Pendekar Aneh Naga Langit Thian Liong Koay Hiap Karya Marshall Bagian 17
Sie Lan In nampak berpikir sebentar, menarik nafas panjang dan pada akhirnya kemudian berkata dengan suara lemah:
"Meskipun aku kurang menyukai ide itu, tetapi kelihatannya untuk saat ini memang jalan itu yang harus ditempuh...."
"Kadang kita harus berjalan di tempat dan dengan cara yang justru sangat tidak kita inginkan enci, bukankah demikian....." tapi, ketimbang membicarakan hal-hal yang berat, bukankah ada baiknya kita menggunakan perahu di tepi sungai itu enci...?"
"Hihihihi, ternyata engkau memang sedang ingin menghibur hatiku yang gundah dengan menyeberangi sungai ini adik Bu San .... ayo...."
Semakin lama semakin cair percakapan dan senda gurau diantara kedua anak muda itu. Tetapi, benar-benarkah Bu San sekedar mengajak Sie Lan In bersantai dengan mempergunakan perahu di telaga Kun Beng Ouw yang kebetulan sedang tenang dan tidak banyak arusnya"
"Enci......" bisik Bu San sambil matanya memperhatikan sekeliling
"Ada apa adik Bu San.....?" jawab Sie Lan In senang dan memandang Bu San dalam tatap mata penuh kasih, dan Bu San terpaksa mengalihkan pandangan ke aliran air yang sejak tadi diperhatikannya dengan seksama.
"Apakah engkau perhatikan aliran air di sungai ini Enci...?" pertanyaan Bu San meski terdengar aneh tetapi memaksa Sie Lan In memalingkan mata dan memperhatikan aliran sungai yang agak tenang saat itu.
"Tentu saja..... adakah yang aneh dengan sungai itu Adik Bu San...?"
"Permukaan sungai ini terlihat tenang dan air mengalir dengan tenang, kita dapat berperahu dan menikmati segarnya alam di tengah sungai ini. Tapi, tahukah enci apa yang terjadi di kedalaman sungai ini....?"
Pertanyaan Bu San membuat Sie Lan In tersentak, dan kini dia sadar bahwa Bu San tidak tanpa maksud mengajaknya berperahu menyeberangi sungai dan bahkan juga menikmati keindahan alam dari tengah sungai. Tetapi, apa yang ingin disampaikan Bu San pada saat itu..." ini menyentak Sie Lan In dan dia mulai bersikap lebih serius meski keadaan itu tidak mengganggu perasaan dan suasana hatinya. Dia tetap saja senang karena berada berduaan dengan Bu San.
"Adik Bu San, engkau ingin mengatakan sesuatu yang penting....?" tanya Sie Lan In dengan nada suara berubah lebih serius
"Permukaan sungai memperlihatkan aliran air yang begitu tenang dan sekaligus mendatangkan perasaan nyaman dan tenang bagi kita. Tetapi, jauh di kedalaman dua atau tiga atau empat meter, air bergelora dan sanggup menelan kita yang saat ini berperahu dengan nyaman dan tentram. Aliran sungai ini sungguh merupakan perumpamaan yang tepat bagi kekuatan hebat dari Ilmu Iweekang Hut Men Sian Thian Khi Kang (Tenaga Dalam Mujijat). Tetapi, sekaligus adalah gambaran yang menarik untuk bisa membuat aliran tenaga dalam Enci bisa terus mengalir lepas dan tenang bagai air permukaan sungai. Mengalir terus, mengalir terus dan tidak putus putusnya, menjebak mereka yang tidak mengerti, karena di kedalamannya, justru adalah gelora yang sangat mematikan....."
Penjelasan dan perumpamaan Bu San ini membuat Sie Lan In tersentak kaget. Bukan kaget dan kemudian marah karena suasana hatinya yang sedang santai sudah ditarik kembali ke suasana yang serius, tetapi karena Bu San ternyata terus memperhatikan kemajuannya dan terus berusaha mencari formula baru. Dia tidak marah, sebaliknya berubah penasaran:
"Apakah engkau menemukan sesuatu yang ingin engkau kemukakan atau bahkan ajarkan kepada encimu ini Bu San.....?"
"Bukan mengajarkan Enci, tetapi membuka kemungkinan baru karena tiba-tiba aku memikirkan dua hal. Pertama, engkau bersama teman-temanmu akan berhadapan dan bertanggung jawab atas teror Bu Tek Seng Pay serta harus menanggulangi dan menaklukkan mereka. Yang kedua, kehebatan Thian Liong Koay Hiap ketika berhadapan dengan Mo Hwee Hud dan Liok Kong Djie. Meski kusaksikan dari balik persembunyian dengan bantuan Tek Ui Sinkay, memang menonjol dan sangatlah hebat. Mo Hwee Hud dan Liok Kong Djie, kedua orang tua itu, kehebatan iweekang mereka hanya dapat dilawan dengan cara lembut ataupun dengan cara yang tenang menghanyutkan. Cara pertama ditunjukkan tokoh hebat bernama Thian Liong Koay Hiap itu, yang jelas memiliki kemampuan untuk mengatur serta mengendalikan kekerasan Mo Hwee Hud dengan memanfaatkan "kelembutan", dan kemudian perlahan mengatur dan menaklukkannya. Tetapi, ada cara yang lain untuk dapat melawan kedua tokoh tua yang sangat hebat dan sakti itu. Nach, cara kedua itu adalah dengan iweekang Enci tadi, yakni memanfaatkan kelemasan, membuatnya "berenang" dalam perasaan aman, tetapi sewaktu-waktu amukan arus air yang mematikan dapat membuat mereka tenggeam dalam kekalahan. Syaratnya adalah, kekuatan dan aliran iweekang yang tidak putus-putusnya dan tetap terus dengan kesabaran saling serang, saling belit dan terus berkutat dengan kekuatannya untuk kemudian mengamuk secara tiba-tiba. Cara kedua ini sudah akan nyaris mampu dilakukan enci, tetapi masih membutuhkan kematangan......."
Sie Lan In kaget, karena sebetulnya dalam perumpamaan yang berbeda, Subonya mengajar dan menanamkan kehebatan dan keunggulan iweekang perguruannya. Karena itu diapun berkata:
"Bu San, Subo mengajarku melakukannya dalam waktu yang lama....."
"Benar sekali Enci, tetapi aku terutama bukannya sedang memikirkan penjelasanku di atas yang memang menjadi kekuatan utama iweekang perguruanmu. Melainkan berusaha untuk menambah kekuatan serta kekuatan "mengamuknya" iweekang itu dibawah permukaan air yang tenang. Jika amukan itu sama ganasnya dengan setidaknya kehebatan Mo Hwee Hud misalnya, maka satu keuntungan yang enci dapatkan hanyalah efek kejut dan mendatangkan keuntungan waktu atau tempo belaka. Tetapi, jika ada kombinasi lainnya, maka bukan hanya efek kejut yang didapat, tetapi juga peluang untuk mengahadiahkan kekalahan bagi musuh seperti Mo Hwee Hud itu......"
"Haaaaa, engkau sampai berpikir sejauh itu Bu San...." dan apakah engkau sudah menemukan formula yang dapat kita terapkan itu...?" tanya Sie Lan In menjadi amat senang dan sekaligus antusias. Berbeda dengan kejadian beberapa waktu lalu saat dia masih meragukan Bu San, sekali ini dia sudah percaya penuh dengan daya analisa dan kemampuan mujijat Bu San. Karena itu, wajar jika dia menjadi antusias dengan terbukanya kemungkinan yang diuraikan Bu San tersebut.
"Enci, aku sedang berpikir dengan mengingat kembali formula-formula yang pernah kubaca dan kuhafalkan itu. Akan tetapi, sebelum enci melakukan perjalanan besok hari, akan kupastikan formula itu sudah ada rumusannya, sehingga enci dapat kelak melatihnya sendirian. Tek Ui Sinkay sudah memintaku secara pribadi untuk menyertainya dalam perjalanan besok pagi-pagi benar, karena itu sebelum besok pasti akan kuberitahukan kepada enci....."
"Accchhhh, jadi engkau......." Sie Lan In terlihat kecewa, tetapi dia menjadi senang manakala melihat Bu San sendiripun tidak gembira harus berpisah dengannya.
"Enci, akupun tidak begitu senang, tetapi ada pekerjaan yang harus enci kerjakan, sementara Tek Ui Sinkay benar, bahwa ada banyak hal yang akan kukerjakan saat menyertainya dalam perjalanan kelak....."
Tanpa sadar keduanya saling pandang, dan tanpa malu atau entah tak disengaja Sie Lan In berkata atau tepatnya bertanya:
"Tetapi, kapan kita akan bertemu kembali Bu San....?"
"Enci, secepatnya kita akan bertemu, akupun akan merindukan pertemuan kita itu, dan jika bisa, secepatnya sebelum menuju Pek In San......."
"Baiklah adik Bu San, segera setelah perjalananku selesai, akan kususul ke daerah Pek In San untuk bergabung kelak....."
"Baik enci....."
Dan keduanyapun tenggelam dalam manisnya cinta meski tidak banyak lagi kata kata dan kalimat yang terucap. Yang pasti, telaga Kun Beng Ouw sudah menjadi saksi sepasang muda-mudi itu merasakan manisnya cinta dan bagaimana semangat yang memuncak, gairah yang liar dalam menyongsong masa depan. Tetapi, tetap saja mereka tidak dapat menghabiskan waktu di telaga penuh kenangan itu.
Bu San atau sekali ini sebagai Thian Liong Koay Hiap melakukan hal yang sama terhadap Khong Yan dan Tio Lian Cu. Bedanya Khong Yan dan Tio Lian Cu masih butuh waktu sebulan untuk mencapai tingkatan seperti Sie Lan In yang mendahului mereka berdua ketika pulang ke Laut Selatan. Meski demikian, setelah sebulan, dengan Ilmu Thian Liong Pat Pian yang sudah lengkap dikuasai Khong Yan; dan Tio Lian Cu yang sudah mematangkan ilmu pusaka Hoa San Pay, Koay Ji yakin ketika mereka tampil kembali, keduanya sudah mampu mengejar tingkat Sie Lan In. Dan Koay Ji yakin, mereka tidak akan kalah melawan Mo Hwee Hud sekalipun. Atas saran dan usul Koay Ji, Khong Yan dan Tio Lian Cu tinggal dan berlatih secara rahasia di tempat rahasia Hu Sin Kok.
Hari sudah tepat tengah hari, tetapi cuaca masih terasa kurang bersahabat. Meski hujan memang sudah berhenti sejam sebelumnya, tetapi matahari tetap saja belum munculkan diri. Sepertinya masih sedang malas atau enggan untuk menerangi bumi kembali. Angin bertiup cukup kencang dan karenanya cuaca terasa sangat dingin dan menggigit. Karena itu, manusia yang lalu lalang di kota Liang Ping tidak seperti biasanya. Normalnya kota tersebut ramai oleh pengunjung dari berbagai arah, berhubung Kota Liang Ping adalah kota terdekat dari Kota Ciang Peng yang lebih ramai dan lebih besar. Kota Ciang Peng sendiri adalah Kota Perdagangan dan merupakan salah satu alur perdagangan penting yang sering didatangi oleh banyak saudagar dan juga pelancong dari berbagai penjuru. Jika kota Liang Ping berada sedikit di ketinggian dan karenanya cuacanya lebih sejuk dan dingin, maka kota Ciang Peng berada di lembah dan dibelah oleh sungai besar yang biasanya juga adalah jalur perdagangan penting.
Meski udara agak dingin karena tanpa matahari serta membuat banyak orang lebih senang bermalas-malas di warung kopi dan restauran, tetapi saat itu terlihat ada dua ekor kuda memasuki Kota Liang Ping dari arah utara. Mereka berdua nampaknya melakukan perjalanan ke arah selatan, namun lebih memilih melakukan perjalanan dengan menunggang kuda. Sekali pandang orang langsung tahu dan paham jika mereka adalah para pendekar pengelana. Begitu masuk ke kota, terdengar salah seorang berkata dengan sebuah usul kepada kawannya, sama-sama pendatang yang berkuda dan sedang memasuki kota Liang Ping;
"Jika Sie Kouwnio sepakat, lohu usulkan sebaiknya kita makan siang terlebih dahulu dan kemudian beristirahat sejenak. Baru setelah itu kita boleh berpisah dengan tujuan masing-masing sebagaimana kesepakatan kita. Lohu akan bertugas untuk memasuki Kota Ciang Peng yang masih terpisahkan oleh jarak setengah hari berkuda dari kota ini. Sedangkan Nona harus melewati gunung ini dan menjumpai Ci Yan (Walet Ungu) Pek Bwe Li di Gunung Ciauw San. Tempatnya seperti itu menurut informasi yang disampaikan kepada lohu......"
"Baik, terserah engkau saja......" jawab kawan seperjalanannya yang ternyata adalah seorang perempuan dan yang masih berusia muda. Sementara yang berbicara tadi adalah seorang berumur pertengahan, mungkin 45 atau kurang dari 50an, dan mereka melakukan perjalanan bersama sejauh ini.
Dan tidak lama kemudian, keduanya memasuki kota dan mencari restoran yang layak untuk mereka bersantap siang. Dilihat dari keadaan mereka berdua, maka bisa dipastikan, mereka sudah melakukan perjalanan yang cukup jauh dan seperti kurang beristirahat. Jelas terlihat dari keadaan dan kondisi kuda mereka. Kedua ekor kuda tunggangan mereka nampak sekali amat letih dan amat membutuhkan istirahat yang memadai. Itulah sebabnya, setelah si pendatang laki-laki menemukan restoran, diapun kemudian berbicara sebentar dengan pelayan dari restauran yang terlihat cukup besar dan megah itu. Dan apa yang dia lakukan dan tanyakan, bukan lain adalah menitipkan kuda dan sekaligus mengurus kuda-kuda mereka berdua yang sudah terlihat letih dan lelah.
Dan tidak lama kemudian, lelaki berumur pertengahan itupun sudah kembali kekursi dan meja yang dia pesan bersama dengan teman seperjalanannya yang adalah seorang gadis muda. Siapa mereka gerangan" Bukan lain Thian Liong Koay Hiap yang sedang dalam perjalanan dengan Nona Sie Lan In. Tetapi bagaimana pula caranya mereka berdua bisa bersama dalam satu perjalanan yang saat itu malahan sudah makan waktu dua hari perjalanan. Jika mengingat mereka berdua, khususnya bagi Sie Lan In yang sellau merasa sengit dan merasa penasaran untuk mengadu ilmu dengan Thian Liong Koay Hiap, maka perjalanan mereka memang terasa ganjil dan rada aneh.
Setelah Bu San (atau Thian Liong Koay Hiap) menyelesaikan semua urusannya, diapun diajak pergi oleh Tek Ui Sinkay dalam satu perjalanan rahasia. Meskipun sebenarnya kepergian seorang Bu San adalah "permainan" yang sudah diatur dengan Tek Ui Sinkay dan juga Cu Yung Lin. Karena tidak berapa lama, terlihat Thian Liong Koay Hiap bersama dengan Nona Sie Lan In juga keuar dari Benteng Keluarga Hu untuk melakukan perjalanan ke selatan. Karena malam sebelumnya, sudah diputuskan bahwa Thian Liong Koay Hiap dan Sie Lan In akan melakukan perjalanan ke Gunung Ciauw San dan ke Kota Ciang Peng dalam misi khusus. Keduanya diminta dengan sangat oleh Tek Ui Sinkay untuk datang berkunjung ke beberapa tokoh penting dan hebat guna membantu pergerakan dalam menyerang Bu Tek Seng Pay tiga bulan kedepan.
Siapa-siapa gerangan tokoh yang akan mereka datangi dan kunjungi" Nama tokoh tokoh yang akan mereka datangi, langsung diperoleh dari Tek Ui Sinkay, Pangcu Kaypang yang sekaligus saat itu menjadi Bengcu Tionggoan. Tokoh-tokoh yang harus mereka temui adalah pertama, Jit Yang Sin Sian (Dewa Sakti Jit Yang) Pek Ciu Ping, seorang tokoh berusia 65 atau 66 tahun dan hidup sebagai seorang pertapa. Kemudian tokoh kedua adalah seorang petani bernama Cing San Khek (Jago Berbaju Hijau) Tiat Kie Bu yang sudah berusia 62 tahunan. Tokoh ketiga adalah seorang wanita yang bernama Ci Yan (Walet Ungu) Pek Bwe Li berusia 59 atau 60 tahunan dan tinggal di Gunung Ciauw San. Menurut Tek Ui Sinkay, untuk berhasil dibujuk, maka tokoh perempuan ini mesti didekati dengan mengetahui nama aslinya, karena Pek Bwe Li sendiri sudah menjadi seorang Nikouw. Tokoh keempat adalah Pouw Ci Sui Beng (Jari Sakti Penghancur Nyawa) Siau Ji Po yang sudah berusia 60 tahunan dan menikah dengan tokoh kelima bernama Lam San Hong Ie (Bulu Hong Berbaju Biru) Oey Hwa berusia 50 tahun.
Tokoh kedua dan ketiga tinggal di sekitar Gunung Ciauw San, tetapi tidaklah tinggal sama-sama melainkan terpisah. Tokoh kedua adalah seorang petani yang gemar mengakrabi tanaman-tanaman yang ditanam dan diurusnya sendiri dari hari ke hari. Saking telatennya bertani, tokoh ini lebih banyak menghabiskan waktu dengan tanamannya dan selalu mencari usaha dan cara untuk membuat tanaman dan usaha pertaniannya lebih bervariasi. Serta tentu saja tumbuh dengan subur. Saat ini, halaman rumahnya dipenuhi dengan beragam macam tanaman. Terutama tanaman yang dapat menjadi bumbu masak dan juga buah-buahan yang dapat dimakannya. Halaman rumah tinggalnya yang sederhana membentang cuku luas dan bahkan sudah menyambung ke hutan samping rumahnya. Dan bentangan luas itupun sudah diolahnya menjadi lahan pertanian. Dan dari hasil bertani serta berkebun di halaman rumah serta lahan bertani yang luas itulah tokoh kedua ini banyak menghabiskan waktunya. Tetapi, jangan salah, benar dia seorang petani, tetapi sekaligus dia adalah tokoh persilatan yang memiliki nama besar dan diindahkan banyak orang karena kesaktiannya yang hebat.
Sementara tokoh ketiga, tinggal lebih di ketinggian Gunung Ciauw San, terpisah tidak terlampau jauh dari si petani yang bercocok tanam dan bertani di lembah barat Gunung Ciauw San. Meski tidak di puncak gunung Ciauw San, tetapi tempat tinggal tokoh ketiga Pek Bwe Li, berada di sisi utara gunung dan disana dia sudah lama membangun sebuah biara khusus bagi wanita. Biara itu diberi nama Kwan Im Bio atau Kuil Dewi Kwan Im dan kepala kuilnya adalah Ci Yan (Walet Ungu) Pek Bwe Li dengan nama Budha Pek Sim Nikouw. Pek Sim Nikouw atau nama aslinya Pek Bwe Li, juga merupakan tokoh hebat rimba persilatan sebelum 8 tahun yang lalu menjadi pemeluk agama Budha. Dan pada akhirnya dia memutuskan untuk mulai menerima dan mendidik murid-muridnya 5 tahun terakhir, khususnya gadis-gadis muda yang dia selamatkan dari perkosaan ataupun yang ditinggal suaminya. Sebagian adalah gadis-gadis yang terlantar, ada juga yang bekas pelacur, dan rata-rata memang tidak lagi memiliki tempat tinggal.
Tokoh keempat dan kelima tinggal di Kota Ciang Peng dan menjadi hartawan di kota tersebut. Menurut Tek Ui Pangcu, adalah Oey Hwa yang memiliki jiwa berdagang yang kuat dan mengelolah usaha suami-istri dengan dua orang anak itu. Sementara sang suami, meski membantu usaha istrinya, tetapi tetap seorang gagah yang cukup terkenal dan memiliki kesaktian hebat. Meski melakukan usaha dagang, bukan berarti Oey Hwa adalah seorang wanita biasa. Tidak, diapun merupakan tokoh dunia persilatan yang tidak jauh selisihnya dari tingkatan sang suami. Mereka tinggal di Kota Ciang Peng saat itu, dan sudah menerima 7 orang murid termasuk dua orang anak mereka. Adalah Siau Ji Po yang bertugas turun tangan melatih murid-muridnya dan juga anak mereka, sementara sang istri sibuk mengurus usaha mereka. Karena itu, kepandaian sang suami bukannya menurun, sebaliknya semakin hebat dari waktu ke waktu. Hanya sayang, karena urusan berdagang, mereka tidaklah sering berkelana ataupun tidak banyak terlibat urusan dunia Kang Ouw. Terutama sang istri Oey Hwa yang menjalankan usaha tersebut dengan sangat tekunnya.
Semua tokoh yang harus ditemui tersebut diupayakan untuk dapat diajak bergabung guna berjuang bersama dengan para pendekar. Meski Tek Ui Sinkay tidaklah menegaskan dan tidak memastikan kelima orang itu akan bersedia ikut dalam pergerakan, tetapi dia amat yakin ada dari mereka yang akan bergabung. Dan untuk tugas itu, dia secara khusus memilih Koay Ji dan juga Sie Lan In. Mereka berdua yang bertugas menghubungi tokoh-tokoh tersebut karena alasan yang cukup masuk diakal. Koay Ji dan Sie Lan In sudah menerima penjelasan siapa sajakah mereka semua, dan bagaimana mereka nanti akan bersikap dan menemui tokoh-tokoh itu. Yang sudah jelas, mereka semua memiliki hubungan yang dekat dengan Koay Ji khususnya, meskipun tidak pernah atau tepatnya belum pernah berjumpa dengan mereka semua. Karena pada dasarnya mereka berlima adalah suheng dan suci dari Koay Ji sendiri, alias murid-murid dari Bu In Sinliong. Dan jika demikian, maka berarti sedikit banyak juga ada hubungan dengan Nona Sie Lan In.
Tentu saja Koay Ji menyelesaikan terlebih dahulu semua pekerjaannya di Benteng Keluarga Hu, termasuk menitipkan pesan kepada Khong Yan dan Tio Lian Cu. Dan yang tidak kalah penting adalah mengatur strategi bersama Liga Pahlawan Bangsa Persia. Sekaligus juga dengan kakak beradik dari perguruan rahasia yang sedang dalam masalah kedalam perguruan mereka, yakni Hong Lui Bun. Karena harus bertugas ke daerah selatan, maka mereka bersepakat untuk bertemu kelak dekat Gunung Pek In San pada 2 bulan kedepan. Dan untuk sementara mereka berpisah karena Koay Ji harus melaksanan tugas khusus. Yakni menghubungi kakak-kakak seperguruannya atas permintaan khusus dari Tek Ui Sinkay yang kini menjadi Pemimpin Rimba Persilatan Tionggoan.
"Sie Kouwnio, menurut Tek Ui Pangcu bahwa jarak dari sini menuju ke Kota Ciang Peng masih ada nyaris sehari dengan berkuda. Sementara kita sekarang berada dekat dengan Gunung Ciauw San dan berjarak kurang dari setengah hari ke Kwan Im Bio tempat tinggal. Jika Sie Kouwnio setuju, kita akan berpisah di kota ini untuk kemudian melakukan kerja ini secara terpisah sehingga bisa menghemat waktu. Dan kita bisa mengatur waktu untuk kelak bertemu kembali di kota ini pada 3 atau 4 hari kedepan. Seterusnya kita kemudian melanjutkan perjalanan untuk mengunjungi Jit Yang Sin Sian (Dewa Sakti Jit Yang) Pek Ciu Ping locianpwee di Liong Tam Houw Siat (Gua Naga dan Sarang Harimau) daerah Gunung Kiu Boa San Propinsi Ouw Pak. Jika semua berjalan sesuai rencana, maka tugas kita selesai dalam 3 minggu kedepan, bagaimana menurut pandangan Sie Kouwnio....?" berkata Thian Liong Koay Hiap, mengusulkan pengaturan waktu mereka agar cepat menyelesaikan tugas yang mereka emban saat itu.
Mendengar usulan Koay Ji terlihat Nona Sie Lan In berpikir. Sesungguhnya, dua hari melakukan perjalanan dengan Thian Liong Koay Hiap dia merasa betapa tokoh pertengahan umur itu terlampau banyak mengalah dan juga membantunya. Meski sesekali dia bersikap terlampau judes dan malah kaku, tetapi Thian Liong Koay Hiap menghadapinya dengan penuh kesabaran dan sangat dewasa. Karena itu, mau tidak mau rasa sebal dan rasa penasaran Sie Lan In terhadap tokoh itu perlahan mulai berkurang. Tetapi, kepenasarannya untuk mengalahkan Thian Liong Koay Hiap suatu hari kelak, masih tetap tidak berkurang, dan itu yang menahan mereka untuk menjadi sedikit lebih akrab satu dengan yang lain. Akrab dalam arti bahwa setidaknya mereka mulai bisa saling berkomunikasi dengan lebih baik.
"Bolehkah kita bertemu nanti pada hari kelima saja nanti Koay Hiap..." sungguh sayang jikalau pemandangan Gunung Ciauw San yang samat indah kulewatkan begitu saja. Setelah hari kelima, kita boleh berjumpa kembali di tempat ini dan kemudian melanjutkan perjalanan menuju Ouw Pak...." usul Sie Lan In yang lebih sebagai "keputusan" daripada usul. Karena dia amat yakin jika Thian Liong Koay Hiap akan menyetujui usulannya.
"Baiklah Sie Kouwnio, jika memang demikian, setelah makan siang ini kita boleh berpisah. Lima hari kedepan kita berjumpa kembali di reatoran ini. Dengan begitu, Lohu akan langsung melanjutkan perjalanan menuju ke kota Ciang Peng sore ini juga", dan memang benar dugaan Sie Lan In. Perkataannya tadi yang disampaikan sebagai USUL, diikuti dan diiyakan oleh Thian Liong Koay Hiap tanpa banyak bertanya. Dan kalimat Koay Hiap itu diiyakan Sie Lan In sambil tersenyum karena memang sudah menduganya.
Dan waktu sejak makan siang sampai selesai, rupanya membawa perubahan cuaca yang cukup berarti. Meski angin masih bertiup dan cukup dingin, tetapi matahari mulai mengintip meski belum cerah betul. Pada saat itulah kemudian Sie Lan In berkata kepada Thian Liong Koay Hiap dengan nada suara gembira:
"Thian Liong Koay Hiap,,,,,,,, jika memang kita sudah setuju dengan pengaturan waktunya, maka ijinkan aku jalan terlebih dahulu biar cukup panjang waktuku untuk menikmati Gunung Ciauw San......"
"Baik.... baik Sie Kouwnio, biar kuminta pelayan mengambilkan kuda milik Kouwnio untuk melanjutkan perjalanan. Rasanya waktu istirahat 2 jam sudah cukup mereka ikut mengmbalikan kebugaran..." berkata Koay Ji sambil berdiri untuk mengambilkan kuda tunggangan Sie Lan In.
"Koay Hiap, sekali ini aku tidak akan menggunakan kuda tunggangan itu. Karena aku memiliki "kendaraan" lain yang malah bisa membawaku lebih cepat ketimbang menunggang kuda..... lagipula, biarkan kudaku disimpan dan dipelihara sementara oleh pelayan disini. Sekaligus kudaku dapat beristirahat lebih lama dan kembali bugar kelak. Tolong sekalian bayarkan biaya buat mereka memelihara serta menjaga kudaku sementara melakukan perjalanan ke Gunung Ciauw San berapa hari kedepan..." berkata Sie Lan In yang kemudian langsung berjalan keluar dengan diiringi tatap mata Koay Ji.
"Baik, selamat jalan Sie Kouwnio, sampai berjumpa kembali di tempat ini pada lima hari kedepan..." Koay Ji berkata demikian dan membiarkan Sie Lan In pergi. Karena dia percaya dan tahu, bahwa benar dengan "kendaraan" sendiri yang Sie Lan In tadi katakan, akan lebih cepat mencapai tempat tujuan di Gunung Ciauw San. "dia pasti menggunakan burung besarnya itu", desis Koay Ji dalam hati, teringat burung besar milik Lam Hay Sinni yang dilihatnya dahulu.
Menunggu beberapa lama setelah Sie Lan In berlalu, Koay Ji kemudian memandang sekeliling dan mendapat ide melakukan sesuatu. Dan tak lama kemudian, kurang lebih setengah jam, dia sudah duduk bersama dengan 5 orang pengemis anggota Kaypang. Sebagai seorang SESEPUH atau TIANGLO bagi Kaypang dan malahan memegang Kimpay Pangcu Kaypang, otomatis kelima orang pengemis itu terlihat sangat hormat kepada Koay Ji. Mereka menyapanya sambil menyembah:
"Menjumpai Kaypang Tianglo ......."
"Hmmmm, sudahlah, mari kalian duduk saja biar lebih enak kita berbicara dan bertukar informasi. Apakah kalian tahu, atau melihat serta mendengar akan adanya pergerakan Bu Tek Seng Pay di kota ini....?" bertanya Koay Ji
"Lapor Tianglo..... beberapa hari lalu, semua orang yang bekerja untuk Bu Tek Seng Pay terlihat pergi meninggalkan kota dan sampai sekarang masih belum kembali lago. Bahkan markas rahasia mereka di dalam kota sudah dikosongkan dan tidak ada orang lagi yang menempati. Kemana mereka pergi dan alasan mereka pergi, sungguh sungguh belum dapat kami sirapi dan masih belum tahu. Hanya, konon banyak rombongan anggota perguruan baru itu pada menuju ke markas Pek Lian Kau. Demikian laporan yang kami dapatkan Tianglo...."
"Hmmmm, aneh juga jika mereka buru-buru meninggalkan kota ini, padahal tidak ada ancaman langsung kepada mereka. Ataukah mereka memutuskan untuk mempekuat markas utama mereka yang terleatk di markas Pek Lian Pay...?" berkata Koay Ji sambil mengerutkan kening kurang mengerti.
"Dugaan kami memang seperti itu Tianglo, karena sama dengan informasi yang kami peroleh dari berapa kota dan cabang Kaypang lain, terutama kota-kota yang terpisah agak jauh dari Pek Lian Pay, rata-rata mereka meninggalkan pos rahasia mereka dan mengosongkannya. Dan sehari kemudian, rombongan yang menuju ke Pek In San bertambah banyak....."
"Hmmmmm, jika memang demikian, kirimkan kabar kepada Tek Ui Pangcu dan beritahukan perkembangan di beberapa kota mengenai gerakan Bu tek Seng Pay. Katakan bahwa lohu sudah sampai di kota ini dan sedang mengurus urusan yang terkait dengan perlawanan terhadap Bu Tek Seng Pay ...."
"Baik Tianglo, segera kami laksanakan....."
"Bagus...... selain itu, apakah ada berita penting lainnya di kota ini...?" tanya Koay Ji yang sebenarnya sudah siap untuk berangkat menuju Kota Ciang Peng.
"Tidak ada yang terlampau penting Tianglo, kecuali pertemuan 3 perguruan silat yang diadakan sore hingga malam nanti di Perguruan Hek It Kau yang terletak di luar kota bagian selatan. Pertemuan itu diikuti Ang Liong Pang dan juga Ceng Liong Pang, kemungkinan membicarakan undangan Tek Ui Bengcu untuk bergabung melawan Bu Tek Seng Pay. Selain itu, menurut laporan anak buah Kaypang, terlihat adanya 4 orang utusan dari Siau Wangwe dari Kota Ciang Peng yang kemungkinan akan mengunjungi pertemuan tersebut...."
"Apa ....." maksud kalian akan ada utusan atau murid Siau Ji Po locianpwee yang akan menghadiri acara di Markas Hek It Kau...?"
"Itu hanyalah dugaan kami belaka Tianglo, karena sampai sekarang kami belum bisa memastikan apakah untuk maksud itu mereka datang atau untuk urusan usaha dan bisnis Toko Keluarga Oey....."
"Accccch, terima kasih atas berita ini. Tapi, tinggal dimanakah gerangan utusan dari Siauw Wangwe di kota ini...?"
"Menurut informasi yang kami miliki, sejak tiba pagi tadi, mereka semua menginap dan membuka kamar di hotel paling besar dan mahal di kota ini Tianglo, Hotel Lian In dan menggunakan berapa kamar disana....."
"Baik...... kalau demikian, lohu akan menginap disana dan menunda keberangkatan ke Kota Ciang Peng sampai besok hari. Jika ada urusan lain nanti akan lohu panggil, dan jika membutuhkan sesuatu, kalian boleh menemui atau mengirim pesan dan lohu akan menemui kalian nantinya...."
"Baik Tianglo, mohon pamit jika demikian...."
Koay Ji tidak heran jika anak murid Kaypang tidak mengetahui hubungan antara Pangcu mereka, Tek Ui Sinkay dengan Siau Ji Po. Nama Siau Ji Po jarang dikenal orang. Di kota dia lebih dikenal sebagai Siau Wangwe dan di dunia Kang Ouw namanya adalah Siau Ji Po. Tetapi, hubungan sesama perguruan antara mereka, di kalangan Kaypang sangat sedikit yang tahu dan menyadarinya. Karena sebagai sesama perguruan, ke-tujuh murid Bu In Sinliong ini memang jarang memberitahu dan memperkenalkan diri kepada dunia luar. Apalagi, karena mereka semua memang dilarang keras untuk menyebut nama Suhu mereka, nama Bu In Sinliong di luaran. Dan acara sesama keluarga perguruan, juga nyaris tidak pernah dilakukan antara mereka sesama saudara seperguruan. Hanya tokoh-tokoh penting saja yang tahu hubungan perguruan antara Siauw Ji Po dengan Tek Ui Sinkay, Pangcu Kaypang yang gagah itu.
Tidak berapa lama Koay Ji sudah terlihat di Hotel Lian In, hotel termewah dan paling mahal di kota Liang Ping. Dia tahu Su Suhengnya, Siau Ji Po, memang seorang kaya dan memiliki basis usaha di Kota Ciang Peng. Karena itu, dia menduga, para muridnya tentu menginap di kamar yang mahal di Hotel Lian In, dan tebakannya memang tepat. Hanya saja, dia tidak dapat menyewa kamar sejenis, karena kamar kelas mewah tersebut, semua sudah habis terpakai atau disewa untuk hari itu. Tetapi buat Koay Ji sendiri, kamar jenis apapun sama saja, yang penting dia dapat mengikuti dan jika dapat berkenalan dan bercakap-cakap dengan keponakan muridnya yang rata-rata bahkan berusia lebih tua dari dirinya itu.
Tetapi, baru saja dia mau memasuki kamar, dia justru bersua dengan orang-orang yang digambarkan anggota Kaypang sebagai murid dari Siau Wangwe. Bahkan dari percakapan sesama mereka, dia jadi tahu apa acara mereka dan keempat orang itu akan menuju kemana.
"Toa suheng, menurut jadwal, acara di Markas Hek It Kau baru akan dibuka selepas makan siang. Karena itu, rasanya mereka sudah memulai pertemuan itu pada saat ini, meski mungkin baru saja dimulai....."
"Benar Phang sumoy, tetapi kedatangan kita kesana bukan untuk berpesta atau untuk menghadiri maupun bertamu di pertemuan antar mereka itu. Jadi, kita tidak terikat waktu sebetulnya.. mohon diingat, sedapat mungkin kita harus berusaha untuk menghindari bentrokan dengan kawan-kawan dari Kota ini. Jika tidak, kita bakalan membuat suhu marah"
"Tapi, menilik waktunya, jika bisa sekarang kita sudah dapat bergegas menuju kesana, setidaknya melihat apa yang akan mereka lakukan. Dan selanjutnya, kita tinggal menyesuaikan kapan kita melaksanakan tugas khusus itu....."
"Sabar, sabar istriku, kita dapat hadir disana tanpa harus terburu-buru. Kita memiliki cukup banyak waktu, jangan khawatir. Lagipula, toch mereka tidak akan mungkin melakukan pertemuan sampai tengah malam nanti. Kita memiliki cukup banyak waktu sambil mempercakapkan strategi apa yang sebaiknya kita lakukan disana berhubung mereka kedatangan banyak tamu...." berkata Siau Hok Ho menyabarkan istrinya yang serba tidak sabaran itu.
"Accchhhh, pokoknya kita paksa saja atau ganti dengan cara yang lain. Sudah terlampau lama mereka melalaikan kewajiban mereka terhadap kita, sudah lelah kita bolak-balik kemari dan selalu diabaikan atau tidak dapat mereka menyelesaikan kewajiban....." terdengar suara si perempuan tadi yang memang terdengar agak galak dan bahkan kesan tinggi hati yang sangat kental. Sorang Koay Ji sendiripun menjadi sebal mendengar nada dan gaya bicaranya.
Setelah tahu kemana arah tujuan mereka, Koay Ji kemudian bergegas ke kamarnya dan tak lama dia sudah kembali keluar. Tetapi kini, dia berusaha menjaga jarak agar tak terpantau dan tak terlihat oleh keempat orang murid kakak seperguruannya yang keempat, Siau Ji Po. Dia menjaga jarak yang cukup aman untuk diperhatikan keempat orang itu yang percakapan mereka selanjutnya mengatur strategi untuk mendatangi markas Hek It Kau. Tetapi, tidak lama kemudian mereka sudah berdiri dan kelihatannya sudah memutuskan untuk pergi ke pertemuan di markas Hek It Kau. Dan secara otomatis Koay Ji juga bersiap dan melangkah mengikuti keempat orang itu dari jarak yang cukup jauh dan aman.
Hek It Kau (Aliran Baju Hitam) ...... sebuah perkumpulan silat kecil yang meski tercatat tetapi sangat mungkin tidak punya nama di Rimba Persilatan Tionggoan. Anggotanya tidak banyak, hanya sekitar 60an orang dan memiliki ciri khas pakaian berwarna hitam untuk semua anggotanya, termasuk pemimpin tertingginya. Setiap orang yang bertugas untuk dan atas nama perkumpulan diwajibkan mengenakan baju ataupun jubah berwarna hitam gelap. Entah nama yang menyesuaikan, apakah warna yang menyesuaikan dengan perkumpulan yang dibentuk, ataukah sebaiknya. Yang jelas, perkumpulan yang saat ini diketuai oleh Hek Eng Jiau Jiu (si Cakar Elang Hitam) Cou Kiong, memang dekat dan erat dengan warna hitam. Dan sejak awal hingga masih tetap berkiprah di Tionggoan, sudah seperti itu perguruan kecil yang berada di luar kota Liang Ping ini. Berwarna serba pekat dan hitam, dan memang simbol dan lambang mereka juga berwarna hitam.
Tetapi, ada satu hal yang juga menjadi ciri khas lain dan tidak banyak diketahui orang, bahkan juga tidak diketahui banyak tokoh Rimba Persilatan di Tionggoan. Hek It Kau (Aliran Baju Hitam) adalah sebuah perguruan yang mendidik anggotanya untuk lebih banyak "berkelana" dan mencari serta memburu benda-benda berharga. Setelah menemukan benda-benda berharga ataupun pusaka yang langka, maka mereka kemudian menjual temuan mereka itu ke pembeli tertinggi. Karena itu, meski beranggota lebih 60 orang, tetapi di hari biasa, hanya ada paling banyak 20 orang anggota yang bertugas di markas utama Hek It Kau. Mereka yang bertugas ke luar, para anggota Hek It Kau itu akan dibagi dalam 4 kelompok dan kemudian bertugas keluar untuk melakukan pencarian. Mereka terbiasa mendatangi tempat-tempat misterius dan terpencil, termasuk mencari dan memasuki gua-gua yang terpencil, memasuki terowongan yang asing, bahkan sampai juga menyelam ke dasar sungai, pendeknya mendatangi tempat-tempat yang masih asing dan perawan. Pendeknya mendatangi tempat-tempat yang diduga dan disangka menyimpan rahasia yang memiliki harga mahal dimata orang. Benda-benda mujijat dan langka itu, sudah jelas berada di tempat tempat tersembunyi.
Selama beberapa tahun terakhir, bukan sedikit benda mahal yang mereka temukan dan kemudian diperdagangkan dengan tidak menggunakan nama perguruan. Ketika menjual, Hek It Kau tidak menyertakan merek perguruannya, tetapi melakukan pendekatan pribadi dan memanfaatkan relasi yang cukup luas. Pekerjaan seperti ini memang akan sangat sangat berbahaya jika mereka menemukan benda yang berharga atau mustika dengan nilai jual atau nilai kemujijatan yang sangat tinggi. Menyadari akan bahaya seperti itu, Hek It Kau (Aliran Baju Hitam) selalu "bermain" aman dan menggunakan "jalur perdagangan alternatif" yang sedapat mungkin tidak melibatkan nama perguruan. Tetapi meskipun demikian, tetap saja ada satu atau dua orang yang tahu dengan pekerjaan perguruan ini, terutama dengan seringnya mereka mengutus orang untuk bepergian dalam waktu yang lumayan lama. Dan pekerjaan mereka itu, sudah barang tentu ada sekali atau mungkin lebih dua kali mereka menemukan benda-benda mujijat, termasuk catatan rahasia ilmu silat yang tersimpan secara rahasia dan misterius.
Satu-satunya tokoh yang dikenal dari perguruan ini di Rimba Persilatan sejak 15 tahun terakhir adalah Kaucu mereka yang bernama Hek Eng Jiau Jiu (si Cakar Elang Hitam) Cou Kiong. Kaucu yang sudah berusia sekitar 58 tahun ini adalah orang gagah meskipun nyaris tidak ada yang mengetahui sampai dimana tingkat kepandaiannya. Karena jarang atau nyaris tidak terlihat dia mengadu ilmu ataupun bertempur dengan orang lain, termasuk jarang menunjukkan kemampuannya kepada anak muridnya. Mewarisi perguruan dari ayahnya, Kaucu gagah ini justru memiliki hobby yang sangat bersesuaian dengan ciri khas perguruan. Kegemaran dalam menjelajah daerah asing dan tempat-tempat misterius serta belum terjamah manusia, seperti bersesuaian dengan perkumpulannya. Tidak jarang Kaucu Hek It Kau turun memimpin satu rombongan murid perguruannya untuk menjelajah dan memasuki daerah yang masih asing.
Markas Hek It Kau yang terletak di luar kota Liang Ping sebelah selatan, berdiri cukup megah meskipun tidaklah amat besar. Hanya ada sebuah bangunan cukup besar dan selebihnya rumah-rumah yang diperuntukkan untuk anggotanya yang memang tidak terlampau banyak. Bahkan, beberapa anggota perguruan, adalah para pemuda atau pria yang tinggal di Kota Liang Ping dan hanya akan berada di Markas Hek It Kau jika berlatih atau jika ada tugas. Karena ciri mereka yang unik, Hek It Kau nyaris tidak punya musuh, baik di Kota Liang Ping maupun di Rimba Persilatan Tionggoan. Prinsip mereka yang senang berbisnis meski secara "gelap", membuat mereka mementingkan relasi dan berkawan dengan sebanyak mungkin perguruan dan tokoh lain di Tionggoan. Karena itu pula maka, di Kota Liang Ping ini Hek It Kau memiliki relasi dan kenalan di banyak lapisan. Apalagi dengan sesama perguruan silat yang hanya berjumlah 3 perguruan.
Siang itu, ada kurang lebih 50an orang yang sedang mengadakan pertemuan dan di bagian depan sebagai pemimpin pertemuan nampak ada 3 orang yang bertindak sebagai pemimpin. Mereka beraada di depan dan memimpin jalannya pertemuan sementara di samping mereka terlihat ada 3 orang lain yang duduk dan gayanya agak berwibawa. Kelihatannya, pertemuan 3 perguruan ini dipimpin oleh 3 orang mewakili 3 perguruan, tetapi semua Ketua atau Pangcu dari perguruan duduk di depan untuk menghormati mereka yang berembuk. Setelah meja pimpinan, ada ruang yang cukup besar, beberapa meter, kira-kira 5-6 meter, duduklah perwakilan dari 3 perguruan yang terkelompok menjadi tiga, dan masing-masing duduk perwakilan perguruan sebanyak 10 orang. Baru di barisan paling belakang, terlihat ada kurang lebih 15 orang tamu yang kelihatannya sebagian besar berasal dari Kaypang. Jelas dari baju yang mereka kenakan.
Pertemuan itu kelihatannya baru saja akan dimulai karena Kaucu Hek It Kau, Hek Eng Jiau Jiu (si Cakar Elang Hitam) Cou Kiong baru saja menyampaikan ucapan selamat datang. Dan wakil-wakil dari ketiga perguruan baru saja ditunjuk untuk memimpin atau mengarahkan pertemuan agar menemukan jalan keluar yang tepat dan baik menghadapi situasi yang tidak mengenakkan. Apa yang sedang mereka hadapi" Wakil dari Ang Liong Pang (Perkumpulan Naga Merah) bernama Bu Seng Kok secara ringkas namun jelas menjelaskannya:
"Cuwi sekalian, waktu-waktu belakangan ini agak meresahkan dan sekaligus juga membahayakan kita sekalian. Ancaman dan terror dari Bu Tek Seng Pay tidaklah kosong dan asal mengancam belaka. Karena bahkan Perayaan Ulang Tahun Hu Bengcu sekalipun, secara berani mereka teror dan ganggu habis-habisan. Memang mereka dapat dipukul mundur, bahkan kemudian juga dipukul mundur dan akhirnya meninggalkan kota ini. Tapi, ancaman mereka belum dicabut bagi perguruan silat manapun, bagi yang menolak untuk menakluk akan dibumihanguskan. Berapa hari alu, tiba-tiba secara mengejutkan terjadi pergantian Bengcu, dimana sang Kaypang Bengcu, Tek Ui Sinkay ditunjuk menggantikan Hu Sin Kok. Menyusul kemudian keluarlah surat undangan bagi seluruh perguruan silat untuk bersatu membasmi Bu Tek Seng Pay. Nach, maksud bertemu kita semua pada hari ini, adalah untuk membahas dan memutuskan apa yang akan menjadi keputusan kita bersama sehubungan dengan sudah tibanya surat undangan tersebut" demikian kata-kata pembukaan Bu Seng Kok mengawali pertemuan antar 3 perguruan plus Kaypang di Kota Liang Ping ini.
Pertemuan itu berlangsung cukup seru namun pada akhirnya, mempertimbangkan banyak hal, termasuk mendengarkan keterangan kaum Kaypang, pada akhirnya keputusan dibuat. Bahwa, ketiga perguruan tidak mungkin menakluk dan kemudian bergabung dan tunduk kepada pihak Bu tek Seng Pay. Dan karena itu, pihak ketiga perguruan akan mengirim wakil, masing-masing 10 orang untuk melawan Bu Tek Seng Pay di Pek In San. Namun, demikian karena menimbang hal-hal lain terkait keselamatan ketiga perkumpulan kecil itu, maka mereka tidak akan menonjolkan nama dan simbol perguruan. Pada akhirnya, keputusan itu diambil melalui mufakat dan disetujui bersama. Bahkan keputusan pada saat itu, juga termasuk tanggal rombongan dari Liang Ping akan memulai perjalanan menuju markas para pendekar. Setelah keputusan diambil, waktu sudah menunjukkan hampir malam, berarti pertemuan mereka makan waktu nyaris 4 (empat) jam sejak pembukaan acara pertemuan yang berlangsung lancar tersebut.
Tibalah waktunya penutupan yang mendengarkan penegasan dari 3 Ketua dari masing-masing perguruan. Bahasa dan semangat mereka sama, meski memang perguruan mereka kecil dan jarang diperhitungkan, namun tetap merasa bagian dari Rimba Persilatan Tionggoan. Selesai sambutan dari Ketua Ang Liong Pang dan Ceng Liong Pang, paling akhir adalah kesempatan dari Hek It Kau untuk sambil sambutan atas hasil kesepakatan ketiga perguruan, tetapi juga sekaligus menutup pertemuan tersebut. Maka dengan gagah, Hek Eng Jiau Jiu (si Cakar Elang Hitam) Cou Kiong, Kaucu dari Hek It Kau yang sudah berusia 58 tahun itu bangkit dari tempat duduknya dan melangkah ke depan seluruh hadirin. Meluncurlah kalimat kalimat penuh semangat yang menggelorakan hasrat serjuang semua orang, sampai kemudian menutup pertemuan itu.
Begitu sambutan penutupannya selesai dan tuntas yang menandai pertemuan itu selesai dan ditutup, tinggal menunggu jamuan makan malam, tiba-tiba terdengar seruan dari luar ruangan:
"Hek Eng Jiau Jiu (si Cakar Elang Hitam) Cou Kiong, tahan sebentar...." bersamaan dengan seruan tersebut, melayang masuk 4 bayangan dengan gaya yang indah, ringan dan mendatangkan rasa kagum semua yang hadir saat itu. Keempat orang itu melangkah ke depan dengan gagah berani meskipun tidak memberi hormat dan seperti tidak menghiraukan kehadiran banyak orang lain dalam ruangan tersebut. Apalagi tingkah si perempuan satu-satunya. Matanya terlihat tajam dan membara, serta tidak sedikitpun melirik kekiri maupun kekanan. Matanya sejak masuk khusus tertuju dan menatap tajam kearah Hek Eng Jiau Jiu, Cou kiong yang sudah berada kembali di kursinya tapi belum lagi sempat duduk. Dia tetap berdiri karena ada bentakan dari luar yang jelas jelas menyebut nama dan julukannya. Tapi, begitu melihat siapa yang datang, sejenak wajahnya berubah, tetapi tidaklah lama, karena beberapa saat kemudian terlihat dia menarik nafas panjang dan kemudian meluncur dari mulutnya kata-kata sebagai berikut:
"Hmmmm, utusan Toko Keluarga Oey dari Kota Cing Peng..." serunya dengan suara tertahan dan jelas kaget, tidak menyangka.
"Hmmmmm, syukur engkau masih mengenali kami Kaucu..." terdengar suara yang sinis dan rada merendahkan dari si perempuan yang bernama Phang Cen Loan. Dia adalah istri dari putra sulung Siau Ji Po dan Oey Hwa yang bernama Siau Hok Ho. Karena posisi itu yang kemudian membuat si Nyonya menjadi tinggi hati dan besar kepala. Apalagi, karena memang, Phang Cen Loan ini dahulunya adalah murid dari Siau Ji Po, dan juga adalah salah satu yang memang cemerlang hingga akhirnya diambil menjadi istri dari putra sulung sang Suhu.
Seruan sindiran dari Phang Cen Loan tidak membuat Hek It Kaucu menjadi panik, melainkan beberapa saat kemudian harga dirinya pulih dan diapun berkata dengan suara tawar dan sedikit kurang senang:
"Hmmmm, apakah utusan Toko Keluarga Oey sama sekali tidak bisa menunggu beberapa saat saja lagi sebelum para tamu Perkumpulan kami selesai berpesta dan kemudian pulang ke tempat mereka masing-masing.....?" sebuah teguran yang tepat, pada tempatnya dan memukul balik sindiran Phang Toania tadi. Sindiran dari Hek It Kaucu tadi jelas-jelas dirasakan oeh Phang Cen Loan dan teman-temannya yang baru tiba tadi.....
"Mohon dimaafkan Hek It Kaucu, tetapi karena sudah berlangsung lebih dari setahun dan teramat sulit bagi kami untuk selalu datang bolak-balik menuntut penyelesaian atas urusan antara kita. Karena itu, maka kamipun memutuskan untuk memohon perkenan engkau, Hek It Kaucu untuk dapat segera menyelesaikan hutang kepada Toko Keluarga Oey kami. Ini adalah kedatangan kami yang kesepuluh dalam setahun ini, dan selalu Kaucu tidak berada di tempat. Lagipula, toch acara malam ini sudah ditutup, dan kini menjadi kesempatan buat Hek It Kaucu untuk menyelesaikan semua urusan dan hutang-hutangmu kepada pihak kami......" terdengar kini yang berbicara bukan lagi Phang Cen Loan yang ketus dan tinggi hati, tetapi suara yang lebih sabar meski tetap dalam tuntutan semua kepada pihak Hek It Kau. Suara murid tertua, Kam Song Si.
Melihat kini yang berbicara adalah Kam Song Si, orang tertua dan kelihatannya menjadi pemimpin dari keempat orang itu, Hek It Kau sedikit turun rasa tidak suka dan rasa marahnya. Kam Song Si berbicara dengan agak sabar meski tetap dalam tuntutannya kepada Hek It Kau. Dihadapi dengan tetap sopan membuat Hek It Kaucu juga menjadi turun tensi emosinya.
"Hmmmm, Kam Song Si, tetapi setidaknya pihakmu memberi lohu muka dihadapan kawan-kawan dari Kota Liang Ping ini...." berkata Hek It Kau dengan nada suara masih protes meski kemarahannya sedikit surut. Suaranya juga sudah turun volume dan kandungan emosinya.
"Hek It Kaucu, sebagaimana janjimu lebih setahun yang lalu bahwa engkau akan mengembalikan hutang-hutang kepada kami tidak lebih dari setahun masa peminjaman. Tetapi, setahun lebih sudah berlalu. Dan, bukan main sulitnya kami menemukan dan memintamu untuk bertemu dan menyelesaikan sejak tahun kemaren. Karena itu pula maka kami akhirnya memilih malam ini untuk berbicara, dan kawan-kawan dari Kota Liang Ping harap maklum bahwa ini adalah urusan dengan kisah yang panjang. Dan apa boleh buat, kami terpaksa bertindak sedikit kurang sopan....." Kam Song Si berkata dengan suara gagah dan tidak terkesan menyudutkan orang-orang lain yang hadir.
Kata-kata dan kalimat Kam Song Si sudah menegaskan posisi kedatangan mereka saat itu, yakni berhadapan dan langsung menuntut Hek It Kau. Sementara Hek It Kau, berkata atau tidak, terlihat ingin memanfaatkan "keramaian" pertemuan saat itu sebagai alasan untuk tidak meladeni rombongan dari Toko Keluarga Oey tersebut. Tetapi, seperti apakah nantinya mereka menyelesaikannya" Masih harus ditunggu lebih jauh kedepan karena pihak Toko Keluarga Oey kelihatannya menuntut dengan sangat dan seperti sudah kehabisan kesabaran.
"Kam Song Si, bukankah kalian bisa melihat jika saat ini Lohu masih sedang bertindak sebagai tuan rumah bagi pertemuan tiga Perguruan di Kota Liang Ping" Bisakah kalian menunggu sampai acara ini selesai....?" entah mengapa Hek It Kau sangat mengindahkan tamu-tamu yang sebetulnya sudah mempermalukan pihak dari Hek It Kau dengan kedatangan mereka itu.
"Hek It Kaucu, bukankah engkau baru saja menutup pertemuan tersebut" Justru kami sengaja menunggu saat engkau menutup pertemuan dan baru kami datang untuk menuntut pertanggungjawabanmu yang terus menghindari kami selama lebih dari setahun ini. Kami sudah lebih dari sabar menghadapi dan bolak-balik kemari dan akhirnya menemukan saat yang tepat pada hari ini. Sesungguhnya kami tidak melihat ada jalan lain lagi...."
"Kam Song Si hengte, engkau berilah kesempatan Hek It Kaucu untuk meladeni urusan kalian setelah kami pada meninggalkan ruangan ini...." tiba-tiba berdiri Ho Lang, Pangcu dari Ang Liong Pang. Pangcu Ang Liong Pang ini adalah salah satu dari Sam Seng Liang Ping (3 Malaikat dari Liang Ping) yang terdiri dari Ho Lang, yang tertua dan kemudian kedua adiknya Ho Kun dan Ho Bun. Mereka bertiga berturut-turut berusia 57, 55 dan 50 tahun, dan sudah memimpin Ang Liong Pang selama lebih dari 10 tahun terakhir.
"Hmmmm, sebaiknya pihak luar jangan ikut campur. Kami hanya menuntut apa yang menjadi hak kami dari pihak Hek It Kau....." terdengar teguran dingin dan suara yang menyebalkan itu adalah suara seorang perempuan. Siapa lagi jika bukan Phang Cen Loan yang kembali bersuara"
"Hmmmmm, wanita liar darimana yang demikian tengil dan tidak tahu aturan...?" mendengar Ho Lang yang menjadi Ang Liong Pangcu ditegur dengan pedas oleh seorang perempuan yang masih jauh lebih muda, membuat Ho Bun, adik bungsu Pangcu Ang Liong Pang menjadi murka. Ho Bun sendiri memang dikenal pendek sumbu, alias orang yang mudah marah, gampang tersulut emosi dan meledak ledak. Emosinya sudah tinggi sejak kedatangan keempat Utusan Keluarga Oey dari Cing Peng, tetapi masih menahan diri karena ini urusan tuan rumah. Tetapi, mendengar kakak tertuanya ditegur dan seperti dipermalukan Phang Cen Loan, meledaklah kemarahannya dan sukar dia mengendalikan dirinya lagi.
Mendengar suara dari deretan peserta atau anggota dari ketiga perguruan yang sedang berkumpul, Phang Cen Loan mengira yang menegurnya adalah anggota biasa dari ketiga perkumpulan itu. Matanya sudah berubah kembali membara setelah sempat ditenangkan suaminya. Dan karena itu, dengan suara menghina dan amat memandang rendah, dia melihat Ho Bun yang sudah berdiri di sayap kiri, sambil kemudian berkata dengan tajamnya:
"Mereka yang tidak paham dengan persoalannya lebih baik diam dan jangan coba menggonggong mengganggu pekerjaan kami....."
Luar biasa hinaan Phan Ceng Loan terhadap seorang tokoh Ang Liong Pang. Dan lebih luar biasa lagi, karena umur tokoh itu, bahkan masih lebih tua lebih dua puluh tahun dibandingkan dirinya. Mana dapat seorang Ho Bun menahan kemarahan yang demikian hebat" Bahkan sampai seorang Ho Lang sendiri, sang Pangcu Ang Liong Pang, ikut-ikutan membara matanya dengan kalimat kurang ajar yang dikeluarkan oleh Phang Cen Loan tadi. Dan Kam Song Si dengan cepat menyadari jika adik seperguruannya sudah berbuat dan berkata teramat lancang pada saat itu dan bakalan mengganggu upaya mereka saat itu. Tapi, baru saja dia mau bertindak, Ho Bun sudah menggeram dengan amat murka sambil kemudian melangkah maju dan menuding-nuding wajah Phan Cen Loan. Tak berapa lama kemudian diapun memaki dengan suara kasar dan keras;
"Hmmmm, sungguh anjing betina tidak tahu aturan. Kalian boleh saja hebat, kaya dan tidak memandang mata kepada kami di Kota Liang Ping ini. Tetapi tetap saja kalian tidak berhak memaki-maki dan merendahkan kami di Kota kami ini. Benar kalian berurusan dengan Hek It Kau, tetapi tidak berarti kalian bisa seenaknya datang dan merusak suasana pertemuan tiga perguruan kami di kota Liang Ping ini. Sekarang, apa maumu....?"
Luar biasa, makian Ho Bun ini tidak kalah kasar dengan makian Phan Cen Loan sebelumnya. Tapi, mau dikata apa" Adalah Phang Cen Loan yang justru memulai semuanya, dan dia jugalah yang telah memicu keadaan yang membuat Ho Bun dan hampir semua tokoh yang ada dalam ruangan itu menjadi marah dan murka kepadanya. Bahkan perlahan namun pasti, suasana sudah mulai berubah menjadi pertikaian keempat orang itu melawan seisi ruangan yang merupakan tokoh-tokoh silat dari Kota Liang Ping. Kam Song Si, orang tertua diantara keempat tokoh yang datang menagih ke Hek It Kau itu cukup maklum. Karena itu, dia berkata kembali untuk menenangkan sumoynya;
"Phang Sumoy ..... sabarlah" bagaimanapun Kam Song Si memang harus mencoba untuk meredakan kemarahan Phang Cen Loan setelah melihat keadaan berubah cepat menjadi tak menguntungkan bagi misi mereka. Jika dia membiarkan Phang Cen Loan terus berulah, niscaya kerepotan yang ditemui.
"Maaf Toa Suheng, aku muak melihat Hek It Kau yang mencla-mencle dan terus mendustai kita. Sudah lebih setahun Toa Suheng. Dan kerugian toko kita bukannya sedikit selama setahun belakangan ini, dan kini mereka memakai anjing-anjing penjaga untuk melawan kita. Hmmm, apa si anjing buduk pendek itu mengira aku akan ketakutan untuk menghadapinya.....?"
Bukannya membuat suasana menjadi dingin, teguran Kam Song Si justru dijawab dengan kata-kata Phang Cen Loan yang semakin memanaskan suasana. Bahkan sudah berubah menjadi tantangan terbuka terhadap Ho Bun yang tentu saja jadi emosi dan langsung menerima tantangan itu.
"Hohoho, jangan dikira kami akan membiarkan hinaan terhadap kawan-kawan di Kota Liang Ping ini tanpa memberi pelajar kepadamu Nona....." mari kita selesaikan dengan pukulan, dan kemarilah, biar lohu memberi pelajaran kepada mulut dan juga bibirmu itu biar lebih sopan dalam berkata-kata.
Melihat kawannya sudah maju, Hek It Kaucu menjadi tidak enak hati, meskipun juga menjadi sedikit senang karena beroleh bantuan yang tidak sedikit. Dia masih coba untuk mendinginkan suasana dengan berkata:
"Ho Bun lote, cobalah menahan diri, dan biarkan lohu mencoba untuk menjernihkan persoalan ini dengan pihak mereka...." dengan suara halus Hek it Kaucu mencoba membujuk sahabatnya dari Ang Liong Pang itu.
"Hek It Kaucu, anjing betina itu menggonggong terlalu menyakitkan. Mulutnya terlalu tajam dan menghina kita, bukan hanya menghina Hek It Kau kalian, tetapi juga menghina kita semua. Karenanya mundurlah, biarkan kucoba menutup mulut anjing betina jalang itu....." luar biasa makian balasan dari Ho Bun, makian yang membuat keadaan jadi tak bisa dikendalikan lagi. Apalagi karena semua peserta pertemuan, juga sudah sama murka terhadap Phan Cen Loan yang bukan hanya sombong dan tinggi hati, tetapi juga sangat menghina itu. Sementara, kata kata Ho Bun yang terakhir, juga sama dengan minyak yang disiramkan kearah sumber api yang siap menyala. Dan meledak jugalah......?
"Kurang ajar, terimalah pukulanku......" Phang Cen Loan yang akhirnya memulai perkelahian karena tidak dapat menahan lagi kemarahan dalam hatinya. Begitu menyerang, dia langsung menggunakan Ilmu dan Gerakan-gerakan hebat dari pintu perguruan Siauw Lim Sie, namun gerakan-gerakan itu sudah disamarkan. Phang Cen Loan menyerang dengan Ilmu Pukulan Sam In Ciang (Tiga Tinju Rahasia), salah satu ilmu andalan Bu In Sinliong. Sejatinya adalah ilmu Silat Siauw Lim Sie, namun sudah digubah dan dirubah sedemikian rupa oleh Bu In Sinliong sehingga menjadi berbeda. Tetapi, kehebatannya bahkan meningkat lebih hebat dan lebih memiliki daya pukul dan daya terjang dibandingkan dengan rangkaian ilmu yang sejenis di pintu perguruan Siauw Lim Sie.
Apalah artinya seorang Ho Bun menghadapi Phang Cen Loan" Dalam 5 dan 6 jurus belaka, Ho Bun sudah terdesak hebat dan keadaannya jadi sangat mengenaskan. Sewaktu-waktu dia dapat terkena pukulan lawan, tetapi Phang Cen Loan seperti sedang mempermainkan dia dan membuatnya pontang-panting berkelabat kekiri atau kekanan tetapi tidak mampu lepas dari belitan serangan lawan. Apalagi, karena kekuatan iweekangnya, juga masih tidak mampu memadai melawan Phang Cen Loan yang meski jauh lebih muda, tetapi lebih terlatih. Akhirnya, semua dapatlah menyaksikan bahwa Ho Bun memang masih bukan tandingan dari Phan Cen Loan dan membuat semua kaget. Seorang tokoh dari Ang Liong Pang tidak dapat menandingi seorang perempuan dari Toko Keluarga Oey"
Tidak lama kemudian Phang Cen Loan sudah dikerubuti dua orang, karena Ho Kun, kakak Ho Bun sudah turun tangan membantu adiknya. Mereka berdua, kakak dan adik sesungguhnya adalah pemimpin-pemimpin tertinggi Ang Liong Pang yang Pangcunya adalah kakak tertua mereka Ho Lang. Tetapi, sudah maju berduapun, tetap saja keduanya terdesak dan tak mampu banyak berbuat selain berkelabat menghindar kekiri, kekanan, kebelakang. Phang Cen Loan masih tidak kesulitan melawan dan mempermainkan keduanya, bahkan sesekali terdengar suara ketawa sinisnya. Keadaan yang tentu membuat hampir semua orang dalam ruangan itu tertegun tetapi tetap mendukung kedua kakak beradik Ho Kun untuk terus mengejar dan menghajar Phang Cen Loan yang ceriwis dan sombong itu. Tiba-tiba Phang Cen Loan kembali bersuara:
"Awas, jaga pipi kiri kalian berdua......." terdengar teriakan dalam nada suara yang menyakitkan hati dari Phang Cen Loan. Dan benar saja, dalam beberapa langkah kemudian terdengar suara yang keras memenuhi ruangan tersebut ...."Plok......Plok", pipi kiri Ho Bun dan Ho Kun sudah kena ditampar oleh lengan mungil Phang Cen Loan. Akibatnya mereka berdua terdorong ke belakang dengan pipi memerah bekas tamparan tangan Phan Cen Loan. Tetapi, bukan pipi itu yang terasa sakit, tetapi hati dan gengsi yang rasanya jauh lebih sakit. Karena begitu mudahnya mereka jatuh dan dikalahkan seorang perempuan yang berusia muda. Usia perempuan itu terpaut sekitar 20 tahunan dibawah mereka berdua. Hati siapa yang tidak malu, penasaran dan sakit oleh kenyataan itu" Tetapi sakit hati dan kepenasaran mereka masih belum berakhir sama sekali. Karena tak lama kemudian, kembali terdengar suara menyakitkan dari Phang Cen Loan:
"Ayo....... maju lagi jika memang masih ingin beroleh gebukan...." setelah berhasil menampai pipi kiri Ho Bun dan Ho Kun, Phang Cen Loan menjadi semakin garang, sombong dan tinggi hati. Seakan dialah ratu dalam ruangan pertemuan Hek It Kau tersebut dan semakin pongah tingkahnya.
"Gggggrrrrrrrr, aku akan adu jiwa denganmu....." terdengar Ho Bun menggeram marah dan kembali menyerang dengan gaya dan cara yang tidak beraturan. Atau lebih tepatnya, nampaknya dia kini menyerang dengan gaya dan cara yang kalap. Tidak perduli kalah atau menang yang penting dapat memukul Phang Cen Loan. Melihat Ho Bun maju, mau tidak mau Ho Kun juga bergerak maju, dan pada saat itu, Ho Lang, sang kakak tertua juga jadi ikut maju melihat kedua adiknya ditundukkan secara memalukan oleh Phang Cen Loan. Majunya Ho Lang sedikit membantu Ho Bun dan Ho Kun, karena Ho Lang ternyata memiliki kepandaian yang lebih memadai dibandingkan kedua adiknya. Dia dengan cepat dan tepat menahan pukulan berbahaya Phang Cen Loan yang nyaris melukai Ho Kun. Tepat ketika adik keduanya itu mendorong Ho Bun dan memasang badan sendiri menahan pukulan Phang Cen Loan. Cepat dan tepat Ho Lang menangkis lengan Phang Cen Loan dan membuat lengannya tergetar tanda masih bahwa dia sendiripun masih tetap kalah kuat. Tetapi meskipun begitu, tujuannya tercapai, yakni agar Ho Bun dan Ho Kun selamat dari pukulan lawan.
Melihat Ho Lang sudah maju, pada akhirnya, mau tidak mau Hek It Kau turun tangan dan kemudian berkata dengan suara keras:
"Baiklah, jika memang kalian berempat, wakil dari Toko Keluarga Oey, tidak lagi mau memberi muka kepada kami di Kota Liang Ping ini, boleh kalian katakan, apa yang ingin dan hendak kalian lakukan....?"
"Cou toako, setelah pertempuran tadi, urusan mereka berempat sudah bukan hanya urusan Hek It Kau sendirian lagi. Benar, pertemuan sudah ditutup, tetapi dengan semua warga persilatan di Kota Liang Ping masih berada dalam ruangan, maka berarti ruangan ini masih milik warga persilatan Liang Ping. Nona, entah siapa namamu, tetapi apa yang engkau lakukan, caramu melakukan dan tingkah lakumu sungguh sangatlah tidak pantas. Engkau mungkin ingin mempermalukan Hek It Kau, tetapi apa yang engkau lakukan dan pilihan waktumu, telah membuat semua warga persilatan di Kota ini menjadi sangat tersinggung. Apalagi dengan kepongahan dan kesombonganmu yang tidak sedikitpun bersedia memberi muka kepada kami kaum persilatan di Liang Ping ini. Kemanapun, kami akan meminta keadilan atas apa yang kalian lakukan pada hari ini, termasuk mengadu ke Bengcu yang baru, Pangcu Kaipang, Tek Ui Sinkay. Karena itu, mewakili Ang Liong Pang, Hek It Kau dan Ceng Liong Pang, lohu menuntut kalian berempat untuk minta maaf karena sudah mengganggu pertemuan kami. Dan setelah semua itu, engkau khususnya Nona, kesombonganmu dan kelancanganmu tadi perlu membuatmu secara khusus minta maaf kepada kami semua yang hadir di tempat ini......"
Berbeda dengan Ho Bun dan bahkan Ho Kun, kata-kata dan kalimat Ho Lang jauh lebih teratur, jauh lebih sopan dan memiliki landasan dan kaidah yang masuk akal bagi semua orang. Kam Song Si tiba-tiba sadar, bahwa memang benar, mereka sudah masuk dan kecebur dalam situasi sulit yang diakibatkan oleh kecerobohan dan keangkuhan satu orang saja. Phang Cen Loan. Tetapi, saat itu keadaan sudah demikian terlanjur dan sudah teramat sulit bagi mereka untuk mundur, atau apalagi minta maaf dan mengaku salah. Dia, Kam Song Si, mungkin saja minta maaf atas kekeliruan mereka, tetapi dia sungguh tidak yakin jika adik seperguruannya yang juga adalah menantu Suhunya akan bersedia melakukannya. Dan kelemahan lain dari Kam Song Si adalah kelambanannya atau sangat kurnag gesit dan cepat dalam mengambil keputusan di saat genting. Dan itu terjadi lagi, karena belum lagi dia mewakili para sutenya bicara, tiba-tiba terdengar:
"Hmmmmm, memangnya kami harus takut jika harus berhadapan dengan kalian semua yang membela tuan rumah yang berlaku salah kepada kami...." apalagi dengan membawa-bawa nama Bengcu Tionggoan, sungguh memalukan. Tetapi, jika memang kalian lakukan, mengadu kepada Bengcu Tionggoan, maka aku, Phang Cen Loan akan mempertanggungjawablannya. Aku bersedia menghadapi dan menjawab alasan kami..." bukannya minta maaf, justru Phang Cen Loan tambah memancing amarah dan murka semua orang dalam ruangan tersebut, terutama pihak ketiga perguruan yang kini sudah tidak dapat lagi menahan emosi mereka. Sebagian besar dari mereka, kini berdiri dan sinar mata mereka jelas-jelas menjadi tajam dan mengancam untuk maju mengeroyok.
"Hmmmm, mau melakukan pengeroyokan....." boleh, silahkan jika memang kalian semua berani melakukannya....."
"Sumoy, diam engkau........" tak tahan Kam Song Si membentak Phang Cen Loan setelah melihat bagaimana reaksi dari semua orang dalam ruangan tersebut. Apalagi sudah membawa-bawa nama Tek Ui Sinkay. Beda dengan yang lain, Kam Song Si sedikit tahu hubungan Suhunya dengan Kaypang Pangcu, meski jelasnya dia tidaklah paham. Memang dia tidak takut menghadapi keroyokan mereka semua, tetapi tentu saja dia harus menghitung akibatnya bagi Suhunya. Tetapi, lain lagi dengan Phang Cen Loan yang ditegur oleh Kam Song Si. Bukannya dia diam, sebaliknya malah menengus:
"Hmmmm, Toa Suheng, apakah engkau takut menghadapi semua keroco-keroco tak tahu diri dan tak tahu diuntung ini......?"
Mendegar itu, Kam Song Si menarik nafas panjang sambil memandang sumoynya dengan pandangan kesal. Apa boleh buat, dia tak mungkin lagi menarik semua kata kata sumoynya, karena semua orang mendengarkan perkataannya. Dan memang benar, Ho Lang, Cou Kiong dan Pek Hoat (Si Rambut Putih) Wie Lin Sui (Pangcu dari Ceng Liong Pang) sudah saling pandang satu dengan lainnya. Dan merekapun saling menganggukkan kepala tanda saling mengerti apa yang akan mereka lakukan menghadapi situasi yang tertera dihadapan mereka bertiga. Biasanya, adalah Wie Lin Sui yang menjadi jurus bicara bagi mereka bertiga, karena dia memang tokoh yang berusia paling banyak, 61 tahun. Selain itu, Wie Lin Sui ini memang tokoh yang memiliki kepandaian paling tinggi diantara mereka bertiga, paling bijaksana dan sering menjadi tempat bertanya bagi ketiga perguruan di Kota Liang Ping ini. Tokoh ini biasanya enggan campur tangan untuk urusan yang tiada sangkut pautnya dengan dirinya ataupun dengan Ceng Liong Pang.
Dan kini, akhirnya tokoh tua itu berdiri dan kemudian memandang Kam Song Si berempat. Melihat tokoh itu sudah berdiri, maka Hek It Kaucu dan juga Ho Lang, Ang Liong Pangcu, ikutan berdiri dan mengapit Wie Lin Sui yang sesuai julukannya memang seluruh rambutnya sudah berwarna putih. Entah semuanya merupakan uban, atau karena sebab lain rambutnya memutih. Wie Lin Sui berdiri, kemudian menatap Kam Song Si berempat dan akhirnya berkata:
"Kalian berempat mestinya adalah murid dari seorang tokoh yang lohu kenal, karena gerakan Siau Toanio tadi adalah salah satu ilmu andalannya, Sam Im Ciang. Tapi, lohu sungguh heran, tokoh yang lohu kenal itu beradat dan berperangai Pendekar, senang bersahabat dan memang memiliki kepandaian tinggi. Sungguh jauh beda dengan murid perempuannya yang berangasan, sombong dan tinggi hati. Apakah lohu keliru dengan kata-kata itu.....?"
Kam Song Si terkejut begitu tahu ada seorang tokoh yang mengenal Suhunya. Kata-katanya tadi benar-benar sebuah peringatan, tetapi peringatan itu justru semakin membuat dia terdiam bingung mau mengatakan apa. Karena itu, kembali Phang Cen Loan yang mengambil kendali, secara keliru.
"Jika engkau mengenal Suhu, berarti engkau harus duduk diam dan membiarkan kami menyelesaikan urusan hutang dengan pihak Hek It Kau......"
"Sungguh bernyali...... sayang sekai Nona, kata-katamu tadi sudah melukai para pendekar di Kota Liang Ping, dan lohu adalah salah satu yang tersinggung dengan kata-kata dan sikap sombongmu itu. Jika kalian lebih sabar sedikit dan turun tangan setelah kami berlalu, maka benar itu adalah urusan antara Hek It Kau dengan Toko Keluarga Oey. Tapi, sayang, kalian ceroboh turun tangan ketika kami masih berada di ruangan ini bersama semua anggota Hek It Kau...... sungguh perbuatan ceroboh dan mempermalukan nama Suhumu yang sangat besar dan mulia Nyonya" semakin jelas dan tegas teguran dari tokoh bernama Wie Lin Sui ini. Tapi, entah mengapa, apakah karena memang karakternya, atau ada sebab lainnya, Phang Cen Loan seperti tidak punya liangsim dan terus saja menyudutkan orang. Teguran serta peringatan tokoh setua Wie Lin Sui diabaikan, dan sebagai gantinya diapun berkata dengan nada merendahkan dan menyakitkan:
"Sudahlah orang tua, sudah cukup hormat kami dengan tidak melibatkan pihak lain. Karena ini murni urusan kami dengan pihak Hek It Kau..... tetapi jika ada pihak lain yang ingin membantu, maka kami semua akan siap menghadapi......" luar biasa, sungguh sombong dan membuat Wie Lin Siu akhirnya kehabisan kesabarannya. Keningnya berkerut dan dengan nada terpaksa diapun berkata;
"Sungguh menyesal sobat She Siau itu memiliki murid sedemikian tidak punya sopan santun, sungguh berbeda jauh dengan Suhunya........"
"Hek It Kaucu, jangan berlindung dibalik ketiak orang lain. Majulah dan selesaikan urusan dengan pihak kami....." tajam dan sombong suara Phang Cen Loan sampai Wie Lin Sui sendiripun jadi gemetar saking murkanya.
"Nona, sebagai orang tertua dari 3 perguruan kota Liang Ping, maka lohu tegaskan masalah kalian sudah menjadi masalah kami. Hek It Kau tidak akan turun tangan tanpa perintah dan persetujuanku...." berkata Wie Lin Sui dengan suara keras, tegas dan tidak ada yang kini berani membantah keputusannya. Bahkan Hek It Kau dan Ho Lang sendiripun tidak berani.
"Menghadapi Bu Tek Seng Pay sekalipun, meski kami bagaikan kunang-kunang hendak menyerbu matahari, kami masih tetap memiliki kegagahan. Apalagi hanya menghadapi bocah kecil, nakal dan sombong seperti dirimu....."
"Aha..... jika memang demikian, bocah kecil dan nakal itu sekarang menantangmu. Majulah dan biar Nyonya besarmu menunjukkan bagaimana sebaiknya tindakan dan tingkah seorang pendekar....."
Seseorang dari pihak Ceng Liong Pay tiba-tiba maju menyerang Phang Cen Loan, tetapi belum lagi dia menyerang lebih jauh dan mendekati posisi Phang Cen Loan, Wie Lin Sui sudah membentak:
"Tahan.... kalian jelas-jelas masih bukan tandingan perempuan sombong itu. Bahkan Lohu sendiri mungkin masih belum menjadi tandingannya. Karena itu, kalian semua mundurlah. Biarkan lohu berusaha untuk mencoba menegakkan harga diri kita di Kota Liang Ping ini......." berkata begitu, tokoh tertua tiga perguruan kota Liang Ping ini kemudian majukan dirinya dan kini sudah langsung berhadap-hadapan dengan Phang Cen Loan. Sementara Kam Song Si masih terlihat ragu dan bingung apa yang sebaiknya dilakukannya. Tapi Phang Cen Loan sudah dengan sombong dan pongahnya maju dan berkata:
"Baik, engkau majulah Ceng Liong Pangcu, mari kutunjukkan bagaimana kehebatan kami dari Kota Cing Peng. Dan mudah-mudahan saja engkau akan dapat bertahan sampai 20 jurus menghadapiku"
Wie Lin Sui tahu jika Phang Cen Loan tidak berkata sesumbar, dia tahu betul hebatnya Pendekar She Siau yang sangat jarang munculkan diri itu. Muridnya tentu hebat dan dia tahu kesempatan menangnya teramat kecil. Bahkan untuk sekedar menahan seimbangpun tetaplah amat sulit. Tetapi, kegagahannya mendorong dia maju dan mempertahankan kebanggaan dan harga diri sebagai seorang pendekar yang rumah dan pertemuan mereka diganggu pendatang dari luar. Dia sadar akan kalah, tetapi tetap saja dia berkehendak maju menghadapi Phang Cen Loan. Bagaimanapun juga, dia adalah tokoh tertua yang dipercaya menjadi pemimpin tiga perguruan kecil di kota itu.
"Kuberi waktu 3 jurus untuk menyerangku tanpa membalas Pangcu....." semakin menjadi-jadi kesombongan Phang Cen Loan dan semakin kebat-kebit perasaan Kam Song Si dan bahkan suami Phang Cen Loan yang juga adalah anak sulung Pendekar She Siau dari Kota Cing Peng itu.
Dan benar saja, begitu Wie Lin Sui menyerang dengan jurus atau gerakan Coa Ong Sim Hiat (Raja Ular mencari liang) dalam ilmu yang kelihatannya berasal dari Bu Tong Pay, Phang Cen Loan bergerak cepat menghindar tanpa membalas. Bukan hanya tiga jurus, bahkan sampai 5 jurus dan dengan gerakan yang sangat jelas mempermainkan dan memandang enteng lawannya. Tetap saja Phang Cen Loan sulit dijangkau lawannya, apalagi karena dia bergerak dengan ginkang Liap In Sut (Ginkang Mengejar Awan) yang jelas saja membuatnya lebih sulit lagi digapai lawan. Karena itu, lima jurus berlalu tanpa ada ancaman berarti terhadap Phang Cen Loan. Semua jurus serangan dalam Ilmu asal Bu Tong Pay, Bu Tong Kun Hoat, selalu dihadapinya dengan mudah dan dielakkan dengan manis. Wie Lin Sui paham bahwa dirinya masih belum merupakan lawan setimpal dari si perempuan sombong itu, tetapi tetap saja dia menyerang dan mencoba menyudutkan lawan.
Setelah 15 jurus berlalu, tiba-tiba Phang Cen Loan berseru dengan suara keras agar di dengar semua orang dalam ruangan itu:
"Awas pangcu, engkau harus bersiap sedia, karena dalam 5 (lima) jurus kedepan engkau akan kujatuhkan....."
Dan setelah berseru demikian Phang Cen Loan bergera cepat dalam gerakan Giok li Touw Kang (Wanita elok menyeberang sungai), sebuah gerakan cepat dan manis dari ilmu ginkang Liap In Sut milik perguruannya. Dan dengan segera disusul lagi dengan gerakan Bwee Swat Tiauw Goat (Kembang Bwee Mekar Menghadapi Rembulan). Gerakan pertama membuat Wie Lin Sui kehilangan jejak lawan yang bergerak sangat cepat dan pesat, tetapi gerakan kedua adalah salah satu jurus pukulan Sam In Ciang. Jelas saja kombinasi gerakan ini sulit untuk dihadapi dan dielakkan oleh seorang Wie Lin Sui, bahkanpun oleh para pendekar kelas satu di Tionggoan. Itulah sebabnya Wie Lin Sui menjadi gugup dan akhirnya pasrah menghadapi pukulan lawan:
"Dukkkkkkkkk...... adduuhhhhhh......."
Bukannya tubuh Wie Lin Sui yang terpukul ke belakang melainkan Phang Cen Loan yang begitu memukul lawan justru terdorong sampai 5 langkah ke belakang. Kaget dia dengan kenyataan itu, karena lawan sudah pasti dapat dia taklukkan dengan pukulan terakhirnya. Tetapi, siapa sangka, justru tenaga pukulannya membalik dan membuatnya terdorong ke belakang. Untung tenaga iweekang yang digunakannya masih dapat diukur dan dikuasainya sehingga hanya menghasilkan kekagetan dan tidak sampai melukai dirinya sendiri. Tetapi, ada bagian lain yang justru terluka sangat parah. Yaitu egonya, kesombongan dan arogansi yang sejak tadi membuat banyak orang menjadi muak kepadanya.
"Kurang ajar, siapa yang main gila.....?" serunya penasaran namun tidak panjang dan lama, karena matanya cepat menangkap di belakang tubuh Wie Lin Sui sudah berdiri seorang tua lainnya dalam sikap gagah. Menjadi semakin marah dan juga membara karena pada saat itu terdengar tepuk tangan meriah dari semua orang dalam ruangan itu menyaksikan si sombong terontar ke belakang. Akhirnya ada juga tawa senang pihak tiga perguruan Kota Liang Ping.
"Hahahaha, sungguh aneh dan sungguh lucu, mengapa dari seorang yang berwatak Pendekar dan mengutamakan kegagahan seperti SIAU JI PO dapat muncul seorang dengan watak begitu rendah dan sombong seperti dirimu......?"
"Siapa engkau...." mengapa engkau mengganggu kesenangan Nyonya besarmu ini" apa engkau kira nyonyamu tak akan dapat menggebukmu pergi....?" geram Phang Cen Loan begitu tahu seorang setengah tua sudah berdiri di belakang Wie Lin Siu dan membantunya.
"Siapa lohu tidaklah penting-penting amat. Yang penting adalah, lohu teramat sangat tidak senang melihat betapa Sam In Ciang dan Liap In Sut yang mentah dan kosong telah digunakan seorang berwatak rendah dan sombong. Kedua ilmu hebat itu, adalah ciptaan seorang pertapa berbudi dan diperuntukkan bukan untuk menghina dan mempermalukan orang lain....." jawab si manusia pertengahan umur yang bukan lain Thian Liong Koay Hiap adanya.
"Hmmmm, syukur engkau mengetahui Liap In Sut dan Sam In Ciang, jadi sudah bisa engkau mundur sebelum pukulanku menyasar ke tubuhmu......" bukannya sadar menghadapi lawan berat, Phang Cen Loan justru semakin menjadi-jadi dan semakin terasa ngawur, termasuk di telinga saudara seperguruannya yang lain.
"Hahahahaha, sungguh lucu, sungguh lucu. Ech, benar-benar aneh. Bagaimana bisa seorang gagah seperti Siau Ji Po dapat mendidik seorang murid dengan watak seburuk ini...." lucunya lagi, sudah berani bertingkah dengan ilmu dan jurus-jurus yang masih amat mentah......"
Mendengar kata-kata yang demikian aneh dari Thian Liong Koay Hiap, Kam Song Si dan kedua sutenya yang lain mulai merasa kurang enak. Jelas si pendatang baru ini mengenal Suhu mereka dan bahkan secara tepat menyebut nama ilmu andalan yang tadi dimainkan Phang Cen Loan, saudara seperguruan mereka itu. Tapi, sekali lagi, kelambanan dan ketidak gesitan Kam Song Si dan Siau Hu Hok membuat kejadian lebih lanjut menjadi mungkin untuk terjadi. Kejadian yang sangat tidak enak bagi mereka berempat, terutama Phang Cen Loan.
"Engkau rasakan Sam In Ciang yang mentah ini...." terdengar jerit marah dari Phang Cen Loan yang kini mencecar Thian Liong Koay Hiap.
Tetapi dengan sangat mudah dan santai saja Thian Liong Koay Hiap bergerak, dan bahkan sambil menyebutkan dan menganalisis kelemahan dan kekurangan jurus yang dimainkan Phang Cen Loan:
"Gerak 'Bu Eng Bu Seng' (Tiada Bayangan Tiada Suara), jurus hebat dari Liap In Sut tapi terlampau lamban sedangkan gerakan kaki kurang mantap dan tenaga tidak memadai, dan akibatnya tipu Tiat Ie Koan Jit (Baju Besi Menutup Matahari) jadi kurang maksimal. Tidak berguna. Nach, benar, engkau melanjutkan dengan tipu Hek Houw Lok Sia (Harimau Hitam Ketawa). Ach, tapi sungguh amat disayangkan lenganmu kurang panjang terulur dan gerakan kakimu kurang lincah. Aaaachhhh, sayang karena kembali seranganmu bagaikan harimau ompong dan seperti kuku harimau tua yang sudah rapuh. Masih tidak dapat mendatangkan bahaya bagi lawan yang paham......" sambil mengelak dengan gesit dan mujijat, Koay Ji menyebutkan nama-nama jurus yang digunakan Phang Cen Loan dan bahkan menyebutkan kelemahan dari jurus-jurus yang justru digunakan lawan menyerangnya. Keadaan itu membuat Phang Cen Loan semakin marah dan tiba tiba dia membentak hebat dan menyerang dengan lebih lagi:
"Rasakan seranganku orang usil......"
Tetapi, seperti juga yang sebelumnya, dengan sangat ringan dan amat mudah Koay Ji mengelak dan terus menyebutkan nama jurus, dan bahkan menyebutkan semua kekurangan dan kelemahan permainan Phang Cen Loan;
"Ach gerakan Thian Lie Pian In (Bidadari Menari di Awan) yang sungguh payah, iweekangmu pasti belum terlatih dengan memadai dan karena itu, pengerahan hawa ketika melompat masih belum mampu mendorong tubuh lebih gesit bergerak. Dan jurus Hay Tee Lo Got (Di Dasar Laut Meraup Rembulan) juga sungguh tanggung, kurang memberi tekanan dan tidak membahayakan. Echhh, sayang, engkau keliru, mestinya dilanjutkan dengan jurus Pa Ong Gie Kah' (Couw Pa Ong meloloskan jubahnya). Hmmm, sekarang lohu yakin benar-benar yakin, engkau sesungguhnya termasuk murid yang malas belajar, hingga kecepatan dan kekuatanmu masih terlampau cetek. Masih susah diandalkan....."
Sambil bergerak Koay Ji selalu menyebut ilmu dan jurus yang dimainkan oleh Phang Cen Loan, bahkan lengkap dengan kekurangannya. Akibatnya, mereka terlihat seperti sedang berlatih dengan Phang Cen Loan setelah menyerang sampai lima jurus akhirnya terhuyung-huyung mundur tanpa diserang oleh Koay Ji dengan satu jurus serangan sekalipun. Aneh memang.
"Ach, engkau mau main-main dengan Ilmu Pukulan Sian In Sin Ciang (Lengan Sakti Bayangan Dewa) rupanya, bagus, bagus. Accch, tapi Jurus Ki Hwe Siauw Hian (Angkat obor membakar langit), yang jelek, pernafasanmu kurang tepat sehingga tenaga dorongan juga tidak maksimal. Sekali ini tepat, engkau melanjutkan dengan tipu Hay Tee Tam Cu (Mencari mutiara di bawah laut), tapi ach sayang keliru, mestinya gunakan Gerakan Yan Cu Tui In (Burung wallet mengejar mega) dan kombinasikan dengan Gerakan Kim So Heng Kong (Rantai Emas Melintangi Sungai). Karena itu, mudah saja aku memotongmu dan mendorongmu sehingga kembali terlontar ke belakang....... sayang, engkau masih mentah tapi sudah amat berani congkak di luaran....."
Kalimat terakhir Koay Ji diakhiri dengan dorongan ringan dengan membenturkan tubuh kanannya ke lengan kiri Phang Cen Loan. Dan akibatnya, Pohang Cen Loan terlontar kembali ke samping dan butuh 5-6 langkah baru dapat kembali tegak dan kini mulai ngeri menghadapi Koay Ji. Bukan apa-apa, entah mengapa tokoh itu tahu dan paham dengan semua jurusnya dan bahkan tahu apa kekurangan semua jurus yang digunakannya itu.
"Siapa engkau .....?" jeritnya antara bentakan ataupun geraman dahsyat seekor harimau betina yang siap kembali menyerbu. Jika dia kembali menyerbu, pasti akan menyerbu dengan kalap.
"Orang yang tahu dan paham bahwa Kakek Gurumu menciptakan ilmu itu untuk maksud mulia, tetapi engkau yang masih mentah, justru menggunakannya untuk menghina sesama kaum persilatan. Tetapi, boleh engkau memanggilku sebagai Thian Liong Koay Hiap jika engkau mau....."
"Thian Liong Koay Hiap......."
Terdengar bisik-bisik terkejut diantara hadirin, kecuali rombongan Kaypang yang sudah tahu dan mengenal terlebih dahulu. Yang jelas, semua orang, termasuk Hek It Kaucu, Angliong Pangcu dan Ceng Liong Pangcu terkejut dan sudah mendengar nama besar Thian Liong Koay Hiap yang sedang berkibar megah di angkasa raya. Nama yang disebutkan orang dengan penuh kekaguman dan mendatangtkan rasa ngeri dan seram bagi kawanan penjahat karena tangannya yang meski tidak gemar membunuh, tetapi kejam memunahkan kepandaian orang jahat.
"Hmmm, mentang-mentang punya nama besar meski masih baru, jadi engkau kini besar kepala dan sombong. Apa engkau kira aku takut melawanmu, mari kita lihat bagaimana seranganmu, apakah sama hebat dengan namamu yang melambung tinggi itu atau hanya nama kosong belaka......?" tahu lawan sangat hebat, membuat Phang Cen Loan kini mulai khawatir, tetapi kemarahannya menahan dirinya untuk menyerah begitu saja.
"Hmmmm, Phang Cen Loan........ engkau sungguh menjemukan dan seperti orang yang tidak belajar sopan santun. Jika tidak memandang muka Suhumu, maka semua kepandaianmu akan lohu punahkan. Tapi, baik, lohu akan menggunakan dua jurus dari Ilmu Pukulan Sian In Sin Ciang (Lengan Sakti Bayangan Dewa) yang engkau gunakan tadi. Yakni Jurus Ki Hwe Siauw Hian (Angkat obor membakar langit) dan juga tipu Hay Tee Tam Cu (Mencari mutiara di bawah laut). Hati-hati jaga baik-baik pundak kananmu pada jurus pertama dan jaga baik-baik kaki kirimu pada jurus kedua. Nach, bersiaplah, lohu akan bergerak dengan Liap In Sut...... apa engkau sudah cukup siap menerima seranganku....?"
"Aku sudah siap, silahkan menyerang. Jika aku kalah dalam dua jurus tersebut, maka aku akan melakukan apapun yang engkau minta......"
"Hahahahaha, baiklah, akan kubuat lebih muda dan adil Phang Cen Loan. Engkau cukup berkonsentrasi untuk menjaga pundak kananmu, karena sejurus sudah cukup untuk mengalahkanmu. Dan ingat dengan kata-katamu barusan......"
"Baik, tapi bagaimana jika engkau yang kalah orang aneh.....?" tantang Phang Cen Loan penuh percaya diri.
"Hahahahaha, sama, engkau boleh melakukan apa saja atas diriku...." jawab Koay Ji sama tekeburnya dengan Phang Cen Loan.
"Baik, silahkan mulai ...." tantang Phang Cen Loan penuh percaya diri. "Jika hanya satu jurus, masak aku tidak mampu menerimanya", demikian kira-kira Phang Cen Loan berpikir menghadapi Koay Ji.
"Awas pundakmu....."
Dan benar saja, sesuai perkataannya tadi, Thian Liong Koay Hoap menggunakan Jurus Ki Hwe Siauw Hian (Angkat obor membakar langit). Tidak berbeda dari Phang Cen Loan dalam kecepatan dan kekuatan pukulan, hanya yang berbeda adalah ketepatan dan akibatnya. Lengan kanan Koay Ji bergerak pesat ke atas dan kemudian dengan cepat meluncur kepundak kanan Phang Cen Loan, dan, kena. Gerakan Koay Ji tidak berbeda dengan gerakan Phang Cen Loan, tetapi sistim pengerahan tenaga yang melandasi gerak lengan dan kaki jauh berbeda. Karena itu, ketika Koay Ji menyerang pundak kanan Phang Cen Loan, tidak ada cara baginya untuk menangkis meskipun dengan mata kepala sendiri dia melihat bagaimana serangan Koay Ji menuju sasarannya. Sayang sekali, dalam waktu sepersekian detik belaka, Phang Cen Loan sudah tertotok roboh dan kalah telak.
"Hmmmmm, ilmu siluman...." desis Phang Cen Loan tidak paham dan tahu cara bagaimana Koay Ji menjatuhkannya.
Mendengar desisan lawan, Koay Ji kemudian berkata sambil mengibaskan lengan membebaskan Phang Cen Loan yang barusan tertotok kalah itu:
"Hahahahaha, bagaimana ilmu perguruanmu sendiri dapat engkau katakan sebagai ilmu siluman" Apakah Siau Ji Po benar-benar tidak menjelaskan bagaimana menggunakan jurus itu dengan dorongan hawa dalam tubuh sehingga kekuatannya melonjak 10 kali lipat lebih hebat....?"
"Mana ada jurus dengan pengaturan begitu.....?" masih saja Phang Cen Loan berkeras, karena meski dia tahu itu jurus dari Ilmu Perguruannya, tetapi dia jelas tidak paham bagaimana seorang Thian Liong Koay Hiap menggunakannya dan akibatnya belum pernah disangkanya semua"
"Sudahlah, jika memang engkau tidak paham bisa kumengerti. Adalah Suhumu yang mestinya paham jelas tentang ilmu dan jurus itu. Bagaimanapun engkau sudah kalah dan wajib mentaati perjanjian kita tadi. Jangan setelah membekal tekebur dan kesombongan, engkau juga membekal sifat buruk lainnya, yaitu tidak berani dan tidak tahu menerima kekalahan....."
"Tidak, aku belum tunduk sepenuhnya. Engkau menggunakan ilmu siluman, tidak dapat dihitung kalah karenanya......"
"Ilmu siluman ...... waaaaah, engkau selain sombong dan tinggi hati, tetapi ternyata juga licik. Tapi biar engkau puas, nach, biar engkau mencoba sekali lagi. Lohu akan menggunakan Gerakan Kim So Heng Kong (Rantai Emas Melintangi Sungai), dalam satu jurus perguruanmu itu, jagalah daerah paha kananmu karena disana letak serangan nanti. Engkau boleh bersiap sekarang...." berkata Koay Ji dengan sikap jemu dengan kebebalan Phang Cen Loan. Kini, Koay Ji sudah bersikap dan memutuskan apa yang akan dilakukannya.
"Baik, silahkan engkau menyerang sekarang....." tantang Phang Cen Loan setelah siap menerima serangan Koay Ji.
"Awas serangan......"
Dengan cepat Koay Ji menerjang kedepan dan mengancam sekujur tubuh Phang Cen Loan dengan beragam pukulan bayangan. Tetapi, sebagaimana perkataannya tadi, Phang Cen Loan menganggap sepi semua serangan Koay Ji dan konsentrasi penuh menjaga daerah paha kanannya. Dan beberapa sata kemudian, sekitar 3,4 detik berlalu, tiba-tiba Koay Ji mencelat mundur ke belakang dan berdiri sambil memandang tajam kearah Phang Cen Loan. Sampai saat itu Nyonya sombong itu tidak merasakan apa-apa, dan karena Koay Ji sudah melompat ke belakang dan dia tidak merasa ada sesuatu yang aneh, dia kemudian berkata:
"Apakah engkau akhirnya menyerah Thian Liong Koay Hiap....?" tanya Phang Cen Loan dengan bangga dan senang. Tetapi, dalam herannya, dia melihat Koay Ji tenang saja menatapnya, bahkan seperti ada nada "kasihan" dalam tatap matanya. Phang Cen Loan semakin heran karena ketika melirik ketiga suhengnya, termasuk suaminya sendiri, mereka semua memandangnya dengan perasaan menyesal dan kasihan. "Ada apa gerangan.... ada yang aneh....?" pikirnya bingung.
"Sudahlah, jika engkau masih tetap tidak mau mengaku kalah, tidak apalah. Yang penting ketiga suhengmu dapat melihat dengan jelas jika engkau sudah kalah dalam pertarungan tadi. Jika engkau menarik perkataanmu tadi, juga bukan masalah yang terlampau besar bagi diriku......"
"Heeeee, engkau tidak mau mengaku kalah.....?" teriak Phang Cen Loan gusar dan membuat orang-orang tersneyum-senyum mengejeknya.
"Jika engkau tetap merasa menang, ya apa boleh buat, engkau boleh merasa menang. Tetapi, tetap saja engkau harus minta maaf dan bahkan minta ampun kepada Wie Lin Sui, tokoh tertua yang sudah engkau permainkan tadi kewibawaan dan kepemimpinannya di Kota ini......" berkata Koay Ji dengan wajah keren, dan sekali ini membuat Phang Cen Loan berpikir berapa kali sebelum meledek ataupun menghina tokoh yang dia sudah rasakan memang hebat itu.
"Tapi..... tapi, aku kan tidak kalah......" desis Phang Cen Loan. Tetapi, hatinya jadi mencelos begitu dia mencoba bergerak, ternyata dia tidak mampu lagi sekedar mengerahkan iweekangnya, bahkan untuk menggerakkan kakinyapun teramat sukar dirasakannya. Baru dia kaget. Tambah kaget ketika dia mendengar:
"Tidak sumoy, engkau sudah kalah. Kalah telak oleh Thian Liong Koay Hiap dengan gaya sederhana, Gerakan Kim So Heng Kong (Rantai Emas Melintangi Sungai). Jika engkau menengok sebentar ke bagian kaki kananmu, sedikit di atas tempurung kakimu, maka engkau akan tahu bahwa engkau sudah kalah sumoy....." desis Kam Song Si dengan suara perlahan.
Dan ketika Phang Cen Loan melihat ke tempat yang disebutkan Kam Song Si tadi, wajahnya memucat, karena ada bekas tusukan jari yang tertera disana. Kain celananya jelas-jelas bolong bagaikan terkena sesuatu yang sangat tajam dan terlihat lubang di tiga tempat berbeda namun sangat berdekatan. Sadarlah dia akhirnya, bahwa memang benar dia sudah dikalahkan dengan cara yang sangat mengenaskan. Kekalahan yang amat memalukan dan membuatnya mematung dan tak sanggup berkata-kata apa-apa lagi. Pada akhirnya Siau Hok Ho mendekati istrinya itu dan kemudian merangkulnya sambil kemudian berkata:
"Jika tidak terpaksa, kami tidak akan berlaku atau melakukan seperti yang terjadi pada hari ini. Sesuatu yang juga bertentangan dengan keinginan kami..."
"Anak muda, engkau boleh mengatakan kesulitanmu, jika memang bisa membantu, maka lohu pasti akan membantu. Tetapi, bagaimanapun juga, apa yang dilakukan istrimu tetap sesuatu yang tidak dapat kubenarkan, dan karena itu, dia tetap harus meminta maaf kepada 3 perguruan di Kota ini....." setelah Siau Hok Ho berbicara dan ditegaskan oleh Thian Liong Koay Hiap, baru kemudian smeua orang yang hadir paham, bahwa benar Thian Liong Koay Hiap sudah menang. Meskipun mereka tak mampu mengikuti bagaimana cara menangnya. Yang penting adalah kemenangan. Dan karena itu, meledaklah kegembiraan mereka dan semua bertepuk tangan memuji nama Thian Liong Koay Hiap.
Setelah itu, semua mata kembali memandang kearah Phang Cen Loan. Orang ini yang memang teramat sangat dibenci karena tadi amat sombong, tinggi hati dan memaksakan kehendak serta kemauannya atas semua orang dalam ruangan itu. Bahkan menghina para pemimpin perguruan di Liang Ping ini. Maka, perlahan-lahan Phang Cen Loan memandang berkeliling dan sepertinya tahu bahwa dia adalah orang yang saat itu sangat dibenci. Tidak dia tidak memperdulikannya. Dan, meski tadi sudah kalah bertaruh, tetapi tidak atau belum terlihat ada niat dalam gerak-geriknya untuk mohon maaf atas semua yang telah dilakukannya tadi. Terutama dengan menghina serta juga menantang-nantang dengan tidak hormat semua perguruan yang berada di Kota Liang Ping ini.
"Bagaimana, apakah engkau tetap tidak akan meminta maaf atas segala hal yang telah engkau lakukan tadi......?" Koay Ji mengingatkan pertaruhan mereka tadi yang sudah dimenangkannya dengan telak. Tetapi, tiba-tiba terdengar suara orang yang berkata, terdengar dari luar tetapi tak lama kemudian sudah berada dalam ruangan dengan gerakan yang gesit serta sangat ringan. Sudah dapat dipastikan, jika si pendatang baru itu bukanlah orang sembarangan. Bukan sekelas Phang Cen Loan, karena terbukti dari gerakan dan kecepatannya. Begitu datang, diapun langsung bersuara membela Phang Cen Loan:
"Phang sumoy tidak perlu minta, biarlah aku yang meminta maaf, karena semua kulakukan untuk kepentingan perguruan......"
"Dan siapa pula engkau anak muda" Apa maksud perkataanmu barusan yang katamu bisa membebaskan sumoymu dari keharusan untuk mengajukan permintaan maaf terhadap semua orang yang hadir di tempat ini...?" bertanya Koay Ji melihat masuknya seorang pemuda gagah, berusia lebih 30 tahunan.
"Boanpwe bernama Bun Siok Han dan adalah tanggungjawabku atas semua yang terjadi di tempat ini. Jika memang Phang sumoy mengakibatkan ada yang terluka ataupun tersinggung, maka biarlah aku yang meminta maaf atas nama sumoyku itu. Adalah karena kebutuhan perguruanku maka dengan alasan apa boleh buat, tetap saja yang belum dituntaskan sumoy akan kubuat menjadi tuntas. Dan untuk itu, secara pribadi, aku minta maaf kepada semua orang......"
Mendengar yang datang adalah Bun Siok Han yang justru sedang dicarinya atas permintaan Sam Suhengnya, Koay Ji menjadi sangat gembira. Menurut info Sam Suhengnya, Bun Siok Han ini adalah murid kepala atau murid tertua dari Toa Suhengnya. Dan masih menurut Tek Ui Pangcu atau sam suhengnya, Bun Siok Han ini adalah murid paling lihay kepandaiannya dari angkatan dibawahnya. Dia sendiri tinggal bersama suhunya dan hanya sesekali berkelana jika ada sesuatu yang amat penting dan perlu dilakukan. Tetapi, apa maksud kedatangan keponakan muridnya ini" dan mengapa pula dia mengaku bertanggungjawab atas perbuatan Phang Cen Loan yang mengacau pertemuan pesilat di Kota Liang Ping ini"
"Hmmmm, jadi engkau inilah muridnya Jit Yang Sin Sian (Dewa Sakti Jit Yang) Pek Ciu Ping. Seorang tokoh muda yang kudengar gagah perkasa dan karena itu lohu rada kurang yakin jika benar engkau yang menjadi dalang dari keributan di tempat ini. Hmm, engkau ceritakanlah biar menjadi jelas bagi lohu, sesungguhnya apa yang terjadi di tempat ini dan apa peranmu anak muda.....?" kejar Koay Ji yang senang melihat murid toa suheng yang satu ini benar-benar gagah dan berisi. Tapi, juga kaget karena anak muda itu mengaku sebagai dalang dari keributan di rumah perguruan Hek It Kau ini. Sementara itu, seluruh orang yang dalam ruangan jadi kaget mengetahui bahwa anak muda yang baru datang adalah murid seorang jago lihay yang namanya sangat terkenal.
"Locianpwee, jika engkau berkenan, tolong bebaskan terlebih dahulu totokan atas Phang Sumoy, baru setelah itu, boanpwee berjanji akan menjelaskan semua kepada engkau orang tua. Apapun yang ingin locianpwee ketahui......" kata-kata Bun Siok Han sangat halus dan menghormat, jauh berbeda dengan Phang Cen Loan yang kasar, tinggi hati dan tidak memandang seorangpun juga diantara semua yang hadir dalam pertemuan 3 perguruan itu. Karena itu, Bun Siok Han memperoleh kredit yang cukup positif dimata semua orang, bahkan juga termasuk di mata Thian Liong Koay Hiap. "Anak ini memang benar sopan dan jauh lebih menyenangkan dibandingkan murid wanita Su Suheng itu....." desis Koay Ji dalam hati, sambil diam-diam memuji keponakan muridnya itu.
"Hmmm, baiklah, totokan boleh dilepaskan, tetapi sampai bertemu dengan Suhunya, lohu belum akan melepaskan hukuman lain. Hitung-hitung atas kesombongan dan kepongahannya yang tidak memandang mata perguruan silat lain......." sambil berkata demikian Koay Ji mengebaskan lengannya, dan sekejap Phang Cen Loan dapat bergerak kembali. Tetapi, ketika dia ingin mengerahkan tenaga iweekang untuk menyerang kembali, dia menjadi lemas dan sedih karena sekarang dia tidak dapat mengerahkan kekuatan iweekangnya lagi.
"Untuk sementara kekuatan iweekangmu kukekang. Ini bertujuan agar engkau tidak membuat keonaran lebih jauh lagi....." tegur Koay Ji yang membuat Phang Cen Loan melengos antara sedih, marah dan sejumlah perasaan lain yang sulit untuk dapat dia ungkapkan saat itu.
"Baik, terima kasih Locianpwee. Dapatkah Locianpwee yang budiman melepaskan kekangan atas iweekangnya setelah boanpwee menjelaskan semua latar belakang kejadian di tempat ini...?" tawar Bun Siok Han sebelum bercerita.
"Anak muda, sudah lohu katakan, kekangan itu akan lohu lepaskan setelah bertemu dengan Suhunya. Setelah dari tempat ini, Lohu akan menemui Suhunya berhubung sudah agak lama kami tidak bertemu....."
Mendengar Koay Ji atau Thian Liong Koay Hiap akan pergi menemui Suhu mereka, kini bukan hanya Phang Cen Loan, tetapi semua saudara seperguruannya, bahkan juga Bun Siok Han terlihat kaget bukan main. Hal ini membuat Koay Ji heran dan jadi maklum, besar kemungkinan kejadian di Kota Liang Ping ini di luar pengetahuan dari Siau Ji Po, Su Suhengnya itu. "Ada apa sebenarnya?" desisnya dalam hati bertanya-tanya dan makin penasaran.
"Locianpwee, apakah, apakah jika boanpwee dapat mengimbangi atau mengalahkan locianpwee, maka Locianpwee dapat cukup mengetahui kejadian sampai disini saja dan tidak perlu bertemu dengan Siau Susiok.....?" berkata Bun Siok Han dengan nada hati-hati namun tetap sopan. Tetapi, "tantangan" yang Koay Ji tahu sangat terpaksa dilontarkan Bun Siok Han itu, pastilah dikeluarkan dalam keadaan yang sangat terpaksa. "Kelihatannya mereka ingin menutup kejadian disini sampai disini dan tidak sampai di telinga Siau Ji Po dan tentunya juga Jit Yang Sin Sian (Dewa Sakti Jit Yang) Pek Ciu Ping. "Hmmmm, semakin mencurigakan" kembali Koay Ji bertanya-tanya dan menimbang dalam hati apa yang sebaiknya dia lakukan.
Orang-orang mendengar bahwa ternyata para "perusuh" adalah murid dari Siau Ji Po yang adalah sute dari Jit Yang Sin Sian yang kenamaan itu menjadi paham. Kini mereka tidak merasa penasaran lagi, karena memang mereka tahu dan kenal dengan Jit Yang Sin Sian dan kebesaran namanya. Di lain pihak, kaum Kaypang kini mulai mengerti, bahwa mereka berada di pihak yang sulit. Karena pembuat rusuh ternyata adalah keponakan murid Pangcu mereka sendiri. Sungguh situasi yang sangat runyam mereka hadapi kini.
"Dan jika engkau kalah, berarti engkau harus membuka semua penyebab kalian melakukan kerusuhan di tempat ini. Bagaimana.....?" pada akhirnya Koay Ji ambil keputusan apa yang akan dilakukannya.
"Baik, boanpwee bersedia. Tetapi, Locianpwee harus berjanji untuk menutupi kisah yang kuceritakan jika seandainya boanpwee bercerita kelak..... bisakah demikian locianpwee...?" kembali Bun Siok Han menawar dan membuat Koay Ji semakin tergelitik untuk mengetahui lebih jauh.
"Baiklah...... mengingat usiamu dan kegagahanmu, maka lohu akan mengalah dan memberimu kesempatan menyerang lohu selama 10 jurus. Manfaatkan kesempatan tersebut, karena dalam 10 jurus berikutnya, maka lohu akan mengalahkanmu dengan dua ilmu belaka, Sam In Ciang dan Ilmu Sian In Sin Ciang. Jika melampaui 10 jurus, maka boleh dihitung engkau yang menang anak muda......" berkata Koay Ji untuk membesarkan hati lawannya, meski Bun Siok Han justru tersinggung ketika mendengar dia diberikan banyak kemurahan oleh lawannya.
"Hmmmm, engkau terlampau memandang rendah kami Locianpwee, tetapi terserah engkau sajalah. Yang pasti Boanpwee akan bertarung mencari kemenangan, berapa juruspun yang kugunakan nanti......"
"Baik, engkau majulah anak muda......"
Bukan main terkejutnya Koay Ji ketika Bun Siok Han menyerang, karena dia dapat merasakan jika kehebatannya berkali-kali lipat dibandingkan dengan Phang Cen Loan. Baik iweekangnya, kegesitannya dan sudah tentu keuletan dan semangat bertarung yang amat kuat dan hebat. Bahkan Koay Ji segera merasa jika keponakan muridnya ini tidak akan kalah dibandingkan dengan Kwan Kim Ceng, dan tinggal sedikit jaraknya dibanding dengan Cu Pangcu dan Tek Ui Pangcu. "Luar biasa ..." desis Koay Ji dalam hati dan akhirnya bergerak dengan menggunakan kecepatan dalam ilmu yang lain, Thian Liong Pat Pian. Dengan ilmu itu, Koay Ji bergerak aneh dan misterius, namun semua serangan Bun Siok Han mandeg dan menjadi tidak berarti sama sekali.
Dan sesuai dengan janjinya, selama sepuluh jurus Koay Ji membiarkan Bun Siok Han terus menerus menyerangnya dan tidak membalas sedikitpun. Tetapi meski demikian, dia sama sekali tidak kerepotan karena memang jauh lebih memahami dan mendalami semua ilmu dan jurus yang dilontarkan oleh Bun Siok Han. Tetapi yang pasti, perkelahian mereka lebih hebat dibandingkan ketika Koay Ji sebagai Thian Liong Koay Hiap menghadapi dan kemudian menghukum si sombong Phang Cen Loan tadi. Hanya dalam sejurus dan dua jurus belaka Phang Cen Loan sudah kalah dan tertotok. Tetapi sekali ini, perlawanan Bun Siok Han membuat Koay Ji merasa bangga dengan kepandaian keponakan muridnya ini.
"Engkau cukup hebat Anak muda, tetapi setelah 10 jurus berlalu, kini engkau harus bertahan agar tidak jatuh dalam hitungan 10 jurus seranganku. Nach, engkau boleh bersiap, lohu akan menyerang dengtan menggunakan dua ilmu perguruanmu untuk menjatuhkanmu dalam 10 jurus saja. Nach, sekarang bersiaplah..... dalam sepuluh jurus kedepan lohu akan menotok pangkal lenganmu dan sekaligus melumpuhkan perlawanannmu. Dan ini adalah jurus pertama, jurus Ki Eng Pok Tou (Burung Elang Lapar Menyambar Kelinci), hati hati dengan daerah kepala dan lehermu anak muda...." sambil menyerang Koay Ji menyebutkan nama jurus dan daerah atau target yang akan diserangnya. Dan memang dia melakukan persis seperti yang dikatakannya, tetapi meski demikian, Bun Siok Han tetap kaget bukan main karena kekuatan pukulan, ketepatan dan tenaga yang digunakan Koay Ji. Benar benar tepat dan tidak dilebih-lebihkan meski lebih dari cukup mendesaknya, dan hal itu terasa benar olehnya secara langsung. Meski hanya memanfaatkan momentum dan tidak dengan kekuatan besar, tetapi dia terdesak tak mampu balas menyerang.
"Awas Anak muda, jurus berikutnya adalah Beng Hou Cut Tong (Macan Liar Keluar dari Gua) dan akan disusul dengan jurus To Tha Kim Ciong (Memukul Jatuh Lonceng Emas). Hati-hati dengan serangan dari depan dan akan segera disusul dengan cecaran di daerah punggung dan pinggangmu....."
Hebatnya, meskipun telah menyebutkan jurus serangan dan daerah yang akan diserang, tetapi tetap saja Bun Siok Han merasa kerepotan menghadapi serangan Koay Ji. Bukan hanya cepat, tetapi tenaga yang tepat dan momentum yang tercipta benar-benar membuat Bun Siok Han kerepotan. Untungnya Koay Ji tidak berniat mengambil keuntungan dari kerepotan Bun Siok Han dan terus memberitahukan serangannya dan jurus yang dia gunakan sampai akhirnya memasuki jurus ke sepuluh. Tanpa terasa semua penonton menjadi tegang dan kagum luar biasa terhadap Koay Ji atau Thian Liong Koay Hiap. Sementara 4 saudara seperguruan Bun Siok han juga nampak kaget dan takjub dengan permainan Thian Liong Koay Hiap. Tidak salah, jurus-jurus serangan Koay Hiap itu memang adalah jurus-jurus dari Ilmu peguruan mereka. Tetapi, mengapa Koay Ji atau Koay Hiap mampu atau sanggup memainkannya lebih hebat dari mereka semua"
"Awas anak muda, jurus ke sepuluh, tipu Ngo Seng Boan Goat (Lima bintang mengurung rembulan) engkau harus menjaga kedua lenganmu jangan sampai kena totokanku. Awas ......... kena......"
"Tukkkkk......."
Benar saja, tepat jurus ke sepuluh Thian Liong Koay Hiap menyerang, entah kenapa Bun Siok Han seperti kehilangan langkah dan arah. Meski berusaha keras dia untuk memainkan Liap In Sut pada tingkat tertingginya, tetapi tetap saja dia tak mampu merubah posisi mundurnya. Sebetulnya serangan Koay Ji tidaklah amat berbahaya, tetapi akumulasi posisinya yang terjepit sejak jurus ke-enam, membuat dia pada gerakan terakhir, sama dengan "menyodorkan" pangkal lengannya ke jemari Koay Ji. Dan, totokan Koay Ji dengan telak menyentuh pangkal lengan Bun Siok Han sampai lengan itupun tergantung lemas tanda tidak ada lagi alirang hawa iweekang ke lengan itu. Bun Siok Han sudah kalah. Para penonton tidak sadar berteriak-teriak kegirangan sambil berseru:
"Hidup Thian Liong Koay Hiap ....."
"Locianpwee, boanpwee mengaku kalah. Sungguh-sungguh mengaku kalah. Tetapi, bolehkah boanpwee mengtahui siapa sesungguhnya Locianpwee ini" Dan mengapa locianpwee begitu mengetahui, mengenal serta bahkan mampu mempergunakan banyak ilmu-ilmu perguruan kami dengan begitu sempurnanya....?" bertanya Bun Siok Han setelah diawali pengakuan tulus bahwa dia kalah dan sama sekali tidak menaruh rasa penasaran dengan kekalahannya. Memang dia bertanya, tetapi tidak mengurangi pengakuan atas kekalahan yang baru dialaminya melawan Thian Liong Koay Hiap tadi. Sekaligus mengutarakan kepenasarannya karena dia dikalahkan dengan ilmu-ilmu perguruannya sendiri.
Pendekar Asmara Tangan Iblis 2 Si Pemanah Gadis Karya Gilang Bende Mataram 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama