Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung Bagian 1
Soh Sim Kiam Karya : Chin Yung Saduran Gan KL Tok .... Tak-tok... tok trok tok ... taaak!
Begitulah bunyi serentetan beradunya dua batang kayu, terkadang berhenti agak
lama, menyusul lantas berbunyi pula dengan cepat.
Tempat itu adalah sebuah kampung Moa-keh-po diluar kota Wan-ling di wilayah
propinsi Ouw-lam barat. Didepan tiga buah gubuk yang berderetan itu ada seorang
kakek sedang menganyam sepatu rumput. Terkadang dia mendongak mengikuti
pertarungan antara sepasang muda-mudi dilapangan jemuran padi sana.
Usia kakek itu kira kira setengah abad namun mukanya sudah penuh keriput,
rambutnya lebih separuh sudah ubanan, suatu tanda banyak penderitaan pejuangan
hidup. Tapi waktu itu tampak dia mengulum senyum, ia puas terhadap pertandingan
pedang sepasang muda-mudi itu.
Pemudi yang sedang bertanding itu berumur antara 17-18 tahun berwajah bundar,
bermata jeli. Keringatnya sudah membasahi keningnya dan mengucur pula kepipinya.
Ketika ia mengusap keringat dengan lengan bajunya, makin cantiklah tampaknya
gadis itu. Adapun usia pemuda itu lebih tua dua-tiga tahun daripada si gadis. Berperawakan
jangkung, kulitnya hitam, tulang pipinya agak menonyol, tangan kasar, kaki
besar, itulah ciri ciri khas anak petani.Pedang kayu yang dimainkannya itu
tampil sangat cepat dan lincah.
Sekonyong-konyong pedang kayu pemuda itu menabas dari atas pundak kiri miring
kebawah. Menyusul tanpa menoleh pedangnya berputar dan menusuk kebelakang. Namun
si gadis sempat menghindar dengan mendekan kepalanya, habis itu iapun membalas
menusuk beberapa kali. Mendadak pemuda itu mundur dua tindak, habis itu ia bersuit panyang sekali,
pedangnya berputar, cepat ia menebas ke kanan dan kekiri beruntun-runtun tiga
kali. Karena kewalahan, tiba tiba si gadis itu menarik pedangnya dan berdiri tegak
tanpa menangkis, bahkan omelnya: "Baiklah anggap kau lihay, sudah boleh engkau
membacok mati aku!" Sama sekali pemuda itu tak menduga bahwa sigadis bisa mendadak berhenti dan
tidak menangkis, padahal tabasan ketiga itu sedang dilontarkan kepinggang lawan.
Dalam kejutnya, lekas lekas pemuda itu hendak menarik kembali serangannya, namun
tenaga yang dikeluarkan itu sudah kadung terlalu kuat, "plek", sekuatnya ia
kesampingkan pedangnya, tapi tidak urung lengan kiri sendiri terketok oleh
senjata sendiri. Dalam kaget dan sakitnya tanpa merasa ia menjerit sekali.
Gadis itu tertawa geli, katanya: "Huh, malu tidak kau" Coba kalau senjatamu itu
adalah pedang sungguhan, bukankah lenganmu itu sudah terkutung?"
Wajah si pemuda yang kehitam-hitaman itu menjadi merah, sahutnya: "Aku kuatir
tabasanku tadi mengenai badanmu, karena itu tanganku sendiri yang terkena. Kalau
benar2 mau bertempur dengan musuh, masakan orang mau mengalah padamu" Suhu,
haraplah engkau memberi pendapat yang adil" Apa betul tidak kataku ini?"
Kata terachir ini ia tujukan pada si kakek yang masih asyik menyelesaikan sepatu
rumputnya itu. Sambil memegangi sepatu rumputnya yang setengah selesai itu, sikakek berbangkit
dan berkata: "Di antara 50-an jurus permulaan kalian itu masih boleh juga, tapi
jurus2 belakangan makin lama semakin tak keruan."
Ia ambil pedang kayu dari sigadis, ia pasang kuda2 dan melontarkan suatu
serangan bergaya miring lalu katanya pula: "Ini adalah jurus "Koh-hong-hansiang-lay" (banjir datang ber-teriak2), menyusul ini adalah "Si-heng-put-kan-ko"
(ketemu lintang tidak berani lewat). Karena melintang maka harus menabas dan
tidak boleh menusuk kedepan ...."
Sedang kakek itu asyik mencerocos dengan teori ilmu pedangnya, se-konyong2
terdengar suara ketawa orang ter-bahak2 dibalik timbunan yerami sana.
Untuk sejenak sikakek melengak, tapi secepat panah ia terus melompat kesana.
jangan menyangka sikakek sudah ubanan gerak-geriknya ternyata sangat gesit dan
cekatan, sedikitpun tidak kalah daripada anak muda.
Ia mengira suara orang terbahak itu tentu lagi mentertawai caranya dia memberi
pelajaran ilmu pedang pada muridnya tadi. Tapi demi melihat siapa orang itu ia
menyadi tahu duduknya perkara. Kiranya dibalik timbunan jerami itu berduduk
seorang pengemis tua yang lagi sibuk mencari tuma dari bajunya yang rombeng dan
berbau itu lantaran tidak pernah dicuci.
Sembari mencari tuma, pengemis itu beryemur diri dibawah sinar sang surya.
Ketika dapat menangkap seekor tuma, cepat-cepat ia masukkan kemulutnya terus
dikeletak lalu ia tertawa ter-bahak2 dan berkata:"Huh, lari kemana kau sekali
ini. Ha-ha, kembali seekor lagi!"
Kakek itu tersenyum dan putar balik ketempatnya tadi, ia mengulangi pula
permainan beberapa jurus Kiam-hoat tadi. Nyata permainannya jauh berbeda
daripada kedua anak muda, gerakannya cepat dan gayanya indah, keruan kedua anak
muda-mudi itu merasa kagum tak terhingga hingga bertepuk tangan memuji.
Kakek itu kembalikan pedangnya kepada sigadis, katanya:"Kalian boleh melatih
sekali lagi. A Hong jangan main kelakar, tadi kalau bukan Suko sengaja mengalah,
tentu jiwamu sudah melayang!"
Gadis itu meleset lidah sekali, mendadak pedangnya terus menusuk dengan cepat
luar biasa. Pemuda itu belum lagi ber-siap2, dalam keadaan kelabakan ia masih sempat
menangkis. Tapi karena telah didahului sigadis ia menyadi kececar hingga untuk
semenatar tak mapu melancarkan serangan balasan.
Ketika dia sudah terdesak dan tampaknya segera akan kalah, tiba2 dari arah timur
sana ada suara derapan kuda yang ber-detak2. Seorang penunggang kuda tampak
mendatang dengan cepat sekali.
"Siapakah itu yang datang?" kata sipemuda.
"Sudah kalah jangan main belit! Siapapun yang datang tiada sangkut-pautnya
dengan engkau!" bentak sigadis dan be-runtun2 ia menyerang tiga kali pula.
Sekuatnya pemuda itu menangkis sambil menjawab dengan gusar: "Memangnya apa kau
sangka aku jeri padamu?"
"Mulutmu yang tidak jeri, tapi hatimu takut!" sahut sigadis sambil menusuk
kekanan dan kekiri, dua serangan yang cepat dan indah.
Tatkala itu sipenunggang kuda tadi sudah dekat dan memberhentikan kudanya,
melihat serangan sigadis itu, tak tertahan lagi ia berseru: "Bagus! Serangan
hebat! Thian-hoa-loh-put-cin, Kau-ju-niu-ham-hui!" (bunga dilangit bertebaran,
di-mana2 burung terbang mencari makan)."
Mendengar itu, sigadis bersuara heran sekali dan mendadak melompat mundur untuk
mengamat-amati pendatang asing itu. Ia lihat orang berusia antara 23-24 tahun,
berdandan perlente sebagai lazimnya putera hartawan dikota.
Tanpa merasa wajah sigadis menjadi merah jengah, serunya kepada sikakek: "Tia
(ayah), ken............ kenapa dia tahu?"
Memangnya sikakek juga sedang heran demi mendengar sipenunggang kuda itu dapat
menyebut nama2 tipu serangan gadisnya tadi, maka ia bermaksud menegurnya.
Sementara itu, sipenunggang kuda sudah lantas melompat turun dan mendekati
sikakek, ia memberi hormat dan berkata: "Numpang tanya, Lo-tiang, di Moa-keh-po
sini ada seorang ahli pedang, namanya Jik Tiang-hoat, Jik-loyacu, dimanakah
tempat tinggalnya?" "Aku sendirilah Jik Tiang-hoat," sahut sikakek itu. "Untuk apakah Toaya (tuan)
mencarinya?" Segera pemuda gagah itu menjura ketanah, katanya: "Wanpwe bernama Bok Heng,
dengan ini memberi hormat kepada Susiok. Wanpwe diperintahkan Suhu untuk mencari
Jik-susiok." "Haha, jangan sungkan2, tak usah banyak adat!" sahut Jik Tiang-hoat dengan
tertawa sambil membangunkan pemuda itu.
Ketika tangan memegang tangan, ia sengaja kerahkan sedikit tenaga dalam hingga
separoh tubuh pemuda itu menjadi kaku linu.
Dengan muka merah Bok Heng berbangkit, katanya: "Wah, Jik-susiok telah menguji
Wanpwe, sekali ketemu Wanpwe sudah memalukan."
"Lwekangmu memang masih kurang kuat," ujar Tiang-hoat dengan tertawa. "Kau
adalah murid keberapa dari Ban-suko?"
Kembali muka Bok Heng merah jengah, sahutnya: "Wanpwe adalah murid Suhu yang
kelima. Biasanya Suhu suka memuji Lwekang Jik-susiok sangat tinggi, mengapa baru
ketemu sudah gunakan Wanpwe sebagai percobaan?"
Jik Tiang-hoat ter-bahak2, katanya: "Apakah Ban-suko baik2 saja" Sudah belasan
tahun kami tidak bertemu."
"Berkat puji Susiok, beliau sangat baik," sahut Bok Heng. "Kedua Suko dan Suci
ini tentunya murid2 pilihan Susiok bukan?"
Segera Jik Tiang-hoat memanggil sipemuda dan sigadis tadi: "A Hun, A Hong, hayo
lekas kemari menemui Bok-suko. Nah, ini adalah muridku satu2nya Tik Hun, dan ini
adalah puteriku A Hong. Ala, dasar gadis desa, pakai malu2 segala, Bok-suko
adalah orang sendiri, kenapa mesti malu?"
Kiranya Jik Hong lagi mengumpet dibelakangnya Tik Hun, dengan likat ia sedang
tersenyum sambil mengangguk saja.
Sebaliknya Tik Hun lantas menyapa: "Bok-suheng, Kiam-hoat yang kau pelajari
serupa dengan kami punya bukan" Kalau tidak, masakah sekali lihat engkau lantas
dapat menyebutkan tipu serangan Sumoay tadi?"
"Cuh!" tiba2 Jik Tiang-hoat meludah keras2 ketanah. "Gurumu dan Suhunya adalah
saudara seperguruan, Kiam-hoat yang dipelajari dengan sendirinya adalah sama,
masakah perlu tanya lagi?" demikian serunya dengan dongkol oleh ke-tolol2an
muridnya itu. Kemudian Bok Heng mengeluarkan empat macam hadiah dari dalam rangsal yang
tergantung diatas kuda dan dipersembahkan kepada Tiang Hoat, katanya: "Jiksusiok, Suhu mengirim sedikit hadiah ini, harap Susiok sudi menerimanya."
Tiang-hoat mengucapkan terima kasih, lalu suruh puterinya Jik Hong menerima
barang2 itu. Waktu Jik Hong membawa barang2 hadiah itu kedalam kamar dan memeriksanya, ia
lihat isinya adalah sepotong baju kulit domba rangkap kain sutera, sebuah gelang
kemala hijau, sebuah kopiah beluderu dan sepotong jas tutup laken hitam.
Dengan ketawa2 segera Jik Hong membawa barang2 itu keluar sambil berseru: "Tia,
tia! Selamanya engkau tidak pernah memakai baju sebagus ini, kalau dipakai, wah,
engkau bukan lagi pak tani, tapi mirip kaum hartawan dan orang berpangkat!"
Melihat barang2 itu, Jik Tiang Hoat juga terpesona.........
Malamnya diadakan perjamuan sederhana, empat orang mengelilingi sebuah meja.
Sebelumnya Tik Hun pergi membeli tiga kati arak diwarung kampung sana, Jik Hong
menyembelih seekor ayam gemuk dan memetik pula sayur tanamannya sendiri
diladang, ia masak senampan Pek-cam-khe (ayam masak dipotong2), sepiring Caysim-keh-kiu (ayam goreng sawi). Kecuali itu ada pula satu mangkok acar cabe
merah yang besar2. Waktu Jik Tiang-hoat menanyakan maksud kedatangan Bok Heng.
Segera pemuda itu berkata: "Suhu menyatakan sudah belasan tahun tidak berjumpa
dengan Susiok, beliau sangat kangen dan sebenarnya susah lama ingin bisa
mengunjungi tempat tinggal Susiok sini, cuma Suhu setiap hari harus melatih
'Soh-sim-kiam-hoat' hingga tak dapat tinggal pergi ......."
Waktu itu Tiang-hoat sedang angkat mangkok araknya, baru saja dihirupnya sekali,
se-konyong2 ia mendengar ucapan Bok Heng itu, seketika arak yang sudah dihirup
kedalam mulut itu dimuntahkan kedalam mangkok lagi dan cepat menanya: "Apa
katamu" Gurumu sedang melatih 'Soh-sim-kiam'?"
Wajah Bok Heng ber-seri2, sahutnya: "Ya, tanggal lima bulan yang lalu Suhu telah
berhasil menyelesaikan Soh-sim-kiam yang hebat itu."
Karuan Tiang-hoat bertambah kaget, ia gabrukan mangkok araknya kemeja hingga
sebagian isinya muncrat keluar dan membsahi meja dan lengan bajunya. Ia termangu2 sejenak, tapi lantas ter-bahak2. Mendadak ia tepuk keras2 diatas pundak
Bok Heng sambil berseru: "Ha-ha-ha, dasar Suhumu itu memang sejak kecil sudah
suka membual. 'Soh-sim-kiam' itu bukan saja kakek-gurumu tidak berhasil
melatihnya, bahkan buyut-gurumu juga tidak bisa, apalagi kepandaian gurumu juga
cuma begitu saja, hahaha, jangan kau coba menipu Susiokmu, haha! Marilah minum!"
Segera ia angkat mangkoknya tadi dan dituang kedalam kerongkongannya. Menyusul
ia comot sebuah cabe merah yang besar terus diganyang mentah2.
Namun Bok Heng tidak terpengaruh oleh kata2 sang Susiok, katanya pula: "Ya,
memang Suhu sudah menduga pasti Susiok, takkan percaya, makanya tanggal 16 bulan
yang akan datang kebetulan adalah ulang tahun Suhu yang ke-50, beliau mengundang
Susiok bersama Sute dan Sumoay sudilah datang ke Heng-ciu untuk menghadiri
perjamuan sederhana. Pesan Suhu kepada Wanpwe agar Susiok betapapun harus
berkunjung kesana. Kata Suhu, beliau kuatir 'Soh-sim-kiam' yang baru jadi
dilatihnya itu mungkin masih ada kekurangannya, maka Susiok diminta suka memberi
petunjuk dimana perlu."
Wajah Jik Tiang-hoat agak berubah, tanyanya kemudian: "Jika begitu, apakah Jisusiok Gian Tat-peng juga sudah kau undang kesana?"
"Jejak Gian-jisusiok tidak tertentu, maka Suhu sudah mengirim Jisuko, Samsuko
dan Sisuko untuk mencarinya keberbagai penjuru. Apakah Jik-susiok sendiri pernah
mendengar kabarnya Gian-jisusiok?"
Tiang-hoat tidak menjawab, ia hanya menghela napas, kemudian katanya:" Diantara
saudara seperguruan kami bertiga, ilmu silat Jisuhengku yang paling tinggi.
Kalau dia yang berhasil meyakinkan 'Soh-sim-kiam-hoat' mungkin masih dapat
kupercayai. Tetapi sekarang kau mengatakan Suhumu sudah berhasil meyakinkannya,
hehe, aku tidak percaya, aku tidak percaya!"
Terus saja ia samber poci arak dan menuang penuh mangkoknya, sambil mengangkat
mangkok arak itu, ia tidak lantas meminumnya, tapi mendadak ia berseru: "Baik,
tanggal 16 bulan depan aku pasti datang ke Heng-ciu untuk memberi selamat ulang
tahun kepada gurumu sekalian aku ingin lihat macam apakah tentang 'Soh-sim-kiam'
yang katanya telah berhasil diyakinkannya itu!"
Habis berkata, kembali ia gabrukan mangkok araknya hingga isinya muncrat keluar,
kembali meja itu banjir arak lagi.
********** Tiga hari kemudian sesudah Bok Heng mohon diri pulang ke Heng-ciu. Pagi itu
dengan cemas Jik Hong membuntuti seekor sampi yang sedang dituntun sang ayah
menuju keluar kampung. "Tia," demikian kata sigadis dengan suara murung, "kalau Tay Hong (si kuning)
engkau jual, tahun depan cara bagaimana kita harus meluku sawah?"
"Tahun depan adalah urusan tahun depan, tak usah dipikirkan!" sahut Jik Tianghoat. "Tia-tia, bukankah baik2 kita tinggal disini" Biarpun desa, hidup kita aman
tenteram. Untuk apakah mesti pergi kekota Heng-ciu segala" Peduli apa Ban-supek
berulang tahun, masakah mesti menjual Tay Hong guna sangu perjalanan, kukira
tidak perlu kita berbuat begitu."
"A Hong, ayah sudah berjanji pada Bok Heng, maka harus berangkat kesana. Seorang
laki2 sejati sekali sudah omong, mana boleh dijilat kembali" Biarlah kubawa kau
dan A Hun kesana untuk menambah pengalaman, jangan selama hidup menjadi gadis
desa saja!" "Apa jeleknya menjadi orang desa" Aku justeru tidak pingin pengalaman apa
segala. Sejak kecil aku yang mengangon Tay Hong hingga besar, Tay Hong adalah
satu2nya kawan kita yang paling setia. Lihatlah, Tia-tia, Tay Hong sedang
menangis, ia tidak mau digiring pergi!"
"Nona bodoh! Sampi adalah binatang, dia tahu apa" Hayolah tinggal dirumah saja
kau!" "Tidak, Tia, Tay Hong jangan kau jual, tentu dia akan disembelih yang membeli,
aku tidak tega." "Tidak, orang takkan menyembelihnya, tapi orang membelinya untuk meluku sawah."
"Tia-tia berdusta! Apa yang dibicarakan sijagal Ong dengan engkau kemarin" Tentu
Tay Hong dibeli olehnya untuk disembelih. Tia, lihatlah itu, Tay Hong sedang
menangis. O, Tay Hong, aku tak mau ditinggalkan olehmu. Hun-ko, Hun-ko!
Kemarilah lekas, Tia-tia hendak menjual Tay Hong........"
"A Hong, sebenarnya ayah juga tidak tega menjual Tay Hong. Akan tetapi kita
sudah menyanggupi Supekmu untuk datang kesana memberi selamat ulang tahun
padanya, dengan sendirinya kita takbisa pergi dengan tangan kosong. Pula engkau
dan A Hun juga perlu menjahit beberapa potong baju baru agar tidak dipandang
hina orang. Supekmu omong besar katanya sudah berhasil meyakinkan 'Soh-sim-kiamhoat', aku justeru tidak percaya dan ingin menyaksikannya dengan mata kepala
sendiri. Nah, anak baik, tinggallah engkau dirumah!"
"Tay........ Tay Hong!" ratap Jik Hong dengan ter-guguk2. "Kalau kau hendak
disembelih orang melawanlah dengan tandukmu, lalu lari...... lari kembali sini.
Ti........ tidak! Orang tentu akan mengejar kemari, lebih baik kau lari sejauh2nya, ya, lari saja kegunung........"
********** Setengah bulan kemudian, "Tiat-so-heng-kang" Jik Tiang-hoat, sirantai baja
melintang disungai, bersama muridnya, Tik Hun dan puterinya, Jik Hong, telah
sampai dikota Heng-ciu. Waktu ia tanya dimana rumahnya "Ngo-in-jiu" Ban Cin-san, sitangan pancawarna,
orang yang ditanya menjawab: "Masakah rumahnya Ban-lo-enghiong yang termasyhur
masih perlu tanya" Itu dia gedung yang paling besar, yang pintu gerbangnya
bercat merah!"
Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiang-hoat mengucapkan terima kasih dan segera menuju kearah yang ditunjuk.
Ia memakai baju kulit baru hadiah dari Ban Cin-san itu. Tik Hun dan Jik Hong
juga memakai baju baru. Namun demikian ketiga orang itu tidak terlepas dari
lagak-lagu orang desa yang ke-tolol2an.
Ketika sampai didepan gedung keluarga Ban itu, tertampaklah gedung itu penuh
dihias lampion yang berwarna-warni, tetamu hilir mudik tak ter-putus2. Mereka
menjadi ragu2 untuk memasuki gedung yang mentereng itu.
Selagi Jik Tiang-hoat hendak menanya penjaga, tiba2 dilihatnya Bok Heng lagi
berlari keluar, karuan ia sangat girang, cepat ia berseru: "Bok-hiantit, aku
sudah datang!" Dengan gembira Bok Heng lantas menyambut kedatangan mereka sambil menyapa: "Hai,
Ji-susiok telah tiba! Selamat datang, selamat datang! Memangnya Suhu sedang
memikirkan Susiok yang belum juga kelihatan. Marilah masuk!"
Dan begitu Jik Tiang-hoat melangkah masuk, rombongan musik lantas membunyikan
lagu penyambutan. Ketika mendadak terompet ditiup, Tik Hun menjadi kaget,
hampir2 ia berlari keluar lagi. Maklum anak desa!
Sampai diruangan pendopo, tertampaklah seorang tua bertubuh kekar tegap sedang
asyik beramah-tamah dengan para tamu.
"Toasuko, aku sudah datang!" segera Jik Tiang-hoat menyapa.
Orang tua tadi tercengang sekejap se-akan2 tidak mengenalnya lagi. Tapi segera
iapun menyongsong kedatangan sang Sute itu dengan ber-seri2, serunya sambil terbahak2: "Ha-ha-ha-ha! Lo-sam, mengapa engkau sudah begini tua nampaknya, hampir2
aku pangling!" Dan selagi kedua saudara seperguruan itu hendak berjabatan tangan untuk
menyatakan kegembiraan masing2, tiba2 hidung mereka mengendus bau busuk kotoran.
Menyusul terdengarlah suara seorang yang mirip gembreng pecah sedang membentak:
"Ban Cin-san, utangmu sepicis padaku belasan tahun yang lalu, sekarang akan kau
bayar kembali tidak?"
Cepat Jik Tiang-hoat menoleh, maka tertampaklah ada seorang menjingjing satu
ember kayu yang berisi air kotoran manusia sedang digebyurkan kearah Ban Cinsan. Gerak-gerik Jik Tiang-hoat sangat cepat, segera ia tarik baju kulitnya yang
panjang itu hingga kancing baju putus semua, menyusul baju itu lantas dicopot
dan secepat kilat terus dipentang hingga mirip layar dan dialangkan untuk
menahan kotoran yang menghambur tiba itu. Bahkan ia terus dorongkan layar baju
itu kedepan hingga air kotoran itu berbalik hendak menyiram tuannya.
Cepat orang itu lemparkan ember kotoran yang dilawannya sambil melompat
kesamping. Maka terdengarlah suara gemerantang dan gedebukan, ember kayu itu
bersama bajunya Tiang-hoat yang penuh kotoran itu jatuh kelantai semua hingga
lantai pendopo itu berlumuran kotoran yang berbau bacin. Saking tak tahan,
banyak tamu yang terpaksa mesti menekan hidung.
Ternyata orang itu penuh berewok yang pendek kaku, badannya tinggi besar, dengan
gagah ia berdiri tegak sedang ter-bahak2 mengejek: "Hahaha! Ban Cin-san, jauh2
aku datang kemari untuk memberi selamat ulang tahunmu, karena tidak membawa kado
apa2, hanya emas murni berlaksa tahil inilah yang bisa kupersembahkan!" Ia
berkata sambil menuding "pisang goreng" dan "leleh kuning" yang penuh berserakan
dilantai itu. Karuan murid2 Ban Cin-san yang berjumlah delapan orang itu menjadi murka.
Masakah ruangan perjamuan yang sudah dipajang indah itu mendadak dikacau orang
hingga berbau busuk sedemikian rupa. Seketika mereka merubung maju hendak
membekuk pengacau itu untuk dihajar setengah mati.
Namun Ban Cin-san keburu membentak: "Berhenti semua!"
Mendengar perintah sang guru itu, kedelapan murid itu tidak berani membangkang.
Terpaksa mereka berdiri ditempat masing2 dengan mengepal tangan. Murid kedua,
Ciu Kin, wataknya paling kasar, terus saja ia memaki kalang kabut dari anaknya
sampai kakek-moyang delapanbelas keturunan orang itu dicacinya habis2an.
Namun Ban Cin-san telah dapat mengenali asal-usul siberewok itu, katanya: "E-eh,
kukira siapa, tak tahunya adalah Lu-toa-cecu dari Thay-heng-san yang telah sudi
berkunjung kemari. Agaknya paling achir ini Lu-toa-cecu telah menjadi orang kaya
mendadak, emas intan dirumah sudah ber-lebih2an, maka selalu membawa pula untuk
sangu setiap kali bepergian."
Mendengar bahwa siberewok itu adalah Lu-toa-cecu dari Thay-heng-san, para tamu
yang hadir itu menjadi gempar dan ramai membicarakannya.
Kiranya siberewok itu bernama Lu Thong, seorang begal besar sangat lihay di
Thay-heng-san, terutama kepandaiannya Liok-hap-to dan Liok-hap-kun sangat
disegani kaum Kangouw di sekitar lembah Hongho.
Maka terdengarlah Lu Thong sedang berkata sambil menjengek: "Hm, 10 tahun yang
lalu, tatkala kami bersaudara sedang melakukan pekerjaan biasa di kota Thaygoan, tapi ada orang yang diam2 telah melapor kepada yang berwajib hingga usaha
kami gagal. Bahkan saudaraku Lu Ho tertangkap dan jiwanya melayang. Dan barulah
tiga tahun yang lalu aku dapat mengetahui bahwa pelapor yang budiman itu taklain-tak-bukan adalah engkau orang she Ban ini. Nah, bicaralah betul tidak?"
"Betul! Memang akulah yang telah melaporkan perbuatan kalian itu," sahut Cin-san
dengan tenang. "Kita orang Kangouw mencari sesuap nasi dengan jalan merampok dan
membegal masih dapat dimengerti. Tetapi saudaramu Lu Ho telah memperkosa anak
gadis orang dan sekaligus membunuh empat orang tak berdosa. Hal ini biarpun
siapa juga akan murka, maka aku orang she Ban tidak bisa tinggal diam."
Kembali para tamu gempar pula oleh keterangan itu. Be-ramai2 mereka memaki:
"Bangsat yang terkutuk!" ~ "Perampok anjing, tangkap saja dia!" ~ "Maling cabul,
berani kau berlagak kerumah Ban-loenghiong sini?"
Namun Lu Thong tidak menghiraukan makian orang banyak itu, mendadak ia melompat
kedepan ruangan, ia ayun sebelah tangannya terus memotong keatas pilar, maka
terdengarlah suara gemuruh, pilar kayu yang bulat tengahnya belasan senti itu
telah dipatahkan olehnya hingga atap rumah itu ambruk sebagian, seketika debu
pasir bertebaran diruangan itu.
"Ban Cin-san, jika engkau benar2 laki2 sejati, hayolah maju, mari kita tentukan
siapa yang akan mati dan hidup!" terdengar Lu Thong berteriak menantang.
Melihat Lu Thong pamerkan kepandaiannya "Tiat-pi-kang" atau ilmu tangan baja,
semua orang terkesiap. Mereka terbayang bagaimana jadinya kalau orang kena
dihantam oleh pukulan sakti itu.
Namun Ban Cin-san telah menjawab dengan tertawa dingin: "Wah, sepuluh tahun
tidak bertemu, ternyata kepandaian Lu-toa-cecu sudah jauh lebih maju. Cuma
sayang manusia macam kau ini, semakin tinggi kepandaianmu, semakin banyak
kejahatan yang kau lakukan. Meskipun orang she Ban sudah tua bangka juga ingin
minta pelajaran padamu." ~ sembari berkata, dengan kalem terus saja ia melangkah
maju. Tapi tiba2 diantara orang banyak itu menerobos keluar seorang pemuda bermata
besar dan beralis tebal, diam2 pemuda itu mendekati belakangnya Lu Thong, sekali
kedua tangannya bergerak, cepat sekali ia gantol kedua tangan lawan sambil
tangannya menyikap tengkuk orang. Bahkan pemuda itu terus berteriak: "Kau telah
bikin kotor baju baru guruku, lekas kau memberi ganti!"
Ternyata pemuda itu adalah Tik Hun, murid tunggal Jik Tiang-hoat.
Segera Lu Thong pentang lengannya dengan maksud hendak mementalkan pemuda yang
menyingkapnya dari belakang itu, namun sia2 saja usahanya, tak terduga olehnya
bahwa dasar tenaga pembawaan Tik Hun teramat hebat, apalagi dengan mati2an
pemuda itu menyikap sekuatnya.
Untuk menyerang pemuda itu dengan Tiat-pi-kang yang lihay itu terang tidak
dapat, sebab pukulan itu harus dilontarkan kedepan atau kesamping, tapi Tik Hun
kini menyikapnya dari belakang. Dalam keadaan kepepet dan gusar, mendadak tangan
kanan Lu Thong merogoh keselangkangan Tik Hun sambil membentak: "Lepaskan
tidak!" Karuan Tik Hun kaget, kalau serangan musuh kena sasarannya, kan bisa kelengar
dia. Terpaksa ia melepaskan musuh.
Lu Thong ternyata sangat cekatan, begitu terlepas dari sikapan lawan, sekali
putar tubuh, kontan ia menghantam dengan tipu "Oh-liong-tam-hay" atau naga hitam
masuk kelaut, dada Tik Hun yang diincar.
Namun Tik Hun sempat melompat mundur sambil berseru: "Aku tidak ingin berkelahi
dengan kau. Tapi baju guruku yang baru itu telah kau bikin kotor, baju itu baru
pertama kali ini dipakai, kau harus ganti.........."
"Anak dogol mengoceh apa2an?" bentak Lu Thong dengan gusar.
Tapi Tik Hun tetap tidak mau terima, ia menubruk maju pula sambil berteriak
lagi: "Kau mau ganti atau tidak?"
Sebagai anak tani umumnya, ia paling sayang terhadap setiap harta-benda berasal
dari hasil keringatnya sendiri itu. Ia lihat baju baru sang guru yang
diperolehnya dengan menjual sampi piaraannya, tapi kini telah dibikin kotor
begitu rupa, karuan saja ia sangat gegetun. Iapun tidak peduli ada perselisihan
apa diantara Lu Thong dan Ban Cin-san, yang dia pikir cuma baju baru sang guru
itu harus mendapat ganti.
"Harap mundur, Tik-hiantit, baju gurumu itu biar nanti aku yang ganti!" segera
Cin-san membujukinya. "Tidak, dia yang harus mengganti, kalau dia nanti menggeloyor pergi dan engkau
juga tidak mengaku utang, kan rugi Suhu," demikian kata Tik Hun. Sambil berkata,
kembali ia hendak menjambret dada Lu Thong.
Sudah tentu Lu Thong tidak gampang lagi dipegang, "blang", kontan Tik Hun malah
kena digenjot sekali didadanya hingga pemuda itu ter-huyung2 hampir roboh.
"Hiantit mundur saja!" seru Cin-san pula, nadanya sudah agak keras.
Namun Tik Hun sudah kadung kesakitan, matanya menjadi merah, bentaknya kepada Lu
Thong: "Kau tak mau ganti baju orang, sekarang malah menghantam orang pula, kau
tahu aturan tidak?" "Huh, mau apa kalau kuhajar anak dogol macammu?" sahut Lu Thong tertawa.
"Akupun balas hajar kau!" bentak Tik Hun sambil doyongkan tubuhnya kedepan
sedikit, tapak tangan kiri pura2 memotong miring, tahu2 tapak tangan kanan yang
menyodok kedepan dari bawah.
Lu Thong rada heran juga, pikirnya: "Ilmu pukulan anak dogol ini masih boleh
juga." ~ Segera iapun keluarkan silatnya untuk balas menyerang.
Serang-menyerang kedua orang dilakukan cepat lawan cepat, maka dalam sekejap
saja sudah berlangsung belasan jurus.
Sejak kecil Tik Hun mendapat didikan Jik Tiang-hoat, setiap hari selalu berlatih
dengan sang Sumoay, yaitu Jik Hong, maka pengalamannya dalam hal bertempur sudah
banyak baginya. Karena itu, meski Lu Thong adalah seorang tokoh kalangan bandit
yang lihay, untuk sesaat juga takbisa mengalahkan pemuda itu.
Beberapa kali Lu Thong mengeluarkan Tiat-pi-kang untuk memukul, namun selalu
dapat dihindarkan Tik Hun dengan gesit, dua kali pundak pemuda itu kena digebuk
olehnya, namun dasar kekar kuat dan keras tulang Tik Hun, maka dianggap sepi
saja hantaman2 itu. Setelah beberapa jurus pula, Lu Thong menjadi gopoh, ia pikir jauh2 dirinya
datang kemari hendak membalas sakit hati, tapi seorang muda keroco pihak lawan
saja tak mampu merobohkannya, kalau kejadian ini tersiar, kemana mukanya harus
disembunyikan" Segera Lu Thong ganti ilmu pukulannya, tiba2 ia campurkan Kau-kun
dan lain2 gaya pukulan kedalam Liok-hap-kun kebanggaannya itu. Ia mencakar,
meraup, meraih, menarik dan menendang; lalu ditambah lagi dengan gaya kucing
anjlok, anjing lari, kelinci mencolot, elang mabur, kuda mendepak dan gaya
lain2nya yang serba aneh dan lucu perubahannya.
Karuan Tik Hun bingung karena tidak pernah menyaksikan permainan silat aneh itu,
ber-ulang2 ia kena didepak dua kali dipahanya.
Melihat pemuda itu sudah pasti bukan tandingan musuh, kembali Ban Cin-san
membentak lagi: "Mundurlah Tik-hiantit, engkau tak dapat menangkan dia!"
Namun watak Tik Hun sangat bandel, teriaknya: "Tak bisa menang juga mesti lawan
dia!" Tapi "blang", kembali dadanya kena digenjot sekali lagi.
Menyaksikan sang Suko berulang kali dihajar musuh, Jik Hong menjadi ikut kuatir,
segera iapun berseru: "Suko, berhentilah kau, biar Ban-supek yang bereskan
keparat itu!" Akan tetapi Tik Hun masih terus menyeruduk maju dengan mati2an sambil membentak2: "Aku tidak takut, aku tidak takut!"
"Crot", batang hidung Tik Hun tepat kena ditoyor musuh, karuan saja terus keluar
kecapnya. Ban Cin-san mengkerut kening melihat kebandelan pemuda itu, katanya kepada Jik
Tiang-hoat: "Sute, dia tidak mau menurut perintahku, harap engkau suruh dia
mundur." "Biar, dia tahu rasa dulu, sebentar aku yang maju untuk melayani Jay-hoat-toacat (bajingan perusak wanita) itu!" sahut Tiang-hoat.
Pada saat itulah tiba2 dari luar berjalan masuk seorang pengemis tua yang
bermuka kotor, baju dekil dan rambut kusut, sebelah tangannya membawa sebuah
mangkok butut, tangan lain memegang tongkat bambu dengan suaranya yang serak2
lemah sedang me-minta2: "Kasihan, tuan! Hari ini tuan besar ada hajat, sudilah
memberi sedekah barang sesuap nasi!"
Tapi karena perhatian semua orang sedang dicurahkan untuk mengikuti pertarungan
Tik Hun yang mati2an sedang melawan Lu Thong, maka tiada seorangpun yang gubris
pada pengemis tua itu "Kasihlah, tuan! Hamba sudah kelaparan. Kasihlah tuan!" demikian pengemis itu
me-rintih2 pula sambil maju lebih dekat.
Se-konyong2 pengemis itu terpeleset oleh kotoran yang berlumuran dilantai itu,
ia menjerit dan jatuh kedepan, tangannya kelabakan se-akan2 dipakai menahan
kelantai, dan karena itu mangkok dan tongkat bambu yang dipegangnya itu ikut
mencelat dari cekalannya.
Aneh juga dan secara sangat kebetulan, mangkok itu dengan tepat kena timpuk di
"Ci-sit-hiat" ditengkuk Lu Thong, sedangkan tongkat bambu itu juga menutuk
"Kiok-coan-hiat" dibalik lutut.
Seketika Lu Thong merasa kakinya menjadi lemas dan tekuk lutut kelantai,
berbareng antero tubuhnya terasa linu pegal se-akan2 kehabisan tenaga.
Kesempatan itu tidak di-sia2kan oleh Tik Hun, kedua kepalannya bekerja susulmenyusul, "blang-bleng" dua kali, badan Lu Thong segede kerbau itu kena dihantam
mencelat dan tepat jatuh tengkurap ketengah pecomberan yang dibawanya sendiri
tadi. Perubahan itu sungguh diluar dugaan siapapun juga hingga semua orang ternganga
heran. Sementara itu Lu Thong telah merangkak bangun dengan malu, tanpa menghiraukan
lagi badannya yang bersemir "emas" itu, dengan sipat kuping ia berlari pergi.
Semua tetamu ter-bahak2 geli, be-ramai2 merekapun mem-bentak2: "Tangkap dia.
Jangan lepaskan!" "Cegat bajingan itu, tangkap!"
Sudah tentu gemboran orang2 itu hanya sebagai gertakan belaka, tapi Tik Hun
sangka sungguh2, iapun ikut berteriak: "Bangsat, ganti dulu baju guruku!"
Sembari berteriak, terus saja ia hendak mengejar benar2. Tapi baru dua langkah,
tiba2 lengannya terasa dipegang orang dengan kuat hingga takbisa berkutik. Waktu
berpaling, ia lihat orang yang memegangnya itu adalah sang guru.
"Kemenanganmu hanya secara kebetulan, masih kau hendak mengejar apa?" kata Jik
Tiang-hoat. Jik Hong lantas keluarkan saputangannya untuk mengusap darah dimuka Tik Hun.
Ketika melihat baju baru sendiri juga penuh berlepotan darah, Tik Hun menjadi
kuatir, serunya: "Wah, cialat, bajuku juga kotor!"
Dalam pada itu sipengemis tua tadi tampak sedang berjalan keluar sambil
mengomel: "Minta nasi tidak dapat, malahan kehilangan mangkok!"
Tik Hun tahu sebabnya bisa menangkan Lu Thong tadi adalah berkat jatuhnya
pengemis itu. Maka cepat ia merogoh keluar segenggam mata uang, ia lari
mendekati pengemis itu dan taruh uangnya ditangan sipengemis.
"Terima kasih, terima kasih!" kata pengemis itu sambil berjalan pergi.
Malamnya Ban Cin-san mengadakan perjamuan makan besar2an untuk menghormati tamu
yang datang dari berbagai tempat.
Ditengah perjamuan sudah tentu banyak orang membicarakan kejadian lucu disiang
hati itu. Semuanya menyatakan rejeki Tik Hun sangat baik, sudah terang akan
kalah, kebetulan datang seorang pengemis dan jatuh terpeleset hingga perhatian
Lu Thong terkacau dan kena dirobohkan Tik Hun.
Ada pula yang memuji nyali Tik Hun sangat besar, meski semuda itu, namun sudah
berani menempur berpuluh jurus melawan seorang tokoh terkemuka seperti Lu Thong
itu. Sudah tentu ada juga yang menyatakan kemenangan siang tadi adalah berkat
Ho-ki tuan rumah yang panjang umur, kalau tidak, masakah begitu kebetulan datang
seorang pengemis dan terpeleset jatuh, lalu musuh dapat dienyahkan.
Dan karena semua orang ramai membicarakan kemenangan Tik Hun itu, dengan
sendirinya membikin kedelapan muridnya Ban Cin-san merasa risih. Kedatangan Lu
Thong itu sebenarnya hendak menuntut balas kepada Ban Cin-san, tapi anak murid
keluarga Ban tidak maju, sebaliknya seorang murid Susiok yang ke-tolol2an model
anak desa itu telah maju dan melabrak musuh. Diam2 hati kedelapan murid Ban Cinsan itu sangat mendongkol, tapi toh tidak terlampiaskan.
Kedelapan murid Ban Cin-san itu menurut urut2an masing2 bernama Loh Kun, Ciu
Kin, Ban Ka, Sun Kin, Bok Heng, Go Him, Pang Tan dan Sim Sia. Maka sesudah Ban
Cin-san sendiri menyuguhkan arak kepada para tetamu, kemudian bergiliran anak
muridnya yang menyuguhkan arak kepada tetamu2 itu semeja demi semeja.
Murid ketiga yang bernama Ban Ka itu adalah puteranya Ban Cin-san sendiri. Ia
Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berperawakan jangkung, mukanya agak kurus, tapi cakap hingga mirip seorang
pemuda hartawan, berbeda seperti Toasuheng dan Jisuhengnya yang lebih gagah dan
kekar. Setiba kedelapan murid Ban Cin-san itu dimejanya Jik Tiang-hoat, habis mereka
menyuguhkan arak kepada sang Susiok, kemudian gilirannya Tik Hun menerima
suguhan mereka. Kata Ban-ka: "Hari ini Tik-suheng telah banyak berjasa bagi ayahku, maka sebagai
penghormatan, Tik-suheng harus menerima suguhan kami berdelapan masing2
secawan!" Dasarnya Tik Hun memang tidak biasa minum arak, jangankan delapan cawan, biarpun
secawanpun sudah cukup membuatnya sinting. Cepatan saja ia goyang2 kedua
tangannya sambil berseru: "Tidak, tidak, aku tidak biasa minum!"
"Siang tadi ayahku berulang tiga kali suruh Tik-suheng mundur. Tapi Tik-suheng
sama sekali tidak gubris, anggap suara ayahku seperti angin lalu saja, sekarang
Tik-suheng tidak sudi pula menerima arak suguhan kami, bukankah engkau terlalu
memandang hina kepada keluarga Ban?"
Tik Hun menjadi bingung, sahutnya gelagapan: "Aku...... aku ti.......
tidak ...." Mendengar nada ucapan Ban Ka itu rada tidak benar, cepat Tiang-hoat menyela:
"Hun-ji, minumlah arak mereka!"
"Tapi..........tapi aku tidak biasa," sahut Tik Hun.
"Minum!" kata Tiang-hoat pula dengan suara tertahan.
Terpaksa Tik Hun menerima suguhan mereka, seorang secawan hingga genap delapan
cawan. Karuan mukanya menjadi merah seketika bagai kepiting rebus, telinganya
men-denging2 dan pikiran kabur...............
Malam itu dalam keadaan layap2 diatas tempat tidurnya, Tik Hun merasa dada,
pundak, paha, tempat2 yang terkena pukulan dan tendangan Lu Thong itu, semuanya
terasa bengkak kesakitan.
Sampai tengah malam, tiba2 terdengar suara orang mengetok daun jendela dan suara
orang memanggil: "Tik-suheng, Tik-suheng!"
"Siapa?" cepat Tik Hun terjaga bangun.
"Siaute adalah Ban Ka, ada sesuatu ingin kubicarakan dengan Tik-suheng, harap
keluar," demikian sahut orang diluar jendela.
Tik Hun tertegun sejenak, lalu iapun bangkit dari tempat tidurnya dan
mengenahkan baju serta sepatu. Waktu ia membuka jendela, tertampaklah diluar
sudah berdiri delapan orang berjajar, setiap orangnya menghunus pedang. Itulah
kedelapan muridnya Ban Cin-san.
"Ada apakah memanggil aku?" tanya Tik Hun dengan heran.
"Sebab kami ingin belajar kenal dengan ilmu pedang Tik-suheng," sahut Ban Ka
dengan jemawa. "Tapi aku sudah dipesan Suhu agar jangan bertanding dengan anak muridnya Bansupek," kata Tik Hun.
"Ha, rupanya Jik-susiok tahu diri juga," jengek Ban Ka.
"Tahu diri, apa maksudmu?" tanya Tik Hun dengan gusar.
"Sret-sret-sret", se-konyong2 Ban Ka melontarkan tiga kali tusukan, ujung
pedangnya selalu menyambar lewat ditepi pipi Tik Hun, selisihnya tiada satu
senti jauhnya. Tik Hun merasakan pipinya dingin2 silir, ia terkejut dan sikapnya agak lucu.
Karuan anak murid Ban Cin-san yang lain ter-kekeh2 geli.
Tik Hun naik darah juga achirnya. Tanpa pikir lagi ia samber pedang yang
tergantung didinding dan melompat keluar jendela.
Ia lihat kedelapan murid paman gurunya itu berwajah jahat semua, diam2 ia
menjadi ragu2 lagi, teringat pula pesan Suhunya agar jangan sekali2 cecok dengan
anak murid Supek. Maka dengan heran iapun menegur: "Sebenarnya kalian mau apa?"
"Tik-suheng," kata Ban Ka sambil sabetkan pedangnya keudara hingga mengeluarkan
suara mendengung, "hari ini kau sengaja menonjolkan diri, apa barangkali kau
sangka keluarga Ban kami sudah kehabisan orang atau kau anggap tiada seorang pun
diantara keluarga Ban yang lebih pandai daripada engkau?"
"Hayo, majulah anak desa!" ejek Ban Ka.
Tanpa bicara lagi pedang Tik Hun terus menusuk.
Tik Hun menggeleng kepala, sahutnya: "Aku hanya minta ganti kerugian kepada
bangsat yang telah bikin kotor baju baru Suhuku itu, ada sangkut-paut apa dengan
kau?" "Hm, dihadapan para tamu kau telah junjung tinggi namamu dan memperoleh pujian
hingga kami berdelapan saudara kehilangan muka, jangankan lagi hendak mencari
makan dikangouw, sekalipun dikota Hengciu ini juga nama kami sudah rusak. Coba,
perbuatanmu harini itu tidakkah keterlaluan?"
Tik Hun menjadi heran, sahutnya bingung: "Mengapa bisa begitu" Aku.......... aku
tidak tahu." ~ Pemuda tani seperti dia sudah tentu ia tidak mengarti seluk-beluk
alasan orang. Loh Kun, itu murid tertua dari Ban Cin-san, menjadi tidak sabar, katanya:
"Samsute, bocah ini pura2 dungu, buat apa banyak bicara dengan dia" Berikan saja
hajaran padanya!" Terus Ban Ka menusukan pedangnya kearah pundak kirinya Tik Hun. Namun Tik Hun
tahu serangan itu cuma pura2 saja, maka diantapi saja tanpa bergerak dan tidak
menangkis. Benar juga Ban Ka lantas menarik kembali pedangnya. Tapi ia menjadi gusar karena
maksudnya diketahui lawan, bentaknya: "Bagus, jadi engkau tidak sudi bergebrak
dengan aku ya?" "Suhu telah pesan agar jangan cekcok dengan anak muridnya Supek," sahut Tik Hun.
"Bret", se-konyong2 Ban Ka menusuk pula dan sekali ini telah kena lengan baju
Tik Hun hingga sobek satu lubang panjang.
Sebagai pemuda tani yang hidupnya sederhana dan hemat, maka terhadap setiap
harta bendanya Tik Hun selalu menjaganya dengan baik, terutama baju barunya yang
baru dibikin dan baru pertama kali ini dipakai, tapi kini telah dirobek orang.
Karuan ia menjadi naik darah juga. "Kau berani merusak bajuku" Hayo, kau harus
ganti!" bentaknya tak tahan lagi.
Namun Ban Ka menjawabnya dengan tertawa dingin sambil menusuk pula dengan
pedangnya kelengan baju yang lain.
Cepat Tik Hun menangkis dengan pedangnya. "Trang", ia sampok tusukan lawan,
menyusul iapun balas menyerang.
Dan sekali kedua pemuda itu sudah mulai bergebrak, segera tercadilah cepat lawan
cepat. Ilmu pedang yang dipelajari kedua orang itu berasal dari satu sumber yang
sama, setelah belasan jurus lagi, semangat tempur Tik Hun semakin kuat, setiap
serangannya selalu mengincar tempat bahaya ditubuh Ban Ka.
Melihat itu, Ciu Kin menjadi kuatir, serunya: "Hai! Apa kau benar2 hendak
mengadu jiwa" Samsute, tidak perlu lagi kau sungkan2!"
Tik Hun terkesiap oleh teguran itu, pikirnya: "Ya, pabila ketelanjur aku
membunuh dia, kan bisa runyam!" ~ Karena pikiran itu, daya serangannya menjadi
kendor. Sebaliknya Ban Ka mendapat hati malah, disangkanya Tik Hun mulai kewalahan, ia
mencecar semakin cepat dengan serangan2 bagus dan lihay.
Ber-ulang2 Tik Hun terdesak mundur, bentaknya: "Hai, aku tidak berkelahi
sungguh2 dengan kau, tapi mengapa engkau begini?"
"Begini apa" Aku ingin melubangi dadamu, tahu?" sahut Ban Ka, tiba2 pedangnya
menusuk pula dengan cepat.
Sambil mengegos, Tik Hun melihat kesempatan baik, cepat pedangnya membalik terus
menabas. Kalau tabasan itu benar2 diteruskan, pundak Ban Ka pasti akan terkupas,
namun Tik Hun telah ayun pedangnya dengan membujur, "plak", pundak Ban Ka hanya
digeblak saja sekali dengan batang pedang.
Dengan kejadian itu Tik Hun anggap kalah-menang sudah terang, tentu Ban Ka akan
mundur teratur, sebab biasanya kalau dia sedang latihan dengan Sumoay, Jik Hong,
Asal salah seorang kena tersenggol senjata lawan, selesailah sudah pertandingan
itu. Tapi Ban Ka tidak mau peduli, dari malu ia menjadi kalap malah, mendadak ia
menusuk pula. Karena tidak ber-jaga2, "crat", Tik Hun merasa pahanya kesakitan
sekali. Maka bersoraklah Loh Kun, Ciu Kin dan lain2, mereka meng-olok2: "Nah, robohlah
sekarang anak desa!"
"Hayo, minta ampun tidak?"
"Huh, murid anak kampung ajaran Jik-susiok tidak lebih cuma beberapa jurus
cakar-kucing seperti ini saja !"
Memangnya Tik Hun sudah gusar karena dilukai, mendengar nama Suhunya dihina
pula, karuan seperti api disiram minyak, dengan murka ia putar pedangnya
menyerang serabutan. Melihat Tik Hun mengamuk seperti banteng ketaton, Ban Ka menjadi jeri malah.
Sejak kecil ia sangat dimajakan orang tua, meski ilmu pedangnya terlatih dengan
bagus, namun menghadapi pertarungan sengit begitu, betapapun belum pernah
dialaminya. Dan karena bingungnya itu, permainan pedangnya menjadi kacau.
Diantara murid2 Ban Cin-san itu, Bok Heng adalah yang paling cerdik. Melihat
Samsuhengnya kececar, segera ia jemput sepotong batu dan menimpukan sekuatnya
kepunggung Tik Hun. "Plok", Tik Hun yang lagi pusatkan perhatiannya untuk merangsak Ban Ka,
punggungnya menjadi kesakitan tertimpuk batu itu.
Ia menoleh sambil memaki: "Tidak tahu malu! Main membokong, huh!"
"Ada apa" Kau bilang apa?" Bok Heng berlagak pilon.
Namun Tik Hun sudah nekad, ia pikir biarpun mereka berdelapan maju semua juga ia
akan lawan mati2an untuk menjaga nama baik gurunya. Saking kalapnya permainan
Tik Hun menjadi tak karuan.
Namun kesempatan itu tidak berani digunakan Ban Ka untuk menyerang.
Tiba2 Bok Heng mengedipi Laksute Go Him, katanya: "Ilmu pedang Samsuheng terlalu
hebat, anak desa ini sudah kewalahan, kalau jiwanya sampai melayang, tentu kita
akan dimarahi Jik-susiok, marilah kita berdua maju untuk menjaga segala
kemungkinan!" Go Him paham maksud Gosuhengnya itu, sahutnya: "Benar, kita harus hati2, jangan
sampai pedang Samsuheng mencelakai anak kampung itu."
Berbareng mereka terus melompat maju, tapi pedang mereka terus menusuk Tik Hun
dari kanan-kiri Memangnya ilmu pedang Tik Hun tidak banyak lebih unggul daripada Ban Ka, cuma ia
merangsak dengan mati2an, maka Ban Ka terdesak.
Tapi kini dikeroyok Bok Heng dan Go Him pula, dengan satu lawan tiga, tentu saja
ia kerepotan, segera paha yang lain tertusuk lagi. Luka sekali ini sangat berat,
ia takbisa berdiri tegak lagi dan jatuh terduduk, namun pedangnya masih terus
dilancarkan. Tiba2 Lok Kun mendengus, sekali kakinya melayang, pedang Tik Hun kontan
terpental dari cekalan. Terus saja Ban Ka ancam tenggorokan Tik Hun dengan ujung
pedangnya, sedang Bok Heng dan Go Him ter-bahak2 sambil melompat mundur.
"Sekarang aku takluk tidak, anak desa?" tanya Ban Ka dengan senang.
"Takluk kentutmu!" semprot Tik Hun. "Kalian berempat mengeroyok aku, terhitung
orang gagah macam apa?"
"Kau masih berani mengoceh?" teriak Ban Ka dengan gusar sambil surung sedikit
pedangnya hingga ujungnya masuk beberapa mili didaging leher Tik Hun. "Hm asal
sedikit kutusukkan lagi, tenggorokanmu seketika akan putus!"
"Tusuklah, tusuklah lekas, kalau tidak berani, kau sendiri adalah anak kura2,"
seru Tik Hun. Karuan Ban Ka semakin murka, mendadak ia tendang perut Tik Hun sambil memaki:
"Mulutmu masih berani kotor tidak?"
Tendangan itu membuat isi perut Tik Hun se-akan2 terjungkir balik, hampir2 ia
menjerit, namun ia bertahan sedapat mungkin dan tetap memaki: "Haram jadah, anak
kura2!" Kembali Ban Ka menendang pula, sekali ini kena pilingan Tik Hun hingga matanya
ber-kunang-kunag, hampir2 jatuh kelengar. Ia hendak memaki lagi, namun mulutnya
sudah tak kuasa lagi. "Biarlah harini kuampuni kau, bolehlah kau pergi lapor kepada gurumu, katakanlah
kami mengeroyok dan menghajar kau! Hm, macammu pasti juga akan pakai menangis
segala!" kata Ban Ka.
Memang Ban Ka sangat mengharapkan ucapan seperti itu dari Tik Hun, kembali ia
memancing: "Atau kutambahi sedikit tanda dimukamu, biar gurumu yang akan tanya
padamu." Berbareng ia ayun kakinya lagi menendang mukanya Tik Hun, kontan saja mukanya
matang-biru dan air mata hampir menetes.
"Haha, katanya laki2 segala, begitu saja sudah menangis! Laki2 telah berubah
menjadi wanita!" sindir Bok Heng dengan tertawa.
Hampir meledak dada Tik Hun saking gusarnya. Tempo hari waktu Bok Heng bertamu
kerumah gurunya, Tik Hun telah membelikan arak dan sembelihkan ayam, tapi
pembalasannya sekarang ternyata begitu keji.
"Nah, kau takbisa menangkan aku, boleh juga kau laporkan kepada ayahku agar ayah
memarahi aku untuk melampiaskan rasa dendammu ini," kata Ban Ka.
"Huh, kau sangka semua orang pengecut seperti kau hingga mesti mengadu-biru
kepada orang tua?" sahut Tik Hun.
Ban Ka saling pandang dengan Loh Kun dan Bok Heng, mereka merasa sudah cukup
melampiaskan dongkol mereka harini, segera Ban Ka masukan pedangnya dan berkata
pula: "Anak desa, kalau kulitmu cukup tebal dan ingin dihajar pula, boleh kau
datang kesini lagi besok malam. Sekarang tuan muda ingin pulang tidur dulu!"
Sambil memandangi bayangan kedelapan orang itu, hati Tik Hun menjadi gusar dan
gemas, tapi tidak mengarti pula sebab apakah mereka telah menghajarnya begitu
rupa" Apa barangkali semua orang kota memang jahat begini"
Ia coba merangkak bangun, tapi terasa puyeng kepalanya, kembali ia terduduk.
"Ai, kalau tidak bisa melawan orang, seharusnya lekas menjura dan minta ampun,
tapi kalau dihajar mentah2 seperti ini, bukankah sangat penasaran?" tiba2 suara
seorang menggerundel dibelakangnya.
Tik Hun menjadi gusar, teriaknya: "Biarpun dipukul mati orang, tidak nanti aku
menjura dan minta ampun!"
Waktu ia menoleh, ia lihat seorang tua sedang mendekatinya sambil mem-bungkuk2.
Segera dapat dikenalnya sebagai pengemis tua siang tadi.
"Ai, kalau sudah tua, encok dipunggung selalu kumat saja," demikian pengemis itu
mengomel pula. "Eh, anak muda, maukah kau memijat punggungku ini?"
Memangnya rasa dongkol Tik Hun lagi belum terlampiaskan, masakah kini disuruh
memijat seorang pengemis tua yang kotor" Namun karena wataknya peramah, maka
permintaan pengemis itu tak digubrisnya.
"Ai, dasar orang tidak punya anak-cucu, sesudah tua, tiada seorangpun yang sudi
memperhatikan aku, oh........uh........" sambil me-rengek2 pengemis itupun
bertindak pergi. Watak Tik Hun memang polos dan welas asih, ia lihat pengemis itu menggigil
sangat menderita. Apalagi orang desa sangat mengutamakan gotong-royong, saling
bantu-membantu kalau ada kesukaran, ditambah lagi barusan dirinya habis dihajar
orang, maka timbul juga rasa senasib dan sependerita.
Segera serunya: "Oi, aku masih punya beberapa picis, ambillah ini untuk membeli
nasi!" Dengan ber-ingsut2 pengemis itu mengesak kembali untuk menerima pemberian Tik
Hun itu, tiba2 katanya pula: "Anak muda, punggungku benar2 encok, sudilah engkau
meng-ketuk2nya?" "Kurangajar", pikir Tik Hun, "sudah dikasih hati, ingin merogoh rempela pula".
Tapi dasarnya dia memang ramah, segera katanya: "Baiklah, tunggu dulu aku
membalut luka dikakiku ini."
"Huh, kau cuma pikirkan kepentingan sendiri dan tidak peduli urusan orang lain,
terhitung orang gagah macam apa?" jengek pengemis itu.
Karena pancingan kata2 itu, terus saja Tik Hun berseru: "Baiklah, sekarang juga
aku ketuk punggungmu."
"Ehm, enaknya, hayolah keras sedikit!" kata pengemis itu.
Tik Hun menurut, ia memukul sedikit keras. Tapi pengemis itu merasa kurang keras
pula, segera Tik Hun tambahi tenaganya.
Namun pengemis itu masih belum puas, katanya: "Ai, anak yang tak berguna. Baru
saja dihajar orang begitu sudah kehilangan tenaga, cuma mengetuk punggung orang
tua saja tidak kuat. Huh, orang begini buat apa lagi hidup dunia ini?"
Tik Hun menjadi gusar, katanya: "Kalau kukeluarkan tenaga, mungkin beberapa
kerat tulangmu yang sudah lapuk ini bakal berantakan!"
"Kalau engkau beanr2 mampu meremukan tulangku yang lapuk ini, tentu kau takkan
kena dihajar orang seperti tadi," ujar sipengemis dengan tertawa.
Dengan mendongkol benar2 Tik Hun mengetuk se-keras2nya.
"Nah, beginilah baru mendingan! Tapi toh masih kurang!"
"Blang", mendadak Tik Hun menghantam keras2.
"Ah, masih kurang, masih kurang keras, percuma!" kata sipengemis dengan tertawa.
"Jangan engkau bergurau, Laupek, aku tidak ingin melukai engkau," ujar Tik Hun.
"Hm, macammu juga mampu melukai aku?" jengek sipengemis. "Kenapa kau tidak coba2
hantam aku sepenuh tenagamu...."
Dengan dongkol segera Tik Hun kerahkan tenaga ditangan kanan terus hendak
menggebuk kepunggung orang, tapi demi nampak keadaan pengemis itu sudah loyo, ia
menjadi tidak tega, katanya: "Ah, buat apa main2 dengan kau."
Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lalu perlahan pula ia mengetuk punggung orang.
Diluar dugaan, entah mengapa mendadak tubuhnya terpental, "bluk", ia terbanting
ke-semak2 rumput sana hingga kepala puyeng dan mata ber-kunang2, sampai lama
baru ia sanggup merangkak bangun. Namun Tik Hun tidak marah, sebaliknya ia terheran2, ia pandang si pengemis itu dengan tercengang. Tanyanya kemudian:
"Apakah........apakah engkau yang membanting aku?"
"Disini toh tiada orang ketiga, kalau bukan aku, siapa lagi?" sahut pengemis
itu. "Dengan cara bagaimana engkau membanting aku?"
"Dengan jurus 'Ki-thau-bong-beng-goat, keh-thau-su-ko-hiang' (mendongak
memandang rembulan, menunduk merindukan kampung halaman)!" sahut sipengemis.
"Aneh, bukankah itu adalah jurus ilmu pedang yang diajarkan Suhu kepadaku,
dari.........darimana engkau tahu?"
"Ilmu pukulan atau ilmu pedang semuanya sama. Lagipula cara mengajar gurumu itu
hakikatnya salah," Tik Hun menjadi gusar: "Manabisa guruku salah" Hm, pengemis tua seperti kau juga
berani mencela guruku?"
"Habis, bila memang benar ajaran gurumu, mengapa kau dihajar orang?"
"Aku dikeroyok, dengan sendirinya kewalahan. Coba kalau satu-lawan-satu, masakan
aku kalah?" "Hahaha!" sipengemis tertawa. "Berkelahi masakah pakai aturan segala" Biar kau
ingin 'main single', kalau musuh tidak mau, kau bisa berbuat apa" Achirnya kau
tentu dihajar setengah mati hingga minta ampun. Tapi kalau seorang diri dapat
mengalahkan sepuluh atau duapuluh orang, itulah baru gagah."
Benar juga, pikir Tik Hun, tapi katanya pula: "Mereka adalah anak murid Supek,
kepandaian Kiam-hoat mereka tidak banyak selisih daripada aku, aku dikeroyok
delapan orang, sudah tentu aku kalah."
"Umpama aku ajarkan beberapa jurus agar engkau seorang dapat mengalahkan mereka
berdelapan, kau mau belajar tidak?"
"Mau, mau!" seru Tik Hun kegirangan. Tapi lantas terpikir olehnya didunia ini
masakah ada kepandaian sehebat itu, apalagi pengemis ini sudah tua dan kotor,
tidak mirip seorang berilmu.
Tengah ia ragu2, se-konyong2 tubuhnya terpental lagi, sekali ini sampai
berjumpalitan dua kali diudara hingga mencelat lebih tinggi barulah kemudian
terbanting kebawah terlebih keras. Masih Tik Hun berusaha hendak menahan dengan
tangannya, hampir2 ruas tulangnya keseleo.
Ketika merangkak bangun, sakitnya tak terkatakan. Tapi girangnya dalam hatipun
tak terhingga, serunya: "Lau-pekpek, aku.......... aku ikut belajar padamu."
"Harini biar kuajarkan beberapa jurus padamu, besok malam kau berkelahi lagi
dengan mereka disini, kau berani tidak?" tanya pengemis itu.
Tik Hun ragu-ragu, hanya belajar beberapa jurus dalam waktu singkat apa cukup
berguna" Tapi demi terpikir akan berkelahi lagi dengan Ban Ka dan kawan2nya,
semangatnya menjadi ber-kobar2, kontan jawabnya: "Berani, mengapa tidak berani"
Paling banyak aku akan dihajar lagi oleh mereka, kenapa mesti takut?"
Se-konyong2 sipengemis tua mencengkeram tengkuk Tik Hun dan membantingnya
ketanah sambil memaki: "Anak geblek! Sesudah kuajarkan ilmu silat padamu,
masakan engkau akan kena dihajar mereka lagi" Jadi kau tidak percaya pada
kemampuanku, ya?" Meski sangat kesakitan karena dibanting, namun Tik Hun bertambah girang,
sahutnya cepat: "Ya, ya, memang salahku. Hayolah lekas engkau ajarkan padaku!"
"Kau pernah belajar Kiam-hoat, coba pertunjukkan dulu kepadaku, sebutkan
sekalian nama jurus2nya."
"Baik," sahut Tik Hun. Ia menemukan kembali pedangnya yang terpental tadi, lalu
memainkan jurus2 ajaran Jik Tiang-hoat sambil mengucapkan kalimat2 setiap jurus
ilmu pedangnya. Sedang Tik Hun asyik memutar pedangnya, tiba2 terdengar pengemis tua itu ketawa
ter-bahak2. Tik Hun menjadi heran dan berhenti, tanyanya: "Ada apa" Barangkali permainanku
salah?" Namun pengemis itu tidak menjawab, sebaliknya ia masih tertawa sambil pegang
perutnya hingga menungging saking gelinya.
Mau-tak-mau Tik Hun menjadi dongkol, katanya: "Seumpama permainanku salah, toh
juga tidak perlu ditertawai."
Mendadak pengemis itu berhenti ketawanya, katanya dengan gegetun: "Ai, Jik
Tiang-hoat, jerih-payahmu ini memang baik juga maksudnya, cuma sayang terlalu
cetek sekolahmu, maka telah salah tampa."
"Suhuku adalah petani, memangnya tidak banyak huruf yang dikenal, apanya yang
mesti ditertawai?" ujar Tik Hun.
"Coba pinjamkan pedangmu," pinta sipengemis.
Tik Hun sodorkan pedangnya. Dan sesudah memegang pedang, pelahan2 pengemis itu
menyebut: 'Koh-hong-hay-siang-lay, Ti-heng-put-kam-koh!"
Berbareng iapun putar pedangnya dengan gesit, hanya sekejap saja se-akan2 sudah
berubah seorang lain, bukan lagi seorang pengemis tua dan loyo.
Setelah menyaksikan beberapa jurus, tiba2 Tik Hun seperti tersadar, katanya:
"Lau-pek, waktu aku menempur si Lu Thong tadi, apakah engkau sengaja menimpukan
mangkokmu untuk membantu aku?"
"Masakah perlu menanya lagi?" semprot sipengemis dengan gusar. "Liok-hap-kun Lu
Thong itu lebih lihay sepuluh kali daripada bocah tolol macammu ini, kalau
melulu sedikit kepandaianmu masakan mampu mengenyahkan dia?"
Sembari berkata, ia lalu mainkan pedangnya dengan cepat.
Tik Hun mendengar istilah2 setiap jurus ilmu pedang sipengemis toh sama saja
dengan ajaran gurunya, hanya lafalnya saja agak sedikit berbeda, tapi gerak
pedangnya mirip benar. Makin dilihat makin heranlah ia.
Tiba2 tangan kiri sipengemis menjulur kedepan dengan gerakan pedang, menyusul
pedang ditangan kanan mendadak disodorkan ke tangan kiri itu, saat lain tangan
kanan membalik "plak" ia tampar pipi Tik Hun sekali.
Karuan Tik Hun kaget, sambil memegangi pipinya yang kesakitan itu ia tanya
dengan marah: "Ken.........kenapa engkau memukul orang?"
"Habis, aku sedang mengajarkan ilmu pedang padamu, sebaliknya engkau mengelamun,
bukankah harus dihajar?"
Tik Hun cukup bijaksana, ia bisa terima alasan itu, sahutnya: "Baik, memang
salahku. Memang aku sangat heran melihat cermat2 setiap jurus yang kau sebut itu
mirip dengan ajaran guruku, cuma perubahan permainan pedangnya yang sangat
berbeda." "Ajaran gurumu lebih bagus atau ajaranku ini lebih bagus?" tanya sipengemis.
"Aku tidak tahu," sahut Tik Hun menggeleng kepala.
Tiba2 pengemis itu melemparkan kembali pedangnya kepada Tik Hun, katanya: "Mari
kita boleh coba2 bertanding."
"Keuletanku terlalu jauh dibandingkan engkau, mana-bisa aku melawan engkau,"
sahut Tik Hun. "Huh, belum keliwat geblek juga engkau ini. Begini saja kita cuma bertanding
tentang gerak serangan dan tidak bertanding tentang kekuatan."
Habis berkata, terus saja ia ayun tongkatnya sebagai pedang dan menusuk kearah
Tik Hun. Otomatis pemuda itu angkat pedangnya menangkis. Tapi mendadak tongkat
si pengemis berhenti ditengah jalan, karena itu, Tik Hun lantas tarik pedangnya
untuk balas menusuk. Tak tersangka baru saja pedangnya bergerak, tahu2 tongkat sipengemis sudah
seperti pagutan ular cepatnya menusuk kedepan dan tepat kena tutuk dibahunya.
Sungguh kagum Tik Hun tak terhingga, serunya memuji: "Bagus!" Menyusul pedangnya
lantas menabas lagi. Namun pengemis itu sempat putar tongkatnya dan tepat menahan dibatang pedang Tik
Hun, sekuatnya Tik Hun mendorong senjatanya kedepan, tapi tongkat sipengemis
selalu berputar hingga tenaga dorongannya itu kena dikesampingkan kearah yang
berlawanan. Karena itu, cekalan Tik Hun menjadi kendor dan tahu-tahu pedangnya
mencelat ke udara. Tik Hun terkesima, katanya kemudian: "Laupek, ilmu pedangmu memang sangat
tinggi." Waktu tongkat pengemis itu menjulur, pedang yang jatuh dari udara itu tepat kena
diraihnya kembali. Lalu katanya: "Sebenarnya gurumu sangat giat melatih silat,
salahnya cuma terlalu sedikit ia bersekolah. Justru ilmu pedang dari perguruanmu
ini sangat berlainan dengan ilmu pedang umumnya di dunia persilatan, yaitu
sangat mengutamakan pemikiran. Sama2 mempelajari satu macam Kiam-Hoat, ada yang
berlatih puluhan tahun, hasilnya cuma biasa saja. Sebaliknya ada yang dapat
memahami intisarinya, dalam waktu satu dua tahun sudah menjadi ahli pedang
terkemuka." Seperti paham seperti tidak Tik Hun oleh uraian itu, namun ia suka
mendengarkannya. "Kiam-hoat dari perguruanmu ini, setiap jurusnya adalah perubahan dari sesuatu
bait syair kuno," demikian sipengemis menerangkan pula. "Umpamanya jurus 'Kohhong-hay-siang-lay, Ti-heng-put-kam-koh' tadi, artinya mengatakan ada seekor
burung terbang sendiri dari lautan, terhadap telaga atau rawa2 di daratan tak
dihinggapinya. Syair ini adalah ciptaan Thio Kiu-ling, itu perdana mentri di
jaman ahala Tong. Dari bait-bait syairnya itu telah diciptakan menjadi jurus
ilmu pedang. Tapi gurumu telah ajarkan kau dengan 'Koh-hong-han-siang-lay, Siheng-put-kam-koh'. Bait pertama artinya berubah menjadi orang berteriak2 dan
bait berikut berarti orang ketakutan. Sudah tentu arti sebenarnya dari ilmu
pedang yang tinggi itu lantas menyeleweng 180 derajat."
Dengan kikuk Tik Hun mendengarkan uraian itu, ia tahu penjelasan orang tua itu
sangat jitu, tapi biasanya ia sangat hormat dan cinta pada gurunya, kini
mendengar sang guru dicela habis2an, betapapun ia tersinggung juga.
Tiba2 ia berbangkit, katanya: "Sudahlah, aku hendak pergi tidur, tidak mau
belajar lagi!" "Lho, kenapa" Apakah uraianku tidak betul?" tanya sipengemis dengan heran.
"Mungkin benar juga uraianmu itu," sahut Tik Hun dengan marah2. "Tapi engkau
mencela kesalahan guruku, maka lebih baik aku tidak belajar."
"Hahaha!" sipengemis ter-bahak2 sambil mengusap kepala Tik Hun. "Bagus, bagus!
Hatimu ternyata sangat jujur, aku paling suka orang macam kau. Baiklah aku
mengaku salah padamu, selanjutnya aku takkan meyinggung lagi nama gurumu, puas
tidak?" Dari marah Tik Hun berubah girang, sahutnya: "Baiklah, asal engkau tidak
menyebut guruku, biarpun aku menjura padamu juga boleh." Habis berkata, benar
juga ia terus menjura beberapa kali.
Dengan tersenyum simpul sipengemis terima penghormatan itu, lalu ia mengulangi
lagi sejurus demi sejurus untuk memberi penjelasan kepada Tik Hun. Ia benar2
tidak menyinggung lagi namanya Jik Tiang-hoat, tapi hanya membetulkan kesalahan
Tik Hun saja. Begitulah yang satu mengajar dan yang lain mendengarkan, tanpa
terasa suara ayam jago berkokok sudah terdengar, fajar sudah hampir menyingsing.
Maka berkatalah pengemis itu akhirnya: "Sekarang akan kuajarkan tiga jurus
kepandaian istimewa kepadamu, besok kau ajak berkelahi lagi dengan kedelapan
anak tak genah itu. Nah, ingatlah baik2!"
Semangat Tik Hun terbangkit, dengan cermat ia mengikuti gerak tongkat pengemis
itu. jurus pertama adalah "Ji-koh-sik" atau gaya menusuk bahu, yaitu seperti
sipengemis menusuk bahunya Tik Hun tadi dengan tongkat. Kalau musuh tidak
menyerang dan melainkan berjaga diri saja, tusukan itu takkan berguna. Tetapi
bila musuh bergerak, maka tusukan kilat itu pasti akan mengenai bahu musuh lebih
dulu. Jurus kedua adalah "Ni-kong-sik", gaya menampar pipi, caranya persis seperti apa
yang telah dirasakan juga oleh Tik Hun tadi, yaitu pedang berpindah ketangan
kiri, tangan kanan terus membalik dan menampar.
Jurus ketiga bernama "Gi-kiam-sik" atau gaya menanggalkan pedang lawan, sekali
pedang menempel pedang lawan, diputir terus dicukit, caranya juga sudah dialami
Tik Hun tadi. Sebenarnya ketiga jurus itu masing2 mempunyai nama yang indah berasal dari bait2
syair kuno. Tapi pengemis tua itu tahu Tik Hun tidak banyak makan sekolahan,
maka sengaja diberinya nama2 sederhana yang mudah diingat.
Biarpun Tik Hun bukan anak cerdas, tapi mempunyai tekad yang teguh. Ketiga jurus
itu berulang kali dilatihnya selama lebih satu jam barulah paham benar2.
"Baiklah sekarang," kata sipengemis dengan tertawa. "Dan kau harus berjanji
sesuatu padaku, yaitu kejadian malam ini aku mengajarkan Kiam-hoat padamu tidak
boleh engkau katakan kepada siapapun juga, sekalipun gurumu juga tidak boleh."
Tik Hun menjadi serba sulit untuk menjawab. Biasanya ia sangat menghormati sang
guru, terhadap sang Sumoay yang cantik itupun sudah lama dicintainya, segala apa
biasanya pasti dikatakan kepadanya. Kini disuruh tutup mulut kepada kedua orang
itu, keraguan ia ragu2. "Tentang sebab musababnya seketika susah kuterangkan," kata si pengemis pula.
"cuma rahasia malam ini kalau kau bocorkan, jiwaku tentu berbahaya, pasti aku
akan mati dibawah tangannya Ban Cin-san."
Tik Hun terkejut, tanyanya heran: "Lau-pek, ilmu silatmu setinggi ini, mengapa
jeri pada Supekku?" Namun pengemis itu tidak menjawab dan bertindak pergi sambil berkata: "Kau akan
bikin celaka aku atau tidak terserahlah kepada dirimu sendiri."
"Tidak," seru Tik Hun sambil lari menyusul sipengemis, "aku Tik Hun pasti takkan
melupakan budimu, kalau aku membocorkan rahasia ini sekecap saja, biarlah aku
dikutuk langit dan bumi."
Pengemis tua itu tidak berhenti, hanya sekejap saja sudah menghilang dalam
kegelapan. Tik Hun ter-mangu2 sejenak ditempatnya, kemudian ia menjadi teringat belum lagi
menanya siapa nama pengemis tua itu. Namun orang tua itu sudah tak kelihatan
lagi........... Besok paginya, ketika Jik Tiang-hoat melihat muka sang murid itu matang-biru, ia
menjadi heran, ia tanya: "Engkau berkelahi dengan siapa, mengapa abuh begitu
rupa?" Dasar Tik Hun memang tidak biasa berdusta, maka ia menjadi gelagapan.
Syukur Jik Hong keburu menyela: "Ha, tentu karena kena pukulan bangsat Lu Thong
itu kemarin." Sudah tentu Jik Tiang-hoat tidak pernah menduga apa yang terjadi semalam, maka
iapun tidak menanya lebih jauh.
Kemudian Jik Hong menarik Tik Hun kesamping rumah, setiba dipelataran, dimana
terdapat sebuah sumur, karena tiada orang lain lagi di sekitar situ. Jik Hong
ajak sang Suheng berduduk di tepi perigi itu, lalu tanyanya: "Suko, semalam
engkau berkelahi dengan siapa?"
Sudah tentu Tik Hun gelagapan pula, dan belum ia bersuara Jik Hong sudah berkata
lagi: "Kau tidak perlu membohongi aku. Kemarin waktu kau menempur Lu Thong,
dengan jelas aku menyaksikan pukulan dan tendangannya mengenai badanmu semua,
tapi tiada yang mengenai mukamu."
Tahu kalau tak bisa membohongi sang Sumoay, terpaksa Tik Hun menerangkan
duduknya perkara, ia pikir asal tidak bicara tentang pengemis tua itu kan tidak
apa2. Maka ia pun menjelaskan cara bagaimana ia telah dikeroyok semalam.
Jik Hong menjadi gusar juga mendengar cerita itu, serunya murka: "Jadi mereka
berdelapan mengeroyok engkau seorang" Huh, orang gagah macam apa itu" Marilah
kita mengadu kepada ayah untuk minta keadilan kepada Ban Cin-san"
Saking marahnya sampai sebutan Supek tak digunakan olehnya lagi, melainkan
langsung menyebut namanya.
"Tidak, jangan!" cepat Tik Hun mencegah. "Kalau aku mengadu kepada Suhu,
bukankah malah akan dipandang hina oleh mereka?"
Jik Hong mendengus sekali dan tidak berkata lagi. Ia lihat baju sang Suheng
banyak sobek, ia ikut merasa sayang, segera dikeluarkannya bungkusan benang dan
jarum, terus saja ia menjahitkan baju Tik Hun yang robek itu.
Rambutnya yang meng-gesek2 dipipi Tik Hun itu menjangkitkan rasa risih pemuda
itu, terendus pula bau harumnya badan sigadis, mau tak mau terguncang juga hati
Tik Hun. Malam itu, karena para tamu sudah pulang semua, Ban Cin-san mengadakan satu meja
perjamuan untuk menjamu sang Sute, kedelapan muridnya ikut hadir.
Sesudah saling mengadu cawan, ketika Cin-san melihat bibir Tik Hun bengkak
merah, tidak leluasa untuk makan, segera katanya, "Tik-hiantit, kemarin telah
bikin susah padamu. Marilah ini makanlah yang banyak."
Sembari berkata, ia terus menyumpit sepotong paha ayam ke mangkoknya Tik Hun.
Tiba-tiba Ciu Kin mendengus hina sekali.
Memangnya rasa gusar Jik Hong sudah memuncak, ia menjadi tidak tahan lagi,
segera ia berteriak: "Ban-supek, luka Tik-suko ini bukan karena dipukul Lu
Thong, tapi adalah perbuatan kedelapan muridmu yang terpuji itu."
"Apa katamu?" tanya Ban Cin-san dan Jik Tiang-hoat berbareng dengan kejut.
Sim Sia, itu murid Cin-san kedelapan, usianya paling muda tapi mulutnya paling
tajam, cepat ia mendahului buka suara, "Sesudah Tik-suko menangkan Lu Thong, ia
bilang Suhu pengecut, tidak berani bergebrak dengan musuh, untung ada Tik-suko
yang maju. Mendengar itu, saking tak tahan, kami....."
Wajah Ban Cin-san seketika berubah, tapi ia cukup sabar, dengan tertawa ia
memotong: "Benar, memang berkat bantuan Tik-hiantit hingga kita tidak sampai
dibikin malu musuh."
"Tapi Ban-suheng tidak tahan oleh kesombongan Tik-suko itu, maka lantas ajak
Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bertanding padanya, dan agaknya seperti Ban-suheng mendahului sedikit," kata Sim
Sia. Sungguh gusar Tik Hun tak terkatakan. "Kau....kau ngaco-belo! Kapan aku....."
dasarnya memang tidak pandai bicara, dalam gusarnya ia menjadi lebih gelagapan
lagi. "Ka-ji mendahului sedikit bagaimana?" tanya Cin-san.
Maka berkatalah Sim Sia: "Cara bagaimana semalam Sam-suheng bertanding dengan
Tik-suko kami tidak mengetahui semua. Cuma pagi tadi Ban-suheng menceritakan
kepada kami, katanya Ban-suheng seperti menggunakan jurus.... jurus...."
Ia sengaja menoleh kepada Ban Ka dan menanya: "Ban-suko, jurus apa yang kau
gunakan hingga Tik-suko dikalahkan olehmu?"
Begitulah kedua orang itu sengaja main sandiwara, hingga tentang mereka
berdelapan mengeroyok Tik Hun, mereka cuci tangan dengan bersih. Padahal cara
bagaimana Ban Ka menangkan Tik Hun, orang lain tiada yang menyaksikan,
sebenarnya susah untuk dipercaya. Namun karena yang bicara itu adalah Sim Sia
yang masih ke-kanak2-an dengan sendirinya tiada yang menjangka bocah itu
berdusta. "Kiranya begitu!" Cin-san angguk2 juga oleh keterangan murid2nya itu.
Sebaliknya muka Jik Tiang-hoat merah padam bahna marahnya. Ia gebrak meja sambil
membentak: "Hun-ji, bukanlah sudah kupesan agar jangan cekcok dengan para
Suhengte, kenapa kau telah berkelahi malah?"
Melihat sang guru juga mempercayai ocehan Sim Sia, saking gusarnya sampai Tik
Hun menggigil, katanya dengan tak lampias: "Su.....suhu, aku ti......tidak...."
"Sudah berbuat, masih mungkir?" damperat Tiang-hoat, kontan iapun persen sang
murid sekali tamparan. Seketika pipi Tik Hun merah begap. cepat Jik Hong pun berseru: "Tia, kenapa
engkau tidak tanya lebih jelas duduknya perkara?"
Saking murka, watak dogol Tik Kun lantas kumat, tanpa pikir lagi ia meloncat
bangun, ia samber pedang yang ditaruh dimeja belakangnya dan melompat ketengah
ruangan, teriaknya keras2: "Suhu, Ban Ka itu mengatakan aku ...... aku kalah,
biarlah suruh dia maju lagi sekarang!"
Tiang-hoat menjadi gusar, bentaknya: "Kau mau kembali tempatmu tidak?" Segera
iapun berbangkit hendak menghajar dan meyeret kembali muridnya itu.
Namun Tik Hun sudah kadung kalap, segera ia berteriak-teriak, "Hayolah kalian
delapan orang maju lagi semua. Kalau tidak berani, kalian adalah anak kura2,
haram jadah, anak anjing!" Sebagai anak tani, dalam gusarnya, ia tidak peduli
lagi, semua makian kotor dikeluarkannya semua.
Karuan Ban cin-san mengkerut kening. Katanya kemudian, "Jika begitu, bolehlah
kalian maju untuk mencoba ilmu pedang Tik-suko."
Memangnya kata2 sang guru ini sedang di-tunggu2, tanpa disuruh lagi, segera Loh
Kun berdelapan melolos pedang masing2 dan melompat maju semua hingga Tik Hun
terkurung ditengah. "Bagus!" teriak Tik Hun. "Tadi malam delapan anak anjing mengeroyok aku seorang,
sekarang kembali kedelapan anak anjing lagi...."
"Hun-ji, kau mengoceh apa" Kalau bertanding ya bertanding, apa bertanding
memaki?" bentak Tiang-hoat.
Gusar Ban Cin-san juga tak terkatakan. Ban Ka diantara kedelapan muridnya itu
adalah putra tunggalnya. Kini Tik Hun memaki kalang kabut anak anjing segala,
itu berarti iapun kena dimaki.
Ia lihat kedelapan muridnya mengambil kedudukan mengepung, maka bentaknya: "Tiksuheng memandang rendah pada kita dan berani satu lawan delapan, apakah kita
sendiri juga mesti memandang rendah dirinya sendiri?"
"Ya, para Sute harap mundur dulu, biar aku yang belajar kenal dengan kepandaian
Tik-suheng yang tinggi," kata Loh Kun, murid yang tertua.
Diantara sesama saudara perguruan itu, Bok Heng paling pintar berpikir. Ia tahu
diantara mereka berdelapan, bicara tentang ilmu pedang adalah Sisuheng Sun Kin
yang paling kuat. Semalam ia sudah menyaksikan pertandingan Ban Ka dan Tik Hun,
kepandaian anak desa itu ternyata tidak lemah, apalagi kini dalam keadaan murka,
belum tentu Toasuheng mampu menangkan dia. Maka lebih baik kalau Sun Kin yang
maju, sekali tempur anak desa itu dikalahkan, tentu mulut anak desa itu tidak
berani lagi omong gede. Maka berkatalah Bok Heng: "Toa-suko adalah pemimpin diantara saudara perguruan
kita, buat apa mesti maju sendiri" Biarkan saja Si-suko yang memberi hajaran
kepada bocah itu." Segera Loh Kun dapat memahami maksudnya, sahutnya dengan tersenyum: "Baiklah,
Si-sute, penuhilah tugasmu!"
Berbareng iapun memberi tanda, ketujuh orang lantas melompat mundur, hanya
ketinggalan Sun Kin yang menghadapi Tik Hun.
Sun Kin itu memang pendiam, terkadang sehari suntuk tidak bicara sepatahkatapun, makanya tekun melatih diri dan ilmu pedangnya terhitung nomor satu
diantara para Suhengte. Melihat dirinya dijagoi oleh para Suhengte, segera iapun angkat pedangnya keatas
sambil membungkuk memberi hormat. Gaya ini disebut "Ban-kok-yang-cong-ciu, Ihkoan-pay-bak-liu", yaitu satu jurus pembukaan dengan laku sangat hormat kepada
lawan. Tapi dikala Jik Tiang-hoat memberi penjelasan kepada Tik Hun dulu, seperti juga
jurus2 lainnya, jurus pembukaan inipun telah salah diartikan. Maklum sekolahnya
terbatas. Maka syair yang indah maknanya itu salah dibaca menjadi, "Hoan-kakliang-cong-cau, Ih-koan-pay-ma-liu", artinya aku adalah pihak yang baik dan
engkau adalah orang busuk, kalau lahirnya aku memberi hormat padamu apa artinya"
Aku adalah manusia dan engkau adalah monyet, manusia menghormat pada monyet,
sama seperti menghormat pada binatang. jadi artinya menyimpang 180 derajat.
Karuan Tik Hun menjadi gusar karena dirinya dianggap sebagai monyet. Segera
iapun membungkuk membalas hormat dengan jurus yang sama sebagai tanda bayar
kontan hinaan orang itu. Bahkan sebelum tubuhnya menegak kembali, terus saja
pedangnya menusuk ke perut lawan.
Para murid Ban cin-san yang lain sama menjerit kegat, namun Sun Kin sempat
menangkis juga, "trang", kedua pedang saling bentur dan tangan masing-masing
sama-sama kesemutan. "Lihatlah Suhu, bocah itu keji atau tidak?" seru Loh Kun.
Diam2 Ban Cin-san heran juga mengapa anak desa itu begitu murka dan bertempur
dengan mati2an" Maka terdengarlah suara gemerincing yang riuh. Tik Hun dan Sun Kin saling gebrak
dengan cepat, setelah belasan jurus, sekali pedang Sun Kin tersampok kesamping,
perutnya menjadi luang tak terjaga. Tanpa ayal lagi Tik Hun menusukkan pedangnya
sambil menggertak. Tiba2 Sun Kin tarik pedangnya dan menangkis kebawah, berbareng tapak tangannya
terus menghantam, "plak", dada Tik Hun tepat kena digenjot.
Berbareng anak murid Ban cin-san yang lain bersorak-sorai, ada yang berteriak2:
"Huh, satu lawan satu saja tak mampu, masih omong gede hendak melawan delapan
orang sekaligus!" Karena pukulan itu, Tik Hun terhuyung sedikit, cepat ia tarik pedangnya dan
balas menyerang secepat kilat, se-konyong2 pedangnya menyendal, "crat", tepat
pundak Sun Kin kena tertusuk. Itulah "Ji-koh-sik" atau gaya menusuk bahu, ajaran
sipengemis tua itu. Serangan "Ji-koh-sik" itu datangnya terlalu mendadak sehingga siapapun tidak
menduga sebelumnya. Seketika anak murid Cin-san yang lain mem-bentak2, Loh Kun
dan Ciu Kin terus melompat maju berbareng dan mengerubut Tik Hun. Akan tetapi
pedang Tik Hun kembali menusuk pula kekanan dan menikam kekiri, "crat - crat",
bahu Loh Kun dan Ciu Kin berdua juga tertusuk semua, pedang mereka terjatuh kelantai.
"Bagus!" teriak Ban Cin-san dengan menarik muka.
Dengan menghunus pedangnya, pelahan2 Ban Ka maju ketengah, ia pandang Tik Hun
dengan melotot, se-konyong2 ia membentak dan sekaligus melontarkan tiga tusukan.
Namun semuanya dapat ditangkis Tik Hun dengan baik, tiba2 ia operkan pedang
ketangan kiri, tangan kanan terus membalik dan menampar, "plok", tepat sekali
Ban Ka kena ditempiling. Tamparan Tik Hun ini lebih2 tak terduga oleh siapapun. Dalam kagetnya Ban Ka,
menyusul Tik Hun sudah ayun kakinya pula menjejak dada lawan. Maka Ban Ka tak
tahan lagi, ia jatuh terduduk.
Cepat Bok Heng berlari maju hendak membangunkan sang Suheng. Namun Tik Hun tidak
memberi kesempatan padanya, kontan ia menusuk hingga terpaksa Bok Heng mesti
menangkis. Melihat Tik Hun begitu perkasa, sedangkan Ban Ka sampai muntah darah dan
terduduk dilantai tak sanggup berdiri lagi. Seketika Go Him, Pang Tan dan Sim
Sia bertiga ikut menyerbu maju.
Dalam pada itu demi mendengar suara ribut2 itu, banyak diantara pelayan keluarga
Ban juga berlari keluar untuk melihat apa yang teryadi.
Jik Tiang-hoat sendiri menjadi bingung dan tidak tahu tindakan apa yang harus
diambilnya. Sebaliknya Jik Hong ber-teriak2: "Tia-tia, mereka mengeroyok Tiksuko, lekas, lekas engkau menolong dia!"
Sementara itu terdengarlah suara "crang-creng" yang ramai, sinar tajam
berkilauan, ber-batang2 pedang tampak mencelat jatuh ketengah pelayan2 yang
merubung asyik menonton itu, karuan keadaan kacau-balau, kawanan pelayan itu
berlari kian kemari untuk menghindar.
Hanya sekejap saja senjatanya Bok Heng, Go Him, Pang Tau dan Sim Sia sudah
terlepas dari cekalan oleh "Gi-kiam-Sik" atau gaya melepaskan pedang, yang
digunakan Tik Hun itu. "Bagus, bagus!" tiba2 Ban Cin-san tepuk tangan sambil tertawa, "Wah, Jik-sute,
ternyata engkau sudah berhasil meyakinkan 'Soh-sim-kiam-hoat', Kiong-hi, Kionghi!" Tiang-hoat tertegun, sahutnya kemudian: "Soh-sim-kiam apa katamu?"
"Beberapa jurus yang dikeluarkan Tik-hiantit itu kalau bukan 'Soh-sim-kiam-hoat'
lantas apa lagi?" kata Cin-san. "Kun-ji, Kin-ji, Ka-ji, mundurlah semua. Tiksuheng kalian sudah diajarkan 'Soh-sim-kiam-hoat' oleh Jik-susiok, mana mampu
kalian melawan dia?" Lalu ia katakan pula kepada Jik Tiang-hoat: "Sute, kiranya
engkau cuma pura2 dungu saja, tapi sebenarnya maha pintar!"
Dengan tiga jurus yang dipelajarinya dari pengemis tua itu, dalam sekejap saja
Tik Hun sudah mengalahkan kedelapan lawannya, sudah tentu ia sangat senang. Tapi
karena kemenangannya begitu mudah diperoleh, ia menjadi bingung malah dan kikuk.
Ia pandang Suhu, pandang sang Sumoay dan lain saat pandang2 lagi kepada sang
Supek dengan melongo. Tiba2 Jik Tiang-hoat mendekati Tik Hun, ia ambil pedang dari tangan pemuda itu,
mendadak ujung senjata itu terus diarahkan ketenggorokan sang murid sambil
membentak: "Beberapa jurus tadi engkau dapat mempelajari dari siapa?"
Karuan Tik Hun kaget, sebenarnya ia tidak pernah berdusta, tapi dengan tegas
sipengemis tua itu telah pesan bahwa rahasianya kalau dibocorkan, tentu akan
membahayakan jiwa pengemis itu. Sebab itu pula dirinya sudah bersumpah tidak
akan membocorkannya. Maka sahutnya dengan lancar: "Su.........Suhu, itu adalah
pemi ............. pemikiran Teecu sendiri."
"Kau dapat menciptakan jurus ilmu pedang sebagus itu?" bentak Tiang-hoat pula.
"Kau......... kau berani omong sembarangan padaku" Pabila kau tidak mengaku,
sekali tusuk segera kuhabiskan nyawamu!"
Berbareng ujung pedang lantas disurung maju sedikit hingga nancap beberapa mili
kedalam daging leher Tik Hun, seketika darah merembes keluar.
Cepat Jik Hong lari maju untuk menarik tangan sang ayah, serunya: "Tia,
sejengkalpun Suko tidak pernah berpisah dari kita, darimana dia mendapat ajaran
silat orang lain" Beberapa jurus itu bukankah engkau orang tua yang mengajarkan
padanya?" "Memangnya buat apa kau masih berlagak pilon, Sute," demikian jengek Ban-Cinsan. "Puterimu sendiri sudah cukup jelas mengatakan, apa perlu aku menanya lagi.
Marilah, marilah aku memberi selamat tiga cawan padamu!"
Ia menuang penuh dua cawan arak, ia sendiri meneguk habis dulu secawan, lalu
katanya pula, "Nah, Suhengmu ini sudah mengeringkan cawan lebih dulu, engkau
harus memberi muka padaku."
Jik Tiang-hoat mendengus sekali dan membanting pedang kelantai, lalu menerima
suguhan tiga cawan itu. Ia ter-menung2 ragu2 dan tidak habis mengerti, pikirnya:
"Dikala kepepet, setiap orang memang bisa berlaku nekad dan menjadi lebih
tangkas daripada biasanya. Tapi Hun-ji tadi bukan lagi kekalapan, tapi jurus2
serangannya itu sangat indah dan bagus. Aneh, sungguh aneh."
Ban Cin-san lantas berbangkit, katanya: "Jik-sute, ada suatu urusan ingin
kurundingkan dengan engkau. Marilah kita kekamar baca untuk bicara?"
Tiang-hoat hanya mengangguk dan ikut berbangkit, lalu kedua saudara seperguruan
itu berjalan kekamar baca.
Tinggal diruangan itu kedelapan murid Ban Cin-san masih melototi Tik Hun, namun
Jik Hong lantas tarik sang Suheng duduk kembali ketempatnya tadi.
"Aku hendak buang air! Wah, aku sampai ter-kencing2 oleh kelihayan Tik-suko,"
kata Sim Sia tiba2. "Pat-sute," bentak Loh Kun, "apa belum cukup engkau membikin malu?"
Sim Sia me-melet2 lidah dan meninggalkan ruangan itu. Tapi ia hanya pura2 menuju
kekamar kecil, lalu ia memutar keluar kamar baca dengan ber-jengket2.
Ia dengar suara gurunya sedang berkata: "Jik-sute, rahasia yang sudah terpendam
selama 20 tahun itu barulah hari ini terbongkar."
"Siaute tidak paham, apa artinya terbongkar itu?" terdengar Jik Tiang-hoat
menyahut. "Masakah masih perlu kujelaskan lagi" Coba jawablah, cara bagaimana Suhu
meninggalnya?" "Suhu kehilangan sejilid buku latihan silat, karena di-cari2 tetap tidak ketemu,
beliau menjadi sedih dan achirnya meninggal. Hal ini toh kau sendiri cukup tahu,
mengapa tanya kepadaku?"
"Baik. Lalu tentang kitab yang hilang itu, apakah namanya?"
"Aku justeru pernah mendengar dari Suhu, kitab itu bernama 'Soh-sim-kiam-boh'."
"Soh-sim apa segala, aku tidak paham."
"Hehehe, haha, hehahaha!"
"Apanya yang menggelikan?"
"Jik-sute, lagakmu benar2 sangat pintar. Sudah terang engkau mahir Soh-sim-kiam
itu, tapi kau pura2 dungu".
"Apakah engkau hendak menguji aku?"
"Serahkan sini!"
"Serahkan apa?"
"Kau tahu sendiri, masih pura2 bodoh?"
"Hm, aku Jik Tiang-hoat justeru tidak pernah takut padamu."
Sim Sia menjadi takut mendengar pertengkaran sang Suhu dan Susiok itu, cepat ia
berlari kembali keruangan depan dan membisiki Loh Kun: "Toasuheng, Suhu sedang
bertengkar dengan Susiok, boleh jadi bakal berkelahi."
Loh Kun terkesiap, ia berbangkit dan berkata: "Marilah kita coba pergi
melihatnya!" Maka ber-bondong2 pergilah murid2 Ban Cin-san itu kekamar baca.
"Mari kitapun kesana!" ajak Jik Hong sambil menarik Tik Hun.
Tik Hun mengangguk. Dan baru dia berjalan beberapa tindak, Jik Hong sudah
sodorkan sebatang pedang kepadanya. Waktu menoleh, ia lihat gadis itu membawa
pula dia batang pedang. "Buat apa sampai dua batang?" tanya Tik Hun.
"Ayah tidak membawa senjata!" sahut Jik Hong.
Setiba diluar kamar baca sana, kedelapan muridnya Ban Cin-san tampak sedang
pasang kuping mengikuti apa yang terjadi didalam kamar itu. Jik Hong dan Tik Hun
berdiri agar jauh dan ikut mendengar suara pertengkaran itu.
"Sudah terang sekarang bahwa jiwa Suhu adalah engkau yang membunuhnya," demikian
Ban Cin-san sedang berkata.
"Kentut, kentut busuk! Darimana kau berani sembarangan menuduh aku?" sahut Jik
Tiang-hoat dengan gusar, suaranya kedengarannya sampai serak.
"Habis, Soh-sim-kiam-boh milik Suhu itu bukankah dicuri oleh kau?"
"Aku peduli apa Soh-sim-kiam-boh segala" Kau bermaksud mempitnah aku ya" Huh,
jangan harap!" "Tapi beberapa jurus yang dimainkan muridmu itu bukankah Soh-sim-kiam-hoat" Kau
masih berani membantah?"
"Bakat pembawaan muridku memang pintar, itu adalah hasil pemikirannya sendiri,
bahkan aku sendiripun tidak bisa. Masakah itulah Soh-sim-kiam-hoat segala" Kau
menyuruh Bok Heng pergi mengundang aku, katanya engkau sendiri yang sudah
berhasil meyakinkan Soh-sim-kiam-hoat, benar tidak hal ini" Apa perlu panggil
Bok Heng untuk dijadikan saksi?"
Maka berpalinglah semua orang diluar kamar itu kearah Bok Heng, wajah pemuda itu
tampak merengut, terang apa yang dikatakan Jik Tiang-hoat itu memang tidak
salah. Tik Hun pun saling pandang sekejap dengan Jik Hong dan meng-angguk2, pikirnya:
"Apa yang dikatakan Bok Heng tempo hari akupun ikut mendengar, tidak mungkin ia
bisa menyangkal." Maka terdengar Ban Cin-san telah menjawab dengan ter-bahak2: "Sudah tentu aku
yang suruh Bok Heng menyampaikan kata2 itu kepadamu. Kalau tidak demikian,
masakah aku dapat memancing engkau kesini. Jik Tiang-hoat, ingin kutanya padamu,
kau bilang tidak pernah mendengar nama 'Soh-sim-kiam' segala, tapi mengapa waktu
Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bok Heng mengatakan aku sudah berhasil meyakinkan ilmu pedang itu, buru2 engkau
lantas datang kemari" Nah, apa kau masih berani mungkir?"
"Aha, jadi kau sengaja memancing aku disini?"
"Benar, maka lekas kau serahkan Kiam-boh dan menjura pula kekuburannya Suhu
untuk minta maaf." "Kenapa mesti diserahkan padamu?"
"Hm, aku Toasuhengmu atau bukan!"
Keadaan sunyi sejenak didalam kamar itu, kemudian terdengar suara Jik Tiang-hoat
berkata: "Baik, kuserahkan padamu."
Mendengar itu, semua orang yang mengintip diluar kamar itu tergetar. Tik Hun dan
Jik Hong malu sekali. Loh Kun berdelapan melirik hina pula kearah mereka.
Sungguh gemas dan penasaran sekali Jik Hong, sama sekali tak terpikir olehnya
bahwa sang ayah terima menyerah secara begitu memalukan.
Tapi mendadak terdengarlah suara jeritan ngeri sekali, itulah suaranya Ban Cinsan. "Ayah!" teriak Ban Ka, cepat iapun dobrak pintu kamar dan berlari kedalam.
Maka tertampaklah diatas dada Ban Cin-san tertancap sebilah belati yang
mengkilap, dan orangnya menggeletak bermandikan darah.
Jendela kamar tampak terpentang, namun bayangan Jik Tiang-hoat sudah tidak
kelihatan. "Tia, Tia!" seru Ban Ka dengan menangis sambil menubruk kesamping tubuh sang
ayah. Denagn pelahan Jik Hong pun memanggil: "Tia, Tia!"
Sebaliknya Loh Kun terus berseru: "Lekas, lekas tangkap pembunuh!"
Be-ramai2 para murid Ban Cin-san lantas mengudak keluar sambil ber-teriak2
hendak menangkap pembunuh.
Tik Hun sendiri bingung juga oleh kejadian itu. Ia lihat tubuh Jik Hong agak
sempoyongan, lekas2 dipayangnya.
Waktu menunduk, tertampak wajah Ban Cin-san sangat beringas menakutkan, mungkin
sebelum ajalnya telah menderita kesakitan sekali.
Tik Hun tidak berani memandang lagi, ia mengajak pelahan: "Marilah kita pergi
saja, Sumoay!" Tapi belum lagi Jik Hong menjawab, tiba2 suara orang telah berkata dibelakang
mereka: "Kalian adalah komplotan pembunuh guruku, jangan coba lari!"
Waktu Tik Hun menoleh, ia lihat ujung pedang Bok Heng sudah mengancam di
belakang punggungnya Jik Hong.
Tik Hun menjadi gusar dan hendak menjawab dengan kata2 lebih pedas, tapi demi
mengingat gurunya memang nyata telah membunuh Suheng sendiri, perbuatan durhaka
seperti itu benar2 sangat rendah dan jahat, maka ia tidak berani buka suara lagi
dan menunduk. "Kalian lekas berdiam didalam kamar saja dan janga coba melarikan diri, nanti
kalau kami sudah dapat menangkap Jik Tiang-hoat, sekalian akan kami adukan pada
pembesar negeri," kata Bok Heng.
"Urusan ini adalah gara2ku, biarlah aku yang bertanggung jawab, hendak dikorek
atau disembelih, boleh silahkan, tapi jangan mengganggu Sumoayku yang tak
berdosa," sahut Tik Hun.
"Tak perlu banyak bicara, lekas jalan!" bentak Bok Heng sambil mendorongnya.
Tik Hun dengar diluar sana masih ribut dengan suara teriakan2 menangkap
pembunuh, menyusul dijalan kota sana juga riuh ramai dengan suara gembreng. Malu
dan sesal rasa hati Tik Hun, dengan menahan perasaannya itu segera iapun
melangkah kekamarnya sendiri.
"Suko, lan......lantas bagaimana baiknya ini?" seru Jik Hong dengan menangis
menyaksikan sang Suheng digiring pergi.
"Aku.......aku tidak tahu," sahut Tik Hun tergagap. "Biarlah aku yang menanggung
dosanya Suhu." "Tia-tia!" seru Jik Hong pula. "Ke......kemanakah beliau telah pergi?"
*********** Seorang diri Tik Hun duduk termenung didalam kamarnya, waktu itu sudah dua-tiga
jam sesudah terjadi pembunuhan Ban Cin-san. Sambil memandang api lilin diatas
mejanya, pikiran Tik Hun sangat kusut.
Diatas meja situ masih terdapat sisa setengah botol arak, walaupun tidak biasa,
namun ia terus meneguk secawan demi secawan hingga kepalanya serasa puyeng seakan2 pecah. Sementara itu suara2 ribut diluar sudah sirap, tapi telinga Tik Hun masih
mengngiang2 kata2 orang banyak: "Pembunuh sudah menghilang, biarlah besok kita
kejar ke Ouw-lam, betapapun kita harus menangkapnya untuk membalas sakit hati
Suhu." "Ya, biarpun dia lari keujung langit juga akan kita tangkap kembali untuk
dicincang!" "Besok juga kita lantas undang tokoh2 Bu-lim untuk dimintai keadilan dan
pembunuh pengecut itu harus diuber sampai ketemu."
"Benar, mari kita bunuh dulu kedua anjing kecil puteri dan muridnya itu untuk
dibuat sesajen arwah Suhu."
"Sabarlah, biar besok Koam-thayya (tuan besar Bupati) memeriksa mayat dulu!"
Begitulah Tik Hun terus tenggelam dalam lamunannya. Ia pikir sang Sumoay dapat
disuruh melarikan diri saja, tapi seorang gadis, kalau terluntang-lantung
dikangouw, kemana dia harus meneduh" Pikirnya pula: "Biarlah kubawa lari dia!
Ah, tidak, tidak! Awal perkara ini adalah gara2ku, kalau aku tidak berkelahi
dengan para Suheng dari keluarga Ban, masakah Supek bisa mencurigai Suhu telah
mencuri 'Soh-sim-kiam-boh' segala" Padahal Suhu adalah seorang paling jujur,
tidak mungkin beliau sudi mencuri. Yang benar ketiga jurus itu adalah ajaran
sipengemis padaku. Tapi Suhu sudah kadung membunuh orang, kalau kukatakan
sekarang, tentu juga tiada yang mau percaya. Ya, memang aku yang salah, dosaku
terlalu besar, besok aku harus menerangkan duduknya perkara dihadapan orang
banyak untuk mencuci kesalahan Suhu. Akan tetapi, toh sudah terang Suhu yang
membunuh Ban-supek, apakah dapat dosanya dicuci bersih" Tidak, aku tak boleh
melarikan diri, aku harus tinggal disini untuk memikul dosa Suhu, biar mereka
menghajar dan membunuh aku saja!"
Begitulah sedang Tik Hun dibuai oleh pikiran2 yang ruwet itu, tiba2 terdengar
suara keletak sekali diatas atap rumah. Waktu Tik Hun mendongak, ia lihat
sesosok bayang melayang lewat dari rumah kanan sana kerumah sebelah kiri.
Hampir2 ia berseru memanggil "Suhu", tapi demi diperhatikan, ia lihat perawakan
orang itu tinggi dan kurus, terang bukan gurunya. Menyusul mana kembali suatu
bayangan orang melompat lewat lagi, malahan sekali itu tampak jelas orang itu
menghunus golok. "Apakah mereka sedang mencari Suhu" Mungkinkah Suhu masih berada disekitar sini
dan belum lari pergi?" demikian Tik Hun men-duga2.
Tengah Tik Hun bersangsi, tiba2 didengarnya suara jeritan kaum wanita dari rumah
sebelah kiri sana. Ia terkejut, tanpa pikir lagi ia samber pedangnya terus
melompat keluar. Yang terpikir olehnya yalah: "Mereka sedang menganiaya Sumoay?"
Dalam pada itu terdengar pula jeritan seorang wanita sedang minta tolong! Suara
itu seperti bukan suaranya Jik Hong, tapi Tik Hun terlalu menguatirkan
keselamatan sang Sumoay, ia tidak sempat mem-beda2kan apakah itu suaranya Jik
Hong atau bukan, sekali lompat, ia berdiri tegak diemper rumah, sementara itu
suara minta tolong terdengar lagi.
"Serahkan nyawamu, bangsat!" bentak Tik Hun sambil melompat masuk kedalam kamar
dan menerjang kedua bajingan itu.
Segera Tik Hun melompat kearah datangnya suara, ia lihat diatas loteng gedung
itu ada sinar pelita, daun jendela kamar tampak terbuka. Cepat ia melayang
kepinggir jendela dan melongok kedalam kamar. Kebetulan ia melihat seorang
wanita dalam keadaan terikat sedang ditelentangkan diatas ranjang, dua laki2
yang punggungnya menggemblok golok sedang hendak berbuat tidak senonoh.
Tik Hun tidak kenal siapakah wanita itu, tapi terang wanita itu sangat
ketakutan, wajahnya pucat dan sedang me-ronta2 diatas ranjang sambil ber-teriak2
minta tolong. Tik Hun berjiwa kesatria, meski ia sendiri dalam kesulitan, tapi melihat
keselamatan orang lain terancam, ia tidak dapat tinggal diam. Terus saja ia
melompat masuk kedalam kamar, kontan pedangnya menusuk salah seorang laki2 itu.
Namun laki2 itu cukup gesit, cepat ia berkelit, menyusul ia samber sebuah kursi
disampingnya untuk menangkis. Disebelah sana laki2 yang lain sudah lantas lolos
senjata terus membacok. Tik Hun melihat kedua laki2 itu memakai kedok kain hitam, hanya sepasang mata
mereka yang kelihatan. Segera ia membentak: "Bangsat, serahkan jiwamu!"
Berbareng ia menusuk pula tiga kali be-runtun2.
Tanpa bersuara kedua laki2 itu menangkis dan balas menyerang. Tiba2 satu
diantaranya berseru: "Lu-hiantit, mari pergi!"
"Ya, anggap keparat Ban Cin-san itu masih untung, lain kali kita datang lagi
menuntut balas," sahut laki2 yang lain. Berbareng goloknya lantas membacok pula
keatas kepala Tik Hun. Karena serangan itu cukup ganas, terpaksa Tik Hun mengegos, kesempatan itu telah
digunakan oleh laki2 yang satunya untuk mendepak meja hingga tatakan lilin
diatas meja itu jatuh kelantai dan sirap, seketika kamar itu menjadi gelap
gelita. Menyusul mana kedua laki2 itu lantas melesat keluar melalui jendela,
saat lain terdengarlah suara gemertakan, beberapa potong genting telah
ditimpukan kedalam kamar.
Dalam kegelapan Tik Hun kurang celi, pula ilmu Ginkang bukan menjadi
kemahirannya, maka iapun tidak berani mengejar. Ia pikir salah seorang tadi she
Lu, tentu adalah begundalnya Lu Thong yang hendak membalas dendam, tapi mereka
tidak tahu kalau Ban-supek sudah tewas.
Pada saat itu, tiba2 wanita diatas ranjang itu menjerit lagi: "Aduh, sakitnya,
matilah aku, dadaku tertancap belati!"
Tik Hun terkejut, cepat tanyanya: "He, apa kau telah ditikam maling itu?"
"Aduh, kena! Dadaku kena!" rintih wanita itu.
"Biar kunyalakan lilin untuk memeriksa lukamu," ujar Tik Hun.
"O.......tolong! Tolonglah aku, lekas!" rintih pula siwanita.
Mendengar suara orang sangat menderita, segera Tik Hun mendekatinya.
Diluar dugaan, mendadak wanita itu terus merangkul erat2 tubuhnya Tik Hun sambil
ber-teriak2: "Tolong, tolong! Ada maling! Tolong!"
Sungguh kejut Tik Hun tak terkira. Sudah terang tadi ia melihat wanita itu
terikat kaki-tangannya, mengapa sekarang dapat menyikapnya" Lekas2 ia hendak
mendorong pergi orang, siapa tahu tenaga wanita itu ternyata tidak lemah, bahkan
menyikap lebih kencang hingga seketika Tik Hun susah melepaskan diri.
Tiba2 keadaan menjadi terang, dari luar jendela menyelonong masuk dua obor
hingga kamar itu terang-benderang. Berbareng suara beberapa orang sedang
menanya: "Ada apa" Ada apa?"
"Tolong! Ada Jay-hoa-cat (maling cabul)! Tolong!" masih wanita itu ber-teriak2.
Tik Hun menjadi gusar, serunya: "Ken.......kenapa kau sembarangan omong!"
Berbareng iapun men-dorong2 hendak melepaskan diri. Kalau tadi wanita itu
menyikap kencang2 pinggangnya Tik Hun, adalah sekarang ia malah menolak dorongan
Tik Hun itu sambil berseru: "Jangan pegang2, jangan pegang2 aku!"
Dan selagi Tik Hun hendak berlari menyingkir, "nyes" tahu2 tengkuknya terasa
dingin, sebatang pedang telah mengancam lehernya. Dan sedang Tik Hun hendak
membela diri, se-konyong2 sinar putih berkelebat, ia merasa tangan kanan
kesakitan, "trang" pedangnya sudah jatuh kelantai.
Waktu ia memandang kebawah, hampir2 ia jatuh kelengar. Ternyata kelima jari
tangan kanannya telah dipapas orang hingga habis, darah memancur keluar bagai
mata air. Waktu Tik Hun melirik, ia lihat Go Him berdiri disampingnya sambil menghunus
pedang yang bernoda darah.
"Kau!" hanya ini saja tercetus dari mulutnya Tik Hun, berbareng kakinya terus
mendepak. Tapi mendadak punggungnya terasa digebuk orang sekali hingga ia ter-huyung2 dan
jatuh menindih diatas badan wanita tadi.
Kembali wanita itu ber-teriak2 pula: "Aduh! Tolong! Tolong! Ada maling!"
"Ringkus bangsat kecil ini!" terdengar Loh Kun berkata.
Tik Hun sudah nekad dan akan mengadu jiwa dengan mereka. Meski dia cuma seorang
anak desa yang tidak berpengalaman, tapi kini iapun insyaf dirinya telah
terjebak oleh tipu muslihat orang. Maka begitu melompat bangun, terus saja Loh
Kun hendak dirangsangnya. Tapi sekilas dilihatnya satu wajah yang cantik dan
pucat. Itulah Jik Hong. Tik Hun tertegun, ia lihat mimik wajah Jik Hong penuh mengunjuk rasa duka,
marah, dan hina pula. "Sumoay!" serunya.
Muka Jik Hong merah padam, sahutnya: "Ken........kenapa kau berbuat begini?"
Meski rasa Tik Hun penuh penasaran, namun dalam saat demikian ia menjadi tidak
sanggup buka suara. Maka menangislah Jik Hong, katanya pula sambil terguguk sedih: "Oh, le........
lebih baik aku mati saja!"
Dan demi nampak kelima jari tangan Tik Hun terkutung, ia ikut sedih. Tanpa pikir
ia robek ujung bajunya dan mendekati sang Suheng untuk membalut lukanya.
Saking kesakitan, beberapa kali hampir2 Tik Hun pingsan, namun ia bertahan
sekuat-kuatnya sambil mengertak gigi hingga bibir sendiri tergigit pecah.
"Siau-sunio (ibu guru kecil), bangsat ini berani berbuat kurang ajar padamu,
tentu kami akan cincang dia," demikian kata Loh Kun kemudian.
Kiranya wanita itu adalah gundiknya Ban Cin-san, namanya si Mirah. Dengan aksi
ia menutupi mukanya sendiri sambil menangis pula: "O, macam2 bujukan yang dia
katakan padaku. Ia bilang gurumu su........sudah mati dan suruh aku mengikut
dia. Ia bilang ayahnya nona Jik telah membunuh orang hingga dia ikut tersangkut
urusan. Ia mengatakan telah banyak mengumpulkan harta benda, sudah kaya-raya
mendadak, aku diajak ikut minggat........"
Dalam keadaan bingung Tik Hun tidak sanggup lagi membela diri, ia cuma bisa
menggumam: "Bohong, bohong!"
"Hayo pergi menggeledah kamar bangsat kecil ini!" teriak Ciu Kin.
Maka be-ramai2 Tik Hun lantas digusur kekamarnya. Dengan bingung Jik Hong ikut
juga dari belakang. Sebaliknya Ban Ka lantas berkata: "Kalian jangan bikin susah
Tik-suko, belum terang perkaranya, jangan sampai mempitenah orang baik2."
"Huh, masakah perkaranya masih kurang jelas?" ujar Ciu Kin dengan gusar.
"Apakah tadi engkau tidak mendengar dan menyaksikan sendiri?" kata Ciu Kin.
"Ya, tapi boleh jadi karena dia terlalu banyak minum, dalam keadaan mabuk
menjadi silap," sahut Ban Ka.
Datangnya kejadian2 itu sangat cepat hingga Jik Hong sudah tidak bisa berpikir
pula. Diam2 ia sangat berterima kasih mendengar Ban Ka membela Tik Hun. Dengan
pelahan iapun berkata padanya: "Ban-suko, memang Tik-suheng bukanlah orang
semacam itu." "Ya, makanya aku kira dia terlalu banyak minum, soal mencuri tentu tak nanti
diperbuatnya," sahut Ban Ka.
Tengah bicara, Tik Hun sudah digusur kedalam kamarnya. Sepasang mata Sim Sia
berjelilatan kian kemari, tiba2 ia mendekati tempat tidur, ia tarik keluar satu
bungkusan yang antap dan bersuara gemerincingnya logam.
Karuan Tik Hun bertambah kaget, ia lihat Sim Sia membuka bungkusan itu dan
menuang keluar isinya. Ternyata semuanya adalah perkakas2 rumah tangga dari emas
dan perak. Kembali Jik Hong menjerit sambil memegangi meja. Segera Ban Ka menghiburnya:
"Jangan kuatir, Jik-sumoay, pelahan2 kita mencari daya lain."
Menyusul Pang Tan menyingkap kasur dan tertampak pula dua bungkusan lain, waktu
dibuka, isinya adalah emas intan dan perhiasan permata.
Kini Jik Hong tidak ragu2 lagi, menyesalnya tidak kepalang, sungguh kalau bisa
ia ingin membunuh diri saja. Sejak kecil ia dibesarkan bersama Tik Hun, dalam
pandangannya pemuda itu adalah calon suaminya kelak. Siapa duga kekasih yang
sangat dihormat dan dicintainya itu dikala dirinya sedang dirundung malang
lantas akan minggat bersama wanita lain. Apa benar2 wanita yang genit ini telah
berhasil menggodanya atau dia kuatir tersangkut perkaranya ayah, maka ingin
melarikan diri" Demikian pikirnya.
Dalam pada itu Loh Kun telah memaki: "Bangsat, bukti2 sudah nyata, apakah kau
masih berani menyangkal?"
Berbareng itu, "plak-plok", kontan ia tempiling Tik Hun dua kali.
Karena kedua tangannya dipegangi Sun Kin dan Go Him, Tik Hun tidak dapat
menangkis, karuan pipinya terus merah abuh. Bahkan Loh Kun belum puas, kembali
ia jotos sekali pula didadanya Tik Hun.
"Jangan, jangan memukulnya! Ada apa bisa dibicarakan secara baik2," seru Jik
Hong melerai. "Mampuskan dulu bangsat kecil ini baru diseret kepengadilan negeri," seru Ciu
Kin. Berbareng iapun menghantam sekali. Tak tahan lagi Tik Hun menyemburkan
darah. Segera Pang Tan pun maju dengan pedang terhunus, katanya: "Potong
sekalian tangan kirinya, biar dia buntung!"
Terus saja Sun Kin angkat lengan kiri Tik Hun dan Pang Tan ayun pedangnya hendak
menabas. Saking kuatirnya sampai Jik Hong menjerit sekali.
Maka berkatalah Ban Ka: "Sudahlah, jangan bikin susah dia lagi, biar kita
serahkan dia kepada yang berwajib saja."
Melihat Pang Tan sudah menarik kembali pedangnya, barulah Jik Hong merasa lega,
dengan air mata ber-linang2 ia pandang sekejap kepada Ban Ka dengan penuh rasa
Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terima kasih. ********** Sudah tentu didepan pembesar negeri juga Tik Hun tak bisa memberi pengakuan yang
memuaskan. Sama sekali tak tersangka olehnya bahwa sang Sumoay yang dicintainya
itupun percaya dirinya menjadi maling dan bermaksud membawa minggat perempuan
lain.............. "Satu, dua, tiga, empat............" begitulah rangketan petugas yang menghujani
bebokong Tik Hun. Walaupun rangketan itu sangat keras, namun kalau dibandingkan
hatinya yang sakit waktu itu, rangketan itu boleh dikata tiada artinya, bahkan
rasa sakit luka tangan kanannyapun takada artinya lagi.
"........sepuluh........limabelas............duapuluh........." demikian Tik Hun
terus dihujani rangketan hingga kulit dagingnya melocot sampai achirnya iapun
tak sadarkan diri. Ketika Tik Hun siuman didalam penjara, ia merasa kepalanya sangat berat, ia
tidak tahu dimana dirinya berada saat itu dan sudah lewat berapa lamanya.
Pelahan2 ia merasakan kesakitan luka jari tangannya itu, kemudian merasakan
punggung, paha dan bokong juga kesakitan sekali. Ia ingin membalik tubuh supaya
tempat yang kesakitan itu tidak tertindih dibawah, tapi mendadak pundaknya juga
kesakitan luar biasa, kembali ia jatuh pingsan.
Ketika untuk kedua kalinya ia siuman, pertama yang terdengar olehnya adalah
suara rintihannya sendiri, menyusul terasalah kesakitan diantero tubuhnya. Ia
tidak tahu mengapa pundaknya sedemikian sakitnya" Apakah disebabkan kedua
pundaknya juga dipapas orang" Sungguh ia tidak berani memandang lagi.
Mendadak ia mendengar suara gemerincingnya benturan besi, waktu ia menunduk, ia
lihat ada dua utas rantai menjulur turun dari pundaknya sendiri. Karuan ia kaget
dan takut. Ketika ia melirik kepundak, seketika gemetarlah tubuhnya. Dan karena
gemetar, pundaknya menjadi lebih kesakitan lagi. Kiranya kedua rantai itu telah
menerobos "Pi-pe-kut" (tulang pundak) dipundaknya dan ujungnya digembok bersatu
dengan rantai belenggu kaki dan tangannya.
Bahwa tulang pundak dilubangi, ia pernah mendengar cerita gurunya, cara itu
katanya cuma dilakukan oleh pembesar negeri terhadap penjahat kaliber besar.
Sekali Pi-pe-kut ditembus, sekalipun kepandaianmu setinggi langit juga tak
berguna lagi. Sesaat itu timbul macam2 pertanyaan dalam benaknya Tik Hun. "Kenapa aku
diperlakukan begini" Aku terpitenah, apa pembesar negeri tak tahu?"
Ketika diperiksa Ti-koan (Bupati), pernah juga ia menuturkan apa yang terjadi
sebenarnya. Akan tetapi ia kalah bukti dan saksi. Si Mirah, itu gundiknya Ban
Cin-san tegas2 menuduh dia bermaksud memperkosanya. Kedelapan muridnya Ban Cinsan juga menyatakan menemukan bukti2 harta curiannya dikamarnya Tik Hun. Opas2
kota Heng-ciu juga mengatakan tidak mungkin ada penjahat yang berani
menggerayangi keluarga Ban yang disegani itu.
Tik Hun masih ingat wajah Tikoan itu cukup welas-asih tampaknya, usianya kira2
setengah umur. Ia yakin tuan besar Tikoan itu cuma sementara ini percaya pada
aduan orang tapi achirnya pasti dapat menyelidiki duduk perkara yang sebenarnya.
Akan tetapi kelima jari tangannya telah dipapas orang, kelak mana dapat
menggunakan pedang lagi"
Begitulah dengan penuh rasa gusar, sesal dan sedih, tanpa hiraukan rasa sakit ia
terus berbangkit dan ber-teriak2: "Penasaran! Penasaran!"
Tapi mendadak kakinya terasa lemas, ia terbanting jatuh lagi.
Watak Tik Hun memang sangat keras kepala, segera ia meronta hendak bangun pula.
Tapi baru saja berdiri, kembali kakinya lemas, lagi2 ia roboh telungkup.
Namun sambil me-rangkak2 ia masih ber-teriak2: "Aku tidak bersalah, aku tidak
bersalah!" "Hehe, otot tulangmu telah dirusak orang, kepandaianmu telah punah semua, he-he,
modal yang kau tanam ini sungguh tidak kecil!" demikian tiba2 suara seorang
berkata dengan dingin dipojok kamar penjara itu.
Namun Tik Hun tidak gubris pada siapa yang berbicara itu dan apa artinya kata2
itu, ia masih terus berteriak: "Aku tidak bersalah, aku tidak bersalah!"
Mendengar suara ribut itu, seorang sipir bui mendatanginya dan membentak: "Ada
apa kau gembar-gembor, lekas tutup bacotmu!"
Tapi teriakan Tik Hun semakin keras: "Aku tidak bersalah!"
"Kau tutup mulut tidak?" bentak sipir bui itu dengan gusar.
Namun Tik Hun berteriak terlebih keras lagi. Sipir bui itu menyengir ejek
sekali, ia putar pergi dan datang pula dengan membawa seember air. Dari luar
ruji kamar bui itu, terus saja ia siramkan air itu kebadan Tik Hun.
Seketika Tik Hun mengendus bau pesing, hendak menghindar sudah tak keburu lagi,
karuan seluruh tubuhnya basah kuyup. Kiranya air yang disiramkan sipir bui itu
adalah air kencing. Air kencing mengandung kadar garam, maka rasa sakit luka2 Tik Hun itu bertambah
perih oleh karena tersiram air kencing yang asin itu. Matanya menjadi berkunang2 dan gelap, kembali ia pingsan lagi.
Tik Hun tak tahan lagi oleh siksaan itu, ia jatuh sakit panas, dalam keadaan tak
sadar ia selalu mengigau memanggil Suhu dan Sumoay.
Ber-turut2 tiga hari ia sama sekali tidak makan nasi yang dihantarkan sipir bui.
Sampai hari keempat, panas badannya sudah mulai hilang. Luka2nya juga sudah
mulai kaku hingga tidak terlalu sakit seperti tempo hari.
Dan begitu ingat pada penasarannya, kembali ia berteriak: "Aku tidak bersalah!"
Tapi suaranya sekarang sudah terlalu lemah, ia cuma bisa me-rintih2 saja.
Setelah duduk sebentar dan agak tenang, ia coba memeriksa keadaan kamar bui yang
terbuat dari batu itu, luasnya kira2 tiga meter persegi, lantainya batu,
dindingnya juga batu. Dipojok sana terdapat sebuah tong kotoran, bau yang tercium olehnya adalah bau
apek dan bacin melulu. Waktu ia berpaling, ia lihat diujung sana ada sepasang mata yang bengis sedang
melotot kepadanya. Ia terkejut. Tak tersangka olehnya didalam bui itu masih ada seorang lain lagi.
Ia lihat orang itu penuh berewok, rambutnya panjang terurai sampai diatas
pundak, bajunya compang-camping tak keruan hingga lebih mirip orang hutan. Ada
juga persamaannya dengan dirinya, yaitu kaki-tangan orang itupun diborgol,
bahkan Pi-pe-kut dipundaknya juga ditembusi dua utas rantai.
Melihat itu, perasaan yang per-tama2 timbul padanya adalah senang, sebab didunia
ini ternyata masih ada seorang lagi yang tidaak beruntung dan senasib seperti
dirinya. Tapi lantas pikirnya pula: "Orang ini begini bengis, tentu seorang
penjahat kaliber besar. Ia dihukum karena setimpal dengan dosanya, tapi aku
dihukum tanpa salah. Tak dapat aku dipersamakan dia."
Berpikir sampai disini, tanpa merasa air matanya terus bercucuran.
Waktu ia dirangket dan dipenjarakan, meski sudah banyak derita yang dirasakan,
tapi selama itu ia mengertak gigi bertahan sebisanya dan tidak pernah meneteskan
air mata. Tapi kini mendadak menangis, ia menjadi tak tahan lagi, achirnya ia
menangis ter-gerung2 dengan keras.
"Hm, permainanmu sungguh hidup benar, pandai sekali kau! Apa engkau bekas pemain
sandiwara, ya?" ejek si hukuman berewok itu.
Namun Tik Hun tidak menggubrisnya, ia tetap menangis se-keras2nya. Maka
terdengarlah suara sipir bui itu mendatangi lagi dengan membawa seember air
kencing pula. Melihat itu, betapa pun Tik Hun kepala batu juga sudah kapok, kuatir kalau
disiram air kencing lagi, terpaksa ia berhentikan tangisannya.
Tiba2 sipir itu mengamat-amatinya sejenak, lalu katanya: "Bajingan cilik, itulah
ada orang datang menjenguk kau!"
Girang tercampur kejut Tik Hun, cepat tanyanya: "Sia..........siapa?"
Sipir itu memandangnya sejenak pula, lalu mengeluarkan kunci untuk membuka
Bara Diatas Singgasana 14 Si Rase Kumala Giok Hou Ko Kiam Karya S D Liong Dendam Iblis Seribu Wajah 22
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama