Pendekar Aneh Naga Langit Thian Liong Koay Hiap Karya Marshall Bagian 23
"Apakah engkau belum paham bahwa tidak ada satupun manusia yang tidak akan mengalami kejadian yang engkau sebut MAHA BERAT itu" Semua pasti bakalan mengalaminya. Yang berbeda adalah, ada orang-orang yang menyerah dan tidak mampu menanggung beban seberat itu hingga menyerah, menjadi gila ataupun masa bodoh dan mengulang-ulang kesalahan itu hingga terbiasa. Ada orang-orang yang berkeras menyimpan dan membungkusnya dari orang lain dan memaksa diri untuk melupakan bahwa dia pernah dan sering melakukan kesalahan besar. Orang-orang seperti ini adalah manusia munafik, tetapi yang dapat mudah dikenali karena mereka biasanya tidak konsisten dalam bersikap atas masaah-masalah besar. Dan yang ketiga, ada orang yang memang awas dan sadar bahwa dia tidak sempurna sehingga mengakui meski teramat sakit dan memalukan bahwa dia melakukan kesalahan tersebut. Orang-orang yang ketiga adalah orang yang berkemampuan untuk mengalahkan dirinya sendiri, sadar dengan kelemahannya dan belajar untuk tidak hidup dalam kesalahannya tetapi terus membaharui dirinya....."
"Terima kasih Lopeh, sebagian besar dapat kupahami, tetapi tetap harus kupikirkan bagaimana menjalani dan menerima diriku, kesalahanku dan tidak hidup dalam hal yang sama berulang-ulang......."
"Sudah kuduga engkau akan mampu meningkat dalam tahapan itu anak muda. Satu hal, memiliki niat adalah langkah awal, tetapi mewujudkannya jauh lebih sulit dari sekedar memiliki niat. Ada kalanya, niat baik kita berakibat tidak baik bagi orang lain, tetapi begitupun lebih baik kita berbuat dalam niat baik, daripada sekedar berniat tetapi tetap berdiam diri dan tidak melakukan apa-apa. Banyak orang baik yang diam dalam kebaikannya dan membiarkan yang tidak baik berkembang biak dengan amat cepatnya. Tetapi sebenarnya, adalah lebih baik kita berbuat dengan niat baik meski berakhir celaka, daripada berniat berbuat baik melawan kejahatan tetapi seterusnya berdiam diri karena takut menghadapinya. Takut menghadapi resikonya. Padahal berdiam diri terhadap kejahatan, sama saja dengan membesarkan kejahatan itu. Niatmu sudah membuktikan engkau ingin membaharui dirimu dan bakalan semakin mengenal batasmu..... lakukan anakku, restuku akan menyertai langkah hidupmu seterusnya..." sambil berkata demikian, si manusia aneh kemudian bergerak dan dapat diketahui karena secara perlahan suaranya menjauh.
"Lopeh, bolehkah aku mengetahui namamu yang menghadirkan penerangan bagi batinku ini....?" tanya Koay Ji penuh harap.
"Kelak jika bertemu, engkau boleh memanggilku sebagai Lie Hu San, si Pengemis. Maaf, saat ini lohu mesti berlalu karena masih harus mengurusi muridku...... sampai jumpa anak muda yang baik....."
Koay Ji sempat meloncat bukan untuk mengejar, tetapi untuk sekedar melihat dan memperhatikan bayangan LOPEH yang dia maksud menjauh dan semakin menjauh. Tetapi maksud utamanya untuk bertatap muka kembali tidaklah kesampaian. Dia tidak menemukan siapa-siapa karena bayangan manusia l di bawah pohon rindang yang dia tahu dimana tadinya LOPEH yang dia maksud berada dan berbicara dengannya sudah pergi. Maka pada akhirnya, menggantikan LOPEH itu, Koay Ji kemudian duduk di bawah pohon rindang itu. Tetapi, Koay Ji yang sekarang sudah sedikit berbeda dengan Koay Ji yang siang tadi menolong si Pengemis Aneh membeli makanan di sebuah restoran. Koay Ji yang sekarang sedang berusaha menghindari melamun dan berbicara menghukum diri sendiri, tetapi seorang yang mencoba menata kembali pikirannya, pemahamannya dan pendiriannya.
Cukup lama, seharian penuh Koay Ji tenggelam dalam perdebatan batinnya. Satu upaya untuk tidak lagi membenarkan diri, tetapi mencoba untuk memahami, bahwa niat baiknya telah mencelakai orang. Tetapi, bahwa dia menyelamatkan orang Yu Lian adalah kegembiraannya. Lama baru dia dapat mengampuni dirinya, meskipun dia belum sepenuhnya mengampuni diri sebelum memohon maaf kepada Yu Lian secara langsung, bukannya melalui orang lain.
Dan hal yang dengan segera menggembirakannya adalah, dia kembali menemukan motivasi, menemukan dirinya dan semakin bisa merasakan batas-batas kemanusian sendiri. Dia memang masih merasa berdosa kepada Yu Lian, tetapi dia tidak lagi ingin terus menerus menghukum dirinya sendiri, tetapi memutuskan untuk berbicara langsung dengan Yu Lian kelak. Ya, dia harus melakukannya, baik meminta maaf, sekaligus membicarakan urusan mereka berdua, bagaimana baiknya kedepan. Hal ini membuat Koay Ji merasa lega, meski belum akan dilakukannya segera, tetapi dia memutuskan dalam waktu dekat dia mesti mengerjakannya. Tidak boleh tidak. Dan dengan keputusan itu, Koay Ji sekaligus menemukan kembali kegembiraannya dalam berlatih Ilmu Silat dan bahkan dengan mudah dia kembali mampu melakukan samadhi dan berkonsentrasi. Tidak lama kemudian dia tenggelam dalam samadhi dan beberapa jam kedepan, Koay Ji sudah melanjutkan perjalanannya menuju ke Gunung Thian Cong San. Disana dia akan bertemu dengan semua suheng dan juga sucinya, semua saudara seperguruannya.
=================== Apa yang sebenarnya terjadi dengan ketiga orang muda yang sedang menuju ke Kota Han Im" yakni Kwan Kim Ceng, Nadine dan Nyo Bwee bertiga setelah meninggalkan Benteng Keluarga Hu saat pesta sudah usai" Untuk dapat mengetahuinya, terutama mengapa serta juga kemana Tio Lian Cu, Khong Yan dan secara kebetulan Sie Lan In juga terlibat dalam upaya membebaskan mereka bertiga, mari kita mundur sejenak kurang lebih satu dua bulan kebelakang. Tepatnya masa waktu ketika Perayaan Ulang Tahun Hu Pocu yang ke-75 usai dan bubar. Kwan Kim Ceng yang beroleh kepercayaan dari salah seorang saudara seperguruan dan sekaligus juga Kakek dari Nyo Bwee yaitu Nyo To, memutuskan mengantar pulang Oey Bwee ke Kota Han Im. Dan perjalanannya itu ditemani oleh Nadine yang sudah menjadi kekasihnya.
Tetapi karena mereka melakukan perjalanan sambil menikmati pemandangan indah di tempat-tempat yang baru, dalam waktu 2 hari mereka belum beranjak terlampau jauh dari Benteng Keluarga Hu. Begitupun, Kim Ceng dan Nadine berjalan dengan penuh rasa bahagia, sementara Nyo Bwee melakukan perjalanan dengan sepenggal hatinya tertinggal di belakang. Maklum, hatinya sudah semakin menetap dan mantap tertuju kepada Bu San, dan hanya kepada Bu San seorang. Tetapi sayangnya Bu San sang pujaan hati, justru mendapatkan tugas lain dari Tek Ui Sinkay, Pangcu Kaypang yang baru saja menjadi Bengcu Rimba Persilatan Tionggoan. Apa lacur, dengan sepenggal hati yang masih tersisa Nyo Bwee mengeraskan hati untuk pulang terlebih dahulu ke Han Im, meski sebagian keinginannya adalah melakukan perjalanan ke Thian Cong San.
"Bagaimana kalau kita juga melakukan perjalanan ke daerah dekat Thian Cong San karena jika tidak salah menguping, kelihatannya Tek Ui Pangcu akan bermarkas sementara disana sebelum menuju ke Lembah Cakar Ayam (Kee Jiauw Kok) di kaki gunung Pek In San......." usul Nyo Bwee.
"Tidak Bwee moy, kita bisa saja menuju ke Thian Cong San, tetapi terlebih dahulu kita pulang melapor kepada Nyo Suheng dan kemudian minta ijin untuk melakukan perjalanan yang baru. Terus terang kami berdua akan dengan senang hati dalam menemanimu melakukan perjalanan serta berkelana lagi di Rimba Persilatan. Terlebih, karena kami berduapun memang akan menuju kesana, tetapi tanpa ijin dari Nyo Suheng, benar-benar aku tak berani melakukannya" jawab Kim Ceng yang jelas sangat mengecewakan hati Nyo Bwee
"Benar adik Bwee, tanpa persetujuan dari kakekmu, bagaimana bisa kita melakukan perjalanan ke Thian Cong San.." bisa-bisa malah beliau mengirimkan orang-orang lain untuk memintamu pulang dengan segera...." tambah Nadine menguatkan dan membenarkan pendapat kekasihnya Kwan Kim Ceng. Dan memang, agak riskan untuk melakukan perjalanan lain tanpa meminta ijin kepada Nyo To yang meminta mereka menjaga dan mengawasi Nyo Bwee selama perjalanan.
"Accchhhh, kalian berdua sama, habis sudah sekongkol siy memang...." gerutu Nyo Bwee kesal tetapi tidak dapat marah karena memang pendapat Kwan Kim Ceng dan Nadine benar dan sangat masuk diakal.
"Jangan begitu Bwee moy, betapapun juga kami, terutama Kim Ceng koko memang bertanggungjawab atas perjalananmu kali ini kepada suhengnya, kakekmu Nyo To. Oleh karena itu, beri kami kesempatan terlebih dahulu untuk mengantarkanmu pulang ke kota Han Im sebelum kita kemudian minta ijin pergi lagi melakukan perjalanan yang lain......" bujuk Nadine.
"Tapi, engkau dan Kwan Susiok harus berjani terlebih dahulu akan memintakan ijin buatku guna perjalanan yang selanjutnya.... bagaimana...?"
"Baiklah, aku berjanji Bwee moi, Kwan Susiokmu juga pasti akan membantumu. Tapi untuk soal yang satu, yakni soal cinta terpendammu itu, kami sangat tidak yakin akan bisa ikut membantu..... hikhikhik" goda Nadine sambil menjauh karena percaya pasti Nyo Bwee akan membalasnya. Mereka, Kim Ceng dan Nadine memang sudah paham, bahwa Nyo Bwee mencintai Bu San, tetapi mereka berdua sungguh tidak mampu menjajaki perasaan dan hati anak muda yang aneh itu. Apakah dia juga mencintai Nyo Bwee, masih misteri bagi mereka. Terkadang dia terlihat perhatian, tapi kadang terlihat terlampau agung dan pintar, sungguh sulit dijajaki keinginan, hati dan perasaannya pada saat itu.
Begitulah, ketiga orang muda itu melanjutkan perjalanan sambil bersenda-gurau, juga sambil menikmati pemandangan yang terhampar indah dan relatif baru setiap mereka tiba di satu kota atau desa yang baru mereka datangi. Karena itu, perjalanan mereka berlangsung dengan sangat lambat. Tetapi begitupun juga, mereka tetap bisa menikmati perjalanan tersebut, terlebih bagi Kwan Kim Ceng dan Nadine yang sedang dimabuk oleh madunya cinta. Semakin jauh perjalanan justru bagi mereka berdua semakin baik, karena semakin panjang dan lama mereka bisa memadu kasih dan cinta. Begitulah orang yang lagi jatuh cinta.
Pada hari itu, menjelang siang hari mereka semakin dekat untuk memasuki Kota Tin Pa, Kota terbesar sebelum mereka tiba di Han Im meski memang masih berjarak sekitar 3 hari berjalan kaki dari Kota Han Im. Setidaknya, ada 3 jam jaraknya saat itu dari Kota Tin Pa dan mereka sedang berada di jalan utama menuju Kota Tin Pa. Karena Kota Tin Pa berada di kaki gunung, maka mereka sedang menikmati jalanan di pinggiran hutan dengan pemandangan ke bawah yang cukup menarik. Mereka bertiga kelihatannya akan tiba di Kota Tin Pa sedikit lewat jam makan siang nanti. Begitupun, meski Kwan Kim Ceng rada kewalahan, tetapi agak sulit memaksa Nyo Bwee untuk bergegas dan tidak memberinya kesempatan menikmati perjalanan pulang melewati banyak daerah asing baginya.
Tetapi, sesuatu yang merubah seluruh jalan hidup ketiga orang muda itu terjadi. Sama sekali tak mereka duga, tidak mereka sangka dan juga tidak diduga oleh para pelaku pada hari itu. Tetapi jika memang benar nasib manusia dan takdirnya sudah ada jalannya, maka sulitlah guna menolak dan menghindarinya, bagaimana keras pun usaha menghindarinya. Seperti juga pengalaman ketiga anak muda itu, Kwan Kim Ceng dan Nadine serta Nyo Bwee yang sedang dalam perjalanan pulang, siapa tahu mereka ternyata sudah dalam incaran orang. Mereka sedang berusaha untuk melintasi sungai dan baru saja tiba di tepiannya untuk kemudian membelok kekanan menuju jalan menurun memasuki Kota Tin Pa. Dan justru di tempat itulah awal dari jalan baru bagi hidup mereka.
Proses menyeberangnya tidak begitu sulit karena sungainya sendiri tidak terlampau lebar dan karena cuaca sedang baik dan tidak ada hujan. Makanya aliran sungainya cukup tenang dan tidaklah bergelora sampai menakutkan kedua gadis itu, terutama. Dalam keadaan seperti itu, menyeberang dengan menggunakan satu batang pohon yang lumayan besar, tidaklah terlampau mengerikan bagi mereka bertiga karena arus sungai yang sedang tenang. Bahkan juga bagi Nyo Bwee yang masih asing dan teramat jarang melakukan perjalanan atau berkelana di rimba persilatan Tionggoan. Singkat kata, mereka bertiga baru saja menarik nafas panjang dan siap melanjutkan perjalanan. Tiba-tiba.....
Terdengar suitan yang agak aneh, terdengar nadanya amat tinggi di telinga mereka bertiga dan begitu mereka sadar, keadaan sudah terlambat. Adalah Nadine yang dengan cepat berusaha menguasai diri dan masih sempat menyaksikan sedikitnya 20 orang menghadang mereka. Dan, samar-samar dia melihat seorang yang sangat dikenalnya munculkan diri, membasuh wajahnya dan kemudian berbisik halus dalam bahasa yang hanya dia sendiri yang paham:
"Tenang putriku....... keadaan kalian sangat berbahaya...." setelah itu, kesadarannya hilang sama sekali, dan tidak tahu lagi apa yang terjadi. Kemana mereka membawa dan orang yang membius atau menyihirnya, sudah dilupakannya sama sekali. Jelas karena memang dia kehilangan kesadaran.
Jika dikisahkan, cukup menarik dan terjadi dalam waktu yang sangat singkat. Hanya beberapa detik belaka, dan lokasi kejadian kembali tenang bagaikan tidak ada satu halpun yang baru saja terjadi. Tepat setelah Kwan Kim Ceng, Nadine dan Nyo Bwee menyeberang dan ingin melanjutkan perjalanan, kesadaran mereka dipengaruhi oleh suara yang aneh dan mitis itu. Selain Nadine, Kwan Kim Ceng dan Nyo Bwee sudah langsung kehilangan kesadaran dan hanya Nadine yang tahu serba sedikit apa yang terjadi dan menimpa mereka. Sebanyak 20 orang Utusan Pencabut Nyawa dengan gerakan yang cepat dan gesit mengambil dan membawa Kwan Kim Ceng dan juga Nyo Bwee. Sementara seorang yang lain, yang pasti orang asing dan memiliki tipe kulit dan mata yang sama dengan Nadine, mendekati gadis itu dan menyapa seperti yang digambarkan di atas....... jika tidak keliru, dialah Mindra si Penyihir Hebat dari Thian Tok. Murid ketiga Mo Hwee Hud yang juga dikenal sebagai Thian Suan Sinkun (Malaikat Pemutar Langit). Kemampuan Ilmu Sihirnya luar biasa hebatnya, dan itu sebabnya Mo Hwee Hud (Budha Api Iblis) membawanya serta ke Tionggoan dan bahkan diakui sebagai murid ketiganya.
Hanya dalam hitungan 3 detik, tempat itu kembali senyap, dan sepi. Bagaikan tidak pernah ada kejadian barusan yang terjadi disana. Tapi, memang siapa pula yang dapat menduga kejadian itu yang berlangsungnya di tempat yang amat sepi dan hanya dalam waktu yang amat cepat, singkat dan tuntas. Tanpa meninggalkan jejak dan tanpa ada yang menyaksikan kejadiannya. Dalam waktu 3 detik, mereka semua sudah menghilang ke balik hutan yang lebat, bahkan lebih kurang sepuuh menit kemudian, mereka semua sudah berada di balik sebuah bangunan nampaknya sudah berpenghuni dan pada ahirnya tidaklah terurus lagi. Entah siapa pemiliknya, tetapi dilihat dari ketidakterurusannya bangunan itu, pasti sudah lebih setahun ditinggalkan dan kini kesana ketiga orang muda itu dibawa. Berapa menit kemudian, kembali suasana menjadi hening bagai tak ada yang baru terjadi.
Begitu masuk kedalam ruang depan bangunan itu, kembali terdengar suitan dalam nada tinggi oleh Mindra. Dan hebatnya, kini 20 orang Utusan Pencabut Nyawa yang datang bersamanya tiba-tiba terduduk dan kemudian terkapar dengan sendirinya. Merekapun kehilangan kesadaran seperti Nyo Bwee, Kwan Kim Ceng dan juga Nadine. Sebaliknya, Nadine yang tadinya dalam pengaruh sihirnya, kini sadarkan diri dan perlahan-lahan mulai menemukan dirinya, bahkan kemudian berkata dalam bahasanya sendiri, bahasa Thian Tok:
"Ayah, aku tahu itu kamu........." serunya sambil memandang sosok misterius, tinggi besar yang berdiri tidak jauh dari tempatnya terbaring dan kini duduk untuk mencoba berdiri. Tetapi, tak lama kemudian Mindra, ayahnya mendekatinya dan bahkan juga membantunya untuk berdiri.
"Akupun tahu kalau engkau akan mudah mengenaliku anakku...... berdirilah, karena waktu kita sangat terbatas. Ayahmu harus mengatur segala sesuatunya agar tidak ada bencana yang kelak menimpamu...... dengar, waktu kita sangat sedikit dan amat terbatas. Jadi, camkan dan ingat baik-baik pesan ayah....."
"Ayah.... tapi,,,,,," Nadine berkata sambil melirik Kim Ceng dan lega hatinya karena pemuda kecintaannya baik-baik saja, juga Nyo Bwee
"Tenang anakku, aku tahu maksudmu. Akupun akan meninggalkan sesuatu kepada calon suamimu itu, tetapi dia tidak perlu mendengarkan percakapan kita saat ini. Nach, engkau paham dan siap....?"
"Baiklah ayah,,,, tetapi apakah memang benar-benar Kim Ceng koko benar baik-baik saja keadaannya ayah.....?"
"Masak calon menantukupun kucelakai" Engkau ada-ada saja anakku....." Mindra terharu melihat ternyata anak gadisnya pada akhirnya sudah menetapkan seseorang menjadi pilihan teman hidupnya. Dan untungnya, pemuda pilihannya juga gagah dan berhati baik. Dan dia merasa sudah cukup tepat, bahkan merasa senang bagi putri tunggal yang ikut terlunta bersamanya di Tionggoan.
"Baik, apa yang ingin ayah sampaikan....?" bertanya Nadine akhirnya setelah tenang melihat Kim Ceng keadaannya baik-baik saja.
"Begini, engkau pasti masih ingat, kakak lelaki dan adik lelakimu disekap Mo Hwe Hud, Suhuku entah dimana agar ayahmu mengikuti perintahnya mengerjakan satu hal di Tionggoan sini. Tapi, sayangnya, pekerjaannya itu amatlah licik, dan diapun bekerja dengan orang-orang yang tidak kurang liciknya, tidak kurang berbahayanya. Jika terus seperti itu, kita akan terbawa gejolak permusuhan yang dapat membuat kita semua dalam keadaan berbahaya. Syukurlah engkau justru dapat mengikat tali persahabatan dengan banyak tokoh di Tionggoan, terutama Thian Liong Koay Hiap yang sangat ditakuti pihak Suhuku itu. Nach, engkau terimalah benda ini dan yang satunya engkau berikan kepada calon suamimu, tapi sayang ayah tinggal memiliki dua buah ini saja. (Sambil menyerahkan dua butir mutiara berwarna merah hangus, merah tua) Kedua benda ini dikenal sebagai Mutiara Penolak Sihir yang ayahmu temukan di Tionggoan sini, di dalam sebuah gua ketika menyekap musuh-musuh dari Seng Ong. Engkau simpan baik-baik, dan gunakan nanti sebentar, karena kalian akan dihadang oleh pihak Utusan Pencabut Nyawa. Lakukan perlawanan seadanya dan tunggu waktu malam untuk melarikan diri, karena kalian akan kusihir untuk terlelap selama sehari semalam dalam sebuah gua. Besok malam, keluar dan segera melarikan diri menuju Thian Cong San tetapi melalui jalan hutan, jangan melalui jalanan umum. Lupakan untuk pulang menuju Kota Han Im, kalian bisa membahayakan seluruh keluarga kakek Nyo To disana, karenanya jauh lebih baik segera bergabung dengan para pendekar......."
"Accchhh, ayah, tapi......"
"Jangan banyak menyela...... ayah harus menyelamatkanmu, karena kemungkinan kedua saudara laki-lakimu sudah dibinasakan suhuku. Seorang tokoh dari Thian Tok memberitahuku kemungkinan itu..... karena itu, engkau harus hidup baik-baik serta melanjutkan keturunan ayahmu di Tionggoan sini. Ingat, langsung menuju Thian Cong San dan jangan mengambil jalanan umum...... kemudian, gunakan mutiara ini kelak untuk menolong 3 orang pengawal Bu Tek Seng Ong yang jiwa dan pikiran mereka ditawan melalui sebuah ilmu sihir yang amat mujijat. Selain ayah dan tokoh Persia, hanyalah si pelepas sihir yang dapat membebaskan mereka, tetapi, dengan Mutiara Penolak Sihir ini, akan jadi jauh lebih mudah untuk membebaskan mereka bertiga. Jika tidak keliru, salah satu diantara mereka bertiga adalah tokoh dari Negeri kita, entah siapa namanya..... engkau harus berupaya mencarikan daya menolong mereka. Nach, ingat pesanku tadi, jangan berdaya keras melawan, karena tokoh-tokoh utama Bu Tek Seng Pay berada dekat sini,,,,,,, menyerah untuk kutawan dan malam harinya meloloskan diri dan menuju Thian Cong San.... apa engkau paham putriku" Bertanya Mindra dengan nada suara tegang dan nampak seperti waktunya semakin menipis saja. Nadine paham soal itu.
"Baiklah ayah, aku mengerti......." jawab Nadine. Dia tahu sekali pengorbanan sang ayah, dan kagum dengan pengorbanan untuk anak-anaknya itu. Mereka memang sangat terpaksa berkelana ke Tionggoan, sudah cukup lama mereka meninggalkan Thian Tok dan jalan pulang semakin kabur saja. Bahkan, beberapa kali dia sendiri nyaris "dimakan" pihak lawan, tetapi pembelaan ayahnya memang sangatlah luar biasa dan membuatnya tetap selamat sampai saat ini. Diapun diangkat murid oleh Mo Hwee Hud, tetapi berkali-kali nyaris diperawani Cie Tong Pek. Untungnya ilmu sihir ayahnya memang hebat dan amat dibutuhkan gurunya. Tetapi kini" Setelah dia membelot dan memilih untuk bersekutu dengan kawan-kawannya sekarang, bahkan berhubungan dengan Kim Ceng, bukankah persoalannya berbahaya" Bahkan juga persoalan dan keselamatan ayahnya. Dia baru sadar bahwa posisi ayahnya dewasa ini sangatlah riskan dan sangatlah berbahaya. Jika bukan karena kemampuan sihir yang luar biasa, ayahnya pasti sudah dibinasakan. Dan dirinya sendiri, pasti sudah memancing amarah Mo Hwee Hud yang menyebalkan itu.
"Nach, jika demikian, bangunlah dan lanjutkan perjalanan kalian, satu jam kedepan, pasti ayah akan datang dan menawan kalian hidup-hidup. Ingatkan calon suamimu untuk nanti menyembunyikan Mutiara itu pada tempat yang tepat dan tidak mudah ditemukan orang lain nantinya......"
"Baik ayah......"
"Nach, sekarang pergilah. Ayahmu akan memunahkan pengaruh sihir dan membuat semua mereka Utusan Pencabut Nyawa disini untuk menjadi lupa dengan apa yang baru saja terjadi disini......."
Tak lama kemudian, suasana dalam bangunan itupun kembali sepi. Mindra dengan rombongan anak buahnya pergi berapa menit setelah Nadine, Kim Ceng dan Oey Bwee berangkat terlebih dahulu. Nadine menjelaskan semua pesan ayahnya kepada Kwan Kim Ceng tanpa menyadarkan Nyo Bwee terlebih dahulu, dan ketika Kim Ceng paham, maka merekapun segera menyadarkan Nyo Bwee dan kemudian segera melanjutkan perjalanan. Memang benar, Nyo Bwee kebingungan dan banyak bertanya-tanya, tetapi karena Kim Ceng dan Nadine bekerja sama dan mengakui bahwa mereka tidak tahu, pada akhirnya Nyo Bweepun diam. Dan merekapun tidak lama kemudian melanjutkan perjalanan.
Tetapi, tepat sekali seperti yang disampaikan Mindra, ayah Nadine, lebih dari sejam kemudian, tinggal 1 jam sebelum memasuki kota Tin Pa, mereka sudah dihadang oleh sejumlah utusan pencabut nyawa. Bahkan para penghadang berjumlah lebih dari 20 orang, sangar dan menampakkan tanda untuk menahan dan mengurung mereka bertiga. Bukan hanya itu, sekali ini mereka hadir lengkap, karena nampak disana kehadiran To Seng Cu (Tunggal di Atas Tanah) Tam Peng Khek dan istrinya Tok Sim Siancu (Dewi Berhati Racun) Gi Ci Hoa. Adalah kedua orang ini yang memang menjadi pucuk pimpinan dari Utusan Pencabut Nyawa yang banyak membunuh orang itu selama ini.
Utusan Pencabut Nyawa yang menghadang mereka saja sudah kurang-lebih 50 orang, dan selain Tam Peng Khek suami-istri, masih ada tokoh-tokoh lain yang juga pemimpin Utusan Pencabut Nyawa. Mereka-mereka itu adalah Thi Jiau Kim Long (Naga Emas Cakar Besi), OngKeng Siang yang juga adalah Ji Sute dari sang tokoh utama, kemudian juga ada Mindra seorang PENYIHIR HEBAT, dikenal juga dengan nama Thian Suan Sin Kun (Malaikat Pemutar Langit) dan Sian Hong Kek (Si Angin Puyuh) Lim Kek Ciang, masing-masing adik seperguruan ketiga dan keempat dari Tam Peng Khek. Maka, boleh dibilang tokoh-tokoh utama Utusan Pencabut Nyawa kini berada nyaris lengkap dan menghadang jalanan Kwan Kim Ceng, Nadine dan Nyo Bwee. Melihat mereka bertiga, Tam Peng Khek dengan suara murka sudah berkata:
"Hmmmm, jika bukan putri dari Sam Sute, hari ini juga akan kuberikan engkau jadi santapan empuk anak buahku. Sungguh memalukan, sungguh sangat memalukan perguruan" dengus Tam Peng Khek murka melihat Nadine. Tetapi seperti kalimatnya tadi, dia tidak dapat bertindak atas Nadine karena masih memandang kehadiran dan pentingnya Mindra bagi mereka.
Sementara itu, melihat posisi kekasih hatinya yang diserang dnegan kata-kata di depan demikian banyak orang, bahkan termasuk Mindra, ayah kekasihnya sendiri, Kwan Kim Ceng menjadi kurang senang. Bukan hanya kurang senang, bahkanpun dia melangkah maju dan berkata:
"Tam Locianpwee, kami toch sekedar berjalan bersama dan......"
"Diam engkau.... tidak ada hakmu berbicara disini. Sebentar lagi engkau menjadi mayat hidup dan bakalan ikut denganku sebagai budakku. Tidak ada hakmu untuk berpendapat disini....." belum lagi selesai Kim Ceng berbicara, sudah dibentak dan disuruh diam oleh Tam Peng Khek. Tetapi, dasar meski berhati kembut tetapi memiliki ambegan kuat dan besar, Kim Ceng tidak menjadi murka dan kembali berkata dengan suara keras:
"Hmmmm, Locianpwee, siauwte hanya sekedar mengingatkan bahwa kemanapun kami pergi, itu masih bukan urusan Tam Locianpwee....."
"Bangsat, jika kubilang diam, diam tahu......" sambil berkata demikian, dengan marah dan murka Tam Peng Khek yang akhir-akhir ini banyak mengalami kekalahan serta kerugian sudah langsung menyerang Kwan Kim Ceng. Tetapi, Kwan Kim Ceng tidak merasa gentar dan takut. Meski tahu kehebatan lawan, tetapi mengandalkan ilmu ilmu perguruan dan penyempurnaan Bu San, dia tidak merasa takut menghadapi Tam Peng Khek yang membentak-bentaknya seperti anak kecil.
Benar saja, dalam waktu singkat, Kwan Kim Ceng dengan keteguhan hati sekaligus dengan semangat melindungi kekasihnya, mampu menandingi Tam Peng Khek. Dia bahkan tidak terdesak meskipun sulit untuk menyerang dan mendesak balik Tam Peng Khek. Keadaan itu membuat Mindra merasa khawatir dan skenarionya bakal rusak jika Nadine ikut membantu kekasih hatinya. Karena berpikir demikian, Mindra kemudian maju selangkah dan berkata:
"Toa suheng, kita butuh bekerja secepatnya........." sambil berkata demikian Mindra segera bekerja dan kemudian memekik dengan suara penuh getaran mujijat yang langsung menggoyahkan Kwan Kim Ceng dan membuat Nadine serta Nyo Bwee kehilangan kesadarannya. Luar biasa memang jika Mindra mengerahkan kekuatan sihir yang memang menjadi kebisaan utamanya selama ini. Tetapi, yang sedikit dia sayangkan adalah, ketika Kwan Kim Ceng goyah, dengan tidak malu Tam Peng Khek menyerangnya dengan satu pukulan hebat:
"Dukkkkkk ................... huaaaaaaaaahkkkkk"
Pukulannya tepat mendarat di perut Kwan Kim Ceng, yang untungnya, meskipun mulai kehilangan kesadarannya tetapi iweekangnya masih penuh dalam tubuhnya. Karena itu, meskipun terpukul telak oleh Tam Peng Khek, tetapi hanya mampu untuk melukainya dan tidak sampai merengut nyawanya. Begitupun, luka Kim Ceng saat itu tergolong serius...... tetapi, karena kehilangan kesadarannya, dia tidak menyadari dan merasakan kesakitannya. Mindra bersyukur melihat Kwan Kim Ceng hanya terluka, meski agak parah kelihatannya, tetapi nafasnya jelas masih ada dan masih bisa tertolong...... begitu harapannya. Tidak menunggu keadaan menjadi memburuk, Mindra dengan cerdik segera berkata sekaligus memberi perintah:
"Gusur mereka kedalam gua di belakang peristirahatan kita, mereka akan tertidur selama 24 jam dan kehilangan kesadaran mereka. Cepat, tempat ini sungguh tidak aman, sewaktu-waktu jejak kita tercium orang......."
Kata-kata terakhir Mindra menyadarkan Tam Peng Khek dan tidak membuatnya menjadi tambah marah dan murka, dan dia mengangguk karena perkataan Mindra dan kemudian berkata dengan suara berat:
"Laksanakan perintah Sam Sute, kita segera pergi......."
Dan tak lama kemudian, merekapun beranjak pergi dan meninggalkan tempat itu untuk kembali sepi dan sunyi. Tubuh Kim Ceng, Nyo Bwee dan Nadine juga dibawah pergi sesuai dengan perintah Mindra..... tetapi, meski jejak mereka sedapat mungkin disamarkan tetap ada yang mengetahui dan mengikuti apa yang terjadi. Ada mata mata kaum Kaypang yang mengetahuinya dan bahkan mengikuti sampai mereka bersembunyi kedalam hutan. Bahkan terus mengikuti kemana perginya kelompok ini dengan membawa ketiga korban mereka itu.
Bukan hanya kaum pengemis yang ahli memata-matai gerakan lawan, justru ada yang lebih hebat lagi, tiga orang yang terus mengamati pergerakan banyak orang itu. Ketiganya terlihat seperti manusia berumur 40an, masih gagah dan cantik salah seorang dari mereka yang adalah wanita atau perempuan. Gerakan mereka, jangan tanya lagi, bahkan Tam Peng Khek dan mungkin Suhunya tak akan mampu untuk menandingi ketiga orang ini. Dan ketika tengah malam Nadine bersama Nyo Bwee ingin melarikan diri dengan membawa tubuh Kim Ceng yang terluka parah, adalah ketiga orang ini yang mencegat. Bahkan kemudian, salah seorang dari ketiganya, si manusia aneh berjubah pengemis berwarna hijau, sudah berkata:
"Aku mesti bergegas, anak muda ini terluka parah......." seusai berkata demikian, si Manusia aneh berjubah pengemis itu segera mencelat pergi sambil membawa tubuh Kwan Kim Ceng. Sebentar saja dia sudah menghilang, tetapi masih terdengar suara dari kedua kawannya yang mengiriminya suara:
"Baik, tetapi ingat-ingatlah setahun kedepan, kita bertiga berjumpa dekat Thian Cong San....... Lihat nanti murid siapa yang terbaik"
"Baik, setuju......" bak semilir angin saja jawaban manusia aneh itu, tetapi terdengar jelas dan tegas di telinga kedua kawannya.
"Aku membawa gadis ini...." terdengar suara si perempuan dari ketiga manusia aneh yang tadinya datang bersama sambil dengan sekali menyedot, tubuh Nadine sudah berada dalam tangannya. Nadine masih belum paham, mengapa tubuh Kwan Kim Ceng yang berada dalam pondongannya tiba-tiba terlepas dan terbang menuju si manusia aneh satunya dan sudah melayang pergi dengan amat cepatnya. Dan kini, dia sendiri sudah berada sangat dekat dengan si manusia cantik, amat cantik dan bercahaya yang memandangnya dengan sinar mata teduh.
"Sudahlah cucuku, engkau kini ikut aku menjadi muridku, kekasihmu itu, setahun kedepan akan berjumpa lagi denganmu. Hanya mahluk tadi itu yang akan mampu untuk menyembuhkannya, kami berdua akan kesulitan. Tetapi, meski kami bertiga berdekatan, tetapi kalian bertiga harus berlatih keras hingga setahun kedepan. Nach mari kita juga harus segera pergi......."
Terakhir, Nyo Bwee yang meliat kedua temannya pergi dalam keadaan yang aneh, cepat bak terbang, segera sadar bahwa mereka bertemu orang berkepandaian amat tinggi. Dan melihat tatapan mata manusia aneh yang berdiri di depannya, diapun dengan cepat memberi hormat dan menyebut:
"Suhu......" Manusia itu tersenyum dan kemudian mengibaskan tangannya, dalam waktu singkat merekapun lenyap dan tempat itupun sepi kembali. Menjadi ramai kembai ketika keesokan harinya mereka tidak dapat menjumpai ketiga anak muda di tempat mereka dikurung sebelumnya.
Ketiga sebulan lebih berlalu dan muncul Tio Lian Cu dan Khong Yan di tempat itu, merekapun sama menemukan tempat tersebut dalam keadaan yang sangat ramai. Bukan apa-apa, karena memang disitu ternyata menjadi tempat rahasia melatih Pasukan Utusan Pencabut Nyawa dan lebih mengejutkan lagi, karena selama beberapa hari terakhir, jumlah mereka bertambah banyak dan terus menerus melakukan latihan. Bahkan, seorang pelatih sempat menyebutkan:
"Tidak lama lagi kita akan melakukan pertempuran hidup mati di Pek In San, ayo, mereka yang malas akan tertinggal dan mudah terbunuh. Pacu dirimu, berlatihlah secara serius agar mampu menjadi prajurit Utusan Pencabut Nyawa yang handal dan mampu merepotkan lawan......"
Tio Lian Cu dan Khong Yan segera sadar bahwa mereka menyatroni kubu lawan, bahkan salah satu kubu penting yang justru melatih para petarung lawan untuk pertempuran sebulan kedepan. Tetapi, lebih terkejut lagi ketika mereka menemukan kenyataan betapa disitu juga hadir Mo Hwee Hud. Hal yang membuat mereka jadi berubah sangat hati-hati dan sadar, bahwa tempat itu benar-benar tempat harimau. Sedikit saja mereka berlaku alpa, maka keselamatan mereka akan sangat diragukan karena selain Mo Hwee Hud, disitu juga hadir lengkap murid-muridnya, kecuali tak nampak kemunculan Cie Tong Pek dan kedua bersaudara Lan Tjhong Siang Sat (Sepasang Bintang Djahat dari LanTjhong San) masing-masing Ouw Cing dan Ouw Cih. Salah satu dari kedua kakak beradik itu sudah cacat permanen karena memang kemampuannya dipunahkan oleh Thian Liong Koay Hiap. Sementara yang satunya lagi, harus beristirahat selama setahun lebih kurang untuk mengembalikan tenaga iweekangnya yang dikunci oleh Thian Liong Koay Hiap.
Jelas, meski tanpa kedua muridnya itu, keadaan di tempat itu masih amat berbahaya karena Mo Hwee Hud saja sudah lawan berat. Apalagi dengan kehadiran semua muridnya kecuali yang berhalangan termasuk Cie Tong Pek. Jelas saja keadaan disitu amat berbahaya. Hal itu yang membuat Tio Lian Cu dan Khong Yan memutar otak untuk menyelidiki keadaan Kwan Kim Ceng bersama dengan Nyo Bwee dan Nadine. Benarkah mereka berada dalam gua itu" Atau, benarkah mereka berada di dalam sarang misterius dari Utusan Pencabut Nyawa yang disebut Kiu Kok Houw (Lembah Sembilan Harimau)"
Mengetahui kekuatan lawan tidak sampai membuat Tio Lian Cu dan Khong Yan keder dan mundur ketakutan, sebaliknya, mereka merasa amat tertantang dan ingin menjawab tantangan itu. Tetapi, mereka juga cukup tahu diri, membentur tembok Utusan Pencabut Nyawa tentunya sangat riskan, apalagi di markas itu ternyata juga berisi tokoh-tokoh yang bukannya rendah kepandaian mereka. Oleh karena itulah mereka memikirkan strategi untuk memasuki markas lawan secara menggelap alias menyelidiki terlebih dahulu isi markas lawan. Mereka memutuskan untuk menyatroni markas lawan pada malam harinya:
"Ji Suheng, dilihat seperti ini, markas musuh sungguh sangat kuat penjagaannya. Apalagi, kekuatan mereka dengan kehadiran seorang Mo Hwee Hud juga pastinya bertambah amatlah hebat, tetapi upaya menyelamatkan Kwan Kim Ceng dan kedua kawannya jelas tidak bisa kita abaikan begitu saja. Bagaimana menurutmu Suheng" Apa yang mesti kita lakukan memperhatikan kondisi seperti ini.....?" bertanya Tio Lian Cu meminta pertimbangan Khong Yan
"Hmmm, aku mulai semakin mengenalmu Sumoy, jika kutinggal, pasti engkau tetap saja akan berusaha menerobos masuk markas lawan. Karena itu, jauh lebih baik menyusun rencana dan kemudan menunggu sampai malam hari datang dan baru kita bergerak menyusup ke dalam untuk mengetahui dimana mereka menahan dan menyembunyikan ketiga tawanan mereka itu......"
"Hmmmm, untung engkau memutuskan yang tepat Suheng........." bisik Tio Lian Cu dengan mimik menggoda
"Apakah engkau pikir hanya engkau yang ingin menyelamatkan mereka bertiga Sumoy..." engkau sungguh keliru jika demikian. Hanya saja, menerobos tanpa sama sekali strategi dan pertimbangan, sama saja dengan menyerahkan diri dan tidaklah dapat kita membantu sedikitpun..... salah-salah, justru Thian Liong Koay Hiap yang akan membantu kita dan bukannya kita yang membantunya untuk membebaskan Kim Ceng dan kedua kawannya....."
"Aku tahu suheng......."
"Nach, mari kita mencari tempat beristirahat terlebih dahulu.... biar malam hari atau menjelang subuh nanti kita bisa bergerak secara lebih leluasa......" usul Khong Yan yang diterima oleh Tio Lian Cu.
Tidak berapa lama kemudian kedua jago muda itu sudah meninggalkan tempat mereka mengintip tempat persembunyian lawan yang ternyata sangat terjaga serta penuh tokoh-tokoh lihay didalamnya. Meskipun demikian, fakta yang mereka temukan tidak membuat mereka kecil hati, tetapi mengobarkan semangat untuk mencari strategi dan siasat yang lebih pas dan tepat. Tetapi tanpa sepengetahuan mereka berdua, beberapa lama setelah mereka berlalu, seseorang terlihat berdiri dekat tempat mereka tadi. Untungnya dia bukan musuh, jelas dari ketika orang itu menarik nafas panjang sambil bergumam sendirian:
"Acccchhh, mereka sungguh-sungguh akan melakukannya. Biarlah kubantu secara diam-diam nanti malam......" terdengar desisannya. Sebuah fakta yang mengejutkan bahwa orang ini, meski hanya berjarak beberapa meter, namun ternyata tidaklah terlacak oleh Tio Lian Cu dan Khong Yan berdua. Kenyataan yang sungguh amat mengagetkan mengingat kemajuan Khong Yan dan Tio Lian Cu selama ini. Tapi, meskipun begitu, toch tidaklah mengagetkan jika mengenal siapa gerangan orang tersebut. Dan yang terlebih penting lagi, untungnya dia bukanlah lawan, tetapi jelas adalah sahabat dari kedua anak muda itu.
Benar saja, lewat tengah malam, lebih tepatnya menjelang subuh, dua sosok tubuh bergerak enteng dan sangat cepat. Tetapi, jelas mereka masih belum begitu dapat menguasai tempat asing yang mereka sedang selidiki itu. Karena itu, terlihat mereka bergerak agak lamban dan sulit untuk mengetahui secara pasti lokasi lawan serta apalagi lokasi penawanan orang yang hendak mereka tolong itu. Tetapi, mereka mulai menjadi curiga ketika di beberapa titik, lawan yang berjaga mereka temui dan jumpai dalam keadaan tertotok. Bagaimana bisa seperti itu, padahal mereka sorang saja belum bertemu musuh. "Jangan-jangan ada orang lain yang juga melakukan hal yang sama dengan kami.....?" desis Khong Yan dalam hati dan dengan sendirinya menyiagakan diri dan bersiap.
"Bukan hanya kita yang berniat menyelidiki tempat ini......" bisik Tio Lian Cu yang dianggukkan tanda setuju oleh Khong Yan, karena memang diapun sudah sempat berpikir seperti itu tadinya.
Merekapun maju lagi untuk menyelidiki lebih jauh, tetapi mereka kembali bertemu dengan dua sosok penjaga yang sudah dalam keadaan tertotok dan tidak berdaya. Apa boleh buat, sudah tanggung, merekapun maju lebih jauh lagi dan tidak mungkin mundur lagi. Tetapi semakin jauh ke garis pertahanan musuh, suasana hati mereka semakin menjadi tegang. Tetapi, Tio Lian Cu tiba-tiba ingat sesuatu dan langsung berbisik kepada Khong Yan:
"Kita harus mengompres keterangan dari pihak lawan..... jika tidak, kita hanya akan sekedar berputar-putar dan sulit mendapatkan hasil....." mendengar usulan Tio Lian Cu terlihat Khong Yan tersenyum dan mengangguk sambil kemudian balas berbisik kepada Tio Lian Cu:
"Engkau memang sudah layak menjadi seorang Ciangbudjin, sumoy......." puji Khong Yang setulus hati dan setuju dengan usul Lian Cu
"Bukan saatnya bercanda,,,,," desis Tio Lian Cu sambil kemudian berusaha untuk menemukan dimana lagi ada pihak lawan yang berjaga-jaga. Tetapi begitupun, sejauh dia memandang, tidak terlihat dimana posisi lawan berjaga-jaga. Bukan apa apa, karena garis pertahanan di hutan seperti yang mereka hadapi saat itu, memang berbeda jauh. Garis penjagaan tersebar melebar dan bisa dimana saja, sementara mereka buta lokasi dan harus banyak berusaha untuk mengetahui dimana pihak musuh. Tetapi, berkonsentrasi sejenak, mereka sudah sama mengambil keputusan, arah mana mereka akan tuju. Mereka dengan kemampuan terkini, sudah memiliki ketajaman dan intuisi yang amat jama.
Dengan tingkat kemampuan mereka yang sudah amat tinggi, mereka dengan mudah dapat menentukan adanya musuh di jarak lebih dari 3 meter sebelah kanan. Bahkan ada kurang lebih 3 orang disana, dan dari tempat mereka, kemudian ada lagi 3 orang lain di sebelah selatan dan seterusnya. Dengan mengetahui lebih lengkap kondisi sekitarnya, terus menjaga langkah dan berhati-hati keduanya bergerak untuk mendapatkan informasi. Adalah tiga orang terdekat yang menjadi target mereka untuk ditotok dan dikompres keterangan mereka.
Dan tentu saja bukan hal sulit bagi mereka untuk menjatuhkan ketiga lawan tersebut bahkan hanya dalam masing-masing satu gerakan. Selain karena ketiga orang itu tidaklah menduga akan diserang pihak lawan pada saat itu, juga karena Khong Yan dan Tio Lian Cu bergerak nyaris tanpa suara dan angin. Tahu-tahu dua orang sudah tertotok rubuh, dan dilain waktu yang seorang lagi juga tertotok tanpa tahu dengan sejelasnya apa yang sebetulnya sedang terjadi atas diri mereka bertiga saat itu. Untuk menghindari ketahuan kawan-kawan mereka yang lain, Tio Lian Cu dan Khong Yan memutuskan membawa kedua orang tawanan serta meninggalkan seorang kawan mereka disana.
"Hmmmm, kalian rupanya adalah kawanan Utusan Pencabut Nyawa..... tidak rugi kami membawamu kemari, dosa kalian sudah menumpuk dan pantas dihukum mati" berkata Khong Yan menakut-nakuti. Hanya saja, sungguh amat disayangkan karena tidak ada perasaan seram yang berhasil dipantulkannya keluar, karena memang Khong Yan terlampau baik untuk menjadi orang yang bersuara menyeramkan. Karena itu, orang yang diancamnya diam belaka dan sama sekali tidak bersuara. Bahkan memandangnya dengan pandangan mata yang amat meremehkan. Melihat itu Tio Lian Cu tampil sambil terlebih dahulu menghunus pedang kedua, sebatang pedang biasa dan bukanlah pusaka.
"Dimana ketiga kawan kami disekap,,,,, ayo bicara........" desis Tio Lian Cu dengan wajah dan tampilan yang jauh lebih dingin dan jauh lebih menakutkan. Setidaknya jika harus dibandingkan dengan Khong Yan, jelas masih menang jauh Tio Lian Cu. Tetapi, si Utusan Pencabut Nyawa masih tetap diam meski sinar matanya cukup jeri melihat pedang yang di tangan Tio Lian Cu. Nyalinya kuncup, karena pedang akan cukup menyakitkan jika benar digunakan terhadap dirinya.
Melihat sang lawan rada-rada takut tetapi tetap diam, dengan sekali bergerak Tio Lian Cu sudah menabas lengan si Utusan Pencabut Nyawa diiringi dengan terlontar jauhnya potongan lengan kanan orang yang berkeras kepala itu. Sekali ini, kedua orang yang tadinya sama-sama berkeras kepala untuk memberikan keterangan sudah langsung pucat pasi ketakutan. Khong Yan yang sebetulnya tidak begitu setuju dengan penyiksaan, hanya memandangi saja dan tidak berani mencampuri apa yang sedang dilakukan Lian Cu.
"Hmmmmm, sekali lagi....... dimana ketiga orang muda kawan kami yang kalian tangkap dan sekap itu" Dimana mereka ditahan.." jika engkau tetap berkeras, maka gerakan tanganku yang selanjutnya bukan hanya menyayat lenganmu dan juga memotong lengan kananmu, tetapi akan langsung menggores lehermu hingga akan nyaris putus. Tenang, tidak akan langsung kuputuskan, tetapi cukup membuatmu menunggu kematian secara perlahan-lahan..... terserah, engkau mau bicara atau tetap sok jago dan berdiam diri....." pelan, tetapi sangat menyeramkan Tio Lian Cu menghadapi jago tawanannya itu.
"Ba ba baik Nona.. aku, aku bersedia untuk bicara......" akhirnya diapun memutuskan menyerah dan akan berbicara terus terang. Tetapi Tio Lian Cu tetap berdiam diri dan hanya memperdengarkan suara mendengus.
"Mereka,,,,, mereka sebulan sebelumnya sudah dibawah oleh tiga orang tokoh aneh. Mereka diselamatkan dan kemudian dibawah pergi, tetapi tidak ada seorangpun dalam Markas ini yang tahu siapa ketiga orang itu dan kemana mereka dibawah pergi. Hanya itu yang kami tahu Nona......." desis orang itu sambil juga menahan kesakitan yang mulai menyengat lengannya.
"Apa katamu..." engkau bosan hidup ya...?" desis Tio Lian Cu tidak percaya dengan keterangan yang baru saja dia dengar.
"Kata-kataku tadi benar Nona,,,,, mereka sudah diselamatkan orang....." desis si jago yang berkeras kepala tetapi sudah melunak. Bahkan dia mulai menjadi takut, jangan jangan Tio Lian Cu akan kembali menabas lengannya.
"Siapa yang menyelamatkan mereka" Dan kemana mereka dibawah....?" tanya Tio Lian Cu dengan suara marah dan dengan sikap yang tetap mengacam untuk sekali lagi menabas lengan mereka.
"Bahkan tokoh-tokoh dan pemimpin kamipun tidak kenal. Mereka bertiga konon jago jago yang menyembunyikan nama, usia mereka baru 40 tahunan, dua orang laki laki dan seorang jago perempuan....... kemana mereka dibawah, kami jelas saja tidak lagi mampu untuk mengetahuinya......."
"Hmmmm, baiklah, engkau memang cari perkara....." sambil berkata demikian Tio Lian Cu sudah akan menggerakkan lengannya untuk menebas lengan kanan si jago Utusan Pencabut Nyawa, tetapi segera dia menangis sambil berkata:
"Tidak Nona, kata-kataku sungguh adalah kenyataan. Tidak seorangpun mengenal mereka, juga mengetahui kemana kawan-kawan Nona dibawah......."
Belum lagi Tio Lian Cu mengambil keputusan untuk melakukan apa, tiba-tiba dua kejadian berlangsung dengan sangat cepatnya. Yang pertama, tiba-tiba terdengar teriakan dari tempat dimana Khong Yan dan Tio Lian Cu menotok 3 orang tadi, membawa dua diantara mereka tetapi meninggalkan dan menyembunyikan satu orang di tempat semula, meski agak tersembunyi letaknya agar tidak dengan cepat dapat terlacak keberadaan mereka:
"Ada penyusup,,,, ada penyusup......" untung saja mereka sudah berjarak sekitar 100 meter dari lokasi itu. Tetapi, selain itu, secara bersamaan tiba-tiba terdengar suara yang amat dikenal Khong Yan dan Tio Lian Cu:
"Jiwi sute dan sumoy, mari kita pergi. Banyak jago hebat di sarang mereka, selain itu memang kawan-kawan kita itu sudah diselamatkan orang lain. Mari ikut aku...." dan ternyata adalah Sie Lan In yang muncul dan memandu jalan mereka menghindari kejaran jago-jago lawan. Melihat Sie Lan In muncul dan mengatakan ada banyak jago di pihak lawan, Tio Lian Cu sudah merasa agak kurang puas. Tetapi melihat keseriusan Sie Lan In, dia menjadi ikut terpengaruh, tetapi tetap saja lamban dalam bergerak untuk pergi menjauh.
"Sebelah sana kejar......." terdengar bentakan dengan suara menggelegar, penuh tenaga dan mau tidak mau membuat Khong Yan dan Tio Lian Cu kaget. Mendengar bentakan itu, barulah Tio Lian Cu sadar dan akhirnya pergi dari tempat itu bersama dengan Khong Yan mengikuti arah suara yang dilepaskan Sie Lan In beberapa saat sebelumnya. Merekapun bergerak menjauh. Saat itu, hari sudah mulai lebih terang tanah dan sang surya akan menjelang datang.
Beberapa menit bergerak menjauh, Sie Lan In sudah tersusul oleh Khong Yan dan Tio Lian Cu meski gerakannya tetap saja yang paling cepat dan paling indah sendiri. Karena memang, dalam hal ginkang, Sie Lan In menang hebat ketimbang Khong Yan dan Tio Lian Cu, dan setelah melihat gelagatnya, Tio Lian Cu segera maklum, sama dengan dia dan Khong Yan, Sie Lan In juga sudah maju amatlah jauh. "Kelihatannya, kami bertiga akan sama saja seperti sebelum-sebelumnya meski sudah berlatih keras selama sebulan terakhir ini...." gumamnya dalam hati. Tetapi, saat itu khayalan Tio Lian Cu terhenti karena di depan mereka, terdengar suara orang orang yang tak dapat mereka tebak siapa.
Bersamaan dengan itu, Sie Lan Ini terlihat membelok kearah barat, kembali berlari menyusuri pinggang gunung menjauhi sumber suara didepan mereka. Tetapi, saat suara-suara itu mulai hilang dari pendengaran mereka, justru suara yang lain yang tepat menggelegar dan membuat mereka tergetar, jelas pihak musuh memiliki jago yang amat tangguh. Meski Khong Yan dan Tio Lian Cu sudah tahu bahwa ada Mo Hwee Hud diantara kalangan musuh yang sepertinya menjadi markas Utusan Pencabut Nyawa. Tetapi, saat itu mereka terus bergerak, karena memang pada saat itu, mereka sudah berjarak cukup jauh dari lokasi kejadian dimana mereka mengintip dan juga menyelidiki keadaan markas musuh.
Dan akhirnya, merekapun tiba di sebuah bekas bangunan yang sudah rusak dalam jarak yang sudah cukup jauh dari tempat mereka melumpuhkan 3 orang jago Utusan Pencabut Nyawa tadi. Mungkin malah sudah berjarak beberapa kilometer terpisah jauh dari lokasi mereka berada saat ini. Merekapun merasa sudah cukup aman, tapi tetap saja mereka merasa tegang dan terus menjauh dan saat melihat adanya sebuah bangunan yang sudah rada rusak di kejauhan sana, merekapun mengarah dan menuju kesana. Tetapi, berjarak kurang lebih 100 meteran dari sana, dari bekas bangunan yang sudah tak terurus itu, tiba-tiba:
"Berhenti,,,,,,,,,," suara itu perlahan saja, tetapi mengaung dan menggema sehingga membuat Sie Lan In, Tio Lian Cu dan Khong Yan tertahan langkah mereka. Bahkan mereka bertiga maklum, lawan yang datang adalah lawan berat, karena mereka amat sadar, tokoh yang mampu membentak dengan nada dan daya magis lewat kekuatan suara seperti tadi, hanya dapat dihitung dengan jumlah jari tangan belaka. Karena berpikir demikian, mereka bertigapun menghentikan langkah dan kemudian berbalik untuk menghadapi si pelepas suara berdaya magis tinggi itu. Percuma saja tetap melarikan diri jika berhadapan dengan tokoh dengan kepandaian seperti yang membentak tadi, lebih baik dihadapi sekalian.
Dan memang benar, di sebelah kanan mereka bertiga, berturut-turut berjalan keluar yang paling depan adalah Tam Peng Khek bersama istrinya Gi Ci Hoa yang sama sama amat terkenal itu. Jika mereka maju masing-masing, mereka adalah jago-jago yang sulit ditemukan tandingannya, apalagi jika mereka kemudian maju berdua dan sekaligus berpasangan. Bakalan lebih sulit lagi menemukan tandingan buat mereka berdua suami-istri itu. Pasangan To Seng Cu (Tunggal di Atas Tanah) Tam Peng Khek dengan Tok Sim Siancu (Dewi Berhati Racun) Gi Ci Hoa, meski sudah menua, tetapi tetap saja cukup diindahkan banyak orang. Kemudian, juga muncul mengikuti mereka adalah Thi Jiau Kim Long (Naga Emas Cakar Besi), Ong Keng Siang murid kedua dari Mo Hwee Hud, dan yang berjalan paling belakang adalah dua orang tokoh yang sudah cukup dikenali sebelumnya, dua tokoh sepuh yang mendukung Bu Tek Seng Pay.
Mereka adalah Mo Hwee Hud yang berbadan tinggi besar dan seorang tokoh tua, seorang Nenek yang sama tuanya dengan Mo Hwee Hud, bertubuh tinggi meski terlihat tidaklah setinggi Mo Hwee Hud. Awalnya Sie Lan In bertiga tidak mengenal perempuan ini, tetapi meksipun demikian mereka merasa hawa yang amat aneh dan berbahaya memancar dari perempuan tua tersebut. Dan memang, nenek yang datang itu, bukan tokoh sembarangan, tapi seorang tokoh mujijat lainnya. Inilah SAM BOA NIOCU, seorang nenek asal Biauw yang amat mahir dengan ilmu sihir atau tepatnya Ilmu Hitam dan juga yang terutama adalah ilmu beracunnya yang hebat dan berbahaya. Perempuan tua ini adalah kekasih lama Mo Hwee Hud. Dalam hal ilmu silat, boleh saja dia sedikit tipis dibawah kepandaian Mo Hwee Hud, tetapi dalam ilmu sihir atau ilmu hitam, dia hanya kalah tipis dari Mindra yang adalah murid ketiga Mo Hwee Hud. Dan dalam ilmu beracun, dia ini justru termasuk ratunya. Itu sebabnya, wibawa yang anek dan mempengaruhi semangat seperti menggempur Sie Lan In, Khong Yan dan Tio Lian Cu bertiga. Apalagi karena memang Nenek itu menggunakan wibawa dan kekuatannya untuk menampilkan diri dihadapan ketiga anak muda yang mengganggu murid-murid kekasihnya itu.
Saat itu mulai terang tanah, masih cukup remang-remang. Kemunculan kedua orang yang sudah amat tua itu cukup menyeramkan, karena memang potongan serta tampilan mereka sendiri cukup menyeramkan. Apalagi karena benda-benda magis yang bertempelan dan bergantungan di tubuh Sam Boa Niocu, sementara si mahluk raksasa Mo Hwee Hud sendiri berjalan mengiringi Sam Boa Niocu dengan tak kalah menyeramkannya. Wajahnya, tampilannya dan senyumnya membayangkan nafsu dan amarah serta kesombongannya. Jelas dia memandang remeh ketiga anak muda yang membuatnya murka karena latihan subuhnya terganggu, selain juga rada gerah karena persembunyian mereka tercium lawan. Mo Hwee Hud benar-benar murka meskipun mereda drastis melihat ternyata gangguan itu datangnya dari anak-anak bau kencur. Bagaimana dia bisa menghamburkan amarahnya jika yang dia hadapi ternyata anak-anak muda yang pantasnya menjadi murid ataupun malah cucu muridnya" Sungguh berabe. Tapi mau bilang apa" Fakta yang sedang dia dan keluarga perguruannya hadapi memang seperti itu.
"Echhhh, ternyata Mo Hwee Hud locianpwee yang datang bersama beberapa orang keluarga perguruannya....... apa kabarmu locianpwee....?" berkata Sie Lan In tanpa memberi hormat berlebihan, cukup dengan menyapa. Meski dari angkatan tua dan seangkatan Subonya, tetapi Sie Lan In paham dengan sepak terjang dan perangai tokoh tua yang memang rada menyebalkan ini.
"Hmmmm, jadi kalian anak-anak muda ini yang mengacau tempat kami. Apa sudah bosan hidup mengganggu sarang harimau...?" bertanya Tam Peng Khek mendahului Suhunya, dan memang, dialah yang sering berbicara atas nama Suhunya dalam banyak kesempatan akhir-akhir ini. Dan untuk urusan Utusan Pencabut Nyawa, adalah dia yang menjadi pemimpin utamanya, karena itu, dialah yang berinisiatif untuk bertanya kepada Sie Lan In bertiga.
"Engkau tentu murid Mo Hwee Hud Locianpwee bernama To Seng Cu (Tunggal di Atas Tanah) Tam Peng Khek yang juga sangat terkenal itu. Benarkah dugaanku yang masih muda ini.....?" tanya Sie Lan In tetap tidak takut dan tetap tabah dalam berhadapan dengan gembong pemimpin pihak lawan.
"Jika benar mengapa" Apakah engkau berpikir kami bisa memberi keleluasaan meski tahu bahwa engkau adalah anak murid Rahib Selatan Lam Hay Sinni?" tanya Tam Peng Khek tanpa tedeng aling-aling. Ucapan yang membuat Sie Lan In menjadi sengit dan harga dirinya sontak membuatnya dingin.
"Memangnya kami berbuat yang menjengkelkanmu Tam Lopeh.....?" balas Sie Lan In yang kini berubah dan berbicara dengan gayanya yang terkesan dingin, bahkan mulai berkurang rasa hormatnya. Hal ini terutama karena Tam Peng Khek yang mulai berulah dengan menyapa mereka dan menyinggung harga diri ketiga anak murid tokh Dewa Tionggoan itu.
"Apakah menyatroni dan menotok beberapa anak murid kami bukan perbuatan yang layak kami balas dan hukum Kouwnio......?"
"Apakah menangkap sekaligus menculik dan menyekap ketiga kawan kami yang masih muda memangnya bukan perbuatan yang layak kami selidiki dan kemudian berusaha membebaskan mereka....?"
"Hmmmm, salah seorang dari mereka adalah sumoyku sendiri, urusan perguruan jadi sungguh tidak sopan kalian mencampuri urusan kami....."
"Apakah Kwan toako dan nona Nyo Bwee adalah juga anak murid Mo Hwee Hud Locianpwee sehingga ikutan kalian tawan, Lopeh?" tajam balasan Sie Lan In dalam menghadapi Tam Peng Khek. Meskpun begitu, tokoh itu tetap tenang dan tidaklah kelabakan dalam menghadapi debat Sie Lan In
"Mereka sedang berjalan bersama, jadi wajar jika kamipun mengamankan mereka bertiga. Itu keputusan kami, kalian tidak perlu mencampurinya, selain urusan dalam perguruan kami, apa yang ingin dan hendak kami lakukan, semestinya tidak perlu kalian campuri seperti malam ini....."
"Kami meminta mereka dilepaskan,,,,,,,,, tetapi, sayang mereka kelihatannya sudah lepas dari tahanan dan sekapan Lopeh, karena itu kami bertiga memutuskan untuk mohon diri saja. Mari, Sute, Sumoy, sudah saatnya kita pergi sekarang" sambil berkata demikian Sie Lan In bertingkah akan segera beranjak pergi dengan juga ikut didukung tingkah dan gerakan ingin segera berlalu dari tempat itu oleh berdua, Tio Lian Cu dan juga Khong Yan. Hal yang membuat sedikit kerut tersinggung sekilas melintas di kilasan wajah Tam Peng Khek. Tetapi, adalah istrinya yang cepat sekali bereaksi dan kemudian berkata tajam:
"Sayang sekali karena kami tidak akan dapat membiarkan kalian bertiga berlalu begitu saja......" jernih, tajam dan nada suara yang mengancam. Tetapi, sama sekali Sie Lan In, Khong Yan dan Tio Lian Cu takut dan gentar dengan ancaman suara perempuan yang menjadi istri Tam Peng Khek itu. Bahkan dengan sengit Tio Lian Cu berkata kepada perempuan itu:
"Eccch, Bibi ini pastilah Tok Sim Siancu (Dewi Berhati Racun) Gi Ci Hoa, apakah Bibi benar-benar ingin menjamu kami di sarang para begal Utusan Pencabut Nyawa yang sangat memuakkan dan berlumur darah tokoh rimba persilatan...?" sekali ini tajam, langsung ke sasaran dan membuat Gi Ci Hoa tersentak. Maklum, sekali ini dia dilawan dan diperlakukan dengan tidak hormat oleh seorang gadis yang masih muda dan jelas tidak memandangnya secara berarti. Menghadapi Perempuan tua yang sudah emosi ini, Tio Lian Cu tetap tenang dan sabar serta menyunggingkan senyum mengejek yang menyakitkan hati.
"Hahahahaha, engkau sudah menerka dan menebak secara tepat kouwnio, setelah mengetahui tempat kami yang menjadi landasan Utusan Pencabut Nyawa, yaaaaa, apa boleh buat. Kalian bertiga harus bersedia dengan baik-baik menjadi tawanan dan sekapan kami menggantikan ketiga orang muda sebelumnya. Dengan menahan dan menyekap murid ketiga Tokoh Dewa Tionggoan rasanya sudah menjadi bahan jaminan yang lebih dari cukup......" sambil tertawa licik Tam Peng Khek akhirnya toch membuka niat busuk mereka. Sekaligus membantu istrinya yang dia lihat emosinya sudah naik sangat tinggi.
"Tapi, lopeh pasti sadar bahwa kami tidak akan muda ditahan dan disekap di tempat maksiat seperti ini...... lagipula, kami khawatir justru akan menambah banyak korban di pihak lopeh,,,, apa opeh tidak takut dengan kenyataan seperti itu....?" dengan masih tetap tenang dan sabar namun dengan kata-kata tajam menusuk Sie Lan In menjawab sebelum Tio Lian Cu bersuara.
"Acccchhh, apa engkau sanggup kouwnio.....?" tanya Tam Peng Khek yang pada dasarnya segan berkelahi dengan angkatan muda, kecuali jika ada maksud serta harga yang melandasinya, baru dia siap.
"Aku khawatir lopeh yang justru akan sangat kehilangan muka, karena sekali maju, kuyakinkan lopeh, bahwa lopeh akan jatuh nama dan jatuh mereka. Bahkan jika maju bareng dengan istri lopeh yang galak beracun itu, juga akan tetap saja kalah, meski akan sedikit lama baru terjungkal...... hikhikhik...." luar biasa, bukan hanya Tam Peng Khek yang kaget dan sebal dengan kesombongan kata-kata Sie Lan In, bahkanpun baik Tio Lian Cu dan Khong Yan tersentak kaget. "Apa maksud Sie Lan In....?" desis kedua kawan Sie Lan In itu kaget. Tetapi Sie Lan In memang ingin untuk memancing kedua suami istri itu maju duluan, karena dia menghitung kalau yang maju adalah Mo Hwee Hud keadaan bisa repot. Dengan majunya suami istri itu, mereka bisa merancang jalan mundur yang tepat.
Benar saja, wajah Tam Peng Khek sempat merah padam, tetapi keteguhan serta ketenangannya sangat patut dipuji. Hanya sepersekian detik dia emosi, seterusnya kembali dia bersikap tenang dan terus menghadapi Sie Lan In, Tio Lian Cu dan Khong Yan dengan sikap awalnya. Tenang dan tegas.
"Benarkah kalian minta ditangkap dengan kekerasan....?" tegas Tam peng Khek yang kelihatannya mulai bersiap menyerang ketiga lawan mudanya yang berkukuh untuk melakukan perlawanan.
"Pernahkah mendengar suhu dan subo kami menyerah menghadapi Mo Hwee Hud Locianpwee dan seangkatannya...." rasanya tidak lopeh...." tegas Sie Lan In yang juga ikut dibenarkan dengan anggukkan kepala olehi Kong Yan dan Tio Lian Cu yang berdiri tepat disamping Sie Lan In.
"Baiklah.......... Ji Sute, tawan dia....." perintah Tam Peng Khek kepada (Thi Jiau Kim Long) Ong Keng Siang yang dengan cepat mengiyakan dan langsung saja mengirim serangan cepat dan kuat kepada Sie Lan In. Tetapi, sayangnya, Sie Lan In yang sekarang sudah berbeda jauh dengan beberapa bulan silam ketika dia baru muncul di Tionggoan. Kemampuannya sudah melejit jauh, bahkan jauh melampaui Tam Peng Khek sekalipun. Karena itu, Sie Lan In menyambutnya dengan hanya sekali mengibaskan lengan dan sekaligus sambil mendesis lirih:
"Keras kepala,,,, pergi engkau...." dan bersamaan dengan kibasannya itu, terdengar keluhan tertahan Mo Hwee Hud,
"Aaaachhhhh......." keluhan tertahan karena kaget. Sekali pandang saja dia tahu jika murid keduanya akan celaka, dan memang betul seperti itu kejadian selanjutnya. Hanya, untung saja Sie Lan In tidak bertangan kejam dan keji, karena dia sebetulnya hanya menyampok dan menerjang lawan dengan kekuatan seperlunya, tidak akan sampai membunuh lawannya.
"Dukkkk, acccchhhhhhh......."
Terdengar benturan dan kemudian teriakan kesakitan dari Ong Keng Siang. Dari mulutnya terlihat menetes darah, tanda bahwa dia tergempur dan kalah oleh Sie Lan In dalam kebasannya yang penuh hawa lunak namun berbahaya karena dengan cepat dapat menerjang balik lawan. Sebetulnya, bukan karena Ong Keng Siang kalah mutlak dan terlampau jauh, tetapi karena dia terlampau memandang enteng Sie Lan In. Dia kurang paham, bahwa suhunya sendiripun kini akan kesulitan untuk menundukkan Sie Lan In.
"Kalian mundur........" terdengar geraman hebat Mo Hwee Hud ketika melihat fakta bahwa dengan sekali kibasan saja murid keduanya terluka. Gerakan khas itu dan juga kemampuan mengibas dan memukul roboh itu hanya dapat dilakukan tokoh sekelas Lam Hay Sinni. Dan jika muridnya mampu melakukannya, berarti muridnya tersebut sudah menggapai dan mencapai tingkatan yang nyaris setara dengan si rahib dari selatan tersebut. Ini mengagetkan dan membuat Mo Hwee Hud turun tangan sendiri menghadapi Sie Lan In.
"Hmmm, Ilmu To Im Kiat Yo (Menarik Tenaga Dalam Lawan untuk Mendorong) pun sudah engkau kuasai. Mundurlah muridku, kalian sudah bukan tandingannya sekarang ini. Pantasan anak gadis ini demikian sombong dan lancangnya, rupanya Rahib Sakti itu sudah menjelma dalam dirinya....."
Sie Lan In kagum, seperti juga Tio Lian Cu dan Khong Yan yang segera sadar jika Sie Lan In ternyata sudah menanjak demikian jauh dan demikian hebatnya. Sedang Mo Hwee Hud tersentak hebat, dia seperti melihat seorang lawan kuat, lawan lama dalam diri Sie Lan In sekarang ini. Karena kemampuan Ilmu yang diperagakan oleh Sie Lan In adalah salah satu Ilmu istimewa Lam Hay Sinni dengan iweekang lunak mampu menarik lawan dan kemudian mendorongnya pergi. Bahkan jika mau, bisa langsung membinasakan lawan yang terkena pengaruh ilmu yang penuh kekuatan iweekang lunak namun berarti maut tersebut.
"Boanpwee kan sudah memperingatkan terlebih dahulu, tolong jangan menyalahkan kami bertiga, karena memang tugas ini kami pikul....." lirih suara Sie Lan In, tetapi seperti membakar telinga dan amarah Mo Hwee Hud. Kembali seorang muridnya terluka oleh pihak murid dan turunan lawan, dan ini membuatnya sadar, bahwa dia belum memiliki pewaris sejati. Dari kenyataan ini, Mo Hwee Hud menjadi semakin kecewa dan sedih karena tertinggal lawan-lawannya dalam mendidik murid, tetapi sekaligus membuatnya menjadi amat marah karena tidak tahu dilampiaskan kepada siapa. Dihadapannya sekarang adalah murid-murid keturunan lawan-lawannya yang sudah meningkat demikian pesat dan hebat, bahkan sudah mendekatinya. Jika tidak dilumpuhkan sekarang ini, kapan lagi mampu menghadapi perguruan mereka kelak" Demikian pikiran dalam benak Mo Hwee Hud saat itu, memang sederhana tetapi membahayakan ketiga anak muda itu.
"Hahahahahaha, kini yang kulawan adalah murid-murid kawan-kawanku. Sayangnya kalian bertiga harus tetap kutawan, kalian bersiaplah......"
"Sie Suci, biarkan aku menghadapinya, engkau mundurlah terlebih dahulu. Dialah lawan utama kami, lawan utama perguruan kami.." Khong Yan segera majukan diri selangkah mendahului Sie Lan In dan karena sudah terlanjur, sudah sulit Sie Lan In membantahnya. Dan lagi diapun tahu sejarah permusuhan Mo Hwee Hud dengan Bu Te Hwesio yang terentang amat panjang, bahkan sejak masih di Thian Tok sana. Karenanya, pada akhirnya diapun mengangguk dan bahkan kemudian dengan bijak berkata kepada Khong Yan:
"Baiklah, hati-hati ji sute......"
Kembali Mo Hwee Hud kaget, dihadapannya kini berdiri menanti serangannya, dia tahu adalah murid Bu Tee Hwesio. Lawan lamanya. Tetapi, melawan muridnya amat menyinggung dan merendahkannya. Tetapi ketika melihat sinar mata, keyakinan diri Khong Yan serta langkahnya yang ringan, kokoh dan tetap, diapun segera sadar, lawan mudanya ini tidak kalah dibandingkan dengan gadis murid Lam Hay Sinni tadi. Mungkin bahkan tidaklah kalah dengan Bu Te Hwesio lawan tandingnya yang belum menemukan kata akhir. Pada akhirnya, antara bimbang dan tidak, diapun tetaplah harus memutuskan, dan dia dengan segera memutuskan ketika mendengar ujaran Tam Peng Khek muridnya. Muridnya yang galau melihat keadaan Suhunya, segera berkata dengan suara terang:
"Suhu, kehadiran mereka bisa merusak rencana besar kita......"
Mendengar perkataan murid tamanya, Mo Hwee Hud terlihat mengeras wajahnya dan kemudian terdengar berkata:
"Awas anak muda, lohu tidak akan lagi banyak berbelas kasihan kepada kalian para angkatan muda. Lohu akan menangkap kalian secepatnya..... tahan seranganku ini" berkata Mo Hwee Hud sambil mendorongkan sebelah tangannya.
Di lain pihak, Khong Yan yang sudah banyak mendengar tentang tokoh ini, diam diam terbersit rasa "segan" dan rasa "seram" mengenang semua perkataan dan juga gambaran suhunya mengenai pertarungan dengan tokoh hebat ini. Keraguan serta rasa seramnya itu nyaris saja membawa malapetaka, karena serangan awal Mo Hwee Hud, tidak lagi dalam keraguan, tetapi dengan kepastian untuk menangkap mereka. Karena itu, kekuatannyapun melimpah dan sangatlah hebat. Dengan cepat Khong Yan terkurung dalam belantara serangan tak berujung itu dan membuatnya sempat cemas. Tetapi, untung saja dia memiliki ilmu langkah Thian Liong Pat Pian yang memang amat mujijat dan mampu menyelamatkannya meskipun dengan harus mengorbankan posisinya. Diapun bergerak cepat, seperti terhuyung-huyung, atau mundur-mundur seperti ketakutan, dan dikali lain melompat-lompat seperti anak kecil. Serangan Mo Hwee Hud hanya dua jurus serangan, tetapi untuk memunahkan bahaya serangan itu, Khong Yan harus menggunakan 4-5 jurus dari langkah aneh warisan Koay Ji, baru dia selamat.
Mo Hwee Hud sempat tercengang karena Khong Yan bergerak dengan jurus yang aneh dan belum pernah disaksikannya dimainkan oleh Bu Te Hwesio. Tetapi, tetap saja lawan muda itu berhasil menghindarkan serangannya dengan manis sedikitpun tanpa terdesak meski terlihat murid-muridnya seakan suhu mereka nyaris menang. Faktanya tidak demikian. Mo Hwee Hud menggeram karena dia merasa sepertinya dipermainkan Khong Yan dengan gerakan-gerakan aneh, tak lazim dan malahan sering terasa seperti main-main. Tetapi, ajaibnya, Mo Hwee Hud tidak merasakan sedang mendesak Khong Yan, tetapi seperti menghadapi Khong Yan yang licin, ulet dan bergerak dengan lincah dan dengan mudah dalam mengantisipasi serangannya dan kemudian menghindarinya. Maka, dua jurus serangan awalnya yang penuh kekuatan itu, berlalu tanpa dapat siapapun dari mereka berdua meraih keuntungan dan keunggulan. Orang liar melihat lain, tetapi keduanya sama mengerti apa yang baru saja terjadi di pertarungan awal.
Kenyataan ini sangat memukul kebanggaan Mo Hwee Hud, tetapi tentu tidak sama sekali mengurangi keyakinannya bahwa dia akan mampu memenangkan tarung lawan anak ingusan murid musuh utamanya itu. Dengan segera dia menghimpun kekuatan iweekangnya dan kemudian kembali menerjang maju, kini tidak lagi hanya diam di tempat dan menggerak-gerakkan kedua lengannya mencecar Khong Yan, tapi langsung bergerak cepat mencecar kemanapun Khong Yan pergi. Nampaknya Mo Hwee Hud sudah mengerahkan iweekang kebanggaannya, yakni Ilmu Mo Hwe Bu Kek khi Kang (Tenaga Dalam Api Iblis) tenaga iweekang yang mujijad dan amat panas membakar. Meskipun dalam penggunaan puncak, tetapi Khong Yan sudah merasa sekeliling tubuhnya seperti ada kilatan-kilatan api panas setajam mata pedang yang selalu mencecarnya.
Mau tidak mau, selain bekerja keras dengan Ilmu Thian Liong Pat Pian, Khong Yan juga mengerahkan Ilmu Pusakanya Pouw Tee Pwe Yak Sian Singkang dan juga mulai membalas dengan Tan Ci Sin Thong (Lentikan Jari Sakti). Menghadapi ancaman lawan, mau tidak mau Khong Yan harus membalas jika tidak ingin menjadi sasaran serangan lawan terus menerus. Dan ketika dia mengerahkan iweekang andalannya, diapun merasa terjangan lentikan pukulan lawan yang berhawa panas menjadi pudar. Dia kini tidak lagi terganggu dengan pengerahan kekuatan lawan dan ilmu khasnya yang berbahaya, meskipun, Khong Yan cukup sadar, bahwa dalam hal iweekang, meski dia sudah meningkat sangat jauh, tetapi masih tetap kalah matang dan kalah juga dalam pengalaman. Dan perbedaan ini dalam pertarungan antar jago tingkat tinggi cukup menentukan.
Berbeda dengan Tam Peng Khek, ketika Mo Hwee Hud menggunakan ilmu-ilmunya, maka perbawanya menjadi jauh lebih mengerikan. Menyerang dengan Iweekang Mo Hwe Bu Kek khi Kang (Tenaga Dalam Api Iblis) dan Ilmu Pukulan Mujijat Ilmu Lak Hap Im Hwee (Enam Gabungan Api Dingin) benar-benar maut akibatnya. Mo Hwee Hud benar-benar melepas perbawa kekuatan ilmunya dan sampai membuat lingkungan sekitar mereka bagaikan terbakar. Belum cukup dengan itu, lingkungan yang ada dalam cakupan ilmunya itu seperti menghadapi ribuan mata pedang panas yang sewaktu-waktu menusuk kulit mereka. Tentu saja murid2nya pada mundur dan jadi tertinggal Sam Boa Niocu dan mereka semua pada kaget ketika melihat Sie Lan In dan Tio Lian Cu dapat bertahan sama seperti Sam Boa Niocu. Pada titik ini, mulai jadi jelas tingkat kemajuan murid-murid Mo Hwee Hud dibandingkan dengan murid 3 Dewa Tionggoan yang terlihat sudah maju lebih tinggi tingkatnya.
Mo Hwee Hud bukannya buta. Dia juga kaget dengan kondisi ini, tetapi sayangnya dia tidak boleh membagi perhatian, karena ternyata Khong Yan, selain sudah hebat dan mewarisi ilmu-ilmu Bu Te Hwesio, tetapi juga masih memiliki sejumlah ilmu aneh yang merepotkannya. Terutama Ilmu Langkah Thian Liong Pat Pian yang benar benar amat sangat menyusahkan dan merepotkannya. Baik dalam bertahan ataupun dalam menyerang, langkah-langkah selipan Khong Yan benar-benar sulit diantisipasi dan membuatnya sering mati langkah. Menyerang jadi sering terputus, ketika Khong Yan menyerang, dia sering mendapati betapa besar dan beratnya ancaman tersebut baginya. Kondisi ini membuatnya bingung dan pada akhirnya menjadi marah, dan efeknya Khong Yan seperti sedang melawan seorang raksasa.
Tetapi, untungnya, dia sudah menemukan kepercayaan dirinya, kepercayaan atas ilmu-ilmunya dan ilmu warisan suhunya dan juga ilmu warisan suhengnya yang hebat dan sudah dibuktikannya. Karena itu, Khong Yan tidak menjadi takut lagi, tetapi terus melakukan perlawanan dan bahkan jual beli serangan. Memang, sekali lagi dia kalah matang dan kalah pengalaman, tetapi jelas dia menang ulet dan juga daya tahan. Tentunya Mo Hwee Hud menyadari kondisi ini, karena itu, dia mencoba untuk bertarung tidak menghamburkan tenaganya lagi, tetapi menunggu untuk dapat memukul dan menyerang lawan secara lebih efektif. Dan, inilah memang penting serta menentukannya usia, pengalaman, kematangan serta kesabaran. Jika saja Khong Yan memahami ini dengan baik, maka dia sebenarnya tidak akan kalah, Ilmunya saat ini sudah memadai untuk menahan seorang Mo Hwee Hud. Tapi, darah muda dan mentahnya pengalaman membuatnya berbuat lebih jauh padahal lawan sudah menyiapkan jaring baginya.
Khong Yan tidak menyadari atau mungkin lupa bahwa Mo Hwee Hud sudah amat hafal dan kenal dengan Ilmu-Ilmu andalan dan jurus-jurus penting Bu Te Hwesio. Maklum, kedua tokoh itu sudah terlalu sering adu kekuatan sehingga wajar saling kenal ilmu dan jurus-jurus andalan. Seandainya Khong Yan tetap mengandalkan Ilmu Thian Liong Pat Pian, ilmu-ilmu yang mengikuti perbaikan Koay Ji/Bu San ataupun Thian Liong Koay Hiap, maka dia tidak akan jatuh terkalahkan. Sayangnya, darah mudanya membuatnya maju terlampau jauh dengan mengandalkan Ilmunya Ilmu Hud Keng Ciang (Pukulan Tenaga Budha). Ilmu itu bukanlah lemah, tetapi sudah terlampau sering dan dihafal kehebatan dan kegunaannya oleh Mo Hwee Hud dan karena itu, sehebat apapun, sebenarnya tidak terlampau bermanfaat. Hebatnya Mo Hwee Hud, dia bisa berlagak seakan kerepotan menghadapi rangkaian pukulan dan jurus-jurus serangan Khong Yan, berturut-turut menyerang dengan jurus-jurus Budha Melabrak Mayapada, Budha Menyiak Arus Sungai dan Jalan Abadi Budha. Jurus-jurus yang sudah dipahami dengan baik dan sudah disediakan jalan penawar oleh Mo Hwee Hud, tetapi yang berlagak terdesak pada saat itu.
Untung saja Khong Yan masih memiliki kecerdasan dan merasa heran, masakan Mo Hwee Hud demikian cepat jatuh dalam desakannya" Tetapi, belum lagi Khong Yan menyadari penyebab keanehan itu, Mo Hwee Hud yang sudah berpengalaman tidak melepas peluang kemenangannya. Pada penghujung jurus terakhir yang mencecar dan menyudutkannya, Jalan Abadi Budha, tiba-tiba Mo Hwee Hud bergerak dengan kecepatan mengagumkan. Dari posisi terserang dan amat terdesak, dengan cerdik Mo Hwee Hud mengembangkan Mo Hwee Hud Ciang Hoat (Ilmu Budha Api Iblis) dan Ilmu Hok Sian Cam Yau (Menaklukkan Dewa Membunuh Siluman) serentak dalam jurus Ta Bak Kim Ciong (Memukul Balik Lonceng Emas) dan jurus Liang Cie Yauw (Dua Sayap Bergoyang). Jurus pertama memukul kedua lengan Khong Yan sehingga menjerumuskannya kedepan, sementara jurus kedua adalah sebuah serangan berantai dua lengan yang penuh dengan hawa Budha Api Iblis.
Untungnya, Khong Yan sudah mencapai tataran awal kekuatan iweekang Pouw Tee Pwe Yap Sian Sinkang yang memberinya kekuatan membal. Tetapi, berhubung saat itu lawannya juga mengetahui semua kehebatan ilmu itu, maka tanpa dapat dicegah Khong Yan terpukul oleh satu pukulan keras lawannya:
"Dukkkkkk ........"
Menyadari kekeliruannya tetapi sudah terlambat, Khong Yan bertindak cepat dan lugas dengan memainkan Thian Liong Pat Pian. Memang, dia kemudian mampu menghindari serangan-serangan Mo Hwee Hud selanjutnya, tetapi pada saat itu dia sudah terluka di dalam. Ilmu-ilmu langkah pertahanannya menyelamatkannya, tapi justru menambah berat luka dalamnya karena membutuhkan pengerahan iweekang guna bertahan dengan langkah-langkah aneh. Dalam keadaan normal, bukan satu hal sulit bagi Khong Yan, tetapi setelah terluka, maka akan menjadi berat baginya buat melanjutkan menggunakan ilmu itu. Sayangnya, tidak ada cara lain selain dia bertahan dengan Thian Liong Pat Pian. Sialnya, Mo Hwee Hud sudah paham dan tahu keadaannya saat itu, terus menerus memberondong Khong Yan untuk segera dapat meraih kemenangan.
Tio Lian Cu dan Sie Lan In saling pandang, keduanya sangat paham bahwa Khong Yan membutuhkan istirahat sejenak untuk memulihkan kekuatannya. Apalagi, Tio Lian CU juga tahu jika Khong Yan membekal sebuah pil obat yang dihadiahkan oleh Thian Liong Koay Hiap. Tetapi, masalahnya, mereka agak sulit untuk menengahi atau mengeroyok Moi Hwee Hud yang sednag emncecar Khong Yan. Tetapi, bila diteruskan, luka Khong Yan akan semakin parah dan semakin berbahaya. Resiko yang dihadapi menjadi amat berat. Untungnya, pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara riuh-rendah dan banyak orang yang mendekati arena tersebut. Tio Lian Cu dan Sie Lan In menjadi kaget, apalagi ketika menyadari bahwa yang datang ternyata adalah pasukan Utusan Pencabut Nyawa yang jumlahnya puluhan orang.
Sudah tentu inilah saat yang tepat. Sam Boa Niocu dan para murid Mo Hwee Hud sedang kehilangan konsentrasi untuk 1, 2 detik melihat dan mengatur tibanya Utusan Pencabut Nyawa. Dan saat itu digunakan oleh Sie Lan dan Tio Lian Cu secara bersamaan untuk menarik dan memberi waktu istirahat buat Khong Yan sebelum dia terpukul kembali. Mereka paham, dengan lukanya, agak sulit Khong Yan mengembangkan pertahanan, apalagi menyerang balik. Cara satu-satunya adalah menariknya mundur terlebih dahulu.
Memanfaatkan wakt??u yang amat sempit itu, tiba-tiba Sie Lan In bergerak dengan kemampuan ginkangnya yang mujijat yakni Sian Ing Tun Sin Hoat (Ilmu Bayangan Dewa Menghilang) sambil menyerang dalam gerakan Tiat Le Koan Jit (Baju Besi Menutup Matahari) dari rangkaian Ilmu Kim Kong Ciang Hoat (Ilmu Pukulan Cahaya Emas). Kecepatannya yang mengagumkan membuat Mo Hwee Hud agak tertegun dan segera sadar lawan yang lain memiliki kelebihan yang berbeda. Memang, Sie Lan In dan Khong Yan memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing sesuai dengan orang atau Guru masing-masing yang mengajar mereka berdua. Tetapi, syukur karena memang Mo Hwee Hud sedang berkonsentrasi untuk menghadapi atau lebih tepat untuk segera menjatuhkan Khong Yan. Karena itu, ada peluang bagi Sie Lan In mendesak Mo Hwee Hud tanpa gangguan murid-muridnya atau tanpa bantuan dari Sam Boa Niocu kekasihnya.
Dalam waktu sepersekian detik, terjadi benturan yang sangat hebat diiringi dengan mencelat mundurnya Khong Yan dan langsung arah mendekat dengan Tio Lian Cu. Dia kemudian terlihat segera berbisik kepada Tio Lian Cu dan diikuti dengan tindakannya menelan sebutir pil untuk mengobati luka dalamnya. Sementara itu, Sie Lan In yang mampu dan sukses mengalihkan perhatian Mo Hwee Hud sudah kembali berdiri dalam sisi yang sama dengan Khong Yan dan Tio Lian Cu. Mo Hwee Hud agak murka dan dengan berang berkata:
"Kalian curang,,,,,,,, "
"Kenapa disebut curang" Bukankah pada saat ini kita tidak sedang saling pibu atau bertanding" Bukankah engkau sedang berusaha keras menangkap kami semua tadinya, locianpwee" Masakan kami mandah saja ditangkap dan kemudian disekap olehmu atau oleh anak buahmu yang amat banyak itu" jelas saja kami semua akan berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan dari tangkapanmu, dengan cara apapun juga....." jawab Sie Lan In ringan, sederhana dan mampu membuat Mo Hwee Hud tertegun membenarkan perkataan Nona itu.
Tetapi, Tam Peng Khek yang cerdas, segera masuk dan ikut campur dengan membuat sebuah penafsiran lain yang pada akhir-akhirnya membuat Sie Lan In mengernyitkan keningnya. Pada saat ida melihat Suhunya terdiam dan sulit menjawab, Tam Peng Khek segera berkata:
"Suhu, mereka memang benar. Karena itu, biarlah kita menggunakan cara seperti yang Sie Kouwnio tadi gunakan melawan Suu, yakni melakukan kerubutan untuk menangkap mereka bertiga. Jika mereka bertiga sampai tertangkap, maka kita akan memiliki jaminan yang sangat kuat dan penting untuk memenangkan pertarungan di Pek In San kelak......." kalimat Tam Peng Khek ini menggembirakan Mo Hwee Hud yang terlihat mengangguk-angguk membenarkan pandangan murid kepalanya itu. Pada saat itu, Sie Lan In segera sadar bahwa bahaya kini mengancam mereka bertiga, terutama karena Khong Yan yang sedang terluka. Sayangnya, kesadaran itu tidak bisa disesali karena lawan mereka bersiap untuk kembali menyerang guna menangkap serta juga menyekap mereka sebagai tawanan.
"Tio sumoy, kita jaga sebisa mungkin agar Khong sute dapat segera memulihkan diri karena lukanya tidaklah terlampau parah. Jika kita mampu menahan mereka sampai setengah jam, maka harapan kita melakukan perlawanan lebih hebat dan ketat jauh lebih terbuka karena Khong Sute kelak akan bergabung dengan kita. Sekarang, mari kita coba tempatkan Khong Sute di tengah kita berdua. Dan engkau Ji Sute, segera upayakan agar secepatnya mengobati dirimu sendiri, tenagamu bakalan sangat dibutuhkan sebentar lagi....." bisik Sie Lan In yang tetap bersikap tenang, memberi perintah dan strategi yang lebih pas bagi mereka dalam keadaan yang sulit. Tetapi dia tidak dapat lagi berkata-kata lebih banyak dan lebih jauh karena dalam waktu tidak lama, Mo Hwee Hud dan Sam Boa Niocu kini mendekati posisi berdiri mereka berdua. Apalagi jika bukan untuk menyerang.
Keadaan menjadi amat berbahaya karena di belakang mereka bertiga, berjejer dan mengurung ketiga anak muda itu di tengah. Pada barisan yang paling luar, ratusan Utusan Pencabut Nyawa membentuk lingkaran seakan mengurung ketiga anak muda itu untuk tidak kemana-mana. Di dalam lingkaran kepungan Utusan pencabut Nyawa, terlihat berdiri dengan penuh percaya diri Tam Peng Khek, istrinya dan juga adik seperguruannya, menjaga untuk memberi bantuan jika diperlukan. Artinnya, saat itu Sie Lan In, Khong Yan dan Tio Lian Cu yang kini didatangi Mo Hwee Hud dan Sam Boa Niocu benar-benar sulit melarikan diri. Lepas dari Mo Hwee Hud dan Sam Boa Niocu, mereka akan dihadang dan dihadapi bertiga oleh Tam Peng Khek, Gi Ci Hoa dan Ong Keng Siang. Pada bagian terluar, masih pula berdiri nyaris 200 orang Utusan Pencabut Nyawa
Sebelum pecah pertempuran, Sie Lan In yang melihat lawan akan memainkan cara dan strategi kotor segera membentak:
"Hmmm, Mo Hwee Hud Locianpwee ternyata amatlah ketakutan untuk menghadapi serangan Tek Ui Sinkay, Pangcu Kaypang yang kini menjadi Bengcu Tionggoan. Dan karena ketakutan itu, Locianpwee hendak mengancamnya dengan keselamatan kami bertiga ini. Hikhikhik, sungguh hebat, sungguh mengagumkan, karena ternyata demikian rendahnya kualitas locianpwee...... hikhikhik"
Tak terduga oleh Sie Lan In, kata-kata untuk menyudutkan Mo Hwee Hud ini dapat menjadi sumber terhindarnya mereka dari terjangan dan keroyokan maut para Utusan Pencabut Nyawa lengkap dengan pentolan mereka. Bagaimana mereka dapat terselamatkan dari keadaan yang sangat berbahaya bagi mereka bertiga ini" Kita ikuti kejadian selanjutnya.
"Hohoho, ada disinipun Lam Hay Sinni, Thian Hoat Tosu dan Bu Te Hwesio guru kalian bertiga itu, tetap saja lohu akan menangkap kalian bertiga......" santai saja Mo Hwee Hud menjawab
"Cobalah lakukan Locianpwee, ingin kulihat sampai dimana kebisaan kalian yang menjadi peneror dan pengganggu dunia persilatan....."
"Khek ji, engkau tangkap bocah laki-laki yang sedang terluka itu tetapi tunggu saat dan waktu yang tepat, untuk sekarang ini, biarkan kami yang mengurus dua orang sisanya......" demikian Mo Hwee Hud mengirim suara dari jarak jauh kepada murid kepalanya dan diiyakan Tam Peng Khek.
"Baik Suhu....." juga dengan ilmu menyampaikan suara dari jarak jauh sehingga tak terdengar oleh Sie Lan In, Khong Yan dan Tio Lian Cu.
Dan seiring dengan itu, majulah Sam Boa Niocu dengan Mo Hwee Hud yang masing masing mengincar lawan yang berbeda. Mo Hwee Hud disambut oleh Tio Lian Cu sementara Sam Boa Niocu disambut oleh Sie Lan In, dan dalam waktu yang amat singkat pertempuran hebatpun segera berlangsung.
Tapi segera saja Mo Hwee Hud menjadi kaget karena ternyata murid Thian Hoat Tosu ini kini dapat menandinginya, padahal dulu saja Thian Hoat Tosu masih tipis dibawah kemampuannya. Kini, murid tokoh tua dari Hoa San Pay itu justru mampu menandinginya dengan kekuatan yang hebat dan malah dengan keuletan yang juga amat mengejutkannya. Berbeda dengan Khong Yan yang tadi dapat dia kalahkan, sekali ini dia tidak mampu mengalahkan lawannya dengan cepat. Karena itu dia berusaha mirip atau sama dengan mengalahkan Khong Yan, memancing Tio Lian Cu maju menyerang habis-habisan. Dan setelah itu, barulah dia akan merubuhkan Tio Lian Cu. Sayang sekali, Tio Lian Cu sudah membaca strategi itu karena sempat mendiskusikannya dengan Sie Lan In tadi.
Alih-alih mencecar lawan yang sengaja membuka beberapa lowongan untuk dapat dia serang, Tio Lian Cu dengan cerdiknya memainkan Ilmu Mujijat yang bagi Mo Hwee Hud masih cukup asing, yaitu Ilmu Sakti Tiang Kun Sip Toan Kim. Dengan ilmu ini, dia mampu meniru dan tepatnya menyesuaikan dengan gaya bersilat Mo Hwee Hud, baik bergerak cepat, bergerak lamban, menjadi ulet dan sesuai dengan gaya menyerang lawan. Sekali lagi Mo Hwee Hud menemukan ilmu mujijat yang lain, mirip-mirip dengan Khong Yan tadi tetapi tidak mirip, karena yang sekarang selalu menyesuaikan dengan gaya bertarungnya. Kadang bisa lamban, kadang cepat, kadang bertahan dan kadang menyerang, kadang bahkan mengantisipasi serangannya dan memunahkannya di tengah jalan.
Pendeknya, dengan ilmu ini Tio Lian Cu dapat menahan imbang tokoh tua yang amat berbahaya ini. Tidak cepat terdesak. Sebaliknya dia bertahan dan menyerang sesuai dengan gaya dan cara menyerang dan cara bertahan lawannya yang jebat itu. Kenyataan ini perlahan-lahan menumbuhkan rasa percaya diri yang tinggi bagi Tio Lian Cu. Hanya saja, pengalaman Khong Yan tadi membuatnya sangat berhati-hati. Dia tidak mau terjebak permainana tokoh tua yang dia tahu sudah sangat sarat dengan pengalaman dan memang amat sakti itu. Karena itu, beberapa lowongan yang dibuat supaya dia menyerang, selalu dia abaikan dan berkonsentrasi untuk bertahan dan menyerang seadanya.
Sementara itu Sie Lan In menang dalam ginkang tetapi berimbang dengan iweekang Nenek lawannya. Atau tepatnya, iweekangnya lebih murni, tetapi iweekang lawan rada sesat dan berhawa beracun. Karena itu, yang membuat Sie Lan In sangat menderita sebenarnya adalah "hawa beracun" dan trik-trik beracun yang dimainkan secara sangat lihat oleh Sam Boa Niocu. Pada dasarnya Sie Lan In tidak takut racun dan ini jelas sangat mengagetkan Sam Boa Niocu. Karena binatang beracun miliknya selalu ketakutan jika mendekati Sie Lan In.
Maklum, tanpa sepengetahuan Sam Boa Niocu, Sie Lan In telah membungkus dirinya dengan iweekang murni kaum Budha yang diwariskan subonya Lam Hay Sinni. Hawa beracun dan binatang beracun akan mencair begitu mendekati selaput tipis yang terbentuk oleh kekuatan hawa iweekang mujijat Hut Men Sian Thian Khi Kang. Sam Boa Niocu kaget tetapi sadar bahwa dia tidak boleh menggunakan lagi hewan-hewan kecil sejenis kutu beracun, tetapi mesti menggunakan cara yang lain, atau menggunakan cara yang berbeda.
Iweekangnya kini adalah warisan Lam Hay Sinni yang sudah lama mewarisinya dari Suhunya si Padri tanpa nama dari Kuil Siauw Lim Sie. Bahkan iweekang itu sudah ditelaahnya habis-habisan dan malah selama sekian puluh tanun terakhir ini sudah semakin mampu mendalaminya serta menyelami landas-landas detailnya yang amat mujijat. Maka, kemudian, di tangan Sie Lan In, kepada siapa dia kini memasrahkan khasanah ilmu warisannya dan memasrahkan teori dan praktek yang dia pelajari selama puluhan tahun itu, wajar jika terlihat jadi maha hebat dan maha sakti. Hal yang semakin membuat Sie Lan In percaya diri. Menghadapi Sam Boa Niocu dia memiliki pegangan yang memadai.
Yang membuat Sie Lan In keteteran adalah hawa busuk yang merembes masuk ke hidungnya. Meski racunnya sudah ditawarkan dan ditandai dengan asap warna-warnis yang menghiasi arena mereka, tetapi bau yang memuakkan itu tidak dengan sendirinya terhalau pergi. Tetapi, Sie Lan In sadar, bahwa pertarungan ini bukanlah pibu dan karena itu strategi apapun sah untuk digunakan lawannya. Saat lawan memilih menggunakan racun untuk menangkapnya jelas adalah sah-sah saja, dan dia mau tidak mau harus menghadapinya secara langsung. Terlebih jika dia menghindar maka berarti Khong Yan bakalan dalam keadaan yang amat berbahaya, sangat mungkin tertawan musuh. Karena itulah, meski pengaruh udara busuk itu amat mengganggunya tetapi maka Sie Lan In tetap berusaha meskipun kehilangan banyak peluang mendesak Nenek Sam Boa Niocu.
Bahkan, bukannya mendesak untuk menang, sesekali dia yang justru menjadi amat kerepotan untuk menghalau serangan si Nenek yang selalu datang bertubi-tubi dan selalu menyasar tempat yang mematikan. Apalagi, karena serangan-serangan racun Nenek Sam Boa Niocu teramat beragam dan banyak variasinya. Hanya, untung saja dalam hal ginkang dia memang unggul jauh dibandingkan si Nenek Sam Boa Niocu yang beracun dan sangat memuakkan aroma beracunnya itu. Justru karena itulah pertempuran merekapun, sama juga dengan arena yang satunya lagi, berlangsung dengan seru dan amat menarik guna ditonton dan diperhatikan. Jadi teramat sulit untuk menebak siapa yang akan unggul dalam waktu singkat, meskipun arena Sie Lan In terlihat lebih mungkin dimenangkan si gadis. Tetapi, kemungkinan sangatlah terbuka karena Sam Boa Niocu memiliki banyak ilmu lain, dan yang berbahaya ialah ilmu sihir dan ilmu racunnya.
Sepuluh menit berlalu belum ada tanda-tanda Mo Hwee Hud bakalan mengalahkan Tio Lian Cu, sama dengan Sam Boa Niocu yang juga terlihat kesulitan mengalahkan Sie Lan In. Tetapi, pertarungan itu, lama-kelamaan meninggalkan hanya seorang Sie Lan In yang bisa mengontrol arena tengah dimana Khong Yang sedang dalam keadaan terluka dan berusaha menyembuhkan diri. Semua berpacu dengan waktu, karena seandainya Khong Yan tertangkap, maka bisa dipastikan akan memudahkan Sie Lan In dan Tio Lian Cu ditaklukkan. Mo Hwee Hud sudah paham dengan soal itu, dan karenanya mereka sebenarnya sudah bersiap untuk menyibukkan kedua wanita dan menangkap Khong Yan. Tetapi, sayangnya, kepandaian Tio Lian Cu dan Sie Lan In benar-benar berada diluar perkiraan Mo Hwee Hud dan terutama Tam Peng Khek yang menjadi silau melihat gerakan ketiga orang itu.
Ada untungnya keadaan Tam Peng Khek yang demikian. Sebab jika dia langsung bergerak untuk mengganggu konsentrasi Tio Lian Cu dan Sie Lan In, maka keadaan bisa berubah dengan amat cepat. Tetapi, lama kelamaan Mo Hwee Hud sadar bahwa mereka bisa kehilangan tempo. Maka melihat keadaan murid kepalanya yang masih berdiam diri, tiba tiba membentak dengan suara keras:
"Mau tunggu apa lagi.......?" bentakan keras yang membuat Tam Peng Khek sadar dan dengan cepat melirik istrinya dan ji sutenya dan berkata:
"Sudah saatnya kita menangkap pemuda itu,,,,,, ayo......"
Serentak ketiganya bergerak masuk ke dalam arena pertempuran. Sie Lan In yang melihat keadaan yang amat berbahaya itu langsung berseru:
"Sam Sumoy, kita harus segera bertarung di dua sisi Khong Sute, mereka mau main keroyok..." sambil berkata demikian, Sie Lan In memukul dengan jurus maut dalam kecepatan sangat tinggi, yakni jurus Hui Hong Soan Tah (Angin Puyuh Mengitari Pagoda) dari Ilmu Kim Kong Ciang Hoat (Ilmu Pukulan Cahaya Emas). Bahkan kekuatan iweekangnya dikerahkan sebisanya dan kemudian memukul keras sambil mengelilingi Sam Boa Niocu yang terdesak hebat karena perubahan gerak yang amat luar biasa dari Sie Lan In. Bersamaan dengan itu, Tio Lian Cu juga menyerang dengan jurus Kim So Heng Kong (Rantai emas melintangi sungai) yang berasal dari rangkaian Ilmu Hong In Pat Jiauw (Ilmu Delapan cengkeraman angin dan Mega). Ilmu atau jurus ini adalah salah satu yang sudah berubah sangat hebat, dan kini menjadi salah satu jurus andalan Tio Lian Cu.
Pada saat yang bersamaan, Tio Lian Cu dan Sie Lan In mampu mengundurkan lawan dan kemudian kembali menempatkan dan mengawal Khong Yan di tengah mereka berdua. Dalam posisi itulah mereka kemudian menghadapi Mo Hwee Hud dan Sam Boa Niocu dan yang kini turut dibantu oleh Tam Peng Khek dan istrinya Gi Ci Hoa serta juga Ong Keng Siang. Kini, murid kepala bersama istrinya dan murid kedua Mo Hwee Hud sudah memutuskan untuk turut membantu. Meskipun demikian, ternyata pengeroyokan itu bukannya membantu, tetapi justru jadinya lebih banyak menghalangi Mo Hwee Hud dan Sam Boa Niocu yang memiliki kepandaian lebih tinggi. Mo Hwee Hud yang sudah amat sarat pengalaman memiliki pandangan yang lebih tajam untuk memecah pertahanan lawan, dan karena itu diapun memberi perintah yang lain:
"Kalian bertiga jauh lebih baik bersiaga di luar lingkaran pertempuran kami dan siapkan senjata rahasia. Sewaktu-waktu bersiap menerobos untuk menangkap anak muda itu saat kuperintahkan....."
"Siap Suhu......"
Maka ketiga orang itu, yakni Tam Peng Khek dan istrinya Gi Co Hoa serta Ong Keng Siang segera mengelilingi arena dan bersiaga sebagaimana perintah Mo Hwee Hud. Kondisi yang semakin mengkhawatirkan dan hal ini disadari sangat oleh Sie Lan In dan Tio Lian Cu. Tetapi, karena serangan-serangan Mo Hwee Hud dan Sam Boa Niocu semakin membadai, membuat mereka berdua mau tidak mau harus saling bantu dan saling menjaga. Untuk maksud itu, mereka memang mampu menjaga diri dan tidak sampai terdesak hebat, tetapi beberapa kali mereka sadar, lowongan-lowongan kecil mulai muncul dari upaya mereka untuk menjaga Khong Yan agar tetap aman. Dan mereka berdua sadar jika semakin lama akan semakin lebar koyaknya pertahanan mereka.
Beberapa saat lagi, mereka akan semakin repot untuk menjaga Khong Yan karena Mo Hwee Hud kini menyerang dengan kemampuan terbaiknya dan benar-benar membuat repot kedua gadis cantik itu. Untung saja Sie Lan In memiliki ginkang yang benar-benar sangat istimewa dan sering membuat mereka berdua terhindar dari kondisi yang berbahaya. Tetapi, keadaan itu justru semakin lama semakin membuka lebar-lebar pertahanan mereka, lowongan guna menangkap Khong Yan semakin melebar. Mo Hwee Hud tentunya juga menyadarinya, tetapi dia sungguh taktis dan menunggu saat yang paling tepat untuk dapat melakukan serangan terakhir. Baik meruntuhkan perlawanan Sie Lan In dan Tio Lian Cu, tetapi juga yang terutama ialah menangkap Khong Yan yang terluka.
"Hahahahaha, sekarang serang anak muda itu......." terdengar seruan keras serta menggeledek dari Mo Hwee Hud, bersamaan dengan dia menyerang secara hebat dan mengurung Tio Lian Cu di tengah arena. Saat yang sama, Sam Boa Niocu juga mengibaskan lengannya dan setelah itu diapun maju menerjang kearah Sie Lan In. Mata tajam Sie Lan In paham bahwa kibasan lengan Sam Boa Niocu pastilah amat beracun, dan sadar bahwa pukulannya, juga tidak kalah beracunnya. Karena itu, dia memilih untuk berkelit. Tetapi, astaga, dia kini paham bahwa posisi bertahan mereka sudah terbuka sangat lebar. Apalagi ketika dia melihat Tio Lian Cu juga mau tidak mau harus bergeser agak kekiri dan terbukalah lobang yang sangat besar dalam garis pertahanan mereka berdua.
Dengan sinar mata panik sambil menyelamatkan diri, Sie Lan In melirik keadaan Khong Yan, tetapi keadaannya meskipun memiliki kepandaian silat dan ginkang yang amat mujijat, terlambat dibandingkan gerakan Tam Peng Khek bertiga. Sontak mata Sie Lan In memerah dan menjadi murka, karena dia paham Khong Yan sudah sulit untuk dipertahankan lagi. Selagi dia melayang mundur, tiba-tiba dia berteriak penuh amarah dan penuh tenaga:
"Haiiiiiitttttttttttttttttttt ......."
Bersamaan dengan itu, lengannya terulur ke depan dan melesatlah sebuah sinar yang amat tajam sekaligus dengan sinarnya yang amat mengerikan. Bahkan suara yang mengiringi lesatan senjata yang ternyata sebuah Pedang itu membawa suara berderak yang amat mengerikan. Sudah pasti itu sebuah pedang pusaka. Memang, pada saat murkanya, Sie Lan In memutuskan melepas dan memegang Pedang Pusaka yang bernama Thian Liong Po Kiam (Pedang Pusaka Naga Kahyangan) dan langsung menyerang dengan salah satu ilmu pedang andalannya ilmu Hui Sian Hui Kiam (Pedang terbang memutar).
Pedang yang amat berbahaya itu melesat cepat dan langsung menyasar Sam Boa Niocu yang terang tak berani menyambut pedang itu yang melesat dalam kecepatan yang sangat luar biasa. Apalagi selain lesatan yang amat cepat, juga terdengar nada menyeramkan mengiringinya. Tak ada cara lain selain mundur dan tak melanjutkan terjangan ke arah Khong Yan. Setelah mengundurkan Sam Boa Niocu, pedang itu berputar dengan sendirinya dan kemudian segera menerjang Tam Peng Khek, Gi Ci Hoa dan Ong Keng Siang bertiga yang juga bergerak maju untuk menotok tubuh Khong Yan. Mereka bertigapun terhalang dan tidak berani melawan pedang terbang yang merontokkan nyali itu.
Waktunya sungguh tepat, sepersekian detik lagi Tam Peng Khek dan Ong Keng Siang akan berhasil. Sementara Gi Ci Hoa bertindak sebagai pelindung bagi kedua orang itu. Tetapi, betapa terkejutnya dia ketika pedang terbang itu mencelat dengan amat cepat dan membuatnya harus mundur sambil membungkukkan tubuhnya agar dapat terhindah dari sayatan pedang maha cepat itu. Yang agak lalai adalah Ong keng Siang, lengan yang terulur untuk menotok Khong Yan terserempet pedang. Untung hanya mampu memotong jubah bagian lengan dan tidak sempat melukai lengannya ataupun menusuk lengannya itu:
"Sreeeet......"
Begitupun, semua serangan totokannya dan sergapan terhadap Khong Yan meleset dan gagal semua. Bahkanpun kejadian yang sama juga dialami oleh Tam Peng Khek yang lebih cerdik. Dia menarik lengannya lebih cepat dan dimundurkan untuk kemudian diapun menjauhi sinar pedang yang sudah menari-nari kembali langsung menyerang mereka berempat dalam kecepatan tinggi. Diapun berseru dengan suara tercekat dan terdnegar ngeri:
"Ilmu Pedang Terbang......" teriak mereka takjub melihat betapa pijaran sinar pedang yang mengejar mereka dalam kecepatan tinggi masih belum berhenti. Kini, meski mereka berempat, tetapi untuk sesaat mereka sulit mendekati Sie Lan In yang sudah memainkan Ilmu Pedang Terbangnya secara sangat luar biasa. Bahkan bergantian pedang itu mengejar dan mengancam untuk menusuk ataupun menikam mereka. Terkadang mengejar dan mencecar mereka secara bersamaan.
Bukan hanya ilmu pedang terbang yang berbahaya, tetapi justru pedangnya serta hawa pedangnya sangatlah berbahaya dan mematikan. Apalagi karena pedang yang digunakan merupakan sebuah pusaka pilihan yang bahkan selama berada di Tionggoan, Sie Lan In nyaris tidak pernah menggunakannya. Pedang itu dapat menyayat dan menusuk baja sekalipun, bagaikan sedang memotong atau menusuk karet atau benda lunak lainnya. Sangat tajam dan memiliki sisi menyeramkan, terutama ketika sedang "terbang" seperti saat ini. Suaranya bukan hanya karena dihasilkan oleh efek kecepatannya yang memang sangat luar biasa. Tetapi karena ketika sedang "terbang" ada alunan nada tersendiri yang menambah rasa seram dan rasa tegang orang. Alunan ini malahan memiliki nuansa magis dan membuat orang dapat tercekam ketakutan dan mengurangi kesiagaan dan kecekatan ornag yang bersangkutan untuk menghindari serangan.
Padahal, dalam kenyataannya nada-nada yang lahir saat pedang meluncur dengan Ilmu Pedang terbang justru adalah nada pemunah ilmu-ilmu sihir maupun ilmu-ilmu hitam. Nada dan iramanya sangat dekat dan saling mengisi dengan alunan irama dan lagu untuk memuji-muji kebesaran Budha. Tetapi, sekali ini, ketika Sie Lan In menggunakannya, justru pada saat dan keadaan yang amat berbahaya. Karena, Sie Lan In pada saat itu tidak memiliki peluang lain dan dengan terpaksa memainkan ilmu yang sangat menguras tenaga itu. Dengan pedangnya sekaligus.
"Berpencar dan menjauh, serang mereka berdua dengan senjata rahasia..." suara Sam Boa Niocu untuk pertama kalinya terdengar memerintah anak murid suaminya yang tentunya juga adalah juga anak muridnya. Dan memang, semakin jauh jarak mereka satu dengan yang lain, semakin berkurang bahaya termakan senjata maut yang membuat mereka bergidik dan sedikit seram. Kini dari empat sisi yang melebar mereka bertarung dalam jarak jauh membiarkan Mo Hwee Hud bertarung sendirian karena memang dia tidak terdesak, malah sedikit mendesak lawan mudanya itu. Sayangnya, saat itu Tio Lian Cu belum berkesempatan mengeluarkan pedang andalannya karena Mo Hwee Hud tahu, kekuatan utama Hoa San Pay adalah Ilmu Pedang mereka yang amat hebat dan amat dahsyat. Melihat bagaimana Sie Lan In memainkan pedangnya, Mo Hwee Hud memutuskan tidak memberi kesempatan bagi Tio Lian Cu untuk melepas pedang dan kemudian menerjangnya.
"Suamiku, kita musnahkan saja mereka bertiga......" tiba-tiba terdengar suara Nenek Sam Boa Niocu yang makin lama semakin gemas karena tak bisa mendekati Sie Lan In dan tidak bisa menggunakan racun untuk menyerangnya. Selain semua tak berguna karena Sie Lan In memiliki lapis pertahanan iweekang dan bahkan juga Pedang Mujijat yang ditakuti binatang-binatang beracun. Menemukan kenyataan yang sangat menjengkelkan itu, Sam Boa Niocu memikirkan untuk menggunakan racun lain yang lebih ampuh.
"Jangan Niocu,,,,,,, anak murid punkita bakalan banyak yang binasa ataupun terluka oleh racunmu...." terdengar Mo Hwee Hud menolak ide Nenek Sam Boa Niocu, dan memang terdengar cukup masuk diakal. Maka akhirnya ide Nenek Sam Boa Niocu pun diputuskan untuk itupun dibatalkan. Tengah pertarungan itu berlangsung dan posisinya terus menerus saling intai, tiba-tiba terdengar suara dari luar lingkaran yang cukup menusuk telinga.
"Ahaaaa, ini rupanya Pasukan Maut yang membinasakan ratusan pengemis anggota Kaypang itu....... waaaaaah, sungguh kebetulan, sungguh kebetulan....."
Begitu suara yang menusuk telinga itu berlalu, tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan dan jeritan susul menyusul. Dan ketika diperhatikan, mereka yang berteriak, menjerit itu ternyata adalah orang-orang dari barisan Utusan Pencabut Nyawa. Dalam waktu singkat, beberapa orang anggota Utusan Pencabut Nyawa sudah tergeletak jadi korban, terluka berat dan bahkan sebagian mati terbunuh. Kejadian tersebut amat menyentak, terlebih karena teriakan dan jeritan barisan Utusan Pencabut Nyawa masih saja terus-menerus terdengar. Dan artinya, korban masih terus berjatuhan satu demi satu, dan tak lama kemudian, barisan itupun menyibak seperti membuka jalan bagi orang lain. Dan memang benar, dari arah reruntuhan bangunan yang tadinya menjadi arah tujuan Sie Lan In, Khong Yan dan Tio Lian Cu, muncul banyak orang yang membombardir Utusan Pencabut Nyawa.
Begitu menyibak, terlihat ada 3 orang yang berjalan memasuki kurungan Utusan Pencabut Nyawa. Ada yang mirip dari ketiga orang yang datang itu, meski postur tubuh mereka berbeda-beda satu dengan lainnya. Di belakang mereka bertiga, juga nampak berjalan mengekor 7 orang lainnya dengan pakaian yang semua sama. Pakaian mereka cukup mencolok karena semua berwarna putih namun dengan sobekan-sobekan di banyak tempat, mirip dengan potongan baju kaum pengemis. Hanya, bedanya mereka semua mengenakan pakaian pengemis namun dalam satu nada dan warna yang sama. Ketiga orang yang berjalan di depan jubah warna putih pakaian mereka terlihat lebih terang dan lebih cemerlang, sementara 7 orang lainnya lebih kusam dan lebih buram warna putihnya.
Tidak salah lagi, ketiga orang yang berjalan di depan adalah pemimpin dari mereka bersepuluh yang mengganggu dan menyerang Utusan Pencabut Nyawa. Begitu tiba di tengah lingkaran yang dikurung oleh kurang lebih 200 orang Utusan Pencabut Nyawa, ketiganya terlihat memandang berkeliling. Termasuk memandang Sie Lan In dan Tio Lian Cu yang tadi bertarung hebat, dan terakhir melirik Khong Yan yang sepertinya sebentar lagi akan segera pulih dari pengobatannya. Orang yang berada di tengah dari ketiga manusia berjubah pengemis berwarna putih dan terlihat gagah itu kemudian bertanya dengan suara pekak:
Pedang Kunang Kunang 7 Heng Thian Siau To Karya Liang Ie Shen Tiga Naga Sakti 17
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama