Ceritasilat Novel Online

Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia 2

Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek Bagian 2


sekarang aku tidak mau pukul majikanmu sehingga mati,
itulah berarti aku masih suka mengampuni kepadanya,
kalau saja kerugian-kerugian itu segera diganti berikut
pembayaran rentenya sebagaimana mestinya. Jikalau
peringatan ini tidak juga dihiraukan oleh majikanmu,
terpaksa aku nanti mengambil tindakan yang mungkin
juga akan menerbitkan perkara jiwa! Itulah ada
peringatanku yang paling penghabisan, buat mana aku
72 tunggu pelunasan penggantian kerugian itu selama tiga
hari ini di penggilingan Lie Tek Hoat yang tersebut tadi!"
Sementara gundal-gundal Ma-cu Lie yang sekarang
telah ketahui dengan orang macam apa mereka
berhadapan, diam-diam merasa "seram juga" dan berjanji
akan sampaikan peringatan itu kepada majikan mereka,
jikalau nanti tersadar dari pingsannya.
Maka Poan Thian yang telah mendapat kesanggupan
begitu dari gundal-gundalnya si bopeng, iapun segera
berlalulah dari loteng Cay-hong-lauw dengan tidak
banyak bicara lagi. Dan tatkala si pemuda telah tidak kelihatan pula
bayangan-bayangannya, barulah gundal-gundal itu
angkut majikannya, dibawa pulang ke rumah untuk
diobati luka-lukanya bekas bertempur tadi.
Selagi Ma-cu Lie rebah di pembaringan sambil
memikirkan nasibnya yang amat malang itu, mendadak
ada seorang sahabatnya yang bernama Couw Siu Chun
datang menyambangi kepadanya.
Sahabat ini sama sekali tidak mengetahui peristiwaperistiwa apa yang telah dialami oleh si bopeng tadi,
maka seperti seorang sahabat karib yang biasa keluar
masuk di rumah sahabat itu, ia lantas saja masuk dan
menghampiri pada Ma-cu Lie yang berbaring sambil
berselimut di atas pembaringannya.
"Eh, eh," kata sahabat itu, "apakah kau sakit?"
Si bopeng mengangguk sambil menjawab: "Ya."
"Ini berarti bahwa kau terlalu banyak keluar malam,"
kata Siu Chun sambil tertawa. Tetapi ia tak coba
menggoda lebih jauh, ketika melihat banyak darah
mengumpyang dalam tempolong yang diletakkan di
73 bawah kaki pembaringan. "Ah, apakah kau muntah darah?"
Si bopeng kembali mengatakan apa-apa. mengangguk, tetapi tidak Dengan menyaksikan keadaan sahabatnya disaat itu,
Siu Chun yang sudah kenyang mencicipi asam garam
dunia lantas menduga kalau-kalau Ma-cu Lie telah
mengalami peristiwa apa-apa yang agak hebat.
"Tampaknya itulah darah yang keluar dari paru-paru,"
katanya dengan rupa kaget, "apakah barangkali kau
telah bertempur dengan orang lain, sehingga kau telah
dilukai begitu rupa?"
Ma-cu Lie membenarkan atas dugaan sahabatnya
itu. Kemudian ia menuturkan duduknya perkara dengan
sengaja guna kebaikan dirinya sendiri, tetapi ia tidak
menyebut-nyebut tentang gandumnya Lie Tek Hoat yang
hendak "disikutnya".
"Astaga! Kalau begitu kau harus berobat pada
seorang tabib yang pandai," kata Siu Chun pula. "Aku
kenal seorang sahabat yang paham mengobati orang,
seorang ahli silat tua yang sekarang sudah tak mau
mengajar silat lagi dan menuntut penghidupan sebagai
sin-she dalam ilmu obat-obatan. Dia itu seorang she
Louw bernama Cu Leng, yang aku percaya kau juga
tentu kenal namanya."
,,Apakah dia itu bukannya berumah tinggal di jalan
Hu-tong-toa-kee di pintu kota timur?" tanya Ma-cu Lie.
"Benar, benar, dia memang berumah tinggal di situ,"
sahut Siu Chun. "Penyakitmu ini tampaknya agak berat
juga, dari itu, perlu sekali segera diperiksa hari ini juga.
74 Maka jikalau sekiranya kau sudi, aku bersedia buat pergi
mengantarkan kau ke rumah Louw Cu Leng itu."
Ma-cu Lie mengucap terima kasih atas kebaikannya
si sahabat. Kemudian ia perintah seorang gundalnya
buat pergi menyewa kereta, dengan mana ia berangkat
ke jalan Hu-tong-toa-kee dengan diantar oleh Couw Siu
Chun. Sesampainya di tempat yang dituju, Siu Chun lalu
ajak si bopeng turun dan mengetok pintu beberapa kali.
Tatkala seorang bujang keluar dan menanyakan she,
nama dan maksud kedatangan mereka, lalu ia
persilahkan mereka menunggu di kamar tetamu, sedang
ia sendiri lalu masuk memberitahukan kedatangan
mereka kepada majikannya.
Setelah mereka menunggu beberapa saat lamanya,
lalu muncul seorang tua yang janggut dan misainya
sudah hampir putih semua, tetapi gerakan-gerakannya
masih tetap gagah seperti anak muda yang baru berusia
tigapuluh tahun. Orang tua ini ketika melihat Couw Siu Chun dan
kawannya, lalu mengangkat tangan memberi hormat
sambil bersenyum dan berkata: "Ah, tidak kunyana hari
ini kau datang ke sini. Belum tahu ada urusan apa
sehingga tampaknya engkau begitu kesusu?"
Siu Chun lalu terangkan dengan sejelas-jelasnya
maksud kedatangan mereka, yaitu akan minta supaya Cu
Leng merawat dan mengobati pada Ma-cu Lie yang telah
mendapat luka di dalam badan karena bertempur dengan
seorang bajingan yang katanya hendak memeras
kepadanya. Louw Cu Leng mengangguk-angguk sambil 75 menyatakan kesediaannya akan menolong apa yang ia
bisa. Begitulah setelah minta si bopeng menanggalkan
bajunya, orang tua itu lalu mulai memeriksa pada
beberapa tanda biru yang disebabkan karena terpukul
atau jatuh. "Semua tanda-tanda luka ini tidak berbahaya," kata
Louw Cu Leng, "kecuali ini satu," (sambil menunjuk pada
tanda biru yang tampak di dadanya si bopeng). "Syukur
juga bekas tendangan ini tidak terlalu parah kenanya....."
"Ya, ya, sebab aku lekas membuang diri, ketika
tendangan itu ditujukan ke dadaku," kata si bopeng yang
tidak mau mengaku dirinya pecundang.
"Juga harus dibuat girang yang tendangan itu
dilakukan dengan telapak kaki, bukan dengan ujung
kaki," kata Lou Cu Leng pula, "jikalau tendangan itu
dilakukan dengan ujung kaki, nistiaja orang tak tahan
hidup biarpun cuma empat atau lima jam saja lamanya.
Dan jikalau tendangan itu kenanya parah, orang bisa
lantas mati seketika itu juga. Inilah yang dinamakan ilmu
tendangan Coan-sim-tui, yang tidak mudah dipelajari
oleh sembarangan orang. Tetapi berkat kemurahan
orang yang menendang kepadamu, maka aku masih
sanggup buat menyembuhkan penyakitmu ini."
Kemudian setelah memberikan obat-obat yang perlu,
Cu Leng lalu menasihati, agar supaya Ma-cu Lie jangan
terlalu banyak bergerak dan harus istirahat di
pembaringan. "Nanti hari esok kira-kira pukul sepuluh,"
katanya lebih jauh, "aku tentu datang ke rumahmu buat
coba melihat kemajuannya obat yang kau akan makan
itu, kalau nanti ternyata masih ada apa-apa yang kurang,
disembarang waktu bisa ditambah untuk mempercepat
76 kemajuan dalam penyembuhannya."
Ma-cu Lie dan Siu Chun kembali mengucap terima
kasih, tetapi Cu Leng tidak mau menerima ang-pauw
atau honorarium pada sebelum penyakitnya si bopeng
sudah menjadi sembuh betul.
Dalam perjalanan pulang, si bopeng telah
menanyakan asal-usulnya Cu Leng pada Siu Chun.
"Dengan Louw Cu Leng ini aku telah bersahabat kirakira duapuluh tahun lamanya," memulai sahabat itu. "Dia
ini orangnya budiman, suka menolong kepada
sesamanya. Di waktu mudanya pernah ia membuka
piauw-kiok dan jalan malang melintang di kalangan
Kang-ouw sebagai seorang pendekar yang tidak suka
melihat perbuatan tidak patut yang biasa dilakukan oleh
jagoan-jagoan setempat iang sering memeras dan
mempermainkan rakyat yang lemah dan tidak berdaya
buat bikin perlawanan. Setelah berhenti menjadi piauwsu, ia lantas membuka rumah perguruan silat dan rumah
obat dengan berbareng. Tetapi karena ia kelewat
cerewet dalam hal memilih murid, maka rumah
perguruan silatnya kurang mendapat perhatian orang,
sehingga selanjutnya ia lantas tutup dan hanya menuntut
penghidupan dengan menjual obat-obat saja seperti
sekarang, biarpun namanya di kalangan Kang-ouw masih
tetap harum sebagai seorang ahli silat yang jarang
didapat tandingannya. Itulah apa yang aku ketahui
tentang dirinya Louw Cu Leng ini, hingga aku boleh
pujikan supaya kau juga bersahabat dengan orang-orang
semacam ia ini." Tetapi dasar si bopeng ini ada seorang busuk yang
banyak akal, sebegitu lekas ia mendengar tentang orang
macam apa adanya Louw Cu Leng itu, segera dengan
diam-diam ia menjadi girang dan berkata di dalam
77 hatinya: "Nah, kalau begitu jalannya, tentulah tidak sukar
akan kuatur suatu muslihat yang tidak sembarang orang
bisa ketahui kelihayannya!"
Begitulah Ma-cu Lie perjalanannya pulang. telah putar otak dalam Sesampainya di rumahnya sendiri, ia lantas
diturunkan dari kereta dengan dipimpin tangannya
dibawa masuk ke dalam kamar oleh Couw Siu Chun.
"Sekarang kau di sini boleh beristirahat dan jangan
turun dari ranjang sebelum diperkenankan Louw Suhu,"
kata Siu Chun. "Aku sendiri karena masih ada urusan,
maka hari ini tak bisa menemani kau lama-lama. Besok
aku datang lagi ke sini buat menyambangi kepadamu."
Si bopeng mengucapkan terima kasih atas kecintaan
sahabatnya itu, selain dari itu, ia memohon supaya si
sahabat sering-sering datang menyambanginya, buat
mana Siu Chun pun janji akan berbuat begitu, kalau saja
ia tidak berhalangan apa-apa.
Tetapi sebegitu lekas Siu Chun berlalu, si bopeng
segera panggil berkumpul sekalian konco-konconya.
"Sekarang aku dapat suatu akal yang baik," kata Macu Lie. "Kau, Ah Siok," ia menoleh pada seorang
gundalnya yang paham membaca dan menulis, "cobalah
tulis sepucuk surat kepada pengurus penggilingan Eng
Tiang Chun, di dalam surat itu kau boleh katakan begini:
berhubung penyakitku belum sembuh, maka tak dapat
aku mengantarkan sendiri uang penggantian kerugian
gandum yang telah dijanjikan akan dilunaskan dalam
tempo tiga hari. Oleh sebab itu, kita minta supaya dia
datang sendiri buat menerima uangnya di sini besok
tengah hari. Kau mengerti?"
78 "Mengerti, mengerti," sahut Ah Siok.
"Jikalau surat itu selesai ditulis," kata si bopeng pula.
"kau boleh lekas perintahkan orang antarkan ke rumah
keluarga Lie." "Sekarang kau, Ah Chit," kata Ma-cu Lie pada
seorang gundalnya yang bertubuh tinggi besar, "jikalau
anak muda yang bertempur dengan kita di loteng Cayhong-lauw itu datang ke sini, katakanlah bahwa aku
masih sakit, belum bisa melunaskan perhutanganku.
Jikalau ia memaksa mau minta juga, aku serahkan buat
kau dan kawan-kawanmu atur bagaimana saja yang kau
rasa baik." Ah Chit berdiam sejurus, suatu tanda ia masih raguragu buat lantas menyanggupi. Karena menurut
sepanjang pengalamannya di Cay-hong-lauw pada
beberapa hari yang lalu ia harus akui bahwa ia "seram"
melihat sepak terjangnya Lie Poan Thian yang begitu
gagah dan lihay. Hal mana, pun bukannya tidak diketahui oleh Ma-cu
Lie, yang sendirinya belum pernah menyaksikan ada
seorang ahli silat yang mempunyai tendangan sebaik Lie
Poan Thian itu. Maka ketika melihat Ah Chit tinggal
membisu saja, si bopeng lalu berkata: "Kau jangan takut,
karena kau dan kawan-kawanmu hendak kupergunakan
sebagai pemancing saja, sedangkan orang yang akan
"tangani" padanya adalah orang lain yang ilmu
kepandaiannya jauh lebih tinggi daripada si pemuda
congkak itu. Kau mengerti?"
Ah Chit yang mendengar keterangan begitu, barulah
mau menyanggupi akan menjadi pemancing, asalkan ia
diperbolehkan memakai toya atau senjata tajam lain.
Ma-cu Lie menyatakan tidak berkeberatan.
79 Sekarang kita ajak pembaca kembali pada Lie Poan
Thian, yang sesudahnya melabrak Ma-cu Lie dan kawankawannya sehingga terlentang tengkurup di loteng Cayhong-lauw, lalu kembali ke rumahnya dan kasih tahu
peristiwa ini kepada ayah-bunda dan sekalian
keluarganya. Semua orang jadi kaget tercampur girang. Yang
menyebabkan mereka kaget, adalah mereka tidak nyana
bahwa Poan Thian telah dapat melabrak musuhmusuhnya dengan cara yang begitu gampang, sedang


Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kegirangannya adalah seluruh Cee-lam akan mengetahui, bahwa di antara kaum keluarga Lie telah
muncul "harimau muda" yang tak boleh sembarangan
dipermainkan orang. Tatkala Tek Hoat yang mendengar kabar tentang
kemenangan itu, dengan mendadak merasakan
penyakitnya hilang hampir tiga-perempatnya, bahwa
merasa sangat puas mendengar si bopeng telah dihajar
oleh Poan Thian sehingga setengah mati.
"Pada si jahanam ini aku telah memberikan tempo
tiga hari untuk melunaskan perhutangannya," kata Poan
Thian pula, "jikalau ia berani mungkir satu perkataan
saja, akan kuputar batang lehernya sehingga mampus!"
Dua hari telah lewat, tetapi ternyata tidak ada kabar
ceritanya dari pihak si bopeng.
Poan Thian mulai tidak sabar, tetapi sanak
saudaranya menasehati supaya ia suka menunggu
sehari lagi. Kira-kira hari hampir petang, mendadak ada seorang
suruhan Ma-cu Lie yang membawa sepucuk surat, yang
ketika dibaca bunyinya, Poan Thian lalu kasih tahu pada
si pembawa surat itu, bahwa ia akan datang besok, tepat
80 pada waktu yang tersebut dalam surat itu.
Si pembawa surat itu mengatakan: "Baik," dan segera
berlalu dengan tidak banyak bicara lagi.
"Maksudnya surat itu," kata salah seorang
keluarganya Lie Poan Thian, "mungkin juga hendak
memancing kau akan datang ke rumah si bopeng,
dimana bukan mustahil ia akan menyediakan lebih
banyak orang buat mengeroyok kepadamu. Oleh sebab
itu, paling betul kau jangan pergi, karena itu berarti lebih
banyak celaka bagimu daripada selamat."
Tetapi Poan Thian tidak mufakat dengan omongan
itu. "Si bopeng dan gundal-gundalnya telah kuhantam
sehingga setengah mampus," katanya, "masalah mereka
berani lagi berbuat begitu" Aku sebenarnya telah berlaku
murah buat menendang si bopeng dengan hanya
menggunakan telapak kakiku. Apabila aku tendang
padanya dengan ujung kakiku, niscaya ia sekarang
sudah tinggal namanya saja!"
"Itu betul. Tetapi kau jangan lupa, bahwa satru yang
sembunyi itu adalah lebih berbahaya daripada satru yang
kelihatan," menasehatkan sanak saudaranya itu.
Poan Thian mufakat dengan omongan itu. Maka
ketika dihari esoknya ia pergi ke rumahnya Ma-cu Lie, di
pinggangnya Poan Thian tidak lupa membekal joan-pian
pemberian gurunya. Sesampainya di rumah Ma-cu Lie, Poan Thian
bertemu dengan Ah Chit yang ia kenali sebagai salah
seorang yang pernah ia hantam di loteng Chay-honglauw. Tetapi karena mengingat bahwa kedatangannya
kali ini bukanlah hendak mencari setori, maka dengan
81 berbaik ia lantas bertanya: "Sahabat, apakah tuan Lie
Cong Tong ada di rumah?"
Lie Cong Tong itu adalah nama aslinya si bopeng.
"Ada," sahut si Ah Chit, "tetapi ia masih sakit dan tak
dapat menerima tetamu."
"Aku di sini membawa surat dari tuan Lie sendiri,"
kata Lie Poan Thian, "yang bunyinya menyuruh aku
datang buat menerima uang penggantian kerugian yang
harus diterimakan pada pengurus penggilingan Eng
Tiang Chun Mo Hong."
"Majikanku sekarang dalam keadaan sakit, cara
bagaimanakah bisa melunaskan perhutangan itu?" kata
Ah Chit. "Surat itu kukira bukan dikirim dari sini."
"Itu tidak bisa jadi!" kata Lie Poan Thian dengan
sengit. "Habis ada siapakah lagi yang bernama Lie Cong
Tong di daerah sekitar kita ini?"
"Mungkin juga ada orang lain yang hendak mengadu
dombakan kau dengan majikan kami," kata Ah Chit.
"Harap sekarang kau boleh pulang saja dahulu, nanti lain
hari kau boleh kembali lagi buat berurusan dengan
majikan kami." Tetapi Lie Poan Thian tak mau mengerti dan lalu
bentangkan surat yang ia bawa dengan dibubuhi tanda
tangannya Ma-cu Lie. "Ni, kau lihat!" katanya. "Apakah ini
bukannya tanda tangan majikanmu?"
Ah Chit yang memang ada seorang kasar yang buta
huruf, tentu saja tidak dapat membaca walaupun telah
dipaksa oleh Poan Thian begitu rupa, sehingga akhirnya
ia lantas menggelengkan kepala sambil berkata: "Oh.....
Ah, aku tidak pandai membaca!"
"Kalau begitu," Poan Thian berkata dengan suara
82 memaksa, "biarlah aku sendiri saja yang pergi ketemui
padanya!" "Oh, itu tidak mungkin!" kata Ah Chit pula dengan
suara keras. "Karena sebagaimana telah kukatakan tadi,
majikanku hari ini tidak menerima tetamu!"
Lie Poan Thian jadi mendongkol dan lalu mengucap:
"Kurang ajar!" Sementara Ah Chit yang telah kenal kegagahannya
Lie Poan Thian, buru-buru berlari masuk untuk
menyiapkan kawan-kawannya yang memang bersembunyi di sana-sini dengan masing-masing sudah
menyediakan toya dan barang-barang tajam yang
lainnya. Tetapi Poan Thian yang melihat gelagat tidak baik,
terlebih siang lantas berjaga-jaga untuk menghadapi
segala kemungkinan. Maka di waktu melihat ada berapa orang gundalnya
Ma-cu Lie yang keluar dengan membekal senjata,
dengan tertawa getir ia lantas menuding pada orangorang itu sambil berkata: "Hai, apakah kamu sekalian
hendak mengeroyok aku" Kalau maksud itu benar, kamu
harus berjaga-jaga, karena senjatamu sendiri bisa di
suatu saat berbalik makan tuan! Aku dan kamu sekalian
tidak pernah tersangkut permusuhan atau urusan apaapa pun juga, dari itu aku merasa perlu buat
memperingatkan kepada kamu sekalian. Sekarang
pergilah beritahukan kedatanganku ini kepada majikanmu, bahwa aku di sini tengah menantikan uang
penggantian kerugian yang ia telah janjikan akan
lunaskan pada hari ini juga!"
Tetapi tiada seorangpun yang mau berlalu dari situ.
Mereka tidak mengucap barang sepatah katapun.
83 Demikian juga tiada seorang pun yang berani
"menyerobot" dengan secara membuta tuli, meskipun
mereka semua membekal senjata dalam tangan masingmasing.
Oleh karena mendapat kesimpulan bahwa mereka
masih ragu-ragu atau takut untuk mengambil tindakan
yang tegas, maka Poan Thian pun lalu sengaja
menggertak dengan berseru: "Mundur tidak mau dan
maju pun tidak mau, apa sih kehendak kamu sekalian
yang sebenar-benarnya" Jikalau kamu pikir baik
mengeroyok, ayolah kamu boleh coba keroyok aku,
jikalau kiranya tidak berani, kamu sekalian boleh segera
mundur dengan serentak!"
Sambil berkata begitu, Poan Thian lalu berpura-pura
mengunjukkan sikap yang hendak menerjang masuk ke
rumah si bopeng, hingga beberapa orang gundalnya Macu Lie yang berhati kecil dan pernah dihajar oleh Poan
Thian di Cay-hong-lauw, dengan rupa gugup segera, lari
terbirit-birit sambil berteriak: "Celaka, celaka! Pemeras
telah datang menyatroni kita! Tolong, tolong! Ia hendak
mengamuk!" Tidak disangka Louw Cu Leng yang kebetulan telah
datang lebih pagi dan justeru tengah memeriksa
penyakitnya Ma-cu Lie, jadi agak terkejut dan lalu
menanyakan apa artinya suara ribut-ribut itu"
Ma-cu Lie yang sudah menghitung dengan matang
bakal terjadi keributan itu, lalu pura-pura menanyakan
salah seorang gundalnya sambil berkata: "Di luar terjadi
urusan apakah, sehingga menerbitkan suara begitu ribut
dan mengganggu kepada Louw Suhu?" Ia tidak
mengatakan bahwa suara ribut-ribut itu mengganggu
sekali bagi dirinya sendiri yang sedang menderita sakit,
tetapi terhadap Louw Suhu yang tenaganya hendak
84 dipergunakannya itu. "Itulah suara si pemeras yang pada beberapa waktu
yang lalu telah mengatakan hendak datang sendiri ke
sini, dan sekarang ternyata benar dia datang buat
meminta uang kerugian, hanya tidak diketahui, kita telah
menerbitkan kerugian apa terhadap pada dia itu?" kata si
gundal, yang memang telah diatur buat berkata begitu di
hadapannya Louw Cu Leng. Mendengar keterangan begitu, lalu si bopeng purapura menarik muka masgul dan takut sambil mengeluh:
"Oh Tuhan! Apakah kau tidak mengatakan, bahwa aku
masih sakit dan belum bisa memenuhkan segala
permintaannya" Aku bukan mau pungkir kesanggupanku
yang telah dilakukan di bawah paksaan itu, tetapi
cobalah minta keringanan kepadanya, agar supaya aku
boleh menunda apa yang dia menamakan "uang
penggantian kerugian" itu, setelah penyakitku sembuh."
"Itu juga telah diberitahukan tadi oleh Ah Chit-ko,
tetapi temjata dia tidak mau mengerti," kata si gundal itu
pula. "Dia minta supaya uang itu segera dibayarkan
kepadanya hari ini juga, kalau tidak dia telah mengancam
akan membakar rumah ini beserta semua pengisinya!"
Ma-cu Lie yang pandai "main komedi", lalu pura-pura
menggebrak pembaringan sambil mengutuk: "Ah!
Sungguh kejam sekali manusia busuk itu!"
Sementara Louw Cu Leng yang dari setadian
mendengari pembicaraan itu, lama-kelamaan jadi "panas
perut" juga dan lalu campur berbicara dengan tak dapat
dicegah pula. "Aku orang she Louw amat tidak puas mendengar
soal-soal ganjil seperti ini," katanya. "Aku suka mengalah
jikalau orang suka berlaku manis dan mengenal
85 persahabatan, tetapi tak sudi terima berbaik segala sikap
congkak yang mau menang sendiri saja. Maka jikalau
orang yang baru datang itu memangnya benar
mengandung maksud yang hendak menindas dan
memeras orang, maka perbuatan itu tidak boleh
dibiarkan dengan begitu saja. Ia harus dibasmi pada
sebelum mendapat kesempatan akan memeras ke sanasini!"
Tetapi Ma-cu Lie lalu pura-pura mencegah sambil
berkata "Louw Suhu, aku harap kau jangan berlaku
semberono dalam berhadapan dengan anak muda ini.
Karena meski benar aku membencinya melebihi daripada
segala apa, tetapi aku harus akui, bahwa ilmu silatnya
sangat lihay dan tinggi sekali, hingga seumur hidupku
belum pernah kulihat seorang ahli silat lain yang
mempunyai ilmu kepandaian sebaik dia itu. Ketambahan
usia Louw Suhu sudah agak lanjut, hingga ini ada
baiknya juga jikalau persoalan ini ditimbang dahulu
semasak-masaknya, pada sebelum Louw Suhu
mengambil tindakan apa-apa terhadap pada si pemeras
yang congkak itu." Tetapi bukan saja "nasehat" itu tidak digubris, malah
sebaliknya Cu Leng jadi semakin mendongkol dan lalu
menepuk dada sambil berkata, "Tuan Lie, barangkali kau
tidak kenal siapa sebenarnya aku ini. Aku telah
berkeliaran di kalangan Kang-ouw sehingga beberapa
puluh tahun lamanya, dengan tak pernah menemui
barang seorang lawan yang mampu berkelahi denganku
buat duapuluh jurus saja lamanya, jangankan buat
mengalahkan aku. Setelah kemudian aku tidak campur
lagi urusan di luaran, nama gelarku yang disebut Sin-kun
atau Tinju Malaikat, lalu ditambahkan menjadi Sin-kun
Bu-tek, atau Tinju Malaikat tanpa tandingan! Gelar ini
orang telah berikan kepadaku berhubung mengingat,
86 bahwa sejak aku hidup di kalangan Kang-ouw sehingga
aku mengasingkan diri, belumlah pernah aku dikalahkan
orang. Apakah bukti itu belum cukup akan membikin kau
percaya, bahwa aku tak akan dikalahkan orang mentahmentah, walaupun benar usiaku sekarang sudah bukan
muda lagi?" Ma-cu Lie lalu sengaja mengunjuk rupa kaget
tercampur girang. "Ah, kalau begitu," katanya, "nyatalah aku ini tidak
bisa mengenali orang pandai! Sudah lama aku
mendengar nama gelaran Louw Suhu yang begitu
masyhur di kalangan Kang-ouw, tetapi baru sekarang
aku dapat berjumpa dengan orang aslinya. Maka jikalau
si pemeras itu mesti berhadapan dengan Sin-kun Bu-tek
dari jaman yang lampau itu, niscaya ia akan jatuh bangun
atau mati dalam pertempuran yang meminta waktu hanya
beberapa jurus saja lamanya itu!"
Louw Cu Leng jadi merasa terhibur juga mendengar
"umpakan" itu. Tetapi pada sebelum ia keburu
menuturkan sedikit riwayat hidupnya untuk bantu
memperhebat kegagahan dan keberaniannya di waktu
mudanya, mendadak beberapa orang gundalnya si
bopeng berlarian masuk sambil berteriak-teriak: "Ia
mengamuk! Ia mengamuk! Saudara-saudara, ayolah
lekas keroyok padanya!"


Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi Louw Cu Leng segera berbangkit sambil
mencegah dan berkata: "Jangan, jangan! Kamu sekalian
boleh tidak usah turun tangan akan mengeroyok
kepadanya, karena perbuatan itu bukanlah perbuatan
seorang Tay-tiang-hu! Biarlah saja aku yang nanti layani
padanya." Hal mana, telah membikin gundal-gundal si bopeng
87 yang memang segan berurusan dengan Lie Poan Thian,
dengan diam-diam jadi girang dan hanya bantu bersoraksorak buat menambahkan keangkeran pihak sendiri.
Sementara Louw Cu Leng yang hatinya telah kena
"dibakar" oleh Ma-cu Lie, buru-buru ia berjalan keluar
sambil mencincing ujung bajunya. Dan tatkala sampai di
depan pintu, ia melihat seorang muda yang bertangan
kosong telah berhasil dapat merobohkan beberapa orang
gundalnya si bopeng, tetapi, apa yang telah membikin Cu
Leng tidak mengerti, adalah orang muda itu tidak mau
menggunakan senjata yang telah dapat dirampas dari
tangan musuh-musuhnya, hanyalah dia lantas melemparkan senjata-senjata itu, sebegitu lekas dia
berhasil merampas itu dari tangan mereka.
Maka Cu Leng yang hendak menjajal sampai dimana
ilmu kepandaiannya Lie Poan Thian, dengan tidak
mengatakan "ba" atau "bu" segera maju menerjang
dengan menggunakan salah satu semacam ilmu
pukulannya yang tersohor berbahaya.
Dalam pada itu Lie Poan Thian yang sama sekali
tidak menyangka bakal mendapat lawan yang begitu
tangguh, sudah tentu saja menjadi kaget juga dan buruburu merubah taktik silatnya, agar supaya dengan cara
itu ia bisa mengimbangi jalannya pertempuran yang
makin lama makin menghebat itu.
Louw Cu Leng jadi terperanjat dan diam-diam berkata
pada diri sendiri: "Astaga! Ilmu kepandaian bocah ini
benar-benar tak boleh dibuat gegabah! Dalam keyakinan
bertempur di atas Bwee-hoa-chung, aku sendiri telah
mempunyai pengalaman hampir empatpuluh tahun
lamanya dengan tak mendapat lawan atau sateru yang
dapat merintangi sepak terjangku. Tetapi tidak dinyana
hari ini aku telah mendapat lawan yang amat tangguh
88 dan usianya terpaut begitu jauh dengan usiaku. Maka
kalau aku sampai dikalahkan oleh bocah ini, niscaya
hancurlah nama baikku yang telah mengharum sehingga
berpuluh-puluh tahun lamanya di kalangan Kang-ouw!"
Oleh sebab memikir begitu, Louw Cu Leng jadi
semakin hati-hati dalam hal melakukan penyerangannya
atau menghindarkan diri daripada serangan-serangannya
Lie Poan Thian, yang ternyata bukannya semakin
kendor, tetapi semakin lama jadi semakin cepat sehingga
akhirnya hanya tampak saja bayangannya yang
menyerang ke atas, ke bawah, ke kiri dan ke kanan,
tetapi sama sekali tak kelihatan tegas badan atau
wajahnya si pemuda itu. Banyak orang yang kebetulan melewat dan
menyaksikan pertempuran itu, pada berkerumun
merupakan kalangan, di tempat mana kedua orang itu
telah bertempur buat menjajal keunggulan dan
kegagahan masing-masing. Tetapi karena matahari yang terang benderang telah
mulai selam ke barat, maka Poan Thian yang kuatir ayah
bunda dan sanak saudaranya akan menunggu
kepadanya terlalu lama, buru-buru ia melompat keluar
dari kalangan pertempuran sambil memberi hormat pada
Cu Leng dan berkata: "Lo-enghiong, aku harus memuji
tinggi atas ilmu kepandaianmu yang begitu lihay dan
jarang tandingnya! Duaratus beberapa belas macam ilmu
pukulan telah kugunakan buat merobohkan kepadamu,
tetapi semua itu telah dapat kau hindarkan dengan
secara bagus sekali. Amat disayangi sekarang hari
sudah mulai petang, hingga pertempuran ini terpaksa
harus ditunda sampai di sini dahulu. Oleh sebab itu,
biarlah kita lanjutkan pertempuran ini di kelenteng Tayseng-tian pada besok lohor, sehingga kita bisa
89 menentukan siapa antara kita berdua yang sebenarnya
lebih unggul!" Kemudian, sesudahnya mengucapkan: "Selamat
tinggal!" Poan Thian lalu menggunakan siasat Yan-cucoan-liam buat melayang keluar dari kalangan
pertempuran, dengan melewati kepala para penonton
yang berkerumun di muka rumah si bopeng itu.
Sementara Louw Cu Leng yang seperti orang naik
harimau yang tak mendapat jalan untuk turun, sudah
tentu saja jadi bisa bernapas lega, tatkala melihat
lawannya dengan sekonyong-konyong berlalu dari
hadapannya. Dan ketika ia masuk ke dalam rumah untuk
memberitahukan jalannya pertempuran itu kepada Ma-cu
Lie, para penonton pun lalu pada bubaran dan satu pada
lain berjanji akan menyaksikan pertempuran lanjutannya
yang akan diadakan di kelenteng Tay-seng-tian pada hari
besok di waktu lohor. "Anak muda itu," kata Louw Cu Leng pada Ma-cu Lie,
"ternyata ilmu kepandaiannya tidak ada di bawah
daripada aku. Ia berkelahi dengan memakai aturan, juga
tingkah lakunya tidak bisa dicela. Oleh sebab itu, apakah
tidak bisa jadi tuan telah keliru menyangka orang baik
sebagai seorang jahat?"
Tetapi si bopeng yang cukup licin untuk menutup
kesalahannya sendiri, bukan saja tidak menjadi gugup
mendengar pertanyaan itu, malah sebaliknya jadi tertawa
sambil berkata: "Louw Suhu, dalam hal ini rasanya tidak
perlu lagi kau merasa heran. Dia itu bukan seorang
bodoh, maka dia mengerti cara bagaimana akan
memperlakukan orang. Kepada siapa yang dia takut, dia
berlaku baik dan hormat, dan terhadap orang yang dia
90 berani seperti aku ini, dia lantas unjuk "tembaganya" dan
memeras orang dengan tiada mengenal kasihan. Apakah
barangkali Louw Suhu tidak memikirkan sampai di situ?"
Louw Cu Leng yang ternyata kurang berakal jadi
melengak ketika mendengar keterangan begitu. hingga
akhirnya ia jadi menghela napas sambil berkata: "Ya, ya,
kalau katamu begitu, memanglah mungkin juga kau yang
benar. Tetapi seperti beras yang sudah menjadi bubur,
urusanmu itu sekarang telah berpindah ke bahuku.
Besok lohor aku bakal bertempur pula dengan anak
muda itu di kelenteng Tay-seng-tian, untuk menentukan
siapa di antara kita berdua yang lebih unggul ilmu
kepandaiannya." "Tetapi aku percaya betul bahwa dia itu bukanlah
tandinganmu yang setimpal," kata Ma-cu Lie dengan
maksud mengumpak. "Malah bukan mustahil, karena dia
takut, dia tak akan muncul di Tay-seng-tian, sedangkan
tantangan itu hanya merupakan perpanjangan tempo
untuk dia dapat meloloskan diri dari dalam tanganmu
dengan tidak hilang muka."
Cu Leng menghela napas dan berdiam sejurus.
Kemudian ia berpamitan dan kembali ke rumahnya untuk
menyediakan segala keperluan guna pertempuran yang
bakal datang itu. Berita tentang bakal terjadinya pertempuran antara
Louw Cu Leng dan Lie Poan Thian di kelenteng Tayseng-tian pada besok lohor, dengan cepat telah tersiar
ke sana-sini, hingga beberapa orang sahabat dan handai
taulan Louw Cu Leng yang mendengar kabar begitu, lalu
pada datang ke Hu-tong-toa-kee buat menanyakan
bagaimana duduknya perkara yang benar pada jago silat
tua itu. 91 Salah seorang di antara sahabat-sahabatnya yang
datang berkunjung ke rumah Louw Cu Leng, adalah
seorang she Co bernama Thian Ko, yang di kalangan
Kang-ouw termasyhur dengan nama julukan Houw-jiauw
Co, berhubung ia sangat mahir dalam ilmu Hok-houwkang, yang dapat membikin orang patah tulang atau
hancur daging apabila terkena cengkeramannya.
Kepada sahabat ini Louw Cu Leng telah menuturkan
hal ihwalnya, bagaimana ia mengobati Ma-cu Lie
sehingga akhirnya bertemu dengan pemuda yang tidak
dikenalnya itu. "Gerakan-gerakan si pemuda ini yang bercorak ilmu
silat dari cabang Siauw-lim, boleh dikatakan semua tidak
ada kecewanya," kata Louw Cu Leng, "terutama ilmu
tendangannya yang begitu keras dan sukar diduga,
hingga biarpun aku telah hidup puluhan tahun lamanya di
kalangan Kang-ouw, belumlah kulihat ada orang yang
pandai menendang sebaik itu. Maka di waktu aku
bertempur padanya siang tadi, boleh dikatakan hampir
enampuluh bahagian dari perhatianku ditujukan pada
tendangan-tendangannya ini, lebih-lebih karena ia lebih
banyak menggunakan tendangan daripada pukulan
dengan tinju." "Kalau begitu," kata Houw-jiauw Co dengan hati
penasaran, "aku ingin turut menyaksikan pertempuran
itu. Dan jikalau ternyata ada kesempatan untuk aku
campur tangan, aku sendiri pun ingin menjajal sampai
dimana kelihayannya lawanmu itu."
Begitulah buat mempelajari lebih jauh taktik silat Lie
Poan Thian dari keterangannya Louw Cu Leng, maka
pada malam itu Thian Ko telah menginap di rumah
sahabatnya itu. 92 Sementara Lie Poan Thian pulang ke rumahnya, ia
telah berpapasan dengan pamannya dari pihak ibu yang
bernama Han Siauw San, oleh siapa ia telah dicomeli,
mengapa ia pulang menagih hutang begitu sore,
sedangkan rumahnya Ma-cu Lie tidak terpisah terlalu
jauh dari pusat kota. Kemudian Poan Thian lalu tuturkan pada sang
paman, peristiwa apa yang telah terjadi atas dirinya,
sehingga ia terlambat dalam melakukan pekerjaannya.
"Malah selain dari itu," ia melanjutkan, "besok lohor
aku mesti bertempur dengan seorang tua yang menjadi
pembelanya si bopeng itu. Ilmu silatnya si empeh ini
boleh dikatakan tidak tercela, tetapi aku tidak bisa
mengerti cara bagaimana dia rela "diperkuda" oleh
seorang busuk seperti si bopeng itu!"
Dan tatkala Poan Thian memberitahukan nama bakal
lawannya itu, Han Siauw San kelihatan terperanjat dan
membentak: "Kau edan! Apakah kau tidak tahu siapa
sebetulnya dia itu?"
"Aku tidak perduli dia itu siapa," kata Lie Poan Thian
sambil tersenyum, "jikalau aku sudah keluarkan ucapan
yang menantang, niscaya tak akan aku mundur barang
setindak pun, pada sebelum dapat membuktikan siapa di
antara kita berdua yang lebih unggul ilmu
kepandaiannya!" "Dia itu bukan lain daripada Sin-kun Bu-tek Louw Cu
Leng!" kata sang paman. "Kau anak kecil mana bisa tahu
sampai dimana kegagahannya orang tua itu!"
Tetapi Poan Thian hanya mengganda tertawa atas
omongan itu, maka pembicaraan itupun berakhirlah
sampai di situ. 93 Pada hari esok menjelang lohor, Poan Thian telah
mendahului datang di kelenteng Tay-seng-tian dimana ia
menantikan kedatangannya Louw Cu Leng. Tetapi
karena ia belum dikenal orang cukup baik semenjak
kembali dari Liong-tam-sie, maka para penonton yang
berduyun-duyun berkunjung ke kelenteng itu buat
menyaksikan orang mengadu ilmu silat, tidak
mengetahui, jikalau di antara mereka terdapat juga salah
seorang yang hendak bertempur, yakni Lie Poan Thian,
yang dengan secara tenang lalu berdiri di muka
kelenteng sambil matanya tidak berhentinya ditujukan
kian kemari. Tatkala menantikan di situ beberapa lamanya,
barulah dari kejauhan ia menampak sebuah joli yang
dipikul mendatangi dengan diiringi oleh seorang berkuda
yang romannya angker dan berpakaian ringkas, yang
umum dipakai di waktu melatih ilmu silat.
Orang banyak yang melihat si penunggang kuda itu,
diam-diam jadi terkejut dan saling berbisik: "Ah, apakah
boleh jadi Louw Suhu kuatir dirobohkan oleh lawannya
yang masih muda itu, sehingga ia merasa perlu juga
mengundang Houw-jiauw Co sebagai pembantunya?"
Poan Thian pasang telinga untuk mendengari
pembicaraan orang banyak itu, kemudian ia berpura-pura
menanyakan: "Siapakah yang kau katakan Houw-jiauw
Co itu?" Salah seorang di antara para penonton itu lalu
menerangkan, betapa hebatnya ilmu kepandaian orang
yang namanya dikatakan mereka itu.
"Batu karang yang bagaimana keras juga," katanya
apabila kena dicengkeram oleh jari-jari tangannya,
segera jadi hancur lebur seperti tepung! Sedangkan
94 kerbau yang kena dicekal batang lehernya, dengan
sekali sentak saja tulang-tulang lehernya menjadi patah!
Apakah itu dapat diperbuat oleh sembarangan orang?"
"Ya, ya, aku mau percaya keteranganmu itu," kata
Poan Thian sambil tersenyum, "tetapi sebentar lagi akan
ada orang lain, yang akan mampu berbuat lebih aneh
daripada itu." Maka setelah Houw-jiauw Co dan joli yang membawa
Louw Cu Leng berhenti di muka kelenteng, Lie Poan
Thian lalu maju memberi hormat pada kedua orang itu
sambil berkata: "Aku yang rendah telah lama juga
menantikan kedatangan Louw-enghiong di sini. Tetapi


Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

belum tahu apakah aku boleh mempunyai kehormatan
buat mengetahui juga she dan nama tuan yang turut
datang bersama-sama kau ini?"
Sambil balas memberi hormat, Louw Cu Leng
perkenalkan si pemuda itu pada Houw-jiauw Co tersebut.
Kemudian setelah Thian Ko minta supaya orang
banyak suka membuka halaman yang agak luas di muka
kelenteng itu, barulah ia mengucapkan sebuah pidato
pendek tentang maksudnya pertempuran itu, yang
semata-mata dititik-beratkan untuk mengadu ilmu silat
sejati buat menetapkan keunggulan salah satu pihak,
tetapi sama sekali bukanlah hendak saling bunuh
membunuh yang biasa menerbitkan permusuhan yang
tidak habis-habisnya. "Barang siapa yang kalah," ia melanjutkan, "tidak
boleh mendendam sakit hati atau melakukan
pembalasan dengan bergelap. Dan jikalau ia masih
merasa penasaran akan kekalahannya, disembarang
waktu ia boleh minta diadu pula dengan pihak si
pemenang, agar supaya dengan begitu dapat ditentukan
95 pihak mana yang sesungguhnya lebih unggul, sehingga
akhirnya ia rela mengaku kalah. Dengan begitu,
pertempuran itupun berakhirlah dengan selamat sampai
di situ." "Sekarang aku minta supaya tuan-tuan sekalian suka
menyaksikan pertempuran ini dari tempat yang terpisah
sedikit jauh," Thian Ko menambahkan, "karena selainnya
halaman pertempuran jadi lebih lega, bahaya-bahaya
yang tidak terduga pun bisa dihindarkan sewaktu kedua
orang sedang bertempur dengan asyiknya."
Maka sebegitu lekas orang banyak mundur untuk
membuka halaman, Cu Leng dan Poan Thian lalu
menindak masuk ke dalam kalangan pertempuran
dengan tindakan yang tenang.
Mula-mula mereka memberi hormat pada orang
banyak dan Co Thian Ko, kemudian Cu Leng persilahkan
Poan Thian membuka serangan lebih dahulu.
Tetapi Poan Thian tampak agak ragu-ragu,
berhubung melihat usianya Cu Leng yang terpaut begitu
jauh dengan dirinya. "Tidak usah kau berlaku see-jie," menganjurkan Co
Thian Ko, "kau yang menantang, maka patutlah kau juga
yang mulai membuka serangan. Ayolah, sekarang kamu
boleh mulai bertempur!"
Oleh karena mendapat anjuran dari pihak lawan dan
wasitnya, maka apa boleh buat Poan Thian lalu mulai
membuka serangan, yang lalu ditangkis oleh Louw Cu
Leng dengan secara gesit sekali.
Dalam pertempuran itu, kedua pihak telah
mengunjukkan ketangkasan masing-masing dengan jalan
mempergunakan ilmu-ilmu silat amat lihay yang hanya
96 diketahui oleh ahli-ahli silat yang ilmu silatnya telah
mencapai tingkat yang amat tinggi, sedangkan para
penonton cuma mengerti bertepuk sorak jikalau melihat
ada salah satu pihak yang terdesak, walaupun desakan
itu belum berarti kemenangan bagi pihak yang
mendesak. Selama pertempuran itu berlangsung dengan amat
hebatnya, Houw-jiauw Co telah menyaksikan dengan
mata kepalanya sendiri, tentang ilmu tendangan kilat Lie
Poan Thian yang begitu disohorkan oleh Louw Cu Leng.
Oleh karena itu, ia sendiripun jadi kagum dan diam-diam
harus mengakui, bahwa itulah sesungguhnya ilmu
tendangan yang jarang dapat dipahami oleh sembarang
orang. Dan ketika Cu Leng berlaku sedikit kendor dan
tendangannya Lie Poan Thian menyamber dalam jurus
Lian-hwan Coan-sim-tui, ia jadi terkejut dan berteriak:
"Celaka!" Syukur juga Cu Leng yang memang telah ulung
dalam rimba persilatan dan paham menghindarkan diri
dari segala serangan berbahaya dari pihak lawannya,
terlebih siang telah melihat itu dan lekas mengegos untuk
meluputkan diri daripada serentetan tendangantendangan lain yang ia ketahui akan segera menyusul
belakangan. Benar tak mampu ia menjaga atau memecahkan ilmu
tendangan yang menjadi keistimewaan kepandaian
pemuda itu, tetapi Cu Leng cukup berpengalaman, akan
sampai kena diselomoti dengan tendangan-tendangan
yang amat berbahaya itu. Sementara Lie Poan Thian yang melihat tendangantendangannya yang begitu diandalkan telah gagal semua
97 dan dapat dihindarkan oleh Louw Cu Leng, lalu sedikit
demi sedikit merubah siasat silatnya dengan jalan
mengunjukkan ilmu Sauw-tong-tui, sebagian besar telah
diciptakannya sendiri di bawah penilikan Kak Seng
Siang-jin dari kelenteng Liong-tam-sie.
Maka Louw Cu Leng yang seumur hidupnya baru
pernah menyaksikan ilmu tendangan semacam itu,
sudah tentu saja jadi amat terkejut, buru-buru ia
menjauhkan diri buat menghindarkan tendangantendangan itu, sambil menduga-duga apa namanya serta
memperhatikan cara bagaimana ilmu tendangan itu
harus dipecahkannya. Tetapi, lebih cepat daripada kilat yang menyamber
dari angkasa, ia hampir tidak melihat lagi cara
bagaimana Poan Thian telah merangsek kepadanya.
Dalam pada itu Poan Thian yang sudah berada dekat
sekali dari tempat mana Cu Leng berdiri, lalu mengirim
sebuah tendangan dengan kaki kanannya, yang
kemudian lalu disusul dengan kaki kiri dengan gerakan
yang hampir tak kelihatan.
"Aya!" semua penonton jadi berteriak dengan suara
tertahan di dalam tenggorokan.
"Celaka!" Houw-jiauw Co teturutan berteriak dengan
tidak terasa pula. Tendangan yang pertama dapat disingkirkan oleh Cu
Leng, tetapi tendangan yang kedua tak sanggup ia jaga
atau singkirkan, karena datangnya yang begitu cepat.
"Celaka!" ia berteriak di dalam hati.
Tatkala tendangan itu menyamber ke dadanya, Louw
Cu Leng terpaksa membuang diri, hingga tendangannya
Lie Poan Thian telah nyelonong terus dan mengenai
98 sebuah pohon liu di muka kelenteng, sehingga pohon itu
tercabut akarnya dan roboh di seketika itu juga!
Hal mana, sudah tentu saja, telah membikin orang
banyak jadi bertepuk sorak dan memuji: "Itulah
sesungguhnya sebuah tendangan malaikat!"
"Ya, ya," menyetujui Houw-jiauw Co, "itulah memang
tepat sekali akan diberikan sebagai nama julukan Lie
Lauw-tee ini! Sin-tui Lie! Biarlah nama julukan itu dikenal
oleh para eng-hiong dan ho-han di kalangan Kang-ouw."
"Hiduplah seorang murid Kak Seng Siang-jin yang
telah berhasil dapat memulihkan nama guru dan
kelenteng perguruannya!" teriak satu suara di antara
orang banyak. Lie Poan Thian dan Cu Leng yang mendengar suara
teriakan itu, mereka jadi kaget dan lalu melihat ke arah
suara teriakan yang telah diucapkan orang tadi, tetapi
ternyata tidak bisa dikenali siapa orangnya yang telah
mengucapkan suara teriakan tersebut.
"Itulah suaranya Hoa In Liong Suheng," pikir Poan
Thian di dalam hatinya. Sementara Cu Leng setelah dibanguni oleh Poan
Thian dan mengucap terima kasih atas kebaikan itu, lalu
menjabat tangan si pemuda sambil berkata: "Lauw-tee!
Nyatalah ilmu kepandaianmu sangat tinggi dan aku rela
mengaku kalah di hadapan orang banyak di sini. Lebih
jauh, dari suara teriakan tadi yang entah telah diucapkan
oleh siapa, aku seolah-olahmendengar orang mengatakan, bahwa kau ini adalah salah seorang murid
Kak Seng Siang-jin Lo-siansu dari kelenteng Liong-tamsie. Hanya belum tahu apakah omongan itu benar atau
tidak?" 99 Lie Poan Thian membenarkan atas omongan itu.
Bahkan siapa yang telah berteriak tadi di antara orang
banyak, itupun ia kenali sebagai saudara seperguruannya di kelenteng Liong-tam-sie, yaitu
suhengnya yang bernama Hoa In Liong. Tetapi ia tak
tahu mengapa ia tak mau keluar buat bertemu muka.
Selain dari itu, iapun tidak tahu, buat maksud apa ia
datang ke Cee-lam. "Sekarang urusan ini sudah menjadi beres," kata
Louw Cu Leng, setelah bersama-sama Poan Thian
dengan sia-sia mencari Hoa In Liong yang berteriak tadi
di antara orang banyak. "Aku sama sekali tak pernah menyangka bahwa hari
ini aku akan dapat menyaksikan seorang ahli silat yang
begitu pandai dan lihay ilmu tendangannya!" kata Houwjiauw Co, yang baru pada saat itu mau percaya segala
keterangannya Louw Cu Leng tentang kelihayannya Lie
Poan Thian. "Aku sebenarnya masih banyak urusan yang hendak
dibicarakan dengan Lie Lauw-tee," kata Louw Cu Leng.
"Maka jikalau Lie Lauw-tee sudi dan tidak berkeberatan,
aku mohon supaya pada hari ini juga kau suka
berkunjung ke rumahku. Tetapi, belum tahu, apakah
Lauw-tee sudi mengabulkan permintaanku ini?"
Poan Thian menyatakan tidak berkeberatan akan
mengabulkan permintaan itu, maka dengan naik joli
bersama-sama Cu Leng, ia ikut menuju ke Hu-tong-toakee dengan diiringi oleh Houw-jiauw Co yang
menunggang seekor kuda besar dan berjalan mengikuti
disamping joli tersebut. Orang banyak yang kurang mengerti, apa sebab
pertempuran itu dihentikan dengan cara yang begitu
100 mendadak, terpaksa pada berjalan pulang sambil
beromong-omong dan menduga, tentang peristiwa apa
yang terjadi dibalik pertempuran itu.
"Y" Sekarang kita ajak para pembaca mengikuti pada
Louw Cu Leng dan Lie Poan Thian yang menuju ke Hutong-toa-kee tadi.
Sebegitu lekas sampai ke rumahnya, jago tua itu lalu
pimpin tangan Poan Thian, yang lalu diajak masuk ke
ruangan pertengahan, dengan Houw-jiauw Co mengiringi
mereka di sebelah belakang.
Di sini Cu Leng lalu panggil beberapa orang
bujangnya. Yang sebagian ia perintah pergi mengambil
air teh wangi dan beberapa macam makanan, sedangkan
yang lainnya ia perintah menyajikan sebuah meja
perjamuan untuk menjamu pada Lie Poan Thian. Hal
mana, sudah barang tentu, telah membuat pemuda kita
merasa malu hati dan saban-saban menyatakan terima
kasihnya atas kebaikannya jago tua itu. Tetapi Louw Cu
Leng sebaliknya telah minta agar supaya Poan Thian
jangan berlaku sungkan, dan anggaplah bahwa urusan
begini sebagai suatu perkara lumrah.
"Apalagi kita baru saja saling berkenalan satu sama
lain," katanya, "dari itu, maka kuanggap cara ini tidak
lebih dari pantas, akan dilakukan sebagai tanda
persahabatan dan persaudaraan di antara kita sesama
golongan orang, dalam rimba persilatan."
Sementara Thian Ko yang melihat Poan Thian
berlaku see-jie, lalu mencampuri berbicara, sambil turut
membenarkan apa kata sahabatnya itu.
101 Oleh karena merasa tidak baik buat terus-menerus
menampik tawaran orang yang begitu manis dan
sungguh-sungguh, maka apa boleh buat Poan Thian
telah mengabulkan juga, sambil tak lupa mengucap
diperbanyak terima kasih atas kebaikannya jago tua itu.
Begitulah setelah mereka selesai minum teh,
beberapa orang bujang lalu memberitahukan, bahwa
hidangan telah disediakan dan dikuatirkan akan keburu
dingin, jikalau tidak lekas didahar.
"Ya, ya, itu benar," kata Louw Cu Leng sambil
berbangkit dari kursinya, kemudian menoleh pada Poan
Thian dan Thian Ko di kiri-kanannya. "Ayoh, marilah kita
orang dahar. Hidangan kali ini, mungkin juga kurang
memuaskan, berhubung semua ini telah dikerjakan
dengan cara yang kesusu. Nanti lain hari akan kuundang
kamu berdua akan makan besar dengan hidanganhidangan yang istimewa. Marilah!"
Poan Thian mengucapkan terima kasih, kemudian ia
mengikuti Cu Leng dengan diiringi oleh Thian Ko.
Selama mereka duduk makan minum, Cu Leng telah
menuturkan pada Lie Poan Thian, cara bagaimana
dahulu ia pernah membuka sebuah piauw-kiok, menjadi
piauw-su dan dapat berkenalan dengan Kak Seng Siangjin, yang ringkasnya kita bisa tuturkan sebagai berikut:
Pada jaman duapuluh tahun yang lampau, di kota
Cee-lam terdapat sebuah kantor angkutan yang memakai
merek Cin-wie Piauw-kiok dan di kepalai oleh Sin-kun
Louw, yakni Cu Leng, yang ketika itu hampir tidak
seorangpun di daerah Shoa-tang yang tidak kenal
namanya. Bahkan banyak hohan-hohan atau orangorang gagah di kalangan Rimba Hijau merasa segan
untuk melanggar kepadanya, hingga selama ia membuka
102 piauw-kiok dan melindungi barang-barang orang, belum
pernah ada kejadian barang-barang angkutannya yang
dirampok orang. Maka dari itu, Cin-wie Piauw-kiok
mendapat kepercayaan besar sekali dari para saudagar,


Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang kerap mengirim barang-barang berharga dalam
melakukan perhubungan dengan daerah-daerah lain di
seluruh Tiongkok. Pada suatu waktu adalah seorang saudagar kaya
raya yang bernama Souw Bun Hoan dan hendak menuju
ke kota Siang-kiu dalam propinsi Ho-lam. Oleh karena
kereta-kereta piauw Cin-wie Piauw-kiok pun hendak
menuju ke kota tersebut, maka si saudagar ini telah
menitipkan barang-barangnya atas perlindungan Louw
Cu Leng, sedang ia sendiripun turut juga menumpang
dalam salah sebuah kereta piauw tersebut.
Begitulah setelah iringan kereta-kereta piauw
tersebut telah berjalan beberapa hari lamanya, akhirnya
sampailah mereka di lembah pegunungan Cay-heng-san,
yang perjalanannya sukar dilewati orang dan banyak
didiami kawanan berandal yang kerap keluar mencegat
orang-orang atau kereta-kereta piauw yang kebetulan
melewat di situ. Salah seorang di antara kepala-kepala
berandal yang menjagoi di daerah itu, adalah seorang
yang bernama Han Houw, yang di kalangan Kang-ouw
dikenal orang dengan nama julukan Say-pa-ong atau
Couw Pa Ong kedua. Han Houw ini orangnya tinggi besar, bertenaga kuat
dan mahir menggunakan sepasang gegaman yang
berbentuk aneh dan dinamakan Jit-gwat-lun, atau roda
rembulan dan matahari. Kepada ia ini Louw Cu Leng hanya mendengar nama
tetapi tidak pernah bertemu muka, hingga sampai
sebegitu jauh, ia belum tahu sampai dimana ilmu
103 kepandaiannya kepala berandal itu.
Maka waktu Cu Leng melewat di situ dan diberi ingat
oleh beberapa orang juru kabar tentang bahaya
perampokan yang mengancam di depan mata, lalu ia
mengatur orang-orangnya buat menjaga di muka dan kirikanannya iringan kereta-kereta piauw itu, sedangkan ia
sendiri mengiringi belakangan untuk menjaga penyerangan-penyerangan gelap yang umum dilakukan
oleh para ho-han di kalangan Rimba Hijau.
Tetapi dugaan Cu Leng kali ini telah meleset. Karena
bukannya kawanan perampok itu mengejar dari sebelah
belakang, ternyata mereka telah mencegat dari depan,
sesudah melepaskan dua batang anak panah yang
berbunji nyaring dan melayang di sebelah atas iringan
kereta-kereta piauw tadi.
Louw Cu Leng yang kuatir dibokong dari belakang,
apabila ia segera maju ke muka iringan kereta-keretanya,
lalu tinggal menunggu sampai ada salah seorang
sebawahannya datang memberitahukan kepadanya,
tentang gerak-geriknya pihak kawanan berandal yang
mencegat di muka perjalanan mereka itu.
Begitulah ketika dari salah seorang piauw-khek yang
berjalan duluan ia diberitahukan tentang munculnya
seorang kepala berandal yang bermuka hitam dan
berjembros pendek dengan mencekal gegaman luar
biasa di tangannya, Cu Leng segera menduga, bahwa si
kepala berandal itu tentulah bukan lain daripada Say-paong Han Houw yang pernah didengar namanya itu. Maka
setelah memerintahkan beberapa orang akan menggantikan tempat jagaannya di belakang iringan
kereta-kereta itu, ia lantas tampil ke muka sambil
memberi hormat dan berkata: "Selamat berjumpa, Tayong! Apakah kamu ini bukan Say-pa-ong Han Houw,
104 yang namanya bergema di kalangan Kang-ouw bagaikan
suara guntur di waktu langit terang?"
Kepala berandal itu yang ternyata benar ada Say-paong Han Houw, dengan laku yang congkak lalu
menjawab: "Betul. Dan setelah kau mengetahui namaku
yang besar, mengapakah kau tidak lekas turun dari kuda
buat mempersembahkan segala barang angkutanmu
buat dibawa olehku ke atas gunung?"
Louw Cu Leng jadi sangat mendongkol mendengar
omongan Han Houw yang begitu sombong dan bersifat
lebih mengutamakan harta daripada persahabatan, maka
dengan mengeluarkan suara jengekan dari lubang
hidung ia lantas menjawab: "Oh, oh, itulah sudah tentu
saja boleh sekali. apabila kau mampu lawan aku
bertempur buat duapuluh jurus lamanya!"
Say-pa-ong Han Houw yang sama sekali tak
menyangka, bahwa ia bakal mendapat jengekan yang
begitu pedas sudah tentu saja jadi amat gusar, hingga
sambil menuding pada si jagoan she Louw ia lantas
membentak: "Jahanam! Aku bersumpah akan tak
menjadi manusia pula, apabila tak mampu aku
mengalahkan seorang macam kau ini!"
Sambil berkata begitu ia segera menyerang pada
Louw Cu Leng dengan sepasang senjata Jit-gwat-lun di
tangannya. Cu Leng lalu cabut goloknya, dengan mana ia lantas
tangkis serangan lawan itu dengan tak banyak bicara
pula. Begitulah pertempuran itu telah berlangsung
sehingga beberapa belas jurus lamanya dalam keadaan
seri. Tetapi Cu Leng yang tidak mau mengasih hati
terlebih lama pula kepada sang musuh itu, lalu mulai
105 menghujani serentetan serangan-serangan yang telah
membikin Han Houw terpaksa mundur dan akhirnya
mesti mengakui, bahwa ia sendiri bukanlah lawan yang
setimpal dari sang piauw-su itu. Tetapi ia bukan seorang
bodoh yang rela menyerah dengan begitu saja. Maka
setelah berpikir dengan cepat beberapa saat lamanya,
Han Houw lalu mulai memberi isyarat kepada orangorang sebawahannya, agar supaya mereka maju
menerjang dari segala jurusan buat membikin kalut
hatinya Louw Cu Leng. Jikalau siasat itu berhasil,
sebagian dari orang-orang sebawahan itu boleh pasang
tali-tali jiretan untuk menjiret kaki kudanya Louw Cu
Leng, karena jikalau binatang itu dapat dirobohkan, sang
piauw-su sendiripun tentu akan jatuh juga, hingga ia
mudah ditawan tanpa melakukan perlawanan apa-apa.
Karena semua isyarat itu ternyata tidak diketahui oleh
Cu Leng, maka ini justeru merupakan titik lemah yang
telah banyak merugikan bagi dirinya sang piauw-su ini.
Sementara Han Houw yang melihat taktiknya
berhasil, lalu memberi tanda supaya pengepungan itu
dilakukan dengan lebih hebat dan rapat, sehingga Cu
Leng yang akhirnya telah mengerti juga muslihatnya
sang musuh itu setelah waktunya telah kasip, barulah
mencoba dengan sekuat-kuatnya tenaga akan menoblos
pengepungan itu dengan jalan bekerja sama dengan
orang-orang sebawahannya. Cuma celakanya jumlah
kawanan perampok itu ada jauh lebih banyak daripada
mereka, hingga Cu Leng dan kawan-kawannya tak
berdaya memberikan pertolongan pada satu sama lain,
tanpa merugikan kepada penumpang-penumpang
beserta sekalian barang-barang angkutannya dan diri
mereka sendiri. Tetapi Cu Leng yang berhati keras dan lebih suka
106 mati daripada hilang muka, lalu mengeluarkan suara
bentakan keras dan segera menerjang pada Han Houw
yang saban-saban hampir jatuh terpelanting dari atas
kudanya, disaban waktu Cu Leng menabas dengan golok
yang dicekal di tangannya.
Lama-kelamaan, Han Houw mengerti, yang ia tak
akan mampu mengalahkan sang piauw-su itu. Maka
setelah memberikan pula beberapa macam isyarat
kepada orang-orang sebawahannya, buru-buru ia
balikkan kudanya, sambil melambai-lambaikan tangannya dan berkata: "Hei, piauw-su goblok! Jikalau
kau sesungguhnya ada seorang yang gagah berani dan
pandai, cobalah kau kejar dan taklukkan aku! Jikalau tak
berani kau berbuat begitu, segeralah katakan demikian di
hadapanku, agar supaya aku boleh memberikan
keampunan dengan hanya merampas semua barangbarang angkutanmu, tetapi sama sekali tak akan
mengganggu kepadamu dan semua orang yang ikut
dalam iringan kereta-kereta piauw ini."
Mendengar dirinya dihinakan begitu rupa, sudah
tentu saja Cu Leng jadi amat gusar dan lalu balas
menantang: "Berandal gunung yang hina dina!"
bentaknya, "beberapa belas tahun lamanya aku hidup di
kalangan Kang-ouw tak pernah terkalahkan orang,
dimanalah hari ini mau menyerah mentah-mentah
kepada segala kawanan tikus hutan semacam kamu ini!
Ayoh, jikalau kau benar seorang ho-han yang jujur,
marilah kita boleh bertempur dengan memakai syaratsyarat, siapa di antara kita berdua yang ilmu
kepandaiannya terlebih unggul!"
Tetapi Han Houw yang memang mengetahui, bahwa
ia bukan lawan Louw Cu Leng yang setimpal, dengan
menebalkan muka lalu pecut kudanya yang segera
107 berlari naik ke atas gunung sambil berseru: "Ayo! mari
kita bertempur di atas gunung ini!"
Louw Cu Leng jadi semakin sengit dan lalu pecut
juga kudanya buat mengejar. Tetapi ketika baru saja
mengejar beberapa tindak jauhnya, mendadak kudanya
telah terjiret kakinya dan jatuh terjerumus ke dalam
sebuah lubang, hingga Cu Leng yang tidak menyangka
bakal terjadi begitu, sudah tentu saja jadi turut terjerumus
juga dan segera ditawan oleh kawanan berandal yang
memang telah bersembunyi di antara semak-semak
untuk melaksanakan maksud busuk itu.
Demikianlah Louw Cu Leng yang namanya telah
mengharum sekian lamanya di kalangan Kang-ouw,
hampir saja jadi ternoda oleh karena terjadinya peristiwa
ini. Syukur juga setelah ia tertawan dan hendak
digantung sehingga mati oleh Say-pa-ong Han Houw,
mendadak telah muncul seorang paderi tua yang telah
datang menolong dan membikin Han Houw insyaf dari
segala kekeliruannya. Paderi itu, yang kemudian ternyata bukan lain dari
Kak Seng Siang-jin dari kelenteng Liong-tam-sie,
memang telah sengaja datang ke pegunungan Thayheng-san oleh karena telah lama mendengar
perbuatannya Han Houw yang agak menyimpang
daripada peraturan-peraturan yang umum ditaati orang di
kalangan Kang-ouw. Oleh karena itu ia telah datang
sendiri untuk memperingati kepada kepala berandal itu,
agar supaya selanjutnya dia bisa merubah segala
perbuatannya yang tak patut itu.
Sementara Han Houw yang kenal baik pada Kak
Seng Siang-jin sebagai sahabat gurunya, sudah tentu
saja lantas berjanji akan menjadi seorang baik dan
selanjutnya tidak pula campur dalam segala urusan yang
108 dapat menodai nama baiknya di kalangan Kang-ouw
hitam. Maka atas nama gurunya Han Houw " Ciauw-bian
Bie-lek Tay Thong Hweeshio " Kak Seng Siang-jin telah
menerima kebaikan janjinya Han Houw, yang kemudian
telah menyampaikan juga pernyataan maafnya kepada
Sin-kun Louw Cu Leng. Demikianlah sebab-musabab Cu Leng dapat
berkenalan dengan Kak Seng Siang-jin, yang ternyata
bukan lain daripada guru Lie Poan Thian yang semula
menjadi lawannya itu! Oleh karena mendengar penuturan itu, buru-buru
Poan Thian berbangkit dari tempat duduknya dan
menyoja kepada jago tua itu, sambil tak lupa
mengucapkan maafnya atas segala perbuatannya yang
olehnya dirasa kurang patut itu.
Tetapi Cu Leng lantas tertawa dan berkata: "Jikalau
kita tak berkelahi, tentulah tidak menjadi sahabat, dan
berbareng dengan itu, kau tentunya tidak mengetahui
cara bagaimana aku bisa berkenalan dengan Kak Seng
Siang-jin Lo-siansu yang menjadi gurumu itu."
"Itu benar, itu benar," menambahkan Houw-jiauw Co
sambil bantu menuangi arak ke masing-masing cawan
yang diletakkan di hadapan mereka bertiga.
Tengah mereka bermakan minum Louw Cu Leng
tidak lupa menanyakan tentang halnya Ma-cu Lie kepada
Lie Poan Thian, siapa, dengan secara singkat telah
menuturkan, mengapa ia membikin ribut di rumahnya si
bopeng itu. Sementara Cu Leng yang baru tahu jelas duduknya
perkara, keruan saja jadi membanting-banting kaki
109 sambil menyatakan kemenyesalannya, yang ia telah
kasih dirinya "diperkuda" oleh manusia busuk itu.
"Jikalau terlebih siang aku tahu duduknya perkara
yang benar," katanya, "niscaya tak sudi aku menginjak
lantai rumah manusia terkutuk itu! Maka setelah
sekarang aku ketahui tipu muslihatnya manusia busuk
itu, niscaya aku belum mau sudah, jikalau tidak kembali
lagi ke rumahnya untuk mendamprat dan minta ia segera
ganti segala kerugian yang telah diderita oleh ayahmu
itu!" Tetapi Poan Thian lantas menyatakan, bahwa urusan
kecil itu ia sendiripun sudah

Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cukup untuk menyelesaikannya. Tetapi Cu Leng lantas berkata: "Bukan begitu. Aku
percaya Lauw-tee memang dapat menyelesaikan sendiri
urusan itu, tetapi aku perlu peringatkan dan minta
kepastian dari padanya, supaya selanjutnya perbuatanperbuatan yang serupa itu tak sampai terulang pula.
Jikalau masih saja ia berani berbuat begitu, aku nanti
turun tangan sendiri buat bikin ia kapok betul-betul
seumur hidupnya." Poan Thian mengucap terima kasih atas kesudian Cu
Leng yang telah menyatakan kesediaannya akan campur
tangan dalam urusannya ini, maka dari itu, Ma-cu Lie
yang kemudian jadi ketakutan karena akal muslihatnya
telah diketahui oleh jago silat tua itu, buru-buru ia
meminta maaf atas kesalahan-kesalahannya, sambil
lantas mengganti semua kerugian berikut bunganya
kepada Tek Hoat, tanpa Cu Leng menegurnya pula
sampai dua kali. Begitulah karena adanya lelakon Ma-cu Lie yang
hendak menyikut dan merobohkan perusahaannya Lie
110 Tek Hoat ini, maka selanjutnya Louw Cu Leng dan Co
Thian Ko jadi bersahabat sangat baik dengan Lie Poan
Thian, hingga perhubungan ini baru berakhir setelah
masing-masing menutup mata, dengan meninggalkan
nama harum di kalangan Kang-ouw sehingga di jaman
sekarang ini. "Y" Pada suatu hari ketika Poan Thian datang bertamu
ke rumah Louw Cu Leng, justeru ahli silat itu telah keluar
bepergian dan belum kembali, tetapi karena ia mendapat
kabar bahwa Cu Leng akan kembali pada hari itu juga,
maka Poan Thian pun lalu menantikan kedatangannya
sahabat itu sambil membaca buku-buku yang banyak
terdapat dalam perpustakaan milik ahli silat tua itu.
Di situ Poan Thian belum membaca cukup lama,
tatkala di sebelah luar terdengar sebuah kereta yang
berhenti, dengan dibarengi oleh seorang yang
menanyakan pada salah seorang keluarga Louw,
katanya: "Sahabat, apakah Louw Suhu ada di rumah?"
"Hari ini ia belum kembali," sahut bujang yang ditanya
itu. Sementara dua orang yang menggotong seorang
yang rupanya mendapat sakit berat telah turun dari
kereta sambil mengulangi pertanyaan tadi: "Apakah Louw
Suhu tiada di rumah?"
"Louw Suhu belum kembali," sahut bujang Louw Cu
Leng tadi. "Tetapi ada kemungkinan ia akan kembali
pada hari ini juga."
"Ah, kalau Suhu sampai datang terlambat," meratap
orang yang digotong itu, "niscaya jiwaku akan sukar
111 tertolong lagi, hingga dengan begitu, berarti sukarlah
juga akan dapat aku membalas dendam kepada musuh
besarku itu!" Tatkala itu Poan Thian yang menyangka telah terjadi
peristiwa apa-apa yang hebat atas diri orang itu, buruburu ia keluar memberi nasehat, agar supaya mereka
menggotong saja si sakit itu akan dibawa masuk ke
dalam. Ketika orang itu dibawa masuk, dengan lantas Poan
Thian dapat mengenali, bahwa si sakit itu bukan lain
daripada Teng Yong Kwie, komandan dari tangsi Tokpiauw-eng, yang ia pernah dorong jatuh dari kudanya di
lorong Cay-hong-kee belum berapa hari berselang!
Tetapi tak tahu ia, Yong Kwie telah bertempur dengan
siapa, sehingga ia menderita luka sedemikian hebatnya.
Maka setelah komandan itu dibaringkan di sebuah
balai papan, Poan Thian lalu menghampiri kepadanya
sambil berkata: "Tuan, aku rasanya sudah pernah
bertemu muka dengan dikau."
Teng Yong Kwie yang bermula tidak begitu
memperhatikan kepada Lie Poan Thian, lalu mengamatamati si pemuda itu sehingga beberapa saat lamanya,
kemudian seperti juga seorang yang baru mendusin dari
tidurnya lalu berkata: "Ya, ya. Kau ini sesungguhnyalah
ada seorang pemuda gagah perkasa yang harus dibuat
bangga oleh setiap orang yang menjadi sahabatnya. Aku
telah coba buat mencari tempat kediamanmu, ketika
dihari itu kau telah melemparkan aku berikut kudaku
dengan sekaligus, tetapi ternyata tak berhasil, berhubung
aku belum kenal siapa she dan namamu yang mulia."
"Namaku Lie Kok Ciang," menerangkan Poan Thian
sambil tersenyum. 112 Kemudian Yong Kwie pun lalu perkenalkan juga
dirinya sendiri. Selanjutnya karena Poan Thian menanyakan juga
peristiwa apa yang telah terjadi atas dirinya, maka Teng
Yong Kwie lalu menuturkan pengalamannya dengan
secara singkat seperti berikut:
Seperti di bagian atas telah dikatakan, Yong Kwie ini
adalah seorang komandan dari tangsi Tok-piauw-eng
yang diberi tugas sebagai guru silat di kalangan tentara
negeri, juga kerap diperintah oleh seatasannya untuk
melakukan tugas sebagai kepala polisi, yang biasa
bertindak akan membasmi segala kejahatan yang
diorganisir oleh orang-orang berpengaruh dan hartawanhartawan jahat yang semata-mata bekerja untuk mencari
keuntungan guna saku sendiri.
Oleh karena perbuatan dan sepak terjang mereka ini
kerap menggelisahkan kaum kecil, maka pembesar yang
berkuasa di Cee-lam merasa perlu akan mengambil
tindakan-tindakan tegas terhadap pada sekelompok
orang-orang yang sangat mengganggu kesejahteraan
masyarakat dan tak bertanggung jawab itu.
Salah seorang di antara manusia-manusia busuk ini,
adalah seorang hartawan yang terkenal dengan nama
sebutan Lauw Sam-ya, siapa telah sekian lamanya
mencari jalan untuk mencelakai Teng Yong Kwie yang
merupakan sebagai duri di matanya. Karena sebegitu
lama Yong Kwie masih hidup dalam masyarakat di Ceelam, ia selalu merasa tidak tenteram akan melakukan
segala perbuatan yang melanggar undang-undang
negeri, seperti menadah barang gelap, memperdagangkan barang-barang pemerintah yang
dicuri oleh komplotannya, dan perbuatan-perbuatan lain
yang disembarang waktu bisa bikin ia berbentrok dengan
113 kekuasaan polisi di kota tersebut, jikalau hal-hal ini
sampai dapat diendus oleh pihak hamba-hamba negeri
yang bengis seperti Teng Yong Kwie ini.
Maka buat bisa menyingkirkan jiwanya Yong Kwie
dengan tak usah bertanggung jawab atas perbuatannya
itu, telah sekian lamanya Lauw Sam-ya melepaskan
beberapa orang mata-matanya akan mencari tahu,
dengan jalan apa agar supaya Yong Kwie bisa dipancing
dan dijebak, buat kemudian dibinasakan jiwanya di luar
tahunya orang-orang sebawahannya.
Pada suatu hari salah seorang mata-mata itu telah
kembali dan melaporkan pada Lauw Sam-ya, bahwa
Teng Yong Kwie ini orangnya amat gemar memacu kuda
dan memiliki kuda yang baik. Maka Lauw Sam-ya yang
mendapat kabar begitu, lalu atur suatu tipu muslihat dan
kirim seorang kepercayaannya pada Teng Yong Kwie
buat pura-pura menanyakan, kalau-kalau ia itu suka
membeli seekor kuda yang dikatakan sangat istimewa
dan akan dijual lekas oleh karena pemiliknya kebetulan
perlu pakai uang. Mendengar kabar ini, Yong Kwie yang memang amat
gemar dengan kuda-kuda yang baik, sudah tentu saja
jadi sangat bernapsu. "Jikalau apa kata saudara itu benar," katanya,
,niscaya tak lupa akan kuberikan kau sedikit hadiah
sebagai jasa kecapaianmu itu, jikalau kuda itu kupenujui
dan dapat dibeli dengan harga yang pantas."
Si pesuruh yang mendengar omongan itu, keruan
saja menunjukkan paras muka girang, biarpun
kegirangan itu lebih banyak berarti kedengkian dan
kecurangan daripada kejujuran, karena sifat kegirangan
itupun bukan lain daripada untuk main tedeng aling114
alingan belaka! Begitulah dua macam kegirangan telah dirasakan
dalam hati kedua orang itu.
Karena jikalau kegirangan Yong Kwie telah keluar
dari hati yang tulus, adalah kegirangan pesuruh Lauw
Sam-ya itu telah keluar dari dua jalan yang
menguntungkan kepada dirinya sendiri, yakni kegirangan-kegirangan yang semata-mata tidak menghiraukan kepada akibat kerugian orang lain yang
hendak dijerumuskan! Dua jalan keuntungan yang telah
kita katakan tadi, ialah kesatu karena ia berhasil dapat
menipu pada Teng Yong Kwie, yang hendak
dipancingnya masuk ke lubang harimau itu, dan
keduanya ia merasa pasti bahwa majikannya akan
merasa senang dengan pekerjaannya ini, hingga buat itu
ia boleh mengharap akan mendapat hadiah dari sang
majikan. Maka setelah pesuruh itu memberikan alamatnya
pemilik kuda yang katanya hendak dijual itu, lalu buruburu ia kembali ke rumah Lauw Sam-ya dan melaporkan
kepada sang majikan tentang "pekerjaannya" itu.
Lauw Sam-ya jadi sangat girang dan memuji tinggi
atas kecerdikannya pesuruh itu, kemudian ia kerahkan
orang-orang sebawahannya buat bersiap-siap dan
menjaga jikalau Teng Yong Kwie nanti datang buat
melihat kuda yang dikatakan akan dijual itu.
Pada hari esoknya ketika Yong Kwie mengunjungi
rumah Lauw Sam-ya buat memeriksa kuda dengan
mengajak tiga orang kawannya, komandan itu lalu
disambut oleh pesuruh yang telah datang padanya di hari
kemarin, tetapi di situ ia tidak bertemu dengan Lauw
Sam-ya sendiri, yang memang telah sengaja tidak mau
115 bertemu muka. Oleh sebab itu, maka soal tawar-menawar kuda yang
akan dijualnya itupun oleh Lauw Sam-ya diserahkan ke
dalam tangan pesuruh tersebut.
"Jikalau tuan sudah melihat macam kuda itu,"
katanya, "niscaya tuan akan merasa penuju dan tidak
banyak tawar menawar pula. Di tiap gegernya binatang
itu terdapat sembilan buah titik putih yang dapat dilihat
jelas dan besar-besar bagaikan bentuk uang logam
senan, maka dari itu, dia patut dinamakan Kiu-tiam Pekbwee-hoa, seekor kuda yang bisa berlari seribu lie
seharinya." Keterangan-keterangan itu membuat Teng Yong
Kwie jadi semakin tertarik dan menanyakan: "Dimanakah
adanya kuda itu sekarang?"
"Marilah tuan ikut aku," kata pesuruh Lauw Sam-ya
itu. Yong Kwie dan ketiga orang kawannya lalu mengikut
si pesuruh itu menuju ke sebuah istal, yang terletak di
belakang sebuah gedung besar miliknya Lauw Sam-ya.
Tatkala mereka melalui sekian gang-gang yang
sempit dan berliku-liku sehingga beberapa puteran,
akhirnya sampailah mereka ke sebuah istal, dimana
benar saja ada terdapat seekor kuda besar yang berbulu
gambir, tetapi sama sekali tidak cocok keadaannya,
dengan keterangan-keterangan yang ia telah diberitahukan tadi. Oleh sebab itu juga, maka Teng Yong
Kwie lalu menanyakan pada si pesuruh itu, mengapa
keterangan itu bisa menyimpang daripada apa yang dia
telah katakan tadi" Dengan ini, si pesuruh kelihatan terperanjat dan lalu
116 berkata: "Oh, kalau begitu, nyatalah bahwa kuda ini telah
ditukar oleh kawanku! Aku sungguh tak bisa terima akan
dipermainkan orang begini rupa! Harap tuan-tuan suka
menunggu dahulu di sini, sampai aku membereskan
perhitungan dengan kawanku yang curang itu!"
Yong Kwie dan ketiga orang sebawahannya
menyatakan tidak berkeberatan akan menunggu di situ.
Kemudian orang itu segera berlalu dengan tindakan
yang terburu-buru. Ketika mereka menunggu sampai beberapa saat
lamanya dan ternyata orang itu tidak kelihatan muncul
kembali, hatinya Yong Kwie mendadak timbul rasa
curiga. Lalu ia perintah salah seorang sebawahannya
buat pergi menyusul dengan melalui gang-gang dari
mana mereka masuk tadi. Tidak antara lama orang sebawahan itu telah balik
kembali sambil berlari-lari dengan paras muka pucat
bagaikan kertas, peluhnya bercucuran, sedangkan
napasnya pun "senin kemis".
"Celaka, celaka! Kita telah terjebak oleh kawanan
buaya darat yang menjadi musuh-musuh kita!" katanya.
"Semua gang-gang tadi telah tertutup, begitupun pintupintunya diselot rapat!"
"Celaka!" Dengan suara hampir berbareng, kedua
orang sebawahan yang lainnya pun mengucapkan katakata yang sangat mencemaskan hati itu.
Tetapi Yong Kwie sama sekali tidak mengunjukkan


Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sikap yang jerih atau takut. Ia percaya, sebagai salah
seorang muridnya Sin-kun Louw Cu Leng yang
terpandai, tak mungkin ia bisa dikalahkan mentahmentah oleh segala bu-beng-siauw-cut yang hina-dina
117 itu, bahkan tidak sedikit tukang-tukang pukul yang
terkenal tangguh telah dirobohkan dan dibikin kucar-kacir
olehnya dengan hanya bertempur beberapa gebrakan
saja lamanya. Maka tempo menyaksikan ketiga orang sebawahannya tampak ketakutan, Yong Kwie jadi
tersenyum dan berkata: "Jangan takut! Selama kita
masih bisa bernapas, kita pasti akan mendapat jalan
untuk meloloskan diri dari sini. Ayoh, mari kita dobrak
pintu-pintu yang merintangi jalan kita buat keluar dari
tempat ini!" Kemudian mereka berempat lalu menuju ke ganggang yang mereka lalui tadi.
Dengan mengandalkan pada tenaganya yang kuat
bagaikan kerbau, Yong Kwie telah berhasil bisa
merobohkan sesuatu penghalang yang orang telah
pasangkan di antara gang-gang itu, dan pekerjaan ini
hampir saja dapat diselesaikan seluruhnya, ketika
dengan sekonyong-konyong muncul sekelompok orangorang yang bersenjatakan barang tajam dan terus
mengepung mereka bagaikan pemburu-buru yang
mengepung babi rusa. "Kamu sekalian boleh menjaga serangan musuhmusuh kita yang datang dari belakang," kata si
komandan, "sedangkan aku sendiri akan membuka jalan
untuk kita keluar dari sini!"
Ketiga orang sebawahan itu lalu mendiawab: "Baik."
kemudian mereka lalu mencabut golok masing-masing
untuk bersiap-siap akan menghadapi segala kemungkinan yang akan menimpa atas diri mereka.
Sementara Teng Yong Kwie yang berjalan di muka
dengan golok terhunus, lalu menerjang setiap musuh118
musuhnya yang berani mendekati kepadanya, hingga
musuh-musuh itu yang baru mengetahui akan
keberanian komandan itu, pelahan-lahan segera pada
mundur dengan meninggalkan beberapa orang
kawannya yang telah dilukai oleh Yong Kwie dan
menggeletak di tanah dalam keadaan separuh mandi
darah. Lebih jauh karena anak buah Lauw Sam-ya
menyaksikan bahwa Yong Kwie tidak mungkin dapat
dikalahkan dengan jalan berkelahi secara jujur, maka
pemimpin dari rombongan orang-orang itu lalu
menteriakkan kawan-kawannya sambil berkata: "Mundur,
mundur! Pergilah kamu mengundang Sek-hui Ya-ya
datang ke sini!" Yong Kwie yang menyangka bahwa mereka akan
memanggil seorang ahli silat lain untuk bantu
mengepung ia dan orang-orang sebawahannya sudah
tentu saja tak mau melewatkan ketika yang terbaik ini
untuk melabrak musuh-musuhnya dengan sehebathebatnya.
Karena apabila "ahli silat" yang akan menjadi
lawannya itu telah keburu campur tangan, ia kuatir
keadaan akan menjadi semakin berbahaya bagi
pihaknya yang hanya terdiri dari empat orang saja
jumlahnya. Maka sambil memikirkan bahaya yang akan
mendatangi itu, Yong Kwie telah mengamuk dan
menerjang ke sana-sini untuk meloloskan diri dari dalam
kepungan para buaya darat itu secepat mungkin.
Tidak disangka selagi keadaan mencapai puncaknya
ketegangan, mendadak dari kiri-kanan gang-gang itu dan
dari atas genteng telah turun hujan kapur yang
dilepaskan oleh kawanan manusia busuk itu, untuk
mencelakai Teng Yong Kwie dan orang-orang
119 sebawahannya, hingga Yong Kwie yang sama sekali tak
menduga bakal mengalami kejadian serupa itu, sudah
barang tentu jadi kalang kabut dan coba menerjang
dengan mati-matian, tetapi percobaan itu segera jadi
terhambat dan mandek setengah jalan, ketika dari pihak
para buaya darat telah dilepaskan juga anak-anak
panah, yang mana telah mematikan dua orang
sebawahan Yong Kwie yang menerjang paling depan.
Dan tatkala ia sendiripun telah kena dilukai oleh anak
panah dan senjata serta kapur yang telah membuatnya
hampir buta, Yong Kwie terpaksa melakukan perlawanan
dengan mata hampir dipejamkan, hingga karena ini, tidak
sedikit pukulan-pukulan musuh yang tak mampu ia jaga,
yang mana telah bikin ia hampir jatuh pingsan dan
saban-saban berteriak karena amat kesakitan.
Syukur juga karena kawanan buaya darat itu tak
sanggup mendekati pada Yong Kwie, yang ternyata
masih mampu bertempur meski matanya sudah separuh
buta, dengan tubuh menderita luka-luka mereka segera
melarikan diri. Oleh sebab itu, seorang sebawahan Yong
Kwie yang hanya mengalami luka-luka ringan, buru-buru
menggendong Yong Kwie keluar dari gang-gang itu, dari
mana ia telah melarikan komandannya dengan berkuda,
yang ternyata tidak dibawa pergi oleh kawanan penjahat
yang telah lari kalangkabutan itu.
Sesampainya mereka ke tangsi Tok-piauw-eng,
orang sebawahan itu lalu laporkan peristiwa ini kepada
pihak yang berwajib, yang kemudian segera mengirim
sepasukan tentara buat menangkap kawanan pengacau
itu serta menolong dua orang sebawahan Yong Kwie
yang telah menjadi mayat.
Tetapi dalam penggerebekan ini tidak dapat
ditangkap barang seorang pun yang telah menyebabkan
120 terjadinya keributan itu, sedangkan Lauw Sam-ya yang
disangka menjadi biangkeladinya, ternyata telah
beberapa hari lamanya bepergian, hingga dalam
kerusuhan ini ia tidak tahu-menahu, walaupun keributan
itu telah terjadi di salah satu bagian dari rumahnya
sendiri. Tatkala kemudian Yong Kwie tersadar dari
pingsannya, lalu ia minta supaya orang sebawahannya
itu lekas membawa padanya ke rumah Louw Cu Leng.
Karena selain luka-lukanya yang baru itu dapat lekas
disembuhkan, juga musuh-musuhnya itupun masih
belum lari jauh dan tidak terlalu sukar untuk dibekuknya.
Tetapi apa celaka, sesampainya di Hu-tong-toa-kee,
Yong Kwie dapatkan gurunya belum kembali dari luar
kota, hingga ia hampir putus asa, apabila Poan Thian
tidak membujuk agar supaya ia suka bersabar, sehingga
urusan ini dapat diurus sebagaimana mestinya. Lebih
jauh dengan mengandal pada pengetahuan ilmu obatobatan yang ia pernah pelajarkan dari Kak Seng Siangjin di Liong-tam-sie, Poan Thian lalu coba rawat lukalukanya Yong Kwie, berikan dia obat makan dan obat
luar untuk menahan sampai Cu Leng kembali dari luar
kota. Oleh karena ini, Yong Kwie jadi sangat berterimakasih atas kebaikannya si pemuda itu.
Malah buat menghibur hati Yong Kwie dan bantu
memberantas keburukan yang menjalar dalam masyarakat di Cee-lam, Lie Poan Thian menyatakan
kesediaannya akan membantu Yong Kwie dalam usaha
ini. Sedangkan berbareng dengan itu, iapun menganjurkan juga agar supaya Yong Kwie jangan tarik
panjang dulu perkara ini. Karena pihak musuh-musuhnya
Yong Kwie yang melihat tidak tampak reaksi apa-apa dari
121 perbuatan mereka yang tidak baik itu, tentulah
merekapun tinggal diam dan urusan ini akan jadi lebih
mudah untuk diurusnya di kemudian hari.
"Karena dengan adanya "keademan" di pihak kita,"
menganjurkan Lie Poan Thian lebih jauh, "maka pihak
musuh-musuhmu akan berlaku kurang giat buat
menyelidiki tentang keadaanmu setelah terjadinya
kerusuhan itu. Malahan terlebih baik pula jikalau kau
tidak berkeberatan supaya boleh perintah orang-orang
sebawahanmu akan sengaja menyiarkan kabar burung di
luaran, bahwa setelah terjadinya keributan itu, kau telah
mati oleh karena luka-lukamu. Karena disamping aku
bisa selidiki dengan diam-diam siapa yang telah berlaku
paling aktif dalam hal pekerjaan busuk ini, akupun dapat
juga segera ketahui, siapa sebenarnya biangkeladinya
dari kerusuhan ini. Hanya belum tahu, apakah kau
merasa mufakat apabila urusan ini diatur demikian?"
Mendengar anjuran itu, bukan saja Yong Kwie
merasa sangat mufakat, malah sangat berterima kasih
kepada Lie Poan Thian, yang telah begitu sudi akan
campur tangan dalam urusan ini.
Tetapi Poan Thian yang memang bersikap tak suka
tinggal peluk tangan saja akan melihat segala perbuatan
tidak patut dilakukan orang tanpa pembalasan yang
setimpal, lalu mengatakan, bahwa ia senang sekali akan
berbuat sesuatu guna kebaikannya masyarakat, lebihlebih karena peristiwa-peristiwa serupa itu telah terjadi di
tempat kelahirannya sendiri. Maka selain merasa turut
bertanggung jawab untuk bantu memelihara kesejahteraan di dalam wilayah tanah tumpah darahnya,
iapun dapat sekalian bantu membikin terang mukanya
Yong Kwie yang menjadi muridnya Cu Leng yang
menjadi juga sahabatnya sendiri.
122 Sementara buat mengetahui terlebih jelas tentang
gerak geriknya Lauw Sam-ya yang ia sangat curigai turut
campur tangan dalam perkara penganiayaan Yong Kwie
dan orang-orang sebawahannya, maka Poan Thian telah
sengaja mengirim seorang mata-mata yang bernama
Lauw Su, dari siapa kemudian ia telah menerima laporan,
bahwa selain Lauw Sam-ya menjadi biangkeladi dalam
perkara busuk itu, si hartawan bajingan itupun menjadi
juga pemimpin sebuah perkumpulan gelap yang dikenal
dengan nama Sam-liong-hwee, sebuah perkumpulan
yang dianggap umum sebagai suatu perkumpulan
kematian, tetapi sebenarnya ada suatu perkumpulan
penjahat, yang karena organisasinya yang diatur
sedemikian licinnya, maka pihak yang berwajib tak dapat
mengambil tindakan untuk menutupnya tanpa alasan
yang kuat. Selanjutnya, ketika ditanyakan tentang gerak-gerik
kawanan buaya darat itu, tempo mendapat kabar tentang
kematiannya Teng Yong Kwie, Lauw Su lalu jadi
tersenyum dan dengan rupa yang sungkan lalu
menjawab: "Ah, itulah sesungguhnya ada suatu hal yang
sangat menjemukan untuk diceritakan di sini."
Tetapi, karena Poan Thian dan Yong Kwie telah
minta ia bicara terus, maka apa boleh buat ia telah
menuturkan juga, bagaimana Lauw Sam-ya beserta
sekalian konco-konconya kelihatan begitu girang, tatkala
mendengar tentang kematiannya sang komandan itu,
hingga lantaran itu, selanjutnya mereka lalu mengadakan
suatu perjamuan besar yang dikunjungi oleh hampir
seluruh anggota Sam-liong-hwee yang terkemuka,
dimana telah dinyatakan "turut berduka-cita" atas
kematiannya orang yang mereka anggap sebagai duri di
mata mereka itu. 123 Sementara Teng Yong Kwie yang mendengar kabar
begitu, sudah tentu saja jadi sangat mendongkol dan
bersumpah akan menuntut balas kepada mereka, jikalau
nanti ia sudah sembuh dari penyakitnya.
Tetapi Poan Thian lalu membujuk dan minta supaya
ia suka bersabar dahulu. "Kita mesti telan dahulu semua hinaan ini," katanya,
"kita harus berlaku tenang, sementara menunggu ketika
akan melakukan hajaran-hajaran yang kiranya cukup
untuk membikin namanya Lauw Sam-ya dan
perkumpulannya mengalami keambrukan di matanya
orang banyak. Karena manusia busuk serupa mereka itu,
perlu sekali dibasmi sehingga ke akar-akarnya."
"Jikalau kau mengunjuk sedikit saja aksi yang
menyatakan bahwa kau masih hidup," Poan Thian
melanjutkan, "dikuatirkan pekerjaanku ini akan gagal.
Dan jikalau pekerjaanku pada kali ini gagal, niscaya
selanjutnya tak dapat pula aku menolong kepadamu.
Karena selain mereka sukar akan dicari, malah bahaya
yang mengancam pada kita akan menjadi semakin
besar. "Itulah sebabnya mengapa aku minta kau "berlagak"
mati, tetapi bukanlah sekali-kali hendak menganjurkan
kau menjadi seorang pengecut. Apakah sekarang
saudara telah mengerti, maksud-maksud apa yang
sebenarnya terkandung di dalam hatiku?"
Yong Kwie yang mendengar keterangan begitu,
seakan-akan orang yang baru mendusin dari tidur yang
nyenyak, hingga dengan berulang-ulang ia mengucap
banyak terima kasih dan memuji tinggi atas ikhtiarnya
Poan Thian yang begitu teliti dan rapi. Dan jikalau ia
sendiri bisa berpikir panjang sampai begitu, demikianlah
124 katanya, niscaya tak sampai ia begitu mudah diselomoti
oleh pihak musuh-musuhnya. Tetapi beras sudah


Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi bubur, hingga ia menyesalpun sudah kasip, ia
tidak bisa berbuat lain daripada terima nasib apa yang
ada. "Tetapi saudara Teng tak usah pikirkan pula segala
hal yang telah lampau itu," Poan Thian menambahkan,
"sementara di hari esok, adalah giliranku yang akan pergi
menyatroni Lauw Sam-ya di Sam-liong-hwee, dimana
akan kulakukan "penagihan", atas apa yang ia telah
berhutang kepadamu."
Demikianlah pembicaraan itu telah berakhir sampai di
situ, karena Poan Thian telah minta dengan sangat agar
supaya Yong Kwie suka lekas beristirahat dan jangan
banyak bergerak, selama minum dan memakai obat yang
ia telah bawa dari Liong-tam-sie itu.
Tetapi hingga hari sudah terganti dengan malam,
ternyata Louw Cu Leng belum juga kelihatan muncul,
hingga Poan Thian terpaksa menginap buat merawat dan
menilik luka-lukanya si komandan muridnya jago tua itu.
Pada hari esoknya sesudah memberikan obat dan
mengganti obat-obat lukanya dengan yang baru, Poan
Thian lalu terangkan maksudnya pada Yong Kwie, bahwa
pada hari itu ia hendak coba pergi menyelidiki pada Lauw
Sam-ya, yang menurut katanya Lauw Su, kerap berada
di gedung perkumpulan Sam-liong-hwee.
Maka setelah menanyakan dimana letaknya gedung
perkumpulan Lauw Sam-ya itu, Poan Thian lalu menuju
ke sana dengan hanya membekal sebatang joan-pian
yang dilibatkan di pinggangnya. Senjata ini tak dapat
dilihat orang, berhubung di sebelah luarnya dialingi oleh
baju si pemuda. Oleh sebab ini, dengan enak saja Poan
125 Thian berjalan di luaran tanpa dicurigai orang.
Sesampainya di gedung perkumpulan Sam-lionghwee, Poan Thian lalu menghampiri salah seorang yang
kebetulan berada di situ dan coba bertanya: "Sahabat,
apakah hari ini Tong-cu (ketua perkumpulan) ada di
gedung perkumpulan?"
Orang itu tidak lantas menjawab pertanyaan orang,
hanyalah tinggal mengamat-amati sehingga beberapa
saat lamanya. Ketika Poan Thian mengulangi
pertanyaannya, barulah ia mendapat jawaban: "Kau ini
siapa" Dan ada urusan apakah menanyakan Tong-cu
kami?" Poan Thian jadi mual mendengar omongan orang itu
yang begitu ketus dan kasar tingkah lakunya.
"Aku ada urusan penting yang hendak disampaikan
kepada Tong-cu," katanya, dengan sikap yang ketus
pula. "Tidak ada! Tidak ada!" kata orang itu. "Hari ini Tongcu tidak datang! Jikalau kau hendak bertemu kepadanya,
bolehlah kau datang pula ke sini di hari esok saja!"
"Aku ada suatu urusan yang teramat penting!" Poan
Thian memaksa, "urusan ini perlu sekali dilaporkan
kepadanya hari ini juga!"
"Tidak bisa!" bentak orang itu. "Tong-cu tidak ada!
Kau boleh datang lagi pada hari esok!" Sambil berkata
begitu, orang itu lalu berjalan masuk dengan tindakan
cepat, tetapi Lie Poan Thian lalu jambret lengan bajunya
sambil berkata: "Nanti dulu! Aku masih ada omongan
yang mau ditanyakan!"
Orang itu jadi kelihatan mendongkol dan lalu tarik
lengan bajunya yang dicekal Poan Thian dengan
126 sekuatnya tenaga, hingga dengan mengeluarkan suara
"bret!" lengan baju itu telah menjadi sobek. Hal mana,
sudah barang tentu, telah membikin orang itu jadi sangat
gusar dan lalu menjotos dada pemuda kita sambil
memaki: "Bangsat!"
Tetapi pada sebelum ia bisa sampaikan maksudnya,
Poan Thian telah keburu berkelit dan lalu maju setindak
sambil melintangi kakinya, hingga ketika kakinya orang
itu kena terbentur oleh kaki pemuda kita, dengan lantas
ia jatuh mengusruk dan berteriak: "Rampok! Rampok!"
Teriakan itu telah membikin orang-orang yang berada
di dalam gedung perkumpulan itu jadi ribut dan terus
keluar dengan serentak, dengan membawa senjata di
tangan masing-masing. "Ayo! jangan kasih lari perampok itu!" teriak seorang
muda yang rupanya menjadi pemimpin dari kelompokan
orang-orang itu. Tetapi Poan Thian yang sebenarnya bermaksud
hendak mengacau untuk menarik perhatiannya Lauw
Sam-ya, ia merasa tak perlu akan meladeni berkelahi
pada orang ini. Maka setelah melihat ada sebuah pagar
tembok yang tingginya beberapa tumbak di hadapannya,
buru-buru ia gerakkan kakinya meloncat ke atas, dan
terus melayang bagaikan burung kepinis ke atas pagar
tembok tersebut. Sekelompok orang-orang itu yang telah tak berhasil
melakukan pengepungan itu, lalu pada berteriak:
"Ambillah busur dan anak panah buat menembaknya!
Saudara-saudara, ayohlah lekas bersiap-siap untuk
meringkusnya dari atas pagar tembok itu!"
Mendengar ancaman itu, bukan saja Poan Thian tak
menjadi jerih atau takut, malah sebaliknya lantas tertawa
127 dan berkata: .,Sahabat-sahabat, jangan pula kamu
hendak memanah kepadaku, sedangkan jala alam
semesta sekalipun, tak nanti akan kutakuti! Kamu
sekalian tidak pernah bermusuhan denganku, seperti
juga aku sendiri tak pernah bermusuhan dengan kamu
sekalian. Kedatanganku ini adalah untuk bertemu
dengan Tong-cu, tetapi bukan hendak mencari setori
dengan kamu sekalian. Aku bukan takut berkelahi, juga
bukan takut karena aku tak bersenjata, aku hendak
berkelahi dengan memakai aturan, tetapi bukan berkelahi
seperti kamu ini, yang cuma-cuma akan membikin diri
celaka saja. Maka buat mencegah kerewelan-kerewelan
yang tidak diinginkan, pergilah kamu beritahukan kepada
Tong-cu, bahwa aku di sini ingin bertemu kepadanya!"
Tidak antara lama, lalu muncullah dari antara orang
banyak, seorang yang berusia kira-kira empatpuluh tahun
lebih, wajahnya bengis, hidungnya bengkok macam
paruh betet, bermisai dan berjembros pendek. Oleh
karena orang itu berpakaian ringkas dan mengenakan
sepasang sepatu ringan yang umum dipakai oleh orangorang yang gemar bersilat, maka Poan Thian lantas
mengerti, bahwa sedikit-sedikitnya orang itu tentu
mengerti juga ilmu silat. Oleh sebab itu, ia lantas
menyoja dari atas pagar tembok sambil berkata: "Lauwhia, mohon tanya, apakah kau ini bukannya Tong-cu dari
Sam-liong-hwee yang bernama Lauw Sam-ya?"
Orang itu tidak lantas menjawab, tetapi segera
mengamat-amati orang sehingga beberapa saat
lamanya. "Apakah kau tahu Sam-liong-hwee ini tempat apa?"
tanyanya dengan sikap yang amat sombong.
Lie Poan Thian yang melihat sikap orang itu, keruan
saja jadi mendongkol dan lalu menjawab: "Tak tahu aku,
128 apakah Sam-liong-hwee ini sebuah tempat hitam atau
putih, tetapi aku tahu betul, bahwa inilah bukan tempat
yang terlalu berbahaya untuk ditakuti orang!"
Orang itu kelihatan bersungut-sungut, kemudian
mengeluarkan suara jengekan dari lobang hidung: "Hm!"
katanya. "Barusan telah kau katakan, bahwa kau minta
bertemu dengan Lauw Sam-ya. Aku inilah ada orang
yang kau cari itu! Belum tahu kau mencari aku ada
urusan apa yang perlu kau bicarakan" Ayo, marilah kau
turun ke sini!" Poan Thian menurut. Dengan sekali lompat saja, pemuda kita telah berada
di hadapannya Lauw Sam-ya.
"Cobalah ceritakan maksud kedatanganmu ini," kata
ketua perkumpulan Sam-liong-hwee itu.
Poan Thian lekas menyoja dan berkata: "Aku ini
adalah seorang dari tempat lain yang kebetulan melewat
di sini, tetapi karena justeru keputusan ongkos dan
mendengar namamu yang dermawan dan suka
menolong pada orang-orang yang miskin dan tertindas,
maka aku telah sengaja datang berkunjung kepadamu
untuk meminta pertolonganmu. Belum tahu, apakah kau
sudi mengabulkan atau tidak permintaanku ini?"
Lauw Sam-ya berdiam sejurus, sambil berpikir di
dalam hatinya. "Jikalau ditilik dari gerakan-gerakannya orang ini,"
pikirnya, "nyatalah ia bukan seorang yang boleh
diperlakukan dengan sembarangan. Maka buat
mencegah peristiwa-peristiwa yang tidak diingini, baiklah
aku berlaku sedikit mengalah dan memberikan dia sedikit
uang, agar supaya dengan begitu dia boleh pergi dari sini
129 dengan tak usah menerbitkan kerewelan apa-apa."
Begitulah setelah berpikir sesaat lamanya, Lauw
Sam-ya lalu panggil kasir perkumpulan buat mengambil
limapuluh uang tembaga untuk diberikan kepada pemuda
itu. Tetapi Poan Thian yang melihat jumlah uang sekecil
itu, lalu jadi tertawa dan berkata: "Ah, Lauw-hia, apakah
artinya uang limapuluh tembaga itu, sedangkan buat
membayar ongkos satu kali makan saja belum keruan
bisa cukup" Aku sungguh menyesal sekali, telah mau
percaya saja kata orang, mereka telah mengatakan,
bahwa Lauw Sam-ya itu orangnya amat dermawan, tidak
sayang uang untuk dapat bersahabat dengan orangorang yang bersatu haluan. Tidak tahunya semua
omongan itu bohong belaka! Dan jikalau itu benar, aku
hanya berani mengatakan, bahwa Lauw Sam-ya itu
orangnya terlalu pelit, sehingga buat memberikan uang
limapuluh tembaga saja mesti dipikir dahulu bolak-balik
sampai beberapa jam lamanya. Ha, ha! Aku sungguh jadi
tertawa geli akan mengalami kejadian lucu semacam ini!"
Lauw Sam-ya yang disindir begitu, dengan mata
mendelik dan hati mendongkol lalu berkata: "Ah, kau ini
sesungguhnya ada seorang yang amat cerewet! Jikalau
kau tidak mau terima dermaanku yang berjumlah
limapuluh uang tembaga itu, berapa banyakkah yang
kiranya patut kuberikan kepadamu?"
"Jikalau kau mau membicarakan tentang banyak
sedikitnya jumlah yang kau harus keluarkan," kata Lie
Poan Thian sambil tertawa, "jumlah sepuluhribu tail perak
bagimu belumlah terlalu banyak, sedangkan jumlah
seribu tail belum boleh dikatakan terlalu besar. Hanya
karena kau memangnya seorang yang pelit, perlu apakah
kau menanyakan berapa banyak kau harus keluarkan
130 buat aku, sedangkan kau sendiri memangnya mau keluar
uang?" Lauw Sam-ya jadi semakin mendongkol dan lalu
perintah kasir akan memberikan Poan Thian seratus
uang tembaga, tetapi pemuda kita kembali tertawakan
padanya sambil berkata: "Itu masih terlalu jauh dari
cukup! Itu masih terlalu jauh dari cukup!"
Lauw Sam-ya akhirnya jadi naik darah dan
membentak: "Hei, pengemis! Sungguh tidak kunyana
akan bertemu dengan seorang pengemis yang
kelakuannya lebih mirip dengan seorang perampok!
Belum tahu sampai dimana adanya ilmu kepandaianmu,
sehingga kau berani berlaku begitu kurang ajar akan
memeras orang?" "Ha, ha, ha!" Poan Thian tertawa. "Jikalau mau
diceritakan tentang ilmu kepandaianku, ada kemungkinan kau akan terperanjat atau kesima karena
heran. Tetapi semua ini kiranya perlu juga akan
kuberitahukan kepadamu, walaupun ini bisa membikin
kau gegetun seumur hidupmu!"
Kemudian, sambil menunjukkan tinjunya, ia
melanjutkan omongannya dengan mengatakan: "Dengan
tinju ini aku mampu membinasakan harimau dari Bukit
Selatan, sedangkan dengan kedua kakiku ini, aku bisa
tendang mati ular naga dari Lautan Timur. Oleh sebab
itu, siapakah di antara kamu sekalian yang berani
mengadu ilmu kepandaian denganku?"
Lauw Sam-ya jadi tersenyum segan ketika
mendengar omongan Poan Thian yang sesombong itu.
"Akan membunuh harimau atau mematikan ular
naga," katanya, "itulah bukan perkara gampang, hingga
ini terlalu sukar untuk dapat disaksikan oleh setiap orang.
131 Sekarang aku di sini mempunyai delapanbelas patok Lohan-chung yang biasa dipergunakan untuk berlatih ilmu
silat. Jikalau patok-patok ini dapat kau tumbangkan
seluruhnya dengan jalan apa saja, barulah aku suka
menyerah dan bersedia akan keluar uang menurut
jumlah permintaanmu dengan tidak tawar-menawar
pula!" "Kalau begitu," sahut Lie Poan Thian, "aku suka
terima kebaikan tawaranmu itu. Tetapi dimanakah
adanya patok-patok itu?"
Lauw Sam-ya lalu menunjuk pada sebuah lapangan
di sebelah timur sambil berkata: "Itu, di sana. Apakah kau
sanggup menumbangkan semua patok-patok itu?"
Lie Poan Thian lalu mengamat-amati pada ketiga
perangkat patok-patok yang terpendam dalam tanah,
kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil
berkata: "Ya, ya, itu semua aku sanggup tumbangkan
atau patahkan dengan kaki dan tanganku. Marilah kita
coba pergi ke sana, supaya kau dapat menyaksikan
"pekerjaanku" dari dekat."
Lauw Sam-ya menurut. Begitulah dengan

Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengajak semua orang sebawahannya, ketua perkumpulan Sam-liong-hwee itu
lalu dipersilahkan Poan Thian buat coba jajal ilmu
kepandaiannya menurut kesanggupan yang telah ia
utarakan tadi. Maka setelah menyingsingkan lengan baju dan
mengikat erat tali pinggangnya, Poan Thian lalu memukul
patok yang pertama dengan menggunakan sisi telapak
tangannya. "Plak!" Begitulah terdengar suara barang yang patah,
132 dan berbareng dengan itu, maka patok itupun putuslah
bagaikan terbacok oleh sebilah golok yang amat tajam!
Plak, plak, plak! Di setiap waktu terdengar suara itu, di setiap waktu
juga tampak patok-patok itu satu per satu terkutung
karena tersabet putus oleh sisi telapak tangannya
pemuda itu! Lauw Sam-ya dan orang-orang sebawahannya yang
menyaksikan keanehan itu, semua jadi pada memuji di
dalam hati, tentang kepandaiannya pemuda kita yang
amat lihay itu. Sedangkan dengan kedua kakinya yang ditendangkan dengan cepat dan berulang-ulang, Poan
Thian telah "sapu" patok-patok itu sehingga tumbang dan
berantakan di sana-sini! Lauw Sam-ya dan orang-orang sebawahannya yang
sekarang telah dapat menyaksikan dengan mata kepala
sendiri betapa hebatnya ilmu kepandaian pemuda itu,
sudah tentu saja hati mereka jadi jerih dan tidak tahu
selanjutnya mesti berbuat bagaimana.
Maka setelah Poan Thian dapat menyelesaikan
semua "pekerjaannya", lalu ia menghampiri Lauw Samya dan bersenyum berkata: "Lauw-hia, sekarang
pekerjaanku untuk menumbangkan dan mematahkan
patok-patok itu telah selesai. Apakah kau sudah bersedia
akan mengeluarkan sejumlah uang yang aku bakal minta
itu?" "Oh, ya, ya, sudah tentu," kata ketua Sam-liong-hwee
itu dengan suara gugup. "Tetapi belum tahu apakah kau
juga mampu mementang gendewa Gu-kak-kiong yang
tergantung di atas dinding tembok itu?"
133 Lauw Sam-ya berkata sambil menunjuk pada sebuah
busur besar yang digantungkan di dinding tembok timur,
yang terpisah tak berapa jauh dari tempat mereka berdiri.
Poan Thian lalu menoleh ke arah yang diunjukkan
Lauw Sam-ya tadi. Tetapi sungguh tidak dinyana, selagi mengamatamati pada busur itu, mendadak Poan Thian merasakan
ada "angin tidak baik-baik yang berkesiur di belakang
kepalanya, berbareng dengan mana sebuah sinar
menyamber ke arah batang lehernya.
Poan Thian lekas berjongkok buat mengasih lewat
badi-badi Lauw Sam-ya yang telah dijujukan pada
dirinya, kemudian ia putar badannya dan menyapu
kakinya Lauw Sam-ya dengan kaki kanannya.
Ketua perkumpulan Sam-liong-hwee itu buru-buru
berlompat ke suatu pinggiran, hingga dengan begitu, ia
telah dapat meluputkan diri daripada tendangan Poan
Thian itu. Sementara pemuda kita yang melihat Lauw Sam-ya
hendak berlaku curang, lalu tertawa dan berkata dengan
maksud menyindir, katanya:
"Sudah lama aku mendapat kabar, bahwa Lauw
Sam-ya itu ada seorang yang tidak suka berlaku curang
untuk menjatuhkan orang yang dianggap sebagai
seterunya. Tetapi omongan itu sekarang kembali telah
terbukti kejustaannya. Karena selain ternyata bahwa kau
ada seorang yang pengecut, kaupun tidak segan akan
melakukan perbuatan-perbuatan busuk seperti apa yang
telah kau unjuk sekarang ini. Sedangkan menurut aturan
yang patut dan sebagai seorang laki-laki sejati, kau harus
mengajukan tantanganmu dengan secara berterang
kepadaku, agar supaya dengan begitu, kita boleh
134 berkelahi satu lawan satu untuk menetapkan pihak mana
yang sesungguhnya lebih unggul dan pandai dalam
pertempuran ini!" Lauw Sam-ya yang telah didamprat di hadapan
orang-orang sebawahannya, tentu saja jadi amat malu
dan apa-boleh buat berlagak tertawa sambil berkata:
"Saudara, sebetulnya aku bukan bermaksud hendak
membokong kepadamu. Dan jikalau aku telah berlaku
begitu, itulah semata-mata buat mencoba ilmu
kepandaianmu saja. Maka setelah sekarang aku ketahui
betul sampai berapa tinggi adanya ilmu kepandaianmu,
akupun selalu bersedia buat menetapkan siapa di antara
kita berdua yang sebenarnya lebih unggul atau lebih
"rendah." Maka sesudah memerintahkan orang-orang sebawahannya berkumpul di suatu tempat yang terpisah
sedikit jauh dari kalangan pertempuran, Lauw Sam-ya
lalu memasang bee-sie (kuda-kuda) sambil berkata:
"Saudara! Marilah kita boleh lantas mulai!"
Lie Poan Thian mengangguk sambil kemudian maju
menyerang, hingga dalam tempo beberapa saat saja
kedua orang itu telah bertempur dengan amat hebatnya.
Selama pertempuran itu berlangsung, Poan Thian
telah mengetahui, bahwa Lauw Sam-ya ini sesungguhnya ada juga "isinya", walaupun ia belum
tergolong pada seorang ahli silat dari tingkat kelas satu.
Maka buat menjaga supaya dirinya jangan sampai kena
diselomoti atau "dicepol" orang, ia pikir lebih baik berlaku
see-jie dahulu pada sebelum menerjang pada lawan itu
dengan sekuat-kuat tenaganya.
Maka biarpun Lauw Sam-ya lebih banyak menyerang
daripada semula, tetapi Poan Thian tinggal tetap berlaku
135 tenang dan tidak tergesa-gesa dalam hal menghindarkan
diri daripada penyerangan-penyerangan musuh, yang
semakin lama telah berlangsung semakin cepat dan
berbahaya itu. Akan tetapi, sebegitu lekas dapat "meloloskan diri"
dari ilmu pukulan Cong-pouw-teng-cu-siu yang Lauw
Sam-ya telah jujukan kepada dirinya, Lie Poan Thian
lekas-lekas menggunakan ilmu Tan-kam-ciang, guna
menyabet pinggang Lauw Sam-ya dengan mempergunakan sisi telapak tangannya yang kuat dan
"tajam bagaikan golok" itu.
Hal ini, sudah tentu saja telah membikin Lauw Samya jadi terperanjat. Karena selain mengetahui bagaimana
lihaynya telapak tangan itu, iapun tahu juga, bahwa
dalam ilmu silat pukulan dengan sisi telapak tangan itu
bisa dianggap lebih berbahaya daripada pukulan dengan
tinju. Karena jikalau bekerjanya tenaga pukulan dengan
tinju itu hanya terbatas pada bagian kulit dan daging
saja, adalah sabetan dengan sisi telapak tangan itu
mampu memukul dengan tandas sehingga mengenai
celah-celah tulang, apa pula kalau pukulan itu dijujukan
pada bagian iga atau pinggang seperti apa yang
dilakukan oleh Lie Poan Thian ketika itu.
Pada waktu Lauw Sam-ya melihat Lie Poan Thian
telah memukul seperti apa yang telah kita tuturkan tadi,
buru-buru ia mengegos sambil menendang dengan
sekuat-kuatnya tenaga, hingga ketika Poan Thian berkelit
untuk meluputkan diri daripada tendangan itu, Lauw
Sam-ya segera melakukan desakan kilat, untuk
membikin kalut pikirannya pemuda kita.
Tetapi sungguh tak dinyana, pada sebelum ia
berhasil dapat melanjutkan rencana penyerangannya,
tiba-tiba Poan Thian telah melompat keluar dari kalangan
136 pertempuran sambil berkata: "Hei! Orang she Lauw!
Setelah kau menyerang padaku dengan sepuaspuasnya, sekarang giliranku buat balas menyerang
kepadamu, dengan suatu cara yang menjadi
keistimewaan dalam ilmu kepandaianku. Sekarang akan
kutitik beratkan segala serangan-seranganku dengan
hanya mempergunakan ilmu tendangan saja. Hal ini,
perlu sekali aku beritahukan kepadamu dari di muka,
agar supaya kau tidak menjadi menyesal, apabila nanti
kau kena dirobohkan olehku. Dari itu, jagalah dirimu
dengan sebaik-baiknya. Sekarang akan kumulai dengan
siasat tendangan Tan-tui, atau menendang dengan
sebelah kaki, kemudian akan kususul dengan ilmu
tendangan lain yang kiranya tak perlu kusebutkan
namanya satu per satu. Hati-hatilah!"
Sambil berkata begitu, Poan Thian lalu mulai
mengajukan serentetan tendangan-tendangan yang
mula-mula dapat dihindarkan dengan baik oleh pihak
lawannya. Tetapi ketika jalannya pertempuran semakin
lama jadi semakin cepat, Lauw Sam-ya jadi terperanjat
dan berpikir di dalam hatinya: "Sungguh tidak kunyana,"
pikirnya, "bahwa omongan si budak ini ternyata bukan
gertakan belaka!" Maka kalau tadi ia berpendapat, bahwa ia tak akan
bisa dikalahkan mentah-mentah oleh pemuda itu, adalah
sekarang ia jadi keder dan timbul rasa kuatir, kalau-kalau
ia nanti dirobohkan oleh Lie Poan Thian di hadapan
orang-orang sebawahannya sendiri.
Dan jikalau kekuatiran itu sampai benar-benar
terbukti, cara bagaimanakah ia bisa ada muka akan
bertemu dengan handai taulan dan orang banyak,
sedangkan di hadapan mereka ia pernah bicara tekebur
mengenai pembelaan nama-nama baiknya perkumpulan
137 Sam-liong-hwee, yang pernah dikatakannya tak akan
"turun merek" sebegitu lama diketuai olehnya"
Disamping itu ia telah lupa, bahwa orang gagah di
dunia ini bukanlah hanya dia saja seorang.
Betul telah banyak ahli-ahli silat yang telah
berkunjung dan menjajal ilmu kepandaiannya Lauw Samya, tetapi mereka itu hampir rata-rata bukan ahli-ahli silat
jempol yang telah sengaja datang buat "minta pelajaran"
kepada ketua Sam-liong-hwee itu, tetapi semata-mata
hendak "menjilat" dan meminta tunjangannya yang
berupa uang atau makanan. Maka selama dilakukan
pertempuran itu, mereka lebih banyak mengalah
daripada melawan dengan sungguh-sungguh hati. Maka
Lauw Sam-ya yang menyangka hahwa ilmu kepandaian
silatnya sudah begitu tinggi sehingga tak dapat pula
dikalahkan orang, tentu saja jadi amat bangga dan
selanjutnya telah berani bicara terkebur seperti apa yang
telah kita sebutkan di atas.
Sementara Lie Poan Thian yang juga ingin
menunjukkan kepandaiannya kepada Lauw Sam-ya dan
gundal-gundalnya, bukan saja tak mau memberikan
kelonggaran lebih jauh kepada sang lawan itu, tetapi juga
segera menerjang dengan ilmu-ilmu tendangan lihay
yang telah membikin Lauw Sam-ya kelabakan, dan tak
tahu bagaimana selanjutnya ia harus menolong dirinya
sendiri. "Sekarang telah tibalah saatnya akan aku
merobohkan kepadamu!" kata Lie Poan Thian, sambil
mempergunakan ilmu tendangan Lian-hwan Sauw-tongtui yang sangat diandalkannya itu.
Hal mana, sudah barang tentu, telah membikin Lauw
Sam-ya semakin gugup dan tak sanggup pula buat
138 meladeni sang lawan yang masih muda dan jauh lebih
pandai daripada dirinya itu.
"Hei, anak muda! Tahan dulu!"
Ucapan itu baru saja diucapkan oleh Lauw Sam-ya,
ketika satu kakinya Lie Poan Thian telah menyamber
bagaikan kilat cepatnya ke arah dada sang lawan itu,
hingga biarpun ia berhasil dapat menghindarkan diri
daripada tendangan itu tetapi tidak urung ia mesti
menyerah juga dengan tendangan Poan Thian yang
kedua kalinya, yang ternyata tidak kalah cepatnya
dengan tendangan yang telah dilakukannya semula itu.
Maka dengan mengeluarkan suara teriakan ngeri,
Lauw Sam-ya segera kelihatan terpental dengan tulang
iga melesak dan jatuh pingsan di suatu tempat yang
terpisah kira-kira beberapa belas kaki jauhnya, dimana ia
mengeluarkan banyak darah dari hidung dan mulutnya.
Orang-orang sebawahan ketua Sam-liong-hwee yang
telah menyaksikan peristiwa itu dan menganggap ini
sebagai suatu hinaan besar bagi mereka dan
perkumpulan mereka, sudah tentu saja jadi amat gusar
dan lalu berniat akan mengeroyok pemuda kita dengan
pentungan dan barang tajam yang dicekal dalam tangan
mereka. Tetapi Lie Poan Thian yang memang tidak
bermaksud akan melukai setiap orang dengan membabibuta, buru-buru menuding kepada mereka sambil
berkata: "Sahabat-sahabat sabar dulu! Janganlah kamu
terburu napsu dan menerbitkan persetorian-persetorian
yang tidak bermanfaat bagi diri kamu sekalian. Aku Lie


Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kok Ciang," pemuda kita melanjutkan sambil
memperkenalkan dirinya sendiri, "bukanlah semata-mata
hendak menerbitkan persetorian-persetorian dengan
139 tidak ketentuan apa maksud atau alasannya. Dan jikalau
hari ini aku telah datang juga ke sini, itulah melulu akan
coba "berkenalan" dengan induk semangmu, yang amat
masyhur namanya sebagai seorang hartawan jahat,
pemeras, penyelundup dan "algojo" dari rakyat yang
lemah dan tidak berpengaruh.
"Bahkan belum berapa hari yang lalu, ia telah
mengatur suatu muslihat busuk untuk membinasakan
jiwanya komandan Teng Yong Kwie dari tangsi Tokpiauw-eng, yang telah dijebaknya dengan jalan
menawarkan seekor kuda yang katanya dapat berlari
seribu lie seharinya. Apakah kamu tahu akan adanya
muslihat yang keji ini?"
Semua orang tinggal bungkem dan tidak berani
bergerak barang setindak pun.
"Aku tidak memaksa akan kamu menerangkan,
apakah kamu tahu atau tidak tentang adanya urusan
yang sekeji ini?" Poan Thian melanjutkan. "Tetapi kamu yang terlahir
di Cee-lam, tentunya harus merasa malu dengan adanya
peristiwa busuk serupa itu di tempat kelahiran kamu
sendiri." Tetapi nasehat-nasehat itu bukan saja tak dapat
diterima oleh sekelompok manusia-manusia kasar yang
tak mengerti aturan itu, malah sebaliknya mereka jadi
lebih gusar dan lalu bersiap-siap akan mengeroyok
dengan tidak banyak bicara pula.
Sementara Lie Poan Thian yang melihat gelagat tidak
baik, segera hampiri Lauw Sam-ya yang belum sadar
dari pingsannya, yang lalu diangkatnya ke atas sambil
membentak pada orang-orang yang hendak menyerang
kepadanya itu. 140 "Hei, kamu orang-orang dogol!" katanya dengan
perasaan jengkel. "Kamu sekalian janganlah mengira,
bahwa karena kamu berjumlah banyak, maka kamu
hendak menggertak aku yang hanya bersendirian saja.
Aku bukan omong besar. Jikalau aku mau, aku bisa bikin
kamu sekalian binasa dengan hanya beberapa
tendangan saja. Atau, jikalau kamu tak mau percaya juga
omonganku, kamu boleh coba maju dengan serentak di
seketika ini juga, agar supaya aku bisa gunakan induk
semangmu sebagai senjata buat membinasakan kamu
sekalian! Siapakah di antara kamu sekalian yang ingin
terlatih dahulu merasai dikemplang dengan induk
semangmu yang sekarang menjadi senjataku ini?"
Sekelompok manusia-manusia kasar itu jadi terkejut
dan tinggal terbengong bagaikan mendadak kesima oleh
perbuatannya pemuda kita itu.
Dan selagi Poan Thian hendak berlalu dari situ
sambil menyeret Lauw Sam-ya yang pingsan itu,
mendadak seorang wakilnya Teng Yong Kwie telah
sampai dengan membawa sepasukan orang-orang polisi,
hingga sesudah Poan Thian memberitahukan peristiwa
apa yang telah terjadi tadi, maka wakil komandan itu lalu
memerintahkan orang-orang polisi sebawahannya buat
menangkap semua orang-orangnya Lauw Sam-ya yang
berada di situ, yang lalu digiring ke kantor polisi buat
diperiksa perkaranya terlebih jauh.
Sementara Poan Thian sendiri setelah menyerahkan
Lauw Sam-ya di bawah perlindungannya wakil komandan
itu, buru-buru kembali ke Hu-tong-toa-kee buat
menyampaikan kabar girang ini pada Teng Yong Kwie,
yang menantikan padanya di rumah Sin-kun Bu-tek Louw
Cu Leng dengan hati yang tidak sabaran. Tatkala Yong
Kwie mendengar kabar tentang hasil pekerjaannya
141 pemuda kita, sudah tentu saja ia jadi sangat berterima
kasih, dan semenjak itu perkumpulan Sam-liong-hwee
pun telah dibubarkan oleh para anggautanya, berhubung
pemimpin-pemimpinnya satu per satu telah ditangkap
dan dijatuhkan hukuman atau dibuang ke tempat-tempat
lain. Demikianlah salah sebuah lelakon menarik yang
telah terjadi dalam riwayat hidupnya Sin-tui Lie Poan
Thian, yang sehingga di jaman ini masih diingat dan
dijadikan orang bahan untuk beromong-omongan di
waktu senggang. "Y" Beberapa tahun telah lewat dengan tidak terasa pula.
Tatkala Tek Hoat suami-isteri dengan berturut-turut
telah kembali ke alam baka, maka perusahaan pabrik
Eng-tiang-chun Mo-hong pun lalu dilanjutkan oleh Lie
Poan Thian yang menjadi ahliwaris satu-satunya.
Tetapi berhubung pada tahun itu telah terbit bahaya
banjir dahsyat yang telah menggenang sebagian besar
daerah Shoa-tang dan menerbitkan kerugian yang bukan
kecil bagi penduduk negeri, maka Poan Thian yang
pabriknya telah termusnah seluruhnya oleh air dan tak
dapat bekerja, apa boleh buat segera pindah ke Tiongciu (sekarang Tiong-cia, dalam propinsi Ho-lam) untuk
menumpang tinggal pada suami kakak perempuannya di
sana, yang membuka kedai garam dan memperoleh
untung besar dalam perusahaannya itu.
Begitulah dengan membawa dua buah pauw-hok dan
"harta bendanya" yang berupa barang-barang pemberian
dari Kak Seng Siang-jin dari kelenteng Liong-tam-sie,
142 Poan Thian telah menuju ke propinsi Ho-lam dengan
menyewa sebuah kereta. Tetapi karena rodanya kereta
itu telah patah di tengah jalan, maka apa boleh buat
Poan Thian telah membayar sewa kereta tersebut
sampai di situ saja, sedangkan perjalanan selanjutnya
terpaksa telah dilanjutkannya dengan berjalan kaki.
Ketika itu justeru musim hujan, hingga ini membikin
Poan Thian mengalami kesukaran yang tidak sedikit
dalam perjalanannya. Beberapa buah kereta yang kebetulan diketemukannya melawat dalam perjalanannya, ia telah
berhentikan buat coba menumpang, tetapi semua kereta
itu tak ada yang kosong, hingga percobaannya itu sia-sia
belaka. Oleh sebab itu, mau tak mau ia mesti
melanjutkan perjalanan itu dengan berjalan kaki.
Satu lie, dua lie, dan begitu selanjutnya. Dan ketika
matahari telah menyelam ke barat, ia telah sampai di
sebuah desa di perbatasan propinsi Shoa-tang Ho-lam,
dimana ia mendapat keterangan dari salah seorang
penduduk di situ, bahwa di sebelah depan perjalanannya
ada dua buah rumah penginapan yang baru saja dibuka
orang dalam daerah itu, oleh karena itu, buru-buru Poan
Thian pergi mencari rumah penginapan tersebut untuk
menumpang bermalam. Tetapi, apa celaka, rumah
penginapan itu telah penuh dan tak dapat pula menerima
tetamu, walaupun hanya untuk seorang saja.
Kebingungan hati Lie Poan Thian jadi semakin
memuncak, ketika berkunjung dari satu ke lain tempat
rumah untuk menumpang bermalam, tetapi di sana-sini ia
telah ditolak dan belum juga bisa mengaso meski hari
telah terganti dengan malam.
Kira-kira hampir tengah malam, hujan lebat telah
Sumpah Palapa 14 Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen Hantu Wanita Berambut Putih 3

Cari Blog Ini