Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana Bagian 3
menyadarkan beberapa peronda yang tengah berjaga
untuk segera membangunkan kawan-kawan mereka dari
sebuah ancaman yang belum mereka ketahui.
"Ada musuh datang!!", berteriak seorang peronda
membangunkan kawan-kawan mereka yang masih
tertidur. Lapangan terbuka di tengah hutan itu tiba-tiba saja
seperti menggeliat, beberapa orang prajurit Sunginep
telah keluar dari barak-barak masih dengan mata yang
terkantuk. Untungnya mereka masih sempat menyambar
senjata masing-masing ketika suara gemuruh riuh seperti
air bah datang dari berbagai penjuru.
Ternyata di keremangan pagi itu, pasukan besar
Majapahit telah datang menyerang mereka. Beberapa
orang prajurit Sunginep yang tidak sempat mengambil
senjatanya terpaksa menghadapi lawan dengan tangan
kosong menghindar kesana kemari namun akhirnya
harus menyerah manakala sebuah pedang tajam
mengancam di ujung lehernya.
"Menyerah, atau pedang ini menembus lehermu",
berkata seorang prajurit Majapahit kepada seorang
prajurit Sunginep yang terjatuh di tanah.
151 "Aku menyerah", berkata prajurit Sunginep itu penuh
harapan lawannya tidak akan menusuk pedangnya lebih
jauh lagi dari kulit lehernya itu.
Namun di beberapa tempat, beberapa prajurit
Sunginep telah hilang rasa kantuknya langsung
menghadapi lawan mereka yang datang seperti hantu
mimpi malam yang sangat mendebarkan hati.
Cahaya matahari pagi belum mampu menyentuh
kegelapan lapangan terbuka di tengah hutan Jatirogo itu
yang tengah berkecamuk sebuah perang brubuh tanpa
gelar perang apapun. Mata prajurit harus jeli
membedakan mana lawan dan mana kawan.
Di tengah amuk kecamuk perang brubuh itu, terlihat
seorang lelaki dengan sebuah cambuk pendek di
tangannya. Ujung cambuknya itu seperti bermata,
siapapun lawan di dekatnya pasti terjungkal jatuh
tersentuh sasaran cambuknya itu. Siapa lagi lelaki
bercambuk yang sangat ahli melecut dan memutar
cambuknya yang seperti bermata itu kalau bukan Patih
Mahesa Amping. Rupanya Patih Mahesa Amping masih
dapat mengendalikan dirinya, tidak terbawa amuk
suasana peperangan. Meskipun dengan ketinggian
ilmunya yang sudah berada di puncak kesempurnaannya
itu, seorang diri dapat melumatkan pasukan lawan di
hutan Jatirogo itu, tapi semua tidak dilakukannya.
Cambuk di tangannya hanya melukai lawan dan tidak
membinasakannya. Demikianlah, cahaya matahari sudah mulai meninggi
dan telah dapat menembus lewat celah-celah daun dan
ranting pepohonan cukup memberi pandangan mata
untuk dapat melihat sekitarnya.
152 Terlihat korban bergeletakan di mana- mana, darah
basah berceceran di tanah, bunyi suara gemerincing
senjata saling beradu masih terdengar di lapangan
terbuka sisa reruntuhan bangunan istana di tengah hutan
Jatirogo masih juga berlangsung seperti belum diketahui
kapan berkesudahannya. Bentuk tubuh kedua pasukan yang tengah berperang
itu memang sangat sukar dibedakan, karena mereka
memang masih satu rumpun, masih satu saudara dan
keturunan, karena mereka pada dasarnya adalah satu
kesatuan prajurit yang berada di bawah kedaulatan
Majapahit Raya. Sejak bertugas sebagai seorang Patih di Kediri, Patih
Mahesa Amping mulai membangun kekuatan prajurit
Kediri, meningkatkan tataran olah kanuragan orang per
orang dan membagi jenjang keprajuritan berdasarkan
tingkat tataran tertinggi yang dimiliki oleh setiap prajurit.
Itulah sebabnya, kemampuan olah kanuragan para
prajurit Kediri dapat diandalkan dimana tingkat tataran
dan kemampuan kanuragan mereka masih diatas prajurit
dimanapun yang masih dibawah kedaulatan Majapahit
Raya. Dan di hutan Jatirogo ini kemampuan prajurit Kediri
telah diuji. Ternyata mereka memang dapat diandalkan
mampu menghadapi para prajurit Sunginep dalam
perang brubuh itu, satu lawan satu.
Namun semangat para prajurit Sunginep seperti
dipenuhi batu cadas, tidak mudah patah menyerah.
Meskipun demikian, akhirnya daya tahan kekuatan tubuh
para prajurit Sunginep dapat terkikis juga, sementara
tempaan dan latihan para prajurit Kediri selama ini
tidaklah sia-sia, nafas dan tenaga mereka masih tetap
bertahan menghadapi para prajurit Sunginep yang mulai
153 menurun daya serangnya karena tenaganya sudah mulai
terasa terkuras habis. Ketika sinar cahaya matahari pagi sudah mulai
menghangatkan lapangan terbuka di tengah hutan
Jatirogo, satu persatu prajurit Sunginep terlihat roboh
terkena tendangan dan pukulan lawannya.
Beberapa orang prajurit Sunginep bahkan terlihat
terjungkal di tanah kotor akibat sebuah sabetan pedang
di lambungnya. Salah satu kemampuan dan kemahiran
bermain pedang telah diperlihatkan oleh para prajurit
Kediri. Jumlah prajurit Sunginep sudah mulai surut tajam,
dapat dikatakan sudah tinggal setengahnya lagi. Namun
para prajurit Sunginep yang sudah mulai susut
tenaganya itu masih saja tetap bertahan.
Namun apalah arti semangat bila tenaga sudah mulai
mengendur, kembali satu persatu korban berjatuhan di
pihak para prajurit Sunginep. Akhirnya, manakala terik
panas matahari telah berada diatas kepala mereka, daya
serang orang per orang para prajurit Sunginep sudah
benar-benar runtuh tidak mampu menegakkan pedang di
tangannya. "Menyerahlah!!", berkata seorang prajurit sambil
menendang pergelangan tangan seorang prajurit
Sunginep yang membiarkan pedangnya terlepas
terlempar jauh. "Pilih olehmu dari tubuh ini, lakukanlah dengan tepat
agar aku tidak merasakan sakit di saat nyawaku pergi
melayang", berkata seorang prajurit Sunginep duduk
lemah dengan tangan menahan tubuhnya di tanah agar
tidak jatuh terbaring. 154 "Jangan kamu turuti perkataan orang itu, ikat saja
kedua kaki dan tangannya", berkata seorang lelaki di
sebelahnya yang tidak lain adalah Patih Mahesa Amping.
Demikianlah, peperangan di lapangan terbuka di
tengah hutan Jatirogo terlihat sudah mereda, satu
persatu prajurit Sunginep sudah dapat dilumpuhkan.
"Untuk sementara kita beristirahat di sini, kirim
seorang utusan untuk memberitahukan kepada Rakyan
Kebo Arema bahwa pasukan kita telah meredam
kekuatan lawan di hutan Jatirogo", berkata Patih Mahesa
Amping kepada seorang prajurit penghubungnya.
Demikianlah, di bawah hembusan angin semilir sore
yang cerah, terlihat seorang penunggang kuda telah
menghentakkan perut kudanya untuk berlari menjauhi
hutan Jatirogo dan masuk ke sebuah jalur jalan tanah
yang biasa digunakan oleh para pedagang yang akan
menuju Kota Tuban. Lelaki itu terus memacu kudanya meski ketika
memasuki sebuah jalan padukuhan membuat beberapa
orang terpaksa harus menyingkir menjauh agar terhindar
terjangan kaki kuda. Lelaki itu terus memacu kudanya meski hari telah
mulai gelap menjelang malam.
Akhirnya di pertengahan malam, lelaki berkuda itu
terlihat telah mendekati istana Kadipaten Tuban.
"Siapa kamu!", berkata seorang prajurit dengan suara
membentak kepada penunggang kuda yang telah turun
dari kudanya memasuki gerbang istana Kadipaten.
"Aku utusan Patih Mahesa Amping, bawalah aku
kepada Rakyan Kebo Arema", berkata lelaki itu sambil
menunjukkan sebuah pertanda khusus kepatihan Kediri
155 yang hanya dimiliki oleh Patih Mahesa Amping.
Mendengar bahwa lelaki itu adalah utusan Mahesa
Amping, prajurit penjaga gerbang istana itu langsung
membawa lelaki itu menuju pendapa Kadipaten.
Ternyata Rakyan Kebo Arema di tengah malam itu
masih berbincang-bincang dengan beberapa perwira
tingginya. "Bagus, katakan kepada Patih Mahesa Amping agar
membawa seluruh pasukannya merapat ke istana
Kadipaten Tuban", berkata Rakyan Kebo Arema
manakala telah mendengar berita yang dibawa oleh
utusan itu. Demikianlah, setelah menukar kudanya yang lebih
segar, terlihat lelaki utusan Patih Mahesa Amping telah
memacu kembali kudanya menuju Hutan Jatirogo.
Malam dan semilir angin dingin tidak mengurangi laju
kuda lelaki itu. Ketika awal pagi sudah mulai
menyingsing, kembali derap kudanya telah membuat
beberapa orang merapat di pagar halaman tidak ingin
terkena terjangan kaki kuda lelaki itu yang terus di pacu
di sebuah jalan-jalan padukuhan di Kademangan
Singgahan. "Prajurit edan!!" berkata salah seorang yang
tangannya berdarah terkena tajamnya pagar bambu.
Akhirnya lelaki penunggang kuda itu terlihat
memperlambat laju kudanya manakala di hadapannya
terbentang hutan Jatirogo seperti raksasa hitam.
Dan ketika telah berada di muka hutan, lelaki itu telah
melompat turun dari kudanya dan langsung memasuki
hutan itu. Kerimbunan dan kerapatan pepohonan telah
memperlambat langkah kaki lelaki itu yang harus
156 memasuki hutan Jatirogo sambil menuntun seekor kuda.
"Beristiratlah, kamu pasti sudah sangat begitu lelah",
berkata Patih Mahesa Amping kepada lelaki itu yang
datang membawa berita dari Rakyan Kebo Arema di
istana Kadipaten Tuban. Kepada pasukannya Patih Mahesa Amping telah
mengabarkan bahwa besok pagi mereka harus bersiapsiap untuk berangkat menuju ke Kadipaten Tuban.
Tidak ada banyak kegiatan yang dilakukan para
prajurit yang menempatkan lapangan bekas reruntuhan
istana di hutan Jatirogo itu. Beberapa orang terlihat
masih tengah merawat kawan-kawan mereka yang
terluka, juga beberapa orang prajurit Sunginep yang juga
terluka parah. Sementara itu beberapa prajurit telah
ditugaskan untuk mengawasi para tawanan perang.
Keesokan harinya, di saat matahari sudah terlihat
memancar terang di ujung timur bumi, sebuah pasukan
besar diiringi bende dan suara genderang telah berjalan
menjauhi hutan Jatirogo. Tidak seperti waktu berangkat dari Kotaraja
Majapahit, kali ini gerak pasukan agak sedikit terhambat,
karena mereka harus membawa banyak orang terluka
dan para tawanan perang. Namun tetap saja kehadiran
pasukan Majapahit yang besar itu telah membuat ciut
hati orang yang melihatnya, terutama para prajurit
Kademangan yang selama ini telah dihembuskan
semangat untuk memberontak memecahkan diri dari
kedaulatan Majapahit Raya.
Pasukan berkuda terlihat begitu gagah berjalan di
paling muka, diikuti para pasukan tombak yang selalu
mengangkat tombaknya manakala suara bende berbunyi.
157 Derap suara langkah kaki mereka bergemuruh
menggoncangkan bumi. Patih Mahesa Amping terlihat tersenyum diatas
kudanya, pamer kekuatan prajurit Majapahit nampaknya
berhasil membuat gentar orang-orang di sisi pagar rumah
mereka di beberapa padukuhan yang mereka lewati.
Bila saja mereka terus berjalan, maka di ujung malam
sudah dapat mencapai Kadipaten Tuban. Namun Patih
Mahesa Amping merasa kasihan kepada prajuritnya
terutama mereka yang terluka parah. Maka di sebuah
padukuhan yang masih dalam wilayah Kademangan
Montong, Patih Mahesa Amping telah memerintahkan
pasukannya untuk beristirahat, hari memang telah
menjadi mulai gelap di ujung senja itu.
"Tunjukkan keluhuran budi prajurit Majapahit, jangan
sampai ada warga padukuhan ini yang terganggu
dengan kehadiran kita. Jangan lengah, kita berada di
lingkungan yang punya kesetiaan tinggi terhadap Adipati
mereka", berkata Patih Mahesa Amping memberikan
beberapa pesan kepada pasukannya.
Bukan main gembiranya para prajurit itu manakala
diperintahkan untuk beristirahat dan bermalam di sebuah
Padukuhan setelah seharian berjalan tanpa berhenti.
Terlihat beberapa orang prajurit telah langsung
membangun sebuah dapur umum di sisi sebuah sungai
kecil yang berair jernih. Beberapa prajurit lagi sudah
bersandar di beberapa batang pohon besar.
Selebihnya terlihat tengah menurunkan tandu-tandu
orang yang terluka di sudut semak perdu agar terhindar
dari angin dingin malam. Mereka memang bermalam di
tanah bulakan terbuka di ujung sebuah padukuhan.
158 Malam pun berlalu dalam sepi, beberapa orang
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
prajurit bergiliran berjaga sepanjang malam dengan
penuh kewaspadaan. Mereka menyadari bahwa hal-hal
yang tidak diinginkan bisa saja datang dengan tiba-tiba.
Namun sepanjang malam itu, tidak ada apapun yang
terjadi menimpa mereka. Hingga ketika pagi datang, para
prajurit itu terbangun dengan tubuh terasa lebih segar
bugar bersama sebuah ransum sederhana sarapan pagi
mereka. Dibawah mega-mega putih yang berarak terbang
ditiup angin pagi yang cerah, terlihat iring-iringan
pasukan besar Majapahit telah melanjutkan perjalanan
mereka kembali ke Kadipaten Tuban.
Sebagaimana sebelumnya, iring-iringan itu telah
membuat ciut dan gentar siapapun yang melihatnya.
Selama ini orang-orang padukuhan telah sering melihat
para prajurit pengawal Kademangan berlatih di lapangan
terbuka. Namun manakala mereka melihat iring-iringan
pasukan Majapahit yang besar itu berjalan melewati jalan
Padukuhan mereka, hati dan perasaan mereka mulai
membanding-bandingkan betapa kecil dan kerdilnya bila
saja para prajurit pengawal Kademangan dikumpulkan
berhadap-hadapan dengan pasukan Majapahit itu.
Di awal senja yang bening, matahari masih
memaparkan cahayanya yang teduh, terlihat pasukan
Patih Mahesa Amping telah memasuki kota Kadipaten
Tuban. Rakyan Kebo Arema menyambut langsung
pasukan itu di pintu gerbang istana Kadipaten.
"Selamat datang, saudaraku", berkata Rakyan Kebo
Arema kepada Patih Mahesa Amping yang telah turun
dari kudanya. "Paman Kebo Arema kulihat sangat cocok sebagai
159 seorang Adipati", berkata Patih Mahesa Amping sambil
tersenyum. "Sayangnya aku tidak suka tinggal di sebuah tempat
untuk waktu yang lama", berkata Rakyan Kebo Arema
ikut tertawa gembira menanggapi canda Patih Mahesa
Amping. Terlihat Rakyan Kebo Arema telah mengajak
Patih Mahesa Amping menuju pendapa istana
Kadipaten. Manakala langkah kaki Patih Mahesa Amping
menyentuh tangga pertama pendapa istana Kadipaten
itu, wajahnya terlihat seperti tersiram warna duka.
Bayangan sahabatnya, Adipati Ranggalawe seperti
datang menyambutnya berdiri penuh senyum diatas
panggung pendapa. Rakyan Kebo Arema tidak memperhatikan perubahan
wajah Patih Mahesa Amping yang sudah ikut duduk
bersamanya. Patih Mahesa Amping mencoba melupakan
bayangan sahabatnya Adipati Ranggalawe dengan
langsung bercerita tentang perjalanannya bersama
pasukannya, juga peperangan mereka di hutan Jatirogo.
Bergantian, Rakyan Kebo Arema juga bercerita tentang
peperangan pasukannya di goa Abar.
"Ketika kami datang, istana Kadipaten ini telah
kosong. Adipati Ranggalawe nampaknya telah membawa
pasukannya pergi mengungsi", berkata Rakyan Kebo
Arema bercerita kepada Patih Mahesa Amping di hari
pertama pasukannya merapat di pantai Tuban itu.
"Aku tidak tahu apa yang dipikirkan oleh Adipati
Ranggalawe, apakah istana Kadipaten yang indah ini
masih dianggapnya belum besar dan agung?", berkata
Patih Mahesa Amping sambil mengamati keindahan
160 taman di muka pendapa istana Kadipaten yang tertata
begitu asri. "Keinginan seseorang memang tidak sama", berkata
Rakyan Kebo Arema sambil menarik nafas panjang.
"Dimana Adipati Ranggalawe saat ini?", bertanya
Patih Mahesa Amping kepada Rakyan Kebo Arema.
"Beberapa petugas telik sandiku telah menemukan
jejaknya, Adipati Ranggalawe bersama pasukannya telah
keluar dari Tuban menuju arah Lamongan", berkata
Rakyan Kebo Arema. "Sebuah arah jalan untuk menyeberang
Madhura?", berkata Patih Mahesa Amping.
ke "Aku membacanya seperti itu, Adipati Ranggalawe
akan bergabung dengan ayahnya di Sunginep", berkata
Rakyan Kebo Arema. "Berapa kekuatan pasukan Adipati Ranggalawe saat
ini?", bertanya Patih Mahesa Amping.
"Sekitar lima ratus prajurit bersamanya", berkata
Rakyan Kebo Arema. "Kita masih dapat mencegat pasukan itu sebelum
menyeberang dan bergabung dengan pasukan ayahnya",
berkata Patih Mahesa Amping.
"Di Lamongan ada sebuah padepokan kecil tempat
kedua putranya berguru, ada kemungkinan rombongan
itu akan singgah disana sebelum menyeberang ke
Madhura", berkata Rakyan Kebo Arema
"Kita pecah kekuatan kita, sebagian langsung ke
Padepokan itu, sementara sebagian lagi mencegatnya di
ujung penyeberangan yang pasti akan dilalui oleh
pasukan Adipati Ranggalawe", berkata Patih Mahesa
161 Amping. Demikianlah, keesokan harinya pagi-pagi sekali
terlihat sekitar enam ratus pasukan berkuda telah keluar
bersama meninggalkan istana Kadipaten Tuban,
Di batas gerbang kota, pasukan berkuda itu terlihat
terpecah dua memisahkan diri. Sebagian menyusuri jalur
pesisir utara menuju arah penyeberangan Madhura,
sementara sebagian lagi terlihat menuju arah Tanah
Jabung. Patih Mahesa Amping terlihat begitu gagah diatas
kudanya memimpin sekitar dua ratus pasukan berkuda
menuju arah Tanah Jabung, sebuah daerah yang sudah
masuk kedalam wilayah kekuasaan Kadipaten Lamongan
saat itu. Ketika matahari bergeser sedikit terlihat seorang
penunjuk arah telah memperlambat laju kudanya.
Padepokan Jabung sudah tidak jauh lagi dari sini",
berkata penunjuk arah itu sambil menunjuk sebuah
padukuhan di hadapan mereka.
Padepokan Jabung berada di ujung sebuah
padukuhan, sebuah padepokan kecil yang berada diluar
padukuhan dikelilingi hamparan sawah dan ladang.
Patih Mahesa Amping telah memberi isyarat kepada
pasukannya untuk tidak melintasi persawahan yang baru
saja ditanami bibit-bibit padi. Mereka terlihat merintis
jalan pematang sawah untuk dapat menuju ke
padepokan itu. Padepokan Jabung, adalah sebuah padepokan yang
sangat sederhana terdiri dari sebuah bangunan utama
yang tidak terlalu besar berdinding bilik bambu dan tidak
ada pagar dinding yang membatasinya. Disebelah kanan
162 bangunan utama hanya ada barak panjang yang juga
sangat sederhana untuk tinggal sehari-hari para
cantriknya. Patih Mahesa Amping bersama pasukannya telah
berada di halaman muka Padepokan Jabung, tidak
terlihat ada tanda-tanda ada pasukan Ranggalawe.
Terlihat seorang lelaki sangat tua menuruni anak tangga
pendapa diiringi oleh tiga orang pemuda.
"Mudah-mudahan mata tuaku ini tidak salah
mengenali orang, angger sangat gagah memakai baju
kebesaran prajurit Majapahit", berkata lelaki tua itu penuh
senyum sareh memandang kearah Patih Mahesa
Amping. Bukan main terkejutnya Patih Mahesa Amping
manakala mengenali siapa orang tua yang terlihat sudah
sangat berumur itu. "Empu Pranata !!", berkata Patih Mahesa Amping
sambil melangkah memeluk tubuh orang tua itu penuh
haru dan perasaan suka cita.
Siapakah Empu Pranata itu"
Patih Mahesa Amping sangat mengenal orang tua itu
sebagai saudara kembar Empu Dangka. Dua orang sakti
cucu dari Empu Brantas pimpinan padepokan Windu
Sejati yang sangat terkenal di jaman dulu kala. Konon
hanya mereka bertiga yang selamat ketika bencana air
bah sungai Brantas berbalik arus menenggelamkan
daratan sekitarnya dimana mereka bertiga sangat
kebetulan sekali tengah mengunjungi salah seorang
kerabat dekat di daerah Panawijen.
Terakhir Patih Mahesa Amping berpisah dengan
Empu Pranata manakala mendapat tugas dari Raja
163 Kertanegara di Balidwipa, sementara Empu Pranata
diangkat oleh Raja Kertanegara sebagai pendeta suci
istana Singasari. Setelah sekian lama tidak saling bertemu, hari itu
mereka dipertemukan di muka halaman Padepokan
Jabung. "Mari kita bicara diatas pendapa", berkata Empu
Pranata kepada Patih Mahesa Amping.
Terlihat Patih Mahesa Amping memerintahkan
pasukannya untuk beristirahat di halaman muka
Padepokan, sementara dirinya sendiri telah berjalan
beriring dengan Empu Pranata menaiki tangga pendapa.
"Manakala istana Singasari dihancurkan oleh
pasukan Jayakatwang, aku mengasingkan diri hidup
sebagai seorang pengembara biasa, bebas pergi
kemanapun aku suka. Hingga ketika huru hara pasukan
Mongol membakar istana Kediri, kebetulan sekali aku
ada disana", berkata Empu Pranata sambil menarik nafas
panjang mengumpulkan kembali semua ingatannya
sekitar peristiwa kehancuran Kotaraja Kediri beberapa
tahun yang telah lewat itu.
"Api telah membakar hampir seluruh bangunan di
Kotaraja Kediri, juga istana Kediri. Tidak sengaja aku
melihat ada seorang anak lelaki menangis terpisah dari
orang tuanya. Anak lelaki itu kubawa pergi menjauhi
Kotaraja Kediri dan menjadi kawan pengembaraanku,
kemanapun aku pergi selalu bersamanya. Hingga
akhirnya kami menetap di Padepokan sederhana ini",
berkata Empu Pranata berhenti sebentar dan menoleh
kearah salah seorang dari ketiga pemuda yang
menyertainya itu. "Kertawardana, beri hormat kepada
pamanmu ini", berkata Empu Pranata kepada anak muda
164 itu. Terlihat anak muda itu memberi hormat kepada Patih
Mahesa Amping. "Kertawardana?", berkata Patih Mahesa Amping
seperti pernah mendengar nama itu.
"Angger pasti pernah mendengar nama itu, karena
dialah cucu Raja Kertanegara yang juga cucu Raja
Jayakatwang dari putra Pangeran Ardharaja", berkata
Empu Pranata sambil tersenyum.
Terkejut Patih Mahesa Amping manakala mengetahui
siapa sebenarnya anak muda itu.
"Paman Jayakatwang dan Bibi Turukbali pasti akan
gembira mendengar bahwa ada seorang keturunannya
yang masih hidup hingga saat ini", berkata Patih Mahesa
Amping sambil menjelaskan bahwa mantan penguasa
Kediri itu sekarang telah menetap di Tanah Ujung Galuh.
"Hampir lupa, aku belum memperkenalkan kedua
pemuda ini, yang lebih tua bernama Siralawe, sementara
yang lebih muda bernama Buntarlawe, mereka adalah
dua putra Adipati Ranggalawe yang sudah sejak kecil
dipercayakan kepadaku tinggal bersama kami di
padepokan ini", berkata Empu Pranata memperkenalkan
kedua anak muda lainnya. Mendengar nama Adipati Ranggalawe, terlihat Patih
Mahesa Amping menarik nafas dalam-dalam. Mengingat
kembali tugasnya datang ke Padepokan Jabung ini.
"Semula aku hanya mengetahui sebuah nama Ki Ajar
Sasmita di Padepokan Jabung ini, siapa kira bahwa Ki
Ajar Sasmita adalah Empu Pranata yang kukenal",
berkata Patih Mahesa Amping kepada Empu Pranata.
"Angger, Mahesa Amping, aku bersyukur bahwa hari
165 ini kita dipertemukan. Sudah lama diriku tidak lagi
memusingkan hiruk pikuk kehidupan duniawi, sudah
lama menikmati hidup dalam suasana kedamaian di
padepokan ini bersama para cantrikku. Namun ternyata
diriku yang tua ini memang tidak bisa bersembunyi, tidak
bisa tinggal diam dan tidak peduli manakala salah
seorang keluarga cantrikku meminta perlindungan
kepadaku. Kemarin Adipati Ranggalawe bersama
pasukannya telah singgah disini, menitipkan keluarganya
dalam lindungan diriku", berkata Empu Pranata sambil
memandang kearah Patih Mahesa Amping, meminta
pertimbangan dan pemikirannya.
"Empu Pranata, tugas dan wewenangku datang ke
Tanah Tuban ini adalah untuk membawa kembali Adipati
Ranggalawe kedalam cita-cita yang pernah kami ikrarkan
bersama membangun sebuah kerajaan dunia yang adil
diatas nilai dan martabat keluhuran kemanusiaan",
berkata Patih Mahesa Amping dan berhenti sebentar
sambil menarik nafas panjang.
"Baginda Raja Sanggrama Wijaya masih sangat
berharap bahwa Adipati Ranggalawe dapat kembali.
Kedatanganku disini adalah untuk menemuinya sebagai
seorang sahabat, sebagai seorang saudara. Bagiku
keluarga Adipati Ranggalawe adalah keluargaku pula.
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku akan menjaganya sebagaimana Empu Pranata
menjaganya. Yang kukhawatirkan saat ini adalah
pertemuan pasukan Adipati Ranggalawe dengan
pasukan Rakyan Kebo Arema, semoga aku dapat
mencegah pertempuran diantara dua pasukan itu",
berkata Patih Mahesa Amping kepada Empu Pranata
yang telah berganti jati diri bernama Ki Ajar Sasmita itu.
"Terima kasih angger, sejak dulu kutahu sifat dan
watakmu yang selalu menghindari segala bentuk
166 kekerasan. Mudah-mudahan pasukanmu dapat mengejar
pasukan Adipati Ranggalawe yang tengah menuju
kearah timur, menuju arah penyeberangan Madhura.
Semoga kamu dapat mencegah pertempuran itu",
berkata Empu Pranata sambil menarik nafas panjang.
"Semoga aku tidak datang terlambat mencegah
pertempuran itu terjadi", berkata Patih Mahesa Amping
sambil berpamit diri kepada Empu Pranata tidak dapat
lebih lama lagi di padepokan Jabung itu dan berjanji
untuk singgah dalam waktu dan kesempatan lain.
Demikianlah, pasukan Patih Mahesa Amping terlihat
sudah jauh meninggalkan padepokan Jabung, berpacu
dengan waktu untuk dapat mengejar pasukan Adipati
Ranggalawe agar tidak bertemu dengan pasukan
Rakyan Kebo Arema. Debu mengepul di belakang kaki-kaki kuda yang
berlari berpacu di tanah keras menuju arah timur
matahari. Meski telah memacu kudanya seperti terbang, Patih
Mahesa Amping masih saja merasa kudanya bergerak
lambat, hati dan pikirannya telah dipenuhi kecemasan
yang amat sangat bahwa pertempuran kedua pasukan
itu tidak dapat dicegahnya.
Ternyata kecemasan hati dan pikiran Patih Mahesa
Amping bukan muncul dari bayangan ketakutannya,
melainkan sebuah firasat dan pertanda dari panggraitanya yang sudah terlatih dan sangat tajam.
Karena apa yang dicemaskan oleh Patih Mahesa Amping
memang sudah tidak mungkin dicegah lagi.
Di sebuah tempat di tepian sungai Tambak Beras,
terlihat dua pasukan sudah saling berhadap-hadapan,
pasukan Adipati Ranggalawe dan pasukan Rakyan Kebo
167 Arema. Nampaknya Rakyan Kebo Arema sangat mengenal
jalan menuju arah penyeberangan ke Madhura. Telah
memerintahkan pasukannya menunggu di sebuah tepian
sungai Tambak Beras. Pasukan Rakyan Kebo Arema
memang tidak terlalu lama menunggu.
Bukan main terkejutnya pasukan Adipati Ranggalawe
manakala melihat sebuah pasukan Majapahit telah
menunggunya di tepian sungai Tambak Beras. Namun
Adipati Ranggalawe tidak menjadi gentar, terutama
ketika melihat jumlah pasukan Majapahit lebih sedikit dari
pasukannya yang berjumlah sekitar lima ratus orang
prajurit itu. "Ranggalawe, lama kita tidak berjumpa", berkata
Rakyan Kebo Arema kepada Adipati Ranggalawe
"Benar paman Kebo Arema, aku tidak pernah
terpikirkan bahwa kita bertemu berhadapan dan
berseberangan jalan", berkata Adipati Ranggalawe.
"Kamu memang tidak pernah berubah, nyalimu
sangat besar", berkata Rakyan Kebo Arema tersenyum.
Namun bukan watak Adipati Ranggalawe bila tidak
berkata apa yang ada didalam hatinya.
"Yang kutangkap dari perkataan Paman Kebo Arema
bahwa nyaliku tidak sebanding dengan tataran ilmuku,
bukankah begitu?", berkata Adipati Ranggalawe.
"Aku tidak mengatakannya, kamu sendiri yang
berkata demikian", berkata Rakyan Kebo Arema masih
tersenyum. "Sekarang apa yang Paman Kebo Arema inginkan
dariku?", berkata Adipati Ranggalawe.
168 "Mencegahmu bergabung dengan pasukan ayahmu",
berkata Rakyan Kebo Arema.
"Pasukan Paman terlalu sedikit untuk dapat
mencegahku", berkata Adipati Ranggalawe sambil
memberi tanda kepada pasukannya untuk bersiap diri.
"Tidak perlu pasukan besar untuk dapat mencegahmu", berkata Rakyan Kebo Arema yang juga
telah memberi tanda kepada pasukannya untuk bersiap
diri. Akhirnya, pertempuran memang tidak dapat lagi
dihindarkan. Adipati Ranggalawe yang merasa lebih kuat dengan
jumlah pasukannya terlihat sudah memberi tanda kepada
pasukannya untuk maju menerjang pasukan yang telah
menghalangi perjalanan mereka.
"Tunjukkan bahwa kalian prajurit Tuban yang tidak
mudah terhalangi oleh apapun", berkata Adipati
Ranggalawe member semangat kepada pasukannya.
Maka dalam waktu singkat dua pasukan itupun sudah
saling beradu, saling menyerang satu dengan yang
lainnya. Suara gemerincing senjata saling beradu serta
umpatan-umpatan kasar seperti menjadi satu, menjadi
suara peperangan yang sangat mendebarkan hati itu.
Dan pertempuran itu berlangsung di tepian sungai
Tambak Beras seperti sebuah lukisan pemandangan
hidup. Dan pertempuran pun terus bergeser hingga
memenuhi sungai Tambak beras yang jernih berbatu itu.
Beberapa orang terlihat bertempur di sebuah batuan
besar, beberapa orang lagi bertempur dengan setengah
badan terendam air sungai yang sedang pasang di
musim penghujan itu. 169 Dan korban pun mulai berjatuhan dari kedua belah
pihak. Terlihat beberapa orang yang terluka terbawa arus
sungai yang cukup deras itu.
Dalam waktu singkat, jumlah pasukan di kedua belah
pihak telah sama-sama berkurang hingga sampai
setengahnya dari jumlah semula.
Dalam kecamuk perang di atas sungai berbatu itu,
Adipati Ranggalawe melihat Rakyan Kebo Arema
mengamuk seperti seekor singa jantan. Tiap geraknya
selalu berujung kematian. Di tangannya senjata badik
warisan para leluhur Raja Bugis seperti dewa pencabut
nyawa, satu persatu prajurit Tuban yang bentrok
dengannya langsung terlempar dan terluka, kadang
langsung terbawa arus sungai yang deras itu.
"Akulah lawanmu", berkata Adipati Ranggalawe
datang menghadang Rakyan Kebo Arema.
Melihat Adipati Ranggalawe datang menghadangnya,
terlihat Rakyan Kebo Arema tersenyum kecut berdiri
sambil membersihkan darah yang menempel di badiknya
ke lengan bahunya. "Mengapa baru sekarang?" berkata Rakyan Kebo
Arema masih tersenyum di balik matanya yang tajam.
"Aku tidak ingin prajuritku berkurang menjadi
korbanmu", berkata Adipati Ranggalawe dengan keris
yang digenggamnya lebih erat lagi.
"Bagus, kamulah korban terakhirku", berkata Rakyan
Kebo Arema "Kita buktikan siapa jadi korban oleh siapa", berkata
Adipati Ranggalawe sambil langsung menerjang.
Ternyata terjangan Adipati Ranggalawe sangat luar
biasa, serangan dengan tataran tingkat tingginya.
170 Namun Rakyan Kebo Arema bukan patung hidup
yang tidak punya kemampuan, terlihat sudah bergeser
menghindari serangan itu dan sudah langsung balas
menyerang. Melihat lawan telah balas menyerang, Adipati
Ranggalawe sudah langsung berkelit dan menyusul
dengan sebuah serangan balasan.
Demikianlah, serang dan balas menyerang seperti
rangkaian gerak yang datang saling susul menyusul
diantara keduanya semakin lama semakin cepat
membuat pertempuran mereka seperti bayangan yang
saling berkelebat kesana-kemari.
Sementara itu pertempuran antara prajurit Tuban dan
prajurit Majapahit masih juga terus berlangsung, denting
gemerincing suara senjata saling beradu terdengar
berpadu dengan suara gemuruh air sungai Tambak
Beras yang deras membentur bebatuan besar membuat
suasana pertempuran menjadi seperti altar panggung
peperangan yang begitu bergelora, riuh dan ramai.
Dan korban di kedua belah pihak kembali saling
berjatuhan. Keandalan para prajurit Majapahit dalam bertempur
menghadapi prajurit Tuban yang lebih banyak
menjadikan peperangan itu bertahan cukup lama dan
berimbang, belum dapat dinilai siapa yang akan
memenangkan pertempuran di atas sungai Tambak
Beras itu. Air sungai Tambak Beras telah berwarna merah
darah. Sementara pertempuran antara kedua pemimpin
mereka terlihat semakin sengit. Ternyata Adipati
171 Ranggalawe mampu melayani Rakyan Kebo Arema.
Mereka seperti dua raksasa kanuragan tengah
bertempur. Masing-masing telah meningkatkan tataran ilmunya
semakin tinggi, mengeluarkan segala kemampuan dan
kekuatan yang ada di dalam diri masing-masing.
Batu-batu sungai kadang terburai terkena terjangan
kaki mereka. Air sungai kadang mendidih terkena angin sambaran
hawa panas mereka lewat senjata masing-masing.
Adipati Ranggalawe kadang berkelebat seperti
seekor elang jantan mengejar mangsanya, sementara
Rakyan Kebo Arema begitu kuat, kokoh dan sigap
layaknya seekor singa jantan tengah bertarung.
Wajah dan tubuh mereka terlihat sudah basah kuyup
karena terkadang bertempur di bawah air sungai yang
cukup deras itu. Hingga akhirnya, Adipati Ranggalawe tidak mampu
lagi meningkatkan tataran ilmunya, tidak mampu lagi
melampaui kecepatan dan kekuatan Rakyan Kebo
Arema saudara seperguruan Raja Kertanegara dan
murid Empu Dangka itu. Berkali-kali Adipati Ranggalawe terjungkal tercebur
sungai terkena tendangan dan pukulan Rakyan Kebo
Arema yang tidak dapat lagi dihindari.
Namun Adipati Ranggalawe punya semangat tempur
yang tinggi, hatinya sudah membatu tidak ingin
menyerah. Hingga dalam sebuah serangan, Adipati Ranggalawe
telah dibuat mati langkah tidak dapat lagi bergerak
menghindari tusukan badik Rakyan Kebo Arema yang
172 telah meluncur mendekati jantungnya. Tapi dasar Adipati
Ranggalawe sangat keras hati, di saat yang kritis itu telah
membuat sebuah kenekatan untuk mati bersama dengan
melempar kerisnya kearah lambung lawan.
Terkesiap darah Rakyan Kebo Arema
menyangka sama sekali bahwa lawannya
mengambil keputusan mati bersama.
tidak telah Terpikir oleh Kebo Arema untuk menggeliat tubuhnya
menghindari keris yang dengan cepat meluncur kearah
lambungnya. Hanya itu yang ada dalam pikirannya untuk
menyelamatkan dirinya dari serangan bunuh diri Adipati
Ranggalawe itu. Namun belum sempat dirinya untuk memutar
lambungnya, sebuah serangan gelap telah menghantam
pergelangan tangannya terasa pedih membuat
tangannya bergetar dan bergeser sedikit dari arah
serangan tidak menembus jantung lawan, tapi
menembus bahu lawan. Blesss !!! Rakyan Kebo Arema terkejut merasakan sebuah
benda tajam menembus lambungnya.
"Patih Mahesa Amping".", hanya itu yang terucap di
bibirnya manakala matanya yang tajam telah melihat
seseorang berdiri mematung di tepian sungai Tampak
Beras. Ternyata seseorang yang sempat dilihat oleh Rakyan
Kebo Arema itu adalah benar Patih Mahesa Amping.
Patih Mahesa Amping ternyata baru saja datang di
tepi sungai Tambak Beras itu dan melihat keadaan kritis
serangan Rakyan Kebo Arema yang tidak mungkin dapat
dihindari oleh Adipati Ranggalawe. Tidak ada jalan lain
173 bagi Patih Mahesa Amping selain melontarkan tenaga
sakti inti sejatinya lewat sorot matanya yang jarang sekali
dipergunakan bila tidak dalam keadaan darurat dan
terdesak.
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Patih Mahesa Amping hanya mempergunakan
seperlima kekuatannya bermaksud hanya melencengkan
sasaran senjata Rakyan Kebo Arema.
Terlihat Patih Mahesa Amping seperti mematung,
tidak menyangka sama sekali bahwa di saat yang sama
Adipati Ranggalawe telah melakukan tindakan sangat
nekat, mati bersama. Akibatnya seperti telah terjadi, Rakyan Kebo Arema
terkejut tangannya terkena sebuah pukulan gelap
membuat dirinya tidak sempat menggerakkan tubuhnya
menghindari keris Adipati Ranggalawe yang meluncur
dari jarak yang sangat dekat dan sangat cepat itu.
Terlihat Patih Mahesa Amping masih berdiri diam
mematung dan membisu. Sementara Rakyan Kebo Arema perlahan roboh jatuh
diatas batu besar pijakan kakinya.
Terlihat Adipati Ranggalawe masih berdiri dengan
sebuah badik menancap di bahu kirinya. Tapi itu tidak
lama. Tiba-tiba saja tubuhnya limbung jatuh rebah di
sebelah Rakyan Kebo Arema.
Ternyata senjata badik milik Rakyan Kebo Arema
adalah sebuah jenis senjata yang penuh dengan
warangan racun ikan pari yang amat keras, hanya
dengan sebuah goresan kecil saja akan membuat
siapapun dalam hitungan kedipan mata akan mati
dengan darah membiru kehitaman.
Patih Mahesa Amping masih tetap berdiri diam
174 membisu, terlihat matanya telah berkaca-kaca.
Sementara itu beberapa prajurit yang melihat
pemimpin mereka roboh tidak bergerak lagi langsung
mundur menghentikan pertempuran mereka, demikian
menyusul beberapa prajurit ikut menghentikan pertempuran mereka memisahkan diri dalam dua
kelompok yang terpisah namun masih tetap dalam
tingkat kewaspadaan yang tinggi dan menjaga jarak.
Hingga akhirnya tidak ada lagi yang masih bertempur
diatas sungai Tambak Beras itu.
Semua mata memandang kearah Patih Mahesa
Amping yang perlahan bergerak melangkah mendekati
tubuh Rakyan Kebo Arema dan Adipati Ranggalawe
yang rebah bersebelahan itu.
Semua mata masih memandang kearah Patih
Mahesa Amping yang telah mengangkat kedua tubuh
sahabatnya itu di dua pangkal bahunya secara
bersamaan. Semua mata masih memandang kearah Patih
Mahesa Amping yang telah meletakkan kedua tubuh
sahabatnya itu di tepian sungai.
Semua mata masih memandang kearah Patih
Mahesa Amping yang tengah berdiri tegak mematung.
Terlihat sorot mata Patih Mahesa Amping berkilat
memandang berkeliling ke semua prajurit yang baru saja
bertempur itu. Semua prajurit yang baru saja bertempur itu seperti
tidak berani melawan tatapan mata Patih Mahesa
Amping, ada rasa seram, ada rasa gentar menghinggapi
hati semua prajurit yang berdiri di tepian sungai Tambak
Beras itu. 175 "Perang telah berakhir, bawalah oleh kalian mayat
para pemimpin kalian ini ke istana Kadipaten Tuban.
Mulai hari ini kalian dipersatukan kembali sebagaimana
jiwa pemimpin kalian ini yang telah dipersatukan kembali
di akhir kehidupannya ", berkata Patih Mahesa Amping
seperti memudarkan sihir kebekuan yang sangat
mencekam menghinggai hati para prajurit di tepian
sungai Tambak Beras itu. Dan saat sandikala letih di ujung titian malam, terlihat
dua buah tandu keranda diangkat perlahan meninggalkan tepian sungai Tambak Beras. Mengiringi
dua buah tandu keranda itu langkah kuda para prajurit
Majapahit dan prajurit Tuban yang telah membaur tidak
ada jarak, juga hati dan perasaan mereka memang telah
dipersatukan kembali. Hingga akhirnya di sebuah pagi yang dipenuhi
gemilang warna-warni cahaya terang fajar sang surya,
iring-iringan pembawa tandu keranda jenasah dua
pahlawan Majapahit itu telah tiba di batas gerbang kota
Tuban, Iring-iringan pun semakin menjadi panjang
mengantar dua tandu keranda hingga sampai di istana
Kadipaten Tuban. Ribuan warga Tuban berdatangan ikut berbela
sungkawa. Ribuan warga Tuban menundukkan kepala,
manakala dua jenasah pahlawan mereka dikebumikan
dengan sebuah upacara kebesaran, upacara melepas
dua orang pahlawan Majapahit, dua pahlawan di hati
bagi semua orang yang pernah mengenalnya.
Ribuan warga Tuban berduka.
Ribuan warga Tuban mengenangnya sebagai hari
bersatunya kembali Kadipaten Tuban dalam pangkuan
176 kedaulatan Majapahit Raya, berbagi keagungan, berbagi
keadilan dan berbagi cita-cita bersama.
Seribu hari setelah peristiwa itu, kendali pemerintahan di Tuban masih dalam kendali Patih
Mahesa Amping. Perlahan, suasana dan keadaan Tanah Tuban
berangsur-angsur kembali sebagaimana sebelumnya
ketika dipimpin oleh Adipati Ranggalawe,
Atas saran Patih Mahesa Amping, Baginda Raja
Sanggrama Wijaya telah mengangkat Siralawe, putra
Ranggalawe menjadi Adipati Tuban menggantikan
ayahnya. Semua warga Tuban menerima pengangkatan itu,
menerima Adipati Siralawe menjadi pimpinan mereka di
Tuban. Perlahan, peristiwa di tepian sungai Tambak Beras
seperti terlupakan" ?"?"?""..
Panorama di sekitar air terjun Nglirip memang
sungguh indah, memandang tumpahan air terjun jatuh
deras tiada henti menghempas batuan besar dibawahnya
memercikkan butiran-butiran air kabut tipis bagai kapas
terbang. Mata tiada jenuh dan bosan memandang tebing
yang menjulang tinggi dan hutan hijau disekitarnya
membuat hati menjadi sejuk dan damai.
Ketika mata berpaling kebawah, terlihat aliran air
sungai meliuk bagai seekor ular besar menuruni
perbukitan hijau. Turun mengikuti aliran sungai, suara deru air terjun
177 masih terdengar jelas, terlihat sebuah padepokan kecil
dan asri seperti menempel di keindahan alam yang
indah. Padepokan kecil dan asri itu dihuni oleh seorang
biksuni bernama Nyi Ajeng Nglirip. Banyak yang tidak
mengenalnya bahwa wanita itu adalah Gusti Kanjeng
Ratu Gayatri, sang permaisuri Raja Majapahit yang
mengasingkan diri menjadi seorang biksuni.
"Genap sudah kehadiranmu, wahai Gajahmada.
Menggenapi kekhawatiran keluarga di Tanah Ujung
Galuh. Kabarkan kepada keluarga disana, kedamaian
masih selalu menyertai kami", berkata Nyi Ajeng Nglirip
kepada Gajahmada di sebuah pagi manakala anak muda
itu telah bermaksud berpamit diri untuk kembali ke Tanah
Ujung Galuh. "Keluarga di Tanah Ujung Galuh pasti akan senang
mendengarnya", berkata Gajahmada.
"Kami disini pasti tidak sabar menunggu kamu datang
kembali bersama dua orang putriku", berkata Nyi Ajeng
Nglirip dengan wajah bersinar penuh rasa suka cita
membayangkan kedua putrinya datang dan hadir mengisi
hari-hari yang indah bersamanya.
"Gajahmada" berkata Nyi Ajeng Nglirip sambil
meletakkan sebuah kotak hitam di hadapannya.
"Bawalah olehmu mustika Batu Tuban ini untuk
diserahkan kepada Baginda Raja Sanggrama Wijaya.
Aku berharap Mustika Batu Tuban ini akan melengkapi
pusaka istana", berkata kembali Nyi Ajeng Nglirip sambil
membuka kotak hitam di hadapannya itu.
Terkesiap darah Gajahmada manakala melihat
sebuah telur hijau yang cukup besar di dalam kotak hitam
itu. 178 "Hamba merasa tersanjung setinggi langit, membawa
dan menyerahkan benda keramat ini kehadapan Baginda
Raja Sanggrama Wijaya", berkata Gajahmada setelah
menerima kotak hitam itu dari tangan Nyi Ajeng Nglirip.
Demikianlah, pagi itu terlihat Gajahmada telah
menuruni tangga panggung pendapa Padepokan diiringi
pandangan mata Nyi Ajeng Nglirip dan murid
terkasihnya, Biksuni Andini.
Kehadiran Gajahmada di Padepokan Nyi Ajeng
Nglirip adalah untuk memastikan bahwa peperangan
antara Tuban dan Majapahit tidak merambat di
padepokan itu. Meski Nyi Ajeng Nglirip dan semua penghuni
Padepokannya dapat diandalkan untuk melindungi diri
sendiri, namun kehadiran anak muda itu telah membuat
suasana lebih terjaga lagi.
Selama tinggal di padepokan Nyi Ajeng Nglirip, anak
muda itu masih sempat berkeliling di sekitar Tanah
Tuban, mengamati suasana dan keadaan disana,
bahkan diam-diam menyaksikan dari jauh upacara
penobatan putra Ranggalawe menjadi Adipati Tuban.
Selama tinggal di Padepokan itu, kadang Gajahmada
menyempatkan dirinya mengasah dan mengenali seluruh
kemampuan dan kekuatan dirinya, mengasingkan diri di
dalam goa air terjun Nglirip. Pengenalan dan
pengendalian tenaga inti sejati yang dimiliki oleh anak
muda itu memang menjadi semakin mumpuni, namun
semua itu menjadikan Gajahmada semakin mengakui
kekerdilan dirinya dihadapan sang maha kuasa, semakin
banyak lagi perihal pelik dan rahasia yang tidak
terjangkau dalam alam akal dan kesadarannya.
Terlihat langkah kaki Gajahmada telah menyusuri
179 sungai air terjun Nglirip semakin jauh, deru yang selalu
bergemuruh dari suara air terjun sudah tidak terdengar
lagi. Di perbukitan yang sepi, anak muda itu kadang
seperti melesat terbang tidak menyentuh tanah menguji
kemampuan ilmu meringankan tubuhnya.
Gajahmada kali ini memang sangat menikmati
perjalanannya menuju Tanah Ujung Galuh, orang biasa
mungkin perlu waktu sekitar tiga hari tiga malam
perjalanan. Sementara anak muda itu dengan
kemampuan ilmunya yang tinggi hanya perlu waktu
sekitar sehari semalam perjalanan.
Siang itu, Gajahmada telah berada di sebuah
padukuhan yang berseberangan dengan Tanah Ujung
Galuh terpisah oleh sungai Kalimas.
"Nampaknya kita sering berjodoh, bertemu diatas
rakit ini", berkata seorang tua tersenyum menyapa
Gajahmada yang bersamanya diatas rakit yang
membawa mereka menyeberang.
"Benar Ki Sanepo", berkata Gajahmada kepada
orang tua itu yang dikenalnya bernama Ki Sanepo yang
tinggal di padukuhan Tanah Ujung Galuh.
"Singgahlah ke gubukku, beberapa pohon nangkaku
sudah tua dan wangi", berkata Ki Sanepo kepada
Gajahmada ketika rakit yang membawa mereka telah
sampai di pinggir seberang Tanah Ujung Galuh.
"Jagalah buah nangkamu, semoga aku datang tidak
didahului codot buah", berkata Gajahmada ketika mereka
berpisah di persimpangan jalan.
Terlihat langkah kaki Gajahmada telah memasuki
pekarangan halaman muka pura Pasanggrahan
180 Jayakatwang. Gembira hati para penghuni keluarga Jayakatwang
melihat Gajahmada telah datang kembali.
Belum sempat bersih-bersih diri, Gajahmada sudah
diberondong dengan berbagai macam pertanyaan.
Gajahmada menyampaikan bahwa peperangan di
Tuban tidak merambat di Padepokan Nyi Ajeng Nglirip
dan suasana di Tuban telah kembali tenteram dan damai
sebagaimana sebelum peperangan terjadi.
"Apakah itu pertanda kami dapat menemui ibunda?",
berkata Dyah Wiyat sambil tersenyum gembira.
Jayakatwang juga bercerita kepada Gajahmada
bahwa beberapa hari yang telah lewat, Patih Mahesa
Amping telah singgah sebelum berangkat ke Kediri dan
bercerita telah bertemu dengan seorang cucuku yang
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ternyata masih hidup dan selamat dalam peristiwa amuk
perang pasukan Mongol beberapa tahun silam diasuh
oleh seorang pendeta suci istana Singasari bernama
Empu Pranata. "Bila saja kami punya sayap, ingin rasanya terbang
menemui cucuku itu" berkata Jayakatwang menyampaikan perasaan hatinya.
"Bilamana diijinkan, biarlah hamba yang datang
menemuinya, membawanya di Tanah Ujung Galuh ini
agar dapat menemui kakek dan neneknya", berkata
Gajahmada menyampaikan kesanggupannya mengantar
cucu Jayakatwang ke Tanah Ujung Galuh.
Gembira hati Jayakatwang dan Nyimas Turukbali
mendengar kesanggupan dari Gajahmada, mereka
membayangkan akan menemui cucu keturunan satusatunya dari mereka yang ternyata masih hidup dan
181 selamat, putra Pangeran Ardharaja.
"Kapan kami diantar ke Tuban?", bertanya Dyah
Wiyat membuat semua mata menoleh kepadanya.
"Kakang Gajahmada mu baru tiba", berkata Nyimas
Turukbali sambil mempersilahkan Gajahmada untuk
bersih-bersih di pakiwan.
Demikianlah, setelah hari menjelang sore, seperti
biasa Dyah Gajatri dan Dyah Wiyat berlatih di halaman
pura ingin menunjukkan kemajuan mereka di hadapan
guru mereka, Gajahmada. Gembira hati Gajahmada melihat perkembangan olah
kanuragan kedua putrid itu yang semakin pesat.
Nampaknya Jayakatwang dan Nyimas Turukbali kadang
ikut membantu mereka memberikan arahan-arahan.
Dalam kesempatan itu, Gajahmada telah mengatakan kepada Jayakatwang bahwa dirinya
dititipkan sebuah benda mustika batu Tuban untuk
diserahkan langsung kepada Baginda Raja Sanggrama
Wijaya. "Benda mustika itu akan melengkapi perbendaharaan
pusaka istana", berkata Jayakatwang.
"Besok hamba akan menemui Patih Mangkubumi
untuk mengantar hamba menemui Baginda Raja",
berkata Gajahmada menyampaikan rencananya.
"Benda itu jangan terlalu lama di bawah atap tempat
tinggalku, akan menggoda hasratku untuk kembali
berada diatas singgasana", berkata Jayakatwang sambil
tersenyum. Demikianlah, keesokan harinya pagi-pagi sekali
Gajahmada sudah berpamit diri kepada Jayakatwang
untuk berangkat ke Kotaraja Majapahit.
182 Di istana Majapahit, Gajahmada mendatangi pura
pasanggrahan Patih Mangkubumi.
"Aku akan mengantarmu, kebetulan sekali aku juga
punya beberapa kepentingan disana", berkata Patih
Mangkubumi ketika Gajahmada menyampaikan maksudnya untuk mengantarkan Mustika Batu Tuban
kepada Baginda Raja Sanggrama Wijaya.
Jilid 3 WAJAH penguasa tunggal Majapahit itu terlihat
begitu cerah manakala menyambut kedatangan
Gajahmada dan Patih Mangkubumi di pura pasanggrahannya, pura Kartika.
"Melihat wajahmu, aku menjadi iri dan ingin kembali
muda lagi agar dapat pergi berkelana ke berbagai
banyak tempat yang belum pernah kusinggahi", berkata
Baginda Sanggrama Wijaya.
"Gusti Kanjeng Ratu Gayatri menitipkan salam
kepada tuanku Baginda", berkata Gajahmada
Mendengar perkataan itu telah membuat hati Baginda
Raja Sanggrama menjadi terharu, dan bertanya keadaan
istrinya itu di Tanah Tuban.
Bukan main gembira hati Baginda Sanggrama Wijaya
mendengar langsung penuturan tentang keadaan istrinya
itu yang telah mengasingkan diri, telah memilih jalan
hidupnya menjadi seorang biksuni.
"Gusti Kanjeng Ratu Gayatri dalam keadaan sehat
tidak kurang apapun, dan telah menitipkan sebuah
Mustika Batu Tuban kepada diserahkan kepada tuanku
Baginda", berkata Gajahmada sambil mengeluarkan
sebuah kotak hitam dan menyerahkannya dihadapan
183 Baginda Raja Sanggrama Wijaya.
"Mustika batu Tuban?", berkata Baginda Sanggrama
Wijaya sambil membuka kotak hitam itu.
"Konon banyak orang mencarinya sebagai wahyu
keraton", berkata Patih Mangkubumi manakala ikut
melihat Mustika Batu Tuban yang terlihat memancarkan
cahaya perbawa tersendiri dari dalam kotak kayu hitam
itu. "Lengkaplah sudah pusaka istana Majapahit ini, dari
bumi selatan aku telah menerima keris Nagasasra
warisan leluhur Raja Erlangga, dari belahan bumi barat
aku telah mewarisi bunga Wijaya Kusuma dari Prabu
Guru Darmasiksa. Dan hari ini dari pesisir belahan utara,
kuterima Mustika Batu Tuban. Semoga cahaya wahyu
keraton akan semakin menyinari singgasana Majapahit
ini", berkata Baginda Raja
Sebelum berpamit diri, Gajahmada juga menyampaikan rencananya yang akan berangkat
kembali ke Tuban untuk mengantar kedua putri Baginda
Raja Sanggrama Wijaya sesuai permintaan Gusti
Kanjeng Ratu Gayatri. "Kurestui kepergianmu bersama kedua putriku itu ke
Tanah Tuban, semoga membawa kebahagiaan hati
seorang ibu", berkata Baginda Raja dengan mata seperti
berkaca-kaca terharu dan mengerti sebuah kerinduan
seorang ibu jauh dari kedua putrinya itu, sebagaimana
dirinya yang juga terkadang punya kerinduan yang sama
untuk berada diantara mereka bertiga, diantara Gajatri,
Wiyat dan Ratu Gayatri. "Sampaikan salam dan kerinduanku kepada mereka",
hanya itu yang dikatakan oleh Baginda Raja Sanggrama
Wijaya manakala melepas Gajahmada yang berpamit diri
184 meninggalkan Pura Kartika.
Terlihat Gajahmada telah keluar dari gerbang istana
Majapahit, namun langkahnya terlihat berhenti di sebuah
barak prajurit. "Masuklah, ibumu ada di dalam", berkata seorang
prajurit wanita yang ditemui Gajahmada di muka gerbang
barak prajurit itu. Bukan main gembiranya hati Nyi Nariratih melihat
putra tunggalnya datang menemuinya.
Setelah menyampaikan keselamatan masing-masing,
Gajahmada bercerita banyak tentang kepergiannya di
Tanah Tuban disaat daerah itu tengah bergejolak. Juga
bercerita tentang Mustika Batu Tuban yang dititipkan dari
Gusti Kanjeng Ratu Gayatri untuk diserahkan langsung
kepada Baginda Raja Sanggrama Wijaya.
"Secara tidak langsung, kamu sudah menjadi orang
kepercayaan keluarga istana. Tidak sembarang orang
dapat keluar masuk istana bertemu langsung dengan
Baginda Raja. Tidak sembarang orang dapat
kepercayaan dari Baginda Raja langsung untuk
melaksanakan sebuah tugas rahasia mengamati daerah
lawan di Tuban. Dan kamu telah membawa sendiri benda
wahyu keraton, Mustika Batu Tuban yang sangat ingin
diminati oleh banyak orang, titipan Gusti Kanjeng Ratu
Gayatri untuk diserahkan langsung kepada Baginda
Raja. Sungguh aku sebagai seorang ibu sangat merasa
bahagia mendengar semua ceritamu, wahai putraku",
berkata Nyi Nariratih sambil tersenyum, masih terlihat
kecantikannya di usia yang sudah mulai memasuki masa
tuanya itu. Terlihat Gajahmada tersenyum menatap wajah
ibunya yang tidak pernah berubah penuh kasih cinta
185 namun masih menganggapnya sebagai seorang anak
lelaki kecil dihadapannya.
"Putramu mohon restumu, aku akan berangkat
kembali ke Tuban dalam waktu dekat ini mengantar Dyah
Gajatri dan Dyah Wiyat", berkata Gajahmada kepada
ibunya. "Ibumu merestui, wahai putraku. Merestui perjalananmu", berkata Nyi Nariratih kepada Gajahmada.
Terlihat Gajahmada telah berpamit diri dihadapan
ibunya, dan telah keluar dari barak prajurit khusus itu,
prajurit pasukan Srikandi. Sebuah pasukan yang sangat
disegani kesatuan lainnya di Majapahit itu, karena
memiliki banyak prajurit wanita memiliki keunggulan
tingkat kemampuan olah kanuragan yang cukup tinggi
dibandingkan para prajurit lelaki. Hal ini karena para
prajurit wanita itu selalu dibina dan dibimbing langsung
oleh seorang wanita perkasa, Nyi Nariratih.
Ketika sampai di Tanah Ujung Galuh, Gajahmada
terlihat tidak langsung menuju ke pura pasanggrahan
Jayakatwang, melainkan menuju kearah sebuah
padukuhan. "Penciumanmu sangat tajam sekali, buah nangkaku
memang sudah menjadi wangi dan tua", berkata Ki
Sanepo menyambut kedatangan Gajahmada di
rumahnya. Demikianlah, Ki Sanepo telah membawa Gajahmada
ke ladangnya untuk memetik beberapa buah nangka
yang memang sudah matang di pohon.
"Sampaikan salamku kepada tuan Jayakatwang",
berkata Gajahmada ketika bermaksud untuk pamit diri
setelah membantu memetik banyak buah nangka di
186 ladang Ki Sanepo. "Salam Ki Sanepo akan kusampaikan, keluarga tuan
Jayakatwang akan sangat gembira menerima buah
tangan ini darimu", berkata Gajahmada kepada Ki
Sanepo. "Anak muda yang perkasa", berkata Ki Sanepo dalam
hati ketika Gajahmada keluar dari pagar rumahnya.
Ketika tiba di pura Jayakatwang, semua penghuni
pura menikmati buah tangan yang dibawa oleh
Gajahmada. "Ki Sanepo sangat baik sekali", berkata Jayakatwang
"Mungkin karena setiap hari manis Galungan kita
selalu mengunjunginya", berkata Nyimas Turukbali
Akhirnya Gajahmada bercerita bahwa Baginda Raja
Sanggrama Wijaya merestui keberangkatan Dyah Gajatri
dan Dyah Wiyat menemui ibunya di Tuban.
Gembira hati Dyah mendengar kabar itu. Gajatri dan Dyah Wiyat "Kapan kita berangkat ke Tuban?", bertanya Dyah
Wiyat kepada Gajahmada. Terlihat Gajahmada tersenyum, mengarahkan
pandangannya kearah Jayakatwang seperti mengatakan
bahwa keputusan berada di tangan Jayakatwang.
"Aku merestui keberangkatan kalian, pertimbangkanlah, apakah lewat jalur laut atau jalur
darat?", berkata Jayakatwang.
"Aku pilih lewat jalur laut, belum pernah aku
merasakan naik Jung Majapahit yang besar itu", berkata
Dyah Wiyat. 187 "Aku memilih lewat jalur darat, Kakang Gajahmada
pernah mengatakan bahwa perjalanan menuju Tuban
sangat indah pemandangannya", berkata Dyah Gajatri.
"Keputusan berada di tangan Gajahmada, karena
dialah yang akan mengantar kalian sampai di Tuban",
berkata Jayakatwang memberikan jalan keluar.
Semua mata saat itu beralih kearah Gajahmada.
Lama Gajahmada tidak segera memberikan jawaban,
hanya matanya terlihat memandang kedua putrid itu
bergantian. Akhirnya Gajahmada
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memberikan keputusannya. "Aku akan memilih jalan darat", berkata Gajahmada.
Sontak Dyah Gajatri melompat kegirangan.
Sementara Dyah Wiyat terlihat bermuka masam.
"Lewat jalur manapun, bukankah yang terpenting
bagimu dapat menemui ibundamu?", berkata Nyimas
Turukbali menghibur Dyah Wiyat.
"Nenek Turukbali benar, yang penting aku dapat
menemui ibunda", berkata Dyah Wiyat sudah dapat
tersenyum kembali. Demikianlah, di sebuah hari yang menurut
perhitungan sebagai hari yang baik untuk melakukan
sebuah perjalanan jauh, pagi-pagi sekali terlihat
Gajahmada, Dyah Gajatri dan Wiyat telah berkemas
untuk melakukan sebuah perjalanan menuju Tanah
Tuban. Kedua putri Majapahit itu terlihat sudah mengenakan
pakaian wanita biasa agar tidak menjadi perhatian orang,
terutama orang-orang jahat.
"Kutitipkan kedua cucuku ini kepadamu", berkata
188 Nyimas Turukbali kepada Gajahmada.
"Sampaikan salam kami kepada kemenakanku,
Gayatri", berkata Jayakatwang sambil menepuk bahu
Gajahmada merasa yakin bahwa dengan tingkat
kemampuan ilmu yang dimiliki oleh anak muda itu, tidak
ada seorang pun dapat berbuat kurang baik kepada
kedua cucu luarnya itu. Terlihat wajah Nyimas Turukbali seperti tidak kuasa
menahan kesedihannya, manakala melihat Gajahmada,
Dyah Gajatri dan adiknya itu telah keluar dari regol
gerbang pintu halaman pura.
Ketika mereka bertiga menghilang di balik dinding
pagar halaman, Nyimas Turukbali seperti tidak kuasa
menahan kesedihannya, memalingkan wajahnya dan
berlari masuk ke ruang dalam.
Tertinggal Jayakatwang seorang diri duduk di atas
pendapa sambil memandang jauh ke muka halaman
pura. Yang dipikirkannya adalah hari-hari setelah hari itu.
Kedua putri Majapahit itu sudah cukup lama meramaikan
suasana kediaman mantan penguasa Kediri itu,
mengobati luka pedih kehilangan putra tunggal mereka,
Pangeran Ardharaja. Sementara itu, Gajahmada, Dyah Gajatri dan adiknya
saat itu telah menyeberangi sungai Kalimas menyusuri
sebuah jalan padukuhan. Matahari belum tinggi ketika
mereka telah mendekati sebuah perbukitan.
"Pemandangan disini begitu indah", berkata Dyah
Wiyat sambil memandang berkeliling manakala mereka
sudah berada diatas puncak perbukitan itu.
"Kita beristirahat di bawah keteduhan pohon besar
itu", berkata Gajahmada sambil menunjuk kearah sebuah
189 pohon yang hidup tumbuh diatas sebuah perbukitan.
Terlihat mereka telah membuka bekal yang mereka
bawa dari Tanah Ujung Galuh.
Setelah merasa cukup lama beristirahat, terlihat
mereka bertiga telah kembali melangkah, melanjutkan
kembali perjalanan mereka menuju arah Tanah Tuban.
Hingga ketika hari mulai mendekati malam, mereka
belum juga mendekati sebuah padukuhan. Gajahmada
telah memutuskan untuk bermalam di sebuah tanah
lapang yang dipenuhi banyak batu besar sekedar
melindungi tubuh mereka tidak terkena dinginnya angin
malam. "Batu bernyanyi", berkata Gajahmada sambil
mengajak kedua putri itu mendekati sebuah batu yang
panjang seperti sengaja dipahat bagian atasnya.
Terlihat Gajahmada mengambil sebuah batu dan
memukulkan beberapa kali diatas batu panjang itu.
Bukan main gembiranya kedua putri itu mendengar
batu itu berbunyi seperti suara bende di pukul dan
bergema memantul kembali dari tebing didepan mereka.
Bergantian Dyah Gajatri dan Dyah Wiyat saling
bergantian memukul batu panjang itu telah membuat
Susana malam di tanah lapang berbatu itu tidak menjadi
sepi lagi. Namun tiba-tiba saja Dyah Gajatri dan Dyah Wiyat
melepas batu pemukul dan mundur beberapa langkah
didekat Gajahmada. Ternyata dihadapan mereka muncul
entah dari mana sekelompok orang-orang liar dengan
mata yang buas memandang mereka bertiga
sebagaimana memandang seekor binatang buruan.
Gajahmada memang pernah mendengar bahwa
190 masih ada orang liar disekitar perjalanan antara Tanah
Ujung Galuh dan Tuban. Mereka orang-orang liar itu
masih menganggap orang diluar lingkungan mereka
sebagaimana binatang buruan yang dapat dimangsa.
Dyah Wiyat menjadi begitu ketakutan, tidak
menyangka bahwa di perjalanan yang dibayangkan
dipenuhi pemandangan yang indah, ternyata menemui
orang-orang liar yang sangat menakutkan itu.
Sementara itu Dyah Gajatri lebih cepat mengendalikan dirinya dengan sikap penuh ketenangan.
Inilah yang membedakan gadis ini dengan wanita lain
pada umumnya yang lebih banyak bermain dengan
perasaannya ketimbang akal sehatnya. Sikap tanggap
mengambil dan menyikapi setiap keadaan dengan cepat
memang sudah tumbuh sebagai bakat lahirnya.
"Jangan takut, biarlah aku yang akan menghadapi
mereka dengan caraku", berkata Gajahmada sambil
melompat berdiri didepan batu panjang, batu berbunyi.
Dung"!!! Dung"!!! Terlihat Gajahmada telah memukul batu berbunyi itu
beberapa kali. Terlihat orang-orang liar itu mundur beberapa
langkah sambil memegang dada mereka. Ternyata
Gajahmada telah mateg aji setara dengan Ajian Gelap
Ngampar yang hanya ditujukan kepada orang-orang liar
itu dan tidak berdampak apapun kepada Dyah Gajatri
dan Dyah Wiyat yang berada di belakangnya.
Kembali Gajahmada memukul batu berbunyi itu, lebih
keras lagi membuat orang-orang liar itu mundur kembali
beberapa langkah lebih jauh.
191 Dan manakala Gajahmada meningkatkan daya
tenaga inti sejatinya lewat tataran Ajian Gelap
Ngamparnya, terlihat orang-orang liar itu sudah berlari
menjauh sambil menutup rapat-rapat telinga mereka dan
menghilang di kegelapan malam.
Terlihat Gajahmada telah berbalik badan menghadap
kearah Dyah Gajatri dan Dyah Wiyat.
"Apa yang telah Kakang perlakukan terhadap
mereka?", bertanya Dyah Gajatri merasa heran melihat
orang-orang liar itu berlari ketakutan sambil menutup
rapat-rapat telinga mereka.
"Pada saatnya tuan Putri akan mengetahuinya, yang
jelas sekarang mereka tidak akan kembali dalam waktu
yang lama", berkata Gajahmada sambil mengajak kedua
putrid itu mencari tempat yang paling baik diantara
bebatuan untuk beristirahat bermalam di tempat itu.
"Tidurlah, aku yang akan menjaga kalian", berkata
Gajahmada kepada kedua putri itu ketika sudah
mendapatkan sebuah tempat yang baik yang melindungi
mereka dari dinginnya angin malam.
"Mengapa kamu belum juga dapat tertidur, anak
manis", berkata Gajahmada kepada Dyah Wiyat yang
terlihat belum dapat memejamkan matanya, sementara
disebelahnya Dyah Gajatri sudah pulas tertidur.
"Aku takut orang-orang liar itu datang kembali",
berkata Dyah Wiyat. "Mereka sama seperti kita, punya kepala untuk
berpikir, juga rasa takut", berkata Gajahmada sambil
tersenyum mengerti apa yang dirasakan dan dipikirkan
oleh Dyah Wiyat."Hamba yakin bila tuan putri punya
sedikit ketenangan, sepuluh orang seperti mereka pasti
192 tidak mudah untuk menangkap tuanku putri", berkata
kembali Gajahmada. "Benarkah?", berkata Dyah Wiyat seperti tidak
percaya. "Hamba berkata yang sebenarnya, bukan untuk
sekedar membesarkan hati tuan putri", berkata
Gajahmada. Setelah itu gadis itu terlihat baru bisa memejamkan
matanya. Gajahmada terlihat tersenyum melihat kedua
gadis itu telah tertidur pulas.
Sambil bersandar, Gajahmada melemaskan ototototnya untuk beristirahat. Meski terlihat matanya telah
terpejam, tapi tetap siaga dengan pendengarannya yang
sangat luar biasa. Keesokan harinya kedua gadis itu terbangun telah
mencium harum daging bakar.
Ternyata Gajahmada telah membuat perapian dan
memanggang tiga buah daging burung yang gemukgemuk.
"Pagi-pagi sekali kulihat beberapa burung masih
bersembunyi di celah-celah batu", berkata Gajahmada.
"Burung apa?", bertanya Dyah Gajatri ingin tahu.
"Aku tidak tahu nama jenis burung itu, yang kutahu
pasti bahwa burung itu pasti nikmat untuk sarapan pagi
kita", berkata Gajahmada sambil tertawa.
"Aku namakan burung batu", berkata Dyah Wiyat
"Mengapa dinamakan burung batu?", bertanya Dyah
Gajatri "Karena tidur di batu", berkata Dyah Wiyat ditanggapi
193 tawa Gajahmada dan kakaknya.
Demikianlah, mereka terlihat tengah menikmati
daging panggang burung itu tanpa mempersoalkan lagi
nama burung itu. Namun belum selesai mereka menikmati sarapan
pagi itu, terlihat kembali lima orang liar telah mendatangi
mereka. Wajah mereka masih belum bersahabat, terlihat
sangat menakutkan dengan wajah kotor serta rambut
yang tebal terurai. "Semalam kakang Gajahmada mengatakan bahwa
aku sanggup menghadapi sepuluh orang seperti mereka
itu?", bertanya Dyah Wiyat meminta pertimbangan dari
Gajahmada. "Mereka hanya berlima", berkata Gajahmada sambil
menganggukkan kepalanya sebagai jawaban kepada
Dyah Wiyat. Maka tanpa bertanya dua kali kepada Gajahmada,
terlihat gadis itu sudah langsung berdiri dan melompat
dihadapan kelima orang liar itu.
"Ayo, tangkaplah aku", berkata Dyah Wiyat sambil
bertolak pinggang menantang kelima orang liar itu.
Nampaknya kelima orang liar itu tidak mengerti
perkataan Dyah Wiyat, tapi tahu apa yang harus mereka
berlima lakukan. Terlihat kelima orang itu sudah bergerak mengepung
Dyah Wiyat. Melihat adiknya dikepung oleh kelima orang liar itu,
Dyah Gajatri menjadi begitu khawatir.
"Jangan khawatir, aku akan tetap mengawasinya",
berkata Gajahmada mengerti apa yang dipikirkan oleh
194 Dyah Gajatri sambil matanya tetap mengawasi keadaan
Dyah Wiyat yang telah dikepung oleh lima orang liar itu.
Entah mengapa, kepada anak muda itu Dyah Gajatri
begitu percaya dan merasa terjaga. Dirinya tidak merasa
khawatir lagi, seperti Gajahmada, matanya tidak berkedip
melihat perkembangan selanjutnya.
Terlihat Dyah Gajatri menarik nafas lega, manakala
melihat adiknya dapat lepas dari terkaman salah seorang
penyerangnya, bahkan dengan sebuah tendangan telah
dapat menjatuhkan lawannya.
Terlihat Dyah Gajatri menahan nafasnya manakala
dua orang berbarengan ingin menangkap adiknya.
Namun Dyah Wiyat dengan tangkas dan gesit dapat
keluar dari kepungan itu bahkan telah balas menyerang
dengan sebuah tendangan dan pukulan yang sangat jitu
mengenai lawannya yang langsung tersungkur.
Terlihat Dyah Gajatri sudah dapat tersenyum
manakala melihat adiknya yang nakal itu telah membuat
kelima orang liar itu jatuh bangun beberapa kali terkena
tendangan dan pukulan Dyah Wiyat.
"Orang-orang itu punya tenaga seperti banteng, coba
kamu cari sasaran kelemahan tubuh mereka", berkata
Gajahmada di luar arena memberikan arahan kepada
Dyah Wiyat. Nampaknya Dyah Wiyat adalah seorang gadis yang
cerdas, langsung mencerna perkataan Gajahmada.
Terlihat beberapa kali Dyah Wiyat telah berhasil
memukul bagian tubuh mereka di bagian yang sangat
lemah. Akibatnya, sudah ada tiga orang liar terlihat jatuh dan
tidak kuat berdiri kembali.
195 Melihat tiga orang kawannya sudah terjatuh dan tidak
kuat berdiri kembali, dua orang sisa lawannya itu terlihat
mulai jerih dan mundur beberapa langkah.
"Mengapa mundur?", berkata Dyah Wiyat sambil
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bertolak pinggang merasa bangga sekali.
Terlihat Gajahmada maju mendekati tiga orang liar
yang tidak mampu berdiri itu.
Hanya dengan beberapa tepukan, ketiga orang itu
seperti merasakan bagian tubuhnya yang nyeri langsung
hilang. Terlihat ketiga orang liar itu telah berdiri dan mundur
beberapa langkah mendekati dua orang kawannya. Dan
tanpa berkata apapun, kelima orang itu langsung berbalik
badan lari menghilang di kerimbunan semak dan
bebatuan. "hari ini tuan putri sudah dapat pengalaman
menggunakan jurus-jurus kanuragan dengan semestinya", berkata Gajahmada sambil tersenyum.
"Tubuh mereka seperti kulit badak, sangat keras
sekali", berkata Dyah Wiyat sambil memegang jari
jemarinya yang masih terasa nyeri.
"Tuan putri beruntung, mereka tidak punya
kemampuan dasar olah kanuragan", berkata Gajahmada
kepada Dyah Wiyat. Mendengar perkataan Gajahmada, terlihat Dyah
Wiyat langsung merenung. "Pada suatu saat kalian akan berhadapan dengan
orang yang mengerti olah kanuragan dalam jenis yang
berbeda dari garis perguruan kita", berkata kembali
Gajahmada. 196 Banyak pertanyaan dari Dyah Gajatri dan Dyah Wiyat
menyangkut hal yang dikatakan oleh Gajahmada.
"Yang terpenting adalah bahwa kalian dapat menjaga
nalar, jangan terpancing kemarahan yang akan membuat
kalian kehilangan nalar dan budi", berkata Gajahmada
memberikan pengarahan kepada kedua putri bimbingannya itu. Akhirnya terlihat mereka sudah berkemas-kemas
kembali untuk melanjutkan perjalanan menuju Tanah
Tuban. Kedua putri Majapahit itu nampaknya menikmati
perjalanan mereka. Ketika matahari sudah mulai meninggi, mereka
bertiga terlihat sudah mendekati sebuah padukuhan yang
tengah melaksanakan panen raya.
Kehadiran mereka bertiga di padukuhan itu dianggap
dan dikira sebagai para penderep, para pendatang dari
padukuhan lain yang ikut bekerja membantu memotong
padi dengan imbalan upah beberapa ikat padi. Biasanya
para pendatang itu membawa keluarga mereka sambil
menunggu panen padi di padukuhan mereka sendiri.
Atau juga di padukuhan mereka masih dalam musim
paceklik, atau gagal panen di musim sebelumnya.
Namun seperti biasa, disaat panen raya itu ada saja
para penjahat kambuhan dari tempat jauh ikut
mendulang kesempatan diatas kesusahan dan keringat
orang lain. Gajahmada, Dyah Wiyat dan Dyah Gajatri tidak
sengaja mendengar percakapan di sebuah tanah
bulakan yang sepi. "Di musim yang lalu kami gagal panen, jadi hanya
padi ini yang kami miliki untuk makan sekeluarga
197 menunggu panen padi kami yang masih lama", berkata
seorang tua kepada seseorang yang berwajah garang.
"Jangan pelit, masih ada banyak keluarga yang
memerlukan tenaga kalian", berkata orang berwajah
garang itu sambil menendang orang tua itu hingga
tersungkur di tanah. Terlihat dua anak lelaki yang berusia masih remaja
membantu orang tuanya bangkit berdiri. Sementara
orang yang berwajah garang tanpa rasa belas kasihan
telah mengambil sepikul padi milik orang tua itu dan
langsung melangkah pergi diiringi dua orang anak
buahnya. Baru saja orang yang berwajah garang bersama
kedua anak buahnya berjalan beberapa langkah, terlihat
seorang gadis muda jelita telah menghadang mereka.
Ternyata gadis muda itu adalah Dyah Gajatri yang
tersentuh hatinya melihat milik orang tua itu dirampas
dengan cara paksa. "Serahkan milik orang tua itu", berkata Dyah Gajatri
dengan wajah penuh kebencian.
"Ada gadis cantik datang ingin menjadi pahlawan",
berkata orang berwajah garang itu sambil tertawa
panjang diikuti oleh kedua kawannya itu.
"Serahkan kembali milik orang tua itu, atau kubuat
gigi depanmu rontok", berkata Dyah Gajatri merasa muak
melihat orang berwajah garang itu masih saja tertawa.
"Jangan galak-galak anak manis", berkata orang
berwajah garang itu sambil tangannya menjulur ingin
menyentuh dagu Dyah Gajatri.
Sial rupanya orang yang berwajah garang itu, belum
sampai tangannya menyentuh dagu Dyah Gajatri, tiba198
tiba saja gadis itu telah melepaskan tamparan yang
cukup keras kearah wajah orang itu.
Plokk !!!! Orang berwajah garang itu telah merasakan sebuah
giginya tanggal, darah segar terlihat dibibirnya.
"Aku sangat senang dengan perempuan galak, bantu
aku menangkap perempuan ini", berkata orang berwajah
garang itu kepada kedua kawannya.
Maka seketika itu juga Dyah Gajatri sudah terkepung
oleh ketiga orang lelaki dengan sinar mata menjijikkan
dalam pandangan mata Dyah Gajatri.
Untung saja Dyah Gajatri teringat pesan Gajahmada
untuk menjaga perasaan amarahnya agar tidak terlepas
daya nalarnya. Dan dengan nalar yang masih tetap
terjaga serta pengendalian diri yang tinggi, Dyah Gajatri
telah siap menghadapi kepungan ketiga orang itu.
"Sial !!", berkata orang berwajah garang itu ketika
tangannya tidak dapat menangkap Dyah Gajatri bahkan
sebuah tendangan keras telah menghantam pinggangnya. Terlihat orang berwajah garang itu tersungkur
beberapa langkah kesamping. Melihat orang yang
berwajah garang itu tersungkur, bergantian kedua
kawannya bersamaan mencoba menangkap Dyah
Gajatri. Dengan cepatnya Dyah Gajatri berkelit sambil
sebuah tangannya bergerak cepat menghantam leher
salah seorang lawannya itu. Orang yang terkena pukulan
tangan Dyah Gajatri langsung terbanting, rupanya Dyah
Gajatri memukulnya dengan sangat keras sekali.
Tinggal satu orang lagi yang merasa penasaran
199 menganggap kedua kawannya itu hanya lengah sedikit.
Maka tidak tanggung-tanggung orang itu telah menubruk
Dyah Gajatri dengan kedua tangannya.
Sangat indah sekali Dyah Gajatri menghadapi
tubrukan orang itu, hanya dengan bergeser sedikit
kesamping dan merendahkan tubuhnya, sebuah kaki
Dyah Gajatri berputar begitu kencang langsung
menghantam kaki belakang lawannya. Akibatnya
sungguh menggelikan, orang itu langsung terjatuh
dengan ekor tulang belakang membentur tanah keras.
Dyah Wiyat yang melihat itu langsung menutup
mulutnya menahan rasa geli di hatinya. Namun Dyah
Wiyat harus menahan nafasnya, melihat ketiga orang
lawan Dyah Gajatri sudah bersamaan berdiri mengepung
kakaknya, kali ini tidak lagi bermaksud menangkapnya
tapi ingin menghajar gadis manis yang dianggap sangat
galak itu. Maka dalam waktu yang singkat, telah terjadi
perkelahian yang sangat seru, seorang gadis dikeroyok
oleh tiga orang lelaki. Nampaknya ketiga lelaki itu punya
dasar kanuragan yang cukup, namun mereka tidak
menduga telah berhadapan dengan seorang putri
Majapahit yang sudah cukup terlatih.
Untungnya Dyah Gajatri sering berlatih tanding
dengan Gajahmada yang sengaja menghadapinya
dengan jurus-jurus diluar garis perguruannya dengan
maksud agar Dyah Gajatri menjadi terbiasa. Maka di saat
menghadapi ketiga lawannya itu, Dyah Gajatri seperti
tengah berlatih tanding menghadapi jalur perguruan lain.
Bukan main penasarannya ketiga orang itu, tidak
satupun serangan mereka dapat mengenai tubuh Dyah
Gajatri, sebaliknya beberapa pukulan Dyah Gajatri telah
200 bersarang di tubuh mereka.
Berkat latihan yang teratur serta disiplin yang tinggi
telah membuat Dyah Gajatri punya daya tempur yang
kuat, masih dapat bertahan menghadapi ketiga lawannya
itu. Sementara itu ketiga lawannya itu terlihat nafasnya
sudah tersengal-sengal dengan peluh sudah membasahi
wajah dan tubuhnya. Plak !!! Sebuah kepalan tangan Dyah Gajatri berhasil
menghantam rahang seorang lawannya yang langsung
membuat kepala orang itu pening dan gelap terpelanting
jatuh di tanah keras tidak mampu untuk bangkit kembali.
Buk !!! Sebuah tendangan cukup keras juga telah
menghantam perut seorang lawannya lagi yang langsung
terpelanting di tanah dan merasakan susah untuk
bernafas. Terakhir, menghadapi lawan yang tinggal seorang itu,
kembali Dyah Gajatri membuat sebuah tipuan sangat
manis sekali dengan membuat sebuah tendangan palsu
kearah lawannya yang diperhitungkan akan mundur
selangkah. Ternyata tendangan itu hanya tipuan, terlihat
gadis itu seperti mengikuti gerak kakinya hingga
membelakangi lawannya, dan dengan cepat berbalik
badan menjulurkan tangannya dari bawah keatas.
Terperanjat lawan terakhir itu tidak menyadari sama
sekali serangan yang langsung menghajar dagunya.
Bekk !!! Kepala orang itu terasa berputar-putar pening dengan
gigi depan tanggal sebuah, darah segar terlihat diselasela bibirnya.
201 "Bila kalian masih merasa kuat, mari kita teruskan
perkelahian ini", berkata Dyah Gajatri sambil bertolak
pinggang kepada tiga orang penjahat kambuhan yang
nampaknya sudah merasa jerih menghadapi gadis galak
itu. Terlihat Gajahmada telah mendekati Dyah Gajatri.
"Ampuni mereka tuan putri", berkata Gajahmada
dengan suara agak dikeraskan.
Ternyata Gajahmada memang bermaksud perkataannya dapat didengar oleh ketiga orang lelaki itu.
Dan Dyah Gajatri juga sangat paham dengan lakon yang
akan dimainkan oleh Gajahmada.
"Aku tidak akan mengampuni mereka sebelum dapat
memuntir batok kepala mereka", berkata Dyah Gajatri
dengan suara garang. "Kemarin tuan putri sudah memuntir lima orang
perampok, apakah itu belum memuaskan?", berkata
Gajahmada dengan suara masih dikeraskan.
Mendengar percakapan Gajahmada dan wanita yang
dipanggilnya sebagai tuan putri itu telah membuat
mereka seperti panas dingin membayangkan kepala
mereka di pelintir oleh gadis galak itu. Maka sebelum
yang ditakutkan itu terjadi, terlihat ketiga orang itu
mundur beberapa langkah. "Jangan halangi aku memuntir batok kepala mereka",
berkata Dyah Gajatri dengan suara agak keras lagi.
"Ampuni saja mereka tuan putri", berkata Gajahmada
pura-pura menghalangi Dyah Gajatri.
Melihat ada kesempatan, ketiga orang itu langsung
berlari sekencang-kencangnya takut putri itu akan
memuntir kepala mereka sebagaimana ucapannya itu.
202 Ketika ketiga orang itu sudah tidak terlihat lagi,
Gajahmada, Dyah Gajatri dan Dyah Wiyat tertawa
terpingkal-pingkal merasa sandiwara mereka sangat
berhasil. Sementara itu, orang tua bersama kedua putranya
terlihat telah mendekati mereka. "Kalian orang-orang
muda telah menolong kami, sepikul padi itu sangat
berharga bagi kami sekeluarga. Hanya ucapan terima
kasih dari kami, semoga Gusti Yang Maha Agung
memberi balasan atas kebaikan kalian", berkata orang
tua itu. "Kami hanya kebetulan lewat, sudah seharusnya kita
menolong dan membantu sesama", berkata Gajahmada
mewakili Dyah Gajatri dan adiknya itu.
Maka ketika orang tua itu bersama kedua putranya
sudah berjalan kembali, terlihat Gajahmada dan kedua
putri Majapahit itu telah melanjutkan kembali perjalanan
mereka memasuki suasana padukuhan yang tengah
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melaksanakan panen raya itu.
Terlihat meski panas matahari sangat terik, hampir
semua orang masih berada di petakan sawah tengah
memotong padi dan mengumpulkannya di pinggir jalan.
"Nasib kita beruntung, masih ada kedai yang buka di
pasar padukuhan", berkata Gajahmada sambil menunjuk
sebuah kedai di ujung pasar Padukuhan itu.
Ketika mereka masuk kedalam kedai itu, pengunjung
kedai itu memang masih cukup ramai, kebanyakan
adalah para pedagang yang akan pulang ke padukuhan
mereka yang mungkin sangat jauh dari Kademangan
yang lain, atau dari Kadipaten Tuban yang masih perlu
sehari semalam perjalanan itu. Tapi biasanya mereka
singgah di banyak pasar padukuhan sepanjang jalan
203 arah pulang mereka. Terlihat Gajahmada tengah memesan makanan
kepada pemilik kedai. Tidak lama berselang terlihat
pemilik kedai itu telah membawa makanan dan minuman
untuk mereka bertiga. Sambil menikmati hidangan yang telah disediakan,
Gajahmada tidak sengaja mencuri dengar pembicaraan
beberapa pedagang. Mereka nampaknya tengah
membicarakan mengenai beberapa hari itu telah terjadi
perampokan di jalan lingkar sekitar hutan Jatirogo.
"Semakin banyak yang bergabung bersama kita,
akan menjadi lebih baik", berkata salah seorang dari
mereka. Setelah menyelesaikan makan dan minumnya,
Gajahmada meminta ijin kepada Dyah Gajatri dan Dyah
Wiyat untuk berbicara dengan salah seorang pedagang
di kedai itu. "Maaf Paman, aku tadi mendengar pembicaraan
bahwa sering terjadi perampokan di jalan lingkar sekitar
hutan Jatirogo?", berkata Gajahmada kepada salah
seorang pedagang. "Tidak sering, hanya dua kali kejadian
kudengar", berkata pedagang itu meluruskan.
yang "Apakah kami boleh bergabung dengan rombongan
paman?", bertanya kembali Gajahmada.
"Kami tidak keberatan, hanya kami akan berangkat
besok pagi. Ada sebuah rumah singgah di padukuhan
Bangkalan tempat kami bermalam", berkata pedagang itu
menjelaskan kapan akan berangkat dan dimana mereka
bermalam. "Terima kasih", berkata Gajahmada dan berpamit
204 kembali menemui Dyah Gajatri dan Dyah Wiyat.
Kepada kedua putri itu Gajahmada menjelaskan
kapan dan dimana mereka akan bermalam.
Selang beberapa lama salah seorang pedagang itu
menawarkan kepada Gajahmada untuk bersama ke
Padukuhan Bangkalan. "Terima kasih Paman, kami akan segera menyusul
dan sampai berjumpa kembali di Padukuhan Bangkalan",
berkata Gajahmada kepada pedagang itu.
Terlihat para pedagang itu telah keluar dari kedai.
Tidak lama berselang, Gajahmada dan kedua putri
Majapahit itu telah keluar juga dari kedai itu, tapi mereka
tidak langsung menuju ke Padukuhan Bangkalan,
melainkan melihat-lihat kembali suasana panen raya di
sekitar pasar padukuhan itu.
Ketika matahari terlihat mulai teduh, barulah mereka
berjalan keluar dari padukuhan itu untuk menuju ke
Padukuhan Bangkalan sebagaimana yang telah
dirunjukkan oleh pedagang yang mereka temui di kedai
tadi siang. Akhirnya mereka sampai juga di rumah singgah itu, di
padukuhan Bangkalan. Padukuhan Bangkalan adalah sebuah wilayah yang
berbatasan dengan Kadipaten Tuban. Beberapa
pedagang biasanya bergabung di Padukuhan itu untuk
bersama-sama melakukan perjalanan ke Kadipaten
Tuban dimana mereka harus melewati sebuah jalan
lingkar disekitar hutan Jatirogo. Para pedagang
beranggapan dengan jumlah yang banyak dapat
membuat para penyamun menjadi segan untuk
menghadang mereka. Pada umumnya para pedagang itu
205 juga punya bekal kanuragan yang cukup tinggi,
disamping mereka juga membawa beberapa tukang
pukul yang akan menemani perjalanan mereka ke
berbagai tempat. Baru kali ini Gajahmada singgah di Padukuhan
Bangkalan, beberapa kali ke daerah Tuban tidak melalui
jalan lingkar tapi langsung melintas di hutan Jatirogo.
Dan Gajahmada melihat rumah singgah itu sebagai
sebuah rumah biasa yang dilengkapi lima buah bale
panjang yang terpisah di halaman rumahnya. Gajahmada
melihat para pedagang yang ditemuinya di kedai tadi
siang telah menempati sebuah bale panjang disebelah
ujung. Sementara bale ditengah dilihat sudah diisi oleh
pedagang lain yang tidak ditemuinya di kedai.
Di ujung bale lainnya, Gajahmada juga telah melihat
seorang lelaki terpisah sendiri, nampaknya dari
pakaiannya adalah seorang lelaki pengembara biasa.
Akhirnya Gajahmada telah memutuskan untuk mengambil bale disebelah pengembara itu.
Kepada pemilik rumah singgah itu, Gajahmada telah
memesan beberapa makanan untuk mereka bawa
sebagai bekal di perjalanan besok.
Namun secara tidak sengaja, Gajahmada telah
melihat sepintas raut muka kurang senang hati pemilik
rumah singgah itu kepada lelaki pengembara di bale
sebelahnya. Tapi Gajahmada berusaha tidak memusingkannya. "Ada sebelas orang bersama kita yang akan
berangkat besok menuju Tuban", berkata Gajahmada
kepada Dyah Wiyat dan Dyah Gajatri.
Akhirnya ketika malam semakin larut dan gelap,
206 Gajahmada meminta kedua gadis itu beristirahat.
Gajahmada sendiri hanya bersandar di pagar bambu
sekat pemisah antara bale panjang satu dengan lainnya.
Di kegelapan malam, Gajahmada mendengar suara
langkah kaki dua orang mendekati mereka. Ternyata
kawan si pengembara itu yang langsung bergabung di
bale panjangnya. Dan malam itu langit terlihat dipenuhi bintang sebagai
pertanda tidak akan turun hujan di malam itu. Diam-diam
Gajahmada mencoba mencuri dengar dua orang yang
baru datang itu bersama si lelaki pengembara, namun
tidak sepatahpun yang didengar. Mereka bertiga seperti
membisu, seperti tengah menyembunyikan sesuatu.
"Kakang Gajahmada tidak tidur semalaman", berkata
Dyah Gajatri yang telah terbangun di pagi itu melihat
Gajahmada masih bersandar di pagar bambu pembatas.
"Hamba tidur dengan bersandar", berkata Gajahmada
sambil tersenyum. Tidak lama berselang, Dyah Wiyat ikut terbangun.
Terlihat matanya menilik keadaan sekitarnya.
"Dimana kita?", berkata Dyah Wiyat yang belum
kumpul seluruh ingatannya.
"Kita berada di rumah singgah", berkata Gajahmada
sambil tersenyum. Akhirnya, ketiganya bergantian ke pakiwan untuk
bersih-bersih dan juga berkemas diri untuk persiapan
melanjutkan perjalanan mereka ke Tuban.
"Berhati-hatilah, wahai anak muda", berkata pemilik
rumah singgah itu berbisik kepada Gajahmada yang
berpamit diri dan memberikan beberapa keping untuk
sekedar ucapan terima kasih.
207 "Terima kasih, kami akan selalu berserah diri kepada
perlindungan Gusti Yang Maha Agung", berkata
Gajahmada kepada pemilik rumah singgah itu.
Setelah semua orang dianggap telah siap,
berangkatlah sekelompok orang yang punya tujuan yang
sama itu menuju arah Kadipaten Tuban.
Pagi itu begitu cerah, udara begitu sejuk mengiringi
perjalanan rombongan itu. Terlihat Gajahmada, Dyah
Wiyat dan Dyah Gajatri berjalan di deretan paling
belakang. Sekali-kali Gajahmada memperhatikan langkah
pengembara dan dua orang kawannya itu yang berjalan
begitu ringan, lincah dan teratur, sebagai pertanda
ketiganya adalah orang-orang yang terlatih dalam olah
kanuragan. Akhirnya rombongan itu telah memasuki jalan lingkar
di sekitar hutan Jatirogo, pekik suara binatang hutan
kadang terdengar membuat hati dan perasaan orangorang didalam rombongan itu semakin terasa mencekam.
Namun Gajahmada yang punya daya pendengaran
yang sangat tajam itu dapat dengan jelas membedakan
suara pekik binatang hutan atau suara orang yang
pandai menirukannya. "Berhati-hatilah", berkata Gajahmada berbisik kepada
Dyah Gajatri dan adiknya.
Suasana perjalanan menjadi semakin mencekam
manakala sekelompok burung terlihat beterbangan
seperti telah diusik ketenangannya. Ternyata kekhawatiran Gajahmada sangat beralasan juga,
manakala tidak begitu jauh dari rombongan mereka
terlihat segerombolan orang seperti tengah menunggu.
208 "Jangan gentar, jumlah mereka masih sebanding
dengan kita", berkata seorang pedagang yang
mempunyai kepercayaan yang cukup tinggi menenangkan hati dan perasaan kawan-kawannya.
Rombongan para pedagang itu masih tetap berjalan,
jarak diantara orang-orang yang tengah menunggu
mereka menjadi kian dekat. Ketika semakin mendekat,
terlihat wajah-wajah asli orang-orang yang tengah
menunggu mereka itu terlihat memang ada maksud
kurang baik. "Para penyamun?", bertanya Gajahmada dalam hati
menduga-duga. "Berhenti, serahkan semua barang kalian", berkata
salah seorang diantara mereka.
Terlihat para pedagang memang berhenti melangkah.
"Kami tidak akan menyerahkan apapun", berkata
seorang pedagang yang sangat berani dan mempunyai
rasa percaya diri yang sangat tinggi.
"Kalian memang belum mengenal siapa kami,
ditempat asal kami tidak ada seorang pun berani
membantah perintah dari kami", berkata salah seorang
penyamun itu, nampaknya pemimpinnya.
"Itu hanya berlaku di tempat asalmu, sementara disini
kami akan mempertaruhkan kepala kami untuk
mempertahankan milik kami sendiri", berkata pedagang
itu dengan suara lantang.
"Lain lubuk lain ilalang, baiklah, aku akan melihat
seberapa keras kepala kalian", berkata orang itu sambil
melepas golok panjangnya diikuti oleh semua anak
buahnya. "Kawan-kawan, keluarkan senjata kalian. Kita 209 pertaruhkan barang milik kita dengan harga diri kita",
berkata pedagang itu memberikan semangat.
Sontak seketika itu para pedagang dan pengiringnya
telah mengeluarkan senjata miliknya masing-masing.
Gajahmada juga melihat si pengembara mengeluarkan dua pisau kembar, juga dua orang
kawannya dengan senjata yang sama, sebuah pisau
pendek kembar. "Menepilah, ini urusan orang laki-laki", berkata
Gajahmada kepada Dyah Gajatri dan Dyah Wiyat.
Dyah Wiyat dan Dyah Gajatri tidak dapat membantah
permintaan Gajahmada meski ada dalam benak mereka
untuk bergabung membela para pedagang itu.
Terlihat Dyah Wiyat dan Dyah Gajatri telah
menyingkir ke tempat yang aman. Namun keduanya
mengerutkan keningnya melihat Gajahmada tidak
melepas senjatanya, melainkan memungut sebuah
tangkai kayu dari sebuah pohon yang jatuh didekatnya.
Sementara
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berhadapan. itu dua kelompok sudah saling "Habisi orang-orang keras kepala ini", berkata
pemimpin penyamun itu member perintah kepada anak
buahnya. Maka bentrokan pun seketika itu sudah tidak dapat
dielakkan lagi. Ternyata pedagang yang punya rasa
percaya tinggi itu tidak cuma bisa jual bicara, langsung
beradu badan dengan para penyamun memutar kerisnya
dan menyerang siapapun yang dekat dengannya.
Semangat dan keberanian pedagang itu menjadi
panutan kawan-kawannya yang kebetulan punya bekal
kanuragan yang cukup telah ikut bergerak menempur
210 para penyamun yang terlihat sangat kasar dan ganas itu.
Sementara itu si pengembara dan kedua kawannya
terlihat dengan tangkas dan cekatan bergerak
memainkan senjata pendek kembar mereka mengancam
dan mendesak para penyamun.
Pemandangan dan suasana pertempuran itu diikuti
oleh perasaan hati penuh mencekam dalam pandangan
dua gadis dari sebuah tempat yang terlindung dan
tersembunyi. Namun Dyah Wiyat dan Dyah Gajatri tidak
bisa menahan rasa gelinya manakala melihat cara
bertempur dari Gajahmada.
Ternyata anak muda itu tidak berkelahi sebagaimana
biasa, melainkan berlaku sebagaimana orang bodoh
yang punya keberanian tinggi dengan asal pukul dan
asal tangkis. Namun tetap saja pukulan tongkat
rantingnya yang terlihat seperti sembarangan itu telah
menimbulkan korban karena dialiri tenaga yang cukup
kuat meski tidak mematikan, hanya sekedar membuat
lawannya jatuh tidak mampu bangkit berdiri lagi. Bahkan
terkadang tubuhnya seperti sempoyongan menabrak
tubuh lawan yang langsung terpental jatuh.
Pertempuran dan gaya berkelahi Gajahmada telah
membuat hiburan tersendiri bagi Dyah Wiyat dan Dyah
Gajatri yang sudah mulai hilang rasa khawatir dan rasa
kecemasannya sebagai dua orang gadis yang pertama
kalinya melihat sebuah pertempuran para lelaki, para
penyamun yang kasar dan ganas itu.
Bahkan Dyah Gajatri dan Dyah Wiyat dapat lebih
mengenal keaneka-ragaman gerak jurus dari berbagai
aliran kanuragan. Akhirnya Dyah Gajatri dan Dyah Wiyat
seperti tengah menikmati sebuah tontonan yang
mengasikkan. 211 Lambat tapi pasti, jumlah para penyamun sudah
terlihat menyusut tajam. Dua tiga orang sudah tidak bisa
bangkit berdiri lagi terkena pukulan ranting dan benturan
tubuh Gajahmada yang asal pukul dan asal bergerak
kesana kemari sebagaimana orang biasa yang tidak
mengenal dasar kanuragan sedikitpun.
Sementara itu empat sampai lima orang penyamun
sudah menjadi korban pisau kembar si pengembara dan
dua kawannya itu. Di sisi lain, para pedagang dan rombongannya
terlihat dengan penuh keberanian menghadapi para
penyamun. Ternyata mereka tidak kalah tangkasnya
memainkan senjata mereka, menangkis serangan lawan
yang kasar dan ganas bahkan telah dapat membalas
serangan membuat para penyamun tidak lagi
memandang sebelah mata kepada para pedagang itu.
"Ternyata para pedagang di daerah Tuban ini tidak
mudah digertak", berkata pemimpin penyamun itu dalam
hati penuh rasa cemas melihat anak buahnya semakin
menyusut, satu persatu roboh terkapar.
Namun ketika pertempuran itu tengah berlangsung,
tiba-tiba saja datang seseorang berbadan gempal
dengan kepala botak tertawa terbahak-bahak.
Tawa orang itu terdengar begitu lantang menggoncang dada, sebagai pertanda pemiliknya punya
tenaga sakti yang tinggi.
Pertempuran pun seketika berhenti, masing-masing
mundur dalam kelompok masing-masing. Semua
pandangan mata tertuju kepada orang yang baru datang
itu. 212 "Ki Gedonglegi, percayalah padaku", berkata orang
itu kepada pemimpin penyamun itu.
"Apa yang dapat kupercaya dari seorang perampok
tunggal seperti dirimu?", berkata pemimpin penyamun itu
yang dipanggil sebagai Ki Gedonglegi itu kepada orang
yang baru datang itu. "Kita memang sama-sama perampok, bedanya aku
sendiri, sementara kamu beramai-ramai", berkata orang
itu sambil tertawa kembali, kali ini dengan suara
terkekeh-kekeh. "Ki Jengkar, jangan berkata berputar-putar, lekas
katakan apa yang ingin kamu katakan", berkata Ki
Gedonglegi tidak sabaran.
"Baiklah, segera kukatakan bahwa kamu sedang
diperdayai oleh tiga orang penyamun dari Gunung
Raung", berkata orang yang di panggil Ki Jengkar itu
kepada Ki Gedonglegi. "Aku belum Gedonglegi mengerti maksudmu", berkata Ki "Lihat dan perhatikanlah olehmu, diantara para
pedagang itu ada tiga penyamun dari Gunung Raung,
mereka akan membunuh kamu dan anak buahmu
setelah pertempuran ini usai", berkata Ki Jengkar sambil
menunjuk kearah si pengembara dan dua orang
kawannya. Ki Gedonglegi segera melihat tiga orang yang
ditunjuk oleh Ki Jengkar. Para pedagang juga melihat
tiga orang yang ditunjuk oleh Ki Jengkar itu.
"Ternyata kecurigaanku kepada ketiga orang itu
terbukti", berkata Gajahmada dalam hati.
213 Terlihat si pengembara dan kedua kawannya itu
menyingkir memisahkan diri dari kelompok para
pedagang. "Tidak menyangka, di Tanah Tuban ini dapat bertemu
dengan perampok tunggal dari hutan Lamajang", berkata
si pengembara dengan wajah seperti tidak peduli, acuh
tak acuh. "Manukwaja, siapa yang tidak mengenal wajahmu?",
berkata Ki Jengkar sambil tertawa panjang.
"Ki Gedonglegi, apakah kamu percaya dengan katakata orang ini?", berkata si pengembara yang dipanggil
sebagai Manukwaja itu sambil menunjuk kearah Ki
Jengkar."Orang ini sengaja ingin kita bertempur habishabisan, setelah itu dirinya tidak mempunyai saingan lagi
mendapatkan hasil rampasannya seorang diri", berkata
Manukwaja sambil menunjuk kearah Ki Jengkar.
"Ki Gedonglegi sudah pasti lebih mempercayaiku",
berkata Ki Jengkar sambil tertawa terkekeh-kekeh.
"Aku memang lebih mempercayai Ki Jengkar,
ketimbang orang yang menyusup dibelakang para
pedagang", berkata Ki Gedonglegi.
"Baiklah, aku menyerah dengan tuduhan itu,
sekarang kami akan menyingkir jauh-jauh", berkata
Manukwaja sambil memberi tanda kepada kedua
kawannya untuk menyingkir.
"Ki Gedonglegi, apakah kamu percaya bahwa mereka
akan pergi begitu saja?", bertanya Ki Jengkar kepada Ki
Gedonglegi. "Mana dapat kupercaya, mereka bertiga pasti tidak
jauh pergi, sambil menunggu pertempuran ini usai",
berkata Ki Gedonglegi. 214 "Ki Jengkar, karena kamu telah membuka kedokku,
aku juga akan membuka kedokmu. Aku dan kamu jauhjauh datang di tanah Tuban ini adalah karena perintah
seseorang yang sama untuk membuat keonaran di tanah
Tuban ini", berkata Manukwaja dengan wajah penuh
amarah merasa kesal selalu saja Ki Jengkar dapat
membaca maksud dan keinginannya.
"Bagus bila akhirnya kamu mengetahui juga bahwa
kita adalah orang suruhan yang sama. Perlu kamu
ketahui bahwa aku tidak suka junjunganku itu percaya
kepada orang lain selain diriku. Asal kamu tahu bahwa
aku akan membinasakan siapapun orang itu", berkata Ki
Jengkar sambil tertawa begitu menyeramkan mirip
ringkikan seekor kuda. "Ki Jengkar, kamu terlalu sombong merasa tidak
mudah terkalahkan. Kami bertiga dari gunung Raung
akan membinasakan kesombonganmu itu", berkata
Manukwaja sambil memberi tanda kepada dua kawannya
untuk mengepung Ki Jengkar.
Terlihat Ki Jengkar telah terkepung oleh tiga orang
dari Gunung Raung itu. Namun Ki Jengkar tidak merasa
takut sedikitpun, telah siap siaga menerima serangan
dari lawannya. "Buka matamu lebar-lebar, agar tidak menyesal telah
mengenal jurus kilat kembar kami", berkata Manukwaja
sambil melompat dengan dua tangan terbuka.
Serangan awal itu terlihat begitu kuat menerjang
tubuh Ki Jengkar seperti dua kaki garuda turun dari langit
mengejar mangsanya. Namun Ki Jengkar yang dikenal
sebagai perampok tunggal dari hutan Lamajang itu tidak
gentar sedikitpun, telah melesat cepat dan balas
menyerang dengan sebuah keris ditangannya.
215 Luar biasa cepat dan ganasnya serangan balik dari Ki
Jengkar, langsung menusuk ke tempat yang terbuka di
tubuh lawannya, pinggul Manukwaja.
Untung saja kedua kawannya tanggap langsung
menyerang Ki Jengkar secara bersamaan membuat Ki
Jengkar menarik kembali serangannya dan berkelit ke
sisi yang aman namun secepat kilat telah melakukan
serangan balasan kearah salah seorang penyerangnya.
Demikianlah, serang dan balas menyerang terus saja
silih berganti antara Ki Jengkar dan ketiga orang dari
gunung Raung itu. Pertempuran semakin lama semakin sengit karena
masing-masing seperti berlomba untuk menjatuhkan
lawannya. Para pedagang dan kelompok Ki Gedonglegi
seperti membisu melihat pertempuran yang seperti
pertaruhan hidup dan mati itu. Mereka juga telah
membanding-bandingkan tingkat kemampuan mereka
seandainya bertempur melawan diantara dua kubu yang
tengah bertempur dengan sengitnya itu.
Kebisuan yang mencekam itu dipecahkan oleh suara
seorang pedagang yang secara tidak langsung telah
mengambil alih kepemimpinan diantara mereka.
"Siapapun yang menang diantara mereka tidak akan
menguntungkan kita, cepat kita gempur kembali para
penyamun itu agar secepatnya kita meninggalkan tempat
ini", berkata pedagang itu kepada kawan-kawannya
untuk menyerang kelompok Ki Gedonglegi.
Ucapan itu telah menggerakkan para pedagang untuk
menempur kelompok Ki Gedonglegi. Melihat para
pedagang telah bergerak ke arah mereka, Ki Gedonglegi
dan anak buahnya sudah langsung bersiap siaga. Maka
216 pertempuran antara para pedagang dan kelompok Ki
Gedonglegi sudah tidak dapat dihindarkan lagi.
Dan Gajahmada terlihat sudah bergabung diantara
para pedagang, ikut menempur para penyamun itu. Maka
pertempuran para pedagang dan para penyamun
kembali seperti sebelumnya, tidak ada istilah tebang pilih,
siapa yang terdekat maka dialah lawan yang harus
segera dijatuhkan. Kasihan penyamun yang kebetulan berada di dekat
Gajahmada, langsung terjatuh terkena tongkat rantingnya atau pukulannya yang terlihat seperti asalasalan bukan sebuah jurus kanuragan. Beberapa
pedagang dan penyamun yang melihat ulah Gajahmada
itu merasa terheran-heran bahwa seorang yang tidak
mengenal kanuragan itu sangat berani.
Dua tiga orang penyamun mencoba mendekati
Gajahmada sekedar mencoba rasa penasaran mereka.
Malang bagi mereka untuk harga sebuah rasa penasaran
itu harus dibeli dengan tulang rusuk seperti terasa patah
terkena sambaran tongkat ranting kayu Gajahmada atau
tabrakan seperti tidak sengaja dari tubuh Gajahmada.
"Orang gila!!", berkata seorang penyamun yang
melihat tiga orang kawannya yang terjatuh akibat ulah
Gajahmada. Sementara itu pertempuran antara Ki Jengkar dan
tiga orang dari Gunung Raung itu terlihat telah menjadi
semakin sengit. Masing-masing telah menunjukkan
kemampuan puncaknya. Ternyata Gajahmada disamping bertempur
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghadapi para penyamun, pandangannya sekali-kali
memperhatikan jalannya pertempuran antara Ki Jengkar
dan tiga orang dari Gunung Raung itu.
217 Gajahmada sudah dapat menilai bahwa bila satu
lawan satu menghadapi Ki Jengkar mungkin ketiga orang
dari Gunung Raung itu masih dibawah kemampuan Ki
Jengkar. Diam-diam Gajahmada mengakui kerjasama
dari ketiga orang dari Gunung Raung itu yang sangat
rapat dan sangat sempurna saling menutupi kelemahan
masing-masing membuat Ki Jengkar merasakan
kewalahan menghadapi serangan mereka yang datang
beruntun seperti ombak yang tidak pernah berhenti saling
susul dan menyusul. Namun sambil memperhatikan jalannya pertempuran
Ki Jengkar dan ketiga lawannya itu, sebuah sikut
Gajahmada telah bergerak mengenai kening seorang
penyamun dibelakangnya. Penyamun sial itu terjengkang langsung pingsan.
"Anak ketek edan!!", berkata sumpah serapah Ki
Gedonglegi yang tidak sengaja melihat ulah Gajahmada
terhadap anak buahnya itu.
"Anak buahmu sudah tinggal sedikit, menyerahlah",
berkata pemimpin pedagang itu yang telah berhadapan
langsung dengan Ki Gedonglegi mencoba menggertaknya. Ternyata Ki Gedonglegi orang yang berhati culas,
tidak memperdulikan harga diri dan rasa malu hanya
berpikir untung dan rugi, hari baik dan hari naas dalam
hidupnya. "Hari ini memang bukan hari keberuntunganku",
berkata Ki Gedonglegi dalam hati sambil mundur
beberapa langkah menjauhi pemimpin pedagang itu.
Terlihat Ki Gedonglegi telah bersuit panjang.
218 Ternyata suitan panjang itu adalah sebuah panggilan
dari Ki Gedonglegi kepada anak buahnya yang tinggal
hitungan jari itu untuk pergi meninggalkan arena
pertempuran. Terlihat semua anak buah Ki Gedonglegi sudah
berbalik badan mengambil langkah seribu, lari
menghilang di kegelapan hutan Jatirogo.
"Mari kita segera berkemas, mumpung mereka masih
bertempur", berkata pemimpin pedagang itu mencoba
mengambil kesempatan untuk secepatnya meninggalkan
tempat itu. Tapi sayang, Ki Jengkar telah melihat apa yang
terjadi diluar pertempurannya. "Kita hentikan dulu
pertempuran kita, apakah kamu mau membiarkan
mangsamu lepas begitu saja?", berkata Ki Jengkar
sambil mundur beberapa langkah.
"Ki Jengkar benar, tapi bukan berarti urusan kita
sudah selesai", berkata Manukwaja kepada Ki Jengkar
sambil memberi tanda kepada kedua kawannya untuk
menghadang para pedagang yang tengah berkemas
untuk secepatnya meninggalkan tempat itu.
"Kalian boleh pergi, tapi tinggalkan barang kalian
disini", berkata Manukwaja telah berdiri menghadang.
Terkesiap darah para pedagang melihat tiga orang
dari Gunung Raung itu telah menghadang mereka yang
telah melihat sendiri bagaimana ketiga orang itu
bertempur dengan Ki Jengkar.
"Kita masih menang dalam jumlah", berkata seorang
pedagang yang telah dipercayakan menjadi pimpinan
para pedagang itu. 219 Namun tetap saja para pedagang masih ragu, masih
harus berpikir ulang menghadapi tiga orang dari Gunung
Raung itu, terutama melihat pisau pendek kembar
ditangan mereka yang berkilat.
"Harta masih bisa dicari, tapi nyawa dimana harus
membelinya", berkata seorang pedagang sudah merasa
putus asa sambil membayangkan pisau pendek yang
tajam itu merobek lehernya.
"Aku bukan pemimpin kalian, tapi aku butuh
kesepakatan bersama", berkata pemimpin para
pedagang itu mulai kesal melihat keraguan kawankawannya. Sementara dirinya sendiri juga meragukan
kemampuannya sendiri untuk beradu tangan dengan
salah satu atau ketiga orang dari Gunung Raung itu.
Untuk sementara, suasana diatas jalan lingkar hutan
Jatirogo itu seperti mencekam, begitu hening.
"Untuk kedua kalinya kukatakan, pergi dari sini dan
tinggalkan semua barang berharga milik kalian", berkata
Manukwaja dengan suara lantang kepada para
pedagang yang dilihatnya mulai gentar itu.
Kembali suasana di jalan lingkar yang sepi itu
menjadi hening dan mencekam. Terlihat beberapa orang
pedagang sudah merasa putus asa melepas beberapa
barang miliknya yang sudah dikemas untuk dibawa itu.
"Anggap saja hari ini bukan hari keberuntungan kita",
berkata seorang pedagang lain ikut melepas barang
miliknya. Namun tiba-tiba saja semua mata para pedagang
tercuri untuk melihat seorang pemuda telah maju
kedepan menghadap ketiga orang dari Gunung Raung
itu. Ternyata pemuda itu tidak lain adalah Gajahmada.
220 "Anak muda yang berani itu?", berkata salah seorang
pedagang yang sempat melihat bagaimana cara
Gajahmada berkelahi sebelumnya.
"Anak muda, apakah kamu akan menyerahkan kedua
gadis yang bersamamu itu?", berkata Manukwaja kepada
Gajahmada dengan wajah meremehkan.
"Aku tidak akan menyerahkan apapun, aku hanya
ingin menangkap kalian bertiga ke Kadipaten Tuban
untuk mempertanggungjawabkan perbuatan kalian yang
telah membuat resah warga Tuban ini", berkata
Gajahmada dengan nada dan gaya bahasa yang biasa
tanpa tekanan ancaman atau perintah.
Para pedagang yang mendengar perkataan
Gajahmada seketika itu juga mengerutkan keningnya,
secara tidak langsung mereka menilai bahwa Gajahmada
telah menantang ketiga orang dari Gunung Raung itu.
Sementara ketiga orang dari Gunung Raung itu
menanggapi perkataan Gajahmada seperti orang yang
tengah melucu, seketika ketiga orang itu tertawa
terbahak bahak. "Adakah yang salah dalam ucapanku?", berkata
Gajahmada masih dengan nada bicara datar.
"Tidak ada yang salah dalam ucapanmu, anak muda.
Yang salah adalah bahwa mungkin kamu merasa masih
dalam dunia impian tidurmu yang sering berkhayal untuk
menjadi seorang prajurit sungguhan", berkata Manukwaja
yang ditanggapi tawa oleh dua orang kawannya.
"Aku tidak sedang melucu, aku memang akan
menangkap kalian bertiga. Serahkan dengan suka rela
kedua tangan kalian", berkata Gajahmada dengan wajah
berubah penuh dengan kesungguhan dan ancaman.
221 Ketiga orang dari Gunung Raung itu seperti tersentak
tidak percaya mendengar perkataan anak muda itu,
sementara mereka selama ini dikenal sebagai tiga
penyamun yang sangat ganas dan sangat ditakuti. Salah
seorang diantara mereka sudah tidak menjadi sabaran
dan menganggap Gajahmada sudah sangat lancang
berbicara di depan mereka bertiga.
"Kurobek mulutmu !!", berkata salah seorang diantara
mereka sambil menyabetkan pisau pendeknya kearah
wajah Gajahmada. Manukwaja dan seorang temannya terlihat matanya
melebar seperti tidak percaya dengan apa yang
dilihatnya. Lebih-lebih para pedagang yang telah melihat
kemampuan orang per orang dari Gunung Raung itu
ketika menghadapi Ki Jengkar. Para pedagang itu seperti
lebih tidak percaya lagi dengan apa yang telah diperbuat
Gajahmada kepada salah satu orang dari Gunung Raung
yang menyerangnya itu. Apa yang dilakukan Gajahmada terhadap lelaki
penyerangnya itu" Ternyata Gajahmada hanya
menundukkan tubuhnya sedikit dan melangkah maju
sambil mengayunkan kakinya dengan tenaga biasa
berhasil membuat lelaki itu terhuyung kedepan dan jatuh
di tanah dengan wajah tepat menghadap ke arah tanah
kotor. "Nampaknya kalian ingin kutangkap dengan cara
kekerasan", berkata Gajahmada berjalan ke sebuah
tempat yang agak lapang menunggu ketiga lawannya
datang menghampirinya. Lelaki yang terjatuh itu telah bangkit kembali dan
dengan wajah kotor telah berjalan cepat mengikuti
Manukwaja dan kawannya yang sudah lebih dulu
222 mendekati Gajahmada. Wajah ketiga orang dari Gunung
Raung itu tidak lagi menganggap remeh Gajahmada.
"Keluarkan senjatamu anak muda, biar semua orang
tidak meremehkan kami mengeroyok seseorang yang
tidak bersenjata", berkata Manukwaja kepada Gajahmada. "Aku tidak perlu mengeluarkan senjata apapun untuk
menangkap kalian", berkata Gajahmada yang telah
bersiap diri menghadapi tiga orang dari Gunung Raung
itu. "Kamu memang harus membayar mahal untuk
kesombonganmu itu", berkata kawan Manukwaja yang
tadi sudah terjatuh langsung menerjang dengan kedua
pisau pendeknya. Terlihat Gajahmada telah bergeser kesamping untuk
mengelak serangan itu, namun tidak langsung balas
menyerang karena tahu pasti ada serangan susulan lain
dari kawannya yang lain. Benar saja dugaan Gajahmada,
baru saja dirinya menapakkan kakinya sudah ada
serangan susulan dari seorang yang lain. Maka anak
muda itu langsung kembali berkelit. Begitulah serangan
susul menyusul tiada henti beruntun dari ketiga orang
Gunung Raung itu. Terlihat Gajahmada berkelit kesana
kemari dengan gesit dan lincahnya tanpa sedikitpun
kesempatan untuk balas menyerang.
Berdebar dada para pedagang menyaksikan
pertempuran itu, penuh kekhawatiran atas nasib anak
muda itu dimana enam buah kilatan pisau tajam terus
mengikutinya kemanapun dirinya bergerak.
Sebagaimana para pedagang, Dyah Gajatri dan Dyah
Wiyat dengan pandangan yang tidak lepas sedikitpun
merasa ikut berdebar melihat untuk pertama kalinya guru
223 pembimbing mereka bertempur secara sungguhan
langsung berhadapan dengan tiga orang lelaki yang
terlihat sangat ganas menyerang Gajahmada dari
berbagai tempat susul menyusul tiada henti.
"Anak muda yang perkasa", berkata Ki Jengkar
dalam hati dari sebuah tempat menyaksikan jalannya
pertempuran itu. "nampaknya anak muda itu masih
tengah menjajagi alur gerak lawan", berkata kembali Ki
Jengkar dalam hati melihat Gajahmada hanya berkelit
dengan lincahnya menghindari serangan demi serangan.
Sebagaimana perkiraan Ki Jengkar, ternyata benar
Gajahmada tengah mengamati alur gerak lawan,
mencoba memahami irama serangan lawan.
"Sebuah jurus kanuragan yang sempurna diciptakan
khusus untuk gelar berkelompok", berkata Gajahmada
dalam hati setelah memahami jurus lawannya.
Bukan main kagetnya Manukwaja dan kedua
kawannya manakala dengan tiba-tiba sekali Gajahmada
telah memotong serangan mereka dengan membuat
serangan beruntun layaknya seekor garuda mengoyak
tubuh bagian tengah seekor ular. Tiga lelaki dari Gunung
Raung itu seperti gelagapan, gelar serangan mereka
seperti terpecah mencoba menyusun kembali dengan
penuh ke hati-hatian. Namun rangkaian serangan mereka kembali di cerai
beraikan oleh Gajahmada menjadi patahan-patahan
serangan yang tidak berarti dan terpadu. Dalam
kesempatan itu Gajahmada telah meningkatkan tataran
ilmu meringankan tubuhnya jauh lebih cepat lagi.
Akibatnya dua pukulan yang keras berhasil mengenai
dada kedua kawan Manukwaja yang merasakan seperti
tertumbuk batu cadas keras sebesar gajah. Terlihat dua
224 orang kawan Manukwaja masih terduduk memegangi
dada masing-masing. "Kusayat tubuhnya sampai halus", Manukwaja dengan penuh kemarahan.
berkata Serangan tunggal dari Manukwaja terlihat sangat
keras dan cepat, namun Gajahmada melayaninya seperti
bermain-main bermaksud menguras tenaga lawan.
Peluh telah membasahi wajah dan tubuh Manukwaja,
tenaganya seperti semakin terkuras menghadapi
Gajahmada yang sepertinya sengaja tidak banyak
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melakukan serangan balik, hanya beberapa kali sekedar
mengendurkan serangan gencar dan kuat dari lawannya
itu. Rasa sakit di dada kedua kawan Manukwaja nampak
semakin mereda, terlihat mereka berdua sudah kembali
Golok Naga Kembar 3 Si Dungu Karya Chung Sin Pukulan Naga Sakti 21
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama