Ceritasilat Novel Online

Pendekar Lengan Buntung 9

Pendekar Lengan Buntung Karya Kim Tiauw Bagian 9


kepalanya. Seluruh alam menjadi putih, matanya menjadi silau
oleh keputihan yang seperti salju, ia merasa sebuah tangan
menghempasnya kuat-kuat dan jatuh ke bumi membuat kepalanya
demikian sakit dan nyeri. Jeritan panjang menyebut nama Bwe
Hwa menghantar ia ke alam sadar di dalam pondok.
Pertama-tama dilihatnya, hujan masih meriak di luar pondok. Kabut
di luar melayang-layang disiram gerimis dan kekelaman menjelang
sore hari. Sebuah kilat menyambar, berkeredep menerangi
ruangan di dalam pondok kecil.
636 Sesosok tubuh bersila di depan seorang gadis yang telah duduk
meramkan matanya. Perlahan-lahan muka gadis itu menjadi
merah. Sebuah tangan manusia terlekat di pundak si gadis.
Orang tua itu terdengar menghela napas panjang: "Bukalah
matamu?" Bwe Hwa, lihatlah alam sekeliling ini demikian
indahnya, kuatkanlah hatimu. Berbahagialah orang yang tabah hati
menghadapi segala kesakitan. Hanya sabar dan ketabahan hati
dan pasrah kepada Ilahi, ia itulah obat yang maha mujarab untuk
menghilangkan segala sakit dan penyakit.
"Tubuh ini adalah ciptaan Yang Maha Kuasa, ia pula yang
menentukan mati dan hidupnya seseorang. Bangunlah Bwe Hwa,
belum waktunya Thian memanggilmu....... Kuatkanlah bathinmu,
lupakanlah tubuh jasmanimu jangan hiraukan sakit di tubuhmu.
Berkatalah pada dirimu: "AKU PASTI SEMBUH, KARENA AKU
AKAN HIDUP!" Bwe Hwa membuka matanya. Menjatuhkan diri kepada orang tua
di hadapannya dan berlutut sambil menangis: "Locianpwe, terima
kasih untuk nasihatmu. Dada saya tidak terasa sakit lagi, tubuh
saya serasa enteng dan ringan. Kakek, aku berhutang budi
kepadamu....... memang aku harus sembuh, aku harus hidup!"
Bwe Hwa menangis mengguguk dihadapan si kakek.
Kakek itu sudah nampak tua sekali. Ia bersila dihadapan si gadis.
Kedua kakinya sudah buntung, wajahnya dengan keriput dan
semua rambutnya putih, berjenggot putih pula, berpakaian dengan
kain putih sederhana terbuat dari kain yang kasar akan tetapi
nampak bersih, akan tetapi mempunyai pandangan yang sejuk dan
637 membawa ketenangan dan kedamaian bagi siapa saja yang
menatap mata tua itu! Tiang Le bagaikan orang baru sadar dari mimpi yang amat buruk
memandang kepada kakek buntung yang membelakanginya, akan
tetapi alangkah heran dan girang hatinya melihat Bwe Hwa sudah
dapat duduk di depan kakek itu.
Cepat Tiang Le berlutut dihadapan kakek itu, di samping Bwe Hwa.
"Locianpwe... hamba yang rendah, hamba yang tidak bisa berbuat
apa-apa terhadap sumoay hamba yang terluka berat ini, sekarang
menghaturkan banyak terima kasih kepada kau orang tua yang
telah menolong Bwe Hwa sumoay?".."
"Namamu Sung Tiang Le, bukan" Sudah kusaksikan sepak
terjangmu kemarin siang itu waktu menghadapi orang-orang Butek Sianli, kepandaianmu hebat bukan main, mengingat aku
kepada sucouw Sui-kek Siansu. Eh, Tiang Le, dari mana kau dapat
mainkan ilmu silat Tok-pik-kiam-hoat, Sian-tian-jiu dan langkahlangkah ajaib itu?" si kakek kaki buntung bertanya dengan
pandangan yang penuh diliputi oleh kesabaran dan ketenangan
bathin. "Locianpwee saja yang bodoh........ pernah mempelajari dari
sebuah kitab kuno yang dapat saja ketemui dari nona Cia Pei
Pei........ kalau boleh saja tahu, siapakah locianpwee ini?"
Si kakek kaki buntung menarik napas panjang. Ia meraba
jenggotnya yang putih panjang sebatas dada, suaranya pelan dan
lembut menyejukkan. 638 "Siapa aku, sebetulnya hanya sebuah nama yang kosong saja,
orang muda! Nama manusia akan segera lenyap dan dilupakan
orang, apabila tubuh ini akan masuk ke dalam kubur. Untuk apa
aku perkenalkan kepadamu" Akan tetapi karena kau telah
mewarisi kitab peninggalan sucouw Sui-kek Siansu, maka baiklah
kuperkenalkan diriku yang tak berarti ini.
"Dulu namaku Lim Heng San, kemudian orang-orang menyuluki
Sin-kun-bu-tek, akan tetapi aku sudah tidak memakai nama itu lagi.
Pernah pada puluhan tahun yang lalu, aku diberi sedikit pelajaran
ilmu silat tangan kosong dari kakek tua renta Sui-kek Siansu,
manusia setengah dewa, yang kabarnya telah meninggal, akan
tetapi sering kali ia muncul bagaikan malaikat turun ke bumi.
"Dua kali saja aku pernah bertemu dengan Sui-kek Siansu itu pada
puluhan tahun yang lalu, pernah aku mendengar akan kitab silat
tangan buntung yang ditulisnya. Orang muda beruntung sekali kau
berjodoh mendapatkan kitab itu!"
"Locianpwe, aku yang bodoh mohon petunjukmu!"
Si kakek kaki huntung meramkan matanya. Menghela napas
panjang dan melirik ke arah Bwe Hwa yang ketika itu tengah
menundukkan kepalanya. Bibir kakek itu bergerak perlahan seperti
orang membaca doa, tidak terdengar kata-kata yang terucapkan
oleh si kakek, akan tetapi anehnya, bibir yang bergerak itu
merupakan bisikan perlahan kepada Tiang Le dan tidak terdengar
oleh Bwe Hwa: "Tiang Le, ketahuilah olehmu bahwa sumoaymu ini mengalami
luka dalam yang sangat parah. Menyesal sekali aku hanya dapat
639 menolongnya pada batas yang tertentu. Gadis itu telah mengalami
tekanan batin dan guncangan jantung yang cukup hebat.
"Ia menderita sakit jantung dan kanker dada yang pada saat itu
belum ada obatnya. Apabila jantungnya bergoyang, apabila ia
mengalami shock dalam hidupnya ia pasti akan muntah darah lagi.
Kau kasihanilah dia, kau hiburlah, dan senangkanlah hatinya,
karena ia hanya bertahan hidup hanya dalam beberapa bulan lagi
saja. Tiang Le, jangan bikin ia bersedih hati........
"Hemm, kalau tidak salah bagi penglihatan mataku yang sudah tua
ini, ia sangat mencintaimu....... Mudah-mudahan, ia tidak akan
mengalami kekecewaan dalam hatinya. Nah, itulah pesanku!
Jangan kau katakan apa-apa kepadanya tentang ini.
"Tiang Le, surat dari seorang gadis kerudung hitam sumoaymu
yang telah meninggal itu sudah berada di tanganku, biar nanti
kuteruskan kepada Kaisar. Nah! Hanya itu pesanku dan?"."
Kakek itu tidak meneruskan kata-katanya, ia memandang Tiang Le
melihat lengan kanan yang telah buntung sebatas pundak, senyum
kakek itu menghias pada bibirnya yang tua.
"Beruntung sekali kau mempunyai lengan buntung, karena itu
adalah syarat utama bagi pelajaran ilmu silat tangan buntung yang
telah kau kuasai dengan baik?"!" akan tetapi si kakek
menggerakkan tangannya. "Ke marilah Tiang Le, biar aku akan memberikan sedikit tenaga
tuaku ini bagi kau orang muda yang sangat memerlukan lweekang
tinggi. Dekatlah ke sini Tiang Le!"
640 Tiang Le segera menggeser ke depan. Terasa kedua tangan si
kakek menyentuh pundaknya di kanan dan di kiri.
Dan terdengar suara si kakek berkata pelan:
"Tiang Le aku akan memindahkan sebagian tenaga lweekangku ini
untukmu. Pusatkan hawa tan-tian di dalam tubuhmu dan salurkan
hawa Yang-kang dan Im-kang yang akan kukirim berganti-ganti
dari kedua tanganku ini. Nah, terimalah!"
Tiang Le menuruti pesan si kakek. Ia mengerahkan hawa murni di
pusar dan menahan napas, menerima tenaga panas yang
membanjir ke tubuhnya melalui pundak sebelah kiri, bagaikan
aliran listrik tubuh Tiang Le bergetar.
Hawa panas mendesak dengan amat kuatnya, hampir saja Tiang
Le mencelat ketika merasakan seluruh tubuhnya menjadi panas
seperti dibakar. Akan tetapi karena ia menaruh kepercayaan penuh
kepada si kakek kaki buntung yang pada puluhan tahun yang lalu
terkenal dengan julukan Sin-kun-bu-tek Lim Heng San, ia
memasrahkan dan membiarkan tubuhnya menjadi merah seperti
udang direbus. Wajahnya merah membara. Keringat sudah
membasahi tubuhnya. Dan begitu tangan kiri kanan si kakek terangkat, tahu-tahu
bagaikan segumpalan es yang menyentuh pundak kanannya tibatiba tubuh Tiang Le menggigil kedinginan. Hawa panas yang tadi
terasa memanggang dirinya, kini berganti dengan hawa dingin
yang luar biasa. 641 Cepat Tiang Le mengatur pernapasannya dan mengerahkan
tenaga sin-kang membantu jalannya hawa im-kang yang
membanjir tubuhnya. Saking dinginnya sampai Tiang Le
mengkerotkan giginya yang berbunyi gemeretuk dan wajahnya
menjadi biru dan seluruh rambut di kepalanya menjadi berdiri kaku
laksana kawat berduri! Bwe Hwa yang melihat pemindahan tenaga sin-kang yang luar
biasa ini menjadi heran dan terkejut. Akan tetapi diam-diam ia
menjadi girang bukan main melihat wajah Tiang Le bertambah
segar dan merah kembali. Ia menatap wajah pemuda itu dengan
pandangan sayu dan penuh cinta kasih.
Tidak lama kemudian, ada sekitar dua jam, kakek kaki buntung itu
menarik ke dua tangannya dari pundak Tiang Le dan berkata,
"Tenaga sin-kang di tubuhmu bertambah berlipat ganda. Oleh
karena itu, kuharapkan gerak tangan kilat yang pernah kau pelajari
boleh menjadi bagian ilmu silat yang maha sakti, akan tetapi
ingatlah Tiang Le, janganlah sembarangan engkau menjatuhi
tangan maut kepada lawanmu. Perhatikanlah ini jikalau engkau
menuruti nafsu hati, percayalah engkau akan menemui segala
penderitaan dalam hidupmu."
Dalam keadaan tubuh yang masih terasa lemah sekali, akan tetapi
terasa ringan dan enteng, Tiang Le berlutut,
"Terima kasih atas budi baik dan petunjuk Locianpwe!"
642 "Nah, Tiang Le, oleh karena tiada ada apa-apa lagi yang dapat
kuberikan kepadamu, maka aku bermohon diri dan ingatlah
pesanku tadi?" untuk sumoaymu, selamat tinggal!"
Sekali tubuh si kakek buntung itu berkelebat. Tahu-tahu telah
lenyap dari hadapan Tiang Le dan Bwe Hwa. Diam-diam mereka
menjadi terkejut bukan main akan kehebatan kakek kaki buntung
yang pada puluhan tahun yang lalu pernah menggemparkan dunia
persilatan dengan ilmu silat tangan kosongnya yang bernama
kepalan dewa tanpa tandingan! Hebat!
"Sumoay syukur kau telah sembuh....... O ya, masih sakitkah
dadamu?" tanya Tiang Le begitu menengok kepada Bwe Hwa yang
memandangnya sambil tersenyum dan mengangguk.
"Kakek kaki buntung itu yang menolongku, koko, ia hebat entah
dengan cara apa ia menyembuhkan lukaku di dada. Hanya begitu
kusadar, aku mendengar bisikan-bisikan perlahan yang amat
mengejutkan isi hati dan menghilangkan rasa nyeri yang tadinya
menyerang dadaku. "O ya, koko, aku kuatir sekali....... kenapa kau
tertidur begitu lama" Sampai seharian itu kau tidur menggeletak di
situ, tadinya ingin kubanguni engkau akan tetapi, kakek kaki
buntung itu mencegahnya."
O ya, teringatlah kini Tiang Le. Ia memang tidak sadar diri lama,
akan tetapi mengapa mimpinya itu amat menakutkan" Ia bermimpi
melihat Bwe Hwa naik ke langit sambil menggapai-gapaikan
tangannya. Ia menjerit memanggil Bwe Hwa. Rasanya dalam
mimpi yang amat buruk itu, ia takut sekali kehilangan Bwe Hwa.
Entah mengapa" 643 "Koko.......?" Tiang Le menoleh, namanya disebut begitu mesra oleh Bwe Hwa
dan gadis itu tersenyum sambil berkata manja: "Koko....... aku pasti
sembuh, jika badan ini mengatasi nyawa....... aku akan sembuh
dan ingin hidup"... koko Tiang Le jangan kau tinggalkan aku lagi
ya?" Air mata si gadis berlinang-linang menatap pemuda di depannya.
Tiba-tiba ia menjatuhkan kepalanya dan menangis di dada Tiang
Le. "Koko....... aku".. aku tak ingin mati koko....... aku tak ingin
berpisah denganmu......." suara Bwe Hwa terdengar terisak.
Tiang Le mengusap rambut di kepala si gadis. Membelainya
dengan mesra dan penuh perasaan. Pandangannya menatap
keluar pondok, di luar memang sudah gelap. Embun menurun dari
puncak. Sementara suara air hujan masih mengericak turun dari atas atap
pondok, angin dingin sangat dingin berhembus menerpa ke dua
orang muda di dalam pondok itu. Api unggun yang rupanya telah
dinyalahi oleh si kakek kaki buntung masih bernyala bergoyanggoyang lidah api itu ditampar angin yang berhembus dari luar.
Pada saat si gadis menangis di dadanya, Tiang Le teringat kepada
perkataan si kakek yang tadi didengarnya. "Kau kasihanilah dia,
hiburlah dia dan senangkanlah hatinya....... karena ia hanya
bertahan hidup, hanya untuk beberapa bulan saja, Tiang Le.
Jangan bikin ia bersedih hati?"!"
644 Bagaikan diiris-iris hati Tiang Le, ia mendekapkan tangan kirinya
menyentuh pundak si gadis. Bertambah keras tangis Bwe Hwa
merasakan kasih sayang usapan tangan kiri pemuda itu. Ia
menangis mengguncang-guncangkan bahunya.
"Tiang Le?". koko....... alangkah bahagia hatiku.......
akhirnya....... aku".. aku mendapatkan hatimu?" kau
mencintaiku juga?" aku".. ahh?" koko?"!"
"Hwa moay?" jangan menangis".. jangan bersedih hati. Aku
kini berada di sampingmu".. mengapa kau bersedih" Hwa-moay,
kau tidak boleh menangis, tidak boleh bersedih"... mengertikah
kau?" Bwe Hwa mengangkat wajahnya. Sebuah pandangan yang redup
membuat dada Tiang Le berdebar-debar. Tak tahan. Setitik air
mata Tiang Le meloncat jatuh menimpah wajah si gadis.
"Koko?". kau menangis?"
"Hwa-moay?". aku menangis karena bahagia?" kau"..
aku?"" "Koko mengapa kau bahagia ini, karena akukah?"
Tiang Le mengangkat dagu si gadis. Mengecup bibirnya lembut.
"Hwa-moay aku?" aku bahagia karenamu! Aku".. entah
mengapa aku sangat menyayangimu Bwe Hwa, nah, sekarang kau
tidak boleh bersedih. Ingat, kalau kau menangis, aku pasti akan
menangis!" 645 Bwe Hwa mengusap matanya dengan tangan kanannya.
Sebuah senyuman menghias di atas sepasang mata yang
berlinang air mata yang hendak meruntuh, akan tetapi apabila anak
sungai kecil itu melintas di pipi si gadis, tangan kiri Tiang Le
menyentuh lembut dan berkata: "Kau tidak boleh bersedih, Bwe
Hwa?"!" Aneh sekali, suara Tiang Le begitu tergetar. Apabila ia teringat
akan perkataan si kakek kaki buntung. Hatinya merenyuh pilu dan
ingin ia menghibur gadis ini, memeluknya, mengatakan cinta
kepadanya. Oo, Tiang Le?" hatimu begitu lemah, begitu tak tega
melihat ambang kematian yang hendak menjemput Bwe Hwa!


Pendekar Lengan Buntung Karya Kim Tiauw di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiang Le mengangkat lagi dagu si gadis. Menundukkan wajahnya
dan mengecup dalam bibir si gadis yang menyedotnya dengan
panjang dan penuh gairah cinta.
Sebuah petir menyambar berkeredep merupakan lidah api yang
menerangi atap pondok itu. Api unggun bergoyang-goyang disapu
terpaan angin malam. Suara binatang gunung meningkahi
datangnya malam hari yang gelap. Udara bertambah dingin,
apabila embun bertambah tebal berkeliaran dan menyelimuti ruang
di dalam pondok. Udara bertambah dingin. Akan tetapi sepasang manusia. Antara seorang pria dan wanita
muda cantik. Bertambah ketat tenggelam dalam pelukan-pelukan
yang menimbulkan gairah dan rangsangan keinginan untuk
memiliki satu sama lain. 646 Mereka tenggelam dalam impian yang begitu amat indah dan
mengesankan. Akhirnya, apabila sebuah guntur menggelegar
bagaikan hendak membelah bumi dan kilat menerangi alam ini,
dua sosok tubuh roboh dalam keadaan lemas dan tiada daya dan
keinginan lagi. Hujan gerimis turun di antara kekelaman malam.
Bwe Hwa dan Tiang Le terlena di dalam pondok dalam keadaan
letih lunglai. Tangan kanan Bwe Hwa mengusap dada Tiang Le
yang hanya tertutup oleh gelapnya malam.
Sebuah senyum si gadis menyungging kepuasan rasa hati yang
tenggelam dalam alam bahagia yang begitu mengasyikkan dan
penuh khayalan-khayalan tinggi jauh pada awang-awang di atas.
Sementara telinga Tiang Le menggema jeritan-jeritan si gadis yang
tadi didengarnya amat menusuk-nusuk perasaan hatinya. Sebuah
jeritan Bwe Hwa yang dipersembahkan kepadanya sebagai
lambang cinta kasih yang hanya terjalin pada kesunyian-kesunyian
lembah Tay-hang-san yang sunyi membisu!
Akan tetapi, apabila kesadaran itu datang pada pagi-pagi harinya,
Tiang Le melonjak dari tidurnya ketika dirasakannya badannya
begitu malas dan cepat ia menyambar pakaiannya yang
berserakan di dalam pondok dan sekali menggerakkan tubuhnya,
di luar pondok itu ia cepat-cepat berpakaian.
Wajahnya menjadi merah seperti dibakar. Telinganya menjadi
panas. Matanya menjadi pedas melihat pemandanganpemandangan barusan yang membuat ia bergidik melihat tubuh
647 yang begitu polos dan menyeramkan tak berbalut sehelai
benangpun! Teringatlah ia akan pengalaman-pengalamannya semalam
dengan Bwe Hwa, "Gila! Apa yang pernah kulakukan terhadap
gadis itu. Ya, Tuhan! Sudah gilakah aku" Betul aku sudah gila!
Tiang Le kau sudah gila.......!"
Da1am keadaan hati yang tidak keruan ini, pemuda itu membenturbenturkan kepalanya dengan batu gunung dan nampak darah
merah melele dari kepala Tiang Le yang pecah oleh hantaman
pada batu gunung yang keras itu. Hatinya menyesal bukan main.
Ia menjambak rambutnya. Membenturkan kepalanya.
Pada ketika itulah sebuah jeritan lirih mengiringi berkelebat tubuh
Bwe Hwa yang terus memeluk Tiang Le. "Koko?" kau.......
kau....... kenapa kau jadi begini?" koko.......?"
Dengan pandangan mata merah, pemuda buntung itu menoleh
kepada Bwe Hwa dan melepaskan rengutan pada pelukan si gadis.
"Bwe Hwa....... apa".. apa yang telah kulakukan kepadamu, apa
yang terjadi sesungguhnya....... Ya Tuhan, Bwe Hwa kau bunuhlah
aku".. bunuhlah aku!"
Tangan kiri Tiang Le menampar kepalanya. Darah merah
membanjir dari kepala itu. Bwe Hwa menubruk pemuda itu dan
menangis. "Koko....... kenapa kau jadi begini?"
648 "Bwe Hwa! Kau katakanlah?" aku?" aku........ ahh mengapa
aku jadi begini, Bwe Hwa....... aku telah".. telah me".. me.......
ahh sebaiknya aku mampus!"
"Koko?" mengapa kau. Kau menyesal atas perbuatan kita
semalam" Ya, kau tentu menyesal koko....... ka....... rena"..
koko".. katakanlah mengapa kau menyesal, mengapa?"
Tiang Le memandang Bwe Hwa.
Bwe Hwa mencucurkan air mata.
Bwe Hwa menangis dengan amat sedihnya. Bahunya bergoyanggoyang menahan isak tangis. Hidungnya berkembang kempis dan
pipi itu telah menjadi basah, memandang Tiang Le.
Pada ketika itu, terngiang sebuah kata-kata dari kakek kaki
buntung yang semalam didengarnya: ?"".kau hiburlah dia,
senangkan hatinya, jangan membikin ia bersedih hati, kasihanilah
dia, karena ia hanya bertahan hidup hanya untuk beberapa bulan
saja. Tiang Le ketahuilah olehmu bahwa sumoay ini mengalami
luka dalam yang amat parah, ia menderita sakit jantung dan kanker
dada yang sampai saat ini belum ada obatnya. Apabila jantung
bergoyang dan mengalami shok dalam hidupnya, ia akan
muntahkan darah lagi?""
"Bwe Hwa?".!"
"Kokooooo"..!"
649 Tiang Le menubruk gadis itu dan merangkulnya dan berkata
dengan suara yang tertahan-tahan: "Hwa-moay".. aku?" telah
berdosa kepadamu".. aku".. membuat engkau?"."
Jari telunjuk Bwe Hwa menekan mulut si pemuda.
"Tidak koko".. aku tidak menyesal. Malahan aku merasa bahagia
sekali koko?" Tiang Le koko aku sudah menganggap kau
sebagai suamiku".."
"Bwe Hwa"..!"
"Menyesal kau?"
Tiang Le menggigit bibirnya. Bwe Hwa mengusap kepalanya yang
berdarah bekas ia benturkan tadi itu. Kedua pasang mata saling
menatap dan saling berpandangan.
Ketika hati Tiang Le merenyuh. Perih sekali dan terharu melihat
keadaan Bwe Hwa. Apakah dia teringat akan nasib si gadis. Ia
ingin sekali memeluknya, menghiburnya dan mengusap butir butir
air mata itu. Akan tetapi apabila teringat akan perbuatan semalam,
suatu perbuatan yang semestinya tak boleh ia lakukan.
Memalukan! Ingin sekali saat itu bumi yang dipijaknya amblas dan
menguburnya hidup-hidup! Tak tahan ia mengingat itu!
Akan tetapi, ia tak tega membuat Bwe Hwa bersedih. Tak mau
membuat gadis itu cepat-cepat menuju ke jalan kematian.
Bwe Hwa tak boleh mati! 650 "Y" Sementara itu peperangan terjadi di mana-mana. Pasukan
pasukan Mongol berkeliaran di daratan Tionggoan (pedalaman
Tiongkok). Dan mereka bergerak ke arah Kotaraja dengan
teriakan-teriakan menggemuruh. Sambil berjalan itu mereka
melakukan perampokan dan perkosaan-perkosaan dan
membakari rumah-rumah penduduk, serta membunuhi banyak
lelaki lelaki bangsa Han dan menculik perempuan-perempuan
cantik. Kerusakan-kerusakan terjadi dimana-mana. Jeritan-jeritan
kematian dari aniaya pasukan Mongol penjajah menjulang setinggi
langit. Suasana perang terjadi di mana-mana. Orang-orang gagah
dan yang berjiwa patriot telah menggabungkan diri merupakan
kelompok-kelompok kaum pejuang melawan tentara Mongol
dengan penuh gigih dan bertekad mempertaruhkan nyawa.
Pintu gerbang kotaraja selalu tertutup dan dijaga oleh pasukanpasukan tentara Song dengan ketat. Barisan panah dan api
bersiap jaga di atas tembok kota apabila sewaktu-waktu pasukan
penjajah menerobos masuk. Suasana di dalam kotaraja begitu
tegang dan mendebarkan hati. Di mana-mana pasukan Song
mengadakan penjagaan dengan ketat dan teratur secara bergilir.
Karena tentara Mongol sudah hampir mendekati tapal batas
kotaraja, maka hubungan kotaraja untuk sementara waktu terputus
dari dunia luar. Bangsa Han tidak diperbolehkan keluar dari
kotaraja kecuali pasukan-pasukan Song yang hendak dikirim untuk
651 menghancurkan tentara Mongol dan membantu perjuangan para
orang gagah di luar kotaraja.
Jauh di luar kotaraja, di sekitar padang rumput yang amat subur
terdapat sebuah telaga, di tempat inilah pasukan Mongol yang
dipimpin oleh Khu Bilay Khan, menjadikan markas besar untuk
sementara, sambil menunggu bala bantuan dari tokoh-tokoh dunia
barat. Di sini terdapat telaga yang banyak airnya, dan di tempat ini
terdapat tempat yang amat subur pula, sedangkan daerah itu
sebagian besar terdiri dari padang pasir yang gundul.
Selain itu, dari telaga dapat pula melakukan perjalanan air sampai
ke sungai Kuning dan ke sebelah tenggara kotaraja, sehingga
tempat inilah yang tengah direncanakan oleh Khu Bilay Khan untuk
menggempur kotaraja!!! Akan tetapi, tentu saja Khu Bilay Khan takkan menjadi orang besar
kalau tidak mempunyai siasat kepemimpinan yang amat cerdik. Di
luar saja kelihatan markas itu merupakan markas besar, namun
pada hakekatnya, markas besarnya di pecah-pecah dan berada di
mana-mana. Khu Bilay Khan yang licik ini dengan secara diam-diam bersekutu
dengan seorang jenderal kepercayaan dari Kotaraja yang bernama
Bong Bang Sianjin dan atas siasatnya, Khu Bilay Khan menantang
tentara Song untuk mengadakan pertempuran di pegunungan Taihang-san. Tentu saja kaisar menerima tantangan ini, dan dengan
segera ia mengerahkan perajurit-perajurit pilihan Kotaraja dalam
pimpinan Bong Bong Sianjin atau dikenal di Kotaraja dengan
sebutan Bong-goanswe (jenderal Bong).
652 Justru pengerahan secara besar-besaran menggempur tentara
Mongol di pegunungan Tai-hang-san inilah yang membuat
pertahanan di Kotaraja menjadi lumpuh dan lemah, karena begitu
pasukan pilihan meninggalkan Kotaraja atas pimpinan jenderal
Bong, masuklah tentara Mongol dengan teriakan-teriakan
bergemuru menyerbu Kotaraja!
Kaisar menjadi terkejut sekali! Ia menjadi tertipu oleh jenderal Bong
yang telah membujuknya untuk membawa pasukan pilihan ke Taihang-san! Sedangkan Kotaraja menjadi lemah dan lumpuh!
Banjir darah terjadi di Kotaraja. Tentara Mongol dengan ganasnya
memasuki Kotaraja. Perang tanding yang tidak sesuai pada saat
ini berjalan dengan amat cepatnya. Darah merah dari pasukan
Song yang tidak mempunyai kekuatan lagi membasahi jalan
Kotaraja. Pasukan-pasukan tentara Mongol yang dipimpin oleh Khu Bilay
Khan mengadakan penyembelihan secara besar-besaran
terhadap laki-laki bangsa Han. Wanita menjerit, menangisi
suaminya yang telah mati dipenggal oleh golok bangsa Mongol
yang tak memberi ampun kepada bangsa Han ini.
Kaisar Song Cu Ling kedapatan telah membunuh diri akibat
kebodohannya sendiri yang mudah saja tertipu oleh Jenderal Bong
yang berkhianat kepada bangsanya. Dengan darahnya sendiri
kaisar itu menulis di atas tembok singgasana kerajaan yang
berbunyi demikian: "Mati karena kebodohan!"
653 Selagi peperangan berkecamuk dengan hebatnya, dan selagi
jeritan-jeritan manusia dengan panik dan ngeri membubung tinggi
di atas Kotaraja yang telah banjir darah. Dua sosok tubuh manusia
berkelebat dengan amat cepatnya menggerakkan pedangnya
membabati tentara Mongol yang sudah banyak mengalahkan
tentara Song yang hanya tinggal beberapa puluh orang saja. Dua
sosok manusia itu bergerak dengan amat cepat sekali. Setiap kali
pedang mereka bergerak, kepala tentara Mongol akan roboh
meninggalkan badan. Kedua orang muda itu adalah Sin Thong dan Siauw Yang yang
telah tiba di Kotaraja dan mengamuk dengan amat dahsyat. Sin
Thong mainkan pedang samurainya bagaikan malaikat pencabut
nyawa. Siauw Yang yang sudah gemas sekali akan bangsa Mongol
penjajah menggerakkan pedangnya, dengan luar biasa,
membabati leher bangsa Mongol seperti orang membabati rumput
saja. Kedatangan kedua orang muda yang mempunyai sepak terjang
seperti maut, membuat pasukan Song yang tinggal beberapa
orang saja bangkit semangatnya. Dengan gigih ia menggerakkan
senjatanya merangsek mengeluarkan teriakan-teriakan bersemangat! Di lain bagian, di sebelah utara Kotaraja, pasukan-pasukan Mongol
menjadi kocar kacir karena munculnya banyak orang gagah yang
sudah menyerbu Kotaraja dan menempur kerajaan Mongol. Di
antara peperangan yang sedang berlangsung itu nampak Ho Siang
dan Nyuk In mengamuk, hebat luar biasa!
654 Biauw Eng dan Hok Sun yang sudah sampai ke tempat itu
menyerbu ke dalam kota dan begitu mendapati ayah Biauw Eng
sudah mati beserta keluarganya oleh pembunuhan-pembunuhan
bangsa Mongol yang kejam ini, sambil menangis Biauw Eng
mengamuk bagaikan singa betina kehilangan anak. Sementara
Hok Sun yang dijuluki harimau terbang, menggetarkan pasukan
Mongol! Akan tetapi pasukan Mongol yang terdiri dari ribuan orang itu, tak
dapat mereka hancurkan. Apalagi setelah mereka mendengar
bahwa kaisar sudah membunuh diri karena penyesalan atas
kebodohan sendiri. Maka Biauw Eng dan Hok Sun yang masingmasing memondong tubuh ke dua orang tua Biauw Eng berkelebat
ke sana ke mari membuka jalan darah untuk ke luar dari kepungan
tentara Mongol yang demikian ketat.
Memang sejak dulupun pasukan Mongol ini terkenal sebagai lakilaki gagah yang pantang menyerah, oleh sebab itu, begitu ke dua
orang ini bergerak dan tiga-empat orang roboh mandi darah,
datang lagi sepuluh orang dan begitu seterusnya akhirnya, kedua
orang ini mulai lemah, gerakan-gerakan mereka mulai kacau. Hok
Sun kuatir sekali melihat keadaan Biauw Eng ini, ia bersilat
mendekati gadis itu. Sayang sekali mereka ini bersilat dengan tidak leluasa karena
memondong tubuh ke dua orang tua Biauw Eng. Sebuah sambaran
golok tentara Mongol menyerempet di pundak Hok Sun, pemuda
itu menjerit keras dan membabatkan pedangnya menghantam
perwira Mongol itu. Terdengar jeritan mengerikan waktu pedang di
tangan Hok Sun amblas di dada seorang perwira Mongol.
655 Darah merah menyembur dari dada yang tertanam pedang itu. Hok
Sun menggerak tangan kirinya mendorong ke samping waktu
didengarnya sambaran senjata berkelebat di atas kepalanya
dengan sedikit menggeser kakinya pemuda itu sudah meluputkan
diri dari sambaran tombak perwira Mongol dan begitu tangan
kirinya mendorong, tubuh perwira itu terjengkang ke belakang oleh
dorongan angin pukulan Hok Sun yang lihai. Akan tetapi pemuda
itu juga menjerit menahan rasa sakit yang hebat dan pundaknya
yang tadi terserempet golok.
Sesosok bayangan berkelebat di tempat itu dan lima perwira


Pendekar Lengan Buntung Karya Kim Tiauw di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mongol terjungkal oleh terjangan sebatang tongkat kecil dari Kong
Hwat yang sudah sampai ke tempat itu dan melihat kedua
temannya sudah mandi darah, segera ia berseru: "Hok Sun twako,
lekas lari!" "Kong Hwat lote?".!" panggil Hok Sun girang melihat datangnya
murid Koay-lojin yang perkasa. Datangnya pemuda itu,
pengepungan menjadi dua bagian. Cepat Hok Sun berseru kepada
Biauw Eng yang sudah kelihatan lemah sekali.
"Eng-moay?" buka jalan darah. Cepat!" Seru Hok Sun
mengelebatkan pedangnya membuka jalan dan tiga orang perwira
yang mengeroyoknya terjungkal dengan dada terserempet
pedang. Dengan gerakan yang ringan, tangan kiri Hok Sun menyambar
tangan kiri Biauw Eng bagaikan terbang keduanya mencelat lewat
kepala para pengeroyok. Seorang perwira bangsa Mongol segera
menyambitkan pisau terbangnya dan begitu Hok Sun
656 mengebutkan lengan bajunya, pisau itu melayang kembali kepada
si penyambit dengan luncuran yang cepat, menghantam lengan kiri
si penyambit. Perwira yang kena senjata makan tuan itu menjerit
kesakitan memegangi lengannya!
Hok Sun dan Biauw Eng sudah melompat jauh dan hilang di balik
tikungan jalan. Sementara Kong Hwat mainkan ilmu tongkat Funiu-san-tung-hoat dengan cepat dan tubuhnya berkelebat-kelebat
laksana bayangan maut yang siap hendak merenggut nyawa
lawan yang kurang waspada. Akan tetapi bagaimanapun hebatnya
Kong Hwat dikeroyok oleh banyak perwira Mongol yang tak habishabisnya ini lama kelamaan tubuhnya menjadi lelah juga, gerakangerakannya mulai lemah!
Pada saat itu, berkelebat dua sosok bayangan. Sepuluh perwira
kerajaan terjungkal tak dapat bangun lagi. Ternyata Ho Siang dan
Nyuk In sudah sampai ke tempat itu dan berseru kepada Kong
Hwat: "Kotaraja sudah direbut oleh musuh, kaisar membunuh diri. Tak
guna kita bertempur mati-matian. Sebaiknya lekas lari dan ke pulau
Bidadari! Seorang pemuda lengan buntung sedang mengamuk
mengobrak-abrik Sian-li-pay! Hwat-te lekas kau lari! Kita ke sana
menolong pemuda lengan buntung!"
Sambil mengelebatkan tongkatnya menotok, Kong Hwat menoleh
kepada Ho Siang. "Baik twako, mari kita pergi! Eh, bagaimana dengan Sin Thong dan
Siauw Yang?" 657 "Mereka sudah berangkat......."
"Baik, sekarang kita pergi.......! Sambil berkata demikian, sekali
tubuh Kong Hwat mengenjot tubuhnya, pemuda itu sudah
melayang dan berlari cepat disusul kemudian oleh bayangan Ho
Siang dan Nyuk In yang gesit seperti walet terbang.
Perwira-perwira Mongol berteriak-teriak mengejar. Akan tetapi
begitu ke tiga orang muda yang lihay itu menggunakan ilmu lari di
atas rumput, tahu-tahu mereka telah kehilangan bayangan ke tiga
orang muda itu. Sorakan-sorakan kemenangan menggema di Kotaraja. Bendera
kerajaan Mongol dipancangkan di luar tembok kota. Perwiraperwira Mongol merayakan hari kemenangan ini dengan pesta
pora merampoki rumah-rumah bangsawan dan membunuh lakilaki bangsa Han yang melawan. Beberapa orang yang dicurigai
memberontak, dijejerkan di tepi jalan dan diikat. Kemudian dua
orang algojo mengelebatkan goloknya yang besar memenggal
kepala mereka! Gadis-gadis cantik menangis penuh ketakutan dalam cengkraman
tangan-tangan yang kasar, mulut-mulut yang penuh nafsu
mencekeram bibir cantik si gadis. Sebentar kemudian, dengan
biadab pemerkosaan dan penculikan berlangsung di muka umum
dengan tiada yang berani menentang lagi. Siapa iang berani
melawan" Mencari mati! 658 Itulah perang, jeritan ketakutan membumbung setinggi langit.
Kematian-kematian oleh karena aniaya dan fitnah berlangsung
yang dilakukan orang-orang yang hendak mencari muka untuk
mengambil hati Kaisar baru, gadis-gadis cantik menjadi
persembahan yang menggirangkan kaisar baru yang ditunjuk oleh
pemimpin besar Khu Bilay Khan.
Pemimpin ini kemudian kembali ke Mongol, membawa barisannya
dan mencari tanah jajahan lain! Kelak kemudian pemimpin ini
terkenal oleh karena ia adalah cucu dari Raja Besar di Mongol yang
bernama Jenghis Khan, orang besar yang pernah menggemparkan dunia! Hari itu kerajaan Song mengalami kehancuran.
Kerajaan Mongol menguasai kembali daratan Tiongkok.
"Y" 18 Tiang Le memegang bahu Bwe Hwa dan katanya pelan: "Hwamoay, kau jangan kuatir, aku pasti akan kembali, nantikanlah aku
di lembah Tai-hang-san ini, jangan kau cemas Bwe Hwa.......!!"
Bwe Hwa memandang pemuda di depannya ini dengan tatapan
basah. "Bagaimana aku tidak cemas koko, kau hendak pergi ke pulau
Bidadari hanya seorang diri, aaah kokoo....... biarlah aku ikut
denganmu. Setidak-tidaknya aku dapat membantumu menghadapi
659 lawan-lawan yang hendak mencelakakanmu, biarlah aku ikut
koko!" Tiang Le mengecup kening si gadis. Dengan tangan kirinya ia
mengusap pipi si gadis yang berlinang air bening dan memandang
mata yang berkaca-kaca itu dengan pandangan mesra.
"Tidak Hwa-moay, justru kalau kau ikut denganku, kau akan
menjadi beban bagiku dan aku"... aku kuatir akan keselamatan,
kesehatanmu yang belum pulih benar. Kau nantikanlah aku disini,
di tempat ini baik sekali untukmu beristirahat?". ku pergi takkan
lama Hwa-moay, andaikata aku selamat, dan dapat menolong Pei
Pei, pasti aku akan ke mari."
Gugur bendungan air mata Bwe Hwa. Tak dapat berkata-kata lagi
ia menjatuhkan kepalanya di dada Tiang Le. Menangis sedih!
"Kokoo........ kalau... kau tidak kembali".. bagaimana?"
Tiang Le mencoba untuk tersenyum, walau hatinya menangis.
"Apa boleh buat Hwa-moay"..., tentu saja kalau aku tidak kembali
itu tandanya aku tak dapat meloloskan diri dari Sian-li-pay dan
mungkin juga tidak mampu menolong Pei Pei. Ahh, Hwa-moay.......
jangan kita memikirkan sampai ke situ. Percayalah kalau Thian
melindungi, pasti aku selamat. Kau berdoalah?"!"
Bwe Hwa memeluk Tiang Le erat-erat.
"Kalau begitu....... aku akan ikut denganmu koko, biarlah mati
hidupmu, aku akan mendampingimu... koko, aku... aku bersedia
660 mempertaruhkan nyawa ini untukmu. Bawalah aku koko?".!!"
Bwe Hwa menangis lagi. Tiang Le memejamkan matanya. Ia merasa terharu sekali akan
atas kecintaan gadis ini. Dipeluknya Bwe Hwa dengan penuh
perasaan. Bwe Hwa membalas pelukan Tiang Le dengan penuh
perasaan cinta di dada. Keduanya kini saling berpandangan di antara kabut yang membiru
menyelimuti mereka. Dada Tiang Le berdebar-debar keras sekali.
Ingin sekali ia melepaskan pelukan ini, akan tetapi entah
mengapa" Sejak si kakek kaki buntung memberitahukan akan penyakit gadis
ini, yang hanya bertahan hidup dalam waktu yang amat pendek,
tak tega ia melukai hati gadis ini. Tak mau ia menyakiti hati Bwe
Hwa. Tak kuasa ia untuk menolak cinta kasih Bwe Hwa, maka
bagaikan orang yang bermimpi, iapun berkata: "Aku cinta padamu
Hwa-moay?".." "Tiang Le koko?" hanya rintihan itu yang keluar dari bibir Bwe Hwa
yang menantang untuk sedia menerima kecupan Tiang Le. Dan
Tiang Le memang mengecup bibir yang menantang itu.
Mengecupnya dengan lembut dan hati yang berkasihan.
Degupan dada si gadis yang berdetak-detak menyentuh
jantungnya di dalam dada, membuat seakan-akan napas Tiang Le
berhenti. Degup yang menyentuh jantungnya bagaikan irama
kematian yang kelak akan merenggut nyawa Bwe Hwa entah
dalam beberapa saat lagi!
661 Pilu rasa hati Tiang Le. Mereka berpelukan di depan pondok lama sekali. Sementara angin
gunung menerpa dengan kesejukan yang membahagiakan.
Apabila Tiang Le ingat akan Pei Pei yang kini sedang ditawan
dalam tangan Bu-tek Sianli, Tiang Le mendorong tubuh si gadis
dan berkata: "Hwa-moay" sekarang aku harus pergi".. tak boleh
aku membuang banyak waktu lagi, kau nantikan saja aku di
sini?"." "Koko?"!!!."
Tiang Le mengangkat dagu si gadis dan berkata: "Tidak
percayakah kau kepadaku, Hwa-moay?"
"Koko, setelah?" setelah kau bertemu dengan Pei Pei dan dapat
menyelamatkan gadis itu, sungguhkah kau tidak meninggalkan
aku?" sungguhkah kau akan kembali ke sini?"
"Haa". haa Hwa-moay, kau ini ada-ada saja. Sudah tentu kalau
aku berhasil menolong Pei Pei, pasti aku kembali ke tempat ini!!"
"Koko?"!!" Bwe Hwa memandang Tiang Le. Amat redup sekali
pandangannya itu, bergetarkan irama kasih. Membuat Tiang Le
jadi terharu. "Koko kau?" kau, apakah kau cinta pada gadis itu?"
"Siapa?" 662 "Cia Pei Pei?"."
"Hemm!!" Tiang Le hanya menarik napas panjang. Kemudian ia
mengangkat wajah si gadis.
Bwe Hwa lalu menatap pemuda itu.
"Aku tidak marah, seandainya iya, iyaaa bukan?"
Tiang Le tidak menyahut, ia hanya mengecup bibir yang berkata
dengan penuh getaran hati tadi.
Kecupan itu merupakan perpisahan bagi Tiang Le dan Bwe Hwa.
Bwe Hwa memandang kepergian si pemuda dengan tatapan nanar
oleh air mata yang berlinang, apabila bayangan Tiang Le hendak
lenyap ke balik tikungan batu yang ada di bukit itu, Bwe Hwa
melambaikan tangannya dan mengirim suara jarak jauh, "Tiang Le
koko....... apabila dalam tiga hari kau tidak kembali, aku pasti akan
menyusulmu ke pulau Bidadari!!!"
Tiang Le yang mendengar suara dari kejauhan itu, setitik air mata
meleleh di pipinya, cepat-cepat dihapusnya dengan ujung jari
tangan kirinya. Dan bagaikan terbang pemuda lengan buntung itu
berlari cepat menuju pulau Bidadari.
Ia ingin cepat-cepat bertemu dengan dirinya Pei Pei!!
Mudah-mudahan Pei Pei dapat kutolong!!
663 Tiang Le tidak banyak membuang waktu, dia segera berjalan cepat
menuju pulau Bidadari. Waktu yang amat pendek membuat Tiang
Le berlari cepat dengan tak berhenti-henti walaupun kegelapan
malam telah menutupi jalan. Akan tetapi dengan kepandaian ginkangnya dan ketajaman matanya ia terus saja menerobos malam
yang kelam. Dari seorang nelayan, ia membeli sebuah perahu kecil untuk
menyeberangi laut Po-hay dan mencari pulau Bidadari!! Untunglah
pada tengah malam itu di tengah lautan bulan bersinar terang,
sehingga Tiang Le dapat mengarahkan tujuan perahunya ke
sebuah pulau yang letaknya terasing dari pada pulau-pulau
lainnya. Bulan di atas terang benderang.
Sebuah perahu merapat di sebuah pulau. Akan tetapi baru saja
pemuda lengan buntung itu hendak menginjakkan kakinya di
pantai, serangkum angin pukulan menyambar belakangnya. Cepat
Tiang Le menggeser kakinya dan mencelat ke atas. Kiranya disitu
telah berdiri dara-dara Sian-li-pay mengurungnya.
"Orang muda, siapakah kau" Apakah kau pendekar lengan
buntung yang diundang oleh Pay-cu Bu-tek Sianli?" Salah seorang
dari dara jelita yang berambut panjang menegur.
Sikapnya galak sekali. Kalau dulu wajah gadis-gadis ini
berkerudung hitam. Sekarang, tidak lagi. Nampak gadis-gadis itu
demikian cantik jelita. Akan tetapi sikapnya ketus dan galak.
664 Melihat bahwa yang menyambutnya hanya Iima orang dara-dara
jelita ini, Tiang Le tersenyum dan berkata, "Betul nona, aku yang
rendah memenuhi undangan Bu-tek Sianli, akan tetapi kalian ini
kenapa datang-datang menyerangku, beginikah sambutan orangorang Sian-li-pay?"
"Ooo, kiranya kau adalah pendekar lengan buntung yang disebutsebut oleh Pay-cu" Hm hanya beginikah pemuda tangan buntung
yang disohorkan oleh Pay-cu" Eh buntung sebelum kau menginjak
daerah Sian-li-pay hayo hadapi pedangku!"
Tiang Le tertawa keras dan berkata: "Nona cantik, aku masih
banyak urusan penting dengan ketuamu, tak boleh berlambatlambat. Biarlah aku ke dalam!"
"Enak saja kau, hadapi dulu kami! Suci, mari kita serbu, kita lihat
sampai di mana sih kepandaiannya. Eh buntung lihat pedang!"
Sambil berseru demikian salah seorang dari ke lima dara Sian-lipay itu sudah menyerang Tiang Le dengan tusukan maut yang
bergetar. Akan tetapi menghadapi gerakan ini, walaupun dahsyat
akan tetapi dengan mudah sekali Tiang Le berkelit dan membalas
dengan dorongan gerak tangan kilat ke arah lawan.
"Dess!" "Aiiihhh?"" si gadis mencelat kaget, cepat ia berpok-sai tiga kali
dan dari udara itu mengirimkan serangan menusuk ke arah kepala
Tiang Le. 665 Kagum sekali Tiang Le melihat gin-kang yang tinggi dari gadis ini,
cepat ia berkelit ke samping dan pada ketika itulah empat dara
Sian-li-pay yang lain sudah menerjang maju dengan pedang di
tangan. Dan sebentar saja Tiang Le sudah di keroyok oleh lima
dara dari Sian-li-pay. Tentu saja karena Tiang Le tidak ingin melayani si gadis lebih lama
lagi, begitu tangannya bergebrak terdengar jeritan kaget dari gadis
Sian-li-pay melihat pedang mereka telah terlepas dari pegangan
dan mereka terlempar dengan tidak terluka, kagum sekali daradara Sian-li-pay menyaksikan gerakan yang luar biasa tadi.
Akan tetapi mereka menjadi penasaran. Masa dalam beberapa
gebrakan saja mereka telah dipecundang sedemikian rupa, maka
dengan mengeluarkan teriakan nyaring, mereka sudah menyerbu
mengirimkan pukulan ke arah Tiang Le.
Tiang Le menjadi kheki bukan main menghadapi gadis-gadis Sianli-pay yang bandel ini, maka dengan gerakan cepat, tahu-tahu ke
lima gadis Sian-li-pay itu sudah terpental lagi dalam keadaan
tertotok. Pada saat itu, sepasukan tentara Mongol mendatangi dengan
senjata telanjang di tangan. Dan salah seorang yang bertubuh
tinggi besar, dan berlengan penuh bulu membentak dengan suara
keras: "Orang muda, menyerahlah untuk menghadapi Pay-cu Butek Sianli dan lepaskan senjata!"
Akan tetapi Tiang Le yang telah dapat mengenali orang-orang
Mongol yang kasar ini menjadi marah: "Orang liar, tutup mulutmu
yang kotor dan lebih baik panggil si nenek Bu-tek Sianli. Jangan ia
666 bersembunyi di belakang kalian yang tak punya guna ini, panggil


Pendekar Lengan Buntung Karya Kim Tiauw di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dia!" Pada waktu itu, nama Bu-tek Sianli sudah amat disegani oleh
banyak tentara Mongol, terlebih lagi pada waktu-waktu ini mereka
itu adalah undangan dari Bu-tek Sianli yang bersekutu dengan
kerajaan Mongol, tentu saja nama Pay-cu Sian-li-pay dimaki oleh
pemuda buntung itu dengan sebutan Nenek dengan nada yang
mengancam, mereka menjadi marah dan membentak keras,
"Manusia kurang ajar! Kau sudah berani datang ke pulau Bidadari
ini tanpa ijin dan datang-datang kau bersikap kurang ajar. Apakah
kau mempunyai nyawa rangkap begini tak takut mampus?"
"Ha ha ha, orang Mongol kasar dan goblok. Buka telingamu lebarlebar, aku adalah Sung Tiang Le, memenuhi janji atas undangan
Bu-tek Sianli. Hayo kau sampaikan bahwa tuan besarmu sudah
tiba dan menyambutku dengan baik-baik!"
Para tentara Mongol mulai mengurung dan mereka telah
menggerak-gerakan senjatanya. Sikap mereka mengancam sekali.
Ada hampir seratus tentara Mongol berteriak-teriak menyuruh
menyerah. Namun Tiang Le tertawa bergelak dan berkata penuh
sindiran, "Ha ha, ini sajakah manusia-manusia Mongol yang hanya
beraninya main keroyokkan saja" Inikah anak buah Khu Bilay Khan
yang kesohor itu" Hemm, tidak tahunya hanya ulat-ulat berbisa
yang tidak punya guna!"
667 Tentu saja orang-orang Mongol ini menjadi marah sekali dan
serentak mereka menyerbu. Tentu saja Tiang Le yang sudah siap
dengan pedang buntungnya di tangan menyambut kedatangan
mereka. Begitu orang bergebrak mengirimkan bacokan ke arah
Tiang Le, begitu pula tangan kiri pemuda buntung itu bergerak
cepat, kelima orang itu sudah terlempar roboh dengan tubuh mandi
darah. "Mundur kalian! Kalau tidak, aku Sung Tiang Le putera bangsa Han
akan menghancurkan kalian!" Suara Tiang Le menggema
menyakitkan anak telinga.
Tiga orang perwira yang tak kuat oleh bentakan Tiang Le tadi
menjerit roboh dan pingsan. Inilah sebagian pengerahan sin-kang
yang dikirimkan melalui suara oleh pemuda lengan buntung itu!
Luar biasa, akan tetapi mana tentara Mongol ini mau mundur,
malahan mereka bergerak mengurung pemuda lebih rapat.
Marahlah Tiang Le melihat kebandelan orang-orang kasar ini,
pedang pusaka buntung bagaikan sebilah pisau menghadapi agaragar yang sekali sentuh saja sudah buntung senjata mereka.
Setiap kali pedang buntung ini bertemu dengan senjata lawan,
pasti senjata lawan itu terbabat putus dan orang itu sendiri menjerit
ngeri dan perutnya tersobek oleh sabetan pedang buntung Tiang
Le yang menggunakan jurus-jurus Tok-pik-kiam-hoat.
Sebentar saja duapuluh lima perwira Mongol sudah mandi darah
oleh sabetan pedang Tiang Le, pemuda ini menganggap bahwa
perwira-perwira Mongol ini adalah bangsa yang suka menjajah dan
kejam, maka pedang pemuda itu tidak memberi ampun lagi
668 kepadanya. Setiap gerakan pedang, diiringi pekik kematian dari
lawannya! Pedang pusaka buntung bermandikan darah!
Tiang Le benar-benar telengas dan kadang-kadang apabila
pedangnya itu terselip di pingang, bagaikan geledek tangan kiri
pemuda itu menyambar merupakan maut yang mencabut nyawa.
Hebat sepak terjang Tiang Le!
Baiknya baru ada limapuluh perwira yang tewas ketika tiba-tiba
terdengar bentakan keras menahan semua perwira yang
bertempur. Bentakan ini demikian berpengaruh, karena semua
orang Mongol melompat mundur dan berlutut!
Sepasukan tentara berkuda bergerak dari depan. Seorang
penunggang kuda tentara Mongol bertubuh tinggi besar dan tegap
dengan pakaian perang yang lengkap berkata dengan suara yang
besar dan serak, "Orang muda buntung, Pay-cu Sian-li-pay mempersilahkan engkau
masuk ke ruang dalam!"
Hanya itu yang dikatakan orang itu, kemudian pasukan kuda itu
telah membedal kudanya kembali ke dalam, diikuti pula oleh
gerakan-gerakan dari para perwira Mongol sambil menggotong
tubuh kawan yang mati dan yang terluka.
Di pinggir pantai itu Tiang Le berdiri. Tak ada satupun manusia di
tempat itu. Suara ombak memecah pantai bergemuruh meningkahi
kesepian malam. Bulan di atas terang benderang.
669 Sehingga memudahkan pemuda itu memasuki pulau Bidadari. Dari
pendengaran-pendengaran telinganya yang tajam tahulah ia
bahwa tempat itu sudah dikurung oleh banyak orang yang belum
mau menampakkan dirinya. Tahulah Tiang Le bahwa Nenek Bu-tek Sianli sudah mengerahkan
orang-orangnya mengawasi dirinya. "Hem, apapun yang akan
terjadi, ia harus menyelamatkan Pei Pei! Awaslah kau Bu-tek
Sianli, seujung rambut saja kau mengganggu Pei Pei, aku akan
mengamuk dan menghancurkan pulau ini!"
Tiang Le berjalan perlahan. Tiba-tiba dia menghentikan
langkahnya. Ia mendengar suara kuda yang banyak sekali. Ketika
ia memperhatikan derap kaki kuda itu datangnya dari belakang,
kanan dan kiri dan dari depan. Agaknya ia sudah dikurung oleh
barisan berkuda yang banyak sekali jumlahnya.
Tiang Le berdiri tegak di depan barisan berkuda yang
mengurungnya. Menanti reaksi dari orang-orang Mongol ini.
"Hm, beginikah sambutan Bu-tek Sianli?"
"Orang muda buntung, menyerahlah! Kau sudah terkurung dan
nyawamu berada di tangan kami," itulah suara perwira Mongol
tinggi besar! Suara yang kuat dan besar yang bergema di sekitar
tempat itu, amat menyeramkan.
Mendengar kata-kata ini Tiang Le maklum bahwa ia sudah masuk
perangkap di pulau ini. Ternyata Bu-tek Sianli sengaja
mengundangnya masuk perangkap. Hmm! Ini hanya dengan
barisan berkuda, belum lagi yang lain-lain di belakang!
670 Tiang Le menyapu ratusan perwira Mongol berkuda. Nampaknya
orang-orang Mongol ini lebih kuat dan terlatih. Aku harus berhatihati, pikir Tiang Le meraba gagang pedangnya.
"Menyerahlah, sebelum kami bertindak kekerasan kepadamu
orang muda buntung, sayangilah jiwa yang masih muda begini
kalau binasa," berkata salah seorang Mongol tinggi kurus seperti
tengkorak hidup, berpakaian perwira gagah. Orang itu berkata
dalam bahasa Han yang kaku!
"Kalian ini, suku bangsa Mongol, mengapa berada disini" Apa
hubungannya dengan Bu-tek Sianli dan kalian ini siapa?" tanya
Tiang Le menyapu orang-orang berkuda dengan pandangan
tajam. Terdengar orang Mongol yang tinggi besar itu tertawa mengakak
mementangkan mulutnya yang besar, "Ha ha ha ha, tidak kenalkah
dengan kami" Kami inilah barisan pendam tentara Mongol yang
terkenal, sudah lama kami mendapat julukan barisan maut, mau
kenal dengarku".. ha ha ha, aku bangsa Mongol, namaku Ouw
Yang Gembol, dan yang kurus kering adalah adik misan dari Khu
Bilay Khan bernama Themu Khan, dan".. sudahlah lebih baik kau
menyerah orang muda, sebelum jiwanya melayang"... kasihan
kau masih begini muda, ha ha ha!"
"Bangsat, Ouw Yang Gembol, ternyata kau seekor kadal hitam
yang harus mampus. Biarpun kau dan orang-orangmu sudah
mengurungku, kau dapat berbuat apakah?"
671 Baru saja Tiang Le berkata demikian, cepat seperti kilat dia sudah
menggerakkan tangan kirinya memukul ke arah Ouw Yang
Gembol, orang Mongol yang tinggi besar itu.
Angin pukulan menyambar, akan tetapi Ouw Yang Gembol yang
memandang enteng kepada pemuda ini, hanya menggerakkan
tangan pula mendorong ke depan. Dua tenaga yang tak kelihatan
bertemu di udara. "Desss!" Bagaikan layangan putus tubuh yang tinggi besar dari
Ouw Yang Gembol terpental dari punggung kuda. Dan berdebuk di
tanah dengan mengeluarkan suara keras.
Ouw Yang Gembol meringis merasa pantatnya sakit bukan main
terhantam batu yang menghantam pantatnya, masih untung Tiang
Le belum mau menjatuhkan tangan maut kepadanya. Hanya
membuat terpental saja! "Bangsat buntung, kau menghinaku....... lihat ini!" Dengan wajah
merah karena malu kepada anak buahnya Ouw Yang Gembol
sudah menarik goloknya yang besar dan berkilat-kilat saking
tajamnya. Lantas saja golok itu melayang menyambar leher Tiang
Le. "Singg!" Suara golok mendesing membabat angin waktu Tiang Le
miringkan tubuhnya ke kiri dan begitu tangan kirinya bergebrak,
untuk yang ke dua kali pukulan Tiang Le yang dahsyat telah
membuat lambung Ouw Yang Gembol terhantam pukulan yang
kuat itu. Tubuh besar Ouw Yang Gembol melayang dan waktu ia
berusaha bangkit, ia terhuyung-huyung dan muntahkan darah
segar! 672 "Keparat! Berani kau melukai kepala barisan Maut" Mampuslah
kau!" bentak Themu Khan menggerakkan sepasang kaitan yang
panjang menggaet leher Tiang Le, tetapi begitu Tiang Le membalik
menghantam ke depan. "Duukk!" Tubuh Themu Khan terlempar jauh, akan tetapi ia sudah
dapat berdiri kembali dan memegangi dadanya yang terasa sakit.
Ia memberi aba-aba kepada anak buahnya, dan ia sendiri
menyerbu lagi dengan kaitan di tangan!
"Tangkap hidup-hidup anjing buntung ini, serahkah kepada Bu-tek
Sianli Pay-cu," kata Themu Khan dalam bahasa Mongol yang tak
dimengerti oleh Tiang Le.
Terjadilah pengeroyokan besar-besaran atas diri Tiang Le, akan
tetapi pemuda itu hebat luar biasa. Tenaga sin-kangnya bertambah
berlipat ganda sejak kakek kaki buntung yang berjuluk Sin-kun-butek memindahkan tenaga lweekang kepadanya.
Setiap kali tangan kiri pemuda itu bergerak terdengar jerit
mengerikan dari anak buahnya Ouw Yang Gembol yang tersambar
angin pukulan yang luar biasa. Gerakan-gerakan Tiang Le ini amat
cepat sekali dan tak terduga oleh lawan. Sedangkan tubuhnya
mencelat ke sana ke mari membagi-bagi pukulan ke arah lawan.
Dan sebentar saja, duapuluh lebih anak buah Ouw Yang Gembol
sudah roboh dengan tak dapat bangun kembali!!
Ouw Yang Gembol dan Temu Khan menjadi marah sekali, sambil
memberikan aba-aba memberi semangat kepada anak buahnya ia
merangsek pemuda buntung yang amat lihay itu. Goloknya
berkelebat mengeluarkan suara berdesing saking kuatnya tenaga
673 Ouw Yang Gembol, sedangkan Temu Khan mainkan ilmu
kaitannya mengeluarkan suara menciut-ciut seperti cambuk dan
kadang-kadang mengait kepala lawan.
Berbahaya sekali kalau kepalanya Tiang Le sampai terkait, bisa
kehilangan kepala dia, karena ujung kaitan ini diberi mata pancing
yang besar sembilan buah, amat ganas sekali menyambarnyambar. Tiang Le mengeluarkan pedang buntungnya, dan baru
beberapa gebrakan saja, lima orang perwira Mongol menjerit roboh
dengan tubuh mandi darah.
Tiang Le merasa kewalahan juga. Pengeroyok-pengeroyoknya
amat banyak dan berkepandaian amat tinggi. Biarpun dengan
pedang buntungnya ia banyak sudah merobohkan lawan, akan
tetapi jumlah lawan terlalu banyak dan lagi melawan dengan nekat.
Sedangkan mereka ini adalah tentara Mongol yang telah banyak
pengalaman. Dan sering kali menghadapi pertempuran. Apalagi
Ouw Yang Gembol dan Themu Khan dua orang Mongol ini
bukannya lawan yang boleh dipandang ringan.
"Kalau begini terus, aku akan mati kelelahan....... musuh terlampau
banyak, ini hanya baru orang-orang Mongol saja, belum lagi
kekuatan Bu-tek Sianli dan orang-orangnya. Berbahaya!" pikir
Tiang Le. Tiba-tiba ia teringat akan ilmu penyerangan yang dikirim melalui
suara, maka dengan gerakan cepat Tiang Le meloncat ke atas
tembok benteng Sian-li-pay dan menjerit keras. Hebat sekali suara
yang dikeluarkan oleh tenaga sin-kang yang tinggi. Suara ini
merupakan sebuah jeritan maut yang tiba-tiba saja membuat
674 banyak perwira Mongol roboh sambil mendekapkan telapak
tangannya pada ke dua telinga. Sedangkan Ouw Yang Gembol
dan Themu Khan cepat-cepat mengerahkan sin-kang di dada dan
bersiulan di tanah. Melihat lawannya sudah menjadi panik cepat Tiang Le melompat
ke punggung kuda yang telah kehilangan penunggangnya. Dan
sekali menggerakkan kakinya sudah membedal kudanya masuk ke
dalam pulau! Suara ringkikan kuda menghantarkan teriakkan marah dari Ouw
Yang Gembol dan Themu Khan. Dari belakang orang-orang
Mongol mengejarnya sambil berteriak-teriak.
Ratusan batang anak panah menghujani Tiang Le yang
membalapkan kudanya. Akan tetapi dengan mudahnya Tiang Le
dapat mengibaskan tangan kirinya memukul runtuh semua anak
panah, akan tetapi beberapa batang anak panah menyambar
kudanya dan tak dapat mengelak, tak lama kemudian kudanya
roboh binasa dengan tubuh belakang penuh anak panah
menancap, dalam-dalam! "Keparat, kubasmi kalian!" bentak Tiang Le marah.
Dan begitu pasukan berkuda telah menyusulnya dengan teriakan
keras tubuhnya mencelat dan sekali tangannya bergerak lima
orang penunggang kuda roboh dengan dada robek oleh pedang
buntung di tangan kiri. Sebentar saja, Tiang Le memainkan ilmu
silat Tok-pik-kun-hoat dan Tok-pik-kiam-hoat, tubuh Tiang Le
mencelat ke sana ke mari mengirimkan tebasan-tebasan ke arah
675 orang-orang Mongol yang tak dapat mengelak lagi, darah
menyembur dari dada dan leher.
Kasihan sekali orang-orang Mongol ini, mereka merupakan
sekumpulan nyamuk yang bertemu dengan api lilin. Begitu pedang
buntung Tiang Le bergerak, dua-tiga orang roboh mandi darah, dan
apabila tangan kiri Tiang Le menggunakan jurus-jurus ilmu silat
tangan buntung dan gerakan tangan kilat, maka banyak perwira
Mongol yang terpental dengan dada hangus dan kepala pecah
terhantam pukulan yang dahsyat ini.
Mendengar teriakan-teriakan Ouw Yang Gembol yang memberi
aba-aba kepada anak buahnya, Tiang Le menjadi sengit sekali.
Pedang buntungnya sekarang terarah mendesak panglima Ouw
Yang Gembol dan Themu Khan yang dianggapnya sebagai biang
keladi pengeroyokan ini, maka segera ia mendesak dan
pedangnya bagaikan bintang melayang meluncur mengarah dada
Ouw Yang Gembol Panglima Mongol yang cepat menangkis.
Akan tetapi tangkisan ini membuat goloknya menjadi buntung
menjadi tiga bagian, dan sekali Tiang Le menggerakkan pedang
buntung ke atas dengan jurus Mengukir Naga Menyeret Awan,
tahu-tahu pedang buntung bergerak ke bawah dan alangkah
cepatnya gerakan itu sehingga tanpa ampun lagi paha Ouw Yang


Pendekar Lengan Buntung Karya Kim Tiauw di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gembol terkupas oleh sabetan pedang buntung.
Panglima Mongol itu menjerit keras memegangi pahanya yang
terasa nyeri luar biasa. Darah mengucur deras dari paha yang
terluka itu. Sementara Temu Khan menjadi marah, kaitannya
menyabet pundak Tiang Le.
676 "Wuuuttt, ngekkk, desss!" Tubuh Temu Khan terlempar sejauh tiga
tombak. Ia muntahkan darah hitam dan tiba-tiba matanya melotot
mendelik memandang Tiang Le dan mampus!
"Brreeettt, brreeettt, dessss!" Tiga orang perwira Mongol robek
dadanya oleh pedang buntung yang berlumuran darah. Dan
seorangnya lagi terjengkang ke belakang tersambar gerak tangan
kilat Tiang Le. Dadanya hangus dan hitam. Dahsyat sekali pukulan
tangan kiri Tiang Le. Waktu itu hampir fajar menyingsing. Keadaan masih remangremang dan suram. Cahaya matahari naik dari ujung laut,
menyebarkan sinarnya tipis berlawanan dengan cahaya bulan
yang sudah lemah, nampaknya di udara keabu-abuan, yang
menimbulkan bayang-bayang yang menyeramkan.
Di dalam kesuraman ini, berkelebat beberapa bayangan manusia
dan begitu sampai di dekat pantai, mereka berhenti. Bu-tek Sianli
terkejut melihat banyak sekali mayat tentara Mongol yang
berserakan. Pandangannya menyapu ke arah Tiang Le yang
tengah menatapnya dengan senyum mengejek:
"Bu-tek Sianli, begini caramu menerima tamu?" tanya Tiang Le
menunjuk ke arah banyak mayat tentara Mongol bergelimpangan
di tanah berpasir. "Ha ha ha, sungguh gagah dan berani. Tiang Le kau sudah berada
di tempat ini. Masih berpikir kau untuk dapat keluar dari pulau
bidadari" Lihat siapakah orang-orang ini!
677 "Ia itulah pemimpin besar Khu Bilay Khan yang telah menaklukan
kerajaan Song! Dan locianpwe ini, adalah Pek Pek Hoatsu dari
Barat, dan ini, adalah Guru Besar Nakayarinta dari puncak
Anapurna di Himalaya, dan yang di sebelah sana itu Te-thian
Lomo, Thay-lek-hui-mo dan di atasmu, adalah ribuan tentara
Mongol dan barisan Sian-li-pay. Hwa-ie-kay-pang dan Hek-lianpay!"
Terkejutlah Tiang Le. Ia melirik ke arah tokoh-tokoh yang ditunjuk
oleh Bu-tek Sianli, yang paling mengejutkan sekali hatinya adalah
kakek Nakayarinta, kakek itu sudah amat tua sekali usianya, ada
seratus tahun. Rambutnya sudah putih panjang, berjenggot putih
pula, akan tetapi mempunyai wajah yang hitam, dan telinganya
lebar diberi anting-anting besar. Tangannya yang hitam berbulu
demikian kurus, dan memakai gelang-gelang pula, memakai jubah
kuning seperti seorang pertapa.
Begitu pandangan Tiang Le terbentur oleh pandangan si kakek,
terkejutlah ia melihat mata yang, mencorong seperti mata harimau!
Sedangkan Khu Bi lay Khan, adalah seorang tinggi besar akan
tetapi mempunyai sepasang mata yang berwibawa dan
membayangkan kecerdikan yang luar biasa!
Tahulah Tiang Le, ia sudah masuk perangkap di tempat ini. Akan
tetapi ia tidak gentar. Walaupun sekeliling pulau ini sudah dijaga
oleh ribuan tentara Mongol dan barisan Sian-li-pay dan Hek-lianpay!
678 Sama sekali ia tidak takut. Matanya menyapu barisan Bu-tek Sianli
dan katanya, "Bu-tek Sianli, tak perlu banyak cingcong, serahkan
Pei Pei kepadaku!" Tiang Le melangkah. Tangan kirinya bergerak meraba pedang.
Bu-tek Sianli tersenyum mengejek.
"Boleh, akan kuserahkan dia kepadamu. Akan tetapi, engkau harus
menyerah kepadaku dan masuk ke dalam sekutuku!"
"Bangsat rendah kau kira aku manusia macam apa
menggabungkan diri dengan segala penjajah. Tidak! Bu-tek Sianli,
hayo serahkan Pei Pei. Awas kau! Seujung rambut saja kau
mengganggunya, nyawamu akan melayang!"
Nenek Bu-tek Sianli tertawa keras: "Ha ha ha, bocah gendeng, gila!
Apa kau sudah miring otak tidak melihat kematian di depan mata.
Ketahuilah olehmu, Tiang Le. Jikalau kau tidak mau menyerah
kepadaku jangan harapkan kau dapat keluar dari pulau ini dalam
keadaan hidup! "Bagus! Itukah siasatmu mengundangku ke pulau ini" Karena kau
takut menghadapiku di lembah Tai-hang-san?"
"Bocah sombong siapa yang takut kepadamu. Bangsat,
rasakanlah!" Tubuh si nenek Bu-tek Sianli berjongkok, kedua
tangannya memukul ke depan. Angin pukulan menyambar kuat ke
arah Tiang Le. Akan tetapi sambil tersenyum mengejek, pemuda
lengan buntung ini mengangkat tangan kirinya dan membalas
mendorong. 679 "Dess!" Tubuh nenek Bu-tek Sianli bergoyang-goyang dengan
amat keras sekali. Sementara sambil tersenyum mengejek Tiang Le berkata:
"Begitukah maksudmu mengundangku?"
Dengan tangan kirinya pemuda itu menarik pedang buntungnya.
Sinar matahari pagi membentur sinar pedang yang berkilauan.
Untuk beberapa saat kakek pertapa Nakayarinta membelalakkan
matanya. Bibirnya yang penuh kerisut berbisik.
"Liong-cu-kiam!"
"Pedang Pusaka buntung......."
"Ha ha ha. mata kalian awas juga. Memang inilah Pedang pusaka
buntung yang dulunya bernama Liong-cu-kiam atau Pedang
Mustika Naga! Bu-tek Sianli, lekas kau keluarkan Pei Pei, kalau
tidak, hemm, terpaksa aku yang muda menggunakan pedang ini
untuk menabas batang lehermu!"
"Bangsat kau kira aku takut denganmu, mampus kau!" tangan
kanan Bu-tek Sianli bergerak hendak menampar.
Akan tetapi Thay-lek-hui-mo yang tertarik akan kehebatan pedang
pada puluhan tahun pernah menggemparkan dunia persilatan
berkata kepada Bu-tek Sianli: "Pay-cu, biarlah pinceng yang
menangkap bocah ini!"
Bu-tek Sianli mundur dan membiarkan Thay-lek-hui-mo maju
menghadapi Tiang Le. Memang Nenek ini semenjak pertama ia
680 bertempur di Tai-hang-san yang telah mengetahui kelihayan
pemuda ini menjadi gentar. Apalagi tadi, hampir saja ia terjengkang
kalau ia tidak hati-hati bertemu pukulan dengan tangan kiri pemuda
itu. Heran, mengapa dalam waktu beberapa hari saja tenaga Tiang
Le sudah jauh meningkat"
Thay-lek-hui-mo menghampiri Tiang Le, tanpa memberi komentar
apa-apa jubah hwesio itu bergerak ke depan. Inilah pukulan jarak
jauh yang dikebutkan oleh ujung jubah. Angin besar berpusing
menimbulkan hawa panas. Akan tetapi Tiang Le dengan gerakan tangan kilat sudah
menerjang maju dan dalam beberapa gebrakan saja, tangan
kirinya sudah mendorong si hwesio itu dan tanpa ampun lagi tubuh
Thay-lek-Hui-mo sudah roboh terjungkal. Hebat sekali gebrakan
ini. Muka Thay-lek-hui-mo menjadi merah saking malunya. Masakan
ia yang sudah tersohor hanya dalam beberapa gebrakan saja
sudah terpental oleh anak kemarin sore ini, terlalu!
Sambil menggereng keras dan membentak, "Keparat! Rasakanlah
pukulanku," sebuah kepalan tangan Tay-lek Hui-mo yang berbulu
itu berpusing di atas kepala. Kemudian bagaikan harimau terbang
tubuh Thay-lek-hui-mo yang tinggi besar itu sudah menerjang
Tiang Le. Cepat Tiang Le mengegos ke kiri dan balas memukul ke
samping dikelit oleh lawannya.
Hawa panas segera lewat di sampingnya. Tahulah dia bahwa
Thay-lek-hui-mo ini menyerangnya dengan tenaga Yang, maka
681 iapun menggetarkan tangannya mengeluarkan tenaga sin-kang
hawa dingin dari tangan kirinya.
"Wuut, deeess?" weeertt!!" Hebat sekali gerakan Tiang Le ini,
dalam segebrakan ia sudah dapat memukul dengan tiga macam
serangan. Karuan saja Thay-lek-hui-mo menjadi repot dan berkelit ke kanan,
akan tetapi siapa sangka begitu tangannya bertemu dengan Tiang
Le, tubuhnya bagaikan direndam dalam air yang amat dingin.
Seketika wajahnya pucat membiru, jalan darahnya seakan-akan
berhenti. Inilah pengerahan sin-kang hawa dingin yang disalurkan
dari tangan kiri Tiang Le. Sungguh luar biasa!
Merasa dadanya sakit Thay-lek-hui-mo segera menjatuhkan diri
dan bergulingan menjauhi lawannya, ia terus bersemedi
menyalurkan hawa yang-kang mengusir hawa im-kang yang
membanjir ke dalam tubuhnya. Untung saja Thay-lek-hui-mo
mempunyai sin-kang yang cukup tinggi, biarpun dadanya terasa
sakit dan nyeri, akan tetapi lukanya tidak begitu membahayakan.
Baru saja Tiang Le hendak meloncat mundur. Tiba-tiba sebuah
angin pukulan dengan cepat menyambar dari belakang. Cepat
Tiang Le mencelat ke atas dan begitu dilihatnya, kiranya kakek tua
renta Nakayarinta sambil terkekeh-kekeh sudah melancarkan
serangannya! Sedangkan Bu-tek Sianli, Te-thian Lomo sudah
menerjang maju mengeroyok.
Marah sekali hati pemuda buntung dikeroyok secara begini.
682 "Bu-tek Sianli, kalau kau tidak menyerahkan Pei Pei kepadaku,
niscaya pulau bidadari ini kubumi hanguskan! Hayo serahkan Pei
Pei, dimana dia sekarang?"
"Ha ha ha Tiang Le, jangan banyak bacot, kalau Pei Pei mu sudah
kubikin mampus, kau mau apa?"
"Bangsat jahanam, kalau begitu mampuslah kau!" Tangan kanan
Bu-tek Sianli sudah mengeluarkan pedang tipis. Inilah pek-liongpokiam yang jarang sekali digunakan oleh nenek Bu-tek Sianli.
Dengan pedang di tangan, nenek itu merangsek Tiang Le, cepat
Tiang Le berkelit dan alangkah terkejutnya dia merasakan angin
pukulan yang demikian dahsyat dari kakek Nakayarinta telah
menyambar pundaknya. Cepat Tiang Le mengerahkan sin-kang ke
pundak menerima pukulan yang tak dapat dielakan lagi saking
cepatnya. "Desss!" tubuh Tiang Le terlempar lima tombak. Disambut oleh
tusukan pedang Bu-tek Sianli. Akan tetapi Tiang Le yang selalu
waspada meletakkan pedangnya dan menggunakan gerakan
tangan kilat memukul ke arah si nenek.
Bu-tek Sianli menjerit keras. Darah merah menyembur dari mulut
si nenek. Tiang Le mencelat bangun dan membentak: "Bu-tek
Sianli, hayo serahkan Pei Pei!"
"Orang muda buntung, perlahan!" Sambaran jubah Nakayarinta
menahan gerakan Tiang Le.
683 Akan tetapi, pemuda ini saking sengitnya menggunakan jurus
gerak tangan kilat dan mainkan langkah ajaib menghindarkan
serangan si kakek tua renta. Ia mengangkat tangan kirinya dan
mengelebatkan pedang buntung......."
"Brettt!" "Hayaaa....... lihay!" Nakayarinta terbelalak, dilihatnya jubahnya
sudah robek. Cepat ia meloncat mundur waktu didengarnya angin
pukulan menyambar pundaknya.
"Desss!" Bukan tubuh si kakek Nakayarinta yang hancur
berantakan akan tetapi kepala seorang perwira Mongol yang
berada di belakang si kakek itu yang pecah terhantam pukulan
Tiang Le. "Ganasss, luar biasa!" berkali-kali Nakayarinta memuji. Selama ia
malang melintang di daratan Tiongkok dan India baru kali ini ia
bertemu tanding. Bertemu tanding dengan seorang pemuda
lengan buntung. Kini melihat Te-thian Lomo sudah menyerangnya, Tiang Le
mengerahkan pukulan-pukulannya kepada pendeta sesat ini.
Orang inilah pembunuh suhu, aku harus membuat perhitungan
dengannya, pikir Tiang Le menghantam dada Te-thian Lomo. Akan
tetapi menyaksikan pukulan tangan kiri Tiang Le yang amat
dahsyat tak berani ia menerima dengan pukulan pula, maka ia
mencelat ke samping dan mundurkan diri.
Sementara itu Bu-tek Sianli dan Khu Bilay Khan memberi aba-aba,
ratusan tentara Mongol sudah menyerbu, dibarengi berkelebat
684 bayangan gesit dari gerakan-gerakan dara Sian-li-pay yang sudah
menyerbu pula. "Ha ha ha, Tiang Le, menyerahlah engkau....... percuma
melawanpun engkau takkan lolos dari pulau ini! Engkau sudah
terkepung....... di antara keroyokan banyak tentara Mongol,"
terdengar suara ejekan Bu-tek Sianli.
Tiang Le menjadi gemas dan memutar pedangnya dan segera
berubah menjadi segulungan sinar kuning yang menyelimuti
tubuhnya. Lima orang tentara Mongol robek perutnya terhantam
kelebatan sinar pedang buntung pemuda perkasa ini.
Hebat sekaIi sepak terjang pemuda buntung ini. Karena begitu
pedang buntungnya berkelebat, dua-tiga orang lawannya
terjungkal dengan dada robek dan banjir darah memenuhi tempat
itu. Pedang buntung di tangan pemuda itu bertetes-tetes darah
merah, sepak terjang Tiang Le yang ganas dan tak memberi
ampun kepada lawannya ini membuat gentar hati para
pengeroyoknya. Akan tetapi, tentu saja menghadapi lawan yang demikian banyak
itu, Tiang Le menjadi sibuk bukan main, apalagi menghadapi
keroyokan dari dara-dara Sian-li-pay yang perkasa, ditambah
dengan bermunculannya banyak orang-orang tua Hwa-ie-kaypang membuat lama kelamaan ia menjadi lelah bukan main!
Hatinya menjadi gemas sekali kepada Nenek Bu-tek Sianli yang
licik ini, berkali-kali ia mendengar suara nenek itu memberi abaaba kepada barisan tentara yang sudah merapat mengeroyoknya.
Maka dengan sambil bertempur Tiang Le mencari Nenek itu. Dan
685 tokoh-tokoh lainnya yang bersembunyi di antara kerumunan
banyak para pengeroyoknya,
"Hujani ia dengan panah!" tiba-tiba terdengar suara yang berat dan
berwibawa. Itulah suara Khu Bilay Khan, suara datangnya seperti
dari atas langit karena tidak tahu dari mana suara itu.
Tiang Le sambil bertempur mencari orang-orang yang memberi
aba-aba untuk mengeroyoknya. Tiba-tiba mendengar aba-aba dari
pemimpin besar Khu Bilay Khan yang berwibawa itu, para tentara
Mongol meloncat mundur ke belakang dan sebagai gantinya
muncul barisan panah yang terlatih.
Tiang Le terkejut sekali. Celaka! keluhnya. Kalau tadi dikeroyok
oleh puluhan tentara Mongol dengan senjata tangan, ia dapat
menghindari datangnya senjata lawan akan tetapi, betapa
terkejutnya ia karena dari kelilingnya bermunculan barisan panah
yang siap ditarik dari busurnya.
"Serang!!!" Ratusan anak panah terlepas dari busurnya. Suara
jepretan mendesing keras mengiringi luncuran ratusan anak panah
menyambar ke seluruh bagian tubuh pemuda buntung ini.
Tiang Le memekik keras dan memutarkan pedang buntungnya
sedemikian rupa sehingga semua anak panah yang
menyambarnya menjadi runtuh oleh pedang buntung di tangan
Tiang Le. Akan sambaran anak panah terus beruntun. Tiada
berhentinya sambung menyambung.


Pendekar Lengan Buntung Karya Kim Tiauw di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Memang Khu Bilay Khan ini cerdik sekali, ia menghujani pemuda
buntung itu dengan serangan yang beruntun dan bertubi-tubi, tentu
686 saja Tiang Le memutarkan terus pedangnya seperti tadi. Tubuhnya
terbungkus oleh sinar pedang buntung. Cepat sekali gerakan
pemuda ini sehingga ratusan batang anak panah menjadi runtuh
dan terpotong dua. Sementara saking sengitnya Tiang Le, ia memekik keras: "Bu-tek
Sianli, manusia jahanam! Begini pengecutkah engkau
mengeroyokku macam ini?".?"
Akan tetapi jawabannya hanya diganda tertawa mengejek dan tibatiba dari kanan kiri mengalir minyak yang disiramkan oleh orangorang Mongol. Sebentar itu pula api berkobar mengelilingi.
Tiang Le terkejut setengah mati. Pedangnya berkelebat ke arah
seorang perwira Mongol yang menyulutkan api ke air yang
berminyak. Saking marahnya pemuda itu berkelebat sekaligus
memenggal leher ketiga tentara Mongol yang lain. Jeritan
mengerikan terdengar dan orang itu berkelojotan mati dengan
tubuh roboh masuk ke dalam api yang berkobar.
Api sudah mengelilinginya menjulang tinggi. Semakin berkobar api
yang membakar minyak di tanah menjalar ke arah Tiang Le.
Sementara kakinya sudah menggenang minyak yang sengaja
disiram oleh orang-orang Mongol.
Panas api membuat seluruh tubuh Tiang Le mulai berpeluh,
sementara dari luar ratusan panah menyambar dengan beruntun.
Kepala Tiang Le menjadi pening, gerakan pedangnya tidak
sehebat tadi. Tiga buah anak panah sudah menancap di dada dan
punggung. 687 Tiang Le menggigit bibirnya menahan rasa nyeri dan hawa panas
yang menyerang hebat. Dan terus mempertahankan dirinya dari
sambaran anak-anak panah yang dilepaskan dari luar. Api
berkobar mendekati mengurung pemuda itu. Tak ada jalan lain
bagi Tiang Le untuk keluar dari kurungan api yang demikian
dahsyat mengamuk membakar minyak tanah.
Sebuah pohon besar roboh terbakar dan hampir saja menimpa
pemuda lengan buntung yang perkasa ini. Saking marah dan
bencinya Tiang Le mengkertakan giginya, pedang buntungnya
tergenggam erat, menggeletar-geletar!
Akan tetapi, pada saat yang berbahaya bagi keselamatannya dari
kepungan api, tiba-tiba dari atas gedung terdengar teriakan nyaring
dari seorang gadis, "Tiang Le....... jangan takut aku membantumu!"
Teriakan gadis itu diringi menyambarnya sebuah ang-kin (sabuk
sutera merah) yang dengan amat cepatnya bagaikan ular hidup
sudah melilit tubuh pemuda itu.
"Haiiitt?" naik!" Gadis itu menyentak sabuknya. Tubuh Tiang Le
melayang ke atas melampaui kobaran api yang mengganas.
Tubuh itu jatuh berdiri di depan seorang gadis jelita.
"Kauuuu?".?"
Si gadis tersenyum. Sebuah senyuman bangga dan bahagia
mengiringi menitiknya sebutir air mata yang meloncat dari kelopak
matanya yang jelita. 688 Gadis itu adalah Bwe Lan, gadis yang pernah dikenalnya. Gadis
yang dengan secara blak-blakan (terang-terangan) telah
menyatakan cintanya kepadanya.
Tiang Le tak sempat lagi berkata kepada gadis itu, karena sesosok
tubuh mencelat ke atas dan mengirimkan pukulan kepalan dewa
tanpa tandingan ke arah si gadis. Bwe Lan mengelak ke kiri, Tiang
Le meloncat ke depan si gadis, melindungi.
"Murid murtad! Kau harus mampus!" Nenek Bu-tek Sianli
menggerakkan tangannya lagi memukul, akan tetapi dengan tubuh
agak terhuyung. Tiang Le menangkis pukulan itu. Dua tangan
bertemu di udara. "Desss!!" Amat kuat sekali pukulannya nenek ini, membuat tubuh
Tiang Le yang memang sudah sangat letih sekali terpental sejauh
dua tombak! Akan tetapi dengan terhuyung-huyung ia telah berdiri.
Memandang si Nenek Bu-tek Sianli dengan pandangan
mengancam. "Bu-tek Sianli, manusia curang!! Sekarang kau harus mampus!"
Bentak Tiang Le diiringi dengan pukulan geledek dari tangan
kirinya. Belum lagi nenek itu menangkis, muncul Nakayarinta
tertawa mengakak, "Haa....... haaa pemuda buntung yang hebat,
biar aku mencoba tangannya!!"
Tangan kanan si kakek Nakayarinta terangkat. Untuk beberapa
saat ke duanya saling menempelkan tangan. Akan tetapi begitu si
kakek Nakayarinta menggoyangkan tangannya, tahu-tahu
bagaikan ada tenaga yang amat kuat mendorongnya, tubuh Tiang
Le terjengkang dengan muntahkan darah segar.
689 Bwe Lan memburu Tiang Le.
"Tiang Le?"!!" Seru gadis itu dengan kuatir dan kaget melihat
segumpal darah hitam keluar dari mulutnya. Hebat sekali
Nakayarinta itu, sekali pukul saja, ia sudah muntahkan darah!!
Dengan tangan kirinya Tiang Le mengusap bibirnya.
Pada saat itu Tiang Le Sudah amat lelah sekali. Dan darah yang
mengucur dari dada dan punggung oleh anak panah yang
menancap, membuat dia kehabisan tenaga, dan lemas.
"Tiang Le"... kita harus lari?" tempat ini sudah terkepung!" Bwe
Lam memegang lengan kiri Tiang Le yang memegang pedang
dengan erat. "Bu-tek Sianli, hayo kau serahkan Pei Pei, kalau tidak aku akan
mengadu nyawa denganmu," suara Tiang Le mengguntur saking
marahnya. "Ha ha ha! Sudah mau mampus masih banyak tingkah, Tiang Le
kau akan bertemu dengan kekasihmu si Pei Pei itu setelah kau
masuk neraka. Ha ha ha!"
"Keparat! Jadi kau membunuh Pei Pei?" Mata Tiang Le terbelalak
memandang si nenek Bu-tek Sianli. Pedangnya bergetar hebat. Ia
menekan tangan kirinya ke arah dada.
Beberapa kali ia muntahkan darah segar. Bwe Lan merasa cemas
sekali melihat keadaan pemuda lengan buntung ini. Cepat sekali
gadis itu memapah tubuh Tiang Le yang hendak roboh saking
lemasnya. 690 "Tiang Le"..!"
"Ha ha ha, Bwe Lan, murid murtad. Boleh kau cintai, dia si buntung
tiada guna ini, sebentar lagi ia akan mampus!"
"Bu-tek Sianli" kau"., kau si manusia keji, aku akan mengadu
nyawa denganmu!" Bwe Lan membentak marah.
"He he he...... kau juga akan mati Bwe Lan".. tapi sebelum kau
mampus kau akan menyaksikan kematian kekasihmu ini....... akan
kubeset kulitnya, kukeluarkan jantungnya, hi hi hi!"
Pada saat itu berkelebat banyak bayangan. Tahu-tahu di tempat
itu sudah berdiri Ho Siang dan Nyuk In, Kong Hwat, Siauw Yang,
dan Sin Thong. Tanpa berkata apa-apa ke lima orang muda yang
gagah perkasa ini sudah menyerbu nenek Bu-tek Sianli.
Ho Siang menghadapi Thay-lek-hui-mo, suhengnya dikeroyok oleh
Te-thian Lomo, Siauw Yang dan Sin Thong disambut oleh
serombongan pasukan Mongol yang dipimpin oleh Ku Bilay Khan
sendiri. Sedangkan Nyuk In mendampingi Ho Siang melawan
Thay-lek-hui-mo dan Pek Pek Hoatsu!
Terjadilah pertempuran yang luar biasa. Sementara datangnya ke
lima orang muda yang berkepandaian lihai ini, Bwe Lan menarik
tangan Tiang Le dan melompat untuk melarikan diri. Tentu saja
melihat pemuda buntung itu melarikan diri, Bu-tek Sianli
mengerahkan orang-orangnya mengejar!
691 "He-he-he! Mau kemana kau lari Tiang Le." Suara Nenek Bu-tek
Sianli bergema di tempat itu. Sementara beberapa barisan tentara
Mongol mengadakan pengejaran pula!
Bwe Lan menarik tangan Tiang Le berlari cepat meninggalkan
gedung Sian-li-pay yang berbahaya ini. Ia kuatir sekali akan
keselamatan pemuda lengan buntung yang amat dicintai ini. Maka
ia mengajak Tiang Le berlari memutar arah, karena jalan menuju
ke pantai sudah dikurung oleh banyak perwira Mongol.
Sudah barang tentu, karena Bwe Lan adalah murid Sian-li-pay,
maka ia banyak mengenal jalan-jalan di daerah itu! Akan tetapi Butek Sianli yang sudah dibuat penasaran dan marah terus mengejar
kedua orang muda yang melarikan diri!
Sementara itu, Kong Hwat memainkan gerak ilmu tongkat Fu-niusan yang hebat luar biasa, meskipun tongkat itu hanya terbuat dari
ranting kering yang kecil, akan tetapi setelah berada di tangan
pemuda murid Koay Lojin ini, tongkat kecil itu berubah seperti ular
yang berbisa dan sekali pagut saja akan dapat merobohkan lawan!
Namun, sekali Kong Hwat menghadapi keroyokan dari orangorang Mongol yang amat banyak meskipun orang-orang Mongol ini
hanya terdiri dari perwira-perwira kasar, akan tetapi karena saking
banyaknya, Kong Hwat menjadi kewalahan juga, ia harus
mengerahkan tenaganya memainkan tongkatnya dengan
sungguh-sungguh! Pada saat itu, berkelebat sesosok tubuh diiringi suara nyaring yang
berkata kepada Kong Hwat yang tengah terkepung.
692 "Kong Hwat, cepat lari dan?". jangan melawan tentara Mongol.
Negara kita sudah dikuasai musuh, percuma melawan! Lekas
lari?".!" Orang yang baru datang itu adalah Han Soan Li yang
terus saja menggerakkan sabuk suteranya membuka jalan bagi
Kong Hwat. Girang sekali hati pemuda itu begitu munculnya Han Soan Li, entah
mengapa dadanya berdenyar keras. Semangatnya menaik seratus
derajat. Sambil menggerakkan tongkatnya menotok seorang
lawan, Kong Hwat menoleh dan menyahut:
"Nona! Bagaimana aku harus lari....... kalau kau mati-matian
melawan tentara Mongol keparat ini" Tidak biar kita berjuang
bersama!" seru Kong Hwat.
"Tolol! Siapa yang mau meladeni tikus-tikus Mongol ini, mencari
mampus saja, hayo kita mencari jalan keluar!"
Demikianlah atas bantuan gadis perkasa Han Soan Li, Kong Hwat
dapat terlepas dari kepungan tentara Mongol yang banyak ini.
Dengan berlari-lari pesat keduanya menuju ke pantai. Tidak ada
perahu di sana. Akan tetapi Soan Li melempar sebuah papan.
"Kau bisa jalan di air hayo lekas melompat!" berkata Soan Li
melempar papan itu ke laut. Melihat kecerdikan gadis ini. Kong
Hwat menjadi girang dan tubuhnya melesat ke tengah laut dan
meluncur di atas sebilah papan.
"Bagaimana denganmu Li-moay?" tanya Kong Hwat tanpa terasa
lagi ia memanggil gadis itu dengan sebutan mesra. Merah wajah si
gadis saking malu dan jengah. Akan tetapi tanpa banyak cakap,
693 Soan Li sudah menggerakkan tubuhnya melesat ke tengah laut.
Tangan gadis itu terulur, cepat Kong Hwat menyambut.
"Aku akan berdiri di kedua lenganmu. Kedangkanlah!" Seru si gadis
dan begitu Kong Hwat mengedangkan kedua tangannya, tubuh
Soan Li mencelat ke atas dan hinggap berdiri kedua lengan Kong
Hwat. Girang sekali Kong Hwat melihat akan si gadis. Terutama sekali,
hemm, entah mengapa Kong Hwat suatu perasaan yang membuat
hati Kong Hwat berdenyar-denyar penuh kebahagiaan.
Demikianlah dengan berdiri di atas kedua lengan Kong Hwat, gadis
itu meluncur ke tengah laut, meninggalkan pulau Bidadari!
<> Pada saat itu dari tengah laut meluncur seekor burung rajawali
menuju ke pulau. Pekiknya yang panjang terdengar bergetar dari
bawah. Seorang kakek bersimpuh di atas punggung rajawali raksasa
memandang ke bawah mengawasi pertempuran yang tengah
terjadi. Dan apabila kakek itu melihat seorang tinggi besar dan
kelihatannya berwibawa, burung rajawali itu menukik turun dan
menyambar mengelepakkan sayapnya memukul lima orang
Mongol yang keruan saja menjadi terkejut dan tubuhnya terjungkal
jauh. Hebat sekali pukulan sayap rajawali ini, sekali gebrak lima
orang Mongol terjungkal tanpa dapat bangun lagi!
Khu Bilay Khan memerintahkan orang-orangnya untuk mundur.
694 "Kakek tua, siapakah kau?"" tanya pemimpin ini, selamanya ia
berlaku hati-hati terhadap orang yang baru datang. Ia melihat ada
seorang kakek tua, kedua kakinya sudah buntung, berambut putih
dan berjenggot putih pula duduk di atas punggung rajawali emas
dan memandang dengan tajam.
"Engkaukah panglima besar Mongol yang bernama Khu Bilay
Khan?"" Si kakek buntung bertanya sambil menatap panglima ini
dengan tajam. "Benar kakek tua. Aku Khu Bilay Khan panglima Mongol, ada
apakah?" Kakek kaki buntung itu merogo sakunya, mengeluarkan sebuah
surat yang bertulisan tinta emas dan bersimbul kerajaan Mongol.
"Kau kenal tulisan surat ini?" Tanya kakek kaki buntung keren,
memperlihatkan surat yang tentu saja amat dikenal. Itulah tulisan
Kaisar Mongol, pamannya. "Dari mana kau dapat surat itu?"
"Ciangkun!! Kau bodoh dan goblok, sebagai pemimpin besar telah
kena dikelabui dan diperalat oleh Pay-cu Sian-li-pay, Bu-tek Sianli.
Nah, kau bacalah tulisan ini!" sambil berkata demikian si kakek
buntung melemparkan surat yang ditulis oleh Kaisar untuknya.
Merah wajah Khu Bilay Khan membaca teguran dari pamannya.
Hampir saja ia tidak percaya akan bunyi tulisan itu. Gila! Benarbenar goblok aku ini, benarkah Bu-tek Sianli merencanakan untuk
695 menguasai Tiongkok dan dengan licin telah memperalat tentara
Mongol" Memang demikianlah adanya. Bu-tek Sianli mempunyai rencana
untuk menghancurkan kerajaan Song dengan meminjam kekuatan
tentara Mongol, kini baru saja panglima Khu Bilay Khan itu
diperalat mengerahkan tentara Mongol hanya untuk menangkap
seorang pemuda lengan buntung" Gila!
Dengan marah sekali Khu Bilay Khan memerintahkan anak
buahnya untuk menghentikan pertempuran. Dan menarik kembali
pasukannya kembali ke Kotaraja ibu kota yang sudah ditaklukan!
Sementara itu, Tiang Le berlari dengan amat payah sekali. Luka di
dada dan punggungnya cukup mengeluarkan darah banyak.
Berkali-kali ia jatuh terjungkal, untung saja di samping ada Bwe Lan
yang bersedia mendampinginya mati-matian.
Akan tetapi saking paniknya kedua orang muda itu, sehingga Bwe
Lan salah memilih jalan. Ia menemui jalan buntu. Di ujung sana itu,
terbentang lautan Po-hay yang luas. Ia telah berdiri di atas tebing
batu karang yang amat curam. Bwe Lan terkejut bukan main.
Sementara maki-makian Bu-tek Sianli mengguntur di belakangnya.
Dan disitu telah muncul Bu-tek Sianli dan serombongan dara Sianli-pay. Mereka sudah mengurung Bwe Lan dan Tiang Le dengan
sikap mengancam. "Tiang Le, kau sudah tak berdaya, hayo berlutut di depanku dan
menyatakan takluk!" si nenek Bu-tek Sianli memerintah.
696 Akan tetapi mana Tiang Le mau berlutut. Dengan marah ia sudah
mencabut pedang buntung. Dan berkata keras,
"Bu-tek Sianli, Nenek curang, jahanam! Hari ini, aku Tiang Le


Pendekar Lengan Buntung Karya Kim Tiauw di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengadu nyawa denganmu!"
"Koko".. biarlah aku mendampingimu".. biar kita mati
bersama?" bisik Bwe Lan menyentuh lengan kiri Tiang Le! Bangkit
semangat Tiang Le, "Kalian".., memang bosan hidup, apa boleh buat, biarlah kalian
mampus!" Bu-tek Sianli memberi aba-aba dan seratus gadis Sianli-pay menyerbu Tiang Le.
Kalau tadinya pemuda lengan buntung ini merasa segan untuk
melukai gadis-gadis cantik ini, akan tetapi, karena tiada jalan lain,
ia mainkan pedang buntungnya dengan jurus Tok-pik-kiam-hoat!
Luar biasa sekali sepak terjang Tiang Le, biarpun ia sudah terluka
berat di dadanya, namun gerakannya masih gesit dan pedangnya
masih mantap dan kuat! Melihat Tiang Le sudah dikeroyok, Bwe Lan mengeluarkan sabuk
suteranya dan mainkan ilmu cambuknya. Akan tetapi, si nenek Butek Sianli menggereng marah kepada bekas muridnya. Tanpa
memberi peringatan dengan terlebih dahulu kedua tangan si nenek
bergerak ke depan membokong Bwe Lan, keruan saja merasa
angin pukulan yang amat dahsyat menyambar dari belakangnya.
Bwe Lan mengibaskan sabuknya menangkis, akan tetapi dengan
beruntun menyambar lagi pukulan tangan kiri si nenek. Terdengar
697 jeritan Bwe Lan waktu merasa tubuhnya terlempar dan melayang
jauh, terguling dari tebing yang amat curam.
Mendengar ini Tiang Le menjadi terkejut sekali. Begitu ia melirik,
tubuh Bwe Lan sudah melayang-layang jatuh dan di bawah tebing
bergelombang ombak laut mengeluarkan suara berdebur keras.
"Bwe Lannnn........!"
"Tiang Leeee?".!" Kemudian suara gadis itu lenyap. Sudah
disambut oleh suara gemuruh ombak di bawah yang memecah
karang. "Bangsat Bu-tek Sianli, manusia jahanam! Kau harus mampus!"
Tiang Le menjadi nekat. Ia menjadi marah sekali melihat Bwe Lan
sudah terjungkal masuk jurang dari tebing yang amat tinggi ini
masuk ke dalam laut Po-hay. Maka serangannya penuh dengan
kemarahan dan dahsyat. Bu-tek Sianli terpaksa menangkis dengan pedang tipisnya dan
terdengar suara nyaring ketika pedang di tangan Tiang Le buntung
terbabat pedang tipis Pek-liong-pokiam. Akan tetapi Tiang Le yang
gagah perkasa ini tidak menjadi gentar. Dengan pedang yang
semakin pendek ini ia masih lihai sekali dan mendesak makin
hebat! "Bu-tek Sianli, katakanlah bahwa kau benar-benar sudah
membunuh Pei Pei?" Tiang Le bertanya.
698 Ia masih teringat akan keselamatan gadis itu. Entah mengapa
apabila ia teringat Pei Pei, ia menjadi bersemangat dan tenaganya
berlipat ganda. Akan tetapi, mana Bu-tek Sianli mau menyahut, ia malah
merangsek Tiang Le dan mengerahkan pengemis baju kembangkembang dan dara-dara Sian-li-pay untuk mengeroyoknya!
Sedangkan ia sendiri, karena merasa Tiang Le ini tak dapat
ditaklukan, ia berkelebat lenyap di antara banyak gadis-gadis Sianli-pay yang mengurung Tiang Le!
Sambil mengeluarkan suara keras, Tiang Le menggerakkan
pedangnya. Pedang buntung itu bergerak cepat dan tiga orang
pengemis baju kembang yang mengeroyoknya terjungkal dengan
dada menyemburkan darah! Hebat sekali sepak terjang pemuda lengan buntung ini. Tiga anak
panah yang menancap di dada dan punggung bergerak-gerak
waktu Tiang Le mencelat ke sana ke mari. Semakin cepat ia
bergerak, semakin pening dirasakan kepalanya. Tak tahu lagi ia,
berapa banyak sudah korban yang jatuh!
Karena pemuda itu setengah sadar dan gerakannya sudah tidak
lagi terarah, tubuhnya menjadi limbung, ia terhuyung-huyung.
Pedangnya yang sudah bermandikan darah berkelebat terus,
walau pada saat itu tidak ada lagi manusia didekatnya. Semua
pengemis baju kembang sudah menggeletak di tanah mandi
darah. Gadis-gadis Sian-li-pay sudah mati dan menggeletak
malang melintang. 699 Di tempat itu, di atas tebing yang amat tinggi keadaan amat
menyeramkan dan sunyi senyap. Deburan ombak memecah batu
karang di bawah sana itu, meningkahi kesenyapan yang
menghantui tempat ini! Perlahan-lahan gerakan Tiang Le menjadi lemah.
Tubuhnya yang penuh darah merah terhuyung-huyung. Dan
hampir saja dia terjungkal ke belakang kalau saja tidak ada
seorang yang menubruknya sambil menangis. Suara gadis.
"Kookooooo?".!!!"
Pei Pei memeluk tubuh pemuda itu, Tiang Le membuka matanya.
Bibirnya bergetar perlahan:
"Pei Pei?" Pei-moay".. kau".."
"Koko aku selamat?" aduuhh".. kokoo!"
Pei Pei menjerit ngeri melihat tubuh Tiang Le sudah bermandikan
darah merah. Tiga buah lubang yang menembus oleh anak panah
masih menancap di dada dan punggungnya. Gadis itu menangis,
memeluk Tiang Le hendak mencabut anak panah yang menancap
di dada itu, akan tetapi Tiang Le menjerit menahan nyeri yang amat
hebat. Pei Pei menangis. Ia tidak sangka keadaan Tiang Le sampai
menjadi begini. Ia sendiri sebetulnya diperlakukan baik-baik oleh
Bu-tek Sianli dan malah diberi kebebasan berada di pulau ini. Bu700
tek Sianli mengatakan bahwa ia akan mengundang Tiang Le, siapa
sangka justru, nenek sakti yang licik itu mencelakakan Tiang Le!
Angin kering berhembus dari arah pantai.
Suasana menjadi sunyi senyap. Pei Pei memapah tubuh Tiang Le
berjalan perlahan-lahan. Sementara seluruh tubuh Tiang Le penuh
dengan noda-noda darah dan terasa amat lemas sekali. Tiga buah
anak panah masih menancap di dada dan punggungnya
mengeluarkan darah yang sudah mengering
Sementara deburan suara ombak menjerit-jerit menggelepar
menghantam dinding batu karang yang kokoh kuat, tak
terobohkan. Dan air laut memercik tinggi, merupakan pancuran
yang mental dari cela-cela batu karang.
TAMAT 701 Maling Romantis 4 Sastrawan Cantik Dari Lembah Merak Kong Ciak Bi Siucai Karya Raja Kelana Kitab Pusaka 2

Cari Blog Ini