Ceritasilat Novel Online

Pendekar Mata Keranjang 4

Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Bagian 4


"Omitohud... pinceng benar-benar merasa heran melihat kenyataan ini, Sute See-thian Lama. Akan tetapi pinceng tidak dapat memberi keputusan begitu saja, anak ini harus dibawa ke Tibet untuk dilakukan pemeriksaan dengan teliti apakah dia benar Sin-tong yang kami cari ataukah bukan."
Terkejutlah hati See-thian Lama mendengar ucapan ini. Disangkanya bahwa kenyataan akan tidak adanya tanda merah di punggung Hay Hay akan cukup membuktikan bahwa anak itu bukan Sin-tong.
Pada saat itu terdengar suara ketawa bergelak yang datangnya dari jauh sehingga terdengar sayup sampai saja, akan tetapi semakin lama, suara ketawa itu menjadi semakin keras dan jelas. Semua orang terkejut karena maklum bahwa suara ketawa itu adalah suara yang mengandung tenaga khikang yang amat kuat.
Akan tetapi See-thian Lama mengenal suara itu setelah terdengar dekat dan dia pun mengerahkan khikangnya sambil berkata. "Omitohud, Ciu-sian Sin-kai, jangan kau main-main seperti ini! Tidak tahukah dengan siapa pinceng bercakap-cakap?"
Kembali terdengar suara ketawa dan tiba-tiba muncullah seorang kakek yang masih tertawa bergelak. Kakek ini usianya juga sebaya dengan mereka, mendekati delapan puluh tahun. Tubuhnya agak kurus, pakaiannya penuh dengan tambal-tambalan berkembang akan tetapi bersih, sepatunya butut berlubang, rambut, kumis dan jenggotnya yang sudah banyak putihnya itu kusut akan tetapi juga bersih, sepasang matanya tajam dan bergerak-gerak cepat membayangkan kecerdikan. Di pinggangnya terselip sebatang suling yang tiga kaki panjangnya.
"Ha-ha-ha, sungguh lucu sekali. Justeru karena yang bercakap-cakap adalah tiga orang pendeta Lama tingkat tertinggi, maka terdengar amat lucu sekali. Ha-ha-ha!"
Mendengar ucapan ini dan melihat sikap kakek jembel itu, Bai Long Lama menjadi marah atau setidaknya hatinya merasa tidak senang karena dia merasa dipermainkan dan ditertawakan. Dia pun mengenal siapa adanya kakek jembel itu, seorang di antara Delapan Dewa, rekan dari sutenya, See-thian Lama.
"Siancai... Ciu-sian Sin-kai majikan Pulau Hui, sungguh tidak memandang sebelah mata kepada orang-orang Tibet. Sin-kai, kami yang tadi bercakap-cakap, kalau kauanggap lucu menggelikan, apanya yang lucu?" Biarpun suaranya masih lunak, namun mengandung kekerasan dan tantangan.
"Ha-ha-ha-ha!" kembali kakek pengemis itu tertawa dan seperti bicara kepada diri sendiri dia berkata, "Sama-sama menggerakkan mulut dan mengeluarkan suara, jauh lebih sehat ketawa dari pada menangis, bergembira daripada berduka! Para Lama yang mulia, sebelum aku menjawab, aku ingin bertanya lebih dulu. Apakah ucapan Dalai Lama yang terkenal angker dan mengandung kebenaran, pernah salah" Apakah ramalan yang keluar dari kamar suci para Dalai Lama di Tibet, pernah bohong dan tidak cocok dengan kenyataan?"
"Tentu saja belum pernah!" kata Bai Long Lama dengan marah.
"Heh-heh-heh, pinceng juga senang ketawa seperti engkau, jembel tua. Akan tetapi pinceng tidak berani main-main dengan kesucian Dalai Lama. Tentu saja segala ucapan yang keluar dari kamar suci, yang diramalkan dari sana, semua tentu benar dan sama sekali tidak pernah bohong!" Sambung Bai Hang Lama yang gendut.
"Nah, nah, itulah yang lucu!" Kakek jembel itu kembali tertawa. "Aku sendiri mendengar berita itu di dunia kang-ouw bahwa calon Dalai Lama yang baru adalah seorang anak laki-laki yang terlahir dengan tanda warna merah di kulit punggungnya! Dan anak bernama Hay Hay ini kulit punggungnya putih bersih, sedikitpun tidak ada merahnya. Akan tetapi tetap saja kalian tidak percaya! Bukankah ini lucu sekali " Dua orang Lama tingkat tinggi tidak mempercayai ramalan dari kamar suci Dalai Lama. Aneh dan lucu!"
Wajah kedua orang pendeta Lama itu menjadi agak merah. "Bukan tidak percaya, engkau salah sangka, Sin-kai. Calon itu sudah pasti punggungnya ada tanda merahnya. Yang kami kurang percaya bahwa, Sin -tong ini memang tidak memiliki tanda itu. Siapa tahu tanda itu hilang atau sengaja dihilangkan. Karena itu, kami akan membawanya ke Tibet agar para pimpinan mengadakan pemeriksaan dan menentukan benar tidaknya dia Sin-tong yang kami cari!"
"Ha-ha-ha, itu lebih lucu lagi namanya! Siapa tidak mengenal See-thian Lama seorang di antara Delapan Dewa" Pernahkah ada tokoh Delapan Dewa berbohong" Dan siapa pula tidak mengenal Ciu-sian Sin-kai" Biar pengemis, aku selamanya tidak pernah mau berbohong. Kami berdua yang menemukan anak ini, kami berdua yang memeriksa dan mendapat kenyataan bahwa anak ini sama sekali bukan Sin-tong seperti yang dikabarkan orang. Kalau dia Sin-tong, untuk apa kami mengambilnya sebagai murid" Tentu sudah kami kembalikan ke Tibet. Hemm, aku menjadi curiga. Pernah aku mendengar kabar angin bahwa karena sejak kecil tidak boleh berdekatan dengan wanita, banyak kaum pendeta yang memelihara remaja-remaja pria! Benarkah itu" Jangan-jangan murid kita akan dijadikan peliharaan semacam itu, See-thian Lama!"
Ucapan terakhir ini benar-benar menyentuh kelemahan para pendeta Lama ltu. Muka mereka menjadi merah. Harus diakui bahwa mereka berdua bukan termasuk para pendeta yang suka menyembunyikan anak laki-laki yang menjadi kekasih mereka dengan berkedok menjadi kacung, akan tetapi mereka melihat kenyataan yang amat memalukan seperti itu.
"Sudahlah, mungkin pinceng yang keliru. Kalau engkau juga menjadi saksi bahwa anak ini memang tidak memiliki tanda merah di punggung sebelumnya, berarti dia bukan Sin-tong, kami percaya. Biarlah kami akan kembali ke Tibet untuk melaporkan hal ini kepada para pimpinan, terserah kebijaksanaan mereka nanti. Sute, selamat tinggal." kata pendeta Lama yang kecil pendek itu.
"Suheng, selamat tinggal. Mari, Sinkai!" kata pendeta ke dua, Bai Hang Lama yang gendut dan suka ketawa.
"Selamat jalan, Suheng dan Sute." kata See-thian Lama.
"Terima kasih, kalian ternyata Lama-Lama yang mau mengerti dan bijaksana, ha-ha-ha!" Ciu-sian Sin-kai juga berkata. Dua orang pendeta Lama itu lalu pergi dan cara mereka pergi juga mengejutkan hati dan mengagumkan hati Hay Hay karena begitu berkelebatan mereka telah nampak jauh sekali dan sebentar saja mereka hanya nampak seperti titik-titik hitam yang cepat sekali menghilang.
Setelah mereka pergi, Ciu-sian Sin-kai lalu memandang kepada Hay Hay dan tersenyum simpul. "Wah, engkau sudah besar sekarang, Hay Hay. Nah, cepat kau menyerang aku untuk dapat kulihat sampai di mana kemampuanmu setelah lima tahun digembleng oleh Lama pemakan rumput ini!" Ciu-sian Sin-kai memang selalu mengejek kaum pendeta yang tidak suka makan barang berjiwa sebagai "pemakan rumput". Bukan mengejek untuk mencemooh atau mencela, bahkan dia merasa kagum sekali dan membenarkan mereka karena pernah dikatakannya bahwa pemakan rumput adalah mahluk-mahluk yang paling besar dan kuat di dunia ini. Lihat saja, katanya, binatang-binatang pemakan rumput adalah yang terkuat, di antaranya gajah, onta, kuda, sapi, kerbau dan lain-lainnya. Sedangkan binatang pemakan bangkai hanya menjadi ganas saja, seperti harimau, serigala dan sebagainya.
Tentu saja Hay Hay meragu ketika disuruh menyerang kakek berpakaian pengemis itu. Dia memang masih ingat kepada Ciu-sian Sin-kai, akan tetapi karena sudah lima tahun tidak jumpa, tentu saja dia sungkan kalau datang-datang disuruh menyerangnya! Akan tetapi See-thian Lama tertawa dan berkedip kepadanya.
"Hay Hay, Gurumu Ciu-sian Sin-kai sudah mulai hendak memberi petunjuk, kenapa engkau malu dan sungkan" Seranglah dan habiskan kepandaianmu!"
Mendengar perintah ini, baru Hay Hay teringat bahwa watak kakek pengemis tua itu tidak kalah anehnya dibandingkan dengan See-thian Lama, maka dia pun cepat meloncat ke depan kakek itu. Sejenak mereka saling pandang dan Sin-kai girang melihat remaja yang wajahnya cerah dan sepasang matanya yang mengandung kecerdikan itu. Sebaliknya, Hay Hay juga senang melihat wajah kakek jembel itu yang membayangkan gairah dan kebahagiaan hidup, selalu gembira, berbeda dengan sikap See-thian Lama yang selalu lembut dan tenang seperti air danau yang dalam. Sebaliknya sikap kakek jembel ini seperti anak sungai yang airnya berdendang dan gemericik terus-menerus, mengalir cepat di antara batu-batu sungai. Timbullah niatnya untuk menguji, siapa yang lebih unggul antara kedua orang kakek itu dan dia sudah memperoleh cara untuk melakukannya.
"Suhu Ciu-sian Sin-kai, teecu mulai menyerang. Awas!" bentaknya dan dia pun segera menerjang dengan pukulan keras sambil memainkan langkah-langkah ajaibnya, yaitu Jiauw-pouw-poan-soan dan menggunakan ginkang Yan-cu Coan-in yang membuat tubuhnya ringan dan gerakannya cepat bukan main.
Kakek jembel itu terkekeh ketika melihat betapa anak itu bergerak luar biasa cepatnya. Pukulan ke arah perutnya itu dielakkan dan dari samping dia mengulur tangan hendak menangkap pundak Hay Hay. Akan tetapi tiba-tiba saja tangkapannya mengenai angin kosong karena pada saat yang tepat, pundak itu lenyap ketika Hay Hay kembali menyerang, sekali ini menotok ke arah punggung.
"Ehhh... ?" Ciu-sian Sin-kai berseru kagum, cepat meloncat ke depan dan membalikkan tubuhnya dan tanpa ragu-ragu lagi dia pun melayangkan kakinya menendang ke arah kedua lutut Hay Hay. Gerakan kaki kiri kakek ini hebat sekali karena sekali bergerak, ujung kaki kirinya sudah membuat gerakan menendang dua kali mengarah kedua lutut. Cepat sekali. Akan tetapi, dengan langkah ajaibnya kembali Hay Hay dapat menghindarkan kedua lututnya dari serangan kakek itu.
"Bagus! Engkau sudah menguasai Jiauw-pouw-poan-soan dengan baik!" Sin-kai memuji dan terus menghujani anak itu dengan tamparan-tamparan dan tendangan-tendangan dari segala pihak. Namun, memang dalam hal mempergunakan langkah-langkah ajaib, anak ini telah digembleng oleh See-thian Lama sehingga telah menguasainya. Dengan langkah-langkahnya itu, dia malah dapat menghindarkan diri dari sergapan tiga orang pendeta Lama.
"Suhu, coba hendak teecu lihat bagaimana Suhu akan mampu merobohkan teecu kalau teecu menggunakan Jiauw-pouw-poan-soan dan Yan-cu Coan-in!" tiba-tiba Hay Hay berseru gembira.
Hampir saja See-thian Lama menegur muridnya karena ucapan itu dianggapnya takabur sekali. Juga Cui-sian Sin-kai mengerutkan alisnya. "Kaukira aku tidak mampu?" berkata demikian tiba-tiba saja kakek itu merendahkan tubuhnya dan kedua kakinya membuat gerakan menyapu dari kanan kiri secara bergantian. Dibabat dari kanan kiri seperti itu, langkah-langkah kaki Hay Hay menjadi agak kacau dan ketika anak itu mengerahkan ilmu ginkang Yan-cu-coan-in untuk berlompatan menghindar, tiba-tiba saja ujung kaki Sin-kai telah mencium belakang lutut kirinya sehingga tanpa dapat dicegah lagi tubuh Hay Hay terjatuh berlutut!
Hay Hay memang sengaja memancing agar dirobohkan kakek jembel itu. Begitu roboh, dia segera menghadap See-thian Lama.. "Harap suhu ampunkan teecu kalau teecu kurang pandai memainkan ilmu Suhu, ataukah memang ilmu Suhu Ciu-sian Sin-kai yang lebih lihai maka teecu mudah saja dijatuhkan?"
"Hushhh...! Hay Hay, jangan bicara bergitu!" Ciu-sian Sin-kai berseru kaget. Akan tetapi terlambat. Api yang disulutkan oleh Hay Hay itu telah membakar dan menyentuh harga diri See-thian Lama.
"Hay Hay, engkau tadi roboh karena salahmu sendiri. Kalau engkau sudah mahir benar, menghadapi segala macam serampangan seperti tadi, tentu engkau berbalik akan berada di pihak pemenang, dan tidak mungkin dapat dirobohkan."
Hay Hay merasa mendapatkan jalan dengan kata-kata itu. Dia lalu berkata kepada Ciu-sian Sin-kai, "Suhu, teecu ingin sekali mempelajari ilmu membabat dengan kedua kaki tadi, yang telah dapat merobohkan teecu dan membuat langkah ajaib teecu tidak berdaya."
Ciu-sian Sin-kai tertawa. "Ha-ha, boleh saja, muridku. Ilmu itu hanya sebagian kecil saja dari apa yang akan kuajarkan kepadamu. Nah, perhatikan baik-baik. Jurus ini adalah jurus Kaki Gunting dari Ilmu Tendang Soan-hong-twi (Tendangan Berantai). Lihat bagaimana engkau menggerakkan tubuh dan kedua kakimu." Kakek itu memberi petunjuk dan karena Hay Hay memang berbakat dan pula sudah menguasai dasar-dasar ilmu silat tinggi, maka dilatih sebentar saja dia sudah mampu memainkan tendangan jurus Kaki Gunting itu.
"Nah, Suhu, marilah kita berlatih. Suhu mempergunakan Jiauw-pouw-poan-soan dan teecu akan mencoba jurus Kaki Gunting ini!" kata Hay Hay dengan gembira sekali sambil menghampiri See-thian Lama. Kakek ini tersenyum dengan pandang mata mengejek.
"Hemm, jurus kaki gunting tumpul seperti itu saja, apa artinya" Nah, kau boleh menyerangku!"
Karena memang ini yang dikehendaki Hay Hay, dia lalu memainkan jurus tendangannya itu dengan sungguh-sungguh sambil mengerahkan tenaga. Dia menerjang ke depan, merendahkan tubuhnya dan kedua kakinya membuat gerakan menyapu seperti menggunting dari kanan kiri dengan cepat, kadang-kadang bergantian, kadang-kadang berbareng dengan menahan tubuh menggunakan kedua tangan.
Akan tetapi, See-thian Lama sambil tersenyum-senyum, melakukan langkah-langkah mundur dan kedua tangannya bergerak-gerak melakukan totokan-totokan atau tamparan-tamparan ke arah kepala Hay Hay. Karena kedua kaki pendeta itu selalu melangkah mundur, tentu saja sabetan kedua kaki dari kanan kiri itu tak pernah mengenai sasaran, sebaliknya, serangan ke arah bagian atas tubuh itu mernbuat Hay Hay kerepotan. Dia mencoba menangkis, akan tetapi sukar untuk mengelak karena kedua kakinya dipergunakan untuk melakukan tendangan bertubi-tubi sehingga akhirnya, pundaknya terkena totokan. Biarpun See-thian Lama tidak menggunakan tenaga besar, namun tetap saja Hay Hay terduduk lemmas untuk beberapa detik lamanya.
"Suhu belum pernah mengajarkan jurus itu kepada teecu!" kata Hay Hay kepada See-thian Lama setelah dia dapat bangkit berdiri.
"Itulah Jurus Burung Mematuk Ular untuk menghadapi Kaki Gunting tadi."
"Harap Suhu suka rnengajarkan kepada teecu."
Tentu saja See-thian Lama yang sedikit banyak merasa bangga karena sudah dapat membalas Ciu-sian Sin-kai secara tidak langsung itu, mengalahkan jurus Kaki Gunting, dengan senang hati mengajarkan jurus Burung Mematuk Ular kepada muridnya. Sebentar saja Hay Hay sudah dapat memainkan jurus itu dengan baik, menggunakan langkah Jiauw-pouw-poan-soan dengan mundur sambil kedua tangannya mematuk-matuk ke depan dari atas. Setelah dia menguasai jurus itu, dia pun menghadap Ciu-sian Sin-kai.
"Suhu, sekarang teecu sudah dapat mengalahkan jurus Kaki Gunting."
"Ha-ha-ha, akan tetapi jurus Burung Mematuk Ular itu pun mudah pula dipunahkan." kata Ciursian Sin-kai. Kakek ini lalu mengajarkan jurus baru untuk mengatasi dan mengalahkan jurus Burung Mematuk Ular itu. Setelah menguasai jurus itu, Hay Hay lalu diberi pelajaran jurus baru dari See-thian Lama untuk mengalahkan jurus dari Cui-sian Sin-kai.
Demikianlah, dengan cerdiknya, Hay Hay berhasil "mengadu" kedua orang gurunya itu. Dua orang kakek sakti itu "saling menyerang dan saling mengalahkan jurus lawan" secara tidak langsung, melainkan melalui murid mereka. Dan karena ingin saling mengalahkan, tentu saja makin lama mereka mengeluarkan jurus-jurus yang semakin tinggi dan pilihan! Dan semakin sukarlah bagi Hay Hay untuk mempelajari setiap jurus baru yang semakin rumit. Karena itu adu ilmu secara tidak langsung ini terjadi lebih dari tiga bulan! Nampaknya saja keduanya melatih Hay Hay dengan jurus-jurus ampuh dan pilihan, akan tetapi sesungguhnya, keduanya saling tidak mau mengalah untuk menonjolkan kehebatan ilmu masing-masing. Tentu saja yang untung adalah Hay Hay. Biarpun tentu saja dia tidak atau belum dapat menguasai semua jurus itu dengan sempurna karena kurang latihan, namun setidaknya dia telah mengenal dan menguasai teorinya sehingga kelak tinggal mematangkan saja dengan latihan.
Lambat laun, kedua kakek itu pun maklum bahwa mereka berdua telah diadu oleh murid mereka. Diam-diam mereka merasa geli akan kebodohan diri sendiri dan kagum akan kecerdikan murid mereka, akan tetapi mereka maklum betapa pentingnya cara mengajarkan ilmu seperti itu kepada Hay Hay, mereka melanjutkan "adu ilmu" ini sampai seratus hari lamanya.
"Omitohud, sudah cukuplah, Hay Hay. Pinceng hari ini merasa kalah dan mengaku kelebihan Ciu-sian Sin-kai. Engkau ikutlah dia dan belajarlah dengan rajin selama lima tahun." kata See-thian Lama setelah Hay Hay memperlihatkan jurus baru dari kakek pengemis itu.
"Ha-ha-ha, See-thian Lama terlalu merendah. Ketahuilah, Hay Hay. Bagi orang-orang yang sudah benar-benar menguasai ilmu silat, tidak ada jurus yang tidak akan dapat dihadapi sebagaimana mestinya. Akan tetapi, seperti juga tidak ada benda yang paling besar dan tempat yang paling tinggi di alam ini, tidak ada pula orang yang tidak terkalahkan. Sepandai-pandainya orang, tidak akan mampu menandingi serangan usia sendiri yang menggerogoti dari dalam. Karena itu, belajarlah yang giat dan lenyapkan sikap takabur. Selama hidup, engkau masih sempat mempelajari hal-hal yang baru."
Hay Hay berlutut di depan kedua orang gurunya itu sambil menghaturkan terima kasihnya. Dan pada hari itu juga, Hay Hay pergi meninggalkan See-thian Lama, mengikuti gurunya yang baru, Ciu-sian Sin-kai yang membawanya pulang ke Pulau Hiu.
Kita tinggalkan dulu Hay Hay yang mulai berguru kepada Ciu-sian Sin-kai dan mengikuti gurunya itu pergi ke Pulau Hiu dan marilah kita mengikuti keadaan Lam-hai Giam-lo, kakek muka kuda yang penuh rahasia itu. Mengapa kakek yang memiliki kepandaian amat tinggi itu sampai rela merendahkan diri, menjadi tukang kebun dan bahkan pura-pura gagu tuli di kuil Siauw-lim-si yang sunyi itu" Dia menyamar sebagai seorang hwesio tuli gagu, seolah-olah dia hendak menyembunyikan diri karena ketakutan.
Memang kakek iblis ini dilanda ketakutan! Ada dua orang musuh besar yang selalu mengejarnya dan biarpun dia amat lihai, namun dalam beberapa kali perkelahian melawan mereka, dia selalu kalah dan nyaris tewas. Akhirnya, karena terus dikejar-kejar, dalam keadaan terluka dalam dia melarikan diri dan menggunduli rambut, menyamar sebagai hwesio dan dengan bermain sandiwara sebagai seorang hwesio terlantar kelaparan, dia ditolong oleh para hwesio kuil itu dan diterima bekerja sebagai tukang sapu.
Siapakah dua orang yang ditakuti seorang seperti Lam-hai Giam-lo ini dan mengapa dia bermusuhan dengan mereka" Awal mula permusuhan itu terjadi sepuluh tahun yang lalu. Ketika itu, Lam-hai Giam-lo yang baru saja kehilangan gurunya, yaitu Lam-kwi-ong seorang di antara Empat Setan Dunia, seperti menggantikan kedudukan mendiang gurunya dan dia merajalela di dunia persilatan, di bagian selatan dan jauh di barat. Karena sejak muda dia memang berkeliaran di pantai selatan sehingga memperoleh julukan Lam-hai Giam-lo (Raja Akhirat Laut Selatan), maka namanya amat ditakuti di daerah selatan. Ketika itu, usianya baru sekitar empat puluh tahun dan satu di antara kejahatan yang dilakukannya adalah menculik dan memperkosa wanita yang menarik hatinya.
Pada suatu hari, dia melarikan seorang gadis cantik dari kota Swatouw, dilarikannya menuju ke pantai yang amat curam karena pantai ini merupakan bagian pegunungan tepi laut selatan. Gadis itu berusia tujuh belas tahun dan selalu menangis, meronta dan menolak untuk melayani orang yang mukanya mengerikan seperti muka kuda itu. Hal ini membuat Lam-hai Giam-lo marah sekali. Dia ingin gadis ini menyerahkan diri dengan suka rela karena dia tidak merasa puas kalau harus memperkosa dengan kekerasan. Di tempat yang sunyi itu, di tebing jurang yang amat curam, dia marah-marah karena kembali gadis itu menolak, bahkan memaki-maki sambil menangis. Dijambaknya rambut gadis itu yang panjang dan terurai lepas dari sanggulnya, dan dibawanya gadis itu ke tepi tebing. Dengan satu tangan, dia menggantung gadis itu pada rambut yang dijambaknya.
"Nah, lihat ke bawah! Apakah engkau lebih suka kulempar ke bawah sana" Hayo pilih, engkau memenuhi permintaanku dengan manis atau kulempar ke bawah sana?"
Gadis itu tergantung di udara dan dengan muka pucat dan mata terbelalak ia memandang ke bawah. Jauh di sana nampak air laut dan batu-batu besar, amat jauh di bawah. Air laut yang kalau didekati bergelombang besar itu, dari tempat setinggi ini nampak tenang dan indah. Akan tetapi membayangkan dirinya dilepas dan meluncur ke bawah, sungguh amat mengerikan. Batu-batu yang seperti bentuk-bentuk binatang purba itu tentu akan menyambut tubuhnya menjadi hancur lebur dan ombak-ombak laut akan melenyapkan sisa-sisa tubuhnya. Tinggi tebing itu tidak kurang dari seribu kaki!
"Tidak... tidak... lebih baik kaubunuh saja aku! Lebih baik ,aku mati daripada harus memenuhi permintaanmu yang keji!" Gadis itu sudah nekat dan ia memejamkan mata, menanti saat ia dilemparkan ke bawah.
Dapat dibayangkan betapa marahnya rasa hati Lam-hai Giam-lo. Dia amat suka kepada gadis ini, suka akan kecantikannya, kesegaran tubuhnya, dan keberaniannya. Dia ingin memiliki gadis ini dengan sukarela, tidak memperkosa seperti yang biasa dilakukannya terhadap wanita yang tidak mau melayaninya dengan sukarela. Penolakan yang amat keras dari gadis itu membuat rasa sukanya berbalik menjadi rasa benci yang besar.
"Baik, kalau begitu, engkau akan kuperkosa sampai puas, baru akan kulemparkan ke bawah sana!" katanya penuh geram. Mendengar ancaman ini, yang baginya lebih mengerikan daripada maut, gadis itu menjerit sekuat tenaga, lalu terkulai pingsan!
Agaknya jeritannya itu menarik perhatian dua orang yang berada tak jauh dari tempat itu. Seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih dan seorang gadis kecil berusia dua belas tahun datang berlari-lari. Laki-laki itu buntung lengan kirinya, sebatas siku, tubuhnya tinggi besar dan wajahnya membayangkan sikap yang gagah perkasa. Adapun gadis cilik itu cantik mungil, dengan tubuh yang tangkas terlatih. Ketika laki-laki buntung lengan kirinya itu tiba di situ dan melihat seorang laki-laki bermuka kuda sedang menjambak rambut seorang gadis yang tergantung di tepi tebing, dia terkejut bukan main dan membentak nyaring.
"Lepaskan gadis itu!"
Melihat munculnya seorang laki-laki buntung sebelah lengannya, dan seorang gadis remaja yang cantik, Lam-hai Giam-lo menatap tajam ke arah wajah gadis remaja itu. Kejengkelan hatinya memuncak melihat ada orang berani membentaknya dan mencampuri urusannya, akan tetapi dia pun tertarik melihat gadis remaja itu.
"Ha-ha-ha, baik, kulepaskan gadis ini dan gadis remaja itu menjadi penggantinya, ha-ha-ha!" Dan dia benar-benar melepaskan jambakan rambutnya sehingga tentu saja tubuh gadis yang sudah pingsan itu meluncur ke bawah. Melihat ini, gadis remaja itu terbelalak dan lari ke tepi tebing, menjenguk ke bawah. Mukanya berubah pucat melihat betapa tingginya tebing itu dan tubuh yang meluncur ke bawah itu sudah tidak nampak lagi. Tentu sudah hancur lebur terbanting pada batu-batu karang di bawah sana!
Laki-laki tinggi besar berlengan buntung sebelah itu marah bukan main. "Keparat, engkau ini iblis jahat, bukan manusia!" Sambil membentak demikian, dia melangkah maju.
Lam-hai Giam-lo tertawa lagi. "Tepat, memang aku bukan manusia, melainkan Raja Akhirat Laut Selatan. Aku tadi memberi korban kepada laut selatan, ha-ha!"
"Lam-hai Giam-lo...!" Kini laki-laki berlengan buntung sebelah itu terbelalak, mukanya berubah. Tentu saja dia sudah mendengar akan nama tokoh sesat ini ketika dia mulai memasuki daerah pantai selatan. Tak disangkanya dia akan menyaksikan iblis itu membunuh seorang wanita begitu kejam dan biarpun dia sudah mendengar bahwa iblis itu amat sakti, melihat kekejamannya dia melupakan hal ini dan mengambil keputusan untuk menentangnya.
"Ha-ha-ha, engkau sudah mendengar namaku" Lekas berlutut dan serahkan gadis remaja itu kepadaku sebagai pengganti korban tadi."
Laki-laki berlengan buntung itu memandang marah. Mukanya yang gagah dan keras itu berubah merah dan dia mengepal tangan kanannya. "Iblis seperti engkau ini harus dibasmi!" bentaknya dan dia pun kini menerjang maju dengan marah, menyerang dengan tangan kanannya, menghantam ke arah dada Lam-hai Giam-lo.
Lam-hai Giam-lo melihat datangnya pukulan yang mengandung angin pukulan keras, tersenyum mengejek. Dia tidak berani menerima pukulan yang cukup ampuh itu, melainkan mengelak ke samping dan kakinya mencuat dalam sebuah tendangan kilat mengarah lambung lawan. Akan tetapi, laki-laki buntung lengan kirinya ini dapat meloncat ke samping, menghindarkan tendangap dan kembali tangan kanannya menyambar dengan totokan ke arah lener.
Lam-hai Giam-lo menangkis sambil mengerahkan tenaga pada lengan kirinya. "Dukk!" Tangan laki-laki buntung itu terpental, akan tetapi tidak membuat lengan itu patah, bahkan kembali tangan kanan laki-laki itu menyerang dengan cengkeraman ke arah ubun-ubun kepala Lam-hai Giam-lo. Iblis ini menyeringai, maklum bahwa bagaimanapun juga, laki-laki buntung sebelah lengannya ini mempunyai sedikit kepandaian. Dan melihat gerak dan geseran kakinya, dia maklum bahwa lawannya memiliki dasar ilmu silat yang cukup tinggi. Maka, dia pun mengeluarkan kepandaian simpanannya dan dengan gerakan dahsyat dia menubruk ke depan, mengembangkan kedua tangannya dan membentak dengan nyaring sekali. Suara bentakannya melengking dan mengejutkan laki-laki itu yang berusaha untuk menghindar sambil menggerakkan tangan kanan menangkis. Namun, serangan itu terlampau hebat. Angin pukulan yang keras menyambar dan laki-laki itu terpelanting sampai bergulingan dan sebuah tendangan susulan yang mengenai pinggulnya membuat tubuhnya terjungkal ke dalam jurang, ke bawah tebing yang amat curam tadi!
"Ha-ha-ha, kaususullah gadis keras kepala tadi. Dan kau, anak manis, ke sinilah, mari ikut bersamaku bersenang-senang!" Dia melangkah menghampiri gadis remaja yang masih berada di tepi tebing. Gadis itu tadi masih merasa ngeri melihat betapa tubuh wanita itu tadi dilempar ke bawah, kini melihat pria buntung lengan kirinya juga terpelanting ke bawah tebing, ia menahan jeritnya dan memandang dengan mata terbelalak ke bawah tebing. Ketika Lam-hai Giam-lo yang mukanya menyeramkan itu kini menghampirinya, gadis cilik itu tak dapat menahan rasa ngerinya dan dengan nekat ia pun meloncat ke bawah tebing menyusul gurunya sambil berteriak memanggil.
"Suhuuuuu?"!!"
Lam-hai Giam-lo tertegun. Mukanya berubah merah dan dia mengepal tinjunya, mengamang-amangkan tinjunya kebawah tebing. "Keparat, kau melahap semuanya!" bentaknya seolah-olah marah kepada tebing yang telah menelan dua calon korbannya. Kini dia tidak kebagian apa-apa dan kalau saja di situ terdapat orang lain, tentu akan menjadi korban kemarahannya. Dia menendang sebuah batu besar sehingga batu itu pun menggelinding ke bawah tebing, lalu mendorong roboh sebatang pohon besar dengan kedua tangannya, menendangi batu-batu kecil seperti orang kesurupan setan. Setelah melampiaskan kemarahannya, Lam-hai Giam-lo lalu lari dari tempat itu.
Menurut akal sehat, sungguh tidak mungkin sekali kalau orang yang terjungkal ke bawah tebing securam itu, seribu kaki tingginya, akan tetapi selamat. Tubuh tentu akan hancur lebur kalau menimpa batu-batu karang, dan akan lebih remuk lagi kalau ditangkap dan dihempaskan ombak laut yang besar itu kepada batu dan dinding karang yang runcing tajam dan keras. Akan tetapi, kenyataan kadang-kadang lebih aneh daripada perhitungan akal. Terdapat keajaiban di mana mana yang oleh kita dinamakan "kebetulan". Apalagi urusan nyawa, sungguh di luar perhitungan akal dan kita sama sekali tidak dapat menguasai mati hidup kita sendiri.
KALAU memang sudah tiba saatnya nyawa harus meninggalkan raga, biarpun kita bersembunyi ke dalam lubang semut, tetap saja maut akan datang menjemput, tepat pada saatnya dan dengan cara yang bagaimana aneh pun. Sebaliknya, kalau memang belum saatnya kita mati, biarpun sudah terancam seribu satu bahaya maut, ada saja "kebetulan" yang seribu satu macamnya yang akan membuat kita terluput daripada kematian. Seorang perajurit yang sejak mudanya menjadi perajurit, hidup di medan perang dan setiap saat terancam bahaya maut, dapat keluar tanpa lecet sedikit pun sampai hari pensiunnya. Akan tetapi begitu dia pulang ke kampung, baru saja dia terkena penyakit dan dalam satu dua hari saja meninggal dunia! Banyak pula orang yang sudah menderita sakit yang berat, sampai bertahun-tahun tidak juga mati walaupun dia sudah merasa bosan dengan penderitaan penyakitnya dan minta mati. Sebaliknya, ada pula orang yang hari ini masih nampak segar bugar dan tertawa-tawa, besok secara tiba-tiba saja meninggal dunia!
Karena itu, biarpun nampaknya ajaib dan luar biasa aneh, kalau mengingat akan hal-hal di atas, tidaklah aneh kalau laki-laki buntung lengan kirinya tadi, yang terjungkal dari tempat setinggi seribu kaki, tidak menjadi mati karena memang belum saatnya. Hanya perkataan "belum saatnya" itulah yang dapat kita keluarkan karena kita tidak dapat menembus rahasia di balik itu semua.
Ketika dia meluncur turun, laki-laki gagah ini tidak menjadi pingsan, bahkan tidak kehilangan ketenangannya. Dia tahu bahwa dia tentu akan hancur terbanting di batu-batu karang bawah sana. Akan tetapi tiba-tiba saja tubuhnya tertahan dan dia merasa punggungnya perih dan ketika dengan cekatan tangan kanannya meraih ke belakang, kiranya secara "kebetulan" sekali tubuhnya tertahan oleh sebuah pohon yang secara "kebetulan" pula tumbuh miring pada dinding tebing curam itu! Agaknya jubahnya yang berkembang karena luncuran tadi, tertangkap dan terkait dahan pohon yang "kebetulan" tidak patah sehingga tubuhnya tertahan. Pada saat itu, dia mendengar jeritan muridnya. Cepat dia bergantung dengan kedua kakinya pada dahan pohon yang terbesar, dan memandang ke atas dan dilihatnya tubuh kecil muridnya melayang turun!
laki-laki itu memang hebat, memiliki kekuatan batin yang luar biasa sehingga dalam keadaan seperti itu, dia masih sadar dan dapat membuat perhitungan dengan tepat. Ketika tubuh gadis remaja itu meluncur di dekatnya, cepat dia menyambar dengan tangan kanannya dan berhasil menangkap lengan anak perempuan itu!
Anak perempuan itu mengaduh dan dia sendiri menahan keluhannya karena belakang lutut kedua kakinya yang bergantung, juga pangkal lengan kanannya, terbetot keras dan terasa nyeri sekali. Akan tetapi dia dapat bertahan dan dia girang bahwa anak perempuan itu pun masih dalam keadaan sadar.
"Cepat, Hui Lian, kautangkap dahan pohon depanmu itu." katanya sambil menarik tubuh anak itu ke atas.
Anak yang bernama Hui Lian itu menangkap dahan pohon, kemudian dia mendekam di situ, tubuhnya agak gemetar dan ia kembali menutup matanya ketika memandang ke bawah. Ia merasa ngeri bukan main.
"Tenangkan hatimu, jangan memandang ke atas atau ke bawah. Bersukurlah bahwa kita masih dalam keadaan selamat."
"Baik, Suhu!" Dan dalam suara anak itu kini sudah terdengar keriangan, tanda bahwa hatinya sudah tenang dan ia pun berusaha bersikap riang untuk membesarkan hati gurunya.
Laki-laki itu lalu memandang ke bawah dan ke atas, mengukur dengan pandang matanya. Kiranya letak pohon itu berada di tengah-tengah tebing, ke atas masih lima ratus kaki, ke bawah masih lima ratus kaki! Dan tidak mungkin mendaki tebing itu karena tegak lurus dan permukaannya rata dan licin. Ketika dia melihat-lihat, tiba-tiba dia melihat bahwa pohon itu keluar dari sebuah guha. Burung-burung walet beterbangan keluar masuk guha yang tidak lebih dari satu meter garis tengahnya. Hal ini menandakan bahwa biarpun bagian luarnya hanya bergaris tengah satu meter, akan tetapi di sebelah dalamnya, guha itu tentu cukup lebar. Kalau tidak demikian, burung-burung itu tidak akan memilih tempat itu sebagai sarang mereka."
"Hui Lian, engkau berpegang erat-erat pada dahan itu, aku mau menyelidiki keadaan guha itu."
Laki-laki itu, dengan hanya sebelah tangan dan dua kaki, merayap melalui dahan dan batang pohon dan akhirnya berhasil sampai ke mulut guha. Dia menjenguk dan hampir berteriak kegirangan. Benar seperti yang diduga dan diharapkannya. Guha itu amat besar di bagian dalamnya dan memperoleh sinar yang cukup dari "pintu" yang satu meter garis tengahnya itu.
"Hui Lian, mari, ikuti aku, merayap ke sini. Hati-hati." katanya.
Hui Lian dengan hati-hati sekali lalu merayap melalui dahan dan batang pohon, mengikuti gurunya dan masuk ke dalam guha itu melalui batang pohon. Ketika mereka tiba di dalam guha dan turun, berdiri di lantai guha, keduanya girang bukan main. Barulah laki-laki itu sadar bahwa mereka berdua baru saja lolos dari lubang maut dan dia pun merangkul muridnya.
"Hui Lian, kita harus berterima kasih kepada Tuhan yang secara ajaib telah menyelamatkan kita!" Dan dia pun mengajak muridnya berlutut dan menghaturkan terima kasih kepada Bumi dan Langit. Setelah bersembahyang keduanya bangkit berdiri dan mulai memeriksa keadaan guha itu. Sebuah guha yang besar dan dalam, dan ada terowongannya ke dalam. Mereka belum memasuki terowongan itu, karena hati mereka masih tegang dan mereka perlu beristirahat. Laki-laki itu mengajak muridnya duduk bersila di bagian depan guha itu yang merupakan ruangan yang tidak kurang dari sepuluh meter panjangnya dan lima meter lebarnya, dengan pintu lubang satu meter garis tengahnya tadi. Lantainya rata dan licin, seperti lantai rumah saja
"Suhu, bagaimana kita dapat naik lagi?"
"Hui Lian, belum saatnya kita memikirkan hal itu. Sekarang, bergembiralah bahwa kita telah mendapatkan sebuah tempat yang untuk sementara dapat kita tinggali."
"Tapi... tapi... bagaimana kita dapat minum, makan dan keluar dari tempat ini".?"
Gurunya memegang kepalanya dengan tangan kanan, mengelus rambutnya dan berkata, suayanya halus. "Hui Lian, kita baru saja terlepas dari cengkeraman maut, perlu apa kehilangan akal untuk urusan lain" Semua itu nanti dapat kita selidiki perlahan-lahan, dan sekarang, yang terpenting kita samadhi untuk memulihkan tenaga dan ketenangan batin. Marilah." Hui Lian mengangguk, tidak membantah lagi dan tak lama kemudian, guru dan murid itu sudah duduk bersila dengan tubuh tegak lurus, tenggelam kedalam samadhi.
Siapakah guru dan murid ini" Laki-laki berlengan kiri buntung itu bernama Ciang Su Kiat dan muridnya bernama Kok Hui Lian. Para pembaca kisah Asmara Berdarah mungkin belum lupa akan nama Ciang Su Kiat. Dia adalah bekas murid Cin-ling-pai yang membuntungi lengan kirinya sendiri karena dianggap bersalah terhadap Cin-ling-pai oleh Ketua Cin-ling-pai yang ketika itu menjadi gurunya, ialah Cia Kong Liang yang berwatak keras dan tegas itu. Setelah membuntungi lengan kirinya sendiri, Ciang Su Kiat keluar dari Cin-ling-pai, tidak menjadi anggauta Cin-ling-pai lagi dan selanjutnya orang tidak tahu ke mana dia pergi menyembunyikan dirinya.
Akan tetapi, dengan hati yang prihatin, Ciang Su Kiat bukan bersembunyi untuk merenungi nasibnya, melainkan dengan mati-matian dia menggembleng dirinya dengan ilmu-ilmu silat yang lebih mendalam sehingga biarpun dia kehilangan lengan kiri sebatas siku, di lain pihak dia memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu silat. Beberapa tahun kemudian, ketika terjadi San-hai-koan dilanda perang, barulah secara tiba-tiba dia muncul dan dengan kepandaiannya yang sudah maju pesat, dia berhasil menyelamatkan puteri tunggal keluarga Kok-taijin Gubernur San-hai-koan yang terbasmi semua, lalu membawa puteri yang baru berumur sepuluh tahun itu meninggalkan San-hai-koan. Puteri itu bukan lain adalah Kok Hui Lian yang kemudian menjadi muridnya, juga anak angkatnya karena Hui Lian sudah kehilangan ayah bunda dan seluruh keluarganya.
Sebetulnya, yang tadinya menyelamatkan Hui Lian dari rumah Gubernur Kok adalah Cia Hui Song, putera dari ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi karena dia dikeroyok orang-orang pandai, terpaksa dia melepaskan Hui Lian dan hampir saja Hui Lian celaka tertawan musuh kalau saja tidak muncul Ciang Su Kiat yang menyelamatkannya dan membawanya lari.
Sampai dua jam lamanya Ciang Su Kiat dan Kok Hui Lian duduk bersamadhi di ruangan depan guha itu. Setelah mereka merasa bahwa kekuatan mereka pulih kembali dan batin mereka menjadi tenang, barulah mereka bangkit dan Ciang Su Kiat mengajak muridnya untuk melakukan pemeriksaan ke dalam guha. Mula-mula mereka menjenguk ke luar dan sekali lagi mereka mendapat kenyataan bahwa tidak mungkin mereka keluar dari tempat itu. Untuk merayap, turun atau naik tidaklah mungkin. Jarak naik atau turun sejauh lima ratus kaki, dan dinding tebing itu terjal, tegak lurus dan licin sekali. Seekor monyet sekalipun kiranya tidak mungkin mampu merayap sampai ke permukaan laut di bawah atau naik sampai ke atas. Hanya burung-burung walet itulah mampu keluar dari tempat itu. Setelah merasa yakin bahwa mereka tidak mungkin keluar dari situ melalui dinding di luar guha, mereka lalu masuk kembali dan memeriksa keadaan ruangan dalam. Guha itu adalah guha alam, lantai dan dindingnya semua dari batu karang yang amat kuat. Hanya anehnya, lantainya begitu rata dan licin seolah-olah ada orang yang melicinkannya. Ketika meraba dinding dan merasa betapa dinding itu lembab dan basah, Su Kiat berkata girang, "Ahh, setidaknya, kebutuhan kita akan air dapat terpenuhi!"
"Di mana ada air, Suhu?"
"Di dalam dinding ini. Lihat, dinding ini basah dan lembab, dan di sana-sini nampak air menetes. Kalau kita melubangi dinding ini membentuk mangkok, sebentar saja tentu akan penuh dengan air jemih dan segar!"
Keduanya lalu mempergunakan pecahan-pecahan batu untuk memukuli bagian dinding yang paling basah dan karena Ciang Su Kiat memiliki tenaga yang besar, tak lama kemudian dia berhasll membuat lubang sebesar kepala orang yang mencekung seperti mangkok pada dinding itu. Benar saja, nampak air menetes-netes dan walaupun hanya satu tetes demi satu tetes, karena deras dan tiada hentinya, tempat itu pun penuh dengan air jernih yang ketika mereka minum, terasa manis dan segar.
Mereka lalu memeriksa terus, dan mulai memasuki terowongan. Baiknya sinar matahari yang memasuki tempat itu melalui lubang guha, amat terang sehingga cahayanya sempat pula masuk keterowongan. Biarpun remang-remang keadaannya, mereka masih dapat melihat dengan jelas keadaan terowongan. Terowongan itu setinggi manusia. Su Kiat harus agak menunduk dan panjangnya hanya sepuluh meter. Burung-burung walet menyambar-nyambar dan ternyata burung-burung itu membuat sarang mereka di atas atap terowongan, juga di bagian belakang terowongan yang tingginya dua meter setengah. Akan tetapi, yang mengherankan hati mereka adalah ketika mereka menemukan dua buah ruangan di kanan kiri terowongan, seperti dua buah kamar saja walaupun tanpa daun pintu.
"Iihhhhh?"." Su Kiat terkejut dan cepat melompat ke dekat muridnya yang menjerit tadi. Dia tadi memeriksa kamar di kiri sedangkan muridnya agaknya masuk ke kamar sebelah kanan. Kini dia pun dapat melihat apa yang menyebabkan muridnya menjerit tadi. Di dalam kamar sebelah kanan itu terdapat dua rangka manusia yang masih lengkap dan utuh, keduanya duduk bersila dan bersandar pada dinding. Di depan dua rangka itu terdapat dua buah kitab yang masih terbuka! Mereka segera memeriksanya. Agaknya dua orang yang kini telah menjadi rangka itu, dahulunya mati dalam keadaan bersila di kamar itu. Dan ketika Su Kiat memeriksa dua buah kitab yang berada di depan rangka, ternyata bahwa itu adalah kitab-kitab pelajaran ilmu silat, lengkap dengan gambar-gambar dan huruf-hurufnya. Jantungnya berdebar tegang. Akan tetapi dua buah kitab itu tidak dijamahnya dan setelah memeriksa keadaan di kamar itu lebih teliti, dia lalu mengajak muridnya memeriksa kamar di sebelah kiri. Di dalam kamar ini dia menemukan sebatang pedang pendek dengan sarung pedang berukirkan kembang seruni. Ketika dia mencabutnya, dia terkejut karena pedang itu bukan sebatang pedang biasa, melainkan sebatang pedang pusaka yang berkilauan saking tajamnya, dengan sinar putih kebiruan! Kembali dia meletakkan pedang di tempatnya.
Penemuan-penemuan itu hanya mendatangkan kegembiraan sedikit saja karena pada saat itu, yang terpenting adalah mempertahankan hidup dan mencari jalan keluar. Tanpa ada makanan mereka tak mungkin hidup dari air saja, dan tanpa dapat keluar dari tempat itu, apa gunanya kitab pelajaran ilmu silat dan pusaka"
Akan tetapi setelah tinggal di situ tiga hari lamanya, setelah mereka kehilangan harapan untuk dapat keluar dari situ, setelah mereka tidak mengharapkan lagi untuk dapat keluar, batin mereka bahkan menjadi tenang. Mereka dapat menerima kenyataan yang ada dan hal ini menenangkan batin, dan kalau batin tenang, kecerdasan pun timbul. Mereka mulai menemukan hal-hal baru. Telur-telur dan sarang burung dapat menjadi makanan mereka setiap hari, bahkan kalau perlu mereka dapat menangkap burung kecil-kecil itu untuk menjadi makanan tanpa mengurangi jumlah burung yang ribuan banyaknya. Juga di bagian belakang terowongan mereka menemukan semacam lumut atau jamur-jamur kecil berwarna putih yang ternyata enak dimakan, kalau dimasak seperti daging ayam saja rasanya. Untuk membuat api bukan merupakan hal yang sulit karena di situ terdapat banyak batu-batu keras yang kalau digosokkan keluar bunga api dan mencari daun kering dan kayu kering juga banyak terdapat di luar guha. Pohon yang tumbuh di dalam mulut guha itu mungkin dahulunya merupakan biji yang dibawa burung dan terjatuh ke mulut guha, karena di situ lembab banyak air dan mendapat sinar matahari lalu tumbuh menjadi pohon besar yang keluar dari dalam melalui mulut guha.
Hal yang amat aneh akan tetapi juga menggirangkan hati didapatkan oleh guru dan murid. itu. Setelah mereka setiap hari makan telur dan sarang burung walet, ditambah jamur kecil atau lumut itu, mereka merasa betapa tubuh mereka menjadi segar seperti memperoleh kekuatan baru! Giranglah hati Su Kiat yang dapat menduga bahwa di dalam makanan itu tentu terkandung gizi yang luar biasa, terkandung obat yang menguatkan tubuh.
Karena merasa sehat dan segar, mulailah Su Kiat memperhatikan dua buah kitab itu dan dengan girang dia mendapat kenyataan bahwa dua buah kitab itu adalah kitab-kitab pelajaran ilmu silat yang luar biasa anehnya, juga di situ terdapat ilmu silat yang luar biasa anehnya, juga di situ terdapat pelajaran untuk menghimpun tenaga sakti, pelajaran untuk memperkuat sinkang mereka. Tentu saja mereka berdua semakin bersemangat mempelajari isi kitab itu dan di bawah bimbingan Su Kiat, mulailah Hui Lian mempelajari dan melatih diri dengan ilmu silat dari dua buah kitab itu. Kitab pelajaran silat tangan kosong itu pada kulitnya tertulis nama itu, ialah Sian-eng Sin-kun (Silat Sakti Bayangan Dewa), sedangkan kitab ke dua bernama In-Iiong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Awan). Su Kiat sama sekali tidak pernah mimpi bahwa dia dan muridnya telah menerima warisan ilmu yang amat dahsyat, merupakan ilmu inti dari dua orang tokoh besar, yaitu In Liong Nio-nio dan Sian-eng-cu The Kok, dua di antara Delapan Dewa! Dua kerangka manusia itu adalah kerangka dua orang sakti itulah, yang meninggal dunia di dalam guha itu dengan meninggalkan kitab pelalaran inti ilmu silat mereka. Sungguh sukar mencapai tempat itu dan kalau bukan "jodoh", sudah pasti takkan ada yang dapat menemukan dua buah kitab itu. Dan kalau dibiarkan terus, tentu dalam waktu puluhan tahun, kitab itu akan hancur dan lenyap pula.
Dua macam ilmu itu ternyata amat rumit dan sukar sekali dipelajari, bahkan tidak mungkin dapat dikuasai sebelum orang yang mempelajarinya melatih diri dengan ilmu-ilmu sinkang yang khas untuk kedua ilmu itu, seperti yang dijelaskan pada lembaran-lembaran pertama. Karena itu, Su Kiat memimpin muridnya untuk lebih dahulu mempelajari penghimpunan tenaga sakti menurut petunjuk dua kitab itu. Dan karena ketika masuk kedalam guha itu, usia Hui Lian baru dua belas tahun, maka untuk berlatih menghimpun tenaga sakti itu saja membutuhkan waktu empat tahun! Kemudian, barulah dara ini melatih diri dengan ilmu itu bersama-sama gurunya.
Ada satu hal yang aneh lagi terjadi pada diri Hui Lian. Setelah ia mulai dewasa dan dari anak-anak berubah menjadi seorang gadis, bau keringat tubuhnya menjadi harum! Hal ini tidak terjadi pada diri Su Kiat dan pria gagah itu pun dapat menduga bahwa keharuman keringat ini tentu timbul karena terjadi proses di dalam tubuh muridnya sebagai akibat makanan yang hanya terdiri dari telur burung, sarang burung, dan jamur-jamur kecil putih itu! Dan kalau dia sendiri tidak mendapatkan keharuman pada keringatnya, hal itu tentu karena ada perbedaan antara dia dan muridnya. Dia seorang pria dan muridnya seorang wanita.
Kadang-kadang di waktu malam, Su Kiat bersembahyang dan merasa bersyukur kepada Tuhan bahwa di dalam hatinya telah tumbuh rasa sayang kepada Hui Lian sebagai seorang ayah terhadap anak kandungnya! Tanpa rasa sayang seperti ini, dia tahu amatlah berbahaya bagi dia sebagai seorang pria hidup berdua saja dengan seorang wanita seperti Hui Lian, apalagi setelah Hui Lian kini bukan kanak-kanak lagi melainkan makin lama makin nampak menjadi seorang gadis yang luar biasa cantiknya. Mereka berdua hidup di tempat terkurung seperti itu, dengan pakaian yang makin lama makin tidak lengkap. Mereka sudah berusaha untuk menghemat pakaian, dengan memotong pakaian mereka menjadi beberapa potong baju dan celana pendek. Akan tetapi tahun demi tahun, pakaian itu semakin tua dan rusak sehingga setiap hari dia harus melihat muridnya itu hanya memakai pakaian sekedar penutup dada dan pusar saja. Dia sendiri hanya memakai celana pendek tanpa baju! Untung Hui Lian mendapatkan akal, menggunakan kulit batang pohon untuk dijadikan semacam penutup tubuh yang biarpun kasar sekali akan tetapi awet.
Cintanya terhadap Hui Lian seperti cinta seorang ayah, yang ada hanya rasa sayang dan iba. Perasaan cinta seperti ini meniadakan nafsu berahi, akan tetapi kalau malam tiba, dia harus banyak melakukan siu-lian (samadhi) sehingga dapat juga dia selalu memadamkan api berahi yang kadang-kadang timbul juga sebagai suatu kewajaran.
Dengan daya tahan yang luar biasa, kedua orang itu dapat melewati waktu sepuluh tahun! Kini Su Kiat telah menjadi seorang laki-laki berusia empat puluh tahun, sedangkan Hui Lian menjadi seorang gadis yang cantik jelita berusia dua puluh dua tahun. Dan mereka telah menamatkan seluruh isi kedua kitab itu.
Pagi itu Hui Lian keluar dari guha dan nongkrong di atas dahan pohon. Seekor burung yang agak besar melayang dan hendak hinggap di pohon itu. Melihat burung yang besar ini Hui Lan merasa gembira sekali. Ingin dia menangkapnya. Tentu enak daging burung ini. Tidak seperti burung walet yang kecil-kecil dan lebih banyak tulangnya dan bulunya dari pada dagingnya. Begitu burung itu hinggap, cepat Hui Lian menyambar dan kini gadis itu tak boleh disamakan dengan sepuluh tahun yang lalu. Berkat latihan ilmu-ilmu yang luar biasa itu, ia memiliki kecepatan seperti kilat dan angin. Burung itu hanya sempat terkejut, akan tetapi tahu-tahu lehernya sudah ditangkap. Akan tetapi, karena gembiranya, Hui Lian sampai lupa diri, lupa bahwa ia berada di atas pohon, bukan di atas tanah. Gerakannya tadi menggunakan tenaga terlalu besar.
"Krekkkk...!" dahan itu patah dan tubuhnya terjatuh ke bawah! Hui Lian melepaskan burung itu dan cepat ia menggunakan tenaga dalam di tubuhnya untuk meraih ke samping. Kedua tangannya secara otomatis mencengkeram dan mengenai dinding tebing.
"Crepp!" Jari-jari kedua tangannya menancap pada dinding itu seperti dua cakar harimau mencengkeram daging kijang saja! Dan tubuhnya terhenti.
"Hui Lian"..!" Gurunya menjenguk dari atas dan guru ini terheran-heran dan khawatir melihat muridnya bergantung di dinding tebing yang demikian curamnya.
"Suhu, kedua tanganku dapat mencengkeram dinding tebing!" teriak Hui Lian dari bawah, kuranglebih sepuluh meter dari guha. "Teecu akan merayap ke atas!" Kini dengan kedua tangannya, dibantu oleh kakinya yang menekan tebing, kedua tangan itu bergantian mencengkeram ke atas, Hui Lian perlahan-lahan merayap naik dan dapat mencapai guha dengan selamat. Begitu meloncat ke dalam guha, Hui Lian langsung merangkul gurunya dan menangis.
"Eh...! Anak gila, kenapa kau malah menangis" Engkau sudah selamat, sepatutnya bersukur?""
"Suhu, apakah Suhu tidak melihatnya" Aku dapat merayap naik dengan kedua tanganku!"
Suhunya tersenyum. "Habis mau apa" Apakah aku harus bertepuk tangan memuji" Nah, aku bertepuk tangan." Dia pun bertepuk tangan seperti orang memuji dan mengagumi.
"Ihh, Suhu ini bagaimana sih" Makin tua malah semakin bodoh!" Hui Lian mengomel. Selama tinggal di dalam guha itu memang Su Kiat bergaul dengan muridnya , seperti sahabat saja, tidak pernah menekankan sikap hormat bagi muridnya sehingga pergaulan mereka akrab dan hanya kalau teringat saja Hui Lian bersikap hormat.
"Wah, engkau ini murid macam apa" Berani memaki gurunya bodoh!" Su Kiat menegur, akan tetapi dengan sikap berkelakar.
"Maaf, Suhu. Saking gembiraku maka aku sampai lupa diri. Suhu, kalau aku mampu merayap dengan kedua tangan, berarti Suhu juga akan mampu melakukannya!"
"Untuk apa" Jangan-jangan kuku jari-jari tanganku akan copot." !
"Untuk apa" Bagaimana sih Suhu ini" Tentu saja untuk merayap naik keluar dari neraka ini!"
Sepasang mata itu terbelalak. "Keluar dari sini... " Ahh.".ah, mungkinkah itu?"?"
"Suhu, tentu saja! Mari kita coba!"
Bagaikan baru sadar dari mimpi, Su Kiat lalu meloncat keluar dari dalam mulut guha, menginjak batang pohon dan mencoba dengan kedua tangannya untuk mencengkeram dinding tebing. Dan ternyata lima buah jari tangannya juga dapat menancap dan mencengkeram batu padas itu dan tanpa banyak kesukaran dia merayap naik sampai beberapa meter tingginya.
"Suhu, tunggu dulu! Kita harus berpamit dan berterima kasih kepada kedua orang Locianpwe di dalam!" kembali Hui Lian memperingatkan gurunya. Biarpun dia bergembira bukan main. Su Kiat teringat akan hal ini dan dia pun merayap turun lagi, meloncat ke dalam guha dan merangkul muridnya, seperti yang dilakukan oleh Hui Lian tadi. Gadis itu merasa terharu melihat betapa kedua mata suhunya basah oleh air mata. Suhunya juga menangis saking haru dan girangnya! Baru dara ini sadar betapa diam-diam suhunya, walaupun sama sekali tidak memperlihatkannya, teramat rindu untuk dapat keluar dari tempat itu. Keduanya lalu masuk ke dalam, menjatuhkan diri berlutut di depan kedua kerangka manusia itu.
"Ji-wi Locianpwe (Dua Orang Tua Gagah), kami berdua menghaturkan banyak terima kasih atas warisan ilmu-ilmu dan pedang. Tanpa petunjuk Ji-wi, tidak mungkin kami akan dapat keluar dari tempat ini."
Kemudian mereka membawa dua buah kitab yang oleh Su Kiat diikatkan pada punggungnya, dibungkus sisa kain dan diikat dengan tali terbuat dari kulit batang pohon, sedangkan pedang Kiok-hwa-kiam (Pedang Bunga Seruni) yang oleh Su Kiat diberikan kepada muridnya, tergantung pula di punggung Hui Lian. Lalu keduanya mulai merayap naik, perlahan-lahan dan hati-hati sekali, Su Kiat di atas dan Hui Lian mengikutinya dari bawah. Dengan tenaga sinkang mereka yang sudah amat tinggi, jari-jari tangan mereka yang mencengkeram itu menjadi keras seperti cakar baja dan dengan hati berdebar penuh ketegangan, harapan dan kegembiraan, mereka merayap terus pada dinding tebing yang tingginya tidak kurang dari seratus lima puluh meter itu!
Akhirnya, setelah merayap perlahan-lahan selama hampir setengah jam, tibalah mereka di daratan atas. Saking girangnya, Su Kiat lalu berlutut dan Hui Lian berlutut di sebelahnya. Sampai lama kedua orang guru dan murid itu hanya mendekam di situ, tanpa kata, dengan hati penuh rasa bersyukur dan terima kasih karena mereka sama sekali tidak pernah menyangka bahwa mereka akan pernah dapat keluar dari tempat kurungan itu! Setelah sepuluh tahun!
Tidaklah mengherankan kalau Su Kiat dan Hui Lian merasa penuh dendam terhadap Lam-hai Giam-lo. Orang bermuka kuda itulah yang membuat mereka menderita selama sepuluh tahun di tempat terasing itu.
"Suhu, kalau aku tidak dapat membekuk jahanam itu, hatiku akan selalu merasa penasaran. Aku ingin membekuknya, menyeretnya ke sini dan melemparkannya ke bawah tebing!" demikian Hui Lian berkata dengan suara yang membuat gurunya merasa tengkuknya meremang karena dalam suara itu terkandung kedinginan dari hati yang penuh dendam. "Setelah itu aku ingin pergi mengunjungi Cin-ling-pai, hendak kulihat sampai di mana kelihaian Cin-ling-pai maka mereka berani menghina Suhu!"
Selama sepuluh tahun berdua dengan suhunya di dalam guha itu, Hui Lian mendengar banyak tentang riwayat gurunya dan tentang Cin-ling-pai yang dipimpin oleh ketuanya yang berwatak keras dan angkuh, tentang para pendekar di dunia kang-ouw yang pernah dikenal oleh suhunya. Juga dara ini mendengar tentang dirinya yang sudah tidak memiliki keluarga lagi. Karena itu, selain mendendam kepada Lam-hai Giam-lo yang membuat mereka berdua menderita, ia pun diam-diam merasa penasaran kepada Ketua Cin-ling-pai.
Ciang Su Kiat menarik napas panjang. "Muridku yang baik, tenangkan hatimu. Menentang orang-orang jahat memang sudah menjadi tugasmu karena aku ingin melihat engkau menjadi seorang pendekar wanita yang gagah perkasa. Akan tetapi ingatlah baik-baik bahwa di dunia ini terdapat banyak sekali orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Aku sendiri pun harus membalas atas kejahatan Lam-hai Giam-lo, akan tetapi ada hal yang lebih penting dari itu."
"Apakah hal yang lebih penting itu, Suhu?"
"Pertama-tama, mencari pakaian yang pantas untukmu!" kata Ciang Su Kiat sambil tersenyum melihat keadaan muridnya. Muridnya itu telah menjadi seorang gadis berusia dua puluh dua tahun, dengan wajah yang amat cantik manis, tubuhnya yang padat berisi dan sudah masak sehingga tentu akan menggegerkan orang kalau muncul di depan umum dengan pakaian seperti itu! Hanya sebuah celana sebatas lutut dan baju yang hanya menutupi dadanya saja. Mana mungkin menyembunyikan lekuk lengkung tubuhnya dengan tonjolan-tonjolan yang menggairahkan itu!
"Pakaian?" Hui Lian menundukkan muka memandang ke arah pakaiannya dan wajahnya menjadi kemerahan, akan tetapi hanya sebentar saja. Ia sudah tidak merasa canggung sama sekali berpakaian seperti itu di depan suhunya, karena sudah terbiasa, dan karena memang tidak ada pandang mata yang menimbulkan rasa canggung atau malu dari gurunya. "Ah, ke mana kita harus mencari pakaian, Suhu?"
Suhunya bangkit berdiri dan memandang ke kanan kiri. Dia mengingat-ingat dan teringatlah dia bahwa tidak jauh dari situ, kurang lebih sepuluh li saja, terdapat sebuah dusun nelayan di tepi pantai.
"Kita pergi ke dusun sana dan mencuri pakaian untukmu."
"Mencuri... ?"" Hui Lian menatap wajah gurunya dengan mata terbelalak dan Su Kiat memandang dengan kagum. Muridnya ini cantik bukan main, memiliki sepasang mata yang demikian lebar, jeli dan indah. "Suhu sendiri yang berkali-kali mengatakan bahwa mencuri adalah perbuatan yang tidak baik, dan hanya dilakukan oleh orang-orang jahat."
"Memang benar, muridku. Kalau kita mencuri karena kita menginginkan barang-barang mahal dan indah, kalau mencuri karena keinginan, hal itu amatlah jahat, apalagi kalau perbuatan kita itu mendatangkan duka dan kesengsaraan kepada yang kita curi. Akan tetapi dalam hal keadaan kita ini, kita mencuri karena terpaksa, dan kita hanya akan mencuri pakaian di rumah seorang yang kaya sehingga tidak ada artinya bagi yang kecurian. Apa artinya pakaian beberapa potong bagi keluarga kaya" Mari kita pergi." Hui Lian mengikuti gurunya melangkah pergi setelah mereka untuk yang terakhir kalinya menjenguk ke bawah tebing. "Akan tetapi, Suhu, aku tetap tidak ingin mencuri. Aku mau terang-terangan mendatangi orang kaya dan minta pakaian untuk aku dan untuk Suhu."
Hampir saja Su Kiat tidak dapat menahan ketawanya. Hui Lian hendak mendatangi orang dan minta pakaian dalam keadaan setengah telanjang seperti itu" Akan tetapi dia menahan kegelian hatinya. Bagaimanapun juga, belum tentu yang dimintai oleh muridnya itu orang-orang tidak sopan, mungkin saja orang budiman yang mau menolong. Andaikata Hui Lian akan menemui kekurang ajaran seperti yang disangkanya, biarlah gadis itu belajar tentang hidup dan watak manusia pada umumnya, dari pengalaman langsung. Dia merasa kasihan kepada muridnya. Sejak berusia dua belas tahun telah terasing, hanya berdua saja dengan dia selama sepuluh tahun, tak pernah mengenal manusia lain sehingga mungkin saja gadis itu menganggap bahwa semua orang seperti dia, tidak bersikap kurang ajar. Gadis itu masih merasa seperti kanak-kanak, tidak tahu bahwa dirinya telah menjadi seorang gadis yang masak, yang memiliki wajah dan tubuh menggiurkan, apalagi dengan pakaian setengah telanjang seperti itu.
"Baiklah, engkau boleh mencobanya dan aku akan menanti di luar dusun." katanya.
Setelah mereka tiba di luar dusun yang dimaksudkan, hari telah menjelang sore dan matahari mulai condong ke barat, cahayanya mulai redup. Seorang diri Hui Lian melangkah dan memasuki dusun itu. Tentu saja kemunculannya membuat semua orang terbelalak. Mula-mula orang mengira bahwa ia seorang perempuan gila, akan tetapi ketika mata mereka, terutama mata laki-laki, melihat bahwa ia adalah seorang gadis yang cantik dengan bentuk tubuh yang menggairahkan, tubuh yang berkulit kuning halus dan mulus, hampir tidak tertutup pakaian, semua orang memandang kagum dan terheran-heran.
Tanpa mempedulikan sikap orang-orang itu, juga beberapa orang laki-laki yang mengikuti di belakangnya. Hui Lian melangkah terus dan akhirnya ia berhenti di depan sebuah rumah yang paling besar dan megah di dusun itu. Inilah rumah orang kaya, pikirnya. Ia sendiri di waktu kecil adalah puteri gubernur, dan banyak rumah-rumah besar dan indah dilihatnya di kota. Rumah yang kini dipandangnya itu, kalau di kota tentu belum termasuk rumah orang kaya. Akan tetapi di dusun ini, rumah itu menonjol di antara rumah-rumah gubuk yang sederhana.
"Kebetulan sekali pada saat itu, seorang pria berusia tiga puluh tahun yang melihat pakaiannya tentu seorang yang kaya, diiringkan oleh empat orang pengawalnya, keluar dari rumah itu. Tentu saja dia dan empat orang kawannya, yang rata-rata berusia tiga puluh tahun dan berpakaian seperti tukang-tukang pukul, tertegun melihat masuknya seorang gadis hampir telanjang dari pintu pekarangan. Gadis yang amat cantik, dengan bentuk tubuh yang aduhai!
Hui Lan sudah melangkah dekat dan menjura, "Apakah engkau pemilik rumah ini?" tanyanya, cara bicaranya sederhana sekali.
Pria itu masih melongo karena dia merasa seperti mimpi bertemu dengan seorang gadis seperti ini. Gadis itu hampir telanjang, bukit-bukit payudaranya nampak, perutnya juga nampak, kulitnya begitu putih mulus, namun gadis itu sama sekali tidak kelihatan malu-malu atau canggung!
"Benar, Lui-kongcu ini adalah tuan rumah." seorang di antara pengawalnya yang menjawab sambil menyeringai.
Hui Lian sudah mengerutkan alisnya melihat pandang mata lima orang laki-laki itu. Pandang mata mereka itu bukan hanya pecundang mata keheranan, melainkan mengandung sesuatu yang kurang ajar. Pandang mata itu seperti dapat dia rasakan meraba-raba ke seluruh kulit tubuhnya.
"Aku datang untuk minta pertolongan." katanya pula.
"Ah, tentu saja, Nona. Aku akan suka sekali menolong Nona. Silakan masuk, Nona." kaki-Iaki yang disebut Lui-kongcu itu mempersilakannya dengan sikap manis.
Hui Lian menggeleng kepala. "Aku hanya datang untuk minta agar diberi satu pasang pakaian untuk aku dan untuk guruku. Kami kehabisan pakaian dan membutuhkannya."
Lui-kongcu tersenyum dan kembali matanya menjelajahi seluruh tubuh gadis itu dengan penuh kagum. Seorang gadis yang hebat, pikirnya. Dia mengangguk-angguk. "Aku dapat melihat bahwa engkau memang membutuhkan pakaian, Nona. Marilah, mari masuk dan kau boleh tinggal di sini dan akan kuberi pakaian sebanyak-banyaknya. Pakaian yang indah-indah, perhiasan dan apa saja yang kau butuhkan."
"Berilah sepasang saja untukku dan sepasang untuk Guruku, dan aku akan pergi dengan berterima kasih."
"Aihh, mengapa tergesa-gesa, Nona" Seorang gadis cantik seperti engkau tidak pantas berkeliaran dalam keadaan setengah telanjang. Masuklah, aku akan memberi segalanya asal saja engkau mau?""
"Mau apa ?" tanya Hui Lian yang tidak mengerti maksud orang.
"Heh-heh-heh!" Lui-kongcu tertawa dan empat orang pengawalnya ikut pula tertawa.
"Masa engkau tidak tahu, Nona. Asal engkau mau menjadi kekasihku tentu saja. Engkau cantik dan aku suka sekali".."
"Plakkk!" Tiba-tiba saja tangan Hui Lian sudah menamparnya.
"Aughhh"..!" Lui-kongcu terpelanting. Beberapa buah giginya copot dan mulutnya berdarah, bibirnya pecah dan pipinya membengkak hitam. Dia mengaduh-aduh dan mengusap pipinya yang ditampar tadi.
Melihat ini, tentu saja empat orang pengawal atau tukang pukulnya menjadi marah sekali. Tanpa dikomando lagi, mereka berempat sudah menubruk maju, bermaksud menangkap gadis itu dan menyerahkannya kepada Lui-kongcu.
Akan tetapi, Hui Lian yang sudah marah menyambut terkaman mereka itu dengan gerakan kaki tangannya dan empat orang itu sendiri tidak tahu apa yang terjadi atas diri mereka karena tiba-tiba saja mereka terpelanting ke kanan kiri dan kepala pening dan tidak mampu bangun kembali. Ketika mereka sadar dan dapat bangkit, ternyata gadis setengah telanjang itu telah lenyap dari situ.
Hui Lian menghadap suhunya dengan muka merah, masih marah dan mulutnya cemberut. Su Kiat yang melihat keadaan muridnya segera bertanya apa yang terjadi. Hui Lian menceritakan pengalamannya dan gurunya itu tertawa.
"Ha-ha-ha, sudah kuduga akan terjadi demikian, muridku. Memang aku membiarkan engkau menghadapinya agar engkau tahu sendiri dari pengalaman. Bukankah aku sudah menyarankan agar kita mencuri saja?"
"Suhu, apakah semua laki-laki seperti mereka itu?" Ia teringat akan sikap gurunya lalu menambahkan. "Apakah tidak ada laki-laki lain yang seperti Suhu sikapnya?"
"Tentu saja ada dan banyak, muridku. Akan tetapi, sebagian besar laki-laki memang mata keranjang dan kurang ajar terhadap wanita. Mereka itu sudah terlanjur menganggap wanita sebagai sesuatu yang indah, sesuatu untuk dipermainkan dan untuk menghibur dan menyenangkan hati mereka. Karena itu, melihat keadaanmu seperti ini, setengah telanjang, tentu saja kekurangajaran mereka timbul secara menyolok."
Hui Lian mengepal tinju. "Hemm, lain kali kalau ada yang kurang ajar seperti itu, akan kubunuh dia!"
Su Kiat mengerutkan alisnya. "Sabarlah, muridku. Tidak baik sembarangan membunuh orang hanya karena kesalahan yang sedikit saja. Laki-laki memang suka menggoda wanita dan belum dapat dinamakan jahat kalau dia hanya sekedar menggoda dengan pandang mata dan kata-kata saja. Laki-laki menggoda wanita itu biasanya karena dia menyukainya atau mengaguminya. Tidak ada laki-laki yang menggoda wanita yang dianggapnya buruk dan tidak menarik. Karena tertarik, seorang laki-laki menggoda untuk menarik perhatian dan kalau wanita yang digodanya menanggapinya, maka mereka pun tentu saja akan menjadi akrab. Jadi, mereka itu tidak dapat dinamakan jahat, walaupun tidak sopan atau kurang ajar, karena sikap itu sudah menjadi melemahkan semua pria, tentu saja ada kecualinya. Kalau seorang laki-laki sudah melakukan paksaan atau perkosaan terhadap wanita, barulah dia itu seorang jai-hwa-cat yang berbahaya dan jahat, dan perlu diberantas."
Malam itu juga, dua bayangan berkelebat dengan cepatnya di atas wuwungan rumah hartawan Lui. Pada keesokan harinya, keluarga itu menjadi gempar lagi ketika mendapat kenyataan bahwa ada beberapa potong pakaian yang lenyap berikut sepatu, bahkan sejumlah uang. Biarpun tak seorang pun melihat bayangan Su Kiat dan Hui Lian, namun Lui-kongcu dapat menduga bahwa tentu kehilangan barang-barang itu ada hubungannya dengan gadis manis setengah telanjang yang menghajar dia, dan empat orang tukang pukulnya. Karena itu, dia pun tidak membuat ribut, takut kalau-kalau gadis yang lihai dan galak itu datang kembali.
Setelah memperoleh pakaian yang rapi. mulailah Su Kiat dan Hui Uan melakukan penyelidikan dan mencari-cari musuh besar mereka. Tidak sukar mencari seorang seperti Lam-hai Giam-lo yang amat tersohor itu. Pada suatu hari, selagi Lam-hai Giam-lo berada di pondoknya yang dibangun secara darurat di tepi Laut Selatan, masih tidur, karena semalam bergadang, namanya dipanggil orang dari luar . Lam-hai Giam-lo terbangun dan mendengarkan suara itu.
"Lam-hai Giam-lo, jahanam busuk, keluarlah engkau!"
Tentu saja kakek yang sudah berusia lima puluh tahun itu, menjadi marah mendengar makian orang, apalagi suara itu adalah suara seorang wanita! Wanita mana di dunia ini yang berani meremehkannya, bahkan memakinya" Setelah menggosok kedua matanya dan sadar benar, dia lalu melangkah keluar dari pondoknya.
Seorang gadis berpakaian sutera putih, berwajah cantik dan bertubuh ramping padat, berusia dua puluh tahun lebih, berdiri di depan pondoknya bersama seorang pria berusia empat puluh tahun lebih. Juga pria tinggi besar yang lengan kirinya buntung ini tidak dikenalnya, maka lam-hai Giam-lo memandang dengan alis berkerut dan menduga-duga siapa adanya dua orang pengunjung yang agaknya bersikap memusuhinya itu. Sepuluh tahun yang lalu, Su Kiat merupakan lawan yang amat lunak bagi Lam-hai Giam-lo, maka peristiwa itu sama sekali tidak meninggalkan kesan di hatinya dan dia benar-benar sudah lupa sama sekali kepada pria berlengan buntung sebelah itu. Apalagi kepada Hui Lian yang ketika itu masih merupakan seorang anak perempuan belum dewasa.
Sebaliknya, Su Kiat dan Hui Lian ingat benar kepada laki-laki muka kuda ini dan mereka sudah memandang dengan sinar mata mencorong penuh kemarahan. "Lam-hai Giam-lo, kami datang untuk membalas dendam atas kejahatanmu sepuluh tahun yang lalu!" kata Ciang Su Kiat.
"Siapakah kalian?" Lam-hai Giam-lo membentak, marah karena dua orang itu agaknya memandang rendah kepadanya, padahal di daerah selatan ini dia dapat menamakan dirinya sebagai tokoh sesat nomor satu.
"Lam-hai Giam-lo, lupakah engkau akan peristiwa sepuluh tahun yang lalu, ketika engkau melempar seorang gadis tak berdosa ke bawah tebing yang curam, kemudian menendang aku ke bawah tebing pula?"
"Dan aku meloncat ke bawah, menyusul Suhu!" Hui Lian membantu suhunya mengingatkan kepada musuh itu.
Kini Lam-hai Giam-lo teringat dan dia pun tertawa bergelak. Suara ketawanya lebih mirip lagi dengan ringkik kuda daripada suaranya yang sudah parau dan serak itu.
"Hieeeh-heh-heh...! Jadi kalian adalah mereka itu" Hah-hah-hah !" Tiba-tiba dia menghentikan suara ketawanya dan memandang dengan mata yang sipit itu dicoba untuk dilebarkan. "Tapi... tapi kalian sudah jatuh ke bawah tebing"..bagaimana sekarang bisa muncul lagi?"
"Lam-hai Giam-lo, betapa pun jahat dan kejammu, engkau bukanlah Giam-lo-ong yang sesungguhnya dan tidak berhak mencabut nyawa orang sebelum kematian orang itu dikehendaki oleh Thian! Dan kini kami datang untuk membalas kejahatanmu yang melampaui takaran itu."
Kembali kakek muka kuda itu tertawa meringkik. "Heh, heh, heh, kalau sepuluh tahun yang lalu aku gagal, sekarang tentu aku tidak akan gagal mencabut nyawamu, lengan buntung. Dan anak perempuan dulu itu kini telah menjadi seorang gadis yang cantik, hemm, sekarang harus melayaniku beberapa hari lamanya.!"
"Jahanam bermulut busuk!" Hui Lian memaki dan gadis ini sudah mencabut pedang Kiok-hwa-kiam (Pedang Bunga Seruni) dari punggungnya, lalu menyerang dengan tusukan kilat ke arah perut lawan.
Melihat sinar pedang yang meluncur cepat itu, dan sinarnya berkilauan menyambar, Lam-hai Giam-lo tidak berani memandang rendah dan dia pun mengelak dengan melangkah ke belakang dan miringkan tubuhnya. Akan tetapi, ternyata pedang yang meluncur lewat itu tahu-tahu sudah membalik secara aneh dan cepat sekali, tahu-tahu telah membabat ke arah lehernya dari samping!
"Ehh...!" Lam-hai Giam-lo terpaksa melempar tubuh ke belakang dan meloncat mundur, sambil mengirim tendangan yang dapat dielakkan pula oleh Hui Lian.
"Tahan dulu! Aku tidak ingin membunuh orang-orang yang tak bernama. Siapakah kalian?" bentak Lam-hai Giam-lo.
Hui Lian mewakili gurunya menjawab, suaranya dingin seperti pandang matanya sehingga Lam-hai Giam-lo merasa ngeri juga. "Aku bernama Kok Hui Lian dan ini adalah Guruku Ciang Su Kiat." Lalu dara itu mengelebatkan pedangnya. "Lam-hai Giam-lo, bersiaplah engkau untuk menebus dosa-dosamu!" Pedangnya lalu menyambar dan diputar dengan cepat sehingga lenyaplah bentuk pedangnya, berubah menjadi segulungan sinar putih yang menyilaukan mata. Sementara itu, Su Kiat juga tidak tinggal diam. Dia melihat betapa muridnya sudah memainkan In-liong Kiam-sut, maka dia pun mengimbanginya dengan permainan silat sakti Sian-eng Sin-kun.
Melihat betapa gulungan sinar pedang itu menyambar seperti ombak hendak menggulungnya, dan gerakan tangan kanan Su Kiat mengandung hawa pukulan seperti badai menderu, diam-diam Lam-hai Giam-lo menjadi terkejut. Tak disangkanya bahwa dua orang yang telah terjatuh ke bawah tebing curam itu masih hidup dan lebih tak disangkanya lagi bahwa dalam waktu sepuluh tahun, kedua orang ini telah memiliki ilmu kepandaian yang begini hebat. Dia pun cepat menggerakkan tubuhnya dan tubuhnya diputar dengan cepat sekali, berpusing seperti gasing dan dari putaran itu, kedua lengannya yang dapat mulur panjang itu mencuat dan kadang-kadang menyerang dengan tiba-tiba. Beberapa kali dia berusaha menangkap sebelah tangan Su Kiat atau pergelangan tangan Hui Lian yang memegang pedang, namun tak pernah berhasil karena kedua orang itu dapat bergerak dengan cepat, dibarengi langkah-langkah kaki yang aneh.
Lam-hai Giam-lo hampir tidak percaya akan hal yang dialaminya sendiri. Dia adalah seorang tokoh besar dan dalam hal ilmu silat, dia telah mewarisi ilmu kepandaian gurunya, mendiang Lam-kwi-ong sehingga tingkat kepandaiannya dibandingkan dengan mendiang gurunya, tidak banyak selisihnya. Akan tetapi sekarang, menghadapi pengeroyokan dua orang yang pada sepuluh tahun yang lalu belum apa-apa, kini dia terdesak hebat dan repot melayani sinar pedang dan tangan yang hanya sebelah kanan itu. Yang berbahaya bahkan lengan baju kiri yang buntung itu karena secara tak disangka-sangka sekali, kadang-kadang ujung lengan baju itu menyambar dan melakukan totokan-totokan yang ampuh. Harus diakui bahwa ilmu silat yang dimainkan laki-laki buntung lengan kirinya ini hebat luar biasa, aneh dan mengandung tenaga dahsyat. Akan tetapi, pedang yang dimainkan oleh gadis itu pun ampuh sekali. Selain pedangnya merupakan pusaka yang ampuh, juga ilmu pedang itu membingungkan Lam-hai Giam-lo. Sudah banyak dia berkelahi melawan ilmu-ilmu pedang di dunia persilatan, akan tetapi belum pernah dia menghadapi ilmu pedang yang begini tangkas. Pedang yang berubah menjadi segulungan sinar putih itu seperti seekor naga yang mengamuk! Akan tetapi nampaknya demikian lembut dan indah sekali gerakannya, seperti seorang gadis cantik yang menari-nari saja, hanya tarian itu mengandung ancaman maut di setiap gerak serangannya! Su Kiat dan Hui Lian harus mengakui bahwa mereka berhadapan dengan lawan yang amat tangguh. Su Kiat pernah menjadi murid Cin-ling-pai dan bagaimanapun juga, dia sudah memiliki pengalaman berkelahi yang cukup banyak. Sebaliknya, Hui Lian belum pernah berkelahi dan semua ilmu yang dikuasainya hanyalah berkat latihan-latihannya yang amat rajin, dibantu oleh bimbingan gurunya yang sungguh-sungguh. Oleh karena itu, permainan pedang Hui Lian juga amat hebatnya. Bahkan Su Kiat sendiri harus mengakui bahwa dalam hal berlatih ilmu pedang In-liong Kiam-sut, dia sendiri masih kalah oleh muridnya sendiri. Bukan hanya karena lengan kirinya buntung, sehingga kurang keseimbangan kalau dia yang memainkan pedang dengan ilmu itu, akan tetapi terutama sekali karena Ilmu Pedang In-liong Kiam-sut itu memang bersifat lembut seperti wanita, dan gerakannya halus indah, lebih tepat digerakkan oleh tubuh wanita yang lentur dan lemah gemulai. Dia tidak tahu bahwa ilmu pedang itu adalah ciptaan mendiang In-liong Nio-nio, seorang di antara Delapan Dewa, dan karena penciptanya wanita dan untuk dimainkan sendiri, tentu saja memiliki ciri khas permainan wanita yang halus.
Perkelahian itu semakin seru dan hebat mati-matian. Makin lama, Lam-hai Giam-lo menjadi semakin marah dan penasaran. Dia bukan hanya mempertahankan diri, melainkan juga merasa bahwa dia mempertahankan nama dan kedudukannya. Masih untung baginya bahwa pada saat itu, tidak ada saksi yang akan melihat betapa dia, Lam-hai Giam-lo, kini terdesak oleh seorang laki-laki buntung sebelah tangannya dan seorang gadis muda. Dia mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan semua ilmunya, akan tetapi tetap saja dia terdesak terus. Sampai seratus jurus dia mampu bertahan, akan tetapi akhirnya, pundaknya terkena totokan ujung lengan baju kiri yang buntung dari Su Kiat. Lam-hai Giam-lo tidak roboh melainkan merasa kesemutan dan dalam beberapa detik dia terhuyung. Kesempatan ini cukup bagi Hui Lian untuk mendesak dengan pedangnya. Pedang itu berkelebat menuju ke arah leher lawan. Lam-hai Giam-lo terkejut, untuk mengelak sudah tidak ada waktu lagi, terpaksa dia berlaku nekat, menggunakan tangan kirinya yang diisi tenaga sinkang sepenuhnya untuk menangkis.
"Plakk!" Pedang itu tertangkis, akan tetapi kulit lengannya terobek sedikit sehingga terluka dan berdarah. Pada saat itu, sebuah pukulan tangan kanan Su Kiat mengenai punggungnya.
"Bukk!" Lam-hai Giam-lo terpelanting terus bergulingan dan muntahkan darah segar. Maklumlah dia bahwa kalau dilanjutkan, berarti dia bunuh diri, maka tanpa malu-malu lagi dia lalu meloncat dan melarikan diri.
"Pengecut, hendak lari ke mana kau!" Su Kiat membentak dan mengejar.
"Ke neraka pun akan kukejar kau! Keparat jahanam jangan lari!" Hui Lian juga berteriak mengejar.
Keringat dingin membasahi dahi dan leher Lam-hai Giam-lo, karena ketika dia menoleh, dia melihat betapa guru dan murid itu dapat berlari amat cepatnya sehingga sukar baginya untuk meloloskan diri. Dia mengerahkan seluruh tenaga dan mempergunakan semua ilmu ginkangnya untuk mempercepat larinya, namun bayangan dua orang itu tetap saja mengejar di belakangnya, hanya dalam jarak seratus meter lebih! Dan dia sudah menderita luka di sebelah dalam tubuhnya, kalau dilanjutkan pengerahan sinking seperti ini, akhirnya dia akan roboh sendiri. Untuk berhenti dan melawan, dia tidak sanggup lagi karena maklum bahwa dia tidak akan menang.
Dengan napas terengah-engah karena harus berlari cepat terus-menerus, akhirnya sebuah sungai yang cukup lebar menghalang di depannya. Lam-hai Giam-lo hampir bersorak ketika dia berhasil mencapai tepi sungai ini. Memang sungai itu yang ditujunya dan sungai itu satu-satunya harapannya untuk menyelamatkan diri. Begitu tiba di tepi sungai, dia lalu meloncat ke air dan menyelam. Memang satu di antara keahlian Lam-hai Giam-lo adalah permainan di dalam air. Melihat buruan mereka meloncat ke dalam air dan lenyap, Su Kiat dan Hui Lian tertegun berdiri di tepi sungai. Mereka hanya mampu mencari-cari dengan pandang mata mereka dan akhirnya mereka melihat buruan itu telah mendarat di seberang, akan tetapi di hulu yang agak jauh. Terpaksa guru dan murid ini lalu mencari perahu untuk dapat menyeberang dan ketika akhirnya mereka dapat menumpang perahu nelayan dan menyeberang, buruan mereka telah lenyap tanpa meninggalkan jejak.
Su Kiat dan Hui Lian merasa kecewa sekali, akan tetapi mereka tidak putus asa dan mereka melanjutkan penyelidikan dan pencarian mereka. Mereka terus menyelidiki jejak Lam-hai Giam-lo dan bertanya-tanya. Untung bagi mereka bahwa selain tersohor juga Lam-hai Giam-lo memiliki wajah yang mengesankan, sehingga semua orang yang pernah melihatnya tidak akan mudah melupakan wajah yang seperti kuda, suara yang serak parau seperti ringkik kuda itu pula. Mereka dapat mengikuti jejak musuh mereka dan akhirnya kurang lebih sebulan kemudian, mereka berhasil menemukan tempat persembunyian Lam-hai Giam-lo di luar kota Swatouw, Su Kiat dan Hui Lian menyerbu rumah di luar kota itu dan memang benar Lam-hai Giam-lo berada di situ bersama lima orang temannya yang juga merupakan orang-orang yang memiliki ilmu silat tinggi. Lam-hai Giam-lo sudah sembuh dari lukanya dan kini dia mengandalkan lima orang temannya yang merupakan penjahat-penjahat besar di Swatouw untuk mengeroyok.
Namun Su Kiat dan Hui Lian mengamuk dan lima orang teman Si Muka Kuda itu roboh semua oleh sinar pedang Hui Lian. Terpaksa Lam-hai Giam-lo melawan lagi sampai lebih dari seratus jurus. Akan tetapi akhirnya sebuah tendangan kaki Hui Lian mengenal perutnya dan sebuah pukulan tangan kanan Su Kiat kembali membuatnya muntah darah dan untuk kedua kalinya kakek muka kuda itu melarikan diri! Dan dua orang musuhnya melakukan pengejaran.
Akan tetapi sekali ini, Lam-hai Giam-lo sudah membuat persiapan. Dia memang cerdik sehingga ketika dia bersembunyi di luar kota Swatouw, dia telah memperhitungkan bahwa kalau sampai dia dapat dikejar musuh, dia sudah mempunyai tempat untuk menyelamatkan diri. Dia berlari ke utara dan tak lama kemudian tibalah dia di tepi sungai yang mengalir dari pegunungan Tai-yun-san. Sekali meloncat dia pun lenyap di bawah permukaan air.
Kembali guru dan murid itu harus mencari perahu untuk menyeberang dan untuk kedua kalinya, mereka melakukan penyelidikan dan pencarian. Lam-hai Giam-lo yang melarikan diri ke barat menjadi semakin panik melihat betapa dua orang musuhnya itu dengan nekat terus melakukan pengejaran terhadap dirinya. Diam-diam dia merasa penasaran dan juga jengkel sekali, akan tetapi untuk menghadapi mereka, dia merasa tidak akan menang. Bahkan kini untuk kedua kalinya dia terluka, lebih parah dari pada yang pertama. Untuk minta bantuan orang lain, dia merasa malu. Mau ditaruh ke mana mukanya kalau dunia persilatan tahu bahwa dia lari ketakutan dari dua orang yang sama sekali tidak terkenal, apalagi kalau minta bantuan orang lain" Lima orang yang bersama dia dan membantunya itu pun tidak dia mintai bantuan. Mereka adalah penjahat-penjahat yang termasuk bawahannya dan bantuan mereka tidak ada artinya bagi dua orang lawan yang amat lihai itu. Demikianlah, kejar-mengejar terjadi sampai akhirnya Lam-hal Giam-lo menggunduli rambutnya dan menyamar sebagai seorang hwesio. Kemudian, dia menggunakan akal dan berhasil masuk ke dalam kuil Siauw-lim-si, menjadi seorang tukang sapu yang gagu dan tuli. Dan di tempat itulah dia berhasil bersembunyi karena Su Kiat dan Hui Lian tentu saja sama sekali tidak berani mencari ke dalam kuil Siauw-lim-si. Apalagi, guru dan murid ini merasa yakin bahwa orang-orang Siauw-lim-pai yang terkenal gagah perkasa itu tidak akan sudi menyembunyikan seorang datuk sesat seperti Lam-hai Giam-lo! Inilah sebabnya, Lam-hai Giam-lo berhasil tinggal di kuil itu sampai selama satu tahun. Akan tetapi memang dasar seorang jahat, ketika dia melihat bahwa dua orang hukuman itu mempelajari ilmu-ilmu yang hebat, dia ingin sekali memiliki ilmu-ilmu itu dan dia pun mulai melakukan pengintaian-pengintaian kalau dua orang hukuman di dalam kuil, yaitu Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu, mengadakan latihan-latihan di waktu malam. Akhirnya dia bentrok dengan mereka dan dikalahkan, terusir keluar dari kuil karena dia harus melarikan diri, tak sanggup melawan dua orang hukuman yang ternyata luar biasa tangguhnya itu.
Demikianlah, Lam-hai Giam-lo berhasil lolos dari pengejaran musuh-musuhnya dan dia tidak berani lagi merajalela di selatan, takut kalau-kalau dua orang yang selalu mengejarnya itu datang lagi ke sana. Dia bahkan lebih banyak menyembunyikan diri dan memperdalam ilmu-ilmunya karena di dalam hatinya dia masih merasa penasaran bahwa dia dapat dikalahkan oleh seorang yang berlengan buntung dan seorang gadis cantik.
Nama Pat sian (Delapan Dewa) pernah terkenal sekali di daerah selatan dan barat sebagai nama delapan orang yang dianggap sebagai datuk-datuk persilatan. Memang di dalam kisah Asmara Berdarah, nama mereka tidak pernah muncul karena mereka memang sudah lama mengasingkan diri dan tidak pernah lagi berkecimpung di dunia persilatan sehingga ketika di dunia persilatan muncul tokoh-tokoh sakti seperti Raja Iblis dan Ratu Iblis, mereka itu tidak mencampurinya. Padahal, dalam ilmu kepandaian, tingkat Pat Sian tidak berada di sebelah bawah tingkat Raja Iblis.
"Kini, yang muncul di dunia setelah usia mereka tua, hanya Ciu-sian Sin-kai dan See-thian Lama, keduanya seperti terdorong keluar dari tempat pertapaan mereka karena adanya urusan Sin-tong atau Anak Ajaib yang diperebutkan dan dicari oleh para Dalai Lama. Di antara delapan datuk yang terkenal dengan nama Delapan Dewa, hanya dua orang kakek itu yang agaknya masih hidup. Dua yang lain adalah In Liong Ni-nio dan Sian-eng-cu The Kok, yang seperti kita ketahui, telah mati dan kerangka mereka, bersama ilmu-ilmu mereka, di temukan secara kebetulan oleh Su Kiat dan Hui Lian di dalam guha yang amat sukar untuk didatangi manusia itu. Empat orang lainnya tidak diketahui ke mana perginya, tidak pula yang tahu apakah mereka itu masih hidup ataukah sudah mati.
Berbeda dengan See-thian Lama yang hidup mengasingkan diri di kaki Pegunungan Himalaya dan tidak mau bergabung dengan para Lama di Tibet, Ciu-sian Sin-kai yang kelihatan sebagai seorang kakek pengemis itu sebetulnya sama sekali bukanlah seorang miskin. Bahkan dia pun tidak hidup menyendiri. Ciu-sian Sin-kai adalah seorang tocu (majikan pulau) yang berkuasa atas Pulau Hiu yang berada di lautan Po-hai, tidak nampak dari pantai karena kecil saja pulau itu, akan tetapi setelah orang berada di pulau itu akan merasa kagum karena pulau yang luasnya hanya kurang dari sepuluh hektar itu ternyata memilik tanah yang amat subur. Pulau itu dikelilingi batu-batu karang yang menonjol di sana-sini sehingga merupakan daerah berbahaya sekali untuk pelayaran karena perahu terancam kandas pada batu karang yang mengintai sedikit di bawah permukaan laut. Bukan hanya batu-batu karang ini yang membuat para pelayan menjauhkan diri dari pulau itu, melainkan juga banyaknya ikan hiu ganas berkeliaran di sekeliling pulau itu. Dengan demikian, pulau itu seperti terasing dan ini bahkan menguntungkan para penghuninya. Karena tidak mengalami gangguan dari luar.
Ciu-sian Sin-kai menjadi majikan pulau itu secara tidak sengaja. Di dalam petualangannya, dia mendengar akan banyaknya bajak laut yang mengganggu kapal-kapal dagang dan perahu-perahu nelayan. Hatinya tergerak dan dengan menggunakan sebuah perahu kecil, seorang diri dia membikin pembersihan, menyerbu setiap perahu bajak. Dengan kepandaiannya yang hebat, seorang di antara Delapan Dewa ini menghancurkan banyak perahu bajak laut dan menewaskan banyak pula kepala bajak laut, menangkapi anak buahnya dan menyeret mereka ke darat untuk diadili. Ketika pada suatu hari dia mengejar-ngejar sebuah perahu bajak yang besar, perahu itu tiba-tiba lenyap. Hal ini membuat dia penasaran dan semalam suntuk dia mencari terus. Akhirnya dia menemukan perahu itu di antara batu-batu karang di pulau terpencil. Dia pun dengan nekat memasuki daerah berbahaya itu, berhasil mendarat dengan selamat dan ternyata pulau itu, yang kemudian dinamakan Pulau Hiu, merupakan tempat persembunyian dan juga gudang barang-barang bajakan. Dia menyerbu dan membasmi para bajak yang melakukan perlawanan dengan gigih. Akhirnya, sisa para bajak itu menakluk. Ciu-sian Sin-kai lalu mengusir anak buah bajak dengan memberi pembagian harta yang terdapat di pulau itu. Akan tetapi dia memilih belasan orang yang dianggapnya baik dan ada harapan untuk bertaubat, dilihat dari keadaan sikap dan wajahnya, juga dia memilih mereka yang masih muda-muda
SISA harta simpanan para bajak masih amat banyak dan mulai Ciu-sian Sin-kai menjadi majikan pulau yang kaya raya. Dia mendirikan sebuah bangunan seperti istana untuknya, dan bangunan-bangunan untuk tempat tinggal bekas anak buah bajak yang kini menjadi anak buahnya. Hiduplah dia sebagai seorang raja kecil dan benar saja, para bekas bajak itu dapat merobah kehidupan mereka menjadi orang-orang yang taat dan tidak lagi mau melakukan pekerjaan membajak. Bahkan mereka lalu berkeluarga sehingga pulau kecil itu kini menjadi ramai dengan keluarga belasan orang itu. Anak buah Ciu-sian Sin-kai menjadi semakin banyak, yaitu anak buah para bekas bajak yang digemblengnya menjadi anak buah yang baik dan cukup pandai ilmu silat. Pulau itu menjadi semakin angker dan disegani para nelayan. Bahkan kini jarang ada bajak laut yang berani muncul di perairan itu. Nama Ciu-sian Sin-kai masih membuat mereka ketakutan dan merasa lebih aman untuk memilih daerah operasi di bagian lain, di laut utara atau selatan, akan tetapi tidak berani di sekitar Pulau Hiu.
Kini, anak-anak dari para bekas bajak telah belasan tahun dan mereka semua menjadi anak buah Ciu-sian Sin-kai dengan taat dan penuh disiplin, menganggap kakek pengemis itu sebagai guru, majikan atau ketua yang harus ditaati sepenuhnya.
Demikian taatnya para anak buah itu sehingga kalau kakek pengemis itu pergi sampai lama sekalipun, dalam sebuah di antara perantauannya, mereka akan menjaga pulau itu dengan tertib, seperti kalau Sin-kai berada di pulau. Segala keperluan kehidupan para penghuni pulau sudah terpenuhi. Mereka menanam sayur-sayuran, pohon-pohon buah, dan kalau membutuhkan ikan, hanya tinggal berlayar meninggalkan daerah hiu untuk mengail atau menjala, sedangkan keperluan-keperluan lain mereka peroleh dengan membeli ke daratan.
Akan tetapi kepergian Ciu-sian Sin-.kai sekali ini agak terlalu lama. Hampir satu tahun kakek itu pergi dan belum kembali, sedangkan para anak buahnya di Pulau Hiu tidak ada yang tahu ke mana dia pergi. Dan agaknya kepergian yang lama ini selain merisaukan hati para penghuni Pulau Hiu, juga diketahui oleh pihak lain yang mempergunakan kesempatan itu untuk membalas dendam sambil mencari keuntungan.
Pada suatu hari, pagi-pagi sekali, nampak ada lima buah perahu besar hitam yang memasuki daerah batu-batu karang itu, didahului oleh sebuah perahu kecil yang didayung oleh seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih yang bertubuh pendek berperut gendut. Perahu kecil itulah yang menjadi petunjuk jalan, membelok ke kanan kiri, menyusup antara pagar batu karang dan akhirnya membawa lima buah perahu besar itu mencapai pulau dengan selamat. Dengan sigapnya, dari lima buah perahu besar itu berloncatan turun masing-masing sepuluh orang sehingga jumlah mereka menjadi lima puluh orang. Adapun orang gendut pendek yang tadi memimpin perahu-perahu itu, sudah menyelinap pergi di antara pohon-pohon buah yang ditanam di sepanjang pantai. Dan lima puluh orang itu, sambil menghunus senjata tajam, segera dipimpin oleh seorang kakek raksasa bermuka hitam, menyerbu ke tengah pulau. Tentu saja gerakan lima puluh orang ini segera diketahui oleh penghuni pulau dan terdengarlah kentungan dipukul bertalu-talu dan para penghuni segera nampak berkumpul dengan senjata di tangan. Laki perempuan berkumpul dan jumlah mereka yang dulunya hanya belasan orang itu, kini bersama isteri dan anak-anak mereka telah mencapai jumlah kurang lebih lima puluh orang. Dan mereka lalu berlari keluar menyambut kedatangan musuh. Tidak perlu lagi diadakan pertanyaan atau percakapan di antara mereka. Para bajak laut itu yang datang sengaja untuk membalas dendam terhadap Ciu-sian Sin-kai sambil merampok harta karun yang banyak terdapat di situ selagi kakek yang ditakuti itu tidak berada di pulau, sudah menyerbu dan menyerang para penghuni pulau di bawah pimpinan kakek raksasa muka hitam.
Terjadilah pertempuran yang seru. Kurang lebih dua puluh orang laki-laki dan wanita muda usia yang terlahir di pulau itu dan pernah menerima gemblengan dasar ilmu silat dari Ciu-sian Sin-kai, melakukan perlawanan dengan gigih dan mereka kini rata-rata amat gesit dan tangguh. Akan tetapi, kakek raksasa muka hitam itu lihai sekali. Senjata rantai baja yang panjang di tangannya sukar dilawan dan banyak yang sudah roboh olehnya. Selain itu, anak buahnya terdiri dari bajak-bajak laut yang kejam dan perkelahian merupakan pekerjaan mereka sehari-hari. Mereka itu menang pengalaman dan menang nekat sehingga di pihak penghuni pulau mulai jatuh korban dan keadaan mereka terdesak.
Agaknya para penghuni itu tentu akan roboh atau terbasmi semua kalau saja pada saat itu tidak muncul dua orang yang bukan lain adalah Ciu-sian Sin-kai sendiri dan Hay Hay! Mereka baru saja tiba dan ketika dari jauh kakek itu melihat adanya lima buah perahu besar hitam berlabuh di dekat pulaunya, dia terkejut dan mendayung perahu secepatnya. Perahunya meluncur seperti terbang saja, apalagi di situ ada Hay Hay yang juga membantunya. Dan ketika mereka berlompatan ke daratan pulau, mereka melihat betapa para penghuni pulau sedang bertempur melawan puluhan orang kasar yang dipimpin oleh seorang kakek raksasa muka hitam.
Melihat betapa anak buahnya banyak yang sudah roboh terluka dan betapa para bajak laut itu mengamuk dengan kejam, apalagi kakek raksasa muka hitam itu, Ciu-sian Sin-kai menjadi marah. Dia tidak mengenal siapa adanya raksasa muka hitam itu namun dapat menduga bahwa dia tentulah seorang kepala bajak laut yang menggunakan kesempatan selagi dia tidak berada di pulau untuk datang membalas dendam dan merampok.
"Bajak-bajak tak tahu diri!" bentak kakek itu dan bersama Hay Hay dia lalu menyerbu ke dalam arena pertempuran. Para penghuni pulau yang melihat munculnya Ciu-sian Sin-kai, bersorak gembira dan semangat mereka tumbuh bagaikan api yang tadinya sudah mulai meredup, kini disiram minyak bakar dan berkobar lagi dengan ganas.
Hay Hay juga tidak tinggal diam. Tubuh anak laki-laki remaja ini bergerak cepat dan ke mana pun tubuhnya bergerak, seorang bajak tentu akan terjungkal roboh, entah terkena tendangannya, pukulannya atau tamparan tangannya yang kecil namun ampuh itu
Kepala bajak yang bertubuh raksasa bermuka hitam itu terkejut. Maklum siapa yang muncul, dia pun memapaki Ciu-sian Sin-kai dengan rantai bajanya yang berat dan panjang, yang diayun menyambut dengan sambaran pada muka kakek bertubuh kurus itu. Akan tetapi, kakek itu tidak mengelak, melainkan menyambut dengan tangannya dan berhasil menangkap ujung rantai. Si Raksasa muka hitam terkejut, menggunakan tenaga pada kedua lengannya yang besar dan kuat untuk menarik rantainya. Namun, rantai itu seperti telah melekat dengan tangan Ciu-sian Sin-kai! Biarpun kakek tua ini kurus dan berdiri seenaknya, sedangkan Si Raksasa muka hitam memasang kuda-kuda dan menarik sekuat tenaga, tetap saja rantai itu tidak dapat terlepas dari pegangan kakek berpakaian pengemis.
"Hemm, siapakah kau yang berani membawa anak buah mengacau ke sini?" Ciu-sian sin-kai bertanya, matanya mencorong ditujukan kepada wajah raksasa muka hitam itu.
Tadinya raksasa muka hitam itu terkejut dan juga gentar, akan tetapi karena merasa bahwa dia tidak akan menang, dia menjadi nekat. "Aku Hek-bin Hai-liong (Naga Laut Muka Hitam), hendak membalas dendam atas kekalahan atas rekanku!"
Ciu-sian sin-kai tertawa mengejek, tangan kirinya mengambil ciu-ouw (guci arak) yang selalu tergantung di pinggangnya, dan minum arak dengan tangan kirinya, langsung dari guci itu. Melihat ini, Si Muka Hitam kembali mengerahkan tenaganya dan menarik dengan sentakan kuat. Akan tetapi, tetap saja rantai itu tidak dapat dirampasnya dan dia merasa amat terkejut. Orang yang sedang mengerahkan sinkang, mana mungkin mempertahankan kekuatannya itu selagi minum dan menelan arak" Akan tetapi, biarpun sedang minum, kakek jembel itu tetap saja amat kuat.
"Menjemukan kau!" Tiba-tiba Ciu-sian Sin-kai menyemburkan arak dari mulutnya. Arak memercik ke muka yang hitam itu dan biarpun Si Muka Hitam sudah siap siaga dan mengerahkan tenaga sinkang untuk mengebalkan muka, tidak urung dia menjerit, melepaskan rantai dan menggunakan dua tangan untuk mendekap muka sendiri. Semburan arak itu dirasakan olehnya seperti ribuan jarum halus yang menusuki mukanya.
Ciu-sian Sin-kai melangkah maju dan sekali tangannya menotok, tubuh kakek tinggi besar itu pun terkulai dan lemas tak mampu bergerak pula. Anak buah bajak menjadi panik dan mereka mencoba untuk melarikan diri. Namun, mereka telah dikepung oleh para penghuni pulau yang dibantu oleh Hay Hay yang mengamuk seperti seekor harimau kecil yang galak. Ciu-sian Sin-kai juga menyepak ke kanan kiri dan tak lama kemudian, seluruh bajak dapat dirobohkan dan tak ada yang melawan lagi! Ada di antara mereka yang tewas, banyak yang terluka parah dan sisanya terluka ringan namun mendekam saja di atas tanah, tidak be,rani berkutik, ada yang malah pura-pura mati!
Dengan pandang matanya, Ciu-sian Sin-kai melihat keadaan anak buahnya. Ada tujuh orang anak buahnya tewas, belasan orang luka-luka. Hal ini membuat dia marah.
"Kumpulkan mereka semua dan masukkan dalam perahu-perahu mereka!" perintahnya. Para penghuni pulau itu dengan senang hati melaksanakan perintah ini. Biarpun ada tujuh orang di antara mereka yang tewas dan belasan orang luka-luka, namun mereka boleh mengucap sukur bahwa guru dan majikan mereka sudah pulang tepat pada saatnya karena kalau tidak, tentu mereka sudah terbasmi habis! Dengan marah mereka menyeret tubuh-tubuh itu, baik yang sudah tak bernyawa, yang luka berat maupun ringan, menuju ke pantai, tidak peduli akan rintihan mereka yang mengaduh-aduh karena ketika diseret, tentu saja luka-luka mereka menjadi semakin parah.
Pada saat itu, dua orang anak buah pulau itu datang sambil menyeret seorang yang bertubuh pendek berperut gendut. Melihat bahwa yang diseret itu adalah seorang di antara anak buahnya sendiri, Ciu-sian Sin-kai bertanya heran.
"Apa artinya ini?" tanyanya menegur kedua orang anak buah lain yang menyeret Kai Ti, Si Gendut Pendek itu.
"Tocu, dia inilah yang menjadi pengkhianat, menjadi penunjuk jalan sehingga lima buah perahu bajak itu dapat memasuki daerah kita dan mendarat di pulau."
Mendengar pelaporan ini, Ciu-sian Sin-kai memandang kepada Kai Ti dengan alis berkerut. Teringatlah dia bahwa Kai Ti ini adalah seorang yang pernah melakukan pelanggaran, yaitu berusaha untuk memperkosa seorang wanita isteri temannya di pulau. Dia sudah memaafkan Kai Ti karena pada waktu itu Kai Ti sedang mabok keras. Akan tetapi, Kai Ti terkenal kejam kepada isterinya, suka marah-marah dan memukuli. Dan ketika isterinya sakit berat, Kai Ti bahkan berusaha untuk meminang seorang gadis puteri temannya sendiri yang ditolaknya sehingga menimbulkan pertengkaran. Tahulah dia kini mengapa Kai Ti menjadi pengkhianat. Dia pernah memarahi Kai Ti dan mengancam bahwa kalau Kai Ti tidak mau mengubah tabiatnya, maka Si Gendut itu akan diusir dari pulau.
"Kai Ti, benarkah engkau melakukan perbuatan keji itu?"
"Ti".tidak".Tocu".."kata Kai Ti dengan tubuh gemetar.
"Saya melihat ketika pagi tadi semua orang menyambut penyerbuan bajak laut, dia tidak ada dan ketika saya menaruh curiga dan mencarinya, dia sedang berusaha untuk membongkar kamar pusaka!" kata seorang di antara kedua orang penangkapnya. "Kami menjadi curiga dan setelah pertempuran selesai, kami lalu mencarinya dah menyeretnya ke sini, Tocu."
"Kai Ti, engkau tahu bahwa aku dapat menyiksamu dan memaksamu untuk mengaku. Apakah engkau menantangku untuk menyiksamu?" Ciu-sian Sin-kai berkata, suaranya dingin sekali, berbeda dengan sikapnya yang biasanya senyum-senyum ramah.
Tiba-tiba Kai Ti menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu, mengangguk-angguk seperti ayam sedang makan padi."Ampunkan saya, Tocu?"saya... saya dipaksa oleh Hek-bin Hai-liong..., saya dipaksa mengantarkan, kalau saya tidak mau akan dibunuh?"
Ciu-sian Sin-kai mengerti bahwa ucapan itu pun hanya untuk mencari alasan saja untuk membersihkan diri. "Baiklah karena engkau bersekutu dengan mereka, engkau harus ikut pula dengan mereka. Lempar dia ke perahu kepala bajak itu"
"Ampunn... Jangan?"saya... saya akan dibunuhnya...!" teriaknya, akan tetapi karena Ciu-sian Sin-kai sudah memberi perintah dan para penghuni pulau memang tidak suka kepada orang yang curang ini, Kai Ti lalu ditangkap dan diseret seperti seekor babi yang menguik-nguik, lalu dilempar pula ke dalam perahu. Perahu-perahu itu lalu didorong ke tengah, layar-layar dikembangkan dan tentu saja para bajak itu tidak ingin membiarkan perahu-perahu mereka meluncur tanpa kemudi. Mereka yang luka ringan lalu cepat-cepat mencoba untuk mengemudikan perahu-perahu mereka agar jangan sampai menabrak batu karang. Bersama seluruh penghuni Pulau Hiu, Hay Hay melihat lima buah perahu itu bergerak menghindarkan batu-batu karang. Juga dia melihat betapa kepala bajak yang berjuluk Hek-bin Hai-liong itu kini sudah sadar dan dia memaki-maki Kai Ti yang dianggapnya menjadi biang keladi malapetaka itu karena memberi keterangan yang tidak benar. Kalau benar Ciu-sian Sin-kai berada di pulau, tentu dia tidak akan berani membawa teman-temannya menyerbu. Dan menurut keterangan Kai Ti, majikan pulau tidak akan pulang dalam waktu satu dua bulan lagi. "Kai Ti, anjing keparat! Kau telah menjerumuskan kami!" bentak kepala bajak bermuka hitam itu.
"Tidak... tidak... aku tidak tahu bahwa hari ini Tocu akan pulang"." kata Kai Ti dengan muka pucat dan kepala digeleng-gelengkan dengan keras.
"Keparat, engkau menjadi sebab kami semua celaka. Lempar dia keluar perahu!"
"Tidak, jangan !" Kai Ti menjadi semakin ketakutan, kemudian, melihat beberapa orang anak buah bajak yang luka ringan sudah bangkit dan menghampirinya, dia menyambar sebatang tombak yang menggeletak tak jauh dari situ, lalu menodongkan senjata itu sambil mengancam.
"Kubunuh siapa yang hendak menjamahku!"
Akan tetapi, tujuh orang anak buah bajak itu pun sudah marah kepadanya dan mereka memandang rendah Si Gendut Pendek ini, maka mereka pun maju terus dan mengepungnya. Orang yang ketakutan dapat menjadi orang yang paling nekat dan kejam, maka demikian pula dengan keadaan Kai Ti. Sebagai bekas anak buah Pulau Hiu, tentu saja dia pandai ilmu silat dan melihat betapa para anak buah bajak itu tetap mengancamnya, dia lalu mengeluarkan teriakan panjang dan tubuhnya menubruk ke depan, tombaknya digerakkan.
"Crappp?"!" Tombak itu menancap di perut seorang di antara anak buah bajak laut sampai menembus ke punggungnya. sayang baginya saking takutnya, dia tadi menusuk terlampau kuat sehingga tombak itu menembus jauh dan ketika dia berusaha mencabutnya kembali, mata tombak itu terkait dan tidak dapat dicabutnya. Dia berusaha lagi dan berkutetan, akan tetapi tetap saja tombak itu sukar dicabut dan pada saat itu, enam orang anak buah bajak telah menyerangnya dan membuatnya tidak berdaya. Hujan pukulan diterimanya dan dia pun diseret lalu dilemparkan keluar perahu. Ikan-ikan hiu segera muncul dan menyergapnya. Hay Hay melihat betapa orang itu terbelalak lebar dan berusaha berenang cepat menjauhi ikan-ikan hiu yang mengejarnya, akan tetapi dari depan, kanan dan kiri muncul lagi puluhan ekor ikan hiu yang besar-besar. Kemudian terdengar Kai Ti menjerit-jerit seperti babi disembelih, akan tetapi ikan-ikan itu memperebutkannya, menyambar-nyambar dan darah pun membasahi air laut ketika tubuhnya yang cabik-cabik itu diseret ke bawah permukaan air.
"Lemparkan semua mayat keluar!" kembali kepala bajak muka hitam memberi perintah.
Anak buahnya yang terluka ringan memenuhi perintah ini dan mayat-mayat teman mereka segera mereka lemparkan keluar dari perahu. Kembali ikan-ikan hiu memperebutkan mangsa itu, badan mayat-mayat itu dicabik-cabik akan tetapi sekali ini tidak ada darah keluar. Hanya dalam waktu singkat saja, semua mayat telah lenyap dari permukaan air. Agaknya ikan-ikan hiu itu masih kelaparan dan pesta pora itu menarik perhatian teman-teman mereka karena tempat itu kini penuh dengan ikan hiu besar-besar yang ratusan banyaknya, meluncur cepat di sekeliling lima buah perahu hitam. Melihat itu, Hay Hay bergidik penuh kengerian. Sukar baginya untuk menilai siapa yang lebih ganas dan kejam antara manusia dan ikan-ikan hiu itu.
Tiba-tiba perahu pertama yang paling besar tergetar keras ketika terdengar suara meledak, kemudian perahu itu pun roboh miring! Ternyata perahu pertama itu melanggar batu karang dan pecah. Air masuk dengan cepat dan perahu itu pun terancam tenggelam! Anak buah bajak menjadi panik dan kembali terjadi perkelahian di antara mereka sendiri karena berebutan. untuk menggunakan satu-satunya perahu dayung kecil yang berada di atas perahu yang sedang tenggelam itu. Karena diperebutkan, banyak di antara mereka roboh dalam perkelahian dan akhirnya perahu kecil itu terlepas dan jatuh ke air tanpa seorang pun yang berhasil menjadi penumpang. Akhirnya perahu itu tenggelam dan para anak buah bajak berlompatan ke air sambil berteriak ketakutan dan berusaha berenang menghindarkan diri dari jangkauan ikan-ikan hiu. Akan tetapi, apa artinya renang seorang manusia dibandingkan dengan kecepatan ikan hiu" Sebentar saja, di bawah pekik-pekik mengerikan ikan-ikan hiu itu berpesta dan kembali air menjadi merah, lebih merah daripada ketika Kai Ti menjadi mangsa pertama tadi.
Terdengar suara keras lagi dan perahu ke dua terguling, disusul perahu ke tiga. Kemudian terjadi kepanikan dan perkelahian yang mengerikan. Akan tetapi kini dua perahu lainnya juga dilanda kepanikan dan Hek-bin Hai-liong berteriak. "Mana penunjuk jalan" Suruh dia menunjukkan jalan yang aman bagi perahu-perahu kita!"
Dalam kepanikannya, kepala bajak ini sampai lupa bahwa dia sendiri yang menyuruh penunjuk jalan satu-satunya, yaitu Kai Ti, dilempar keluar. Setelah Kai Ti tidak ada lagi, siapa yang akan mampu menunjukkan jalan aman" Berturut-turut, dua perahu lainnya juga melanggar karang dan terjadilah peristiwa yang amat mengerikan, yang membuat Hay Hay sendiri kadang-kadang menutup kedua matanya saking merasa ngeri melihat betapa orang-orang yang sudah terluka itu menjadi mangsa ikan-ikan hiu yang agaknya tidak mengenal puas dan kenyang itu. Teriakan paling keras terdengar ketika Hek-bin Hai-liong yang terpaksa meloncat ke air karena perahunya tenggelam, mencoba untuk mengamuk. Sebagai kepala bajak tentu saja dia pandai berenang, dan dengan tenaganya yang kuat dia berhasil memukul dua tiga ekor ikan hiu. Akan tetapi jumlah ikan hiu amat banyak dan setelah sebelah kakinya kena disambar ikan dan tubuhnya diseret ke bawah, perlawanan terhenti dan tubuhnya dicabik-cabik oleh ikan-ikan yang memperebutkannya
Penglihatan yang mengerikan ini terjadi dengan cepat, tidak sampai dua jam dan habislah sudah seluruh bajak, baik yang sudah mati maupun yang tadi terluka. Lima puluh orang lebih habis dilumat oleh ikan-ikan hiu yang masih nampak berenang hilir-mudik seolah-olah mengharapkan tambahan. Dan tidak ada sepotong pun tangan tersisa dari lima puluh lebih orang-orang tadi. Habis berikut pakaian dan sepatu mereka! Hay Hay terpaksa lari ke balik semak-semak dan membiarkan isi perutnya keluar. Dia muntah-muntah. Bukan hanya dia, akan tetapi banyak di antara anak buah Pulau Hiu, terutama anak-anak perempuannya, muntah-muntah saking ngeri dan tegang, juga jijik menyaksikan peristiwa yang amat mengerikan itu.
Hamukti Palapa 11 Pedang Bunga Bwee Karya Tjan I D Wanita Iblis 16

Cari Blog Ini