Ceritasilat Novel Online

Pedang Naga Kemala 6

Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo Bagian 6


orang lain. Dua orang pengawal itu tadinya mengharapkan pemuda itu ketakutan agar
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan mereka dapat menghinanya untuk menebus kekalahan tadi. Akan tetapi
melihat sikap Ci Kong malah menantang, keduanya segera menggerakkan
senjata dengan niat membunuh! Gan Kin Bin sudah menggerakkan pedangnya
membacok ke arah kepala Ci Kong, sedangkan dari sebelah kiri, Lok Hun
menggerakkan senjata payungnya yang menyembunyikan pedang sebagai
gagang itu untuk menusuk perut pemuda itu! Serangan maut yang dilakukan
hampir berbareng. Akan tetapi, betapapun lihainya, tentu saja dua orang kasar ini sama sekali
bukan tandingan pemuda yang sudah digembleng oleh Siauw-bin-hud sampai
matang itu. Biarpun diserang dengan pedang dan payung pedang, Ci Kong
tidak menjadi gentar atau gugup. Sikapnya masih tenang saja, akan tetapi
ketika kedua senjata itu sudah dekat menyambar tubuhnya, tiba-tiba tubuhnya
berkelebat dan lenyap dari depan kedua orang pengeroyoknya. Dia telah
mempergunakan ginkang yang amat hebat, dan tahu-tahu dua orang
pengeroyok yang kehilangan lawan itu, sebelum mereka sempat menarik
kembali senjata mereka, mengeluarkan pekik kaget dan disusul suara
berkerontangan karena senjata mereka terlepas dari tangan yang tiba-tiba saja
menjadi lemas kehilangan tenaga ketika Ci Kong menampar pundak kanan
mereka. Ci Kong yang memang ingin memberi hajaran kepada dua orang kasar itu,
melanjutkan dengan tamparan pada leher Gan Ki Bin yang kembali
mengeluarkan pekik kesakitan dan tubuhnya terpelanting ke atas lantai. Lok
Hun juga terkejut, akan tetapi tahu-tahu lututnya telah ditendang dan diapun
roboh menelungkup, peti kecil yang dikempitnya tadi terjatuh. Dia teringat
akan benda itu dan dengan nekat dia lalu menubruk petinya. Gan Ki Bin sudah
bangkit lagi, menubruk, dan dia disambut dengan sebuah tanparan yang
membuat dia roboh kembali dengan kepala menghantam tihang.
"Brukkk...!" "Brukkk Dan tubuh si tinggi besar ini terkulai dalam keadaan pingsan. Melihat ini,
Lok Hun hendak melarikan diri ke dalam, untuk mencari bantuan sambil
mengempit peti kecilnya, akan tetapi tiba-tiba gerakannya terhenti karena
punggung bajunya telah dicengkeram oleh tangan kanan Ci Kong. Sekali
disentakkan, tubuh gendut itupun terpelanting dengan punggung baju masih
dicengkeram dan peti kecil itupun terlepas untuk kedua kalinya. Sekali ini,
tutupnya terbuka dan sebagian isinya yaitu candu murni, tercecer.
"Haiiit"!"
Tiba-tiba semua orang menjadi kaget, termasuk Ci Kong, karena seperti
seekor burung saja, dari luar pintu gerbang melayang tubuh seorang gadis
cantik. Dari luar pintu gerbang, tubuh itu melayang seperti terbang melampaui
kepala para penonton di depan pintu, dan kini tubuh itu langsung menerjang
Ci Kong dengan bentakan nyaring dan halus tadi. Ci Kong masih
mencengkeram punggung baju Lok Hun dengan tangan kanan, dan melihat
serangan yang demikian aneh dan cepat, diapun menyambut dengan tonjokan
tangan kirinya. Gadis yang cantik jelita dengan pakaian mewah itu cepat mengembangkan
kedua lengannya, yang kiri memukul ke arah dada dengan tangan terbuka,
sedangkan tangan kanannya siap menotok atau menangkis.
Sekali ini Ci Kong terkejut. Gadis itu memiliki ginkang yang amat luar biasa,
dan itu saja sudah membuktikan bahwa dia berhadapan dengan seorang gadis
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan yang lihai bukan main. Dan dia terpesona oleh kecantikan yang menyolok itu.
Dalam keadaan tubuh di udara, gadis itu kini malah mengancamnya dengan
serangan tangan kiri ke arah dada, bukan sembarangan serangan, karena dari
tangan kiri gadis itu keluar tenaga yang mendatangkan angin bercuitan!
Terpaksa dia melemparkan tubuh Lok Hun ke kanan.
"Bresss...!" Dengan kerasnya tubuh si gendut itu menabrak dinding dan diapun terkulai
lemas, pingsan seperti temannya yang juga sudah setengah mampus itu.
"Dukkk!" Dua tenaga sinkang yang sama kuatnya, yang disalurkan melalui tangan
masing-masing, bertemu di udara. Dan akibatnya, tubuh dara itu terpental
sampai jauh ke belakang dimana secara indah sekali ia berjungkir balik dan
turun ke atas tanah dengan tegak. Ci Kong sendiri merasa betapa tangannya
tergetar hebat oleh pertemuan tenaga tadi, dan mengertilah dia bahwa gadis
itu benar-benar lihai bukan main. Di lain pihak, gadis itupun terkejut dan
maklum bahwa pemuda yang mampu menghajar dua orang kepercayaan
ayahnya sampai jatuh pingsan ini adalah seorang yang amat lihai, maka iapun
mengamati dengan penuh perhatian.
"Keparat, berani kau mengacau rumah kami! Siapa kau?" bentak gadis itu
yang ternyata adalah Ciu Kui Eng.
Sebagai murid datuk sakti Tee-tok yang sudah tamat belajar, tentu saja Ciu
Kui Eng lihai sekali dan tingkat kepandaiannya tidak berada terlalu jauh di
bawah tingkat Ci Kong. Ci Kong juga merasa heran. Kiranya gadis cantik yang amat lihai ini masih
keluarga Ciu Wan-gwe, dan tiba-tiba saja teringatlah dia akan peristiwa
duabelas atau tigabelas tahun yang lalu. Ketika ayahnya pergi memenuhi
panggilan Ciu Wan-gwe untuk membuatkan tulisan indah, dia menyusul dan
melihat ayahnya dihajar oleh Ciu Wan-gwe dan seorang perwira. Ayahnya itu
agaknya akan dibunuh dan mungkin dia sendiripun akan dibunuh oleh perwira
itu, kalau saja tidak muncul seorang anak perempuan yang dengan beraninya
menentang hartawan yang menjadi ayahnya itu untuk melepaskan ayahnya
dan dia sendiri! Dan gadis cilik itu dahulu mencelanya karena dia berlutut
mintakan ampun untuk ayahnya. Mengertilah dia bahwa agaknya inilah gadis
cilik yang sudah menunjukkan sikap hebat dahulu itu, kini telah menjadi
seorang dara yang selain cantik jelita, juga amat gagah perkasa. Maka, wajah
Ci Kong menjadi merah dan diapun cepat menjura.
"Maaf, aku datang bukan untuk mengacau. Aku ingin bertemu dan bicara
dengan Ciu Wan-gwe, akan tetapi dua orang ini selain melarangku, juga
menghina bahkan menyerangku."
Terdengar suara hiruk-pikuk, dan bermunculanlah pengawalpengawal dari
depan dan belakang yang jumlahnya belasan orang. Mereka itu sudah
mencabut senjata dan mengurung pendapa gedung itu. Melihat datangnya
banyak pengawal, para penonton di depan pintu gerbang menjadi panik dan
tadipun para pengawal sudah mendorong mereka ke kanan kiri ketika sebagian
dari mereka datang dari luar. Para penonton itu menjauhkan diri, masih nonton
akan tetapi dari jarak jauh.
"Bohong! Dia bohong, nona!" tiba-tiba terdengar si gendut Lok Hun
berseru. Si gendut ini hidungnya berdarah dan dahinya membenjol sebagai akibat
menubruk dinding tadi dan kini dia sudah siuman. Dan begitu sadar tadi, dia
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan mencari-cari peti kecil terisi madat murni. Akan tetapi peti kecil itu telah
lenyap. Karena itu, dia cepat membantah ketika Ci Kong membela diri di depan
nona majikannya. "Dia datang tentu untuk merampas peti kecil berisi madat murni yang kami
bawa itu!" Kui Eng mengerutkan alisnya. Dia tiba-tiba memandang penuh perhatian
kepada pemuda ini, seorang pemuda petani akan tetapi yang ternyata memiliki
kepandaian amat tinggi. Dan anehnya, ia merasa seperti pernah mengenal
pemuda ini, namun lupa lagi entah kapan dan dimana.
"Benarkah engkau datang hanya untuk mencuri sepeti kecil madat?"
bentaknya kepada Ci Kong.
Ci Kong menggeleng kepala.
"Aku paling benci madat, untuk apa aku merampas madat?"
Sementara itu, Lok Hun yang kehilangan madat itu menjadi khawatir sekali,
lalu dia keluar bertanya-tanya. Di antara penonton ada yang melihat bahwa peti
kecil itu tadi dilarikan seorang pemuda yang sebaya dengan Ci Kong.
Mendengar ini, Lok Hun berlari memasuki pintu gerbang dimana Ci Kong masih
dihadapi Kui Eng dan dikurung oleh para pengawal.
"Nona, benar saja! Dia sengaja melawan kami, dan seorang temannya telah
mengambil madat itu dan dilarikan. Keroyok dia! Tangkap dan paksa dia
mengaku dimana candu itu disembunyikan temannya!"
Teriakan ini menggerakkan para pengawal yang segera mengeroyok Ci
Kong. Mereka menggunakan golok dan pedang, dan bagaikan hujan senjatasenjata tajam itu menyambar-nyambar ke arah Ci Kong. Karena merasa tidak
perlu lagi berdebat, Ci Kong mengamuk. Kaki tangannya bergerak seperti angin
cepatnya dan sebentar saja, enam orang pengawal terlempar ke kanan kiri.
Melihat ini, Kui Eng merasa kagum dan tertarik, maka iapun cepat maju sendiri,
menyerang pernuda itu dengan kedua tangan kosong. Akan tetapi dua tangan
kosongnya itu jauh lebih lihai daripada belasan golok dan pedang para
pengawal. Kedua tangan bercuitan seperti melengking-lengking ketika
menyambar dan tubuh dara itupun bergerak secepat burung wallet
menyambar-nyambar. Ci Kong terpaksa harus mencurahkan seluruh
perhatiannya menghadapi serangan-serangan gadis ini yang benar-benar amat
berbahaya, sedangkan serangan para pengawal yang mengeroyoknya cukup
dihalaunya kalau sudah dekat saja.
Terjadilah pengeroyokan yang seru, dimana Ci Kong yang berkelahi dengan
Kui Eng itu dikeroyok dan dikurung dengan ketat. Bahkan kini datang
sepasukan keamanan kota yang telah diberi tahu dan pemuda itu dikurung oleh
musuh yang tidak kurang dari limapuluh orang jumlahnya. Andaikata di situ
tidak ada Kui Eng, agaknya dengan mudah Ci Kong akan merobohkan seluruh
pengeroyoknya. Akan tetapi, kelihatan Kui Eng membuat dia terdesak dan
terhadap gadis puteri Ciu Wan-gwe ini Ci Kong tidak sampai hati untuk
menggunakan tangan maut! Dia masih teringat bahwa bagaimanapun juga,
dapat dikatakan bahwa gadis ini pernah menyelamatkan nyawanya dan nyawa
ayahnya di gedung ini duabelas tahun yang lalu.
Sementara itu, Ong Siu Coan yang melarikan peti kecil, setelah tiba di
sebuah parit yang sunyi, lalu membuka peti dan memeriksa isinya. Tadipun dia
melihat peti itu terbuka dan isinya benda hitam-hitam yang tidak dikenalnya.
Kini dia memeriksanya dan bukan main kecewanya ketika mendapat kenyataan
bahwa peti itu tidak terisi benda berharga seperti yang diduganya, melainkan
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan benda yang diduganya tentu candu yang dihebohkan itu. Dia pernah
mendengar tentang madat, maka walaupun belum pernah melihat sendiri, dia
dapat menduga dari baunya bahwa ini tentu madat. Dia sudah hendak
membuang peti itu ketika nampak tumpukan tahi kering di parit itu. Dia
tersenyum nakal, lalu sebagian dari candu itu dibuangnya di parit dan sebagai
gantinya, dia menggunakan kayu untuk mengambil kotoran itu dan
mencampurnya dengan sisa madat. Karena benda itu warnanya hitam, maka
kotoran itupun dapat bercampur dan tidak kelihatan lagi. Peti kecil itu masih
penuh madat, hanya bedanya, madatnya kini tidak murni lagi bahkan telah
bercampur tahi kering! Ketika Siu Coan kembali ke tempat tadi, dia terkejut melihat betapa pemuda
perkasa itu telah dikurung oleh puluhan orang pengawal, dan perkelahian
sengit dan seru masih terjadi antara pemuda itu dengan gadis cantik yang tadi
datang menyerang. Siu Coan meloncat ke depan, melemparkan peti kecil ke tempat semula dan
tanpa diminta, diapun mengamuk. Tubuh para pengeroyok bergelimpangan
seperti sekumpulan daun diamuk badai! Dan akibat amukannya memang hebat
dan menggetarkan hati para pengeroyok. Berbeda dengan Ci Kong yang
merobohkan para pengeroyok tanpa membunuh atau mendatangkan luka
parah, semua orang yang roboh oleh hantaman Siu Coan ini tentu roboh untuk
tidak bangun kembali karena mereka tewas oleh pukulan-pukulan maut yang
disebar Siu Coan! Tentu saja para pengawal menjadi gentar dan kepungan
itupun menjadi kocar-kacir.
"Sobat yang gagah, jangan takut aku membantumu!"
Siu Coan berseru dengan gembira ketika dia berhasil mendekati pemuda
itu dan diapun menubruk ke depan menyerang Kui Eng. Gadis ini terkejut.
Kiranya pemuda kedua yang baru datang ini tidak kalah lihai dibandingkan
pemuda pertama. Ketika ia menangkis pukulan pemuda jangkung itu,
lengannya terasa dingin sampai meresap ke tulang. Dara inipun maklum
bahwa kepandaian dua orang pemuda ini sungguh hebat, dan kalau ia sendiri
yang melawan mereka, akan sukar memperoleh kemenangan.
Melihat munculnya seorang pemuda bertubuh jangkung yang
membantunya dan membunuh banyak pengawal, Ci Kong terkejut dan tidak
senang. Pemuda yang datang ini memang gagah perkasa, akan tetapi hatinya
terlalu kejam, menyebar maut seperti itu, pikirnya. Diapun diam saja tidak
menjawab, hanya mengambil keputusan untuk segera pergi saja agar pemuda
jangkung itu tidak membunuh orang lebih banyak lagi.
"Dar-darr...!!"
Siu Coan dan Ci Kong terkejut sekali, dan cepat mereka menggunakan
ginkang untuk berloncatan mengelak ketika terdengar letusan-letusan itu.
Mereka menengok dan kiranya dari dalam gedung itu keluar seorang laki-laki
berusia enampuluh tahun lebih, berpakaian mewah dan di tangan kanan orang
ini nampak sepucuk pistol yang masih mengeluarkan asap. Orang itu
membidik-bidikkan pistolnya, mencari-cari dua orang pemuda itu yang dengan
cerdik telah berloncatan di antara para pengawal sehingga sukarlah bagi orang
itu untuk menembak lagi. "Sobat, mari kita pergi. Tunggu apalagi?" teriaknya.
Ci Kong sudah mendengar pula dari susiok-couwnya tentang senjata api
yang amat berbahaya itu. Dia tidak gentar menghadapi senjata itu, akan tetapi
di situ terdapat gadis yang lihai itu dan banyak pengawal, kini ditambah lagi
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan tuan rumah yang pandai mempergunakan senjata api. Maka diapun mengikuti
Siu Coan yang sudah melompat pergi keluar dari halaman gedung Ciu Wangwe.
Setelah berada jauh dari kota Tung-kang, di kaki bukit yang sunyi, barulah
mereka berhenti dan ternyata tidak ada yang mengejar mereka lagi. Siu Coan
berhenti dan memandang kepada Ci Kong penuh perhatian. Tadi dia telah
mempergunakan ilmu berlari cepat, akan tetapi pemuda yang nampaknya
seperti seorang petani ini mampu mengimbangi kecepatan larinya. Hal itu
membuat dia penasaran dan dia mengerahkan tenaganya sehingga tubuhnya
bergerak cepat meluncur seperti terbang saja. Akan tetapi, pemuda itu tetap
saja berada di sampingnya!
"Sobat, engkau sungguh lihai sekali. Akan tetapi kalau perkelahian itu
dilanjutkan, salah-salah kita bisa menjadi makanan peluru panas. Senjata api
itu amat berbahaya, apalagi di tangan orang yang tidak terlatih, tembakannya
bisa ngawur sehingga kalau dielakkan malah terkena. Dan gadis itupun lihai
bukan main!" Ci Kong juga memandang pemuda tinggi besar itu dengan penuh
perhatian. Jelas bahwa dia berhadapan dengan seorang pendekar yang
tangguh, akan tetapi pendekar ini terlalu kejam dan mudah membunuh orang.
Teringat betapa pemuda di depannya ini tadi telah membunuh banyak orang,
mungkin sampai belasan orang, diam-diam dia bergidik dan tidak menyetujui
perbuatan itu. "Sobat yang gagah perkasa, kenapa engkau tadi membunuhi orang"
Prajurit-prajurit itu hanya petugas, kenapa kau bunuhi mereka yang tidak
bersalah itu?" tegurnya dengan suara penuh penyesalan.
Ong Siu Coan mengerutkan alisnya dan memandang dengan heran.
"Kenapa tidak" Kalau bisa, aku bahkan akan membunuh semua orang tadi!
Makin banyak dapat membunuh pasukan pemerintah, lebih baik. Bukankah
pasukan yang datang belakangan tadi adalah pasukan keamanan, antek-antek
pemerintah penjajah" Aku ingin membasmi penjajah, aku ingin mengusir
penjajah Mancu dari tanah air kita!"
Tiba-tiba saja pemuda tinggi besar itu mengepal tinju, matanya bersinarsinar dan sikapnya penuh semangat. Ci Kong sudah banyak mendengar
tentang para pendekar yang berjiwa patriot, yang ingin menentang dan
mengusir penjajah Mancu dan dia menduga bahwa tentu di depannya ini


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seorang di antara para pendekar seperti itu.
Tiba-tiba Siu Coan memandang tajam kepadanya seperti teringat akan
sesuatu, dan pemuda tinggi besar itu lalu memegang pergelangan tangannya.
Ci Kong cepat mengerahkan tenaganya karena tangan yang mencengkeram itu
kuat sekali. Bisa patah-patah tulang lengannya kalau dia tidak mengerahkan
tenaga untuk melindungi lengannya.
"Kau...! Ah, kau murid hwesio gendut Siauw-bin-hud...!" tiba-tiba pemuda
jangkung besar itu berseru nyaring.
Ci Kong juga teringat sekarang, akan tetapi dia bersikap tenang-tenang
saja dan menjawab. "Bukan murid beliau, melainkan cucu murid. Dan engkau adalah murid
Thian-tok. Dan engkau telah membantuku tadi."
Ci Kong mengingatkan, merasa aneh juga karena yang membantunya
keluar dari kepungan pasukan tadi adalah murid Thian-tok, seorang datuk
sesat, seorang iblis di antara Empat Racun Dunia yang sudah amat terkenal
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan kejahatan mereka. "Engkau bukan memusuhi pemerintah, melainkan memusuhi hartawan itu"
Kenapa" Siapa engkau?"
Ci Kong memandang ke arah lengannya yang dicengkeram, sikapnya
tenang dan dengan lembut dia berkata.
"Bukan begini caranya orang bicara dengan sikap bersahabat," katanya.
Siu Coan melepaskan cengkeramannya dan tersenyum.
"Engkau memang hebat. Nah, mari kita bicara, sebelumnya lebih baik kita
saling berkenalan. Namaku Ong Siu Coan, dan engkau tentu sudah dapat
menduga bahwa aku membenci penjajah Mancu. Sekali waktu aku akan
menyusun pasukan untuk menghantamnya dan mengusirnya dari tanah air.
Sekarang katakan, siapa engkau dan apa yang kaulakukan tadi di gedung
hartawan itu?" "Namaku Tan Ci Kong, seorang pengembara yang tidak memiliki tempat
tinggal yang tetap. Di Tung-kang aku mendengar tentang Ciu Lok Tai yang
menjadi pedagang madat. Aku melihat kesengsaraan rakyat oleh madat yang
terkutuk itu, maka aku ingin menegur dan memperingatkan Ciu Lok Tai agar
dia menghentikan pengedaran madat yang meracuni rakyat jelata."
"Ha, engkau seorang pendekar pembela rakyat?"
Ci Kong menggeleng. "Aku tidak berani memakai sebutan pendekar, akan tetapi aku akan selalu
membela yang lemah tertindas, membela kebenaran dan menentang
kejahatan, dimanapun aku berada. Untuk itulah bertahun-tahun aku
mempelajari ilmu silat."
Ong Siu Coan mengangguk-angguk, lalu tersenyum mengejek.
"Engkau hanya mengurus soal-soal kecil. Apa artinya tindakan orang-orang
sepertimu ini yang disebut pendekar" Di negara ini, entah terdapat berapa
puluh ribu hartawan pedagang candu seperti she Ciu itu. Bagaimana engkau
akan dapat memperingatkan mereka semua" Pula, apakah kau yakin mereka
akan mentaati dan mundur" Dan berapa puluh laksa lagi mereka yang sudah
kecanduan madat. Apakah engkau akan mendatangi mereka satu demi satu
untuk dibujuk agar jangan menghisap madat lagi, dan apakah mereka akan
mau mentaatimu" Ah, sobat yang gagah, bukan begitu caranya kalau mau
menolong rakyat." "Lalu bagaimana?"
"Marilah, bantu aku membentuk pasukan. Kita tentang pernerintah
penjajah, karena pemerintah penjajah yang bersalah, penjajah Mancu yang
mendatangkan orang orang kulit putih itu, yang mendatangkan candu. Kita
basmi penjajah Mancu dan sekaligus membasmi orang-orang kulit putih, maka
candu tidak akan masuk ke negara kita, dan rakyat akan terbebas dari
pengaruh racun itu. Bukan dengan cara menentangnya satu demi satu!"
Ci Kong mendengarkan denga hati penuh kagum. Orang ini memiliki citacita yang amat besar dan muluk, dan bagaimanapun juga dia dapat melihat
kebenaran ucapan itu, dapat menghormati cita-cita itu. Akan tetapi, urusan
pemberontakan tidak menarik hatinya.
"Dalam hal ini, jalan hidup kita bersimpang, kawan. Aku belum pernah
berpikir tentang perjuangan dan pemberontakan, akan tetapi aku hanya ingin
mengulurkan tangan kepada mereka yang tertindas dan menentang si
penindas dan mereka yang melakukan kejahatan. Akan tetapi, aku berjanji
bahwa kalau ada kesempatan kita saling bertemu, aku tentu akan
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan membantumu." Ong Siu Coan menarik napas panjang.
"Sayang, tenagamu amat berharga untuk suatu perjuangan. Akan tetapi,
yang dipentingkan dalam perjuangan melawan penjajah adalah semangat,
bukan sekedar ilmu berkelahi. Baiklah, dan apakah yang kaulakukan tadi di
gedung hartawan itu?"
"Sudah kukatakan bahwa aku hanya akan memperingatkan hartawan itu
agar jangan mengedarkan candu."
"Hanya itu?" "Hanya itu?" Kata Ci Kong sambil meraba-raba hati sendiri, apakah ada terbawa rasa
dendam mengingat betapa ayahnya dahulu pernah dipukuli di rumah hartawan
Ciu, akan tetapi dengan lega dia melihat kenyataan bahwa dendam itu tidak
ada pada hatinya. Ong Siu Coan tertawa. "Ha-ha-ha, semua jerih payahmu itu tiada gunanya. Kukira apa yang
kulakukan tadi lebih berguna."
"Membunuhi pasukan itu?"
"Bukan hanya itu. Tadi ketika engkau berkelahi, peti kecil yang dipegang si
gendut terjatuh. Aku mengambil peti kecil itu dan tahukah engkau apa isinya?"
Ci Kong menggeleng. "Isinya candu murni! Dan aku membuang setengahnya, lalu kuganti
dengan tahi kering yang kuaduk menjadi satu dengan candu. Ha-ha, ingin aku
melihat muka orang yang menghisap candu itu sekarang, ha-ha!"
Ci Kong juga tertawa, akan tetapi dia memandang heran. Orang ini bercitacita besar dan muluk, akan tetapi apa yang dilakukannya itu, mencampuri
candu dengan tahi kering, sungguh kekanak-kanakan sekali. Dan mengingat
bahwa orang gagah ini adalah murid seorang datuk sesat seperti Thian-tok,
diam-diam diapun menjadi bingung sendiri. Murid datuk sesat menjadi patriot
"Sudahlah, sobat Ong Siu Coan. Aku akan pergi sekarang dan selamat
tinggal. Mudah-mudahan cita-citamu yang tinggi itu akan dapat berhasil."
"Tentu saja berhasil. Eh, Tan Ci Kong, apakah engkau diutus oleh gurumu
yang gendut itu untuk mencari Giok-liong-kiam?"
Pertanyaan yang tiba-tiba ini mengejutkan Ci Kong, akan tetapi dengan
tenang dia menggeleng. "Tidak, akan tertapi kalau aku bertemu dengan saudara seperguruanmu itu,
tentu akan kucoba untuk merampas kembali Giok-liong-kiam untuk
dikembalikan kepada yang berhak."
Ong Siu Coan mengangguk-angguk. Sejenak timbul keinginan hatinya
untuk menyerang pemuda murid Siauw-bin-hud ini, akan tetapi keinginan ini
ditekannya. Tidak perlu menanam permusuhan dengan pemuda ini, dan diapun
belum yakin benar akan dapat mengalahkannya.
"Hemm, biarlah di lain kesempatan saja aku akan menguji kelihaianmu.
Aku masih mempunyai urusan yang lebih besar. Selamat tinggal!"
Siu Coan lalu membalikkan tubuhnya dan berlari cepat meninggalkan Ci
Kong. Pemuda ini lalu melanjutkan pula perjalanannya, menuju Kanton.
-------Apa yang dikatakan Ong Siu Coan kepada Ci Kong, yaitu bahwa
perbuatannya mencampur madat dengan tahi kering itu lebih penting dari
pada tindakan Ci Kong, memang terbukti. Perbuatannya yang nakal kekanakdikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan kanakan itu telah menimbulkan akibat yang amat hebat terhadap keluarga
hartawan Ciu Lok Tai. Dan juga ketika dia mengatakan bahwa dia ingin sekali
melihat muka orang yang menghisap madat bercampur kotoran itu, andaikata
dia benar-benar menyaksikan, tentu dia akan merasa puas dan geli, karena
yang menjadi korban kenakalannya justeru adalah seorang pembesar Mancu
yang dibencinya! Seperti kita ketahui, dua orang kepercayaan Ciu Wan-gwe, yaitu Gan Ki Bin
dan Lok Hun, sedang berangkat meninggalkan rumah gedung hartawan itu
untuk melaksanakan tugas mengantarkan sepeti kecil madat kepada wakil
kepala daerah Kanton yang oleh Ciu Wan-gwe diharapkan untuk dapat
melindunginya dan membantu meredakan kemarahan Wang Taijin dan Maciangkun yang merasa terhina dalam pesta itu oleh Kui Eng. Dan baru saja
mereka muncul dari dalam gedung pagi itu, mereka berjumpa dengan Ci Kong
sehingga terjadilah keributan. Setelah keributan itu selesai dengan larinya dua
orang pemuda yang mengacau itu, mereka berdua menemukan kembali peti
candu. Giranglah hati mereka melihat bahwa peti itu masih penuh. Bergegas
mereka berganti pakaian lalu melaksanakan tugas yang tertunda itu, naik kuda
menuju ke Kanton. Ketika Gan Ki Bin dan Lok Hun tiba di rumah gedung Lai-taijin, yaitu wakil
kepala daerah Kanton, mereka disambut dengan kegembiraan besar oleh Laitaijin. Pembesar ini adalah seorang pecandu yang sudah tidak ketolongan lagi,
sudah mendarah daging. Agaknya racun madat sudah menyusup sampai ke
tulang sumsum, sehingga sehari saja tidak mengisap madat, dia akan tersiksa
hebat. Dia sudah kehabisan madat yang baik, dan sudah berhari-hari dia
terpaksa mengisap madat yang tidak murni lagi, kurang memuaskan. Oleh
karena itu, melihat kedatangan dua orang utusan Ciu Wan-gwe yang
membawa sepeti kecil madat murni, kegirangannya memuncak.
"Cepat ambilkan pipaku, akan kunikmati sekarang juga, ha-ha!" katanya,
dan para pembantunya cepat mengambilkan pipa madat yang segera diisi
dengan tembakau yang dicampuri madat murni yang diambil dari peti kecil itu.
Dua orang utusan Ciu Wan-gwe masih berlutut di situ. Mereka berdua juga
merasa girang sekali, dengan wajah berseri mereka melihat betapa pembesar
itu bergembira dan segera mencoba madat murni yang mereka bawa. Tak salah
lagi, sebentar lagi mereka tentu akan keluar dengan saku berat dan sarat oleh
hadiah-hadiah berharga! Jari-jari tangan orang yang ketagihan madat tak dapat bergerak tetap,
melainkan agak gemetar, dan kedua tangan wakil kepala daerah itupun
gemetar ketika dia sendiri mencampurkan madat murni dari peti itu dengan
tembakau, lalu dimasukkanya ke dalam mulut pipanya. Mencampur tembakau
dengan madat, lalu memasukkan tembakau madat itu ke dalam pipa, semua ini
dilakukan dengan jari-jari tangan yang terlatih dan terbiasa, dan di dalam
pekerjaan inipun terkandung kenikmatan besar! Terdapat keluwesan dan
seolah-olah mengandung "seni" tersendiri.
Memasukkan tembakau madat ke mulut pipa, tidak boleh terlalu padat,
karena hal itu akan menyukarkan penyedotan dan terbakarnya ramuan itu
kurang lancar, juga tidak boleh terlalu sedikit sehingga sudah habis terbakar
sebelum isapan penuh memasuki paru-paru. Kemudian menyalakan tembakau
itu dengan mendekatkan mulut pipa pada api lilin yang tersedia. Lilinnya juga
terbuat dari api sumbu lemak, tidak berbau malam. Semua gerakan ini disertai
bayangan betapa akan nikmat rasanya kalau asap candu itu memasuki parudikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan paru. Hangat-hangat menyusup melalui kerongkongan, memasuki paru-paru,
dan dari dada yang terasa hangat itu akan menjalar rasa nikmat ke seluruh
tubuh. Kalau hawa itu sudah memasuki kepala, maka tubuh akan terasa ringan
melayang-layang, pikiran akan menjadi kosong dan bebas seperti seekor
burung dara yang terbang di angkasa, panca indera akan menjadi demikian
tajam dan peka sehingga warna-warna akan nampak lebih cerah di mata,
suara-suara akan terdengar lebih merdu di telinga, dan hidung akan mencium
keharuman dan kesedapan suasana yang biasanya tidak pernah terasa. Sorga
di dunia! Dua orang utusan dari Tung-kang itu dengan wajah berseri dan mulut
tersenyum mengikuti semua gerak-gerik pembesar itu yang duduk di kursi.
Dengan kedua mata dipejamkan, akhirnya Lai-taijin membakar mulut pipa pada
api kecil di atas meja, lalu disedotnya pipa itu. Tembakau madat terbakar,
nampak bara api pada mulut pipa itu dan tercium bau asap yang aneh. Laitaijin menyedot terus, sekuatnya karena dia menginginkan agar semua
tembakau itu cepat terbakar dan asapnya memenuhi rongga dadanya.
"Eh-ehh... ohh... ugh-ugh-uuggghhh...!"
Tiba-tiba pembesar itu tersentak, duduknya tegak dan matanya mendelik,
terbatuk-batuk dan tangan kirinya mencekik leher. Asap yang keluar dari
mulutnya berbau aneh dan memuakkan, dan pembesar itu terus batuk-batuk
sampai kemudian muntah-muntah. Tentu saja para pengawal menjadi terkejut
sekali, juga dua orang utusan itu memandang dengan muka pucat.
"Pranggg...!" Cawan terisi minuman itupun terpukul oleh tangan pembesar itu dan jatuh
ke atas lantai. "Prakkk...!" Pipanya dibantingnya dan pembesar itu dengan muka merah seperti udang
direbus dan mata melotot, mulut masih mengeluarkan liur, segera memeriksa
isi peti kecil. Merabanya, lalu menciumnya dan kembali dia muntah-muntah.
"Keparat! Jahanam busuk! Tangkap mereka, cambuk sampai mereka
mengaku bagaimana mereka berani memberi madat bercampur kotoran busuk
ini kepadaku!" perintahnya.
Kasihan sekali dua orang utusan itu. Dengan tubuh menggigil mereka minta
ampun, akan tetapi para pengawal telah menyeret mereka dan merekapun
menjadi korban cambukan sampai kulit belakang tubuh mereka pecah-pecah
dan mereka roboh pingsan saking tak kuat menahan nyeri.
"Brakk...!" Lai Taijin menggebrak meja.
"Keparat Ciu Lok Tai! Berani sekali menghinaku dengan mengirim madat
bercampur kotoran!" Peristiwa itu menimbulkan akibat yang amat hebat, sama sekali tidak
disangka oleh Ong Siu Coan sendiri yang membuat ulah. Karena merasa amat
malu, marah dan menganggap bahwa hartawan Ciu sengaja menghinanya, Lai
Taijin lalu pergi menghadap Wang Taijin yang menjadi atasannya. Tentu saja
dia tidak bicara tentang peristiwa candu kiriman itu, melainkan bicara tentang
Ciu Wangwe yang dianggap kurang ajar berani menghina para pembesar dan
pejabat Kanton. "Kalau aku tidak ingat bahwa dia telah banyak melakukan kebaikan
terhadap kita, tentu aku sudah mencapnya sebagai pemberontak dan
mengerahkan pasukan untuk menangkap dan menghukumnya," demikian
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Wang Taijin berkata setelah mendengar pancingan wakilnya tentang peristiwa
di gedung Ciu Wan-gwe itu.
"Akupun mendapatkan malu besar sekali ketika kepala pengawalku
dipermainkan oleh anak perempuannya. Sungguh keterlaluan sekali gadis itu."
"Akan tetapi, walaupun dia telah banyak melakukan kebaikan terhadap
kita, sebaliknya kalau tidak ada kita yang mendukung, apakah dia mampu
menjadi pedagang madat yang memonopoli pemasukan madat dari orangorang kulit putih" Agaknya, yang dia berikan kepada kita belum ada
seperseratus keuntungan yang didapatkannya karena dukungan kita," bantah
Lai Taijin. "Orang seperti dia itu patut dihajar!"
"Kuharap engkau dapat bersabar," kata Wang Taijin.
"Hartawan Ciu mempunyai pengaruh yang cukup besar. Tanpa sebab tidak
dapat kita bertindak apa-apa terhadap dia, karena di kota rajapun dia
mempunyai hubungan. Sebaiknya kita mulai sekarang waspada dan mencari
kesempatan baik untuk membalas penghinaannya."
"Harap taijin tidak usah khawatir. Saya akan menghubungi komandan Ma
Cek Lung. Biarpun tadinya Ma-ciangkun merupakan sahabat baik Ciu Wangwe, akan tetapi peristiwa penghinaan terhadap dirinya di depan unnum
dalam pesta itu tentu membuat Ma-ciangkun malu dan tentu dia berpihak
kepada kita." Demikianlah, Lai Taijin yang merasa sakit hati sekali itu mulai membuat
persekutuan dengan Wang Taijin dan Ma-ciangkun untuk menanti kesempatan
baik agar mereka dapat membalas dendam terhadap Ciu Wan-gwe yang
mereka anggap telah melakukan penghinaan besar terhadap diri mereka.
Dan kesempatan itupun tidak lama kemudian tibalah! Pada waktu itu,
madat telah tersebar luas dan mencengkeram makin banyak korban di antara
rakyat, juga menyusup ke kotaraja dan mempengaruhi para pembesar. Akan
tetapi, yang paling parah keadaannya adalah daerah Kanton, dimana orangorang kulit putih berada dan kota ini merupakan sarang mereka, merupakan
sumber penyebaran candu. Bukan hanya mempengaruhi badan, akan tetapi


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

juga dengan adanya candu, para pembesar berkomplot dengan para pedagang
candu yang amat menguntungkan itu.
Para pejabat menerima sogokan, para pedagang candu menumpuk
keuntungan besar, dan rakyat yang menjadi korban. Hal ini membuat rakyat
menjadi semakin gelisah. Kekayaan dikuras, ditukar dengan candu yang makin
banyak dibutuhkan orang. Para tuan tanah menekan ke bawah dan rakyat
petani yang dicekik agar menghasilkan uang lebih banyak.
Keadaan yang kacau ini terasa sampai ke kota raja dan sampai pula ke
dalam istana. Para penasihat Kaisar Tao Kuang cepat menghadap kaisar dan
melaporkan tentang keadaan yang amat parah itu.
"Menurut penyelidikan hamba, rakyat sudah menjadi gelisah sekali, para
pejabat kehilangan kesetiaan mereka dan mudah digosok oleh para pedagang.
Kalau dibiarkan berlarut-larut, hamba khawatir kalau pemberontakan di antara
rakyat makin menjadi-jadi. Pula, harta kekayaan rakyat akhirnya akan dikuras
habis oleh orang-orang kulit putih, ditukar dengan madat yang hanya
mendatangkan malapetaka." Demikian antara lain para menteri itu melapor
dan menasihati kaisar. Setelah mendengarkan banyak peringatan dan nasihat para menterinya,
akhirnya Kaisar Tao Kuang mengambil keputusan yang tegas. Keputusan yang
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan kemudian terkenal sekali dalam sejarah sebagai permulaan perang yang
dinamakan Perang Madat. Kaisar Tao Kuang mengangkat seorang jenderal yang bernama Lin Ce Shu
sebagai seorang penguasa, seorang Gubernur untuk membawa pasukan besar
pergi ke Kanton dan bertindak terhadap pengedar candu yang memang tadinya
sudah dilarang itu. Lin Ce Shu adalah seorang pembesar yang paling benci
dengan perdagangan candu yang dimasukkan oleh para pedagang kulit putih.
Oleh karena itu, begitu menerima kekuasaan, dia bergerak cepat.
Dikerahkannya pasukan besar yang secara kilat dan serentak tanpa ada
kebocoran, menuju ke Kanton!
-------Gedung itu bagus sekali, coraknya masih merupakan gedung hartawan di
kota Kanton, akan tetapi perabot-perabot rumahnya sudah berlainan sama
sekali dengan gedung para hartawan Kanton. Perabot-perabot rumah itu asing,
kursinya besar-besar, ruangannyapun lebar-lebar. Melihat keadaan perabot
dan hiasan rumah itu, mudah diketahui bahwa yang tinggal di situ bukanlah
seorang penduduk aseli Kanton, melainkan seorang asing.
Rumah gedung itu ditinggali oleh keluarga Hellway. Tuan Hellway ini
seorang opsir yang menjadi pembantu kapten Charles Elliot yang pada waktu
itu menjadi penguasa Inggeris di Kanton. Opsir Hellway bertugas
menghubungi pedagang-pedagang Kanton, oleh karena itu dia pandai
berbahasa daerah dan sudah belasan tahun dia tinggal di Kanton bersama
isteri dan seorang puterinya.
Ketika mereka pindah ke Kanton, puteri tunggalnya baru berusia empat
tahun. Kini Sheila, demikian nama puterinya, berusia tujuhbelas tahun. Karena
ayah dan ibunya pandai berbahasa daerah, maka Sheila juga mempelajari
bahasa ini dari para pelayan, sehingga iapun pandai berbahasa daerah. Bukan
itu saja, Sheila seringkali mendengar dongeng dari para pelayannya, tentang
pendekar-pendekar yang gagah perkasa, tentang ilmu silat yang tinggi, dan
dari beberapa orang pengawal yang bekerja pada ayahnya, ia malah sempat
mempelajari ilmu silat, yang walaupun tidak terlalu mendalam, namun cukup
membuat ia pandai menjaga diri dan tubuhnya juga selalu berada dalam
keadaan sehat dan kuat. Sheila telah menjadi seorang gadis yang cantik jelita dan lembut.
Rambutnya berwarna kuning emas, panjang dan berombak amat indahnya.
Sepasang matanya biru laut, tubuhnya, seperti biasa tubuh wanita barat, padat
dan tinggi semampai, lebih tinggi dari pada tubuh gadis-gadis pribumi. Juga
ia tidak pemalu seperti gadis pribumi, melainkan berani menentang pandang
mata pria dengan tenang walaupun keadaan keluarga membuat ia
beranggapan bahwa bangsanya adalah bangsa yang lebih maju dan lebih
pandai dari pada bangsa pribumi yang kadang-kadang aneh dan sukar untuk
dapat dimengertinya itu. Akan tetapi karena ia bergaul erat dengan para
pelayan, sedikit banyak ia tahu akan keadaan atau cara hidup bangsa pribumi
yang penuh dengan tradisi dan ketahyulan itu. Juga ia tahu bahwa Tiongkok
berada dalam penjajahan Bangsa Mancu yang dahulunya hanya merupakan
suku bangsa liar di utara yang kecil saja, namun yang kini telah menjadi
kelompok yang kuat. Tahu pula ia bahwa dimana-mana terjadi pemberontakan
dari para patriot rakyat yang tidak rela melihat tanah air dijajah oleh orang
Mancu. Lebih lagi ia tahu segalanya tentang merajalelanya madat yang amat
jahat, yang meracuni rakyat jelata dan yang membuat hatinya merasa amat
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan tidak senang, karena ia tahu bahwa madat itu didatangkan oleh bangsanya,
oleh English East India Company. Lebih lagi, ayahnya menjadi opsir, menjadi
pembantu Kapten Charles Elliot, jelas bahwa ayahnya mempunyai peranan
besar sekali dalam masalah penyebaran madat yang diam-diam amat
dibencinya itu. Ketika ia mendengar cerita dari seorang pelayan tentang seorang suami
yang menukarkan kehormatan isterinya dengan madat, tentang seorang ayah
yang menjual anak gadisnya karena ketagihan madat, dan orang yang
membunuh diri karena ketagihan madat dan tidak mempunyai uang lagi untuk
membelinya, hatinya memberontak dan pagi hari itu segera menemui ayahnya.
Opsir Hellway amat mencinta puterinya karena memang dia hanya
mempunyai anak satu-satunya itu. Dia sedang duduk bersama isterinya, siap
untuk berangkat ke kantor ketika Sheila masuk ke dalam ruangan itu dengan
wajah cemberut dan muka agak pucat karena semalam gadis itu tidak dapat
tidur, gelisah membayangkan semua peristiwa mengerikan yang terjadi di
antara rakyat jelata gara-gara madat.
"Selamat pagi, papa dan mama," katanya kurang gairah.
"Selamat pagi, sayang. Eh, kenapa wajahmu nampak muram dan agak
pucat" Apakah engkau sakit, Sheila?" tanya ayahnya dengan nada lembut dan
ibunya lalu merangkul dan menciumnya.
Gadis itu menggeleng kepala, lalu melepaskan diri dari rangkulan ibunya
dan iapun duduk di atas kursi berhadapan dengan mereka.
"Papa, kemarin aku mendengar cerita yang mengerikan sekali," katanya.
"Bukan cerita burung, papa, melainkan cerita tentang orang-orang gagah
yang menjual isteri atau anak perempuannya, orang-orang yang membunuh
diri dan melakukan kejahatan-kejahatan, semua itu karena gara-gara madat."
"Ehh...?" Opsir Hellway memandang tajam kepada anaknya dan mengerutkan
alisnya. "Apa maksudmu?"
"Papa, semua itu memang terjadi. Madat telah meracuni rakyat, madat
telah membikin sengsara rakyat di sini..."
"Sheila!" ibunya berseru.
"Omongan apa yang kaukeluarkan itu" Madat mendatangkan keuntungan
besar kepada bangsa kita, mendatangkan kemakmuran kepada bangsa kita!"
"Mama, apa artinya keuntungan besar, kemakmuran kalau datang melalui
kesengsaraan orang lain?"
"Sheila! Siapa yang bercerita kepadamu" Orang itu perlu kuhajar!" tiba-tiba
Opsir Hellway berseru marah.
"Tidak! Tidak ada yang bercerita kepadaku. Aku mendengar omongan
orang di jalan." Sheila cepat menjawab, tidak ingin melihat pelayan yang bercerita itu
dihukum ayahnya. "Hemm, lalu apa maksudmu?" bentak opsir itu yang merasa tersinggung
sekali dengan ucapan-ucapan puterinya tadi.
"Papa, aku sungguh merasa tidak rela melihat papa menjadi seorang
pejabat yang mewakili English East India Company yang memperdagangkan
candu, yang memasukkan madat beracun itu ke negeri ini, meracuni rakyat
jelata dan..." "Cukup!" dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Opsir Hellway membentak marah, mukanya menjadi merah sekali.
"Sadarkah kau akan omonganmu tadi" Segala yang kau makan dan pakai
sampai kau dewasa ini, semua kebutuhan kita sekeluarga, dicukupi karena
perdagangan madat, dan engkau berani berkata demikian" Sheila, mengertilah
bahwa salah mereka sendiri yang suka menghisap madat kalau keadaan
mereka menjadi demikian. Kita hanya melayani saja sebagai pedagang,
melayani kebutuhan mereka dan mendapatkan keuntungan. Itu sudah wajar,
bukan?" "Tidak, papa! Kalau rakyat tidak dikenalkan dengan madat, mereka takkan
menjadi pecandu! Madat itu datang dari India, dan kalau kita tidak
mendatangkannya dari India, tentu rakyat tidak pernah mengenalnya."
"Belum tentu! Kaukira orang-orang India sendiri tidak akan membawanya
ke sini" Dan orang-orang sini sendiri yang membutuhkannya dapat pula
mencari ke India." "Bagaimanapun juga, aku tidak senang melihat papa menjadi opsir yang
mengurus perdagangan madat yang terkutuk itu..."
Sheila lalu menangis. "Hemm, engkau harus kami kirim ke Inggeris. Kalau dibiarkan tinggal terus
di sini, engkau akan menjadi rusak, pikiranmu akan diracuni oleh pikiranpikiran pribumi. Engkaupun perlu melanjutkan pelajaran ke sana."
Akhirnya Opsir Hellway berkata dan dia bertukar pandang dengan
isterinya yang merasa setuju dengan pendapatnya.
"Biar berada dimanapun juga, hatiku akan merana kalau mengingat betapa
di sini papa melakukan pekerjaan yang amat tidak baik itu..."
"Kau tahu apa tentang baik dan tidak baik dalam suatu pekerjaan?" bentak
ayahnya, dan melihat suaminya marah-marah, nyonya Hellway cepat
mendekati suaminya dan menyabarkannya.
"Sheila, masuklah ke kamarmu, jangan membikin marah papamu," kata
nyonya itu, dan Sheila dengan mata masih merah karena tangisnya tadi, lalu
lari memasuki kamarnya. Ia merasa berduka sekali melihat kenyataan bahwa
ayahnya mempunyai pekerjaan yang demikian kejam dan jahatnya.
Ketika Opsir Hellway yang masih marah karena ulah puterinya itu hendak
berangkat ke kantor, tiba-tiba datang seorang utusan dari atasannya yang
menyerahkan surat dari Kapten Charles Elliot. Opsir Hellway membaca surat
itu dan seketika wajahnya menjadi pucat.
"Baik, aku akan segera pergi menghadap Kapten Elliot!" katanya kepada
utusan itu yang segera memberi hormat dan pergi.
"Ada urusan apakah?" tanya isterinya yang merasa tidak enak melihat
suaminya nampak terkejut dan gugup itu.
"Celaka! Kaisar laknat itu telah melakukan tindakan kekerasan! Kota Kanton
ini telah dikepung oleh pasukan yang besar dari kota raja, dan semua madat
yang berada di kota ini harus diserahkan dengan ancaman hukuman mati! Ini
perang! Perang...!" Sheila agaknya mendengar pula ribut-ribut itu dan ia datang berlari ke
ruangan itu. "Papa! Mama! Aku mendengar bahwa kota ini dikepung tentara kerajaan."
Opsir Hellway teringat akan sikap puterinya tadi.
"Nah, puaslah sekarang hatimu. Kita semua akan celaka. Berkemaslah kau
dan ibumu, siapkan pakaian dan barang berharga, siapa tahu kita harus pergi
mengungsi. Aku mau ke kantor. Sheila, jangan kau keluar dari rumah, keadaan
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan gawat dan berbahaya."
Gubernur Lin Ce Shu bersama pasukannya yang besar telah tiba dan
mengurung kota Kanton, menguasai empat pintu gerbang dan memerintahkan
kepada pasukan keamanan di kota Kanton untuk mengumumkan bahwa
siapapun yang keluar masuk kota itu akan digeledah, bahkan semua gudang
milik para pedagang, termasuk pula milik orang-orang kulit putih, akan
diperiksa dan siapapun yang memiliki simpanan madat harus diserahkan!
Tentu saja peristiwa ini menimbulkan kegemparan hebat. Dan seperti
lumrahnya setiap peristiwa kekerasan, tentu ada yang menyambut dengan
gembira, akan tetapi ada pula yang menyambut dengan duka. Yang merasa
gembira adalah rakyat yang merasa tercekik oleh beredarnya candu, juga para
pendekar yang membenci keadaan itu namun mereka tidak berdaya.
Sebaliknya, yang gelisah adalah para pedagang candu, para pembesar yang
melindungi mereka, dan tentu saja para pemadatan yang khawatir akan
kehilangan benda yang amat disayang itu.
Inilah kesempatan yang dinanti-nantikan oleh Wang Taijin, Lai Taijin, dan
Maciangkun untuk dapat membalas dendam hati mereka kepada keluarga Ciu
Wangwe! Mereka ini adalah penguasa-penguasa di Kanton yang tadinya
merupakan orang-orang paling rajin mendukung orang-orang kulit putih dan
para pedagang candu, karena mereka itu menerima suapan dan sogokan yang
luar biasa banyaknya. Merekalah yang tadinya seperti melindungi
perdagangan candu itu. Akan tetapi, begitu pasukan kota raja datang mengepung kota Kanton
dengan maksud menyita semua madat dan menentang perdagangan itu, para
penguasa ini seketika merobah warna muka mereka, seketika mereka itu
nampak gigih dan rajin sekali melaksanakan kebijaksanaan pemerintah ini! Dan
di dunia ini memang penuh dengan penguasa macam mereka ini, bisa
didapatkan dimana-mana. Pejabat-pejabat seperti ini seperti ular-ular kepala
dua yang dapat menggigit ke depan dan ke belakang, sikap mereka dapat
berobah seperti angin, semua dilakukan demi kesejahteraan dan kesenangan
mereka sendiri. Demikianlah, dengan dalih melakukan kegiatan merampas madat yang
berada di luar kota Kanton, Ma Cek Lung membawa pasukannya pergi ke Tungkang dan pasukan yang sudah menerima perintahnya itu, langsung saja
menyerbu gedung keluarga Ciu Lok Tai! Tentu saja keluarga itu terkejut sekali
dan keadaan menjadi geger ketika para penyerbu itu bertindak kejam,
membunuhi pelayan-pelayan yang sama sekali tidak mampu melakukan
perlawanan. Melihat ini, Ciu Lok Tai lalu mengerahkan pasukan pengawalnya dan
terpaksa mereka itu melawan karena tidak melawanpun akan dibunuh. Ciu Lok
Tai sendiri melawan dengan menggunakan pistolnya, dan tigapuluh orang
lebih pasukan pengawalnya ikut melawan mati-matian. Tentu saja yang
mengamuk paling hebat adalah Kui Eng. Gadis ini marah bukan main melihat
pasukan keamanan yang bertindak seperti perampok itu.
Mula-mula Ma Cek Lung menyatakan bahwa kedatangan pasukannya itu
adalah untuk melakukan penggeledahan dan untuk menyita semua madat yang
berada dalam gedung keluarga Ciu. Ciu Wangwe sudah mendengar akan
gerakan pasukan dari kota raja, maka diapun tidak akan menentang dan
tadinya dia menyerah, bahkan mempersilahkan perwira yang pernah menjadi
sahabat baiknya itu untuk melakukan penggeledahan. Akan tetapi
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan penggeledahan itu ternyata berobah menjadi pembantaian, dan jelaslah bahwa
pasukan itu memang datang untuk menghancurkan keluarga Ciu. Dan
terjadilah perlawanan itu sehingga terjadi pertempuran mati-matian.
Jumlah pasukan yang dibawa Ma Cek Lung ada seratus limapuluh orang,
oleh karena itu tentu saja pasukan keamanan yang hanya tigapuluh orang itu
tidak dapat berbuat banyak dan dalam waktu yang tidak lama mereka sudah
roboh semua! Juga Ciu Wan-gwe, isterinya dan semua pelayannya dibantai
oleh pasukan yang sudah keranjingan itu.
Tinggal Kui Eng seorang yang masih mengamuk. Melihat betapa orang
tuanya tewas dan seluruh isi rumah binasa, hati Kui Eng seperti disayat-sayat
rasanya. Ia tahu bahwa perwira Ma itu memang datang untuk membalas
dendam karena pernah dikalahkannya dalam pesta tempo hari. Maka dengan
kemarahan meluap-luap, gadis ini mengamuk dan bermaksud untuk
membunuh perwira yang memimpin penyerbuan itu.
Akan tetapi, sekali ini Ma-ciangkun telah bersiap siaga. Dia maklum akan
kelihaian gadis puteri Ciu Wan-gwe itu, maka diapun kini mengajak belasan
orang anak buahnya yang memiliki ilmu silat lumayan untuk mengeroyok Kui
Eng. Karena itu, usaha Kui Eng untuk dapat berhadapan dengan Ma Cek Lung
sia-sia belaka. Ia dikurung dengan ketat oleh puluhan orang prajurit penjaga


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keamanan dari Kanton itu, di antaranya terdapat belasan orang yang memiliki
ilmu silat yang cukup kuat. Maka gadis inipun mengamuk dan sudah banyak
anggauta pasukan musuh yang roboh dan tewas oleh tanparan atau tendangan
kakinya. Akan tetapi, pengepungan dan pengeroyokan tetap ketat saking
banyaknya pihak musuh sehingga setelah merobohkan tidak kurang dari
tigapuluh orang, akhirnya gadis itu kehabisan tenaga. Apalagi karena hatinya
sedang gelisah dan berduka oleh kematian keluarganya. Maka, iapun mulai
terkena senjata lawan yang datang bagaikan hujan itu. Namun, ia tidak
menjadi gentar. Beberapa kali terdengar suara Ma-ciangkun yang menyerukan
agar gadis itu menyerah saja. Memang dia mempunyai niat kotor terhadap
gadis cantik itu dan mengharapkan akan dapat menangkap gadis itu dalam
keadaan hidup. Akan tetapi, Kui Eng pantang menyerah dan mengambil
keputusan untuk melawan sampai napas terakhir.
Memang hebat sekali sepak terjang gadis itu. Ia hanya bertangan kosong
karena tadi penyerbuan itu terjadi dengan tiba-tiba. Tadinya ia sama sekali
tidak mengira bahwa penggeledahan itu akan berakhir dengan pembantaian
maka iapun tidak sempat mengambil sebatang tongkat yang menjadi senjata
andalannya. Terpaksa ia melawan dengan tangan kosong, akan tetapi tanpa
senjatapun, gadis ini sudah merupakan lawan yang amat menggiriskan bagi
para perajurit itu. Gerakannya seperti seekor burung walet saja, cepat dan
setiap kali tamparan tangannya atau tendangan kakinya mengenai sasaran,
tentu seorang pengeroyok roboh untuk tidak dapat bangkit kembali! Tubuhnya
seperti seekor burung beterbangan, menyelinap di antara bayangan puluhan
batang golok dan pedang. Di antara limabelas orang ahli silat yang
diperbantukan pada pasukannya oleh Ma Cek Lung, sudah ada sembilan orang
roboh! Hal ini membuat para pengeroyok menjadi gentar, akan tetapi juga
penasaran. Apalagi karena dari belakang, Ma-ciangkun melancarkan aba-aba
dan mendorong anak buahnya untuk merobohkan gadis itu, menangkapnya
hidup atau mati. Sebagian dari pasukan itu melakukan perampokan dengan dalih
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan menggeledah dan mencari madat. Memang ada belasan peti madat murni yang
disita, akan tetapi di samping madat ini, juga ikut pula disita benda-benda
berharga yang terdapat di gedung itu dalam jumlah banyak! Sehabis merampok
mereka lalu membakar gedung itu!
Melihat ini Kui Eng menjadi semakin marah dan sakit hati. Ia mengamuk
semakin hebat, akan tetapi betapapun lihainya, ia dikeroyok oleh seratus lebih
orang yang kesemuanya adalah perajurit-perajurit yang biasa berkelahi, yang
semua memakai pakaian perang yang dilindungi baju besi dan semua
memegang senjata tajam pula.
Kui Eng memang seorang gadis yang telah menerima gemblengan seorang
sakti dan ia telah memiliki kepandaian tinggi sekali, akan tetapi ia masih
kurang terlatih. Kalau saja ia mau melarikan diri, kiranya tidak akan ada yang
mampu menahannya. Akan tetapi, kesedihan karena kematian orang tuanya
dan melihat keluarganya binasa dan rumahnya terbakar dan habis dirampok,
kemarahan karena semua itu membuat ia sama sekali tidak mempunyai niat
untuk menyelamatkan diri sendiri. Satu-satunya keinginannya hanyalah
membasmi semua perajurit ini dan juga membunuh Ma Cek Lung.
Akan tetapi, tenaganya terbatas dan akhirnya karena selama berjam-jam
mengerahkan sinkang untuk menghadapi puluhan orang bersenjata lengkap
itu, tenaga Kui Eng mulai berkurang. Hal ini terutama sekali terdorong oleh
kesedihan hatinya dan karena kurang cepat lagi gerakannya, mulailah dara ini
terkena sambaran ujung golok dan pedang. Pangkal lengan kanan dan kedua
pahanya telah tercium ujung senjata tajam yang membuat kulit dan sedikit
dagingnya tergores dan berdarah. Melihat ini Ma Cek Lung menjadi girang.
"Kepung terus, bikin habis tenaganya. Kalau mungkin tangkap hiduphidup, jangan bunuh!"
Perwira tinggi besar ini memang telah tergila-gila oleh kecantikan gadis ini
dan sekarang dia mempunyai kesempatan sepenuhnya untuk dapat menguasai
gadis itu, kalau perlu dengan kekerasan, bukan hanya untuk melampiaskan
nafsu binatangnya, melainkan juga untuk memuaskan hatinya yang pernah
sakit karena dibikin malu oleh gadis itu di depan orang banyak.
Kui Eng yang lelah sekali itu, gerakannya mulai lambat dan kacau, pandang
matanya berkunang-kunang dan ia sudah terhuyung-huyung. Sebuah
tendangan dari Ma Cek Lung yang kini ikut mengeroyok, tepat mengenai lutut
Kui Eng. Gadis ini mengeluh, akan tetapi begitu tubuhnya roboh, ia
menggulingkan tubuhnya dan seorang perajurit yang menubruk untuk
memeluknya, disambut dengan tanparan yang amat dahsyat.
"Prokkk...!" Perajurit itu terpelanting dengan kepala retak dan tewas seketika. Akan
tetapi, pengerahan tenaga terakhir ini membuat Kui Eng kehabisan tenaga dan
iapun terkulai dalam keadaan setengah pingsan!
Pada saat itu, berkelebat sesosok bayangan orang dan para perajurit itu
terkejut sekali karena tiba-tiba muncul seorang pemuda yang menyambar
tubuh gadis yang sudah terkulai itu dan memanggul tubuh itu lalu melarikan
diri. "Tangkap dia!" teriak Ma Cek Lung dengan marah.
Gadis itu sudah tidak berdaya, tinggal menangkap dan membelenggu saja
dan seperti sepotong daging sudah tinggal menyumpit dan memasukkan
mulut, akan tetapi tiba-tiba terlepas dan tentu saja dia tidak mau membiarkan
pemuda itu melarikan Kui Eng.
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Akan tetapi, gerakan pemuda ini luar biasa cepatnya, dan setiap perajurit
yang mencoba untuk menghadangnya, dirobohkan dengan pukulan-pukulan
tangan kiri atau tendangan kaki, sedangkan lengan kanannya memanggul
tubuh Kui Eng di atas pundak kanan.
"Lepaskan gadis itu!"
Akan tetapi, dengan sebuah tendangan kilat, pemuda itu merobohkan
pembantunya dan Ma-ciangkun sendiri terkena pukulan tangan kiri yang cepat
dan kuat. Dadanya terpukul dan biarpun dada perwira itu dilindungi baju besi,
tetap saja dia terpental dan roboh pingsan dengan napas sesak!
Pemuda itu lalu berloncatan dan dengan cepat sekali menerobos kepungan
para perajurit, merobohkan beberapa orang lagi tanpa membunuh mereka, dan
akhirnya lolos dari kepungan. Beberapa orang perajurit mencoba untuk
mengejar, akan tetapi pemuda itu dapat berlari cepat bukan main walaupun
sambil memondong tubuh Kui Eng, dan akhirnya para perajurit tidak mengejar
lagi. Mereka sibuk dengan mengumpulkan barang rampokan, mengurus
teman-teman yang terluka atau tewas, dan mencoba untuk menyadarkan Ma
Cek Lung yang pingsan. Kui Eng sudah kehabisan tenaga dan tubuhnya lemas. Ia setengah pingsan,
akan tetapi ia masih dapat mengetahui bahwa ia telah ditolong oleh seorang
laki-laki yang memondongnya dan membawanya lari. Pandang matanya sudah
kabur dan ia tidak dapat melihat jelas wajah laki-laki ini, apalagi ketika ia
dipanggul, kepalanya berada di belakang tubuh orang itu. Akan tetapi ia tahu
bahwa orang ini telah menyelamatkannya, dan diam-diam ia bersyukur karena
ia tahu bahwa tenaganya sudah habis dan nyawanya takkan tertolong lagi. Ia
tidak takut mati, akan tetapi kalau ia mati, siapa yang akan membalaskan
kematian ayah ibunya" Ia berterima kasih kepada laki-laki ini yang sudah
menyelamatkannya sehingga masih ada harapan dan kesempatan baginya
untuk kelak membalas dendam kepada Ma Cek Lung dan anak buahnya. Ia
merasa aman dan ketika pemuda itu berlari cepat memanggul tubuhnya ke luar
kota Tung-kang, diam-diam ia beristirahat dan menghimpun hawa murni untuk
mengumpulkan kembali kekuatannya.
Akan tetapi, Kui Eng yang kini sudah kuat kembali, lalu bangkit berdiri dan
menghadapi pemuda itu, baru pertama kalinya ia ingin dan dapat melihat
wajah penolongnya karena tadi ia mencurahkan semua perhatiannya untuk
menghimpun hawa murni. Dua pasang mata yang sama tajamnya saling tatap
dan tiba-tiba Kui Eng undur dua langkah dan berseru kaget.
"Kau...!!" Kemudian, tanpa banyak cakap lagi, gadis ini lalu menerjang pemuda itu
kalang kabut, mengerahkan lagi seluruh tenaga yang ada, dan oleh karena itu
serangannya dahsyat sekali.
Pemuda itu bukan lain adalah Tan Ci Kong! Seperti juga semua orang yang
berada di sekitar daerah Kanton, Ci Kong juga mendengar tentang
pengepungan pasukan besar kerajaan terhadap kota Kanton dan diapun
merasa heran dan ingin tahu apa yang terjadi. Ketika mendapat keterangan
bahwa pasukan yang dipimpin oleh Panglima Lin Ce Shu itu adalah utusan
kaisar untuk menyita semua madat, diam-diam dia merasa bersyukur sekali dan
memuji tindakan itu yang dianggap akan menyelamatkan rakyat dari racun
yang amat berbahaya itu. Akan tetapi, Ci Kong melihat pasukan yang dipimpin oleh Ma Cek Lung
keluar dari Kanton. Pasukan yang besarnya seratus limapuluh orang,
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan membalapkan kuda keluar dari kota itu. Hatinya tertarik karena dia mengenal
Ma Cek Lung sebagai perwira tinggi besar gendut yang pernah menyiksa dan
hampir membunuh dia dan ayahnya pada duabelas tahun yang lalu di dalam
rumah Ciu Wan-gwe. Karena hatinya tertarik, maka diapun mengikuti jejak
pasukan ini yang ternyata menuju ke kota Tung-kang.
Pasukan ini mendatangi rumah gedung hartawan Ciu, dan ketika Ci Kong
mendengar bahwa mereka akan menyita madat, diapun tidak mau
mencampuri, bahkan diam-diam merasa girang. Memang hal itu sudah
semestinya sejak dahulu dilakukan pemerintah, pikirnya sambil meninggalkan
Tung-kang karena dia tidak ingin mencampuri. Akan tetapi, dia melihat asap
mengepul dari dalam kota itu. Dia terkejut. Kebakaran" Apakah yang terjadi"
Sudah berjam-jam Ci Kong meninggalkan kota itu dan tidak menduga akan
terjadi kekerasan, karena siapakah yang akan melawan dan menentang
keputusan kaisar" Kebakaran itu menarik hatinya dan diapun cepat
menggunakan ilmu berlari cepat memasuki kota Tung-kang kembali. Makin
terkejut dia ketika mendengar berita di dalam kota itu bahwa rumah gedung
keluarga Ciu Wan-gwe diserbu, dirampok dan dibakar oleh pasukan yang
datang dari Kanton. Dia merasa heran, dan ketika dia cepat datang ke tempat
itu, dia melihat betapa gadis puteri Ciu Wan-gwe yang cantik dan lihai itu
dikeroyok puluhan orang perajurit dan melihat pula banyaknya perajurit yang
tewas dan juga betapa rumah itu terbakar dan banyak pengawal dan pelayan
keluarga itu sudah berserakan menjadi mayat. Maka diapun cepat turun tangan
menyambar tubuh Kui Eng yang setengah pingsan itu dan melarikannya ke luar
kota. "Harap kau tenanglah, nona, karena sekali ini aku tidak memusuhi
siapapun juga. Aku bahkan ikut bersedih melihat hancurnya keluargamu..."
Akan tetapi, Kui Eng tidak pernah merasa kenal kepada pemuda ini yang
hanya diketahuinya pada pagi hari itu mengacau di gedung keluarganya,
dikeroyok oleh para pengawal sampai ia datang dari jalan-jalan pagi dan
menyerang pemuda itu, hanya tahu bahwa pemuda itu, dengan seorang kawan
lain, telah mengacau, bahkan mendatangkan banyak kematian di antara para
pengawal dan anak buah pasukan keamanan kota Tung-kang yang datang
membantu. Tentu saja, melihat pemuda ini, biarpun kenyataannya tadi
menyelamatkannya, ia menduga bahwa tentu ada hubungan antara
penyerangan pemuda ini beberapa hari yang lalu dengan penyerbuan pasukan
sekarang ini. "Manusia busuk, sekaranglah saatnya kita membuat perhitungan!"
bentaknya, dan dengan cepat Kui Eng sudah menyambar sepotong kayu dari
dahan pohon yang berdekatan. Dengan kayu sebagai tongkat di tangannya,
dara inipun menyerang kembali dengan dahsyat.
Melihat betapa sepotong kayu itu kini berobah menjadi sinar kehijauan dan
ujungnya bergetar menjadi banyak sekali menyerang ke arah jalan darah di
bagian depan tubuhnya, Ci Kong kaget bukan main. Inilah serangan maut yang
amat berbahaya, pikirnya, dan cepat dia berloncatan mengelak. Akan tetapi,
gadis itu terus mendesaknya dengan tongkat istimewa itu dan memang gadis
itu telah mengeluarkan ilmunya yang paling hebat yang dipelajarinya dari Teetok, yaitu Cui-beng Hek-pang (Tongkat Hitam Pengejar Nyawa)!
Ci Kong mengenal ilmu tongkat sakti, maka diapun harus mengerahkan
seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk menghadapi lawan yang amat
tangguh ini. Kedua lengannya seperti berobah menjadi baja sehingga setiap
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan kali lengannya menangkis tongkat, Kui Eng merasa betapa lengannya yang
memegang tongkat tergetar. Keduanya mempergunakan ilmu meringankan
tubuh yang sama mahirnya sehingga tubuh mereka lenyap berobah menjadi
bayangan yang berkelebatan di antara sinar tongkat hitam kehijauan yang
mengeluarkan suara mendengung-dengung.
Diam-diam Ci Kong merasa kagum sekali. Ilmu tongkat ini hebat bukan
main dan untung baginya bahwa gadis itu sudah kehilangan banyak tenaga,
andaikata tidak, ia akan terancam bahaya maut karena ilmu tongkat itu aneh
dan sukar dilawan. Andaikata tadi gadis itu menggunakan tongkat, kiranya
akan lebih banyak korban yang roboh di pihak para pengeroyok dan mungkin
tidak perlu dibantunya. Akan tetapi, pemuda ini adalah murid Siauw-bin-hud
dan telah mempelajari banyak ilmu yang tinggi-tinggi, sehingga dia masih
mampu menghindarkan diri dan terpaksa untuk mengimbangi kedahsyatan
serangan gadis itu, diapun kadang-kadang membalas dengan totokan-totokan
untuk menghentikan serangan gadis itu.
Berkali-kali Ci Kong berkata, suaranya tetap sabar dan tenang. Kui Eng
sudah merasa semakin penasaran sekali. Ia telah mempergunakan tongkat dan
telah memainkan Cui-beng Hek-pang, akan tetapi tetap saja ia tidak mampu
mengalahkan pemuda ini, bahkan tenaganya sendiri mulai berkurang lagi dan
napasnya mulai memburu. Ingin ia menangis saking jengkelnya. Ketika untuk
kesekian kalinya pemuda itu mengajak bicara, ia mendapatkan kesempatan
baik untuk beristirahat, untuk menghimpun tenaga baru dan menenangkan
kembali pernapasannya. Maka iapun meloncat ke belakang, memandang tajam
dan berusaha menguasai pernapasannya yang terengah-engah.
"Kau... kau mau bicara apalagi?" katanya ketus.
"Nona, marilah kita bicara dengan baik. Aku mengerti bahwa nona
memusuhi aku karena salah kira saja."
"Huh, aku masih belum buta untuk mengenal engkau sebagai pengacau
yang pernah membikin ribut di rumah keluargaku beberapa hari yang lalu."
Ci Kong mengangguk. "Tidak kusangkal, nona. Akan tetapi, kedatanganku pada waktu itu hanya
untuk mengingatkan Ciu Wan-gwe tentang buruknya pengaruh madat
terhadap rakyat, dan ingin minta kepadanya agar dia menghentikan usaha
pengedaran madat itu. Akan tertapi aku tidak diperkenankan bertemu dengan
Ciu Wan-gwe, bahkan aku dikeroyok."
"Siapa sudi percaya omonganmu" Engkau mengatakan tidak bermaksud
buruk dan hanya mau mengingatkan, akan tetapi engkau membunuh belasan
orang pengawal!" "Menyesal sekali, nona. Akan tetapi bukan aku yang membunuh mereka,
melainkan orang yang datang membantuku..."
"Kawanmu, sekutumu, sama saja!"
"Tidak, aku sama sekali tidak pernah mengenal dia, nona. Dan aku tidak
setuju dengan perbuatannya itu. Nona, kalau memang aku memusuhimu, perlu
apa aku menyelamatkanmu dan membawamu ke luar Tung-kang?"
Sejenak Kui Eng meragu. Benar juga apa yang dikatakan pemuda ini, akan
tetapi ia masih merasa penasaran. Dalam sekejap mata saja ia telah kehilangan
keluarga, harta benda, kehilangan segala-galanya, dan kepada siapa ia akan
menumpahkan kemarahannya" Betapapun juga, pemuda ini pernah berkelahi
melawannya, pernah menjadi musuh keluarganya.
"Maaf, nona. Sungguh aku merasa ikut bersedih melihat nasib
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan keluargamu?" Mendengar ucapan ini, seperti didorong keluar saja air mata dari sepasang
mata yang indah tajam itu. Akan tetapi, Kui Eng mengusap air matanya dengan
ujung lengan baju. "Dulupun engkau tidak kasihan, kini tidak perlu kasihan, engkau pernah
memusuhi kami, sekarangpun tetap musuh!"


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan Kui Eng pun menerjang kembali, kini tenaganya sudah agak pulih dan
napasnya tidak lagi memburu seperti tadi.
"Nona...!" Akan tetapi karena serangan itu memang hebat, Ci Kong terpaksa meloncat
cepat mengelak dan balas menyerang agar gadis itu tidak terus mendesaknya,
karena kalau dia harus mengelak terus terhadap tongkat yang lihai itu, amat
berbahaya. Terjadilah lagi perkelahian yang amat hebat antara dua orang muda
yang lihai itu. Kui Eng menyerang mati-matian dan mengerahkan segala-galanya. Di lain
pihak, Ci Kong melayaninya tanpa maksud mencelakai gadis yang sedang
marah-marah itu. Dia lebih banyak melindungi dirinya dan kadang-kadang saja
dia membalas serangan hanya untuk menahan gelombang serangan lawan.
Dan serangannya hanya berupa totokan-totokan ke arah jalan darah untuk
menghentikan gerakan gadis itu tanpa membahayakan keselamatan gadis itu.
Kui Eng sebagai murid seorang guru yang sakti tentu saja tahu bahwa
pemuda ini banyak mengalah kepadanya, dan hal ini membuatnya semakin
penasaran, walaupun ia juga merasa kagum karena kini ia tahu benar betapa
lihainya pemuda itu dan bahwa kalau pemuda itu juga berniat merobohkannya,
kiranya ia tidak akan dapat bertahan terlalu lama.
Tiba-tiba bermunculan belasan orang yang sikapnya gagah dan seorang di
antara mereka meloncat di antara dua orang yang sedang berkelahi itu sambil
berseru. "Tahan!" Dari gerakan orang itu melerai, baik Kui Eng maupun Ci Kong maklum
bahwa orang inipun lihai sekali, karena goloknya yang menangkis dapat
menahan tongkat Kui Eng sedangkan tangan kirinya menahan lengan Ci Kong,
dan mereka berdua ini merasa betapa orang ini memiliki tenaga yang amat
kuat. Mereka berdua menjadi kaget dan heran, lalu meloncat ke belakang.
Ketika keduanya memandang, ternyata yang melerai itu adalah seorang
pemuda yang gagah perkasa, bertubuh tegap dan kokoh membayangkan
tenaga yang besar. Pemuda ini memegang sebatang golok yang tajam, dan
pakaiannya kasar sederhana, sesuai dengan wajahnya yang membayangkan
kejujuran dan kegagahan. Biarpun pemuda itu membayangkan kegagahan yang menimbulkan
perasaan segan, namun Kui Eng yang galak itu sama sekali tidak merasa
gentar, bahkan ia memandang pemuda itu dengan mata melotot, tidak peduli
bahwa pemuda itu datang bersama belasan orang yang kesemuanya
membayangkan kegagahan para pendekar.
"Mau apa kau mencampuri urusanku" Apakah kau datang mau
membantunya" Kalau begitu majulah, aku tidak takut menghadapi
pengeroyokan kalian semua!"
Dan Kui Eng sudah siap memalangkan tongkatnya di depan dada, siap
menghadapi pengeroyokan, bukan sekedar gertakan saja.
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan PEDANG NAGA KEMALA ( GIOK LIONG KIAM ) Oleh : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Pemuda yang gagah perkasa itu bukan lain adalah Gan Seng Bu! Seperti
kita ketahui, murid Thian-tok ini berpisah dari suhengnya, Ong Siu Coan. Akan
tetapi dalam mengikuti jejak Koan Jit yang melarikan Giok-liong-kiam, diapun
akhirnya tiba di daerah Kanton. Ketika terjadi pengepungan kota Kanton oleh
pasukan kerajaan yang mulai bertindak hendak menumpas perdagangan
madat, Gan Seng Bu menyambutnya dengan gembira sekali. Di daerah Kanton
ini dia bertemu dengan para anggauta Thian-te-hwe atau Thian-te-pang,
sebuah perkumpulan para pendekar yang berjiwa patriot dan anti pemerintah
penjajah Mancu. Bahkan di sini dia bertemu pula dengan suhengnya, Ong Siu
Coan yang telah mendahuluinya dan terkenal di perkumpulan itu sebagai
seorang tokoh yang gagah perkasa! Biarpun dia tidak berambisi seperti
suhengnya, namun Gan Seng Bu berjiwa gagah dan dia merasa cocok dengan
para anggauta Thian-te-pang, maka diapun ikut dengan mereka menuju ke kota
Kanton untuk melihat suasana, dan kalau perlu membantu pasukan pemerintah
untuk menghadapi orang-orang kulit putih. Memang mereka tidak suka kepada
pemerintah Mancu yang dianggap sebagai penjajah yang harus diusir dari
tanah air, akan tetapi sementara ini, kalau menghadapi orang-orang kulit putih
yang lebih asing lagi dan yang jelas merusak dengan perdagangan candu
mereka, mereka akan membantu pihak pemerintah untuk menentang orang
kulit putih lebih dahulu.
"Kami melihat kalian berdua adalah orang-orang yang memiliki kepandaian
tinggi. Dalam keadaan kacau seperti sekarang ini, alangkah sayangnya kalau
kalian yang lihai ini saling serang dan bermusuhan. Tidakkah lebih baik kalau
kalian ikut bersama kami ke Kanton, menyumbangkan tenaga untuk memihak
rakyat, dan menghalau musuh rakyat" Kami adalah orang-orang Thian-tepang
yang selalu berjuang demi rakyat, kaum patriot yang pantang bermusuhan
antara bangsa sendiri."
Kui Eng sudah mendengar akan nama Thian-te-pang ini, maka ia cepat
berkata, "Apakah kalian semua ini pemberontak-pemberontak yang menentang
kekuasaan Ceng?" "Kami adalah pejuang, dan penjajah memang menyebut kami
pemberontak!" bentak seorang di antara para pendekar itu yang merasa tidak
senang mendengar gadis itu menamakan mereka pemberontak.
"Bagus! Kalau begitu, aku akan membantu kalian menghadapi pemerintah
Ceng yang biadab! Baru saja ayah ibuku tewas oleh pasukan pemerintah!" kata
Kui Eng penuh semangat sambil mengepal tinju.
"Akan tetapi, sementara ini yang penting adalah menghalau orang-orang
kulit putih!" kata Gan Seng Bu.
"Merekalah yang merupakan penyakit utama pada saat ini. Nona yang
gagah, kami akan gembira sekali kalau nona suka bergabung dengan kami,
karena kami melihat nona memiliki kepandaian tinggi. Dan bagaimana dengan
engkau sobat?" dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Gan Seng Bu memutar tubuhnya menghadapi Ci Kong. Baru sekarang dia
melihat Ci Kong karena sejak tadi dia berhadapan dengan Kui Eng, dan begitu
bertemu pandang dengan Ci Kong, diapun terkejut.
"Eh" bukankah engkau ini" murid Siauw-bin-hud?"
Semua orang, termasuk Kui Eng, terkejut bukan main mendengar ini. Nama
Siauw-bin-hud adalah nama yang amat dikenal di dunia kang-ouw, apalagi
dengan adanya peristiwa Giok-liong-kiam itu.
Ci Kong sendiri juga sejak tadi sudah teringat siapa pemuda gagah perkasa
ini dan diam-diam dia merasa terheran-heran. Dia tahu bahwa Thian-tok adalah
seorang datuk sesat yang terkenal, seorang di antara Empat Racun Dunia yang
amat jahat. Akan tetapi mengapa dua orang muridnya seperti orang-orang
gagah" Murid yang pertama itu pernah membantunya ketika dia dikeroyok oleh
para pengawal Ciu Wan-gwe dan para pasukan keamanan, dan biarpun murid
yang bernama Ong Siu Coan itu teramat kejam dan menyebar maut, namun
jelas telah membantunya walaupun tahu bahwa dia cucu murid Siauw-bin-hud.
Dan murid kedua dari Thian-tok ini malah bergaul dengan orang-orang Thiante-pang yang terkenal sebagai para pendekar patriot! Maka diapun tidak mau
menyebut nama Thian-tok di depan mereka dan dia hanya menjawab dengan
singkat. "Aku adalah cucu murid beliau."
Seng Bu juga merasa tidak enak bertemu dengan pemuda ini.
Bagaimanapun juga, dia tahu bahwa gurunya adalah seorang datuk sesat dan
hal ini sengaja dia sembunyikan dari para pendekar di Thian-te-pang. Kalau
para pendekar ini tahu bahwa dia adalah murid Thian-tok, agaknya dia tidak
akan diterima sebagai kawan seperjuangan!
"Nah, bagaimana" Kalian berdua adalah orang-orang gagah, apakah mau
menggabungkan diri dengan kami dan pergi ke Kanton?" tanyanya.
Kui Eng sendiri masih termangu memandang kepada Ci Kong yang baru
diketahui bahwa pemuda itu adalah murid atau cucu murid Siauw-bin-hud.
Pantas lihainya bukan main, pikirnya. Mendengar pertanyaan Seng Bu, ia
berkata. "Akan kuingat kalian di Kanton. Akan tetapi sekarang aku masih
mempunyai urusan. Harap kalian berangkat lebih dulu."
"Aku lebih suka menyendiri," kata Ci Kong.
Seng Bu mengangkat pundaknya dan memandang kepada kawankawannya.
"Baiklah, asal kalian berdua jangan saling gebuk sendiri!"
Lalu dia bersama belasan orang kawannya melanjutkan perjalanan mereka
menuju ke Kanton. Ci Kong dan Kui Eng mengikuti bayangan orang-orang
gagah itu dengan hati kagum. Betapapun juga, nama Thian-te-pang atau Thiante-hwe sebagai kumpulan para patriot sudah amat terkenal. Di waktu itu,
perkumpulan pendekar-pendekar yang menentang pemerintah penjajah
dengan gigih, yang paling terkenal adalah Thian-te-pang atau perkumpulan
Bumi Langit, lalu perkumpulan Tombak Merah, Pintu Sorga, Perkumpulan Toakiam (Pedang Besar). Mereka semua mengaku sebagai keturunan perkumpulan
Sorban Kuning, yaitu sebuah perkumpulan pendekar patriot berbangsa hari di
jaman Dinasti hari. "Jadi engkau seorang murid Siauw-bin-hud?"
Kui Eng bertanya sambil menatap wajah Ci Kong. Pemuda itu mengangguk.
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan "Benar, nona, dan namaku Tan Ci Kong."
"Aku adalah puteri tunggal keluarga Ciu, maka tentu engkau dapat
membayangkan betapa sakit hatiku ketika engkau mengacau di rumah kami
dan kini ayah ibuku telah tewas."
Suaranya mengandung isak. Akan tetapi dengan gagah, gadis ini
menahannya. Ci Kong menarik napas panjang.
"Kematian akan datang kepada keluarga manapun juga, nona, dan
kematian bukan urusan kita manusia. Memang menyedihkan, akan tetapi kita
tidak dapat berbuat sesuatu," katanya sederhana, bukan untuk menghibur,
melainkan keluar dari lubuk hatinya karena pada saat itu diapun teringat
bahwa ayah ibunya juga telah tiada.
"Aku... aku harus mengambil jenazah mereka dan menguburnya baik-baik."
"Mari kubantu engkau, nona. Akan tetapi, kita harus masuk secara
menyelundup, karena kalau secara berterang tentu akan menghadapi
kesulitan." Gadis itu sejenak memandang tajam, agaknya merasa heran mendengar
penawaran pemuda itu. Mengambil jenazah dua orang di tempat yang penuh
dengan musuh tidaklah mudah kalau ia lakukan sendirian saja, maka
mendengar penawaran itu, ia mengangguk dan keduanya lalu berlari kembali
ke Tung-kang. Untunglah bagi mereka bahwa pasukan yang dipimpin Ma Cek Lung itu
ternyata telah kembali ke markas pasukan keamanan Tung-kang untuk
mengurus anggauta pasukan yang tewas dan luka-luka, sehingga di tempat
tinggal keluarga Ciu itu tidak nampak lagi pasukan. Gedung itu masih terbakar
sebagian, dan para tetangga yang melihat munculnya Kui Eng, segera datang
membantu. Kui Eng berhasil menemukan mayat ayah ibunya. Air matanya
bercucuran akan tetapi ia tidak terisak. Bahkan dengan cepat ia lalu
mengumpulkan tetangga dan minta pertolongan mereka untuk mengurus
mayat para pelayan dan pengawal yang tewas. Kepada para tetangga itu ia
berkata dengan suara sedih.
"Harap kalian suka menolongku, mengubur semua jenazah ini, dan semua
barang yang masih ada di rumah ini boleh kalian pakai untuk biaya."
Setelah berkata demikian, gadis ini dibantu oleh Ci Kong lalu membawa
dua jenazah keluar kota. Tentu saja mereka harus cepat-cepat pergi membawa
dua jenazah itu karena kehadiran mereka tentu akan segera diketahui, dan
mereka tidak ingin menghadapi kesulitan dalam usaha mereka mengubur
jenazah Ciu Lok Tai dan isterinya.
Jauh di luar kota Tung-kang, di kaki sebuah bukit yang sunyi, Kui Eng
memilih sebuah tempat untuk mengubur jenazah ayah ibunya, dibantu oleh Ci
Kong yang melakukan semua itu tanpa banyak kata. Diapun hanya memandang
saja ketika gadis itu berlutut di depan kuburan sederhana itu. Akhirnya Kui Eng
bangkit berdiri dan menghadapi Ci Kong, lalu menjura.
"Saudara TanCi Kong, engkau sungguh telah menolongku dan aku tidak
akan melupakan budi kebaikanmu ini. Terima kasih banyak."
"Tidak perlu berterima kasih, sudah sepatutnya kalau hidup di dunia ini
tolong menolong antara manusia," jawab Ci Kong dengan Sikap sederhana.
"Akan tetapi, engkau seorang pendekar Siauw-lim-pai, engkau pernah
hendak menegur mendiang ayahku yang menjadi pedagang madat. Akan
tetapi, kenapa kemudian engkau yang pernah kuserang dan kukeroyok, malah
sebaliknya menyelamatkan aku dari pengeroyokan pasukan itu, dan bahkan
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan menolongku mengubur jenazah ayah ibuku" Mengapa?"
Ci Kong tersenyum. "Nona..." Dia meragu karena belum mengenal nama gadis itu.
"Namaku Kui Eng, Ciu Kui Eng."
"Nona Kui Eng, apa yang kulakukan itu tidak ada artinya karena kalau dulu
engkau tidak menolongku, agaknya aku tidak akan dapat hidup sampai
sekarang ini." "Menolongmu" Aku tidak merasa pernah menolongmu..."
"Tentu kau sudah lupa, nona. Terjadi kurang lebih duabelas tahun yang lalu
ketika kita masih kecil. Kalau tidak engkau turun tangan mencegah, tentu aku
dan ayahku waktu itu telah tewas di tangan Ma-ciangkun."
Kui Eng mengerutkan alisnya, masih juga belum ingat.
"Siapakah ayahmu?"
"Mendiang ayahku adalah Tan Siucai..."
"Ahhh!" Mata yang indah itu terbelalak dan sejenak gadis itu menatap wajah Ci
Kong penuh perhatian, lalu sinar matanya membayangkan kekaguman ketika
ia teringat akan Tan Siucai yang namanya kemudian dikenal sebagai seorang
patriot yang gagah perkasa, walaupun dia seorang sasterawan yang lemah
tubuhnya. "Kiranya engkaukah anak laki-laki itu" Teringat aku sekarang. Engkau
minta-minta ampun dan aku mencelamu."
"Benar, aku mintakan ampun untuk ayahku, bukan untuk diriku."
"Aku mengerti. Ah, ayahmu seorang gagah perkasa, aku kagum sekali,
sedangkan ayahku... ayahku..."
Kui Eng pernah ribut-ribut dengan ayahnya ketika dulu ia mendengar akan
nasib Tan Siucai yang dikaguminya. Nampaklah olehnya sekarang betapa
ayahnya adalah orang yang hanya mementingkan harta saja, hanya pandai
mencari harta dan juga tidak segansegan melakukan hal-hal yang buruk.
"Sudahlah, nona. Orang tua kita sudah tiada, tak perlu dibicarakan lagi.
Sekarang, setelah engkau kehilangan keluargamu, apa yang akan kaulakukan
selanjutnya?" Ci Kong bertanya dengan suara penuh iba, lupa bahwa dia sendiripun
hidup sebatangkara. "Engkau sudah tidak mempunyai tempat tinggal, hidup seorang diri..."
"Keluarga ayah berada di Kanton. Aku adalah anak tunggal, ibuku isteri ke
tiga. Aku masih mempunyai ibu-ibu tiri di Kanton... akan tetapi... aku tidak akan
tinggal diam sebelum dapat kubunuh jahanam Ma Cek Lung itu. Setelah itu,
mungkin aku akan mengabungkan diri dengan orang-orang Thian-te-pang. Dan
engkau sendiri, saudara Ci Kong" Apakah engkau juga akan bergabung dengan
mereka?" Ci Kong menggeleng kepala.
"Aku tidak akan melibatkan diri dalam pemberontakan, nona" walaupun
aku mengerti betapa mulia cita-cita mereka yang hendak membebaskan tanah
air dari cengkeraman penjajah. Aku lebih suka menyendiri."
"Baiklah, kalau begitu kita berpisah di sini. Aku akan menyelundup ke
Kanton. Sekali lagi terima kasih dan mudah-mudahan kita akan dapat bertemu
kembali!" Kui Eng berkata dan gadis ini lalu membalikkan tubuhnya dan berlari cepat
menuju ke Kanton. dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan "Mudah-mudahan..."


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ci Kong mengguman sambil mengikuti bayangan gadis itu dengan
pandang matanya. Ada keharuan aneh menyelinap di dalam hatinya. Gadis itu
manis sekali, amat menarik dan juga amat gagah perkasa. Kasihan sekali gadis
itu bernasib demikian malang. Biarpun ayah gadis itu bukan seorang yang baik,
akan tetapi agaknya gadis itu tidak memiliki sifat ayahnya, bahkan memiliki
kegagahan. Ah, kenapa dia tidak menanyakan siapa guru gadis itu" Ilmu
silatnya demikian tinggi, apalagi ilmu tongkatnya. Hebat! Tentu gurunya
seorang yang sakti. Setelah bayangan Kui Eng tidak nampak lagi, Ci Kong menarik napas
panjang dan melanjutkan perjalanannya. Tanpa disengaja, kakinya juga
bergerak menuju ke Kanton dimana dia mendengar terjadi hal-hal penting,
yaitu pengepungan kota oleh pasukan pemerintah yang hendak menentang
dan menghentikan perdagangan madat yang bersumber di Kanton.
-------Memang terjadi hal-hal penting di Kanton. Panglima Lin Ce Shu
mengepung dan menahan kota Kanton selama enam minggu, dan setiap hari
dilakukan penggeledahan dan penyitaan madat di seluruh kota. Kapten Charles
Elliot yang memimpin perkumpulan English East India Company dan
mengepalai semua pedagang, bahkan menjadi wakil pemerintahnya,
menghadapi pukulan besar sekali. Segala usaha telah dilakukannya, dengan
jalan melakukan bujukan dan penyogokan. Namun, Panglima Lin Ce Shu tidak
bergeming dalam tugasnya, tidak dapat dibujuk sama sekali! Dan akhirnya,
secara terpaksa sekali kapten itu menyerahkan semua madat yang dimiliki para
pedagang kulit putih. Lebih dari duapuluh ribu peti madat murni disita dari
orang-orang kulit putih ini, dan seluruh madat yang disita oleh pasukan Lin Ce
Shu berjumlah mendekati satu juta kilogram!
Tumpukan-tumpukan peti madat yang amat besar jumlahnya ini oleh
Panglima Lin Ce Shu lalu dibakar di depan umum, sehingga menimbulkan api
besar bernyala-nyala dan bau yang menyengat hidung seluruh penduduk
Kanton! Bahkan dalam kesempatan ini, Lin Ce Shu mengundang para pemuka
orang kulit putih seperti Kapten Charles Elliot, Opsir Hellway dan lain-lain
untuk datang menyaksikan "kembang api" luar biasa itu.
Mula-mula para pemuka orang kulit putih itu tidak tahu mengapa Panglima
Lin yang mengadakan penyitaan madat itu mengundang mereka untuk makan
malam dan berpesta. Mereka mengira bahwa tentu panglima itu merasa tidak
enak hati dan kini menebus peristiwa itu dengan sikap lunak dan
penghormatan dalam pesta. Walaupun hati mereka merasa mendongkol sekali
karena peristiwa penyitaan madat itu mendatangkan kerugian yang tak
terhitung besarnya, namun mereka datang pula dengan pakaian indah
gemerlapan. Opsir Hellway datang bersama isterinya, dan Sheila juga ikut.
Gadis ini nampak cantik jelita dengan gaun berwarna kuning emas itu
berkilauan tertimpa sinar lampu warna-warni yang menerangi ruangan di atas
benteng itu. Ternyata para pembesar sipil dan militer berkumpul di situ. Wajah-wajah
tegang meliputi tempat itu karena bagaimanapun juga, peristiwa penyitaan
madat itu mendatangkan kerugian yang bukan sedikit pula bagi beberapa
orang pembesar yang tadinya menjadi pelindung para pedagang asing itu. Kini,
para pembesar yang tadinya menjadi sahabat-sahabat baik kapten Charles
Elliot dan anak buahnya, kini hanya dapat saling bertukar pandang dengan
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan orang-orang kulit putih itu dengan muka yang suram dan pandang mata layu
dicekam ketegangan. Akan tetapi, Panglima Lin Ce Shu melalui wakil dan juru bahasanya
menyambut para tamu asing itu dengan ramah, dan mereka semua
dipersilahkan duduk dan dijamu dengan meriah. Setelah mereka kenyang
makan minum, Lin Ce Shu bangkit dari kursinya dan melalui seorang
penterjemah dia berkata. "Malam yang baik ini akan kami isi dengan pertunjukan indah bagi para
tamu, terutama sekali para tamu bangsa asing yang malam ini berkumpul di
sini memenuhi undangan kami. Kami persilahkan untuk menikmati keindahan
kembang api istimewa!"
Panglima itu memberi isyarat dan tirai-tirai kain yang tadinya tertutup di
depan jendela-jendela itupun dibuka. Nampak oleh orang-orang berkulit putih
itu, jauh di luar terdapat tumpukan peti-peti candu dan perajurit-perajurit yang
sudah siap dengan obor di tangan. Panglima Lin Ci Shu memberi isyarat
dengan tangan dan mulailah para perajurit membakar tumpukan candu yang
puluhan ribu peti jumlahnya itu!
Wajah orang-orang berkulit putih itu menjadi pucat ketika sinar api yang
amat terang menimpa mereka. Mereka terbelalak. Sheila menahan pekik karena
merasa ngeri ketika mencium bau candu dibakar, napasnya menjadi sesak dan
cepat ia berlindung di belakang ayahnya yang merangkulnya. Opsir Hellway
mengepal tinju. "Terkutuk...!" Dia menyumpah perlahan. Tak disangkanya bahwa mereka
semua akan disuguhi tontonan yang menusuk perasaan itu.
Setelah para tamu dipersilahkan duduk kembali, dengan resmi Lin Ce Shu
mengumumkan bahwa mulai hari itu, dilarang keras memasukkan candu ke
Kanton. Semua kapal akan diperiksa dan siapa yang melanggar akan dijatuhi
hukuman. Orang-orang asing, kalau kedapatan menyelundupkan candu, akan
diusir dan semua harta bendanya disita, juga kapal yang membawa candu akan
disita. Setelah mendengar peringatan keras ini, orang-orang kulit putih itu tentu
saja merasa tidak enak untuk duduk di situ lebih lama lagi. Kapten Charles
Elliot lalu pamit dan para tamu asing itu meninggalkan tempat itu dengan
wajah muram. Mereka semua merasa seperti menerima tanparan keras, selain
dirugikan, juga mendapatkan malu dan ancaman. Masa depan mereka menjadi
suram. Kalau tidak boleh memasukkan madat, berarti mereka kehilangan mata
pencarian yang amat menguntungkan!
Sepulang mereka dari pesta itu, para pedagang lalu berkumpul di rumah
Kapten Elliot dan mereka berunding. Dengan nada kesal dan marah sekali, para
pedagang itu menyatakan protes mereka dan menuntut agar Kapten Elliot tidak
mendiamkan saja penghinaan dari pemerintah Ceng itu. Akhirnya Kapten
Elliot, setelah melalui perdebatan dan perundingan yang panas, menyanggupi.
"Demi kehormatan bangsa dan pemerintah kita, demi kelangsungan
kehidupan dan perdagangan kita, demi keamanan kita di negeri ini, aku akan
membuat pelaporan kepada pemerintah kita dan minta bantuan pasukan agar
kita dapat membuat pembalasan," demikian katanya.
Kemudian Kapten Charles Elliot menganjurkan agar mereka semua bersiapsiap untuk meninggalkan Kanton dengan kapal-kapal yang disediakan.
Sebelum datang bala bantuan, mereka dianjurkan tenang-tenang dan diamdiam saja dulu. Kalau pasukan bala bantuan sudah datang, sebelum pasukan
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan itu bertindak, mereka akan diberitahu untuk meninggalkan Kanton dan
mengungsi ke kapal yang akan menyelamatkan mereka.
Akan tetapi, di antara orang-orang kulit putih ada yang pemabokan, dan
beberapa hari kemudian, dalam keadaan mabok diapun mengoceh dan
membual di luaran bahwa pasukan Inggeris akan datang dan menyerbu kota
Kanton untuk memberi hukuman atas perlakuan yang diberikan pemerintah
terhadap orang-orang Inggeris pada malam hari itu. Ada yang mendengar
obrolan ini dan tentu saja berita itu didesas-desuskan orang.
Pada waktu itu, terdapat banyak perkumpulan pendekar yang anti orang
kulit putih yang menyebarkan madat itu. Ada pula perkumpulan pendekar yang
hanya anti pemerintah Ceng sebagai pemerintah penjajah Mancu. Di antara
golongan kedua ini adalah perkumpulan Thian-te-pang. Perkumpulan ini hanya
anti pemerintah Mancu. Walaupun mereka juga tidak suka melihat orang kulit
putih menyebar madat, namun mendengar desas-desus bahwa pasukan
Inggeris akan menyerbu Kanton dan memusuhi pemerintah Ceng, diam-diam
mereka merasa senang. Penyerbuan pasukan asing itu akan mereka terima
dengan baik, karena membuka kesempatan bagi mereka untuk melemahkan
kekuatan pemerintah penjajah Mancu.
Akan tetapi, para pendekar yang tergolong anti kulit putih, mendengar
desas-desus itu, menjadi marah sekali kepada orang-orang asing. Dan
beberapa hari sebelum pasukan Inggeris tiba, meledaklah ketegangan yang
terasa makin panas di Kanton. Dimulai dari pertengkaran antara seorang kulit
putih setengah mabok dengan seorang pecandu yang ketagihan dan dalam
keadaan setengah sadar pecandu ini mendatangi orang kulit putih itu dan
nekat minta diberi madat. Orang kulit putih setengah mabok itu marah-marah
dan memaki-maki, lalu terjadi perkelahian yang menjalar menjadi kerusuhan
ketika golongan anti kulit putih menyerbu dan mengeroyok si pemabok dan
beberapa orang kawannya. Pasukan penjaga keamanan cepat bertindak karena para pembesar tidak
menghendaki terjadinya kerusuhan itu. Orang-orang kulit putih menjadi panik,
apalagi ketika mendengar bahwa pemerintah mereka telah mengirim armada
yang kuat untuk menyelamatkan mereka dan menggempur Kanton! Mulailah
terjadi pengungsian besar-besaran menuju ke pelabuhan dimana terdapat
kapal-kapal mereka. Karena gerakan pengungsian ini, maka golongan anti kulit putih mulai
bergerak menyerang mereka yang berusaha melarikan diri. Tentu saja orangorang kulit putih ini melakukan perlawanan dan mereka itu rata-rata memiliki
senjata api, sehingga terjatuh pula korban di antara para pendekar yang
membenci mereka. Hal ini membuat perkelahian menjadi-jadi. Pasukan
keamanan yang repot! Karena orang-orang kulit putih itu tidak melawan
pemerintah, maka kewajiban pemerintah untuk melindungi mereka selama
mereka masih berada di daratan. Lebih menggegerkan lagi ketika golongan
pendekar yang menentang pemerintah Mancu, mempergunakan kesempatan
selagi terjadi keributan itu untuk mengacau dan menyerang pasukan
keamanan pemerintah sendiri! Golongan ini bahkan ada yang melindungi
orang-orang kulit putih karena mereka ini sengaja hendak mengadu domba
antara pemerintah penjajah dan orang-orang kulit putih dalam usaha mereka
menumbangkan kekuasaan penjajah dari tanah air.
Pertempuran kecil-kecilan yang kacau balau terjadi, dan penduduk yang
tidak mau ikut-ikut dalam perkelahian-perkelahian itulah yang menjadi panik
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan dan banyak pula yang lari mengungsi meninggalkan Kanton. Hal ini membuat
suasana menjadi semakin gaduh dan kacau balau. Dan sudah biasa bahwa
setiap kali sebuah kota mengalami kekacauan dan penjaga keamanan tidak
mampu mengatasi keadaan, maka para penjahatpun keluar semua, merajalela
mempergunakan kesempatan ini untuk mencari keuntungan seenaknya dan
semudahnya. Perampokan terjadi dimana-mana terhadap para pengungsi atau
pencurian terhadap rumah-rumah yang ditinggalkan.
Opsir Hellway tentu saja tidak mau tinggal diam melihat keadaan yang
gawat itu. Pagi-pagi sekali dia bersama isteri dan puterinya, berkendaraan
kereta meninggalkan rumah mereka untuk melarikan diri ke kapal, dikawal oleh
belasan orang pengawal kulit putih dan Bangsa India yang membawa senapan.
Sheila dan ibunya duduk di dalam kereta itu, sedangkan opsir Hellway dan para
pengawal berjaga di luar kereta. Barang-barang berharga beberapa buah peti
penuh berada dalam kereta itu pula.
Dari dalam kereta, Sheila mengintai melalui jendela kereta dan wajah gadis
ini agak pucat. Peristiwa berdarah yang terjadi di kota Kanton itu sungguh
mengguncang batinnya dan menusuk perasaannya yang lembut. Ia tidak suka
akan kekerasan dan kini terjadi kekerasan dimana-mana. Ia mendengar tentang
perkelahian-perkelahian, dimana banyak orang kulit putih menjadi korban
pembantaian, akan tetapi lebih banyak lagi penyerbu-penyerbu yang tewas
disambar peluru senjata-senjata api orang kulit putih.
Permusuhan yang terjadi tiba-tiba ini, kebencian yang memancar dari
pandang mata para penduduk, membuat ia terkejut dan ketakutan. Tak
disangkanya akan menjadi begini buruk hubungan antara bangsanya dan
pribumi. Dan di lubuk hatinya ia menyalahkan semua ini kepada bangsanya
sendiri. Pembakaran madat yang amat banyak itu, yang menjadi awal
kekacauan ini, keributan dan perkelahian, semua ini menjadi akibat dari pada
sebab, dan sebabnya terletak pada bangsanya sendiri. Kalau bangsanya tidak
memperdagangkan madat, kalau bangsanya tidak hanya memikirkan
keuntungan, dan berhubungan dengan bangsa pribumi sebagai sahabatsahabat sejati yang bekerja sama atas dasar saling menguntungkan, pasti tidak
akan terjadi kekacauan dan pembunuhan-pembunuhan itu.
Dari balik tirai jendela kereta, Sheila melihat asap dimana-mana, tanda
bahwa ada rumah-rumah yang terbakar. Dan banyak orang lalu lalang,
pengungsi-pengungsi yang membawa buntalan, menggendong atau
menggandeng anak, wajah-wajah yang ketakutan, kebingungan.
Tiba-tiba terdengar letusan-letusan senjata api dan Sheila melihat banyak
pria membawa senjata tombak, pedang atau golok, bergerak cepat
berkelebatan di luar kereta!
"Cepp...!" Sebatang anak panah menancap di dekat jendela kereta. Sheila cepat
menarik dirinya ke dalam kereta.
"Sheila, cepat tutup jendela itu dan berlindung. Jaga ibumu! Kereta kita
diserang penjahat!" Terdengar bentakan ayahnya.
"Ohhh... Tuhan, lindungi kami...!" Ibunya menjerit lirih dan menangis.
"Ibu, tenanglah...!" Sheila merangkul ibunya.
Akan tetapi ia sendiri kehilangan ketenangannya ketika suara tembakan
semakin gencardan teriakan-teriakan para pengepung, mereka yang kena
tembak atau terkena anak panah.
Karena ingin sekali mengetahui keadaan mereka, Sheila mengintai lagi.
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Kereta mereka masih berjalan, akan tetapi tiba-tiba kereta terguncangguncang dan akhirnya berhenti dan miring karena roda sebelah kiri terperosok
ke dalam selokan! Alangkah kagetnya melihat bahwa kini yang mengawal
mereka tinggal lima orang lagi yang masih sibuk menembakkan senapan ke
kanan kiri, dan ia menahan jeritnya ketika melihat ayahnya terhuyung dan
menghampiri kereta dengan dada tertancap anak panah. Ayahnya hampir
roboh, bersandar kereta. Sheila maklum akan bahaya yang mengancam mereka. Ibunya sudah
hampir pingsan melihat suaminya berlumuran darah, maka Sheila lalu setengah
menyeretnya keluar dari kereta.
Anak panah masih menyambar-nyambar ganas. Kiranya terjadi
pertempuran antara pistol senapan melawan anak panah dari para penyerbu
yang kini menyerang dengan anak panah sambil bersembunyi di balik pintupintu gerbang, pohon-pohon dan semak-semak. Lima orang pengawal itu
melawan mati-matian setelah beberapa orang kawan mereka tadi roboh oleh
anak panah. Dan kini karena kereta terperosok, mereka melawan sambil
berlindung pada kereta. "Dor-dor-dorrr...!"
Kembali Opsir Hellway menembak secara beruntun dan dua orang
penyerbu terpekik dan terjungkal.
"Sheila, cepat...!" Teriaknya.
Ibu Sheila menjerit dan tidak mau meninggalkan suaminya, akan tetapi
Sheila memaksa ibunya dan menarik tangan ibunya.
"Sheila... aughhh...!"
Opsir Hellway tidak dapat melanjutkan katakatanya karena dia sudah
terpelanting roboh karena kehabisan banyak darah.
Nyonya Hellway menjerit dan berlari kembali menghampiri suaminya
setelah berhasil melepaskan rangkulan puterinya. Ia menubruk suaminya dan
pada saat itu, sebatang anak panah menyambar dan menembus leher nyonya
itu. Ia mengeluarkan suara aneh dan terkulai di atas mayat suaminya.
"Mama...! Papa...!" Sheila menjerit.
"Nona Sheila, larilah ke pantai...!"
Seorang pengawal berseru ketika melihat gadis itu hendak kembali ke
kereta melihat ayah bundanya roboh. Mendengar ini, Sheila maklum bahwa
kembali ke kereta berarti bunuh diri. Biarpun hatinya merasa berat sekali untuk
meninggalkan orang tuanya yang tewas, namun ia tahu bahwa saat itu yang
terpenting adalah melarikan diri sampai ke kapal dengan selamat, maka sambil
menahan tangisnya yang mengguguk, ia lari meninggalkan tempat itu. Pantai
tidak jauh lagi, dan banyak orang berbondong lari ke jurusan itu.
Akan tetapi, belum jauh ia lari meninggalkan kereta keluarganya yang
rebah miring ditepi jalan, tiba-tiba saja muncul tiga orang laki-laki yang tinggi
besar, tiga orang yang memegang golok dan yang memandangnya dengan
menyeringai. Seorang di antara mereka, yang mukanya bopeng segera tertawa
bergelak. Dengan tubuh gemetar gadis itu berkata.
"Ahh... harap jangan ganggu aku. Biarkan aku pergi..."


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seorang di antara mereka yang matanya kemerahan mengelebatkan
goloknya yang berkilauan saking tajamnya itu ke depan Sheila, sehingga gadis
itu terbelalak dan mukanya pucat, melangkah mundur.
"Kita bunuh saja noni ini, biar kusayat-sayat kulitnya, kupotong sedikit
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan demi sedikit!" "Aih, sayang kalau dibunuh begitu saja. Lihat begitu montok kelinci ini!"
kata orang ketiga. "Benar, tidak boleh dibunuh begitu saja. Terlalu enak baginya. Kita
permainkan dulu sepuasnya. Heh-heh, sejak kemarin kita kelelahan berkelahi,
biar hari ini kita bersenang-senang dan mengaso," kata si muka bopeng yang
agaknya menjadi pemimpin mereka.
Tiba-tiba saja si muka bopeng menerjang ke depan dan tangan kirinya
tahu-tahu sudah mencengkeram lengan tangan kanan Sheila. Gadis ini terkejut
dan meronta, berusaha melepaskan tangannya, akan tetapi cengkeraman itu
kuat sekali sehingga rontaannya hanya membikin pergelangan tangannya
terasa nyeri. "Lepaskan aku, ahh, lepaskan aku...!"
Gadis itu menjerit-jerit, akan tetapi sambil tertawa-tawa, tiga orang itu kini
menangkap kedua tangannya dan si muka buruk menyeretnya ke dalam sebuah
bekas rumah orang kulit putih yang sudah hancur dan sebagian sudah terbakar
habis. Setelah tiba di ruangan dalam yang penuh dengan bekas-bekas porak
poranda, Sheila yang maklum bahwa dirinya terancam malapetaka hebat,
meronta-ronta sekuat tenaga. Karena tidak menyangka-nyangka, Sheila dapat
melepaskan diri dan lari. Akan tetapi, baru saja dara itu lari sampai di samping
bekas gedung itu, si muka bopeng sudah berhasil menubruknya dari belakang
sehingga gadis itupun terguling di atas rumput. Akan tetapi ia menyepaknyepak dan meronta-ronta. Dalam pergulatan ini, gaunnya terobek sehingga
nampak pahanya yang berkulit putih. Melihat ini, si muka bopeng menjadi
semakin liar. "Pegang tangan dan kakinya, biar aku dulu baru kalian nanti!"
Katanya terengah-engah, karena Sheila memang bertenaga besar dan gadis
ini melawan sekuat tenaga dan mati-matian. Akan tetapi kini, dua orang pria
memegangi kaki dan tangannya sehingga ia tidak mampu lagi meronta, hanya
menggerak-gerakkan pinggul dan kepalanya saja sambil menjerit-jerit. Si muka
bopeng terkekeh dan menubruk.
"Dessss...!" Sebuah tendangan yang amat keras dari samping mengenai pangkal paha
si muka bopeng dan tubuhnya terlempar dan terguling-guling. Dua orang
kawannya terkejut dan marahlah mereka ketika melihat bahwa yang
menendang kawan mereka itu adalah seorang laki-laki yang berpakaian
sederhana dan memakai topi bambu sederhana dan lebar. Laki-laki ini
tubuhnya sedang saja, akan tetapi nampak kokoh kuat. Bajunya terbuka di
bagian dada, memperlihatkan dada bidang yang ditumbuhi bulu halus. Dari
pakaian yang ketat dan ringkas itu, membayang otot-otot lengan dan kakinya.
Seorang pria yang nampak kuat sekali, berwajah sederhana namun gagah dan
sinar matanya tajam dan jernih penuh kejujuran dan keterbukaan, juga
keberanian. Si muka bopeng juga sudah bangkit berdiri, mukanya merah, matanya
melotot dan dia menyambar goloknya yang tadi diletakkan di atas tanag ketika
akan memperkosa Sheila. "Jahanam keparat!" bentaknya marah sambil mengelebatkan goloknya.
"Siapakah anjing yang tak tahu diri, berani sekali menentang kami Tunghai Sam-liong (Tiga Naga Laut Timur)?"
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Pemuda itu adalah Gan Seng Bu. Mendengar julukan yang amat muluk dan
besar itu, dia menahan senyum. Sebagai seorang yang selama ini aktip dalam
pergerakan menentang pemerintah penjajah, tentu saja dia mengenal tokohtokoh di sekitar Kanton. Dan tidak ada golongan pendekar atau tokoh sesat
sekalipun di daerah ini yang memiliki julukan seperti itu. Hal ini hanya
menunjukkan bahwa tiga orang ini hanyalah bajingan-bajingan kecil yang suka
memakai nama-nama besar, akan tetapi tetap saja nama itu tidak terkenal
karena tindakan-tindakan mereka hanyalah kejahatan-kejahatan kecil dan
rendah saja, sehingga nama julukan itupun tidak dihiraukan orang.
Banyak sekali terdapat penjahat-penjahat kecil seperti ini, segala tukang
copet, maling dan rampok kecil saja menggunakan nama-nama julukan yang
setinggi langit. Akan tetapi kegelian hatinya melihat lagak mereka dan
mendengar julukan mereka tidak mengusir rasa muak dan marah dari dalam
lubuk hati Seng Bu. Dia memang murid seorang datuk sesat yang teramat jahat
seperti Thia-tok itu, akan tetapi di dalam dadanya terkandung api kegagahan
yang membuat dia muak melihat tiga orang pria yang kuat hendak memperkosa
seorang gadis, walaupun gadis kulit putih sekalipun. Bagi orang-orang yang
berjiwa gagah, tidak ada kejahatan yang lebih hina dan rendah dari pada
kejahatan pria memperkosa atau menghina wanita dengan kekerasan.
"Kalian berjuluk naga akan tetapi perbuatan kalian lebih hina dari pada tiga
ekor cacing busuk!" Seng Bu memaki.
Belum habis kata-katanya, si bopeng sudah menyerang dengan goloknya,
menggerakkan golok itu yang menyambar dahsyat ke arah leher Seng Bu,
disusul oleh dua orang kawannya yang juga sudah menggerakkan golok
menyerang pemuda itu. Melihat ini, Sheila terkejut dan merasa ngeri. Gadis ini
tadi cepat bangkit duduk setelah tiga orang yang hendak memperkosanya itu
melepaskannya dan ia kini berdiri di sudut dengan wajah pucat. Melihat betapa
tiga orang laki-laki jahat itu kini menggerakkan golok yang tajam menyerang
pemuda gagah yang menolongnya, Sheila tak dapat menahan dirinya berseru
nyaring. "Jangan bunuh dia! Ah, jangan"!"
Akan tetapi teriakannya segera terhenti dan memandang terbelalak. Ia
hampir tidak dapat percaya akan pandangannya sendiri. Pemuda yang
menolongnya itu diserang oleh tiga orang lawannya, dengan golok tajam dan
tiga batang golok itu menyambar-nyambar ganas. Agaknya sudah tidak
mungkin lagi pemuda itu akan dapat menyelamatkan diri dari serangan tiga
orang pengeroyoknya. Akan tetapi, secara aneh sekali Sheila melihat betapa pemuda itu, kini topi
bambunya terlepas dari kepala dan tergantung dengan tali ke punggungnya,
berloncatan seperti seekor burung saja, menyelinap di antara sinar golok, dan
begitu pemuda itu menggerakkan kaki tangannya, terdengar teriakan-teriakan
keras dan tiga orang penjahat itu tahu-tahu sudah terlempar ke kanan kiri dan
terbanting roboh tak mampu bangkit kembali! Entah mati entah hidup, akan
tetapi jelas bahwa mereka bertiga itu diam tak bergerak-gerak walaupun tidak
nampak ada luka di tubuh mereka. Pemuda gagah perkasa itu menyambar
sebatang golok yang terlepas dari tangan pemiliknya.
Sheila tidak mengenal pemuda itu dan tidak tahu orang macam apa adanya
pemuda itu. Melihat betapa pemuda itu merobohkan tiga orang pengeroyoknya
dan kini memegang golok, hatinya menjadi ngeri dan tanpa banyak cakap lagi,
ia lalu menggerakkan kakinya dan lari pontang-panting. Robeknya gaun bagian
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan depan sebatas paha itu malah menguntungkan baginya, karena ia dapat berlari
kencang dengan langkah lebar. Karena kebingungan dan ketakutan, Sheila
malah lari kembali ke arah kereta. Melihat tubuh ayah ibunya yang masih
menggeletak di dekat kereta, Sheila menjerit dan lupalah ia akan rasa takutnya.
Ia lalu lari menghampiri mayat-mayat itu dan menubruk mayat ibunya,
menangis mengguguk. "Ibu... bawalah aku... bawalah aku...!" Tangisnya.
Tiba-tiba sebuah tangan yang amat kuat menangkap pergelangan lengan
kanannya, dan Sheila seketika menghentikan tangisnya. Tubuhnya tiba-tiba
ditarik ke atas dan ia terpaksa bangkit berdiri. Dengan air mata berlinang dan
muka pucat sekali, ia menatap wajah orang yang menariknya. Tasa takutnya
berkurang ketika ia melihat bahwa yang menariknya bangun dan kini
memegang lengan kirinya itu bukan lain adalah pemuda yang tadi merobohkan
tiga orang jahat itu. Sheila terbelalak menatap wajah pria itu, wajah yang gagah sekali akan
tetapi yang pada saat itu diliputi kekerasan, kejantanan yang mengagumkan
akan tetapi juga mengerikan. Apalagi melihat tangan pria ini memegang
sebatang golok yang demikian tajam dan runcing.
"Le... lepaskan aku..." kata Sheila lirih dan memelas.
Pria itu mengendurkan pegangannya, agaknya rasa halus dan lunak dan
hangat dari lengan yang dipegangnya itu mengejutkan dan membuatnya risi.
Akan tetapi dia tidak melepaskan pegangannya.
"Tidak...! Tidak... aku ingin bersama ayah ibuku...!" Ia menengok kembali
ke arah dua buah mayat di dekat kereta.
"Nona, jangan bodoh. Mereka itu sudah tewas dan engkau masih hidup.
Mari kita pergi dari sini, cepat...!"
Seng Bu lalu menarik lengan gadis itu. Sheila meronta dan
mempertahankan, akan tetapi ia merasa betapa tenaga pemuda itu luar biasa
kuatnya. Ia tetap mogok sehingga tubuhnya terseret sampai berada di sisi lain
dari kereta yang miring itu, dan kini mayat ayah ibunya yang berada di balik
kereta tidak nampak lagi. Seng Bu berhenti menyeret dan membalik sambil
menghardik gadis itu. "Apakah engkau ingin mati tinggal di sini?"
Dibentak secara kasar begitu, Sheila menjadi tersinggung dan timbul
kemarahannya. Ia menentang pandang mata pemuda itu dengan sepasang
matanya yang jeli akan tetapi yang pada saat itu basah dengan air mata.
Sejenak mereka saling tatap dan terpaksa Seng Bu menundukkan pandang
matanya, tidak tahan melawan lebih lama. Jantungnya berdebar tegang. Sudah
sering dia melihat wanita kulit putih, walaupun dari jarak jauh. Baru sekarang
dia berdekatan, bahkan memegang lengannya yang halus lunak dan hangat.
Dari dekat, nampak jelas sekali rambut itu.
Rambut yang seperti benang emas, yang pernah membuat dia bergidik
ketika melihat untuk pertama kalinya. Tak pernah dia dapat membayangkan
bagaimana rambut kepala tidak hitam atau putih beruban, melainkan kuning
emas! Dan mata itu. Begitu lebar dan indah, dengan manik mata bukan hitam
putih, melainkan biru dan kelihatan dalam seperti lautan biru! Dan kulit yang
putih sekali itu, tiada cacat sedikitpun, tidak seperti kulit orang-orang kulit
putih yang pernah dia lihat penuh totol-totol merah. Gadis ini cantik bukan
main. Buah dada yang hanya separuh tertutup gaun tipis itu nampak begitu
padat, membusung dan nampak keras dan penuh. Dia tidak berani memandang
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan lebih lama lagi dan menunduk.
"Nona, engkau akan mati kalau tinggal lebih lama di sini..." akhirnya dia
berkata. "Aku tidak takut mati. Lepaskan dan biarkan aku mati di sini!" jawab Sheila
dengan tegas walaupun ia tidak meronta lagi.
Seng Bu menjadi marah dan jengkel. Keadaan amat gawat dan berbahaya.
Dia termasuk kelompok seperti Thian-te-pang yang tidak memusuhi orang kulit
putih, karena pada waktu itu, orang kulit putih dianggap malah berjasa dengan
menentang pemerintah Mancu. Yang dimusuhi oleh kelompoknya hanyalah
pemerintah penjajah dan dalam hal ini, dia sendiri hanya terbawa-bawa dan
ikut-ikutan dengan suhengnya saja yang menjadi tokoh penting dalam Thiante-pang sekarang.
Akan tetapi, pada waktu itu pergolakan terjadi di Kanton dan golongan anti
orang kulit putih amat banyak dan amat kuat. Mereka adalah pendekarpendekar yang timbul kemarahannya karena orang kulit putih menyebar
madat, lalu ada pula golongan-golongan penjahat yang menyelundup atau
Rahasia 180 Patung Mas 5 Jaka Galing Karya Kho Ping Hoo Tusuk Kondai Pusaka 4

Cari Blog Ini