Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana Bagian 8
itu. Gajahmada memimpin para prajurit yang berada di
sekitar Pasuruan, Mahesa Semu memimpin pasukan
yang berada disekitar Banger, sementara itu
Adityawarman dipercayakan memimpin pasukan yang
berada di sekitar Banyuwangi.
Belahan Jawadwipa di sebelah timur itu memang
masih banyak dipenuhi hutan dan pegunungan hijau
telah membantu para prajurit Majapahit seperti
menghilang bersembunyi di kegelapan dan kelebatan
hutan-hutan yang luas itu.
Tanpa menunggu waktu yang lama, para pemimpin
pasukan di tiga tempat berbeda itu telah mulai
melakukan berbagai persiapan, diantaranya mencoba
mempelajari situasi medan masing-masing.
"Tanah Lamajang sungguh sangatlah luas, kita harus
522 memahami jalur mana yang paling mudah untuk
mencapai sebuah Kademangan terdekat", berkata
Gajahmada kepada beberapa perwira yang menjadi
bawahannya itu."Bila dimungkinkan, kita dapat memecah
kekuatan kita di berbagai tempat agar kita dapat
bergerak cepat mencapai di sebuah tempat kapan dan
dimanapun", berkata kembali Gajahmada.
Di tengah kesibukan para prajurit Majapahit yang
tengah mempersiapkan dirinya di belahan timur
Jawadwipa itu, ternyata dua orang putra Empu Nambi,
Adipati Menak Koncar dan Adipati Menak Jingga juga
telah melakukan sebuah pergerakan yang lain, telah
memerintahkan orang-orangnya untuk membuat sebuah
pergudangan di Bandar Pelabuhan Banyuwangi, Banger
dan Pasuruan. Mereka juga telah merintis sebuah jalur
perdagangan baru di hampir setiap Kademangan yang
menjadi daerah wewenang masing-masing.
"Kuberharap kalian dapat mempengaruhi orangorang di Kademangan kalian sendiri, menukar barang
dagangan mereka tidak kepada siapapun", berkata
Adipati Menak Koncar di suatu hari di hadapan para
Demang yang telah ditugaskan membuat sebuah jalur
rintisan perdagangan baru di Kademangannya masingmasing.
Demikianlah, perlahan tapi pasti sebuah gerakan
perlawanan sudah mulai terlihat bergeliat, para pribumi
mulai terbuka mata hatinya untuk menjadi tuan di
buminya sendiri. Namun jalur perintisan baru perdagangan ini tidak
semuanya berjalan mulus tanpa hambatan. Di beberapa
Kademangan di belahan timur Jawadwipa itu telah
mendapatkan sebuah tekanan kuat berupa berbagai
ancaman yang ditujukan kepada para Demang,
523 keluarganya bahkan para warganya sendiri.
"Kakang tidak dapat lari dari kesulitan ini. Kakang
harus dapat menghadapinya dengan dada terbuka
menghadapi ancaman mereka bersama para warga
disini", berkata Nyi Demang Pasirian kepada suaminya di
sebuah malam. "Akan banyak korban yang berjatuhan, itulah yang
aku khawatirkan akan terjadi", berkata Ki Demang
Pasirian sambil menarik nafas panjang, terlihat wajahnya
seperti begitu berat menanggung kebimbangan.
"Bukankah junjungan kita Adipati Menak Koncar telah
berjanji untuk berada di belakang kita ?", berkata Nyi
Demang Pasirian merasa kasihan melihat kebimbangan
sikap suaminya itu. "Kamu benar Nyimas, kita minta perlindungan kepada
junjungan Adipati Menak Koncar", berkata Ki Demang
Pasirian seperti menemukan jalan keluar dari
permasalahan yang dihadapinya.
Demikianlah, keesokan harinya Ki Demang Pasirian
telah mengutus orangnya berangkat pagi-pagi sekali ke
tempat kediaman Adipati Menak Koncar di Lamajang.
"Cepatlah kembali dan katakan kepada Ki Demang
Pasirian bahwa kami akan segera mendatangkan para
prajurit Majapahit untuk melindungi para warga di
Kademangan kalian", berkata Adipati Menak Koncar
kepada utusan Ki Demang Pasirian yang datang di
kediamannya itu. Demikianlah, manakala utusan itu telah pergi kembali
ke Kademangan Pasirian, segera Adipati Menak Koncar
memanggil seorang prajurit Majapahit yang memang
telah ditugaskan di kediaman Adipati Lamajang itu
524 sebagai seorang prajurit caraka yang dapat bergerak
cepat menyampaikan berita penting ke induk pasukan
prajurit Majapahit di sebuah tempat yang tersembunyi
tidak diketahui oleh siapapun.
"Malam ini kita bergerak ke Kademangan Pasirian
dengan seratus orang prajurit", berkata Gajahmada
kepada salah seorang perwira prajurit Majapahit di
sebuah hutan persembunyian mereka.
"Beberapa hari ini kamu telah cukup banyak berlatih,
persiapkan dirimu untuk menghadapi kawan berlatih
yang sesungguhnya", berkata Gajahmada kepada Supo
Mandagri sahabatnya yang ternyata ikut bersamanya
bergabung dalam pasukannya di sekitar Lamajang itu.
"Terima kasih telah meningkatkan tataranku, mudahmudahan aku tidak mengecewakanmu, sahabat", berkata
Supo Mandagri sambil tersenyum.
"Pegang erat-erat kerismu dan tataplah lawanmu
dalam-dalam seakan kamu berkata akan melumatnya
bulat-bulat", berkata Gajahmada kepada Supo Mandagri
yang beberapa hari itu hampir di setiap kesempatan telah
dilatih dan dibina kemampuan kanuragannya dan
diyakininya bahwa tataran anak muda itu sesungguhnya
telah berada setara dengan para perwira prajurit
Majapahit. Dan malam itu terlihat seratus orang prajurit
Majapahit telah bergerak menuju arah Kademangan
Pasirian. Dalam perjalanan malam itu mereka
nampaknya menghindari beberapa padukuhan agar
kehadiran mereka tidak diketahui oleh siapapun.
Hingga akhirnya manakala langit malam terlihat
memudar kemerahan, mereka telah sampai di sebuah
perbukitan karang di sebuah pantai pesisir laut selatan.
525 Sebuah tempat yang tidak begitu jauh dari Kademangan
Pasirian, sebuah tempat yang amat sunyi dan sangat
tepat untuk sebuah persembunyian di siang hari bagi
seratus prajurit Majapahit yang baru tiba itu.
"Pergilah kamu ke Kademangan Pasirian, kabarkan
kepada Ki Demang Pasirian bahwa prajurit Majapahit
sudah ada di sekitar Kademangan", berkata Gajahmada
kepada seorang prajuritnya sambil menyampaikan
beberapa pesan lainnya yang harus dikatakan kepada Ki
Demang Pasirian. Berangkatlah utusan Gajahmada itu ke tempat
kediaman Ki Demang Pasirian.
Gembira hati Ki Demang Pasirian manakala utusan
Gajahmada itu telah menemuinya dengan mengatakan
bahwa prajurit Majapahit telah berada di sekitar
Kademangan Pasirian. "Lepaskan panah sanderan sebagai tanda bahaya
manakala mengetahui para perusuh itu datang
mengganggu ketentraman warga Kademangan ini",
berkata prajurit Majapahit kepada Ki Demang Pasirian.
"jangan katakan berita keberadaan kami kepada
siapapun, karena kami yakin ada salah seorang warga
disini yang berpihak kepada mereka", berkata kembali
prajurit itu kepada Ki Demang Pasirian.
Demikianlah, pada hari itu para prajurit Majapahit
terlihat bergantian berjaga menunggu pertanda bahaya
dari Ki Demang Pasirian. Namun hingga malam harinya
mereka tidak mendapatkan panah sanderan melintas di
langit terbuka. "Tetaplah kamu berada di ruang belakang dengan
panah sendarenmu", berkata Ki Demang Pasirian
manakala pagi harinya kepada seorang putra sulungnya
526 yang diperintahkan selalu bersiaga untuk melepaskan
panah sanderan manakala mendengar sebuah pertanda
kentongan bahaya dari Ki Demang Pasirian.
"Putramu akan tetap berjaga, wahai ayahandaku",
berkata putra sulungnya itu kepada Ki Demang Pasirian
setelah sehari semalam tidak tidur itu.
Manakala Ki Demang kembali ke ruang depan,
terlihat anak muda itu duduk bersandar di sebatang
pohon jambu air yang cukup lebat dibelakang kediaman
Ki Demang. Nampaknya putra sulung Ki Demang
Pasirian itu adalah seorang anak yang patuh, tidak
sedikit pun dibiarkan rasa kantuk menguasai dirinya.
Meski matanya sudah terlihat memerah karena tidak tidur
sehari semalaman, terlihat anak muda itu begitu tabah
menguatkan dirinya melawan rasa kantuk yang begitu
penat yang terkadang datang mengganggunya.
"Aku membawakan ketela rebus dan minuman
hangat untuk kakang", berkata seorang gadis kecil
menghampiri anak muda itu yang ternyata adalah
adiknya yang bungsu. Saat itu pagi memang sudah mulai
terlihat terang tanah. "Hari sudah mulai redup di ujung senja", berdesis Ki
Demang Pasirian kepada orang kepercayaannya, Ki
Jagaraga. "Aku berharap semoga saja ancaman mereka hanya
sebuah gertakan palsu sekedar membuat kita semua
menjadi takut karenanya", berkata Ki Jagaraga.
"Aku juga memang berharap seperti itu", berkata Ki
Demang Pasirian sambil memandang sawah ladang
yang membatasi antara padukuhan yang terlihat dari
arah pendapa rumahnya. 527 Kademangan Pasirian adalah sebuah kademangan
adalah sebuah daerah yang cukup subur yang terletak di
pinggir pantai selatan Jawadwipa. D isamping sebagai
petani, sebagian warganya juga sebagai nelayan yang
banyak melaut di malam hari.
"Hari telah mulai menjelang malam", berdesis kembali
suara Ki Demang melihat hari sudah mulai menjadi gelap
menyelimuti sekitar Kademangan Pasirian.
"Apakah kita akan terus menyiagakan para prajurit
pengawal kademangan di setiap padukuhan?", berkata
Ki Jagabaya kepada Ki Demang Pasirian merasa yakin
tidak akan terjadi apapun karena sudah hampir
menjelang dua malam ancaman kerusuhan tidak terbukti.
"Kita lihat dua tiga hari ini", berkata Ki Demang
Pasirian merasa ragu. Sementara itu sang malam terlihat mulai merayap,
bulan sabit mengintip bergantung di langit gelap tanpa
bintang. Suasana malam di Kademangan Pasirian terasa
seperti menjadi mencekam, senyap.
"Lihatlah, ada cahaya merah di Padukuhan Ngalor",
berkata Ki Demang Pasirian sambil berdiri.
"Mereka telah membakar rumah warga", berkata Ki
Jagabaya sambil ikut berdiri melihat arah warna merah
yang bersumber dari Padukuhan Ngalor.
Bersamaan dengan perkataan Ki Jagabaya, telah
terdengar suara kentongan bahaya kebakaran terdengar
bersahut-sahutan dari beberapa padukuhan terdekat.
"Bunyikan kentongan", berkata Ki Demang Pasirian
kepada Ki Jagaraga. Terlihat Ki Jagabaya telah turun dari pendapa
langsung menuju kearah gardu ronda yang ada di depan
528 halaman rumah Ki Demang Pasirian. Nada titir yang
panjang sebagai tanda bahaya kebakaran terdengar
mengalun-alun di kegelapan malam itu.
Sementara itu di belakang rumah Ki Demang
Pasirian, terlihat putra sulungnya seperti tersentak
langsung bangkit berdiri melupakan rasa kantuknya. Dan
tanpa berpikir lebih lama tangannya telah meraih panah
sanderan yang tidak jauh dari tempatnya.
Dan di kegelapan langit malam terlihat sebuah panah
sanderan melesat membumbung tinggi. Tiga kali cahaya
panah sanderan itu terlihat mengudara dengan jelang
terpisah sedikit waktu. Sebagaimana yang dilihat oleh Ki Demang Pasirian
dan Ki jagabaya, cahaya merah di kegelapan malam itu
ternyata bersumber dari sebuah rumah yang tengah
terbakar di Padukuhan Ngalor.
Dalam cahaya terang, kebakaran itu terlihat lima
puluh orang bersenjata terhunus seperti tengah gembira
menyaksikan sebuah tontonan yang mengasyikkan.
Mereka tertawa gembira melihat para warga Padukuhan
keluar berhamburan menyelamatkan diri mendengar
ancaman dari orang-orang itu yang akan membumi
hanguskan seluruh Kademangan Pasirian.
"Kawan-kawan, bakarlah dua rumah sekaligus agar
pesta kita menjadi lebih semarak lagi", berkata seorang
yang nampaknya pemimpin dari gerombolan itu dari atas
kudanya. Terlihat tujuh orang dari mereka dengan obor di
tangan menuju ke arah dua rumah yang berdekatan
dengan rumah yang tengah terbakar yang sudah mulai
berkurang kobarannya apinya.
529 Manakala rumah pertama terlihat sudah semakin
menyusut dan redup karena sudah hampir sebagian
rumah dari bahan kayu itu terbakar, sementara itu dua
rumah didekatnya belum juga ada tanda-tanda mulai
terbakar, bahkan masih terlihat utuh di kegelapan malam
itu. Hingga cahaya api yang membakar rumah pertama
sudah menjadi semakin redup, belum juga ada tandatanda pembakaran apapun di kedua rumah tetangga
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terdekat itu. "Bajang Waseso, coba kamu lihat ada apa dengan
mereka", berkata pemimpim mereka kepada salah
seorang anak buahnya. Terlihat orang yang dipanggil dengan nama Bajang
Waseso itu segera berlari menengok kawan-kawannya
yang diperintahkan membuat pembakaran dua buah
rumah secara serentak. Sementara itu cahaya api dari rumah yang terbakar
sudah semakin redup, kegelapan malam kembali
meredupkan pemandangan. "Dasar orang-orang bodoh", mengumpat sang
pemimpin itu meresa jengkel mendapatkan orangorangnya belum ada yang muncul memberi kabar
mengapa belum juga dapat membakar kedua rumah itu.
Bagaimana pemimpin itu tidak menjadi kesal hatinya,
pertama tujuh orang yang di perintahkan untuk
membakar dua rumah secara serentak tidak terlihat
kembali, selanjutnya Bajang Wiseso ikut tidak terlihat
kembali batang hidungnya.
Dan baru saja mulutnya akan kembali meneriakkan
umpatan kasar yang lain, tiba-tiba saja dalam kegelapan
530 malam itu telah melihat banyak orang berdatangan
mengepung dirinya dan semua anak buahnya.
"Apakah kalian mau cari penyakit datang
mendekatiku?", berkata pemimpin itu dengan suara keras
seperti mencoba menakut-nakuti orang-orang yang
semakin banyak mengepung dirinya dan semua nak
buahnya itu. Orang-orang yang mengepung para perusuh itu telah
semakin mendekat. "Menyerahlah kalian, jumlah kami lebih banyak dari
kalian", berkata seorang pemuda yang terdepan kepada
pimpinan perusuh itu. Ternyata pemuda itu adalah Gajahmada. Nampaknya
Gajahmada bersama para prajuritnya tidak memakai
pertanda keprajuritan. Gajahmada bermaksud untuk
memberi kesan bahwa mereka adalah warga setempat
dan bukan prajurit Majapahit. Dengan cara seperti itu
akan membuat jera para perusuh tidak berani membuat
onar di Kademangan Pasirian.
"Kalian para petani dan nelayan bodoh yang sudah
bosan hidup", berkata pimpinan perusuh itu masih dari
atas kudanya. "Kami bukan orang bodoh, kami datang untuk
meringkus kalian semua", berkata Gajahmada dengan
senjata sebuah arit yang biasa digunakan para petani
untuk membersihkan rumput-rumput liar.
Mendengar perkataan Gajahmada telah membuat
pimpinan perusuh itu seperti terbakar kemarahannya.
"Bunuh semua orang ini, hari ini kita berpesta api dan
darah orang-orang bodoh ini", berkata pimpinan perusuh
itu sambil mengangkat tinggi-tinggi golok panjangnya
531 memberi perintah. Mendengar suara teriakan pimpinan mereka yang
memerintah itu, seketika itu juga para perusuh itu telah
bergerak dengan senjata terhunus.
Para prajurit Majapahit yang ikut bersama
Gajahmada adalah para prajurit yang sudah sangat
terlatih, mereka dapat menggunakan berbagai jenis
senjata, juga berbagai peralatan khusus seperti pacul
dan arit dapat mereka pergunakan sebagai senjata. Yang
pasti apapun ditangan mereka akan menjadi sebuah
senjata yang berbahaya. Maka tidak lama berselang dua kubu itu telah saling
bertempur dan beradu senjata. Bukan main terkejutnya
para perusuh itu yang menyangka hanya berhadapan
dengan para petani dan para nelayan. Ternyata mereka
seperti menghadapi orang-orang yang sudah sangat
terlatih. Para prajurit itu bukan hanya pandai menggunakan
senjata, tapi mereka juga sangat pandai dan terlatih
dalam peperangan secara berkelompok.
Dalam satu gebrakan saja beberapa orang perusuh
sudah dapat mereka lumpuhkan.
Semua yang terjadi dalam pertempuran itu tidak
lepas dari pandangan mata pimpinan perusuh itu, terlihat
dirinya merasa heran bahwa para petani dan nelayan itu
begitu terlatih dalam alur gerak pertempuran mereka.
"Jangan heran melihat para petani dan nelayan itu,
mereka sudah lama berlatih guna menghadapi orangorang seperti kalian", berkata Gajahmada kepada
pemimpin perusuh itu. "Kusumbat mulut sombongmu itu", berkata pemimpin
532 itu sambil meloncat dari kudanya.
Terlihat orang itu telah berdiri dengan mata dan
wajah beringas sangat menakutkan seperti ingin melumat
tubuh Gajahmada di hadapannya itu.
Gajahmada yang sudah punya rasa kepercayaan diri
yang sangat tinggi itu terlihat hanya tersenyum sambil
menggamit senjata arit di tangannya. Tidak sedikitpun
rasa takut terlihat di wajahnya.
"Sungguh beraninya kamu memilih lawan tanding
seperti aku", berkata orang itu seperti memberi
kesempatan kepada Gajahmada untuk berpikir ulang
mencari lawan yang lain. "Tidak perlu memiliki keberanian tinggi untuk
menghadapi orang sepertimu", berkata Gajahmada
dengan nada bicara seperti tidak mau kalah.
"Ternyata kamu memang anak muda yang sombong,
Aku Jalakrumi dikenal bertangan dingin tidak punya belas
kasih kepada orang muda yang sombong seperti dirimu",
berkata orang itu menyatakan nama jati dirinya.
"Nama yang cukup bagus, aku ingin lebih mengenal
kemampuannya, jangan-jangan hanya sekelas tukang
kepruk di pasar", berkata Gajahmada sambil berdiri
dengan sikap menantang. "Baru kali ini aku melihat ada seorang anak muda
yang sangat sombong", berkata Jalakrumi dengan wajah
geram menahan amarah yang sudah meledup-ledup
diatas kepalanya dan sudah langsung bergerak
menerjang dengan senjata terhunus mengancam dada
Gajahmada. Bukan main terkejutnya Jalakrumi mendapatkan
serangan pertamanya dengan muda dikaliskan oleh
533 Gajahmada dengan cara yang sangat ringan dan mudah
sekali. "Gila!!", berteriak Jalakrumi seperti tidak percaya
bahwa anak muda yang menjadi lawannya punya
gerakan yang begitu cepat untuk menghindar dari
serangannya. Ternyata gerakan Gajahmada tidak sampai disitu
saja, sebuah tendangan yang juga sangat cepat telah
meluncur kearah pinggang Jalakrumi.
Bukk!!! Jalakrumi tidak dapat menghindari tendangan
Gajahmada yang meluncur dengan cepat itu dan
langsung terlempar berguling di tanah kotor.
"Ternyata kemampuanmu cukup tinggi juga, anak
muda", berkata Jalakrumi yang langsung bangkit berdiri
menatap Gajahmada dengan mata penuh kekaguman.
"Aku belum menunjukkan ilmuku sesungguhnya", berkata Gajahmada seperti
memanas-manasi amarah Jalakrumi.
yang ingin "Dasar anak sombong", berkata Jalakrumi sambil
bergerak maju kedepan mendekati Gajahmada.
Nampaknya Gajahmada telah dapat memancing
amarah Jalakrumi, terlihat mata Jalakrumi berkilat penuh
amarah yang sangat besar seperti ingin secepatnya
mencincang tubuh Gajahmada.
Tidak seperti serangan pertamanya, nampaknya
Jalakrumi sudah tidak memandang enteng lawan
tempurnya yang masih muda itu.
Serangan Jalakrumi terlihat sangat keras dan kuat
tanpa meninggalkan kewaspadaannya. Dan Gajahmada
534 dapat merasakan perubahan itu, namun dengan
kecepatannya bergerak, Gajahmada dapat selalu
melepaskan diri dari setiap serangan yang keras dan
kuat itu. Tring !!! Arit ditangan Gajahmada telah beradu dengan
senjata golok panjang Jalakrumi. Terlihat Jalakrumi
melompat dua langkah dari tempatnya berdiri.
Ternyata Jalakrumi merasakan telapak tangannya
menjadi panas dan tergetar hingga hampir saja
melepaskan senjata dalam genggamannya itu.
"Tenagamu sungguh sangat kuat wahai anak muda",
berkata Jalakrumi seperti tidak percaya bahwa anak
muda yang menjadi lawan bertempurnya itu punya
tenaga yang sangat kuat. "Aku belum memperlihatkan yang lebih dari itu",
berkata Gajahmada sambil tersenyum memandang
kearah Jalakrumi. "Yang pasti aku belum menyerah kalah", berkata
Jalakrumi sambil langsung bergerak maju melakukan
serangan kembali. Terlihat Jalakrumi dalam serangannya selalu
menghindari benturan senjatanya, mengetahui bahwa
tenaga anak muda yang menjadi lawannya itu seperti
punya kekuatan diatas tatarannya. Nampaknya Jalakrumi
mengandalkan kelincahannya bertempur.
Gajahmada memang sudah dapat membaca sampai
dimana tataran ilmu Jalakrumi, namun belum berpikir
untuk menuntaskan pertempurannya, masih sengaja
menahan Jalakrumi agar tidak mencari lawan selain
dirinya. Berkali-kali Gajahmada menghindari serangan
535 Jalakrumi sambil sekali-kali membalas serangannya.
Sambil bertempur, Gajahmada masih dapat melihat
bagaimana para prajurit Majapahit dapat menguasai
pertempuran itu, jumlah mereka yang lebih banyak
hingga dua kali lipat dari jumlah para perusuh, juga
kemahiran mereka yang sangat berpengalaman dalam
bertempur secara berkelompok telah membuat para
perusuh itu satu persatu dapat dilumpuhkan dengan
sangat mudahnya. Nampaknya Gajahmada telah dapat berpikir bahwa
pertempuran itu akan segera selesai dimana jumlah
pihak musuh sudah semakin surut tajam, perlawanan
pihak musuh sudah semakin tidak berarti lagi di hadapan
para prajurit Majapahit itu yang menyamar sebagai warga
biasa, warga Kademangan Pasirian.
Berpikir seperti itu telah merubah gerak serangan
Gajahmada yang tidak hanya sekedar melayani
Jalakrumi, tapi sudah kearah untuk segera menundukkannya. Bukan main kagetnya perubahan yang tiba-tiba itu.
Jalakrumi merasakan JILID 7 SEBAGAI seorang yang punya banyak pengalaman
bertempur, baru kali ini Jalakrumi merasakan tekanan
serangan yang begitu kuat. Jalakrumi telah dapat
menduga bahwa anak muda yang menjadi lawannya itu
telah menunjukkan kemampuan yang sebenarnya.
Keringat bercucuran membasahi tubuh Jalakrumi
yang terus menghindar tanpa dapat membalas serangan
Gajahmada yang hanya menggunakan sebuah senjata
536 seorang petani biasa, sebuah arit pemotong rumput.
Tranggg !!! Sebuah benturan senjata tidak bisa di hindari lagi,
golok panjang Jalakrumi terlihat terlempar jatuh ke tanah.
"Gila kekuatan anak muda ini", berkata Jalakrumi
dalam hati sambil merasakan telapak tangannya yang
masih tergetar panas. Namun belum lagi reda rasa panas telapak
tangannya, juga rasa terkejutnya itu, entah dengan cara
apa anak muda di hadapannya itu telah bergerak dengan
sangat cepat sekali tak mampu diikuti oleh mata
kasatnya. "Menyerah atau kukutungi lehermu", berkata
Gajahmada dengan suara seperti berbisik di telinga
Jalakrumi. Bergidik seluruh tubuh Jalakrumi merasakan
dinginnya sebuah besi tajam melingkari lehernya.
"Aku menyerah", berkata Jalakrumi tanpa berpikir
panjang lagi. Terlihat Gajahmada memanggil salah seorang
prajuritnya untuk mengikat kedua tangan Jalakrumi.
Sementara itu pertempuran para perusuh dengan
prajurit Majapahit sudah menjadi kurang berarti lagi,
sebentar lagi para perusuh itu sudah dapat dipastikan
sudah dapat dilumpuhkan. "Menyerah atau kubuat kamu cacat seumur
hidupmu", berkata seorang prajurit kepada seorang
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perusuh yang sudah terkepung.
Mendengar ancaman prajurit itu, terpikir bahwa
dirinya akan menjadi seorang yang cacat. Terbayang
537 dalam benak orang itu seorang yang kutung satu kaki.
"Aku menyerah", berkata orang itu sambil
membayangkan nasibnya bila terus melawan dan prajurit
itu benar-benar melaksanakan ancamannya.
Sementara itu di sisi yang lain lagi terlihat dua orang
perusuh telah melemparkan senjatanya manakala
melihat hampir semua kawannya telah dapat
dilumpuhkan. "Aku menyerah", berkata seorang perusuh sambil
melemparkan senjatanya dan diikuti oleh kawannya.
Terlihat kedua orang itu seperti pasrah manakala
kedua tangan mereka diikat kuat-kuat.
Dan di ujung malam itu, terlihat para perusuh telah
digelandang ke rumah kediaman Ki Demang Pasirian.
Terlihat Ki Demang Pasirian dan para prajurit pengawal
Kademangan ikut mengiringi.
"Jangan sekali-kali berpikir untuk melarikan diri",
berkata Gajahmada kepada Jalakrumi yang terdiam
manakala mereka diikat menjadi satu dan didudukkan di
depan halaman rumah Ki Demang Pasirian.
Nampaknya Jalakrumi dan seluruh anak buahnya
masih berpikir bahwa yang telah melumpuhkan mereka
adalah para warga Pasirian sendiri.
"Aku tidak menyangka bahwa orang-orang Pasirian
adalah orang-orang yang terlatih, terutama anak muda
itu", berkata Jalakrumi dalam hati sambil duduk di tanah
bersama semua anak buahnya.
Hingga akhirnya manakala pagi telah menjadi terang
tanah, para tawanan itu terlihat kembali digelandang
keluar dari Kademangan Pasirian. Nampaknya mereka
tengah menuju Kadipaten Lamajang. Para prajurit
538 pengawal Kademangan Pasirian yang mengawal
perjalanan mereka dibantu sekitar dua puluh orang
Prajurit Majapahit yang menjaga hal-hal yang tidak
diinginkan terjadi dalam perjalanan mereka.
Sementara itu Gajahmada dan seluruh prajuritnya
telah ditarik kembali menghilang di persembunyian
mereka, di hutan-hutan yang sangat lebat di sekitar
Tanah Lamajang. Hingga dua pekan kemudian, mereka telah menemui
kerusuhan yang lain di sebuah Kademangan yang lain di
Tanah Lamajang itu. Namun sebagaimana di
Kademangan Pasirian, Gajahmada bersama para
prajuritnya telah dapat meredam kerusuhan itu,
membawa banyak tawanan ke Kadipaten Lamajang.
Sebagaimana di Tanah Lamajang, di sekitar Tanah
Blambangan hingga ke Banyuwangi juga banyak terjadi
tekanan kerusuhan yang nampaknya dikendalikan oleh
orang-orang yang tidak menginginkan jalur perdagangan
para pribumi menjadi tuan di tanahnya sendiri.
Namun Mahesa Semu dan Adityawarman yang
dibantu oleh para prajurit Majapahit yang sudah sangat
berpengalaman di berbagai banyak pertempuran telah
dapat melumpuhkan tekanan-tekanan dari para perusuh
itu. Hingga akhirnya tekanan-tekanan itu beralih kepada
gangguan di pergudangan Bandar pelabuhan yang
dimiliki oleh para pribumi di Pasuruan, Banger dan
Banyuwangi. Namun kembali Gajahmada, Mahesa Semu dan
Adityawarman bersama para prajurit Majapahit dapat
melumpuhkan para perusuh itu.
539 "Dari semua kerusuhan ini, nampaknya berasal dari
Kademangan Randu Agung", berkata Gajahmada
kepada beberapa orang perwiranya di sebuah malam
ditempat persembunyian mereka.
"Sudah saatnya kita mengarahkan kekuatan untuk
membentur mereka di pusat kekuatannya, di
Kademangan Randu Agung", berkata kembali Gajahmada kepada para perwiranya.
"Kita belum tahu sampai dimana kekuatan mereka
itu", berkata seorang perwira mengingatkan Gajahmada.
Sebagaimana pernah disinggung dalam sebuah
pembicaraan antara Empu Nambi dan putranya Adipati
Menak Koncar di istana Majapahit beberapa waktu yang
lewat, Kademangan Randu Agung adalah bermula dari
sebuah pemukiman kecil di pinggir hutan Randu Agung.
Atas persetujuan Adipati Menak Koncar, Ki Randu Alam
bersama para pengikutnya yang datang dari Tanah
Sunginep telah membuka hutan Randu Agung itu untuk
sebuah pemukiman baru. Ternyata Ki Randu Alam adalah seorang yang sangat
gigih, dengan sangat cepat sekali telah berhasil
mempengaruhi para pedagang di sepanjang pesisir timur
Jawadwipa. Dengan pengaruhnya pula para pedagang
dari Balidwipa telah menjalin kerja sama dengannya.
Bersamaan dengan pengaruh jalur perdagangan di
timur Jawadwipa yang telah berada di tangan Ki Randu
Alam, pemukiman di pinggir hutan Randu Agung ikut pula
berkembang menjadi sebuah pemukiman besar, sebagai
tempat singgah berbagai macam jenis barang
perdagangan seperti kapas, kemenyan dan berbagai
barang hasil hutan lainnya.
Perlahan tapi pasti, pemukiman baru itu telah
540 berubah menjadi sebuah Kademangan baru bernama
Kademangan Randu Agung. Ki Randu Alam memang bukan seorang Demang,
namun rumah kediamannya lebih besar dari rumah
seorang demang, bahkan lebih besar dan megah dari
tempat kediaman seorang Adipati sekalipun.
Dan hari itu adalah genap dua pekan Gajahmada dan
Supo Mandagri berada di Kademangan Randu Agung
untuk dapat mengamati lebih dekat lagi sepak terjang
dari Ki Randu Alam yang di curigai berada dibelakang
semua rencana yang dianggap akan merusak sebuah
kemapanan di bumi Majapahit itu.
Di hari pasaran, Gajahmada dan Supo Mandagri
menyamar sebagai pedagang keris dan batu aji. Di hari
lainnya mereka berdua tetap tinggal disekitar
Kademangan Randu Agung. Para penduduk setempat
memang tidak mencurigai keberadaan mereka berdua,
karena beberapa pedagang lainnya juga banyak yang
cukup lama menetap di Kademangan Randu Agung
sebagaimana mereka berdua.
"Sebuah rumah yang sangat megah, lebih besar dari
rumah Adipati Menak Koncar", berkata Supo Mandagri
kepada Gajahmada ketika mereka berdua berjalan di
muka kediaman Ki Randu Alam.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Supo Mandagri,
rumah kediaman Ki Randu Alam memang terlihat sangat
besar dan megah. Halaman mukanya sangat luas sekali
dimana di muka regolnya ada sebuah gardu jaga yang
selalu ramai di penuhi sekitar lima sampai enam orang
penjaga. "Selama tinggal di Lamajang, kamu tidak pernah
pergi kemana-mana?", bertanya Gajahmada kepada
541 Supo Mandagri. Namun belum sempat Supo Mandagri menjawab
pertanyaan Gajahmada, seorang penjaga terlihat keluar
dari gardu jaganya. Pada saat itu Gajahmada dan Supo
Mandagri baru saja melewati pintu gerbang rumah Ki
Randu Alam yang sangat luas itu.
"Berhenti dan kemarilah kalian berdua", berkata
penjaga itu memanggil Gajahmada dan Supo Mandagri.
Sekejap Gajahmada dan Supo Mandagri cukup
terkejut mendengar panggilan penjaga itu. Mereka
memastikan tidak ada seorang pun disitu selain mereka
berdua. "Apakah yang Kisanak maksudkan adalah kami
berdua?", berkata Gajahmada yang telah berhenti dan
membalikkan badannya kearah penjaga itu.
"Benar, kalianlah yang kami maksudkan", berkata
penjaga itu bergaya seperti seorang tuan besar kepada
Gajahmada dan Supo Mandagri.
"Ada keperluan apakah Kisanak kepada kami
berdua?", berkata Gajahmada kepada penjaga itu
setelah berjalan menghampirinya.
"Bukankah kalian berdua para pedagang keris dan
batu aji di pasar Kademangan?", berkata penjaga itu
kepada Gajahmada. "Kisanak benar, kami memang pedagang keris dan
batu aji", berkata Gajahmada kepada penjaga itu.
"Kami ingin melihat barang dagangan kalian, siapa
tahu ada keris dan batu aji yang berminat di hati", berkata
penjaga itu kepada Gajahmada dan Supo Mandagri.
"Sayang sekali kami tidak membawa barang 542 dagangan, namun bila Kisanak mau menunggu, kami
akan mengambilnya di rumah tempat kami menginap",
berkata Gajahmada penuh keramahan kepada penjaga
itu. "Pergi dan kembalilah dengan membawa barang
daganganmu itu", berkata kembali penjaga itu masih
bergaya seorang tuan besar kepada Gajahmada.
"Tunggulah, kami akan datang kembali", berkata
Gajahmada kepada penjaga itu sambil menggamit
tangan Supo Mandagri. Maka tidak lama berselang, terlihat Gajahmada dan
Supo Mandagri sudah datang kembali langsung ke gardu
penjaga di muka regol pintu rumah kediaman Ki Randu
Alam itu. "Keris kami pembuatannya sangat halus, batu aji
kami juga adalah batu-batu pilihan yang kami dapatkan
dari berbagai tempat, bahkan ada yang kami dapatkan
berasal dari tanah Gurun", berkata Gajahmada seorang
penjaga yang tadi memanggil mereka sambil menggelar
dagangannya di muka gardu jaga rumah kediaman Ki
Randu Alam. Ternyata kawan penjaga itu menjadi ikut tertarik,
mereka semua terlihat keluar dari gardu jaga untuk
melihat berbagai macam keris dan batu aji yang di bawa
oleh Gajahmada dan Supo Mandagri.
"Bukankah ini batu panca warna?", berkata salah
seorang penjaga yang sangat tertarik dengan salah satu
batu aji yang di bawa Gajahmada.
"Benar, batu itu adalah panca warna yang berasal
dari sebuah tempat di Tanah Pasundan. Prabu Guru
Darmasiksa kabarnya memakai batu jenis ini
543 ditangannya", berkata Gajahmada membenarkan perkataan penjaga itu yang tengah mencermati sebuah
batu di tangannya. Mendengar perkataan Gajahmada, seorang penjaga
yang tengah memperhatikan sebuah batu aji terlihat
menatap dalam-dalam kearah Gajahmada.
"Kamu pernah ke Tanah Pasundan?", bertanya
penjaga itu kepada Gajahmada
"Sewaktu kecil aku suka dibawa oleh ayahku
berdagang hingga ke Tanah Pasundan?", berkata
Gajahmada sambil tersenyum.
"Tunggulah kamu disini, aku akan mencoba
menawarkan daganganmu ini kepada Ki Randu Alam,
kudengar dirinya sangat menggemari batu aji", berkata
penjaga itu yang langsung berjalan kearah pendapa
rumah Ki Randu Alam. Berdebar rasa hati Gajahmada mendengar bahwa
penjaga itu akan menawarkan barang dagangannya
kepada Ki Randu Alam. "Tamat sudah penyamaranku", berkata Gajahmada
dalam hati dengan perasaan dan pikiran tidak menentu
dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
Sementara itu beberapa penjaga yang lainnya masih
sibuk melihat-lihat keris dan batu aji yang dibawanya.
"Bila tuan kami membeli barang daganganmu, jangan
lupakan kami", berkata salah seorang penjaga kepada
Gajahmada. Mendengar perkataan penjaga itu, Gajahmada tidak
menjawab apapun, hanya tersenyum kepada penjaga itu
sebagai pertanda dirinya dapat mengerti kemana arah
pembicaraan penjaga itu. 544 Di benak lain Gajahmada masih memikirkan tentang
Ki Randu Alam yang sudah pasti akan mengenal jati
dirinya karena mereka pernah bertemu dan bertempur
beberapa waktu yang telah lewat di sekitar Kademangan
Simpang. Hati Gajahmada semakin berdebar-debar manakala
melihat seorang penjaga datang dari arah pendapa
rumah Ki Randu Alam. "Ki Randu Alam berkenan untuk melihat barang
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
daganganmu", berkata penjaga itu kepada Gajahmada
setelah dekat di gardu Jaga. Tidak ada kesempatan
apapun bagi Gajahmada untuk menolak. Pikirannya telah
pasrah menerima apapun yang akan terjadi.
"Supo Mandagri, ikutlah bersamaku"
Gajahmada kepada Supo Mandagri.
berkata Sebagai seorang yang telah mengenal Gajahmada,
nampaknya Supo Mandagri dapat membaca ketegangan
hati sahabatnya itu. Tanpa berkata apapun Supo
Mandagri telah membantu Gajahmada mengumpulkan
barang dagangannya. "Jangan jauh-jauh dariku", berbisik Gajahmada
kepada Supo Mandagri yang telah berjalan disisinya.
Halaman rumah Ki Randu Alam memang cukup luas,
terlihat Gajahmada dan Supo Mandagri berjalan
mengikuti seorang penjaga di depan mereka.
Sementara itu hati dan perasaan Gajahmada
semakin berdebar debar, membayangkan apa yang akan
terjadi bila Ki Randu Alam masih mengenalinya.
"Naiklah keatas, aku ingin melihat barang yang kalian
punya", berkata Ki Randu Alam manakala mereka telah
berada di bawah panggung pendapa.
545 "Orang tua itu nampaknya belum jelas melihatku",
berkata Gajahmada dalam hati yang mulai menapaki
anak tangga panggung pendapa Ki Randu Alam.
"Orang tua ini benar-benar tidak mengenaliku",
berkata kembali Gajahmada manakala telah berada
diatas panggung pendapa bertatap muka dengan Ki
Randu Alam. Sambil menggelar barang dagangannya, Gajahmada
merasa heran sekali bahwa Ki Randu Alam atau yang
dikenalnya bernama Ki Arya Wiraraja itu benar-benar
tidak mengenalnya dimana mereka pernah beradu
tangan bertempur di sekitar Kademangan Simpang
beberapa waktu yang telah lewat manakala Gajahmada
tengah bertugas mengiringi keluarga kerajaan Majapahit
berkunjung ke Kotaraja Singasari.
"Kerismu sangat halus pembuatannya", berkata Ki
Randu Alam kepada Gajahmada sambil mengamati
ukiran dan lekuk keris yang dihiasi oleh beberapa batu
permata. "Apakah orang tua ini sudah menjadi pikun ?",
berkata Gajahmada dalam hati yang diam-diam
mengamati wajah Ki Randu Alam yang diyakini adalah
orang yang sama, yang dikenalnya bernama Ki Arya
Wiraraja itu. Seorang lelaki yang sudah putih seluruh
rambut, kumis dan janggutnya yang berjurai panjang.
Namun masih memiliki tubuh yang tegap dan sangat
kekar sebagai pertanda selalu berlatih olah kanuragan.
Pada saat itu Gajahmada dan Supo Mandagri duduk
menyamping di dekat Ki Randu Alam yang duduk
menghadap kearah halaman pendapanya.
"Batu hijau dari tanah Gurun", berkata Ki Randu Alam
sambil menerawang sebuah batu ditangannya.
546 "Ternyata Ki Randu Alam sangat ahli mengenal
berbagai jenis batu aji", berkata Gajahmada yang mulai
merasa tenang, meyakini bahwa orang tua itu
nampaknya tidak mengenalnya, atau telah melupakan
wajahnya. Namun kembali hati dan perasaan anak muda itu
berdebar kencang manakala dilihatnya seorang lelaki tua
yang lain bersama seorang lelaki muda berjalan di
halaman tengah menuju kearah pendapa.
Ternyata Supo Mandagri ikut melirik dua orang yang
tengah berjalan mendekati arah panggung pendapa.
Terlihat Gajahmada dan Supo Mandagri saling
beradu pandang manakala kedua orang itu sudah
semakin mendekati anak tangga pendapa kediaman Ki
Randu Alam. Nampaknya Supo Mandagri telah mengenali seorang
lelaki tua yang telah melangkahkan kakinya di anak
tangga panggung pendapa itu. Sementara Gajahmada
bukan hanya mengenali lelaki tua itu saja, bahkan anak
muda yang berada dibelakangnya sudah dikenal oleh
Gajahmada. Perasaan Gajahmada dan Supo Mandagri memang
menjadi sangat ketar-ketir berdebar tidak keruan melihat
kedua orang itu sudah berada diatas panggung pendapa
kediaman Ki Randu Alam itu.
"Tamatlah sudah Gajahmada dalam hati. penyamaranku", berkata Apa yang dikhawatirkan oleh Gajahmada ternyata
akhirnya memang menjadi kenyataan manakala dirinya
dan lelaki tua itu telah beradu pandang dengannya.
Terlihat lelaki tua itu seperti terkejut menatap wajah
547 Gajahmada. "Ki Randu Alam, kedua orang itu adalah mata-mata
musuh", berkata lelaki tua itu sambil tangannya menunjuk
kearah Supo Mandagri dan Gajahmada.
Namun bersamaan dengan perkataan lelaki tua itu,
Gajahmada dan Supo Mandagri sudah berdiri mundur
beberapa langkah menjauhi Ki Randu Alam.
"Ki Ajar Pelandongan, katakan siapa kedua anak
muda ini", berkata Ki Randu Alam kepada lelaki tua yang
baru datang itu yang ternyata adalah Ki Ajar
Pelandongan. "Aku pernah bertemu dengan mereka di sekitar hutan
Kemiri, seorang diantara mereka memakai pertanda
prajurit Majapahit", berkata Ki Ajar Pelandongan kepada
Ki Randu Alam. "Kami juga pernah bertemu dengan orang itu
disekitar pesisir Tuban", berkata seorang anak muda
didekat Ki Ajar Pelandongan yang ternyata adalah Kuda
Anjampiani sambil menunjuk kearah Gajahmada.
"Anak muda, benarkah apa yang dikatakan oleh
mereka?", bertanya Ki Randu Alam mengarahkan
tatapan matanya yang begitu tajam kepada Gajahmada.
Nampaknya Gajahmada sudah merasa terlanjur
basah, tidak mungkin lagi dapat menutupi penyamarannya dan telah bersiap diri untuk menghadapi
apapun yang terjadi. "Apa yang mereka katakan memang benar, aku
adalah seorang prajurit Majapahit", berkata Gajahmada
dengan suara penuh ketenangan diri.
"Terlalu berani masuk ke tempat kediamanku, dan
kalian akan menerima ganjaran yang sesuai", berkata Ki
548 Randu Alam kepada Gajahmada dan Supo Mandagri.
"Kami bukan orang yang lemah, cobalah untuk
menangkap kami", berkata Gajahmada sambil memberi
tanda kepada Supo Mandagri untuk melompat lewat
pagar kayu pendapa. Terlihat dengan sangat cepat dan ringan sekali
Gajahmada telah melesat melewati pagar kayu pendapa
diikuti oleh Supo Mandagri di belakangnya.
Namun begitu Gajahmada dan Supo Mandagri
menjejakkan kakinya di halaman rumah Ki Randu Alam
yang sangat luas itu, terlihat Ki Randu Alam seperti
terbang melenting dengan sangat cepat sekali
melampaui tubuh kedua anak muda itu.
"Tutup gerbang, jangan biarkan keduanya keluar",
berkata Ki Randu Alam memberi perintah kepada para
penjaga. Ternyata suara Ki Randu Alam telah terdengar oleh
orang-orangnya yang berada di pondok-pondok di
samping bangunan utama, terlihat mereka langsung
keluar mendekati halaman muka.
Dalam waktu yang amat singkat, Gajahmada dan
Supo Mandagri telah terkepung di tengah halaman yang
cukup luas itu tanpa sebuah senjata apapun di tangan
mereka. "Jangan menjauh dariku",
kepada Supo Mandagri. "Tangkap mereka!", berkata
memerintahkan orang-orangnya.
berkata Ki Gajahmada Randu Alam Ada sekitar dua belas orang dengan berbagai jenis
senjata telah mulai bergerak mendekati Gajahmada dan
Supo Mandagri. 549 Maka tidak lama berselang, Gajahmada dan Supo
Mandagri sudah harus melayani serangan orangorangnya Ki Randu Alam.
Tidak sulit bagi Gajahmada menghadapi orang-orang
itu, tapi pikirannya saat itu terpecah oleh kekhawatirannya atas diri Supo Mandagri.
Sambil bertahan Gajahmada sempat melirik kearah
Supo Mandagri yang juga tengah menghadapi lawanlawannya.
"Aku harus segera mengurangi jumlah mereka",
berkata Gajahmada dalam hati yang melihat Supo
Mandagri cukup kewalahan menghadapi beberapa orang
tanpa senjata. Berpikir seperti itu terlihat Gajahmada telah
meningkatkan kemampuannya, telah bergerak dengan
sangat cepat sekali. Luar biasa tandang Gajahmada itu, tiga orang
lawannya terlihat terpental terkena terjangan kaki dan
tangannya. Apa yang dilakukan oleh Gajahmada tidak luput dari
perhatian Ki Randu Alam. "Luar biasa anak muda itu", berkata Ki Randu Alam
dalam hati sambil terus mengamati jalannya
pertempuran. Belum habis ucapan Ki Randu Alam, empat orangnya
telah kembali bergelimpangan terkena sapuan terjangan
Gajahmada. "Anak muda ini adalah bagianku", berkata Ki Randu
Alam sambil berjalan mendekati Gajahmada.
Mendengar perkataan Ki Randu Alam, beberapa
550 orang telah menyingkir dari hadapan Gajahmada dan
langsung berpindah ke arah Supo Mandagri.
"Akulah yang pantas menghadapimu, anak muda",
berkata Ki Randu Alam sambil langsung menerjang lewat
tendangan kakinya yang terlihat sangat cepat penuh
dengan kekuatan tenaga penuh.
Bukan main terkejutnya Gajahmada menghadapi
serangan itu, tidak ada jalan lain selain meningkatkan
tataran ilmunya. "Aku seperti tidak melihat Ki Randu Alam yang
kukenal beberapa waktu yang lalu", berkata Gajahmada
sambil terus melayani serangan Ki Randu Alam.
Sambil bertempur, Gajahmada menjadi terheranheran melihat jurus-jurus dasar kanuragan yang dimiliki
oleh Ki Randu Alam sangat berbeda sekali gerakannya
ketika mereka bertempur di sekitar hutan Simpang.
"Apakah dalam pertempuran beberapa waktu yang
lalu itu, dia berpura-pura mengalah?", bertanya dalam
hati Gajahmada yang merasakan kemampuan tataran Ki
Randu Alam jauh lebih dahsyat dari sebelumnya.
Akhirnya Gajahmada tidak sempat berpikir apapun,
juga memikirkan keadaan Supo Mandagri. Serangan Ki
Randu Alam yang sangat kuat, keras dan sangat cepat
itu telah membuat Gajahmada tidak sempat berpikir
apapun selain dengan segala daya dan kemampuannya
berusaha keluar dari sergapan dan serangan Ki Randu
Alam yang sangat berbahaya. Sedikit saja kelengahan
akan berdampak buruk bagi dirinya.
Gajahmada dan Ki Randu Alam telah bertempur
layaknya dua naga kanuragan yang telah melambari diri
masing-masing dengan tenaga sakti sejatinya. Arena
551 pertempuran keduanya sudah seperti bekas putaran
angin puting beliung menyisakan debu tanah dan rumput
kering yang terhambur beterbangan.
Sementara itu Ki Ajar Pelandongan yang berada di
luar pertempuran masih berdiri mengamati jalannya
pertempuran antara Gajahmada dan Ki Randu Alam.
Sebagai seorang yang pernah dikalahkan oleh
Gajahmada, terlihat Ki Ajar Pelandongan merasa sedikit
cemas meragukan Ki Randu Alam dapat melumpuhkan
anak muda yang diketahuinya memiliki ilmu kesaktian
yang amat tinggi itu. "Kita coba lumpuhkan anak muda itu dengan cara
kita sendiri", berkata Ki Ajar Pelandongan kepada Kuda
Anjampiani. Ternyata Ki Ajar Pelandongan yang punya segudang
akal liciknya itu telah berjalan bersama Kuda Anjampiani
menuju ke arah Supo Mandagri yang tengah
menghadapi lawan-lawannya. Dan dua orang guru dan
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
murid itu telah terjun langsung ikut mengeroyok Supo
Mandagri. Kasihan sekali anak muda itu, tanpa senjata
menghadapi beberapa orang lawannya yang lengkap
bersenjata telah membuatnya begitu kewalahan.
Dan Supo Mandagri sudah menjadi bulan-bulanan
mereka manakala Ki Ajar Pelandongan dan Kuda
Anjampiani ikut mengeroyoknya.
Kehadiran Ki Ajar Pelandongan dan Kuda Anjampiani
dalam pertempuran Supo Mandagri masih sempat dilihat
oleh Gajahmada. Namun Gajahmada tidak mampu berbuat apapun
karena terikat pertempuran dengan Ki Randu Alam yang
552 dirasakannya semakin gencar dengan serangan pukulan
yang bergulung-gulung dipenuhi angin tenaga sakti hawa
panas yang dapat membakar kulit tubuhnya.
Bukan Gajahmada bila tidak mampu menghadapi
serangan Ki Randu Alam, anak muda putra pendeta
Agung Dharmaraya yang telah memiliki bermacammacam ajian ilmu kesaktian itu telah melambari dirinya
dengan tameng ajian yang setara dengan ilmu kekebalan
lembu sekilan. Serangan angin pukulan Ki Randu Alam
yang panas laksana lahar gunung berapi itu kalis begitu
saja di tubuh Gajahmada, bahkan Gajahmada masih
sempat berbalas serangan tidak kalah dahsyatnya,
bergulung-gulung bagai badai dingin gunung salju keluar
dari angin pukulan dan angin tendangannya yang datang
seperti mengejar Ki Randu Alam.
Diam-diam Ki Randu Alam mengakui kemampuan
ilmu yang dimiliki oleh anak muda itu, hanya dengan ilmu
meringankan tubuhnya saja dirinya mampu dapat
bergerak menghindari angin serangan Gajahmada yang
dirasakan sungguh sangat dahsyat itu. Meski sudah
dapat keluar dari terjangan Gajahmada, tidak luput
merasakan kulit tubuhnya seperti tersengat hawa dingin
yang sangat menyakitkan. Terkesiap wajah orang yang dipanggil sebagai Ki
Randu Alam itu manakala merasakan kulitnya perih.
Sebagai seorang yang punya banyak pengalaman
bertempur, dirinya mengakui bahwa tataran kekuatan inti
sejatinya masih dibawah tataran lawannya.
Tapi Ki Randu Alam benar-benar seorang yang
tangguh, tidak mudah menyerah dan terus mencari
kelengahan lawannya. Pertempuran dua naga kanuragan
itupun terlihat semakin seru dan sangat menegangkan
sekali. 553 Dalam serang dan balas menyerang itu, akhirnya
Gajahmada telah dapat meyakini bahwa Ki Randu Alam
selalu menghindari serangannya jauh-jauh, bagi
Gajahmada menjadi sebuah ukuran bahwa angin
serangannya telah mampu menembus tataran pertahanan lawan. "Aku akan membuat tekanan lebih gencar lagi",
berkata Gajahmada dalam hati sambil bergerak lebih
cepat dan dengan kekuatan lebih berlipat-lipat.
"Gila kekuatan anak muda ini", berkata Ki Randu
Alam dalam hati merasakan angin dingin serangan
Gajahmada telah kembali menembus daya pertahannya
meski dirinya telah mencoba bergeser lebih jauh lagi.
Serangan yang terus menerus perlahan tapi pasti
telah menjadikan tenaga Ki Randu Alam semakin
terkuras, semakin menyusut.
Namun gelar kemenangan Gajahmada yang sudah
berada diatas angin itu tiba-tiba saja berubah arah.
Bergetar tubuh Gajahmada menahan rasa kemarahannya manakala mendengar suara Ki Ajar
Pelandongan di pinggir pertempurannya.
"Menyerahlah, nyawa kawanmu sudah berada di
tangan kami", berteriak Ki Ajar Pelandongan tertuju
kearah Gajahmada. Terlihat Gajahmada langsung melenting beberapa
langkah ke belakang tidak jadi melanjutkan serangannya.
"Apa arti selembar nyawa kawanmu untuk kami",
berkata kembali Ki Ajar Pelandongan kepada Gajahmada
yang hanya berdiri mematung tidak tahu apa yang harus
dilakukannya melihat sahabatnya berdiri dengan dua
lututnya dengan tubuh penuh bercucuran banyak darah.
554 Sementara itu sebuah keris tajam ditangan Kuda
Anjampiani menempel di kulit lehernya.
"Jangan hiraukan nyawaku, wahai sahabat.
Tumpaslah mereka semuanya", berkata Supo Mandagri
dengan suara lantang penuh keberanian.
Terlihat Gajahmada seperti sebuah arca hidup
menatap penuh iba wajah sahabatnya itu.
"Nyawa sahabatmu ini berada di tanganku", berkata
Kuda Anjampiani dengan senyum penuh kemenangan
sambil menarik rambut Supo Mandagri yang sudah tidak
berdaya itu. Sementara keris ditangannya semakin
melekat d kulit batang leher Supo Mandagri.
"Mereka mengancammu karena merasa tidak dapat
mengalahkanmu, jangan hiraukan selembar nyawaku ini.
Bunuh dua orang manusia licik ini untukku agar di
kehidupan selanjutnya mereka akan menjadi dua ekor
tikus cecurut yang sangat bau, selalu dikejar-kejar orang
untuk dibunuh", berkata Supo Mandagri tanpa rasa takut
sedikitpun, meski dibawah ancaman keris Kuda
Anjampiani yang menempel semakin ketat di kulit
lehernya. Terlihat Gajahmada masih terpaku berdiri.
"Akulah yang paling merasa bersalah bila nyawa
anak itu berakhir disini, akulah yang membawanya, dan
aku tidak akan membiarkan dirinya mati muda di tempat
ini", berkata Gajahmada dalam hatinya merasa bersalah
bila Supo Mandagri berkorban nyawa di tempat itu.
"Kupasrahkan diriku kepadamu, wahai Gusti Yang Maha
Agung, pemilik kehidupan ini", berkata kembali
Gajahmada membatin memasrahkan dirinya kepada
kehendak dan garis langkah hidupnya di hadapan Sang
Penguasa Jagad Alam Raya ini.
555 Membatin seperti itu telah membuat perasaan dan
ketenangan di wajah Gajahmada seperti hidup kembali.
"Aku menyerah, jangan ambil nyawa sahabatku itu",
berkata Gajahmada dengan wajah tegar.
Mendengar keputusan Gajahmada telah membuat
diri Ki Ajar Pelandongan merasa berada diatas angin,
berharap Ki Randu Alam memuji caranya menaklukkan
anak muda yang berilmu sangat tinggi itu.
Nampaknya bila ada pepatah tua yang mengatakan
bahwa guru kencing berdiri, murid akan kencing berlari.
Rupanya kelicikan hati sang guru telah menular kedalam
diri Kuda Anjampiani. "Cepat kalian ikat kaki dan tangan orang itu", berkata
Kuda Anjampiani kepada beberapa orang merasa takut
bila Gajahmada berubah pikiran.
Terlihat beberapa orang telah mengikat kuat-kuat
tangan dan kaki Gajahmada, setelah itu giliran Supo
Mandagri yang sudah tidak berdaya penuh luka di
sekujur tubuhnya itu ikut diikat kaki dan tangannya.
"Ikat keduanya di batang pohon randu", berkata
kembali Kuda Anjampiani kepada beberapa orang.
Tanpa mengenal belas kasihan, terlihat Gajahmada
dan Supo Mandagri diseret dari tengah halaman rumah
Ki Randu Alam hingga ke ujung pojok pagar halaman
dimana sebuah pohon Randu tumbuh besar berdiri
disana berjejer bersama dua buah pohon timbul yang
mengapitnya. "Kalian akan mati disini berdua, tanpa makan dan
minum dibawah panas matahari dan dinginnya malam",
berkata Kuda Anjampiani dihadapan Gajahmada dan
Supo Mandagri yang sudah terikat di batang pohon
556 randu. Terlihat Gajahmada tidak membalas perkataan Kuda
Anjampiani, hanya matanya saja memandang dengan
sorot pandangan penuh kebencian.
"Sorot matamu sebentar lagi akan menjadi surut,
hingga akhirnya kamu akan mati perlahan-lahan. Akulah
orang pertama yang akan mengabarkannya kepada
kekasih hatimu itu, gadis yang sangat sombong itu, gadis
yang paling bodoh di bumi ini. Dan aku akan merasa
gembira melihat wajahnya yang cantik jelita basah
dengan air mata penuh kesedihan", berkata Kuda
Anjampiani kepada Gajahmada yang tidak akan
melupakan penghinaan Andini dalam sebuah peristiwa
yang sudah lama berlalu yang terjadi di padepokan Nyi
Ageng Nglirip di Tuban. Kembali Gajahmada tidak berkata apapun, dirinya
menyadari bahwa anak muda itu hanya ingin mencoba
menyiksa bathinnya. Melihat Gajahmada seperti tidak berpengaruh
dengan semua perkataannya itu, telah membuat Kuda
Anjampiani menjadi sangat kesal, hampir-hampir
tangannya bergerak untuk ke wajah Gajahmada demi
melampiaskan dendam sakit hatinya kepada anak muda
itu yang telah mengalahkan pertarungan cintanya
memperebutkan hati seorang wanita, biksuni Andini.
"Aku tidak ingin kamu mati dengan cepat", berkata
Kuda Anjampiani sambil berjalan menjauhi Gajahmada
dan Supo Mandagri diiringi suara tertawanya, suara tawa
seorang yang berhati bengis penuh kelicikan.
Manakala Kuda Anjampiani telah jauh meninggalkan
mereka berdua yang terikat berlawanan arah terhalang di
sebatang pohon randu, Gajahmada mendengar suara
557 lirih Supo Mandagri yang ditujukan kepadanya.
"Ternyata kamu tidak sepenuh hati mengangkat aku
sebagai saudaramu", berkata lirih Supo Mandagri.
Mendengar perkataan Supo Mandagri telah membuat
Gajahmada mengernyitkan keningnya pertanda tidak
mengerti kemana arah pembicaraan sahabatnya itu.
"Apa maksudmu berkata demikian?",
Gajahmada kepada Supo Mandagri.
bertanya "Hampir seluruh rahasiaku sudah kuceritakan
kepadamu, sementara kamu sendiri masih menyimpan
banyak rahasia kepadaku", berkata Supo Mandagri dari
balik batang pohon. "Rahasia apa yang kusembunyikan
bertanya kembali Gajahmada.
darimu?", "Tadi kudengar sendiri dari anak muda itu bahwa
ternyata kamu punya seorang kekasih", berkata Supo
Mandagri kepada Gajahmada."Layakkah diriku kamu
anggap sebagai seorang saudara bila masih ada sesuatu
yang kamu sembunyikan?", berkata kembali Supo
Mandagri. Mendengar perkataan Supo Mandagri telah membuat
Gajahmada tersenyum sendirian.
"Pada saatnya aku akan bercerita kepadamu",
berkata Gajahmada sambil tersenyum dan berpikir
bahwa luka pada diri sahabatnya itu tidak
membahayakan dirinya, buktinya masih dapat berkata
dan berpikir tentang apa yang dikatakan oleh Kuda
Anjampiani. "Kapan saatnya, sebentar lagi aku akan mati",
berkata Supo Mandagri seperti tengah mengancam.
558 "Kamu tidak akan mati hari ini", berkata Gajahmada
sambil tersenyum. "Mengapa kamu dapat memastikan aku tidak akan
mati hari ini?", bertanya Supo Mandagri.
"Bukankah kamu pernah berkata kepadaku, bahwa
kamu tidak ingin mati sebelum dapat berkarya membuat
sebuah keris pusaka senilai keris Nagasasra?", berkata
Gajahmada. "Kamu benar, masih banyak yang ingin kupelajari dari
Empu Nambi, cucunda Empu Bharada itu", berkata Supo
Mandagri. Nampaknya setelah berkata, Supo Mandagri asyik
sekali dengan lamunan dan bayangan pikirannya sendiri.
Suasana di pojok halaman rumah Ki Randu Alam
seketika menjadi hening, tidak ada perkataan apapun
dari Supo Mandagri. Terlihat Gajahmada mengernyitkan keningnya,
merasa khawatir terjadi sesuatu pada diri Supo Mandagri
yang lama terdiam. "Supo Mandagri, katakan bagaimana dengan
lukamu", bertanya Gajahmada kepada Supo Mandagri.
"Luka di beberapa tubuhku sudah mulai mengering,
tapi aku belum merasa yakin apakah aku masih dapat
berjalan sendiri", berkata Supo Mandagri menjawab
pertanyaan Gajahmada. Sementara itu cakrawala langit senja sudah mulai
semakin redup menatap sang surya yang bersembunyi
dan mengintip di ujung barat bumi.
Malam semakin membisu, sepi dan hening.
Di pojok halaman Rumah Ki Randu Alam, dua orang
559 tawanan masih terikat di sebatang pohon randu. Tanpa
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
penerangan apapun mereka berdua diperlakukan seperti
layaknya dua binatang buruan.
"Supo Mandagri, bagaimana keadaanmu saat ini",
berbisik Gajahmada kepada sahabatnya itu.
"Sekujur tubuhku masih terasa ngilu dan perih",
menjawab Supo Mandagri dengan suara berbisik pula.
"Disaat kentongan dara muluk terdengar, kita akan
pergi melarikan diri", berbisik kembali Gajahmada kepada
sahabatnya itu. Supo Mandagri tidak berkata apapun, sebagai
seorang yang sudah mengenal siapa Gajahmada, dirinya
sangat percaya bahwa sahabatnya itu pasti dapat
dengan mudah melepaskan diri dari tali ikatan apapun.
Sebagaimana yang diyakini oleh Supo Mandagri,
memang tidak ada kesulitan apapun bagi Gajahmada
untuk melepaskan diri. Namun nampaknya anak muda itu
tengah mencari waktu yang tepat, yaitu disaat wayah
tengah malam dimana tidak seorang pun akan menyadari
bahwa tawanan mereka telah pergi jauh.
Demikianlah, manakala terdengar sayup-sayup suara
kentongan nada dara muluk terdengar jauh dari
beberapa Padukuhan terdekat, Gajahmada kembali
berbisik kepada Supo Mandagri untuk bersiap-siap diri.
Tali pengikat mereka memang sangat kuat sekali,
berasal dari bahan kulit rotan yang dirangkap. Namun
bagi seorang seperti Gajahmada yang punya kesaktian
ilmu sangat tinggi bukan sebuah hal yang sangat sulit,
rantai waja sekalipun pasti dapat dilepaskannya oleh
anak muda itu yang mempunyai tenaga dua puluh kali
lipat kekuatan seekor banteng jantan yang sangat besar.
560 Namun baru saja Gajahmada bermaksud untuk
menghentakkan tali yang mengikat tangannya, tiba-tiba
saja pendengarannya yang amat peka dan terlatih itu
telah mendengar suara langkah kaki yang tengah
mendekati pojok di dinding pagar halaman Ki Randu
Alam. "Ada orang datang mendekat", berbisik Gajahmada
kepada Supo Mandagri yang telah mengurungkan
keinginannya memutuskan tali ikatan mereka.
Mendengar perkataan Gajahmada telah membuat diri
Supo Mandagri berdebar-debar, pikirannya berusaha
meraba-raba siapa gerangan orang di balik dinding itu
yang tengah mendekati mereka.
"Yang pasti bukan orangnya Ki Randu Alam", berkata
Supo Mandagri dalam hati.
Ternyata pikiran Gajahmada sejalan dengan pikiran
Supo Mandagri, merasa yakin bahwa orang yang
semakin mendekati dinding pojok halaman itu pastinya
bukan orangnya Ki randu Alam.
Terlihat Gajahmada menarik nafasnya dalam-dalam
manakala matanya melihat seorang di kegelapan malam
itu telah hinggap diatas dinding pagar halaman Ki Randu
Alam. Tatapan mata Gajahmada seperti terus melekat
kepada orang yang tengah mengendap diatas dinding
pagar halaman Ki Randu Alam.
Sementara itu seluruh kekuatan tenaga sakti
sejatinya telah disalurkan di kedua tangannya agar setiap
saat dapat dihentakkan memutuskan tali temali yang
mengikat tangan dan tubuhnya.
Namun Gajahmada tidak melakukan apapun 561 manakala orang itu telah melompat dan berdiri dengan
tatapan mata penuh persahabatan.
"Kita bertemu lagi, wahai orang muda", berkata orang
itu dengan suara perlahan.
Terbelalak mata Gajahmada seperti tidak percaya
dengan apa yang dilihatnya.
"Aku bukan Ki Randu Alam yang kamu temui tadi
siang", berkata orang itu seperti dapat membaca arah
pikiran Gajahmada. Ternyata Gajahmada memang melihat wajah orang
itu sangat mirip sekali dengan Ki Randu Alam yang
ditemuinya tadi siang. Namun sikap dan perlakuannya
sangat berbeda sekali dimana orang yang ditemui
Gajahmada saat itu terlihat sangat bersahabat.
Belum lepas rasa heran di dalam diri Gajahmada,
orang itu sudah mengeluarkan sangkur pendeknya.
"Aku tahu kamu dapat melepaskan diri sendiri, tapi
biarlah sangkur pendek tuaku yang akan memutuskan
tali temali ini", berkata orang itu sambil memutuskan tali
temali yang tubuh dan tangan Gajahmada dan Supo
Mandagri. "Apakah aku berhadapan dengan Ki Arya Wiraraja?",
berkata Gajahmada kepada orang itu.
"Nampaknya kawanmu ini harus dibantu berjalan,
mari kita keluar dari tempat ini", berkata orang itu tanpa
menghiraukan pertanyaan Gajahmada langsung melompat dan mengendap diatas dinding pagar sambil
memberi tanda kepada Gajahmada untuk mengikutinya.
"Lukamu sangat parah", berkata Gajahmada kepada
Supo Mandagri yang dilihatnya tidak mampu berdiri dan
langsung memanggulnya. 562 Melihat Gajahmada telah memanggul sahabatnya itu,
orang itupun sudah bergerak turun melompat tanpa
suara dan merapat di dinding pagar bagian luar seperti
bersatu dengan kegelapan malam.
Nampaknya Gajahmada tahu apa yang diinginkan
orang itu telah langsung mengikutinya melompati pagar
sambil memanggul tubuh Supo Mandagri.
Sebagaimana orang itu, terlihat Gajahmada juga
merapat di dinding luar halaman seperti menyatu
tersamar di kegelapan malam.
Manakala meyakini tidak seorang pun melihat
keberadaan mereka, terlihat orang itu telah melesat
berlari di kegelapan malam.
Di kegelapan malam mereka terus berlari keluar dari
Kademangan Randu Agung. Entah mengapa Gajahmada begitu percaya dengan
orang itu dan terus mengiringinya berlari dibelakangnya.
Arah langkah kaki orang itu ternyata menuju hutan
Randu Agung. Sambil memanggul tubuh Supo Mandagri, terlihat
Gajahmada bersama orang itu telah memasuki hutan
Randu Agung. Hari saat itu masih di ujung malam, terlihat mereka
seperti tenggelam hilang di kelelapan hutan Randu
Agung yang lebat. Gajahmada memuji penglihatan orang itu yang
nampaknya sudah terbiasa keluar masuk hutan Randu
Agung di waktu malam. Dan mereka terus masuk ke hutan Randu Agung
lebih dalam lagi. 563 Hingga akhirnya orang itu terlihat berhenti di sebuah
tempat. "Disinilah tempat tinggalku selama ini", berkata orang
itu sambil menunjuk ke arah atas sebuah pepohonan
yang sangat amat besar dan sangat lebat.
Tanpa berkata apapun orang itu dengan sangat
ringan sekali telah mengayunkan kakinya melompat
tinggi hinggap di sebuah cabang pohon dan terus
melompat lagi dari satu cabang pohon ke cabang
lainnya. Terlihat sambil memanggul tubuh Supo Mandagri,
Gajahmada mengikuti orang itu hinggap dari satu cabang
pohon ke cabang lainnya. "Letakkan tubuh kawanmu di sini", berkata orang itu
kepada Gajahmada di sebuah batang pohon yang cukup
besar dimana telah disusun beberapa batang kayu
menjadi sebuah lantai panggung yang sangat kokoh.
Rumah pohon, begitulah yang dipikirkan oleh
Gajahmada sebagai tempat tinggal orang itu, di
ketinggian pohon besar yang tidak terlihat oleh siapapun
yang lewat di bawah sana.
"Jagalah kawanmu, aku akan mencarikannya
beberapa tanaman obat pengering luka di sekitar hutan
ini", berkata orang itu kepada Gajahmada yang langsung
bergerak cepat seperti melayang terbang turun kebawah.
Di keremangan malam orang itu seperti telah
menghilang di telan bumi.
"Hari yang sangat aneh, kita melihat dua orang yang
sama", berkata Gajahmada kepada Supo Mandagri yang
terlihat mencoba duduk diatas lantai kayu rumah pohon
itu. 564 "Yang pasti kita tidak tengah bermimpi", berkata Supo
Mandagri sambil melihat berkeliling diantara cabang dan
ranting pohon. Lengking dan pekik suara burung dan binatang hutan
telah menandai suasana pagi di hutan Randu Agung.
"Orang itu telah datang kembali", berkata Gajahmada
kepada Supo Mandagri manakala melihat seseorang
berada di bawah mereka. "Madu bunga Randu ini sangat baik untuk
menyembuhkan luka", berkata orang itu sambil
menyerahkan sebuah bubu bamboo kepada Gajahmada.
Terlihat Gajahmada segera membuka bubu itu yang
berisi madu bunga randu dan langsung membaluri ke
semua luka di tubuh Supo Mandagri.
Sementara itu sang surya sudah mulai menerangi
hutan Randu Agung lewat celah-celah daun dan ranting
pohon. Supo Mandagri dan Gajahmada sudah dapat melihat
dengan jelas wajah orang yang telah mengajaknya ke
rumah pohon di Hutan Randu Agung itu. Seseorang yang
memang sangat mirip dengan Ki Randu Alam, seseorang
yang terlihat sudah sangat tua, namun masih sangat
kekar dan kokoh untuk ukuran seusianya.
"Aku akan bercerita kepada kalian", berkata orang tua
itu seperti dapat membaca isi hati dan pikiran dua orang
anak muda di hadapannya. Terlihat orang tua itu sambil bersila diatas lantai kayu
rumah pohon bercerita tentang dirinya.
"Aku lahir di dunia ini tidak sendiri, tapi punya
565 seorang saudara adik kembar", berkata orang tua
mengawali ceritanya. "Namaku Banyak Wedi, sementara
saudara kembarku bernama Banyak Ara", berkata
kembali orang itu yang mengaku bernama Banyak Wedi.
"Saudara kembarku itu sejak muda banyak berguru di
berbagai tempat, sementara masa mudaku telah
kuabdikan sebagai seorang prajurit pengawal di istana
Singasari", berkata kembali Ki Banyak Wedi kepada
Supo Mandagri dan Gajahmada.
"Pantas Ki Randu Alam yang kutemui kemarin
sepertinya tidak mengenalku, apakah dia saudara
kembar Ki Banyak Wedi?", bertanya Gajahmada kepada
Ki Banyak Wedi. "Benar, dialah saudara kembarku yang bernama Ki
Banyak Ara", berkata Ki Banyak Wedi membenarkan
perkataan Gajahmada. Terlihat Ki Banyak Wedi menarik nafas dalam-dalam
seperti tengah mengumpulkan kembali beberapa cerita
masa lalunya. "Ketika aku pindah ke Sunginep, saudara kembarku
itu juga telah pergi merantau entah kemana hingga
akhirnya aku mendapat berita bahwa dirinya telah
menjadi seorang kepala bajak laut yang sangat ditakuti
disekitar perairan Balidwipa", berkata Ki Banyak Wedi
bercerita tentang saudara kembarnya itu.
Kembali terlihat orang tua itu menarik nafas dalamdalam seperti tengah mengumpulkan kembali beberapa
cerita masa lalunya. Supo Mandagri dan Gajahmada telah melihat
perubahan raut wajah orang tua itu yang seperti tengah
menahan kepedihan dan rasa duka yang sangat berat.
566 "Ketika putraku Ranggalawe tewas terbunuh, aku
seperti kehilangan seluruh hidupku. Yang ada pada saat
itu adalah keinginan untuk membalas rasa sakit hatiku
kepada kerajaan Majapahit. Disaat suasana hati yang
penuh dendam itulah saudara kembarku datang
kepadaku menawarkan dirinya beserta seluruh anak
buahnya para bajak laut untuk menggempur secara
langsung kerajaan Majapahit. Namun aku tidak
sependapat dengannya, kukatakan kepadanya bahwa
belum saatnya menggempur Majapahit saat itu, kita
harus membangun sebuah kekuatan baru. Nampaknya
saudaraku itu menyetujui. Mulailah kami membangun
sebuah kekuatan baru di timur Jawadwipa ini dengan
menguasai jalur perdagangannya. Kami membagi tugas,
aku membangun jalur perdagangan, sementara dirinya
yang sangat paham dan menguasai perairan laut
membantu dalam hal keamanannya dengan memberikan
penekanan kepada para pedagang agar hanya
berdagang kepadaku, tidak kepada siapapun. Demikianlah, dalam waktu yang tidak terlalu lama kami
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
benar-benar telah menguasai jalur perdagangan di timur
Jawadwipa ini. Sampai-sampai kebesaran namaku
diartikan sebagai penguasa tunggal di timur Jawadwipa
ini", bercerita cukup panjang Ki Banyak Wedi, berhenti
sebentar sambil menarik nafas panjang beberapa kali.
Suasana diatas rumah pohon itu sejenak seperti
hening, terlihat Gajahmada dan Supo Mandagri seperti
tengah menunggu orang tua itu melanjutkan ceritanya.
"Anak muda, kamu masih ingat pertempuran kita di
sekitar Kademangan Simpang itu?", bertanya Ki Banyak
Wedi kepada Gajahmada. "Aku masih mengingatnya", berkata Gajahmada
sambil menganggukkan kepalanya tidak tahu kemana
567 arah pembicaraan orang tua itu dengan bertanya tentang
pertemuan mereka. "Kesaktianmu sungguh amat tinggi, kekalahan diriku
oleh orang muda sepertimu telah menyadarkan diriku
bahwa telah tumbuh bibit-bibit baru para ksatria
Majapahit yang akan menjaga wahyu kraton di bumi
Majapahit ini untuk waktu yang cukup lama. Akhirnya aku
tersadar untuk melupakan segala dendamku, menghabiskan sisa hari tuaku tanpa dendam apapun",
berkata Ki Banyak Wedi berhenti sebentar sambil
matanya seperti menerawang jauh menembus dedaunan
dan pepatnya tumbuhan yang menutupi hutan Randu
Agung itu. "Perlahan aku memang telah melupakan rasa sakit
hatiku atas kematian putraku, Ranggalawe. Perlahan
juga aku sudah dapat menikmati hari-hari tuaku tanpa
sebuah dendam. Namun pada saat itu ada sebuah
kekhawatiran bahwa saudara kembarku akan terus
mengungkit rencana kami semula, meruntuhkan kerajaan
Majapahit. Hingga akhirnya yang khawatirkan itu datang
juga", berkata sampai disitu terlihat Ki Banyak Wedi
terdiam sesaat. Gajahmada dan Supo Mandagri seperti membiarkan
orang tua itu menghentikan ceritanya, meski dalam hati
kedua anak muda itu seperti tidak sabaran mendengar
cerita lanjutannya. Terlihat Ki Banyak Wedi tersenyum menatap wajah
kedua anak muda di hadapannya itu.
Sementara itu di benak Gajahmada sudah tidak
menyangsikan lagi bahwa dihadapannya itu adalah Ki
Banyak Wedi yang sebenarnya, yang juga pernah
menjadi seorang Adipati di daerah Sunginep. Terakhir
568 orang tua ini lebih dikenal sebagai Ki Randu Alam,
seorang yang sangat berpengaruh kuat di timur
Jawadwipa. "Sampai saat ini hanya kalian berdua yang
mengetahui bahwa aku mempunyai seorang saudara
kembar", berkata Ki Banyak Wedi kepada Supo Mandagri
dan Gajahmada. "Bagaimana dengan Ki Ajar Pelandongan dan Kuda
Anjampiani?", bertanya Gajahmada.
"Cucuku dan gurunya itu juga tidak mengetahuinya",
berkata Ki Banyak Wedi kepada Gajahmada.
"Memang kulihat tidak ada perbedaan sedikitpun
dengan Ki Banyak Wedi, hanya gerak jurusnya yang
kutahu berasal dari garis perguruan yang berbeda",
berkata Gajahmada mengingat kembali pertempuran
dirinya dengan saudara kembar Ki Banyak Wedi kemarin
hari. "Kamu benar, garis kanuragan kami dari perguruan
yang berbeda. Kuakui bahwa seorang diri aku tidak akan
mampu menghadapinya", berkata Ki Banyak Wedi.
"Ki Banyak Wedi belum bercerita mengapa sampai
menetap dan bersembunyi di tengah hutan ini?",
bertanya Gajahmada kepada Ki Banyak Wedi.
Terlihat Ki Banyak Wedi tidak langsung menjawab,
sekilas terlihat deretan giginya sedikit terbuka sebagai
gambaran sebuah senyum yang dipaksakan, sebuah
senyum yang menggambarkan kekecutan dan kepahitan
hidupnya. "Pada suatu malam, tanpa diketahui oleh siapapun
saudaraku itu datang menemuiku mengabarkan bahwa
dirinya dan para anak buahnya telah siap untuk
569 menyerang dan merebut Kadipaten Blambangan. Bukan
main marahnya saudaraku itu manakala kukatakan
bahwa aku sudah tidak berminat lagi bermusuhan
dengan Kerajaan Majapahit", bercerita Ki Banyak Wedi
tentang saudara kembarnya itu.
"Kita hanya tinggal beberapa langkah lagi!!", berkata
saudaraku tidak menerima keputusanku itu, karena aku
tetap kukuh melupakan semua dendamku, maka pada
puncaknya saudara kembarku itu telah mengancam akan
membunuh cucuku, Kuda Anjampiani. Maka dengan
sangat terpaksa sekali aku memilih keluar dari rumahku
sendiri dan membiarkan saudara kembarku itu menjadi
diriku tanpa seorang pun yang mencurigainya untuk
melaksanakan rencana kami semula, menghancurkan
kerajaan Majapahit", berkata Ki Banyak Wedi sambil
menarik nafas panjang mengakhiri ceritanya.
Mendengar penuturan dari orang tua itu, terbit
sebuah rasa iba di dalam hati Gajahmada,
membayangkan seorang Adipati yang di puja dan
dilayani oleh begitu banyak orang, tiba-tiba saja harus
menjalani kehidupan sendiri hidup di tengah belantara
hutan Randu Agung yang sangat luas itu.
"Ternyata kesederhanaan hidup di hutan ini telah
membuat aku semakin mengenal arti kehidupan yang
sebenarnya, kudapatkan makna kebahagiaan sejati
sebagai seorang yang bebas merdeka, bebas dari
sakitnya dendam dan hasrat yang tak pernah
terdahagakan ini", berkata Ki Banyak Wedi.
Melihat tatapan pandangan mata Ki Banyak Wedi
yang bercahaya itu telah membuat Gajahmada tidak
meragukan lagi penuturan semua ceritanya.
"Bagaimana dengan lukamu, wahai sahabat muda",
570 berkata Ki Banyak Wedi sambil
pandangannya ke arah Supo Mandagri.
mengalihkan "Berkat obat yang Ki Banyak Wedi berikan, aku tidak
merasakan perih lagi", berkata Supo Mandagri.
"Beristirahatlah kalian disini untuk sementara waktu",
berkata Ki Banyak Wedi kepada kedua anak muda itu.
Melihat ketulusan hati Ki Banyak Wedi telah
menumbuhkan rasa percaya Gajahmada kepada orang
tua itu, dan dengan terbuka Gajahmada telah bercerita
dengan singkat kehadiran para prajurit Majapahit di timur
Jawadwipa itu. "Kalian telah memiliki seorang Raja yang sangat tahu
apa yang seharusnya dilakukan", berkata Ki Banyak
Wedi setelah mendengar penuturan dari Gajahmada.
"Banyak cerita tentang kemenangan Majapahit yang
bersumber dari siasat ulung seorang Adipati Sunginep.
Sudilah kiranya Ki Banyak Wedi memberikan saran yang
terbaik menghadapi kekuatan di timur Jawadwipa ini",
berkata Gajahmada kepada Ki Banyak Wedi.
Terlihat Ki Banyak Wedi tersenyum mendengar
perkataan Gajahmada itu. "Apakah kamu tidak bercuriga bahwa aku akan
menggelincirkan dirimu, karena yang kamu hadapi
adalah saudara kembarku sendiri, seseorang yang
sedarah denganku", berkata Ki Banyak Wedi dengan
wajah penuh kesungguhan hati.
"Aku percaya bahwa Ki Banyak Wedi masih
mengingat cita-cita adi luhur kerajaan Raja Erlangga
yang menjadi cikal bakal tumpuan Kerajaan Majapahit ini
berdiri, dimana Ki Banyak Wedi menjadi salah satu
ksatria penjaganya yang sangat setia", berkata
571 Gajahmada kepada Ki Banyak Wedi.
"Perkataanmu sungguh telah mengingatkanku atas
sumpah suci yang pernah kukatakan di hadapan Raja
Anusapati bahwa aku akan terus setia kepada cita-cita
leluhur para putra Raja ken Arok. Kematian putraku telah
mengaburkan sumpah suciku itu. Dan hari ini aku seperti
hidup kembali, hidup untuk menjalani sebuah amanat
suci menjaga para putra Ken Arok", berkata Ki Banyak
Wedi dengan wajah penuh semangat dihadapan
Gajahmada dan Supo Mandagri.
"Ayah angkatku Mahesa Amping dan Baginda Raja
Sanggrama Wijaya telah mengangkat Ranggalawe
sebagai saudaranya, atas kasih persaudaraan itulah
Baginda Raja Sanggrama telah menganugerahi Siralawe
sebagai seorang Adipati di Tanah Tuban", berkata
Gajahmada kepada Ki Banyak Wedi.
Terlihat Ki Banyak Wedi terdiam, pandangan
matanya dialihkan jauh menembus batang, daun dan
ranting pepohonan, menembus pekatnya hutan Randu
Agung, menembus kejernihan mata hatinya.
Sementara itu hari telah berada di ujung senja, pekik
suara binatang hutan perlahan menghilang, sepi.
Sepi pekat gelap malam telah lama menyelimuti
hutan Randu Agung bersama kepungan suara jangkrik
malam seperti menambah suasana terasa menjadi begitu
teramat sunyi. Di kegelapan rumah pohon itu, Gajahmada dan Supo
Mandagri sudah mulai dapat membiasakan diri melihat di
kegelapan malam Hutan Randu Agung.
"Kekuatan pasukan Ki Banyak Ara bukan di
Lamajang, namun saat ini telah dipusatkan di sebuah
572 hutan sekitar Kadipaten Blambangan", berkata Ki Banyak
Wedi menyampaikan beberapa rahasia kekuatan
pasukan saudara kembarnya itu.
"Berapa besar kekuatan mereka saat ini?", bertanya
Gajahmada kepada Ki Banyak Wedi.
"Kabarnya saudaraku itu telah dapat menghimpun
sekitar enam ratus orang dimana rencana pertamanya
adalah untuk melumpuhkan pasukan di Kadipaten
Blambangan", berkata Ki Banyak Wedi menjawab
pertanyaan dari Gajahmada.
"Nampaknya kami harus meminta bantuan pasukan
Kadipaten Blambangan dan Kadipaten Lamajang, prajurit
dari Majapahit hanya ada sekitar tiga ratus orang yang
saat ini terpecah di tiga tempat berbeda, di Pasuruan,
Blambangan dan Banyuwangi", berkata Gajahmada
kepada Ki Banyak Wedi menyampaikan kekuatan
pasukan Majapahit saat itu.
"Para pasukan di hutan Tarik sangat sedikit pada
saat itu, namun mereka mampu membuat susah
kerajaan Kediri", berkata Ki Banyak Wedi yang masih
dapat di lihat senyumnya oleh Gajahmada yang sudah
membiasakan dirinya melihat di kepekatan malam itu.
"Maksud Ki Banyak Wedi?", bertanya Gajahmada
meminta penjelasan. "Jumlah bukan salah satu kemenangan", berkata Ki Banyak Wedi
kunci sebuah "Maksud Ki Banyak Wedi?", bertanya kembali
Gajahmada meminta penjelasan kepada Ki Banyak
Wedi. "Membunuh seekor ular harus mencari dimana
kepalanya", berkata Ki Banyak Wedi.
573 "Aku sudah mulai dapat mengerti, apakah itu artinya
bahwa kita tidak perlu menurunkan pasukan gabungan
untuk menghantam mereka", yang harus kita lakukan
adalah melumpuhkan Ki Banyak Ara di kediamannya di
Kademangan Randu Agung?", berkata Gajahmada
mencoba membaca jalan pikiran dari Ki Banyak Wedi itu.
"Kamu memang cukup cerdas, itulah yang aku
maksudkan", berkata Ki Banyak Wedi penuh
kegembiraan hati seperti seorang bocah kecil
menemukan sebuah permainan baru.
"Aku melihat ada beberapa orang yang cukup
mumpuni selain Ki Banyak Ara di kediamannya", berkata
Gajahmada kepada Ki Banyak Wedi.
"Disana ada Ki Ajar Pelandongan, Ki Gagakpati dan
seorang pendeta Brahmana bernama Ki Jatiwangi.
Orang yang terakhir kusebut itu yang harus kamu sikapi
dengan hati-hati, karena tataran ilmunya berada dua tiga
tingkat diatas Ki Banyak Ara", berkata Ki Banyak Wedi.
Sepi pekat gelap malam masih menyelimuti hutan
Randu Agung. Diantara suara panjang jangkrik malam,
terkadang terdengar suara lolongan serigala jantan yang
mungkin tengah tersisih dari kawanan mereka berharap
seekor serigala betina yang birahi mendengar lolongan
panjangnya. Suara lolongan serigala jantan itu terdengar
beberapa kali telah menghentikan pembicaraan mereka
bertiga yang masih terjaga di rumah pohon hutan Randu
Alam di malam itu. "Berapa penjaga di rumah kediaman Ki Banyak Ara
saat ini?", bertanya Gajahmada kepada Ki Banyak Wedi
manakala suara lolongan Serigala jantan sudah tidak
terdengar lagi.
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
574 "Ada sekitar dua puluh lima orang, mereka adalah
para bajak laut yang selalu berada bersama Ki Banyak
Ara", berkata Ki Banyak Wedi.
Namun pembicaraan mereka kembali terhenti
manakala di bawah mereka terdengar suara auman dua
tiga ekor harimau di bawah mereka, mungkin tengah
memperebutkan seekor mangsa buruan mereka.
"Sebentar lagi pasti ada suara si embah belang yang
akan mengusir mereka", berkata Ki Banyak Wedi yang
seperti sudah sangat hapal dengan kehidupan malam di
kedalaman hutan Randu Alam itu.
Seperti yang dikatakan oleh Ki Banyak Wedi, tidak
lama berselang mereka bertiga memang telah
mendengar suara auman harimau yang lebih keras
memecahkan kesunyian malam, suara auman itu
nampaknya lebih keras dari suara sebelumnya.
"Itulah suara si embah belang, nampaknya hari sudah
jauh malam untuk mencari ganjalan perut harimau tua
yang tengah kelaparan itu", berkata Ki Banyak Wedi.
Mendengar perkataan Ki Banyak Wedi, telah
menyadarkan Supo Mandagri bahwa hari memang telah
larut malam. Terlihat keduanya perlahan meluruskan
badan mereka, sementara itu Ki Banyak Wedi terlihat
bergeser merebahkan punggungnya bersandar di
sebuah batang pohon. Supo Mandagri yang sudah tidak merasakan perih
lukanya terlihat dalam waktu yang sangat singkat sudah
langsung tertidur nyenyak.
Di keremangan malam Gajahmada masih melihat Ki
Banyak Wedi tetap duduk bersandar di sebuah batang
pohon dengan mata yang telah terpejam.
575 "Kasihan orang tua ini", berkata Gajahmada dalam
hati sambil memandang Ki Banyak Wedi membayangkan
kehidupan hari-harinya di kedalaman hutan Randu
Agung itu. Membayangkan seorang yang sangat
terhormat penuh dengan gelimang harta benda harus
tersingkirkan dan terdampar di suasana kehidupan yang
serba kurang memadai itu, di alam terbuka di kedalaman
hutan Randu Agung tanpa seorang yang membantu dan
melayaninya. Sementara itu terdengar suara burung hantu
memecahkan suasana malam, suara itupun kembali
terdengar semakin menjauh di ujung tepi sepi malam.
Masih di pedalaman hutan Randu Agung yang lebat,
warna malam, suara malam dan udara dingin malam
perlahan pudar berganti suara dan nuansa pagi.
Matahari pagi sudah dapat terlihat menembus celahcelah daun dan ranting di hutan Randu Alam. Namun
kehangatan sinar matahari itu tidak mampu menembusi
beberapa permukaan tanah dan batang pohon yang
terlihat lembab dan berjamur.
"Selamat jalan anak-anak muda, aku tidak dapat
membantu kalian sepenuhnya, pada saatnya aku hanya
akan menyingkirkan cucuku Kuda Anjampiani ke tempat
yang jauh dari pertempuran kalian", berkata Ki Banyak
Wedi di pagi itu melepas kepergian Gajahmada dan
Supo Mandagri. "Sampai bertemu lagi Ki Banyak Wedi, terima kasih
untuk semua keterangannya", berkata Gajahmada
kepada Ki Banyak Wedi menyampaikan ucapan
perpisahan. "Semoga Gusti Yang Maha Agung berkenan memberi
panjang usiaku ini, sehingga masih dapat melihat
576 Majapahit terus berkembang, gemah ripah loh jinawi,
murah sandang murah papan", berkata kembali Ki
Banyak Wedi sambil melambaikan tangannya mengantar
kedua anak muda itu yang telah mulai melangkah
meninggalkan dirinya. Demikianlah, di pagi itu terlihat Gajahmada dan Supo
Mandagri tengah berjalan di tengah hutan Randu Alam
yang cukup lebat itu. Hingga akhirnya manakala matahari terlihat sudah
menggelantung di pertengahan garis langit cakrawala
pagi, terlihat Gajahmada dan Supo Mandagri tengah
berjalan di sebuah padang ilalang yang cukup luas
berbatasan dengan hutan Randu Agung.
"Kita berjalan melingkar menghindari Kademangan
Randu Agung", berkata Gajahmada kepada Supo
Mandagri. Nampaknya Gajahmada memilih jalan melingkar
menghindari Kademangan Randu Agung, khawatir
mereka akan bertemu dengan orang-orangnya Ki Banyak
Ara. Setelah berjalan melingkar cukup jauh, akhirnya
mereka telah memasuki sebuah jalan tanah yang cukup
keras. "Apakah kita akan ke Kadipaten Lamajang?",
bertanya Supo Mandagri kepada Gajahmada yang sudah
cukup mengenal arah dan jalan di sekitar Lamajang itu.
"Kita memang akan singgah di kediaman Adipati
Menak Koncar", berkata Gajahmada kepada Supo
Mandagri. Diperjalanan mereka kadang bersisipan dengan
beberapa pedagang dengan gerobak dagangannya,
577 nampaknya besok adalah hari pasaran di Lamajang
sehingga banyak para pedagang yang datang dari
tempat-tempat yang cukup jauh, mencoba mengadu
peruntungan mereka di beberapa pasar Kademangan.
Saat itu matahari terlihat sudah mulai merayap turun
dari puncaknya manakala langkah Gajahmada dan Supo
Mandagri telah mulai memasuki wilayah Kadipaten
Lamajang. Hamparan persawahan terlihat sejauh mata
memandang berujung di tiga deretan pegunungan
membiru, itulah tiga deretan pegunungan tempat para
dewa yang dipuja bersemayam, deretan pegunungan
Tengger, Bromo dan Semeru.
"Sewaktu kecil aku tidak seperti mereka", berkata
Supo Mandagri sambil menunjuk kearah dua anak lelaki
yang ikut membantu ibunya membersihkan rumputrumput liar di persawahan mereka. "Seumur mereka aku
sibuk membantu ayahmu diperapian menempa besi",
berkata kembali Supo Mandagri sambil melihat beberapa
anak kecil lain tengah berlari diantara galangan sawah.
"Sebuah bumi yang damai", berkata Gajahmada ikut
menikmati suasana disekitar mereka dimana hamparan
sawah seperti sebuah lautan hijau yang luas mengelilingi
beberapa padukuhan yang tersebar seperti pecahan
pulau-pulau kecil. Akhirnya, langkah kaki kedua anak muda itu telah
memasuki sebuah pemukiman penduduk yang semakin
kedalam semakin ramai dipenuhi deretan rumah-rumah
kayu yang tertata rapi. Mereka berdua telah memasuki
pusat wilayah Kadipaten Lamajang.
"Sebuah istana yang sangat asri dan teduh", berkata
Gajahmada kepada Supo Mandagri manakala langkah
578 kaki mereka telah mendekati sebuah bangunan yang
dikelilingi pagar batu menghadap tanah lapang yang
cukup luas dimana tumbuh ditengahnya dua buah pohon
beringin yang sudah cukup tua meneduhi sekitarnya.
Pintu gerbang utamanya sendiri berada disamping
bangunan itu yang menghadap kearah timur laut.
"Selamat datang di istana Kadipaten Lamajang",
berkata seorang prajurit Majapahit kepada Gajahmada
dan Supo Mandagri. Ternyata prajurit itu adalah salah seorang dari
beberapa prajurit Majapahit di bawah pimpinan
Gajahmada yang sengaja di tanam di istana Kadipaten
Lamajang. Terlihat prajurit Majapahit itu menemui salah seorang
prajurit pengawal Kadipaten di gardu jaga. Dan sebentar
kemudian prajurit Majapahit itu bersama seorang prajurit
pengawal Kadipaten telah datang kembali mendekati
Gajahmada. Terlihat prajurit pengawal Kadipaten itu memandang
Gajahmada dari ujung kaki sampai ujung kepalanya.
"Aku juga seorang prajurit seperti dirimu", berkata
Gajahmada kepada prajurit itu dengan penuh senyum
ramah menyadari bahwa saat itu dirinya memang tidak
memakai pertanda apapun sebagai layaknya seorang
prajurit, hanya berpakaian sebagaimana orang
kebanyakan, bahkan sudah terlihat sangat lusuh.
Mendengar perkataan Gajahmada telah membuat
prajurit itu tersenyum malu.
Kepada prajurit pengawal Kadipaten itu Gajahmada
mengutarakan maksudnya datang ke istana Kadipaten
itu untuk menghadap Adipati Menak Koncar, tentunya
579 dengan bahasa yang santun tidak menunjukkan
ketinggian pangkatnya sebagai seorang perwira tinggi
prajurit Majapahit. Nampaknya prajurit pengawal Kadipaten itu merasa
terkesan dengan tutur kata Gajahmada yang santun itu,
diam-diam sudah merasa jatuh hati bersimpati
kepadanya. "Tunggulah disini, hamba akan menyampaikan
kedatangan tuan kepada Adipati Menak Koncar", berkata
prajurit pengawal Kadipaten itu kepada Gajahmada.
Terlihat prajurit pengawal Kadipaten itu telah
melangkahkan kakinya menuju arah pendapa agung
Kadipaten Lamajang. Gajahmada dan Supo Mandagri nampaknya tidak
harus lama menunggu di depan gardu jaga, karena tidak
lama berselang prajurit pengawal Kadipaten itu terlihat
telah datang berjalan mendekati mereka.
"Adipati Menak Koncar sangat senang sekali
mendengar kedatangan tuan, juga seorang tamu yang
saat ini bersamanya", berkata prajurit pengawal
Kadipaten itu kepada Gajahmada.
"Adipati Menak Koncar sedang bersama seorang
tamu?", bertanya Gajahmada kepada prajurit itu.
"Tamu itu juga baru saja datang, hanya berselisih
sepenginangan dengan tuan", berkata prajurit itu kepada
Gajahmada. "Apakah kamu mengetahui dari mana berasal tamu
Adipati Menak Koncar itu?", bertanya Gajahmada kepada
prajurit itu merasa ingin tahu siapa tamu yang bersama
Adipati Menak Koncar di Pendapa Agung itu.
"Sewaktu datang melapor di gardu jaga ini 580 mengatakan saudara ipar dari Adipati Menak Koncar dan
berasal dari sebuah tempat yang cukup jauh di
Balidwipa", berkata prajurit itu kepada Gajahmada.
"Mari kuantar tuan ke Pendapa Agung agar dapat
segera bertemu dengan Adipati Menak Koncar bersama
tamunya itu yang nampaknya sangat senang sekali
mendengar kedatangan tuan di istana Kadipaten ini",
berkata kembali prajurit pengawal Kadipaten itu kepada
Gajahmada. Dan pikiran Gajahmada memang telah dipenuhi
begitu banyak pertanyaan, siapa gerangan tamu Adipati
Menak Koncar yang telah mengenalnya itu. Masih
dengan pikiran yang belum terjawab, terlihat dirinya dan
Supo Mandagri telah mengikuti di belakang langkah kaki
prajurit pengawal Kadipaten itu yang membawa mereka
berdua menuju Pendapa Agung istana Kadipaten
Lamajang. "Kakang Putu Risang?", berkata Gajahmada dalam
hati sambil terus mengikuti langkah kaki prajurit
pengawal itu. "Siapa lagi adik ipar dari Adipati Menak
Koncar selain Kakang Putu Risang yang berasal dari
Balidwipa?", berkata kembali Gajahmada dalam hati
seperti tidak sabaran ingin berlari berjalan mendahului
prajurit pengawal Kadipaten itu.
Sementara itu Supo Mandagri yang tidak mengetahui
apa yang tengah dipikirkan oleh sahabatnya itu terus
mengiringinya berjalan di sampingnya.
Ternyata dugaan Gajahmada adalah benar,
manakala telah mendekati panggung pendapa agung
istana Kadipaten Lamajang, diantara celah-celah pagar
pendapa agung dilihatnya Adipati Menak Koncar tengah
berbincang-bincang dengan seorang tamunya yang
581 memang sudah sangat dikenalnya itu, Putu Risang, sang
guru pembimbingnya yang pertama kali memperkenalkan
kepadanya ilmu kanuragan.
"Mahesa Muksa", lekaslah naik ke panggung",
berkata Adipati Menak Koncar menyapa Gajahmada
dengan nama kecilnya yang dilihatnya telah berdiri
tersenyum di bawah anak tangga pendapa agung.
Supo Mandagri yang baru mengetahui kedekatan
sahabatnya itu dengan Adipati Menak Koncar mulai
terkagum-kagum, ternyata sahabatnya itu punya banyak
kenalan orang-orang besar.
"Sungguh sebuah keberkahan tak terhingga untuk
diriku, hari ini telah dipertemukan Kakang Adipati Menak
Koncar dan Kakang Putu Risang secara bersamaan",
berkata Gajahmada menghaturkan rasa hormatnya
kepada kedua orang yang berada di atas pendapa
Agung istana Kadipaten itu.
"Rangga Seta, perkenalkan dirimu kepada pamanmu
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu", berkata Putu Risang kepada seorang anak lelaki
berusia sekitar lima tahunan.
"Jadi aku sudah punya seorang keponakan, siapa
namamu cah ganteng?", berkata Gajahmada kepada
anak lelaki yang bersama Putu Risang itu.
"Namaku Rangga Seta, siapakah nama paman?",
bertanya anak lelaki itu dengan tutur kata yang terdengar
sangat begitu lucu kepada Gajahmada.
"Panggil aku sebagai Paman Gajahmada", berkata
Gajahmada kepada anak lelaki itu, putra Putu Risang
bernama Rangga Seta. Kepada Adipati Menak Koncar dan Putu Risang, tidak
lupa Gajahmada memperkenalkan sahabatnya, Supo
582 Mandagri kepada mereka berdua.
Terlihat Adipati Menak Koncar mempersilahkan
Gajahmada dan Supo Mandagri untuk bersih-bersih.
"Aku akan menyiapkan pakaian pengganti untuk
kalian berdua", berkata Adipati Menak Koncar kepada
Gajahmada dan Supo Mandagri sambil tersenyum
melihat pakaian yang mereka berdua kenakan memang
sangat lusuh dan kotor. Akhirnya tidak lama berselang, Gajahmada dan Supo
Mandagri telah datang dan bergabung kembali di
pendapa agung istana Kadipaten yang adem diteduhi
dua beringin besar di muka halamannya itu.
"Kami berdua baru saja bermalam di hutan Randu
Agung", berkata Gajahmada bercerita tentang pertarungan mereka hingga menjadi tawanan sampai
dengan pertemuan mereka berdua dengan Ki Banyak
Wedi. "Pantas, pakaian kalian sangat lusuh dan kotor
sekali", berkata Adipati Menak Koncar setelah
mendengar penuturan dari Gajahmada itu.
"Mereka bertiga sangat akrab sekali", berkata Supo
Mandagri dalam hati. Sebagai seorang yang sudah cukup lama
meninggalkan Kotaraja Majapahit, banyak sekali yang di
tanyakan oleh Putu Risang mengenai perkembangan
Kotaraja Majapahit. Sebagaimana dikisahkan sebelumnya bahwa Putu Risang adalah salah seorang
yang ikut bersama-sama para pendiri Kerajaan Majapahit
membangun sebuah pemukiman baru di hutan Maja.
Atas perintah Patih Mahesa Amping, dirinya telah
kembali ke Balidwipa untuk menggantikan kedudukan
583 Empu Dangka yang telah meninggal dunia di Padepokan
Pamecutan di Balidwipa. Maka, Putu Risang bersama
istrinya yang bernama Endang Trinil adik sepupu dari
Adipati Menak Koncar itu lama meninggalkan Kotaraja
Majapahit. "Bagaimana perkembangan perkampungan besar di
pinggir hutan Maja itu?", berkata Putu Risang kepada
muridnya itu. "Perkampungan besar itu telah menjadi sebuah
Kotaraja yang sangat ramai, telah meluas hingga pinggir
sungai Kalimas", berkata Gajahmada bercerita tentang
perkembangan Kotaraja Majapahit saat itu.
Bergantian, sekarang Putu Risang yang bercerita
beberapa hal tentang dirinya yang telah menjadi seorang
pemimpin Padepokan Pamecutan di Balidwipa.
"MBokayumu, Endang Trinil sangat kerasan tinggal di
sana", berkata Putu Risang mengawali ceritanya.
Putu Risang juga bercerita mengapa sampai di istana
Kadipaten Lamajang itu. "Bermula hanya ingin mengajak Rangga Seta belajar
mengembara hingga menyeberang ke Banyuwangi.
Ternyata disana aku bertemu dengan kawanmu
Adityawarman yang mengatakan bahwa dirimu juga
sedang dalam tugas bersama para prajurit Majapahit di
timur Jawadwipa ini, ditempatkan di sekitar Pasuruan dan
Lamajang. Mendengar penuturan dari Adityawarman
itulah sebabnya aku mengembara hingga sampai di
istana Kadipaten ini, berharap dapat menjumpaimu
disini", berkata Putu Risang menuturkan cerita tentang
dirinya hingga sampai di istana Kadipaten Lamajang
bersama putranya, Rangga Seta.
584 "Pantas, manakala keluar dari hutan Randu Agung,
tiba-tiba saja ada sebuah keinginan di hati ini untuk
singgah di istana Kadipaten Lamajang ini", berkata
Gajahmada menyampaikan perasaan hatinya.
"Itu sebuah pertanda, panggraitamu sungguh sangat
tajam, Mahesa Muksa", berkata Adipati Menak Koncar
memanggil Gajahmada dengan panggilan kecilnya,
Mahesa Muksa. Sebuah nama pemberian Patih Mahesa
Amping kepada putra Nyi Nariratih itu.
Sementara itu, Supo Mandagri yang hanya berdiam
diri mendengar cerita mereka bertiga di pendapa agung
itu mulai menarik sebuah kesimpulan mengapa mereka
bertiga begitu sangat dekat.
"Ternyata mereka bertiga adalah orang-orang yang
sangat dekat dengan Baginda Raja Sanggrama Wijaya,
tinggal bersama di awal pembangunan kerajaan
Majapahit ini", berkata Supo Mandagri dalam hati
mengerti dimana mereka bertiga itu saling mengenal.
Hingga akhirnya perbincangan beralih kepada
perkembangan tugas para prajurit Majapahit di timur
Jawadwipa itu. Gajahmada juga bercerita tentang
rencana mereka untuk meruntuhkan pusat pengendali
dari kekuatan di timur Jawadwipa itu sesuai saran dari Ki
Banyak Wedi yang sampai saat ini masih bersembunyi di
hutan Randu Agung. "Aku akan mengutus beberapa orangku untuk
mengamati rumah itu dan kekuatannya, agar kita dapat
mudah dan tidak menemukan kesulitan ketika
menghadapi mereka", berkata Adipati Menak Koncar
merasa setuju bila dalam waktu dekat ini menghancurkan
pusat kekuatan pihak lawan yang berada di wilayahnya
itu. 585 "Kakang Mahesa Semu mungkin dapat ditarik untuk
membantu kita", berkata Gajahmada mengusulkan untuk
mengikut sertakan Mahesa Semu.
"Aku setuju, cantrik utama dari Padepokan Bajra Seta
itu dapat diandalkan memperkuat barisan kita", berkata
Putu Risang yang masih mengenal Mahesa Semu
sebagai salah satu cantrik Padepokan Bajra Seta itu.
"Kehadiran Kakang Mahesa Semu sudah dapat
menandingi empat orang yang berilmu tinggi yang ada di
rumah itu", berkata Gajahmada sambil menyampaikan
beberapa orang yang berilmu tinggi yang ada di rumah
itu. "Aku pernah menghadapi Ki Banyak Ara, namun
menurut penuturan Ki Banyak Wedi ada seorang
pendeta Brahmana yang lebih tinggi kesaktian ilmunya
melebihi Ki Banyak Ara", berkata kembali Gajahmada.
"Bila disetujui, aku menawarkan diri untuk
menghadapi orang itu", berkata Putu Risang
menawarkan dirinya. Mendengar perkataan Putu Risang, terlihat Adipati
Menak Koncar tersenyum merasa yakin bahwa diantara
mereka bertiga, adik iparnya itulah yang paling tinggi
ilmunya. Terbayang kembali bagaimana seorang Putu
Risang pernah mengalahkan banyak orang sakti dari
berbagai pelosok bumi Jawadwipa ini beberapa tahun
yang telah silam dalam sebuah peristiwa hilangnya keris
Nagasasra dari tempat penyimpanannya di istana
Majapahit. "Ki Jatiwangi dan Ki Banyak Ara sudah punya lawan
tandingnya sendiri, tinggal Ki Ajar Pelandongan dan Ki
Gagakpati yang belum mendapatkan calon lawannya",
berkata Adipati Menak Koncar mengingatkan masih ada
dua orang lagi lawan tangguh mereka.
586 "Kakang Mahesa Semu mungkin dapat menghadapi
seorang seperti Ki Ajar Pelandongan", berkata
Gajahmada yang sudah dapat mengukur tingkat tataran
ilmu Ki Ajar Pelandongan itu.
"Semua sudah mendapatkan lawan masing-masing,
kecuali Ki Gagakpati dan diriku sendiri", berkata Adipati
Menak Koncar sambil tersenyum memandang kearah
Gajahmada. "Senjata cakra Kakang Adipati Lamajang pasti akan
merepotkan diri Ki Gagakpati", berkata Gajahmada
kepada putra sulung Mahapatih Mangkubumi Majapahit
itu. Terlihat Adipati Menak Koncar hanya
tersenyum mendengar perkataan Gajahmada.
sedikit "Sewaktu aku masih kecil, aku sering menyaksikan
bagaimana Kakang melatih para pasukan Majapahit di
alun-alun. Aku merasa yakin bahwa senjata Cakra
Kakang Adipati Menak Koncar bukan sebuah hiasan di
dinding sanggar istana Kadipaten Lamajang ini", berkata
kembali Gajahmada sambil tersenyum memandang ke
arah putra Mahapatih Mangkubumi Majapahit itu.
"Mudah-mudahan tanganku ini masih dapat memutar
senjata cakraku", berkata Adipati Menak Koncar kepada
Gajahmada. "Kakang Adipati Menak Koncar memang selalu
merendahkan dirinya, aku merasa yakin bahwa
kemampuan para prajurit pengawal Kadipaten ini sama
tangguhnya dengan prajurit Majapahit", berkata Putu
Risang. "Artinya kita tidak memerlukan para prajurit Majapahit
yang ada di timur Jawadwipa ini", berkata Gajahmada.
587 "Aku akan membawa prajurit terbaikku menghadapi
anak buah Ki Banyak Ara", berkata Adipati Menak
Koncar kepada Putu Risang dan Gajahmada.
Demikianlah, pada hari itu juga Adipati Menak Koncar
telah memanggil dua orang prajuritnya yang telah
ditugaskan untuk mengamati lebih seksama lagi
kekuatan yang ada di rumah kediaman Ki Banyak Ara di
Kademangan Randu Agung. Sementara itu di waktu yang sama, Gajahmada telah
meminta seorang prajurit Majapahit untuk menyambangi
Mahesa Semu yang masih bertugas di sekitar tanah
Blambangan. Perlahan malam pun telah datang kembali di bumi
Lamajang. Angin dingin kering berhembus lewat
persawahan yang sangat luas terbentang di bawah kaki
pegunungan Semeru, Bromo dan Tengger.
Di kegelapan malam itu, terlihat seorang prajurit
Majapahit telah mengambil sebuah jalan ke arah timur di
sebuah persimpangan jalan Kadipaten Lamajang.
Sementara tidak lama berselang dua orang prajurit
pengawal Kadipaten Lamajang di persimpangan yang
sama telah mengambil arah ke selatan, nampaknya telah
mengambil arah Kademangan Randu Agung sesuai
tugas yang diamanatkan oleh Adipati Menak Koncar
kepada mereka berdua untuk mengamati kekuatan
rumah kediaman Ki Banyak Ara, saudara kembar Ki
Banyak Wedi yang telah tersingkir dari rumahnya sendiri
tanpa sepengetahuan seorang pun di Kademangan
Randu Agung itu, juga orang-orang terdekatnya
sekalipun. Namun, ternyata bukan hanya seorang prajurit
Majapahit dan dua orang prajurit pengawal Kadipaten
588 Lamajang saja yang terlihat keluar di kegelapan malam
itu. Karena di antara canda dan tawa para prajurit di
gardu jaganya, tanpa mereka sadari berkelebat dua
bayangan keluar lewat dinding pagar istana Kadipaten
Lamajang itu. Dua bayangan itu terus berkelebat seperti
menghindari jalan utama dan berhenti di sebuah tanah
gumuk di sebelah utara istana Kadipaten Lamajang yang
sangat sepi di malam itu.
Dibalik tanah gumuk di bawah atap cakrawala langit
yang terbuka, wajah kedua orang yang berkelebat keluar
dari istana itu mulai terlihat jelas, ternyata adalah Putu
Risang dan Gajahmada. "Apakah Kakang Putu Risang merasa yakin bahwa
Rangga Seta sudah tertidur?", bertanya Gajahmada
kepada Putu Risang. "Anak itu sudah terbiasa tidur sendiri di gandhoknya",
berkata Putu Risang dengan tersenyum kepada
Gajahmada. "Aku melihat sebuah kecerdasan yang luar biasa di
dalam bola matanya", berkata Gajahmada ambil duduk
bersandar pada tanah miring gumuk yang dipenuhi
rumput basah. "Aku berharap dapat membimbingnya menjadi
seorang ksatria yang tangguh mewarisi ageman suci
para leluhur kita", berkata Putu Risang kepada
Gajahmada. "Aku melihat kegelisahan Kakang Putu Risang atas
masa depan Rangga Seta?", bertanya Gajahmada
seperti dapat membaca pikiran gurunya itu.
"Pikiran dan perkataanmu
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masih seperti yang 589 kukenal, selalu datang tak terduga dengan sebuah
pertanyaan apa yang aku pikirkan dan bukan apa yang
telah aku katakan", berkata Putu Risang yang juga ikut
duduk di samping Gajahmada bersandar di kemiringan
tanah berumput basah itu.
"Apa yang kakang Putu Risang gelisahkan?",
bertanya kembali Gajahmada kepada Putu Risang.
"Ketika bertemu Adityawarman di Banyuwangi yang
mengabarkan keberadaanmu di sekitar Tanah Lamajang
ini, aku memang berharap menjumpaimu untuk dapat
mengatakan sebuah rahasia yang selama ini kadang
mengganggu perasaan dan pikiranku", berkata Putu
Risang sambil menarik nafas panjang.
"Apa yang Kakang Putu
bertanya kembali Gajahmada.
Risang gelisahkan?", "Ada orang asing yang selalu berada di sekitar
Rangga Seta, membayanginya", berkata Putu Risang.
"Orang asing?", bertanya Gajahmada sambil
menggeser tubuhnya berpaling ke arah Putu Risang.
"Orang asing yang berjubah sebagaimana para
brahmana", berkata Putu Risang. "namun aku tidak
pernah dapat mendekatinya, selalu menghilang seperti
tertelan bumi", berkata kembali Putu Risang kepada
Gajahmada. Terlihat Gajahmada mengerutkan keningnya mencoba berpikir siapakah orang itu yang pasti memiliki
ilmu yang sangat tinggi karena orang setangguh seperti
gurunya itu saja tidak pernah dapat mendekatinya.
"Apa yang Kakang risaukan dengan keberadaan
orang asing itu?", bertanya Gajahmada.
"Aku melihat kejadian yang sama dengan dirimu, ada
590 seorang yang membayangi Rangga Seta setiap waktu",
berkata Putu Risang kepada Gajahmada.
Mendengar perkataan Putu Risang itu, seketika
Gajahmada teringat kepada pembimbing rohaninya yang
selalu setia menjaganya sejak kecil itu, dia adalah
Pendeta Gunakara yang berasal dari sebuah tanah di
seberang lautan yang sangat jauh, sebuah dataran
pegunungan Tibet. "Bukankah Pendeta Gunakara datang dengan tugas
sucinya?", berkata Gajahmada mulai dapat menebak
kemana arah pikiran gurunya itu.
"Itulah yang selalu ada mengganggu perasaan dan
pikiranku, orang asing itu akan mencuci hati dan pikiran
putraku dengan ageman baru, bukan ageman leluhur
kita", berkata Putu Risang sambil memandang jauh
kedepan, jauh ke ujung pucuk pohon kelapa yang
tumbuh tinggi di sebuah padukuhan yang jauh berbatas
persawahan di depan mereka.
"Gusti Yang Maha Agung memberi cahaya kepada
siapapun dan dimanapun, dialah yang Maha Tahu kapan
saatnya bumi yang tua ini akan berganti baru, cara-cara
hidup, pandangan dan pikiran hidup dan perikehidupan
yang terus berkembang dalam pembaharuannya. Pada
suatu masa, mungkin umur kita tidak akan sampai lagi
ada di saat itu, dimana jauhnya jarak lautan tidak menjadi
pembatas, dimana setiap orang sudah dapat bepergian
ke sembarang tempat dengan mudahnya, disaat itulah
terjadi pelunturan warna-warna pikiran dan pandangan
hidup, siapa yang paling kuat coraknya, dialah yang akan
menjadi panutan di jamannya sebagai corak dan warna
baru di bumi ini", berkata Gajahmada layaknya seorang
pendeta tua yang arif berkata kepada para muridnya.
591 "Ternyata tidak sia-sia aku menjumpaimu di Tanah
Lamajang ini, benarlah apa yang di katakan oleh
Pendeta Gunakara tentang dirimu, dimana Guru sucinya,
Damyang Dalai lama telah menitis hidup di dalam
dirimu", berkata Putu Risang kepada Gajahmada.
Mendengar perkataan Putu Risang terlihat Gajahmada hanya sedikit tersenyum. Dan Putu Risang
tidak lagi melihatnya sebagai Gajahmada, tapi sebagai
seorang guru suci yang punya penglihatan yang sangat
jauh, melampaui akal dan pikirannya.
"Rangga Seta bukan milik kita, tapi milik sang abadi
yang sejatinya adalah gurunya. Sebagaimana para orang
tua yang mengajarkan anaknya berdiri dan berjalan,
jiwanya juga akan dituntun untuk dapat berdiri dan
berjalan, mengenal dan memahami kehidupan jiwani
yang puncaknya akan mengenal jati diri gurunya sendiri,
sang abadi", berkata kembali Gajahmada masih seperti
layaknya seorang pendeta suci memberi Sabda Palon
kepada para muridnya. "Kamu benar, Rangga Seta memang bukan milikku,
hanya kebetulan terlahir sebagai putraku", berkata Putu
Risang seperti telah mendapatkan sebuah jalan terang di
hadapannya. "Apakah untuk ini semua Kakang Putu Risang jauhjauh datang mencariku?", bertanya Gajahmada kepada
Putu Risang. "Benar hanya untuk inilah aku datang mencarimu,
mencari jawaban atas kegelisahanku selama ini", berkata
Putu Risang menjawab pertanyaan Gajahmada.
Terlihat Gajahmada tangannya bergerak mengambil
sebuah kerikil di dekatnya.
592 Bukan main terkejutnya Putu Risang melihat jari
jemari Gajahmada menjentikkan kerikil itu meluncur
dengan cepatnya ke sebuah gerumbul semak belukar.
Dan terkesiap wajah Putu Risang telah melihat
sebuah bayangan melesat begitu cepatnya bergerak dan
menghilang di kegelapan malam seperti tertelan bumi,
"Sejauh Rangga Seta berjalan, sejauh itu pula orang
ini membayanginya", berkata Gajahmada kepada Putu
Risang. Diam-diam Putu Risang mengakui ketajaman indera
Gajahmada ternyata telah jauh melampaui dirinya,
gurunya sendiri. Buktinya sejauh ini tidak mengetahui
keberadaan orang berilmu tinggi itu yang diam-diam
bersembunyi di gerumbul semak belukar tidak jauh dari
mereka. "Hari sudah mendekati pagi", berkata Gajahmada
sambil memandang warna semburat merah menyinari
sebagian cakrawala langit sebagai pertanda sang fajar
sebentar lagi akan muncul di bumi raya.
"Mari kita kembali ke istana Kadipaten Lamajang",
berkata Putu Risang sambil berdiri.
Demikianlah, di keremangan awal pagi itu dua buah
bayangan terlihat berkelebat mendekati jalan utama
istana Kadipaten Lamajang. Kecepatan kedua bayangan
itu berkelebat memang sangat luar biasa hingga tak
seorang pun para prajurit pengawal istana Kadipaten
menyadari ada dua orang telah melintas di halaman
istana Kadipaten. "Ternyata dua orang tamuku sudah terbiasa bangun
dan jalan-jalan pagi", berkata Adipati Menak Koncar yang
tengah berjalan dari arah pringgitan kepada dua orang
593 yang berkelebat memasuki panggung pendapa agung
yang ternyata adalah Gajahmada dan Putu Risang.
"Ternyata berjalan dan memandang hamparan sawah
yang luas membentang di waktu pagi sangat
menyenangkan", berkata Putu Risang dengan senyum
renyahnya kepada Adipati Menak Koncar.
"Pendapa agung ini menghadap arah timur matahari,
hampir setiap pagi aku duduk disini mengikuti gerak sang
fajar muncul di ujung bibir bumi", berkata Adipati Menak
Koncar sambil merebahkan tubuhnya duduk di lantai
kayu panggung pendapa agung.
Menunggu saat fajar datang memang sungguh tidak
membosankan, apalagi diiringi canda dan gurau hangat
dari mereka bertiga yang sudah lama tidak saling
bertemu. Manakala sang fajar telah menampakkan seluruh
wajahnya menyinari bumi pagi, pembicaraan mereka
menjadi semakin hangat karena telah ikut bergabung
bersama mereka seorang pemuda yang sangat
menyenangkan, mudah bergaul dan punya banyak sekali
bahan pembicaraan yang membuat suasana di atas
panggung pendapa agung menjadi semarak, penuh
kegembiraan. Dan pagi diatas pendapa agung itu menjadi seperti
sempurna manakala seorang anak lelaki hadir ditengahtengah mereka. Anak lelaki kecil itu adalah Rangga Seta.
Perlahan sang surya beranjak menaiki tangga
cakrawala langit, beringin kembar di muka halaman
pendapa istana Kadipaten Lamajang seperti dua raksasa
hidup memayungi suasana dibawahnya menjadi
senantiasa tetap teduh. 594 Terlihat dua orang prajurit kepercayaan Adipati
Menak Koncar datang menghadap, menyampaikan berita
hasil pengamatannya di Kademangan Randu Agung.
"Beristirahatlah, kalian telah melaksanakan tugas
dengan baik", berkata Adipati Menak Koncar kepada
kedua prajuritnya itu. "Ternyata tidak ada perubahan kekuatan di rumah itu
sebagaimana yang dikatakan oleh Ki Banyak Wedi",
berkata Adipati Menak Koncar kepada Gajahmada dan
Putu Risang. "Aku belum begitu mengenal Wilayah Kademangan
Randu Agung, kalau boleh tahu, apakah kita akan
melewati banyak padukuhan untuk sampai ke rumah
itu?", bertanya Putu Risang kepada Adipati Menak
Koncar. "Rumah itu berada di Padukuhan paling ujung ke
arah hutan Randu Agung, jalan terdekat adalah melewati
beberapa padukuhan di Kademangan Randu Agung",
berkata Adipati Menak Koncar menjawab pertanyaan
Putu Risang. "Nampaknya ada satu hal yang terlewatkan oleh Ki
Banyak Wedi", berkata Putu Risang kepada Adipati
Menak Koncar dan Gajahmada.
Mendengar perkataan Putu Risang, terlihat Adipati
Menak Koncar dan Gajahmada saling berpandangan.
"Menurutku, Ki Banyak Wedi sudah menyampaikan
semuanya", berkata Adipati Menak Koncar sambil
mengerutkan keningnya memandang ke arah Putu
Risang. Putu Risang tidak segera berkata apapun, hanya
sedikit tersenyum. 595 "Aku akan menjawabnya, tapi perlu bantuan Supo
Mandagri", berkata Putu Risang sambil memanggil Supo
Mandagri yang duduk berjauhan dengan mereka tengah
menemani Rangga Seta. "Supo Mandagri, kamu besar di Tanah Lamajang ini,
apa yang akan kamu lakukan bila mendengar
tetanggamu mendapatkan sebuah musibah?", bertanya
Putu Risang kepada Supo Mandagri yang sudah datang
mendekat. "Bagi kami tetangga adalah saudara paling dekat,
kami akan datang memberikan bantuan sekuat apa yang
kami miliki", berkata Supo Mandagri langsung seketika.
"Itulah yang dilupakan oleh Ki Banyak Wedi, bahwa
kita belum dapat mengetahui seberapa besar
keberpihakan para warga penghuni Kademangan Randu
Agung", berkata Putu Risang masih dengan senyumnya
sambil memandang bergantian kearah Adipati Menak
Petualang Asmara 20 Golok Naga Kembar Karya Hong San Khek Pengelana Rimba Persilatan 6
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama