Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana Bagian 19
dulu begitu manja kepadanya yang telah dipercayakan
oleh raja Sanggrama Wijaya sebagai seorang penuntun
olah kanuragan. Dengan penuh hati-hati Patih Gajahmada bercerita
tentang permintaan Mahapatih Arya Tadah kepadanya
untuk menghancurkan sebuah gerombolan Ki Sadeng
tanpa menyinggung sama sekali rahasia besar tentang
pembunuhan Raja Jayanagara.
1337 "Mahapatih Arya Tadah pasti punya perhitungan
sendiri mengapa meminta Kakang Gajahmada menghancurkan gerombolan Ki Sadeng. Masalah
kerajaan Majapahit adalah masalah kerajaan kita juga,
karena kerajaan kita ada di dalamnya sebagai sebuah
kesatuan yang tidak terpisahkan. Kurestui dan kuijinkan
kepergianmu, wahai Kakang Gajahmada", berkata
Rajadewi Maharajasah kepada Patih Gajahmada.
Berbinar-binar wajah Patih Gajahmada mendengar
perkataan Rajadewi Maharajasah yang tidak disangkasangkanya itu, semula dirinya merasa khawatir bahwa
Rajadewi tidak begitu peduli dengan masalah di luar
kerajaan Kediri. Ternyata Patih Gajahmada salah menilai
cara berpikir Rajadewi Maharajasah tidak sekerdil yang
dipikirkannya. "Hari ini hamba begitu bangga, hari ini hamba seperti
tengah berhadapan dengan Baginda Raja Sanggrama
Wijaya. Cara berpikir Gusti Rajadewi sungguh begitu luas
dan jauh", berkata Patih Gajahmada penuh kegembiraan
hati. "Bukankah semua kakang Gajahmada yang
mengajarkan kepadaku, bahwa semakin tinggi kita
berdiri, semakin luas jarak pandang kita melihat masalah
didepan mata kita", berkata Rajadewi Maharajasah
sambil tersenyum. "Hamba mohon pamit diri, restu dan ijin Gusti
Rajadewi adalah anugerah untuk hamba", berkata Patih
Gajahmada penuh penghormatan dan berpamit diri di
hadapan Rajadewi Maharajasah.
Rajadewi Maharajasah masih memandang langkah
kaki Patih Gajahmada yang semakin menjauh.
Rajadewi Maharajasah masih memandang langkah
1338 Patih Gajahmada pasanggrahannya. di ujung gerbang gapura puri "Kakang Gajahmada, bila ada seseorang yang paling
kukagumi di dunia ini, engkaulah adanya", berkata
Rajadewi Maharajasah dalam hati sambil memandang
Patih Gajahmada di penglihatan terakhirnya di ujung
kelokan dinding gapura yang melenyapkan diri anak
muda itu dari pandangannya. "Menghancurkan sebuah
kelompok kecil perusuh siapapun pasti bisa, nampaknya
Mahapatih Arya Tadah telah memilihmu sebagai
penggantinya, perangmu adalah perang pencitraan
jalanmu menuju bintang para pahlawan di kerajaan
Majapahit ini. Semoga kemenangan selalu berada
bersama pasukanmu, wahai pahlawanku", berkata
Rajadewi Maharajasah dalam hati.
Sementara itu patih Gajahmada yang telah
mendapatkan ijin dan restu dari Rajadewi Maharajasah
terlihat berjalan dengan penuh perasaan lapang dan
kegembiraan hati dan langsung menemui Ki Rangga
Gajah Biru. "Ijin dan restu telah kuterima dari Rajadewi
Maharajasah", berkata Patih Gajahmada kepada Ki
Rangga Gajah Biru. "Syukurlah, aku ikut gembira mendengarnya", berkata
Ki Rangga Gajah Biru. "Selama aku pergi, kupercayakan tugas-tugas di
kepatihan kepada Ki Rangga Gajah Biru", berkata Patih
Gajahmada. "Terima kasih atas kepercayaan tuan Patih kepada
diriku", berkata Ki Rangga Gajah Biru penuh
penghormatan. 1339 Demikianlah, setelah menyampaikan apa-apa yang
harus dilakukan sehubungan dengan kepergiannya itu,
Patih Gajahmada berpamit diri kepada Ki Rangga Gajah
Biru. "Aku selalu berdoa untuk keselamatan Tuan Patih",
berkata Ki Rangga Gajah Biru kepada Patih Gajah Mada
"Aku juga selalu berdoa keselamatan untukmu dan
untuk keluargamu", berkata Patih Gajahmada kepada Ki
Rangga Gajah Biru. Kedua sahabat itupun terlihat berpelukan, merasakan
bahwa perpisahan mereka begitu sangat lama.
Sementara itu sebuah pohon randu yang tumbuh
tinggi menjulang di belakang istana Kediri terlihat
bergoyang ditiup angin yang cukup kuat di pagi itu.
Bunga randu terlihat beterbangan jauh melayang-layang
tak menentu mengikuti arah angin yang membawanya.
Begitulah hati dan perasaan Patih Gajahmada
manakala meninggalkan Kotaraja Kediri, seperti terbang
melayang layang tidak tahu apa yang akan dihadapinya
di depan langkahnya. "Wahai zat pemilik hati ini, kupasrahkan diriku
kepadamu", berkata Patih Gajahmada sambil menghentakkan kakinya ke perut kudanya.
Kuda yang ditunggangi Patih Gajahmada terlihat
berlari kencang diatas jalan tanah yang sepi di pagi itu.
Perjalanan dari Kotaraja Kediri ke Lamajang memang
cukup jauh. Arah yang paling singkat adalah melewati
Kotaraja Singasari, namun harus menempuh hutan dan
lembah yang sangat sulit saat itu. Kuda tunggangan
Patih Gajahmada masih berlari kencang mendekati
sebuah persimpangan jalan.
1340 Manakala telah berada di persimpangan jalan, terlihat
Patih Gajahmada mengambil arah ke Gunung Kelud,
nampaknya anak muda itu tidak mengambil jalan yang
biasa dilewati oleh para pedagang, namun mengambil
arah jalan pintas menuju arah kerajaan Singasari
melewati beberapa hutan dan lembah pegunungan yang
memang sangat sukar dilalui oleh pedati karena ada
beberapa jalan sangat terjal dan curam.
Hingga ketika anak muda itu tiba di sebuah
padukuhan yang berada di lembah Gunung Kelud yang
terlihat sangat damai dan tentram itu, Patih Gajahmada
telah menitipkan kudanya kepada salah seorang
penduduk di sana. Senang sekali orang itu menerima upah yang cukup
besar sebagai pengganti merawat dan memelihara
kudanya yang dititipkannya itu.
"Bila aku kembali, aku akan menambahkannya",
berkata Patih Gajahmada kepada orang itu yang
dilihatnya sangat gembira menerima pemberian upah
darinya. "Hamba akan menjaga kuda tuan dengan baik",
berkata orang itu kepada Patih Gajahmada yang
langsung berpamit untuk melanjutkan perjalanannya
hanya dengan berjalan kaki.
"Anak muda itu pasti seorang putra bangsawan, atau
jangan-jangan seorang pangeran?", berkata orang itu
dalam hati sambil memandang punggung Patih
Gajahmada yang tengah berjalan semakin menjauh
darinya. Perjalanan menuju arah Kotaraja Singasari memang
lebih cocok dengan berjalan kaki, karena banyak
menemui jalan hutan yang lebat serta beberapa jalan
1341 yang terjal diantara beberapa lembah pegunungan.
Namun Patih Gajahmada bukan orang biasa, dirinya
telah ditempa oleh banyak orang sakti sehingga
perjalanan menuju arah Kotaraja Singasari dapat
dilakukannya dengan sangat mudahnya.
Orang biasa mungkin perlu sehari dan semalaman
berjalan tanpa henti hingga tiba di Kotaraja Singasari,
karena harus melewati hutan Gunung Kelud yang lebat,
serta melewati lembah antara Gunung Arjuna dan
Gunung Kawi yang sangat terjal berbatu.
Sementara untuk seorang seperti Patih Gajahmada
yang mempunyai ilmu meringankan tubuhnya yang
sudah nyaris sempurna itu tidak perlu waktu sehari
semalam untuk menempuhnya.
Terlihat di sebuah hutan sepi, anak muda itu terlihat
seperti terbang melesat dari satu cabang batang pohon
ke cabang pohon lainnya. Sementara di sebuah tanah
terjal mendaki, terlihat anak muda itu dengan begitu
mudahnya melompat dari satu tempat ke tempat lainnya
dengan begitu mudahnya. Hingga akhirnya manakala hari masih jauh senja,
Patih Gajahmada telah mendekati gerbang gapura batas
kotaraja Singasari, sebuah daerah perbukitan yang
sangat sejuk. "Leluhur Raja Singasari nampaknya telah menemukan sebuah tempat yang hebat untuk istananya,
sebuah tempat yang sangat terlindung dari serangan
para musuh", berkata Patih Gajahmada yang
memandang istana Singasari yang berdiri diatas puncak
perbukitan. Manakala anak muda itu telah memasuki jalan
1342 Kotaraja Singasari, tubuhnya yang tegap kekar dengan
rambut yang tergulung rapih sempat mencuri perhatian
beberapa orang. Nampaknya anak muda itu sudah terbiasa dirinya
menjadi bahan perhatian orang banyak, terutama karena
tubuhnya lebih tinggi dari orang kebanyakan di
Jawadwipa itu. Terlihat Patih Gajahmada terus berjalan tidak
memperdulikan pandangan beberapa orang, anak muda
itu terlihat berhenti di sebuah rumah yang cukup megah
dan cukup besar yang berada di Kotaraja Singasari itu.
"Permisi, apakah ini rumah kediaman Tumenggung
Mahesa Pukat", berkata Patih Gajahmada kepada
seorang prajurit penjaga rumah itu.
"Benar, ini rumah Tumenggung Mahesa Pukat,
apakah tuan ada keperluan untuk menemuinya?",
bertanya prajurit penjaga itu.
"Aku hanya kerabatnya yang kebetulan singgah di
Kotaraja ini", berkata Patih Gajahmada kepada prajurit
penjaga itu. Namun belum sempat prajurit penjaga itu bertanya
hal yang lainnya, tiba-tiba saja terlihat dua ekor kuda
berhenti. "Paman, kita kedatangan seorang tamu yang sangat
luar biasa", berkata seorang pemuda yang telah turun
terlebih dahulu dari punggung kudanya.
"Orang yang dipanggil paman oleh anak muda itu
langsung turun dari kudanya dan bersama anak muda itu
penuh senyum gembira berjalan menemui Patih
Gajahmada. "Selamat datang di Kotaraja Singasari, wahai 1343 sahabatku", berkata anak muda yang terlihat seumuran
dengan Patih Gajahmada, terlihat sudah sangat
mengenal dan akrab sekali kepada Patih Gajahmada.
"Selamat bertemu lagi wahai sahabatku,", berkata
Patih Gajahmada yang juga telah mengenal anak muda
itu yang ternyata adalah Mahesa Darma, sang putra
tunggal pemimpin dan guru besar padepokan Bajra Seta
yang sangat terkenal kesaktiannya itu.
"Senang bertemu denganmu, wahai anak muda",
berkata seorang lelaki tua yang masih terlihat gagah.
"Senang juga berjumpa dengan paman", berkata
Patih Gajahmada membalas sapaan lelaki tua yang
terlihat masih sangat tegap dan gagah itu yang tidak lain
adalah Tumenggung Mahesa Pukat.
Kerajaan Singasari saat itu di pimpin oleh Raja Muda
Kertawardana, suami Ratu Tribuwana Tunggadewi
penguasa Kerajaan Majapahit. Sementara kepemimpinan
para angkatan perang di Singasari itu dipercayakan
kepada Tumenggung Mahesa Pukat bersama wakilnya
yang sekaligus adalah keponakannya sendiri bernama
Rangga Dharma, putra tunggal dari Mahesa Murti,
seorang yang sangat dihormati oleh Baginda Raja
Sanggrama Wijaya dan banyak berjasa dalam awal
perjuangannya mendirikan Kerajaan Majapahit. Atas
jasa-jasanya itu Mahesa Murti telah dianugerahkan
sebidang tanah perdikan.
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Terlihat Patih Gajahmada diiringi dua orang yang
sangat di hormati di kerajaan Singasari saat itu tengah
menuju kearah pendapa rumah yang cukup megah itu.
Setelah menyampaikan berita keselamatan masingmasing, merekapun bercerita tentang keadaan di tempat
tugas masing-masing. 1344 Akhirnya cerita mereka bergeser tentang pembangunan kotaraja baru di hutan Sastrawulan.
"Lima bulan purnama lagi, diperkirakan istana dan
pemukiman baru itu akan selesai. Kotaraja Majapahit
akan bergeser ke tempat baru itu. Sementara dengan
berpindahnya Kotaraja Majapahit, Kerajaan Kahuripan
semakin diperluas hingga ke Bandar pelabuhan Tanah
Ujung Galuh", berkata patih Gajahmada bercerita tentang
perkembangan pembangunan Kotaraja baru itu di hutan
Sastrawulan. "Bagaimana kabar Mahapatih Arya Tadah, sudah
lama aku tidak berjumpa dengannya", berkata
Tumenggung Mahesa Pukat bertanya tentang keadaan
Mahapatih Arya Tadah yang merupakan saudara
angkatnya itu yang dikenalnya sebagai Mahesa Semu.
Mendengar pertanyaan Mahapatih Arya Tadah, Patih
Gajahmada langsung bercerita bahwa dirinya belum
lama ini telah berjumpa di Kotaraja Majapahit. Setelah
bercerita tentang keadaan Mahapatih Arya Tadah,
sekaligus Patih Gajahmada bercerita tentang tugas yang
tengah diembannya itu. "Mahapatih Arya Tadah telah mengamanatkan
kepadaku menghentikan gerakan Ki Sadeng bersama
kelompoknya di jalur antara Lamajang dan Blambangan",
berkata Patih Gajahmada kepada Tumenggung Mahesa
Pukat dan Rangga Mahesa Dharma.
"Sebuah langkah yang tepat dari Mahapatih Arya
Tadah, memadamkan api sebelum membesar", berkata
Tumenggung Mahesa Pukat menyetujui langkah
Mahapatih Arya Tadah itu. "namun aku tidak melihat
dirimu datang bersama sebuah pasukan", berkata
kembali Tumenggung Mahesa Pukat tentang diri Patih
1345 Gajahmada yang datang tanpa pasukan.
"Rencananya aku akan meminta bantuan pasukan
dari Adipati Menak Koncar di Lamajang", berkata Patih
Gajahmada. "Berapa kekuatan yang di miliki oleh Ki Sadeng saat
ini?", bertanya Tumenggung Mahesa Pukat.
"Mereka adalah para bajak laut yang biasa
bertempur, ada sekitar enam ratus orang", berkata Patih
Gajahmada. "Aku akan meminta kakang Mahesa Murti mengirim
para cantriknya membantu tugasmu itu", berkata
Tumenggung Mahesa Pukat menawarkan bantuan
kepada Patih Gajahmada. "Sangat gembira diriku ini menerima bantuan para
cantrik dari Padepokan Bajra Seta yang sangat terkenal
itu", berkata Patih Gajahmada dengan penuh
kegembiraan hati. "Sangat kebetulan sekali, besok rencananya aku
akan berangkat ke Tanah Perdikan Bajra Seta, aku
sendiri yang akan meminta kepada ayahku untuk
mengirim para cantriknya membantu dirimu", berkata
Rangga Mahesa Dharma kepada Patih Gajahmada.
"Bila memang demikian, aku akan menunggu para
cantrik dari Padepokan Bajra Seta di Lamajang", berkata
patih Gajahmada. Demikianlah, ketiganya terlihat berbicara hingga jauh
malam di pendapa rumah kediaman Tumenggung
Mahesa Pukat itu, banyak masukan yang didapat dari
Tumenggung Mahesa Pukat yang punya banyak
pengalaman itu kepada patih Gajahmada, menyempurnakan rencana-rencananya menghentikan
1346 gerombolan Ki Sadeng itu.
"Masukan dari Paman sangat aku hargai", berkata
Patih Gajahmada penuh rasa terima kasih kepada
Tumenggung Mahesa Pukat. Semilir angin yang amat dingin di bumi Singasari itu
akhirnya telah menyadarkan mereka bahwa hari telah
jauh larut malam. "Aku terlalu bersemangat, hingga lupa menawarkan
istirahat kepada tamuku", berkata Tumenggung Mahesa
Pukat kepada Patih Gajahmada dengan sebuah senyum
yang selalu menghias wajahnya.
Mendengar perkataan Tumenggung Mahesa Pukat,
terlihat Patih Gajahmada dan Rangga Mahesa Dharma
saling berpandangan dan ikut tersenyum.
"Kita memang para kemenakan yang tidak tahu diri,
mengajak bicara orang tua hingga larut malam", berkata
Rangga Mahesa Dharma. Sementara itu rembulan sepotong diatas rumah
kediaman Tumenggung Mahesa Pukat terlihat menggelantung di langit malam yang sepi. Kerlap kerlip
pelita malam terlihat begitu elok menghiasi bumi
Singasari seperti bintang bertebaran rendah di tanah
berbukit itu. Suguhan pemandangan yang elok itu sempat dilihat
oleh Patih Gajahmada dari pendapa rumah kediaman
Tumenggung Mahesa Pukat yang berdiri di puncak
perbukitan Kotaraja Singasari.
"Lain kali kamu dapat menikmati lebih lama lagi",
berkata Rangga Mahesa Dharma yang mengetahui
bahwa sahabatnya itu terpesona dengan pemandangan
alam bumi Singasari di waktu malam. "tentunya kamu
1347 harus bermalam disini lebih lama lagi", berkata kembali
rangga Mahesa Dharma. Dan keesokan harinya, pagi-pagi sekali Patih
Gajahmada sudah berpamit diri untuk melanjutkan
perjalanannya menuju Kotaraja Lamajang.
"Aku selalu berdoa untuk keselamatanmu, wahai
anak muda", berkata Tumenggung Mahesa Pukat
melepas kepergian Patih Gajahmada.
"Nantikan aku di Lamajang", berkata Rangga Mahesa
Dharma melambaikan tangannya kepada Patih
Gajahmada. Dibawah regol pintu gerbang rumah Tumenggung
Mahesa Pukat, terlihat Patih Gajahmada berhenti
sebentar untuk melambaikan tangannya kepada
Tumenggung Mahesa Pukat dan Rangga Mahesa
Dharma yang masih berdiri.
"Anak muda yang penuh rasa semangat yang tinggi",
berkata Tumenggung Mahesa Pukat kepada kemenakannya, Rangga Mahesa Dharma.
"Kemampuannya sangat tinggi, namun tidak
sombong dan sangat rendah hati", berkata Rangga
Mahesa Dharma. Sementara itu Patih Gajahmada telah berada di jalan
utama Kotaraja Singasari yang sudah mulai cukup ramai
di pagi itu. "Di Kotaraja inilah aku pertama kali belajar menjadi
seorang prajurit pengawal Raja", berkata Patih
Gajahmada dalam hati mengingat kembali saat dirinya
ikut mengawal Baginda Raja Sanggrama Wijaya beserta
keluarganya berkunjung ke istana Singasari beberapa
tahun yang telah lewat, saat dirinya tengah dipersiapkan
1348 oleh Empu Nambi menjadi kepala pasukan Bhayangkara.
Dan tidak terasa langkah kaki Patih Gajahmada telah
mendekati gerbang gapura batas kotaraja Singasari
sebelah timur. "Kotaraja yang indah", berkata Patih Gajahmada
dalam hati manakala telah melewati gerbang gapura
batas kotaraja dan memandang kemegahan istana
Singasari yang berada diatas puncak perbukitan.
Semilir angin lembut mengusap wajah Patih
Gajahmada yang terus berjalan ke arah timur. Bunga
ilalang yang terlepas dari tangkainya terbang tertiup
angin mengiringi jejak langkah anak muda itu.
Terlihat anak muda itu berjalan sebagaimana orang
biasa, namun siapa kira dalam waktu singkat sudah jauh
berlalu. Ternyata ilmu meringankan tubuh dari anak
muda itu memang sudah nyaris mendekati kesempurnaannya. Dan manakala sang surya telah berada diatas
puncaknya, Patih Gajahmada telah berada diantara kaki
pegunungan Bromo, Tengger dan Semeru.
Hutan yang lebat dan pekat tidak menjadi hambatan
langkah anak muda perkasa itu yang terkadang terlihat
melesat mendaki tanah bertebing.
Hingga akhirnya langkah kaki Patih Gajahmada
tertahan oleh keelokan sebuah danau yang sangat indah.
Ternyata Patih Gajahmada telah berada di sekitar
Ranu Pane. Layaknya mata seorang kelana yang dahaga, tak
jemu-jemu pandangan mata Patih Gajahmada menyapu
suguhan alam yang sangat elok di hadapannya itu.
1349 Siapapun akan terpesona menikmati alam asri di
sekitar danau yang sangat luas itu, lembah pinus yang
hijau dilatari warna biru gundukan puncak Mahameru
yang mengepulkan asap putih, ditambah kejernihan air
danau Ranu pane benar-benar sebuah lukisan alam
yang sangat indah. Lukisan alam yang indah itu bertambah-tambah
keindahannya manakala sekumpulan bangau putih
terbang berputar-putar diatas Ranu Pane.
Namun pandangan Patih Gajahmada yang amat
tajam terlatih itu telah menangkap sebuah bayangan
putih yang terbang diatas air.
Bayangan putih itu terlihat semakin jelas.
Ternyata bayangan putih itu adalah sosok manusia
yang berjubah layaknya seorang pendeta yang meluncur
diatas air tanpa alat apapun.
Sungguh sebuah ilmu meringankan tubuh yang amat
sempurna yang dipertunjukkan oleh pendeta berjubah
putih itu. Perlahan patih Gajahmada berdiri dengan pandangan
mata tak berkedip sedikitpun.
Ternyata sang pendeta berjubah putih yang sangat
sempurna ilmu meringankan tubuhnya itu memang
tengah menuju ke arahnya.
"Selamat datang, wahai putra angkat Patih Mahesa
Amping yang perkasa", berkata pendeta berjubah putih
itu manakala telah berada di hadapan Patih Gajahmada.
Mulut Patih Gajahmada seperti terbungkam, matanya
menatap wajah pendeta tua itu seperti tidak percaya
dengan apa yang dilihatnya.
1350 "Kamu tidak tengah berada di alam mimpi, wahai
kemenakanku yang perkasa", berkata pendeta tua itu
dengan wajah dan senyum penuh ketulusan hati.
Setelah ditegur dua kali, masih saja Patih Gajahmada
seperti terbungkam mulutnya untuk bicara.
"Apakah wajahku ini begitu menakutkan dirimu, wahai
ksatria penjaga Majapahit yang perkasa?", berkata
kembali pendeta tua itu masih dengan wajah penuh
senyum menyejukkan hati. "Jadi aku ini tidak tengah bermimpi?", hanya itu suara
yang keluar dari mulut Patih Gajahmada bertanya
kepada pendeta tua itu. "Benar, ini bukan mimpimu anak muda", berkata
pendeta tua itu mengangguk perlahan masih dengan
senyumnya yang menyejukkan itu.
Wajah pendeta tua dengan rambut tergulung rapih itu
masih tersenyum memandang wajah Patih Gajahmada
yang terlihat masih tercengang.
Dan pendeta tua dengan wajah jernih penuh kasih itu
tetap terdiam manakala Patih Gajahmada tiba-tiba saja
langsung menubruknya dan memeluknya rapat-rapat.
"Empu Nambi ?", hanya itu yang terdengar lirih
perlahan keluar dari mulut Patih Gajahmada yang masih
begitu erat memeluknya seakan takut hilang dari
dekapannya itu. Ternyata lelaki tua berjubah pendeta itu adalah Empu
Nambi gerangan adanya. Semula Patih Gajahmada ragu karena tersiar kabar
Empu Nambi telah tewas terbunuh oleh Dyah Halayuda.
"Aku tidak seperti yang dipersangkakan oleh semua
1351 orang, bukankah kamu lihat sendiri bahwa hari ini aku
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masih dapat bercakap-cakap denganmu?", berkata Empu
Nambi seperti dapat membaca apa yang ada dalam
pikiran Patih Gajahmada saat itu.
Terlihat mereka duduk bersama diatas rumput hijau
di tepian Ranu Pane. Semilir angin di siang itu begitu terasa sejuk
menyapu wajah mereka berdua.
Setelah puas bercerita tentang keadaan masingmasing, maka Patih Gajahmada bercerita tentang
tugasnya untuk menghentikan gerakan kelompok Ki
Sadeng. "Sungguh Mahapatih Arya Tadah telah bertindak
sangat tepat, memadamkan api disaat belum menjadi
besar", berkata Empu Nambi menyetujui langkah-langkah
yang diambil oleh penerusnya itu, Mahapatih Arya
Tadah. "Kami para orang tua akan merasa bangga
bahwa cara pandang kalian sungguh begitu jauh. Kami
para orang tua merasa yakin, kemapanan Majapahit ini
akan menjadi langgeng, kuat tak tergoyahkan di tangan
kalian para orang muda", berkata kembali Empu Nambi.
"Semua atas bimbingan kalian, para orang tua",
berkata Patih Gajahmada penuh rasa hormat.
"Nampaknya Baginda Raja Sanggrama Wijaya tidak
salah memilihmu, menitipkan keris Nagasasra di
tanganmu", berkata Empu Nambi sambil memandang
keris Nagasasra yang terselip di pinggang Patih
Gajahmada. "Baginda Raja Sanggrama hanya menitipkannya
kepadaku untuk diserahkan kepada putranya yang
berhak", berkata Patih Gajahmada.
1352 "Apa yang dipesankan oleh Baginda Raja Sanggrama
Wijaya manakala menyerahkan keris itu kepadamu?",
berkata Empu Nambi dengan wajah penuh senyum
berseri-seri itu. "Baginda Raja Sanggrama Wijaya mengatakan
bahwa keris Nagasasra adalah milik para raja di
Jawadwipa ini. Siapapun yang menguasai keris ini
berhak mewarisi tahta singgasananya", berkata Patih
Gajahmada. Ternyata Baginda Raja Sanggrama Wijaya begitu
jernih hatinya, telah dapat membaca apa yang terjadi
jauh melampaui hari depan kerajaan ini. Pilihan Baginda
Raja Sanggrama Wijaya sangat tepat, engkaulah raja di
bumi Majapahit ini", berkata Empu Nambi dengan
pandangan mata penuh kesungguhan.
"Aku bukan raja, aku hanya seorang patih dari Daha",
berkata Patih Gajahmada. "Kamu akan menjadi seorang Raja besar, melampaui
kebesaran para leluhur raja-raja di Jawadwipa ini",
berkata Empu Nambi. "Aku bukan Raja, aku hanya seorang patih dari
Daha", berkata kembali Patih Gajahmada.
"Seorang raja besar adalah seorang pengendali yang
perkataan dan tindakannya melahirkan kedamaian,
kedaulatan dan kemakmuran yang merata kepada
seluruh umat. Tahta dan singgasana adalah kekuatan diri
yang memancarkan rasa penghormatan dan ketaatan.
Dan engkaulah adanya pemilik anugerah wahyu keraton
itu", berkata Empu Nambi masih dengan wajah penuh
kesungguhan hati. "Makna dan perkataan Empu Nambi begitu dalam,
1353 semoga aku dapat memegang amanat besar ini. Makna
dan perkataan Empu Nambi semoga dapat menjadi
pusaka yang akan terus kujaga", berkata Patih
Gajahmada dengan rasa penuh penghormatan telah
dapat menyelami makna dan perkataan Empu Nambi
dengan perlambangnya itu.
"Tengoklah sekumpulan bangau putih yang tengah
berenang di kejernihan air Ranu Pane itu, mereka tinggal
dalam sarang yang sama, mencari makan bersama.
Mereka saling melindungi dan saling menjaga bersama",
berkata Empu Nambi sambil memandang sekumpulan
bangau putih yang tengah berenang di atas permukaan
air Ranu Pane. "Gusti yang Maha Agung telah banyak menurunkan
ayat-ayat sucinya bagi pengajaran umat manusia lewat
alam yang maha luas ini", berkata Patih Gajahmada ikut
menyelami jalan pikiran sang pendeta suci yang dulu
pernah menjadi pemimpin perguruan Teratai Putih
dengan padepokan yang tersebar di Jawadwipa dan
Balidwipa itu. "Sungguh aku hari ini telah bertemu dengan seorang
anak muda yang terbuka hati dan pikirannya. Engkau
telah dapat membawa kemanapun dirimu berada, kitab
Tatwa yang hanya dapat di baca oleh para brahmana.
Engkau telah dapat membaca kitab yang tak berhuruf itu,
engkau telah dapat mendengar wahyu yang tidak
berbunyi itu. Maha suci Gusti Agung yang telah
menjodohkan diriku hari ini bertemu denganmu di tempat
yang indah ini", berkata Empu Nambi penuh senyum
berseri-seri. "Perkataan Empu Nambi adalah pembenaran dari
penangkapan dan pemaknaan jalan hidup yang telah
kujalani selama ini. Pembenaran Empu Nambi adalah
1354 penuntun tali jiwa yang akan ku jadikan pedoman
hidupku, hari ini dan selamanya", berkata Patih
Gajahmada dengan penuh rasa terima kasih yang tulus.
"Ternyata perjodohan pertemuan kita hingga sampai
disini, bangau-bangau putih itu terlihat telah segar
bermain di kolam besar ini", berkata Empu Nambi sambil
berdiri perlahan. Namun hanya dalam hitungan satu kedipan mata
saja, Empu Nambi sudah tidak berada di tempatnya.
Patih Gajahmada tersenyum menyaksikan sebuah
ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi yang diperlihatkan
oleh Empu Nambi. "Dalam kesendiriannya, orang tua itu telah
meningkatkan ilmunya semakin tinggi", berkata Patih
Gajahmada dalam hati. Terlihat anak muda telah melangkah menjauhi Ranu
Pane menuju arah Lamajang.
Matahari terlihat sudah semakin merayap turun ke
barat manakala langkah kaki Patih Gajahmada telah tiba
di ujung Kademangan pertama Kadipaten Lamajang
yaitu Kademangan Pronojiwo.
"Di Kademangan inilah kabarnya Pasukan Gabungan
Empu Nambi membantai pasukan Majapahit yang di
pimpin langsung oleh Dyah Halayuda", berkata Patih
Gajahmada hati ketika telah mulai memasuki
Kademangan Pronojiwo. Jalan utama Kademangan terlihat masih cukup ramai
dilalui orang, nampaknya Patih Gajahmada tidak ada
keinginan untuk singgah sebentar di Kademangan
Pronojiwo itu dan terlihat terus melangkah.
Akhirnya manakala sang surya telah bersembunyi di
1355 punggung gunung Semeru, langkah kaki Patih
Gajahmada telah mendekati istana Kadipaten Lamajang.
Tidak seorang pun prajurit pengawal Kadipaten
Lamajang yang belum mengenal Patih Gajahmada. Tidak
heran bahwa begitu Patih Gajahmada muncul di gerbang
pintu istana Kadipaten Lamajang, dua orang prajurit
pengawal telah datang menyambutnya.
"Selamat datang di istana Lamajang", berkata salah
seorang prajurit pengawal itu menyapa Patih Gajahmada.
"tuan tidak berkuda?", bertanya salah seorang yang
lainnya. "Berkuda dapat mengurangi keindahan bumi
Lamajang", berkata Patih Gajahmada menjawab
pertanyaan para prajurit itu.
Demikianlah, Patih Gajahmada telah langsung
diantar oleh kedua prajurit itu ke pendapa istana
Lamajang. "Pantas saja sang surya cepat menjadi senja,
ternyata ada bintang jatuh di bumi Lamajang ini", berkata
Adipati Menak Koncar menyambut kedatangan Patih
Gajahmada di pendapanya. "Senang berjumpa dengan putra Empu Nambi yang
perkasa", berkata Patih Gajahmada menyambut sapaan
Adipati Menak Koncar Setelah menyampaikan keselamatan masing-masing,
Patih Gajahmada dipersilahkan untuk bersih-bersih di
Pakiwan. Sementara itu wajah bumi Lamajang perlahan
semakin suram, kelelawar malam terlihat beterbangan
diatas wuwungan rumah, diatas halaman rumah dan
diatas lapangan terbuka. 1356 Perlahan, gelap malam telah menyelimuti bumi
Lamajang. Dan malam itu, setelah bersih-bersih diri serta
menikmati perjamuan makan malam di pendapa istana
Lamajang, Patih Gajahmada langsung bercerita tentang
maksud kedatangannya di bumi Lamajang itu.
"Selama ini, jalur Lamajang dan Blambangan itu
adalah sebuah jalur tak bertuan. Aku dapat memaklumi
kekhawatiran Mahapatih Arya Tadah bahwa jalur itu akan
berkembang sebagai sebuah kekuatan baru yang
mungkin saja dapat memecahkan kesatuan bumi
Majapahit", berkata Adipati Menak Koncar.
"Permasalahannya Ratu Tribuana bersama para
Bhatara Prabu di istana Majapahit belum melihatnya
sebagai sebuah ancaman", berkata Patih Gajahmada.
"Aku mengerti, mengapa Mahapatih Arya Tadah
menugaskan dirimu untuk menyelesaikan permasalahan
di jalur tak bertuan itu, tugasmu adalah menyalakan api
ancaman agar dapat dilihat oleh keluarga istana?",
berkata Adipati Menak Koncar mencoba menerka-nerka.
"Ternyata kecerdasan Empu Nambi telah diwarisi
oleh putranya", berkata Patih Gajahmada membenarkan
dugaan Adipati Menak Koncar.
"Aku akan mengirimkan lima puluh orang perguruan
Teratai Putih untuk ikut meramaikan permainanmu itu",
berkata Adipati Menak Koncar.
"Terima kasih, Tumenggung Mahesa Pukat juga telah
menjanjikan kepadaku orang-orang dari Padepokan
Bajra Seta", berkata Patih Gajahmada.
"Dan aku akan membutakan mataku, pura-pura tidak
peduli ada dua kelompok penjahat menguasai jalur tak
1357 bertuan itu", berkata Adipati Menak Koncar penuh
senyum. "Aku berharap permainan ini akan mulus berjalan dan
meluncur sesuai dengan yang kita harapkan", berkata
Patih Gajahmada. Sementara itu seiring waktu, bumi Lamajang telah
menjadi begitu sepi. Langit malam terlihat dipenuhi awan
gelap kelabu. "Hari telah jauh malam", berkata Adipati Menak
Koncar sambil mempersilahkan Patih Gajahmada untuk
beristirahat. Ketika masuk di kamar yang di sediakan untuk
dirinya, patih Gajahmada tidak langsung cepat tertidur,
dalam pikirannya bergelayut bayangan seorang yang
bernama Ki Sadeng. "Ki Sadeng telah mengetahui rahasia besar tentang
kematian Raja Jayanagara, dan dirinya terlalu berharap
untuk mendapatkan keuntungan yang besar dari apa
yang diketahuinya itu", berkata Patih Gajahmada dalam
hati. "Sementara aku sendiri harus merahasiakan bahwa
perburuanku kali ini adalah hanya semata-mata menutup
rahasia besar itu", berkata kembali Patih Gajahmada
dalam hati tersenyum sendiri menghadapi kepelikan yang
aneh berawal dari kesalahan tangannya sendiri
membunuh orang yang tidak berdosa, seorang Ra
Tanca. "Wahai zat pemilik hati semua makhluk, aku hanya
pelakonmu", berkata Patih Gajahmada lirih.
Sementara itu di waktu yang sama, terlihat seorang
lelaki tua bersama seorang anak kecil berusia sekitar
lima tahunan baru saja turun dari sebuah perahu kayu di
1358 Bandar pelabuhan Banyuwangi.
"Kita ke kedai di sudut sana, pasti perutmu sudah
sangat lapar", berkata lelaki tua itu kepada anak lelaki di
sampingnya. Anak kecil itu terlihat begitu penurut, sangat lincah
berjalan disamping lelaki tua yang bersamanya itu.
Terlihat keduanya telah memasuki sebuah kedai
yang tidak begitu banyak di penuhi pengunjung
sebagaimana kedai lainnya, terutama para wanita
penghibur yang memang menjadi pemandangan umum
di setiap Bandar pelabuhan manapun di saat itu.
"Paman pesan untuk berdua?", bertanya seorang
pemilik kedai kepada lelaki tua itu.
Terlihat lelaki tua itu tersenyum menganggukkan
kepalanya kepada pemilik kedai itu.
Dan tidak lama kemudian pemilik kedai itu sudah
datang kembali dengan makanan dan minuman.
"Paman hendak kemana?", berkata pemilik kedai itu
setelah meletakkan makanan dan minuman di meja
mereka. "Kami hendak ke Lamajang", berkata lelaki itu
menjawab pertanyaan pemilik kedai itu.
"Paman hanya berdua?", berkata pemilik kedai itu
sambil mengerutkan keningnya.
"Benar, kami hanya berdua", berkata lelaki tua itu
sambil
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menggandeng bahu anak lelaki kecil disebelahnya. "Aku sarankan paman mencari orang lain lagi yang
satu arah tujuan, lebih banyak lebih baik lagi", berkata
pemilik kedai itu. 1359 "Mengapa harus bersama-sama untuk sebuah
perjalanan menuju arah Lamajang?", bertanya lelaki tua
itu. "Saat ini jalur arah Blambangan dan Lamajang di
kuasai oleh sebuah gerombolan. Mereka tidak pilih-pilih
korban, pedagang dan orang biasa mereka peras
hartanya, bahkan tidak jarang mereka membunuhnya",
berkata pemilik kedai itu bercerita tentang sebuah
gerombolan yang saat itu menguasai jalur perjalanan
antara Blambangan dan Lamajang.
"Mengapa tidak ada prajurit mengamankan daerah
itu?", bertanya lelaki tua itu.
"Dari dulu daerah itu memang daerah tak bertuan,
tidak dalam kekuasaan Adipati Blambangan maupun
Adipati Lamajang", berkata pemilik kedai itu.
"Terima kasih untuk sarannya", berkata lelaki tua
menganggukkan kepalanya penuh rasa terima kasih.
Manakala pemilik kedai itu meninggalkan mereka,
keduanya terlihat menikmati hidangan di kedai itu.
Terutama anak lelaki kecil itu sangat menikmatinya.
Ketika keduanya telah menyelesaikan santapan
mereka dan membayarnya, pemilik kedai itu dengan
penuh keramahan menawarkan keduanya agar
bermalam di kedainya. "Ada bale bambu di samping kedai ini, kalian dapat
rebahan sementara menunggu hari pagi", berkata pemilik
kedai itu. "Terima kasih", berkata lelaki tua itu sambil mengajak
anak kecil itu untuk berjalan kearah samping kedai.
Ternyata memang ada sebuah bale bambu disana.
Dan terlihat keduanya langsung naik keatas bale.
1360 "Tidurlah Rangga Seta, nampaknya kamu sudah
sangat mengantuk", berkata lelaki tua itu menyebut nama
anak lelaki kecil itu sebagai Rangga Seta.
Anak lelaki kecil yang di panggil Rangga Seta itu
memang sudah langsung meringkuk disisi lelaki tua itu.
Dan tidak lama berselang sudah pulas.
Lelaki tua itu terlihat tersenyum memandang anak
kecil yang sangat disayanginya itu sudah langsung
nyenyak tertidur. "Anak yang tabah", berkata lelaki tua itu dalam hati
sambil terus memandang wajah Rangga Seta yang
bening dan sejuk penuh kedamaian dalam kepulasannya. Sementara itu malam terus berlanjut, lelaki tua itu
terlihat bersandar di dinding pagar kedai yang
bersebelah. Semakin malam jumlah pengunjung sudah
semakin sepi meski masih saja ada yang datang satu
atau dua orang. Semalaman lelaki tua itu nampaknya hanya
bersandar, sesekali matanya terbuka manakala
terdengar orang lewat di jalan di muka kedai itu, atau
suara tawa wanita penghibur yang penuh kegenitan
menggandeng tangan seorang lelaki yang mabuk
terhuyung. Dan pagi pun akhirnya datang juga.
"Berjalanlah menuju arah Kota Kadipaten Blambangan dan terus ke barat. Paman akan
menemukan sebuah Padukuhan Awung. Orang-orang
akan menunjukkan dimana ada rumah singgah disana.
Biasanya di rumah singgah itu sudah ada beberapa
orang yang memang mencari kawan seperjalanan agar
1361 dapat bisa saling menjaga dan melindungi", berkata
pemilik kedai itu memberikan arah jalan kepada lelaki tua
dan anak kecil itu yang terlihat telah berkemas diri untuk
melanjutkan perjalanan mereka.
Sebagaimana yang dikatakan oleh pemilik kedai itu,
manakala mereka telah berada di kota kadipaten
Blambangan, mereka berdua terus mengambil arah jalan
ke barat. Ternyata mereka memang menemukan sebuah
rumah singgah yang berada di sebuah padukuhan yang
sepi. Padukuhan Awung adalah sebuah padukuhan yang
berada paling ujung di kadipaten Blambangan. Terletak
di sebelah selatan lembah gunung Raung yang terlihat
sangat perkasa tinggi menjulang.
Ketika keduanya tiba di rumah singgah, matahari
telah bergulir dari puncaknya.
Terlihat beberapa orang telah berada di rumah
singgah itu. Manakala lelaki tua dan anak kecil itu mengambil
salah satu bale yang belum terisi, terdengar tawa dari
beberapa orang itu. "Kukira akan muncul seorang lelaki gagah perkasa
dengan senjata golok besarnya, ternyata yang datang
adalah seorang kakek tua renta dengan uban penuh di
kepala", terdengar suara salah seorang diantara mereka
yang disambut tawa yang lainnya.
Nampaknya lelaki tua itu telah menangkap bahwa
perkataan itu tertuju kepadanya, namun lelaki tua itu
sepertinya tidak menghiraukannya.
Hingga seorang lelaki setengah baya terlihat keluar
dari rumah singgah itu datang menghampirinya.
1362 "Nampaknya paman baru pertama kali ini melakukan
perjalanan jauh", berkata lelaki setengah baya itu yang
nampaknya adalah pemilik rumah singgah itu.
"Benar, kami ingin ikut rombongan yang akan
berangkat bersama ke Lamajang", berkata lelaki tua itu.
"Tiga hari yang lalu, ada sekitar lima belas orang
berangkat bersama dari rumah singgah ini", berkata
pemilik rumah singgah itu.
"Kami akan ikut, kapan pun rombongan dari sini
berangkat", berkata lelaki tua itu.
"Mereka baru saja tiba disini tidak lama berselang
dengan kedatangan paman, kudengar mereka besok
pagi akan memulai perjalanannya", berkata lelaki pemilik
kedai itu. "Bila memang demikian, kami akan ikut bersama
mereka", berkata lelaki tua itu.
"Katakanlah kepadaku apa yang paman butuhkan,
kami akan menyiapkannya", berkata pemilik rumah
singgah itu sambil berpamit diri.
Tidak lama berselang ketika pemilik rumah singgah
itu masuk ke dalam rumahnya, muncul seorang lelaki
muda berperawakan sedang.
Terlihat lelaki muda itu telah memilih bale yang telah
di tempati oleh lelaki tua dan anak kecil itu.
"Boleh aku bergabung dengan paman?", berkata
lelaki muda itu dengan sangat santun.
"Silahkan", berkata lelaki itu menjawab dengan
sangat ramah. "Paman hendak ke Lamajang juga?", berkata lelaki
muda itu. 1363 "Benar, kami memang hendak ke Lamajang", berkata
lelaki itu sambil menganggukkan kepalanya.
"Bila demikian, kita adalah kawan seperjalanan.
Namaku Sobali", berkata lelaki muda itu memperkenalkan dirinya. Lelaki tua itu tersenyum sambil menyambut uluran
tangan lelaki muda yang memperkenalkan dirinya
bernama Sobali. "Orang biasa memanggilku sebagai Ki Sahdatun, dan
ini cucuku bernama Rangga Seta", berkata lelaki tua itu
memperkenalkan dirinya dan anak kecil yang
bersamanya itu. Sekilas Sobali memperhatikan raut wajah lelaki tua
yang mengaku bernama Ki Sahdatun itu, seorang yang
sudah dipenuhi rambut putih di semua kepalanya, garis
kerut di ujung mata dan keningnya sebuah pertanda
usianya yang sudah sangat tua, namun suara serta
tubuhnya yang tegap serta sorot matanya yang amat
tajam membuat diri Sobali berpikir bahwa orang tua ini
nampaknya bukan orang biasa. Namun Sobali tidak
mengungkapkan apa yang dipikirkannya itu, mengalihkan
pembicaraan tentang asal usulnya serta tujuannya
datang ke Lamajang. "Keluargaku berasal dari Madura, namun kami sudah
lama turun temurun tinggal di Banyuwangi. Ada kabar
pamanku di Lamajang akan mantu, jadi aku mewakili
keluargaku untuk menghadiri acara mantu pamanku di
Lamajang", berkata Sobali bercerita tentang dirinya.
"Sudah berapa kali kamu datang mengunjungi
pamanmu di Lamajang", bertanya Ki Sahdatun kepada
Sobali. 1364 "Sewaktu kecil aku sering diajak ayahku ke
Lamajang. Baru kali ini aku berangkat seorang diri",
berkata Sobali kepada Ki Sahdatun.
"Apakah kamu tidak takut bahwa di jalur perjalanan
yang akan kita lalui ini sangat rawan gangguan dari
sebuah kelompok gerombolan?", bertanya Ki Sahdatun
kepada Sobali. Terlihat Sobali tersenyum sedikit kecut.
"Yang kutahu mereka pedagang", berkata Sobali.
hanya mengincar para "Nampaknya kamu benar, mereka hanya mengincar
para pedagang", berkata Ki Sahdatun sambil melirik
kearah beberapa orang yang tengah bercakap cakap di
bale lainnya. Namun pembicaraan mereka berdua terhenti
manakala serombongan orang datang mendekati rumah
singgah. Ternyata mereka adalah rombongan para pedagang
dan terlihat sudah saling mengenal dengan beberapa
orang yang sudah lebih dulu berada di rumah singgah
itu. Sementara itu sang mentari terlihat sudah
bersembunyi di balik kerimbunan pepohonan hutan
sebelah barat, bale-bale yang hanya dinaungi atap daun
nira di rumah singgah itu benar-benar menjadi sejuk dan
adem. Sesekali semilir angin yang dingin memang
membuat tubuh terasa ingin rebah tidur.
Tawa dan canda para pedagang yang berkumpul
memang cukup mengganggu. Dari percakapan mereka
ternyata hanya ada empat orang pedagang diantara
mereka, selebihnya adalah orang upahan yang memang
1365 biasa bicara kasar. Suasana bale-bale di rumah singgah itu semakin
menjadi remang manakala matahari telah semakin jauh
jatuh di barat bumi. Hingga ketika semua orang tengah
menyantap makan malam yang disiapkan oleh pemilik
rumah singgah itu, terlihat seorang wanita muda datang.
Wajah semua orang di rumah singgah itu sontak
tertuju kearah wanita muda itu yang langsung duduk di
sebuah bale yang masih kosong. Ki Sahdatun sempat
memperhatikan wanita muda yang baru datang itu,
cahaya pelita malam yang menggelantung menyinari
paras wajahnya yang terlihat masih begitu belia. Terlihat
juga wanita muda itu tidak membawa barang apapun,
hanya selembar pakaian yang menutupi tubuhnya dan
terlihat sangat kusam sekali.
"Wanita itu dapat menimbulkan masalah di perjalanan
kita", berkata salah seorang dari rombongan para
pedagang itu. "Kita dapat mengusirnya agar tidak bergabung
dengan rombongan kita", berkata seorang yang lainnya.
"Kita tidak punya hak apapun menolak orang
bergabung, bila ada masalah dengan wanita itu juga
bukan urusan kita", berkata salah seorang lagi
menengahkan. Nampaknya wanita muda itu seperti tidak
memperdulikan perhatian dan pembicaraan apapun,
terlihat dirinya sangat lapar sekali menyantap hidangan
malam yang diberikan oleh pemilik rumah singgah itu.
Hingga ketika hari telah jauh malam, beberapa orang
sudah jauh tertidur, hanya dua tiga orang saja yang
masih bercakap-cakap. Terlihat Ki Sahdatun masih
1366 duduk bersila di bale, sementara Sobali dan anak kecil
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang bersamanya itu sudah meringkuk tidur. Malam di
tepi hutan itu memang terasa begitu dingin.
"Kasihan wanita muda itu, seorang diri melakukan
perjalanan yang jauh", berkata Ki Sahdatun dalam hati
sambil memandang kearah wanita muda itu yang rebah
tertidur di bale. Ternyata malam di tepi hutan itu terasa begitu cepat,
segaris cahaya merah terlihat muncul memudarkan
kegelapan malam. Terlihat Ki Sahdatun menurunkan kakinya dari bale,
orang tua itu terlihat menarik nafas panjang bersama
dengan suara ayam jantan yang sayup terdengar di
kesunyian awal pagi itu. Perlahan orang tua itu berdiri dan berjalan kearah
pakiwan, nampaknya ingin bersih-bersih diri.
Tidak lama berselang, orang tua itu sudah kembali
dari pakiwan dan langsung naik keatas bale.
Di pagi yang awal itu, disaat semua orang masih
tertidur berselimut dingin. Orang tua itu terlihat dengan
penuh ketenangan diri mengangkat kedua tangannya
sambil berdiri hampir searah dengan garis merah cahaya
di langit pagi. Ternyata Ki Sahdatun tengah melaksanakan sebuah
laku suci di awal pagi itu, sebuah laku agama yang dianut
oleh para pedagang yang berasal dari daerah timur jauh.
Perahu dagang mereka kadang berlabuh di Bandar
pelabuhan Banyuwangi. Setelah selesai melaksanakan kewajiban agamanya,
terlihat wajah Ki Sahdatun lebih segar dari sebelumnya.
"Rangga Seta, bangunlah", berkata Ki Sahdatun
1367 kepada Rangga Seta dengan suara penuh kelembutan
sambil menyentuh kaki anak kecil itu.
Biasanya seorang anak kecil memang sukar sekali di
bangunkan, terutama disaat hari masih begitu pagi.
Namun tidak untuk anak kecil bernama Rangga Seta itu,
terlihat anak kecil itu langsung membuka matanya dan
segera bangkit. "Mari kuantar dirimu ke pakiwan", berkata Ki
Sahdatun kepada Rangga Seta yang telah terbangun itu.
"Hari masih sangat pagi, paman", berkata pemilik
rumah singgah yang juga telah terbangun menyapa Ki
Sahdatun. "Kami takut ketinggalan rombongan", berkata Ki
Sahdatun dengan penuh senyum sambil terus
melangkah menuntun Rangga Seta menuju arah
pakiwan. Manakala Ki Sahdatun dan Rangga Seta telah
kembali ke bale mereka, terlihat pemilik rumah singgah
itu datang sambil membawa minuman hangat untuk
mereka berdua. "Kalian tidak perlu takut tertinggal, mereka biasanya
berangkat disaat matahari sudah naik tinggi", berkata
pemilik rumah singgah itu sambil meletakkan minuman
hangat diatas bale. Sementara itu Sobali, anak muda yang bergabung di
satu bale dengan mereka terlihat masih meringkuk
tertidur pulas. Sebagaimana yang dikatakan oleh pemilik rumah
singgah itu, ternyata rombongan para pedagang
memang telah bersiap-siap manakala matahari sudah
cukup tinggi di pagi itu.
1368 "Aku berdoa untuk keselamatan kalian semua",
berkata pemilik rumah singgah itu melambaikan
tangannya melepas rombongan yang akan melaksanakan perjalanan cukup jauh itu bergerak
meninggalkannya. Daun-daun ilalang dan pucuk bunganya terlihat
bergerak tertiup angin pagi. Beriringan rombongan itu
berjalan menembus hamparan ilalang menuju arah
sebuah hutan. Suara burung pagi, suara monyet kecil dan sepasang
bajing yang saling berkejaran di atas pepohonan adalah
suara dan kehidupan hutan lembah Gunung Raung di
pagi itu. Semerbak wangi daun segar mengiringi langkah
para rombongan yang terlihat semakin memasuki hutan
itu diatas jalan setapak yang sepertinya sering di lalui
oleh banyak orang sebelum mereka.
Dan tidak terasa langkah kaki rombongan itu telah
semakin menjauhi hutan lembah Gunung Raung. Terlihat
pepohonan yang mereka lewati sudah tidak selebat
sebelumnya. Cahaya sinar matahari di belakang punggung mereka
terlihat telah menerangi tanah dan rerumputan sepanjang
perjalanan mereka. "Apakah kamu lelah, Rangga Seta?", bertanya Ki
Sahdatun kepada anak kecil yang selalu dituntunnya itu
setelah berjalan cukup lama.
Terlihat anak kecil yang di panggil dengan nama
Rangga Seta itu menggelengkan kepalanya sebagai
pertanda bahwa dirinya memang belum kelelahan.
"Bila kamu lelah, aku akan menggendongmu atau kita
bisa beristirahat sebentar", berkata kembali Ki Sahdatun
1369 kepada Rangga Seta. Terlihat Rangga Seta tidak berkata apapun dan terus
berjalan. "Anak kecil yang kuat", berkata Ki Sahdatun dalam
hati merasa aneh mendapatkan seorang anak kecil yang
tidak banyak rewel, sangat pendiam dan sangat penurut
itu. "Sebuah peristiwa yang sangat pahit telah menimpa
anak ini menjadi matang sebelum waktunya", berkata
kembali Ki Sahdatun dalam hati sambil menarik nafas
dalam-dalam. Setelah berjalan cukup lama, di sebuah jalan yang
terhalang sebuah sungai kecil berbatu, beberapa orang
terlihat berhenti sejenak diikuti oleh beberapa orang lain
lagi hingga akhirnya seluruh rombongan itu seperti
sepakat untuk berhenti untuk beristirahat sebentar.
Nampaknya kejernihan air sungai berbatu itu begitu
menggoda diri mereka yang telah penat dan lelah
berjalan. Beberapa orang terlihat langsung membasahi
tenggorokan mereka dengan meminum air sungai yang
sangat jernih menyegarkan itu.
Setelah dahaga mereka terpuaskan serta rasa penat
dan lelah mereka sedikit berkurang, terlihat rombongan
itu seperti telah sepakat untuk melanjutkan perjalanan
mereka kembali. "Apakah ayahmu sering mengajakmu berjalan jauh?",
bertanya Ki Sahdatun tidak dengan gaya bahasa orang
tua, tapi seperti layaknya seorang sahabat.
Sontak terlihat rasa terkejut di wajah Ki Sahdatun
manakala Rangga Seta langsung menjawab pertanyaannya. "Ayahku sering membawaku mengembara berhari-hari dan menempuh perjalanan
1370 jauh", berkata Rangga Seta sambil terus melangkah.
Terlihat rasa terkejut di wajah Ki Sahdatun berubah
menjadi sebuah senyum, manakala dilihatnya orangorang yang jauh umurnya dari Rangga Seta mulai
berjalan perlahan, pertanda mereka nampaknya sudah
mulai kepayahan. Dan tidak lama berselang salah seorang yang
nampaknya sangat di segani diantara para rombongan
pedagang itu mengangkat kedua tangannya untuk
beristirahat. "Kita beristirahat dulu", berkata orang itu sambil
berhenti melangkah dan terlihat berjalan perlahan
mendekati sebuah pohon besar yang rimbun dan teduh.
"Kita beristirahat di sebelah sana", berkata Sobali
mengajak Ki Sahdatun beristirahat di sebuah pohon yang
cukup rindang dengan batang akarnya terlihat keluar dan
menjalar kemana-mana. Terlihat rombongan itu seperti pecah menjadi
beberapa kelompok. Sementara hanya wanita muda
yang mencari tempat beristirahat seorang diri di sebuah
batu besar dengan pepohonan semak yang meneduhinya dari sengatan matahari yang terlihat sudah
berada diatas kepala. Beberapa orang terlihat sudah langsung membuka
bekal yang mereka bawa masing-masing.
"Pasti kamu sudah sangat lapar, Rangga Seta",
berkata Ki Sahdatun kepada Rangga Seta sambil
membuka bekal yang dibawanya dan menyodorkannya
kearah anak kecil itu. Sebagaimana Ki Sahdatun dan Rangga Seta, terlihat
Sobali juga telah membuka bekalnya.
1371 Ternyata mereka saat itu sudah jauh meninggalkan
daerah kekuasaan Kadipaten Blambangan dan telah
masuk ke wilayah jalur tak bertuan. Sebuah wilayah yang
sangat di takuti oleh para pedagang dan orang-orang
yang membawa barang berharga. Sebuah wilayah tak
bertuan yang lepas dari kekuasaan dan wewenang
Adipati Blambangan dan Adipati Lamajang. Sebuah
gerombolan akhir-akhir ini sepertinya telah menguasai
wilayah itu. Setelah menikmati bekal yang mereka bawa,
rombongan itu nampaknya masih menunggu matahari
bergeser turun untuk meredakan penat dan rasa pegal
kaki-kaki mereka setelah menempuh perjalanan yang
cukup lama. "Serahkan kempit airnya, kubantu untuk mengisinya",
berkata Sobali kepada Ki Sahdatun yang melihat
beberapa orang terlihat mendekati sebuah sungai kecil
yang jernih tidak jauh dari tempat mereka beristirahat.
"Terimakasih", berkata Ki Sahdatun sambil menyerahkan kempit airnya kepada anak muda yang
sangat baik itu. Namun manakala Sobali dan beberapa orang tengah
memenuhi kempit air mereka, terlihat kening wajah Ki
Sahdatun berkerut tajam sambil memandang ke arah
jauh di depan matanya. Terbaca rasa penuh khawatir di wajah orang tua itu.
Ternyata pandangan Ki Sahdatun tertuju ke arah
sebuah sosok bayangan yang tengah bergerak.
Semakin jelas sosok bayangan itu yang ternyata
adalah sebuah rombongan orang yang tengah bergerak
menuju arah mereka. 1372 "Apakah mereka adalah sebuah rombongan
pedagang lain dengan tujuan yang berlawanan arah?",
berkata Ki Sahdatun dalam hati sambil memandang
orang-orang yang berjalan semakin mendekat itu.
Ketika orang-orang itu terlihat semakin mendekat,
nampak semakin jelas bahwa mereka bukanlah
rombongan para pedagang sebagaimana yang
diperkirakan. Rambut mereka kebanyakan terurai tanpa
ikat kepala. Ketika semakin dekat lagi, nampaklah dengan jelas
bahwa rombongan itu adalah orang-orang kasar dengan
wajah dingin dan mata liar seperti sudah terbiasa
menghadapi berbagai macam kekejaman.
"Serahkan seluruh harta yang kalian miliki dan
segeralah pergi dari sini", berkata salah seorang dari
mereka dengan suara yang garang.
"Kami telah menyiapkan bagian untuk kalian,
bukankah aturannya seperti itu?", berkata salah seorang
yang telah dianggap menjadi pemimpin dari rombongan
para pedagang itu sambil mengeluarkan beberapa
pecahan uang perak. "Kami tidak punya aturan, cepat serahkan apapun
yang kalian miliki", berkata kembali salah seorang dari
mereka dengan suara lebih garang lagi.
Mendengar gertakan dari orang itu yang nampaknya
tidak main-main, terlihat rombongan para pedagang itu
meletakkan semua barang mereka.
"Mengapa kamu tidak mengeluarkan barangmu, he",
berkata salah seorang kasar itu kepada Ki Sahdatun dan
Sobali. "Kami tidak punya apa-apa", berkata Ki Sahdatun
1373 kepada orang itu. "Lain kali aku akan meminta umurmu", berkata orang
itu penuh rasa kesal tidak mendapatkan apapun yang
berharga pada diri Ki Sahdatun dan Sobali itu.
Namun tiba-tiba saja pandangan mata orang itu
beralih kearah wanita muda yang tidak jauh darinya.
Terlihat orang itu telah mendekati wanita muda itu,
memandangnya dari bawah kaki hingga keatas kepala.
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Perempuan bagus, kamu tetap disini dan menjadi
milikku", berkata orang itu dengan mata yang
menyeramkan. Kasihan wanita muda itu, terlihat begitu takut
mencekam hingga terlihat seluruh tubuhnya bergetar
menggigil. "Jangan ganggu wanita itu, dia adalah istriku ",
berkata Sobali kepada orang yang ingin berlaku kurang
ajar kepada wanita itu. Suara Sobali yang lantang itu telah mengejutkan
semua orang. "Sobali seorang pemuda yang berani", berkata Ki
Sahdatun dalam hati melihat sikap terpuji dari Sobali
yang tidak rela melihat seorang wanita dilecehkan di
depan matanya. Wajah lelaki itu terlihat berpaling ke arah Sobali.
"Bagus, aku akan segera membunuhmu, dan istrimu
akan menjadi janda", berkata lelaki itu dengan wajah
yang bengis. Namun Sobali ternyata bukan orang yang mudah di
gertak, terlihat siap menghadapi serangan lelaki itu.
1374 Sementara lelaki itu ternyata bukan hanya
menggertak, tapi benar-benar akan membunuhnya.
Terlihat golok panjang di tangan lelaki itu telah
bergerak. Namun begitu golok panjang itu telah mengayun
mendekati kepala Sobali, tiba-tiba saja ada sebuah kerikil
yang dilempar dengan tenaga yang cukup kuat.
Ting".! Sentuhan kerikil kecil telah mampu melencengkan
arah golok panjang, bahkan telah membuat lelaki itu
sedikit terhuyung terbawa tenaga lemparan goloknya.
Dan Sobali tidak menyia-nyiakan sama sekali
kesempatan emas itu, tangannya bergerak meninju
wajah lelaki yang terhuyung itu.
Tinju Sobali tepat bersarang di rahang orang itu yang
langsung terjengkang terlempar jatuh di tanah dengan
kepala masih terasa pening yang amat sangat.
Terlihat Ki Sahdatun menyapu pandangannya
berkeliling, namun tak ditemui siapa gerangan pelempar
kerikil kecil itu. Sementara itu kawan-kawan lelaki itu terlihat sudah
datang mengepung Sobali yang berdiri tegak tanpa
senjata. Melihat Sobali terkepung tanpa senjata, para
pedagang sepertinya tidak tergerak sedikitpun untuk
menolongnya, bahkan di pikiran mereka menyalahkan
sikap Sobali yang berlaku layaknya seorang pahlawan.
Namun dalam suasana tegang itu, tiba-tiba saja
Rangga Seta berlari menerobos masuk kedalam
kepungan. 1375 "Kalian semua orang-orang jahat, beraninya
mengeroyok orang", berkata Rangga Seta layaknya
seorang dewasa bicara sambil mengangkat dadanya.
Sikap anak kecil itu benar-benar menggegerkan
semua orang, sekaligus seperti sebuah lelucon segar
mencairkan suasana yang amat tegang itu.
"Cincang anak muda yang berani melawan kita, dan
lemparkan anak kecil itu", berkata seorang pemimpin
gerombolan itu dengan suara yang lantang.
Bumi seperti terguncang, puluhan orang bergerak
serentak kearah Sobali. Terlihat Ki Sahdatun membelalakkan matanya,
seperti tidak percaya dengan apa yang dilihatnya sendiri.
Apa gerangan yang telah membuat orang tua itu
terkejut" Ternyata Ki Sahdatun melihat orang-orang kasar itu
terlempar seperti membentur gunung waja yang amat
kokoh di hadapannya. Orang-orang kasar itu terlihat
langsung pingsan tergeletak di tanah.
Dan pandangan Ki Sahdatun tertuju kearah seorang
pemuda yang berdiri dengan rambut ikal terurai tanpa
ikat kepala, di tangan pemuda itu menggenggam sebuah
senjata cakra. "Anak muda yang berilmu tinggi", berkata Ki
Sahdatun dalam hati memuji sepak terjang pemuda itu
yang telah dapat melumpuhkan orang-orang kasar itu
dengan begitu mudahnya. Semula Ki Sahdatun bermaksud hendak menemui
pemuda itu untuk sekedar mengucapkan rasa terima
kasih, namun maksudnya itu ditunda manakala melihat
Rangga Seta berlari kearah pemuda itu.
1376 "Kakang Gajahmada", berkata Rangga Seta penuh
senyum menatap pemuda itu.
"Rangga Seta?", berkata pemuda itu yang tidak lain
adalah Patih Gajahmada sambil berjongkok dan
memegang wajah Rangga Seta seperti tidak percaya
dengan yang dilihatnya sendiri.
"Dimana gerangan ayah dan ibumu?", berkata
kembali Patih Gajahmada sambil menyapu dengan
pandangannya mencari-cari.
Namun Patih Gajahmada tidak menemui apapun
selain Ki Sahdatun yang segera datang menghampirinya.
"Rangga Seta datang bersamaku, wahai anak muda",
berkata Ki Sahdatun kepada Patih Gajahmada.
Terlihat Patih Gajahmada berdiri dan bersuit panjang
dan tidak lama berselang muncul sepuluh orang datang
menghampirinya. "Apa yang dapat kami lakukan, Wahai tuan Duta
Mangkara?", berkata salah seorang kepada Patih
Gajahmada. "Bawalah orang-orang ini jalan melingkar menghindari orang-orang Ki Sadeng, sementara aku
akan membawa orang tua dan anak kecil ini", berkata
Patih Gajahmada memerintahkan orang-orangnya
membawa rombongan para pedagang itu, tentunya
bersama Sobali dan wanita itu.
"Ikutlah bersamaku", berkata Patih
kepada Ki Sahdatun dan Rangga Seta.
Gajahmada Demikianlah, Ki Sahdatun dan Rangga Seta di bawa
oleh Patih Gajahmada masuk kedalam hutan yang lebat.
Setelah berjalan cukup lama, akhirnya mereka
1377 bertiga menemui beberapa gubuk di tengah hutan yang
ternyata adalah tempat Patih Gajahmada bersama
kawanannya tinggal selama ini.
Terlihat Patih Gajahmada membawa Ki Sahdatun
dan Rangga Seta ke gubuknya.
Didalam gubuk itu Patih Gajahmada memperkenalkan jati dirinya kepada Ki Sahdatun.
"Di hutan ini orang memanggilku sebagai Duta
Mangkara", berkata Patih Gajahmada kepada Ki
Sahdatun. "Ternyata aku berhadapan dengan tuan Patih
Gajahmada yang terkenal itu", berkata Ki Sahdatun
dengan penuh rasa hormat kepada Patih Gajahmada.
"Ceritakanlah kepadaku apa yang terjadi atas diri
Rangga Seta bersama keluarganya, wahai orang tua",
berkata Patih Gajahmada kepada Ki Sahdatun.
"Orang memanggilku dengan panggilan Ki Sahdatun,
berkata Ki Sahdatun memulai ceritanya.
Demikianlah, Ki Sahdatun memulai ceritanya yang
bermula dari berkecamuknya suasana perang saudara di
Balidwipa. "Telah terjadi perang saudara di Balidwipa, ada dua
kelompok yang saling bermusuhan antara mereka yang
menginginkan keluar dari kekuasaan Majapahit dan
mereka yang tetap bertahan bergabung dengan
Majapahit. Aku tidak tahu di pihak mana keluarga
Rangga Seta, karena aku menemuinya padepokannya
telah hangus terbakar, dan aku menemui Rangga Seta
sendirian ditengah-tengah sisa-sisa kayu yang terbakar
itu tanpa ada seorang pun di sana", berkata Ki Sahdatun
"Ki Sahdatun tidak mengetahui siapa gerangan yang
1378 membakar padepokan keluarga Rangga Seta?", bertanya
Patih Gajahmada kepada Ki Sahdatun.
Terlihat Ki Sahdatun terlihat hanya menggelengkan
kepalanya. "Rangga Seta, ceritakanlah kepada Kakang apa yang
kamu ketahui tentang padepokan milik ayahmu itu",
berkata Patih Gajahmada kepada Rangga Seta.
"Ayah dan ibuku telah membuatkanku sebuah rumah
pohon di dalam sebuah hutan dan memintaku tidak pergi
kemana-mana sebelum ada yang menjemputnya.
Setelah dua hari dua malam tidak ada yang
menjemputku, terpaksa aku mencari jalan pulang dan
menemui rumahku sudah hangus terbakar, aku tidak
menemui siapapun disana, ayahku, ibuku dan para
pamanku", berkata Rangga Seta bercerita tentang dirinya
kepada Patih Gajahmada. "Apakah ada pesan lain dari ayahmu?", bertanya
Patih Gajahmada kepada Rangga Seta.
"Ayahku berpesan bila terjadi sesuatu atas semua
orang di Padepokan, aku diminta mencari kakang
Gajahmada untuk mendapatkan perlindungan", berkata
Rangga Seta menyampaikan pesan dan amanat
ayahnya itu. "Kakang Putu Risang pasti membawa para cantriknya
menyingkir untuk menghindari sebuah peperangan",
berkata Patih Gajahmada dalam hati sambil membayangkan seorang yang telah banyak menanamkan budi kepadanya, salah seorang murid
utama Patih Mahesa Amping yang telah ditugaskan
menjadi guru kanuragan bagi dirinya dan Raja
Jayanagara. 1379 Dengan wajah penuh kasih, Patih Gajahmada
memandang ke arah Rangga Seta dan membayangkan
begitu sedihnya perasaan anak kecil itu yang
mendapatkan Padepokan milik ayahnya telah hangus
terbakar, mendapatkan dirinya sendiri ditinggalkan oleh
ayah dan ibunya. Nampaknya ayah dan ibunya tidak
menginginkan Rangga Seta terlibat langsung dan
menemui banyak penderitaan bersama di dalam
kecamuk perang saudara yang tengah terjadi di
Balidwipa itu. "Kamu adalah anak baik yang patuh memenuhi
permintaan ayah dan ibumu. Saat ini kamu berada di
tempat yang aman. Ayahmu memang pernah memintaku
untuk menjadi seorang guru untukmu. Pada suatu saat
aku akan mencari sendiri dimana keberadaan ayah dan
ibumu", berkata Patih Gajah kepada Rangga Seta.
"Manakala kutanyakan adakah kerabat terdekat dari
ayahnya, anak ini hanya berkata bahwa ayahnya punya
kerabat dekat bernama Patih Gajahmada di Kediri. Itulah
sebabnya kubawa Rangga Seta menyeberangi Balidwipa
mencarimu. Ternyata kita bertemu di sini", berkata Ki
Sahdatun bercerita tentang awal perjalanannya di
Jawadwipa itu. "Bila tidak keberatan, darimanakah asal Ki
Sahdatun?", bertanya Patih Gajahmada kepada Ki
Sahdatun. "Sebagaimana Rangga Seta, keluarga kami juga
terusir dari sebuah perang saudara yang tidak pernah
berakhir. Kami selalu diburu, saudara dan keluarga kami
menyelamatkan diri ke berbagai penjuru dunia untuk
menyelamatkan diri. Dalam sebuah pelayaran kami
terserang sebuah badai yang sangat amat kuat.
Beruntung aku masih hidup terdampar di sebuah pulau
1380 yang sangat jauh berbeda dengan tempat asalku sendiri,
sebuah pulau yang hijau yang dipenuhi begitu banyak
pepohonan yang akhirnya kuketahui bernama Balidwipa.
Itulah ceritaku, sejak saat itu aku hidup seorang diri
sebagai seorang pengembara hingga akhirnya menemui
anak ini", berkata Ki Sahdatun bercerita tentang dirinya.
Tiba-tiba saja Patih Gajahmada teringat cerita Putu
Risang kepada dirinya bahwa ada seseorang yang selalu
membayangi Rangga Seta secara tersembunyi. Apakah
Ki Sahdatun orangnya?", berkata Patih Gajahmada
dalam hati mencoba menduga-duga tentang Ki
Sahdatun. Namun Patih Gajahmada mencoba membuang jauhjauh kekhawatirannya, perasaan hatinya mengatakan
bahwa Ki Sahdatun adalah orang baik, tidak akan
mencelakai diri Rangga Seta.
"Setelah tugasku selesai di hutan ini, aku akan
membawa kalian ke istana Kediri", berkata Patih
Gajahmada kepada Ki Sahdatun dan Rangga Seta.
"Aku akan selalu menjaga Rangga Seta untukmu",
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berkata Ki Sahdatun kepada Patih Gajahmada dengan
wajah dan senyum penuh kasih dan penuh kebijakan.
Wajah kasih dan penuh kebijakan Ki Sahdatun itu
telah membuat Patih Gajahmada teringat kepada
seseorang yang pernah lama bersamanya, seorang
pendeta tua yang mengasuhnya dengan penuh cinta dan
kasih sayang, seorang pendeta tua bernama Gunakara
yang kini telah kembali ke tempat asalnya di sebuah
tempat yang jauh di seberang lautan, sebuah tempat
bernama dataran Tibet. "Kita menjaganya bersama-sama, wahai Ki
Sahdatun", berkata Patih Gajahmada dengan senyum
1381 penuh keramahan. Tidak terasa sudah tiga pekan Ki Sahdatun dan
Rangga Seta tinggal diantara gubuk-gubuk sederhana di
dalam hutan bersama kawanan Duta Mangkara, sebuah
nama samaran yang diberikan untuk Patih Gajahmada.
Nampaknya Ki Sahdatun cukup memahami apa yang
dilakukan Patih Gajahmada bersama Kawanannya itu.
Sementara Rangga Seta tidak pernah bertanya apa yang
dilakukan para kawanan Duta Mangkara itu yang sering
meninggalkan gubuk-gubuk mereka berhari-hari lamanya. Dalam hubungan sehari-hari, Ki Sahdatun akhirnya
dapat lebih dekat dan mengenal secara pribadi para
kawanan Duta Mangkara itu yang ternyata berasal dari
dua padepokan ternama, beberapa orang berasal dari
padepokan perguruan Teratai Putih, sisanya berasal dari
padepokan Bajra Seta. Bergabung bersama kawanan itu
seorang pemuda yang bernama Rangga Mahesa
Dharma. Sepak terjang kawanan Duta Mangkara itu telah
membuat kawanan Ki Sadeng menjadi sangat terpukul,
karena mereka sering mendahului gerakan mereka, tidak
ada lagi yang dapat mereka peras dari para pedagang
yang lewat karena sudah dirampok habis oleh para
kawanan Duta Mangkara itu.
Dan yang lebih menyakitkan lagi, para kawanan Duta
Mangkara sering mengatas namakan dirinya sebagai
kawanan Ki Sadeng. "Cari persembunyian mereka, dan hancurkan",
berkata Ki Sadeng kepada semua anak buahnya.
Namun kawanan Ki Sadeng tidak pernah 1382 menemukan tempat persembunyian kawanan Duta
Mangkara itu, hutan yang sangat luas di jalur tak bertuan
itu serta datang dan menghilangnya kawanan Duta
Mangkara dari tempat yang berbeda-beda telah benarbenar menyulitkan mereka menemukan sarang kawanan
Duta Mangkara. Ditengah kesibukannya, Patih Gajahmada masih
menyempatkan dirinya mengawasi perkembangan diri
Rangga Seta. "Terima kasih telah melatih ketahanan dan kecepatan
Rangga Seta", berkata Patih Gajahmada kepada Ki
Sahdatun dan tidak keberatan orang tua itu melatih
ketahanan dan kecepatan Rangga Seta.
Hingga ketika benar-benar ada waktu luang, Patih
Gajahmada sendiri yang melatih Rangga Seta.
Diam-diam Patih Gajahmada mengakui bahwa
Rangga Seta ternyata adalah seorang anak yang cerdas
luar biasa, seumurnya telah menguasai gerak kanuragan
yang satu garis aliran dengan dirinya.
Hingga di sebuah awal pagi, Patih Gajahmada
merasa terkejut melihat Ki Sahdatun tengah menjalani
sebuah laku yang gerakannya sama dengan laku yang
selama ini dijalaninya di setiap malamnya.
Terlihat Ki Sahdatun tersenyum memandang ke arah
Patih Gajahmada yang bertanya tentang lakunya itu.
"Bila kita mandi sehari dua kali akan membersihkan
diri kita, sementara agama kami mewajibkan pengikutnya
sehari lima kali melakukannya", berkata Ki Sahdatun
menjelaskan apa yang dilakukannya.
Diam-diam Patih Gajahmada membenarkan perkataan Ki Sahdatun, membayangkan dirinya yang
1383 hanya sekali melakukannya sudah dapat menyegarkan
tubuhnya, menumbuhkan hawa murni yang semakin
kuat. Namun Patih Gajahmada tidak mengatakan apapun
kepada Ki Sahdatun laku rahasianya yang sangat mirip
dengan kewajiban anutan Ki Sahdatun.
"Gusti yang maha Agung telah menurunkan
utusannya untuk manusia di setiap jaman dan tempat
dalam berbagai bahasa dan laku agar manusia menemui
jalan keselamatannya. Ibarat sungai kecil yang
bertebaran di muka bumi ini, semuanya akan bermuara
ke samudera raya", berkata Ki Sahdatun seperti dapat
membaca apa yang dipikirkan oleh Patih Gajahmada.
"Bahasa kebenaran yang hakiki, itulah muara
samudera yang maha luas, muara dari setiap sungai
yang mengalir", berkata Patih Gajahmada menangkap
kiasan Ki Sahdatun. "Benar, anak muda. Muara samudera yang
didalamnya penuh dengan keindahan-keindahan, penuh
dengan rahasia-rahasia kebenaran hakiki kehidupan ini.
Namun semakin kita menyelam semakin dalam, dahaga
kita tidak pernah tercukupi, kita akan menjadi seorang
yang bodoh, karena masih banyak lagi rahasia
kehidupan ini yang belum dapat kita ungkapkan", berkata
Ki Sahdatun dengan wajah dan senyum cerahnya
menemukan seorang anak muda yang dapat mengerti
dan paham tentang bahasa bathiniah itu.
"Meski anutan kita berbeda, namun kita seperti satu
bahasa", berkata Patih Gajahmada yang mulai menyukai
orang tua itu. "Kamu benar, anak muda. Pemahaman tentang
ajaran Trimurti adalah pemahaman tentang nama dan
sifat Sang Hyang Widi yang terdiri dari tiga nama dan
1384 sifatnya, Sang pencipta, sang pemelihara yang penuh
kasih dan sang hakim yang menakutkan. Sementara
agama kami mengenalkan nama dan sifatnya lebih
banyak lagi hingga sembilan puluh sembilan nama dan
sifatnya, namun tetap dalam tiga kelompok nama dan
sifatnya, Yang maha pencipta, yang maha pemelihara
dan yang maha pemberi hukuman", berkata Ki Sahdatun
kepada Patih Gajahmada. "Pengenalan dan pemahaman Ki Sahdatun tentang
ajaran Trimurti sungguh sangat luas dan matang",
berkata Patih Gajahmada memuji keluasan pemahaman
Ki Sahdatun. "Agama kami tidak dibesarkan dengan pedang, tapi
dengan kebenaran akal dan pikiran", berkata Ki
Sahdatun. Demikianlah, di hari-hari yang lain Patih Gajahmada
semakin mengenal Ki Sahdatun dan agamanya. Dan
semakin lama Patih Gajahmada tidak begitu
mengkhawatirkan diri Rangga Seta berada dekat dengan
Ki Sahdatun. "Gusti Yang maha Agung berkuasa membimbing
setiap hati manusia, membimbing akal dan pikirannya",
berkata Patih Gajah Mada dalam hati di suatu malam
mengingat kembali hubungannya dengan seorang
pendeta Budha dari dataran Tibet bernama Pendeta
Gunakara, serta membayangkan bijaksananya sikap
ayah angkatnya Patih Mahesa Amping yang menganut
ajaran Hindu. Dan hari-hari pun berlalu.
Wilayah jalur tak bertuan antara Lamajang dan
Blambangan telah menjadi daerah kekuasaan dua
kawanan yang saling bersaing menjadi penguasa di
1385 wilayah itu. Berbagai cara telah dilakukan oleh Ki Sadeng untuk
menghancurkan saingannya, hingga dalam suatu hari
mereka berhasil menjebak para kawanan Duta
Mangkara. Bermula dari sebuah berita bahwa telah datang dari
arah Lamajang sebuah iring-iringan pedati pedagang.
"Saudaraku, Duta Mangkara. Serahkan iring-iringan
pedagang itu kepada kami", berkata Rangga Mahesa
Dharma kepada Patih Gajahmada.
"Baiklah, aku akan menunggu mangsa di sebelah
timur wilayah ini", berkata Patih Gajahmada bersedia
berbagi tugas dengan Rangga Mahesa Dharma.
Demikianlah, Rangga Mahesa Dharma bersama
kelompoknya sekitar dua puluh orang yang sebagian
adalah para cantrik dari Padepokan Bajra Seta yang
punya kemampuan rata-rata cukup tinggi dan telah
matang menghadapi berbagai pertempuran itu terlihat
telah keluar dari sarang persembunyian mereka.
Hingga manakala mereka berada di sebuah tempat,
Rangga Mahesa Dharma yang telah sangat menguasai
wilayah itu meminta mereka berhenti.
"Kita tunggu mereka disini", berkata Rangga Mahesa
Dharma kepada para kawanannya.
Tanpa menunggu perintah lainnya, orang-orang yang
bersama Rangga Mahesa Dharma seperti telah
mengetahui apa yang dilakukannya.
Terlihat semua orang telah mencari tempat
persembunyian masing-masing. Dan dalam waktu yang
begitu singkat suasana telah menjadi sunyi dan sepi
kembali seperti sebelumnya, hanya sekali-kali terdengar
1386 suara burung-burung hutan saling bersahutan. Cahaya
matahari pagi sudah mulai menyengat menerangi jalan
tanah yang membelah hutan itu.
Hingga akhirnya yang mereka tunggu datang juga.
Bermula dari suara lonceng pedati sapi yang
terdengar berdering-dering dari tempat yang masih cukup
jauh. Dan tidak lama berselang muncul dari sebuah
tikungan jalan iring-iringan gerobak pedati yang ditarik
oleh seekor sapi tiap pedatinya.
Satu, tiga".lima !!", berkata Rangga Mahesa Dharma
dalam hati dari tempat persembunyiannya melihat
kemunculan iring-iringan pedati itu.
Terlihat beriringan lima gerobak pedati yang biasa
digunakan oleh para pedagang berjalan perlahan diatas
jalan tanah yang sunyi di hutan itu.
Diantara suara denting kalung sapi yang berdering,
tiba-tiba saja terdengar suara suitan panjang. Bersamaan
dengan itu semua, terlihat sekitar dua puluh orang keluar
dari persembunyiannya dan langsung menghadang iringiringan pedati itu.
"Tinggalkan pedati kalian, aku akan memeriksa
adakah barang berharga yang kalian bawa", berkata
seorang muda yang menjadi pimpinan dari kawanan itu
yang ternyata adalah Rangga Mahesa Dharma.
Ternyata bentakan Rangga Mahesa Dharma tidak
digubris sedikitpun oleh para pedagang itu, bahkan
beberapa orang terlihat tertawa panjang.
"Apakah jumlah kalian yang sama membuat
keberanian kalian tumbuh?", beruntung Ki Sadeng tidak
ada bersama kami, aku tidak yakin kalian akan dapat
1387 membawa nyawa kalian lagi pulang ke rumah", berkata
Rangga Mahesa Dharma membawa-bawa nama Ki
Sadeng untuk menakut-nakuti para pedagang itu.
Namun justru perkataan Rangga Mahesa Dharma
telah membuat para pedagang itu semakin tertawa
kencang. "Ternyata kawanan Duta Mangkara hanya pintar
menakut-nakuti orang", berkata salah seorang dari
pedagang itu yang nampaknya pimpinan dari mereka
yang dibalas dengan tawa panjang orang-orangnya.
"Dari mana kamu tahu aku orangnya Duta
Mangkara?", berkata Rangga Mahesa Dharma dengan
pandangan sangat tajam ke arah orang yang nampaknya
menjadi pimpinan para pedagang itu.
"Jelas kami tahu kalian orangnya Duta Mangkara,
karena kami adalah kawanan Ki Sadeng", berkata orang
itu dengan tatapan penuh tantangan ke arah Rangga
Mahesa Dharma. Bukan main terkejutnya Rangga Mahesa Dharma
bersama para pengikutnya yang merasa terjebak telah
berhadapan dengan para kawanan Ki Sadeng.
"Sayang belum saatnya menyelesaikan permainan
ini", berkata dalam hati Rangga Mahesa Dharma yang
teringat perkataan Patih Gajahmada bahwa tugas
mereka hanya membuat keresahan di hutan tak bertuan
ini, dan bukan menghancurkan pihak Ki Sadeng.
"Ternyata kalian memang hanya ingin bertemu
dengan orangnya Duta Mangkara", berkata Rangga
Mahesa Dharma sambil tersenyum.
"Bukan hanya bertemu, tapi juga menghancurkannya", berkata orang yang menjadi pimpinan itu.
1388 "Sayang jumlah kalian tidak banyak, kusangsikan
dapat menghancurkan kami", berkata Rangga Mahesa
Dharma.
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mendengar perkataan Rangga Mahesa Dharma,
terlihat semua orangnya Ki Sadeng tertawa panjang, dan
tidak lama kemudian keluar dari balik jerami pedati empat
sampai lima orang. "Sekarang jumlah kami dua kali lipat dari kalian, siap
menghancurkan kalian", berkata pimpinan mereka
Ternyata jumlah lawan yang dua kali lipat tidak
membuat Rangga Mahesa Dharma dan kawankawannya mundur.
Terlihat Rangga Mahesa Dharma menyapu
pandangannya kearah satu persatu orang-orangnya
yang diketahui punya kemampuan cukup tinggi dan
merupakan orang terbaik di padepokan Bajra Seta milik
ayahnya. "Sarungkan semua pedang kalian, kita lumpuhkan
mereka tanpa membunuhnya", berkata lantang Rangga
Mahesa Dharma kepada orang-orangnya.
Perkataan Rangga Mahesa Dharma yang juga
didengar oleh kawanan Ki Sadeng benar-benar seperti
sebuah ejekan dan sangat meremehkan mereka.
Maka tanpa perintah apapun dari pimpinannya,
kawanan Ki Sadeng sudah langsung bergerak dengan
senjata tajam telanjang bergerak kearah lawan yang
paling dekat dari mereka.
Maka pertempuran tidak dapat di hindarkan lagi.
Namun orang-orangnya Rangga Mahesa Dharma
yang harus menghadapi lawan dua orang itu seperti tidak
gelisah sedikitpun. 1389 Dalam satu dua terjangan awal itu dapat di baca
bahwa tataran para cantrik padepokan Bajra Seta itu
memang dapat diandalkan, terlihat mereka dengan
penuh ketenangan menghadapi dua orang lawan mereka
hanya dengan tangan kosong.
"Anak muda, hutan ini terlalu liar tanpa sebuah
senjata", berkata salah seorang yang dijadikan pimpinan
di pihak kawanan Ki Sadeng langsung menerjang kearah
Rangga Mahesa Dharma. "Sayangnya golokmu itu hanya bagus untuk potong
ayam", berkata Rangga Mahesa Dharma penuh senyum
sambil melompat kesamping tanpa balas menyerang.
Melihat lawannya bergeser kesamping, orang itu
langsung menarik gerakan goloknya dan langsung
mengarahkannya ke lain arah. Tetapi kembali
serangannya menembus udara kosong, Rangga Mahesa
Dharma sudah bergerak cepat keluar dari terjangan itu.
Bukan main terkejutnya orang itu, gerakan Rangga
Mahesa Dharma yang begitu cepat benar-benar
membuat dirinya sangat penasaran dan sangat mustahil
sekali bila dalam sekian kali serangan tidak dapat
melukai lawannya itu. Pikiran seperti itulah yang
membuat orang itu menyerang Rangga Mahesa Dharma
lebih gencar lagi dan beruntun seperti ombak di pantai.
Ternyata orang itu adalah salah seorang tangan
kanan Ki Sadeng yang sangat dibanggakan tataran
kemampuannya. Para pengikut Ki Sadeng sangat
menghormatinya. Namun menghadapi seorang anak
muda bertangan kosong di hutan itu benar-benar hal
yang sangat mencoreng nama besarnya itu.
Kecepatan Rangga Mahesa Dharma bergerak dan
mengelak telah membuat wajah orang itu seperti
1390 memerah malu, merasa seakan-akan semua mata
sempat menyaksikan gerakannya yang selalu menemui
tempat kosong, tidak dapat merobek tubuh anak muda
yang menjadi lawannya itu.
Inti utama dari olah kanuragan adalah pengendalian
diri, dan orang itu telah merusak tata gerak
kanuragannya dengan pikirannya yang terlalu menggebu-gebu untuk menuntaskan pertempurannya
lebih cepat lagi, tentunya karena nama besarnya diantara
anak buah Ki Sadeng itu. Dampak, pengaruh dan akibatnya ditanggung sendiri,
itulah yang terjadi pada diri orang itu dalam sebuah
serangan yang sangat ganas dimana golok besarnya
terlihat berputar dengan kencangnya mengejar
kemanapun Rangga Mahesa Dharma bergerak.
Ahh !!! Terdengar keluhan tertahan dari orang itu yang
terkena pukulan tangan kosong dari Rangga Mahesa
Dharma telak di rahangnya. Ternyata Rangga Mahesa
Dharma telah dapat membaca irama serangan orang itu
dan disaat yang tepat telah melayangkan pukulannya.
"Bangkitlah, bila engkau masih ingin bertempur",
berkata Rangga Mahesa Dharma berdiri tegap di
hadapan orang itu yang masih berbaring di tanah kotor.
Perlahan orang itu bangkit berdiri sambil memungut
kembali golok panjangnya yang terlepas.
Namun manakala matanya menyapu berkeliling,
dilihatnya seluruh kawannya sudah dapat dilumpuhkan
oleh orang-orang dari pihak Duta Mangkara.
Seperti itulah yang dilihat oleh orang itu, seluruh
kawanan Ki Sadeng dapat dilumpuhkan dengan
1391 mudahnya oleh para cantrik pilihan dari Padepokan Bajra
Seta yang sangat terkenal di Majapahit itu.
"Ikatlah aku, kalian telah mengalahkan kami", berkata
orang itu sambil melempar goloknya.
"Bukankah aku belum mengalahkanmu?", bertanya
Rangga Mahesa Dharma dengan bibir tersenyum.
"Tanpa senjata dan seorang diri kamu
menjatuhkanku", berkata kembali orang itu.
telah Melihat wajah orang itu yang sudah tidak punya
semangat tempur itu telah membuat Rangga Mahesa
Dharma merasa kasihan, maka dipanggilnya salah
seorang kawannya untuk mengikat lelaki itu.
"Kita biarkan mereka pulang ke sarangnya dengan
tangan terikat", berkata Rangga Mahesa Dharma kepada
kawan-kawannya. Terlihat rombongan kawanan Ki Sadeng beriringan
berjalan dengan tangan terikat.
Tanpa menunggu rombongan kawanan Ki Sadeng
pergi jauh, Rangga Mahesa Dharma dan kelompoknya
terlihat telah berjalan ke arah yang berbeda, tentunya
bersama lima ekor sapi dan pedatinya.
Dan wilayah tak bertuan itu hari demi hari memang
semakin meresahkan saja, seperti bangkai busuk yang
lambat laun tercium dan tersebar terbawa angin
menyusuri gunung Raung yang tinggi dan turun ke
lembahnya dan pergi jauh hingga ke Bandar pelabuhan
Banyuwangi, akhirnya sirna terbawa para pedagang
yang berlayar ke belahan bumi lainnya.
Keresahan para pedagang di wilayah tak bertuan
telah terdengar di istana Majapahit.
1392 "Bila memang telah banyak keresahan di atas
wilayah itu, hamba akan menyiapkan beberapa petugas
telik sandi guna memastikan berapa kekuatan mereka
yang sebenarnya", berkata Mahapatih Arya Tadah
kepada Ratu Tribuwana Tungga Dewi.
"Kuserahkan urusan ini kepada Paman Mahapatih",
berkata Ratu Tribuwana Tungga Dewi penuh rasa
keyakinan bahwa Mahapatih Arya Tadah pasti dapat
meredam suasana di wilayah itu.
Setelah menghadap Ratu Tribuwana Tungga Dewi di
pasanggrahannya, Mahapatih Arya Tadah di kediamannya langsung memanggil Tumenggung Adityawarman untuk membicarakan masalah wilayah tak
bertuan itu. Bukan main terkejutnya Mahapatih Arya Tadah
manakala Tumenggung Adityawarman mengatakan
bahwa masalah itu sudah ditangani langsung oleh Raden
Kudamerta. "Raden Kudamerta telah melampaui wewenangnya
sebagai anggota Batara Prabu", berkata Mahapatih Arya
Tadah merasa tidak setuju dengan sikap Raden
Kudamerta yang bertindak di luar jalurnya.
"Ada seribu prajurit Majapahit yang pekan ini akan
berangkat dibawah pimpinan Senapati Kuda Jenar",
berkata Tumenggung Adityawarman kepada Mahapatih
Arya Tadah. "Raden Kudamerta telah bertindak terlalu jauh",
berkata Mahapatih Arya Tadah penuh rasa tidak senang.
"Maaf Paman Mahapatih, bukankah siapapun prajurit
yang di tugaskan kesana tidak ada perbedaannya?",
berkata Tumenggung Adityawarman penuh rasa ketidak1393
mengertiannya atas sikap Mahapatih Arya Tadah itu.
Mendengar perkataan Tumenggung Adityawarman,
terlihat Mahapatih Arya Tadah terdiam sejenak. "aku
harus menjelaskan kepada Tumenggung Adityawarman
apa yang sebenarnya terjadi di wilayah tak bertuan itu",
berkata Tumenggung Arya Tadah dalam hati.
"Aku akan menjelaskan apa sebenarnya yang terjadi
diatas tanah tak bertuan itu", berkata Mahapatih Arya
Tadah kepada Adityawarman.
Maka dengan sangat hati-hati, Mahapatih Arya Tadah
bercerita tentang apa yang sebenarnya terjadi diatas
wilayah tak bertuan itu, mulai dari peristiwa Raja
Jayanagara, hingga urusan Patih Gajahmada dengan
seorang yang bernama Ki Sadeng.
"Itulah rahasia besar yang kami jaga selama ini",
berkata Mahapatih Arya Tadah mengakhiri ceritanya.
Terlihat Tumenggung Adityawarman termenung
sejenak setelah mendengar semua cerita dari Mahapatih
Arya Tadah. "Kasihan saudaraku Patih Gajahmada yang harus
memikul beban rahasia besar ini seorang diri", berkata
Tumenggung Adityawarman membuka suaranya.
"Sekarang ada aku dan kamu yang ikut memikul
beban itu bersamanya", berkata Mahapatih Adityawarman dengan senyum tulusnya.
Mendengar perkataan Mahapatih Arya Tadah, terlihat
wajah terang mewakili hati dan perasaan Tumenggung
Adityawarman. "Pamanda benar, aku telah mendengar kisah di balik
semua ini, aku akan ikut berada di belakang saudaraku
Patih Gajahmada. Tunjukkan kepadaku apa yang harus
1394 aku lakukan, wahai Pamanda ?", berkata Tumenggung
Adityawarman. "Gembira hatiku mendapatkan dirimu telah melihat
garis merah dari peristiwa besar ini. Bawalah bersamamu
seribu pasukan Majapahit sebagai penyeimbang
pasukan Kuda Jenar di tanah tak bertuan itu. Biarlah
urusan Ki Sadeng menjadi urusan pribadi antara Patih
Gajahmada dan Ki Sadeng yang kuyakini dapat di
tuntaskan oleh anak muda itu sendiri.
Dalam pertemuan itu, Mahapatih Arya Tadah juga
menyampaikan beberapa hal penting yang harus
dilakukan oleh Tumenggung Adityawarman guna
menyelesaikan permasalahan yang mungkin dapat
terjadi di wilayah tak bertuan itu.
"Biarkan pasukan Kuda Jenar mendahului pasukanmu berangkat ke wilayah itu, kamu dapat
membawa pasukanmu sehari setelah keberangkatan
mereka lewat jalur laut", berkata Mahapatih Arya Tadah
mengatur beberapa siasatnya menghadapi pasukan
Kuda Jenar itu. "Aku sudah rapuh dimakan usia tuaku
sendiri, hanya mampu memberikan saran dan pikiran",
berkata kembali Mahapatih Arya Tadah.
"Saran dan pikiran Paman Mahapatih adalah pedang
tajam yang dapat meratakan belantara hutan untuk kami
orang muda", berkata Tumenggung Adityawarman penuh
penghormatan. "Aku merasa gembira, di hari tuaku ini masih dapat
melihat para ksatria penjaga Majapahit yang tumbuh
berkembang dan mengalir di darahmu. Ternyata Empu
Nambi benar, akan tumbuh di belakang kami para ksatria
penjaga Majapahit, mati satu tumbuh seribu", berkata
Mahapatih Arya Tadah penuh wajah kebanggaan
1395 memandang Tumenggung Adityawarman.
"Kalian para orang tua telah mendidik kami untuk
setia menjaga bumi ini", berkata Tumenggung
Adityawarman penuh penghormatan.
Demikianlah keduanya hingga jauh malam membuat
berbagai siasat atas berbagai kemungkinan yang bisa
saja terjadi di wilayah tak bertuan itu. Nampaknya
kedekatan Tumenggung Adityawarman dan Mahapatih
Arya Tadah di mana mereka pernah berada bersama
dalam satuan khusus petugas telik sandi membuat
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pikiran dan hati mereka mudah bertemu dan bersatu
memecahkan beberapa permasalahan.
Dan sepekan telah berlalu.
Malam itu purnama terlihat terbelah di ujung ranting
cemara yang tumbuh tinggi di sudut istana Majapahit,
sementara awan hitam kian gelap menutupi langit istana
yang megah menghadap arah Bandar pelabuhan Tanah
Ujung Galuh yang besar dan selalu ramai dipenuhi
perahu para pedagang dari berbagai belahan dunia.
Dan di kegelapan malam itu juga, terlihat lima buah
perahu dagang merenggang menjauhi dermaga kayu
Bandar pelabuhan Tanah Ujung Galuh, tak seorang pun
mengetahui bahwa di dalam empat perahu dagang yang
cukup besar itu ada seribu orang prajurit Majapahit yang
akan berlayar menuju arah Bandar pelabuhan
Banyuwangi. Dua hari dua malam keempat perahu dagang itu
terapung menyusuri tepian pantai ujung Jawadwipa itu
hingga akhirnya tiba di saat matahari mulai tenggelam di
ufuk barat bumi. Seribu prajurit terlihat memenuhi dermaga Bandar
1396 pelabuhan Banyuwangi. "Mereka pasti para prajurit Majapahit yang ditugaskan
untuk membersihkan para perampok yang selama ini
menguasai wilayah tanah tak bertuan itu", berkata salah
seorang pedagang yang melihat kehadiran para prajurit
yang baru saja turun memenuhi dermaga.
Semua mata terus memandang gerak seribu prajurit
Majapahit itu yang langsung berjalan kearah timur
Banyuwangi dan menghilang di kegelapan malam.
Dibawah cahaya rembulan malam, para prajurit itu
terus berjalan hingga di ujung batas terakhir Kadipaten
Blambangan sebelah barat, di sebuah pinggir hutan yang
terbuka. "Kita bermalam di tempat ini", berkata seorang
pemuda yang sangat dihormati yang nampaknya menjadi
pimpinan dari para prajurit Majapahit yang telah
meninggalkan bandar pelabuhan Banyuwangi yang tidak
lain adalah Tumenggung Adityawarman.
Maka tidak lama berselang terlihat beberapa prajurit
membangun perkemahan darurat mereka, sementara
beberapa orang terlihat tengah menyiapkan perapian.
"Besok kita harus mendapatkan hubungan dengan
kawanan Duta Mangkara", berkata Tumenggung
Adityawarman kepada salah seorang bawahannya yang
sangat dipercaya. "Hutan tempat mereka begitu luas, bagaimana kita
dapat menemukan mereka?", bertanya bawahannya itu
kepada Tumenggung Adityawarman.
"Ada banyak cara untuk memancing kawanan
perampok keluar dari sarang mereka", berkata
Tumenggung Adityawarman dengan senyum di bibirnya.
1397 "Di kepala tuan Tumenggung pasti telah tersimpan
banyak ragam cara sebelum turun ke medan ini", berkata
prajurit perwira itu kepada Tumenggung Adityawarman
yang sangat dihormati-nya itu.
"Siapkan sebuah pedati", berkata
Adityawarman sambil tersenyum.
Tumenggung Dan rembulan malam terlihat sendu menatap awan
tipis gelisah direnggut sang bayu.
Sang pagi akhirnya datang pula menjenguk tepian
hutan yang masih berada dalam wilayah Kadipaten
Blambangan itu. Terlihat sebuah pedati terpatah-patah merayapi jalan
tanah berbatu. Tujuh orang terlihat mengiringi
perjalannya. Seorang juragan duduk bersama sang kusir
mengendalikan arah pedatinya yang ditarik oleh seekor
sapi jantan yang cukup kuat.
Meski barang yang di bawa tertutup jerami, namun
tujuh lelaki pengiring menjadi pertanda bahwa barang
yang dibawa itu pastinya sesuatu yang sangat berharga.
Terlihat pedati itu semakin masuk kedalam hutan
wilayah tak bertuan, sebuah wilayah yang sangat di takuti
oleh para pedagang di saat itu.
Suara burung kepodang terdengar saling bersahutan,
nampaknya dua pejantan yang tengah merayu seekor
kepodang betina muda. Sementara tiga ekor bajing
berlarian diantara dahan-dahan pohon.
Suara pagi dan pemandangan pagi di hutan itu
memang begitu menyegarkan, sementara hembusan
angin dingin yang turun merayapi lembah gunung Raung
itu menambah semerbak udara pagi yang begitu amat
1398 menyejukkan. "Berhenti mengguntur. !!", terdengar suara bentakan yang Dering kalung sapi pedati tiba-tiba terguncang cepat
dan terhenti bersama tarikan tali sang kusir.
Tujuh orang pengiring pedati terlihat dengan sangat
sigap mencabut pedang panjang mereka manakala
terlihat sekitar dua puluh orang kasar dengan rambut
terurai menutup jalan mereka.
"Tinggalkan pedati kalian disini, silahkan lanjutkan
perjalanan kalian", berkata seorang lelaki tegap dengan
sorot mata yang terlihat begitu tajam sebagai pertanda
mempunyai tenaga inti sejati yang amat tinggi.
"Sarungkan kembali senjata kalian, bukankah kalian
lihat sendiri mereka belum menarik senjata apapun?",
berkata juragan yang berada diatas pedati kepada
pengiringnya. Mendengar perintah juragan mereka, terlihat para
pengiring itu menyarungkan kembali pedang mereka.
Terlihat juragan yang masih sangat muda itu turun
dari pedatinya menghampiri salah seorang yang
nampaknya menjadi pimpinan para pembegal itu.
"Apakah kalian tidak mengenal wajahku", aku sudah
membayar penuh di muka untuk perjalananku di wilayah
ini", berkata juragan muda itu sambil menunjuk wajahnya
sendiri. "Aku tidak mengenal dirimu", berkata lelaki itu dengan
wajah dingin dan kaku. Suara yang dingin itu telah membuat juragan muda
itu tersentak diam, hanya bola matanya yang bergerak
1399 dari bawah hingga ke atas mengamati sosok lelaki itu.
Yang ternyata adalah seorang yang bertubuh tinggi
tegap berotot pertanda selalu terlatih ketahanan dan
kekuatannya. Sementara sorot matanya yang sangat
tajam pertanda kepercayaannya yang amat tinggi atas
kemampuan tataran ilmunya.
"Apakah kamu orangnya Duta Mangkara?", bertanya
Juragan muda itu masih dengan sikap orang kaya yang
dapat membeli hati siapapun.
Orang itu tidak menjawab, hanya menggelengkan
kepalanya. "Apakah kamu orangnya Ki Sadeng?", bertanya
kembali juragan muda itu masih dengan sikap dan gaya
yang sama "Kami memang kawanan Ki Sadeng", berkata lelaki
itu sambil membusungkan dadanya.
Tiba-tiba saja juragan muda itu tertawa panjang,
terdengar sangat menjengkelkan sekali.
"Bila kalian benar kawanan Duta Mangkara, aku akan
menyerahkan kepalaku kepadamu. Ternyata kamu
adalah kawanan Ki Sadeng, maka akulah yang akan
mengambil kepalamu", berkata juragan muda itu sambil
meloloskan pedangnya. "Mengapa kamu ingin menyerahkan kepalamu bila
kami dari kawanan Duta Mangkara?", berkata lelaki itu
tidak mengerti mengapa juragan muda itu berkata
demikian. "Karena yang kutahu bahwa para kawanan Duta
Mangkara tidak pernah membunuh siapapun", berkata
juragan muda itu penuh senyum.
"Jadi hari ini kamu akan mengambil kepalaku?",
1400 berkata lelaki itu kembali dengan suara yang dingin tak
punya perasaan dan penuh keberanian.
"Benar, karena kamu adalah kawanan Ki Sadeng",
berkata Juragan muda itu penuh ketegasan.
"Baiklah, aku akan mempertaruhkan kepalaku
dengan barang yang kamu bawa di pedati itu", berkata
lelaki itu penuh tantangan.
"Ternyata di hutan ini kutemui seorang perampok
yang jantan, yang mau bertempur satu lawan satu tanpa
melibatkan siapapun", berkata juragan muda itu.
Mendengar perkataan anak muda itu, terlihat lelaki itu
berkerut keningnya, diam-diam menangkap kecerdikan
anak muda di hadapannya itu yang mencoba
menjebaknya dalam pertempuran satu lawan satu.
"Dengar, bukan aku yang meminta pertempuran satu
lawan satu. Di kepalamu pasti tengah berhitung jumlah
orangmu dan jumlah orang yang bersamaku. Dan kamu
tengah berpikir bahwa hanya dengan melawanku
seorang, kamu dapat mengalahkanku. Kuterima
tantanganmu", berkata lelaki itu dengan wajah penuh
ketenangan diri. Terlihat anak muda yang berpakaian layaknya
seorang juragan muda pada umumnya itu menyunggingkan senyumnya, merasa akal-akalannya
menciptakan pertempuran satu lawan satu itu diketahui
oleh lelaki itu. Siapakah gerangan anak muda yang berpakaian
layaknya seorang juragan muda itu"
Tidak mudah memang menyingkap siapa sebenarnya
anak muda bersama ketujuh orang pengiringnya itu bila
tidak teliti sekali, terutama melihat sarung pedang serta
1401 timang yang dipakai oleh ketujuh orang itu yang tidak lain
adalah para prajurit Majapahit yang tengah menyamar.
Dan anak muda itu ternyata adalah pemimpin
pasukan prajurit Majapahit yang baru kemarin sore tiba di
Bandar pelabuhan Banyuwangi yang tidak lain adalah
Tumenggung Adityawarman, seorang anak muda yang
pilih tanding, putra Patih Mahesa Amping yang pernah
dikenal sebagai manusia setengah dewa itu yang telah
memperistri seorang putri dari tanah Melayu yang
bernama Putri Dara Jingga.
"Aku sudah meloloskan senjataku, mana senjatamu",
berkata Tumenggung Adityawarman sambil melangkah
ke tempat terbuka. Terlihat lelaki itu dengan penuh ketenangan diri ikut
melangkah ke tempat terbuka sambil mengambil sesuatu
yang tergantung di belakang pundaknya yang ternyata
sebuah senjata cakra. Nampaknya semua orang yang bersamanya itu
memang tidak terlihat bersenjata apapun karena telah
menggantung cakra mereka di punggung masingmasing.
Terlihat Tumenggung Adityawarman menatap tajam
cakra di tangan lelaki itu mengingatkan dirinya kepada
seorang yang sangat ahli memainkannya, yaitu Empu
Nambi sang pemimpin utama perguruan Teratai Putih
yang tersebar di Jawadwipa dan Balidwipa itu.
"Aku sudah siap", berkata lelaki itu dengan sikap
yang kokoh penuh rasa percaya diri yang tinggi.
"Baik, aku yang akan menyerangmu", berkata
Tumenggung Adityawarman sambil menerjang menusuk
kearah tubuh lawannya. 1402 Luar biasa gerakan lelaki itu, sangat cepat
menghindar dan langsung membalas dengan serangan
yang berderu-deru angin pukulan senjata cakranya.
Namun putri Dara Jingga itu bukan anak muda biasa,
telah ditempa oleh ayahnya sendiri Patih Mahesa Amping
yang dikenal sebagai manusia setengah dewa. Maka
serangan dari lelaki dengan senjata cakranya itu dapat
dengan mudah dituntaskan dan langsung balas
menyerang dengan tidak kalah gencarnya.
Ternyata lelaki yang punya sorot mata yang sangat
tajam pertanda punya ilmu inti sejati yang amat tinggi itu
juga telah mulai terlihat jati dirinya, ternyata adalah
seorang yang cukup mumpuni mampu mengimbangi
tataran kemampuan Tumenggung Adityawarman itu.
Puluhan gerak laku pun berlalu tak terasa, semakin
lama gerak serangan keduanya terlihat semakin cepat
dan semakin penuh berbahaya.
Tumenggung Adityawarman telah memperlihatkan
keahliannya memainkan sebuah pedang di tangannya.
Kadang kilatan cahaya terlihat berputar-putar, kadang
kilatan cahaya melesat terbang mengejar kemanapun
lawannya bergerak. Sementara lelaki itu juga seorang ahli senjata cakra
yang sangat hebat, tidak hanya sebatas menangkis
serangan kilatan pedang yang tajam berkilau, namun
juga dapat menjadi alat penyerang yang begitu amat
menakutkan, karena terkadang cakra itu dapat diputar
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
begitu cepatnya membentuk suara deru yang
menakutkan dengan gerigi yang tajam dan kuat siap
menghancurkan tubuh lawannya.
Nampaknya keduanya telah ahli ragam cara terbaik
menghadapi serangan senjata lawan masing-masing.
1403 Tumenggung Adityawarman selalu mencari jarak jangkau
panjang pedangnya, sementara lelaki itu selalu mencuri
jarak pendek sesuai dengan jenis senjata cakranya.
Dan ratusan gerak laku kanuragan tidak terasa
berlalu dari kedua petarung kelas tinggi itu. Gerak dan
langkah mereka semakin cepat hingga terlihat seperti
dua bayangan yang saling mengejar satu dengan yang
lainnya. Berkali-kali terdengar suara denting senjata yang
saling beradu sudah terjadi ratusan kalinya memekakkan
telinga orang-orang yang ada di sekeliling mereka yang
menyaksikan dengan mata terbuka pertempuran
keduanya yang begitu amat menegangkan itu.
Hingga akhirnya entah dari mana datangnya sebuah
kabut tipis menyelimuti kedua petarung itu yang semakin
lama semakin tebal menutupi pandangan mata
keduanya. Terlihat keduanya meloncat keluar dari wilayah kabut
yang melingkari mereka. Semula Tumenggung Adityawarman mengira bahwa
lelaki itulah yang membuat ajian tingkat tinggi itu
menciptakan sebuah kabut. Namun dari sikap lelaki itu
pula, Tumenggung Adityawarman dapat memastikan
bukan perbuatan lawannya kabut itu tercipta.
"Kakang Kepakisan, kamu tidak akan dapat
menundukkan putra terkasih Patih Mahesa Amping",
terdengar suara yang bergema berasal dari empat
penjuru mata angin. Terlihat Tumenggung Adityawarman menarik nafas
panjang dan tersenyum, sepertinya dapat mengenali
pemilik suara itu. Tumenggung Adityawarman hanya mengerutkan 1404 keningnya melihat lelaki yang menjadi lawannya itu
menggantung kembali cakranya di belakang pundaknya
sambil berjalan mendekatinya.
"Sungguh sangat beruntung telah merasakan
dahsyatnya ilmu pedang Sang Patih dari Kediri yang
sangat terkenal itu", berkata lelaki itu dengan senyum
penuh persahabatan. Terlihat Tumenggung Adityawarman balas tersenyum
kepada lelaki itu, juga kepada seorang pemuda di
belakangnya yang terlihat sangat tampan dengan rambut
hitam ikal terurai tanpa ikat kepala serta dada yang
bidang telanjang. "Hari ini aku seperti melihat kembali Empu Nambi dan
Patih Mahesa Amping berlatih", berkata pemuda tampan
itu di belakang orang yang dipanggilnya sebagai Kakang
Kepakisan itu. Terlihat Tumenggung Adityawarman
menatap anak muda yang baru tiba itu.
tersenyum "Ternyata tidak susah memancing seorang Duta
Mangkara keluar dari sarangnya", berkata Tumenggung
Adityawarman kepada anak muda itu yang tidak lain
adalah Patih Gajahmada. "Perkenalkan sahabatku di hutan ini, namanya
Kakang Kepakisan, seorang guru suci sebuah
padepokan perguruan Teratai Putih di lereng Gunung
Wilis", berkata Patih Gajahmada memperkenalkan
sahabatnya yang bernama Kakang Kepakisan.
"Pantas, aku seperti menghadapi terjangan Empu
Nambi", berkata Tumenggung Adityawarman penuh
senyum. "Mari ikut ke sarang kami", berkata Patih Gajahmada
1405 kepada Tumenggung Adityawarman.
Setelah meminta ketujuh prajuritnya untuk kembali
bergabung di perkemahan mereka, maka terlihat
Tumenggung Adityawarman telah berjalan masuk ke
pedalaman hutan lebih jauh lagi.
Hingga ketika mereka tiba di sebuah tempat yang
sangat sunyi, Patih Gajahmada meminta Tumenggung
Adityawarman untuk tetap berjalan lurus ke depan.
"Tetaplah kamu berjalan ke depan, sementara kami
akan berpencar", berkata Patih Gajahmada kepada
Tumenggung Adityawarman. Selesai bicara, tiba-tiba saja Patih Gajahmada bersuit
panjang. Ternyata itu adalah sebuah isyarat kepada
semua pengikutnya untuk berpencar menghilang.
Sebagaimana yang diminta oleh Patih Gajahmada,
terlihat Tumenggung Adityawarman tetap berjalan lurus
ke depan seorang diri. Cukup lama Tumenggung Adityawarman berjalan
seorang diri, hingga akhirnya Patih Gajahmada bersama
para pengikutnya muncul kembali.
"Kami berpencar untuk meyakinkan bahwa tidak ada
seorang pun yang mengikuti perjalanan kita. Dengan
cara seperti ini hingga saat ini tidak seorang pun dapat
menemukan sarang kami", berkata Patih Gajahmada
kepada Tumenggung Adityawarman.
Demikianlah, akhirnya mereka telah sampai juga di
sarang kawanan Duta Mangkara. Sebuah tempat yang
begitu sangat tersembunyi.
Terlihat Tumenggung Adityawarman diajak Patih
Gajahmada ke gubuknya dan diperkenalkan dengan Ki
Sahdatun dan Rangga Seta.
1406 "Rangga Seta putra Kakang Putu Risang?" berkata
Tumenggung Adityawarman. "Setelah rampung tugas di hutan ini, aku akan
mencari keluarganya di Balidwipa", berkata Patih
Gajahmada. Akhirnya pembicaraan mereka berlanjut tentang
kedatangan Tumenggung Adityawarman bersama
pasukannya itu di wilayah tak bertuan itu, yaitu untuk
menahan pasukan Majapahit yang dipimpin oleh Kuda
Jenar sesuai dengan tugas yang diamanatkan oleh
Mahapatih Arya Tadah. "Aku belum dapat membaca apa yang diinginkan dari
Raden Kudamerta mengirim Kuda Jenar ke wilayah tak
bertuan ini, setahuku Ki Sadeng adalah paman dari Kuda
Jenar", berkata Patih Gajahmada.
"Mahapatih Arya Tadah juga belum dapat menebak
apa peran Kudamerta di wilayah tak bertuan ini", berkata
Tumenggung Adityawarman. "Raden Kudamerta, Kuda Jenar dan Ki Sadeng
sama-sama dari Kerajaan Wengker. Aku hanya menebak
dan menduga-duga dibalik semua ini ada sebuah
keinginan untuk membesarkan kembali Kerajaan
Wengker sebagai sebuah kekuatan baru", berkata patih
Gajahmada. "Apapun keinginan dari Raden Kudamerta, tugas kita
adalah mematahkan kekuatan Ki Sadeng sebelum
tumbuh taringnya menjadi kekuatan yang akan
berbahaya bagi tatanan kehidupan di bumi Majapahit ini",
berkata Tumenggung Adityawarman.
"Benar, kita laksanakan tugas kita masing-masing
sesuai yang diamanatkan oleh Mahapatih Arya Tadah",
1407 berkata Patih Gajahmada. "Bila memang demikian, hari ini juga aku akan
kembali ke pasukanku agar secepatnya dapat
menyongsong pasukan Kuda Jenar", berkata Tumenggung Adityawarman kepada Patih Gajahmada.
Demikianlah, pada hari itu juga
Adityawarman kembali ke pasukannya.
Tumenggung Dan berselisih waktu dengan kepergian Tumenggung
Adityawarman, terlihat Rangga Mahesa Dharma bersama
kawanannya. "Tumenggung Adityawarman baru saja pergi kembali
ke pasukannya", berkata Patih Gajahmada kepada
Rangga Adityawarman. "Nampaknya wilayah tak bertuan ini akan mulai
menjadi panas", berkata Rangga Mahesa Dharma
setelah mendengar dari Patih Gajahmada tentang
rencana mereka untuk membentur kekuatan Ki Sadeng.
"Mulai besok, kawanan Duta Mangkara berganti
peran, tidak lagi sebagai kawanan perusuh", berkata
Patih Gajahmada sambil tersenyum.
Sementara itu terlihat bulan bulat mengintip diantara
ranting pohon jati, langit malam begitu pekat menyelimuti
gubuk-gubuk sederhana di hutan persembunyian para
kawanan Duta Mangkara. Beberapa orang terlihat
berjaga-jaga di beberapa tempat tanpa membuat sebuah
perapian guna mengusir rasa dingin. Nampaknya mereka
memang benar-benar menjaga sarang mereka menjadi
sebuah tempat yang sangat tersembunyi, setitik api
memang akan membawa mata musuh menemukan
sarang mereka. Sayup terdengar suara lolong serigala jantan di
1408 kesunyian hutan malam. Dan keesokan harinya, pagi-pagi sekali Patih
Gajahmada terlihat bersama Rangga Mahesa Dharma
telah membawa empat puluh orang kawanannya keluar
dari sarang mereka. "Kutitipkan Rangga Seta bersamamu, wahai Ki
Sahdatun", berkata Patih Gajahmada berpamit diri
kepada Ki Sahdatun. "Semoga keselamatan selalu mengiringi langkahmu,
wahai anak muda", berkata Ki Sahdatun melepas
kepergian Patih Gajahmada dan kawanannya itu.
Dan tidak lama berselang, dalam tatapan mata Ki
Sahdatun dan Rangga Seta, rombongan Patih
Gajahmada terlihat keluar dari hutan sarang mereka dan
menghilang di kelebatan hutan rimba.
"Mengapa kita tidak ikut pergi bersama mereka,
wahai tuan guru?" bertanya Rangga Seta kepada Ki
Sahdatun. Terlihat Ki Sahdatun pertanyaan Rangga Seta. tersenyum mendengar "Kelak bila kamu sudah dewasa seperti mereka,
setelah kamu dapat melompat terjun dari sebuah
ketinggian dengan mata terbuka, setelah kamu dapat
berlari cepat melebihi kecepatan seekor rusa", berkata Ki
Sahdatun kepada Rangga Seta masih dengan senyum
penuh kasihnya. "Aku akan terus berlatih", berkata Rangga Seta
penuh semangat. "Bagus, mari kita berlatih", berkata Ki Sahdatun
kepada Rangga Seta sambil menuntun anak itu
membawanya ke sebuah tempat yang biasa mereka
1409 datangi untuk berlatih ketahanan diri.
Nampaknya Rangga Seta seperti sudah tahu apa
yang harus dilakukannya. Terlihat Ki Sahdatun dengan
penuh senyum kebanggaan menyaksikan anak seusia
Rangga Seta sudah begitu lincahnya memanjat sebuah
pohon besar dan berjalan diatas dahan pohon dengan
tubuh berdiri tegak, sebuah laku yang sangat berbahaya,
namun Rangga Seta terlihat seperti begitu menikmatinya
layaknya seorang bocak kecil yang tengah menikmati
sebuah permaianan yang mengasyikkan.
"Beristirahatlah, hari ini kita akan melanglang di
sekitar daerah ini", berkata Ki Sahdatun kepada Rangga
Seta yang terlihat sudah merah wajahnya bercampur
peluh di tubuhnya. Mendengar perkataan Ki Sahdatun, terlihat Rangga
Seta sangat gembira. Nampaknya terpikir di benaknya
sebuah perjalanan yang sangat mengasyikkan.
Demikianlah, setelah kembali ke gubuk mereka untuk
menyiapkan beberapa keperluan dan bekal selama di
perjalanan, terlihat Ki Sahdatun dan Rangga Seta telah
meninggalkan gubuk tempat persembunyian para
kawanan Duta Mangkara itu.
Setelah beberapa pekan tinggal di hutan itu,
nampaknya Ki Sahdatun sepertinya sudah sangat
mengenal jalan. Terlihat mereka sudah berada di sebuah jalan tanah
yang membelah hutan. Namun setelah beberapa langkah, tiba-tiba saja
Rangga Seta merasakan telapak tangan Ki Sahdatun
memegang lengannya. "Ada kebakaran hutan", berkata Ki Sahdatun kepada
1410 Rangga Seta. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ki Sahdatun,
terlihat asap putih tebal terbawa angin memenuhi sekitar
hutan. "Rangkul dan berpeganglah kamu di leherku",
berkata Ki Sahdatun sambil menggendong Rangga Seta.
Seketika itu juga Rangga Seta merasakan dibawa lari
dengan amat kencangnya oleh Ki Sahdatun. Begitu
cepatnya Ki Sahdatun berlari membuat Rangga Seta
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memejamkan matanya karena wajahnya terasa
tertampar angin yang amat kerasnya.
Manakala Rangga Seta tidak lagi merasakan terpaan
angin di wajahnya, perlahan anak kecil itu membuka
matanya. Terkejut bukan kepalang Rangga Seta karena telah
melihat dirinya berada di sebuah dahan pohon yang
cukup tinggi. "Dari ketinggian ini kita dapat melihat sekeliling kita",
berkata Ki Sahdatun sambil menatap ke sebuah tempat.
Ternyata arah tatapan mata Ki Sahdatun tertuju
kesebuah tempat dimana disitulah sumber kebakaran
hutan itu. Penglihatan Ki Sahdatun yang sudah sangat terlatih
itu telah mampu melihat dari kejauhan bahwa di sumber
titik kebakaran hutan itu telah terjadi sebuah pertempuran
yang amat serunya. Ketajaman penglihatan Ki Sahdatun
telah mampu menangkap sekitar dua puluh orang
bersenjata cakra dan dua puluh orang bersenjata pedang
terlihat seperti sebuah bola panas menghalau ratusan
orang yang terlempar berhamburan.
Sebagaimana yang disaksikan oleh Ki Sahdatun dari
1411 ketinggian pohon, ternyata kawanan Patih Gajahmada
telah membenturkan dirinya menghancurkan kawanan Ki
Sadeng. Penyerangan itu di mulai dengan melemparkan
hujan panah berapi ke gubuk-gubuk tempat tinggal para
kawanan Ki Sadeng. "Jember"." berkata Ki Sahdatun dengan suara
perlahan sambil menggelengkan kepalanya.
Hujan panah itu telah benar-benar mengejutkan
orang-orang Ki Sadeng yang langsung keluar dari gubukgubuk mereka untuk menyelamatkan diri masing-masing.
Banyak diantara mereka yang lupa membawa
senjata, maka dengan mudahnya kawanan yang
dipimpin oleh Patih Gajahmada dan Rangga Mahesa
Dharma itu menghalau musuh mereka tanpa perlawanan
yang berarti. "Jember?" berkata kembali Ki Sahdatun melihat
ratusan tubuh berhamburan terkena sambaran senjata
cakra dan pedang dengan darah merah tercecer
membasahi tanah dan semak daun belukar.
Api terlihat telah memakan gubuk-gubuk tempat
tinggal kawanan Ki Sadeng, beberapa titik api telah
merambat membakar semak belukar serta pepohonan di
dekatnya. Sementara itu empat puluh orang pilihan dan terbaik
dari padepokan Bajra Seta dan perguruan Teratai Putih
benar-benar telah menunjukkan kemampuan mereka
yang sungguh mengagumkan. Senjata andalan mereka
yang berbentuk cakra dan pedang panjang itu benarbenar seperti sebuah senjata pembunuh yang amat
sangat dahsyat bergerak di tangan mereka. Maka dalam
waktu yang tidak begitu lama ratusan orang telah
berhasil mereka buat tidak berdaya. Pertempuran saat itu
1412 benar-benar dikuasai oleh kawanan Patih Gajahmada
yang dikenal di tempat itu sebagai sang Duta Mangkara.
Terlihat tinggal puluhan orang di pihak Ki Sadeng yang
Naga Naga Kecil 11 Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi Ii Karya Seno Gumira Seruling Samber Nyawa 10
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama