Ceritasilat Novel Online

Kaki Tiga Menjangan 19

Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung Bagian 19


minum arak?" Siau Po tetap saja mencurigainya.
"Jikalau kalian tidak menjawab siapa majikan kalian, undangan ini bukan undangan
yang setulus nya." katanya.
"Nah! Kalian bukalah jalan untuk kami."
Seorang lainnya tertawa dan berkata. "Mudah untuk membuka jalan!"
Terus ia menggerakkan tangannya untuk menyerang keledai hingga binatang itu
roboh dan mati seketika. Siau Po turun dari kereta, disusul oleh Song Ji. Bahkan Song Ji bergerak cepat lalu
menyerang penunggang kuda itu. Nona itu kecil dan kate sedangkan si penunggang
kuda itu jangkung maka susah diserangnya. Oleh karena itu ia hanya menotok mata
kudanya, Dan serangannya itu dilakukan terus menerus bergantian ke arah kuda yang
lainnya. Hingga dalam beberapa waktu saja ramailah suara kuda tak hentinya disusul dengan
teriakan si penunggangnya.
Sementara jalan besar itu bukanlah jalan sepi, maka banyak pejalan kaki menonton
pertarungan yang luar biasa itu.
Para penunggang kuda itu berlompatan turun dari kudanya, semuanya
menggunakan senjatanya masing-masing menyerang nona Song. Akan tetapi Si nona
sangat gesit dan lincah, dia menyerang sambil berlompatan ke segala arah.
Menyerang dan berkelebat akhirnya dalam tempo yang pendek delapan lawan sudah
roboh, sedangkan empat penunggang kuda yang lainnya tidak lagi berani bergerak
hanya saling memandang dengan temannya karena terheran-heran.
Tengah keadaan diam itu, kembali terdengar suara roda-roda kereta, ternyata yang
datang sebuah kereta kecil, Kereta itu dilarikan dengan cepat, hingga dalam waktu
singkat kereta itu pun sudah sampai, dan dari dalam kereta itu segera terdengar
teriakan seorang wanita. "Jangan turun tangan terhadap kawan sendiri!"
Siau Po mengenali suara itu, hatinya senang sekali.
"Oh, istriku datang!" serunya gembira.
Song Ji beserta ke empat penunggang kuda lainnya segera menoIeh. Nona itu
merasa heran karena sekali tidak menyangka kalau Siau Po sudah beristri. Meskipun di
jaman itu biasa terjadi pernikahan usia dini.
Banyak pemuda-pemudi berusia empat belas atau lima belas tahun yang sudah
menikah. Tapi Song Ji merasa heran karena selama ini dia belum pernah mendengar
Siau Po membicarakannya. Sementara kereta kecil yang berjalan kencang itu sudah sampai. dari dalamnya
muncul seoran gadis, siapa lagi kalau bukan Pui Ie.
Dengan wajah berseri-seri, Siau Po menghampiri gadis itu. Dia langsung menyambar
tangan gadis dan menggenggamnya erat-erat.
"Oh, kakak yang baik!" serunya, "Kakak, aku sudah rindu sekali terhadapmu
sehingga rasanya ingin mati, Ke mana kakak selama ini?"
Pui Ie tersenyum. "Nanti perlahan-lahan saja kita bicara.,." katanya dengan nada sabar "Oh ya,
mengapa kalian berkelahi?" Dia heran sekali melihat beberapa orang telah roboh di
atas tanah dengan darah berceceran
Salah seorang di antaranya menjura dan menjawab.
"Nona Pui Ie, kedatangan kami ke mari sebetulnya untuk mengundang Wi kongcu
minum arak. Tapi rupanya sikap kami kurang sopan sehingga menimbulkan
kegusarannya. Untung Nona datang sendiri...."
Pui Ie masih bingung. Dia menoleh kepada Siau Po.
"Kaukah yang telah merobohkan mereka semua" Oh, tidak disangka ilmu silatmu
telah mengalami kemajuan yang pesat sekali!"
"Seandainya ada kemajuan juga tidak mungkin sepesat ini," kata Siau Po terus
terang, "Semua ini dilakukan oleh Nona Song Ji yang telah melindungi diriku, Karena itu
pula, dia terpaksa memamerkan kepandaiannya."
Siau Po berkata sambit menunjuk kepada kawannya.
Pui Ie menolehkan wajahnya untuk melihat Song Ji. Dia merasa heran sekali, Nona
cilik itu kemungkinan baru berusia tiga atau empat belas tahun tapi aneh kalau dia
sudah sedemikian lihay. "Adik, kau she apa?" tanyanya.
Song Ji tidak kenal dengan gadis yang menyapa-nya itu. Meskipun ketika berada di
rumah keluarga Cung, mereka pernah ada dalam satu atap tapi mereka tidak sempat
bertemu, Mendengar pertanyaan itu, ia segera melangkah maju dan menjatuhkan diri
berlutut di hadapan Pui Ie.
"Nyonya muda, terimalah hormat Song Ji!" katanya.
Siau Po tertawa terbahak-bahak mendengar panggilan Song Ji kepada Pui Ie.
sedangkan wajah Pui le langsung berubah merah padam saking jengahnya, Dia
lekasTiraikasih website http://cerita-silat.co.cc/
lekas menyingkir agar tidak perlu menerima sujud Song Ji sembari mengajukan
pertanyaan kembali. "Eh, kau memanggil apa kepadaku" Aku... aku bukan...."
Song Ji berdiri. "Siauya mengatakan bahwa kau adalah nyonya," sahut si gadis cilik, "Karena aku
melayani Siauya, maka sudah sewajarnya aku memanggil kau nyonya muda."
Mendengar jawabannya, Pui le langsung membelalakkan matanya kepada Siau Po.
"Orang ini hanya bisa mengoceh yang bukan-bukan!" katanya, "Jangan kau percaya
kata-katanya, Sudah berapa lama kau melayaninya" Masa kau belum kenal sifatnya"
Oh ya, aku bernama Pui Ie."
Song Ji tersenyum, Dia menganggukkan kepalanya.
"Baiklah," sahutnya, "Untuk sementara aku tidak akan memanggil kau nyonya muda,
tapi nanti..." Wajah Pui le menjadi merah kembali.
"Lain kali..." katanya, tapi kemudian dia tidak sanggup meneruskan kata-katanya
kembali. Sebaliknya, Song Ji memperhatikan Siau Po Dia melihat pemuda itu senang sekali,
Wajahnya berseri-seri dan bibirnya terus menyunggingkan senyuman, Tiba-tiba
wajahnya juga berubah merah, Dia ingat apa yang pernah dialaminya ketika berada di
Gunung Ngo Tay san. Di sana Siau Po juga pernah menyatakan kepada Ay Cun cia bahwa dia adalah
istrinya. Rupanya Siau Po hanya bergurau, Pemuda tanggung itu suka sekali menyebut
nona yang masih muda sebagai istrinya.
"Eh, mana istriku yang satu lagi?" tanya Siau Po kemudian Dia tertawa lebar
Rupanya dia menanyakan si nona cilik, Bhok Kiam Peng.
Song Ji yang mendengarnya tidak merasa heran lagi, Tapi Pui le justru membelalak
lagi kepada Siau Po. "Sudah lama kita tidak bertemu, kau bukan bicara soal yang serius, malah berkata
yang bukan-bukan. Sudah, mari kita berangkat!" katanya.
Siau Po tertawa lagi. "Kalau sejak semula aku tahu kau yang mengundang, Tentu aku menyesal tidak
mempunyai sayap agar dapat cepat-cepat terbang menemuimu!"
Kembali Pui le membelalakkan matanya.
"Dasar kau yang telah melupakan aku!" katanya, Tentu kau tidak mengira bahwa aku
akan mengundangmu!" Senang sekali hati Siau Po mendengar nada suara si nona, Rasanya manis sekali di
dalam hati. "Mana mungkin aku melupakanmu?" katanya, "Kalau kau yang mengundang aku,
jangankan untuk minum arak, biar untuk minum air kencing kuda sekalipun aku tidak
akan menolaknya. Bahkan aku rela meminum racun, Bagiku, kapan saja kau
mengundang, aku pasti akan datang."
Dengan matanya yang indah, Pui Ie memperhatikan Siau Po.
"Jangan bicara manis-manis!" katanya, "Bagai mana kalau aku menyuruh kau pergi
ke ujung langit atau tepi laut dan minum racun di sana?"
Siau Po membalas tatapan gadis itu. Dia melihat Pui Ie bicara setengah serius dan
setengah bercanda, hatinya merasa puas, Nona itu tampak semakin cantik dan semakin
manis, perasaannya sampai tegang menatapnya.
"Jangankan baru ujung langit atau tepi pantai", sahutnya, "Biar meski mendaki
gunung golok atau terjun ke panci panas aku pasti akan pergi juga."
"Bagus," kata nona Pui Ie. "Seorang laki-laki sejati, sekali mengeluarkan katakatanya,
kuda apa pun tak dapat mengejarnya."
Sengaja nona Pui Ie menggojoki kata-kata yang pernah diucapkan oleh Siau Po.
Siau Po menepuk dada. "Ya." katanya, "Satu kali seorang laki-laki telah mengeluarkan kata-katanya, kudapun
tak dapat menangkapnya."
Pui Ie tertawa maka tertawa pula si bocah.
Lantas si nona memerintahkan seseorang untuk mengambil seekor kuda buat Siau
Po dan seekor lagi buat Song Ji- Song Ji dipersilahkan naik ke atas kereta, sedangkan
ia sendiri menunggang kuda untuk bergandeng bersama Siau Po. Mereka mengambil
arah menentang matahari, dan semua orang yang tadi datang menjemputnya mengikuti
dari belakang. "Kau lihay," kata Pui Ie sembari berjalan "Kepandaian apakah yang kau miliki hingga
kau berhasil mendapatkan seorang budak yang demikian lihaynya itu?"
Orang yang datang itu berlagak pilon.
"Kepandaian apa?" katanya balik bertanya, "Tidak sama sekali, Soalnya dia sendiri
yang ingin merawat dan mengikutiku."
Pui Ie tertawa pula, ia mengerti Siau Po muda usianya tetapi dia sangat cerdas dan
banyak uangnya pula, hingga ia dapat menggunakan fasilitas itu dengan leluasa, Maka
ia pun menerka Song Ji tentu telah dibelinya. Yang lebih aneh lagi Song Ji sangat
lincah. Kemudian Siau Po balik bertanya tentang Cie Than coan serta Bhok Kiam Peng.
"Sewaktu kalian ditawan orang-orang Sin Liong kauw di dalam rumah hantu itu,
bagaimanakah kalian dapat meloloskan diri" Apakah Sam Nay Nay dari keluarga
Chung yang menolong kalian?"
Pui Ie heran mendengar nama Chung Sam Nay Nay disebutkan Dia pun
menggelengkan kepalanya. "Siapakah Sam Nay Nay dari keluarga Chung itu?" tanyanya,
"Dialah yang memiliki desa keluarga Chung itu" sahut Siau Po.
"Memiliki desa keluarga Chung?" si nona mengulangi, "Sejak semula hingga akhir,
belum pernalh aku mendengar dan melihatnya. sebenarnya orang yang dicari Sin Liong
Kauw itu ialah kau sendiri. Terhadapmu mereka tak bermaksud jahat. Dulu Chiang Loo
Sam tidak berhasil mencarimu, dia lalu memerdekakan kami semua, Kuncu kecil dan Ci
Loo Yat Ju semua berada di sana dan tak lama lagi kita akan bertemu dengan mereka."
Berkata begitu si nona menoleh dengan matanya yang jeli lalu menatap Siau Po.
"Yang kau senantiasa ingat dalam hatimu ialah menuju kaucu kecil."
"Baru kita bertemu beberapa saat, kau sudah menanyakan tujuh atau delapan kali."
Siau Po tertawa. "Kapan aku menanya tujuh atau delapan kali tanyanya, "Sungguh aku penasaran,
coba aku bertemu dengannya dan tak melihat engkau, Pasti aku akan menanyakan
engkau, Mungkin sampai tujuh atau delapan puluh kali."
Pui Ie tersenyum, sekarang sudah tak ada rasa muak atau yang menjemukannya
terhadap bocah yang nakal dan beraneka macam ini.
"Meski kau bermulut sepuluh tak mungkin kau menanyakan sampai tujuh atau
delapan puluh kali." katanya, "Namun sekarang, meskipun kau bermulut satu
nampaknya kau lebih lihay dari pada bermulut sepuluh!"
Siau Po pun tersenyum. BegituIah sembari berjalan mereka mengobrol satu dengan yang lainnya hingga tak
terasa mereka sudah melalui sepuluh lie lebih.
"Apakah kita akan lekas sampai?" tanya Siau Po, walau bagaimana pun dia sudah
tak sabar lagi. Mendengar pertanyaan itu, Pui Ie kurang puas.
"Masih jauh sekali," katanya, Taruhlah kau rindu pada kuncu kecil tak usah kau
menjadi tak sabaran, Kalau aku tahu begini, kubiarkan kuncu kecil memapakmu,
supaya kau tak keras memikirkannya sampai begini."
Siau Po mengeluarkan lidahnya, dia dapat mengerti kenapa nona ini merasa kurang
puas. "Baiklah," katanya, "Sepatah kata pun aku tak akan menanyakannya."
"Di mulut kau tak menanyakannya namun di hati lain," kata nona Pui, "Hatimu tentu
tak sabaran, itu membuatmu menjadi dongkol."
Siau Po mendengar suara nona yang terang dan jelas itu, Maka ia tertawa dan
berkata, "Jikalau aku tidak sabaran, aku bukan suamimu, Aku putramu yang nakal."
Mau tak mau si nona tertawa.
"Oh anak,.," katanya dalam hati, dan mendadak kata-katanya berhenti untuk
menyebut kata itu. "Oh anak yang manis...." ia mengerti meski kata kata itu hanya bersifat bergurau
namun kata-kata itu kurang tepat untuk diucapkan.
Perjalanan ditunda sesudah tengah hari, mereka singgah di sebuah tempat yang
ramai. Kali in Siau Po tidak berani menanyakan apa-apa. ia tidak menanyakan kapan
sampai dan bagaimana Kiam Peng, yang terpenting ia sudah jauh dari kerajaan hingga
hari itu ia tak dapat bertemu dengan raja.
"Tak apalah aku tak dapat langsung bertemu dengan raja." Demikian pikirnya. "Aku
pun tak memberikan batas waktu pada Siauw Hian cu. Katakanlah aku jalan-jalan di
Ngo Tai San atau aku tertahan oleh Ay Cun cia, buatku sama saja."
Selanjutnya muda-mudi itu membicarakan hal-hal yang tak penting selama dalam
keraton, meski mereka berdua di dalam kamar, sebab mereka bersama Bhok Kiam
Peng, Pui Ie mengekang diri. Dia harus dapat menjaga harga dirinya, sekarang ini
mereka hanya berdua. "Mereka berjalan berdampingan dan kuda mereka berjalan berendeng, Demikianlah
mereka dapat bergurau dengan bebas, Rombongan pun sengaja berjalan jauh di depan
mereka. Siau Po masih muda tetapi pergaulannya membuat mereka mulai mengerti arti
asmara. Sering menyebut Pui Ie sebagai istrinya, itu dilakukan sambil bergurau,
sekarang ia mendapat anggapan lain, ia tertarik lagak nona itu yang tertawa sebentar
cemberut. Sesudah menjalani perjalanan yang cukup jauh, Pui Ie tampak letih, dua belah
pipinya yang halus menjadi merah dan keringat pun mulai bercucuran itu yang
membuatnya lebih menarik. Ternyata Siau Po terlena memandangi wajah itu.
Nona Pui berpaling pada orang yang mengawasinya dengan mendadak dan ia pun
tertawa. "Eh, eh, kau kenapa?" tanyanya, "Kenapa kau diam saja?"
Siau Po terperanjat dan kaget.
"Oh, kakak, kakak yang baik," katanya sambil tersenyum. "Kakak, sungguh kau
manis sekali di-pandangnya. Aku pikir Aku pikir..."
"Kau pikir apa?" tanya si nona.
"Akan aku jawab tetapi kamu jangan marah, ya.,." sahut Siau Po.
"Asal kau bicara dari hal yang benar pasti aku tak marah," sahut Pui Ie. "Tetapi
jikalau kamu bicara tak karuan tentu aku tidak senang dan marah. sekarang katakanlah
apa yang sedang kau pikirkan.,.?"
Siau Po menatap dan ia pun menjawab.
"Aku memikirkan," katanya, "Jika benar kakak menjadi istriku betapa bahagianya
hatiku ini." Tiba-tiba saja mata Pui Ie melotot dan wajahnya berubah menjadi bengis. Akan tetapi
ia tak berkata apa pun dan ia menoleh ke lain arah.
Siau Po menjadi kebingungan.
"Oh kakak..." katanya, "Oh kakak yang baik " apakah kakak ragu padaku?"
"Pasti aku gusar!" sahut si nona, "Ya. Aku gusar sekali!"
"Tapi aku.... aku bersungguh-sungguh, kakak!" kata Siau Po. "Tidak ada kata-kata
yang terlebih sungguh-sungguh dari pada itu."
"Tapi kau harus ingat!" kata si nona. "Selama di dalam keraton aku telah bersumpah
bahwa seumur hidupku, aku akan turut padamu, melayanimu, apakah itu palsu belaka"
sekarang kau menginap begini, apakah itu berarti bahwa kata-katamu telah berubah?"
Mendengar jawaban itu Siau Po girang bukan main, Kalau mereka tidak sedang
menunggang kuda, mungkin mereka sudah berpelukan sambil berciuman. Maka itu
mereka hanya mengulurkan tangan kanannya dan menarik tangan kirinya untuk
berpegang-pegangan dengan erat.
"Mana dapat hatiku berubah?" katanya sambi menatap si nona. "Seribu tahun,
selaksa tahun tak mungkin hatiku dapat berubah."
"Dengan katamu ini, terang kau sudah berubah," kata si Nona. "Coba saja kamu pikir,
mana ada manusia berumur seribu atau selaksa tahun" Kecuali kura..."
Mengucap kura itu Pui Ie tidak meneruska menjadi "kura-kura" ia sudah tertawa dan
menoleh ke lain arah, tetapi tangan yang dipegang Siau Po dibiarkannya tetap tidak
ditarik. Siau Po merasa puas memegang tangannya yang halus dan licin,
"Kau baik sekali padaku kakak," katanya sambil tertawa.
"Karena itu untuk selamanya, aku tak akan menjadi kura-kura yang sangat
menjijikkan." Kura-kura itu mempunyai arti lain, bukan binatang kura-kura. sebenarnya seorang
suami yang istrinya berlaku serong dengan laki-lain dialah kura-kura, Arti kura-kura
sudah sangat umum buat wilayah Kang lam dan Pui Ie mengerti sekali, lantas ia


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memperhatikan wajah keren.
"Rupanya bagimu sudah tidak ada kata-kata lainnya lagi! Kenapa kata-kata demikian
keluar dari mulut anjingmu?"
Tetapi Siau Po tertawa. "Kau ingat kata-kata ayam turut ayam dan anjing menikah dengan anjing." katanya,
"Apakah kau mengharap melihat dari mulut suamimu akan muncul cacing gajah?"
Mau tak mau si nona tertawa, dan tangan kirinya balas memegang tangan kanan
Siau Po. Demikianlah mereka bergurau di sepanjang jalan, sampai waktu magrib mereka telah
sampai pada suatu tempat yang ramai dan megah dan mereka bermalam di tempat itu.
Keesokan harinya Siau Po menyuruh Ie Pat mencari kereta kuda untuk mereka dan
Pui Ie duduk di dalamnya, hingga mereka dapat bergaul dengan leluasa sekali. Saat itu
Siau Po telah berani merangkul dan menyiumi Pui le dengan tak ada bosan-bosannya.
Pui le tidak menentangnya, ia membiarkan saja, Tetapi lebih dari itu, ia tidak
memberikan balasan, hingga di antara mereka tidak terjadi pertentangan dengan pri
kesopanan Siau Po pun puas sampai d situ sebab dalam soal asmara ia belum tahu
banyak ia hanya menuruti suara hatinya yang polos.
Apa yang diketahui Siau Po agar kereta berjalan terus, jangan berhenti, agar ia dapat
berduaan terus dengan si nona manis mungkin sampai langit atau ke ujung laut.
Pengalaman itu membuat Siau Po lupa untuk menghadap pada raja guna
memberikan laporannya, ia sampai lupa juga pada Si Cap Jie Cing Ken kitab yang
penting itu, juga kaisar tua yang berada di Ngo Tay San. Bahkan ia lupa hari, karena
sudah beberapa hari dan malam ia sudah lewati di sepanjang jalan itu.
Pada suatu sore, akhirnya kereta sampai pada suatu tempat di tepi laut Di sana Pui
le mengajak Siau Po turun dari kereta dan menyewa sebuah perahu sambil
berpegangan tangan. "Adikku mari kita ke perahu dan berpesiar empat penjuru laut, guna melewatkan harihari
ibaratnya kitalah dewa dewinya, bagaimana menurutmu, bukankah bagus begitu?"
Menutup kata-katanya, nona menarik tangan Siau Po hingga tubuh mereka rapat,
dan ia meletakkan kepalanya di dada Siau Po hingga mereka tampak mesra sekali.
Siau Po merangkul pinggul si nona agar tak jatuh, sedangkan rambut si nona terus
bermain di mukanya, Dia lupa bahwa perjalanan di laut banyak bahayanya, hingga tak
dapat ia mengeluarkan kata-kata menolak.
Di tepi laut itu tengah berlabuh sebuah perahu besar, dan setelah mereka
mengetahui kedatangan perahu Pui le segera mereka mengibarkan sapu tangan hijau,
pertanda ia akan mengirim perahu kecil untuk menyambut kedatangan Pui le dan Siau
Po yang naik perahu kecil itu untuk segera naik ke perahu yang besar.
Setelah Siau Po menyaksikan ruang dalam kapal tersebut, ia kaget sebab kapal itu
dan semua peralatan terbuat dari benda-benda yang berharga, bahkan lantainya
dilengkapi dengan permadani perlengkapan kapal ini lebih mirip sebuah pendopo atau
tempat raja sedikitnya menteri muda.
"Kakak menyambutku secara begini, tidak mungkin ia menyimpan maksud yang tidak
baik atas diriku," pikir Siau Po.
Dua orang bujang datang menyerahkan sapu tangan hangat untuk mengusap
keringat Dan menyusut dua mangkuk mie guna mengisi perutnya yang dilihatnya begitu
nikmat Di samping itu perahu sudah mulai berlayar.
Berada dalam perahu Siau Po merasa puas, Pui Ie menemani makan dan minum
arak, sambil bermain tebak-tebakan tangan atau berbicara sambil tertawa ria,
sedangkan jika malam telah tiba, Siau Po diantarkan ke tempat tidur, setelah itu Pui Ie
baru kembali ke kamarnya sendiri.
Bagian 39 Malam itu Siau Po dapat tidur nyenyak, sedangkan besok paginya begitu ia
mendusin, nona Pui sudah datang kepadanya dan membantunya menyisir rambut.
Menyaksikan kelakuan si "calon istri", Siau Po tersenyum, Diam-diam dia berpikir
dalam hati: -- sekarang dia belum tahu bahwa aku buka thay-kam yang sebenarnya, Dia mengira
kelak kami akan menjadi suami istri hanya dalam nama saja. Sampai kapan aku baru
bisa membuka rahasia ini kepadanya" Setelah itu, selanjutnya sepasang pemuda mudi itu selalu berduaan di dalam kamar,
Mereka duduk berdampingan, makan bersama, Dari jendela perahu mereka dapat
melihat keindahan mentari pagi, kecantikan alam, Di permukaan laut terlihat pantulan
sang surya yang gemilang bagaikan emas permata.
"Ketika belum lama ini aku masuk ke dalam istana bangsa Boan Ciu untuk
membunuh kaisarnya," kata Pui Ie sambil menarik nafas panjang "Aku kira aku tidak
mungkin hidup lagi, mungkin aku akan kehilangan nyawaku di sana. Tak disangka
Tuhan yang Maha Kuasa masih melindungi diriku, Di sana aku bertemu denganmu
Dengan demikian sampai sekarang kita masih bisa menikmati keindahan alam ini.
Adikku yang baik, sungguh, mengenai dirimu, sedikit pun aku tidak tahu apa-apa.
Dapatkah kau menjelaskan kepadaku bagaimana kau bisa masuk ke dalam istana dan
segala hal yang menyangkut ilmu silatmu?"
Ditanya demikian, Siau Po tertawa.
"Semua hal itu, justru aku telah berpikir untuk menceritakannya kepada kakak,"
katanya, "Hanya aku khawatir, kau nanti akan terkejut sehingga berjingkrak atau
mungkin jatuh pingsan saking kagetnya ."
Pui Ie menggeser tubuhnya agar rapat dengan pemuda di sisinya.
"Kalau aku mendengar ceritamu, aku pasti akan senang sekali," sahutnya,
"Sekalipun keteranganmu itu merupakan sesuatu yang tidak aku sukai, asal kau tidak
berbohong, aku tidak perduli...."
"Baik, kakak," kata Siau Po. "Baiklah kalau itu yang kakak inginkan, Aku ini kelahiran
kota Yang-ciu dan ibuku dari kalangan rumah pelesiran...."
Pui Ie terkejut setengah mati sehingga dia memalingkan wajahnya dan menatap Siau
Po lekat-lekat. "Apa kerja ibumu di dalam rumah pelesiran itu?" tanyanya penasaran. Suaranya rada
gemetar. "Apakah ibumu bekerja mencuci pakaian atau memasak nasi di sana" Atau mungkin
tukang sapu atau pelayan yang mengantarkan makanan?"
Hati Siau Po ikut tegang menyaksikan perubahan wajah si gadis. Terang nona itu
memandang hina rumah pelesiran.
-- Kalau aku menjelaskan yang sesungguhnya bahwa ibuku adalah seorang pelacur,
dia pasti tidak memandang sebelah mata kepadaku, -- pikirnya dalam hati. -- Dia tentu
tidak akan memperlakukan aku dengan baik lagi --, maka itu dia langsung tertawa.
"Selama ibuku berada dalam rumah pelesiran usianya baru enam atau tujuh tahun,"
sahutnya menerangkan. "Mana mungkin sekecil itu ibu bisa mencuci pakaian atau
memasak nasi?" Mendengar jawaban itu, hati Pui Ie agak lega perasaan tegangnya menjadi lenyap.
"Oh, ibumu baru berusia enam atau tujuh tahun ketika itu?"
Dalam hal berdusta, Siau Po memang ahli. Dengan cepat dia dapat memberikan
keterangan yang masuk akal.
"Ketika bangsa Boan Ciu berhasil melintas perbatasan San Hay kwan, tidak sedikit
penduduk kota Yang-ciu yang menjadi korban. Tahukah peristiwa itu?"
Pui Ie menganggukkan kepalanya.
"lya," sahutnya.
"Kakek luarku seorang pembesar dari dinasti Beng." Siau Po menjelaskan lebih jauh,
"Ketika bangsa Tatcu itu menyerbu dan menghancurkan kota Yang-ciu, kakek luarku
roboh sebagai korban, Karena saat itu ibuku masih kecil sekali sehingga terlunta-lunta,
Di dalam rumah pelesiran itu ada seorang tamu yang baik hatinya, dia segera mengajak
ibuku pulang dan diambilnya sebagai pelayan. Tatkala tamu itu menanyakan nama
serta she keluarga ibuku, ibuku menyebut nama kakek luarku itu, Ternyata tamu itu
sangat menghormati kakek dan karena itu, dia mengangkat ibuku sebagai anaknya.
Kemudian ibu menikah dengan ayahku, seorang pemuda terkenal dari kota Yang-ciu...."
"Oh, rupanya begitu.,." kata Pui Ie. "Tadinya aku kaget sekali ketika mendengar kau
mengatakan ibumu dari kalangan rumah pelesiran, ternyata ibumu menjadi pelayan di
sana dan melayani segala wanita hina yang tidak tahu malu itu,.,."
Tidak puas hati Siau Po mendengar ucapan Pui Ie. Diam-diam dia berpikir dalam
hati. -- Apakah kau kira semua wanita yang berasal dari Bhok onghu pasti istimewa dan
luar biasa" Aku malah merasa wanita yang tidak tahu malu ada di mana saja... Karena menyaksikan sikap Pui Ie yang demikian, Siau Po batal menceritakan riwayat
hidupnya yang sebenarnya, Sebaliknya, kumat lagi tabiatnya, dia membual panjang
lebar dengan mengatakan bahwa ia berasal dari keluarga besar Dan dia menceritakan
bahwa rumahnya di Yang-ciu besar sekali serta mewah, Tapi dia menuturkannya
dengan mencontoh rumah pelesiran yang ditempati ibunya sekarang.
Setelah mendengarkan semuanya, Pui Ie bertanya.
"Apakah keterangan ini yang kau katakan akan membuat aku terkejut setengah mati
bahkan bisa berjingkrak atau pingsan?"
"Benar." sahut Siau Po. "Apakah kau tidak senang mendengarnya?"
"Aku senang," kata Pui Ie. Tapi nadanya tawar sekali, pertanda bahwa dia
menjawabnya dengan terpaksa.
Mata Siau Po memandang ke luar jendela perahu, Dia memikirkan persoalan lain
untuk dijadikan bahan pembicaraan tetapi tiba-tiba dia melihat sebuah daratan di arah
timur tenggara, Ketika itu perahu sedang melaju dengan pesat sekali.
"Eh, tempat apakah itu?" tanya Pui Ie dengan nada heran, Dia juga sudah melihat
tanah daratan itu. Tepat pada saat itu, dengan cepat perahu suda melaju mendekati tanah daratan
tersebut, sehingga tampak jelaslah pepohonannya dan pesisiran yan penuh dengan
pasir putih. "Mari kita mendarat," ajak si nona, "Sudah berhari-hari kita berdiam di atas perahu,
kepalaku sudah terasa pusing sekali, Bukankah ada baiknya kita turun dan melihat-Iihat
pulau ini?" "Aku setuju," sahut Siau Po menganggukkan kepalanya, "Rupanya pulau ini cukup
besar. Entah ada apanya yang menarik hati untuk dipandang di dalamnya..."
Pui Ie memanggil tukang perahu dan menanyakan nama pulau tersebut,
"Nona, inilah pulau Sim Sian To yang terkenal di lautan timur," sahut orang yang
ditanya, "Katanya di atas pulau itu terdapat semacam buah dewa, siapa yang memakan
buah itu akan panjang umur, dan hidup sepanjang masa, Tapi, siapa yang berjodoh
mendapatkan buah yang langka itu" Entahlah! Tapi, tidak ada halangannya apabila
nona dan Wi Kongcu ingin mencoba peruntungannya."
Pui Ie menganggukkan kepalanya, Setelah tukang perahu itu mengundurkan diri, Dia
berkata kepada Siau Po. "Aku tidak berharap untuk makan buah dewa yang dapat membuat orang hidup
sepanjang masa, Bagiku, hidup sekarang ini sudah memuaskan Aku menganggapnya
lebih menyenangkan dari pada kehidupan para dewa."
Senang hati Siau Po mendengar kata-kata si nona,
"Oh, kakak yang baik!" katanya, "Kakak, marilah kita tinggal di pulau ini untuk seumur
hidup, Kalau kita dapat menemukan buah mukjijat itu, syukur, tapi kalau tidak, ya
sudah! Bagiku sendiri, yang penting aku bisa bersama-sama kakak untuk selama-lamanya."
"Aku juga begitu," kata Pui Ie. Dia menyandarkan kepalanya di bahu Siau Po.
suaranya merdu dan halus.
Keduanya segera naik ke atas sebuah perahu kecil untuk menuju tepian daratan.
Ketika melangkah di pesisir yang berpasir halus itu, mereka sudah mencium bau
segarnya pepohonan yang ada di sana. Semua itu terbawa oleh hembusan angin.
Mereka juga mencium bau air.
"Entah pulau ini ada penghuninya atau tidak..., kata Pui Ie kemudian.
"Manusia lainnya tidak ada," kata Siau Po sembari tertawa, "Yang pasti ada seorang
dewi yang cantik dan manis tiada tandingannya dan datan membawa budak-budaknya
ke pulau ini." Pui Ie tertawa. "Oh, Adikku yang baik!" katanya dalam hati berbunga, "Bagiku asal kelak di
kemudian hari kamu tidak menganggapku sebagai seorang budak, dalam mimpiku juga
aku dapat tersenyum."
Dengan bergandengan tangan muda mudi itu berjalan memasuki rimba, hingga
hidung mereka sudah diserang harum bunga.
"Bunga ini harum baunya, maka sangatlah mustahil kalau pulau ini pulau dewata,"
kata Siau Po Pui Ie tersenyum. Keduanya maju terus, tiba-tiba menyusul berbagai suara di rerumputan yang ada di
depan mereka, mendadak dari dalam rumput itu ke luar tujuh atau delapan ekor ular
yang warnanya kuning mengkilap yang terus menyambar mereka.
Siau Po berseru kaget, tangannya menarik tangan Pui Ie untuk diajaknya mundur
Tetapi di depan mereka telah menghadang tujuh atau delapan ular, yang semuanya
menjulurkan lidahnya. "Lekas menyingkir," kata Nona Pui, yang sedang menghunus belati, "Nanti aku yang
mengitari sarangnya."
Siau Po sebaliknya tidak mau lari sendiri, malah menghunus pisau belatinya.
"Mari!" ia mengajak menyingkir dari belasan ular yang ada di depan dan di
belakangnya. Baru saja beberapa langkah, Siau Po kaget sekali lehernya telah digigit ular, yang
turun dari dahan pohon. "Celaka!" Siau Po berseru.
Pui Ie menyambar tubuh ular itu niatnya untuk ditarik dan di1emparkannya.
"Jangan!" Siau Po berseru mencegahnya.
Sudah tentu ular yang ditangan Pui Ie menggigit tangannya, bahkan ular itu tidak
segera melepaskan gigitannya.
Siau Po khawatir bercampur gusar, ia lalu menghunus pisaunya dan mengiris tubuh
ular itu. Justru di bawah, ular lainnya sudah melilit kaki mereka berdua.
Muda-mudi itu merasa kaget Siau Po berhasil menebas ular di betisnya, dan ia pun
kaget karena betis yang lain digigit ular juga dan seketika itu juga betisnya beku dan
tak dapat digerakkan. Pui Ie bingung hingga ia melepaskan goloknya untuk terus memeluk Siau Po.
"Hari ini kita akan mati sebagai pasangan suami istri di sini...." keluhnya menangis.
Siau Po tetap tabah meskipun kakinya beku tetapi tangannya masih dapat bekerja,
dia masih dapat menepis setiap ular yang mendekat atau menyambarnya dengan pisau
belati yang cukup tajam itu.
Namun anehnya ular di dalam rimba itu cukup banyak, mati yang satu datangnya
yang lain-Iainnya dan semuanya galak-galak, Ketika Siau Po dan Pui Ie telah sampai
pada batas rimba, mereka suda digigit tujuh sampai delapan ular, Selain nyeri kepala
mereka sudah mulai terasa pusing bahkan mereka sudah mulai merasa was-was,
Sewaktu mereka menatap ke laut, perahu yang mereka tumpangi sudah jauh
meninggalkan mereka dan sia-sia saja mereka berteriak memanggil. Buktinya perahu
mereka semakin menjauh. Pui Ie menggulung celana Siau Po, ia membungkuk hendak mengisap darah dan
racun yang ada di kaki Siau Po.
"Jangan!" teriak Siau Po. "Jangan!"
Mendadak Siau Po mendengar langkah kaki hingga suaranya berhenti, dan
menyusul ia mendengar teguran
"Eh, siapa kalian, buat apa kalian datang ke mari, apakah kalian tidak takut mati?"
Siau Po menoleh seraya mengangkat kepalanya, Dengan demikian dia dapat melihat
ketiga orang itu dan ketiganya tidak mereka kenal. Usia mereka sekitar pertengahan.
"Paman tolong!" ia lantas memohon "Kami digigit ular!"
Salah seorang mengeluarkan obat lalu dibubuhkan pada luka bekas gigitan ular di
kaki Siau Po. "Kau... kau tolong dahulu, dan obati dia.,." ujar Siau Po kepada orang itu.
Pui Ie menerima obat yang diberikan oleh orang itu.
"Kakak..." Siau Po memanggil tetapi belum sempat dia meneruskan kata-katanya,
matanya sudah gelap dan tubuhnya roboh ke tanah.
Ketika Siau Po sadar ia merasa mulutnya kering dan dadanya nyeri hingga ia
merintih saking tak kuatnya menahan sakit, ia pun kemudian mendengar orang berkata.
"Bagus dia telah sadar"
Perlahan-lahan Siau Po membuka mata hingga ia melihat orang membawa
semangkuk obat untuk diminumnya, ia lalu meminum obat itu walaupun dengan rasa
yang kurang enak, "Terima kasih atas pertolonganmu ini, paman" ujarnya.
"Bagaimana dengan kakakku, apakah ia tidak apa-apa...!"
"Syukur, ia tertolong!" jawab orang yang ditanya. "Kalau kita terlambat sedikit saja
kalian sudah tak dapat tertolong lagi. Kalian bernyali besar kenapa kalian datang
ketempat ini?" Siau Po merasa berlega hati mendengar kabar bahwa Pui le tidak apa-apa.
"Terimakasih.... terimakasih!" katanya berulang-ulang.
Sekarang Siau Po merasa terharu menemuk dirinya terbaring di pembaringan
dengan pakaian yang telah dibuka, dan ia ditutupi selimut, kedua kakinya terasa mati,
tak dapat digerakkan. Siau Po menghela napas panjang ketika melihat wajah orang yang menolongnya.
Wajah orang ini amatlah buruk, namun hatinya penuh rasa kasih sayang.
"Tukang perahu mengatakan pulau ini memiliki buah kemuzijatan, jika seseorang
memakan buah itu, dia akan tetap muda," ujar Siau Po.
"Hm!" seru si penolong sambil tertawa dingin. "Jika memang benar pulau ini memiliki
buah yang kamu bilang itu, mustahil tukang-tukang perahu itu tidak ikut mengambilnya."
"Oh! Jika demikian tukang-tukang perahu itu bermaksud jahat, pantas mereka
membawa perahu kami pergi, lalu bagaimana dengan kawan-kawan kami yang berada


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di perahu besar itu" Jangan-jangan mereka jatuh ke tangan orang-orang itu! Paman
bagaimana caranya agar kami dapat menolong kawan-kawan kami?"
Laki-laki yang bermuka jelek itu pun menggelengkan kepala.
"Mereka sudah pergi sejak tiga hari yang lalu, kemana mereka harus kita kejar?"
katanya. Siau Po menjadi lemas. "Sudah tiga hari?" tanyanya mengulangi ucapan orang-orang itu, ia menjadi bingung
sendiri. "Ya, Kau telah pingsan selama tiga hari tiga malam." orang-orang itu menjelaskan
"Jangan heran jika engkau tidak mengetahui itu!"
Siau Po terdiam, lalu ingat Song Ji. ia khawatir benar, sebab meskipun nona itu lihay,
namun kurang pengalaman sedangkan ia berada di tengah laut dan bersendiri saja.
Mana mungkin ia dapat melawan anak buah kapal yang jumlahnya cukup banyak itu"
Makin jauh berfikir Siau Po semakin bingung.
"Sekarang kau bingung dan rasa khawatir itu pun akan datang." hibur sang penolong,
yang dapat menerka keadaan hati Siau Po.
"Yang penting sekarang kau istirahat dengan tenang, ular berbisa di pulau ini ganas
sekali, paling sedikit kau harus beristirahat selama tujuh hari baru racun itu dapat
dikuras habis." Kemudian tuan rumah itu menanyakan she dan nama Siau Po serta ia pun
menyebutkan she dan namanya sendiri yaitu Phoa Hiong,
Lewat tiga hari barulah Siau Po dapat turun dari pembaringan dan dapat berjalan
dengan berpegangan pada dinding, Kemudian Bhoa Kiong mengajaknya menengok Pui
Ie yang berada di ruangan bersama seorang wanita yang merawatnya.
Setelah bertemu mereka merasa girang sekali kemudian keduanya saling merangkul
dan bertangis tangisan karena merasa haru bercampur bahagia.
Sejak itu, Siau Po dan Pui Ie selalu bersama dan mereka berbincang-bincang
membicarakan ular yang telah membuat mereka pingsan dan sakit beberapa hari.
Pada hari keenam, Siau Po dan Pui Ie didatangi tuan penolongnya.
"Tabib Liok dari pulau kami telah datang pada kami. Dia sengaja kami undang untuk
melihat keadaan saudara she."
"Terimakasih, Kakak Phoa!" ucap Siau Po.
Tak lama kemudian datang laki-laki yang usianya kurang lebih empat puluh tahunan,
Laki-laki itu mengenakan pakaian pelajar, raut wajahnya ramah dan gerak-geriknya
sangat sopan, Laki-laki setengah baya itu bertanya kepada Siau Po tentang masalah
ular itu, kemudian ia tertawa.
"Kalian menderita karena kalian tidak mengetahui kebiasaan penduduk di sini, di sini
orang tak pernah digigit ular bahkan ular takut mendekati penduduk. Kebiasaan
penduduk di sini selalu membawa bekal belerang," katanya.
"Oh." seru Siau Po yang baru tahu, "Pantas Kakak Phoa dan yang lainnya tak takut
ular!" Tabib Liok memeriksa luka-luka Siau Po dan Pui Ie lalu memberikan obat kepada
Siau Po seraya berkata. "Kau makan tiga butir dan yang tiga untuk kawanmu, satu hari makan satu butir saja."
Siau Po menerima obat itu sambil mengucapkan terimakasih, kemudian ia
menyerahkan uang dua ratus tail,
"Aku minta kiranya Tuan sudi menerima uang yang tak seberapa ini!" ujar Siau Po.
Tabib Liok heran, tetapi ia tertawa dan ber-kata.
"Mana dapat aku memakai uang begini banyak" Buatku sudah cukup kalau Kong Cu
memberiku dua tail perak."
"Saya harap agar Tuan tidak menolak!" kata Siau Po mendesak "Tuan telah
menolong kami, jumlah ini tidaklah berarti, bukan?"
Karena dipaksa, tabib itu pun menerima uang itu dan ia pun mengucapkan
terimakasih. "Kong Cu, terpaksa aku menerima uangmu ini. Kalau tidak aku dikira kurang hormat
sekarang aku minta Kong Cu beserta kawanmu sudi kiranya datang ke rumahku untuk
minum barang secawan arak, Bagaimana?"
Siau Po bersyukur dan merasa girang sekali maka ia menerima baik undangan tabib
itu. Kembali ia mengucapkan terimakasih.
Benarlah di waktu magrib mereka menyiapkan sebuah tandu untuk menyambut
kedatangan tamu-nya. Mereka memikul Siau Po dan Pui le dengan sebuah tandu dan
dibawa jalan melewati kali kecil di kaki gunung yang airnya jernih dan berbunyi nyaring
sebab alirannya yang deras, Siau Po dan Nona Pui merasa puas melihat pemandangan
di sepanjang kali kecil itu. Akan tetapi mereka merasa takut setelah melihat rerimbunan
pohon. Keduanya teringat ketika diserang ular berbisa.
Setelah perjalanan tujuh atau delapan lie, mereka sampai didepan sebuah rumah
yang tiang dan dindingnya semua terbuat dari bambu, Rumah ini memiliki tiga ruangan
yang rapih dan sangat bersih, Buat wilayah Kang Lam dan Hoo Pak, sukar untuk
melihat bangunan seperti itu.
Tampak laki-Iaki setengah baya keluar dari rumah itu dengan wajah ramah dan
gerak-gerik yang sangat sopan, Laki-Iaki itu Tabib Liok yang telah beberapa saat
menunggu kedatangan tamunya. Tabib itu menyambut dan mengajak mereka masuk.
Rombongan itu disambut juga oleh seorang wanita berusia tiga puluhan, yaitu
nyonya tabib, Dengan ramah sekali nyonya itu mengajak Pui le masuk.
Tabib Liok mengajak tamu-tamunya ke kamar tulisnya, Di dalam kamar itu banyak
buku, kitab-kitabnya, dan lukisan-lukisan yang membuktikan bahwa tuan rumah gemar
karya sastra dan seni. "Tinggal di pulau ini, kami terasing dengan dunia luar." kata tuan rumah dengan
ramah dan rendah hati, "Tidak demikian halnya Kong Cu berdua, yang datang dari
dataran luas dan ramai, dan Kong Cu pun dari keluarga besar. Bagaimana pendapat
Kong Cu tentang lukisan-lukisan itu."
Siau Po merasa sulit menangkap kata-kata tuan rumah ini, Bocah itu tidak terpelajar
dan buta huruf, sebaliknya tuan rumah seorang pintar dan halus gerak-geriknya, Dia
lalu mengamati lukisan-lukisan yang berupa pesona alam pegunungan burung, dan
kura-kura. "Kura-kura itu bagus," pujinya sambil tertawa.
Tabib Liok heran lantas ia menunjuk sebuah gambar
"Wi Kong Cu," tanyanya, "Bagaimana kau lihat hurup-hurup ini."
Siau Po mengamati hurup-hurup itu, dan ia mendapatkan beberapa hurup yang
bentuknya melengkung mirip sebuah jimat,
"Bagus," pujinya pula, "Bagus sekali."
Tabib Liok menunjuk tulisan yang lainnya,
"Bagaimana dengan yang ini?"
"Ah, ini kurang bagus!" sahutnya sambil ia menggelengkan kepalanya.
Tuan rumah segera mengambil sikap hormatnya.
"Jikalau dapat, aku minta Kong Cu menunjukkan mana kelemahannya!"
Siau Po tidak mengenal huruf mana yang baik dan mana yang buruk. Dia menjawab
seadanya Demikian pula sewaktu ia ditanyakan lukisan yang lainnya.
Sampai di situ, adem hatinya, tuan rumah, Ha tuan rumah itu merasa tenang,
"Kiranya Kong Cu tidak kenal satu hurup pun, dan awam tentang lukisan."
Tabib itu masih penasaran maka ia menunjuk lukisan lainnya,
"Dan yang ini bagaimana," tanyanya pula.
Siau Po mengamati hurup-hurup yang mirip cacing itu.
"Oh, aku kenal beberapa hurup ini!" sahutnya Dirinya merasa pernah melihat hurup
semacam itu di Gunung Ngo Tay san.
"Hong Kauw Cu dan Sin Liong Kauw selama tahun tidak pernah tahu dan selamanya
memperoleh kebahagiaan bagaikan dewa berilmu sakti. Usianya sama dengan usia
langit." Suara Siau Po seperti membaca hurup-hurup itu,
Mendengar demikian, tiba-tiba saja tabib Liok menjadi girang sekali.
"Berterimakasihlah pada langit dan bumi. Benar-benar kau mengenal dengan hurup
ini," ujarnya dengan girang sehingga bergetar suaranya.
Siau Po heran hingga timbul rasa curiganya.
"Kenapa dia begitu girang lantaran aku kenal hurup itu" Apakah dia orang Sin Liong
Kauw" Oh celaka ular berbisa! Apakah ini pulau Sin Liong To?"
Karena berpikir demikian tak terasa ke luar kata-kata itu, "Ay Cun cia dimana kau?"
Tabib Liok terkejut sekali sehingga dia menyurut satu langkah ke belakang.
"Oh... kau telah mengetahuinya?" tanyanya heran.
Siau Po menganggukkan kepalanya, walaupun sebenarnya dia tidak tahu apa-apa
mengenai si tosu, "Bagus kalau kau telah mengetahuinya!" kata tabib Liok, Dia segera menghampiri
meja tulisnya lalu mengosok bak tinta serta membeberkan kertasnya, kemudian dia
berkata kembali, "ToIong kau jelaskan setiap huruf yang ada di sini, Yang mana huruf
Hong dan yang mana huruf Kau!"
Mendengar permintaannya, hati Siau Po tercekat. Diam-diam dia mengeluh dalam
hati, wajahnya langsung berubah. Tapi dia memaksakan diri untuk berjalan ke meja tulis
dan mengambil pit, Luar biasa caranya memegang pit, karena dia melakukannya seperti
orang yang memegang sumpit makan.
Diam-diam tuan rumah jadi mengeluh dalam hati menyaksikan sikap tamunya, Hal itu
sampai tampak pada perubahan air mukanya, Tapi dia masih berusaha untuk sabar.
"Sekarang terlebih dahulu kau tuliskan dulu she dan namamu!" katanya.
Siau Po langsung berjingkrak bangun untuk berdiri tegak, sedangkan pitnya yang
sudah dicelup ke tinta dilemparkannya sehingga tintanya bermuncratan kemana-mana.
Kemudian dia berteriak dengan suara lantang.
"Lohu tidak kenal dengan segala huruf anjing. Kentut anjingpun aku tidak tahu
bagaimana cara menulisnya! Apa itu Hong kaucu usianya sama dengan usia langit"
Lohu hanya mengoceh sembarangan untuk mengelabui si tosu, Kalau kau ingin aku
menulis huruf, sebaiknya kau tunggu sam aku menitis kembali! Kalau kau hendak
membunuh Lohu, bunuhlah! Tidak akan aku mengernyit kening, kalau sampai terjadi,
aku bukanlah seorang laki-laki sejati!"
"Benarkah kau tidak mengenal huruf sama kali?"
"Memang tidak!" sahut Siau Po tegas, " tidak tahu huruf telur busuk!"
Saking terdesak, tegang rasanya syaraf Siau Po sehingga dia jadi marah-marah tidak
karuan, Dia tidak kenal lagi kata takut meskipun berada di pulau Ular yang sangat
beracun ini. Tabib Liok terdiam lalu mengambil pitnya dan menulis beberapa huruf.
"Coba baca, huruf apa ini?" tanyanya,
"Gila!" seru Siau Po. "Aku bilang aku tidak kenal surat, aku serius! Kau kira aku
bohong?" Tabib Liok menganggukkan kepalanya dengan kesal.
"Bagus!" katanya, "Jadi kau berhasil mempermainkan Ay Cun cia! Tapi urusan ini
telah disampaikan kepada Hong kaucu! Oh, kau! Dasar bangsat cilik."
Mendadak si tabib melompat ke depan untuk mencekik leher Siau Po, seraya berkata
dengan sengit. "Kau mencelakai kami sehingga kami mendustai kaucu! Sama artinya kau membuat
kami mati tanpa tahu di mana kami akan dikuburkan! Karena itu, sebaiknya kita mati
bersama-sama saja. Dengan demikian aku tidak perlu mengalami penderitaan dan
siksaan!" Siau Po benar-benar tersiksa, wajahnya pucat kebiru-biruan dan lidahnya menjulur
ke luar Kalau dia dicekik lebih keras sedikit lagi, pasti nyawanya akan melayang.
Tetapi tepat pada saat yang genting itu, tiba-tiba tabib Liok mengendurkan cekikannya dan
mendorong tubuh Siau Po sehingga bocah itu terjerambab jatuh lalu dia
meninggalkannya. Sesaat kemudian, Siau Po baru sanggup menenangkan dirinya, Setelah benar benar
sadar, dia mencaci maki dengan sembarangan.
"Kura-kura mau mampus! ibumu bangsat!" Namun sekarang dia harus berpikir keras,
"Aku berada di atas pulau, ke mana aku harus menyingkir" Kala aku kabur ke hutan, hal
itu malah akan mempercepat kematianku Tapi, aku cukup puas kalau bisa mati
bersama-sama Pui Ie.,." katanya seorang diri.
Kemudian Siau Po pergi ke pintu dan berusaha membukanya, Ternyata pintu itu
terkunci dari lua Karena itu dia pergi ke jendela untuk melongok ke luar, Dia mendapat
kenyataan bahwa jendela itu menghadap ke arah lembah yang curam, Di sana pun
tidak ada jalan untuk meloloskan diri."
Siau Po memalingkan wajahnya kembali ke dalam kamar dan memperhatikan
beberapa gambar yang tergantung di dinding.
- Apanya yang bagus dari pigura-pigura ini" --pikirnya dalam hati.
Saking panasnya hati Siau Po, dia segera menambil pit tulis kemudian digunakannya
untuk mencoreng gambar-gambar yang tergantung di dinding. Lukisan itu diganti
dengan gambar kura-kura besar dan sejumlah kura-kura kecil, Tentu saja dia melukis
secara sembarangan sehingga banyak lukisan-lukisan yang berharga itu rusak
karenanya. Setelah merasakan tangannya pegal, Siau Po melemparkan pit itu terus menjatuhkan
diri untuk duduk di atas sebuah kursi. Dia menyenderkan tubuhnya dan melenggutlenggut.
Sesaat kemudian dia sudah tertidur pulas.
Dia tertidur sampai cuaca remang-remang. Tidak ada seorang pun yang datang
mengganggunya, sehingga kemudian dia merasa perutnya keroncongan karena minta
diisi. - Rupanya kura-kura hijau itu mengharap Lo-hu mati kelaparan di sini! -- pikirnya
kemudian, Dia menyebut tuan rumahnya sebagai "kura-kura hijau" dan tetap
membahasakan dirinya sebagai Lohu,
Tepat pada saat itulah dia mendengar suara langkah kaki dari luar kamar, disusul
dengan masuknya cahaya terang api dari sela-sela pintu. Bahkan daun pintu pun
segera terbuka dan muncullah tabib Liok dengan sebatang lilin yang menyala di
tangannya, Dia melirik si bocah tanpa mengatakan sesuatu pun. Tidak terlihat apakah
dia sedang marah atau senang.
Mau tidak mau, Siau Po menjadi tidak enak hati dan merasa khawatir.
Tabib Liok meletakkan lilin nya di atas meja, kemudian melirik ke arah dinding yang
penuh dengan lukisan itu. Tiba-tiba saja dia menjadi gusar sekali.
"Kau! Kau!" teriaknya setengah kalap. Tangannya sudah diangkat tinggi-tinggi
dengan maksud ingin menghajar tamunya, Akan tetapi dia tidak meneruskan niatnya itu,
sebab dapat menguasai dirinya.
"Kau... kau.-." berhentilah suaranya.
Di lain pihak, Siau Po dapat mengendalikan dirinya, justru melihat si tabib gusar, dia
tertawa lebar. "Nah, lihat!" katanya, "Bagaimana menurut pendapatmu" indah tidak lukisanku itu?"
Tabib Liok menarik nafas panjang, Perlahan lahan dia menurunkan tangannya lalu
menjatuhkan dirinya duduk di atas kursi.
"Bagus." katanya kemudian, "Lukisanmu bagus sekali."
Siau Po menjadi heran. Orang itu bukannya menghajar dia lagi tapi malah
memujinya, Dia juga menjadi tidak enak hati menyaksikan tuan rumah itu menjadi kesal
dan sedih. "Tuan Liok, maaf... maaf.,." katanya kemudian "Aku telah membuat lukisanmu
menjadi kotor...." Tabib Liok menggelengkan kepala dan menggoyangkan tangannya.
"Tidak.,, tidak apa..." sahutnya sabar, Dia memegangi kepalanya lalu mendekam di
atas meja. Sesaat kemudian.... "Kau tentunya sudah lapar bukan?" tanyany lantaran Siau Po diam saja, "Nah, kau
makanlah dulu, nanti kita bicara lagi!"
Di ruang tamu sudah disediakan hidangan yang terdiri dari empat macam lauk, Ada
ikan, daging, juga ayam. Pui Ie muncul dengan ditemani oleh Nyonya Liok, Mereka berempat duduk
mengelilingi meja dan mulai bersantap.
Siau Po merasa heran sekali, Diam-diam dia berpikir dalam hati.
-- Mungkinkah lukisanku benar-benar demikian indah sehingga hati tabib Liok
menjadi senang dan menjamu aku" - Akan tetapi sesaat kemudian dia sudah
menyangkal pemikirannya itu, Tidak mungkin! Tidak mungkin orang yang lukisannya
dirusak malah menjamunya! Bocah itu bermaksud menanyakannya kepada si tabib, tapi
akhirnya dia membatalkannya pula, Dia melihat tampang si tabib yang lesu dan tidak
bersemangat Dia khawatir tabib itu marah.
Tanpa banyak bicara mereka terus bersantap, Setelah itu, Tabib Liok kembali
membawa Siau Po ke kamar tuIisnya, Seorang kacung segera datang untuk
mengantarkan teh hangat. Tabib Liok mengambil pit yang dilemparkan Siau Po, lalu menulis tiga huruf "Wi Siau
Po" di atas kertas. "lni namamu," katanya. "Apakah kau bisa menulisnya?"
"Dia dapat mengenali aku, tapi aku tidak mengenalinya, Mana bisa aku menulis.,.!"
"Oh!" seru si tabib yang lalu menengok ke luar jendela, agaknya dia berpikir
Kemudian dia mengangkat tempat lilin dan huruf huruf yang berupa anak katak lalu
dibawanya ke depan dan dibacanya Setelah itu dia kembali lagi ke meja untuk
mengambil sehelai kertas dan mulai menuIis, Tuan rumah itu menulis dengan cepat
sekali, setelah itu lalu dibacanya.
"Ketiga huruf itu sama dan aku harus cepat membacanya dan menulis," katanya.
Setelah selesai tabib Liok mengoreksi tulisannya, kali ini ia merasa gembira sekali.
"Sekarang baru sempurna," katanya.
Siau Po merasa heran dan si tabib tetap dia saja tak bergerak, Kemudian tabib itu
kembali mengambil kertas dan mulai menulis. Hanya kali ini ia menulis agak pelan
terlihat dengan gelengan-gelengan kepalanya seraya membaca tulisan ini dengan
perlahan. Siau Po mendengar dengan samar-samar kata yang diucapkan oleh tabib itu yakni


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sin Liong To yang berarti pulau malaikat atau naga sakti dan ka "Hong Kaucu", serta
usianya sama dengan usia langit" dan yang terakhir yaitu kata "Bahagianya pertama di
gunung... dan yang ke dua di gunung.. sama sekali tidak menyebutkan nama gunung d
nama tempatnya. "Ah, aku ingat," pikir anak muda itu. Dia berbicara sendiri setelah itu ia berbicara
dengan Cun Cia di kuil Pao Ci Si, sewaktu ia ingin loloskan diri, hingga ia berbicara
secara sungguh-sungguh, tetapi siapa sangka ia malah mendapatkan pujian, pikirnya
pula. Ketika itu aku diajak Ay Cun cia untuk menghadap Hong Kau Ju di Si Liong To. Aku
tidak sudi ikut padanya dan ternyata aku dapat sampai pada pulau ini.... Bagaimana jika
Hong Kaucu gusar" Jangan-jangan aku dan Pui akan dimasukkan ke dalam lobang
ular, dan aku akan dikeroyok oleh ular-ular itu hingga tak tersisa daging dan
tulangku..! Mengingat demikian, Siau Po jadi bergidik, ia dapat membayangkan seandainya
dirinya dililit beribu-ribu ular.
Lalu tampak tabib Liok berpaling, wajahnya terlihat sangat gembira.
"Wi Kong cu kau kenal huruf-huruf yang bagaikan katak itu, kau sungguh
menggembirakan dan sepatutnya diberi selamat! itu pun bertanda yang sangat baik
bagi Hong kaucu mirip dengan langit dan Tuhan telah menjelmakan engkau sebagai
anak gaib karena engkau dapat membaca tulisan pada batu itu," katanya sambil
tersenyum. Siau Po merasa tak enak hati.
"Jangan kau permainkan aku!" katanya.
"Sebenarnya aku hanya bicara sembarangan untuk menipu Tautoo cebol, Karena
kau telah mengetahui kepalsuanku, sebaiknya kau secepatnya membunuh diriku.,.!"
Tabib Liok tertawa. "Jangan terlalu merendah Siau Po!" katanya pula, Dia lalu memanggil "Kong Ju"
suatu sebutan untuk anak muda hartawan dan berpangkat, "lt kata-kata yang Kong Ju
bacakan di luar kepala sedangkan aku mencatatnya, Kong Ju tunjukkan mana yang
salah" Nah dengarkan aku membacakannya!"
Benar-benar Tabib Liok membaca tulisan itu.
"Bagaimana ada yang salah atau tidak," tanyanya setelah selesai membaca.
"ltu toh tulisan pada batu pada jaman kerajaan Tong. Bagaimana dapat diketahui
yang jelek" Di kemudian hari dapat terjelma seorang Gou Sam Kui yang hidup sebagai
raja muda Peng Si Ong?"
"Siang Te Maha cerdas dan maha pandai, tidak ada yang tidak diketahuinya?" jawab
si tabib dengan menyebut nama Tuhan Allah yang maha Ku (Siang Te).
"Karena bakal ada seorang Hong Kou Cu, pasti akan ada pulau Gou Sam Kui itu."
Siau Po tertawa sendiri sambil mengangguk dan berkata.
"Ya, itu benar juga" di dalam hatinya.
"Entahlah apa yang sedang kau pikirkan sebenarnya...."
Tabib Liok berpikir dan berkata.
"Tulisan di batu itu tak dapat dibaca asal meskipun hanya satu hurup, Kong Ju
cerdas meskipun demikian pasti Kong Cu telah dibantu oleh Siang Te, maka Kong Cu
dapat membacanya, Aku pikir Kong Cu membacanya, sebab nanti jika Kong Cu
dipanggil Hong Kaucu, Kong Cu dapat membacanya diluar kepala dengan lancar dan
jelas, tanpa ada salah, jika itu benar pasti Kong Cu akan mendapatkan hadiah yang
sangat besar." Mendengar demikian Siau Po mengerti dan memahaminya bahwa Ay Cun cia dan
tabib Liok pasti sudah melaporkan pada Hong Kaucu, Tentang janji itulah sangat
berbahaya, Bagaimana kalau rahasianya terbuka" Rupanya mereka jadi khawatir jika
nanti terjadi, maka mereka sengaja merencanakan itu.
Lalu tabib Liok berkata. "Sekarang mari aku bacakan, baris demi baris dan kamu mendengarkan lalu yang
salah kamu perbaiki, aku tidak ingin ada satu huruf pun yang salah dari tulisanku ini."
Mau tidak mau Siau Po harus menurut, sebab ia sedang dalam ancaman maut,
Dasar ia cerdas ia dapat membaca, hanya ada beberapa yang salah, tetapi ia membaca
terus, sedangkan si tabib mendengarkan dan memperbaikinya maka akhirnya, setelah
ia membaca lebih dari sepuluh kali akhirnya tidak terdapat kesalahan lagi.
Malam itu Siau Po tidur di rumah tabib Liok, Paginya selesai bersantap ia menghapal
kembali kata-kata itu. Tabib Liok gembira mendengar Siau Po dapat membacanya, tapi ia belum merasa
puas, Dia menulis lagi dan mengajarkan huruf demi huruf agar ia mengenal mana "wi"
dan "Ceng" dan semuanya.
Di dalam hati Siau Po mengeluh, Dia harus dapat menyatukan huruf yang satu
dengan huruf yang lainnya, Kecuali itu ia tidak tahu apakah tabib Liok menulis
sembarangan saja, maksudnya aga nanti dapat menyenangkan hatinya.
Lama juga Siau Po mengenali kata demi kata. Sampai siang hari ia baru dapat
menghapal enam huruf, sore tujuh huruf dan malamnya enak huruf. Selama itu ia
mengalami kesulitan hingga ia melempar penanya, dan tabib Liok mengambilkannya.
sedangkan Pui Ie diminta duduk di dekatnya untuk menemaninya.
Sambil mengajari, hati tabib Liok selalu khawatir kalau-kalau ia dipanggil Hong
kaucu, Kalau Siau Po belum mengenal huruf-huruf itu ia akan mendapatkan bahaya,
begitu juga dengan keluarganya.
Dalam belajar Siau Po sangat sulit ia ingin secepatnya dapat memahami kata demi
kata, lewat beberapa hari ia baru dapat mengenal seratus huruf dan tiba-tiba dia
mendengar suara orang memanggilnya.
"Liok Sin Se, Kau cu memanggil Wi Kongcu datang menghadap." itulah suara Ay Cun
cia. Tabib Liok kaget sekali hingga mukanya mendadak kaget dan tangannya bergetar
hingga pena yang ada di tangannya jatuh ke bajunya,
Habis memanggil, Ay Cun cia lalu masuk.
Siau Po menyambutnya sambil tertawa dan berkata.
"Eh, Ay Cun cia, kenapa baru kali ini aku kau jemput" Kau tahu, aku sudah lama
menantimu menjemputku!"
Sementara itu Ay Cun cia menatap wajah Tabib Liok. Dia menerka ada suatu
kesulitan. "Memang aku mengetahui kau mengacau balau, Kau main gila, tetapi kau ingin
membangun jasa besar. Aku khawatir kau nanti akan mati lebih awal."
Tabib Liok tertawa dingin dan berkata pula pada si tamu tadi.
"Kau pun sama saja. Aku si orang Si Liok, rumah tanggaku terdiri dari delapan jiwa,
biarlah semuanya ikut denganku ke lain dunia...!" katanya.
Ay Cun cia menarik napas lalu ia pun berkata.
"Kalau nasib kita begini kita memang sukar untuk meloloskan diri. Tetapi kau harus
tahu meski tak ada peristiwa ini, tak mungkin kaucu membiarkan kita hidup lebih lama
meski beberapa hari...!"
Tabib Liok melirik Siau Po dan berkata.
"Ya kalau nasib apa mau dikata dasar mau mati...."
Mendengar suaranya tabib ini merasa putus asa.
Ay Cun cia menghela nafas pula dan berkata.
"Aku tadinya mengira, karena dia masih kecil. Dia membawa sukanya kaucu, namun
tak disangka..." "Dia kecil, bahkan masih terlalu kecil." kata tabib Liok.
Siau Po bingung, dia tidak dapat membaca perkataan itu dan terdengar pula suara
Ay Cun cia. "Saudara Liok, karena hal ini akan terjadi, apa yang harus kita lakukan. Kita berjanji
susah dan senang kita tanggung bersama, bagi laki-laki sejati! Mati ya mati...!"
Siau Po menepuk tangan. "Ay Cun cia benar!" katanya. "Kalau seorang laki-laki sejati, apa yang harus ditakuti"
Aku tidak merasa takut. Oleh karena itu kalian tak perlu takut."
Liok Sin Se tertawa dingin.
"Siau Po tak tahu apa-apa," katanya dengan suara keras.
"Kau tidak tahu langit itu jauh dan bumi itu tebal. Nanti, setelah kau mengetahui apa
itu tak kau baru berkata itu biasa!" ia lalu menoleh pada Ay Cun cia dan berkata pula.
"Ay Cun cia tunggulah sebentar, aku akan memberikan pesan pada istri dan
keluargaku!" Habis berkata ia pun lalu masuk, Ketika le beberapa detik Liok pun ke luar, tampak
ada bel air mata di pipi nya.
Melihat demikian Ay Cun cia jadi tertawa. "Nyata terkaanku sama dengan terkaan
malaikat katanya." "Aku telah menduga bahwa suatu waktu akan datang hari yang seperti ini dan untuk
itu aku tak ingin menikah dan tidak ingin mempunyai anak, jadi bagiku tidak ada yang
diberati." Tabib Liok gusar hingga ia mengangkat sebelah tangannya dan mengancam. Siau
Po kaget sekali dan ia berseru.
Perlahan-lahan tabib Liok menurunkan tangannya yang sudah diangkat. Tampak
telapak tangannya sudah berubah warna kecoklatan, itu yang membuat Siau Po
menjadi khawatir. "Apakah pada waktu begini kita masih dapat bergurau?" tanya si tabib.
Ay Cun cia malah tersenyum, "Ya. Aku yang salah." ujarnya.
"Saudara Liok, mari bagi aku pil Tok Liong Wan buatanmu barang sebutir...!"
Tabib Liok mengangguk dan ia pun merogoh kantung untuk mengambil pil yang
diminta itu. "Asal obat ini sudah masuk ke dalam mulut dan tertelan, orang akan segera mati,
untuk itu jangan kau sembarang dalam menggunakannya!" ujarnya.
Ay Cun cia mengambil sebutir.
"Terimakasih!" katanya sambil tertawa. "Poan Tau To juga memandang jiwanya
sendiri berharga sekali."
Siau Po mengamati gerak-gerik orang itu, ia lalu sadar akan gentingnya suasana itu,
Selama mengalami perjalanan dari Siau Lim Pai, tampak nyata kegagahannya, akan
tetapi saat ini ia meminta pil racun untuk dirinya cuma disebabkan ia takut pada Hong
kaucu. Jadi ia pikir orang itu akan membunuh diri bila saatnya telah tiba, baru ia
mengerti keadaan dan ia pun takut.
Selagi mereka berjalan ke luar rumah Siau Po mendengar samar-samar suara tangis
dari dalam rumah itu. "Apakah Nona Pui tidak ikut bersama mereka?" pertanyaan itu yang didengar dari
dalam rumah, dan ia pun ingat pada Pui Ie.
"Kau masih begini kecil tapi sudah pandai bermain asmara." kata Ay Cun cia tertawa.
"Di gunung Ngo Tay san ada Song Ji dan di sini adapula Nona Pui."
Selesai berbicara dia memegang tangan Siau Po dengan tangan kirinya dan lalu
berkata dengan suara keras.
"Mari berangkat!" Lantas dia berjalan dengan langkah lebar ke arah timur.
Liok Sin Se mengikutinya dengan wajah suram dan terus mendampingi si kakek
gagah itu. Siau Po menjadi kagum sekali, Tak disangka si tabib yang berbadan lemah itu
ternyata mempunyai ilmu silat yang cukup sempurna dan itu terbukti dengan larinya
yang sangat cepat sekali.
Siau Po lalu berkata sendiri.
"Liok San Se, Ay Cun cia, kalian memiliki ilmu silat yang sangat sempurna, mengapa
kalian harus takut pada Hong Kau cu?"
Ay Cun cia mengulurkan tangan kanannya untuk membekap mulut Siau Po.
"Di atas pulau Sin Liong to ini kau berani mengeluarkan kata-kata dan kau
mendurhakai ini," tegurnya bengis, "Apakah kau sudah bosan hidup?"
Siau Po diam saja, dia hanya dapat mengeluarkan kata-katanya dalam hatinya saja
dan merasa dongkol. "Setan alas! Kau berani menyindir aku secara tajam. Apakah dengan demikian kau
dapat disebut seorang enghiong" Kau justru lebih hina dari anjing!"
Mereka bertiga menuju sebuah puncak gunung di sebelah timur pulau, puncaknya
tinggi dan ramping. Belum begitu lama mereka berjalan, Siau Po menyaksikan sesuatu
yang menggidikkan hatinya, Di segala tempat terdapat ular berbisa tetapi anehnya
kesemuanya takut pada Ay Cun Cia dan Liok sin she.
Dan setelah berjalan jauh mereka sudah hampir sampai, tampak di depan mereka
sebuah bangunan di atas puncak, Bangunan itu terbuat dari bambu dengan atap yang
besar. Di sana mereka dibawa dan tetap saja Ay Cun cia dan sang tabib itu berlari
seperti semula cepat dan tangkas.
Hanya beberapa waktu saja mereka telah sampai pada puncaknya dan mereka
disambut oleh empat orang anak muda yang tangannya saling berpegangan dan
semuanya menggendong pedang Usia mereka kurang lebih dua puluh tahun.
"Poan Tau To, mau apa bocah cilik ini?"
Dia masih muda, tapi memanggil Siau Po, A Cun dan tabib itu bocah.
Ay Cun cia menurunkan Siau Po yang sewaktu naik ke puncak digendongnya.
"Kaucu memerintahkan untuk memanggil Siau Po, beliau ingin menanyakan sesuatu
kepadanya." Dan dari arah lain datang tiga orang wanita berbaju merah. Mereka datang dengan
wajah berseri dan menanyakan kepadanya.
"Eh, Poan Tau To, apakah anak ini yang kau dapatkan dari istrimu yang di luar
pernikahan itu." Sambil berkata itu ia pun mencubit pipi Siau Po.
"Ah, Nona bergurau saja!" sahut Ay Cun cia.
"Anak ini sengaja dipanggil kaucu karena ada masalah penting yang akan ditanyakan
padanya." Baik anak muda itu maupun wanitanya memanggil "Poan Tau To" pada Ay Cun cia,
jelas mereka mengira ia bersenda gurau.
Seorang nona mencubit pipi kanan Siau Po sambil berkata.
"Anak ini mempunyai wajah yang tampan dan pasti ini anak dari Poan Tau dengan
wanita itu dan tak usah menyangkalnya."
Kalau tadi Siau Po diam saja, kali ini sudah tak tahan menerima penghinaan itu dan
ia pun berkata. "Akulah anak di luar pernikahan yang dilahirkan olehmu, Kau telah berlaku serong
dan main gila dengan Poan Tau To maka itu lahirlah aku."
Semua muda mudi itu diam saja dan mereka berdiri terpaku. Hebat perkataan bocah
itu, tetapi hanya sebentar dan mereka semuanya tertawa, lain halnya dengan si nona
yang menyapa itu, Wanita itu menjadi marah.
"Cis." Dia meludah dengan suara dongkol.
"Kau mau mampus yah!" Sambil berkata begitu tangannya melayang ke arah Siau
Po. Siau Po mengelit dari serangan itu.
Dan ketika itu pula, Datanglah segerombolan muda mudi yang mendengar berisik.
Mereka lalu mendekat dan menggoda si nona yang berwajah merah sedang menahan
amarah, Nona itu menyerang dengan tendangan ke arah pinggul Siau Po.
"Oh, ibu! Mengapa kamu menyerang anakmu?" seru Siau Po yang berkelit dan terus
menggodanya. Maka lagi-lagi mereka semua tertawa geli, justru itu mendadak terdengar suara
teriakan dan mereka semua berhenti tertawa lalu berlarian menuju rumah bambu.
"Kaucu cia hendak berkotbah." kata Ay Cun cia lalu membimbing Siau Po.
"Sebentar lagi kita akan menghadap kaucu cia dan kuminta agar kau jangan
sembarang berbicara!"
Siau Po mengangguk, di dalam hatinya merasa kasihan, muda mudi itu tadi sama
sekali tak menghormati pada Ay Cun cia.
Lalu dari keempat penjuru lari berdatangan ke gubuk bambu itu.
Tabib Liok dan Ay Cun cia menuntun Siau Po menuju rumah itu dan memasukinya.
Mulanya mereka berjalan di sebuah lorong panjang kemudian sampai di sebuah
ruangan, Ruangan itu besar sekali dapat memuat seribu orang.
Sudah lama Siau Po tinggal di istana, tapi tak pernah melihat ruangan yang sebesar
itu, Maka mau tak mau dia merasa hormat dan kagum.
Di dalam ruangan itu terdapat muda mudi, Mereka semuanya duduk berkelompok
menurut warna pakaian mereka yaitu, hitam, kuning, hijau, dan putih. Ada satu lagi
yaitu merah, dan itu yang dipakai oleh para wanitanya.
Semua muda-mudi itu memegang golok masing-masing, dan setiap kelompok terdiri
dari seratus orang atau lebih.
Di tengah-tengah Toa Tia terdapat dua buah kursi. Kursi itu juga terbuat dari bambu,
tetapi dihiasi dengan ukiran yang indah dan bagus serta dilapisi dengan alas sulam. Di
kanan dan kirinya berbaris puluhan orang laki-laki dan wanita, Usia mereka yang muda
kira-kira tiga puluhan, dan yang tua kira-kira lima puluh sampai enampuluh tahun,
Hanya mereka tidak memegang senjata.
Jumlah yang hadir kira-kira enam ratus orang, Ruangan itu sunyi bahkan yang batuk
atau berdehem pun jarang.
Siau Po heran dan berkata dalam hatinya.
"Sunggun gila! Sungguh bertingkah! ini berIebih-lebihan seperti seorang raja saja."
Tak lama kemudian terdengar suara gendang dipukul dan bersamaan dengan itu
terdengar pula derap suara kaki yang datangnya dari arah ruangan dalam menuju
ruangan tengah. Pikir Siau Po dalam hati. "Pastilah yang datang itu si kaucu, Hantu sedang keluar!"
Kira-kira yang muncul itu sepuluh orang pria yang usianya kurang lebih tiga puluh
tahun dan mengenakan pakaian dengan lima warna, Kemudian mereka menempati
tempat di samping kursi itu.
Lewat beberapa detik kembali terdengar suara gendang, dan kali ini disambut
dengan suara kelenongan yang mungkin jubahnya seratus buah.
Setelah suara kelenongan itu berhenti semua yang ada di ruangan itu bertekuk lutut
sambil berkata.

Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Semoga kaucu berbahagia dan panjang usia sama dengan langit!"
Siau Po ikut berlutut hanya tidak ikut dengan puji-pujian itu. Bahkan sebaliknya ia
mencuri pandangan hingga ia melihat dari ruang dalam muncul dua orang pria dan
wanita yang terus duduk berdampingan pada tempat yang telah disediakan itu.
Kembali suara kelenongan dan para hadirin bangun dari berlututnya secara
perlahan-lahan. Si laki-laki berwajah buruk sekali kumis dan janggutnya putih panjang sampai dada
serta pada wajahnya terdapat codet bekas luka, Siau Po pun menerka, mungkin ini
yang disebut kaucu atau raja agama.
Wanita yang mendampingi laki-laki berjanggu panjang itu sangat cantik, genit, penuh
senyum dan usianya kira-kira dua puluh limaan.
Dalam hati Siau Po berkata. "Wanita itu cantik dan lebih cantik dari kakakku."
Lalu di sebelah kirinya tampak seorang laki-laki membacakan sebuah surat dari
kertas hijau. "Membacakan dengan hikmat ajaran Hong kau cu karena pengaruhnya sudah
sampai keempat penjuru dunia bunyinya, kemustajaban pil emas sudah tak dapat
ditandingi lagi." Serentak para hadirin mengikuti pembacaan itu dengan suara keras.
Siau Po heran sekali, dia terkejut dan bagaikan guntur Siau Po mendengar kata-kata
itu. Si baju hijau membaca lebih keras lagi.
"Sunggun beruntung kita menemukan guru yang maha pandai, kita diajarkan
bersemedi dengan duduk bersila untuk menyingkirkan kesulitan agar kita dapat hidup
lebih lama." Di dalam hati Siau Po tertawa.
"lni mirip pembacaan doa oleh seorang pendeta, apa sih Kaucu." Kembali bacaan itu
diulangi oleh para hadirin dengan suara lantang.
Selesai membaca itu para hadirin menambahkan lagi. "Ajaran kaucu selalu kami
ingat dalam hati kami dan kami doakan agar kaucu panjang umur."
Diam-diam Siau Po memperhatikan para muda mudi. Mereka sangat bersungguhsungguh.
Lain halnya dengan si kaucu, dia tampak tenang saja dan dingin, Yang lebih
aneh lagi para wanitanya, mereka mengikuti dengan sungguh-sungguh tetapi sambil
senyum-senyum, Setelah itu suasana kembali tenang.
Dalam saat sunyi itu si wanita terus saja memandang ke barat dan timur, wajahnya
berseri dan berkata. "Hek Liong Su dari Hek Liong Bun hari ini telah tiba hari perjanjian dan untuk itu
silahkan kau persembahkan kitab-kitabmu!"
Suara wanita itu tenang tetapi jelas dan juga merdu, sangat indah didengarnya,
Kemudian ia menjulurkan tangan kirinya untuk menerima kitab yang ia sebutkan itu.
Siau Po mengamati tangan yang putih dan mulus itu hingga tak terasa ia pun berkata
dalam hatinya. "Wanita itu telah berusia cukup tua tetapi tidak ada cacatnya, jika saja ia menjadi
istriku,,., Coba pergi ke Li Cun Wan untuk jadi pelacur, pastil para hidung belang itu
pada lari ke tempat itu dan pastilah tempat itu akan penuh oleh orang itu dan
kemungkinan pintunya akan jebol karena terlalu banyak orang yang datang."
Setelah itu si tua maju dua langkah sembari membungkuk pada si nyonya itu dan
melaporkan. "Harap Hu Jin mengetahui Menurut berita dari kerajaan, sekarang ini sudah diketahui
di mana sebenarnya keempat jilid kitab itu dan sekara sedang dicari dengan
sungguhsungguh buat menuruti ajaran dari kaucu, Untuk itu kami tak menghiraukan jiwa kami,
pasti kitab tersebut akan dicari sampai dapat, guna dihaturkan pada kaucu serta Hu
Jin." Orang itu membahas tentang "Hu Jin" nyona yang dimuliakan. Dia berbicara dengan
suara bergetar, itu pertanda bahwa ia sangat takut sekali.
Si Hu Jin sebaliknya tersenyum dan ia berkata.
"Kaucu sudah menambah waktu tiga hari, Liong Su mengapa kau masih panik"
Kenapa kau tidak bekerja dengan sungguh-sungguh" Bukankah itu bertanda kau tidak
setia pada kaucu?" Hek Liong Su menjura dalam dan katanya, "Hamba telah menerima budi sangat
besar dari kaucu dan Hu Jin, biarkanlah tubuh ini hancur lebur, sebab budi itu sukar
untuk dibalas, Maka itu hamba tak berani untuk tidak bekerja dengan sungguh-sungguh,
sebenarnya hal ini sangat sulit, dari enam orang hamba yang diperintah menyelidiki
istana, dan dua diantaranya Song Beng Gi dan Liu Yan telah mengorbankan jiwanya
dan untuk itu hamba mohon agar Hu Jin dapat memberikan waktu yang cukup lama
lagi." Bagian 40 Mendengar disebut nama Liu Yan hati Siau Po bergetar.
Teranglah Liu Yan orang Sin Liong Kau, entah siapa itu Song Beng Gi apakah ia
bukannya si dayang keraton?"
Tengah Siau Po berpikir, si nyonya menggapai tangan kirinya memanggil Siau Po
sambil tertawa. "Eh, adik kecil kemarilah!" panggilnya.
"Aku," katanya, ia pun heran sekali.
Nyonya itu pun tertawa. "Benar." sahutnya, "Aku memanggil engkau."
Cepat-cepat ia menoleh pada tabib Liok dan Ay Cun cia yang ada di sampingnya
dengan bermain mata sebagai isyarat.
"Hu Jin memanggilmu Cepat kau pergi dan beri hormat!" kata si tabib.
Di dalam hati Siau Po berkata-kata.
"Aku tak mau menghormatinya, apa yang akan ia lakukan jika ia tidak memberikan
hormat padanya," tetapi ia tetap saja memberikan hormatnya seraya berkata.
"Semoga kaucu dan Hu Jin berbahagia dan panjang umur sama dengan langit!"
Hong Hu Jin pun girang sekali.
"Nak kau masih kecil tetapi kau cerdas sekali, Siapa yang mengajari kau kalau
disamping kaucu kau juga harus menghormatiku?"
Memang biasanya dalam Sin Liong Kau orang cuma memujikan ketua-nya, dan tak
pernah ada orang yang menambahkannya meskipun hanya satu kata, Maka untuk itu
Siau Po berlagak lain dari pada yang lain, dalam hati dia merasa tak puas tetapi dia
tidak menampakkannya. Dia melihat wanita cantik dan berpengaruh maka sudah selayaknya ia mengalah,
Demikian juga bila si nyonya yang cantik itu bertanya ia pun lalu menjawabnya.
"Kaucu, sudah sepantasnyalah jika usia Hu Jin harus sama dengan usia kaucu, jika
tidak nanti jika Hu Jin dipanggil yang maha kuasa tentunya kaucu merasa kesepian."
Hu Jin tertawa terpingkal-pingkal begitu juga kaucu, Sambil tertawa ia mengusap
jenggot dan kumisnya yang putih dan panjang itu.
Semua anggota Sin Liong Kau ngeri melihat mereka yang sebagai ketuanya itu,
bagaikan tikus melihat kucing, Mereka sudah ketakutan jikalau mereka salah dalam
berbicara. Tetapi melihat kaucu dan Hu Jin tertawa mereka jadi tenang dan ketegangan
mereka pun hilang. "Jadi itulah kata-kata yang kau tambahkan sendiri ?" kata sang ratu.
"Benar Hu Jin," sahut Siau Po.
"Kata-kata itu tak dapat dihindarkan, sebab di dalam tulisan batu yang mirip dengan
anak-anak katak itu juga terdapat nama Hu Jin."
Liok Sin Si kaget sekali mendengar ocehan Siau Po. Tubuhnya merasa dingin
bagaikan es karena si bocah telah menambahkan kata "Hu Jin" itu, ia sendiri sudah
menambahkannya, Siau Po benar-benar lancang sekali, Bukankah dengan demikian
rahasianya akan terbongkar"
Hong Hu Jin heran mendengar jawaban Siau Po.
"Kau bilang namaku terukir dalam tulisan itu." tanyanya,
"Benar," katanya, Di lain waktu dia sadar dan mengingat perintah yang mengatakan
agar ia menghapal kalimat tersebut Bersyukur sekali Siau Po karena Hu Jin tidak
menanyakan lebih jauh lagi.
"Kau Si Wi, datang dari pakia, bukan?" tanya si nyonya.
"Menurut Poan Tou To kau pernah bertemu dengan seorang nyonya gemuk yang
disebut Liu Yan, bahkan Liu Yan pernah mengajari mu ilmu silat, benarkah itu?" si
nyonya Hu Jin bertanya. Ditanya begitu Siau Po berpikir dengan cepat.
"Apa yang Hu Jin bicarakan dengan Ay Cun cia, Ay Cun cia telah menyampaikan
pada kaucu dan Hu Jin. Maka itu aku harus bersikap cepat karena Liu Yan sudah mati
dan saksinya tak ada?" Maka ia cepat menjawab.
"Benar, Bibi Liu dulu sahabat kekal pamanku, baik di waktu siang maupun di waktu
malam, ia sering ke rumahku."
Hong Hu Jin tertawa. "Mau apakah dia dengan kedatangannya itu?" tanyanya.
"Dia suka bergurau dengan pamanku, sering mereka merangkul satu dengan yang
lainnya, mereka menyangka aku tidak melihatnya tetapi aku sering mengintainya."
Hu Jin pun tertawa pula. Siau Po pandai sekali berbohong, Dia berpikir semakin banyak berbicara semakin
mudah untuknya berbohong, sebab ia mengira orang akan percaya akan kata-katanya
yang dilakukan secar wajar.
Lagi-lagi Hu Jin tertawa.
"Eh, Nak! Kau cerdik sekaii, begitu beraninya kau mengintip pamanmu yang sedang
berciuman dan berpelukan itu." ia lalu menoleh pada He Liong Su dan berkata.
"Nah, kau dengar atau tidak anak ini tak mungkin berdusta."
Diam-diam Siau Po melirik pada Hek Liong Su Dia melihat wajah orang itu menjadi
pucat dan menggigil, suatu tanda ia sangat ketakutan. Dia harus menjatuhkan diri dan
berlutut sambil mengangguk-angguk.
"Hamba... hamba kurang penilikan... hamba harus mati... hamba mohon kaucu dan
Hu Jin dapat memberikan ampunan pada hamba dapat menebus dosa ini...."
Siau Po merasa heran juga, Diam-diam dia berpikir dalam hatinya.
- Tua bangka ini aneh juga, Aku toh cuma mengatakan bahwa si Liu Yan berpelukan
dan berciuman dengan pamanku, apa hubungannya dengan dia ini" Mengapa dia jadi
demikian ketakutan" Hong Hu Jin tertawa. "Membuat jasa guna menebus dosa?" katanya "Jasa apakah yang kau miliki" Aku
mengira orang yang kau beri tugas itu sudah melaksanakan tugasnya dengan baik, Tak
disangka di kota kerajaan dia malah bermain asmara?"
Hek Liong Su mengangguk lagi berulang kali, bahkan kepalanya sampai membentur
batu sehingga dahinya berdarah.
Melihat demikian, Siau Po tidak sampai hati. Akan tetapi dia tidak menemukan katakata
yang baik untuk meredakan suasana.
Hek Liong Su merayap kehadapan kaucu.
"Kaucu" katanya, "Hambamu ini sudah cukup lama mengikuti kaucu bercapek lelah,
biar pun tidak berjasa apa-apa, banyak bahaya yang sudah hamba tempuh demi...."
Belum lagi kaucu itu memberikan jawaban apa-apa, Hong Hu Jin sudah tertawa
dingin. "Untuk apa kau menyebut-nyebut pekerjaanmu yang dulu-dulu?" tegurnya, "Usiamu
sudah begini tua, masih berapa tahun lagi kau sanggup menyumbangkan tenagamu
untuk kaucu" Karena itu, ada baiknya kau tidak usah menjabat lagi kedudukanmu
sebagai Hek Liong Su. Bukankah demikian lebih menyenangkan?"
Hek Liong Su mengangkat kepalanya untuk menatap sang kaucu.
"Kaucu!" katanya dengan suara bergetar "Apakah benar terhadap hambamu yang
lama yang sudah seperti saudaramu ini, kau tidak mempunyai sedikit pun rasa
menyayangi?" Sejak semula sikap Hong kaucu tetap tenang, dengan tawar dia menjawab.
"Di dalam partai kita banyak sekali orang-orang tua yang kerjanya sudah tidak
karuan, maka itu ada baiknya sejak sekarang kita mulai melakukan penertiban."
Inilah untuk pertama kalinya Siau Po mendengar suara si kaucu yang perlahan dan
kurang tegas, justru ketika otaknya sedang bekerja, terdengar para pemuda pemudi
memperdengarkan suaranya yang nyaring dan lantang.
"Ajaran kaucu senantiasa kami ukir dalam hati. Kami akan membangun jasa! Kami
akan mengalahkan setiap musuh agar dapat melindungi diri dan hidup panjang umur!"
Mendengar suara itu, Hek Liong Su menarik nafas panjang, Dengan tubuh masih
bergetar, dia bangkit "lnilah yang dinamakan, habis manis sepah dibuang!" katanya, "Kami merupakan
orang-orang yang sudah tua dan tidak berguna, memang sebaiknya kami mati saja!" dia
langsung memutar tubuhnya kemudian berkata kembali "Marilah!"
Empat pemuda sudah langsung maju ke depan, Tangan mereka masing-masing
membawa sebuah nampan kayu yang di atasnya terdapat sebuah kotak yang berisi
sejenis kopiah dari bahan kuningan
Mereka maju ke depan dan meletakkan nampan-nampan itu di hadapan Hek Liong
Su kemudian mereka kembali lagi ke tempat semula.
Begitu juga dengan orang-orang lainnya, mereka masing-masing menyurut mundur
dua langkah. Terdengar suara Hek Liong Su yang lantang.
"Ajaran Kaucu senantiasa kami ukir dalam hati! Kami akan membangun jasa! Kami
akan mengalahkan setiap musuh agar dapat melindungi jiwa kami dan hidup.... Hm!
Tapi, tidak apa-apa meskipun jiwaku yang tua ini tidak dilindungi."
Sembari berkata, Hek Liong Su memegang bagian atas dari sebuah kotak, kemudian
dia menariknya, Setelah itu dari dalam kotak tampak mencelat bayangan sesuatu benda
dan disusul dengan berkelebatnya sinar keputihan.
Ternyata cahaya dari sebatang golok yang membacok bayangan yang mencelat tadi
sehingga terkutung menjadi dua bagian dan terjatuh ke dalam nampan, namun masih
terus berkutik-kutik. Rupanya itulah seekor ular kecil panca warna.
Menyaksikan hal itu, Siau Po terkejut setengah mati, Dia bahkan sampai
mengeluarkan seruan tertahan. Lalu terdengar suara teriakan banyak orang.
"Siapa" Siapa yang berani menentang atasan. Bekuk dia! Siapa si murid murtad
yang berani menentang kaucu?"
Menyusul itu, terdengar suara Hong Hu Jin yang keras. "Ngo Liong Siau Lian! Lekas
turun tangan!" Ngo Liong Siau Lian yang dimaksudkannya ialah barisan pemuda "Lima Naga"
Ternyata nyonya itu tidak dapat dilihat dari sudut kecantikan ataupun sikapnya yang
centil. Begitu dia mengeluarkan suaranya yang keras, suara-suara bising lainnya
langsung sirap, sebaliknya para pemuda-pemudi itu langsung bergerak.
Hal ini membuktikan, bahwa selain wajahnya yang cantik dan sikapnya yang centil,
nyonya itu mempunyai tenaga dalam yang dahsyat. Suaranya mengandung pengaruh
yang besar. Begitu mendengar perintahnya, ratusan pemuda-pemudi langsung
menghunus pedangnya masing-masing sehingga timbullah suara berdesingan yang
riuh, Setelah itu mereka lantas mengurung para orang tua yang tadinya merupakan
rekan mereka juga. Semua pemuda-pemudi itu bergerak dengan rapi menurut warna seragamnya
masing-masing. Mereka terdiri dari kelompok-kelompok, Ada lima atau enam orang
yang mengepung satu orang tua.
Di bagian lain ada juga yang terdiri dari delapan atau sembilan orang, sedangkan
pedang mereka masing-masing mengancam bagian tubuh yang mematikan dari para
orang tua itu, Dengan demikian para orang tua itu seakan sudah tidak mempunyai jalan
untuk meloloskan diri lagi.
Tabib Liok dan Ay Cun cia juga tidak terkecuali, mereka juga ikut terancam.
Seorang imam berkumis hitam dan usianya kurang lebih lima puluh tahun tertawa.
"Hu Jin." katanya, "Entah berapa bulan waktu yang kau habiskan untuk melatih
barisanmu yang istimewa ini. Tapi kalau tujuannya untuk menghadapi para saudara
tuamu ini, sebetulnya tidak perlu kau sampai menggunakan cara ini!"
Begitu dia selesai berkata, dua dari delapan orang nona yang mengurungnya segera
maju selangkah dan mengancam dada orang itu dengan pedang masing-masing.
"Jangan kau bersikap kurang ajar terhadap Kaucu dan Hu Jin!" katanya garang.
Si imam tertawa lagi. "Hu Jin!" katanya kepada nyonya kaucu itu.
"Sebaiknya aku katakan terus terang bahwa naga Ngo Cay Sin Liong itu, akulah yang
membunuhnya." Yang ia maksudkan tentunya ular kecil panca warna tadi namun
disebutnya naga, "Kalau Hu Jin ingin menjatuhkan hukuman atas dosaku itu, silahkan
Hu Jin turun tangan kepada diriku! Harap jangan merembet orang lain yang tidak
bersalah!" Hong Hu Jin tersenyum. "Bagus! Kau telah mengakuinya sendiri!" katanya. "Totiang, bukankah selama ini
perlakuan kaucu terhadapmu tidak dapat dikatakan buruk" Bukankah kau telah
dipercayakan tugas Cia Lioi Bun, Ciang Bun Su" Bukankah kedudukan itu hanya di
bawah kaucu seorang, tapi di atas ribuan orang lainnya" Mengapa sekarang kau justru
berkhianat?" "Aku yang rendah sama sekali tidak berniat mengkhianati" kata si imam, "Hek Liong
Su To Yam Goat telah berjasa besar terhadap partai sekarang hanya karena kesalahan
kecil yakni kurang waspada terhadap sebawahannya, Hu Jin ingin merampas selembar
jiwanya, Tindakan Hu Jin ini benar-benar membuat aku tidak puas. Aku mohon agar
kaucu dan Hu Jin memberikan keringan kepadanya!"
Hong Hu Jin tertawa kembali. "Bagaimana kalau aku menolaknya?".
Sejak semula selalu si nyonya muda ini yang berbicara, sedangkan kaucunya hanya
diam saja. "Sin Liong Kau dibangun oleh kaucu," sahut Bu Kin Tojin. "Tetapi, di samping itu,
kami ribuan saudara lainnya juga turut berjasa dengan mempertaruhkan nyawa bekerja
tanpa menghiraukan marabahaya, Semula jumlah kita semuanya ada seribu dua puluh


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tiga orang, sampai sekarang orang lama hanya tersisa beberapa ratus saja, Saudara
kami yang lainnya telah tiada, ada yang terbinasa di tangan musuh, ada juga yang
dihukum mati oleh kaucu sendiri.
Karena itu, aku mohon kaucu sudi mengampuni jiwa kami yang sisanya tidak
seberapa ini, Pecatlah kami dan keluarkanlah kami dari partai! Apabila kaucu dan Hu
Jin sudah jemu melihat kami yang sudah tua-tua ini, serta berniat memakai orang-orang
baru, silahkan kaucu dan Hu Jin mengusir kami agar kami berlalu dari sini!"
Hong Hu Jin tertawa dingin.
"Semenjak partai Sin Liong Kau didirikan, belum pernah ada orang yang keluar dari
partai dalam keadaan hidup-hidup, Karena itu, Bu Kin tojin, tidaklah kata-katamu itu
luar biasa sekali?" "Kalau begitu, apakah berarti Hu Jin tidak sudi menerima baik permintaan kami?"
kata Bu Kin tojin. "Maaf! partai kita tidak mempunyai peraturan seperti itu." sahut si nyonya tegas.
Bu Kin Tojin tertawa terbahak-bahak.
"Kalau begitu, tentunya Hu Jin dan kaucu akan membunuh habis kami semuanya."
katanya nyaring. Hong Hu Jin hanya tersenyum.
"Tidak sepenuhnya betul." katanya, "Para anggota yang sudah tua, asalkan masih
setia terhadap kaucu, tetap kami anggap sebagai saudara. Kami tidak mementingkan
usia muda atau tua, yang penting kesetiaannya, Nah, sekarang kalian semua dengar!
Siapa yang masih setia kepada kaucu, silahkan angkat tangan!"
Si nyonya langsung bertanya kepada para anggota partainya. Para muda-mudi yang
jumlahnya ratusan orang itu langsung mengacungkan tangannya. Para orang tua yang
terkepung itu pun ikut mengangkat tangannya tinggi-tinggi, tidak terkecuali Bu Kin
tojin. Kemudian terdengar suara teriakan dari para anggota partai itu,
"Kami semua setia terhadap kaucu, Kami tidak akan berhati dua."
Bahkan Siau Po pun ikut mengangkat tangannya. Hong Hu Jin yang menyaksikan
keadaan itu langsung menganggukkan kepalanya.
"Bagus sekali." katanya gembira, "Rupanya setiap orang setia terhadap kaucu,
Bahkan adik kecil yang baru datang ini pun tidak terkecuali ia juga mengatakan
kesetiaannya." Mendengar ucapan si nyonya muda, Siau Po berpikir dalam hati.
- sebetulnya aku hanya setia kepada si kura-kura dan si jahanam hina dina, Hong Hu Jin berkata kembali.
"Semuanya setia kepada kaucu, Kalau begitu, di sini tidak terdapat seorang
pengkhianat pun, Benarkah" Bukankah keadaannya jadi tidak tepat" Karena itu, aku
harus menanyakannya satu persatu dengan teliti, Saudara sekalian, sudilah kiranya
kalian menyerahkan diri di belenggu sementara!"
"Baik." sahut beberapa ratus pemuda-pemudi itu.
"Tunggu dulu!" tiba-tiba terdengar suara lantang seorang pria, Tubuhnya tinggi besar
dan orangnya penuh wibawa.
"Hai, Liong Su!" sapa Hong Hu Jin. "Apakah kau mempunyai pemikiran yang
sempurna?" "Pemikiran yang sempurna memang tidak ada." sahut orang yang ditegur.
"Apa yang hamba pikirkan adalah masalah ketidakadilan."
"Hm! Hm!" Si nyonya muda mengeluarkan suara mengandung keheranan "Apakah
kau bermaksud mengatakan bahwa tindakanku ini tidak adil?"
"Hal itu, hamba tidak berani mengatakannya." sahut pria tinggi besar itu, "Hamba
telah mengikuti kaucu selama dua puluh tahun, selama itu persoalan apa pun, hamba
selalu ke depan, tidak pernah menyurut mundur.
Ketika hamba mempertaruhkan nyawa demi partai ini, bocah- bocah yang hadir di
sini pasti belum lahir, Karena itu, mengapa mereka yang masih muda mendapat
prioritas dengan dikatakan setia terhadap kaucu, sedangkan kami yang tua tidak?"
"Dengan kata-katamu ini, Pek Liong Su, berarti kau telah membeberkan jasamu
sendiri." katanya, "Sama saja artikan kau mengatakan, bahwa tanpa jasamu Tio Ci
Leng si Naga Putih, Sin Liong Kau tidak dapat berdiri sampai sekarang, bukankah
begitu?" Orang bertubuh tinggi besar itu memang bernama Tio Ci Leng. Dia segera
menjawab. "Berdiri serta bertahannya Sin Liong kau sampai sekarang ini, semuanya berkat jasa
kaucu sendiri Kami semua hanya memberikan sedikit bantuan, tidak pantas di katakan
sebagai jasa, Akan tetapi...."
"Akan tetapi apa?" tukas Hong Hu Jin.
"Akan tetapi, kalau kami yang sudah tua ini dikatakan tidak mempunyai jasa apa-apa,
anak-anak yang masih bau kencur ini." sahut Ci Leng dengan berani.
"Usiaku sendiri belum mencapai tiga puIuh, apakah aku juga terhitung orang yang
belum mempunyai jasa apa-apa. Mendirikan partai dan menjalankannya itu jasa kaucu
sendiri." Tidak tampak kegusaran pada mimik wajah Hong Hu Jin. Dia hanya berkata dengan
perlahan. "Kalau semua memang tidak ada jasanya, seandainya kau kubunuh, tentu kau juga
tidak akan penasaran, bukan?"
Tiba-tiba sinar mata nyonya muda ini menyorotkan kebencian dia berteriak.
"Kalau hanya aku orang she Tio yang di bunuh, tidak apa. Tapi aku khawatir, bila kau
membunuh para menteri-menteri yang setia dan sudah lama mengikuti kaucu, maka Sin
Liong Kau akan hancur di tanganmu seorang."
"Bagus! Bagus!" seru si nyonya muda, sikapnya masih tenang sekali "Aih, aku
merasa letih sekali."
Kata-kata itu di ucapkan dengan seenaknya. orangnya pun tampak lesu, siapa tahu
rupanya itulah isyarat rahasia untuk segera melaksanakan hukuman, Tujuh orang
pemuda segera menghunjamkan pedangnya ke tubuh si Naga Putih, Ketika pedang
mereka di cabut kembali, darah pun ber-cipratan ke mana-mana,
"Kaucu, kau... tega seka... li!" seru Tio Ci Leng. Hanya sekian kata-katanya dan
tubuhnya roboh di atas tanah dengan jiwa melayang, sedangkan ke tujuh pemuda itu
sudah kembali ke tempatnya semula.
Sebetulnya Tio Ci Leng terhitung salah satu anggota yang lihay sekali dari Sin Liong
Kau, tapi ketika ke tujuh pemuda itu menikamnya, dia tidak berdaya sama sekali, Hal ini
membuktikan bahwa ilmu ketujuh pemuda itu sudah dilatih sedemikian rupa sehingga
mencapai kesempurnaan. Hong Hu Jin menguap, dengan tangan kirinya dia menutup bibirnya yang mungil
seperti buah ceri, Tampaknya dia mengantuk serta letih sekali.
Bagaimana dengan Hong kaucu" dia tetap berdiam diri seperti tidak melihat
bagaimana Tio Leng dibinasakan.
Kemudian dengan sikap seenaknya pula Hong Hu Jin bertanya.
"Chi Liong Su, Oey Liong Su, bagaimana pendapat kalian tentang Pek Liong su yang
berani berniat berkhianat" Bukankah dia sudah selayaknya mendapat hukuman atas
dosanya itu?" Seorang tua yang tubuhnya pendek segera menjura dan berkata,
"Sebenarnya niat Pek Liong Su berkhianat kepada kaucu dan Hu Jin sudah
berlangsung lama. Beberapa kali hamba melaporkan hal ini kepada Hu Jin, tetapi Hu
Jin selalu mengatakan, selaku sesama saudara, Hu Jin ingin membiarkan saja agar
tersadar dengan sendirinya, Kaucu dan Hu Jin ya berhati mulai masih berharap dia
insyaf dengan kesalahannya itu dan dapat memperbaiki diri. Siapa tahu hatinya yang
busuk dan tidak selayaknya mendapatkan pengampunan sekarang dia telah menerima
hukuman yang pantas baginya, sesungguhnya kami semua bersyukur atas tindakan Hu
Jin dan kaucu ini!" Mendengar ucapan si kate itu, Siau Po berpikir dalam hati.
-- ini dia yang dinamakan si raja menepuk-nepuk kempolan kuda! -Hong Hu Jin tersenyum.
"Ternyata Oey Liong Su pandai melihat suasana. Nah, Chi Liong su, bagaimana
pikiran Anda?" Seorang tua berusia kurang lebih lima puluhan tahun dan bertubuh tinggi
memandang bengis kepada delapan pemuda yang mengurung dan mengancamnya.
Dia berkata dengan suara keras.
"Kalian semua mundur! Kalau kaucu hendak membunuh aku, kalian kira aku tidak
dapat melakukannya sendiri?"
Delapan pemuda itu bukannya menyurut mundur, mereka malah menjulurkan
pedangnya sehingga menempel di dada orang.
Orang jangkung kurus itu tertawa dingin beberapa kali, Dengan perlahan dia
mengangkat tangannya untuk memegang leher bajunya, kemudian dia berkata dengan
suara lantang. "Kaucu! Hu Jin! Dahulu hambamu bersama ke empat Ciang Bun Su Merah, Putih,
Hitam, dan Kuning telah mengangkat tali persaudaraan Kami bersatu hati untuk menjual
jiwa demi Sin Liong Kau, tak disangka sekarang bisa ada kejadian seperti hari ini"
Kalau Hu Jin ingin membinasakan aku si orang she Kho, sama sekali tidak aneh. Yang
aneh ialah kakek tua she In yang memangku jabatan Oey Liong Su ini, dia tamak akan
kehidupan, takut menghadapi kematian. Maka barusan dia telah mengucapkan katakatanya
yang hina dan busuk, Dia telah memfitnah saudaranya sendiri."
Berkata sampai di situ, tiba-tiba si jangkung kurus merobek bajunya sendiri sehingga
koyak menjadi dua bagian kemudian dilepaskannya dan secepat kilat diayunkannya ke
depan seperti selembar selendang.
Dalam sekejap mata dia sudah berhasil merampas dua batang pedang, Tanpa
berhenti sedikit pun, tangannya yang sudah menggenggam pedang digerakkan secepat
kilat. Di lain saat ke delapan pemuda yang berdiri di hadapannya dan mengepungnya
sudah roboh di atas tanah bermandikan darah dan mati seketika, Gerakannya sungguh
hebat dan mengagumkan. Hong Hu Jin terkejut sehingga dia berjingkrak bangun dari kursinya, Dia menepuk
kedua belah tangannya, dua puluhan pemuda berseragam hijau dengan pedangnya
masing-masing segera menghadang di depan Chi Liong Su, sedangkan beberapa puluh
pemuda lainnya langsung mengambil sikap mengepung.
Chi Liong Su atau si Naga Hijau tertawa terbahak-bahak.
"Oh, Hu Jin!" serunya nyaring, "Kawanan bocah asuhanmu ini semuanya dogol
sekali. Sungguh kecewa kaucu mengandalkan mereka untuk menghadapi musuh."
Sungguh luar biasa juga ketenangan kaucu Sin Liong Kau itu. Tadi, ketika ke tujuh
pemudanya membinasakan Pek Liong Su, dia seakan tidak melihatnya, sekarang Chi
Liong Su berbalik membunuhi delapan orang anggotanya yang muda, dia juga diam
saja, dia seperti tidak menghiraukan kejadian apa pun.
Ketika Hong Hu Jin melihat sikap suaminya, dia menjadi jengah sendiri. Akan tetapi,
dia menabahkan hatinya dan tetap tersenyum Kemudian dengan tenang dia duduk
kembali di kursinya. "Chi Liong Su!" katanya, "llmu pedangmu lihay sekali Hari ini aku...."
Belum habis ucapan si nyonya, tiba-tiba terdengar suara yang memusingkan
suasana yang mencekam, karena beratus-ratus pedang di tangan pemuda pemudi itu
terlepas sendiri dan secara aneh sekali berjatuhan di atas tanah.
Ketika orang-orang lainnya masih merasa aneh, para pemuda pemudi itu pun terkulai
di atas tanah menyusul jatuhnya pedang-pedang mereka, Para anggota yang tenaga
dalamnya lebih mahir roboh belakangan dengan tubuh terhuyung-huyung terlebih
dahulu, Tiba-tiba saja mereka merasa kepalanya pusing, matanya berkunang-kunang dan
kedua lututnya menjadi lemas seperti orang yang kehabisan tenaga dan tidak sanggup
lagi berdiri "Ka,., lian kenapa?" teriak si nyonya muda yang langsung berjingkrak bangun roboh
kembali dan melorot dari atas kursinya.
Chi Liong Su tetap berdiri tegak, Kedua pedang yang berhasil direbutnya dari para
pemuda tadi masih digenggamnya erat-erat, Dia mengeluarkan suara tertawa dingin
kemudian berkata. "Kaucu! Kau telah membinasakan saudaramu sendiri secara kejam, Siapa sangka
akan datang hari seperti ini bagimu."
Kata-katanya ditutup dengan dibenturkannya kedua batang pedang di tangan kanan
kirinya sehingga menimbulkan suara yang nyaring, Setelah itu, dia berjalan ke depan
melewati para pemuda yang terkulai di atas tanah untuk menghampi ketuanya.
"Hm! Belum tentu!" sahut si ketua yang baru memperdengarkan suaranya kembali
Tangannya segera bergerak, palang kursi yang terdapat bagian belakang tempat
duduknya langsung ditarik dan terputus lalu dicekal erat-erat olehnya.
Chi Liong Su terkejut setengah mati sehingga tanpa sadar kakinya menyurut mundur
satu tindak, diam-diam dia berpikir
-- Hebat kaucu ini! Ternyata dia dapat melawan pengaruh obat! Aku harus mencari
jalan membiarkannya agak lama sehingga dia roboh sendiri,., -- Karena itu, untuk
mengulur waktu, dia sengaja berkata, "Kaucu! Sin Liong Kau begini besar dan
berpengaruh tetapi sekarang menjadi hancur lebur seperti ini, sebenarnya siapakah
yang menyebabkannya " Tentunya kaucu sudah mengerti sendiri, bukan?"
Hong kaucu mengeluarkan seruan tertahan dan tubuhnya merosot jatuh bersama
kursinya, Dia terduduk di atas lantai disebabkan kaki kursi itu patah sendiri.
Menyaksikan keadaan itu, senang sekali hati Chi Liong Su, Dia langsung menerjang
ke depan. Tepat pada saat itulah, Serrrrr, Sreettt! Sebuah benda menyambar ke arah dada si
Naga Hijau ini sehingga dia terkejut setengah mati, Dengan gesit dia menggerakkan
pedangnya dan berhasillah dia menyelamatkan diri karena benda itu terpapas kutung
olehnya. Ternyata benda itu sebuah pegangan kursi yang ditimpukkan si kaucu dengan
tenaganya yang terakhir Karena kayu itu kena dikutungkan ujung yang satunya tetap
meluncur Si Naga Hijau yang baru saja merasa lega karena mengira dirinya telah bebas
dari ancaman, langsung menjerit ngeri karena dadanya telah tertikam kutungan kayu
itu. Enam potong tulang rusuknya patah dan tembus sampai ke paru-parunya.
Saking kaget dan nyerinya, Chi Liong Su menjerit keras-keras, namun baru sampai
setengah jalan, pernafasannya telah tertutup, mulutnya tidak sanggup menimbulkan
suara lagi, dan tubuhnya terhuyung-huyung sesaat kemudian dia pun roboh.
Yang sial justru dua orang pemuda yang sedang roboh tidak berdaya, Kedua batang
pedang yang tadinya digenggam si Naga Hijau jatuh menancap di tubuh mereka
sehingga mereka berkaok-kaok kesakitan namun tidak sanggup bangun atau pun
menyelamatkan diri. Para pemuda yang roboh di atas lantai itu menyaksikan kegagahan si kaucu,
serentak mereka bersorak kembali menyatakan pujiannya.
Hong kaucu berusaha untuk bangun, tangan kanannya menumpu pada lantai, kaki
kanannya digerakkan juga, tetapi tetap saja dia tidak sanggup melakukannya. Kedua
kakinya terasa lemas sekali. Dia roboh kembali bahkan tubuhnya berguling seperti labu
air. Menyaksikan hal itu, sadarlah para pemuda itu bahwa kaucunya telah menjadi
korban semaca racun yang digunakan pihak lawan.
Tapi yang roboh bukan hanya para pemuda beserta kaucu dan Hu Jinnya saja,
orang-orang yang tua pun ikut roboh. Dilain detik, setelah sekian lama yang berdiri
tinggal satu orang saja, Dia bertubuh kecil, bahkan termasuk kate, tetapi setelah
semuanya roboh di atas lantai, dia justru menjadi orang yang paling jangkung di antara
yang lainnya. Dia jadi mirip seekor burung bangau di antara burung-burung kecil
lainnya. Dialah Wi Siau Po, thay-kam kita, Mulanya dia berdiri terpaku sebab dia heran sekali
atas peristiwa yang berlangsung di hadapannya, Baru kemudian dia sadar lalu cepatcepat
menarik tangan tabib Liok.
"Liok Sin Se, bagaimana ini?" tanyanya bingung.
Si tabib sendiri juga heran. Karenanya, dia bukan menjawab malah bertanya.
"Eh, apa kau tidak keracunan?"
"Keracunan?" tanya si bocah, "Aku.,, tidak tahu,.,."
Ketika masih merasa heran, Siau Po membantu si tabib bangun dan berdiri Tetapi
kemudian menegakkan tubuhnya sedikit, tabib itu langsung terjatuh kembali.
Ketika itu, Chi Liong Su masih belum mati, Dia dapat bergerak dan berusaha bangun,
Tubuhnya terhuyung-huyung, mulutnya mengeluarkan suara gumam yang tidak jelas,
Dia juga terus terbatuk-batuk.
Liok Sin she memperhatikan orang itu.
"Saudara Kho," tanyanya, "Racun apa yang kau gunakan?"
"Sayang... sayang.." sahut orang she Kho itu, Dia bukannya menjawab tapi
menggumam seorang diri, "Sayang usahaku cuma berhasil sebagian, akhirnya toh aku
gagal juga... sayang,., aku sudah tidak berguna lagi..."
"Apakah kau menggunakan Sip Hiang Joan atau Cian Li Siau Hun?" tanya Liok Sin
Se. "Ataukah itu racun Hoa Hiat Hu Kut Hun?"
Ketiga obat yang ditanyakannya semua merupakan racun. Di waktu menyebut nama
obat yang terakhir, si tabib jadi menggidik sendiri, terang dia merasa takut sekali.
Chi Liong su terluka pada bagian paru-paru kanannya, Dia terus terbatuk-batuk,
sebab itu dia tidak dapat menjawab pertanyaan si tabib. Liok Sin si pun menoleh
kembali kepada tamunya, si bocah tanggung.
"Eh, eh, Wi Kongcu," tanyanya, "Mengapa kau tidak terkena racun" Oh, ya."
Mendadak dia berhenti berkata, seakan ada suatu ingatan yang melintas dalam
benaknya. "lya, aku ingat sekarang, Pada ujung pedang pendek itu telah kuolesi obat
Pak Hoa Hok. Wi Kong Cu, coba kau cium ujung pedangmu! Bukankah berbau wangi
bunga?" "Ujung pedang itu ada racunnya, mana sudi aku menciumnya." kata Siau Po dalam
hati tetapi ia menjawab. "Sekarang aku mencium wangi bunga yang begitu menyengat."
Mendengar jawaban itu, Liok Sin Se menjadi sangat senang.


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Benar-benar Pak Hoa Hok!" serunya.
"Obat itu kalau dipakai dan ditelan serta bercampur dengan darah akan berbau
harum yang sangat keras sekali, Sebab yang dipakai sari wangi-wangian. Dan yang
menciumnya akan mendapatkan kesegaran dari wanginya itu, Namun kami yang tinggal
di pulau ini memakainya untuk mengobati orang yang terkena ular berbisa, Namun
sebaliknya, jika wangi-wangain itu tercampur dengan arak warangan, akan
menyebabkan orang menjadi lemas selama seharian Saudara Kho memang bagus
sekali dan sebenarnya Pak Hoa Hok itu benda terlarang, Siapa tahu kau telah
menyimpannya secara diam-diam. Dan bukankah sudah beberapa bulan ini kau tidak
minum Hong Hok Tau Yung Cu itu."
Ci Liong Su duduk merebahkan diri di samping seorang anak muda. Atas pertanyaan
itu ia menggelengkan kepala dan ia sangat menyesali lalu berkata.
"Perhitungan manusia tak dapat melawan nasib dan takdir Akhirnya aku pun terkena
tangan beracun itu."
"Oh, murid jahanam yang berhati besar." Dia mendamprat anak muda.
"Bagaimana kau berani-beraninya menyebutku dengan nama suci dari kaucu?"
Chi Liong Su tertawa dingin sambil perlahan ia bangun dari duduknya, lalu
mengambil sebilah pedang, kemudian langkah demi langkah ia mendekati Hong kaucu.
"Apa?" katanya.
"Tak dapatkah kau menyebut nama Hong An Tong" Aku justru akan
membinasakannya mengapa aku tak dapat menyebut nama itu?"
Lewat beberapa detik terdengarlah suara dari dalam yaitu suara si naga sakti.
"Kakak, jika kau berhasil membunuh Hong An Tong, kami semua akan
mengangkatmu menjadi kaucu dari Sin Liong Kau. Mari ramai-ramai kita menyebutkan
Khau kaucu, kami setia dan tidak berhati dua!"
Hanya sejenak keadaan menjadi sunyi dan tak lama kemudian berkatalah semua
yang hadir di situ. "Kami bersedia menerima perintah dari Khau kaucu, Kami semua akan setia dan tak
akan berhati dua!" Suara itu tidak sama, ada yang keras ada puIa yang lembek.
Chi Liong Su berjalan beberapa langkah, dia luka parah tetapi masih ingin
membinasakan ketuanya yang jahat itu.
Tiba-tiba Hong Hu Jin tertawa cekikikan.
"Chi Liong su, kau telah kehabisan tenaga, katanya.
"Lihat kakimu sudah mengucurkan darah, begitu pula dadamu, sebentar lagi kau
akan kehabisa darah, Duduk, duduklah! Kau hidup pun percuma mendingan kau mati,
Kalau kau sudah mati baru kau merasakan enak sekali," katanya.
Kau Sou Teng, demikian Ching Liong su memberikan suaranya.
"Oh,., Oh.,." Beberapa kali ia mengungkapkannya lalu jatuh terduduk dan tak bangkit
lagi, Namun pikirannya masih tetap sehat dan cepat sadar karena jika ia tetap duduk
saja tak mungkin dapat membunuh Hong kaucu di antara mereka yang jumlahnya
ratusan itu, Hong kaucu saja yang tenaganya paling mahir, karena itu pasti hanya dia
yang mampu menghilangkan racun itu, dan dia pula yang akan menolong kawan-kawan
mereka dari racun itu dan mereka semua akan merasa menjadi tangan kanannya kaucu
itu. "Liok... Liok Sin Se, tolong kau berikan aku pilihan mana yang harus aku jalani
karena aku sudah tak dapat bergerak lagi, coba kau tolong pikirkan sesuatu untuk aku!"
Liok Sin Se tidak menjawab dan ia hanya berkata pada Siau Po.
"Wi kaucu itu sangat jahat dan kejam kalau dia dapat menghilangkan racun ular itu
dari dalam tubuhnya ia akan membinasakan kita semua, Kau pun tak akan dapat hidup
lebih lama lagi karena itu kau harus dapat membinasakan kaucu dan istrinya Hu Jin!"
Kata-kata itu telah dapat menginsapkan dirinya dan karena itu ia lalu mengambil
pedang dan melangkah dengan ringan sekali ke arah kaucu.
Berkata pula Liok Sin si.
"Wi Kong Cu awas dengan Hu Jin ia pandai membuat orang hilang ingatan, jangan
pandang wajahnya terutama matanya! jangan percaya dengan kata-katanya karena itu
dapat membuatmu menjadi celaka, dan pertama kau datang hadiahkan untuknya
sebuah tusukan atau tebasan pedangmu itu!"
"Ya," sahut Siau Po yang maju terus pada Hu Jin.
Sementara itu Hu Jin menatap terus anak it terutama matanya.
"Hai anak kecil! Coba kau bilang aku cantik atau tidak," katanya.
Suara itu terdengar sangat merdu dan orangnya pun sangat lemah lembut serta
gerak-geriknya sangat bagus.
Hati Siau Po merasa berdebar dan ia ingin melihat mata dan wajah Hu Jin yang
cantik itu tetapi ia sadar akan teriakan Ay Cun cia.
"Jangan lihat matanya itu mata celaka yang akan menghancurkanmu!"
Siau Po terkejut lalu ia memejamkan matanya
Hong Hu Jin tertawa perlahan dan berkata.
"Anak kecil coba kau buka matamu dan lihat mataku! Di mataku ada bayang-bayang
dirimu." Siau Po sangat tertarik sekali ingin membuka matanya tetapi ia masih dapat
menahan diri untuk tidak melihat, Anak tanggung itu sudah siap menghunjamkan
pedangnya, namun tiba-tiba.
"Kakak yang baik jangan bunuh dia!" itu teriakan yang suaranya sangat ia kenali.
Sambil membatalkan tikamannya itu ia menoleh mencari arah suara itu.
Tampak di sebelah kiri tergeletak seorang nona cantik bergaun merah, Nona itu
ternyata Sio Kuncu Bhok Kiam Peng yaitu seorang putri pangeran Bhok dari In Lam, ia
sangat terkejut sekali mengapa putri itu ada di markas Sin LiongKau dan dalam
keadaan seperti itu pula.
Siau Po cepat-cepat menghampiri nona bangsawan itu dan membantunya untuk
bangun. "Eh Nona, mengapa kau berada di sini?"
Nona bangsawan itu tidak menjawab pertanyaan Siau Po, malah dengan nada
bingung ia berkata. "Kau tak dapat membinasakan Hu Jin dan kau pun tak dapat membinasakan
kaucu...!" Siau Po diam dan ia terus menatap nona itu.
"Apakah kau telah masuk ke dalam Sin Liong Kau?" tanyanya heran. "Dan mengapa
kau bisa jadi begini?"
Kiam Peng bersandar pada tubuh Siau Po. Nona itu sangat lemas dan mulutnya
yang mungil itu dekat dengan kuping Siau Po dan ia berkata.
"Aku minta pada kakak sudi kiranya kakak mengabulkan permintaanku Yaitu kakak
jangan membunuh Hu Jin dan juga kaucu, Jika saja Su Ci ada di sini tentu ia pun
memohon padamu untuk tidak membunuhnya."
"Su Ci" adalah kakak seperguruannya yang perempuan.
Siau Po terdiam, ia sangat senang sekali karena nona bangsawan itu telah lama
tidak berjumpa dan kali ini ia berada dalam dekapannya bahkan mulutnya yang mungil
itu berada di telinganya.
"Bagaimana sekarang" Jika aku tak membunuh kaucu, nanti setelah ia terbebas dari
racun itu ia yang akan membunuh aku," kata Siau Po yang memeluk nona itu dan
berbicara di telinganya. "Kau menolong kaucu dan Hu Jin, mana mungkin ia mau membunuhmu."
Siau Po berpikir, benar juga kata-kata itu namun ia memikirkan tabib Liok, Ay Cun cia
dan Bun Kin Tojin, Bukankah ia akan dibinasakan oleh kaucu, Liok Sin Si dan Ay Cun
cia adalah sahabat barunya yang baik sedangkan Bun Kin Cun adalah imamnya yang
sangat gagah. Tidakkah sangat disayangkan jika mereka itu sampai dibinasakan ole
kaucu dan Hu Jin" "Yang paling baik, jangan membunuh kaucu dan Hu Jin tetapi juga dia harus dapat
melindung kawan-kawannya bertiga.,." demikian pikirnya.
"Kami semua orang-orang Hu Jin," kata Kiam Peng dengan suara berbisik, "Kalau
Chi Liong Su berhasil mempengaruhi yang lainnya dan ia diangkat menjadi kaucu, kita
semua pasti tidak bisa hidup lebih lama lagi."
"Kau benar, istriku yang baik!" kata Siau Po "Aku pasti akan membantumu." Dia
mencium pipi kiri si nona yang halus.
Kiam Peng menjadi jengah sehingga wajahnya merah padam. Tapi matanya
Pendekar Lembah Naga 20 Si Rase Kumala Giok Hou Ko Kiam Karya S D Liong Imam Tanpa Bayangan 1

Cari Blog Ini