Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana Bagian 1
Naskah ini disusun untuk kalangan sendiri
Bagi sanak-kadang yang berkumpul di "Padepokan"
pelangisingosari Meskipun kita semua boleh download naskah tersebut di
http://pelangisingosari.wordpress.com,
tetapi hak cipta tetap berada di Ki Arief "Kompor" Sujana.
2 Karya : Ki Arief "Kompor/Sandilaka" Sujana
Jilid 1 Bagian 1 PULAU itu memang sangat jauh dari daratan yang
terdekat, namun siapapun yang mengenal jalur
pelayaran rahasia menuju pulau tempat kebun pala hidup
di daratan Tanah Gurun, pasti akan singgah di pulau
Tanah Wangi-wangi. Begitulah para pelaut menyebutnya.
Sebuah pulau yang berbukit subur hijau dan berpantai
landai, di pulau inilah para pelaut datang singgah untuk
memenuhi perahu jungnya dengan bekal perjalanan
mereka, terutama bekal air tawar yang memang begitu
sangat dibutuhkan dalam perjalanan pelayaran yang
jauh. Tuan Raja Jawa, begitulah semua warga penghuni pulau
Tanah Wangi-wangi menyebut nama seorang tua yang
sangat mereka hormati yang baru datang bersama
keluarganya sekitar empat pekan yang lalu dan menetap
di Pulau Tanah Wang-wangi.
3 Siapakah Tuan Raja Jawa yang sangat dihormati oleh
penghuni pulau Tanah Wangi-wangi itu"
Tuan Raja Jawa itu tidak lain adalah Ratu Anggabhaya
yang datang mengungsi dari Jawadwipa bersama
seluruh keluarga istana Singasari. Mereka mengungsi
ketempat yang begitu jauh hanya untuk memberikan
kesempatan putra harapan mereka yaitu Raden
Sanggrama Wijaya dapat berjuang merebut kembali
tanah hak mereka dari seorang pengkhianat perebut
tahta singgasana, seorang saudara dan keluarga sendiri,
Raja Jayakatwang yang saat itu telah mengukuhkan
dirinya sebagai Maharaja Jawadwipa Raya berkedudukan di Kediri. Mereka para pengungsi keluarga istana Singasari itu
datang ke Pulau Tanah Wangi-wangi diantar oleh
seorang Senapati muda bernama Mahesa Amping,
seorang Senapati muda yang berilmu tinggi yang sangat
dekat dan sangat dipercaya oleh Raden Sanggrama
Wijaya. Senapati Mahesa Amping juga telah membawa
keluarga dan beberapa kerabatnya dari Balidwipa untuk
tinggal dan menetap di pulau Tanah Wangi-wangi.
Tuan Raja Jawa atau Ratu Anggabhaya diterima oleh
para penghuni Pulau Tanah Wangi-wangi karena datang
bersama seorang yang sangat begitu mereka hormati,
yaitu Senapati Mahesa Amping yang pernah datang di
Pulau Tanah Wangi-wangi bersama Kebo Arema sang
Karaeng, putra mahkota pulau Tanah Wangi-wangi.
Mahesa Amping dan Kebo Arema adalah pahlawan
mereka yang telah membebaskan Pulau Tanah Wangiwangi dari penguasa kejam, para perompak laut yang
berkuasa dan menjajah penghuni pulau Tanah Wangiwangi dalam kurun waktu yang cukup lama, menciptakan
banyak derita dan kemalangan.
4 Demikianlah, sejak saat itu ada dua keluarga baru yang
tinggal di pulau Tanah Wangi-wangi, keluarga istana
Singasari dari Jawadwipa dan keluarga Mahesa Amping
dari Balidwipa. Sebagaimana dalam kisah sebelumnya, dimana Senapati
Mahesa Amping mengawal rombongan keluarga istana
Singasari menuju tanah pengungsian hanya dikawani
seorang sahabatnya yang bernama Ki Sandikala. Ketika
rombongan singgah di Balidwipa, Senapati Mahesa
Amping tidak sampai hati bila harus meninggalkan
Adityawarman, anak kandungnya sendiri serta kemenakannya putra Raden Sanggrama Wijaya bernama
Jayanagara untuk waktu yang cukup lama yang saat itu
tinggal dan masih menetap di Padepokan Pamecutan,
sebuah Padepokan yang dibangun dan didirikan
bersama Empu Dangka. "Gajahmada dan ibunya juga harus kubawa serta",
berkata Mahesa Amping dalam hati ketika akhirnya juga
memutuskan untuk membawa Gajahmada anak
angkatnya bersama ibunya Nyi Nariratih ke pulau Tanah
Wangi-wangi. "Aku sudah menempuh banyak perjalanan, dan
pencarianku telah sampai kepada seorang manusia
tempat dimana takdirku selalu ada bersamanya", berkata
Pendeta Gunakara kepada Mahesa Amping ketika
berbicara bersama memutuskan untuk membawa
Gajahmada dan ibunya Nariratih ke pulau Tanah Wangiwangi.
"Setelah sampai di pulau Tanah Wangi-wangi, aku akan
segera kembali ke Jawadwipa untuk ikut berjuang
bersama Raden Wijaya, untuk sebuah waktu yang cukup
lama dan tidak dapat dipastikan kapan aku akan kembali
bersama di pulau Tanah Wangi-wangi. Kehadiran dan
5 kesediaan Tuan Pendeta Gunakara untuk ikut bersama
kami telah mengurangi beban dan kekhawatiranku",
berkata Mahesa Amping kepada Pendeta Gunakara
mengijinkannya ikut bersama ke pulau Tanah Wangiwangi.
Sebagaimana diketahui bahwa Pendeta Gunakara
adalah seorang pengembara dari sebuah Wihara
terkemuka di sebuah daratan Tibet yang ditugaskan
untuk mencari titisan guru besarnya Jamyang Dawa
Lama yang telah meninggal dunia. Setelah menempuh
banyak perjalanan, takdir membawanya menemukan
titisan Guru besarnya dalam diri Gajahmada, anak
kandung Nyi Nariratih yang lahir pada hari yang sama
disaat wafatnya Jamyang Dawa Lama yang ditandai
dengan adanya gerhana matahari. Sebagaimana adat
istiadat pada jaman itu, seorang yang terlahir disaat
gerhana matahari harus mempunyai nama samaran. Dan
Mahesa Amping sebagai ayah angkat Gajahmada telah
memberi nama lain untuknya, dengan nama Mahesa
Muksa. "Mudah-mudahan aku juga dapat menjadi seorang
sahabat yang baik dalam perjalananmu", berkata
Argalanang kepada Mahesa Amping yang juga
memutuskan untuk ikut bersamanya ke pulau Tanah
Wangi-wangi. "Aku memang perlu sahabat seperti dirimu, bukan hanya
teman di perjalanan, tapi juga teman untuk berjuang
bersama Raden Wijaya di Jawadwipa", berkata Mahesa
Amping kepada Argalanang sahabatnya itu yang
diketahui kesetiaannya dalam sebuah petualangannya di
Tanah Melayu bersama Raden Wijaya dan Ranggalawe
beberapa tahun yang telah lewat.
Sementara itu Mahesa Amping merasa sangat berat hati
6 meninggalkan Putu Risang, seorang pemuda yang punya
bakat besar yang telah dibimbingnya selama ini di
Padepokan Pamecutan. Namun Mahesa Amping percaya
bahwa di tangan Empu Dangka, pemuda ini akan tumbuh
sebagai seorang ksatria yang tiada tanding.
Mahesa Amping juga merasa berat hati harus berpisah
dengan Empu Dangka dan semua cantrik di padepokan
Pamecutan. "Jalanilah semua takdirmu, wahai anakku. Aku merasa
bahagia telah ditakdirkan bertemu dan pernah bersama
denganmu", berkata Empu Dangka ketika melepas
Mahesa Amping dan rombongannya keluar dari regol
pintu gerbang halaman Padepokan Pamecutan menuju
ke sebuah tempat yang jauh terpisah jarak lautan.
Demikianlah, ketika rombongan keluarga istana Singasari
setelah singgah di Balidwipa untuk melanjutkan
perjalanan mereka ke pulau Tanah Wangi-wangi, iringiringan mereka menjadi bertambah lagi dengan ikutnya
beberapa orang kerabat dan keluarga Mahesa Amping.
Dan mereka berlayar disaat yang tepat, disaat awal
datangnya musim angin daya laut.
Sore itu langit terlihat berawan cukup cerah diatas rumah
panjang, sebuah rumah panggung yang cukup besar
berdiri dekat pantai menghadap kearah timur Matahari.
Rumah panjang itu adalah rumah adat yang dibangun
oleh para penghuni Tanah Wangi-wangi sebagai tempat
tinggal keluarga Kebo Arema sang karaeng yang sudah
lama tidak ditempati namun tetap dirawat dengan baik.
Atas perkenan para penghuni Tanah Wangi-wangi,
rumah panjang itu diserahkan kepada Mahesa Amping
dan rombongannya yang baru datang untuk menetap
disana. 7 Angin bertiup semilir sejuk menyapu tiga orang yang
terlihat tengah menuruni anak tangga rumah panjang.
Terlihat juga dua orang yang sudah cukup tua ikut
mengiringi langkah kaki ketiga orang yang nampaknya
akan berjalan menuju pantai.
Ternyata ketika mereka tiba di bibir pantai, sebuah
jukung terlihat sudah menunggu mereka.
Wajah kuning Matahari sore masih menggantung di barat
Cakrawala langit biru diatas pantai pulau Tanah Wangiwangi. Dibawah sinar matahari sore yang teduh wajah
kelima orang itu dapat terlihat jelas, mereka adalah
Mahesa Amping, Argalanang dan Ki Sandikala,
sementara dibelakang mereka dua orang yang ikut
mengiringi adalah Ratu Anggabhaya dan Pendeta
Gunakara. "Musim Angin daya laut sebentar lagi akan berakhir,
harus menunggu beberapa bulan lagi hingga datang
kembali musim angin untuk waktu berlayar. Dan kami
tidak ingin datang terlambat di saat saudaraku Raden
Wijaya tengah berjuang merebut kembali hak tanah
Singasari ", berkata Mahesa Amping kepada Ratu
Anggabhaya yang ikut ke tepi pantai mengantar
keberangkatannya menuju Jawadwipa.
"Doa kami menyertai kalian, sampaikan salamku kepada
Raden Wijaya", berkata Ratu Anggabhaya kepada
Mahesa Amping yang terlihat tengah akan melangkah
naik keatas jukung. Terlihat sebuah jukung tengah didorong menjauhi pantai
landai yang berombak kecil dan terus meluncur ke
tengah laut diiringi tatapan mata Ratu Anggabhaya dan
Pendeta Gunakara yang tetap berdiri di atas pasir putih
di bibir pantai yang hangat dibawah cahaya matahari
8 menjelang senja. Ratu Anggabhaya dan Pendeta Gunakara masih tetap
berdiri memandang jukung dimana Mahesa Amping,
Argalanang dan Ki Sandikala ada diatasnya terlihat
merapat di sebuah perahu jung besar Singasari yang
bersauh jauh dari bibir pantai yang landai.
Jukung Mahesa Amping adalah jukung terakhir yang
ditunggu. Matahari senja terlihat mulai rebah mencium
hamparan laut datar di barat bumi, dan sebuah perahu
jung besar terlihat sudah mulai bergerak perlahan kearah
dimana wajah bulat matahari bersinar diujung barat bumi.
"Mereka bertiga sebagai angin segar, membawa berita
kepada Raden Wijaya bahwa keluarganya di Tanah
pengungsian selalu berdoa untuk perjuangannya",
berkata Ratu Anggabhaya kepada Pendeta Gunakara
ketika perahu jung besar Singasari terlihat menghilang
jauh diujung lengkung kaki langit, menghilang diujung
hamparan luas laut biru yang datar diujung barat bumi,
diujung senja di batas malam yang akan segera datang
memberikan mimpinya. "Manusia hidup diatas mimpinya, seperti kita saat ini
yang berdiri memandang sebuah mimpi yang berlayar
jauh ke ujung tanah harapan", berkata Pendeta
Gunakara dengan senyum sarehnya mengajak Ratu
Anggabhaya kembali ke rumah panjang yang tidak jauh
dari pantai. Mari kita tinggalkan Ratu Anggabhaya dan Pendeta
Gunakara yang terlihat tengah berjalan kembali menuju
rumah panjang yang tidak begitu jauh dari tepi pantai
pulau Tanah Wangi-wangi. Kita lewatkan perjalanan
Mahesa Amping, Argalanang dan Ki Sandikala yang
tengah berlayar diatas perahu jung besar Singasari
9 menuju tanah perjuangan Jawadwipa.
Mari kita kembali melihat suasana di Kotaraja Singasari
yang telah berubah seperti kota mati yang lengang,
hanya ada beberapa prajurit pasukan Raden Wijaya
yang kadang terlihat berlalu lalang keluar masuk istana
Singasari yang semakin lusuh tak terawat, terlihat
beberapa taman istana sudah tidak elok lagi karena telah
ditumbuhi tanaman liar yang merambat menutupi hampir
seluruh wajah taman istana.
Senja tua diatas istana Singasari nampak begitu dingin
menyapu setiap wajah beberapa atap bangunan yang
masih tegap berdiri mengisi sisi istana Singasari sambil
memandang wajah lengkung langit yang semakin suram.
Dan malam pun akhirnya turun memeluk lorong-lorong
jalan setapak di sekitar istana Singasari dengan bayangbayang gelapnya. Terlihat seorang lelaki tengah berjalan
di sebuah lorong jalan setapak yang menuju
pasanggrahan yang lengang, cahaya pelita yang remang
menandakan pasanggrahan itu masih berpenghuni.
Lelaki itu terus berjalan melangkah mendekati pendapa
Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
utama didepan pasanggrahan istana itu yang terlihat
terang benderang disinari empat buah pelita malam di
setiap sudutnya. Cahaya pelita yang tergantung di dekat anak tangga
telah menyinari wajah lelaki itu yang ternyata adalah Arya
Kuda Cemani. "Kami semua menunggu kedatangan Paman Arya Kuda
Cemani", berkata Raden Wijaya menyambut kedatangan
Arya Kuda Cemani yang langsung duduk di sebuah
tempat di pendapa utama itu.
Terlihat Ki Bancak, Gajah Pagon dan Ki Sukasrana ikut
10 duduk bersama diantara para perwira tinggi yang hari itu
sengaja dikumpulkan oleh Raden Wijaya.
"Empat pekan sudah cukup bagi kita untuk menunggu
dan mematangkan gerakan pertama kita, menyalakan api
di segala penjuru tanah Jawa, menunjukkan bahwa
Kerajaan Singasari dan semangatnya masih belum
padam", berkata Raden Wijaya mengawali.
"Hari ini dari beberapa prajurit sandi yang telah menyebar
di berbagai tempat, aku mendapat sebuah berita bahwa
para raja di beberapa daerah telah mengirimkan
utusannya bersama barang upeti sebagai tanda
kesetiaan mereka kepada penguasa Kediri", berkata Arya
Kuda Cemani menyampaikan berita dari para prajurit
sandinya. "Penguasa Kediri saat ini tidak cuma membutuhkan
kesetiaan dari para raja di berbagai tempat di Tanah
Jawa ini, Penguasa Kediri saat ini juga membutuhkan
begitu banyak biaya sebagai bayaran yang cukup mahal
dari kemenangan mereka, terutama membiayai seluruh
prajuritnya yang besar", berkata Raden Wijaya kepada
semua yang hadir di pendapa utama. "Dan saatnya bagi
kita menggunting semua perjalanan para utusan raja dari
berbagai daerah, merebut semua upeti mereka. Gerakan
kita ini adalah suara bende peperangan, membuka
semua mata bahwa Kerajaan Singasari masih ada",
berkata kembali Raden Wijaya dengan penuh semangat
dan keyakinan. Akhirnya malam itu juga telah bulat sepakat semua yang
hadir di pendapa utama Pasanggrahan Raden Wijaya di
Istana Singasari untuk menyiapkan pasukan khusus
dalam beberapa kelompok kecil yang akan menyebar di
berbagai tempat, di hampir semua jalan menuju Kotaraja
Kediri. 11 Tugas utama pasukan kecil ini adalah menggunting
utusan dari para Raja dari berbagai daerah yang
membawa upeti tanda kesetiaannya kepada penguasa
Kediri, Maharaja Jayakatwang.
Demikianlah, para perwira tinggi pasukan Raden Wijaya
satu persatu pamit diri dari pendapa utama untuk
secepatnya menghubungi pasukannya, melakukan
beberapa persiapan yang diperlukan.
"Sebuah kehormatan bagi kami berada bersama dalam
kelompok pasukan tuanku", berkata Gajah Pagon
mewakili Ki Bancak dan Ki Sukasrana yang masih hadir
di pendapa utama. "Yang kubutuhkan saat ini bukan cuma sebuah
kesetiaan, tapi juga semangat yang tidak mudah padam.
Dan aku yakin kalian bertiga telah memiliki keduanya,
kesetiaan dan semangat itu", berkata Raden Wijaya
dengan wajah penuh kegembiraan.
Sementara itu malam sudah semakin larut mendengarkan suara kesenyapannya dalam denging
irama sunyi yang menyekap.
"Beristirahatlah, besok kita akan melakukan perjalanan
panjang", berkata Raden Wijaya kepada Gajah Pagon, Ki
Sukasrana dan Ki Bancak. "Kami mohon pamit diri", berkata Ki Bancak mewakili
kedua kawannya itu yang terlihat berdiri melangkah
menuju tangga pendapa. Akhirnya di pendapa utama itu tertinggi Arya Kuda
Cemani dan Raden Wijaya berdua.
"Apakah Paman Arya Kuda Cemani sudah mendapat
kabar tentang keluargaku?", bertanya Raden Wijaya
kepada Arya Kuda Cemani. 12 "Aku baru dapat berita dari prajurit sandiku yang bertugas
diujung Galuh tadi sore, berita yang sangat kunantikan
sebelum hadir di pendapa ini", berkata Arya Kuda
Cemani kepada Raden Wijaya.
"Berita apa yang mereka bawa tentang keluargaku?",
bertanya Raden Wijaya merasa gembira ada kabar
tentang keluarganya. "Mereka membawa berita bahwa keluarga istana telah
berangkat dari Bandar Buleleng Balidwipa dengan
sebuah Jung Singasari yang biasa berlayar sampai ke
Tanah Gurun", berkata Arya Kuda Cemani.
"Semoga perjalanan mereka tidak banyak menemui
hambatan, selamat ditempat tujuan", berkata Raden
Wijaya kepada Arya Kuda Cemani.
"Selama jalur pelayaran masih dapat kita kuasai, selama
itu pula berita tentang keluargamu akan kita dapati.
Diperhitungkan bahwa tiga pekan lagi perahu jung yang
membawa keluarga istana akan kembali ke Ujung
Galuh", berkata Arya Kuda Cemani kepada Raden
Wijaya. "Terima kasih Paman, aku akan menunggu tiga pekan
itu", berkata Raden Wijaya dengan wajah penuh harap
kepada Arya Kuda Cemani. Hari itu pagi masih berkabut, sang mentari baru sedikit
mengintip diujung bumi. Terlihat seratus orang prajurit
Singasari tengah keluar dari gerbang Kotaraja Singasari.
"Wengker berada arah barat Kerajaan Kediri, perjalanan
kita cukup jauh", berkata Gajah Pagon kepada Ki Bancak
ketika mereka baru saja meninggalkan gerbang Kotaraja
Singasari. Ternyata mereka adalah salah satu pasukan yang akan
13 melaksanakan tugasnya untuk menggunting semua upeti
dari para Raja di segenap daerah Jawadwipa untuk
dipersembahkan kepada Penguasa Kediri sebagai tanda
kesetiaan mereka. Gajah Pagon, Ki Bancak dan Ki Sukasrana berada
didalam kesatuan yang langsung dipimpin oleh Senapati
mereka sendiri, yaitu Raden Wijaya.
Sebagai seorang mantan prajurit sandi Singasari, Gajah
Pagon nampaknya sangat mengenal banyak tentang
daerah Wengker. Maka, di sepanjang perjalanan Gajah
Pagon banyak memberikan penjelasan kepada Ki
Bancak, seorang mantan prajurit sandi yang cukup lama
bertugas di daerah Balidwipa dan menjadi salah satu
orang kepercayaan dari Senapati Mahesa Amping.
"Di Wengker aku pernah jatuh hati dengan seorang
gadis, putri seorang Demang", bercerita Gajah Pagon
kepada Ki Sukasrana dan Ki Bancak di sebuah
perjalanan. "Lanjutkan", berkata Ki Bancak yang tertarik dengan
cerita dari Gajah Pagon. "Sayangnya gadis itu hanya melihat sebelah mata
kepadaku", kata Gajah Pagon dengan tertawa getir.
"Bodoh sekali gadis itu, seandainya aku punya seorang
putri, aku akan senang punya mantu yang tampan,
seorang prajurit yang gagah seperti dirimu", berkata Ki
Sukasrana ikut penasaran dengan mengatakan bahwa
gadis itu adalah wanita bodoh sedunia.
"Bagaimana tidak membuat gadis itu memandangku
sebelah mata, pada saat itu aku dalam tugas
penyamaran sebagai pelayan sebuah kedai", berkata
Gajah Pagon masih dengan sedikit tersenyum getir.
14 Ki Bancak dan Ki Sukasrana yang mendengar cerita itu
langsung tertawa terpingkal-pingkal.
"Itulah hebatnya menjadi prajurit telik sandi, kita bisa
menjadi apapun", berkata Ki Bancak kepada Ki
Sukasrana dan Gajah Pagon.
Sementara itu matahari diatas cakrawala langit sudah
berdiri tepat diatas di puncaknya, Raden Wijaya
memerintahkan pasukannya untuk beristirahat.
Setelah beristirahat dengan cukup, pasukan itupun
terlihat kembali melanjutkan perjalanannya. Namun
perjalanan mereka kali ini tidak lagi mengikuti jalan yang
biasa dilalui oleh banyak orang, untuk menjaga hal-hal
yang tidak diinginkan terutama agar gerakan mereka
tidak diketahui oleh musuh, maka mereka harus berjalan
melewati hutan-hutan dan bukit. Kadang mereka harus
merangkak mendaki bukit karang, karena hanya jalan itu
yang paling aman dan sangat jarang sekali dilalui oleh
orang biasa. Sebuah perjalanan yang cukup
membutuhkan tenaga yang cukup kuat. Namun para
prajurit Singasari adalah orang-orang yang sudah terlatih,
sudah teruji dalam setiap pendadaran jauh sebelum
mereka dipilih untuk menjadi seorang prajurit
sesungguhnya. Dan senja pun akhirnya muncul memenuhi sebuah
lereng gunung yang sepi dimana pasukan kecil Raden
Wijaya tengah berjalan untuk mendakinya sebagai salah
satu jalan pintas agar secepatnya dapat mencapai arah
mendekati daerah Wengker.
Para prajurit Singasari yang tergabung dalam pasukan
kecil Raden Wijaya itu memang para prajurit yang
tangguh. Nampaknya mereka harus melupakan rasa
kantuk mereka, karena malam ini mereka harus
15 secepatnya potong jalur mendaki sebuah gunung agar
dapat mencapai daerah Wengker menjelang pagi.
"Menjelang pagi kita sudah akan sampai di sebuah hutan
yang berdekatan dengan sebuah padukuhan Banaran. Di
hutan Banaran itulah satu-satunya jalan yang biasa
dilewati oleh para pedagang dari Wengker menuju
Kotaraja Kediri", berkata Gajah Pagon kepada Raden
Wijaya. "Ternyata aku tidak salah memilihmu", berkata Raden
Wijaya kepada Gajah Pagon sambil tersenyum.
Demikianlah, manakala sang malam mulai berakhir
menjelang pagi yang ditandai dengan terdengarnya
sayup suara ayam hutan saling bersahutan memecah
kesunyian dan kesenyapan di awal pagi itu di sebuah
hutan yang berdekatan dengan sebuah padukuhan yang
bernama Padukuhan Banaran. Pasukan kecil Raden
Wijaya sudah memasuki hutan Banaran.
"Inilah jalan setapak yang biasa dilewati orang yang
punya kepentingan untuk mencapai Kotaraja Kediri dari
arah Wengker", berkata Gajah Pagon kepada Raden
Wijaya ketika mereka tiba di sebuah hutan Banaran di
pagi yang masih buta itu.
"Mari kita mencari tempat terbaik untuk menyergap
utusan kerajaan Wengker yang menurut beritanya telah
keluar dari Kotaraja Wengker", berkata Raden Wijaya
memerintahkan para prajuritnya.
Akhirnya mereka menemukan sebuah tempat yang cocok
untuk menyergap buruan mereka. Maka secara bergiliran
mereka melakukan pengawasan, dan juga beristirahat
tentunya setelah sepanjang malam harus membunuh
rasa kantuk untuk tetap berjalan secepatnya mencapai
hutan itu. 16 "Mataku sudah begitu sepat, ngantuk berat", berkata Ki
Sukasrana kepada Ki Bancak sambil rebah di sebuah
akar pohon kayu di hutan itu.
"Meski semalaman tidak tidur, mataku tidak biasa tidur di
pagi hari. Perutku inilah biasa berkeruyuk disaat pagi
datang", berkata Ki Bancak sambil meraba bungkusan
bekalnya. Demikianlah, pasukan kecil itu dengan penuh ketaatan
yang tinggi saling bergiliran melakukan pengawasan. Bila
mereka nampak berbaring tidur tidak juga melepas
kewaspadaannya. Pendengaran mereka sudah biasa
terlatih untuk terus waspada di segala keadaan, meski
dalam istirahat tidur sekalipun. Bisa dikatakan bahwa
tidur mereka cuma tidur ayam. Seperti itulah tidurnya
seorang prajurit di setiap peperangan. Bagi mereka
kelengahan sedikit adalah sebuah kemalangan yang tak
bisa dimundurkan, taruhannya adalah nyawa mereka.
Itulah sebabnya mereka selalu mengutamakan
kewaspadaan dimanapun mereka berada. Bahkan
terkadang tiba-tiba saja mereka terkaget langsung
bangkit berdiri dari tidurnya, meski ternyata suara istrinya
membuka pintu kamar membawakan minuman wedang
sere di pagi hari. Begitulah jiwa dan perasaan para
prajurit dimanapun. Matahari di atas hutan Banaran terlihat sudah bergeser
sedikit dari puncaknya, namun kerapnya batang dan
daun di hutan itu telah membuat suasana alam hutan
tetap teduh dan basah. Hanya di beberapa tempat saja
sinar matahari dapat menerobos langsung ke tanah
kering memberikan cahaya terang disekitarnya.
Beberapa prajurit Singasari masih tetap melakukan
pengawasan, sementara yang lainnya telah siap siaga di
beberapa tempat yang tersembunyi diantara semak
17 belukar dan batang pohon hutan yang besar dan rindang.
Ki Bancak adalah salah seorang prajurit Singasari yang
saat itu telah mendapat giliran sebagai prajurit
Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pengawas. Terlihat dengan lincah dan beraninya naik ke
sebuah cabang pohon kayu yang cukup tinggi. Ketika
mendapatkan sebuah batang yang cukup terlindung dari
pandangan mata, Ki Bancak pun langsung duduk
bersandar diatas cabang batang pohon itu.
Akhirnya yang mereka tunggu pun datang juga. Terlihat
di kejauhan sebuah iring-iringan sekelompok orang yang
tengah berjalan memasuki hutan Banaran menyusuri
jalan setapak yang ada di dalam hutan itu. Bila dihitung
jumlah mereka ada sekitar duapuluh orang. Di tengah
iring-iringan itu terlihat dua orang tengah memikul sebuah
kotak peti yang cukup berat, dapat dilihat dari kayu
pemikulnya yang sedikit melengkung menahan beban
peti kayu itu. Terdengar suara burung Jalak Bali yang panjang berkalikali diantara suara binatang hutan lainnya yang kadang
sekali dua kali terdengar.
Ternyata suara burung Jalak Bali itu adalah sebuah
isyarat dari salah seorang prajurit pengawas Singasari
dari persembunyiannya yang melihat bahwa sasaran
yang mereka nantikan tengah berjalan menuju arah
mereka. Terlihat salah seorang dari beberapa orang yang
beriringan berjalan itu mengangkat tangannya, dan
serentak semua orang yang tengah berjalan itu langsung
berhenti. Ternyata orang yang mengangkat tangan itu
adalah pemimpin mereka merasakan ada sebuah
keganjilan. "Aku sering lewat di hutan ini, dan baru hari ini kudengar
18 ada suara burung yang aneh yang tidak pernah kudengar
sebelumnya di hutan ini", berkata pemimpin itu yang
masih belum menurunkan tangannya. "Berhati-hatilah",
berkata pemimpin itu yang merasa ada sesuatu yang
harus mereka waspadai. Pendengaran pemimpin mereka itu cukup peka, dapat
membedakan suara burung yang menurutnya baru
pertama kali didengarnya di hutan itu. Dan ternyata kali
ini kecurigaannya telah terbukti, tidak jauh dari tempat
mereka berpijak, terlihat begitu banyak orang yang telah
berlompatan keluar dari kanan kiri jalan setapak di
tengah hutan itu. Sekejap ada rasa terkejut yang sangat dari semua orangorang yang baru datang itu, keteduhan cahaya yang
remang di hutan itu telah membuat pikiran mereka
menyangka ada banyak hantu hutan yang muncul.
Namun hanya sekejap, mereka akhirnya menyadari
bahwa yang baru muncul begitu banyaknya adalah
manusia seperti mereka. Para prajurit Singasari telah keluar dari persembunyiannya langsung menghadang sekelompok
orang yang baru saja memasuki hutan Banaran.
"Aku ingin berbicara dengan pemimpin kalian", berkata
Raden Wijaya yang telah maju beberapa langkah
mendekati rombongan itu. "Aku pemimpin disini", berkata seorang yang tadi
mengangkat tangannya, seorang yang bertubuh tinggi
besar dengan otot-otot menonjol di hampir seluruh
tubuhnya menandakan sebagai seseorang yang sangat
kuat. "Kami prajurit Singasari tidak ingin menanamkan
permusuhan kepada warga Wengker", berkata Raden
19 Wijaya kepada pemimpin rombongan itu.
"Bila memang tidak ada permusuhan kepada kami, beri
kami jalan agar kami dapat melanjutkan perjalanan",
berkata pemimpin rombongan itu.
"Silahkan melanjutkan perjalanan kalian, tapi tinggalkan
peti kayu itu untuk kami", berkata raden Wijaya kepada
pemimpin rombongan itu dengan suara yang datar.
"Kami tidak bisa pergi tanpa barang itu", berkata
pemimpin rombongan itu kepada Raden Wijaya
"Apakah kamu tidak bisa menghitung berapa jumlah
kami?", kembali Raden Wijaya berkata kali ini dengan
kerling dan senyum. Terlihat pemimpin rombongan itu tidak langsung
menjawab, rupanya ada sedikit kegentaran didalam
hatinya melihat musuh yang lima kali lipat jumlahnya,
ditambah lagi dirinya sering mendengar bahwa seorang
prajurit Singasari adalah seorang petarung yang
tangguh. "Kami harus mempertahankan barang yang
kami bawa sampai ketempat tujuan", berkata pemimpin
rombongan itu kepada Raden Wijaya.
Diam-diam Raden Wijaya tersenyum dalam hati, telah
memastikan bahwa pemimpin rombongan itu sudah
menjadi sedikit gentar lewat garis wajah dan getar
suaranya. "Aku menawarkan sebuah cara yang baik untuk kalian
pikirkan, mari kita bertarung secara perorangan. Bila
kalian menang, silahkan melanjutkan perjalanan kalian.
Namun bila kami yang menang, terpaksa kalian harus
merelakan barang yang kalian bawa", berkata Raden
Wijaya kepada pemimpin rombongan itu. "Berpikirlah
yang jernih, penawaranku bisa berubah", berkata kembali
20 Raden Wijaya. Terlihat pemimpin rombongan itu tengah berpikir untung
dan ruginya penawaran dari pihak lawan. "Bila mereka
beradu senjata perang terbuka, pasukanku pasti hancur
binasa", berkata pemimpin rombongan itu dalam hati
menimbang-nimbang penawaran Raden Wijaya.
"Aku Rangga Gajah Mungkur menerima penawaranmu",
berkata pemimpin rombongan itu dengan suara tinggi
sepertinya ingin menunjukkan kewibawaannya dan telah
menunjukkan jati dirinya juga jati diri rombongannya yang
ternyata adalah para prajurit dari kerajaan Wengker
dibalik pakaian orang biasa yang mereka kenakan hanya
sebagai penyamaran bahwa mereka membawa barang
upeti yang berharga untuk diserahkan kepada penguasa
Kediri. "Sudah kuduga kalian adalah prajurit Kerajaan Wengker,
silahkan menampilkan tiga orang petarung terbaikmu",
berkata Raden Wijaya. Tanah jalan setapak didalam hutan itu memang sangat
sempit untuk sebuah pertarungan perorangan. Terlihat
beberapa orang prajurit Singasari tengah membabat dan
membersihkan semak belukar di kiri kanan jalan setapak
itu. Hasilnya lumayan untuk menyaksikan sebuah
pertarungan antara perwakilan dari pasukan Raden
Wijaya dengan salah seorang prajurit Kerajaan Wengker.
Terlihat pemimpin prajurit Wengker yang menyebut
dirinya sebagai Rangga Gajah Mungkur itu memanggil
orangnya untuk maju ke arena pertarungan yang telah
disiapkan. Semua mata memandang prajurit Wengker itu yang telah
dipilih oleh Ki Rangga Gajah Mungkur, seorang yang
berkulit hitam legam dengan perawakan tubuh yang
21 tinggi, kekar berotot. Terlihat prajurit Wengker itu telah melucuti senjatanya,
karena pertarungan perorangan memang sebuah
pertarungan tangan kosong.
Sementara itu Raden Wijaya yang telah melihat wakil
petarung pihak lawannya tidak langsung segera
memanggil salah seorang prajuritnya, hanya memandang
tajam wakil prajurit dari Wengker itu dengan pandangan
penuh teliti sebagaimana seorang penyabung ayam
tengah menelisik ayam jago lawan.
Entah apa yang dilihat dan dipikirkan oleh Raden Wijaya
dari orang yang tengah diperhatikan itu. Yang jelas
terlihat bibir Raden Wijaya sedikit tersenyum dan berbalik
badan menghadap para prajuritnya sendiri.
Terlihat hampir semua prajurit Singasari menahan
nafasnya, mereka tahu bahwa Senapati mereka, Raden
Wijaya tengah memilih siapa yang akan dimajukan
sebagai wakil dari mereka.
"Kemarilah Ki Lurah Bancak", berkata Raden Wijaya
memanggil Ki Bancak dengan panggilan lengkap dengan
jabatan lurah didepan namanya.
"Tuan Senapati memilih hamba?", berkata Ki Bancak
kepada Raden Wijaya setelah berdiri mendekat dengan
suara yang datar penuh percaya diri yang tinggi.
Terlihat Raden Wijaya tersenyum memandang wajah Ki
Bancak. "Sahabat Senapati Mahesa Amping pasti orang
pilihan, aku memilih kamu mewakili prajurit Singasari",
berkata Raden Wijaya kepada Ki Bancak sambil
memegang pundaknya mempersilahkan Ki Bancak maju
ke arena pertarungan. Begitu tenangnya Ki Bancak maju melangkah ke tengah
22 arena sebagaimana seorang petarung sejati melangkah
dengan ayunan kaki yang tegap dan dada dibusungkan
kedepan penuh percaya diri yang tinggi.
Ternyata cara Ki Bancak berjalan ke tengah arena itu
adalah sebuah cara menjatuhkan jiwa dan semangat
lawan. Dan benar saja, sikap dan cara berjalan Ki
Bancak memang membuat jiwa dan semangat lawannya
menjadi bimbang. "Orang ini punya rasa percaya diri
yang tinggi", berkata lawan Ki Bancak kepada dirinya
sendiri dengan mata yang tetap tertuju kepada Ki Bancak
yang semakin mendekat kearahnya.
"Aku sudah siap, kawan", berkata Ki Bancak kepada
lawannya dengan sikap yang begitu meyakinkan ketika
mereka telah dekat saling berhadapan.
"Aku juga telah siap untuk menghajarmu", berkata prajurit
Wengker itu kepada Ki Bancak dengan langsung
membuat sebuah kuda-kuda untuk segera menyerang
lawan. Dan kaki prajurit itu tiba-tiba saja telah meluncur cukup
tinggi menghantam arah dada Ki Bancak dengan
kecepatan dan tenaga yang cukup kuat.
Ternyata Ki Bancak memang sudah cukup siap
menghadapi serangan awal lawannya itu, terlihat kaki kiri
Ki Bancak maju kedepan bersamaan dengan
memiringkan badannya, gerakan itu dilakukan dengan
begitu cepatnya. Bukan main kagetnya prajurit Wengker itu melihat
serangannya lewat begitu saja.
Bertambah kaget pula prajurit itu ketika tiba-tiba saja Ki
Bancak merendahkan tubuhnya dan mengayunkan kaki
kirinya setengah putaran menghantam kaki prajurit
23 Wengker itu yang hanya masih bertumpu dengan satu
buah kaki. Serangan balik dari Ki Bancak itu berlangsung begitu
cepatnya membuat prajurit Wengker itu tidak dapat
berbuat lain kecuali dengan cara melompat menghindari
kakinya terhantam putaran kaki Ki Bancak yang berputar
dengan cepat dan tenaga cukup kuat.
Ternyata Ki Bancak sudah memperhitungkan dan
membaca apa yang akan dilakukan apa yang akan
dilakukan oleh lawannya. Maka ketika lawannya
melompat, Ki Bancak langsung mendorong kaki kanan
lawannya yang masih terangkat.
Akibatnya memang cukup mencengangkan siapapun
yang menyaksikan pertarungan itu dimana lawan Ki
Bancak langsung terjengkang tidak bisa menyeimbangkan tubuhnya lagi.
Buk !! Prajurit Wengker itu terlihat jatuh dengan punggung
menghantam tanah basah hutan Banaran.
Ki Bancak tidak segera memburu lawannya itu yang
tengah terjatuh, tapi langsung berbalik badan
menghadap para prajurit Singasari sambil mengangkat
satu tangannya tiga kali berturut turut beriring dengan
suara sorak sorai gembira dari prajurit Singasari yang
merasa kagum atas cara Ki Bancak yang dalam satu
gebrakan sudah dapat menjatuhkan lawannya.
"Hidup Ki Bancak!!", berteriak beberapa prajurit Singasari
penuh kegembiraan. Terlihat Ki Bancak sudah berbalik badan kembali kearah
lawannya yang sudah bangkit berdiri. Dan dengan penuh
keyakinan dan kepercayaan pada diri yang tinggi, Ki
24 Bancak sudah lawannya. melangkahkan kakinya mendekati "Jangan terlalu gembira, tadi aku memang lengah",
berkata prajurit Wengker itu kepada Ki Bancak dengan
wajah penuh amarah memuncak langsung mengayunkan
tangannya kearah Ki Bancak.
"Mencuri tenaga lawan!", berkata Ki Bancak sambil
memiringkan badannya bersamaan dengan menggeser
kaki kanannya persis sama seperti yang dilakukannya
ketika menghindari serangan awal lawannya itu, tapi kali
ini diikuti dengan menangkap pergelangan tangan lawan
dan menariknya searah tenaga lawan.
Terlihat tubuh prajurit Wengker itu terhuyung kedepan
terbawa tarikan tangan Ki Bancak. Namun begitu prajurit
Wengker itu berusaha dengan tenaganya menahan
tarikan itu, kembali dengan ringannya tangan Ki Bancak
Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengikuti arah dan tenaga lawan.
Semua orang yang menyaksikan pertarungan itu sangat
kagum dengan apa yang dilakukan oleh Ki Bancak.
Parajurit Wengker lawannya itu yang berperawakan
tinggi besar serta berotot itu dihadapan Ki Bancak seperti
seonggok karung kapas yang begitu ringannya
dipermainkan oleh Ki Bancak yang nampaknya sudah
sangat menguasai sebuah ilmu rahasia mencuri tenaga
lawan. Ternyata Ki Bancak nampaknya tidak ingin menjatuhkan
lawannya dengan segera, beberapa kesempatan telah
dilepaskannya dengan begitu saja. Kelihatannya Ki
Bancak bermaksud ingin menguras habis tenaga dan
kekuatan lawannya dan membuatnya menjadi semakin
putus asa. Akhirnya Ki Bancak sudah dapat melihat bahwa 25 lawannya memang sudah terkuras habis tenaga dan
nafasnya. Maka dalam sebuah serangan dengan
mudahnya Ki Bancak menangkap tangan lawan dan
memelintirkannya hingga sampai ke belakang pundaknya. Sementara tangan Ki Bancak yang masih
bebas telah mengunci mati prajurit Wengker itu dengan
mencengkeram pinggang lawan. Akibatnya prajurit itu
seperti merasakan nafasnya putus dan dengan
mudahnya Ki Bancak mendorong prajurit yang tidak
berdaya itu jatuh tersungkur mencium tanah.
Terlihat Ki Bancak telah melepaskan cengkeraman
tangan di pinggang lawan, namun masih mengunci
tangan prajurit itu yang masih berbaring tengkurap.
"Berteriaklah bahwa kamu menyerah atau kupatahkan
tanganmu", berkata Ki Bancak kepada prajurit Wengker
itu sambil sedikit menambahkan pelintiran tangannya.
"Aku menyerah!!", berteriak prajurit Wengker itu merasa
khawatir tangannya akan patah bila semakin dipelintir
lagi oleh Ki Bancak. Mendengar teriakan itu, Ki Bancak telah melepaskan
kunciannya dan perlahan mundur menjauhi lawannya.
Seperti sebagaimana sebelumnya, terlihat Ki Bancak
berbalik badan menghadap kearah para prajurit Singasari
yang tengah bersorak gegap gempita, merangkapkan
kedua tangannya di dada dan sedikit membungkukkan
badannya penuh rasa terima kasih atas simpatik yang
diterima untuk kemenangannya.
"Hidup Ki Bancak!, Hidup Ki Bancak!!" berkata beberapa
orang prajurit Singasari mengelu-elukan diri Ki Bancak.
Sementara itu tidak ada sedikitpun suara yang terdengar
dari pihak prajurit Wengker, mereka sepertinya tengah
26 dipenuhi perasaan kecewa, petarung mereka dikalahkan
dengan begitu mudahnya. Terlihat Ki Rangga Gajah Mungkur bertolak pinggang
menahan rasa kecewanya sambil mencari-cari siapakah
orang kedua yang akan dipilihnya.
"Jangan sampai mengecewakan diriku", berkata Ki
Rangga Gajah Mungkur kepada salah seorang
prajuritnya yang telah dipilih menjadi orang kedua yang
akan turun bertarung. Terlihat prajurit Wengker pilihan Ki Rangga Gajah
Mungkur telah maju ke arena pertempuran.
Seperti sebelumnya, Raden Wijaya memperhatikan diri
petarung lawan dari bawah kaki hingga kepala seperti
tengah mencari kelebihan dan kelemahan petarung
lawan. Tiba-tiba saja Raden Wijaya menangkap kilatan
dari sorot mata petarung Wengker sebagai tanda orang
bersangkutan telah menguasai dan mampu mengungkapkan inti tenaga cadangan didalam dirinya.
Terlihat Raden Wijaya berbalik arah, dan segenap
pasukannya seperti menahan nafas menunggu apakah
dirinya yang akan mewakili maju ke arena pertarungan.
Dan mata Raden Wijaya masih terus mencari, hingga
akhirnya tertahan kearah tubuh salah seorang prajuritnya
yang masih muda dan cukup tampan.
"Aku yakin kamu mampu menandingi lawanmu", berkata
Raden Wijaya kepada prajurit muda itu yang tidak lain
adalah Gajah Pagon. "Semoga hamba dapat memenuhi harapan tuanku",
berkata Gajah Pagon merangkapkan kedua tangannya
penuh hormat kepada Raden Wijaya.
Perlahan Gajoh Pagon melangkah ke tengah arena.
27 "Persiapkan dirimu anak muda", berkata prajurit Wengker
itu sepertinya meremehkan diri Gajah Pagon, pemuda
dihadapannya. "Aku sudah siap", berkata Gajah Pagon sambil
mengendapkan dirinya menyerahkan segala akal dan
budinya kepada yang Maha memiliki kekuatan.
"Lihat seranganku", berkata prajurit Wengker itu sambil
menerjang Gajah Pagon dengan sebuah tendangan
cukup kuat dan cepat. Gajah Pagon adalah seorang yang selalu berhati-hati,
tidak sedikit pun meremehkan lawannya. Dengan sigap
telah mengelak kesamping dan menyusul dengan
sebuah serangan balasan melancarkan tendangan
kearah tubuh lawan. Melihat bahwa serangan awalnya dapat dengan begitu
muda dielakkan oleh Gajah Pagon bahkan telah
langsung balas menyerangnya, prajurit Wengker itu
menjadi maklum bahwa anak muda itu bukan anak muda
sembarangan. Maka sambil mengelak, prajurit Wengker
itu kembali membuat serangannya dengan kecepatan
dan kekuatan berlipat. Bukan main cepatnya serangan pihak lawan yang juga
telah dilambari tenaga cadangan kekuatan dari dalam diri
yang disalurkannya lewat tangan dan pukulannya.
Gajah Pagon pertempurannya kekuatan lawan, menghentakkan berlapis ganda. yang sudah berhati-hati diawal
dapat merasakan kecepatan dan
maka dengan segera Gajah Pagon
kecepatannya pada tataran ilmunya
Bukan main kagetnya prajurit Wengker itu, dengan
kecepatan melampaui dirinya, Gajah Pagon dapat
28 melesat menghindari pukulannya bahkan kembali balas
menyerangnya dengan pukulan mengarah ke pinggangnya yang terbuka, sebuah titik serangan yang
cepat dan sukar sekali dihindarkan.
Terlihat prajurit Wengker itu menghindari serangan Gajah
Pagon dengan cara melenting kayang ke belakang dan
telah menjejakkan kakinya di tanah dengan begitu cepat
dan begitu indahnya. "Maaf, aku telah meremehkanmu", berkata prajurit
Wengker itu kepada Gajah Pagon yang ternyata bukan
seorang pemuda biasa sebagaimana anggapannya
semula. Setelah berkata demikian, terlihat prajurit itu kembali
menyerang Gajah Pagon, tentunya dengan kecepatan
dan kekuatan yang berlipat. Kembali Gajah Pagon dapat
menghindar dan langsung menyerang balik dengan
kecepatan yang melampaui lawannya.
Demikianlah, pertempuran makin lama semakin seru,
semakin cepat dan begitu menegangkan karena
keduanya terus meningkatkan kecepatan dan kekuatannya. "Mereka masih sedang saling menjajagi tataran ilmu
masing-masing", berkata Raden Wijaya dalam hati
memperhatikan pertempuran yang sedang berlangsung.
Sebagaimana yang dilihat oleh Raden Wijaya, ternyata
Gajah Pagon masih terus berusaha mengimbangi tataran
ilmu lawannya dan tidak langsung menyerang lawannya
dengan tataran ilmu puncaknya.
Akibatnya pertempuran berlangsung menjadi semakin
cepat, semakin keras, begitu seru dan masih belum
dapat ditebak siapa diantara keduanya yang mempunyai
29 tataran ilmu lebih tinggi.
Gajah Pagon dapat merasakan angin pukulan lawan
lewat begitu keras dan kuat setiap kali serangannya yang
meleset ditempat kosong. "Aku harus berhati-hati", berkata Gajah Pagon dalam hati
menghadapi lawannya yang nampaknya punya kekuatan
yang bukan wadag, tapi kekuatan cadangan dari dalam
diri yang dapat dihentakkan dan disalurkannya di tangan
dan kakinya dalam setiap serangan, sebuah serangan
pukulan yang sangat berbahaya.
"Anak muda ini masih saja dapat menghindar", berkata
pula prajurit Wengker itu dalam hati dengan penuh
penasaran setiap kali menyerang dengan tataran ilmu
yang sudah ditingkatkannya.
Demikianlah, semakin lama pertempuran itu berlangsung
semakin cepat, hingga keduanya terlihat melesat seperti
bayangan saling menyerang dan menghindar.
"Pantas Senapati Raden Wijaya memilih anak muda itu",
berkata salah seorang prajurit Singasari yang
pandangannya sudah kabur melihat pertempuran yang
semakin cepat mengagumi ilmu Gajah Pagon yang
ternyata sudah begitu tinggi melampaui dirinya sendiri.
"Aku bersyukur tidak di pilih oleh Senapati Raden
Wijaya", berkata kawan prajurit Singasari disebelahnya
membayangkan dirinya akan menjadi bulan-bulanan
pukulan lawannya. Sementara pertempuran masih terus berlangsung
dengan serunya, semua yang melihat pertempuran itu
sepertinya terus menahan nafas tegang manakala
bahaya mengancam pada diri petarungnya, namun
akhirnya mereka bernafas lega manakala petarungnya
30 dapat keluar dari sergapan dan serangan lawan yang
datang beruntun dan berlangsung begitu cepatnya.
"Tataran ilmu Gajah Pagon berada diatas ilmu
lawannya", berkata Raden Wijaya dalam hati yang terus
mengamati pertempuran itu.
Ternyata penilaian Raden Wijaya tidak meleset jauh
dengan apa yang terjadi di arena pertempuran itu.
Ternyata memang tataran ilmu Gajah Pagon lebih diatas
tataran ilmu lawannya. Terlihat beberapa kali Gajah
Pagon dapat dengan mudahnya mengelak setiap
serangan prajurit Wengker itu yang semakin lama telah
menguras banyak tenaganya.
Prajurit Wengker itu merasakan serangan Gajah Pagon
semakin meningkat cepat dan sangat berbahaya,
beberapa kali dirinya harus melompat jauh menghindari
serangan yang begitu kuat dan cepatnya.
Dan akhirnya prajurit Wengker itu tidak dapat lagi
mengimbangi kecepatan serangan Gajah Pagon yang
telah meningkatkan tataran ilmunya lebih tinggi lagi.
Serangan Gajah Pagon tidak dapat lagi diikuti oleh
pandangan mata lawannya, begitu tiba-tiba dan sangat
cepat datangnya. Dessss?"" Sebuah tendangan Gajah Pagon yang dilambari tenaga
cadangan dari inti kekuatan diri berhasil menembus dada
prajurit Wengker itu. Kasihan, prajurit Wengker itu merasakan seperti ditabrak
tiga ekor kuda bersamaan, terlempar lima langkah jatuh
terlentang di tanah merasakan tulang dadanya remuk
patah, terlihat nafasnya sesak tersengal merasakan sakit
yang sangat. Lama orang itu tidak mampu bangkit berdiri.
31 Terlihat dua orang prajurit Wengker datang menghampirinya, menggotongnya ke pinggir arena.
"Dua petarung Ki Rangga sudah kami kalahkan, itu
artinya tidak perlu ada lagi petarung ketiga", berkata
Raden Wijaya kepada Ki Rangga Gajah Mungkur,
pemimpin prajurit Wengker.
"Kami mengaku kalah, kami juga tidak akan mampu
menghadapi pasukanmu seandainya saja ada
Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keinginanku mengelak kesepakatan yang sudah kita
buat", berkata Ki rangga Gajah Mungkur kepada Raden
Wijaya. "Ki Rangga rela meninggalkan barang upeti itu?",
bertanya Raden Wijaya kepada Ki Rangga Gajah
Mungkur. "Bukankah itu kesepakatan kita?", bertanya balik Ki
Rangga Gajah Mungkur kepada Raden Wijaya.
"Dari awal sudah kami katakan, bahwa tidak ada
permusuhan apapun antara kami dengan orang
Wengker", berkata Raden Wijaya kepada Ki Rangga
Gajah Mungkur dengan sedikit senyum di bibirnya.
"Bawalah kembali upeti itu, sampaikan salamku kepada
Raja Wengker bahwa Kerajaan Singasari masih ada,
selama itu pula tidak ada hak untuk para penguasa di
Kediri menerima upeti dari siapa pun di Jawadwipa ini",
berkata kembali Raden Wijaya kepada Ki Rangga Gajah
Mungkur. "Akan kusampaikan salammu kepada Raja kami, juga
cerita tentang pasukan Singasari hari ini yang telah
memberi kesempatan pasukan kecil dari Wengker untuk
tetap hidup, tanpa korban dan darah. Cerita ini juga akan
kami sampaikan kepada keluarga kami, istri dan anakanak kami, agar mereka mengetahui kepada siapa terima
32 kasih dihaturkan", berkata Ki Rangga Gajah Mungkur
penuh haru. "Kita sudah menyelesaikan tugas kita", berkata Raden
Wijaya kepada pasukannya ketika melihat pasukan
Wengker telah jauh menghilang di kerapatan Hutan
Banaran. Bukan main senangnya para prajurit Singasari itu bahwa
tugas mereka telah selesai tanpa begitu banyak
kesukaran, juga tanpa peperangan dan korban.
"Kita kembali ke Kotaraja Singasari", berkata kembali
Raden Wijaya kepada semua prajuritnya yang disambut
dengan sorak sorai penuh kegembiraan.
Terlihat beberapa prajurit tengah mengemasi beberapa
keperluan untuk perjalanan kembali mereka ke Kotaraja
Singasari. "Aku berharap setelah tiba di Kotaraja Singasari kita
diliburkan dua tiga hari", berkata salah seorang prajurit
kepada kawannya. "Dua atau tiga hari cukup untuk menemui keluarga,
bercanda seharian dengan putraku yang baru bisa
berjalan", berkata kawan prajurit itu menimpali
perkataannya. "Bercanda dengan putramu atau ibu dari putramu?",
berkata prajurit itu menggoda kawannya.
Terlihat kawan prajurit itu hanya tersenyum tersipu, tidak
menimpali godaan kawannya itu.
Sementara itu beberapa prajurit nampaknya sudah
bersiap untuk melakukan perjalanannya kembali,
sepertinya mereka sudah tidak sabaran menunggu
perintah meninggalkan hutan Banaran secepatnya.
33 Demikianlah, menjelang matahari diatas hutan Banaran
terlihat sudah bergeser rebah di ujung barat bumi,
menjelang suasana di sekitar hutan Banaran sudah
hampir begitu gelap karena sinar matahari yang redup
teduh tidak mampu lagi menerangi hutan Banaran yang
kerap ditumbuhi banyak pohon kayu yang tinggi rimbun
bercabang. Terlihat iring-iringan prajurit Singasari telah
keluar dari hutan Banaran.
Dalam perjalanan pulang menuju Kotaraja Singasari,
mereka tidak lagi harus berjalan melambung menghindari
beberapa Padukuhan, mereka berjalan melewati jalanjalan yang biasa dilalui oleh banyak orang.
Di sepanjang perjalanan manakala melewati sebuah
padukuhan, iring-iringan pasukan ini menjadi tontonan
yang menarik orang-orang padukuhan. Inilah yang
diinginkan oleh Raden Wijaya, menunjukkan bahwa
prajurit Singasari masih ada, masih siap kembali merebut
tahta Singasari yang tersita.
"Hidup prajurit Singasari", berkata beberapa orang dari
balik pagar halaman rumahnya menyongsong iringiringan prajurit Singasari yang tengah melewati sebuah
padukuhan. "Kami sudah membawa perbekalan kami sendiri",
berkata Raden Wijaya kepada seorang Demang ketika
pasukannya harus bermalam di sebuah Kademangan.
"Lumbung-lumbung kami tidak akan berkurang, terimalah
kegembiraan dan kebanggaan kami telah disinggahi para
pahlawan kami prajurit Singasari", berkata Ki Demang
kepada Raden Wijaya yang menolak menerima
sumbangan makanan Bagian 2 34 Demikianlah iring-iringan pasukan Raden Wijaya
akhirnya setelah melakukan perjalanan beberapa hari
akhirnya telah sampai juga di Kotaraja Singasari.
Ternyata beberapa pasukan yang bertugas di beberapa
tempat berbeda sudah lebih dulu sampai di Kotaraja
Singasari. Bukan main gembiranya Raden Wijaya mendapatkan
laporan dari beberapa perwiranya bahwa mereka
umumnya telah melakukan tugas dengan baik.
Beberapa hari kemudian Raden Wijaya telah mulai
menuai atas apa yang telah dilakukan bersama seluruh
pasukannya di berbagai tempat menggunting jalur upeti
untuk penguasa Kediri. Telah berdatangan utusan dari
raja-raja di seluruh tanah Jawa menyampaikan dukungan
dan kesetiaannya. "Kami atas nama junjungan tuanku Raja Wengker
menyampaikan dukungan dan kesetiaan kami", berkata
salah seorang utusan dari Raja Wengker yang datang ke
Kotaraja Singasari. "Kami dari Kerajaan Pawetan siap menjadi sahabat
perjuangan tuanku", berkata seorang utusan dari sebuah
kerajaan Pawetan kepada Raden Wijaya menyampaikan
dukungan dan kesetiaannya.
Dan banyak lagi dari berbagai daerah yang dulu pernah
bersatu dibawah naungan Singasari Raya datang
menyampaikan kesetiaannya, terutama mereka para
Raja yang masih kerabat dan keluarga dekat istana
Singasari. "Sampaikan salamku kepada junjungan kalian, bahwa
kami mengucapkan rasa terima kasih tak terhingga atas
kesediaan mendukung perjuangan kami, dan kami tidak
35 akan meninggalkan sahabat setia dalam suka maupun
duka", berkata Raden Wijaya kepada para utusan itu di
Pasanggrahannya di Istana Singasari.
Demikianlah, Raden Wijaya banyak menerima tamu
utusan dari beberapa daerah yang menyampaikan
kesetiaan mereka dan dukungannya.
Dan yang membuat Raden Wijaya menjadi merasa
begitu terharu manakala datang dari tempat yang begitu
jauh, utusan resmi dari Kerajaan Sunda Galuh.
"Guru Suci Dharmasiksa telah meminta kami datang
menemui cucundanya, beliau begitu sangat prihatin
mendengar apa yang telah terjadi dan menimpa keluarga
istana Singasari ini", berkata utusan itu kepada Raden
Wijaya. "Sampaikan salamku pada Rama Dharmasiksa dan
keluarga istana Sunda Galuh, bahwa cucunda dan
keluarga tidak berkurang apapun, hanya mohon doa
restunya untuk perjuangan cucunda", berkata Raden
Wijaya kepada utusan resmi dari kerajaan Sunda Galuh
itu. "Salam tuanku kepada Guru Suci Dharmasiksa dan
keluarga istana Sunda Galuh akan kami sampaikan",
berkata utusan itu kepada Raden Wijaya sambil
memohon untuk pamit diri.
Lama Raden Wijaya merenung seorang diri di
Pasanggrahannya ketika utusan dari Kerajaan Sunda
Galuh itu keluar meninggalkannya.
"Seandainya hari ini kuminta pasukan segelar sepapan
dari Kerajaan Sunda Galuh, pasti Rama Dharmasiksa
akan mendatangkannya untukku", berkata Raden Wijaya
dalam hati. 36 Sementara itu langit senja diatas Pasanggrahan Raden
Wijaya di istana Singasari sudah mulai meredup pergi
berganti sang malam bersama rembulan bulat penuh
yang tersenyum datang mengintip di ujung atap rumah
panggung di depan pendapa utama.
"Malam ini rembulan begitu indahnya", berkata Arya
Kuda Cemani kepada Raden Wijaya ketika muncul di
tangga teratas di pendapa utama Pesanggrahan Raden
Wijaya di Istana Singasari.
Arya Kuda Cemani malam itu sengaja datang seperti
malam-malam sebelumnya menemani Raden Wijaya di
Pasanggrahannya. "Rembulan yang indah diatas Istana Singasari yang
sengaja dibiarkan membusuk oleh penguasa Kediri",
berkata Raden Wijaya dengan tertawa getir sambil
memandang rembulan dari tempatnya duduk di pendapa
utama. "Mereka penguasa Kediri masih belum berani memasuki
Kotaraja Singasari", berkata Arya Kuda Cemani kepada
Raden Wijaya. "Yang pasti mereka tidak akan meminta upeti kepada
kita", berkata Raden Wijaya yang disambut tawa oleh
Arya Kuda Cemani. "Kita sudah berhasil menunjukkan bahwa pasukan
Singasari masih ada, dan kita sudah mendapatkan
banyak dukungan dan kesetiaan", berkata Arya Kuda
Cemani kepada Raden Wijaya.
"Apakah sudah saatnya kita menggempur Kotaraja
Kediri?", berkata Raden Wijaya kepada Arya Kuda
Cemani dengan wajah penuh percaya diri yang tinggi.
"Belum saatnya, Raden", berkata Arya Kuda Cemani
37 sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Meski aku
melihat kita punya kekuatan yang dapat diandalkan",
berkata kembali Arya Kuda Cemani sambil menarik nafas
panjang. "Sepertinya Paman sudah punya sebuah siasat yang
cemerlang", berkata Raden Wijaya yang melihat bahwa
Arya Kuda Cemani sudah mempunyai sebuah rencana
lain. "Sebelum menggempur mereka, kita rapuhkan semangat
mereka", berkata Arya Kuda Cemani kepada Raden
Wijaya. "Dengan cara apa kita merapuhkan semangat mereka?",
bertanya Raden Wijaya. Terlihat Arya Kuda Cemani tidak langsung menjawab,
tersenyum melihat Raden Wijaya berpikir menebak
rencana dan siasatnya. "Memutuskan jalur perdagangan mereka", berkata Arya
Kuda Cemani sambil memandang wajah Raden Wijaya
yang terlihat begitu cerah mendengar siasat dan
rencananya. "Sebuah siasat yang cemerlang, seperti membiarkan
tanaman baru layu tanpa air", berkata Raden Wijaya
dapat menangkap arah dari rencana dan siasat dari Arya
Kuda Cemani. Sementara itu rembulan malam sudah mulai merambat
mendaki kaki langit diatas pendapa utama pasanggrahan
Raden Wijaya. Cahaya sinar rembulan juga telah menyinari jalan-jalan di
Kotaraja Singasari yang lengang. Kotaraja Singasari
setelah serangan prajurit Raja Jayakatwang memang
seperti kota mati yang sepi. Banyak warganya yang pergi
38 mengungsi menjauh dan tidak ada niat untuk datang
kembali. Di keremangan cahaya rembulan terlihat tiga orang
berkuda tengah memasuki gerbang kotaraja Singasari.
Mereka bertiga terus memasuki jalan-jalan Kotaraja
Singasari yang begitu lengang dan sepi. Dan kuda
mereka akhirnya berhenti tepat di depan pintu gerbang
istana Singasari. Terlihat ketiganya telah turun dari atas kudanya dan
menuntun kudanya mendekati gardu ronda.
"Selamat bertemu kembali tuan Senapati Mahesa
Amping", berkata seorang prajurit muda yang datang
menyongsong kedatangan mereka.
Ternyata yang disapa oleh prajurit muda itu adalah
Senapati Mahesa Amping bersama dua orang
sahabatnya yang tidak lain adalah Ki Sandikala dan
Argalanang. Sebagaimana dikisahkan sebelumnya bahwa Senapati
Mahesa Amping bersama dua sahabatnya itu telah
berlayar menumpang perahu Jung Singasari dari Pulau
Tanah Wangi-wangi. Tanpa rintangan apapun akhirnya
mereka telah tiba di Bandar Ujung Galuh, sebuah bandar
pelabuhan di ujung timur Jawadwipa yang cukup ramai
disinggahi banyak kapal kayu pedagang dari berbagai
penjuru kota pelabuhan. Dan tanpa beristirahat lagi
mereka langsung melanjutkan perjalanan mereka menuju
Kotaraja Singasari. "Maaf bila kedatangan kami telah mengganggu malam
kalian", berkata Senapati Mahesa Amping kepada prajurit
muda itu. "Sudah menjadi tugasku", berkata prajurit muda itu
39 merasa simpatik dengan sikap Senapati Mahesa Amping
yang dianggapnya sangat ramah itu.
Terlihat prajurit muda itu memanggil beberapa kawannya
untuk membawa kuda-kuda tamunya dan menawarkan
dirinya untuk mengantar Senapati Mahesa Amping, Ki
Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sandikala dan Argalanang menuju Pasanggrahan Raden
Wijaya. Langit sudah larut malam memenuhi lorong jalan di
istana Singasari yang gelap ketika Senapati Mahesa
Amping, Ki Sandikala dan Argalanang mengikuti langkah
prajurit muda yang berjalan sambil memegang sebuah
obor bambu di tangannya menerangi jalan di muka
mereka menuju Pasanggrahan Raden Wijaya.
Raden Wijaya dan Arya Kuda Cemani masih ada di
pendapa utama Pasanggrahan ketika mereka melihat
cahaya obor memasuki halaman Pasanggrahan dan
mendekati pendapa utama. "Kalian datang bersama cahaya obor kegembiraan",
berkata Raden Wijaya kepada Mahesa Amping dan
Argalanang dengan penuh gembira.
"Aku membawa cahaya obor yang lain, seorang sahabat
baru yang akan membakar semangat perjuangan kita",
berkata Mahesa Amping ketika memperkenalkan diri Ki
Sandikala kepada Raden Wijaya dan Arya Kuda Cemani.
Bukan main rasa gembiranya hati Raden Wijaya ketika
Mahesa Amping membawa banyak cerita tentang
keadaan keluarga Istana Singasari di Pulau Tanah
Wangi-wangi. "Bibit-bibit tanaman yang sengaja dibawa oleh Ratu
Anggabhaya ternyata dapat tumbuh di Pulau Tanah
Wangi-wangi", berkata Mahesa Amping bercerita tentang
40 keadaan keluarga istana Singasari di Pulau Tanah
Wangi-wangi. "Ratu Anggabhaya telah menurunkan
pengetahuannya tentang bercocok tanam yang baik
kepada warga Pulau Tanah Wangi-wangi. Mungkin
karena itu pula warga penghuni pulau Tanah Wangiwangi memanggilnya dengan sebutan Tuan Raja Jawa",
berkata kembali Mahesa Amping melanjutkan ceritanya.
"Tuan Raja Jawa?", berkata Raden Wijaya sambil
tertawa mendengar sebutan baru untuk kakeknya Ratu
Anggabhaya. "Jayanagara dan Adityawarman telah menemukan guru
yang baik, buyutnya sendiri Ratu Anggabhaya", berkata
Argalanang menambahkan cerita Mahesa Amping.
"Terima kasih, berita tentang keluargaku telah membuat
hatiku menjadi begitu tentram", berkata raden Wijaya
yang merasa gembira mendengar bahwa keluarganya
saat ini berada di tempat yang aman.
Tidak terasa hari terus berlalu membawa malam terhimpit
diujung perjumpaan pagi dalam warna langit memerah.
"Tidak terasa hari sudah hampir pagi", berkata Arya Kuda
Cemani sambil memandang langit yang memang sudah
dipenuhi cahaya kemerahan tanda pagi sebentar lagi
akan tiba. "Masih ada sedikit waktu untuk beristirahat", berkata
Raden Wijaya sambil mempersilahkan semua sahabatnya untuk beristirahat.
Terlihat pendapa utama itu telah menjadi begitu sepi
manakala Raden Wijaya sebagai orang terakhir yang
keluar meninggalkan pendapa utama untuk beristirahat di
ujung malam di awal menjelang pagi.
Terdengar sayup suara ayam jantan dari tempat yang
41 begitu jauh saling bersahutan mengisi warna lengkung
langit yang semakin rata dipenuhi cahaya kemerahan
yang berasal dari sumber cahaya bulat kuning terang
yang muncul di ujung timur bumi. Itulah warna cahaya
sang Fajar penguasa cahaya wajah bumi pagi yang baru
datang dari balik bumi lain menyapa rumput-rumput hijau,
mengusap daun dan batang pohon kayu melelehkan
butir-butir embun turun membasahi tanah.
Dan akhirnya, cahaya pagi telah memenuhi halaman
pasanggrahan Raden Wijaya manakala terlihat beberapa
prajurit perwira datang memasuki pendapa utama.
Hari itu Raden Wijaya memang telah mengundang
beberapa perwiranya untuk menyampaikan sebuah tugas
baru, menutup semua pintu perdagangan menuju
Kotaraja Kediri "Tugas kalian adalah menutup semua jalur perdagangan
Kotaraja Kediri", berkata Raden Wijaya mengawali
pembicaraan-nya mengenai sebuah rencana dan siasat
baru dari perjuangannya merebut kembali tahta
Singasari. "Tugas ini memang dapat menjadi bias manakala ada
sedikit hati untuk memperkaya diri. Namun aku yakin
kalian mampu mengendalikan para prajurit untuk tetap
berlaku sebagai ksatria utama, sebagai pengayom yang
menyejukkan hati dimanapun kalian berada. Semoga aku
tidak mendengar ada sekelompok prajurit yang menjadi
perampok jalanan", berkata Raden Wijaya kepada para
perwiranya yang nampaknya sudah dapat mengerti apa
yang harus dilakukannya. Satu persatu para perwira itu terlihat pamit diri untuk
segera menyiapkan pasukannya melaksanakan tugas
baru, menutup semua pintu jalur perdagangan menuju
42 Kotaraja Kediri. Akhirnya di pendapa utama itu tinggal beberapa sahabat
dekat Raden Wijaya sendiri, mereka adalah Mahesa
Amping, Ki Sandikala, Argalanang, Ki Bancak, Ki
Sukasrana dan Gajah Pagon. Mereka nampaknya masih
menunggu tugas apa gerangan yang akan disampaikan
oleh Raden Wijaya kepada mereka.
"Penguasa Kediri pasti tidak akan berdiam diri, pasti akan
bergerak membuka dengan paksa jalur perdagangan
mereka", berkata Mahesa Amping yang dari semula
mendengarkan uraian rencana dan siasat Raden Wijaya
kepada para perwiranya. "Itulah yang kita nantikan, pintu mana yang akan mereka
datangi", berkata Raden Wijaya sambil menyapu wajah
semua sahabatnya. "Aku yakin kalian yang ada di
pendapa utamaku ini punya kemampuan yang cukup
tinggi, sebagai kelompok pasukan khusus yang akan
mengurangi kekuatan mereka sebelum sampai di ujung
pintu jalur perdagangan yang ingin mereka pecahkan",
berkata kembali Raden Wijaya kepada semua sahabat
dekatnya itu. "Kita akan menjadi sebuah kelompok pasukan senyap,
menyerang di kegelapan malam menghantui perjalanan
mereka", berkata Ki Bancak yang telah menangkap
maksud dan arah pembicaraan Raden Wijaya.
"Ki Bancak sudah dapat menebak kemana arah
perkataanku, dan aku bangga dapat berada bersama
kalian", berkata Raden Wijaya memastikan dirinya akan
bergabung dalam kelompok pasukan khusus itu, sebuah
pasukan kecil bersama semua sahabat dekatnya yang
diketahui kesetiaannya yang saat itu berada di bawah
satu atap bersamanya, dibawah atap pendapa utama.
43 Demikianlah, pada hari itu terlihat kesibukan besar di
barak-barak prajurit yang tidak jauh dari istana Singasari.
Mereka para prajurit Singasari nampaknya tengah
mempersiapkan diri mereka esok hari harus sudah
segera keluar dari Kotaraja Singasari melaksanakan
tugas baru menutup pintu jalur perdagangan yang biasa
dilewati oleh para pedagang menuju Kotaraja Kediri dari
berbagai penjuru. "Cuma menghalau sekelompok pedagang, tidak perlu
mencabut pedang. Cukup memperlihatkan brewokku ini
sudah membuat para pedagang lari kocar-kacir", berkata
seorang prajurit Singasari di baraknya yang berwajah
dipenuhi banyak bulu cambang dan kumis yang lebat.
"Tapi terkadang ada beberapa pedagang yang
membawa banyak tukang pukul dalam perjalanan
mereka", berkata temannya mengingatkan.
"Cuma kelas tukang pukul pasar, cukup aku sendiri yang
menangani", berkata prajurit brewok itu penuh percaya
diri. "Bagus, kamu sendiri saja yang berangkat", berkata
kawannya sambil mencibirkan bibirnya.
Maka pada keesokan harinya disaat hari sudah terang
pagi, terlihat beberapa orang prajurit terpisah dalam
beberapa kelompok telah mulai meninggalkan Kotaraja
Singasari. Mereka menuju ke beberapa tempat tertentu
yang dianggap sering dilalui oleh para pedagang keluar
masuk Kotaraja Kediri dari berbagai penjuru.
Sementara itu jumlah petugas prajurit sandi sengaja
ditambah agar dapat lebih simak lagi memantau semua
perkembangan yang terjadi, terutama di Kotaraja Kediri.
Ternyata prajurit Singasari yang bertugas memutuskan
44 jalur perdagangan memang sungguh dapat diandalkan,
mereka telah melaksanakan tugas dengan sebaikbaiknya dan tidak bergeming manakala seorang
pedagang mencoba menguji kesetiaan mereka.
"Kami sudah mendapat upah yang cukup sebagai
seorang prajurit, bawalah kembali semua barang-barang
kamu", berkata seorang perwira prajurit kepada seorang
pedagang yang mencoba bermain mata kepadanya.
Namun di beberapa tempat para prajurit Singasari harus
berlaku keras manakala para pedagang dengan para
pengawalnya mencoba menerobos jalan dengan paksa.
Satu dua hari Kotaraja Kediri memang belum merasakan
apapun dampak dari penutupan jalur perdagangan
mereka. Namun setelah berjalan dua pekan lamanya,
baru para warga Kotaraja Kediri merasa terganggu
terutama beberapa barang yang tidak dapat dipenuhi
oleh warganya sendiri menjadi langka, atau ada
barangnya namun harus ditukar dengan harga yang
cukup tinggi. Beberapa saudagar Kediri yang dekat dengan pihak
istana Kediri sudah mencoba melaporkannya kepada
para pejabat istana. Bukan main galaunya Maharaja Kediri mendengar
laporan dari beberapa pejabat istana ketika mendengar
berita tentang penutupan jalur perdagangan.
"Orang-orang Tumapel itu harus diberi pelajaran",
berkata Maharaja Jayakatwang kepada semua pejabat
istana di ruang Maguntur Raya dengan suara penuh
kemarahan. "Hamba mohon ijin paduka untuk mengerahkan prajurit
Kediri menghalau penutupan jalur perdagangan itu",
45 berkata Patih Kebo Mundarang.
"Hari ini kuijinkan dirimu untuk bertindak memberi
pelajaran kepada orang-orang Tumapel itu, juga kepada
siapapun yang mengganggu kedaulatan kekuasaanku",
berkata Maharaja Jayakatwang kepada Patih Kebo
Mundarang. "Titah Baginda akan hamba laksanakan", berkata Kebo
Mundarang kepada Maharaja Jayakatwang.
Demikianlah, setelah usai pertemuan di ruang Maguntur
Raya, Kebo Mundarang telah langsung memanggil
beberapa perwiranya. "Kita harus bersihkan semua jalur perdagangan dari para
pengacau", berkata Patih Kebo Mundarang kepada
beberapa perwiranya. "Para pengacau terpencar dalam beberapa titik jalur",
berkata salah seorang perwiranya.
"Menurut hamba jalur menuju Ujung Galuh adalah jalur
utama yang harus dibersihkan terlebih dahulu", berkata
salah seorang Senapatinya kepada Patih Kebo
Mundarang. "Bagus, keberikan untukmu dua ribu prajurit Kediri untuk
membersihkan jalur menuju Ujung Galuh", berkata Patih
Kebo Mundarang kepada Senapatinya itu yang bernama
Senapati Jaran Pekik. Bukan main bangganya Senapati Jaran Pekik yang
dipercayakan melaksanakan tugas itu, terbayang dalam
pikirannya sebuah Bandar Ujung Galuh yang besar yang
akan segera dikuasai. "Setiap hari para saudagar akan datang kepadaku
meminta sebuah perlindungan", berkata Senapati Jaran
Pekik dalam hati membayangkan keuntungan pribadi
46 yang akan didapat disamping pujian sang Patih tentunya.
Demikianlah, pada hari itu juga Senapati Jaran Pekik
sudah menyiapkan prajuritnya yang akan dibawanya
keluar dari Kotaraja Kediri.
Terlihat kesibukan di sebuah barak prajurit yang tidak
jauh dari istana Kediri, beberapa prajurit yang besok
akan berangkat tengah menyiapkan dirinya.
"Gagal sudah rencanaku untuk ijin pulang kampung",
berkata seorang prajurit Kediri kepada kawannya.
"Bukankah pekan lalu kamu sudah
kampung?", bertanya kawannya itu.
ijin pulang "Ketika pulang kampung, aku tertarik kepada seorang
gadis tetanggaku yang sudah semakin cantik", berkata
prajurit itu kepada kawannya.
"Aku mengerti, kamu minta ijin pulang kampung lagi
untuk meminta orang tuamu datang melamarnya",
berkata kawannya itu mencoba menebak pikiran prajurit
kawannya itu. "Benar, itulah yang kupikirkan. Aku takut gadis itu
keduluan dilamar orang lain", berkata prajurit itu dengan
wajah bersungut. "Kalau memang jodoh, tidak akan lari kemana-mana",
berkata kawannya mencoba menghibur.
"Maksudmu meski gadisku itu akhirnya sudah menjadi
janda?", berkata prajurit itu sambil berkacak pinggang
Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memandang kawannya yang langsung pura-pura sibuk
membersihkan senjatanya. Kawannya itu sepertinya tidak mempedulikan lagi prajurit
itu, terlihat asyik sendiri menyapu punggung pedangnya
dengan minyak dan menggosoknya perlahan.
47 Beberapa prajurit Kediri saat itu memang sedang
menyiapkan dirinya, menyiapkan segala sesuatu yang
diperlukan untuk perjalanan mereka, yang dikabarkan
dengan begitu sangat mendadak. Namun sebagai
seorang prajurit mereka memang harus sedia setiap
saat. Kapan pun, meski di tengah malam sekalipun.
Namun ternyata para prajurit sandi Singasari ternyata
sudah berada di hampir setiap penjuru Kotaraja Kediri.
Berita tentang akan berangkatnya dua ribu prajurit Kediri
sudah mereka dapatkan. Dan mereka tidak harus
menunggu hari esok, hari itu juga seorang prajurit sandi
Singasari telah keluar dari Kotaraja Kediri, memacu
kudanya membawa berita yang amat sangat penting itu.
Prajurit sandi itu terus memacu kudanya tanpa berhenti,
bahkan ketika hari menjelang malam. Dalam pikirannya
justru malam hari sepanjang jalan menjadi sepi dan tidak
seorang pun memperhatikan dirinya terutama ketika
harus melewati sebuah jalan Padukuhan. Namun di
sebuah bulakan panjang Prajurit sandi Singasari itu
menghentikan kudanya tepat di sebuah rumah yang
terpisah dan terkucil dari banyak rumah di sebuah
Padukuhan. Ternyata rumah itu adalah rumah penghubung jalur sandi
para prajurit sandi Singasari yang sengaja dibangun
antara Kotaraja Kediri dan Kotaraja Singasari untuk
berbagai keperluan. "Rawatlah kuda itu dengan baik, setengah hari
perjalanan kami tidak beristirahat", berkata prajurit sandi
itu kepada seseorang kawannya di rumah itu sambil
melompat kepunggung kuda baru.
"Semoga selamat sampai di tujuan", berkata kawannya
itu kepada prajurit sandi yang menjawabnya dengan
48 sebuah senyuman sambil langsung menghentakkan
perut kuda yang ditungganginya itu dengan kakinya.
Maka terlihat kuda itu seperti kaget terhentak
mengangkat kedua kakinya dan langsung melangkah
berlari diiringi pandangan mata kawan prajurit sandi itu.
Sebentar saja kuda dan prajurit sandi itu sudah
menghilang di kegelapan malam.
Sepanjang malam prajurit sandi itu terus memacu
kudanya tiada henti, dan ketika warna langit malam mulai
memerah di ujung pagi baru terlihat melambatkan laju
kudanya dan berhenti di sebuah jalan di pinggir sebuah
hutan. Terlihat prajurit sandi itu bersandar di sebuah
batang pohon besar dan membiarkan kudanya
beristirahat minum dan merumput di sebuah sungai kecil
yang tidak jauh dari tempatnya bersandar.
Dan ketika suasana hutan dan jalan tempatnya
beristirahat sudah mulai berwarna bening pagi, prajurit
sandi itu telah kembali melanjutkan perjalanannya ke
Kotaraja Singasari yang sudah tinggal setengah hari
perjalanan lagi. Demikianlah, ketika matahari mulai bergeser ke sisi barat
kaki langit prajurit sandi itu terlihat sudah memasuki
gerbang kotaraja Singasari.
"Beristirahatlah, aku akan ke istana membawa beritamu",
berkata Arya Kuda Cemani kepada prajurit sandi itu
dirumahnya. Arya Kuda Cemani yang sudah menerima berita tentang
pasukan Kediri yang akan menggempur jalur
perdagangan sampai ke Ujung Galuh langsung saat itu
juga menemui Raden Wijaya di Pasanggrahannya.
"Hari ini pasukan kediri baru sepertiga perjalanannya
49 menuju Ujung Galuh", berkata Raden Wijaya ketika
menerima berita dari Arya Kuda Cemani di Pendapa
Utama bersama Mahesa Amping.
"Saatnya pasukan khusus ke arena", berkata Mahesa
Amping kepada Raden Wijaya.
"Malam ini juga kita berangkat bergabung dengan
beberapa prajurit kita yang berada di jalur Ujung Galuh",
berkata Raden Wijaya kepada Mahesa Amping. "Tugas
kita menghambat dan mengurangi jumlah mereka yang
akan langsung disapu bersih dua ribu pasukan kita yang
sudah menunggu di Ujung Galuh", berkata kembali
Raden Wijaya menyampaikan rencana dan siasat
perangnya. "Siapa yang Raden percayakan memimpin pasukan kita
di Bandar Ujung Galuh?", bertanya Arya Kuda Cemani
kepada Raden Wijaya yang diam-diam mengagumi
siasat perang Raden Wijaya yang dilihatnya sudah
semakin matang. "Aku percayakan kepada Ranggalawe membawa dua
ribu pasukan kita ke Bandar Pelabuhan Ujung Galuh",
berkata Raden Wijaya kepada Arya Kuda Cemani.
"Dua ribu pasukan kita menunggu pasukan Kediri yang
sudah patah semangat dirongrong pasukan khususmu
selama di perjalanannya, sebuah siasat perang yang
hebat", berkata Arya Kuda Cemani memuji jalan pikiran
Raden Wijaya. "Ujung Galuh adalah bandar pelabuhan yang sangat
penting bagi Kediri, menguasai Ujung Galuh sama
artinya menguasai urat leher Kotaraja Kediri", berkata
Raden Wijaya menyampaikan pandangannya kepada
Arya Kuda Cemani dan Mahesa Amping di pendapa
Utama. 50 Sementara itu sang senja yang bening telah mewarnai
lengkung langit menyapa sang surya yang terlihat redup
rebah di ujung barat bumi.
"Besok kalian sudah dapat berangkat ke Bandar Ujung
Galuh", berkata Raden Wijaya kepada Ranggalawe dan
beberapa perwiranya di pendapa utama yang sengaja
diundang untuk mendengarkan beberapa penjelasan
penting yang harus diketahui oleh mereka.
"Kami mohon diri menyiapkan para prajurit", berkata
seorang perwira mewakili kawan-kawannya kepada
Raden Wijaya setelah mereka merasa cukup mengerti
apa yang harus dilakukannya.
Dan senja pun akhirnya berlalu manakala wajah malam
mulai muncul membawa senyum rembulan bulat kuning
mengintip di pucuk atap rumah panggung di depan
pendapa utama pasanggrahan Raden Wijaya.
"Kita berpisah tempat dan tugas, semoga keberuntungan
selalu mengiringi langkah kita", berkata Rangga Lawe
ketika akan pamit diri dari Pendapa Utama untuk melihat
kesiapan para prajurit Singasari malam itu yang akan
berangkat keesokan harinya.
Dan angin malam yang dingin sepertinya terus setia
menemani para prajurit yang berjaga di gardu ronda
dimuka pintu gerbang istana Singasari ketika mata
mereka melihat beberapa bayangan penunggang kuda
keluar dari lorong gelap istana yang lengang semakin
mendekati mereka. Empat orang prajurit penjaga terlihat semuanya keluar
dari gardu ronda menyongsong ketujuh bayangan
penunggang kuda yang menjadi semakin jelas ketika
mereka semakin mendekat berjalan kearah keempat
prajurit peronda itu 51 Keempat prajurit peronda itu akhirnya dapat melihat jelas
ada tujuh orang penunggang kuda, namun wajah ketujuh
penunggang kuda itu masih terhalang keremangan
malam. Siapakah gerangan ketujuh penunggang kuda itu "
Terlihat keempat penjaga yang lengkap membawa
senjata tombaknya itu dengan penuh hormat meletakkan
satu telapak tangan tegak didepan dada mereka sambil
menundukkan sedikit badannya setelah mengetahui
siapa gerangan ketujuh penunggang kuda itu.
Ternyata ketujuh penunggang kuda itu adalah Raden
Wijaya dan Senapati Mahesa Amping yang berjalan
beriringan, dengan penuh senyum Senapati Mahesa
Amping menyapa keempat penjaga itu sambil
melambaikan tangannya saat melewati mereka.
Dibelakangnya terlihat Gajah Pagon beriringan dengan
Ki Sukasrana. Sementara dibelakang terakhir adalah Ki
Sandikala yang beriringan berjalan bersama Ki Bancak
dan Argalanang. Malam itu mereka akan segera bergabung dengan
beberapa prajurit yang sedang bertugas di jalur
perdagangan Kotaraja Kediri menuju Ujung Galuh.
Terlihat mereka sudah keluar dari gerbang istana diikuti
pandangan mata keempat prajurit peronda yang terus
mengikuti langkah kaki kuda yang terus semakin
menjauh dan akhirnya menghilang terhalang kegelapan
malam di jalan Kotaraja Singasari yang masih lengang
itu. "Mari kita berpacu mengusir dingin malam", berkata
Raden Wijaya kepada Mahesa Amping sambil
menghentakkan perut kudanya dengan kakinya agar
52 berlari kencang Mahesa Amping yang melihat Raden Wijaya telah
memacu kudanya berlari, langsung mengejar Raden
Wijaya dengan ikut menghentakkan perut kudanya agar
segera berlari mengejar kuda Raden Wijaya.
Maka kelima kawannya yang melihat Mahesa Amping
dan Raden Wijaya telah memacu kudanya tidak ingin
tertinggal jauh, mereka pun ikut memacu kudanya
mengejar Mahesa Amping dan Raden Wijaya yang
sudah jauh dari mereka. Demikianlah, di malam gelap dan dingin itu terlihat tujuh
penunggang kuda berpacu menyusuri jalan tanah yang
sepi seperti tujuh bayangan hitam berlari saling mengejar
dengan pakaian dan rambut mereka berkibar dihembus
angin sepanjang jalan. Kuda-kuda mereka ternyata adalah kuda-kuda pilihan
yang dapat berlari kencang serta kuat berjalan seharian
tanpa henti. Akhirnya mereka telah sampai di persimpangan jalan
menuju Kotaraja Kediri. Terlihat Raden Wijaya
memperlambat laju kudanya diikuti oleh keenam
kawannya yang juga ikut memperlambat laju kudanya.
"Temaram langit sudah bertebar warna merah pagi, mari
kita temui mereka di Hutan Simpang", berkata Raden
Wijaya kepada keenam kawannya itu sambil melompat
turun dari punggung kudanya.
Terlihat ketujuh orang itu sudah mulai memasuki hutan
Simpang sambil menuntun kuda-kuda mereka masuk
mulai lebih jauh lagi di Hutan Simpang itu menyusuri
jalan setapak yang biasa dilalui oleh para pemburu atau
orang-orang yang punya beberapa kepentingan di hutan
53 itu. Sementara itu sang pagi sudah mulai membangunkan
kicau burung di hutan Simpang itu. Terlihat cahaya
matahari menerobos lewat daun dan dahan menghangatkan tanah hutan.
"Mereka tengah mengintai kita", berbisik Raden Wijaya
kepada Mahesa Amping yang sama-sama mempunyai
pendengaran yang amat sangat tajam telah mengetahui
ada banyak mata tengah bersembunyi disekitar mereka.
"Keluarlah kalian, kita orang sendiri", berkata Mahesa
Amping dengan suara yang keras memecah
kelengangan suasana hutan Simpang di pagi itu.
Terlihat beberapa orang bermunculan dari berbagai
tempat persembunyiannya langsung mendekati Raden
Wijaya dan rombongannya. Orang-orang yang muncul itu ternyata para prajurit
Singasari. "Ampunkan hamba yang mencurigai kehadiran tuanku",
berkata seorang prajurit perwira kepada Raden Wijaya.
"Justru kami yang harus minta maaf, datang tiba-tiba",
berkata Raden Wijaya kepada prajurit perwira itu
pimpinan prajurit yang ada di Hutan Simpang.
Setelah menyampaikan keselamatan masing-masing,
prajurit perwira itu bercerita tentang beberapa hal tentang
tugas mereka menghadang semua pedagang yang
masuk dan keluar menuju Kotaraja Kediri.
"Tugas kalian sekarang adalah menghambat pasukan
Kediri yang akan mengamankan jalur ini dan menguasai
Bandar pelabuhan Ujung Galuh", berkata Raden Wijaya
kepada prajurit perwiranya menceritakan tentang
rencana dan siasatnya menghambat dan mengganggu
54 pasukan Kediri. "Hamba akan menyampaikan tugas ini kepada semua
prajurit", berkata prajurit perwira itu pamit dihadapan
Raden Wijaya untuk menemui semua bawahannya.
Setelah prajurit perwira itu pergi, terlihat Raden Wijaya
dan keenam sahabatnya itu terlihat tengah membuat
sebuah rencana untuk menyambut kedatangan pasukan
Kediri yang diperkirakan akan melewati Hutan Simpang
itu. "Merobohkan pohon dikiri kanan jalan ketika pasukan
Kediri lewat?", bertanya Ki Sukasrana ketika mendengar
salah satu siasat Raden Wijaya, apalagi dilihatnya bahwa
Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pohon kayu di sepanjang jalan Simpang rata-rata sangat
besar tidak bisa dipeluk oleh dua tangan orang biasa.
"Aku sendiri yang akan melakukannya", berkata Raden
Wijaya kepada Ki Sukasrana sambil tersenyum.
"Tapi aku cuma dapat melakukannya pada satu sisi,
siapa yang dapat melakukannya disisi lain?", berkata
Raden Wijaya menyapu keenam sahabatnya untuk
meminta pertimbangan dari mereka.
"Ki Sandikala dapat melakukannya", berkata Mahesa
Amping sambil memandang kepada Ki Sandikala. Dan
saat itu semua pandangan mata tertuju kepada Ki
Sandikala seorang. "Mungkin aku dapat melakukannya, tapi tidak secepat
Raden Wijaya", berkata Ki Sandikala kepada Raden
Wijaya sambil merangkapkan kedua tangannya.
"Bila saudaraku Senapati Mahesa Amping yang
menunjuk, aku sudah langsung percaya bahwa Ki
Sandikala pasti dapat melakukannya", berkata Raden
Wijaya yang percaya kepada Mahesa Amping bahwa Ki
55 Sandikala pasti dapat melakukannya dan diam-diam
menaruh hormat kepada Ki Sandikala yang selalu
mengenakan pakaian jubah hitam yang menandakan
dirinya adalah seorang guru suci dari sebuah aliran
agama. Terlihat Ki Sukasrana dan Gajah Pagon diam-diam
melirik ke arah Ki Sandikala yang belum begitu lama
dikenalnya, membayangkan bahwa pendeta yang jarang
bicara itu dapat menumbangkan pohon besar, dan tidak
cuma satu buah pohon besar.
"Ternyata pendeta sahabat Mahesa Amping adalah
seorang yang sakti", berkata Ki Sukasrana dan Gajah
Pagon masing-masing kepada dirinya sendiri dalam hati.
Sementara itu Ki Bancak dan Argalanang yang sudah
mengenal siapa Ki Sandikala sebagai seorang pemimpin
besar persaudaraan PadepokanTeratai Putih di
Jawadwipa dan Balidwipa itu merasa yakin akan
kemampuan dan kesaktian guru suci itu.
"Seratus prajurit Singasari di tempat persembunyiannya
langsung membidik pasukan Kediri yang sedang kacau
menghindari pohon tumbang, sebuah rencana dan siasat
yang hebat", berkata Argalanang memuji siasat Raden
Wijaya. "Mereka pasti tidak membiarkan dirinya menjadi umpan
anak panah, pasti beberapa diantara mereka akan
mencari sumber arah para pembidik gelap itu", berkata
Gajah Pagon memberikan pandangannya tentang
rencana dan siasat Raden Wijaya.
"Saudaraku ini sering bermain-main dengan kabut",
berkata Raden Wijaya sambil memandang kepada
Mahesa Amping. Saat itu juga semua pandangan tertuju
ke arah Mahesa Amping. 56 Melihat semua mata memandang kepadanya, Mahesa
Amping balas memandang semua sahabatnya itu.
"Aku cuma punya sedikit kemampuan membuat sebuah
kabut", berkata Mahesa Amping sambil mengangguk
kecil tanda setuju dengan tugas yang diberikan
kepadanya, membuat sebuah kabut yang akan menutupi
pandangan sekaligus melindungi para pembidik gelap.
Terlihat Raden Wijaya sedikit tersenyum memandang
anggukan kepala dari sahabatnya Mahesa Amping yang
diketahui bukan saja dapat membuat sebuah kabut,
bahkan lebih dari itu dimana pernah disaksikan sendiri
dengan kemampuan dan kesaktiannya mampu membuat
sebuah badai hujan lebat. "dulu kemampuannya sudah
begitu luar biasa, kutak tahu lagi sudah sampai dimana
saat ini kemampuan saudara seperguruanku ini", berkata
Raden Wijaya dalam hati membayangkan tingkat tataran
ilmu Mahesa Amping saat ini.
Sementara itu matahari diatas hutan Simpang sudah
merayap singgah diatas puncak lengkung langit,
cahayanya masuk menerobos diantara celah daun dan
dahan menghangatkan rumput halus yang tumbuh diatas
tanah yang tidak terhalang mendapatkan sinar matahari
langsung. Terlihat para prajurit Singasari telah tersebar diantara
hutan Simpang dikanan kiri jalan diatas pohon tinggi dan
tersembunyi menanti pasukan Kediri yang telah
diperhitungkan pasti melewati jalan itu. Para prajurit
Singasari itu telah siap sebagai pembidik gelap yang
akan menghujani jalan dengan anak panah mereka.
"Pastikan bahwa panah sendarenmu dapat aku dengar",
berkata seorang prajurit singasari kepada kawannya
yang sama-sama ditugaskan sebagai prajurit pemantau
57 berantai. "Pastikan juga bahwa telingamu masih bisa mendengar",
berkata kawannya itu sambil tertawa.
Terlihat seorang prajurit Singasari tengah naik ke sebuah
pohon kayu yang cukup rindang. Akhirnya prajurit itu
telah mendapatkan sebuah batang yang dianggapnya
sudah begitu nyaman dimana dirinya dapat bersandar
sambil menunggu perintah menghujani jalan dengan
anak panah ketika musuh lewat. Namun mereka semua
sudah diberitahu untuk tidak bersembunyi di pohon kayu
yang berada ditepi jalan, karena pohon-pohon besar di
tepi jalan itu akan ditumbangkan ke arah jalan.
Sementara itu sang mentari diatas Hutan Simpang sudah
mulai merayap turun, sinarnya sudah mulai memudar
kuning redup. Rasa jenuh sudah mulai menghinggapi
para prajurit pembidik gelap diatas pohon persembunyiannya, tapi mereka tetap memaksakan
semangatnya untuk tetap bertahan di tempatnya.
Menunggu memang sebuah tugas yang sangat
membosankan, dan dapat membuat kejenuhan hati.
Kadang seseorang yang tengah jenuh dapat berbuat
sesuatu keisengan dan berbagai kenakalan untuk
mengusir rasa jenuh mereka.
Dan hal itu terjadi pula pada seorang prajurit Singasari
dimana dari tempat persembunyiannya dilihat seekor
anak celeng tengah berjalan lurus ditepi hutan,
kelihatannya anak celeng itu bermaksud ingin
menyeberang. Maka ketika anak celeng yang cukup gemuk itu baru
beberapa langkah berlari menyebrangi jalan untuk
menuju tepi hutan lainnya, sebuah anak panah telah
meluncur tepat menembus perut anak celeng itu. Naas,
58 anak celeng itu langsung rebah tidak mampu berdiri.
Semua mata tertuju kepada anak celeng yang rebah
ditengah jalan itu, semua orang saat itu pasti mengumpat
salah seorang prajurit diantara mereka yang telah
berlaku nakal itu. "Gila !, siapa yang melakukan keisengan seperti itu?",
berkata Ki Bancak dalam hati mencela orang yang
melakukan kebodohan itu. Ternyata pikiran Ki Bancak saat itu dipenuhi rasa
tanggung jawabnya sebagai seorang prajurit kawakan
yang takut bahwa musuh akan melihat bangkai anak
celeng itu dan dapat menimbulkan kecurigaan.
Maka tanpa perintah siapapun, terlihat Ki Bancak sudah
turun dari sebuah pohon kayu tempat persembunyiannya
dan langsung menuju jalan dimana anak celeng itu
tergeletak. Namun begitu Ki Bancak sudah sampai didekat anak
celeng itu, pikirannya jadi meragu. Yang dikhawatirkan
adalah semua mata pasti saat itu tengah memandangnya
dan menuduhnya sebagai seorang yang melepaskan
anak panah kearah anak celeng itu.
"Aku bukan pembunuh anak celeng ini", berteriak Ki
Bancak dengan suara yang cukup keras dan langsung
membawa anak celeng itu dari tengah jalan serta
menyembunyikannnya disebuah tempat yang tidak akan
mungkin dapat dilihat oleh siapapun.
Sementara itu seorang prajurit Singasari dipersembunyiannya terlihat tersenyum geli menyaksikan
kenakalannya sendiri membunuh seekor anak celeng
yang ingin menyeberang. Namun dihati kecilnya berjanji
tidak akan mengulangi perbuatannya yang disadari akan
59 berdampak besar, rusaknya rencana dan siasat mereka
hanya karena sebuah keisengan kecil.
Namun kejadian kecil itu tiba-tiba saja seperti dilupakan
manakala sayup dari jauh terdengar suara dengung
panah sanderan. Suara panah sanderan itu saling
bersambung dan semakin jelas terdengar sangat dekat
sekali karena dilepaskan oleh prajurit pemantau berantai
yang terdekat. Dengung suara panah sanderan itu begitu
jelas karena dilepaskan oleh tangan yang kuat seperti
merobek udara sore diatas hutan Simpang.
Penglihatan Mahesa Amping yang sudah terlatih untuk
melihat dikejauhan memang sudah dapat melihat jelas
sebuah rombongan besar pasukan Kediri tengah berjalan
mendekati sasaran jalan Simpang dimana para prajurit
Singasari tengah menunggu mereka.
Segera Mahesa Amping mencari sebuah tempat
tersembunyi yang tidak mudah terlihat oleh siapapun.
Akhirnya Mahesa Amping sudah mendapatkan tempat
yang dicarinya itu dan langsung duduk bersila
melepaskan segala nalar budinya, mencurahkan
segenap rasa tertuju hanya kepada Sang Maha Agung
pemilik segala alam jagad raya, pemilik semua sumber
kekuatan kasar dan kasat mata.
Tiba-tiba saja dari ubun-ubun kepala Mahesa Amping
keluar sebuah asap tipis. Namun asap tipis itu akhirnya
telah berubah menjadi sebuah kabut yang menutupi
seluruh tubuh Mahesa Amping. Sungguh luar biasa dan
tidak bisa diterima oleh akal sehat orang biasa bahwa
kabut itu menjadi terus melebar dan telah menutupi
sepanjang jalan Simpang. Dan pada saat itu pasukan Kediri yang terdiri dari dua
ribu prajurit itu tidak segera berhenti manakala didepan
60 mereka melihat kabut menutupi pandangan. Iring-iringan
panjang itu terus bergerak masuk kedalam kabut itu.
Bersamaan dengan masuknya iring-iringan besar itu
lebih dalam lagi menembus kabut yang bersumber dari
ilmu puncak Mahesa Amping, terdengar suara kayu
besar berdegum keras dikiri kanan pasukan Kediri.
Krak !! bum..!!! Dua buah pohon kayu tumbang dikiri kanan jalan
pasukan Kediri menimpa beberapa orang yang bernasib
naas saat itu. Dan suara itu ternyata bukan hanya sekali, menyusul dan
menyusul kembali suara pohon kayu besar tumbang
membuat bumi dan tanah tempat berpijak seperti
terguncang. Dan korban prajurit Kediri terus bertambah.
Siapa yang menumbangkan pohon-pohon besar kalau
bukan oleh tangan dua orang sakti mandraguna yang
telah menunjukkan tingkat ilmu mereka yang sangat
sukar sekali dijajaki ketinggiannya.
Dua orang sakti itu tidak lain adalah Raden Wijaya dan Ki
Sandikala. Disisi kanan hutan Simpang terlihat Ki
Sandikala dengan senjata pusakanya sebuah cakra yang
digenggamnya telah merubuhkan begitu banyak pohon
kayu besar sepanjang jalan Simpang hanya dengan
sekali ayunan layaknya sebuah golok besar yang sangat
begitu tajam membelah sebatang pohon pisang,
begitulah Ki Sandikala dengan mudahnya merobohkan
pohon-pohon kayu besar di sepanjang pinggir sisi kanan
jalan Simpang Disisi kiri hutan Simpang, mata siapapun seperti
terbelalak tidak percaya ketika melihat Raden Wijaya
hanya dengan sebuah pukulan tak berujud menghantam
61 pangkal pokok pohon kayu besar didepannya yang
langsung hangus sebesar telapak tangan. Dan dengan
sekali tendangan yang dilambari tenaga cadangan yang
luar biasa kuatnya telah menumbangkan pohon kayu itu
rebah kearah jalan. Begitulah Raden Wijaya merobohkan
pohon-pohon kayu sepanjang pinggir sisi kiri hutan
Simpang. Pasukan Kediri yang berada didalam kabut tebal seperti
kumpulan semut tertumbuk batang-batang lidi lari kocarkacir tak terarah.
Bersamaan dengan semua itu, pasukan Kediri ini benarbenar seperti masuk kedalam sebuah kubah neraka.
Dalam keadaan yang serba kacau tidak tahu kemana
harus menyelamatkan dirinya, tiba-tiba saja ratusan desir
anak panah berdesing menembus udara jatuh seperti
hujan dari langit dan langsung mencari korbannya. Dan
ratusan prajurit Kediri saat itu langsung merasakan
tubuhnya tertembus anak panah, ada yang merasakan
perih dibahu tangannya. Tapi ada juga yang tidak
merasakan apapun karena sudah langsung tewas
tertembus anak panah yang tepat dijantungnya.
Pohon-pohon kayu yang tumbang serta hujan panah
seketika itu juga telah banyak memakan korban prajurit
Kediri. Namun untungnya kejadian itu tidak berlangsung lama
sehingga korban jiwa prajurit Kediri tidak terus
bertambah.
Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Suara pohon kayu yang tumbang tidak terdengar lagi
bersamaan dengan berhentinya hujan panah, dan kabut
tebal perlahan semakin berkurang.
Akhirnya kabut tebal semakin menipis dan akhirnya
hilang lenyap terbawa angin kencang di jalan tanah di
62 tepi hutan Simpang itu. Bukan main kumuhnya suasana di jalan simpang itu
setelah pandangan mata tidak lagi terhalang kabut tebal.
Terlihat puluhan pohon-pohon besar malang melintang
memenuhi kiri kanan jalan tepi hutan Simpang. Terlihat
ratusan orang yang tergeletak mati dan terluka bersama
suara jerit perih memilukan para prajurit yang terluka
cukup parah. Sementara itu yang masih selamat terlihat
seperti mayat hidup yang baru keluar dari mimpi yang
begitu menakutkan, mereka memang baru saja keluar
dari sebuah lubang neraka yang mengerikan.
Kemana gerangan kejadian ini " para prajurit Singasari setelah Mereka benar-benar telah menguasai siasat perang
senyap sesungguhnya, mereka seperti hantu yang
langsung menghilang di kerepatan hutan Simpang,
menyusup jauh tanpa meninggalkan jejak sedikitpun,
pergi hilang senyap seperti tidak pernah ada dan sudah
diberada di sebuah tempat yang jauh, mungkin tengah
menunggu dan menanti sisa para prajurit Kediri yang
selamat namun masih belum pupus hilang rasa jerih
mereka setelah kejadian di jalan Simpang itu, sebuah
jalan neraka yang tidak akan mereka lupakan seumur
hidup mereka. "Mereka hanya sebuah pasukan kecil, tapi diantara
mereka pasti bersama orang sakti", berkata Senapati
Jaran Pekik dalam ketika memeriksa batang-batang
pohon yang tumbang yang tidak mungkin hanya
dilakukan oleh orang biasa.
Akhirnya Senapati Jaran Pekik meyakini bahwa pihak
musuh sudah jauh dan tidak akan kembali. Maka
diputuskan pasukannya untuk sementara bermalam
63 disekitar jalan simpang. Bukan main sibuknya pasukan Kediri itu, meski hari
sudah mulai masuk malam, mereka tetap mengumpulkan
jenasah kawannya dan langsung melaksanakan
pemakaman pada malam itu juga dengan sebuah
upacara penyempurnaan yang sangat sederhana.
"Kita kehilangan sekitar enam ratus prajurit yang tewas
hari ini, sementara ada sekitar delapan puluh orang
terluka cukup parah", berkata seorang perwira kepada
Senapati Jaran Pekik menyampaikan laporannya.
"Tinggalkan semua yang terluka parah disini, besok pagi
kita sudah harus segera melanjutkan perjalanan", berkata
Senapati Jaran Pekik dengan suara penuh kegusaran
tidak pernah membayangkan bahwa jalan menuju
Bandar Ujung Galuh ternyata tidah semudah yang dia
pikirkan. "Satu malam beristirahat apakah tidak begitu singkat?",
bertanya perwira itu dengan wajah ragu-ragu takut akan
membuat Sang Senapati akan menjadi bertambah gusar.
"Sementara para prajurit kita perlu waktu untuk
membangkitkan semangatnya yang terguncang", berkata
kembali perwira itu yang mengetahui hampir semua
prajuritnya seperti tengah mengalami guncangan jiwa
setelah peristiwa sore tadi.
"Menjelang siang kita harus berangkat", berkata Senapati
Jaran Pekik kepada perwira itu yang diam-diam
membenarkan perkataannya.
Demikianlah, pasukan Kediri pimpinan Senapati Jaran
Pekik itu akhirnya bermalam di Jalan Simpang itu.
Terlihat beberapa prajurit tengah merawat kawankawannya yang terluka cukup parah. Sementara
beberapa prajurit lagi telah mempersiapkan dapur umum
64 untuk makan malam mereka. Maka jalan Simpang malam
itu menjadi begitu ramai dipenuhi para prajurit Kediri
yang mencari tempat di beberapa sisi hutan untuk
sekedar beristirahat. Namun dihati kecil mereka sudah
tumbuh rasa takut dan kekhawatiran yang begitu sangat
bahwa mungkin saja pihak musuh akan datang kembali
membuat kekacauan baru. Kegusaran yang amat sangat
memang sudah mengendap menghantui diri mereka,
saat itu. Sementara itu pasukan kecil Raden Wijaya sudah berada
jauh dari hutan Simpang, mereka ternyata sudah
berkumpul disebuah tempat sesuai dengan yang
direncanakan sebagaimana layaknya sebuah pasukan
senyap yang muncul dan menghilang. Malam itu mereka
telah berada di sebuah padang Konjaran, sebuah
padang ilalang yang sangat begitu luas. Sejauh mata
memandang hanya terlihat ilalang yang tumbuh setinggi
badan manusia. Banyak orang tersasar berjalan di
padang Konjaran ini karena tidak cukup dirinya untuk
melihat arah kedepan, terutama dimalam hari yang gelap
tanpa satu pun bintang sebagai penunjuk arah
perjalanan. "Hari ini kita telah berhasil mematahkan semangat
mereka", berkata Raden Wijaya kepada para prajuritnya
yang baru saja sampai beristirahat di sebuah tanah
lapang berbatu, satu-satunya tempat yang tidak dipenuhi
ilalang di Padang Kanjoran itu. "Kurasa padang Konjaran
ini sangat cocok untuk memberikan sebuah permainan
baru", berkata kembali Raden Wijaya kepada pasukan
kecilnya sambil menyampaikan beberapa siasat dan
rencana barunya menghadapi pasukan Kediri yang
dipastikan akan melewati Padang Kanjoran itu. Sebuah
tempat yang paling cepat untuk melintas menuju Bandar
Ujung Galuh lewat jalan darat.
65 Bagian 3 Sementara itu langit malam diatas Padang Konjaran
sudah mulai merata menutupi segenap pandangan. Bila
melihat dari tempat ketinggian, maka sepanjang mata
memandang seperti melihat danau yang amat luas
bertepi di sebuah gundukan bukit yang terbungkus warna
hitam malam mengelilinginya.
Tiba-tiba saja terlihat bayangan dua orang berkuda
membelah keremangan malam, hanya setengah tubuh
mereka dan kepala kuda yang terlihat, sisa tubuh lainnya
terhalang kegelapan ilalang.
Mata kedua orang berkuda itu terlihat memandang
kesebuah arah dimana tiba-tiba saja terdengar suara
raungan seekor anjing liar yang terusik tidurnya
sebagaimana orang-orang tua mengatakannya sebagai
suara anjing yang melihat hantu lewat.
Tapi kedua orang itu nampaknya tidak percaya kepada
hantu yang mungkin tengah bergentayangan di Padang
Kanjoran itu, mereka lebih percaya bahwa suara anjing
liar itu adalah sebuah isyarat tanda yang sudah
disepakati, sebuah suara isyarat rahasia.
"Mereka berada di ujung sebelah barat", berkata salah
seorang berkuda itu kepada kawannya sambil
mengarahkan langkah kudanya menuju arah barat yang
diikuti oleh kawannya. Ternyata kedua orang berkuda itu tengah mengarahkan
langkah kudanya menuju ke sebuah tanah berbatu yang
cukup lapang ditengah padang Kanjoran itu.
"Ternyata hantu-hantu Padang Kanjoran tengah
berkumpul disini", berkata salah satu dari orang berkuda
66 itu sambil melompat dari punggung kudanya kepada
beberapa orang yang tengah berkumpul di tanah
bebatuan di Padang Kanjoran itu
"Sekarang hantu Padang Kanjoran sudah lengkap",
berkata Raden Wijaya menyambut kedatangan dua
orang berkuda yang baru datang itu yang ternyata adalah
Ki Bancak bersama Senapati Mahesa Amping yang
sengaja bersembunyi di hutan Simpang mengamati
gerak-gerik pasukan Kediri yang harus bermalam di jalan
Simpang. "Malam ini mereka masih tertunda di jalan Simpang,
mereka tidak membuat gubuk-gubuk darurat. Perhitunganku mereka tidak lama di Jalan Simpang itu,
mungkin saat terang pagi mereka akan melanjutkan
perjalanannya", berkata Senapati Mahesa Amping
menyampaikan hasil pengamatannya.
"Artinya ada waktu yang cukup membawa pasukan
Ranggalawe yang saat ini sudah berada di Bandar Ujung
Galuh manyambut tamunya di Padang Kanjoran ini",
berkata Raden Wijaya menyampaikan sebuah rencananya kepada keenam sahabatnya.
"Sebagai pemburu menunggu mangsanya masuk di
padang perburuan", berkata Ki Sandikala menyetujui
usulan Raden Wijaya. "Perjalanan dari Ujung Galuh menuju Padang Kanjoran
ini berselisih setengah hari perjalanan dibandingkan
perjalanan mereka dari Jalan Simpang", berkata Ki
Sukasrana yang sangat mengenal jarak perjalanan ketika
bertugas sebagai seorang prajurit sandi Tanah Gelanggelang.
"Kita hanya butuh lima ratus pasukan berkuda dari
Bandar Ujung Galuh yang dapat melarikan kudanya ke
67 Padang Kanjoran ini", berkata Raden Wijaya kepada Ki
Sukasrana sambil tersenyum.
"Dua ribu pasukan keong dari hutan Simpang pasti kalah
cepat dengan lima ratus pasukan berkuda yang lebih
jauh dari Ujung Galuh", berkata Argalanang menyampaikan pandangannya.
"Saat ini kita hanya butuh seorang prajurit yang sudah
mengenal jalan pintas menuju Bandar Ujung Galuh",
berkata Raden Wijaya sambil memandang kearah salah
seorang perwiranya. "Aku akan mencari salah satu prajuritku yang paling
cakap mengenal jalan menuju Bandar Ujung Galuh",
berkata perwira itu yang tanggap bahwa perkataan
Raden Wijaya adalah sebuah perintah.
Terlihat perwira itu telah menemukan orang yang
dicarinya, salah seorang prajuritnya yang dianggap
paling cakap dan sudah mengenal jalan pintas yang
tercepat menuju Bandar Ujung Galuh.
Demikianlah, tidak lama kemudian prajurit yang dipilih
oleh perwira itu sudah berada diatas punggung kudanya
dan langsung menghentakkan kudanya berlari membelah
pekatnya padang ilalang dan menghilang jauh
dikegelapan malam. Dan malam pun terus berlalu bersama angin dingin yang
merundukkan pucuk ilalang panjang dimana pasukan
kecil Raden Wijaya tengah beristirahat cukup terlindung
dari kibasan angin malam. Sementara itu di lengkung
langit masih ada beberapa bintang berkelip yang tidak
terhalang awan bersama bulan pucat menggantung
diatas langit Padang Kanjoran memberi sedikit cahaya
malam. 68 "Masih ada bintang dilangit", berkata seorang prajurit
Singasari kepada kawannya yang sama-sama dapat
tugas jaga malam itu di Padang Kanjoran.
"Maksudmu hujan pasti tidak akan datang?", berkata
kawannya menanggapi perkataan temannya.
"Semua orang juga tahu ada bintang pasti tidak akan
turun hujan, maksudku sebenarnya ingin mengatakan
bahwa malam masih panjang", berkata prajurit itu
meluruskan ucapannya. Terlihat kawannya tidak lagi menanggapi ucapan prajurit
disebelahnya, sambil memandang bintang dilangit
merapatkan dengkulnya dengan tangannya seakan-akan
ingin mengusir rasa dingin sambil menanti dan berharap
sang malam lekas berlalu.
Namun akhirnya harapan prajurit yang tengah
melaksanakan jaga ronda itu sepertinya terkabulkan
manakala di ujung timur bumi dilihatnya secercah warna
merah tersembul memecah kegelapan langit malam.
Dan sang fajar memang sudah mulai hadir mengisi
warna bumi perlahan menyapu sisa-sisa kegelapan
malam diatas langit di Padang Kanjoran.
Dan sang fajar juga sudah mulai hadir mengisi warna
bumi perlahan menyapu sisa-sisa kegelapan malam
diatas langit di Bandar Ujung Galuh, dan menyaksikan
beberapa rakit tengah menyeberangi sungai Kalimas
membawa kuda-kuda dan prajurit Singasari yang telah
mendapat berita untuk secepatnya menuju Padang
Kanjoran bergabung dengan pasukan kecil Raden
Wijaya yang sudah lebih dulu ada disana untuk bersama
menghadang pasukan Kediri.
Disaat yang sama di hutan Jalan Simpang sang fajar
69
Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
juga telah hadir mengisi warna pagi menyaksikan para
prajurit Kediri yang masih belum bergerak mempersiapkan dirinya karena masih diberi kesempatan
untuk beristirahat sampai menjelang siang hari.
Perlahan memang sang fajar menyapu warna langit
hingga akhirnya telah menjadi bersih cerah biru terang
diantara gumpalan-gumpalan kapas awan putih
menghiasi lengkung langit pagi diatas bumi padang
Kanjoran. Terlihat bersama hangatnya cahaya pagi beberapa orang
prajurit Singasari ditugaskan keluar dari padang Kanjoran
untuk memantau dan siap memberi tanda bahwa pihak
musuh sudah semakin mendekati padang Kanjoran.
Sementara itu diwaktu yang sama lima ratus orang
prajurit berkuda Singasari sudah jauh meninggalkan
tepian Kalimas memacu kudanya melintasi jalan pintas
yang tercepat untuk sampai di Padang Kanjoran.
Beberapa orang padukuhan yang akan berangkat
melihat sawah mereka terpaksa merapat hingga ke pagar
rumah ketika dihadapan mereka melihat banyak prajurit
berkuda berlari melewati mereka meninggalkan debu
diatas jalan padukuhan yang belum begitu ramai itu.
"Semoga perang mereka jauh dari padukuhan kita",
berkata seorang petani kepada anak lelaki kecilnya
ketika lima ratus prajurit berkuda sudah jauh
meninggalkan mereka. "Aku belum pernah melihat perang, pasti sangat
menyenangkan", berkata anak lelaki kecilnya yang
berjalan dibelakangnya. "Jauhkan angan-angan itu dalam pikiranmu, peperangan
bukan sebuah tontonan melihat Ki Pranjak di panggung",
70 berkata petani itu kepada anak lelaki kecilnya yang terus
mengikuti langkahnya. Sementara itu, lima ratus prajurit itu sudah jauh keluar
dari padukuhan mereka terus memacu kudanya. Mereka
memacu kudanya menembus udara pagi yang sudah
terang tanah melewati bulakan panjang, jalan-jalan
padukuhan atau terkadang harus membelah petak-petak
sawah baru. Terlihat lumpur-lumpur basah terlempar
dibelakang kaki kuda mereka.
"Hancur sudah sawahku", berkata seorang petani kepada
istrinya ketika di pagi itu bermaksud menyiangi rumputrumput liar di sekitar bibit padinya yang baru berumur
sepekan, setengah petak sawahnya sudah rusak terinjak
kaki-kaki kuda para prajurit Singasari.
"Masih untung bukan tubuh kita yang tertabrak kudakuda mereka", berkata istrinya mencoba menghibur hati
suaminya. "Kamu benar Nyi, bila aku yang tertabrak kuda-kuda itu,
hari ini kamu jadi janda", berkata petani itu sambil
memandang wajah istrinya yang bulat dengan lesung
pipit di kedua pipinya yang membuat dirinya tidak pernah
jemu untuk memandangnya. "Hus"jangan bicara sembarangan, bersyukurlah hari ini
kita masih diberi hidup", berkata istrinya sambil melotot
memandang wajah suaminya yang sudah mulai nakal.
Sementara itu langit pagi sudah menjadi semakin terang
bersama sang mentari yang terus merayap naik
menyinari bumi dan terus mendaki kaki lengkung langit
ingin secepatnya berdiri diatas puncak singgasananya
mengabarkan kepada segenap isi bumi bahwa dia lah
penguasa segala cahaya kehidupan.
71 "Kita mendaki bukit kecil itu", berkata seorang prajurit
Singasari sambil menunjuk sebuah bukit kecil dihadapan
mereka. Terlihat lima ratus prajurit berkuda di sebuah bulakan
panjang seperti berlomba mendekati sebuah bukit kecil
dibawah sinar matahari yang tegak lurus diatas kepala
mereka. Angin yang berdesir menampar wajah mereka
sepertinya telah mengurangi panas matahari di siang itu
yang tanpa disadari telah menyengat kulit dan wajah
mereka menjadi tampak kemerahan. Rupanya mereka
adalah para prajurit yang sudah terbiasa ditimbuni
dengan berbagai kekerasan, cahaya matahari yang
menyengat kulit bukan lagi sebuah rintangan, dan
mereka tidak berhenti meski matahari semakin terasa
menyengat manakala mereka semakin mendekati
puncak bukit kecil itu. Disaat yang sama di hutan Simpang terlihat pasukan
Kediri tengah menyiapkan dirinya untuk melanjutkan
perjalanan mereka. "Dengan sangat terpaksa kita harus meninggalkan
mereka", berkata seorang Perwira prajurit kepada
kawannya sambil memandang beberapa prajurit yang
terluka parah masih berbaring di sebuah sisi hutan
dibawah sebuah pohon yang cukup rindang melindunginya dari sengatan matahari di siang hari itu.
Akhirnya dengan sangat terpaksa rombongan pasukan
Kediri itu harus meninggalkan beberapa kawannya yang
terluka parah bersama sekitar lima orang prajurit yang
akan terus menjaga dan melayani kebutuhan hidup
mereka. Dan iring-iringan pasukan Kediri itu sudah mulai terlihat
bergerak menjauhi jalan Simpang dibawah tatapan lima
72 orang prajurit yang harus tetap tinggal menjaga kawankawan mereka yang terluka.
Iring-iringan pasukan Kediri itu terus merayap semakin
menjauhi jalan Simpang. Langkah dan gerak para prajurit
Kediri nampaknya sudah tidak lagi segahar dan
segergap manakala ketika mereka keluar dari Kotaraja
Kediri. Ternyata semangat mereka sudah semakin surut
terutama setelah mengalami serangan hujan panah dan
tumbangan pohon di disisi jalan Simpang.
Terlihat beberapa orang berdiri di depan pagar rumah
mereka manakala iring-iringan pasukan Kediri melewati
jalan sebuah Padukuhan. Selama ini warga Padukuhan
memang pernah melihat iring-iringan prajurit melewati
jalan Padukuhan mereka, tapi tidak sebanyak yang
mereka lihat hari itu. "Pasukan terbesar yang pernah kulihat", berkata seorang
petani kepada kawannya di atas petak sawahnya
berhenti bekerja ketika melihat iring-iringan pasukan
Kediri melewati jalan Padukuhan.
Iring-iringan pasukan Kediri itu terus berjalan
meninggalkan rasa jerih dan desah penuh risau siapapun
yang melihatnya, berharap iring-iringan itu tidak berhenti
dan terus menjauh dari padukuhan mereka.
Sementara itu sang matahari sudah mulai turun rebah
bergeser dari puncaknya ketika iring-iringan itu
memasuki sebuah bulakan panjang, terlihat wajah para
prajurit Kediri sebagian sudah begitu lelah berjalan
berharap ada sebuah perintah untuk beristirahat setelah
setengah hari harus berjalan tanpa berhenti.
"Berhenti !!", terdengar seorang prajurit penghubung
berteriak dari atas kudanya sambil membawa rontek
terus berlari sampai ke ujung rombongan terakhir iring73
iringan pasukan Kediri itu.
Terlihat iring-iringan itu telah berhenti, beberapa prajurit
Kediri sudah langsung mendekati pohon rindang untuk
dapat berteduh dan sekedar meluruskan kaki mereka
yang sudah penat berjalan. Maka dalam sekejap bulakan
jalan panjang itu sudah dipenuhi para prajurit Kediri yang
terpencar di beberapa tempat sekedar menikmati ransum
makan siang mereka dan beristirahat secukupnya untuk
bersiap kembali melanjutkan perjalanan mereka.
Sementara itu di waktu yang sama lima ratus prajurit
Singasari tengah menuruni sebuah bukit kecil, mereka
masih terus memacu kudanya tanpa ada sedikit pun
tanda-tanda untuk singgah beristirahat. Terlihat mereka
terus memacu kudanya diantara bayang-bayang sisi-sisi
pohon cemara yang banyak tumbuh di bukit kecil itu
cukup untuk menghalangi sengatan matahari yang sudah
mulai condong ke Barat. "Berhenti !!", berkata salah seorang dari mereka yang
ditunjuk sebagai pemandu jalan ketika lima ratus prajurit
kuda itu berada di sebuah lembah jauh dari bukit kecil di
sebuah tanah datar dimana ada sebuah telaga yang
cukup jernih. "Kasihan kuda-kuda itu", berkata seorang prajurit
Singasari kepada kawannya sambil memandang
beberapa kuda mereka yang tengah merumput dan
beberapa kuda lainnya tengah menikmati air telaga.
"Lumayan, pinggangku sudah seperti mau lepas",
berkata kawan prajurit itu sambil meluruskan badannya
diatas rumput hijau di bawah rindangnya sebuah cabang
pohon beringin besar yang tidak jauh dari tempat mereka
berbaring. "Jangan sampai tertidur, kita hanya sebentar 74 beristirahat", berkata prajurit itu mengingatkan kawannya.
"Apa kamu lihat aku sudah tertidur?", berkata kawannya
itu sambil menarik kedua tangannya menjadi sandaran
kepalanya. Sebagaimana yang dikatakan oleh prajurit itu kepada
kawannya, ternyata mereka memang hanya beristirahat
sebentar untuk memberi kesempatan kuda-kuda mereka
minum dan merumput. "Kita lanjutkan perjalanan", berkata seorang prajurit
pemandu sekaligus pimpinan mereka untuk melanjutkan
perjalanan. Maka dengan sigap lima ratus prajurit itu sudah langsung
melompat masing-masing diatas punggung kudanya dan
langsung menghentakkan kudanya yang sudah terlihat
segar kembali setelah cukup beristirahat di telaga jernih
dan teduh itu. Dalam waktu sekejap saja lima ratus prajurit berkuda itu
sudah berlalu menjauh dari telaga itu penuh semangat
berlomba memacu kudanya seperti bukan hendak pergi
berperang, tapi ke sebuah tempat tamasya dengan
begitu banyak kegembiraan.
"Padang Kanjoran ada dibalik hutan galam itu", berkata
salah seorang prajurit pemimpin pasukan berkuda itu
menunjuk sebuah hutan berair dangkal yang banyak
ditumbuhi pohon galam. Hutan galam adalah sebuah hutan yang berair dangkal.
Hanya pohon galam yang dapat tumbuh di hutan berair
dangkal itu, akarnya tidak membusuk meski sepanjang
tahun tergenang air. Maka tidak lama berselang mereka sudah tiba di tepi
hutan galam. Tanpa keraguan apapun kuda-kuda
75 mereka sudah terjun diatas air dangkal yang
menggenangi hampir seluruh permukaan hutan galam.
Pemimpin mereka nampaknya sangat mengenal hutan
galam itu, tahu sisi dimana air tidak terlalu dalam. Dan
kuda-kuda mereka untuk sementara hanya dapat
berjalan karena air terlihat menutupi setinggi paha kuda
mereka membuat langkah kuda menjadi sangat berat
dan lamban untuk berjalan diatas air. Sementara itu
kerepatan tanaman galam memaksa mereka untuk jalan
berliku mencari jalan yang sekiranya dapat ditembus.
Iring-iringan lima ratus prajurit berkuda Singasari masih
tertahan di hutan Galam disaat langit diatas mereka yang
sudah mulai menjelang petang. Matahari terlihat sudah
tergelincir turun ke barat dengan cahaya kuningnya yang
semakin teduh. Cukup lama mereka menyusuri hutan
galam itu dimana kuda mereka tidak bisa berlari
sebagaimana diatas tanah datar. Namun semakin
Pendekar Wanita Penyebar Bunga 4 Nona Berbunga Hijau ( Kun Lun Hiap Kek ) Karya Kho Ping Hoo Medali Wasiat 15
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama