Ilmu Silat Pengejar Angin Karya Siasa Bagian 5
olehnja akan sesuatu. Lantas tanpa pikir pandjang lagi ia terdjun
kedalam sungai, dimana ia lihat banjak sekali ikan2 jang
berenang ber-kelompok2. Dan sebentar kemudian, dua ekor
dapat ditangkapnja. Saat itu tiba2 terbajang diotaknja wadjah
Siang Tjoe, jang mana, dengan pemuda itu, pada beberapa
minggu jang lalu bersama-sama, merenangi sebatang sungai di
Ie-pien. Mengingat ini, tjepat2 ia naik kedarat. Pada pikirnja,
setelah menghabisi ikan2 itu, ia akan memasuki seluruh bagian
pegunungan Thang-ala-san, mentjari Siang Tjoe.
Didarat, setelah membuat api jang diperolehnja dengan membentur2kan dua buah batu, ia mulai memanggang ikannja jang
sebelumnja ia sudah matikan, serta membersihkannja. Maka
dilain saat matanglah ikan panggang itu, terkupas kulit dan
sisiknja, terlihatlah daging jang gemuk. Namun disaat sinona
hendak membesetnja, tiba2 ia mendengar suara dibelakangnja.
"Berilah aku jang seekor itu!"
Pemudi ini terkedjut sekali. Bukankah barusan tadi disekelilingnja
tidak ada seorang djuga" Mengapa ia tidak mendengar suara
berkellisiknja" Hingga orang tahu2 sudah berada dibelakangnja"
Ia memutar tubuh dengan tjepat. Maka terlihatlah seseorang
berusia pertengahan. Pakaiannja sederhana sebagaimana
seorang jang biasa berdiam dipulau. Pada beberapa tempat
terdapat tambalan2 ketjil jang seperti sengadja didjahit. Diapun
memegang sebatang tongkat jang pandjang ketjil, seperti terbuat
dari rotan jang tapinja sedikit lebih besar rotan biasa. Sedang
dipunggungnja tertampak menggemblok sebatang pedang.
Wadjahnja sangat wadjar sekali. Sedjak muntjulkan diri tadi, tidak
berhenti orang ini, matanja memandangi pakaian Sioe Lian jang
robek2 dan penuh dengan noda2 darah, hingga pemudi ini
mendjadi likat. Belum lagi pemudi ini memberikan djawaban,
apakah dia ingin memberikannja atau tidak, orang pulau ini sudah
lanas mendjatuhkan dirinja duduk dihadapannja. Tangannja
meraba kedalam lubang badjunja jang gerombongan, dan entah
dari mana mengambilnja pada tangannja sudah tertjekal sebuah
tjupu2 ketjil. Lantas tutupnja dibuka, dan kemudian didetik itu
djuga telah menjiarkan bau arak.
Dia gelogoki arak itu beberapa tjelegukan, terus diangsurkannja
kehadpaan sipemudi. "Biasakah minum arak?" tanjanja.
Sebenarnja tidak puas Sioe Lian akan kelakuan orang itu, tetapi
ia tjukup waspada dan tjerdik. Melihat kelakuan orang jang kasar
itu tetapi aneh sikapnja, tidak berani ia berlaku tjeroboh. Maka ia
hanja menggelengkan kepala sadja. Dan pada saat itu matanja
djeli telah dapat melihat kedua telapak tangan siorang pulau jang
memegang araknja. Untuk kagetnja, kedua telapak tangan itu,
sampai sebatas pergelangan berwarna kuning! Ia lantas ingat
akan kata2 mendiang ajahnja perihal seorang pendekar sesat ahli
tenaga dalam dari pulau Tho lioe to.
"Benarkah dikolong langit ini ada peristiwa begini kebenaran?" ia
tanja dirinja sendiri. "Baiklah aku dengar suaranja."
Nona ini tertawa didalam hatinja apabila ia mengawasi tingkah
laku dan wadjah orang ini jang erus memandangi ikannja.
Hidungnja kembang kempis. Mulutnja komat-kamit suatu tanda ia
sudah mengilar benar. Tetapi tidak ada pikiran padanja untuk
mendjahilinja, maka lantas ia memberi satu diantaranja, jang ia
sodorkan pada orang setengah tua itu.
Pengemis ini menjambuti ikan panggang itu dengan seperti
menjambar, gterus ia masukkan kedalam mulutnja, jang lantas
sambil meram-melek dikunjahnja. Sangat bernapsu ia
mendaharnja, hingga sebentar sadja ikan panggang itu sudah
termakan habis! Tulang2nja ia semburkan.
"Lezat sekali! Lezat sekali!" memudji dia berulangan.
"Walau aku adalah seorang pulau jang telah banjak makan berdjenis2 ikan. Tidak pernah aku merasai rasa jang segurih ini!"
Sioe Lian tertawa. Ia sodorkan pula buntut ikan jang ia makan.
Dengan tidak kurang sebatnja orang itu menjambutinja dan
dengan tidak kurang lahapnja dihabisinja pula! Lantas dia menepuk2 perutnja.
"Hai! Perutku, perutku!" dia menggumam seorang diri, "bukankah
belum pernah kau merasai ikan jang selezat ini?"
Mau tidak mau, walau sebenarnja barusan ia dibuat mendongkol
akan sikap pengamatan orang pada pakaiannja, sinona tertawa
geli. Siorang pulau ini rogoh sakunja, dikeluarkannja sepotong perak
besar, jang mana ia sodorkan kepada Sioe Lian.
"Anak manis, ambillah ini!" katanja.
Pemudi ini menggelengkan kepalanja. "Kami menganggap
pemberian ini adalah pemberian persahabatan, aku tidak
memerlukan uang," djawabnja.
Orang pulau ini menjeringai. Agaknja likat dia. "Inilah tidak
mungkin," katanja. "Aku adalah seorang djauh, seorang pelantjongan. Tidak mungkin
untukku makan milik orang lain tanpa membajar sepeserpun."
"Apakah arti arti seekor ikan?" berkeras menampik Sioe Lian
sambil tertawa. "Lagi pula, toh ikan itu kuperoleh dari tempat
dimana setiap orang boleh menangkapnja sedapat ia bisa... Eh,
kalau kau mau lagi, aku boleh menangkapinja pula..."
Orang pulau itu tetawa ter-kekeh2.
"Ah, anak manis, anak manis. Sungguh polos kata2mu!" katanja,
dan mengjutjapkan kata2 ini, tampak dari kedua bidji matanja
sinar bening jang berpengaruh tjahajanja.
"Mari, mari terangkan aku. Kau ada mempunjai niat apa,
mengapa kau bisa berada ditempat ini" Berilah aku tahu, nanti
aku tolong kau!" Sioe Lian tjerdik, ia tahu tentunja orang jang kelakuannja aneh itu
tentulah bukan seorang sembarnagan, maka setelah berpikir
sebentar, barulah ia berkata.
"Untuk menerangkan apa niatku, tidaklah sukar. Hanja tinggal
membuka mulut sadja, namun bagaimanakah dapat kalau aku
belum mengetahui siapa sebenarnja lodjin kee?"
"Ha ha ha! Kau memang anak manis, polos dan tjerdik pula.
Baiklah, baiklah. Terhadap kau, aku tidak akan berlaku sungkan2
pula. Aku adalah seorang seh Gouw. Pemilik pulau Tho liu to.
Dan oleh karena tindakanku selalu kulakukan tanpa pikir2 pula,
maka orang2 memanggil si sesat," berkata orang itu jang
memang ternjata adalah bukan lain dari Shia hiap Gouw Bian Lie
seorang pendekar sesat dari pulau Tho liut to.
"Ha, benar sadja dia. Namun mengapakah usinja masih demikian
muda..." Akan tetapi, walaupun ia berpikiran demikian ia merasa
jakin benar, karena diperkuat akan tangan orang jang berwarna
kuning, kalau orang itu adalah Gouw Bian Lie jang menurut tjerita
ajahnja adalah seorang jang berkepandaian lihay ssekali.
Maka segera sebelum sempat lagi Gouw Bian Lie berbuat apa2,
Sioe Lian telah mendjatuhkan dirinja berlutut dihadapan orang itu,
sambil mengutjap. "Suhu, walau kau tidak sudi menerimaku sebagai murid, terimalah
hormatku ini," katanja tjerdik.
"Ha ha ha! Kau tjerdik, kau tjerdik. Hanja dari siapakah kau
mengetahuinja kalau aku ini mempunjai sedikit2 ilmu silat?"
berkata Bian Lie jang pada seketika itu djuga merasa suka sekali
akan pemudi ini. "Dari ajah!" djawab Sioe Lian tjepat sambil menekan bibirnja.
"Ah! Kamu masih mempunjai ajah. Apakah ajahmu tidak marah
nanti kalau... kalau... Eh, hampir lupa, siapakah ajahmu dan...
dan... dasar sudah tua, namamu djuga sampai2 lupa ku
menanjakannja. Siapakah namamu, anak?"
"Ajahku bernama An Hwie Tjian Tjeng hong..." berkata Sioe Lian
jang karena ssedih, tanpa tertahan pula telah menangis dan
mengutjurkan airmata, sedang Bian Lie, ketika mendengar dan
mengetahui siapa sebenarnja orang jang telah memberikan ikan
panggang itu mendjadi terkedjut berbareng girang sekali hingga
tanpa terasa, karena kegirangannja ia sudah me-lompat2 seperti
laku seorang anak ketjil jang diberi hadiah kembang gula, sambil
ber-teriak2. "Dasar djodoh, dasar djodoh!" hingga Sioe Lian
melihat tingkah laku orang jang mendadak berubah itu mendjadi
kebingungan. "Suhu, kau mengapa?" tanja Sioe Lian. Mendapat pertanjaan ini,
Bian Lie pun berhenti me-lompat2. Lalu menerangkan apakah
sebab-sebabnja mengapa ia berbuat demikian,hingga Sioe Lian
mendjadi tidak kurang pula girangnja serta baru mengetahui
siapa sebenarnja situkang koamia jang telah menggoda dirinja
ditempo hari ketika ia ber-sama2 pemuda pudjaannja, Siang Tjoe,
dahar disuatu rumah makan di Shoatang.
Segera setelah Bian Lie memerintahkan agar Sioe Lian
membersihkan badan serta menjalin pakaian jang memang ia ada
bawa2, dilain detik kedua orang inipun, dengan meninggalkan
pakaian Sioe Lian jang sudah tjabik2 dan penuh dengan noda2
darah meninggalkan tempat itu. Dan seperti kita telah
mengetahuinja pakaian jang ditinggalkananja ini telah membuat
Siang Tjoe salah taksir akan djalan hidup Sioe Lian jang dikiranja
sudah mati. ***** Mengapa setelah Siang Tjoe menerangkan siapa sebenarnja
ajahnja Gouw Bian Lie mendjadi berkelakuan seperti anak ketjil"
Ada apa dan apakah sebabnja"
Ternjata sipendekar sesat dari pulau Tho liu to ini, adalah
merupakan murid turunan kesatu dari partai Liong san pay, dia
masih mempunjai seorang saudara seperguruan jang bernama
Tie Koan Tjay, dan karena kelakuan adik ini djuga angin2an
seperti shia-hiap, maka dia djuga dianggap oleh orang2 kangouw
sebagai seorang sesat. Hanja adik ini lebih memperhatikan soal2
melihat peruntungan orang, hingga dia mendapat djulukan Koamia shia, situkang tenung uring2an. Dia ditundjuk oleh mendiang
guru dan suhengnja untuk tetap tinggal di Liong san, mendjaga
dan merawat semua peninggalan2 jang diwariskan sutjouwnja.
Pada suatu hari, Tie Koan Tjay setelah merampungkan,
mejakinkan dan memperdalam teori2, praktek mengenai ilmu
melihat wadjah orang, ia turun gunung untuk membuktikan
kebenaran2 'penemuannja'. Ditengah perdjalanan ketika ia
sampai didaerah perbatasan Shoa-tang, tiba2 ia teringat akan
seseorang jang pada kira2 sepuluh tahunj lalu pernah menolong
serta menjelamatkan djiwanja dengan merawat dan mengobati
dirinja. Orang ini adalah An Hwie Tjian, seorang anak murid
keluaran Tjeng hong pay turunan kelima jang tapinja seperti
dirinja, lebih memperhatikan peladjaran dibidang lain daripada
peladjaran ilmu silatnja. Hanja bedanja, kalau ia memperhatikan
ilmu tenung, penolong ini lebih menjempurnakan ilmu ketabiban.
Kepada orang ini jang kemudian ia anggap sebagai seorang jang
telah menjambung kehidupannja, mentjeritakan sebab2nja
mengapa ia telah menderita luka ratjun jang demikian hebat.
Jakni, luka dari sebab pertempuran jang dilakukan dengan
seorang ahli yoga asing berkebangsaan India. Sebenarnja dalam
perkelahian itu tidak seharusnja ia kalah, karena dengan
bertangan kosong dan bertempur dengan tjurahan separuh hati,
ia telah berhasil membuat orang India jang bernama Hek Mahie
itu mendjadi kalang kabut.
Akan tetapi, karena asjiknja mempermainkan sambil tertawa haha
hihi lawannja itu, tidak disadarinja, kalau tiga ekor ular besar
piaraan orang India itu menghampiri dirinja atas perintah
madjikannja jang mengisjaratkan dengan gerakan2 tangan sambil
berkelahi. Tie Koan Tjay baru mendusin dan mendjadi terkedjut
sekali setelah kasip. Salah satu diantara ketiga ekor ular itu jang
kepalanja besar serta berbentuk sebuah senduk telah berhasil
melibat dan memagut pahanja.
Gusar tiada terkatakan tukang tenung ini, segera iapun
mengerahkan tenaga lweekangnja dan berhasil membinasakan
binatang bertubuh pandjang ini dengan menghantjur-luluhkan
kepalanja. Sedang jang dua ekor ia habis djiwanja dengan
membabat hingga potong delapan dengan pedangnja.
Menjaksikan lawannja jang mendjadi demikian kalap itu, dan telah
benar2 mengeluarkan kepandaiannja, Hek Mahie mendjadi
terkedjut sekali. Segera disaat Koan Tjay memutar pedangnja harus diketahuinja, sebelumnja, sebelum Koan Tjay dipagut ular,
dia hanja berkelahi dengan setengah2 hati dan hanja bertangan
kosong sadja - ia djedjakkan tongkatnja keatas tanah dan
melajangkan tubuhnja serta terus kabur. Tadinja karena
kemarahannja jang me-luap2 Koan Tjay hendak mengedjar terus,
tetapi oleh karena ratjun ular jang bekerdja tjepat sekali telah
mendjalar naik sampai dipinggang, iapun membiarkannja,
melainkan dengan memaksakan diri dan dalam keadaan sadar
dan tiada, ia memasuki sebuah kampung, serta mentjari sebuah
rumah pondok dan kemudian setelah merebahkan dirinja di atas
balai2 jang disediakan tuan rumah, ia tiada sadarkan diri lagi.
Karena ingatan ini, segera ia pun mengambil keputusan untuk
menjambangi Tjeng hong san, jang sudah tidak djauh lagi dan
hanja tinggal melalui beberapa kota lagi dari Shoatang.
Akan tetapi, setjara tidak di-duga2 dan benar diluar
perhitungannja sebagai ahli tenung, ia telah bertemu dan duduk
dalam satu medja dengan puteri penolongnja, dan kemudian
seperti kita telah mengetahuinja telah lompat menghilang setelah
mendapat keterangan dari Siang Tjoe, bahwa orang jang telah
menjambungkan djiwanja itu telah tiada lagi dalam dunia ini. Hari
itu djuga, dengan mempergunakan seluruh ilmu kepandaiannja
berlari tjepat ia tinggalkan Shoatang menudju Tjeng hong san.
(Harus diingat, ia adalah seorang jang selalu bertindak, tanpa
bertimbang masak pula). Hatinja tjemas, bimbang dan sedih tiada terkatakan. Esoknja
malam, iapun tiba ditempat tudjuannja, namun setelah sampai
dan benar2 telah mendapatkan kuburannja, ia mendjadi menjesal
sekali. Sebab bukankah, sigadis jang telah menjamar sebagai
seorang pemuda itu, telah mengakui adalah puterinja An Hwie
Tjian" Mengapakah ia telah bertindak dengan demikian tjeroboh
dan kurang pikir dengan meninggalkan anak itu begitu sadja"
Karena mengingat ini, ia benar2 merasa menjesal dan berdosa
sekali. Achirnja karena merasa tiada gunanja untuk menangis
terus, iapun berbangkit. Ia merasa tiada guna walau menangis
sampai keluar air mata darah pun. "Toh tidak mungkin orang jang
telah beberapa hari mati bangkit hidup lagi?" demikian seketika
itu pikirannja jang sehat memasuki rongga otaknja.
Lebih baik lekas2 balik ke Shoatang mentjari si gadis jang
mengaku adalah mendjadi puterinja, demikian keputusannja.
Akan tetapi, keesokannja, ketika sampai di Shoatang, ia tidak
mendjumpai lagi gadis itu. Walau bajang2annjapun. Melainkan,
ketika ia memasuki rumah makan jang pada dua hari jang lalu ia
telah dapat makan tanpa bajar untuk mentjari keterangan,
dimedja jang dahulu ia praktekkan ilmu tenungnja terhadap Siang
Tjoe, ia dapatkan dua orang anak muda jang makan ber-sama2
dengan dua orang laki-perempuan berpakaian pertapaan.
Agaknja mereka adalah orang dari satu keluarga, berkata Koan
Tjay didalam hati, setelah memperhatikan wadjah kedua anak
muda jang hampir bersamaan satu dengan lainnja dan keduaduanja mirip benar dengan siorang pertapaan lelaki. Dan
memanglah mereka adalah orang dari satu keluarga, malah
mereka adalah Tan Tjian Po serta istri dan anak2nja. Mereka
Ilmu Silat Pengejar Angin Karya Siasa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak berhasil mengedjar Siang Tjoe berdua, maka itu mereka
balik kembali ke Shoatang, karena memanglah tudjuan mereka
sebenarnja adalah Tjeng hong san untuk menjambangi
keponakan akuan mereka An Hwie Tjian. Mereka mendjadi
mendongkol sekali, ketika mengetahui dirinja diawasi orang.
Hingga, terutama kedua putera Tjian Po disaat itu djuga hendak
terbalikkan medjanja dan menumpahkan semua gandjelan hatinja
kepada tukang tenung ini. Hingga achirnja karena kelakuan Koan
Tjay jang angin2an dan terutama sikap keempat orang ini jang
memang sudah kita ketahui tjongkak sekali, maka mereka pun
bentrok dengan kemudian mereka bertempur. Ternjata orang2
jang mendjadi murid akuannja Mie Ing Tiang lo ini bukanlah
mendjadi tandingannja Koan Tjay.
Sebentar sadja telah kena dipermainkan situkang koamia sesat
ini jang kemudian mempermainkannja seperti seekor kutjing
mempermainkan tjetjurut2 ketjil. Dan disinilah, karena sifat Koan
Tjay jang enteng mulut ini, telah terdjadi salah paham jang
mengakibatkan terdjadinja Tjian Po dan keluarganja membentji
Siang Tjoe dengan menuduh bahwa siapa telah mentjulik
sumoynja, setelah mereka berhenti bertempur dan saling
memperkenalkan diri. Koan Tjay jang memangnja hanja hendak
mempermainkan keempat orang ini dan lebih2 setelah
diketahuinja kalau mereka ini adalah orang2 jang mendjadi
paman2 tidak langsung dari An Hwie Tjian, mau djuga menjudahi
pertempuran itu dan lantas meninggalkannja untuk melandjutkan
usahanja mentjari Sioe Lian.
Sedang Tan Tjian Po dan keluarganja lalu balik pulang ke
Thaysan, untuk menjampaikan berita kematiannja Hwie Tjian
kepada guru akuannja, Mie Ing Tiang lo. Akan tetapi, setibanja,
mereka mendjadi terkedjut sekali ketika mereka dapatkan Mie Ing
Tiang lo telah mati dan hanja mendjumpai kuburannja sadja jang
malah seperti bekas diurus seorang lain. Sedih tiada terkatakan
hati orang2 ini, karena walau mereka ini adalah orang2 jang tinggi
hati, tapi terhadap guru akuan ini, mereka berbakti sekali.
Kemudian, setelah berkabung selama tudjuh hari, mereka pun
pergi ke Turki untuk mentjari seorang luar biasa, kawan terdekat
dari Mie Ing Tiang lo, untuk meminta bantuannja mentjari
pembunuh mendiang gurunja. Setibanja, mereka disambut
dengan mesra, orang tua ini mendjadi bersedih dan marah
setelah mendengar tjerita akan sebab2nja kematian An Hwie
Tjian dan Mie Ing Tiang lo. Namun karena merasa dirinja sudah
tua, dan lebih2 sebab ia sudah menjutjikan diri, maka dia hanja
mengutus muridnja sadja jang bernama Kamala Phasja. Namun
djangan kata dengan Ong Kauw Lian jang ketika itu boleh
dibilang sudah mendjadi orang jang kepandaiannja luar bias,
menghadapi Siang Tjoe sadja dia hanja dapat bertempur
berimbang, dan kemudian bahkan dibuat lari sipat kuping oleh
pertundjukkan jang ditundjukkan Satmijagatze dan Auwjang
Siang Yong berdua. Balik kepada Tie Koan Tjay jang telah kita tinggalkan itu jang
seperti kita telah ketahui sedang mentjari puteri tunggalnja An
Hwie Tjian, beberapa bulan kemudian telah berada diatas pulau
Tho liu to, dimana suhengnja, Gouw Bian Lie bertempat tinggal.
Kepada suhengnja ini karena ia sudah merasa putus asa, ia
minta bantuannja untuk mentjari Sioe Lian, karena sudah
sebegitu lama, dimana sudah lebih dari sepuluh kota dan dua
puluh gunung2 besar dan ketjil dimasukinja, belum djuga ia
dapatkan orang jang di-tjari2nja, hingga achirnja, terpaksa
dengan menggunakan perahu ia perhi kepulaunja Gouw Bian Lie.
Dan kedjadian, beberapa minggu kemudian, setjara kebenaran
Shia-hiap dapat menemukan Sioe Lian dilereng pegunungan
Thang-ala-san, serta seperti kita mengetahuinja, Shia hiap
mendjadi kegirangan setelah diketahuinja kalau pemudi itu adalah
orang jang selama ini ia sedang tjari2. Lebih2 ketika melihat
bakat2 jang tampak pada wadjah dan mata orang serta
kepolosannja, ia merasa sehati perasaan benar dengan dirinja.
Demikian, saking gembiranja, perasaannja itu ia hamburkan
tanpa di-simpan2 lagi dan tingkah lakunja berubah mendjadi
seperti kelakuan anak ketjil, membuat Sioe Lian mendjadi terheran2. Perubahan orang tua itu baru diketahuinja setelah
pendekar sesat itu menerangkan sebab2nja.
Ber-sama2, kemudian mereka pun meninggalkan daerah
pegunungan Thang ala san itu setelah beberapa hari bersusah
pajah mentjari Siang Tjoe tanpa bajangannja pun mereka
dapatkan, dan dilain harinja, sudah berada diatas pulau.
Pulau Tho liu to adalah sebuah pulau jang boleh disebut besar
djuga, penuh dikelilingi pohon2 jang tumbuhnja bertinggian sama,
merupakan benteng pagar jang melindungi daerah pusat pulau.
Di-tengah2nja berdiri sebuah tanah tumbuh jang tjukup besar dan
mirip berbentuk gunung. Disebut demikian karena tanah itu selain
besar djuga tjukup tinggi, dan ditumbuhi oleh pohon2 liar.
Pada fadjar menjingsing, keadaan disekitar pulau itu sangat
indah. Lebih2 pada tempat dimana berbaris pohon2 jang berbaris
sama tinggi, dimana puntjak2nja me-lambai2 hingga mirip dengan
sekumpulan tentara jang sedang berbaris rapi. Disana-sini,
dibawah pohon2 jang berbaris rapi, bertumbuhan bunga2 hutan
beraneka warna dan ragam, ber-gojang2 bagaikan ber-djuta2
rakjat ketjil sedang berkerumun me-mudja2 pemimpinnja.
Matahari memuntahkan sinarnja merah diufuk timur, menguak
halimun pagi menampakkan pelangi tjahaja indah berwarna
tudjuh rupa. Keindahan alam ini, kemudian ditambah pula dengan
lagu2 pudjaan jang ditimbulkan beraneka warna burung2 jang
berkitjau dan berdendang menjambut pagi hari diiringi
gemeritjiknja suara kali ketjil jang tak kundjung putus.
Djauh2 sampai, pada pagi hari itu, dikala hawa hangat sedjuk
mendesir mempermainkan segala tanam2an jang sedang semi
berkembang dan menghalau perlahan halimun kesudut timur, dari
gunung ketjil jang tumbuh di-tengah2 pulau, tampak terbang melajang2 sesosok tubuh diatas lapisan pohon2 bunga. Samar2
bajangan itu terlihatnja, serta melesatnja tjepat sekali, hingga
mungkin bagi penglihatan seorang biasa, dia akan mengira kalau
bajangan itu adalah setan pendjaga gunung.
Tapi, ketika titik hitam ini melalui sebuah tempat jang agak terang,
maka tertampaklah dengan djelas, kalau bajangan itu adalah
seorang setengah tua jang sedang berlari sangat tjepatnja,
hingga tampaknja seperti me-lajang2. Jang mengherankan dan
luar biasa sekali adalah kepandaiannja meringankan tubuh.
Pohon-pohon bunga jang terpidjak kedua kakinja tiada bergerak
sedikitpun. Tiada rebah atau bergojang. Hingga, dengan hal ini,
dapatlah dipastikan kalau kepandaian orang ini akan ilmu
meringankan tubuhnja sudah sampai dipuntjak kesempurnaannja.
Wadjah orang setengah tua itu menundjukkan seperti orang jang
kurang beres pikirannja. Mukanja kelihatan seluruhnja, karena
walau sedikitnja dia sudah berusia empat puluh tahun, dia tidak
memelihara djenggot atau kumis. Hanja rambutnja jang walau
ditutupi oleh sehelai kain jang sudah kotor dekil, jang pada
beberapa bagian tertampak berdjumbai keluar, tampak sudah
berwarna putih meletak, atau dengan perkataan lain sudah
menguban. Pakaiannja, pada beberapa tempat terdapat
beberapa tambalan jang seperti disengadja. Leher dan lengan
badjunja, me-lambai2 dipermainkan angin ketika ia lari. Sepasang
kakinja dibungkus sepatu terbuat djerami. Pada punggungnja
tertampak menggemblok seorang perempuan berusia kira2 lima
belas tahun. Karena ketjepatan berlarinja, sebentar sadja, orang setengah tua
itu, telah sampai didekat puntjak dari tanah tumbuh dan
memasuki sebuah hutan jang tjukup besar itu dipuntjak. Ia
langsung memasuki sebuah hutan jang tjukup besar itu dipuntjak,
langsung pula memasuki sebuah pondok bambu, dan
kedatangannja disambut seorang setengah tua lain jang kira2 dua
tahun lebih muda daripadanja. Siapakah ketiga orang itu"
"Ha, suheng, bagus. Kau berhasil!" berseru orang jang
menantikan tadi. Bernada girang. Dan memperhatikan
perempuan tadi dengan pandangan mata tadjam, hingga siapa
mendjadi likat. Siapakah orang2 itu" Orang perempuan itu adalah
Sioe Lian dan pendukungnja tidak lain adalah Gouw Bian Lie, si
pendekar sesat jang telah berhasil menemukan Sioe Lian. Orang
setengah tua jang menantikan tadi, bukan lain adalah Tie Koan
Tjay jang sedjak tiga hari jang lalu telah sampai lebih dahulu
karena tidak mendapatkan orang jang ditjarinja.
Dihadapan sang sute, shia-hiap Gouw Bian Lie segera
membentangkan isi hatinja kalau ia djuga ingin mengambil Sioe
Lian sebagai murid. Oleh karena Koan Tjay permintaan ini
diluluskan dengan tidak kurang pula kegembiraannja, sebab ia
tahu kepandaian ilmu silat suheng ini djauh lebih tinggi dari jang
ia miliki hingga dapatlah dipastikan, dengan ia bekerdja sama
dengan suheng ini, tentulah kelak di kemudian hari kepandaian
anak itu akan luar biasa.
Karena pondok tempat tinggalnja Gouw Bian Lie itu sudah
tersedia lilin, maka Tie Koan Tjay segera mengatur medja
sembahjang dan kemudian diperintahkan Sioe Lian melakukan
sembahjang upatjara pengangkatan guru dan murid. Tanpa
diperintah lagi Sioe Lian djatuhkan dirinja dihadapan kedua guru
ini, hingga suheng dan sute mendjadi kegirangan sekali.
"Anak baik, anak baik!" memudji mereka dengan rasa kasih
sajang. Pada keesokan harinja, kedua saudara seperguruan
inipun mulai dengan memberikan dasar2 ilmu silat Liong san pay
kepada murid tunggal ini.
Pendiri Liong san pay adalah Yao Leng siansu jang mendjadi
gurunja Gouw Bian Lie dan Tie Koan tjay. Semasa mudanja Yao
Leng sian su bernama Thio Hin Bin, seorang jang ber-tjita2 tinggi
dan dimasa usia empat puluh tahun telah berhasil menggabung
beberapa partai tjabang ilmu silat tinggi dan luar biasa.
Selandjutnja karena untuk menjambung kehidupannja dan
sekalian untuk lebih memperdalam hasil tjiptaannja, ia telah
mengambil Liong san sebagai tempatnja berlatih dan kemudian,
ketika ia mengindjak usia enam puluh satu. Untuk menjambung
ilmu silat jang dengan djerih pajah ditjiptanja, ia turunkan ilmunja
itu kepada tiga orang muridnja. Murid pertama, Gouw Bian Lie
jang seperti kita mengetahuinja telah mengambil pulau Tho liu to
sebagai tempat tinggalnja. Ia berhasil menjelami hanja tudjuh
bagian dari ilmu kepandaian Yao Leng, Tie Koan Tjay adalah
merupakan muridnja kedua, dia hanja berhasil mempeladjari
beberapa bahagian sadja dari ilmu kepandaiannja, karena Koan
Tjay diluar tahu gurunja, telah mempeladjari ilmu peladjaran dari
bidang lain, jakni ilmu menenungkan peruntungan orang.
Muridnja terakhir adalah seorang jang berbakat dan tjerdas luar
biasa. Ketadjaman otaknja, berlipat kali dari ketjerdasan jang
dimiliki kedua suhengnja. Dan ia diterima sebagai murid Yao
Leng, ketika orang tua ini telah mengindjak usia delapan puluh
tahun. Dua puluh tahun lamanja, anak itu digembleng, jang
kadang2 djuga, kalau Yao Leng sedang bepergian kedua murid
pertamanja jang mewakilkannja, terutama Bian Lie. Hingga ketika
anak itu telah mentjapai usia tiga puluh dua tahun, anak itu jang
bernama Djing Tang Toh telah mempeladjari habis seluruh
kepandaian Yao Leng siansu dan karena ketjerdasannja jang
berlebihan me-limpah2, lima tahun sebelum turun gunung telah
berhasil mentjiptakan beberapa gerakan tersendiri diluar tahu
guru dan kedua suhengnja. Beberapa gerakan itu lihay luar biasa
dan mungkin sekali berada beberapa tingkat dari segala ilmu silat
tjiptaan gurunja sendiri. Hingga dapat dibajangkan, betapa
lihaynja murid penutup ini.
Akan tetapi, sungguh harus dibuat sajang. Manusia jang
dilahirkan kedalam dunia dengan berbekal ketjerdasan luar biasa
itu oleh Tuhan diturunkan pula sifat2 jang tidak seharusnja dimiliki
seorang berbudi luhur dan djudjur. Dia mempunjai sifat2 batin
jang rendah sekali, hingga dua tahun kemudian setelah turun
gunung dia telah melakukan perbuatan2 tidak senonoh, membuat
ketika Yao Leng siansu jang memangnja ketika itu telah
mentjapai usia landjut sekali, ketika mendengar kabar itu telah
mati mereras. Sebelum sampai adjalnja, guru ini memberikan kekuasaan
kepada kedua murid pertamanja, agar sematinja dia lekas2 turun
gunung mentjari sute itu, dan diwadjibkan pula untuk segera
membunuhnja setelah mendjumpainja. Namun walau kedua
suheng dan sute ini telah ber-pajah2 mentjari keseluruh negeri,
keseluruh desa dan gunung2 jang tiada bernamapun, tetap
mereka tidak dapat mentjarinja. Mereka merasa heran sekali,
sebab bukankah ketika itu sutee ini namanja telah mendjadi
tenar, sebagai seorang bandit. Mengapa sukar sekali ditjarinja"
Dua tahun kemudian, baharulah mereka mendengar kabar jang
mengatakan, bahwa sutee ini telah binasa dalam suatu
pertempuran jang dilakukan didaerah Turki melawan empat puluh
satu djago2 setelah berhasil membinasakan lebih dari separuh
musuh2nja, hingga Gouw Bian Lie mendengar kabar ini, mau
tidak mau merasa sedih, dan merasa sajang sekali.
Kekagumannja djuga tiada terkatakan kepada sang sutee, betapa
tidak, karena walau sutee ini telah menjeleweng, orang ini toh
adalah saudara seperguruannja jang pernah hidup ber-sama2
dalam waktu dua puluh tahun" Sepulang Bian Lie sebagai murid
pertama sambil berlutut dihadapan kuburan mendiang gurunja
mentjeriterakan segala pengalaman dan berita2 jang ia dapat
dengar tentang nasib saudara seperguruan jang terketjil itu. Pada
saat itu, pada saat Bian Lie mengutjapkan kata2nja jang terachir,
tiba2 udara diluar pondok jang tadinja terang benderang,
mendadak berubah gelap, dan kemudian setelah menjusul gegap
gempitanja suara geledek dan guntur, hudjan besarpun turun
dengan lebatnja. Entah alamat apakah ini.
Dan kini, dua puluh dua tahun semendjak kedua suheng dan
sutee ini ditinggal mati gurunja, dan peristiwa turunnja hudjan
dengan mendadak ketika Bian Lie mengachiri penuturannja,
diatas pulau Tho Liu to, di tengah2 sepiring lapangan jang tjukup
luas terlihat seorang pemudi tengah menggerak-gerakkan
tubuhnja beladjar silat. Orang perempuan itu adalah An Sioe Lian. Ia kini setahun sudah
berdiam dipulau Tho liu to. Dalam tahun2 pertama itu ia telah
menerima peladjaran ilmu silat pokok Liong san dibawah
gemblengan Koa mia shia Tie Koan Tjay jang mengadjar setjara
wadjar dan tanpa paksaan. Guru ini merasa gembira sekali,
karena ternjata selain tjerdas, tjepat mengerti dan berbakat, murid
tunggal ini djuga sangat lintjah sekali. Beberapa bulan sadja
dalam tahun jang pertama, Sioe Lian telah dapat bersilat tingkat
pertama dari Liong san pay dengan baik dan sempurna.
Ketika setahun genap ia mengikuti peladjaran guru kedua ini,
keringanan tubuh Sioe Lian sudah semakin lintjah sadja. Seluruh
gerakannja wadjar, dan dia djuga sudah mahir menggunakan
kepalannja dalam ilmu pukulan seperti Houw tiam tjiu atau
Gerakan Totokan Djeridji Matjan, Im tjiu dan lain2.
Dua tahun pula berselang. Kini, Tie Koan Tjay merasa selesailah
tugasnja membimbing Sioe Lian dalam pokok dasar ilmu silat
Liong san dan untuk selandjutnja ia serahkan tugas itu kepada
suhengnja jang djauh lebih lihay dari dirinja. Sedang ia sendiri,
Ilmu Silat Pengejar Angin Karya Siasa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
untuk waktu setahun pula mendidik Sioe Lian memperdalam ilmu
suratnja. Ternjata dalam hal ini, ketjerdasan Sioe Lian tidaklah
mengetjewakan guru tukang tenung ini. Ternjata ia tjepat ingat.
Sekali menghafal, surat2 itu seperti melekat diotaknja hingga tak
mungkin untuk tjopot lagi.
Pada tahun kelima, setelah merasa pasti benar kalau dasar2 ilmu
silat Liong san jang dipeladjari Sioe Lian telah matang benar,
maka selandjutnja untuk mendapatkan pendidikan ilmu silat jang
terlebih tinggi lagi agar kelak benar2 Sioe Lian mendjadi seorang
ahli silat jang sempurna dan agar berhasil membalaskan sakit
hatinja, maka Koan Tjay menjerahkannja kepada Bian Lie,
suhengnja. Sipendekar sesat dari pulau Tho liu to, Gouw Bian Lie, pada taraf
pertamanja memberikan pendidikan latihan napas (khikang)
sampai kemudian kepada ilmu meringankan tubuh jang lebih
sempurna dan berlari tjepat jang terlebih tinggi. Dasar Sioe Lian
memang dilahirkan berbakat sempurna, dalam setahun sadja
berlatih siang malam, ia telah mewarisi seluruh dasar2 ilmu
peladjaran tersebut dan setahun pula, kepandaian dasar
menjambit dan menggunakan sendjata rahasia telah ia pahami
pula dan tinggal mempraktekkannja. Kemudian, dua tahun pula,
Bian Lie memberikan peladjaran ilmu silat tangan kosong jang
tjekatan bernama Soat Wan Kun Hoat (Ilmu Silat Tangan Lutung
Saldju) jang berdjumlah sembilan puluh enam djurus, 10 djurus
Lo han kun jang tergabung dengan Kin na hoat dari Siauw lim
dan Thay kek kun. Setelah itu pada ketika meningkat dalam
tahun2 terachir, Gouw Bian Lie menggembleng murid tunggalnja
ini ilmu golok Kun lun pay jang tiada taranja, dan dua tahun
terachir sebelum turun gunung An Sioe Lian diturunkan pula ilmu
mempergunakan golok dan pedang jang gerakan2nja sulit sekali.
Demikianlah latihan gemblengan jang diterima Sioe Lian dari
kedua guru ini, hingga kepada mereka ini, ia merasa berterima
kasih sekali, dan ketika telah mentjapai usia dua puluh lima tahun
ia telah memiliki kepandaian jang sangat hebat dan luar biasa
sekali. "Sioe Lian," berkata Tie Koan Tjay pada suatu hari, setelah
merasa kalau ilmu kepandaiannja telah seluruhnja diturunkan
kepada murid ini. "Kini tiba kukira saatnja untuk kau
mewudjudkan tjita2mu membalas sakit hati. Kukira, dengan
kepandaianmu sekarang ini, dapatlah kau mengalahkan baru
segala satu Ong Kauw Lian, hanja pesanku ialah, walaupun kini,
kau sudah memiliki kepandaian jang tjukup lumajan, djangan sekali2 engkau takabur dan menganggap dirimu sebagai orang jang
terpandai didunia ini. Djanganlah engkau menjombongkan diri, karena nanti bisa
terdjerumus. Serta djanganlah pula terlampau mudah membunuh
orang atau menindas jang lemah. Berlakulah sebagai seorang
pendekar jang berpribadi luhur, pergunakanlah ilmu
kepandaianmu untuk menindas segala orang2 dari martabat
rendah dan berwatak kedjam."
"Pesanku padamu ialah, usahakanlah nanti setelah kau berhasil
membunuh musuh besarmu atau belum, se-dapat2nja tjepat2lah
pulang dahulu. Se-lambat2nja tanggal lima belas bulan
delapan..." berkata Bian Lie.
"Ada apakah suhu?" tanja Sioe Lian jang tidak mengerti akan
maksud orang. "Pada hari itu nanti, kita bertiga akan pergi ke Utara,
menjeberangi sungai besar kedaerah dataran rendah Tiongkok
utara, untuk memenuhi undangan Auwjang Keng Liak jang
hendak mengadakan pertandingan silat memperebutkan gelar
ahli silat kelas satu dikolong langit."
"Dan kau harus ingat akan pesan2ku tadi!" memperingatkan pula
Koan Tjay. Jaitu, djanganlah engkau mengambil djalan salah,
karna kalau kelak ternjata engkau berubah mendjadi anak
durhaka dan mendjadi murid jang mentjemarkan nama partaimu
ini, seperti sam-susiokmu, maka kami berdua akan mentjarimu!"
Pada saat itu, tanpa diketahui pula oleh Sioe Lian, Koan Tjay
telah mentjabut sebatang pedang jang selama ini menggemblok
dipunggungnja. Pedang itu berwarna putih dan ber-kilat2 ketika
kena pantulan sinar pelita. Ia serahkan kepada Sioe Lian sambil
berkata : "Muridku, kau berdjodoh untuk memiliki pedang ini,
karena walau benar sendjata ini, bukanlah termasuk sendjata
mustika, tapi ini adalah hasil warisan lurus dari sutjoumu jang
digunakan beliau pada ketika beliau masih berusia muda. Maka
untuk memiliki ini, jang diberikan harus bersumpah dahulu."
Dengan hikmat, Sioe Lian menerima pedang itu sambil
sumpahnja : "Teetju akan memanggul segala peri kebenaran diatas pundak
dan kepala, dan pedang warisan ini akan teetju gunakan hanja
untuk membela jang lemah dan menindas jang djahat. Apabila
kelak ternjata teetju gunakan pedang ini untuk maksud2 jang
tidak baik atau hanja untuk kepentingan diri pribadi, biarlah teetju
mati tertembus oleh pedang ini sendiri!"
Mendengar sumpah murid perempuan ini, tampak Tie Koan Tjay
dan suhengnja tersenjum puas. Tiba2 terdengar Sioe Lian
berkata pula : "Atas didikan dan nasehat2 jang suhu limpahkan
kepada teetju, entah bagaimana teetju harus membalasnja!"
"Anak baik," kata Bian Lie. "Pabila sadja kau mendjadi anak jang
berbudi baik dan membela kebenaran, maka itu sudah tjukup
sebagai pembalasan budi jang sangat besar bagi kami."
Kemudian, setelah menerima pula beberapa nasehat2 penting,
Sioe Lian pun berangkat merantau mentjari musuh besarnja serta
sekalian mentjari Siang Tjoe jang ia tidak tahu entah dimana kini
berada. Oleh kedua gurunja ia dibekalkan sebuah bungkusan berisi tiga
potong pakaian dan beberapa potong perak dan emas. Dengan
hati terharu, Gouw Bian Lie dan suteenja mengantarkan dengan
pandangan matanja hingga murid ini hilang lenjap diseberang
lautan luas. Langsung dari pulau Tho liu to, Sioe Lian menudju ke Tjeng hong
dengan harapan musuh besarnja jang djuga mendjadi suhengnja
itu berada di pegunungan itu dan bertempat tinggal.
Tapi alangkah ketjewanja, ketika tiba, ia mendapatkan puntjak
Tjeng hong san dimana dahulu ia pernah tinggal, sunji sadja tiada
berpenghuni. Hanja dari beberapa orang penduduk jang tinggal
di-lereng2 gunung, ia mendapat keterangan bahwa katanja pada
kira2 lima enam bulan jang lalu, keatas puntjak Tjeng hong san
itu pernah berkundjung seorang pemuda berpakaian pengemis
jang kemudian pergi pula setelah berdiam beberapa minggu.
Ketika ditanjakan Sioe Lian apakah jang diperbuat pemuda itu,
beberapa penduduk lereng gunung tersebut hanja
menggelengkan kepala sadja. Hanja sambil memetakan
tangannja, penduduk2 itu membajangkan bahwa pemuda
pengemis itu sedikitnja mengerti ilmu silat jang tinggi sekali.
Salah seorang penduduk menerangkan bahwa katanja pemuda
pengemis jang mendatangi Tjeng hong san itu adalah untuk
mengambil sebuah barang warisan dan ketika pulangnja dia
menudju kedjalan jang menudju kekota Giok kang tjian. Letak
kota ini djaraknja ratusan li dari Tjeng hong dan djika ditempuh
dengan djalan darat, kira2 memakan waktu sebulan,
menerangkan seorang penduduk. Ada djalan lain jang dapat
mempersingkat waktu, jaitu djalan air, mengikuti sungai Giok ho
dengan perahu. Karena memang maksudnja meninggalkan Tho liu to adalah
untuk mentjari Kiauw lian dan sekalian pergi merantau meluaskan
pengalaman, maka setelah mendengar adanja seseorang
menjateroni Tjeng hong san serta membawa pergi sesuatu benda
warisan, Sioe Lian mendjadi bertjuriga dan lantas berangkat
kekota jang disebut penduduk lereng gunung tadi. Ia pergi
keperkampungan nelajan jang tinggal didekat sungai Giok ho
untuk menjewa perahu. Namun dikota ini, ia bukan sadja tidak
dapat dengan lantas menjewa perahu, malah ia mendjadi bahan
perhatian banjak orang hingga ia mendjadi heran dan achirnja
insjaf setelah memperhatikan, kalau disekelilingnja, ketjuali ia,
tidak ada seorang perempuan lainpun, jang berkeliaran kelujuran.
Tjepat2 karena takut terdjadi hal2 jang tidak diinginkan, ia pergi
kepada seorang nelajan tua jang menjewakan perahu pesiar dan
penjeberang sungai. "Pada mas ini, adalah masa terbaik untuk waktu berpelesir. Air
sungai tenang dan djernih," kata nelajan tua jang dihampiri Sioe
Lian itu jang tapinja seperti lain2 penduduk mengawasi dengan
roman wadjah heran. "Nona hendak pelesir kemana" Mengapa
hanja berseorang diri sadja?"
Sioe Lian tersenjum. "Jah memang aku berseorang diri, mengapa
lopeh?" membaliki Sioe Lian sambil menggunakan tangan
kanannja menepuk badan perahu hingga menggeser dua tindak.
Sengadja Sioe Lian mendemonstrasikan kepandaiannja, dengan
harapan agar selandjutnja, nelajan tua itu tidak menganggap
dirinja sebagai kaum perempuan lainnja, jang umumnja lemah.
"Haaag! Tidak, tidak apa2," berseru si nelajan tua jang mendjadi
terkedjut sekali menjaksikan tenaga besar sinona.
"Aku bukan pelantjongan, tapi hendak menjewa perahumu untuk
pergi ke Giok kang tjian, berapa harganja?"
"Ke Gio kang tjian?" berseru sinelajan tua. Keras suaranja dan
kembali bernada kaget. "Ja, Giok kang tjian, apakah kau tidak tahu dimana letak tempat
itu," mengulangi Sioe Lian. Agak mendongkol ia.
"Nona, aku adalah penduduk tertua untuk daerah sini hingga buat
desa2 disekitarnja, walau sampai jang ketjil2 pun bagiku, untuk
mentjarinja, sama djuga dengan tinggal membalik telapak tangan
sadja. Apa lagi, untuk mengantarkan kau ke Giok kang tjian jang
terkenal sebagai pusat desa, bagaimana bisa aku tidak
mengetahuinja...?" "Nah! Kalau tahu, mengapa banjak bitjara. Apakah takut aku akan
membajar murah?" "Bukan, bukan nona," berkata sinelajan tua, meminta. "Bukanlah
aku manusia seperti jang kau pikir itu. Lebih2 dengan kepandaian
jang tadi kau perlihatkan, tahulah aku kalau nona bukanlah orang
sembarang orang, maka tidak dibajarpun, tidaklah mendjadi apa.
Hanja... hanja..." "Hanja mengapa?"
"Hanja, diperdjalanan jang kira2 dua puluh li djaraknja dari tempat
ini, disuatu tanah lebih jang terletak di-tengah2 sungai, pada kira
lima bulan jang lalu ada didatangi sedjenis siluman..."
"Siluman apakah itu?" memotong Sioe Lian. Tertarik ia.
Nelajan tua itu meng-geleng2kan kepalanja, sambil katanja, tidak
tahu. "Hanja, menurut kata beberapa penduduk jang pernah
menjaksikan, datang dan perginja siluman itu tjepat sekali seperti
angin, serta suka sekali mengganggu orang2 jang kebetulan
berlalu lintas disitu, terutama bagi kaummu, orang2 perempuan,
maka nona, bukan aku me-nakut2i, lebih baik urungkanlah sadja
niatmu itu." Mendengar keterangan ini, bukan Sioe Lian mendjadi ketakutan,
tapi sebaliknja mendjadi bergembira. Bukankah tugasnja jang
kedua, disamping mentjari musuh besarnja djuga menghalau
bahaja pengatjau ketenteraman rakjat adalah djuga mendjadi
kewadjibannja" "Lopek jang baik," katanja tertawa. "Maafkan aku, kalau barusan
aku telah menuduh kau dengan kata2 jang bukan2. Sedang
sebenarnja bukankah kota Giok kang tjian itu sendiri aman?"
Nelajan tua manggut membenarkan, "Ja," katanja menambahkan.
"Sebab jang kumaksudkan tidak aman itu adalah perdjalanannja
jang harus melalui sungai ini."
"Djadi pada biasanja, dapat toh kau mengantarkan seorang
pelantjongan ke Giok kang tjian?"
"Tentu sadja, kalau itu terdjadi pada tahun jang lalu."
"Berapa upah sewanja?"
"Hmmm, se-murah2nja sebelas tahil."
Sioe Lian masukkan tangannja kedalam buntalannja dan ia
keluarkan sepotong perak ketjil berharga lima belas tahil.
"Nah, ambillah sebuah ini, kalau sekarang kau mau antarkan aku
kesana. Dan nanti, kalau sudah sampai disana, akan
kutambahkan pula lima tahil. Bagaimana?" kata Sioe Lian.
"Eh, eh, lupakah kau, nona muda" Tadi bukankah aku sudah
tjeritakan bahwa disuatu tanah lebih ada silumannja?" mendjawab
sinelajan tua. "Dan lagi pula, pernah, pada kira2 sebulan jang
lalu. Dua puluh satu orang2 gagah mentjoba memasukinja untuk
mengusir siluman itu, kau tahu hasilnja nona" Kedua puluh satu
orang gagah itu masuk tanpa seorang pun jang dapat pulang
kembali!" ia menambahkan jang agaknja masih merasa sangsi
kepada Sioe Lian jang hanja berseorang diri sadja.
"Aku tahu lopek. Dan biarlah kalau sampai aku mendapat tjelaka.
Aku tidak takut!" Kakek nelajan tua itu memandangnja dengan pandangan penuh
tanda tanja hingga membuat Sioe Lian mendjadi habis sabar dan
lalu dihadapan kakek nelajan itu ia melompat keatas, untuk
kemudian menghilang, membuat nelajan tua itu mendjadi kaget
sekali dan ber-teriak2. Sebab bukankah barusan nona tjantik itu
berdiri dihadapannja" Ia mendjadi semakin ketakutan ketika
terpikir olehnja, bahwa kerap kali siluman itu menjamar mendjadi
perempuan tjantik. Namun tiba2...
"Lopek, djangan takut. Aku bukan siluman!" ia dengar satu suara
halus dan tahu2 dihadapannja sudah berdiri gadis dara tadi
sambil ber-senjum2. "Aku manusia biasa, lopeh, dan apakah dua puluh satu orang2
gagah2 itu dapat berbuat seperti aku tadi?" menambahkan suara
tadi jang ternjata bukan lain dari Sioe Lian. Terpaksa ia berbuat
demikian untuk memberi kejakinan kepada si kakek, agar ia mau
mengantarkannja. Si kakek nelajan tua jang ternjata bernama Lauw toa mengangguk2kan kepalanja. Masih berirama sangsi. "Kau bukan
siluman, djadi tentulah seorang gagah, namun djangan lupa,
ketjepatan bergeraknja siluman itu belum tentu berada disebelah
bawah ketjepatanmu."
"Djangan kuatir, kakek jang baik."
Achirnja Lauw toa terima djuga tawaran Sioe Lian dan dilain detik
mereka sudah berangkat. Tampaknja perahu jang kini ditumpangi
Sioe Lian itu sudah tua. Ini terlihat dari bahan2 kajunja jang sudah
mengering keras. Tapi walau demikian masih tjukup kuat dan
lebih2 atapnja baharu dua hari jang lalu diganti sipemilik hingga
djika hudjan besar turun pun tidak nanti akan kebotjoran. Sedang
kakek ini djuga tidak lepas2 mulut me-mudji2.
Ketika itu hati Sioe Lian lapang dan sangat bergembira sekali.
Pemandangan disepandjang djalan, tepat seperti jang dikatakan
orang, amat indah sekali. Apalagi Lauw toa ternjata adalah
seorang jang pandai bitjara dan pandai pula membubuhi akan
segala pemandangan jang terdapat disitu, ia djuga
mendongengkan akan tjerita2 jang berhubungan dengan
terdjadinja sungai itu. Pada malam harinja, kakek itu mendongeng, untuk melewatkan
waktu jang gelap dan agak menjeramkan. Pada dahulu kala,
Ilmu Silat Pengejar Angin Karya Siasa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
demikian ia memulai tjeritanja, didasar sungai ini hidup dua
orang. Jang satu gadis, dan lainnja adalah seorang laki2. Kedua
makhluk ini, dalam hidupnja walau belum kawin ada sangat kasihmengasihi sekali hingga seperti hidupnja dua orang jang sudah
mendjadi satu keluarga. Mereka sangat berbahagia sekali
membuat timbul hati iri pada siapa sadja jang melihatnja, hingga
achirnja ketika radja ombak mengetahui akan kerukunan hidup
kedua makhluk ini segera mendatangkan bala tentaranja
menggulung rumah istana tempat kedua orang ini bersemajam
dan menghantjurkannja. Dalam kemarahannja jang me-luap2,
jang laki2, tjabut sendjatanja mematahkan serangan itu dan
berhasil membinasakan radja ombak itu. Akan tetapi, ketika
perkelahian berachir ternjata pemudinja hilang entah kemana..."
"Hai, nona, nona! Kau menangis" menangis?" tiba2 kakek itu
menghentikan tjeritanja ketika dilihatnja dari kedua mata nona
penumpangnja, tampak mengalir air mata. Lauw toa mendjadi
kebingungan. "Ah tidak... tidak... !" berkata Sioe Lian, gagap. Terkedjut dan
malu ia ketika disadarinja, bahwa barusan ia telah menangis.
"Tjeritalah, tjeritalah terus!" menambahkan ia jang sebenarnja
pikirannja tengah melajang kepada Siang Tjoe-nja jang telah
hilang ketika ia berdua dengan pemuda itu ber-sama2 menaiki
gunung Thang ala san. Tadi ia telah menangis, adalah
disebabkan karena ia merasa dongeng Lauw toa tadi ada
persamaannja dengan pengalaman hidupnja.
Namun setelah peristiwa ini, Lauw toa tidak lagi bertjerita. Ia
menghentikannja. Takut ia kalau2 nona penumpangnja nanti
menangis lagi. Pada keesokan harinja, pagi2, mereka tiba di
tengah2 sungai jang membelok memasuki hutan. Dihadapannja
samar2 tertampak sepiering tanah muntjul. Tjukup luas. Di
tengah2nja seperti terlihat mendjulang sebentuk gunung ketjil.
Agak tinggi dan seperti berbelukar.
"Hati2 nona, itulah tanah muntjul jang kumaksudkan..."
Belum habis Lauw toa ber-kata2 atau tiba2 dari sisi kanan perahu
melesat sebuah bajangan. Merah lagi tjepat sekali. Dan
sekedjaban telah hilang lenjap masuk kehutan kanan.
"Tjelaka nona. Siluman datang!" Lauw toa mengeluh jang kontan
tubuhnja bergidik ketakutan. Namun Sioe Lian jang matanja djeli,
tenang2 sadja. Ia tahu kalau bajangan tadi adalah bajangan
seorang manusia biasa, jang menggunakan ilmu meringankan
tubuh tjukup tinggi. Hanja, jang membuat ia merasa heran, adalah
bentuk bajangan itu adalah bentuk dari tubuh seorang perempuan
jang berpakaian badju merah. Apakah mungkin jang dimaksud
siluman itu adalah seorang perempuan djahat berpakaian badju
merah" Apakah mungkin jang dimaksud siluman itu adalah
seorang perempuan djahat berkepandaian tinggi"
Segera ia kerahkan tenaga lweekang pada kedua kakinja,
membuat perahu mendjadi berdjalan terlebih tjepat, ketika ia lihat
si kakek jang masih bergemetar ketakutan, tidak kuasa lagi
memegang pengajuh. "Bagaimana baiknja," Lauw toa suaranja masih gemetar
ketakutan. "Kajuh terus. Djangan takut," menitah Sioe Lian tenang. "Apakah
kakek tidak malu terhadapku, seorang perempuan?" kata Sioe
Lian mengedjek. Hingga membuat merah muka si kakek. Perahu
didajung terus. Malah karena semprotan tadi, sikakek mendajung
terlebih kuat. Dan karena dia mendajung dengan perasaan jang
tertekan dipaksa. Dia tjepat mendjadi lelah. Peluh se-besar2 bidji
keledai membasahi dahinja.
Istirahatlah kau lopeh, biarlah aku jang menggantikannja," kata
Sioe Lian. "Tidak mungkin, nona, apakah kira kau aku adalah seorang jang
sedemikian rendah?" menolak keras sinelajan jang tiba2
semangatnja terbangun. "Walau batang usiaku sudah tua, walau
peluh sudah memenuhi dahiku, walau tadi telah mengakui bahwa
aku ketakutan, tak sudi kutinggalkan kewadjibanku!" Dan ia terus
mendajung. Timbul keberaniannja agaknja, setelah mendapat
semprotan Sioe Lian tadi.
Perahu meladju semakin pesat. Memetjah air jang dilaluinja dan
mendjadi satu pula dibagian belakang perahu. Tiba2, kira2 tiga
puluh kaki dari tempat kedudukan perahu Sioe Lian tertampak
melesat pula sebuah bajangan hitam. Tjepat sekali. Sekedjab
telah berada diatas perahu Sioe Lian. Dan pasti, bajangan itu
ternjata adalah sebatang pohon hutan akan menenggelamkan
perahu Sioe Lian apabila batang itu membentur atau menumbuk
perahu. "Siluman ampun, siluman ampun!" kakek nelajan me-ratap2. Dan
ia meramkan matanja untuk menerima nasib.
"Piiaarrr!" tiba2 ia dengar suara sesuatu terdjatuh kedalam air.
Petjahan air jang bermuntjratan membasahi perahu dan tubuhnja
membuat ia sadar dan segera membuka kembali matanja. Ia
mendapat kenjataan perahunja tidak kurang suatu apa,
melainkan tidak djauh beberapa tombak, ia dapatkan batang
pohon tadi hanjut terapung perlahan diatas air. Ia merasa heran
sekali, karena djelas tadi batang pohon tersebut sudah tepat
berada diatas kepalanja. Tjepat2 matanja mentjari Sioe Lian.
Keheranannja makin ber-tambah2 ketika ia mendapat kenjataan
pemudi itu sedang tenang2 sadja berdiri diudjung perahu. Tidak
kurang suatu apa. Apakah mungkin perempuan ini telah
menghindarkan balok tadi, demikian ia ber-tanja2 dalam hatinja.
Sementara itu, batang kajupun telah sekira sepuluh tumbak
mendjauhi perahu. "Nona, tidakkah kau kurang suatu apa?"
"Tidak!" Dan jang ditanja itu meng-geleng2kan kepalanja. Saat
itu, perahupun telah tiba dipinggiran tanah lebih.
"Kek, siluman agaknja takut padaku," berolok Sioe Lian sesaat
kemudian. Sikakek tunduk ke-malu2an.
"Kek, labuhkan perahu!" memerintah Sioe Lian.
"Haa?" berseru kaget si kakek. "Labuhkan perahu disini?"
Sungguh suatu permintaan jang tak pernah ia sangka.
"Ja, kukatakan labuhkan perahu. Apa tidak dengar?" mengulangi
Sioe Lian, agak mendongkol, dan ia kerahkan tenaga
lweekangnja pada kedua kakinja, hingga mau tidak mau, dengan
tidak terkuasakan sikakek lagi perahu bergerak kepinggiran tanah
membuat permilik perahu ini mendjadi kalang kabut kebingungan
dan lantas mengira jang bukan2
"Nona... nona... siluman datang lagi... si..." ber-teriak2 Lauw toa
menggila, hingga mau tidak mau Sioe Lian tertawa geli djuga.
"Kek, sebagai telah kudjandjikan tadi, terimalah ini lima tahil pula
dan kau pulanglah!" berkata Sioe Lian achirnja separuh
memerintah. Dan lantas dia ini, sikakek tukang perahu, Lauw toa, setelah
menerima pembajaran hadiah itu, putar perahunja meninggalkan
tempat tersebut tanpa hendak mempedulikan Sioe Lian pula. Ia
sangsi apakah nona penumpang itu adalah manusia sebenarnja
atau sebangsa siluman. Sebentar2 ia tengok uang pemberian
nona itu. Karena kuatir nanti berubah mendjadi batu. Sebentar
sadja perahunja sudah djauh meninggalkan tempat dimana tanah
lebih itu terletak, dan dilain harinja, iapun sudah sampai ditempat
pangkalannja serta mentjeritakan seluruh pengalamannja
barusan kepada kawan2nja sepekerdjaan, hingga mereka
mendjadi gempar. Memperhatikan letak, seketika itu djuga teringatlah Sioe Lian
akan Tho liu to, hanja bedanja tanah lebih ini, bertumbuhan
tumbuh2an jang tumbuhnja tidak berketentuan mirip sebuah
hutan lebat ketjil, tjotjok benar bagi tempat persembunjian
seorang perampok jang hendak mengasingkan diri. Suasananja
angker menjeramkan. Kadang2 dari bagian dalam pulau
terdengar bunji aneh. Pastilah, apabila jang mendengar suara itu
adalah seorang berhati ketjil akan mati berdiri ditempat itu djuga.
Setelah kira2 berdjalan seratus langkah dari tepi pulau, Sioe Lian
tiba disuatu tempat jang dikiri kanannja penuh dengan tumbuh2an
lebat. Penuh ber-duri2. Sebenarnja tidak niat baginja untuk
memasuki pulau itu, tetapi oleh karena pengalaman akan
bajangan tadi jang ia kira adalah bajangan seorang perempuan
dan berkepandaian tjukup tinggi, ia mendjadi tertarik dan berniat
keras untuk menjelidikinja serta sekalian kalau mungkin
menghantjurkannja untuk menghindarkan segala kegelisahan
masjarakat ramai disekitar tempat iu. Ia kagum akan kekuatan
tenaga lweekang orang jang menjambitkan batang pohon tadi.
Tjukup tinggi dan orangnja pasti tjukup sebat djuga. Tiba2 tengah
ia berdjalan, sisi sebelah kanan, jang bertumbuhkan tumbuh2an
lebat, melesat tiga sinar merah jang mengarah tiga bagian
anggota tubuhnja. Jakni atas, tengah dan bawah dan matanja
jang djeli segera melihat menjelusupnja sebuah bajangan disisi
kirinja serta sedetik kemudian menghilang kedalam hutan.
Sioe Lian tidak mendjadi gugup akan datangnja serangan gelap
ini. Dengan memutarkan pedangnja jang menerbitkan angin
keras, ia membuat ketiga sinar merah itu terpukul balik setindak
sebelum sendjata2 tersebut mengenai tubuhnja. Hanja jang
membuat ia merasa heran ialah adanja bajangan lain itu, pendek
sekali, tidak sampai empat kaki jang menjelusup tadi serta njata2
tidak berada disebelah bawah dari kegesitan siorang penjerang
gelap jang ia tahu adalah orang jang tadi telah membuat kaget
Lauw toa, sikakek nelajan tua. Bersamaan itu, sebelum ia sempat
berbuat apa2 mendadak ia mendengar suara mendesisnja
beberapa ekor ular serta dilain saat, ia lihat, kira2 dua tumbak
dari tempat ia berdiri, sepasukan ular, berdjumlah ratusan
menggeleser tjepat kearahnja! Menjaksikan ini, mau tidak mau,
Sioe Lian agak terkesiap djuga. Dalam sedetik itu, ia ingat akan
tjerita gurunja jang kedua jang mengatakan bahwa, didaerah
Tionggoan, pada kira2 seabad jang lalu, djadi semasa djaman
sutjouwnja, ada kedatangan seorang paderi India jang lihay luar
biasa dan mempunjai hobby memelihara sebangsa ular2 ketjil
putih berbisa. Dan kini, tiba2 dipulau jang bukan pulau ini,
sementara ia belum dapat memutuskan siapakah orang kate jang
tiba2 menghilang itu, kehadapannja tiba2 muntjul sepasukan ular
putih dan melihat rupanja, berbisa pula! Apakah mungkin orang
India itu masih hidup, dan kalau benar, tidak mungkinkah orang
itu jang paling sedikit sudah berusia satu seperempat abad jang
dikira siluman" Luar biasa tjepatnja, sebelum sepasukan ular
putih itu melibat kakinja, Sioe Lian djedjakkan kakinja melesat
keatas serta dojongkan tubuhnja kesebelah kanan, hingga ketika
melajang turun, ia sudah berada diantara semak2 pohon dan
kemudian bersembunji. Ia hendak lihat, apakah benar2
pemelihara ular2 itu adalah siorang India. Ia merasa pasti,
dengan ada piaraannja, tentulah tidak djauh disekitar tempat itu
ada madjikannja. Dari tempat persembunjiannja, sebentar kemudian ia lihat dari
semak2 sebelah kiri, keluar sesosok tubuh pendek. Kepalanja
besar. Tiada berambut, tapi berdjenggot pandjang sampai
melengser ketanah. Aneh kelakuan jang diperbuat orang pendek
itu, jang segera ber-lari2 memutari sekelompok ular tersebut
sambil tiada henti meniup sebuah seruling. Dan aneh sekali,
ratusan ular2 putih itu, jang tadinja berniat hendak menggigit
orang pendek itu, segera setelah mendengar bunji seruling
menengadahkan kepalanja tinggi2.
Dan anehnja, sambil kepalanja berlenggak-lenggok mengikuti
irama seruling, mereka berkumpul ke tengah2 pusat lingkaran,
berkumpul ber-tumpuk2 mendjadi satu, dengan sebentar2
sipeniup mendekatkan mulut seruling.
Tiba2 Sioe Lian teringat sesuatu, ia ingat akan tjerita gurunja jang
pernah mengatakan, bahwa didunia kangouw pada beberapa
puluh tahun terachir ini, ada muntjul seorang pendekar bertubuh
pendek bernama Ban Lie Thong si pendekar lutju dari Liang San.
Pada tangan kanannja, tampak ia mengepal sebungkusan peti
putih. Dilain detik, sambil mengeluarkan bentakan keras, dari
mulutnja dia semburkan segumpal air liur jang ketika berada di
tengah-tengah udara, bagai mengandung bahan peledak petjah
berhamburan, djatuh bertitik-titik bagai hudjan kesekeliling
ratusan ular-ular jang seketika itu mendjadi panik. Jang hebat,
setiap titik itu menghadjar setiap ular2 itu pada bagian2 jang
sama. Kedua bidji matanja jang seketika itu djuga mendjadi buta
dan mati tidak berkutik lagi. Terkedjut Sioe Lian menjaksikan
akan kehebatannja tenaga lweekang orang dan menjaksikan
perbuatan orang. Semakin jakinlah Sioe Lian kalau orang itu
adalah Ban Lie Thong. Saat itu tiba2 suara seruling berhenti
berbunji, serta ketika Sioe Lian menengok kearah tumpukan ular
ternjata semua binatang bertubuh pandjang itu sudah tidak
bernjawa lagi, sedang dilain detik mendadak terdengar suara
lengking tertawanja si pendek. Suaranja keras dan
berkumandang djauh serta benar2 dapat memekakkan telinga
manusia biasa. Namun saat itu, mendadak dari arah semak2
sebelah muka, tertampak melesat lima sinar merah mengarah
kelima djalan darah penting dari sipendek jang ketika itu sedang
pentang mulut tertawa ter-bahak2. Dan aneh sekali, walau ketika
itu, dia sedang menutup rapat kedua matanja, dia seperti
mengetahui akan datangnja serangan gelap dan tiba2 itu.
Demikianlah tenang2 seperti tidaka da kedjadian apa2, ia
semburkan pula segumpal air liur jang kemudian seperti tadi ia
perbuat terhadap pasukan ular, air liurnja ketika berada di
tengah2 udara petjah berhamburan mendjadi ratusan titik2. Lima
titik2 diantaranja menghadjar kelima sendjata rahasia jang
mengantjam dirinja, sedang jang lain-lainnja langsung terus
meluncur kemuka, kearah sekitar dari mana barusan kelima
sendjata rahasia berasal.
Tiba2 dari semak2 sebelah muka tadi, melesat sebuah bajangan
merah dan bajangan itu tidak lain dari bajangan orang jang
semalam membajangi perahu Sioe Lian. Bajangan merah ini jang
memang adalah bajangan seorang perempuan, bersendjatakan
sebatang pedang. Dia meluntjur tjepat sekali dan dalam sekedjap
sadja telah berada berhadapan dengan sipendek jang segera
kembali menjemburkan segumpal air liur. Dengan memutar
pedangnja sipemudi djubah merah menggagalkan serangan
'hudjan' air liur itu serta kemudian, dengan suatu gerakan jang
lintjah luar biasa, udjung pedangnja tahu2 sudah bekerdja
mengantjam tenggorokan lawannja.
Sambil masih tidak menghentikan tertawanja sipendek pentang
mulutnja dengan niat menjambuti udjung pedang dengan gigitan
giginja. Agaknja dia pandang rendah benar pada pemudi ini. Akan
tetapi tiba2 sipendek ini menundjukkan air muka terkedjut.
Ternjata lawan wanitanja jang barusan ia pandang rendah benar
itu serangan tenaga pedangnja sangat keras sekali. Tjepat2, ia
egoskan kepalanja dan kemudian sambil memutar tubuh
ditangannja sudah tergenggam sedjenis sendjata sebangsa
petjut. Gagangnja pendek tidak sampai satu djengkal. Sedang
talinja jang terbuat dari bahan logam pandjang melampaui sekira
enam kaki. Lemas tampaknja 'tali' petjut itu, tapi ketika sendjata
itu disabetkan kemuka, tali petjut itu berubah mendjadi lempang
djegar. Suaranja bertjiutan njaring dan tenaga anginnja kuat menjambar2 hingga membuat rontok daun2 pohon disekitarnja.
Ilmu Silat Pengejar Angin Karya Siasa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun ternjata lawan dihadapannja bukan lawan lemah, segera
iapun menggerakkan sendjata pedangnja dengan terlebih gentjar.
Mengarah seluruh djalan darah jang berbahaja. Dia djuga rupanja
mempunjai tenaga lweekang jang tjukup tinggi, hingga ketika
sendjatanja meluntjur kemuka, anginnja ber-kesiur2 menerbitkan
rasa dingin dan njeri. Tak malu orang pendek bernama Ban Lie Thong ini bergelar
pendekar kate dari Liang san. Diserang selagi ia baru sadja
menjerang, tjepat2 ia letakkan petinja diatas tanah, kemudian
tubuhnja mendadak lempeng dan melesat keatas, sedang
petjutnja dengan tenaga lweekang jang dikerahkan benar2
sampok pedang musuh perempuan itu. Sebelum hinggap dimuka
bumi, tubuhnja diputar, kaki kanannja menendang lebih dahulu,
jang kemudian disusul dengan kaki kirinja. Itulah tipu petju
kosong memburu bajangan hantu dan sapuan berantai pembetot
djiwa dari Liang san pay jang digunakan setjara saling susul.
Dihantam setjara demikian, sinona jang ternjata berkepandaian
setingkat lebih rendah dari Lie Thong lantas mundur setindak
kepinggir semak. Melihat kesempatan ini, tjepat2 Lie Thong balik
tubuhnja, untuk djemput peti putih itu.
"Siluman murid murtad!" membentak nona badju merah itu.
"Malam ini, akan kuhabiskan dahulu riwajatmu, untuk nanti
sesudah kamu, gurumu akan kuhabiskan pula!"
"Ah dia salah tanpa!" pikir Sioe Lian jang segera disaat djuga
dapat mengira-ngira kalau tentulah pemudi itu adalah seorang
pendekar jang seperti ia hendak menjateroni sarang siluman.
Hanja sajang dia telah salah sangka. Hanja apakah peti putih itu
jang diperebutkan" Sedang baru sadja ia hendak turun
kegelanggang buat melerai kedua orang itu, tiba2 ia lihat Lie
Thong angsurkan tangannja, hendak mendjumput peti,
dibebokong sudah menjambar sendjata musuh. Ia tendang peti
itu sampai sedjauh tiga empat tumbak. sedang petjunja ia
gunakan untuk tangkis sendjata musuh, dan dilain detik ia sudah
lantjarkan serangan2 jang tjukup berbahaja. Namun nona badju
merah ini djuga ternjata tjukup ulet. Ia putar pedangnja setjara
rapat sekali dan berbareng itu, mengirim serangan jang tidak
kurang pula hebatnja. "Barang apakah jang diperebutkan mereka?" tanja Sioe Lian meraba2.
"Baiklah kuambil dahulu barang itu untuk melihatnja." Selagi
baharu ia hendak lompat keluar, mendadak terdengar suara
geraman jang njaring. Suara itu kering menjeramkan dan nadanja
menandakan bahwa dia sedang marah besar. Dan bersamaan
itu, dua pengemis bermuka menakutkan menerobos keluar
dengan sikap garang sekali. Dari raut mukanja, njatalah
pengemis jang berdjalan dimuka itu masih berusia muda sekali,
mungkin djauh lebih muda dari usia Sioe Lian. Tapi oleh karena
rambutnja jang tidak karuan tak terurus, dan roman mukanja jang
bengis serta kotor mendjidjikkan, membuat pengemis itu
tampaknja sudah berusia tua. Pada tangannja terdapat menjelip
sebatang tongkat dari batang pohon. Hebat sekali rupa tongkat
itu, karena selain dari mata2 kajunja jang banjak memenuhi
tongkat itu, pada udjungnja terdapat sebuah pentol jang diukir
mirip dengan tengkorak kepala manusia. Langsung dengan
mendjedjakkan kakinja, dia melajang melewati atas kepala kedua
orang jang sedang bertanding.
"Ha! Inilah tentu siluman aslinja!" berseru Sioe Lian didalam hati.
Ia kagum akan kegesitan tubuh pengemis muda itu namun diam2
ia djuga merasa heran, mengapa orang jang masih berusia
semuda itu mau berpakaian setjara demikian matjam.
Dalam hanja sekedjap sadja, pengemis jang berusia lebih tua itu
sudah tiba dimuka bumi, tepat diatas dimana peti putih
menggeletak. Segera ia ulur tangannja hendak mendjumputnja.
Namun tiba2 sebuah bajangan melesat sambil mengulur kedua
belah tangannja merampasnja. Itulah Sioe Lian jang telah turun
tangan ketika melihat kalau ia tidak dapat me-nunggu2 waktu lagi.
Ditangannja tertjekal sebatang ranting. Pengemis ini jang berusia
lebih tua lantas memapaki dengan tongkatnja. Tongkat ini adalah
sebatang sendjata jang sekalian dapat digunakan sebagai
sendjata rahasia. Tapi sekarang dia berhadapan dengan Sioe
Lian, seorang jang telah digembleng selama sepuluh tahun oleh
dua orang guru jang berkepandaian luar biasa. Segera dengan
rantingnja itu ia tangkis serangan lawan. Hebat sekali berubahnja
sifat ranting ini, ditangannja, dari hanja sebatang kaju jang lunak
sadja, ranting itu berubah mendjadi serupa sendjata jang dapat
melawan keras lawan keras.
Demikianlah, begitu lekas ia membatjok, pengemis jang usianja
lebih tua itu segera merasakan seperti membatjok kapas, tanpa
sedikitpun ada tenaga jang melawan. Hatinja terkesiap. Segera ia
tjoba tarik pulang tongkatnja, tapi ternjata tongkat itu seperti
melekat pada sendjata lawan jang hanja menggunakan sebatang
ranting itu. Pengemis itu kerahkan tenaganja, agaknja ia hendak membuat
sapat ranting Sioe Lian, tapi ternjata tongkatnja ini tidak dapat
mentjapai maksudnja. Sioe Lian kerahkan tenaganja dan
membentak : "Lepaskan tongkatmu!"
Agaknja pengemis ini sajang akan tongkatnja, dia kerahkan
seluruh tenaganja pada kedua tongkatnja buat menimpali tenaga
musuh. Namun diluar tahu dia, inilah jang dikehendaki Sioe Lian.
Mendadak tangan kirinja bekerdja menjambar serta betot peti
putih jang disembunjikan dibawah ketiaknja.
Jang digunakan Sioe Lian barusan adalah tipu disebut kosong
tetapi berisi. Oleh karena perhatiannja dipusatkan pada
tongkatnja, tenaga djepitan pada ketiaknja mendjadi berkurang
dan dilain detik, peti putih itu sudah berpindah tangan.
Pengemis ini merasakan semangatnja seperti terbang. Ia baharu
sadar kalau isi peti itu sama djuga dengan harga djiwanja. Djustru
itu sedang pikirannja masih kalut, dengan sekali sentak, Sioe Lian
telah membuat terpental tongkatnja dari tjekalannja. Sementara
itu keadaan pertempuran jang dilakukan sinona badju merah dan
si pendek Ban Lie Thong lantas berubah. Si nona badju merah
dan Ban Lie Thong serentak berhenti bertempur. Tertjengang
mereka akan kedatangan kedua pengemis dan Sioe Lian. Dan
disaat kemudian setelah tersadar, segera mereka gunakan
masing2 sendjatanja menjerang kepada musuh jang wadjah
mukanja menjeramkan ini. Tapi baharu sadja pedang mereka
menjambar, peti putih jang agaknja mendjadi bahan perebutan
antara keempat orang ini sudah pindah ketangan Sioe Lian.
Perubahan ini berlangsung tjepat sekali. Dan membuat pengemis
jang dikerubuti ini mendjadi terkedjut serta kemudian tinggalkan
kedua lawannja. Pengemis jang satu ini, jang berusia lebih tua,
djuga bukan orang sembarangan. Begitu tongkatnja terlempar, ia
lompat, tangannja tjepat luar biasa menjambar dan sanggap
kembali sendjatanja itu. Berbareng mana, kaki kirinja bekerdja
menjapu kedua kaki Sioe Lian. Kawannja, jang berusia lebih
muda dan berkepandaian djauh lebih tinggi djuga lantas
menubruk dan kirim empat batjokan berantai kearah Sioe Lian.
Terkedjut pemudi ini, menjaksikan gerakan orang, karena walau
samar2, tjara bersilat orang ini ada sedikit mengandung unsur2
Tjeng hong pay. Dengan satu tangan peluk peti putih jang isinja
semakin ia tjurigakan, Sioe Lian tangkis dengan rantingnja
serangan pengemis jang pertama. Kemudian, terhadap serangan
tongkat jang satunja lagi, jang ia tahu djauh lebih lihay dari jang
pertama tadi, tidak berani ia sembarangan menggunakan
sendjata kajunja, demikian terhadap serangan ia hanja geser
tubuhnja kekanan, serta lalu mengiringi itu dengan menggunakan
tipu Kepalan Dewa Memberikan Upeti menghadjar pergelangan
lawan, hingga terpaksa dengan terkedjut pengemis ini menarik
kembali tongkatnja. Dan pada saat itu, tiba2 ia rasakan sambaran
angin keras dibebokongnja dan segera ia lihat sendjata petjut
mengantjam dirinja. Tjepat2 ia membalik tubuh serta tangkis
serangan itu, dan selagi perhatiannja ditudjukan kepada lawan
tubuh pendek itu, ia dengar pula kawannja sedang dirintangi oleh
lawannja si gadis berbadju merah.
Pertempuran berdjalan hebat. Dua rombongan, masing2 dengan
satu lawan satu. Agaknja, sinona badju merah dan Ban Lie Thong
insjaf, kalau kedatangan Sioe Lian ketempat itu djuga setudjuan
dengan maksud mereka. Dan mereka agaknja sama2 djuga.
Demikianlah kini dari saling tempur, kedua orang ini mendjadi
bersatu melawan kedua pengemis jang kini mereka berani
pastikan adalah jang dianggap penduduk sebagai siluman jang
suka mengganggu penduduk.
Dua rombongan ini bertempur seru sekali, mereka sama2
setanding, belum ada jang berada diatas angin. Namun sesudah
bertempur kurang lebih seratus djurus, ternjata kedua pengemis
kelihatan agak terdesak, dan berselang pula beberapa djurus
mereka hanja tinggal dapat membela diri sadja. Tidak mampu
pula membalas. Mereka mendjadi tjemas sekali, lebih2 ketika
mereka lihat, peti putih jang agaknja mendjadi barang pusaka
mereka berada di tangan Sioe Lian.
Achirnja, dari tjemas mereka berubah mendjadi nekad.
Mendadak, sambil membentak keras, pengemis jang berusia
lebih muda, lontarkan tongkatnja kearah kepala Ban Lie Thong.
Keras sekali tenaga sambitan ini agaknja, karena anginnja telah
membuat ber-gojang2 daun2 pohon jang berada disekitar tempat
itu. Terkedjut Lie Thong akan datangnja serangan ini. Tidak berani ia
menangkisnja, karena ia tahu tenaga sambitan ini, sangat besar
sekali, mempunjai kekuatan ber-lipat2 kali dari kekuatannja dan ia
tahu akan resikonja kalau berani ia menjambutnja dengan keras
lawan keras. Ialah, paling sedikit, ia akan mati tergetar. Maka itu,
dalam saat jang sangat pendek itu, terpaksa untuk
menjelamatkan dirinja, ia mendjatuhkan diri kebelakang dan
baginja ketika itu tiada kesempatan untuk membalas menjerang.
Dengan mendatar, tongkat lewat tepat diatasan kepalanja. Dan
saat itulah dengan tepat dipergunakan sipengemis jang agaknja
barusan menggunakan tipu menerbitkan suara dibarat menjerang
ditimur. Dia berniat keras untuk merampas kembali bungkusan
putih jang agaknja baginja sangat berharga sekali. Demikianlah
disaat dirinja bebas, ia mentjelat dengan tipu jang sangat indah
dari gerakan Walet Ketjil Menembus Mega kearah Sioe Lian.
Ditangannja tertjekal sebatang bumbung jang entah apa isinja.
Terkesiap Lie Thong. Ia mendjadi mendelu dan menjesal ja dirinja
telah diingusi mentah-mentah. Ia insjaf betapa berbahajanja
keadaan Sioe Lian, karena agaknja ia sudah mengetahui kalau
bumbung jang tertjekal ditangan pengemis ini, mengandung
sesuatu jang berbahaja sekali.
Benar sadja, sedetik sadja baru ia berpikir demikian, terdengar si
pengemis berteriak keras, dan tiba2 sadja diruangan sekitar Sioe
Lian berdiri, dihadapannja, tertampak berhamburan ribuan keping
djarum2 ketjil menjerupai hudjan jang beterbangan seperti debu.
"Tjelaka!" terdengar Lie Thong berseru. Tahu ia, kalau itulah
djarum2 pentjabut djiwa ja beratjun sekali dan lihay bukan main.
Sebatang djarum sadja, jang tjara membuatnja dengan
merendam dalam tjampuran bisa ular, sudah tjukkup untuk
membuat seseorang jang terkena segera mati dengan tubuh
mendjadi kaku, apalagi ribuan. Sungguh tak dapat dilukiskan pula
dengan kata2. Akan tetapi pada saat itu, pada saat Lie Thong
dalam keadaan tidak berdaja apa2 untuk memberikan
pertolongan, karena pada ketika itu ia berada pada djarak tidak
kurang dari tiga puluh tindak dari tempat kedjadian, mendadak ia
mendengar dua djeritan kesakitan jang menjeramkan sekali. Dan
sesaat kemudian sekedjap sadja sebelum ia sempat berpikir
apa2, mendadak ia melihat bajangan si pengemis muda
berkelebat kabur kearah timur dengan meninggalkan gerangan
kesakitan. Ia mendjadi terbelalak ketika mendapat kenjataan,
Sioe Lian sedang tenang2 sadja berdiri sambil ber-senjum2,
sedang pada air mukanja, tidak sedikitpun menundjukkan tanda2
kalau pemudi ini terkena ratjun panah si pengemis jang agaknja
ia sangat takuti sekali. Ternjata dalam hal ini, ia tidak mengetahui,
kalau sebenarnja Sioe Lian telah bekerdja sangat tjepat hingga
begitu tjepatnja, sampai2 ia tidak tahu apa jang sebenarnja
diperbuat Sioe Lian. Sesungguhnjalah ketika dirinja mendapat serangan tiba2 dari
pengemis tadi dan lalu melihat menjambarnja ribuan djarum2
ketjil mengarah dirinja, Sioe Lian agak terkedjut djuga. Namun ia
tidak mendjadi bingung. Segera dalam sedetik itu berkelebat
pada djalan pikirannja, tjara menghindarkan serangan itu. Luar
biasa tjepat, ia lontarkan rantingnja untuk mematahkan serangan
hudjan panah ratjun jang paling pertama tiba. Lalu ia tjabut
pedangnja serta kemudian dengan menggunakan tipu Gunung
Besar Menghalang Badai ia putar sendjatanja. Pedang itu
bukanlah benda pusaka. Tidak ada sesuatu keanehan jang
dipantjarkannja, namun ternjata dibalik itu, dibalik kebiasaannja,
ternjata didalam tubuh pedang itu seperti tersembunji sesuatu
jang mengandung atau menjimpan angin jang luar biasa
dahsjatnja. Demikianlah begitu pedang terputar, segera terasa
seperti ada angin keras menjambar-njambar. Hebat sekali tenaga
angin itu bekerdja, hingga dalam sekedjab ribuan panah2
beratjun terpukul djatuh. Bahkan, seperti sudah diperhitungkan,
sebagian ketjil dari djarum2 berbalik menghantam tuannja.
Pada saat itu, sinona badju merah sedang membalikkan
tubuhnja. Terkedjut ia ketika melihat, kawannja jang tadinja
adalah lawannja, tiba2 terdjatuh terdjengkang kebelakang.
Hingga karenanja, buat sesaat ia mendjadi lengah. Keadaan ini,
Sioe Lian melihatnja. Segera ia membagi angin serangannja
mendjadi dua djurusan. Djurusan kedua ini, ia arahkan kebatok
kepala sipengemis berusia lebih tua, hingga tidak ampun pula
mengiringi teriakan pengemis muda, pengemis ini djuga mendjerit
keras. Malah, oleh karena memangnja tingkat ilmu silatnja
"Terimalah!" katanja pula seraja angsurkan tangannja. Gadis itu
menundukkan kepalanja. Ke-malu2an agaknja dia.
"Kau benar! katanja, lalu ia masukkan pedangnja kedalam
sarungnja. Djustru itu, tiba2 dari arah belakang kedua orang ini terdengar
suara bunji seruling jang ditiup bernada gembira dan tak lama
kemudian muntjul Ban Lie Thong jang sambil meniup seruling
me-nari2 berdjalan kearah mereka.
Dilain pihak Sioe Lian merasa kagum sekali melihat
ketangkasannja gadis itu jang tjepat dan tepat. Dalam
pandangannja gadis itu ternjata baru berusia tidak kurang dari
dua puluh tahun. Wadjah mukanja tampak elok sekali. Tubuhnja
ramping dan makin ramping serta bertambah semarak dengan
pakaiannja berwarna merah jang me-lambai2 ketika tertiup angin.
Sepatunja berlapis logam keras dibawahnja. Sedang rambutnja
jang hitam tebal djengat diikat dengan sutera merah pula.
Sungguh menarik sekali. Selandjutnja setelah mendapat
keterangan perihal peti putih itu iapun tidak me-njinggung2 pula,
hanja jang membuat ia heran adalah gerakan ilmu silat kedua
pengemis tadi hampir mirip dengan tipu silat Tjeng hong pay.
Ilmu Silat Pengejar Angin Karya Siasa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ah Lie Thong! Sudahlah, toh ular2 sudah kau matikan semua"
Djanganlah meniup terus," meminta Sioe Lian sambi bersenjum
dan langsung menjebut nama orang kate pendek itu hingga siapa
mendjadi tertjengang. "Achh. Kita toh baru hari ini berkenalan, mengapakah kau sudah
mengetahui namaku?" Tingkah laku dan tjara2 dia mengeluarkan
kata2nja sangat tjenaka hingga melihat kelakukan orang sigadis
djubah merah mendjadi tertawa geli.
"Bagaimana tidak mengetahui?" kata Sioe Lian pula. "Kau toh
orang jang terkenal dengan nama djulukan Pendekar Aneh Lutju
dari Liang san?" "Lihiap, nama itu hanja dilebih-lebihkan," merendah Lie Thong kemalu2an, karena sesungguhnja ia merasa tjanggung untuk
memakai nama djulukan ini. "Perkenankanlah aku untuk
mengetahui, siapa sebenarnja kedua lihiap agar nanti dapat
kudongengkan kepada masjarakat ramai, bahwa di tanah
Tionggoan, pada masa ini telah muntjul 2 pendekar wanita berhati
budiman." Gadis djubah merah itu tersenjum. "Aku dipanggil Hong In seh
Oey." "Dan kau nona, orang jang sudah mengetahui namaku lebih
dahulu?" "Namaku An Sioe Lian."
"Ah sungguh nama2 jang pasti kelak akan mendjadi ternama!"
memudji Lie Thong. "bolehkah aku bertanja, kemanakah kedua
lihiap kini hendak pergi?" tanja Lie Thong pula. Agaknja kepada
Hong In, orang pendek ini tidak menaruh dendam apa2, walau
tadi dengan nona ini, ia telah bertempur seru.
"Aku hendak pergi ke Giok kang tjian," berkata kedua gadis itu
hampir serentak. "Giok Kang tjian" Ha, kebetulan sekali, lihiap, aku jang rendah
djuga hendak pergi kesana dan marilah pergi ke perahuku jang
kutempat ditepi sungai tidak djauh dari tempat ini," menawarkan
Lie Thong. Sioe Lian menjatakan terima kasih. Tadinja ia hendak
menolak, tapi kemudian karena ternjata Hong In menerima baik,
apa boleh buat iapun menurutinja djuga.
Dalam perdjalanannja, An Sioe Lian jang masih kabur akan
pengalamannja merasa malu2, hingga karenanja ia mendjadi
selalu membisu sadja. Tapi untungnja Oey Hong In jang rupanja
adalah gadis kota tjukup terpeladjar, tanpa ragu2 mengadjaknja
ber-tjakap2 danlama kelamaan pemudi gunung itu hilang djuga
rasa malunja. Ternjata Hong In selain mengerti ilmu silat, djuga
luas wawasannja tentang ilmu sastera. Gadis itu menganggap
bahasanja Sioe Lian hanja kenala sedikit ilmu sastera sadja,
maka pembitjaraannja kebanjakan mengenai ilmu kesusasteraan,
dan mungkin dalam hal ini Hong In hendak membanggakan
kesusasteraannja itu! Oleh karena sebenarnja luas perahu adalah ukuran untuk
penumpang dua orang dan hanja tjukup bua dua orang, maka Lie
Thong mengalah, ia biarkan Sioe Lian dan Hong In tidur
dikamarnja, sedang ia sendiri, untuk melewatkan sang waktu,
tidur dibagian kapal jang tidak beratap.
Pelabuhan Giok kang tjian, meski hanja merupakan pelabuhan
sungai, tapi ternjata tjukup ramai. Hari itu, ketika baharu sadja
sinar sang sjamsu menguak halimun pagi, sudah banjak kapal2
dagang daerah jang pergi datang melempar atau mengisi barang
dari anak2 sungai jang berdjumlah seluruhnja empat batang.
Pada pagi itu, seluruh anak2 sungai penuh dengan kendaraan2
air jang bersimpang siur, ketjuali satu, jakni Giok ho. Anak sungai
ini, dahulunja sebenarnja adalah jang teramai, tapi sedjak
muntjulnja desas desus jang mengatakan adanja siluman, sungai
ini mendjadi sepi sadja. Tiada sepotong kapalpun sedjak saat itu
berani melaluinja. Namun pada pagi itu, penduduk Giok kang tjian telah
digemparkan dengan muntjulnja setjara tiba2 sebuah kapal.
Mereka menjangka pada kapal siluman. Sebentara sadja,
keadaanpun jang tadinja ramai dengan nelajan2 berubah
mendjadi sepi. Mereka ketakutan, mereka menduga pasti, kalau
itu bukan kapal siluman jang hendak mentjari mangsa, apa lagi.
Tenang2, dengan pengisi kapal se-olah2 sudah menginsjafi akan
perasaan penduduk itu, kapal dilabuhkan, dan dilain detik tampak
dari dalam kapal itu turun tiga orang. Satu laki2 setengah umur
dan dua perempuan. Tanpa mempedulikan sikap penduduk jang
mendjadi ketakutan, ketiga orang ini meninggalkan pelabuhan.
"Djiwie lie enghiong," mendadak terdengar berkata Lie Thong
setelah berada diluar pelabuhan. Ia djuga menghentikan
tindakannja. "Sampai disini sadja aku menghantarkan kalian, karena
sebenarnja aku masih mempunjai lainurusan jang dibebankan
guruku." "Ah Bian tjianpwee, urusan apakah itu?" tanja Hong In seraja
palingkan mukanja. Lintjah. Sedang Sioe Lian jang kaku
pergaulannja hanja menghentikan sadja tindakannja. Tidak tahu
ia bagaimana harus berbuat. Untung baginja, pada saat itu, tiba2
terdengar Hong In sudah membuka mulutnja seperti
mewakilkannja. "Ah, soalku ini, hanja soal ketjil sadja, tidak usahlah aku
membentangnja, hanja kepada gurumu tolonglah sampaikan
utjapan selamatku," memohon Lie Thong.
"Tjianpwee telah banjak memberi petundjuk pada kami jang
bodoh, untuk ini kami mengutjapkan terima kasih."
Dan setelah itu dengan tak dapat ditjegah pula Lie Thong pun
meninggalkan pelabuhan dan kemudian hilang lenjap.
"Ah," terdengar Hong In menghela napas. "Tjiti marilah,"
mengadjak ia. Dan kemudian tanpa mempedulikan puluhan
pasang mata jang dilemparkan pada dirinja, ia tarik tangan Sioe
Lian jang segera mengikutinja.
"Eh. Kemana?" berseru Sioe Lian. Baru tersadar ia akan
kewadjibannja. "Tjari hotel. Bermalam."
Karena tawaran tjukup beralasan, maka Sioe Lian menurutinja. Ia
mengikuti kawan baru ini mentjari hotel. Dia agaknja sudah kenal
betul dengan keadaan letak dan seluk beluk kota, karena segera
iapun sudah mendapatkan sebuah hotel jang tjukup besar,
berpapan merek Sie lauw. Dirumah penginapan ini, bersamasama kedua pemudi ini bermalam. Dalam pertjakapan Hong Ini
selalu menimpangkan pembitjaraan apabila Sioe Lian
menanjakan tentang asal usulnja. Dia selalu menundukkan
kepalanja dengan disertai muka berubah putjat, hingga
selandjutnja Sioe Lian pun tidak mau pula menanjakannja.
Siangnja, sesudah bersantap tanpa sesuatu alasan dan entah
sebab apa Hong In minta diri, membuat Sioe Lian mendjadi
semakin ter-heran2. Apakah sebabnja" Mengapakah" Toh
kemarin ia masih dapat ber-kata2 dengan lintjah dan seperti tidak
memikirkan sesuatu" Ada apakah" Tapi walau ia memikir sampai
serasa otaknaj berputar, tak dapat ia memetjahkannja, lalu iapun
masuk tidur. Petang harinja, ketika matahari hampir terbenam,
Sioe Lian terdjaga dari tidurnja. Ia teriaki pelajan hotel untuk
minta sarapan. Waktu makan ia terkenang kepada Hong In jang
baginja tjukup mengesankan djuga.
Ia kagum akan ketjerdikan, pengertian dan kepandaian silat gadis
jang usianja djauh lebih muda dari dirinja itu.
Pada pikirnja, pengalaman gadis muda itu djauh lebih luas dari
dirinja. Selandjutnja pikirannja melajang akan pengalamannja
jang singkat itu, ia telah memperoleh dua kawan jang tjukup
menarik, seperti Lie Thong jang ia sudah tahu agak anginanginan tapi lihay dan Hong In jang tjerdik dan lintjah tapi sifatnja
mendadak tjepat berubah-rubah. Mengenang kedua orang ini,
achirnja iapun terkenang djuga pada Siang Tjoe. Apakah pemuda
jang telah berkali-kali menolong djiwanja itu masih hidup"
Mengingat akan djasa-djasa orang dari sepuluh tahun jang lalu itu
dan terutama tjintanja tanpa terasa ia mendjadi bersedih hati. Dan
achirnja dengan sendirinja ia merasa kesepian. Untuk sesaat ia
teringat, ketika ber-sama2 mandi dengan pemuda pudjaannja itu
disebatang sungai dikota Ie-pin. Ia bingung apakah jang harus
diperbuat dikota ini. Jang baginja masih asing seluruhnja. Lalu ia
ingat maksudnja mentjari musuh besarnja dan mentjari Siang
Tjoe, djuga untuk menunaikan tugasnja membela keadilan. Dan
dalam hal ini, dalam tingkat pertamanja ia telah menunaikan
salah sebagian dari tugasnja, jakni dengan berhasilnja ia
membinasakan salah satu dari dua siluman jang suka
mengganggu keamanan lalu lintas sungai Giok kang tjian itu.
Mengenang kedua siluman jang berpakaian setjara pengemis itu,
lalu pikirannja pun teringat akan kata2 salah seorang penduduk
lereng Tjeng hong san jang mengatakan bahwa kepuntjak Tjeng
hong san jang pernah datang pada beberapa bulan jang lalu
seorang pengemis muda jang membawa sebuah benda warisan.
Tiba2 pikirannja tersentak. Bukankah pengemis siluman jang
bersemajam ditanah lebih pada sungai Giok po dengan matimatian telah mempertahankan sebuah peti putih. Ah, tidak
mungkinkah pegemis muda jang dimaksud penduduk itu adalah si
pengemis siluman" Demikian Sioe Lian mengenangkan pikirannja
hingga achirnja ia menjesali dirinja jang tidak segera memeriksa
apakah isi peti putih jang diperebutkan itu kemarin dulu. Berpikir
demikian, tjepat2 ia habiskan sarapannja, kemudian tanpa
mempedulikan hari sudah hampir malam, ia keluar djuga dari
rumah penginapan. Pada pikirnja siapa tahu kalau2 Hong In
masih berada didalam kota. Bukankah kalau dapat menemuinja ia
dapat menanjakan apakah isi sebenarnja peti putih itu" Didalam
kota ia me-lihat2 keramaian sambil memasang telinga dan mata.
Tapi hanja keketjewaan sadja jang ia peroleh. Dengan kata lain,
ia tidak berhasil mentjari Hong In, walau bajanganpun. Hingga
achirnja ia mendjadi putus asa. Dengan perasaan mengkal, Sioe
Lian berdjalan kesana kemari. Lebih2 ketika hari telah mendjadi
malam benar2 ia semakin berputus asa. Kemana lagi harus
mentjarinja didalam kota sebesar itu" Achirnja kakinja
membawanja kesebuah tempat jang ramai. Merupakan pasar
malam ketjil dimana banjak terdapat orang2 mendagangkan dan
tarik urat mempropagandkan dagangannja. Setelah ber-putar2
tanpa memperoleh hasil ditinggalkannja bagian orang2 dagang
jang membisingkan itu. Lalu ia langkahkan kakinja kebagian
orang jang mempertundjukkan pertundjukan hiburan. Ramai dan
katjau, ada tukang dangsa, tukang wajang dan banjak pula
pendjual2 obat. Setjara iseng2 ia masuk kesekumpulan orang2
jang sedang asjik menonton pertundjukan wajang orang.
Saat itu kebenaran, pertundjukan sedang melangsungkan lakon
Sie Djin Kwie tjeng tang, dibagian ketika Sie Djin Kwie sedang
mengalami hidup sengsara setelah ditinggal mati kedua orang
tuanja jang meninggal ber-turut2. Sesuai dengan tulisan
penggubah tjerita, pada saat itu pelaku harus berpakaian
tjompang tjamping, tubuh kotor karena tidak mandi2 serta pelaku
harus memperlihatkan wadjah muka jang sedang bersedih hati
karena habis mendapat dampratan dari pamannja sendiri.
Karena tertarik segera Sioe Lian mentjari sebuah tempat jang
tjukup baiku dapat melihat dengan tegas. Setelah menonton kira2
setengah djam achirnja ia merasa pertundjukan itu tjukup
menarik. Hanja jang membuat ia heran ialah gaja pelaku itu agak
kaku. Dan perasaan gandjilnja semakin men-djadi2 ketika pelaku
itu melakukan bagian lelakon Sie Djin Kwie sedang menghantjurluluhkan semangat tiga tay ong. Ia merasa heran, akan gaja silat
pelaku jang menurut penglihatannja mempunjai gerakan bukan
gaja sembarangan. Lebih2 mimik orang itu, dari adegan ke
adegan selalu memperlihatkan wadjah jang sedang menanggung
kesakitan. Dari tertarik achirnja ia mendjadi bertjuriga, maka
achirnja ia batalkan niatnja untuk pulang siang2. Sebaliknja, ia
tunggu sampai pertundjukan berachir. Dan kemudian ketika
sedang sibuknja manusia2 penonton meninggalkan lapangan,
diam2 menjelinap masuk kedalam salah satu kemah. Ia merasa
pasti kalau pelaku jang memerankan peran Sie Djin Kwie tadi
bukanlah orang sembarang orang.
Setibanja didalam, ia dapatkan suatu ruang segi empat jang
tjukup luas. Sebuah medja rias terletak disudut kemah. Lengkap
dengan alat2nja terletak berhamburan katjau. Rebah diatas
sebuah bangku batu pandjang, dua orang dengan kepala
ditelungkupkan diatas medja. Per-lahan2 Sioe Lian
menghampirinja. Terkedjut sekali ia, ketika mendapat kenjataan,
dua orang itu bukanlah tidur dengan sewadjarnja. Mereka rebah
dan tak sadarkan diri sebab totokan. Ia perdatakan tubuh dan
wadjah orang. Dari pakaiannja, achirnja Sioe Lian mengetahui
kalau mereka adalah seorang pemain dengan seorang pembantu
riasnja. Pada kedua tangannja jang masih terkepal, si tukang rias
mentjekal, pada lengan kanannja sepotong sipat alis dan pada
lengan kirinja sebungkus bedak. Agaknja mereka telah ditotok
orang selagi merias diri. Melihat rambut orang jang dikondekan
keatas dan alis orang jang disipat tebal, sebagai seorang
penggemar wajah, tahulah Sioe Lian kalau orang itu tadinja
hendak memerankan peran Sie Djin Kwie, dan memikir ini, tiba2
berkelebat diotaknja pemain panggung tadi jang gerakan2nja
mentjurigakan. Tidak mungkinkah orang itu jang telah menotok
pemain2 asli ini" Berpikir demikian, segera ia gerakkan
tangannja... maksudnja hendak menotok, memulihkan kebebasan
orang buat kerek keterangan...
Tapi tiba2, ketika kedua djeridji tengah dan telundjuknja hampir
mengenai urat darah orang, kupingnja jang tadjam djelas
mendengar suara tindakan berindap kaki orang pada djarak tepat
sepuluh tindak. Perlahan tindakan itu namun kuping Sioe Lian
jang terlatih sudah tjukup mengetahui kalau tindakan itu menudju
kearahnja. Diam2 ia terkedjut djuga, karena ia tahu dari suara
endapannja jang ringan luar biasa, tentulah orang jang datang itu
mempunjai kepandaian tjukup tinggi. Sesaat kemudian, tindakan
itu sudah berada tidak djauh dari pintu kemah.
Luar biasa gesitnja dan enteng seringan kutjing, tubuh Sioe Lian
melesat keatas wuwungan kemah jang tjukup tinggi. Dan dilain
detik, tertampak kedalam, masuk sebuah bajangan. Lintjah dan
gesit sekali. Melihat pakaian dan bentuk tubuh bajangan itu,
diam2 Sioe Lian bersenum puas. Ia puas karena ternjata
tebakannja jang selama ini masih samar2, dengan muntjulnja
bajangan ini, telah terbukti njata. Orang itu adalah pemeran Sie
Djin Kwie tadi, hanja bedanja, kalau tadi diatas punggung dia
adalah seorang dengan tubuh bungkuk, tapi kini adalah seorang
jang tinggi besar dengan tubuh lempang kekar. Tjuma mukanja
masih penuh dengan lapisan2 bedak gintju hingga Sioe Lian
masih belum dapat mengetahui akan wadjah asli orang itu.
Agaknja orang itu tergesa-gesa sekali, tanpa ajal lagi ia bersihkan
polesan-polesan bedak jang melekat dimukanja dengan air jang
tersedia didalam baskom. Ditotoknja salah satu dari kedua orang jang tidur bertelungkup
tadi. Orang jang ditotok jang ternjata adalah sipemeran asli,
tersadar bergelagapan, dan kemudian setelah agak tersadar dia
mendjatuhkan dirinja sambil me-ratap2, Tay ong, tay ong
ampunilah djiwa tikus hamba..., agaknja orang itu takut mati
benar. "Aku bukan tay ong-mu!" bentak orang itu sambil mendelikkan
matanja, dan pada saat bersamaan itu, diatas wuwungan Sioe
Lian bertambah-tambah bersenjum lebar, karena tahulah ia kini,
Ilmu Silat Pengejar Angin Karya Siasa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
siapa sebenarnja orang jang memerankan peran Sie Djin Kwie
diatas panggung tadi. "Kalau hendak hidup, katakanlah, hubungan apakah jang ada
antara madjikan kau dengan sikeparat Hong In?"
"Aku... aku tidak tahu tay ong..." meratap pula pemain asli itu.
Semakin ketakutan dia ketika melihat wadjah asli orang
dihadapannja. Orang tinggi besar pemain palsu itu kelihatan semakin murka,
dan rupanja pada saat itu djuga ia sudah hendak melampiaskan
kemurkaannja... namun tiba2...
"Bagus! Berani hanja terhadap jang lemah sadja!" terdengar
bentakan seseorang. Halus tapi tadjam dan berpengaruh. Dan
dilain detik, didalam kemah itupun telah terdjadi suatu
pertempuran seru dengan sipengemisnja mendjadi terkesiap
sekali. Sedang dilain bagian, Sioe Lian sendiripun tidak kurang terkedjut
dan girangnja, karena orang itu ternjata adalah orang jang semalam2an ini ia tjari2. Itulah Hong In, hanja entah dimana peti
putih disimpannja. Sebenarnja, kalau kedua orang ini bertempur
pada tiga hari jang lalu, tentulah Hong In bukanlah mendjadi
tandingan orang palsu itu jang ternjata adalah sipengemis muda,
tapi oleh karena dia masih menanggung luka sebagai akibat
panah beratjunnja sendiri, pada hari2 terachir ini ia harus
membagi tenaganja pada bagian anggota tubuh jang terluka itu,
dan untuk melantjarkan peredaran darah dan napasnja, maka
tenaganja mendjadi banjak berkurang hingga pada malam ini
malam menghadapi lawannja ini, ia hanja dapat membuat
seimbang. Sedang lawannja jang kepandaiannja hanja kalah
setingkat dari dirinja, telah mengirimkan serangan2nja jang
gentjar dan ganas luar biasa. Wadjah rupanja menundjukkan ia
sengit sekali pada pengemis ini, matanja beringas mengandung
nafsu membunuh dan bersorot ada apa2nja.
Dalam dua puluh djurus dibabak pertama ini, pengemis tersebut
masih dapat mempertahankan diri, tapi oleh karena untuk
menghadapi lawan ini ia harus benar2 mengerahkan pikiran dan
lebih2 tenaganja, maka simpanan tenaga jang ia kumpulkan pada
bagian2 tubuh jang luka mendjadi petjah pula, dan disaat itu
djuga ia merasakan kesakitan jang sangat hingga tenaganja
mendjadi berkurang banjak dan praktis tjara bersilatnja djuga
mendjadi agak kalut. Apa tjelaka, ternjata hal ini diketahui lawannja jang ternjata tjukup
tjerdik, dan segera mengirimkan serangan2nja terlebih gentjar.
"Kau gerembengi aku sampai sedemikian rupa. Ada hal apakah
sebenarnja antara aku dan kau. Toh peti putih sudah berada
ditanganmu. Baik aku akan adu djiwa dengan kau. Dua-dua harus
mati bersama!" Tiba2 terdengar sipengemis berteriak keras.
Menjeramkan. Dan kata2nja jang terachir ini bernada
menjajatkan. "Pengemis siluman, bukankah kau adalah murid turunannja
kedua iblis dari India?" balas membentak Hong In. Tidak kalah
kerasnja. "Kedua gurumu telah menghabiskan seluruh
keluargaku..." Dia berhenti sebentar. Seperti sedang menekan perasaannja.
Agaknja nona ini ada sangat bersedih hati sekali. "Maka sekarang
aku akan membunuhmu, muridnja, untuk melampiaskan sedikit
sakit hatiku!" Lalu mengiringi kata-katanja itu, ia perhebat
serangannja dengan menggunakan tipu-tipu silatnja jang kedji
dan berbahaja sekali hingga membuat sipengemis mendjadi
semakin repot. Namun tiba2 terdengar sipengemis mendjerit
keras dan lalu dengan nekat, ia madjukan tubuhnja setindak,
seraja ia angsurkan tangannja jang mentjekal tongkat
mengantjam dada lawan dan membiarkan perutnja terbuka untuk
menerima tusukan pedang. Akan tetapi, mana sudi Hong In
berlaku demikian bodoh untuk mati ber-sama2 disaat ia sudah
menang diatas angin dan sakit hatinja belum terbalas"
Maka ia tarik pulang pedangnja dan selandjutnja untuk
menghindarkan sendjata rotan lawan,ia geser tubuhnja setindak
kebelakang, demikian ia terhindar dari serangan.
Namun agaknja, serangan nekat sipengemis tadi, hanjalah suatu
serangan gertakan sadja, karena tjepat luar biasa, menggunakan
kesempatan sedangnja sang lawan mentjelat mundur, dia
apungkan dirinja keatas setinggi tiga tombak, dan lalu sebat
sekali ia rogoh bumbung rahasianja jang berisi panah berbisa
ular, dan siap untuk dikerdjakan. Namun pada saat itu, tiba2 dari
wuwungan kemah ia melihat bergelempang tjepat sebuah
bajangan hitam dan sebelum ia sempat berbuat apa2, tiba2 ia
merasakan tangan kirinja lemas lunglai serta merasakan isinja
sudah berpindah tangan. Terkedjut ia karena ia rasakan sebagai
akibat dari totokan itu tidak berakibat sampai disitu sadja,
melainkan disaat itu djuga ia merasakan kepalanja pening dan
dilain detik ia sudah tidak sadarkan diri lagi. Ia pingsan dan lalu,
tanpa kesetimbangan pula, tubuhnja melajang djatuh dan
dapatlah dipastikan akan hantjur luluh kalau sampai ia djatuh
terbanting. Maka dapat dibajangkan betapa lihaynja gelempangan
bajangan itu jang ternjata bukan lain dari An Sioe Lian.
An Sioe Lian - bajangan tadi - gesit laksana seekor kutjing,
mendahului djatuhnja tubuh sipengemis, melesat kebawah serta
lalu dengan menggunakan tipu Harimau Menuntun Anak
Kambing, ia sanggap tubuh orang hingga dilain detik tanpa
kurang suatu apa ia sudah membuat sipengemis ini sudah bebas
kembali. Terkedjut tiada terkira pengemis ini, merasai kelihayan musuh
gelap ini. Sebelumnja benar2 tidak pernah ia mengalaminja.
Disaat itu, benar2 perasaan heran telah mengguntjangkan
hatinja. Dan perasaan ini semakin men-djadi2 ketika diketahuinja
kalau musuh gelap itu adalah sinona jang pada tiga hari jang lalu
pernah merubuhkan dirinja dengan sendjatanja sendiri!
Maka untuk sesaat itu, ia hanja dapat berdiri memaku sadja.
Tiada terpikir olehnja pada saat itu untuk melarikan diri, karena ia
tahu, pertjobaan itu akan sia2 belaka. Hanja benar2 ia merasa
heran akan kelihayan orang ja pada anggapannja pasti tidak
berada disebelah bawah gurunja. Ingat gurunja, segera iapun
ingat kata2 Hong In tadi jang telah menuduh ia adalah mendjadi
murid seorang India. Maka itu dari takut, ia mendjadi penasaran.
"Lihiap," demikian ia membuka mulutnja. Kata2nja ini, djelas
ditudjukan kepada Hong In. "Sebagai manusia jang mengerti silat,
aku tidak takut akan artinja mati. Akan tetapi akan kata2mu tadi
jang menuduh kalau guruku adalah seorang India, aku anggap
perkataanmu tadi sangat menghina sekali diriku pribadi dan
perguruanku jang asli pendirinja adalah seorang Han. Maka itu
untuk mendapat muka terang sebelum adjal, sudilah kiranja lihiap
menerangkan dahulu siapakah sebenarnja keluargamu dan
siapakah orang India jang telah mentjelakakan keluargamu?"
Bersemangat pengemis ini mengutjapkan kata2nja, dan setiap
perkataannja dikatakan dengan tandas serta menundjukkan kalau
ia benar2 merasa penasaran akan tuduhan Hong In, membuat
Sioe Lian mendjadi kagum dan kemudian setelah memperhatikan
wadjah orang, ia pertjaja kalau orang tidak berdusta. Tapi ia tidak
berani untuk segera mengambil keputusan, ia nantikan sedjenak,
kemudian barulah, setelah tiada reaksi apa2 dari kedua pihak,
dan mengira kalau Hong In hendak menjudahinja, ia membuka
mulutnja. "Ja, baiklah. Kali ini kuampunkan djiwamu. Pergilah tjepat dari
hadapanku!" Bagaikan seorang jang mendapat vonis bebas di muka
pengadilan, bukan main rasa girangnja pengemis ini, segera ia
balikkan tubuhnja hendak berlalu. Tapi tiba2.
"Eh! Tunggu dulu!" ia dengar pemudi jang tadi membebaskannja
memanggil pula. "Tadi kudengar dari usahamu mengorek
keterangan, kau menanjakan hubungan apakah jang ada antara
perkumpulan wajang ini dan Hong In. Apakah maksudmu?"
"Tidak ada maksud apa2. Hanja hendak mengetahui sadja,"
djawabnja seraja ia balikkan pula tubuhnja mentjelat keluar serta
kemudian menghilang dimalam gelap.
"Adik..." sesaat kemudian terdengar Sioe Lian berkata.
"Siapa adikmu?" merengut Hong In seraja balikkan tubuhnja. Terheran2 Sioe Lian melihat sikap orang, tapi kemudian ia ingat
djuga kalau orang mempunjai sifat jang tjepat ber-ubah2.
"Sudahlah. Aku tidak perlu dengan orang jang suka menguasai
djalan hidupku," tiba2 terdengar mengedjek Hong In.
"Ah, sungguh sukar diraba," berkata Sioe Lian didalam hati.
"Mengapakah tadi, ketika masih ada orangnja kamu diam sadja?"
"Apakah kamu marah sebab barusan aku telah membebaskan
pengemis tadi?" achirnja Sioe Lian menegasi.
"Jaaa!" sengit dilontarkannja kata2 ini, dan membarengi ini, i
mentjelat madju seraja ajun pedangnja menusuk dada pemudi
dihadapannja. "Siapa suruh engkau berlantjang membebaskan dia?"
Tjepat sekali datangnja serangan kalap ini, serta tiba2 pula,
hingga dapatlah dipastikan kalau sadja jang diantjam itu bukan
Sioe Lian, pasti akan tjelakalah orang itu. Akan tetap jang kini ia
serang itu, adalah seorang anak murid Liong san pay jang
Naga Pembunuh 7 Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen Pedang 3 Dimensi 9
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama