Ceritasilat Novel Online

Pendekar Mata Keranjang 2

Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Bagian 2


Memang demikianlah watak kita manusia pada umumnya. Dalam keadaan biasa, masing-masing hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, masing-masing mengejar kesenangan bagi diri sendiri, sehingga dalam pengejaran kesenangan itu, siapa pun yang dianggap sebagai penghalang akan diterjang dan disingkirkan dan dalam pengejaran kesenangan ini, selalu tentu akan terdapat halangan-halangan yang menimbulkan permusuhan. Sebaliknya, dalam keadaan sengsara, dalam keadaan terancam, orang akan condong untuk menghindarkan diri, untuk mencari kawan, mencari bantuan dari orang lain. Kecondongan inilah yang mendorong kita untuk berbaik dengan orang lain, terutama dengan orang yang senasib sependeritaan seperti yang terjadi pada empat orang yang biasanya dianggap jahat dan kejam seperti iblis itu.
* Matahari memandikan permukaan puncak bukit itu dengan cahaya yang keemasan. Masih nampak sisa-sisa embun pada ujung-ujung daun, pada kelopak-kelopak bunga, pada puncak-puncak rumput, dan masih terasa kesejukan pagi yang amat menyegarkan. Bau rumput bermandikan embun bercampur dengan bau daun-daun kering membusuk, mendatangkan bau khas. Suara desir angin pagi di antara daun-daun pohon, diseling kicau burung. Matahari sudah naik agak tinggi, namun kesegaran pagi masih belum terbakar siang, sinar matahari masih lembut hangat dan ramah. Di bawah puncak, nampak segala pohon-pohon dan tumbuh-tumbuhan sudah bangun dari tidur semalam, bergoyang-goyang dan melambai-lambai tertiup angin pagi. Di angkasa hampak awan yang tenang dalam segala macam bentuk yang aneh-aneh, dilatarbelakangi langit biru yang makin lama semakin menjadi muda warnanya menuju keputihan.
Keindahan terdapat di mana-mana, akan tetapi hanya dapat dinikmati hanya dapat dilihat oleh batin yang tidak disibukkan dan dipenuhi kebisingan pikiran yang resah. Di dalam batin yang bebas dari kesibukan pikiran, pintu-pintu hati terbuka sehingga dapat menampung sinar cinta kasih, seperti kamar yang dibuka daun pintu dan jendelanya, dapat menampung cahaya matahari sehingga menjadi terang. Hanya batin yang bebas saja yang disinari cahaya cinta kasih dan dapat menikmati keindahan yang nampak di manapun juga! Keindahan nampak jelas, terdapat di setiap ujung daun dan bunga, keindahan terletak pada kewajaran, di mana hati tidak dicampuri dengan segala kecondongan dan seleranya, keindahan terdapat pada sehelai daun kering yang melayang turun dari pohonnya, yang menari-nari lepas dengan lenggang-lenggok bebas, terdapat dalam kicau burung yang mengeluarkan bunyi yang tak terikat oleh nada dan irama tertentu, bunyi yang bebas dan wajar, tidak dibuat-buat.
Sayang sekali bahwa keindahan jarang nampak oleh kita. Kepekaan batin kita sudah menjadi tumpul karena setiap saat dibebani masalah-masalah kehidupan yang diciptakan oleh pikiran kita sendiri. Sumber keindahan terdapat pada keadaan batin kita. Batin yang bebas dan penuh cinta kasih, akan melihat keindahan. keindahan itu yang berada di manapun juga. Sebaliknya batin yang penuh ikatan, batin yang penuh dengan segala masalah, penuh dengan emosi, kebencian, kekecewaan, batin seperti itu membuat mata, telinga, hidung dan semua panca indra, buta dan tumpul akan segala keindahan, bahkan yang nampak hanyalah yang kita anggap tidak menyenangkan saja. Segala sesuatu akan nampak buruk dan tidak menyenangkan bagi batin seperti ini.
Tidak ada cara yang tertentu untuk membebaskan batin. Latihan-latihan hanya akan menciptakan ikatan-ikatan baru saja, dan menjadi beban baru bagi batin. Akan tetapi kita dapat mengurangi beban batin dengan menghabiskan segala sesuatu yang menimpa diri kita pada saat itu juga! Menyelesaikan persoalan yang timbul pada saat itu juga, tanpa menampungnya ke dalam batin. Hal ini mengurangi beban batin, walaupun tak dapat dikata bahwa dengan demikian batin sudah menjadi bebas. Menghadapi segala sesuatu yang terjadi pada kita sebagaimana adanya, sebagai sesuatu kewajaran, tanpa keluhan, dengan penuh perhatian dan penuh pengamatan, lalu menghabiskannya pada waktu itu juga, tanpa menyimpan. Mungkinkah kita melakukan ini setiap saat, selama hidup kita"
Orang yang berada di atas puncak bukit itu, andaikata dia sendirian dan tidak menghadapi persoalan, sedikit banyak tentu ikan terbawa oleh suasana yang hening dan penuh damai. Akan tetapi sayang, mereka yang kini berada di puncak itu, tidak dapat menikmati segala keindahan itu karena mereka saling berhadapan, bahkan dengan sinar mata saling menentang.
"Heh-heh-heh, Tung-hek-kwi, apakah engkau yang mengundang jembel tua ini untuk datang ke sini menjadi saksi, ataukah untuk membantumu?" terdengar Pak-kwi-ong berkata dengan nada suara mengejek kepada Si Raksasa Hitam ketika Siangkoan Leng dan isterinya, bersama Kwee Siong dan isterinya, sudah melarikan diri meninggalkan puncak bukit itu.
"Huh, siapa mengundang jembel tua yang usilan ini" Aku tidak butuh bantuannya untuk menandingimu, Pak-kwi-ong! Sebaliknya, engkau malah mengajak pendeta Lama gundul ini ke sini untuk membantumu!" jawab Tung-hek-kwi.
"Siapa sudi mengekor kepada seorang pendeta palsu?" Pak-kwi-ong mengejek.
"Ha-ha-ha-ha, See-thian Lama, lihat dua orang ini. Kiranya mereka ini yang berjuluk Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi, dua orang di antara Setan Empat Penjuru Dunia! Dan memang mereka ini kurang ajar, berani mati, dan sombong seperti nama mereka. Kiranya masih ada sisa mereka, tadinya kukira bahwa Empat Setan itu sudah kembali ke neraka semua, ha-ha-ha!"
Pendeta Lama tinggi besar itu, lebih tinggi besar dibandingkan Tung-hek-kwi, menarik napas panjang dan jari-jari tangan kanannya memutar-mutar biji tasbeh, sedangkan tangan kiri mengelus kepala Hay Hay. "Omitohud...! Tak pernah pinceng mengira bahwa masih ada mereka ini, seperti juga tidak pernah pinceng mimpi akan bertemu denganmu di sini, Ciu-sian Sin-kai!"
Kini dua orang datuk sesat itulah yang terkejut bukan main. Namun mereka itu sama sekali tidak kelihatan kaget. walaupun jantung mereka mengalami guncangan. Pak-kwi-ong malah terkekeh gembira. "Heh-heh-heh-heh! Mimpikah aku?" Dia mencubit lengannya sendiri. "Hayaa, bukan mimpi akan tetapi lebih aneh daripada mimpi! Tung-hek-kwi, kita berdua berjanji akan mengadakan pertemuan di sini dan siapa tahu, di sini kita bertemu Sin-tong, dan juga bertemu dengan dua orang dari Delapan Dewa! Heh-heh-heh, tak tahu aku apakah ini merupakan suatu keberuntungan ataukah kesialan."
"Omitohud... semoga diberkahi seluruh umat di dunia!" See-thian Lama berkata dengan kaget dan gembira. "Ji-wi tadi bicara tentang Sin-tong" Siancai... apakah anak ini Sin-tong, putera pendekar Pek?"
"Wah" Sin-tong yang pernah diributkan dan pernah menggegerkan para Lama di Tibet itu" Pernah aku mendengar tentang itu beberapa tahun yang lalu!" kata pula Ciu-sian Sin-kai.
Pak-kwi-ong terkekeh. "Menurut keterangan empat ekor tikus tadi begitulah. Akan tetapi benar tidaknya, mana aku tahu" Kalian adalah dua di antara Delapan Dewa, dan kabarnya menurut dongeng, para dewa itu tahu segala, kenapa tanya aku?"
Tentu saja maksud kakek gendut ini untuk berkelakar seperti memang telah menjadi wataknya yang suka berkelakar, akan tetapi juga untuk mengejek, memperlihatkan sikap tidak takut dan tidak tunduk walaupun dia pernah mendengar bahwa ilmu kepandaian Delapan Dewa amatlah hebatnya.
"Omitohud, tidak ada yang lebih tahu daripada anak ini sendiri. Anak baik." katanya sambil mengelus kepala Hay Hay, "benarkah engkau ini anak pendekar Pek yang pernah melarikan diri dari Tibet ketika engkau masih dalam kandungan ibumu?"
Hay Hay mengerutkan alisnya. Baru saja dia terlepas dari tangan empat orang jahat yang memperebutkannya, dan sekarang agaknya dia kembali terjatuh ke tangan orang-orang yang lebih sakti lagi, akan tetapi yang juga agaknya tertarik oleh keturunannya dan hendak menyelidiki asal-usulnya. Hal ini membuatnya merasa sebal.
"Tak tahulah, Lo-suhu. Aku ini entah anak pendekar Pek ataukah anak setan. Yang jelas, aku mengenal namaku sebagai Hay Hay dan sejak kecil aku ikut Siangkoan Leng, dan isterinya yang ternyata adalah Lam-hai Siang-mo. Menurut keterangan empat orang yang memperebutkan diriku tadi, memang katanya aku ini anak pendekar Pek, akan tetapi aku sendiri mana tahu?"
Kembali pendeta Lama itu mengelus-elus kepala Hay Hay dan sekarang Hay Hay tahu bahwa kakek itu bukan mengelus sembarangan saja, melainkan meraba-raba kepalanya seperti ingin mengukur atau melihat bentuk kepala itu.
"Pinceng dapat menentukan apakah engkau memang Sin-tong atau bukan." Tiba-tiba saja Hay Hay merasa betapa seluruh pakaiannya terlepas dari tubuhnya. Dia tidak melihat bagaimana pendeta itu melakukannya, akan tetapi tiba-tiba saja, dengan cepat sekali sehingga tidak ada waktu baginya untuk menolak atau menegur, semua pakaiannya itu terlepas dari tubuhnya dan kini dia berdiri dengan tubuh telanjang bulat di tengah-tengah sedangkan empat orang kakek itu berdiri di sekelilingnya. Mereka itu mengamati seluruh tubuhnya, menaksir-naksir seperti empat orang pedagang sapi sedang menaksir seekor sapi sebelum menentukan harganya.
"OMITOHUD, pinceng tidak melihat tanda merah di punggungnya yang telah ditentukan oleh ramalan di Tibet bahwa Sin-tong itu ada tanda merah di bagian punggungnya. Anak ini bukan Sin-tong!" Akhirnya See-thian Lama berkata dan tiga orang sakti itu mengangguk-angguk percaya. Nama See-thian Lama sebagai seorang di antara Delapan Dewa tentu saja menjadi jaminan akan kebenaran keterangannya itu.
"Biarpun demikian, aku melihat bakat yang baik bersinar dari matanya! See-thian Lama, berikan saja dia kepadaku untuk menjadi muridku. Sudah lama aku mencari seorang anak yang cocok untuk kuberikan peninggalan semua ilmuku, heh-heh!" kata Ciu-sian Sin-kai dengan girang.
"Omitohud, penglihatanmu masih awas sekali, Sin-kai!" See-thian Lama memuji. "Akan tetapi sebelum engkau melihatnya, sejak tadi pinceng sudah mengetahui bakat terpendam anak ini dari bentuk kepalanya dan sejak tadi pinceng sudah mengambil keputusan bahwa kalau anak ini bukan Sin-tong yang harus diserahkan kepada para Dalai Lama, pinceng akan mengambilnya sebagai murid pinceng."'
"Wah-wah-wah, engkau Isudah menjadi pendeta harus mau mengalah kepadaku, See-thian Lama. Apa engkau tidak merasa kasihan kepadaku kalau aku membawa mati ilmuku tanpa kusalurkan kepada murid yang berbakat?"
"Heii, nanti dulu!" Tiba-tiba Tunghek-kwi membentak marah. "Kalian ini enak saja bicara tentang anak itu seolah-olah kami tidak mempunyai hak. Sebelum kalian datang, kami yang berhak atas diri anak ini dan bicara tentang murid, kami juga belum punya murid dan merasa bahwa kami yang memiliki hak pertama untuk menjadi gurunya." Sebetulnya Tung-hek-kwi ataupun Pak-kwi-ong tidak ingin mengambil murid Hay Hay, hanya karena merasa dikesampingkan, maka Tung-hek-kwi menegur dan merasa penasaran.
"Benar! Sejak dahulu kami sudah mendengar nama Delapan Dewa sebagai orang-orang yang tinggi hati dan tidak memandang sebelah mata kepada golongan lain." sambung Pak-kwi-ong. " Aku pun ingin mengambil anak ini sebagai murid!"
"Wah-wah-wah, berabe sekarang!" Ciu-sian Sin-kai berkata sambil tertawa gembira. Baginya keadaan yang berabe itu malah menggelikan dan menggembirakan. "See-thian Lama, bagaimana sekarang" Dua orang dari Empat Setan ini pun menghendaki anak itu. Bagaimana pikiranmu" Apakah engkau rela menyerahkan anak ini agar kelak menjadi calon datuk sesat yang hanya akan mengeruhkan dunia" Dosamu besar sekali kalau kauberikan dia kepada mereka, ha-ha-ha!"
"Omitohud, segala bentuk kekerasan tidak ada gunanya dan hanya merusak. Memaksa anak ini menjadi muridku pun akan merusaknya. Karena anak ini yang akan menjadi murid, dan begini banyaknya orang yang ingin mengambilnya sebagai murid, maka biarlah pinceng serahkan kepada anak itu sendiri, siapa yang akan diangkat menjadi gurunya. Anak baik, kautentukanlah pilihanmu."
Sejak tadi Hay Hay sudah mendengarkan semua ucapan mereka itu dan diam-diam dia pun merasa girang sekali. Agaknya empat orang ini, yang dia tahu merupakan orang-orang yang luar biasa, mempunyai niat yang berbeda dibandingkan dengan dua pasang suami isteri tadi. Mereka ini agaknya memperebutkan dia untuk diambil murid! Ketika tadi melihat sepak terjang Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi, dia merasa kagum bukan main karena mendapat kenyataan bahwa mereka itu jauh lebih lihai dibandingkan dengan dua pasang suami isteri iblis itu. Akan tetapi kemudian muncul pengemis itu dan pendeta yang luar biasa ini, maka tentu saja hatinya menjadi bimbang.
"Biarkan aku mengenakan pakaianku dulu." katanya dan pendeta Lama itu tersenyum ramah, menyerahkan pakaiannya, bahkan membantunya memakai bajunya. Setelah selesai berpakaian, Hay Hay lalu menuju ke tengah lapangan itu, memandang empat orang itu satu demi satu. Masih sukar dia menentukan dan memandang ragu-ragu. Dia suka menjadi murid seorang di antara mereka, mempelajari ilmu yang tinggi agar kelak dia dapat melakukan penyelidikan sendiri mengenai dirinya. Dia harus mencari ayah bundanya yang aseli, dan dia yang akan memberi hajaran kepada orang-orang seperti dua pasang suami isteri tadi. Dia harus mendapatkan guru yang paling pandai. Paling pandai! Itulah ukurannya untuk memilih!
"Aku ingin berguru kepada orang yang paling pandai di antara Locianpwe berempat. Silakan para Locianpwe mengadu kepandaian dan siapa yang paling tinggi kepandaiannya dan menang dalam pertandingan ini, nah, dialah guruku."
"Anak setan...!!" Tung-hek-kwi menyumpah.
"Omitohud...!" Se-thian Lama berseru.
Dua orang kakek lain, yaitu Pak-kwi-ong dan Ciu-sian Sin-kai tertawa bergelak mendengar kata-kata Hay Hay itu.
"Ha-ha-ha, anak baik, ketahuilah bahwa di antara Delapan Dewa tidak ada yang saling bertanding. Aku suka mengalah kepada See-thian Lama dan dia pun suka mengalah kepadaku. Akan tetapi entah dengan dua orang dari Empat Setan ini. Bagaimana Pak-kwi-ong" Engkau hanya tertawa saja. Apakah engkau ingin memasuki.". ha-ha, sayembara ini?" Kata Ciu-sian Sin-kai sambil tertawa geli.
"Heh-heh, aku sungguh tidak tahu diri kalau berani menandingi Pat Sian! Akan tetapi, kini muncul kesempatan bagiku untuk menguji satu jurus pukulanku yang paling akhir. Begini saja, Ciu-sian Sin-kai, karena di antara Pat Sian hanya engkau yang paling cocok dengan aku, kita sama-sama suka bergembira, bagaimana kalau engkau membantu aku dan menguji jurusku itu"' Satu jurus saja dan aku akan mengerti sudah apakah aku harus melangkah terus ataukah mundur .Ciu-sian Sin-kai mengangguk-angguk dan tersenyum. Dia menyukai ketegasan sikap seorang di antara Empat Setan yang memang paling suka berkelakar ini walaupun hatinya amat kejam. "Boleh, boleh, hanya aku khawatir tulang-tulangku yang sudah tua ini akan menjadi remuk nanti dan berarti dalam usia setua ini engkau akan menjadi pembunuh lagi. Ha-ha-ha, itu namanya menambah dosa saja!"
"Heh-heh, usia kita sebaya, Sin-kai, kalau sampai engkau mati berarti aku tidak keterlaluan dan tidak menjadi buah tertawaan orang sedunia. Nah, mari kita bersiap."
"Anak baik, kau minggir dulu." Kata Sin-kai sambil mendorong pundak Hay Hay dengan lembut sehingga anak ini melangkah minggir untuk memberi tempat kepada dua orang kakek yang hendak mengadu ilmu. Diam-diam anak ini merasa gembira bukan main. Kalau dia berhasil menjadi murid orang terpandai di antara mereka ini, sungguh hal itu amat menyenangkan. "
"Pak-kwi-ong, aku telah siap." kata Ciu-sian Sin-kai. Kakek ini sama sekali tidak berani memandang rendah kepada lawannya. Dia tahu siapa adanya Empat Setan yang sudah amat terkenal di dunia persilatan kalangan atas, beberapa puluh tahun yang lalu. Orang seperti Empat Setan, apalagi yang sikapnya gembira seperti Pak-kwi-ong, harus dihadapi dengan penuh kewaspadaan. Oleh karena itu, biarpun nampaknya dia berdiri santai saja, namun tubuh tua itu berada dalam keadaan siap siaga, seluruh tubuhnya dialiri hawa sinkang yang sukar dapat diukur kekuatannya. Bahkan tangan kanannya sudah memegang senjata yang juga menjadi alat musiknya, yaitu suling yang terbuat dari kayu berwarna hitam.
Pak-kwi-ong juga tidak mau membuang waktu lagi. Dia bersikap cerdik ketika minta diuji sejurus ilmunya oleh Ciu-sian Sin-kai. Kalau dia menantang berkelahi, dia meragukan apakah dia akan mampu keluar dengan nyawa masih menempel di tubuhnya. Ujian hanya satu jurus ini, andaikata dia gagal dan kalah sekalipun, dia akan dapat keluar dengan selamat dan satu jurus saja sudah cukup baginya untuk menguji. Jurus yang akan dikeluarkan adalah jurus terampuh dan kalau jurus ini tidak mampu mengalahkan Sin-kai, maka jurus-jurus lainnya tidak akan ada artinya lagi.
Dengan kedua kakinya yang nampak pendek karena bulat dia melangkah maju sambil menggosok-gosok kedua telapak tangannya. Tak lama kemudian, tampak uap tebal mengepul dari telapak tangannya. Dapat dibayangkan kehebatan tenaga sinkang kakek ini. Ketika muncul di situ, tenaga saktinya telah datang menerpa seperti badai yang membuat daun-daun kering beterbangan dan kini dia mengumpulkan seluruh kekuatannya pada kedua telapak tangannya, maka dapat dibayangkan betapa berbahaya kedua telapak tangan yang telah diisi tenaga sakti itu.
"Sin-kai, terimalah seranganku ini!" Kakek gendut botak itu berseru dengan suara nyaring seperti bentakan. Kakek ini adalah seorang datuk sesat yang kejam, akan tetapi juga cerdik sekali. Selain mengerahkan seluruh kekuatan dan menggunakan jurus terampuh dalam serangan yang hanya satu kali ini, juga dia memakai sopan-santun memberi peringatan terlebih dulu. Hal ini dilakukan karena dia belum yakin benar akan dapat mengalahkan lawan ini dalam satu serangan itu. Andaikata yang diserangnya itu orang yang dianggap tingkatnya lebih rendah dan dia yakin akan mampu merobohkannya, tentu dia akan turun tangan tanpa banyak aturan lagi.
"Wuuuuttt...!" Angin dari hawa pukulan itu menyambar dahsyat ketika Pak-kwi-ong menerjang ke arah Ciu-sian Sin-kai. Ternyata jurus pukulannya itu hanya sederhana saja, tangan kiri menampar dari atas ke arah kepala sedangkan tangan kanan menghantam lurus dari depan ke arah dada. Biarpun sederhana, jangan harap pukulan ini akan dapat dihindarkan oleh ahli-ahli silat kebanyakan saja karena di kedua lengan itu terkandung kekuatan yang amat dahsyat. Dan hebatnya, biarpun nampaknya tidak begitu cepat, namun Ciu-sian Sin-kai, seorang di antara Delapan Dewa, melihat bahwa pukulan Si Gendut itu tak mungkin dapat dielakkan karena hawa pukulan itu telah membuat semua jalan keluar tertutup. Kalau orang memaksa diri mengelak, tentu akan terkena pukulan, betapa cepatnya dia mengelak. Satu-satunya jalan untuk menghadapi pukulan kedua tangan itu hanyalah menyambutnya dengan tangkisan. Dan inilah yang dikehendaki oleh Pak-kwi-ong. Dia hendak memaksa lawan menggunakan tenaga menyambutnya untuk mengadu tenaga! Dan karena ini pula maka dia mengerahkan seluruh tenaganya pada kedua tangan.
Akan tetapi, Ciu-sian Sin-kai tidak merasa gentar, juga sebagai seorang datuk persilatan yang sudah memiliki tingkat tinggi sekali, dia tidak kekurangan akal. Dengan tenang saja dia lalu menyalurkan tenaga sinkang dari pusarnya ke arah kedua tangan, lebih banyak ke tangan kiri daripada tangan kanan. Tangan kanan yang memegang suling hitam itu lalu bergerak, menggunakan sulingnya untuk menyambut dan menotok ke arah telapak tangan kiri Pak-kwi-ong yang menampar dari atas ke arah kepalanya. Karena dia menyambut tamparan itu dengan totokan, bukan tangkisan, maka dia tidak perlu mengerahkan terlalu banyak tenaga. Ujung tongkatnya menyambar ke arah jalan darah yang menjadi pusat, yaitu di antara pangkal telunjuk dan ibu jari. Adapun tangan kirinya, dengan jari-jari terbuka, menyambut hantaman lawan dari depan. Dia menerima tantangan adu tenaga itu.
Melihat sambaran ujung suling, Pak-kwi-ong maklum bahwa besar kemungkinan tangan kirinya akan tertotok dan hal itu dapat mengakibatkan kelumpuhan. Oleh karena itu, terpaksa dia miringkan sedikit tangan kirinya yang menampar agar ujung suling itu mengenai bagian lain dari telapak tangannya, dan dengan nekat dia pun mengadu tenaga dengan tangan kanannya yang terbuka, menghantam ke arah telapak tangan kiri lawan yang berani menyambutnya.
"Pak"!Dessss"..!!" Hebat bukan main pertemuan tenaga dua kali itu, terutama yang terakhir ketika tangan kanan Pak-kwi-ong bertemu dengan tangan kiri Ciu-sian Sin-kai. Hay Hay sampai terpelanting dan para tokoh lain dapat merasakan getaran yang hebat ketika dua tenaga dahsyat itu bertemu. Tubuh Ciu-sian Sin-kai yang kurus itu masih berdiri tegak dengan mulutnya tetap tersenyum, akan tetapi tubuh Pak-kwi-ong yang gendut itu terdorong mundur sampai lima langkah! Jelaslah bahwa Pak-kwi-ong kalah dalam adu tenaga itu dan dia pun terkejut bukan main, merasa untung bahwa dia tadi hanya menantang untuk satu kali atau satu jurus serangan saja. Jurus itu pun tidak dilanjutkan karena lengkapnya masih ada susulan tendangan. Dari pertemuan tenaga tadi saja dia maklum betapa hebatnya tokoh dari Delapan Dewa ini. Bukan nama kosong belaka. Isi dadanya sampai terguncang dan dia pun cepat menahan napas untuk menghimpun hawa murni. Kemudian, sambil tersenyum menyeringai dia pun mengangkat kedua tangan di depan dada
Hebat memang kepandaian Ciu-sian Sin-kai. Aku tidak merasa malu untuk mengakui kekalahanku."
Berbeda dengan dua orang kakek dari Empat Setan itu, para tokoh Delapan Dewa adalah datuk-datuk persilatan yang berwatak gagah perkasa. Biarpun mereka juga tidak pernah mengaku sebagai golongan putih atau golongan pendekar, dan tidak langsung memusuhi golongan hitam seperti kaum pendekar, namun mereka itu tidak pernah melakukan perbuatan jahat dan terkenal sebagai tokoh-tokoh aneh yang selalu bersikap adil dan gagah perkasa. Melihat betapa Pak-kwi-ong, seorang tokoh besar yang tingkatnya sudah tinggi sekali, kini mau mengakui kekalahannya begitu saja, Ciu-sian Sin-kai merasa kasihan. Suling hitamnya yang terbuat dari kayu cendana itu tadi ketika bertemu dengan telapak tangan kiri Pak-kwi-ong, mengalami keretakan. Hal ini dia tahu dan rasakan benar. Suling itu sudah rusak dan tidak ada gunanya dipakai lagi, maka kini melihat lawannya mengaku kalah, dia pun tertawa.
"Heh-heh-heh, Pak-kwi-ong, kau ini merendahkan diri ataukah mengejek orang" Lihat, dalam adu tenaga tadi engkau telah merusak sulingku." Dia melemparkan suling itu ke atas tanah dan ternyata benda itu telah patah menjadi dua potong. Tadinya memang retak akan tetapi dengan bantuan tenaga sin-kang Ciu-sian Sin-kai, kini suling itu patah menjadi dua tanpa ada yang melihatnya.
Pak-kwi-ong bukan orang bodoh. Biarpun, andaikata benar, dia berhasil merusak suling lawan, namun bagaimanapun juga kalau perkelahian dilanjutkan, dia akan kalah. Maka dia pun tertawa, "Sudahlah, aku memang kalah. Mudah-mudahan lain kali aku akan dapat membalas kekalahanku. Selamat tinggal!" Berkata demikian, kakek gendut itu lalu melompat dan tubuhnya seperti menggelundung saja dari puncak bukit itu, dan sebentar saja dia sudah menghilang.
"Omitohud... Pak-kwi-ong sungguh tahu diri, semoga dia memperoleh kebahagiaan dan kedamaian hidup " kata Seng-thian Lama, merasa lega bahwa seorang di antara Empat Setan itu tidak membuat onar selanjutnya dan mau mengalah. "Dan bagaimana dengan engkau, Tung-hek-kwi?"
Sejak tadi Tung-hek-kwi sudah memutar otak. Dia seorang yang pendiam, akan tetapi juga cerdik. Melihat betapa Pak-kwi-ong tidak mampu mengalahkan Ciu-sian Sin-kai, dia mengerti bahwa dia pun tidak akan menang menghadapi dua orang dari Delapan Dewa itu. Hatinya merasa mengkal sekali. Dia pun tidak terlalu ingin mengambil anak itu sebagai muridnya, akan tetapi melihat ada orang datang dan mengambil alih begitu saja anak yang tadinya berada dalam lindungannya, dia merasa dipandang rendah sekali. Apalagi anak itu telah mengadakan semacam sayembara, yang berarti mengadu domba dan kalau dituruti berarti dia akan membuktikan kekurangan dan kekalahannya terhadap dua orang kakek Delapan Dewa itu. Maka timbullah kemarahan dan kemendongkolan hatinya terhadap Hay Hay.
"Daripada diperebutkan, biarlah tak seorang di antara kita memperolehnya!" bentaknya.
"Omitohud...!" See-thian Lama berseru dan tiba-tiba saja tubuhnya lenyap. Ternyata tubuh yang tinggi besar itu telah melayang ke atas seperti seekor burung garuda terbang saja dan demikian cepat gerakan pendeta Lama ini sehingga dia mampu menghadang di depan Hay Hay ketika Tung-hek-kwi datang menghantam anak itu. See-thian Lama menyambut pukulan itu dengan tangkisan tangannya selagi tubuhnya masih menyambar turun.
"Dessss"..!!"
Demikian hebatnya tangkisan itu dan tidak terduga-duga oleh Tung-hek-kwi sehingga tubuh kakek hitam yang tinggi besar itu pun terjengkang dan bergulingan di atas tanah! Melihat betapa kakek hitam itu nyaris membunuh anak kecil itu, kakek pendeta ini sudah mengerahkan seluruh tenaganya dan mana mungkin Tung-hek-kwi mampu menahannya" Tubuhnya yang terjengkang dan bergulingan itu membuktikan betapa dahsyatnya tenaga tangkisan See-thian Lama!
Tung-hek-kwi meloncat bangun dan mukanya berubah pucat, matanya mengeluarkan sinar berapi. Akan tetapi kini Ciu-sian Sin-kai juga sudah berdiri menghadang di depan anak itu.
"Ha-ha-ha, Tung-hek-kwi, kalau engkau mau bermain curang dan hendak mengganggu anak ini, terpaksa aku akan menghajarmu!"
Tung-hek-kwi adalah seorang yang berwatak keras. Akan tetapi dia pun bukan orang bodoh dan dia maklum bahwa menghadapi dua orang kakek itu sama sekali dia tidak akan dapat menandinginya. Baru melawan seorang di antara mereka saja dia akan sukar menang, apalagi mereka berdua kini melindungi anak itu.
"Huh!" dengusnya. "Tidak sekarang, kelak dia akan mampus di tanganku!" Setelah berkata demikian, dia pun membalikkan tubuhnya dan sekali meloncat, dia pun lenyap dari situ.
Ciu-sian Sin-kai hanya tertawa dan See-thian Lama berkata, "Omitohud...mereka berdua itu kelak akan menjadi ancaman bagi anak ini."
"Siangkoan Hay".. "
"Locianpwe, aku tidak mau lagi memakai nama keluarga Siangkoan. Akan tetapi karena nama Hay Hay adalah namaku sejak kecil, biarlah aku menggunakan nama Hay Hay saja." Hay Hay memotong ucapan Ciu-sian Sin-kai.
Kakek berpakaian pengemis itu terkekeh, "Heh-heh-heh, baiklah. Akan tetapi karena engkau dari keluarga Pek, namamu menjadi Pek Hay."
"Omi tohud, pinceng sangsikan apakah dia ini benar-benar putera pendekar Pek. Menurut perhitungan dan ramalan para pimpinan Dalai Lama, putera pendekar Pek itu adalah Sin-tong dan dipunggungnya terdapat tanda merah. Akan tetapi di punggung anak ini tidak ada tandanya, berarti dia bukan Sin-tong dan bukan pula anak pendekar Pek."
"Pendapatmu benar, See-thian Lama, akan tetapi kita hanya tahu bahwa Lam-hai Siang-mo menculiknya dari keluarga Pek, oleh karena itu, sebelum ada keterangan lebih lanjut dari keluarga Pek, biarlah dia bernama Pek Hay. Bagaimana Hay Hay, maukah engkau memakai nama keluarga Pek" Tidak baik orang tidak memiliki nama keluarga sama sekali."
Hay Hay menarik napas panjang. Dia sendiri bingung dengan keadaannya, akan tetapi dia tidak peduli akan segala macam nama keturunan atau nama keluarga, maka dia pun hanya mengangguk saja.
"Nah, sekarang, kepada siapakah engkau hendak berguru" Kepadaku atau kepada See-thian Lama" Ingat, antara kami berdua terdapat ikatan persaudaraan dan kami tidak mungkin mau mengadu ilmu untuk memperebutkan dirimu. Kalau engkau ikut dengan aku, engkau akan menjadi murid seorang pengemis jembel yang kadang-kadang makan sisa makanan dan tidur di emper toko atau di kuil rusak, tak tentu tempat tinggalnya, tak tentu makan dan pakainya. Kalau engkau ikut dengan See-thian Lama, engkau akan hidup sebagai seorang murid pendeta dan menjadi penghuni kuil. Nah, engkau pilih yang mana?"
Anak itu memandang kepada dua orang kakek itu bergantian, menimbang-nimbang. Dia telah kehilangan segala-galanya dan kini hidupnya tergantung kepada dua orang kakek ini. Dia belum mengenal mereka dan tidak tahu pula siapa di antara mereka yang paling baik, paling pandai dan paling dapat diharapkan.
"Aku memilih... keduanya!" Dan dia pun menjatuhkan diri berlutut di depan dua orang kakek itu. "Harap Ji-wi Locianpwe sudi menerimaku sebagai murid dan aku berjanji akan mentaati segala perintah Ji-wi."
Dua orang kakek itu saling pandang dan kemudian mereka berdua pun tertawa. "Omitohud, anak ini memang lihai sekali. Ciu-sian Sin-kai, pinceng merasa kasihan kalau melihat anak yang masih kecil ini kau ajak berkeliaran dan hidup terlantar. Biarlah selama lima tahun dia ikut bersama pinceng, kemudian setelah lima tahun, engkau boleh menjemputnya dan mengajaknya pergi. Bagaimana?"
"Ha-ha-ha, aku mengerti maksudmu, See-thian Lama. Engkau takut anak ini menjadi tersesat seperti aku, maka engkau hendak menanamkan dasar-dasar semua ilmu kepadanya, mengajarkan ilmu membaca menulis dan keagamaan. Baiklah, aku setuju saja. Nah kalau tidak ada sesuatu, lima tahun kemudian aku mengunjungimu untuk menjemput Hay Hay. Dan kau, Hay Hay, engkaulah satu di antara jutaan anak-anak di dunia ini yang paling beruntung, dapat menjadi murid See-thian Lama. Belajarlah baik-baik." Setelah berkata demikian, Ciu-sian Sin-kai berkelebat dan lenyap dari tempat itu.
Biarpun hatinya agak kecewa ditinggalkan oleh kakek jembel yang ramah dan lucu itu, karena dia sudah berjanji akan mentaati kedua orang itu, Hay Hay diam saja dan masih berlutut di depan See-thian Lama.
"Bangkitlah, Hay Hay, dan mari ikut dengan pinceng. " Setelah berkata demikian, kakek itu tanpa menanti Hay Hay bangkit, lalu turun dari puncak bukit itu. Hay Hay cepat bangkit berdiri dan mengikuti pendeta itu dari belakang. Karena pendeta itu berjalan perlahan-lahan, maka Hay Hay dapat mengimbangi kecepatannya. Mulailah Hay Hay memasuki suatu keadaan hidup yang baru, yang sama sekali berbeda dengan keadaan hidupnya sebagai putera Siangkoan Leng di Nan-king.
Memang kehidupan ini mudah sekali berubah. Peristiwa-peristiwa yang kebetulan, yang tidak terduga-duga, dapat merubah keadaan hidup seseorang. Apa yang terjadi pada diri Hay Hay juga kebetulan saja. Kwee Siong dan Tong Ci Ki, suami isteri dari Guha Iblis Pantai Selatan itu, selain ingin membalas dendam atas kekalahan-kekalahan mereka terhadap Siangkoan Leng, juga mempunyai niat untuk menculik Hay Hay demi keuntungan mereka sendiri. Tanpa mereka sengaja, suami isteri ini membawa Hay Hay ke puncak bukit itu, dibayangi dan diintai oleh Siangkoan Leng dan isterinya.
Akan tetapi, sungguh terjadi hal yang tidak sengaja dan kebetulan sekali bahwa di puncak bukit itu muncul Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi, dua orang datuk sesat, tokoh-tokoh Empat Setan yang sakti! Di antara Empat Setan, memang tinggal dua orang tokoh ini yang masih hidup, dan puncak bukit itu memang merupakan tempat pertemuan antara mereka selama puluhan tahun. Kebetulan sekali, pada pagi hari itu adalah tepat merupakan pertemuan antara dua orang datuk ini. Munculnya dua orang datuk ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan Hay Hay, hanya kebetulan saja, akan tetapi telah merubah semua jalan kehidupan Hay Hay. Andaikata mereka tidak muncul dan Hay Hay dibawa pergi oleh suami isteri Guha Iblis atau mungkin terampas kembali oleh Lam-hai Siang-mo, tentu keadaan hidupnya akan menjadi berlainan sama sekali.
Di dalam peristiwa yang kebetulan itu, terjadi lagi peristiwa kebetulan lain yang menimpa dirinya, yaitu kemunculan Ciu-sian Sin-kai dan See-thian Lama. Dua orang kakek yang jarang sekali muncul di dunia ramai ini adalah dua di antara Pat-sian atau Delapan Dewa, julukan yang diberikan kepada delapan orang tokoh besar dunia persilatan. Kemunculan mereka di situ pun hanya kebetulan saja. Ciu-sian Sin-kai dalam perantauannya sebagai seorang pengemis yang selalu memilih jalan sunyi dan tempat-tempat rawan dan gawat, jarang mau menemui orang lain. Adapun See-thian Lama, seorang tokoh besar di daerah Pegunungan Himalaya, biarpun dia penganut Agama Buddha seperti para Lama di Tibet, namun dia tidak tergabung dalam golongan Lama di Tibet, juga sedang merantau ke timur dengan dua maksud. Pertama, untuk ikut pula menyelidiki tentang hilangnya Sin-tong yang menghebohkan para pendeta itu, dan ke dua, untuk mencari murid karena dia merasa sudah tua dan ingin menurunkan ilmu-ilmunya kepada seorang murid yang baik. Dan sungguh dia memperoleh berkah, mungkin dari cara hidupnya yang bersih sehingga terjadi hal yang begitu kebetulan. Dia menemukan anak yang diributkan sebagai Sin-tong, bahkan sekaligus menemukan seorang murid yang baik.
Segala peristiwa yang terjadi di dunia ini, adalah fakta-fakta yang tak dapat diubah lagi oleh apa dan siapapun juga. Peristiwa yang terjadi adalah suatu hal yang sudah nyata, wajar, dan tidak baik maupun buruk. Yang terjadi pun terjadilah! Kitalah yang menempelkan sebutan baik atau buruk pada peristiwa yang terjadi, sesuai dengan penilaian kita yang didasari oleh kepentingan diri pribadi. Dan sekali kita menilai, sekali kita memberi sebutan baik atau buruk, maka muncullah sebutan baik buruk, kita senang kalau peristiwa itu baik (menguntungkan) dan kita kecewa kalau peristiwa itu buruk (merugikan). Kecewa, marah, duka dan sebagainya itu berada di dalam CARA MENERIMA KENYATAAN yang berupa peristiwa itu, bukan terletak pada kenyataan itu sendiri. Dan oleh karena penilaian kita didasari kepentingan diri, maka apa yang kita anggap baik hari ini, belum tentu kita anggap baik pada keesokan harinya, dan sebaliknya. Apa yang kita tangisi hari ini, mungkin besok akan kita tertawakan, dan apa yang mendatangkan tawa hari ini kepada kita, mungkin akan mendatangkan tangis pada keesokan harinya. Semua itu tergantung dari keadaan hati kita ketika menghadapi kenyataan itu.
Kalau kita mau menghadapi segala macam peristiwa dalam hidup ini sebagai suatu kenyataan, suatu fakta yang wajar, maka kita akan menerimanya dengan hati lapang, dengan penuh kewaspadaan tanpa menilai baik buruknya. Dengan demikian, batin kita akan tetap tenang dan jernih, dan tindakan kita sebagai tanggapan terhadap peristiwa itu bukan lagi dikuasai oleh emosi, oleh nafsu, melainkan didasari kecerdasan dan akal budi yang sehat. Dan kewaspadaanlah yang akan membuka mata kita bahwa sesungguhnya, segala peristiwa yang terjadi hanyalah suatu akibat dari suatu sebab. Sebab-sebab itu dapat berantai panjang, namun pusatnya atau sebab utama dan pertamanya, akan selalu kita dapatkan di dalam diri sendiri! Kalau sudah begini, tidak mungkin akan ada lagi keluhan, apa pun yang terjadi menimpa diri. Jangankan hanya urusan yang tidak langsung mengenai diri, bahkan datangnya penyakit dan kematian sekalipun merupakan suatu kewajaran yang tidak dinilai sebagai baik ataupun buruk. Dan kalau sudah begini, apakah masih ada masalah dalam kehidupan" Kalau batin sudah bebas dari ikatan apapun juga, kematian pun hanya merupakan suatu kewajaran yang tidak mendatangkan perasaan was-was atau takut sama sekali.
* Kita tinggalkan dulu Hay Hay yang mengikuti See-thian Lama menuju kebarat, ke Pegunungan Himalaya dan mari kita menengok keadaan keluarga lain yang dekat hubungannya dengan Hay Hay.
Di kota Nam-co, di daerah Tibet, sebelah utara kota Lha-sa yang menjadi ibu kota Tibet di mana para Dalai Lama menjadi penguasa-penguasa mutlak, terdapat banyak pendatang dari timur, bukan penduduk aseli Tibet. Mereka ini sebagian besar menjadi pedagang, membuka toko dan melakukan perdagangan dengan mendatangkan barang-barang dari Propinsi-propinsi Yu-nan, Secuan, ateu Cing-hai. Karena banyak pula keluarga bangsa Han (Cina) yang berada di Tibet, maka terdapat pula kelompok-kelompok atau golongan-golongan di kota Nam-cao. Akan tetapi yang paling terkenal adalah perkumpulan Pek-sim-pang (Perkumpulan Hati Putih). Perkumpulan ini adalah perkumpulan silat, merupakan sebuah perguruan akan tetapi juga perkumpulan social yang suka bertindak membantu masyarakat yang tertimpa malapetaka atau ketidakadilan. Para penjahat di daerah Tibet merasa gentar menghadapi perkumpulan Pek-sim-pang, karena keluarga Pek, yaitu pendiri dari Pek-sim-pang, adalah ahli-ahli silat yang amat lihai. Semenjak berdiri kurang lebih empat puluh tahun yang lalu, Pek-sim-pang memperoleh kemajuan besar. Banyak orang muda yang gagah perkasa menjadi murid dan anggauta perkumpulan itu. Karena sepak terjang mereka itu gagah perkasa dan seperti pendekar-pendekar sejati, maka nama Pek-sim-pang semakin terkenal dan anggautanya semakin banyak sampai berjumlah kurang lebih seratus orang. Dan selama bertahun-tahun keadaan perkumpulan itu jaya dan tenteram, bahkan nama besar Pek-sim-pang membuat kota Nam-co menjadi tenteram pula. Hal ini diakui oleh para pendeta Lama di Lha-sa sehingga mereka pun menghargai Pek-sim-pang yang mereka anggap sebagai perkumpulan sahabat yang dikagumi. Apalagi mengingat bahwa pendirinya pada empat puluh tahun yang lalu adalah seorang pendekar besar, murid dari Siauw-lim-pai. Para guru besar Siauw-lim-pai masih mempunyai hubungan baik, bahkan hubungan persaudaraan dalam perguruan dengan para pimpinan Lama di Tibet, maka tentu saja keluarga Pek diterima sebagai keluarga seperguruan pula.
Akan tetapi, tidak ada sesuatu yang abadi dan tidak berubah di dunia ini. Ketenteraman Pek-sim-pang, dan keluarga Pek pada khususnya, mengalami perubahan hebat pada tujuh tahun yang lalu. Pada waktu itu, Pek Khun, pendiri Pek-sim-pang yang telah berusia enam puluh tahun, telah mengundurkan diri dan pergi bertapa ke sebuah puncak di Pegunungan Kun-lun-san. Yang menggantikannya menjadi ketua Pek-sim-pang adalah Pek Ki Bu, puteranya yang pada waktu itu sudah berusia empat puluh lima tahun. Pek Ki Bu telah mewarisi ilmu-ilmu silat ayahnya dan dia pun amat lihai dalam ilmu silat Siauw-lim-pai yang banyak ragamnya itu. Pek Ki Bu hanya mempunyai seorang putera yang bernama Pek Kong. Melalui diri Pek Kong inilah peristiwa yang menimbulkan perubahan hebat pada Pek-sim-pang itu terjadi. Baru setahun Pek Kong menikah dengan seorang gadis puteri seorang pedagang obat di Nam-co, dan ketika isterinya mengandung tua, tiba-tiba saja datang utusan dari Lha-sa, dari para pendeta Dalai Lama yang menyatakan bahwa anak dalam kandungan isteri Pek Kong itu adalah calon Dalai Lama! Sebagai cirinya, di punggung anak itu akan nampak tanda merah selebar telapak tangan dan karena anak itu merupakan calon orang suci atau guru besar, maka diminta kerelaan orang tuanya untuk menyerahkan anak itu apabila terlahir kelak!
Keluarga Pek merupakan keluarga yang sudah dua keturunan tinggal di daerah Tibet sehingga mereka maklum apa artinya itu. Anak itu kelak akan menjadi seorang calon Dalai Lama dan sama sekali terputus hubungannya dengan keluarga Pek! Tentu saja keluarga itu tidak rela dengan bayangan ini. Pek Kong merupakan keturunan terakhir dan tunggal dari keluarga Pek. Kalau kelak anak itu terlahir laki-laki, maka anak itulah yang merupakan keturunan terakhir. Bagaimana mungkin mereka dapat menyerahkan keturunan terakhir itu untuk menjadi calon Dalai Lama dan terputus hubungannya dengan keluarga mereka" Bagaimana kalau Pek Kong, seperti kakeknya dan juga ayahnya, hanya mempunyai seorang saja anak laki-laki" Bukankah dengan demikian akan berarti putus dan lenyap keturunan keluarga mereka" Bagi bangsa Han di seluruh negeri, keturunan laki-laki yang menyambung nama keluarga mereka merupakan hal yang teramat penting.
Dalam kebingungan itu, keluarga Pek tentu saja tidak berani menolak permintaan para pendeta Lama yang amat berpengaruh di Tibet. Pek Ki Bu sebagai ketua Pek-sim-pang menjadi bingung dan cepat dia pergi menghadap ayahnya yang bertapa di Kun-lun-san untuk minta nasehat.
"Aihhh, kenapa ada urusan yang sulit itu menimpa keluarga kita?" Kakek Pek Khun menarik napas panjang dan mengelus jenggotnya yang panjang. "Biarpun andaikata ada aku sendiri di sana dan semua puncak pimpinan para Lama menjadi sahabat-sahabat baikku yang amat menghormatiku, namun urusan pemilihan calon Lama itu sungguh merupakan urusan yang tak boleh dipandang ringan. Para Lama itu percaya akan ramalan, dan menganggap hal itu seperti perintah dari Sang Buddha sendiri. Biar sahabat baik, kalau menentang tentu akan dimusuhi! Sebaiknya begini saja. Sebelum anak itu terlahir, Pek Kong dan isterinya harus mengungsi jauh ke timur. Dan kelak, kalau anaknya terlahir, kita harus menukar anaknya itu dengan anak lain, kalau memang ternyata di punggungnya ada tanda merah, dan anak itu, cucu buyutku, biarlah aku yang akan membawa dan menyembunyikannya."
Demikianlah, keluarga Pek mentaati kakek Pek Khun itu dan diam-diam Pek Kong bersama isterinya melarikan diri ke timur, memasuki Propinsi Yu-nan kemudian mereka terus melanjutkan perjalanan sampai ke pantai selatan di daerah Propinsi Kuangsi. Setelah merasa cukup jauh dan kandungan isterinya sudah hampir tiba saatnya melahirkan, suami isteri Pek ini lalu menyembunyikan diri dan mondok di sebuah kuil. Tanpa mereka ketahui, diam-diam mereka dibayangi oleh seorang kakek yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, yaitu kakek mereka sendiri, pertapa Pek Khun yang diam-diam melindungi pelarian cucunya itu.
Setelah mereka memperoleh tempat pondokan di kuil itu, barulah Pek Khun menemui mereka sehingga girang dan legalah hati Pek Kong bersama isterinya. Saat yang dinanti-nantikan telah tiba dan isteri Pek Kong melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat. Dapat dibayangkan betapa kaget dan gelisah rasa hati Pek Kong dan isterinya ketika melihat bahwa pada punggung anak mereka memang terdapat tanda merah sebesar telapak tangan! Kulit di bagian itu seperti bekas terbakar atau ada kelainan sehingga warnanya kemerahan.
Kalau tidak ada kakek Pek Khun di situ, tentu suami isteri yang masih amat muda itu, baru berusia dua puluh tahun lebih, menjadi panik dan khawatir. Kakek Pek Khun yang membuat mereka tenang. Mula-mula, kakek pertapa ini mencoba untuk menggunakan. ilmu kepandaiannya, agar tanda kemerahan pada punggung itu dapat lenyap. Namun, semua usahanya sia-sia belaka dan akhirnya dia harus mengambil jalan terakhir seperti yang direncanakannya.
"Cucuku, agaknya Thian memang sudah menghendaki bahwa anak ini terlahir dengan tanda ini yang tidak dapat dihilangkan dengan obat. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan keturunan kita ini adalah menyembunyikan dan menukarnya dengan seorang anak lain yang tidak mempunyai tanda merah di punggungnya. Dengan demikian, anak kalian itu dapat kita ajak pulang dan kalau para pendeta Lama tidak melihat tanda merah di punggungnya, tentu mereka tidak akan mengganggunya."
Pek Kong dan isterinya yang merasa bingung dan tidak tahu bagaimana caranya untuk dapat menyelamatkan putera mereka tanpa menjadi keluarga pelarian, menyetujui saja siasat yang akan diatur oleh kakek Pek Khun itu. Mulailah kakek yang sakti itu melakukan penyelidikan di sepanjang pantai selatan, ke dusun-dusun yang sunyi. Namun, dia tidak menemukan anak yang dianggap cocok sekali keadaannya dengan cucu buyutnya. Dia harus menemukan keluarga yang mempunyai anak bayi yang sebaya, dan keluarga itu harus mau menerima penukaran anak dan bersedia merawat cucu buyutnya dan mencari keluarga seperti ini tentu saja tidak mudah.
Pada hari ke tiga, selagi dia berjalan menyusuri pantai yang sunyi, pandang matanya tertarik oleh sesosok tubuh yang berdiri di atas tebing yang curam. Biarpun waktu itu sudah menjelang senja dan cuaca sudah remang-remang, namun penglihatan kakek yang masih tajam ini dapat melihat bahwa tubuh yang berdiri di tepi tebing itu adalah seorang perempuan yang agaknya memondong sesuatu. Dia merasa khawatir melihat wanita itu berdiri demikian dekat di bibir tebing yang demikian curam. Ingin dia berteriak memperingatkan wanita itu, akan tetapi dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia melihat wanita itu tiba-tiba malah meloncat ke bawah, ke air laut yang bergelombang ! Dan lebih ngeri lagi rasa hatinya ketika dia melihat bahwa benda yang dipondong oleh wanita itu adalah seorang anak kecil yang terdengar menangis ketika wanita itu meloncat kebawah. Tanpa berpikir panjang lagi, kakek Pek Khun lalu cepat lari ke tepi pantai itu dengan meloncat ke air bergelombang ketika wanita dan anak kecil itu sudah terbanting ke air.
Hati kakek itu tergerak melihat tubuh kecil bayi itu diombang-ambingkan ombak dan masih terdengar tangisnya. Maka dia pun cepat berenang ke arah anak itu dan akhirnya berhasil menyambar tubub kecil itu. Dengan cepat diikatnya tubuh anak itu di atas punggungnya, menggunakan robekan bajunya yang lebar, kemudian barulah dia berenang lagi menolong wanita tadi yang sudah tenggelam timbul. Kalau dia tidak bergerak dengan cepat, tentu wanita itu akan dihempaskan ombak ke batu karang di bawah tebing. Untung bahwa kakek Pek Khun sejak muda memang ahli renang yang terlatih dan dia dapat bergerak dengan cepat dan lincahnya di dalam air, walaupun air laut itu bergelombang dengan amat kuatnya.
Setelah berhasil mencengkeram rambut wanita itu yang terlepas dari, sanggulnya yang terurai panjang, dia lalu berenang ke tepi, memanggul anak kecil di punggungnya yang masih terus menangis dan menyeret wanita yang sudah pingsan itu. Berhasillah kakek yang gagah perkasa ini membawa tubuh wanita itu ke darat, menjauhi jangkauan air. Anak itu ternyata seorang bayi laki-laki yang bertubuh sehat dan montok dan tangisnya amat nyaring. Tangis inilah yang agaknya menolong bayi itu. Dengan hati-hati kakek Pek Khun merebahkan bayi itu di atas pasir dan dia pun cepat menolong wanita itu, mengeluarkan air dari dalam perutnya. Akan tetapi, wanita itu ternyata telah terluka parah pada dahinya. Agaknya ketika meloncat ke bawah dan dipermainkan ombak, kepalanya sempat terbentur pada batu karang. Napasnya sudah empas-empis dan darah banyak keluar dari luka di dahi. Melihat keadaan dahi itu, kakek Pek Khun mengerutkan alisnya. Dia adalah seorang ahli silat yang juga pandai ilmu pengobatan, terutama mengobati luka-luka. Melihat luka di dahi yang demikian dalam, dia tidak melihat harapan untuk dapat bertahan hidup pada wanita itu.
Setelah ditotok sana-sini untuk menghentikan darah keluar, mengurangi rasa nyeri dan menyadarkannya, wanita itu membuka matanya. Ia menengok ke kanan kiri dengan lemah, lalu bertanya. "Mana... mana anakku"..?"
Anak itu sudah berhenti menangis dan kakek itu berkata, "Jangan khawatir, anakmu selamat." Dia menunjuk ke arah anak itu yang kini rebah dan diam saja.
Melihat anaknya, wanita itu menitikkan air mata yang bercampur dengan air laut yang menetes-netes dari rambutnya membasahi mukanya. " Anakku... ah, dia tidak berdosa... biarlah dia mati bersamaku"."
Kakek itu mengerutkan alisnya. Betapa menyedihkan melihat seorang manusia mengalami penderitaan batin sehingga putus asa dan memilih jalan membunuh diri seperti yang dilakukan oleh perempuan ini, pikirnya. Seorang perempuan yang masih amat muda, belum dua puluh tahun agaknya, dan memiliki wajah yang cantik dan tubuh yang sehat. Dan dia tahu bahwa perempuan muda ini sekarang menghadapi maut yang agaknya sukar untuk dapat dielakkan lagi.
"Anak baik, kenapa kau melakukan ini" Kenapa engkau berusaha membunuh diri bersama anakmu yang masih bayi itu?"
Mendengar pertanyaan ini, wanita itu memandang wajah kakek Pek Khun, mengamat-amatinya penuh perhatian dan air matanya bercucuran semakin banyak. Kemudian ia pun mulai bercerita, tersendat-sendat suaranya, kadang-kadang hanya berbisik-bisik lemah, dan napasnya semakin empas-empis. Namun agaknya ia memiliki semangat terakhir untuk menceritakan keadaan dirinya, cerita yang mengandung penuh penasaran baginya.
Wanita muda itu puteri guru silat Coa-kauwsu, seorang guru silat yang tinggal di dusun dekat pantai. Kurang lebih setahun yang lalu, di dusun itu datang seorang pengacau, seorang jai-hoa-cat (penjahat pemetik bunga) yang mengganggu wanita-wanita muda di dusun itu, bahkan telah melakukan penculikan-penculikan dan pemerkosaan-pemerkasaan. Hal ini membuat keluarga Coa yang menjadi jagoan-jagoan di dusun itu merasa penasaran dan marah. Coa-kauwsu bersama puterinya, satu-satunya murid yang paling pandai dan boleh diandalkan, melakukan penyelidikan dan pengintaian di waktu malam secara berpencar. Akan tetapi, malang bagi Coa Si, anak guru silat itu, ia bertemu dengan penjahat itu, berkelahi dan ia kalah. Ia yang tadinya ingin menangkap penjahat, sebaliknya malah tertawan dan kemudian diperkosa! Anehnya, ia malah jatuh cinta kepada jai-hoa-cat yang selain tampan dan lihai, juga pandai merayu itu sehingga ia merahasiakan peristiwa itu dari orang tuanya. Ia malah kemudian menjadi pacar Sang Penjahat, berkali-kali mengadakan pertemuan dan setiap kali jai-hoa-cat itu lewat di dusun itu, tentu mereka mengadakan pertemuan secara sembunyi-sembunyi untuk memadu cinta. Dan Sang Jai-hoa-cat juga membebaskan dusun itu dari gangguannya setelah Coa Si menjadi kekasihnya.
Akan tetapi, ketika Coa Si mengandung, jai-hoa-cat itu pun tak pernah mau singgah lagi ke dusun itu! Orang tua Coa Si marah bukan main melihat keadaan puteri mereka yang mengandung dan kemarahan itu semakin memuncak ketika Coa-kauwsu mendengar pengakuan puteri mereka bahwa ayah dari anak yang di kandungnya adalah Sang Jai-hoa-cat! Hampir saja Coa-kauwsu membunuh puterinya. Akan tetapi isterinya, yang amat menyayang anak tunggal itu, berhasil meredakan kemarahannya sehingga Coa Si tidak dibunuh melainkan diusir dari rumah keluarga Coa!
Mulailah Coa Si hidup terlunta-lunta, hidup terasing di tepi laut. Akan tetapi, ia masih terus mengharapkan kedatangan kekasihnya. Ia tidak dapat mencari kekasihnya itu karena memang tidak tahu di mana tempat tinggal jai-hoa-cat yang merupakan seorang petualang dan perantau itu. Dan akhirnya, ia pun melahirkan seorang anak laki-laki, hanya dibantu oleh seorang bidan yang dikirim oleh ibunya yang diam-diam masih suka membantu anaknya.
Kakek Pek Khun mendengarkan cerita itu dengan sabar, cerita yang di tuturkan dengan suara lirih dan tersendat-sendat. "... begitulah... ketika anakku terlahir"..Ayahnya datang... tapi melihat aku melahirkan anak... dia malah marah-marah dan pergi lagi. Aku... putus asa... lebih baik anakku kubawa mati... ohhh".." Wanita itu terkulai.
Kakek Pek Khun cepat menekan pundak wanita muda itu. "Katakan siapa ayah anak ini, dan siapa pula nama anak ini"."
Wanita muda itu membuka mata, kini mulutnya membentuk senyum lemah. "Aku... titip anakku... belum kuberi nama ...ayahnya... ayahnya... Tang... Tang " Wanita itu meraba ke balik bajunya dan mencabut sebuah benda yang tadinya menempel di bajunya dengan bantuan peniti, menyerahkan benda itu kepada kakek Pek Khun, sambil berbisik. "...ini...ini dari Ayahnya " Dan ia pun terkulai dan napasnya terhenti. Kakek Pek Khun berusaha untuk menahan kematiannya, namun tidak berhasil.
Pada saat itu, terdengar suara anak kecil itu menangis, seolah-olah dia merasa bahwa saat itu ibu kandungnya telah meninggalkannya untuk selamanya. Kakek Pek Khun menarik napas panjang, merebahkan tubuh wanita yang tadi diangkat kepalanya dan dia pun segera memondong anak bayi itu dan diayun-ayunnya sampai anak itu terdiam kembali. lalu kakek Pek Khun cepat membuat lubang yang cukup dalam dan menguburkan jenazah ibu muda yang malang itu. Niatnya untuk memberitahukan kepada keluarga wanita itu ke dusun diurungkannya. Malah dia tergesa-gesa mengubur jenazah itu, kemudian membawa pergi bayi laki-laki itu dengan cepat, pulang ke kuil di mana Pek Kong dan isterinya menanti dengan hati penuh ketegangan.
Demikianlah, anak kandung Coa Si itu lalu diserahkan kepada Pek Kong dan isterinya sebagai pengganti anak kandung mereka yang akan dibawa pergi oleh kakek Pek Khun. Semua ini terjadi tanpa ada yang mengetahui kecuali mereka bertiga. "Ibu anak ini sudah meninggal dunia, namanya Coa Si, dan ayahnya She Tang. Ibunya hanya menyerahkan benda ini kepadaku. Nah, simpanlah benda ini dan rawat anak ini baik-baik."
Pek Kong dan isterinya menerima anak laki-laki yang sehat itu bersama sebuah benda yang ternyata merupakan sebuah perhiasan terbuat dari logam dan batu permata berwarna merah berbentuk seekor tawon. Seekor tawon merah!
"Kong-kong, ke manakah Kong-kong hendak membawa anakku".?" Isteri Pek Kong bertanya sambil mencucurkan air mata, memandang kepada anak kandungnya yang kini sudah dipondong oleh kakek suaminya.
"Aku akan membawanya bersembunyi di Pegunungan Kun-lun di mana aku bertapa. Jangan khawatir, kelak kalau sudah tidak ada bahaya atau ancaman dari para pendeta Lama, tentu akan kukembalikan anak kalian kepada kalian. Aku akan menjaganya baik-baik dan akan mendidiknya."
Kakek Pek Khun lalu pergi pada malam hari itu juga, membawa cucu buyutnya yang dipondongnya dan dibawanya berlari cepat. Sementara itu, Pek Kong sibuk merangkul dan menghibur isterinya yang menangis dengan sedih. Biarpun ia tahu bahwa anaknya berada di tangan yang akan melindunginya, dan biarpun ia sudah memperoleh penggantinya, seorang anak laki-laki yang bertubuh sehat dan montok, akan tetapi hati ibu muda ini tetap saja berduka karena harus berpisah dari anak kandungnya yang baru berusia dua bulan itu. Hanya dengan setengah hati ia suka menyusui anak yang dibawa oleh kakek Pek Khun, Melihat keadaan isterinya itu, Pek Kong lalu minta bantuan seorang wanita pengasuh dan seorang nikouw untuk menjaga anaknya, setiap isterinya rewel dan minta diajak berlayar untuk menghibur hatinya. Mereka sering naik perahu layar dan mencari ikan, suatu kesibukan yang kadang-kadang bisa mendatangkan kegembiraan di hati isteri Pek Kong dan membuat ia melupakan kedukaannya.
Ketika Lam-hai Siang-mo, yaitu Siangkoan Leng dan isterinya, Ma Kim Li, datang ke kuil itu dan menculik anak mereka, membunuh pengasuh dan nikouw, dan meninggalkan mayat anak yang rusak mukanya, Pek Kong dan isterinya juga sedang mencari ikan di tengah lautan, gembira karena pada waktu itu musim udang sehingga jala mereka menghasilkan banyak udang besar.
Tentu saja mereka terkejut bukan main ketika kembali ke kuil dan melihat betapa dua orang pengasuh anak itu telah tewas dan anak mereka telah ditukar dengan seorang anak sebaya yang sudah tewas pula dengan muka rusak! Hal ini sungguh mengejutkan hati mereka dan baru mereka yakin benar bahwa memang anak mereka itu selalu diincar orang. Untuk memperkuat peristiwa itu, demi keselamatan anak mereka, suami isteri ini lalu menyebar-luaskan berita tentang pembunuhan anak mereka! Dan benar saja. Begitu terdengar berita bahwa anak mereka yang diluaran terkenal sebagai Sin-tong itu terbunuh, banyak orang aneh bermunculan dengan alasan melayat, akan tetapi yang sesungguhnya ingin membuktikan dan menyelidiki. Bahkan tiga orang pendeta Lama dari Tibet tiba-tiba muncul di ambang pintu dan mereka ini sengaja datang untuk memeriksa dan membuktikan sendiri mayat anak kecil itu! Selain tiga orang pendeta Lama, di antara para tamu yang datang melayat, terdapat pula suami isteri penghuni Guha Iblis Pantai Selatan. Sepasang iblis ini datang terlambat dan jenazah pengasuh nikouw dan anak kecil itu sudah dikubur. Akan tetapi, pada malam harinya, mereka membongkar tiga kuburan itu dan memeriksa keadaan mayat yang sudah hampir membusuk itu! Dari pemeriksaan inilah mereka menemukan jarum-jarum yang dipergunakan oleh Ma Kim Li untuk membunuh nikouw dan pengasuh dan mereka pun dapat menduga siapa yang telah melakukan pembunuhan itu. Mereka adalah orang-orang cerdik dan mereka tidak percaya bahwa anak kecil yang tubuhnya berpenyakitan dan mukanya rusak itulah yang dikabarkan sebagai Sin-tong, anak kandung suami isteri pendekar Pek! Suami isteri yang bertubuh sehat dan hidup bersih itu tidak mungkin mempunyai anak berpenyakitan seperti itu. Tentu Lam-hai Siang-mo mencuri anak ajaib itu dan menukarnya dengan anak kecil yang mereka bunuh pula. Dan memang sudah lama suami isteri penghuni Guha Iblis Pantai Selatan bermusuhan dengan Lam-hai Siang-mo, juga mereka ingin sekali menemukan Sin-tong untuk dibawa kembali ke Tibet dan diserahkan kepada para pendeta Lama agar mereka memperoleh hadiah benda-benda mujijat. Karena itu, mereka lalu mulai melakukan pencarian sambil memperdalam ilmu silat mereka karena mereka maklum bahwa musuh besar mereka itu, Lam-hai Siang-mo, merupakan lawan yang tangguh.
Ketika itu Pek Kong dan isterinya merasa bahwa anak kandung mereka sudah aman dan mereka boleh kembali lagi ke Nam-co. Bukankah setelah kini tersiar berita bahwa anak kandung mereka yang disebut Sin-tong dan diinginkan oleh para pendeta Lama itu tewas, mereka tidak akan mengalami gangguan lagi" Maka, mereka pun lalu melakukan perjalanan kembali ke barat, menuju ke Nam-co.
Akan tetapi, di tengah perjalanan mereka bertemu dengan orang tua mereka dan para anggauta Pek-sim-pang yang berbondong-bondong menuju ke timur meninggalkan Nam-co! Tentu saja pertemuan itu amat mengejutkan dan apakah yang telah terjadi di Nam-co" Kiranya urusan Sin-tong menimbulkan banyak peristiwa yang menyedihkan.
Ketika mendengar bahwa Pek Kong dan isterinya melarikan diri dari Nam-co, para pendeta Lama menjadi marah sekali. Mereka lalu pergi mengunjungi perkumpulan Pek-sim-pang di Nam-co. Yang datang adalah lima orang pendeta Lama yang menjadi utusan para pimpinan Dalai Lama di Lha-sa. Pek Ki Bu sudah menduga bahwa para pendeta Lama tentu tidak akan tinggal diam saja, maka dia pun sudah siap dan menyambut kedatangan lima orang pendeta Lama itu dengan sikap ramah dan hormat. Para pendeta itu dipersilakan duduk, akan tetapi mereka tidak mau duduk dan sambil berdiri dengan sikap kaku mereka memandang Pek Ki Bu dengan alis berkerut. Seorang di antara mereka yang menjadi pimpinan lalu bertanya dengan suara lantang. "Pek-pangcu, kami datang diutus oleh para pimpinan kami untuk menanyakan kesehatan putera pangcu dan terutama keadaan kandungan anak mantu pangcu."
Pek Ki Bu dapat menduga bahwa tentu para pendeta itu sudah mendengar bahwa anaknya bersama mantunya telah melarikan diri. Hal itu telah lewat lima hari, maka dia merasa aman dan dengan sikap ramah dia menjawab. "Terima kasih banyak atas perhatian para suhu di Lha-sa. Keadaan mereka baik-baik saja berkat doa restu para suhu yang mulia."
"Siancai... kalau begitu bagus sekali! Harap Pangcu suka mempersilakan mantu Pangcu untuk keluar karena kami ingin menyaksikan sendiri keadaan kandungannya."
Pek Ki Bu tidak bermain sandiwara lagi. "Harap Ngo-wi Suhu ketahui bahwa Pek Kong dan isterinya tidak berada di rumah. Mereka sedang melakukan perlawatan ke timur untuk pulang ke kampung halaman karena mantu saya ingin melahirkan di sana, dekat dengan keluarga orang tuanya."
"Omitohud?"!" Pendeta Lama itu membelalakkan mata, hal yang dibuat-buat karena sesungguhnya dia pun sudah mendengar akan kepergian mereka itu. "Bagaimana Pangcu memperbolehkan mereka pergi tanpa Setahu dan seijin pimpinan kami?"
Inilah pertanyaan yang ditunggu-tunggu oleh ketua Pek-sim-pang. Dia mengerutkan alisnya. Memang harus diakuinya bahwa sejak dahulu, sejak ayahnya mendirikan Pek-sim-pang, keluarga Pek menjadi sahabat-sahabat baik dari para pimpinan pendeta Lama di Lha-sa. Akan tetapi sekali ini, dia menganggap bahwa pihak pendeta Lama terlalu mencampuri urusan dalam keluarganya.
"Ngo-wi Suhu harap suka mengingat bahwa Pek Kong adalah anakku dan isterinya adalah mantu kami. Kalau mereka pergi mengunjungi keluarga di kampung halaman, jauh di timur, mereka cukup memperoleh ijin dari kami sebagai orang tuanya. Kenapa harus setahu dan seijin pimpinan para suhu di Lha-sa?"
"Omitohud...! Apakah Pangcu tidak tahu apakah pura-pura tidak tahu" Mantumu adalah wanita yang dipilih oleh Sang Buddha untuk melahirkan calon Guru Suci, calon Dalai Lama! Tentu saja selama mengandung, ia harus berada di bawah pengawasan kami dan ia tidak boleh pergi begitu saja tanpa ijin kami. Bagaimana kalau sampai terjadi apa-apa dengan Sin-tong?"
Hati Pek Ki Bu merasa mendongkol sekali, akan tetapi dia menahannya karena dia pun tidak ingin bermusuhan dengan para pendeta Lama. "Harap Ngowi jangan khawatir, mereka akan selamat. Dan pula, belum tentu mantuku akan melahirkan Anak Ajaib yang kelak akan menjadi Dalai Lama."
"Sudah pasti! Ramalan kami tidak akan meleset. Yang dikandungnya adalah Sin-tong yang kelak akan menjadi pimpinan kami!"
"Ngo-wi harap jangan lupa bahwa bagaimanapun juga, yang dikandung itu adalah anak dari Pek Kong dan calon cucuku!" kata Pek Ki Bu dengan suara agak keras karena dia mulai marah.
"Omitohud, sungguh dangkal pertimbangan akal Pangcu. Keluarga Pek dalam hal ini hanyalah dipinjam saja! Anak yang akan terlahir itu adalah untuk kami, untuk dunia, bukan untuk keluarga Pangcu pribadi. Sudahlah, harap Pangcu beri tahu ke mana mereka pergi, agar kami dapat cepat menyusul dan mengajak mereka kembali ke sini atau langsung saja ke Lha-sa karena kandungannya sudah tua dan ia harus memperoleh perawatan dan pengamatan langsung dari kami."
Marahlah Pek Ki Bu. "Para suhu sungguh keterlaluan dan tidak memandang lagi persahabatan! Apa pun pendapat para suhu di Lha-sa tentang anak yang akan terlahir itu dia tetap calon cucuku dan keluarga kami, dan kami yang paling berhak untuk menentukan tentang dirinya!"
"Siancai, sesungguhnya Pek-pangcu yang tidak memandang persahabatan. Tentu Pangcu sudah memaklumi bahwa seluruh wilayah di Tibet tunduk kepada pimpinan kami di Lha-sa dan pimpinan kami yang merupakan kekuasaan mutlak yang harus ditaati oleh semua orang yang tinggal di Tibet. Keluarga Pek telah dipinjam dan dipilih untuk melahirkan seorang calon Dalai Lama, Pangcu sekeluarga tidak bersyukur atas karunia itu, malah hendak memberontak dan hendak mengubah nasib yang sudah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa. Sekali lagi, harap Pangcu cepat memberi tahu di mana kami bisa menemukan kembali anak dan mantu Pangcu."
Wajah Ketua Pek-sim-pang berubah merah dan para muridnya sudah siap siaga dan mereka semua memandang kepada lima orang pendeta Lama itu dengan sinar mata tajam. Mereka tahu bahwa ketua mereka sudah marah terhadap bekas kawan-kawan baik itu.
"Dan sekali lagi kami tegaskan bahwa kami tidak akan memberitahukan kepada siapapun juga!" jawab Pek Ki Bu.
"Siancai...! Berarti Pek-pangcu hendak menentang kami?" bentak seorang di antara para pendeta Lama itu.
"Terserah penilaian Ngo-wi Suhu, akan tetapi kalau kebebasan pribadi keluarga kami ditekan, kami tentu akan melawan mati-matian!"
"Bagus, agaknya Pek-sim-pang memang sudah siap untuk memberontak terhadap kami. Pek-pangcu, terpaksa kami harus menangkapmu dan menghadapkan Pangcu kepada pimpinan kami!"
Akan tetapi belum juga lima orang pendeta Lama itu bergerak melaksanakan ancamannya, anak buah Pek-sim-pang sudah bergerak mengurung dan menyerang mereka. Karena pertentangan itu hanya bersifat pertentangan pendapat dan didasari panasnya perasaan, bukan permusuhan, maka para murid Pek-sim-pang itu tidak ada yang berani menggunakan senjata. Mereka menyerang dengan kepalan tangan dan tendangan kaki.
"Omitohud... kalian mencari penyakit!" kata para pendeta Lama itu dan mereka pun bergerak berpencaran. Gerakan mereka kuat sekali dan jubah mereka yang berwarna kuning dan lebar itu berkibar ketika mereka bergerak menyambut serangan para murid Pek-sim-pang.
Akan tetapi, agaknya para anggauta rendahan itu sama sekali bukan tandingan yang setimpal dari para pendeta Lama itu. Begitu bentrok, lima orang murid Pek-sim-pang terbanting roboh! Hal ini mengejutkan para murid kepala Pek-sim-pang. Biarpun hanya anggauta rendahan, namun para murid itu rata-rata sudah memiliki ilmu silat yang cukup tangguh, tidak mudah dirobohkan demikian saja. Akan tetapi, serangan mereka terhadap lima orang pendeta itu ternyata Sekali gebrakan saja membuat mereka sendiri terbanting keras dan tidak mampu melanjutkan perkelahian! .
Karena maklum bahwa para pendeta Lama ini lihai sekali, serentak sepuluh orang murid kepala Pek-sim-pang menerjang maju. Mereka disambut dengan tenang oleh lima orang pendeta itu dan setelah berkelahi selama sepuluh jurus, kembali ada lima orang murid Pek-sim-pang yang roboh.
"PARA pendeta yang suka mencampuri urusan keluarga orang!" bentak Pek Ki Bu marah dan dia pun menerjang maju. Terjangan Pek Ki Bu disambut oleh seorang pendeta Lama yang melompat ke depan dan menangkis serangan ketua Pek-sim-pang itu.
"Dukk...!" Dua tenaga raksasa melalui saluran kedua lengan itu bertumbuk di udara dan akibatnya, Pek Ki Bu tertahan langkahnya, akan tetapi pendeta Lama itu pun terdorong mundur dua langkah! Hal ini membuktikan bahwa tenaga Ketua Pek-sim-pang itu masih lebih besar daripada lawannya.
"Omitohud, Pangcu sungguh kuat sekali!" Pendeta Lama itu berseru dan dia pun menerjang maju lagi dengan dahsyatnya. Pek Ki Bu mengelak dan balas menyerang dari samping yang juga dapat ditangkis oleh lawannya. Akan tetapi, begitu Pek Ki Bu memainkan ilmu silat
Pek-sim-kun (Ilmu Silat Hati Putih) yang merupakan ilmu keturunan dari keluarga Pek dan menjadi dasar dari ilmu-ilmu silat yang dilatih oleh para anggauta Pek-sim-pang, pendeta itu terdesak hebat, dan selalu main tangkis dan mundur. Ilmu ini dasarnya adalah dari ilmu silat Siauw-lim-pai. Akan tetapi telah disesuaikan dengan ilmu-ilmu silat lain yang digabung dan menjadi semacam ilmu silat khas dari keluarga Pek.
Melihat ini, dua orang pendeta Lama menerjang maju dan membantu kawannya. Kini Pek Ki Bu dikeroyok tiga orang pendeta yang amat lihai dan perkelahian itu menjadi berimbang, bahkan berbalik keadaannya karena Ketua Pek-sim-pang itu kini mulai terdesak. Sedangkan dua orang pendeta Lama yang lain, menghajar semua murid Pek-sim-pang yang berani melawan. Puluhan orang murid Pek-sim-pang sudah roboh terkena pukuran atau tendangan dan yang lain-lain mengeroyok dari kejauhan karena mulai merasa gentar menghadapi para
pendeta Lama yang lihai itu.
Keadaan pihak Pek-sim-pang sungguh gawat. Ketuanya sendiri sudah terdesak terus dan sebentar lagi tentu akan roboh oleh tiga orang lawannya yang terlalu kuat baginya itu. Dan para anak muridnya juga sudah banyak yang roboh.
Tiba-tiba terdengar bentakan halus, "Omitohud...! Tak pantas sekali antara sahabat sendiri menggunakan kekerasan seperti ini!" Dan semua orang merasa betapa ada angin keras bertiup dan nampak bayangan merah kuning yang melayang turun dari atas seperti seekor
burung garuda raksasa. Lima orang pendeta Lama itu merasa seperti terdorong oleh kekuatan yang luar biasa dahsyatnya membuat mereka terpaksa mundur dan juga pihak Pek-sim-pang terhuyung oleh kekuatan angin besar yang menarik mereka. Ketika semua orang memandang, ternyata di situ telah berdiri seorang kakek bertubuh tinggi besar seperti raksasa, berkepala gundul dan jubahnya yang lebar itu bergaris kotak-kotak merah kuning, tangan kirinya memegang seuntai tasbeh. Begitu melihat pendeta Lama yang tinggi besar dan berwajah lembut ini,ma orang pendeta Lama yang tadi berkelahi, terbelalak kaget dan cepat-cepat mereka itu menjura dengan sikap hormat. !
"Mohon Kakek Guru sudi memaafkan, teecu sekalian yang berkelahi bukan karena terdorong nafsu ingin menggunakan kekerasan, melainkan karena berselisih pendapat dengan pihak Pek-sim-pang. Teecu oleh para pimpinan Dalai Lama di Lha-sa diutus untuk mencari kembali ayah dan ibu calon Sin-tong yang telah melarikan diri dengan diam-diam." Demikianlah seorang di antara mereka melapor. Tentu saja mereka itu terkejut dan takut karena pendeta Lama raksasa ini masih terhitung kakek guru mereka. Para pimpinan di Lha-sa masih terhitung murid-murid keponakannya dan pendeta ini adalah See-thian Lama, seorang di antara Pat Sian (Delapan Dewa)!
Karena pendeta ini selama puluhan tahun tidak pernah keluar dan sama sekali dikenal orang luar, maka Pek Ki Bu sendiri pun tidak mengenalnya. Akan tetapi, melihat betapa hwesio Lama yang amat sakti itu disebut guru oleh pendeta Lama yang amat lihai itu, dia tahu bahwa pendeta Lama ini tentu memiliki kedudukan tinggi dan juga memiliki kesaktian yang luar biasa. Maka dia pun cepat memberi hormat.
"Harap Lo-suhu sudi mengampuni kami. Sejak Ayah kami mendirikan Pek-sim-pang, kami selalu menjadi sahabat-sahabat baik dari para pendeta Lama di Lha-sa dan kami tidak pernah melakukan pelanggaran. Akan tetapi sekali ini, para pendeta Lama hendak menekan kami dalam urusan keluarga kami. Anak kami Pek Kong dan isterinya yang mengandung tua, telah pergi untuk berkunjung kepada keluarga mereka di kampung halaman dan isterinya ingin melahirkan di antara keluarganya di timur. Akan tetapi, para Lo-suhu di Lha-sa menghendaki agar mereka itu kembali dan bahkan hendak memaksa mereka kembali. Bukankah hal itu berarti bahwa para pendeta Lama di Lha-sa hendak memperkosa hak kebebasan keluarga kami" Mohon pertimbangan Lo-suhu yang seadil-adilnya."
See-thian Lama tersenyum lebar dan mengangguk-angguk. "Pek-pangcu, pinceng kira tidak per lu pinceng jelaskan lagi bahwa setiap orang manusia yang hidup di dunia ramai tidak akan dapat terbebas daripada peraturan-peraturan yang diadakan oleh para penguasa setempat. Sudah menjadi peraturan dan kebiasaan di Tibet tentang pemilihan Sin-tong, anak ajaib yang telah ditunjuk untuk menjadi Dalai Lama kelak. Dan kebetulan sekali. Yang terpilih adalah calon cucu Pangcu. Karena keluarga Pek bertempat tinggal di daerah Tibet, tentu saja Pangcu juga tidak terbebas daripada peraturan itu. Nah, tentu saja para pimpinan DalaiLama tidak dapat dianggap sewenang-wenang kalau mereka itu ingin melindungi mantu Pangcu yang akan melahirkan Sin-tong, karena itu adalah menjadi hak dan kewajiban mereka. Kalau Pangcu menentang, berarti Pangcu menentang peraturan dan kepercayaan dan kebiasaan yang sudah berjalan sejak ratusan tahun yang lalu." Pek Ki Bu dapat mengerti akan pendapat pendeta Lama yang tua ini dan dia pun tidak dapat membantah. Diam-diam dia mencari akal dan dia pun tahu bahwa ayahnya sudah mengatur rencana jangka panjang untuk menyelamatkan cucunya.
Pendapat Lo-suhu memang tepat dan benar, dapat kami mengerti. Akan tetapi, anak dan mantu kami itu tidak bermaksud melarikan diri, melainkan hendak melahirkan anak di lingkungan keluarga di timur. Kami memang belum percaya benar bahwa mantuku akan melahirkan seorang Sin-tong yang memiliki tanda merah di punggungnya. Bagaimana kalau kelak ia melahirkan anak yang tidak mempunyai tanda itu?"
"Tidak mungkin...!" kata seorang di antara lima pendeta Lama itu penuh semangat.
"Biasanya, perhitungan dan ramalan para pimpinan Dalai Lama tidak akan keliru, Pangcu. Akan tetapi kalau benar anak itu terlahir tanpa tanda itu, berarti ada kekeliruan dalam perhitungan itu dan tentu saja anak itu bukan Sin-tong."
"Bagus, kalau begitu kami berjanji. Kalau anak itu keluar dengan tanda merah di punggungnya, kami akan mengantarkannya ke Lha-sa. Akan tetapi kalau tidak ada tandanya, kami minta agar cucuku itu dibebaskan."
"Biar kami yang menyaksikan apakah dia terlahir dengan tanda itu atau tidak. Kami harus mengetahui di mana mantumu itu agar kami dapat mengamatinya dan melindunginya." seorang pendeta Lama berkeras.
"Kalau begitu, biar kami semua dibunuh, kami tidak akan mau memberi tahu di mana adanya anak dan mantuku!" Pek Ki Bu berkeras. Kedua pihak sudah saling melotot lagi dan tentu akan terjadi perkelahian kelanjutan yang lebih mati-matian, akan tetapi See-thian Lama mengangkat tangan ke atas dan semua orang pun terdiam. Memang kepada Pendeta Lama raksasa inilah kedua pihak agaknya minta pertimbangan dan keputusan.
"Omitohud."kekerasan takkan pernah dapat menciptakan perdamaian. Kalau urusan Sin-tong dicemari oleh kekerasan, perkelahian apa lagi sampai bunuh-membunuh, maka kesucian yang diciptakan dengan lahirnya seorang Sin-tong akan ternoda. Ada peraturan di Lha-sa bahwa pimpinan Dalai Lama berhak untuk menentukan segala sesuatu yang berkenaan dengan penduduk di Tibet. Kalau seorang Sin-tong akan terlahir di dalam wilayah Tibet, maka para pimpinan Dalai Lama boleh mengambil tindakan apa saja untuk mengambil anak itu. Akan tetapi kalau kebetulan Sin-tong akan dilahirkan di luar wilayah Tibet, suatu hal yang sering pula terjadi, maka para Dalai Lama tidak berhak memaksa keluarga yang bersangkutan karena bukan warga negaranya, walaupun tentu saja mereka juga akan berusaha sedapatnya untuk menarik Sin-tong ke dalam biara. Nah, Pek-pangcu, kalau keluargamu dan seluruh Pek-sim-pang tidak menjadi penghuni di Tibet lagi, maka tentu saja para pimpinan Lama di Lha-sa tidak akan memaksamu. Dengan kepindahan kalian dari sini, berarti kalian tidak harus tunduk akan peraturan, dan semua pertikaian mengenai anak itu akan habis sampai di sini saja."
Andaikata yang mengeluarkan pendapat ini bukan See-thian Lama, orang yang amat dihormati oleh para pendeta Lama, tentu mungkin sekali menimbulkan kemarahan di pihak para pendeta karena nadanya seperti melindungi dan menasehati keluarga Pek dan anak buahnya. Sebaliknya, mungkin saja pihak Pek-sim-pang dapat merasa terhina atau seperti diusir. Akan tetapi, para pendeta Lama itu diam saja dan hanya memandang kepada Pek Ki Bu dan anak buahnya.
Pek Ki Bu bukanlah seorang yang berpikiran pendek atau keras kepala. Dia pun maklum bahwa dengan adanya urusan cucunya itu, kalau dia sekeluarga dan Pek-sim-pang tidak pergi dari Nam-co, tentu selalu akan dimusuhi oleh para pendeta Lama. Hal ini sama saja dengan dimusuhi oleh penguasa setempat dan tentu saja kehidupan mereka menjadi tidak aman lagi.
Demikianlah, tanpa banyak membantah lagi, Pek Ki Bu lalu membawa keluarga dan perkumpulannya untuk boyongan dan meninggalkan kota Nam-co, menuju ke timur. Memang ada beberapa orang murid yang tidak ikut karena mereka lebih suka tetap tinggal di Nam-co bersama keluarga mereka. Karena kini Pek-sim-pang sudah tidak berada lagi di Nam-co dan para murid itu tidak mempunyai hubungan secara langsung dengan pertikaian yang disebabkan oleh Sin-tong, maka murid-murid yang masih tinggal di Nam-co itu tidak merasa khawatir akan mengalami gangguan.
Dan di tengah perjalanan, di luar batas Propinsi Tibet, rombongan keluarga Pek ini bertemu dengan Pek Kong dan isterinya. Tentu saja pertemuan itu menggembirakan akan tetapi juga menyedihkan dan mengharukan. Masing-masing menceritakan pengalaman mereka. Ketika mendengar bahwa secara rahasia cucunya telah dibawa pergi oleh ayahnya sendiri, Pek Ki Bu merasa lega. Dia pun merasa ngeri mendengar akan peristiwa maut yang menewaskan pengasuh, nikouw dan seorang anak kecil yang ditukarkan.
"Kong-ji (Anak Kong)," kata Pek Ki Bu. "Kita tidak boleh melupakan anak laki-laki yang diculik penjahat itu. Bagaimanapun juga, anak itu telah menyelamatkan cucuku dan kasihanlah dia, masih begitu kecil sudah kehilangan ibunya, tidak pernah dipedulikan ayah kandungnya, dan kini berpindah tangan lagi diculik penjahat. Kelak engkau harus mencari anak itu dan menyelamatkannya."
Pek Kong mengangguk. "Kong-kong sudah meninggalkan sebuah benda perhiasan yang menurut Kong-kong adalah milik ayah kandung anak itu yang mempunyai nama keturunan. Tang." Dia lalu menceritakan apa yang didengarnya dari kakek Pek Khun. Kemudian rombongan itu lalu melanjutkan perjalanan menuju ke daerah Kong-goan, sebuah kota besar di Propinsi Se-cuan darimana keluarga Pek berasal.
Anak laki-laki yang dilahirkan oleh isteti Pek Kong dan kemudian dibawa pergi oleh kakek buyutnya itu diberi nama Pek Han Siong, sebuah nama yang dipilih oleh Pek Kong dan isterinya untuk putera mereka. Dapat dibayangkan betapa sukarnya bagi seorang kakek tua seperti Pek Khun, membawa seorang bayi yang baru berusia beberapa hari, melakukan perjalanan yang jauh dan sukar! Akan tetapi, kakek Pek Khun adalah seorang kakek yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga dia adalah seorang ahli pengobatan sehingga dia dapat merawat anak itu di sepanjang perjalanan, tidak malu-malu atau segan-segan untuk minta tolong kepada ibu-ibu yang masih menyusui untuk membantu sedikit air susu untuk bayi Han Siong, di setiap dusun yang dilaluinya. Dengan demikian, akhirnya dia dapat membawa bayi itu ke Pegunungan Kun-Iun dengan selamat. Mula-mula dia tinggal di sebuah dusun di kaki Pegunungan Kun-Iun sambil membayar seorang ibu muda untuk menyusui Han Siong. Setengah tahun kemudian, dia membawa anak itu naik ke tempat pertapaannya yang tersembunyi dan merawat sendiri anak itu dengan susu binatang keledai.
Sejak bayi, anak itu digembleng oleh kakek Pek Khun, dan setelah anak itu berusia empat tahun, dia mulai membimbingnya untuk melatih langkah-langkah dasar ilmu silat, menggembleng tubuh itu dengan ramuan obat-obatan untuk menguatkannya, juga setelah anak itu berusia lima tahun, dia mengajarkan ilmu membaca dan menulis.
Akan tetapi, kakek itu mulai merasa kasihan kepada cucu buyutnya. Tidak baik kalau anak itu dibiarkan tumbuh dewasa di tempat terpencil itu. Han Siong kurang sekali bergaul dengan anak lain. Hanya sebulan sekali dia mengajak anak itu untuk turun dari puncak, mengunjungi dusun-dusun di lereng puncak dan bertemu dengan manusia-manusia lain. Dia khawatir kalau-kalau kekurangan pergaulan ini akan membuat anak itu kelak menjadi manusia canggung, pemalu dan mempunyai kelainan-kelainan jiwa. Pula, dia sendiri sudah menjadi semakin tua untuk dapat melindungi diri anak itu. Bagaimana kalau sewaktu-waktu muncul pendeta-pendeta Lama yang lihai dan merampas anak itu dari tangannya" Belum tentu dia akan mampu mempertahankan dan melindungi anak itu. Maka dia mulai mencari akal bagaimana untuk bertindak agar cucu buyutnya itu terbebas daripada ancaman bahaya dari Tibet.
Akhirnya Kakek Pek Khun mengambil keputusan untuk membawa saja cucu buyutnya itu ke kuil Siauw-lim-si dan menjadikan anak itu seorang calon hwesio! Dengan demikian, akan selamatlah Han Siong! Pada suatu hari, ketika Han Siong sudah berusia tujuh tahun, kakek Pek Khun membawa cucu buyut itu turun dari pegununganKun-Iun.
Bukan main girang rasa hati Han Siong ketika kakeknya menyatakan bahwa dia akan dibawa ke timur, untuk belajar ilmu di dalam kuil Siauw-lim-si. Sudah sering kakek buyutnya bercerita tentang kuil Siauw-lim-si di mana tinggal banyak hwesio yang suci dan juga sakti, memiliki ilmu yang luar biasa tingginya. Bukan hanya karena akan mempelajari ilmu silat saja yang menggirangkan hati Han Siong, terutama sekali karena dia akan meninggalkan puncak yang amat dingin dan amat sunyi itu. Dia butuh pergaulan dengan manusia lain! Dan dia dapat membayangkan bahwa hidup di dalam biara Siauw-Iim-si itu berarti hidup bersama banyak orang lain, yaitu para hwesio yang menjadi penghuni biara! Alangkah akan senangnya!
Kakek Pek Khun sendiri adalah seorang murid Siauw-lim-pai, oleh karena itu, kunjungannya ke kuil Siauw-lim-si yang terletak di luar kota Yu-nan di Propinsi Cing-hai, diterima baik oleh ketua kuil itu bersama para hwesio pimpinan lainnya, setelah Pek Khun memperkenalkan dirinya. Kuil itu cukup besar, dan terletak di sebuah tempat yang indah, ditepi Sungai Cin-sha yang mengalir ke selatan, di antara Pegunungan Heng-tuan-san. Biarpun terletak di tepi sungai besar dan di daerah pegunungan yang sunyi dan nyaman, namun kuil itu tidak terlalu terpencil. Kota Yu-shu tidak begitu jauh dari kuil itu, hanya beberapa li jauhnya, dalam perjalanan satu jam orang akan sampai ke kota itu. Dan kuil itu pun banyak dikunjungi para penduduk kota Yu-shu dan dusun di sekitarnya untuk bersembahyang.
Ketua kuil itu berjuluk Ceng Hok Hwesio dan setelah mereka bercakap-cakap, tahulah mereka bahwa antara Ceng Hok Hwesio dan kakek Pek Khun masih ada hubungan seperguruan, dan kakek Pek Khun memiliki satu tingkat lebih tinggi dari ketua kuil itu yang segera menyebut Susiok (Paman Guru) kepada Pek Khun.
"Sungguh menyenangkan kenyataan ini." kata Pek Khun. "Anak ini adalah cucu buyutku, berarti juga cucumu sendiri. Namanya Pek Han Siong. Karena sejak kecil dia turut aku, dan aku merasa sudah terlalu tua untuk mendidiknya, juga dia harus memperluas pergaulannya, maka aku mohon dengan sangat dapatlah dia diterima di kuil ini sebagai murid dan calon hwesio."
Mendengar permintaan yang dianggap agak aneh ini, Ceng Hok Hwesio mengerutkan alisnya. "Omitohud..., Susiok tentu maklum bahwa Siauw-lim-si selalu membuka tangan untuk menolong siapa saja, apalagi terhadap Pek-susiok yang masih seorang murid Siauw-lim-pai pula. Berarti kita adalah sekeluarga sendiri. Akan tetapi, Pek-susiok tentu maklum pula bahwa Siauw-lim-pai memiliki peraturan yang ketat dan keras. Tidak mungkin menerima murid begitu saja, harus diketahui mengapa anak ini dimasukkan ke biara kami untuk menjadi murid, dan bagaimana pula pendapat Ayah dan Ibu anak ini. Maaf, hal ini bukan berarti kami tidak percaya kepada Pek-susiok, melainkan karena aneh sekali kalau Susiok mengajak cucu buyut Susiok ke sini. Bukankah kalau Susiok sudah terlalu tua untuk mendidiknya, masih ada Kakeknya dan Ayahnya?"
Kakek Pek Khun mengangguk-angguk, maklum akan isi hati Ketua Siauw-lim-si itu. Dia menoleh kepada Han Siong. "Han Siong, engkau keluar dan bermain-mainlah di kebun itu, biarkan aku bicara dengan Suhu ini."
"Baik, aku memang ingin sekali bermain-main di kebun yang penuh bunga indah itu!" kata Han Siong yang menjadi girang sekali. Tadi dia merasa canggung dan tidak betah harus duduk bersama kakeknya di ruangan itu mendengarkan percakapan yang tidak begitu dimengerti olehnya dan dia sudah ingin sekali memasuki kebun indah yang nampak dari jendela ruangan itu.
Setelah Han Siong meninggalkan ruangan itu dan dari jendela nampak anak itu berjalan-jalan di antara rumpun bunga-bunga, kakek Pek Khun lalu menarik napas panjang dan berkata. "Sesungguhnya keluarga kami memang sengaja hendak menyembunyikan anak itu dari pengejaran para pendeta Dalai Lama di Tibet."
"'Omitohud?"" Ceng Hok Hwesio membelalakkan matanya. "Ada urusan apakah maka para saudara Dalai Lama di Tibet mengejarnya?"
"Han Siong ini sejak dari dalam kandungan telah diramalkan menjadi calon Dalai Lama".."
"Sin-tong" Omitohud".!" Ceng Hok Hwesio menyembah dengan kedua tangan di depan dadanya.
"Ini rahasia di antara kita saja. Ceng Hok Hwesio." kata kakek Pek Khun. "Jangan dibocorkan rahasia ini. Bukan hanya para Dalai Lama yang mencarinya, akan tetapi juga tokoh-tokoh di dunia kang-ouw. Ada tokoh-tokoh kaum sesat yang mati-matian mencarinya, mungkin untuk dijadikan murid atau semacam jimat atau juga untuk diserahkan kepada para Dalai Lama dengan mengharapkan pahala. Kami sekeluarga menentang keras. Kami tidak percaya akan segala ketahyulan para Dalai Lama dan kami tidak ingin anak itu dijadikan patung hidup seperti kehidupan Dalai Lama. Karena itu sejak bayi sudah kubawa pergi dan kusembunyikan. Sekarang, aku harap kuil ini suka menerimanya sebagai murid dan calon hwesio. Biarlah dia menjadi hwesio yang baik untuk mengabdi kepada agama dan rakyat daripada harus menjadi Dalai Lama di Tibet."
"siancai, siancai, siancai"..! Pendapat Susiok memang tepat sekali. Dan pinceng merasa girang sekali untuk mendidik dan membimbing Pek Han Siong, semoga Sang Buddha akan memberi petunjuk kepada pinceng."
"Rahasia ini perlu disimpan rapat-rapat, karena kalau hal itu sampai tersiar ke luar kuil, tentu akan mendatangkan bahaya, baik bagi Han Siong sendiri maupun bagi Siauw-lim-pai. Ada tanda merah di punggung anak itu yang dijadikan pegangan bagi para Dalai Lama dan antek-anteknya. Tanda merah itu harus disembunyikan pula."
"Omitohud... kalau begitu, anak itu memang luar biasa sekali. Sejak lahir sudah diberi tanda, benar-benar seorang Sin-tong (anak ajaib)." kata Ceng Hok Hwesio.
"Aahhh, semua itu omong kosong dan tahyul belaka." cela kakek Pek Khun. "Setiap orang anak itu sama saja, merupakan kitab bersih dan kosong. Baik buruknya kitab itu kelak ditentukan oleh para pengisinya, yaitu para pendidiknya. Karena itulah maka hatiku merasa lega sekali kalau dia dapat diterima sebagai murid di sini."
"Pinceng merasa terhormat sekali untuk mendidiknya, Pek-susiok.
Pek Khun lalu memanggil Han Siong. Ketika dia menjenguk dari jendela, dilihatnya Han Siong sedang bercakap-cakap dengan empat orang anak lain, anak-anak yang gundul kepalanya, calon-calon hwesio yang menjadi murid dan juga pembantu-pembantu pekerja di kuil itu. Ketika dia memanggilnya, Han Siong cepat bangkit berdiri dan berlari memasuki ruangan. Kakek Pek Khun girang sekali karena kehidupan di kuil ini akan merobah cara hidup Han Siong yang tentu tidak akan kesepian lagi. Di situ terdapat pula banyak calon hwesio yang sejak kecil digembleng untuk menjadi manusia-manusia yang baik.
Setelah Han Siong datang menghadap, kakek Pek Khun berkata, "Han Siong, seperti sudah kuberitahukan kepadamu, mulai hari ini engkau akan menjadi murid di kuil ini. Ceng Hok Hwesio ini adalah ketua kuil ini dan menurut tingkat, dia masih kakek gurumu sendiri. Akan tetapi karena mulai hari ini engkau akan menjadi muridnya, maka engkau harus memberi hormat kepadanya sebagai gurumu."
Han Siong memandang kepada Ceng Hok Hwesio, kemudian memandang kepada kakek buyutnya. "Apakah Kakek hendak meninggalkan aku di sini?"
"Benar, aku sudah terlalu tua untuk mendidikmu dan engkau perlu mendapatkan pengalaman hidup yang lain, pergaulan yang tepat. Di sini terdapat bahyak anak-anak yang menjadi murid, maka engkau dapat bergaul dengan mereka."
"Baik, Kek." kata Han Siong dan dia pun cepat menjatuhkan diri berlutut di depan Ceng Hok Hwesio, memberi hormat delapan kali, sambil menyebut "Suhu!"
Dengan wajah berseri Ceng Hok Hwesio menyentuh pundak anak itu. "Bangkitlah, Han Siong dan mulai sekarang, engkau harus mentaati segala peraturan di kuil ini. Untuk sementara, engkau menjadi murid dalam ilmu silat, mempelajari agama akan tetapi belum menjadi calon hwesio karena untuk hal itu diperlukan bakat dan pinceng ingin melihat dulu apakah engkau berbakat untuk menjadi calon hwesio."
"Baik, Suhu. Teecu hanya mentaati perintah Suhu." kata Han Siong dan diam-diam hwesio itu kagum sekali. Anak ini baru berusia tujuh tahun, sejak kecil hidup di dalam pertapaan bersama kakek buyutnya, namun anak ini sudah pandai membawa diri.
"Han Siong, engkau harus ingat bahwa engkau keturunan keluarga Pek yang turun-temurun menjadi pimpinan dari perkumpulan Pek-sim-pang. Nama perkumpulan ini berarti Hati Putih dan hati putih adalah hati yang bersih, tidak ternoda oleh perbuatan-perbuatan yang sesat dan jahat. Karena itu, aku hanya mengharapkan agar kelak engkau akan dapat melanjutkan pimpinan Pek-sim-pang dengan baik, dan untuk itu, terimalah kitab ini. Kitab ini adalah tulisanku sendiri, merupakan inti dari ilmu silat Pek-sim-kun, sudah kusaring dan kupadatkan menjadi tiga belas jurus saja. Untuk dapat mempelajari ini, engkau harus sudah mencapai tingkat ilmu silat yang cukup tinggi, karena itu rajin-rajinlah belajar di Siauw-lim-si." Kakek itu menyerahkan sebuah kitab yang diterima dengan sikap hormat oleh Han Siong.
"Pesan Kakek akan kuperhatikan baik-baik dan akan kulaksanakan dengan patuh." jawabnya. Setelah meninggalkan pesan-pesan kepada cucu buyutnya, pada hari itu juga kakek Pek Khun meninggalkan kuil Siauw-lim-si itu untuk kembali ke Kun-lun-san di mana dia akan bertapa sampai akhir hayatnya.
Demikianlah, mulai hari itu, Han Siong tinggal di kuil Siauw-lim-si dan menjadi murid yang setiap hari membantu pekerjaan para hwesio tua muda di kuil itu. Setelah dia dapat menyesuaikan diri, barulah Ceng Hok Hwesio mulai memberi pelajaran ilmu silat, juga ilmu baca tulis dan membaca kitab-kitab agama. Ternyata anak itu cerdik sekali sehingga segala macam mata pelajaran yang diajarkan kepadanya, dengan cepat dapat diresapi dan dimengerti. Di Siauw-lim-si ini, dia menerima gemblengan dasar-dasar ilmu silat sehingga dia memiliki dasar yang kuat dan aseli dari Siauw-lim-pai. Berbeda dengan kakek Pek Khun yang biarpun tokoh Siauw-lim-pai namun tidak mempunyai cukup waktu untuk menggembleng seperti yang dilakukan di perguruan Siauw-lim-si, di kuil ini Han Siong benar-benar mengulang kembali dan belajar dari tingkat terendah. Untuk memperkuat dan menyempurnakan kuda-kuda kedua kakinya saja, setiap hari dia harus berlatih memikul air melalui jalan tanjakan yang licin dan berliku-liku, dan harus terus berlatih selama dua tahun! Setelah itu, dia harus melatih kaki tangannya untuk memperkuat otot-ototnya dengan menggantungi kaki tangan dengan gantungan besi yang cukup berat. Belajar pula menghimpun tenaga untuk dasar ilmu meringankan tubuh.
Setelah lima tahun digembleng, walaupun belum pernah diajar ilmu silat yang berarti, tubuh Han Siong yang berusia dua belas tahun itu menjadi kuat sekali, otot-ototnya kuat dan lentur, dia dapat bergerak dengan gesit seperti tubuh seekor kijang, kuat seperti seekor harimau. Bukan hanya otot-otot tubuhnya yang terlatih dan menjadi kuat, juga panca inderanya dilatih sehingga memiliki pandangan yang tajam, pendengaran dan penciuman yang peka pula. Pendeknya, selama lima tahun dia digembleng sehingga memiliki dasar-dasar bagi seorang calon ahli silat yang lihai.
Di antara tugas-tugas pekerjaannya, Han Siong setiap pagi dan sore menyapu lantai, baik pekarangan depan maupun pekarangan belakang. Setelah lima tahun tinggal di dalam kuil, kadang-kadang dia merasa kesepian dan rindu kepada kakek buyutnya. Sejak kecil dia biasa hidup di alam terbuka, dan di Pegunungan Kun-lun-san dia setiap hari menjelajah hutan-hutan dan alam bebas. Akan tetapi kini dia tidak boleh keluar dari dalam kuil dan dia mulai merasa terkurung dan tidak leluasa.
Di bagian belakang bangunan kuil itu terdapat dua buah bangunan kecil, di ujung kanan dan di ujung kiri, dekat kebun yang luas. Dari para hwesio kecil lainnya, dia mendengar bahwa dua bangunan kecil ini merupakan tempat-tempat hukuman. Yang sebelah kanan terdapat seorang hwesio yang menjalani hukuman kurungan, sedangkan yang sebelah kiri terdapat seorang nikouw (pendeta perempuan) yang menjalani hukuman yang sama.
Setelah lima tahun berada di situ, kini Han Siong juga telah menjadi seorang calon hwesio. Kepalanya sudah digundul dan dia mengenakan pakaian seperti hwesio. Dia sudah pandai membaca kitab-kitab agama, pandai berliam-keng (berdoa) dan selain berlatih ilmu silat, kesukaannya adalah membaca kitab-kitab suci sampai jauh malam.
Malam itu sunyi sekali. Semua hwesio sudah tidur. Bahkan hwesio yang membaca liam-keng dengan suara yang parau sudah berhenti dan suasananya menjadi semakin sunyi. Namun, seperti biasa, Han Siong yang suka menyendiri itu belum memasuki kamarnya. Dia masih duduk melamun di sudut pekarangan belakang, di tepi kebun sambil menikmati langit yang amat indah, penuh dengan bintang-bintang cemerlang. Semenjak kecil di Pegunungan Kun-lun-san, Han Siong suka sekali menerawang ke langit mengagumi kebesaran alam. Karena sudah menjadi kebiasaannya, maka dia banyak mengenal bintang-bintang di langit. Dari kakek buyutnya, dia banyak mendengar keterangan tentang perbintangan sehingga niatnya untuk mempelajari menjadi semakin besar. Setelah kini dia menjadi calon hwesio di kuil Siauw-lim-si dan memperdalam ilmu membaca kitab agama, dia menemukan kitab tentang perbintangan di perpustakaan. Dibacanya kitab itu dan kini dia dapat menikmati bintang-bintang di langit lebih tertarik karena dia sudah mulai mengenal peredaran dan pergerakan bintang-bintang itu.
Tiba-tiba Han Siong terkejut dan cepat dia menyelinap di belakang batang pohon di sebelah kirinya untuk bersembunyi. Dia melihat berkelebatnya orang yang meloncat turun dari luar pagar tembok kebun! Lalu ada bayangan ke dua yang juga berkelebat cepat sekali. Dua bayangan itu bagaikan terbang saja lalu berlari menuju kedua pondok belakang di sudut kanan kiri kebun dan lenyap di situ.
Han Siong merasa jantungnya berdebar. Demikian cepatnya gerakan dua orang itu sehingga dia tidak mampu melihat muka mereka dengan jelas. Selagi dia menduga-duga, tiba-tiba berkelebat bayangan ke tiga dari luar. Bayangan ini berbeda dengan dua bayangan terdahulu karena bayangan ini begitu meloncat turun, lalu celingukan seperti orang menyelidik. Ketika orang itu agak berdongak, mukanya tertimpa sinar bintang dan terkejutlah Han Siong ketika dia mengenal muka itu sebagai muka seorang hwesio tua yang bekerja sebagai tukang sapu di dalam kuil, seorang hwesio tua yang tuli dan gagu. Dia ditemukan kelaparan dan hampir mati di pekarangan depan kuil, maka oleh Ceng Hok Hwesio lalu ditolong, dirawat dan diberi pekerjaan sebagai tukang sapu di situ.
Setelah celingukan dan sepasang matanya seperti mencorong ditujukan ke arah kedua pondok di mana dua bayangan pertama tadi menghilang, hwesio tua ini pun meloncat dan menghilang di bagian belakang bangunan di mana terdapat kamar hwesio tua tuli gagu itu.
Han Siong mengerutkan alisnya, berpikir dengan hati tegang. Biarpun tidak jelas, dia dapat menduga bahwa dua bayangan pertama tadi tentulah dua orang terhukum itu. Hal ini saja sudah amat aneh. Akan tetapi lebih aneh lagi adalah hwesio tua tuli dan gagu itu. Jelaslah bahwa melihat gerakannya, hwesio tua ini lihai bukan main. Sudah lama dia mempunyai perasaan curiga terhadap hwesio gagu ini. Seringkali dia melihat betapa kalau dia sedang tidak diperhatikan orang, hwesio tua itu mempunyai sinar mata yang mencorong dan berkilat, penuh kekerasan. Akan tetapi di depan para hwesio, sinar matanya dapat berubah menjadi demikian lembut dan mendatangkan rasa iba. Selain ini, yang membuat Han Siong semakin curiga adalah ketika beberapa kali, dalam perjalanannya keliling kalau sedang bergadang, dia lewat di depan kamar hwesio tua ini dan mendengar suara hwesio tua ini mengigau! Hal ini tentu saja amat mengejutkan hatinya karena mana mungkin seorang gagu dapat mengigau dan bicara, walaupun dalam tidur! Dia semakin curiga akan tetapi masih menyembunyikan hal itu sebagai rahasianya sendiri. Dan malam ini, secara kebetulan dia memergoki hwesio tua itu yang agaknya tadi membayangi dua orang hukuman yang berkeliaran keluar dari kuil, dan mendapat kenyataan bahwa hwesio tua gagu ini adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Pada keesokan harinya, Han Siong masih menyembunyikan rahasia yang dilihatnya itu. Jantungnya kadang-kadang berdebar tegang dan bagi pemuda remaja seperti dia, mengetahui sebuah rahasia untuk dirinya sendiri seolah-olah menggenggam sebutir mutiara yang belum diketahui orang lain. Menimbulkan ketegangan yang menggembirakan sekali!
Selagi Han Siong pada pagi hari itu menyapu lantai pekarangan dengan sinar mata berseri karena kegembiraan menyimpan rahasia semalam, tiba-tiba terdengar suara Ceng Hok Hwesio memanggilnya dari ruangan depan.
"Han Siong... ke sinilah sebentar!"
Han Siong menyandarkan sapunya pada dinding lalu memasuki ruangan depan itu. Dia melihat suhunya duduk bersila di atas lantai bertilamkan kasur kecil dan hwesio tua itu memandang kepadanya dengan sinar mata tajam penuh selidik. Hal ini mengherankan hati Han Siong karena belum pernah gurunya bersikap seperti itu. Dia lalu menjatuhkan diri berlutut dan menghadap gurunya.
"Suhu memanggil teecu hendak memerintah apakah?" tanyanya dengan sikap sopan.
Ceng Hok Hwesio tidak segera menjawab, melainkan mengamati anak itu dengan penuh perhatian. "Han Siong, tahukah engkau siapa yang berada di lalam dua buah kamar di sudut belakang dekat kebun itu?" tiba-tiba dia bertanya dan pandang matanya amat tajam menatap wajah anak itu.
Han Siong sampai terkejut melihat sinar mata gurunya itu dan dia menjadi semakin heran. "Suhu maksudkan, dua kamar yang bernama Kamar Renungan dosa itu?"
"Benar! Bukankah setiap hari engkau menyapu lantai depan dua kamar itu" Tahukah engkau siapa yang berada disana?"
Dengan pandang mata yang polos Han Siong menjawab sejujurnya. "Teecu pernah mendengar penuturan beberapa orang suheng bahwa di kamar sebelah barat terdapat seorang hwesio tua yang bertapa dan menjalani hukuman, sedangkan di kamar sebelah timur terdapat seorang nikouw tua. Hanya itulah yang pernah teecu dengar dari pembicaraan para Suheng."
"Hemm, apa yang engkau dengar itu memang benar. "Pernahkah engkau bertemu atau melihat mereka atau seorang di antara mereka berdua itu?" Kembali sepasang mata Ceng Hok Hwesio menatap tajam penuh selidik.
Han Siong sejenak tertegun. Semalam dia melihat dua bayangan orang yang lenyap di dalam kedua kamar itu, akan tetapi dia tidak melihat wajah kedua orang itu dan dia pun tidak berani merasa yakin bahwa dua bayangan orang itu adalah Si Hwesio dan Si Nikouw yang dibicarakan. Maka ia lalu menggeleng kepala. "Teecu belum pernah bertemu dengan mereka, Suhu."
"Dan tidak pernah bicara atau mendengar suara mereka" Ingat, engkau tidak boleh membohong."
"Suhu, bagaimana teecu berani membohong kepada Suhu atau kepada siapapun juga" Teecu tahu bahwa membohong adalah sebuah dosa. Tidak, Suhu, teecu tidak membohong kepada Suhu."
"Baiklah, pinceng percaya kepadamu. Akan tetapi sekarang engkau pergilah kepada kedua orang itu, ketuk pintu kamar mereka dan sampaikan bahwa pinceng memanggil mereka agar sekarang juga menghadap ke sini."
Han Siong terkejut dan juga hatinya merasa tegang. Tentu saja dia merasa gembira bahwa dia yang diserahi tugas ini karena memang sudah lama ingin sekali melihat kedua orang hukuman itu. Diam-diam dia merasa kasihan sekali karena menurut percakapan para hwesio kecil di kuil itu, kedua orang hukuman itu kabarnya sudah menjalani hukuman selama sepuluh tahun lebih dan masih harus meringkuk di situ selama sepuluh tahun lagi karena mereka masing-masing dihukum dua puluh tahun! Tak seorang pun hwesio kecil di situ tahu apa yang menjadi kesalahan kedua orang itu maka dihukum selama dua puluh tahun.
"Ba... baik, Suhu".." katanya agak gagap saking tegang hatinya dan cepat dia lalu bangkit dan berlari menuju kebelakang.
Pertama-tama Han Siong menuju ke rumah pondok satu kamar yang menjadi kamar hukuman dengan nama Kamar Renungan Dosa itu, yang sebelah barat. Jantungnya berdebar penuh ketegangan, karena bukanlah selama bertahun-tahun dia menganggap kamar ini penuh rahasia, merupakan tempat larangan untuk dikunjungi" Dia hanya boleh menyapu lantai pekarangannya saja, sama sekali tidak boleh mendekati pintu, apalagi menyentuhnya. Dan kini dia harus mengetuk pintu itu, dan bicara dengan penghuninya yang selama ini menjadi tokoh penuh rahasia.
"Tok-tok-tok!" Tiga kali Han Siong mengetuk daun pintu yang ternyata terbuat dari papan yang tebal itu. Dia menanti sambil memasang telinga mendengarkan suara yang keluar dari dalam. Namun tidak ada jawaban.
"Heiii, Sute, apa yang kaulakukan itu?" Tiba-tiba terdengar bentakan seorang hwesio muda karena dia terkejut bukan main melihat betapa hwesio keci1 itu berani mengetuk daun pintu kamar larangan itu!
"Sssttt, Suheng, aku diperintah Suhu untuk mengetuk pintu ini dan memanggil penghuninya agar menghadap Suhu!"
Mendengar jawaban ini, hwesio itu nampak terkejut, lalu mengangguk-angguk dan pergi dari situ karena dia tidak berani mencampuri sutenya yang sedang melaksanakan tugas penting itu.
"Tok-tok-tok.. ..!"
"Siapa di luar yang mengetuk pintu?" tiba-tiba terdengar pertanyaan dari dalam, suaranya lembut namun nyaring dan mengejutkan Han Siong walaupun tadinya dia mengharapkan memperoleh jawaban.
"Aku... eh, teecu.".diutus oleh Suhu Ceng Hok Hwesio untuk mengundang."Lo-suhu agar suka datang menghadap Lo-suhu"."
Hening sejenak, lalu suara itu bertanya lagi. "Siapa namamu?" ,
"Teecu... Han Siong".." Jawabnya tanpa berani menyebutkan she (nama keluarga) yang oleh kakek buyutnya telah dipesan agar dia tidak memperkenalkan she-nya kepada siapapun juga.
"Engkau anak yang suka menyapu di pekarangan luar pondok ini?" kembali suara itu terdengar.
Tentu saja Han Siong merasa heran. Orang ini tidak pernah keluar, bagaimana bisa tahu bahwa dia suka menyapu pekarangan di luar rumah itu"
"Benar, Lo-suhu!"
Daun pintu berderit dan Han Siong melangkah mundur. Ketika daun pintu terbuka, muncullah seorang laki-laki dan Han Siong memandang dengan mata terbelalak, tertegun karena kagum dan heran. Sama sekali tidak seperti yang diduganya. Tadinya dia membayangkan bahwa hwesio tua yang dihukum itu tentulah seorang hwesio yang sudah tua, pucat dan kurus kering, karena hwesio itu tidak pernah tersentuh sinar matahari, makan pun hanya dari makanan yang diantar khusus oleh hwesio tua di dapur. Akan tetapi ternyata yang muncul ini adalah seorang laki-laki yang rambutnya panjang awut-awutan biarpun jubahnya masih jubah hwesio. Agaknya karena lama tidak bercukur, maka rambut telah tumbuh dengan subur di kepalanya yang tadinya gundul. Mukanya sebagian tertutup kumis dan jenggot, akan tetapi dapat dilihat bahwa muka itu amat tampan, gagah dan tidak terlalu tua. Sekitar tiga puluh tahun lebih! Sinar matanya mencorong akan tetapi penuh kelembutan dan kegagahan dan biarpun pakaiannya pakaian hwesio yang lusuh, namun tidak menyembunyikan tubuhnya yang tegap. Anehnya, lengan kiri pria itu buntung sebatas siku sehingga lengan bajunya tergantung lemmas dan kosong. Makin iba rasa hati Han Siong melihat bahwa orang yang terhukum ini adalah seorang penderita cacat.
Sejenak keduanya saling pandang dan pria itu tersenyum melihat keheranan membayang di mata anak itu. "Kau...kau... masih muda dan bukan hwesio"."
"Anak baik, ketika memasuki kamar ini, aku adalah seorang hwesio." Dia meraba kepalanya yang penuh dengan rambut yang subur, lalu tersenyum. "Sekarang bukan lagi."
Ingin sekali Han Siong bertanya mengapa pria itu dihukum, akan tetapi tentu saja dia tidak berani karena hal itu dianggapnya tidak sopan. Akan tetapi hatinya telah demikian tertarik kepada pria ini, kagum dan juga kasihan. Teringatlah dia akan hwesio tua gagu yang menjadi tukang sapu itu, yang semalam dia lihat seperti membayangi dua bayangan orang terdahulu. Jangan-jangan hwesio tua gagu itu mempunyai niat buruk, pikirnya. Tentu berniat buruk karena dia sendiri tidak percaya bahwa hwesio itu benar-benar gagu. Dan orang yang pura-pura gagu, tentu mengandung niat tidak baik.
"Lo-suhu... eh, Paman... aku mempunyai berita yang menarik sekali untuk Paman"." Han Siong celingukan ke kanan kiri dan melihat bahwa di situ tidak ada orang lain, dia lalu melanjutkan sambil berbisik, "semalam, dengan tidak sengaja aku melihat dua bayangan orang berloncatan masuk dari luar pagar tembok, akan tetapi tidak lama kemudian muncul pula seorang lain yang agaknya membayangi dua orang terdahulu"."
Pria itu mengerutkan alisnya yang tebal. "Hemm... siapakah orang terakhir itu?"
Kembali Han Siong celingukan. "Dia adalah hwesio tua gagu tukang sapu di sini, akan tetapi aku curiga kepadanya, Paman. Dia itu mengaku gagu, baru setahun ditolong karena kedapatan kelaparan, di jadikan tukang sapu di sini, akan tetapi sudah beberapa kali aku mendengar dia mengigau dan bicara dalam tidurnya."
Istana Kumala Putih 11 Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo Pendekar Lembah Naga 26

Cari Blog Ini