Ceritasilat Novel Online

Ilmu Silat Pengejar Angin 4

Ilmu Silat Pengejar Angin Karya Siasa Bagian 4


menghembuskan napasnja jang penghabisan, beliau
mengandjurkan padaku agar supaja walau dengan djalan
bagaimana pun,aku harus membalaskan sakit hati ini.
Demikianlah sedjak hari itu, dengan matinja ajah ibu serta
sembilan saudara2ku, aku pun mendjadi benar2 seorang jatim
piatu, tiada sanak saudara ataupun orang2 pembantu rumah
tangga. Sungguh aku bersakit hati benar. Betapa tidak, enam
puluh empat djiwa, termasuk kedua 'kong dan 'ma telah binasa
dalam hanja satu hari sadja. Demikianlah dari berasal sebagai
putera tunggal seorang berada, sedjak hari itu hidupku berubah
mendjadi ter-lunta2 sebatang kara dengan hanja mengandalkan
belas kasihan orang. Dua tahun aku hidup sebagai itu, hingga
achirnja setjara kebenaran aku ditemukan seorang pendekar luar
biasa jang ternjata adalah Sutjoumu, Toei Hong Tjoe Kek Beng.
Demikianlah selandjutnja aku hidup dibawah gemblengan beliau
jang memberikan padaku peladjaran ilmu silat dan surat, serta
sepuluh tahun kemudian akupun telah mempunjai ilmu silat jang
tjukup berarti. Muka guruku mendjadi putjat pasi ketika mendengar tjeritaku
akan bentjana jang menimpa keluargaku, bahna menahan marah.
Segera diperintahkannja agar aku lekas2 turun gunung untuk
tjepat2 membalas sakit hati ini. Dikatakannja djuga, dengan
kepandaian jang seperti aku miliki sekarang ini, djangankan baru
seratus Thiam lam pay, dua ratuspun belum tentu dapat
menandingiku. Demikianlah setelah melakukan upatjara
perpisahan, keesokan harinja akupun turun gunung.
Putusan sudah tetap, jakni, aku harus dapat membunuh sedikitnja
lima puluh lima anggota partai Thian lam, serta memperkosa
sedikitnja empat kali sembilan anggota keluarga perempuannja
serta membunuhnja! Dan dalam hal ini, pada taraf pertamanja
aku berhasil, lima puluh satu anak serta tjutju murid Thian lam
serta empat kakek guru kuberhasil membinasakannja, sedang
tiga puluh lima anggota keluarga perempuannja, dalam waktu
delapan belas hari aku berhasil mentjemarkan kehormatannja
serta kemudian menghabiskan djiwanja..."
"Pembalasan total jang hebat sekali!" berseru Siang Tjoe seorang
diri. "Namun, seperti tadi kukatakan aku berhasil hanja taraf
pertamanja sadja... karena tiba2 ketika koranku jang bernama
Kwee Bian Un jakni korbanku terachir sudah kutjemarkan
mendadak dengan dia aku terdjerumus kedalam gelombang
pertjintaan. Tak kuasa aku membunuhnja bahkan kemudian dia kubawa lari
kesebuah goa. Akan tetapi mungkin sudah takdir, karena kesilapan ini aku
terdjerumus kedjurang kehantjuran. Demikianlah diluar tahuku,
ternjata goa dimana aku bersembunji, beberapa hari kemudian
dilingkung oleh tidak kurang dari tiga puluh orang2 dari Khong
tong pay, Bu tong pay, Tjeng hong pay dan Thian lam pay sendiri.
Sedang jang dari Tjeng hong pay ini, Mie Ing tianglo jang telah
turut mengambil bagian. Dalam gabungan itu, ternjata mereka
'hebat' dan 'lihay' sekali, hingga baharu sadja aku berhasil
membinasakan enam serta melukai sebelas diantara mereka, aku
tertangkap. Dengan susah pajah sepuluh hari kemudian, dengan
menanggung segala urat tangan kanan diputuskan, aku berhasil
melarikan diri. Aku kembali kegunung Than-ala-san ini, diamana
guruku bersemajam. Tapi ketjewa bagiku, ternjata beliau sedjak
dua bulan jang lalu telah berpulang, sedang jang benar2
membuatku terkedjut sekali ialah, pedangnja lenjap entah
kemana. Pada tangannja hanja terdapat selembar kertas jang
memerintahkan supaja aku, sebagai muridnja, harus mentjari dan
mendapatkan kembali sendjata pusaka itu.
Lima tahun, seorang diri sadja aku melatih diri pula, akupun
kembali turun gunung. Dan memenuhi pesan guruku, aku pergi
kedaerah India untuk menjelidiki serta mengambil kembali
pedang pusaka guruku akan kemudian baharu pergi ke Tinpa
untuk mentjari kembali semua orang2 jang dahulu telah menjakiti
hatiku. Namun apa latjur, tak kuasa aku melawan takdir,
demikianlah setelah aku berhasil mengambil kembali pedang
pusaka peninggalan guruku, dari seorang India, mau tidak mau
aku harus menaiki kembali gunung Thang-ala-san karena aku
merasakan betapa saat ku telah tiba, dan akupun meneladani
bagaimana guruku berpulang dengan duduk bersemedi. Setjara
tenang, akupun menjusulnja. Dan terima kasih sekarang
kuutjapkan kepadamu jang telah sudi menguburku sebagaimana
selajaknja seperti apa jang kulakukan atas diri soetjouwmu. Hanja
pesanku jang terachir. Per-tama2 turun gunung, pergilah ke
Tinpa. Disana tjarilah turunanku.
Kalau ia seorang perempuan, peristrilah dia. Sedang apabila dia
sebagai laki2, sebaja umurnja dengan kau, angkatlah dia sebagai
soeteemu, turunilah seluruh ilmu silatmu, dan kalau dia lima atau
sepuluh tahun lebih muda dari kau. Angkatlah dia sebagai
muridmu. "Hampir sadja aku tjelaka terpedaja ditangan ketiga manusia
Thian lam tadi," pikir Siang Tjoe setelah membatja serta
memperhatikan isi surat itu. "Dan hampir sadja aku mendjadi
murid durhaka dengan membakar kitab. Djangan kuatir suhu,
kalau nanti aku berkelana, aku akan lakukan apa jang kau pesan
itu. Dan bahkan kalau sampai terdjadi mereka hendak menuntut
balas, aku akan habiskanm sampai ke-akar2nja. Lebih2 pula kau
bermusuhan dengan orang2 Tjeng hong pay, sedang ajahku telah
binasa ditangan seorang anak murid Tjeng hong pay. Mulai hari
ini aku akan mempeladjari kedua kitabmu dengan terlebih
radjin..." Berpikir demikian, Siang Tjoe segera membatja Toe Hong Lwee
kang dengan teliti. Ia perhatikan semua petundjuk2, serta
tjara2nja bagaimana mengatur napas. Ia perhatikan gerak-gerik
peta. Tudjuh hari ia membatja terus-menerus, ia mendapat
kenjataan bagaimana bedanja itu dengan pengadjaran silat
pedang atau tangan kosong. Waktu pertama kali membatja, ia
agak bingung. Tapi oleh karena ia mempunjai otak jang tjukup
tjerdas, walaupun peladjaran berbeda dengan ilmu silat biasa,
iapun dapat mengatur napasnja sesuai dengan peladjaran jang
tertera dikitab. Dan pada hari kesepuluhnja, iapun merasakan
betapa tubuhnja mendjadi terlebih ringan, sedang kekuatan
tenaga mendjadi bertambah ber-lipat2. Namun ketika dihari
kesebelas, ia menghadapi kesukaran, ialah dibagian peladjaran
tanpa peta. "Baik aku tunda dahulu," berkata Siang Tjoe dalam hati. Dan
keesokan harinja ia mulai pula membatja kebagian kitab
'Pemetjahan Lukisan' jang ia telah batja serta hafalkan sampai
hampir separuhnja. Terus ia melatih diri dengan dibantu oleh
pertolongan gambar2 monjet.
Setelah puas, setelah berselang sebulan, ia mulai membalik-balik
pula kitab 'Toei Hong Lwee Kang', kembali ia dihadapi kesukaran
pada bagian peladjaran jang tidak berpeta. Mendadak ia ingat
ukiran gambar2 ditembok kamar Tek Kwee kiesoe, sang guru
jang dari surat tjatatannja, bernasib malang. Bukankah tempo
hari, waktu per-tama2 mendapatkannja, pada seluruh anggota
tubuh, seperti terdapat banjak urat2"
Tidakkah semua gambar2 itu ada hubungannja dengan ini"
Ingat ini, tanpa peduli waktu lagi, Siang Tjoe dengan membekal
obor segera pergi pula kedjurang, hingga dilain saat ia sudah
berada pula dalam guha Tek Kwee kiesoe.
Karena mulut terowongan telah dibesarkan, dengan mudah ia
dapat memasuki tubuhnja. Sampai didalam, dengan obornja Siang Tjoe suluhi tembok.
Diperhatikannja benar2, ia mendapat kenjataan benar2 pada
seluruh gambar2 jang berdjumlah 12 ukiran, dibagian seluruh
anggota tubuhnja terdapat gambar2 urat manusia, ia perdatakan
seluruh tempat kedudukan urat2 tersebut. Dasar ia berotak
terang. Lantas ia mendapat kenjataan itulah ada gambar
pendjelasan untuk bunjinja kitab bahagian jang ia masih belum
mengerti. Maka bukan main girangnja ia.
Tidak mensia-siakan waktu pula, pemuda ini terus bersemedi
mendjalankan pernapasannja sesuai dengan petundjuk2 jang
tertera dikitab serta urat2 mana jang harus dibuka. Kesudahannja
ia djadi sangat girang. Satu kali ia dapat mendjalankannja, terus
ia ulangi dan ulangi, sampai ia ingat betul.
"Terima kasih!" katanja kepada Tek Kwee kiesoe seraja dimuka
kuburan siapa ia bersodja kui tiga kali.
Ketika ia hendak berlalu, mendadak tertampak olehnja pedang
aneh jang menggeletak dipinggiran dekat kuburan jang tadinja ia
tidak perhatikan. Ia djumput itu ketika teringat olehnja akan
pedang jang dikatakan adalah peninggalan warisan leluhur tidak
langsungnja. Pedang agak melengkung bagaikan ular naga jang melilit diri,
ekornja adalah jang merupakan gagangnja, sedang udjungnja,
jang tadjam, berbentuk sebagai patuh burung Hong, patuk ini
dapat dipakai untuk menikam berbareng menggaet sendjata
lawan. Sedang pada gagangnja terdapat tiga ukiran jang
bertulisan 'Hong po kiam'.
"Ah obornja hampir menjala habis," pikir Siang Tjoe ketika ia
menoleh kepada obornja. Dan tanpa pikir pula ia djumput pedang,
untuk kemudian dibawa keluar. Begitu djuga sedjumlah King hong
tjui, sendjata rahasia jang merupakan bor istimewa.
Dimuka terowongan terdapat masih melintang sepotong batu,
jang agak menjulitkan untuk orang dapat merajap keluar. Setjara
main-main, Siang Tjoe gunai pedangnja akan batjok batu itu.
Untuk kegirangannja serta keheranannja, begitu tertabas, begitu
pla batu tersebut tersapat dua!
Aha!" berseru Siang Tjoe. "Inilah sebatang pedang mustika!" Dan
ketika ia tjoba menusuk, ternjata hampir seluruh batang pedang
amblas sampai mengenai tangannja!
Bukan main girangnja pemuda ini, maka itu, ketika kembali
kerumah, tanpa tempo pula, ia terus berlatih dilapangan tempat ia
beladjar silat. Mulanja ia djalankan ilmu pedang ajahnja, lalu ilmu gabungannja,
ternjata pedang aneh itu sesuai benar untuk dipakai, lebih2 ketika
ia mentjoba Toei hong Kiam hoatnja, kegirangannja mendjadi
meluap-luap. Selandjutnja, untuk belasan hari, belasan bulan, bertahun-tahun
tanpa bosan, Siang Tjoe jakinkan semua peladjaran, baik dari
Toei hong Lwee kang atau pun 'Pemetjahan Lukisan', sedang
peladjaran sendjata rahasia Kim hong tjui djuga tidak ia lupakan.
"Mungkin Tek Kwee kiesoe tersesat karena kekedjaman orang2
Thian lam pay, namun benar2 ia harus dikagumi, dan segera
setelah turun gunung akan pergi mentjari turunannja," pikir Siang
Tjoe, jang djadi semakin menaruh harga kepada djago jang
mendjadi gurunja serta telah marhum itu.
Mempeladjari kitab terlebih djauh, pada enam halaman terachir
dari Toei hong Lwee kang ia mendjadi pusing kepala.
Ia membatja, melatih, namun tetap ia tidak dapat djalan. Toh ia
merasa, ia tidak salah mengertikannja. Sungguh berbeda djauh
dengan peladjaran jang sudah-sudah...
Malamnja, selagi merebahkan diri diatas pembaringannja, Siang
Tjoe pikirkan kedua kitab rahasia.
Ia lihat sinar rembulan jang banjak bermolosan dari tjelah2 guha.
Ia menghitung-hitung. Ternjata tepat sepuluh tahun telah
dilaluinja. "Lagi sebulan, setelah kuulangi kembali seluruh peladjaran ku,
aku harus turun gunung untuk tjepat menuntut balas," ia pikir.
Berpikir demikian, segera ia pun teringat akan Ong Kauw Lian,
musuh besarnja, akan kemudian wajah An Sioe Lian, puteri An
Hwie Tjian, ketua Tjeng hong pay, jang ia kira telah meninggal,
membajang pula diruang otaknja.
"Mudah2an, seorang laki2lah turunannja Tek Kwee kiesoe itu..."
ia mengharap-harap. Ingat akan mendiang gurunja ini, ia teringat pula akan musuh2nja
jakni orang2 Thian lam pay, akan setelah itu ia pun teringat akan
sikap kedua bersaudara Sin eng Kin Bian Lioe dan Kim pian Kin
Bian Eng jang telengas. "Kedua kitab ini sangat luar biasa sekali, apabila sampai terdjatuh
ketangan orang djahat, bahajanja untuk umum besar sekali. Lebih
baik aku bakar sadja setelah selesai aku mengulang."
Demikianlah, sebulan kemudian setelah ia puas mengulang,
mengulang dan mengulang lagi. Pada suatu hari iapun sudah
menjulut kedua kitab dan dalam sekedjab sadja api pun sudah
membakarnja. Sekian lama api menjala. Menghanguskan kitab, akan tetapi
aneh, selagi seluruh lembaran2 dari kedua kitab hangus mendjadi
abu, adalah lembaran kulit dari Toei hong Lwee kang jang masih
utuh. Hanja hitam sadja. "Aneh!" pikir pemuda ini, apa pula ketika ia tjoba robek, ia tak
berhasil. Sedang kedua tangannja kuat. Karena itu, ia perhatikan
lebih djauh kulit buku ini. Ditekan-tekan serta disentil-sentil.
Segera ternjata, kulit buku itu terbuat dari badja tjampur emas
dan dilapis entah dengan bulu apa dan djuga lapis dua. Ternjata
lapisan itu mengambil tjorak sebuah badju kaos. Tipis badju kaos
itu, lebih halus dari jang biasa, sedang pada bagian ketiaknja,
terdapat empat baris kata, 'KAOS PELINDUNG DJIWA'.
Segera tanpa ajal pula dikenakannja peninggalan itu.
Dengan gunai pisau, Siang Tjoe tjoba korek untuk buka kedua
lapisan buku itu. Buat keheranannja, didalam situ ia dapatkan
selembar kertas, jang lantas ia tarik keluar. Untuk diperhatikan.
Ternjata kertas itu berisi gambar2 ilmu pukulan dan pedang
hingga achirnja ia sadar kalau gambar2 itu adalah pendjelasan
untuk bagian peladjaran ilmu dalam dari Toei hong Lwee kang,
jang sampai sebegitu djauh masih samar untuk ia
mempeladjarinja, hingga tak dapat ia melatih diri untuk itu.
Maka sekarang kegirangannja djadi meluap, sampai achirnja ia
menghela napas karena kagumnja akan silat jang terahasia itu.
Terang telah disengadja pendjelasan dalam kitab dibuat kurang
djelas dan itu baharulah terang apabila pendjelasan dalam lipatan
kulit halaman sudah diketemukan. Betapa hebatnja!
Dan karena penemuan ini, Siang Tjoe menunda pula
keberangkatannja hingga empat hari untuk melatih pula segala
peladjaran ilmu silat jang tadinja masih samar baginja, lalu dihari
kelimanja, ia siapkan sebuah buntalan sederhana, untuk
kemudian setelah mengambil selamat berpisah sambil berlutut
dihadapan kuburan Tek Kwee kiesoe serta 'makam' Sioe Lian,
dengan menggendol Hong po kiam iapun memulai dengan
perdjalanannja. Tidak lupa sebelum berangkat ia tutup mulut
guha dengan sebuah batu besar, agar tidak ada sembarang
orang jang dapat memasukinja.
Inilah untuk pertama kali bagi Siang Tjoe turun gunung sedjak
sepuluh tahun jang lalu ia mengasingkan diri...
Maka tidak heran apabila ia merasa asing dan lihat segala ap
seperti baru baginja.

Ilmu Silat Pengejar Angin Karya Siasa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah berdjalan setngah harian, ketika matahari telah
menundjukkan waktu pukul dua, Siang Tjoe sudah berada
didjalan lereng pegunungan dibawah rindangnja pohon2 tjemara.
Pohon2 mana keadaannja sudah berbeda benar. Lebih banjak,
dan daun2nja lebih rimbun, hingga walaupun ketika itu matahari
sedang terik2nja, Siang Tjoe tidak merasainja. Malah sebaliknja
ia merasakan hawa ada njaman sekali karena bertiupnja
sebentar2 desiran2 angin. Tengah asjik ia melangkahkan kakinja,
tiba2 belasan tombak diatas kepalanja, ia dengar suara berisiknja
serombongan burung2 pemakan bangkai.
Segera ia menengadahkan kepalanja untuk mendapatkan
kepastian, mendadak ia ingat suatu apa. Tjepat sekali, setelah
rombongan burung2 itu sudah terbang djauh, segera iapun
menaiki salah satu dari pohon2 tjemara tersebut. Sebentar sadja
ia pun sudah berada dibagian atas, akan kemudian dengan
mempergunakan Hong po kiam, iapun membabat salah satu
dahannja untuk dilain saat iapun sudah melapay turun dengan
tangan kanannja menggenggam dahan pohon tersebut jang
penuh dengan duri2. Dan setibanja diawah, setelah selesai
semuanja dipetiki, satu persatu duri2 itu dirautinja hingga
berbentuk piauw, akan kemudian setelah menjimpan itu semua,
iapun melandjutkan perdjalanannja. Petang harinja, ketika sampai
ia dikaki gunung, segera iapun teringat akan perkampungan
keluarga Oey, dan segera iapun menudju kesana untuk
menjambanginja. Tidak lama kemudian tibalah Siang Tjoe. Hanja
ia merasa heran akan suasana sunji kampung tersebut. Tiada
sambutan kedua paman dan keponakan. Tiada djongos, sepi mati
tiada gonggong andjing. Hanja kadang2 terdengar suara kutu
malam, jang mulai keluar mentjari makanan. Karena tiada
sambutan, Siang Tjoe pun langsung menghampiri pintu salah
satu gedong jang pintunja separuh terbuka. Diketuknja penutup
rumah itu. Mula2 perlahan dan hanja beberapa kali. Namun
setelah menanti beberapa lama, dan mengulangi ketukan
perlahannja sampai beberapa kali, belum djuga ia melihat akan
tanda2nja ada manusia jang keluar menjambut. Hingga achirnja
karena habis kesabarannja, diketuknja pintu itu keras serta
gentjar berturut-turut. Dan barulah setelah mana tertampak keluar
seseorang jang djalannja ter-bungkuk2 serta mungkin sudah
berusia disekitar enam puluhan.
"Siapa tuan, siapa tuan..." demikianlah dengan ter-batuk2 orang
tua atau kakek tersebut menggumam.
"Saja, seorang tamu dekat, hendak bertemu menjambangi kedua
Oey lo hiap..." sahut pemuda kita.
"Oh. Bukankah tuan adalah tamu muda jang pada beberapa
tahun tempo berkundjung kemari bersama tuan Satmi?"
menegaskan kakek itu sambil mengangkat mukanja menatap
muka Siang Tjoe. "Ja, saja Lie Siang Tjoe..." membenarkan si pemuda. Namun
baharu sadja ia berkata-kata sampai disitu, tiba2 dilihatnja
sikakek menundukkan kepalanja. Dan dilain saat tertampak
pundaknja ber-gerak2, sambil dari mulutnja terdengar isak tangis.
"Kek, mengapa kau?" tanja Siang Tjoe jang mendjadi terkedjut
sekali melihat tiba2 orang dihadapannja menangis. Segera iapun
mendapat firasat tidak baik.
"Anak Siang Tjoe," demikian kakek itu langsung menjebut nama
pemuda kita. "Kau tidak mengetahuinja..." Sampai disini, kakek itu mendadak
berhenti berkata, melainkan dia menjilahkan pemuda kita
memasuki ruang gedung tersebut.
"Marilah nak, masuklah. Kita bitjara didalam," mengundang dia,
jang lalu setelah menjilahkan Siang Tjoe duduk diapun masuk
kedalam untuk kemudian balik kembali dengan membawa
setajngkir air teh. Pada kedua matanja, tertampak bengkak besar, suatu tanda
barusan ketika berada didalam dia telah menangis. Sedang pada
kedua pipinja, disebelah bawah matanja djuga tampak bekas2 air
mata jang baharu dihapus.
"Kakek, mengapakah menangis?" Apakah malapetaka telah
menimpa keluarga Oey ini?" mendahului Siang Tjoe jang
mendjadi habis sabar. Mendengar ini, berulang kali si kakek menghela napas, akan
kemudian setelah dia mengambil pula sebuah tempat duduk serta
menempatkan diri disisi Siang Tjoe, diapun sambil menghapus
matanja dengan lengan badjunja, membuka mulutnja.
"Jah. Malapetaka malapetaka! Malah lebih dari itu..." kakek itu
menghela napas. "Hari itu, kau dengarlah," si kakek jang berpakaian sebagai
pembantu rumah tangga memulai tjeritanja.
"Setahun setelah kedatangan kamu berdua dengan tuan Satmi
kekampung ini telah datang dua orang asing berhidung bengkok
serta memakai ikat kepala jang bentuknja aneh sekali. Oleh
karena datangnja mereka itu pada malam hari sedang kulit
mereka itu jang satu merah sedang lainnja kuning, maka hanja
tertampak kedua matanja sadja jang bersinar-sinar bagai njalanja
obor. Ternjata mereka tidak hanja datang berdua sadja. Djauh
dibelakang mereka tertampak mengintil seorang dari kebangsaan
kita. Langsung ketiga orang2 ini memasuki rumah gedung Oey
Tjhungtju tanpa mereka hiraukan pula akan norma2 kesopanan.
Ternjata kedua kedua manusia2 asing itu adalah orang2 dari
India jang dibawa si orang dari kebangsaan kita itu. Seorang
bekas begal jang pada enam tahun jang lalu pernah dikalahkan
oleh kedua Tjhungtju kami dan sekarang datang hendak
menuntut balas..." "Siapakah orang-orang itu?" tanja Siang Tjoe.
"Kedua orang asing itu, jang wadjah mukanja sangat
menjeramkan sekali seperti hantu benar2 sangat tidak tahu
aturan sekali. Kehalusan budinja, melebihi rendahnja martabat
binatang..." melandjutkan orang ini dengan sengit dan seperti
tidak meladeni pertanjaan Siang Tjoe.
"Mereka telengas sekali, dan kedua tangannja benar2 luar biasa
sekali. Kesepuluh djarinja tadjam bagaikan udjung pedang!
Demikian dihadapan kedua tjhungtju jang ketika itu sedang
berbitjara dengan si orang bekas petjundang, mereka telah
undjuk kekedjamannja hingga membuat semua orang mendjadi
kaget dan gusar sekali..."
"Apakah jang mereka telah perbuat?" potong Siang Tjoe jang
mendjadi tegang sendirinja.
"Salah satu diantaranja, jang mukanja kuning, dengan kelima
djeridji tangannja tiba2 membinasakan seorang djongos jang
ketika itu tengah membawa nampan teh! Sebagai akibat dari
tjengkeraman itu sangat hebat sekali dan benar2 diluar peri
kemanusiaan sekali. Mereka mentjengkeram dengan membuat
bagian muka kepala, dimana kedua kuping, mata, hidung tjopot
terbelah lepas dari batok kepalanja..."
"Hai! Demikian hebat!?" berseru Siang Tjoe jang mendjadi
terperandjat sekali hingga tanpa terasa pula ia sudah mentjelat
bangun. Ia tahu. Sebab pernah ia membatjanja dari kitab
'Pemetjahan Lukisan' ilmu ini jakni betot djiwa lima djari, suatu
ilmu silat jang berasal dari India dan djarang sekali orang dapat
mejakininja, sangat luar biasa sekali.
"Tjepat sekali gerakan orang itu hingga siapa djuga tidak dapat
melihat kedjadiannja dan sedetik kemudian setelah kedjadian itu,
kedua tjhungtju telah bertempur hebat melawan si orang bekas
begal. Ternjata bekas begal itu bukanlah tandingannja kedua
tjhungtju, namun disaat itu tiba2 terdengar suara lengkingannja si
manusia asing jang bermuka merah. Hebat sekali orang ini,
karena dengan bertangan kosong dia telah berhasil memukul
petjah pertahanan kedua tjhungtju dan sesaat kemudian
terdengar suara djeritannja tjhungtju muda Oey Hong Gan.
Ternjata dia telah mengalami nasib serupa dengan pembantu
rumah tangganja..." "Aah...!" tanpa terasa Siang Tjoe telah menghela napas.
"Melihat malapetaka hebat jang menimpa sang keponakan, Oey
toa tjhungtju mendjadi gusar sekali. Namun sebelum ia berhasil
membalaskan sakit hati keponakannja itu mendadak diapun telah
mengalami kebinasaannja dengan batok kepala dan bagian
mukanj terpisah satu sama lain. Hampir2 disaat itu djuga, aku
jang tengah bersembunji diatas loteng dan melihat tegas semua
peristiwa itu, mati lemas, dan selandjutnja dengan tubuh
bergemetaran keras kumenjaksikan betapa kedua iblis jang
ternjata bernama Ang Oey Mokko, menurunkan tangan djahatnja
kepada semua orang jang ketika itu berada didalam rumah
tersebut. Barulah kemudian setelah puas, dengan meninggalkan
suara tertawanja jang menjeramkan, ketiga orang itupun berlalu.
Tiada seorangpun jang ketinggalan, ketjuali aku dan..."
"Ahh...!" kembali terdengar elahan napas Siang Tjoe. Ia sangat
terpesona sekali mendengar tjerita ini, hingga untuk beberapa
saat ia hanja berdiri memaku sadja. Tidak dapat ia mengeluarkan
pendapatnja, karena disaat itu djuga diruang otaknja segera
terbajang akan nasib jang menimpa keluarga Tek, gurunja
almarhum. Ia heran mengapa didalam dunia ini ada manusia2
jang sedemikian kedjam, dan menjalahgunakan ilmu kepandaian.
Siang Tjoe baharu sadar dengan terkedjut ketika ia merasakan
tubuhnja digojang-gojang serta di-panggil2 si kakek.
"Tuan, namun mudjur sekali," terdengar si kakek melandjutinja.
"Dasar Thian memang tidak buta. Satu2nja turunan Oey tjhungtju
telah berhasil meloloskan diri..."
"Bukankah dia itu, Oey siotjia?" tanja Siang Tjoe.
"Si kakek manggut membenarkan akan kemudian dia
menambahkan. "Ja, dia dibawa lari Lioe siauwdji ketika kedua iblis mengamuk
berangkara murka..."
"Sjukurlah," memudji Siang Tjoe.
"Hanja entah kemana mereka pergi. Eh tuan, tolonglah beri kabar
padanja, kalau esok2 tuan menemukannja," memohon dia, dan
permintaan ini diluluskan Siang Tjoe dengan ia manggutkan
kepalanja. Setelah itu karena merasa tiada gunanja berdiam
lama-lama dirumah tersebut, Siang Tjoe segera memasang hio
bersembahjang dihadapan medja abu paman dan keponakan itu
jang menurut si kakek telah mengalami nasib sangat menjedihkan
sekali. Tidak lupa kepada sikakek jang setia ini djuga ia pun
meminta diri. Siapa mula2 berniat menahan Siang Tjoe agar
bermalam dulu karena melihat hari sudah magrib. Namun karena
keras niat si anak muda untuk berangkat djuga iapun tidak dapat
memaksanja. Hanja diantarkannja tamunja itu sampai djauh diluar
kampung akan kemudian mereka pun berpisahan dengan Siang
Tjoe melandjutkan perdjalanannja, sedang si kakek setelah
mengulangi pula permohonannja, ia pun balik pulang ke Oey kee
tjung untuk mengurus lebih landjut rumah madjikannja sambil
dengan sabar menantikan kedatangannja sang madjikan muda.
Empat hari Siang Tjoe lakukan perdjalanannja, sampai pada hari
kelimanja dari suatu dusun, ia membeli seekor kuda, hingga pada
keesokannja ia pun tibalah di Kang-po jang ramai. Setibanja
didalam kota, ia tampak banjak rumah makan. Ia segera merasa
lapar. "Sudah lama aku dengar, arak giok-tjioe keluaran Kang-po ini
tersohor harum. Hari ini baiklah aku tjoba2 minum satu dua
tjawan," pikir pemuda ini. Lantas dia hampirkan sebuah rumah
makan dimuka mana ia tampak ditambat seekor kuda merah.
Tegap kuda itu serta bagus sekali. Sedang keempat kakinja djuga
berwarna merah. Polos tiada bernoda lain warna.
Ia menghampirinja lebih dekat untuk meneliti. Djustru itu matanja
bentrok dengan satu tanda rahasia kangouw dipodjok tembok. Ia
mendjadi heran, sedang itu ia ketahui karena bukankah ia pada
sepuluh tahun jang lampau pernah merantau sebagai piauwsu"
Tenang-tenang ia bertindak masuk, hingga ia dapatkan dipodjok
utara, setumbak kira2 dari djendela, duduk seorang pemuda
berpakaian seperti orang jang mengerti silat. Berseorang diri dia
itu minum araknja. Siang Tjoe merasa heran, akan wadjah orang jang tjakap sekali
jang tidak seharusnja dimiliki seorang laki2. Kulit mukanja halus
sekali. Disebelah barat dari tempat pemuda tjakap itu mengambil
kedudukan, terdapat pula duduk dua orang laki2 jang tubuh dan
wadjahnja kasar. Jang satu gemuk, sedang lainnja kurus. Asjik
sekali kedua orang ini menenggak araknja. Tetapi dimata Siang
Tjoe, njatalah mereka ini sering2 melirik pada si pemuda tjakap.
Pemuda tjakap berpakaian orang kang-ouw itu djuga minum
seorang diri setjawan demi setjawan.
Dia lebih mirip dengan seorang perempuan. Karena dia agaknja
sudah minum terlampau banjak, tubuhnja tampak sedikit limbung.
Namun walaupun demikian tampak dari air mukanja dia itu seperti
sedang bersusah hati. Ini djuga tertampak dari kelakuannja jang
sebentar2 menggojang-gojangkan kepalanja serta tangan dikepal2, dan kembali ia sudah teguk satu tjawan araknja, hingga
terdengar tenggorokannja berbunji.
"Pemuda ini, dilihat dari ratu mukanja, seperti mempunjai sesuatu
urusan, mengapa dia masih tungkuli araknja hingga tidak
menjadari kalau ia sedang diintjar orang2 djahat. Apakah benar2
dia begini tolol?" Sementara itu si gemuk dibarat tiba2 terdengar berseru : "Hajo
kawan, kamu harus minum habis dua ratus tjangkir. Tidak boleh
tjurang!" Sang kawan, jang tubuhnja kurus berdjingkerak.
"Kau sinting!" bentaknja. "Kau sendiri belum djuga menghabiskan
tudjuh tjawan, sudah dewaka ku supaja minum dua ratus
tjangkir?" "Tapi kamu harus ingat, kau bertubuh kurus. Kau membutuhkan
banjak air kata2 agar tubuhmu mendjadi panas hingga setiap kali
minum, kau paling sedikit harus minum tiga ratus. Tidak boleh
kurang!" "Angin busuk! Angin bau!" si kurus mendumel dongkol. "Tidak.
Aku tidak mau minum pula!"
"Eh! Tidak mau minum?" bentak si gemuk, seraja angkat sebuah
potji arak, untuk kemudian dia selugukkan kedalam mulut si
kurus. Gusar si kurus. Tangannja dikebaskan buat menolak dengan
keras, hingga arak tumpah melulahan menjiram tubuhnja.
Sigemuk tetap memaksa, malah dia melawan, maka bergumullah
mereka, keduanja seperti disengadja menghujungkan tubuhnja
hingga melanggar si pemuda tjakap.
"Kurang adjar!" pemuda itu membentak. Ia gusar dan lalu
berbangkit. Berbareng dengan itu terdengar suara barang djatuh. Itulah
kantung sulam si anak muda dan dari mana tampak meletik
keluar sepotong emas serta beberapa tahil uang perak.
Tjepat sekali, mendahului kedua orang jang berlagak gila
tersebut, pemuda itu indjak kantungnja.
Lalu ia membungkuk seraja diraupnja beberapa tahil uang
peraknja dan potongan emasnja.
"Kamu hendak merampas?" ia berseru.


Ilmu Silat Pengejar Angin Karya Siasa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dua orang gemuk dan kurus itu berhenti bergulat. Satu
diantaranja, Si gemuk, membentak, "Siapa rampas barangmu?"
"Kamu berani sembarangan tuduh orang" Nanti kuhadjar kau!"
mengantjam djuga si kurus.
Menjaksikan ketiga tamu ini hendak ribut. Beberapa orang tamu
segera madju. Memisahkan.
Siang Tjoe tertawa melihat kelakuan orang2 itu. Terutama kedua
orang jang mukanja kasar itu. Terang mereka itu bukanlah
manusia baik2. Mereka sengadja bergumul hanja untuk
mendjatuhkan kantung uang orang untuk dirampas, dan sedikitnja
untuk mengetahui dahulu, apakah isinja. Namun karena mereka
kalah tjepat dengan si pemilik, maksud mereka tidak kesampaian.
Pemuda ini berbangkit. Dihampirinja kedua orang itu. Lalu
dengan tangannja, dia tolak kedua orang gemuk dan kurus ini.
"Kalian sudah sinting" Mengapa bergumul hingga ketempat lain
orang?" ia tegur mereka. Sambil berkata demikian, sebat sekali ia
raba saku orang, akan dengan diam2 ia pindahkan uangnja,
tanpa mereka menjadarinja.
Sesudah mana ia tolak dada kedua orang itu. Agak keras tolakan
ini hingga mereka djadi kesakitan dan kaget sekali, hingga
selandjutnja mereka tidak berani bertingkah lagi.
"Siapa suruh dia sembarangan tuduh kita merampas..." mereka
menggerutu. "Sudah, sudahlah. habiskan sadja!" menasehati seorang tamu.
"Kalian toh jang bersalah menubruk orang. Baik pulang sadja.
Minumlah dirumah sepuas kalian."
Pemuda tjakap berpakaian orang kang-ouw itu angkat tjawannja.
"Saudara, mari minum bersama!" dia mengundang. Suaranja
menjiarkan bau arak jang keras.
"Terima kasih," sahut Siang Tjoe. Ia duduk pula dikursinja. Dari
tempat ini, ia awasi kedua orang jang tadi hendak merampas itu.
Mereka ini agaknja masih mendongkol. Mereka masih melihati
sipemuda tjakap dengan sorot mata tadjam. Lalu satu
diantaranja, jang kurus, teriaki tuan rumah untuk berhitungan.
Orang jang kedua, kawannja, meraba sakunja. Agaknja ia hendak
mengeluarkan uang. Tiba2 ia melengak, wadjahnja mendadak
berubah putjat. Si kurus lihat perubahan wadjah orang. Ia terkedjut. Lantas ia
raba pula sakunja. Ia pun tiba2 mendjadi berdiri tertegun dengan
mendadak. Sebab ia pun dapatkan sakunja kosong. Keduanja,
satu sama lain, lantas saling mengawasi. Mulut mereka
terkantjing rapat. Tak dapat mereka berkata.
"Djumlah semua. Dua tahil lima tjie," kata si kuasa, jang
menhampiri kedua tamunja itu.
Kedua orang itu menjeringai, seperti monjet kena terasi, sedang
tangannja masih belum ditarik dari saku mereka.
"Tuan2. Semua berdjumlah dua tahil lima tjie," mengulangi tuan
rumah. "Apakah boleh kami membajar lain hari sadja?" tanja si gemuk
achirnja. Tuan rumah, si kuasa, memperlihatkan wadjah heran, sesudah
mana ia tertawa dingin. "Tidakkah rumah makan kami akan pailit, apabila semua tamu
berhutang!" edjek dia.
Djongos, jang djuga mendjadi tidak senang, turut bitjara :
"Apakah kalian berdua bukannja sengadja hendak mengganggu
kita" Sudah minum ber-puas2, berlagak berkelahi sampai
menubruk orang. kalau bukan hendak menganglap, apa lagi"
Djika kalian benar2tidak beruang, buka sadja semua badju
kalian!" Kasar serta keras suara djongos ini, tapi ia membuatnja lain2
tamu mendjadi tertawa. Hingga ruangan riuh ramai.
"Memang mereka berdua jang salah..." beberapa orang turut
bitjara memberatkan kedua orang gemuk dan kurus itu.
Melihat suasana tidak baik, kedua orang itu membuka badjunja.
"Dua potong badju sadja belum tjukup!" teriak si djongos, jang
tahu2 sudah sambar kopiah orang, serta menambahkan : "Dasar
hari sial bagi kita! Nah. Sudah. Pergilah!"
Terpaksa, kedua orang ini ngelojor pergi. Memerah muka mereka
bahna menahan malu. Puas Siang Tjoe menjaksikan ini. Ia keringkan pula dua tjawan.
Ketika ia menoleh kepada si pemuda tjakap, dia itu masih duduk
minum. Tiba2 ia ingat suatu apa.
"Bukankah sudah pasti kedua orang tadi bukan manusia baik2"
Tentulah mereka adalah orang2 sebawahan. Mendapat hinaan
jang mana barusan mereka tidak dapat berbuat apa2, tentulah
sepulangnja mereka akan mengadu kepada kepalanja..."
Berpikir demikian, ia pun berbangkit. Niatnja hendak dihampirinja
pemuda tersebut. Namun tiba2 dimuka rumah makan terdengar
suara ribut2 dan menjusul mana belasan orang jang wadjahnja
bengis2 serta tinggi besar-tinggi besar berdjalan masuk hingga
menerbitkan suara berisik. Diantara mereka terdapat kedua orang
tadi jang kini sudah berpakaian. Dia ini menundjuk-nundjuk
sipemuda tjakap. Langsung belasan orang2 ini menghampirinja.
Salah satu diantaranja, jang hidungnja pesek dan bertjabang
bauk segera menghampirinja. Sedang belasan kawan2nja, jang
rupanja mendjadi begundalnja lantas mengurung. Sikap mereka
garang sekali. Segera dengan datangnja orang2 ini, ruangan
rumah makan pun berubah panik. Bahkan beberapa orang tamu
bernjali ketjil, segera setelah membajar djumlah harga jang
dimakan meninggalkan rumah makan tersebut.
Si gemuk tamu tadi jang dari wadjah mukanja masih kelihatan
mendongkol segera sambil mentjatji maki melajangkan tangannja
hendak mendjambak dada orang. Lain benar sikap dia ini
daripada tadi. Galak dan bengis sekali.
Akan tetapi, mendadak sebelum tangannja jang besar serta
berbulu itu hampir menjentuh sasarannja, dia mendjerit kesakitan
seperti babi dipotong. "Aduuuuhh...!" Dan bertepatan dengan itu, dengan disertai suara
patahnja sebuah kursi, si gemuk rubuh terbanting dengan
menerbitkan suara berisik. Beberapa tamu jang ketika itu masih
berada disitu membuka suaranja, tertawa geli, karena dia rubuh
dengan perut diawah, hingga kontan, empat tulang giginja patah
tjopot dengan menjemburkan darah segar. Jang hebat karena dia
bertubuh gemuk sedang hadjaran agaknja keras sekali dia rubuh
dengan tidak sadarkan diri pula, hingga membuat orang2 jang
tadi tertawa menjaksikannja mendjadi berubah kaget sekali.
"Perkara djiwa! Perkara djiwa!" demikian mereka berteriak. Malah
beberapa orang, melihat gelagat kurang baik ini segera
menjingkirkan diri. Tidak terketjuali tuan rumah, si pemilik rumah
makan. Sementara itu, orang jang hidungnja pesek tadi, jang
agaknja mendjadi pemimpin gerombolan, ketika menjaksikan
kedjadian ini, mendjadi terkedjut dan gusar sekali. Segera ia pun
memberikan komando kepada kawan2nja untuk segera serentak
mengerojok. "Berhenti!" tiba2 terdengar satu suara bentakan. Keren dan
berpengaruh sekali, hingga membuat semua orang2 bawaannja
si gemuk tadi jang ketika itu hendak mengajunkan goloknja,
berhenti tiba2. Dan sebaliknja, mereka menundukkan kepalanja dengan masing2
tangannja diturunkan lurus kebawah menghadap kemuka pintu
dimana kini terdapat berdiri seseorang jang tubuhnja pendek
gemuk dengan didadanja terdapat melintang sebatang golok
besar. Dibelakang dia ini berdiri djuga dua orang jang tidak
kurang garang. Melihat orang2 ini, segera Siang Tjoe pun menjiapkan lima
batang piauw duri tjemara untuk memberi pertolongan pada
sipemuda tjakap dimana perlu.
"Keluar kalian!" membentak orang jang baru datang itu kepada
orang2 jang hendak mengerojok. Suaranja keras bagaikan
bunjinja guntur. "Ja. Keluar semua, hajo keluar?" menambahi si pemuda tjakap
sambil ter-tawa2. Matanja dibesarkan dengan kedua bidjinja
berdjelilatan seperti hendak lontjat, sedang tangannja tidak
berhenti meng-gebah2. "Hajo keluar! keluar!" demikian dia masih
mengedjek-edjek, seperti tidak mempedulikan mereka jang
mendjadi gusar sekali dan dengan melototkan mata terpaksa
berlalu. "Mana pemilik rumah makan ini!" berteriak orang jang suaranja
berpengaruh tadi. "Lekas keluar!"
"Ja... ja... ja..." terdengar suara sikuasa jang muntjul dengan tiba2
dari bawah medja. Suaranja bergemetaran, demikian djuga
seluruh tubuhnja. "Thay-ya, maafkan... Aduh!" Terdengar kuasa
ini mendjerit kesakitan. Ternjata tanpa terlihat lagi akan gerakan
tangan orang itu, ia merasakan tiba2 pipinja sakit sekali.
"Tahan!" mendadak terdengar si pemuda tjakap berseru sambil
dia mentjelatkan tubuh kearah orang jang tangannja ringan tadi.
"Bukan dia jang bersalah. Berurusanlah dengan ku!" dan
bertepatan dengan habisnja kata2 itu, ia pun tiba dihadapan
orang jang tubuhnja pendek gemuk tadi jang mendjadi terkedjut
akan kegesitan gerakan tubuh sipemuda.
Dan... menjaksikan gerakan ini, Siang Tjoe pun menghela napas
lega. Karena tahulah ia, kalau pemuda itu sedikitnja mempunjai
kepandaian jang tjukup tinggi, jang dengan gerakan Ajam Langit
Menjembah Radja, dilain saat telah berdiri tegak di tengah2,
antara si kuasa dan orang jang pendek gemuk. Gusar sekali dia
ini karena diperhina demikian rupa, hingga misainja bergerakgerak.
"Persetan! Botjah tidak tahu selatan. Minggir!" dia berseru, seraja
menggerakkan kedua tangannja menghantam dada orang. Akan
tetapi, ternjata si pemuda mempunjai kegesitan tubuh jang tjukup
tinggi. Dimana dengan sebat dia mundurkan tubuhnja kebelakang
selangkah, hingga dengan demikian diapun terhindar dari bahaja
dada mendjadi remuk. Karena gagalnja serangannja tadi, orang tersebut agaknja
mendjadi semakin gusar sekali, dan membarengi serangannja
pertama barusan, dia pun madjukan pula tubuhnja selangkah
seraja mengiringi itu tangannja dengan gerakan jang lebih
berbahaja dari tadi, telah bekerdja pula.
Dan meneladani dia ini, kedua kawannja djuga telah merangsek
madju dengan gerakan jang mendjepit dari kanan dan kiri.
"Ha ha! Ha ha!" Tiba2 terdengar si pemuda tjakap tertawa. "Tidak
bermalu! Tiga tua bangka mengerubuti satu anak ketjil," dan
mengiringi itu, dari punggungnja dia pun telah mentjabut
sebatang pedang jang kemudian diputarnja sedemikian rupa
hingga membuat dengan terpaksa ketiga orang jang
mengerubutinja bertangan kosong berkelit mundur untuk
kemudian mentjabut pula masing2 sendjatanja. jakni toja, tombak
dan golok besar. Dan sedetik kemudian keempat orang ini pun
telah bertempur hebat. Terkedjut Siang Tjoe menjaksikan tjara bertempurnja pemuda
tjakap itu. Dia bertempur dengan gerakan jang hampir sedjalan
dengan jang dilakukan Kin Bian Lioe tempo hari, diguhanja. Hanja
bedanja dia ini mempunjai gerakan tubuh jang terlebih sebat.
Lintjah sekali gerakannja, hingga baharu sadja bertempur belasan
djurus pemuda itu telah berhasil membuat hampir kotjar-katjir
pertahanan ketiga pengerojoknja jang barusan telah pentang
mulut besar2. Sementara itu, karena bertempurnja keempat
orang itu dengan menggunakan sendjata, ruangan rumah makan
pun jang tadinja ramai sekarang sudah mendjadi lengang sekali.
Disitu ketjuali Siang Tjoe jang ketika itu sedang dengan tenang2
menjaksikan mereka jang bertempur, tiada lagi kedapatan lain
tetamu. Hebat sekali pemuda tjakap itu mempergunakan pedangnja,
hingga se-akan2 tubuhnja bergerak sebagai seekor naga jang
turun dari angkasa. Jang terlihat hanja sinar pedangnja sadja
berkelebat kesana kemari, melibat ketiga orang musuh2nja.
Satu kali, pada waktu pemuda tersebut menggunakan tangan
kirinja mengelakkan sendjata salah satu lawannja, pedang
ditangan kanannja menjerang leher lawan jang kedua dan kaki
kanannja melajang menendang lambung dengan gerak tipu Ajam
Emas Mematuk Elang. Hebat sekali serangan ini, hingga kedua
lawan jang mendjadi kawannja sipendek gemuk tadi jang
memangnja sudah pening itu menggunakan masing2 sendjatanja
menangkis serangan pedang dan dupakan kaki jang berbahaja
itu. Serangan ini mereka dapat menghindarkannja, akan tetapi
diluar dugaan ternjata kedua serangan serempak itu hanjalah
merupakan pantjingan sadja dan mentjari lowongan, karena
setjepat berkelebatnja kilat, pedang kaki kiri sipemuda telah
meluntjur pula dan tanpa dapat ditahan lagi pedang amblas
dibahu kanan dan kaki bersarang kebagian kempolan kedua
lawannja itu! Tanpa ampun pula, kedua orang ini rubuh dengan mengeluarkan
djeritan menjajatkan hingga membuat keder dan kalut pikiran
orang jang pendek gemuk. Lekas2 golok besarnja dia kebaskan
dan mengiringi itu digerakkannja kakinja dengan niat hendak
lompat kabur. "Ha ha ha! Tunggu sahabat. Tidak pantas untuk datang tanpa
meninggalkan tanda mata!" membarengi itu, mendahului
bergeraknja tubuh orang, udjung pedang sipemuda tjakap telah
meluntjur pula mengantjam bebokong orang jang tadi berbesar
mulut. "Ah! Kamu kedjam sekali!" berseru Siang Tjoe dalam hatinja jang
mendjadi tidak senang menjaksikan ketelengasan si pemuda, dan
iapun menjiapkan dua batang duri tjemara untuk memberikan
pertolongan pada orang jang sudah tidak berdaja itu. Menurut
perasaannja dengan melukakan tiga orang, sipemuda sudah
bolehlah merasa lebih dari tjukup.
Namun pada saat itu, tiba2 matanja jang djeli melihat dari arah
djendela melesat sesosok bajangan orang. Gesit sekali hingga
dapatlah dipastikan dilihat dari gerakannja, sedikitnja bajangan itu
memiliki kepandaian dari tingkat tinggi. Sebentar sadja sudah
berada di-tengah2, diantara sipemuda tjakap dan orang jang
pendek gemuk tadi. Dia itu- orang jang baru datang tadi - ternjata adalah seorang tosu
(imam) - tepat seperti jang diduga Siang Tjoe - paling rendah lima
puluh tahun. Djenggotnja bertjabang tiga. Air mukanja
menundjukkan, bahwa dia adalah seorang jang telah puas
berkelana dikalangan kangouw. Sedang kedua bidji matanja bersinar2 tadjam.
Hebat sekali tenaga lweekang imam ini, karena dengan hanja
tenaga kebutan lengan badjunja sadja dia telah berhasil
menjampingkan meluntjurnja udjung pedang, hingga terhindarlah
sipendek gemuk itu dari antjaman bebokong tertambus pedang.
"Bagus!" terdengar berseru sipemuda. "Sekarang tambah satu
pengerojok lagi. Hajo datangkan pula empat puluh. Thayya Giok
Tek Tek mu tidak akan tinggal lari!"
Agaknja dia ini tidak mendjadi djeri, walaupun sudah mengetahui
kalau tenaga lweekang lawan djauh lebih kuat dari padanja.
"Bangsat mulut ringan!" membentak siorang pendek gemuk.
"Djangan kurang adjar. Lebarkanlah matamu, berhadapan
dengan siapa kamu sekarang!"


Ilmu Silat Pengejar Angin Karya Siasa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dengan seorang tosu berhidung kerbau!" djawab sipemuda
seraja putar pedangnja mendahului menjerang imam tersebut
dengan menggunakan tipu Baji Langit Nangis Menjerit. Sedang
tosu tersebut jang merasa tersinggung karena edjekan tadi, dan
lalu telah diserang setjara hebat sekali oleh pemuda
dihadapannja jang mengaku bernama Giok Tek Tek itu mendjadi
gusar sekali. Segera setelah memperingatkan siorang pendek
gemuk jang rupanja mendjadi kawannja supaja mundur, tanpa
sungkan2 pula telah mentjabut sendjatanja, sebatang sendjata
alat tulis, untuk kemudian dengan sendjata tersebut dia tangkis
datangnja serangan pedang, hingga dilain saat kedua orang
inipun telah bertempur seru! Kekuatan mereka hampir seimbang.
Dengan ilmu kepandaian menggunakan sendjata alat tulis, si
imam hebat luar biasa dan menakdjubkan sekali karena setelah
bertempur kurang lebih enam belas djurus, tiba2 imam itu berseru
njaring dan gerakan sendjatanja jang djuga digunakan sebagai
alat penotok djalan darah berubah sedemikian rupa hingga kini
sinar sendjatanja berkelebat dan me-njambar2 dengan terlebih
ganas daripada tadi hingga tubuhnja sama sekali tertutup dan
sinar alat tulis itu kini mengurung Giok Tek Tek dengan buasnja!
Siang Tjoe jang menjaksikannja, tanpa terasa telah
mengeluarkan seruan tertahan, karena tidak pernah menduganja
kalau imam tersebut jang mendjadi kawannja sipendek gemuk,
seorang berandalan, mempunjai kepandaian jang demikian
hebat. Sedang Tek Tek, sipemuda tjakap, kini bertempur dengan
bersungguh hati. Tidak lagi ia memandang rendah lawan baru ini.
Ini terlihat dari tjaranja dia bersilat, dan raut mukanja jang telah
mendjadi tegang sekali. Setiap serangannja, si imam selalu mengantjam dengan
serangan maut jang sukar sekali dapat ditangkis. Kalau sadja
jang menghadapinja bukan Giok Tek Tek jang barusan telah
berhasil mengalahkan tiga lawan, tentu dalam beberapa
gebrakan sadja dia sudah djatuh roboh!
Dengan tidak kurang lintjah dan gesitnja Tek Tek melakukan
perlawanan dengan pedangnja dan tjepat melebihi tjepatnja
ketika tadi, pedangnja digerakkan dengan terlebih tjepat
mengimbangi datangnja serangan sang laan jang bergelombang
itu. Akan tetapi selama ini ia hanja dapat bertahan sadja, oleh karena
sedikitpun ia tidak diberi kesempatan untuk membalas. Sendjata
alat tulis lawan amat tjepat bergeraknja hingga sama sekali tidak
ada kesempatan baginja untuk lebih memperhebat serangannja.
Tiap kali pedangnja dapat menangkis sendjata lawan, maka alat
tulis jang tertangkis itu bukan terpental kembali, melainkan
sebagai ada tenaga jang mendorong sendjata tersebut membal
balik setjara otomatis! Belum pernah agaknja pemuda itu menghadapi lawan setangguh
ini. Ini djelas tertampak pada air mukanja jang berubah
menundjukkan rasa gugup dan kagum. Namun sebagai seorang
jang tentunja adalah paling rendah mendjadi murid seorang partai
ternama, tentu sadja ia ingin mempertahankan nama gurunja.
Demikianlah walaupun per-lahan2 dirinja terdesak, dia masih
sempat untuk mengeluarkan seluruh kepandaiannja,
mempertahankan diri agar tidak lantas rubuh.
Akan tetapi, gerakan sendjata alat tulis si imam makin lama
semakin mendjadi ganas dan mendesak dengan hebat sekali,
sama sekali sedikitpun ia tidak diberi kelonggaran.
Pada suatu ketika, pemuda itu - Giok Tek Tek - melihat sendjata
lawan meluntjur tjepat sekali mengantjam kepalanja, segera
dengan menggunakan udjung pedangnja dia mentjoba untuk
merampas alat tulis itu dengan djalan 'menangkap'. Akan tetapi
pada saat itu, pada saat ia bergembira jang ia kira usahanja akan
berhasil, dengan gerakan jang benar2 diluar perhitungannja dan
tjepat sekali, kaki kanan imam itu bergerak mendupak perutnja
dengan ketjepatan luar biasa! Giok Tek Tek jang ketika itu
sedang memusatkan perhatiannja untuk merampas sendjata
lawan, tidak menduganja sama sekali dan tidak berdaja pula
untuk menghindarkannja. Maka dengan lantas iapun
mengerahkan tenaga lweekangnja untuk menghindarkan diri agar
ia tidak mendapat luka dalam jang terlebih parah.
"Duk!" tendangan tepat mengenai sasarannja hingga tidak ampun
pula tubuh pemuda itu ter-hujung2 mundur. Dan membarengi itu,
terdengar imam tersebut membentak.
"Kawan2! Mari lihat. Bukankah ini orangnja jang telah mentjuri
lima belas potong emas hasil kita?"
Lalu bersamaan dengan habisnja kata2nja, diapun telah
menggerakkan pula sendjatanja menghadjar dada lawan jang
ketika itu sedang merasakan sakitnja.
Akan tetapi, disaat itu, disaat pemuda tersebut menghadapi
kehantjurannja, dimana dia sudah tidak berdaja apa2 pula, tiba2
dari arah sebelah kiri tertampak melajang sebuah piauw. Ringan
sekali kelihatannja sendjata rahasia tersebut karena agaknja
hanja terbuat dari bahan kaju, akan tetapi oleh karena tenaga
menjambitnja tjukup besar, maka tidak ampun pula udjung
sendjata alat tulis si imam jang hampir mengenai sasarannja,
mendjadi melentjeng kekanan, dengan si imamnja sendiri
mendjadi terkedjut sekali!
Segera setelah mengetahui ada seorang lihay jang melindungi
lawannja, iapun memutar tubuh. Namun ia mendjadi heran sekali,
ketika ia mendapat kenjataan, kalau disitu, ketjuali seorang
pemuda jang tidak mungkin untuk ditjurigai tiada kedapatan lagi
orang2 lain atau sesuatu jang mentjurigakan. Djustru itu karena
ini, ia mendjadi lengah, dan tanpa ia menjadarinja pula, udjung
pedang Tek Tek telah menjambar dadanja. Namun untung
walaupun dalam keadaan lengah, ia mempunjai ilmu kepandaian
jang tinggi dan ketadjaman perasaan jang dalam sekali.
Demikianlah tjepat sekali, mendahului tibanja serangan, ia
melompat kekanan seraja memutar sendjata alat tulisnja
menangkis pedang lawan seraja tangan kirinja dengan telundjuk
dan djari manis diluruskan, dia totok djalan darah Tay tui hiat Tek
Tek dibagian lambung. Kembali gerakannja jang sangat sebat ini
telah membuat Tek Tek mendjadi gelagapan pula, dan karena ini
tampaknja dia mendjadi nekat. Melupakan akan bahaja jang
dapat membuat ia mati lemas terkena totokan, dia madjukan
tubuhnja kekanan seraja ajunkan pedangnja. Demikianlah kedua
orang ini tanpa keduanja dapat menjingkirkan diri atau
mengendalikan pula serangannja terantjam akan bahaja kedua2nja mendjadi binasa, serangan masing2 meluntjur tjepat
sekali! Namun dalam saat itu, pada waktu kedua orang ini dalam
keadaan kritis, tiba2 sebuah bajangan berkelebat dan menjelak
berdiri diantara kedua orang serta memisahkan pedang dan
kedua djeridji jang hampir menjentuh masing2 sasarannja. Hebat
sekali tenaga lweekang jang dikeluarkan dari kedua tangan
bajangan itu jang ternjata bukan lain dari Lie Siang Tjoe adanja,
hingga disaat itu djuga kedua orang si imam dan Giok Tek Tek
tergempur mundur sedjauh kira2 lima enam tombak.
"Maafkan aku," demikian Siang Tjoe memohon seraja rangkapkan
kedua tangannja memberi hormat. "Sudahkanlah soal jang tidak
berarti ini!" Kedua orang terutama si imam jang kini sudah dapat
memperbaiki diri pula, diam2 merasa amat terkedjut merasai akan
kehebatan tenaga sianak muda jang mereka lihat tadi ketika
bertempur hanja duduk diam menonton sadja. Imam ini jang
merasa dirinja adalah orang dari tingkatan lebih tua merasa malu
dan terhina sekali. Namun karena barusan dia telah merasakan
kehebatannja tenaga lweekang sianak muda, maka iapun
menjabarkan diri jang sebenarnja me-londjak2 itu.
"Baik, baik. Baku Loo Kek Sie hari ini mengaku kalah namun agar
aku djangan sampai ketjewa, tinggalkan nama sietju agar pintoo
djangan sampai penasaran dan kalau sempat datanglah
menjambangi gubukku..."
"Dikota sebelah timur!" menjelak Tek Tek sambil mempermainkan
matanja. "Tentu, tentu, saudaraku tentu pergi," menambahkan dia, sambil
memalingkan mukanja kepada Siang Tjoe dan manggut2kan
kepalanja seperti laku dengan pemuda kita ini dia sudah kenal
baik. Kelakuan orang ini membuat Siang Tjoe mendjadi
tertjengang jang kemudian agar kawan muda jang baru dikenal
dan suka gujon itu djangan sampai ketjewa, manggut
memastikan, seraja memperkenalkan namanja.
"Ha. Apa kubilang. Saudaraku adalah seorang laki2, pastilah dia
akan tepati djandjinja," Tek Tek bertepuk tangan dan
menambahkannja. "Sudah sekarang kau boleh pergi!"
"Budak anak haram!" membentak si imam, Kek Sie Todjin, dan
mendapat tjatjian ini tampak wadjah Tek Tek dalam sekedjap
berubah merah seperti kepiting direbus. "Hari ini, memandang
kawanmu itu, aku lepaskan tubuh busukmu, namun nanti satu
kali, apabila lima belas potong emasku jang aku berani pastikan
kaulah jang mentjurinja tidak kau kembalikan dalam waktu lima
hari ini, djangan baru kau berkawan dengan seorang jang
berkepandaian seperti tuan ini, walau sepuluh pun tidak akan aku
berlaku sungkan pula," dan tanpa menunggu pula sipemuda
nakal memberi kepastiannja, iapun sudah membaliki tubuh untuk
kemudian setelah memberi aba2 kepada kawan2nja supaja lekas
berlalu diapun meninggalkan rumah makan itu. Namun baharu
sadja ia melangkahkan kakinja sedjauh kira2 tiga tindak dari
muka pintu, tiba2 ia dengar suara sipemuda nakal jang membuat
kalau seandainja tidak ada Siang Tjoe tentulah ia sudah balik
kembali untuk memberi hadjaran.
"Ha ha ha!" demikian ia mendengar. "Memang, barang2 murni itu
sekarang berada padaku dan baiklah nanti lima hari lagi aku akan
mengundjungi gubukmu bersama kawanku ini untuk
mengembalikan emas2mu itu jang sudah kutjiptakan mendjadi
lima belas potong kaju arang, ha ha ha!"
Bukan main mendelunja imam ini dan kawan2nja mendengar
kata2 edjekan tersebut, namun apa daja, karena disitu ada Siang
Tjoe mereka tidak berani untuk memberikan hadjaran pada
pemuda tersebut, karena disitu ada Siang Tjoe jang kelihajannja
si imam sendiri telah merasakannja walau hanja dalam sekali
melihat gerakannja. Dengan menebalkan perasaan kulit tubuh dan memekakkan
telinga mereka berdjalan terus.
"Anak nakal!" mentjatji Siang Tjoe dalam hati, jang diam2 pun
merasa hatinja geli dan agak marah.
Betapa tidak, baru hari ini bertemu dan berkenalan sudah
mengaku saudara, dan sudah berani meluluskan permintaan
orang jang ditudjukan kepadanja jang ia sendiri belum
memberikan keputusannja. Sungguh lutju dan menjebalkan.
"Sahabat Siang Tjoe," terdengar Tek Tek mamanggil,
membangunkan perasaan Siang Tjoe dari lautan kesangsiannja.
"Mari landjutkan dahar jang barusan sudah terganggu!" sambil
menarik lengan pemuda kita kemedjanja, dimana kemudian dia
meneriakkan djongos jang lantas datang dengan segera. Terlebih
telaten, dan hormat. "Tjoe toako," berkata Tek Tek tanpa sungkan2 pla menjebut
nama orang dan memanggil toako, saudara jang terlebih tua,
karena memang dilihat dari raut wadjah sadja kedua orang muda
ini, tampaklah dengan njata kalau Siang Tjoe terlebih tua dari
pemuda nakal itu. "Kau memiliki ilmu kepandaian jang benar2 dapat membuat
kagum setiap orang jang menjaksikannja. Bolehkah aku
mengetahui dari partai manakah toako dan siapakah gurumu?"
"Aku adalah orang dari partai sembilan," mendusta Siang Tjoe
jang segera ingat kalau dia tidak boleh menerangkan kepada
siapa djuga akan nama perguruannja. Dan keterangan ini
sesungguhnja membuat Tek Tek mendjadi keheranan sekali.
Karena sepandjang jang ia ketahui, belumlah pernah mendengar
nama partai sematjam ini.
"Sedang guruku, adalah seorang jang tidak mempunjai nama.
Usianja sudah lebih dari seratus tahun serta kurus sekali... dan
kau sendiri siauwtee!"
"Aneh, aneh sekali! Partai dari partai sembilan?" menegasi Tek
Tek. "He ehhh!" membenarkan Siang Tjoe seraja manggutkan
kepalanja jang tapinja didalam hatinja tertawa ter-pingkal2 hingga
hampir2 perasaan itu ia keluarkan.
"Gurumu seorang tiada bernama, berusia lebih dari seabad" Dan
kurus sekali?" Dan kembali Siang Tjoe manggutkan kepalanja serta sedapat2nja ia menahan perasaan hendak ketawanja jang ketika itu
hendak muntah keluar. "Heran belum pernah kudengar nama tersebut!" berseru dia
achirnja setelah lama ber-pikir2 tanpa sedikitpun dapat
merabanja, dan mengangkat tjawan araknja seraja berkata.
"Aku tidak berpartai, sedang guruku banjak sekali, tjampur aduk,
dari kota jang djauh dari kota ini. Dan agar toako djangan sampai
menuduh aku adalah seorang jang bukan2, karena beberapa kali
orang2 tadi me-njebut2 aku telah mentjuri lima belas potong
emasnja..." "Boleh kau mengotjeh terus bersihkanlah namamu, aku tidak
peduli. Jang kutahu, kau adalah seorang pemuda nakal..."
berkata Siang Tjoe dalam hatinja, sambil menghirup araknja.
"Pada empat tahun jang lalu, karena tidak tahan akan tekanan
batin jang menindih djiwaku, aku meninggalkan rumahku..."
"Nah, satu bukti!" hati Siang Tjoe berkata pula. "Siapa nama
orang tuamu?" achirnja Siang Tjoe bertanja djuga.
"Orang tuaku" Apabila orang tuaku masih hidup, tiadalah hidup
batinku tertekan mendjadi begini rupa dan sampai mengaburkan
diri..." "Ah!" tanpa terasa Siang Tjoe berseru dan seketika itu djuga
terlintas di rongga otaknja akan wadjah Ong Kauw Lian, murid
murtad jang telah membinasakan ajahnja.
"Empat tahun lamanja aku merantau, hingga bolehlah dikatakan
pengalamanku tentang dunia kangouw luas djuga, dan
mengetahui bagaimana tjara bekerdjanja orang djahat atau baik.
Demikianlah pada sepuluh hari jang lalu, ketika aku hendak
memasuki kota ini, kira2 empat puluh lie dari pintu selatan, aku
berpapasan dengan segerombolan begal jang anggotanja terdiri
dari orang2 lihay tengah menerindili seorang saudagar tanpa dia
ini berdaja apa2 dan membiarkan lima belas potong emasnja
dirampas. Karena apa daja dia hanjalah seorang saudagar
bertubuh terokmok, gerombolan jang mula pertamanja kukira
adalah dari kumpulan begal ini dipimpin seorang tosu bernama
Kek Sie Todjin dan seorang lain, seorang imam djuga. Malah
imam kawannja Kek Sie Todjin djauh lebih lihay dari Kek Sie
Todjin sendiri, hingga dikala aku saksikan betapa ketika ia
menakut-nakuti si saudagar dengan membuat patah tiga sebuah
golok besar, akupun membatalkan diri untuk membantui si
saudagar. Maka selandjutnja, adikmu ini hanja membajangi gerombolan


Ilmu Silat Pengejar Angin Karya Siasa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

begal ini, dari djarak kira2 dua puluh tombak tanpa mereka
menjadari karena kebetulan ternjata ilmu meringankan tubuhku
djauh terlebih tinggi dari mereka.
Ternjata mereka memasuki kota kang-po ini, hingga benar2
ketika itu aku merasa heran dan tidak habis pikir, sebab apakah
mungkin berani kaum begal mendirikan pesanggerahan didalam
kota jang tjukup ramai dan mempunjai hukum" Didalam kota,
terus mereka kubajangi, mereka menudju terus keutara dan
ternjata mereka adalah orang2 dari partai Pek bie pay, partai alis
putih jang dipimpin oleh lima orang ketua, diantaranja dua imam
tadi jang turut membegal.
Setelah menjelidiki, malamnja dengan menggunakan Ja heng ie
(Pakaian malam) dan memakai kain hitam penutup muka, aku
satroni rumah perkumpulan tersebut. Kebenaran, malam itu
mungkin karena untuk merajakan pesta hasil mereka jang diduga
seharga tidak kurang dari tiga puluh ribu tahil, mereka berpesta
makan minum sampai ber-mabuk2, hingga dengan mudah aku
pun dapat mentjuri kembali seluruh potongan emas hasil
rampokan mereka jang berdjumlah lima belas potong dan
berharga tidak kurang dari tiga puluh ribu tahil itu dan kemudian
membawanja pulang. Namun apa latjur ketika kutengah
melarikan diri dan sampai diluar pekarangan, aku berpapasan
dengan Kek Sie Todjin jang segera ketika melihat aku ber-lari2
membawa karung, dengan tindakan limbung karena pengaruh
arak, membentak dan lalu menjerang aku.
Dengan mudah sadja serangannja dapat kukelitkan kemudian
tjepat luar biasa tubuhku kulajangkan keatas genteng untuk
kemudian terus lari meningalkannja. Imam itu sendiri segera
rubuh djatuh karena mungkin terlalu banjaknja dia menenggak air
kata2. Agaknja ketika tadi aku melawan dia bertempur, dia
mengenali tubuh dan gerakanku, hingga hampir2 sadja aku
terdjatuh sebagai korbannja barusan, kalau tiada datang
pertolonganmu... Hai tidak tahunja hari sudah malam," dia menambahkan.
"Marilah toako ikut aku ber-sama2 tidur di pondokku. Sekalian
lihat logam2 murni itu, jang mana kalau kau kehendaki aku dapat
membaginja separuh," akan kemudian tanpa menunggu
djawaban lagi dari Siang Tjoe, setelah membajar uang makanan
dan minuman, ditariknja tangan pemuda ini untuk diadjaknja
keluar jang mana iapun mengikutinja dengan pikiran kalau
mungkin ia hendak menasehati agar pemuda itu pulangkan sadja
emas2 barang rampasan itu kepada pemilik aslinja.
Dengan separuh menarik tangan Siang Tjoe pemuda itu terus
membawa pemuda kita sampai keluar kota jang mana kemudian
membawanja terus menjusuri sebuah sungai ketjil jang airnja
djernih. Tak lama kemudian, mereka berduapun telah berada
sepuluh lie kira2 dari pintu kota, dan berada disuatu tempat jang
penuh bertumbuhan pohon2 liar. Dan dilain saat, setelah
menempuh pula kira2 enam lie, Siang Tjoe pun merasakan
bahwa dia bukan lagi berada disuatu daerah hutan, melainkan
disuatu padang rumput, dimana banjak sekali kedapatan bukit2
ketjil. "Dimanakah rumah pondokmu," tanja Siang Tjoe achirnja jang
tidak dapat menahan pula rasa herannja. Karena tadinja ia kira,
pemuda itu menginap dihotel atau sedikitnja berdiam disuatu
rumah biasa didalam kota.
"Kurang lebih tiga puluh lie lagi," djawab pemuda itu singkat
seperti tidak memperdulikannja, Siang Tjoe akan keterangan ini
mendjadi ter-heran2. "Tiga puluh lie lagi?" mengulang Siang Tjoe.
"Ja," membenarkan Tek Tek. "Apakah kau tjuriga" Dapat berbuat
apakah aku terhadap toako jang berkepandaian seratus kali lipat
daripadaku" Dan pula bukankah tadi waktu dirumah makan aku
sudah tjeritakan bahwa padaku ada terdapat lima belas potong
uang emas jang tentunja tidak mungkin untuk dapat di-bawa2
didalam kota." Dengan keterangan ini Siang Tjoe manggut2kan kepalanja dan
tahulah ia akan sebabnja mengapa pemuda itu tidak mengambil
tempat menginap didalam kota. Selandjutnja ia pun tidak bertanja2 lagi, hanja diikutinja terus pemuda itu jang membawanja
terus dengan arah tetap kebarat. Ketika itu sang rembulan jang
terang sudah sampai di-tengah2 tjakrawala. Sinarnja menerangi
rumput tebal. Siang Tjoe jang bermata djeli, segera melihat
diantara tumpukan2 bukit2 ketjil, terdapat tiga tumpukan bukit
jang bentuk dan kedudukannja lain sekali dengan bukit2
seumumnja. Pada tiga tumpukan jang membuat timbulnja
ketjurigaan Siang Tjoe ini memantulkan kembali sinar sang bulan
jang menimpanja, tampaklah aneh sekali. Tjepat sekali Siang
Tjoe lompat menghampiri sesuatu jang menarik hatinja itu, maka
segera ia pun mengenali itulah sekumpulan tengkorak manusia,
jang bertumpuk rapi dalam empat tumpukan.
"Ternjata didaerah sini banjak sekali begal2 kedjam..." katanja.
"Eh, siauwtee. Apakah artinja ini" Siauwtee tjoba kemari!"
Suara itu suara kaget, maka segeralah Tek Tek pun
menghampirinja. "Tengoklah!" berseru pemuda ini, jang angsurkan sebuah
tengkorak kepala manusia kepada Tek Tek, jang kemudian
memeriksanja. Dia ini pun tidak kurang pula terkedjutnja.
Ia dapatkan lima lubang pada lubang2 kuping, mata dan hidung
sebelah kiri terdapat lebih besar seperti bekas dilubangi dengan
paksa, rupanja bekas ditusuk dengan djari tangan, djadi bukan
bekas tusukan pedang atau alat sendjata lain.
Pemuda ini, jang pengalamannja tjukup luas segera ulur
tangannja, dan kelima djeridjinja tepat masuk dengan lebih
kelonggaraan sedikit masuk kedalam semua liang itu. Djadi
tentulah itu bukan perbuatan manusia2 biasa, apalagi kaum
begal. Ia djumput tiga tengkorak lain, disitu djuga kedapatan
masing2 lima liang pada kuping, hidung sebelah kiri dan mata.
Dengan segera air mukanja pun berubah.
"Tjoba toako, kau periksa tiga tumpukan lainnja. Apakah djumlah
dan susunannja sama dengan jang ini?" berkata ia separuh
memerintah. "Jah, benar djumlahnja sama. Sebelas. Sedang susunannja
sebagai segitiga," memberitahu Siang Tjoe setelah ia selesai
memeriksa. "Bukankah itu terbagi pula dalam empat tingkat?" menegasi Tek
Tek, sambil dia sendiri memeriksa tumpukan pertama jang tadi
ditemukan Siang Tjoe. "Jang bersusun empat, tiga, tiga dan
satu?" "Eh, siauwtee!" berseru Siang Tjoe heran. "Mengapa dapat kau
mengetahui tepat?" Tek Tek perlihatkan wadjah tjemas. Ia tidak mendjawab
pertanjaan sahabat barunja ini. Melainkan, tjepat luar biasa, pada
djarak kira2 setombak mendekati tubuh Siang Tjoe dia tjabut
pedangnja jang kemudian digunakan untuk menusuk!
Hebat dan benar2 sama sekali diluar pikiran Siang Tjoe akan
perbuatan pemuda nakal dan menurut Siang Tjoe djuga lutju itu.
Kaget sekali ia akan serangan tiba2 ini. Dan barulah disaat itu
Siang Tjoe djuga merasa menjesal jang telah terlalu mempertjajai
pemuda jang mengaku bernama Giok Tek Tek itu, dan sebelum
ia sempat berpikir untuk bagaimana dan dengan tipu apa harus
mengelakkan serangan ini, udjung pedang telah sampai kira2
beberapa dim dimuka dadanja dan dapatlah dipastikan
mendjelang setengah detik pula, pastilah dadanja akan berlubang
tertembus. Namun untung baginja, disaat dirinja hampir sadja
terbinasa dibawah seorang kawan baru jang pernah ditolongnja,
tiba2 pada otaknja berkelebat suatu tjara mempeladjari ilmu
lweekang jang berasal dari tanah India dan oleh gurunja digubah
dan disesuaikan dengan tjara jang lazim digunakan ditanah
Tionggoan. Dan diberi nama Tenaga Gaib dikedua telapak.
Segera, mengingat ini, sambil berseru.
"Bagus!" sebat luar biasa ia rangkapkan kedua telapak tangannja
menangkap udjung pedang dan mengiringi itu ia salurkan tenaga
lweekangnja. Dan disini, karena terlalu gemasnja ia kepada
kawan jang dianggapnja tidak tahu balas budi ini, ia kerahkan
seluruh tenaga lweekangnja kekedua telapak tangannja. Disaat
itu djugalah terdengar sipemuda Giok Tek Tek mendjerit keras,
karena disaat itu djuga ia merasakan tiba2 tubuhnja seperti
bersentuh dengan tenaga listrik jang berkekuatan besar sekali.
Dan bersamaan dengan rubuhnja tubuhnja jang terpental tidak
kurang dari enam tumbak, pedangnja mentjair bagaikan kentalnja
kandji dengan gagangnja mendjadi hantjur mendjadi bubuk halus!
Namun dikala pemuda kita hendak meninggalkan tempat
tersebut, tiba2 ia mendengar Giok Tek Tek tertawa keras sambil
me-manggil2 dirinja. Bahkan kata2nja membuat ia sangsi, apakah
kawan jang pernah ditolongnja itu adalah seorang gila"
"Toako! toako!" demikian ia mendengar sipemuda berteriak.
"Djangan pergi dahulu, kedua iblis akan mendatangi. Kamu pasti
dapat menguasai mereka, manusia2 kedjam, pembunuh sesama
tanpa berkedip!" Dan luar biasa tjepatnja, tanpa menghiraukan
akan luka pada tangannja jang telah mendjadi hitam akibat
hebatnja serangan tenaga dalam Siang Tjoe, dia menghadang
dihadapan Siang Tjoe, sambil ter-tawa2 pula.
"Hendak apa kau?" bentak Siang Tjoe jang mendjadi berbalik
mendjadi sebal kepada pemuda itu. Dikebaskannja kedua
tangannja, hingga tanpa ampun pula Giok Tek Tek rubuh
terguling, masih mudjur baginja, karena Siang Tjoe hanja
mengerahkan sebagian ketjil tenaganja sadja.
"Toako tengoklah, mereka datang. Bersembunjilah!" berseru pula
pemuda nakal itu jang tidak lagi ber-main2 atau ter-tawa2
melainkan mukanja tjepat sekali berubah tegang luar biasa sambil
kemudian dia meniarap. Lie Siang Tjoe jang sebenarnja tidak hendak meladeni pula
segala perkataan2nja pemuda itu tanpa terasa telah
memalingkan djuga muka kearah jang ditundjuk Tek Tek, dan
benar sadja. Kurang lebih dua puluh tumbak dari tempat dimana ketiga
tumpukan tengkorak terdapat, tertampak melesat dua bajangan
manusia. Bajangan ini jang tampak njata keduanja rambutnja
pandjang beriap tidak terurus, melesat tjepat sekali, dan sedetik
kemudian telah berada dihadapan ketiga tumpukan tengkorak.
Dan segera, begitu mereka tiba, salah satu diantaranja lantas
ajun sebelah tangannja jang kanan sambil mengeluarkan
serangan keras. Menghadjar bagian tingkat paling atas dari
tumpukan tengkorak jang terletak disisi kanan, hingga walau
hanja kena angin sabetannja sadja telah mendjadi hantjur luluh
dengan bubuknja beterbangan kesana kemari ditiup angin
malam. Melihat raut wadjah kedua orang jang baru datang ini jang
wadjahnja bengis menjeramkan, mau djuga Siang Tjoe
mempertjajai kata2 Giok Tek Tek jang terachir in. Segera iapun
agar djangan sampai terlihat kedua orang jang bermuka iblis itu
lantas menuruti djedjak Tek Tek, meniarapkan tubuhnja. Dengan
ber-ingsut2 Tek Tek menghampiri dirinja.
"Toako, dengan kepandaian kamu jang dapat mentjairkan
pedangku, dapatlah dipastikan kau bakal dapat menindih
manusia2 berhati iblis itu. Dan toako," menambahkan dia.
"Maafkan akan kelantjanganku barusan jang telah berani2
mentjoba kepandaianmu. Sungguh toako mempunjai kepandaian
luar biasa sekali," berkata kagum pemuda ini sambil meringis
merasakan kesakitannja pada kedua telapak tangannja, hingga
Siang Tjoe jang menjaksikannja mendjadi menjesal sekali jang
barusan telah kelepasan turun tangan.
"Tahukah kau toako siapakah orang2 jang bukan lain dari orang
jang telah mendirikan tumpukan2 tulang tengkorak manusia itu?"
bisik Tek Tek. Siang Tjoe meng-geleng2kan kepalanja, karena
memang ia tidak mengetahui.
"Mereka berdua lihay sekali. Dimasanja mereka malangmelintang di Barat ini, kita berdua masih ketjil sekali, toako maka
itu, kau tidak ketahui tentang mereka. Sedang aku djuga
mengetahuinja dari mendengar tjerita guruku. Dua orang itu
sangat telengas. Bagi mereka membunuh orang itu sama djuga
dengan bermandi air. Baik orang2 dari djalan putih atau hitam,
siapa dengan mereka, pastilah hatinja tjiut. Tidak sedikit orang2
gagah jang telah rubuh ditangannja," Tek Tek memberikan
keterangan. "Mengapa para orang2 gagah tak hendak mengepung beramairamai?" Siang Tjoe tanja.
"Menurut katanja guruku tertua," bilang Tek Tek, "orang2 gagah
dari selatan dan utara sungai besar, dan dari barat sini pernah
tiga kali mengadakan perhimpunan besar digunung Hoa-san, lalu
beruntun selama lima tahun mentjoba mengepung Ang Oey
Mokko, namun kedua iblis ini dapat meloloskan diri begitu melihat
demikian banjak orang. Barulah setelah orang2 bubaran, mereka
muntjul pula. Setahu bagaimana, belakangan orang tidak lihat lagi
bekas2 djedjak mereka, maka beberapa tahun kemudian orang
anggap mereka sudah menemui adjalnja. Tidak di-sangka2
sekarang, ditempat padang sebagai ini, dibarat sini, kita menemui
mereka." Mendengar penuturan ini semakin bulatkan niat Siang Tjoe untuk
membinasakan kedua iblis ini, dan lalu mentjeritkan malapetaka
hebat jang telah menimpa keluarga Oey sebagai akibat
kekedjaman kedua orang itu, hingga mendengar penuturan Siang
Tjoe ini, Giok Tek Tek tanpa menjadari telah berseru keras.
"Kalau tidak salah, sekarang ini mereka tengah mejakinkan ilmu
jang lihay luar biasa jang telah membuat semua guru2ku tidak
berdaja untuk menghadapinja."
"Mengapa barusan kau mengetahui akan tanda2nja?" menegasi
Siang Tjoe jang mendjadi kagum sekali kepada Tek Tek jang
ternjata mempunjai pengalaman djauh lebih luas dari dirinja.
"Betapa tidak," djawab Tek Tek. "Dengan mata kepala sendiri
siauwtee pernah menjaksikan tjara bertempurnja mereka ini
ketika melawan sekalian guru2ku jang dengan mudah sadja
dapat dikalahkannja."
"Baiklah aku binasakan kedua orang ini," Siang Tjoe achirnja
mengambil keputusan. "Kalau berhasil bukankah sama djuga aku
telah membalaskan sakit hatinja kedua paman dan keponakan
Oey Hong Gan?" berkata Siang Tjoe dalam hatinja.
Sementara itu, kedua iblis jang memang ternjata bukan lain
adalah Ang Oey Mokko, setelah puas menghantjurkan empat
buah batok kepala manusia, segera meninggalkan pula padang
itu dan dalam sekedjap telah menghilang tanpa terlihat pula
bajang2annja, suatu tanda beta tinggi ilmu meringankan tubuh
mereka. "Kini," tiba2 terdengar pula Giok Tek Tek berkata : "Aku harap,
selandjutnja berlakulah hati2. Djanganlah pandang ringan
padanja. Harus kau ketahui pula, bahw Oey Mokko itu usianja
lebih tua dari iblis satunja, dan terlebih lihay pula. Nah sekian
sadja dahulu, tak dapat siauwtee menerangkan lebih landjut.
Sekarang tjobalah toako berdjalan tudjuh puluh langkah ketimur
utara. Periksalah, adakah disana sebuah peti mati?"
Kekaguman Siang Tjoe akan pengetahuan kawan baru ini jang
demikian luas semakin ber-tambah2, hingga selandjutnja kepada


Ilmu Silat Pengejar Angin Karya Siasa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pemuda ini ia tidak ada lagi perasaan tjuriga apa2. Malah setelah
mendapat perintah tadi, tanpa ajal pula segera ber-lari2 ketempat
kearah jang ditundjuk. Ketempat arah ditimur utara.
Setelah tudjuh puluh tindak, Siang Tjoe pun mulai memeriksa.
Agak lama djuga. Namun tidak didapatinja akan peti mati seperti
jang disebutkan siauw-teenja tadi. Hanja pda sebuah legok, ia
dapatkan udjung sebuah batu lembaran jang muntjul dari dalam
tanah. Sudah kotor berlapiskan tanah dan ketutupan rumput
hidjau. Ia tjoba tarik batu muntjul itu, namun walaupun sudah
berdegingan agak lama djuga, tetap batu itu tidak bergerak.
Bergemingpun tiada. Diachirnja, karena kuatir makan tempo, segera ia kepal udjung
batu itu dengan sebuah tangan kirinja. Sedang tangan kanannja
dengan membuat lingkaran bulat jang kemudian di-putar2, diam2
mengerahkan tenaga kedalam seluruh lima djeridji kanannja.
Itulah pengerahan tenaga lweekang jang dilakukan dengan tipu
Angin tembaga mengedjar naga. Akan kemudian tangan
kanannja itu, tiba2 ditempelkan keatas telapak tangan kirinja jang
sedang memegang udjung lembaran batu. Dan adjaib sekali,
dengan segera, tetapi pasti, lembaran batu itu jang merupakan
papan per-lahan2 terbongkar keluar!
Dalamnja hampir dua kaki. Segera iapun menggapekan
kawannja. Dibawah sinar rembulan jang ketika itu sedang
memantjarkan sinarnja, dibawah batu itu tertampak sebuah peti
mati bertjorak kotak atau peti batu, dan didalam mana rebah satu
majat. "Manusia iblis ini akan lekas balik pula kemari untuk melandjutkan
latihannja, sebagai alatnja ialah ini, majat ini!" berkata Tek Tek
setelah memeriksa. "Maka sebagai umpan, aku akan
menggantikan, merebah didalam peti mati untuk bokong padanja.
Toako pergilah kamu mentjari tempat berlindung. Kamu segera
harus datang membantu begitu melihat aku bergebrak dengan
mereka. Itu waktu, djanganlah toako berlaku kasihan2 pula. Oleh
Giam lo ong kamu akan diberikan pahala besar, djika dapat
membunuh ke-dua2nja!" berkata dia jang masih sempat djuga
berkelakar, hingga mau tidak mau Siang Tjoe tertawa djuga.
"Kedua musuh ada demikian lihay," achirnja Siang Tjoe
menjangsikan. "Apakah tidak lebih baik djika kita menghadjar
mereka setjara langsung ber-sama2" Sebab dengan tjara ini aku
kira bagi djiwamu ada sangat berbahaja sekali!"
"Tidak ada tjara jang kukira lebih baik dari ini," mengachiri Tek
Tek seraja angkat tutup peti.
"Tutuplah papan batu ini hanja tinggalkan sedikit lubang ketjil
untuk aku bernapas!"
Siang Tjoe segera menurut walau sebenarnja ia merasa sangsi
hingga dilain saat iapun sudah bekerdja. Per-lahan2 dan dengan
hati berdebaran keras ia letaki tutup peti mati jang istimewa itu.
Diam2 melihat kerelaannja kawan ini, jang njata2 ada sangat
membentji kedjahatan, sesuai dengan perasaan hatinja sendiri,
mengambil keputusan untuk dengan bagaimanapun harus
menjelamatkan sipemuda. Sesudah itu, dengan siapkan sendjatanja ia mentjari sebuah bukit
untuk berlindung sambil memasang mata. Ia mengambil
kedudukan jang sedemikian rupa, hingga menurut djalan
pikirannja dapat bergerak dengan leluasa. Disekelilingnja terdapat
banjak rumput2 tebal. Tiba2 terdengar suara pasir disebabkan tindakan kaki, suara itu
menjebabkan Siang Tjoe mendjadi agak terkedjut, karena itulah
indjakan seseorang jang menandakan tenaga dalamnja sudah
hampir mentjapai puntjak kesempurnaannja, hingga diam2 ia
merasa sajang orang sedemikian lihay telah sesat
menjalahgunakan ilmunja. Sebentar sadja suara itu sudah semakin djelas. Dan benar sadja
tidak djauh dari tempat ia menjembunjikan diri, dibawahnja sinar
terang sang rembulan, ia tampak suatu benda hitam ber-gerak2
tjepat diatas tanah berpasir itu.
Sedetik kemudian, benda itu sudah datang semakin dekat. Maka
sekarang tampaklah dengan njata. Dua orang jang berdjalan
dengan saling merapatkan diri, hingga merupakan satu bajangan
besar. Apabila sebentar kemudian tindakan kaki tidak menerbitkan suara
pula, disalah satu bukit, tertampak berdiri dua orang bagai
bajangan. Berdiri diam. Dilihat dari kepalanja, jang memakai topi
kulit, teranglah, jang satu ini, jang pria, adalah seorang Thibet,
hingga Siang Tjoe djadi merasa heran, karena bukankah katanja
kedua iblis ini adalah orang2 dari tanah India" Apakah mungkin
salah satu dari kedua iblis ini sebenarnja adalah seorang Thibet
jang kemudian mengambil kebangsaan India"
Jang kedua kepalanja tidak berpenutup. Hingga tampak
rambutnja jang awut2an dan pada embun2nja dikondekan. Pria
djuga. Dia berdiri membelakangi Siang Tjoe.
"Pastilah mereka adalah Ang Oey Mokko," pikir Siang Tjoe.
"Sekarang ingin aku saksikan lebih djelas, bagaimana tjaranja
mereka melatih diri sambil menantikan apakah jang akan
dilakukan Tek Tek..."
Salah satu dari antara kedua bajangan itu, segera berdjalan
memutari jang seorang, jang Siang Tjoe kira adalah mendjadi
saudara angkatnja. Djelas terdengar kuku2 tulangnja
berkeretakan. Dan mengikuti djalannja, jang dari perlahan hingga
tjepat, suaranja semakin keras.
Lie Siang Tjoe jang walaupun pernah mempeladjari peladjaran
ilmu lweekang dari tingkat tinggi, diam2 merasa heran djuga akan
tjara2 latihan ini. "Tenaganja demikian hebat. Pantaslah kalau barusan ia (jang
dimaksud Tek Tek) mengudji kebisaanku jang hampir2
mengambil djiwanja."
Memudji Siang Tjoe kepada pemuda nakal itu jang dianggapnja
berpengalaman luas dan pikiran pandjang.
Orang itu gerak2i kedua tangannja. Dipandjangkan dan ditarik.
Sekedjab-sekedjab terdengar suara berkereteknja. Rambutnja
djuga turut ber-gerak2 pula. Hingga tiba2 orang itu angkat naik
tangan kirinja, menjusul mana tangan kanannja menjerang dada
orang jang satunja. Terkedjut Siang Tjoe menjaksikan kelakuan
orang ini. "Dapatkah orang jang mendjadi saudaranja itu, jang berdarah
dating dan kulit manusia bertahan terhadap serangan itu?" tanja
dalam hati. Selagi demikian, orang tersebut kembali sudah menjerang pula,
kali ini seluruhnja kebagian seluruh tempat dikepala, setiap
serangannja bertambah tjepat, serta bertambah hebat. Orang
jang agaknja mendjadi saudaranja tadi mirip orang mati.
Tubuhnja tidak bergerak, bergeming ataupun bersuara. Tepat
sampai pukulan kelima, manusia iblis itu lompat mentjelat.
Berdjumpalitan. Dengan kaki diatas dan kepala dibawah,
menjambar kepala bagian muka orang jang berdiri sebagai majat
itu, dengan kelima djeridjinja mentjengkeram, hingga dilain detik
muka itu sudah tjopot tepat seperti jang pernah i adengar dari
penuturan kakek pembantu rumah tangga kawannja
Satmijagatze! Hampir2 Siang Tjoe mendjerit bahna kaget, karena walau ia lihay
bagaimana, ia toh hanja seorang manusia muda jang baru
pertama kali ini menjaksikan dengan mata kepala sendiri
perbuatan seorang manusia jang demikian terhadap sesamanja.
Sedang sebaliknja si manusia iblis tertawa besar dan pandjang.
Kapan kemudian tangan kirinja ditarik, lima djeridjinja penuh
berlumur darah dan polo. Sambil mengawasi tangannja itu ia
masih ter-tawa2. Tiba2 sadja kemudian ia menoleh kearah Siang
Tjoe, hingga pemuda kita dapat lihat wadjah orang.
Satu wadjah jang mirip dengan bukan wadjah manusia,
mendekati hantu, sedang seluruh kulit mukanja berwarna merah.
Dan melihat wadjah ini, tahulah Siang Tjoe kalau manusia iblis
jang mungkin sudah berusia enam puluh lebih adalah Ang Mokko,
sihantu merah. Jang hebat, ialah, walau terdengar mulutnja
mengeluarkan suara tertawaan, namun pada mukanja tidak
terlihat tanda2nja kalau ia sedang tertawa...
Sekarang Siang Tjoe baru sadar, orang jang satunja itu bukanlah
Oey Mokko, sihantu muka kuning, hanja seorang lain jang
rupanja ditangkap untuk didjadikan korban latihannja.
Dengan sendirinja menjaksikan perbuatan manusia ini jang
benar2 melanggar batas2 perikemanusiaan, Siang Tjoe mendjadi
semakin membentji. Seberhenti tertawanja itu, Ang Mokko geraki kedua tangannja.
Dirobek serta dibukanja pakaian luar korbannja itu. Tubuh siapa,
jang kini sudah bertelandjang bulat ia letaki diatas tanah. Habis
itu, dengan rangkap kedua tangannja, iblis ini sambil berdjingkrak
berlompatan memutarinja. Dikala berlompat, dengkulnja tidak ditekuk, tubuhnja djuga tidak
dibungkukkan. Dia lompat sedjauh tinggi beberapa kaki dengan
tubuh lempang djegar. Disebelah heran dan gusar, kekaguman Siang Tjoe semakin bertambah2. Iblis muka merah itu berhenti berlompatan dan
berputaran sesudah ia memekik keras dan pandjang. Melainkan
ia melompat tinggi sekali, akan kemudian dengan menukik ia
melajang kearah peti mati, dimana, didalamnja, Giok Tek Tek
rebah berbaring! Menjaksikan ini, wlau Siang Tjoe sudah menduga kalau hal ini
bakal terdjadi, toh hatinja bertjekat dan terkesiap djuga. Segera
iapun tjabut pedangnja - Hong po kiam - hingga sinarnja
berkemilau mengeluarkan sinar terang! Dan pantulan tjahaja ini
dalam sekedjab sadja telah terlihat dan membuat sadar Ang
Mokko, bahwa disekitar tempat ia berlatih terdapat orang jang
telah menjaksikan perbuatannja. Ia pun berpaling kearah dari
mana tadi ia melihat tjahaja terang berkelebat.
"Sia..." namun belum habis kata2nja jang tadinja hendak
diutjapkan siapa, mendadap 'Plaaak!' tutup peti mati mendjeplak
terbuka dan mengiringi itu, sebuah sinar putih berkelebat
meluntjur kearah kedua matanja.
Itulah pedang Giok Tek Tek jang sedjak tadi melalui liang ketjil,
tidak lepas meng-amat2i segala perbuatan2nja si iblis dan setelah
melihat saat jang di-nanti2kan sudah tiba, dengan menggunakan
kakinja, menendang tutup peti ia melompat keluar seraja dengan
pedangnja langsung mengantjam kelemahan si iblis, jakni pada
bagian matanja. Sebenarnja djika bukan karena Siang Tjoe jang tanpa sengadja
telah mentjabut pedang Hong po kiam jang setjara tidak langsung
telah membuat pemusatan pikiran siiblis terbagi, belumlah tentu
Tek Tek dapat melakukan pembokongan itu, jang ia kira pastilah
akan mendapat hasil. Dalam sedetik itu hatinja sudah berteriak
girang. Namun jang kini ia serang setjara menggelap ini adalah seorang
djago jang tiga puluh tahun sebelumnja pemuda ini dilahirkan
telah malang melintang dan telah melakukan banjak sekali
pertempuran2 besar dan ketjil.
Demikianlah walau agak terkesiap, iblis ini masih sempat djuga
menguasai dirinja dengan mengelakkan sedikit mukanja
kesebelah kanan, dan membarengi itu, tangannja jang kanan,
jang mengembang sebagai kipas dihadapkan kemuka menjambut
datangnja serangan, hingga tidak ampun pula, pedang jang
tadjam dan terbuat dari bahan logam, berlanggaran dengan
sebuah telapak tangan manusia berisi daging.
Hebat sekali akibat dari sebab bertumbukannja dua alat manusia
jang benar2 bertolak beda ini. Karena dengan mengeluarkan
bunji 'peletak' pedang patah tiga dengan pemegangnja sendiri
rubuh terbanting, karena barusan, ketika ia sedang bergirang jang
mengira pedangnja pasti dapat paling sedikit menembus tangan
siiblis itu mendadak ia rasakan seperti ada suatu tenaga jang
besar sekali membetot tangannja hingga ia merasai sakitnja
seperti menggetarkan hati dan otak.
Ang Mokko, jang merasa gusar sekali karena dirinja hendak
dibokong, tidak berhenti sampai disitu sadja. Tjepat luar biasa
sebelum Tek Tek dapat bangkit berdiri, sambil membuat lingkaran
pada tangan kanannja, tangan kirinja sambil mengikuti gerak
tubuhnja dimadjukan kemuka hendak mentjengkeram kepala
Giok Tek Tek! Agaknja dia hendak menggunakan Tek Tek
sebagai korban latihannja dengan menggunakan ilmu betot djiwa
lima djari. Akan tetap tiba2, sebelum tangannja berhasil mengenai
sasarannja, ia merasakan sekumpulan angin dingin berkesiur
menjambar bebokongnja. Agak terkedjut ia ketika dirasakannja
kalau angin itu adalah angin jang berasal dari bukan dari sendjata
sembarangan. Ia tidak mendjadi gugup akan serangan mendadak ini, malah
dengan gesit sekali tangan kirinja jang ia sudah ulurkan kemuka
dapat ditarik kembali dan sebat luar biasa sudah mendjungkirbalikkan tubuhnja seraja mentjabut sendjatanja, jakni sebatang
tongkat dari batu kemala hitam jang disebut Hek giok thung, serta
angkat sendjata tersebut untuk menangkis, hingga terdengar satu
suara keras dan njaring. Sinar pedang pun menjilaukan mata.
Siang Tjoe terkesiap djuga setelah sendjatanja bentrok dengan
sendjata musuh. "Aku tidak sangka, tongkat kemala itu tidak tahunja adalah
sendjata mustika djuga," pikirnja.
Kedua sendjata seperti melekat satu sama lain, karena masing2
tidak menarik kembali tangan mereka. Sebaliknja, mereka saling
menekan, saling mengerahkan tenaganja.
Kedua pihak berdiri tegak dengan kuda2 mereka, keduanja
sama2 empos semangat, untuk mengerahkan tenaga masing2.
Dan dlaam hal ini, tampak njata kalau per-lahan2, tetapi pasti,
Siang Tjoe berhasil menggempur pertahanan kuda2 lawannja,
sampai2 iblis ini mengalirkan keringat didjidatnja.
Sementara itu Giok Tek Tek jang ketika itu sudah menjingkir,
mendjadi tegang sendirinja ketika menjaksikan pertempuran adu
tenaga dan keuletan ini, walau benar ia lihat Siang Tjoe sudah
berada diatas angi, ia berkuatir djuga.
Tak lama kemudian terdengar seruan Ang Mokko, tubuhnja
tertampak lompat mentjelat. Suaranja bernada terkedjut. Diam2
dia merasa kagum akan kehebatannja tenaga dalam pemuda kita
jang mula2, ketika mulai bertempur ia pandang rendah.
Dipihak lain Lie Siang Tjoe tetap berdiri ditempatnja semula.
Tiada berkisar sedikitpun. Dengan demikian pada gebrakan
pertama ini, setjara mutlak Siang Tjoe telah memperoleh
kemenangan, dan dikala ia hendak madju untuk merangsek, tiba2
terdengar Giok Tek Tek jang mengedjek siiblis.
"Kiranja hanja seekor keledai tua. Ha ha ha! Namamu hanja
kosong belaka! Njata kau tidak sanggup untuk merubuhkan hanja
satu anak ketjil. Ha ha ha! Ha ha ha!"
Suara tertawa itu belum berhenti atau Ang Mokko jang mendjadi
penasaran dan murka, sudah lantas berseru njaring.
"Botjah tidak tahu mampus, aku toh belum kalah" Tunggu
kubereskan kamu nanti sesudah kawanmu ini berhasil
kubinasakan!" Lalu tubuhnja mentjelat madju, sinar hidjau dari
tongkatnja pun berkelebat menjambar djidat Siang Tjoe.


Ilmu Silat Pengejar Angin Karya Siasa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Atas datangnja serangan dahsjat itu, Siang Tjoe menjamping satu
tindak, sambil mundur ia angkat pedangnja, dengan demikian ia
membalas menabas lengan orang.
Ang Mokko pun sangat awas dan gesit sekali, lekas2 ia tarik
kembali tangannja. Siang Tjoe tahu orang lihay, segera iapun tidak mensia-siakan
waktu pula, ia mainkan ilmu pedangnja, Daun Bambu
Dipermainkan Angin, jang lihay luar biasa, dan merupakan salah
satu tjabang dari Tui Hong Kiam hoat. Hebat sekali permainan
ilmu silat ini karena dalam sekedjab sadja ia sudah berhasil
mendesak siiblis. Tubuhnja seperti dikurung suatu tembok pedang jang tidak
memungkinkan untuk tongkat dapta menembusinja, hingga iblis
ini mendjadi ber-tambah2 terperandjatnja. Tidak pernah
disangkanja kalau dalam melakukan prakteknja didaerah barat
ini, ia bakal mendapat tandingan jang melebihi keunggulannja.
Satu kali ketika tongkat Ang Mokko hampir sadja berhasil
mengemplang pundak Siang Tjoe, pemuda ini segera setelah
mengelak kesamping membabat lengan orang, jang mana benar2
membuat orang seh Ang itu mendjadi terkesiap sekali. Lekas2
iapun menarik kembali serangannja, hingga karena tenaga
kekuatannja mendjadi banjak berkurang, dan tidak ampun pula
ketika tongkatnja kena terhadjar tepat oleh pedang lawan,
sendjatanja itupun segera tersental mental dan somplak sedikit.
Dengan menerbitkan suara berkelonterangan keras tongkat
kemala itu terbanting keras kemuka bumi hingga membuat iblis ini
mendjadi semakin gusar dan penasaran.
Bahna geramnja, segera setelah Hek giok thung-nja terpukul
djatuh, dengan mengeluarkan gerangan keras, lompat memutari
Siang Tjoe. Tangan kanannja membuat sebuah lingkaran, sedang
tangan kirinja dihadapkan kemuka siap untuk dikerdjakan. Itulah
betot djiwa lima djari hingga Giok Tek Tek berteriak terkedjut
memperingatkan Siang Tjoe agar berlaku hati2.
Baru sadja Tek Tek berteriak tadi, se-kongjong2 terdengar Ang
Mokko, siiblis muka merah berteriak keras dan bersamaan itu,
tertampak tangan kirinja terdjulur kemuka dengan kelima kukunja
jang tadjam luar biasa muntjul keluar. Mau tidak mau Tek Tek,
walau sudah mengetahui akan kelihayan Siang Tjoe mendjadi
terkedjut djuga. Namun pada saat itu, pada saat ia kira kawannja akan mengalami
kehantjurannja, ia mendengar djeritan kaget siiblis muka merah.
Itulah djeritan tertahan jang menjatakan orang jang mendjerit itu
mengalami sesuatu jang diluar dugaannja. Dan bersamaan itu,
Tek Tek lihat, di tengah2 kalangan pertempuran, sinar pedang
Siang Tjoe tengah berkelebat mengantjam tenggorakannja Ang
Mokko. Terlalu repot bagi iblis ini untuk mengelakkan serangan
ini, hingga achirnja karena tiada djalan pula baginja untuk
menghindarkkannja, iapun hanja meramkan matanja menerima
nasib. Hanja pada saat itu, mulut terbuka lebar seraja
mengeluarkan pekikan hebat. Suaranja tadjam dan terdengar
djauh. Tjelaka dia memanggil saudaranja!" berteriak Tek Tek
memperingatkan Siang Tjoe. Lalu ia landjutkan dengan
seruannja. "Lekas bereskan dia!" dan pada saat itu djuga pedang Siang Tjoe
telah tepat nantjap di kedua mata siiblis muka merah, hingga
darah merah mengutjur deras dari kedua tempat jang telah
terluka itu. Sementara itu Giok Tek Tek ketika melihat siiblis telah terluka
segera setelah selesai menghabiskan kata2nja, lompat melesat
seraja tangannja jang mentjekal papan batu jang tadi telah
mendjeplak patah dikerdjakan. Ia pilih batok kepala musuh
sebagai sasarannja. Ang Mokko, buta sekarang, iapun belum pernah mejakinkan ilmu
membedakan djurusan, akan ttapi kupingnja terang. Sambaran
angin papan batu dan tusukan pedang pada dadanja jang
menerbitkan angin dingin dapat dirasakannja dari kupingnja jang
sangat tadjam. Maka itu, segera ia berkelit kesamping. Ia dapat
mengegos dari serangan pedang jang ia tengah hadapi, tetapi
tidak dari serangan papan batu jang mengantjamnja setjara
membokong dari arah belakang karena sekarang ia sudah buta.
Kaget tiada terkira Ang Mokko apabila ia merasakan tiba2
bebokongnja sakit sampai keulu-hatinja. Tidak peduli ia adalah
seorang jang mahir ilmu lweekang India jang tinggi, karena
pusatnja (jakni matanja) telah petjah, serangan Tek Tek ini
dirasakan hebat sekali akibatnja. Ia tergempur bagian dalam
tubuhnja. Setelah hasilnja jang pertama ini, Tek Tek tidak berhenti sampai
disitu sadja. Agaknja dia bentji benar pada iblis ini jang telah
merubuhkan guru2nja, dan rupanja pada malam ini dia hendak
membalaskan sakit hati kekalahan guru2nja itu. Segera menjusul
serangannja jang kedua. kali ini dia gagal, ia malah harus lompat
menjingkir. Rupanja Ang Mokko telah dapat men-duga2, ia
mendahulukan menjambar. Wadjahnja tampak menjatakan
bahwa ia lebih rela mati ditangan Siang Tjoe daripada dibawah
penjerang gelapnja ini jang ia kira ilmu silatnja djauh lebih rendah
dari kepandaiannja. "Siapakah penjerang gelap ini?" ia berteriak. "Lekas beritahu,
agar kalau tuan besarmu mati. Dia dapat mati puas."
Tek Tek tertawa dingin. "Apakah kau masih ingat akan salah satu guruku Pek Sin Tjoa Lie
Tjoe Tjong?" demikian tanjanja.
Ang Mokko melelngak mendengar itu, dan lalu tertawa pandjang.
"Hai botjah! Kiranja kau adalah murid manusia tidak berguna itu?"
memekik ia. "Djadinja kau datang hendak menuntut balas
kekalahan guru2mu petjundang ku itu?"
"Tidak salah!" mentjatji Tek Tek jang mendjadi gusar sekali,
karena guru2nja dikatakan adalah orang jang tidak berguna. "Kau
harus mampus malam ini djuga!"
Namun pada saat itu, hampir bersamaan dengan habisnja kata2
ini dari kedjauhan terdengar pekikan njaring seperti pekikan siiblis
muka kuning ini barusan. Pekik ini membuat pemuda nakal ini
terkesiap. Karena ia tahu iblis muka kuning ini djauh lebih lihay
dari saudaranja. Dan menjusul itu, terdengar pula pekikan
susulan, jang terlebih njaring lagi, suatu tanda bahwa orang itu
telah datang terlebih dekat.
Ber-tambah2 terkedjutnja Giok Tek Tek.
"Hebat larinja orang ini," berseru ia sambil berpaling kepada
Siang Tjoe jang ketika itu sedang tenang2 sadja memperhatikan
tingka-laku dirinja. Ia lompat kesamping, untuk memandang
kebawah bukit. Ia tampak satu bajangan hitam lari mendatangi,
bajangan itu sambil ber-lari2 tetap ber-pekik2.
Ketika itu Ang Mokko djuga tidak menjerang lagi. Ia tinggal berdiri
diam dengan sikapnja siap sedia sambil mengatur tenaga
dalamnja jang telah petjah dipusat matanja. Dengan sikapnja ini,
agaknja dia sedang menantikan saudaranja untuk dia ini tolongi
dirinja, serta sekalian membunuh kedua musuh2nja.
Sedang Siang Tjoe jang berdjiwa pendekar, tidak ingin menjerang
lawan jang sudah tidak berdaja walau kepada iblis ini ia sangat
membentji benar. Sebenarnja kalau ingin, mudah baginja seperti
hanja membalikkan telapak tangan sadja. Hingga pada saat itu,
pada kalangan dimana tadi ketiga orang ini menerbitkan suara
berisik, kini sunji sadja karena Giok Tek Tek seperti terpengaruh
pekikan2 siiblis muka kuning jang tengah lari mendatangi dengan
tjepatnja. ***** Untuk sementara ini, pertempuran jang akan terdjadi antara Siang
Tjoe dengan siiblis hitam kita tunda sadja dahulu sampai disini.
Marilah kita menindjau An Sioe Lian jang selama ini kita
tinggalkan dan dikira Siang Tjoe telah berpulang sebagai korban
santapan beruang2. Pada ketika itu seperti kita mengetahuinja, Sioe Lian, demi
keselamatannja, oleh Siang Tjoe telah dilontarkan ke mulut
sebuah guha untuk ia dapat menjelamatkan diri. Namun ketika
terdjatuh ia merasa seperti ada jang menjambutnja. Ia merasakan
tangan jang memeluk tubuhnja itu berbulu kasar, dan dari
mulutnja tidak berhenti mendengus suara jang menjiarkan bau
busuk. Ia mendjadi terkedjut sekali dan hampir djatuh pingsan,
ketika ditengoknja, jang memeluk dirinja itu adalah seekor
beruang. Segera iapun meronta. Namun apa daja, ia hanja
seorang perempuan jang tentulah tidak berkekuatan untuk dapat
melepaskan diri dari seekor binatang jang mempunjai kekuatan
lebih dari sepuluh tenaga laki2 biasa, achirnja karena kehabisan
tenaga iapun djatuh pingsan.
Tidak tahu ia berapa lama tak sadarkan diri, hanja ketika terdjaga,
dilihatnja hari telah berubah malam, disekelilingnja terdapat
banjak sekali pepohonan dan batu2 ketjil jang berserakan tiada
ketentuan. Sedang dengan pertolongan sinar rembulan, ia
melihat betapa pada badjunja penuh noda2 darah, dan melihat
itu, segera djuga ia merasakan seluruh tubuhnja sakit. Agaknja
karena meronta tadi, binatang buas jang menghimpitnja itu telah
menggunakan tjakarnja untuk lebih mempererat tjekalannja.
Segera iapun mentjoba bangun berdiri, tapi ia mendjadi terkedjut
sekali ketika dirasanja seluruh anggota tubuhnja dirasakan lemas
tidak bertenaga. Kekagetannja semakin ber-tambah2, matanja
dipandangkan agak djauh kemuka. Hampir2 ia djatuh pingsan
pula, kalau tidak pada saat itu djuga ia menguatkan hatinja...
Apakah sebenarnja jang dilihatnja"
Ternjata kira2 dua puluh tindak dari tempat ia berbaring, terdapat
dua ekor beruang besar berwarna hitam dan putih. Ternjata tadi
ketika Sioe Lian dalam keadaan tiada sadarkan diri, dan berada
dibawah rangkulan binatang ini jang agaknja hendak membawa
kesarangnja, tiba2 dihadapannja menghadang seekor beruang
lain. Seluruh tubuhnja berwarna putih dan bermaksud hendak
merampas korbannja, hingga dilain detik antara kedua binatang
ini pun terdjadilah pergumulan hebat. Binatang2 buas penghuni
gunung Thang-ala-san ini dengan saling mengaum menjeramkan,
saling bertjakaran dan banting. Hebat sekali keduanja bergelut
hingga menerbitkan suara ber-degupt2 dan membuat tanah
bergetar. Pertama kali bergebrak, karena keduanja sama2 kuat
dan tangkas, hebat sekali bergumulnja. Satu kali, karena lengah
kedua tangan sihitam, kena tertjekal akan kemudian oleh
lawannja dihempaskan kemuka bumi, hingga ia memekik keras
kesakitan. Sambil meraung marah, binatang ini lompat berdiri.
Namun apa latjur, baharu sadja ia mendjedjakkan kedua kakinja,
lawnanja sudah menubruk pula sambil membuka mulutnja.
Karena kekalahan2 jang dideritanja ini, agaknja ia mendjadi
nekat, dan lalu dilain saat sudah membuka pula mulutnja
menggigit pundak lawannja. Keras sekali kedua binatang ini
berdegingan, sama2 mereka tidak mau melepaskannja. Sampai
hari telah mendjadi malam, keduanja tidak mau berlepasan,
hingga achirnja karena lemas, dari akibat terlalu banjaknja darah
jang mengutjur keluar, mereka rubuh sendirinja untuk kemudian
setelah bergelisahan dan mengaum-aum sebentar, keduanja pun
putus djiwa. Setelah mengetahui dan memeriksa kalau satu diantara
binatang2 itu adalah beruang tadi jang telah melarikan dirinja,
tjepat2 Sioe Lian karena menguatiri nanti akan datang beruang
jang lain dengan menguatkan tenaganja dan mengeraskan
hatinja menjingkir dari tempat itu.
Setengah malam, selangkah demi selangkah Sioe Lian
mendjauhkan diri dari tempat tadi. Ia merasa sedih sekali
memikirkan nasibnja. Mengapa dirinja selalu dilibat oleh
kedjadian2 malang jang selalu menggerembengi dirinja"
Demikian ia bertanja kepada dirinja sendiri. Ia ingat, ia telah
ditinggalkan ibunja ketika baharu sadja ia mengindjak usia fasih
ber-tjakap2, hingga sedjak saat itu ia hanja hidup berdua dengan
ajahnja sadja. Dan tiba2 ajah ini meninggal pula. Bahkan dibunuh
muridnja sendiri, pada masa usia dimana ia sedang remadja2nja.
Kini" Ia dipaksa pula oleh nasib jang mentjeraikan dirinja dengan
seorang pemuda jang dengan siapa ia benar2 telah djatuh tjinta.
Dengan badan menanggung lapar dahaga dan tubuh serasa
seluruhnja sakit, pada paginja, tibalah ia disatu tempat dimana
dihadapannja terdapat melintang sebatang sungai. Dengan hati
kegirangan jang me-luap2, segera ditubruknja sungai itu, setelah
mana meneleugukkan airnja sepuas ia dapat, dirasakannja
seluruh tubuhnja terasa terlebih segar, dan tanpa dirasainja ditepi
sungai itu ia sudah rebah terbaring tidur. Lama ia tertidur pulas,
dan ketika matahari telah naik tinggi, ketika ia merasakan kulit
mukanja kepanasan, iapun terdjaga. Ia merasakan tubuhnja
djauh terlebih segar daripada tadi. Namun kini rasa lapar
menjerang dirinja. Ia merasakan perutnja berkerontjongan. Ia
mendjadi bingung sekali ketika disadarinja, ia tidak ada
membekal sendjata hingga achirnja ia mendjadi putus asa, sang
perut sudah menari-nari minta diberi makan. Tiba2 teringat
Kabut Di Bumi Singosari 1 Siluman Goa Tengkorak Karya Kho Ping Hoo Han Bu Kong 4

Cari Blog Ini