Ceritasilat Novel Online

Pedang Sinar Emas 9

Pedang Sinar Emas Kim Kong Kiam Karya Kho Ping Hoo Bagian 9


Setelah semua alat sembahyang diatur beres, orang itu lalu mengeluarkan alat pembuat api, akan tetapi alangkah kecewanya ketika ia tidak berhasil mencetuskan api untuk membakar dupa karena bahan bakarnya telah basah, mungkin terkena embun di waktu pagi. Ia menjadi bingung dan melihat nikouw itu telah bergerak tanda bahwa pendeta wanita itu telah selesai bersamadhi, ia lalu menghampiri nikouw itu sambil menjura penuh hormat.
"Suthai, mohon maaf sebanyak banyaknya kalau teecu mengganggumu. Teecu hendak membakar dupa dan mohon diberi api sedikit."
Terdengar pekik tertahan dari nikouw itu ketika ia mendengar suara ini. Orang itu mengangkat muka memandang, demikianpun Sian Hwa cepat memutar tubuh memandang. Mereka kini saling pandang, berdiri saling berhadapan, dua pasang mata terbelalak dan tak terasa pula bungkusan hio yang dibawa oleh orang itu terlepas dari pegangannya.
"Bun Sam".!"
"Sian Hwa".! Kaukah ini".?"
Panggilan ini diucapkan dengan berbisik tetapi penuh perasaan dan setelah mengeluarkan ucapan ini, keduanya tetap saja tak bergerak untuk beberapa lama, akan tetapi sepasang mata Sian Hwa segera menjadi basah dan butiran butiran air mata mengalir turun di sepanjang kedua pipinya.
Sebaliknya Bun Sam seakan akan tidak percaya bahwa "nikouw" yang berdiri di depannya ini benar benar Sian Hwa. Ia merasa seperti dalam mimpi.
"Sian Hwa".!" Ia melangkah maju dan memegang kedua tangan gadis itu sebelum Sian Hwa dapat mengelak, menggenggam jari jari tangan Sian Hwa dengan mesra dan erat. "Sian Hwa....apakah yang terjadi..." Mengapa kau tiba tiba memakai pakaian pendeta seperti ini ....?" Dan.... mengapa pula kau berada di Sini" Bersembahyang di depan kuburan ini" Sian Hwa, kekasihku, orang yang selama ini tak pernah meninggalkan lubuk hatiku, kenapakah kau" Kenapakah kau" Mengapa mukamu pucat, mengapa kau menangis, mengapa kau berpakaian seperti ini dan mengapa kau berada di sini" Sian Hwa, bagaimana keadaanmu" Ceritakanlah, ceritakanlah!"
Pertemuannya dengan Bun Sam di kuburan ayahnya, benar benar membuat Sian Hwa merasa terkejut, bingung dan terharu sekali. Apalagi ketika Bun Sam memeluknya erat erat dan menghujaninya dengan pertanyaan pertanyaan yang diucapkan dengan suara menggetar penuh perhatian, penuh kasih sayang dan penuh iba hati, gadis ini tak dapat menahan mengucurnya air mata lagi. Ia memeramkan matanya, sepenuh hatinya berhasrat ingin membalas pelukan pemuda itu, ingin menyatakan kegembiraannya, kegirangan hatinya dan cinta kasihnya, tetapi ia menggigit bibir dan menggeleng geleng. Dengan air mata menderas menuruni kedua pipinya ia hanya dapat berbisik perlahan,
"Bun Sam" tidak" Bun Sam, jangan?" biarpun mulutnya berkata demikian, namun ia menjatuhkan kepalanya di atas dada pemuda itu dan untuk beberapa lama ia hanya menangis sedih dibelai belai rambutnya oleh Bun Sam dengan penuh kasih sayang. Kesadarannya membisikkan agar supaya ia menjauhkan diri, agar ia memberontak, karena hal itu benar benar tidak boleh, akan tetapi dalam saat itu, Sian Hwa tak dapat menurutkan kata hatinya ini. Ia telah menjadi lemah dan kalau tidak bersandar kepada Bun Sam mungkin ia telah jatuh pingsan !
"Sian Hwa, kekasihku, marilah kita berbicara dengan tenang. Kita sudah bertemu kembali, hal ini bukankah menggembirakan sekali?" Bun Sam yang sudah dapat menekan keharuan hatinya itu kini berbicara dengan suara gembira sambil menepuk nepuk bahu nona itu.
Tetapi Sian Hwa yang sementara itu juga telah dapat menenteramkan hatinya, tiba tiba merenggutkan tubuhnya dan melepaskan dirinya dari pelukan Bun Sam. Ia harus pandai bermain sandiwara pikirnya. Pemuda ini sendiri belum tahu bahwa dia telah bertunangan dengan Lan Giok, demikian ia mendengar dari Lan Giok. Oleh karena itulah maka Bun Sam masih bersikap manis kepadanya, masih berani menyatakan cintanya.
Ah, tadinya ia sudah bosan hidup dan ia hanya masih ingin hidup karena adanya pemuda ini di dunia. Tetapi sekarang, ia rela menjadi nikouw agar ia jangan sampai menghalangi perjodohan Bun Sam dengan Lan Giok. Ia harus berpura pura tidak menaruh hati lagi kepada pemuda ini.
Dengan menekan gelora batin sendiri, Sian Hwa lalu mengusap air matanya dengan ujung penutup kepalanya yang terbuat daripada kain kasar berwarna putih itu, lalu memaksa tersenyum sambil memandang kepada Bun Sam.
"Song taihiap," katanya dengan suara masih agak gemetar, "aku senang sekali bertemu dengan kau setelah berpisah beberapa tahun ini. Aku.... aku, kau lihat sendiri, taihiap, aku telah menjadi seorang nikouw. Harap kau suka mengingat kedudukanku sebagai seorang pendeta dan janganlah kau membicarakan urusan lama." Ia tersenyum lagi. Setelah berbicara, ternyata mendengar kata katanya sendiri ini, hatinya dapat tenteram dan tetap. Ia melihat betapa pemuda itu menatap wajahnya seakan akan tidak percaya akan pendengarannya sendiri.
"Taihiap, kau tadi bertanya mengapa aku berada di sini" Aku bersembahyang, menyembahyangi makam Ayahku," ia menuding ke arah kuburan Ayahnya. "Dan kau....... apakah yang kau lakukan di tempat ini?"
Akan tapi, mendengar ucapan ini, Bun Sam makin terbelalak kedua matanya dan pemuda ini seakan akan melihat setan di tengah hari. Beberapa kali bibirnya bergerak tanpa mengeluarkan suara sedikitpun, mukanya menjadi pucat dan alangkah heran hati Sian Hwa ketika melihat mata pemuda itu mulai menitikkan butiran butiran air mata yang mengalir turun di sepanjang kedua pipinya.
"Sian Hwa"." akhirnya pemuda itu bisa juga mengeluarkan kata kata, akan tetapi ia menelan ludah dan tak dapat melanjutkan kata katanya.
"Taihiap, kau". kenapakah kau" tanya Sian Hwa dengan hati berdebar.
"Sian Hwa, jadi kaukah ".." Kau puteri dari Can kauw itu" Kaukah Can Sian Hwa,..." Ya Thian yang Maha Adil! Jadi kaukah anak itu....?" Tiba tiba Bun Sam menjatuhkan diri berlutut di depan makam ayah Sian Hwa dan berkata,
"Can pek pek, ampunkan mataku yang sudah menjadi buta. Puterimukah gerangan dia ini.....?"
"Taihiap, apakah artinya semua ini ?" Sian Hwa ikut berlutut dan memandang kepada pemuda itu dengan bingung dan khawatir kalau kalau pertemuan ini telah membuat pemuda itu menjadi berobah pikirannya dan menjadi gila.
Bun Sam menoleh kepadanya, lalu bagaikan seorang gila, pemuda itu menubruk dan memeluknya.
"Sian Hwa....Sian Hwa....pantas saja aku merasa seperti pernah mendengar nama ini".! Ah, kekasihku, bidadariku...."
Sian Hwa benar benar menjadi bingung sekali. Dipeluk pundaknya oleh sepasang lengan yang kuat dan yang sering kali diimpikan itu mendatangkan rasa bahagia yang luar biasa, tetapi ia melawan perasaan ini. Ia mencoba untuk melepaskan diri, tetapi ia tidak kuasa melawan tenaga Bun Sam yang amat kuat.
"Taihiap, lepaskan aku .... !" Apakah artinya semua ini" Kenalkah kau dengan mendiang ayahku?"
"Kenal" Ah, Sian Hwa. Kenal, katamu?"
Ayahmu justeru tewas karena menolongku ketika aku masih kecil. Tanpa pertolongan ayahmu, tidak akan ada Bun Sam yang hari ini berhadapan muka dengan kau! Akupun baru saja mendapat keterangan bahwa di sinilah letaknya kuburan ayah ibuku dan juga kuburan Can pek pek penolongku!"
Bukan main kaget dan terharunya hati Sian Hwa. "Kau harus menjawab dulu apa artinya semua ini, Mengapa kau berpakaian seperti ini dan apakah yang sebetulnya telah terjadi denganmu. Bagaimanakah dengan..... dengan perjodohanmu yang dulu itu" Apakah kau" disia siakan oleh Liem Swee ?" Kata kata ini terdengar penuh kegemasan.
Kembali Sian Hwa teringat akan keadaannya, teringat bahwa biarpun kini tiada halangan baginya untuk berjodoh dengan pemuda pujaan hatinya ini, namun hal itu tidak mungkin. Di sana ada Lan Ciok yang telah ditunangkan dengan Bun Sam. Maka teringat akan semua ini, ia meronta dan melepaskan diri dari pelukan Bun Sam, lalu bangkit berdiri dan mundur tiga langkah.
"Taihiap, jangan kau bersikap seperti itu, ingat, aku telah menjadi seorang nikouw. Aku bukanlah Sian Hwa yang dulu lagi !" Suaranya menjadi dingin kembali, sungguhpun wajahnya amat muram dan tanpa disadarinya meleleh dua titik air mata kembali membasahi pipinya.
"Sian Hwa, tak perlu kau berpura pura. Kemarin dulu kau masih seorang gadis biasa, mengapa sekarang berpura pura berpakaian seperti ini ?" Sebelum Sian Hwa dapat mencegahnya, pemuda itu telah menggerakkan tangan dan terbukalah penutup rambut gadis itu. Sian Hwa kaget sekali dan buru buru hendak menutup kepalanya lagi. Juga Bun Sam, kaget melihat rambut gadis itu telah dipotong hingga leher.
"Sian Hwa, mengapa kau melakukan hal yang gila ini" Mengapa kau memotong rambutmu " Kemarin malam rambutmu masih panjang dan pakaianmu masih biasa saja. Katakan, mengapa?"
Sian Hwa memandang tajam. "Bagaimana kau bisa tahu" Kita telah berpisah tiga tahun lamanya."
Bun Sam tersenyum dan kembali tangannya menyambar dan kini tangan gadis itu telah digenggamnya.
"Betapapun juga, aku tahu bahwa kemarin dulu keadaanmu masih biasa, tidak seperti sekarang. Aku melihatmu bersama Lan Giok gadis centil itu !"
Terbelalak Sian Hwa memandang kepada pemuda ini. "Jadi... kaukah gerangan orang itu" Kaukah yang telah menolong kami dan menolong Thian Giok?"
Bun Sam mengangguk dan hanya tersenyum.
"Nah, sekarang katakanlah, mengapa kau tiba tiba saja berobah menjadi seperti ini."
Sian Hwa menjadi makin bingung. Pemuda ini sekarang ternyata telah menjadi seorang yang lihai sekali dan tinggi ilmu kepandaiannya, ia merasa girang memikirkan ini. Akan tetapi tak mungkin ia mengaku terus terang. Sebaliknya, melihat pemuda ini amat bernafsu untuk mengetahui jelas segala hal, agaknya sukar pula baginya untuk menutup mulut, ia harus diberi waktu untuk berpikir.
"Kau berceritalah dulu tentang keadaan ayah, tentang pertemuanmu dengan ayah, tentang semua pengalamamu, tentang.... pendeknya tentang dirimu, taihiap."
Bu Sam tersenyum lagi. "Aku takkan mau bercerita kalau kau menyebut taihiap kepadaku." Senyum dan pandangan mata pemuda itu membuat Sian Hwa menjadi makin bingung lagi.
"Habis, harus panggil apa?"
"Dahulu kau selalu menyebut namaku saja, mengapa sekarang kau tambah tambahi dengan sebutan taihiap segala. Ditambah koko misalnya masih baik, akan tetapi taihiap" Tidak, aku tidak mau kau menyebutku seperti kita ini tak saling kenal saja."
"Akan tetapi... ingat, pinni adalah seorang nikouw".."
Bun Sam tak dapat menahan gelaknya, ia merasa geli dan lucu sekali mendengar Sian Hwa menyebut "pinni" kepada dirinya sendiri, sebutan yang sering kali diucapkan oleh para nikouw untuk memanggil diri sendiri. Melihat pemuda itu tertawa geli makin bingunglah Sian Hwa.
"Adikku yang baik, kau hanya berpura pura menjadi nikouw. Apakah kaukira aku tak tahu" Kemarin kau masih seorang gadis biasa, sama sekali bukan nikouw. Tak dapat kau membohongi aku."
"Taihiap...." Sian Hwa menahan kata katanya melihat pandangan mata Bun Sam. "Aku tidak bohong kepadamu, aku memang sungguh sungguh berniat masuk menjadi nikouw. Kau boleh tanya kepada nikouw kepala di kelenteng Sun pok thian. Akan tetapi, soal sebutan itu....biarlah kalau kau tidak suka, aku tetap menyebut namamu saja. Sekarang kau berceritalah."
Dua orang muda itu lalu duduk di depan makam saling berhadapan dan berceritalah Bun Sam tentang Can Goan atau Can kauwsu, ayah Sian Hwa, ia menuturkan betapa kedua orang tuanya tewas di tangan pasukan Ang bi tin dan betapa kemudian ia dikejar kejar dan hampir saja tewas pula dalam tangan gerombolan kejam itu kalau saja tidak ada Can kauwsu yang menolongnya.
"Ketika aku disuruh lari ayahmu, dia berpesan agar supaya aku suka membawa puterinya yang bernama Sian Hwa. Akan tetapi aku sendiri tidak berdaya karena akupun hampir saja mati dalam tangan Ang bi tin." Ia lalu menuturkan lebih lanjut betapa kemudian ia terluka dan akhirnya tertolong oleh Yap Bouw si gagu, Sian Hwa mendengarkan dengan penuh perhatian dan ketika ia mendengar tentang ayahnya yang tewas ketika menolong Bun Sam, tak terasa lagi ia menangis terisak isak.
"Dan ibu". bagaimana dengan ibuku.......?" Akhirnya ia bertanya penuh harapan.
"Ibumu" Setahu dan seingatku, ayahmu hanya tinggal dengan kau berdua saja dalam rumahnya. Ayahmu menjadi guru silat dan bersahabat baik dengan ayahku maka aku tahu keadaaaaya. Ayahmu telah.menjadi duda ketika tewas oleh barisan Ang bi tin dan kalau aku tidak salah. Ingat, dulu pernah ayahmu bercerita kepada ayah bundaku bahwa ibumu memang telah meninggal dunia semenjak kau masih kecil sekali."
Sian Hwa kecewa, akan tetapi ia menarik napas lega. Baiknya ibunya tidak menjadi korban barisan Ang bi tin yang kejam.
Sayang aku sendiri tidak melihat siapa orangnya yang telah menewaskan ayahmu, karena pada waktu itu ayahmu menghadapi keroyokan banyak orang, yakni gerombolan Ang bi tin itu.
"Aku tahu!" kata Sian Hwa perlahan, "dan dia sudah tewas. Dia adalah Ngo jiauw eug Lui Hai Siong yang mengakui perbuatannya sebelum mati."
Kemudian, atas permintaan Sian Hwa, Ban Sam melanjutkan penuturannya tentang dirinya sendiri dan akhirnya menuturkan semua riwayatnya, kemudian sambil memandang mesra, ia berkata.
"Sian Hwa, sekarang tibalah giliranmu untuk menuturkan keadaanmu, terutama sekali mengenai halmu dengan Liem Swee dan mengenai kelakuanmu yang aneh ini, yang tiba tiba ingin menjadi nikouw."
Sian Hwa memandang ke atas. Matahari telah naik tinggi dan alangkah cepatnya waktu berjalan selama ia duduk berhadapan dengan Bun Sam mendengarkan penuturan pemuda pujaan hatinya itu. Betapapun juga, ia harus menuturkan keadaan nya selama ini kepada Bun Sam.
"Apakah yang harus kuceritakan kepadamu" Tidak ada apa apa yang menarik, semua kejadian yang menimpa padaku serba menyebalkan dan membosankan." Ia menghela napas panjang.
"Kasihan kau Sian Hwa. Semuda dan secantik ini harus mengalami segala macam kepahitan hidup. Ah, ingin sekali aku dapat membela dan melindungimu selamanya, makin cepat makin baik."
Merahlah wajah Sian Hwa mendengar ucapan yang mengandung penuh arti ini. Ia tidak berani langsung menatap pandangan mata pemuda itu karena betapapun ia berpura pura, sinar matanya takkan dapat menyembunyikan perasaan hatinya. Ia lalu cepat cepat menuturkan pengalamannya.
"Tidak ada yang menarik," katanya sekali lagi, "Semenjak kecil aku dipelihara oleh Bucuci dan dianggapnya sebagai anaknya sendiri. Aku dimanja, diberi apa saja yang kukehendaki, pendeknya, aku menerima banyak sekali dari ayah bunda angkatku itu. Akan tetapi setelah dewasa, aku membalas budi mereka itu dengan pendurhakaan. Aku berkeras tidak mau dijodohkan dengan Liem Swee bekas suhengku, sehingga terjadi ribut ribut di dalam rumah ayah angkatku. Kemudian aku meninggalkan rumah dan tinggal di dalam kuil Sun pok thian, bersama ibu angkatku sampai dia meninggal dunia. Nah, hanya itulah. Karena aku takut kalau kalau selalu diancam oleh bekas guru dan suhengku, aku mengambil keputusan masuk menjadi nikouw!"
"Kasihan kau, Sian Hwa. Kalau begitu, marilah kau pergi saja dengan aku. Mari kita bersama menjelajah dunia ini, suka sama dirasa, duka sama diterima. Aku akan melindungimu dengan seluruh jiwa ragaku. Kau tahu aku cinta kepadamu, Sian Hwa dan di samping itu ada pula dorongan kuat dari keinginanku hendak memenuhi pesan mendiang ayahmu, hendak kubalas budi pertolongannya itu melalui kau. Marilah dan di sampingku, kau tak usah takut kepada si apapun juga. Kalau perlu, ayah angkatmu dan Pat jiu Giam ong akan ku tentang!"
Sian Hwa terpaksa memeramkan matanya dan menggigit bibirnya. Alangkah indahnya kata kata itu, alangkah mesra dan merdunya. Telah ribuan kali ia mengimpikan kata kata seperti ini akan keluar dari bibir Bun Sam. Ah, kalau saja di sana tidak ada Lan Giok yang sudah menjadi tunangan Bun Sam, kalau saja tunangannya itu bukan Lan Giok yang disayangnya, kalau....kalau ! Sian Hwa menguatkan hatinya dan melempar jauh jauh lamunan lamunan kosong ini.
"Tidak, Bun Sam. Tidak bisa, tidak mungkin!" Ia berkata sambil menggelengg gelengkan kepalanya dengan wajah sedih.
"Apakah kau takut kepada bekas garumu?"
"Bukan, bukan itu."
"Apakah karena kau masih ada ikatan pertunangan dengan Liem Swee?"
Bernyala sinar mata gadis itu. "Tidak ada ikatan apa apa lagi. Aku dengan dia sudah putus!"
"Kalau begitu, mengapa kau bilang tidak bisa dan tidak mugkin" Sian Hwa, katakan saja terus terang, mengapa kau tidak mau pergi bersamaku menempuh hidup baru?" Wajah pemuda yang tadinya berseri itu kini mulai nampak muram dan berduka. Perih rasa hati Sian Hwa. Ia tahu betapa besar cinta kasih pemuda ini kepadanya dan ia merasa amat terharu. Akan tetapi, tidak bisa ia merampas pemuda ini dari Lan Giok. Gadis itu demikian gagah dan demikian mulia dan berbudi. Ia merasa malu dan rendah kalau harus merampas tunangan orang, apalagi tunangan Lan Giok, sungguhpun ia merasa yakin bahwa sekali ia mengulurkan tangan, tentu pemuda itn akan memilihnya.
"Tidak apa apa, Bun Sam. Tidak apa apa, hanya tak mungkin. Sudahlah, aku hendak kembali. Selamat tinggal." Gadis ini lalu melangkah pergi meninggalkan Bun Sam.
Pemuda itu tertegun dan untuk sesaat tak dapat berkata sesuatu. Wajahnya pucat sekali. Melihat betapa tubuh gadis itu pergi dengan tindakan terhuyung huyung, ia melompat dan sekali saja ia tergerak melompat, ia telah berada di depan Sian Hwa. Ia melihat betapa gadis itu pergi dengan air mata mengucur deras. Serta merta di pegangnya kedua tangan gadis itu dengan erat dan Sian Hwa menundukkan mukanya, tidak berani menentang pandangan matanya.
"Jangan menahan aku, Bun Sam. Lepaskan aku pergi "." bisiknya.
"Tidak, tidak! Demi Tuhan, kau takkan kulepaskan lagi sebelum kau mengaku mengapa kau berlaku segila ini! Sian Hwa, aku tahu kau suka kepadaku bahwa hatimu mengatakan kau akan suka ikut bersamaku. Akan tetapi kau memaksa menyangkal suara hatimu sendiri. Kau memaksa diri meninggalkan aku. Mengapa?"
Sian Hwa hanya menggeleng gelengkan kepalanya dan air matanya makin menderas. Bagaimana ia harus mengaku"
"Sian Hwa, apakah... apakah kau tidak suka kepadaku?"
Dengan cepat Sian Hwa mengangkat mukanya dan sinar matanya yang tajam menatap wajah pemuda itu merupakan jawaban yang jelas. Tetapi mulut gadis ini tidak dapat mengatakan sesuatu. Bagaimana ia dapat mengatakan cinta kalau hatinya sudah bulat hendak melepaskan pemuda ini, pemuda yang sudah menjadi tunangan Lan Giok"
"Bun Sam aku, aku sudah menjadi nikouw jangat kau bicarakan urusan itu...." Jawabannya menyimpang daripada pertanyaan pemuda itu.
"Itu bukan alasan ! Kalau belum menjudi nikouw kau hanya berpura pura untuk menyingkirkan diri dari ku Sian Hwa, aku bersumpah takkan melepaskanmu lagi. Kalau perlu aku akan menggunakan kekerasan untuk membawamu pergi bersamaku. Aku takkan membiarkan kau hidup mendirita sengsara lagi. Kau berhak hidup bahagia bersamatku!" Akan tetapi"." sampai di sini suara Bun Sam merendah, "tentu saju aku takkan berani mengganggumu kalau... kalau kau mengaku bahwa kau tidak cinta kepadaku. Aku takkan mengganggu padamu lagi. Nah, katakanlah satu antara dua, kau cinta kepadaku atau tidak" Kalau kau mencintaiku, apapun yang menjadi penghalang akan kuhancurkan dan kau harus pergi bersamaku, mencari bahagia. Sebaliknya kalau tidak mencintaiku". aku akan pergi, Sian Hwa."
Bukan main bingungnya hati gadis ini. Ia telah berkorban rela melepaskan pemuda ini kepada Lan Giok, rela pula selama hidupnya menjadi seorang pendeta wanita. Akan tetapi.... alangkah beratnya kalau ia harus mengaku bahwa ia tidak mencintai pemuda ini ! Karena cintanya kepada Bun Sam ia sampai menolak kehendak ayah angkat nya, menolak dijodohkan dengan Liem Swee. Karena cintanya kepada Bun Sam, ia sampai rela meninggalkan kehidupan mewah dan dimanja di rumah Bucuci, rela hidup sengsara sampai tiga tahun lamanya di dalam kuil. Dan sekarang... ia harus mengaku bahwa ia tidak mencintai pemuda itu. Bagaimana bibirnya dapat mengucapkan kata kata yang jauh berlawanan dengan suara hati dan jiwa nya ini" Biar ia dipaksa paksa dan dipukul sampa mati, bibirnya takkan kuasa mengucapkan kata kata ini.
Jilid XII SAMBIL terisak gadis ini lalu melangkah ke depan menghindari tubuh Bun Sam yang menghadang di depannya dan iapun lalu berlari lari sambil menangis. Tetapi Bun Sam yang merasa penasaran, kecewa dan berduka itu sekali melompat saja kembali sudah menghadang di depannya dan kini pemuda itu memegang kedua pundak Sian Hwa. Ia memaksa gadis itu memandangnya dan dengan sinar mata tajam penuh selidik ia menatap wajah Sian Hwa.
"Katakanlah Sian Hwa. Tak usah panjang panjang, kau singkat saja. Kau mencintai padaku, ya atau tidak Kalau berat lidahmu bicara, kau menjawab dengan geleng atau angguk saja. Satu kali anggukan sudah cukup bagiku. Sian Hwa kasihanilah aku, tak tahukah kau betapa hatiku perih sekali menanti keputusan jawabanmu ini?"
Sian Hwa menggigit bibirnya yang menggigil seperti orang kedinginan. Ia menelan ludah beberapa kali sementara otaknya berpikir cepat. Kemudian ia berkata perlahan.
"Bun Sam, aku minta waktu. Tidak dapat ku jawab sekarang, Bun Sam. Kau". kau berilah waktu sehari kepadaku. Besok pagi datanglah di kuil Sun pok thian dan di sana aku akan memberi jawabanku. Harap kau suka bersabar dan tidak memaksaku, Bun Sam...."
Pemuda ini nampak puas. la tidak ragu ragu lagi bahwa Sian Hwa pasti akan memberi jawaban yang sudah lama diidam idamkannya, yakni bahwa gadis itu mencintainya dan bersedia pergi bersamanya! Ia tahu betul bahwa gadis ini masih mencintainya dan tentu saja sebagai seorang gadis, malulah Sian Hwa untuk mengaku cinta di tengah jalan! Biarpun di situ tidak ada orang lain.
Ah, mengapa aku begini terburu nafsu dan bodoh sekali" Kembali timbul senyuman manis di bibir pemuda itu ketika ia melangkah ke samping, memberi jalan kepada Sian Hwa.
"Sian Hwa, pergilah. Aku takkan mengganggu mu, biarlah besok pagi aku datang mengunjungimu di kuil Sian Hwa menatap wajah pemuda itu sampai lama. Ia tahu bahwa inilah pertemuan terakhir dan untuk akhir kalinya ia berkesempatan memandang wajah pemuda yang dicintanya itu. Tak terasa pula ia memegang kedua tangan Bun Sam, bibirnya bergerak gerak tanpa mengeluarkan suara, kemudian ia melepaskan pegangannya dan berlari cepat menuju ke kuil!
Pada keesokan harinya, pagi pagi sekali Bun Sam berada di depan kuil. Ia mengenakan pakaian yang bersih dan merasa seakan akan seorang pemuda hendak mengajukan pinangan pada seorang gadis. Hatinya berdebar debar dan mukanya merah. Jengah dan malu juga ia, bukan terhadap Sian Hwa, melainkan terhadap para nikouw di dalam kuil itu!
Ia tidak mau masuk, karena tidak ingin membuat Sian Hwa merasa sungkan dan malu. Ia hendak menunggu saja di depan kuil, menanti gadis itu keluar. Tak ada kesabaran di dunia ini yang melebihi kesabaran hati seorang pemuda menanti kekasihnya. Akan tetapi, setelah berjam jam ia menanti dan matahari telah naik tinggi, belum juga nampak gadis idamannya itu keluar. Ia mulai merasa tak enak. Dilihatnya beberapa orang nikouw membersihkan halaman depan den asap hio mulai mengepul di meja sembahyang di ruang depan.
Akhirnya Bun Sam melangkah masuk ke ruang depan itu. Ia disambut oleh beberapa orang nikouw yang memandangnya dengan heran. Pemuda ini nampaknya tidak seperti orang hendak bersembahyang.
"Maafkan teecu kalau teecu mengganggu," kata pemuda itu setelah menjura dengan hormatnya. "Teecu mohon bertemu dengan nona Can Sian Hwa."
Nikouw nikouw itu memandang penuh perhatian. "Apakah sicu bernama Song Bun Sam?" tanya seorang di antara mereka, Bun Sam mengangguk membenarkan dan wajahnya berseri. Agaknya kekasihnya telah berpesan kepada para nikouw ini, pikirnya.
"Ketua kami telah berpesan agar supaya kalau sicu datang sicu suka menghadap dia di ruang tamu. Mari ikut dengan pinni."
Dengan hati dak dik duk Bun Sam mengikuti nikouw itu ke ruang tamu. Mengapa ia dipanggil oleh ketua kuil" Hatinya mulai tidak enak. Jangan jangan Sian Hwa mengambil keputusan untuk terus menjadi nikouw dan kini ketua itu hendak menasihatinya agar ia jangan mengganggu gadis itu lagi.
Ketua kuil yang menerimanya adalah seorang nikouw tua yang berwajah putih, kelihatan tenang dan sabar sekali. Setelah Bun Sam memberi hormat, nikouw itu mempersilahkannya duduk di atas bangku dan memberi isyarat agar nikouw yang mengantar Bun Sam maiuk tadi meninggalkan mereka.
"Sicu, kau datang tentu hendak mencari Sian Hwa, bukan?"
Bun Sam mengangguk. "Pinni tidak dapat memberi tahu sesuatu kepadamu, sicu, karena agaknya segala hal telah tertulis di dalam suratnya. Inilah surat itu, ia minta kepada pinni untuk menyampaikan sendiri kepadamu."
Setelah berkata demikian nikouw itu mengeluarkan sesampul surat dan memberikannya kepada Bun Sam dengan tangan tenang, Bun Sam sebaliknya menerima dengan tangan gemetar. Tak sabar lagi hati pemuda ini maka segera dibukanya surat itu. Ternyata isinya hanya empat baris sajak pendek saja yang ditulis oleh tangan yang gemetar, namun bentuk tulisan itu halus dan indah sekali. Bun Sam tak dapat mengerti dengan sekali baca saja dan setelah membaca tiga kali ia lalu berkata kepada nikouw tua yang memandangnya dengan mata mengandung iba hati.
"Suthai, di mana dia?"
"Dia sudah pergi, sicu."
"Ke mana?" "Siapa dapat mengetahui ke mana seekor Bi hong (burung hong yang cantik) terbang pergi?"
Bun Sam menundukkan mukanya dan menjadi makin bingung. Kata kata nikouw ini yang menyebut Bi hong kepada Sian Hwa, benar benar secara kebetulan cocok dengan bunyi sajak itu. Ia lalu menjura dan berkata, "Sekali lagi teecu mengganggu. Bilakah dia pergi?"
"Malam tadi." "Malam tadi turun hujan...."
Nikouw itu mengangguk. "Di dalam hujan ia terbang pergi."
Bun Sam mengeluh. "Ah, Sian Hwa".. " Kemudian ia menjura lagi sambil mengucapkan terima kasih, lalu pergi keluar dari kuil itu.
Bun Sara berlari cepat, tak tentu arah dau tujuan. Setelah jauh dari kuil, ia duduk di bawah sebatang pohon dan mengeluarkan surat dari Sian Hwa tadi. Ia membukanya dan membaca berkali kali:
"Han ya (burung goak) merindukan
Sin liong (Naga sakti) di angkasa raya,
Terbang di samping Bi hong (Burung
Hong cantik) dengan megahnya.
Mana bisa Han ia berjodoh dengan
Sin liong perkasa" Hanya Bi hong jelita itulah
patut jadi jodohnya !"
Berkali kali Bun Sam membaca sajak ini, tetapi tetap saja artinya masih gelap baginya. Biarpun nikouw tua tadi mungkin secara tidak disengaja menyamai sebutan dalam ajak, telah menyebut Sian Hwa sebagai seekor burung hong cantik (bi hong), tetapi melihat bunyi sajak ini, sudah terang bahwa Sian Hwa menganggap dirinya sendiri sebagai seekor burung goak. Burung goak menjadi sindiran bagi seorang yang buruk rupa dan tidak disukai orang, sebagai burung yang dianggap paling rendah. Terang gadis itu merendahkan diri sekali. Dengan kata kata Sin liong atau Naga sakti mungkin sekali dimaksudkan dia. Di sini ternyata bahwa gadis itu benar benar mencintainya, karena disebutkan bahwa Sian Hwa sebagai Goak merindukan dia sebagai Sin liong!
Akan tetapi baris baris selanjutnya benar benar ia tidak mengerti maksudnya. "Terbang di samping Bi hong dengan megahnya. Siapakah Bi hong" Siapakah Burung Hong cantik yang dimaksudkan oleh Sian Hwa itu" Tentu seorang wanita, tetapi siapakah" Kemudian, baris ke tiga dan ke empat menyatakan bahwa Sian Hwa menganggap dirinya sendiri tidak berharga untuk menjadi jodoh Bun Sam dan menyatakan bahwa Bi hong itulah yang patut menjadi jodohnya!
Buu Sam menggaruk garuk kepalanya. Sian Hwa merasa cemburu! Sungguh heran sekali. Siapakah wanita yang dimaksudkan oleh Sian Hwa" Terang bahwa gadis itu hendak mengalah terhadap wanita yang diumpamakannya sebagai Burung Hong.
"Ah, Sian Hwa, mengapa kau tidak mau berterang terang saja?" kata Bun Sam sambil menyimpan surat itu. "Mengapa kau meninggalkan aku?"
Ia bangkit berdiri lalu berlari lari dengan niat mencari Sian Hwa sampai dapat. Betapapun juga, Sian Hwa telah menyatakan cintanya dalam surat itu dan ini sudah cukup baginya untuk mencari gadis itu sampai dapat, kemudian minta ia mengaku sejujurnya!
"Sian Hwa, kekasihku...." beberapa kali Bun Sam mengeluh sambil mempercepat larinya.
Tiba tiba ia teringat akan sesuatu dan menahan kakinya. Ah, mengapa dia begitu bodoh" Tanpa disadarinya lagi Bun Sam menempeleng kepalanya sendiri. Ketika ia menolong Sian Hwa dari tawanan Liem Swee dua hari yang lalu, Sian Hwa berada bersama Lan Giok. Mengapa ia tidak akan mengorek rahasia ini dari Lan Giok" Biasanya, antara wanita tidak ada rahasia. Mungkin sekali Lan Giok mengerti tentang keadaan Sian Hwa yang aneh itu. Ketika menolong Lan Giok, Sian Hwa dan juga Thian Giok, memang ia sengaja tidak memperlihatkan diri. Ia tidak mau orang orang mengetahui kepandaiannya yang kini telah maju pesat sekali semenjak ia menerima latihan dari Bu tek Kiam ong.
Setelah berpikir demikian, Bun Sam lalu berlari cepat dan kini ia mengarahkan perjalanannya ke Sian hwa san. Selain hendak bertemu dengan Lan Giok, iapun ingin mengunjungi suhengnya, Yap Bouw yang ia pikir tentu telah berada di gunung itu pula, menyusul isterinya.
Lan Giok dan Thian Giok melakukan perjalanan cepat menuju ke Sian hwa san untuk membuat laporan kepada guru mereka. Di dalam perjalanan, selain membicarakan tentang kedudukan fihak Hiat jiu pai yang benar benar memiliki banyak orang pandai itu, juga mereka berdua membicarakan tentang penolong aneh yang luar biasa. "Sayang sekali dia tidak mau memperlihatkan dan memperkenalkau diri," kata Lian Giok. "Kalau kita mengetahui siapa dia tentu lebih baik lagi. Menghadapi Hiat jiu pai yang kuat, kita amat membutuhkan bantuan orang orang pandai."
"Kurasa dia tentulah seorang pertapa tua yang menyembunyikan diri dan tidak mau dikenal. Aku pernah mendengar tentang orang orang sakti yang selalu bekerja secara diam diam dan rahasia seperti itu." Thian Giok mengutarakan pendapatnya.
Mereka telah melakukan perjalanan selama tiga hari dan pada siang hari itu mereka tiba di dalam sebuah tanah pegunungan yang gundul tak berpohon, tetapi penuh dengan rawa dan padang rumput. Akan tetapi, jalan di daerah ini cukup baik lebar dan biarpun berbatu batu, tetapi rata. Jalan ini dibuat oleh rakyat atas paksaan pemerintah Mongol yang banyak mengangkut harta benda dari Tiong goan (pedalaman Tiongkok) untuk dibawa ke Mongol! Jalan ini sunyi sekali, karena selain hutan hutan di balik gunung, di pegunungan ini sendiri tanahnya buruk, sehingga tidak ada orang yang mau membuka dusun di daerah tandus ini.
"Thian ko, aku lapar dan haus," tiba tiba Lan Giok mengeluh.
"Ah, kau ini ada ada saja. Di tempat seperti ini bagaimana kita bisa mendapatkan makan dan minum" Bukankah tadi pagi kau telah menghabiskan dua piring bakpauw dan beberapa guci air?"
Adiknya cemberut dan melototkan matanya yang jeli. Melihat ini, Thian Giok makin bernafsu untuk menggodanya, "Lan moi, agaknya perutmu tidak berdasar, apa saja yang masuk lenyap dalam sekejap mata!"
"Enak saja kau mengobrol! Kaukira aku segembul itu" Kalau di sini ada orang lain yang mendengar, tentu aku akau memukulmu untuk hinaan yang memalukan ini ! Kau hendak merusak namaku, ya" Bakpauw dua piring hampir kau habiskan sendiri, aku hanya makan beberapa buah saja. Dan tentang air itu apa kaukira aku sudah lupa betapa kau minum seperti kuda?"
Thian Giok tertawa melihat adiknya marah marah ini. "Kalau didengar orang lain apakah salahnya" Asal saja jangan Bun Sam yang mendengar."
Merah muka Lan Giok dan gadis ini lalu mengangkat tangan hendak memukul. Kakaknya cepat melompat dan sambil tertawa tawa menggoda ia berlari cepat ke depan. Lan Giok mengejar sambil mengancam.
"Lan moi, kalau Bun Sam melihat kau segalak ini, apakah dia tidak akan kuncup hatinya" Tak enak punya isteri galak!" Thian Giok sambil berlari cepat terus menggoda.
"Kupukul mulutmu yang jahil !" Lan Giok mempercepat kejarannya, tetapi sekarang ia juga mengejar sambil tertawa tawa. Memang sepasang anak kembar ini amat rukun dan sering kali bermain main semenjak masih kanak kanak. Mereka saling menyayang, lebih daripada saudara kandung biasa. Kalau yang seorang berduka, yang lain ikut merasa berduka seperti dirinya sendiri yang menghadapi kekecewaan. Yang seorang ketawa yang lain tentu bergirang.
Ketika Thian Giok tiba di satu tikungan, tiba tiba ia berhenti Lan Giok telah dapat menyusul kakaknya dan ketika tiba di tikungan itu iapun berhenti di sebelah Thian Giok. Keduanya memandang ke depan dengan heran. Lucu benar melihat sepasang anak kembar ini, karena Lan Giok yang pada saat itu mengenakan pakaian yang sama, yakni pakaian seorang pemuda, kelihatan serupa benar dengan Thian Giok.
Dari depan kelihatan datang sebuah kendaraan mewah yang ditarik oleh empat ekor kuda kuda besar. Yang mengherankan dua orang muda itu ialah bahwa kendaraan ini tidak dikawal oleh seorang piauwsupun. Melihat kendaraan yang dicat indah dan kudanya yang besar besar itu, mudah diduga bahwa tentu kendaraan itu milik seorang kaya raya atau bangsawan tinggi. Dan biasanya, kalau mereka ini melakukan perjalanan, tentu kalau tidak dikawal oleh sepasukan tentara, akan dikawal oleh pasukan piauwsu. Akan tetapi, kendaraan yang datang dari depan dan yang menimbulkan debu mengebul tinggi itu, tidak dikawal oleh seorang pun, kecuali hanya kusirnya yang bertubuh tinggi besar dan bercambang bauk.
"Nah, Lan moi, jangan merajuk dan marah lagi. Itu makanan dan minumanmu datang!" kata Thian Giok kepada adiknya.
"Eh, eh, apakah kau Hendak menjadi perampok?" adiknya menggoda. "Kurang serem tampangmu kalau kau menjadi perampok, siapa yang akan takut padamu?"
"Bukan merampok, adikku yang manis. Aku akan mintakan makanan dan minuman dari mereka itu. Sebagai orang orang kaya raya yang memiliki kendaraan seindah itu, mereka tentu membawa bekal makanan dan minuman yang lezat!"
"Hm, celaka. Kakakku hendak menjadi pengemis pula" Lebih buruk daripada menjadi perampok!" Lan Giok mencela.
"Bukan mengemis. Sudah sewajarnya perantau perantau yang bertemu di jalan saling minta tolong karena bekal makanannya habis."
"Kalau mereka tidak memberi?"
"Boleh tidak boleh kita minta!"
"Kau bilang itu bukan perampok?"
"Bukan, karena kita minta!"
"Hm, lidahmu memang tidak bertulang," kata Lan Giok cemberut.
"Hm, kalau lidahmu bertulang, ya" Pantas saja begitu galak!" Thian Giok menggoda.
"Jangan main main, Thian ko. Bagaimana kalau yang berada di dalam kereta itu pembesar Mongol?"
"Lebih baik lagi, kita seret dia turun dan makan perbekalan mereka tanpa banyak cingcong lagi."
Sementara itu, kendaraan itu idah tiba di depan mereka dan ketika kusir itu melihat Thian Giok dan Lan Giok mengangkat tangan dan berdiri di tengah jalan, ia lalu menarik kendali kuda kudanya dan kuda kuda itu berhenti. Debu mengebut tinggi, membuat Lan Giok cepat cepat menggunakan saputangan untuk menutupi hidungnya.
Kusir kereta itu memandang dengan mata terbelalak heran kepada dua orang muda yang berdiri di depan keretanya, dua orang muda yang begitu serupa bentuk dan wajahnya seperti pinang dibelah dua.
"Siapakah kalian dan mengapa menyuruh kami berhenti?" tanyanya.
Melihat orang tinggi besar bercambang bauk ini dan mendengar kata katanya yang kasar, hati Lan Giok sudah tidak senang.
"Beritahukan majikanmu yang berada di dalam kereta bahwa kami ingin bicara!" jawabnya mendahului Thian Giok.
Pada saat itu, pintu kereta dibuka dan berturut turut lima orang melompat keluar dari dalam kendaraan itu. Thian Giok dan Lan Giok cepat memandang dan mereka terkejut bukan main ketika melihat siapa adanya lima orang yang tadi menumpang kendaraan ini. Mereka itu bukan lain adalah Bouw Ek Tosu, pendeta yang berjuluk Hwa I sianjin (Manusia Dewa Berbaju Kembang), Lam Hai Siang mo si hwesio kembar, Kui Hok Si Pacul Kilat dan Coa Hwa Hwa atau Hwa Hwa Niocu. Pendeknya, Sin beng Ngo hiap lima pendekar itu lengkap berdiri di situ, memandang ke arah Thian Giok dan Lan Giok dengan mata menyatakan kekagetan pula.
"Ha, ha, ha, kukira siapa yang hendak beraksi menjadi perampok ! Kukira tikus tikus hutan yang tak tahu diri, tidak tahunya murid murid Mo bin Sin kun! Ha ha, bagus benar, ternyata Mo bin Sin kun hanya guru dan para perampok perampok kecil yang tak tahu malu !"
Mendengar kata kata yang diucapkan oleh Hwa Hwa Niocu, Thian Giok menjadi marah sekali dan hendak memaki, tetapi ia dahului oleh Lan Giok. Adiknya ini memang lebih pintar bicara dan dalam hal percekcokan mulut, tentu saja ia tidak mau kalah. Menghadapi sindiran Hwa Hwa Niocu, ia lalu bertolak pinggang dan sambil tersenyum manis ia berkata,
"Betul, betul sekali. Memang kami adalah kepala kepala perampok! Hai, kalian ini maling maling kecil, agaknya kalian sudah berhasil mengait uang dari Jenderal Yap Bouw, maka sekarang kelihatan begini mentereng, ya" Bagus, sekarang tak usah banyak mulut, kalian ini maling maling kecil yang hina dina dan yang beraninya hanya mengambil barang orang dengan diam diam, ayoh lekas berikan semua hasil curianmu itu kepada kami perampok perampok gagah perkasa!"
Memang di dalam kalangan liok lim, derajat maling dipandang rendah oleh perampok. Bagi seorang perampok yang menghadang orang dan minta barang barangnya dengan mengandalkan kepandaian dan kegagahannya, maling dianggapnya sebagai seorang yang amat pengecut dan licik. Seorang perampok hanya menghadapi dua hal. Menghadang, bertempur kalah atau menang. Kalau menang mendapat barang, kalau kalah tertawan atau mati! Berbeda dengan pancuri yang melakukan pekerjaannya dengan diam diam menunggu sampai pemilik barang pergi atau tidur dan begitu ketahuan lain lari pontang panting !
Hwa Hwa Niocu mengerti akan sindiran dan hinaan ini, yang dikatakan oleh Lan Giok untuk membandingkan bahwa lima orang itu disamakan dengan pencuri pencuri yang hina dina. Tentu saja wanita ini menjadi marah sekali.
"Setan kecil bermulut lancang! Kan berani menghina nyonya besarmu?"
"Setan tua bermulut bau! Kau tidak lekas lekas mengembalikan semua harta puaaka milik ayahku yang kalian curi?" Lan Giok balas membentak Hwa Hwa Niocu. "Apakah dahulu kalian ini lima ekor monyet tna bangka yang berbau busuk masih belum kapok !" Sengaja Lan Giok menyebut nyebut peristiwa tiga tahun yang lalu ketika ia dikeroyok oleh lima orang ini dan dalam keadaan terdesak ia mendapat pertolongan dari Gan Kui To murid Lam hai Lo mo.
Bouw Ek Tosu marah sekali, sehingga jenggotnya sampai bergetar.
"Anak setan yang mau mampus! Kau sudah berani membinasakan muridku Ngo jiauw eng. Sekarang masih hendak banyak lagak" Bersiaplah untuk mampus!" Sambil berkata demikian, tosu ini lalu menggerakkan kebutannya yang panjang itu. Kebutan ini menyambar bagaikan kilat ke arah leher Lan Giok.
"Ayaaa! Kukira empek empek tua ini sudah mampus, ternyata masih belum. Kau tidak tahu bahwa muridmu Burung Goak Cakar Buntung itu menanti nantimu di dasar neraka?" Gadis yang nakal ini sengaja mengubah julukan murid Bouw Ek Tosu. yang sesungguhnya berjuluk Ngo jiauw eng atau Burung Garuda Cakar Lima, kini ia robah menjadi Burung Garuda Cakar Buntung. Tentu saja Bouw Ek Tosu menjadi makin marah seperti orang kebakaran jenggot.
Sambaran hudtimnya (kebutannya) tadi dengan mudah saja dielakkan oleh Lan Giok dan kini ia menyerang lagi dengan lebih hebat. Empat orang adiknya tidak mau tinggal diam saja dan berbareng maju mengeroyok.
"Engko Thian Giok, awas jangan kau menggangguku dalam main main ini ! Lima ekor tikus ini sudah menjadi bagianku, jangan kau ikut ikut! Lebih baik kau mengumpulkan sisa sisa harta pusaka kita yang dicuri oleh tikus tikus ini!" kata Lan Giok kepada kakaknya ketika melihat Thian Giok mencabut Pek giok joan pian, senjata pecut mutiara putih itu.
Tentu saja Thian Giok tidak mau menurut dan tetap saja hendak membantu adiknya, akan tetapi begitu senjatanya menyambar, tiba tiba terdengar suara keras dan senjatanya itu ditangkis oleh sebatang jarum emas di tangan Lan Giok.
"Jangan bantu aku!" gadis ini kembali berseru. Sungguh patut dipuji gadis ini. Biarpun sudah di keroyok lima orang yang cukup tangguh, ia masih sempat menangkis senjata kakaknya sendiri yang hendak membantunya.
Thian Giok tertawa, ia maklum bahwa adiknya ini hendak menguji kepandaiannya sendiri terhadap lima orang lawannya, maka iapun tidak mau memaksa. Pemuda ini lalu melihat jalannya pertempuran sebentar dan setelah mendapat kenyataan bahwa adiknya memang tak perlu dibantu, ia lalu menghampiri kereta itu. Kusirnya yang bertubuh tinggi besar itu hendak menyerangnya, tetapi dengan sekali tendang saja tubuh yang tinggi besar itu terlempar jauh dan jatuh berdebuk bagaikan pohon tumbang!
Thian Giok dan adiknya sudah mendengar penuturan ayah mereka, bekas Jenderal Yap Bouw, tentang harta pusaka yang disimpan di dalam kebun di belakang bekas gedungnya yang kini ditempati oleh Panglima Bucuci dan betapa harta pusaka itu telah didahului oleh Sin beng Ngo hiap yang entah bagaimana mengetahui simpanan rahasia ini dan mencurinya. Ayah mereka memang sudah mengejar tetapi tidak berhasil menangkap Sin beng Ngo hiap yang telah menggondol harta karun itu.
Oleh karena itu, sekarang tidak disangka sangka bertemu dengan serombongan orang yang telah mencuri harta itu, tentu saja Thian Giok dan Lan Giok merasa girang benar. Thian Giok lalu memasuki kereta. Benar benar sebuah kendaraan yang amat mewah. Selain keadaan kereta yang mewah dan kuda kudanya yang berjumlah empat ekor itu pun besar dan baik, ia juga mendapatkan bekal makanan dan minuman yang mahal. Juga di situ ia mendapatkan uang emas dan perak, serta sutera sutera halus yang mahal. Melihat makanan ini, timbul juga rasa lapar dalam perut Thian Giok dan ia teringat kepada adiknya yang sudah mengeluh kelaparan. Ia ingin menggantikan Lan Giok menghadapi musuh musuhnya agar adiknya itu bisa makan dulu, tetapi tiba tiba ia tersenyum.
"Anak nakal itu tidak mau kubantu. Biar lebih baik aku mengenyangkan perutku dulu, baru menggantikan dia." Setelah berkata demikian, Thian Giok membawa seguci arak dan serantang makanan ke dekat tempat adiknya bertempur, lalu duduk bersila dan makan dengan enaknya.
Lan Giok pernah bertempur dikeroyok lima oleh Sin beng Ngo hiap. Tiga tahun yang lalu kepandaiannya tidak setinggi sekarang dan biarpun pada waktu tiga tahun yang lalu itu ia terdesak dan kalau dilanjutkan tentu kalah, namun harus diakui bahwa lima orang pengeroyoknya pada waktu itu sukar sekali untuk dapat merobohkan gadis yang memiliki gerakan luar biasa lincahnya itu. Apalagi sekarang. Selama tiga tahun, Sin beng Ngo hiap yang suka melewatkan hidup dengan bersenang senang saja, mana ada ketika untuk memperdalam ilmu silat mereka" Sebaliknya, selama tiga tahun itu, Lan Giok bersama kakaknya telah digembleng dengan hebat oleh Mo bin Sin kun, sehingga kepandaian Lan Giok sekarang sudah hebat sekali.
Hal ini dirasai benar benar oleh Sin beng Ngo hiap yang mengeroyoknya. Gadis ini tiada hentinya mengejek dan mempermainkan mereka. Senjata senjata yang sederhana dan aneh dari Lan Giok, yakni Gin sam kim ciam atau Kipas Perak dan Jarum Emas, benar benar membikin mereka kewalahan. Kebutan kipas dari gadis itu saja cukup untuk menangkis semua senjata yang datang menyambar, karena kipas ini digerakkan sedemikian rupa, hingga menimbulkan angin memutar yang sanggup menangkis serangan senjata lawan. Adapun jarum emasnya tak kurang kurang lihainya. Kalau lima orang pengeroyok itu tidak berlaku hati hati dan saling membantu, tentu mereka telah dijadikan karung pecah yang dijahit oleh jarum ini. Datangnya serangan balasan jarum ini sungguh tak tersangka sangka, tahu tahu di depan mata mereka telah berkelebat sinar keemasan dan ujung jarum sudah mengancam jalan darah.
"Lan moi, sudah kenyangkah kau mempermainkan tikus tikus itu?" Thian Giok bertanya, "Perutku sudah kenyang."
Lan Giok melirik dan ketika ia melihat kakaknya makan minum seorang diri dengan enaknya, ia menjadi iri hati dan timbul seleranya. Setelah menelan ludah beberapa kali, ia berkata,
"Thian ko, mempunyai kakak seperti engkau ini tiada gunanya. Hatimu kejam melebihi lima ekor tikus ini. Kau tega makan minum sendiri sambil melihat aku bertempur?" Sambil berkata demikian, Lan Giok menggerakkan jarumnya dengan amat hebatnya. Sekaligus jarum ini menyerang dan menyambar ke arah lima orang itu dengan gerak tipu Angin Puyuh Mengacau Hutan. Karena serangannya ini mengancam semua orang, kelima Sin beng Ngo hiap itu tidak dapat saling membantu dan terpaksa menjaga diri masing masing. Celakanya, seorang di antara Lam san Siang mo, hwesio kembar yang gemuk gemuk seperti babi dikebiri itu, kurang cepat mengelak dan karena sudah buntu jalan, ia bahkan mengangkat kaki kanannya menendang ke arah pergelangan tangan Lan Giok yang memegang jarum, dengan maksud untuk membikin senjata lawan yang lihai ini terpental. Tidak tahunya, gadis ini memiliki kelincahan dan kegesitan kaki dan tangan yang luar biasa. Ditendang demikian hebatnya, ia hanya menggerakkan pergelangan tangannya dan tahu tahu jarum itu telah menukik ke bawah dan tanpa dapat dicegah pula, otot besar pada mata kaki hwesio gemuk itu telah tertusuk oleh kim ciam.
Bukan main sakitnya otot besar di kaki ditusuk jarum, apa lagi karena jarum yang runcing itu telah menembus otot dan menyentuh tulang muda, aduh, sakitnya sampai menembus ke ulu hati. Hwesio itu tak dapat menahan sakit lagi sambil mengaduh aduh ia mengangkat kaki kanannya ke belakang, dipegangi oleh kedua tangan dan berloncat loncatan dengan tubuh berputar putar seperti seorang anak kecil berjingkrak kegirangan dalam bermain main!
Memang lucu sekali melihat hwesio yang tubuhnya bulat itu berloncat loncatan seperti itu dan tiba tiba terdengar Thian Giok batuk batuk. Ketika Lan Giok mengerling, ia melihat kakaknya itu tersedak dan terbatuk batuk karena ketika hwesio itu berloncat loncatan, pemudi ini tengah minum arak dan tertawa, sehingga tersedak ketika melihat pemandangan yang lucu ini.
"Nah, puas kau!" Lan Giok menyoraki. "Begitulah kalau orang mau enaknya sendiri, makan tidak menawarkan kepada orang lain."
Kepandaian Lan Giok sudah meningkat demikian hebat, sehingga kalau gadis ini mau, ia dapat menewaskan lima orang lawannya ini seorang demi seorang! Akan tetapi, ia tidak mau melakukan pembunuhan. Gurunya, Mo bin Sin kun, sudah tahu akan watak Lan Giok yang mudah tersinggung, mudah marah dan mudah gembira, maka telah memberi peringatan keras kepada Lan Giok dan gadis ini dilarang membunuh orang kalau tidak sudah jelas bahwa orang itu telah melakukan kejahatan kejahatan besar. Setahu Lan Giok, Sin beng Ngo hiap tidak melakukan kejahatan besar, yang membuat mereka layak dibunuh, karena kesalahan mereka hanyalah mencuri harta pusaka ayahnya Maka ia melayani mereka sambil main main dan hanya ingin merobohkan mereka tanpa melukai berat yang akan membahayakan jiwa mereka.
Karena sikap Lan Giok inilah, maka agak sukar pula baginya untuk cepat cepat dapat merobohkan mereka. Lima orang itu rata rata telah memiliki kepandaian yang tinggi juga. Tenaga lweekang mereka sudah kuat betul dan ginkaug mereka juga sudah tinggi. Ahli ahli silat biasa saja mana bisa melawan seorang di antara mereka" Oleh karena ini, maka nama Sin beng Ngo hiap amat terkenal di dunia kang ouw. Kini menghadapi Lan Giok, mereka bertempur mati matian, mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian. Mereka telah tahu akan kelihaian gadis ini dan sama sekali tidak berani memandang ringan kepada murid Mo bin Sin kun, seorang di antara Lima Besar !
Ketika mendapat kesempatan baik, tiba tiba ujung kipas di tangan kiri Lan Giok berhasil mengelak kepala hwesio ke dua dari Lam Hai Siang mo, yang seperti saudara kembarnya, juga gemuk sekali dan kepalanya gundul licin seperti bola karet. Karena kepala ini tidak ada rambutnya yang menjadi pelindung, ketika diketuk oleh Lan Giok, terdengar suara seperti periuk kena pukul. "Tak!" dan tubuh hwesio itu berputar putar seperti sebuah gasing berpusing! Ini terjadi karena hwesio itu merasa matanya berkunang kunang dan kepalanya berputar putar rasanya, maka ia tidak dapat menguasai kedua kakinya lagi. Akhirnya, setelah ia dapat melihat hwesio kakak kembarnya masih duduk di pinggir sambil mengurut urut kakinya yang terluka, ia lalu menubruk ke situ dan berguling di dekat kakaknya! Kakaknya yang menyayangi adiknya ini lain mengelus elus kepala yang telah benjol karena diketok ujung gagang kipas tadi. Sebalik nya adik inipun lalu mengurut kaki hwesio pertama!
"Lan Giok, aku tidak memborong habis makanan ini, kaupun jangan memborong habis tikus tikus itu. Mari kugantikan engkau menyapu sisa bekal masakan ini!" kata Thian Giok yang telah mencabut senjatanya dan menyerbu. Lan Giok yang kini merasa makin lapar setelah pertempuran itu, tidak membantah lagi dan meninggalkan lawan lawannya. Gadis ini lalu menggeratak ke dalam kereta dan mengeluarkan semua bekal makanan dan minuman. Juga ia meloloskan sarung sarung bantal yang dipakai untuk membawa semua uang dan barang berharga yang didapatnya di kereta itu. Kemudian ia makan dengan tahap dan enaknya.
Sementara itu, Bouw Ek Tosu, Kui Hok dan Coa Hwa Hwa, menjadi marah sekali melihat betapa Lam san Siang mo telah dikalahkan. Apalagi mendengar percakapan kakak beradik yang masih muda itu dan melihat betapa Lan Giok mengambil barang barang mereka, kemarahan mereka memuncak. Akan tetapi, kini mereka menghadapi Thian Giok yang masih segar dan bertenaga baru dan karena kepandaian Thian Giok setingkat dengan adiknya, maka tentu saja tiga orang pengeroyok yang sudah mulai lelah ini menjadi makin sibuk.
Oleh karena mereka sudah lelah, ditambah pula karena dua orang di antara mereka telah roboh dan semangat mereka telah berkurang, maka dalam pandangan tiga orang ini, senjata Pek giok joan pian di tangan Thian Giok ini malah masih lebih lihai dan berbahaya lagi daripada sepasang senjata Gin san kim ciam dari Lan Giok!
Bouw Ek Tosu melancarkan serangan nekat. Kebutannya digerakkan dengan cepat sekali menotok ke arah leher Thian Giok dan tangan kirinya pun meluncur dan menghantam lambung pemuda itu dengan tangan dimiringkan. Pada saat itu juga, pedang Hwa Hwa Niocu juga sudah menusuk ke arah dadanya dari sebelah kiri, sedangkan pacul kilat di tangan Kui Hok bergerak dari belakang untuk memenggal lehernya dengan sekali pancung !
Menghadapi keroyokan yang nekat ini, Thian Giok berlaku tenang, tetapi cepat sekali. Ia merendahkan diri, sehingga sekaligus serangan kebutan ke arah leher dan pacul kilat ke arah kepalanya itu dapat dielakkan. Pek giok joan pian di tangannya tidak tinggal diam dan bergerak ke depan menangkis pedang Coa Hwa Hwa, sebelah tangannya lagi memainkan ilmu pukulan Soan hong pek lek jiu mendorong ke arah tangan Bouw Ek Tosu yang datang memukul!
Bukan main hebat akibatnya Soan hong pek lek jiu ini. Kedua tangan beradu dan Bouw Ek Tosu berteriak keras. Tubuhnya terlempar sampai tiga tombak lebih dan kakek ini roboh tak sadarkan diri lagi! Biarpun Thian Giok, hanya mempergunakan tenaga mendorong tanpa bermaksud melukai dalam tubuh lawan, namun tenaga dorongannya tadi demikian kuat, sehingga tenaga pukulan yang dilancarkan oleh Bouw Ek Tosu membalik dan memukul dirinya sendiri, oleh karena itu, tosu ini terluka di sebelah dalam dadanya oleh tenaga pukulannya sendiri.
Hwa Hwa Niocu terkejut sekali demikian pula Kui Hok. Suheng mereka yang paling lihai kepandaiannya telah dapat dirobohkan maka tentu saja mereka menjadi gentar juga. Hwa Hwa Niocu menyerang kalang kabut, tetapi ketika Thian Giok mengerahkan tenaga dan menggerakkan joan pian nya, terdengar suara keras dan pedang di tangan Hwa Hwa Niocu ini patah menjadi dua. Sebelum nyonya ini dapat melompat pergi, sebuah tendangan telah membuat ia terlempar dan secara kebetulan sekali ia jatuh menimpa Lam san Siang mo, dua hwesio gemuk yang terluka itu! Ketiganya jatuh tunggang langgang dan terdengar keluhan dua orang hwesio gemuk dan makian Hwa Hwa Niocu yang merata malu sekali.
Kini tinggal Kui Hok seorang. Si Pacul Kilat ini lebih cerdik daripada saudara saudaranya, maka ia lalu melepaskan paculnya dan menjura kepada Thian Giok "Anak muda, kau sungguh lihai, pantas menjadi murid Mo bin Sin kun. Setelah kau dan adikmu megalahkan kami, apakah kehendakmu?"
Pada saat itu, Lan Giok telah selesai makan dan telah kenyang sekali. Gadis ini merasa puas bahwa kakaknya telah dapat merobohkan dua orang lawan. Ia puas melihat hasil pelajarannya. Kalau dulu ia menghadapi keroyokan Sin beng Ngo hiap masih terdesak dan sibuk sekali, sekarang ia dapat mempermainkan mereka.
"Engko Thian Giok, yang empat mencium tanah dengan tubuhnya !" serunya jenaka.
Tetapi Thian Giok tentu saja tidak suka menyerang lawan yang sudah menyerah kalah.
"Tidak, Lan moi. Kalau semua dirobohkan, siapa yang akan merawat mereka" Biarlah yang seorang ini kita maafkan saja agar ia dapat merawat saudara saudaranya."
"Terlalu enak baginya!" kata Lan Giok yang segera berkata kepada Kui Hok, "He, lekas kau beri makan empat ekor kuda itu sampai kenyang betul, kemudian lepaskan dari kereta!"
Merah muka Kui Hok. Inilah penghinaan besar sekali. Ia diperlakukan orang seperti seorang tukang kuda. Padahal biasanya Si Pacul Kilat Kui Hok di dewa dewakan orang, dianggap sebagai seorang sakti. Tetapi apa dayanya" Kalau ia melawan ia tentu akan roboh juga. Bukan ia takut terluka, melainkan kalau sampai ia sendiri roboh terluka, bagaimana mereka berlima dapat melanjutkan perjalanan dan keluar dari hutan ini" Kusir itu telah melarikan diri entah ke mana. Terpaksa, dengan muka sebentar pucat sebentar merah, Kui Hok melakukan perintah Lan Giok ini. Baiknya kusir kereta itu telah membawa bekal rumput di belakang kereta, sehingga ia tidak usah mencari rumput lagi. Ia memberi makan empat ekor kuda itu dan setelah mereka kenyang lalu ia melepaskan mereka dari kereta kemudian mengikatkan kendali kuda satu kepada yang lain agar mereka tidak lari ke mana mana.
Sementara itu, Lan Giok dan Thian Giok telah mengumpulkan semua barang berharga di dalam karung bantalan kereta. Tadinya Thian Giok tidak setuju dengan perlakuan adiknya terhadap Si Pacul Kilat, tetapi sambil berbisik nona itu memberitahukan kehendaknya yang segera disetujui oleh kakaknya.
Setelah semua beres kedua kakak beradik kembar ini lalu memuatkan barang barang itu di atas punggung dua ekor kuda dan mereka lalu mencemplak yang dua ekor lagi.
"Sin beng Ngo koai," Lan Giok kembali mengejek dengan mengganti sebutan Ngo hiap (Lima Pendekar) menjadi Ngo koai (Lima Setan), terima kasih atas kebaikan kalian yang telah mengembalikan barang barang yang kalian curi dari ayah kami." Kemudian gadis ini sambil tertawa tawa mengajak kakaknya pergi dari situ naik kuda sambil menuntun kuda yang memuat barang berharga itu !
Lima orang gagah itu menyumpah nyumpah. Selama mereka hidup dan selama mereka merantau di dunia kang ouw, baru kali inilah mereka mengalami kekalahan dan hinaan yang luar biasa sekali. Hwa Hwa Niocu tak dapat menahan marah dan mendongkolnya, lalu menangis terisak isak.
"Sudahlah, sumoi, untuk apa menangis dalam keadaan seperti ini" Lain kali masih banyak kesempatan untuk membalas penghinaan murid murid Mo bin Sin kun ini." Kwi Hok menghibur.
"Akan kuhancurkan kepala mereka." kata Hwa Hwa Niocu dan mendengar ini, diam diam Kui Hok menghela napas dan menyangsikan apakah kehebatan ilmu mereka sanggup menandingi kehebatan kepandaian murid murid Mo bin Sin kun itu.
Kemudian, karena kusir kereta sudah pergi dan kereta itu tidak ada kudanya, lima orang Sin beng Ngo hiap ini terpaksa lalu bersusah payah mendoroag kereta! Lumayan juga, karena selain kereta ini mahal dan kini menjadi barang satu satunya yang mereka miliki, juga lebih enak mendorong kawan kawan yang terluka di dalam kereta itu dari pada menggendong mereka. Demikianlah, yang terluka parah, yakni hwesio pertama dari Lam san Siang mo dan Bouw Ek Tosu, duduk di dalam kereta sedangkan Hwa Hwa Niocu, Kui Hek dan hwesio ke dua mendorong kereta. Di sepanjang jalan meraka tidak pernah mengeluarkan kata kata, wajah mereka muram seperti mendung di langit.
Dalam keadaan lucu dan sengsara ini, mereka bertemu dengan serombongan orang berkuda yang melarikan kuda cepat sekali. Ternyata bahwa mereka ini adalah Bucuci dan Koai kauw jit him, tujuh biruang kaitan aneh, tokoh tokoh Mongol yang tinggi kepandaiannya itu!
Bouw Ek Tosu girang sekali dan berkata tanpa menanti mereka bertanya, "Celaka ciangkun! Murid murid Mo bin Sin kun membuat kami seperti mi. Tolonglah balaskan penghinaan ini!"
Bucuci mendengar ini nampak girang dan bernafsu sekali.
"Di mana mereka?"
"Belum lama ini mereka melanjutkan perjalanan berkuda. Mereka tentu belum jauh dari sini."
Mendengar kata kata ini, Bucuci lalu membedalkan kudanya, sehingga tujuh orang kawannya itupun terpaksa mengikutinya. Panglima Mongol ini tidak sabar lagi, sehingga ia tidak bertanya lebih jauh. Padahal kalau ia mendengar bahwa orang orang yang dikejarnya itu hanya Thian Giok dan Lan Giok, tentu ia tidak akan tergesa gesa seperti itu.
Panglima Bucuci setelah mendengar penuturan Liem Swee dan Kui To bahwa kini Sian Hwa tidak menjadi nikouw lagi dan bahwa gadis itu pergi bersama murid murid Mo bin Sin kun, menjadi marah sekali.
"Tidak, kalau dia tidak menjadi nikouw, dia tidak boleh dilepaskan begitu saja. Dia harus berada di rumahku dan harus menurut kehendakku sebagai ayah angkatnya yang telah memeliharanya semenjak kecil," katanya marah. Kemudian ia minta pertolongan Koai kauw jit him, tujuh orang tokoh Mongol itu membantunya melakukan pengejaran. Sebagai orang sebangsa tentu saja Koai kauw jit him tidak keberatan, apalagi karena memang diingat, Bucuci masih ada hubungan seperguruan dengan mereka. Cuma saja, tingkat mereka masih lebih tinggi daripada tingkat kepandaian Bucuci.
Lan Giok dan kakaknya menjalankan kuda mereka dengan perlahan saja. Mereka tidak tergesa gesa dan pula memang setelah melewati daerah pegunungan yang tandus itu, kini memasuki daerah yang subur dan indah pemandangannya. Di sepanjang jalan, kedua kakak beradik kembar ini berbicara tentang pengalaman yang baru saja mereka alami, yang membuat mereka merasa puas dan gembira. Betapa tidak" Mereka telah dapat merampas kembali, biarpun hanya sedikit, harta lima orang yang telah mencuri harta pusaka ayah mereka dan lebih dari itu, mereka mendapat kenyataan bahwa kepandaian mereka benar benar telah mendapat kemajuan yang memuaskan hati.
"Aku kasihan sekali melihat enci Sian Hwa," tiba tiba Lan Giok berkata, "aku suka kepadanya dan aku akan setuju seribu kali kalau dia bisa menjadi so soku (kakak iparku)!"
Merah wajah Thian Giok mendengar ini. "Lan Giok, mulutmu terlalu jahat dan lancang! Sungguh anak perempuan tak tahu malu !"
Dengan mata berseri Lan Giok menoleh kepada kakaknya. "Siapa tak tahu malu" Aku berbicara dengan sejujurnya, mulutku berkata cocok dengan apa yang kupikirkan di dalam hati, tidak seperti kau mulutnya bilang merah hatinya berkata hijau !"
"Apa maksudmu?" Thian Giok memandang marah.
"Kau berpura pura marah kujodohkan dengan enci Sian Hwa, padahal hatimu berdebar girang. Bukankah kau yang tidak tahu malu?"
"Anak gendeng, kujewer mulutmu sampai panjang seperti mulut burung, kalau kau tidak mau diam !"
"Engko Thian Giok, jangan kau begitu galak nanti tak seorangpun siocia (nona) mau menjadi isteri mu. Aku bukan main main. Kau sendiri tahu bahwa aku". telah ditunangkan, maka kau sebagai kakakku, seharusnya sudah bertunangan pula..."
Tiba tiba Thian Giok tertawa tergelak gelak sambil menudingkan telunjuknya ke arah hidung adiknya itu. "Ha, aku tahu!" katanya sambil menahan gelak tertawanya.
Lan Giok mengangkat kedua alis matanya. "Tahu apa" Mengapa kau tertawa?" tanyanya cemberut.
"Aku tahu, kau takut kalau kalau aku tidak lekas mendapat jodoh! Kalau aku belum menikah, tentu kau tidak akan dapat menikah pula! Ha, kau sudah ingin kawin!"
Lan Giok dengan gemas mengambil sepotong roti yang tadi dibawa dari sisa makanan bekal dari Sin beng Ngo hiap tadi lalu menyambit kakaknya dengan roti itu. Karena berada di punggung kuda dan sedang memegangi kendali kuda yang berjalan di belakang pula, Thian Giok tak dapat mengelak dan potongan roti itu mengenai pundaknya, "Cih, tak tahu malu. Siapa yang ingin kawin?" bentak Lan Giok dengan muka merah. "Aku sebagai adikmu hendak mencarikan jodoh yang baik untukmu, ini adalah tanda sayang dariku kepadamu. Tidak tahunya kau bahkan menggodaku sesuka hatimu. Memang sejak kecil kau berperangai jahat."
Melihat aikap Lan Giok yang tadinya jengah dan malu kini menjadi bersungguh sungguh dan marah, Thian Giok berkata, "Eh, Lan moi aku hanya bergurau, apakah kau marah benar benar?"
Ditanya begini, lunturlah kemarakan Lan Giok. Memang gadis ini sifatnya seperti angin di gurun pasir, sebentar marah, sebentar gembira, sebentar dapat menangis dan sebentar tertawa.
"Bergurau boleh, tetapi jangan kau membikin panas hatiku, Enci Sian Hwa orangnya benar benar baik, tidak saja ia cantik jelita, tetapi juga...."
"Sudahlah, Lan moi. Aku tidak mau membicarakan dia."
"Akan tetapi aku mau membicarakan dia." dengan bandel Lan Giok berteras kepala. Terpaksa Thian Giok diam saja dan hanya mendengarkan. "Sayang sekali enci Sian Hwa agaknya jatuh hati kepada seseorang dan agaknya tidak dibalas, buktinya dia patah hati dan putus asa, sehingga ia kini menjadi seorang nikouw. Sayang, sayang, aku benar benar akan suka sekali kalau dia menjadi so soku."
"Jangan ulangi lagi! Siapa sudi menikah dengan dia" Dia puteri Bucuci, putri Mongol !"
"Bohong! Dia seorang Han tulen yang semenjak kecilnya dipungut oleh Bucuci."
"Akan tetapi dia sebagai seorang gadis telah jatuh hati kepada seorang pemuda, apakah itu namanya sopan" Siapa sudi menikah dengan dia?" kata Thian Giok marah marah.
Lan Giok tiba tiba menarik napas panjang dan berkata dengan suara lemah lembut, "Engko Thian Giok, kuminta kau jangan bicara seperti itu. Apakah salahnya mencinta seseorang" Apakah seorang gadis tak berhak mencintai seorang pemuda yang baik dan yang menjadi pilihan hatinya" Mengapa kau begitu kejam?"
Mendengar suara Lan Giok yang tidak seperti biaranya ini, Thian Giok memandang dan ia dapat menduga isi hati adiknya itu.
"Hm, ya sudahlah. Memang kau juga jatuh hati kepada Bun Sam, itu aku tahu dan tidak menyalahkan kau. Tetapi, kau sudah bertunangan padanya, sedangkan nona itu". bukankah ia sudah ditunangkan dengan putera Pat jiu Giam ong?"
"Itulah soalnya. Ia tidak suka kepada bekas suhengnya itu dan tidak sudi dipaksa menikah dengan dia."
Baru sampai di sini percakapan itu, tiba tiba mereka mendengar suara derap kaki kuda dari belakang. Ketika keduanya menoleh, mereka melihat dari jauh Bucuci bersama Koai kauw jit him mendatangi, Lan Giok belum kenal siapa adanya tujuh orang Mongol yang datang bersama Bucuci, tetapi Thian Giok terkejut sekali. Ia tahu betul betapa lihainya tujuh orang Mongol itu, maka ia lalu berkata, "Cepat, Lan moi. Mari kita lari. Bucuci datang bersama Koai kauw jit him. Mereka terlalu kuat bagi kita !"
Lan Giok sudah mendengar cerita Thian Giok tentang kehebatan kepandaian tujuh biruang Mongol ini, maka tanpa banyak cakap lagi iapun lalu membedal kudanya. Empat ekor kuda yang di bawa oleh Lan Giok dan Thian Giok itu adalah kuda kuda pilihan yang berharga mahal. Sin beng Ngo hiap tidak kepalang mendapatkan harta karun maka mereka pun berlaku royal sekali. Kuda untuk menarik kereta mewah itu sengaja mereka beli yang paling tinggi harganya. Oleh karena itu, ketika Lan Giok dan Thian Giok membalapkan empat ekor kuda itu mereka melompat cepat sekali dan sebentar saja para pengejar itu dapat ditinggalkan jauh. Bucuci sudah berteriak teriak, tetapi teriakannya makin lama makin menjauh. Kuda orang orang Mongol inipun bukan kuda murah dan buruk namun tetap saja tak dapat melebihi kuda kuda yang dibawa oleh kedua orang muda itu. Apalagi, Bucuci dan kawan kawannya telah melakukan perjalanan demikian jauh sehingga binatang binatang tunggangan mereka sudah lelah. Berbeda dengan Lan Giok dan Thian Giok yang menjalankan kuda lambat lambat dan seenaknya saja.
Ketika Lan Giok dan Thian Giok sudah melarikan kuda sampai belasan li jauhnya di depan terlihat sebuah dusun yang cukup ramai. Tiba tiba dari sebelah kiri pada jalan bersimpang tiga, datang tiga orang menggiring belasan ekor kuda. Mudah diduga bahwa mereka itu tentulah saudagar saudagar kuda yang hendak menjual kuda ke kota besar.
"Thian ko, aku ada pikiran baik," kata Lan Giok.
Thian Giok hendak bertanya, tetapi mereka telah berada dekat dengan saudagar saudagar kuda itu. Empat ekor kuda yang dibawa olah muda mudi kembar ini jauh lebih besar dan bagus dan ketika melihat sekian banyaknya kuda, empat ekor kuda besar ini meringkik ringkik dan mengangkat kedua kaki depan mereka.
"Kuda baik!" Ketiga orang pedagang kuda itu memuji. Sebagai pedagang pedagang kuda yang berpengalaman, tentu saja mata mereka dapat mengenal kuda yang baik dengan mudah.
"Sahabat sahabat, kalau kuda kuda ini baik, berapakah kalian mau membelinya?"
Mendengar orang mau menjual kuda kuda baik itu, saudagar saudagar kuda ini berlaku cerdik. Seorang di antara mereka yang agaknya menjadi kepala, dengan matanya yang sipit lalu mendekati Lan Giok dan Thian Giok.
"Ji wi (tuan berdua) hendak menjual kuda kuda itu?" Matanya makin sipit menyandang ke arah kuda. "Ah, sungguhpun kuda kuda ini baik sekali, tetapi jarang ada orang yang mau membelinya."


Pedang Sinar Emas Kim Kong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mengapa?" tanya Thian Giok penasaran dan diam diam iapun heran mengapa adiknya hendak menjual kuda yang dapat dipergunakan untuk melarikan diri dari para pengejarnya.
"Kuda kuda besar dan liar semacam ini sukar sekali ditunggangi orang."
Lan Giok tertawa. "Pintar betul kau membohong, sahabat. Kau lihat sendiri, kami berdua dapat menungganginya."
"Karena ji wi memang pandai berkuda. Orang biasa saja tentu akan terlempar jatuh kalau kuda itu mengangkat kedua kaki depannya. Akan tetapi, kami mau membelinya juga untuk dipergunakan menarik kereta. Bagaimana kalau seratus tahil untuk empat ekor kuda itu?"
"Seratus tahil?" Thian Giok berseru marah. "Untuk seekor saja orang lain berani membeli seratus tahil !"
Pedagang itu mengangkat pundak "Sudahlah duaratus tahil kubayar. Aku tidak berani melebihi satu chi pun juga."
Lan Giok memberi isyarat dengan matanya kepada kakaknya, lalu dengan tertawa ia berkata "Sahabat, kau bayar sajalah!"
Bukan main girangnya hati pedagang pedagang itu. Mereka menganggap bahwa kali ini mereka akan mendapat keuntungan yang bagus sekali. Segera mereka membayar dan barang barang yang dimuat di atas kuda itu lalu diturunkan.
Setelah menerima uang itu, Lan Giok berkata, "Sekarang aku hendak memberi nasihat kepada kalian, sebaiknya kalian melanjutkan perjalanan secepatnya dan jangan bermalam di dusun depan itu."
"Kenapakah?" saudagar saudagar itu terkejut.
"Karena di belakang tadi ada segerombolan orang jahat yang mengejar kami, hendak merampas kuda kuda ini!"
Pedagang pedagang itu seketika menjadi pucat. "Jual beli ini tidak jadi saja!" kata mereka.
"Apa" Tidak bisa, uang sudah kami terima dan kuda sudah kalian terima pula," jawab Lan Giok.
"Tuan, betul betulkah ada pencuri pencuri kuda mengejar?" si mata sipit bertanya sambil memandang kepada Lan Giok.
"Siapa membohong" Kalau kalian tidak percaya, tunggu saja sebentar lagi mereka tentu akan menyusul ke sini!"
"Tuan, benar benarkah kuda kuda ini kalian dapatkan dengan jalan halal?"
Lan Giok melangkah maju dan sekali ayun tangannya, terdengar suara nyaring dan dua buah gigi orang itu melompat keluar dan mulutnya berdarah.
"Kalian menyangka kami pencuri kuda" Ha, goblok. Kalau kami pencuri kuda, apakah sukarnya bagi kami untuk merampas kuda kalian yang demikian banyaknya" Sudahlah, kalau kau percaya, lekas kaburkan kuda kudamu itu pergi dari sini, kalau tidak percaya, jangan menyesal kalau nanti kuda kudamu dirampas oleh mereka !"
Pedagang pedagang kuda itu terkejut sekali melihat kerasnya tangan "pemuda" ini. Mereka anggap omongan itu betul juga dan sambil mengeluarkan suara bentakan bentakan nyaring, mereka lalu melarikan dan menggiring semua kuda itu dengan cepat sekali, membelok ke kiri dan pergi dari situ, meninggalkan debu mengebul ke atas.
Lan Giok saling pandang sambil tertawa geli. Thian Giok memuji kecerdikan adiknya, karena sekarang ia tahu bahwa para pengejar itu tentu saja akan mengikuti jejak kaki kuda dan dengan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki akan lebih aman.
Memang tepat dan cerdik sekali siasat yang dilakukan oleh Lan Giok. Ketika rombongan Bucuci tiba di jalan bersimpang tiga, mereka melihat jejak jejak kaki kuda yang mereka kejar itu tiba tiba menjadi banyak sekali dan jejak jejak ini menuju ke kiri, mengejar tiga orang pedagang kuda itu !
Sementara itu, Lan Giok dan Thian Giok memasuki dusun di depan tadi. Mereka melihat sebuah kuil di pinggir dusun. Menurut usul Lan Giok yang cerdik, mereka tidak bermalam di rumah penginapan, melainkan mohon tempat berteduh pada ketua kuil, seorang hwesio yang kurus kering, tetapi peramah sekali.
"Losuhu, kami adalah orang orang perantauan yang telah kelelahan. Karena barang barang kami berat dan banyak, kami mohon losuhu sudi menerima barang barang ini sebagai titipan. Harap losuhu simpan baik baik dan kelak kami akan datang mengambilnya," kata Lan Giok. Kakaknya menyetujui tindakan ini, karena melarikan diri dengan dikejar kejar oleh sekian banyak orang lihai, amat tidak laluasa kalau harus membawa uang dan barang seberat itu. Lagi pula, hwesio tua itu sudah terang sekali seorang suci yang tentu akan menjaga barang titipan itu baik baik.
Pada keesokan harinya, pagi pagi benar kedua orang muda ini melanjutkan perjalanannya menuju ke Sian hwa san. Hati mereka telah lega dan dapat bersenda gurau lagi. Pada tengah hari, mereka tiba di kota Ciang keng yang ramai. Dengan hati senang mereka masuk ke dalam restoran yang besar dan memesan makanan. Ketika hendak pergi, Lan Giok telah mengambil uang penjualan kuda itu untuk bekal di jalan, maka kini ia memesan masakan secara royal sekali. Thian Giok hanya tersenyum saja melihat tingkah adiknya, karena ia memang maklum bahwa Lan Giok adalah seorang nona yang paling doyan makanan enak.
Setelah makan kenyang dan membayar harga makanan, mereka berdiri dan hendak keluar dari restoran ini untuk melanjutkan perjalanan. Akan tetapi, alangkah kaget mereka ketika tiba tiba terdengar langkah kaki orang yang ramai sekali dan tahu tahu Bucuci bersama tujuh orang Mongol yang lihai itu telah berdiri di ambang pintu !
Thian Giok hendak berlaku nekat dan ia telah meraba senjatanya, akan tetapi Lan Giok bersikap tenang, bahkan gadis ini berkata keras, "Baiknya aku sudah makan kenyang!" Diam diam Thian Giok mendongkol dan mengomeli adiknya ini. Bagaimana dalam keadaan terancam bahaya seperti ini adiknya itu masih sempat berbicara tentang makan kenyang"
Pada saat itu, restoran itu sedang sepi tidak ada tamu lain yang makan disitu. Bucuci lalu menarik meja yang ditaruhnya dengan sengaja di tengah pintu jalan masuk, kemudian ia dan tujuh orang kawannya lalu duduk mengelilingi meja itu. Terang sekali bahwa Bucuci hendak menghalangi jalan keluar. Kemudian dengan suara keras ia memerintah pelayan untuk menyediakan masakan dan arak yang baik. Mereka berlaku seakan akan di situ tidak ada Lan Giok dan Thian Giok dan mereka berbicara dalam Bahasa Mongol.
Thian Giok menjadi amat mendongkol. Ia tahu bahwa panglima Mongol itu sengaja berlaku demikian untuk menyiksa perasaan dia dan adiknya. Untuk menakut nakuti mereka. Oleh karena tak dapat menahan digoda seperti itu, Thian Giok sudah menarik senjatanya, tetapi Lan Giok mencegahnya dengan sentuhan jari tangannya. Gadis ini memutar otaknya dan dalam menghadapi bahaya seperti ini, tidak baik berlaku tergesa gesa dan sembrono. Paling baik menanti dengan sabar sampai fihak lawan bergerak, baru menggunakan siasat mencari kemenangan. Oleh karena itu, iapun lalu memesan lagi minuman dan kue kue kepada pelayan. Menghadapi kue dan arak, lebih enak sambil menantikan dari pada harus duduk diam saja.
Para pelayan juga melihat cara rombongan delapan orang itu menempatkan meja, tetapi mereka tidak berani menegur karena melihat pakaian perang Bucuci yang menunjukkan bahwa orang Mongol pendek ini adalah searang perwira Mongol yang berpangkat tinggi.
Bucuci dan kawan kawannya mulai makan minum sampai kenyang. Setelah selesai makan, Bucuci merasa heran juga melihat sikap kedua orang muda itu. Ia tadinya menanti sampai dua orang itu bergerak, menyerang atau minta ampun. Tetapi melihat betapa kedua orang muda itu bahkan makan minum dengan enaknya dan mendengar Lan Giok mendongeng ke barat ke timur sambil tertawa tawa, hatinya menjadi gemas sekali.
Tiba tiba ia menggebrak meja dan cawan arak di depannya dengan aneh sekali melayang ke arah Lan Giok. Gadis ini seperti tidak melihat datangnya cawan kosong yang melayang dari kanannya, tetapi sekali ia menggerakkan tangan, sepotong kue kering melayang memapaki cawan itu, masuk ke dalam cawan dan cawan itu runtuh ke atas lantai dengan kue kering di dalamnya. Bucuci diam diam terkejut juga melihat kelihaian Lan Giok. Sepotong kue kering yang dilontarkan dapat menahan luncuran cawan yang jauh lebih berat, sungguh membutuhkan lweekang yang melebihi tenaganya sendiri.
Kembali Bucuci menggabrak meja dan kali ini ia membentak, "Cacing cacing busuk, kalian pembunuh pembunuh keji, tidak lekas menyerah untuk diikat tanganmu mau tunggu kami turun tangan ?"
Thian Giok sudah merah mukanya, tetapi ia didahului oleh Lan Giok yang berkata kepadanya, "Thian ko, restoran ini sungguh aneh. Dikunjungi oleh dua ekor cacing saja masih baik, tetapi ada belatung kotoran yang dapat merayap masuk sungguh mengherankan."
Bucuci bangkit berdiri dengan marahnya. Ia memaki cacing, tetapi dengan jitu sekali Lan Giok memakinya sebagai belatung kotoran yang jauh lebih menjijikkan dan kotor lagi.
"Murid murid Mo bin Sin kun kau berani bermain gila di depanku?"
Baru Lan Giok menengok dan memandang kepada Bucuci. "Kau bicara dengan siapakah?"
"Dengan kau, setan perempuan dan kakakmu itu!"
"Bukankah kau ini Panglima Bucuci dari kota raja" Ah, hampir aku lupa dan pangling." kata gadis itu sambil tersenyum manis, sehingga dalam pakaian laki laki, ia benar benar nampak sebagai seorang pemuda yang amat tampan. "Kau sudah tua dan pakaianmu terlalu berat, tidak baik marah marah, buruk sekali untuk kesehatanmu. Kau datang dan marah marah mau apakah?"
"Aku datang hendak menangkap kalian ! Ayoh lekas bilang di mana Sian Hwa!"
"Sian Hwa" Siapakah dia?" tanya Lan Giok mempermainkannya.
"Kurang ajar! Berpura pura tidak tahu lagi. Sian Hwa puteriku, siapa lagi?" bentak Bucuci ambil mengertakkan gigi.
"Anakmu" Ah, jadi Panglima Bucuci yang ternama itu sudah punya anak" Sejak kapankah" Aku memang mengenal enci Sian Hwa yang telah menjadi nikouw karena ia dipaksa menikah oleh ayah angkatnya yang kejam, untuk dijodohkan dengan seorang kaya raya. Ya, ya, sungguh kasihan sekali enci Sian Hwa. Ayah angkatnya itu benar benar mata duitan."
"Keparat ! Jangan kau bermain gila, Sian Hwa tidak menjadi nikouw dan dia ikut lari bersamamu kaukira aku tidak tahu" Ayoh katakan di mana dia, jangan membikin aku hilang sabar."
"Kalau kau hilang sabar mau apakah?" Lan Giok masih tersenyum manis dan sikapnya tetap tenang.
Bucuci melemparkan bangkunya ke belakang dengan sekali sepak. "Akan kuhancurkan kepalamu !"
Mendengar ini, Lan Giok lalu bangkit berdiri. Sikapnya masih tenang, bibirnya yang manis masih tersenyum, sehingga sepasang lesung pipit menghias di kedua pipinya. Akan tetapi sepasang mata yang bening itu bersinar sinar menantang.
"Kau hendak menghancurkan kepalaku " Alangkah gagahnya. Hebat sekali kau. Cobalah !"
Ditantang seperti itu, Bucuci tertegun. Memang bukan maksudnya untuk menghadapi gadis ini seorang diri saja. Kalau memang ia tidak merasa jerih, untuk apa ia membawa Koai kau w jit him bersama dia" Ia tahu bahwa kepandaian murid Mo bin Sin kun ini lihai sekali. Untuk beberapa lama ia tidak dapat menjawab tantangan itu.
"Ayoh, kau menunggu apalagi" Apakah hendak berdoa dulu?" Lan Giok mengejek.
"Benar benarkah kau mencari mampus " Katakan saja di mana adanya Sian Hwa dan kami hanya akan membawamu ke kota raja dengan baik baik. Kalau kau membandel, jangan menyesal kalau kami benar benar akan menewaskan kalian berdua di tempat ini dan hanya akan membawa kepala kepalamu ke kota raja!" bentaknya lagi.
"Aha, jadi Panglima Bucuci yang maha mulia dan gagah perkasa ini demikian gagah berani, sehingga untuk menghancurkan kepala seorang gadis muda saja mengandalkan bantuan tujuh orang kawannya?" Kemudian gadis itu dengan berani sekali menghampiri tujuh orang Mongol yang mendengarkan percekcokan itu dengan tertarik dan kagum menyaksikan gadis yang lincah dan berani serta pandai bicara ini.
Lan Giok menjura kepada mereka dan kemudian berkata, "Ah, kalau tidak ialah pandangan mataku, bukankah aku gadis muda yang bodoh ini berhadapan dengan ketujuh Koai kauw jit him locianpwe?" Ia sengaja menyebut locianpwe untuk menjunjung tinggi nama mereka itu, adapun nama mereka ia ketahui berkat hasil penyelidikan Thian Giok di kota raja. "Sudah lama sekali aku yang muda mendengar nama besar dari jit wi locianpwe (tujuh orang tua gagah perkasa) yang namanya terkenal sampai ke ujung langit. Guruku Mo bin Sin kun pernah menyatakan bahwa Koai kauw jit him adalah tokoh tokoh dari utara yang gagah perkasa dan berbudi, yang menjunjung tinggi peraturan kang ouw, oleh karena itu sekarang dengan tak tersangka sangka aku berhadapan dengan jit wi, bukankah ini merupakan keuntungan besar sekali?"
Tujuh orang Mongol itu tentu saja enak sekali hati mereka dan agaknya perasaan mereka pada saat itu sama dengan tujuh ekor kucing malas yang dielus elus kepalanya, sehingga mereka menjadi merem melek keenakan. Di dunia ini, siapakah orangnya yang tidak suka dipuji" Apalagi kalau yang memujinya seorang gadis yang demikian manisnya. Koai kauw jit him kini tahu bahwa Lan Giok adalah seorang gadis manis yang menyamar laki laki, karena tadi Bucuci telah memakinya setan perempuan.
Orang tertua dari ketujuh biruang ini, yang disebut Biruang Besar, segera berdiri, diikuti oleh enam orang adik seperguruannya untuk membalas penghormatan Lan Giok. Mereka telah mendengar nama besar dari Mo bin Sin kun, maka biarpun nona ini asih muda namun sebagai murid Mo bin Sin kun, sudah patut mendapat balasan penghormatan mereka.
"Nona yang muda dan gagah, kami juga sudah mendengar nama gurumu yang perkasa. Sayang sekali orang seperti nona ini sampai bentrok dengan Panglima Bucuci. Oleh karena itu, kami bertujuh akan merasa lega dan senang sekali kalau kau suka turut saja ke kota raja tanpa perlawanan, karena sesungguhnya, kami tidak suka sekali kalau harus mempergunakan kekerasan terhadap orang gagah segolongan sendiri."
Thian Giok diam diam menjadi girang melihat siasat yang dimainkan oleh Lan Giok, baru sekarang ia tahu apakah maksud adiknya ini. Lan Giok sudah mengerti bahwa fihak lawan jauh lebih kuat, maka ia sengaja bersikap manis dan memuji untuk membikin Tujuh Biruang Mongol itu menjadi malu hati untuk melakukan pengeroyokan! Kalau menghadapi mereka seorang lawan seorang biarpun belum tentu menang namun tidak seberat kalau dikeroyok tujuh!
Bucuci yang melihat sikap manis dari Koai kauw jit him, merasa tidak enak hati, maka ia lalu berkata kepada Lan Giok, "Nah, kaulihat. Ketujuh orang sahabatku ini masih menaruh hati kasihan kepadamu. Sekarang lekas kau mengaku saja di mana adanya Sian Hwa dan selain itu, kalian berdua harus ikut dengan kami ke kota raja."
"Kalau aku tidak mau turut?"
"Hal pergi ke kota raja adalah soal ke dua. Yang pertama lekaslah kau mengaku di mana adanya Sian Hwa?"
"Siapa tahu" Kalau enci Sian Hwa yang kau tanyakan, tentu saja ia berada di kuil Sun pok thian, di mana lagi?"
"Bohong! Sudah terang dia ikut pergi dengan kau !"
"Lihat saja sendiri, apakah dia berada di sini bersamaku" Ataukah kau hendak menggeledah" Percayalah, enci Sian Hwa tidak berada di kantung bajuku!" Lagi lagi Lan Giok melucu sambil tersenyum senyum, membuat hati Bucuci menjadi makin mendongkol.
"Hm, kau berkepala batu. Hendak kulihat apakah di kota raja kelak kau dapat merahasiakan di mana adanya puteriku itu! Sekarang hal yang ke dua, apakah kau juga hendak berkepala batu dan tidak mau ikut dengan kami?"
Lan Giok menggeleng kapala. "Aku dan kakakku adalah orang orang bebas, bahkan dahulu Pat jiu Giam ong sendiri membebaskan kami hendak pergi ke mana kami sukai, mengapa kau menghalangi" Kami tidak akan ikut denganmu ke kota raja."
"Bagus, kalau begitu terpaksa kami akan turun tangan!" Bucuci lalu menghadapi Koai kauw jit him dan bicara dalam Bahasa Mongol.
Atas permintaan ini, Biauw Ta dan Biauw Lun, orang pertama dan ke dua dari Koai kauw jit him, melangkah maju menghadapi Lan Giok yang sudah didampingi oleh Thian Giok pula. Seperti juga tadi, Biauw Ta yang mewakili adik adiknya bicara.
"Sungguh menyesal sekali bahwa kalian ini orang orang muda amat keras hati. Apakah halangannya menurut saja atas kehendak Panglima Bucuci dan ikut ke kota raja?"
Lan Giok tersenyum mengejek, "Apakah jit wi yang ternama hendak mengeroyok kami dua orang muda?"
Biauw Ta menggelengkan kepala. "Kami sudah menyaksikan kepandaian pemuda ini." Ia menuding ke arah Thian Giok. "Dan oleh karenanya, aku dan adikku Biauw Lun sendiri hendak turun tangan. Menghadapi orang orang muda, perlu apa main keroyokan?"
Setidak tidaknya Thian Giok dan Lan Giok menjadi lega juga karena dengan satu lawan satu, biarpun fihak lawan amat berat namun mereka masih ada harapan untuk menang!
"Locianpwe," kata Lan Giok, "kalau kami kalah, sudahlah jangan dibicarakan lagi. Akan tetapi bagaimana kalau dalam pertandingan jujur satu lawan satu ini kami yang menang ?"
"Kalau kalian yang menang," kata Biauw Ta tersenyum, "kalian bebas dan aku akan belajar sepuluh tahun lagi sebelum mencari kau dan gurumu."
Bucuci tidak puas mendengar pertaruhan ini, karena ia sudah tahu bahwa murid murid Mo bin Sin kun ini lihai sekali, bagaimanakah Biauw Ta demikian gegabah untuk mengajak bertaruh" Akan tetapi, biarpun ia mempunyai kekuasaan pengaruh yang besar, menghadapi Koai kauw jit him yang tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi daripadanya, ia tidak berani banyak bicara dan hanya memandang dari pinggiran dengan penuh perhatian.
Sementara itu, Lan Giok memberi tanda kepada kakaknya dan kedua orang muda ini segera meloloskan, senjata. Sebaliknya Biauw Ta dan Biauw Lun sudah mempergunakan kaki mereka untuk menyepak ke sana sini, sehingga meja kursi di dalam ruang restoran itu beterbangan keluar, merobah ruang makan itu menjadi ruang silat yang cukup luas!
"Nah, orang orang muda yang gagah, silahkan!" Biauw Ta berkata dan kedua orang Mongol ini sekarang telah memegang senjata mereka yang membuat nama mereka terkenal, yakni sepasang senjata kaitan. Tongkat kaitan di tangan Biauw Ta mempunyai tiga mata kaitan, semacam jangkar kapal, terbuat daripada logam hijau dan panjangnya seperti pedang. Adapun tongkat kaitan di tangan Biauw Lun adalah sepasang kaitan yang hitam, mata kaitannya hanya satu, tetapi ukuran sepasang kaitan ini tidak sama. Yang kiri pendek hanya satu setengah kaki, tetapi yang kanan ada empat kaki panjangnya!
"Lan Giok, biarkan aku yang menghadapi locianpwe ini!" kata Thian Giok. Ia hendak menghadapi Biauw Ta, karena tentu ketua Koai kauw jit him ini yang terlihai. Akan tetapi mana Lan Giok mau mengalah" Ia memandang kakaknya sambil tersenyum, kemudian sambil menggerakkan jarum emasnya, ia menyerang Biauw Ta sambil berkata,
"Awaslah, locianpwe, aku mulai menyerang!" Biauw Ta cepat menyambut serangan ini, dengan secara cepat mengelak dan menanti serangan lebih jauh. Orang tua ini suka kepada Lan Giok yang lincah, maka ia hendak memberi kesempatan kepada Lan Giok untuk menyerang terus sampai sepuluh jurus, barulah ia akan turun tangan menangkapnya.
Adapun Thian Giok yang didahului oleh adiknya, terpaksa lalu maju menyerang Biauw Lun. Berbeda dengan Biauw Ta, orang ke dua dari Kosi kauw jit him ini segera mengangkat kaitannya menangkis joan pian dari Thian Giok. Terdengar suara keras dan bunga api berpijar menyilaukan. Thian Giok terkejut sekali karena merasa telapak tangannya panas dan sakit. Diam diam ia mengeluh. Ternyata kepandaian Biauw Lun ini masih jauh lebih hebat dari pada kepandaian Biauw Kai, orang ke tujuh dan Koai kauw jit him Tetapi pemuda ini tidak menjadi jerih dan ia lalu mendesak maju dan memainkan Pek giok joan pian di tangannya dengan pengerahan seluruh kepandaiannya. Biauw Lun kagum sekail melihat betapa joan pian dari rangkaian batu putih mengkilat itu dimainkan secara indah dan cepat, sehingga berobah menjadi segulungan sinar putih yang mendatangkan angin dingin. Ia merasa gembira harus melayani pemuda yang gagah ini, maka iapun berseru keras dan memainkan sepasang kaitannya yang mempunyai gerakan aneh seperti gerakan kaitan Biauw Ta.
Tujuh orang Mongol yang lihai ini disebut tujuh biruang karena memang mereka ini mempunyai ilmu silat yang gerakannya seperti gerakan biruang. Kaitan kaitan di kedua tangan diumpamakan sebagai cakar cakar biruang yang selain mempunyai gerakan cepat, juga mengandung tenaga luar biasa besarnya. Guru mereka, seorang Mongol tua yang mangasingkan diri, adalah seorang penangkap dan penakluk biruang di dekat kutub utara. Guru mereka ini dengan tangan kosong dan seorang diri saja dapat menangkap hidup hidup seekor biruang yang besarnya dua kali lebih besar dari pada tubuhnya sendiri. Dalam prakteknya yang berpuluh tahun lamanya ini, akhirnya orang gagah ini berhasil menciptakan ilmu silat biruang yang kemudian diturunkannya kepada Koai kauw jit him !
Tingkat kepandaian Biauw Lun kalau dibandingkan dengan kepandaian Biauw Kai orang yang termuda dari Koai kauw jit him, masih menang setingkat. Sedangkan ketika Biauw Kai bertempur dengan Thian Giok di hadapan Pat jiu Giam ong pemuda ini sudah harus mengakui kelihaian Biauw Kai dan ia hanya dapat mengimbanginya saja tanpa ada harapan untuk dapat mengalahkannya. Maka sudah tentu sekarang ia dan adiknya mendapatkan lawan yang lebih tinggi tingkatnya dan berat sekali.
Betapapun juga, Lan Giok dan Thian Giok melawan dengan sekuat tenaga dan sama sekali tidak mau menyerah mentah mentah. Terutama sekali Lan Giok. Gadis ini memiliki kelincahan dan keringanan tubuh yang lebih tinggi daripada kakaknya dan kini mengandalkan ginkangnya, ia dapat melakukan perlawanan dengan baik sekali sehingga biarpun boleh dikata setelah lewat tigapuluh jurus ia menjadi fihak yang terserang dan terdesak, namun ia masih dapat bertahan. Sepasang kaitan dari Biauw Ta benar benar hebat. Setelah dipergunakan, baru Lan Giok tahu bahwa senjata ini lebih berbahaya daripada pedang. Senjata pedang hanya dapat dipergunakan dalam, serangan dengan gerakan menusuk atau membacok. Akan tetapi kaitan ini dapat dipakai untuk menusuk atau mendorong, memukul dan juga mengait ! Baiknya tenaga sampokan dari kipasnya amat kuat, sehingga beberapa kali selalu kaitan di tangan Biauw Ta tidak mendapat hasil baik. Diam diam orang pertama dari Koai kauw jit him ini terkejut juga. Baru muridnya saja demikian lihai, apalagi gurunya! Oleh karena itu, la lalu mendesak lebih hebat lagi, sehingga Lan Giok makin sibuk mempertahankan diri.
Sementara itu, Bucuci yang melihat jalannya pertandingan, menjadi tidak sabar lagi. Kalau saja Biauw Ta tidak mempertahankan sikap jumawa dan bersahabat, tentu dengan keroyokan kedua orang muda itu akan dapat dirobohkan dengan mudah saja. Karena ia merasa khawatir kalau kalau guru kedua orang muda itu berada di dekat tempat iiu seperti juga dahulu ketika dua orang muda itu telah ditawan oleh Pat jiu Giam ong dan kemudian ditolong secara tiba tiba oleh Mo bin Sin kun, maka ia lalu meloloskan sepuluh butir besi kelencingan kecil dari baju perangnya.
Lan Giok dan Thian Giok sedang terdesak hebat dan hanya semangat mereka yang bernyala nyala saja yang membuat mereka masih dapat bertahan. Tiba tiba lima sinar menyambar ke arah Lan Giok dan Thian Giok. Kedua orang muda ini terkejut sekali. Mereka cepat mengelak, akan tetapi sebutir senjata rahasia tetap saja mengenai pundak Thian Giok dan sebutir pula mengenai lengan kanan Lan Giok. Kedua orang muda itu mengeluarkan seruan kaget dan kesakitan, senjata mereka terlepas dan pada saat itu, Bucuci telah melemparkan sehelai tali sutera yang mengikat kedua kaki mereka dan sekali tarik saja robohlah Lan Giok dan Thian Giok !
Terdengar suara ketawa Bucuci, disusul oleh makian Lan Giok, "Bucuci manusia busuk! Kau berlaku curang."
Akan tetapi dia dan kakaknya tidak berdaya, karena Bucuci sudah cepat menggerakkan tali sutera itu dan sebentar saja keduanya telah terikat erat erat.
Biauw Ta dan Biauw Lun dengan muka merah memandang kepada Bucuci, "Ciangkun, mengapa kau melakukan hal itu" Sebenarnya tidak perlu, apakah kau mengira kami tak dapat merobohkan mereka tanpa bantuanmu?"
"Ji wi tak parlu berlaku sungkan sungkan terhadap dua orang pembunuh ini," jawab Bucuci, "mereka ini jahat dan kalau sampai Mo bin Sin kun keburu datang menolong, sukarlah untuk menangkap mereka!"
Mendengar ini, ketujuh orang Mongol itu terkejut juga. Mereka memang merasa jerih terhadap Mo bin Sin kun yang terkenal ganas dan melihat tingkat kepandaian dua orang muda ini dapat mereka bayangkan betapa lihainya Mo bin Sin kun.
Orang orang yang tadinya menonton dari jauh di luar restoran ketika melihat dua orang muda itu dinaikkan di atas kuda kemudian delapan orang itu membalapkan kuda pergi dari situ, tiada hentinya membicarakan peristiwa ini. Mereka menaruh simpati kepada dua orang muda itu tetapi siapakah yang berani turun tangan menghalangi mereka"
Tadinya Bucuci dan rombongannya memang telah kena ditipu oleh Lan Giok dan mereka mengejar rombongan pedagang kuda, tetapi setelah rombongan itu tersusul, Bucuci mengancam dan mendapat keterangan dari pedagang kuda tentang dua orang muda yang menjual empat ekor kuda itu. Maka tanpa membuang waktu lagi, Bucuci dan kawan kawannya lalu kembali dan mengejar terus, sehingga akhirnya mereka dapat menyusul juga dan berhasil menangkap Lan Giok dan kakaknya.
Baiknya luka di lengan Lan Giok dan di pundak Thian Giok tidak hebat. Tetapi mereka benar benar tidak berdaya lagi. Lan Giok duduk di depan Biauw Ta sedangkan Thian Giok di depan Biauw Lun keduanya dalam keadaan terikat oleh tali sutera yang amat kuat dan tak mungkin diputuskan. Kuda mereka dilarikan perlahan lahan, karena selain kuda kuda itu sudah lelah, juga untuk apa tergesa gesa setelah kini dua orang itu sudah tertangkap"
Malam tiba ketika mereka sampai di dusun di mana terdapat kelenteng yang menerima titipan barang barang Lan Giok dan Thian Giok. Bucuci dan kawan kawannya bermalam di penginapan satu satunya yang ada di dusun itu.
Bucuci dan kawan kawannya sudah terlalu lelah, maka mereka segera tertidur. Tetapi panglima ini tidak mengurangi hati hatinya dan penjagaan terhadap dua orang tawanan itu dilakukan secara bergilir. Mereka tidur di ruang besar di mana tempat tempat tidur terletak berjajar. Lan Giok dan Thian Giok terbaring di tempat tidur yang ditaruh di tengah tengah, dalam keadaan masih terikat dan orang yang bergilir melakukan penjagaan duduk di dekat mereka.
Sampai dua kali penjagaan bergilir, dari Biauw Kai, kakaknya lalu diganti oleh orang lain lagi. Kini yang bergilir melakukan penjagaan adalah Biauw Hun, orang ke tiga dari Koai kauw jit him. Berbeda dengan saudara saudaranya, Biauw Hun ini dahulunya adalah seorang yang terkenal mata keranjang. Biarpun sekarang usianya sudah lima puluh tahun lebih, namun diam diam ia amat tertarik dan suka kepada Lan Giok Setelah melihat semua saudara saudaranya tertidur, Biauw Hun ingin main main dan mendekati Lan Giok yang tidak dapat memejamkan matanya. Sebaliknya Thian Giok juga sudah pulas.
Biauw Hun dengan cengar cengir seperti monyet, mendekati Lan Giok dan telah mengangkat tangan untuk mencolek pipi gadis itu. Tetapi, tiba tiba dari luar jendela, berkelebat bayangan yang cepat dan demikian ringannya seakan akan hanya asap yang melayang masuk itu. Tahu tahu di depan Biauw Hun telah berdiri seorang pemuda yang sepasang matanya seperti mengeluarkan cahaya berkilat.
Biauw Hun menjadi terkejut. Pendengarannya sudah terlatih baik, bagaimana ia tidak dapat mendengar kedatangannya ini"
"Bangaat, siapa kau?" teriaknya. Tetapi pemuda itu dengan gerakan yang luar biasa cepatnya telah meraba tali pengikat Lan Giok dan Thian Giok. Dalam sekejap mata saja tali itu putus putus!
"Ayoh, lari!" orang itu berseru.
"Bun Sam".!" Lan Giok berteriak girang, tetapi Bun Sam tidak memberi ketempatan padanya karena pemuda ini telah membetot tangannya dan juga tangan Thian Giok yang baru saja terbangun oleh suara itu.
Biauw Hun cepat menubruk maju hendak menyerang Bun Sam, tetapi ia tiba tiba merasa dadanya terpukul dari depan seperti ada tenaga tidak terlihat menahannya. Ia menjadi amat heran, karena pemuda ini sama sekali tidak menggerakkan tangan. Selagi ia terheran heran, Bun Sam yang menggandeng tangan Lan Giok dan Thian Giok, telah membawa mereka melompat keluar jendela dengan cepatnya !
Seperti telah diketahui, Bun Sam mengejar Lan Giok untuk menanyakan tentang Sian Hwa. Karena ia mengambil jalan lain, maka ia tidak bertemu dengan Lan Giok dan kakaknya. Baiknya ia tiba di kota di mana kedua orang muda itu tertangkap dan ketika ia makan di restoran itu, ia mendengar tentang peristiwa penangkapan dua orang muda oleh serombongan orang Mongol. Mendengar bahwa dua orang muda itu adalah seorang pemuda dan pemudi berpakaian pria dan muka mereka serupa benar, Bun Sam menjadi terkejut. Tak salah lagi, tentu yang tertawan itu adalah Thian Giok dan Lan Giok. Ia lalu cepat melakukan pengejaran dan betullah dugaannya ketika ia melihat dua orang muda itu dalam tawanan Bucuci dan tujuh orang Mongol yang kelihatannya lihai itu.
Ia menanti saat yang baik dan pada malam hari itu, ketika Biauw Hun yang ceriwis bergilir menjaga, ia turun tangan Ia hendak menolong mereka, tetapi tidak ingin memperlihatkan kepandaiannya. Mengandalkan ginkangnya yang tinggi, t akhirnya Bun Sam berhasil menolong Lan Giok dan Thian Giok lalu membawa mereka melarikan diri.
Tentu saja menjadi gemparlah Koai kauw jit him dan Bucuci. Delapan orang ini cepat melakukan pengejaran. Sebetulnya kalau hanya Bun Sam seorang yang dikejar, mereka takkan mampu menandingi ilmu lari cepat pemuda ini, tetapi karena Bun Sam berlari dengan Thian Giok dan Lan Giok, keadaan menjadi berlainan dan kini para pengejar itu telah dapat menyusul mereka lebih dekat.
"Kita lawan saja mereka!" kata Lan Giok. "Mengapa harus lari lari seperti orang ketakutan" Dengan Bun Sam di sini, kita menjadi bertiga dan lebih kuat!"
"Bodoh!" menyela Thian Giok. "Seorang lawan seorang saja kita kalah. Biarpun ada Bun Sam, kita hanya bertiga dan mereka ada delapan orang!, Ayoh percepat lari kita!"
Seri ke 1 Pedang Sinar Emas
Pedang Sinar Emas (Kim Kong Kiam) Jilid XIII DIAM DIAM Bun Sam tersenyum geli dan juga ia amat tertarik. Kalau seorang lawan seorang saja Lan Giok dan Thian Giok sampai kalah, tentu kepandaian para pengejar itu benar benar hebat. Ingin sekali ia mencoba mereka, tetapi jangan sampai terlihat oleh dua orang muda ini.
"Kalian sudah lelah, lebih baik kita berpencar saja," katanya. "Lekas kalian berlari menuju ke hutan di depan itu, aku akan membelok ke kanan dan memancing mereka supaya mengejarku."
"Tetapi....kalau kau tertangkap?" Lan Giok membantah.
"Aku tidak bermusuhan dengan mereka. Takut apa ditangkap?" jawab Bun Sam. Tetapi Lan Giok masih hendak membantah, sehingga Thian Giok cepat menyambar tangannya dan ditarik pergi.
"Kata kata Bun Sam tadi benar! Dahulupun ia dibebaskan oleh Pat jiu Giam ong. Ayoh lari, mereka sudah dekat!"
Dengan hati tidak rela, Lan Giok hendak membantah pula.
"Lan Giok, jangan khawatir, aku akan menyusul kalian telah dapat memancing mereka. Tunggu saja di dalam hutan itu," kata Bun Sam. Mendengar ucapan ini, barulah Lan Giok tidak membantah lagi dan kedua orang muda itu berlari secepatnya menuju ke gundukan hitam di sebelah kiri.
Biarpun tadi Bun Sam menyatakan hendak memancing para pengejar, tetapi setelah melihat Lan Giok dan Thian Giok lari jauh dan hilang ditelan kegelapan malam ia berdiri tenang tenang saja sambil bertolak pinggang menanti delapan orang itu.
Setelah Bucuci dan kawan kawannya mengejar sampai di situ dan melihat pemuda ini berdiri bertolak pinggang sambil tersenyum senyum, Biauw Hun membentak. "Inilah bangsat itu!" Ia lalu maju memukul dengan tangan kanannya. Tetapi ia menjadi terkejut sekali karena pemuda itu tiba tiba saja lenyap dari depannya dan tahu tahu telah berada di belakangnya!
"Ah, jadi kaukah ini?" Bucuci membentak marah sambil memandang kepada Bun Sam. "Mau apa lagi kau berani menghalangi aku?"
Bun Sam menjura dengan hormat. "Bucuci ciangkun, aku tidak hendak menghalangi siapa siapa hanya aku tidak tega melihat kedua orang kawanku itu diikat dan ditawan."
"Dia ini adalah murid Kim Kong Taisu, seorang yang amat jahil dan sudah beberapa kali menggangguku. Sekarang dia tidak memandang kepada cu wi dan berani mencuri dan melepaskan tawanan, sungguh harus dibunuhi" kata Bucuci kepada Biauw Ta.
Mendengar bahwa pemuda ini adalah murid Kim Kong Taisu, juga melihat cara Bun Sam tadi mengelak dari serangan, Biauw Ta menjadi tertarik. Sudah lama ia mendengar nama Kim Kong Taisu sebagai seorang tokoh besar di samping nama nama besar dari Mo bin Sin kun, Lam hai Lo mo, Pat jiu Giam ong dan Bu tek Kiam ong. Tadi ia telah dapat mengalahkan murid Mo bin Sin kun dan hatinya merasa puas sekali. Urusan penangkapan Lan Giok dan Thian Giok baginya tidak ada artinya sama sekali, yang penting adalah kemenangannya dalam pertandingan tadi. Sekarang ia berhadapan dengan murid dari Kim Kong Taisu, mengapa tidak dicobanya "
"Hm, anak muda, jadi kau adalah murid Kim Kong Taisu" Pantas saja lihai. Kau telah berani menculik tawanan kami, apakah kau tidak tahu dengan siapa kau berhadapan" Kami ialah Koai kauw jit him, kenalkah kau kepada kami?"
Memang Bun Sam pernah mendengar nama ini, tetapi ia sengaja menggelengkan kepalanya. "Tidak, aku tidak kenal nama itu. Tetapi aku mau bertaruh dengan Koai kauw jit him."
"Bertaruh" Apa maksudmu?" tanya Biauw Ta.
"Kita mengadakan pertandingan, kalau kalian kalah, tak usah mengejar ngejar lagi kepada dua orang kawanku tadi."
"Dan kalau kau yang kalah?"
"Kalau aku kalah, akan kuberitahukan kepadamu di mana adanya kedua sahabatku itu. Bukankah ini sudah adil namanya?"
"Bagus, mari kita main main sebentar, hendak kusaksikan sendiri sampai di mana hebatnya ilmu silat yang diajarkan oleh Kim Kong Taisu!" Sambil berkata demikian, Biauw Ta lalu menerjang ke depan.
Akan tetapi, sekali lagi Bun Sam mengelak dan kini pemuda itu bahkan melarikan diri, kembali ke jalan tadi.
"Eh, mengapa kau lari?" Biauw Ta berseru sambil mengejar cepat, diikuti oleh kawan kawannya yang tujuh orang.
"Hendak kulihat betapa cepatnya lari biruang Mongol!" Bun Sam berkata mengejek. Marahlah Biauw Ta dan ia bersama saudara saudaranya lalu mengejar dengan cepat, menggunakan ilmu lari cepat yang mereka namakan Hui niau coan in (Burung Terbang Menerjang Mega). Memang hebat ilmu lari cepat mereka, tidak kalah oleh ilmu lari cepat Chouw sang hui (Terbang di Atas Rumput) yang dipergunakan oleh murid murid Mo bin Sin kun. Sebentar saja Bucuci sendiri yang sudah memiliki ginkang tinggi dan ilmu lari cepat yang lihai, sudah tertinggal jauh!
Akan tetapi anehnya, bayangan pemuda yang mereka kejar itu seakan akan merupakan bayangan mereka sendiri ketika tubuh mereka terkena sorot penerangan dari belakang! Tetap saja pemuda itu berlari mendahului mereka dengan jarak kira kira lima tombak lebih dan betapapun juga Koai kauw jit him menancap gas dan menahan napas mempercepat larinya tetap saja lawan di depan mereka itu tidak menjadi lebih dekat. Yang amat mengagumkan dan mengherankan mereka adalah cara pemuda itu berlari. Jelas kelihatan dari belakang betapa pemuda itu berlari seperti orang berjalan biasa saja, namun kecepatannya demikian hebat. Baru berjalan saja pemuda itu tak dapat mereka susul, apalagi kalau pemuda itu sampai berlari!
Payung Sengkala 11 Balada Pendekar Kelana Karya Tabib Gila Pedang Pembunuh Naga 3

Cari Blog Ini