringi langkah perjalanan
mereka, bunga-bunga ilalang yang tumbuh liar terbang
tertiup angin dan jatuh hingga jauh dimana mereka
pernah tumbuh. Tidak ada gangguan dan halangan apapun dalam
perjalanan rombongan keluarga istana itu, hingga
manakala mentari di ujung senja rebah di tepi barat bumi,
rombongan keluarga istana itu telah berada disekitar
daerah Kandangan, sebuah tempat yang sudah berada
di wilayah Kerajaan Daha.
"Nyimas Kanjeng Ratu pasti akan sering berkunjung
ke Daha", berkata Patih Gajahmada kepada Biksuni
Andini didepan sebuah perapian di perkemahan mereka.
"Aku berharap putri Dyah Wiyat cepat-cepat punya
momongan, Nyimas Kanjeng Ratu pasti akan lebih sering
lagi mengunjungi istana Daha", berkata Biksuni Andini
kepada Patih Gajahmada. "Seorang cucu di istana Kahuripan dan seorang cucu
lainnya di istana Daha", berkata Patih Gajahmada sambil
tersenyum. "Dan kita akan menjadi ibu asuh dan ayah asuh bagi
putra dan putri mereka", berkata Biksuni Andini ikut
tersenyum. "Kita akan membimbing mereka menjadi para ksatria
yang tangguh", berkata Patih Gajahmada sambil
menatap lidah perapian yang semakin besar tertiup angin
malam. Namun tiba-tiba saja pendengaran Patih Gajahmada
yang terlatih itu seperti menangkap sesuatu yang
mencurigai di sekitar perkemahan mereka.
1208 "Lindungi keluarga istana", berkata Patih Gajahmada
kepada Biksuni Andini. Tanpa bertanya apapun, Biksuni Andini segera
bergegas kembali ke perkemahan keluarga istana,
sementara itu Patih Gajahmada telah mendekati
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
beberapa prajurit yang tengah bertugas ronda malam itu.
"Kabarkan kepada para prajurit untuk bersiaga,
namun bersikaplah seperti tidak akan terjadi sesuatu",
berkata patih Gajahmada kepada salah seorang prajurit.
Manakala prajurit itu pergi untuk menyampaikan
pesan Patih Gajahmada, terlihat anak muda itu telah
menyapu pandangannya berkeliling.
"Hem", hanya itu suara yang keluar dari bibirnya
manakala melihat sesuatu yang mencurigakan berasal
dari sebuah semak belukar di kegelapan malam itu.
Sementara itu pesan Patih Gajahmada telah
disampaikan oleh semua prajurit yang mengawal
keluarga istana, mereka langsung siaga dengan senjata
siap di tangan namun tidak merubah suasana dan
keadaan mereka. Yang tengah berbaring tetap berbaring,
yang tengah bersandar di sebuah batu besar tetap
bersandar, namun jemari tangan mereka telah meraba
gagang senjata masing-masing, seperti meyakinkan
bahwa senjata mereka masih melekat setia di pinggang
mereka. Beruntunglah para prajurit itu telah menerima pesan
dari Patih Gajahmada untuk bersiap siaga, karena tidak
lama berselang terdengar sebuah teriakan mengguntur
terdengar ditengah kesunyian malam.
"Serang !!!", terdengar suara teriakan dari tempat
yang begitu dekat terhalang kegelapan malam.
1209 Namun para prajurit pengawal keluarga istana itu
memang telah bersiap siaga sebelumnya, dengan serta
merta mereka telah langsung melompat berdiri
menyusun barisan melindungi perkemahan junjungan
mereka, para keluarga istana.
Ternyata suara perintah menyerang itu berasal dari
beberapa gerumbul semak belukar di sekitar
perkemahan keluarga istana, beberapa kepala muncul
dan langsung menerjang kearah para prajurit yang telah
bersiap diri itu. Ternyata kepala yang muncul dari semak-semak
belukar itu begitu banyak, terlalu banyak untuk dihadapi
oleh seratus prajurit pengawal. Dan dengan begitu
cepatnya kemunculan mereka yang sudah langsung
mengepung perkemahan. "Pertaruhkan diri kalian, jangan biarkan mereka
menerobos masuk ke perkemahan", berkata Patih
Gajahmada sambil menerjang orang-orang yang telah
begitu dekat dengannya. Tiga orang langsung terlempar terkena tendangan
dan kibasan tangan Patih Gajahmada. Dan Patih
Gajahmada tidak berhenti bergerak, tendangan dan
kepalan tangannya berkali-kali merobohkan orang-orang
di sekelilingnya. Nampaknya pihak musuh yang datang itu begitu
banyak, datang seperti air bah merangsek pertahanan
para prajurit pengawal keluarga istana.
Dan seratus prajurit pengawal keluarga istana
sepertinya tidak dapat membendung arus gelombang
pihak lawan yang berjumlah dua kali lipat dari jumlah
mereka, beberapa orang pihak lawan terlihat sudah
dapat menerobos mendekati perkemahan keluarga
1210 istana. Namun nasib sial datang untuk orang-orang yang
berada terlalu dekat dengan perkemahan keluarga
istana, karena mereka harus berhadapan dengan
seorang biksuni cantik jelita yang tanpa ragu lagi
langsung merobohkan mereka.
Nasib sial ternyata juga menghinggai para pihak
musuh yang berhasil masuk menerobos pertahanan para
prajurit, karena Ibunda Ratu Gayatri yang punya
kesaktian cukup tinggi itu telah meringankan tangannya,
merobohkan para penyerang itu dengan senjata tongkat
andalannya. Melihat ibunda Ratu Gayatri telah bergerak
membantu para prajurit, serta merta kedua pengantin
baru, Dyah Wiyat dan Raden Kudamerta langsung turun
ke gelanggang, menciderai orang-orang tak dikenal itu.
Dyah Wiyat dan Kudamerta seperti dua pasangan
pengantin yang tangguh, berdua dan bersama
merobohkan musuh-musuh mereka.
"Mari kita berlomba", berkata Dyah Wiyat kepada
suaminya sambil menghitung setiap orang yang roboh
ditangannya. "Siapa takut berlomba dengan gadis keras kepala
yang kutemui di hutan perburuan", berkata Raden
Kudamerta kepada Dyah Wiyat yang menantangnya
untuk berlomba merobohkan musuh sebanyakbanyaknya.
Sementara Biksuni Andini dan Ibunda Ratu Gayatri,
seperti dua orang wanita bersenjata tongkat kembar telah
membuat para penyerang merasa jerih harus
berhadapan dengan mereka, tongkat di tangan mereka
1211 seperti bermata, tak seorang pun luput dari serangan
tongkat sakti kedua wanita itu. Dan mereka berdua
layaknya seperti dua buah api obor yang meruntuhkan
laron terbang yang baru lahir di penggantian musim.
Disisi lain, Gajahmada telah melepas cambuk pendek
senjata andalannya itu, tali cambuk itu kadang berputar,
kadang melecut dengan begitu cepatnya. Tali cambuk
pendek itu kadang lembut gemulai, namun terkadang
kaku keras seperti sebuah pedang panjang. Puluhan
orang terlempar terkena kibasan cambuk yang terus
bergerak tiada henti itu ditengah hingar-bingar
pertempuran. Namun jumlah para penyerang seperti tidak pernah
habis, datang seperti ombak di pantai yang tiada pernah
lelah berhenti tumpah ruah meyerang dengan wajah dan
suara amuk memecahkan gendang telinga.
Tarr"tarrr !!! Terkejut bukan kepalang Patih Gajahmada manakala
mendengar suara cambuk membelah udara yang berasal
dari bukan miliknya itu. Pandangan mata Patih Gajahmada telah melihat
seorang lelaki tua dengan cambuk ditangan tidak jauh
dari tempatnya berdiri. Tergetar perasaan Patih Gajahmada melihat ujung
cambuk lelaki tua itu telah melukai dada seorang prajurit.
Luka menganga lebar di dada prajurit itu terkena ujung
cambuk yang ternyata diikat dengan sebuah pisau kecil
yang amat tajam seperti sebuah taji yang biasa
digunakan dan dipakai untuk seekor ayam petarung di
arena penyabungan ayam. Dua orang pihak lawan langsung terlempar terkena
1212 tendangan Patih Gajahmada yang menghalangi
langkahnya untuk mendekati lelaki tua bercambuk itu.
Tarrr !!! Ujung cambuk Patih Gajahmada berhasil menyentuh
ujung cambuk lelaki tua itu yang nyaris tengah melesat
kearah tubuh seorang prajurit.
"Gila !!", berkata lelaki tua itu melihat ujung
cambuknya melenceng jauh tidak mengenai sasarannya.
"Akulah lawan tandingmu, wahai orang tua", berkata
Patih Gajahmada yang langsung datang menghadang.
Lelaki tua bercambuk itu memandang Patih
Gajahmada dari ujung kaki hingga kepala, dan matanya
terpaku kearah cambuk di tangan Patih Gajahmada.
"Ternyata kita punya senjata yang sama, wahai orang
muda", berkata lelaki tua itu dengan tarikan wajahnya
yang menggambarkan keangkuhan hatinya.
"Tapi aku tidak menambahkan cambukku dengan
pisau kecil sebagaimana dirimu", berkata Patih
Gajahmada sambil menatap ujung cambuk milik lelaki tua
itu. Dan penciuman Patih Gajahmada yang telah terlatih
itu dapat menangkap anyir racun yang amat kuat
tertanam di mata pisau kecil yang bermata dua sisinya
itu. "Mari kita bermain dengan cambuk kita", berkata
lelaki tua itu sambil memutar cambuknya.
Mendengar suara berdesing dari cambuk yang
berputar ditangan lelaki tua itu telah membuat Patih
Gajahmada bersikap penuh kehati-hatian, desing suara
cambuk itu pertanda pemiliknya punya tenaga sakti inti
1213 sejati yang sangat amat kuat dan sangat terlatih.
Dan ujung cambuk lelaki tua itu terlihat telah melesat
begitu cepat, layaknya seekor ular terbang memburu
mangsanya. Tapi Patih Gajahmada bukan anak kemarin sore
yang baru melek ilmu olah kanuragan, melainkan
seorang yang sudah punya segunung pengalaman
bertempur. Maka dengan mudahnya Patih Gajahmada
hanya dengan bergeser sedikit kesamping telah dapat
keluar dari sasaran ujung cambuk pihak lawan dan sudah
langsung melakukan serangan balasan yang tidak kalah
cepatnya tertuju kearah syaraf kelumpuhan di paha kaki
lelaki tua itu. Sontak lelaki tua itu langsung mundur selangkah,
nampaknya orang ini sangat paham tentang titik-titik
saraf berbahaya. Namun lelaki tua itu sudah langsung membuat
imbangan dengan melakukan serangan balik yang tidak
kalah berbahayanya lewat ujung cambuknya yang
berujung sebuah pisau taji yang tajam dan beracun.
Demikianlah, kedua orang yang sama-sama
menggunakan senjata cambuk itu saling menyerang dan
balas menyerang. Begitu dahsyat daya serangan mereka
saling susul menyusul seperti berlomba untuk
secepatnya melumpuhkan lawan tempurnya.
Terlihat beberapa orang harus menyingkir menjauhi
arena pertempuran dua orang bercambuk itu, takut
terkena imbas salah sasaran dari ujung-ujung cambuk
mereka berdua yang kadang berputar, meluncur lurus
bahkan kadang juga meliuk-liuk bagai ular berlari
mengejar korbannya. 1214 Sementara itu di sisi lainnya, sepasang suami istri,
Dyah Wiyat dan Raden Kudamerta terlihat telah
meloloskan pedang mereka menghadapi para penyerang
yang seperti tidak pernah habis berkurang itu.
"Dua puluh satu", berteriak Raden Kudamerta
manakala pedangnya telah merobohkan seorang
penyerang. "Dua puluh tujuh !!", berteriak lebih keras lagi Dyah
Wiyat diantara suara hingar-bingar pertempuran.
Di sisi pertempuran lainnya, bila Dyah Wiyat dan
Raden Kudamerta berlomba dengan pedang mereka,
maka Ibunda ratu Gayatri dan murid tunggalnya seperti
berlomba dengan tongkat mereka yang selalu saja
memakan korban kemanapun tongkat itu bergerak.
Dyah Wiyat, Raden Kudamerta, Ibunda ratu Gayatri
dan Biksuni Andini terlihat telah bekerja keras
mengurangi jumlah para penyerang, sementara patih
Gajahmada telah mampu mengunci salah seorang dari
mereka yang nampaknya punya kemampuan diatas ratarata para penyerang itu, telah membuat para prajurit
istana Kahuripan dapat mengimbangi lawan-lawan yang
setara, meski dalam jumlah yang lebih banyak dari
jumlah mereka. Dan korban pun sudah terlihat berjatuhan dari kedua
belah pihak di perkemahan keluarga istana di sebuah
tanah perbukitan itu. Suara hingar-bingar pertempuran,
cercaan dan makian bercampur baur dengan
gemerincing suara senjata beradu yang kadang diselingi
suara jerit perih kesakitan dari mereka yang terluka
tersayat pedang tajam. Ditengah kecamuk peperangan yang hingar-bingar
itu, tiba-tiba saja terdengar suara ratusan langkah kaki
1215 kuda mendekati arah pertempuran.
Berdebar perasaan hati Patih Gajahmada membayangkan bahwa orang-orang yang tengah
mendekati mereka itu adalah dari pihak lawan.
Patih Gajahmada memang selama bertempur tidak
pernah lepas pandangannya mengamati suasana
pertempuran. Maka wajar saja bila Patih Gajahmada
berdebar perasaan hatinya membayangkan akan muncul
kelompok baru dari pihak lawan yang lebih besar lagi.
Derap langkah kaki kuda sudah menjadi semakin
dekat, sementara jumlah para penyerang belum dapat
dikatakan menyusut tajam.
"Para prajurit Kediri", berkata Patih Gajahmada dalam
hati penuh harapan manakala melihat beberapa orang
berkuda muncul dari kegelapan malam.
Namun harapan Patih Gajahmada seperti pupus
hilang sirna manakala mengetahui bahwa para prajurit
Kediri yang datang itu ternyata berpihak dengan para
musuh mereka. "Habisi orang-orang Jenggala", berkata salah
seorang dari pemimpin pasukan berkuda yang baru
datang itu. Melihat kenyataan yang amat pahit itu telah membuat
Patih Gajahmada tanpa sadar telah menghentakkan
cambuk pendeknya memecah udara malam yang dingin
seperti ingin melampiaskan kegundahan hatinya.
Gelegarrr..!!! Suara cambuk pendek Patih Gajahmada seperti
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
suara Guntur membelah langit, memekakkan telinga
semua orang yang ada disekitarnya.
1216 Lelaki tua bercambuk yang terdekat dengannya
langsung berdebar-debar perasaan hatinya, tidak
menyangka bahwa lawan mudanya itu mampu
menggetarkan udara dengan cambuknya.
Lelaki tua bercambuk itu terlihat masih mematung
manakala Patih Gajahmada melesat meninggalkan
dirinya. Ternyata Patih Gajahmada berkelebat mendekati
Biksuni Andini. "Turuni perbukitan ini kearah timur, bawa keluarga
istana ke hutan Tameng, aku akan menahan mereka
disini", berkata Patih Gajahmada kepada Biksuni Andini.
Maka tanpa bertanya lagi, Biksuni Andini telah
menyampaikan pesan Patih Gajahmada kepada ibunda
Ratu Gayatri, Dyah Wiyat dan Raden Kudamerta.
"Aku sependapat dengan Patih Gajahmada, kita
memang tak mudah terkalahkan, tapi berapa orang yang
akan menjadi korban terbunuh disini", berkata Ibunda
ratu Gayatri kepada Dyah Wiyat dan Raden Kudamerta
dengan wajah penuh welas asih.
Maka di kegelapan malam, terlihat Biksuni Andini
mengawal keluarga istana itu meninggalkan pertempuran
menuruni perbukitan kearah timur sebagaimana pesan
patih Gajahmada. Mereka adalah empat orang yang berilmu tinggi,
maka dengan beberapa lompatan saja diri mereka telah
jauh meninggalkan arena pertempuran.
Melihat Biksuni Andini telah membawa keluarga
istana meninggalkan medan pertempuran di kegelapan
malam itu, Patih Gajahmada langsung mendekati
seorang pemimpin prajurit pengawal keluarga istana.
1217 "Bawalah sisa pasukanmu kearah timur perbukitan
ini, aku akan menutup penglihatan mereka", berkata
Patih Gajahmada kepada pemimpin prajurit pengawal itu.
Selesai berbicara dengan salah seorang prajuritnya,
terlihat Patih Gajahmada langsung menerjang dua orang
dari pihak lawan dengan dua tendangan kakinya yang
langsung terlempar tidak dapat bergerak di tanah.
Sementara cambuk pendeknya berkelebat setengah
lingkaran menyambar tiga orang dari pihak musuh yang
langsung roboh merasakan dada seperti terbentur batu
cadas amat kerasnya. Pemimpin prajurit pengawal keluarga istana
Kahuripan itu masih sempat melihat Patih Gajahmada
memutar cambuk pendeknya begitu kencangnya. Dan
tiba-tiba turun kabut begitu pekat di kegelapan malam itu.
"Ternyata cerita tentang kesaktian anak muda itu
bukan cerita omong kosong", berkata pemimpin prajurit
itu sambil menuruni perbukitan bersama pasukannya
yang tersisa. Ternyata Patih Gajahmada memang telah menghentakkan puncak ilmunya lewat putaran cambuknya menciptakan awan berkabut menutupi
penglihatan semua orang di tanah lapang perbukitan itu.
Kabut begitu pekat membuat semua orang tidak tahu
apa yang harus dilakukannya selain berdiam diri, takut
senjatanya mengenai kawan sendiri, atau bisa jadi
dirinya sendiri yang menjadi korban pedang di kegelapan
yang amat pekat itu. Semua orang masih menahan dirinya, menunggu
kabut pekat menghilang. Ternyata kabut pekat perlahan menipis, dan akhirnya
1218 kandas menghilang tanpa bekas.
Semua orang seperti baru terbangun dari kegelapan,
baru dapat melihat sekitarnya dengan jelas dan bening.
Semua orang mengerutkan keningnya, mendapatkan
lawan mereka seperti telah hilang tertelan bumi. Yang
mereka lihat adalah seorang anak muda dengan rambut
terurai tanpa ikat kepala berdiri tegak penuh rasa
percaya diri yang amat tinggi.
"Buka mata kalian lebar-lebar, aku adalah Patih
Gajahmada yang akan menjadi patih di Daha. Aku tidak
akan gentar menghadapi kalian", berkata Patih
Gajahmada dengan suara menggelegar menyesakkan
dada karena diam-diam telah melepaskan ajian gelap
ngamparnya lewat suaranya.
Semua orang masih berdebar-debar meski suara
Patih Gajahmada telah berlalu, menyisakan rasa jerih
kepada anak muda yang hanya seorang diri itu.
"Bunuh anak muda sombong ini, pantang orang
Panjalu dipimpin oleh orang Jenggala", berkata seorang
lelaki yang mengenakan lencana prajurit Kediri yang
nampaknya adalah seorang pemimpin yang cukup
disegani oleh semua orang yang ada di tempat itu.
Nampaknya perkataan pemimpin mereka itu telah
mengembalikan nyali keberanian semua orang yang
berpikir bahwa jumlah mereka cukup banyak, mustahil
tidak dapat mengenyahkan satu orang.
Terlihat ratusan orang bergerak bersama kesatu
arah, seorang anak muda yang masih terlihat begitu
tenangnya seakan tidak menghadapi ancaman bahaya
apapun. Patih Gajahmada memang seorang anak muda yang
1219 punya rasa percaya diri amat tinggi, tidak gentar
menghadapi ratusan orang yang telah bergerak ke
arahnya dengan senjata pedang tajam terhunus.
Belum lagi orang-orang itu mendekati Patih
Gajahmada, terlihat anak muda itu telah menghentakkan
cambuk pendeknya membelah udara malam.
Gelegarrr !!! Tiba-tiba saja terdengar suara Guntur membahana
memecah malam. Tiba-tiba saja terdengar pekikan ratusan orang
secara bersamaan. Tiba-tiba saja ratusan orang yang terdekat dari Patih
Gajahmada roboh pingsan setelah memekik keras
merasakan dadanya terguncang hebat.
Dan ratusan orang lagi langsung tercengang berdiri
ditempatnya, tidak berani melangkah mendekati Patih
Gajahmada. "Aku masih bermurah hati, hanya membuat pingsan
kawan-kawan kalian. Kuingatkan bahwa aku dapat
berbuat lebih dari apa yang kalian saksikan ini,
memecahkan gendang telinga kalian hingga keluar
darah", berkata Patih Gajahmada dengan suara yang
kuat bergema menghentakkan dada.
Terlihat semua orang terdiam, nyali mereka benarbenar telah hilang terampas oleh kesaktian anak muda
itu yang sungguh sangat luar biasa, membuat suara
Guntur dengan cambuk pendeknya.
"Perkenalkan kepadaku siapa yang menjadi pimpinan
kalian disini", berkata kembali Patih Gajahmada masih
dengan suara yang lantang, keras dan menghentakkan
dada. 1220 Seperti tersirep, terlihat dua orang keluar dari
kerumunan orang banyak itu dan maju kedepan.
Seorang dari kerumunan para prajurit, sementara
seorang lagi adalah lelaki tua dengan senjata cambuk di
tangan. "Kaliankah para pemimpinnya?", berkata Patih
Gajahmada yang langsung berkelebat dengan amat
cepatnya tak terbaca oleh pandangan mata orang biasa.
Hanya dalam dua kedipan mata saja terlihat Patih
Gajahmada telah berdiri kembali ditempatnya.
Berdesir bulu roma pemimpin prajurit itu mendapatkan pedangnya sudah berpindah tempat di
tangan anak muda itu. Hal yang sama terjadi pada lelaki tua bersenjata
cambuk. Mereka berdua sama-sama membayangkan seandainya anak muda itu seorang yang amat kejam,
pasti begitu mudahnya nyawa mereka hilang melayang
oleh anak muda itu. Bersamaan keduanya melangkah mendekati Patih
Gajahmada. Bersamaan pula keduanya duduk bersimpuh di
hadapan Patih Gajahmada. "Terima kasih telah bermurah hati untuk selembar
jiwa hamba yang tidak mengenal tingginya gunung
didepan mata", berkata pemimpin prajurit itu masih duduk
bersimpuh merendahkan dirinya di hadapan Patih
Gajahmada. "Hamba pemimpin padepokan Jatirekso tunduk patuh
dihadapan tuanku yang telah bermurah hati tidak
menurunkan tangan mencabut selembar jiwa ini", berkata
1221 lelaki tua bercambuk itu yang
pemimpin sebuah Padepokan.
mengaku sebagai Melihat kedua pemimpin mereka duduk bersimpuh
merendahkan dirinya di hadapan Patih Gajahmada,
serentak semua orang yang ada di atas perbukitan itu
terlihat duduk bersimpuh penuh hormat sebagaimana
kedua pimpinan mereka. "Aku telah bermurah hati kepada kalian yang kutahu
hanyalah sebagai pelaksana perintah belaka. Tunjukkan
kepadaku siapa gerangan yang telah memerintahkan
kalian menghadang pasukan kecil keluarga istana ini",
berkata Patih Gajahmada dengan suara yang begitu
jelas berwibawa. "Kami dari kesatuan pasukan Tunggul Wulung, tidak
berani menolak perintah Ki Tumenggung Tanggulangin,
panglima perang Kerajaan Daha", berkata pimpinan
prajurit itu kepada Patih Gajahmada.
"Kami dari Padepokan Jatirekso, Tumenggung
Tanggulangin meminta kami menghadang sebuah
gerombolan sesat yang dapat merusak tatanan
kehidupan bumi Kediri", berkata pimpinan Padepokan
Jatirekso kepada Patih Gajahmada.
"Kuampuni jiwa kalian, kuhargai kejujuran kalian. Aku
Patih Gajahmada yang akan menjadi Patih di Daha
menawarkan kesetiaan kalian berdiri di belakangku",
berkata Patih Gajahmada menawarkan sebuah kesetiaan
kepada mereka. "Demi kemurahan tuanku Patih Gajahmada, kami
bersumpah setia membela tuanku", berkata semua orang
bersama-bersama seperti suara guruh bergemuruh
terbawa angin perbukitan.
1222 Namun tiba-tiba saja semua orang tersentak
manakala mendengar suara derap langkah kaki kuda
datang semakin dekat, mungkin seratus, lima ratus atau
seribu pasukan berkuda yang datang mendekat, karena
suaranya terdengar seperti mengguncang bumi,
mengguncang hati dan perasaan semua orang yang ada
diatas perbukitan itu. Mungkinkah pasukan besar yang datang itu utusan
lain dari Tumenggung Tanggulangin sebagaimana
mereka itu untuk memusnahkan keluarga istana yang
datang dari kerajaan Kahuripan itu", demikian pikiran
pimpinan prajurit dari Kediri, juga pimpinan dari
Padepokan Jatirekso, juga pikiran hampir semua orang
yang terhimpun di atas perbukitan itu.
Sementara langit malam diatas perbukitan itu begitu
pekat hanya dipenuhi beberapa bintang.
Derap suara langkah kaki kuda sudah menjadi begitu
dekat, hanya terhalang jalan yang menurun.
Semua orang menahan nafasnya manakala sebuah
pasukan prajurit berkuda muncul di ujung jalan mendaki,
muncul dari keremangan malam yang gelap diatas
perbukitan itu. "Menyerahlah, kami datang untuk menghukum kalian
yang telah menodai bumi Kediri ini", berkata seorang
prajurit perwira dari atas punggung kudanya.
Beberapa orang prajurit Kediri dan orang-orang dari
Padepokan Jatirekso terlihat melangkah mundur hingga
berhenti berdiri dibelakang Patih Gajahmada.
"Tidak ada yang perlu di hukum lagi, wahai Paman
Rangga Gajah Biru", berkata Patih Gajahmada penuh
senyum mengenali lelaki gagah perkasa yang menjadi
1223 pimpinan prajurit Kediri yang baru datang itu sebagai
salah seorang yang sangat setia selalu menyertai Patih
Mahesa Amping. Bukan main terkejutnya Ki Rangga Gajah Biru
manakala melihat Patih Gajahmada ada bersama
dengan orang-orang yang akan di hukumnya itu.
"Bukankah aku berhadapan dengan putra angkat
Patih Mahesa Amping?", berkata Ki Rangga Gajah Biru
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang juga sangat mengenal anak muda di hadapannya
itu menjadi seperti merasa bingung dan ragu.
"Mereka telah menyadari kesalahannya, jadi tidak
ada yang perlu di hukum", berkata Patih Gajahmada
kepada Ki Rangga Gajah Biru bercerita dari awal tentang
kejadian penyerangan orang-orang itu. "Berkat lindungan
Gusti Yang Maha Agung, keluarga istana saat ini masih
dalam keadaan selamat", berkata kembali Patih
Gajahmada. "Mohon maaf, aku datang terlambat untuk
menyelamatkan kalian, terlambat mendengar berita
tentang rencana Tumenggung Tanggulangin yang ingin
mencelakai keluarga istana", berkata Ki Rangga
Gajahbiru kepada Patih Gajahmada.
"Masih belum terlambat, saat ini kami memang butuh
sebuah pasukan besar yang akan membawa kami
menuju hingga ke istana Daha", berkata Patih
Gajahmada kepada Ki Rangga Gajah Biru.
"Siapapun di bumi Kediri ini akan berpikir ulang untuk
berhadapan langsung dengan pasukanku", berkata Ki
Rangga Gajah Biru penuh keyakinan.
"Apakah juga berlaku untuk Tumenggung Tangulangin yang punya wewenang tertinggi di kerajaan
1224 Kediri saat ini?", bertanya Patih Gajahmada kepada Ki
Rangga Gajah Biru. "Orang itu tidak perlu di khawatirkan lagi, saat ini
Tumenggung Tanggulangin telah kami amankan di
penjara bawah tanah istana, menunggu putusan
hukuman yang sepadan dengan apa yang telah
dilakukannya selama ini, juga usahanya untuk
mencelakai Juwaraja Kerajaan Daha yang baru", berkata
Ki Rangga Gajah Biru penuh senyum.
"Terima kasih, kami tidak akan melupakan jasa
paman Gajah Biru", berkata Patih Gajahmada.
"Ayah angkatmu selalu berkata seperti itu kepadaku",
berkata Ki Rangga Gajah Biru.
Demikianlah, pagi itu terlihat sebuah kereta kencana
menuruni sebuah perbukitan diiringi sebuah pasukan
besar para prajurit berkuda. Kereta kencana dan prajurit
berkuda seperti deretan arak-arakan panjang ketika
memasuki kotaraja Kediri dalam sorak sorai pagar
manusia yang berjajar sepanjang jalan hingga pintu
gerbang istana. Juwaraja Dyah Wiyat dan Patih
Gajahmada di sambut puja dan puji segenap warga
Kotaraja Kediri sebagai sang ratu adil dan sang ksatria
piningit yang memberi harapan baru layaknya sang putra
fajar yang terang benderang cemerlang bersinar di langit
malam menjelang pagi. "Selamat datang di istana Daha, salam damai lestari
memenuhi bumi Kediri", berkata seorang lelaki tua
dengan tutur kata penuh kesopanan dan kesetiaan yang
tidak lain adalah Ki Juru Demung pejabat rumah tangga
istana Daha menyapa ibunda Ratu Gayatri dan Juwaraja
Dyah Wiyat yang telah turun dari kereta kencana di
gerbang istana. 1225 Beriring ibunda ratu Gayatri, Juwaraja Dyah Wiyat
dan suaminya Raden Kudamerta, Patih Gajahmada dan
Biksuni Andini memasuki pura pasanggrahan utama
istana yang disambut oleh sembah sujud para abdi
dalem istana yang berjajar di gerbang pintu gapura pura
pasanggrahan utama istana.
Tidak lama berselang, terlihat beberapa pelayan
dalem istana membawa baki makanan silih berganti
keluar masuk lewat pintu pringgitan menyajikan makanan
untuk para rombongan keluarga istana dari Kerajaan
Kahuripan itu. "Kami di istana Kediri ini masih sebagai tamu, karena
kami masih dalam perjalanan boyong manten ke
kerajaan Wengker. Pekan depan baru kami akan kembali
ke istana Kediri ini, meninggalkan putriku dan suaminya
menampuk tugas yang diembannya sebagai seorang
Juwaraja di bumi Kediri", berkata ibunda Ratu Gayatri
menjelaskan rencana perjalanan mereka.
Demikianlah, keesokan harinya rombongan keluarga
istana dari kerajaan Kahuripan itu telah melanjutkan
perjalanan mereka ke kerajaan Wengker.
Para pengiring rombongan boyong manten itupun
menjadi bertambah-tambah, seratus pasukan berkuda
prajurit Kediri terlihat ikut mengawal rombongan itu.
Ternyata Ki Rangga Gajah Biru diam-diam telah
menyebarkan prajurit bayangannya di sepanjang
perjalanan antara Kotaraja Kediri hingga Kotaraja
Wengker, hanya untuk memastikan dan menjamin
keselamatan keluarga istana yang akan menjadi
junjungannya itu di istana Kediri.
Kereta kencana nan indah diiringi pasukan berkuda
selalu menjadi bahan perhatian para penduduk di
1226 sepanjang perjalanan di beberapa padukuhan yang
dilewati oleh rombongan itu. Decak kagum terlihat dari
tatapan mata mereka yang tidak ingin terpejam
sedikitpun memandang keelokan kereta kencana yang
melaju perlahan di depan rumah mereka, di beberapa
padukuhan yang jauh terpencil, jauh dari pusat kerajaan
Kediri. Dan kereta kencana bersama pengawal pasukan
berkudanya terus melaju dan berlalu.
Berita tentang kedatangan besan Raja Wengker itu
telah tersebar di seluruh wilayah kerajaan Wengker,
menjadi sebuah kebanggaan para warganya, bahwa
Raja Wengker bermenantukan seorang putri dari
Kerajaan Majapahit. Berita yang membanggakan itu juga telah terdengar
hingga ke sebuah tempat terpencil di ujung selatan
Kerajaan Wengker, di sebuah padepokan yang dipimpin
oleh seorang pertapa sakti bernama Ki Agung Ngrayung.
Semua orang Wengker nampaknya telah melupakan
asal-usul dari Ki Agung Ngrayung ini, seorang pertapa
sakti yang hidup seperti mengasingkan diri jauh dari
keramaian ini adalah seorang keturunan langsung dari
Raja Ketut Wijaya, seorang pendiri Kerajaan Wengker
yang berhasil ditaklukkan oleh Raja Erlangga yang konon
hilang moksa. Ki Agung Ngrayung punya seorang putra tunggal
bernama Kuda Jenar, seorang pemuda yang telah
mewarisi sebagian kesaktian ayahnya itu.
"Hari ini ada berita tentang kedatangan keluarga
Kerajaan Majapahit ke istana Wengker", berkata Kuda
Jenar kepada ayahandanya, Ki Agung Ngrayung.
"Apakah ada keuntungannya untuk kita?", berkata Ki
Agung Ngrayung seperti kurang peduli.
1227 "Raden Kudamerta adalah sahabatku", berkata Kuda
Jenar kepada Ki Agung Ngrayung.
"Bila Raden Kudamerta adalah sahabatmu, apakah
ada sisi keuntungan untukmu?", berkata kembali Ki
Agung Ngrayung masih seperti tidak peduli.
"Setidaknya, sahabatku itu telah menikahi salah
seorang putri Raja Majapahit, sebuah jalan lebar
terbentang dihadapannya menjadi orang penting di
kerajaan Majapahit yang besar, atau bila bintang
keberuntungan berpihak kepadanya, bisa saja dirinya
akan menjadi seorang Raja Majapahit", berkata Kuda
Jenar sambil berharap ada tanggapan dari ayahandanya
itu. "Apa keuntungannya bagi dirimu?", berkata Ki Agung
Ngrayung masih seperti sebelumnya, seperti kurang
tertarik dan peduli. "Bila Raden Kudamerta menjadi Raja Majapahit, pasti
diriku akan ditarik menjadi pejabat istana Majapahit,
bukankah itu artinya aku telah membawa kembali
kecemerlangan nama besar keluarga kita yang telah
suram terpendam?", berkata Kuda Jenar kepada
ayahandanya. Ternyata harapan Kuda Jenar mulai
terkuak, ayahandanya terlihat sudah mulai punya
kepedulian. "Raden Kudamerta hanya seorang menantu dari putri
kedua Raja Sanggrama Wijaya, sangat jauh dari tahta",
berkata Ki Agung Ngrayung sudah punya sedikit
kepedulian. "Aku hanya perlu restu dari ayahanda, aku akan
bekerja secara diam-diam tanpa sepengetahuan Raden
Kudamerta, tanpa sepengetahuan siapapun membuka
jalan bagi Raden Kudamerta naik ke tahta
1228 singgasananya", berkata Kuda Jenar penuh kegembiraan
hati. Dan pada hari itu keluarga istana Majapahit telah tiba
di istana Wengker yang langsung disambut dengan
sebuah upacara besar yang sangat amat meriahnya
sebagai pertanda sebuah kebanggaan dan kebahagiaan
Raja Wengker berbesanan dengan keluarga istana
Majapahit. Hari-hari keluarga pihak pengantin wanita menerima
keramahan keluarga pengantin lelaki. Hingga di hari
ketujuh, rombongan pengantin itu harus berpamit diri
kembali ke Daha. Tidak ada halangan dan aral dalam perjalanan
rombongan pengantin baru itu menuju Kotaraja Daha.
"Sebenarnya aku ingin lebih lama lagi menemani
kalian di kotaraja Daha ini, namun saat ini putri sulungku
tengah hamil tua mengharuskan diriku selekasnya tiba di
istana Kahuripan" berkata ibunda Ratu Gayatri setelah
sepekan berada di istana Daha dan bermaksud untuk
kembali ke istana Kahuripan.
"Kelak kami akan berkunjung ke istana Kahuripan,
menjenguk ibunda dan keponakanku", berkata Juwaraja
Dyah Wiyat yang berusaha menekan keharuannya
melepas ibundanya pergi meninggalkan dirinya kembali
ke istana Kahuripan. Demikianlah, kedatangan ibunda Ratu Gayatri dan
rombongannya di kerajaan Wengker dan Kerajaan Daha
itu adalah sebuah awal babad baru benderangnya sang
surya Wilwatikta di tanah Jawa yang dibawa oleh orangorang muda. Patih Gajahmada, Juwaraja Dyah Wiyat dan
Raden Kudamerta di Daha, Juwaraja Tribuwana di
Kahuripan dan Juwaraja Kertawardana di Tumapel,
1229 Tumenggung Adityawarman dan Raja Jayanagara di
pusat kerajaan Majapahit, mereka adalah elang-elang
muda yang telah tumbuh sayap menjaga tanah
perburuannya masing-masing.
Saat itu, Tumapel, Kahuripan dan Daha ibarat tiga
buah bulan kembar menerangi jagat bumi Majapahit
Raya dibawah kendali para orang muda yang masih
penuh semangat bergelora menumpahkan segala jerih
upaya tenaga dan pikiran muda mereka.
Namun hutan malam di bumi Majapahit masih saja
terdengar suara kawanan serigala yang selalu terjaga,
menanti dan mencari siapa yang paling lemah dan
lengah diantara putra dan putri Baginda raja Sanggrama
Wijaya itu untuk melampiaskan segala dendam, iri dengki
dan dahaga hasrat angkara di palagan kekuasaan yang
nyata dan tidak nyata, yang terlihat jelas dan tersamar.
Seekor serigala malam menatap sang rembulan
diatas bukit malam. Sementara terlihat satu bintang di
langit malam bersinar cemerlang.
Terlihat seorang pemuda pengembara bersandar di
sebuah batu besar memandang bintang di langit kelam.
Dialah putra Ki Agung Ngrayung yang bernama Kuda
Jenar telah jauh meninggalkan padepokannya di
Wengker. Sementara itu di waktu yang sama terlihat seorang
pemuda tampan rupawan berpakaian seorang bangsawan tengah memacu kudanya, dialah Raden
Kudamerta seorang diri dalam perjalanan menuju arah
Kotaraja Majapahit untuk memenuhi panggilan Raja
Jayanagara yang telah memintanya menjadi anggota
Bhatara Prabu, sebuah jabatan terhormat di istana
Majapahit saat itu. 1230 Rembulan bersinar terang menyinari sebuah dataran
perbukitan, menyinari seekor kuda hitam dan
penunggangnya yang berdiri di sebuah batu besar.
Jarak menuju arah Kotaraja Majapahit sudah tidak
begitu jauh lagi, namun Raden Kudamerta telah
memutuskan dirinya untuk bermalam ditempat itu,
sebuah tanah berbukit yang dipenuhi bebatuan besar di
sekelilingnya. Namun baru saja dirinya tengah berniat untuk
bersandar di sebuah batu besar, pendengarannya yang
sudah cukup terlatih itu telah mendengar langkah kaki
tengah mendekatinya. Terheran-heran Raden Kudamerta melihat ada empat
orang kerdil berjalan mendekati kudanya, dan wajah
mereka sangat sukar sekali dibedakan satu dengan yang
lainnya. "Kuda hitam yang bagus, aku ingin memilikinya",
berkata salah seorang dari keempat orang itu.
"Aku juga ingin memilikinya", berkata seorang yang
lainnya. "Kuda ini milikku", berkata lagi seorang yang ketiga.
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kuda ini milikku", berkata seorang yang keempat
lebih keras dari yang lainnya.
Sementara itu Raden Kudamerta seperti membisu
tidak sempat berbuat apapun melihat keempat orang
asing itu dengan begitu cepatnya memegang kaki kuda,
setiap orang memegang satu kaki kuda.
Brettt !!!! Tersentak Raden Kudamerta melihat kuda hitamnya
terbelah empat dengan darah berhamburan, benar-benar
1231 sebuah pemandangan yang sangat mengerikan.
"Kalian telah membunuh kudaku", berkata Raden
Kudamerta kepada keempat orang kerdil itu yang masih
memegang potongan daging kudanya.
"Kudamu?", berkata berbarengan keempat orang
kerdil itu sambil tertawa melempar potongan daging kuda
dari tangan mereka. "Kuda ini milikku, kalian harus bertanggung jawab",
berkata Raden Kudamerta yang sudah tidak dapat lagi
mengendalikan kemarahannya.
"Kudamu terlalu empuk, jadi jangan salahkan kami",
berkata salah seorang masih tertawa terkekeh-kekeh.
"Kalian harus bertanggung jawab", berkata Raden
Kudamerta semakin bertambah-tambah kemarahannya.
Mendengar perkataan Raden Kudamerta yang penuh
kemarahan itu telah membuat keempat orang itu tertawa
semakin keras, terkekeh-kekeh sambil memegang perut
masing-masing yang terguncang-guncang menahan
gelak tawa mereka. Dalam keadaan biasa, mungkin Raden Kudamerta
dapat tertawa melihat keempat orang kerdil itu tertawa
dengan perut terguncang-guncang. Namun Raden
Kudamerta masih teringat dengan kuda hitam
kesayangannya itu telah membuat dirinya tidak melihat
kelucuan didepan matanya, bahkan merasa diremehkan
dengan tawa keempat orang kerdil itu.
"Kalian harus menggantikan kuda milikku, kalian
harus bertanggung jawab", berkata Raden Kudamerta
dengan suara lebih keras lagi dari sebelumnya.
Namun tanggapan keempat orang kerdil itu bukannya
merasa takut, tapi malah tertawa lebih keras lagi
1232 tergelak-gelak membuat perut buncit mereka terguncangguncang lebih kencang lagi.
"Anak muda, nampaknya kamu belum mengenal
kami", berkata salah seorang diantara mereka yang
terlihat lebih tua dari yang lainnya, yang lebih dulu dapat
meredakan gelak tawanya. Dan Raden Kudamerta memang sudah mulai dapat
membedakan wajah keempat orang kerdil itu satu
persatu meski memang satu dengan yang lainnya sangat
mirip dan serupa. "Aku memang tidak mengenal kalian, siapapun kalian
tetap harus bertanggung jawab untuk seekor kudaku
yang telah kalian bunuh", berkata Raden Kudamerta
kepada keempat orang kerdil itu.
"Pantas, kamu belum mengenal kami. Karena bila
kamu telah mengenal kami, pasti sudah lari terbirit-birit
tidak berani berurusan dengan kami berempat", berkata
kembali salah seorang dari mereka yang wajahnya
terlihat paling tua. "Siapakah kalian berempat, mungkin aku pernah
mendengar julukan kalian", berkata Raden Kudamerta.
"Orang-orang menjuluki kami sebagai empat bocah
tidak punya tanggung jawab", berkata kembali orang
yang dituakan itu. "Sayang, aku baru mendengarnya hari ini, jadi aku
masih berdiri disini tidak takut mendengar sebutan
julukan kalian yang tidak bertanggung jawab itu", berkata
Raden Kudamerta sambil bertolak pinggang tidak
menunjukkan rasa takut sedikitpun.
"Kamu telah salah menyebut nama julukan kami,
sebagai hukumannya kamu harus bertanggung jawab
1233 menghadap dewa kematian", berkata salah seorang yang
paling tua sambil memberi isyarat kepada ketiga
saudaranya. Ternyata isyarat orang yang paling tua itu adalah
sebuah tanda untuk mengepung Raden Kudamerta,
terlihat keempatnya sudah bergerak dari empat sisi.
Raden Kudamerta adalah murid tunggal Ki Ajar
Bendawa, sudah mewarisi hampir seluruh ilmu kesaktian
orang tua itu, namun menghadapi keempat orang kerdil
itu sepertinya Raden Kudamerta tidak dapat berbuat
banyak, seperti anak kecil yang baru berjalan
berhadapan dengan orang dewasa yang punya tenaga
sangat kuat dan terlatih.
Terkejut Raden Kudamerta melihat keempat orang
kerdil itu bergerak begitu cepatnya.
Keempat orang kerdil itu bergerak begitu cepatnya,
dan tanpa dapat berbuat apapun menghindar, dua
tangan dan dua kaki Raden Kudamerta telah terpegang
oleh tangan keempat orang kerdil yang aneh itu, dengan
pegangan yang amat kuatnya.
Raden Kudamerta sebenarnya bukan orang lemah,
punya kemampuan ilmu kesaktian cukup tinggi. Namun
menghadapi keempat orang kerdil itu, Raden Kudamerta
tidak dapat berbuat jauh, tidak dapat melepaskan dirinya
dari keempat tangan orang-orang kerdil itu yang telah
memegang kedua tangan dan kakinya.
Pegangan keempat orang kerdil itu terasa begitu
kuatnya, meski Raden Kudamerta telah mengerahkan
seluruh kemampuan kekuatan tenaga sakti sejatinya,
tetap saja pegangan keempat orang kerdil itu masih tetap
melekat di kedua tangan dan kakinya.
1234 Raden Kudamerta sudah mirip sebuah boneka kayu
yang terentang diperebutkan oleh empat bocah nakal,
kedua tangan dan kakinya ditarik dari empat sisi tempat
berbeda. Raden Kudamerta masih tetap meronta, namun
tarikan keempat orang kerdil itu semakin keras saja
seperti ingin memecahkan tubuhnya.
Raden Kudamerta membayangkan kuda kesayangannya yang pecah empat dengan darah dan
daging berhamburan, membayangkan nasibnya akan
sama dengar riwayat kuda kesayangannya itu.
Namun kepasrahan diri Raden Kudamerta yang
tengah menanti ajal kematiannya tiba-tiba saja tersentak
manakala merasakan pegangan keempat orang kerdil itu
melemah bahkan melepaskannya begitu saja hingga
membuat dirinya jatuh ke tanah terlentang bersamaan
dengan suara bentakan yang tidak begitu jauh darinya.
"Lepaskan orang itu !!", berkata seseorang kepada
keempat orang kerdil itu.
Terlihat Raden Kudamerta berusaha bangkit ingin
melihat siapa gerangan orang yang begitu mudahnya
dapat memerintah empat orang kerdil yang aneh dan
berilmu sangat tinggi itu.
Cahaya bulan sangat jelas menyinari seraut wajah,
dan Raden Kudamerta nampaknya sangat mengenal
wajah orang itu. "Kuda Jenar?", berkata Raden Kudamerta dalam hati
mengenal orang itu yang tidak merasa takut berhadapan
dengan keempat orang aneh itu.
Ternyata orang yang baru datang itu adalah Kuda
Jenar, anak muda sahabatnya itu.
1235 Bahkan kembali Raden Kudamerta mendengar anak
muda itu membentak memberi perintah keempat orang
kerdil itu pergi menjauh.
"Cepat kalian hengkang dari hadapanku sebelum
ayahku Ki Agung Ngrayung datang melihat kalian",
berkata Kuda Jenar kepada keempat orang kerdil itu.
Mendengar perkataan Kuda Jenar, terlihat wajah
keempat orang kerdil itu langsung pucat pasi.
Raden Kudamerta tidak habis pikir, bagaimana
keempat orang yang punya kesaktian yang amat tinggi
itu begitu takutnya mendengar Kuda Jenar yang hanya
menyebut nama ayahnya dan melihatnya telah pergi
begitu saja meninggalkan mereka berdua.
"Terima kasih, kamu telah menyelamatkan jiwaku",
berkata Raden Kudamerta kepada Kuda Jenar.
"Beruntung, mereka percaya ayahku ada didekat sini,
bila tidak mana sanggup aku menghadapi empat orang
kerdil yang sangat sakti itu", berkata Kuda Jenar sambil
tersenyum. "Hampir saja nasibku seperti kematian kuda milikku",
berkata Raden Kudamerta sambil memandang kearah
empat potongan daging kuda kesayangannya bersama
darah yang masih basah tergenang diantaranya.
"Beruntung aku datang, tepat disaat mereka akan
memburaikan tubuh Raden", berkata Kuda Jenar sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya memandang empat
potong daging kuda di hadapannya.
"Hendak pergi kemanakah gerangan, wahai Kuda
Jenar?", bertanya Raden Kudamerta kepada sahabatnya
itu sambil memandang pakaian Kuda Jenar yang biasa
dikenakan oleh banyak para pengembara.
1236 "Bumi Wengker terlalu sempit untukku, aku tengah
mencoba mengadu nasib di Kotaraja Majapahit", berkata
Kuda Jenar. "Ternyata kita satu arah perjalanan, aku dapat
mengajakmu bekerja di istana Majapahit", berkata Raden
Kudamerta kepada Kuda Jenar.
"Bekerja di istana Majapahit ?", berkata Kuda Jenar
penuh kegembiraan hati. "Kebetulan aku kenal dekat dengan salah seorang
pejabat istana Majapahit, seorang anggota Dharmaputra
bernama Ra Tanca, aku akan memintanya agar dirimu
dapat menjadi pembantunya, menjadi seorang Tanda di
istana Majapahit", berkata raden Kudamerta kepada
Kuda Jenar. "Menjadi seorang Tanda Arya di istana Majapahit ?",
berkata Kuda Jenar seperti tidak percaya dengan apa
yang baru saja didengar langsung dari Raden Kudamerta
itu. "Aku yakin bahwa kemampuanmu lebih dari sekedar
seorang Tanda di istana Majapahit, yang kutahu kamu
dan ayahmu adalah para ahli pembuat candi di bumi
Wengker", berkata Raden Kudamerta penuh senyum
kepada Kuda Jenar. "Aku akan berbakti dan bekerja dengan penuh
kesungguhan hati, mudah-mudahan tidak memalukan
orang yang telah membawaku ke istana Majapahit ",
berkata Kuda Jenar kepada Raden Kudamerta.
Sementara itu malam telah merayap diatas tanah
perbukitan, sang rembulan telah bergeser dari puncak
cakrawala langit malam. Terlihat Raden Kudamerta dan Kuda Jenar tengah
1237 membuat sebuah lubang untuk menguburkan bangkai
kuda kesayangan Raden Kudamerta yang terpotong
empat itu. Malam telah larut, Raden Kudamerta terlihat sudah
tertidur lelap dibalik sebuah bebatuan besar, sementara
Kuda Jenar masih bersandar di bebatuan besar tidak
jauh dari Raden Kudamerta.
Malam semakin larut, mata Kuda Jenar menatap
seekor serigala berdiri dibawah cahaya bulan, dibawah
pohon Nyamplung yang rindang menjulang tinggi.
Terlihat bibir Kuda Jenar seperti menyunggingkan
sebuah senyum, sementara sepasang mata elangnya
masih terpaku menatap seekor serigala malam yang
tengah melolong menyerukan suara panggilan kemenangan. "Raden Kudamerta masih menganggap semua serba
kebetulan, kehadiran empat orang kerdil itu, juga
kehadiranku disini", berkata Kuda Jenar dalam hati
sambil mengalihkan pandangannya kearah Raden
Kudamerta yang terbaring pulas sambil tersenyum penuh
kemenangan. Demikianlah, tidak ada yang serba kebetulan untuk
seorang Kuda Jenar, kedatangan empat orang kerdil dan
kehadirannya yang tiba-tiba itu sebenarnya adalah
sebuah rekayasa yang sengaja diciptakan oleh anak
muda. Ternyata Kuda Jenar punya banyak mata dan telinga
di istana Daha, sehingga dirinya sudah tahu rencana
perjalanan Raden Kudamerta yang akan berangkat
seorang diri ke Kotaraja Majapahit.
Manakala mendengar rencana keberangkatan Raden
1238 Kudamerta, diam-diam Kuda Jenar menghubungi empat
orang kerdil yang punya ilmu kesaktian sangat tinggi itu
yang diketahuinya sangat haus untuk memiliki berbagai
hal ilmu-ilmu langka. Dan Kuda Jenar telah menjanjikan
kepada mereka berempat dengan sebuah ilmu meracik
racun yang hebat, ilmu yang sangat dikuasai oleh dirinya
dan merupakan warisan rahasia ilmu leluhurnya yang
sangat jarang dimiliki oleh banyak orang.
"Aku akan mengajarkan kalian sebuah racun yang
ampuh, namun sebagai bayarannya kalian harus
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membantuku melakukan sebuah sandiwara", berkata
Kuda Jenar kepada keempat orang kerdil itu sambil
mengatakan apa tugas yang harus mereka lakukan
sebagai bayarannya. "Hanya melakukan sebuah sandiwara kecil ?",
berkata salah seorang dari mereka.
"Sebuah cara pembayaran yang sangat mudah",
berkata seorang yang lainnya.
"Kami menyanggupinya", berkata seorang yang
paling tua dari keempat orang kerdil itu.
Demikianlah, Kuda Jenar langsung mengajarkan
keempat orang kerdil yang haus ilmu langka itu,
mengajarkan satu buah jenis racun dari begitu banyak
racun yang dikenalnya. Dan sebagai bayarannya, keempat orang sakti itu
dengan patuhnya menuruti perintah Kuda Jenar berpurapura untuk membunuh Raden Kudamerta.
Terlihat mata elang Kuda Jenar mengalihkan
pandangannya kembali kearah pohon Nyamplung yang
tumbuh menjulang di tepi sebuah tebing, dibawah
cahaya bulan bulat yang meneranginya. Sang serigala
1239 malam masih ada disitu, duduk rebah mengibaskan ekor
panjangnya, diam dalam penantian panjang.
Langit malam memayungi bukit berbatu, memayungi
sepi panjang. Namun wajah malam bukanlah wajah keabadian,
perlahan terlihat garis merah yang membujur dari arah
timur dan barat cakrawala langit, raja malam telah
meninggalkan tahtanya. "Hari yang cerah untuk melanjutkan sebuah
perjalanan", berkata Raden Kudamerta kepada Kuda
Jenar yang mengajaknya untuk melanjutkan perjalanan
mereka menuju arah Kotaraja Majapahit.
Suara burung kecil seperti mengiringi perjalanan
mereka, teduh cahaya matahari di terhalang pohonpohon kayu yang rindang sepanjang perjalanan mereka
menuju arah Kotaraja Majapahit.
Jarak perjalanan mereka memang sudah tidak begitu
jauh lagi, matahari terlihat belum tinggi diatas kepala
disaat mereka telah melihat gerbang gapura selatan
Kotaraja Majapahit yang menjulang tinggi.
Setelah beberapa hari tinggal diistana Majapahit,
sesuai janjinya Raden Kudamerta telah memperkenalkan
Kuda Jenar kepada kenalannya, seorang anggota
Dharmaputra bernama Ra Tanca.
Ternyata garis tangan Kuda Jenar masih dipenuhi
garis keberuntungan, ternyata Ra Tanca memang sangat
membutuhkan seorang Tanda yang dapat membantunya
melaksanakan beberapa tugasnya di kerajaan Majapahit.
Dasarnya Kuda Jenar adalah seorang anak muda
yang cakap dan tanggap, Ra Tanca benar-benar
menyukai anak muda itu. 1240 Dalam pergaulan sehari-hari, Ra Tanca dan Kuda
Jenar seperti nyambung, karena keduanya sama-sama
ahli mengenal berbagai tanaman obat.
"Obat dapat menjadi sebuah racun yang kuat,
sebaliknya sebuah racun dapat menjadi sebuah obat
yang mujarab", berkata Ra Tanca kepada Kuda Jenar
dalam sebuah pembicaraan.
"Seperti sebuah ilmu aji kesaktian, tidak ada ilmu
putih atau ilmu hitam, semua kembali kepada pemiliknya,
bagaimana membawa dan menggunakan ilmu yang
dimilikinya", berkata Kuda Jenar menanggapi perkataan
Ra Tanca. Dan hari ke hari persahabatan antara Ra Tanca dan
Kuda Jenar semakin akrab saja, maka tidak segan lagi
Ra Tanca dalam suatu hari memperkenalkan istrinya
kepada Kuda Jenar. Terkejut bukan kepalang Kuda Jenar manakala
mengetahui bahwa istri Ra Tanca sebenarnya masih
sepupu dengan Ra Kuti, seorang pejabat istana yang
pernah memberontak menduduki istana.
Namun dihadapan Ra Tanca, tidak diperlihatkan rasa
terkejutnya itu. "Di Kotaraja Majapahit ini, tidak ada
seorang pun yang mengetahui bahwa sebenarnya istriku
ini masih sepupuan dengan Ra Kuti", berkata Ra Tanca
bercerita tentang istrinya itu.
"Setiap orang punya sejarah hitam sendiri, yang
berdosa adalah Ra Kuti, sementara istrimu tidak terkait
dosa apapun yang diperbuat oleh sepupunya", berkata
Kuda Jenar menanggapinya datar.
Namun, di dalam pikiran Kuda Jenar sudah
terancang sebuah jalan hitam menyiapkan sebuah anak
1241 tangga menuju tahta singgasana untuk seorang Raden
Kudamerta. "Semua orang diakhir permainan ini akan tertuju
kepada Nyi Ra Tanca, sementara aku tetap bersih tanpa
jejak", berkata Kuda Jenar dalam hati.
Demikianlah, hari-hari berlalu di istana Majapahit.
Kuda Jenar masih sebagai seorang Tanda yang baik
dan cakap membantu Ra Tanca menyiapkan beberapa
upacara keagamaan di istana Majapahit.
Hingga disuatu hari, gemparlah seluruh warga
Kotaraja Majapahit manakala mendengar istri Ra Tanca
terkena sebuah penyakit aneh yang belum pernah ada
sebelumnya, seluruh tubuhnya keluar bisul-bisul yang
menjijikkan. Setiap hari Nyi Ra Tanca menangis
merasakan gatal yang amat sangat di sekujur tubuhnya.
Semua orang tahu bahwa disamping sebagai
anggota Dharmaputra di istana Majapahit, Ra tanca
adalah seorang tabib yang ahli di bidang pengobatan.
Namun menghadapi penyakit istrinya itu, telah
membuat Ra Tanca menjadi sangat putus asa, tidak
dapat menyibak sebab musabab dan asal muasal dari
penyakit istrinya. Berbagai tanaman obat telah
dicobanya, namun tidak juga dapat menyembuhkan
penyakit istrinya. Atas keputus asahannya itu, Ra Tanca mencoba
memanggil beberapa orang tabib yang mumpuni di
sekitar Kotaraja Majapahit, namun tidak seorang pun dari
tabib itu yang dapat menyembuhkan penyakit istrinya.
Beberapa orang yang punya rasa iri kepada Ra
Tanca telah membuat kekeruhan hati Ra Tanca menjadi
semakin keruh dengan menyebar berita bahwa istri Ra
1242 Tanca terkena sebuah teluh yang sebenarnya ditujukan
kepada suaminya. Berita burung itu menyebar begitu
saja menjadi sebuah pergunjingan yang cukup
memanaskan telinga Ra tanca, menambah kegelapan
dan kegusaran hatinya yang tengah terkena musibah itu.
Hingga di sebuah malam, Kuda Jenar datang
menjenguk istri Ra Tanca dirumahnya.
"Kuda Jenar, sudah banyak aku mengobati berbagai
penyakit, namun baru kali ini aku menemui sebuah
penyakit yang aneh menimpa istriku sendiri", berkata Ra
Tanca kepada Kuda Jenar. "Ijinkan aku untuk melihat keadaan istrimu", berkata
Kuda Jenar meminta ijin kepada Ra Tanca.
Ra Tanca yang mengetahui bahwa kemampuan anak
muda ini mengenal berbagai jenis tumbuhan obat ini
mencoba menaruh harapannya, berharap Kuda Jenar
dapat mengenali jenis penyakit yang diderita oleh istrinya
itu. Terlihat Kuda Jenar diantar Ra Tanca menemui
istrinya yang tengah berbaring di dalam biliknya.
"Bisakah kita keluar, ada yang ingin kubicarakan
denganmu", berkata Kuda Jenar kepada Ra Tanca.
"Hanya empat persyaratan itu saja, tapi kamu harus
berjanji sebagaimana seorang lelaki berjanji", berkata
Kuda Jenar dengan suara penuh kesungguhan.
Saat itu Ra Tanca memang dalam keputusasaan
setelah berbagai cara pengobatan, berbagai Tabib tidak
jua menyembuhkan penyakit istrinya. Sementara
persyaratan yang diajukan Kuda Jenar kepadanya begitu
mudah. Maka Ra Tanca tanpa bertanya lagi langsung
menyetujui semua persyaratan yang diajukan oleh Kuda
1243 Jenar. "Besok aku akan datang membawa obat untuk
penyembuhan istrimu itu", berkata Kuda Jenar kepada
Ra Tanca. Manakala Kuda Jenar telah meninggalkan rumahnya,
tinggallah Ra Tanca duduk termangu-mangu merasa ada
yang aneh dalam sikap Kuda Jenar, tidak sebagaimana
biasanya, sangat ramah dan santun sebagaimana sikap
seorang bawahan kepada atasannya. Sementara yang
ditemui hari ini adalah Kuda Jenar dengan sikap yang
aneh, sangat angkuh, penuh percaya diri yang tinggi dan
tidak menunjukkan sikap seorang bawahan kepada
atasannya. "Apapun sikap anak muda itu, selama obatnya dapat
menyembuhkan penyakit istriku aku tidak memperdulikannya. Demikianlah, keesokan harinya Kuda Jenar sesuai
janjinya telah datang kembali ke rumah Ra Tanca.
"Air obat ini untuk diminum oleh istrimu, sementara
racikan ini untuk dibalurkan ke seluruh tubuhnya",
berkata Kuda Jenar sambil memberikan dua buah
mangkuk kepada Ra Tanca. Sebagai seorang yang ahli mengenal berbagai
tanaman obat, Ra Tanca dapat mengetahui bahwa dua
buah mangkuk itu berasal dari satu tanaman yang sama,
namun sesuai perjanjiannya Ra Tanca tidak berusaha
bertanya asal dari tanaman apa gerangan dua mangkuk
yang di bawa oleh Ku Jenar itu.
Terlihat Ra Tanca telah masuk ke bilik tempat istrinya
berbaring, memberi minum obat yang dibawa oleh Kuda
Jenar kepada istrinya serta membaluri seluruh tubuh
1244 istrinya dengan mangkuk yang satunya lagi.
Gembira hati Ra Tanca yang melihat istrinya
langsung tidak merasakan gatal-gatal lagi hanya dalam
waktu yang singkat setelah meminum ramuan obat yang
diberikan oleh Kuda Jenar. Sementara bisul-bisul yang
bernanah langsung mengering sehari setelah dibaluri
obat racikan rahasia Kuda Jenar.
Jelang tiga hari kemudian, Ra Tanca melihat
keampuhan ramuan obat Kuda Jenar, melihat seluruh
bisul-bisul di tubuh istrinya telah mengiring merata, hanya
meninggalkan bekas hitam.
Sepekan kemudian, Nyi Ra Tanca sudah berani
keluar rumah karena seluruh bekas bisulnya sudah
mengelupas. Nyi Ra Tanca telah sembuh seperti sedia
kala. Gemparlah seluruh warga Kotaraja Majapahit,
mereka mengagumi Ra Tanca sebagai seorang tabib
sakti yang dapat mengobati penyakit aneh yang diderita
oleh istrinya sendiri. Mendapatkan pujian itu, Ra Tanca merasa gembira
dan bangga bukan kepalang.
Demikianlah, sejak saat itu nama Ra Tanca lebih
dikenal sebagai seorang tabib sakti, dan Ra Tanca
sangat ringan tangan menolong siapapun yang
membutuhkan keahliannya meracik berbagai tanaman
obat untuk berbagai penyakit.
Ra Tanca merasa mendapatkan keuntungan
berganda, dapat memenuhi persyaratan dari Kuda Jenar,
sekaligus namanya terangkat mendapat pujian dari orang
sekitarnya sebagai seorang tabib yang mumpuni.
Sementara itu sikap Kuda Jenar kepada Ra Tanca
1245 seperti sebelumnya, sangat santun dan hormat layaknya
seorang bawahan kepada atasannya.
Diam-diam Ra Tanca menjadi menaruh rasa terima
kasih yang amat sangat kepada Kuda Jenar, menyangka
bahwa Kuda Jenar hanya ingin menyembunyikan
keahliannya dan tidak ingin dikenal sebagai seorang
yang ahli di bidang pengobatan, hanya itu pikiran Ra
Tanca kepada Kuda Jenar. Ternyata arah pikiran Kuda Jenar yang sebenarnya
memang tidak terjangkau oleh perkiraan siapapun, oleh
Ra Tanca, oleh orang-orang istana dan para warga
Kotaraja Majapahit. Apa yang pernah dilakukannya
memberikan obat penawar untuk Nyi Ra Tanca
sebenarnya bagian dan runtutan kecil dari rencana
panjangnya. Sebagaimana seekor serigala malam tengah
mendekati mangsanya, Kuda Jenar nampaknya tengah
menunggu saat yang sangat tepat untuk menerkam
mangsanya. Dan hari yang amat ditunggu oleh Kuda Jenar
nampaknya sudah begitu dekat.
Dan hari itu adalah hari upacara Melasti, dimana
seluruh warga Kotaraja Majapahit berbondong-bondong
melakukan upacara pensucian di pantai Tanah Ujung
Galuh. Terlihat berduyun-duyun warga keluar dari
rumahnya, keluar dari setiap padukuhan-padukuhan
menjadi sebuah barisan yang amat panjang memenuhi
jalan utama Kotaraja Majapahit menuju arah pantai
Tanah Ujung Galuh, barisan orang-orang yang penuh
keceriaan mengenakan pakaian serba putih sebagai
pertanda kesucian hati mereka sambil membawa
berbagai sesaji, membawa berbagai peralatan pura untuk
1246 disucikan dengan air laut sebagai simbol tirta amerta, air
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kehidupan sesuai kepercayaan mereka.
Seperti biasa di pantai Tanah Ujung Galuh, para
anggota Dharmaputra dibantu para Tanda memimpin
jalannya upacara Melasti, tua muda, bangsawan atau
orang jelata semua mendapatkan perlakuan yang sama
duduk bersimpuh di pantai Tanah Ujung Galuh menanti
sang pendeta membacakan mantra, menanti para Tanda
yang ditunjuk untuk menghampiri mereka memercikkan
air suci. Dan disaat itu, Kuda Jenar sebagai seorang Tanda
yang ditunjuk untuk membantu memercikkan air suci
kepada seluruh orang yang hadiri di pantai itu telah
mengambil tempat di barisan keluarga istana, di barisan
para pejabat istana. Tidak seorang pun yang memperhatikannya, juga diri
Raja Jayanagara sendiri manakala Kuda Jenar
memercikkan air suci ke tubuhnya.
JILID 15 ITULAH hari terakhir kemunculan Raja Jayanagara di
muka umum. Dihari upacara ogoh-ogoh, di hari santi
dharma dan hari-hari setelah hari raya Nyepi, Raja
Jayanagara tidak pernah keluar dari kamarnya.
Apa yang terjadi atas diri Raja Jayanagara"
Hanya Nyi Sarijah saja yang tahu apa yang terjadi
atas diri junjungannya itu, karena hanya perempuan tua
itu saja pelayan dalam kepercayaan Raja Jayanagara
yang diperbolehkan keluar masuk kamarnya. Sementara
pelayan yang amat setia itu tidak berani membuka mulut
untuk berkata satu patah katapun tentang keadaan Raja
1247 Jayanagara. Pekan pertama berlalu, Nyi Sarijah masih dapat
menutup rapat-rapat rahasia apa yang terjadi atas Raja
Jayanagara. Pekan kedua, Nyi Sarijah mulai gelisah.
"Raja Jayanagara harus segera disembuhkan, apa
yang harus aku lakukan untuk kesembuhan junjunganku
itu sementara dirinya melarang siapapun masuk kedalam
kamarnya?", berkata Nyi Sarijah di dalam gubuknya di
sebuah malam dengan perasaan penuh rasa resah dan
gelisah. Hingga di suatu hari, Nyi Sarijah benar-benar sudah
tidak punya pilihan lain antara sumpahnya untuk tidak
buka mulut dengan rasa cinta dan sayangnya kepada
junjungannya itu yang telah diasuhnya semenjak bayi
merah, yang disayanginya sebagaimana putra kandungnya sendiri. "Baginda Raja telah melarang hamba berkata kepada
siapapun tentang keadaan dirinya", berkata Nyi Sarijah
kepada Mahapatih Arya Tadah yang datang ke Puri
Pasanggrahan Raja menanyakan tentang keadaan Raja
Jayanagara. "Kesetiaan bibi tidak kusangsikan lagi, bibi adalah
pengasuhnya yang amat dipercaya oleh ayah bundanya.
Dan tidak kusangsikan lagi bahwa bibi sangat
menyayanginya sebagaimana putra kandung bibi
sendiri", berkata Mahapatih Arya Tadah kepada pelayan
tua itu dengan penuh kehati-hatian.
Mahapatih Arya Tadah tidak menduga sama sekali,
bahwa ucapannya telah membuat pelayan tua itu
menangis tersedu-sedu meluapkan rasa resah dan
1248 gelisahnya yang telah dipendam selama dua pekan itu, di
setiap harinya, di setiap malam menjelang tidurnya.
"Hamba menyayanginya seperti anak kandung
hamba sendiri, hamba tidak tega melihatnya seperti itu",
berkata pelayan tua itu dengan suara tangisnya.
"Kami semua menyayanginya, kami semua
mencintainya sebagaimana dirimu menyayanginya,
sebagaimana dirimu mencintainya, katakanlah kepada
kami apa yang terjadi atas dirinya?", berkata Mahapatih
Arya Tadah kepada pelayan tua itu masih dengan suara
perlahan penuh perasaan hati.
Kembali Mahapatih Arya Tadah melihat pelayan tua
itu menangis lebih keras lagi, nampaknya perkataan
Mahapatih Arya Tadah begitu menyentuh perasaan
hatinya. "Hamba tidak tega melihatnya seperti itu", berkata Nyi
Sarijah sambil menangis tersedu-sedu.
"Selama bibi tidak mau membuka mulut, bibi tidak
dapat menolongnya", berkata Mahapatih Arya Tadah
kepada Nyi Sarijah. "Hamba telah berjanji untuk tidak berkata apapun
tentang dirinya", berkata Nyi Sarijah masih dengan isak
tangisnya. "Mana yang bibi pilih, menepati janji atau melihatnya
terus menderita?", berkata Mahapatih Arya Tadah masih
dengan suara perlahan. Terlihat Nyi Sarijah terdiam, nampaknya tengah
berpikir dan mencoba menguatkan hatinya.
"Baginda raja tengah menderita penyakit aneh,
seluruh tubuhnya tumbuh bisul menjijikkan", berkata Nyi
Sarijah yang langsung melanjutkan tangisnya, lebih keras
1249 dari sebelumnya. Mahapatih Arya Tadah tidak berkata
apapun, menunggu tangis Nyi Sarijah reda.
Ketika suara tangis Nyi Sarijah mulai reda terhenti,
Mahapatih kembali bertanya dengan penuh hati-hati.
"Apakah penyakit Baginda Raja sama dengan yang
dialami oleh istri Ra Tanca?", bertanya Mahapatih Arya
Tadah teringat kepada penyakit yang diderita oleh istri
Ra Tanca. "Benar tuanku, sangat mirip sekali dengan yang
pernah dialami oleh Nyi Ra Tanca", berkata Nyi Sarijah
penuh kepastian. Mendengar perkataan pelayan tua itu, terlihat
Mahapatih Arya Tadah mengangguk-anggukkan kepalanya seperti dapat mengerti apa yang sebenarnya
terjadi atas diri Baginda Raja Jayanagara.
"Nampaknya baginda Raja merasa malu bila orang
mengetahui penyakit yang dideritanya itu", berkata
Mahapatih Arya Tadah dalam hati.
"Kembalilah bibi bekerja seperti biasa, aku akan
berusaha mencari jalan keluarnya, mencoba mencari
obat untuk penyembuhan junjungan kita", berkata
Mahapatih Arya Tadah kepada Nyi Sarijah.
Setelah pelayan tua itu pergi, Mahapatih Arya Tadah
terlihat terdiam. Nampaknya lelaki perkasa itu tengah
berpikir keras. "Ra Tanca pernah menyembuhkan istrinya sendiri,
berarti Ra Tanca dapat menyembuhkan Baginda Raja",
berkata Mahapatih Arya Tadah dalam hati. Namun tibatiba saja pikiran lain datang di benaknya. "Baginda Raja
tidak ingin siapapun mengetahui penyakit yang
dideritanya", berkata kembali Mahapatih Arya Tadah
1250 seperti berperang di dalam pikirannya sendiri.
Namun tiba-tiba saja wajah lelaki perkasa itu begitu
cerah, pertanda telah menemukan sebuah cara.
Di dalam pikiran Mahapatih Arya Tadah tersangkut
sebuah nama, seseorang yang sangat dekat sekali
dengan Raja Jayanagara. "Raja Jayanagara tidak akan marah bila Patih
Gajahmada sendiri yang datang membuka kamarnya",
berkata Mahapatih Arya Tadah dalam hati menemukan
seseorang yang dapat membantunya.
Demikianlah, pada hari itu juga Mahapatih Arya
Tadah memanggil seorang prajurit.
"Aku perlu seseorang yang dapat memacu kuda
sehari semalam tiada henti hingga sampai di Kediri, aku
yakin kamu dapat melakukannya", berkata Mahapatih
Arya Tadah kepada seorang prajurit.
"Hamba pamit diri", berkata prajurit itu mengundurkan
diri. Maka tidak lama berselang, terlihat prajurit itu telah
keluar dari istana Majapahit dan langsung memacu
kudanya. Ternyata prajurit itu memang dikenal sebagai
penunggang kuda yang sangat andal, terlihat debu
beterbangan di belakang kaki kudanya yang dilarikan
begitu kencang seperti terbang.
Dan prajurit itu terus memacu kudanya, ketika diatas
padang ilalang, ketika berada diatas tanah bulakan
panjang, bahkan manakala berada diatas jalan sebuah
padukuhan. Terlihat beberapa orang harus menyingkir
lari berhamburan takut tertabrak laju kudanya.
1251 Namun semua orang di jalan-jalan padukuhan
berusaha menekan amarahnya manakala mengetahui
bahwa yang memacu kuda itu adalah seorang prajurit,
dalam hati mereka segera menerka bahwa pasti ada
sesuatu yang sangat amat penting yang harus segera
disampaikan. Hingga manakala hari telah jatuh malam, prajurit itu
telah tiba di Kademangan Simpang dan langsung menuju
ke sebuah barak kesatuan prajurit yang memang ada
ditempatkan di Kademangan Simpang itu.
"Aku perlu seekor kuda yang tegar dan segar, malam
ini juga aku harus melanjutkan perjalanan ke Kediri",
berkata prajurit itu kepada seorang pimpinan kesatuan
prajurit di Kademangan Simpang.
"Jaga pandanganmu di perjalanan malam", berkata
pimpinan kesatuan prajurit di kademangan Simpang.
"Aku mempercayakan kepada mata kuda hitam ini",
berkata prajurit itu yang sudah melompat keatas
punggung kuda. Terlihat prajurit itu telah menghentakkan kakinya
diatas perut kuda hitam itu. Terdengar suara ringkik kuda
yang terkejut langsung melompat dan berlari menembus
kegelapan malam. Sebagaimana yang dikatakan oleh prajurit itu, dirinya
memang mengandalkan ketajaman mata kudanya
menembus perjalanan malamnya.
Ternyata kuda yang ditungganginya adalah seekor
kuda yang sangat kuat dan tegar, tiada henti semalaman
diajaknya berpacu menuju arah Kotaraja Kediri.
Dan pagi itu kotaraja Kediri sudah cukup ramai
manakala prajurit penunggang kuda hitam telah
1252 membuat sebuah keributan kecil di jalan utama yang
dilewatinya. Hanya sebuah keributan kecil dimana beberapa
orang harus berlari menepi takut tertabrak laju kuda
prajurit itu yang terus melaju seperti tidak peduli ada
banyak orang berjalan beriring menuju arah pasar
Kotaraja di pagi itu. "Apakah dikira jalan ini milik nenek moyangnya
sendiri", berkata seorang lelaki sambil menunjuk kearah
prajurit berkuda itu yang telah terbang berlalu jauh
meninggalkannya. Demikianlah, akhirnya prajurit berkuda itu telah
berada di depan gerbang istana Daha.
Sementara itu di waktu yang sama di istana
Majapahit, Ra Tanca terlihat memasuki bale kepatihan.
"Mohon maaf bila tuan harus menunggu", berkata Ra
Tanca dihadapan Mahapatih Arya Tadah.
"Justru akulah yang seharusnya minta maaf, telah
mengganggu tugasmu di pagi ini", berkata Mahapatih
Arya Tadah penuh keramahan hati kepada Ra Tanca.
"Tidak ada yang terganggu, panggilan tuan
Mahapatih pastinya lebih utama dan pastinya sangat
penting sekali", berkata Ra Tanca.
"Memang sangat penting dan bersifat sangat rahasia
sekali", berkata Mahapatih Arya Tadah.
Mendengar perkataan Mahapatih Arya telah
membuat Ra Tanca bergeser duduknya dengan
perasaan berdebar. "Sangat penting dan rahasia?",
berkata Ra Tanca dalam hati.
Terlihat Mahapatih Arya Tadah tersenyum melihat
1253 kegelisahan di wajah Ra Tanca.
"Sebelumnya aku akan bertanya kepadamu,
seandainya saja di perbatasan kotaraja ada sekumpulan
musuh ingin menghancurkan kita, apakah kamu bersedia
angkat senjata melawan musuh itu?", bertanya
Mahapatih Arya Tadah kepada Ra Tanca.
"Hamba akan mengangkat senjata di barisan
terdepan, wahai tuan Mahapatih", berkata Ra Tanca
langsung menjawab. "Aku memang tidak menyangsikan kesetiaanmu bagi
kerajaan ini, namun yang kami butuhkan saat ini adalah
kemampuanmu mengobati sebuah penyakit aneh yang
juga pernah diderita oleh istrimu sendiri", berkata
Mahapatih Arya Tadah memandang lurus kedepan
kearah Ra Tanca. "Siapa gerangan yang tengah menderita penyakit
aneh itu?", langsung bertanya Ra Tanca.
"Bila aku sampaikan kepadamu, dapatkah kamu
merahasiakannya?", berkata Mahapatih Arya Tadah.
"Bila itu yang tuan inginkan,
merahasiakannya", berkata Ra Tanca.
hamba siap Mahapatih Arya Tadah tidak langsung berkata
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
apapun, terdiam sejenak sambil menarik nafas panjang.
Kembali terlihat Ra Tanca menggeser sedikit posisi
duduknya seperti gelisah menunggu Mahapatih Arya
Tadah menyebut sebuah nama yang harus dirahasiakan
itu. "Yang tengah menderita penyakit aneh mirip dengan
penyakit istrimu itu adalah junjungan kita sendiri, Baginda
Raja Jayanagara", berkata Mahapatih Arya Tadah
dengan suara perlahan namun jelas didengar oleh Ra
1254 Tanca. Sontak tubuh Ra Tanca ruyung bergerak layaknya
sikap seorang yang terkejut, sejenak terdiam membisu
memandang kearah Mahapatih Arya Tadah seperti tidak
percaya dengan apa yang baru saja didengarnya itu.
"Aku ingin kamu menyembuhkannya dengan racikan
obat yang pernah kamu berikan kepada istrimu", berkata
Mahapatih Arya Tadah kepada Ra Tanca.
Langsung seketika itu juga Ra Tanca teringat kepada
Kuda Jenar. "dapatkah Kuda Jenar memberikan ramuan
rahasianya itu?", bertanya Ra Tanca dalam hati.
Beruntun datang pikiran lainnya lagi, sebuah lintasan
angannya manakala Raja Jayanagara berhasil dapat
disembuhkan, bukan main gembira hatinya mendapatkan
pujian dan ucapan terima kasih langsung dari Baginda
Raja Jayanagara "Besok pagi kami menunggumu di puri pasanggrahan
milik Baginda Raja Jayanagara", berkata Mahapatih Arya
Tadah tanpa bertanya sekali lagi tentang kesanggupan
Ra Tanca. "Hamba mohon pamit diri, menyiapkan ramuan obat
itu", berkata Ra Tanca pamit diri dari Mahapatih Arya
Tadah. Setelah keluar dari bale Kepatihan, Ra Tanca
langsung mencari Kuda Jenar.
Beruntung anak muda itu ditemuinya tengah sendiri
di pura istana. "Aku benar-benar perlu bantuanmu, wahai Kuda
Jenar", berkata Ra Tanca kepada Kuda Jenar sambil
memandang ke kanan dan ke kiri seperti ingin
memastikan tidak ada seorang pun di pura istana itu
1255 selain mereka berdua. Melihat sikap Ra Tanca, dalam hati Kuda Jenar
langsung tersenyum sepertinya telah dapat membaca
arah pikiran Ra Tanca, namun tidak diperlihatkan
dihadapan Ra Tanca. "Apa gerangan yang dapat aku bantu?", berkata
Kuda Jenar layaknya seorang yang tidak tahu apapun.
"Ramuan obatmu yang pernah kamu berikan kepada
istriku", berkata Ra Tanca.
"Apakah ada orang lain yang menderita penyakit
yang sama sebagaimana istrimu?", berkata Kuda Jenar
masih dengan kepura-puraannya layaknya seorang yang
terkejut. "Benar, penyakitnya sama dengan yang diderita oleh
istriku", berkata Ra Tanca.
"Siapakah gerangan orang itu, bila aku boleh
mengetahuinya?", bertanya Kuda Jenar.
Terlihat Ra Tanca menarik nafas ragu, teringat
permintaan Mahapatih Arya Tadah agar dirinya
merahasiakannya. "Mahapatih Arya Tadah memintaku untuk merahasiakannya", hanya itu yang dikatakan Ra Tanca
kepada Kuda Jenar. Terlihat Kuda Jenar terdiam sejenak, dalam hatinya
seperti mengetahui siapa gerangan orang yang harus
dirahasiakannya itu. "Aku dapat membantumu, namun kamu harus
memenuhi persyaratan dariku, persyaratan yang sama
seperti ketika kuberikan obat untuk istrimu", berkata Kuda
Jenar kepada Ra Tanca. 1256 Bukan main gembiranya hati Ra Tanca mendengar
kesanggupan Kuda Jenar, langsung terbayang namanya
yang menjulang tinggi sebagai tabib yang tersohor
karena telah mampu menyembuhkan penyakit Baginda
Raja Jayanagara. "Anak muda yang bodoh", berkata Ra
Tanca dalam hati menilai sikap Kuda Jenar yang aneh itu
yang tidak ingin namanya dikenal oleh siapapun.
"Orang bodoh yang akan menanggung nasib
malang", berkata pula Kuda Jenar dalam hatinya
memandang kecerahan di wajah Ra Tanca manakala
mendengar kesanggupannya.
Keduanya memang sama-sama tidak tahu apa yang
ada di dalam pikiran masing-masing, namun keduanya
sama-sama berpikir yang sama, menilai orang
dihadapannya sebagai orang bodoh.
Yang pasti Kuda Jenar merasa semua rencananya
telah berjalan dengan sangat amat sempurnanya.
"Nanti malam aku akan membawa dua mangkuk
ramuan itu, hari ini aku minta ijin untuk menyiapkannya",
berkata Kuda Jenar berpamit diri dihadapan atasannya
itu, Ra Tanca. Sementara itu di waktu yang sama terlihat seorang
pemuda berkuda tengah memasuki Kademangan
Simpang. "Kutitipkan kudaku ini disini", berkata pemuda itu
kepada seorang prajurit di sebuah barak kesatuan yang
ada di kademangan Simpang.
"Kami akan menjaga kuda tuan dengan baik", berkata
prajurit itu sangat ramah kepada pemuda itu yang
ternyata adalah Patih Gajahmada.
Prajurit itu hanya berpikir bahwa Patih Gajahmada
1257 ingin berjalan-jalan seorang diri di sekitar Kademangan
Simpang, tidak berpikir sama sekali bahwa sebenarnya
anak muda itu akan melanjutkan perjalanannya ke
Kotaraja Majapahit. "Terima kasih, aku hanya ingin berjalan-jalan di
sekitar Kademangan ini", berkata Patih Gajahmada
sambil tersenyum ramah kepada prajurit itu.
Kehadiran anak muda itu yang berjalan kaki di
Kademangan Simpang cukup mencuri perhatian banyak
orang, terutama para gadis-gadis manis yang kebetulan
berpapasan dengannya. Terlihat dua gadis manis sambil menjunjung barang
belanjaannya diatas kepala memandang penuh kagum
kearah Patih Gajahmada yang berjalan semakin
mendekatinya. Rambut yang ikal terurai tanpa ikat kepala, wajah
yang tampan rupawan serta bahu yang tegap dengan
langkah yang penuh rasa percaya diri yang tinggi
membuat gadis mana yang tidak runtuh hatinya.
Serrr". Dua gadis manis itu seperti mendapatkan rejeki besar
hari itu manakala Patih Gajahmada membalas senyum
keduanya. Terlihat kedua anak gadis itu saling mencubit tangan
kawannya, berjalan dengan langkah berjinjit penuh
kegembiraan hati. Ternyata bukan hanya kedua gadis manis itu saja
yang terkagum-kagum memandang Patih Gajahmada
yang memang sangat tampan rupawan itu. Namun
perawakan tubuhnya yang berbeda dengan orang Jawa
pada umumnya juga menimbulkan sebuah 1258 pemandangan yang menarik di jalan utama Kademangan
Simpang itu. Sementara itu Patih Gajahmada sudah terbiasa
menyaksikan daya tarik dirinya yang selalu menjadi
bahan perhatian orang banyak, anak muda itu terlihat
berjalan seperti biasa. Ketika dirinya telah keluar dari Kademangan
Simpang, tidak banyak lagi orang yang ditemuinya.
Seandainya saja ada orang yang melihatnya saat itu,
pasti dikiranya tengah bertemu dengan seorang dewa
sakti yang rupawan, karena anak muda itu tidak lagi
berjalan seperti sebelumnya, melainkan berkelebat
melesat terbang menggunakan ilmu meringankan
tubuhnya yang sudah teramat sempurna itu.
Wuss". Patih Gajahmada seperti terbang menunggang angin,
melesat begitu cepatnya di jalan-jalan sepi menuju arah
Kotaraja Majapahit. Anak muda itu nampaknya ingin segera sampai di
istana Majapahit setelah mendapat sebuah pesan
singkat dari Mahapatih Arya Tadah agar dirinya segera
datang ke istana Majapahit.
"Pasti ada sesuatu yang amat penting sehingga
Paman Mahapatih Arya Tadah memanggilku", berkata
Patih Gajahmada dalam hati.
Bila saja Patih Gajahmada harus berkuda dengan
memacunya, baru tengah malam dirinya akan sampai di
Kotaraja Majapahit. Tapi anak muda yang punya ilmu sakti sangat tinggi
itu dengan kemampuan ilmu meringankan tubuhnya itu
telah tiba di Kotaraja Majapahit di saat hari belum
1259 berakhirnya senja. "Selamat datang, wahai tuan patih Gajahmada",
berkata seorang prajurit penjaga istana kepadanya.
Terlihat patih Gajahmada mengangguk ramah
dengan senyum menghias bibirnya menatap prajurit
muda dihadapannya itu. "Sejak kapan kamu bertugas sebagai prajurit
penjaga, wahai Glagah Merah?", berkata Patih
Gajahmada yang ternyata mengenal prajurit muda itu
sebagai salah satu anak buahnya di kesatuan
Bhayangkara. "Sejak tuan pindah menjadi patih di Kahuripan,
hamba pindah tugas menjadi kepala prajurit penjaga
istana", berkata prajurit muda itu.
"Pasti kamu seorang bekel muda yang hebat",
berkata Patih Gajahmada sambil menepuk bahu prajurit
muda itu. "Semua berkat bimbingan tuanku", berkata prajurit
muda itu penuh rasa terima kasih.
"Bekel Glagah Merah, antarkan aku menemui
Mahapatih Arya Tadah di bale Kepatihan", berkata Patih
Gajahmada kepada prajurit muda itu yang dipanggilnya
sebagai Bekel Glagah Merah itu.
"Tuan Mahapatih Arya Tadah sudah tidak ada di
kepatihan, hamba dapat mengantar tuan ke puri
pasanggrahannya langsung", berkata bekel Glagah
Merah kepada Patih Gajahmada.
Demikianlah, terlihat Patih Gajahmada telah diantar
langsung oleh bekel Glagah Merah menuju puri
pasanggrahan Mahapatih Arya Tadah.
1260 "Tunggulah tuan disini, hamba akan mengabarkan
orang didalam bahwa ada tamu", berkata bekel Glagah
Merah kepada Patih Gajahmada di depan pendapa puri
pasanggrahan Mahapatih Arya Tadah.
Patih Gajahmada menatap prajurit muda itu yang
setengah berlari memasuki pintu butulan.
Tidak lama berselang prajurit muda itu telah kembali
Rajawali Hitam 7 Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long Seruling Sakti 18
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama