Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek Bagian 3
143 turun ke muka bumi, hingga Poan Thian yang melihat
ada sebuah gardu di muka sebuah lapangan yang biasa
dipergunakan orang menjemur padi atau palawija, buruburu ia berlindung di tempat itu sementara menantikan
berhentinya hujan. Di situ Poan Thian menantikan sampai lewat tengah
malam, tetapi sang hujan yang jail belum juga mau
berhenti, hingga pemuda kita yang memang telah
merasa sangat lelah dan mengantuk, pelahan-lahan
telah tertidur sambil bersandar pada dua pauw-hok dan
sebuah bungkusan yang dibawanya itu.
Ketika mendusin di waktu fajar, Poan Thian rasakan
badannya demam dan kepalanya berat bagaikan
tertindas oleh sebuah besi. Lebih jauh karena
penglihatannya berkunang-kunang, maka apa boleh buat
ia telah pejamkan kembali matanya, agar supaya dapat
tidur pula untuk meringankan sedikit rasa sakitnya. Tetapi
tidak kira selagi enak menggeros di situ, mendadak ia
telah dibikin kaget oleh suara seorang yang membentak:
"Kurang ajar, sedangkan kita telah pada bangun tidur
untuk bekerja, adalah kau di sini yang masih saja enakenakan tidur menggeros! Apakah tidak malu kau ditonton
orang-orang yang berjalan mondar-mandir di sini" Ayoh,
lekas bangun, kalau kau tak mau lekas bangun, akan
kuseret kau ke jalan raya!"
Poan Thian bukannya tidak mendengar atas
bentakan itu, hanya karena badannya dirasakan amat
tidak enak, maka terpaksa tinggal memejamkan saja
matanya dengan tak mengucapkan barang sepatah
katapun. Maka orang itu yang melihat Poan Thian tidak
menghiraukan kepadanya, dengan suara yang sengit
lantas membentak: "Hei, orang pekak! Apakah kau tidak
144 mendengar apa kataku tadi?"
Poan Thian lalu mencoba buat memaksakan diri akan
memhuka matanya, tetapi buru-buru ia memejamkan
pula matanya, karena silau melihat sinar matahari yang
telah mulai naik tinggi. "Tuan," katanya, "oleh karena aku sedang menderita
sakit, maka izinkanlah aku berdiam di sini buat beberapa
saat pula lamanya. Jikalau rasa sakitku telah menjadi
kurangan, sudah tentu akan kulekas berlalu dari sini."
"Kau seorang pemalas sungguh banyak saja akalmu
yang tidak-tidak!" Kata suara orang itu sambil berlalu
dengan cepat. "Lihatlah bagaimana akan kubikin kau
merasa kapok akan menjadi seorang pemalas pula!"
Tetapi Lie Poan Thian yang sama sekali tak pernah
menyangka bakal mengalami suatu peristiwa yang tidak
enak, tinggal tetap memejamkan matanya sambil
menahan rasa sakitnya, yang sekarang seakan-akan
berkumpul menjadi satu di bagian kepalanya.
Tidak antara lama, ia mendengar suara tindakan kaki
yang agak tergesa-gesa. Lalu ia berniat akan membuka
matanya buat melihat. Tetapi, ketika baru saja hendak membuka matanya,
mendadak Poan Thian merasakan dirinya diguyuri air
dingin dengan sekonyong-konyong, yang kemudian
dibarengi dengan suara jengekan dan tertawa tergelakgelak.
"Nah, mampus kau!" kata orang yang tadi pula.
"Apakah kau sekarang belum mau bangun juga?"
Lie Poan Thian jadi gelagapan.
Para pembaca tentu bisa bayangkan sendiri,
alangkah tidak enaknya jikalau kita sedang demam dan
145 sakit kepala mendadak diguyuri air begitu rupa.
Maka biarpun Poan Thian dalam keadaan sakit, tidak
urung ia menjadi gusar juga dan lalu mendelikkan
matanya sambil mendamprat: "Hei, jahaman! Sungguh
amat keterlaluan perbuatanmu ini! Apakah kau tidak
mendengar apa kataku tadi, bahwa karena sakit, aku
menumpang tinggal di sini berapa saat lagi lamanya?"
"Jangan banyak bacot!"
Sambil berkata begitu, kembali orang itu telah
mengguyuri air pada diri pemuda kita yang sedang sakit
itu. Oleh karena melihat bahwa omongan yang baik dan
mengalah tidak membikin orang itu mau mengerti tentang
penderitaan seseorang yang sedang sakit, sudah tentu
saja Poan Thian jadi habis kesabaran dan segera
melompat bangun dengan badan gemetaran bahna
gusar dan deman. Seperti juga seekor singa yang sedang tidur dan
mendadak dibanguni secara kasar, ia lantas cekal orang
itu sambil membentak: "Bangsat!"
Karena kuatnya cekalan Poan Thian itu, maka orang
itupun tak dapat bergerak dan meringis-ringis karena
kesakitan. "Engkau ini ternyata ada seorang yang tidak
mempunyai liang-sim!" kata Poan Thian dengan suara
gemetar. "Maka jikalau kata-kata yang baik tidak bikin
seorang yang baik bisa dimengerti kebaikannya, kukira
tidak ada jalan lain yang lebih tegas daripada
memberikan kau sedikit pelajaran yang singkat tapi
nyata!" Sambil berkata begitu, Poan Thian lalu perkuat
146 cekalannya, sehingga selain orang itu teraduh-aduh
karena kesakitan, celananyapun bagian muka dan
belakangnya segera tampak basah dengan warna
kekuning-kuningan yang amat tidak sedap baunya!
"Amp.....!" Kata-kata "Ampun" belum lagi dapat diucapkan
sebagaimana mestinya, ketika sebelah tangannya
pemuda kita telah menyambar dan memberikan dia dua
kali tempilingan yang nyaring dan membikin dia jatuh
pingsan di seketika itu juga.
Sedangkan Poan Thian sendiri yang dengan
sekonyong-konyong telah merasakan sekujur badannya
amat dingin dan lelah, di lain saat iapun telah jatuh
pingsan juga dengan tak dapat dicegah pula.
Tahu-tahu ketika coba membuka matanya, barulah ia
mendusin, bahwa ia telah berbaring di sebuah ranjang di
dalam sebuah kamar yang ia tak tahu berada di mana.
Tidak berapa jauh dari muka ranjang itu, tampak
seorang muda yang ia tidak kenal dan rupanya sedang
menunggui padanya sambil duduk di atas sebuah kursi.
Dan ketika melihat Poan Thian tersadar dari pingsannya,
ia lantas berbangkit dan maju mendekati sambil
tersenyum dan berkata: "Tuan, terlebih dahulu aku
mengucapkan beribu maaf atas kekurangajaran
mandorku yang telah mengganggu selagi kau tidur
nyenyak tadi." Poan Thian jadi terbengong sejurus, karena ia
sesungguhnya tak mengetahui bagaimana duduknya
perkara yang benar. Dari itu sudah tentu saja ia lantas
menanyakan: "Tuan, mohon tanya, aku ini ada dimana"
Kau siapa, dan mengapa aku berada di sini?"
147 "Aku yang rendah adalah Chung-cu dari desa ini,"
sahut si pemuda. "Namaku Tan Tong Goan. Barusan aku
mendengar ribut-ribut di muka gardu, maka aku telah
keluar melihat dan ternyata kau telah jatuh pingsan
disamping mandorku, yang juga jatuh pingsan dengan
mulutnya mengeluarkan banyak darah. Dari keterangan
yang telah kuperoleh dari beberapa sebawahanku, aku
telah diberitahukan, cara bagaimana kau telah
menempiling mandorku itu, yang ternyata telah berlaku
amat kurang ajar kepadamu, yang justeru ini berada
dalam keadaan sakit. "Aku di sini amat gemar bergaul dengan orang-orang
gagah atau ahli-ahli silat dari tempat-tempat lain. Oleh
karena mendapat keterangan dari orang-orang
sebawahanku tadi, maka aku lantas ketahui, bahwa kau
ini tentu mengerti ilmu silat. Dari itu, aku telah perintah
orang-orangku buat bawa kau ke sini, untuk dirawat
penyakitmu dengan sebaik-baiknya. Namun belum tahu
tuan ini berasal dari mana" She dan nama apa?"
Dengan suara gemetaran Poan Thian menjawab:
"Aku she Lie bernama Kok Ciang, asal orang dari kota
Cee-lam dalam propinsi Shoa-tang."
Chung-cu atau tuan-tanah itu jadi kelihatan terkejut,
waktu mendengar nama yang disebutkan oleh pemuda
kita itu. "Apakah tuan ini bukan Lie Kok Ciang yang terkenal
dengan sebutan Sin-tui Lie" Yang dahulu pernah
menjadi murid Kak Seng Siang-jin Lo-siansu dari
kelenteng Liong-tam-sie, pernah mengalahkan Sin-kunBu-tek Louw Cu Leng dan mengobrak-abrik sarangnya
Siauw-pa-ong Lauw Sam-ya dari perkumpulan Samliong-hwee?"
148 "Ya, itulah benar aku," sahut Lie Poan Thian.
Dengan diperolehnya keterangan-keterangan itu, Tan
Tong Goan baru tahu, dengan siapa ia sekarang sedang
berhadapan, oleh karena itu, buru-buru ia membungkukkan badan sambil memberi hormat dan
berkata: "Lie Lauw-hia, nyatalah kau ini ada orang yang
sudah sekian lamanya aku harapkan buat bisa
berkenalan, yang sehingga hari ini dengan secara yang
amat tidak terduga, telah dapat bertemu di sini di
tempatku sendiri. Penyakit Lauw-hia ini kelihatan agak
berat juga, maka aku pikir baik kau beristirahat dahulu di
sini untuk beberapa hari lamanya."
Poan Thian mengucap banyak terima kasih atas
kebaikannya sang Chung-cu itu.
"Lebih jauh," kata Tan Tong Goan pula, "aku akan
merasa girang sekali apabila Lauw-hia sudi menerangkan sebab musabab sehingga kau bisa berada
di sini. Jikalau ternyata ada apa-apa yang aku bisa
menolong, aku tentu akan berdaya sedapat mungkin
guna menolong kepadamu."
Mendengar omongan itu, Poan Thian lalu tuturkan
segala sesuatu yang telah terjadi di kota kelahirannya,
tetapi sama sekali tidak diterangkan olehnya, bahwa ia
hendak minta menumpang tinggal kepada suami kakak
perempuannya di Ho-lam. Oleh karena mendengar keterangan begitu, maka
Tong Goan lalu memajukan suatu usul, supaya Poan
Thian suka berdiam saja di rumahnya, untuk mengajar
ilmu silat kepadanya dan orang-orang sebawahannya.
"Aku di sini betul mempunyai dua orang kauw-su dan
beberapa orang ahli silat lain yang kerap menemani kami
berlatih," kata Chung-cu, "tetapi kedua orang itu kukira
149 masih belum cukup untuk dapat melatih dengan sebaikbaiknya pada orang-orangku, yang sama sekali
berjumlah puluhan orang banyaknya. Maka jikalau Lauwhia sudi mengabulkan permintaanku, bukan saja aku dan
orang-orangku akan merasa sangat berterima kasih,
bahkan desa inipun akan merasa bangga dapat
memberikan kau tempat, sedangkan para penduduknya
boleh belajar ilmu silat di bawah pimpinan seorang ahli
silat kenamaan seperti kau ini. Hanya belum tahu,
apakah kau sudi mengabulkan atas permintaanku ini?"
Poan Thian yang melihat Tong Goan orangnya begitu
baik dan sopan-santun, sudah tentu saja tidak berani
menolak permintaan itu. Begitulah setelah menumpang tinggal beberapa hari
lamanya di rumah tuan-tanah yang baik hati itu, barulah
Poan Thian merasakan penyakitnya sedikit lebih baik,
walaupun kewarasannya belum pulih sama sekali.
Pada suatu hari ketika Tong Goan mengajak ia
mengobrol tentang ilmu silat di ruangan pertengahan,
mendadak seorang yang bertubuh tinggi besar kelihatan
berjalan masuk dengan tindakan kaki yang berat dan
bersuara. "Inilah ada salah seorang kauw-su kami yang
bernama Liu Tay Hong," Tong Goan perkenalkan Poan
Thian pada orang yang baru datang itu.
Pemuda kita lekas berbangkit, memberi hormat dan
persilahkan duduk guru silat itu.
"Saudara ini orang dari mana" She dan nama apa?"
t.anya Liu Tay Hong sambil mengambil tempat duduk di
sebuah kursi di dampingnya si tuan-tanah.
"Saudara ini bukan lain daripada orang yang menjadi
150 buah bibir kita sekalian," Tong Goan memotong
pembicaraan orang sambil tersenyum dan mengacungkan ibu-jarinya. "Ia inilah Lie Kok Ciang dari
Cee-lam, Sin-tui Lie, yang namanya tak asing pula dalam
kalangan Rimba Persilatan!"
Tay Hong tampak kurang senang mendengar Tong
Goan begitu memuji tetamu yang baru ia kenal itu.
"Aku dengar banyak orang kerap mengatakan,"
katanya. "bahwa kelenteng Liong-sam-sie itu ada sebuah
perguruan ilmu silat yang selalu mengeluarkan muridmurid yang jempolan. Aku di luaran telah berkeliaran
mencari murid-murid dari kelenteng tersebut, untuk coba
meminta pengunjukan, tetapi sampai sebegitu jauh,
belum juga dapat diketemukan barang seorang pun.
Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sekarang oleh sebab mengetahui bahwa Lie Lauw-hia ini
adalah salah seorang murid dari Liong-tam-sie, maka aku
akan merasa berterima kasih, apabila kau sudi memberi
pengunjukan kepadaku. Tetapi belum tahu, apakah
Lauw-hia sudi mengabulkan permintaanku ini?"
Ucapan ini bukan saja telah membikin Poan Thian
jadi tidak enak, malah Tong Goan sendiripun jadi turut
kurang senang dan mual mendengar omongan yang
agak menantang itu. Akan tetapi, buat membikin keadaan
tidak sampai menjadi tegang, Tong Goan lalu pura-pura
tersenyum dan berkata: "Oleh karena kewarasan Lie
Lauw-hia masih belum pulih betul, maka baiklah hal ini
dibicarakan pula nanti saja di lain waktu."
Tetapi Liu Tay Hong yang memangnya bersikap
sombong, bukan saja tidak mau mengerti dengan alasan
itu, malah sebaliknya lantas bersenyum sindir dan
berkata: "Mula, kukira Sin-tui Lie itu ada seorang yang
berkepala tiga dengan berlengan enam, tidak tahunya
hanya seorang biasa saja yang bertubuh begini kecil dan
151 hampir tidak ada "potongan" untuk dinamakan seorang
gagah. Maka dengan menilik pada keadaan badan yang
begini lemah dan kecil, kukira tidak perlu sampai aku
turun tangan sendiri, karena salah seorang muridku pun
akan mampu merobohkannya dengan hanya beberapa
gebrakan!" Kemudian dengan melancangi Tong Goan yang
menjadi induk semangnya Tay Hong lalu panggil seorang
muridnya yang bernama See Tek Hun.
"Orang ini bukan lain daripada apa yang khalayak
ramai kenal sebagai Sin-tui-Lie," kata si kauw-su kepada
muridnya. "Apakah kiranya kau berani, apabila aku suruh
kau bertempur dengannya?"
Tong Goan jadi kemekmek. Poan Thian mendongkol,
tetapi tidak mengatakan apa-apa selainnya bersenyum
sedikit. Sedangkan See Tek Hun yang dianjurkan buat
diadu bertempur dengan Lie Poan Thian, tampaknya
ragu-ragu dan berpaling pada Tay Hong seperti juga
orang yang hendak bertanya: "Sungguh aneh benar
perintahmu ini! Dialah seorang yang kewarasan
badannya belum pulih betul cara bagaimanakah aku bisa
melawan seorang yang keadaannya masih separuh
sakit?" "Cobalah katakan olehmu!" kata Tay Hong sambil
mendelikan matanya. "Apakah kamu berani melawan
bertempur orang itu?" (Sambil menunjuk pada Lie Poan
Thian). "Suhu....." Tetapi Tek Hun tidak berani melanjutkan
bicaranya. "Aku inilah gurumu," kata Tay Hong sambil menepuknepuk dadanya, "cara bagaimanakah kau berani
membantah kehendakku?"
152 "Aku bukan membantah," kata See Tek Hun, "tetapi
aku malu akan bertempur dengan seorang yang aku tahu
keadaannya masih separuh sakit!"
"Kau jangan omong kosong!" kata Liu Tay Hong pula.
"Sekarang ia sudah separuh sembuh dari penyakitnya, ini
berarti ia sudah mampu akan bertempur sebagaimana
mestinya, sedangkan di waktu sakit ia masih mampu
tempiling si Ah Jie sehingga jatuh pingsan. Oleh sebab
itu, kau ada omongan apa lagi untuk mengeloni dia ini?"
"Aku harap Liu Su-poo supaya suka bersabar sedikit,"
kata Tan Tong Goan yang sekarang baru mendusin, apa
sebab Tay Hong jadi begitu gusar pada Lie Poan Thian.
Itulah karena Tay Hong merasa sangat kurang
senang dan terhina, karena Ah Jie, mandor Tong Goan
dan salah seorang muridnya, telah dihajar oleh Lie Poan
Thian pada beberapa hari yang lampau!
"Dari hal Ah Jie telah diberikan pengajaran oleh Lie
Lauw-hia," kata Tong Goan pula, "itulah bukan karena
semata-mata dilakukan dengan secara membuta-tuli. Ini
aku tahu betul dan menyaksikan dengan mata kepalaku
sendiri. Ah Jie telah berlaku keterlaluan, hingga kalau
aku tidak pandang ia sudah bekerja sedari jaman
ayahnya masih hidup, aku tentu sudah lepas dia dari
pekerjaannya!" Kata suatu peribahasa: semut yang kecil kalau
sengaja dipijak, akhirnya tentulah akan menggigit juga,
apalagi manusia yang mempunyai kecerdasan dan
pandai timbang-menimbang perkara.
Demikian juga dengan halnya Lie Poan Thian, yang
telah dihinakan begitu rupa oleh Tay Hong yang
sombong itu. 153 Biarpun dilahir ia kelihatan tenang dan menerima saja
jengekan-jengekan itu, tetapi hatinya semakin lama jadi
semakin panas. Maka setelah tak tertahan pula rasa
panas hatinya, Poan Thian lalu berbangkit dari tempat
duduknya dengan paras muka yang menandakan gusar.
Mula-mula ia meminta maaf pada Tan Tong Goan
yang menjadi tuan rumahnya, kepada siapa ia
menyatakan penyesalannya akan membikin ribut di
hadapannya, seolah-olah tak ada tempat lain untuk ia
berbuat begitu. Kemudian ia lambai-lambaikan tangannya pada Liu Tay Hong sambil berkata: "Liu Supoo! Perbuatanmu ini sebenarnya aku boleh lewatkan
dengan begitu saja. Tetapi karena mengingat bahwa
cara mengalah sebagai aku ini bisa berbalik dihinakan
orang sampai begitu rupa, maka sekarang kukira sudah
bukan waktunya pula akan selalu tinggal mengalah. Dari
itu sekarang aku persilahkan salah seorang di antara
muridmu akan coba meladeni aku yang separuh sakit ini
dalam pertempuran satu lawan satu. Tetapi jikalau kau
masih ragu-ragu atau takut, boleh juga kamu keduaduanya maju dengan berbareng, agar supaya kamu
berdua mengetahui, bahwa gelaran SIN-TUI LIE itu
bukanlah sebuah gelaran kosong belaka! Ayoh, kamu
boleh maju!" Sementara Liu Tay Hong yang sekarang baru melihat
sikapnya Lie Poan Thian yang begitu garang, buru-buru
dorongkan punggung See Tek Hun sambil berbisik:
"Ayoh segeralah serang padanya dengan tak usah
banyak bicara pula! Jikalau kau kalah, aku nanti labrak
padanya sehingga ia mampus!"
See Tek Hun yang mendapat anjuran begitu, dengan
tidak banyak bicara pula segera menerjang dengan ilmu
pukulan Hek-houw-touw-sim (harimau hitam 154 menyengkeram hati) pada Lie Poan Thian, siapa
sebegitu lekas menghindarkan diri daripada jotosan yang
menyambar ke ulu hatinya, lalu ia pergunakan kakinya
menendang sambil membentak: "Pergi!"
Dan berbareng dengan habisnya seruan itu, See Tek
Hun telah mencelat tanpa ia mengerti karena tak dapat ia
melihat dengan jalan apa Poan Thian telah
"melemparkan" padanya dan jatuh tepat di hadapannya
Liu Tay Hong dengan kepala bonjok!
"Suhu, tolong!" teriaknya.
Dengan hati sangat mendongkol Tay Hong lalu
banguni muridnya. "Sekarang adalah giliran gurunya yang akan kuajar
kenal dengan tendangan-tendanganku!" kata Lie Poan
Thian. "Tetapi karena mengingat bahwa Liu Su-poo ini
bukan seorang yang sudah termasuk pada golongan
ahli-ahli silat jempolan seperti aku sendiri, maka aku suka
memberikan kelonggaran untuk bertempur dengan
memakai beberapa syarat, yakni, yang pertama, dalam
pertempuran ini aku tak akan menggunakan tinju, dan
jikalau aku sampai menggunakan itu, karena terpaksa
atau tidak, bolehlah terhitung aku kalah berkelahi dengan
Liu Su-poo; yang kedua, dengan segala rela hati aku
suka terima kalah daripadanya, apabila dia bisa
meluputkan diri dari tiga kali tendanganku. Jikalau ia
mampu kalahkan aku pada sebelum aku menendang
sehingga tiga kali, aku rela akan membuang gelaranku
"Sin-tui" dan selanjutnya akan menjadi hweeshio dan tak
campur pula segala urusan di kalangan Kang-ouw. Itulah
syarat-syaratku, yang aku minta supaya Tan Chung-cu
suka berlaku sebagai saksi dalam urusan ini!"
Tetapi pada sebelum Tong Goan membuka mulut
155 buat menyanggupi, Liu Tay Hong telah menuding pada
Lie Poan Thian sambil membentak: "Orang she Lie,
janganlah kau kira bahwa orang gagah di kolong langit ini
hanya kau seorang saja! Sekarang jagalah dirimu sebaikbaiknya!"
Dan berbareng dengan ucapan "Aku mendatangi!"
kauw-su itu lalu menerjang pada Lie Poan Thian dengan
menggunakan siasat Twe-san-jip-hay (mendorong
gunung masuk ke lautan), hingga Poan Thian yang
memang telah menaruh perjanjian tak akan menggunakan tinju, dengan sebat mengegos sambil
menendang dan berseruh: "Satu!" suatu tanda bahwa
itulah ada tendangan pertama yang ia telah lakukan.
Liu Tay Hong yang mengerti bahwa tendangan itu
tidak boleh dibuat gegabah, buru-buru ia berjongkok buat
meluputkan dirinya. Dan tatkala terluput dari tendangan
tersebut, Tay Hong segera maju merangsek sambil
menyerang dengan ilmu Lian-hwan Twan-sim-kian, yang
dijujukan pada ulu-hati Lie Poan Thian, hingga pemuda
kita yang kenal baik bahaya pukulan-pukulan yang akan
datang dengan berturut-turut itu, dengan secara gesit ia
telah meluputkan dirinya dengan jalan mengegos ke kiri
atau ke kanan, kemudian sambil tersenyum ia berkata:
"Oh, oh, nyatalah kau mengerti juga ilmu pukulan Lianhwan Coan-sim-tui! Sekarang cobalah kau boleh jaga
tendanganku!" "Dua!" ia membentak, sambil menendang dengan
gerakan secepat kilat. Dengan ini, Tay Hong yang merasa lebih selamat
akan membuang diri untuk menghindarkan tendangan
itu, buru-buru ia mundur dengan maksud hendak
mempertahankan diri dengan tipu Yauw-cu-hwan-sin,
atau alap-alap membalikkan badan. Tetapi, apa celaka,
156 pada sebelum ia keburu berbuat begitu, Poan Thian telah
terdengar berseruh: "Tiga!" Dan berbareng dengan
terputusnya seruan itu, mendadak Tay Hong merasakan
dunia ini bergoncang dengan amat hebatnya, hingga
dengan badan terputar di udara ia telah terpental dan
jatuh menimpah sebuah pot bunga yang besar, yang
mana telah membuat pot tersebut hancur berarakan di
seketika itu juga! Sementara See Tek Hun yang melihat gurunya pun
telah kena dipecundangi oleh Lie Poan Thian, segera
berlari-lari buat coba membanguni, tetapi dengan hati
mendongkol Tay Hong telah menolaknya sambil berkata:
"Tidak apa-apa, tidak apa-apa!" Kemudian, dengan sorot
mata yang menyala-nyala, ia menuding pada pemuda
kita sambil berkata: "Lie Kok Ciang! Hari ini aku mengaku
kalah kepadamu, tetapi berselang beberapa tahun lagi
akan kucari kau buat menetapkan siapa antara kita yang
sesungguhnya lebih unggul! Selamat tinggal!" ia
menambahkan. Begitulah dengan tidak memohon diri lagi pada Tong
Goan dan kawan-kawan yang lainnya, Tay Hong dan
See Tek Hun telah angkat kaki dari gedung tuan-tanah
itu, untuk mencari guru dan meyakinkan pula ilmu silat
guna membalas dendam kepada Lie Poan Thian di masa
yang akan datang. Dan tatkala berselang beberapa hari lamanya
semenjak terjadinya perselisihan antara Liu Tay Hong
dan Lie Poan Thian itu, mendadak salah seorang
muridnya Liu Tay Hong yang bernama Lian Cong
kelihatan muncul dan menghadap pada Tan Tong Goan.
Maka beberapa orang yang tidak suka pada Liu Tay
Hong dan bercuriga akan kauw-su pecundang itu
menjalankan muslihat busuk dengan menggunakan
157 tenaga salah seorang muridnya, dengan diam-diam lalu
memberitahukan kepada Lie Poan Thian agar supaya ia
mengintai gerak-geriknya Lian Cong ini. Dan jikalau dia
benar membawa titah-titah rahasia dari orang yang
menjadi gurunya, mereka menyatakan kesediaannya
untuk menangkap pada Lian Cong dan menyerahkannya
pada pembesar yang berwajib.
Tetapi Poan Thian yang menganggap itu sebagai
suatu urusan remeh, lalu pura-pura mengucap terima
kasih dan berjanji, yang ia akan berikhtiar untuk
menghindarkan segala bahaya yang akan datang itu.
Tidak tahunya duduknya urusan yang benar justeru
bertentangan jauh daripada apa yang semula disangka
orang. Demikianlah singkatnya maksud kedatangan Lian
Cong pada tuan-tanah itu.
Ternyata, ketika Tay Hong berselisih dengan Poan
Thian, Lian Cong justeru berada di desa kelahirannya,
tengah mengurus penguburan jenazah ibunya.
Oleh karena tingkah lakunya Lian Cong tidak
mengecewakan, maka Tong Goan menaruh simpati dan
memberikan ia banyak uang untuk merawat ibunya, dari
sakit sehingga meninggalnya serta dikubur menurut
kebiasaan yang lazim dilakukan orang.
Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kepada kauw-su Liu Tay Hong, Lian Cong telah
belajar ilmu silat tidak kurang dari dua-tiga tahun
lamanya, maka dalam pergaulan sekian lamanya itu, Lian
Cong telah ketahui, bahwa maksudnya Tay Hong
mengajar ilmu silat di rumah tuan-tanah itu, bukanlah
didasarkan atas mencari keuntungan, tetapi ada pula
maksud lain yang tersembunyi dan dikandung di dalam
hatinya. 158 Karena selain ingin mendapatkan adik perempuan
Tong Goan yang bernama Giok Hwa, iapun inginkan juga
harta bendanya Tong Goan yang berjumlah bukan
sedikit. Tetapi karena seorang diri tak cukup untuk dapat
melaksanakan pekerjaan besar itu, maka ia telah
berkomplot dengan seorang kepala kampak bernama
Khong Thian Liong di pegunungan Kee-jiauw-san.
Liu Tay Hong telah beberapa kali berusaha untuk
bergerak dengan menggunakan Ah Jie sebagai
pembantu yang bekerja di dalam, tetapi pekerjaan itu
selalu kandas saja, karena dirintangi oleh satu dan lain
sebab, hingga waktu Poan Thian keburu datang ke desa
itu. Tay Hong jadi cemburu dan sedapat mungkin
berdaya upaya, agar supaya pemuda kita bisa
disingkirkan atau, kalau perlu, dibinasakan jiwanya.
Tetapi syukur juga pada sebelum terjadi hal-hal lain
yang lebih hebat, Tay Hong tetah keburu dipecundangi
dan terpaksa angkat kaki dari desa itu, walaupun rasa
penasarannya hanya Allah saja yang tahu disamping
dirinya sendiri. "Maka setelah aku mengajukan laporan ini," Lian
Cong akhirkan penuturannya, "aku banyak harap supaya
Chungcu-ya jangan membicarakan lagi urusan ini pada
orang lain. Karena jikalau Liu Suhu yang sekarang sudah
berada di luaran mendapat tahu tentang kebocoran
rahasianya ini, di sembarang waktu ia bisa mencari dan
membunuh aku untuk melampiaskan rasa penasarannya." Tong Goan berjanji akan tutup mulut guna
kebaikannya orang sebawahan itu. Maka sejak hari itu
dan selanjutnya, ia lantas perintah Lian Cong akan
berguru pada Lie Poan Thian, yang terpaksa mesti
mewakili pekerjaan mengajar silat yang telah ditinggalkan
159 oleh guru silat Liu Tay Hong itu.
"Y" Pada suatu hari untuk melewati tempo yang terluang,
Lie Poan Thian berjalan-jalan ke pekan dengan hanya
seorang diri saja. Dalam pada itu Poan Thian yang sedang enak
memandang kian-kemari, tiba-tiba matanya jadi tertarik
oleh sekelompokan orang yang sedang mengobrol
dengan amat asyiknya. "Badannya binatang itu," kata salah seorang sambil
memperumpamakan binatang itu dengan seorang
kawannya, "kira-kira hampir bersamaan tingginya dengan
badanmu ini, hanya dia itu lebih besar dan kuat. Bulunya
putih bagaikan kapas, hingga lantaran itu dapat dilihat
orang biarpun ia bergerak di tempat gelap. Banyak orang
yang merasa tertarik dengan hadiah besar yang
diberikan Na Thian Lun, telah coba tempur binatang itu
untuk menghindarkan puterinya hartawan itu akan
menjadi korban, tetapi semua telah gagal dan kena
dilukai atau dibinasakan jiwanya oleh binatang aneh itu,
yang ternyata pandai memainkan pedang, seperti juga
kita manusia yang biasa memainkan senjata itu."
Sementara salah seorang antaranya yang mendengar omongan itu, sambil tertawa lalu berkata:
"Ah, apakah kau ini sudah mabuk, hingga mau main
percaya saja ada kera putih yang dapat bertempur
dengan menggunakan pedang" Di jaman dahulu
memang benar ada dongeng-dongeng yang mengatakan
begitu, tetapi di jaman kita ini yang termasuk jaman baru,
dimanalah ada perkara-perkara mustahil serupa itu?"
160 "Hal ini kau jangan tidak percaya," menyambungi
seorang yang lainnya pula, "karena dia ini memang
pernah juga satu kali ikut mengepung binatang itu serta
melihat gerak-geriknya binatang gaib itu dengan mata
kepalanya sendiri. Selain dari itu, kau harus jangan lupa,
bahwa di kolong langit ini banyak sekali keanehankeanehan yang sukar dapat dialami oleh setiap orang."
Tetapi orang yang menimbrung itu tinggal tetap tak
mau percaya dengan omongan itu, hingga di antara
sekelompokan orang itu lalu timbul dua macam pendapat
yang menyatakan pro dan kontra dengan adanya lelakon
kera putih yang bisa bermain pedang bagaikan manusia
itu. Oleh karena tertarik dengan pembicaraan mereka,
maka Poan Thian pun lalu ikut menimbrung, dan coba
menanyakan, hal apakah yang menjadi pokok dari
perdebatan mereka itu. Dari salah seorang yang berkumpul di situ, pemuda
kita mendapat keterangan seperti berikut:
Seorang hartawan bernama Na Thian Lun yang
menjadi salah seorang penduduk tanah milik Tan Tong
Goan itu, telah sekian lamanya menjadi sasaran dari
gangguan seekor kera putih yang besar dan ternyata
hendak merampas puterinya hartawan tersebut yang
bernama Giok Tin. Tetapi berkat dari penjagaan kuat
yang diadakan di sekitar tempat kera itu belum berhasil
bisa menculik si nona itu keluar dari rumah orang tuanya.
Tetapi walaupun pekerjaannya selalu digagalkan orang,
binatang itu kelihatan tidak menjadi kapok akan mencoba
dan mencoba pula buat melakukan maksudnya yang keji
itu. Pada suatu hari atas anjuran salah seorang 161 keluarganya yang bernama Oey Kie Lee, Thian Lun telah
mengundang seorang gagah yang bernama The Goan,
seorang ahli silat dari cabang Siauw-lim.
Ahli silat itu dari satu ke lain malam telah menunggu
kedatangan kera itu di rumahnya keluarga Na, tetapi
ternyata binatang itu tidak juga muncul walaupun ia
menjaga di situ sampai kira-kira hampir satu minggu
lamanya. Pada suatu malam, kera itu telah datang dalam cara
yang lain dari biasa, yakni selain tidak menyatroni
kamarnya nona Giok Tin pada kali ini, iapun menyoren
juga pedang dan menuju langsung ke tempat jagaannya
The Goan, seolah-olah ia ketahui, bahwa ia harus
robohkan dahulu jago silat ini, pada sebelumnya bisa
menyampaikan maksudnya yang tidak baik itu.
Ketika itu The Goan yang memang selalu berjagajaga sudah tentu saja tidak berayal lagi buat menempur
pada kera putih itu, sehingga tidak berapa lama
kemudian, terjadilah suatu pertempuran yang amat
dahsyat antara manusia dan binatang itu.
Selama The Goan melawan bertempur dengan
mempergunakan toya, kera itu hanya menggunakan
tangan kosong saja. Dan tatkala toya itu telah kena
dirampas oleh binatang tersebut, The Goan lalu
mencabut golok, dengan mana ia telah menyerang pada
kera putih yang menjadi lawannya itu. Sedang kera itu,
yang melihat The Goan menyerang dengan menggunakan barang tajam, iapun lalu cabut pedangnya
dan terus melawan bertempur dengan memainkan
pedang itu seperti juga lakunya seorang yang memang
sudah menjadi ahli dalam hal menggunakan senjata
tersebut! 162 Maka The Goan yang melihat begitu, sudah tentu
saja jadi heran dan diam, berpikir di dalam hatinya:
"Jikalau ditilik dari cara berkelahinya binatang ini, apakah
tidak bisa jadi bahwa dia ini hanya binatang tetiron yang
diperankan oleh manusia busuk jago tinggi ilmu silatnya"
Segala serangannya cukup rapih dan berbahaya, hingga
cara ini dapat dikatakan terlalu mustahil, akan dapat ditiru
dan dilakukan dengan sebaik-baiknya oleh seekor kera,
biarpun kera itu terkenal berotak cerdas dan lekas
mengerti jikalau diajarkan apa-apa."
Begitulah sambil berpikir, The Goan telah bertempur
dengan kera putih itu, yang ternyata telah mampu
menjaga sesuatu serangannya dengan ilmu-ilmu silat
yang justeru menjadi timpalan yang cocok dari sesuatu
siasat silat yang diajukannya itu!
"Adakah seekor kera dapat berbuat sebaik itu, dan
mengerti cara bagaimana akan menghindarkan diri
dengan pelbagai siasat silat yang tidak mudah dapat
dipelajari oleh setiap orang?" The Goan bertanya pula
kepada diri sendiri. Dalam pada itu The Goan yang bertempur sambil
berpikir di dalam hatinya, sudah tentu saja tak dapat
mencurahkan perhatiannya ke satu jurusan saja, hingga
ketika kera itu membacok dan ia menangkis dengan
goloknya, dengan tak terasa pula ia telah bikin golok itu
beradu dengan pedang yang dipergunakan oleh kera
putih itu. Trang! Berbareng dengan terdengarnya suara itu, di antara
malam yang gelap gulita itu tampak lelatu api yang keluar
dari pedang dan golok yang beradu dengan amat
hebatnya itu. 163 Tatkala The Goan menarik pulang goloknya,
mendadak dirasakannya golok itu menjadi lebih ringan
daripada semula, hingga waktu golok itu diperiksa dalam
kegelapan, ternyata bahagian ujungnya telah kutung
kena terbacok oleh pedang sang kera yang
sesungguhnya amat tajam itu!
Maka dengan adanya pengalaman ini, selanjutnya
The Goan jadi semakin hati-hati buat tidak membikin
goloknya beradu dengan pedang sang kera itu. Dan
ketika hari hampir terganti dengan fajar, barulah binatang
itu melarikan diri, dalam keadaan belum diketahui pihak
mana yang lebih tinggi atau lebih rendah ilmu
kepandaiannya dalam pertempuran itu.
Sementara para penjaga yang bersembunyi di sekitar
tempat itu, lalu pada keluar mengejar sambil bersoraksorak, tetapi binatang itu telah dapat meloloskan dirinya
setelah membabat pedang-pedang, golok, dan
pentungan-pentungan para penjaga seperti juga orang
yang menabas tanah liat. Demikianlah menurut penuturannya salah seorang
yang sedang mengobrol itu kepada pemuda kita.
Maka Poan Thian yang mendengar penuturan itu, ia
sendiri pun lantas berpendapat, kalau-kalau kera itu
bukanlah kera sewajarnya, hanyalah seorang ahli silat
keji yang sengaja mengacau desa itu dengan menyamar
sebagai seekor kera putih.
"Tetapi belum tahu apakah orang she The itu sampai
sekarang masih menjaga di sana atau tidak?" bertanya
Lie Poan Thian dengan hati penasaran.
"Sekarang The Goan sudah tak menjaga lagi di
sana," sahut orang yang ditanya, "karena selain kuatir
dengan pedang sang kera yang amat tajam itu, iapun
164 telah kena dilukai dan hampir saja jiwanya tewas dalam
tangan binatang itu."
Poan Thian jadi mengelah napas panjang.
"Jikalau saudara-saudara sudi mengajak aku ke
rumah Na Thian Lun itu," kata pemuda kita, "aku
bersedia buat menggantikan The Goan akan menjaga di
sana." Mendengar omongan ini, sudah tentu saja orang
banyak jadi pada mencurahkan perhatiannya kepada Lie
Poan Thian yang perawakan tubuhnya tidak berapa
besar, hingga mereka agak ragu-ragu, apakah hati
pemuda itu cukup tabah akan berhadapan dengan
seekor kera besar yang kuat dan telah membikin
kewalahan sekian ahli-ahli silat itu"
2.11. Pertarungan Kera Putih Jejadian
"Dengan memperhatikan sikap saudara-saudara
sekalian," kata Poan Thian pula, "memanglah ada
kemungkinan serta ada juga ceng-linya, jikalau kamu
merasa ragu-ragu atas kemampuanku buat bertempur
dengan kera putih itu. Aku bukan omong kosong.
Meskipun badanku tidak besar, tetapi aku tak akan
menyerah mentah-mentah dengan segala binatang yang
hina dina itu." Dan tatkala salah seorang antaranya menanyakan
siapa dia dan Poan Thian memberitahukan she dan
namanya sendiri, orang itu lalu memberi hormat sambil
berkata: "Saudara, apakah kau ini bukan kauw-su dari
keluarga Tan. Yang pada heberapa waktu yang lalu
Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pernah merobohkan Liu Tay Hong?"
"Ya, benar, itulah aku sendiri," sahut Poan Thian.
165 "Kalau begitu," kata orang itu pula, "nyatalah mataku
tidak bisa mengenali seorang gagah."
Kemudian sambil menoleh pada kawan-kawannya
yang terbanyak ia memperkenalkan pemuda kita pada
mereka sambil berkata: "Saudara-saudara, saudara ini
ternyata bukan lain dari Sin-tui Lie, yang sekian lamanya
kita dengar namanya yang termasyhur, tetapi belum
kenal orangnya dan tidak tahu romannya bagaimana."
Lebih jauh karena orang itu telah menuturkan juga
bagaimana Poan Thian telah mampu merobohkan jago
silat tua Sin-kun Bu-tek Louw Cu Leng, Siauw-pa-ong
Lauw Sam-ya dan kauw-su dari keluarga Tan yang
bernama Liu Tay Hong, maka orang banyak kelihatan
mau percaya juga, bahwa pemuda kita akan mampu
mengalahkan kera putih yang sering datang membikin
ribut di rumahnya Na Thian Lun itu. Oleh sebab itu,
mereka dengan beramai-ramai lalu mengantarkan Poan
Thian akan berjumpa dengan Hartawan she Na itu.
Tetapi seperti juga pendapat orang banyak ketika
mula-mula bertemu dengan Lie Poan Thian, Na Wangwee sendiripun tampak agak ragu-ragu dan tidak
percaya, kalau pemuda kita akan dapat bertempur
dengan kera yang berbadan besar dan buas itu. Oleh
karena itu ia lantas berkata: "Tuan Lie ini rupanya bukan
orang desa ini?" "Ya, memang bukan," sahut Lie Poan Thian, "aku
berasal dari kota Cee-lam dalam propinsi Shoa-tang, dan
jikalau sekarang aku berada di sini, itulah karena aku
kebetulan menumpang pada Tan Chung-cu Tan Tong
Goan, dimana untuk sementara lamanya aku mewakili
salah seorang kawan buat mengajar ilmu silat pada
orang-orang sebawahannya Tan Chung-cu tersebut."
166 Na Thian Lun kelihatan mengangguk-anggukkan
kepalanya, ia tak berkata-kata. Romannya bagaikan
seorang yang sedang berpikir keras.
"Tetapi, maafkanlah jikalau aku mohon bertanya,
belum tahu dalam pekerjaan ini tuan Lie minta upah
berapa?" kata si hartawan setelah berdiam sejurus
lamanya. Poan Thian tersenyum dan menyahut: "Tuan, aku ini
adalah seorang suka rela, bukan hendak minta upah
berapa. Asal saja kera itu telah dapat diusir dan
selanjutnya tidak berani balik kembali ke sini, itulah
sudah cukup dan aku tidak bermaksud akan mengajukan
permintaan apa-apa pula."
Thian Lun dan orang banyak yang mendengar
omongan si pemuda, semua jadi memuji dan kagum atas
kebijaksanaannya. Kemudian setelah menanyakan pada waktu
bagaimana kera itu biasa datang menyatroni, Na Wangwee lalu menjawab: "Itu tidak tentu. Juga tidak jarang
dia tak datang sama sekali. Dan jikalau seandainya dia
mau datang juga, waktunya hampir terjadi sedikit di muka
tengah malam atau selewatnya itu. Itulah sebabnya
mengapa orang-orang yang pernah membantu di sini jadi
bingung dan tidak tahan menunggu-nunggu."
"Kalau begitu," kata Lie Poan Thian, "baiklah aku
permisi pulang dahulu ke rumah Tan Chung-cu, karena
selain mesti membawa senjata, juga akupun tak
menyangka bakal menemui kejadian serupa ini. Oleh
sebab itu, ijinkanlah aku pulang dahulu meminta
perkenan Chungcu-ya buat bantu menjaga di sini pada
sebentar malam." Sementara Na Wan-gwee yang ternyata bersahabat
167 baik dengan Tan Tong Goan, lalu menyatakan, bahwa ia
boleh kirim orang buat menyampaikan kabar itu pada
Tan Chung-cu, tetapi Poan Thian menampik dan
mengucap terima kasih. Maka sebagai pernyataan terima kasihnya, Thian Lun
lalu mengadakan sedikit perjamuan buat mengundang
Poan Thian dan orang banyak akan duduk bermakan
minum, pada sebelum pemuda kita kembali dahulu ke
rumahnya Tan Chung-cu. "Y" Malam itu udara agak mendung.
Dibalik awan-awan yang bergulung-gulung di
angkasa, bintang-bintang mengintip ke muka bumi yang
penuh dengan kekacauan ini.
Sedangkan siliran angin yang dingin dan seakanakan hendak menembusi tulang setiap orang, membikin
para penjaga jadi mengantuk dan menganggap bahwa
binatang itu tak akan datang. Apapula karena mereka
telah dipesan oleh pemuda kita akan jangan membikin
ribut atau mengunjukkan gerakan apa-apa sebelum
mereka diberi isyarat, maka tidak sedikit antara mereka
yang telah meringkuk dan tidur pules dengan amat
nyenyaknya, meskipun tahu bahwa perbuatan itu akan
sangat menyukarkan Poan Thian, jikalau si pemuda
sampai kejadian keteter dalam pertempuran dengan kera
putih itu. Kira-kira hampir tengah malam, betul saja ia melihat
ada sebuah benda putih yang bergerak-gerak di suatu
tempat yang terpisah agak jauh.
168 Gerak-gerakannya benda putih itu, yang ternyata
bukan lain daripada kera itu sendiri, bukan saja amat
cepat dan gesit, tetapi juga ia seolah-olah telah ketahui,
bahwa pada malam itu Poan Thian telah sengaja
diundang buat bertempur dengan dirinya.
Dan seperti juga pada waktu The Goan diundang
menjaga di situ, pada malam itu pun kera tersebut tidak
menyatroni kamarnya Giok Tin, tetapi dengan langsung
menuju ke tempat jagaan Lie Poan Thian, dimana
sekarang si pemuda itu sedang menunggukan
kedatangannya dengan sudah bersiap-siap
"Kurang ajar!" menggerendeng pemuda she Lie itu.
"Inilah sudah terang bukan kera asli, tetapi adalah
manusia yang menyamar buat mengabui mata orang!
Karena jikalau dia itu betul binatang, bagaimanakah dia
bisa melompati pagar tembok dengan menggunakan
siasat Yan-cu-cwan-liam" Eh, eh, ini benar-benar luar
biasa!" Poan Thian membuka matanya lebar-lebar, karena
dengan sekonyong-konyong ia melihat "binatang" itu
menyoren pedang dan menyelendang sebuah kantong
kulit digegernya. "Apakah ada seekor binatang yang
dapat mempersiapkan diri untuk bertempur begini rupa?"
Semakin lama benda putih itu semakin mendekati ke
tempat jagaannya Lie Poan Thian. Dan tatkala telah
terpisah kira-kira seratus tindak jauhnya, dengan sebat
"kera putih" itu telah menyambit si pemuda she Lie yang
sedang berjongkok sambil bersembunyi di belakang
langkan. Pletak! pletak! Pemuda kita tiba-tiba melihat ada dua sinar
berkilauan yang, dijujukan ke jurusannya, dan ketika ia
169 berkelit dan barang itu menancap di atas tiang di dekat
tempat ia berlindung, ternyata benda itu adalah dua buah
piauw yang pada masing-masing ekornya diikat benang
sutera yang berwarna merah!
"Kurang ajar!" membentak Lie Poan Thian sambil
berdiri. Tetapi sebegitu lekas ia mengunjukkan dirinya,
mendadak "kera" yang telah menyabut pedang itu telah
membacok kepadanya dengan sekuat-kuat tenaganya!
Brak! Syukur juga bacokan itu luput, karena Poan Thian
yang bermata sangat celi, telah keburu melompati
langkan itu sambil mencabut joan-pian dari pinggangnya,
tetapi palanglangkan itu telah terbacok putus oleh
pedang si "kera" yang ternyata amat tajam itu!
Sekarang Poan Thian mengerti, bahwa pedang si
"kera" itu tak boleh dibuat gebabah. Maka buat
menghindarkan joan-piannya ditabas pedang tersebut, ia
merasa perlu sekali akan berkelahi dengan sangat hatihati dan tidak memberikan kelonggaran akan sang lawan
itu merangsak terlalu dekat.
Sebaliknya sang "kera" yang seolah-olah telah
mengetahui, bahwa kelihayan Poan Thian terletak dalam
tendangan-tendangannya, tampaknya berlaku "see-jie"
dan Poan Thian merangsak sambil menghujani
tendangan-tendangan yang terkenal kelihayannya di
separuh jagat Tiongkok. Begitulah pertempuran itu telah berlangsung
sehingga duapuluh jurus lamanya. Karena selain
kepandaian si "kera" itu sudah boleh digolongkan pada
tingkat ahli silat kelas satu, Poan Thian-pun agak "see170
jie" dengan pedang yang dipergunakan lawannya itu.
Tetapi biarpun ia telah berlaku bagaimana hati-hati juga,
tidak urung seperempat bagian dari joan-piannya telah
kena juga dibabat putus oleh pedang itu!
Tetapi kejadian itu tidak membikin Poan Thian jadi
jerih atau takut, juga tak mencoba ia memberikan isyarat
akan para penjaga yang bersembunyi di sana-sini akan
keluar membantui kepadanya.
Ia ingin bertempur satu lawan satu, sehingga dalam
hal ini ia bisa menyaksikan kesudahannya, apakah ada
salah satu yang mati atau menyerah kalah.
Dalam pertempuran itu, tidak kurang dari beberapa
puluh macam ilmu tendangan telah dipergunakan Poan
Thian untuk merobohkan pada si "kera", tetapi semua
tendangan-tendangan itu telah dapat disingkirkan oleh
pihak lawannya, hingga ini telah membikin ia jadi heran
dan teringat pada waktu ia bertempur dengan Sin-kun
Bu-tek Louw Cu Leng, ahli silat satu-satunya yang
pernah ia ketemukan mampu berbuat begitu.
Tetapi pada saat itu bukanlah waktunya akan orang
melamunkan segala sesuatu yang bersifat khayal.
Ia harus berkelahi dengan gagah, buat
membikin dirinya sampai kena "dicepol" orang.
tidak Begitulah pertempuran itu telah berlangsung dengan
tiada kurang hebatnya dari pada semula.
Di suatu saat ketika sang "kera" telah berhasil dapat
meluputkan diri dari tendangannya Lie Poan Thian, buruburu ia berlompat keluar dari kalangan pertempuran,
berlompat melalui pagar tembok dan terus berlari menuju
ke dalam rimba. Tetapi Lie Poan Thian yang tak mau membiarkan
171 "binatang" itu meloloskan diri dengan cara begitu saja,
iapun segera mengejar sambil menghujani piauw yang
satu-persatu telah mengenai dengan tepat pada
sasarannya. Dan disaban waktu ada piauw yang
menancap di punggung, bahu dan gegernya "binatang"
itu, dengan tentu-tentu "binatang" itu berteriak: "Aduh!
Aduh!" "Kurang ajar!" pikir pemuda kita di dalam hatinya.
"Nyatalah dia ini benar manusia! Tetapi siapakah
sebenarnya dia itu, yang ternyata ada seorang ahli silat
yang ilmu kepandaiannya tidak bisa dicela?"
Sambil mengejar "binatang" itu keluar-masuk semaksemak, Poan Thian berpikir dan akhirnya menyaksikan,
cara bagaimana "binatang" itu telah terjerumus ke dalam
sebuah lobang, dari dalam mana ia mendengar suara
jeritan manusia: "Tolong! Tolong! Matilah aku sekali ini!"
Poan Thian jadi merandek dengan heran, tetapi ia tak
berani sembarangan mendekati tepi lubang itu, walaupun
bulan sabit dapat juga menyinari sedikit keadaan di
dalam rimba itu. "Tolong.....! To..... long.....!" Semakin lama suara itu
jadi semakin lemah, semakin lemah, dan akhirnya tidak
terdengar sama sekali. Maka Poan Thian yang kuatir juga akan kecelakaan
lain bagi dirinya yang kurang mengerti tentang selukbeluknya keadaan dalam rimba itu, lalu buru-buru
kembali ke rumahnya Na Thian Lun, buat melaporkan
apa yang telah terjadi dan berjanji akan kembali lagi ke
situ di hari esoknya, buat coba memeriksa pula ke dalam
lubang itu, kalau-kalau kera tetiron itu masih bisa ditolong
dan ditanyakan keterangan-keterangannya mengapa ia
telah menerbitkan heboh dengan menyamar sebagai
172 binatang. Hal mana, sudah tentu saja sangat disetujui oleh Na
Thian Lun dan para penjaga yang juga ingin mengetahui
bagaimana kesudahannya tentang lelakon kera putih
tetiron itu. Begitulah setelah di hari esoknya Poan Thian dan
para penjaga telah selesai dahar nasi, mereka dengan
beramai-ramai lalu menuju ke dalam rimba, dengan Poan
Thian berjalan duluan sebagai petunjuk jalan mereka.
Di sana, tatkala mencari kian-kemari sekian lamanya,
barulah Poan Thian dapat ketemukan lubang yang
semalam telah "menelan" kera tetiron itu.
Tetapi berhubung lubang itu amat dalam dan gelap,
sehingga ini telah membikin tidak seorang pun di antara
mereka yang berani turun ke bawah, maka penyelidikan
itupun terpaksa disudahi sampai di situ saja, dengan
rahasia kera tetiron itu tak dapat dipecahkan sehingga di
jaman ini. Betul belakangan ada juga orang yang mengatakan,
bahwa itulah ada kepala berandal Khong Tay Liong dari
Kee-jiauw-san, yang telah menyamar menjadi kera putih
untuk mengacau dan melarikan anak perempuan Thian
Lun, tetapi kabar itu ternyata kurang benar, berhubung ia
telah dibikin kocar-kacir oleh seorang gagah tidak
terkenal, ketika peristiwa kera putih itu terjadi di tanahnya
Tan Tong Goan. Maka selain waktu terjadinya tidak
cocok dengan kenyataan, juga tak ada alasan yang kuat
buat membikin orang percaya dengan kabaran itu.
Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Demikianlah akhirnya lelakon kera putih yang diliputi
oleh rahasia yang tak dapat dipecahkan orang sehingga
di jaman sekarang. 173 "Y" Oleh karena terjadinya peristiwa di atas, maka
dengan meminta perantaraan Tong Goan yang menjadi
sahabat karibnya, akhirnya Thian Lun telah dapat
perjodohkan puterinya Giok Tin kepada pemuda kita.
Tetapi karena mengingat bahwa ia masih mempunyai
kakak perempuan yang berdiam di Tiong-ciu, maka Poan
Thian minta supaya pernikahannya ditunda dahulu,
berhubung ia akan pergi menjumpai sang kakak itu dan
berembuk lebih jauh mengenai urusan ini.
Ketika Poan Thian hendak berangkat di hari esoknya.
Tong Goan dan bakal mertuanya telah memberikan ia
banyak uang, tetapi sebagian besar dari ini telah
ditampik, hingga apa yang diambilnya dari jumlah itu,
hanyalah sekedar untuk ongkos dalam perjalanan saja.
Karena, ia mengatakan lebih jauh, bahwa ia tak akan
berdiam terlalu lama di Tiong-ciu, hingga Tong Goan dan
Thian Lun menyatakan kegirangannya dan mengharap
akan selekasnya dapat minum arak kemantin, apabila
nanti Poan Thian kembali dari tempat kakak
perempuannya di Tiong-ciu.
Poan Thian mengucapkan banyak terima kasih dan
berjanji akan kembali selekas mungkin, jikalau di sana ia
tak mengalami halangan apa-apa yang memperlambat
perjalanan pulangnya ke tanah Tong Goan di situ.
Kemudian ia pergi membeli seekor kuda yang kuat dan
dapat melakukan perjalanan jauh, dengan mana ia bisa
berangkat ke Tiong-ciu dengan membawa pakaian yang
perlu dan dibungkus menjadi sebuah pauw-hok besar,
dengan di dalamnya berisikan pelbagai senjata rahasia
dan golok yang telah diperoleh sebagai hadiah dari
174 gurunya sendiri. Begitulah Thian Lun mengadakan sedikit perjamuan
makan minum yang dikunjungi juga oleh Tan Tong Goan
yang berlaku sebagai wakil dari Lie Poan Thian, barulah
pemuda kita melanjutkan perjalanannya dengan
menunggang kuda yang baru dibelinya.
Selama melalui perjalanan yang beberapa puluh lie
jauhnya itu, boleh dikatakan tidak terjadi peristiwa apaapa yang penting untuk dituturkan di sini.
Pada suatu tengah hari Poan Thian telah sampai di
sebuah desa yang bernama Oey-touw-pa, suatu desa
yang keadaannya ramai dan besar juga, karena selain
terdapat banyak toko-toko dan kedai-kedai kecil dan
besar, juga penduduknya tampak agak padat juga.
Gedung-gedung dan rumah-rumah penduduk kira-kira
ada seratus beberapa puluh buah banyaknya.
Pemuda kita yang tatkala itu telah merasa lelah dan
haus, dari kejauhan menampak sebuah kedai yang
memakai panji putih dengan tiga huruf merah yang
berbunyi: Heng-hoa-lauw. Poan Thian lalu pecut kudanya, supaya berlari lebih
cepat akan mampir ke kedai tersebut.
Sesampainya di sana, ia lantas tambatkan kudanya
di bawah sebuah pohon, sedang ia sendiri lalu menindak
masuk dan panggil jongos buat minta disediakan arak
dan beberapa macam hidangan yang menjadi
kegemarannya. Tatkala arak dan hidangan telah disediakan, Poan
Thian lalu tuang secawan arak, yang lalu diminumnya
dengan pelahan, kemudian barulah disusul dengan
175 hidangannya yang didahar olehnya dengan bernapsu
sekali. Tengah bermakan minum dengan hanya seorang diri
saja, mendadak Poan Thian melihat beberapa belas
orang militer telah berhenti juga di kedai itu,
menambatkan kuda mereka di luar dan terus berjalan
masuk sambil beromong-omong pada satu dengan yang
lainnya. Dua orang di antara mereka, Poan Thian lihat tinggal
menunggu terus di luar kedai, karena mereka ini ternyata
membawa seorang tawanan yang rantainya diikat pada
sebuah pohon Lek-yang di muka kedai tersebut.
Orang tawanan itu menurut pandangan Poan Thian,
tidaklah mirip dengan orang persakitan biasa.
Perawakannya tidak terlalu jangkung, tetapi tegap dan
kuat. Ia berusia antara tigapuluh atau tigapuluh lima
tahun. Wajahnya lebar, hidung mancung, mata celi dan
halisnya yang tebal dan panjang hampir sampai ke
bagian pilingannya. Sambil bermakan minum, Poan Thian memperhatikan dan bertanya pada diri sendiri: "Apakah
kedosaan orang ini, sehingga ia mesti mengalami
perlakuan yang tidak enak serupa ini?"
Poan Thian tak sempat melamun terlalu lama, ketika
tak antara lama seorang tinggi besar dengan berkuda
telah sampai juga di kedai itu.
Dua orang militer penjaga persakitan tadi yang
melihat kedatangannya, buru-buru menghampiri dan
sambuti les kuda yang disodorkan kepada mereka oleh
orang yang baru datang itu.
Gerak-gerakkannya orang itu selain gesit dan 176 tangkas, wajahnyapun keren, bermisai dan berusia
hampir bersamaan dengan persakitan yang dirantai di
bawah pohon Lek-yang itu.
Orang itu dengan tak banyak bicara pula lalu
bertindak masuk ke kedai, hingga orang-orang militer
yang berada di dalam dan melihat kedatangannya, buruburu
pada bangun memberi hormat dan mempersilahkannya akan duduk di kursi yang diatur di
kepala meja. Mula-mula Poan Thian menduga bahwa orang itu
adalah seorang piauw-su, tetapi ketika diperhatikannya
lebih jauh, ia mendapat kenyataan bahwa dugaannya itu
telah meleset. "Dia ini rupanya ada seorang keturunan militer yang
berpangkat tinggi," pikirnya.
Dengan di kepalai oleh orang militer yang datang
terbelakang itu, maka sebuah perjamuan makan minum
lalu diadakan, dengan orang-orang militer yang
berkumpul di situ turut juga bermakan minum, hingga
selanjutnya tak sempat pula mereka bercakap-cakap
dengan leluasa seperti semula tadi.
Sementara dua orang militer lain yang menjaga orang
tawanan di luar kedai, pun diberikan makanan dan
minuman yang sama oleh orang militer yang menjadi
pemimpin mereka itu. Sambil bermakan minum dan tertawa-tawa ke arah
orang tawanan yang dirantai di bawah pohon Lek-yang
itu, dua orang penjaga yang gatal tangan itu telah mulai
mempermainkannya dengan jalan menyambiti muka
orang itu dengan kulit kwaci dan kacang goreng, hingga
perbuatan ini sudah tentu saja, telah membikin orang
tawanan itu kelihatan mendongkol, tetapi tak dapat ia
177 berbuat lain daripada mandah dirinya diperlakukan
demikian, berhubung borgolan yang tergantung di leher
dan tangannya agak berat untuk memungkinkan ia
bergerak dengan leluasa. Tetapi belum puas mempermainkan orang dengan
begitu saja, kemudian kedua orang penjaga itu telah
mulai menyambitinya dengan bacang, hingga dalam
waktu sekejapan saja muka orang itu telah berlepotan
dengan nasi bacang yang agak lengket.
"Ah, sungguh bodoh benar kau ini!" kata salah
seorang penjaga itu kepada orang tawanan tersebut.
"Aku tahu kau tentu merasa lapar juga, mengapakah kau
tidak caplok saja bacang-bacang yang kita lemparkan
kepadamu itu?" Tetapi orang tawanan itu tinggal membisu,
mendelikan matanya yang bundar dan merah karena
mengandung kegusaran. "Anjing yang terhitung binatang, bisa mencaplok
makanan jikalau dilemparkan oleh majikan," kata seorang
penjaga yang lainnya. "Apakah kau sebagai seorang
manusia, tak mampu mencontoh teladan itu?"
Kemudian mereka berdua tertawa terbahak-bahak.
"Kurang ajar!" teriak orang tawanan itu, yang akhirnya
tak mampu menindas amarahnya terlebih lama pula.
"Sayang diriku diborgol! Jikalau aku sekarang tidak
memakai borgolan ini, niscaya akan kuberikan kamu
ajaran yang tak akan dapat dilupakan seumur hidupmu!"
"Eh, eh, bukannya kau minta dikasihani, sekarang
kau berbalik mendamprat kami berdua!" kata kedua
orang penjaga itu sambil berbangkit dari tempat duduk
masing-masing. 178 Salah seorang antaranya lalu mengambil air yang lalu
disiramkan ke muka orang tawanan itu.
"Nah, tu! Dinginlah sedikit amarahmu!" katanya
sambil tertawa. Orang itu jadi gelagapan, hingga sesaat lamanya ia
terpaksa mempejamkan matanya.
"Kurang ajar!" Lie Poan Thian yang menyaksikan perbuatan yang
amat sewenang-wenang itu, keruan saja jadi sangat
gusar dan menyomel di dalam hatinya seperti di atas.
Tetapi ia sampai cukup taktis buat tidak membikin
keadaan jadi menyimpang dari pada rencana yang
hendak dilakukannya di saat itu.
Segala peristiwa yang menjengkelkan di luar kedai
itu, ia seolah-olah anggap sepi. Lalu ia panggil jongos,
bayar harga arak dan makanan yang dimakannya tadi,
kemudian dengan tindakan yang tenang ia keluar dari
ruangan kedai itu. Mula-mula ia berlagak berjalan melewat ke samping
penjaga yang telah menyiram muka orang tawanan itu
dengan air. Kudanya Poan Thian ditambatkan tidak
berapa jauh dari pohon Lek-yang yang dipergunakan
untuk mengikat rantai si orang tawanan.
Di situ ia berpura-pura berjalan di antara kedua orang
penjaga yang sedang mempermainkan terus pada orang
tawanan yang tak berdaya itu.
Kemudian, dengan gerak-gerakan secepat kilat, Poan
Thian telah tempiling penjaga yang berdiri di sebelah
kirinya, sedang penjaga yang berdiri di sebelah kanan ia
telah tendang sehingga terpental masuk ke dalam kedai
dan jatuh tepat di tengah meja perjamuan yang diadakan
179 oleh pemimpin orang-orang militer tadi!
"Pemberontakan! orang militer itu. Pemberontakan!" teriak orang- Keadaan di kedai itu segera menjadi ribut. Orangorang yang sedang bermakan minum jadi berlarian kian
kemari Sedang orang-orang militer berlomba keluar dari
ruangan itu, untuk mengejar pada Lie Poan Thian, yang
dengan secara mendadak telah menerbitkan keonaran
yang mereka tak pernah impikan sama sekali.
Sementara Poan Thian yang telah merobohkan
kedua orang penjaga itu, buru-buru menghampiri si orang
tawanan sambil berkata: "Saudara, marilah lekas kau ikut
aku!" Dengan mengandalkan pada ilmu kepandaian dan
tangannya yang kuat, pemuda kita lalu patahkan
borgolan tangan dan putuskan rantai yang membikin
orang tawanan itu tak dapat bergerak dengan leluasa,
hingga dengan begitu ia dapat terbebas dan dengan
sebat merampas golok penjaga yang menggeletak
pingsan karena ditempiling Poan Thian tadi.
"Pergilah ambil salah seekor kuda mereka!" kata Lie
Poan Thian dengan cepat. "Kita perlu berlalu dari sini
selekas mungkin!" "Saudara-saudara!" teriak pemimpin militer itu. "Ayoh,
lekas kejar dan bekuk kedua orang itu!"
Lebih jauh untuk memperlambat gerakkannya orangorang militer itu, agar supaya ia dapat memberikan waktu
cukup untuk si orang tawanan merampas kuda dan
bersiap-siap akan melarikan diri, Poan Thian telah angkat
orang militer yang pingsan tadi, akan dipakai memukul
dua orang militer yang baru keluar dari kedai itu, hingga
180 mereka berdua jatuh melosoh, karena tertimpah oleh
kawannya yang dilemparkan ke jurusan mereka. Dan
ketika mereka keluar dari kedai itu, Poan Thian dan
orang tawanan tersebut telah dapat meloloskan diri
dengan menunggang kuda yang dilarikan bagaikan
terbang cepatnya! Setelah melalui perjalanan gunung yang panjangnya
beberapa puluh lie jauhnya, barulah Poan Thian
Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mendapat kenyataan, bahwa orang-orang militer itu telah
tidak kelihatan pula bayangan-bayangannya. Tetapi
orang tawanan yang kuatir dikejar terus oleh pihak orangorang militer yang menjadi musuh-musuhnya tetap
menganjurkan supaya Poan Thian kaburkan kudanya
sehingga melalui daerah perbatasan Shoa-tang-Ho-lam.
Poan Thian kabulkan permintaan orang tawanan itu.
Kira-kira sedikit waktu di muka waktu magrib, kedua
sahabat baru yang tak saling mengenal ini telah sampai
di sebuah desa pegunungan yang sunyi dan mereka
percaya, bahwa orang-orang militer itu pasti tak dapat
pula menyusul mereka di situ.
Buat menghilangkan rasa lelah mereka dan kudakuda yang mereka tunggangi, kedua orang itu lalu
beristirahat di tepi jalan, dimana orang tawanan itu lalu
membungkukkan badannya memberi hormat kepada Lie
Poan Thian sambil berkata: "Saudara, aku sungguh
harus mengucapkan beribu-ribu terima kasih atas
pertolonganmu yang sangat besar dan tak akan
kulupakan itu seumur hidupku. Karena jikalau semua itu
bukan mengandal atas pertolonganmu, niscaya tidak
mungkin aku terlolos dari tangan mereka dengan cara
yang begini mudah. Atau, bisa jadi juga, aku sudah mati
di saat ini, karena mereka telah merencanakan akan
membunuh aku di tengah jalan, sehingga dengan begitu,
181 urusanku dapat disudahi sampai di situ saja. Tanpa
diketahui orang, juga tanpa diadili pula sebagaimana
mestinya!" Si pemuda tampak tertarik mendengar penuturan
orang tawanan yang agak samar dan aneh itu. Dan
ketika Poan Thian coba menanyakan tentang duduknya
perkara, yang telah membikin orang itu ditawan dan akan
dibunuh, maka orang tawanan itu lalu menuturkan
riwayatnya sebagai berikut:
2.12. Pelarian Tawanan Meliter
"Aku ini adalah seorang she Cin bernama Kong
Houw," katanya, "asal orang dari Ho-lam. Sedari muda
aku gemar sekali ilmu silat, maka hampir tak sempat
menaruh perhatian pada ilmu surat. Tatkala usiaku telah
dewasa dan menikah, aku telah menerima undangan
jenderal Bu Goan Kwie yang berkedudukan di Ho-lam
juga, untuk menjadi guru silat dalam tangsi tentara.
"Pada lain tahunnya isteriku telah meninggal dunia,
hingga semenjak itu tak berniat pula aku akan beristeri
pula. Tetapi sang nasib yang jail telah bikin aku tertarik
dengan seorang bunga raya yang bernama Ya Beng Cu,
yang lalu aku pelihara sebagai gundik. Kita hidup dengan
rukun sehingga beberapa bulan lamanya.
"Pada suatu hari ia bertemu dengan Poo Tin Peng,
putera Poo Co Ciong yang memangku jabatan Toa-tosie-wie (pengawal kaisar) di kota raja. Manusia busuk ini
yang mengandal pada pengaruh bapaknya yang ternyata
menjadi pengawal kesayangan raja, bukan saja suka
berlaku sewenang-wenang dan tidak segan melakukan
segala perbuatan yang melanggar perikemanusian,
tetapi juga ia tak malu akan mengganggu anak-isteri
182 orang baik-baik dengan tidak memandang bulu. Hal
mana pun tidak terkecuali bagi diriku, walaupun aku juga
ada seorang militer yang memangku jabatan Tong-leng
(komandan) dari tangsi Tok-piauw-eng.
Manusia busuk Poo Tin Peng itu ternyata telah tergiur
hatinya oleh perempuan lacur gundikku itu!
Kali ini si jahanam agak "see-jie" akan mengunjuk
aksinya dengan secara terang-terangan, karena ia tahu
bahwa aku ini bukan seorang yang boleh diperlakukan
sesukanya dengan tidak melakukan perlawanan apaapa. Oleh sebab itu, ia terpaksa pura-pura mengundang
aku ke suatu perjamuan makan, dimana aku telah diloloh
sehingga mabuk. Tahu-tahu ketika aku tersadar dari mabukku, aku
telah diborgol dan berada di sebuah kamar tahanan!
Aku lalu memperotes atas penangkapan itu, karena
aku sendiri tidak mengetahui apa kesalahanku, sehingga
mesti diborgol sebagai seorang persakitan. Tetapi
protesku itu tidak dihiraukannya.
Kemudian aku lalu digiring oleh sekawanan orangorang militer, yang katanya akan bawa aku ke kota-raja
buat memeriksa perkaraku terlebih jauh.
Sesampainya di luar halaman kamar tahanan,
barulah ada seorang sahabatku yang telah memberitahukan kepadaku, bahwa aku akan dibinasakan oleh Poo Tin Peng dengan meminjam
tangan orang-orang militer tersebut!
Tetapi aku hadapi nasib buruk itu dengan tenang dan
tanpa mengeluh, karena aku telah yakin, bahwa
bintangnya kawanan dorna-dorna itu sedang terangnya,
sedang semua orang pun seolah-olah membenarkan
183 atas sepak terjang mereka yang amat tidak patut itu.
Demikianlah duduknya perkara yang benar, sehingga
akhirnya Thian menurunkan kau sebagai bintang
penolongku. Maka setelah kau ketahui sebab musabab mengapa
aku telah ditawan, sekarang adalah giliranku akan
menanyakan she dan namamu, agar supaya nama itu
bisa terukir buat selama-lamanya di dalam hati
sanubariku!" Sementara Lie Poan Thian yang mendengar
penuturan yang sangat menjengkelkan itu, dengan
roman yang gusar lalu berseru: "Ah, sungguh terkutuk
benar si jahanam Poo Tin Peng itu! Jikalau manusia yang
seperti ini dibiarkan hidup di dunia, niscaya dunia yang
sudah rusak ini akan jadi semakin bejat, semakin kotor!
Marilah kita basmi padanya bersama-sama!"
Cin Kong Houw yang mendengar anjuran dan
kesanggupan pemuda kita, dengan tidak terasa lagi
segera jatuhkan dirinya berlutut di tanah sambil berkata:
"Saudara, setelah kau menghidupkan jiwaku,
sekarang kembali kau hendak mengorbankan jiwamu
buat aku, hingga aku Cin Kong Houw biarpun mati dan
kemudian hidup kembali, niscaya tak akan mampu
membalas budi kebaikanmu yang teramat besar itu!"
Tetapi Poan Thian lekas banguni padanya sambil
menghibur dan berkata: "Cin Lauw-hia, janganlah kau
berlaku sungkan dan menyebut-nyebut perihal pembalasan budi. Aku Lie Poan Thian bukan seorang
yang kepingin dipuji-puji sebagai seorang gagah yang
budiman, juga bukan kepingin termasyhur oleh
karenanya. Aku menolong sekadar apa yang aku bisa.
Oleh sebab itu, aku mohon supaya selanjutnya kau
184 jangan menyebut-nyebut pula urusan itu, yang cumacuma akan membikin aku jadi jengah saja."
Begitulah dengan Cin Kong Houw berlaku sebagai
petunjuk jalannya, Lie Poan Thian lalu menuju ke Khayhong buat membantu kawan baru itu akan melaksanakan
balas dendamnya terhadap Poo Tin Peng yang keji itu.
Kira-kira pada waktu hampir senja, mereka berhenti
di sebuah kedai kecil untuk menghilangkan dahaga dan
mengisi perut. Selama mereka bermakan minum, Poan Thian
menanyakan banyak sekali keterangan-keterangan
mengenai tempat tinggalnya Poo Tin Peng, bagaimana
bentuk rumah yang didiaminya, dia di Khay-hong tinggal
di jalan apa namanya, dan yang paling terutama
bagaimanakah romannya si jahanam itu, yang satu per
satu lalu dijawab oleh Cin Kong Houw dengan secara
teliti. Sehabis dahar kenyang dan membayar harganya
minuman dan makan yang mereka telah pesan tadi,
kedua orang itu lalu melanjutkan pula perjalanan mereka,
dengan mengambil jalanan yang lebih sunyi dan lebih
jauh, berhubung dikuatirkan Kong Houw nanti
berpapasan dengan orang-orang yang dikenal baik,
sehingga ini menerbitkan hal-hal yang tidak diinginkan
dan dapat menggagalkan rencana mereka untuk
membikin pembalasan. Dalam perjalanan itu, mereka telah menginap di
sebuah rumah makan kecil, yang juga menyewakan
kamar untuk orang-orang perjalanan yang melewat di situ
dan justru kemalaman dalam perjalanan.
Dengan beristirahat semalaman dalam rumah makan
kecil itu, maka Poan Thian dan Kong Houw dapat pulih
185 kesegaran badan masing-masing di hari esoknya.
Maka sehabis sarapan pagi dan membayar semua
ongkos-ongkos mereka makan dan menginap, kedua
orang itupun lalu melanjutkan pula perjalanan mereka ke
Khay-hong dengan menurut cara seperti apa yang telah
mereka lakukan di hari kemarin, yaitu jalanan yang sunyi
tetapi lebih aman daripada kalau berjalan di jalan raya
yang ramai. Oleh sebab itu juga, mereka baru sampai di luar kota
Khay-hong tatkala matahari menyelam ke barat, tetapi
mereka tidak lantas masuk kota, karena di situ Kong
Houw mempunyai banyak kenalan, yang sewaktu-waktu
bisa berpapasan dengan kaki tangan Poo Tin Peng yang
sedang "dimauinya" itu. Maka atas anjuran Kong Houw,
Poan Thian lalu menumpang menginap di sebuah rumah
makan merek Hok Goan, yang juga menyewakan kamar
buat para tetamu yang tidak suka menginap di dalam
kota, terutama bagi mereka yang tidak suka dengan
tempat yang terlalu ramai dan berisik.
Di situ Kong Houw dan Poan Thian lalu berembuk,
cara bagaimana mereka akan beraksi pada malam hari
itu. "Menurut pendapatanku!" Kong Houw menganjurkan,
"paling betul sore-sore kita masuk tidur. Nanti hampir
tengah malam, kalau keadaan sudah agak sunyi, barulah
kita keluar dengan diam-diam dan menuju dengan
langsung ke rumahnya jahanam Poo Tin Peng itu. Tetapi
belum tahu pikiran saudara bagaimana?"
"Ya, ya, itu benar. Aku mufakat," sahut Lie Poan
Thian. "Apakah kau mempunyai golok atau barang-barang
tajam lain?" bertanya Cin Kong Houw.
186 "Ada," sahut pemuda kita, "malah kalau kau merasa
perlu, aku di sini ada sedia pelbagai macam senjata
rahasia, yang kau boleh pilih sendiri yang mana kau rasa
perlu pakai." Cin Kong Houw jadi sangat girang dan lalu minta
sepuluh buah piauw, jikalau Poan Thian mempunyai
senjata itu. Poan Thian mengabulkan. Lalu ia berikan senjata
yang diminta itu. "Golok yang aku rampas dari tangan orang militer
itu," kata Kong Houw pula, "ada kemungkinan telah
disediakan buat membunuh diriku. Tetapi sekarang golok
itu hendakku pergunakan untuk menyembelih jahanam
she Poo itu " "Semoga niatanmu itu terkabul menurut cita-citamu,"
kata Lie Poan Thian, bagaikan seorang yang
memberkahkan kawan itu. Kong Houw tersenyum, walaupun dalam senyuman
itu lebih banyak mengandung kegetiran, daripada
kegirangan yang maksud pekerjaannya ditunjang oleh
tenaga seorang kawan yang boleh diandalkan.
Begitulah sehabis dahar sore dan beres mengatur
rencana yang akan dilakukan pada malam itu, Poan
Thian dan Kong Houw lalu pergi masuk tidur.
Kira-kira hampir tengah malam, Poan Thian tersadar
dari tidurnya. Keadaan di sana-sini gelap-gelita, karena di
dalam kamar itu memang tidak dipasangi lampu. Lalu ia
banguni Kong Houw dengan suara bisik-bisik, tetapi sang
kawan itu rupa-rupanya keenakan tidur hingga ia tidak
mendengar suara bisikannya.
Orang sedalam rumah penginapan itu sudah pada
187 tidur dengan nyenyak, hingga dalam kesunyian hanya
terdengar saja suara kutu-kutu kecil yang berbunyi saling
sahutan di sana-sini. Dalam pada itu Poan Thian yang kuatir tempo
"beraksi" mereka akan jadi terlambat oleh karena
kelalaian ini, maka sambil menguap dan mengucek-ucek
mata ia lantas berbisik dengan suara yang terlebih keras,
katanya: "Cin Lauw-hia! Cin Lauw-hia!"
Tetapi meski bisikan itu diulangkan sampai beberapa
kali juga, Kong Houw tetap tidak menjawab, hingga Poan
Thian yang mulai jadi tidak sabar dengan sikapnya sang
kawan itu, buru-buru turun dari ranjang dan menghampiri
pada Cin Kong Kong yang tidur di ranjang lain yang
dipasang berhadapan dengan ranjangnya sendiri.
Lalu ia singkap kelambu ranjang itu sambil berbisik:
"Cin Lauw-hia, lekas bangun! Malam ini kita harus
bekerja dengan cepat!"
Tetapi, alangkah terperanjatnya pemuda kita, tatkala
ia melongok ke atas ranjang itu dan mendapatkan Kong
Houw telah berlalu entah sedari kapan!
"Celaka!" pikirnya dengan perasaan kuatir. "Jikalau ia
berlaku kurang hati-hati sedikit saja, niscaya ia akan
dikepung dan ditawan kembali oleh pihak musuhmusuhnya! Aku mesti menyusul padanya selekas
Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mungkin!" Begitulah dengan tidak membuang tempo lagi, Poan
Thian segera berpakaian untuk berjalan di waktu malam,
membekal golok dan senjata-senjata lain yang
dibutuhkannya, kemudian ia tolak daun jendela yang
ternyata tidak terkunci, berhubung Kong Houw telah
keluar dari situ selagi ia masih tidur tadi.
188 Dari itu ia melompat keluar dan rapatkan pula daun
jendela itu dari sebelah luar.
Syukur juga Poan Thian telah menanyakan cukup
jelas dari di muka, cara bagaimana Kong Houw hendak
melakukan "penyerangan" itu dan kemana mereka harus
menuju, hingga Poan Thian yang memang sering
mengunjungi kota Khay-hong dan kenal baik selukbeluknya keadaan dalam kota itu, dengan mudah saja
telah bisa masuk kota dengan jalan melompati bagian
pagar tembok yang tidak diawasi terlalu keras oleh
serdadu-serdadu penjaga kota di situ.
Dari sana, dengan jalan bersembunyi apabila
kebetulan berpapasan dengan serdadu-serdadu atau
orang-orang yang masih berkeliaran kota yang sudah
mulai sunyi itu, Poan Thian menuju ke rumahnya Poo Tin
Peng dengan menuruti petunjuk-petunjuk yang ia telah
dapatkan dari Cin Kong Houw di hari kemarin.
Tetapi tidak kira pada sebelum sampai ke tempat
yang dituju, di tengah jalan ia menampak seorang yang
berpakaian untuk berjalan di waktu malam berkelebat
melompati pagar tembok di sebelah atasan kepalanya,
hingga Poan Thian yang justru berjalan di bawahnya
dengan tindakan yang hampir tak bersuara, jadi
terperanjat dan lekas bersembunyi di suatu peloksok
yang agak gelap, berhubung ia telah mengenali, bahwa
orang itu bukanlah kawannya sendiri!
Menurut penuturan Cin Kong Houw, di rumah Poo Tin
Peng terdapat beberapa orang kauw-su yang
dipekerjakan oleh si jahanam itu sebagai pengawalpengawal.
"Apakah ia ini bukan salah seorang antara kauw-su,
yang dikatakan Kong Houw itu?" Poan Thian berpikir di
189 dalam hatinya. Selagi berpikir demikian mendadak orang yang
melompati pagar tembok itu telah turun ke bawah,
sehingga sekarang ia jadi berhadapan dengan Poan
Thian yang berada kira-kira seratus tindak jauhnya dari
tempat mana ia berdiri! Poan Thian lekas cabut golok dari pinggangnya.
,,Kau jangan maju terus!" kata orang itu.
Pemuda kita jadi kemekmek, kemudian ia
mengeluarkan suara teriakan girang: "Hoa-suheng, cara
bagaimanakah kau bisa berada di sini?"
"St, jangan bikin ribut!" kata orang itu, yang ternyata
bukan lain daripada Hoa In Liong adanya!
Poan Thian lekas memburu dan merangkul padanya
dengan mengucurkan air mata kegirangan.
"Suheng," katanya, "cara bagaimanakah kau bisa
berada di sini?" "Marilah kau ikut aku ke tempat lain yang aman," kata
Hoa In Liong, yang lalu pimpin tangan Poan Thian buat
diajak bersembunyi ke tempat lain yang lebih sentosa.
"Di sana ada seorang kawanku yang sedang
"menyerbu" ke rumah Poo Tin Peng," berbisik pemuda
kita. Hoa In Liong menganggukkan kepalanya.
"Ya, itu aku tahu," sahutnya "tetapi sekarang ia
berhasil dapat membinasakan manusia keji itu serta
meloloskan diri dari dalam pengepungan pihak musuhmusuhnya."
Lie Poan Thian jadi girang tercampur heran 190 mendengar keterangan begitu.
Yang pertama-tama ia jadi girang karena maksudnya
Cin Kong Houw telah berhasil, sedangkan yang
keduanya, adalah ia heran cara bagaimana In Liong bisa
ketahui adanya peristiwa ini"
In Liong tertawa dan lalu menerangkan duduknya hal
yang benar pada adik sepeguruannya itu.
Demikianlah singkatnya penuturan Hoa In Liong itu:
Sebagaimana di bagian muka pernah disebutkan,
Hoa In Liong ini adalah murid Kak Seng Siang-jin dari
kelenteng Liong-tam-sie, yang bertugas keliaran di
kalangan Kang-ouw untuk bantu memperbaiki keadaan
masyarakat yang diperbudak oleh bangsa Boan-ciu yang
menguasai seluruh Tiongkok di bawah telapak kaki
besinya pada masa itu. Pada waktu yang pertama-tama ia berjumpa dengan
Poan Thian semenjak pemuda itu lulus dari perguruan
silat di Liong-tam-sie, adalah ketika Poan Thian hendak
mengadu ilmu kepandaian silat dengan Sin-kun Bu-tek
Louw Cu Leng di kelenteng Tay-seng-tian. Tetapi karena
kepingin menyaksikan sampai dimana keberanian dan
kepandaian pemuda itu, maka In Liong telah sengaja tak
mau mengunjukkan diri pada saudara seperguruannya
itu. Kebetulan pada waktu itu Louw Cu Leng diiringi oleh
Houw-jiauw Co, maka hatinya In Liong jadi bercekat dan
kuatir, kalau-kalau Poan Thian nanti dikerubuti oleh
kedua orang itu. Oleh sebab itu, dengan secara diamdiam In Liong telah mencurahkan perhatiannya pada ahli
silat she Co tersebut. Ketambahan karena mendapat
keterangan bahwa jago silat itu pandai mempergunakan
pelbagai senjata rahasia, sudah tentu saja ia menjadi
191 semakin teliti dalam hal memperhatikan gerak-gerik
orang. Karena jikalau nanti Louw Cu Leng kena
dikalahkan oleh adik sepeguruannya itu, ia pikir bukan
mustahil akan ahli silat she Co itu turun tangan juga
untuk membela nama baik kawannya.
Itulah sebabnya mengapa In Liong merasa lebih perlu
tinggal sembunyi dan berlaku waspada, daripada
mengunjukkan diri yang bisa membikin keadaan jadi
semakin tegang. Lebih-lebih jikalau di pihak lawan
mereka sampai kejadian terbit sangkaan yang tidak baik
dan paham atas kedatangannya yang terjadi di luar
dugaan itu. Tetapi ternyata pertempuran itu telah berlangsung
dengan beres dan jujur, hingga In Liong jadi girang dan
lalu menyeruhkan supaya Poan Thian suka mempertahankan nama baiknya guru dan rumah
perguruan silat mereka di Liong-tam-sie. Kemudian ia
lekas menyingkir dari muka kelenteng Tay-seng-tian
ketika melihat gelagat Poan Thian dan Cu Leng hendak
mencarinya di antara orang banyak yang berkerumunan
di situ. Itulah sebabnya mengapa tak dapat ia diketemukan
oleh Lie Poan Thian. Pada kedua kalinya ia bertemu dengan suteenya itu,
ialah pada malam itu, dimana Kong Houw masuk kota
Khay-hong dengan meninggalkan Poan Thian sendirian
di rumah makan Hok Goan. Tatkala itu In Liong yang memang telah beberapa
hari yang lalu mendapat kabar tentang perbuatannya
Poo Tin Peng yang amat keji itu, iapun telah jadi sangat
gusar dan berniat malam itu juga akan membinasakan
jiwanya manusia busuk itu.
192 Di tengah jalan ia berpapasan dengan Cin Kong
Houw. Mula-mula ia berniat akan bersembunyi, tetapi
Kong Houw keburu melihat dia dan lantas mengejar.
Kong Houw menyangka kalau-kalau In Liong itu
adalah kaki tangan jahanam she Poo itu, seperti juga In
Liong yang telah menyangka demikian kepada orang
yang pertama disebutkan itu.
Mereka lalu saling tanya-menanya dengan cepat, dan
tatkala mengetahui bahwa tujuan mereka itu
bersamaaan, yaitu akan membinasakan jiwanya Poo Tin
Peng, In Liong lalu mengalah dan memberikan jaminan
akan melindungi padanya dengan secara diam-diam.
Kong Houw jadi sangat berterima kasih dan
mengharap akan dapat membalas budi kebaikan sang
sahabat yang tidak dikenal itu, tetapi Kong Houw tidak
pernah menyebutkan tentang adanya lain kawan pula
yang bersedia akan memberikan pertolongan kepadanya
dimana perlu, dan orang itu bukan lain daripada Lie Poan
Thian adanya. Maka setelah Poan Thian saling berjanji akan
bertemu dan mengobrol terlebih panjang di hari esok di
rumah makan Hok Goan, mendadak mereka telah dibikin
kaget dengan suara orang yang berteriak:
"Tangkap, tangkap si pembunuh! Dia tentu belum lari
terlalu jauh!" "Celaka!" kata Hoa In Liong. "Rupanya kawanmu itu
telah dikepung orang! Ayoh, pergilah kau lekas menolong
kepadanya. Aku di sini nanti menghambat orang-orang
yang akan mengeroyok ke sana."
Poan Thian menurut. Kemudian dengan mempergunakan siasat Yan-cu-cwan-liam ia berlompat
193 melalui sebuah pagar tembok yang tinggi, dari mana ia
dapat menyaksikan bagaimana Kong Houw sedang
dikepung oleh beberapa orang kauw-su nya Poo Tin
Peng yang diiringi oleh beberapa orang murid-muridnya
yang membawa obor. Poan Thian yang merasa kuatir Kong Houw akan
dilukai oleh seorang kauw-su yang bersenjata sepasang
golok dan dan gerak-gerakannya jauh lebih gesit dari
pada kawan-kawan yang lainnya, lalu menggunakan
pelanting buat melepaskan peluru-peluru Lian-cu-tan
yang segera dijujukan pada musuh itu.
Ser! Ser! Ser! Sebutir dua butir peluru telah dapat dihindarkan oleh
si kauw-su, tetapi sebutir peluru yang telah dilepaskan
paling belakang telah membikin ia berjengit, berteriak
karena kesakitan dan terus jatuh terlentang di tanah
dengan kepala boboran darah.
Sementara Kong Houw yang melihat sudah tak
terdapat rintangan pula untuk melarikan diri, buru-buru ia
berlompat keluar dari kalangan pertempuran dan terus
melayang ke atas pagar tembok.
Tetapi tidak kira ketika kakinya baru saja menginjak
bagian atasnya pagar tembok tersebut, mendadak dari
sebelah belakangnya terasa ada sesuatu yang
menyamber ke jurusannya. Lekas-lekas ia berkelit, tetapi
ternyata tidak keburu. Sebatang anak panah yang
panjangnya kira-kira satu kaki, telah menancap di atas
bahu kirinya! Ia pusing dan hampir saja jatuh ke bawah pagar
tembok, kalau saja Poan Thian tidak keburu jambret
padanya buat diajak lari keluar dari tempat berbahaya itu.
194 Dalam perjalanan kembali ke rumah penginapan,
Kong Houw hendak mencabut anak panah yang
menancap dibahunya itu, tetapi Poan Thian lalu
menyegah sambil berkata: "Jangan! Biarkan saja aku
nanti obati setelah sampai di kamar kita!"
Kong Houw menurut. Begitulah ketika mereka kembali dengan tiada
diketahui oleh barang satu manusia pun, Poan Thian lalu
cabut anak panah itu dari bahunya Kong Houw, cuci
lukanya, pakaikan obat untuk menghentikan darah dan
menghilangkan rasa sakit, kemudian ia minta sang
kawan berbaring di atas ranjang untuk beristirahat.
Tidak antara lama sang fajar telah mulai
menyingsing, hingga Poan Thian tak mendapat
kesempatan pula untuk tidur.
Tetapi Cin Kong Houw yang merasa sangat lelah
karena pertempuran semalam, bukan saja telah tidur
dengan nyenyak sekali, malah tak pernah ia
mengimpikan, bahwa suatu bahaya besar tengah
mengancam pada dirinya sendiri.
Maka Poan Thian yang tak mau membikin kaget
kawannya yang sedang tidur itu, lalu mengasih tahu
pada jongos, agar supaya dia jangan membanguni
kepadanya, berhubung kawan itu sedang sakit, katanya.
Kemudian ia minta disediakan makanan untuk satu
orang. Sesudah selesai dahar, ia lantas pergi membeli obat.
Karena selain lukanya Kong Houw perlu diobati dengan
memakai obat tidur, iapun perlu juga diberikan lain
macam obat minum. Tetapi, tidak kira, sekembalinya dari pasar, ia telah
195 berpapasan dengan seorang yang bertubuh tinggi besar
dan beroman keren, yang entah sedari kapan tampak
duduk di halaman pertengahan dengan sikap yang
menandakan kurang senang.
Orang itu kurang-lebih berusia tigapuluh tahun, ia
mengenakan baju pendek warna hitam dan bersepatu
Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
zool tipis serta menyoren sebilah golok dipinggangnya.
Oleh karena melihat sikap orang yang agak aneh itu,
maka hatinya Poan Thian jadi bercekat dan menduga,
kalau-kalau ada hal sesuatu yang tidak diingini terjadi di
rumah makan itu. Tetapi dilahir ia berpura-pura
mengunjuk sikap yang tenang dan terus saja berjalan
menuju ke kamarnya Cin Kong Houw.
"Hei sahabat, tahan dulu!" teriak satu suara yang
nyaring dari sebelah belakang pemuda kita.
"Belum tahu tuan ada urusan apa memanggil aku?"
tanya Lie Poan Thian. Orang tinggi-besar itu lalu menghampiri padanya
dengan sikap yang sombong dan menantang.
"Kemanakah kau mau pergi?" tanyanya dengan
suara ketus. Poan Thian jadi mendongkol dan lalu menjawab
dengan secara ketus pula!
"Kemana aku hendak pergi, itulah ada urusanku
sendiri! Ada apa sih untungnya kau menanyakan
begitu?" "Kurang ajar!" membentak orang itu, sambil berniat
akan menempiling pada si pemuda.
Tetapi Poan Thian segera miringkan
kepalanya, hingga tempilingan itu telah luput.
sedikit 196 "Apakah kau hendak melawan aku?" teriak orang itu
dengan hati sangat penasaran.
Kemudian dengan tidak mengatakan "ba" atau ,bu" ia
lantas menjotos muka Lie Poan Thian, siapa, setelah
berkelit dan kasih liwat tinju itu di atas bahunya, lalu
putarkan tubuhnya sambil menggunakan siasat Yu-cengpwe-pauw. Kedua tangannya dipergunakan untuk
mencekal tinju orang itu yang melalui di atas bahunya,
hingga dengan begitu, punggungnya pun jadi mendekati
pada dada orang tersebut, kemudian dengan kecepatan
bagaikan kilat, ia tarik tangan itu sambil membentak:
"Pergi!" Dan berbareng dengan terputusnya bentakan itu,
Poan Thian telah melemparkan orang tinggi besar itu
bagaikan orang yang melemparkan bola ke tanah
lapang, hingga orang itu yang telah jatuh ke atas jubin
dengan kepala mendahului kaki, sudah tentu saja lantas
jatuh pingsan dan ditinggalkan oleh Poan Thian yang
menuju ke kamarnya Kong Houw dengan tindakan yang
tergopoh-gopoh. Tatkala sampai ke depan pintu kamar, Poan Thian
mendengar suara berkerincingnya rantai yang dibarengi
dengan suaranya orang yang menyomel sambil
mengancam: "Kau dan aku sebenarnya sahabat-sahabat baik yang
telah sekian lamanya bekerja di bawah satu majikan.
Tetapi kalau sekarang aku telah memperlakukan kau
begini rupa, itulah sama sekali bukan karena aku
melupakan pada persahabatan kita, hanyalah karena kau
telah melakukan pembunuhan terhadap pada Poo Tin
Peng dan sekalian keluarganya, dari itu, aku terpaksa
mengambil tindakan buat menangkap kau sebagai
seorang pembunuh! Sebagai seorang sahabat, aku boleh
197 memaafkan itu, tetapi sebagai seorang hamba negeri,
aku harus berlaku keras dan tidak memandang bulu!
Itulah sebabnya mengapa setelah sekian lamanya kita
bersahabat, barulah pada kali ini aku merasa perlu
mengambil tindakan tegas dan keras terhadap pada
dirimu. Maka kalau kau berani berbantahan atau
membikin perlawanan, golokku yang tidak bermata ini
akan memenggal kepalamu di seketika ini juga!"
Setelah itu, lalu terdengar suaranya Cin Kong Houw
yang tidak kalah sengitnya dan membentak: "Tutup
bacotmu! Di sini tidak ada soal sahabat atau bukan
sahabat! Jikalau kau mau menangkap, segeralah kau
boleh tangkap, perlu apakah mesti mendongeng panjang
lebar buat mencari kemenangan sendiri?"
"Kurang marahnya. ajar!" teriak orang itu dengan amat Sementara Lie Poan Thian yang kuatir Kong Houw
yang terluka dianiaya oleh pihak musuh-musuhnya, buruburu berlompat masuk ke dalam kamar dan bikin seorang
militer yang berdiri di belakang pintu jadi terpental dan
jatuh mengusruk ke depan ranjang, karena terbentur
pintu yang didorongnya dari sebelah luar oleh pemuda
kita. "Kau ini siapa?" membentak seorang militer lain yang
beroman keren dan bermisai, yang ketika itu justeru
sedang memborgol Cin Kong Houw.
Tetapi Poan Thian tinggal membelalakkan matanya
dengan tak bicara barang sepatah katapun.
Kemudian dengan pelembungi dada orang militer itu
lalu membentak: "Hei, anak kecil! Tahukah kau siapa aku
ini" Di tanah Ho-lam tak ada dua atau tiga orang yang
bergelar Sin-kun selain aku Tang Ngo ini, kau tahu?"
198 Mendengar omongan orang militer yang sombong itu,
Poan Thian lalu mengeluarkan suara jengekan dari
lobang hidung dan berkata: ,Perduli amat dengan segala
gelaran kosong! Aku di sini tidak gentar dengan segala
"tinju malaikat" atau "tinju iblis-iblis. Jikalau kau berani,
segeralah kau serang aku, jikalau kau takut, kau boleh
segera pergi persetan dari sini!"
Tang Ngo yang bersifat pemarah, sudah tentu saja
jadi amat gusar. Dengan satu teriakan keras ia lantas
menyerang pada Lie Poan Thian dengan sepasang
tinjunya. Poan Thian yang melihat halaman kamar di situ agak
sempit, segera menyingkir dari pada pukulan itu sambil
berlompat keluar kamar, perbuatan mana, pun diikuti
juga oleh Tang Ngo yang membentak:
"Kau jangan lari!"
Tatkala berada di halaman pertengahan, barulah
kedua orang itu mulai berhantam dan menguji
kepandaian masing-masing dengan tidak banyak bicara
pula. Dalam pada itu Poan Thian mendapat kenyataan,
bahwa ilmu kepandaian Tang Ngo ini sesungguhnya
tidak boleh dipandang ringan. Karena selain gerakgeriknya amat sebat dan sesuatu pukulannya sukar
diduga, iapun mempunyai beberapa macam ilmu pukulan
yang Poan Thian belum pernah lihat dipergunakan orang
lain daripada Sin-kun Bu-tek Louw Cu Leng di kota
tumpah darahnya. Maka sambil bertempur dengan orang militer itu,
pemuda kita jadi berpikir di dalam hatinya:
199 2.13. Makhluk Gaib di Leng-coan-sie
"Apakah orang ini ada salah seorang muridnya Louw
Cu Leng Lo-suhu di Cee-lam, yang juga pernah
mempunyai murid orang militer Teng Yong Kwie itu?"
Tetapi Poan Thian tak sempat berpikir atau
menduga-duga lebih jauh pula, karena Tang Ngo yang
melihat pemuda kita berlaku sedikit lambat dalam
penyerangan atau penangkisannya, bukan saja telah
menyangka bahwa Poan Thian tidak tahan lama dalam
pertempuran itu, malah hatinyapun diam-diam jadi girang
dan lalu menyerang dengan cara yang terlebih gencar,
sambil mengajukan ilmu-ilmu pukulan yang ia percaya
Poan Thian tak akan mampu jaga.
Tetapi, tidak kira, ketika sedang enaknya ia
merangsek. mendadak Poan Thian telah merubah siasat
perlawanannya dan terus menerjang pada Tang Ngo
dengan menggunakan ilmu tendangan yang bernama
Siang-hui-lian-hwan-tui. Tendangan ini sifatnya bersamaan dengan ilmu
tendangan yang bernama Tan-hui-tui, tetapi dipergunakannya agak berlainan sedikit.
Kalau dengan mempergunakan ilmu yang tersebut
belakangan orang hanya mempergunakan sebelah kaki
saja, adalah dengan ilmu tendangan yang tersebut
belakangan itu orang menendang dengan berturut-turut,
baik dengan kaki kanan maupun dengan kaki kiri, hingga
jikalau orang berlaku lengah sedikit saja, sudah pasti
dirinya bakal menjadi celaka oleh tendangan yang
sedemikian hebatnya itu. Sin-kun Tang Ngo terkejut bukan main ketika melihat
serangan lawan yang sangat berbahaya dan lagi pula
sangat gencar itu, maka buru-buru ia melompat ke
200 samping buat menghindari serangan-serangan itu,
kemudian ia menjotos pilingan orang she Lie itu dengan
siasat "Menuang arak ke dalam cawan" yang tergolong
sebagai salah satu macam ilmu pukulan yang berbahaya
dari golongan siasat silat Ngo-houw-kun.
Pilingan itu adalah sebagian yang berbahaya dari
bagian kepala, maka orang yang kena dijotos pada
bagian anggotanya itu, pasti bisa menjadi mati, atau
sedikit-dikitnya bakal menderita luka berat.
Tetapi Lie Poan Thian tidak menjadi gugup barang
sedikitpun menghadapi serangan musuh itu.
Pukulan itu segera disampoknya ke samping, sambil
berbareng mengirim satu tendangan yang hebat sekali ke
jurusan dada musuh yang telah menjadi terbuka dan
tiada terlindung itu. Oleh sebab ini, sudah barang tentu Tang Ngo jadi
kaget sekali, maka buru-buru ia berlompat mundur
beberapa tindak jauhnya, setelah itu, barulah selanjutnya
ia melayaninya berkelahi dengan hati-hati sekali, agar
supaya tidak sampai kejadian ia dijatuhkan lawannya itu.
Demikianlah pertempuran itu telah berlangsung
dengan amat serunya, tetapi belum diketahui pihak mana
yang lebih tinggi atau rendah ilmu kepandaiannya.
Oleh karena Tang Ngo adalah seorang militer, maka
Lie Poan Thian agak khawatir, kalau-kalau lawannya itu
akan memperoleh lebih banyak bantuan dari kawankawannya, sedangkan ia hanya bersendirian saja, maka
tak mau ia membiarkan pertempuran itu berjalan terus
dengan begitu saja. Dari itu ia segera mengubah caranya bersilat, sambil
mengeluarkan bentakan keras untuk mengejutkan hati
201 lawannya, tangan kirinya diayunkan kehadapan mata
lawannya, tetapi tangan kanannya lalu mencakar muka
lawannya dengan siasat "Naga emas mempersembahkan semangka".
Dengan siasat ini, benar saja Tang Ngo terkesiap
hatinya. Menampak serangan di depan mukanya itu, dan
tatkala ia menangkis serangan tersebut dengan
membentangkan kedua tangannya ke kiri-kanan buat
menyampok. Lie Poan Thian dengan secepat kilat telah
menendang dada lawannya dengan siasat ,Siauw-pouwlian-hwan-tui", yang menjadi salah satu macam ilmu
tendangan yang sangat lihay dari perguruan ilmu silat
cabang Liong-tam-sie. Oleh karena Tang Ngo sedang sibuk menjaga
serangan dari atas, maka tak keburu ia mengelakkan
serangan Poan Thian dari sebelah bawah.
Hampir dalam saat itu, segera terdengar suara-suara
dan jeritan yang mengerikan.
Duk! " Aduh! " Gedebuk!
Ternyata dada Tang Ngo telah kena ditendang
dengan telak sekali oleh Lie Poan Thian, hingga tidak
ampun lagi, orang she Tang itu jadi terpental ke belakang
dan jatuh terlentang di tanah bagaikan seekor ajam yang
kelabakan karena disembelih dan hampir putus
nyawanya. Oleh karena dada itu adalah tempat berkumpulnya
paru-paru dan hati, yang merupakan bagian yang sangat
penting dalam tubuh manusia, maka orang yang anggota
badannya kena dilukakan di bagian itu, banyakan
menjadi celaka daripada selamat.
202 Maka setelah berkali-kali memuntahkan darah segar,
Tang Ngo terus jatuh roboh dengan tidak sadar lagi akan
dirinya. Sementara kawan-kawannya yang turut datang
bersama-sama ke tempat itu, ketika melihat gelagat tidak
baik, sudah lantas memanjangkan langkahnya buat
melarikan diri, dengan meninggalkan kawan-kawan
mereka yang menderita luka-luka berat itu.
Lie Poan Thian mengetahui, bahwa tempat itu tidak
baik buat didiami terlebih lama pula.
Syukur juga luka-lukanya Cin Kong Houw pun telah
mulai menjadi baikan, maka tidak berayal pula ia segera
pergi ke istal buat menuntun keluar dua ekor kuda.
Sesudah membereskan barang-barang mereka serta
membayar rekening hotel, kedua orang itu terus cemplak
kuda masing-masing yang lalu dilarikan dengan pesat
meninggalkan tempat itu. Sesudah mereka melarikan diri sekira tigapuluh lie
lebih jauhnya, barulah mereka berani berjalan lebih
perlahan. Selanjutnya, untuk menghindarkan diri daripada
kerewelan-kerewelan yang mungkin bakal terjadi, jikalau
nanti Bu Goan Kwie mengirimkan pasukan berkuda buat
mengejar mereka, maka Poan Thian dan Kong Houw
terus mengambil jalan kecil yang sunyi dan di kedua
Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tepinya banyak ditumbuhi semak-semak dan pohonpohon yang lebat.
Sesudah berjalan beberapa lie jauhnya, mereka
sudah hampir tak menemui pula perkampungan,
sedangkan orang yang lalu-lintas di jalan itupun tidak
dijumpai mereka barang seorang pun.
203 Kemudian karena keadaan jalanan itu semakin lama
semakin menanjak dan berkelok-kelok, maka Poan Thian
jadi takut menyasar dan segera menanyakan kepada Cin
Kong Houw, apakah mereka tidak mengambil jalan yang
keliru" "Jangan kuatir," kata orang she Cin itu, "jalan-jalan
kecil di sekitar daerah ini, aku ketahui semua dengan
baik sekali. Di sini kita sedang mendaki bukit Jie-liongnia, sesudah melewati bukit ini, kita akan ketemukan pula
sebuah bukit lain yang dinamakan Hek-gu-nia, dan
selanjutnya adalah bukit Tay-hun-nia. Sesudah kita
berjalan pula kira-kira delapanpuluh lima lie jauhnya, kita
akan tiba di residensi Heng-ciu, kemudian mulai masuk
ke daerah Kang-souw utara."
Mendengar keterangan begitu, sudah tentu saja Poan
Thian jadi merasa agak kecewa, karena tempat
tujuannya yang sebenarnya adalah Tiong-ciu, hingga
sekarang ia jadi berbalik menjauhkan diri dari tempat
yang ditujunya itu. Lalu ia memberitahukan maksud hatinya kepada
orang she Cin itu. "Letak Tiong-ciu dan Khay-hong tidak berjauhan,"
menerangkan Kong Houw, "dan kedua-duanya daerah itu
berada dalam kekuasaan Bu Goan Kwie. Apabila Lauwhia belum pernah campur tangan dalam urusanku, sudah
tentu saja engkau boleh pergi ke tempat-tempat itu
dengan sekehendak hatimu. Tetapi sekarang karena
Lauw-hia sudah pernah menerbitkan keonaran di daerah
kekuasaannya, maka aku percaya, apabila orang she Bu
itu mengetahui kedatangan Lauw-hia ke sana, tentulah
dia akan berdaya-upaya buat mencelakakan kepada
dirimu. Apabila dia berani mengganggu Lauw-hia dengan
secara berterang, Lauw-hia tentu masih bisa
204 menghindarkan diri, tetapi apabila dia mempergunakan
tipu-muslihat busuk dengan secara menggelap, sudah
tentu sukar sekali buat Lauw-hia bisa menjaganya. Maka
daripada mengantarkan diri ke tempat yang berbahaya
itu, kukira lebih baik Lauw-hia turut aku bersama-sama
pergi ke Kang-lam, untuk pesiar dan menghilangkan
sedikit rasa jengkel kita dengan jalan memandang
keindahan alam di sana yang terkenal permai."
Pemuda kita jadi merasa tertarik juga dengan
omongan Cin Kong Houw itu, yang kemudian
menceritakan berbagai macam keindahan alam di daerah
Kang-lam, sehingga dengan begitu ia menurut juga buat
bersama-sama pergi ke sana.
Begitulah setelah berjalan beberapa
akhirnya tibalah mereka di kota Kim-leng.
lamanya, Sesudah puas pesiar di ibu-kota kuno itu, mereka
terus berangkat lagi keselatan dan menuju ke kota Hangciu, yang termasyhur sebagai salah sebuah "Sorga
dalam Dunia" disamping kota Souw-ciu yang menjadi
timpalannya. Kota Hang-ciu ini adalah ibu propinsi Ciat-kang, yang
mempunyai pemandangan alam sangat indah dan
termasyhur di dalam dunia, terutama telaga See-ouw
nya, yang tak asing lagi dan sering disebut-sebut dalam
sajak-sajak para penyair kenamaan di jaman dahulu dan
sekarang. Cin Kong Houw ini ternyata sudah paham sekali
dengan keadaan tempat-tempat di situ, maka dengan
tiada menanyakan pula kepada orang lain, ia sudah bisa
mengajak Lie Poan Thian mengunjungi ke perbagai
tempat yang indah-indah pemandangan alamnya, serta
tempat-tempat termasyhur peninggalan dari jaman kuno
205 yang sering dikunjungi dan dipuji orang sedunia.
Setelah puas berputar kayun di sekeliling tempattempat itu, akhirnya mereka merasa haus dan lapar,
hingga mereka lalu mampir ke sebuah kedai arak yang
terletak di pantai telaga See-ouw, dari mana sambil
duduk-duduk dan berminum arak orang dapat menikmati
pemandangan alam yang terbentang di sekitar tempat
itu. Begitulah sesudah memilih tempat duduk yang
terletak di dekat mulut jendela, mereka lalu panggil
seorang pelayan dan memesan arak dan makanan yang
menjadi kegemaran masing-masing.
Dalam pada itu, di lain meja di dekat mereka,
terdapat pula dua orang tamu lain yang sedang duduk
bercakap-cakap sambil makan minum dengan asyik
sekali. Salah seorang di antaranya mengenakan baju biru,
sedangkan yang lainnya berbaju panjang yang berwarna
kuning. Rupanya mereka inipun ada orang-orang pelancong
yang telah sengaja pesiar ke telaga yang termasyhur
permai itu. Dalam omong-omong yang dilakukan oleh kedua
orang itu, Poan Thian dan Kong Houw mendengar orang
yang berjubah panjang itu berkata demikian: "Di antara
pemandangan-pemandangan alam yang termasyhur di
sekitar tempat ini, kelenteng kuno Leng-coan-sie di
pegunungan Houw-kiu-san pun kiranya baik juga buat
dikunjungi. Karena selain pemandangannya tak bisa
dicela, juga ketua kelenteng itu yang bernama Siang
Goan Taysu bukan lain daripada salah seorang
kenalanku yang baik sekali."
206 Tetapi orang yang berbaju biru lalu memotong
pembicaraan orang itu sambil berkata: "Kukira paling
betul kita jangan pergi ke sana. Karena selain terkabar
Taysu sudah lama meninggal dunia, di sanapun kini terbit
suatu peristiwa aneh yang telah membikin orang-orang
yang pesiar ke tempat itu segan mengunjungi kelenteng
tersebut. Dari itu, disamping mengalami seranganserangan dengan sambitan batu atau genteng dari dalam
kelenteng itu, mungkin juga rumah berhala itu sekarang
telah menjadi sarang tikus atau ular."
Kemudian ia menunda sebentar pembicaraannya,
karena mengirup arak yang disajikan di hadapannya.
"Tempo hari," ia melanjutkan, "ada beberapa orang
yang iseng-iseng mengunjungi kelenteng itu. Tetapi
sungguh tidak dinyana, selagi mereka asyik memandang
keindahan alam di sekitar situ, tiba-tiba mereka telah
diserang entah oleh siapa yang telah menggunakan
batu-batu dan pecahan-pecahan genteng yang dibuat
menyambiti orang, hingga dua orang di antara mereka
telah menderita luka-luka yang agak berat juga. Oleh
karena itu, semenjak hari itu dan selanjutnya, tidak
pernah lagi ada orang yang berani datang mengunjungi
pula kelenteng tersebut. Itulah sebabnya mengapa aku
tidak suka pujikan kau akan mengunjungi kelenteng
Leng-coan-sie itu." Hal mana, sudah tentu saja, telah membikin si baju
kuning jadi heran dan lantas bertanya: "Sebenarnya ada
perkara aneh apa sih yang terjadi di dalam kelenteng
itu?" "Menurut cerita orang-orang yang mengetahui,"
demikianlah si baju biru memulai bercerita pula,
"kabarnya di dalam kelenteng itu orang sering menjumpai
setan yang selalu muncul di waktu tiap-tiap tengah
207 malam. Setan itu sekujur badannya berwarna putih, bisa
berlompat-lompat dengan cepat sekali dan sering
dijumpai orang menangis tersedu-sedu sambil menghadapi rembulan, hingga kejadian ini sangat
menyeramkan orang dan membuat orang takut akan
mengunjungi kelenteng Leng-coan-sie tersebut.
Pada suatu hari, pernah ada seorang yang bernama
Siauw Cu Ceng, seorang terpelajar yang gemar pesiar
dan tidak percaya segala urusan takhayul yang
bersangkut-paut dengan setan-setan atau malaikatmalaikat, yang di waktu terang bulan telah berjalan-jalan
ke pegunungan Houw-kiu-san buat memandang
rembulan dari atas bukit.
Petang hari itu sinar rembulan yang sangat terang
dan menyoroti muka dunia kita ini, boleh dikatakan
hampir mirip dengan keadaan di waktu siang hari.
Keadaan di sekitarnya sunyi-senyap, sehingga siliran
angin yang paling halus sekalipun dapat didengar
suaranya dengan tegas melalui daun-daun pohon yang
bersuara keresekkan. Tatkala orang she Siauw itu sedang enak berjalanjalan, ia hampir tidak merasa lagi telah sampai di muka
kelenteng Leng-coan-sie yang terkenal angker itu. Tetapi
ini semua tidak membikin ia jadi keder atau takut.
Selanjutnya karena merasa keisengan, maka ia lantas
mendekati kelenteng itu sambil melihat-lihat ke bagian
dalamnya dari pintu depan yang ternyata tidak terkunci.
Selagi berbuat demikian, betul saja ia telah
menyaksikan di dekat ruangan besar kelenteng itu
tampak berdiri satu makhluk gaib sebesar manusia,
berpakaian serba putih dan justru sedang menengadah
ke langit sambil memandang bulan purnama yang gilanggemilang. Kemudian ia menghela napas dengan
208 berulang-ulang, seolah-olah ada sesuatu yang menjadi
"ganjelan" di dalam hatinya.
Sementara Siauw Cu Ceng yang tinggal mengawasi
dari kejauhan, mendapat kenyataan bahwa makhluk itu
berambut panjang yang terurai di atas kedua bahunya,
mukanya putih dan sepasang matanya mengeluarkan
sinar yang menakuti orang.
Begitulah ketika Cu Ceng sedang terliput oleh rasa
heran yang sekarang tercampur aduk dengan rasa takut,
tiba-tiba makhluk gaib itu telah mendusin, jikalau segala
perbuatannya telah diketahui orang, oleh sebab itu,
dengan kaget ia jadi menoleh kepada Cu Ceng, yang
dengan mendadak merasakan bulu romanya jadi pada
berdiri! Tetapi syukur juga makhluk itu tidak mengunjukkan
aksi apa-apa yang bisa membahayakan bagi diri Cu
Ceng. Hanya setelah menendangkan kakinya ke tanah
dengan sama sekali tak mengeluarkan suara apa-apa,
makhluk itu lalu melayang ke atas wuwungan kelenteng
dan terus menghilang entah kemana perginya.
Cu Ceng jadi kemekmek sehingga buat beberapa
saat lamanya ia berdiri tegak bagaikan sebuah patung.
Tetapi sebegitu lekas perasaan kagetnya telah menjadi
kurangan, akhirnya timbullah rasa kepingin tahu di dalam
hatinya kemana selanjutnya makhluk gaib itu telah
berlalu. Jikalau Cu Ceng segera berlalu dari tempat itu,
ada kemungkinan dia tak akan mengalami kecelakaan
atau kejadian-kejadian tidak enak bagi dirinya sendiri.
Tetapi justru karena ini, maka selanjutnya banyak orang
yang jerih akan mengunjungi pula kelenteng kuno itu.
Diceritakan tatkala Cu Ceng melihat makhluk itu
melayang ke atas wuwungan kelenteng, buru-buru iapun
209 masuk ke dalam buat coba memperhatikan kemana dia
itu pergi. Tidak kira selagi bercelingukan kian kemari,
mendadak ia telah dihujani sambitan batu dan pecahan
genteng yang telah memaksa ia melarikan diri dari dalam
kelenteng tersebut dengan mendapat luka-luka di badan
dan dengan kepala separuh bonyok!
Cu Ceng lari terbirit-birit dengan tidak memperdulikan
lagi pada pakaiannya, yang dalam tempo sekejapan saja
telah menjadi compang-camping karena tersangkut
pohon-pohon berduri yang banyak terdapat di antara
jalanan gunung yang sunyi senyap itu. Setibanya di
rumahnya sendiri, ia telah jatuh pingsan karena, letih
berlari-lari tidak henti-hentinya.
Demikianlah, pada hari esoknya, mulailah Cu Ceng
menuturkan pengalamannya yang seram itu kepada
teman-teman dan handai-taulannya.
Maka setelah kabar itu bersambung-sambung dari
satu ke lain mulut, orang lantas berpendapat bahwa
kelenteng yang telah lama tidak diurus itu, tidak baik
akan dikunjungi orang. Bukan saja di waktu malam hari,
bahkan di waktu siang hari juga, selanjutnya tak ada pula
orang yang sudi datang ke situ. Sekarang ditambah pula
dengan munculnya makhluk gaib yang bersarang di situ,
maka ada siapakah pula yang begitu edan buat
berurusan dengan segala setan pejajaran itu?"
Si baju kuning yang mendengar penuturan itu tampak
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil sebentarsebentar minum arak yang dituangkan oleh kawannya
itu. "Ceritaku ini belum habis sampai di situ saja," kata si
baju biru setelah membasahkan pula tenggorokkannya
dengan arak. 210 Sambil bermakan minum dengan perlahan, Poan
Thian dan Kong Houw memperhatikan ceritanya si baju
biru itu. "Cerita tentang adanya setan atau makhluk gaib di
kelenteng Leng-coan-sie ini memang telah tersiar ke
sana-sini dan diketahui oleh setiap penduduk kota Hangciu," si baju biru memulai pula ceritanya. "Tatkala itu di
Hang-ciu kebetulan ada serombongan piauw-su yang
baru saja datang habis menghantarkan uang kiriman dari
Gie Hin Piauw-kiok di Kwi-say. Salah seorang di
antaranya yang menjadi pemimpin dan bernama Chio
Hoat Coan, adalah seorang ahli silat jempolan yang
sangat terkenal tentang keberaniannya.
Ketika Chio Piauw-su mendengar kabar yang agak
menggemparkan ini, ia jadi penasaran dan menyatakan
Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak percaya dengan kabar yang bukan-bukan itu.
Apalagi ketika mengunjungi kelenteng itu dan tidak dapat
ketemukan apa-apa, ia jadi mendongkol dan lalu pergi
menegur pada Siauw Cu Ceng, yang dikatakannya telah
menyiarkan kabar justa untuk membikin para penduduk
kota Hang-ciu jadi gelisah.
Tetapi sudah tentu saja Cu Ceng pun tidak mau
terima begitu saja tuduhan itu, hingga selain ia telah
menetapkan itu dengan suara persumpahan, iapun
menyatakan kesediaannya buat menghantarkan si
piauw-su itu buat pergi mengunjungi kelenteng itu di
waktu malam hari. Hoat Coan terima baik tawaran itu.
Begitulah dengan hanya berduaan saja dan secara
diam-diam, Cu Ceng dan si piauw-su itu lalu
mengunjungi kelenteng tersebut.
"Dimanakah biasanya setan itu terlihat?" bertanya
211 Hoat Coan dengan perasaan tidak percaya.
"Di sana, di ruangan besar," sahut Cu Ceng sambil
menunjuk ke dalam kelenteng itu.
"Kalau begitu," kata si piauw-su itu pula, "biarlah aku
nanti pergi sendiri buat coba buktikan omonganmu itu."
Cu Ceng menjawab: "Baik," kemudian ia menantikan
di luar untuk menyaksikan hal apa yang akan terjadi
selanjutnya. Diceritakan ketika Hoat Coan masuk ke dalam
kelenteng yang gelap itu, ternyata buat beberapa saat
lamanya ia tidak melihat ada apa-apa yang menandakan
bahwa di situ benar-benar pernah ada setan yang
bersarang. Tetapi buat memastikan betul atau tidaknya
kata orang di luaran, ia tidak lekas berlalu pada sebelum
mendapat lihat apa-apa yang dirasanya baik untuk
dijadikan bahan laporan dari penyelidikannya nanti.
Tidak kira selagi ia menoleh ke sana-sini di dalam
kegelapan yang membungkus keadaan di sekitarnya
kelenteng itu, mendadak ia berpapasan dengan benda
putih yang ia tidak lihat dari mana datangnya! Hoat Coan
biarpun hatinya terkenal tabah, tidak urung pada waktu
itu telah jadi gentar juga dan lalu berlompat mundur
tanpa ia merasa lagi. Itulah ternyata suatu makhluk gaib yang telah
dikatakan oleh Cu Ceng tadi!
Maka setelah menetapkan hatinya, Hoat
bertindak maju buat mencekal makhluk gaib
makhluk tersebut lalu tendangkan kakinya ke
dan terus menghilang di antara wuwungan
yang bersusun bagaikan mercu.
Coan lalu itu, tetapi atas jubin kelenteng Hoat Coan jadi semakin penasaran dan lalu susul
212 makhluk itu dengan jalan mengikuti melayang ke atas
wuwungan tersebut. Tetapi, tidak kira, pada sebelum bisa
menginjak wuwungan itu, mendadak ia telah dihujani
batu dan pecahan genteng yang telah membikin ia
terpaksa lompat turun pula ke ruangan besar, dengan
badan mendapat luka-luka dan kepala setengah bonjok
seperti apa yang pernah dialami oleh Cu Ceng pada
beberapa waktu yang lampau itu.
Tetapi Hoat Coan ini ternyata berkepala lebih keras
dan berlaku lebih nekat buat melakukan penyelidikan
lebih jauh. "Jikalau aku belum ketahui apakah kau sesungguhnya setan atau manusia yang menyamar jadi
setan," kata si piauw-su itu, "belumlah puas aku
melakukan penyelidikan ini!"
Begitulah buat kedua kalinya ia telah mencoba buat
naik ke atas wuwungan kelenteng itu, tetapi "sambutan"
pada kali inipun ternyata tidak kalah "hangatnya"
daripada apa yang telah dialaminya tadi. Karena selain
batu-batu yang dipergunakannya untuk menyambit jauh
lebih besar daripada tadi, bahkan genteng-genteng yang
melayangpun bukan lagi dalam rupa pecahan yang kecilkecil saja, hanyalah genteng-genteng utuh, yang sebuah
antaranya telah mengenai dengan tepat sekali pada
belakang kepala Chio Hoat Coan, hingga ini telah
membikin mata Hoat Coan berkunang-kunang, kemudian
tak ampun lagi jatuh roboh dalam keadaan pingsan.
Tatkala akhirnya ia tersadar, ia dapatkan dirinya telah
berada di luar kelenteng di atas dukungannya Siauw Cu
Ceng Oleh sebab itu, ia sekarang baru mau percaya,
bahwa apa yang telah dikatakan orang she Siauw itu,
213 sesungguhnyalah berbukti dan bukan omong kosong
belaka! Maka dengan terjadinya peristiwa yang tersebut
paling akhir itu, boleh dikatakan sudah tidak ada barang
satu manusia lagi yang sudi mengunjungi kelenteng kuno
itu." Demikianlah si baju biru penuturannya yang luar biasa itu.
telah mengakhiri Lebih jauh oleh karena si baju kuning pun
mengetahui, bahwa Siauw Cu Ceng dan Chio Hoat Coan
itu adalah orang-orang yang namanya cukup terkenal di
kota Hang-ciu, maka ia kelihatan mau percaya juga
penuturan sahabatnya itu. Dari itu, ia terpaksa
membatalkan maksudnya buat mengunjungi kelenteng
tua Leng-coan-sie yang terletak di pegunungan Houwkiu-san itu.
Kemudian sesudah mereka puas bermakan minum
dan membayar harganya makanan dan minuman, kedua
orang itu lalu meninggalkan kedai arak itu, untuk
melanjutkan perjalanan mereka akan pesiar di sekitar
telaga yang terkenal itu.
Sementara Poan Thian yang memasang telinga
mendengari penuturan si baju biru tadi, lalu menoleh
pada Cin Kong Houw dengan roman yang menandakan
tidak percaya dengan segala obrolan yang dianggapnya
kosong itu. "Apakah engkau percaya apa kata orang itu tadi?" ia
bertanya pada Kong Houw. "Ya, itu memang mungkin juga bisa dipercaya", sahut
Cin Kong Houw. "Karena dalam dunia yang seluas jni
tentunya segala macam keanehan pun memang bisa
214 kejadian di luar dugaan kita. Coba saja kau pikir tentang
lelakon setan yang sering mengganggu manusia itu.
Jikalau perkara itu memangnya tidak ada, cara
bagaimanakah orang bisa menceritakan tentang segala
keanehan-keanehan yang bersangkut-paut dengan
urusan setan-setan itu?"
Poan Thian tersenyum dengan hati yang tetap tidak
percaya dengan penuturan si baju biru tadi.
"Aku kira iblis di Leng-coan-sie itu bukanlah iblis
sungguhan," katanya, "tetapi bukan lain daripada
manusia yang menyamar sebagai iblis, buat membikin
orang takut akan mengunjungi tempat itu."
"Ya, ya, pendapatmu itupun memang bisa jadi juga
masuk akal," sahut Kong Houw yang kelihatan lebih
mementingkan untuk mengisi perut daripada campur
tahu dalam urusan yang agak takhayul itu.
Begitulah ketika matahari telah menyelam ke barat,
barulah mereka kembali ke rumah penginapan.
Malam hari itu karena turun hujan gerimis dan hawa
udara agak dingin, maka sore-sore Kong Houw sudah
tidur menggeros bagaikan seekor kerbau yang
disembelih. Kecuali Poan Thian sendiri yang karena tak sudahsudahnya memikirkan lelakon setan itu, maka sudah
barang tentu tinggal gulak-gulik di atas pembaringan tak
dapat lekas tidur pules. Dalam pada itu pemuda kita kembali membayangkan
lelakon kera tetiron yang lampau itu, kemudian ia coba
bandingkan lelakon itu dengan setan di kelenteng Lengcoan-sie yang sekarang sedang dihadapinya itu.
"Tentang maksud tujuan si kera tetiron itu, memang
215 sudah terang ditujukan untuk maksud jahat," pikirnya.
"Tetapi apakah maksudnya iblis dari kelenteng kuno itu,
yang sampai sebegitu jauh belum pernah mencelakai
jiwa manusia dan tampaknya agak kuatir akan
"sarangnya" di sana dikunjungi manusia" Apakah
barangkali di kelenteng itu ada tersembunyi sesuatu
rahasia yang diorganisir oleh sekelompok manusiamanusia yang tidak bertanggung jawab terhadap pada
kesusilaan atau ketertiban umum?"
Poan Thian yang semakin memikirkan hal itu, jadi
semakin penasaran dan kepingin tahu rahasia apa yang
terletak dibalik tabir lelakon iblis di kelenteng kuno itu.
Oleh karena ini, maka akhir-akhirnya ia telah mengambil
keputusan, buat di malam hari itu juga mengunjungi
kelenteng tersebut, agar supaya dengan begitu, ia bisa
membuktikan dengan mata kepalanya sendiri, sampai
dimana kebenaran omongan orang di luaran itu.
Begitulah setelah selesai menukar pakaian untuk
berjalan di waktu malam dan membawa genggaman
yang dirasa perlu, Poan Thian lalu menolak daun jendela
dan berlompat kelataran rumah penginapan bagaikan
lakunya seekor kucing. Kemudian dengan jalan melalui
tembok pekarangan rumah penginapan itu ia keluar ke
jalan raya. 2.14. Puteri Kepala Polisi Sejati
Dari situ, syukur juga karena keadaan masih sore
dan banyak orang yang masih berkeliaran di jalan raya,
maka Poan Thian dapat menanyakan dengan cukup
jelas, dimana letaknya kelenteng Leng-coan-sie yang
Bentrok Rimba Persilatan 6 Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung Pendekar Latah 13
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama