Pendekar Patung Emas Pendekar Bersinar Kuning Karya Qing Hong Bagian 8
datang. Melihat hal itu tanca terasa lagi bulu kuduk Wi Lian In pada
berdiri, ujarnya dengan perlahan.
"Jika bubuk Mie Hun Yok di atas tanah itu tidak mempan, ini hari
kita akan alami nasib yang lebih mengenaskan lagi"
"Kau pergilah menyaga pintu belakang" ujar Ti Then kemudian- "
Untuk sementara jangan sampai membiarkan kakek kura-kura itu
menemui dirimu, tidak perduli bubuk Mie Hun Yok itu mempan atau
tidak. nanti kita serbu mereka secara mendadak supaya mereka
menjadi kelabakan setengah mati"
"Ehm . ." sahut Wi Lian In sambil mengangguk kemudian dengan
sekali lompatan berdiri bersiap-siap di samping jendela dipintu
belakang kuil itu, Beratusan ekor ular berbisa bagaikan riak ombak
di tengah sungai dengan dahsyatnya mulai mendekati kuil itu lagi.
Suara irama seruling yang bergema semakin lama semakin cepat,
sedang gerakan ular itu pun semakin lama semakin cepat bagaikan
kilat, di dalam sekejap mata saja ular-ular beracun yang paling
depan sudah mendekati lingkaran bubuk Mie Hun Yok yang tersebar
disekeliling kuil itu. Begitu ular-ular beracun itu mencium bau dari bubuk Mie Hun
Yok bagaikan baru saja terkena percikan api seketika itu juga putar
tubuh dan berputar balik ke belakang.
Jika dipandang dari tempat kejauhan pemandangan tersebut
persis seperti ombak yang memukul pantai kemudian membalik lagi.
Tapi walau pun begitu tidak seekor pun dari ular-ular beracun itu
yang berhasil melewati garis tersebut.
Melihat hal itu majikan ular Yu Toa Hay menjadi amat
terperanyat, dengan cepat dia menghentikan tiupan serulingnya.
"Phu heng, bagaimana keadaan di belakang?"
"Keadaannya tidak menguntungkan-.." seru Kakek kura-kura
yang berada di belakang kuil dengan amat terkejut. "Ular-ularmu itu pada bentrok dan saling membunuh sendiri"
"Neneknya. " Teriak majikan ular dengan amat gusar. "Tentu nenek jelek itu sudah sebarkan suatu barang disekeliling kuil itu ....
anying kentut maknya"
Dengan cepat dia melintangkan serulingnya kembali
membunyikan irama yang lain, agaknya dia mau menarik tenteranya
itu Tapi ular-ular beracun itu sudah kehilangan kendalinya oleh
sebab pengaruh obat Mie Hun Yok tersebut, begitu mendengar
suara seruling itu selain diantara sebagian kecil yang berhasil
meloloskan diri dari bencana, sebagian besar ular-ular beracun itu
sudah pada bentrok dan saling membunuh diantara sesamanya,
suasana menjadi sangat ramai sekali.
Melihat ular-ular berbisanya tidak mau mendengar perintah,
Majikan ular Yu Toa Hay semakin gusar bercampur terkejut, sambil
meloncat-loncat menahan hawa amarahnya dia berteriak dengan
keras. "Hoy, nenek bangsat. Kau menggunakan barang apa
mengganggu ular-ular lohu itu?"
"Hahahaha menggunakan bekas air pencuci kaki makmu"
Majikan ular Yu Toa Hay tidak bisa menahan kegusarannya lagi,
sambil mengaum keras sekali lompat menerjang kearah kuil itu.
Ti Then begitu melihat dia menerjang ke dalam kuil dengan cepat
jari tangannya melancarkan totokan membebaskan jalan darah kaku
pada badan nenek iblis penghalang jalan itu, kemudian sekali lagi
meloncat ke balik pintu untuk bersembunyi.
"Braaaakl ." Dengan menimbulkan suara yang amat keras pintu
kuil itu terlempar jauh terkena tendangan dahsyatnya. Waktu itu
darah yang mengalir di seluruh badan nenek iblis penghalang jalan
itu belum lancar kembali, karena dia belum punya tenaga untuk
merangkak bangun, terlihatlah sengaja dia rebah terlentang di
dalam kuil dan pura-pura pejamkan matanya.
Begitu majikan ular Yu Toa Hay berhasil menendang rubuh pintu
kuil sekali pandang saja dia sudah melihat nenek iblis penghalang
jalan yang rebah di atas tanah itu, dia tidak tahu kalau sebelumnya
nenek iblis panghalang jalan itu tertotok jalan darahnya, melihat
sikapnya yang tidak pandang musuh dalam hati dia menganggap dia
sengaja berbuat begitu, sehingga mau tak mau dia dibuat tertegunjuga, teriaknya dengan keras:
"Nenek bangsat. Cepat bangun, lebih baik kita tentukan siapa
yang kuat siapa yang lemah saat ini juga."
"Eh ... eh ... ." Seru nenek iblis penghalang jalan itu dengan setengah jengkel "Dari tadi aku sudah bilang kalau bicara sedikit
perlahan, aku sudah mau tidur kau ganggu lalu . . hei bangsat tua
kau mau berbuat apa"
Majikan ular Yu Toa Hay begitu melihat dia tidak pandang
sebelah mata pun kepada dirinya saking gusarnya air mukanya
tanpa terasa sudah berubah merah padam dengan melototkan
sepasang matanya bentaknya dengan keras:
"Ayoh bangun, kalau tidak jangan salahkan lohu turun tangan
terlebih dulu." Nenek iblis penghalang jalan yang melihat Ti Then bersembunyi
di balik pintu kuil segera dalam hati tahu kalau keadaannya tidak
berbahaya. Segera dia balikkan tubuhnya dengan wajah menghadap
ke belakang ujarnya dengan perlahan:
"Oooh bagus sekali, coba punggungku ini gatal cepat garukkan
yang keras." Bagaimana pun juga pengalaman majikan ular itu amat luas,
melihat dia berbuat begitu segera tahu kalau ada sesuatu yang tidak
beres, karenanya dia tidak berani langsung masuk ke dalam kuil,
melainkan dengan berdiam diri di depan kuil sepasang matanya
menyapu sekejap ke sekeliling ruangan itu, tanyanya dengan suara
berat: "Dimana bangsat cilik itu"
"Sudah aku telan hidup,hidup," sahut nenek iblis penghalang
jalan itu seenaknya. " Nenek bangsat bagus sekali perbuatanmu, lohu mau lihat
seberapa tinggi kelihayanmu"
Ditengah suara bentakan tangan kanannya diayunkan dengan
menggunakan seruling iblis ditangannya sebagai senyata rahasia,
dengan dahsyatnya dia menyambit mengarah punggung nenek iblis
penghalang jalan itu. "Sreeeet" suara yang amat memekikkan telinga bergema di
dalam ruangan kuil itu. Sepasang tangan nenek iblis penghalang jalan itu segera
menekan tanah, tubuhnya dengan cepat melayang kurang lebih tiga
depa ke atas menghindarkan diri dari sambitan seruling iblis itu
kemudian dengan sedikit mengubah gerakan dengan ringannya dia
melayang ke bawah kembali dengan sikap bersila, dengan air muka
penuh senyuman mengejek ujarnya.
"Hey Yu Toa Hay. Kau sungguh begitu tidak mampu"
"Hmm . ." Dengus Yu Toa Hay dengan amat dingin. " Lohu masih mengira kau tidak berani ambil keputusan-"
"Ayoh kalau berani masuk ke sini"
"Kau yang keluar." Bentak majikan ular Yu Toa Hay sambil
mengetukkan tongkat berkepalakan ular itu ke atas tanah.
"Lapangan diluar sangat lebar kalau kau berani, ayoh keluar kita
bertanding di luar."
Mendadak .... suara teriak aneh dari kakek kura-kura Phu Tong
Seng berkumandang keluar dari belakang kuil,jika didengar dari
suara jeritan itu jelas dia sudah menemui serangan yang diluar
dugaannya. Air muka majikan ular segera berubah sangat hebat, dengan
cemas teriaknya. "Phu heng kau kenapa?"
Terdengar suara bentrokkan senyata tajam yang sangat ramai
diiringi dengan bentakan nyaring berkumandang datang, kemudian
terdengar suara teriakan dari kakek kura-kura Phu Tong Seng itu.
"Yu heng, budak itu berada di sini . ."
Ti Then yang mendengar Wi Lian In sudah turun tangan
melawan kakek kura-kura dalam hati segera merasa kuatir, dia tahu
dengan kepandaian silat Wi Lian In sekarang masih bukan tandingar
dari kakek kura-kura itu, jika bertempur lama kelamaan dia pasti
akan kalah, karenanya dia tidak berani berlaku ayal lagi, dengan
perlahan dia putar tubuh keluar dari balik pintu itu.
Majikan ular yang melihat munculnya Ti Then secara mendadak
dari balik pintu dalam hati betu1-betul merasa sangat terkejut
sekali, dengan tergesa gesa dia meloncat mundur ke belakang.
Tapi .... hampir bersamaan waktu sepasang kakinya
meninggalkan permukaan tanah untuk mengundurkan diri ke
belakang, serentetan sinar pedang dengan amat cepatnya sudah
berkelebat di depan tubuhnya. "Aduh. . ."
Suatu jeritan yang amat mengerikat segera berkumandang keluar
dari mulutnya. Tubuhnya melanjutkan gerakannya meloncat mundur ke
belakang, sedang sebuah lengan kirinya beserta tongkat berkepala
ular yang sudah terputus menjadi dua menggeletak jatuh tepat di
depan pintu kuil. Kakek kura-kura yang sedang bertempur amat seru dengan Wi
Lian In di belakang kuil ketika mendengar suara jeritan ngeri dari
majikan ular dengan cepat segera tanyanya. "Yu heng, kenapa
kau?" Majikan ular tetap tidak menyawab, dengan menahan
memancarnya darah segar dari lengan sebelah kirinya dengan cepat
dia balik tubuh dan melarikan diri dari sana.
Bersamaan waktu itu juga Ti Then pun meloncat setinggi tiga
kaki melewati kuil bobrok itu dan meloncat turun ke belakang
lapangan kuil itu. Terlihatlah Wi Lian In sedang bertempur amat seru melawan
kakek kura-kura Phu Tong seng, lengan kiri kakek kura-kura itu
terlihatlah basah oleh darah yang mengalir keluar, kelihatannya luka
itu berasal dari tusukan Wi Lian In yang menyerang secara tiba-tiba.
Tapi dikarenakan luka itu bukan tempat yang penting maka tidak
sampai membahayakan jiwanya.
Saat ini tongkat kayunya diputar dan dimainkan dengan amat
dahsyat sekali, angin sambaran yang menderu membuat pasir pada
beterbangan memenuhi angkasa ternyata dia berhasil merebut
kedudukan di atas angin. Tapi . . ketika dilihatnya Ti Then munculkan diri dari balik kuil itu
semangat bertempurnya seketika itu hilang lenyap tersapu dari
dalam badannya. Dia tahu kelihayan dari Ti Then dan bisa menduga tentu majikan
ular sudah terluka ditangan Ti Then, karena itulah begitu melihat
munculnya Ti then di sana dia tidak berani bertempur lebih lama
lagi, tongkatnya dibabat ke depan kemudian meloncat keluar dari
lingkaran kalangan siap untuk melarikan diri.
Melihat hal itu Ti Then tertawa keras, teriaknya : "Hey kura-kura
tua, mau melarikan diri mudah saja, tapi lengan kirimu itu harus kau
tinggal" Berkatanya belum selesai tubuhnya sudah meloncat ketengah
udara, kemudian menubruk kearahnya.
Walau pun kakek kura-kura itu melarikan diri terlebih dahulu tapi
bagaimana pun juga ilmu meringankan tubuhnya bukan tandingan
Ti Then, belum beberapa jauh dia sudah tersusul oleh Ti Then,
terpaksa dia balikkan tubuhnya untuk memberi perlawanan.
Dengan seenaknya Ti Then melancarkan serangannya sejurus
demi sejurus tak putus-putusnya memaksa kakek kura-kura itu
setiap kali mundur satu langkah ke belakang, ketika sampai pada
jurus yang ketiga puluh mendadak terdengar Ti Then membentak
keras: "Kena !" Lengan kiri kakek kura-kura itu dengan diiringi suara
bentakannya itu terlepas dari tempat semula.
Dia menjadi melengak untuk beberapa saat lamanya kemudian
baru menjerit ngeri, tubuhnya dengan sempoyongan mundur
beberapa langkah kemudia tak tahan lagi terjatuh ke atas tanah
dengan amat keras. Ti Then tidak melanjutkan serangannya lagi, sambil mengibasibaskan pedang ujarnya: "Cepat pergi, kalau tidak nyawamu pun segera kucabut
sekalian!" Dengan menahan perasaan sakit kakek kura-kura itu
menggunakan tangan kanannya menutupi bekas luka itu kemudian
dengan menundukkan kepala melarikan diri dengan cepatnya dari
sana. Dengan demikian pertempuran pun sudah berakhir, di atas tanah
hanya tertinggal ular-ular beracunnya majikan ular Yu Toa Hay yang
sedang saling gigit menggigit dengan amat serunya, membuat
orang yang melihat pemandangan itu tidak terasa bergidik juga.
Dengan perlahan Wi Lian In menggunakan tangannya
membereskan rambutnya yang terurai tidak karuan, ujarnya dengan
perlahan. "Majikan ular itu juga kau kutungi lengan kirinya?"
"Benar, manusia semacam mereka ini walau pun binasa juga
tidak ada harganya, tapi Thian maha agung dengan terputusnya
satu lengan mereka kemungkinan sekali sejak kini tidak berbuat
jahat lagi" Wi Lian In memandang lagi kearah bangkai-bangkai ular beracun
yang saling bunuh membunuh itu, ujarnya sambil tertawa.
"Bubuk Mie Hun Yok-nya nenek iblis penghalang jalan itu amat
lihay sekali, dimana dia sekarang?"
"Masih berada di dalam kuil"
"Kau punya maksud berbuat apa terhadap dia?"
"Lepaskan saja !"
"Itu pun baik juga" sahut Wi Lian In sambil berjalan menuju ke
dalam kuil. "Tidak perduli bagaimana pun juga jika tidak ada bubuk Mie Hun
Yok-nya itu barisan selaksa ularnya majikan ular juga tidak bisa kita
pecahkan dengan demikian mudahnya"
Kedua orang itu dengan perlahan berjalan ke depan kuil
kemudian berjalan masuk ke dalam ruangan, tapi seketika itu juga
mereka dibuat tertegun. Kiranya nenek iblis penghalang jalan itu sudah tidak berada lagi
di dalam kuil itu. "Hemm..larinya sungguh amat cepat" seru Wi Lian In sambil
tertawa. "Mungkin dia takut kita ingkar omongan kita karenanya secara
diam-diam sudah melarikan diri"
"Ayoh..kita pun harus pergi juga" ujarnya kemudian sambil putar
tubuh berjalan keluar dari dalam kuil.
"Kuda Ang San Khek-mu itu?"
"Aku tambat di pohon cemara di belakang kuil"
Kuda tunggangan Ti Then berada tepat di bawah tangga depan
kuil itu, dengan menggunakan pedangnya dia menyingkirkan
bangkai-bangkai ular berbisa disekitarnya kemudian dengan
menuntun kuda tunggangnya meninggalkan tempat itu.
Kedua orang itu sesudah menemukan kembali kuda Ang San
Khek yang ditambat di belakang kuil barulah bersama-sama
meninggalkan tempat itu untuk melanjutkan perjalanan ke depan.
"Heei?" ujar Wi Lian In di tengah perjalanan, "Majikan ular,
kakek kura-kura serta nenek iblis penghalang jalan sudah bisa kita
lalui, entah selanjutnya masih ada siapa lagi yang datang mencari
gara-gara?" "Siapa tahu" Aku sangat mengharapkan bisa memperoleh
Pendekar Patung Emas Pendekar Bersinar Kuning Karya Qing Hong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keterangan kitab pusaka Ie Cin Keng itu"
"Ilmu silat yang termuat di dalam kitab pusaka Ie Cin Keng itu
belum tentu lebih tinggi dari kepandaian silatmu sekarang ini, kau
mendapatkannya buat apa?"
"Berikan orang lain"
Wi Lian In menjadi melengak.
"Apa arti perkataanmu?"
"Jika kitab pusaka Ie Cin Keng itu aku berikan kepada orang
pertama yang datang merebut, maka orang-orang dari Bu-lim
lainnya segera akan tahu kalau aku tidak ada kitab pusaka Ie Cin
Keng lagi, dengan begitu mereka pun tidak akan datang mencari
gara-gara lagi" Mendengar penjelasannya itu Wi Lian In baru paham, tanpa
terasa dia tertawa geli ujarnya.
"Cara ini bagus sekali, bagaimana kalau kita buat sejilid kitab
pusaka Ie Cin Keng yang palsu kemudian diberikan kepada orang
lain?" "Tidak bisa?" sahut Ti Then cepat sambil gelengkan kepalanya,
"Hal ini semakin merepotkan kita"
"Untung saja tiga hari lagi kita akan tiba di rumah, asalkan sudah
berada di dalam benteng Pek Kiam Po kita tidak akan takut urusan
lagi. "Aku kira belum tentu, masih ada orang-orang dari Anying Langit
Rase Bumi serta hwesio-hwesio dari Siuw lim pay harus kita hadapi"
"Soal itu gampang sekali kita selesaikan" ujar Wi Lian In sambil
tertawa, "Orang-orang dari Anying Langit Rase Bumi bisa kita
selesaikan dengan mengandalkan kepandaian silat, sedangkan
hwesio-hwesio dari Siauw lim aku kira dengan kedudukan ayahku di
dalam Bu-lim perkataannya bisa dipercaya oleh mereka"
"Heeeei"semoga saja memang demikian"
Kuda tunggangan mereka berdua dengan cepatnya melanjutkan
perjalanan ke depan, tidak lama kemudian sampailah mereka di
depan sebuah kota yang cukup besar, Tanya Ti Then kemudian.
"Ini kota Kiong An bukan?"
"Ehmm..benar" "Malam ini kita istirahat dulu di dalam kota,besok pagi kita
lanjutkan perjalanan kembali"
Wi Lian In angkat kepalanya memandang sekejap keadaan
cuaca, ujarnya kemudian. "Jarak hingga hari gelap masih ada setengah jam, kita masih bisa
melanjutkan perjalanan sejauh sepuluh lie"
Ti Then tersenyum. "Sebelum hari gelap carilah penginapan, kokokan ayam jago
tanda pagi hari tiba, pernahkah kau dengar perkataan ini?"
"Kepandaian silatmu sangat lihay, kita takut apa lagi?"
Ti Then tersenyum lagi. "Aku teringat akan petunjuk dari ayahku, menemui jembatan
turunlah dari kuda, menemui tebing janganlah berebut, menginap
waktu hujan turun hati-hati orang yang berjalan malam, kokokan
ayam jago menandakan pagi hari, jika bisa mengikuti perkataan ini
maka selama mengadakan perjalanan tidak akan menemui
bencana." "Baik..baik..mari kita menginap dulu di dalam kota malam ini"
Hari lewat dengan amat cepatnya, tidak terasa tiga hari sudah
dilewati tanpa terjadi suatu urusan apa pun.
Malam hari itu kedua orang akhirnya sampai juga ke dalam
Benteng Pek Kiam Po dengan selamat.
Wi Ci To itu pocu dari Benteng Pek Kiam Po begitu mendengar
putrinya kembali dengan selamat menjadi amat gembira sekali,
dengan cepat dia menyambut sendiri kedatangan mereka, ujarnya
dengan girang sambil mencekal kencang tangan putrinya.
"In-ji, kau tidak terluka bukan?"
Saking girangnya Wi Lian In tidak bisa menahan menetesnya
titik-titik air mata, sahutnya dengan girang. "Tidak Tia, kau lihat putrimu baik baik bukan?"
Wi Ci To mencekal kencang juga tangan Ti Then, dengan
menahan penuh berterima kasih ujarnya."Ti Kauw tauw, lohu entah
harus berbuat bagaimana untuk mengucapkan terima kasih ini . . ."
"Hal ini adalah kewajiban boanpwe, harap Pocu jangan pikirkan
di dalam hati. ." Dengan menggandeng tangan Ti Then serta putrinya Wi Ci To
segera balik tubuh berjalan kembali ke dalam Benteng. "Ayoh jalan,
kita bicara di dalam saja"
Tua muda tiga orang segera berjalan masuk keruangan dalam
dan duduk saling berhadap-hadapan. Ti Then tahu tentunya dia
ingin sekali mengetahui kejadian yang sudah terjadi, segera dia
menceritakan dengan amat jelas seluruh kejadian serta peristiwa
yang terjadi ditengah jalan.
-ooo0dw0ooo- Jilid 12.1 : Si Setan Pengecut orang dalam Benteng"
Mendengar kisah itu Wi Ci To menjadi terperanyat.
"Jika begitu" ujarnya sembari menghela napas panjang.
"Sekarang semua orang sudah anggap kau orang yang
mendapatkan kitab pusaka Ie cin Keng itu ?""
"Benar" sahut Ti Then sambil mengangguk.
"Hemmm" dengus Wi Ci To dengan teramat gusar, sepasang
kepalannya diremas remas dengan keras. "Tidak kusangka Hong
Mong Ling bangsat cilik itu berani cari gara-gara, sungguh manusia
terkutuk." "Tia." seru Wi Lian In menambahkan "Apakah pendekar pedang merah yang kau kirim keluar apa sudah ada berita?""
"Tidak ada . ." sahut Wi Ci To sambil gelengkan kepalanya.
"Paman Huang Puh?""
"Dia pun tidak ada beritanya."
"Tia" seru Wi Lian In kemudian dengan perlahan- "Kau keluarkan perintah seratus pedang lagi panggil mereka semua pulang."
"Baiklah" ujar wi Ci To sambil mengangguk. "Tidak sampai lima hari lagi dari pihak Anying langit Rase bumi tentu akan datang
mengacau. ." "Boanpwe sudah bilang dengan jelas kepada Menteri pintu
pembesar jendela itu" ujar Ti Then tiba tiba. . "Orang-orang Anying langit Rase bumi boleh datang ke Benteng Pek Kiam Po cari
boanpwe tapi tidak diperkenankan mengganggu orang-orang
Benteng Pek Kiam Po, karena itu jika tiba waktunya biarlah
boanpwe seorang diri yang menghadapi mereka."
"Jika Ti Kiauw tauw bicara begitu malah menganggap kami
sabagai orang luar saja, sekarang urusanmu merupakan urusanku
juga, siapa yang tidak puas kepadamu sama saja seperti tidak
merasa puas kepada Lohu."
Berbicara sampai di sini pada air mukanya tampil suatu
senyuman yang teramat dingin, tambahnya:
"Padahal orang-orang dari golongan Anying langit rase bumi
seharusnya dibasmi secepat mungkin, dahulu Lohu ragu-ragu untuk
turun tangan karena anak buah mereka terlalu banyak. kini ada Ti
Kiauw tauw yang membantu boleh dikata sudah waktunya untuk
membasmi kejahatan demi keamanan Bu lim."
"Boanpwe rasa pihak Anying langit Rase bumi masih mudah
untuk dibereskan" Ujar Ti Then perlahan "Sebaliknya hwesio-hwesio dari Siauw lim malah merupakan persoalan yang paling sukar,
Boanpwe tidak bisa mengakui kalau sudah dapatkan itu kitab
pusaka Ie cin Keng, merasa tidak enak juga untuk melawan mereka
. . ." "Ti Kiauw tauw tidak usah kuatir" ujar Wi Ci To sambil
tersenyum, "Ciangbunyin dari partai Siauw lim, Yuan Kuang Thaysu
jadi orang berpikiran luas dan turut aturan bahkan sangat cocok
dengan lohu, sampai waktunya biarlah lohu mewakili Ti Kiauw tauw
jelaskan duduknya persoalan"
"Aku hanya takut dia tidak mau percaya" Ujar Ti Then sambil
tertawa pahit. "Jika dia tidak mau percaya" ujar Wi Ci Tao dengan air muka
serius.. "Sama saja tidak pandang diri lohu"
"Setiap urusan yang menyangkut harta benda selamanya sukar
untuk dijelaskan, jika Yuan Kong Thaysu sampai tidak percaya
omongan pocu hal ini tidak bisa salahkan dia. Menurut pendapat
boanpwe terpaksa kita harus perlihatkan sedikit bukti."
Dengan pandangan yang amat tajam Wi Ci To memperhatikan
wajahnya. "Bukti dari mana?"" tanyanya.
"Tawan si setan pengecut atau Hong Mong Ling"
"Ehmm . . .jika berhasil menawan mereka berdua hal itu sangat
tepat sekali" sahut Wi Ci To sambil mengangguk. "Tapi kini mereka bersembunyi dimana?"
"Menurut omongan Nona Wi kepandaian silat dari setan pengecut
itu amat tinggi sekali" ujar Ti Then dengan wajah serius. "Untuk menawan dia bukanlah suatu urusan yang gampang. Tapi seluruh
pendekar pedang merah dari Benteng kita kini masih berkeliaran
diluaran, jika mereka bisa bertemu dengan Hong Mong Ling
mungkin bisa berhasil tawan dia pulang"
"Jadi maksud Ti Kiauw tauw tidak menyetujui lohu untuk panggil
semua pendekar pedang merah pulang".."
"Benar" sahut Ti Then- "Kita bisa mengganti dengan satu
perintah seratus pedang yang lain, perintahkan mereka untuk
menyelidiki jejak dari Hong Mong Ling"
"Tapi dengan begitu jika orang-orang Anying Langit Rase Bumi
datang menyerbu secara besar-besaran, dengan kekuatan kita
beberapa orang mungkin tidak sanggup untuk menahan serangan
mereka" bantah Wi Ci To.
"Tujuan dari orang-orang Anying Langit Rase Bumi hanya kitab
pusaka Ie Cin Keng serta diri boanpwe, sampai waktunya asalkan
Pocu tidak ikut campur aku kira mereka tidak akan berani menyalahi
orang-orang Benteng Pak Kiam Po"
"Tapi. ." bantah Wi Ci To lagi, "dengan kekuatan kau seorang mana mungkin melawan mereka suami istri?"?"
"Boanpwe percaya masih sanggup untuk melawan mereka" seru
Ti Then tegas. "Kalau begitu baiklah" sahut Wi Ci To kemudian sesudah berpikir beberapa saat lamanya. "Nanti Lohu keluarkan perintah seratus
pedang lagi suruh mereka menawan Hong Mong Ling . . . . kau
sudah makan belum?"?"
"Belum" sahut Wi Lian In yang berdiri di samping dengan cepat.
"Cepat-cepat ingin pulang sampai makan siang pun belum oooh . . .
sungguh lapar sekali"
Melihat tingkah laku putrinya, Wi Ci To tersenyum. "Kalau begitu
cepat pergi dahar" ujarnya.
-0000000- "Ayoh jalan-" ujar Wi Lian In sambil menoleh kearah Ti Then.
"Kita pergi dahar."
Dengan jalan berdampingan Ti Then serta Wi Lian In berjalan
keluar dari ruangan- Wi Ci To yang melihat kerapatan hubungan mereka mendadak
terbayang suatu perasaan yang teramat aneh, air mukanya segera
terlintas suatu senyuman yang amat girang sekali.
"Apa ini yang dinamakan jodoh?" pikirnya di dalam hati, " Kalau tidak bagaimana bisa muncul urusan seperti ini" Dengan perlahan
lahan, urusan ini tidak bisa cepat- cepat . ."
Dengan perlahan dia berjalan keluar ruangan dan kumpulkan
beberapa orang pendekar pedang merah yang masih tersisa di
dalam Benteng, perintah seratus pedang segera dikeluarkan dan
diumumkan setelah itu memberi peringatan yang tegas kepada
pendekar pendekar pedang hitam serta putih untuk siap berjagajaga kemungkinan pengacauan orang-orang Anying langit Rase
bumi, setelah itu barulah dia kembali ke dalam kamar bukunya.
Ti Then serta Wi Lian In sehabis dahar masing-masing kembali ke
dalam kamarnya masing-masing untuk beristirahat.
Itu pelayan tua si Locia ketika melihat dia pulang menjadi amat
girang sekali. "Ti Kiauw tauw" serunya sambil maju memberi hormat, "Kau
sudah pulang?" Ti Then tersenyum. "Ehmmm ..." sahutnya sambil mengangguk.
"Kau baik-baik saja bukan Lo-cia."
"Aku dengar Ti Kiauw-tauw berhasil tolong sio-cia pulang?""
tanya si Locia sambil tertawa-tawa.
"Tidak salah" sahut Ti Then tersenyum, dengan perlahan dia duduk ke atas pembaringan-"Yang menculik nona adalah seorang
yang berkerudung, tujuan orang itu ternyata berada pada diriku
karenanya belum sampai beberapa hari aku keluar dari Benteng
sudah berhasil menemukan mereka"
Lalu diceritakannya kisah yang sudah terjadi itu sekali lagi.
"Heeei . . . Untung saja sio-cia kita belum sampai dijodohkan
dengan dia..." ujar si Lo-cia sambil menghela napas panjang. .
"Tidak kusangka Hong Mong Ling adalah seorang manusia berhati
binatang." Ti Then hanya tersenyum tidak ambil komentar.
sekali lagi Lo-cia menghela napas panjang, beberapa saat
kemudian dengan wajah penuh senyuman dia mendekati diri Ti
Then- "Ti Kiauw-tauw" Ujarnya dengan perlahan- . "Kali ini kau berhasil tolong nyawa sio-cia kita, pocu kami tentu akan mengucapkan
terima kasihnya kepadamu"
"Jika bukannya setan pengecut itu hendak memaksa aku, sio-cia
belum tentu diculik pergi" ujarnya perlahan- "Bencana berasal dari aku sendiri maka itu penghargaan dari Pocu tidak bisa aku terima"
"Maksudku bukan begitu . ." Bantah si Lo-cia ketika mendengar
Ti Then sudah salah tangkap arti perkataannya. "Menurut dugaan
budak tuamu, Pocu kami bisa jodohkan sio cia kepadamu"
Terhadap perkataan dari Lo-cia Ti Then sama sekali tidak merasa
diluar dugaan, tapi tidak urung hatinya terasa tergetar juga.
"Jangan omong sembarangan" Bentaknya segera dengan serius.
"Hal ini sungguh-sungguh" ujar Lo-cia lagi sambil tertawa
terkekeh-kekeh dengan keras: "Ti Kiauw tauw masih muda lagi
berwajah tampan, kepandaian silatnya pun amat tinggi, jika pocu
kami mau cari menantu lagi maka pilihannya tentu jatuh pada diri Ti
Kiauw tauw" "Sudah, sudahlah" seru Ti Then sambil tertawa pahit, "Kau tidak usah bilang lagi"
Perkataannya belum selesai mendadak Wi Lian In sudah muncul
di depan pintu kamar. "Urusan apa yang tidak usah bilang lagi?" sambungnya sambil
tertawa. "Tidak apa-apa . . tidak ada apa-apa . ." seru Ti Then dengan
gugup, cepat-cepat dia bangkit berdiri untuk menyambut
kedatangan nona itu. Melihat air muka Ti Then yang amat rikuh serta malu Wi Lian In
jadi semakin heran, dia menoleh kearah Lo cia sambil tanyanya: "Lo
cia kalian sedang bicarakan soal apa?""
"Ti . . . tidak apa apa hi hi hi . ." Ujar Lo cia sambil goyangkan tangannya berulang kali.
" Cepat bilang. ." bentak Wi Lian In sambil mendepakkan kakinya ke atas tanah matanya melotot keluar menunjukkan perasaan
marahnya, "Jika tidak mau bilang awas aku kasih hukuman
mengambil air seratus pikul"
"Aduh" seru Lo-cia sambil leletkan lidahnya. "Ambil air seratus pikul?"" am pun . ."
"Seharusnya kau tahu sifatku ini" teriak Wia Lian In sambil
bertolak pinggang "Aku bilang satu yah satu."
"Sio cia" seru Lo cia sesudah menelan ludah. "Kau paksa
budakmu harus bilang, budakmu tidak berani membantah hanya
saja sesudah aku bilang sio cia janganlah marah"
Wi Lian In tersenyum. "Tentu aku tidak marah, cepat katakan" ujarnya.
si Lo cia melirik sekejap kearah Ti Then, sesudah berbatuk batuk
barulah ujarnya sambil tertawa:
"Tadi budakmu sedang bergurau dengan Ti Kiauw tauw,
budakmu bilang sesudah dia berhasil menolong nyawa sio-cia, tentu
pocu bisa membalas budi ini sebaik-baiknya . ."
"Seharusnya memang begitu" seru Wi Lian In sambil mencibirkan
bibirnya. "Memang tidak salah"
"Lalu bilang apa lagi?" tanya Wi Lian In kurang sabaran.
Pendekar Patung Emas Pendekar Bersinar Kuning Karya Qing Hong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
" Kemudian- . Eh mm . . kemudian- ." jawab Lo-cia dengan
terputus-putus: "Budakmu bilang pocu .... mungkin bisa . . bisa
menjodohkan . . . menjodohkan sio cia . . kepada . . kepadanya. ."
Air muka Wi Lian In segera berubah menjadi merah padam
saking malunya. "Bagus" Bentaknya sambil mendepakkan kakinya ke atas tanah,
"Kau berani omong sembarangan, aku . . aku . ."
Sambil berkata dia meloncat masuk ke dalam kamar dan
memperlihatkan gaya mau memukul. Dengan cepat Lo-cia
bungkukkan badannya dan lari keluar dengan cepat.
"Aduh . . . am pun . . am pun- ." teriaknya dengan keras. "Aku sudah bilang sungguh-sungguh, kenapa kini mau dipukul?"
" Cepat pergi menyapu bersih halaman luar, kalau tidak aku tidak
akan am puni kau" Bentak Wi Lian In lagi dengan merdunya. si Lo
cia segera menyahut dan mengundurkan diri dari kamar.
Sesudah itu barulah Wi Lian In menoleh kearah Ti Then, dengan
wajah yang sudah berubah merah dadu ujarnya sambil tersenyum
malu. "Budak tua itu sungguh . . . sungguh keterlaluan- kau bilang
betul tidak?" "Benar, sedikit pun tidak salah" sahut Ti Then sambii
mengangguk. "Kalau begitu biar aku laporkan urusan ini kepada Tia biar dia
dimaki habis-habisan-" ujar Wi Lian In dengan manyanya.
"Baik. ." Wi Lian In menjadi melengak:
"Tapi. ." ujarnya sambil tertawa paksa, "Mengingat usianya yang sudah lanjut dan selamanya belum pernah melakukan pekerjaan
yang salah biar kita am puni satu kali ini, kau bilang bagaimana?"
"Bagus sekali. ."
Melihat sikapnya yang seperti kehilangan semangat tak tertahan
lagi Wi Lian In tertawa geli.
"Kau kenapa?" tanyanya.
"Tidak apa-apa" seru Ti Then sambil tertawa paksa.
Wi Lian In menoleh untuk melihat sekejap keadaan sekelilingnya
setelah itu baru menggape sambil ujarnya dengan suara yang lirih:
"Kau kemarilah, aku ada perkataan yang mau kutanyakan-.."
"Urusan apa?"" Tanya Ti Then sambil maju dua langkah ke
depan- "Kau majulah lagi."
Ti Then maju lagi satu langkah, tanyanya sambil tertawa:
"Urusan apa ?" "Kau kemari lebih dekat lagi" seru Wi Lian In sambil tersenyum malu.
Terpaksa Ti Then maju lagi satu langkah ke depan, kini dia sudah
berdiri saling berhadapan dengan dia dalam jarak tidak lebih dari
satu depan, terasa napasnya yang berbau harum menusuk hidung
membuat kepalanya terasa pening.
"Sebetulnya urusan apa?" Tanyanya sambil tertawa malu.
sebelum bicara wajah Wi Lian In sudah berubah menjadi merah
padam, mulutnya komat-kamit mau mengucapkan sesuatu tapi tidak
jadi matanya melirik ke wajah Ti Then kemudian ujarnya sambil
tertawa malu. "Aku tidak mau bilang" Selesai berkata dia putar tubuh dan lari keluar.
Ti Then hanya bisa tertawa pahit ketika melihat sikapnya itu,
segera dia mengundurkan diri ke atas pembaringan dan
merebahkan diri untuk beristirahat.
Kini dia berpikir: "Akhirnya aku berhasil menolong Wi Lian In
kembali ke dalam Benteng Pek Kiam Po, tapi sekarang juga harus
melaksanakan tugas yang diberikan oleh majikan patung emas.
Heei,jika . . .jika aku tidak berhasil menolong Wi Lian In kembali,
saat itu . . sungguh bagus sekali"
"Tidak. tidak boleh punya pikiran begitu, jika aku tidak menolong
Wi Lian In dia tentu akan diperkosa kemudian dibunuh mati oleh
Hong Mong Ling. Lebih baik dia diperkosa kemudian dibunuh mati
oleh Hong Mong Ling atau dijodohkan kepadaku saja?"
"Sewaktu dia sudah jadi istriku, apa itu perintah kedua dari
majikan patung emas?""
Mungkinkah perintah kedua dari majikan patung emas ini jauh
lebih hebat dan jauh lebih kejam bagi Wi Lian In dari pada
diperkosa kemudian dibunuh oleh Hong Mong Ling" .
"Hei, kau sudah tidur belum?"
Mendadak Wi Lian In mendorong pintu kamar dan berjalan
masuk. Ti Then segera bangkit berdiri.
"Belum." sahutnya gugup. "Aku sedang berpikir . . ."
"Pikir apa?"" Tanya Wi Lian sambil tertawa.
"Aku sedang pikir perkataan apa yang akan kau katakan tadi
kemudian tidak jadi kau ucapkan itu"
Wajah Wi Lian In segera berubah menjadi merah padam. "Kau
tidak tahu?" tanyanya sambil tertawa malu.
"Belum. ." "Kalau begitu yah sudahlah" sahutnya sambil mencibirkan
bibirnya yang kecil mungil itu.
"Apa kau pasti mau bertanya?"
"Tidak" xx Bagian 20 Ti Then menjadi bingung dibuatnya, sahutnya kemudian sambil
garuk-garukan kepalanya: " Kalau begitu kau mengharapkan aku
bisa menebaknya?"?"
"Kepalamu adalah kepala dari batu" ujar Wi Lian In sambil
tertawa, "Aku tahu selamanya kau tidak akan bisa mengetahui."
"Maaf, otakku kadang kala memang agak tidak normal . . . ."
"Persis seperti seekor itik goblok" sambung Wi Lian In cepat.
"Benar. . benar . ."
"Sudahlah, aku tidak mau guyon terus sama kau" Ujar Wi Lian In tiba-tiba: "Aku mau beritahukan suatu urusan kepadamu, Hu pocu
baru saja kembali." Dalam hati Ti Then menjadi tergerak: "Ooooh ..... serunya cepat.
"Begitu tepatnya. ."
"Aku juga merasa kali ini dia pulangnya begitu bertepatan
waktunya" seru Wi Lian In sambil memperendah suaranya. " Karena itu aku kemari untuk mengajak kau pikirkan urusan ini."
"Pikirkan apanya?" tanya Ti Then sambil pandang wajahnya.
"Waktu itu ketika masih berada di atas gunung Fan cin san kau
pernah bilang si setan pengecut itu kemungkinan sekali adalah
orang dari Benteng Pek Kiam Po kita. ."
"Benar" sahut Ti Then dengan wajah serius. "Hanya hal itu merupakan dugaanku saja, tapi jika bilang yang sesungguhnya
orang itu tidak mungkin adalah Hu Pocu kita, karena ketika kau
diculik pergi waktu itu dia masih bermain catur dengan aku di dalam
ruangan." "Tapi ketika aku diculik aku berada di dalam keadaan tidak sadar"
Bantah Wi Lian In dengan cepat. " Kemungkinan sekali orang yang
menculik pergi aku malam itu adalah Hong Mong Ling bukan si
setan pengecut itu."
Ti Then mengerutkan keningnya rapat-rapat.
"Kau tidak seharusnya mencurigai Hu Pocu" ujar Ti Then dengan
nada memberi nasehat. "Dia adalah sute dari ayahmu, dia tidak
punya alasan untuk bersekongkol dengan Hong Mong Ling"
"Sebetulnya aku juga tidak berani menaruh curiga kepadanya"
Bantah Wi Lian In dengan perlahan- "Tapi ketika dia pulang di atas
kepalanya memakai sebuah kain pengikat kepala, selamanya dia
tidak pernah memakai kain pengikat kepala kenapa kali ini bisa
begitu kebetulan dan memakai kain itu?"
Teringat ketika malam itu kepala dari setan Pengecut memang
berhasil ditabas sebagian olehnya membuat pendirian Ti Then saat
ini menjadi goyah. "Tapi . . ." ujarnya kemudian sesudah termenung sebentar. "Kau pun tidak bisa mendasarkan hal ini saja lalu menuduh dialah setan
pengecut itu." "Lalu jika di atas kepalanya ada bekas luka?" tanya Wi Lian In sedang sinar matanya dengan tajam memandang wajah Ti Then.
Ti Then menganggukan kepalanya perlahan:
"Jika di atas kepalanya ada bekas luka, sudah tentu bisa
membuktikan kalau dialah setan pengecut itu" sahutnya.
"Kini dia sedang berbicara dengan ayah di dalam kamar buku,
bagaimana kalau kita pergi membuktikan?"
"Baik, tapi harus menggunakan sedikit kepandaian.Janganlah
sekali-kali berbuat gegabah"
Demikianlah akhirnya kedua orang itu berjalan keluar dari kamar
dan berjalan menuju kekamar bukunya Wi Ci To.
sesampainya diluar kamar terlihatlah Wi Ci To serta Hu Pocu
Huang Puh Kian Pek sedang berjalan keluar dari dalam kamar.
Dengan cepat Ti Then bertindak maju untuk memberi hormat.
"Ooh . . . Hu Pocu sudah kembali"
"Benar" sahutnya sambil tertawa, dari air mukanya jelas
memperlihatkan perasaan girangnya. "Lohu sudah cari selama
puluhan hari lamanya sedikit pun tidak memperoleh berita
sebetulnya mau pulang untuk cari- cari berita, tidak tahunya Ti
Kiauw tauw sudah berhasil menolong Wi Lian In kembali, sungguh
menggembirakan- sungguh menggembirakan"
Ternyata tidak salah di atas kepalanya di ikat dengan sekerat
kain persegi empat. Ujar Ti Then kemudian.
"Mengenai boanpwe berhasil menolong nona Wi kembali
tentunya Hu Pocu sudah mendapat tahu dari Pocu sendiri bukan?"
"Benar" sahut Huang Puh Kian Pek sambil mengangguk. "Pocu serta lohu sedang siap mencari kau."
"Ha ha ha ha . . ." seru Wi Ci To mendadak sambil tertawa, "kita bicara di dalam ruangan saja."
Tua muda empat orang masuk ke dalam ruangan dalam dan
duduk. sekali lagi Huang Puh Kian pek menanyakan peristiwa yang
sudah terjadi. setelah mendengar kisah dari Ti Then ini dengan
perasaan amat serius ujarnya:
"Heei .... satu gelombang belum reda gelombang yang lain sudah
mendatangi, kini hwesio dari Siauw lim si serta Anying Langit Rase
Bumi mungkin sudah mulai bergerak . ."
"Mungkin juga berpuluh puluh jago dari kalangan hitam akan ikut
datang juga" tambah Ti Then .
"Kalau begitu" ujar Huang Puh Kian Pek dengan nada yang amat
serius. "Kita harus cepat-cepat persiapkan diri, hwesio-hwesio dari siauw
lim pay mungkin masih mau mendengarkan nasehat dari pocu tetapi
dari pihak Anying Langit Rase Bumi bukanlah manusia yang bisa
diajak berunding." "Heei . . ." ujar Ti Then kemudian sambil menghela napas
panjang. "Boanpwe merasa sangat menyesal sekali sudah
memancing berbagai macam urusan ke dalam Benteng ini.
"Ti Kiauw-tauw jangan bicara begitu" ujar Huang puh Kian Pek
sambil tertawa.. "Ini bukanlah kesalahanmu, yang patut dibunuh
seharusnya Hong Mong Ling, bangsat cilik itu tidak berbudi seorang
laknat yang harus dibunuh, seharusnya kita pergi tangkap dia,
kemudian dijatuhi hukuman mati."
"Paman Huang puh" timbrung wi Lian In secara tiba-tiba:
"selamanya kau orang tua tidak pernah pakai ikat kepala, kenapa ini hari secara tiba-tiba memakainya?""
Huang puh Kian Pek mengusap usap kain pengikat kepalanya
dengan perlahan. "Orang bila melakukan perjalanan jauh lebih baik menggunakan
kain pengikat kepala untuk menahan serangan angin dan pasir"
ujarnya sambil tertawa paksa.
"Beli ditempat mana ?"?"
"Kota Hoa Yang."
"Sungguh indah sekali" seru Wi Lian In sembari berjalan
mendekati samping tubuhnya, dia tersenyum " Bolehkah
keponakanmu melihat sebentar ?"
"Bukan dengan begitu sudah jelas?"" ujarnya sambil tertawa.
"Tidak" sahut Wi Lian In sembari mengulur tangannya untuk
melepas kain pengikat kepalanya itu. "Keponakanmu mau melihat
lebih teliti lagi, pada kemudian hari aku pun akan buatkan Tia
sebuah." Dengan perlahan Huang puh Kian pek mendorong tubuhnya ke
samping. "Jangan bergurau ...." ujarnya sambil tertawa terbahak bahak
"Tiamu tidak akan mau menggunakan kain pengikat kepala ini."
"Jika keponakanmu sendiri yang menyahit, Tia tentu suka untuk
menggunakannya, paman yang baik biar aku pinyam sebentar."
Melihat kelakuan putrinya ini Wi Ci To segera melerai, ujarnya
sambil tertawa. "In-ji sejak kapan kau belajar menyahit"..."
-0000000- "Tia kau jangan memandang rendah putrimu" seru Wi Lian In
dengan manyany a. "Hanya membuat sebuah kain pengikat kepala
saja apanya yang sukar?"
"Lohu selamanya tidak pernah lihat kau menggerakkan jarum,
heee . . . heee . . . sudah, sudahlah, Cepat kau duduk yang tenang,
jangan bergurau lagi. Kita harus merundingkan urusan yang lebih
penting" Wi Lian In tidak bisa berbuat apa-apa lagi, terpaksa dia balik
ketempat duduknya semula, secara diam-diam dia kirim suatu tanda
apa boleh buat kepada diri Ti Then.
Ti Then pura-pura tidak melihatnya, tanyanya kepada Wi Ci To:
"Sebelum peristiwa ini apakah Pocu berdua pernah menaruh
ganyalan dengan orang-orang dari Anying langit Rase bumi?"
"Belum pernah" seru Wi Ci To sambil gelengkan kepalanya. "Tapi menurut data-data yang pernah kita terima, kepandaian silat dari
Anying langit Rase bumi memang sangat lihay sekali"
"Bagaimana jika dibandingkan kepandaian dari Majikan ular
Kakek kura-kura?" Tanya Ti Then lagi.
"Jika majikan ular serta Kakek kura-kura harus bertempur
melawan Anying langit rase bumi paling banyak hanya bisa
menerima seratus jurus saja."
"Tidak perduli melawan berapa banyak orang apa mereka suami
istri selamanya turun tangan bersama-sama?""
"Benar" sahut Wi ci To sambil mengangguk.
Pada wajah Ti Then segera terlintaslah suatu perasaan yang
amat girang. "Jika begitu" ujarnya "Dengan kekuatan boanpwe seorang
mungkin belum sanggup untuk memperoleh kemenangan-"
Wi Ci To yang melihat pada wajah Ti Then malah muncul
perasaan girang, dalam hati menjadi sangat bingung, ujarnya sambil
tertawa: "Dengan kekuatan Ti Kiauw tauw seorang sudah tentu belum
bisa melawan Anying langit rase bumi, tapi Lohu tidak akan
membiarkan Ti Kiauw tauw seorang diri pergi melawan mereka
suami istri berdua" "Tidak" bantah Ti Then dengan cepat "Boanpwe akan melawan mereka suami istri sendirian"
"Apa Ti Kiauw tauw tidak pandang diri Lohu dan menganggap
Lohu tidak berani berbuat dosa kepada mereka?" tanya Wi Ci To
dengan perasaan kurang senang.
"Bukan begitu, pocu jangan salah paham"
" Kalau tidak, kenapa Ti Kiau tauw begitu ngotot hendak
melawan mereka suami istri berdua secara pribadi" Bukankah Ti
kiauw tauw tahu dengan seorang diri sukar untuk melawan dua
musuh?" Ti Then dibuat melengak untuk beberapa saat lamanya, dia
berdiam diri untuk berpikir:
"Walau pun boanpwe tidak berhasil mendapatkan kemenangan"
ujarnya kemudian- "Tapi boanpwe percaya masih sanggup bertahan
untuk beberapa waktu lamanya"
"Itukah alasan Ti Kiauw tauw kenapa mau melawan mereka
suami istri secara pribadi"
Ti Then terdesak. terpaksa sahutnya dengan sembarangan.
Pendekar Patung Emas Pendekar Bersinar Kuning Karya Qing Hong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mereka Anying langit Rase bumi merupakan jago jago
berkepandaian tinggi yang sudah menggetarkan dunia persilatan,
sedang boanpwe hanya seorang yang masih keroco, masih cetek
pengalamannya tentang Bu lim, jika mereka tak bisa kalahkan
boanpwe secepatmya sama saja sudah mengorek selapis kulit muka
mereka.". "Tidakperduli bagaimana pun juga" potong Wi Ci To dengan
tegas "Lohu tidak akan membiarkan kau pergi melawan mereka
berdua secara sendirian kau tidak usah bicara lagi."
Ti Then tersenyum. "Inilah kesempatan boanpwe untuk mencari
nama." ujarnya "Harap pocu mau meluluskan." Wi Ci To menjadi melengak.
"Kau ... kau ingin menggunakan kesempatan ini untuk mencari
nama?" "Benar" sahut Ti Then sembari mengangguk "Boanpwe tidak
berani bilang pasti bisa mengalahkan Anying langit Rase bumi, juga
tidak berani mengharapkan bisa bertanding seimbang dengan
mereka tapi bisa bertahan ratusan jurus tanpa bisa dikalahkan
mungkin sudah cukup mengangkat nama boanpwe."
Wi Ci To menggelengkan kepalanya.
" Untuk melawan mereka suami isteri berdua lohu sendiri pun
juga bisa bertahan delapan sembilan puluh jurus saja." ujarnya
sambil menghela napas. Agaknya dia masih belum tahu kalau kepandaian silat dari Ti
Then sudah mencapai pada taraf nomor tiga di dalam dunia, dia
mengira kepandaian silat dari Ti Then walau pun lebih tinggi tak
mungkin bisa melampauinya karena ambil kata-kata ini sebagai
peringatan dia ingin membuat Ti Then sadar kalau dia seorang diri
tidak mungkin bisa bertahan seratus jurus saja di dalam melawan
Anying langit Rase bumi. "Sekali pun tidak sanggup" ujar Ti Then sambil tertawa. "Pocu bolehlah turun tangan sewaktu melihat boanpwe sudah tidak tahan"
Wi Ci To masih ingin membantah lagi, tapi keburu dicegah oleh
Huang puh Kian Pek ujarnya:
"Suheng, kalau memangnya Ti Kiauw tauw punya semangat
demikian, biarkanlah dia pergi coba-coba, perkataannya sedikit pun
tidak salah, menanti dia sudah tidak tahan kita masih punya
kesempatan untuk menolong dia dari bahaya."
"Baiklah" sahut Wi Ci To kemudian sambil mengangguk sesudah
termenung berpikir sebentar. "sampai waktunya baru kita bicarakan
lagi." segera dia bangkit berdiri, sambungnya sambil tertawa:
"Tadi lohu sudah perintahkan orang untuk mempersiapkan
perjamuan guna menyambut kedatangan Hu Pocu serta Ti Kiauw
tauw, kini mungkin sudah disiapkan marilah .... kita pergi dahar
dulu." Tua muda empat orang segera bangkit berdiri dan menuju ke
ruang dalam, terlihatlah di sana sudah disiapkan meja perjamuan
beserta hidangan yang lezat, karenanya mereka segera cari tempat
dan mulai bersantap. Wi Lian In yang duduk di samping Huang puh Kian Pek selama ini
terus menerus mengincar kain pengikat kepalanya, ujarnya
kemudian sambil bersantap:
"Tia, kepandaian dari majikan ular Kakek kura-kura itu apakah
jauh lebih tinggi dari kepandaian pendekar pedang merah kita?"
"Tidak salah." sahut Wi Ci To sambil mengangguk. "Mungkin satu tingkat lebih tinggi."
"Tapi sewaktu hari itu putrimu melawan kakek kura-kura,
rasanya dia tidak punya kesabaran yang luar biasa"
Wi Ci To tersenyum simpul mendengar omongan putrinya ini.
"Kau berhasil menangkan dia?" tanyanya.
"Tidak" sahutnya sambil menggerakkan sumpit yang berada
ditangannya "Hanya saja sewaktu putrimu menggunakan jurus
"Coan Lin sih In" atau memutar badan memanah elang . .
sembari berkata sumpit ditangan kanan secara mendadak
menyambar kearah sebelah kanan menarik kain penutup kepala dari
Huang puh Kian Pek itu. Siapa tahu ketajaman perasaan Huang puh Kian Pek pun amat
tinggi, tangan kirinya dengan cepat diangkat menangkis
pergelangan tangannya: "Awas" serunya sambil tertawa.
Melihat serangannya tidak mencapai sasaran dengan gugup Wi
Liam In berkata: "ooh . . . maaf, paman Huang puh keponakanmu
tidak sengaja" "Haa ... ha ... ha . . tidak mengapa tidak mengapa" sahut Huang puh Kian Pek sambil tertawa terbahak-bahak "Paman Huang puh
masih belum tua, hanya menghadapi segala perubahan secara
mendadak masih sanggup"
"Lian In" seru Wi Ci To dengan nada memaki sedang keningnya
dikerutkan rapat-rapat "Kau sudah jadi seorang nona dewasa segala
gerak geriknya harus sedikit genah, jika waktu bicara jangan
gerakan tangan kaki seperti itu"
"Baiklah Tia" sahut Wi Lian In sambil menggerutu.
"Ehmm. . teruskan- ."
"Aku tidak mau membicarakan lagi"
"Hmm" dengus Wi Ci To sambil tertawa "Kau budak ini sungguh pandai bergurau."
"Tidak usah bicara tentang majikan ular kakek kura-kura lagi,
lebih baik kita bicarakan soal setan pengecut itu saja" sambung
Huang puh Kian Pek dengan cepat, "Kau serta Ti Kiauw tauw pernah
berdekatan dengan setan pengecut, dapatkah kau menduga
siapakah orang itu?"
Wi Lian In memandang sekejap kearah Ti Then, kemudian
barulah sahutnya sambil tersenyum:
"Kepandaian setan pengecut itu sangat tinggi, mungkin berada
diantara kepandaian paman Huang Puh siok"
"Oooh, begitu?" ujar Huang Puh Kianpek sambil tertawa.
"Kemungkinan sekali orang itu adalah salah satu orang diantara
kita orang-orang dari Benteng Pek Kiam po."
Semula Wi Ci To dibuat melengak oleh perkataan ini tapi dengan
cepat sudah berubah menjadi amat keren.
"Inyie" ujarnya. "Kau jangan omong sembarangan."
"Perkataan dari putrimu semuanya beralasan, jika setan pengecut
itu bukan orang yang sudah putrimu kenal baik dia tidak mungkin
akan berkerudung, lagipula nada ucapannya walau pun sengaja
diganti dengan logat yang lucu tapi suara itu sepertinya sangat
dikenal" "Siapa?" potong Huang Puh Kian Pek dengan cepat.
Wi Lian In ragu-ragu sejenak, kemudian barulah sahutnya.
"Keponakanmu tidak bisa menduga siapa dia sebetulnya, hanya
saja suara itu agaknya sangat dikenal"
"Hmm" dengus Wi Ci To dengan keren, "Hanya berdasarkan alas
an itu saja kau sudah menuduh dia adalah salah seorang diantara
kita?" "Benar, tapi selama setengah tahun ini putrimu tidak pernah
meninggalkan benteng barang selangkah pun, jika setan pengecut
itu adalah orang luar sesudah terpaut waktu yang lama mana
mungkin putrimu masih sangat mengenal suara itu"
Mendengar omongan putrinya yang sangat beralasan itu Wi Ci To
hanya bisa gelengkan kepalanya saja.
"Putrimu tidak berani memastikan orang itu adalah orang di
dalam benteng kami," ujar Wi Lian In lagi, "Tapi untuk kebaikan kita
semua harus mengadakan pemeriksaan"
"Ehmmm"mau diperiksa dengan cara bagaimana?" tanya Wi Ci
To. "Ti Kiauw tauw sudah melukai kulit kepalanya, asalkan Tia
melihat diantara pendekar pedang di dalam Benteng kita ada bekas
luka di atas kepalanya dialah Si Setan Pengecut itu"
Mendengar sampai di sini mendadak Huang Puh Kian Pek tertawa
terbahak-bahak. "Paman Huang Puh, kau tertawakan apa?" tanya Wi Lian In
dengan perasaan teramat heran.
Huang Puh Kian Pek tidak menyawab, dia menoleh kearah Wi Ci
To lalu ujarnya sambil tertawa:
"Suheng, sekarang aku tahu kenapa Wi Lian In mau melihat kain
pengikat kepalaku ini?"
Pikiran Wi Ci To amat tajam dan cerdik, sekali dengar tahulah
sudah maksud perkataan sute-nya itu, tanpa terasa air mukanya
berubah, dengan gusarnya dia melotot kearah Wi Lian In sembari
ujarnya dengan suara berat:
"In-ji, bagaimana kau berani mencurigai paman Huang Puh-mu?"
"Am pun" seru Wi Lian In tidak mau mengaku. "Kapan aku
mencurigai paman Huang Puh" Sekali pun putrimu lebih bodoh juga
tidak akan berani mencurigai Huang Puh-siok"
"Kalau tidak kenapa kau rebut kain pengikat kepalanya?" tanya
Wi Ci To dengan nada gusar.
"Suheng kau jangan marah dulu" timbrung Huang Puh Kian Pek
sambil tertawa. "Selamanya siauwte tidak pernah memakai kain pengikat kepala,
ini hari pulang ke dalam Benteng dengan kepala diikat, kain
pengikat kepala ini sudah tentu tidak bisa menyalahkan Lian In
menaruh curiga kepadaku"Nah, sekarang kalian lihatlah"
Sembari berkata dengan perlahan dia melepaskan kain pengikat
kepalanya. Di atas batok kepalanya tidak tampak sedikit bekas luka pun.
Sesudah melihat hal itu dengan perlahan Wi Ci To baru menoleh
kearah putrinya. "Sudah lihat jelas belum?" ujarnya dengan mata mendelik.
Wajah Wi Lian In segera berubah menjadi merah padam, dengan
menggerakkan bibirnya dia berkata:
"Sejak semula putrimu sudah bilang tidak menaruh perasaan
curiga kepada Huang Puh siok, jika Huang Puh-siok betul-betul
adalah si Setan Pengecut, hal..hal itu bukankah suatu omong
kosong?" "Sekali pun kau menaruh curiga kepada pamanmu, aku tidak
akan marah" ujar Huang Puh Kian Pek sambil mengenakan kait
pengikat kepalanya kembali, "Siapa suruh pamanmu memakai kain
pengikat kepala ini"
Dengan perlahan Wi Ci To mengalihkan pandangannya kearah Ti
Then. "Ti Kiauw tauw, kau kira siapa sebetulnya si Setan Pengecut itu?"
tanyanya. "Boanpwe tidak tahu" sahut Ti Then sambil gelengkan kepalanya.
"Apa bisa si pendekar tangan kiri Cian Pit Yuan?"
"Mungkin bukan!" jawab Ti Then sambil gelengkan kepalanya,
"Hari itu boanpwe masuk ke dalam goa melalui pintu goa di
belakangnya setelah dia sadar pernah melancarkan satu serangan
secara tergesa-gesa, tangan yang melancarkan serangan adalah
tangan kanan bukan tangan kirinya, tangan kiri di dalam keadaan
tergesa-gesa tidak mungkin bisa berganti menggunakan tangan
kanan" "Tidak salah" seru Wi Ci To sambil anggukkan kepalanya, "Kita
tidak usah urus soal itu lagi, ayoh minum arak saja"
Sehabis berkata dia mengangkat cawan araknya dan dengan
sekali teguk menghabiskan isinya.
Selesai bersantap tua muda empat orang bercakap-cakap lagi
beberapa saat lamanya, akhirnya Ti Then pamit terlebih dahulu
untuk kembali ke dalam kamarnya beristirahat.
Sesampainya di dalam kamar dia perintahkan si Lo-cia
menyiapkan sepikul air panas untuk mandi. Sesudah semuanya
selesai barulah dia menyulut lampu dn mengetuk jendela tiga
kali"saat itulah mendadak pintu kamar diketuk orang.
"Siapa?" "Aku..!" Mendengar suara itu adalah suara Wi Lian In, Ti Then segera
berjalan membuka pintu kamar.
"Kau belum pulang untuk beristirahat?" tanyanya sambil tertawa.
"Belum waktunya untuk tidur" sahutnya sambil tertawa, "Kau
berbuat apa membawa lampu berjalan bolak-balik di depan jendela
?" "Coba kau lihat seekor laba-laba yang sangat besar" ujarnya
sambil menunjuk kedinding samping jendela, "Aku pingin pukul dia
jatuh akhirnya dia berhasil melarikan diri"
"Oooh..aku boleh masuk?"
Ti Then menyingkir ke samping.
"Silahkan..silakan!" serunya.
Dengan langkah lemah gemulai Wi Lian In berjalan masuk ke
dalam kamar, ujarnya dengan nada kemalu-maluan.
"Kau jangan rapatkan pintu kamar, sekarang sudah malam"
Ti Then segera meletakkan kembali lampu itu ke atas meja,
sesudah mengangkat sebuah bangku ujarnya sambil tertawa.
"Silakan duduk, dengan berbuat begini jika ada orang yang lewat
di depan pintu bisa melihat keadaan di dalam kamar dengan amat
jelas" "Ehmm..Lo-cia dimana?" tanyanya dengan suara rendah.
"Ooh..pergi bersantap"
Segera Wi Lian In duduk di atas bangku yang sudah disediakan.
"Heeei..dugaan kita ternyata meleset sama sekali" ujarnya sambil
menghela napas panjang, "Agaknya paman Huang Puh memang
bukan si Setan Pengecut itu"
"Sejak semula bukan aku sudah bilang tentu bukan dia" seru Ti
Then sembari tertawa. "Tapi aku merasa Si Setan Pengecut itu pasti salah seorang
anggota Benteng kita"
"Belum tentu perasaan itu pasti benar"
Wi Lian In tidak berbicara lagi, dengan berdiam diri dia duduk di
sana. Ti Then pun merasa tidak ada perkataan lain lagi yang hendak
disampaikan, karena itu terpaksa dia hanya berjalan mondar-mandir
di dalam kamar. Semakin lama Wi Lian In merasakan suasana tidak begitu enak.
"Aku mau kembali ke dalam kamar" ujarnya kemudian sambil
bangkit berdiri. "Eh eh..tidak duduk lagi?" tanya Ti Then sambil menghentikan
langkah kakinya. "Tidak usah, aku mau pulang kamar beristirahat, perjalanan
beberapa hari ini membuat aku sangat lelah"
"Benar" Dengan pandangan penuh perasaan cinta ujar Wi Lian In lagi:
"Kau tentu lelah bukan?"
"Aaah..masih lumayan"
"Kepandaianmu sangat tinggi sekali, sudah tentu tidak begitu
merasa lelah" Ti Then hanya tersenyum saja tanpa berbicara apa-apa lagi.
Wi Lian In dengan perlahan putar tubuhnya siap pergi, mendadak
seperti teringat akan sesuatu ujarnya kemudian sembari menoleh
kearah Ti Then. "Ooh benar, kau lihat Anying langit Rase bumi bisa datang
tidak?" "Mungkin mereka tidak berani secara terang-terangan bentrok
dengan orang-orang Pek Kiam Po, tapi mereka bisa datang mencari
aku" "Lalu kau kira kapan mereka bisa datang" Tanya Wi Lian In
sambil memandang wajahnya.
"Sukar untuk ditentukan"
"Mungkin mereka akan mengajak kau bertempur diluaran"
"Ooh itu lebih bagus lagi" seru Ti Then sambil menganggukkan
Pendekar Patung Emas Pendekar Bersinar Kuning Karya Qing Hong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kepalanya. "Tidak" seru Wi Lian In dengan keras, "Jika mereka manantang
kau bertempur ditempat luaran kau tidak boleh menyanggupi, Rase
bumi jadi orang banyak akal dan licik, paling gemar membokong
orang dengan serangan kejam. Kau tidak boleh pergi"
Ti Then tersenyum saja tanpa mengucapkan kata-kata.
Melihat dia berdiam diri Wi Lian In segera maju mendekati
tubuhnya sambil menarik ujung bajunya.
"Maukah kau menyanggupi untuk tidak ikut mereka keluar?"
mohonnya dengan suara perlahan.
"Baiklah!" Wi Lian In menjadi amat girang.
"Aku sudah tahu tentu kau bisa menyanggupi permintaanku ini"
ujarnya tertawa. "Padahal jika aku berjanyi dengan Anying langit Rase Bumi untuk
bertanding disatu tempat tertentu, ayahmu pasti akan ikut campur
juga, urusan ini ayahmu sudah bilang mau ikut serta"
"Jika kau bekerja sama dengan Tia untuk melawan Anying langit
Rase bumi sudah tentu jauh lebih punya pegangan lagi tapi bila kau
mau bertempur mereka suami istri seorang diri mungkin"yah
mungkin sukar mengharapkan menang"
Jilid 12.2: Rahasia Loteng Penyimpan kitab
Ti Then segera tersenyum mendengar omongannya itu.
"Aku punya keinginan untuk tempur mereka suami istri seorang
diri terlebih dulu" ujarnya, "Aku mau lihat kelihayan mereka suami
istri bagaimana hebatnya"
"Hemm"keinginanmu untuk peroleh kemenangan sungguh amat
hebat" "Benar" jawab Ti Then sembari tersenyum.
Dengan pandangan yang amat mesrah dan penuh perasaan cinta
Wi Lian In memandang wajah Ti Then beberapa saat lamanya,
mendadak air mukanya berubah menjadi merah dadu serunya
sambil putar balik badannya:
"Aku mau kembali ke kamar!"
Perlahan-lahan dia berjalan keluar, sesaat hendak merapatkan
pintu kamar kembali lagi sambil putar tubuhnya.
"Kau mau pergi tidur?"
"Tidak ada urusan bukan?"
"Kenapa tidak pergi cari Tia bermain catur?" ujar Wi Lian In
dengan suara perlahan. "Besok saja, kini aku terasa amat lelah"
"Kepandaian ayahku di dalam permainan catur amat lihay sekali,
waktu dia orang tua sudah mengalah Sembilan biji kepadaku aku
masih tidak sanggup untuk mengalahkan dirinya"
"Oh?" "Coba kau terka, Tia bisa mengalah berapa biji catur kepadamu?"
Tanya Wi Lian In lagi. "Entahlah" "Aku kira Tia bisa mengalahkan biji kepadamu, ketika bermain
dengan Huang Puh-siok dia juga sering mengalah tiga biji
kepadanya" "Oh.." "Tetapi.." ujarnya Wi Lian In sembari tersenyum, "Jika kau bisa
pegang kelemahan permainan Tia, untuk menangkan dia tidaklah
sukar.." "Apa kelemahan dari permainan catur ayahmu?"
"Permainannya sih tidak ada kelemahannya. Tia paling tidak
sabaran. Jika kau main dengan dia orang tua jangan sekali-kali
bermain cepat, semangkin lambat semangkin baik.."
Ketika dia berpamit kembali untuk kembali kekamarnya akhirnya
sudah membuang waktu setengah jam lagi, setelah dilihatnya si Locia itu pelayan tua datang baru dia sungguh-sungguh kembali ke
kamarnya. Setelah melihat bayangannya lenyap dari pandangan barulah ujar
Ti Then kepada diri Lo-cia:
"Hey lo-cia, sediakan the untukku kemudian kau boleh pergi
tidur" Si Lo-cia segera menyahut kemudian meninggalkan kamar untuk
mengambil the dari dalam dapur, sesudah diletakkan kembali ke
atas meja, ujarnya sembari tertawa:
"Ti Kiauw tauw, rejekimu sungguh bagus sekali!"
"Jangan omong kosong lagi"
"Budakmu tahu, sio-cia kita punya perhatian khusus
terhadapmu" Sehabis berkata dia putar tubuh berjalan keluar dari dalam
kamar. Ti Then segera menutup kembali kamarnya, buka pakaian dan
naik ke atas pembaringan untuk tidur.
Dia tahu Majikan patung emas baru akan muncul setelah tengah
malam, karenanya dia ingin tidur terlebih dulu, sesudah mendekati
kentongan kedua baru bangun untuk menanti munculnya-Dia"
Tapi keadaan mala mini pun seperti juga pada malam-malam
yang lalu, dia tertidur dengan amat pulasnya sampai terasa, ada
orang yang menepuk-nepuk badannya bru sadar kembali dari
pulasnya dengan amat terkejut.
Dengan cepat dia buka matanya lebar-lebar, Patung emas itu
sudah muncul tepat di samping pembaringannya.
Terhadap beberapa kali dirinya tertidur dengan amat pulas Ti
Then merasa sangat heran sekali, segera dia bangkit berdiri, ujarnya
sambil membelai patung emas yang sedang berdiri di hadapannya:
"Hey patung emas, kau jangan kurang ajar!"
Majukan Patung emas yang bersembunyi di atas atap rumah
segera menggerak-gerakkan patung emasnya.
"Akhirnya kau berhasil menolong Wi Lian In kembali ke dalam
Benteng, aku merasa sangat girang sekali.." ujarnya dengan
menggunakan ilmu untuk menyampaikan suara.
"Hem.." dengus Ti Then sembari tertawa tawar, kepalanya
diangkat ke atas memandang sepasang tangan yang sangat buram,
"Sudah tentu kau amat girang"
"Lalu kau sendiri apa tidak merasa girang?"
"Bisa menolong dia kembali dalam keadaan selamat sudah tentu
sangat gembira sekali" ujar Ti Then sambil tertawa pahit, " Tapi
mendatangkan kesukaran juga bagi diri kita sendiri"
"Otak kau bocah cilik sungguh sedikit aneh, nona yang begitu
cantik seperti Wi Lian In di dalam sejuta sukar untuk mendapatkan
seorang, sebaiknya kau malah tidak gembira, sungguh
mengherankan sekali, sungguh mengherankan sekali"
"Jika hal ini bukan dikarenakan tugas yang dipaksakan sudah
tentu aku merasa sangat girang dan sangat puas sekali"
"Hemmm..sudahlah" seru Majikan Patung emas sambil
mendengus dengan amat dingin, "Tidak usah banyak omong kosong
lagi, cepat kau ceritakan pengalamanmu sewaktu menolong Wi Lian
In" T i Then segera menceritakan pengalamannya dengan cara
bagaimana menolong Wi Lian In lolos dari tangan Setan Pengecut
itu kemudian bagaimana ditengah jalan menemui halangan, dengan
jelasnya diceritakan semua.
Selesai mendengarkan kisah itu dengan dinginnya Majikan
patung emas mendengus lagi.
"Hemmm..kau mendatangkan kerepotan saja"
"Apa itu disebabkan aku?" tanya Ti Then dengan nada kurang
senang. "Jika bukannya kau turun tangan terlalu ringan sewaktu berada
di atas gunung Fan Cin San kau tidak akan mendapatkan kesukaran
seperti begini, sedang setan pengecut itu pun tidak akan lolos"
"Ha.ha..kau terlalu pandang tinggi kemampuanku"
"Pernahkah kau punya pikiran siapa itu Setan Pengecut yang
sebetulnya?" "Siang malam aku pikirkan tapi tetap tidak kuketahui juga"
Majikan Patung emas mendengus lagi dengan amat dingin.
"Pernah teringat akan Huang Puh Kian Pek?" tanyanya.
"Pernah, tapi dia tidak mungkin Setan Pengecut itu"
"He..hee..dengan andalkan apa kau berani bilang dia bukanlah
Setan Pengecut itu?" Tanya Majikan Patung Emas lagi sembari
tertawa dingin. "Batok kepala Setan Pengecut itu berhasil kutabas segumpal
kulitnya, sebaliknya di atas kepala Huang Puh Kian Pek sama sekali
tidak kelihatan adanya bekas luka"
"Bekas luka bisa ditutupi"
"Sekali pun begitu bisa" ujar Ti Then dengan tenang, "Tapi kulit
kepala Setan Pengecut itu berhasil kutabas sebesar telapak bocah
cilik, setelah luka itu sembuh tidak mungkin akan tumbuh kulit
kembali untuk menutupi bekas luka itu"
"Tapi dia bisa memapas kulit beserta rambut orang lain, sesudah
kering kemudian ditempelkan pada kepalanya sendiri"
Mendengar perkataan itu dalam hati Ti Then merasa sedikit
bergerak, tanpa merasa lagi dia sudah menganggukan kepalanya.
"Kau sudah menemukan kalau Huang Puh Kian Pek itulah Setan
Pengecut itu?" tanyanya kemudian.
"Belum" seru Majikan patung emas dengan perlahan, "Tapi
menurut pandanganku mungkin dialah si Setan Pengecut itu"
"Asalkan melihat bagian kepalanya dengan teliti aku baru berani
pastikan" "Kau boleh pikir satu cara toh?" ujar Majikan Patung emas.
"Sewaktu di dalam perjamuan malam tadi dia pernah buka kain
pengikat kepalanya di hadapan kita, aku tidak punya cara lagi
untuk melihat bagian kepalanya"
"Kau boleh tantang dia bertanding ilmu silat, pada kesempatan
itu kau bisa cengkeram bagian kepalanya"
"Hal ini tidak bagus" teriak Ti Then tidak mau menyetujui usulnya
ini. "Atau secara diam-diam memasuki kamarnya kemudian
memasukkan obat pemabok pada secawan tehnya"
"Tapi aku tidak punya obat pemabok itu"
"Kau bisa pergi ke kota untuk membelinya"
"Ti Then tidak bisa berbuat apa-apa lagi terpaksa mengangkat
bahunya sambil mengalihkan pokok pembicaraan.
"Jika dia betul-betul adalah Setan Pengecut, maka apa tujuan
yang sebetulnya" Kenapa dia sampai bersekongkol dengan Hong
Mong Ling untuk menculik Wi Lian In?"
"Kau!" "Aku?" "Tidak salah!" jawab Majikan Patung Emas dengan tegas,
"Bukankah sewaktu berada di atas gunung Fan Cin San dia pernah
memaksa kau untuk menulis seluruh kepandaian silatmu kemudian
minta kau potong sebuah lenganmu"
"Tidak salah" ujar Ti Then sembari mengangguk, "Bahkan
katanya dia punya suatu barang yang hendak disampaikan kepada
suhuku, dia anggap kaulah suhuku"
"Ha ha ha..semua itu hanya omong kosong belaka, tujuan
mereka yang sebetulnya ingin membasmi dirimu"
"Hong Mong Ling ingin bunuh aku memang dia punya alasan itu"
ujar Ti Then selanjutnya, "Tapi dia tidak punya alas an untuk
bersekongkol dengan Hong Mong Ling"
"Ooh..kau sudah salah tanggap" seru Majikan Patung emas, "Dia
bisa bersekongkol dengan Hong Mong Ling bukannya dikarenakan
dia merasa simpatik terhadapnya, yang penting dia ingin
menyingkirkan dirimu"
"Dia mau bunuh mati aku seharusnya punya alasan bukan?"
"Mungkin dia punya suatu rencana terhadap suhengnya Wi Ci
To, sebaliknya karena kau masuk Benteng Pek Kiam Po maka dia
merasa kau bisa menghalangi rencananya, karena itu dia punya
minat untuk menyingkirkan dirimu"
"Dia punya rencana apa terhadap diri Wi Ci To?" tanya Ti Then
lagi. "Entahlah" "Apakah sama dengan rencanamu?" tanya Ti Then dengan nada
memancing. "Urusan ini kau tidak perlu tahu"
"Jika dia betul-betul adalah Setan Pengecut itu, kau punya
rencana mau berbuat apa terhadap dirinya?"
"Kau boleh laporkan urusan ini dengan Wi Ci To" jawab Majikan
patung emas itu, "Sudah tentu Wi Ci To tidak akan melepaskan
dirinya" "Baiklah" sahut Ti Then kemudian sembari mengangguk, "Untuk
sementara kita ke sampingkan urusan ini terlebih dahulu, kini biar
kita bicarakan soal anying langit rase bumi itu, tentunya kau kenal
Anying langit Rase bumi sepasang suami istri ini bukan?"
"Benar" jawab Majikan Patung emas itu singkat.
"Aku dengar kepandaian mereka suami istri berdua amat tinggi"
"Tidak salah" sahut Majikan Patung emas itu lagi, "Tapi jika satu
lawan satu masih kalah satu tingkat dengan kepandaian Wi Ci To"
"Kita tidak bisa mengatakan satu lawan satu" bantah Ti Then
cepat, "Karena mereka suami istri berdua selamanya melawan
musuhnya dengan berbareng, musuhnya seorang mereka juga
melawan bersama-sama, musuhnya seratus mereka pun turun
tangan bersama-sama, makanya sejak kini kita harus menganggap
mereka berdua sebagai "satu orang" saja"
"Hmmm" dengus Majikan Patung emas itu dengan dingin, "Buat
apa kau bicarakan urusan itu dengan aku?"
"Sebelum aku menyanggupi kau untuk menjadi patung emasmu,
kau pernah bilang akan membuat aku menjadi orang nomor tiga di
dalam dunia ini, selain kau serta Kay Kong Beng asalkan bisa
bertemu dengan orang yang bisa mengalahkan diriku segera aku
bisa batalkan perjanyian ini, sejak saat itu tidak perlu jadi patung
emasmu lagi, bukan begitu?"
"Benar" sahut Majikan patung emas itu singkat.
"Bagus sekali, mungkin aku masih punya kesempatan untuk
meloloskan diri dari belenggumu"
"Hmmm"hmmm..siapa yang bisa kalahkan dirimu?" Tanya
Majikan patung emas itu sambil tertawa dingin tak henti-hentinya.
"Anying langit Rase bumi" jawab Ti Then sambil tersenyum
simpul, di dalam anggapannya Majikan patung emas tentu tidak
akan bisa berkata lagi. Siapa tahu begitu Majikan Patung emas itu selesai mendengar
jawabannya ini dia tertawa terbahak-bahak dengan kerasnya.
"Haa..ha..haa"satu lawan satu mereka tidak mungkin bisa
mengalahkan dirimu" serunya.
00 Bagian 21 "Sejak tadi aku sudah bicara jelas" ujar Ti Then dengan tidak
kalah kerasnya, "Kita harus memandang mereka suami istri berdua
sebagai satu orang, sedang jika misalnya aku dikalahkan mereka
berdua maka sama saja kita harus pandang aku sudah dikalahkan
satu orang saja" "Kentutmu!" teriak Majikan patung emas dengan amat gusar,
"Dengan jelas mereka adalah dua orang, mana mungkin bisa
dikatakan satu orang saja?"
Pendekar Patung Emas Pendekar Bersinar Kuning Karya Qing Hong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tapi mereka.."
"Aku mau tanya padamu," potong Majikan patung emas itu
dengan cepatnya. "Jika diantara mereka suami istri ada yang sakit kemudian mati,
apakah yang lainnya juga bersamaan waktu ikut mati?"
"Ini?" "Makanya..," sambung Majikan patung emas itu lagi dengan
cepat, "Mereka adalah dua orang bukan satu orang"
"Tapi mereka selamanya turun tangan secara bersama-sama"
"Itulah karena mereka dari aliran sesat, seluruh gerak-gerik serta
perbuatannya bertentangan dengan pihak lurus, kau anggap mereka
turun tangan bersama-sama merupakan pekerjaan yang benar?"
"Sekali pun tidak benar" sahut Ti Then tidak mau kalah, tapi
mereka tidak mau melawan aku satu lawan satu, sedang dengan
berduaan melawan aku seorang sukar bagiku untuk memperoleh
kemenangan" "Wi Ci To bisa membantumu" seru Majikan patung emas itu
singkat. "Begitu dia turun tangan maka sejak itu juga antara pihak
Benteng Pek Kiam Po serta Istana Thian the Kong akan mengikat
suatu permusuhan yang tidak ada habisnya"
"Hmm..hmm.." dengus Majikan Patung emas itu dengan
dinginnya, "Kau bisa bekerja sama dengan Wi Ci To untuk
membunuh mati mereka suami istri berdua, dengan begitu
bukannya menjadi beres?"
"Aku bisa bekerja sama dengan Wi Ci To untuk mengalahkan
mereka suami istri berdua, tapi untuk membereskan nyawanya aku
kira merupakan suatu urusan yang agak sukar"
"Kalau bisa merebut kemenangan kenapa tidak bisa bunuh
mereka?" bantah Majikan patung emas itu dengan amat dingin.
"Misalkan saja setan pengecut itu, sewaktu berada di selat sempit
malam itu jika dia mau melawan aku terus sudah tentu aku bisa
bereskan dirinya, tapi dia sudah melarikan dirinya"
"Hmmm"walau pun tidak bisa membereskan nyawa Anying
langit Rase bumi seketika itu juga, hal ini bukanlah suatu urusan
yang patut dirisaukan" seru Majikan Patung emas, "Walau pun
jumlah anak buah dari Benteng Pek Kiam Po tidak bisa memadahi
banyaknya anggota dari pihak Thian The Kong tapi istana Thian The
Kong hanya merupakan sarang burung saja, untuk membasmi
mereka bukanlah suatu urusan yang amat sulit"
"Omonganmu terlalu ringan" ujar Ti Then sesudah mendengar
perkataannya itu. "Hmmm" Majikan Patung emas itu mendengus lagi dengan amat
dinginnya. "Urusan ini belum terjadi karena itu tidak perlu dirisaukan
lagi. Sejak kau memasuki Benteng Pek Kiam Po hingga saat ini
sudah ada satu bulan lamanya, sedang waktu yang sudah aku
tentukan buatmu untuk menikah dengan Wi Lian In adalah tiga
bulan, kini hanya tinggal satu setengah bulan lagi kau harus
melaksanakan tugas ini sebaik-baiknya"
"Hey Majikan patung emas" seru Ti Then dengan agak gusar,
"Kau mau aku suruh aku lari ke hadapannya lalu bilang, Nona Wi,
cepat kau kawin dengan aku!"
"Kenapa tidak?"
"Sungguh suatu omong kosong"
"Aku lihat Wi Ci To sama sekali tidak menaruh perasaan curiga
terhadap dirimu" ujar Majikan patung emas lagi, "Sedang Wi Lian In
sendiri agaknya juga punya perhatian terhadap dirimu, kau boleh
memperlihatkan permainanmu yang berbeda di hadapan mereka
ayah beranak, tidak perduli bagaimana pun juga di dalam satu
setengah bulan mendatang kau harus selesai dengan tugasmu ini"
"Usaha yang tergesa-gesa tidak akan mencapai pada tujuan, kau
pernah mendengar perkataan ini belum?" seru Ti Then sembari
tertawa. "Jika kau tidak berhasil menjadi suami Wi Lian In di dalam jangka
waktu saru setengah bulan ini, hal ini merupakan suatu kerugian
yang amat besar bagiku"
"Urusan perkawinan merupakan suatu urusan yang besar"
bantah Ti Then lagi, "Urusan ini harus ditentukan oleh ayah ibu kita,
sedang ibu dari Wi Lian In sudah lama tidak berada di dalam dunia
ini lagi, dia harus mendengarkan perkataan dan keputusan dari
ayahnya tapi Wi Ci To merupakan seorang yang sangat teliti dan
tidak terlalu percaya terhadap orang lain, hanya dalam jangka waktu
satu setengah bulan saja tidak mungkin dia bisa mengawinkan
putrinya kepadaku" "Hemm.." "Kau bilang betul tidak?" desak Ti Then itu lagi.
Majikan patung emas itu membungkamkan diri tidak bicara lagi.
Majikan patung emas itu segera menarik kembali patung
emasnya, lalu menutup kembali atap rumah dan meninggalkan
tempat itu secara diam-diam.
Ti Then tersenyum, segera dia susupkan diri ke dalam selimut
dan tidur dengan nyenyaknya.
Kokokan ayam jago membising telinga dipagi hari, sinar matahari
dengan tajamnya memancarkan sinar keseluruh ruangan, suatu pagi
yang cerah menjelang kembali.
Agaknya keadaan Wi Lian In terhadap Ti Then saat ini sudah
tidak bisa ditinggal barang sekejap pun, baru saja Ti then selesai
mencuci muka dia sudah datang untuk mengundang Ti Then
sarapan pagi. Selesai sarapan pagi, dia pun minta Ti Then bertindak sebagai
Kiauw tauw untuk menurunkan kepandaian selat kepadanya.
Dengan perasaan amat girang Ti Then memenuhi semua
ajakannya, bersama dirinya berjalan menuju ke lapangan latihan
silat. Ujar Wi Lian In kepada diri Ti Then:
"Kita kaum wanita jika disuruh latihan ilmu telapak atau ilmu
pukulan kiranya tidak sesuai, lebih baik Ti Kiauw tauw ajari aku
main ilmu pedang saja"
"Baiklah" sahut Ti Then sembari mengangguk, "Biar aku mainkan
satu kali buatmu" Selesai berkata dia mencabut keluar pedangnya dan mainkan
satu gerakan dengan amat perlahan.
Pada siang harinya mereka menyelesaikan latihan untuk hari itu,
ujar Wi Lian In kemudian dengan suara perlahan:
"Selesai makan siang, bagaimana kalau kita pesiar ke atas
gunung?" "Tidak" jawab Ti Then menolak ajakannya itu, "Dalam beberapa
hari ini aku harus tetap tinggal di dalam Benteng untuk menanti
kedatangan hwesio-hwesio dari Siauw lim Pay serta Anying langit
Rase bumi" Mendengar ajakannnya ditolak Wi Lian In mencibirkan bibirnya:
"Mereka tidak akan datang begitu cepat!" serunya.
"Hal ini sukar untuk kita bicarakan sekarang"
"Aku tidak mau bicara sama kau lagi" seru Wi Lian In
mengambek, kakinya dijejakkan ke atas tanah dengan keras, "Aku
mengundang kau berpesiar ke atas gunung kau menolak, lain kali
jika kau mengundang aku saat itu aku juga tidak mau"
"Bagaimana kalau begini saja, kita jangan pergi terlalu jauh,
hanya cukup duduk-duduk di atas tebing Sian Ciang saja" ujar Ti
Then kemudian sembari tertawa, "Di atas tebing Sian Ciang kita bisa
mengawasi pemandangan seluruh Benteng, jika terlihat sedikit
situasi yang tidak baik kita masih punya waktu untuk lari turun"
Wi Lian In hanya ingin pergi berduaan dengan dia, karena itu
terhadap usulnya ini tidaklah terlalu rebut.
"Bagus" teriaknya kegirangan sesudah mendengar perkataan itu,
cepat kita pergi bersantap"
Tapi sewaktu mereka bersantap siang itulah mendadak Wi Ci To
tersenyum sambil ujarnya:
"Ti Kiauw tauw, lohu dengar dari hu-pocu katanya permainan
caturmu amat tinggi?"
"Mana, mana.." seru Ti Then tetap merendah, "Sewaktu
boanpwe bermain catur dengan Hu-pocu kedua-duanya boanpwe
memegang biji hitam sedang hasilnya pun satu kali menang satu
kali seri" "Tidak salah" sambung Huang Puh Kian Pek sembari tertawa,
"Tapi lohu bisa melihatnya kalau sewaktu permainan kedua Ti
Kiauwtauw sengaja mengalah"
"Tidak..tidak.." bantah Ti Then cepat, "Selamanya jika boanpwe
bermain dengan orang lain jika makan terus makan, selamanya
belum pernah mengalah dengan siapa pun"
"Wi Ci To tersenyum.
"Tinggi atau rendah nanti lohu sekali pandang segera akan tahu"
ujarnya, "Nanti biarlah lohu mengalah tiga biji catur terlebih dulu
kepada Ti Kiauw tauw"
"Baiklah" sahut Ti Then menyanggupi, "Boanpwe dengar
permainan catur dari Pocu amat tinggi dan merupakan jago tak
terkalahkan dalam dunia saat ini, harap pocu banyak memberi
petunjuk kepada boanpwe"
"Tidak bisa!" mendadak teriak Wi Lian In.
"Kenapa tidak bisa?" tanya Wi Ci To melengak.
"Tadi Ti Kiauw tauw sudah berjanyi kepadaku untuk mengajak
aku berpesiar ke atas tebing Sian Ciang sehabis bersantap"
Wi Ci To memandang sekejap kearah putrinya kemudian
memandang pula kearah Ti Then, dalam hati dia tahu, yang mau
adalah siapa, segera dia tersenyum.
"Kalau memangnya begitu" ujarnya kemudian, "Biarlah sesudah
kembali dari tebing Sian Ciang baru kita main catur"
Demikianlah, sesudah habis bersantap siang Wi Lian In dengan
perasaan amat girang membawa Ti Then keluar benteng untuk
kemudian mendaki ke atas tebing Sian Ciang.
Tebing Sian Ciang merupakan sebuah bukit tebing dengan tinggi
mencapai puluhan kaki tingginya, dari atas puncak tebing itu dapat
melihat seluruh pemandangan dari Benteng Pek Kiam Po dengan
teramat jelasnya. Kedua orang itu setelah mencapai puncak tebing segera duduk
berjajar di sebelah tebing yang berlatarkan Benteng Pek Kiam Po,
ujar Ti Then kemudian sesudah memandang sekejap sekeliling
tempat itu. "Benteng kalian bisa berdiri di samping gunung merupakan suatu
keangkeran yang luar biasa, hanya saja ada satu kekurangannya"
"Kekurangan apa?" tanya Wi Lian In dengan cepat.
"Jika ada orang yang mau menyerang Benteng bisa naik dari atas
tebing ini" "Hal ini tidak mungkin bisa terjadi" potong Wi Lian In dengan
cepat sembari tertawa, "Sekali pun kepandaian silat orang itu lebih
tinggi pun tidak mungkin bisa meloncat turun dari sini"
Ti Then tersenyum. "Yang aku maksud bukanlah manusia, tetapi batu besar serta
panah berapi" "Ooh..benar!" teriak Wi Lian In kaget, sedang air mukanya sudah
berubah sangat hebat. "Jika musuh melontarkan batu-batu besar dari sini maka seluruh
Benteng Pek Kiam Po akan hancur, jika memanahkan panah-panah
berapi maka seluruh Benteng Pek Kiam Po akan terbakar hangus"
tambah Ti Then lagi. Wi Lian In menarik napas panjang.
"Selamanya kita belum pernah memikirkan akan hal ini, kau kira
mereka berani tidak melakukan hal ini?" tanyanya.
"Semoga saja tidak"
"Dugaanmu ini sangat tepat sekali, nanti aku mau laporkan
urusan ini kepada Tia, biar dia kirim beberapa orang pendekar
pedang untuk menyaga di atas tebing ini"
"Ehmm..seharusnya memang begitu" sahut Ti Then
mengangguk. "Coba kau lihat" seru Wi Lian In tertawa sambil menuding kearah
Benteng Pek Kiam Po, "Di situlah letaknya kamarmu, nomor tiga dari
sebelah kiri deretan ketiga..sudah terlihat belum?"
"Ehmm..sudah" Dia masih melihat juga atap kamarnya, karena di dalam otaknya
tanpa terasa sudah memikirkan dengan cara bagaimana Majikan
patung emas itu bisa muncul di atas atap kamarnya tanpa
mengeluarkan sedikit suara pun, sedangkan para pendekar pedang
yang menerima perintah untuk mengawasi dirinya secara diam-diam
pun tidak aka nada yang melihat.
Wi Lian In yang melihat dia dengan termangu-mangu sedang
memandangi keadaan Benteng segera menyenggol tangannya.
"Hey, kau sedang pikirkan apa?" tanyanya sambil tertawa.
Ti Then menarik kembali pandangannya.
"Aku tidak sedang berpikir" sahutnya sambil tertawa, "Sebaliknya
sedang melihat.." "Melihat kamarmu itu?" Tanya Wi Lian In sembari tertawa manis.
"Tidak, melihat ruangan lainnya, ruangan di hadapan kamar buku
ayahmu" "Loteng penyimpan kitab?"
"Benar" jawab Ti Then sambil mengangguk, "Si Lo-cia pernah
beritahu padaku untuk jangan mendekati loteng penyimpan kitab
itu, dia bilang ayahmu melarang siapa pun juga untuk memasuki
loteng penyimpan kitab itu termasuk kau serta Hu-pocu"
"Benar.." ujarnya dengan serius.
Dengan pandangan tajam Ti Then memandangi wajahnya,
kemudian tanyanya. "Kenapa?" "Aku sendiri juga tidak jelas, Tia hanya bilang di dalam loteng itu
disimpan berbagai kitab yang sangat berharga sekali"
"Kau percaya?" "Aku"aku tidak percaya, tapi aku tidak berani Tanya" sahut Wi
Lian In dengan terputus-putus.
"Bukankah ayahmu sangat sayang padamu?"
"Benar" jawab Wi Lian In, "Urusan apa pun dia mau
menyanggupi diriku, tapi dia melarang aku memasuki loteng
penyimpan kitab itu, dengan serius dia pernah memberi peringatan
kepadaku untuk jangan mendekati loteng tersebut. Pernah dua kali
secara diam-diam menyelundup masuk ke sana akhirnya diketahui
oleh Tia. Untuk pertama kalinya dengan sangat gusar dia hanya
memaki dan memarahi aku tapi ketika kedua kalinya bukan saja
memaki dan memarahi aku, bahkan memukul diriku"
"Kau dipukul?" tanya Ti Then dengan amat terkejut.
"Benar" sahutnya sambil tertawa, "Untuk pertama kalinya dia
pukul aku bahkan memukul dengan keras sekali membuat aku
hampir-hampir setengah mati"
"Itulah sangat aneh sekali, bagaimana ayahmu bisa pandang
harta kekayaan itu jauh lebih tinggi daripada dirimu?"
Dengan sedihnya Wi Lian In menghela napas panjang.
"Aku pikir di dalam sana tentunya tidak disimpan barang-barang
berharga saja" serunya dengan sedih, "Di sana tentu disimpan suatu
rahasia yang punya hubungan sangat erat dengan Tia"
"Apa bisa suatu barang pusaka yang amat berharga?"
"Seharusnya bukan" sahut Wi Lian In sambil gelengkan
kepalanya, Tia tidak begitu gemar menyimpan harta, jika memiliki
suatu pusaka yang amat berharga dia tentu akan beritahukan
Pendekar Patung Emas Pendekar Bersinar Kuning Karya Qing Hong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kepadaku" Dia berhenti sejenak, kemudian sambungnya lagi.
"Waktu itu sesudah memukul aku dengan amat keras agaknya
dia merasa sangat menyesal, dia lari kekamarku untuk menghibur
diriku bahkan dengan melelhkan air mata minta aku jangan sampai
memasuki loteng penyimpan kitab itu lagi, waktu itu aku secara
tiba-tiba merasa Tia begitu kasihan lalu menyanggupinya, bahkan
sudah angkat sumpah untuk selamanya tidak memasuki loteng
penyimpan kitab itu lagi, demikianlah sejak hari itu aku tidak berani
mendekati sana lagi"
"Bagaimana dengan Hu pocu?" tanya Ti Then kemudian.
"Selamanya dia pun tidak pernah menanyakan loteng penyimpan
kitab itu, terhadap hal itu agaknya dia tidak mau ambil perduli"
"Para pendekar pedang di dalam Benteng juga tidak ada seorang
pun yang berani untuk menyelidiki?"
"Dulu memang pernah ada seorang pendekar pedang merah
secara diam-diam sudah menyelundup masuk ke dalam loteng, tapi
baru saja satu langkah memasuki pintu segera terjirat mati oleh
alat-alat rahasiai yang dipasang di sana"
"Benar" jawab Ti Then dengan bergidik, "Aku dengar si Lo-cia
juga pernah berkata kalau di dalam loteng penyimpan kitab itu
memang dipasang alat-alat rahasia yang teramat lihay"
Dengan perlahan Wi Lian In mengulurkan tangannya yang putih
mulus untuk mencekal pergelangan tangannya.
Dengan mesrahnya Wi Lian In menyandarkan badannya ke atas
dada Ti Then, dengan suara yang penuh perasaan cinta ujarnya:
"Aku tahu kau sangat baik sekali.."
"Tidak!" teriak Ti Then dengan perasaan menyesal, "Aku tidak
baik, mungkin pada suatu hari kau bisa merasa aku jauh lebih jahat
dari Hong Mong Ling"
"Aku tidak percaya" sahut Wi Lian In sembari tertawa.
"Lebih baik kau jangan terlalu percaya kepada diriku"
Pada wajah Wi Lian In terlintaslah suatu sinar kebahagiaan,
ujarnya dengan perlahan: "Jika kau bukan seorang yang patut dipercayai, maka di dalam
dunia ini tidak aka nada orang yang bisa dipercayai lagi"
"Bukankah dahulu kau sangat percaya terhadap Hong Mong
Ling?" ujarnya sambil tertawa pahit.
Wi Lian In mengerutkan keningnya rapat-rapat ketika mendengar
perkataan itu. "Itulah karena aku sudah dibuat buta, tapi aku hanya bisa buta
untuk satu kali saja" ujarnya.
Ti Then tersenyum kembali.
"Mungkin aku masuk ke dalam Benteng Pek Kiam Po memang
mem punyai suatu rencana tertentu seperti yang dikatakan oleh
Hong Mong Ling dahulu"
"Jangan sebut dia lagi!" teriak Wi Lian In dengan gemas, "Aku
tidak mau dengar namanya lagi"
Dengan perlahan Ti Then hanya bisa menghela napas panjang
saja, kemudian bungkam di dalam seribu bahasa.
"Kenapa kau menghela napas panjang?" Tanya Wi Lian In
dengan heran ketika mendengar Ti Then menghela napas.
"Tidak mengapa" sahutnya sembari gelengkan kepala.
Dengan pandangan yang tajam Wi Lian In memandang wajahnya
tanpa berkedip. "Apakah kau menganggap karena aku punya ikatan jodoh
dengan dia lalu aku adalah.."
"Bukan..bukan.." bantah Ti Then dengan amat gugup, "Aku tidak
punya pikiran begini, aku tahu kau masih suci bersih"
"Semua orang menganggap jika seorang nona sudah dijodohkan
dengan orang lain maka mati hidupnya termasuk orang keluarga itu,
apa kau punya pandangan begini?"
"Tidak" "Kalau begitu?"
Tetapi ketika dilihatnya wajah Ti Then amat murung maka
tanyanya dengan cepat. "Lalu kenapa kau tidak genmbira?"
"Siapa bilang aku tidak gembira?" tanya Ti Then sembari tertawa
paksa. "Kau jangan menipu aku, aku bisa melihatnya kalau di dalam
hatimu ada urusan" "Aku sedang berpikir, loteng penyimpan kitab ayahmu bisa
mendatangkan banyak bencana bagi dirinya"
"Kau boleh legakan hati" ujar Wi Lian In tersenyum, "Sejak
adanya Benteng Pek Kiam Po Loteng penyimpan kitab itu sudah
ada, tapi selama puluhan tahun ini belum pernah terjadi orang luar
ada yang datang menyelidiki tempat itu"
"Musuh luar bisa dicegat tapi musuh dalam selimut sukar
ditahan" "Tidak ada musuh dalam selimut" seru Wi Lian In dengan keras.
"Semoga saja begitu."
Dengan pandangan yang tajam Wi Lian In mengawasi wajahnya
kembali. "Kau kira ada tidak?" tanyanya.
"Jika aku sudah mengemukakan dugaanku, harap kau jangan
marah dan jangan ada orang ketiga yang mendengar." ujar Ti Then
dengan serius. "Baiklah." sahutnya sambil mengangguk, "Mau bicara. .
bicaralah" "Kemarin sewaktu aku berbaring di atas pembaringan sudah
berpikir sangat lama sekali, aku merasa Hu Pocu memang patut kita
curigai." Wi Lian In menjadi terkejut bercampur heran.
"Bukankah sewaktu makan malam kemarin dia sudah buka kain
pengikat kepala untuk kita lihat?" ujarnya
"Tidak salah, tapi hanya sepintas lalu saja tidak bisa dilihat lebih jelas."
"Tapi aku bisa melihatnya teramat jelas" jawab Wi Lian In
dengan pasti. "Di atas kepalanya memang tidak terlihat sedikit
bekas lukamu." Ti Then tersenyum tawar. "Dia bisa memotong kulit kepala orang lain sesudah kering
kemudian ditempelkan pada bekas lukanya sendiri, hal itu hanya
bisa dilihat dengan jelas jika kita memeriksa dengan lebih teliti."
ujarnya. -ooo0dw0ooo- Jilid 13.1: Ku Ie dan Liuw Su Cen berkunjung
Wi Lian In merasa terkejut bercamput heran, dengan
mementangkan mata lebar-lebar tanyanya.
"Kau kira dia bisa berbuat begitu?"
"Ehmm, hanya itu dugaanku saja, benar atau tidak harus kita
buktikan sendiri" Dengan mengerutkan alisnya rapat-rapat lama sekali Wi Lian In
termenung untuk berpikir keras, kemudian barulah dia mengangguk.
"Tidak salah" sahutnya dengan nada serius "Jika bilang dia bukanlah si setan pengecut itu, secara tiba-tiba dia bisa memakai
kain pengikat kepala pada waktu yang bersamaan, hal ini memang
sedikit mencurigakan, tapi kita hendak menggunakan siasat apa
pergi memeriksa keadaan kepalanya itu"
"Kita harus melaksanakan tugas ini dengan pinyam kesempatan
sewaktu dia tidak merasa."
"Jadi maksudmu menanti dia tertidur dengan amat nyenyak?"
tanya Wi Lian In. "Tidak bisa, tidak bisa" seru Ti Then dengan cepat sembari
gelengkan kepalanya. "Dia merupakan manusia macam apa" Asal
satu langkah kau memasuki kamarnya dia pasti akan segera
terbangun." "Kalau tidak begitu" seru Wi Lian in dengan cemberut, "Kita mau gunakan cara apa lagi?"
Melihat sikapnya yang cemberut itu Ti Then tersenyum.
"satu-satunya cara kita harus gunakan obat pemabok" sahutnya
"Sebelum dia masuk kamar untuk tidur secara diam-diam kita harus
masukkan obat pemabok itu ke dalam teko air tehnya"
"Caramu itu walau pun bagus, tapi sewaktu dia sadar kembali,
segera akan diketahui olehnya kalau dia sudah mendapat bokongan
pihak musuh." Ti Then tersenyum lagi "Asalkan sesudah minum teh lalu dia naik ke atas pembaringan
untuk istirahat maka hal itu tidak akan dirasakan olehnya"
Dia berhenti sebentar untuk berganti napas, lalu sambungnya
lagi: "Sekali pun omong kosong kita bilang dia merasa kalau dirinya
sudah dibokong orang lain, hal itu tidaklah penting jika terbukti
pada kepalanya tidak terdapat bekas luka, cukup asaikan dia tidak
tahu kalau orang yang memberi obat pemabok itu adalah kita
berdua hal ini tidaklah mengapa"
Wi Lian in berdiam diri untuk berpikir beberapa waktu lamanya,
kemudian barulah mengangguk sambil sahutnya:
"Baiklah, kalau begitu kita putuskan pakai obat pemabok saja.
Biarlah aku yang secara diam-diam memasukkan benda tersebut ke
dalam teko air tehnya, tapi . . . kau punya obat pemabok itu?"
"Tidak ada" "Di dalam benteng kita juga tidak terdapat benda semacam itu,
lalu bagaimana sekarang baiknya?" tanya Wi Lian in sedikit cemas.
"Kita bisa pergi ke dalam kota untuk membelinya di warung obat,
asal kita mau kasih uang lebih banyak sudah tentu mereka pasti
juga menjualnya kepada kita."
"Ehm .. . " sahutnya Wi Lian in kemudian sembari mengangguk,
"Tetapi siapa yang pergi beli"
"Sebaiknya kau saja yang pergi lebih baik aku jangan tinggalkan
tempat ini" "Baiklah, sekarang berangkat saja bagaimana?"
Ti Then termenung berpikir sebentar, kemudian barulah kasih
jawaban- "Bila sebelum hari gelap kau bisa barangkat kembali ke sini,
sekarang pergi pun tidak ada halangannya, kalau tidak berangkat
besok pun belum terlambat."
"Kalau begitu aku berangkat sekarang saja" seru Wi Lian in
dengan cepatnya "Tunggu saja setelah aku berhasil beli barang itu
barulah kita pulang ke Benteng bersama-sama, setelah itu malam ini
kau harus tantang Tia adu main catur, dengan begitu pasti dia akan
menonton di samping. saat itulah aku mau gunakan kesempatan
tersebut memasuki kamarnya" Selesai berkata dia segera bangkit
berdiri. Ti Then pun segera ikut bangkit: "Lebih baik aku ikut kau saja"
ujarnya. Wi Lian in menjadi tertegun: "Bukankah tadi kau bilang tidak
leluasa untuk tinggalkan tempat ini" tanyanya dengan penuh
keheranan. "Tadi aku bilang jika kita berangkat besok pagi, sekarang kita
semua sudah berada diluar benteng, kita boleh berangkat ke dalam
kota secara diam-diam, tentunya gerak gerik kita ini tak akan
diketahui oleh orang lain."
Wi Lian In yang mendapat kawan berjalan seorang seperti Ti
Then ini sudah tentu dalam hati merasa sangat girang sekali.
"Betul" serunya dengan penuh kegirangan "Mari kita berangkat bersama-sama."
Demikianlah mereka berdua itu dengan mengikuti jalan semula
menuruni tebing tersebut, sesudah mengitari bawah gunung dengan
cepat mereka berdua berangkat menuju kekota keresidenan Go bi.
Jarak antara benteng pedang menuju ke kota Go bi kurang lebih
ada empat puluh li jauhnya, sepanjang jalan antara kedua tempat
itu jarang terdapat dusun yang di tinggali orang karena itu orangorang yang melakukan perjalanan pun tidaklah begitu banyak.
Mereka berdua dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh
masing-masing dengan cepat melakukan perjalanannya, tak sampai
satu jam kemudian mereka berdua sudah tiba di dalam kota
kerisidenan Go bi tersebut.
Kali ini merupakan pertama kali Ti Then memasuki kota kembali
sesudah terjadinya peristiwa di dalam sarang pelacur Touw Hoa
Yuan, karena takut sampai dikenali kembali orang-orang dari sarang
pelacur Touw Hoa Yuan itu, karenanya begitu tiba di dalam kota dia
berusaha keras untuk menghindari tempat sarang pelacur tersebut.
Sesudah berjalan belak belok dan melaluijalan-jalan kecil yang
sepi tidak lama kemudian terlihatlah oleh mereka diseberang jalan
terdapat sebuah kedai penjual obat. Ujarnya kemudian kepada Wi
Lian in dengan suara yang amat rendah.
"Kau tunggulah sebentar di sini, biar aku yang pergi beli."
Selesai berkata dengan langkah lebar dia berjalan menuju ke
dalam kedai penjual obat itu.
Begitu masuk ke dalam warung penjual obat tersebut segera
terlihatlah seorang tua yang berdiri di balik lemari dengan sangat
hormat sekali menggape ke arahnya.
"Silahkan duduk, silahkan duduk." ujarnya sembari tersenyum,
"Kongcu. . kau mau cari apa?"
Dengan cepat Ti Then berjalan mendekati sisi tubuh kakek tua
itu, kemudian barulah ujarnya dengan suara rendah. "Cayhe mau
cari sedikit obat pemabok."
"Mao beli apa?" tanya kakek tua itu dengan air muka tertegun.
" Obat pemabok. "
"Maaf . . . maaf." seru kakek tua itu sambil gelengkan kepalanya.
"Di dalam warung kami tidak dijual obat semacam itu"
Dari dalam sakunya Ti then mengambil keluar dua tahil perak
yang kemudian diletakkan di atas meja.
"Cayhe hanya mencari satu bungkusan kecil saja." desaknya
dengan nada serius. "Tidak ada. . tidak ada" Dari dari dalam sakunya Ti Then
mengeluarkan satu tahil perak kembali dan diletakkan di samping
dua tahil perak semula, sambil tersenyum tanyanya.
" Kalian sungguh-sungguh tidak menjual barang tersebut"
Sinar mata kakek tua itu dengan tajamnya memperhatikan uang
yang terletak di atas meja itu, napasnya menjadi memburu,
kemudian berubah menjadi ngos-ngosan sedikit gugup,
"Benar .... benar dulu memang masih ada sedikit, kemudian ....
kemudian . . sudah terjual habis."
Dari dalam sakunya sekali lagi Ti Then mengambil keluar satu
tahil perak. kemudian ujarnya sembari tersenyum:
"Mungkin masih ada sisa sedikit, tolong kau carikan sedikit buat
aku . . ." Air muka kakek tua itu ma kin lama berubah menjadi memutih,
kemudian sahutnya lagi dengan gugup,
"Baik . . . baik . . baik . . . biar lohan pergi cari-cari"
Selesai berkata dengan tergesa-gesa dia berlari masuk ke dalam
bilik kamarnya. Beberapa saat kemudian terlihatlah dengan wajah penuh
kegirangan dia berjalan keluar.
"Kongcu" serunya sembari tertawa. "Keuntunganmu sungguh
bagus sekali, ternyata memang tersisa sedikit"
Sambil berkata dari dalam sakunya dia mengambil keluar sebuah
bungkusan kecil yang sangat tipis yang kemudian diangsurkan ke
arah Ti Then, sedang tangannya yang sebelah sudah mulai
mencomot uang perak yang terletak di atas meja.
Ti Then sesudah bungkusan yang berisikan obat pemabok itu
mendadak dia ulur tangannya menekan tangan kakek tua itu yang
sedang mengambil uang di atas meja tersebut.
Pendekar Patung Emas Pendekar Bersinar Kuning Karya Qing Hong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tunggu dulu" serunya sembari tertawa.
Air muka kakek tua itu seketika itu juga berubah sangat hebat,
dengan ketakutan, tanyanya. "Ada urusan apa?"
Ti Then tersenyum. "Jual belikan obat pemabok merupakan suatu pelanggaran
undang-undang negara, mungkin tentang hal ini kau pun tahu
bukan" ujarnya dengan nada menggertak.
Saking terkejutnya seluruh tubuh kakek tua itu sudah mulai
gemetar, ujarnya dengan Suara yang tersedu-sedu:
"Kau . . . kau petugas dari pengadilan ?""
"Ha ha ha . . . bukan. . bukan."Jawab Ti Then dengan tertawa
tak henti-hentinya, "Tapi aku bisa membawa bungkusan obat
pemabok ini sebagai bukti untuk dilaporkan pada pengadilan, waktu
itu...." Kakek tua itu menjadi sangat terperanyat.
"Kongcu bagaima kau bisa mencelakai orang seperti begitu?"
ujarnya dengan perasaan tidak puas" "Tadi Lohan sudah bilang
kalau tidak ada, adalah kongcu sendiri yang terus memohon . . ."
"Kamu orang tidak perlu begitu tegang" potong Ti Then sembari
tersenyum "Aku tidak akan melaporkan urusan ini kepada
pengadilan" Saat ini kakek tua itu baru bisa menghembuskan napas lega
sambil menyeka keringat yang mengucur keluar ujarnya. " Kongcu
kau betul-betul pandai menggoda. . ."
"Ehmmm . . . .aku merasa obat ini sedikit kemahalan, hanya satu
bungkus begini sudah minta empat tahil perak. . sungguh mahal
sekali" "Omongan apa itu ?"?" Teriak kakek tua itu sedikir gusar. "
Lohan selama ini belum pernah membicarakan soal harga, bukankah
kongcu sendiri yang rela memberi uang sebegitu banyak"
"Oh begitu" Kalau begitu cayhe mohon diri dulu." ujar Ti Then
dengan serius. Sesudah memasukkan bungkusan obat itu ke dalam sakunya
dengan cepat dia putar tubuhnya berjalan pergi.
Agaknya kakek tua itu merasa urusan tak beres, dengan cemas
teriaknya. "Tunggu sebentar."
"Ada petunjuk apa lagi?" Tanya Ti Then sembari menoleh ke
belakang sedang di dalam hati dia merasa sangat geli sekali.
Dari dalam sakunya kakek tua itu mengeluarkan dua tahil perak
kemudian disusulkan ketangan Ti Then, ujarnya sambil menghela
napas panjang. "Begitu sudahlah, heei...."
Tanpa sungkan-sungkan Ti Then menerima kembali uang perak
itu dan dimasukkan ke dalam sakunya, sambil tersenyum dia
berjalan meninggalkan warung itu untuk kembali kesisi Wi Lian In.
"Ayoh jalan" ujarnya tersenyum.
"Sudah dapatkan barang itu?"" tanya Wi Lian In ditengah jalan, agaknya dia merasa tak tenang.
"Sudah" "Apa dia juga menanyakan digunakan buat apa barang itu?"
tanya Wi Lian In lagi. "Tidak" sahutnya sambil gelengkan kepalanya. "Hanya aku sudah berbuat guyon dengannya, urusan selanjutnya biarlah sesudah
meninggalkan kota kita bicarakan lagi."
Mereka berdua tidak berani berhenti terlalu lama di dalam kota,
karenanya dengan cepat kedua orang itu bergerak keluar kota.
Sesampainya di pinggiran kota barulah Ti Then mulai
menceritakan kisahnya mempermainkan si kakek tua penjual obat
itu membuat Wit Lian in tertawa terpingkal-pingkal saking gelinya.
"Kau jadi orang sungguh curang" ujarnya sembari tertawa,
"Sudah memperoleh barangnya orang lain merasa sayang untuk
keluar uang buat membayar"
Bukannya aku merasa sayang" bantah Ti Then sambil tertawa
juga. "Kebanyakan orang-orang yang memperjual belikan obatobatan semacam itu bukanlah manusia baik- baik, biarlah kali ini
mereka sedikit merasakan kelihayanku"
Sambil berkata dia mengambil keluar bungkusen kecil yang
berisikan obat pemabok itu lalu dibukanya untuk Wi Lian in lihat.
"Nah kau terimalah barang ini" ujarna kemudian.
Wi Lian in menyambut bungkusan kecil berisikan obat pemabok
tersebut. "Aku harus masukkan seberapa banyak obat ini ke dalam teko air
tehnya?" tanyanya kemudian.
"Aku kira separuh sudah cukup"
"Baiklah" seru Wi Lian in kemudian sambil anggukkan kepala,
"Baiknya kita kerjakan malam ini juga."
"Jikalau kita berhasii mengetahui dia adalah si Setan pengecut
itu, kau pikir baiknya bertindak bagaimana?"
"Akan kuberitahukan kepada Tia, biarlah Tia yang mengambil
tindakkan selanjutnya" jawab Wi Lian inTi Then menganggukkan kepalanya menyetujui, kemudian sambil
menghela napas panjang, ujarnya lagi:
"Aku sangat mengharapkan dia bukanlah si Setan pengecut itu."
Mereka berdua sembari melanjutkan perjalanan sembari
bercakap-cakap. sesampainya di depan benteng Pek Kiam Po, cuaca
sudah menunjukkan hampir malam.
Baru saja mereka menginyakkan kakinya ke dalam Benteng,
segera terlihattah seorang pendekar pedang putih sudah
menyambut kedatangan mereka, ujarnya sambil bungkukkan
badannya memberi hormat. "Ti Kiauw tauw kau sudah kembali"
"Ehmm ... " sahut Ti Then sernbari anggukkan kepalanya. "Ada urusan apa?"
"Tadi Pocu sudah beri pesan, katanya jika Ti Kiauw tauw serta
nona sudah balik ke dalam benteng dipersilahkan segera menuju
keruangan tamu" ujar pendekar pedang putih itu dengan amat
sopan. Dalam hati Ti Then hanya merasakan jantungnya berdebar-debar
amat keras, tanyanya dengan amat cemas. "Sudah terjadi peristiwa
apa?" "Ada orang yang datang menyambang diri Ti Kiauw tauw."
"Apakah mereka adalah Anying langit Rase bumi atau mungkin
hwesio-hwesio dari Siauw Limpay?" tanya Ti Then lagi dengan
perasaan lebih cemas. "Semua bukan . . ."jawab pendekar pedang putih itu sambil
gelengkan kepalanya. " Kalau begitu siapa mereka Cayhe tidak kenal."
Dalam hati diam-diam Ti Then merasa sangat heran, tidak
mungkin ada temannya yang datang menyambangi dia, karena itu
pikirannya menjadi kacau, sambil memandang sekejap kearah Wi
Lian in, ujarnya kemudian- "Cepat kita pergi melihat."
Selesai berkata dengan langkah tergesa-gesa dia berjalan
menuju keruang tamu. Mereka berdua dengan tergesa-gesa menuju
ke dalam ruang tamu, begitu masuk ke dalam ruangan segera
terlihatlah di dalam ruangan sudah hadir dua orang lelaki dan dua
orang wanita, yang lelaki adalah Wi Ci To serta Huang puh Kian Pek.
yang wanita adalah germo dari Sarang pelacur Touw Hua Yuan, Ku
Ie serta pelacur terkenal Liuw Su Cen.
Begitu Ti Then tampak Ku Ie serta Liuw Su Cen, secara tiba tiba
di dalam Benteng Pek Kiam Po ini membuat hatinya seketika itu
juga terasa tergetar dibuatnya, dengan cepat dia menahan langkah
selanjutnya untuk beberapa saat lamanya tidak sanggup
mengucapkan Sepatah kata punMunculnya Ku Ie serta Liauw su Cen secara tiba-tiba di dalam
Benteng Pek Kiam Po ini jika dibicarakan terhadap dirinya boleh
dikata merupakan suatu pukulan yang fatal. Bagaimana mereka bisa
sampai di sini" Hmmm, Tentu hasil permainan dari Hong Mong Ling, sesudah
berdiri tertegun beberapa waktu lamanya, segera dia melanjutkan
perjalanannya menuju ke depan, kepada Wi Ci To sembari memberi
hormat ujarnya: "Pocu, tadi boanpwe dengar dari seorang pendekar pedang putih
katanya ada tamu yang datang mencari boanpwe?"
"Benar" Sahut Wi Ci To dengan wajah amat serius, sambil
menuding kearah Ku Ie serta Liauw Su Cen sambungnya:
"Kedua orang perempuan inilah yang sedang mencari kau"
Waktu itu Ku Ie serta Liauw Su Cen sudah berdiri dari tempat
duduknya, terlihatlah Ku Ie dengan wajah penuh senyuman ramah
sudah membuka mulutnya dan berkata: "Lu Toakongcu, tentu kau
sudah lupa pada kami ibu beranak bukan?"
Liauw su Cen dengan cepat bungkukkan badannya memberi
hormat, sambungnya dengan suara yang merdu genit:
"Kami datarg menyambangi secara tiba-tiba, harap Lu kongcu
jangan marah" Mendengar omongan mereka berdua yang tidak karuan itu tanpa
terasa Ti Then sudah kerutkan alisnya rapat-rapat, dengan tertegun
lama sekali dia pandang mereka berdua, kemudian barulah dia
balikkan badannya bertanya kepada Wi Ci To:
"Kedua orang perempuan ini apakah Ku Ie serta Liuw Su Cen dari
sarang pelacur Touw Hoa Yuan?"
Wi Ci To hanya menganggukkan kepalanya saja tanpa
mengucapkan sepatah kata pun. Ti Then tertawa dingin, kepada Ku
Ie yang berdiri di sampingnya dia berkata.
"Toa nio ini mungkin sudah salah menangkap orang, cayhe
bukanlah Lu kongcu yang kalian maksudkan"
"Benar" jawab Ku Ie itu. "Baru saja aku baru tahu kalau nama
kongcu yang sebetulnya adalah Ti Then"
Sembari menghela napas panjang sambungnya lagi:
"Sebetulnya kami ibu beranak tidak berani datang mengganggu
Ti kongcu, tapi Su Cen budak ini sudah betul-betul mencintai diri
kongcu, sejak waktu itu dia bisa berkenalan dengan diri kongcu,
selama ini makan tidak enak tidur pun tidak enak. setiap hari hanya
pikirkan kongcu seorang kapan bisa datang mengunjungi dia
kembali" Pikiran Ti Then menjadi semakin ruwet dan kacau.
"Kalian sudah salah anggap" potongnya dengan keras "Cayhe memangnya bernama Ti Then, tapi bukanlah Lu kongcu yang pada
waktu itu pernah mengunjungi sarang pelacur Touw Hoa Yuan
kalian-" "Bagaimana bisa bukan" bantah Ku Ie lagi sambil tertawa serak.
"Dengan jelas kau adalah Lu kongcu yang waktu itu turun tangan
melukai diri Hong kongcu, sesudah aku tahu nama yang sebetulnya
dari kongcu dan tahu pula kalau kongcu sudah menyabat sebagai
Kiauw tauw dari benteng Pek Kiam po ini, saat ini biar aku
menceritakan urusan ini kepada Su Cen budak ini, sejak waktu itu
Su Cen budak ini setiap hari sudah ribut ribut mau datang ke sini
untuk kongcu, aku sudah bilang sama dia kini kongcu sudah
menyabat sebagai Kiauw tauw dari Benteng Pek Kiam po, jika kita
datang ke sana mungkin kongcu akan kehilangan muka, tapi Su Cen
budak ini tetap ngotot saja, dia bilang kongcu dengan senang hati
mau menerima kedatangan kita ibu beranak sedang aku pun mem
punyai pikiran Ti kongcu tentunya jadi orang berperasaan halus,
tidak mungkin bisa melupakan kekasihnya yang terdahulu maka dari
itu?" "Sudah cukup," potong Ti Then dengan keren, sedang wajahnya
berubah membesi, "Siapa yang perintahkan kalian kemari?"
Ku Ie berdiam diri beb erapa saat, kemudian sembari tertawa
sambungnya lagi. "Ti kongcu, kau sunguh pandai berguyon, kami ibu beranak
dengan bersungguh hati datang menyambang dirimu, bagaimana
kau bisa memfitnah kami mengatakan kami datang atas perintah
orang lain?" "Cayhe hari ini belum pernah pergi ke sarang pelacur Tuw Hoa
Yuan kalian, kini kau terus menerus mengatakan aku Lu kongcu itu,
terang-terangan kalian sudah perintah orang lain untuk mencelakai
diriku" teriak Ti Then dengan keras.
Mendengar omongan ini Ku Ie hanya tertawa pahit saja, kepada
Liuw Su Cen yang berada di sampingnya ujarnya dengan sedih.
"Hei budak, aku bilang bagaimana" Kini orang lain sudah
menyabat sebagai Kiauw tauw dari Benteng Pek Kiam Po, dia tidak
mungkin akan mau berkawan dengan kau sebagai seorang pelacur
murahan yang rendah derajatnya."
Dengan rasa sedih Liuw Su Cen angkat kepalanya melirik sekejap
kearah Ti Then kemudian tundukan kepalanya kembali rendahrendah, sesudah menghela napas panjang barulah sahutnya lirih.
"Ku Ie mari kita pulang saja."
"lbumu paling takut kalau kau tidak puas" ujar Ku Ie kemudian
sembari menghela napas panjang. "Kini malah menjadi lebih baik,
sejak kini kau boleh menerima tamu kembali menurut perintah ku"
Berbicara sampai di sini kepada Wi Ci To serta Huang puh Kian
pek dia sedikit bungkukkan dirinya memberi hormat:
"Kami sudah mengganggu Pocu berdua, dalam hati sungguh
merasa tidak tenang" ujarnya dengan perlahan- "Lain kali jika Pocu berdua datang kekota harap mau duduk sebentar di dalam sarang
pelacur Touw Hoa Yuan kami"
"Pergi. . Pergilah." seru Wi Ci To dengan kasar sedang tangannya diulapkan berulang kali.
Demikianlah dengan berjalan berlenggak lenggok Ku Ie serta
Liuw Su Cen berjalan meninggalkan ruangan itu.
Tiba-tiba Ti Then maju satu langkah menghalangi perjalanan
mereka. "Jangan pergi" bentaknya dengan kasar.
"Ada apa?" tanya Ku Te sembari tertawa melengking sehingga
serasa menusuk kuping. "Katakan siapa yang sudah perintah kalian kemari" bentaknya
dengan dingin. Alis Ku Ie segera dikerutkan rapat-rapat sambil tertawa terkekehkekeh serunya: "Aduh Ti Kongcu kau sungguh pandai main sandiwara, kau sudah
punya kekasih yang baru kini tidak mau mengingat kembali kekasih
yang lama, tentang hal ini tidak mengapa, bagaimana?" kamu tidak
mengijinkan kami ibu beranak pergi dari sini?"
Ti Then tidak mau ambil perduli padanya dengan wajah yang
amat keren tetap bentaknya: "Siapa yang perintah kalian kemari"
sudah beri uang berapa?""
"Hmm. ." dengus Ku Ie dengan amat dingin "Walau pun Su Cen kami hanya seorang pelacur tapi tidak seperti kau Ti Kongcu yang
sudah lupa keadaan sendiri, kau jangan salah memandang."
"Aku bisa kasih uang yang lebih banyak lagi kepada kalian
asalkan kalian mau beri tahu dengan sejujurnya siapa yang sudah
perintah kalian kemari" ujar Ti Then coba membujuk mereka
berdua. Ku Ie tidak mau gubris dirinya lagi, kepada Wi ci To sembari
tertawa dingin ujarnya. "Wi Pocu, tolong tanya kami apa sudah boleh pergi" "
"Ti Kiauw tiauw" seru Wi Ci To dengan nada kurang senang.
"Biarkan mereka pergi"
Mendengar omongan ini seketika itu juga Ti Then sudah tahu
kalau dia telah percaya akan omongan Ku Ie ini, sedang dalam hati
dia pun tahu perintah dari majikan patung emas yang diserahkan
kepadanya juga boleh dikata hanya sampai di sini saja, karena itu
segera dia menyingkir ke samping membiarkan Ku Ie serta Liauw su
Cen berlalu dari dalam ruangan.
Sesudah melihat bayangan mereka berdua lenyap dari
pandangan barulah dia merangkap tangannya memberi hormat
kepada Wi Ci To. "Pocu" ujarnya perlahan-. "Boanpwe ada satu urusan yang
hendak dititipkan kepada Pocu."
" Urusan apa?" tanya Wi Ci To sembari menghela napas panjang.
Pendekar Patung Emas Pendekar Bersinar Kuning Karya Qing Hong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hwesio-hwesio dari partai Siauw lim serta Anying langit Rase
bumi mungkin di dalam beberapa hari ini bisa muncul di sini, jika
mereka sudah tiba tolong katakan kepada mereka boanpwe akan
menanti kedatangan mereka dipenginapan Hokan di dalam kota.
Selesai berkata dia beri hormat juga kepada Huang puh Kian Pek.
setelah itu dengan langkah lebar dia berjalan meninggalkan ruangan
tamu tersebut. Wi Ci To, Huang puh Kian Pek mau pun Wi Lian In tidak ada yang
buka mulut memanggil dia kembali.
Sekembalinya ke dalam kamarnya dengan tergesa-gesa dia
membereskan barang-barangnya dan dipanggulnya ke atas
pundaknya, pedang panjang hadiah dari Wi Ci To diletakkannya ke
atas pembaringan lalu dia berjalan keluar dari kamar.
Melihat sikapnya yang sangat aneh itu si Lo-cia itu pelayan tua
segera menyambut kedatangannya .
"Ti Kian-Kauw tauw, kau mau kemana ?" tanyanya penuh
keheranan- "Lo-cia" jawab Ti Then sambil tertawa pahit "Sejak ini hari kau tidak perlu melayani aku lagi".
"Sudah terjadi urusan apa?" tanya Lo-cia dengan perasaan
terperanyat sesudah mendengar perkataan dari Ti Then itu.
"Aku mau pergi."
" Kemana?"" tanya si Lo-cia lagi dengan cemas.
"Heei. . . belum kutentukan-.."
Setelah itu dengan langkah tergesa-gesa dia meninggalkan
Pahlawan Padang Rumput 1 Serba Hijau Serial Oey Eng Si Burung Kenari Karya Xiao Ping Badai Awan Angin 32
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama