Pedang Sinar Emas Kim Kong Kiam Karya Kho Ping Hoo Bagian 7
Kakek itu menudingkan telunjuknya ke makam yang segi empat. "Kuburan ini adalah makam dari seorang perwira yang gagah perkasa, perwira Han yang bernama Song Hak Gi dan yang terbunuh oleh barisan Ang bi tin. Kasihan sekali, dia seorang yang gagah dan mulia, aku pernah kenal padanya dan ia benar benar seorang yang suka menolong orang orang lain. Sayang sekali nasibnya amat buruk sehingga ia tewas beserta seluruh keluarganya oleh barisan Ang bi tin."
Setelah melihat ke kanan kiri, kakek itu menyambung. "Sungguh kejam barisan Ang bi tin yang dipimpin oleh Ngo jiauw eng! Aku merasa bersukur bahwa belum lama ini Ngo jiauw eng terbunuh oleh orang orang gagah di kota raja."
Jilid IX SIAN HWA, merasa hatinya tertusuk mendengar ini. Ia semenjak kecil dipelihara dan diaku anak oleh seorang tokoh Ang bi tin! Baiknya kakek ini tidak tahu bahwa dia adalah puteri dari Panglima Bucuci, pemimpin Ang bi tin yang terkenal! Ngo jiauw eng yang diceritakan kakek itu hanya anak buah saja dari ayah angkatnya !
"Dan kubuaran yang bundar ini, lopek?"
"Aku sendiri tidak kenal orangnya, siocia. Hanya aku mendengar dan orang lain bahwa ini adalah kuburan seorang kauwsu (guru silat)"
Pucatlah muka Sian Hwa mendengar ucapan ini. Tanpa disadarinya ia melangkah maju dan memegang tangan kakek itu. "Lopek, lekas katakan. Siapakah nama guru silat itu?"
Kakek itu terheran heran dan setelah berpikir pikir sejenak ia berkata. "Namanya aku sendiripun tidak tahu. Hanya aku pernah mendengar bahwa ia disebut Can kauwsu dan menjadi sahabat baik dari perwira Song Hak Gi, dan...."
Akan tetapi Sian Hwa tak menunggu lagi sampai kakek itu selesai bicara. Saking terharunya, gadis ini menjatuhkan diri dan berlutut di depan kuburan yang berbentuk bundar itu dan tak dapat ditahan lagi air matanya membanjir keluar dari sepasang matanya, mengalir turun di sepanjang pipi nya. Ia menggigit bibirnya agar jangan sampai mengeluarkan suara tangisan dan keluhan, akan tetapi hatinya menjerit jerit..
"Ayah"..!"
Kakek itu menjadi makin bingung melihat sikap nona yang berpakaian indah dan berwajah seperti bidadari ini. Juga beberapa orang pengunjung kuburan itu kini mulai dalang mendekati karena merekapun merasa heran siapakah gerangan nona yang menangis di depan dua kuburan yang selama ini tak pernah dikunjungi orang itu.
"Siocia, siapakah kau"." Apakah hubunganmu dengan mereka ini"..?" Kakek itu berlutut pula dan bertanya dengan suara halus, penuh hati kasihan.
Sian Hwa mengangkat mukanya dan menyusut air matanya dengan ujung lengan bajunya. Ketika ia melihat orang orang berkerumun mendekatinya, sambil memandang dengan mata penuh perhatian dan ikut terharu, ia lalu berkata,
"Cu wi sekalian harap tinggalkan aku. Tidak ada apa apa yang patut ditonton!" Ucapannya ini biarpun halus, akan tetapi mengandung perintah dan orang orang itu lalu mengundurkan diri dan meninggalkannya, kecuali kakek tadi.
"Lopek, dapatkah kau menceritakan kepadaku bagaimana tewasnya Can kauwsu ini dan di mana?"
Kakek itu menggeleng gelengkan kepalanya yang sudah beruban. "Menyesal sekali, siocia. Hal ini sudah terjadi belasan tahun yang lalu dan selain aku seorang agaknya tidak ada yang mengenal perwira she Seng ini, apalagi mengenal Can kauwsu .Keadaan di kota Tong seng kwan sudah berubah banyak. Adapun Can kauwsu ini kabarnya tewas ketika membela perwira perwira yang diserang oleh Ang bi tin, akan tetapi oleh siapa aku sendiri tidak tahu. Tentu saja matinya di kota Tong seng kwan, karena semua korban yang terkubur di sini adalah korban korban yang tewas di kota itu."
"Dan keluarganya, lopek" Bagaimana dengan keluarga mereka dan khususnya keluarga Can kauwsu?"
Kembali kakek itu menggelengkan kepalanya sambil menghela napas.
"Seperti sudah kukatakan tadi, keluarga Song ciangkun telah dibasmi semua seperti juga keluarga para perwira lain. Aku sendiri tidak kenal siapa yang menjadi keluarga Can kauwsu, akan tetapi tak dapat salah lagi, keluarga merek a pun tentu telah binasa semua." Tiba tiba kakek itu memandang tajam kepada Sian Hwa. "Kecuali kalau kebetulan pada hari itu ada keluarganya yang berada di luar kota. Siocia, kau menaruh perhatian kepada dua keluarga Song dan Can, apakah kau masih keluarga mereka?"
Sebelum Sian Hwa dapat menjawab, terdengar ribut ribut dan nampak semua pengunjung kuburan itu berlari lari keluar melarikan diri dan tempat itu. Ketika Sian Hwa mengangkat kepala, ia melihat ayah tirinya mendatangi bersama Liem Swee dan Pat jiu Gram ong! Ia menjadi terkejut sekali dan cepat menjatuhkan diri berlutut di depan suhu nya yang memandang kepadanya dengan kening berkerut,
"Sian Hwa, kau benar benar anak yang membikin pusing orang tua," kata Bucuci sambil menggeleng gelengkan kepalanya."Semalam suntuk aku bingung mencari carimu, tidak tahunya kau berada di tempat ini!"
Ketika kakek ini melihat siapa yang datang, ia menjadi pucat sekali dan tubuhnya gemetar seperti orang sakit demam. Alangkah kagetnya mendengar ucapan Bucuci, karena tidak disangkanya sama sekali bahwa gadis ini yang tadi bercakap cakap dengan dia adalah puteri dari tokoh besar yang ditakuti orang lebih lebih dari iblis itu. Panglima Bucuci! Dengan hati berdebar dan kaki menggigil, kakek itu lalu merangkak pergi dari situ.
"He, tunggu kau!" Bucuci membentak dan hampir saja kakek itu terjengkang saking kagetnya.
Ia cepat berlutut dan mengangguk anggukkan kepalanya sampai menyentuh tanah.
"Hamba menanti perintah, Loya....."
"Apa saja yang kau obrolkan dengan siocia ?"
"Ti.... tidak apa apa, loya...." jawab kakek itu dengan suara menggigil dan gagap.
"Betul betul tidak ada apa apa lagi" Awas, kalau membohong, kau sekarang juga akan kutanam hidup hidup di kuburan ini!" Bucuci membentak lagi
"Tidak....tidak ada apa apa lagi, loya .... Ampunkan hamba...."
Tiba tiba Sian Hwa menoleh kepada kakek itu dan berkata dengan tenang,
"Lopek, sudahlah. Kau pergi dari sini, aku yang tanggung kau takkan diganggu."
Kakek itu memandang kepadanya dengan penuh terima kasih, kemudian berdiri dan pergi cepat cepat bagaikan dikejar harimau dari tempat itu. Akan tetapi ia keliru sangka kalau mengira bahwa ia telah terlepas begitu mudahnya dari tangan Bucuci, karena tak lama setelah tiba di rumah, seorang perajurit utusan Bucuci telah datang dan menghujani pertanyaan kepadanya sambil mengancam dan memukul, memaksa ia mengakui segala percakapan yang terjadi antara dia dan nona cantik tadi.
"Sian Hwa, perbuatan apakah yang kaulakukan ini" Apa artinya kau malam malam meninggalkan rumah dan tahu tahu berada di kuburan buruk dan kotor ini?" terdengar Pat jiu Giam ong dengan suaranya yang besar itu menegur.
"Maaf, suhu. Ini adalah urusan pribadi dari teecu bersama ayah tiri teecu," Sian Hwa menjawab.
Pat jiu Giam ong mengeluarkan suara dari hidung. "Hm, jawabanmu ini tidak tepat dan bahkan kurang ajar, Sian Hwa. Kau harus ingat bahwa sebagai gurumu saja, aku sudah berhak untuk mengetahui segala sepak terjangmu. Apalagi aku bukan hanya gurumu, bahkan calon ayah mertua mu. Tidak patut kau menyembunyikan sesuatu dari padaku."
Sian Hwa dapat mengerti alasan ini, maka terpaksa ia menjawab juga. "Suhu, salahkah bagi teecu untuk mencari makam ayah sendiri" Harap suhu suka menjawab pertanyaan ini."
Pat jiu Giam ong melirik ke arah Bucuci yang diam saja sambil cemberut, kemudian sambil mengelus elus jenggotnya, jenderal yang bertubuh tinggi besar ini berkata. "Hm, tentu saja tidak."
Girang hati Sian Hwa mendengar suhunya tidak menyalahkannya.
"Nah, untuk keperluan itulah teecu meninggalkan rumah. Ayah tiri dan ibu teecu tidak mau memberitahukan, maka terpaksa teecu meninggalkan rumah untuk mencarinya sendiri dan sekarang teecu telah menemukannya."
"Mana" Yang mana kuburan ayahmu?"
"Inilah dia," Sambil menuding ke arah kuburan yang terlantar itu Sian Hwa bangkit berdiri, akan tetapi ia lalu menubruk kuburan itu sambil menangis.
"Lihatlah suhu.... kuburan demikian buruk tak terawat, apakah teecu berhak untuk hidup dalam kemewahan dan membiarkan kuburan ayah teecu seperti ini....?""
"Sian Hwa, kau tentu telah tahu; Ayahmu terkubur di sini dan tidak terawat makamnya, karena kebetulan sekali ayahmu memihak pemberoniak Ayahmu telah mengambil jalan sesat dan kau sebagai puterinya akan berjasa dan dapat menebus dosa ayahmu kalau kau dapat menjadi seorang baik baik yang setia kepada pemerintah," kata Pat jiu Giam ong dengan suara berpengaruh.
"Akan tetapi .... dia .... betapapun juga, dia adalah ayahku, suhu ....! Tak mungkin teecu dapat melihat makam ayah seperti ini."
"Sudahlah, Sian Hwa. Aku sendiripun tidak tahu di mana makam ayahmu itu. Sekarang setelah aku tahu, apakah susahnya memperbaikinya" Aku akan membuatkan bongpainya dan menyuruh orang merawatnya baik baik. Mari kita pulang, kalau hal ini sampai terdengar oleh orang lain, bukankah akan tercemar nama baik keluarga kita?" Bucuci membujuk anak angkatnya.
"Ayahmu benar, Sian Hwa. Mari kita pulang, kau harus taat kepada ayahmu, gurumu dan juga ayah mertuamu!" Pat jiu Giam ong berkata membantu Bucuci. Dengan hati tertekan dan amat terpaksa Sian Hwa menyusut kering air matanya dan dengan tindakan berat ia meninggalkan kuburan itu, mengikuti ayahnya dan gurunya.
"Sumoi, jangan terlampau bersedih. Hal hal yang sudah lewat, perlu apa disedihkan" Paling baik, orang orang muda seperti kita harus memandang ke arah masa depan dengan penuh kegembiraan!" Di jalan, Liem Swee dengan suara penuh kasih sayang berkata kepada tunangannya. Akan tetapi ucapan ini bukannya menghibur hati Sian Hwa, bahkan mendorong keluarnya air mata dari kedua mata gadis itu. Diingatkan akan masa depan, terbayanglah wajah Bun Sam di depan mata Sian Hwa dan masa depan gadis ini amat suram. Ya, bahkan gelap sekali!
Biarpun hatinya selalu dirundung duka, namun Sian Hwa amat giat dan rajin melatih ilmu silat di bawah asuhan gurunya. Bahkan ia lebih rajin daripada dulu, sehingga diam diam Pat jiu Giam ong merasa girang sekali. Dengan ketekunannya yang luar biasa, Sian Hwa perlahan lahan dapat melampaui kepandaian suhengnya, yakni Liem Swee atau tunangannya. Tak pernah gadis ini menyebut nyebut tentang ayahnya lagi, bahkan terhadap ibunya sendiripun tak pernah ia bertanya lagi. Akan tetapi, baik Bucuci maupun.Kui Eng isteri nya, maklum bahwa gadis itu sekarang mengandung rasa tidak senang atau setengah dendam kepada mereka. Kui Eng merasa sedih sekali melihat sikap Sian Hwa, karena sesungguhnya Kui Eng mencintai Sian Hwa seperti anaknya sendiri. Sian Hwa masih percaya bahwa Kui Eng adalah ibunya yang sejati, percaya bahwa ibunya ini adalah isteri dari Can kauwsu yang telah dibunuh oleh barisan Ang bi tin, ia merasa benci kepada ibunya yang dianggapnya benar benar tidak setia. Suami dibunuh oleh pasukan Ang bi tin, akan tetapi ibunya bahkan lebih suka diambil isteri oleh Bucuci seorang panglima Ang bi tin. Ia tidak suka lagi kepada Bucuci dan kalau saja ia tidak ingat akan kebaikan ayah tirinya itu yang dilimpahkan kepada nya semenjak kecilnya, tentu ia telah menaruh hati benci kepada Bucuci. Ia tidak bisa membenci seorang yang telah berlaku baik terhadapnya semenjak kecil, akan tetapi iapun tak dapat memaafkan seorang panglima Ang bi tin yang telah membunuh ayahnya.
Bulan bulan berlalu cepat dan setahun telah lalu semenjak peristiwa di atas. Kepandaian Sian Hwa telah meningkat cepat sekali dan sekarang ia telah mewarisi ilmu pedang dari Pat jiu Giam ong yang paling sempurna, yakni Ilmu Pedang Pat kwa Sin kiam hwat. Juga dari calon mertuanya ini ia menerima pedang pusaka dari Hoa san pai, yakni pedang Oei giok kiam (Pedang Kemala Kuning) yang gagangnya terhias dengan batu batu kemala berwarna kuning. Sebenarnya pedang ini adalah hadiah dari calon ibu mertuanya atau isteri dan Pat jiu Giam ong, seorang murid tersayang dan Hoa san pai.
Sikap Sian Hwa terhadap Liem Swee biasa saja dan selalu ia menolak kalau Liem Swee hendak bersikap mesra kepadanya. Biarpun di luarnya ia seakan akan tak pernah menolak pertunangannya dengan suhengnya ini akan tetapi di dalam hatinya ia tak pernah melupakan janjinya kepada Bun Sam bahwa ia selama hidupnya takkan menikah dengan pemuda lain.
Diam diam Sian Hwa selalu gelisah kalau mengingat tentang pertunangan ini. Dan saat yang ditakut takuti itu akhirnya tiba juga. Pada suatu hari, ia diberi tahu oleh ayah bundanya bahwa gurunya telah menetapkan hari pernikahannya dengan Liem Swee, yakni pada permulaan musim chun (musim semi ) yang akan tiba dua bulan lagi.
Bukan main kaget dan cemasnya hati Sian Hwa. Ia menerima warta ini dengan muka pucat, kemudian ia menangis sambil menubruk ibunya Kui Eng menjadi heran sekali. Selama setahun lebih, yakni selama gadis itu marah kepadanya, sekembalinya dari kuburan di Tong seng kwan, jarang sekali Sian Hwa mau bicara kepadanya kalau tidak ditanya. Sekarang anak itu menubruk dan merangkul sambil menangis. Timbul pula kasih sayang dalam hati Kui Eng dan dengan air mata mengalir iapun mengelus elus kepala Sian Hwa. "Anakku, anakku sayang, mengapa kau menangis" Bukankah warta ini sebetulnya harus kau terima dengan gembira?"
"Ah, ibu.... mengapa aku dilahirkan di dunia ini kalau hanya untuk menghadapi kekecewaan dan kedukaan belaka?"
Bucuci mendengar ini sudah hampir marah, akan tetapi Kui Eng mengelapkan matanya kepada suaminya itu, minta Bucuci meninggalkan mereka berdua. Sambil bersungut sungut Bucuci pergi dari kamar itu.
"Tenanglah, Sian Hwa. Sebetulnya, telah lama sekali ibumu merasa gelisah sekali melihatmu. Apakah yang kau susahkan, nak" Aku tahu bahwa kau merasa tidak senang kepada ayah bundamu. Kau tidak senang kepada ayah tirimu karena ayah tirimu adalah seorang panglima Ang bi tin yang telah membunuh ayahmu. Dan kau merasa kecewa melihat ibumu yang sudi menjadi isterinya, bukan?"
Sian Hwa memandang kepada ibunya yang kini mengalirkan air mata sambil teisak isak. Ia menjadi terharu dan memeluk ibunya itu sambil menangis. "Ah, ibu.... Ibu.... agaknya akan lebih baik kalau kita dahulu ikut saja dengan ayah....."
Mendengar ini, Kui Eng teringat akan suami dan puteranya yang tewas dalam tangan para gerombolan Ang bi tin, maka tangisnya makin menjadi. Kasihan sekali anak ini, pikirnya.
"Sian Hwa, yang sudah sudah tak perlu di ingat lagi. Sekarang ibumu telah menjadi isteri ayah tirimu dan biar bagaimana juga, harus kita akui bahwa sebagai suami dan ayah, ia adalah seorang yang cukup baik. Penderitaanku sudah cukup banyak dan hidupku hanya karena mengharapkan dapat melihat kau berbahagia, anakku. Sekarang kau menghadapi pernikahan dengan suheng mu itu, yang berarti kau akan terlepas dari pengawasan ayah ibumu. Bukankah ini hal yang menggembirakanmu" Kau akan hidup dengan suamimu yang cukup gagah dan tampan, bahkan menjadi kawan bermain mu semenjak kecil. Mengapa kau sekarang menjadi berduka" Soal ibumu, tak usah kau pikirkan, nak. Aku sudah cukup banyak penderita, sudah cukup tua, sehingga hanya tinggal menanti ajal saja menyusul ayahmu."
"Ibu"!" Sian Hwa memeluk leher ibunya dan menciumi muka yang mulai berkeriput, akan tetapi masih nampak cantik itu. Kui Eng mengelus elus rambut puterinya dengan penuh kasih sayang seorang ibu.
"Ibu, harap jangan marah dan berduka, ibu. Sesungguhnya.... aku tidak bisa dan tidak mau menjadi isteri Liem suheng...."
Kui Eng terkejut sekali dan cepat ia memegang kepala anaknya lain menatap wajah gadis itu yang pucat.
"Sian Hwa, apa artinya ucapanmu ini....." ?" tanyanya cemas.
Untuk beberapa lama Sian Hwa tak dapat menjawab. Berat hatinya untuk membuat pengakuan kepada ibunya, akan tetapi di dalam dunia ini, selain ibu kandungnya, siapa lagi yang dapat dimintai pertimbangan" Siapa pula yang akan membelanya dalam keadaan terjepit ini"
"Ibu, ampunkan anakmu, ibu."
"Sian Hwa, anakku sayang, mengapa kau ragu ragu" Aku tahu bahwa kau mempunyai kesukaran dalam hatimu. Sudah lama aku dapat menduga hal ini. Beritahukanlah kepada ibumu, nak biar kita bersama mencari pemecahannya" katanya sambil membelai rambut anak angkat yang telah menjadi anak sendiri ini.
"Ibu, sesungguhnya, ...... aku telah bersumpah takkan mau menjadi isteri siapapun juga, kecuali ...." Sian Hwa menahan kata katanya lagi. Benar benar berat lidahnya untuk menyebut nyebut nama Bun Sam.
"Kecuali apa, Sian Hwa" Teruskanlah," desak Kui Eng.
"Aku telah bersumpah hanya mau menjadi isteri Bun Sam !"
Benar benar nyonya itu terkejut sekali dan juga terheran heran. Belum pernah ia mendengar nama ini selama hidupnya.
"Bun Sam...." " Siapakah dia, nak?"
"Ibu tidak tahu siapa dia. Dia...., dia pernah dua kali datang di taman ini. Dia... dia pemuda gagah perkasa, murid dari Kim Kong Taisu...." Makin terkejut ketika Kui Eng mendengar ini. Ia pernah mendengar bahwa pemuda murid Kim Kong Taisu adalah pemuda yang dulu datang membikin ribut di kota raja
"Sian Hwa! Bagaimana kau bisa tersesat sejauh itu" Bukankah pemuda yang kau sebutkan namanya tadi yang dulu membikin ribut di kota raja" Bukankah dia seorang penjahat" Ah, nak, mengapa kau merendahkan dirimu sampai begitu jauh."
"Ibu jangan salah sangka, Bun Sam adalah seorang pendekar muda dan gagah perkasa dan berhati mulia. Sama sekali bukan panjahat. Ibu ingat saja keadaan ayah, bukankah ayah juga dibunuh dan dianggap sebagai seorang pe njahat pula" Bukankah sebetulnya ayah adalah seorang guru silat yang gagah perkasa dan pembela rakyat" Mengapa ia dianggap pemberontak jahat dan dibunuh?"
Mendengar jawaban ini, Kui Eng memeramkan matanya. Ah" anak ini tidak tahu bahwa orang yang dianggap ibunya ini sebenarnya bukanlah ibunya yang asli. Suaminya adalah seorang perwira, bukan seorang yang disebut Can kauwsu itu!
"Sudahlah, Sian Hwa, jangan kau sebut sebut tentang hal itu lagi. Sekarang bagaimana baiknya" Kau harus tahu bahwa semenjak dahulu kau telah ditunangkan dengan suhengmu. Bagaimanapun juga, menurut pandanganku, kau sudah cocok menjadi isteri Liem Swee. Anak itu cukup baik dan kedudukan ayahnya amat tinggi. Kalau kau menjadi menantu Liem goanswe tidak saja derajatmu naik, bahkan orang tuamu juga mendapat kehormatan besar sekali. Anakku, mengapa kau hendak mengacaukan rencana yang sudah amat baik ini?"
Sian Hwa menarik dirinya dari pelukan ibunya dan dengan mulut cemberut ia berkata manja. "Ibu tidak mau membelaku! Semua orang di dunia ini memusuhiku belaka!" Memang Sian Hwa semenjak kecil sudah dimanja oleh ibunya yang amat mengasihinya.
"Bukan memusuhimu, nak. Ibumu selalu memikirkan untuk kebahagiaanmu. Coba sekarang kau jelaskan mengapa kau tidak mau menjadi isteri Liem Swee dan mengharapkan menjadi jodoh seorang petualang seperti pemuda yang mengacau di kota raja itu. Nah, selanjutnya bagaimana" Apakah yang harus kita katakan kepada Liem goanswee" Kau menyeret kedua orang tuamu ke jurang kehancuran dengan keputusanmu yang bodoh ini, anakku!" Kui Eng benar benar menjadi cemas memikirkan keadaan ini.
Kini Sian Hwa telah dapat menguasai keharuannya. Hatinya telah tetap untuk menentang siapa pun juga yang hendak memaksanya menikah dengan Liem Swee. Ia berdiri tegak dan berkata dengan tenang.
"Ibu, aku takkan menikah dengan Liem snheng dan habis perkara" Aku akan menanggung semua akibatnya. Ibu dan.... ayah boleh memberi tahukan kepada suhu bahwa aku tidak mau menikah."
"Anakku, tahukah kau bagaimana Liem Swee akan marah sekali" Dan ayahmu tentu akan menerima bencana dari keputusanmu ini " Ah, apakah yang harus kita lakukan?" ibunya berkata bingung.
"Kalau tidak ada jalan lain, aku akan.... minggat saja, ibu!" kata Sian Hwa pula dengan keras hati dan suara tetap.
"Ah, anakku, bagaimana kau sampai mengambil keputusan begitu" Kenapa kau hendak pergi" Apa kaukira akan dapat melarikan diri dari Liem goanswe" Ke manapun kau pergi, tentu ia akan dapat mengejarmu!"
"Kalau begitu, apabila dipaksa paksa, aku.... aku akan.... membunuh diri, ibu! Aku lebih suka mati daripada dipaksa kawin dengan Liem suheng!"
Kui Eng menahan pekiknya dan menubruk anaknya sambil menangis.
"Jangan" Sian Hwa.... jangan begitu nekat.... ya Tuhan, apakah yang harus kulakukan" Jangan, nak, berjanjilah bahwa kau takkan mengambil keputusan nekat, berjanjilah! Ibumu akan mencarikan jalan yang baik untukmu."
"Ibu, biarpun aku tahu bahwa dengan Bun Sam aku tak mungkin berjodoh, namun aku telah bersumpah di dalam hati takkan menikah dengan orang lain. Aku takkan begitu bodoh membunuh diri kalau ada jalan lain. Kita lihat saja perkembangannya nanti," jawab Sian Hwa dengan suara bulat.
"Tunggulah, biar aku membicarakan hal ini dengan ayahmu, jangan kau mengambil keputusan pendek, tidak baik dan berdosa, nak."
Dengan muka pucat Kui Eng lalu meninggalkan kamar itu untuk menemui suaminya Bucuci yang mendengar keputusan Sian Hwa, tentu saja menjadi marah sekali dan mencak mencak.
"Anak keparat !" makinya.."Sejak kecil dipelihara, disayang dan dimanja, setelah besar mendatangkan bahaya! Ah, celaka, kalau tahu begini, dulu dulu sudah kucekik lehernya."
"Sabarlah, suamiku, sabar. Anak itu sekarang telah dewasa, kepandaiannya telah tinggi dan kau sendiri pernah menyatakan bahwa kepandaian mu pun sudah kalah olehnya. Ia berhati keras dan kalau kalau sampai ia membunuh diri seperti ancamannya lalu bagaimana....?""
Setelah memaki maki habis habisan, Bucuci lalu berkata. "Hal ini hanya Liem goanswe saja yang bisa membereskan. Sekarang juga aku akan melaporkan hal ini kepadanya,"
Pergilah Bucuci meninggalkan isterinya yang segera mendatangi Sian Hwa lagi, membujuk bujuk nya. Akan tetapi keputusan Sian Hwa sudah bulat.
"Jangan khawatir, ibu. Biar kita tunggu bagaimana keputusan dari suhu. Memang benar bahwa aku adalah muridnya, akan tetapi sebagai guru dia belum berhak untuk memutuskan nasib hidupku selanjutnya."
Pada sore harinya, datanglah Liem goanswe Pat jiu Giam ong ini benar saja menjadi marah besar ketika mendengar laporan Bucuci.
"Dasar anak pemberontak!" seru jenderal ini sambil mendelik. "Siapa sih yang begitu tergila gila untuk mengambil menantu kepadanya" Akan tetapi, untuk penolakannya ini berarti pembatalan pertunangan dan juga merupakan penghinaan terhadap aku! Bagaimana dia berani bersikap begitu" Kurang ajar sekali murid dari Kim Kong Taisu!"
Ketika ia berada di rumah Bucuci dan Sian Hwa dipanggil menghadap, jenderal ini memandang kepada muridnya dengan mata penuh hawa marah. "Sian Hwa?" bentaknya. "Dari siapa kau memperoleh kepandaianmu selama ini?"
"Dari suhu." jawab Sian Hwa sambil menundukkan mukanya. "Hm, bagus! Kau masih ingat bahwa aku adalah suhumu. Tahukah kau apa kewajiban seorang murid terhadap gurunya?" Suara Pat jiu Giam ong mengguntur, tanda bahwa ia marah sekali.
"Seorang murid harus tunduk kepada suhu nya dan mentaati semua nasehat dan perintahnya."
"Eh, kukira kau sudah lupa akan semua itu, tidak tahunya kau masih ingat. Bagus, bagus, Sian Hwa. Ada peribahasa orang orang gagah menyatakan bahwa It gan ki jut, su ma lam twi (Sekali perkataan dikeluarkan, empat ekor kuda takkan dapat menarik kembali)! Kau telah ditunangkan dengan suhengmu, sudah menjadi keputusan matang antara orang orang tua dan kau tadipun menyatakan bahwa sebagai murid kau harus taat kepadaku, mengapa aku mendengar hal hal yang gila dan aneh dari ayahmu" Benar benarkah kau mengingkari janji pertunanganmu dan menolak untuk menjadi isteri Swee ji ?"
Kini timbul ketabahan hati Sian Hwa, ia mengangkat mukanya yang pucat dan dengan pandang mata tak gentar ia berkata kepada Pat jiu Giam ong. "Maaf, suhu, Teecu sama sekali tidak merasa bahwa teecu mengingkari janji atau menarik kembali kata kata. Urusan pertunangan dijadikan oleh ayah tiriku ketika teecu masih belum tahu apa apa sama sekali, bukan merupakan janji teecu sendiri. Oleh karena itu, kalau teecu menolak sekarang, bukan berarti bahwa teecu menarik kembali janji, karena teeeu tak pernah berjanji! Adapun tentang nasehat dan perintah suhu, yang manakah yang pernah tidak ditaati oleh teecu?"
Bukan main marahnya hati Bucuci, akan tetapi di depan Pat jiu Giam ong ia tidak berani banyak bicara. Adapun Liem goanswe sendiri walaupun merasa dadanya panas, namun ia masih menyabarkan diri.
"Memang selama ini kau selalu taat, bahkan mempelajari ilmu silat dengan tekun dan memuaskan hati suhumu. Akan tetapi, sekarang aku sebagai suhumu telah menyetujui tentang perjodohanmu dengan anakku. Kalau kau menolak, ini dapat juga berarti bahwa kau membangkang terhadap perintah suhumu, Sian Hwa, sekali lagi, kuminta kau berpikir waras dan tidak mengadakan penolakan yang bukan bukan.....!"
"Maaf, suhu. Dalam hal pernikahan yang selanjutnya akan menjadi dasar kehidupan teecu, terpaksa teecu tidak dapat mentaati permintaan suhu. Oleh karena hal ini menyangkut kehidupan teecu, maaf saja kalau teecu tidak dapat menurut!"
"Sian Hwa, kau harus malu! Biarpun kau tak usah mendengarkan omongan gurumu tentang hal pernikahan, akan tetapi pernikahan diputuskan oleh orang tua. Ayahmu sudah menyetujuinya." .
"Dia bukan ayahku, suhu, hanya ayah tiri!"
"Dan ibumu juga sudah setuju!"
"Ibu terlalu lemah, selalu menurut kehendak ayah tiriku!"
"Kurang ajar !" Liem goanswe kini benar benar marah. "Sian Hwa, kau calon menantuku, muridku yang tadinya kukasihi, kau hendak merendahkan namaku dan membikin malu keluargaku" Tahukah kau bahwa penolakanmu berarti kau menghina kepada keluarga Liem" Apakah benar benar kau muridku telah tergila gila kepada murid Kim Kong Taisu" Alangkah rendah dan hinanya!"
"Suhu....!" Sian Hwa mengangkat muka dan menatap wajah suhunya dengan sinar mata berapi api.
Pat jiu Giam ong mengebutkan lengan baju nya ke bawah dan terdengar suara keras. Ternyata bahwa batu lantai telah pecah terpukul oleh ujung lengan bajunya itu!
"Sian Hwa, bantahannya ini memutuskan perhubungan kita sebagai guru dan murid! Aku tidak perduli apa apa lagi, hanya ingat, kalau fihak keluargamu berani menghinaku dan membatalkan perjodohan ini, aku takkan tinggal diam. Akan kuberi rasa kepada mereka yang berani menghina ku! Kalau perlu, akan kubinasakan semua keluarga yang menghina keluargaku. Aku sudah bicara, terserah kalian mengambil keputusan!" Setelah berkata demikian, Pat jiu Giam ong lalu melangkah keluar dengan tindakan lebar dan muka merah saking marahnya!
Sian Hwa yang ditinggalkan, menundukkan mukanya. Bucuci membanting banting kakinya.
"Celaka, celaka! Bagaimana aku begini bodoh dan menolong seorang anak durhaka semacam ini" Aku bersusah payah menolongnya, mencegahnya dari kebinasaan, memeliharanya sampai besar, tahu tahu sekarang dia menjadi sebab bencana yang menimpa padaku. Ah, anak bedebah, lebih baik aku mengadu jiwa dengan kau!" Sambil berkata demikian, Bucuci lalu menubruk maju, menimbulkan suara kerincingan dari baju perangnya. Dengan tangan kanan ia memukul kepala Sian Hwa dan tangan kirinya menotok ulu hati gadis itu. Inilah serangan pukulan Ji liong ta san (Dua Naga Memukul Gunung) yang hebat luar biasa, karena baik tangan kanan maupun tangan kiri merupakan pukulan maut yang disertai tenaga lweekang sepenuhnya!
Sian Hwa tidak berani berlaku lambat melihat datangnya pukulan yang berbahaya ini. Cepat ia menghindarkan dirinya dan mengelak dengan gerakan Yan cu twi cauw (Burung Walet Pulang Sarang). Akan tetapi Bucuci yang sudah marah sekali, lalu melanjutkan serangannya dengan ilmu pukulan bertubi tubi yang semuanya dilakukan dengan penuh kegemasan dan mengandung bahaya maut. Sian Hwa cepat mempergunakan ginkangnya yang tinggi, berputar putar dan melakukan gerakan Jiauw ouw poan oan, yakni tindakan berputar putar yang lincah sekail untuk mengelak dan pukulan bertubi tubi itu. Kadang kadang ia terpaksa menangkis dengan jari jari tangannya yang dijepretkan.
"Ayah, aku tidak mau bertempur melawan engkau," kata gadis itu.
"Anak durhaka, jangan menyebut ayah, aku bukan ayahmu!" bentak Bucuci.
"Baik, Panglima Bucuci. Kalau demikan kehendakmu, akan tetapi tetap saja aku tidak sampai hati membalas seranganmu!" Sambil berkata demikian, Sian Hwa mengerahkan tenaganya dan setiap kali menangkis pukulan, ia mengerahkan lweekangnya, sehingga Bucuci merasa betapa tangannya sakit sakit dan tulang tulangnya seperti mau patah.
Pada saat itu, muncul Kui Eng yang menjerit jerit mencegah pertempuian itu. Melihat kenekatan Bucuci, tanpa memperdulikan keselamatannya sendiri Kui Eng menyerbu di tengah tengah untuk melarang suaminya menyerang Sian Hwa.
Bucuci sudah mata gelap, maka ketika menyerang ia tidak melihat lagi dan tiba tiba sebuah pukulannya dengan tepat mengenai dada kanan Kui Eng. Nyonya itu menjerit dan terguling roboh. Mulutnya mengeluarkan darah segar.
"Ibu....!" Sian Hwa menjerit, lalu dengan marah ia memukul ke arah Bucuci. "Kau berani melukai ibuku!" Hebat sekali serangan dari Sian Hwa ini karena dara ini mempergunakan pukulan Lit sim ciang hwat (Pukulan Membelah Hati), Bucuci mencoba untuk menangkis, akan tetapi terdengar suara, "krak" dan tulang lengan kirinya yang menangkis itu telah patah.
"Ibu....!" Sian Hwa tidak memperdulikan Bucuci yang jatuh terduduk sambil meringis ringis, lalu gadis itu menubruk Kui Eng yang napasnya sudah empas empis.
"Sian Hwa... jangan mencari bencana" "Kui Eng berkata terengah engah.
"Perempuan sial!" tiba tiba Bucuci memaki isterinya. "Itulah jadinya kalau kau terlalu ingin mempunyai anak. Terlalu sayang kepada anak guru silat pemberontak itu! Dia bukan anak kita sendiri dan dia mempunyai darah pemberontak, sekarang kau lihat sendiri apa jadinya! Dia hanya mendatangkan bencana bagi kita berdua!" Bucuci sambil meringis ringis menahan sakit, merobek bajunya untuk dipergunakan membalut lengan kirinya sambil menyumpah nyumpah dan memaki maki isterinya.
Sian Hwa yang tadinya memeluk ibunya, kini melepaskan ibunya perlahan lahan di atas tanah. Dengan muka pucat dan bibir gemetar ia berdiri perlahan, sebentar memandang kepada ibunya dan segera dialihkan pandangannya kepada Bucuci.
"Apa...." Apa katamu...." Aku bukan anak....ibu...." " Apa artinya ini....?"
Kui Eng mengeluh dan air matanya mengucur deras. Sakit di dalam hatinya karena suaminya telah membuka rahasia ini dirasakannya lebih hebat daripada sakit bekas pukulan tangan suaminya yang mengakibatkan luka hebat di dalam tubuhnya. Bucuci tertawa bergelak gelak.
"Bukan! Kau bukan anakku, bukan anak isteriku! Kau seorang anak yatim piatu, anak tidak berharga yang sudah kami pelihara, akan tetapi sekarang membalas budi kami dengan racun! Anak keparat!!"
Kui Eng melambaikan tangannya dan Sian Hwa berlutut lagi di dekat ibunya.
"Sian Hwa.... dia memang benar.... aku dirampasnya, dipaksanya menjadi isterinya.... dan kau.... aku tidak tahu siapa kau, siapa orang tuamu.... dia datang datang membawamu ketika kau masih kecil....!"
"Bedebah!" Sian Hwa menjadi marah sekali. Sekarang dia tahu, bahwa Bucuci telah memaksa Kui Eng yang tadinya disangka ibunya. Dan kalau dia datang dibawa oleh Bucuci, tentu ayah angkat ini tahu pula tentang kematian orang tuanya.."Jadi kau agaknya yang merencanakan pembunuhan orang tuaku, ya?" Dengan tindakan perlahan bagaikan seekor harimau menghampiri korbannya, Sian Hwa menghampiri Bucuci dan sepasang matanya berapi api. Bucuci cepat berdiri dan bersiap menghadapi serangan Sian Hwa.
"Kau memang anak pemberontak, maka kau bersikap sebagai seorang penjahat kejam!" bentak nya. "Aku tidak membunuh orang tuamu, barisan Ang bi tin yang melakukannya. Akan tetapi semenjak kecil kau telah kupelihara baik baik. Sungguh seorang yang bong im pwe gi (tak kenal budi)!"
Akan tetapi Sian Hwa sudah begitu marah, sehingga tak dapat mengendalikan nafsunya lagi. Sambil membentak marah, ia menyerang dengan pukulan maut ke arah dada Bucuci. Panglima Mongol ini bukanlah orang sembarangan dan ia telah memiliki kepandaian yang tinggi. Semenjak tadi ia telah mempersiapkan segenggam senjata rahasianya yang hebat, yakni kerincingan baja itu. Begitu melihat Sian Hwa menyerang, tangan kanannya bergerak dan tujuh butir kerincingan telah menyambar ke arah tubuh Sian Hwa. Gadis ini melihat datangnya senjata senjata rahasia, cepat melempar diri ke bawah sambil mengebutkan lengan baju ke atas sehingga semua senjata rahasia lewat di atas kepalanya. Akan tetapi pada saat itu, Bucuci telah melompat keluar dari kamar. Sian Hwa hendak mengejar, akan tetapi Kui Eng mencegah dengan suara memilukan.
"Jangan.... Sian Hwa, jangan kau membunuh dia. Betapapun juga" dia telah berlaku baik kepadaku dan kepadamu selama belasan tahun ini."
"Ibu...." sebutan ini terdengar kaku dari mulut Sian Hwa. "Aku tak dapat lebih lama tinggal di sini Selamat tinggal!"
"Nanti dulu, Sian Hwa" kalau kau hendak meninggalkanku, cabutlah pedangmu dan bunuhlah aku lebih dulu. Tanpa kau untuk apakah aku hidup lebih lama lagi" Dulupun kalau tidak ada kau... tentu aku sudah menyusul suamiku...."
Sian Hwa berpikir sejenak, ia memang mencintai ibunya atau lebih tepat mencintai wanita ini yang sudah dianggapnya sebagai ibunya sendiri, ia juga tidak tega meninggalkan Kui Eng di rumah Bucuci yang dalam marahnya telah melukainya sedemikian hebat.
"Marilah kau ikut aku pergi, ibu" katanya, akan tetapi Kui Eng tak dapat menjawab, karena sambil mengeluarkan keluhan panjang, nyonya yang tidak beruntung ini telah jatuh pingsan. Sian Hwa tidak banyak membuang waktu lagi segera di pondongnya tubuh ibunya dan ia melompat keluar dan gedung ayah angkatnya.
Beberapa orang penjaga, pembantu ayahnya, menghadang di depan gedung Sian Hwa memondong ibunya dengan tangan kiri dan tangan kanannya mencabut pedang Oei giok kiam yang digerak gerakkan dengan sikap mengancam.
"Siapa sudah bosan hidup, boleh menghalangi perjalananku!" bentaknya dengan garang. Para penjaga itu memang mendapat tugas dari Bucuci untuk menghalangi Sian Hwa pergi dari situ. Sementara panglima ini berlari cepat melaporkan kepada Pat jiu Giam ong. Akan tetapi karena semua penjaga sudah tahu belaka akan kelihaian ilmu silat Sian Hwa yang bahkan melebihi kepandaian Bucuci sendiri, tak seorangpun diantara mereka yang berani menyerang setelah diancam oleh gadis perkasa ini. Dengan leluasa Sian Hwa lalu melompat dan berlari sambil menggendong ibunya yang masih pingsan.
Ia berlari cepat, keluar dari kota raja melalui pintu sebelah barat. Senja telah berganti malam dan keadaan yang gelap itu tidak diperdulikan oleh Sian Hwa yang berlari terus menuju ke barat. Tiba tiba ia mendengar suara kaki kuda yang banyak sekali menyusulnya, didahului oleh suara keras bergemuruh yang sudah amat dikenalnya, yakni suara Pat jiu Giam ong, gurunya! Pat jiu Giam ong mengeluarkan kepandaiannya, yakni Ilmu Coan im jip bit (Mengirim Suara Dari Jauh), sehingga biarpun ia masih jauh, suaranya itu bergema sampai beberapa li jauhnya dan terdengar pula oleh Sian Hwa.
"Sian Hwa, kuperintahkan .kepadamu supnya berhenti dan menyerah!" demikian teriak Pat jiu Giam ong yang diulang beberapa kali.
Akan tetapi Sian Hwa tidak mau berhenti bahkan mempercepat larinya, sehingga ia memasuki sebuah hutan yang gelap sekali.
"Sian Hwu.... percuma.... kau takkan dapat terlepas dari tangan....Pat jiu Giam ong...." terdengar Kui Eng berkata. Ternyata nyonya ini telah siuman kembali dan dapat mendengar suara Pat jiu Giam ong yang keras itu.
"Tidak, ibu. Aku takkan menyerah. Biar aku akan membelamu dengan nyawaku yang tak berharga."
"Ohhh...." Kui Eng mengeluh. Tiba tiba nyonya ini teringat akan sesuatu dan berkata. "Sian Hwa, masih ada harapan. Lekas kau pergi ke dusun Kin an mui dan masuk ke dalam kuil Sun pok thian, Pek Lian Suthai tentu akan menolong kita...."
Sian Hwa pernah diajak oleh ibunya ke kuil ini, maka karena dusun Kin an mui memang berada di luar hutan itu, ia cepat melanjutkan larinya menuju ke dusun ini ia tidak tahu bagaimana Pek Lian Suthai yang suci dan lemah itu akan dapat menolong mereka, akan tetapi pada saat seperti itu, tidak ada waktu lagi untuk banyak bertanya.
Kuil Sun pok thian adalah sebuah kuil di dusun Kin an mui, sebuah kuil wanita di mana terdapat beberapa belas pendeta wanita yang hidup sebagai orang orang suci dan beribadat. Patung terbesar yang dipuja di kuil ini adalah Dewi Kwan Im dan kemajuan kuil ini amat terkenal sampai di kota raja. Oleh karena banyak sekali nyonya bangsawan datang bersembahyang di kuil ini, maka kuil ini dihormati dan dipandang tinggi oleh para bangsawan dan mendapat tunjangan uang yang cukup banyak, sehingga kuil ini dapat diperbaiki dan menjadi sebuah kuil yang cukup luas dan bersih, sesuai dengan namanya, yakni kuil Sun pok thian (Dunia Luas Dan Bersih). Ketuanya adalah seorang nikouw berkepala gundul seperti semua nikouw yang berada di situ, yang bernama pek Lian Suthai, seorang ahli dalam kebatinan dan agama. Pek Lian Suthai ini amat dipandang tinggi oleh semua orang, baik golongan rendah maupun bangsawan tinggi, karena selain ramah tamah dan hidup suci, nikouw tua inipun suka sekali menolong orang, baik dengan obat obatan maupun dengan nasehat nasehat berharga suka pula menghibur orang orang yang menderita kesusahan.
Sian Hwa yang menggendong Kui Eng berlari lari sampai semalam suntuk, terus dikejar kejar oleh suara Pat jiu Giam ong yang makin lama makin dekat. Pat jiu Giam ong memang luar biasa lihainya dan kalau saja gadis itu tidak tertolong oleh malam yang amat gelap, tentu sebentar saja ia telah tersusul oleh rombongan Pat jiu Giam ong.
Menjelang fajar, sampailah Sian Hwa di depan kuil itu. Dengan napas terengah engah karena ia memang lelah sekali, ia mengetuk pintu. Dari luar telah terdengar suara alat tetabuhan dari kayu yang dipukul berirama untuk menimbulkan irama di waktu para pendeta wanita itu berliamkeng (membaca doa).
Seorang nikouw setengah tua membuka pintu. Ketika melihat Sian Hwa menggendong seorang nyonya yang nampaknya sakit keras, ia cepat membuka lebar pintunya, mempersilahkun Sian Hwa masuk, kemudian menutupkan pintunya kembali. Tak lama kemudian Pek Lian Suthai sendiri menyambut kedatangan mereka. Nikouw ini cepat menolong Kui Eng tanpa banyak bertanya dan setelah memeriksa dan mendapat kenyataan bahwa Kui Eng menderita luka dalam yang hebat sekali, ia menggeleng gelengkan kepala dan baru bertanya dengan suaranya yang tenang kepada Sian Hwa.
"Siocia, apakah yang telah terjadi sehingga ibumu terluka hebat dan pada saat seperti ini kau berlari lari menggendong ibumu datang ke sini?"
Sian Hwa dengan suara berduka menuturkan pengalamannya. Betapa ia hendak dipaksa menikah dan setelah menolak, ayah angkatnya lalu menyerangnya dan melukai ibunya.
"Omitohud!" Nikouw tua itu menyebut nama Buddha sambil merangkapkan kedua tangannya. Bagaimana ada kejadian seperti ini dalam rumah tangga seorang bangsawan?" Sambil berkata demikian ia lalu mengeluarkan obat dan memberi minum obat kepada Kui Eng yang tak lama kemudian tersadar dari pingsannya.
"Suthai...." kata kata pertama yang keluar dari mulutnya setelah ia siuman adalah permohonan dengan suara memilukan. "Tolonglah kami.... ah, tidak, tolonglah anakku ini" hanya kepadamu aku dapat mengharapkan pertolongannya Pek Liam Suthai demi Sang Buddha yang mulia, tolonglah anakku Sian Hwa ini...."
Pek Lian Suthai menyandang kepada Sian Hwa, lalu meraba jidat Kui Eng yang terasa panas. "Tenanglah, hujin, ada kesukaran apakah kiranya?"
"Kami dikejar kejar oleh Liem goanswe dari kota raja! Ah... kalau ia sampai datang ke sini akan celaka anakku bila kau tidak menolongnya,"
"Liem goanswe" Kau maksudkan Pat jiu Giam ong?" tanya Pek Lian Suthai sambil mengerutkan keningnya. Nyata bahwa ia terkejut juga mendengar nama ini disebut sebut.
"Betul, Pat jiu Giam ong, guru dari anakku ini tentu akan memaksa Sin Hwa kembali, untuk menjadi menantunya. Tolonglah, suthai...."
"Omitobud!" Kembali nikouw tua itu menyebut nama Buddha.
"Jadi dialah yang hendak mengambil menantu puterimu" Ah, hujin, para orang gagah di empat penjuru lautan tidak ada yang berani menentang Pat jiu Giam ong apalagi seorang pertapa wanita seperti pin ni (aku) yang tua dan lemah ini, dapat berbuat apakah terhadap Pat jiu Giam ong?"
"Ada jalan, suthai.... asal saja anakku kau terima menjadi seorang nikouw, biarpun kaisar sendiri tidak berhak untuk mengganggumu atau memaksanya menikah. Ambillah anakku sebagai muridmu, gunduli rambutnya menjadi nikouw...."
"Ibu....!" Sian Hwa setengah menjerit mendengar bahwa ia hendak dijadikan nikouw gundul.
"Diam, Sian Hwa! Jauh lebih baik menjadi nikouw dan hidup beribadat dan pada membunuh diri, atau melarikan diri dikejar kejar oleh Pat jiu Giam ong yang akhirnya tentu akan dapat menangkapmu." Kui Eng berkata dengan suara tetap. "Pula, kau meniadi nikouw hanya untuk membebaskan diri dari cengkeraman mereka, setelah aman kau boleh menjadi orang biasa kembali...."
"Tak mungkin, hujin," kata Pek Lian Suthai. "Pin ni tidak boleh membohong kepada Thian, tidak boleh menerima hanya untuk main main saja. Sekali puterimu sudah menjadi nikouw dan telah di lakukan upacara potong rambut di depan Kwan Im Pouwsat, ia selamanya akan menjadi seorang nikouw yang suci dan setia. Pin ni menolak untuk berlaku pura pura, dan...."
Tiba tiba terdengar suara teriakan teriakan di luar kuil.
"Pek Lian Suthai, bukalah pintu untuk kami." Terdengar suara yang parau berseru sambil menggedor pintu. "Jenderal besar Liem berada di sini hendak berjumpa dengan suthai."
"Celaka, suthai, mereka telah tiba...." Kui Eng berkata pucat dan cepat mencegah puterinya ketika ia melihat Sian Hwa mencabut pedangnya. "Jangan, Sian Hwa, jangan melawan. Bagaimana kau bisa melawan gurumu sendiri?" Sian Hwa menjadi ragu ragu dan lenyap keberaniannya ketika diingatkan bahwa di luar terdapat suhunya .Memang bagaimanapun juga, ia tidak berani melawan Pat jiu Giam ong.
"Suthai, tolonglah anakku....!" kembali Kui Eng memohon kepada pendeta wanita itu.
"Pin ni bisa mengaku bahkan puterimu pin ni terima menjadi murid, akan tetapi kalau sudah di lakukan upacara potong rambut, tak mungkin puterimu menjadi seorang gadis lagi...."
"Pek Lian Suthai, dengar baik baik! Aku Pat jiu Gian ong berada di luar kuil. Lekas buka pintu, aku hendak bertemu dengan nyonya Bucuci dan puterinya," tiba tiba terdengar suara Pat jiu Giam ong yaug amat keras itu, sehingga Pek Lian Suthai tak berani berlaku ayal lagi. Nikouw tua ini lalu bergegas menuju ke pintu depan dan dengan kedua tangannya sendiri ia membuka tapal pintu.
Di dalam kuil yang amat dihormati ini, para pengikut Pat jiu Giam ong tidak berani berlaku kurang ajar. Mereka hanya menanti di halaman depan dan yang masuk hanyalah Pat jiu Giam ong Liem Po Coan, Liem Swee puteranya, dan akhirnya Bucuci.
"Di mana mereka?"" Bucuci bertanya kepada Pek Lian Suthai setelah mereka memberi hormat kepada nikouw itu. Sikap Bucuci amat galak, akan tetapi Pat jiu Giam ong dan puteranya berlaku tenang.
Biarpun menghadapi Bucuci yang nampak marah, Pat jiu Giam ong yang nampak amat berpengaruh dan Liem Swee yang tampan dan gagah dengan pakaiannya yang indah, namun Pek Lian Suthai ketua kuil Sun pok thian itu tidak gentar sedikit juga. Ternyata bahwa wanita tua yang semenjak puluhan tahun telah melakukan samadhi dan menuntut penghidupan suci dan bersih ini, telah memiliki kekuatan batin yang luar biasa dan yang membuatnya menjadi tenang.
"Ah, kiranya sam wi (tuan bertiga) yang datang berkunjung dari kota raja. Sungguh merupakan kehormatan besar terhadap pin ni. Silahkan duduk di ruang tamu, sam wi dan minum teh."
"Pek Lian Suthai, kami datang berkunjung tidak untuk minum teh atau bersembahyang !" Bucuci berkata tak sabar. "Kami datang untuk menyusul anak durhaka itu. Di mana mereka anak dan isteriku" Tadi mereka masuk di kuil ini dan harap kau orang tua jangan mencampuri urusan ini."
"Oh, jadi ciangkun mencari hujin dan siocia" Hujin memang ada di dalam, sedang sakit karena menderita luka hebat di bagian dadanya. Pin ni sedang berusaha mengobatinya. Adapun siocia, dia datang untuk menjadi murid pin ni dan sekarang dia telah menjadi murid Kwan Im Pouwsat!"
"Apa" Suruh mereka keluar! Kalau tidak, aku terpaksa akan menerjang masuk!" Bucuci berkata lagi dengan marah.
"Hujin sedang sakit, ciangkun," jawab Pek Lian Suthai dengan tenang."Dan pin ni percaya bahwa ciangkun memiliki kebijaksanaan dan kesopanan cukup besar untuk tidak melanggar pantangan dan memasuki ruang dalam tempat tinggal pinni dan murid rnurid pinni."
Merahlah muka Bucuci karena biarpun omongan ini amat merendah, namun sebenarnya merupakan tamparan baginya dan mengingatkan dia bahwa di dalam ruang kuil itu hanyalah terdapat orang orang wanita belaka!
"Pek Lian Suthai, benarkah Sian Hwa telah mengambil keputusa masuk menjadi pendeta wanita?" tanya Pat jiu Giam ong dan matanya yang tajam menatap wajah Pek Lian Suthai.
"Demikianlah kehendak ibunya, Liem goan swe," jawab Pek Lian Suthai.
"Suruh dia keluar, kalau ibunya sakit, biarlah anak itu sendiri yang keluar. Aku gurunya hendak bicara dengan dia!" Berbeda dengan Bucuci, Pat jiu Giam ong bicara dengan pasti dan berpengaruh, sama sekali tidak mempergunakan ancaman atau gertakan. Dan untuk suara seperti ini, Pek Lian Suthai maklum bahwa tidak ada gunanya membantah lagi. Ia lalu masuk ke ruang dalam di mana Kui Eng dan Sian Hwa telah menantinya. Kui Eng dengan wajah pucat dan air mata mengalir di pipi, tetapi Sian Hwa menggigit bibir dan tidak takut sedikit pun juga.
"Siocia, kau dipanggil oleh suhumu, Pat jiu Giam ong," kata Pek Lian Suthai kepada Sian Hwa. Gadis ini memandang kepada ibunya, lalu berkata perlahan. "Ibu harap kau tenang tenang saja, jangan khawatir, aku dapat menjaga diri sendui."
"Sian Hwa, demi Pouwsat, jalan satu satunya untuk meloloskan diri hanya... mengaku menjadi murid Pek Lian Suthai...."
Sian Hwa meninggalkan kamar itu setelah menyatakan setuju dengan nasehat ibunya, diikuti oleh Pek Lian Suthai.
Melihat dara yang cantik jelita itu dengan wajah agak pucat, tetapi sikap amat tenang keluar menemui mereka dengan pandangan mata sedikit pun tidak nampak gemar, Pat jiu Giam ong diam diam merasa kagum kepada muridnya ini. Jenderal ini memang sesungguhnya amat sayang kepada muridnya ini dan tadinya ia mengharapkan Sian Hwa lah yang akan dapat menjunjung tinggi namanya dalam kalangan dunia persilatan, ia maklum bahwa gadis ini memiliki bakat yang lebih baik daripada Liem Swee puteranya dan kalau gadis ini dapat menjadi isteri Liem Swee dan mereka itu bersatu, maka mereka merupakan kekuatan yang akan cukup tangguh untuk menghadapi lawan lawan yang datang mengganggu maupun kawan yang datang untuk menguji ilmu kepandaian mereka.
Adapun Bucuci memandang kepada Sian Hwa dengan mata marah. Bucucipun sebetulnya telah merasa sayang kepada Sian Hwa yang dianggapnya sebagai puteri sendiri. Panglima ini memang tidak mempunyai keturunan dari Sian Hwa memang semenjak kecilnya telah mendatangkan banyak kesenangan dalam hatinya. Kini melihat gadis ini yang mendatangkan banyak kepusingan, ia benar benar merasa kecewa dan rasa sayangnya itu berobah menjadi kebencian besar. Tak pernah disangkanya bahwa gadis yang semenjak kecilnya ditimang timang dan dimanjakan itu kini berbalik merupakan seorang musuh dan lawan yang amat berbahaya.
Sementara itu, Liem Swee memandang kepada San Hwa dengan hati kecewa bukan main. Melihat gadis itu kini keluar dari dalam kuil dengan pakaian sederhana dan rambut kusut, makin tertariklah hatinya. Memang semenjak mereka telah dewasa, kesayangannya terhadap Sian Hwa makin menjadi. Kalau dulu ketika mereka masih kecil ia sayang kepada Sian Hwa sebagai seorang kawan bermain atau sebagai seorang saudara karena memang ia tidak mempunyai saudara kandung, setelah mereka menjadi remaja, mulailah ia memperhatikan dan melihat betapa cantik wajah Sian Hwa dan betapa indah dan elok potongan tubuh sumoinya itu. Kini ia diam diam mengakui bahwa sumoinya memang elok dan cantik sekali, maka alangkah pahit rasa hatinya kalau ia mengingat bahwa sumoi yang telah menjadi tunangannya itu kini menyatakan tidak setia dan menolak serta memutuskan perjodohannya dengannya. Kegetiran hatinya ini tentu saja membuatnya merasa sakit hati juga dan diam diam ia merasa tersinggung keangkuhannya dan merasa terhina oleh penolakan Sian Hwa. Dia, putera Pat jiu Giam ong, sampai ditolak oleh Sian Hwa, murid dari ayahnya sendiri. Sungguh terlalu. Wajahnya berobah keras dan mulutnya tersenyum mengejek kalau teringat akan hal ini.
Demikianlah, tiga orang itu memandang ke pada Sian Hwa dengan perasaan berbeda beda.
"Sian Hwa," Pat jiu Giam ong berkata setelah Sian Hwa membungkuk kepadanya selaku penghormatan, karena hanya kepada suhunya saja Sian Hwa memberi hormat ayahnya dan Liem Swee tidak diacuhkannya sama sekali, bahkan dilirik sajapun tidak. Perbuatan sesat apalagi yang telah kaulakukan. Kau telah melukai ayahmu dan membawa lari ibumu di malam buta, sungguh amat hebat perbuatanmu ini."
"Terserah kepada pertimbangan suhu saja, karena teecu melukai dia hanya untuk membela ibu." jawab Sin Hwa sambil tunduk dan biarpun ia bersikap merendah terhadap suhunya, namun ia sama sekali tidak kelihatan takut.
"Sian Hwa, tak kusangka bahwa benar benar kau sampai hati dan berani melemparkan penghinaan besar kepadaku, kepada gurumu sendiri. Kau tetap membangkang dan tidak mau melanjutkan perjodohanmu dengan anakku?"
"Teecu tidak akan menikah dengan siapapun juga, suhu. Penolakan teecu ini bukan sekali kali karena teecu membenci suheng, sama sekali tidak ...."
"Ya, ya, aku sudah tahu, karena kau tergila gila kepada murid Kim Kong Taisu yang keparat itu, bukan?" Bucuci memotong gemas.
"Aku tidak bicara dengan kau!" Sian Hwa mendelik kepada ayah angkatnya dan membentak. Melihat sinar mata Sian Hwa yang berapi api itu, diam diam Bucuci terkejut dan tak berani membuka mulut lagi.
"Sian Hwa, jangin kau main main dengan aku! Aku takkan memaksa kau menjadi isteri Swee ji akan tetapi tidak boleh kau merusak kehormatan nama keluargaku begitu saja. Kau harus melanjutkan pernikahan ini hanya untuk menjaga kebaikan nama keluargaku. Setelah diadakan upacara pernikahan, boleh saja kau pergi meninggalkan suamimu, kami takkan menghalangi kehendakmu!" kata Pat jiu Giam ong pula kepada muridnya yang bandel ini. Diam diam Pek Lian Suthai terkejut sekali. Kalau hal ini dilakukan, tentu saja semua nama busuk tertanggung oleh Sian Hwa, karena dengan demikian persoalannya menjadi lain, yakni sebagai seorang isteri yang melarikan diri dari suaminya adalah perbuatan yang amat memalukan dan hina! Sian Hwa yang masih belum berpengalaman itu sebetulnya tidak tahu tentang hal ini, tetapi ia tetap menolak, bukan karena takut seperti apa yang ditakutkan oleh Pek Lian Suthai, melainkan memang ia tidak mau menikah. Kecuali dengan Bun Sam, bisik hatinya!
"Tidak, suhu. Teecu tetap tidak mau menikah."
"Kalau aku memaksamu?" tanya Pat jiu Giam ong dengan geram.
"Lebih baik teecu binasa," tantang Sian Hwa dengan beraninya.
"Ayah!!" tiba tiba Liem Swee berseru keras, hingga mengejutkan semua orang. "Sudah demikian rendahkah aku, sehingga ayah terpaksa harus membujuk bujuk dan memaksa maksa seorang gadis untuk menjadi isteriku" Apakah benar benar aku sebagai seorang pemuda takkan laku lagi dan tidak bisa mendapatkan gadis lain yang lebih cantik, lebih manis lebih gagah dan lebih mulia hatinya daripada Sian Hwa?" Liem Swee benar benar tersinggung kejantanannya mendengar ayahnya membujuk bujuk seorang gadis untuk menjadi isterinya.
"Liem kongcu bicara betul," kata Pek Lian Suthai. "Mohon maaf sebesarnya, Liem goanswe. Bukan sekali kali pinni bermaksud mencampuri urusan yang sesungguhnya merupakan urusan rumah tangga, namun pinni khawatir kalau kalau terjadi perkara jiwa dalam kuil ini. Memang amat tidak bijaksana kalau memaksa siocia ini menjadi isteri Liem kongcu sebagaimana dikatakannya tadi, kedua kali nya, karena siocia telah menjadi muridku, menjadi seorang pendeta wanita di kuil ini Liem goanswe tentu sudah maklum bahwa seorang calon pendeta wanita tidak boleh menikah dan pula seorang pendeta wanita tidak boleh diganggu, karena pendeta wanita berada di bawah perlindungan Kwan ini Pouwsat dan dilindungi oleh undang undang kaisar."
Pat jiu Giam ong memandang kepada Sian Hwa dengan tajam, penuh selidik. Ia tahu akan peraturan itu dan maklum pula bahwa dengan menjadi seorang nikouw, berarti bahwa gadis itu telah menutup kesempatan untuk menjadi orang biasa dan menutup pintu hati bagi segala keramaian duniawi.
"Sian Hwa, benarkah engkau hendak menjadi pendeta wanita?" tanyanya.
"Benar, suhu," jawab Sian Hwa sambil menundukkan mukanya.
Tiba tiba Liem Swee tertawa gelak gelak dengan lagak amat mengejek ia telah dibikin kecewa dan juga dibikin malu, maka kini ia hendak membalas penghinaan Sian Hwa dengan jalan mengejek dan memperolok olokkannya.
"Suthai, bukankah seorang pendeta wanita itu harus dicukur rambut kepalanya?"
"Memang betul demikian, Liem kongcu."
"Dan benarkah bahwa pencukuran itu kecuali dilakukan oleh ketua kuil, juga boleh dilakukan oleh orang tua atau wali dari yang hendak menjadi nikouw?"
Pek Lian Suthai berpikir sejenak, sambil menatap wajah pemuda itu penuh selidik. Dia adalah seorang nenek yang sudah banyak makan asam garam dunia, maka ia dapat menebak apa yang hendak dilakukan oleh pemuda yang sakit hati ini.
"Memang demikian, kongcu," jawabnya kemudian. Sesungguhnya tidak ada aturan seperti ini, tetapi karena Pek Lian Suthai mempunyai maksud tertentu, ia membenarkan kata kata Liem Swee itu.
"Bagus!" seru Liem Swee dan tiba tiba ia mencabut pedangnya.."Kalau demikian, biarlah aku mewakili ayahnya untuk membabat dan mencukur rambutnya. Kami sekalian hendak menyaksikan apakah benar benar sumoiku yang baik dan mulia ini hendak masuk menjadi pendeta wanita."
Bukan main marahnya hati Sian Hwa mendengar ucapan suhengnya ini. Ia telah mengangkat muka dan memandang dengan mata bersinar marah kepada Liem Swee Akan tetapi ketika ia bertemu pandang dengan suhunya, ia melihat betapa suhunya memandangnya dengan dingin dan agaknya membenarkan dan menyetujui usul puteranya itu. Dan ketika Sian Hwa bertemu pandang dengan Pek Lian Suthai, ia menjadi terkejut dan heran karena nikouw tua ini mengejapkan matanya memberi tanda agar ia menurut saja. Dalam keadaan terjepit seperti itu, menghadapi ayahnya yang marah, Liem Swee yang sakit hati dan suhunya yang amat berpengaruh, Sian Hwa tidak berdaya dan hanya mengandalkan pertolongan Pek Lian Suthai. Ia menggantungkan nasibnya pada keputusan nikouw tua itu maka sambil menundukkan kepalanya, ia memejamkan matanya menanti apa yang akan menimpa dirinya.
"Baiklah, Liem kongeu. Kau lakukan apa yang kau kehendaki itu, asal saja kau berhati hati jangan sampai melukai kulit kepala siocia," kata Pek Lian Suthai tersenyum, lalu disambungnya lagi. "Siapa pun yang mencukur rambutnya, apa bedanya."
Liem Swee yang menjadi kejam bukan hanya karena sakit hatinya, akan tetapi karena memang ia mempunyai dasar watak kejam seperti ayahnya, segera melangkah maju menghampiri Sian Hwa. Pek Lian Suthai menyuruh Sian Hwa berlutut, menyelimuti tubuh gadis itu dengan jubah pendeta berwarna putih. Disaksikan oleh semua nikouw yang berada di situ dan juga oleh Bucuci dan Pat jiu Giam ong, Liem Swee lalu memegang rambut kepala Sian Hwa. Ketika jari tangannya merasa menyentuh rambut yang hitam gemuk, halus dan berbau harum itu, hatinya melemah juga. Akan tetapi timbul kembali kekerasan hatinya ketika ia mengingat akan penolakan Sian Hwa kepadanya, maka sambil menggigit bibir Liem Swee lalu mengerjakan pedangnya yang tajam. Sekali babat saja putuslah rambut yang indah itu. Naik sedu sedan dari dada San Hwa ke lehernya, akan tetapi gadis ini sambil memicingkan matanya lalu mengatur napasnya dan berlutut diam tak bergerak seperti orang bersamadhi. Sekali Liem Swee sudah memotong rambut itu, ia menjadi gembira lagi dan dengan sikap mengejek ia lalu mencukur kepala Sian Hwa dengan gerakan cepat dan sebentar saja lenyaplah semua rambut darri kepala Sian Hwa. Kini kepala gadis yang cantik itu menjadi gundul kelimis dan kelihatan kulit kepalanya yang putih bersih!
Liem Swee menyimpan pedangnya dan tertawa gelak gelak sementara itu, diam diam Bucuci menjadi terharu juga melihat keadaan Sian Hwa. Biarpun matanya meram dan kepalanya tunduk dari kedua mata gadis itu mengalir air mata yang membasahi kedua pipinya yang pucat. Gadis itu telah menderita pukulan batin yang hebat dan hanya kekerasan hatinya saja yang membuat ia tidak menangis tersedu sedu! Pat jiu Giam ong yang tadinya marah, melihat betapa bekas muridnya ini benar benar rela menjadi nikouw daripada menikah menghela napas penuh kekecewaan dan penyesalan.
"Suthai, siapakah nama nikouw muda baru ini?" Liem Swee bertanya dengan suara jenaka, penuh olok olok. Melihat betapa bekas tunangannya itu kini berkepala gundul, lenyap pula rasa cintanya karena memang pada dasarnya pemuda ini hanya mencintai kecantikan wajah Sian Hwa belaka.
"Namanya" Pinni rasa, nama Sian Hwa cukup baik, maka sekarang pinni menyebutnya Sian Hwa Nikouw."
Liem Swee lalu menjura kepada Sian Hwa yang masih berlutut sambil berkata mengejek. "Sian Hwa Nikouw, selamat datang di kuil Sun pok thian! Harap kau suka menolongku, berdoa memohon kepada Pouwsat yang baik agar aku lekas lekas mendapat jodoh!"
Sian Hwa menggigit bibirnya dan menahan air matanya yang hendak mengucur keluar. Pat jiu Giam ong segera berkata kepada puteranya. "Sudahlah, mari kita pergi. Sian Hwa telah memilih jalan hidupnya sendiri." Setelah berkata demikian, Pat jiu Giam ong lalu melangkah keluar, diikuti oeh Liem Swee yang masih tertawa tawa.
"Kau dan Kui Eng jangan harap akan dapat memasuki rumahku lagi!" Bucuci berkata keras lalu pergi pula dari tempat itu.
Setelah semua orang pergi, Sian Hwa menubruk kaki Pek Lian Suthai sambil menangis tersedu sedu. Ia meraba raba kepalanya dan tangisnya makin menjadi. Wanita manakah yang takkan hancur luluh rasa hatinya kalau kehilangan rambut yang menjadi mahkota kecantikannya"
Akan tetapi Pek Lian Suthai memeluknya dan menghibur sambil tertawa senang.
"Selamat. selamat! Pinni mengucapkan selamat untukmu, siocia."
Dengan kedua tangan menutupi mulutnya untuk menahan tangisnya. Sian Hwa mengangkat muka memandang kepada nikouw tua itu melalui air matanya. Gilakah nikouw tua ini" Ia dipaksa menjadi nikouw di luar kehendaknya dan digunduli kepalanya dan nikouw tua ini bahkan memberi selamat kepadanya.
"Semenjak tadi pinni sudah maklum bahwa kau tidak mempunyai bakat untuk menjadi seorang nikouw, siocia. Kau lebih bertulang ibu yang mulia dan isteri yang bijaksana. Oleh karena itulah maka pinni menyetujui usul Liem kongcu untuk mencukur rambutmu! Kau menjadi nikouw di luar pengesahan dari Pouwsat, tanpa upacara, sehingga kau menjadi nikouw tidak sah. Kau belum boleh dianggap menjadi seorang nikouw, siocia dan kau masih seorang gadis biasa."
Melihat pandangan mata gadis itu tidak mengerti dan penuh mengandung pertanyaan, Pek Lian Suthai lalu menjelaskan. "Ada dua macam syarat yang menetapkan sah atau tidaknya seseorang menjadi nikouw. Pertama tama, pemotongan rambut itu tidak boleh dilakukan di luar kehendak yang bersangkutan, oleh karena itu, mereka yang hendak menjadi nikouw, selalu menjadi murid yang memelihara rambut lebih dulu sampai beberapa bulan lamanya. Setelah mereka dengan suka rela suka memotong rambutnya, barulah rambutnya itu dipotong dan pencukuran itu sah namanya. Ke dua, pencukuran rambut tidak boleh dilakukanbegitusaja harus di depan meja sembahyang, disaksikan oleh Pouwsat dan dilakukan sembahyangan khusus untuk pencukuran rambut. Mana bisa rambutmu dicukur begitu saja dan kau lantas dianggap sebagai seorang nikouw" Tidak, tidak, siocia, kau masih belum menjadi nikouw. Di dunia ini tidak ada nikouw yang menjadi pendeta karena dipaksa, semua atas kehendak hati dan kesadaran pikiran sendiri."
Tentu saja Sian Hwa menjadi girang sekali mendengar pernyataan ini, tetapi ketika ia meraba kepalanya, kembali air matanya bercucuran keluar.
"Suthai...." katanya megap megap. "Akan tetapi.... rambutku....rambutku telah lenyap....bagaimana aku dapat menjumpai orang dalam keadaan.... begini....?"" ia menangis lagi.
Pek Lian Suthai menepuk nepuk pundak gadis itu dan tertawa geli.
"Anak bodoh! Mengapa rambut saja kau tangisi" Siapa orangnya yang dapat memotong lenyap rambut dan kuku" Seribu kali dipotong, seribu kali akan keluar dan tumbuh lagi! Tunggu saja paling lama satu tahun, rambutmu akan tumbuh lagi dan bahkan akan lebih bagus dan indah daripada yang telah dicukur ini. Mengapa berduka tentang rambut" Kau bahkan harus berterima kasih kepada rambutmu siocia, karena sesungguhnya hanya rambutmu inilah yang telah dapat menolongmu dan membebaskanmu daripada perkara yang amat sulit dan berbahaya. Sekarang kau telah bebas, mereka takkan mengganggumu lagi dan semua ini berkat pertolongan rambutmu! Pula, kalau kau merasa malu keluar dalam keadaan gundul, kau bersembunyi sajalah di belakang. Hitung hitung menanti sampai timbul suasana tenang. Kalau mereka sudah tidak meinperdulikan lagi padamu, kau bebas dan merdeka untuk pergi ke mana saja yang kau kehendaki."
Mendengar ucapan ini. Sian Hwa terhibur juga dan hatinya merasa senang. Ia bahkan lalu minta se stel pakaian pendeta warna putih dan mengganti pakaiannya. Rambutnya yang terletak di atas tanah itu ia kumpulkan dan ia dengan senyum manisnya timbul kembali menyatakan kepada Pek Lian Suthai bahwa rambutnya itu hendak dibuat menjadi sebuah cemara rambut!
Akan tetapi hanya sebentar saja hati Sian Hwa terhibur dari kedukaan Ternyata bahwa luka di dalam dada Kui Eng amat berat, di tambah lagi dengan pukulan batin yang ia derita akibat peristiwa rumah tangganya ini, sebulan kemudian Pek Lian Suthai menyatakan bahwa keadaan nyonya yang bernasib malang ini takkan tertolong lagi!
Sebelum menghembuskan nafas terakhir. Kui Eng berceritera kepada Sian Hwa yang siang malam menjaganya. Nyonya ini menceritakan riwayatnya, betapa suaminya dan anak perempuannya telah dibunuh oleh barisan Ang bi tin dan betapa kemudian ia dirampas oleh Bucuci. Ia tadinya tidak mau menuruti kehendak Bucuci itu sampai akhirnya Bucuci datang membawa Sian Hwa yang masih kecil. Semenjak Sian Hwa menjadi anaknya maka timbul kembali kegembiraan hidupnya, Sian Hwa mendengarkan penuturan ini dengan hati amat terharu dan ketika Kui Eng menghembuskan nafas terakhir, Sian Hwa menangis sedih sampai jatuh pingsan. Jenazah Kui Eng dimakamkan di pekarangan belakang dari kuil itu dan semenjak hari itu Sian Hwa hidup menyepi di dalam kuil itu. Ia menerima pelajaran tentang kebatinan dari Pek Lian Suthai dan di waktu senggang. Sian Hwa tak pernah lupa untuk melatih ilmu silatnya. Bahkan dari nikouw tua ini ia dapat memperdalam ilmu suratnya karena ternyata bahwa Pek Lian Suthai juga ahli dalam ilmu kesusasteraan kuno. Tak lupa pula sewaktu waktu Sian Hwa pergi ke Tong seng kwan mengunjungi makam ayahnya, yakni Can kauwsu. Ia sekarang tidak ragu ragu lagi bahwa memang benar Can Goan atau Can kauwsu adalah ayahnya yang tulen, karena dari seorang anggauta Ang bi tin yang kini menjadi seorang penjaga di kantor tihu, ia mendengar pula bahwa ayahnya itu dibunuh oleh Ngo jiauw eng dan ia sendiri dibawa pergi oleh Bucuci. Tetapi tak seorangpun mengetahui siapa adanya ibunya yang sebenarnya. Tak seorangpun pernah melihat isteri dari Can Goan yatig terbunuh itu.
Apabila ia pergi ke makam ayahnya, Sian Hwa selalu dikawani oleh seorang dua orang nikouw. Dia sendiri berpakaian sebagai seorang nikouw, dengan jubah pertapaan yang lebar berwarna putih. Akan tetapi ia selalu menutupi kepala nya yang gundul, juga mukanya dengan saputangannya, selalu menyembunyikan wajahnya sehingga tidak menarik perhatian orang.
Benar sebagaimana yang dikatakan oleh Pek Lian Suthai, setahun kemudian rambutnya telah tumbuh kembali dengan suburnya, sehingga hati Sian Hwa mulai menjadi girang. Ia kini telah melepaskan jubah pertapaannya, tetapi pakaiannya tetap sederhana berwarna putih. Rambutnya digelung dan disembunyikan dalam kain pengikat kepala.
Setiap kali teringat kepada Bun Sam, gadis ini menghela napas dan termenung. Dapatkah ia bertemu kembali dengan pemuda itu" Dan andaikata bertemu apakah yang hendak dilakukan atau dikatakannya" Bagaimanapun juga, ia masih tetap tidak aman. Biarpun kini tidak ada gangguan sesuatu dari Pat jiu Giam ong atau Liem Swee tetapi ia tahu bahwa selamanya ia takkan dapat menikah. Kalau ia sempat menikah dengan siapapun juga, lalu terdengar oleh Pat jiu Giam ong tentu bekas suhunya itu takkan dapat mengampuninya. Hal ini ia tahu pasti karena iapun mengenal watak suhunya. Oleh karena itu, Sian Hwa menjadi dingin hatinya terhadap pernikahan dan ditambah pula dengan pelajaran kebatinan dari Pek Lian Suthai ia menjadi betah tinggal di kuil itu, hidup dalam keadaan tenang dan tenteram.
Setahun pula lewat dengan cepatnya, sehingga tanpa terasa pula Sian Hwa telah tinggal dua tahun di dalam kuil itu. Dua bulan yang lalu Pek Lian Suthai meninggal dunia, membuat Sian Hwa menjadi amat berduka. Banyak sekali orang orang bangsawan yang datang memberi hormat kepada jenazah Pek Lian Suthai dan diantara mereka itu nampak Bucuci! Akan tetapi Sian Hwa yang mengetahui bahwa banyak tamu datang di kuil itu, sengaja tidak mau keluar dan bersembunyi saja di ruang belakang. Juga dari gedung Pat jiu Giam ong datang banyak sekali barang sumbangan dan Liem Swee sendiri datang mewakili ayahnya. Akan tetapi, juga Liem Swee tidak terkabul harapannya untuk bertemu dengan Sian Hwa. Ketika Liem Swee minta kepada nikouw nikouw lain supnya mempersilahkan Sian Hwa nikouw keluar, ia mendapat jawaban bahwa yang dicari itu sedang berduka dan tidak dapat menjumpai siapapun juga!
Dari para penyelidiknya, Liem Swee mendapat tahu bahwa kini Sian Hwa telah memelihara rambut pula, hanya pakaiannya saja amat sederhana, terbuat dan bahan kain berwarna putih. Pada suatu hari ketika Sian Hwa keluar dan kuil hendak menengok makam ayahnya di Tong seng kwan, tiba tiba di jalan ia berhadapan dengan Liem Swee.
Bekas suheng itu berpakaian mewah dan indah seperti biasa, dan selama dua tahun tidak berjumpa, Sian Hwa diam diam harus mengakui bahwa bekas suhengnya itu kim nampak lebih gagah dan tampan, sungguhpun pada wajah yang tampan itu kini membayang kekejaman dan penderitaan hidup ia merasa heran mengapa Liem Swee nampaknya tidak bahagia dan pemuda yang tinggi besar ini sekarang nampak hampir serupa dengan ayahnya.
"Sumoi, alangkah kejamnya hatimu terhadap aku. Kau membiarkan aku merana dan merindu...." demikianlah ucapan pertama yang keluar dan mulut Liem Swee dalam perjumpaan itu, perjumpaan yang memang disengaja oleh Liem Swee. Pemuda ini mendengar dari seorang nikouw yang diperalatnya bahwa pada pagi hari itu Sian Hwa hendak mengunjungi makam ayahnya di Tong seng kwan, maka ia sengaja menghadang di jalan.
Ucapan ini mengejutkan hati Sian Hwa, juga menimbulkan perasaan tidak senang. Tadinya, dalam pandangan pertama, timbul rasa kasihan pada suhengnya, akan tetapi kata kata yang menyatakan perasaan hati pemuda ini benar benar tak pernah disangkanya.
"Aku bukan sumoimu, bukankah ayahmu telah menyatakan bahwa aku tidak berhak menyebut dia sebagai suhu lagi?"
"Sumoi. jangan kau berkata demikian. Betapapun marahnya ayah kepadamu, betapapun besar kau mendatangkan kedukaan padaku, aku tetap... mencintaimu, sumoi,"
Sian Hwa hampir saja mendampratnya, mengingatkan pemuda itu akan penghinaan besar ketika pemuda itu menggunduli kepalanya. Ah, selam hidup ia takkan dapat melupakan penghinaan yang menyakitkan hatinya itu.
"Sudahlah, jangan menggangguku lagi, Liem kongcu. Aku tidak kenal lagi kepadamu. Minggirlah dan jangan menggangguku."
."Sumoi, sekeras itukah hatimu" Tidak kasihankah kau kepadaku" Selama ini, setiap malam aku memimpikan kau dan hidupku takkan dapat berbahagia tanpa engkau di sampingku."
"Liem kongcu, tutup mulutmu! Lupakah kau bahwa aku adalah seorang penghuni kuil yang suci. Minggir, kalau tidak aku akan berteriak menyatakan bahwa kau sebagai putera jenderal mengganggu seorang penghuni kuil." Sambil berkata demikian, Sian Hwa melanjutkan perjalanannya dengan sangat cepatnya.
Liem Swee tidak berani mengejar karena memang amat berbahaya kalau penduduk dusun itu mengetahui bahwa dia hendak mengganggu seorang nikouw kuil Sun pok thian. Tentu ia akan malu sekali dan ayahnya akan marah bukan kepalang kepadanya. Ia tahu bahwa ayahnya amat menjaga nama keluarganya.
Selama dua tahun ini, Liem Swee mendapat kenyataan bahwa sebetulnya ia tak dapat melupakan Sian Hwa, sumoinya itu. Setahun setelah peristiwa di kuil Sun pok thian itu, ia dijodohkan dengan seorang gadis cantik di kota raja, puteri seorang berpangkat. Gadis itu selain pandai ilmu sastera dan terpelajar, juga amat cantik, sehingga disebut sebagai bunga kota raja. Tadinya memang Liem Swee amat puas dengan isterinya ini, tetapi beberapa bulan kemudian setelah menikah, ia mulai merasa bosan dan memperlakukan i terinya dengan kasar serta acuh tak acuh. Mereka mulai bercekcok karena sebagai puteri bangsawan yang terpelajar, isterinya itu tidak mandah saja diperlakukan sewenang wenang, Pat jiu Giam ong turun tangan dan tentu saja jenderal ini membela puteranya dan memaki maki kepada menantunya itu. Hal ini membuat isteri Liem Swee menjadi sakit hati dan malam harinya ia lalu membunuh diri dengan minum racun.
Pedang Sinar Emas Kim Kong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tak seorangpun tahu kecuali Liem Swee dan seisi rumah keluarga Liem bahwa nyonya muda yang baru menikah lima bulan itu menamatkan hidupnya dengan minum racun, karena Pat jiu Giam ong mengancam keras kepada semua orang tidak boleh menyiarkan berita ini. Kematian nyonya itu dinyatakan sebagai mati karena sakit mendadak dan tak seorangpun yang berani mencurigainya. Demikianlah, Liem Swee menjadi duda muda dari setiap hari ia merindukan sumoinya yang masih berada di kuil Sun pok thian. Ketika mendengar dari para penyelidiknya bahwa sumoinya itu kini telah memelihara rambut, timbul harapan baru dan cintanya bernyala kembali, Sian Hwa dengan muka merah melanjutkan perjalanannya ke Tong seng kwan di mana ia mengunjungi makam ayahnya yang kini sudah diperbaiki. Sian Hwa mendapat bantuan dan Pek Lian Suthai untuk menyuruh orang memperbaiki makam ini yang sekarang sudah dipasangi batu nisan yang berukir nama ayahnya.
Ketika ia bersembahyang di depan kuburan ayahnya, timbul pula kesedihan hati Sian Hwa. Kesedihan ini timbul karena kecemasannya waktu bertemu dengan Liem Swee dan mendengar ucapan pemuda itu, ia menjadi cemas. Ia maklum bahwa bekas suhengnya itu tentu takkan mau melepaskannya dan kalau sampai suhunya ikut campur, akan celakalah dia. Oleh karena itu, sambil bersembahyang, Sian Hwa berpamit kepada arwah ayahnya, karena ia telah mengambil keputusan untuk melarikan diri dan minggat dan kota ini. Ia hendak merantau dan menjauhkan diri dari Liem Swee.
Setelah cukup lama bersembahyang di depan makam ayahnya Sian Hwa lalu pergi dan situ dan tergesa gesa kembali ke kuil. Ia telah mengambil keputusan tetap untuk berpamitan dari semua nikouw dan pergi meninggalkan tempat itu. Akan tetapi baru saja ia keluar dari kota Tong seng kwan dan tiba di hutan dekat dusun di mana kuil Sun pok thian berada, tiba tiba dari balik sebatang pohon melompat keluar seorang laki laki dan ternyata orang itu adalah.... Liem Swee!
Bukan main mendongkolnya hati Sian Hwa melihatnya.
"Mau apa kau menghadang perjalananku?" tanyanya ketus.
"Sian Hwa, jangan salah sangka. Aku tidak berniat buruk. Kau tahu bahwa aku takkan pernah mau mengganggu sedikitpun juga padamu. Harap kau menaruh hati kasihan kepadaku, sumoi. Marilah kita menghadap ayah. Aku yang menanggung bahwa ia tentu akan memaafkan kau dan....dan.... tolonglah aku, mari kita menyambung kembali tali perjodohan kita yang terputus itu, sumoi."
Ketika Sian Hwa mendelik dan hendak marah, Liem Swee menyambung cepat cepat, tidak memberi ketika kepada dara itu untuk berbicara. "Sumoi, kau masih muda, mengapa kau hendak menghabiskan waktumu dengan berduka dan berkabung" Marilah kita mulai penghidupan baru, mari kita mencari kebahagiaan bersama. Kita sudah saling mengenal semenjak kecil, sudah tahu watak masing masing Sumoi, marilah...."
"Aku tidak perduli semua itu bukan urusanku! Jangan kau menggangguku lagi selama hidupmu!" bentak Sian Hwa dengan marah. Dalam pandangan Liem Swee, setelah berpisah dua tahun kini Sian Hwa menjadi makin cantik dan manis. Gadis itu sekarang lebih manis daripada dahulu dan lebih matang dan sikapnya tidak kekanak kanakan lagi. Oleh karena itu, ia telah menjadi tergila betul dan ketika Sian Hwa pergi ke Tong seng kwan, ia sengaja menanti di dalam hutan itu agar pembicaraan mereka tidak terdengar oleh orang lain.
Jilid X "SUMOI, jangan kau berkeras hati. Tak percaya aku bahwa kau yang secantik ini akan berlaku kejam."
"Tutup mulutmu yang palsu itu!" Sian Hwa berkata marah. "Agaknya kau tidak ingat lagi betapa kau menggunduli rambutku, ya?"
Mendengar ini, Liem Swee menjadi pucat. "Kau masih marah, sumoi" Bukankah kau sendiri yang menghendaki untuk menjadi nikouw" Kau anggap aku bersalah dalam hal itu" Baiklah, aku minta ampun kepadamu." Setelah berkata demikian, pemuda yang sudah tergila gila itu lalu menjatuhkan diri berilutut di depan Sian Hwa!
Tetapi Sian Hwa mempergunakan kesempatan itu untuk melompat dan berlari pergi dari situ. Dahulu ilmu lari cepatnya lebih tinggi dari pemuda itu, maka kini ia hendak mempergunakan ilmunya untuk melarikan diri dari Liem Swee. Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika sebentar saja Liem Swee telah dapat menyusulnya dan menghadang di depannya lagi. Ternyata bahwa selama dua tahun ini, kepandaiaan Liem Swee telah maju pesat sekali dan melampauinya.
"Sumoi, kasihanilah aku...."
Kini Sian Hwa betul betul marah. "Orang tak tahu diri! Ketahuilah, bahwa selama ini aku melatih ilmu silatku dan kalau perlu, aku akan dapat menghadapimu dengan pedang terhunus! Apakah kau menghendaki pertempuran untuk menentukan siapa yang akan menggeletak tak bernyawa di sini" Dulu aku tidak berani melawan karena kau adalah suhengku, akan tetapi sekarang, biarpun ayahmu sendiri datang, aku tidak akan mundur setapak dan akan kupertaruhkan nyawaku!" Mata gadis ini berapi api saking marahnya, sehingga Liem Swee menjadi ragu ragu.
"Sumoi, jangan begitu. Kalau kita bertempur, kau takkan menang akan tetapi, aku bersumpah takkan mau mempergunakan kekerasan terhadapmu. Sumoi, demi kebahagiaanmu, demi kebahagiaan kita, kasihanilah aku dan kasihanilah hidupmu sendiri. Apakah kau selamanya akan begini saja" Mari kita menghadap ayah dan..."
"Aha, di mana mana saja kujumpai laki laki hidung belang macam ini! Sungguh menjemukan sekali." Tiba tiba terdengar suara yang nyaring dan keluarlah orangnya dari balik serumpun pohon kembang. Orangnya sesuai benar dengan suaranya yang nyaring dan jenaka, karena ia adalah seorang pemuda yang. berpakaian warna biru muda, berwajah tampan luar biasa bertubuh kecil berisi. Pemuda yang baru datang ini nampaknya jenaka dan periang sekali, terutama sepasang matanya yang bersinar sinar dan mulutnya yang tersenyum manis.
"Enci yang manis, apakah anak manja dari Jenderal ini mengganggumu?" pemuda tampan ini bertanya, sambil memandang kepada Sian Hwa. Dara ini sedang marah, kini melihat lagak pemuda yang agaknya bahkan lebih kurang ajar dan pandangan matanya terlalu berani ini, maka ia menjadi marah. Ia hendak memaki akan tetapi didahului oleh Liem Swee yang berobah air mukanya melihat datangnya pemuda ini.
"Kau...?"" Gadis liar, agaknya kau sudah bosan hidup maka berani mencampuri urusanku!"
"Aha, benar benar galak putera Pat jiu Giam ong. Agaknya kepandaianmu sudah banyak maju maka kau berani berlagak di hadapanku."
Kini terbukalah mata Sian Hwa dan gadis ini memandang kepada "pemuda" itu dengan mata terbelalak. Tak pernah disangkanya bahwa "pemuda" ini sebetulnya seorang gadis. Kini teringatlah Sian Hwa siapa adanya gadis itu, ingatannya ini diyakinkan pula oleh seruan Liem Swee yang telah mencabut pedangnya.
"Sumoi, hayo kau bantu aku menangkap gadis liar ini. Dia adalah pembunuh dari Ngo jiauw eng Dia inilah gadis liar yang dahulu mengacau di atas rumah ayahmu!"
"Aku bukan sumoimu dan aku tidak perduli urusanmu!" jawab Sian Hwa dengan suara dingin. "Kalau berani, lawanlah sendiri!"
Gadis jenaka yang berpakaian seperti pemuda itu tentu saja pembaca sudah menerka siapa orang nya. Memang, dia adalah Yap Lan Giok, puteri dan Yap Bouw atau murid dari Mo bin Sin kun. Kini mendengar jawaban Sian Hwa, Lan Giok bertepuk tangan sambil tertawa geli.
"Hi, hi, hi, tepat sekali, enci, tepat sekali! He, orang tinggi besar, apakah kau masih ingin menangkap aku?"
Liem Swee merasa mendongkol sekali. Ia merasa ragu ragu untuk melawan Lan Giok seorang diri saja. Kalau sumoinya ikut mengeroyok, tentu ia akan dapat menang, seperti juga dahulu gadis liar ini pernah ia keroyok dengan Sian Hwa dan mereka hampir menang kalau tidak datang murid Lam hai Lo mo yang membantu Lan Giok. Sekarang, disuruh menghadapi gadis murid Mo bin Sin kun ini seorang diri, ia merasa bimbang. Ia memang tidak mempunyai hubungan dengan Ngo jiauw eng dan kematian orang itu tidak ada sangkut pautnya dengan dia, pula ayahnya selama ini melarang ia membuat permusuhan dengan murid murid tokoh tokoh besar seperti Mo bin Sin kun, Kim Kong Taisu dan yang lain lain.
"Aku seorang laki laki gagah tidak sudi menyerang seorang perempuan liar!" kata Lian Swee dan cepat ia melompat dan pergi meninggalkan tempat itu.
Lan Giok tertawa terkekeh kekeh sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah Liem Swee yang melarikan diri. Melihat kejenakaan gadis ini, mau tidak mau Sian Hwa tersenyum kagum. Mengapa aku tidak bisa gembira seperti gadis ini" Alangkah senangnya menjadi orang yang demikian bebas dan gembira.
"Adik yang baik, kau benar benar berani sekali. Tidak tahukah kau bahwa dia adalah putera dari Pat jiu Giam ong dan bahwa aku sendiripun bekas murid Pat jiu Giam ong dan terhitung sumoinya" Apakah kau sudah lupa betapa dahulu di dalam hutan, kau hampir saja roboh karena keroyokan kami berdua?"
Lan Giok mengangguk angguk lalu menghampiri Sian Hwa dan memegang tangannya dengan ramah. "Enci, tak perlu kau ceritakan hal itu kepadaku. Ingatanku tajam sekali dan aku masih ingat akan wajahmu yang cantik seperti bidadari ini. Tak heran si katak buduk itu tergila gila kepadamu. Enci, bukankah kau bernama Sian Hwa dan puteri dari Panglima Bucuci" Bukankah kau telah melarikan diri dari rumah bersama ibumu dan tinggal di dalam kuil Sun pok thian sampai bertahun tahun?"
Sian Hwa tersenyum dan memandang tajam. Sikap gadis jenaka ini membuatnya bergembira. Ia merasa seakan akan gadis ini telah menjadi kenalan lama, padahal dua kali ia bertemu dengan gadis itu sebagai lawan bertempur, pertama kali, ketika ia mengeroyoknya dengan Liem Swee di dalam hutan dan kedua kalinya ketika gadis ini datang di rumah ayah angkatnya membunuh Ngo jiauw eng. Akan tetapi, sekarang berhadapan dengan Lan Giok, ia sama sekali tidak merasa seperti berhadapan dengan seorang bekas lawan atau musuh, bahkan merasa seperti berhadapan dengan seorang kawan baik atau adik sendiri. Kejenakaan Lan Giok agaknya merangsang dan menular kepadanya.
"Adik yang nakal, kau agaknya telah menjadi seorang mata mata atau penyelidik yang berhidung tajam. Entah sampai berapa jauh kau mengetahui segala macam rahasiaku?"
Lan Giok sengaja memasang muka yang lucu seperti seorang ahli nujum atau gwamia. Ia memandang muka Sian Hwa sambil meruncingkan bibirnya yang manis, kemudian berkata penuh aksi. "Hem, aku dapat membaca pikiran dan isi hatimu, enci Sian Hwa. Aku melihat semua rahasiamu. Kau dipaksa menikah dengan katak buduk tadi, dipaksa oleh ayah angkat dan gurumu, Kau memberontak dan menolak, sehingga terjadi ribut ribut di dalam rumahmu. Kau lalu melarikan diri bersama ibumu dan menumpang di kuil Sun pok thian Dan agaknya.... ayah dan gurumu tidak mau mengakuimu lagi, kecuali Liem Swee si katak buduk tadi yang tergila gila betul kepadamu."
"Aduh, pandai betul kau. Adik yang baik, aku hanya mengetahui bahwa kau adalah murid kesayangan dari Mo bin Sin kun, akan tetapi aku tidak tahu siapakah sebetulnya namamu?"
"Namaku Lan Giok, enci, she Yap."
"Tentang she mu aku tahu, adik Lan Giok bahkan aku pernah bertemu dengan ayahmu, bekas Jenderal Yap itu."
Wajah Lan Giok bersari. "Ayahku telah menceritakan kepadaku tentang kebaikan hatimu, enci."
"Hm, siapa bilang aku baik" Orang baik baik tidak akan mengalami nasib seperti aku. Eh, adik Lan Giok, coba kauceritakan, rahasia apalagi selanjutnya yang telah kau ketahui?"
Kembali Lan Giok berlagak, lalu berkata. "Hem, hem, aku tahu bahwa kau telah menyerahkan hatimu kepada seorang pemuda."
Kali ini benar benar Sian Hwa terkejut betul. Mukanya berobah pucat, sehingga Lan Giok buru buru berkata dengan suara sungguh sungguh. "Maaf, enci, aku tidak bermaksud menyinggung perasaan hatimu. Aku hanya main main saja."
Sian Hwa dapat menetapkan hatinya. "Benarkah kau hanya main main saja, adik Giok?"
"Bersumpah disaksikan bumi dan langit kalau aku tadi bicara betul betul. Mana aku tahu rahasia hatimu" Aku hanya menduga duga saja. Kau menolak untuk dijodohkan dengan putera Pat jiu Gijam Ong. Padahal kau adalah murid dari ayah pemuda itu dan sepanjang penglihatanku, pemuda she Liem itu tidak buruk rupa. Maka...."
"Nanti dulu, kau menyebut katak buduk, bagaimana sekarang kau bilang tidak buruk rupa?"
"Tidak semua katak buduk buruk rupa, enci," jawab Lan Giok sambil tertawa geli dan Sian Hwa terpaksa tertawa juga sambil memeluk pundak Lan Giok. Timbul rasa sukanya kepada gadis yang jenaka ini.
"Oleh karena itulah, enci, maka satu satunya alasan mengapa kau menolak untuk menjadi menantu Pat jiu Giam ong, tentu saja..... hatimu telah dicuri oleh sepasang alis yang berbentuk golok!"
Sian Hwa melengak dan kembali hatinya berdebar aneh. Terbayang wajah Bun Sam dan terutama sekali sepasang alis pemuda itu terbayang jelas karena memang alis pemuda ini bentuknya seperti golok yang membuat wajahnya tampak gagah dan sangat tampan.
"Apa pula ini?" tanyanya dengar heran. "Alis berbentuk golok?"
Melihat keheranan pada wajah Sian Hwa, Lan Gok tertawa makin menjadi, lalu katanya gembira. "Enci Sian Hwa, siapa lagi kalau bukan seorang pemuda yang gagah dap tampan yang mempunyai alis seperti golok bentuknya" Pernahkah kau mendengar seorang wanita yang mempunyai alis berbentuk golok" Tentu seorang pemuda, bukan" Dan tak mungkin hatimu dicuri oleh seorang gadis, bukan?"
Mau tak mau Sian Hwa tertawa juga terpingkal pingkal sambil mencubit lengan Lan Giok. Ini adalah, kegembiraan pertama kali yang dirasai nya selama tiga tahun akhir akhir ini. Hidup di dalam kuil dengan para nikouw itu sama saja dengan hidup menyepi di tempat sunyi, karena para nikouw itu tak pernah bergurau, tak pernah bergembira dan mereka menuntut penghidupan dengan saleh dan beribadat, seakan akan hidup ini hanya berisi kemuraman dan upacara. Sungguh Sian Hwa yang memang berwatak gembira amat tersiksa oleh hidup seperti itu dan seringkali ia mengakui kebenaran ucapan Pek Lian Suthai bahwa ia tidak berbakat untuk menjadi pendeta!
"Adik Lan Giok, kau benar benar nakal, akan tetapi aku suka berada di sampingmu. Adik yang baik, sebenarnya kau datang dari mana dan hendak kemanakah?"
"Terlalu panjang untuk dituturkan dan berbahaya kalau sampai terdengar oleh orang orang lain," jawab Lan Giok dan kini mukanya bersungguh sungguh yang membuat dia nampak lebih lucu lagi, karena sesungguhnya wajah Lan Giok yang manis dan kekanak kanakan itu tidak pantas kalau keningnya dikerutkan.
"Kalau begitu, marilah kita pergi ke kuil, di sana kita boleh bicara dengan leluasa dan aman. Akupun mempunyai sebuah permintaan yang hendak kusampaikan kepadamu," kata Sian Hwa, Lan Giok menyatakan setuju dan berangkatlah dua orang nona pendekar ini ke kuil Sun pok thian. Tentu saja para nikouw memandang aneh dan memperlihatkan sikap menentang ketika Sian Hwa datang bersama dengan seorang pemuda yang tampan itu. Mereka melarang "pemuda" itu memasuki ruang di ruang dalam, akan tetapi sambil tertawa tawa Lan Giok membuka kain pembungkus kepalanya dan semua nikouw melongo ketika melihat kepala dan wajah seorang gadis yang cantik dan berambut halus panjang dan hitam sekali itu.
"Lihatlah, aku hanyalah seorang laki laki palsu! Apakah sekarang aku boleh memasuki kamar enci Sian Hwa?" tanya Lan Giok dengan lagaknya yang jenaka. Para nikouw itu terpaksa tersenyum geli, suatu hal yang jarang mereka alami. Benar benar Lan Giok mendatangkan kegembiraan di dalam kuil yang biasanya berada dalam suasana sunyi, tenang dan berkabung itu.
"Enci Sian Hwa," Lan Giok mulai menuturkan pengalamannya yang sekaligus membuka hal hal yang sama sekali tak pernah diketahui oleh Sian Hwa setelah mereka duduk di dalam kamar. "Agaknya kau tidak mengetahui hal hal yang terjadi di luar kuil. Sebaliknya, persoalanmu dengan gurumu dan peristiwa yang terjadi di keluargamu, kami semua telah mengetahuinya. Gurukulah yang tahu akan keadaanmu, maka akupun mengetahuinya pula. Oleh karena kau telah bentrok dengan Pat jiu Giam ong dan telah mengasingkan diri di sini sampai dua tahun, maka kami tidak menganggap kau sebagai lawan lagi."
"Heran sekali mengapa Pat jiu Giam ong menyiarkan hal yang menyangkut perjodohanku yang putus dengan puteranya," kata Sian Hwa dengan heran, karena ia menduga bahwa tentu Pat jiu Giam ong akan merahasiakan hal itu sekerasnya demi menjaga nama baiknya.
Lan Giok tertawa. "Memang dirahasiakan olehnya, akan tetapi siapa dapat merahasiakan sesuatu dari guruku" Dan pula, hal hal yang menyangkut keadaan Pat jiu Giam ong, siapa yang tidak akan memperhatikannya" Sekarang dengarkan penuturanku, enci, banyak sekali hal hal hebat terjadi selama kau bertapa di tempat ini. Maka berceritalah Lan Giok dan untuk mengetahui cerita ini sebaiknya, marilah kita mengikuti dari permulaan, karena memang banyak sekali peristiwa terjadi selama tiga tahun ini, yakni semenjak Lan Giok dan Thian Giok dirampas dari penangkapan Pat jiu Giam ong oleh guru mereka, Mo bin Sin kun sebagaimana telah dituturkan di bagian depan.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, ketika Lan Giok dan Thian Giok terancam bahaya hendak ditawan oleh pat jiu Giam ong dan dibela dengan mati matian, tetapi sia sia oleh karena Bun Sam yang kepandaiannya kalah jauh dari Pat jiu Giam ong, datanglah Mo bin Sin kun yang di saat yang tepat itu telah dapat menolong dan membawa kedua muridnya itu pergi, ia menantang Pat jiu Giam ong yang dijawab oleh Liem goanswee bahwa tiga tahun lagi Pat jiu Giam ong hendak mengadakan perhitungan.
Dengan cepat Mo bin Sin kun membawa dua orang muridnya ke puncak Sian hwa san di mana ibu kedua orang anak ini hidup sebagai seorang pertapa. Setelah tiba di puncak Sian hwa san, di mana terdapat sebuah kuil yang indah, Mo bin Sin kun meraba mukanya dan sebentar saja wajahnya yang menyeramkan itu berubah menjadi seorang wanita berusia kurang lebih empat puluh lima tahun dan yang ternyata amat cantiknya! Inilah keanehan Mo bin Sin kun karena setiap kali ia melakukan pergerakan, ia selalu memakai sebuah kedok yang membuat mukanya menjadi buruk dan membuat ia dijuluki Si muka iblis ! Juga tak seorangpun mengetahui kecuali tokoh tokoh yang tergabung dalam Lima Besar, bahwa Mo bin Sin kun sesungguhnya adalah seorang wanita!
Ibu sepasang anak kembar itu menjadi terhibur dan girang melihat dua orang anaknya kembali dalam keadaan selamat. Semenjak ia dan kedua orang anaknya dibawa oleh Mo bin Sin kun, ia hidup melakukan tapabrata dan melakukan ibadat sebagai seorang pertapa, juga ia membantu mengurus kuil tempat kediaman Mo bin Sin kun. Namun tiap kali Thjan Giok atau Lan Giok turun gunung untuk ikut guru mereka atau juga untuk melakukan tugas yang diperintahkan oleh Mo bin Sin kun, hati ibu itu selalu merasa gelisah.
Kali ini, kedatangan mereka membawa berita yang amat mengejutkan, tetapi menggirangkan hati nya, ia mendapat warta bahwa suaminya, Jenderal Yap Bouw, masih hidup! Hampir saja ia tidak dapat percaya, karena bukankah telah tersiar luas beril bahwa suaminya, jenderal besar itu telah tewas di dalam medan perang" Ketika mendengar dari kedua orang anaknya bahwa, kini Yap Bouw telah menjadi seorang gagu dan rusak mukanya, nyonya ini menangis dengan hati pilu. Benar benar ia tidak beruntung. Ketika suaminya pergi, Lan Giok belum lahir, karena suaminya terikat oleh tugasnya.
Setelah mengalami peristiwa di kota raja, Lan Giok dan Thian Gok merasa betapa kepandaian mereka sebenarnya masih jauh untuk dapat diandalkan. Menghadapi Pat jiu Giam ong, mereka sama sekali tidak berdaya. Juga mereka kini tahu bahwa Pat jiu Gian ong mempunyai dua orang murid yang berkepandaian tinggi, juga Lan Giok sudah menyaksikan kehebatan kepandaian murid dari Lam hai Lo mo. Maka mereka lalu melatih diri dengan amat tekunnya. Mo bin Sin kun juga mencurahkan segala perhatiannya untuk menggembleng kedua orang murid ini, apalagi karena Pat jiu Giam ong telah berjanji hendak membalas dendam tiga tahun kemudian.
Beberapa bulan kemudian selagi Thian Giok dan Lan Giok berlatih silat di bawah pengawasan Mo bin Sin kun, tiba tiba wanita sakti itu lalu berkata. "Ada orang datang!" Dalam sekejap mata saja ia telah mengenakan kedoknya yang hitam dan yang demikian cepat menutup mukanya, sehingga tak seorangpun akan menduga bahwa mukanya memakai kedok.
Benar saja, dari lereng Bukit Sian hwa san nampak bayangan seorang laki laki yang mendaki bukit itu dengan ilmu lari cepat yang tinggi.
"Ayah.....!" Thian Giok dan Lan Giok berseru hampir serentak. Lalu mereka serentak berlari lari menyambut kedatangan Yap Bouw. Setelah berhadapan, kedua anak ini lalu menubruk ayah mereka dan ketiganya berpelukan dengan penuh rasa terharu. Yap Bouw menggerak gerakkan jari tangannya yang maksudnya bertanya di mana ibu kedua orang anak itu, akan tetapi karena Thian Giok dan Lan Giok tak pernah mempelajari bahasa gerak jari tangan ini mereka tidak mengerti. Hanya saja Lan Giok memang lebih cepat jalan pikirannya, maka anak ini dapat menduga maksud ayahnya.
"Aah, mari ke kuil menjumpai ibu," katanya dan ia mendahului mereka untuk menyampaikan khabar gembira ini kepada ibunya.
Yap Bouw menjura dengan penuh hormat kepada Mo bin Sin kun, yang membalas dengan penghormatan pula. Dengan kagum dan heran Thian Giok melihat betapa gurunya mengerti akan bahasa gerak tangan ini dan sambil mengangguk angguk Mo bin Sin kun berkata seperti orang menjawab. "Memang seharusnya kau tinggal bersama isteri dan anak anakmu, Yap sicu. Mereka amat merindukan kau. Tentu saja aku tidak keberatan kalau kau tinggal di sini, bahkan kebetulan sekali karena aku sendiri sering kali turun gunung, sehingga dengan adanya kau di sini, hatiku lebih merasa tenteram meninggalkan mereka."
Sambil menggerak gerakkan tangannya, Yap Bouw lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Mo bin Sin kun, menyatakan terima kasihnya yang tak terhingga bahwa tokoh besar ini telah menolong nyawa isteri dan anak anaknya, bahkan telah mengangkat kedua anaknya menjadi murid. Mo bin Sin kun cepat membungkuk dan minta Yap Bouw berdiri kembali sambil mengucapkan kata kata merendah.
Pada saat itu, Lan Giok datang berlari lari lalu memeluk ayahnya. Kedua mata anak ini basah oleh air mata, agaknya ia dan ibunya telah bertangis tangisan saking bahagianya.
"Ayah, lekas, ibu menanti kedatanganmu," katanya sambil membetot betot tangan ayahnya. Melihat anak anaknya, berserilah wajah Yap Bouw. Dunia ini seakan akan berobah dalam pandangan matanya. Kalau tadinya ia merasa bosan hidup, sekarang ia dapat menikmati kebahagiaan melihat putera puterinya yang demikian elok dan gagahnya. Dengan kedua tangan digandeng oleh Thian Giok dan Lan Giok. Yap Bouw menuju ke kuil.
Di ruang depan dari kuil yang bersih itu, Yap Bouw melihat isterinya berdiri. Hatinya terharu sekali dan tak terasa pula air matanya turun membasahi kedua pipinya. Isterinya mengenakan baju warna putih seperti lazimnya dipakai oleh para pendeta. Wajah isterinya masih tetap cantik seperti dulu, hanya kini nampak muram dan lemah, seperti seorang yang sudah banyak menderita pahit getir penghidupan.
"Ibu, ini ayah datang....!" Lan Giok yang jenaka berteriak teriak.
Pertemuan antara kedua suami isteri itu sungguh sungguh mengharukan hati. Dengan isak tertahan isteri Yap Bouw berlari maju dan menubruk kedua kaki suaminya, merangkul kaki itu dan menangis tersedu sedu. Tak sebuahpun kata kata keluar dari mulutnya, karena ia tidak kuasa mengeluarkan suara. Dada dan kerongkongannya penuh sesak oleh sedu sedan.
Yap Bouw berdiri bagaikan patung, menundukkan mukanya, menggigit bibir dan air matanya turun bagaikah hujan. Kedua tangannya mengelus elus rambut kepala isterinya dan matanya dimeramkan, nyata sekali ia menahan rasa sakit pada jantungnya yang seperti diiris iris. Melihat keadaan mereka, Thian Giok dan Lan Giok lalu menubruk ibu mereka dan menangis pula.
Karena tak dapat berkata kata, Yap Bouw yang telah dapat menenangkan hatinya lebih dulu lalu menarik isterinya berdiri dan sambil menunjuk ke arah mukanya sendiri, ia lalu menggerak gerakkan tangannya dengan maksud bertanya apakah isteri dan anaknya tidak malu melihat ia telah berobah menjadi seperti itu. Sesungguhnya isterinya dan kedua anaknya tidak mengerti bahasa ini, akan tetapi perasaan Yap Bouw agaknya membisikkan sesuatu kepadanya, sehingga ia dapat juga menangkap maksudnya. Sambil menangi dan memeluk pundak suaminya, ia berkata. "Suamiku, betapapun juga, kau tetap suamiku, kau tetap ayah dari Thian Giok dan Lan Giok !"
Suasana terharu itu kemudian berobah menjadi girang ketika Lan Giok yang cerdik itu cepat berlari mengambil kertas dan alat tulis dan kini "percakapan" dilanjutkan lebih lancar setelah Yap Bouw dapat menuliskan segala pertanyaan dan jawaban di atas kertas itu.
Demikianlah, keluarga jenderal besar itu akhirnya dapat berkumpul kembali, hidup dengan aman dan tenteram di dalam kuil di atas Bukit Sian hwa san, isteri Yap Bouw melanjutkan hidupnya sebagai seorang pendeta wanita, bahkan Yap Bouw tertarik pula dan kini kakek gagu inipun menukar pakaiannya sebagai pertapa dan ikut pula bersamadhi dan memperdalam ilmu batinnya sambil membantu pekerjaan menjaga kuil.
Ia merasa kagum sekali melihat kemajuan ilmu silat kedua anaknya yang kini tingkat kepandaiannya sudah lebih tinggi daripada kepandaiannya sendiri. Diam diam ia teringat kepada Bun Sam dan mengandung maksud hendak menjodohkan Lan Giok dengan pemuda itu. Isterinya menyatakan persetujuannya, karena ia percaya penuh bahwa suaminya tentu takkan salah pilih. Akan tetapi mereka tidak tergesa gesa menyampaikan usul ini kepada Lan Giok atau Mo bin Sin kun, karena gadis itu sedang giat berlatih silat setiap hari.
Waktu berjalan pesat sekali dan dua tahun telah lewat semenjak Yap Bouw berada di puncak Sian hwa san. Tidak terjadi peristiwa penting selama itu, sampai pada waktu pagi hari di musim dingin itu.
Pagi pagi benar Lan Giok dan Thian Giok melatih ilmu silat mereka, karena guru mereka baru kemarin datang dari perantauannya selama tiga bulan. Mo bin Sin kun membawa banyak kabar dari kota raja. Menurut guru mereka ini Lam hai Lo mo Seng Jin Siansu telah bersekutu dengan sutenya, yakni Pat jiu. Giam ong untuk membentuk sebuah perkumpulan orang gagah yang disebut Hiat jiu pai (Perkumpulan Tangan Berdarah). Perkumpulan itu memakai nama yang serem ini karena setiap orang yang hendak masuk menjadi anggauta, diambil sumpahnya dengan mencuci kedua tangan dengan darah harimau. Untuk keperluan ini, tentu saja setiap orang yang hendak menjadi anggauta, harus dapat menangkap seekor harimau hidup hidup dan inipun merupakan ujian karena kalau tidak berkepandaian tinggi, mana dapat menangkap harimau atau singa" Dan maksud kedua orang tokoh besar itu mendirikan perkumpulan ini, selain hendak mengumpulkan orang orang gagah untuk memperkuat kedudukan mereka, juga mereka ingin menjagoi dunia persilatan. Lam hai Lo mo menjadi ketua pertama dan Pat jiu Giam ong menjadi ketua ke dua.
Selain berita ini, juga dari Mo bin Sin kun, kedua orang muda itu mendengar tentang keadaan rumah tangga Bucuci dan itulah sebabnya maka Lan Giok tahu akan keadaan Sian Hwa. Diam diam mereka semua bersimpati dengan Sian Hwa, lebih lebih Lan Giok, karena gadis itu pernah bertemu dengan Sian Hwa dan mengagumi kecantikan dan kepandaian gadis baju merah itu.
"Karena itu, kalian berdua harus lebih giat lagi berlatih, karena sangat besar kemungkinan kalian menjadi dua diantara orang orang yang berkewajiban menghadapi perkumpulan berbahaya itu," kata Mo bin Sin kun menutup penuturannya dan pada pagi hari itu, Lan Giok dan kakaknya berlatih ilmu Silat yang paling tinggi dan sukar yang sebelum turun gunung telah diajarkan oleh guru mereka.
Tiba tiba Mo bin Sin kun dan dua orang muridnya itu berhenti berlatih dan memandang ke tengah udara. Entah dari mana datangnya, tahu tahu di atas mereka melayang layang sebuah benda yang kecil berwarna hitam dan dengan cara aneh sekali, benda itu melayang turun dan tiba menancap di tas tanah, di depan Mo bin Sin kun dan ternyata bahwa benda itu adalah sebatang tongkat hitam berbentuk ular yang panjangnya kira kira empat kaki. Melihat sebatang tongkat dapat terbang melayang bagaikan seekor ular bersayap dan kemudian menancap di depan mereka, sungguh sukar untuk dipercaya karena tongkat itu seakan akan hidup.
Kalau Thian Giok dan Lan Giok berdiri bengong terheran keran, adalah Mo bin Sin kun yang bersikap tenang, sungguhpun di balik kedoknya wajahnya berobah ketika ia melihat tongkat ini.
"Waspadalah, Lam hai Lo mo agaknya datang mengunjungi kita!" katanya dan diam diam wanita sakti ini meraba ke dalam saku bajunya untuk melihat apakah senjatanya yang paling diandalkan berada di saku itu. Senjata ini sederhana saja bentuknya, yakni sehelai sabuk sutera berwarna hitam yang kedua ujungnya dipasang bintang perak yang berujung lima dan runcing sekali, sebesar kepalan tangan. Kalau tidak dipakai, senjata ini dapat dilipat dan dimasukkan ke dalam saku baju.
Tiba tiba terdengar suara ketawa yang menyeramkan sekali seperti suara kuda meringkik, disusul oleh suara ke tawa yang nyaring, akan tetapi juga amat menyeramkan. Bagaikan dua sosok bayangan setan, berkelebatlah bayangan dua orang laki laki dan sebentar saja dua bayangan itu telah berdiri di depan mereka. Benar saja, yang berdiri di depan mereka adalah Lam hai Lo mo Seng Jin Siansu, orang diantara Lima Besar yang paling kejam, ganas, aneh dan juga berilmu tinggi. Dan orang ke dua yang berdiri di sebelah kanannya adalah seorang pemuda yang cukup tampan dan ganteng, akan tetapi sepasang matanya begitu sipit, sehingga hanya merupakan dua garis kecil saja. Kulit mukanya halus dan putih seperti kulit muka seorang wanita dan mulutnya yang berbentuk manis itu selalu membayangkan senyum mengejek seperti terdapat pada mulut seorang yang berwatak sombong dan memandang rendah kepada semua orang dan menganggap dirinya sendiri yang paling pintar.
Lam hai Lo mo gelak tertawa sambil mendongak ke atas dan tangan kirinya mencabut tongkat yang menancap di depan Mo bin Sin kun, kemudian ia lalu menjura kepada Mo bin Sin kun sambil membungkuk, dituruti pula oleh pemuda itu yang tentu pembaca sudah dapat menduga siapa orangnya. Dia ini memang murid tunggal dan Lam hai Lo mo, yaitu Gan Kui To.
"Ada gara gara apakah di dunia, maka Lam hai Lo mo, yang bernama besar sampai tersasar ke tempat ini?" tanya Mo bin Sin kun dengan suara dingin dan sikap angkuh. Lain orang boleh menghormat berlebih lebihan kepada Lam hai Lo mo, akan tetapi dia merasa setingkat dengan kakek ini, maka tak perlu ia merendahkan diri. "Tidak tahu apakah kau datang dengan maksud baik atau buruk, dengan kepala dingin atau panas?"
Istana Pulau Es 17 Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo Istana Yang Suram 18
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama